BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Kematian Ibu 1.1. Defenisi Kematian ibu adalah kematian wanita sewaktu hamil, melahirkan atau dalam 42 hari sesudah berakhirnya masa kehamilan, tidak tergantung dari lama dan lokasi kehamilan, disebabkan oleh apapun yang berhubungan dengan kehamilan atau penanganannya, tetapi tidak secara kebetulan atau oleh penyebab tambahan lainnya (Winkjosastro (Ed), 2009). Kematian ibu atau kematian maternal adalah kematian seorang ibu sewaktu hamil atau dalam waktu 42 hari sesudah berakhirnya kehamilan, tidak bergantung pada tempat atau usia kehamilan (Saiffuddin, 2010). Kematian ibu, menurut Internasional Statistical Classification of Disease and Related Health Problems ( ICD 10) didefenisikan sebagai “ Kematian seorang wanita yang terjadi saat hamil atau dalam 42 hari setelah berakhir kehamilnya, tanpa melihat usia dan letak kehamilannya, yang diakibatkan oleh sebab apapun yang terkait dengan atau diperburuknya oleh kehamilannya atau penangannya, tetapi bukan disebabkan oleh insiden dan kecelakaan”. Defenisi tersebut secara tegas menjelaskan bahwa kematian ibu menunjukkan lingkup yang luas, tidak hanya terkait dengan yang terjadi saat prosese persalinan, tetapi mencakup kematian ibu yang sedang dalam masa hamil dan nifas (Kemenkes, 2013). Kematian ibu menurut defenisi WHO adalah kematian selama kehamilan atau dalam periode dalam 42 hari setelah berakhirnya 6 Universitas Sumatera Utara 6 kehamilan, akibat semua sebab yang terkait dengan atau diperberat oleh kehamilan atau penangannya, tetapi bukan disebabkan oleh kecelakaan/cedera. 1.2. Penyebab/ Etiologi Penyebab kematian ibu dibedakan menjadi dua ketegori adalah antepartum dan postpartum. Pertama kematian yang disebabkan oleh penyebab langsung obstetrik yaitu kematian yang diakibatkan langsung oleh kehamilan dan persalinannya. Penyebab utama kematian ibu yang diakibtkan langsung adalah perdarahan, hipertensi dalam kehamilan, infeksi, partus lama / macet dan abortus ( Saiffuddin, 2010). Di Indonesia kematian ibu yang disebabkan langsung obstetri didominasi oleh perdarahan, hipertensi dalam kehamilan dan infeksi (Manuaba, 2007). Berdasarkan hasil penelitian penyebab kematian ibu tertinggi yaitu perdarahan hal ini terjadi disebabkan jumlah perdarahan yang tidak terkontrol dapat dengan cepat menyebabkan kematian tanpa intervensi medis pada saat kehamilan, persalinan dan pasca persalinan. Pada ibu hamil yang mengalami anemia dapat menyebabkan perdarahan karena jumlah sel darah merah yang berkurang karena jumlah Hb menurun. Fungsi Hb yaitu sebagai pengikat oksigen untuk diedarkan keseluruh tubuh, hal ini menyebabkan otot utrus tidak berkontraksi adekuat sehingga menyebabkan terjadinya perdarahan. Kedua adalah kematian yang disebabkan oleh penyebab tidak langsung yaitu kematian yang terjadi pada ibu hamil yang disebabkan oleh penyakit bukan kehamilan atau persalinannya. Sebagai contoh ibu hamil yang meninggal akibat Tuberkulosis, Anemia, Malaria, Penyakit Jantung, dan lain-lain. Penyakit tersebut Universitas Sumatera Utara 7 dapat memperkuat kehamilan meningkatkan resiko terjadinya kesakitan dan kematian selama kehamilan dan persalinan( Triana, 2015 ). Perdarah adalah kehilangan darah secara abnormal, rata-rata kehilangan darah selama kelahiran pervaginam yang ditolong dokter obsetetrik tanpa komplikasi lebih dari 500 ml, kehilangan darah rata-rata selama seksio sesaria sekitar 1000 ml (Varney, 2008). Menurut Manuaba (2008) waktu terjadinya perdarahan postpartum dibagi menjadi dua macam yaitu: perdarahan postpartum primer ( early postpartum hemorrhage) yang terjadi dalam 24 jam setelah anak lahir. Penyebabnya adalah atonia uteri, retensio plasenta, plasenta rest, trauma persalinan (rupture uteri dan hematon), gangguan pembekuan darah. Dan perdarahan poetpartum sekunder (late postpartum hemorrhage) yang terjadi antara 24 jam dan 6 minggu setelah anak lahir. Penyebabnya adalah plasenta rest dan tertinggalnya selaput ketuban, trauma persalinan (berkas seksio sesarea pembuluh darahnya terbuka), infeksi yang menimbulkan subinvolusi implantasi plasenta. 2. Perdarahan Antepartum 2.1. Defenisi Perdarahan antepartum adalah perdarahan pervaginam pada kehamilan diatas 28 minggu atau lebih. Karena perdarahan antepartum terjadi pada umur kehamilan diatas 28 minggu maka sering disebut atau digolongkan perdarahan pada trimester ketiga (Manuaba, 2007). Perdarahan antepartum adalah perdarahan jalan lahir setelah kehamilan 28 minngu maka sering disebut atau digolongkan perdarahan pada trimester ke 3 ( Crane, 1999) Universitas Sumatera Utara 8 Walapun perdarahannya sering dikatakan terjadi pada trimester ke 3, akan tetapi tidak jarang juga terjadi sebelum kehamilan 28 minggu karena sejak itu segmen bawah uterus telah terbentuk dan mulai melebar serta menipis. Dengan bertambah tuanya kehamilan, segmen bawah uterus akan lebih melebar lagi, dan serviks mulai membuka. Apabila plasenta tumbuh pada segmen bawah uterus, pelebaran segmen bawah uterus dan pembukaan serviks tidak dapat diikuti oleh plasenta yang melekat di situ tanpa terlepas sebagian plasenta dari dinding uterus. Pada saat itu mulailah terjadi perdarahan ( Hung, 2007 ). Perdarahan antepartum yang berbahaya umumnya bersumber pada kelainan plasenta. Hal ini disebabkan perdarahan yang bersumber pada kelainan plasenta biasanya lebih banyak, sehingga dapat mengangu sirkulasi O2 dan CO2 serta nutrisi dari ibu kepada janin. Sedangkan perdarahan yang tidak bersumber pada kelainan plasenta seperti kelainan serviks biasanya relatif tidak berbahaya. Oleh karena itu, pada setiap perdarahan antepartum pertam-tama harus selalu dipikirkan bahwa hal itu bersumber pada kelainan plasenta (Saiffuddin, 2010). Menurut Ida Bagus Manuaba perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi pada trimester III dan berkaitan dengan kehamilan. Perdarahan antepartum dibagi menjadi empat yaitu: Plasenta previa adalah implantasi plasenta dibagian bawah sehingga dapat menutupi osteum uteri internum serta menimbulkan perdarahan saat pembentukan segmen bawah rahim, Solusio plasenta adalah perdarahan yang terjadi disebabkan lepasnya plasenta sebelum waktunya pada implantasi normal, Pecahnya sinus marginalis adalah perdarahan yang terjadi dari sinus marginalis saat inpartu atau pembentukan segmen bawah Universitas Sumatera Utara 9 rahim, Perdarahan pada vasa previa adalah perdarahan yang terjadi setelah ketuban pecah karena pecahnya pembuluh darah yang berasal dari insersio filamentosa dan melintasi pembukaan (Manuaba,2007). Menurut Johanes C. Mose antepartum adalah perdarahan pada trimester terakhir dari kehamilan. Penyebab utama perdarahan obstetrik yaitu: abortus, kehamilan ektopik, dan mola hidatidosa. Penyebab nonobstetrik yaitu: luka-luka pada jalan lahir karena terjatuh, akibat koitus atau varises yang pecah oleh kelainan serviks seperti karsinoma, erosion dan polip (Lili, 2008). Menurut Harry Oxorn perdarahan antepartum adalah perdarahan pada bagian akhir kehamilan merupakan ancaman yang serius terhadap kesehatan dan jiwa baik ibu maupun anak. Plasenta previa dan abrupsio plasenta menjadi bagian terbesar dalam kasus ini. Menurut Harry perdarahan antepartum di golongkan menjadi: plasenta previa yaitu plasenta yang terletak pada segmen bawah uterus dan terletak di daerah atau di dekat osteum internum cervik, Abruptio plasenta yaitu pelepasan plasenta sebelum waktunya atau pelepasan plasenta dari dinding rahim, Vasa previa yaitu keadaan pembuluh-pembuluh darah yang terletak melintang osteum internum cervik dan keadaan ini menyertai plasenta letak rendah dan insertion velamentosa tali pusat, Ruptura sinus marginalis yaitu salah satu saluran tempat darah dari ruang intervillous mengalir kembali ke sirkulasi maternal, Lesi setempat terdiri dari neoplasma dan infeksi, dan idopatik yaitu perdarahan yang terjadi karena sedikit terpisahnya plasenta dari dinding rahim (Oxorn,2010). Universitas Sumatera Utara 10 Berdasarkan pendapat diatas saya menyimpulkan bahwa perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi pada usia kehamilan trimester terakhir dari kehamilan dan dapat mengancam kesehatan jiwa ibu dan anak. Perdarahan antepartum dapat digolongkan menjadi: Plasenta previa, Solusio plasenta, Pecahnya sinus marginalis, dan Pecahnya vas previa. 2.1.1. Plasenta Previa Perdarahan yang terjadi pada keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat abnormal, yaitu pada segmen bahwa rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruhan pembukaan jalan lahir (osteum uteri internum). Luasnya implantasi previa dapat minor, sehingga masih memungkinkan kelahiran melalui vagina, atau tidak memungkin melalui vagina. Plasenta previa terjadi pada 0,5% dari semua kehamilan, dan bertanggung jawab terhadap 20% kasus perdarahan antepartum. Plasenta previa 3 kali lebih sering [pada wanita multipara daripada primipara dan belum terdeteksi faktor etiologi yang lain. Secara kilinis plasenta previa dapat dibagi dalam :Plasenta previa totalis (sentralis), bila pada pembukaan 4 cm teraba plasenta menutupi seluruh osteum uteri internum, Plasenta previa lateris, bila menutupi osteum uteri internum sebagian pada pembukaan 4 cm, Plasenta previa marginalis, bila tepi plasenta berada pada bagian pinggir osteum uteri iternum pada pembukaan 4 cm. 2.1.2. Solusio Plasenta Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta sebelum waktunya dengan implantasi normal pada kehamilan trimester ketiga. Terlepasnya plasenta sebelum Universitas Sumatera Utara 11 waktunya menyebabkan timbunan darah antara plasenta dan dinding rahim yang dapat menimbulkan gangguan terhadap ibu dan janin. Secara klinis solusio plasenta dapat dibedakan menjadi 3 katagori yaitu: Solusio plasenta ringan, Perdarahan yang terjadi kurang dari 500cc dan lepasnya plasenta kurang dari 1/5 bagian. Perut ibu masih lemas sehingga bagian janin mudah teraba. Tanda fetal distress belum tampak. Terjadi perdarahan hitam pervaginam, tetapi belum terjadi gangguan pembekuan darah, Solusio plasenta sedang, perdarahan yang terjadi sekitar 1000 cc dan lepasnya plasenta antara 1/4 2/3 bagian. Perut ibu mulai tegang dan bagian janin sulit teraba bagian janin sudah fetal distres. Pemeriksaan dalam ketuban tegang. Tanda persalinan telah ada dan dapat berlangsung cepat sekitar 2 jam, Solusio plasenta berat, lepasnya plasenta sudah melebihi 2/3 bagian. Perut nyeri dan tegang serta bagian janin sulit diraba. Janin telah meninggal. Terjadi gangguan pembekuan darah dan ganguan ginjal sudah mulai tampak. 2.1.3. Pecahnya Sinus Marginalis Perdarahan yang sebagian besar terjadi pada pembukaan mendekati lengkap, akibat pecah sinus marginalis yang merupakan tempat penampungan sementara darah retroplasenter. 2.1.4. Pecahnya Vas Previa Perdarahan yang terjadi segera setelah ketuba pecah, karena pecahnya pembuluh darah yang berasal dari insersio filamentosa dan melintasi pembukaan. (Manuaba, 2007). Universitas Sumatera Utara 12 2.2. Faktor Yang Mempengaruhi Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain: Fator vaskuler (80-90%) yaitu toksinmia gravidarum, glomerulo nefritis kronika, dan hipertensi esensial. Karena desakan darah tinggi, maka pembuluh darah mudah pecah, kemudian terjadi haematoma retroplaasenter dan plasenta sebagian terlepas, Faktor trauma yaitu pengecilan yang tiba-tiba dari uterus pada hidramnion dan gemeli, Tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin yang banyak/bebas, versi luar, atau pertolongan persalinan, Faktor paritas yaitu lebih banyak dijumpai pada multi daripada primi. Sarwono mencacat bahwa dari 83 kasus solusio plasenta dijumpai 45 multi dan 13 primi, Pengaruh lainnya seperti anemia, malnutrisi, tekanan uterus pada vena cava inferior, dan lain-lain, Trauma langsung seperti jatuh, kena tendangan dan lain-lain 3. Perdarahan Postpartum 3.1. Defenisi Perdarahan postpartum oleh WHO (2006) sebagian kehilangan darah nifas 500ml atau lebih yang terjadi setelah anak lahir. Perdarahan postpartum juga didefinisi masa atau waktu sejak bayi dilahirkan dan plsenta keluar dari rahim sampai 6 minggu berikutnya disertai dengan pulihnya kembali organ-organ yang berkaitan dengan kandungan yang mengalami perubahan seperti perlukaan yang berkaitan saat melahirkan (Suherni, 2009). Perdarahan postpartum ada kalanya merupakan perdarahan yang hebat dan menakutkan sehingga dalam waktu singkat dapat menyebabkan terjadiny syok, ataupun merupakan perdarahan yang menetes perlahan-lahan tetapi terus menerus Universitas Sumatera Utara 13 dan ini juga berbahaya karena akhirnya jumlah perdarahan menjadi banyak yang mengakibatkan wanita menjadi lemas dan juga jatuh dalam syok ( Lubis, 2011). Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan yang terjadi setelah bayi lahir yang melewati batas fisiologis normal. Pada umumnya seorang ibu melahirkan akan mengeluarkan darah secara fisiologis sampai jumlah 500 ml tanpa menyebabkan gangguan homeostasis. Dengan demikian secara konvensional dikatakan bahwa perdarahan yang melebihi 500 ml dapat dikategorikan sebagai perdarahan pasca persalinan dan perdarahan yang secara kasat mata mencapai 1000 ml harus segera ditangani secara serius (Koto, 2011). Menurut Harry Oxorn perdarahan postpartum adalah hilangnya darah lebih dari 500ml selama 24 jam pertama. Setelah 24 jam, keadaan ini dinamakan perdarahan postpartum lanjut. Menurut Harry perdarahan postpartum di golongkan menjadi: Atonia uteri yaitu perdarahan postpartum dapat dikendalikan melalui kontraksi dan retraksi serat-serat myometrium dan menyebabkan terlipatnya pembuluh darah sehingga aliran darah ketempat plasenta menjadi terhenti. Kegagalan mekanisme akibat gangguan fungsi myometrium dinamakan atonia uteri dan keadaan ini menjadi penyebab utama perdarahan postpartum, Trauma dan laserasi yaitu perdarahan yang cukup banyak terjadi dari robekan yang dialami selama proses melahirkan baik yang normal maupun tindakan, Rotensio plasenta ysitu sebagian atau seluruh plasenta dalam rahim akan mengganggu kontraksi dan retraksi menyebabkan sinus-sinus darah tetap terbuka sehingga menimbulkan perdarahan postpartum, dan Kelainan perdarahan yaitu Universitas Sumatera Utara 14 penyakit hemorrhagic dapat diderita oleh wanita hamil dan dapat menyebabkan perdarahan postpartum(Harry,2010). Menurut Ida Bagus Manuaba perdarahan postpartum adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam setelah persalinan berlangsung. Perdarahan postpartum digolongkan menjadi perdarahan postpartum primer dan sekunder. Postpartum primer yaitu perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utama perdarahan postpartum primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, dan robekan jalan lahir. Perdarahan postpartum sekunder yaitu perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pertama. Penyebab utama perdarahan postpartum sekunder adalah robekan jalan lahir dan sisa plasenta atau membrane (Manuaba,2007). Menurut waktu terjadinya perdarahan postpartum dibagi atas dua bagian, yakni, kehilangan darah yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah melahirkan dikenal sebagai perdarahan postpartum primer (Mochtar, 2006), sedangkan kehilangan darah yang terjadi antara 24 jam sampai 6 minggu setelah melahirkan disebut perdarahan postpartum terlambat atau sekunder (Notwitz, 2010). Perdarahan postpartum sekunder biasanya terjadi antara hari ke- 5 sampai ke hari 15 (Mochtar, 2006). Perdarahan postpartum primer biasa terjadi karena atonia uteri, robekan jalan lahir, rentensio plasenta, inversio uteri, dan ruptura uteri, penyebab perdarahan postpartum sekunder biasanya terjadi akibat sisa plsenta dalam uteri. (Prawirohardjo, 2008). Universitas Sumatera Utara 15 Berdasarkan pendapat diatas perdarahan postpartum adalah hilangnya darah lebih dari 500ml selama 24 jam pertama atau setelah 24 jam pasca persalinan. Perdarahan postpartum di golongkan menjadi: atonia uteri,robekan jalan lahir, retensio plasenta, inversio uteri, dan ruptura uterus. Kejadian perdarahan postpartum ini di sebabkan oleh beberapa hal, yaitu: Atonia uteri: diperkirakan 90%, Robekan jalan lahir: diperkirakan 7%, Retensio plasenta, inversion uterus, dan gangguan pembekuan darah: diperkirakan 3% ( Parisaei, et all, 2008). 3.1.1. Atonia Uteri Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus atau kontraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir (Taber, 2010). Faktor predisposisi atonia uteri sebagai berikut : a. Regangan rahim yang berlebihan karena kehamilan kembar, polihidramnion, karena persalinan lama. b. Kelelahan karena persalinan lama. c. Kehamilan grande-multipara. d. Ibu dengan keadaan yang jelek, anemis, atau menderita penyakit menahun. e. Mioma uteri yang menggangu kontraksi rahim. (Manuaba, 2007). 3.1.2. Robekan Jalan Lahir Robekan jalan lahir atau laserasi selalu memberikan perdarahan dalam jumlah yang bervariasi.Laserasi jalan lahir dapat meliputi cedera pada labia, Universitas Sumatera Utara 16 perineum, vagina dan serviks.Untuk dapat menetapkan sumber perdarahan dapat dilakukan dengan pemeriksaan dalam dan pemeriksaan speculum.Setelah sumber perdarahan diketahui dengan pasti, perdarahan dihentikan dengan melakukan ligasi (Hakimi, 2012). Faktor-faktor yang mempengaruhi laserasi obstetrik traktus genetalia bawah meliputi kelahiran operatif, kelahiran spontan tidak terkontrol, kelainan kongenital pada bagian-bagian meternal yang lunak, kontraksi pelvis, jaringan parut yang sudah ada sebelumnya akibat infeksi, cedera atau pembedahan (Komalasari, 2013).Robekan jalan lahir yang diabaikan dapat menyebabkan kehilangan darah yang banyak tapi perlahan selama berjam-jam (Hacker, 2011). 3.1.3. Retensio Plasenta Retensio plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama setengah jam setelah persalinan bayi. Retensio sebagian atau seluruh plasenta dalam rahim akan menyebabkan sinus-sinus darah tetap terbuka dan menimbulkan perdarahan postpartum (Hakimi, 2012). Penyebab Retensio Plasenta: Plasenta belum keluar dari dinding uterus karena kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta. Plasenta melekat erat pada dinding uterus vili korialis desidua sampai mio metrium (Hakimi, 2012), Plasenta sudah lepas tetapi belum keluar karena atonia uteri dan akan menyebabkan perdarahan yang banyak, atau dapat juga diakibatkan kesalahan penanganan kala III, yang akan menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarserata) (Mochtar, 2006). Universitas Sumatera Utara 17 3.1.4. Inversio Uteri Inversio uteri adalah keadaan dimana fundus uteri terbalik sebagian atau seluruhnya masuk kedalam kavum uteri. Inversio uteri dibagi menjadi: inversio uteri ringan yaitu keadaan dimana fundus uteri terbalik menonjol dalam kavum uteri, namun belum keluar dari ruang rongga rahim, inversio uteri sedang yaitu keadaan fundus uteri terbalik dan sudah masuk dalam vagina, inversio uteri berat yaitu keadaan uterus semuanya terbalik dan sebagian sudah keluar vagina. (Mochtar, 2006). 3.1.5. Ruptura Uterus Ruptur uterus adalah keadaan robekan pada rahim dimana telah terjadi hubungan langsung antara rongga amnion dengan rongga peritoneum (Chalik, 2010).Biasanya ruptura uteri didahului oleh gejala-gejala his yang kuat dan terusmenerus, rasa nyeri yang hebat di perut bagian bawah, nyeri waktu ditekan, gelisah atau seperti ketakutan, nadi dan pernapasan cepat.Secara anatomik ruptura dapat dibagi atas ruptura uteri komplit (dinding uterus robek, peritoneum juga robek sehingga janin dapat berada dalam rongga perut) dan ruptura inkomplit (hanya dinding uterus yang robek tetapi perineum tetap utuh) (Wiknjosastro,2010). 4. Faktor Yang Mempengaruhi Riwayat perdarahan postpartum pada persalinan sebelumnya merupakan faktor resiko yang paling besar sehingga segala upaya harus dilakukan untuk menentukan tingkat keparahan dan penyebabnya. Beberapa faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya perdarahan postpartum meliputi penggunaan anestesi Universitas Sumatera Utara 18 umum, rahim yang distensi berlebihan terutama dari kehamilan multipel, janin besar, atau polihidramnion, persalinan lama, persalinan yang terlalu cepat, penggunaan oksitosin untuk induksi persalinan, paritas tinggi terutamanya grande multipara, chorioamnionitis, atau riwayat atoni pada kehamilan sebelumnya (Cumningham, 2005). Faktor utama yang mempengaruhi perdarahan postpartum menurut (Sarwono, 2000 ) adalah seperti faktor usia, gravida, paritas, jarak antara kelahiran dan antenatal care. 4.1.Faktor Umur Umur reproduksi optimal bagi seorang ibu adalah antara 20 – 35 tahun, di bawah dan di atas umur tersebut akan meningkatkan risiko kehamilan dan persalinan. Pada usia muda organ-organ reproduksi seorang wanita belum sempurna secara keseluruhan dan perkembangan kejiwaan belum matang sehingga belum siap menjadi ibu dan menerima kehamilannya dimana hal ini dapat berakibat terjadinya komplikasi obstetri yang dapat meningkatkan angka kematian ibu dan perinatal. Kehamilan di atas umur 35 tahun mempunyai risiko 3 kali lebih besar terjadinya perdarahan maternal dibandingkan dengan umur di bawah 35 tahun (Faisal, 2008). Menurut hasil penelitian Fika Nurul Hidayah di RSUD Panembahan Senopati Bantul, Tahun 2012 menemukan bahwa kejadian perdarahan pada usia ≤20 dan ≥30 tahun beresiko untuk mengalami perdarahan 1, 208 kali lebih besar dibandingkan dengan usia 20-35 tahun. Universitas Sumatera Utara 19 4.2. Tingkat Pendidikan Wanita dengan pendidikan lebih tinggi cenderung untuk menikah pada usia yang lebih tua, menunda kehamilan, mau mengikuti Keluarga Berencana (KB), dan mencari pelayanan antenatal dan persalinan. Selain itu, mereka juga tidak akan mencari pertolongan dukun bila hamil atau bersalin dan juga dapat memilih makanan yang bergizi. Wanita yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi tentu memiliki pemikiran yang lebih luas dan mengetahui apa yang baik untuk menjaga kehamilannya. Menurut Thadeus dan Maine (1990) yang dikutip dari Suryani (2008), dari beberapa penelitian yang dilakukan di berbagai Negara menejukkan adanya hubungan yang bermakna antara penggunaan pelayanan obstetri dan tingkat pendidikan ibu. 4.3.Status Sosial Ekonomi Status sosial ekonomi adalah kedudukan atau posisi seseorang dalam masyarakat, status sosial ekonomi adalah gambaran tentang keadaan seseorang yang ditinjau dari segi sosial ekonomi.Pengeluaran keluarga dapat dijadikan indikator pendekatan terhadap pendapatan keluarga sebagai ukuran tingkat ekonomi. Penghasilan yang terbatas memiliki dampak terhadap proses kehamilan dan persalinan. Kemiskinan merupakan faktor pendukung terjadinya morbiditas dan mortalitas maternal dan neonatal.Kebutuhan gizi ibu hamil dan janinnya, pemenuhankualitas lingkungan yang mendukung untuk menghindari terjadinya infeksi serta kemampuan untuk menentukan jenis persalinan sangatlah tergantung pada kondisi ekonomi keluarga (Soetjiningsih, 2004). Universitas Sumatera Utara 20 5. Obstetrik Hal-hal yang perlu diperhatikan pada faktor mediko obstetric adalah paritas, jarak persalinan, riwayat obstetrik jelek, dimana hal ini akan memberi gambaran atau prognosa pada kehamilan dan persalinan berikutnya. 5.1.Paritas Paritas merupakan faktor resiko yang mempengaruhi perdarahan postpartum primer.Pada paritas yang rendah (paritas 1) dapat menyebabkan ketidaksiapan ibu dalam menghadapi perslinan sehingga ibu hamil tidak mampu dalam menangani komplikasi yang terjadiselama kehamilan, persalinan dan nifas. Sedangkan semakin sering wanita mengalami kehamilan dan melahirkan (paritas lebih dari 3) maka uterus semakin lemah sehingga besar resiko komplikasi kehamilan ( Manuaba, 1998).Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut perdarahan pscapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Paritas 1 dan paritas tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka kejadian perdarahan pascapersalinan lebih tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal. Resiko pada paritas 1 dapat ditangai dengan asuhan obstetric yang lebih baik, sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana. Sebagian kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak direncanakan ( Wiknjosastro, 2005 ). Menurut penelitian Herianto (2003) bahwa paritas lebih dari 3 bermakna sebagai faktor resiko yang memengaruhi perdarahan postpartum primer (OR=2,87; 95% CI 1,23; 6,73). Penelitian Miswati (2007) menyatakan proporsi ibu yang mengalami perdarahann postpartum primer dengan paritas 1 sebesar Universitas Sumatera Utara 21 12%, paritas 2-3 sebesar 40% dan paritas lebih dari 3 sebesar 48%, serta terdapat hubungan yang signifikan anatar paritas dengan perdarah postpartum primer. Demikian juga dengan penelitian Milaraswati (2008) menyatakan bahwa proporsi ibu yang mengalami perdarahan postpartum primer dengan paritas≥4 yaitu 69% dan didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara paritas dengan perdarahan postpartum primer. 5.2. Jarak Antar Persalinan Jarak antara kelahiran adalah waktu sejak kelahiran sebelumnya sampai terjadi kelahiran berikutnya. Jarak antara kelahiran yang terlalu dekat dapat menyebabkan terjadinya komplikasi kehamilan. Menurut Moir dan Meyerscough (1972) yang di kutip Suryani (2008) menyebabkan jarak antara kelahiran sebagai faktor predisposisi perdarahan Antepartum dan Postpartum karena persalinan yang berturut-turut dalam jangka waktu yang singkat akan mengakibatkan kontraksi uterus menjadi kurang baik. Selama kehamilan berikutnya dibutuhkan 2-4 tahun agar kondisi tubuh ibu kembali seperti kondisi sebelumnya. Bila jarak antara kelahiran dengan anak sebelumnya kurang dari 2 tahun, rahim dan kesehatan ibu belum pulih dengan baik. Hehamilan dalam keadaan ini perlu diwaspadai karena ada kemungkinan terjadinya perdarahan pada persalinan. Menurut penelitian yuniarti (2004) proporsi kasus dengan jarak antar kelahiran kurang dari 2 tahun sekitar 41% dengan OR jarak antar kelahiran 2,82. Hal ini berarti ibu yang memiliki jarak kelahiran kurang dari 2 tahun berisiko 2,82 kali mengalami perdarahan pasca persalinan. Universitas Sumatera Utara 22 5.3. Riwayat Persalinan Riwayat persalinan dimasa lampau sangat berhubungan dengan hasil kehamilan dan persalinan berikutnya. Bila riwayat persalin yang lalu buruk prtugas harus waspada terhadap terjadinya komplikasi dalam persalinan yang akan berlangsung. Riwayat persalinan buruk ini dapat berupa abortus, kelainan janin, eklampsi dan preeklampsi, sectio caesarea, persalinan sulit atau lama,janin besar, infeksi dan pernah mengalami perdarahan antepartum dan postpartum. Menurut Sulistiowati (2001) yang dikutip Suryani (2008), bahwa terdapat hubungan yang signifikanantara riwayat persalinan buruk sebelumnya dengan perdarahan pasca persalinan dan menemukan OR 2,4 kali pada ibu yang memiliki riwayat persalinan buruk dibandingkan dengan ibu yang tidak memiliki riwayat persalinan buruk. 5.4. Jenis Riwayat Penyakit Yang Pernah di Derita Sebelum Persalinan Daya tahan ibu pada saat hamil biasanya menurun sehingga penyakit yang pernah diderita sebelum hamil cenderung muncul pada saat hamil. Perlu diperhatikan karena penyakit tersebut dapat membahayakan keselamatan ibu dan anak pada saat persalinan. Adapun penyakit-penyakit yang sering timbul kembali dan menyertai ibu hamil maupun ibu bersalin adalah Hepatitis, TBC, Diabetes Mellitus, Penyakit Jantung, Asma Bronkial, Hipertensi, Penyakit infeksi dan lainnya. Ibu dengan keadaan tersebut termasuk dalam kelompok resiko tinggi sehingga dapat mempengaruhi persalinannya. Riwayat Hipertensi pada kehamilan Universitas Sumatera Utara 23 mempunyai resiko 4 kali lebih besar terjadinya persalinan seksio sesarea dibandingkan dengan kehamilan tanpa hipertensi (Wirakusumah, 1994). Universitas Sumatera Utara