8 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Herbisida Pestisida adalah zat atau senyawa kimia, zat pengatur tumbuh dan perangsang tumbuh, bahan lain, serta organisme renik atau virus yang digunakan untuk melakukan perlindungan tanaman (PP No 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman). Secara harfiah, pestisida berarti pembunuh organisme pengganggu (pest: organisme, cide: membunuh) (Srikandi, 2010). Herbisida merupakan salah satu kelompok dari pestisida yang digunakan untuk memberantas rerumputan atau tanaman pengganggu/gulma (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2011a). Herbisida adalah senyawa atau material yang disebarkan pada lahan pertanian untuk menekan atau memberantas tumbuhan yang menyebabkan penurunan hasil. Karakteristik herbisida dibagi ke dalam beberapa penggolongan, diantaranya penggolongan herbisida berdasarkan daya aktif terhadap jenis gulma, berdasarkan bidang sasaran, berdasarkan gerakannya pada gulma sasaran, dan berdasarkan cara dan saat penggunaannya (Djojosumarto, 2008). Menurut Djojosumarto (2008) herbisida mematikan gulma dengan cara : 1. Herbisida membunuh jaringan gulma yang terkena langsung oleh herbisida disebut dengan herbisida kontak (non-sistemik). Herbisida ini tidak ditranslokasikan (non-sistemik) di dalam jaringan tumbuhan. Karena herbisida ini hanya mampu membunuh gulma yang berada di atas tanah. Contoh: paraquat, diquat dan propanil 2. Herbisida sistemik yatu herbisda yang bisa masuk ke dalam jaringan tumbuhan dan ditranslokasikan ke bagian tumbuhan lainnya. Karena sifatnya yang sistemik, herbisida ini mampu membunuh jaringan gulma yang berada di dalam tana (akar, rimpang, umbi). Contoh: 2,4-D, glifosat dan glufosinat. 9 Menurut Pane dan Jatmiko (2009), kriteria penting dalam memilih pestisida yang baik adalah: 1. Daya bunuhnya terhadap gulma sasaran efektif, terutama selama periode kritis persaingan gulma 2. Mempunyai selektivitas tinggi terhadap tanaman pokok 3. Murah dan aman terhadap lingkungan termasuk terhadap manusia dan hewan dan persistensinya pendek sampai medium sehingga tidak merugikan tanaman pada pola tanam berikutnya 4. Tidak bersifat antagonis (bertentangan) bila dicampur dengan herbisida lain 5. Tahan terhadap perubahan kondisi cuaca dalam jangka waktu terbatas. Residu pestisida adalah sisa komponen pestisida dan derivat-derivatnya yang masih tertinggal pada air, tanah, binatang atau tanaman yang pernah terkontaminasi oleh pestisida (Srikandi, 2010). Menurut Joint FAO/WHO Food Standards Programme (1995), residu merupakan sisa-sisa zat kimia yang digunakan untuk pengendalian hama dan penyakit, didalam atau bagian luar dari bahan makanan termasuk metabolit atau turunan dari zat kimia tersebut. FAO telah menetapkan konsentrasi maksimal yang diperkenankan atau Batas Maksimum Residu (BMR) atau Maximum Residue Limit (MRL) yang dinyatakan dalam miligram bahan kimia yang terdapat dalam bahan makanan perkilogram berat bahan makanan. BMR diperoleh dengan mengalikan nilai Acceptable Daily Intake (ADI) (mg/kg) terhadap rata-rata berat badan (kg) dibagi dengan asumsi konsumi bahan makanan per orang per hari (kg). FAO dan WHO telah menetapkan banyak jumlah pestisida yang masih dibenarkan termakan setiap harinya atau ADI, dinyatakan dalam miligram bahan kimia yang terdapat dalam bahan makanan perkilogram berat badan (mg/kg) (Joint FAO/WHO Food Standards Programme, 1995). 10 2.2 Sodium Bispiribak (Bispyribac sodium) Herbisida sodium bispiribak (Bispyribac sodium) adalah jenis herbisida pasca kemunculan (postemergence) yang digunakan untuk mengendalikan gulma yang berasosiasi dengan padi tanam benih langsung. Berdasarkan data yang ada, senyawa ini memiliki persistensi sedang dan mobile sehingga kemungkinan besar akan masuk kedalam permukaan tanah dan air bawah tanah melalui limpasan (run off) dan pencucian (leaching) (US EPA, 2001). 2.2.1 Mekanisme Kerja Sodium Bispiribak (Bispyribac sodium) Cara kerja herbisida ini adalah sodium bispiribak (Bispyribac sodium) diserap melalui permukaan daun kemudian ditranslokasi ke seluruh tanaman untuk menghambat aktivitas enzim Acetolactate synthase (ALS) yang mengakibatkan kematian pada gulma (Shimin and Jun, 2011). Senyawa aktif Pyrimidin Dimethoxy Sodium Benzoat yang melakukan penghambatan terhadap enzim Acetolactate synthase (ALS) dan biosintesis dari tiga cabang asam amino yaitu valin, leusin dan isoleusin. Penghambatan ini mengganggu pembelahan sel dan menyebabkan terhentinya pertumbuhan tanaman seperti klorosis tanaman, nekrosis dan kematian pada tanaman tersebut. Selektivitas herbisida ditentukan oleh adsorpsi, translokasi dan metabolisme diferensial. Pada tanaman, sodium bispiribak dengan cepat dimetabolisme menjadi produk nonherbisida. Karakteristik penggunaan sodium bispiribak ini akan diaplikasikan pada padi sebagai penyemprotan pasca kemunculan (postemergence), setelah tahap kemunculan 3 daun sampai inisiasi malai pada tahap perkembangan. Interval aplikasi yang dianjurkan adalah minimal 3 minggu dengan peyemprotan udara atau penyemprotan aplikasi tanah antara 10-20 galon larutan/acre (US EPA, 2001). Menurut US EPA sodium bispiribak merupakan herbisida yang tidak mengikat tanah, persistensinya sedang dan termasuk senyawa yang mobile di sebagian besar tanah. Jalur degradasi utamanya adalah metabolisme aerobik dan 11 anaerobik, metabolisme ini memecah lebih lanjut dan pada akhirnya mengubah mineral menjadi karbondioksida. Sejumlah studi menunjukkan adanya indikasi pencucian (leaching) dan limpasan (run off), hal ini terjadi karena sifat air yang rentan terhadap aliran semprot dan potensi limpasan (run off) akibat banjir atau curah hujan yang tinggi. Tanah liat yang berasosiasi dengan padi sawah cukup untuk menghilangkan retakan, pencucian (leaching) tidak mungkin berasal dari sawah yang telah dirancang khusus untuk mempertahankan banjir permanen. Namun apabila tanah liat pada padi sawah tersebut kelebihan air maka akan menjadi jenuh sehingga pencucian (leaching) dapat terjadi. Kemungkinan pencucian (leaching) juga terjadi saat air irigasi dikeluarkan dari sawah, namun potensi senyawa ini untuk pencucian (leaching) dapat diatasi dengan tingkat aplikasi yang rendah (US EPA, 2001). Dibawah kondisi lahan, residu sodium bispiribak yang mencapai permukaan tanah akan cepat hilang (APVMA, 2011). 12 2.2.2 Sifat-sifat Bahan Aktif Sodium Bispiribak (Bispyribac sodium) Sodium bispiribak (Bispyribac sodium) merupakan nama kimia umum dari bahan aktif ini dan sifat-sifat kimia dan fisikokimia dari sodium bispiribak berdasarkan Australian Pesticides & Veterinary Medicines Authority (APVMA) (2011) disajikan pada Tabel 1, 2 dan 3 : Tabel 1. Sifat Kimia Sodium Bispiribak (Bispyribac sodium) Nama Umum (ISO) Bispyribac sodium Sodium 2,6-bis[(4,6-dimethoxy-2Tatanama IUPAC pyrimidinyl)oxy)benzoate Sodium 2,6-bis[(4,6-dimethoxy-2Tatanama CAS pyrimidinyl)oxy)benzoate Nomer Registrasi CAS 125401-92-5 Formula Molekuler C19H17N4NaO8 Berat Molekul 452,4 g/mol Struktur Kimia Kelompok Kimia Pyrimidinyloxybenzoic acid herbicide Sumber : (APVMA, 2011) 13 Tabel 2. Sifat Fisikokimia Sodium Bispiribak (Bispyribac sodium) Warna Putih Bau Tidak berbau Bentuk Fisik Serbuk Titik Leleh 223 - 224 °C Berat Jenis 0.0737 g/mL ε (L mol-1 cm-1]): 16877 pada 246 nm (dengan pH 6.95) Serapan UV Octanol / Koefisiensi Partisi Air -1.03 pada 23°C Tekanan uap pada 25 °C < 1 x 10-7 mm Hg pada 25 °C Kelarutan pada 25 °C: Pada air 73.3 g/L Pada Air : ( kemurnian aktif 99.0%; pH Pada pelarut organik (kemurnian 8.1) 95.2%) Pada Pelarut Organik (kemurnian aktif 95.2%) ethyl acetate 1.98 x 10-4 g/100 mL dichlorometane 5.13 x 10-4 g/100 mL Konstanta Henry Law 3.12 x 10 -11 Pa m3/mol Disosiasi konstan dalam air Anion asam lemah karbonat dan Na+ Kemampuan untuk terbakar (Flammability) Tidak mudah terbakar Sifat Eksplosif Bukan termasuk zat pengoksidasi Sifat pengoksidasi Tidak korosif Karakteristik korosi Tidak korosif Bukan merupakan barang yang Klasifikasi Barang Berbahaya berbahaya sesuai dengn Kode ADG Sumber : (APVMA, 2011) Dalam pengaplikasian herbisida untuk pengendalian gulma yang berasosiasi dengan tanaman padi ini yang digunakan adalah herbisida yang mengandung bahan aktif sodium bispiribak (100g/L) dengan tipe formulasi suspension concentrate (SC). Berdasarkan data dari APVMA (2011), herbisida Nominee juga memiliki beberapa sifat fisik dan kimia yang dijabarkan pada Tabel 3 sebagai berikut: 14 Tabel 3. Sifat Fisik dan Kimia Herbisida Nominee Bentuk Fisik Suspensi konsentrat yang berbentuk cair kental Warna Putih Bau Hampir tidak berbau Berat Jenis 1.02 – 1.10 pada 20°C pH ( larutan 1%) 09 sampai 10 Viskositas 430 - 650 mPa s pada 20 °C Sifat Eksplosif Tidak meledak Sifat Pengoksidasi Bukan zat pengoksidasi Wet Sieve Residue Max 0.10% (>45 m) Pourability Max 5% Persistensi Berbuih 10 mL setelah 1 menit pada larutan 1% Suspensibility Min 90% Penyebaran Spontanitas Min 80% (Spontaneity of Dispersion) Klasifikasi Barang Berbahaya Tidak termasuk dalam klasifikasi barang berbahaya Produk tersebut diperkirakanakan tetap stabil sesuai dengan spesifikasi yaitu minimal 2 tahun Stabilitas Penyimpanan apabila disimpan dalam kondisi normal dalam wadah HDPE Secara fisik dan kimia stabil setelah 7 hari pada Stabilitas Temperatur Rendah 0 °C Sumber : (APVMA, 2011) Dalam sistem perairan yang steril pada 25°C, sodium bispiribak menunjukkan pH hidrolisis yang tergantung dengan degradasi maksimum yang dapat diamati dalam sistem penyangga pada pH 5 yang mengarah pada nilai DT50 dari 88 hari. Sodium bispiribak ditemukan stabil dalam studi fotolisis steril pada pH 7. Sodium bispiribak sangat larut dalam air (73.3 g/L, 25°C) dan metanol (26.3 g/L, 25°C) dan sangat sedikit larut dalam aceton (US EPA, 2001). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, sodium bispiribak diklasifikasikan memiliki mobilitas yang rendah hingga tinggi tergantung pada tipe tanahnya. Residu sodium bispiribak ditemukan setelah umur aerobik selama 30 hari berada pada tanah liat berpasir dan tanah liat berlumpur dengan kedalaman 10 cm (APVMA, 2011). 15 2.2.2 Paparan Ekologi dan Toksikologi Sodium Bispiribak (Bispyribac sodium) Menurut U.S. EPA sodium bispiribak ini diperkirakan memiliki persistensi sedang dan mobile, namun senyawa ini tidak menimbulkan keracunan tehadap hewan daratan maupun perairan. Lama waktu degradasi herbisida tersebut untuk sampel yang diradiasi adalah sekitar 32 hari sedangkan untuk sampel kontrol tanpa radiasi (dalam keadaan gelap) yaitu sekitar 41 hari dengan perlakuan herbisida 2 ppm. Ancaman resiko ekologis baik akut atau kronis tidak mungkin tejadi selama aplikasi yang dilakukan masih sesuai dengan anjuran yang diberikan yaitu 0.05 lbs a.i/A per tahun (US EPA, 2001). Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap unsur aktif dari sodium bispiribak, menunjukkan bahwa bahan aktif ini sangat cepat diserap melalui jalur oral (mulut) dan sangat cepat juga diekskresikan. Bahan aktif sodium bispiribak memiliki tingkat toksisitas akut yang rendah terhadap oral (mulut), dermal (kulit) dan pernafasan (APVMA, 2011). Resiko paparan dari herbisida sodium bispiribak dapat terjadi pada aplikator atau orang yang melakukan aplikasi herbisida. Apabila tejadi kontak maka dapat menyebabkan iritasi ringan pada mata dan kulit. Iritasi pernafasan dapat terjadi juga apabila sodium bispiribak terpapar diudara dengan konsentrasi yang tinggi. Aplikator herbisida ini sebaiknya mengenakan peralatan pelindung diri seperti sarung tangan anti bahan kimia. Hasil tes yang dilakukan menunjukkan bukti bahwa sodium bispiribak ini tidak menyebabkan cacat lahir, toksisitas reproduksi atau mutasi genetik pada mamalia. Bahan kimia tersebut tidak akan masuk kedalam metabolisme tubuh manusia, dan jika tertelan maka akan diekskresikan secara utuh (WDNR, 2012). LD50 herbisida sodium bispiribak pada mamalia untuk oral akut adalah 2635 mg/kg, untuk dermal (kulit) yaitu > 2000 mg/kg berat badan, sedangkan untuk inhalasi (pernafasan) yaitu sebesar 4,48 mg/kg (AERU, 2011). Herbisida sodium bispiribak tidak menyebabkan efek yang berbahaya bagi hewan, tumbuhan atau lingkungan hidup jika diaplikasikan sesuai dengan dosis yang telah ditentukan dan mengikuti praktik pertanian yang baik. Herbisida sodium 16 bispiribak juga tidak menimbulkan resiko bagi mikroorganisme dalam tanah jika aplikasi dilakukan dibawah dosis 150 gram ac/ha (APVMA, 2011). 2.3 Dampak Residu Herbisida pada Tanah Penggunaan herbisida terutama dengan bahan aktif dan cara kerja yang sama secara berulang-ulang dalam periode yang lama pada suatu areal dapat menimbulkan dua kemungkinan yaitu terjadinya dominasi populasi gulma resisten herbisida atau dominasi gulma toleran herbisida. Banyak petani sudah terbiasa menggunakan herbisida untuk memberantas gulma. Permasalahannya adalah sebagian senyawa kimiawi tersisa di dalam tanah, semakin lama akan semakin banyak (Adi, 2003). Penggunaan herbisida sejenis secara terus-menerus dalam waktu yang lama dapat menyebabkan resistensi gulma, kerusakan struktur tanah, pencemaran lingkungan hidup dan menimbulkan keracunan pada tanaman pokok. Dalam aplikasi di lapangan, tidak semua pestisida mengenai sasaran, kurang lebih hanya 20% pestisida yang mengenai sasaran sedangkan 80% lainnya jatuh, terakumulasi dan meninggalkan residu di dalam tanah. Akumulasi tersebut mengakibatkan terjadinyan pencemaran pada lahan pertanian. Apabila masuk ke dalam rantai makanan, sifat beracun bahan pestisida dapat menimbulkan berbagai penyakit pada manusia (Srikandi, 2010). Pestisida di dalam lingkungan diserap oleh beberapa komponen lingkungan terutama tanah, kemudian diangkut ketempat lain oleh air atau angin. Pestisida juga menguap karena pengaruh suhu tinggi yang biasanya terjadi bersama penguapan air. Residu pestisida di dalam tanah ada yang hilang (non-persistent) karena hanya efektis sesaat saja dan cepat terdegradasi di tanah, contohnya disulfoton, parathion, diazinon, azodrin, gophacide dan ada yang tetap (persistent) yang meninggalkan residu terlalu lama serta dapat terakumulasi dalam jaringan melalui rantai makanan, contohnya dikloro difenil trikolo etana (DDT), Cyclodienes, Heksaklorosikloheksan (HCH) dan edrin (Sudarmo, 2000). 17 Dalam pencemaran lingkungan yang memegang peranan adalah bahan aktif pestisida yang persisten. Organisme yang hidup dalam tanah dapat terbunuh, tidak saja oleh zat kimia yang langsung disemprotkan ke tanah, tetapi penyemprotan yang ditujukan ke tanaman juga dapat mempengaruhi kehidupan organisme tersebut karena zat kimia tersebut akan tercuci oleh air hujan dan jatuh ke dalam tanah (Srikandi, 2010). 2.4 Dampak Residu Herbisida terhadap Tanaman Padi dan Hasil Panen Gulma merupakan salah satu faktor pembatas produksi tanaman padi. Gulma menyerap hara dan air lebih cepat dibanding tanaman pokok (Gupta, 1984). Komunitas gulma dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan kultur teknis. Spesies gulma yang tumbuh bergantung pada pengairan, pemupukan, pengolahan tanah, dan cara pengendalian gulma (Noor dan Pane, 2002). Gulma berinteraksi dengan tanaman melalui persaingan untuk mendapatkan satu atau lebih faktor tumbuh yang terbatas, seperti cahaya, hara, dan air. Tingkat persaingan bergantung pada curah hujan, varietas, kondisi tanah, kerapatan gulma, lamanya tanaman, pertumbuhan gulma, serta umur tanaman saat gulma mulai bersaing (Jatmiko et al. 2002). Di tingkat petani, kehilangan hasil padi karena persaingan dengan gulma mencapai 10-15%. Karena terbatasnya tenaga kerja untuk menyiang, dalam mengendalikan gulma petani mulai beralih dari penyiangan secara manual ke pemakaian herbisida (Pane et al. 1999). Selain itu, penggunaan herbisida lebih ekonomis dan efektif mengendalikan gulma dibanding cara lain, terutama pada hamparan yang luas. (Caseley, 1994). Pengendalian gulma dimaksudkan untuk menekan atau mengurangi populasi gulma sehingga penurunan hasil secara ekonomis menjadi tidak berarti (Mulyono et al., 2003). Pestisida yang tertinggal pada tanaman setelah dilakukan suatu penyemprotan disebut residu permukaan atau residu efektif (Tarumingkeng, 1995). Residu permukaan dapat menghilang karena pencucian (pembilasan), run off, hidrolisis dan 18 sebagainya. Dalam waktu 1-2 jam setelah tanaman diperlakukan dengan pestisida kemungkinan besar 40% deposit telah hilang karena pencucian jika terjadi hujan, sisanya terurai oleh sinar ultra violet (Srikandi, 2010). Pestisida yang masuk dalam sistem tanaman mengalami salah satu dari dua kemungkinan yaitu pestisida akan mengalami degradasi menjadi komponen tidak beracun atau pestisida akan menjadi lebih beracun (aktivasi) karena konyugasi (Srikandi, 2010). Pestisida yang bersifat sistemik (polar) sebagian akan diambil tanaman melalui akar dan mengalami transformasi kimiawi ke tempat lain bersama hasil panen, sedangkan pestisida yang bersifat non-sistemik (non-polar) akan terserap hanya sampai pada permukaan akar karena tidak dapat menembus lapisan epidermis (Srikandi, 2010). Akumulasi pestisida dalam tanaman tergantung pada konsentrasi residu dalam tanah dan jumlah total pestisida dalam jaringan yang bersifat persisten. Pestisida yang tersimpan dalam lemak atau lapisan lilin kemungkinan sulit untuk mengalami degradasi ataupun aktivasi, karena pestisida yang lipofilik biasanya bersifat stabil dan persisten, contohnya pestisida golongan organoklorin (Tarumingkeng, 1995) Besarnya residu pestisida yang tertinggal di tanaman tergantung pada dosis, banyaknya dan interval aplikasi, faktor-faktor lingkungan fisik yang mempengaruhi dekomposisi dan pengurangan residu, jenis tanaman yang diperlakukan, formulasi pestisida dan cara aplikasinya, jenis bahan aktif dan persistensinya serta saat aplikasi terakhir sebelum hasil tanaman dipanen (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2011a). 2.5 Dampak Residu Herbisida terhadap Manusia dan Lingkungan Dampak residu pestisida terhadap kesehatan manusia disamping ditentukan oleh besarnya residu juga ditentukan oleh daya racun baik akut maupun kronik, yang berbeda antara pestisida yang satu dengan yang lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam usaha melindungi kesehatan konsumen perlu ditetapkan tingkat residu yang aman untuk tiap jenis pestisida pada tiap hasil tanaman yang dikonsumsi 19 (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2011a). Pestisida termasuk didalamnya jenis organoklor (aldrin dan heptaklor) dapat menyebabkan kanker, keguguran dan kecacatan pada bayi yang dikandung (terratogenic), serta infertil pada pria (Anonim, 1999). Penggunaan pestisida dalam bidang pertanian, terutama untuk perlindungan tanaman tidak saja mengakibatkan residu pada tanaman tetapi juga pada unsur lingkungan lainnya. Oleh unsur-unsur lingkungan lainnya terutama air dan angin, residu pestisida yang tertinggal didaerah penggunaannya dapat menyebar ke daerah lain, sehingga tergantung pada besarnya residu maupun jenis pestisida. Residu dapat merupakan masalah lingkungan yang meliputi daerah luas. Residu pestisida tidak saja dijumpai sebagai akibat penggunaannya, tetapi dapat juga dijumpai pada benda-benda lainnya secara tidak sengaja atau karena kecelakaan terkontaminasi pestisida. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat pengangkutan ataupun penyimpanan pestisida yang tidak hati-hati. Residu tersebut menjadi sangat berbahaya apabila ditemukan pada bahan makanan yang terkontaminasi pestisida dengan konsentrasi yang tinggi (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2011a). Tercemarnya tanah, air, udara dan unsur lingkungan lainnya dari pestisida, dapat berpengaruh buruk secara langsung maupun tidak langsung terhadap manusia dan kelestarian lingkungan hidup. Pencemaran lingkungan pada umumnya terjadi karena penanganan pestisida yang tidak tepat dan sifat fisika kimia pestisidanya (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2011a).