Daftar Isi - The Habibie Center

advertisement
Daftar
Isi
Jurnal Demokrasi & HAM
Vol. 5, No. 2, 2005
CATATAN REDAKSI:
Menuju Rekonsiliasi ...............................................................
3
ANALISIS:
KKR, Keadilan Restoratif sebagai Sarana Pemantaban
Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Muladi .........................................................................................
5
Wacana Sejarah untuk Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR)
Susanto Zuhdi .............................................................................
14
Melawan Ancaman Waktu, Mengimajinasikan Masa
Depannya Masa Lalu
Budiawan ....................................................................................
30
Rekonsiliasi Peristiwa 1965: Pertaruhan Untuk Masa
Depan Kita
Salahuddin Wahid ......................................................................
38
Menoleh ke Belakang Melirik Esok
JJ. Kusni ......................................................................................
57
RESENSI BUKU:
Kudeta Separuh Hati
Mustofa K. Ridwan ....................................................................
82
JURNAL DEMOKRASI & HAM
Terbit sejak 20 Mei 2000
ISSN: 1441-4631
Penanggung Jawab Redaksi:
A. Watik Pratiknya
Dewan Redaksi:
Muladi (Ketua)
Indria Samego
Dewi Fortuna Anwar
Umar Juoro
Andrinof A. Chaniago
Pemimpin Redaksi:
Andi Makmur Makka
Redaktur Pelaksana:
Mustofa Kamil Ridwan
Redaktur:
Taftazani
Sekretaris:
Djuwarso Suto Sutrisno
Produksi:
Ghazali H. Moesa
Usaha:
Fetty Fajriati
Achmad Amal
Layout dan Desain
M. Ilyas Thaha
Alamat Penerbit dan Redaksi:
Jl. Kemang Selatan No. 98, Jakarta 12560 - Indonesia
Telp.: (021) 7817211, Fax: (021)7817212
Website: http://www.habibiecenter.or.id
E-mail: [email protected]
Gambar Sampul: Isnaeni MH.
Catatan Redaksi
MENUJU REK
ONSILIASI
REKONSILIASI
Pramoedya Ananta Toer , sastrawan Indonesia yang dari kelompok
Lekra pada masa jaya PKI, baru-baru ini mewakili korban kekerasan
masa orde menyatakan akan menuntut empat presiden Indonesia mulai
Soeharto sampai Megawati, untuk memulihkan hak-hak korban
kekerasan selama Orde Baru .
Dalam dua tahun terakhir ini, juga telah terbit sejumlah buku yang
ditulis oleh para eks pelarian politik anggota partai Komunis dari luar
negeri, seperti Hersi Setiawan, Sobron Aidit, Umar Said, Utuy Tatang
Sontani, J.J. Kusni. Ragam buku itu hampir sama, kendati ada yang
ditulis sebagai biografi atau cerita pendek, semua melukiskan bagaimana
penderitaan yang mereka alami dalam kehidupan di pengasingan. Paling tragis diantaranya adalah kisah-kisah pengarang Utuy Tatang Sontani.
Dalam buku kumpulan cerita pendek yang di tulis di negeri pengasingan
Beijing, Moskow, banyak melukiskan kehidupan para eks anggota PKI
yang terlantar di kedua negeri tersebut.
Sejumlah tulisan lain dari para sejarawan, umumya memberikan
pembelaan kepada eks anggota partai terlarang ini. Misalnya, mengenai
pelanggaran HAM dengan memenjarakan anggota PKI tanpa peradilan.
Begitu pula teror dan kekejaman yang mereka alami. Tetapi pembelaan
seperti ini, sama-sekali baru hitam putih, datar dan sepihak, belum
komprehensif dan berimbang.
Di Indonesia, sekelompok pemuda-pemuda Nahdatul Ulama di
Jawa Timur, kabarnya dengan suka rela telah meminta maaf atas
peristiwa kekerasan masa lalu. Peristiwa yang melibatkan keluarga
mereka melawan anggota PKI dan simpatisan mereka di Jawa Timur .
Sejumlah putra-putri “Pahlawan Revolusi” ( Amelia Yani ,Rahma
Sutoyo) , juga dengan tulus menyatakan empati kepada anggota PKI,
korban-korban kekerasan masa Orde Baru. Kendatipun ayah-ayah
mereka, juga dibantai dengan kekejaman luar biasa oleh para
penculiknya. Sikap putra-putri Pahlawan Revolusi ini , sebuah contoh
yang terpuji.
Sementara itu, dari pihak eks anggota PKI atau para korban
kekerasan masa pemerintahan Orde Baru itu, belum pernah melakukan
4
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
hal yang sama , seperti yang dilakukan kelompok pemuda-pemuda NU
di Jawa Timur. Kita belum pernah mendengar apa sebetulnya yang
PKI lakukan kepada sesama rakyat Indonesia yang bukan PKI ketika
itu .
Apakah pada masa itu tidak terjadi juga kekerasan dan pelanggaran
HAM? Peristiwa seperti ini tidak pernah diungkapkan sebagai pengakuan
jujur dari pelakunya. Jika tokh ada yang ditulis dalam media, sekarang
ini hanya pembenaran saja atas tindakan-tindakan tersebut.
Luka lama ini, ternyata tidak habis-habisnya muncul , walaupun
sudah termakan oleh waktu. Pemerintah membentuk Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi. Khusus mengenai kasus eks PKI ini, bagaimana model
rekonsiliasi itu akan terlaksana kelak ?
Dalam usaha rekonsiliasi, dua belah pihak harus berkata jujur apa
yang mereka telah masing-masing lakukan. Usaha mencari kebenaran
dan rekonsiliasi akan terlaksana dengan baik jika semangat balas dendam
dapat dikubur dan dipendam. Dengan demikian , kita akan jadi bangsa
yang hidup tentram dan damai.
Pada edisi ini, kami telah mengundang beberapa penulis untuk
memberikan pandangan dan gagasan mengenai usaha mencari
kebenaran dan rekonsialiasi ini. Semoga bermafaat. (amm)
Muladi, KKR, Keadilan Restoratif sebagai Sarana
Pemantaban Persatuan dan Kesatuan Bangsa
5
KKR, KEADIL
AN RES
TORA
TIF
KEADILAN
REST
ORATIF
SEB
AGAI S
ARAN
A PEMANT
AB
AN
SARAN
ARANA
PEMANTAB
ABAN
SEBA
PERS
ATU
AN D
AN KES
ATU
AN
PERSA
TUAN
DAN
KESA
TUAN
BAN
GS
A
ANGS
GSA
Muladi
Pendahuluan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Keppres No.7 Tahun
2005 telah membentuk Panitia Seleksi Pemilihan Calon Anggota Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (PSPCA-KKR). Pembentukan ini
merupakan realisasi perintah UU No. 27 Tahun 2004, tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang mengharuskan pembentukan
KKR paling lambat enam bulan setelah UU No. 27 Tahun 2004
diundangkan (paling lambat 5 April 2005). Pembentukan KKR tersebut
juga merupakan amanat dari UU NO. 26 TAHUN 2000, juga dalam
rangka melaksanakan perintah TAP MPR-RI No. V/MPR/2000, tentang
Pemantaban Persatuan dan Kesatuan Nasional.
Presiden juga telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No.27
Tahun 2005 tentang Tata Cara Pelaksanaan Seleksi dan Pemilihan Calon
Anggota KKR telah memilih 42 orang calon diajukan kepada Presiden
dan kemudian Presiden akan memilih 21 orang dari calon-calon tersebut.
Selanjutnya dengan persetujuan DPR mereka akan ditetapkan sebagai
anggota KKR.
‘Legal spirits’ yang tersurat dan tersirat dalam konsiderans UU No.
27 Tahun 2004 adalah :
·
mengungkapkan kebenaran, menegakkan keadilan, dan membentuk
budaya menghargai HAM, sehingga dapat diwujudkan rekonsiliasi
dan persatuan nasional;
·
pengungkapan kebenaran juga demi kepentingan para korban dan/
6
·
·
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya untuk
mendapatkan kompensasi, restitusi; dan/atau rehabilitasi;
Menyelaikan pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu di luar
pengadilan, guna mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa;
Mempunyai fungsi kelembagaan yang bersifat publik.
Harus diakui bahwa setelah jatuhnya Orde Baru pada permulaan
tahun 1998, telah terjadi fragmentasi social yang sangat berat yang
diakibatkan oleh jalan damai yang ditempuh oleh bengsa Indonesia,
yang tidak menggunakan cara revolusi dalam melakukan reformasi,
tetapi menggunakan pendekatan ‘accelerated evolution”, dalam arti secara
gradual dan sistematis berusaha menegakkan nilai-nilai dasar atau indexs
demokrasi. Dengan menyadari bahwa masa lalu dengan ekses-ekses
KKN, abuse of power dan pelanggaran HAM merupakan kesalahan
kolektif (collective mistakes) yang harus dikoreksi bersama, maka tidak
dapat dihindarkan adanya dikotomi antara mereka yang merasa berjasa
dalam gerakan reformasi dan mereka yang merupakan ‘the ruling groups’
pada masa Orde Baru yang menganggap bahwa secara konseptual Orde
Baru yang berusaha menegakkan UUD dan Pancasila secara konsekuen
bukan kesalahan. Distrorsi yang terjadi merupakan kesalahan politik
kolektif yang diakibatkan system ‘checks and balances ’ dalam UUD
1945 tidak diatur secara baik, sehingga menimbulkan dominasi kekuasaan
eksekutif dengan segala praktek otoritariannya. Namun demikian
pelanggaran HAM berat yang terjadi merupakan ‘individual responsibility’. Sanksi kesalahan politik berupa jatuhnya rezim Orde Baru melalui
proses politik dalam sidang-sidang MPR.
Konsep ‘accelerated evolution’ di samping berusaha tetap menjaga
persatuan dan kesatuan bangsa dengan cara antara lain mengamandemen
UUD 1945 dalam rangka mengatur system ‘checks and balances’ secara
baik, juga berusaha untuk menegakkan supremasi hukum yang berintikan
“government under the law; the independence of the judiciary; acces to
justice and equality before the law, non-discriminatioin and certainty of
law” dalam bentuk “individual criminal responsibility” di depan
Pengadilan HAM yang bisa berlaku ‘retroactive’ dan pengungkapan
kebenaran melalui KKR. Kewajiban Negara dalam bentuk “State Responsibility” adalah memfasilitasi pertanggungjawaban tersebut dalam
bentuk Pengadilan HAM, menyelenggarakan KKR yang bersifat
komplementer terhadap Pengadilan HAM serta memberikan kompensasi
Muladi, KKR, Keadilan Restoratif sebagai Sarana
Pemantaban Persatuan dan Kesatuan Bangsa
7
dan rehabilitasi bagi para korban. Semuanya dalam kerangka penyelesaian
konflik (conflict solution) antara pelaku dengan korban dan keluarganya,
dan pelaku dengan masyarakat dan Negara, atas dasar kesadaran
terhadap ‘kesalahan politik’ yang terjadi di masa lalu. Khusus mengenai
KKR disertai kesediaan korban untuk memaafkan kesalahan pelaku dan
kesediaan Negara untuk memberikan amnesty.
Pelanggaran HAM berat pada dasarnya merupakan ‘political crime’
yang korbannya di samping orang lain yang berseberangan ideologinya,
juga masyarakat dan Negara, sehingga penyelesaian konflik harus
melibatkan seluruh korban tersebut, termasuk pelaku yang juga
merangkap sebagai korban.
Mengapa dipersoalkan ‘kesalahan politik’, karena pelanggaran HAM
berat memiliki karakteristik khusus bahwa kejahatan atau serangan
terhadap penduduk sipil yang terjadi, sebenarnya merupakan kelanjutan
dari kebijakan Negara atau kebijakan organisasional (pursuant to or in
furthetrance of a State or organizational policy to commit such attack).
Hakekat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
KKR adalah lembaga independen dan ekstra yudisial yang dibentuk
untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran HAM yang berat
(gross violation of human rights) yaitu genosida (genocide) dan kejahatan
terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) yang terjadi pada masa
sebelum berlakunya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
dan melaksanakan rekonsiliasi. Rekonsiliasi sendiri diberi makna sebagai
hasil dari suatu proses pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan
pengampunan, melalui KKR dalam rangka menyelesaikan pelanggaran
HAM yang berat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa.
(Asas KKR: kemandirian, bebas dan tidak memihak, kemaslahatan,
keadilan, kejujuran, keterbukaan, perdamaian dan persatuan bangsa).
Pasal 47 UU No. 26 Tahun 2000 telah menentukan bahwa
pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 26
Tahun 2000, tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan
oleh KKR yang akan dibentuk dengan UU. Pengaturan antisipatif ini
nampaknya dilakukan dengan memperhitungkan pelbagai kendala yang
mungkin menghadang proses pengadilan HAM berat ad hoc terhadap
kasus-kasus masa lalu, yang “terpaksa” memberlakukan ketentuan
hukum pidana secara “retroactive” (berlaku surut).
Kendala-kendala Pengadilan HAM tersebut antara lain masalah
8
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
pembuktian yang rumit mengingat kejadiannya sudah lama, implikasi
politis yang timbul yang menumbuhkan sikap pro-kontra, rasa
ketidakpuasan korban yang memicu sinisme, apatisme dan
ketidakpercayaan terhadap lembaga hukum dan kesan terjadinya “impunity” (negara dianggap memberikan pembebasan terhadap pelaku dari
rasa tanggungjawab dan sanksi). Hal ini jelas tidak boleh berlarut-larut,
sehingga menganggu persatuaan nasional.
Secara empiris, Pengadilan HAM ad hoc dibentuk oleh penguasa
pasca pemerintahan yang otoriter atau pasca perang (Victor’s Justice)
dan apapun bentuknya baik nasional, internasional maupun gabungan
(hybrid model) memiliki karakteristik khusus yaitu semangat
mengamankan penghormatan terhadap HAM, berusaha menciptakan
keadilan bagi semuanya, mengakhiri praktek “impunity”, mencegah
kejadian serupa di masa datang dan upaya mengakhiri konflik. Nantinya
KKR sebagai alternatif pengadilan HAM ad hoc juga harus
mengamankan pelbagai spirit tersebut.
Aspek yang sangat menonjol baik dalam Pengadilan HAM maupun
KKR adalah perhatian atau perlakuan terhadap korban. Hal ini semakin
menarik perhatian internasional dan ilmu pengetahuan (victimology),
yang mencakup baik skema perlindungan terhadap korban untuk
memperoleh keadilan (access to justice), maupun santunan dalam bentuk
restitusi (dibayar oleh pelaku), kompensasi (dibayar oleh Negara) maupun
rehabilitasi pemulihan harkat dan martabat seseorang serta bantuanbantuan dalam bentuk lain misalnya bantuan kesehatan dan lain-lain.
Sebaliknya bagi si pelaku (perpetrator) yang memenuhi syarat-syarat
tertentu dapat diberikan amnesti (pengampunan) yang diberikan Presiden.
Sebaliknya dalam Pasal 29 ayat (3) UU No. 27 Tahun 2004
dinyatakan bahwa dalam hal tersangka pelaku pelanggaran HAM berat
tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahannya serta tidak bersedia
menyesali perbuatannya, maka yang bersangkutan kehilangan haknya
mendapat amnesti dan diajukan ke pengadilan HAM ad hoc. Demi
kepastian hukum, dalam Pasal 44 UU No. 27 tahun 2004 diatur bahwa
pelanggaran HAM berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan melalui
KKR, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan HAM
ad hoc. Demikian pula perkara yang sudah didaftarkan di Pengadilan
HAM ad hoc, tertutup kemungkinannya untuk diproses melalui KKR.
Kenyataan menunjukkan adanya pelbagai bentuk KKR di pelbagai
Negara. Namun dengan melihat karakternya, KKR Indonesia lebih mirip
Muladi, KKR, Keadilan Restoratif sebagai Sarana
Pemantaban Persatuan dan Kesatuan Bangsa
9
dengan KKR yang ada di Afrika Selatan, yang juga terdiri atas tiga
“Committee” (Subkomisi) yaitu: Committee on Human Rights Violations (Indonesia: Subkomisi penyelidikan dan Klarifikasi); Committee
on Reparations (Indonesia: Subkomisi Kompensasi, Restitusi, dan
Rehabilitasi) ; dan Committee on Amnesty (Indonesia: Subkomisi
Pertimbangan Amnesti).
Dengan perumusan sebagaimana tersurat dan tersirat pada Pasal 29
ayat (3) di atas, maka sebenarnya Pengadilan HAM dan KKR bersifat
komplementer.
Pergeseran Konsep Keadilan
Pembentukan KKR di pelbagai Negara, menciptakan pergeseran
konsep keadilan (the shifting concept of justice) dalam penyelesaian
perkara pidana, yaitu dari keadilan atas dasar pembalasan (retributive
justice/prosecutorial justice) yang melekat pada sistem peradilan pidana,
kearah keadilan dalam KKR yang bersifat keadilan restoratif (restorative justice/community based justice), yang menekankan betapa
pentingnya aspek restoratif atau penyembuhan bagi mereka yang
menderita karena kejahatan.
Fokus primer bergeser dari pelaku (perpetrator) kepada si korban
(victim). Proses KKR tidak bertujuan semata-mata untuk menghukum
atau mempermalukan seseorang (pillorying) atau menuntut, tetapi lebih
pada usaha untuk memperoleh kebenaran yang pada akhirnya
bermanfaat untuk membantu pemulihan hubungan yang tidak harmonis
antara pelaku, korban dan masyarakat, yang ketiga-tiganya pada
dasarnya merupakan korban kejahatan.
Keadilan dalam KKR sinonim dengan pengungkapan secara lengkap
(complete disclosure) atas semua kejadian, dengan menghadapkan dan
mempertemukan secara jujur pelaku dan korban dengan menghindari
proses hukum acara yang rumit. Proses KKR bertujuan menghindarkan
terulangnya kejadian serupa di masa datang melalui proses rekonsiliasi
dan tidak semata-mata mengarah pada pemidanaan, atas dasar
kemanusiaan dan kesadaran adanya rasa saling ketergantungan dalam
masyarakat (community interdependence).
Perlindungan dan pemulihan hak-hak korban dan masyarakat luas
dipandang sama pentingnya dengan pemidanaan dan atau rehabilitasi
pelaku kejahatan. Dengan demikian secara terintegrasi dilihat adanya
saling membutuhkan satu sama lain. Perlakuan terhadap Korban dan
10
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
Pelaku ditempatkan dalam posisi yang sama pentingnya dalam satu
bangunan sosial.
Basis pengertian yang dikembangkan adalah pemahaman (understanding) sebagai ganti pembalasan, reparasi sebagai ganti retaliasi dan
rekonsiliasi sebagai ganti viktimisasi. Namun tetap dipegang teguh adanya
prinsip bahwa memaafkan bukanlah mengabaikan apa yang telah terjadi
(to forgive is not to ignore). Dalam hal ini pengakuan di depan
masyarakat dianggap tidak kurang manfaatnya dibandingkan dengan
pengakuan melalui lembaga-lembaga penegak hukum.
Tidak diingkari bahwa sistem peradilan pidana telah
mendemonstrasikan keberhasilannya dalam menuntut dan memenjara
seseorang, tetapi selalu gagal untuk menciptakan kehidupan masyarakat
yang aman. Seharusnya korban kejahatan harus diperlakukan secara
bermartabat dan pelaku serta korban harus dirukunkan kembali (reconciled). Pelaku tidak hanya harus dipertanggungjawabkan, tetapi juga
wajib direintegrasikan kembali ke dalam masyarakat agar menjadi
warganegara yang produktif.
Akhir-akhir ini PBB juga mulai menganjurkan pendayagunaan
konsep “restorative justice” secara lebih luas dalam system peradilan
pidana melalui “UN Declaration on the Basic Principles on the Use of
Restorative Justice Programmes in Criminal Matters (2000)”.
Pengaruh Viktimologi
Harus diakui bahwa perkembangan konsep keadilan restorative tidak
terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan tentang korban kejahatan
(victimology), yang dipelopori oleh Von Hentig seorang ahli kriminologi
pada tahun 1941 dan Mendelsohn pada tahun 1947. Perkembangan ini
melalui beberapa tahap. Tahap pertama (Penal Victimology/lnteractionist
Victimology) yang melekat pada hukum pidana dan kiminologi, melihat
korban sebagai partisipan dan penyebab terjadinya suatu kejahatan karena
kesalahannya, sehingga hal ini merupakan hal yang harus
dipertimbangkan dalam pemidanaan pelaku;
Tahap kedua (General Victimology) yang berkembang setelah
Perang Dunia II (1956) , merupakan studi tentang viktimitas, dalam
rangka untuk mecegah terjadinya korban melalui tindakan pencegahan
dan bantuan pada korban (victim assistance). Dalam kerangka ini
pemahaman korban diperluas mencakup korban-korban kecelakaan,
bencana alam dan korban tindakan lain karena kehendak Tuhan. Tahap
Muladi, KKR, Keadilan Restoratif sebagai Sarana
Pemantaban Persatuan dan Kesatuan Bangsa
11
kedua ini bersifat independen terhadap hukum pidana dan kriminologi,
yang tujuannya adalah membantu pemerintah mengurangi penderitaan
manusia, termasuk pelanggaran HAM pada masa perang. Terjadi dalam
hal ini pergeseran dari “victimology of acf ” menjadi “victimology of
action” (applied victimology), yang menumbuhkan gerakan advokasi
terhadap korban dan pelayanan terhadap korban. Salah satu dampaknya
adalah terjadinya manipulasi politik dalam bentuk pemberatan pidana
terhadap pelaku (offender bashing) demi pelayanan terhadap korban
kejahatan.
Tahap ketiga berkembang pada tahun 1970-an, menandai
viktimologi sebagai suatu disiplin penelitian. Hal ini erat kaitannya
dengan aktivitas the World Society of Victimology (WSV). Pada tahap
ini viktimologi diartikan sebagai suatu studi ilmiah tentang tingkat,
hakekat dan kausa viktimisasi kriminal, konsekuensinya terhadap orang-orang yang terlibat dan reaksi yang ditimbulkan melalui masyarakat,
khususnya polisi dan sistem peradilan pidana maupun para pekerja social serta para professional.
Pemahaman ini sekaligus mencakup baik pengertian viktimologi
tahap pertama (penal victimology) yang cenderung bersifat ilmiah (academic) maupun victimologi tahap kedua (assistance-oriented victimology)
yang cenderung merupakan tindakan pelayanan atau kebijakan yang
berorientasi pada korban. Hal inilah yang merupakan penggerak
diadopsinya “UN General Assembly’s Declaration on the Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power” pada tahun
1987 beserta panduan pelaksanaannya bagi pengambil kebijakan.
Tahap Keempat dipelopori oleh Separovic pada tahun 1987, yang
memperluas jangkauan definisi viktimologi, sehingga mencakup korban
pelanggaran HAM (victims of human rights abuses) sebagai isu sentral
viktimologi dan mengeluarkan dari definisi, korban bencana alam dan
kecelakaan karena dipandang terlalu luas dari sisi ilmiah. Deklarasi SU
PBB di atas dijadikan acuan utama. Dalam hal ini korban (victims)
diartikan sebagai, orang-orang yang, secara individual atau kolektif, telah
menderita kerugian, termasuk penderitaan fisik atau mental, emosional,
kerugian ekonomi atau pelanggaran substansial terhadap hak-hak
fundamentalnya, melalui perbuatan-perbuatan atau sikap tidak berbuat
(omissions) yang telah melanggar hukum pidana, termasuk
panyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Dengan demikian terbuka kemungkinan luasnya definisi korban,
12
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
mengingat kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan termasuk kejahatan
perang (war crimes) saat ini mencakup perundang-undangan dan
jurisprudensi nasional dan internasional.
Effektivitas KKR
Banyak orang yang skeptis terhadap daya guna dan hasil guna
kinerja KKR. Sikap skeptis terhadap kinerja KKR ini banyak dipicu
oleh beberapa factor. Faktor pertama terletak pada keragu-raguan terhadap
kualitas anggota KKR yang dikhawatirkan tidak professional, termasuk
tidak independen. (bisa menguntungkan pelaku tetapi bisa juga dengan
membawa budaya dendam menguntungkan korban atau dririnya
sendiri). Hal ini terkait pula kualitas Panitia Seleksi yang dituntut
masyarakat benar-benar 2 (dua) orang mewakili unsur Pemerintah, 3
(tiga) orang orang berasal dari unsur masyarakat. Faktor kedua adalah
kultur permusuhan (culture of hostility) dan kultur dendam (culture of
revenge), yang tidak ikhlas untuk diadakannya rekonsiliasi. Rekonsiliasi
akan dilihat sebagai rekayasa untuk melakukan “impunity”.
Faktor ketiga adalah tidak jelasnya atau adanya kejanggalan
beberapa substansi UU No. 27 Tahun 2004, misalnya menyangkut
hubungan KKR dengan KOMNAS HAM. Sebagai contoh adalah
apakah hasil penyelidikan KKR dapat disetarakan dengan hasil
penyelidikan KOMNAS HAM, khususnya apabila amnesti ditolak untuk
diteruskan ke Pengadilan HAM ad hoc. Contoh lain adalah ketentuan
Pasal 27 UU Tentang KKR yang menyatakan bahwa kompensasi dan
rehabilitasi terhadap korban dapat diberikan apabila permohonan amnesty dikabulkan.
Hal lain yang menimbulkan pertanyaan adalah pemahaman tentang
amnesti dalam KKR. Dalam UU No. 27 Tahun 2004, amnesti diartikan
secara umum, padahal secara universal pemaahaman amnesti dalam
KKR mempunyai makna khusus dan lebih terukur. Amnesti dalam hal
ini mestinya hanya diberikan bagi mereka yang benar-benar mengakui
sepenuhnya keterlibatannya dalam pelanggaran HAM berat semata-mata
dimotivasi oleh aspek politis (associated with political objectives) yang
bersifat proporsional. Motif lain seperti keuntungan pribadi, kebencian
individual, sakit hati, iri hati dan lain-lain yang bersifat pribadi tidak
dapat dijadikan dasar amnesti. Selanjutnya pemohon amnesti harus
bersedia didengar secara terbuka untuk menjawab pertanyaan KKR,
penasehat hukum korban atau korban sendiri. Permintaan maaf dan
Muladi, KKR, Keadilan Restoratif sebagai Sarana
Pemantaban Persatuan dan Kesatuan Bangsa
13
penyesalan semata-mata, bukan alasan pemberian amnesti.
Di samping usaha-usaha untuk mengatasi pelbagai kekurangan di
atas, hal lain yang juga sangat menentukan keberhasilan KKR adalah
adanya keterpaduan budaya hukum (legal culture) masyarakat yang
kondusif untuk berfungsinya KKR. Dalam hal ini sosialisasi yang luas
terhadap keberadaan KKR mutlak masih sangat diperlukan.
Penguasa dalam hal ini harus bersungguh-sungguh, karena KKR
sebagai paradigma baru tentang keadilan merupakan salah satu bentuk
pertanggungjawaban Negara (State Responsibility), karena dalam
Pengadilan HAM ad hoc hanya berlaku pertanggungjawaban pidana
secara individual (individual criminal responsibility).
Jakarta, 22 Desember 2005
14
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
WACAN
A SEJ
ARAH
ANA
SEJARAH
UNTUK K
OMISI KEBEN
ARAN
KOMISI
KEBENARAN
DAN REK
ONSILIASI (KKR)
REKONSILIASI
History is never only history of, it is always history for—Lev)-Strauss
Susanto Zuhdi
Bahwa sejarah dianggap penting dalam kehidupan masyarakatbangsa manapun, kiranya tidak usah diragukan. Sejarah adalah ingatan
kolektif, gudang pengalaman yang menjadi sumber masyarakat
mengembangkan perasaan identitas sosialnya dan prospek masa
depannya.1 Dalam kaitan itu pula, kalau saja boleh ditambahkan,
menurut pendapat sejarawan senior, Prof. Sartono Kartodirdjo, sesudah
pernyataan ketiga dari “Sumpah Pemuda” yakni “menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia”, maka yang keempat berbunyi “puteraputeri Indonesia memiliki sejarah yang satu, sejarah Indonesia”.
Tampaknya hal yang kurang diperhatikan setelah ketiga rumusan
“Sumpah Pemuda” itu adalah ungkapan yang berbunyi “setelah
mendengar putusan ini (bertumpah darah, berbangsa, menjunjung
bahasa persatuan) kerapatan mengeluarkan keyakinan, azas ini wajib
dipakai oleh segala perkumpulan-perkumpulan kebangsaan Indonesia,
mengeluarkan keyakinan persatuan Indonesia diperkuat dengan
memperhatikan dasar persatuannya: kemauan, sejarah (ditebalkan oleh
penulis), bahasa, hukum adat, pendidikan dan kepanduan”.
Sejarah memang bermakna bagi kehidupan manusia secara luas.
Itulah mengapa sampai ada ungkapan historia magistra vitae (“sejarah
adalah guru kehidupan”). Jika filsafat merupakan landasan manusia
1
John Tosh, The Pursuit of History: Aims, Metohd and New Directions in the Study of
Modern History. Longman, London and New York, 1984:1.
Susanto Zuhdi, Wacana Sejarah untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
15
berpikir dan berkontemplasi, sejarah adalah pembelajaran filsafat dengan
contoh-contoh (history is philosophy teaching by examples). Belum lagi
ada pendapat bahwa sejarah adalah pembelajaran moral (history is a
moral lesson). 2 Bukankah banyak bangsa hancur karena tidak lagi
memegang teguh moralitasnya. Last but not least mengenai pentingnya
sejarah, penulis ingin mengutip Edward Said yang mengatakan “
berpaling ke masa lalu merupakan salah satu strategi paling umum untuk
menafsirkan masa kini. Yang menggerakkan sikap itu bukan hanya
ketidaksetujuan mengenai apa yang terjadi di masa lalu dan seperti apa
masa lalu itu, melainkan ketidakpastian tentang apakah masa lalu itu
benar-benar telah lalu, selesai, dan ditutup, atau apakah ia masih
berlanjut, meskipun mungkin dalam bentuk-bentuk yang berbeda”.3
Penerapan guna sejarah tidaklah semudah mengucapkannya.
Ungkapan tentang pentingnya sejarah justru sering merupakan retorika
saja. Ini terjadi karena banyak kepentingan yang melekat pada sejarah.
Sejarah dapat menjadi alat per juangan bagi siapa saja untuk
mendapatkan kekuasaan tertentu. Ketika kekuasaan telah diperoleh dan
cenderung dipertahankan selama mungkin, maka sejarah pula yang
dijadikan dasar legitimasinya. Dengan demikian berbicara tentang sejarah
tidak bisa netral, karena ia memiliki ranah kritis sebagai suatu cabang
ilmu dan ranah subyektif. Sejarah adalah produk masyarakat yang
tumbuh dan berkembang. Masyarakat itulah yang memberi makna
terhadap sejarahnya. Jadi sejarah (selain sebagai ilmu) juga mengenai
subyektivitas suatu masyarakat atau bangsa tertentu dalam melihat
dirinya. Jika ada masalah dalam diri suatu masyarakat maka berdampak
pula pada sejarahnya dan begitu pula sebaliknya, jika terjadi masalah
pada sejarah akan berdampak pada masyarakatnya.
Sejak tahun 1945, Negara menghadapi gejolak dan konflik antar
anak bangsa sendiri. Pertikaian berdasarkan politis maupun ideologis
antar elite dan golongan dalam masyarakat-bangsa sering
menghantarkan negara-bangsa ini ke tepi jurang kehancuran. Konflik
itu tidak hanya bersifat horizontal tetapi juga vertikal yang mengancam
eksistensi negara. Sejarah Indonesia telah menorehkan berbagai
pemberontakan dan percobaan kudeta sejak tahun 1945. Sayangnya
penanganan terhadap pelaku maupun kelompok yang dianggap terlibat
2
Beverly Southgate, History: What & Why? Ancient, Modern, and Postmodern
Perspecdtives, Routledge, London and New York, 1996: 30-33
3
Edward W. Said, Kebudayaan dan Kekuasan: Membongkar Mitos Hegemoni Barat.(terj)
Bandung: Penerbit Mizan, 1999:33.
16
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
dalam banyak hal tidak dilakukan dengan adil dan bijak. Salah satu
dari peristiwa yang menimbulkan korban paling besar adalah akibat
Pemberontakan “Gerakan 30 September 1965”. Hal yang menyedihkan
ternyata banyak orang yang menjadi korban tidak terkait dengan PKI.
Oleh karena yang menjadi pelaku dan korban adalah saudara sebangsa,
mengapa hingga kini belum juga dapat diselesaikan luka-luka sejarah
itu. Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
berdasarkan UU no. 27 tahun 2004 merupakan institusi yang diharapkan
dapat menangani masalah tersebut.
Tulisan ini mengetengahkan wacana sejarah dalam kaitannya
dengan KKR. Komisi yang sampai kini belum ditentukan
keanggotannya, akan bekerja untuk menangani berbagai masalah yang
dialami para korban kekerasan dari peristiwa masa lampau khususnya
akibat “Gerakan 30 September 1965”.
Pergantian Rezim dan Sejarah
Hampir terjadi di mana saja ketika terjadi perubahan sosial-politik
yang dramatis, masyarakat cenderung mempersoalkan masa lalu mereka.4
Begitulah, setelah lengser-nya Presiden Soeharto pada tahun 1998,
persoalan sejarah pun menyeruak. Praktik pemerintahan Orde Baru, yang
sentralistik dan otoriterianistik memerlukan syarat pengendalian
keamanan yang ketat agar tercipta stabilitas. Di atas landasan itulah
pertumbuhan ekonomi yang merupakan target pembangunan dapat
dicapai. Dalam praktiknya pemerintah Orde Baru menuntut banyak dari
warga Negara. Ia bahkan merupakan a greedy state, sebuah Negara yang
serakah karena tidak puas hanya dengan monopoli kekuasaan politik
dan dengan penguasaan sistem patronase ekonomi, tetapi juga berusaha
menguasai kesadaran dan ingatan kolektif bangsa.5
Selepas masa pemerintahan Orde Baru, masalah yang dihadapi
bangsa tidak hanya dalam aspek ekonomi dan politik, melainkan juga
sejarah. Kalangan yang segera merasakan langsung akibat masalah
sejarah adalah guru mata pelajaran sejarah. Pada waktu itu tidak ada
guru di sekolah yang paling “malang” nasibnya dalam menghadapi
perubahan situasi politik selain guru sejarah. Sebab tidak ada
hubungannya antara perubahan politik dengan pelajaran fisika atau
Taufik Abdullah, Nasionalisme & Sejarah. Bandung: Satya Historika, 2001: 284.
Taufik Abdullah, “Pengantar” dalam Muhamad Hisyam, Krisis Masa Kini dan Orde
Baru. Jakarta: Yayasan Obor, 2003:45.
4
5
Susanto Zuhdi, Wacana Sejarah untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
17
matematika misalnya. Ketika itu banyak pertanyaan siswa terhadap
sejumlah fakta yang kontroversial. Guru dianggap berbohong karena
ada “kebenaran” sejarah yang selama ini ditutup-tutupi.
Idealnya memang perlu ditulis baru buku sejarah sebagai acuan. Buku
Seajarah Nasional Indonesia (6 jilid) dipandang tidak lagi memenuhi
tuntutan itu. Menyadari tidak dapat selesai dalam waktu singkat, sedangkan
hal mendesak perlu buku acuan pelajaran sejarah, Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan ketika itu Juwono Sudarsono meminta Masyarakat
Sejarawan Indonesia (MSI) untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pada
tahun 1999, MSI dan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional
mengidentifikasi sejumlah fakta kontroversial. Seingat penulis terdapat 6
fakta kontroversial: “G30S 1965/PKI”; “Supersemar”; “Serangan Umum
1 Maret 1949”; Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)”;
“Integrasi Timor-Timur”; dan “PRRI/Permesta”. Hasil tulisan mengenai
fakta tersebut dihimpun ke dalam Suplemen Pelajaran Sejarah. Dalam
perkembangan tampaknya timbul kesemrawutan dalam penerbitan dan
pengedarannya antara Pusat Kurikulum dan Dikdasmen Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu.6
Jika keempat fakta yang terakhir dapat diatasi karena penjelasannya
segara dapat diterima sebagai accepted history, tidak demikian halnya
dengan fakta dan interpretasi tentang “Supersemar” apalagi “G30S 1965/
PKI”. Hal itu terbukti dengan disosialisasikannya Kurikulum pelajaran
sejarah tahun 2004 di Jawa Timur menuai protes keras. Kelompok
pemrotes mempersoalkan tidak tercantumnya “PKI” pada “Gerakan 30
September 1965” dilihat sebagai upaya sistmatik untuk pada akhirnya
bahwa tidak terlibatnya PKI sebagai suatu kebenaran sejarah. Mereka
menyampaikan keberatan itu ke DPR-RI dan kemudian dibahas dalam
rapat yang diadakan oleh Menko Kesejahteraan Rakyat bulan Juni 2005.
Mendiknas, Bambang Soedibyo kemudian menyatakan menarik
kurikulum sejarah dan dinyatakan dalam masa transisi berlakunya
kurikulum 1994 untuk mata pelajaran sejarah.7
Peristiwa sekitar “G30S 1965” merupakan episode paling berat dan
menantang secara akademik dalam penulisan sejarah kontemporer Indonesia. Ia juga menjadi masalah berat dalam penanganan dampak yang
ditimbulkan bagi kehidupan sosial dan politik bangsa. Ini mungkin
6
Lihat juga Asvi Warman Adam, Pelurusan Sejarah Indonesia, Yogyakarta: TriDE,
2004:13.
7
Susanto Zuhdi, “Gerakan 30 September 1965 Dalam Pelajaran Sejarah”, Kompas, 1
Oktober 2005.
18
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
merupakan peristiwa terakhir dalam sejarah kontemporer yang
digerakkan oleh faktor ideologis. Pertarungan faham yang dianggap
“benar” yang dianut oleh masing-masing pihak berimplikasi pada soal
“kalah-menang” atau “hidup-mati”. Sudah menjadi catatan sejarah
bahwa kekuatan Nasionalisme-Agama-Komunisme merupakan faham
sekaligus kekuatan yang menggerakkan perjalanan bangsa ini. Idealnya
ketiga kekuatan itu bersinergi dalam Nasakom. Sejarah pula yang
mencatat bahwa tujuan itu gagal. Bagaimana sejarah bangsa seperti ini
dapat dikaji secara kritis tanpa menyentuh emosi para penganut ideologiideologi tersebut, yang notabene saudara sebangsa dan setanah air. Jawab
atas pertanyaan itu tidak mungkin. Ironisnya bangsa ini terlanjur banyak
mencatat sejarah kekerasan.
Adalah merupakan bagian dari agenda reformasi untuk menghapus
luka sejarah akibat kekerasan baik yang dilakukan oleh negara dan
antarkelompok di dalam masyarakat-bangsa. Selama kurang lebih dua
tahun diwacanakan akhirnya aspirasi masyarakat untuk menangani
“luka sejarah” dibentuklah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
dengan landasan UU no 27 tahun 2004. Komisi ini melengkapi dan
berkaitan dengan Komnas HAM, yang berdiri lebih dahulu dengan
landasan UU no 26 tahun 2000. Selain landasan hukum, sejarah dalam
segi ranah ilmu, merupakan landasan sekaligus kerangka yang dapat
digunakan untuk ikut menyelesaikan masalah “dendam sejarah”.
Sebagai perbandingan, Jerman adalah bangsa yang dengan upaya
dan kerja keras telah berhasil melepas “beban sejarah” yang hampir tak
tertanggungkan. Kaum Nazi melakukan kezaliman terhadap orang
Yahudi di Eropa, terhadap kaum Sinti dan Roma, terhadap para anggota
partai-partai oposisi, para pegiat keagamaan dan banyak orang lain yang
“tidak patut” yang berjumlah 6 juta orang di bantai di Auschwitz. Bagi
orang Jerman yang lahir setelah Perang Dunia II, merasakan warisan
yang mengerikan itu. Bagaimana mungkin sebuah bangsa yang
sedemikian dihormati karena memberi bentuk peradaban Eropa terpuruk
karena kegilaan genosida dan tindak kekerasan tanpa batas itu? Sebuah
pengakuan seorang Jerman sampai berkata “saya malu menjadi orang
Jerman. Bahkan kadang-kadang saya berpikir untuk hijrah ke sebuah
negeri yang memiliki sejarah lebih terang, katakanlah Kanada atau
Selandia Baru”.8 Akan tetapi bangsa Jerman tidak mau terperangkap
8
Geiko Muller-Fahrenholz, Rekonsiliasi Upaya Memecahkan Spiral Kekerasan Dalam
Masyarakat, (terj). Maumere: Penerbit Ledalero, 2005:xiv)
Susanto Zuhdi, Wacana Sejarah untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
19
pada masa lampaunya. Dalam khasanah istilah bahasa Jerman terdapat
vergangenheits bewaltigung yang berarti “bayangan masa lalu yang
menghantui”.9 Mungkin sedikit sekali bangsa yang karena pengalaman
traumatiknya dengan sejarah hingga mempunyai kosakata seperti itu.
Dengan berjuang keras bangsa Jerman berhasil keluar dari “bayangan
itu”. Dari sinilah kemudian muncul ungkapan “berdamai dengan
sejarah”.
Mengungkap Kebenaran Menyeluruh?
Tantangan berat KKR sesuai dengan tugas yang pertama adalah
mengungkap kebenaran sejarah dan dengan bahan tersebut dapat
digunakan untuk melakasanakan tugas kedua yakni rekonsiliasi.
Mengutip filsuf Paul Lederach, Karlina Leksono-Supelli menyebutkan
adanya 4 unsur yang sesungguhnya kontradiktif di dalam konsep
rekonsiliasi: kebenaran, rasa belas kasihan, perdamaian, dan keadilan.
Tantangan pertama KKR adalah soal kontradiksi secara konseptual.
Sesudah itu bagaimana penerapannya secara teknis dalam kerja KKR10.
Perjuangan manusia untuk mengungkap kebenaran dalam panggung
sejarah dunia tampaknya sejalan dengan praktik penindasan di negara
dan pemerintah sendiri atau yang dilakukan oleh negara dan pemerintah
asing. Pada tahun 1988 dalam peringatan ke 200 tahun penumpasan
percobaan orang Cekoslavia dalam mewujudkan demokrasi sosialis,
kelompok pembangkang mengeluarkan “charter 77” dengan sebuah
pernyataan yang berkesimpulan :”
We call only for truth about the past and the truth about the present
are indivisible. Without accepting the truth about what happened it is
impossible to address correctly what is happening now; without the truth
about what is happening now it is impossible to substantially improve
the existing state of affairs.11
Ungkapan itu muncul dalam konteks ketika Gorbachev, yang
agaknya keliru memperhitungkan aspirasi perubahan negara-negara di
bawah Uni Soviet. Tampaknya ia tidak bersungguh-sungguh untuk
“membuka” Uni Soviet, kecuali pembaharuan politik dan sejarah di
Eropa Timur. Angin pembaharuan dalam arti sungguh-sungguh juga
9
Kamus Bahasa Jerman-Indonesia, Editor M. Sally H.L. Pattinasarany, Penerbit Dian
Rakyat, 1993.
10
X-URL:http://www.kompas.com/kompas-cetak/0003/04/nasional/berb07.htm
11
Harvey J. Kaye, “Why Do Ruling Classes Fear History?” Other Questions. New York:
St. Martin’s Griffin1997:16.
20
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
terlihat di republik-republik Baltik. Pergolakan politik disertai seruan
penyingkapan sepenuhnya “Protokol Rahasia” (“secret protocol”) tahun
1939 yakni Pakta Hitler-Stalin yang telah menutup rapat nasib-nasib
mereka. Mirip dengan itu adalah perubahan-perubahan yang terjadi di
Polandia. Desakan yang digerakkan kaum buruh dan intelektual
Solidaritas telah menghasilkan “wahyu sejarah”. Jabarannya mungkin
tepat dikatakan sebagai “terungkapnya rahasia sejarah” atas tindakan
Soviet sebelum, selama, dan sesudah Perang Dunia Kedua. Di Hungaria,
sejalan dengan tuntutan rakyat untuk pembaharuan politik, sebuah
“Komisi untuk Keadilan Sejarah” (Committee for Historical Justice)
telah dibentuk. Komisi itu bertugas memulihkan (kebenaran) masa
lampau yang terkubur akibat Revolusi 1956.12.
Menurut pengamatan sejumkah pakar Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) sejak tahun 1974 di dunia terdapat paling tidak 20
institusi serupa KKR dengan nama berbeda-beda.13 Beberapa contoh
Bolivia (1982); Argentina (1983); Uruguay (1985); El Salvador (1991);
Afrika Selatan (1992).
Dilihat dari prosesnya, pembentukan KKR merupakan aspirasi
masyarakat dengan landasan UU telah menunjukkan unsur demokratis.
Dalam tahap awal pengisian pencalonan anggota KKR yang berjumlah
sekitar 1500 orang memperlihatkan besarnya minat. Sayangnya dalam
tahap berikut ketika 42 calon anggota yang lulus dari seleksi memaparkan
visi-misi yang berkaitan dengan pekerjaannya, hanya sedikit dihadiri
pengunjung. Padahal di situlah dapat diketahui bagaimana kualitas calon
anggota dapat diketahui dan sejauhmana mereka diharapkan mampu
bekerja dan menyelesaikan salah satu agenda penting bangsa.
Teori Kebenaran Sejarah
Meskipun “konsep menyeluruh tentang kebenaran sejarah”
telah menjadi persoalan lama, hampir setiap orang mengklaim
mengetahui seperti apa dusta yang tersimpan dari masa lampau”. 14
Ungkapan Ellen Somekawa, Elizabeth E Smith dan Sissela Bok
itu perlu dilihat sebagai dorongan kepada teoretisi sejarah untuk
terus menerus mendapatkan ruang lebih luas dan landasan lebih
kokoh sehingga semakin banyak “dusta” masa lampau bisa
Ibid, 16.
X-URL:http://www.kompas.com/kompas-cetak/0003/04/nasional/berb07.htm
14
Alan B. Spitzer, Historical Truth and Lies about The Past. The University of North
Carolina Press, 1996:1.
12
13
Susanto Zuhdi, Wacana Sejarah untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
21
terungkap, yang berarti “kebenaran” semakin terkuak. 15
Karena pada umumnya sejarah adalah sejarahnya “pihak
pemenang”, soalnya adalah di mana keberadaan “sejarah pihak yang
kalah?”. Begitu PKI “melekat” atau “dilekatkan” pada G30S 1965,
maka partai itu dianggap kalah karena “salah”. Lalu bagaimana
mekanisme mereka yang menjadi korban dari sejarah hendak
mengungkapkan kebenarannya. Sebagian besar dari korban merasa
tidak bersalah, jadi mereka mencari kebenaran yang hilang. Jika aspek
kebenaran telah ditegakkan maka mereka menuntut perlakuan yang
adil. Namum harus dipilah terlebih dahulu kelompok mereka yang
memang bertanggung jawab dan mereka yang hanya menjadi korban.
Terutama pada kelompok kedua itulah proses dan mekanisme pencarian
keadilan dibuka lebar. Pertikaian ideologis sebagai persoalan bangsa
memang tidak mudah diselesaikan. Selama Tap MPR-RI no 25 tahun
1996 belum dicabut, komunisme berada di luar ukuran kebenaran
(ideologis bangsa). Memang ada pemaafan bagi (orang) PKI yang
dizalimi Orde Baru sehingga harus diberi jalan untuk mencari keadilan,
tetapi bukan berarti melupakan perbuatan yang sudah menjadi fakta
sejarah.
Oleh
karena
sebagai
faham,
Komunisme
(Marxisme+Leninisme) terus hidup dan berusaha diwujudkan ke dalam
gerakan, maka penganut ideologi penentangnya tetap mewaspadai
kebangkitannya itu.
Di situlah penjelasan dapat diberikan ketika muncul pemrotes
kurikulum sejarah 2004. Dengan tidak dicantumkannya “PKI” pada
“G30S/1965”, fakta itu akan menjadi kendaraan “menghidupkan PKI”,
karena ketidakterlibatannya dalam kudeta tersebut. Hal itu tampak dalam
indikator kurikulum yang berbunyi “siswa membandingkan pendapatpendapat versi-versi tentang G30S/1965”. Jangankan siswa, mahasiswa
sejarah saja sulit melakukan perbadingan seperti itu. Soalnya pada terletak
pada “pendapat”. Seharusnya yang dibandingkan fakta dan interpretasi.
Dilihat dari kelompok pemrotes merupakan upaya pengaburan fakta.
Dengan dalih PKI menjadi korban dan dizalimi bukan berarti PKI
terbebas dari kudeta oleh “Gerakan 30 September 1965”. Perhatikan
pengakuan Sudisman salah satu tokoh PKI mengatakan:”Saya tidak
bermaksud menyangkal bahwa beberapa pemimpin PKI terlibat dalam
Gerakan 30 September. Sama sekali bukan itu maksud saya. Seperti yang
15
Ibid
22
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
saya jelaskan, ada beberapa tokoh penting PKI, termasuk saya sendiri,
terlibat dalam Gerakan 30 September”.16
Rentetan peristiwa yang menyusul setelah Gerakan 30 September
1965 adalah tindak kekerasan yang menimbulkan banyak korban orang Partai Komunis Indonesia, maupun pendukung atau simpatisannya.
Pembantaian ratusan ribu manusia sebagai akibat dari percobaan kudeta
pada tahun 1965 merupakan salah satu pembantaian terbesar dalam abad
ke-20.17
KKR kelak akan menghadapi persoalan sejarah yang rumit:
pelurusan atau pengungkapan kebenaran sejarah. Pelurusan tampaknya
merupakan keinginan masyarakat luas selepas Orde Baru.18 Mengacu
pendapat Prof. Kuntowijoyo (alm) ada perbedaan pandangan antara
masyarakat (awam) dengan sejarawan jika berbicara tentang sejarah.
Pandangan masyarakat terhadap sejarah bertolak dari kepentingan
politik atau ideologi yang dianutnya, sedangkan sejarawan berangkat
dari teori dan metodologinya. Hampir tidak ditemukan istilah
“pelurusan” dalam literatur teori sejarah. Umumnya buku-buku teori
membahas panjang lebar mengenai “kebenaran sejarah”( the truth of
history), soal-soal obyektivitas dan subyektivitas. Kalau demikian apakah
istilah “pelurusan” cenderung dibaca dalam arti “politis”, untuk tidak
dikatakan sebagai “non-akademis”. Bahwa sejarah tidak mungkin lepas
dari politik adalah benar. Dalam kaitan itu E.A. Freeman mengatakan
bahwa “sejarah adalah politik masa lampau”, 19 yang kemudian
turunannya menjadi “politik adalah sejarah masa kini”. Untuk
kepentingan apapun landasan yang harus digunakan adalah sejarah
sebagai ilmu (pengetahuan).
Pokok bahasan yang dikemukakan berkaitan dengan tema tulisan
ini adalah soal bagaimana mengungkap kebenaran sejarah. Bagian ini
mencoba memaparkan teori tentang kebenaran. Ankersmit
mengemukakan ada 4 teori kebenaran: penunjuk bahasa, pragmatis,
korespondensi, dan koherensi. Prinsip utama untuk mengungkap
kebenaran adalah dukungan bukti atas peristiwa (realitas) yang dalam
pengungkapannya berupa fakta sejarah. Fakta adalah konsep yang
mampu menangkap realitas sedangkan kebenaran merupakan ungkapan
Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu. Jakarta: KPG, 2000:49.
Robert Cribb, Indonesia Killing, terj. 2003:1
18
Asvi Warman Adam, Pelurusan Sejarah Indonesia. Yogyakarta, TIDE, 2004
19
John Tosh, The Pursuit of History: Aims, Method and New Directions in the Study of
Modern History. Longman, London and New York, 1984: 67
16
17
Susanto Zuhdi, Wacana Sejarah untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
23
atau pernyataan atas realitas dengan dukungan bukti (evidence). C. Behan
McCullagh, mengemukakan metodologi untuk mengungkap kebenaran
dengan 3 alternatif: kebenaran sebagai koherensi (truth as coherence);
kebenaran sebagai kesepakatan (truth as consensus); dan kebenaran
sebagai deskripsi wajar tentang masa lampau (fair description of the past).
Kebenaran sebagai koherensi adalah proses kritis yang didasarkan
atas kepastian sejarah (historical necessity). Sedangkan pengertian kedua
dan ketiga, biasanya berkaitan dengan “kewajaran sejarah” (historical
fairness). Ketika soal “kepastian sejarah” masih terus dicari dan
ditemukan, “kewajaran sejarah” yang berada pada perspektif dan dimensi
waktu tertentu, merupakan alternatif yang “harus” diterima. Apalagi
jika soal “kepastian sejarah” terkait dengan sang tokoh yang termasuk
ke dalam “historical greatness” bangsanya. Interpretasi atas fakta Presiden
Soekarno dalam sejarah sekitar “G30S/1965”, misalnya, tidak sematamata soal “kepastian sejarah”. Itu dapat dilihat dalam perspektif historical fairness. Terlepas dari peranan yang dalam bebarapa kajian
menunjukkan keterkaitannya dengan pelaku-pelaku Kudeta20— bahkan
Antonie C.A. Dake menyebutnya sebagai mastermind—Presiden
Soekarno tetap merupakan bagian dari historical greatness bangsanya.
Kebenaraan dalam konsepsi itu menjadi relatif meskipun kebenaran
menurut Bunzl adalah sesuatu yang “ditemukan” bukan “dibuat”.21 Itu
artinya jika berpegang pada teori, maka harus dilakukan kajian kritis.
Ini perlu diketegahkan karena di masyarakat umumnya, kebanyakan
yang dianggap sejarah itu berdasarkan ingatan (remembered history).
Kita sadar betul bahwa ingatan manusia itu terbatas. Belum lagi soal
mana yang mau diingat dan mana yang mau dilupakan. Itu artinya
sangat subyektif. “Kebenaran sejarah” dalam arti yang ditemukan maka
harus dilakukan pengungkapan dan pembuktian peristiwa tentang suatu
hal dari masa lampau (discovered history). Padahal jika kebenaran
memang kemudian dapat ditemukan (kembali), bukan mustahil bisa
menyakitkan. Kita bisa saja berpegang pada ungkapan “katakan yang
benar meskipun itu pahit”, tetapi sudah siapkah semua komponen bangsa
ini menerima kenyataan itu. Hal yang harus dihindari dalam soal ini
20
Antonie C.A. Dake; Sukarno File: Kronologi Sebuah Keruntuhan; Jakarta: Aksara
Karunia, 2005, juga Victor M Fic; Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi,
Jakarta: Obor, 2005
21
Martin Bunzl, Real History: Reflection on Historical Practice . London and New York:
Routledge, 1997 :2.
24
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
adalah jangan sampai yang dimaksud dengan kebenaran sejarah itu
adalah “sejarah yang diciptakan” (invented history)22.
Jenis “kebenaran sejarah” terakhir inilah yang banyak diproduksi
pada masa Orde Baru. Kalau begini maka yang terjadi adalah
“pembenaran sejarah”. Ingatan kolektif (masyarakat) “dibentuk” dan
“diprogram”, misalnya dengan Pemutaran Film “Gerakan 30 September 1965/PKI” pada malam menjelang tanggal 1 Oktober. Begitu pula
dengan penulisan peristiwa “Serangan Umum 1 Maret 1949” yang
memerlihatkan interpretasi “tunggal” tentang peran pelaku dengan
maksud melegitimasi kedudukan seorang tokoh. Barulah kemudian
“ditemukan” kebenaran sejarah ketika sebuah sumber (wawancara Sultan Hamengkubowono IX dengan BBC-London, koleksi ANRI Jakarta)
mengungkap yang setelah diperiksa silang dengan sumber lain
mengatakan bahwa beliau lah yang merancang serangan. Itu bukan
berarti Letnan Kolonel Suharto tidak berperan. Beliau tentu berperan
sesuai posisinya, sebagai komandan Wehrkreise III ketika itu.
Sayangnya tidak banyak pengungkapan “kebenaran sejarah” (seperti
contoh di atas) dapat didukung sumber atau bukti yang akurat. Di sinilah
persoalannya, dapatkah “kebenaran sejarah” diungkap dengan cara lain?
Pendekatan yang ditawarkan McCullagh memberi kesempatan untuk
mendapatkan jawaban. Bukankah penemuan “kebenaran sejarah itu”
untuk kepentingan bangsa? Jadi ambil saja pendekatan “kebenaran
sebagai konsensus” (truth as consensus). Inilah yang menjadi acuan untuk
mendapatkan accepted history. Proklamasi 17 Agustus 1945, sebagai
contoh, selain sebagai “kebenaran sejarah” fakta itu juga merupakan
accepted history. Itu karena syarat sebagai fakta keras (hard fact) telah
lulus. Lalu bagaimana dengan fakta lunak (soft-fact), seperti pada
peristiwa “tewasnya Tan Malaka karena tertembak/ditembak oleh
pasukan bersenjata di Jawa Timur 1949”. Melalui kajian sejarah kritis
kemudian fakta lunak menjadi fakta keras sehingga kadar sejarah yang
diterima (accepted history) terpenuhi.
Meskipun dengan perdebatan panjang tentang “Supersemar”
misalnya, fakta itu sesungguhnya sudah accepted history. Sebab yang
diperbincangkan lebih banyak mengenai “dokumen asli” yang belum
juga ditemukan. Justru yang ada malahan beberapa versi dokumen.
Akankah terungkap adanya dokumen asli dari buku yang sedang
dipersiapkan “Biografi Mohamad Yusuf ”? Kalau tak berhasil, tidak
22
Taufik Abdullah; Nasionalisme dan Sejarah; Bandung: Satya Historica, 2001, hal. 275
Susanto Zuhdi, Wacana Sejarah untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
25
perlu lagi dipersoalkan mana yang asli, sebab sebagai fakta sosial
“supersemar” telah mengubah situasi dan kondisi politik bangsa secara
drastis. Perlu diingat bahwa ketika aspirasi masyarakat sedang mencari
legitimasi bertindak, maka dengan Supersemar itulah satu dari Tiga
Tuntutan Rakyat (Tritura) untuk “membubarkan PKI” terpenuhi. Jadi
dalam kaitan ini terdapat makna kebenaran perspektival.
Sekarang kita lihat mengenai sulitnya penelusuran dan pengungkapan
fakta sejarah sekitar G30S-1965. Meskipun merupakan kejadian luar
biasa, menurut Robert Cribb penulisan tentang korban akibat “G30S/
1965” menghadapi masalah pelik. Tiga masalah itu adalah masalah
informasi, masalah filosofi, dan masalah interpretasi.23 Minimnya
informasi karena saat itu jumlah para jurnalis Barat dan akademisi Indonesia relatif kecil, yang aksesnya tergantung pada pihak militer.
Kendala lain adalah karena akibat kebijakan pemerintah Orde Baru
membuat mereka yang menjadi korban bungkam mengenai apa yang
merasa alami dan rasakan pada tahun 1965-1966. Masalah interpretasi
tentulah sulit menjadi accepted history oleh karena berkaitan dengan
sudut pandang atau yang dalam teori tentang kebenaran terdapat “kendala
budaya “dan “kendala bahasa”, yang tidak terlepas dari pengaruh
perkembangan pemikiran post-modern.
Permasalahan mengenai “kendala budaya” berkaitan dengan
relativisme budaya juga. Sejarawan menganggap bukti yang akurat adalah
yang berada di dalam kondisi yang sesuai (dengan konteks zaman).
Adalah merupakan fakta bahwa berbeda budaya berbeda dalam melihat
dunia.24 Prinsip pokok dalam kajian sejarah adalah pertanyaan. Tanpa
“pertanyaan” tidak akan ada (penulisan) sejarah. Kalau demikian
bagaimana suatu bangsa mengajukan pertanyaan terhadap sejarahnya
adalah merupakan suatu hal yang paling pokok. Jadi memang subyektif
juga. Itu sejalankan dengan apa yang pernah dikatakan Ngugi wa
Thiong’o bahwa pertanyaan tergantung dari sudut kita melihat dunia “
the question is this: from what base do we look at the world?” 25
Dalam kaitan dengan “kendala bahasa” adalah bagaimana
memahami masa lampau dengan “bahasa” yang berbeda (dengan masa
kini) di mana sejarawan hidup. Roland Barthes, menggarisbawahi teori
Ferdinand de Saussure tentang kata-kata dalam suatu bahasa, para
23
Robert Cribb, editor, The Indonesian Killings: Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 19651966. (terj) Yogyakarta: Penerbit Mata Bangsa, 2003:4.
24
C. Behan McCullagh, The Truth of History, London and New York, 1998: 23-24
25
Beverly Southgate, History: What & Why. 1996:100.
26
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
sejarawan tidak seluruhnya mengetahui apa yang mereka deskripsikan
adalah sejumlah konsep yang mewakili apa yang sesungguhnya terjadi
pada masa lampau, karena bukan merupakan dunia dari masa lampau
itu sendiri.26
Rekonsiliasi Model Ken Sa Faak ?
Salah satu aspek dalam kebudayaan Indonesia yang belum banyak
digali dan dikembangkan adalah mengenai pengelolaan kekayaan budaya
dari ratusan sukubangsa yang terdapat di berbagai daerah. Mungkin
disinilah kekeliruan kita dalam memahami apa yang dimaksud dengan
puncak-puncak kebudayaan (dari kebudayaan daerah). Masih banyak
celah yang bukan tidak mungkin justru dari sanalah dapat digali cerlang
budaya lokal (local genius). Agar mendapatkan wawasan yang luas dan
memperoleh acuan yang akurat, KKR harus melakukan penggalian
cerlang budaya yang menampilkan berbagai kearifan lokal. Sebagaimana
yang dipaparkan di bawah ini, suatu cerlang budaya lokal terbukti (masih)
berfungsi bagi masyarakat di Kepulauan Kei, ketika terjadi konflik horizontal tahun 2000 yang lalu. Filosofi ken sa faak adalah sistem nilai
dalam tradisi masyarakat di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara.27
Relevansi ken sa faak bagi rekonsiliasi bangsa, kiranya patut
dipertimbangkan. Landasan filosofis ken sa faak adalah sebuah keluarga
yang asal-usulnya sama.28 Bukankah akibat yang ditimbulkan dari
Gerakan 30 Septeember 1965 pada hakikatnya adalah melibatkan pilarpilar keluarga besar bangsa Indonesia? Pada 30 September malam, dalam
pidatonya di depan para insinyur di Istora Senayan, Presiden Soekarno
memaparkan kisah pewayangan lakon Barathayuda dalam epos
Mahabharata, yaitu perang antara Pandawa dan Kurawa. Menjelang
pertempuran di Palagan Kurusetra, Arjuna tampak ragu karena tak mau
melawan Karna, yang merupakan saudaranya. Tidak hanya itu Arjuna
juga harus menghadapi saudara-saudaranya yang lain termasuk gurunya,
Begawan Durna. Maka berwejanglah Kresna kepada Arjuna agar tetap
maju ke medan pertempuran karena tugas ksatria yang harus dijalankan
demi negara. Secara panjang lebar nasihat Kresna pada Arjuna terdapat
dalam Bagawath Gita.
C. Behan McCullagh, The Truth of History. 1998: 33.
P.M. Laksono dan Roem Tipatimassang, penyunting, Ken Sa Faak: Benih-benih
perdamaian dari Kepulauan Kei. Yogyakarta: Insist Press, 2004.
28
P.M. Laksono, The Common Grounds in the Islands. Yogyakarta: Penerbit Galang,
2002.
26
27
Susanto Zuhdi, Wacana Sejarah untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
27
Ada yang menganalogikan Peristiwa Gerakan 30 September1965
seperti kisah itu. Bukankah pada dasarnya pertikaian tajam yang
menimbulkan banyak korban adalah bersaudara juga. Artinya perang
saudara dari keluarga Barata, karena Destarata yang menurunkan
Kurawa dan Pandu Dewanata yang menurunkan Pandawa adalah
bersaudara kandung. Di awal peperangan (baca pertempuran) pasukan
Gerakan 30 September tampak berhasil kalau dilihat dari sasaran yang
diduduki, misalnya menguasai RRI. Setelah itu posisi Gerakan semakin
terdesak dan menjadi sasaran penumpasan yang telah menimbulkan
ratusan ribu korban. Banyaknya korban itu karena sasaran tidak lagi
pada mereka yang terlibat tetapi juga kepada keluarga dan bahkan orang-orang yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan PKI. Di
sinilah tragisnya. Celakanya lagi, sang pemenang menumpas habis –
lawan-lawannya (tumpes kelor).Tidak boleh ada yang tersisa. Tidak
sampai di situ, sisa-sisa dari unsur itu disebut sebagai bahaya latent,
oleh karena itu harus diwaspadai. Inilah praktik yang dilakukan Orde
Baru terhadap eks PKI termasuk simpatisan dan organisasi terlarang
lainnya. Kedua pihak sudah tentu mengklaim yang paling benar pada
setiap aksi yang dilakukannya. Tetapi mestinya juga harus mau mengakui
kesalahan (kolektif) karena pada dasarnya berasal dari keluarga bangsa.
Ken sa faak adalah istilah dalam bahasa masyarakat di kepulauan
Kei yang secara harafiah sebagai berikut: “dua (salah atau benar) dengan
dua (pihak yang bertikai) adalah (jika dijumlahkan) tetap empat”. Dalam
skala yang kecil nilai tradisi sudah dipraktikkan dan berhasil mengatasi
konflik tahun 1999-2000 yang pernah melanda masyarakat Kei.
Model mikro seperti di Kei tentu tidak begitu saja dapat diterapkan
untuk KKR. Intensitas dan lingkup sebuah masyarakat kecil di Kei tentu
tidak bias dibandingkan dengan bangsa yang pluralistis dengan
keragaman budaya bernama Indonesia. Akan tetapi yang dapat ditarik
dari pengalaman Kei adalah mengenai nilai dan semangat rekonsiliasi
yang bermanfaat bagi pekerjaan KKR.
Model Pengakuan
Langkah pertama paling jitu dalam proses rekonsiliasi adalah
pengakuan dari masing-masing pihak yang semula bertengkar atau
bermusuhan dan mau saling menerima kembali sebagai keluarga besar
bangsa. Sebuah pengakuan (salah) bisa didapat dari pelajaran dari negeri
lain. Ketika Kanselir Jerman Willy-Brandt mengadakan kunjungan
28
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
kenegaraan, dia meletakkan karangan bunga di tugu peringatan
pemberontakan di kota Warsawa. Ia tidak meniru mereka yang hanya
membungkukkan kepala tanda hormat di tempat seperti itu, melainkan
dengan berlutut. Banyak orang melihat tindakan Brandt pemimpin politik
Jerman sebagai suatu ungkapan yang penuh makna tentang pertobatan
resmi. Marek Edelman, seorang yang lolos dari peristiwa pemberontakan
Warsawa, mengatakan “itu merupakan tindakan yang mulia … Dengan
gerak isyarat ini secara moral orang-orang Jerman menghormati para
korban”.29 (Geiko terj, 2005:124)
Pelajaran dari Fiji. Ratu Meli Vesikula, seorang pemimpin pribumi
di Fiji yang mengakui perbuatan dalam konteks pengampunan:
“Dalam tindak kekerasan rasial di negeri saya menyusul dua kup
militer pada tahun 1987, saya mati-matian membela hak rakyat saya
dengan sarana kekerasan supaya bisa menaklukkan orang India yang
merupakan ras terbesar kedua di Fiji.
Pada tahun 1988, saya mengalami perubahan hati pertama-tama
nian oleh bantuan seorang pejabat Gereja, dan kemudian oleh
perjumpaan saya dengan orang-orang dari Gerakan Pembaruan
Moral. Melalui perubahan itu saya menemukan kerendahan hati
dan ketaatan yang baru, yang pada akhirnya mendorong saya untuk
meminta maaf secara publik dari para pemimpin India dan para
pemimpin ras lain di Fiji atas keterlibatan saya dalam tindak
kekeasan, dan dari rakyat saya sendiri karena mengarahkan mereka
pada rel yang salah. Pengampunan mereka terhadap diriku secara
harfiah melahirkan suatu roh baru, yang sedemikian ampuh
menghasilkan penyembuhan dan rekonsiliasi di antara berbagai
bangsa di Fiji. Sembari semangat itu bertumbuh, kepercayaan
dipugar dan tembok-tembok pemisah dirubuhkan, para pemimpin
mulai berbicara dan memerintah dengan jujur, dan stabilitas dan
keamanan kembali pulih”.30
Bukan saja sikap terpuji yang tampak dari ungkapan di atas,
melainkan juga sikap visioner Ratu Meli harus diacungkan jempol seperti
diungkapkan pada bagian terakhir :
29
30
Geiko, Rekonsiliasi, 2005:124.
Geiko, Rekonsiliasi, 2005: 152-153.
Susanto Zuhdi, Wacana Sejarah untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
29
“Tentu saja kami punya masalah, namun semangat ganti rugi dan
pengampunan membantu membangun dan mengukuhkan kembali sifat
akhlak bangsa kami, yang akan menjamin suatu masa depan yang lebih
cerah untuk anak-anak kami…”.31
Catatan Penutup
Fakta bahwa Tap MPR-RI no. 25 tahun 1966 tampaknya masih
merupakan salah satu faktor pengganjal bagi terlaksananya rekonsiliasi.
Hal itu dapat dicatat atas tanggapan terhadap gagasan Abdurrahman
Wahid untuk menghapus Tap tersebut. Bagi Abdurahman Wahid yang
melontarkan gagasan itu sewaktu menjabat Presiden, berpendapat
rekonsiliasi dapat secara utuh dicapai kalau keluarga eks PKI dirangkul
kembali. Mereka bukan saja dipulihkan hak-hak politik dan ekonominya.
Melainkan juga kalau mungkin direhabilitasi nama baiknya.32
Menanggapi ide tersebut, ada kelompok dalam Islam yang tampaknya
sulit menerima. Mereka masih melihat bahwa ajaran Komunisme
berlandaskan atheis, sedangkan pandangan itu bertolak belakang dengan
Pancasila. Faktor inilah yang menjadi pengganjal upaya rekonsiliasi dan
ini pula beratnya tugas KKR. Lagi pula bagaimana dengan korban orang
Islam (dan nasionalis lainnya) akibat aksi sepihak orang PKI sebelum
meletus “Gerakan 30 September 1965”. Ini juga harus diperhatikan karena
dapat menjadi ganjalan jika tidak diselesaikan secara bersamaan.
Akan tetapi kunci untuk rekonsiliasi seperti terungkap dari pelajaran
di berbagai negara adalah pengakuan dan penerimaan pihak-pihak yang
semula bertengkar dan bermusuhan untuk tidak akan mengulangi
perbuatannya. Sekarang kita tunggu bagaimana kelak KKR dapat
menjadi fasilitator bagi terjadinya pengakuan-pengakuan tersebut.
Kemudian institusi itu dapat menetapkan siapa saja yang diusulkan
kepada pemerintah untuk diberi rehabilitasi atau amnesti tanpa
menyakitkan pihak manapun dalam suasana persaudaraan sebangsa dan
setanah-air.
***
Ibid.
Kasiyanto Kasemin, Mendamaikan Sejarah Analisis Pencabutan TAP MPRS/XXV/
1966. Yogyakarta: Penerbit LKIS, 2003:3)
31
32
30
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
MEL
AWAN AN
CAMAN WAK
TU
MELA
ANC
WAKTU
TU,,
MEN
GIMAJIN
ASIKAN MAS
A
MENGIMAJIN
GIMAJINASIKAN
MASA
DEP
ANNY
A MAS
A LAL
U
DEPANNY
ANNYA
MASA
LALU
Menuturkan sebuah kisah sama dengan
mengangkat senjata melawan ancaman waktu.
(Alessandro Portelli)
Budiawan
Secara alami waktu terus bergerak maju, menelan apapun yang ada
di depannya. Masa kini terus berlalu, lenyap ke dalam masa lalu.
Pengalaman masa lalu tidak akan pernah dianggap ada, bila ingatan
atas pengalaman itu tidak pernah dituturkan. Padahal tidak jarang
pengalaman itu merupakan sumber pembelajaran yang sangat penting
untuk mengelola kehidupan di masa depan, atau minimal untuk
membangun imajinasi tentang masa depan. Oleh karena itu menuturkan
ingatan tentang pengalaman masa lalu bisa dibaca sebagai tindakan turut
membangun masa depan.
Barangkali antara lain berangkat dari pemikiran semacam itulah,
sejumlah mantan tahanan politik (tapol) ‘Peristiwa 1965’ menuliskan
otobiografi mereka dalam sekitar tujuh tahun terakhir ini. Sejak akhir
1998 puluhan otobiografi mantan tapol telah bermunculan. Meskipun
ditulis dengan dorongan yang sama dan memiliki kesamaan pesan,
masing-masing otobiografi itu mempunyai tendensi yang berbeda. Ada
yang bersemangat membela diri,1 ada yang berambisi mematahkan oposisi
biner ‘Islam’/ ‘Komunisme’,2 ada yang nyaris sekedar menumpahkan
1
Misalnya, Abdul Latief, Soeharto Terlibat G 30 S: Pledoi Kol. A. Latief, Jakarta: ISAI,
tanpa tahun terbit); Benedicta A. Surodjo dan JMV. Soeparno, Tuhan, Pergunakanlah Hati,
Pikiran dan Tanganku: Pledoi Omar Dani, Jakarta: ISAI, 2001.
2
Misalnya, Hasan Raid, Pergulatan Muslim Komunis: Otobiografi Hasan Raid, Yogyakarta:
LKPSM-Syarikat, 2001; Achmadi Moestahal, Dari Gontor ke Pulau Buru: Memoar H.
Achmadi Moestahal, Yogyakarta: Syarikat, 2002.
Budiawan, Melawan Ancaman Waktu, Mengimajinasikan Masa Depannya Masa Lalu
31
segala kemarahan terhadap rezim Suharto,3 dan ada yang mengisahkan
ketidakberdayaan para tapol di hadapan kekuasaan Orde Baru.4 Satu
hal jelas bahwa narasi-diri itu adalah tuturan pengalaman yang minta
didengar secara publik.
Selain menerbitkan otobiografi, para mantan tapol juga
mengartikulasikan ingatan mereka secara publik melalui pameran fotofoto dan benda-benda kenangan. Hal ini antara lain terjadi pada
pertengahan Desember 2004 di Yogyakarta. Yang menarik adalah bahwa
penyelenggaraan pameran itu didukung sekelompok mahasiswa dari
berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta yang tergabung dalam Forum
Pendidikan dan Perjuangan Hak-hak Asasi Manusia (Fopperham).
Selama sepekan mereka menggelar sebuah pameran yang memajang
puluhan foto dan benda-benda kenangan para mantan tapol yang pernah
dipenjara di Pulau Buru. Sementara beberapa mantan tapol yang telah
berusia 70-an tahun secara bergantian menyediakan diri sebagai pemandu
yang dengan penuh semangat melayani pertanyaan-pertanyaan para
pengunjung tentang foto-foto dan benda-benda kenangan yang dipajang
dalam pameran itu.
Meskipun gaungnya amat terbatas, apa yang telah dituturkan para
mantan tapol melalui pameran itu memiliki makna yang sangat penting
dalam membangun imajinasi tentang kehidupan bersama di masa depan.
Sejumlah foto dan benda kenangan yang merupakan saksi bisu atas
sebagian pengalaman mereka selama menjadi tapol di Pulau Buru tersebut
sekurang-kurangnya merupakan jejak sejarah bahwa sebagian warga
bangsa Indonesia pernah dihukum tanpa proses pengadilan (yang jujur),
serta dirampas harkat dan martabat mereka sebagai manusia oleh,
ironisnya, bangsanya sendiri. Melihat jejak-jejak itu kita seperti hendak
diingatkan bahwa apa yang dialami para mantan tapol, yakni penahanan
tanpa proses pengadilan berikut segala bentuk penderitaan yang mereka
maupun keluarga mereka alami baik selama maupun sesudah penahanan,
adalah bagian dari perjalanan kolektif sejarah bangsa Indonesia.
Kesadaran akan hal inilah yang selama rezim Orde Baru berkuasa
dibungkam, atau dituturkan oleh rezim Orba dengan bahasa yang serba
terbalik.5
3
Misalnya, Adam Soepardjan, Mendobrak Penjara Rezim Soeharto, Yogyakarta; Ombak,
2004; Sulami Perempuan-Kebenaran-Penjara, Jakarta: Cipta Lestari, 1999.
4
Misalnya, Putu Oka Sukanta, Merajut Harkat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
5
Misalnya, penangkapan dikatakan sebagai pengamanan. Pembantaian dikatakan sebagai
pembersihan. Pemenjaraan dikatakan sebagai reedukasi. Kamp kerja paksa dikatakan sebagai
instalasi rehabilitasi (inrehab). Caci maki dikatakan sebagai santiaji, dan sebagainya.
32
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
Sebagaimana sudah kita hapal (karena memang dipaksa atau
dikondisikan untuk hapal), Orde Baru menarasikan dirinya sebagai
sebuah rezim yang telah ‘menyelamatkan negara, bangsa, dan ideologi
Pancasila dari ancaman komunisme’. Peristiwa pembunuhan enam
perwira tinggi dan seorang ajudan Angkatan Darat oleh sekelompok
pasukan Cakrabirawa pada tanggal 30 September 1965 telah dinarasikan
sebagai bukti dan sekaligus titik puncak ‘ancaman komunisme’ itu. Di
situ Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh sebagai dalang peristiwa
tersebut. Sejak saat itu, siapapun yang terkait, atau dikait-kaitkan dengan
PKI dicap sebagai ‘pengkhianat bangsa’. Atas dasar cap itulah, Soeharto
dengan tentara serta berbagai kelompok sosial pendukungnya, yang
kemudian menamakan diri ‘Orde Baru’, merasa berhak dan bahkan wajib
menghukum para ‘pengkhianat bangsa’ tersebut. Orde Baru bukan hanya
membubarkan dan melarang PKI (beserta semua ormasnya) untuk
selamanya-lamanya, tetapi juga, dalam istilah rezim itu sendiri, ‘mengikis
habis PKI sampai ke akar-akarnya’. Dalam narasi sejarah Orde Baru
yang diwariskan kepada generasi muda, gambaran yang muncul adalah
‘heroisme’ Orde Baru dengan Soeharto sebagai tokoh utamanya. Tetapi,
cukup lama kita tidak tahu (karena memang dibuat untuk tidak tahu),
bahwa di balik ‘heroisme’ Orde Baru itu sebenarnya telah terjadi tragedi
kemanusiaan yang dahsyat, bahkan mungkin yang terdahsyat setelah
Perang Dunia II, 6 yakni pembantaian terhadap ratusan ribu dan
penahanan tanpa proses pengadilan terhadap lebih dari satu juta orang
yang dicap ‘komunis’ berikut berbagai macam dampak terhadap keluarga
dan kerabat yang ditinggalkan.
Kini, rezim Orde Baru dengan Suharto sebagai personifikasinya
telah menyingkir (meskipun jiwa dan semangatnya masih bertahan dan
dicoba terus dipertahankan oleh sebagian warga bangsa). Narasi tentang
sisi gelap perjalanan sejarah bangsa Indonesia pun mulai terartikulasikan
secara publik. Tuturan ingatan pengalaman masa lalu yang kelam
menggugat narasi sejarah yang telah (di)baku(kan). Dihadapkan pada
gugatan itu, klaim citra-diri sebagai bangsa yang ramah, santun dan
religius tiba-tiba tampak retak. Cerita heroik mulai bergeser dimaknai
sebagai cerita tragedi kemanusiaan. Tidak sedikit orang bersikap reaktif
6
Kata-kata filsuf Inggris Bertrand Russel barangkali cukup mewakili gambaran tentang
skala tragedi kemanusiaan 1965-66 itu, yakni ‘Dalam empat bulan, orang yang mati di Indonesia sebanyak lima kali lebih besar dari yang mati di Vietnam dalam kurun waktu dua belas
tahun’. Lihat Malcolm Caldwell, Ten Years’ Military Terror in Indonesia, Nottingham: Spokesman Books, 1975; halaman sampul dalam.
Budiawan, Melawan Ancaman Waktu, Mengimajinasikan Masa Depannya Masa Lalu
33
terhadap gugatan itu. Munculnya spanduk-spanduk bahasa klise Orde
Baru seperti ‘awas bahaya laten komunis’, atau ‘awas komunisme bangkit
kembali’ adalah salah satu contohnya. Tetapi, sikap reaktif semacam itu
tidak akan pernah membuat masa depan lebih baik, jika bukan malah
lebih buruk. Sikap reaktif hanyalah akan membuat orang terbelenggu ke
dalam keyakinan sepihak tentang masa lalu, yang jelas akan menghalangi
gerak ke depan. Lantas, bagaimanakah kaum muda, sebagai penghuni
dan penghidup masa depan, sebaiknya menyikapi gugatan itu?
***
Memang, belajar dari masa lalu tidak menjamin bahwa masa depan
pasti lebih baik. Tetapi, belajar dari masa lalu sekurangnya-kurang akan
menuntun kita untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa
depan. Oleh karena itu, sikap yang bijaksana barangkali adalah
menjadikan gugatan itu untuk menggugat diri kita (sebagai warga bangsa)
sendiri: mengapa dalam perjalanan sejarah berbangsa, bangsa Indonesia pernah menghukum sebagian warganya sendiri secara tidak
proporsional? Adakah kebencian yang mendalam terhadap sebagian
warga bangsa itu?
Dengan pertanyaan itu, saya tidak hendak mencari akar
permasalahan dari seluruh rangkaian tragedi kemanusian 1965-66. Tetapi,
saya hanya ingin membaca kembali seluruh rangkaian tragedi itu dari
perspektif kemanusiaan, tidak lain agar tragedi serupa (dalam beragam
skala) tidak terulang di masa depan. Saya mengajukan sekurangkurangnya ada empat catatan atas seluruh rangkaian tragedi kemanusiaan
1965-66 itu.
Pertama, ketika cap ‘pengkhianat bangsa’ dilekatkan kepada mereka
yang terkait atau dikait-kaitkan dengan PKI, maka di situ sebenarnya
kekerasan sudah terjadi, dan institusi hukum yang merupakan syarat
dasar masyarakat beradab sudah dicampakkan. Dengan membuat cap
itu, siapapun yang merasa ‘terkhianati’, atau berusaha untuk tidak dicap
‘pengkhianat’, merasa berhak dan bahkan wajib menghukum mereka
yang dicap ‘pengkhianat’. Cap telah membuat orang ketakutan, dan tidak
jarang untuk menyelamatkan diri orang mencap orang lain sebelum
dicap oleh orang lain. Siapa ‘mengkhianati’ siapa menjadi tidak jelas
lagi. Di sinilah tragedi kemanusiaan terjadi, karena untuk bertahan hidup
manusia seperti tidak mempunyai pilihan lain selain memangsa orang
34
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
lain. Orang melakukan perbuatan yang mencelakakan orang lain di luar
kehendak bebasnya. Tragisnya, tidak sedikit kaum terpelajar kita
mengamini situasi semacam itu sebagai sebuah kewajaran.
Kedua, situasi sebagaimana digambarkan dalam catatan pertama
di atas adalah cermin dari cara berpikir yang dikotomistis-hierarkhis.
Dunia kenyataan dibayangkan hanya ada hitam dan putih. Tidak
dibayangkan adanya kenyataan yang lain, atau kenyataan-antara. Jika
bukan putih, pasti hitam. Begitu pula sebaliknya. Cara berpikir ‘either
or’ inilah yang membuat manusia tersekat-sekat ke dalam dua kelompok
‘jahat’ atau ‘baik’, ‘kawan’ atau ‘lawan’, ‘sekutu’ atau ‘musuh’; dan
sekat-sekat itu senantiasa dicoba dialamiah-alamiahkan sehingga setiap
tindakan kekerasan terhadap yang ‘jahat’, ‘lawan’, dan ‘musuh’
dianggap sah dan bahkan wajib. Deklarasi sebuah ormas keagamaan
beberapa minggu sesudah terjadi peristiwa 30 September 1965 yang
menyatakan bahwa wajib hukumnya bagi setiap penganut agama itu
untuk memerangi kaum komunis adalah salah satu contohnya.7
Ketiga, kalau kita telisik sedikit lebih jauh, bahasa (tentu saja beserta
logika yang dikandungnya) dalam kampanye penghancuran PKI itu
sebetulnya tidak jauh berbeda, jika bukan mirip, dengan retorika politik
PKI ketika menyerang lawan-lawan politiknya. Hanya posisi subyek –
obyeknya yang dibalik. Jika sebelumnya PKI menyetan-nyetankan lawanlawan politiknya,8 pasca-peristiwa 30 September 1965 gantian PKI yang
disetan-setankan. Bedanya, jika sebelumnya PKI menyerang lawanlawannya lebih dengan kata-kata, pasca 30 September 1965 serangan
balik tidak hanya dengan kata-kata, tetapi juga senjata, penjara dan
hukum yang diskriminatif terhadap mereka dan keluarga mereka, sampai
sekarang. Dengan kata lain, wacana anti-komunis sebenarnya tidak lebih
dari wacana dendam, dan di depan dendam senantiasa berjejer korbankorban, baik potensial maupun riil. Mempertahankan wacana antikomunis berarti sama saja mempertahankan dendam, dan sekaligus
memenjarakan diri ke masa lalu.
7
Lihat B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, The Hague: Martinus
Nijhoff, 1971, hlm. 141.
8
PKI antara lain pernah menciptakan istilah-istilah seperti “Tujuh Setan Desa” dan
“Setan Dasa Muka” untuk menyebut lawan-lawan politiknya. Penggunaan kata “setan”
bukan hanya mengandung konotasi politis, tetapi juga klaim moral bahwa lawan-lawan politiknya
itu jahat, dan karena itu pantas dienyahkan. Tentang retorika politik PKI dalam persaingannya
dengan partai-partai lain menjelang ‘Peristiwa 1965’ terjadi, lihat Budiawan, Mematahkan
Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Suharto, Jakarta:
ELSAM, 2004; hal. 120-27.
Budiawan, Melawan Ancaman Waktu, Mengimajinasikan Masa Depannya Masa Lalu
35
Keempat, serangkaian tragedi kemanusiaan itu merupakan imbas
dari Perang Dingin, sebuah perang dua ideologi dunia yang samasama merupakan anak kandung modernitas, yang disemangati oleh
nalar ‘either or’, nalar ‘jika bukan kawan pasti lawan’. Nalar ‘either
or’ inilah yang ternyata telah menyeret sejarah umat manusia dalam
hampir sepanjang abad ke-20 sebagai sejarah penuh tragedi
kemanusiaan. Ironisnya, tragedi itu terjadi justeru karena masingmasing ideologi mengklaim sebagai yang mampu menjamin kehidupan
manusia secara lebih sejahtera, sambil berambisi melenyapkan ideologi
pesaingnya.
Nalar ‘either or’ itu bukan hanya ditemukan di kalangan mereka
yang anti-komunis, tetapi juga di kalangan mereka yang sangat
meyakini akan kebenaran komunisme. Sebagai contoh, ketika
seorang Pipit Rochijat pada awal 1970-an di hadapan para eksil
politik Indonesia di Jerman Barat dengan penuh empati menuturkan
kesaksian-kesaksiannya atas berbagai penyembelihan terhadap para
anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) di Kediri, Jawa Timur, tibatiba ia dikagetkan dengan pertanyaan dari mereka: ‘Kamu PKI atau
bukan?’. 9 Ketika ia tidak bisa menjawab dengan tegas, para eksil
itupun kecewa dan menjauhinya, dan ia pun juga kecewa dan
akhirnya menjauhi mereka. Di mata para eksil itu, cerita kesaksian
tentang tragedi kemanusiaan yang dituturkan dengan penuh empati
mendalam dianggap tidak penting. Yang lebih penting di situ adalah
si penutur itu ‘kawan atau lawan’.
Ketika dunia kenyataan masyarakat manusia dibayangkan hanya
dihuni oleh ‘kawan’ dan ‘lawan’, maka kebencian dan kekerasan dengan
segala manisfestasinya senantiasa menghantui kehidupan manusia itu
sendiri. Lebih-lebih bila yang dianggap ‘lawan’ itu sebenarnya adalah
bagian dari kolektivitas kita sendiri, yang telah kita cap sebagai
‘pengkhianat’, jalan menuju perajutan kembali tali persaudaraan
seringkali jauh lebih sulit dan rumit daripada jika yang dianggap ‘lawan’
itu ‘orang asing’ (foreigner). Dalam banyak kasus, perseteruan ‘sesama
saudara’ jauh lebih mengerikan dan jauh lebih sulit didamaikan
daripada perang melawan pihak ‘asing’. Terhadap orang ‘Belanda’ atau
orang ‘Jepang’, misalnya, orangtua kita yang dulu sangat memusuhi
mereka, mungkin kini sudah bisa saling bercanda tentang masa lalu
9
Pipit Rochijat, ‘Am I PKI or Non-PKI?’, Indonesia, No. 40 (October) 1985.
36
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
itu. Tetapi, apakah hal serupa juga terjadi pada mereka yang (dulu)
bermusuhan dengan orang ‘komunis’?
***
Pameran foto dan benda kenangan para mantan tapol peristiwa
1965 sekitar setahun yang lalu itu bukan hanya merupakan apa yang
oleh Alessandro Portelli10 dikatakan sebagai upaya mengangkat senjata
untuk melawan ancaman waktu, sebagaimana saya kutip sebagai
pembuka catatan sederhana ini, tetapi juga usaha untuk menyiapkan
masa depannya (narasi) masa lalu, tidak lain agar masa depan bukan
merupakan pengulangan masa lalu. Meletakkan masa lalu pada
tempatnya merupakan upaya untuk keluar dari beban sejarah. Jika masa
lalu telah diletakkan pada tempatnya, maka ruang imajinasi tentang
masa depan menjadi lebih lapang. Kita tidak perlu memelihara ketakutanketakutan yang kita ciptakan sendiri; dan setiap ketakutan hanyalah akan
membuat kita enggan melangkah ke depan.
Sebagai penutup, perkenankan saya menuturkan sebuah pengalaman
pribadi. Beberapa waktu sebelum isu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
menjadi wacana publik yang hangat, saya menghadiri sebuah diskusi
yang membahas draft RUU Pilkada di sebuah kampus PTS di Yogyakarta.
Dalam forum itu saya mengajukan pertanyaan perihal sebuah pasal yang
menyatakan bahwa pemilihan kepala dan wakil kepala daerah dijalankan
secara non-diskriminatif. Dengan nada setengah iseng saya bertanya apa
yang dimaksud ‘non-diskriminatif ’itu. Saya meminta klarifikasi apakah
itu ‘non-diskriminatif ’ berdasarkan agama, etnis, tempat lahir, atau juga
termasuk latar belakang historis politik seorang calon. Saya mempertegas
hal yang terakhir itu dengan mengatakan: ‘jelasnya, apakah seorang
mantan tapol peristiwa 1965, atau paling tidak keturunannya, boleh
mencalonkan diri menjadi kepala atau wakil kepala daerah?’. Si
pembicara, seorang aktivis sebuah LSM di Yogyakarta dan sekaligus
pemrakarsa forum diskusi itu, hanya diam saja, tidak memberikan
tanggapan apapun. Yang menanggapi pertanyaan saya itu malah seorang
peserta, yang kebetulan anggota DPRD DIY dan sekaligus dosen sebuah
PTS di Yogyakarta. Katanya, prinsip ‘non-diskriminatif ’ tidak boleh
diberlakukan secara apa adanya. Bila menjalankan prinsip ‘non10
Sebagaimana dikutip dalam Elizabeth Tonkin, Narrating Our Pasts: The Social Construction of Oral History, Cambridge: Cambridge University Press, 1992; hal. 165.
Budiawan, Melawan Ancaman Waktu, Mengimajinasikan Masa Depannya Masa Lalu
37
diskriminasi’ tetapi taruhannya adalah disintegrasi sosial, katanya, maka
sebaiknya ‘non-diskriminasi’ itu harus dibatasi.
Tampak bahwa masa lalu yang masih menjadi beban membuat
bayangan tentang masa depan menjadi kelam. Bayangan tentang
‘disintegrasi sosial’ telah membuat proses demokratisasi tidak berjalan
sepenuh hati. Barangkali hanya guru tata bahasa yang lebih kompeten
untuk menilai apakah frase ‘non-diskriminasi’ yang terbatas itu secara
ketatabahasaan ketemu nalar atau tidak.
***
38
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
REK
ONSILIASI PERIS
TIW
A1
965:
REKONSILIASI
PERISTIW
TIWA
1965:
PER
TAR
UHAN UNTUK MAS
A
MASA
PERT
ARUHAN
DEP
AN KIT
A
DEPAN
KITA
Salahuddin Wahid
Pengantar
Malam menjelang dini hari tanggal 30 September 1965, garis batas
sejarah mulai terbangun bersama dengan aktivitas sejumlah kesatuan
tentara di Desa Lubang Buaya, sebelah selatan kota Jakarta. Kesatuankesatuan yang berada di bawah komando Letkol Untung, Komandan
Batalyon I Kawal Kehormatan Tjakrabirawa (Pasukan Pengawal
Presiden) itu bergerak ke sejumlah titik sasaran di Jakarta. Hasil operasi
itu menakjubkan. Dalam hitungan jam satuan-satuan tentara itu berhasil
mengambil paksa (hidup atau mati) 6 Jenderal TNI AD dan satu perwira
menengah. Pagi harinya, sekitar pukul 07.20 keluarlah pengumuman
melalui RRI Jakarta yang antara lain mengatakan, telah terjadi gerakan
di dalam Angkatan Darat yang ditujukan kepada “Dewan Jenderal”
yang bermaksud jahat terhadap Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.
Gerakan itu, yang dinamakan Gerakan 30 September, juga bertujuan
untuk menyelamatkan Presiden Soekarno. Selanjutnya, Pengumuman
tentang “Dewan Revolusi”, terjadi pukul 14.00. Dalam pengumuman
itu, “Dewan-Revolusi” dinyatakan menjadi sumber segala kekuasaan
dalam negara Republik Indonesia dan Kabinet Dwikora dengan
sendirinya berstatus demisioner.
Hanya dalam waktu kurang dari 72 jam, gerakan “Dewan
Revolusi” ini secara militer berhasil dipatahkan. Pendudukan mereka
atas RRI dan Gedung Telekomunikasi berhasil dipatahkan oleh pasukan
Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), menyusul
kemudian jatuhnya Lubang Buaya yang menjadi basis gerakan. Tanggal
4 Oktober 1965 Jenazah 6 jenderal dan satu Perwira Menengah TNI AD
Salahuddin Wahid, Rekonsiliasi Peristiwa 1965: Pertaruhan Untuk Masa Depan Kita
39
yang menjadi korban dapat dievakuasi dari sumur maut Lubang Buaya.
Dengan dipatahkannya gerakan itu, apakah peristiwa G 30 S telah selesai?
Ternyata tidak.
Peristiwa Lubang Buaya hanya merupakan babak pembuka, seperti
hulu ledak kecil yang akan memicu ledakan dahsyat berikutnya.
Dinamika politik segera mengarahkan telunjuknya pada PKI sebagai
dalang di balik peristiwa 30 September dan Dewan Revolusi. Bukti-bukti
awal yang dimiliki militer saat menumpas gerakan telah menunjukkan
jejak keterkaitan tokoh-tokoh PKI dalam peristiwa itu. Demikian juga
pandangan umumnya politisi sipil non-PKI.
Bagi kalangan yang melek politik dan memahami situasi menjelang
September 1965, penyimpulan bahwa PKI memiliki kaitan dengan G 30
S bukanlah kesimpulan yang sembrono. Situasi politik menjelang G 30
S telah terpolarisasi tajam menjadi 3 kekuatan, yaitu: Pertama: Bung
Karno, yang menjadi puncak kekuatan dan melingkupi semua kekuatan,
Kedua: PKI yang berkembang sangat agresif, dan Ketiga: semua
kekuatan politik yang berseberangan dengan PKI (dimotori oleh TNIAD)
Tema “Dewan Jenderal yang bermaksud jahat terhadap Pemimpin
Besar Revolusi Bung Karno” yang dilontarkan dalam pengumunan
“Dewan Revolusi”, adalah isu politik yang telah berkembang beberapa
bulan sebelumnya dan sering disuarakan oleh PKI. Dengan demikian
menjadi sangat wajar tudingan bahwa PKI merupakan dalang G 30 S.
Itu pula yang kami—saya dan keluarga—simpulkan saat pertama kali
mendengarkan pengumuman “Dewan Revolusi” dari RRI.
Dalam waktu singkat, kampanye menentang PKI bermunculan.
Diawali dengan pembentukan Komite Aksi Pengganyangan (KAP)
Gestapu/PKI yang memulai aksi sejak 7 Oktober 1965. Organ yang
dimotori Subhan ZE (Partai NU) dan Harry Tjan Silalahi (Partai Katolik)
ini sejak awal telah menuntut pembubaran PKI. Tuntutan ini diarahkan
kepada Bung Karno, sebagai puncak piramida politik nasional. Namun
ketika Bung Karno keukeuh menolak tuntutan tersebut, maka kampanye
kemudian diarahkan langsung kepada PKI sendiri. Entah dari mana
awalnya, dimulailah aksi penumpasan PKI di daerah-daerah. Hanya
dalam waktu beberapa bulan (beberapa sejarawan menulis kekerasan ini
berlangsung selama beberapa tahun antara 1965-1969) sekitar 500.000
ribu anggota, simpatisan, dan mereka yang dianggap terkait dengan PKI
atau underbouw-nya dibinasakan. Angka 500.000 ribu korban ini
40
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
merupakan angka moderat dan titik tengah antara berbagai dugaan
jumlah korban yang dikeluarkan oleh berbagai pihak (dari yang menyebut
sekitar 78.000 hingga 3 juta jiwa). Pembinasaan ini dilakukan nyaris
tanpa perlawanan dari orang-orang PKI (kecuali di beberapa tempat
seperti Banyuwangi, Bali, Klaten dan Solo). 1 Tragedi ini sungguh
mengerikan dan merupakan tragedi kemanusiaan terbesar sepanjang
sejarah Indonesia.
Bagaimana peristiwa mengerikan ini bisa terjadi? Siapa yang
bertanggung jawab? Siapa saja yang terlibat? Mengapa mereka terlibat?
Energi apa yang bisa mendorong kekejaman sebesar itu? Siapa saja
korbannya? Semua pertanyaan-pertanyaan ini tidak pernah bisa dijawab
tuntas hingga saat ini. Tetapi dengan sedikit mengulur nalar dan ingatan,
kita bisa membuat beberapa pendekatan berdasar contoh sebagai berikut.
Di Jawa Timur, tempat terjadinya kekejaman dalam jumlah yang
paling banyak, kalangan NU, terutama Banser NU terlibat secara aktif.
Keterlibatan ini didorong oleh tiga hal:
Pertama; munculnya situasi yang menempatkan NU dan PKI
dalam posisi berseberangan sangat tajam di lapangan sejak beberapa
tahun sebelum 1965, terutama sejak PKI menggerakkan massa BTI dan
Pemuda Rakyat melakukan aksi sepihak yang ditujukan kepada para
pemilik tanah luas yang umumnya adalah tokoh-tokoh NU. Aksi –aksi
sepihak ini telah mendidihkan situasi di lapangan.
Kedua: minimnya informasi mengenai peristiwa G 30 S pada
minggu-minggu pertama setelah 1 Oktober 1965. Yang tersedia hanyalah
informasi tunggal dari koran-koran tentara. Di kalangan grass root,
berkembang banyak sekali desas-desus tentang rencana-rencana PKI
untuk membalas kekalahannya di Jakarta dengan sasaran lawan-lawan
PKI di daerah (termasuk NU). Muncul isu, bahkan edaran, tertulis tentang
daftar kiai-kiai NU yang menjadi target pembunuhan oleh PKI. Isu yang
semakin memanaskan situasi lokal ini mendorong para pimpinan NU
1
Cribb Robert, The Indonesian Killing, Pembantaian PKI Di Jawa dan Bali 1965-1966,
Matabangsa, 2003. Kesimpulan Cribb didukung oleh Teknik yang dibuat Iwan Gardono
dengan menjumlahkan semua angka pada 39 artikel/buku yang pernah mengulas/menyebutkan
jumlah korban pembantaian 1965/1966 dan membaginya dengan 39 sehingga diperoleh
angka rata-rata 430.590 jiwa. Mengenai nyaris tidak adanya perlawanan dari anggota PKI
dapat dibaca hampir pada semua dokumen, kajian dan buku-buku. Perlawanan sporadis yang
dilakukan di beberapa tempat seperti di Banyuwangi lebih merupakan aksi untuk
mempertahankan diri karena khawatir dibunuh. Aksi ofensif dari PKI terhadap lawan-lawannya
(ummat Islam dan para kiai) justru lebih banyak dilakukan saat peristiwa Madiun, 1948.
Salahuddin Wahid, Rekonsiliasi Peristiwa 1965: Pertaruhan Untuk Masa Depan Kita
41
mengambil keputusan lebih baik mendahului daripada didahului oleh
PKI.
Ketiga: dorongan aktif dari kalangan militer (TNI AD) agar NU
berperan aktif dalam operasi penumpasan PKI. Di beberapa daerah, para
tentara ini bahkan memberi contoh terlebih dahulu bagaimana teknik
menghabisi orang-orang PKI.
Tiga hal di atas menempatkan para tokoh NU dalam suasana seperti
di tengah peperangan, dibunuh atau membunuh terlebih dahulu, dan
pilihan kedua inilah yang kemudian dilakukan. Kita dapat memahami
situasi sulit yang dirasakan oleh para tokoh NU tersebut, walaupun kita
tetap tidak bisa menerima kejadian tersebut.
Adalah menarik untuk mengulas peran militer (TNI AD) dalam
minggu-minggu pertama setelah 1 Oktober 1965. Kurun waktu tersebut
agaknya menyimpan cukup banyak informasi yang hingga kini masih
samar, terutama dalam hal bagaimana kampanye melawan PKI ini mulai
dinyalakan dengan kecepatan yang luar biasa.
Salah satu yang penting adalah kekosongan informasi di kalangan
publik mengenai G 30 S setelah Pangdam Jaya memberlakukan jam
malam dan menutup semua koran (kecuali Harian Angkatan Bersenjata
dan Berita Yudha, keduanya milik tentara) selama seminggu sejak tanggal
1 Oktober 1965. Semua informasi mengenai G 30 S hanya bisa diperoleh
dari kedua koran milik TNI tersebut. Kedua koran inilah yang
meyakinkan publik bahwa PKI bersalah, bahkan menceritakan berbagai
hal sadis seperti para jenderal yang disayat-sayat dulu sebelum dibunuh
dan kemaluannya dipotong (hal yang tidak pernah dibuktikan dan
cenderung merupakan berita bohong), atau kisah tentang kebejatan
moral Gerwani seperti digambarkan sebagai berikut:
“menurut sumber yang dapat dipercaya, orang-orang Gerwani
menari-nari telanjang di depan korban mereka.......... Marilah kita
serahkan kepada kaum wanita untuk mengadili moral kewanitaan
orang-orang Gerwani, yang bermoral bejat lebih buruk dari
binatang”2
Bayangkan reaksi pembaca dari kalangan anti-PKI terhadap berita
2
Harian Angkatan Bersenjata 11 Oktober 1965 dalam Jurnal Taswirul Afkar Nomor 15
Tahun 2003
42
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
semacam itu setelah begitu lama ia merasa muak dengan tingkah laku
orang-orang PKI di dekat rumahnya.
Peran yang dimainkan kedua koran rujukan itu hampir mirip
dengan Radio Nasional Rwanda (tahun 1994) yang menyiarkan
kebencian, bahkan mendorong dan memberi instruksi kepada anggota
interahamwe (militan suku Hutu) untuk segera mengambil tindakan keras
kepada tetangganya yang bersuku Tutsi. Hasilnya, dalam 100 hari penuh
kekerasan, 800 ribu orang suku Tutsi tewas dibantai di Rwanda.3
Hermawan Sulistyo menulis bahwa pembantaian PKI tahun 1965/
1966 tidak dilakukan secara sistematis, tetapi dengan pola yang bervariasi
di tiap daerah yang didukung oleh beberapa faktor: Pertama, budaya
amuk di masyarakat. Kedua, konflik di daerah-daerah antara golongan
komunis dan non komunis. Ketiga, Keterlibatan militer yang
menggerakkan massa. Keempat, faktor provokasi oleh media massa.4
Operasi Memori Orde Baru dan Dampaknya Hingga
Saat Ini
Setelah bulan-bulan penuh kekerasan berlalu, yang berujung pada
keluarnya Surat Perintah 11 Maret, pembubaran PKI, dan akhirnya
kejatuhan Presiden Soekarno, penguasa baru—yang menyebut diri
sebagai Orde Baru—melanjutkan operasi politik dengan jalan
penangkapan dan penahanan anggota PKI yang tersisa (juga merekamereka yang menentang penguasa baru) selama bertahun-tahun tanpa
pengadilan. Hak-hak sipil dan konstitusional orang-orang ini diingkari
dan cap PKI diteruskan kepada anak cucunya yang otomatis akan
mempersulit mereka dalam membangun kembali kehidupannya. Politik
diskriminatif diberlakukan untuk eks anggota dan yang diduga sebagai
anggota PKI (dan onderbouw-nya) beserta keluarganya.
Penguasa Orde Baru juga berupaya membuat penafsiran tunggal
tentang peristiwa G 30 S yang kemudian disosialisasikan secara sistematis
melalui sekolah-sekolah dari SD hingga Perguruan Tinggi, juga melalui
jalur non formal lain seperti film-film (PPFN). PKI dinyatakan sebagai
bahaya laten yang harus diwaspadai secara terus menerus, bahkan
belakangan stigma PKI bisa dikenakan pada siapapun yang mengkritisi
3
Mark Huband, Rwanda - The Genocide dalam Hewitt, William L, Defining the Horrific
: Readings on Genocide and Holocaust in the 20th Century, Prentice Hall Published, 2003
4
Sulistyo Hermawan, Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian Massal yang
Terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966), KPG,2000.
Salahuddin Wahid, Rekonsiliasi Peristiwa 1965: Pertaruhan Untuk Masa Depan Kita
43
Orde Baru. Esensi politik diskriminatif ini sesungguhnya adalah “politik
teror”, meskipun sasaran langsungnya hanya kalangan terbatas (PKI
beserta keluarganya) namun sesungguhnya secara efektif meneror siapa
saja yang berniat melawan pemerintah.
Nampaknya politik diskriminatif Orde Baru ini juga mendapat
persetujuan—baik terang-terangan atau diam-diam—dari masyarakat.
Terbukti penolakan terhadap orang-orang bekas anggota PKI dan
keluarganya juga dilakukan secara aktif oleh masyarakat. Belakangan
istilah PKI secara konotatif digunakan masyarakat untuk menamai semua
yang jelek, yang buruk, dan yang tidak bermoral, bukan sekedar singkatan
Partai Komunis Indonesia. Ini menunjukkan bahwa politik diskriminatif
itu telah mendapat persetujuan kultural dari masyarakat. Beberapa elemen
masyarakat hingga saat ini tetap membenarkan tindakan keras yang
dilakukan saat itu. Kekejaman yang terjadi dianggap sebagai kewajaran,
bahkan keharusan sejarah yang mesti dilakukan kepada orang-orang
PKI yang tidak beragama. Situasi semacam itu tidak banyak berubah
hingga saat ini.
Sebagian besar generasi yang lahir belakangan malah sama sekali
tidak tahu kejadian pembantaian terhadap kaum komunis, karena
pelajaran sekolah dan film “Pengkhianatan G 30 S” produksi PPFN
hanya bercerita tentang pembunuhan para jenderal tanggal 30 September 1965 yang dilakukan PKI, dan tidak sedikitpun menyebut kekerasankekerasan massal yang terjadi kemudian. Mereka tidak tahu bahwa
sebenarnya lawan-lawan PKI telah membalas tindakan itu (sehingga
telah impas) dengan kekejian yang ribuan kali lipat besarnya.
Hampir seluruh peristiwa kekerasan politik di Indonesia tidak pernah
disosialisasikan kepada masyarakat sehingga tidak banyak diketahui.
Dalam pemahaman awam (yang kemudian dijustifikasi oleh rezim),
kekerasan, kerusuhan, atau pembunuhan massal dianggap sebagai aib
dan penyimpangan terhadap harmoni sosial dan harus disembunyikan.
Uniknya, meski dianggap aib, kekerasan dan kerusuhan ini terus berulang,
era demi era, rezim demi rezim. Kasus pembantaian terhadap komunis
tahun 1965/1966 hanya puncak dari kekerasan politik di Indonesia.
Sebenarnya telah terjadi hal-hal yang serupa jauh-jauh hari, misalnya
kekejaman yang dilakukan pemberontak FDR/PKI di Madiun tahun
1948 terhadap kelompok Islam (kiai), juga pembalasan yang sama
kejamnya yang dilakukan tentara (Siliwangi) terhadap gerombolan FDR/
PKI di Madiun. Semuanya tidak diketahui oleh generasi muda.
44
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
Hingga kini reaksi penolakan masyarakat terhadap PKI masih kental,
misalnya kejadian di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 2 Agustus
2005 saat sidang gugatan class action korban stigmatisasi PKI. Beberapa
elemen masyarakat, dimotori oleh Front Pembela Islam (FPI), berdemo
dan meminta hakim menghentikan persidangan tersebut.5
Bahkan dalam Rapat Komisi I DPR tanggal 25 Februari 2004 yang
membahas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pengembalian
hak konstitusional eks anggota PKI untuk menjadi caleg, pimpinan sidang
(Ibrahim Ambong) mempertanyakan “apakah dengan keputusan MK
tersebut ideologi komunis bisa berlaku kembali?”6. Juga dalam satu
kesempatan saat bertemu Pengurus Pusat Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PP PMII) tanggal 19 Maret 2003, Wapres Hamzah Haz
dengan meyakinkan menyatakan bahwa ia tidak setuju memaafkan Partai
Komunis Indonesia (PKI) yang telah melakukan kesalahan ideologis.
Rekonsiliasi nasional hanya mencakup kesalahan-kesalahan bersifat rasial
atau diskriminatif, tetapi tidak untuk kesalahan ideologis. Situasi
semacam ini memperlihatkan betapa gawatnya situasi sebagian
masyarakat kita—bahkan anggota parlemen dan mantan Wapres—yang
tidak bisa membedakan duduk persoalan. Masyarakat nampaknya bukan
hanya menolak PKI tetapi juga masih enggan menerima pengembalian
hak-hak sipil dan hak konstitusional bekas anggota PKI.
Situasi ini tidak bisa serta merta disalahkan, karena masyarakat Indonesia selama puluhan tahun telah dicekoki narasi tunggal peristiwa
G 30 S oleh rezim Orde Baru. Di sisi lain, keterlibatan aktif kalangan
anti PKI (terutama kelompok Islam) dalam operasi penumpasan PKI
pada tahun 1965-1966 telah menyebabkan kalangan ini seolah tidak
berjarak dari konflik 1965. Perasaan ini sangat merasuk di dalam sanubari
mereka.
Dengan problem sekompleks ini, seluruh upaya untuk membantah
narasi tunggal Orde Baru tentang G 30 S pasti akan menemui penolakan
yang sama kerasnya dari (sebagian) masyarakat. Perdebatan ini tidak
akan menemui hasil apapun jika bersandar hanya pada narasi. Salah
satu yang menonjol dari fenomena ini adalah penolakan keras sejumlah
tokoh Islam (dipimpin KH. Yusuf Hasyim) terhadap dihapuskannya
Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam kurikulum sejarah 2004.
5
6
Kompas, 3 Agustus 2005
Kompas, 26 Pebruari 2005
Salahuddin Wahid, Rekonsiliasi Peristiwa 1965: Pertaruhan Untuk Masa Depan Kita
45
Dari semua rangkaian peristiwa dan fenomena di atas, kita dapat
menyimpulkan bahwa pelurusan sejarah dan penyembuhan luka bangsa
akibat geger 1965 tidak cukup hanya dilakukan dengan perubahan narasi
sejarah. Sejarah adalah menyangkut manusia dan manusia bukanlah
sekedar narasi.
Dalam tulisan saya di Harian Kompas, saya menyebut bahwa
pengalaman hidup dan keyakinan sesorang amat menentukan sikapnya
terhadap pilihan (narasi) peristiwa 19657. Saya sendiri mempercayai fakta
persidangan Mahmilub lebih kuat dan meyakinkan, bahwa PKI berada
di belakang G 30 S. Sedangkan pihak yang lebih mempercayai G 30 S
adalah urusan TNI AD tentu punya pengalaman dan keyakinan berbeda.
Namun sesungguhnya lebih jauh dari itu, siapapun (termasuk saya) akan
lebih menyukai visi ideal yaitu sebuah pengungkapan tuntas berdasar
fakta-fakta yang jauh lebih kuat dan lebih obyektif dibandingkan
pengalaman hidup maupun keyakinan subyektif kita sendiri.
Pertanyaannya adalah mungkinkah itu bisa dilakukan saat ini?
Mengapa Peristiwa 1965 Menjadi Sangat Penting Untuk
Bangsa Saat Ini?
Di luar pro-kontra tentang narasi konflik 1965, terdapat pertanyaan
mendasar yaitu: mengapa kita harus mengingat kembali peristiwa 1965?
Apa manfaatnya bagi perjalanan bangsa Indonesia hari ini dan ke depan?
Pertanyaan ini harus dijawab terlebih dahulu karena masih ada
komponen bangsa kita yang menganggap peristiwa itu tidak bermanfaat
dan tidak perlu diungkap lagi. Juga ada yang berpandangan yang selaras
dengan filosofi Jawa “mikul dhuwur mendhem jero”, yang maknanya:
sebaiknya kita lupakan dan kita maafkan seandainya ada kesalahan di
masa lalu.
Sebagai sebuah bangsa yang menghargai kemanusiaan dan bertekad
untuk terus berkembang menjadi bangsa yang maju dan bermartabat,
sejarah menjadi sangat penting untuk berkaca, mengambil pelajaran
daripadanya untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan. Dalam
konteks ini, peristiwa geger 1965 menjadi sangat penting karena:
·
Peristiwa tersebut telah melahirkan tragedi kemanusiaan yang sangat
besar, bahkan untuk ukuran dunia. Belum pernah bangsa Indonesia mengalami dan menyaksikan kekejaman sebesar itu. Mempelajari
7
Kompas, 1Oktober 2004
46
·
·
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
dan mengingat peristiwa 1965 bukan berarti untuk mencari-cari
masalah, tetapi justru dalam rangka mencegah peristiwa semacam
tidak terjadi lagi di masa depan.
Peristiwa 1965 juga telah menimbulkan dampak nyata pada kondisi
sosio-psikologis masyarakat Indonesia hingga saat ini. Misalnya
adalah fenomena social distrust, budaya ketakutan (fear culture)
kepada penguasa, dan mudahnya kekerasan (amok) digunakan
untuk menyelesaikan setiap problem. Peristiwa 1965 memberi
kontribusi lahirnya tiga penyakit sosial tersebut yang hingga saat ini
masih kita rasakan dan mengancam masa depan kita. Kebijakan
Orde Baru membangun sekat-sekat psikologis antar komponen
masyarakat telah dimulai melalui cara penanganannya yang tidak
bertanggung jawab terhadap peristiwa 1965.
peristiwa 1965 penting karena menandai hilangnya modal sosial
(Social Capital) kita sebagai sebuah bangsa. Padahal modal sosial
adalah prasyarat yang dibutuhkan untuk menopang kemajuan
sebuah bangsa, pembangunan tidak dapat membentuk hasil yang
diinginkan tanpa modal sosial yang cukup. Beberapa poin penting
dari modal sosial adalah hadirnya kehidupan demokratis dan
kepercayaan pada hukum. Dalam kondisi bangsa kita hari ini yang
terus kehilangan modal sosial, adalah penting menyimak kembali
peristiwa 1965.
Demi terciptanya masa depan yang lebih baik, lebih manusiawi,
dan lebih bermartabat, mau tidak mau, sepahit apapun, peristiwa 1965
harus diungkap tuntas. Pengungkapan ini tidak ditujukan demi masa
lalu atau masa kini, tetapi justru untuk masa depan. Kejahatan-kejahatan
dan tragedi kemanusiaan yang terjadi saat itu harus dimaafkan, tetapi
jangan sampai dilupakan (forgiven but not forgotten), karena melupakan
adalah pintu menuju ketidaksadaran dan kealpaan. Agar tidak terlupakan,
peristiwa itu harus diperjelas, harus dipahami, dan harus diurai benang
kusutnya untuk diketahui apa sesungguhnya yang telah terjadi.
Namun pengungkapan tersebut jangan sampai keluar dari maksud
dan tujuan yang sebenarnya, yaitu mencari kebenaran dan menarik
pelajaran darinya. Pengungkapan ini sama sekali tiada artinya jika
dipersepsi sebagai alat untuk balas dendam, pengkambinghitaman, dan
menyalahkan satu sama lain. Persepsi semacam ini masih dirasakan oleh
pihak-pihak terkait hingga sekarang, yang kemudian memunculkan sikap
Salahuddin Wahid, Rekonsiliasi Peristiwa 1965: Pertaruhan Untuk Masa Depan Kita
47
saling membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Eks PKI
menyalahkan Orde baru dan para pendukungnya, orang Islam
menyalahkan eks PKI dan seterusnya.
Dengan demikian hal mendasar yang harus dikerjakan adalah
bagaimana melaksanakan pekerjaan pengungkapan ini agar tidak keluar
dari relnya? Apa syarat-syaratnya? Siapa saja yang harus terlibat di
dalamnya dan sebagainya. Polemik tak berkesudahan tentang narasi
peristiwa 1965 yang terjadi semenjak era reformasi menunjukkan bahwa
cara ini tidak akan menghasilkan manfaat besar jika tidak dilambari
dengan pekerjaan lain yang sinergis.
Terdapat 3 (tiga) aspek mendasar yang dapat kita pilah dari peristiwa
G 30 S besarta dampak-dampaknya, yaitu aspek kemanusiaan, aspek
ajaran, dan aspek politik. Aspek kedua dan ketiga (ajaran dan politik)
nampaknya masih harus menunggu waktu lebih lama lagi terkait dengan
belum siapnya masyarakat kita menerima kehadiran komunisme sebagai
ajaran. Secara kepartaian, sebagian besar masyarakat kita menolak
hidupnya kembali PKI. Yang paling mungkin untuk dituntaskan adalah
aspek kemanusiaan, yaitu mewujudkan rekonsiliasi antara mantan korban
dan tapol 1965 plus keluarganya dengan masyarakat, baik secara yuridis
maupun kultural.
Hingga saat ini, masih terjadi kesimpangsiuran pemahaman di
kalangan masyarakat mengenai kejahatan kemanusiaan dalam peristiwa
1965? Siapa yang melakukan kejahatan dan siapa korbannya? Siapa yang
harus diselamatkan terlebih dahulu? Siapa yang harus dimaafkan? Dan
seterusnya. Dalam pemahaman saya (sebagaimana tergambar di atas)
umumnya para korban dalam pembunuhan massal di Jawa Timur, Jawa
Tengah, dan Bali adalah para anggota atau yang dianggap sebagai
anggota PKI (plus onderbouw-nya). Tetapi banyak kalangan
mempercayai bahwa anggota PKI adalah pelaku kejahatan, dan orang
Islam adalah korbannya. Dalam satu acara silaturahim Kepala Dinas
Penerangan TNI AD (Kadispenad) dengan kalangan media massa di
Mabes TNI AD, dinyatakan bahwa TNI AD telah “memaafkan” seluruh
mantan anggota PKI yang terlibat pemberontakan pada masa lampau.
Hal yang sama mungkin akan kita dengar dari eks tapol, bahwa mereka
telah memaafkan mereka-mereka yang telah terlibat dalam kekerasan
1965 (TNI dan sebagian kalangan Islam).
Hermawan Sulistyo menulis sangat baik tentang faktor ingatan,
bahwa seseorang yang ditahan selama bertahun-tahun (karena persoalan
48
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
politik) akan memiliki kecenderungan untuk meyakinkan dirinya sendiri
bahwa dirinya benar-benar tidak bersalah. Padahal dia mungkin bersalah.
Begitu pula sebaliknya. Mereka yang menang dalam pertarungan politik
1965 berusaha meyakinkan dirinya bahwa mereka berada di pihak yang
benar. Padahal belum tentu kenyataannya begitu. Di sinilah pentingnya
mencari kaitan kemanusiaan dan pemaafan dengan pengungkapan
kebenaran. Dengan kata lain, pemaafan hanya akan bermakna dan
bersifat memberi pembelajaran bila diawali dengan terpampangnya
kebenaran.
K Bertens (mengutip filsuf Perancis Paul Ricoeur) menyebutkan
bahwa pengampunan mengambil posisi di tengah antara mengingat dan
melupakan. Baik mengingat maupun melupakan selalu perlu untuk
mencapai pengampunan. Jika seseorang mengambil posisi mengampuni
dengan melupakan, maka yang ia lupakan bukanlah kejahatan sebagai
sebuah fakta, tetapi ia melupakannya sebagai beban moral. Ia sanggup
berdamai dengan fakta itu. Melupakan kejahatan sebagai beban moral
adalah melupakan yang membebaskan, sedangkan melupakan kejahatan
sebagai fakta adalah melupakan yang melarikan diri. Tidak ada
seorangpun dapat “melupakan” dengan jalan melarikan diri, kecuali ia
hendak menipu dirinya sendiri.8
Komisi Kebenaran
Relevan?
dan
Rekonsiliasi:
Masihkah
Pada tanggal 7 September 2004, DPR menyetujui RUU Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) menjadi Undang-undang No. 27/
2004. Aturan KKR ini berlaku untuk semua kejahatan berat HAM di
masa lalu terhitung sejak NKRI berdiri, yaitu 17 Agustus 1945. Proses
legislasi yang sangat lambat ini—karena tuntutan dan RUU sudah
diajukan sejak beberapa tahun sebelumnya—hanya dihadiri oleh sekitar
150 anggota DPR. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya perhatian
para wakil rakyat terhadap KKR.9
Lemahnya perhatian ini juga ditunjukkan oleh kalangan eksekuti
(Presiden SBY) yang hingga saat ini (23 Nopember 2005) masih juga
belum menentukan 21 anggota KKR dari 42 nama calon anggota KKR
yang telah diserahkan oleh Panita Seleksi Anggota KKR kepada Presiden
8
9
K Bertens, Ricoeur tentang Mengampuni, Harian Suara Pembaruan, 22 Oktober 2005
Danusubroto Sidarto, Bicara Dengan Sejarah Damai Melalui Rekonsiliasi, Maret 2005
Salahuddin Wahid, Rekonsiliasi Peristiwa 1965: Pertaruhan Untuk Masa Depan Kita
49
beberapa bulan yang lalu. Padahal dalam ketentuan UU No.27/2004,
komisi ini seharusnya telah terbentuk paling lambat 6 April 2005.
Selain itu, banyak kalangan mempertanyakan (mengkritik) substansi
UU KKR yang dikatakan lebih cenderung memihak pada para pelaku
(daripada korban). Kalangan ini juga telah mengajukan judicial review
terhadap UU KKR. Padahal empati kepada korban adalah esensi utama
dari KKR. Terdapat kecenderungan untuk lebih memprioritaskan
pemaafan dan pengampunan, bahkan di atas kepentingan pengungkapan
kebenaran. Jika kebenaran tak terungkap dan para pelakunya tak bisa
disentuh, mungkinkah korban akan “memaafkan sesuatu yang tidak bisa
dihukum?”.10
Berbagai hambatan dan kelemahan di atas menyebabkan sejumlah
kalangan mulai sangsi apakah KKR dapat mencapai tujuan asasinya,
yakni mengungkap kebenaran dan menciptakan rekonsiliasi di antara
para pelaku dan korban beserta keluarganya.
Bagi saya sendiri, pesimisme itu masuk di akal, tetapi jangan menjadi
satu-satunya cara pandang dan sikap kita. Optimisme harus dimunculkan
meski berada dalam celah sekecil apapun. Jangan sampai pesimisme itu
menjadikan kita tidak berbuat apa-apa dan hanya mengembangkan
sinisme kita terhadap berbagai persoalan. Bangsa ini tidak akan besar
dengan bekal cacian, makian, sinisme dan pesimisme. Dalam
pemahaman saya, hasil akhir dari keseluruhan proses rekonsiliasi ini
hanya dapat kita peroleh secara bertahap, setapak demi setapak, dan KKR
dapat menjadi awalnya. Setidaknya, KKR Indonesia (meminjam istilah
Fadjroel Rachman) mampu melahirkan Nunca Mas Indonesia. Nunca
Mas (dokumen hasil KKR Argentina) menjadi dokumen yang sangat
berpengaruh, meskipun KKR Argentina nyaris tidak menghasilkan
apapun.
Pengungkapan Kebenaran, Mulailah Dari yang Kecil
Saya menangkap kesan bahwa para pencari kebenaran peristiwa 1965
yang terdiri dari para intelektual dan aktivis terlalu terobsesi dengan
pengungkapan narasi besar G 30 S. Peristiwa 1965 seolah-olah akan
mampu diungkap secara keseluruhan ketika ditemukan dalang tunggal
yang bersifat nasional (atau bahkan internasional, seperti CIA) dibalik
peristiwa 30 September 1965 di Lubang Buaya. Sikap ini tidak salah,
10
Bronkhorst Daan, Menguak Masa Lalu Merenda Masa Depan, Elsam, 2002
50
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
tetapi juga terbukti menguras energi dan mendapatkan perlawanan sengit
dari yang tidak sepaham.
Dalam pemahaman saya, selain narasi besar tersebut, juga terdapat
narasi-narasi kecil, yakni persitiwa-peristiwa dalam lingkup kecil (di
daerah-daerah) yang masuk dalam rangkaian gelombang kekerasan 1965.
Mengangkat dan mengedepankan peristiwa-peristiwa kecil itu dalam
hemat saya akan banyak membantu penyingkapan kebenaran dari bawah.
Sisi penting yang lain dari model ini adalah bagaimana kita dapat
menyertakan para pelaku lokal, korban lokal dan masyarakat lokal dalam
menyembuhkan luka-luka mereka sendiri. Dalam amatan sekilas saya,
justru kalangan yang bereaksi sangat keras terhadap pengungkapan narasi
banding G 30 S umumnya bukan dari kalangan yang memiliki kaitan
erat dengan peristiwa 1965 (kecuali KH Yusuf Hasyim tentunya). Di
sinilah letak ketidakefektifannya.
Saya terkesan dengan model penyelenggaraan KKR di Afrika Selatan
yang bergerak (mobile) dari satu kota ke kota yang lain, dari satu kampung
ke perkampungan lain, mengusut satu kejahatan kemanusiaan di masa
lalu berbasis kasus-kasus lokal. Para pelaku yang terjaring (lalu membuat
pengakuan, dinyatakan bersalah dan akhirnya dimaafkan) umumnya
orang kulit putih, dengan saksi-saksi para tetangganya sendiri yang
berkulit hitam. Namun terkadang juga ditemukan masalah dimana
pelakunya adalah kulit hitam dengan korban kulit putih. Proses semacam
ini saya bayangkan dapat dilakukan oleh KKR Indonesia di masa depan.
Mungkin dengan cara ini kelak dapat dihitung berapa jumlah kiai yang
telah dibunuh atau disiksa oleh PKI pada tahun-tahun 1960-an, sehingga
dapat meluruskan pandangan ummat Islam apa yang sesungguhnya telah
terjadi pada tahun 1965. Fakta yang sahih dan obyektif dalam kacamata
saya jauh lebih penting dibanding sekedar pemahaman dan keyakinan
subyektif kita.
Kendala yang Sudah Terbayang
Meski belum dimulai, kiranya dapat dibayangkan kendala-kendala
yang kelak akan ditemui KKR Indonesia. Beberapa di antaranya dapat
disebutkan sebagai berikut:
Sekat dan perlawanan ideologis, yang berasal dari pemahaman
ideologis yang kuat dan kesadaran ideologis yang tidak mau
berkompromi dengan kemanusiaan. Hingga saat ini masih banyak
kalangan Islam yang menganggap pemusnahan orang PKI tahun
Salahuddin Wahid, Rekonsiliasi Peristiwa 1965: Pertaruhan Untuk Masa Depan Kita
51
1965 merupakan panggilan jihad dan tugas sejarah. Berharap
kalangan ini mau mengakui kesalahan terhadap kemanusiaan dalam
konteks peristiwa itu adalah sangat berat. Dalam beberapa kasus di
daerah, kalangan umat Islam hanya bersedia menerima kembali
bekas pengikut komunis jika yang bersangkutan dianggap telah
bertobat, kembali ke jalan yang lurus, menjadi muslim yang baik,
seolah-olah menjadi komunis adalah satu kesalahan tak termaafkan.
Sekat psikologis, yang berasal dari budaya ketimuran yakni
budaya dan rasa malu (shame culture) yang jauh lebih besar jika
seseorang (apalagi seorang tokoh) dianggap bersalah dalam satu
peristiwa. Rasa malu ini akan mendorong para tokoh pelaku akan
menolak dan menyangkal perbuatan yang telah dilakukan, atau
melakukan segala cara untuk menolak upaya pengusutan kebenaran.
Di sisi lain, dendam juga dapat lebih memotivasi para korban atau
keluarganya daripada untuk memaafkan. Dua hal ini harus
diwaspadai.
Minimnya bukti-bukti, yang bersumber dari kebijakan Orde Baru
mengubur rapat-rapat seluruh peristiwa yang terjadi tahun 1965.
Peristiwa ini sendiri telah berusia 40 tahun dan dokumen-dokumen,
saksi, atau bukti belum tentu dapat ditemukan dengan mudah. Dapat
dibayangkan seandainya kuburan orang-orang yang terbunuh
ternyata tidak dapat ditemukan.
Kurangnya kerjasama publik yang terkait, yang bersumber
dari ketidakpercayaan mereka akan manfaat KKR. Para pihak yang
terkait dengan pelaku enggan membuat penyaksian dan pengakuan
karena dianggap hanya akan menyudutkan dan mempersulit mereka.
Sementara para korban dan keluarganya emoh bersaksi karena
melihat KKR hanya akan menuntungkan para pelaku, dan
seterusnya.
Minimnya dukungan publik luas, yang menganggap KKR tidak
memiliki arti dan manfaat apapun bagi bangsa kita.
Keterbatasan waktu, yang berasal dari keterlambatan
pemberlakukan KKR dan keterbatasan masa kerja KKR yang tidak
akan sebanding dengan luasnya peristiwa yang terjadi.
Terhadap kemungkinan-kemungkinan kendala tersebut, harus
didapatkan jalan keluar yang elegan dan dapat meminimalisir kendala,
52
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
seperti sosialisasi yang cukup, dukungan kuat dari negara, dan perangkat
pengusutan yang lebih memadai.
Fenomena Syarikat Indonesia Sebagai Wujud Partisipasi
Kultural
KKR di Afrika Selatan yang dianggap berhasil dan diacu oleh Indonesia ternyata juga memiliki berbagai kegagalan, misalnya kasus yang
berhasil diungkap dan dipecahkan solusinya ternyata tidak lebih dari
20% dari keseluruhan kasus yang terdaftar. Dalam hal KKR Indonesia—tanpa harus bersifat pesimis—angka keberhasilannya kemungkinan
besar akan di bawah angka tersebut. Hal ini disebabkan besarnya potensi
kendala yang terdapat di Indonesia serta minimnya momentum yang
dimiliki.
Dari sinilah patut dipikirkan jalur lain yang dapat menopang
pelaksanaan KKR yang secara formal akan lebih cenderung bersifat
yuridis. Jalur itu adalah jalur kultural, yakni pelaksanaan KKR secara
swadaya oleh dan dari masyarakat sendiri yang lebih menekankan diri
pada penghancuran sekat-sekat kultural dan psikologis di antara warga
masyarakat. Target ini lebih realistis dan lebih masuk akal untuk
dilaksanakan di tengah masyarakat kita yang masih belum siap. Upaya
ini juga dapat menjadi penopang KKR versi negara yang hendak
diberlakukan. Jika KKR lebih bersifat top-down, maka rekonsiliasi
kultural ini akan bersifat bottom-up. Jika keduanya dapat dilakukan
dengan baik, maka pada satu ketika akan dapat bertemu di tengah.
Penghancuran sekat-sekat kultural dan psikologis, merupakan hal
yang paling urgen dan agenda utama saat ini. Hal ini dikarenakan
peristiwa 1965 telah “dibenamkan” sangat dalam dan sangat lama dalam
lumpur sejarah. Narasi tunggal mengenai peristiwa 1965 yang
dikampanyekan oleh rezim Orde Baru telah mendapatkan legitimasi
kultural yang sangat luas dari masyarakat. Celakanya lagi, banyaknya
kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat dalam kekerasan massal
yang menyertai peristiwa 1965 tentunya tidak bersedia begitu saja
menerima hal baru yang dapat menyudutkan mereka.
Sebaliknya, anak-anak muda yang kritis (generasi 1998) cenderung
akan menyalahkan apapun yang berbau Orde Baru. Pada titik ekstrim
lain, anak-anak muda ini juga akan cenderung berkawan dengan apapun
yang dimusuhi oleh Orde Baru (termasuk PKI). Inilah yang
membahayakan. Diperlukan jalan tengah yang cukup moderat yang
Salahuddin Wahid, Rekonsiliasi Peristiwa 1965: Pertaruhan Untuk Masa Depan Kita
53
dapat menjembatani kesenjangan kultural dan psikologis antar dua sisi
ekstrim.
Salah satu model rekonsiliasi kultural telah dimulai oleh anak-anak
muda NU yang tergabung Syarikat Indonesia, LSM yang aktif
mempromosikan rekonsiliasi di akar rumput. Anak-anak muda ini
sebagian besar belum lahir saat G 30 S meletus, sebagian yang lain sangat
mungkin adalah anak-anak “para pelaku” dalam kekerasan 1965.11
Mereka sangat menyadari ketidaksiapan masyarakat secara kultural dan
psikologis menyangkut peristiwa 1965.12 Rekonsiliasi dalam makna
apapun sangat sulit diwujudkan tanpa penghancuran terlebih dahulu
sekat-sekat tersebut.
Syarikat aktif menurunkan anggota dan volunteernya ke berbagai
daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah, bertatap muka dan berdialog
baik dengan korban plus keluarganya, maupun dengan “para pelaku”.
Pada tahap lebih lanjut, mereka juga berupaya mempertemukan korban
dan pelaku ini dalam satu forum yang bersahabat, hanya untuk sharing
ingatan dan pengalaman. Hasil dari pendekatan ini tentu tidak bisa
diharap dalam waktu yang singkat. Namun upaya ini dapat melambari
pekerjaan besar yang lain, yaitu rekonsiliasi.
Rekonsiliasi sangat membutuhkan kerjasama setiap pihak yang
terkait. Kerjasama ini sangat penting artinya bagi kesuksesan rekonsiliasi.
Bagaimana kita mau memulai rekonsiliasi bila para korban masih enggan
dan merasa ketakutan (trauma), padahal kesaksian mereka sangat penting
artinya di tengah minimnya alat-alat bukti. Di sisi lain, mana mungkin
rekonsiliasi dapat berlangsung bila para pelaku masih enggan, merasa
hanya akan dipermalukan di depan orang banyak, padahal pengakuan
mereka menjadi hal yang sangat penting demi terbentuknya kebenaran.
Syarikat telah melakukan pekerjaan pendahuluan untuk menyiapkan
kerjasama semua pihak tersebut.
Saya memiliki kepercayaan yang kuat bahwa KKR versi negara
akan sangat membutuhkan dukungan KKR versi masyarakat (seperti
11
Maria Hartiningsih menulis dalam Opini Kompas, 1 Oktobr 2005 tentang lika-liku
aktivitas para aktivis Syarikat dan respon keluarganya. Ia menceritakan tentang satu aktivis di
Kebumen Jawa Tengah yang menemukan bekas guru ayahnya yang komunis yang saat
penangkapannya melibatkan ayah sang aktivis. Juga tentang aktivis Syarikat di Pasuruan Jawa
Timur yang menemui fakta bahwa almarhum ayahnya di masa lalu adalah salah satu pelaku
aksi pembantaian komunis, aktivis itu pun diultimatum oleh keluarganya sendiri, kalau tetap
nekad mau melanjutkan aktivitasnya di Syarikat ia harus keluar dari rumah (diusir).
12
Budiawan, Mematahkam Pewarisan Ingatan, Elsam, 2004
54
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
yang dilakukan Syarikat). Bahkan menurut saya, seandainya kelak KKR
negara telah terbentuk dan memulai pekerjaannya, maka kasus-kasus
terkait peristiwa 1965 pada daerah-daerah tertentu yang telah ditangani
Syarikat akan lebih mudah diungkapkan kebenarannya dari pada daerahdaerah atau kasus lain.
Peran Pendidikan Generasi Muda
Di luar pendekatan rekonsiliasi, upaya kita untuk mengambil
pelajaran dari masa lalu untuk dijadikan penyuluh masa depan, juga
harus dilakukan melalui pendidikan. Demikian strategisnya peran
pendidikan ini menyebabkan saya harus mengatakan secara ekstrim:
“lebih baik kita berbohong di semua tempat, tetapi jangan sampai itu
kita lakukan di dunia pendidikan”. Sebab di sanalah masa depan kita
berada, melalui anak-anak dan cucu kita. Anak-anak dan pemuda yang
dididik dengan kebohongan akan melahirkan generasi pembohong dan
akan diwariskannya kepada generasi kemudian. Karenanya, dunia
pendidikan harus kita bersihkan dari semua kebohongan. Dalam konteks
pembelajaran sejarah bangsa, kebohongan dapat terjadi manakala semua
dari kita memasukkan agenda politik ke dalam kurikulum pendidikan.
Pada masa Orde Baru, pendidikan sejarah yang terkait dengan
peristiwa G 30 S adalah sebuah pembenaran politik pemerintah. Sekalipun
di dalamnya barangkali terdapat beberapa fakta yang benar (saya
meyakini demikian) namun sosialisasi yang berlebihan dan bersifat
dipaksakan justru menandakan kita sendiri tidak yakin dengan
kebenarannya. Kebenaran yang dipaksakan justru menjadi pembenaran,
yang bisa jadi malah salah.
Terkait dengan pembelajaran sejarah mengenai peristiwa G 30 S di
era reformasi telah dilakukan berbagai perubahan, salah satunya
kurikulum sejarah 2004 yang sama sekali tidak memasukkan PKI dalam
peristiwa G 30 S. Kurikulum ini mendapat kritikan keras dari berbagai
kalangan, terutama para tokoh anti-PKI. Kritik ini juga disambut antusias
oleh kalangan parlemen, hingga mempertanyakan: “siapa yag
bertanggung jawab atas penghilangan PKI dari peristiwa G 30 S dalam
buku-buku sejarah?”.
Kritikan semacam ini menurut saya wajar. Sebuah pembelokan
mendadak atas kesimpulan sejarah yang tadinya selalu ditulis dengan
tegas dalam ungkapan G 30 S/PKI, kemudian dihilangkan begitu saja
PKI-nya tanpa melalui kajian yang matang dan final pasti akan memicu
Salahuddin Wahid, Rekonsiliasi Peristiwa 1965: Pertaruhan Untuk Masa Depan Kita
55
reaksi. Para penyusun kurikulum dan penulis buku sejarah harus sadar
bahwa persoalan buku-suku sekolah (sekalipun untuk anak SD) adalah
hal yang cukup sensitif. Dalam kasus luar negeri yang hampir mirip,
sebuah buku sejarah untuk anak SD di Jepang dapat menimbulkan
demonstrasi besar-besaran di Cina dan Korea.
Namun di sisi lain, saya pun ingin mengkritik para pengkritik yang
hanya sibuk mempersoalkan ada dan tiadanya “PKI” di belakang
rangkaian peristiwa G 30 S tanpa mau memahami betapa minimnya
peristiwa 1965 telah diajarkan. Sikap pengkritik ini menurut saya sangat
mudah dimasuki agenda-agenda politik kelompok-kelompok tertentu
yang memang tidak suka dengan bangkitnya kembali PKI.
Banyak kaum bijak mengatakan bahwa sejarah selalu ditulis pihak
yang menang. Namun dalam rangka terbangunnya rekonsiliasi, kita
semua harus mengurangi potensi tersebut sehingga generasi mendatang
lebih memiliki kearifan dibanding kita.
Terkait dengan penulisan sejarah peristiwa 1965, saya memiliki
usulan kongkrit yang barangkali dapat dipertimbangkan untuk
penyempurnaan penulisan kurikulum menadatang. Di antaranya adalah:
1. Materi sejarah peristiwa 1965 harus lebih mengutamakan aspek
humanisme dan meninggalkan stereotype benar salah secara hitam
putih.
2. Materi sejarah peristiwa 1965 harus menyebutkan tentang
pembunuhan massal dan kekerasan yang terjadi pada tahun 1965/
1969, termasuk siapa korbannya dan siapa pelakunya. Rasa malu
untuk mengakui peristiwa keji tersebut harus dikalahkan demi
terbentuknya pemahaman sejarah yang lebih baik dan apresiasi
kemanusiaan yang lebih utuh. Sebab manusia secara fitrah adalah
sama terhormat, tidak peduli apakah mereka itu jenderal TNI AD
atau sekadar rakyat buruh-tani, tidak peduli apakah mereka
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan dengan segala kebesaran
musium dan dioramanya, atau sekadar tulang terserak tanpa tanda
pengenal.
3. Materi sejarah peristiwa 1965, khususnya pembahasan mengenai
siapa dalang G 30 S harus memasukkan semua versi yang beredar
di masayarakat saat ini. Sejarawan Asvi Warman Adam
menyarankan agar penulisan itu harus mencakup “trilogi tragedi
1965”13 yang beranjak dari pidato pertanggungjawaban Presiden
13
Asvi Warman Adam, Kompas 29 September 2003
56
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
Soekarno di hadapan MPRS. Trilogi itu adalah: Keblingernya
pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI), Adanya subversi
neokolinialisme (CIA atau AS), dan Adanya oknum-oknum yang
tidak bertanggung jawab (Tentara dan Soeharto). Menurut saya,
pendapat Asvi tersebut harus ditambah satu lagi unsur lagi yaitu
Soekarno sendiri, seluruhnya menjadi 4 (empat) kemungkinan
dalang G 30 S (Tetralogi tragedi 1965). Penulisan keempat versi
tersebut bukan untuk membingungkan para pelajar, tetapi justru
memberi ruang kepada mereka untuk mengapresiasi peristiwa
tersebut tanpa campur tangan kita. Apalagi hingga saat ini belum
ada versi tunggal yang dapat dipercaya semua komponen bangsa,
biarlah waktu yang akan menentukannya kelak.
Faktor pendidikan lain di luar kurikulum sejarah menyangkut
peristiwa 1965 adalah dalam hal cara kita memperingati hari 1 Oktober
sebagai tragedi nasional. Pada masa Orde Baru, peristiwa tersebut
dikenang secara berlebihan dengan sebutan mentereng “Hari Kesaktian
Pancasila”, bahkan dapat menghentikan semua tayangan TV hanya
untuk pemutaran film “Pengkhinatan G 30 S”. Sementara pemerintahanpemerintahan di era reformasi cenderung menyikapinya sesukanya,
kadang dilakukan, kadang diabaikan.
Menurut saya, apapun penafsiran kita terhadap peristiwa 1965,
rasanya semua orang sepakat menyebut peristiwa tersebut sebagai tragedi
kemanusiaan. Adalah lebih baik untuk memperingati tanggal tersebut
dengan titik tekan pada masalah kemanusiaan dan penghormatan
terhadap pluralisme, misalnya dengan cara ikrar bersama untuk
membangun perdamaian dan menghormati keragaman yang diikuti
semua komponen kebangsaan. Ikrar ini dapat diperingati setiap tahun
dengan semakin banyak peserta akan lebih baik.
Bagi saya sendiri yang memiliki keyakinan bahwa PKI berada di
balik peristiwa 1965, kebenaran faktual tetap merupakan hal yang lebih
penting dibanding sekedar egoisme intelektual atau keyakinan subyektif
kita. Apalagi bila upaya menuju kebenaran faktual itu ditujukan dalam
rangka mencipta suatu rekonsiliasi nasional. Saya yakin banyak orang
yang berpendapat seperti saya, meski tidak (belum) bersedia
mengungkapkannya.
***
JJ. Kusni, Menoleh ke Belakang Melirik Esok
57
MEN
OLEH KE BEL
AKAN
G
MENOLEH
BELAKAN
AKANG
MELIRIK ESOK
Catatan Seorang Anggota Lekra Tentang Beberapa
Soal-Sastra-Seni di Indonesia
JJ. Kusni
PENDAHULUAN:
Menoleh ke belakang dari mana dan sebagai apa-siapa? Kemudian
untuk apa? Inilah beberapa pertanyaan yang ingin saya bicarakan.
Pertanyaan ‘menoleh ke belakang dari mana’ tentu saja
jawabannya akan sangat mudah yaitu dari hari ini, sebagai ruang dan
waktu di mana saya hidup dan masih hidup, demi kehidupan di ruang
dan waktu hari ini serta barangkali mempunyai manfaat untuk esok.
Penolehan ke belakang melirik esok dari hari ini, saya lakukan atas
dasar perhitungan bahwa tiga periode waktu dan ruang itu tidak bisa
dipisahkan tapi saling kait mengait, sangkut-menyangkut, mempunyai
saling hubungan yang dialektis. Masa silam mempengaruhi hari ini
dan yang terjadi hari ini berdampak pada esok serta hari-hari dijelang.
Barangkali oleh adanya hubungan dialektis demikian maka ilmu
sejarah dan berbagai cabang ilmu-ilmu sosial lainnya sering
memperlihatkan diri sebagai ajang perlagaan sengit berbagai
kepentingan politik yang merupakan pencerminan terpusat berbagai
kepentingan terutama kepentingan ekonomi. Netralitas ilmu-ilmu sosial
akhirnya sangat nisbi dan sering mengecohkan orang sering dijajakan
sebagai ujud netralitas ilmu atau yang dianggap sebagai ilmu. Demikian
juga halnya dengan penelitian dan yang disebut penelitian. Sebagai
contoh bagaimana sebuah universitas di Perancis telah meloloskan
seorang mahasiswa dengan gelar doktor dengan tesisnya yang
meragukan adanya kamar-kamar gas di mana orang-orang Yahudi
telah dimasakre oleh Nazi Hitler. Tesis ini ditulis oleh seorang
mahasiswa program doktor, anggota Front Nasional Perancis, yang
58
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
berkecenderungan neo-nazi. Lepas dari adanya permasalahan dengan
ide ‘pelurusan sejarah’, saya kira adanya ide ‘pelurusan sejarah’ ini
pun juga menunjukkan betapa sejarah di negeri kita juga sudah menjadi
ajang pergelutan kepentingan politik.
Menoleh ke belakang dalam usaha memanfaatkan pengalamanpengalaman entah yang baik atau pun yang buruk akan menjadi
bermanfaat jika dilakukan tanpa emosi dan tidak lagi dilakukan
sebagai partisan, setidak-tidaknya dilakukan secara maksimal untuk
membebaskan diri dari ikatan seorang partisan. Sehingga dengan
demikian sanggup mengatakan bahwa yang putih adalah putih, hitam
adalah hitam, tuntutan dasar bagi seorang sastrawan sebagai pemikir
bebas [free thinker], dan juga bagi mereka yang merasa diri sebagai
ilmuwan sosial. Syarat melihat masa silam begini lebih terbantu oleh
sudah adanya jarak dengan kejadi atau perisrtiwa atau katakanlah
sebagai data. Hanya sayangnya, sampai sekarang, termasuk di dunia
sastra, masih terdapat sikap prasangka sejarah, apriorisme yang anti
ilmu, serta masih sukarela membelenggukan diri pada partisinisme
yang merabunkan pandang sehingga untuk duduk semeja
membicarakan masa lalu sebagai kenyataan untuk kepentingan hari
ini saja masih tidak bisa padahal waktu sudah berlalu lebih dari
tigawarsa. Yang remaja ti tahun 60-an, sekarang sudah berambut
warna dua, mulai ompong, bongkok dan ringkih secara fisik. Wajah
pun sudah penuh kerat-kerut yang membuat saya teringat akan ayah
almarhum yang mengatakan bahwa “tidak gampang menjadi
dewasa”. Atau barangkali setelah kita menjadi uzur, kita kembali
menjadi kanak? Kanak yang bukan lagi didominasi nalar tapi emosi
seperti dendam dan sejenisnya.
Keadaan inilah yang disebut oleh alm.Satyagrahara Hoerip sebagai
“senda-gurau” dan almarhum menyerukan agar para sastrawan
“berhentilah bergurau” yang kupahami agar para sastrawan bersikap
serius dalam hal-hal yang serius dan tak layak dicandai.
Sebagai apa-siapa saya melihat masa silam? Periode mana yang saya
maksudkan dengan masa silam itu sekarang?
Melihat masa silam dari hari ini, tentu saja saya lakukan sebagai
anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat [Lekra] yang dibubarkan oleh
Orde Baru pada tahun 1965, pertama-tama adalah Lekra Yogyakarta.
Di tahun-tahun itu saya menjadi orang pertama Lekra Kota Yogyakarta
dan menjadi orang pertama Lembaga Sastra Indonesia Lekra Jawa
JJ. Kusni, Menoleh ke Belakang Melirik Esok
59
Tengah. Setelah konfrensi nasional [konfernas]Lekra di Medan, saya
dipilih oleh konfernas sebagai sekretaris Lembaga Sastra Indonesia
Pusat membantu Prof. Bakri Siregar yang dipilih sebagai Ketua.1]
Pengurus Lembaga Sastra Pusat pilihan Konfernas Medan tidak sempat
berfungsi karena terpotong oleh meletusnya Tragedi Nasional September ’65.
Saya memahami pemilihan saya sebagai sekretaris nasional Lembaga
Sastra Indonesia Pusat oleh Konfernas Medan, terutama lebih disebabkan
oleh politik etnik yang memang dianut oleh Lekra. Dalam usaha
mengembangtumbuhkan gerakan kebudayaan rakyat di berbagai pulau
dan etnik di tanahair, Lekra berusaha secara sadar mendorong
pertumbuhan orang-orang daerah. Orang luar daerah dipilih sebagai
orang pertama ‘jika memang orang daerah terkait belum dimiliki. Dan
tugas kader luar daerah tidak lain menyiapkan pertumbuhan kader-kader
setempat.
Dalam fungsi inilah saya melihat masa silam dari hari ini, dari
Paris lagi, kota di mana sekarang saya bermukim setelah mengelanai
negeri demi negeri di berbagai benua. Pengembaraan yang tentu saja
langsung atau tidak langsung berdampak pada diri saya dan pemikiran
saya sebagaimana pengaruh Yogyakarta tempat saya kuliah turut
mempengaruhi perkembangan saya sebagai seorang anak Dayak yang
dibekali oleh konsep hidup mati dijabarkan dalam ungkapan “rengan
tingang nyanak naga’ [anak enggang putera-puteri naga]. 2] Karena
adanya konsep hidup-mati ini maka jika Anda datang ke Tanah Dayak
di pulau Kalimantan-Borneo, Anda akan berhadapan dengan patungpatung naga dan burung enggang. Perjalanan panjang dan entah kapan
ia akan berujung, mungkin seperti kata-kata pelukis Salim 3], “perjalanan
yang tak punya sampai”, bagi diri saya akhirnya menjadi kaca raksasa
di mana saya leluasa bercermin –ruang dan waktu di dalamnya pun
terekam. Kunamakan kaca raksasa itu sebagai kaca sejarah. Kaca
perjalanan rengan tingang nyanak jata.
Di sini, saya tidak melihat masa silam sebagai seorang sastrawan,
karena dengan standar yang saya tetapkan sendiri belum mencapai taraf
sastrawan. Yang saya capai baru tingkat pelajar awal dan pencinta sastra.
Saya tidak mempunyai keberanian dan kenekadan latah melakukan
otoproklamasi sebagai sastrawan karena tidak sesuai dengan taraf yang
saya capai di dunia tulis-menulis.
60
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
SEDIKIT LATARBELAKANG:
Dalam menoleh di kaca sejarah, kaca perjalanan rengan tingang
nyanak naga ini, kiranya perlu saya selipkan latarbelakang keberangkatan
saya sejak meninggalkan rumah orangtua pada usia 11an tahun untuk
mencari sekolah di tempat lain. Saat meninggalkan rumah orangtua,
mereka berpesan agar saya “jangan kembali jika tak bisa membawa
perobahan maju untuk kampung halaman” yang mereka sebut sebagai
“Utus”. Mereka pesankan juga agar saya bisa “manggati khewah umba
dasi” [menggantikan cawat dengan dasi]. Tentu saja tantangan ini tidak
bisa saya pada usia demikian, tapi membekali saya di mana pun berada
dengan pertanyaan: Jalan apa yang terbaik untuk “Utus’ saban
berhadapan dengan pengalaman-pengalama negeri-negeri lain.
Pertanyaan ini pulalah yang saya bawa ketika saya sampai di Yogyakarta
melalui Jakarta. Oleh pertanyaan ini dan latarbelakangan lingkungan
keluarga yang seluruhnya adalah peserta gerakan gerilya anti Belanda
di Kalteng, khususnya Katingan, rasa keberpihakan dan keniscayaan
berpihak, pada Utus tertanam dalam pada diri. Keberpihakan menolak
keraguan dan oportunisme yang berpijak di dua perahu. Memihak
Belanda tidak bisa sekaligus memihak Republik Indonesia. Memihak
Utus tidak bisa membiarkan pelecehan, penindasan dan penghisapan
atas Utus. Sikap ini bukanlah jalan yang bisa “manggati khewah umba
dasi”.
Di Jawa pemahaman saya tentang ‘Utus’ berkembang menjadi Indonesia dan ketika mengelani busur-busur bumi saya dapatkan bahwa
menjadi Dayak dan Indonesia tidak bertentangan dengan menjadi anak
manusia dan putera-puteri bumi. Dayak kemudian saya lihat sebagai
lambang keterpurukan belaka dan karenanya saya melihat Dayak itu
ada di mana-mana. Sejak itu ketika menjadi guru di sebuah universitas
Palangka Raya, saya tawarkan saran: “Berdiri di kampunghalaman
memandang tanahair merangkul bumi untuk memanusiawikan manusia,
kehidupan dan masyarakat dari pinggir dengan menjadikan manusia
sebagai aktor pemberdayaan diri secara bersolidaritas yang bergulir
sendiri” [Lihat: JJ. Kusni, “Negara Etnik, BeberapaGagasan
Pemberdayaan Masyuarakat Dayak Ngaju, Kalimantan, Tengah”,
Fuspad, Yogyakarta, 2000;lihat juga: “Dayak Membangun.Masalah
Etnik dan Pembangunan’, Kata Pengantar Djohan Effendi, PT Paragon, Jakarta 1994].
Sadar usaha raksasa “menggati khewah umba dasi” tidak bisa
JJ. Kusni, Menoleh ke Belakang Melirik Esok
61
dilakukan seorang diri dan karena penolakan saya pada konsep “supermen” atau “super women” maka akhirnya saya memilih jurnalisme atau
ilmu komunikasi sebagai bidang studi di Gadjah Mada sementara dunia
sastra tetap saya kecimpungi dengan minat serius seorang pelajar mula
dan pencinta sastra-seni yang ingin tahu selak-seluk dunia ini.
Dengan kuriusitas [rasa ingin tahu] seorang penanya sederhana,
saya bergabung dengan lingkaran teman-teman yang sekarang disebut
Kelompok Manifes Kebudayaan yang selanjutnya saya sebut Kelompok
Manifes. Kelompok Manifes merupakan lingkungan sastra saya yang
pertama-tama di Yogya dan persahabatan kami masih berlanjut sampai
sekarang tanpa terganggu oleh perbedaaan pandang dan sikap.
Kemudian saya tertarik pada ketegasan Lekra dalam berpihak dan
konsep kebudayaannya dan usahanya membangun gerakan kebudayaan
rakyat di tanahair. Saya melihat dalam konsep ini kemungkinan
tumbuhnya orang banyak yang sadar untuk menjadi tuan atas nama
diri mereka sendiri dan tidak bisa dicapai dengan oprtunisme individualis
serta keraguan berpihak. Utus tidak memerlukan sikap-sikap demikian.
Saya akhirnya mengambil keputusan bergabung dengan Lekra tetapi tetap
dengan sikap seorang free thinker [Lihat: Taufiq Ismail & DS. Mulyanto,
“Praha Budaya”, Jakarta, —tahun ?; Lihat juga: JJ.Kusni, “Ditengah
Pergolakan.Pengalaman Turba Lekra’, Ombak Yogyakarta, 2005, dan
“Cerita-Cerita Kecil Untuk Aguk Irawan Ms”, dalam persiapan untuk
terbit].
KEBINGUNGAN
DI
KALANGAN
SASTRAWAN-SENIMAN YOGYAKARTA
PARA
Kalau mau jujur, di hari-hari pertama munculnya Manifes
Kebudayaan sempat menimbulkan kebingungan di kalangan para
sastrawan-seniman Yogyakarta baik yang Lekra mau pun yang bukan
Lekra. Bingung tidak tahu bagaimana harus bersikap menanggapi
Manifes tersebut. Tapi kebingungan itu mungkin paling besar melanda
para seniman non Lekra yang tidak tahu politik dan menolak mengetahui
politik dalam soal berkesenian. Beberapa kami berkumpul di rumah
pelukis Arby Sama yang waktu itu tinggal di belakang Museum
Perjuangan untuk membicarakan masalah Manifes dan bagaimana
bersikap. Kesimpulannya: Terserah pada maasing-masing menentukan
sikap. Karena itu tidak perlu heran jika ternyata ada anggota Lekra
Yogya yang turut menyokong Manifes. Ketidaktahuan ini kembali
62
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
dinyatakan oleh alm. Sanento Yuliman dalam pembicaraannya dengan
saya di Paris, ketika ia sedang menyelesaikan program doktornya dengan
menulis tentang pelukis Soedjojono.
“Andaikan waktu itu aku tahu ada militer di belakangnya, mana
pula aku mau membubuhi tandatangan menyokong Manifes”, ujar
Sanento yang kemudian bersama-sama mendirikan Majalah Kancah,
sebuah majalah ilmiah populer di Paris dan berlangsung sampai puluhan
tahun lebih.
Begitu berada di Paris untuk melakukan program doktornya, dan
mengetahuiku dari Buyung Tanisan, pegawai KBRI Paris, bahwa aku
berada di kota yang sama, Sanento segera menelponku dan minta ketemu.
Telpon Sanento ini bagiku menunjukkan padaku bahwa Sanento yang
tadinya anggota Sanggar Bambu pimpinan Mas Soenarto Pr. Masih
mempertahankan tradisi republik sastra-seni Yogyakarta, yaitu
kesanggupan bersatu dalam perbedaan. Kecuali itu ia pun mencerminkan
tradisi kejujuran seorang seniman sebagai free thinker. Sikap ini pun
juga diperlihatkan oleh Danarto dan Arifin C Noer yang kedua-duanya
memulai karir keseniman dari Yogya. Arifin alm. bersama Jajang istrinya,
bahkan secara khusus mendatangiku di Koperasi Restoran Indonesia,12
rue de Vaugirard, 75006 Paris, di mana saya sedang bekerja dan berbuka
puasa di Restoran.
Kehangatan sikap serupa kudapatkan dari teman-teman sastrawan
di Jakarta ketika di TIM Jakarta, pada bulan Mei, diselenggarakan
peringatan Manifes yang diakhiri dengan Pernyataan Mei beberapa saat
sebelum Pramoedya A.Toer dianugrahi Hadiah Magsaysay. Saat itu
saya baru turun dari pesawat dari perjalanan ke Papua lalu langsung ke
TIM. Mengetahui kehadiranku , teman-teman sastrawan segera
mengerubungi saya, menanyakan ini dan itu sebagai sahabat. Dari sini
saya melihat bahwa di kalangan para seniman yang bukan partisan partai
politik, adanya perbedaan pandangan dan sikap tidak menghalangi
persahabatan. Tradisi ini adalah tradisi baik seniman negeri ini, terutama
tradisi Yogya yang kusebut dengan istilah tradisi Republik sastra-seni
Bringharjo. Saya namakan demikian, karena di depan pasar Bringharjo
inilah saban habis pertunjukan, para seniman dari berbagai pandangan
dan kelompok, berkumpul bersama-sama sambil minum kopi dan makan
gudeg sampai subuh membicarakan pertunjukan yang baru berlangsung.
Debat sengit dan canda bercampur-baur.
[Dan, o, canda dan sendagurau , sering merupakan ujud pengakuan
JJ. Kusni, Menoleh ke Belakang Melirik Esok
63
kesalahan untuk menyelamatkan muka. Muka sangat penting bagi orang Indonesia dan ras Melayu. Karena mengaku salah terus-terang
agaknya masih asing dari kemampuan orang Indonesia mungkin juga
dari ras Melayu umumnya sesuai dengan nilai dominan di dalam
masyarakat. Yang disebut “satria” , kukira, tidak lain dari bentuk
terselubung kekerasan atas nama menyelamatkan muka tapi tidak dari
segi usaha mencari kebenaran, seperti halnya dengan tradisi “duel pistol” di Eropa lama. Ide “satria” barangkali ujud dari takut pada
kebenaran, bentuk kekalapan dan kecupetan berpikir karena merasa
“ditelanjangi”. Dengan demikian ‘kesatriaan’ sangat jauh dari konsep
kemanusiaan dan memanusiawikan manusia, kehidupan dan
masyarakat. Pada dasarnya , ia adalah ide egoistik. Coba bandingkan
konsep ‘satria’ ini dengan kebiasaan ‘jotakan’ orang Yogya,bandingkan
tokoh Semar dan Sun Wu Kung. Terkesan pada saya bahwa revolusioner
Jawa sulit melepaskan diri dari dasar budaya mereka yang feodal dan
egoistik entah dalam bentuk ‘kesatrian’,’jotakan’, ‘jender Jawa’, dsb…
Orang Jawa pada dasarnya secara pola pikir dan mentalitaas,terkesan
pada saya adalah kelompok etnik yang violence, berwatak telunjuk
lurus kelingking berkait”, ‘inggih tapi tidak inggih”.`seperti kata orang
Perancis dengan ada nuansa beda ‘ou, mais.., ya, tapi..” . Ini kesan
sementara saya sebagai seorang Dayak Kekinian yang dewasa di Jawa
Tengah, khususnya Yogyakarta. Karena itu tidak heran dari Jawa bisa
muncul seorang “the smiling general” yang mampu dengan tersenyum
berkata “babat!” dan membunuh jutaan rakyat Indonesia daalm waktu
sekejap”.
Saya tulis hal ini dalam rangka memahami keadaan hari ini dan
juga dalam konteks membangun republik dan Idonesia jika kita masih
menginginkannya. Pola pikir dan mentalitas Jawa feodal demikian tidak
bisa dipertahankan untuk kepentingan republik dan Indonesia. Soal ini
saya kemukakan karena mayoritas wargangara Republik Indonesia
adalah orang Jawa.
Dengan ini saya ingin mengatakan bahwa untuk menegakkan
Republik dan Indonesia kita perlu melakukan pergeseran nilai dengan
mendudukkan nilai-nilai republiken dan keindonesiaan pada tempat
dominan. Bukan nilai-nilai mayoritas atau kuantitas yang kadaluwarsa
sebagai patokan. Meneruskan kuantitas sebagai patokan dan bukan pada
nilai, cepat atau lambat akan melenyapkan Indonesia dari peta bumi.
Sendagurau dan sendagurau, anekdot dan anekdot sesungguhnya
64
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
dari segi antroplogi pola pikir dan mentalitas mempunyai arti yang jauh
lebih dalam. Mereka hanyalah suatu fenomena yang menyimpan hakekat.
Karena itu memahami cara senda gurau seseorang atau suatu bangsa
menjadi sangat penting guna memahami seseorang atau bangsa terkait
secara mendasar].
Manifes Kebudayaan dan hubungannya dengan militer
Rendra, menurut keterangannya pada saya di Paris mengatakan
bahwa ia melihat adanya peranan militer terutama Seksi I Angkatan
Darat di belakang Manifes Kebudayaan setelah ia berada di Jakarta untuk
mengikuti Konfrensi Karyawan Pengarang Seluruh Indonesia [KKPSI].
Karena itu Rendra menolak hadir .
Adanya peranan tentara, khususnya Seksi I ini kemudian diakui
terus-terang oleh Wiratmo Soekito, salah seorang terpenting dari Manifes
Kebudayaan, dalam sebuah simposion sastra yang diselenggarakan oleh
Majalah Horison. Peranan militer ini pun ditunjukkan oleh penyanyi
Koes Plus pada masa Orba tentang latarbelakang pelarangan terhadap
lagu-lagu mereka, tapi semuanya kemudian pelarangan ini ditimpakan
pada Lekra – padahal Lekra tidak berada pada posisi berkuasa, mungkin
benar berpengaruh. Tapi tidak punya kemampuan melarang dan secara
konsepsional dasar, Lekra tidak menganut prinsip larang-melarang [lihat:
Mukaddimah!]. Ini adalah suatu fitnah kecupetan berpikir seperti halnya
fitnah bahwa Lekra melakukan pembakaran buku-buku sementara bukubuku anggota Lekra terus dilarang sampai sekarang, dan tidak diutikutik oleh yang menyebut diri sebagai pendukung demokrasi dan HAM.
Dari keterangan-keterangan dan kenyataan-kenyataan di atas dan
yang tentu saja bisa ditambah, nampak bahwa Manifes Kebudayaan
merupakan bagian strategi integral pihak Angkatan Darat dalam
percaturan politik pada waktu itu, terutama dalam menghadapi serta
menjawab strategi kebudayaan Lekra dan ofensif politik PKI serta garis
kebudayaan Presiden Soekarno “kebudayaan yang berkripadian nasional”
yang anti imperialis.
STRATEGI KEBUDAYAAN LEKRA
Apa-bagaimana strategi kebudayaan Lekra, sesungguhnya bukanlah
suatu rahasia karena ia sudah disiarkan secara luas dan terbuka. Strategi
dan pandangan-pandangan kebudayaannya termaktub dalam
“Mukaddimah” Lembaga kebudayaan tersebut.
JJ. Kusni, Menoleh ke Belakang Melirik Esok
65
Agar sama-sama bisa mengetahui serta menilainya kembali maka
‘Mukaddimah” itu di sini saya kutip kembali [dengan ejaan yang
diperbaharui].
LEMBAGA KEBUDAYAAN RAKYAT.
MUKADDIMAH 4]
Menyadari, bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan,
dan bahwa pembangunan kebudayaan Indonesia baru hanya dapat
dilakukan oleh rakyat, maka pada hari 17 Agustus 1950 didirikan
Lembaga Kebudayaan Rakyat disingkat Lekra. Pendirian ini terjadi di
tengah-tengah proses proses perkembangan kebudayaan yang sebagai hasil
keseluruhan daya-upaya manusia secara sadar untuk memenuhi, setinggitingginya kebutuhan hidup lahir dan batin, senantiasa maju dengan tiada
putus-putusnya.
Revolusi Agustus 1945 membuktikan, bahwa pahlawan dalam
peristiwa bersejarah ini, seperti halnya di dala; seluruh sejarah bangsa
kita, tiada lain adalah rakyat. Rakyat Indonesia dewasa ini adalah semua
golongan di dalam masyarakat yang menentang penjajahan Revolusi
Agustus adalah usaha pembebasan diri rakyat Indonesia darti penjajahan
dan peperangan, penjajahan dan serta penindasan feodal. Hanya jika
panggilan sejarah Revolusi Agustus terlaksana, jika tercipta kemerdekaan
dan perdamaian serta demokrasi, kebudayaan rakyat bisa berkembang
bebas. Keyakinan ini tentang kebenaran ini menyebabkan Lekra bekerja
membantu pergulatan untuk kemerdekaan tanahair dan untuk
perdamaian di antara bangsa-bangsa, di mana terdapat kebebasan bagi
perkembangan kepribadian berjuta-juta rakayat.
Lekra bekerja khusus di lapangan kebudayaan khusus di lapangan
kebudayaan, dan untuk masa ini terutama di lapangan kesenian dan
ilmu. 5] Lekra menghimpun tenaga dan kegiatan seniman-seniman,
sarjana-sarjana pekerja kebudayaan lainnya. Lekra membantah pendapat
bahwa kesenian dan ilmu bisa terlepas dari masyarakat. Lekra mengajak
pekerja-pekerja kebudayaan untuk dengan sadar mengabdikan dayacipta, bakat serta keahlian guna kemajuan Indonesia, kemerdekaan Indonesia, pembaruan Indonesia.
Zaman kita dilahirkan oleh sejarah yang besar, dan sejarah bangsa
kita telah melahirkan putera-puteri yang baik di lapangan kesusastraan,
seni bentuk, musik, mau pun di lapangan-lapangan kesenian lain dan
ilmu. Kita wajib bangga bahwa kita terdiri dari suku-suku yang masing-
66
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
masingnya mempunyai kebudayaan yang bernilai. Keragaman bangsa
kita ini menyediakan kemungkinan yang tiada terbatas untuk penciptaan
yang sekaya-kayanya serta seindah-indahnya.
Lekra tidak hanya menyambut setiap sesatu yang baru; Lekra
memberikan bantuan yang aktif untuk memenangkan yang baru maju.
Lekra membantu aktif perombakan sisa-sisa “kebudayaan” penjajahan
yang mewariskan kebodohan, rasa rendah serta watak lemajh pada
bangsa kita. Lekra menerima dengan kritis peninggalan nenek moyang
kita, mempelajari dengan saksama segala-gala segi peninggalan itu, seperti
halnya mempelajari dengan saksama pula hasil-hasil ciptaan kelasik mau
pun baru dari bangsa lain yang mana pun, daan dengana ini berusaha
meneruskan secara kreatif tradisi yang agung dari sejarah dan bangsa
kita, menuju ke penciptaan kebudayaan yang nasional dan ilmiah. Lekra
menganjurkan kepada anggota-anggotanya, tetapi juga kepada senimanseniman sarjana-sarjana dan pekerja-pekerja kebudayaan lainnya di
luar Lekra, untuk secara mendalam mempelajari kenyataan, mempelajari
kebenaran yang hakiki dari kehidupan, dan untuk bersikap setia kepada
kenyataan dan kebenaran.
Lekra menganjurkan untuk mempelajari dan memahami
pertentangan yang berlaku di dalam masyarakat mau pun di dalam hati
manusia, mempelajari dan mehami gerak perkembangannya serta
haridepannya. Lekra menganjurkan pemahaman yang tepat atas
kenyataan-kenyataan di dalam perkembangannya yang maju, dan
menganjurkan hal itu, baik untuk cara-kerja di lapangan ilmu, mau
pun untuk penciptaan di lapangan kesenian. Di lapangan kesenian Lekra
mendorong inisiatif, mendorong keberanian kreatif , dan Lekra
menyetujui setiap bentuk, gaya, dsb, selama ia setia kepada kebenaran
dan selama ia mengusahakan keindahan artistic ang setinggi-tingginya.
Singkatnya, dengan menolak sifat anti kemanusiaan dan anti sosial
dari kebudayaan bukan rakyat, dengan menolak perkosaan terhadap
kebenaran dan terhadap nilai-nilai keindahan.Lekra bekerja untuk
pembentukan manusia baru yang memiliki segala kemampuan untuk
memajukan dirinya dalam perkembangan kepribadian yang bersegi
banyak dan harmonis.
Di dalam kegiatan Lekra menggunakan cara saling-bantu, saling
kritik dan diskusi-diskusi persaudaraan di dalam masalah-masalah
penciptaan. Lekra berpendapat, bahwa secara tegas berpihak pada rakyat
dan mengabdi kepada rakyat, adalah satu-satunya jalan bagi seniman-
JJ. Kusni, Menoleh ke Belakang Melirik Esok
67
seniman, sarjana-sarjana maupun pekerja-pekerja kebudayaan lainnya
untuk mencapai hasil yang tahanuji dan tahanwaktu. Lekra
mengulurkan tangan kepada organisasi-organisasi kebudayaan yang lain
dari aliran atau keyakinan apapun, untuk bekerjasama dalam pengabdian
ini.
***
Agar gampang diingat dan dipahami oleh orang banyak maka
pandangan strategis Lekra ini disingkat dalam rumusan 1:5:1 [satu
lima satu] yaitu ‘1 asas “politik sebagai panglima”; 5 pedoman penciptaan
yaitu meluas dan meninggi , tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik,
memadukan tradisi dengan kekinian revolusioner, memadukan
kreativitas individual dengan kearifan massa, memadukan realisme
revolusioner dengan romantisme revolusioner, dan 1 cara kerja yaitu
turun ke bawah [turba]”.
Perlu dicatat benar di sini bahwa Lekra tidak menggunakan istilah
“realisme sosialis” seperti yang sering dikatakan oleh banyak penulis
atau komentator tentang Lekra tapi ‘pemaduan realisme revolusioner
dengan romantisme revolusioner”. Pemaduan ini adalah pandangan
resmi Lekra sebagai sebuah Lembaga Kebudayaan. Alasan Lekra untuk
tidak menggunakan ‘pedoman penciptaan realisme sosialis’ karena
masyarakat Indonesia dinilai oleh Lekra baru berada tahap revolusi
nasional demokratis yang masih jauh dari tingkat masyarakat sosialis,
penilaian yang punya dampak langsung baik dalam penciptaan maupun
dalam kegiatan organisasi. Bahwa ada sementara anggota Lekra dalam
tulisannya seperti Pramoedya A.`Toer misalnya menulis tentang ‘realisme
sosialis’, apa yang dikemukakan oleh Pram adalah tanggungjawab Pram
dan bukan pandangan resmi Lekra sebagai organisasi.
Mengapa ‘politik’ dijadikan ‘panglima’? Apa arti
‘panglima’?
Dalam sekolah-sekolah Lekra diajarkan antara lain mata pelajaran
filsafat kebudayaan dan filsafat politik. Hubungan antara kebudayaan
dengan politik. Politik dipandang sebagai “Pernyataan yang paling terpusat
daripada kepentingan ekonomi. Politik adalah pernyataan yang paling
terpusat dari kepentingan-kepentingan kelas” atau lapisan-lapisan yang
ada dalam suatu masyarakat. Dengan ini ditunjukkan di mana letak
politik dalam hubungannya dengan bidang-bidang lain. seperti
68
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
kebudayaan, kesehatan, pendidikan, dan sektor-sektor lainnya. Jika
dikatakan bahwa politik itu kotor, kiranya pandangan begini
dimaksudkan agar orang-orang tidak melihat tempat dan peranan politik
di depan bidang-bidang lain sehingga dengan demikian masalah
terpenting dan mendasar tidak disentuh. Berdasarkan pandangan inilah
diharapkan anggota-anggota Lekra melihat dan menganalisa
permasalahan yang dihadapi sehari-hari. Artinya melihat masalah dari
sudut pandangan politik dalam posisinya sebagai pernyataan terpusat
dan paling terpusat daripada kepentingan ekonomi. Masalah kebudayaan
pun dilihat oleh Lekra tidak lepas dari kepentingan-kepentingan. Jika
demikian maka yang dimaksudkan dengan “politik sebagai panglima”
sebenarnya tidak lain dari suatu metode pendekatan dan analisa yang
dinilai oleh Lekra sebagai metode pendekatan dan analisa sangat
mendasar. Tentu saja penungkapan pendekatan analisa ini dalam bersastra
akan berbeda dengan ungkapan pidato politik atau tulisan ilmiah. Karena
itu dalam soal pengungkapan sastra-seni, kepada para anggota Lekra
diterapkan tuntutan “tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik”
karena sastra-seni tetap sastra dan seni. Ideologi di sini, saya kira tidak
lain dari tingkat hasil analisa sastrawan dan seniman terhadap tema
yang mereka olah.
Berdasarkan pandangan ini, saya masih tidak menganggap bahwa
tahu politik bagi sastrawan-seniman sebagai sesuatu yang kadaluwarsa.
Tahu dan sadar politik, tidak harus menjadi partisan suatu partai politik.
Karena sering terjadi bahwa ketika sastrawan atau seniman mengambil
partisan , ia tidak lagi menjadi free thinker tapi ikut membuta. Padahal
cirri free thinker bagi saya merupakan ciri utama seniman sebagai warga
republik berdaulat sastra-seni dari mana saastrawan-seniman bisa
memberikan sumbangannya bagi kemanusiaan dan melakukan fungsi
social control terhadap republik politik. Karenanya tidak heran
sastrawan-seniman sering hadap-hadapan dengan republik politik. Dan
kukira ini adalah resiko seorang sastrawan-seniman sebagai free thinker
yang menggunakan alat artistik dan imajinasi. Dalam posisi sebagai
free thinker inilah sastrawan-seniman mungkin berdiri selangkah di
depan perkembangan dan pikiran yang dominan dalam masyarakat.
Peranan yang sering disebut sebagai peran pembidas [avant-garde].
Dengan tahu dan sadar politik, sastrawan-seniman sebagai free thinker
bisa mempertajam analisa-analisa terhadap rupa-rupa masalah yang
dihadapi serta yang digarap sebagai tema. Dengan tahu dan sadar
JJ. Kusni, Menoleh ke Belakang Melirik Esok
69
politik, lingkup analisa pun barangkali bisa lebih luas. Dalam hal ini,
Lekra menekankan arti penting belajar filsafat dan mengenal masyarakat
yang tercermin dari anjuran “tahu Marxisme dan kenal keadaan”.
Anjuran ini kemudian diperluas agar lingkup studi diperluas di bawah
slogan bimbingan “tahu segala tentang sesuatu dan tahu sesuatu tentang
segala” agar seniman-seniman Lekra bisa menjadi manusia yang
berpandangan luas. Ahli dalam bidangnya tapi juga tahu akan bidangbidang lain , tidak mengurung diri dalam satu spesialisasi diri sendiri
karena daerah garapan sastra-seni adalah seluas kehidupan. Kehidupan
tidak mungkin dipahami secara utuh jika kita melihatnya hanya dari
segi saja. Dalam dunia akademi pendekatan begini dinamakan
pendekatan multi disipliner.
Belajar Marxisme, terutama filsafat materialisme dialektika historis,
di samping aliran-aliran filsafat lain merupakan salah satu matapelajaran
dalam sekolah-sekolah Lekra. Agar para anggota bisa memilih dan
meyakini pilihannya, maka metode perbandingan diterapkan dalam
proses pembelajaran. Ketika menterapkan metode perbandingan, maka
belajar sejarah dunia dan Indonesia mendapat tempat penting dalam
kurikulum dan diskusi-diskusi. Sejarah menunjukan proses
perkembangan sesuatu.
Pembelajaran filsafat Marxis dengan metode perbandingan di
kalangan Lekra, bagi pengamat yang tidak jeli, barangkali gampang
memelesetkan orang untuk secara gampang menyimpulkan bahwa Lekra
sama dengan PKI dan tidak melihat pembelajaran demikian sebagai
suatu paralel serta diperlukan guna meningkatkan kadar diri sebagai
sastrawan-seniman dari segi wawasan dan analisa. Belajar teori
kebudayaan,filsafat dan sejarah dipandang penting oleh Lekra disamping
mengenal keadaan nyata kehidupan sesuai dengan prinsip anutannya
“seni untuk rakyat” yang sesungguhnya adalah sastra-seni berpihak
[engagee]. Guna mengenal kenyataan atau keadaan maka diterapkan
metode kerja turba,turun ke bawah [ Lihat: JJ.Kusni, “Di Tengah
Pergolakan. Pengalaman Turba Lekra”, Penerbit Ombak Yogyakarta,
Agustustus 2005]. Cara kerja artinya ia bukanlah pekerjaan musiman.
Turba juga dilakukan berangkat dari pandangan bahwa “massa adalah
sumber inspirasi dan sumber kreasi yang sesungguhnya”.
Melalui turba, sastrawan-seniman selain bisa mengenal keadaan,
tetapi juga sekaligus meningkatkan serta mengobah diri terutama dalam
hal pandangan, pendirian, sikap dan metode kerja. Lekra mengharap
70
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
dari seniman-seniman anggotanya agar mutu pribadi mereka jauh lebih
baik dari mutu kreasi mereka.
Apakah turba merupakan penemuan Lekra?
Saya tidak mengatakannya demikian. Turba hanyalah penyimpulan
yang dilakukan oleh Lekra terhadap pengalaman sekian kurun zaman
dari kegiatan-kegiatan seniman dari berbagai kalangan. Turba
mensistematikkan pengalaman-pengalaman tersebut. Dan memang fungsi
Lekra yang terutama, melalui konrensi-konfrensi berbagai tingkat
terutama menyimpulkan pengalaman-pengalaman berkesenian bukan
hanya yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kejuruannya, tapi juga
yang dilakukan oleh senimanb-seniman lain. Dengan adanya kesimpulan
demikian , Lekra lanjut lagi pertumbuhan gerakan kebudayaan rakyat
di Indonesia guna mewujudkan secara nyata nilai-nilai republik dan
keindonesiaan yang antara lain dijabarkan dalam kata-kata “bhinneka
tunggal ika”. Dalam kerangka menumbuhkembangkan gerakan
kebudayaan rakyat di Jawa Tengah, maka paada tahun 1964 selama
hampir setahun, Lekra Jawa Tengah melakukan ‘riset kesenian’ untuk
mengetahui bentuk-bentuk kesenian yang paling hidup di kalangan
masyarakat Jawa Tengah. [lihat: JJ. Kusni, “Cerita-cerita Kecil Untuk
Aguk Irawa Ms”’, dan JJ. Kusni, “Di Tengah Pergolakan”].
Bahwa semacam turba ini juga dilakukan oleh para seniman non
Lekra sesungguhnya bukanlah suatu rahasia pula. Ambil contoh apa
yang dilakukan oleh para seniman Yogyakarta pada tahun-tahun ’60an dan bahkan jauh sebelummnya. Pada masa-masa ini di kalangan
seniman-seniman Yogya dikenal apa yang disebut “mengenal kehidupan”.
Hanya saja dalam praktek, yang disebut “mengenal kehidupan” ini
diwujudkan dengan pergi ke tempat-tempat kumuh kota, di warungwarung, dan terutama ke Pasar Kembang, daerah lampu merah
Yogyakarta. Di tempat-tempat ini, para seniman berbincang dengan para
pekerja seks, ada yang pacaran dengan salah seorang mereka bahkan
berlanjut dengan pernikahan. Kukira ‘kehidupan gelandangan’ Chairil
Anwar tidak lain dari usahanya “mengenal kehidupan” juga adanya.
Praktek-praktek inilah yang kemudian dirumuskan dan
disistematikkan oleh Lekra. Satu hal lain Melalui penelitian kesenian
dan turba, Lekra juga berhasil menyelamatkan beberapa bentuk kesenian
yang hampir punah seperti randai Tanah Minang, kemudian mendorong
perkembangan sastra berbahasa lokal karena menganggap sastra
JJ. Kusni, Menoleh ke Belakang Melirik Esok
71
berbahasa lokal merupakan bagian utuh dari sastra Indonesia, bagian
dari usaha Lekra menumbuhkembangkan gerakan kebudayaan rakyat
yang republiken dan berkeindonesiaan.
“Garis 1-5-1” adalah cara
yang digunakan oleh Lekra dalam menumbuhkembangkan gerakan
kebudayaan rakyat yang republiken dan berkeindonesiaan. Tentu saja
gerakan kebudayaan rakyat dengan nilai-nilai begini bertentangan dengan
kepentingan politik kapital monopoli asing. Katakanlah dengan istilah
waktu itu bertentangan dengan kepentingan imperialisme, neokolonialisme, neo-feodalisme dan sisa-sisa feodalisme. Cara terbaik
menghadapi gerakan kebudayaan ini adalah memberinya label sebagai
‘komunis’ yang atheis. Gerakan kebudayaan memberikan perekat dasar
di dalam hati anak bangsa dan negeri ini. Hal ini saya saksikan, kalau
tafsiran saya benar, waktu saya ke Medan untuk menghadiri Konfernas
Lembaga Sastra Indonesia 1963. Dari Jakarta kami berangkat ke Medan
dengan kapal laut milik KPM. Dalam kapal itu terdapat antara lain
Pramoedya A.Toer, Rivai Apin, A.S.Dharta, Utuy Tatang Sontani,
Ibrahim Isa, dan teman-teman dari berbagai pulau dan daerah tanahair.
Yang berkesan sampai sekarang pada saya bagaimana kami saling
memanggil satu dan yang lain dengan menggunakan nama suku asal.
Dengan menggunakan cara memanggil demikian, ada rasa bangga pada
kami bahwa kami adalah anak negeri dan bangsa besar dan majemuk.
Sama sekali tidak ada terselip niat menghina atau membenci. Semangat
inilah yang diungkapkan oleh penyair buruh alm. S.W. Kuntjahjo asal
etnik Madura dalam kata-kata:
“kita berdatangan dari semua penjuru [untuk] satu tujuan, tujuan
bersama”
Keadaan ini juga kembali kusaksikan di gedung Serikat Buruh
KeretaApi [SBKA]Manggarai, diselenggarakan festival paduan suara se
Indonesia yang diikutsertai oleh utusan-utusan dari ujung barat hingga
ujung timur tanahair. Melalui festival ini, saya menyaksikan kebesaran
negeri dan bangsa yang bernama Indonesia yang majemuk dan kami
bangga dengan kemajuemukan ini, bangga menjadi putera-puteri negeri
dan bangsa bernama Indonesia tanpa ada yang memaksa. Kebanggaan
yang lahir atas dasar kesadaran serta boleh dikatakan hasil dari adanya
gerakan kebudayaan republiken dan berkeindonesiaan yang digalakkan
oleh Lekra. Kemajemukan tidak menjadi dasar pertikaian tapi justru
72
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
sebaliknya . Mengenang kembali apa yang kusaksikan di beberapa
kesempatan, saya mengira betapa sebenarnya kebudayaan dan gerakan
kebudayaan begini bisa menumbuhkembangkan dasar berbangsa dan
bernegeri yang solid, hal yang kadang tidak bisa dilakukan oleh politik.
Dari sini saya melihat perlunya sastrawan-seniman menjaga statusnya
sebagai free thinker dari republik berdaulat sastra-seni dengan segala
konsekwensinya. Sastrawan-seniman di atas segalanya punya misi
manusiawi yang agung bukan hanya berindah-indah hampa misi dan
makna dengan rupa-rupa ulah seperti otoproklamasi misalnya. Misi
manusiawi sastrawan-seniman yang begini sebenarnya menuntut pada
sastrawan-seniman untuk pertama-tama meningkatkan mutu diri baik
sebagai anak manusia mau pun sebagai sastrawan-seniman yang
ditantang menjadi avant-gardists.
Dalam masalah rekonsiliasi nasional yang banyak dibicarakan
sekarang, saya kira , sastrawan-seniman bisa diharapkan sumbangannya
dari segi wawasan kebudayaan yang mendasar. Artinya dari segi nilainilai yang paling hakiki. Nilai-nilai hakiki ini berangkat dari kepentingan
manusia dan “kemanusiaan yang tunggal” jika menggunakan istilah
filosof Perancis Paul Ricoeur alm. yang meninggal Mei 2005 lalu. Jika
masih mau menyelamatkan dan menegakkan Republik dan Indonesia
maka adalah satu keniscayaan kita kembali pada nilai-nilai republiken
dan keindonesiaan. Politik, terutama politik praktis sering menjadikan
“kemanusiaan yang tunggal”, “republik dan Indonesia’ jadi puntung
rokok di tumit sepatu kepentingan sesaat, merabunkan pandang sehingga
kita suka memelihara dendam, mengorbankan esok dan kehidupan anakcucu serta diri sendiri. Nalar sudah menjadi sesuatu yang mewah. Di
sinilah saya melihat betapa Indonesia hari ini lebih-lebih memerlukan
kehadiran budayawan, sastrawan dan seniman yang benar-benar
budayawan, saatrawan dan seniman. Bukan sekedar budayawanbudayawanan, bukan nsastrawan-seniman yang sekedar kesastrawansaastrawan dan keseniman-senimanan. Adanya komunitas-komunitas
sastra-seni yang tersebar di berbagai daerah dan pulau sekarang – kreasi
penting angkatan hari ini – bisa dijadikan dasar membangun gerakan
kebudayaan rakyat berskala nasional yang berguna bagi menyelamatkan
republik dan Indonesia, tapi bukan komunitas cupet yang sektaris.
Sektarisme dari pihak mana pun hanyalah jalan buntu. Republik dan
Indonesia bukanlah sektarianisme. Sektarianisme bukan ciri free thinker
warga republik berdaulat sastra-seni. Saya khawatir dewasa ini, banyak
JJ. Kusni, Menoleh ke Belakang Melirik Esok
73
yang menyebut diri budayawan, sastrawan-seniman tapi pada
kenyataannya masih jauh dari taraf demikian. Tidak sedikit yang sibuk
dengan sastra seks , ratap-tangis putus cinta, sibuk mengharap pengakuan
sebagai sastrawan-seniman, ingin jadi seleberiti, tapi tidak menyediakan
waktu cukup untuk memikirkan apa-siapa dan apa misi budayawan,
sastrawan dan seniman. Ini pun saya lihat sebagai ujud dari pola pikir
dan mentalitas ‘mie instant’ yang berdominan di negeri kita. Seleberiti?
Apa gerangan yang diharapkan dari celebrities – yang umumnya tidak
lain dari jenis “kekosongan” jika menggunakan istilah sosiolog Perancis
Alain Touraine. Kekosongan total!? Bisa dipastikan bahwa bangsa,
tanahair dan kemanusiaan tidak bisa mengharapkan apa-apa dari
celebritities tipe ini.
***
Barangkali kericuhan antar seniman pada tahun 1960an disebabkan
sadar atau tidak sadar terjadi karena para seniman dari semua kalangan
sudah mengambil sikap partisan dan melepaskan status mereka sebagai
free thinker warga dari republik berdaulat sastra-seni. Republik berdaulat
sastra-seni sudah dicaplok oleh republik politik. Sebagai partisan, orang
akan sangat gampang gontok-gontokan karena di sini kebebasan berpikir
seniman sudah luntur oleh alur pikiran tunggal [la pensee unique] yang
disediakan oleh partai-partai politik. Sastrawan-seniman sudah tidak lagi
memainkan fungsi pembidas pemburu nilai untuk esok yang manusiawi.
Di alur pikiran tunggal yang sudah dicetak kebenaran pun jadi mutlak,
tanpa ruang bagi nisbi, cara pandang disederhanakan jadi hitam-putih.
Saya mengkhawatirkan ketidakbebasan berpikir sebagai warga
republik berdaulat sastra-seni ini masih tersisa hingga sekarang, entah
dalam ujud dendam, hujat-menghujat baik terbuka atau pun terselubung,
entah dalam keengganan bertemu dan berbincang sekali pun jika dilihat
dari tahun 1960an waktu 45 tahun sudah cukup mematangkan dan
mendewasakan seseorang untuk sanggup melihat ke belakang dengan
tenang demi kehidupan hari ini dan esok.
DEBAT SEMU YANG MERUGIKAN
Debat ide pada tahun-tahun 1960an sangat hidup baik terjadi di
media cetak atau pun debat hadap-hadapan. Tentu saja hal ini sangat
positif untuk orang yang mau mencari kebenaran, apalagi jika debat ide
itu dilakukan secara sehat dan berargumentasi ditambah dengan topangan
74
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
data serta tidak melihat masalah secara hitam-putih menggunakan
“kebenaran cetakan”. Polemik bermutu yang sehat pada waktu itu bisa
disebut adalah polemik antara ‘Harian Rakjat’ dan ‘Harian Merdeka’
[cq. Njoto dan B.M.Diah].
Masalah pokok yang diperdebatkan pada waktu itu adalah masalah
“seni untuk rakyat” atau “seni untuk seni’. Debat Lekra versus Kaum
Manifes pun hakekatnya berkisar pada masalah pokok ini juga.
Kalau sekarang kita melihat perdebatan ini dengan pandangan
berjarak, apakah ada hal esensil yang patut memisahkan kedua
pendukung aliran ini sampai menjadi suatu debat berdarah-darah dan
meninggalkan dendam seakan tak punya sudah?
Kalau kuperhatikan karya-karya lukisan abstrak atau hanya berupa
bidang penuh permainan warna yang terpajang di bandara, di ruang
pameran atau kantor-kantor serta sanggar-sanggar, saya dapatkan
keindahan pada mereka sama halnya saat saya menikmati lukisan-lukisan
realis dan impresionis. Mereka mungkin tidak memberikan pesan jelas
pada saya tapi mereka sudah mengasah perasaan saya menjadi peka
pada getar-getaran halus keindahan yang penuh misteri. Pengasahan
kepekaan ini saya kira turut membantu saya untuk mencoba peka pada
lingkungan dan kehidupan yang garang. Menjadi peka saya kira bagian
dari usaha pemanusiawian manusia. Lebih-lebih di masyarakat kita
sekarang masalah peka ini sudah makin meluntur dan tersisih dari yang
meneyebut diri anak manusia. Singkat kata bentuk-bentuk seni ini
kudapatkan juga berusaha dengan cara masing-masing untuk
memanusiawikan manusia. Dan terhadap bentuk-bentuk seni begini
sebenarnya oleh Lekra diterima sebagaimana tercantum di
Mukaddimahnya:
“Di lapangan kesenian Lekra menyetujui inisiatif, mendorong
keberanian kreatif, dan Lekra menyetujui setiap bentuk, gaya, dsb., selama
ia setia kepada kebenaran dan selama ia mengusahakan keindahan artistik
yang setinggi-tingginya”.
Barangkali dalam hal ini di kalangan sementara anggota Lekra oleh
perkembangan politik dan ketiadaan sikap sebagai free thinker terjadi
proses radikalisasi hingga menolak bentuk-bentuk abstrak yang antara
lain dipelopori oleh Pablo Picasso yang nota bene adalah anggota CC
Partai Komunis Perancis.sampai akhir hayatnya. Bagaimana mungkin
orang bisa mengatakan bahwa Picasso tidak punya keberpihakan sosial
dalam karya-karyanya? Tapi agaknya radikalisasi di kalangan sebagian
JJ. Kusni, Menoleh ke Belakang Melirik Esok
75
anggota Lekra ini menyebabkan mereka mengingkari Mukaddimahnya
sendiri.
“Seni untuk rakyat”, tentu saja bermaksud memanusiawikan
manusia terutama yang disebutnya “rakyat” yang isinya sesuai dengan
penilaian pokok tentang kontradiksi pokok masyarakat pada suatu
periode sejarah. Jadi baik “seni untuk seni” mau pun “seni untuk
rakyat” sesungguhnya sama-sama bertujuan untuk memanusiawikan
manusia. Yang berbeda adalah cara dan titikberat atau
penggarisbawahan. Untuk usaha ini, Lekra menggarisbawahi lapisan
mayoritas penduduk negeri, terutama buruh dan tani, sedangkan “seni
untuk seni” berkreasi tanpa melakukan garis bawah yang sering disebut
sebagai “sastra-seni murni” tapi tidak bisa dikatakan sebagai anti
kemanusiaan secara apriori.
Dari segi ini maka saya katakan debat sastra-seni pada tahun-tahun
60-an sesungguhnya adalah suatu debat semu belaka.
Mengapa debat semu ini ia bisa terjadi demikian sengit sampai
berdarah-darah dan meninggalkan dendam seakan tanpa sudah?
Dari segi sastrawan-seniman itu sendiri , saya melihat hal demikian
terjadi karena para saastrawan-seniman sudah meninggalkan posisinya
sebagai warga republik berdaulat sastra-seni yang bercirikan free thinker,
dan pelepasan status ini terjadi karena kekurangan pengetahuan secara
teori hingga daya analisa mereka tumpul, ditambah lagi oleh masuknya
mereka sebagai partisan partai politik. Mereka jadi partisan tanpa
kesadaran tapi semata berbekalkan “kebenaran cetakan”. Mereka
sesungguhnya buta politik. Ini adalah sebab faktor dalam dari kalangan
sastrawan-seniman.
Sebagai faktor luar , dua aliran kesenian di atas dipolitisir oleh
kekuatan-kekuatan politik yang saling berebut kekuasaan dan sedang
adu kekuatan pada waktu itu. Mereka mencetak kebenaran tunggal
sesuai kepentingan masing-masing dan menjajakannya ke kalangan para
sastrawan-seniman dengan 1001 cara di mana uang pun turut bermain.
Mereka mencoba mempengaruhi dan merebut sastrawan-seniman ke
pihaknya dan dipelorotkan menjadi propagandis.
Sebenarnya, sekalipun ada faktor luar begini jika sastrawan-seniman
sadar dan tahu politik, disanguni sekedar teori yang memadai, mereka
tidak akan memerosotkan diri dan tidak membiarkan diri sebagai partisan partai politik dengan “kebenaran cetakan” yang praktis. Bahaya ini
– kalau kita sepakat bahwa ini suatu petaka – bisa terulang jika
76
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
pengalaman tidak disimpulkan dengan tanpa emosi serta menggunakan
jarak.
Arti praktis memandang ke belakang bahwa debat masa silam itu
adalah suatu debat semu yang merugikan, saya kira memungkinkan
para sastrawan-seniman negeri ini secara bersama-sama sesuai
kemampuan masing-masing guna pengembangan sastra-seni yang
manusiawi, dan siapa tahu mereka bisa memberikan sumbangan pikiran
dalam menanggulangi permasalahan negeri dari segi kebudayaan
misalnya tentang apa itu Indonesia, Republik dan keindonesiaan.
Barangkali ini tantangan kekinian yang menagih jawab. Embrionya sudah
nampak antara lain dari komunitas-komunitas yang tersebar di berbagai
pulau dan daerah antara lain Komunitas Matabambu yang bekerja dengan
konsep dan program yang jelas.
Perpecahan di kalangan barisan sastrawan-seniman Indonesia ini
sebenarnya jika dilihart ke belakang sudah mulai semenjak kelahiran
Republik yang waktu itu masih beribukota di Yogyakarta. Dalam
usahanya kembali menjajah Indonesia, pihak Belanda mendrop teori
humanisme universal atau seni untuk seni. Ide ini secara organisasi
ditopang oleh Sticusa dan Pernyataan Gelanggang secara ide dan
Majalah Siasat secara kelembagaan. Sekali lagi sebenarnya jika
sastrawan-seniman kita cukup dewasa dan kuat secara pengetahuan dan
teori sastra seni dan juga politik, barangkali barisan seniman kita tidak
perlu terbelah karena seperti saya katakana di atas humanisme universal, seni untuk seni dan seni berpihak pada rakyat atau republik tidak
ada pertentangannya. Perpecahan pada masa ini dan apa yang disebut
oleh Lekra sebagai “kecenderungan kapitulasionis” tidak lepas dari
penunggangan kepentingan politik [dalam hal ini politik kolonialis
Belanda] terhadap ide kesenian tersebut. Pada waktu itu barangkali acuan
kita kurang padan hingga terperangkap oleh penafsiran yang ditunggangi
kepentingan politik kolonialis tersebut. Penunganggan politik terhadap
sastra-seni begini pulalah yang berlanjut sampai puncaknya pada tahun
1960an. Pada masa Orba berkuasa dengan pendekatan “keamanan dan
stabilitas nasional”nya, sastra-seni pun diamankan yang kemudian
melahirkan corak umum sastra-seni “aman” bebas politik. Mandul jiwa.
Republik sastra-seni Indonesia makin kehilangan kedaulatannya dan jadi
embel-embel kekuasaan dengan adanya filem-filem seperti misalnya
G30S/PKI. Republik sastra-seni Bringharjo hilang dari kenangan, gaunggemanya pun tak terdengar.
JJ. Kusni, Menoleh ke Belakang Melirik Esok
77
LEKRA DAN PKI
Pertanyaan yang sering diajukan oleh banyak orang bagaimana
hubungan Lekra dengan PKI? Banyak anggapan bahwa bahwa Lekra
itu adalah organisasi bawahan PKI.
Bagaimana sebenarnya? Benarkah Lekra yang anggotanya tersebar
di seluruh pulau tanahair dari kota hingga desa dan diperkirakan
anggotanya mendekati setengah juta orang lebih [angka yang sulit
dikonfirmasi karena tidak pernah dilakukan registrasi] adalah organisasi
PKI?
Untuk menjawab pertanyaan ini saya tidak menggunakan tulisantulisan para pakar sastra baik asing seperti Keith Foulcher, Steven Miller,
ataupun dalam negeri seperti alm. Sanento Yuliman, tapi lebih bersandar
kepada apa yang saya ketahui sendiri serta keterangan-keterangan para
pimpinan pusat Lekra yang sempat saya temui ketika mereka masih hidup
dan yang masih hidup hari ini.
Oei Hay Djoen, salah seorang anggota sekretariat Pimpinan Pusat
dalam diskusi tentang turba yang diselenggarakan oleh Media Kerja
Budaya Jakarta dihadiri oleh Steven Miller dari Australia mengatakan
bahwa benar dalam Lekra terdapat seniman-seniman yang anggota PKI
tetapi mayoritas anggota Lekra bukanlah anggota-anggota PKI. Anggota
Lekra adalah orang-orang yang ingin menyalurkan bakat kesenian dan
ingin mendapat wadah berkesenian. Siapa-siapa yang hadir dalam
kegiatan lembaga-lembaga kejuruan Lekra otomatis sudah dipandang
sebagai anggota Lekra dan tidak pernah dilakukan pendaftaran
keanggotaan. Mayoritas mereka tidak mengerti dan tidak ada sangkut
paut dengan PKI, karena itu, kiranya patut direnung-ulang anggapan
bahwa Lekra adalah organ kebudayaan PKI. [lihat juga: Joebaar Ajoeb,
“Mocopat Kebudayaan”, fotokopie, belum diterbitkan. Saya usulkan
kepada para penerbit mana pun untuk menerbitkan karya berharga
Joebaar Ajoeb ini. Beruntung saya masih memiliki naskah ini ].
Secara kompisisi anggota-anggota Lekra bisa dibagi dalam tiga
kategori yaitu: [1].Seniman-seniman yang anggota PKI; [2]. Senimanseniman professional dan [3]. Orang-orang yang menyalurkan bakat
dan ingin mendapatkan wadah untuk berkesenian.
Kelompok pertama adalah sangat minoritas. Sesuai dengan ketentuan
PKI maka saban ada tiga orang anggota, maka mereka ini akan
membentuk grup, sedangkan jika lebih dari tiga orang mereka akan
78
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
membentuk yang disebut Fraksi PKI. Di dalam Lekra, terdapat grup
dan fraksi PKI sesuai dengan jumlah mereka. Tidak semua dan tidak
otomatis anggota PKI menjadi pengurus Lekra dan lembaga-lembaga
kejuruannya. Rapat grup dan fraksi terpisah dari rapat Lekra. Dalam
rapat-rapat Lekra, tentu saja anggota-anggota grup atau fraksi mengajukan
pendapat mereka dan posisinya sama dengan anggota-anggota lain yang
bukan anggota PKI. Keputusan diambil sesuai dengan keputusan
mayoritas sehingga tidak otomatis pendapat anggota-anggota PKI di
Lekra jadi panutan dan keputusan sebelum diputuskan. Tidak jarang
pendapat mereka tidak diterima oleh rapat. Konfernas Palembang Lekra
[1964?] mengenai Manifes Kebudayaan dan hubungannya dengan PKI,
saya kira sangat phenomenal. Konfernas Palembang menolak tuntutan
pembubaran Manifes Kebudayaan 6], dengan alasan masalah kebudayaan
dan pikiran tidak bisa dipecahkan secara administratif birokratis, sehingga
Konfernas Palembang memutuskan agar perdebatan perihal Manifes
Kebudayaan dilanjutkan secara terbuka. Hal lain yang penting dari
Keputusan Konfernas Palembang yaitu menolak tuntutan agar Lekra
dinyatakan sebagai organisasi kebudayaan yang berafiliasi dengan PKI.
Dengan keputusan konfernas Palembang nampak bahwa pikiran anggotaanggota dari fraksi PKI di Lekra tidak berhasil dimenangkan. Penolakan
ini menunjukkan kemenangan dua kelmopok anggota lainnya yang
menginginkan Lekra tetap sebagai organisasi kebudayaan profesional
dan otonom guna mengembangkan suatu gerakan kebudayaan di seluruh
negeri.
Adanya tiga kelompok anggota di dalam Lekra ini ditambah lagi
oleh adanya perbedaan pendapat di dalam tubuh PKI sendiri, membuat
perdebatan teoritis cukup sengit di dalam Lekra seperti yang tercermin
dalam konfernas Bali Lekra dan dalam antologi puisi Laut Pasang.
Adalah suatu kekeliruan memandang Lekra sebagai organisasi
kebudayaan yang bebas debat ide. Justru sebaliknya sangat hidup dan
berkembang seperti misalnya terbaca pada Prahara Budaya yang disusun
oleh Taufiq Ismail dan DS. Moelyanto. Hanya saja umumnya debat ini
jarang muncul ke luar Lekra. Barangkali diselenggarakannya Konfrensi
Nasional Sastra dan Seni Revolusioner [KSSR] di Jakarta padatahun
Agustus 1964, bisa dipahami sebagai salah satu bentuk pergulatan ide di
kalangan PKI dan dalam usaha mengendalikan Lekra, demikian juga
adanya ‘Harian Kebudayaan Nasional’ Jakarta.
Hubungan yang terdapat antara Lekra dan PKI adalah paralelisme
JJ. Kusni, Menoleh ke Belakang Melirik Esok
79
dalam ide kebudayaan yaitu bahwa sastra dan seni diabdikan untuk
kepentingan rakyat. Paralelisme ini disalahtafsirkan sebagai petunjuk
bahwa Lekra adalah organisasi yang dikendalikan oleh PKI. Menganut
paham seni untuk rakyat di negeri mana pun tidak otomatis ia adalah
berpaham komunis atau bagian dari Partai Komunis. Secara umum
barangkali ide ‘seni untuk rakyat’ di Indonesia bisa juga disebut sebagai
sastra-seni berpihak [l’art et litterature engagee]. Dalam hal ini barangkali
terdapatkan kreabunan penglihatan dan metode berpikir serta ketumpulan
analisa oleh situasi politik pada masa itu dan bersisa hingga sekarang.
Boleh dikatakan keberpihakan pada rakyat inilah yang menjadi perekat
utama anggota-anggota Lekra dan tidaklah terdapat pada ide atau paham
Marxisme. Karena itu Lekra tumbuh dengan pesat tanpa instruksi dari
mana pun menjadi suatu gerakan kebudayaan yang tumbuh dari bawah.
[Lihat:JJ.Kusni, “Cerita-cerita Kecil Untuk Aguk Irawan Ms. dan JJ.
Kusni, “Di Tengah Pergolakan. Pengalaman Turba Lekra”, Penerbit
Ombak, Yogyakarta, Agustus 2005].
Adanya paralelisme ide kebudayaan tentu saja terwujud dalam
bentuk kerjasama di lapangan berbentuk pementasan-pementasan oleh
Lekra atas permintaan organisasi-organisaasi yang berafiliasi dengan PKI.
Kerjasama atas dasar paralelisme ide kebudayaan ini, dengan organisasiorganisasi ini memungkinkan Lekra melakukan pertunjukan di
perkebunan-perkebunan, di desa-desa dan pabrik-pabrik, sesuai dengan
pandangan kebudayaan Lekra: “meluas dan meninggi”.
Di pihak lain praduga dan anggapan bahwa Lekra adalah organisasi
yang berafiliasi dengan PKI dan pertanyaan sejenis, sesungguhnya
pertanyaan dan anggapan yang tidak demokratis. Secara tersirat
anggapan dan pertanyaan demikian mengandung sifat anti Komunis
yang kental – hal yang memang diciptakan dengan sistematik oleh Orba.
Anti Komunis atau pro Komunis adalah hak masing-masing orang yang
patut dihormati. Tapi jika anti Komunis dibuntuti dengan pelarangan,
pembasmian hak hidup suatu organisasi atau ide, saya kira di sinilah
mulai sifat fasistis dan tidak demokratik yang bertentangan dengan ide
republik, Indonesia dan keindonesiaan. Kalau pun disebut juga
pandangan dan sikap begini sebagai demokratis, maka ia adalah
“demokratis pilihkasih atau diskriminatif ”. Adalah tidak bisa
dibayangkan terciptanya kerukunan nasional jika kita secara sukarela
memenjarakan pikir membelenggu sikap kita pada demokrasi pilihkasih
atau diskrimatif begini. Dengan ini saya melihat bahwa untuk Republik
80
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
dan Indonesia pertama-tama kita membebaskan diri dari belenggubelenggu demikian, terutama dari pihak pemegang kekuasaan, dan
kembali kepada ide Republik Indonesia [republik dan Indonesia] yang
merupakan serangkaian nilai bukan sekedar nama sebuah negara tanpa
makna. Memenangkan ide Republik dan Indonesia, saya kira, di sini
terletak juga peranan sastrawan dan seniman. Republik dan Indonesia
ini barangkali jika meminjam ungkapan Goenawan Mohamad adalah:
”…. Sebuah negeri yang ingin kita lepaskan tapi tak kunjung hilang” 7].
Republik dan Indonesia adalah konsep besar agung yang yang sedang
menjadi. Di sinilah sebenarnya budayawan, sastrawan-seniman
dihimbau untuk tidak alpa serta perlunya kita menoleh ke belakang melirik
esok.
***
Paris, Desember 2005.
Catatan:
1]. Seperti diketahui, Lekra terdiri dari berbagai lembaga kejuruan. Di
samping Lembaga Sastra, terdapat lembaga-lembaga: drama,
senirupa, seni musik, seni tari, filem. Lembaga ludruk, ketoprak,
dalang, karawitan, sudah membentuk lembaga-lembaga
sendiri,walau pun belum disahkan oleh Kongres tapi sudah giat
melancarkan akitvitas-aktivitasnya secara independen. Kongres Lekra
pertama diselenggarakan di Solo dan direncanakan Kongres ke II
akan dilangsungkan pada tahun 1966 guna menyimpulkan
pengalaman sejak Kongres Solo [1959?]. Ujungtombak kehidupan
kegiatan Lekra berada di lembaga-lembaga ini. Lekra berfungsi
sebagai kordinator dan penyimpul pengalaman berbagai praktek
lembaga-lembaga tersebut.
2]. Konsep hidup-mati manusia Dayak yang melihat bahwa bumi
adalah tempat anak manusia untuk hidup secara manusiawi dan
tugas manusia Dayak adalah untuk memanusiawikan manusia,
kehidupan dan masyarakat. Jika gagal menunaikan misi dan fungsi
ini maka manusia gagal dalam kehidupannya dan menjadi kambe
[hantu] yang tanpa tempat tinggal setelah mati. Sayangnya konsep
dan budaya lokal sekarang oleh banyak orang tidak diindahkan,
barangkali dipandang sebagai kadaluwarsa dan tidak tanggap zaman
JJ. Kusni, Menoleh ke Belakang Melirik Esok
3].
4].
5].
6].
7].
81
dan tidak aspiratif. Tidak modern tanpa jelas apa yang dimaksudkan
dengan modern, globalisasi serta tradisional.
Salim adalah seorang pelukis terkemuka Indonesia yang sejak usia
17 tahun memutuskan hidup di Paris sebagai pelukis.
Dikutip dari ‘Lampiran Khusus Majalah KANCAH, Paris, No. 10
–X-1984.
Dalam perkembangan selanjutnya, Lekra tidak lagi menangani
masalah ilmu, masalah yang kemudian ditangani oleh Himpunan
Sarjana Indonesia [HIS]. Demikian juga masalah olahraga diurus
oleh lembaga khusus dan tidak jadi urusan Lekra lagi yang
mengkhususkan diri dalam masalah-masalah sastra-seni.
Dalam percakapannya dengan saya di rumahnya di Jalan Pemuda,
alm. Joebaar Ajoeb, sekjen Lekra menyatakan bahwa dengan
pembubaran Manifes Kebudayaan oleh Presiden Soekarno, “Lekra
kecolongan”.Menurut Joebaar, pembubaran itu dilakukan atas usul
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Prijono, yang
anggota Murba dalam usaha menyelamatkan Partai Murba dari
pembubaran.
Goenawan Mohamad, “Sajak-sajak Lengkap 1961-2001”, Metafor
Publishing, Jakarta, Agustus, 2001.
***
82
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
KUDET
A SEP
AR
UH HA
TI
KUDETA
SEPAR
ARUH
HATI
Judul buku : Pembantaian yang Ditutup-tutupi
Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan Bung Karno
Pengarang: Lambert J.Giebels
Penerbit: Grasindo
Tahun: 2005.
Halaman: 288 hal.
Pada tahun 2005, sejumlah buku yang terbit mengambil tema
Peristiwa G 30 S dan selebihnya mengenai Soekarno, Presiden RI yang
pertama. Salah satu buku yang menarik bertema sama selama periode
tahun 2005, adalah buku tulisan Lambert J.Giebels yang berjudul
“Pembantaian yang Ditutup-tutupi”. Doktor Ilmu Sejarah yang lahir
tahun l936 ini, bukan orang asing di Indonesia. Tahun l970-an sampai
l980 –an , ia pernah menjad penasehat di Cipta Karya, Departemen
Pekerjaan Umum . Mantan anggota Tweede Kamer der-Staten-Generaal
( majelis rendah) Kerajaan Belanda ini, pada tahun l999 sudah pernah
menerbitkan buku mengenai Soekarno. Buku “Pembataian yang Ditutuptutupi”, ini,merupakan jilid terakhir dari seri biografi Soekarno dari
tangan Giebels.
JENDERAL DIBUNUH
Enam jenderal dibunuh di dinihari yang memisah malam 30 September dan pagi hari 1 Oktober 1965. Inilah “salvo” pertama kudeta
yang sejak langkah pertamanya sudah ditakdirkan bakal gagal; kudeta
separuh hati yang melenyapkan Partai Komunis yang diidentikkan
dengan kekafiran karena “dari sono”-nya sudah menyatakan agama
sebagai racun bagi masyarakat.Partai ini pun berhasil bangkit kembali
dari keruntuhan akibat pengkhianatan di Madiun tahun 1948, kala
Republik Indonesia yang masih sangat belia harus ber juang
memertahankan eksistensinya melalui perang melawan penjajah Belanda;
menjatuhkan, tanpa peduli, Soekarno, pejuang kemerdekaan dan
proklamator kemerdekaan Indonesia akibat obsesinya memertahankan
Nasakom dan dengan demikian tak kunjung membubarkan PKI. Walau
Kudeta Separuh Hati
83
sudah jelas tak adanya pilihan lain; menaikkan Soeharto ke jenjang
kekuasaan selama tiga dasawarsa lebih yang toh akhirnya harus lengser
juga akibat keterpurukan ekonomi gelembung sabun yang bangunannya
ternyata sangat rapuh berhadapan dengan terpaan krisis. Kudeta yang
dinilai merupakan campuran antara ketidakpuasan segelintir perwira
angkatan darat, niat PKI untuk mengomuniskan Indonesia, dan ambisi
seorang presiden untuk menjadi tokoh global dengan membangun sebuah
dunia baru melalui gabungan nasionalisme, agama dan komunisme.
Akhirnya hanya mewariskan luka-luka berdarah yang hingga kini —
empat puluh tahun kemudian —belum kunjung tersembuhkan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang pada 20 Oktober 2004
menggantikan Megawati, sudah menetapkan agenda prioritas berupa
“rekonsiliasi nasional”. DPR pun telah menetapkan asas hukum bagi
pelantikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) mencontoh Afrika
Selatan yang dengan kebesaran jiwa seorang Nelson Mandela dengan
keikhlasan yang tinggi rela meninggalkan hal-hal taruamtis akibat politik
apartheid kaum kulit putih yang berlangsung ratusan tahun. Dimensi
kemnusiaan dari kudeta 30 September – 1 Oktober 1965 menjadi jauh
lebih mencolok dibanding dimensi kepolitikannya mengingat korban
yang jatuh dalam jumlah besar layak mendapat penelitian seksama
benarkah mereka anggota dan kader komunis mengingat kesembronoan
PKI “merekrut” pengikut dari lapis masyarakat yang tidak tahu apa-apa
tentang politik dan akibat kepapaan hidup mereka dengan mudah sekali
diekspolitasi. Mereka inilah yang dimanipulasi oleh PKI untuk
melancarkan aksi-aksi yang mengakibatkan mereka menjadi korban
pembantaian. Tak ada yang tahu berapa jumlah pastinya, mendekati
pun tidak, tetapi kisaran angka setengah juta kerap disebut-sebut. Giebels
menyebut bahwa setelah lewat kurun 40 tahun ada kemungkinan bahwa
berpuluh-puluh kuburan massal di berbagai pulau dari tahun 1965-66
digali da mayatnya dikuburkan kembali secara khidmat. Sebuah
penyelidikan resmi mengenai pertistiwa-peristiwa di tahun-tahun itu
“akan bisa menyembuhkan luka-luka yang ditinggalkan oleh kenangan
pahit ini. Dengan katarsis ini bisa dibangun ‘jembatan emas’ menuju
suatu masyarakat Indonesia yang didukung oleh kelima sila
Pancasila....”
Dalam buku ini, Lambert J. Giebels memberi analisis tentang kup
yang gagal itu. Giebels juga mengupas waktu dua puluh empat jam
selama kup itu berlangsung, menggambarkan pembunuhan masal
84
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
sesudah kup, menguraikan manipulasi-manipulasi politik yang berakhir
dengan jatuhnya presiden Soekarno dan pengalihan kekuasaan ke tangan
jenderal Soeharto dan akhirnya mengungkapkan akhir hidup Bung
Karno yang sangat memalukan.”
Giebels mengambil tokoh utama Soekarno dalam buku ini , dan
peristiwa-peristiwa yang dikisahkannya dimulai dari pidato Bung Karno
yang berjudul Tahun Vivere Pericoloso (Tavip) pada hari kemerdekaan
RI pada 1964. Kesulitan-kesulitan dan perkembangan-perkembangan
tahun 1964 merupakan pembukaan kisah sedih yang berlanjut
sesudahnya. Epilog menunjukkan bahwa sesudah wafat, Soekarno “tetap
mempunyai pengaruh yang besar atas pekembangan-perkembangan politik
di Indonesia, yang akhirnya terwujud dengan terpilihnya Megawati
Soekarnoputri menjadi presiden. Ini menunjukan warisan politik
Soekarno masih tetap aktual.”
PENGGAGAS NASAKOM
Soekarno menyatakan bahwa rervolusi Indonesia tidak mengenal
akhir. Barang siapa tidak mau mengikuti Pemimpin Besar Revolusi akan
ketinggalan. Tulis Giebels, judul pidato Soekarno, ‘Vivere Periciloso’
mengungkapkan dengan jelas tahap mana yang telah dimasuki masa
pemerintahannya itu: Indonesia hidup di atas gunung berapi yang akan
meletus dalam waktu singkat. Dalam pidatonya itu Soekarno mencaci
maki mereka yang hipokrit yang dengan mulut memeluk panggilannya
untuk suatu revolusi permanen, tetapi yang di belakang punggungnya
merongrong konsep Nasakomnya.
Bung Karno mengangkat partai komunis menjadi partai pelopor,
sebuah partai yang ia perjuangkan sejak kemerdekaan. Jumlah penganut
komunis bertumbuh dengan pesat. Di tahun 1965 PKI berkata bahwa
sesuai hitungan terakhir mempunyai tiga setengah juta anggota dan selain
itu masih mempunyai dua puluh tiga juta penganut dalam organisasiorganisasi yang berafiliasi dengan PKI, yaitu buruh komunis SOBSI,
petani BTI, wanita Gerwani, dan partai Pemuda Rakyat. Jadi secara
total hampir dua puluh tujuh juta orang — yang menurut Giebels
sebagian besar terdiri dari orang-orang komunis nominal yang tidak
tahu menahu tentang ajaran Marxis. Walau dengan organisasiorganisasinya PKI tampak membentuk satu kesatuan yang berkuasa,
namun para pimpinan partai “merasa sangat frustrasi bahwa kelebihan
numeriknya itu tidak mereka konkretkan dalam pemilu. Posisinya yang
Kudeta Separuh Hati
85
dominan mempunyai dampak negatif. Oleh karena partai ini menguasai
panggung politik, semua kekuatan non-komunis mencoba menghalangi
penyelenggaraan pemilihan umum.” Sebetulnya amat diragukan apakah
Soekarno, melihat obstruksi partai-partai lain dan terutama tentara, bisa
memaksakan pemilihan umum. Mungkin juga ia tidak menginginkan
pemilihan. Dengan tidak adanya sebuah pemilihan yang meneguhkan
kekuatan PKI, ia bisa menjadikannya tetap tergantung kepadanya sebagai
bapak pelindung. Namun jalan PKI tetap tertutup mengingat Soekarno
— yang terang-terangan menyebut kesehatannya tidak begitu baik dan
akibatnya menimbulkan gunjingan tentang kemungkinan pengantian
dirinya — tidak menginginkan eksponen salah satu dari tiga aliran
yaitu nasionalisme, Islam dan komunisme menggantikannya. Ideologi
Nasakom Soekarno tidak mengizinkan salah satu di antaranya berkuasa.
Ini sekaligus menutup kemungkinan bagi pemimpin partai komunis, Aidit.
(hal :3- 4).
SOEBANDRIO KOMUNIS TERSELUBUNG ?
Lalu siapa yang dipandang oleh Soekarno sendiri layak
menggantikannya? Seorang komunis tidak mungkin, seorang militer juga
tidak — PKI tidak akan menyukainya. Tiga syarat yang harus dipenuhi
calon pengganti Soekaarno ialah, ia bukan anggota partai, seorang Islam dan seorang Jawa. Dari tiga pembantu utamanya (Leimena —
seorang Kristen; Chairul Saleh — seorang Sumatra; dan Soebandrio)
hanya Soebandrio yang memenuhi persyaratan itu. Soebandrio sendiri
— yang berusaha keluar dari bayang-bayang Soekarno — memang
berambisi menggantikan Soekarno. Ini diungkapkan Soebandrio secara
berhati-hati dalam sebuah sambutan yang ia berikan di Jakarta pada
tanggal 24 Oktober 1964, ketika sekali lagi presiden sedang jalan-jlan
keliling dunia. Penggantian itu sendir tidak boleh dalam bentuk kudeta,
katanya, dan menurut Giebels, Soebandrio memberi kesan bahwa
penggantian kekuasaan itu bisa dipercayakan kepadanya. Ini garansi yang
terbaik untuk, kalau kelak Soekarno sudah turun panggung, dengan
tenang berubah haluan dan menjadikan Indonesia sebuah negara yang
progresif. Ini mengambil contoh bahwa Indonesia sudah memasuki
revolusi tahap kedua, yaitu revolusi sosial. Dengan ucapan ini ia lebih
“kiri” dari Aidit, sebab sebagai seorang Marxis tulen, yang terakhir ini
baru berbicara tentang revolusi sosial kalau pertentangan kelas sudah
selesai diperjuangkan. (hal:5).
86
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
Atas desakan PKI agar Presiden secepatnya merevolusionisasi aparat
pemerintah, Soekarno kemudian membentuk Kotrar (Komando Tertinggi
Retooling Aparat Revolusi) yang dipimpinnya sendiri dan Soebandrio
menjadi penggantinya dan pemimpinnya sehari-hari. Ada kesan, menurut
Giebels, Soebandrio mewakili PKI namun dengan keras ia menyangkal
dirinya anggota partai komunis itu. Giebels dalam percakapan dengan
Soebandrio mempunyai kesan bahwa wakil menteri pertama dalam organ yang berkuasa itu tidak mempunyai keyakinan politik yang jelas,
melainkan senantiasa mencari tempat di pusat kekuasaan. Namun toh
ia memberi kesan tidak menolak rayuan kaum komunis, maka di mata
banyak orang mau tak mau ia menjadi seorang ‘komunis terselubung’.
(hal: 6).
Langkah Soekarno menghapus pusat-pusat non-komunis akhirnya
mengarah kepada sekelompok seniman muda yang di tahun 1963
menerbitkan Manifesto Kebudayaan di majalah bulanan Sastra. Di situ
mereka menandaskan bahwa kesenian tidak boleh tunduk kepada politik
melainkan kepada ‘humanisme internasional’ — jadi mengacu kepada
salah satu sila Pancasila. Manifes ini diserang oleh organisasi kebudayaan
komunis yang kuat, Lekra. Surat kabar Harian Rakjat yang komunis
mengolok-olok manifes ini dengan menyingkatnya menjadi ‘Manikebu’.
Dipimpin oleh penulis papan atas Pramoedya Ananta Toer serangan
dilancarkan terhadap kelompok pejuang kecil ini berulang kali. Anggota
kelompok ini juga dilarang bergabung dengan organ-organ yang dikuasai
pemerintah — para guru dan dosen misalnya, yang dianggap ada
hubungan dengan Manikebu, kehilangan pekerjaan mereka. Mereka
dipersalahkan oleh Lekra bahwa mereka, dengan melepaskan kesenian
dari politik, akan menyabot revolusi. Bagi Lekra, yang lalu dibantu oleh
Aidit dan Nyoto yang membuka suara di muka umum, tidak sulit untuk
meyakinkan presiden bahwa semua penganut Manikebu harus
diekskomunikasikan. Soekarno berpendapat bahwa di Indonesia semua
harus mengabdi kepada politik, terserah itu olah raga atau kesenian.
Dalam pidatonya Vivere Pericoloso, presiden memberi pengadilan
terakhir untuk nasib kelompok pejuang ini:
Sapu bersih kultur luar negeri yang gila itu. Kembalilah kepada
kebudayaan kit sendiri. Carilah identitas tradisional. Ganyang
Manikebu, karena mereka merongrong revolusi kita. (hal: 8).
Kutukan presiden atas kebudayaan Barat, oleh Lekra langsung
Kudeta Separuh Hati
87
dijadikan tanda untuk memboikot film-film buatan Amerika. Boikot ini
kemudian menjadi suatu kampanye anti-Amerika yang makin lama
makin ganas.
Bulan Oktober tahun 1964 Aidit mengumumkan bahwa kalau kelak
negara Nasakom sudah terbentuk, Pancasila tidak diperlukan lagi.
Penghinaan akan Ketuhanan ini menimbulkan usaha bersama terakhir
melawan kekuatan-kekuatan komunis. Kekuatan-kekuatan ini
berkonsentrasi di sekitar Badan Pendukung Soekarnoisme atau BPS
yang didirikan pada bulan Agustus. Intensi gerakan ini ialah
menghalangi Soekarno mengidentifikasi dirinya dengan PKI dan
mengimbau dia untuk memertahankan ide-idenya sendiri di hadapan
komunisme. Mereka mengungkapkan intensi-intensi ini dengan dengan
menyebut diri ‘Soekarnois’. Motor kaum Soekarnois, Sayuti Melik,
membakar mereka dengan serial tulisannya yang berjudul ‘Melindungi
semangat Marhaenisme’ yang merupakan jawaban terhadap ucapan Aidit
yang penuh provokasi itu tentang mubazirnya Pancasila. Melik tidak
hanya menyerang Aidit tetapi sekaligus juga menantang Soekarno. Melik
menyebut Soekarno telah tersesat meninggalkan ide-idenya sendiri. Ini
merupakan alat efektif untuk menggalang kesatuan para Soekarnois.
Hanya dalam waktu beberapa mingu saja seluruh pers non-komunis
berdiri di belakang BPS, didukung oleh menteri Nasution, panglima
angkatan perang Achmad Yani dan beberapa partai non-komunis
termasuk dua partai Kristen. (hal: 8-10).
Tanggal 2 Desember 1964 Soekarno menghimpun para pemimpin
kesepuluh partai politik yang masih diizinkan beroperasi di bawah
Demokrasi Terpimpin, serta presidium kabinet, di Istana Bogor . Sesuai
cara musyawarah yang baik, mencari penyelesain untuk konflik-konflik
yang telah timbul. Pertemuan itu menjadi sebuah pertemuan yang penuh
gejolak. Chaerul Saleh meletakkan dokumen rahasia di atas meja yang
agaknya mengungkapkan bahwa PKI sedang memersiapkan sebuah
ofensif yang berbahaya. Tujuan ofensif ini adalah untuk, setelah
melumpuhkan angkatan perang, meraih kekuasaan politik. Dalam
rencana kaum komunis ini, untuk sementara waktu Nasakom harus
ditunjang sebagai kendaraan yang akan mengantarkan PKI kekuasaan
kenegaraan. Menurut para penulis biografi Nasution yang dikutip Giebels,
dinas intelijen angkatan bersenjata telah berhasil menjaring rencana PKI
ini dan Nasution meneruskannya kepada Chaerul Saleh. Ketika
mendengar tuduhan-tuduhan yang diaahkan kepada partainya itu,
88
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
pemimpin PKI Aidit siap untuk baku hantam dengan wakil menteri
pertama Chaerul Saleh. Sesudah pertemuan itu, pada 17 Desember 1964
BPS dilarang karena ‘telah menyebabkan perpecahan dalam kekuatankekuatan revolusi yang progresif ’.
Sejak saat itu Soekarno melarang semua ungkapan yang ia sebut
‘fobia komunis’. Hubungan begitu erat antara presiden dan PKI terbukti
sewaktu berlangsung perayaan ulang tahun ke-40 PKI—didahului oleh
larangan terhadap pers pendukung BPS dan Partai Murba—yang
merupakan kemenangan buat PKI sekaligus menyudutkan dua menteri
utama, Chaerul Saleh dan Adam Malik. Perayaan ultah didahului
kongres partai. Di belakang kursi pembicara terpampang dengan huruf
besar-besar tulisan yang menjadi pertaruhan PKI: Kabinet Gotong
Royong—sebuah kabinet yang di dalamnya PKI akan berfungsi sebagai
mitra setara. Sambutan besar yang diberikan Soekarno benar-benar sebuah
pernyataan cinta kepada PKI dan pemimpinnya, Aidit, yang dipeluk
oleh presiden. Sebuah kebiasaan yang sungguh-sungguh bukan cara
Indonesia. Ia menyambut PKI sebagai partai revolusioner yang paling
konsisten dan Aidit sebagai benteng pertahanan republik.
Untuk menunjukkan keterikatannya kepada saudara-saudara
komunisnya, presiden berseru bahwa kematian mereka ia anggap sebagai
kematiannya sendiri—sebuah ucapan yang kelak ternyata akan bisa
dianggap sebuah ramalan. (hal: 11-12, 32-34).
RI - RR CINA
Kunjungan pertama Soekarno ke RR Cina di tahun 1956
meninggalkan kesan di hati Soekarno.Rasa antusias yang tak kunjung
hilang terhadap republik rakyat pimpinan Mao Zedong. Sewaktu
kunjungan kedua dilakukan di tahun 1961, kedua negara menanda
tangani sebuah perjanjian persahabatan. didahului kunjungan presiden
Liu Shaoqi di bulan April 1963 dan perundingan di Jakarta bulan April
1964—RRC . Indonesia saling beri dukungan kuat—di bulan November 1964 di Shanghai presiden Soekarno dan perdana menteri Zu Enlai
(Chou En-lai) mengadakan pertemuan yang ramai dibicarakan orang,
di saat itu Zu berhasil memikat Soekarno untuk bersekutu dengan RRC.
Perundingan ini diikuti sebuah kunjungan mendadak oleh menteri luar
negeri Cina, Marsekal Chen Yi, ke Jakarta. Hasil kunjungan terakhir ini
ialah bahwa pada tanggal 3 Desember dikeluarkan sebuah komunike
bersama yakni Indonesia dan RRC dengan keterbukaan yang jarang
Kudeta Separuh Hati
89
ditemui dalam hubungan diplomatik,menyatakan bahwa keduanya akan
menyelaraskan politik luar negeri mereka. (hal: 25-26).
Harap maklum, Cinalah sastu-satunya negara yang mendukung
politik konfrontasi Soekarno terhadap Malaysia. Cina pula yang
mendukung pembagian dunianya menjadi dua, Nefo (New Emerging
Forces) dan Oldefo (Old Established Forces). Maka Cina mendukung
gagasan penyelenggaraan Conefo (Conference of New Emerging Forces—
Konferensi Nefo) yang Soekarno tak berhasil menggalang dukungan di
konferensi Kairo sebelumnya. Bahkan dalam perbincangan dengan Zu
dan Chen Yi, digagas kemungkinan Conefo menjadi pengganti PBB.
Soekarno berilusi bahwa andaikata dengan dukungan Cina ia berhasil
menyelenggarakan Conefo, kebanyakan negara dunia ketiga akan
bergabung dengannya. Para pemimpin Cina memerkuat impian ini.
Bahkan oleh Chen Yi terang-terangan dikatakan, dalam kunjungan ke
Jakarta di bulan November 1964, bahwa tidak ada pemimpin lain yang
bisa memenuhi tugas yang besar dan historis ini kecuali satu, yakni Bung
Karno. Dan atas nama RRC ia berjanji kepada Bung Karno untuk
memberi segala bantuan dalam menjalankan tugas ini. (hal: 25-27)
Soekarno hidup dalam impian. Politik globalnya yang memimpikan
pengulangan konferensi Asia Afrika 1955 dalam skala lebih besar,
mencakup seluruh negara berkembang, yang akan dilanjutkan dengan
penciptaan sebuah tandingan PBB — yang sudah ditinggalkannya di
awal tahun 1965.Kehidupan pribadinya yang dipenuhi dengan
kesenangan duniawi yang membuatnya tertawaan dunia. Soekarno pun
(terutama bersama Dewi) tak melewatkan kesempatan untuk mengutip
persentase tertentu dari setiap investasi yang ditanamkan di Indonesia.
Ia larut dalam suasana ‘sang raja tak pernah salah’ (the king can do no
wrong), sementara hari-harinya sudah dihitung orang.
Sudah sejak 1964 dua kekuatan, PKI dan militer, memantau dengan
cermat kesehatan Soekarno yang tidak menutupi kenyataan bahwa
dirinya sakit: ginjalnya hanya tinggal sebelah yang berfungsi, itu pun
tidak benar-benar baik. Istilah Soekarno sendiri, ginjalnya adalah ‘pabrik
batu’. Namun keduanya masih tetap menghormatinya, dan sementara
pihak-pihak yang berpotensi mengganjalnya sudah diberangus semuanya
–tinggal angkatan darat yang menjadi duri dalam daging Soekarno
sementara angkatan udara dan laut tak ada masalah baginya, bahkan
angkatan udara — malah Omar Dhani, kepala stafnya, secara terbuka
menyatakan dirinya simpatisan komunis (hal:13) — ikut menyebarkan
90
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
melalui udara pamplet di kala PKI berulang tahun, dengan 1,000 lembar
di antaranya ditanda tangani oleh Aidit, siapa menemukannya dijanjikan
hadiah.
ANGKATAN BERSENJATA PECAH
Pecah belahnya angkatan bersenjata terjadi dengan lengsernya
Nasution dari hirarki kemiliteran, dan sementara kepolisian ‘memegang
kurs tengah’, yang lebih dominan di kalangan angkatan darat adalah
perasaan anti-komunis. Dengan personel sebesar 250,000 prajurit,
angkatan ini merupakan kekuatan yang terbesar. Soekarno mau tak mau
harus mampu menciptakan keseimbangan antara kaum komunis dan
antinya, tentara. Namun tentara sendirI juga tidak padu. Antara bekas
PETA (Pembela Tanah Air) dan KNIL (Koninklijk Nederlands-Indische
Leger) masih tetap terjadi pertentangan. Kelompok perwira yang
mendapat pendidikan di Fort Levenworth, termasuk Yani, selama di
AS tidak saja menjadi makin anti-komunis tetapi juga makin condong
ke kapitalisme. Mereka lebih tidak bersedia memertaruhkan kepentingankepentingan ekonomis yang telah mereka bangun dalam dunia usaha.
Dan perwira-perwira tinggi inilah, oleh karena memertahankan
kepentingan-kepentingan ekonomis dan kehidupan mewah yang mereka
tuntut, yang menjadi sasaran serangan para komunis. Kalau surat kabar
PKI Harian Rakjat memberitakan tentang para ‘kabir’ (bunyinya seperti
kafir) maka setiap orang tahu bahwa yang dimaksud ialah para pejabat
dan perwira tinggi yang korup. Golongan inilah yang dimaksud
Soekarno ketika ia dalam ‘Vivere Pericoloso’ berbicara tentang ‘orangorang hipokrit yang laknat’ yang hanya dengan mulut menganut ajaran
revolusinya, dan
... yang mengira bahwa Indonesia tidak bisa hidup tanpa mereka,
yang menganggap dirinya ‘presiden direktur’ republik ini, yang diamdiam mengharapkan — ya, saya sangat berterus terang — yang
berpikir: kalau nanti Soekarno sudah tidak ada lagi aku yang akan
menjadi presiden, menjadi raja Indonesia.
Sudah tentu bukan cuma markas besar angkatan bersenjata di Jakarta
ssatu-satunya wajah tentara. Tersebar di seluruh negeri ada dua puluh
satu Kodam. PKI telah menyebarkan propagandanya di antara para
serdadu dan perwira rendah dari ketiga divisi yang ditempatkan di Jawa,
yaitu Divisi Siliwangi di Jawa Barat, Divisi Diponegoro di Jawa Tengah
Kudeta Separuh Hati
91
dan Divisi Brawijaya di Jawa Timur, namun dengan sedikit sukses. Ahli
sejarah militer H.W. Noebel yang dikutip Giebels ( hal: 15) memerkirakan
bahwa di tahun 1963 kira-kira 30 persen militer pangkat rendah di Jawa
menjadi anggota PKI. Juga beberapa perwira militer rendah mulai
bersimpati kepada PKI—simpati yang untuk sebagian besar
disebabkanoleh kehidupan mewah yang dikejar oleh pimpinan tertinggi
angkatan perang di Jakarta.
DI TEPI JURANG KEKACAUAN
Perekonomian republik Indonesia nyaris hancur. ‘Ekonomi
Terpimpin’ yang diterapkan di bawah Demokrasi Terpimpin Soekarno,
di tahun 1965 arahnya menuju keruntuhan total. Semua tanda bahaya
menyala. Laju inflasi setinggi langit. Nilai tukar resmi rupiah untuk satu
dolar adalah 45 namun nilai tukar di pasar gelap bisa mencapai 10.000.
Mundurnya kesehatan fisik presiden Soekarno agaknya menjadi pembuka
menuju fase akhirnya. Tetapi ternyata ia sembuh kembali. Sesudah
kesehatannya seakan-akan oleh karena mukjizat bisa pulih kembali ia
menyerang musuh-musuhnya dan mereka yang ia anggap musuhnya,
di dalam dan di luar negeri, dengan membabi buta. Ia melancarkan
usaha teraakhir untuk menyelamatkan Nasakomnya dan menarik kaum
komunis ke dalam pemerintahan. Tetapi pimpinan angkatan darat tetap
tidak memberinya peluang untuk melakukan hal itu. Tali yang terantang
antara kaum komunis dan militer, di atas mana Soekarno harus menjaga
keseimbangannya, nyaris putus. Para pengamat di dalam dan luar negeri
dengan tegang menanti siapa yang melncarkan pukulan pertama, PKI
atau pimpinan angkatan bersenjata.
Kunci untuk pelaksanaan Nasakom ada di tangan tentara; itu telah
berkali-kali dibuktikan. Andaikata tentara mau menerima Nasakom,
maka tidak sulit untuk membentuk sebuah kabinet Nasakom di dalam
mana kaum komunis bisa mendapat tempat yang setara dengan yang
lain. Oleh karena itu Soekarno mengemukakan kepada para pemimpin
staf sebuh rencana untuk ‘menasakomisasi’ angkatan bersenjata. Di
dalam rencana itu kepada unit-unit pimpinan militer akan
diperbantukan tiga orang penasihat, satu dari golongan nasionalis, satu
dari golongan beragama dan satu dari golongan komunis. Ide itu
berasal dari Aidit, yang mencontoh sistem komisaris-komisaris politik
dalam bersenjata Cina dan Rusia. Sama halnya dengan usul Soekarno
untuk angkatan ke -5, angkatan udara, laut dan kepolisian menanggapi
92
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
usul Soekarno untuk nasakomisasi dengan positif, walaupun dengan
gairah yang berbeda-beda. Tetapi angkatan darat memberitahukan
bahwa menurut mereka ide itu aneh. Yani menolaknya dengan
pendirian menantang bahwa setiap komandan angkatan sudah
menyimpan di dalam dirinya unsur-unsur Nasakom, mereka tidak
membutuhkan penasihat untuk itu. (hal : 68).
Sementara komisaris-komisaris itu tidak kunjung dilantik, kursuskursus tentang ajaran Marxisme-Leninisme mulai dijalankan. Polisi
mengawalinya dengan kursus yang dibuka tanggal 1 September 1965.
Semu hadir termasuk keempat kepala staf. Dalam pidato pembukaannya
Soekarno menyela dirinya sendiri dan menegur keempat orang ini secra
langsung. Dengan nada bicara ia menyebut betapa angkatan udara, laut
dan kepolisian sudah ‘revolusioner’ karena sudah melangsungkan kursuskursus Marxisme-Leninisme. “Tetapi angkatan darat bukan sebuah
kekuatan revolusioner,” ia berteriak kepada Jenderal Yani. Dengan suara
memekik ia berteriak: “Saya akan menggunakan semua pengaruh saya
di antara rakyat agar mereka berbalik melawanmu. Bangsa Indonesia
akan menghancurkan kamu.” Yani dengan terang-terangan
menertawakan presiden yang menggerak-gerakkan tangannya penuh
amarah itu. Reaksi Yani yang menantang atas kata-kata presiden yang
berang itu menambah desas-desus yang sudah ada tentang sebuah dewan
jenderal dan perebutan kekuasaan yang sudah di depan mata. (hal :69).
Mulai akhir bulan Agustus 1965 pers dan orang-orang di jalan dengan
terang-terangan berspekulasi tentang berita ini. Bagi Soekarno kup para
jenderal yang mengancam ini, juga karena bisikan-bisikan Aidit, menjadi
sebuah obsesi. Setiap kali ia membicarakannya. Sebentar yang ini, lalu
yang itu yang dicurigai bersekongkol dengan para jenderal. Presiden
malah meminta pertanggungjawban istri Jenderal Nasution, begitu ibu
Nasution bercerita kepada Giebels. Menurut presiden ibu Nasution
sedang mengumpulkan dan auntuk pembiayan kup para jenderal itu. (
hal :69).
Sebagai obat penangkal racun melawan ancaman kup jenderal itu,
Aidit mengumukan bahwa ‘sebuah prakarsa dari kelompok perwira muda
yang progresif akan membatalkan, dari awal mula, semua usaha
perebutan kekuasaan yang dilancarkan para jenderal’. Tak pelak lagi
Jakarta dipenuhi desas-desus, diawali kunjungan Omar Dhani ke Beijing
di pertengahan September 1965; disebut-sebut untuk memercepat
pembelian 100 ribu puck senjata yang telah dijanjikan kepada Soebandrio
Kudeta Separuh Hati
93
ketika ia berkunjung ke sana di bulan Januari 1965. Omar Dhani
menyangkal, tetapi kemudian tersebar desas-desus lain yang mengatakan
bahwa kapal-kapal selam Cina telah menurunkan sejumlah besar senjata
di daratan Indonesia, yang oleh para anggota organisasi-organisasi
komunis di seluruh Jawa disimpan di depot-depot senjata rahasia.
Kemudian desas-desus itu disangkal. Yang ditemukan kemudian ialah
bahwa RRC memang benar secara rahasia memberi senjata, tidak kepad
PKI melainkan kepada angkatan udara. Senjata-senjata Cina yang
diselundupkan, senapan mesin tipe Chung, dimaksudkan sebagai
perlengkapan para sukarelawan angkatan ke-5, yang masih disebut dengan
nama hansip. Bulan September 1965 para instruktur angkatan udara
mulai melatih para hansip, berturut-turut tiga angkatan masing-masing
seribu orang. Para sukarelawan itu direkrut dari pelbagai daerah di Jawa;
untuk sebagian besar mereka adalah oirang-orang muda dari Pemuda
Rakyat dn anggota wanita komunis Gerwani. Latihan berlangsung di
kampung dekat pangkalan udara Halim—kampung dengan nama
Lubang Buaya ini kelak akan mendapat ketenaran yang mengerikan.
(hal: 70).
Desas-desus lain: Pemuda Rakyat membuat daftar berisi nama-nama
orang yang akan dibunuh. Aidit mengobar-ngobarkan api ini dengan
mendesak para pelajar untuk menukar buku-buku pelajaran mereka
dengan senjata. Akibat intimidasi-intimidasi ini seluruh penduduk yang
bukan komunis mulai menganggap PKI dan organisasi-organisasi
massanya sebagai musuh. Karena mereka takut, mereka mulai
membencinya. Di kalangan gerakan mahasiswa, Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) menjadi sasaran pembubaran. Tanggal 26 September 1965
Uni Mahasiswa Indonesia yang dikuasai komunis mengajukan
pemohonan kepada presiden untuk membubarkan HMI. Dalam suatu
pertemuan unjuk rasa mahasiswa komunis di Istora Senayan mereka
berseru kepada anggota kabinet yang hadir: “Bubarkan HMI! Bubarkan
HMI!” Menteri Leimena yang sulit mengatasi keadaan berseru bahwa
pemerintah tidak bermaksud membubarkan HMI karena mereka setia
kepada kebijakan pemerintah. Soekarno, yang diundang sebagai
pembicara, mendukung kata-kata Leimena. Tetapi kemudian ia bertanya
kepada Aidit, yang juga hadir tetapi tidak termasuk pembicara, untuk
memberikan penilaian. Reaksi yang ditanya menjadi tanda jelas dari
kebebasan bertindak yang berhasil dikembangkan si pemimpin komunis
di hadapan Soekarno—atau paling tidak yang ingin ia pamerkan di
94
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
depan pengikut-pengikut mudanya. Aidit berani membantah Soekarno
dengan berseru kepada para pemuda itu bahwa kalau pemerintah tidak
mau bertindak mereka sendiri yang harus menghabisi HMI. Itu terjadi
tanggal 28 September, dua hari sebelum kudeta. (hal:72).
Sepanjang September 1965 Soekarno dan Aidit hampir setiap hari
berpidato; Soebandrio pun tidak ketinggalan. Soekarno sendiri
mengungkapkan pada sebuah kongres PSII bahwa baru pada tahun 1926
ia dengan sepenuhnya mengidentifikasikan diri dengan pemberontakan
PKI masa itu melawan rezim kolonial. Ia malah dengan berani berkata
bahwa para pemimpin PKI yang sesudah pemberontakan dipenjarakan
oleh penguasa Hindia Belanda, dari dalam penjara menulis surat
kepadanya di mana mereka menganjurkan untuk melanjutkan
perjuangan melawan penjajah sebagai musuh PKI. Agaknya, kata
Giebels, Soekarno, demi identifikasi diri dengan PKI, bersedia memnulis
ulang sejarah. Lalu, pada tanggal 25 September Soebandrio
mengumumkan bahwa penumpasan para kabir — kata sandi untuk para
perwira yang anti komunis — sudah di ambang pintu. Arus pidato dan
sambutan penuh ancaman meningkatkan ketegangan di Jakarta sampai
ke titik didih. Yang menarik pula adalah bahwa Soekarno ketika sudah
hampir berangkat, tiba-tiba membatalkan kunjungan ‘incognito’-nya ke
Meksiko yang sudah diumumkan sebelumnya. (hal :72-73)
Dan tangal 30 September malam hari presiden memberi sambutan
di Istora Senayan pada kongres insinyur Indonesia. Di tengah-tengah
acara ia tiba-tiba menghentikan pidatonya dan lenyap dari panggung.
Hadirin khawatir kesehatan presiden tergangu lagi. Tetapi selang sepuluh
menit Soekarno kembali dn memngakhiri pidatonya dengan kata-kata
kiasan yang diambil dari pertempuran akhir para ksatria Pandawa
melawan Kurawa, seperti dikisahkan dalam Bhartayuda, bab terakhir
Mahabharata. Ini aneh, karena Soekarno dalam pidato-pidatonya hampir
tidak lagi menggunakan perumpamaan-perumpamaan yang diambil
dari dunia wayang. Apa yang ia ceritakan kemudian bermakna khusus
bagi pendengarnya karena sekan-akan merupakan suatu ramalan dari
peristiwa-peristiwa yang menyusul. Soekarno mulai, seakan-akan tibatiba mendapat wangsit, dengan berkata: “Sudah hampir pukul sebelas.
Marilah saya ceritakan sebuah kisah yang diambil dari Mahabharata.”
Soekarno berkisah tentang kesangsian Arjuna dalam perang Bharatayuda
karena ia harus memerangi kerabatnya sendiri, kaum Kurawa, termasuk
iparnya dan gurunya. Namun Kresna berhasil menggugahnya dan
Kudeta Separuh Hati
95
memberinya semangat sebagai ksatria untuk berperang, kewajiban
seorang ksatria. Memang benar bahwa yang berdiri di seberang adalah
saudara-saudaranya sendiri, bahkan gurunya yang ia cintai. Tetapi
mereka ingin menghancurkan kerajaan Pandawa. “Menyeranglah!” Kata
Soekarno, “Ini juga kewajiban kalian. Jalankan tugas itu, tanpa
memikirkan akibat-akibatnya.” (hal:74-75)
KUDETA SEHARI
Hanya dalam waktu dua puluh empat jam kudeta gagal karena
improvisasi dan koordinasi yang kurang baik; belakangan ternyata bahwa
sebenarnya aksi itu sudah dipersiapkan sejak berminggu-minggu
sebelumnya. Ketika para konspirator diinterogasi, terungkap bahwa
mereka terdiri dari sekelompok perwira yang tidak puas, dan beberapa
kaki tangan gelap Aidit. Awalnya adalah rapat politbiro PKI tanggal 18
Agustus 1965. Tiga orang peserta rapat yang kemudian diinterogasi
menceritakan betapa Aidit yang sedang dalam perjalanan ke Cina
dipanggil pulang lebih cepat oleh Soekarno karena kesehatan presiden
itu yang mundur. Diagnosis sangat mengkhawatirkan bahkan diberikan
oleh para dokter Cina. Tetapi para pimpinan tentara pun mengetahui
keradaan itu. Kepada rapat Aidit menyebut adanya sekelompok jenderal
tidak loyal yang karena mereka sekarang tahu bahwa hidup Soekarno
tidak lama lagi, merencanakan perebutan kekuasaan. Ia memeringatkan
bahwa ini bisa berarti akhir partai: ”Oleh karena itu saya condong untuk
mendahului mereka.” Aidit menambahkan bahwa di dalam jajaran
angkatan darat ada sebuah kelompok perwira — “perwira-perwira dengan
pandangan ke depan” ia menyebut mereka — yang ingin beraksi melawan
para jenderal ini. Perwira-perwira ini telah mendekati dia dengan
pertanyaan “bagaimana pendapat kita andaikata kita bersama-sama
berusaha mendahului mereka (para jenderal itu).” (hal :117).
Selanjutnya si ketua berjalan sendiri. Ia menyuruh sebuah biro
rahasia yang sudah ia dirikan sejak bulan November 1964, untuk
menginfiltrasi angkatan bersenjata. Dalam proses-proses pengadilan biro
ini disebut dengan nama ‘Biro Khusus’. Biro ini berdiri langsung di
bawah ketua partai; hanya beberapa anggota politbiro mengetahui tentang
keberadaannya. Dengan dilibatknnya Biro Khusus muncul di atas
panggung sebuah sosok yang misterius, Sjam. Sjam merupakan orang
yang begitu misterius sehingga orang mula-mula meragukan
keberadaannya. Tetapisatu setengah tahun setelah kup yang gagal, Sjam
96
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
ditahan dan setelah diinterogasi diseret ke pengadilan militer. Di sana ia
menanggalkan segala kemisteriusannya. Sjam, yang nama lengkapnya
adalah Kamaruzaman bin Ahmad Mubaidah, sama seperti Aidit, separuh
berdarah Arab. Mereka berkenalan semasa muda mereka di Riau. Sudah
beberapa tahun lamanya Sjam bekerja untuk Aidit. Analisis CIA tentang
kup Gestapu membuka beberapa fakta tentang Sjam dan Biro Khusus.
Sjam, koordinator biro, mempunyai dua pembantu, Pono, yang nama
lengkapnya Marsudidjojo, dan Subono alias Walujo yang mengendalikan
keuangan biro. Ketiga orang ini katanya telah membina kontak dengan
para perwira angkatan darat Untung, Latif, Supardjo dan perwira
angkatan udara Sujono. Logis klau Sjam memberi tahu ketua PKI tentang
kelompok perwira yang mau mendahului para jenderal dan ingin
bersekongkol dengan PKI. (hal: 119).
Untung kurang memercayai Sjam dan karena itu berusaha
menghubungi Aidit secara langsung tetapi melindungi Aidit dari kontak
dengan sesama konspiratornya. Oleh karena Sjam selalu berkata bahwa
ia berbicara atas nama Aidit, dari permulaan ia diserahi pimpinan untuk
segi-segi politik dari persiapan operasi itu, sedangkan Untung mengambil
pimpinan pembicaraan yang berkenaan dengan urusan-urusan militer.
Interogasi orang-orang yang terlibat memberi gambaran tentanbg
kegiatan para konspirator. Selama bulan September 1965 telah diadakan
delapan kali pertemuan dalam rangka persiapan kup, mula-mula di
rumah Latif, kemudian di rumah Sjam. Salah seorang peserta, Kaptem
Wahjudi, di kemudian hari berkata bahwa ia merasa rapat yang ia hadiri
itu seakan-akan suatu ramah tamah yang tidak mengikat; tidak ada yang
memimpin. Apa yang terungkap dalam proses-proses pengadilan tentang
pembicaraan-pembicaraan konspiratif itu adalah bahwa kurang jelas bagi
para pelakunya apa yang mereka inginkan. Ketika di kemudian hari
ditanya, Untung menerangkan bahwa Sjam jugalah yang menyebutkan
nama para jenderal yang menjadi sasaran kup. Nama-nama tersdebut
sama dengan yang disebut Aidit di hadapan Soekarno sebagai para
anggota dewan penasihat Yani, ditambah dengan Jenderal Nasution.
Memnurut keyakinan para konspirator, mereka ini bersama-sama
merupakan dewan jenderal yang ingin menjatuhkan Soekarno. (hal:121).
Yang kemudian hadir dalam pertemuan tanggal 28 September 1965
adalah konspirator terakhir dengan pangkat tertinggi, yakni Brigjen
Supardjo. Supardjo memberi tahu rapat bahwa hari itu para jenderal
mengadakan pembicaraan di sekolah tinggi angkatan bersenjata dan
Kudeta Separuh Hati
97
memutuskan untuk melakukan penggulingan kekuasaan yang telah
direncanakan itu pada tanggal 5 Oktober. Para konspirator
berkesimpulan bahwa jika mereka ingin mendahului para jenderal, mereka
harus bertindak cepat. Dalam rapat tangal 28 itu ditentukan bahwa tanggal
operasi adalah 30 September. Atas usul Sjam aksi yang akan dijalankan
diberi nama ‘Gerakan 30 September’. (hal: 121)
Pada rapat esoknya, 29 September 1965, dibuatlan persiapan terakhir.
Operasi dipimpin komando sentral yang disingkat Senko. Namu pada
saat-saat terakhir diketahui bahwa 30 tank yang dijanjikan Pono dari
kavaleri Siliwangi tidak datang. Untung sangat resah tetapi Sjam
meyakinkan bahwa mereka sebenarnya sama sekali tidak membutuhkan
tank kalau unit Pasopati (satu dari tiga unit yang dibentuk untuk operasi)
sudah menculik para jenderal. Akhirnya disusunlah delegasi Supardjo
yang akan memberi informasi kepada Soekarno di Istana Merdeka dan
akan mengantarnya ke Halim agar di sana ia bisa dihadapkan dengan
para jenderal yang tidak setia dan telah diculik itu. (hal:122).
Seperti rapat-rapat konspirator sebelumnya, Omar Dhani juga tidak
hadir dalam rapat tanggal 29. Supardjo memang telah memberitahu dia
tentang ancaman kup para jenderal dan bahwa mereka harus melakukan
tindakan pencegahan, namun tidak menyampaikan janji-janji kongkret
yang telah disepakati. Baru tanggal 30 September siang hari Omar Dhani
mendengar dari beberapa perwira angkatan darat bahwa akan ada
tindakan pencegahan kup, tetapi apa persisnya mereka kurang tahu. Seperti
dikatakan Omar Dhani kepada Giebels, malam harinya di rumahnya,
Omar Dhani mendengar dari seorang Letnan Kolonel udara, Heru
Atmodjo bahwa mereka akan menculik para jenderal dan membawanya
ke Halim, tetapi ia tidak tahu apakah itu akan berlangsung malam itu
atau keesokan harinya. Omar Dhani menyatakan ia kurang yakin akan
operasi itu. Menuruti saran wakilnya, Omar Dhani malam itu menginap
di Halim tanpa mengetahui adanya Senko, pasukan sukarelawan di
Lubang Buaya dan tentang kehadiran Aidit di pangkalan itu. Akibatnya
timbul kesan bahwa, kata Giebels, kup yang seakan-akan dipersiapkan
dengan teliti sekali, ketika mulai dijalankan macet dalam improvisasi
dan sangat kekurangan koordinasi. (hal:123).
Halim menjadi pangkalan kup yang direncanakan. Para pemimpin
kup menempatkan Sentral Komando (Senko) mereka mula-mula di
gedung pemetaan yang terletak antara Halimdan kota. Ketika operasi
mulai berjalan, kantor pusat mereka pindahkan ke rumah sersan di
98
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
pangkalan itu sendiri. Supardjo adalah perwira berpangkat paling tinggi
tetapi pemimpin operasi itu adalah Letnan Kolonel Untung yang berumur
40 tahun. Unit ketiga, pasukan Pasopati ditugasi ‘menculik dan membawa
ke Lubang Buaya” ketujuh jenderal angkatan darat yang berkomplot
melawan presiden. Waktu ditetapkan pukul 4 dini hari. Ketujuh sasaran
kesatuan penculik Pasopati adalah tempat Menteri Pertahanan Letnan
Jenderal Nasution, rumah Kepala Staf Angkatan Perang Letnan Jenderal
A. Yani dan lima orang dari staf yaitu Mayor Jenderal Soeprapto,
Harjono dan S. Parman dan Brigadir Jenderal Soetojo dan Pandjaitan.
Tak lama sebelum keberangkatan Pasopati, komandannya, Doel Arief—
yang menghilang sesudah kudeta—memberi instruksi terakhir. Ia
mengulang kembali perintah pertama untuk menculik para jenderal dan
membawa mereka ke Lubang Buaya. Mungkin menjawab pertanyaan
salah seorang pemimpin dari tujuh kelompok penyergap itu apa yang
harus mereka lakukan kalau ada jenderal yang melawan, Dul Arief
menambahkan sesuatu kepad instruksinya yang berakibat malapetaka
besar. Tambahan kata itu adalah bahwa mereka harus membawa para
jenderal ‘hidup atau mati’. Peristiwa-peristiwa sewaktu penyerbuan vila
Yani di Menteng menunjukkan bagaiman penculikan itu direncanakan
dan apa yang langsung tidak berjalan sesuai rencana. (hal: 82).
Ternyata hanya dalam beberapa jam kudeta itu gagal. Dalam versi
resmi pemerintah Soeharto, kudeta tanggal 30 September – 1 Oktober
1965 adalah sebuah kup PKI — ini juga sebabnya mengapa ia ditempeli
nama ‘Gestapu’ yang mengerikan itu. Pandangan ini bisa ditemui
kembali dalam sebuah versi tentang peristiwa ini yang pada tahun 1967
diterbitkan oleh ahli sejarah angkatan darat Nugroho Notosusanto dan
ahli hukum militer Ismail Saleh. Pendirian ini lalu dikukuhkan dalam
buku putih ‘Gerakan 30 September’ yang memakai judul kedua
‘Pemberontakan Partai Komunis Indonesia’. Kudeta dipersiapkan pada
rapat Politbiro tangal 28 September 1965, perihal keterangan Aidit tentang
ancaman makar dewan jenderal dan bahwa sekelompok perwira yang
‘memikir ke depan’ berusaha mengagalkannya. “Jadi awal, atau paling
tidak inisiatif,dari apa yang kelak akan dinamakan kudeta Gestapu, tidak
terletak di tangan PKI melainkan pada sekelompok perwira,” kata Giebels.
Lalu, siapakah perwira-perwira ini? Sebuah preliminary analysis dari
Universitas Cornell, yang tersangkut adalah para perwira dari divisi
Diponegoro di Jawa Tengah yang merasa frustrasi karena terbatasnya
peluang mereka untuk naik pangkat. Mereka ‘mencacat’ pimpinan
Kudeta Separuh Hati
99
angkatan darat di Jakarta yang hidup dalam kemewahan dan korup. Di
samping itu, hanya dalam daerah divisi mereka, Jawa Tengah telah
didirikan dewan-dewan revolusi. Oleh karena tak adanya penerbitan
hasil penyelidikan tentang latar belakang sedemikian ini, menjadi kurang
jelaslah sampai sejauh mana rencana para perwira divisi Diponegoro —
bersama para perwira lainnya yang membagi kritik mereka atas para
jenderal — telah matang ketika PKI bergabung dengan mereka.
Tentang keterlibatan PKI, “pengukuhan”-nya diperoleh dari
pengadilan atas para pelaku kudeta di tahun 1966. Ini makin dipertegas
lagi di tahun 1967 oleh para kader PKI yang sewaktu kudeta berada di
luar negeri atau menyingkir ke luar negeri dan mencoba dengan sia-sia
untuk mendirikan PKI dalam pengasingan. Para anggota PKI di luar
negeri mengumumkan bahwa kudeta seharusnya dilakukan “untuk
mendirikan sebuah kekuasaan nasional” yang mendahului sebuah
demokrasi kerakyatan Indonesia. Beberapa pengarang tidak percaya Aidit
memegang peranan di dalam persiapan maupun pelaksanaan kudeta,
Karena ia telah menentukan haluan bagi partainya untuk meraih
kekuasaan melalui kemenangan pemilu. Namun Aidit sendiri dalam
sebuah rapat Politbiro telah memberikan motif mengapa PKI harus
bergabung dengan para perwira yang tidak puas itu. Yakni, karena—
menurut perkiraan—kondisi fisik Presiden Soekarno rapuh. Aidit yakin
bahwa para jenderal angkatan darat, yang juga mengetahui hal ini, akan
menggunakan kesempatan sebelum Soekarno wafat dan bahwa sesudah
itu akan menumpas partainya. Menurut Giebels tindakan Aidit untuk
bergabung dengan rencana-rencana yang kurang matang itu baginya
tadinya merupakan contingency planning. Maksudnya ia ingin
menggunakan peluang yang ada dari sebuah perbuatan makar militer
yang berhasil oleh ‘para perwira yang mempunyai pandangan ke depan’,
tanpa melepaskan haluan yang diikutinya sampai saat itu. Dengan
demikian bisa dimengerti mengapa ia tidak melibatkan anggota lain
dari Politbiro. Hipotesis tentang contingency planning juga memerjelas
mengapa konspirasi dengan para perwira itu ia serahkan sepenuhnya
kepada biro yang berada di bawahnya, yang telah ia dirikan untuk
menginfiltrasi angkatan bersenjata. Bahwa peran sebagai konspirator ia
serahkan kepada sosok Sjam yang misterius itu mungkin karena Sjam
mempunyai pendidikan sebagai mata-mata—menurut laporan CIA, pada
tahun 1962, Sjam melakukan pekerjaan intelijen di Cina, Korea Utara
dan Vietnam Utara. Pertanyaan yang tidak terjawab ialah apakah Aidit
100
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
tidak sadar bahwa Biro Khusus sebenarnya tidak ada artinya. Aidit
mungkin tidak mencampuri persiapan-persiapan militernya. Oleh karena
itu ia mungkin tidak tahu bahwa persiapan ini tidak semantap seperti
telah digambarkan Sjam. (hal: 146).
Bahwa Nasution ditambahkan pada daftar jenderal yang diculik
juga menujukkan keterlibatan Aidit. Nasution adalah musuh PKI yang
paling disegani dan ditakuti. Dalam prosesnya Untung membenarkan
bahwa bawahan Aidit, Sjam, mengusulkan nama para jenderal yang
harus diculik. Pengumuman didirikannya sebuah Dewan Revolusi,
berasal dari PKI. Anggota Politbiro Sudisman mengungkapkan hal ini
dalam pengadilannya. Dewan ini bertugas membentuk sebuah kabinet
baru. Dalam jalan pikiran Politbiro , kabinet ini harus membuka jalan
untuk sebuah demokrasi kerakyatan (yang komunistis), seperti
dikemukakan para komunis Indonesia dalam pengasingan. Tetapi PKI
sendiri hanya memiliki wakil sedikit sekali di Dewan Revolusi ini. Sebuah
dokumen berjudul ‘Intelijen di Tokyo’ (perihal kemungkinan sebuah
komplot anti komunis angkatan darat Indonesia) dan diduga kuat
berasal dari kalangan angkatan darat. Dokumen Tokyo memberi
penjelasan tentang rencana-rencana PKI segera setelah Presiden Soekarno
turun panggung—mungkin sekali ini dokumen yang diperlihatkan
Chaerul Saleh kepada Aidit sewaktu rapat di Bogor pada tanggal 12
Desember 1964 . Ini yang membuatnya sangat marah; dokumen ini
diterima Chaerul Saleh dari Nasution dan konon berasal dari dinas
intelijen angkatan darat. Strategi PKI adalah pada waktu itu tidak
mencari konflik dengan angkatan darat melainkan mencoba mendirikan
pemerintahan peralihan. Pemerintahan peralihan ini harus berbentuk
kabinet Nasakom yang dipimpin seseorang yang mempunyai wibawa
nasional, yang harus menjadi awal untuk sebuah perebutan kekuasaan
oleh kaum komunis. (hal:148)
Laporan ini memberi penjelasan tentang maksud tujuan Politbiro
dan konstruksi aneh Dewan revolusi. Dewan ini harus membentuk sebuah
kabinet peralihan, mungkin di bawah Ali Sastroamidjojo—yang menurut
dokumen itu karena ‘congkak dan malas’ ia mudah dimanipulasi—yang
harus meratakan jalan menuju demokrasi kerakyatan. Tentang posisi
presiden selama massa peralihan itu, dokumen jelas tidak berkata apaapa, karena strategi ini berpangkal pada sebuah situasi di mana Soekarno
telah lenyap dari panggung politik Ketika Aidit menanggapi rencanarencana para perwira yang tidak puas, sebuah konflik terbuka dengan
Kudeta Separuh Hati
101
angkatan darat—atau paling tidak dengan pimpinannya—yang sesuai
strategi PKI sebenarnya harus ia hindarkan, tidak terlakkan lagi. Lagipula,
sebagai akibat dari mundurnya kesehatan fisik presiden dan ancaman
perebutan kekuasaan oleh para jenderal, pematangan taktis itu harus
berlangsung lebih cepat. Tetapi berbeda dengan yang disangka dalam
dokumen Tokyo itu, Soekarno tidak lenyap dari panggung politik.
Agaknya dengan mengungkapkan adanya ancaman perebutan kekuasaan
oleh sebuah dewan jenderal, Aidit telah mencoba melibatkan presiden
dalam sebuh strategi baru. (hal: 149)
Kalau taktik tidak sesuai dengan strategi asalnya, pelaksanaannya
hanya improvisasi sekadarnya. Seakan-akan Aidit membiarkan Sjam
berbuat sesuka hatinya. Sepanjang hari ketika ia berada di Halim,
pemimpin PKI ini menunjukkan sikap pasif yang mengherankan.
Keterangan masuk akal satu-satunya ialah bahwa ia menantikan pidato
radio di mana Soekarno akan secara terbuka menyatakan dukungannya
kepada Gerakan 30 September. Bagi Aidit ini pasti merupakan tanda
untuk menyuruh partainya, yang sama pasifnya pada tanggal 1 Oktober,
untuk turun ke jalan. Mungkin karena mengharapkan Soekarno akan
mendukung kup itu, Aidit menyuruh sebagian besar anggota Politbiro
untuk pergi ke daerah dengan pesan untuk mendengarkan radio agar
tahu kapan mereka harus mulai beraksi—seperti berhasil digali oleh
Notosusanto. Tetapi pidato di dalam mana Soekarno memberi
dukungannya kepada Gerakan 30 September tidak kunjung datang dan
para anggota Politbiro menunggu dengan sia-sia. Pelampiasan rasa
amarah tanpa daya Aidit ketika sedang dalam penerbangan menuju
Semarang mungkin sekali merupakan suatu ungkapan rasa kecewa melihat
kenyataan bahwa presiden Soekarno mengkhianatinya. Selama
penerbangan ini — ia mencopot jasnya dan menginjak-injaknya—
mungkin menjadi jelas baginya bahwa ia kalah bertaruh ketika
mendukung rencana penculikan perwira yang naas itu. Sejak saat ia
turun pesawat di Semarang Aidit mencoba untuk melepaskan PKI dan
dirinya dari kudeta tersebut. Namun sudah terlambat. Pasukan
sukarelawan, kehadirannya di Halim hari itu dan kepala berita yang sial
di Harian Rakjat pada saat itu menjadi petunjuk keterlibatan kaum
komunis dalam kudeta yang gagal itu. Banyak petunjuk baru diperoleh
dari proses pengadilan orang-orang komunis Indonesia yang melarikan
diri. (hal:150).
Penuntutnya yang paling utama akhirnya bukan Soeharto melainkan
102
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
sesama anggota politbiro yang bernama Sudisman. Selama proses
pengadilannya Sudisman meninggalkan kesan mendalam karena ia
sebagai satu-satunya pemimpin PKI yang masih tesisa di Indonesia.Ia
mau bertanggung jawab untuk apa yang harus diderita oleh orang-orang komunis akibat kup yang gagal itu. “Semua ini terjadi,” katanya
dalam kesaksiannya, “karena kawan Aidit mendasarkan perkiraannya
pada laporan-laporan yang dikeluarkan oleh Biro Khusus.” Ia
melontarkan ke arah Aidit salah satu tuduhan terberat yang bisa
dilontarkan dari seorang komunis kepada yang lain: ia menyebutnya
sebagai ‘petualang revolusioner’. Orang-orang PKI yang hidup dalam
pengasingan menambahkan tuduhan yang sama beratnya . Oleh karena
Aidit lebih mementingkan Nasakom Soekarno daripada perjuangan
golongan, mereka menyebut mantan pemimpin mereka seorang
‘revisionis’. (hal: 150).
KETERLIBATAN SOEKARNO
Pernyataan Soekarno bahwa ia dikejutkan oleh kudeta dan bahwa
ia hanya menjadi penonton pasif kejadian-kejadian itu, disangkal oleh
sejumlah besar fakta dan petunjuk. Indikasi pertama ialah bahwa tidak
lama sebelum kup, tiba-tiba ia membatalkan perjalanannya ke Meksiko
yang sudah direncanakan sebelumnya. Selanjutnya masih ada
pembicaraan antara Soekarno dan Omar Dhani pada tanggal 29 September 1965 di kamar tidurnya ketika panglima angkatan udara itu
berkata kepadanya bahwa perebutan kekuasan para jenderal sudah di
ambang pintu. Tetapi bahwa sekelompok perwira akan mengambil
tindakan pencegahan. Hari berikutnya, 30 September, Soekarno masih
mempunyai pembicaraan lain yang sangat memberatkannya, yaitu
pembicaraan dengan mantan ajudannya Sugandhi. Sugandhi
mengukuhkan pembicaraan ini di bawah sumpah. Menurut
keterangannya sendiri Sugandhi di dalam bulan September 1965 didekati,
mula-mula oleh anggota Politbiro PKI Sudisman dan sesudah itu oleh
Aidit, untuk bergabung dengan mereka. Pada tangal 30 ia menceritakan
hal itu kepada Soekarno, memeringatkannya bahw PKI sedang
memersiapkan sebuah kup. Soekarno menuduh Sugandhi ‘fobia
komunis’ dan berkata: “Belum tahukah kau tentang dewan jenderal?
Kau terlalu banyak mendengar kata-kata Nasution.” (hal:155),
Soeharto pun mendapat petunjuk serupa. Dalam brifingnya, ia malah
mengemukakan—mungkin berdasar informasi yang diperolehnya sendiri
Kudeta Separuh Hati
103
dari pengadilan Untung—tentang ‘lampu hijau’ yang diberikan Soekarno
kepada Untung malam itu, yang benar-benar sejalan dengan metafora
dari Mahabharata yang dijalin oleh Soekarno dalam pidato yang ia
berikan malam itu di hadapan para insinyur.Waktu itu ia beercerita
bagaimana para Pandawa telah menghajar saudara misan yang
memusuhi mereka, para Kurawa. ( hal:155).
Juga perilaku Soekarno pada tanggal 1 Oktober menunjukkan, kata
Giebels, ia terlibat dalam kup itu. Berita radio pertama Gerakan 30 September, yang direkam beberapa jam sebelum disiarkan, menyatakan
bahwa presiden pada saat berita itu disiarkan, berada dalam
perlindungannya. Di sini pun ada yang tidak sesuai dengan rencana:
waktu itu Soekarno berada dalam perjalanan menuju rumah Haryati.
Namun setelah tiba di sana, ia tidak ragu-ragu untuk bergabung dengan
para pelaku kup di Halim, di mana—dan inipun sebuah petunjuk bagi
keterlibatan Soekarno—telah disiapkan sebuah rumah dinas tentara
untuk ditempatinya. Soekarno lambat laun meragukan kesudahan kup,
walaupun demikian ia memilih untuk tetap tingal di Halim daripada
menuju ke Istana Merdeka untuk meminta pelindungan Kostrad.
(hal:156).
Sesudah kup gagal, Soekarno untuk waktu yang cukup lama
menolak untuk memetik konsekuensinya. Ia memertahankan Pranoto
sebagai Pjs. Panglima Angkatan Darat (A Yani), melindungi Omar
Dhani dan Supardjo dan tetap berhubungan dengan pimpinan PKI.
Bukannya menyuruh sebuah pemeriksaan yuridis, ia malah meremehkan
pembunuhan para jenderal sebagai ‘riak dalam samudra’—mungkin
dalam pengharapan bahwa halaman hitam dalam sejarah ini bisa ditutup
secepat mungkin. Bahwa ia akhirnya sadar bahwa taruhannya salah
dan perbandingan kekuatan yang menjadi dasar Demokrasi Terpimpinnya
telah berubah dengan radikal, semuanya sudah terlambat. (hal: 156)
Soekarno mencari perlindungan kepada Gerakan 30 September
melawan Dewan Jenderal yang menurut keyakinannya sedang
merencanakan sebuah makar. Belakangan ternyata sama sekali tak ada
rencana untuk menggulingkan pemerintah pada hari Angkatan Bersenjata
1965. Namun pihak pimpinan angkatan bisa dikatakan sangat lalai andai
kata mereka sampai tidak berantisipasi menghadapi situasi yang akan
berkembang kalau Soekarno lenyap dari panggung politik—sama seperti
dilakukan oleh Politbiro PKI. Sebuah telegram CIA yang terbuka untuk
umum bertanggal awal tahun 1965 (yang menjadi bagian dari berkas
104
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
Indonesia file di perpustakaan L.B. Johnson Library) menunjukkan
bahwa paling tidak sebagian dari para jenderal memang benar
memersiapkan diri untuk masa pasca-Soekarno dan memertimbangkan
untuk meraih kekuasaan, namun tanpa mencederai Soekarno sama sekali
dan tanpa ingin menurunkannya sebagai kepala negara konstitusional:
Dokumen-dokumen seperti ini menambah gencarnya spekulasi
tentang peranan CIA di belakang layar dalam memersiapkan kup
Gestapu. Memang hampir tidak diragukan bahwa para pembuat
kebijakan Amerika (dan juga Inggris) sudah beberapa waktu lamanya
menganggap sebuah perebutan kekuasaan militer sebagai jalan satusatunya untuk sesudah era Soekarno, menghindarkan perebutan kekuasan
oleh kaum komunis. Tetapi menurut John Subritsky yang baru-baru ini
membuat kajian mendalam tentang aktivitias-aktivitas dinas rahasia
Amerika dan Inggris di Indonesia, tidak ada petunjuk
‘Surat Gilchrist’ pada bulan Mei 1965 meyakinkan Soekarno bahwa
para jenderal berniat untuk, dengan bantuan CIA, menggeser dia—dan
mungkin menghabisinya. Aidit menyebut nama-nama mereka. Soekarno
dengan vokal meneyebarkan rencana para jenderal angkatan darat. Ia
malah menjadi terobsesi karenanya sampai Ibu Nasution pun ia anggap
ikut bersekongkol. Dari laporan Bambang Widjanarko diperoleh kejelasan
bahwa Soekarno dengan terbuka membuat rasa takutnya dengan orang-orang di sekelilingnya mengenai ancaman kup jenderal dan bahwa
ia mendesak agar mereka melakukan ‘sesuatu’ , dan juga bahwa beberapa
waktu sebelum tanggal 1 Oktober ia mengetahui bahwa jenderal-jenderal
yang tidak loyal itu akan ‘ditahan’. (hal:160).
Bahwa Letnan Kolonel Untung mengambil pimpinan militer dari
tindakan-tindakan melawan apa yang disangka kup para jenderal itu,
tidak mengherankan. Ia berasal dari sebuah sarang perwira yang tidak
puas di Yogyakarta, dan ia diberi tahu Jenderal Saboer, komandan
resimennya, bahwa presiden ingin terlepas dari jenderal-jenderal yang
tidak setia itu. Bola menggelinding terus kepada Untung dan kawankawan berhubungan dengan wakil Aidit, Sjam, yang bisa membuka
nama para jenderal yang tidak loyal itu.Di kalangan para konspirator
lalu timbul ide penculikan. Penculikan adalah suatu cara intimidasi yang
digunakan para pemuda dalam masa revolusi 1945-1950 yang romantis
itu, yang mereka sebut ‘aksi daulat’. Aksi ini mempunyai ciri yang bisa
disebut ‘penahanan di luar proses hukum’. (hal: 160).
Pertanyaan mendasar ialah apa yang menjadi tujuan penculikan
Kudeta Separuh Hati
105
yang merupakan awal kup Gestapu: pembunuhan atau penahanan? Dan
andaikata jawabnya ialah pembunuhan, siapa yang memerintahkannya?
Penilai Soekarno yang paling kritis pun, Nasution, membuang jauh
asumsi bahwa Soekarno memerintahkan untuk pembunuhan itu.
“Konklusi saya,’ kata Giebels, “ialah bahwa pembunuhan itu merupakan
hasil improvisasi naas yang menandai pelaksanaan kup itu, dan panik
yang timbul oleh karenanya.” (hal: 160-161)
Baik Supardjo maupun Untung selama proses pengadilan mereka
mengaku bertanggung jawab atas kematian para jenderal, tetapi sekaligus
menyatakan bukan mereka yang mengeluarkan perintah. Menurut
laporan CIA yang memberi perintah kepada kesatuan Pringgodani untuk
membunuh para tawanan ialah Sjam. Sjam sendiri pada waktu proses
pengadilannya berkata bahwa mereka kehilangan akal.
KUP DAN KONTRA KUP
Penculikan para jenderal sendiri bukanlah kup, dan pembunuhannya
juga bukan. Sebuah kup, dalam arti kata perebutan kekuasaan, adalah
didirikannya Dewan Revolusi. Peraturan No. 1 Gerakan 30 September
menggeser Kabinet Dwikora Soekarno dan mengumumkan bahwa
Dewan Revolusi akan mendirikan sebuah kabinet baru. Seperti tampak
dari Dokumen Tokyo maksudnya ialah agar kabinet ini berfungsi sebagai
kabinet peralihan menuju sebuah demokrasi kerakyatan (komunis).
Apakah Soekarno sebelum kup sudah diberi tahu tentang rencana Dewan
Revolusi yang adalah hasil karangan PKI?
Omar Dhani mengatakan kepada Giebels bahwa Soekarno, pada
saat nama-nama para anggota dewan diumumkan melalui radio,
membuka di atas meja lipatan kertas berisi daftar nama yang sebelum
itu ia terima dari Jenderal Saboer, dan mengikuti nama-nama yang
dibacakan dengan jarinya. Sesudah pembacaan selesai, ia hanya berkata
bahwa cuma ada tiga orang anggota PKI yang tercantum pada daftar
itu—dari nada suaranya Omar Dhani tidak bisa menarik kesimpulan
apakah itu meresahkan atau malah menenangkan hatinya. (hal: 164)
Soekarno tidak mendukung sebuah republik rakyat komunis yang
sesuai rencana PKI menjadi tujuan akhir sebuah pemerintahan peralihan
Nasakom. Karena bukankah dengan demikian impiannya tentang
sebuah kerja sama politik antara tiga aliran ideologis utama dalam
negaranya akan berakhir, hal yang juga akan terjadi kalau PKI jatuh.
“Konklusi saya,” kata Giebels, “ialah bahwa keterlibatan Soekarno
106
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
terbatas pada mengetahui rencana penculikan para jenderal yang tidak
loyal yang menghalangi konsep Nasakomnya. Mengenai apa yang
harus dilakukan sesudah itu, ada beberapa opsi yang bisa dipilih, berkisar
dari penahanan sampai pengangkatan sebagai duta besar di sebuah
negara yang letaknya sejauh mungkin dari Indonesia. Semua yang
terjadi pada tangal 1 Oktober 1965 melampaui aksi penculikan itu
sendiri, mengagetkannya. Didudukinya lapangan Merdeka di pagi hari
ketika ia diantar ke Istana dari Halim, merupakan kejutan pertama.
Pembunuhan para jenderal lebih meresahkan lagi. Hal ini pasti
diberitahukan oleh Jenderal Supardjo pagi hari itu, sebab kalau tidak,
tidak bisa dimengerti mengapa ia memberi perintah untuk ‘menghetikan
pertumpahan darah’. (hal:164-165)
Bukannya mendukung Gerakan 30 September, seperti diharapkan
oleh para pelaku kup, sesudah pengumuman Dewan Revolusi yang sama
sekali tidak menyebut namanya, presiden malah makin menjauhkan diri.
Tanpa melibatkan Senko ia menyuruh Jenderal Saboer mengumumkan
melalui radio bahwa dia dan bukan Untung atau siap saja, adalah kepala
negara, dan mengimbau Jenderal Supardjo untuk mengakhiri aktivitasakrtivitas dan siaran-siaran radio Gerakan 30 September. Walaupun
Soekarno berusaha menegakkan wibawanya, dengan berjalannya waktu
hari itu makin jelas baginya bahwa ia tidak menguasai keadaan. ( hal:165)
Bisa dikatakan kontra kup mulai berjalan ketika Soeharto menolak
untuk memberi izin kepada orang-orang yang dipanggil Soekarno untuk
menghadap kepadanya di Halim. Namun Soeharto membela diri dengan
argumen bahwa pada tangal 1 Oktober itu ia tidak tahu apakah presiden
bebas atau menjadi tahanan Gerakan 30 September. Sebuah awal yang
jelas dari kontra kup itu ialah rapat di kamar kerja Soekarno di Istana
Bogor, sehari sesudah kup yang gagal. Dalam rapat ini Jenderal Soeharto,
ternyata tidak bersedia melepaskan posisi yang telah berhasil ia raih sehari
sebelumnya. Presiden tidak bisa berbuat lain kecuali meneguhkannya
dalam tugas yang dipangku jenderal atas inisiatifnya sendiri: memulihkan
ketertiban dan keamanan Soeharto menggunakan kesempatan ini untuk
mendirikan sebuah pusat kekuasaan, Kopkamtib, yang tidak hanya
memberinya wewenang militer tetapi juga wewenang sipil. Soeharto
hanya membutuhkan waktu dua minggu untuk menggeser Pranoto.
Sesudah itu ia sendiri mengambil alih dari Soekarno fungsi sebagai
Kepala Staf Angkatan Darat dan membiarkan dirinya dilantik sebagai
Menteri Pertahanan, menggantikan Nasution. (hal: 166).
Kudeta Separuh Hati
107
PERAN SOEHARTO
Cerita yang masih tetap beredar ialah bahwa Soeharto dari awal mula
dengan sangat licik menggunakan kup Gestapu untuk bisa menjadi
presiden. Wertheim sudah dalam tahap awal mengembangkan teori ini
sesudah ia, begitu keterangannya sendiri, seperti detektif terkenal Hercule
Poirot menggabungkan semua pecahan teka-teki yang harus mendukung
teori ini. Teori ini dihidupkan kembali oleh sebuah buku yang diterbitkan
oleh Latief, salah seorang pelaku utama kup setelah pada tahun 2000
dibebaskan dari penjara, dengan judul yang cukup jelas: Keterlibatan
Soeharto dalam kup Gestapu. Di dalam bulu ini Latief menunjuk Soeharto
sebagai otak jahat di belakang kup, termasuk pembunuhan para jenderal.
Banyak orang Indonesia saat ini yakin benar bahwa Presiden Soeharto
yang telah jatuh dan dicela itu, yang memang sudah dianggap sebagai
sumber segala kejahatan, benar memainkan peranan yang rendah ini. (Di
samping Latief, Soebandrio dan Omar Dhani pun yakin tentang hal ini,
bahkan juga Ruslan Abdulgani yang biasanya berkepala dingin).
SUGESTI LATIF MACET
Walaupun judul bukunya menarik, Latief macet dalam sugestinya.
Giebels bertanya apakah ia punya bukti. Latief, yang karena gangguan
pada pembuluh otak sulit berbicara, dengan perantaraan putrinya sebagai
juru bahasanya, menyatakan hal berikut untuk membuktikan kepadanya
(Giebels) keterlibatan Soeharto dalam kup yang gagal itu. Pada tanggal
28 September, dua hari sebelum kup yang gagal, ia memeringatkan
Soeharto dalam kehadiran keluarga—masing-masing istri hadir, juga
sepasang suamiistri lain—bahwa bakal ada kup jenderal. Soeharto tidak
percaya tuduhan yang dialamatkan kepada para mitranya. Walaupun
demikian kata Latief, ia mendapat kesan bahwa Soeharto memihak
mereka, dan ia menyampaikan kesannya kepada teman-teman
konspiratornya. Oleh karena itu malam sebelum kup, pada tanggal 30
September, ia disuruh menemui Soeharto untuk memberitahukan rencana
mereka. Berita ini disampaikan Latief kepada Soeharto di rumah sakit
militer Gatot Subroto di mana Soeharto sedang menjaga putranya yang
diopname di rumah sakit itu karena kejatuhan panci berisi sup panas.
Latief berkata bahwa selama pertemuan di rumah sakit itu ia bercerita
kepada Soeharto bahwa mereka akan menculik jenderal-jenderal yang
tidak loyal. Sang jenderal menanggapinya dengan pertanyaan siapa yang
108
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
memegang pimpinan. Latief menjawab bahwa Untung yang memegang
pimpinan, dan Soeharto hanya mengangguk. Itulah akhir pembicaraan
mereka. (hal:168)
Soeharto tidak menyangkal bahwa ia bertemu dengan Latief di
rumah sakit. Namun versi yang ia berikan bermacam-macam. Kepada
Arnold Brackman ia berkata bahwa memang benar Latief berbicara
dengannya, yaitu menanyakan keadaan putranya. Tetapi di dalam
memoarnya Soeharto berkata bahwa bahwa ia hanya melihat Latief
berjalan melewati jendela ruangan tempat putranya terbaring. Jelas, kata
Goiebels, Soeharto merasa ‘kisruh” atas pertemuannya dengan Latief
malam sebelum kup. Di lain pihak dalam uraian Latief terkandung sesuatu
yang bertentangan yang membuat hal ini makin kurang jelas. Ia berkata
bahwa Soeharto mengentengkan prasangka yang ada terhadap para
jenderal. Walau demikian para konspirator menganggap jenderal ini
sebagai sekutu, mereka malah memberi tahukan rencana penculikan
mereka kepadanya. Giebels berasumsi bahwa dalam pertemuan kedua
lelaki di rumah sakit itu, telah terjadi komunikasi verbal dan nonverbal,
seperti digambarkan Latief. Maka yang menjadi soal di sini adalah
bagaimana menafsirkan anggukan kepala Soeharto ketika Latief
menceritakan kepadanya bahwa Untung akan memimpin penculikan.
(hal:169).
Orang bisa beranggapan bahwa Panglima Kostrad ini menganggap
sebuah penculikan—yang lalu akan disusul oleh sebuah musyawarah di
hadapan Presiden Soekarno, yang menurut Harold Crouch adalah kirakira hasil yang bisa diharapkan—melihat perspektif untuk karirnya
sendiri, lebih-lebih karena si pelaksana, mantan bawahannya Letnan
Kolonel Untung, tidak bisa dianggap sebagai saingan. Jenderal-jenderal
Indonesia, kata Giebels, tidak segan-segan mencari promosi dengan
merugikan koleganya—Jenderal Yani, yang dengan demikian meraih
posisi Nasution, menjadi contoh soal. “Jadi kita,” kata Giebels, “harus
mempunyai jiwa yang sangat spekulatif untuk menafsirkan anggukan
kepala Soeharto sebagai keputusan untuk menyuruh membunuh tujuh
orang koleganya, apalagi menganggapnya sebagai bukti bahwa ia yang
merencanakan sebuah kudeta yang harus gagal aga ria bisa menjadi
presiden Indonesia.” Bahwa Soeharto belakangan merasa kisruh dengan
pertemuan di rumah sakit itu dan bahwa ia oleh karena itu, tanpa
mengingkarinya, menceritakannya sedikit lain, bisa dimengerti. Dengan
pertemuan itu, dilihat dari segi informasi, ia jauh lebih maju daripada
Kudeta Separuh Hati
109
jenderal-jenderal lain. Ketika pagi hari tanggal 1 Oktober mendengar
tentang adanya tembakan di rumah Yani dan tak lama sesudah itu
melihat pasukan-pasukan yang tidak dikenal di lapangan Merdeka, ia
langsung bisa mengira bahwa ini ada hubungannya dengan penculikan
yang telah diberitahukan itu,tetapi juga ada yang tidak berjalan menurut
rencana. Oleh karena ituia langsung bisa beraksi. Orang berkata tentang
Soeharto bahwa ia tidak takut untuk membungkam para saksi yang bisa
menyusahkan dia, Yang disebut sebagai contoh adalah Aidit, yang
katanya ditembak di tempat atas perintah Soeharto—’ditembak ketika
melarikan diri’—begitu kata Soeharto dalam otobiografinya. Kalau
Soeharto dengan memerlakukan saksi-saksi yang membahayakan dirinya
dengan demikian kejamnya, maka tidak masuk akal bahwa ia memberi
grasi kepada Latief sesudah yang terakhir ini divonis hukuman mati,
sehingga 35 tahun kemudian bisa mengeluarkan tuduhan-tuduhan yang
begitu menghancurkan nama Soeharto. (hal: 169-170).
Pembalasan dendam atas kematian para jenderal menyebabkan
terjadinya sebuah pembantaian massal di seluruh Indonesia, yang di
kawasan Asia hanya dikalahkan oleh pembanataian yang dilakukan Pol
Pot di Kamboja. Para pemimpin militer Orde Baru mengikat janji dengan
para pemimpin mahasiswa yang mengorganisasi massa melawan Orde
Lama. Sesudah komunisme dilenyapkan, demonstrasi-demonstrasi itu
ditujukan kepada Seokarno pribadi. Dengan putus asa ia mencoba
memulihkan wewenangnya yang sesudah kudeta Gestapu sangat
tercemar itu. Oleh Soeharto dan kekuatan-kekuatan di belakangnya
Soekarno makin terdesak dalam pengasingan. Ia dihalang-halangi hingga
tidak bisa memobilisasi pengikut-pengikutnya di antara rakyat jelata yang
masih tetap setia kepadanya. Dengan perlahan tetapi pasti Soekarno
kehilangan wewenangnya yang menjadi bagian dari kedudukannya
sebagai presiden. (hal: 172).
Giebels dalam buku menempatkan diri lebih sebagai pemotret, berdiri
di tengah dan hanya menyodorkan data, menyambung data, tanpa harus
menyimpulkan lebih jauh. Terserah kepada pembaca untuk menarik
kesimpulan masing-masing. Buku ini, akan sangat berarti sebagai rujukan
dalam wacana yang disebut pembantaian yang ditutup-tutupi itu.
Semua berperan
Dalam bukunya Giebels tampak memberi porsi kurang lebih sama
rata kepada pihak-pihak yang terlibat di dalam peritiwa fatal di dinihari
110
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
30 September – 1 Oktober 1965 itu. PKI memang berniat mengambil
alih kekuasaan di Indonesia. Banyak kali disebut-sebut betapa PKI tidak
menghendaki kudeta berdarah, sebab perebutan kekuasaan itu hanya
sasaranantara untuk nantinya dibangun sebuah pemerintahan demokrasi
rakyat. Tetapisebenar nya PKI menghalalkan saja segala cara
pengambilalihan itu. Kalau memang bisa tanpa pertumpahan darah,
baik saja. tetapi kalau terpaksa dengan jalan berdarah, itu pun baik-baik
saja. Melalui persekongkolannya dengan RR Cina — setelah berpalingdari
Rusia — PKI sampai mengatur pengiriman senjata dari RRC untuk
memersenjatai Pasukan Ke lima, yakni barisan tani dan buruh. Mereka
direncanakan akan bahkan mengendalikan kesatuan-kesatuan angkatan
bersenjata Indonesia. Dan senjata-senjata itu memang benar-benar
dikirim dan disebarkan di kalangan Pemuda Rakyat, Gerwani dan lainlain sewaktu persiapan dilakukan di kompleks Halim Perdanakusuma
pada 30 September malam. Tetapi gelagat kegagalan sudah tampak ketika
tank-tank yang dijanjikan aka didatangkan dari Divisi Siliwangi tak
menampakkan diri. Para pemimpin PKI merasa betapa kesehatan
Presiden Soekarno yang memburuk—bahkan nyaris fatal menurut para
dokter Cina yang didatangkan untuk merawatnya — mengharuskan
mereka mendahului ‘Dewan Jenderal’ yang telah mengetahui informasi
kesehatan presiden dan berencana mengambil alih kekuasaan juga.
Namun untuk melakukan kudeta sendirian, PKI tak memiliki sarana
yang memadai untuk menghadapi ‘Dewan Jenderal’ yang pasti memiliki
anak buah dan senjata sangat mencukupi.
Tetapi upayanya mengatur operasi bersama ‘para perwira yang
berpandangan kedepan’ tak berjalan mulus juga. Sampai tingkat tertentu
memang para perwira yang berasal dari Jawa Tengah bersedia
menempatkan diri mereka di bawah komando PKI, dalam hal ini ketua
pengelola Biro Khusus, Sjam (Kamarusaman). Namun sebenarnya
motivasi mereka berlatar belakang bukan politik, yakni, ketidakpuasan
mereka melihat para senior mereka di Jakarta hidup dalam kemewahan
dan korup, sementara peluang mereka untuk naik pangkat senantiasa
terhambat. Akibatnya, dalam kenyataan mereka seperti dieksploitasi dan
dimanipulasi oleh PKI lebih untuk kepentingan partai komunis itu.
Seandainyapun perwira-perwira muda itu ‘kebagian jatah’ ya itu rezeki
merekalah. Satuan-satuan dari Jawa Tegah dan Jawa Timur yang
didatangkan ke Jakarta semula lebih dimaksudkan sebagai peserta
peringatan Hari Angkatan Bersenjata dan dimanfaatkan untuk tujuan
Kudeta Separuh Hati
111
kudeta. Tetapi seperti tampak dalam kenyataan yang terjadi, koordinasi
para pelaku kudeta tidak berjalan dengan akibat tentara-tentara yang
ditugasi menjaga kawasan Medan Merdeka malah kelaparan dan
meminta makan kepada Kostrad yang berada di bawah Komando
Mayjen Soeharto.
Yang paling fatal ternyata adalah pembunuhan para jenderal, tak
tidak berjalan menuruti skenario awal. Para jenderal itu sebenarnya hanya
diharuskan diculik untuk dihadapkan kepada Presiden Soekarno atas
sikap ‘mbalelo’ mereka. Sanksi yang mereka terima paling adalah
penugasan sebagai, antara lain, dutabesar di negara yang jauh, sejauh
mungkin,dari Indonesia. Tetapi tidak dibunuh. Kekeliruan terjadi
diperkirakan pada saat-saat terakhir ketika kesatuan Pasopati diberi
taklimat oleh komandan Dul Arief. Dalambuku Giebels disebutkan,
barangkali, menjawab pertanyaan “kalau mereka melawan bagaimana”.
Nah, di situ tampaknya muncul kata-kata “bawa mereka, hidup atau
mati’ — Doel Arif sendiri menghilang tak tentu rimbanya setelah kudeta.
Dari situlah peristiwa bergulir cepat sekali dan berakibat fatal bagi PKI
sendiri. Pembunuhan atas jenderal-jenderal itu merupakan bumerang
belaka. Kudeta itu hanya berlangsung sekitar tujuh jam namun
pembalasannya menghabisi PKI ‘sampai ke akar-akarnya’ tanpa hak hidup
kembali selamanya di Indonesia dan persoalannya sampai kini belum
kunjung tuntas. Aidit sendiri dicap sebagai ‘revisionis’ oleh bekas anak
buahnya kala persidangan berlangsung. Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) yang meniru Afrika Selatan, masih harus bekerja
keras merukunkan pandangan-pandangan yang masih bersilang selisih
mengenai bagaimana sikap yang sebaiknya diambil, apakah seperti Afrika
Selatan yang sepenuhnya ‘lupakan masa lalu yang pahit’ dan tatap masa
depan bersama atau bagaimana. Dengan begitu, kerukunan bermakna
tidak cuma sepihak.
Giebels pun tak sependapat kalau Soekarno hanya merupakan
penonton pasif dari peristiwa-peristiwa yang berlangsung. Dalam banyak
kesepatan ia seperti mengidentikkan diri dengan PKI, terlebih melalui
obsesinya untuk menegakkan negara Nasakom yang merupakan paduan
antara nasionalisme, agama dan komunisme. Degan demikian ia
“memarahi’ mereka yang dipandangnya tidak revolusioner seperti
angkatan darat yang tak mau berbaik-baik dengan PKI — karena kalau
PKI sampai berkuasa kedudukannya setara dengan kelompok nasionalis
dan agama dalam kabinet Nasakomnya Soekarno; sementara itu
112
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
kecondongan PKI ke arah RR Cina hanya akan memberi jalan masuk
kepada RRC untuk mendesakkan kemauannya ke negara-negara Asia
Tenggara, khususnya Indonesia. Bahkan tamsil Soekarno di tanggal 30
September malam, tentang Perang Baratayudha menempatkan PKI
sebagai Pandawa — yang dalam epos itu menang atas lawannya —
diberikan Soekarno setelah ia mendapat bisikan dari Letkol Untung,
diperkirakan gerakan terhadap ‘Dewan Jenderal’ segera akan dilancarkan.
Demi Nasakomnya dan dengan demikian ia selalu berang terhadap sikap
‘komunisto fobi’ terlihat dari percakapnnya dengan ajudannya, Sugandhi,
yang memberi tahu tentang rencana kudeta komunis dan sangkalannya
tentang keberadaan Dewan Jenderal.
Soekarno juga tidak menyembunyikan ketakutannya akan para
jenderal pembangkang yang tak mustahil ‘menghabisinya’ walau dalam
salah satu informasi dari CIA disebutkan betapa para jenderal pun
sebenarnya berminat akan mengambil alih kekuasaan tetapi tanpa
menyingkirkan Soekarno—yang lalu menyebabkan tersebarnya isu
tentang keterlibatan asing di dalam hal ihwal upaya perebutan kekuasaan
tanggal 30 September yang disingkat Gestapu. Infiltrasi memang
dilakukan oleh dinas rahasia Ingris sudah sejak konfrontasi berlangsung.
Tetapi Soekarno sendiri tidak setuju dengan niat PKI membantu republik
rakyat.
Mayjen Soeharto yang memimpin tindakan kontra kudeta selalu
‘mikul duwur mendem jero’, suatu sikap yang menghormati Soekarno,
tetapi — karena Soekarno tetap tak mau membubarkan PKI, dengan
alasan gengsi, tetapi sebenarnya juga karena ia tak mau melepaskan
gagasan Nasakomnya — dia pulalah yang menetapkan PKI sebagai
organisasi terlarang. Satu hal yang merupakan ganjalan sampai sekarang
ialah ‘anggukan’-nya kala Latief memberi tahunya tentang rencana
penculikan para jenderal. Kesan yang diperoleh Latief adalah, Soeharto
memihak kepada mereka. Tetapi sebelumnya, ketika dalam pertemuan
keluarga Latief memberi tahu Soeharto tentang ‘kudeta para jenderal’,
Soeharto menyatakan ketidakpercayaannya. Soeharto memang dituduh
‘tidak kenal ampun’ terutama berkait dengan penembakan Aidit.
Namunmengapa ia memberi grasi kepada Latief yang 35 tahun kemudian
melancarkan tuduhan yang juga ‘tidak kenal ampun’ kepadanya dengan
menuduhnya sebagai dalang Gestapu?
Giebels tampak memberi porsi kepada semuanya, ya PKI, ya perwiraperwira yang frustrasi, ya Soekarno, ya para jenderal dalam hal ihwal
Kudeta Separuh Hati
113
kudeta 30 September – Oktober 1965. Titik pusat awalnya adalah
kesehatan Soekarno yang demikian parah sehingga presiden itu dinilai
sudah tak ada harapan lagi. Tetapi ia sembuh bahwa hidup sampai tahun
1970, walau ia harus mengakhiri hidupnya secara tidak nyaman.
Obsesinya akan Nasakom membuatnya dekat kepada kaum komunis,
tetapi ketika ia diberi tahu tentang pembunuhan para jenderal, ia kaget
dan meminta supaya pertumpahan darah dihentikan. Parahnya, ia
menganggap pembunuhan para jenderal sebagai ‘riakdi lautan luas’
belaka. Di saat-saat kaum komunis menunggu kabar mengenai
keikutsertaannya dalam kudeta, ia diam seribu bahasa. Akibatnya PKI
mencapnya sebagai pengkhianat.
PKI jelas berniat menguasai Indonesia — bayangkan, hanya dalam
jangka 17 tahun setelah ditumpas akibat pengkhianatan di Madiun tahun
1948 partai itu sudah melakukan perebutan kekuasaan lagi. Kesalahannya
— yang ditimpakan kepada Aidit—adalah menekankan ‘banyakbanyakan pengikut’ yang pada saat diperlukan untuk kudeta, mereka
tidak siap. Mereka bukanlah tenaga profesional melainkan sekadar
parapetani dan rakyat jelata yang melarat dan tertarik pada iming-iming
hidup makmur tanpa peduli bagaimana caranya. Mereka hanya jadi
korban ambisi orang-orang yang ingin menguasai republik ini dengan
menghalalkan segala cara. Dan akibatnya melarut sampai sekarang, 40
tahun kemudian. (Mustofa.K.Ridwan)
***
114
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
BIODATA PENULIS
Muladi, Prof. Dr. SH. Guru Besar Ilmu Hukum Universitas
Diponegoro, pernah menjabat Rektor Universitas Diponegoro Semarang,
Menteri Kehakiman, Menteri Sekretaris Negara. Sekarang menjabat
Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), Ketua Dewan
Pengurus The Habibie Center.
Susanto Zuhdi, Dr. M. Hum, Direktur Geografi dan Sejarah,
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Dosen Program Pasca Sarjana
Bidang Ilmu Budaya, Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra
Universitas Indonesia. Menulis beberapa buku kajian akademik, antara
lain “Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa”, selain menulis
esei dan artikel pada sejumlah surat kabar.
Budiawan, Dr. MA, mendapat gelar Ph.D dari Southeast Asian
Studies Programme, National University of Singapore (2003). Mengajar
di Program Magister Ilmu Relegi dan Budaya, Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta. Menulis beberapa buku dan karya akademik.
H. Salahuddin Wahid, Ir, sarjana teknik lulusan ITB Bandung.
Pengurus Besar Nahdatul Ulama dan aktif ICMI (Ikatan Cendekiawan
Muslim se-Indonesia). Menulis sejumlah esei dan artikel untuk majalah
dan surat kabar. Wakil Ketua Komnas HAM (2002-2007), Ketua MPP
ICMI (2000-2005).
JJ.Kusni, Phd. di bidang sejarah dari Perancis. Belajar Hukum
Internasional di New South Wales Sidney Australia. Pernah menjadi
pengajar di Universitas Kristen Palangkaraya, Kalimantan Tengah (2002),
sebelum kembali ke Paris. Tahun l965 ia diundang oleh Himpunan
pengarang Republik Rakyat Tiongkok sebagai salah seorang anggota
Lekra. Setelah itu ia melanglangbuana ke beberapa negara. Menulis puisi
dan esei, serta beberapa buku yang diterbitkan di Indonesia. Salah sebuah
bukunya berjudul “Sasana Anak Naga dan Tahun-tahun Pembunuhan”,
Kini menetap di Paris.
Mustofa Kamil Ridwan, Drs., MS. Staf Pusat Pengembangan
Media, The Habibie Center. Lulus dari Jurusan Hubungan Internasional
Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (1970) bekerja di
Desk Luar Negeri Kantor Berita Antara (1971-1973), Redaktur Luar
Negeri, Teknologi, Ekonomi, Staff Writer, Reporter Senior pada Harian
Suara Karya (1972-1992). Bersekolah di School of Journalism, College
of Communication, Universitas Ohio, AS (1980-1982). Harian Republika
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
115
sebagai Asisten Redaktur Pelaksana, Redaktur Pelaksana, Wakil
Pemimpin redaksi (1993-2003), penasihat Direktur Utama Republika
Media Mandiri (2003-2005). Sejak 2005 bekerja pada The Habibie Center. Selama di Republika, ditugasi menjadi Pemimpin Redaksi Majalah
Ummat (1995-1996), dan Pj. Pemimpin Redaksi The Indonesia Times
(1996-1997). Tahun 1998 kembali ke Republika.
116
Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005
Download