Daftar Isi Jurnal Demokrasi & HAM Vol. 5, No. 2, 2005 CATATAN REDAKSI: Menuju Rekonsiliasi ............................................................... 3 ANALISIS: KKR, Keadilan Restoratif sebagai Sarana Pemantaban Persatuan dan Kesatuan Bangsa Muladi ......................................................................................... 5 Wacana Sejarah untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Susanto Zuhdi ............................................................................. 14 Melawan Ancaman Waktu, Mengimajinasikan Masa Depannya Masa Lalu Budiawan .................................................................................... 30 Rekonsiliasi Peristiwa 1965: Pertaruhan Untuk Masa Depan Kita Salahuddin Wahid ...................................................................... 38 Menoleh ke Belakang Melirik Esok JJ. Kusni ...................................................................................... 57 RESENSI BUKU: Kudeta Separuh Hati Mustofa K. Ridwan .................................................................... 82 JURNAL DEMOKRASI & HAM Terbit sejak 20 Mei 2000 ISSN: 1441-4631 Penanggung Jawab Redaksi: A. Watik Pratiknya Dewan Redaksi: Muladi (Ketua) Indria Samego Dewi Fortuna Anwar Umar Juoro Andrinof A. Chaniago Pemimpin Redaksi: Andi Makmur Makka Redaktur Pelaksana: Mustofa Kamil Ridwan Redaktur: Taftazani Sekretaris: Djuwarso Suto Sutrisno Produksi: Ghazali H. Moesa Usaha: Fetty Fajriati Achmad Amal Layout dan Desain M. Ilyas Thaha Alamat Penerbit dan Redaksi: Jl. Kemang Selatan No. 98, Jakarta 12560 - Indonesia Telp.: (021) 7817211, Fax: (021)7817212 Website: http://www.habibiecenter.or.id E-mail: [email protected] Gambar Sampul: Isnaeni MH. Catatan Redaksi MENUJU REK ONSILIASI REKONSILIASI Pramoedya Ananta Toer , sastrawan Indonesia yang dari kelompok Lekra pada masa jaya PKI, baru-baru ini mewakili korban kekerasan masa orde menyatakan akan menuntut empat presiden Indonesia mulai Soeharto sampai Megawati, untuk memulihkan hak-hak korban kekerasan selama Orde Baru . Dalam dua tahun terakhir ini, juga telah terbit sejumlah buku yang ditulis oleh para eks pelarian politik anggota partai Komunis dari luar negeri, seperti Hersi Setiawan, Sobron Aidit, Umar Said, Utuy Tatang Sontani, J.J. Kusni. Ragam buku itu hampir sama, kendati ada yang ditulis sebagai biografi atau cerita pendek, semua melukiskan bagaimana penderitaan yang mereka alami dalam kehidupan di pengasingan. Paling tragis diantaranya adalah kisah-kisah pengarang Utuy Tatang Sontani. Dalam buku kumpulan cerita pendek yang di tulis di negeri pengasingan Beijing, Moskow, banyak melukiskan kehidupan para eks anggota PKI yang terlantar di kedua negeri tersebut. Sejumlah tulisan lain dari para sejarawan, umumya memberikan pembelaan kepada eks anggota partai terlarang ini. Misalnya, mengenai pelanggaran HAM dengan memenjarakan anggota PKI tanpa peradilan. Begitu pula teror dan kekejaman yang mereka alami. Tetapi pembelaan seperti ini, sama-sekali baru hitam putih, datar dan sepihak, belum komprehensif dan berimbang. Di Indonesia, sekelompok pemuda-pemuda Nahdatul Ulama di Jawa Timur, kabarnya dengan suka rela telah meminta maaf atas peristiwa kekerasan masa lalu. Peristiwa yang melibatkan keluarga mereka melawan anggota PKI dan simpatisan mereka di Jawa Timur . Sejumlah putra-putri “Pahlawan Revolusi” ( Amelia Yani ,Rahma Sutoyo) , juga dengan tulus menyatakan empati kepada anggota PKI, korban-korban kekerasan masa Orde Baru. Kendatipun ayah-ayah mereka, juga dibantai dengan kekejaman luar biasa oleh para penculiknya. Sikap putra-putri Pahlawan Revolusi ini , sebuah contoh yang terpuji. Sementara itu, dari pihak eks anggota PKI atau para korban kekerasan masa pemerintahan Orde Baru itu, belum pernah melakukan 4 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 hal yang sama , seperti yang dilakukan kelompok pemuda-pemuda NU di Jawa Timur. Kita belum pernah mendengar apa sebetulnya yang PKI lakukan kepada sesama rakyat Indonesia yang bukan PKI ketika itu . Apakah pada masa itu tidak terjadi juga kekerasan dan pelanggaran HAM? Peristiwa seperti ini tidak pernah diungkapkan sebagai pengakuan jujur dari pelakunya. Jika tokh ada yang ditulis dalam media, sekarang ini hanya pembenaran saja atas tindakan-tindakan tersebut. Luka lama ini, ternyata tidak habis-habisnya muncul , walaupun sudah termakan oleh waktu. Pemerintah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Khusus mengenai kasus eks PKI ini, bagaimana model rekonsiliasi itu akan terlaksana kelak ? Dalam usaha rekonsiliasi, dua belah pihak harus berkata jujur apa yang mereka telah masing-masing lakukan. Usaha mencari kebenaran dan rekonsiliasi akan terlaksana dengan baik jika semangat balas dendam dapat dikubur dan dipendam. Dengan demikian , kita akan jadi bangsa yang hidup tentram dan damai. Pada edisi ini, kami telah mengundang beberapa penulis untuk memberikan pandangan dan gagasan mengenai usaha mencari kebenaran dan rekonsialiasi ini. Semoga bermafaat. (amm) Muladi, KKR, Keadilan Restoratif sebagai Sarana Pemantaban Persatuan dan Kesatuan Bangsa 5 KKR, KEADIL AN RES TORA TIF KEADILAN REST ORATIF SEB AGAI S ARAN A PEMANT AB AN SARAN ARANA PEMANTAB ABAN SEBA PERS ATU AN D AN KES ATU AN PERSA TUAN DAN KESA TUAN BAN GS A ANGS GSA Muladi Pendahuluan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Keppres No.7 Tahun 2005 telah membentuk Panitia Seleksi Pemilihan Calon Anggota Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (PSPCA-KKR). Pembentukan ini merupakan realisasi perintah UU No. 27 Tahun 2004, tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang mengharuskan pembentukan KKR paling lambat enam bulan setelah UU No. 27 Tahun 2004 diundangkan (paling lambat 5 April 2005). Pembentukan KKR tersebut juga merupakan amanat dari UU NO. 26 TAHUN 2000, juga dalam rangka melaksanakan perintah TAP MPR-RI No. V/MPR/2000, tentang Pemantaban Persatuan dan Kesatuan Nasional. Presiden juga telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No.27 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pelaksanaan Seleksi dan Pemilihan Calon Anggota KKR telah memilih 42 orang calon diajukan kepada Presiden dan kemudian Presiden akan memilih 21 orang dari calon-calon tersebut. Selanjutnya dengan persetujuan DPR mereka akan ditetapkan sebagai anggota KKR. ‘Legal spirits’ yang tersurat dan tersirat dalam konsiderans UU No. 27 Tahun 2004 adalah : · mengungkapkan kebenaran, menegakkan keadilan, dan membentuk budaya menghargai HAM, sehingga dapat diwujudkan rekonsiliasi dan persatuan nasional; · pengungkapan kebenaran juga demi kepentingan para korban dan/ 6 · · Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya untuk mendapatkan kompensasi, restitusi; dan/atau rehabilitasi; Menyelaikan pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu di luar pengadilan, guna mewujudkan perdamaian dan persatuan bangsa; Mempunyai fungsi kelembagaan yang bersifat publik. Harus diakui bahwa setelah jatuhnya Orde Baru pada permulaan tahun 1998, telah terjadi fragmentasi social yang sangat berat yang diakibatkan oleh jalan damai yang ditempuh oleh bengsa Indonesia, yang tidak menggunakan cara revolusi dalam melakukan reformasi, tetapi menggunakan pendekatan ‘accelerated evolution”, dalam arti secara gradual dan sistematis berusaha menegakkan nilai-nilai dasar atau indexs demokrasi. Dengan menyadari bahwa masa lalu dengan ekses-ekses KKN, abuse of power dan pelanggaran HAM merupakan kesalahan kolektif (collective mistakes) yang harus dikoreksi bersama, maka tidak dapat dihindarkan adanya dikotomi antara mereka yang merasa berjasa dalam gerakan reformasi dan mereka yang merupakan ‘the ruling groups’ pada masa Orde Baru yang menganggap bahwa secara konseptual Orde Baru yang berusaha menegakkan UUD dan Pancasila secara konsekuen bukan kesalahan. Distrorsi yang terjadi merupakan kesalahan politik kolektif yang diakibatkan system ‘checks and balances ’ dalam UUD 1945 tidak diatur secara baik, sehingga menimbulkan dominasi kekuasaan eksekutif dengan segala praktek otoritariannya. Namun demikian pelanggaran HAM berat yang terjadi merupakan ‘individual responsibility’. Sanksi kesalahan politik berupa jatuhnya rezim Orde Baru melalui proses politik dalam sidang-sidang MPR. Konsep ‘accelerated evolution’ di samping berusaha tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan cara antara lain mengamandemen UUD 1945 dalam rangka mengatur system ‘checks and balances’ secara baik, juga berusaha untuk menegakkan supremasi hukum yang berintikan “government under the law; the independence of the judiciary; acces to justice and equality before the law, non-discriminatioin and certainty of law” dalam bentuk “individual criminal responsibility” di depan Pengadilan HAM yang bisa berlaku ‘retroactive’ dan pengungkapan kebenaran melalui KKR. Kewajiban Negara dalam bentuk “State Responsibility” adalah memfasilitasi pertanggungjawaban tersebut dalam bentuk Pengadilan HAM, menyelenggarakan KKR yang bersifat komplementer terhadap Pengadilan HAM serta memberikan kompensasi Muladi, KKR, Keadilan Restoratif sebagai Sarana Pemantaban Persatuan dan Kesatuan Bangsa 7 dan rehabilitasi bagi para korban. Semuanya dalam kerangka penyelesaian konflik (conflict solution) antara pelaku dengan korban dan keluarganya, dan pelaku dengan masyarakat dan Negara, atas dasar kesadaran terhadap ‘kesalahan politik’ yang terjadi di masa lalu. Khusus mengenai KKR disertai kesediaan korban untuk memaafkan kesalahan pelaku dan kesediaan Negara untuk memberikan amnesty. Pelanggaran HAM berat pada dasarnya merupakan ‘political crime’ yang korbannya di samping orang lain yang berseberangan ideologinya, juga masyarakat dan Negara, sehingga penyelesaian konflik harus melibatkan seluruh korban tersebut, termasuk pelaku yang juga merangkap sebagai korban. Mengapa dipersoalkan ‘kesalahan politik’, karena pelanggaran HAM berat memiliki karakteristik khusus bahwa kejahatan atau serangan terhadap penduduk sipil yang terjadi, sebenarnya merupakan kelanjutan dari kebijakan Negara atau kebijakan organisasional (pursuant to or in furthetrance of a State or organizational policy to commit such attack). Hakekat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi KKR adalah lembaga independen dan ekstra yudisial yang dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran HAM yang berat (gross violation of human rights) yaitu genosida (genocide) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) yang terjadi pada masa sebelum berlakunya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan melaksanakan rekonsiliasi. Rekonsiliasi sendiri diberi makna sebagai hasil dari suatu proses pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan pengampunan, melalui KKR dalam rangka menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa. (Asas KKR: kemandirian, bebas dan tidak memihak, kemaslahatan, keadilan, kejujuran, keterbukaan, perdamaian dan persatuan bangsa). Pasal 47 UU No. 26 Tahun 2000 telah menentukan bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 26 Tahun 2000, tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh KKR yang akan dibentuk dengan UU. Pengaturan antisipatif ini nampaknya dilakukan dengan memperhitungkan pelbagai kendala yang mungkin menghadang proses pengadilan HAM berat ad hoc terhadap kasus-kasus masa lalu, yang “terpaksa” memberlakukan ketentuan hukum pidana secara “retroactive” (berlaku surut). Kendala-kendala Pengadilan HAM tersebut antara lain masalah 8 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 pembuktian yang rumit mengingat kejadiannya sudah lama, implikasi politis yang timbul yang menumbuhkan sikap pro-kontra, rasa ketidakpuasan korban yang memicu sinisme, apatisme dan ketidakpercayaan terhadap lembaga hukum dan kesan terjadinya “impunity” (negara dianggap memberikan pembebasan terhadap pelaku dari rasa tanggungjawab dan sanksi). Hal ini jelas tidak boleh berlarut-larut, sehingga menganggu persatuaan nasional. Secara empiris, Pengadilan HAM ad hoc dibentuk oleh penguasa pasca pemerintahan yang otoriter atau pasca perang (Victor’s Justice) dan apapun bentuknya baik nasional, internasional maupun gabungan (hybrid model) memiliki karakteristik khusus yaitu semangat mengamankan penghormatan terhadap HAM, berusaha menciptakan keadilan bagi semuanya, mengakhiri praktek “impunity”, mencegah kejadian serupa di masa datang dan upaya mengakhiri konflik. Nantinya KKR sebagai alternatif pengadilan HAM ad hoc juga harus mengamankan pelbagai spirit tersebut. Aspek yang sangat menonjol baik dalam Pengadilan HAM maupun KKR adalah perhatian atau perlakuan terhadap korban. Hal ini semakin menarik perhatian internasional dan ilmu pengetahuan (victimology), yang mencakup baik skema perlindungan terhadap korban untuk memperoleh keadilan (access to justice), maupun santunan dalam bentuk restitusi (dibayar oleh pelaku), kompensasi (dibayar oleh Negara) maupun rehabilitasi pemulihan harkat dan martabat seseorang serta bantuanbantuan dalam bentuk lain misalnya bantuan kesehatan dan lain-lain. Sebaliknya bagi si pelaku (perpetrator) yang memenuhi syarat-syarat tertentu dapat diberikan amnesti (pengampunan) yang diberikan Presiden. Sebaliknya dalam Pasal 29 ayat (3) UU No. 27 Tahun 2004 dinyatakan bahwa dalam hal tersangka pelaku pelanggaran HAM berat tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahannya serta tidak bersedia menyesali perbuatannya, maka yang bersangkutan kehilangan haknya mendapat amnesti dan diajukan ke pengadilan HAM ad hoc. Demi kepastian hukum, dalam Pasal 44 UU No. 27 tahun 2004 diatur bahwa pelanggaran HAM berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan melalui KKR, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan HAM ad hoc. Demikian pula perkara yang sudah didaftarkan di Pengadilan HAM ad hoc, tertutup kemungkinannya untuk diproses melalui KKR. Kenyataan menunjukkan adanya pelbagai bentuk KKR di pelbagai Negara. Namun dengan melihat karakternya, KKR Indonesia lebih mirip Muladi, KKR, Keadilan Restoratif sebagai Sarana Pemantaban Persatuan dan Kesatuan Bangsa 9 dengan KKR yang ada di Afrika Selatan, yang juga terdiri atas tiga “Committee” (Subkomisi) yaitu: Committee on Human Rights Violations (Indonesia: Subkomisi penyelidikan dan Klarifikasi); Committee on Reparations (Indonesia: Subkomisi Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi) ; dan Committee on Amnesty (Indonesia: Subkomisi Pertimbangan Amnesti). Dengan perumusan sebagaimana tersurat dan tersirat pada Pasal 29 ayat (3) di atas, maka sebenarnya Pengadilan HAM dan KKR bersifat komplementer. Pergeseran Konsep Keadilan Pembentukan KKR di pelbagai Negara, menciptakan pergeseran konsep keadilan (the shifting concept of justice) dalam penyelesaian perkara pidana, yaitu dari keadilan atas dasar pembalasan (retributive justice/prosecutorial justice) yang melekat pada sistem peradilan pidana, kearah keadilan dalam KKR yang bersifat keadilan restoratif (restorative justice/community based justice), yang menekankan betapa pentingnya aspek restoratif atau penyembuhan bagi mereka yang menderita karena kejahatan. Fokus primer bergeser dari pelaku (perpetrator) kepada si korban (victim). Proses KKR tidak bertujuan semata-mata untuk menghukum atau mempermalukan seseorang (pillorying) atau menuntut, tetapi lebih pada usaha untuk memperoleh kebenaran yang pada akhirnya bermanfaat untuk membantu pemulihan hubungan yang tidak harmonis antara pelaku, korban dan masyarakat, yang ketiga-tiganya pada dasarnya merupakan korban kejahatan. Keadilan dalam KKR sinonim dengan pengungkapan secara lengkap (complete disclosure) atas semua kejadian, dengan menghadapkan dan mempertemukan secara jujur pelaku dan korban dengan menghindari proses hukum acara yang rumit. Proses KKR bertujuan menghindarkan terulangnya kejadian serupa di masa datang melalui proses rekonsiliasi dan tidak semata-mata mengarah pada pemidanaan, atas dasar kemanusiaan dan kesadaran adanya rasa saling ketergantungan dalam masyarakat (community interdependence). Perlindungan dan pemulihan hak-hak korban dan masyarakat luas dipandang sama pentingnya dengan pemidanaan dan atau rehabilitasi pelaku kejahatan. Dengan demikian secara terintegrasi dilihat adanya saling membutuhkan satu sama lain. Perlakuan terhadap Korban dan 10 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 Pelaku ditempatkan dalam posisi yang sama pentingnya dalam satu bangunan sosial. Basis pengertian yang dikembangkan adalah pemahaman (understanding) sebagai ganti pembalasan, reparasi sebagai ganti retaliasi dan rekonsiliasi sebagai ganti viktimisasi. Namun tetap dipegang teguh adanya prinsip bahwa memaafkan bukanlah mengabaikan apa yang telah terjadi (to forgive is not to ignore). Dalam hal ini pengakuan di depan masyarakat dianggap tidak kurang manfaatnya dibandingkan dengan pengakuan melalui lembaga-lembaga penegak hukum. Tidak diingkari bahwa sistem peradilan pidana telah mendemonstrasikan keberhasilannya dalam menuntut dan memenjara seseorang, tetapi selalu gagal untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang aman. Seharusnya korban kejahatan harus diperlakukan secara bermartabat dan pelaku serta korban harus dirukunkan kembali (reconciled). Pelaku tidak hanya harus dipertanggungjawabkan, tetapi juga wajib direintegrasikan kembali ke dalam masyarakat agar menjadi warganegara yang produktif. Akhir-akhir ini PBB juga mulai menganjurkan pendayagunaan konsep “restorative justice” secara lebih luas dalam system peradilan pidana melalui “UN Declaration on the Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters (2000)”. Pengaruh Viktimologi Harus diakui bahwa perkembangan konsep keadilan restorative tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan tentang korban kejahatan (victimology), yang dipelopori oleh Von Hentig seorang ahli kriminologi pada tahun 1941 dan Mendelsohn pada tahun 1947. Perkembangan ini melalui beberapa tahap. Tahap pertama (Penal Victimology/lnteractionist Victimology) yang melekat pada hukum pidana dan kiminologi, melihat korban sebagai partisipan dan penyebab terjadinya suatu kejahatan karena kesalahannya, sehingga hal ini merupakan hal yang harus dipertimbangkan dalam pemidanaan pelaku; Tahap kedua (General Victimology) yang berkembang setelah Perang Dunia II (1956) , merupakan studi tentang viktimitas, dalam rangka untuk mecegah terjadinya korban melalui tindakan pencegahan dan bantuan pada korban (victim assistance). Dalam kerangka ini pemahaman korban diperluas mencakup korban-korban kecelakaan, bencana alam dan korban tindakan lain karena kehendak Tuhan. Tahap Muladi, KKR, Keadilan Restoratif sebagai Sarana Pemantaban Persatuan dan Kesatuan Bangsa 11 kedua ini bersifat independen terhadap hukum pidana dan kriminologi, yang tujuannya adalah membantu pemerintah mengurangi penderitaan manusia, termasuk pelanggaran HAM pada masa perang. Terjadi dalam hal ini pergeseran dari “victimology of acf ” menjadi “victimology of action” (applied victimology), yang menumbuhkan gerakan advokasi terhadap korban dan pelayanan terhadap korban. Salah satu dampaknya adalah terjadinya manipulasi politik dalam bentuk pemberatan pidana terhadap pelaku (offender bashing) demi pelayanan terhadap korban kejahatan. Tahap ketiga berkembang pada tahun 1970-an, menandai viktimologi sebagai suatu disiplin penelitian. Hal ini erat kaitannya dengan aktivitas the World Society of Victimology (WSV). Pada tahap ini viktimologi diartikan sebagai suatu studi ilmiah tentang tingkat, hakekat dan kausa viktimisasi kriminal, konsekuensinya terhadap orang-orang yang terlibat dan reaksi yang ditimbulkan melalui masyarakat, khususnya polisi dan sistem peradilan pidana maupun para pekerja social serta para professional. Pemahaman ini sekaligus mencakup baik pengertian viktimologi tahap pertama (penal victimology) yang cenderung bersifat ilmiah (academic) maupun victimologi tahap kedua (assistance-oriented victimology) yang cenderung merupakan tindakan pelayanan atau kebijakan yang berorientasi pada korban. Hal inilah yang merupakan penggerak diadopsinya “UN General Assembly’s Declaration on the Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power” pada tahun 1987 beserta panduan pelaksanaannya bagi pengambil kebijakan. Tahap Keempat dipelopori oleh Separovic pada tahun 1987, yang memperluas jangkauan definisi viktimologi, sehingga mencakup korban pelanggaran HAM (victims of human rights abuses) sebagai isu sentral viktimologi dan mengeluarkan dari definisi, korban bencana alam dan kecelakaan karena dipandang terlalu luas dari sisi ilmiah. Deklarasi SU PBB di atas dijadikan acuan utama. Dalam hal ini korban (victims) diartikan sebagai, orang-orang yang, secara individual atau kolektif, telah menderita kerugian, termasuk penderitaan fisik atau mental, emosional, kerugian ekonomi atau pelanggaran substansial terhadap hak-hak fundamentalnya, melalui perbuatan-perbuatan atau sikap tidak berbuat (omissions) yang telah melanggar hukum pidana, termasuk panyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Dengan demikian terbuka kemungkinan luasnya definisi korban, 12 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 mengingat kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan termasuk kejahatan perang (war crimes) saat ini mencakup perundang-undangan dan jurisprudensi nasional dan internasional. Effektivitas KKR Banyak orang yang skeptis terhadap daya guna dan hasil guna kinerja KKR. Sikap skeptis terhadap kinerja KKR ini banyak dipicu oleh beberapa factor. Faktor pertama terletak pada keragu-raguan terhadap kualitas anggota KKR yang dikhawatirkan tidak professional, termasuk tidak independen. (bisa menguntungkan pelaku tetapi bisa juga dengan membawa budaya dendam menguntungkan korban atau dririnya sendiri). Hal ini terkait pula kualitas Panitia Seleksi yang dituntut masyarakat benar-benar 2 (dua) orang mewakili unsur Pemerintah, 3 (tiga) orang orang berasal dari unsur masyarakat. Faktor kedua adalah kultur permusuhan (culture of hostility) dan kultur dendam (culture of revenge), yang tidak ikhlas untuk diadakannya rekonsiliasi. Rekonsiliasi akan dilihat sebagai rekayasa untuk melakukan “impunity”. Faktor ketiga adalah tidak jelasnya atau adanya kejanggalan beberapa substansi UU No. 27 Tahun 2004, misalnya menyangkut hubungan KKR dengan KOMNAS HAM. Sebagai contoh adalah apakah hasil penyelidikan KKR dapat disetarakan dengan hasil penyelidikan KOMNAS HAM, khususnya apabila amnesti ditolak untuk diteruskan ke Pengadilan HAM ad hoc. Contoh lain adalah ketentuan Pasal 27 UU Tentang KKR yang menyatakan bahwa kompensasi dan rehabilitasi terhadap korban dapat diberikan apabila permohonan amnesty dikabulkan. Hal lain yang menimbulkan pertanyaan adalah pemahaman tentang amnesti dalam KKR. Dalam UU No. 27 Tahun 2004, amnesti diartikan secara umum, padahal secara universal pemaahaman amnesti dalam KKR mempunyai makna khusus dan lebih terukur. Amnesti dalam hal ini mestinya hanya diberikan bagi mereka yang benar-benar mengakui sepenuhnya keterlibatannya dalam pelanggaran HAM berat semata-mata dimotivasi oleh aspek politis (associated with political objectives) yang bersifat proporsional. Motif lain seperti keuntungan pribadi, kebencian individual, sakit hati, iri hati dan lain-lain yang bersifat pribadi tidak dapat dijadikan dasar amnesti. Selanjutnya pemohon amnesti harus bersedia didengar secara terbuka untuk menjawab pertanyaan KKR, penasehat hukum korban atau korban sendiri. Permintaan maaf dan Muladi, KKR, Keadilan Restoratif sebagai Sarana Pemantaban Persatuan dan Kesatuan Bangsa 13 penyesalan semata-mata, bukan alasan pemberian amnesti. Di samping usaha-usaha untuk mengatasi pelbagai kekurangan di atas, hal lain yang juga sangat menentukan keberhasilan KKR adalah adanya keterpaduan budaya hukum (legal culture) masyarakat yang kondusif untuk berfungsinya KKR. Dalam hal ini sosialisasi yang luas terhadap keberadaan KKR mutlak masih sangat diperlukan. Penguasa dalam hal ini harus bersungguh-sungguh, karena KKR sebagai paradigma baru tentang keadilan merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban Negara (State Responsibility), karena dalam Pengadilan HAM ad hoc hanya berlaku pertanggungjawaban pidana secara individual (individual criminal responsibility). Jakarta, 22 Desember 2005 14 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 WACAN A SEJ ARAH ANA SEJARAH UNTUK K OMISI KEBEN ARAN KOMISI KEBENARAN DAN REK ONSILIASI (KKR) REKONSILIASI History is never only history of, it is always history for—Lev)-Strauss Susanto Zuhdi Bahwa sejarah dianggap penting dalam kehidupan masyarakatbangsa manapun, kiranya tidak usah diragukan. Sejarah adalah ingatan kolektif, gudang pengalaman yang menjadi sumber masyarakat mengembangkan perasaan identitas sosialnya dan prospek masa depannya.1 Dalam kaitan itu pula, kalau saja boleh ditambahkan, menurut pendapat sejarawan senior, Prof. Sartono Kartodirdjo, sesudah pernyataan ketiga dari “Sumpah Pemuda” yakni “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”, maka yang keempat berbunyi “puteraputeri Indonesia memiliki sejarah yang satu, sejarah Indonesia”. Tampaknya hal yang kurang diperhatikan setelah ketiga rumusan “Sumpah Pemuda” itu adalah ungkapan yang berbunyi “setelah mendengar putusan ini (bertumpah darah, berbangsa, menjunjung bahasa persatuan) kerapatan mengeluarkan keyakinan, azas ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan-perkumpulan kebangsaan Indonesia, mengeluarkan keyakinan persatuan Indonesia diperkuat dengan memperhatikan dasar persatuannya: kemauan, sejarah (ditebalkan oleh penulis), bahasa, hukum adat, pendidikan dan kepanduan”. Sejarah memang bermakna bagi kehidupan manusia secara luas. Itulah mengapa sampai ada ungkapan historia magistra vitae (“sejarah adalah guru kehidupan”). Jika filsafat merupakan landasan manusia 1 John Tosh, The Pursuit of History: Aims, Metohd and New Directions in the Study of Modern History. Longman, London and New York, 1984:1. Susanto Zuhdi, Wacana Sejarah untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) 15 berpikir dan berkontemplasi, sejarah adalah pembelajaran filsafat dengan contoh-contoh (history is philosophy teaching by examples). Belum lagi ada pendapat bahwa sejarah adalah pembelajaran moral (history is a moral lesson). 2 Bukankah banyak bangsa hancur karena tidak lagi memegang teguh moralitasnya. Last but not least mengenai pentingnya sejarah, penulis ingin mengutip Edward Said yang mengatakan “ berpaling ke masa lalu merupakan salah satu strategi paling umum untuk menafsirkan masa kini. Yang menggerakkan sikap itu bukan hanya ketidaksetujuan mengenai apa yang terjadi di masa lalu dan seperti apa masa lalu itu, melainkan ketidakpastian tentang apakah masa lalu itu benar-benar telah lalu, selesai, dan ditutup, atau apakah ia masih berlanjut, meskipun mungkin dalam bentuk-bentuk yang berbeda”.3 Penerapan guna sejarah tidaklah semudah mengucapkannya. Ungkapan tentang pentingnya sejarah justru sering merupakan retorika saja. Ini terjadi karena banyak kepentingan yang melekat pada sejarah. Sejarah dapat menjadi alat per juangan bagi siapa saja untuk mendapatkan kekuasaan tertentu. Ketika kekuasaan telah diperoleh dan cenderung dipertahankan selama mungkin, maka sejarah pula yang dijadikan dasar legitimasinya. Dengan demikian berbicara tentang sejarah tidak bisa netral, karena ia memiliki ranah kritis sebagai suatu cabang ilmu dan ranah subyektif. Sejarah adalah produk masyarakat yang tumbuh dan berkembang. Masyarakat itulah yang memberi makna terhadap sejarahnya. Jadi sejarah (selain sebagai ilmu) juga mengenai subyektivitas suatu masyarakat atau bangsa tertentu dalam melihat dirinya. Jika ada masalah dalam diri suatu masyarakat maka berdampak pula pada sejarahnya dan begitu pula sebaliknya, jika terjadi masalah pada sejarah akan berdampak pada masyarakatnya. Sejak tahun 1945, Negara menghadapi gejolak dan konflik antar anak bangsa sendiri. Pertikaian berdasarkan politis maupun ideologis antar elite dan golongan dalam masyarakat-bangsa sering menghantarkan negara-bangsa ini ke tepi jurang kehancuran. Konflik itu tidak hanya bersifat horizontal tetapi juga vertikal yang mengancam eksistensi negara. Sejarah Indonesia telah menorehkan berbagai pemberontakan dan percobaan kudeta sejak tahun 1945. Sayangnya penanganan terhadap pelaku maupun kelompok yang dianggap terlibat 2 Beverly Southgate, History: What & Why? Ancient, Modern, and Postmodern Perspecdtives, Routledge, London and New York, 1996: 30-33 3 Edward W. Said, Kebudayaan dan Kekuasan: Membongkar Mitos Hegemoni Barat.(terj) Bandung: Penerbit Mizan, 1999:33. 16 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 dalam banyak hal tidak dilakukan dengan adil dan bijak. Salah satu dari peristiwa yang menimbulkan korban paling besar adalah akibat Pemberontakan “Gerakan 30 September 1965”. Hal yang menyedihkan ternyata banyak orang yang menjadi korban tidak terkait dengan PKI. Oleh karena yang menjadi pelaku dan korban adalah saudara sebangsa, mengapa hingga kini belum juga dapat diselesaikan luka-luka sejarah itu. Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) berdasarkan UU no. 27 tahun 2004 merupakan institusi yang diharapkan dapat menangani masalah tersebut. Tulisan ini mengetengahkan wacana sejarah dalam kaitannya dengan KKR. Komisi yang sampai kini belum ditentukan keanggotannya, akan bekerja untuk menangani berbagai masalah yang dialami para korban kekerasan dari peristiwa masa lampau khususnya akibat “Gerakan 30 September 1965”. Pergantian Rezim dan Sejarah Hampir terjadi di mana saja ketika terjadi perubahan sosial-politik yang dramatis, masyarakat cenderung mempersoalkan masa lalu mereka.4 Begitulah, setelah lengser-nya Presiden Soeharto pada tahun 1998, persoalan sejarah pun menyeruak. Praktik pemerintahan Orde Baru, yang sentralistik dan otoriterianistik memerlukan syarat pengendalian keamanan yang ketat agar tercipta stabilitas. Di atas landasan itulah pertumbuhan ekonomi yang merupakan target pembangunan dapat dicapai. Dalam praktiknya pemerintah Orde Baru menuntut banyak dari warga Negara. Ia bahkan merupakan a greedy state, sebuah Negara yang serakah karena tidak puas hanya dengan monopoli kekuasaan politik dan dengan penguasaan sistem patronase ekonomi, tetapi juga berusaha menguasai kesadaran dan ingatan kolektif bangsa.5 Selepas masa pemerintahan Orde Baru, masalah yang dihadapi bangsa tidak hanya dalam aspek ekonomi dan politik, melainkan juga sejarah. Kalangan yang segera merasakan langsung akibat masalah sejarah adalah guru mata pelajaran sejarah. Pada waktu itu tidak ada guru di sekolah yang paling “malang” nasibnya dalam menghadapi perubahan situasi politik selain guru sejarah. Sebab tidak ada hubungannya antara perubahan politik dengan pelajaran fisika atau Taufik Abdullah, Nasionalisme & Sejarah. Bandung: Satya Historika, 2001: 284. Taufik Abdullah, “Pengantar” dalam Muhamad Hisyam, Krisis Masa Kini dan Orde Baru. Jakarta: Yayasan Obor, 2003:45. 4 5 Susanto Zuhdi, Wacana Sejarah untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) 17 matematika misalnya. Ketika itu banyak pertanyaan siswa terhadap sejumlah fakta yang kontroversial. Guru dianggap berbohong karena ada “kebenaran” sejarah yang selama ini ditutup-tutupi. Idealnya memang perlu ditulis baru buku sejarah sebagai acuan. Buku Seajarah Nasional Indonesia (6 jilid) dipandang tidak lagi memenuhi tuntutan itu. Menyadari tidak dapat selesai dalam waktu singkat, sedangkan hal mendesak perlu buku acuan pelajaran sejarah, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu Juwono Sudarsono meminta Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pada tahun 1999, MSI dan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional mengidentifikasi sejumlah fakta kontroversial. Seingat penulis terdapat 6 fakta kontroversial: “G30S 1965/PKI”; “Supersemar”; “Serangan Umum 1 Maret 1949”; Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)”; “Integrasi Timor-Timur”; dan “PRRI/Permesta”. Hasil tulisan mengenai fakta tersebut dihimpun ke dalam Suplemen Pelajaran Sejarah. Dalam perkembangan tampaknya timbul kesemrawutan dalam penerbitan dan pengedarannya antara Pusat Kurikulum dan Dikdasmen Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu.6 Jika keempat fakta yang terakhir dapat diatasi karena penjelasannya segara dapat diterima sebagai accepted history, tidak demikian halnya dengan fakta dan interpretasi tentang “Supersemar” apalagi “G30S 1965/ PKI”. Hal itu terbukti dengan disosialisasikannya Kurikulum pelajaran sejarah tahun 2004 di Jawa Timur menuai protes keras. Kelompok pemrotes mempersoalkan tidak tercantumnya “PKI” pada “Gerakan 30 September 1965” dilihat sebagai upaya sistmatik untuk pada akhirnya bahwa tidak terlibatnya PKI sebagai suatu kebenaran sejarah. Mereka menyampaikan keberatan itu ke DPR-RI dan kemudian dibahas dalam rapat yang diadakan oleh Menko Kesejahteraan Rakyat bulan Juni 2005. Mendiknas, Bambang Soedibyo kemudian menyatakan menarik kurikulum sejarah dan dinyatakan dalam masa transisi berlakunya kurikulum 1994 untuk mata pelajaran sejarah.7 Peristiwa sekitar “G30S 1965” merupakan episode paling berat dan menantang secara akademik dalam penulisan sejarah kontemporer Indonesia. Ia juga menjadi masalah berat dalam penanganan dampak yang ditimbulkan bagi kehidupan sosial dan politik bangsa. Ini mungkin 6 Lihat juga Asvi Warman Adam, Pelurusan Sejarah Indonesia, Yogyakarta: TriDE, 2004:13. 7 Susanto Zuhdi, “Gerakan 30 September 1965 Dalam Pelajaran Sejarah”, Kompas, 1 Oktober 2005. 18 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 merupakan peristiwa terakhir dalam sejarah kontemporer yang digerakkan oleh faktor ideologis. Pertarungan faham yang dianggap “benar” yang dianut oleh masing-masing pihak berimplikasi pada soal “kalah-menang” atau “hidup-mati”. Sudah menjadi catatan sejarah bahwa kekuatan Nasionalisme-Agama-Komunisme merupakan faham sekaligus kekuatan yang menggerakkan perjalanan bangsa ini. Idealnya ketiga kekuatan itu bersinergi dalam Nasakom. Sejarah pula yang mencatat bahwa tujuan itu gagal. Bagaimana sejarah bangsa seperti ini dapat dikaji secara kritis tanpa menyentuh emosi para penganut ideologiideologi tersebut, yang notabene saudara sebangsa dan setanah air. Jawab atas pertanyaan itu tidak mungkin. Ironisnya bangsa ini terlanjur banyak mencatat sejarah kekerasan. Adalah merupakan bagian dari agenda reformasi untuk menghapus luka sejarah akibat kekerasan baik yang dilakukan oleh negara dan antarkelompok di dalam masyarakat-bangsa. Selama kurang lebih dua tahun diwacanakan akhirnya aspirasi masyarakat untuk menangani “luka sejarah” dibentuklah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dengan landasan UU no 27 tahun 2004. Komisi ini melengkapi dan berkaitan dengan Komnas HAM, yang berdiri lebih dahulu dengan landasan UU no 26 tahun 2000. Selain landasan hukum, sejarah dalam segi ranah ilmu, merupakan landasan sekaligus kerangka yang dapat digunakan untuk ikut menyelesaikan masalah “dendam sejarah”. Sebagai perbandingan, Jerman adalah bangsa yang dengan upaya dan kerja keras telah berhasil melepas “beban sejarah” yang hampir tak tertanggungkan. Kaum Nazi melakukan kezaliman terhadap orang Yahudi di Eropa, terhadap kaum Sinti dan Roma, terhadap para anggota partai-partai oposisi, para pegiat keagamaan dan banyak orang lain yang “tidak patut” yang berjumlah 6 juta orang di bantai di Auschwitz. Bagi orang Jerman yang lahir setelah Perang Dunia II, merasakan warisan yang mengerikan itu. Bagaimana mungkin sebuah bangsa yang sedemikian dihormati karena memberi bentuk peradaban Eropa terpuruk karena kegilaan genosida dan tindak kekerasan tanpa batas itu? Sebuah pengakuan seorang Jerman sampai berkata “saya malu menjadi orang Jerman. Bahkan kadang-kadang saya berpikir untuk hijrah ke sebuah negeri yang memiliki sejarah lebih terang, katakanlah Kanada atau Selandia Baru”.8 Akan tetapi bangsa Jerman tidak mau terperangkap 8 Geiko Muller-Fahrenholz, Rekonsiliasi Upaya Memecahkan Spiral Kekerasan Dalam Masyarakat, (terj). Maumere: Penerbit Ledalero, 2005:xiv) Susanto Zuhdi, Wacana Sejarah untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) 19 pada masa lampaunya. Dalam khasanah istilah bahasa Jerman terdapat vergangenheits bewaltigung yang berarti “bayangan masa lalu yang menghantui”.9 Mungkin sedikit sekali bangsa yang karena pengalaman traumatiknya dengan sejarah hingga mempunyai kosakata seperti itu. Dengan berjuang keras bangsa Jerman berhasil keluar dari “bayangan itu”. Dari sinilah kemudian muncul ungkapan “berdamai dengan sejarah”. Mengungkap Kebenaran Menyeluruh? Tantangan berat KKR sesuai dengan tugas yang pertama adalah mengungkap kebenaran sejarah dan dengan bahan tersebut dapat digunakan untuk melakasanakan tugas kedua yakni rekonsiliasi. Mengutip filsuf Paul Lederach, Karlina Leksono-Supelli menyebutkan adanya 4 unsur yang sesungguhnya kontradiktif di dalam konsep rekonsiliasi: kebenaran, rasa belas kasihan, perdamaian, dan keadilan. Tantangan pertama KKR adalah soal kontradiksi secara konseptual. Sesudah itu bagaimana penerapannya secara teknis dalam kerja KKR10. Perjuangan manusia untuk mengungkap kebenaran dalam panggung sejarah dunia tampaknya sejalan dengan praktik penindasan di negara dan pemerintah sendiri atau yang dilakukan oleh negara dan pemerintah asing. Pada tahun 1988 dalam peringatan ke 200 tahun penumpasan percobaan orang Cekoslavia dalam mewujudkan demokrasi sosialis, kelompok pembangkang mengeluarkan “charter 77” dengan sebuah pernyataan yang berkesimpulan :” We call only for truth about the past and the truth about the present are indivisible. Without accepting the truth about what happened it is impossible to address correctly what is happening now; without the truth about what is happening now it is impossible to substantially improve the existing state of affairs.11 Ungkapan itu muncul dalam konteks ketika Gorbachev, yang agaknya keliru memperhitungkan aspirasi perubahan negara-negara di bawah Uni Soviet. Tampaknya ia tidak bersungguh-sungguh untuk “membuka” Uni Soviet, kecuali pembaharuan politik dan sejarah di Eropa Timur. Angin pembaharuan dalam arti sungguh-sungguh juga 9 Kamus Bahasa Jerman-Indonesia, Editor M. Sally H.L. Pattinasarany, Penerbit Dian Rakyat, 1993. 10 X-URL:http://www.kompas.com/kompas-cetak/0003/04/nasional/berb07.htm 11 Harvey J. Kaye, “Why Do Ruling Classes Fear History?” Other Questions. New York: St. Martin’s Griffin1997:16. 20 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 terlihat di republik-republik Baltik. Pergolakan politik disertai seruan penyingkapan sepenuhnya “Protokol Rahasia” (“secret protocol”) tahun 1939 yakni Pakta Hitler-Stalin yang telah menutup rapat nasib-nasib mereka. Mirip dengan itu adalah perubahan-perubahan yang terjadi di Polandia. Desakan yang digerakkan kaum buruh dan intelektual Solidaritas telah menghasilkan “wahyu sejarah”. Jabarannya mungkin tepat dikatakan sebagai “terungkapnya rahasia sejarah” atas tindakan Soviet sebelum, selama, dan sesudah Perang Dunia Kedua. Di Hungaria, sejalan dengan tuntutan rakyat untuk pembaharuan politik, sebuah “Komisi untuk Keadilan Sejarah” (Committee for Historical Justice) telah dibentuk. Komisi itu bertugas memulihkan (kebenaran) masa lampau yang terkubur akibat Revolusi 1956.12. Menurut pengamatan sejumkah pakar Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sejak tahun 1974 di dunia terdapat paling tidak 20 institusi serupa KKR dengan nama berbeda-beda.13 Beberapa contoh Bolivia (1982); Argentina (1983); Uruguay (1985); El Salvador (1991); Afrika Selatan (1992). Dilihat dari prosesnya, pembentukan KKR merupakan aspirasi masyarakat dengan landasan UU telah menunjukkan unsur demokratis. Dalam tahap awal pengisian pencalonan anggota KKR yang berjumlah sekitar 1500 orang memperlihatkan besarnya minat. Sayangnya dalam tahap berikut ketika 42 calon anggota yang lulus dari seleksi memaparkan visi-misi yang berkaitan dengan pekerjaannya, hanya sedikit dihadiri pengunjung. Padahal di situlah dapat diketahui bagaimana kualitas calon anggota dapat diketahui dan sejauhmana mereka diharapkan mampu bekerja dan menyelesaikan salah satu agenda penting bangsa. Teori Kebenaran Sejarah Meskipun “konsep menyeluruh tentang kebenaran sejarah” telah menjadi persoalan lama, hampir setiap orang mengklaim mengetahui seperti apa dusta yang tersimpan dari masa lampau”. 14 Ungkapan Ellen Somekawa, Elizabeth E Smith dan Sissela Bok itu perlu dilihat sebagai dorongan kepada teoretisi sejarah untuk terus menerus mendapatkan ruang lebih luas dan landasan lebih kokoh sehingga semakin banyak “dusta” masa lampau bisa Ibid, 16. X-URL:http://www.kompas.com/kompas-cetak/0003/04/nasional/berb07.htm 14 Alan B. Spitzer, Historical Truth and Lies about The Past. The University of North Carolina Press, 1996:1. 12 13 Susanto Zuhdi, Wacana Sejarah untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) 21 terungkap, yang berarti “kebenaran” semakin terkuak. 15 Karena pada umumnya sejarah adalah sejarahnya “pihak pemenang”, soalnya adalah di mana keberadaan “sejarah pihak yang kalah?”. Begitu PKI “melekat” atau “dilekatkan” pada G30S 1965, maka partai itu dianggap kalah karena “salah”. Lalu bagaimana mekanisme mereka yang menjadi korban dari sejarah hendak mengungkapkan kebenarannya. Sebagian besar dari korban merasa tidak bersalah, jadi mereka mencari kebenaran yang hilang. Jika aspek kebenaran telah ditegakkan maka mereka menuntut perlakuan yang adil. Namum harus dipilah terlebih dahulu kelompok mereka yang memang bertanggung jawab dan mereka yang hanya menjadi korban. Terutama pada kelompok kedua itulah proses dan mekanisme pencarian keadilan dibuka lebar. Pertikaian ideologis sebagai persoalan bangsa memang tidak mudah diselesaikan. Selama Tap MPR-RI no 25 tahun 1996 belum dicabut, komunisme berada di luar ukuran kebenaran (ideologis bangsa). Memang ada pemaafan bagi (orang) PKI yang dizalimi Orde Baru sehingga harus diberi jalan untuk mencari keadilan, tetapi bukan berarti melupakan perbuatan yang sudah menjadi fakta sejarah. Oleh karena sebagai faham, Komunisme (Marxisme+Leninisme) terus hidup dan berusaha diwujudkan ke dalam gerakan, maka penganut ideologi penentangnya tetap mewaspadai kebangkitannya itu. Di situlah penjelasan dapat diberikan ketika muncul pemrotes kurikulum sejarah 2004. Dengan tidak dicantumkannya “PKI” pada “G30S/1965”, fakta itu akan menjadi kendaraan “menghidupkan PKI”, karena ketidakterlibatannya dalam kudeta tersebut. Hal itu tampak dalam indikator kurikulum yang berbunyi “siswa membandingkan pendapatpendapat versi-versi tentang G30S/1965”. Jangankan siswa, mahasiswa sejarah saja sulit melakukan perbadingan seperti itu. Soalnya pada terletak pada “pendapat”. Seharusnya yang dibandingkan fakta dan interpretasi. Dilihat dari kelompok pemrotes merupakan upaya pengaburan fakta. Dengan dalih PKI menjadi korban dan dizalimi bukan berarti PKI terbebas dari kudeta oleh “Gerakan 30 September 1965”. Perhatikan pengakuan Sudisman salah satu tokoh PKI mengatakan:”Saya tidak bermaksud menyangkal bahwa beberapa pemimpin PKI terlibat dalam Gerakan 30 September. Sama sekali bukan itu maksud saya. Seperti yang 15 Ibid 22 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 saya jelaskan, ada beberapa tokoh penting PKI, termasuk saya sendiri, terlibat dalam Gerakan 30 September”.16 Rentetan peristiwa yang menyusul setelah Gerakan 30 September 1965 adalah tindak kekerasan yang menimbulkan banyak korban orang Partai Komunis Indonesia, maupun pendukung atau simpatisannya. Pembantaian ratusan ribu manusia sebagai akibat dari percobaan kudeta pada tahun 1965 merupakan salah satu pembantaian terbesar dalam abad ke-20.17 KKR kelak akan menghadapi persoalan sejarah yang rumit: pelurusan atau pengungkapan kebenaran sejarah. Pelurusan tampaknya merupakan keinginan masyarakat luas selepas Orde Baru.18 Mengacu pendapat Prof. Kuntowijoyo (alm) ada perbedaan pandangan antara masyarakat (awam) dengan sejarawan jika berbicara tentang sejarah. Pandangan masyarakat terhadap sejarah bertolak dari kepentingan politik atau ideologi yang dianutnya, sedangkan sejarawan berangkat dari teori dan metodologinya. Hampir tidak ditemukan istilah “pelurusan” dalam literatur teori sejarah. Umumnya buku-buku teori membahas panjang lebar mengenai “kebenaran sejarah”( the truth of history), soal-soal obyektivitas dan subyektivitas. Kalau demikian apakah istilah “pelurusan” cenderung dibaca dalam arti “politis”, untuk tidak dikatakan sebagai “non-akademis”. Bahwa sejarah tidak mungkin lepas dari politik adalah benar. Dalam kaitan itu E.A. Freeman mengatakan bahwa “sejarah adalah politik masa lampau”, 19 yang kemudian turunannya menjadi “politik adalah sejarah masa kini”. Untuk kepentingan apapun landasan yang harus digunakan adalah sejarah sebagai ilmu (pengetahuan). Pokok bahasan yang dikemukakan berkaitan dengan tema tulisan ini adalah soal bagaimana mengungkap kebenaran sejarah. Bagian ini mencoba memaparkan teori tentang kebenaran. Ankersmit mengemukakan ada 4 teori kebenaran: penunjuk bahasa, pragmatis, korespondensi, dan koherensi. Prinsip utama untuk mengungkap kebenaran adalah dukungan bukti atas peristiwa (realitas) yang dalam pengungkapannya berupa fakta sejarah. Fakta adalah konsep yang mampu menangkap realitas sedangkan kebenaran merupakan ungkapan Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu. Jakarta: KPG, 2000:49. Robert Cribb, Indonesia Killing, terj. 2003:1 18 Asvi Warman Adam, Pelurusan Sejarah Indonesia. Yogyakarta, TIDE, 2004 19 John Tosh, The Pursuit of History: Aims, Method and New Directions in the Study of Modern History. Longman, London and New York, 1984: 67 16 17 Susanto Zuhdi, Wacana Sejarah untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) 23 atau pernyataan atas realitas dengan dukungan bukti (evidence). C. Behan McCullagh, mengemukakan metodologi untuk mengungkap kebenaran dengan 3 alternatif: kebenaran sebagai koherensi (truth as coherence); kebenaran sebagai kesepakatan (truth as consensus); dan kebenaran sebagai deskripsi wajar tentang masa lampau (fair description of the past). Kebenaran sebagai koherensi adalah proses kritis yang didasarkan atas kepastian sejarah (historical necessity). Sedangkan pengertian kedua dan ketiga, biasanya berkaitan dengan “kewajaran sejarah” (historical fairness). Ketika soal “kepastian sejarah” masih terus dicari dan ditemukan, “kewajaran sejarah” yang berada pada perspektif dan dimensi waktu tertentu, merupakan alternatif yang “harus” diterima. Apalagi jika soal “kepastian sejarah” terkait dengan sang tokoh yang termasuk ke dalam “historical greatness” bangsanya. Interpretasi atas fakta Presiden Soekarno dalam sejarah sekitar “G30S/1965”, misalnya, tidak sematamata soal “kepastian sejarah”. Itu dapat dilihat dalam perspektif historical fairness. Terlepas dari peranan yang dalam bebarapa kajian menunjukkan keterkaitannya dengan pelaku-pelaku Kudeta20— bahkan Antonie C.A. Dake menyebutnya sebagai mastermind—Presiden Soekarno tetap merupakan bagian dari historical greatness bangsanya. Kebenaraan dalam konsepsi itu menjadi relatif meskipun kebenaran menurut Bunzl adalah sesuatu yang “ditemukan” bukan “dibuat”.21 Itu artinya jika berpegang pada teori, maka harus dilakukan kajian kritis. Ini perlu diketegahkan karena di masyarakat umumnya, kebanyakan yang dianggap sejarah itu berdasarkan ingatan (remembered history). Kita sadar betul bahwa ingatan manusia itu terbatas. Belum lagi soal mana yang mau diingat dan mana yang mau dilupakan. Itu artinya sangat subyektif. “Kebenaran sejarah” dalam arti yang ditemukan maka harus dilakukan pengungkapan dan pembuktian peristiwa tentang suatu hal dari masa lampau (discovered history). Padahal jika kebenaran memang kemudian dapat ditemukan (kembali), bukan mustahil bisa menyakitkan. Kita bisa saja berpegang pada ungkapan “katakan yang benar meskipun itu pahit”, tetapi sudah siapkah semua komponen bangsa ini menerima kenyataan itu. Hal yang harus dihindari dalam soal ini 20 Antonie C.A. Dake; Sukarno File: Kronologi Sebuah Keruntuhan; Jakarta: Aksara Karunia, 2005, juga Victor M Fic; Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi, Jakarta: Obor, 2005 21 Martin Bunzl, Real History: Reflection on Historical Practice . London and New York: Routledge, 1997 :2. 24 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 adalah jangan sampai yang dimaksud dengan kebenaran sejarah itu adalah “sejarah yang diciptakan” (invented history)22. Jenis “kebenaran sejarah” terakhir inilah yang banyak diproduksi pada masa Orde Baru. Kalau begini maka yang terjadi adalah “pembenaran sejarah”. Ingatan kolektif (masyarakat) “dibentuk” dan “diprogram”, misalnya dengan Pemutaran Film “Gerakan 30 September 1965/PKI” pada malam menjelang tanggal 1 Oktober. Begitu pula dengan penulisan peristiwa “Serangan Umum 1 Maret 1949” yang memerlihatkan interpretasi “tunggal” tentang peran pelaku dengan maksud melegitimasi kedudukan seorang tokoh. Barulah kemudian “ditemukan” kebenaran sejarah ketika sebuah sumber (wawancara Sultan Hamengkubowono IX dengan BBC-London, koleksi ANRI Jakarta) mengungkap yang setelah diperiksa silang dengan sumber lain mengatakan bahwa beliau lah yang merancang serangan. Itu bukan berarti Letnan Kolonel Suharto tidak berperan. Beliau tentu berperan sesuai posisinya, sebagai komandan Wehrkreise III ketika itu. Sayangnya tidak banyak pengungkapan “kebenaran sejarah” (seperti contoh di atas) dapat didukung sumber atau bukti yang akurat. Di sinilah persoalannya, dapatkah “kebenaran sejarah” diungkap dengan cara lain? Pendekatan yang ditawarkan McCullagh memberi kesempatan untuk mendapatkan jawaban. Bukankah penemuan “kebenaran sejarah itu” untuk kepentingan bangsa? Jadi ambil saja pendekatan “kebenaran sebagai konsensus” (truth as consensus). Inilah yang menjadi acuan untuk mendapatkan accepted history. Proklamasi 17 Agustus 1945, sebagai contoh, selain sebagai “kebenaran sejarah” fakta itu juga merupakan accepted history. Itu karena syarat sebagai fakta keras (hard fact) telah lulus. Lalu bagaimana dengan fakta lunak (soft-fact), seperti pada peristiwa “tewasnya Tan Malaka karena tertembak/ditembak oleh pasukan bersenjata di Jawa Timur 1949”. Melalui kajian sejarah kritis kemudian fakta lunak menjadi fakta keras sehingga kadar sejarah yang diterima (accepted history) terpenuhi. Meskipun dengan perdebatan panjang tentang “Supersemar” misalnya, fakta itu sesungguhnya sudah accepted history. Sebab yang diperbincangkan lebih banyak mengenai “dokumen asli” yang belum juga ditemukan. Justru yang ada malahan beberapa versi dokumen. Akankah terungkap adanya dokumen asli dari buku yang sedang dipersiapkan “Biografi Mohamad Yusuf ”? Kalau tak berhasil, tidak 22 Taufik Abdullah; Nasionalisme dan Sejarah; Bandung: Satya Historica, 2001, hal. 275 Susanto Zuhdi, Wacana Sejarah untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) 25 perlu lagi dipersoalkan mana yang asli, sebab sebagai fakta sosial “supersemar” telah mengubah situasi dan kondisi politik bangsa secara drastis. Perlu diingat bahwa ketika aspirasi masyarakat sedang mencari legitimasi bertindak, maka dengan Supersemar itulah satu dari Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) untuk “membubarkan PKI” terpenuhi. Jadi dalam kaitan ini terdapat makna kebenaran perspektival. Sekarang kita lihat mengenai sulitnya penelusuran dan pengungkapan fakta sejarah sekitar G30S-1965. Meskipun merupakan kejadian luar biasa, menurut Robert Cribb penulisan tentang korban akibat “G30S/ 1965” menghadapi masalah pelik. Tiga masalah itu adalah masalah informasi, masalah filosofi, dan masalah interpretasi.23 Minimnya informasi karena saat itu jumlah para jurnalis Barat dan akademisi Indonesia relatif kecil, yang aksesnya tergantung pada pihak militer. Kendala lain adalah karena akibat kebijakan pemerintah Orde Baru membuat mereka yang menjadi korban bungkam mengenai apa yang merasa alami dan rasakan pada tahun 1965-1966. Masalah interpretasi tentulah sulit menjadi accepted history oleh karena berkaitan dengan sudut pandang atau yang dalam teori tentang kebenaran terdapat “kendala budaya “dan “kendala bahasa”, yang tidak terlepas dari pengaruh perkembangan pemikiran post-modern. Permasalahan mengenai “kendala budaya” berkaitan dengan relativisme budaya juga. Sejarawan menganggap bukti yang akurat adalah yang berada di dalam kondisi yang sesuai (dengan konteks zaman). Adalah merupakan fakta bahwa berbeda budaya berbeda dalam melihat dunia.24 Prinsip pokok dalam kajian sejarah adalah pertanyaan. Tanpa “pertanyaan” tidak akan ada (penulisan) sejarah. Kalau demikian bagaimana suatu bangsa mengajukan pertanyaan terhadap sejarahnya adalah merupakan suatu hal yang paling pokok. Jadi memang subyektif juga. Itu sejalankan dengan apa yang pernah dikatakan Ngugi wa Thiong’o bahwa pertanyaan tergantung dari sudut kita melihat dunia “ the question is this: from what base do we look at the world?” 25 Dalam kaitan dengan “kendala bahasa” adalah bagaimana memahami masa lampau dengan “bahasa” yang berbeda (dengan masa kini) di mana sejarawan hidup. Roland Barthes, menggarisbawahi teori Ferdinand de Saussure tentang kata-kata dalam suatu bahasa, para 23 Robert Cribb, editor, The Indonesian Killings: Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 19651966. (terj) Yogyakarta: Penerbit Mata Bangsa, 2003:4. 24 C. Behan McCullagh, The Truth of History, London and New York, 1998: 23-24 25 Beverly Southgate, History: What & Why. 1996:100. 26 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 sejarawan tidak seluruhnya mengetahui apa yang mereka deskripsikan adalah sejumlah konsep yang mewakili apa yang sesungguhnya terjadi pada masa lampau, karena bukan merupakan dunia dari masa lampau itu sendiri.26 Rekonsiliasi Model Ken Sa Faak ? Salah satu aspek dalam kebudayaan Indonesia yang belum banyak digali dan dikembangkan adalah mengenai pengelolaan kekayaan budaya dari ratusan sukubangsa yang terdapat di berbagai daerah. Mungkin disinilah kekeliruan kita dalam memahami apa yang dimaksud dengan puncak-puncak kebudayaan (dari kebudayaan daerah). Masih banyak celah yang bukan tidak mungkin justru dari sanalah dapat digali cerlang budaya lokal (local genius). Agar mendapatkan wawasan yang luas dan memperoleh acuan yang akurat, KKR harus melakukan penggalian cerlang budaya yang menampilkan berbagai kearifan lokal. Sebagaimana yang dipaparkan di bawah ini, suatu cerlang budaya lokal terbukti (masih) berfungsi bagi masyarakat di Kepulauan Kei, ketika terjadi konflik horizontal tahun 2000 yang lalu. Filosofi ken sa faak adalah sistem nilai dalam tradisi masyarakat di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara.27 Relevansi ken sa faak bagi rekonsiliasi bangsa, kiranya patut dipertimbangkan. Landasan filosofis ken sa faak adalah sebuah keluarga yang asal-usulnya sama.28 Bukankah akibat yang ditimbulkan dari Gerakan 30 Septeember 1965 pada hakikatnya adalah melibatkan pilarpilar keluarga besar bangsa Indonesia? Pada 30 September malam, dalam pidatonya di depan para insinyur di Istora Senayan, Presiden Soekarno memaparkan kisah pewayangan lakon Barathayuda dalam epos Mahabharata, yaitu perang antara Pandawa dan Kurawa. Menjelang pertempuran di Palagan Kurusetra, Arjuna tampak ragu karena tak mau melawan Karna, yang merupakan saudaranya. Tidak hanya itu Arjuna juga harus menghadapi saudara-saudaranya yang lain termasuk gurunya, Begawan Durna. Maka berwejanglah Kresna kepada Arjuna agar tetap maju ke medan pertempuran karena tugas ksatria yang harus dijalankan demi negara. Secara panjang lebar nasihat Kresna pada Arjuna terdapat dalam Bagawath Gita. C. Behan McCullagh, The Truth of History. 1998: 33. P.M. Laksono dan Roem Tipatimassang, penyunting, Ken Sa Faak: Benih-benih perdamaian dari Kepulauan Kei. Yogyakarta: Insist Press, 2004. 28 P.M. Laksono, The Common Grounds in the Islands. Yogyakarta: Penerbit Galang, 2002. 26 27 Susanto Zuhdi, Wacana Sejarah untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) 27 Ada yang menganalogikan Peristiwa Gerakan 30 September1965 seperti kisah itu. Bukankah pada dasarnya pertikaian tajam yang menimbulkan banyak korban adalah bersaudara juga. Artinya perang saudara dari keluarga Barata, karena Destarata yang menurunkan Kurawa dan Pandu Dewanata yang menurunkan Pandawa adalah bersaudara kandung. Di awal peperangan (baca pertempuran) pasukan Gerakan 30 September tampak berhasil kalau dilihat dari sasaran yang diduduki, misalnya menguasai RRI. Setelah itu posisi Gerakan semakin terdesak dan menjadi sasaran penumpasan yang telah menimbulkan ratusan ribu korban. Banyaknya korban itu karena sasaran tidak lagi pada mereka yang terlibat tetapi juga kepada keluarga dan bahkan orang-orang yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan PKI. Di sinilah tragisnya. Celakanya lagi, sang pemenang menumpas habis – lawan-lawannya (tumpes kelor).Tidak boleh ada yang tersisa. Tidak sampai di situ, sisa-sisa dari unsur itu disebut sebagai bahaya latent, oleh karena itu harus diwaspadai. Inilah praktik yang dilakukan Orde Baru terhadap eks PKI termasuk simpatisan dan organisasi terlarang lainnya. Kedua pihak sudah tentu mengklaim yang paling benar pada setiap aksi yang dilakukannya. Tetapi mestinya juga harus mau mengakui kesalahan (kolektif) karena pada dasarnya berasal dari keluarga bangsa. Ken sa faak adalah istilah dalam bahasa masyarakat di kepulauan Kei yang secara harafiah sebagai berikut: “dua (salah atau benar) dengan dua (pihak yang bertikai) adalah (jika dijumlahkan) tetap empat”. Dalam skala yang kecil nilai tradisi sudah dipraktikkan dan berhasil mengatasi konflik tahun 1999-2000 yang pernah melanda masyarakat Kei. Model mikro seperti di Kei tentu tidak begitu saja dapat diterapkan untuk KKR. Intensitas dan lingkup sebuah masyarakat kecil di Kei tentu tidak bias dibandingkan dengan bangsa yang pluralistis dengan keragaman budaya bernama Indonesia. Akan tetapi yang dapat ditarik dari pengalaman Kei adalah mengenai nilai dan semangat rekonsiliasi yang bermanfaat bagi pekerjaan KKR. Model Pengakuan Langkah pertama paling jitu dalam proses rekonsiliasi adalah pengakuan dari masing-masing pihak yang semula bertengkar atau bermusuhan dan mau saling menerima kembali sebagai keluarga besar bangsa. Sebuah pengakuan (salah) bisa didapat dari pelajaran dari negeri lain. Ketika Kanselir Jerman Willy-Brandt mengadakan kunjungan 28 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 kenegaraan, dia meletakkan karangan bunga di tugu peringatan pemberontakan di kota Warsawa. Ia tidak meniru mereka yang hanya membungkukkan kepala tanda hormat di tempat seperti itu, melainkan dengan berlutut. Banyak orang melihat tindakan Brandt pemimpin politik Jerman sebagai suatu ungkapan yang penuh makna tentang pertobatan resmi. Marek Edelman, seorang yang lolos dari peristiwa pemberontakan Warsawa, mengatakan “itu merupakan tindakan yang mulia … Dengan gerak isyarat ini secara moral orang-orang Jerman menghormati para korban”.29 (Geiko terj, 2005:124) Pelajaran dari Fiji. Ratu Meli Vesikula, seorang pemimpin pribumi di Fiji yang mengakui perbuatan dalam konteks pengampunan: “Dalam tindak kekerasan rasial di negeri saya menyusul dua kup militer pada tahun 1987, saya mati-matian membela hak rakyat saya dengan sarana kekerasan supaya bisa menaklukkan orang India yang merupakan ras terbesar kedua di Fiji. Pada tahun 1988, saya mengalami perubahan hati pertama-tama nian oleh bantuan seorang pejabat Gereja, dan kemudian oleh perjumpaan saya dengan orang-orang dari Gerakan Pembaruan Moral. Melalui perubahan itu saya menemukan kerendahan hati dan ketaatan yang baru, yang pada akhirnya mendorong saya untuk meminta maaf secara publik dari para pemimpin India dan para pemimpin ras lain di Fiji atas keterlibatan saya dalam tindak kekeasan, dan dari rakyat saya sendiri karena mengarahkan mereka pada rel yang salah. Pengampunan mereka terhadap diriku secara harfiah melahirkan suatu roh baru, yang sedemikian ampuh menghasilkan penyembuhan dan rekonsiliasi di antara berbagai bangsa di Fiji. Sembari semangat itu bertumbuh, kepercayaan dipugar dan tembok-tembok pemisah dirubuhkan, para pemimpin mulai berbicara dan memerintah dengan jujur, dan stabilitas dan keamanan kembali pulih”.30 Bukan saja sikap terpuji yang tampak dari ungkapan di atas, melainkan juga sikap visioner Ratu Meli harus diacungkan jempol seperti diungkapkan pada bagian terakhir : 29 30 Geiko, Rekonsiliasi, 2005:124. Geiko, Rekonsiliasi, 2005: 152-153. Susanto Zuhdi, Wacana Sejarah untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) 29 “Tentu saja kami punya masalah, namun semangat ganti rugi dan pengampunan membantu membangun dan mengukuhkan kembali sifat akhlak bangsa kami, yang akan menjamin suatu masa depan yang lebih cerah untuk anak-anak kami…”.31 Catatan Penutup Fakta bahwa Tap MPR-RI no. 25 tahun 1966 tampaknya masih merupakan salah satu faktor pengganjal bagi terlaksananya rekonsiliasi. Hal itu dapat dicatat atas tanggapan terhadap gagasan Abdurrahman Wahid untuk menghapus Tap tersebut. Bagi Abdurahman Wahid yang melontarkan gagasan itu sewaktu menjabat Presiden, berpendapat rekonsiliasi dapat secara utuh dicapai kalau keluarga eks PKI dirangkul kembali. Mereka bukan saja dipulihkan hak-hak politik dan ekonominya. Melainkan juga kalau mungkin direhabilitasi nama baiknya.32 Menanggapi ide tersebut, ada kelompok dalam Islam yang tampaknya sulit menerima. Mereka masih melihat bahwa ajaran Komunisme berlandaskan atheis, sedangkan pandangan itu bertolak belakang dengan Pancasila. Faktor inilah yang menjadi pengganjal upaya rekonsiliasi dan ini pula beratnya tugas KKR. Lagi pula bagaimana dengan korban orang Islam (dan nasionalis lainnya) akibat aksi sepihak orang PKI sebelum meletus “Gerakan 30 September 1965”. Ini juga harus diperhatikan karena dapat menjadi ganjalan jika tidak diselesaikan secara bersamaan. Akan tetapi kunci untuk rekonsiliasi seperti terungkap dari pelajaran di berbagai negara adalah pengakuan dan penerimaan pihak-pihak yang semula bertengkar dan bermusuhan untuk tidak akan mengulangi perbuatannya. Sekarang kita tunggu bagaimana kelak KKR dapat menjadi fasilitator bagi terjadinya pengakuan-pengakuan tersebut. Kemudian institusi itu dapat menetapkan siapa saja yang diusulkan kepada pemerintah untuk diberi rehabilitasi atau amnesti tanpa menyakitkan pihak manapun dalam suasana persaudaraan sebangsa dan setanah-air. *** Ibid. Kasiyanto Kasemin, Mendamaikan Sejarah Analisis Pencabutan TAP MPRS/XXV/ 1966. Yogyakarta: Penerbit LKIS, 2003:3) 31 32 30 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 MEL AWAN AN CAMAN WAK TU MELA ANC WAKTU TU,, MEN GIMAJIN ASIKAN MAS A MENGIMAJIN GIMAJINASIKAN MASA DEP ANNY A MAS A LAL U DEPANNY ANNYA MASA LALU Menuturkan sebuah kisah sama dengan mengangkat senjata melawan ancaman waktu. (Alessandro Portelli) Budiawan Secara alami waktu terus bergerak maju, menelan apapun yang ada di depannya. Masa kini terus berlalu, lenyap ke dalam masa lalu. Pengalaman masa lalu tidak akan pernah dianggap ada, bila ingatan atas pengalaman itu tidak pernah dituturkan. Padahal tidak jarang pengalaman itu merupakan sumber pembelajaran yang sangat penting untuk mengelola kehidupan di masa depan, atau minimal untuk membangun imajinasi tentang masa depan. Oleh karena itu menuturkan ingatan tentang pengalaman masa lalu bisa dibaca sebagai tindakan turut membangun masa depan. Barangkali antara lain berangkat dari pemikiran semacam itulah, sejumlah mantan tahanan politik (tapol) ‘Peristiwa 1965’ menuliskan otobiografi mereka dalam sekitar tujuh tahun terakhir ini. Sejak akhir 1998 puluhan otobiografi mantan tapol telah bermunculan. Meskipun ditulis dengan dorongan yang sama dan memiliki kesamaan pesan, masing-masing otobiografi itu mempunyai tendensi yang berbeda. Ada yang bersemangat membela diri,1 ada yang berambisi mematahkan oposisi biner ‘Islam’/ ‘Komunisme’,2 ada yang nyaris sekedar menumpahkan 1 Misalnya, Abdul Latief, Soeharto Terlibat G 30 S: Pledoi Kol. A. Latief, Jakarta: ISAI, tanpa tahun terbit); Benedicta A. Surodjo dan JMV. Soeparno, Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku: Pledoi Omar Dani, Jakarta: ISAI, 2001. 2 Misalnya, Hasan Raid, Pergulatan Muslim Komunis: Otobiografi Hasan Raid, Yogyakarta: LKPSM-Syarikat, 2001; Achmadi Moestahal, Dari Gontor ke Pulau Buru: Memoar H. Achmadi Moestahal, Yogyakarta: Syarikat, 2002. Budiawan, Melawan Ancaman Waktu, Mengimajinasikan Masa Depannya Masa Lalu 31 segala kemarahan terhadap rezim Suharto,3 dan ada yang mengisahkan ketidakberdayaan para tapol di hadapan kekuasaan Orde Baru.4 Satu hal jelas bahwa narasi-diri itu adalah tuturan pengalaman yang minta didengar secara publik. Selain menerbitkan otobiografi, para mantan tapol juga mengartikulasikan ingatan mereka secara publik melalui pameran fotofoto dan benda-benda kenangan. Hal ini antara lain terjadi pada pertengahan Desember 2004 di Yogyakarta. Yang menarik adalah bahwa penyelenggaraan pameran itu didukung sekelompok mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta yang tergabung dalam Forum Pendidikan dan Perjuangan Hak-hak Asasi Manusia (Fopperham). Selama sepekan mereka menggelar sebuah pameran yang memajang puluhan foto dan benda-benda kenangan para mantan tapol yang pernah dipenjara di Pulau Buru. Sementara beberapa mantan tapol yang telah berusia 70-an tahun secara bergantian menyediakan diri sebagai pemandu yang dengan penuh semangat melayani pertanyaan-pertanyaan para pengunjung tentang foto-foto dan benda-benda kenangan yang dipajang dalam pameran itu. Meskipun gaungnya amat terbatas, apa yang telah dituturkan para mantan tapol melalui pameran itu memiliki makna yang sangat penting dalam membangun imajinasi tentang kehidupan bersama di masa depan. Sejumlah foto dan benda kenangan yang merupakan saksi bisu atas sebagian pengalaman mereka selama menjadi tapol di Pulau Buru tersebut sekurang-kurangnya merupakan jejak sejarah bahwa sebagian warga bangsa Indonesia pernah dihukum tanpa proses pengadilan (yang jujur), serta dirampas harkat dan martabat mereka sebagai manusia oleh, ironisnya, bangsanya sendiri. Melihat jejak-jejak itu kita seperti hendak diingatkan bahwa apa yang dialami para mantan tapol, yakni penahanan tanpa proses pengadilan berikut segala bentuk penderitaan yang mereka maupun keluarga mereka alami baik selama maupun sesudah penahanan, adalah bagian dari perjalanan kolektif sejarah bangsa Indonesia. Kesadaran akan hal inilah yang selama rezim Orde Baru berkuasa dibungkam, atau dituturkan oleh rezim Orba dengan bahasa yang serba terbalik.5 3 Misalnya, Adam Soepardjan, Mendobrak Penjara Rezim Soeharto, Yogyakarta; Ombak, 2004; Sulami Perempuan-Kebenaran-Penjara, Jakarta: Cipta Lestari, 1999. 4 Misalnya, Putu Oka Sukanta, Merajut Harkat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. 5 Misalnya, penangkapan dikatakan sebagai pengamanan. Pembantaian dikatakan sebagai pembersihan. Pemenjaraan dikatakan sebagai reedukasi. Kamp kerja paksa dikatakan sebagai instalasi rehabilitasi (inrehab). Caci maki dikatakan sebagai santiaji, dan sebagainya. 32 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 Sebagaimana sudah kita hapal (karena memang dipaksa atau dikondisikan untuk hapal), Orde Baru menarasikan dirinya sebagai sebuah rezim yang telah ‘menyelamatkan negara, bangsa, dan ideologi Pancasila dari ancaman komunisme’. Peristiwa pembunuhan enam perwira tinggi dan seorang ajudan Angkatan Darat oleh sekelompok pasukan Cakrabirawa pada tanggal 30 September 1965 telah dinarasikan sebagai bukti dan sekaligus titik puncak ‘ancaman komunisme’ itu. Di situ Partai Komunis Indonesia (PKI) dituduh sebagai dalang peristiwa tersebut. Sejak saat itu, siapapun yang terkait, atau dikait-kaitkan dengan PKI dicap sebagai ‘pengkhianat bangsa’. Atas dasar cap itulah, Soeharto dengan tentara serta berbagai kelompok sosial pendukungnya, yang kemudian menamakan diri ‘Orde Baru’, merasa berhak dan bahkan wajib menghukum para ‘pengkhianat bangsa’ tersebut. Orde Baru bukan hanya membubarkan dan melarang PKI (beserta semua ormasnya) untuk selamanya-lamanya, tetapi juga, dalam istilah rezim itu sendiri, ‘mengikis habis PKI sampai ke akar-akarnya’. Dalam narasi sejarah Orde Baru yang diwariskan kepada generasi muda, gambaran yang muncul adalah ‘heroisme’ Orde Baru dengan Soeharto sebagai tokoh utamanya. Tetapi, cukup lama kita tidak tahu (karena memang dibuat untuk tidak tahu), bahwa di balik ‘heroisme’ Orde Baru itu sebenarnya telah terjadi tragedi kemanusiaan yang dahsyat, bahkan mungkin yang terdahsyat setelah Perang Dunia II, 6 yakni pembantaian terhadap ratusan ribu dan penahanan tanpa proses pengadilan terhadap lebih dari satu juta orang yang dicap ‘komunis’ berikut berbagai macam dampak terhadap keluarga dan kerabat yang ditinggalkan. Kini, rezim Orde Baru dengan Suharto sebagai personifikasinya telah menyingkir (meskipun jiwa dan semangatnya masih bertahan dan dicoba terus dipertahankan oleh sebagian warga bangsa). Narasi tentang sisi gelap perjalanan sejarah bangsa Indonesia pun mulai terartikulasikan secara publik. Tuturan ingatan pengalaman masa lalu yang kelam menggugat narasi sejarah yang telah (di)baku(kan). Dihadapkan pada gugatan itu, klaim citra-diri sebagai bangsa yang ramah, santun dan religius tiba-tiba tampak retak. Cerita heroik mulai bergeser dimaknai sebagai cerita tragedi kemanusiaan. Tidak sedikit orang bersikap reaktif 6 Kata-kata filsuf Inggris Bertrand Russel barangkali cukup mewakili gambaran tentang skala tragedi kemanusiaan 1965-66 itu, yakni ‘Dalam empat bulan, orang yang mati di Indonesia sebanyak lima kali lebih besar dari yang mati di Vietnam dalam kurun waktu dua belas tahun’. Lihat Malcolm Caldwell, Ten Years’ Military Terror in Indonesia, Nottingham: Spokesman Books, 1975; halaman sampul dalam. Budiawan, Melawan Ancaman Waktu, Mengimajinasikan Masa Depannya Masa Lalu 33 terhadap gugatan itu. Munculnya spanduk-spanduk bahasa klise Orde Baru seperti ‘awas bahaya laten komunis’, atau ‘awas komunisme bangkit kembali’ adalah salah satu contohnya. Tetapi, sikap reaktif semacam itu tidak akan pernah membuat masa depan lebih baik, jika bukan malah lebih buruk. Sikap reaktif hanyalah akan membuat orang terbelenggu ke dalam keyakinan sepihak tentang masa lalu, yang jelas akan menghalangi gerak ke depan. Lantas, bagaimanakah kaum muda, sebagai penghuni dan penghidup masa depan, sebaiknya menyikapi gugatan itu? *** Memang, belajar dari masa lalu tidak menjamin bahwa masa depan pasti lebih baik. Tetapi, belajar dari masa lalu sekurangnya-kurang akan menuntun kita untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan. Oleh karena itu, sikap yang bijaksana barangkali adalah menjadikan gugatan itu untuk menggugat diri kita (sebagai warga bangsa) sendiri: mengapa dalam perjalanan sejarah berbangsa, bangsa Indonesia pernah menghukum sebagian warganya sendiri secara tidak proporsional? Adakah kebencian yang mendalam terhadap sebagian warga bangsa itu? Dengan pertanyaan itu, saya tidak hendak mencari akar permasalahan dari seluruh rangkaian tragedi kemanusian 1965-66. Tetapi, saya hanya ingin membaca kembali seluruh rangkaian tragedi itu dari perspektif kemanusiaan, tidak lain agar tragedi serupa (dalam beragam skala) tidak terulang di masa depan. Saya mengajukan sekurangkurangnya ada empat catatan atas seluruh rangkaian tragedi kemanusiaan 1965-66 itu. Pertama, ketika cap ‘pengkhianat bangsa’ dilekatkan kepada mereka yang terkait atau dikait-kaitkan dengan PKI, maka di situ sebenarnya kekerasan sudah terjadi, dan institusi hukum yang merupakan syarat dasar masyarakat beradab sudah dicampakkan. Dengan membuat cap itu, siapapun yang merasa ‘terkhianati’, atau berusaha untuk tidak dicap ‘pengkhianat’, merasa berhak dan bahkan wajib menghukum mereka yang dicap ‘pengkhianat’. Cap telah membuat orang ketakutan, dan tidak jarang untuk menyelamatkan diri orang mencap orang lain sebelum dicap oleh orang lain. Siapa ‘mengkhianati’ siapa menjadi tidak jelas lagi. Di sinilah tragedi kemanusiaan terjadi, karena untuk bertahan hidup manusia seperti tidak mempunyai pilihan lain selain memangsa orang 34 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 lain. Orang melakukan perbuatan yang mencelakakan orang lain di luar kehendak bebasnya. Tragisnya, tidak sedikit kaum terpelajar kita mengamini situasi semacam itu sebagai sebuah kewajaran. Kedua, situasi sebagaimana digambarkan dalam catatan pertama di atas adalah cermin dari cara berpikir yang dikotomistis-hierarkhis. Dunia kenyataan dibayangkan hanya ada hitam dan putih. Tidak dibayangkan adanya kenyataan yang lain, atau kenyataan-antara. Jika bukan putih, pasti hitam. Begitu pula sebaliknya. Cara berpikir ‘either or’ inilah yang membuat manusia tersekat-sekat ke dalam dua kelompok ‘jahat’ atau ‘baik’, ‘kawan’ atau ‘lawan’, ‘sekutu’ atau ‘musuh’; dan sekat-sekat itu senantiasa dicoba dialamiah-alamiahkan sehingga setiap tindakan kekerasan terhadap yang ‘jahat’, ‘lawan’, dan ‘musuh’ dianggap sah dan bahkan wajib. Deklarasi sebuah ormas keagamaan beberapa minggu sesudah terjadi peristiwa 30 September 1965 yang menyatakan bahwa wajib hukumnya bagi setiap penganut agama itu untuk memerangi kaum komunis adalah salah satu contohnya.7 Ketiga, kalau kita telisik sedikit lebih jauh, bahasa (tentu saja beserta logika yang dikandungnya) dalam kampanye penghancuran PKI itu sebetulnya tidak jauh berbeda, jika bukan mirip, dengan retorika politik PKI ketika menyerang lawan-lawan politiknya. Hanya posisi subyek – obyeknya yang dibalik. Jika sebelumnya PKI menyetan-nyetankan lawanlawan politiknya,8 pasca-peristiwa 30 September 1965 gantian PKI yang disetan-setankan. Bedanya, jika sebelumnya PKI menyerang lawanlawannya lebih dengan kata-kata, pasca 30 September 1965 serangan balik tidak hanya dengan kata-kata, tetapi juga senjata, penjara dan hukum yang diskriminatif terhadap mereka dan keluarga mereka, sampai sekarang. Dengan kata lain, wacana anti-komunis sebenarnya tidak lebih dari wacana dendam, dan di depan dendam senantiasa berjejer korbankorban, baik potensial maupun riil. Mempertahankan wacana antikomunis berarti sama saja mempertahankan dendam, dan sekaligus memenjarakan diri ke masa lalu. 7 Lihat B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, The Hague: Martinus Nijhoff, 1971, hlm. 141. 8 PKI antara lain pernah menciptakan istilah-istilah seperti “Tujuh Setan Desa” dan “Setan Dasa Muka” untuk menyebut lawan-lawan politiknya. Penggunaan kata “setan” bukan hanya mengandung konotasi politis, tetapi juga klaim moral bahwa lawan-lawan politiknya itu jahat, dan karena itu pantas dienyahkan. Tentang retorika politik PKI dalam persaingannya dengan partai-partai lain menjelang ‘Peristiwa 1965’ terjadi, lihat Budiawan, Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Suharto, Jakarta: ELSAM, 2004; hal. 120-27. Budiawan, Melawan Ancaman Waktu, Mengimajinasikan Masa Depannya Masa Lalu 35 Keempat, serangkaian tragedi kemanusiaan itu merupakan imbas dari Perang Dingin, sebuah perang dua ideologi dunia yang samasama merupakan anak kandung modernitas, yang disemangati oleh nalar ‘either or’, nalar ‘jika bukan kawan pasti lawan’. Nalar ‘either or’ inilah yang ternyata telah menyeret sejarah umat manusia dalam hampir sepanjang abad ke-20 sebagai sejarah penuh tragedi kemanusiaan. Ironisnya, tragedi itu terjadi justeru karena masingmasing ideologi mengklaim sebagai yang mampu menjamin kehidupan manusia secara lebih sejahtera, sambil berambisi melenyapkan ideologi pesaingnya. Nalar ‘either or’ itu bukan hanya ditemukan di kalangan mereka yang anti-komunis, tetapi juga di kalangan mereka yang sangat meyakini akan kebenaran komunisme. Sebagai contoh, ketika seorang Pipit Rochijat pada awal 1970-an di hadapan para eksil politik Indonesia di Jerman Barat dengan penuh empati menuturkan kesaksian-kesaksiannya atas berbagai penyembelihan terhadap para anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) di Kediri, Jawa Timur, tibatiba ia dikagetkan dengan pertanyaan dari mereka: ‘Kamu PKI atau bukan?’. 9 Ketika ia tidak bisa menjawab dengan tegas, para eksil itupun kecewa dan menjauhinya, dan ia pun juga kecewa dan akhirnya menjauhi mereka. Di mata para eksil itu, cerita kesaksian tentang tragedi kemanusiaan yang dituturkan dengan penuh empati mendalam dianggap tidak penting. Yang lebih penting di situ adalah si penutur itu ‘kawan atau lawan’. Ketika dunia kenyataan masyarakat manusia dibayangkan hanya dihuni oleh ‘kawan’ dan ‘lawan’, maka kebencian dan kekerasan dengan segala manisfestasinya senantiasa menghantui kehidupan manusia itu sendiri. Lebih-lebih bila yang dianggap ‘lawan’ itu sebenarnya adalah bagian dari kolektivitas kita sendiri, yang telah kita cap sebagai ‘pengkhianat’, jalan menuju perajutan kembali tali persaudaraan seringkali jauh lebih sulit dan rumit daripada jika yang dianggap ‘lawan’ itu ‘orang asing’ (foreigner). Dalam banyak kasus, perseteruan ‘sesama saudara’ jauh lebih mengerikan dan jauh lebih sulit didamaikan daripada perang melawan pihak ‘asing’. Terhadap orang ‘Belanda’ atau orang ‘Jepang’, misalnya, orangtua kita yang dulu sangat memusuhi mereka, mungkin kini sudah bisa saling bercanda tentang masa lalu 9 Pipit Rochijat, ‘Am I PKI or Non-PKI?’, Indonesia, No. 40 (October) 1985. 36 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 itu. Tetapi, apakah hal serupa juga terjadi pada mereka yang (dulu) bermusuhan dengan orang ‘komunis’? *** Pameran foto dan benda kenangan para mantan tapol peristiwa 1965 sekitar setahun yang lalu itu bukan hanya merupakan apa yang oleh Alessandro Portelli10 dikatakan sebagai upaya mengangkat senjata untuk melawan ancaman waktu, sebagaimana saya kutip sebagai pembuka catatan sederhana ini, tetapi juga usaha untuk menyiapkan masa depannya (narasi) masa lalu, tidak lain agar masa depan bukan merupakan pengulangan masa lalu. Meletakkan masa lalu pada tempatnya merupakan upaya untuk keluar dari beban sejarah. Jika masa lalu telah diletakkan pada tempatnya, maka ruang imajinasi tentang masa depan menjadi lebih lapang. Kita tidak perlu memelihara ketakutanketakutan yang kita ciptakan sendiri; dan setiap ketakutan hanyalah akan membuat kita enggan melangkah ke depan. Sebagai penutup, perkenankan saya menuturkan sebuah pengalaman pribadi. Beberapa waktu sebelum isu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) menjadi wacana publik yang hangat, saya menghadiri sebuah diskusi yang membahas draft RUU Pilkada di sebuah kampus PTS di Yogyakarta. Dalam forum itu saya mengajukan pertanyaan perihal sebuah pasal yang menyatakan bahwa pemilihan kepala dan wakil kepala daerah dijalankan secara non-diskriminatif. Dengan nada setengah iseng saya bertanya apa yang dimaksud ‘non-diskriminatif ’itu. Saya meminta klarifikasi apakah itu ‘non-diskriminatif ’ berdasarkan agama, etnis, tempat lahir, atau juga termasuk latar belakang historis politik seorang calon. Saya mempertegas hal yang terakhir itu dengan mengatakan: ‘jelasnya, apakah seorang mantan tapol peristiwa 1965, atau paling tidak keturunannya, boleh mencalonkan diri menjadi kepala atau wakil kepala daerah?’. Si pembicara, seorang aktivis sebuah LSM di Yogyakarta dan sekaligus pemrakarsa forum diskusi itu, hanya diam saja, tidak memberikan tanggapan apapun. Yang menanggapi pertanyaan saya itu malah seorang peserta, yang kebetulan anggota DPRD DIY dan sekaligus dosen sebuah PTS di Yogyakarta. Katanya, prinsip ‘non-diskriminatif ’ tidak boleh diberlakukan secara apa adanya. Bila menjalankan prinsip ‘non10 Sebagaimana dikutip dalam Elizabeth Tonkin, Narrating Our Pasts: The Social Construction of Oral History, Cambridge: Cambridge University Press, 1992; hal. 165. Budiawan, Melawan Ancaman Waktu, Mengimajinasikan Masa Depannya Masa Lalu 37 diskriminasi’ tetapi taruhannya adalah disintegrasi sosial, katanya, maka sebaiknya ‘non-diskriminasi’ itu harus dibatasi. Tampak bahwa masa lalu yang masih menjadi beban membuat bayangan tentang masa depan menjadi kelam. Bayangan tentang ‘disintegrasi sosial’ telah membuat proses demokratisasi tidak berjalan sepenuh hati. Barangkali hanya guru tata bahasa yang lebih kompeten untuk menilai apakah frase ‘non-diskriminasi’ yang terbatas itu secara ketatabahasaan ketemu nalar atau tidak. *** 38 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 REK ONSILIASI PERIS TIW A1 965: REKONSILIASI PERISTIW TIWA 1965: PER TAR UHAN UNTUK MAS A MASA PERT ARUHAN DEP AN KIT A DEPAN KITA Salahuddin Wahid Pengantar Malam menjelang dini hari tanggal 30 September 1965, garis batas sejarah mulai terbangun bersama dengan aktivitas sejumlah kesatuan tentara di Desa Lubang Buaya, sebelah selatan kota Jakarta. Kesatuankesatuan yang berada di bawah komando Letkol Untung, Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Tjakrabirawa (Pasukan Pengawal Presiden) itu bergerak ke sejumlah titik sasaran di Jakarta. Hasil operasi itu menakjubkan. Dalam hitungan jam satuan-satuan tentara itu berhasil mengambil paksa (hidup atau mati) 6 Jenderal TNI AD dan satu perwira menengah. Pagi harinya, sekitar pukul 07.20 keluarlah pengumuman melalui RRI Jakarta yang antara lain mengatakan, telah terjadi gerakan di dalam Angkatan Darat yang ditujukan kepada “Dewan Jenderal” yang bermaksud jahat terhadap Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Gerakan itu, yang dinamakan Gerakan 30 September, juga bertujuan untuk menyelamatkan Presiden Soekarno. Selanjutnya, Pengumuman tentang “Dewan Revolusi”, terjadi pukul 14.00. Dalam pengumuman itu, “Dewan-Revolusi” dinyatakan menjadi sumber segala kekuasaan dalam negara Republik Indonesia dan Kabinet Dwikora dengan sendirinya berstatus demisioner. Hanya dalam waktu kurang dari 72 jam, gerakan “Dewan Revolusi” ini secara militer berhasil dipatahkan. Pendudukan mereka atas RRI dan Gedung Telekomunikasi berhasil dipatahkan oleh pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), menyusul kemudian jatuhnya Lubang Buaya yang menjadi basis gerakan. Tanggal 4 Oktober 1965 Jenazah 6 jenderal dan satu Perwira Menengah TNI AD Salahuddin Wahid, Rekonsiliasi Peristiwa 1965: Pertaruhan Untuk Masa Depan Kita 39 yang menjadi korban dapat dievakuasi dari sumur maut Lubang Buaya. Dengan dipatahkannya gerakan itu, apakah peristiwa G 30 S telah selesai? Ternyata tidak. Peristiwa Lubang Buaya hanya merupakan babak pembuka, seperti hulu ledak kecil yang akan memicu ledakan dahsyat berikutnya. Dinamika politik segera mengarahkan telunjuknya pada PKI sebagai dalang di balik peristiwa 30 September dan Dewan Revolusi. Bukti-bukti awal yang dimiliki militer saat menumpas gerakan telah menunjukkan jejak keterkaitan tokoh-tokoh PKI dalam peristiwa itu. Demikian juga pandangan umumnya politisi sipil non-PKI. Bagi kalangan yang melek politik dan memahami situasi menjelang September 1965, penyimpulan bahwa PKI memiliki kaitan dengan G 30 S bukanlah kesimpulan yang sembrono. Situasi politik menjelang G 30 S telah terpolarisasi tajam menjadi 3 kekuatan, yaitu: Pertama: Bung Karno, yang menjadi puncak kekuatan dan melingkupi semua kekuatan, Kedua: PKI yang berkembang sangat agresif, dan Ketiga: semua kekuatan politik yang berseberangan dengan PKI (dimotori oleh TNIAD) Tema “Dewan Jenderal yang bermaksud jahat terhadap Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno” yang dilontarkan dalam pengumunan “Dewan Revolusi”, adalah isu politik yang telah berkembang beberapa bulan sebelumnya dan sering disuarakan oleh PKI. Dengan demikian menjadi sangat wajar tudingan bahwa PKI merupakan dalang G 30 S. Itu pula yang kami—saya dan keluarga—simpulkan saat pertama kali mendengarkan pengumuman “Dewan Revolusi” dari RRI. Dalam waktu singkat, kampanye menentang PKI bermunculan. Diawali dengan pembentukan Komite Aksi Pengganyangan (KAP) Gestapu/PKI yang memulai aksi sejak 7 Oktober 1965. Organ yang dimotori Subhan ZE (Partai NU) dan Harry Tjan Silalahi (Partai Katolik) ini sejak awal telah menuntut pembubaran PKI. Tuntutan ini diarahkan kepada Bung Karno, sebagai puncak piramida politik nasional. Namun ketika Bung Karno keukeuh menolak tuntutan tersebut, maka kampanye kemudian diarahkan langsung kepada PKI sendiri. Entah dari mana awalnya, dimulailah aksi penumpasan PKI di daerah-daerah. Hanya dalam waktu beberapa bulan (beberapa sejarawan menulis kekerasan ini berlangsung selama beberapa tahun antara 1965-1969) sekitar 500.000 ribu anggota, simpatisan, dan mereka yang dianggap terkait dengan PKI atau underbouw-nya dibinasakan. Angka 500.000 ribu korban ini 40 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 merupakan angka moderat dan titik tengah antara berbagai dugaan jumlah korban yang dikeluarkan oleh berbagai pihak (dari yang menyebut sekitar 78.000 hingga 3 juta jiwa). Pembinasaan ini dilakukan nyaris tanpa perlawanan dari orang-orang PKI (kecuali di beberapa tempat seperti Banyuwangi, Bali, Klaten dan Solo). 1 Tragedi ini sungguh mengerikan dan merupakan tragedi kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Bagaimana peristiwa mengerikan ini bisa terjadi? Siapa yang bertanggung jawab? Siapa saja yang terlibat? Mengapa mereka terlibat? Energi apa yang bisa mendorong kekejaman sebesar itu? Siapa saja korbannya? Semua pertanyaan-pertanyaan ini tidak pernah bisa dijawab tuntas hingga saat ini. Tetapi dengan sedikit mengulur nalar dan ingatan, kita bisa membuat beberapa pendekatan berdasar contoh sebagai berikut. Di Jawa Timur, tempat terjadinya kekejaman dalam jumlah yang paling banyak, kalangan NU, terutama Banser NU terlibat secara aktif. Keterlibatan ini didorong oleh tiga hal: Pertama; munculnya situasi yang menempatkan NU dan PKI dalam posisi berseberangan sangat tajam di lapangan sejak beberapa tahun sebelum 1965, terutama sejak PKI menggerakkan massa BTI dan Pemuda Rakyat melakukan aksi sepihak yang ditujukan kepada para pemilik tanah luas yang umumnya adalah tokoh-tokoh NU. Aksi –aksi sepihak ini telah mendidihkan situasi di lapangan. Kedua: minimnya informasi mengenai peristiwa G 30 S pada minggu-minggu pertama setelah 1 Oktober 1965. Yang tersedia hanyalah informasi tunggal dari koran-koran tentara. Di kalangan grass root, berkembang banyak sekali desas-desus tentang rencana-rencana PKI untuk membalas kekalahannya di Jakarta dengan sasaran lawan-lawan PKI di daerah (termasuk NU). Muncul isu, bahkan edaran, tertulis tentang daftar kiai-kiai NU yang menjadi target pembunuhan oleh PKI. Isu yang semakin memanaskan situasi lokal ini mendorong para pimpinan NU 1 Cribb Robert, The Indonesian Killing, Pembantaian PKI Di Jawa dan Bali 1965-1966, Matabangsa, 2003. Kesimpulan Cribb didukung oleh Teknik yang dibuat Iwan Gardono dengan menjumlahkan semua angka pada 39 artikel/buku yang pernah mengulas/menyebutkan jumlah korban pembantaian 1965/1966 dan membaginya dengan 39 sehingga diperoleh angka rata-rata 430.590 jiwa. Mengenai nyaris tidak adanya perlawanan dari anggota PKI dapat dibaca hampir pada semua dokumen, kajian dan buku-buku. Perlawanan sporadis yang dilakukan di beberapa tempat seperti di Banyuwangi lebih merupakan aksi untuk mempertahankan diri karena khawatir dibunuh. Aksi ofensif dari PKI terhadap lawan-lawannya (ummat Islam dan para kiai) justru lebih banyak dilakukan saat peristiwa Madiun, 1948. Salahuddin Wahid, Rekonsiliasi Peristiwa 1965: Pertaruhan Untuk Masa Depan Kita 41 mengambil keputusan lebih baik mendahului daripada didahului oleh PKI. Ketiga: dorongan aktif dari kalangan militer (TNI AD) agar NU berperan aktif dalam operasi penumpasan PKI. Di beberapa daerah, para tentara ini bahkan memberi contoh terlebih dahulu bagaimana teknik menghabisi orang-orang PKI. Tiga hal di atas menempatkan para tokoh NU dalam suasana seperti di tengah peperangan, dibunuh atau membunuh terlebih dahulu, dan pilihan kedua inilah yang kemudian dilakukan. Kita dapat memahami situasi sulit yang dirasakan oleh para tokoh NU tersebut, walaupun kita tetap tidak bisa menerima kejadian tersebut. Adalah menarik untuk mengulas peran militer (TNI AD) dalam minggu-minggu pertama setelah 1 Oktober 1965. Kurun waktu tersebut agaknya menyimpan cukup banyak informasi yang hingga kini masih samar, terutama dalam hal bagaimana kampanye melawan PKI ini mulai dinyalakan dengan kecepatan yang luar biasa. Salah satu yang penting adalah kekosongan informasi di kalangan publik mengenai G 30 S setelah Pangdam Jaya memberlakukan jam malam dan menutup semua koran (kecuali Harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, keduanya milik tentara) selama seminggu sejak tanggal 1 Oktober 1965. Semua informasi mengenai G 30 S hanya bisa diperoleh dari kedua koran milik TNI tersebut. Kedua koran inilah yang meyakinkan publik bahwa PKI bersalah, bahkan menceritakan berbagai hal sadis seperti para jenderal yang disayat-sayat dulu sebelum dibunuh dan kemaluannya dipotong (hal yang tidak pernah dibuktikan dan cenderung merupakan berita bohong), atau kisah tentang kebejatan moral Gerwani seperti digambarkan sebagai berikut: “menurut sumber yang dapat dipercaya, orang-orang Gerwani menari-nari telanjang di depan korban mereka.......... Marilah kita serahkan kepada kaum wanita untuk mengadili moral kewanitaan orang-orang Gerwani, yang bermoral bejat lebih buruk dari binatang”2 Bayangkan reaksi pembaca dari kalangan anti-PKI terhadap berita 2 Harian Angkatan Bersenjata 11 Oktober 1965 dalam Jurnal Taswirul Afkar Nomor 15 Tahun 2003 42 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 semacam itu setelah begitu lama ia merasa muak dengan tingkah laku orang-orang PKI di dekat rumahnya. Peran yang dimainkan kedua koran rujukan itu hampir mirip dengan Radio Nasional Rwanda (tahun 1994) yang menyiarkan kebencian, bahkan mendorong dan memberi instruksi kepada anggota interahamwe (militan suku Hutu) untuk segera mengambil tindakan keras kepada tetangganya yang bersuku Tutsi. Hasilnya, dalam 100 hari penuh kekerasan, 800 ribu orang suku Tutsi tewas dibantai di Rwanda.3 Hermawan Sulistyo menulis bahwa pembantaian PKI tahun 1965/ 1966 tidak dilakukan secara sistematis, tetapi dengan pola yang bervariasi di tiap daerah yang didukung oleh beberapa faktor: Pertama, budaya amuk di masyarakat. Kedua, konflik di daerah-daerah antara golongan komunis dan non komunis. Ketiga, Keterlibatan militer yang menggerakkan massa. Keempat, faktor provokasi oleh media massa.4 Operasi Memori Orde Baru dan Dampaknya Hingga Saat Ini Setelah bulan-bulan penuh kekerasan berlalu, yang berujung pada keluarnya Surat Perintah 11 Maret, pembubaran PKI, dan akhirnya kejatuhan Presiden Soekarno, penguasa baru—yang menyebut diri sebagai Orde Baru—melanjutkan operasi politik dengan jalan penangkapan dan penahanan anggota PKI yang tersisa (juga merekamereka yang menentang penguasa baru) selama bertahun-tahun tanpa pengadilan. Hak-hak sipil dan konstitusional orang-orang ini diingkari dan cap PKI diteruskan kepada anak cucunya yang otomatis akan mempersulit mereka dalam membangun kembali kehidupannya. Politik diskriminatif diberlakukan untuk eks anggota dan yang diduga sebagai anggota PKI (dan onderbouw-nya) beserta keluarganya. Penguasa Orde Baru juga berupaya membuat penafsiran tunggal tentang peristiwa G 30 S yang kemudian disosialisasikan secara sistematis melalui sekolah-sekolah dari SD hingga Perguruan Tinggi, juga melalui jalur non formal lain seperti film-film (PPFN). PKI dinyatakan sebagai bahaya laten yang harus diwaspadai secara terus menerus, bahkan belakangan stigma PKI bisa dikenakan pada siapapun yang mengkritisi 3 Mark Huband, Rwanda - The Genocide dalam Hewitt, William L, Defining the Horrific : Readings on Genocide and Holocaust in the 20th Century, Prentice Hall Published, 2003 4 Sulistyo Hermawan, Palu Arit di Ladang Tebu, Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966), KPG,2000. Salahuddin Wahid, Rekonsiliasi Peristiwa 1965: Pertaruhan Untuk Masa Depan Kita 43 Orde Baru. Esensi politik diskriminatif ini sesungguhnya adalah “politik teror”, meskipun sasaran langsungnya hanya kalangan terbatas (PKI beserta keluarganya) namun sesungguhnya secara efektif meneror siapa saja yang berniat melawan pemerintah. Nampaknya politik diskriminatif Orde Baru ini juga mendapat persetujuan—baik terang-terangan atau diam-diam—dari masyarakat. Terbukti penolakan terhadap orang-orang bekas anggota PKI dan keluarganya juga dilakukan secara aktif oleh masyarakat. Belakangan istilah PKI secara konotatif digunakan masyarakat untuk menamai semua yang jelek, yang buruk, dan yang tidak bermoral, bukan sekedar singkatan Partai Komunis Indonesia. Ini menunjukkan bahwa politik diskriminatif itu telah mendapat persetujuan kultural dari masyarakat. Beberapa elemen masyarakat hingga saat ini tetap membenarkan tindakan keras yang dilakukan saat itu. Kekejaman yang terjadi dianggap sebagai kewajaran, bahkan keharusan sejarah yang mesti dilakukan kepada orang-orang PKI yang tidak beragama. Situasi semacam itu tidak banyak berubah hingga saat ini. Sebagian besar generasi yang lahir belakangan malah sama sekali tidak tahu kejadian pembantaian terhadap kaum komunis, karena pelajaran sekolah dan film “Pengkhianatan G 30 S” produksi PPFN hanya bercerita tentang pembunuhan para jenderal tanggal 30 September 1965 yang dilakukan PKI, dan tidak sedikitpun menyebut kekerasankekerasan massal yang terjadi kemudian. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya lawan-lawan PKI telah membalas tindakan itu (sehingga telah impas) dengan kekejian yang ribuan kali lipat besarnya. Hampir seluruh peristiwa kekerasan politik di Indonesia tidak pernah disosialisasikan kepada masyarakat sehingga tidak banyak diketahui. Dalam pemahaman awam (yang kemudian dijustifikasi oleh rezim), kekerasan, kerusuhan, atau pembunuhan massal dianggap sebagai aib dan penyimpangan terhadap harmoni sosial dan harus disembunyikan. Uniknya, meski dianggap aib, kekerasan dan kerusuhan ini terus berulang, era demi era, rezim demi rezim. Kasus pembantaian terhadap komunis tahun 1965/1966 hanya puncak dari kekerasan politik di Indonesia. Sebenarnya telah terjadi hal-hal yang serupa jauh-jauh hari, misalnya kekejaman yang dilakukan pemberontak FDR/PKI di Madiun tahun 1948 terhadap kelompok Islam (kiai), juga pembalasan yang sama kejamnya yang dilakukan tentara (Siliwangi) terhadap gerombolan FDR/ PKI di Madiun. Semuanya tidak diketahui oleh generasi muda. 44 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 Hingga kini reaksi penolakan masyarakat terhadap PKI masih kental, misalnya kejadian di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 2 Agustus 2005 saat sidang gugatan class action korban stigmatisasi PKI. Beberapa elemen masyarakat, dimotori oleh Front Pembela Islam (FPI), berdemo dan meminta hakim menghentikan persidangan tersebut.5 Bahkan dalam Rapat Komisi I DPR tanggal 25 Februari 2004 yang membahas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pengembalian hak konstitusional eks anggota PKI untuk menjadi caleg, pimpinan sidang (Ibrahim Ambong) mempertanyakan “apakah dengan keputusan MK tersebut ideologi komunis bisa berlaku kembali?”6. Juga dalam satu kesempatan saat bertemu Pengurus Pusat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PP PMII) tanggal 19 Maret 2003, Wapres Hamzah Haz dengan meyakinkan menyatakan bahwa ia tidak setuju memaafkan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang telah melakukan kesalahan ideologis. Rekonsiliasi nasional hanya mencakup kesalahan-kesalahan bersifat rasial atau diskriminatif, tetapi tidak untuk kesalahan ideologis. Situasi semacam ini memperlihatkan betapa gawatnya situasi sebagian masyarakat kita—bahkan anggota parlemen dan mantan Wapres—yang tidak bisa membedakan duduk persoalan. Masyarakat nampaknya bukan hanya menolak PKI tetapi juga masih enggan menerima pengembalian hak-hak sipil dan hak konstitusional bekas anggota PKI. Situasi ini tidak bisa serta merta disalahkan, karena masyarakat Indonesia selama puluhan tahun telah dicekoki narasi tunggal peristiwa G 30 S oleh rezim Orde Baru. Di sisi lain, keterlibatan aktif kalangan anti PKI (terutama kelompok Islam) dalam operasi penumpasan PKI pada tahun 1965-1966 telah menyebabkan kalangan ini seolah tidak berjarak dari konflik 1965. Perasaan ini sangat merasuk di dalam sanubari mereka. Dengan problem sekompleks ini, seluruh upaya untuk membantah narasi tunggal Orde Baru tentang G 30 S pasti akan menemui penolakan yang sama kerasnya dari (sebagian) masyarakat. Perdebatan ini tidak akan menemui hasil apapun jika bersandar hanya pada narasi. Salah satu yang menonjol dari fenomena ini adalah penolakan keras sejumlah tokoh Islam (dipimpin KH. Yusuf Hasyim) terhadap dihapuskannya Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam kurikulum sejarah 2004. 5 6 Kompas, 3 Agustus 2005 Kompas, 26 Pebruari 2005 Salahuddin Wahid, Rekonsiliasi Peristiwa 1965: Pertaruhan Untuk Masa Depan Kita 45 Dari semua rangkaian peristiwa dan fenomena di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa pelurusan sejarah dan penyembuhan luka bangsa akibat geger 1965 tidak cukup hanya dilakukan dengan perubahan narasi sejarah. Sejarah adalah menyangkut manusia dan manusia bukanlah sekedar narasi. Dalam tulisan saya di Harian Kompas, saya menyebut bahwa pengalaman hidup dan keyakinan sesorang amat menentukan sikapnya terhadap pilihan (narasi) peristiwa 19657. Saya sendiri mempercayai fakta persidangan Mahmilub lebih kuat dan meyakinkan, bahwa PKI berada di belakang G 30 S. Sedangkan pihak yang lebih mempercayai G 30 S adalah urusan TNI AD tentu punya pengalaman dan keyakinan berbeda. Namun sesungguhnya lebih jauh dari itu, siapapun (termasuk saya) akan lebih menyukai visi ideal yaitu sebuah pengungkapan tuntas berdasar fakta-fakta yang jauh lebih kuat dan lebih obyektif dibandingkan pengalaman hidup maupun keyakinan subyektif kita sendiri. Pertanyaannya adalah mungkinkah itu bisa dilakukan saat ini? Mengapa Peristiwa 1965 Menjadi Sangat Penting Untuk Bangsa Saat Ini? Di luar pro-kontra tentang narasi konflik 1965, terdapat pertanyaan mendasar yaitu: mengapa kita harus mengingat kembali peristiwa 1965? Apa manfaatnya bagi perjalanan bangsa Indonesia hari ini dan ke depan? Pertanyaan ini harus dijawab terlebih dahulu karena masih ada komponen bangsa kita yang menganggap peristiwa itu tidak bermanfaat dan tidak perlu diungkap lagi. Juga ada yang berpandangan yang selaras dengan filosofi Jawa “mikul dhuwur mendhem jero”, yang maknanya: sebaiknya kita lupakan dan kita maafkan seandainya ada kesalahan di masa lalu. Sebagai sebuah bangsa yang menghargai kemanusiaan dan bertekad untuk terus berkembang menjadi bangsa yang maju dan bermartabat, sejarah menjadi sangat penting untuk berkaca, mengambil pelajaran daripadanya untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan. Dalam konteks ini, peristiwa geger 1965 menjadi sangat penting karena: · Peristiwa tersebut telah melahirkan tragedi kemanusiaan yang sangat besar, bahkan untuk ukuran dunia. Belum pernah bangsa Indonesia mengalami dan menyaksikan kekejaman sebesar itu. Mempelajari 7 Kompas, 1Oktober 2004 46 · · Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 dan mengingat peristiwa 1965 bukan berarti untuk mencari-cari masalah, tetapi justru dalam rangka mencegah peristiwa semacam tidak terjadi lagi di masa depan. Peristiwa 1965 juga telah menimbulkan dampak nyata pada kondisi sosio-psikologis masyarakat Indonesia hingga saat ini. Misalnya adalah fenomena social distrust, budaya ketakutan (fear culture) kepada penguasa, dan mudahnya kekerasan (amok) digunakan untuk menyelesaikan setiap problem. Peristiwa 1965 memberi kontribusi lahirnya tiga penyakit sosial tersebut yang hingga saat ini masih kita rasakan dan mengancam masa depan kita. Kebijakan Orde Baru membangun sekat-sekat psikologis antar komponen masyarakat telah dimulai melalui cara penanganannya yang tidak bertanggung jawab terhadap peristiwa 1965. peristiwa 1965 penting karena menandai hilangnya modal sosial (Social Capital) kita sebagai sebuah bangsa. Padahal modal sosial adalah prasyarat yang dibutuhkan untuk menopang kemajuan sebuah bangsa, pembangunan tidak dapat membentuk hasil yang diinginkan tanpa modal sosial yang cukup. Beberapa poin penting dari modal sosial adalah hadirnya kehidupan demokratis dan kepercayaan pada hukum. Dalam kondisi bangsa kita hari ini yang terus kehilangan modal sosial, adalah penting menyimak kembali peristiwa 1965. Demi terciptanya masa depan yang lebih baik, lebih manusiawi, dan lebih bermartabat, mau tidak mau, sepahit apapun, peristiwa 1965 harus diungkap tuntas. Pengungkapan ini tidak ditujukan demi masa lalu atau masa kini, tetapi justru untuk masa depan. Kejahatan-kejahatan dan tragedi kemanusiaan yang terjadi saat itu harus dimaafkan, tetapi jangan sampai dilupakan (forgiven but not forgotten), karena melupakan adalah pintu menuju ketidaksadaran dan kealpaan. Agar tidak terlupakan, peristiwa itu harus diperjelas, harus dipahami, dan harus diurai benang kusutnya untuk diketahui apa sesungguhnya yang telah terjadi. Namun pengungkapan tersebut jangan sampai keluar dari maksud dan tujuan yang sebenarnya, yaitu mencari kebenaran dan menarik pelajaran darinya. Pengungkapan ini sama sekali tiada artinya jika dipersepsi sebagai alat untuk balas dendam, pengkambinghitaman, dan menyalahkan satu sama lain. Persepsi semacam ini masih dirasakan oleh pihak-pihak terkait hingga sekarang, yang kemudian memunculkan sikap Salahuddin Wahid, Rekonsiliasi Peristiwa 1965: Pertaruhan Untuk Masa Depan Kita 47 saling membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Eks PKI menyalahkan Orde baru dan para pendukungnya, orang Islam menyalahkan eks PKI dan seterusnya. Dengan demikian hal mendasar yang harus dikerjakan adalah bagaimana melaksanakan pekerjaan pengungkapan ini agar tidak keluar dari relnya? Apa syarat-syaratnya? Siapa saja yang harus terlibat di dalamnya dan sebagainya. Polemik tak berkesudahan tentang narasi peristiwa 1965 yang terjadi semenjak era reformasi menunjukkan bahwa cara ini tidak akan menghasilkan manfaat besar jika tidak dilambari dengan pekerjaan lain yang sinergis. Terdapat 3 (tiga) aspek mendasar yang dapat kita pilah dari peristiwa G 30 S besarta dampak-dampaknya, yaitu aspek kemanusiaan, aspek ajaran, dan aspek politik. Aspek kedua dan ketiga (ajaran dan politik) nampaknya masih harus menunggu waktu lebih lama lagi terkait dengan belum siapnya masyarakat kita menerima kehadiran komunisme sebagai ajaran. Secara kepartaian, sebagian besar masyarakat kita menolak hidupnya kembali PKI. Yang paling mungkin untuk dituntaskan adalah aspek kemanusiaan, yaitu mewujudkan rekonsiliasi antara mantan korban dan tapol 1965 plus keluarganya dengan masyarakat, baik secara yuridis maupun kultural. Hingga saat ini, masih terjadi kesimpangsiuran pemahaman di kalangan masyarakat mengenai kejahatan kemanusiaan dalam peristiwa 1965? Siapa yang melakukan kejahatan dan siapa korbannya? Siapa yang harus diselamatkan terlebih dahulu? Siapa yang harus dimaafkan? Dan seterusnya. Dalam pemahaman saya (sebagaimana tergambar di atas) umumnya para korban dalam pembunuhan massal di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali adalah para anggota atau yang dianggap sebagai anggota PKI (plus onderbouw-nya). Tetapi banyak kalangan mempercayai bahwa anggota PKI adalah pelaku kejahatan, dan orang Islam adalah korbannya. Dalam satu acara silaturahim Kepala Dinas Penerangan TNI AD (Kadispenad) dengan kalangan media massa di Mabes TNI AD, dinyatakan bahwa TNI AD telah “memaafkan” seluruh mantan anggota PKI yang terlibat pemberontakan pada masa lampau. Hal yang sama mungkin akan kita dengar dari eks tapol, bahwa mereka telah memaafkan mereka-mereka yang telah terlibat dalam kekerasan 1965 (TNI dan sebagian kalangan Islam). Hermawan Sulistyo menulis sangat baik tentang faktor ingatan, bahwa seseorang yang ditahan selama bertahun-tahun (karena persoalan 48 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 politik) akan memiliki kecenderungan untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa dirinya benar-benar tidak bersalah. Padahal dia mungkin bersalah. Begitu pula sebaliknya. Mereka yang menang dalam pertarungan politik 1965 berusaha meyakinkan dirinya bahwa mereka berada di pihak yang benar. Padahal belum tentu kenyataannya begitu. Di sinilah pentingnya mencari kaitan kemanusiaan dan pemaafan dengan pengungkapan kebenaran. Dengan kata lain, pemaafan hanya akan bermakna dan bersifat memberi pembelajaran bila diawali dengan terpampangnya kebenaran. K Bertens (mengutip filsuf Perancis Paul Ricoeur) menyebutkan bahwa pengampunan mengambil posisi di tengah antara mengingat dan melupakan. Baik mengingat maupun melupakan selalu perlu untuk mencapai pengampunan. Jika seseorang mengambil posisi mengampuni dengan melupakan, maka yang ia lupakan bukanlah kejahatan sebagai sebuah fakta, tetapi ia melupakannya sebagai beban moral. Ia sanggup berdamai dengan fakta itu. Melupakan kejahatan sebagai beban moral adalah melupakan yang membebaskan, sedangkan melupakan kejahatan sebagai fakta adalah melupakan yang melarikan diri. Tidak ada seorangpun dapat “melupakan” dengan jalan melarikan diri, kecuali ia hendak menipu dirinya sendiri.8 Komisi Kebenaran Relevan? dan Rekonsiliasi: Masihkah Pada tanggal 7 September 2004, DPR menyetujui RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) menjadi Undang-undang No. 27/ 2004. Aturan KKR ini berlaku untuk semua kejahatan berat HAM di masa lalu terhitung sejak NKRI berdiri, yaitu 17 Agustus 1945. Proses legislasi yang sangat lambat ini—karena tuntutan dan RUU sudah diajukan sejak beberapa tahun sebelumnya—hanya dihadiri oleh sekitar 150 anggota DPR. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya perhatian para wakil rakyat terhadap KKR.9 Lemahnya perhatian ini juga ditunjukkan oleh kalangan eksekuti (Presiden SBY) yang hingga saat ini (23 Nopember 2005) masih juga belum menentukan 21 anggota KKR dari 42 nama calon anggota KKR yang telah diserahkan oleh Panita Seleksi Anggota KKR kepada Presiden 8 9 K Bertens, Ricoeur tentang Mengampuni, Harian Suara Pembaruan, 22 Oktober 2005 Danusubroto Sidarto, Bicara Dengan Sejarah Damai Melalui Rekonsiliasi, Maret 2005 Salahuddin Wahid, Rekonsiliasi Peristiwa 1965: Pertaruhan Untuk Masa Depan Kita 49 beberapa bulan yang lalu. Padahal dalam ketentuan UU No.27/2004, komisi ini seharusnya telah terbentuk paling lambat 6 April 2005. Selain itu, banyak kalangan mempertanyakan (mengkritik) substansi UU KKR yang dikatakan lebih cenderung memihak pada para pelaku (daripada korban). Kalangan ini juga telah mengajukan judicial review terhadap UU KKR. Padahal empati kepada korban adalah esensi utama dari KKR. Terdapat kecenderungan untuk lebih memprioritaskan pemaafan dan pengampunan, bahkan di atas kepentingan pengungkapan kebenaran. Jika kebenaran tak terungkap dan para pelakunya tak bisa disentuh, mungkinkah korban akan “memaafkan sesuatu yang tidak bisa dihukum?”.10 Berbagai hambatan dan kelemahan di atas menyebabkan sejumlah kalangan mulai sangsi apakah KKR dapat mencapai tujuan asasinya, yakni mengungkap kebenaran dan menciptakan rekonsiliasi di antara para pelaku dan korban beserta keluarganya. Bagi saya sendiri, pesimisme itu masuk di akal, tetapi jangan menjadi satu-satunya cara pandang dan sikap kita. Optimisme harus dimunculkan meski berada dalam celah sekecil apapun. Jangan sampai pesimisme itu menjadikan kita tidak berbuat apa-apa dan hanya mengembangkan sinisme kita terhadap berbagai persoalan. Bangsa ini tidak akan besar dengan bekal cacian, makian, sinisme dan pesimisme. Dalam pemahaman saya, hasil akhir dari keseluruhan proses rekonsiliasi ini hanya dapat kita peroleh secara bertahap, setapak demi setapak, dan KKR dapat menjadi awalnya. Setidaknya, KKR Indonesia (meminjam istilah Fadjroel Rachman) mampu melahirkan Nunca Mas Indonesia. Nunca Mas (dokumen hasil KKR Argentina) menjadi dokumen yang sangat berpengaruh, meskipun KKR Argentina nyaris tidak menghasilkan apapun. Pengungkapan Kebenaran, Mulailah Dari yang Kecil Saya menangkap kesan bahwa para pencari kebenaran peristiwa 1965 yang terdiri dari para intelektual dan aktivis terlalu terobsesi dengan pengungkapan narasi besar G 30 S. Peristiwa 1965 seolah-olah akan mampu diungkap secara keseluruhan ketika ditemukan dalang tunggal yang bersifat nasional (atau bahkan internasional, seperti CIA) dibalik peristiwa 30 September 1965 di Lubang Buaya. Sikap ini tidak salah, 10 Bronkhorst Daan, Menguak Masa Lalu Merenda Masa Depan, Elsam, 2002 50 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 tetapi juga terbukti menguras energi dan mendapatkan perlawanan sengit dari yang tidak sepaham. Dalam pemahaman saya, selain narasi besar tersebut, juga terdapat narasi-narasi kecil, yakni persitiwa-peristiwa dalam lingkup kecil (di daerah-daerah) yang masuk dalam rangkaian gelombang kekerasan 1965. Mengangkat dan mengedepankan peristiwa-peristiwa kecil itu dalam hemat saya akan banyak membantu penyingkapan kebenaran dari bawah. Sisi penting yang lain dari model ini adalah bagaimana kita dapat menyertakan para pelaku lokal, korban lokal dan masyarakat lokal dalam menyembuhkan luka-luka mereka sendiri. Dalam amatan sekilas saya, justru kalangan yang bereaksi sangat keras terhadap pengungkapan narasi banding G 30 S umumnya bukan dari kalangan yang memiliki kaitan erat dengan peristiwa 1965 (kecuali KH Yusuf Hasyim tentunya). Di sinilah letak ketidakefektifannya. Saya terkesan dengan model penyelenggaraan KKR di Afrika Selatan yang bergerak (mobile) dari satu kota ke kota yang lain, dari satu kampung ke perkampungan lain, mengusut satu kejahatan kemanusiaan di masa lalu berbasis kasus-kasus lokal. Para pelaku yang terjaring (lalu membuat pengakuan, dinyatakan bersalah dan akhirnya dimaafkan) umumnya orang kulit putih, dengan saksi-saksi para tetangganya sendiri yang berkulit hitam. Namun terkadang juga ditemukan masalah dimana pelakunya adalah kulit hitam dengan korban kulit putih. Proses semacam ini saya bayangkan dapat dilakukan oleh KKR Indonesia di masa depan. Mungkin dengan cara ini kelak dapat dihitung berapa jumlah kiai yang telah dibunuh atau disiksa oleh PKI pada tahun-tahun 1960-an, sehingga dapat meluruskan pandangan ummat Islam apa yang sesungguhnya telah terjadi pada tahun 1965. Fakta yang sahih dan obyektif dalam kacamata saya jauh lebih penting dibanding sekedar pemahaman dan keyakinan subyektif kita. Kendala yang Sudah Terbayang Meski belum dimulai, kiranya dapat dibayangkan kendala-kendala yang kelak akan ditemui KKR Indonesia. Beberapa di antaranya dapat disebutkan sebagai berikut: Sekat dan perlawanan ideologis, yang berasal dari pemahaman ideologis yang kuat dan kesadaran ideologis yang tidak mau berkompromi dengan kemanusiaan. Hingga saat ini masih banyak kalangan Islam yang menganggap pemusnahan orang PKI tahun Salahuddin Wahid, Rekonsiliasi Peristiwa 1965: Pertaruhan Untuk Masa Depan Kita 51 1965 merupakan panggilan jihad dan tugas sejarah. Berharap kalangan ini mau mengakui kesalahan terhadap kemanusiaan dalam konteks peristiwa itu adalah sangat berat. Dalam beberapa kasus di daerah, kalangan umat Islam hanya bersedia menerima kembali bekas pengikut komunis jika yang bersangkutan dianggap telah bertobat, kembali ke jalan yang lurus, menjadi muslim yang baik, seolah-olah menjadi komunis adalah satu kesalahan tak termaafkan. Sekat psikologis, yang berasal dari budaya ketimuran yakni budaya dan rasa malu (shame culture) yang jauh lebih besar jika seseorang (apalagi seorang tokoh) dianggap bersalah dalam satu peristiwa. Rasa malu ini akan mendorong para tokoh pelaku akan menolak dan menyangkal perbuatan yang telah dilakukan, atau melakukan segala cara untuk menolak upaya pengusutan kebenaran. Di sisi lain, dendam juga dapat lebih memotivasi para korban atau keluarganya daripada untuk memaafkan. Dua hal ini harus diwaspadai. Minimnya bukti-bukti, yang bersumber dari kebijakan Orde Baru mengubur rapat-rapat seluruh peristiwa yang terjadi tahun 1965. Peristiwa ini sendiri telah berusia 40 tahun dan dokumen-dokumen, saksi, atau bukti belum tentu dapat ditemukan dengan mudah. Dapat dibayangkan seandainya kuburan orang-orang yang terbunuh ternyata tidak dapat ditemukan. Kurangnya kerjasama publik yang terkait, yang bersumber dari ketidakpercayaan mereka akan manfaat KKR. Para pihak yang terkait dengan pelaku enggan membuat penyaksian dan pengakuan karena dianggap hanya akan menyudutkan dan mempersulit mereka. Sementara para korban dan keluarganya emoh bersaksi karena melihat KKR hanya akan menuntungkan para pelaku, dan seterusnya. Minimnya dukungan publik luas, yang menganggap KKR tidak memiliki arti dan manfaat apapun bagi bangsa kita. Keterbatasan waktu, yang berasal dari keterlambatan pemberlakukan KKR dan keterbatasan masa kerja KKR yang tidak akan sebanding dengan luasnya peristiwa yang terjadi. Terhadap kemungkinan-kemungkinan kendala tersebut, harus didapatkan jalan keluar yang elegan dan dapat meminimalisir kendala, 52 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 seperti sosialisasi yang cukup, dukungan kuat dari negara, dan perangkat pengusutan yang lebih memadai. Fenomena Syarikat Indonesia Sebagai Wujud Partisipasi Kultural KKR di Afrika Selatan yang dianggap berhasil dan diacu oleh Indonesia ternyata juga memiliki berbagai kegagalan, misalnya kasus yang berhasil diungkap dan dipecahkan solusinya ternyata tidak lebih dari 20% dari keseluruhan kasus yang terdaftar. Dalam hal KKR Indonesia—tanpa harus bersifat pesimis—angka keberhasilannya kemungkinan besar akan di bawah angka tersebut. Hal ini disebabkan besarnya potensi kendala yang terdapat di Indonesia serta minimnya momentum yang dimiliki. Dari sinilah patut dipikirkan jalur lain yang dapat menopang pelaksanaan KKR yang secara formal akan lebih cenderung bersifat yuridis. Jalur itu adalah jalur kultural, yakni pelaksanaan KKR secara swadaya oleh dan dari masyarakat sendiri yang lebih menekankan diri pada penghancuran sekat-sekat kultural dan psikologis di antara warga masyarakat. Target ini lebih realistis dan lebih masuk akal untuk dilaksanakan di tengah masyarakat kita yang masih belum siap. Upaya ini juga dapat menjadi penopang KKR versi negara yang hendak diberlakukan. Jika KKR lebih bersifat top-down, maka rekonsiliasi kultural ini akan bersifat bottom-up. Jika keduanya dapat dilakukan dengan baik, maka pada satu ketika akan dapat bertemu di tengah. Penghancuran sekat-sekat kultural dan psikologis, merupakan hal yang paling urgen dan agenda utama saat ini. Hal ini dikarenakan peristiwa 1965 telah “dibenamkan” sangat dalam dan sangat lama dalam lumpur sejarah. Narasi tunggal mengenai peristiwa 1965 yang dikampanyekan oleh rezim Orde Baru telah mendapatkan legitimasi kultural yang sangat luas dari masyarakat. Celakanya lagi, banyaknya kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat dalam kekerasan massal yang menyertai peristiwa 1965 tentunya tidak bersedia begitu saja menerima hal baru yang dapat menyudutkan mereka. Sebaliknya, anak-anak muda yang kritis (generasi 1998) cenderung akan menyalahkan apapun yang berbau Orde Baru. Pada titik ekstrim lain, anak-anak muda ini juga akan cenderung berkawan dengan apapun yang dimusuhi oleh Orde Baru (termasuk PKI). Inilah yang membahayakan. Diperlukan jalan tengah yang cukup moderat yang Salahuddin Wahid, Rekonsiliasi Peristiwa 1965: Pertaruhan Untuk Masa Depan Kita 53 dapat menjembatani kesenjangan kultural dan psikologis antar dua sisi ekstrim. Salah satu model rekonsiliasi kultural telah dimulai oleh anak-anak muda NU yang tergabung Syarikat Indonesia, LSM yang aktif mempromosikan rekonsiliasi di akar rumput. Anak-anak muda ini sebagian besar belum lahir saat G 30 S meletus, sebagian yang lain sangat mungkin adalah anak-anak “para pelaku” dalam kekerasan 1965.11 Mereka sangat menyadari ketidaksiapan masyarakat secara kultural dan psikologis menyangkut peristiwa 1965.12 Rekonsiliasi dalam makna apapun sangat sulit diwujudkan tanpa penghancuran terlebih dahulu sekat-sekat tersebut. Syarikat aktif menurunkan anggota dan volunteernya ke berbagai daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah, bertatap muka dan berdialog baik dengan korban plus keluarganya, maupun dengan “para pelaku”. Pada tahap lebih lanjut, mereka juga berupaya mempertemukan korban dan pelaku ini dalam satu forum yang bersahabat, hanya untuk sharing ingatan dan pengalaman. Hasil dari pendekatan ini tentu tidak bisa diharap dalam waktu yang singkat. Namun upaya ini dapat melambari pekerjaan besar yang lain, yaitu rekonsiliasi. Rekonsiliasi sangat membutuhkan kerjasama setiap pihak yang terkait. Kerjasama ini sangat penting artinya bagi kesuksesan rekonsiliasi. Bagaimana kita mau memulai rekonsiliasi bila para korban masih enggan dan merasa ketakutan (trauma), padahal kesaksian mereka sangat penting artinya di tengah minimnya alat-alat bukti. Di sisi lain, mana mungkin rekonsiliasi dapat berlangsung bila para pelaku masih enggan, merasa hanya akan dipermalukan di depan orang banyak, padahal pengakuan mereka menjadi hal yang sangat penting demi terbentuknya kebenaran. Syarikat telah melakukan pekerjaan pendahuluan untuk menyiapkan kerjasama semua pihak tersebut. Saya memiliki kepercayaan yang kuat bahwa KKR versi negara akan sangat membutuhkan dukungan KKR versi masyarakat (seperti 11 Maria Hartiningsih menulis dalam Opini Kompas, 1 Oktobr 2005 tentang lika-liku aktivitas para aktivis Syarikat dan respon keluarganya. Ia menceritakan tentang satu aktivis di Kebumen Jawa Tengah yang menemukan bekas guru ayahnya yang komunis yang saat penangkapannya melibatkan ayah sang aktivis. Juga tentang aktivis Syarikat di Pasuruan Jawa Timur yang menemui fakta bahwa almarhum ayahnya di masa lalu adalah salah satu pelaku aksi pembantaian komunis, aktivis itu pun diultimatum oleh keluarganya sendiri, kalau tetap nekad mau melanjutkan aktivitasnya di Syarikat ia harus keluar dari rumah (diusir). 12 Budiawan, Mematahkam Pewarisan Ingatan, Elsam, 2004 54 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 yang dilakukan Syarikat). Bahkan menurut saya, seandainya kelak KKR negara telah terbentuk dan memulai pekerjaannya, maka kasus-kasus terkait peristiwa 1965 pada daerah-daerah tertentu yang telah ditangani Syarikat akan lebih mudah diungkapkan kebenarannya dari pada daerahdaerah atau kasus lain. Peran Pendidikan Generasi Muda Di luar pendekatan rekonsiliasi, upaya kita untuk mengambil pelajaran dari masa lalu untuk dijadikan penyuluh masa depan, juga harus dilakukan melalui pendidikan. Demikian strategisnya peran pendidikan ini menyebabkan saya harus mengatakan secara ekstrim: “lebih baik kita berbohong di semua tempat, tetapi jangan sampai itu kita lakukan di dunia pendidikan”. Sebab di sanalah masa depan kita berada, melalui anak-anak dan cucu kita. Anak-anak dan pemuda yang dididik dengan kebohongan akan melahirkan generasi pembohong dan akan diwariskannya kepada generasi kemudian. Karenanya, dunia pendidikan harus kita bersihkan dari semua kebohongan. Dalam konteks pembelajaran sejarah bangsa, kebohongan dapat terjadi manakala semua dari kita memasukkan agenda politik ke dalam kurikulum pendidikan. Pada masa Orde Baru, pendidikan sejarah yang terkait dengan peristiwa G 30 S adalah sebuah pembenaran politik pemerintah. Sekalipun di dalamnya barangkali terdapat beberapa fakta yang benar (saya meyakini demikian) namun sosialisasi yang berlebihan dan bersifat dipaksakan justru menandakan kita sendiri tidak yakin dengan kebenarannya. Kebenaran yang dipaksakan justru menjadi pembenaran, yang bisa jadi malah salah. Terkait dengan pembelajaran sejarah mengenai peristiwa G 30 S di era reformasi telah dilakukan berbagai perubahan, salah satunya kurikulum sejarah 2004 yang sama sekali tidak memasukkan PKI dalam peristiwa G 30 S. Kurikulum ini mendapat kritikan keras dari berbagai kalangan, terutama para tokoh anti-PKI. Kritik ini juga disambut antusias oleh kalangan parlemen, hingga mempertanyakan: “siapa yag bertanggung jawab atas penghilangan PKI dari peristiwa G 30 S dalam buku-buku sejarah?”. Kritikan semacam ini menurut saya wajar. Sebuah pembelokan mendadak atas kesimpulan sejarah yang tadinya selalu ditulis dengan tegas dalam ungkapan G 30 S/PKI, kemudian dihilangkan begitu saja PKI-nya tanpa melalui kajian yang matang dan final pasti akan memicu Salahuddin Wahid, Rekonsiliasi Peristiwa 1965: Pertaruhan Untuk Masa Depan Kita 55 reaksi. Para penyusun kurikulum dan penulis buku sejarah harus sadar bahwa persoalan buku-suku sekolah (sekalipun untuk anak SD) adalah hal yang cukup sensitif. Dalam kasus luar negeri yang hampir mirip, sebuah buku sejarah untuk anak SD di Jepang dapat menimbulkan demonstrasi besar-besaran di Cina dan Korea. Namun di sisi lain, saya pun ingin mengkritik para pengkritik yang hanya sibuk mempersoalkan ada dan tiadanya “PKI” di belakang rangkaian peristiwa G 30 S tanpa mau memahami betapa minimnya peristiwa 1965 telah diajarkan. Sikap pengkritik ini menurut saya sangat mudah dimasuki agenda-agenda politik kelompok-kelompok tertentu yang memang tidak suka dengan bangkitnya kembali PKI. Banyak kaum bijak mengatakan bahwa sejarah selalu ditulis pihak yang menang. Namun dalam rangka terbangunnya rekonsiliasi, kita semua harus mengurangi potensi tersebut sehingga generasi mendatang lebih memiliki kearifan dibanding kita. Terkait dengan penulisan sejarah peristiwa 1965, saya memiliki usulan kongkrit yang barangkali dapat dipertimbangkan untuk penyempurnaan penulisan kurikulum menadatang. Di antaranya adalah: 1. Materi sejarah peristiwa 1965 harus lebih mengutamakan aspek humanisme dan meninggalkan stereotype benar salah secara hitam putih. 2. Materi sejarah peristiwa 1965 harus menyebutkan tentang pembunuhan massal dan kekerasan yang terjadi pada tahun 1965/ 1969, termasuk siapa korbannya dan siapa pelakunya. Rasa malu untuk mengakui peristiwa keji tersebut harus dikalahkan demi terbentuknya pemahaman sejarah yang lebih baik dan apresiasi kemanusiaan yang lebih utuh. Sebab manusia secara fitrah adalah sama terhormat, tidak peduli apakah mereka itu jenderal TNI AD atau sekadar rakyat buruh-tani, tidak peduli apakah mereka dimakamkan di Taman Makam Pahlawan dengan segala kebesaran musium dan dioramanya, atau sekadar tulang terserak tanpa tanda pengenal. 3. Materi sejarah peristiwa 1965, khususnya pembahasan mengenai siapa dalang G 30 S harus memasukkan semua versi yang beredar di masayarakat saat ini. Sejarawan Asvi Warman Adam menyarankan agar penulisan itu harus mencakup “trilogi tragedi 1965”13 yang beranjak dari pidato pertanggungjawaban Presiden 13 Asvi Warman Adam, Kompas 29 September 2003 56 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 Soekarno di hadapan MPRS. Trilogi itu adalah: Keblingernya pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI), Adanya subversi neokolinialisme (CIA atau AS), dan Adanya oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab (Tentara dan Soeharto). Menurut saya, pendapat Asvi tersebut harus ditambah satu lagi unsur lagi yaitu Soekarno sendiri, seluruhnya menjadi 4 (empat) kemungkinan dalang G 30 S (Tetralogi tragedi 1965). Penulisan keempat versi tersebut bukan untuk membingungkan para pelajar, tetapi justru memberi ruang kepada mereka untuk mengapresiasi peristiwa tersebut tanpa campur tangan kita. Apalagi hingga saat ini belum ada versi tunggal yang dapat dipercaya semua komponen bangsa, biarlah waktu yang akan menentukannya kelak. Faktor pendidikan lain di luar kurikulum sejarah menyangkut peristiwa 1965 adalah dalam hal cara kita memperingati hari 1 Oktober sebagai tragedi nasional. Pada masa Orde Baru, peristiwa tersebut dikenang secara berlebihan dengan sebutan mentereng “Hari Kesaktian Pancasila”, bahkan dapat menghentikan semua tayangan TV hanya untuk pemutaran film “Pengkhinatan G 30 S”. Sementara pemerintahanpemerintahan di era reformasi cenderung menyikapinya sesukanya, kadang dilakukan, kadang diabaikan. Menurut saya, apapun penafsiran kita terhadap peristiwa 1965, rasanya semua orang sepakat menyebut peristiwa tersebut sebagai tragedi kemanusiaan. Adalah lebih baik untuk memperingati tanggal tersebut dengan titik tekan pada masalah kemanusiaan dan penghormatan terhadap pluralisme, misalnya dengan cara ikrar bersama untuk membangun perdamaian dan menghormati keragaman yang diikuti semua komponen kebangsaan. Ikrar ini dapat diperingati setiap tahun dengan semakin banyak peserta akan lebih baik. Bagi saya sendiri yang memiliki keyakinan bahwa PKI berada di balik peristiwa 1965, kebenaran faktual tetap merupakan hal yang lebih penting dibanding sekedar egoisme intelektual atau keyakinan subyektif kita. Apalagi bila upaya menuju kebenaran faktual itu ditujukan dalam rangka mencipta suatu rekonsiliasi nasional. Saya yakin banyak orang yang berpendapat seperti saya, meski tidak (belum) bersedia mengungkapkannya. *** JJ. Kusni, Menoleh ke Belakang Melirik Esok 57 MEN OLEH KE BEL AKAN G MENOLEH BELAKAN AKANG MELIRIK ESOK Catatan Seorang Anggota Lekra Tentang Beberapa Soal-Sastra-Seni di Indonesia JJ. Kusni PENDAHULUAN: Menoleh ke belakang dari mana dan sebagai apa-siapa? Kemudian untuk apa? Inilah beberapa pertanyaan yang ingin saya bicarakan. Pertanyaan ‘menoleh ke belakang dari mana’ tentu saja jawabannya akan sangat mudah yaitu dari hari ini, sebagai ruang dan waktu di mana saya hidup dan masih hidup, demi kehidupan di ruang dan waktu hari ini serta barangkali mempunyai manfaat untuk esok. Penolehan ke belakang melirik esok dari hari ini, saya lakukan atas dasar perhitungan bahwa tiga periode waktu dan ruang itu tidak bisa dipisahkan tapi saling kait mengait, sangkut-menyangkut, mempunyai saling hubungan yang dialektis. Masa silam mempengaruhi hari ini dan yang terjadi hari ini berdampak pada esok serta hari-hari dijelang. Barangkali oleh adanya hubungan dialektis demikian maka ilmu sejarah dan berbagai cabang ilmu-ilmu sosial lainnya sering memperlihatkan diri sebagai ajang perlagaan sengit berbagai kepentingan politik yang merupakan pencerminan terpusat berbagai kepentingan terutama kepentingan ekonomi. Netralitas ilmu-ilmu sosial akhirnya sangat nisbi dan sering mengecohkan orang sering dijajakan sebagai ujud netralitas ilmu atau yang dianggap sebagai ilmu. Demikian juga halnya dengan penelitian dan yang disebut penelitian. Sebagai contoh bagaimana sebuah universitas di Perancis telah meloloskan seorang mahasiswa dengan gelar doktor dengan tesisnya yang meragukan adanya kamar-kamar gas di mana orang-orang Yahudi telah dimasakre oleh Nazi Hitler. Tesis ini ditulis oleh seorang mahasiswa program doktor, anggota Front Nasional Perancis, yang 58 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 berkecenderungan neo-nazi. Lepas dari adanya permasalahan dengan ide ‘pelurusan sejarah’, saya kira adanya ide ‘pelurusan sejarah’ ini pun juga menunjukkan betapa sejarah di negeri kita juga sudah menjadi ajang pergelutan kepentingan politik. Menoleh ke belakang dalam usaha memanfaatkan pengalamanpengalaman entah yang baik atau pun yang buruk akan menjadi bermanfaat jika dilakukan tanpa emosi dan tidak lagi dilakukan sebagai partisan, setidak-tidaknya dilakukan secara maksimal untuk membebaskan diri dari ikatan seorang partisan. Sehingga dengan demikian sanggup mengatakan bahwa yang putih adalah putih, hitam adalah hitam, tuntutan dasar bagi seorang sastrawan sebagai pemikir bebas [free thinker], dan juga bagi mereka yang merasa diri sebagai ilmuwan sosial. Syarat melihat masa silam begini lebih terbantu oleh sudah adanya jarak dengan kejadi atau perisrtiwa atau katakanlah sebagai data. Hanya sayangnya, sampai sekarang, termasuk di dunia sastra, masih terdapat sikap prasangka sejarah, apriorisme yang anti ilmu, serta masih sukarela membelenggukan diri pada partisinisme yang merabunkan pandang sehingga untuk duduk semeja membicarakan masa lalu sebagai kenyataan untuk kepentingan hari ini saja masih tidak bisa padahal waktu sudah berlalu lebih dari tigawarsa. Yang remaja ti tahun 60-an, sekarang sudah berambut warna dua, mulai ompong, bongkok dan ringkih secara fisik. Wajah pun sudah penuh kerat-kerut yang membuat saya teringat akan ayah almarhum yang mengatakan bahwa “tidak gampang menjadi dewasa”. Atau barangkali setelah kita menjadi uzur, kita kembali menjadi kanak? Kanak yang bukan lagi didominasi nalar tapi emosi seperti dendam dan sejenisnya. Keadaan inilah yang disebut oleh alm.Satyagrahara Hoerip sebagai “senda-gurau” dan almarhum menyerukan agar para sastrawan “berhentilah bergurau” yang kupahami agar para sastrawan bersikap serius dalam hal-hal yang serius dan tak layak dicandai. Sebagai apa-siapa saya melihat masa silam? Periode mana yang saya maksudkan dengan masa silam itu sekarang? Melihat masa silam dari hari ini, tentu saja saya lakukan sebagai anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat [Lekra] yang dibubarkan oleh Orde Baru pada tahun 1965, pertama-tama adalah Lekra Yogyakarta. Di tahun-tahun itu saya menjadi orang pertama Lekra Kota Yogyakarta dan menjadi orang pertama Lembaga Sastra Indonesia Lekra Jawa JJ. Kusni, Menoleh ke Belakang Melirik Esok 59 Tengah. Setelah konfrensi nasional [konfernas]Lekra di Medan, saya dipilih oleh konfernas sebagai sekretaris Lembaga Sastra Indonesia Pusat membantu Prof. Bakri Siregar yang dipilih sebagai Ketua.1] Pengurus Lembaga Sastra Pusat pilihan Konfernas Medan tidak sempat berfungsi karena terpotong oleh meletusnya Tragedi Nasional September ’65. Saya memahami pemilihan saya sebagai sekretaris nasional Lembaga Sastra Indonesia Pusat oleh Konfernas Medan, terutama lebih disebabkan oleh politik etnik yang memang dianut oleh Lekra. Dalam usaha mengembangtumbuhkan gerakan kebudayaan rakyat di berbagai pulau dan etnik di tanahair, Lekra berusaha secara sadar mendorong pertumbuhan orang-orang daerah. Orang luar daerah dipilih sebagai orang pertama ‘jika memang orang daerah terkait belum dimiliki. Dan tugas kader luar daerah tidak lain menyiapkan pertumbuhan kader-kader setempat. Dalam fungsi inilah saya melihat masa silam dari hari ini, dari Paris lagi, kota di mana sekarang saya bermukim setelah mengelanai negeri demi negeri di berbagai benua. Pengembaraan yang tentu saja langsung atau tidak langsung berdampak pada diri saya dan pemikiran saya sebagaimana pengaruh Yogyakarta tempat saya kuliah turut mempengaruhi perkembangan saya sebagai seorang anak Dayak yang dibekali oleh konsep hidup mati dijabarkan dalam ungkapan “rengan tingang nyanak naga’ [anak enggang putera-puteri naga]. 2] Karena adanya konsep hidup-mati ini maka jika Anda datang ke Tanah Dayak di pulau Kalimantan-Borneo, Anda akan berhadapan dengan patungpatung naga dan burung enggang. Perjalanan panjang dan entah kapan ia akan berujung, mungkin seperti kata-kata pelukis Salim 3], “perjalanan yang tak punya sampai”, bagi diri saya akhirnya menjadi kaca raksasa di mana saya leluasa bercermin –ruang dan waktu di dalamnya pun terekam. Kunamakan kaca raksasa itu sebagai kaca sejarah. Kaca perjalanan rengan tingang nyanak jata. Di sini, saya tidak melihat masa silam sebagai seorang sastrawan, karena dengan standar yang saya tetapkan sendiri belum mencapai taraf sastrawan. Yang saya capai baru tingkat pelajar awal dan pencinta sastra. Saya tidak mempunyai keberanian dan kenekadan latah melakukan otoproklamasi sebagai sastrawan karena tidak sesuai dengan taraf yang saya capai di dunia tulis-menulis. 60 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 SEDIKIT LATARBELAKANG: Dalam menoleh di kaca sejarah, kaca perjalanan rengan tingang nyanak naga ini, kiranya perlu saya selipkan latarbelakang keberangkatan saya sejak meninggalkan rumah orangtua pada usia 11an tahun untuk mencari sekolah di tempat lain. Saat meninggalkan rumah orangtua, mereka berpesan agar saya “jangan kembali jika tak bisa membawa perobahan maju untuk kampung halaman” yang mereka sebut sebagai “Utus”. Mereka pesankan juga agar saya bisa “manggati khewah umba dasi” [menggantikan cawat dengan dasi]. Tentu saja tantangan ini tidak bisa saya pada usia demikian, tapi membekali saya di mana pun berada dengan pertanyaan: Jalan apa yang terbaik untuk “Utus’ saban berhadapan dengan pengalaman-pengalama negeri-negeri lain. Pertanyaan ini pulalah yang saya bawa ketika saya sampai di Yogyakarta melalui Jakarta. Oleh pertanyaan ini dan latarbelakangan lingkungan keluarga yang seluruhnya adalah peserta gerakan gerilya anti Belanda di Kalteng, khususnya Katingan, rasa keberpihakan dan keniscayaan berpihak, pada Utus tertanam dalam pada diri. Keberpihakan menolak keraguan dan oportunisme yang berpijak di dua perahu. Memihak Belanda tidak bisa sekaligus memihak Republik Indonesia. Memihak Utus tidak bisa membiarkan pelecehan, penindasan dan penghisapan atas Utus. Sikap ini bukanlah jalan yang bisa “manggati khewah umba dasi”. Di Jawa pemahaman saya tentang ‘Utus’ berkembang menjadi Indonesia dan ketika mengelani busur-busur bumi saya dapatkan bahwa menjadi Dayak dan Indonesia tidak bertentangan dengan menjadi anak manusia dan putera-puteri bumi. Dayak kemudian saya lihat sebagai lambang keterpurukan belaka dan karenanya saya melihat Dayak itu ada di mana-mana. Sejak itu ketika menjadi guru di sebuah universitas Palangka Raya, saya tawarkan saran: “Berdiri di kampunghalaman memandang tanahair merangkul bumi untuk memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat dari pinggir dengan menjadikan manusia sebagai aktor pemberdayaan diri secara bersolidaritas yang bergulir sendiri” [Lihat: JJ. Kusni, “Negara Etnik, BeberapaGagasan Pemberdayaan Masyuarakat Dayak Ngaju, Kalimantan, Tengah”, Fuspad, Yogyakarta, 2000;lihat juga: “Dayak Membangun.Masalah Etnik dan Pembangunan’, Kata Pengantar Djohan Effendi, PT Paragon, Jakarta 1994]. Sadar usaha raksasa “menggati khewah umba dasi” tidak bisa JJ. Kusni, Menoleh ke Belakang Melirik Esok 61 dilakukan seorang diri dan karena penolakan saya pada konsep “supermen” atau “super women” maka akhirnya saya memilih jurnalisme atau ilmu komunikasi sebagai bidang studi di Gadjah Mada sementara dunia sastra tetap saya kecimpungi dengan minat serius seorang pelajar mula dan pencinta sastra-seni yang ingin tahu selak-seluk dunia ini. Dengan kuriusitas [rasa ingin tahu] seorang penanya sederhana, saya bergabung dengan lingkaran teman-teman yang sekarang disebut Kelompok Manifes Kebudayaan yang selanjutnya saya sebut Kelompok Manifes. Kelompok Manifes merupakan lingkungan sastra saya yang pertama-tama di Yogya dan persahabatan kami masih berlanjut sampai sekarang tanpa terganggu oleh perbedaaan pandang dan sikap. Kemudian saya tertarik pada ketegasan Lekra dalam berpihak dan konsep kebudayaannya dan usahanya membangun gerakan kebudayaan rakyat di tanahair. Saya melihat dalam konsep ini kemungkinan tumbuhnya orang banyak yang sadar untuk menjadi tuan atas nama diri mereka sendiri dan tidak bisa dicapai dengan oprtunisme individualis serta keraguan berpihak. Utus tidak memerlukan sikap-sikap demikian. Saya akhirnya mengambil keputusan bergabung dengan Lekra tetapi tetap dengan sikap seorang free thinker [Lihat: Taufiq Ismail & DS. Mulyanto, “Praha Budaya”, Jakarta, —tahun ?; Lihat juga: JJ.Kusni, “Ditengah Pergolakan.Pengalaman Turba Lekra’, Ombak Yogyakarta, 2005, dan “Cerita-Cerita Kecil Untuk Aguk Irawan Ms”, dalam persiapan untuk terbit]. KEBINGUNGAN DI KALANGAN SASTRAWAN-SENIMAN YOGYAKARTA PARA Kalau mau jujur, di hari-hari pertama munculnya Manifes Kebudayaan sempat menimbulkan kebingungan di kalangan para sastrawan-seniman Yogyakarta baik yang Lekra mau pun yang bukan Lekra. Bingung tidak tahu bagaimana harus bersikap menanggapi Manifes tersebut. Tapi kebingungan itu mungkin paling besar melanda para seniman non Lekra yang tidak tahu politik dan menolak mengetahui politik dalam soal berkesenian. Beberapa kami berkumpul di rumah pelukis Arby Sama yang waktu itu tinggal di belakang Museum Perjuangan untuk membicarakan masalah Manifes dan bagaimana bersikap. Kesimpulannya: Terserah pada maasing-masing menentukan sikap. Karena itu tidak perlu heran jika ternyata ada anggota Lekra Yogya yang turut menyokong Manifes. Ketidaktahuan ini kembali 62 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 dinyatakan oleh alm. Sanento Yuliman dalam pembicaraannya dengan saya di Paris, ketika ia sedang menyelesaikan program doktornya dengan menulis tentang pelukis Soedjojono. “Andaikan waktu itu aku tahu ada militer di belakangnya, mana pula aku mau membubuhi tandatangan menyokong Manifes”, ujar Sanento yang kemudian bersama-sama mendirikan Majalah Kancah, sebuah majalah ilmiah populer di Paris dan berlangsung sampai puluhan tahun lebih. Begitu berada di Paris untuk melakukan program doktornya, dan mengetahuiku dari Buyung Tanisan, pegawai KBRI Paris, bahwa aku berada di kota yang sama, Sanento segera menelponku dan minta ketemu. Telpon Sanento ini bagiku menunjukkan padaku bahwa Sanento yang tadinya anggota Sanggar Bambu pimpinan Mas Soenarto Pr. Masih mempertahankan tradisi republik sastra-seni Yogyakarta, yaitu kesanggupan bersatu dalam perbedaan. Kecuali itu ia pun mencerminkan tradisi kejujuran seorang seniman sebagai free thinker. Sikap ini pun juga diperlihatkan oleh Danarto dan Arifin C Noer yang kedua-duanya memulai karir keseniman dari Yogya. Arifin alm. bersama Jajang istrinya, bahkan secara khusus mendatangiku di Koperasi Restoran Indonesia,12 rue de Vaugirard, 75006 Paris, di mana saya sedang bekerja dan berbuka puasa di Restoran. Kehangatan sikap serupa kudapatkan dari teman-teman sastrawan di Jakarta ketika di TIM Jakarta, pada bulan Mei, diselenggarakan peringatan Manifes yang diakhiri dengan Pernyataan Mei beberapa saat sebelum Pramoedya A.Toer dianugrahi Hadiah Magsaysay. Saat itu saya baru turun dari pesawat dari perjalanan ke Papua lalu langsung ke TIM. Mengetahui kehadiranku , teman-teman sastrawan segera mengerubungi saya, menanyakan ini dan itu sebagai sahabat. Dari sini saya melihat bahwa di kalangan para seniman yang bukan partisan partai politik, adanya perbedaan pandangan dan sikap tidak menghalangi persahabatan. Tradisi ini adalah tradisi baik seniman negeri ini, terutama tradisi Yogya yang kusebut dengan istilah tradisi Republik sastra-seni Bringharjo. Saya namakan demikian, karena di depan pasar Bringharjo inilah saban habis pertunjukan, para seniman dari berbagai pandangan dan kelompok, berkumpul bersama-sama sambil minum kopi dan makan gudeg sampai subuh membicarakan pertunjukan yang baru berlangsung. Debat sengit dan canda bercampur-baur. [Dan, o, canda dan sendagurau , sering merupakan ujud pengakuan JJ. Kusni, Menoleh ke Belakang Melirik Esok 63 kesalahan untuk menyelamatkan muka. Muka sangat penting bagi orang Indonesia dan ras Melayu. Karena mengaku salah terus-terang agaknya masih asing dari kemampuan orang Indonesia mungkin juga dari ras Melayu umumnya sesuai dengan nilai dominan di dalam masyarakat. Yang disebut “satria” , kukira, tidak lain dari bentuk terselubung kekerasan atas nama menyelamatkan muka tapi tidak dari segi usaha mencari kebenaran, seperti halnya dengan tradisi “duel pistol” di Eropa lama. Ide “satria” barangkali ujud dari takut pada kebenaran, bentuk kekalapan dan kecupetan berpikir karena merasa “ditelanjangi”. Dengan demikian ‘kesatriaan’ sangat jauh dari konsep kemanusiaan dan memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat. Pada dasarnya , ia adalah ide egoistik. Coba bandingkan konsep ‘satria’ ini dengan kebiasaan ‘jotakan’ orang Yogya,bandingkan tokoh Semar dan Sun Wu Kung. Terkesan pada saya bahwa revolusioner Jawa sulit melepaskan diri dari dasar budaya mereka yang feodal dan egoistik entah dalam bentuk ‘kesatrian’,’jotakan’, ‘jender Jawa’, dsb… Orang Jawa pada dasarnya secara pola pikir dan mentalitaas,terkesan pada saya adalah kelompok etnik yang violence, berwatak telunjuk lurus kelingking berkait”, ‘inggih tapi tidak inggih”.`seperti kata orang Perancis dengan ada nuansa beda ‘ou, mais.., ya, tapi..” . Ini kesan sementara saya sebagai seorang Dayak Kekinian yang dewasa di Jawa Tengah, khususnya Yogyakarta. Karena itu tidak heran dari Jawa bisa muncul seorang “the smiling general” yang mampu dengan tersenyum berkata “babat!” dan membunuh jutaan rakyat Indonesia daalm waktu sekejap”. Saya tulis hal ini dalam rangka memahami keadaan hari ini dan juga dalam konteks membangun republik dan Idonesia jika kita masih menginginkannya. Pola pikir dan mentalitas Jawa feodal demikian tidak bisa dipertahankan untuk kepentingan republik dan Indonesia. Soal ini saya kemukakan karena mayoritas wargangara Republik Indonesia adalah orang Jawa. Dengan ini saya ingin mengatakan bahwa untuk menegakkan Republik dan Indonesia kita perlu melakukan pergeseran nilai dengan mendudukkan nilai-nilai republiken dan keindonesiaan pada tempat dominan. Bukan nilai-nilai mayoritas atau kuantitas yang kadaluwarsa sebagai patokan. Meneruskan kuantitas sebagai patokan dan bukan pada nilai, cepat atau lambat akan melenyapkan Indonesia dari peta bumi. Sendagurau dan sendagurau, anekdot dan anekdot sesungguhnya 64 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 dari segi antroplogi pola pikir dan mentalitas mempunyai arti yang jauh lebih dalam. Mereka hanyalah suatu fenomena yang menyimpan hakekat. Karena itu memahami cara senda gurau seseorang atau suatu bangsa menjadi sangat penting guna memahami seseorang atau bangsa terkait secara mendasar]. Manifes Kebudayaan dan hubungannya dengan militer Rendra, menurut keterangannya pada saya di Paris mengatakan bahwa ia melihat adanya peranan militer terutama Seksi I Angkatan Darat di belakang Manifes Kebudayaan setelah ia berada di Jakarta untuk mengikuti Konfrensi Karyawan Pengarang Seluruh Indonesia [KKPSI]. Karena itu Rendra menolak hadir . Adanya peranan tentara, khususnya Seksi I ini kemudian diakui terus-terang oleh Wiratmo Soekito, salah seorang terpenting dari Manifes Kebudayaan, dalam sebuah simposion sastra yang diselenggarakan oleh Majalah Horison. Peranan militer ini pun ditunjukkan oleh penyanyi Koes Plus pada masa Orba tentang latarbelakang pelarangan terhadap lagu-lagu mereka, tapi semuanya kemudian pelarangan ini ditimpakan pada Lekra – padahal Lekra tidak berada pada posisi berkuasa, mungkin benar berpengaruh. Tapi tidak punya kemampuan melarang dan secara konsepsional dasar, Lekra tidak menganut prinsip larang-melarang [lihat: Mukaddimah!]. Ini adalah suatu fitnah kecupetan berpikir seperti halnya fitnah bahwa Lekra melakukan pembakaran buku-buku sementara bukubuku anggota Lekra terus dilarang sampai sekarang, dan tidak diutikutik oleh yang menyebut diri sebagai pendukung demokrasi dan HAM. Dari keterangan-keterangan dan kenyataan-kenyataan di atas dan yang tentu saja bisa ditambah, nampak bahwa Manifes Kebudayaan merupakan bagian strategi integral pihak Angkatan Darat dalam percaturan politik pada waktu itu, terutama dalam menghadapi serta menjawab strategi kebudayaan Lekra dan ofensif politik PKI serta garis kebudayaan Presiden Soekarno “kebudayaan yang berkripadian nasional” yang anti imperialis. STRATEGI KEBUDAYAAN LEKRA Apa-bagaimana strategi kebudayaan Lekra, sesungguhnya bukanlah suatu rahasia karena ia sudah disiarkan secara luas dan terbuka. Strategi dan pandangan-pandangan kebudayaannya termaktub dalam “Mukaddimah” Lembaga kebudayaan tersebut. JJ. Kusni, Menoleh ke Belakang Melirik Esok 65 Agar sama-sama bisa mengetahui serta menilainya kembali maka ‘Mukaddimah” itu di sini saya kutip kembali [dengan ejaan yang diperbaharui]. LEMBAGA KEBUDAYAAN RAKYAT. MUKADDIMAH 4] Menyadari, bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan, dan bahwa pembangunan kebudayaan Indonesia baru hanya dapat dilakukan oleh rakyat, maka pada hari 17 Agustus 1950 didirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat disingkat Lekra. Pendirian ini terjadi di tengah-tengah proses proses perkembangan kebudayaan yang sebagai hasil keseluruhan daya-upaya manusia secara sadar untuk memenuhi, setinggitingginya kebutuhan hidup lahir dan batin, senantiasa maju dengan tiada putus-putusnya. Revolusi Agustus 1945 membuktikan, bahwa pahlawan dalam peristiwa bersejarah ini, seperti halnya di dala; seluruh sejarah bangsa kita, tiada lain adalah rakyat. Rakyat Indonesia dewasa ini adalah semua golongan di dalam masyarakat yang menentang penjajahan Revolusi Agustus adalah usaha pembebasan diri rakyat Indonesia darti penjajahan dan peperangan, penjajahan dan serta penindasan feodal. Hanya jika panggilan sejarah Revolusi Agustus terlaksana, jika tercipta kemerdekaan dan perdamaian serta demokrasi, kebudayaan rakyat bisa berkembang bebas. Keyakinan ini tentang kebenaran ini menyebabkan Lekra bekerja membantu pergulatan untuk kemerdekaan tanahair dan untuk perdamaian di antara bangsa-bangsa, di mana terdapat kebebasan bagi perkembangan kepribadian berjuta-juta rakayat. Lekra bekerja khusus di lapangan kebudayaan khusus di lapangan kebudayaan, dan untuk masa ini terutama di lapangan kesenian dan ilmu. 5] Lekra menghimpun tenaga dan kegiatan seniman-seniman, sarjana-sarjana pekerja kebudayaan lainnya. Lekra membantah pendapat bahwa kesenian dan ilmu bisa terlepas dari masyarakat. Lekra mengajak pekerja-pekerja kebudayaan untuk dengan sadar mengabdikan dayacipta, bakat serta keahlian guna kemajuan Indonesia, kemerdekaan Indonesia, pembaruan Indonesia. Zaman kita dilahirkan oleh sejarah yang besar, dan sejarah bangsa kita telah melahirkan putera-puteri yang baik di lapangan kesusastraan, seni bentuk, musik, mau pun di lapangan-lapangan kesenian lain dan ilmu. Kita wajib bangga bahwa kita terdiri dari suku-suku yang masing- 66 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 masingnya mempunyai kebudayaan yang bernilai. Keragaman bangsa kita ini menyediakan kemungkinan yang tiada terbatas untuk penciptaan yang sekaya-kayanya serta seindah-indahnya. Lekra tidak hanya menyambut setiap sesatu yang baru; Lekra memberikan bantuan yang aktif untuk memenangkan yang baru maju. Lekra membantu aktif perombakan sisa-sisa “kebudayaan” penjajahan yang mewariskan kebodohan, rasa rendah serta watak lemajh pada bangsa kita. Lekra menerima dengan kritis peninggalan nenek moyang kita, mempelajari dengan saksama segala-gala segi peninggalan itu, seperti halnya mempelajari dengan saksama pula hasil-hasil ciptaan kelasik mau pun baru dari bangsa lain yang mana pun, daan dengana ini berusaha meneruskan secara kreatif tradisi yang agung dari sejarah dan bangsa kita, menuju ke penciptaan kebudayaan yang nasional dan ilmiah. Lekra menganjurkan kepada anggota-anggotanya, tetapi juga kepada senimanseniman sarjana-sarjana dan pekerja-pekerja kebudayaan lainnya di luar Lekra, untuk secara mendalam mempelajari kenyataan, mempelajari kebenaran yang hakiki dari kehidupan, dan untuk bersikap setia kepada kenyataan dan kebenaran. Lekra menganjurkan untuk mempelajari dan memahami pertentangan yang berlaku di dalam masyarakat mau pun di dalam hati manusia, mempelajari dan mehami gerak perkembangannya serta haridepannya. Lekra menganjurkan pemahaman yang tepat atas kenyataan-kenyataan di dalam perkembangannya yang maju, dan menganjurkan hal itu, baik untuk cara-kerja di lapangan ilmu, mau pun untuk penciptaan di lapangan kesenian. Di lapangan kesenian Lekra mendorong inisiatif, mendorong keberanian kreatif , dan Lekra menyetujui setiap bentuk, gaya, dsb, selama ia setia kepada kebenaran dan selama ia mengusahakan keindahan artistic ang setinggi-tingginya. Singkatnya, dengan menolak sifat anti kemanusiaan dan anti sosial dari kebudayaan bukan rakyat, dengan menolak perkosaan terhadap kebenaran dan terhadap nilai-nilai keindahan.Lekra bekerja untuk pembentukan manusia baru yang memiliki segala kemampuan untuk memajukan dirinya dalam perkembangan kepribadian yang bersegi banyak dan harmonis. Di dalam kegiatan Lekra menggunakan cara saling-bantu, saling kritik dan diskusi-diskusi persaudaraan di dalam masalah-masalah penciptaan. Lekra berpendapat, bahwa secara tegas berpihak pada rakyat dan mengabdi kepada rakyat, adalah satu-satunya jalan bagi seniman- JJ. Kusni, Menoleh ke Belakang Melirik Esok 67 seniman, sarjana-sarjana maupun pekerja-pekerja kebudayaan lainnya untuk mencapai hasil yang tahanuji dan tahanwaktu. Lekra mengulurkan tangan kepada organisasi-organisasi kebudayaan yang lain dari aliran atau keyakinan apapun, untuk bekerjasama dalam pengabdian ini. *** Agar gampang diingat dan dipahami oleh orang banyak maka pandangan strategis Lekra ini disingkat dalam rumusan 1:5:1 [satu lima satu] yaitu ‘1 asas “politik sebagai panglima”; 5 pedoman penciptaan yaitu meluas dan meninggi , tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, memadukan tradisi dengan kekinian revolusioner, memadukan kreativitas individual dengan kearifan massa, memadukan realisme revolusioner dengan romantisme revolusioner, dan 1 cara kerja yaitu turun ke bawah [turba]”. Perlu dicatat benar di sini bahwa Lekra tidak menggunakan istilah “realisme sosialis” seperti yang sering dikatakan oleh banyak penulis atau komentator tentang Lekra tapi ‘pemaduan realisme revolusioner dengan romantisme revolusioner”. Pemaduan ini adalah pandangan resmi Lekra sebagai sebuah Lembaga Kebudayaan. Alasan Lekra untuk tidak menggunakan ‘pedoman penciptaan realisme sosialis’ karena masyarakat Indonesia dinilai oleh Lekra baru berada tahap revolusi nasional demokratis yang masih jauh dari tingkat masyarakat sosialis, penilaian yang punya dampak langsung baik dalam penciptaan maupun dalam kegiatan organisasi. Bahwa ada sementara anggota Lekra dalam tulisannya seperti Pramoedya A.`Toer misalnya menulis tentang ‘realisme sosialis’, apa yang dikemukakan oleh Pram adalah tanggungjawab Pram dan bukan pandangan resmi Lekra sebagai organisasi. Mengapa ‘politik’ dijadikan ‘panglima’? Apa arti ‘panglima’? Dalam sekolah-sekolah Lekra diajarkan antara lain mata pelajaran filsafat kebudayaan dan filsafat politik. Hubungan antara kebudayaan dengan politik. Politik dipandang sebagai “Pernyataan yang paling terpusat daripada kepentingan ekonomi. Politik adalah pernyataan yang paling terpusat dari kepentingan-kepentingan kelas” atau lapisan-lapisan yang ada dalam suatu masyarakat. Dengan ini ditunjukkan di mana letak politik dalam hubungannya dengan bidang-bidang lain. seperti 68 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 kebudayaan, kesehatan, pendidikan, dan sektor-sektor lainnya. Jika dikatakan bahwa politik itu kotor, kiranya pandangan begini dimaksudkan agar orang-orang tidak melihat tempat dan peranan politik di depan bidang-bidang lain sehingga dengan demikian masalah terpenting dan mendasar tidak disentuh. Berdasarkan pandangan inilah diharapkan anggota-anggota Lekra melihat dan menganalisa permasalahan yang dihadapi sehari-hari. Artinya melihat masalah dari sudut pandangan politik dalam posisinya sebagai pernyataan terpusat dan paling terpusat daripada kepentingan ekonomi. Masalah kebudayaan pun dilihat oleh Lekra tidak lepas dari kepentingan-kepentingan. Jika demikian maka yang dimaksudkan dengan “politik sebagai panglima” sebenarnya tidak lain dari suatu metode pendekatan dan analisa yang dinilai oleh Lekra sebagai metode pendekatan dan analisa sangat mendasar. Tentu saja penungkapan pendekatan analisa ini dalam bersastra akan berbeda dengan ungkapan pidato politik atau tulisan ilmiah. Karena itu dalam soal pengungkapan sastra-seni, kepada para anggota Lekra diterapkan tuntutan “tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik” karena sastra-seni tetap sastra dan seni. Ideologi di sini, saya kira tidak lain dari tingkat hasil analisa sastrawan dan seniman terhadap tema yang mereka olah. Berdasarkan pandangan ini, saya masih tidak menganggap bahwa tahu politik bagi sastrawan-seniman sebagai sesuatu yang kadaluwarsa. Tahu dan sadar politik, tidak harus menjadi partisan suatu partai politik. Karena sering terjadi bahwa ketika sastrawan atau seniman mengambil partisan , ia tidak lagi menjadi free thinker tapi ikut membuta. Padahal cirri free thinker bagi saya merupakan ciri utama seniman sebagai warga republik berdaulat sastra-seni dari mana saastrawan-seniman bisa memberikan sumbangannya bagi kemanusiaan dan melakukan fungsi social control terhadap republik politik. Karenanya tidak heran sastrawan-seniman sering hadap-hadapan dengan republik politik. Dan kukira ini adalah resiko seorang sastrawan-seniman sebagai free thinker yang menggunakan alat artistik dan imajinasi. Dalam posisi sebagai free thinker inilah sastrawan-seniman mungkin berdiri selangkah di depan perkembangan dan pikiran yang dominan dalam masyarakat. Peranan yang sering disebut sebagai peran pembidas [avant-garde]. Dengan tahu dan sadar politik, sastrawan-seniman sebagai free thinker bisa mempertajam analisa-analisa terhadap rupa-rupa masalah yang dihadapi serta yang digarap sebagai tema. Dengan tahu dan sadar JJ. Kusni, Menoleh ke Belakang Melirik Esok 69 politik, lingkup analisa pun barangkali bisa lebih luas. Dalam hal ini, Lekra menekankan arti penting belajar filsafat dan mengenal masyarakat yang tercermin dari anjuran “tahu Marxisme dan kenal keadaan”. Anjuran ini kemudian diperluas agar lingkup studi diperluas di bawah slogan bimbingan “tahu segala tentang sesuatu dan tahu sesuatu tentang segala” agar seniman-seniman Lekra bisa menjadi manusia yang berpandangan luas. Ahli dalam bidangnya tapi juga tahu akan bidangbidang lain , tidak mengurung diri dalam satu spesialisasi diri sendiri karena daerah garapan sastra-seni adalah seluas kehidupan. Kehidupan tidak mungkin dipahami secara utuh jika kita melihatnya hanya dari segi saja. Dalam dunia akademi pendekatan begini dinamakan pendekatan multi disipliner. Belajar Marxisme, terutama filsafat materialisme dialektika historis, di samping aliran-aliran filsafat lain merupakan salah satu matapelajaran dalam sekolah-sekolah Lekra. Agar para anggota bisa memilih dan meyakini pilihannya, maka metode perbandingan diterapkan dalam proses pembelajaran. Ketika menterapkan metode perbandingan, maka belajar sejarah dunia dan Indonesia mendapat tempat penting dalam kurikulum dan diskusi-diskusi. Sejarah menunjukan proses perkembangan sesuatu. Pembelajaran filsafat Marxis dengan metode perbandingan di kalangan Lekra, bagi pengamat yang tidak jeli, barangkali gampang memelesetkan orang untuk secara gampang menyimpulkan bahwa Lekra sama dengan PKI dan tidak melihat pembelajaran demikian sebagai suatu paralel serta diperlukan guna meningkatkan kadar diri sebagai sastrawan-seniman dari segi wawasan dan analisa. Belajar teori kebudayaan,filsafat dan sejarah dipandang penting oleh Lekra disamping mengenal keadaan nyata kehidupan sesuai dengan prinsip anutannya “seni untuk rakyat” yang sesungguhnya adalah sastra-seni berpihak [engagee]. Guna mengenal kenyataan atau keadaan maka diterapkan metode kerja turba,turun ke bawah [ Lihat: JJ.Kusni, “Di Tengah Pergolakan. Pengalaman Turba Lekra”, Penerbit Ombak Yogyakarta, Agustustus 2005]. Cara kerja artinya ia bukanlah pekerjaan musiman. Turba juga dilakukan berangkat dari pandangan bahwa “massa adalah sumber inspirasi dan sumber kreasi yang sesungguhnya”. Melalui turba, sastrawan-seniman selain bisa mengenal keadaan, tetapi juga sekaligus meningkatkan serta mengobah diri terutama dalam hal pandangan, pendirian, sikap dan metode kerja. Lekra mengharap 70 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 dari seniman-seniman anggotanya agar mutu pribadi mereka jauh lebih baik dari mutu kreasi mereka. Apakah turba merupakan penemuan Lekra? Saya tidak mengatakannya demikian. Turba hanyalah penyimpulan yang dilakukan oleh Lekra terhadap pengalaman sekian kurun zaman dari kegiatan-kegiatan seniman dari berbagai kalangan. Turba mensistematikkan pengalaman-pengalaman tersebut. Dan memang fungsi Lekra yang terutama, melalui konrensi-konfrensi berbagai tingkat terutama menyimpulkan pengalaman-pengalaman berkesenian bukan hanya yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kejuruannya, tapi juga yang dilakukan oleh senimanb-seniman lain. Dengan adanya kesimpulan demikian , Lekra lanjut lagi pertumbuhan gerakan kebudayaan rakyat di Indonesia guna mewujudkan secara nyata nilai-nilai republik dan keindonesiaan yang antara lain dijabarkan dalam kata-kata “bhinneka tunggal ika”. Dalam kerangka menumbuhkembangkan gerakan kebudayaan rakyat di Jawa Tengah, maka paada tahun 1964 selama hampir setahun, Lekra Jawa Tengah melakukan ‘riset kesenian’ untuk mengetahui bentuk-bentuk kesenian yang paling hidup di kalangan masyarakat Jawa Tengah. [lihat: JJ. Kusni, “Cerita-cerita Kecil Untuk Aguk Irawa Ms”’, dan JJ. Kusni, “Di Tengah Pergolakan”]. Bahwa semacam turba ini juga dilakukan oleh para seniman non Lekra sesungguhnya bukanlah suatu rahasia pula. Ambil contoh apa yang dilakukan oleh para seniman Yogyakarta pada tahun-tahun ’60an dan bahkan jauh sebelummnya. Pada masa-masa ini di kalangan seniman-seniman Yogya dikenal apa yang disebut “mengenal kehidupan”. Hanya saja dalam praktek, yang disebut “mengenal kehidupan” ini diwujudkan dengan pergi ke tempat-tempat kumuh kota, di warungwarung, dan terutama ke Pasar Kembang, daerah lampu merah Yogyakarta. Di tempat-tempat ini, para seniman berbincang dengan para pekerja seks, ada yang pacaran dengan salah seorang mereka bahkan berlanjut dengan pernikahan. Kukira ‘kehidupan gelandangan’ Chairil Anwar tidak lain dari usahanya “mengenal kehidupan” juga adanya. Praktek-praktek inilah yang kemudian dirumuskan dan disistematikkan oleh Lekra. Satu hal lain Melalui penelitian kesenian dan turba, Lekra juga berhasil menyelamatkan beberapa bentuk kesenian yang hampir punah seperti randai Tanah Minang, kemudian mendorong perkembangan sastra berbahasa lokal karena menganggap sastra JJ. Kusni, Menoleh ke Belakang Melirik Esok 71 berbahasa lokal merupakan bagian utuh dari sastra Indonesia, bagian dari usaha Lekra menumbuhkembangkan gerakan kebudayaan rakyat yang republiken dan berkeindonesiaan. “Garis 1-5-1” adalah cara yang digunakan oleh Lekra dalam menumbuhkembangkan gerakan kebudayaan rakyat yang republiken dan berkeindonesiaan. Tentu saja gerakan kebudayaan rakyat dengan nilai-nilai begini bertentangan dengan kepentingan politik kapital monopoli asing. Katakanlah dengan istilah waktu itu bertentangan dengan kepentingan imperialisme, neokolonialisme, neo-feodalisme dan sisa-sisa feodalisme. Cara terbaik menghadapi gerakan kebudayaan ini adalah memberinya label sebagai ‘komunis’ yang atheis. Gerakan kebudayaan memberikan perekat dasar di dalam hati anak bangsa dan negeri ini. Hal ini saya saksikan, kalau tafsiran saya benar, waktu saya ke Medan untuk menghadiri Konfernas Lembaga Sastra Indonesia 1963. Dari Jakarta kami berangkat ke Medan dengan kapal laut milik KPM. Dalam kapal itu terdapat antara lain Pramoedya A.Toer, Rivai Apin, A.S.Dharta, Utuy Tatang Sontani, Ibrahim Isa, dan teman-teman dari berbagai pulau dan daerah tanahair. Yang berkesan sampai sekarang pada saya bagaimana kami saling memanggil satu dan yang lain dengan menggunakan nama suku asal. Dengan menggunakan cara memanggil demikian, ada rasa bangga pada kami bahwa kami adalah anak negeri dan bangsa besar dan majemuk. Sama sekali tidak ada terselip niat menghina atau membenci. Semangat inilah yang diungkapkan oleh penyair buruh alm. S.W. Kuntjahjo asal etnik Madura dalam kata-kata: “kita berdatangan dari semua penjuru [untuk] satu tujuan, tujuan bersama” Keadaan ini juga kembali kusaksikan di gedung Serikat Buruh KeretaApi [SBKA]Manggarai, diselenggarakan festival paduan suara se Indonesia yang diikutsertai oleh utusan-utusan dari ujung barat hingga ujung timur tanahair. Melalui festival ini, saya menyaksikan kebesaran negeri dan bangsa yang bernama Indonesia yang majemuk dan kami bangga dengan kemajuemukan ini, bangga menjadi putera-puteri negeri dan bangsa bernama Indonesia tanpa ada yang memaksa. Kebanggaan yang lahir atas dasar kesadaran serta boleh dikatakan hasil dari adanya gerakan kebudayaan republiken dan berkeindonesiaan yang digalakkan oleh Lekra. Kemajemukan tidak menjadi dasar pertikaian tapi justru 72 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 sebaliknya . Mengenang kembali apa yang kusaksikan di beberapa kesempatan, saya mengira betapa sebenarnya kebudayaan dan gerakan kebudayaan begini bisa menumbuhkembangkan dasar berbangsa dan bernegeri yang solid, hal yang kadang tidak bisa dilakukan oleh politik. Dari sini saya melihat perlunya sastrawan-seniman menjaga statusnya sebagai free thinker dari republik berdaulat sastra-seni dengan segala konsekwensinya. Sastrawan-seniman di atas segalanya punya misi manusiawi yang agung bukan hanya berindah-indah hampa misi dan makna dengan rupa-rupa ulah seperti otoproklamasi misalnya. Misi manusiawi sastrawan-seniman yang begini sebenarnya menuntut pada sastrawan-seniman untuk pertama-tama meningkatkan mutu diri baik sebagai anak manusia mau pun sebagai sastrawan-seniman yang ditantang menjadi avant-gardists. Dalam masalah rekonsiliasi nasional yang banyak dibicarakan sekarang, saya kira , sastrawan-seniman bisa diharapkan sumbangannya dari segi wawasan kebudayaan yang mendasar. Artinya dari segi nilainilai yang paling hakiki. Nilai-nilai hakiki ini berangkat dari kepentingan manusia dan “kemanusiaan yang tunggal” jika menggunakan istilah filosof Perancis Paul Ricoeur alm. yang meninggal Mei 2005 lalu. Jika masih mau menyelamatkan dan menegakkan Republik dan Indonesia maka adalah satu keniscayaan kita kembali pada nilai-nilai republiken dan keindonesiaan. Politik, terutama politik praktis sering menjadikan “kemanusiaan yang tunggal”, “republik dan Indonesia’ jadi puntung rokok di tumit sepatu kepentingan sesaat, merabunkan pandang sehingga kita suka memelihara dendam, mengorbankan esok dan kehidupan anakcucu serta diri sendiri. Nalar sudah menjadi sesuatu yang mewah. Di sinilah saya melihat betapa Indonesia hari ini lebih-lebih memerlukan kehadiran budayawan, sastrawan dan seniman yang benar-benar budayawan, saatrawan dan seniman. Bukan sekedar budayawanbudayawanan, bukan nsastrawan-seniman yang sekedar kesastrawansaastrawan dan keseniman-senimanan. Adanya komunitas-komunitas sastra-seni yang tersebar di berbagai daerah dan pulau sekarang – kreasi penting angkatan hari ini – bisa dijadikan dasar membangun gerakan kebudayaan rakyat berskala nasional yang berguna bagi menyelamatkan republik dan Indonesia, tapi bukan komunitas cupet yang sektaris. Sektarisme dari pihak mana pun hanyalah jalan buntu. Republik dan Indonesia bukanlah sektarianisme. Sektarianisme bukan ciri free thinker warga republik berdaulat sastra-seni. Saya khawatir dewasa ini, banyak JJ. Kusni, Menoleh ke Belakang Melirik Esok 73 yang menyebut diri budayawan, sastrawan-seniman tapi pada kenyataannya masih jauh dari taraf demikian. Tidak sedikit yang sibuk dengan sastra seks , ratap-tangis putus cinta, sibuk mengharap pengakuan sebagai sastrawan-seniman, ingin jadi seleberiti, tapi tidak menyediakan waktu cukup untuk memikirkan apa-siapa dan apa misi budayawan, sastrawan dan seniman. Ini pun saya lihat sebagai ujud dari pola pikir dan mentalitas ‘mie instant’ yang berdominan di negeri kita. Seleberiti? Apa gerangan yang diharapkan dari celebrities – yang umumnya tidak lain dari jenis “kekosongan” jika menggunakan istilah sosiolog Perancis Alain Touraine. Kekosongan total!? Bisa dipastikan bahwa bangsa, tanahair dan kemanusiaan tidak bisa mengharapkan apa-apa dari celebritities tipe ini. *** Barangkali kericuhan antar seniman pada tahun 1960an disebabkan sadar atau tidak sadar terjadi karena para seniman dari semua kalangan sudah mengambil sikap partisan dan melepaskan status mereka sebagai free thinker warga dari republik berdaulat sastra-seni. Republik berdaulat sastra-seni sudah dicaplok oleh republik politik. Sebagai partisan, orang akan sangat gampang gontok-gontokan karena di sini kebebasan berpikir seniman sudah luntur oleh alur pikiran tunggal [la pensee unique] yang disediakan oleh partai-partai politik. Sastrawan-seniman sudah tidak lagi memainkan fungsi pembidas pemburu nilai untuk esok yang manusiawi. Di alur pikiran tunggal yang sudah dicetak kebenaran pun jadi mutlak, tanpa ruang bagi nisbi, cara pandang disederhanakan jadi hitam-putih. Saya mengkhawatirkan ketidakbebasan berpikir sebagai warga republik berdaulat sastra-seni ini masih tersisa hingga sekarang, entah dalam ujud dendam, hujat-menghujat baik terbuka atau pun terselubung, entah dalam keengganan bertemu dan berbincang sekali pun jika dilihat dari tahun 1960an waktu 45 tahun sudah cukup mematangkan dan mendewasakan seseorang untuk sanggup melihat ke belakang dengan tenang demi kehidupan hari ini dan esok. DEBAT SEMU YANG MERUGIKAN Debat ide pada tahun-tahun 1960an sangat hidup baik terjadi di media cetak atau pun debat hadap-hadapan. Tentu saja hal ini sangat positif untuk orang yang mau mencari kebenaran, apalagi jika debat ide itu dilakukan secara sehat dan berargumentasi ditambah dengan topangan 74 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 data serta tidak melihat masalah secara hitam-putih menggunakan “kebenaran cetakan”. Polemik bermutu yang sehat pada waktu itu bisa disebut adalah polemik antara ‘Harian Rakjat’ dan ‘Harian Merdeka’ [cq. Njoto dan B.M.Diah]. Masalah pokok yang diperdebatkan pada waktu itu adalah masalah “seni untuk rakyat” atau “seni untuk seni’. Debat Lekra versus Kaum Manifes pun hakekatnya berkisar pada masalah pokok ini juga. Kalau sekarang kita melihat perdebatan ini dengan pandangan berjarak, apakah ada hal esensil yang patut memisahkan kedua pendukung aliran ini sampai menjadi suatu debat berdarah-darah dan meninggalkan dendam seakan tak punya sudah? Kalau kuperhatikan karya-karya lukisan abstrak atau hanya berupa bidang penuh permainan warna yang terpajang di bandara, di ruang pameran atau kantor-kantor serta sanggar-sanggar, saya dapatkan keindahan pada mereka sama halnya saat saya menikmati lukisan-lukisan realis dan impresionis. Mereka mungkin tidak memberikan pesan jelas pada saya tapi mereka sudah mengasah perasaan saya menjadi peka pada getar-getaran halus keindahan yang penuh misteri. Pengasahan kepekaan ini saya kira turut membantu saya untuk mencoba peka pada lingkungan dan kehidupan yang garang. Menjadi peka saya kira bagian dari usaha pemanusiawian manusia. Lebih-lebih di masyarakat kita sekarang masalah peka ini sudah makin meluntur dan tersisih dari yang meneyebut diri anak manusia. Singkat kata bentuk-bentuk seni ini kudapatkan juga berusaha dengan cara masing-masing untuk memanusiawikan manusia. Dan terhadap bentuk-bentuk seni begini sebenarnya oleh Lekra diterima sebagaimana tercantum di Mukaddimahnya: “Di lapangan kesenian Lekra menyetujui inisiatif, mendorong keberanian kreatif, dan Lekra menyetujui setiap bentuk, gaya, dsb., selama ia setia kepada kebenaran dan selama ia mengusahakan keindahan artistik yang setinggi-tingginya”. Barangkali dalam hal ini di kalangan sementara anggota Lekra oleh perkembangan politik dan ketiadaan sikap sebagai free thinker terjadi proses radikalisasi hingga menolak bentuk-bentuk abstrak yang antara lain dipelopori oleh Pablo Picasso yang nota bene adalah anggota CC Partai Komunis Perancis.sampai akhir hayatnya. Bagaimana mungkin orang bisa mengatakan bahwa Picasso tidak punya keberpihakan sosial dalam karya-karyanya? Tapi agaknya radikalisasi di kalangan sebagian JJ. Kusni, Menoleh ke Belakang Melirik Esok 75 anggota Lekra ini menyebabkan mereka mengingkari Mukaddimahnya sendiri. “Seni untuk rakyat”, tentu saja bermaksud memanusiawikan manusia terutama yang disebutnya “rakyat” yang isinya sesuai dengan penilaian pokok tentang kontradiksi pokok masyarakat pada suatu periode sejarah. Jadi baik “seni untuk seni” mau pun “seni untuk rakyat” sesungguhnya sama-sama bertujuan untuk memanusiawikan manusia. Yang berbeda adalah cara dan titikberat atau penggarisbawahan. Untuk usaha ini, Lekra menggarisbawahi lapisan mayoritas penduduk negeri, terutama buruh dan tani, sedangkan “seni untuk seni” berkreasi tanpa melakukan garis bawah yang sering disebut sebagai “sastra-seni murni” tapi tidak bisa dikatakan sebagai anti kemanusiaan secara apriori. Dari segi ini maka saya katakan debat sastra-seni pada tahun-tahun 60-an sesungguhnya adalah suatu debat semu belaka. Mengapa debat semu ini ia bisa terjadi demikian sengit sampai berdarah-darah dan meninggalkan dendam seakan tanpa sudah? Dari segi sastrawan-seniman itu sendiri , saya melihat hal demikian terjadi karena para saastrawan-seniman sudah meninggalkan posisinya sebagai warga republik berdaulat sastra-seni yang bercirikan free thinker, dan pelepasan status ini terjadi karena kekurangan pengetahuan secara teori hingga daya analisa mereka tumpul, ditambah lagi oleh masuknya mereka sebagai partisan partai politik. Mereka jadi partisan tanpa kesadaran tapi semata berbekalkan “kebenaran cetakan”. Mereka sesungguhnya buta politik. Ini adalah sebab faktor dalam dari kalangan sastrawan-seniman. Sebagai faktor luar , dua aliran kesenian di atas dipolitisir oleh kekuatan-kekuatan politik yang saling berebut kekuasaan dan sedang adu kekuatan pada waktu itu. Mereka mencetak kebenaran tunggal sesuai kepentingan masing-masing dan menjajakannya ke kalangan para sastrawan-seniman dengan 1001 cara di mana uang pun turut bermain. Mereka mencoba mempengaruhi dan merebut sastrawan-seniman ke pihaknya dan dipelorotkan menjadi propagandis. Sebenarnya, sekalipun ada faktor luar begini jika sastrawan-seniman sadar dan tahu politik, disanguni sekedar teori yang memadai, mereka tidak akan memerosotkan diri dan tidak membiarkan diri sebagai partisan partai politik dengan “kebenaran cetakan” yang praktis. Bahaya ini – kalau kita sepakat bahwa ini suatu petaka – bisa terulang jika 76 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 pengalaman tidak disimpulkan dengan tanpa emosi serta menggunakan jarak. Arti praktis memandang ke belakang bahwa debat masa silam itu adalah suatu debat semu yang merugikan, saya kira memungkinkan para sastrawan-seniman negeri ini secara bersama-sama sesuai kemampuan masing-masing guna pengembangan sastra-seni yang manusiawi, dan siapa tahu mereka bisa memberikan sumbangan pikiran dalam menanggulangi permasalahan negeri dari segi kebudayaan misalnya tentang apa itu Indonesia, Republik dan keindonesiaan. Barangkali ini tantangan kekinian yang menagih jawab. Embrionya sudah nampak antara lain dari komunitas-komunitas yang tersebar di berbagai pulau dan daerah antara lain Komunitas Matabambu yang bekerja dengan konsep dan program yang jelas. Perpecahan di kalangan barisan sastrawan-seniman Indonesia ini sebenarnya jika dilihart ke belakang sudah mulai semenjak kelahiran Republik yang waktu itu masih beribukota di Yogyakarta. Dalam usahanya kembali menjajah Indonesia, pihak Belanda mendrop teori humanisme universal atau seni untuk seni. Ide ini secara organisasi ditopang oleh Sticusa dan Pernyataan Gelanggang secara ide dan Majalah Siasat secara kelembagaan. Sekali lagi sebenarnya jika sastrawan-seniman kita cukup dewasa dan kuat secara pengetahuan dan teori sastra seni dan juga politik, barangkali barisan seniman kita tidak perlu terbelah karena seperti saya katakana di atas humanisme universal, seni untuk seni dan seni berpihak pada rakyat atau republik tidak ada pertentangannya. Perpecahan pada masa ini dan apa yang disebut oleh Lekra sebagai “kecenderungan kapitulasionis” tidak lepas dari penunggangan kepentingan politik [dalam hal ini politik kolonialis Belanda] terhadap ide kesenian tersebut. Pada waktu itu barangkali acuan kita kurang padan hingga terperangkap oleh penafsiran yang ditunggangi kepentingan politik kolonialis tersebut. Penunganggan politik terhadap sastra-seni begini pulalah yang berlanjut sampai puncaknya pada tahun 1960an. Pada masa Orba berkuasa dengan pendekatan “keamanan dan stabilitas nasional”nya, sastra-seni pun diamankan yang kemudian melahirkan corak umum sastra-seni “aman” bebas politik. Mandul jiwa. Republik sastra-seni Indonesia makin kehilangan kedaulatannya dan jadi embel-embel kekuasaan dengan adanya filem-filem seperti misalnya G30S/PKI. Republik sastra-seni Bringharjo hilang dari kenangan, gaunggemanya pun tak terdengar. JJ. Kusni, Menoleh ke Belakang Melirik Esok 77 LEKRA DAN PKI Pertanyaan yang sering diajukan oleh banyak orang bagaimana hubungan Lekra dengan PKI? Banyak anggapan bahwa bahwa Lekra itu adalah organisasi bawahan PKI. Bagaimana sebenarnya? Benarkah Lekra yang anggotanya tersebar di seluruh pulau tanahair dari kota hingga desa dan diperkirakan anggotanya mendekati setengah juta orang lebih [angka yang sulit dikonfirmasi karena tidak pernah dilakukan registrasi] adalah organisasi PKI? Untuk menjawab pertanyaan ini saya tidak menggunakan tulisantulisan para pakar sastra baik asing seperti Keith Foulcher, Steven Miller, ataupun dalam negeri seperti alm. Sanento Yuliman, tapi lebih bersandar kepada apa yang saya ketahui sendiri serta keterangan-keterangan para pimpinan pusat Lekra yang sempat saya temui ketika mereka masih hidup dan yang masih hidup hari ini. Oei Hay Djoen, salah seorang anggota sekretariat Pimpinan Pusat dalam diskusi tentang turba yang diselenggarakan oleh Media Kerja Budaya Jakarta dihadiri oleh Steven Miller dari Australia mengatakan bahwa benar dalam Lekra terdapat seniman-seniman yang anggota PKI tetapi mayoritas anggota Lekra bukanlah anggota-anggota PKI. Anggota Lekra adalah orang-orang yang ingin menyalurkan bakat kesenian dan ingin mendapat wadah berkesenian. Siapa-siapa yang hadir dalam kegiatan lembaga-lembaga kejuruan Lekra otomatis sudah dipandang sebagai anggota Lekra dan tidak pernah dilakukan pendaftaran keanggotaan. Mayoritas mereka tidak mengerti dan tidak ada sangkut paut dengan PKI, karena itu, kiranya patut direnung-ulang anggapan bahwa Lekra adalah organ kebudayaan PKI. [lihat juga: Joebaar Ajoeb, “Mocopat Kebudayaan”, fotokopie, belum diterbitkan. Saya usulkan kepada para penerbit mana pun untuk menerbitkan karya berharga Joebaar Ajoeb ini. Beruntung saya masih memiliki naskah ini ]. Secara kompisisi anggota-anggota Lekra bisa dibagi dalam tiga kategori yaitu: [1].Seniman-seniman yang anggota PKI; [2]. Senimanseniman professional dan [3]. Orang-orang yang menyalurkan bakat dan ingin mendapatkan wadah untuk berkesenian. Kelompok pertama adalah sangat minoritas. Sesuai dengan ketentuan PKI maka saban ada tiga orang anggota, maka mereka ini akan membentuk grup, sedangkan jika lebih dari tiga orang mereka akan 78 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 membentuk yang disebut Fraksi PKI. Di dalam Lekra, terdapat grup dan fraksi PKI sesuai dengan jumlah mereka. Tidak semua dan tidak otomatis anggota PKI menjadi pengurus Lekra dan lembaga-lembaga kejuruannya. Rapat grup dan fraksi terpisah dari rapat Lekra. Dalam rapat-rapat Lekra, tentu saja anggota-anggota grup atau fraksi mengajukan pendapat mereka dan posisinya sama dengan anggota-anggota lain yang bukan anggota PKI. Keputusan diambil sesuai dengan keputusan mayoritas sehingga tidak otomatis pendapat anggota-anggota PKI di Lekra jadi panutan dan keputusan sebelum diputuskan. Tidak jarang pendapat mereka tidak diterima oleh rapat. Konfernas Palembang Lekra [1964?] mengenai Manifes Kebudayaan dan hubungannya dengan PKI, saya kira sangat phenomenal. Konfernas Palembang menolak tuntutan pembubaran Manifes Kebudayaan 6], dengan alasan masalah kebudayaan dan pikiran tidak bisa dipecahkan secara administratif birokratis, sehingga Konfernas Palembang memutuskan agar perdebatan perihal Manifes Kebudayaan dilanjutkan secara terbuka. Hal lain yang penting dari Keputusan Konfernas Palembang yaitu menolak tuntutan agar Lekra dinyatakan sebagai organisasi kebudayaan yang berafiliasi dengan PKI. Dengan keputusan konfernas Palembang nampak bahwa pikiran anggotaanggota dari fraksi PKI di Lekra tidak berhasil dimenangkan. Penolakan ini menunjukkan kemenangan dua kelmopok anggota lainnya yang menginginkan Lekra tetap sebagai organisasi kebudayaan profesional dan otonom guna mengembangkan suatu gerakan kebudayaan di seluruh negeri. Adanya tiga kelompok anggota di dalam Lekra ini ditambah lagi oleh adanya perbedaan pendapat di dalam tubuh PKI sendiri, membuat perdebatan teoritis cukup sengit di dalam Lekra seperti yang tercermin dalam konfernas Bali Lekra dan dalam antologi puisi Laut Pasang. Adalah suatu kekeliruan memandang Lekra sebagai organisasi kebudayaan yang bebas debat ide. Justru sebaliknya sangat hidup dan berkembang seperti misalnya terbaca pada Prahara Budaya yang disusun oleh Taufiq Ismail dan DS. Moelyanto. Hanya saja umumnya debat ini jarang muncul ke luar Lekra. Barangkali diselenggarakannya Konfrensi Nasional Sastra dan Seni Revolusioner [KSSR] di Jakarta padatahun Agustus 1964, bisa dipahami sebagai salah satu bentuk pergulatan ide di kalangan PKI dan dalam usaha mengendalikan Lekra, demikian juga adanya ‘Harian Kebudayaan Nasional’ Jakarta. Hubungan yang terdapat antara Lekra dan PKI adalah paralelisme JJ. Kusni, Menoleh ke Belakang Melirik Esok 79 dalam ide kebudayaan yaitu bahwa sastra dan seni diabdikan untuk kepentingan rakyat. Paralelisme ini disalahtafsirkan sebagai petunjuk bahwa Lekra adalah organisasi yang dikendalikan oleh PKI. Menganut paham seni untuk rakyat di negeri mana pun tidak otomatis ia adalah berpaham komunis atau bagian dari Partai Komunis. Secara umum barangkali ide ‘seni untuk rakyat’ di Indonesia bisa juga disebut sebagai sastra-seni berpihak [l’art et litterature engagee]. Dalam hal ini barangkali terdapatkan kreabunan penglihatan dan metode berpikir serta ketumpulan analisa oleh situasi politik pada masa itu dan bersisa hingga sekarang. Boleh dikatakan keberpihakan pada rakyat inilah yang menjadi perekat utama anggota-anggota Lekra dan tidaklah terdapat pada ide atau paham Marxisme. Karena itu Lekra tumbuh dengan pesat tanpa instruksi dari mana pun menjadi suatu gerakan kebudayaan yang tumbuh dari bawah. [Lihat:JJ.Kusni, “Cerita-cerita Kecil Untuk Aguk Irawan Ms. dan JJ. Kusni, “Di Tengah Pergolakan. Pengalaman Turba Lekra”, Penerbit Ombak, Yogyakarta, Agustus 2005]. Adanya paralelisme ide kebudayaan tentu saja terwujud dalam bentuk kerjasama di lapangan berbentuk pementasan-pementasan oleh Lekra atas permintaan organisasi-organisaasi yang berafiliasi dengan PKI. Kerjasama atas dasar paralelisme ide kebudayaan ini, dengan organisasiorganisasi ini memungkinkan Lekra melakukan pertunjukan di perkebunan-perkebunan, di desa-desa dan pabrik-pabrik, sesuai dengan pandangan kebudayaan Lekra: “meluas dan meninggi”. Di pihak lain praduga dan anggapan bahwa Lekra adalah organisasi yang berafiliasi dengan PKI dan pertanyaan sejenis, sesungguhnya pertanyaan dan anggapan yang tidak demokratis. Secara tersirat anggapan dan pertanyaan demikian mengandung sifat anti Komunis yang kental – hal yang memang diciptakan dengan sistematik oleh Orba. Anti Komunis atau pro Komunis adalah hak masing-masing orang yang patut dihormati. Tapi jika anti Komunis dibuntuti dengan pelarangan, pembasmian hak hidup suatu organisasi atau ide, saya kira di sinilah mulai sifat fasistis dan tidak demokratik yang bertentangan dengan ide republik, Indonesia dan keindonesiaan. Kalau pun disebut juga pandangan dan sikap begini sebagai demokratis, maka ia adalah “demokratis pilihkasih atau diskriminatif ”. Adalah tidak bisa dibayangkan terciptanya kerukunan nasional jika kita secara sukarela memenjarakan pikir membelenggu sikap kita pada demokrasi pilihkasih atau diskrimatif begini. Dengan ini saya melihat bahwa untuk Republik 80 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 dan Indonesia pertama-tama kita membebaskan diri dari belenggubelenggu demikian, terutama dari pihak pemegang kekuasaan, dan kembali kepada ide Republik Indonesia [republik dan Indonesia] yang merupakan serangkaian nilai bukan sekedar nama sebuah negara tanpa makna. Memenangkan ide Republik dan Indonesia, saya kira, di sini terletak juga peranan sastrawan dan seniman. Republik dan Indonesia ini barangkali jika meminjam ungkapan Goenawan Mohamad adalah: ”…. Sebuah negeri yang ingin kita lepaskan tapi tak kunjung hilang” 7]. Republik dan Indonesia adalah konsep besar agung yang yang sedang menjadi. Di sinilah sebenarnya budayawan, sastrawan-seniman dihimbau untuk tidak alpa serta perlunya kita menoleh ke belakang melirik esok. *** Paris, Desember 2005. Catatan: 1]. Seperti diketahui, Lekra terdiri dari berbagai lembaga kejuruan. Di samping Lembaga Sastra, terdapat lembaga-lembaga: drama, senirupa, seni musik, seni tari, filem. Lembaga ludruk, ketoprak, dalang, karawitan, sudah membentuk lembaga-lembaga sendiri,walau pun belum disahkan oleh Kongres tapi sudah giat melancarkan akitvitas-aktivitasnya secara independen. Kongres Lekra pertama diselenggarakan di Solo dan direncanakan Kongres ke II akan dilangsungkan pada tahun 1966 guna menyimpulkan pengalaman sejak Kongres Solo [1959?]. Ujungtombak kehidupan kegiatan Lekra berada di lembaga-lembaga ini. Lekra berfungsi sebagai kordinator dan penyimpul pengalaman berbagai praktek lembaga-lembaga tersebut. 2]. Konsep hidup-mati manusia Dayak yang melihat bahwa bumi adalah tempat anak manusia untuk hidup secara manusiawi dan tugas manusia Dayak adalah untuk memanusiawikan manusia, kehidupan dan masyarakat. Jika gagal menunaikan misi dan fungsi ini maka manusia gagal dalam kehidupannya dan menjadi kambe [hantu] yang tanpa tempat tinggal setelah mati. Sayangnya konsep dan budaya lokal sekarang oleh banyak orang tidak diindahkan, barangkali dipandang sebagai kadaluwarsa dan tidak tanggap zaman JJ. Kusni, Menoleh ke Belakang Melirik Esok 3]. 4]. 5]. 6]. 7]. 81 dan tidak aspiratif. Tidak modern tanpa jelas apa yang dimaksudkan dengan modern, globalisasi serta tradisional. Salim adalah seorang pelukis terkemuka Indonesia yang sejak usia 17 tahun memutuskan hidup di Paris sebagai pelukis. Dikutip dari ‘Lampiran Khusus Majalah KANCAH, Paris, No. 10 –X-1984. Dalam perkembangan selanjutnya, Lekra tidak lagi menangani masalah ilmu, masalah yang kemudian ditangani oleh Himpunan Sarjana Indonesia [HIS]. Demikian juga masalah olahraga diurus oleh lembaga khusus dan tidak jadi urusan Lekra lagi yang mengkhususkan diri dalam masalah-masalah sastra-seni. Dalam percakapannya dengan saya di rumahnya di Jalan Pemuda, alm. Joebaar Ajoeb, sekjen Lekra menyatakan bahwa dengan pembubaran Manifes Kebudayaan oleh Presiden Soekarno, “Lekra kecolongan”.Menurut Joebaar, pembubaran itu dilakukan atas usul Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Prijono, yang anggota Murba dalam usaha menyelamatkan Partai Murba dari pembubaran. Goenawan Mohamad, “Sajak-sajak Lengkap 1961-2001”, Metafor Publishing, Jakarta, Agustus, 2001. *** 82 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 KUDET A SEP AR UH HA TI KUDETA SEPAR ARUH HATI Judul buku : Pembantaian yang Ditutup-tutupi Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan Bung Karno Pengarang: Lambert J.Giebels Penerbit: Grasindo Tahun: 2005. Halaman: 288 hal. Pada tahun 2005, sejumlah buku yang terbit mengambil tema Peristiwa G 30 S dan selebihnya mengenai Soekarno, Presiden RI yang pertama. Salah satu buku yang menarik bertema sama selama periode tahun 2005, adalah buku tulisan Lambert J.Giebels yang berjudul “Pembantaian yang Ditutup-tutupi”. Doktor Ilmu Sejarah yang lahir tahun l936 ini, bukan orang asing di Indonesia. Tahun l970-an sampai l980 –an , ia pernah menjad penasehat di Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum . Mantan anggota Tweede Kamer der-Staten-Generaal ( majelis rendah) Kerajaan Belanda ini, pada tahun l999 sudah pernah menerbitkan buku mengenai Soekarno. Buku “Pembataian yang Ditutuptutupi”, ini,merupakan jilid terakhir dari seri biografi Soekarno dari tangan Giebels. JENDERAL DIBUNUH Enam jenderal dibunuh di dinihari yang memisah malam 30 September dan pagi hari 1 Oktober 1965. Inilah “salvo” pertama kudeta yang sejak langkah pertamanya sudah ditakdirkan bakal gagal; kudeta separuh hati yang melenyapkan Partai Komunis yang diidentikkan dengan kekafiran karena “dari sono”-nya sudah menyatakan agama sebagai racun bagi masyarakat.Partai ini pun berhasil bangkit kembali dari keruntuhan akibat pengkhianatan di Madiun tahun 1948, kala Republik Indonesia yang masih sangat belia harus ber juang memertahankan eksistensinya melalui perang melawan penjajah Belanda; menjatuhkan, tanpa peduli, Soekarno, pejuang kemerdekaan dan proklamator kemerdekaan Indonesia akibat obsesinya memertahankan Nasakom dan dengan demikian tak kunjung membubarkan PKI. Walau Kudeta Separuh Hati 83 sudah jelas tak adanya pilihan lain; menaikkan Soeharto ke jenjang kekuasaan selama tiga dasawarsa lebih yang toh akhirnya harus lengser juga akibat keterpurukan ekonomi gelembung sabun yang bangunannya ternyata sangat rapuh berhadapan dengan terpaan krisis. Kudeta yang dinilai merupakan campuran antara ketidakpuasan segelintir perwira angkatan darat, niat PKI untuk mengomuniskan Indonesia, dan ambisi seorang presiden untuk menjadi tokoh global dengan membangun sebuah dunia baru melalui gabungan nasionalisme, agama dan komunisme. Akhirnya hanya mewariskan luka-luka berdarah yang hingga kini — empat puluh tahun kemudian —belum kunjung tersembuhkan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang pada 20 Oktober 2004 menggantikan Megawati, sudah menetapkan agenda prioritas berupa “rekonsiliasi nasional”. DPR pun telah menetapkan asas hukum bagi pelantikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) mencontoh Afrika Selatan yang dengan kebesaran jiwa seorang Nelson Mandela dengan keikhlasan yang tinggi rela meninggalkan hal-hal taruamtis akibat politik apartheid kaum kulit putih yang berlangsung ratusan tahun. Dimensi kemnusiaan dari kudeta 30 September – 1 Oktober 1965 menjadi jauh lebih mencolok dibanding dimensi kepolitikannya mengingat korban yang jatuh dalam jumlah besar layak mendapat penelitian seksama benarkah mereka anggota dan kader komunis mengingat kesembronoan PKI “merekrut” pengikut dari lapis masyarakat yang tidak tahu apa-apa tentang politik dan akibat kepapaan hidup mereka dengan mudah sekali diekspolitasi. Mereka inilah yang dimanipulasi oleh PKI untuk melancarkan aksi-aksi yang mengakibatkan mereka menjadi korban pembantaian. Tak ada yang tahu berapa jumlah pastinya, mendekati pun tidak, tetapi kisaran angka setengah juta kerap disebut-sebut. Giebels menyebut bahwa setelah lewat kurun 40 tahun ada kemungkinan bahwa berpuluh-puluh kuburan massal di berbagai pulau dari tahun 1965-66 digali da mayatnya dikuburkan kembali secara khidmat. Sebuah penyelidikan resmi mengenai pertistiwa-peristiwa di tahun-tahun itu “akan bisa menyembuhkan luka-luka yang ditinggalkan oleh kenangan pahit ini. Dengan katarsis ini bisa dibangun ‘jembatan emas’ menuju suatu masyarakat Indonesia yang didukung oleh kelima sila Pancasila....” Dalam buku ini, Lambert J. Giebels memberi analisis tentang kup yang gagal itu. Giebels juga mengupas waktu dua puluh empat jam selama kup itu berlangsung, menggambarkan pembunuhan masal 84 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 sesudah kup, menguraikan manipulasi-manipulasi politik yang berakhir dengan jatuhnya presiden Soekarno dan pengalihan kekuasaan ke tangan jenderal Soeharto dan akhirnya mengungkapkan akhir hidup Bung Karno yang sangat memalukan.” Giebels mengambil tokoh utama Soekarno dalam buku ini , dan peristiwa-peristiwa yang dikisahkannya dimulai dari pidato Bung Karno yang berjudul Tahun Vivere Pericoloso (Tavip) pada hari kemerdekaan RI pada 1964. Kesulitan-kesulitan dan perkembangan-perkembangan tahun 1964 merupakan pembukaan kisah sedih yang berlanjut sesudahnya. Epilog menunjukkan bahwa sesudah wafat, Soekarno “tetap mempunyai pengaruh yang besar atas pekembangan-perkembangan politik di Indonesia, yang akhirnya terwujud dengan terpilihnya Megawati Soekarnoputri menjadi presiden. Ini menunjukan warisan politik Soekarno masih tetap aktual.” PENGGAGAS NASAKOM Soekarno menyatakan bahwa rervolusi Indonesia tidak mengenal akhir. Barang siapa tidak mau mengikuti Pemimpin Besar Revolusi akan ketinggalan. Tulis Giebels, judul pidato Soekarno, ‘Vivere Periciloso’ mengungkapkan dengan jelas tahap mana yang telah dimasuki masa pemerintahannya itu: Indonesia hidup di atas gunung berapi yang akan meletus dalam waktu singkat. Dalam pidatonya itu Soekarno mencaci maki mereka yang hipokrit yang dengan mulut memeluk panggilannya untuk suatu revolusi permanen, tetapi yang di belakang punggungnya merongrong konsep Nasakomnya. Bung Karno mengangkat partai komunis menjadi partai pelopor, sebuah partai yang ia perjuangkan sejak kemerdekaan. Jumlah penganut komunis bertumbuh dengan pesat. Di tahun 1965 PKI berkata bahwa sesuai hitungan terakhir mempunyai tiga setengah juta anggota dan selain itu masih mempunyai dua puluh tiga juta penganut dalam organisasiorganisasi yang berafiliasi dengan PKI, yaitu buruh komunis SOBSI, petani BTI, wanita Gerwani, dan partai Pemuda Rakyat. Jadi secara total hampir dua puluh tujuh juta orang — yang menurut Giebels sebagian besar terdiri dari orang-orang komunis nominal yang tidak tahu menahu tentang ajaran Marxis. Walau dengan organisasiorganisasinya PKI tampak membentuk satu kesatuan yang berkuasa, namun para pimpinan partai “merasa sangat frustrasi bahwa kelebihan numeriknya itu tidak mereka konkretkan dalam pemilu. Posisinya yang Kudeta Separuh Hati 85 dominan mempunyai dampak negatif. Oleh karena partai ini menguasai panggung politik, semua kekuatan non-komunis mencoba menghalangi penyelenggaraan pemilihan umum.” Sebetulnya amat diragukan apakah Soekarno, melihat obstruksi partai-partai lain dan terutama tentara, bisa memaksakan pemilihan umum. Mungkin juga ia tidak menginginkan pemilihan. Dengan tidak adanya sebuah pemilihan yang meneguhkan kekuatan PKI, ia bisa menjadikannya tetap tergantung kepadanya sebagai bapak pelindung. Namun jalan PKI tetap tertutup mengingat Soekarno — yang terang-terangan menyebut kesehatannya tidak begitu baik dan akibatnya menimbulkan gunjingan tentang kemungkinan pengantian dirinya — tidak menginginkan eksponen salah satu dari tiga aliran yaitu nasionalisme, Islam dan komunisme menggantikannya. Ideologi Nasakom Soekarno tidak mengizinkan salah satu di antaranya berkuasa. Ini sekaligus menutup kemungkinan bagi pemimpin partai komunis, Aidit. (hal :3- 4). SOEBANDRIO KOMUNIS TERSELUBUNG ? Lalu siapa yang dipandang oleh Soekarno sendiri layak menggantikannya? Seorang komunis tidak mungkin, seorang militer juga tidak — PKI tidak akan menyukainya. Tiga syarat yang harus dipenuhi calon pengganti Soekaarno ialah, ia bukan anggota partai, seorang Islam dan seorang Jawa. Dari tiga pembantu utamanya (Leimena — seorang Kristen; Chairul Saleh — seorang Sumatra; dan Soebandrio) hanya Soebandrio yang memenuhi persyaratan itu. Soebandrio sendiri — yang berusaha keluar dari bayang-bayang Soekarno — memang berambisi menggantikan Soekarno. Ini diungkapkan Soebandrio secara berhati-hati dalam sebuah sambutan yang ia berikan di Jakarta pada tanggal 24 Oktober 1964, ketika sekali lagi presiden sedang jalan-jlan keliling dunia. Penggantian itu sendir tidak boleh dalam bentuk kudeta, katanya, dan menurut Giebels, Soebandrio memberi kesan bahwa penggantian kekuasaan itu bisa dipercayakan kepadanya. Ini garansi yang terbaik untuk, kalau kelak Soekarno sudah turun panggung, dengan tenang berubah haluan dan menjadikan Indonesia sebuah negara yang progresif. Ini mengambil contoh bahwa Indonesia sudah memasuki revolusi tahap kedua, yaitu revolusi sosial. Dengan ucapan ini ia lebih “kiri” dari Aidit, sebab sebagai seorang Marxis tulen, yang terakhir ini baru berbicara tentang revolusi sosial kalau pertentangan kelas sudah selesai diperjuangkan. (hal:5). 86 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 Atas desakan PKI agar Presiden secepatnya merevolusionisasi aparat pemerintah, Soekarno kemudian membentuk Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) yang dipimpinnya sendiri dan Soebandrio menjadi penggantinya dan pemimpinnya sehari-hari. Ada kesan, menurut Giebels, Soebandrio mewakili PKI namun dengan keras ia menyangkal dirinya anggota partai komunis itu. Giebels dalam percakapan dengan Soebandrio mempunyai kesan bahwa wakil menteri pertama dalam organ yang berkuasa itu tidak mempunyai keyakinan politik yang jelas, melainkan senantiasa mencari tempat di pusat kekuasaan. Namun toh ia memberi kesan tidak menolak rayuan kaum komunis, maka di mata banyak orang mau tak mau ia menjadi seorang ‘komunis terselubung’. (hal: 6). Langkah Soekarno menghapus pusat-pusat non-komunis akhirnya mengarah kepada sekelompok seniman muda yang di tahun 1963 menerbitkan Manifesto Kebudayaan di majalah bulanan Sastra. Di situ mereka menandaskan bahwa kesenian tidak boleh tunduk kepada politik melainkan kepada ‘humanisme internasional’ — jadi mengacu kepada salah satu sila Pancasila. Manifes ini diserang oleh organisasi kebudayaan komunis yang kuat, Lekra. Surat kabar Harian Rakjat yang komunis mengolok-olok manifes ini dengan menyingkatnya menjadi ‘Manikebu’. Dipimpin oleh penulis papan atas Pramoedya Ananta Toer serangan dilancarkan terhadap kelompok pejuang kecil ini berulang kali. Anggota kelompok ini juga dilarang bergabung dengan organ-organ yang dikuasai pemerintah — para guru dan dosen misalnya, yang dianggap ada hubungan dengan Manikebu, kehilangan pekerjaan mereka. Mereka dipersalahkan oleh Lekra bahwa mereka, dengan melepaskan kesenian dari politik, akan menyabot revolusi. Bagi Lekra, yang lalu dibantu oleh Aidit dan Nyoto yang membuka suara di muka umum, tidak sulit untuk meyakinkan presiden bahwa semua penganut Manikebu harus diekskomunikasikan. Soekarno berpendapat bahwa di Indonesia semua harus mengabdi kepada politik, terserah itu olah raga atau kesenian. Dalam pidatonya Vivere Pericoloso, presiden memberi pengadilan terakhir untuk nasib kelompok pejuang ini: Sapu bersih kultur luar negeri yang gila itu. Kembalilah kepada kebudayaan kit sendiri. Carilah identitas tradisional. Ganyang Manikebu, karena mereka merongrong revolusi kita. (hal: 8). Kutukan presiden atas kebudayaan Barat, oleh Lekra langsung Kudeta Separuh Hati 87 dijadikan tanda untuk memboikot film-film buatan Amerika. Boikot ini kemudian menjadi suatu kampanye anti-Amerika yang makin lama makin ganas. Bulan Oktober tahun 1964 Aidit mengumumkan bahwa kalau kelak negara Nasakom sudah terbentuk, Pancasila tidak diperlukan lagi. Penghinaan akan Ketuhanan ini menimbulkan usaha bersama terakhir melawan kekuatan-kekuatan komunis. Kekuatan-kekuatan ini berkonsentrasi di sekitar Badan Pendukung Soekarnoisme atau BPS yang didirikan pada bulan Agustus. Intensi gerakan ini ialah menghalangi Soekarno mengidentifikasi dirinya dengan PKI dan mengimbau dia untuk memertahankan ide-idenya sendiri di hadapan komunisme. Mereka mengungkapkan intensi-intensi ini dengan dengan menyebut diri ‘Soekarnois’. Motor kaum Soekarnois, Sayuti Melik, membakar mereka dengan serial tulisannya yang berjudul ‘Melindungi semangat Marhaenisme’ yang merupakan jawaban terhadap ucapan Aidit yang penuh provokasi itu tentang mubazirnya Pancasila. Melik tidak hanya menyerang Aidit tetapi sekaligus juga menantang Soekarno. Melik menyebut Soekarno telah tersesat meninggalkan ide-idenya sendiri. Ini merupakan alat efektif untuk menggalang kesatuan para Soekarnois. Hanya dalam waktu beberapa mingu saja seluruh pers non-komunis berdiri di belakang BPS, didukung oleh menteri Nasution, panglima angkatan perang Achmad Yani dan beberapa partai non-komunis termasuk dua partai Kristen. (hal: 8-10). Tanggal 2 Desember 1964 Soekarno menghimpun para pemimpin kesepuluh partai politik yang masih diizinkan beroperasi di bawah Demokrasi Terpimpin, serta presidium kabinet, di Istana Bogor . Sesuai cara musyawarah yang baik, mencari penyelesain untuk konflik-konflik yang telah timbul. Pertemuan itu menjadi sebuah pertemuan yang penuh gejolak. Chaerul Saleh meletakkan dokumen rahasia di atas meja yang agaknya mengungkapkan bahwa PKI sedang memersiapkan sebuah ofensif yang berbahaya. Tujuan ofensif ini adalah untuk, setelah melumpuhkan angkatan perang, meraih kekuasaan politik. Dalam rencana kaum komunis ini, untuk sementara waktu Nasakom harus ditunjang sebagai kendaraan yang akan mengantarkan PKI kekuasaan kenegaraan. Menurut para penulis biografi Nasution yang dikutip Giebels, dinas intelijen angkatan bersenjata telah berhasil menjaring rencana PKI ini dan Nasution meneruskannya kepada Chaerul Saleh. Ketika mendengar tuduhan-tuduhan yang diaahkan kepada partainya itu, 88 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 pemimpin PKI Aidit siap untuk baku hantam dengan wakil menteri pertama Chaerul Saleh. Sesudah pertemuan itu, pada 17 Desember 1964 BPS dilarang karena ‘telah menyebabkan perpecahan dalam kekuatankekuatan revolusi yang progresif ’. Sejak saat itu Soekarno melarang semua ungkapan yang ia sebut ‘fobia komunis’. Hubungan begitu erat antara presiden dan PKI terbukti sewaktu berlangsung perayaan ulang tahun ke-40 PKI—didahului oleh larangan terhadap pers pendukung BPS dan Partai Murba—yang merupakan kemenangan buat PKI sekaligus menyudutkan dua menteri utama, Chaerul Saleh dan Adam Malik. Perayaan ultah didahului kongres partai. Di belakang kursi pembicara terpampang dengan huruf besar-besar tulisan yang menjadi pertaruhan PKI: Kabinet Gotong Royong—sebuah kabinet yang di dalamnya PKI akan berfungsi sebagai mitra setara. Sambutan besar yang diberikan Soekarno benar-benar sebuah pernyataan cinta kepada PKI dan pemimpinnya, Aidit, yang dipeluk oleh presiden. Sebuah kebiasaan yang sungguh-sungguh bukan cara Indonesia. Ia menyambut PKI sebagai partai revolusioner yang paling konsisten dan Aidit sebagai benteng pertahanan republik. Untuk menunjukkan keterikatannya kepada saudara-saudara komunisnya, presiden berseru bahwa kematian mereka ia anggap sebagai kematiannya sendiri—sebuah ucapan yang kelak ternyata akan bisa dianggap sebuah ramalan. (hal: 11-12, 32-34). RI - RR CINA Kunjungan pertama Soekarno ke RR Cina di tahun 1956 meninggalkan kesan di hati Soekarno.Rasa antusias yang tak kunjung hilang terhadap republik rakyat pimpinan Mao Zedong. Sewaktu kunjungan kedua dilakukan di tahun 1961, kedua negara menanda tangani sebuah perjanjian persahabatan. didahului kunjungan presiden Liu Shaoqi di bulan April 1963 dan perundingan di Jakarta bulan April 1964—RRC . Indonesia saling beri dukungan kuat—di bulan November 1964 di Shanghai presiden Soekarno dan perdana menteri Zu Enlai (Chou En-lai) mengadakan pertemuan yang ramai dibicarakan orang, di saat itu Zu berhasil memikat Soekarno untuk bersekutu dengan RRC. Perundingan ini diikuti sebuah kunjungan mendadak oleh menteri luar negeri Cina, Marsekal Chen Yi, ke Jakarta. Hasil kunjungan terakhir ini ialah bahwa pada tanggal 3 Desember dikeluarkan sebuah komunike bersama yakni Indonesia dan RRC dengan keterbukaan yang jarang Kudeta Separuh Hati 89 ditemui dalam hubungan diplomatik,menyatakan bahwa keduanya akan menyelaraskan politik luar negeri mereka. (hal: 25-26). Harap maklum, Cinalah sastu-satunya negara yang mendukung politik konfrontasi Soekarno terhadap Malaysia. Cina pula yang mendukung pembagian dunianya menjadi dua, Nefo (New Emerging Forces) dan Oldefo (Old Established Forces). Maka Cina mendukung gagasan penyelenggaraan Conefo (Conference of New Emerging Forces— Konferensi Nefo) yang Soekarno tak berhasil menggalang dukungan di konferensi Kairo sebelumnya. Bahkan dalam perbincangan dengan Zu dan Chen Yi, digagas kemungkinan Conefo menjadi pengganti PBB. Soekarno berilusi bahwa andaikata dengan dukungan Cina ia berhasil menyelenggarakan Conefo, kebanyakan negara dunia ketiga akan bergabung dengannya. Para pemimpin Cina memerkuat impian ini. Bahkan oleh Chen Yi terang-terangan dikatakan, dalam kunjungan ke Jakarta di bulan November 1964, bahwa tidak ada pemimpin lain yang bisa memenuhi tugas yang besar dan historis ini kecuali satu, yakni Bung Karno. Dan atas nama RRC ia berjanji kepada Bung Karno untuk memberi segala bantuan dalam menjalankan tugas ini. (hal: 25-27) Soekarno hidup dalam impian. Politik globalnya yang memimpikan pengulangan konferensi Asia Afrika 1955 dalam skala lebih besar, mencakup seluruh negara berkembang, yang akan dilanjutkan dengan penciptaan sebuah tandingan PBB — yang sudah ditinggalkannya di awal tahun 1965.Kehidupan pribadinya yang dipenuhi dengan kesenangan duniawi yang membuatnya tertawaan dunia. Soekarno pun (terutama bersama Dewi) tak melewatkan kesempatan untuk mengutip persentase tertentu dari setiap investasi yang ditanamkan di Indonesia. Ia larut dalam suasana ‘sang raja tak pernah salah’ (the king can do no wrong), sementara hari-harinya sudah dihitung orang. Sudah sejak 1964 dua kekuatan, PKI dan militer, memantau dengan cermat kesehatan Soekarno yang tidak menutupi kenyataan bahwa dirinya sakit: ginjalnya hanya tinggal sebelah yang berfungsi, itu pun tidak benar-benar baik. Istilah Soekarno sendiri, ginjalnya adalah ‘pabrik batu’. Namun keduanya masih tetap menghormatinya, dan sementara pihak-pihak yang berpotensi mengganjalnya sudah diberangus semuanya –tinggal angkatan darat yang menjadi duri dalam daging Soekarno sementara angkatan udara dan laut tak ada masalah baginya, bahkan angkatan udara — malah Omar Dhani, kepala stafnya, secara terbuka menyatakan dirinya simpatisan komunis (hal:13) — ikut menyebarkan 90 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 melalui udara pamplet di kala PKI berulang tahun, dengan 1,000 lembar di antaranya ditanda tangani oleh Aidit, siapa menemukannya dijanjikan hadiah. ANGKATAN BERSENJATA PECAH Pecah belahnya angkatan bersenjata terjadi dengan lengsernya Nasution dari hirarki kemiliteran, dan sementara kepolisian ‘memegang kurs tengah’, yang lebih dominan di kalangan angkatan darat adalah perasaan anti-komunis. Dengan personel sebesar 250,000 prajurit, angkatan ini merupakan kekuatan yang terbesar. Soekarno mau tak mau harus mampu menciptakan keseimbangan antara kaum komunis dan antinya, tentara. Namun tentara sendirI juga tidak padu. Antara bekas PETA (Pembela Tanah Air) dan KNIL (Koninklijk Nederlands-Indische Leger) masih tetap terjadi pertentangan. Kelompok perwira yang mendapat pendidikan di Fort Levenworth, termasuk Yani, selama di AS tidak saja menjadi makin anti-komunis tetapi juga makin condong ke kapitalisme. Mereka lebih tidak bersedia memertaruhkan kepentingankepentingan ekonomis yang telah mereka bangun dalam dunia usaha. Dan perwira-perwira tinggi inilah, oleh karena memertahankan kepentingan-kepentingan ekonomis dan kehidupan mewah yang mereka tuntut, yang menjadi sasaran serangan para komunis. Kalau surat kabar PKI Harian Rakjat memberitakan tentang para ‘kabir’ (bunyinya seperti kafir) maka setiap orang tahu bahwa yang dimaksud ialah para pejabat dan perwira tinggi yang korup. Golongan inilah yang dimaksud Soekarno ketika ia dalam ‘Vivere Pericoloso’ berbicara tentang ‘orangorang hipokrit yang laknat’ yang hanya dengan mulut menganut ajaran revolusinya, dan ... yang mengira bahwa Indonesia tidak bisa hidup tanpa mereka, yang menganggap dirinya ‘presiden direktur’ republik ini, yang diamdiam mengharapkan — ya, saya sangat berterus terang — yang berpikir: kalau nanti Soekarno sudah tidak ada lagi aku yang akan menjadi presiden, menjadi raja Indonesia. Sudah tentu bukan cuma markas besar angkatan bersenjata di Jakarta ssatu-satunya wajah tentara. Tersebar di seluruh negeri ada dua puluh satu Kodam. PKI telah menyebarkan propagandanya di antara para serdadu dan perwira rendah dari ketiga divisi yang ditempatkan di Jawa, yaitu Divisi Siliwangi di Jawa Barat, Divisi Diponegoro di Jawa Tengah Kudeta Separuh Hati 91 dan Divisi Brawijaya di Jawa Timur, namun dengan sedikit sukses. Ahli sejarah militer H.W. Noebel yang dikutip Giebels ( hal: 15) memerkirakan bahwa di tahun 1963 kira-kira 30 persen militer pangkat rendah di Jawa menjadi anggota PKI. Juga beberapa perwira militer rendah mulai bersimpati kepada PKI—simpati yang untuk sebagian besar disebabkanoleh kehidupan mewah yang dikejar oleh pimpinan tertinggi angkatan perang di Jakarta. DI TEPI JURANG KEKACAUAN Perekonomian republik Indonesia nyaris hancur. ‘Ekonomi Terpimpin’ yang diterapkan di bawah Demokrasi Terpimpin Soekarno, di tahun 1965 arahnya menuju keruntuhan total. Semua tanda bahaya menyala. Laju inflasi setinggi langit. Nilai tukar resmi rupiah untuk satu dolar adalah 45 namun nilai tukar di pasar gelap bisa mencapai 10.000. Mundurnya kesehatan fisik presiden Soekarno agaknya menjadi pembuka menuju fase akhirnya. Tetapi ternyata ia sembuh kembali. Sesudah kesehatannya seakan-akan oleh karena mukjizat bisa pulih kembali ia menyerang musuh-musuhnya dan mereka yang ia anggap musuhnya, di dalam dan di luar negeri, dengan membabi buta. Ia melancarkan usaha teraakhir untuk menyelamatkan Nasakomnya dan menarik kaum komunis ke dalam pemerintahan. Tetapi pimpinan angkatan darat tetap tidak memberinya peluang untuk melakukan hal itu. Tali yang terantang antara kaum komunis dan militer, di atas mana Soekarno harus menjaga keseimbangannya, nyaris putus. Para pengamat di dalam dan luar negeri dengan tegang menanti siapa yang melncarkan pukulan pertama, PKI atau pimpinan angkatan bersenjata. Kunci untuk pelaksanaan Nasakom ada di tangan tentara; itu telah berkali-kali dibuktikan. Andaikata tentara mau menerima Nasakom, maka tidak sulit untuk membentuk sebuah kabinet Nasakom di dalam mana kaum komunis bisa mendapat tempat yang setara dengan yang lain. Oleh karena itu Soekarno mengemukakan kepada para pemimpin staf sebuh rencana untuk ‘menasakomisasi’ angkatan bersenjata. Di dalam rencana itu kepada unit-unit pimpinan militer akan diperbantukan tiga orang penasihat, satu dari golongan nasionalis, satu dari golongan beragama dan satu dari golongan komunis. Ide itu berasal dari Aidit, yang mencontoh sistem komisaris-komisaris politik dalam bersenjata Cina dan Rusia. Sama halnya dengan usul Soekarno untuk angkatan ke -5, angkatan udara, laut dan kepolisian menanggapi 92 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 usul Soekarno untuk nasakomisasi dengan positif, walaupun dengan gairah yang berbeda-beda. Tetapi angkatan darat memberitahukan bahwa menurut mereka ide itu aneh. Yani menolaknya dengan pendirian menantang bahwa setiap komandan angkatan sudah menyimpan di dalam dirinya unsur-unsur Nasakom, mereka tidak membutuhkan penasihat untuk itu. (hal : 68). Sementara komisaris-komisaris itu tidak kunjung dilantik, kursuskursus tentang ajaran Marxisme-Leninisme mulai dijalankan. Polisi mengawalinya dengan kursus yang dibuka tanggal 1 September 1965. Semu hadir termasuk keempat kepala staf. Dalam pidato pembukaannya Soekarno menyela dirinya sendiri dan menegur keempat orang ini secra langsung. Dengan nada bicara ia menyebut betapa angkatan udara, laut dan kepolisian sudah ‘revolusioner’ karena sudah melangsungkan kursuskursus Marxisme-Leninisme. “Tetapi angkatan darat bukan sebuah kekuatan revolusioner,” ia berteriak kepada Jenderal Yani. Dengan suara memekik ia berteriak: “Saya akan menggunakan semua pengaruh saya di antara rakyat agar mereka berbalik melawanmu. Bangsa Indonesia akan menghancurkan kamu.” Yani dengan terang-terangan menertawakan presiden yang menggerak-gerakkan tangannya penuh amarah itu. Reaksi Yani yang menantang atas kata-kata presiden yang berang itu menambah desas-desus yang sudah ada tentang sebuah dewan jenderal dan perebutan kekuasaan yang sudah di depan mata. (hal :69). Mulai akhir bulan Agustus 1965 pers dan orang-orang di jalan dengan terang-terangan berspekulasi tentang berita ini. Bagi Soekarno kup para jenderal yang mengancam ini, juga karena bisikan-bisikan Aidit, menjadi sebuah obsesi. Setiap kali ia membicarakannya. Sebentar yang ini, lalu yang itu yang dicurigai bersekongkol dengan para jenderal. Presiden malah meminta pertanggungjawban istri Jenderal Nasution, begitu ibu Nasution bercerita kepada Giebels. Menurut presiden ibu Nasution sedang mengumpulkan dan auntuk pembiayan kup para jenderal itu. ( hal :69). Sebagai obat penangkal racun melawan ancaman kup jenderal itu, Aidit mengumukan bahwa ‘sebuah prakarsa dari kelompok perwira muda yang progresif akan membatalkan, dari awal mula, semua usaha perebutan kekuasaan yang dilancarkan para jenderal’. Tak pelak lagi Jakarta dipenuhi desas-desus, diawali kunjungan Omar Dhani ke Beijing di pertengahan September 1965; disebut-sebut untuk memercepat pembelian 100 ribu puck senjata yang telah dijanjikan kepada Soebandrio Kudeta Separuh Hati 93 ketika ia berkunjung ke sana di bulan Januari 1965. Omar Dhani menyangkal, tetapi kemudian tersebar desas-desus lain yang mengatakan bahwa kapal-kapal selam Cina telah menurunkan sejumlah besar senjata di daratan Indonesia, yang oleh para anggota organisasi-organisasi komunis di seluruh Jawa disimpan di depot-depot senjata rahasia. Kemudian desas-desus itu disangkal. Yang ditemukan kemudian ialah bahwa RRC memang benar secara rahasia memberi senjata, tidak kepad PKI melainkan kepada angkatan udara. Senjata-senjata Cina yang diselundupkan, senapan mesin tipe Chung, dimaksudkan sebagai perlengkapan para sukarelawan angkatan ke-5, yang masih disebut dengan nama hansip. Bulan September 1965 para instruktur angkatan udara mulai melatih para hansip, berturut-turut tiga angkatan masing-masing seribu orang. Para sukarelawan itu direkrut dari pelbagai daerah di Jawa; untuk sebagian besar mereka adalah oirang-orang muda dari Pemuda Rakyat dn anggota wanita komunis Gerwani. Latihan berlangsung di kampung dekat pangkalan udara Halim—kampung dengan nama Lubang Buaya ini kelak akan mendapat ketenaran yang mengerikan. (hal: 70). Desas-desus lain: Pemuda Rakyat membuat daftar berisi nama-nama orang yang akan dibunuh. Aidit mengobar-ngobarkan api ini dengan mendesak para pelajar untuk menukar buku-buku pelajaran mereka dengan senjata. Akibat intimidasi-intimidasi ini seluruh penduduk yang bukan komunis mulai menganggap PKI dan organisasi-organisasi massanya sebagai musuh. Karena mereka takut, mereka mulai membencinya. Di kalangan gerakan mahasiswa, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menjadi sasaran pembubaran. Tanggal 26 September 1965 Uni Mahasiswa Indonesia yang dikuasai komunis mengajukan pemohonan kepada presiden untuk membubarkan HMI. Dalam suatu pertemuan unjuk rasa mahasiswa komunis di Istora Senayan mereka berseru kepada anggota kabinet yang hadir: “Bubarkan HMI! Bubarkan HMI!” Menteri Leimena yang sulit mengatasi keadaan berseru bahwa pemerintah tidak bermaksud membubarkan HMI karena mereka setia kepada kebijakan pemerintah. Soekarno, yang diundang sebagai pembicara, mendukung kata-kata Leimena. Tetapi kemudian ia bertanya kepada Aidit, yang juga hadir tetapi tidak termasuk pembicara, untuk memberikan penilaian. Reaksi yang ditanya menjadi tanda jelas dari kebebasan bertindak yang berhasil dikembangkan si pemimpin komunis di hadapan Soekarno—atau paling tidak yang ingin ia pamerkan di 94 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 depan pengikut-pengikut mudanya. Aidit berani membantah Soekarno dengan berseru kepada para pemuda itu bahwa kalau pemerintah tidak mau bertindak mereka sendiri yang harus menghabisi HMI. Itu terjadi tanggal 28 September, dua hari sebelum kudeta. (hal:72). Sepanjang September 1965 Soekarno dan Aidit hampir setiap hari berpidato; Soebandrio pun tidak ketinggalan. Soekarno sendiri mengungkapkan pada sebuah kongres PSII bahwa baru pada tahun 1926 ia dengan sepenuhnya mengidentifikasikan diri dengan pemberontakan PKI masa itu melawan rezim kolonial. Ia malah dengan berani berkata bahwa para pemimpin PKI yang sesudah pemberontakan dipenjarakan oleh penguasa Hindia Belanda, dari dalam penjara menulis surat kepadanya di mana mereka menganjurkan untuk melanjutkan perjuangan melawan penjajah sebagai musuh PKI. Agaknya, kata Giebels, Soekarno, demi identifikasi diri dengan PKI, bersedia memnulis ulang sejarah. Lalu, pada tanggal 25 September Soebandrio mengumumkan bahwa penumpasan para kabir — kata sandi untuk para perwira yang anti komunis — sudah di ambang pintu. Arus pidato dan sambutan penuh ancaman meningkatkan ketegangan di Jakarta sampai ke titik didih. Yang menarik pula adalah bahwa Soekarno ketika sudah hampir berangkat, tiba-tiba membatalkan kunjungan ‘incognito’-nya ke Meksiko yang sudah diumumkan sebelumnya. (hal :72-73) Dan tangal 30 September malam hari presiden memberi sambutan di Istora Senayan pada kongres insinyur Indonesia. Di tengah-tengah acara ia tiba-tiba menghentikan pidatonya dan lenyap dari panggung. Hadirin khawatir kesehatan presiden tergangu lagi. Tetapi selang sepuluh menit Soekarno kembali dn memngakhiri pidatonya dengan kata-kata kiasan yang diambil dari pertempuran akhir para ksatria Pandawa melawan Kurawa, seperti dikisahkan dalam Bhartayuda, bab terakhir Mahabharata. Ini aneh, karena Soekarno dalam pidato-pidatonya hampir tidak lagi menggunakan perumpamaan-perumpamaan yang diambil dari dunia wayang. Apa yang ia ceritakan kemudian bermakna khusus bagi pendengarnya karena sekan-akan merupakan suatu ramalan dari peristiwa-peristiwa yang menyusul. Soekarno mulai, seakan-akan tibatiba mendapat wangsit, dengan berkata: “Sudah hampir pukul sebelas. Marilah saya ceritakan sebuah kisah yang diambil dari Mahabharata.” Soekarno berkisah tentang kesangsian Arjuna dalam perang Bharatayuda karena ia harus memerangi kerabatnya sendiri, kaum Kurawa, termasuk iparnya dan gurunya. Namun Kresna berhasil menggugahnya dan Kudeta Separuh Hati 95 memberinya semangat sebagai ksatria untuk berperang, kewajiban seorang ksatria. Memang benar bahwa yang berdiri di seberang adalah saudara-saudaranya sendiri, bahkan gurunya yang ia cintai. Tetapi mereka ingin menghancurkan kerajaan Pandawa. “Menyeranglah!” Kata Soekarno, “Ini juga kewajiban kalian. Jalankan tugas itu, tanpa memikirkan akibat-akibatnya.” (hal:74-75) KUDETA SEHARI Hanya dalam waktu dua puluh empat jam kudeta gagal karena improvisasi dan koordinasi yang kurang baik; belakangan ternyata bahwa sebenarnya aksi itu sudah dipersiapkan sejak berminggu-minggu sebelumnya. Ketika para konspirator diinterogasi, terungkap bahwa mereka terdiri dari sekelompok perwira yang tidak puas, dan beberapa kaki tangan gelap Aidit. Awalnya adalah rapat politbiro PKI tanggal 18 Agustus 1965. Tiga orang peserta rapat yang kemudian diinterogasi menceritakan betapa Aidit yang sedang dalam perjalanan ke Cina dipanggil pulang lebih cepat oleh Soekarno karena kesehatan presiden itu yang mundur. Diagnosis sangat mengkhawatirkan bahkan diberikan oleh para dokter Cina. Tetapi para pimpinan tentara pun mengetahui keradaan itu. Kepada rapat Aidit menyebut adanya sekelompok jenderal tidak loyal yang karena mereka sekarang tahu bahwa hidup Soekarno tidak lama lagi, merencanakan perebutan kekuasaan. Ia memeringatkan bahwa ini bisa berarti akhir partai: ”Oleh karena itu saya condong untuk mendahului mereka.” Aidit menambahkan bahwa di dalam jajaran angkatan darat ada sebuah kelompok perwira — “perwira-perwira dengan pandangan ke depan” ia menyebut mereka — yang ingin beraksi melawan para jenderal ini. Perwira-perwira ini telah mendekati dia dengan pertanyaan “bagaimana pendapat kita andaikata kita bersama-sama berusaha mendahului mereka (para jenderal itu).” (hal :117). Selanjutnya si ketua berjalan sendiri. Ia menyuruh sebuah biro rahasia yang sudah ia dirikan sejak bulan November 1964, untuk menginfiltrasi angkatan bersenjata. Dalam proses-proses pengadilan biro ini disebut dengan nama ‘Biro Khusus’. Biro ini berdiri langsung di bawah ketua partai; hanya beberapa anggota politbiro mengetahui tentang keberadaannya. Dengan dilibatknnya Biro Khusus muncul di atas panggung sebuah sosok yang misterius, Sjam. Sjam merupakan orang yang begitu misterius sehingga orang mula-mula meragukan keberadaannya. Tetapisatu setengah tahun setelah kup yang gagal, Sjam 96 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 ditahan dan setelah diinterogasi diseret ke pengadilan militer. Di sana ia menanggalkan segala kemisteriusannya. Sjam, yang nama lengkapnya adalah Kamaruzaman bin Ahmad Mubaidah, sama seperti Aidit, separuh berdarah Arab. Mereka berkenalan semasa muda mereka di Riau. Sudah beberapa tahun lamanya Sjam bekerja untuk Aidit. Analisis CIA tentang kup Gestapu membuka beberapa fakta tentang Sjam dan Biro Khusus. Sjam, koordinator biro, mempunyai dua pembantu, Pono, yang nama lengkapnya Marsudidjojo, dan Subono alias Walujo yang mengendalikan keuangan biro. Ketiga orang ini katanya telah membina kontak dengan para perwira angkatan darat Untung, Latif, Supardjo dan perwira angkatan udara Sujono. Logis klau Sjam memberi tahu ketua PKI tentang kelompok perwira yang mau mendahului para jenderal dan ingin bersekongkol dengan PKI. (hal: 119). Untung kurang memercayai Sjam dan karena itu berusaha menghubungi Aidit secara langsung tetapi melindungi Aidit dari kontak dengan sesama konspiratornya. Oleh karena Sjam selalu berkata bahwa ia berbicara atas nama Aidit, dari permulaan ia diserahi pimpinan untuk segi-segi politik dari persiapan operasi itu, sedangkan Untung mengambil pimpinan pembicaraan yang berkenaan dengan urusan-urusan militer. Interogasi orang-orang yang terlibat memberi gambaran tentanbg kegiatan para konspirator. Selama bulan September 1965 telah diadakan delapan kali pertemuan dalam rangka persiapan kup, mula-mula di rumah Latif, kemudian di rumah Sjam. Salah seorang peserta, Kaptem Wahjudi, di kemudian hari berkata bahwa ia merasa rapat yang ia hadiri itu seakan-akan suatu ramah tamah yang tidak mengikat; tidak ada yang memimpin. Apa yang terungkap dalam proses-proses pengadilan tentang pembicaraan-pembicaraan konspiratif itu adalah bahwa kurang jelas bagi para pelakunya apa yang mereka inginkan. Ketika di kemudian hari ditanya, Untung menerangkan bahwa Sjam jugalah yang menyebutkan nama para jenderal yang menjadi sasaran kup. Nama-nama tersdebut sama dengan yang disebut Aidit di hadapan Soekarno sebagai para anggota dewan penasihat Yani, ditambah dengan Jenderal Nasution. Memnurut keyakinan para konspirator, mereka ini bersama-sama merupakan dewan jenderal yang ingin menjatuhkan Soekarno. (hal:121). Yang kemudian hadir dalam pertemuan tanggal 28 September 1965 adalah konspirator terakhir dengan pangkat tertinggi, yakni Brigjen Supardjo. Supardjo memberi tahu rapat bahwa hari itu para jenderal mengadakan pembicaraan di sekolah tinggi angkatan bersenjata dan Kudeta Separuh Hati 97 memutuskan untuk melakukan penggulingan kekuasaan yang telah direncanakan itu pada tanggal 5 Oktober. Para konspirator berkesimpulan bahwa jika mereka ingin mendahului para jenderal, mereka harus bertindak cepat. Dalam rapat tangal 28 itu ditentukan bahwa tanggal operasi adalah 30 September. Atas usul Sjam aksi yang akan dijalankan diberi nama ‘Gerakan 30 September’. (hal: 121) Pada rapat esoknya, 29 September 1965, dibuatlan persiapan terakhir. Operasi dipimpin komando sentral yang disingkat Senko. Namu pada saat-saat terakhir diketahui bahwa 30 tank yang dijanjikan Pono dari kavaleri Siliwangi tidak datang. Untung sangat resah tetapi Sjam meyakinkan bahwa mereka sebenarnya sama sekali tidak membutuhkan tank kalau unit Pasopati (satu dari tiga unit yang dibentuk untuk operasi) sudah menculik para jenderal. Akhirnya disusunlah delegasi Supardjo yang akan memberi informasi kepada Soekarno di Istana Merdeka dan akan mengantarnya ke Halim agar di sana ia bisa dihadapkan dengan para jenderal yang tidak setia dan telah diculik itu. (hal:122). Seperti rapat-rapat konspirator sebelumnya, Omar Dhani juga tidak hadir dalam rapat tanggal 29. Supardjo memang telah memberitahu dia tentang ancaman kup para jenderal dan bahwa mereka harus melakukan tindakan pencegahan, namun tidak menyampaikan janji-janji kongkret yang telah disepakati. Baru tanggal 30 September siang hari Omar Dhani mendengar dari beberapa perwira angkatan darat bahwa akan ada tindakan pencegahan kup, tetapi apa persisnya mereka kurang tahu. Seperti dikatakan Omar Dhani kepada Giebels, malam harinya di rumahnya, Omar Dhani mendengar dari seorang Letnan Kolonel udara, Heru Atmodjo bahwa mereka akan menculik para jenderal dan membawanya ke Halim, tetapi ia tidak tahu apakah itu akan berlangsung malam itu atau keesokan harinya. Omar Dhani menyatakan ia kurang yakin akan operasi itu. Menuruti saran wakilnya, Omar Dhani malam itu menginap di Halim tanpa mengetahui adanya Senko, pasukan sukarelawan di Lubang Buaya dan tentang kehadiran Aidit di pangkalan itu. Akibatnya timbul kesan bahwa, kata Giebels, kup yang seakan-akan dipersiapkan dengan teliti sekali, ketika mulai dijalankan macet dalam improvisasi dan sangat kekurangan koordinasi. (hal:123). Halim menjadi pangkalan kup yang direncanakan. Para pemimpin kup menempatkan Sentral Komando (Senko) mereka mula-mula di gedung pemetaan yang terletak antara Halimdan kota. Ketika operasi mulai berjalan, kantor pusat mereka pindahkan ke rumah sersan di 98 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 pangkalan itu sendiri. Supardjo adalah perwira berpangkat paling tinggi tetapi pemimpin operasi itu adalah Letnan Kolonel Untung yang berumur 40 tahun. Unit ketiga, pasukan Pasopati ditugasi ‘menculik dan membawa ke Lubang Buaya” ketujuh jenderal angkatan darat yang berkomplot melawan presiden. Waktu ditetapkan pukul 4 dini hari. Ketujuh sasaran kesatuan penculik Pasopati adalah tempat Menteri Pertahanan Letnan Jenderal Nasution, rumah Kepala Staf Angkatan Perang Letnan Jenderal A. Yani dan lima orang dari staf yaitu Mayor Jenderal Soeprapto, Harjono dan S. Parman dan Brigadir Jenderal Soetojo dan Pandjaitan. Tak lama sebelum keberangkatan Pasopati, komandannya, Doel Arief— yang menghilang sesudah kudeta—memberi instruksi terakhir. Ia mengulang kembali perintah pertama untuk menculik para jenderal dan membawa mereka ke Lubang Buaya. Mungkin menjawab pertanyaan salah seorang pemimpin dari tujuh kelompok penyergap itu apa yang harus mereka lakukan kalau ada jenderal yang melawan, Dul Arief menambahkan sesuatu kepad instruksinya yang berakibat malapetaka besar. Tambahan kata itu adalah bahwa mereka harus membawa para jenderal ‘hidup atau mati’. Peristiwa-peristiwa sewaktu penyerbuan vila Yani di Menteng menunjukkan bagaiman penculikan itu direncanakan dan apa yang langsung tidak berjalan sesuai rencana. (hal: 82). Ternyata hanya dalam beberapa jam kudeta itu gagal. Dalam versi resmi pemerintah Soeharto, kudeta tanggal 30 September – 1 Oktober 1965 adalah sebuah kup PKI — ini juga sebabnya mengapa ia ditempeli nama ‘Gestapu’ yang mengerikan itu. Pandangan ini bisa ditemui kembali dalam sebuah versi tentang peristiwa ini yang pada tahun 1967 diterbitkan oleh ahli sejarah angkatan darat Nugroho Notosusanto dan ahli hukum militer Ismail Saleh. Pendirian ini lalu dikukuhkan dalam buku putih ‘Gerakan 30 September’ yang memakai judul kedua ‘Pemberontakan Partai Komunis Indonesia’. Kudeta dipersiapkan pada rapat Politbiro tangal 28 September 1965, perihal keterangan Aidit tentang ancaman makar dewan jenderal dan bahwa sekelompok perwira yang ‘memikir ke depan’ berusaha mengagalkannya. “Jadi awal, atau paling tidak inisiatif,dari apa yang kelak akan dinamakan kudeta Gestapu, tidak terletak di tangan PKI melainkan pada sekelompok perwira,” kata Giebels. Lalu, siapakah perwira-perwira ini? Sebuah preliminary analysis dari Universitas Cornell, yang tersangkut adalah para perwira dari divisi Diponegoro di Jawa Tengah yang merasa frustrasi karena terbatasnya peluang mereka untuk naik pangkat. Mereka ‘mencacat’ pimpinan Kudeta Separuh Hati 99 angkatan darat di Jakarta yang hidup dalam kemewahan dan korup. Di samping itu, hanya dalam daerah divisi mereka, Jawa Tengah telah didirikan dewan-dewan revolusi. Oleh karena tak adanya penerbitan hasil penyelidikan tentang latar belakang sedemikian ini, menjadi kurang jelaslah sampai sejauh mana rencana para perwira divisi Diponegoro — bersama para perwira lainnya yang membagi kritik mereka atas para jenderal — telah matang ketika PKI bergabung dengan mereka. Tentang keterlibatan PKI, “pengukuhan”-nya diperoleh dari pengadilan atas para pelaku kudeta di tahun 1966. Ini makin dipertegas lagi di tahun 1967 oleh para kader PKI yang sewaktu kudeta berada di luar negeri atau menyingkir ke luar negeri dan mencoba dengan sia-sia untuk mendirikan PKI dalam pengasingan. Para anggota PKI di luar negeri mengumumkan bahwa kudeta seharusnya dilakukan “untuk mendirikan sebuah kekuasaan nasional” yang mendahului sebuah demokrasi kerakyatan Indonesia. Beberapa pengarang tidak percaya Aidit memegang peranan di dalam persiapan maupun pelaksanaan kudeta, Karena ia telah menentukan haluan bagi partainya untuk meraih kekuasaan melalui kemenangan pemilu. Namun Aidit sendiri dalam sebuah rapat Politbiro telah memberikan motif mengapa PKI harus bergabung dengan para perwira yang tidak puas itu. Yakni, karena— menurut perkiraan—kondisi fisik Presiden Soekarno rapuh. Aidit yakin bahwa para jenderal angkatan darat, yang juga mengetahui hal ini, akan menggunakan kesempatan sebelum Soekarno wafat dan bahwa sesudah itu akan menumpas partainya. Menurut Giebels tindakan Aidit untuk bergabung dengan rencana-rencana yang kurang matang itu baginya tadinya merupakan contingency planning. Maksudnya ia ingin menggunakan peluang yang ada dari sebuah perbuatan makar militer yang berhasil oleh ‘para perwira yang mempunyai pandangan ke depan’, tanpa melepaskan haluan yang diikutinya sampai saat itu. Dengan demikian bisa dimengerti mengapa ia tidak melibatkan anggota lain dari Politbiro. Hipotesis tentang contingency planning juga memerjelas mengapa konspirasi dengan para perwira itu ia serahkan sepenuhnya kepada biro yang berada di bawahnya, yang telah ia dirikan untuk menginfiltrasi angkatan bersenjata. Bahwa peran sebagai konspirator ia serahkan kepada sosok Sjam yang misterius itu mungkin karena Sjam mempunyai pendidikan sebagai mata-mata—menurut laporan CIA, pada tahun 1962, Sjam melakukan pekerjaan intelijen di Cina, Korea Utara dan Vietnam Utara. Pertanyaan yang tidak terjawab ialah apakah Aidit 100 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 tidak sadar bahwa Biro Khusus sebenarnya tidak ada artinya. Aidit mungkin tidak mencampuri persiapan-persiapan militernya. Oleh karena itu ia mungkin tidak tahu bahwa persiapan ini tidak semantap seperti telah digambarkan Sjam. (hal: 146). Bahwa Nasution ditambahkan pada daftar jenderal yang diculik juga menujukkan keterlibatan Aidit. Nasution adalah musuh PKI yang paling disegani dan ditakuti. Dalam prosesnya Untung membenarkan bahwa bawahan Aidit, Sjam, mengusulkan nama para jenderal yang harus diculik. Pengumuman didirikannya sebuah Dewan Revolusi, berasal dari PKI. Anggota Politbiro Sudisman mengungkapkan hal ini dalam pengadilannya. Dewan ini bertugas membentuk sebuah kabinet baru. Dalam jalan pikiran Politbiro , kabinet ini harus membuka jalan untuk sebuah demokrasi kerakyatan (yang komunistis), seperti dikemukakan para komunis Indonesia dalam pengasingan. Tetapi PKI sendiri hanya memiliki wakil sedikit sekali di Dewan Revolusi ini. Sebuah dokumen berjudul ‘Intelijen di Tokyo’ (perihal kemungkinan sebuah komplot anti komunis angkatan darat Indonesia) dan diduga kuat berasal dari kalangan angkatan darat. Dokumen Tokyo memberi penjelasan tentang rencana-rencana PKI segera setelah Presiden Soekarno turun panggung—mungkin sekali ini dokumen yang diperlihatkan Chaerul Saleh kepada Aidit sewaktu rapat di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 . Ini yang membuatnya sangat marah; dokumen ini diterima Chaerul Saleh dari Nasution dan konon berasal dari dinas intelijen angkatan darat. Strategi PKI adalah pada waktu itu tidak mencari konflik dengan angkatan darat melainkan mencoba mendirikan pemerintahan peralihan. Pemerintahan peralihan ini harus berbentuk kabinet Nasakom yang dipimpin seseorang yang mempunyai wibawa nasional, yang harus menjadi awal untuk sebuah perebutan kekuasaan oleh kaum komunis. (hal:148) Laporan ini memberi penjelasan tentang maksud tujuan Politbiro dan konstruksi aneh Dewan revolusi. Dewan ini harus membentuk sebuah kabinet peralihan, mungkin di bawah Ali Sastroamidjojo—yang menurut dokumen itu karena ‘congkak dan malas’ ia mudah dimanipulasi—yang harus meratakan jalan menuju demokrasi kerakyatan. Tentang posisi presiden selama massa peralihan itu, dokumen jelas tidak berkata apaapa, karena strategi ini berpangkal pada sebuah situasi di mana Soekarno telah lenyap dari panggung politik Ketika Aidit menanggapi rencanarencana para perwira yang tidak puas, sebuah konflik terbuka dengan Kudeta Separuh Hati 101 angkatan darat—atau paling tidak dengan pimpinannya—yang sesuai strategi PKI sebenarnya harus ia hindarkan, tidak terlakkan lagi. Lagipula, sebagai akibat dari mundurnya kesehatan fisik presiden dan ancaman perebutan kekuasaan oleh para jenderal, pematangan taktis itu harus berlangsung lebih cepat. Tetapi berbeda dengan yang disangka dalam dokumen Tokyo itu, Soekarno tidak lenyap dari panggung politik. Agaknya dengan mengungkapkan adanya ancaman perebutan kekuasaan oleh sebuah dewan jenderal, Aidit telah mencoba melibatkan presiden dalam sebuh strategi baru. (hal: 149) Kalau taktik tidak sesuai dengan strategi asalnya, pelaksanaannya hanya improvisasi sekadarnya. Seakan-akan Aidit membiarkan Sjam berbuat sesuka hatinya. Sepanjang hari ketika ia berada di Halim, pemimpin PKI ini menunjukkan sikap pasif yang mengherankan. Keterangan masuk akal satu-satunya ialah bahwa ia menantikan pidato radio di mana Soekarno akan secara terbuka menyatakan dukungannya kepada Gerakan 30 September. Bagi Aidit ini pasti merupakan tanda untuk menyuruh partainya, yang sama pasifnya pada tanggal 1 Oktober, untuk turun ke jalan. Mungkin karena mengharapkan Soekarno akan mendukung kup itu, Aidit menyuruh sebagian besar anggota Politbiro untuk pergi ke daerah dengan pesan untuk mendengarkan radio agar tahu kapan mereka harus mulai beraksi—seperti berhasil digali oleh Notosusanto. Tetapi pidato di dalam mana Soekarno memberi dukungannya kepada Gerakan 30 September tidak kunjung datang dan para anggota Politbiro menunggu dengan sia-sia. Pelampiasan rasa amarah tanpa daya Aidit ketika sedang dalam penerbangan menuju Semarang mungkin sekali merupakan suatu ungkapan rasa kecewa melihat kenyataan bahwa presiden Soekarno mengkhianatinya. Selama penerbangan ini — ia mencopot jasnya dan menginjak-injaknya— mungkin menjadi jelas baginya bahwa ia kalah bertaruh ketika mendukung rencana penculikan perwira yang naas itu. Sejak saat ia turun pesawat di Semarang Aidit mencoba untuk melepaskan PKI dan dirinya dari kudeta tersebut. Namun sudah terlambat. Pasukan sukarelawan, kehadirannya di Halim hari itu dan kepala berita yang sial di Harian Rakjat pada saat itu menjadi petunjuk keterlibatan kaum komunis dalam kudeta yang gagal itu. Banyak petunjuk baru diperoleh dari proses pengadilan orang-orang komunis Indonesia yang melarikan diri. (hal:150). Penuntutnya yang paling utama akhirnya bukan Soeharto melainkan 102 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 sesama anggota politbiro yang bernama Sudisman. Selama proses pengadilannya Sudisman meninggalkan kesan mendalam karena ia sebagai satu-satunya pemimpin PKI yang masih tesisa di Indonesia.Ia mau bertanggung jawab untuk apa yang harus diderita oleh orang-orang komunis akibat kup yang gagal itu. “Semua ini terjadi,” katanya dalam kesaksiannya, “karena kawan Aidit mendasarkan perkiraannya pada laporan-laporan yang dikeluarkan oleh Biro Khusus.” Ia melontarkan ke arah Aidit salah satu tuduhan terberat yang bisa dilontarkan dari seorang komunis kepada yang lain: ia menyebutnya sebagai ‘petualang revolusioner’. Orang-orang PKI yang hidup dalam pengasingan menambahkan tuduhan yang sama beratnya . Oleh karena Aidit lebih mementingkan Nasakom Soekarno daripada perjuangan golongan, mereka menyebut mantan pemimpin mereka seorang ‘revisionis’. (hal: 150). KETERLIBATAN SOEKARNO Pernyataan Soekarno bahwa ia dikejutkan oleh kudeta dan bahwa ia hanya menjadi penonton pasif kejadian-kejadian itu, disangkal oleh sejumlah besar fakta dan petunjuk. Indikasi pertama ialah bahwa tidak lama sebelum kup, tiba-tiba ia membatalkan perjalanannya ke Meksiko yang sudah direncanakan sebelumnya. Selanjutnya masih ada pembicaraan antara Soekarno dan Omar Dhani pada tanggal 29 September 1965 di kamar tidurnya ketika panglima angkatan udara itu berkata kepadanya bahwa perebutan kekuasan para jenderal sudah di ambang pintu. Tetapi bahwa sekelompok perwira akan mengambil tindakan pencegahan. Hari berikutnya, 30 September, Soekarno masih mempunyai pembicaraan lain yang sangat memberatkannya, yaitu pembicaraan dengan mantan ajudannya Sugandhi. Sugandhi mengukuhkan pembicaraan ini di bawah sumpah. Menurut keterangannya sendiri Sugandhi di dalam bulan September 1965 didekati, mula-mula oleh anggota Politbiro PKI Sudisman dan sesudah itu oleh Aidit, untuk bergabung dengan mereka. Pada tangal 30 ia menceritakan hal itu kepada Soekarno, memeringatkannya bahw PKI sedang memersiapkan sebuah kup. Soekarno menuduh Sugandhi ‘fobia komunis’ dan berkata: “Belum tahukah kau tentang dewan jenderal? Kau terlalu banyak mendengar kata-kata Nasution.” (hal:155), Soeharto pun mendapat petunjuk serupa. Dalam brifingnya, ia malah mengemukakan—mungkin berdasar informasi yang diperolehnya sendiri Kudeta Separuh Hati 103 dari pengadilan Untung—tentang ‘lampu hijau’ yang diberikan Soekarno kepada Untung malam itu, yang benar-benar sejalan dengan metafora dari Mahabharata yang dijalin oleh Soekarno dalam pidato yang ia berikan malam itu di hadapan para insinyur.Waktu itu ia beercerita bagaimana para Pandawa telah menghajar saudara misan yang memusuhi mereka, para Kurawa. ( hal:155). Juga perilaku Soekarno pada tanggal 1 Oktober menunjukkan, kata Giebels, ia terlibat dalam kup itu. Berita radio pertama Gerakan 30 September, yang direkam beberapa jam sebelum disiarkan, menyatakan bahwa presiden pada saat berita itu disiarkan, berada dalam perlindungannya. Di sini pun ada yang tidak sesuai dengan rencana: waktu itu Soekarno berada dalam perjalanan menuju rumah Haryati. Namun setelah tiba di sana, ia tidak ragu-ragu untuk bergabung dengan para pelaku kup di Halim, di mana—dan inipun sebuah petunjuk bagi keterlibatan Soekarno—telah disiapkan sebuah rumah dinas tentara untuk ditempatinya. Soekarno lambat laun meragukan kesudahan kup, walaupun demikian ia memilih untuk tetap tingal di Halim daripada menuju ke Istana Merdeka untuk meminta pelindungan Kostrad. (hal:156). Sesudah kup gagal, Soekarno untuk waktu yang cukup lama menolak untuk memetik konsekuensinya. Ia memertahankan Pranoto sebagai Pjs. Panglima Angkatan Darat (A Yani), melindungi Omar Dhani dan Supardjo dan tetap berhubungan dengan pimpinan PKI. Bukannya menyuruh sebuah pemeriksaan yuridis, ia malah meremehkan pembunuhan para jenderal sebagai ‘riak dalam samudra’—mungkin dalam pengharapan bahwa halaman hitam dalam sejarah ini bisa ditutup secepat mungkin. Bahwa ia akhirnya sadar bahwa taruhannya salah dan perbandingan kekuatan yang menjadi dasar Demokrasi Terpimpinnya telah berubah dengan radikal, semuanya sudah terlambat. (hal: 156) Soekarno mencari perlindungan kepada Gerakan 30 September melawan Dewan Jenderal yang menurut keyakinannya sedang merencanakan sebuah makar. Belakangan ternyata sama sekali tak ada rencana untuk menggulingkan pemerintah pada hari Angkatan Bersenjata 1965. Namun pihak pimpinan angkatan bisa dikatakan sangat lalai andai kata mereka sampai tidak berantisipasi menghadapi situasi yang akan berkembang kalau Soekarno lenyap dari panggung politik—sama seperti dilakukan oleh Politbiro PKI. Sebuah telegram CIA yang terbuka untuk umum bertanggal awal tahun 1965 (yang menjadi bagian dari berkas 104 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 Indonesia file di perpustakaan L.B. Johnson Library) menunjukkan bahwa paling tidak sebagian dari para jenderal memang benar memersiapkan diri untuk masa pasca-Soekarno dan memertimbangkan untuk meraih kekuasaan, namun tanpa mencederai Soekarno sama sekali dan tanpa ingin menurunkannya sebagai kepala negara konstitusional: Dokumen-dokumen seperti ini menambah gencarnya spekulasi tentang peranan CIA di belakang layar dalam memersiapkan kup Gestapu. Memang hampir tidak diragukan bahwa para pembuat kebijakan Amerika (dan juga Inggris) sudah beberapa waktu lamanya menganggap sebuah perebutan kekuasaan militer sebagai jalan satusatunya untuk sesudah era Soekarno, menghindarkan perebutan kekuasan oleh kaum komunis. Tetapi menurut John Subritsky yang baru-baru ini membuat kajian mendalam tentang aktivitias-aktivitas dinas rahasia Amerika dan Inggris di Indonesia, tidak ada petunjuk ‘Surat Gilchrist’ pada bulan Mei 1965 meyakinkan Soekarno bahwa para jenderal berniat untuk, dengan bantuan CIA, menggeser dia—dan mungkin menghabisinya. Aidit menyebut nama-nama mereka. Soekarno dengan vokal meneyebarkan rencana para jenderal angkatan darat. Ia malah menjadi terobsesi karenanya sampai Ibu Nasution pun ia anggap ikut bersekongkol. Dari laporan Bambang Widjanarko diperoleh kejelasan bahwa Soekarno dengan terbuka membuat rasa takutnya dengan orang-orang di sekelilingnya mengenai ancaman kup jenderal dan bahwa ia mendesak agar mereka melakukan ‘sesuatu’ , dan juga bahwa beberapa waktu sebelum tanggal 1 Oktober ia mengetahui bahwa jenderal-jenderal yang tidak loyal itu akan ‘ditahan’. (hal:160). Bahwa Letnan Kolonel Untung mengambil pimpinan militer dari tindakan-tindakan melawan apa yang disangka kup para jenderal itu, tidak mengherankan. Ia berasal dari sebuah sarang perwira yang tidak puas di Yogyakarta, dan ia diberi tahu Jenderal Saboer, komandan resimennya, bahwa presiden ingin terlepas dari jenderal-jenderal yang tidak setia itu. Bola menggelinding terus kepada Untung dan kawankawan berhubungan dengan wakil Aidit, Sjam, yang bisa membuka nama para jenderal yang tidak loyal itu.Di kalangan para konspirator lalu timbul ide penculikan. Penculikan adalah suatu cara intimidasi yang digunakan para pemuda dalam masa revolusi 1945-1950 yang romantis itu, yang mereka sebut ‘aksi daulat’. Aksi ini mempunyai ciri yang bisa disebut ‘penahanan di luar proses hukum’. (hal: 160). Pertanyaan mendasar ialah apa yang menjadi tujuan penculikan Kudeta Separuh Hati 105 yang merupakan awal kup Gestapu: pembunuhan atau penahanan? Dan andaikata jawabnya ialah pembunuhan, siapa yang memerintahkannya? Penilai Soekarno yang paling kritis pun, Nasution, membuang jauh asumsi bahwa Soekarno memerintahkan untuk pembunuhan itu. “Konklusi saya,’ kata Giebels, “ialah bahwa pembunuhan itu merupakan hasil improvisasi naas yang menandai pelaksanaan kup itu, dan panik yang timbul oleh karenanya.” (hal: 160-161) Baik Supardjo maupun Untung selama proses pengadilan mereka mengaku bertanggung jawab atas kematian para jenderal, tetapi sekaligus menyatakan bukan mereka yang mengeluarkan perintah. Menurut laporan CIA yang memberi perintah kepada kesatuan Pringgodani untuk membunuh para tawanan ialah Sjam. Sjam sendiri pada waktu proses pengadilannya berkata bahwa mereka kehilangan akal. KUP DAN KONTRA KUP Penculikan para jenderal sendiri bukanlah kup, dan pembunuhannya juga bukan. Sebuah kup, dalam arti kata perebutan kekuasaan, adalah didirikannya Dewan Revolusi. Peraturan No. 1 Gerakan 30 September menggeser Kabinet Dwikora Soekarno dan mengumumkan bahwa Dewan Revolusi akan mendirikan sebuah kabinet baru. Seperti tampak dari Dokumen Tokyo maksudnya ialah agar kabinet ini berfungsi sebagai kabinet peralihan menuju sebuah demokrasi kerakyatan (komunis). Apakah Soekarno sebelum kup sudah diberi tahu tentang rencana Dewan Revolusi yang adalah hasil karangan PKI? Omar Dhani mengatakan kepada Giebels bahwa Soekarno, pada saat nama-nama para anggota dewan diumumkan melalui radio, membuka di atas meja lipatan kertas berisi daftar nama yang sebelum itu ia terima dari Jenderal Saboer, dan mengikuti nama-nama yang dibacakan dengan jarinya. Sesudah pembacaan selesai, ia hanya berkata bahwa cuma ada tiga orang anggota PKI yang tercantum pada daftar itu—dari nada suaranya Omar Dhani tidak bisa menarik kesimpulan apakah itu meresahkan atau malah menenangkan hatinya. (hal: 164) Soekarno tidak mendukung sebuah republik rakyat komunis yang sesuai rencana PKI menjadi tujuan akhir sebuah pemerintahan peralihan Nasakom. Karena bukankah dengan demikian impiannya tentang sebuah kerja sama politik antara tiga aliran ideologis utama dalam negaranya akan berakhir, hal yang juga akan terjadi kalau PKI jatuh. “Konklusi saya,” kata Giebels, “ialah bahwa keterlibatan Soekarno 106 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 terbatas pada mengetahui rencana penculikan para jenderal yang tidak loyal yang menghalangi konsep Nasakomnya. Mengenai apa yang harus dilakukan sesudah itu, ada beberapa opsi yang bisa dipilih, berkisar dari penahanan sampai pengangkatan sebagai duta besar di sebuah negara yang letaknya sejauh mungkin dari Indonesia. Semua yang terjadi pada tangal 1 Oktober 1965 melampaui aksi penculikan itu sendiri, mengagetkannya. Didudukinya lapangan Merdeka di pagi hari ketika ia diantar ke Istana dari Halim, merupakan kejutan pertama. Pembunuhan para jenderal lebih meresahkan lagi. Hal ini pasti diberitahukan oleh Jenderal Supardjo pagi hari itu, sebab kalau tidak, tidak bisa dimengerti mengapa ia memberi perintah untuk ‘menghetikan pertumpahan darah’. (hal:164-165) Bukannya mendukung Gerakan 30 September, seperti diharapkan oleh para pelaku kup, sesudah pengumuman Dewan Revolusi yang sama sekali tidak menyebut namanya, presiden malah makin menjauhkan diri. Tanpa melibatkan Senko ia menyuruh Jenderal Saboer mengumumkan melalui radio bahwa dia dan bukan Untung atau siap saja, adalah kepala negara, dan mengimbau Jenderal Supardjo untuk mengakhiri aktivitasakrtivitas dan siaran-siaran radio Gerakan 30 September. Walaupun Soekarno berusaha menegakkan wibawanya, dengan berjalannya waktu hari itu makin jelas baginya bahwa ia tidak menguasai keadaan. ( hal:165) Bisa dikatakan kontra kup mulai berjalan ketika Soeharto menolak untuk memberi izin kepada orang-orang yang dipanggil Soekarno untuk menghadap kepadanya di Halim. Namun Soeharto membela diri dengan argumen bahwa pada tangal 1 Oktober itu ia tidak tahu apakah presiden bebas atau menjadi tahanan Gerakan 30 September. Sebuah awal yang jelas dari kontra kup itu ialah rapat di kamar kerja Soekarno di Istana Bogor, sehari sesudah kup yang gagal. Dalam rapat ini Jenderal Soeharto, ternyata tidak bersedia melepaskan posisi yang telah berhasil ia raih sehari sebelumnya. Presiden tidak bisa berbuat lain kecuali meneguhkannya dalam tugas yang dipangku jenderal atas inisiatifnya sendiri: memulihkan ketertiban dan keamanan Soeharto menggunakan kesempatan ini untuk mendirikan sebuah pusat kekuasaan, Kopkamtib, yang tidak hanya memberinya wewenang militer tetapi juga wewenang sipil. Soeharto hanya membutuhkan waktu dua minggu untuk menggeser Pranoto. Sesudah itu ia sendiri mengambil alih dari Soekarno fungsi sebagai Kepala Staf Angkatan Darat dan membiarkan dirinya dilantik sebagai Menteri Pertahanan, menggantikan Nasution. (hal: 166). Kudeta Separuh Hati 107 PERAN SOEHARTO Cerita yang masih tetap beredar ialah bahwa Soeharto dari awal mula dengan sangat licik menggunakan kup Gestapu untuk bisa menjadi presiden. Wertheim sudah dalam tahap awal mengembangkan teori ini sesudah ia, begitu keterangannya sendiri, seperti detektif terkenal Hercule Poirot menggabungkan semua pecahan teka-teki yang harus mendukung teori ini. Teori ini dihidupkan kembali oleh sebuah buku yang diterbitkan oleh Latief, salah seorang pelaku utama kup setelah pada tahun 2000 dibebaskan dari penjara, dengan judul yang cukup jelas: Keterlibatan Soeharto dalam kup Gestapu. Di dalam bulu ini Latief menunjuk Soeharto sebagai otak jahat di belakang kup, termasuk pembunuhan para jenderal. Banyak orang Indonesia saat ini yakin benar bahwa Presiden Soeharto yang telah jatuh dan dicela itu, yang memang sudah dianggap sebagai sumber segala kejahatan, benar memainkan peranan yang rendah ini. (Di samping Latief, Soebandrio dan Omar Dhani pun yakin tentang hal ini, bahkan juga Ruslan Abdulgani yang biasanya berkepala dingin). SUGESTI LATIF MACET Walaupun judul bukunya menarik, Latief macet dalam sugestinya. Giebels bertanya apakah ia punya bukti. Latief, yang karena gangguan pada pembuluh otak sulit berbicara, dengan perantaraan putrinya sebagai juru bahasanya, menyatakan hal berikut untuk membuktikan kepadanya (Giebels) keterlibatan Soeharto dalam kup yang gagal itu. Pada tanggal 28 September, dua hari sebelum kup yang gagal, ia memeringatkan Soeharto dalam kehadiran keluarga—masing-masing istri hadir, juga sepasang suamiistri lain—bahwa bakal ada kup jenderal. Soeharto tidak percaya tuduhan yang dialamatkan kepada para mitranya. Walaupun demikian kata Latief, ia mendapat kesan bahwa Soeharto memihak mereka, dan ia menyampaikan kesannya kepada teman-teman konspiratornya. Oleh karena itu malam sebelum kup, pada tanggal 30 September, ia disuruh menemui Soeharto untuk memberitahukan rencana mereka. Berita ini disampaikan Latief kepada Soeharto di rumah sakit militer Gatot Subroto di mana Soeharto sedang menjaga putranya yang diopname di rumah sakit itu karena kejatuhan panci berisi sup panas. Latief berkata bahwa selama pertemuan di rumah sakit itu ia bercerita kepada Soeharto bahwa mereka akan menculik jenderal-jenderal yang tidak loyal. Sang jenderal menanggapinya dengan pertanyaan siapa yang 108 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 memegang pimpinan. Latief menjawab bahwa Untung yang memegang pimpinan, dan Soeharto hanya mengangguk. Itulah akhir pembicaraan mereka. (hal:168) Soeharto tidak menyangkal bahwa ia bertemu dengan Latief di rumah sakit. Namun versi yang ia berikan bermacam-macam. Kepada Arnold Brackman ia berkata bahwa memang benar Latief berbicara dengannya, yaitu menanyakan keadaan putranya. Tetapi di dalam memoarnya Soeharto berkata bahwa bahwa ia hanya melihat Latief berjalan melewati jendela ruangan tempat putranya terbaring. Jelas, kata Goiebels, Soeharto merasa ‘kisruh” atas pertemuannya dengan Latief malam sebelum kup. Di lain pihak dalam uraian Latief terkandung sesuatu yang bertentangan yang membuat hal ini makin kurang jelas. Ia berkata bahwa Soeharto mengentengkan prasangka yang ada terhadap para jenderal. Walau demikian para konspirator menganggap jenderal ini sebagai sekutu, mereka malah memberi tahukan rencana penculikan mereka kepadanya. Giebels berasumsi bahwa dalam pertemuan kedua lelaki di rumah sakit itu, telah terjadi komunikasi verbal dan nonverbal, seperti digambarkan Latief. Maka yang menjadi soal di sini adalah bagaimana menafsirkan anggukan kepala Soeharto ketika Latief menceritakan kepadanya bahwa Untung akan memimpin penculikan. (hal:169). Orang bisa beranggapan bahwa Panglima Kostrad ini menganggap sebuah penculikan—yang lalu akan disusul oleh sebuah musyawarah di hadapan Presiden Soekarno, yang menurut Harold Crouch adalah kirakira hasil yang bisa diharapkan—melihat perspektif untuk karirnya sendiri, lebih-lebih karena si pelaksana, mantan bawahannya Letnan Kolonel Untung, tidak bisa dianggap sebagai saingan. Jenderal-jenderal Indonesia, kata Giebels, tidak segan-segan mencari promosi dengan merugikan koleganya—Jenderal Yani, yang dengan demikian meraih posisi Nasution, menjadi contoh soal. “Jadi kita,” kata Giebels, “harus mempunyai jiwa yang sangat spekulatif untuk menafsirkan anggukan kepala Soeharto sebagai keputusan untuk menyuruh membunuh tujuh orang koleganya, apalagi menganggapnya sebagai bukti bahwa ia yang merencanakan sebuah kudeta yang harus gagal aga ria bisa menjadi presiden Indonesia.” Bahwa Soeharto belakangan merasa kisruh dengan pertemuan di rumah sakit itu dan bahwa ia oleh karena itu, tanpa mengingkarinya, menceritakannya sedikit lain, bisa dimengerti. Dengan pertemuan itu, dilihat dari segi informasi, ia jauh lebih maju daripada Kudeta Separuh Hati 109 jenderal-jenderal lain. Ketika pagi hari tanggal 1 Oktober mendengar tentang adanya tembakan di rumah Yani dan tak lama sesudah itu melihat pasukan-pasukan yang tidak dikenal di lapangan Merdeka, ia langsung bisa mengira bahwa ini ada hubungannya dengan penculikan yang telah diberitahukan itu,tetapi juga ada yang tidak berjalan menurut rencana. Oleh karena ituia langsung bisa beraksi. Orang berkata tentang Soeharto bahwa ia tidak takut untuk membungkam para saksi yang bisa menyusahkan dia, Yang disebut sebagai contoh adalah Aidit, yang katanya ditembak di tempat atas perintah Soeharto—’ditembak ketika melarikan diri’—begitu kata Soeharto dalam otobiografinya. Kalau Soeharto dengan memerlakukan saksi-saksi yang membahayakan dirinya dengan demikian kejamnya, maka tidak masuk akal bahwa ia memberi grasi kepada Latief sesudah yang terakhir ini divonis hukuman mati, sehingga 35 tahun kemudian bisa mengeluarkan tuduhan-tuduhan yang begitu menghancurkan nama Soeharto. (hal: 169-170). Pembalasan dendam atas kematian para jenderal menyebabkan terjadinya sebuah pembantaian massal di seluruh Indonesia, yang di kawasan Asia hanya dikalahkan oleh pembanataian yang dilakukan Pol Pot di Kamboja. Para pemimpin militer Orde Baru mengikat janji dengan para pemimpin mahasiswa yang mengorganisasi massa melawan Orde Lama. Sesudah komunisme dilenyapkan, demonstrasi-demonstrasi itu ditujukan kepada Seokarno pribadi. Dengan putus asa ia mencoba memulihkan wewenangnya yang sesudah kudeta Gestapu sangat tercemar itu. Oleh Soeharto dan kekuatan-kekuatan di belakangnya Soekarno makin terdesak dalam pengasingan. Ia dihalang-halangi hingga tidak bisa memobilisasi pengikut-pengikutnya di antara rakyat jelata yang masih tetap setia kepadanya. Dengan perlahan tetapi pasti Soekarno kehilangan wewenangnya yang menjadi bagian dari kedudukannya sebagai presiden. (hal: 172). Giebels dalam buku menempatkan diri lebih sebagai pemotret, berdiri di tengah dan hanya menyodorkan data, menyambung data, tanpa harus menyimpulkan lebih jauh. Terserah kepada pembaca untuk menarik kesimpulan masing-masing. Buku ini, akan sangat berarti sebagai rujukan dalam wacana yang disebut pembantaian yang ditutup-tutupi itu. Semua berperan Dalam bukunya Giebels tampak memberi porsi kurang lebih sama rata kepada pihak-pihak yang terlibat di dalam peritiwa fatal di dinihari 110 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 30 September – 1 Oktober 1965 itu. PKI memang berniat mengambil alih kekuasaan di Indonesia. Banyak kali disebut-sebut betapa PKI tidak menghendaki kudeta berdarah, sebab perebutan kekuasaan itu hanya sasaranantara untuk nantinya dibangun sebuah pemerintahan demokrasi rakyat. Tetapisebenar nya PKI menghalalkan saja segala cara pengambilalihan itu. Kalau memang bisa tanpa pertumpahan darah, baik saja. tetapi kalau terpaksa dengan jalan berdarah, itu pun baik-baik saja. Melalui persekongkolannya dengan RR Cina — setelah berpalingdari Rusia — PKI sampai mengatur pengiriman senjata dari RRC untuk memersenjatai Pasukan Ke lima, yakni barisan tani dan buruh. Mereka direncanakan akan bahkan mengendalikan kesatuan-kesatuan angkatan bersenjata Indonesia. Dan senjata-senjata itu memang benar-benar dikirim dan disebarkan di kalangan Pemuda Rakyat, Gerwani dan lainlain sewaktu persiapan dilakukan di kompleks Halim Perdanakusuma pada 30 September malam. Tetapi gelagat kegagalan sudah tampak ketika tank-tank yang dijanjikan aka didatangkan dari Divisi Siliwangi tak menampakkan diri. Para pemimpin PKI merasa betapa kesehatan Presiden Soekarno yang memburuk—bahkan nyaris fatal menurut para dokter Cina yang didatangkan untuk merawatnya — mengharuskan mereka mendahului ‘Dewan Jenderal’ yang telah mengetahui informasi kesehatan presiden dan berencana mengambil alih kekuasaan juga. Namun untuk melakukan kudeta sendirian, PKI tak memiliki sarana yang memadai untuk menghadapi ‘Dewan Jenderal’ yang pasti memiliki anak buah dan senjata sangat mencukupi. Tetapi upayanya mengatur operasi bersama ‘para perwira yang berpandangan kedepan’ tak berjalan mulus juga. Sampai tingkat tertentu memang para perwira yang berasal dari Jawa Tengah bersedia menempatkan diri mereka di bawah komando PKI, dalam hal ini ketua pengelola Biro Khusus, Sjam (Kamarusaman). Namun sebenarnya motivasi mereka berlatar belakang bukan politik, yakni, ketidakpuasan mereka melihat para senior mereka di Jakarta hidup dalam kemewahan dan korup, sementara peluang mereka untuk naik pangkat senantiasa terhambat. Akibatnya, dalam kenyataan mereka seperti dieksploitasi dan dimanipulasi oleh PKI lebih untuk kepentingan partai komunis itu. Seandainyapun perwira-perwira muda itu ‘kebagian jatah’ ya itu rezeki merekalah. Satuan-satuan dari Jawa Tegah dan Jawa Timur yang didatangkan ke Jakarta semula lebih dimaksudkan sebagai peserta peringatan Hari Angkatan Bersenjata dan dimanfaatkan untuk tujuan Kudeta Separuh Hati 111 kudeta. Tetapi seperti tampak dalam kenyataan yang terjadi, koordinasi para pelaku kudeta tidak berjalan dengan akibat tentara-tentara yang ditugasi menjaga kawasan Medan Merdeka malah kelaparan dan meminta makan kepada Kostrad yang berada di bawah Komando Mayjen Soeharto. Yang paling fatal ternyata adalah pembunuhan para jenderal, tak tidak berjalan menuruti skenario awal. Para jenderal itu sebenarnya hanya diharuskan diculik untuk dihadapkan kepada Presiden Soekarno atas sikap ‘mbalelo’ mereka. Sanksi yang mereka terima paling adalah penugasan sebagai, antara lain, dutabesar di negara yang jauh, sejauh mungkin,dari Indonesia. Tetapi tidak dibunuh. Kekeliruan terjadi diperkirakan pada saat-saat terakhir ketika kesatuan Pasopati diberi taklimat oleh komandan Dul Arief. Dalambuku Giebels disebutkan, barangkali, menjawab pertanyaan “kalau mereka melawan bagaimana”. Nah, di situ tampaknya muncul kata-kata “bawa mereka, hidup atau mati’ — Doel Arif sendiri menghilang tak tentu rimbanya setelah kudeta. Dari situlah peristiwa bergulir cepat sekali dan berakibat fatal bagi PKI sendiri. Pembunuhan atas jenderal-jenderal itu merupakan bumerang belaka. Kudeta itu hanya berlangsung sekitar tujuh jam namun pembalasannya menghabisi PKI ‘sampai ke akar-akarnya’ tanpa hak hidup kembali selamanya di Indonesia dan persoalannya sampai kini belum kunjung tuntas. Aidit sendiri dicap sebagai ‘revisionis’ oleh bekas anak buahnya kala persidangan berlangsung. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang meniru Afrika Selatan, masih harus bekerja keras merukunkan pandangan-pandangan yang masih bersilang selisih mengenai bagaimana sikap yang sebaiknya diambil, apakah seperti Afrika Selatan yang sepenuhnya ‘lupakan masa lalu yang pahit’ dan tatap masa depan bersama atau bagaimana. Dengan begitu, kerukunan bermakna tidak cuma sepihak. Giebels pun tak sependapat kalau Soekarno hanya merupakan penonton pasif dari peristiwa-peristiwa yang berlangsung. Dalam banyak kesepatan ia seperti mengidentikkan diri dengan PKI, terlebih melalui obsesinya untuk menegakkan negara Nasakom yang merupakan paduan antara nasionalisme, agama dan komunisme. Degan demikian ia “memarahi’ mereka yang dipandangnya tidak revolusioner seperti angkatan darat yang tak mau berbaik-baik dengan PKI — karena kalau PKI sampai berkuasa kedudukannya setara dengan kelompok nasionalis dan agama dalam kabinet Nasakomnya Soekarno; sementara itu 112 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 kecondongan PKI ke arah RR Cina hanya akan memberi jalan masuk kepada RRC untuk mendesakkan kemauannya ke negara-negara Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Bahkan tamsil Soekarno di tanggal 30 September malam, tentang Perang Baratayudha menempatkan PKI sebagai Pandawa — yang dalam epos itu menang atas lawannya — diberikan Soekarno setelah ia mendapat bisikan dari Letkol Untung, diperkirakan gerakan terhadap ‘Dewan Jenderal’ segera akan dilancarkan. Demi Nasakomnya dan dengan demikian ia selalu berang terhadap sikap ‘komunisto fobi’ terlihat dari percakapnnya dengan ajudannya, Sugandhi, yang memberi tahu tentang rencana kudeta komunis dan sangkalannya tentang keberadaan Dewan Jenderal. Soekarno juga tidak menyembunyikan ketakutannya akan para jenderal pembangkang yang tak mustahil ‘menghabisinya’ walau dalam salah satu informasi dari CIA disebutkan betapa para jenderal pun sebenarnya berminat akan mengambil alih kekuasaan tetapi tanpa menyingkirkan Soekarno—yang lalu menyebabkan tersebarnya isu tentang keterlibatan asing di dalam hal ihwal upaya perebutan kekuasaan tanggal 30 September yang disingkat Gestapu. Infiltrasi memang dilakukan oleh dinas rahasia Ingris sudah sejak konfrontasi berlangsung. Tetapi Soekarno sendiri tidak setuju dengan niat PKI membantu republik rakyat. Mayjen Soeharto yang memimpin tindakan kontra kudeta selalu ‘mikul duwur mendem jero’, suatu sikap yang menghormati Soekarno, tetapi — karena Soekarno tetap tak mau membubarkan PKI, dengan alasan gengsi, tetapi sebenarnya juga karena ia tak mau melepaskan gagasan Nasakomnya — dia pulalah yang menetapkan PKI sebagai organisasi terlarang. Satu hal yang merupakan ganjalan sampai sekarang ialah ‘anggukan’-nya kala Latief memberi tahunya tentang rencana penculikan para jenderal. Kesan yang diperoleh Latief adalah, Soeharto memihak kepada mereka. Tetapi sebelumnya, ketika dalam pertemuan keluarga Latief memberi tahu Soeharto tentang ‘kudeta para jenderal’, Soeharto menyatakan ketidakpercayaannya. Soeharto memang dituduh ‘tidak kenal ampun’ terutama berkait dengan penembakan Aidit. Namunmengapa ia memberi grasi kepada Latief yang 35 tahun kemudian melancarkan tuduhan yang juga ‘tidak kenal ampun’ kepadanya dengan menuduhnya sebagai dalang Gestapu? Giebels tampak memberi porsi kepada semuanya, ya PKI, ya perwiraperwira yang frustrasi, ya Soekarno, ya para jenderal dalam hal ihwal Kudeta Separuh Hati 113 kudeta 30 September – Oktober 1965. Titik pusat awalnya adalah kesehatan Soekarno yang demikian parah sehingga presiden itu dinilai sudah tak ada harapan lagi. Tetapi ia sembuh bahwa hidup sampai tahun 1970, walau ia harus mengakhiri hidupnya secara tidak nyaman. Obsesinya akan Nasakom membuatnya dekat kepada kaum komunis, tetapi ketika ia diberi tahu tentang pembunuhan para jenderal, ia kaget dan meminta supaya pertumpahan darah dihentikan. Parahnya, ia menganggap pembunuhan para jenderal sebagai ‘riakdi lautan luas’ belaka. Di saat-saat kaum komunis menunggu kabar mengenai keikutsertaannya dalam kudeta, ia diam seribu bahasa. Akibatnya PKI mencapnya sebagai pengkhianat. PKI jelas berniat menguasai Indonesia — bayangkan, hanya dalam jangka 17 tahun setelah ditumpas akibat pengkhianatan di Madiun tahun 1948 partai itu sudah melakukan perebutan kekuasaan lagi. Kesalahannya — yang ditimpakan kepada Aidit—adalah menekankan ‘banyakbanyakan pengikut’ yang pada saat diperlukan untuk kudeta, mereka tidak siap. Mereka bukanlah tenaga profesional melainkan sekadar parapetani dan rakyat jelata yang melarat dan tertarik pada iming-iming hidup makmur tanpa peduli bagaimana caranya. Mereka hanya jadi korban ambisi orang-orang yang ingin menguasai republik ini dengan menghalalkan segala cara. Dan akibatnya melarut sampai sekarang, 40 tahun kemudian. (Mustofa.K.Ridwan) *** 114 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 BIODATA PENULIS Muladi, Prof. Dr. SH. Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, pernah menjabat Rektor Universitas Diponegoro Semarang, Menteri Kehakiman, Menteri Sekretaris Negara. Sekarang menjabat Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), Ketua Dewan Pengurus The Habibie Center. Susanto Zuhdi, Dr. M. Hum, Direktur Geografi dan Sejarah, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Dosen Program Pasca Sarjana Bidang Ilmu Budaya, Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Menulis beberapa buku kajian akademik, antara lain “Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa”, selain menulis esei dan artikel pada sejumlah surat kabar. Budiawan, Dr. MA, mendapat gelar Ph.D dari Southeast Asian Studies Programme, National University of Singapore (2003). Mengajar di Program Magister Ilmu Relegi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Menulis beberapa buku dan karya akademik. H. Salahuddin Wahid, Ir, sarjana teknik lulusan ITB Bandung. Pengurus Besar Nahdatul Ulama dan aktif ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia). Menulis sejumlah esei dan artikel untuk majalah dan surat kabar. Wakil Ketua Komnas HAM (2002-2007), Ketua MPP ICMI (2000-2005). JJ.Kusni, Phd. di bidang sejarah dari Perancis. Belajar Hukum Internasional di New South Wales Sidney Australia. Pernah menjadi pengajar di Universitas Kristen Palangkaraya, Kalimantan Tengah (2002), sebelum kembali ke Paris. Tahun l965 ia diundang oleh Himpunan pengarang Republik Rakyat Tiongkok sebagai salah seorang anggota Lekra. Setelah itu ia melanglangbuana ke beberapa negara. Menulis puisi dan esei, serta beberapa buku yang diterbitkan di Indonesia. Salah sebuah bukunya berjudul “Sasana Anak Naga dan Tahun-tahun Pembunuhan”, Kini menetap di Paris. Mustofa Kamil Ridwan, Drs., MS. Staf Pusat Pengembangan Media, The Habibie Center. Lulus dari Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (1970) bekerja di Desk Luar Negeri Kantor Berita Antara (1971-1973), Redaktur Luar Negeri, Teknologi, Ekonomi, Staff Writer, Reporter Senior pada Harian Suara Karya (1972-1992). Bersekolah di School of Journalism, College of Communication, Universitas Ohio, AS (1980-1982). Harian Republika Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005 115 sebagai Asisten Redaktur Pelaksana, Redaktur Pelaksana, Wakil Pemimpin redaksi (1993-2003), penasihat Direktur Utama Republika Media Mandiri (2003-2005). Sejak 2005 bekerja pada The Habibie Center. Selama di Republika, ditugasi menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Ummat (1995-1996), dan Pj. Pemimpin Redaksi The Indonesia Times (1996-1997). Tahun 1998 kembali ke Republika. 116 Demokrasi & HAM,Vol.5, No. 2, 2005