[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] BAB 1 PENDAHULUAN Kecelakaan Lalu Lintas dan Masalah Perkotaan jauh sebelum kendaraan bermotor ditemukan, kecelakaan di jalan hanya melibatkan kereta, hewan, dan manusia. Kecelakaan lalu lintas menjadi meningkat secara eksponensial ketika ditemukan berbagai jenis kendaraan bermotor. Kecelakaan sepeda motor yang tercatat pertama kali terjadi di New York pada tanggal 30 Mei 1896. Pada tanggal 17 Agustus tahun yang sama, tercatat terjadi kecelakaan yang menimpa pejalan kaki di London. Sejak saat itu, kecelakaan di seluruh dunia terus terjadi hingga jumlah kumulatif orang meninggal akibat kecelakaan tercatat 25 juta orang pada tahun 1997. Pada tahun 2002 saja tercatat 1,2 juta orang. Jumlah kecelakaan tidak merata untuk masing-masing wilayah dan negara. Pada individu yang mengalami kematian akibat kecelakaan, mereka sebagian besar mengalami trauma, yang dimaksud dengan korban trauma adalah korban yang mengalami gangguan fisik, yaitu berupa benturan dengan benda keras. Penyebab terjadinya benturan bisa bermacam-macam, seperti jatuh, kejatuhan benda, atau kecelakaan lalu lintas. Berdasarkan tingkat cideranya, korban trauma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu trauma ringan (non significant) dan berat (significant). Korban dikatakan trauma ringan bila mengalami cidera yang kemungkinan kematian dan cacatnya kecil, seperti terkilir, luka bakar ringan, terpeleset, dan lain-lain. Korban dikatakan trauma berat jika kemungkinan kematian atau cacat permanennya besar. Cidera organ/multiorgan sampai rusaknya organ, contohnya kerusakan paru secara permanen dapat ditimbulkan oleh kejadian trauma. Untuk menurunkan angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas, maka diperlukan penanganan awal yang baik. Meliputi sistem pertolongan pertama, kegawatdaruratan, dan perawatan kritis secara komprehensif. 1 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] Maka, dalam makalah ini kami akan membahas tentang salah satu bentuk trauma dada yang menyebabkan rupture ginjal, kerusakan paru, mencetuskan DIC, syok hmoragic, dan shock septic. Yang akan ditangani mulai dari fase gawat darurat, kritis, dan perawatan pemulihan. 2 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] BAB 2 LANDASAN TEORI A. TRAUMA DADA a) Definisi Trauma dada adalah abnormalitas rangka dada yang disebabkan oleh benturan pada dinding dada yang mengenai tulang rangka dada, pleura paruparu, diafragma ataupun isi mediastinal baik oleh benda tajam maupun tumpul yang dapat menyebabkan gangguan system pernafasan. b) Patofisiologi Rongga dada terdiri dari sternum, 12 vetebra torakal, 10 pasang iga yang berakhir di anterior dalam segmen tulang rawan dan 2 pasang iga yang melayang. Di dalam rongga dada terdapat paru-paru yang berfungsi dalam sistem pernafasan. Apabila rongga dada mengalami kelainan, maka akan terjadi masalah paru-paru dan akan berpengaruh juga bagi sistem pernafasan. Akibat trauma dada disebabkan karena: Tension pneumothorak cedera pada paru memungkinkan masuknya udara (tetapi tidak keluar) ke dalam rongga pleura, tekanan meningkat, menyebabkan pergeseran mediastinum dan kompresi paru kontralateral demikian juga penurunan aliran baik venosa mengakibatkan kolapsnya paru. Pneumothorak tertutup dikarenakan adanya tusukan pada paru seperti patahan tulang iga dan tusukan paru akibat prosedur invasif penyebabkan terjadinya perdarahan pada rongga pleural meningkat mengakibatkan paru-paru akan menjadi kolaps. Kontusio paru mengakibatkan tekanan pada rongga dada akibatnya paru-paru tidak dapat mengembang dengan sempurna dan ventilasi menjadi terhambat akibat terjadinya sesak nafas. Sianosis dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi syok. c) Mekanisme trauma • Trauma tumpul toraks (blunt chest trauma) Kejadian Benturan langsung (direct blow ) Cedera deselerasi 3 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] Cedera akibat kompresi Fraktur kosta paling sering terjadi pada trauma tumpul Bila terjadi Fraktur scapula, sternum, dan kosta pertama selalu merupakan trauma yang sangat kuat. • Trauma tembus (penetrans) Sering akibat trauma tusuk. Kelainan yang dapat terjadi : Luka / laserasi paru bagian perifer Haemotoraks Pneumotoraks Cedera jantung, pembuluh darah besar atau esofagus d) Jenis trauma Terdapat 6 jenis trauma thorax yang harus dikenali pada survei primer, karena apabila tidak dikenali dapat menyebabkan kematian dengan cepat. Gangguan airway Penekanan pada trakea di daerah toraks dapat terjadi karena fraktur misalnya fraktur sternum. Pada pemeriksaan klinis penderita akan ada gejala penekanan airway seperti stridor inspirasi dan suara serak. Biasanya penderita perlu jalan napas definitif. Gangguan breathing Pneumothorax terbuka (sucking chest wound) Defek atau luka yang besar di dinding dada akan menyebabkan pneumotoraks terbuka. Tekanan di rongga toraks akan segera menjadi sama dengan tekanan atmosfer. Dapat timbul karena trauma tajam, sehingga ada hubungan udara luar dengan rongga pleura dan paru menjadi kuncup. Apabila lubang ini lebih besar dari 2/3 diameter trakea, maka udara akan lebih mudah melewati lubang pada dinding dada dibandingkan melewati mulut, sehingga terjadi sesak yang hebat. Tension pneumotoraks Terdapat kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau dari luar melalui dinding dada masuk ke dalam rongga pleura paru-paru atau dari luar melalui dinding dada, kemudian masuk ke dalam rongga pleura 4 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] dan tidak dapat keluar lagi. Maka udara akan semakin banyak pada satu sisi rongga pleura. Akibatnya adalah paru sebelahnya akan tertekan, dengan akibat sesak yang berat dan mediastinum akan terdorong, akibatnya adalah timbul syok. Penyebab dari tension pneumotoraks adalah komplikasi penggunaan ventilasi meklanik dengan tekanan positif pada penderita yang ada kerusakan pada pleura viseral. Tension pneumotoraks ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak yang berat, distres pernapasan, takikardi, hipotensia, deviasi trakea, hilangnya suara napas pada satu sisi dan distensi vena leher. Hematothorax massif Terdapat perdarahan hebat pada rongga dada. Pada keadaan ini akan terjadi sesak, karena darah dalam rongga pleura dan syok karena kehilangan darah Flai chest Flail chest disebabkan karena fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang dengan dua atau lebih garis fraktur. Pada saat ekspirasi segmen akan menonjol keluar, pada inspirasi justru masuk ke dalam, yang dikenal sebagai pernapasan paradoksal. Sesak berat yang terjadi harus dibantu dengan oksigenasi dan mungkin diperlukanventilasi tambahan. Circulation (syok) Cedera toraks yang mempengarui sirkulasi dan harus ditemukan pada primary adalah hemothorax masif karena terkumpulnya darah dengan cepat di rongga pleura.juga dapat terjadi pada tamponade jantung, walaupun penderita datang tidak dalam keadaan sesak nemun dalam keadaan syok. Karena darah terkumpul dalam rongga perikardium, maka kontraksi jantung terganggu sehingga timbul syok yang berat. Biasanya terjadi pelebaran pembuluh darah vena leher, disertai bunyi jantung yang jauh dan nadi yang kecil. 5 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] Pada infus yang diguyur tidak banyak menimbulkan respon. Seharusnya pada penderita ini dilakukan perikardio sintesis, yaitu penusukan rongga perikardium dengan jarum besar untuk mengeluarkan darah tersebut. Faktur iga Terjadi akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda berat Kontusio paru Pada kontusio paru yang sering terjadi adalah kegagalan bernapas yang dapat timbul perlahan atau berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian. e) Thorakotomy Torakotomi adalah tindakan life saving untuk menhentikan kelainan yang terjadi karena pendarahan (Reksoprodjo, S, 1995). Indikasi torakotomi pada hemotoraks adalah bila perdarahan mula-mula lebih dari 1500 ml atau perdarahan lebih dari 3 - 5 ml/ kg BB/jam selama 4 jam berturut-turut pada masa observasi. B. TRAUMA ABDOMEN a) Definisi Trauma abdomen adalah trauma yang terjadi pada daerah abdomen yang meliputi daerah retroperitoneal, pelvis dan organ peritoneal. b) Mekanisme trauma Langsung Pasien terkena langsung oleh benda atau perantara benda yang mengakibatkan cedera misalnya tertabrak mobil dan terjatuh dari ketinggian Tidak langsung Pengendara mobil terbentur dengan dash board mobil ketika kedua mobil tabrakan c) Jenis trauma Trauma tembus (Tusuk dan tembak) 6 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] Penyebab benda tajam atau benda tumpul dengan kekuatan penuh hingga melukai rongga abdomen. Perdarahan hebat à ruptur arteri/vena Cedera organ di rongga abdomen Trauma tumpul Trauma di daerah abdomen yang tidak menyebabkan perlukaan kulit / jaringan tetapi kemungkinan perdarahan akibat trauma bisa terjadi. d) Manifestasi klinis Pada pemeriksaan sekunder kita harus memeriksa secara teliti kemungkinan adanya luka-luka yang lain, tanda-tanda adanya trauma tumpul. Bila ditemukan tanda-tanda iritasi peritoneal biasanya menunjukkan ada cedera pada organ peritoneal. Ada beberapa indikasi untuk melakukan pemeriksaan secara teliti pada kasus yang kita curigai adanya trauma tumpul abdomen, antara lain : Perdarahan yang tidak diketahui Riwayat syok Adanya trauma dada mayor Adanya fraktur pelvis Penderita dengan penurunan kesadaran Adanya hematuri Pada pemeriksaan fisik ditemukan jejas di abdomen (luka lecet, kontusio, dan perut distensi) Mekanisme trauma yang besar Pada hakekatnya gejala dan tanda yang timbul dapat karena 2 hal: Pecahnya organ solid (padat) Hepar dan lien (limpa) yang pecah akan menyebabkan perdarahan yang bervariasi dari ringan sampai sangat berat, bahkan kematian. Gejala dan tandanya adalah : Gejala perdarahan secara umum 7 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] Penderita tampak anemis. Bila perdarahan berat akan timbul gejala dan tanda syok hemorargik Gejala adanya darah intra-peritoneal Penderita akan merasa nyeri abdomen, yang dapat bervariasi dan ringan sampai nyeri berat. Pada auskultasi biasanya bising usus mennurun, yang bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya karena bising usus akan menurun pada banyak keadaan lain. Pada pemeriksaan akan teraba bahwa abdomen nyeri tekan, kadang-kadang ada nyeri lepas dan defans muskular seperti pada peritonitis. Pada perkusi akan ditemukan pekak sisi yang meninggi. Pecahnya organ berlumen Trauma yang mengenai struktur peritoneal anngka mortalitasnya tinggi dan sering tidak terdiagnosa maupun salah diagnosa. Pecahnya gaster, usus halus atau kolon akan menimbulkan peritonitis yang dapat timbul cepat sekali atau lebih lambat. Pada pemeriksaan penderita akan menngeluh nyeri seluruh abdomen. Pada auskultasi bising usus akan menurun. Pada palpasi akan ditemukan defans muskular, nyeri tekan dan nyeri lepas. Pada perkusi juga dapat menimbulkan nyeri ketok. Apabila trauma tajam akan ditemukan bahwa organ intra abdomen yang menonjol keluar (paling sering omentum, bisa juga usus halus), trauma ginjal akan menyebabkan perdarahan yang tidak masuk rongga peritoneum. Perdarahan dari ginjal dapat menyebabkan syok hemoragik. Gejala lain pada trauma ginjal adalah bahwa kebanyakan penderita akan kencing kemerahan atau darah(hematuria). e) Penderita Organ yang berisiko cedera Luka Tusuk : Hepar (40%) Usus halus (30%) Diafragma (20%) Colon (14%). Luka tembak : 8 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] Usus halus (50%) Colon (40%) Liver (30%) Ruptur vaskuler abdominal (25%) Trauma tumpul Hepar 40 - 55 % Limpa 35 – 45 % f) Laparatomi Definisi Bedah laparatomi merupakan tindakan operasi pada daerah abdomen, bedah laparatomi merupakan teknik sayatan yang dilakukan pada daerah abdomen yang dapat dilakukan pada bedah digestif dan kandungan. Adapun tindakan bedah digestif yang sering dilakukan dengan teknik sayatan arah laparatomi yaitu: Herniotorni, kolesistoduodenostomi, hepateroktomi, apendektomi, hemoroidektomi kolostomi, gasterektomi, splenorafi/splenotomi, dan fistulotomi atau fistulektomi. Tindakan bedah kandungan yang sering dilakukan dengan teknik sayatan arah laparatomi adalah berbagai jenis operasi uterus, operasi pada tuba fallopi dan operasi ovarium (Prawirohardjo), yaitu: histerektomi baik itu histerektomi total, histerektomi sub total, histerektomi radikal, eksenterasi pelvic dan salingo-coforektomi bilateral. Selain tindakan bedah dengan teknik sayatan laparatomi pada bedah digestif dan kandungan, teknik ini juga sering dilakukan pada pembedahan organ lain, menurut Spencer (1994) antara lain ginjal dan kandung kemih. Ada 4 (empat) cara, yaitu : Midline incision Paramedian, yaitu : panjang (12,5 cm) ± sedikit ke tepi dari garis tengah 9 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] Transverse upper abdomen incision, yaitu : sisi di bagian atas, misalnya pembedahan colesistotomy dan splenektomy Transverse lower abdomen incision, yaitu : 4 cm di atas anterior spinal iliaka, ± insisi melintang di bagian bawah misalnya : pada operasi appendictomy. Indikasi Laparatomi Trauma abdomen (tumpul atau tajam) / Ruptur hepar Peritonitis Perdarahan saluran pencernaan (Internal Blooding) Sumbatan pada usus halus dan usus besar Masa pada abdomen (Sjamsuhidajat R, Jong WD, 1997). Komplikasi Ventilasi paru tidak adekuat Gangguan kardiovaskuler : hipertensi, aritmia jantung Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit Gangguan rasa nyaman dan kecelakaan Post Laparatomi Perawatan post laparatomi adalah bentuk pelayanan perawatan yang diberikan kepada pasien-pasien yang telah menjalani operasi pembedahan perut. Tujuan Perawatan Post Laparatomi Mengurangi komplikasi akibat pembedahan Mempercepat penyembuhan Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi Mempertahankan konsep diri pasien Mempersiapkan pasien pulang Komplikasi Post Laparatomi Tromboplebitis Tromboplebitis post operasi biasanya timbul 7-14 hari setelah operasi. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari 10 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif dini dan kaos kaki TED yang dipakai klien sebelum mencoba ambulatif. Infeksi Infeksi luka sering muncul pada 36-46 jam setelah operasi. Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aureus, organisme ;gram positif. Stapilokokus mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka yang penting adalah perawatan luka dengan mempertahankan aseptik dan antiseptik. Dehisensi Luka atau Eviserasi Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor penyebab dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu pembedahan, ketegangan yang berat pada dinding abdomen sebagai akibat dari batuk dan muntah. Proses Penyembuhan Luka Fase pertama (Inflamasi) Berlangsung sampai hari ke 3. Batang lekosit banyak yang rusak/rapuh. Sel-sel darah baru berkembang menjadi penyembuh dimana serabutserabut bening digunakan sebagai kerangka. Fase kedua (Proliferatif) Dari hari ke 3 sampai hari ke 14. Pengisian oleh kolagen, seluruh pinggiran sel epitel timbul sempurna dalam 1 minggu. Jaringan baru tumbuh dengan kuat dan kemerahan. Fase ketiga (Maturasi) Sekitar 2 sampai 10 minggu kolagen terus menerus ditimbun, timbul jaringan-jaringan baru dan otot dapat digunakan kembali. Fase keempat (fase terakhir) Pada fase penyembuhan akan menyusut dan mengkerut. Intervensi untuk Meningkatkan Penyembuhan Meningkatkan intake makanan tinggi kalori dan tinggi protein ( TKTP) 11 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] Menghindari obat-obat anti radang seperti steroid Pencegahan infeksi Pengembalian Fungsi Fisik Pengembalian fungsi fisik dilakukan segera setelah operasi dengan latihan nafas dan batuk efektif, latihan mobilisasi dini. Latiahn-latihan fisik diantaranya latihan nafas dalam, latihan batuk, menggerakan otot-otot kaki, menggerakan otot-otot bokong. Latihan alih baring dan turun dari tempat tidur, semuanya dilakukan hari ke 2 post operasi. C. ARDS (Adult Respiratory distress syndrome) a) Definisi Merupakan keadaan gagal nafas mendadak yang timbul pada klien dewasa tanpa ada kelainan paru yang mendasari sebelumnya. b) Patologi secara makroskopis, paru tampak hitam kemerahan, beratnya bertambah, tidak terdapat udara, dan hampir tidak mengembang. Potongan penampang paru menunjukkan perdarahan, kongesti, edema, menyerupai hati, perubahan paling awal dari segi histology adalah c) Diagnosis Diagnosis ARDS dapat dibuat berdasarkan pada kriteria berikut: Gagal nafas akut Infiltrate pulmoner “fluffy” bilateral pada gambaran rontgen toraks. Hipoksemia (PaO2 dibawah 50-60 mmHg) meski FcO2 50-60% (fraksi oksigen yang dihirup) d) Penataksanaan medis Mortalitas pada ARDS mencapai 50% dan tidak bergantung pada pengobatan. Oleh karena itu, perawat perlu mengetahui tindakan pencegahan ARDS. Hal-hal penting yang perlu diketahui dan dipahami dengan baik adalah factor-faktor predisposisi seperti sepsis, pneumonia aspirasi, dan deteksi dini ARDS. Pengobatan dalam masa laten dapat lebih besar kemungkinannya untuk berhasil daripada jika dilakukan ketika sudah timbul gejala ARDS. 12 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] Tujuan pengobatan adalah sama walaupun etiloginya berbeda, yaitu mengembangkan alveoli secara optimal untuk mempertahankan gas darah arteri dan oksigenasi jaringan yang adekuat, keseimbangan asam-basa, dan sirkulasi dalam tingkat yang dapat ditoleransi sampai membrane alveolikapiler kembali pulih. Pemberian cairan harus dilakukan secara seksama, terutama jika ARDS disertai kelainan fungsi ginjal dan sirkulasi, sebab dengan adanya peningkatan kenaikan permeabilitas kapiler paru, cairan dari sirkulasi merembes ke rongga interstisial dan memperberat edema paru. Cairan yang diberikan harus cukup untuk mempertahankan sirkulasi yang adekuat (denyut jantung tidak cepat, ekstremitas hangat, dan diuresis yang baik) tanpa menimbulkan edema atau memperberat edema paru. Jika perlu dimonitor dengan kateter Swan-Ganz dan teknik thermodelution untuk mengukur curah jantung. Pemberian albumin tidak terbukti efektif pada ARDS, sebab pada kelainan permeabilitas yang luas, albumin ikut merembes ke ruang ekstravaskular. Peranan kortikosteroid pada ARDS masih diperdebatkan, pemberian metilprednisolon 30 mg/KgBB secara intravena setiap 6 jam sekali lebih disukai, terutama kortikosteroid terutama diberikan pada syok septic. e) Patofisioligi 13 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] D. DIC (Disseminated Intravaskular Coagulation) a) Definisi Adalah suatu sindrom kompleks yang terdiri atas banyak segi, yang sistem homeostatic dan fisiologik normalnya mempertahankan darah tetap cair berubah menjadi suatu sistem patologik yang menyebabkan terbentuknya trombi fibrin difus, yang menyumbat mikrovaskuler tubuh (Price and Wilson, 2006). b) Patofisiologi Sistem fibrinolitik diaktivasi oleh thrombin didalam sirkulasi, yang memecah fibrinogen menjadi monomer fibrin. Thrombin juga merangsang agregasi trombosit, mengaktivasi faktor V dan VIII, serta melepas activator plasminogen, yang membentuk plasmin. Plasmin memecah fibrin, membentuk produk-produk degradasi fibrin, selanjutnya menginaktivasi factor V dan VIII. Aktivasi thrombin yang berlebihan mengakibatkan berkurangnya fibrinogen, trombositopenia, factor-faktor koagulasi, dan fibrinolisis (Linker, 2001), yang mengakibatkan perdarahan difus. Hasil thrombus fibrin dapat atau tidak menyumbat mikrovaskular. Bersamaan dengan ini, sistem fibrinolitik diaktivasi untuk pemecahan trombifibrin, menghasilkan banyak fibrin dan produk degradasi fibrinogen yang mengganggu polimerasi fibrin dan fungsi trombosit (Guyton, 2001). DIC bukan merupakan penyakit, tetapi akibat proses penyakit yang mendasarinya. Perubahan pada segala komponen sistem vascular, yaitu dinding pembuluh darah, protein plasma dan trombosit, dapat menyebabkan suatu gangguan konsumtif (Coleman et al, 1993). Masuknya zat atau aktivasi prakoagulan kedalam sirkulasi darah mengawali sindrom tersebut dan dapat terjadi pada segala kondisi yang tromboplastin jaringannya dibebaskan akibat destruksi jaringan, dengan inisiasi jalur pembekuan ekstrinsik. Semua penyakit yang merupakan predisposisi terjadinya DIC termasuk septicemia, pelepasan plasenta dini (solusio plasenta), keganasan metastatik, reaksi transfuse hemolitik, trauma jaringan yang massif dan syok. 14 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] c) Manifestasi klinis Bergantung pada luas dan lamanya pembentukan trombi fibrin, organorgan yang terlibat, nekrosis, serta perdarahan yang ditimbulkan. Organ-organ yang paling sering terlibat adalah ginjal, kulit, otak, hipofisis, paru dan adrenal, serta mukosa saluran cerna. Terdapat perdarahan membrane mukosa dan jaringan-dalam, serta perdarahan disekitar tempat cedera, pungsi vena, penyuntikan, dan pada setiap orifisium. Sering dijumpai petekie dan ekimosis. Manifestasi lain berupa hipotensi (syok), oliguria atau anuria, kejang dan koma, mual, muntah, diare, nyeri abdomen, nyeri punggung, dispneau, dan sianosis (Guyton, 2001). d) Pemeriksaan diagnostik Tes diagnostic menunjukkan PT, PTT, TT, yang memanjang dan peningkatan produk-produk pemecahan fibrin. Kadar fibrinogen dan jumlah trombosit menurun. Sediaan apus darah perifer dapat menunjukkan fragmentasi eritrosit sekunder akibat kerusakan oleh serabut fibrin. e) Penanganan Penanganan ditujukan pada perbaikan mekanisme yang mendasarinya, yang mungkin memerlukan penggunaan antibiotic, agen-agen kemoterapeutik, dukungan kardiovaskular. Penggantian factor-faktor plasma dengan plasma dan kriokresipitat, serta transfuse trombosit dan sel darah merah, mungkin diperlukan. E. WATER SEAL DRAINAGE a) Definisi WSD merupakan tindakan invasive yang dilakukan untuk mengeluarkan udara, cairan (darah, pus) dari rongga pleura, rongga thorax; dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung. b) Tujuan Pemasangan WSD • Untuk mengeluarkan udara, cairan (darah, pus) dari rongga pleura, rongga thorax, dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung. 15 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] • Mengembalikan tekanan negative pada rongga pleura. • Mengembangkan kembali paru yang kolaps. • Mencegah refluks drainage kembali ke dalam rongga dada. • Mengalirkan / drainage udara atau cairan dari rongga pleura untuk mempertahankan tekanan negative rongga tersebut. c) PerubahanTekanan Rongga Pleura d) Indikasi: a. Pneumothoraks : Spontan> 20% oleh karena rupture bleb Luka tusuk tembus Klem dada yang terlalu lama Kerusakan selang dada pada sistem drainase b. Hemothoraks : Robekan pleura Kelebihan antikoagulan Pasca bedah thoraks c. Thorakotomy : 16 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] Lobektomy Pneumoktomy d. Efusi pleura : Post operasi jantung e. Emfiema : Penyakit paru serius Kondisi inflamsi e) Kontraindikasi Pemasangan: a. Infeksi pada tempat pemasangan. b. Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol. f) Komplikasi Pemasangan WSD: a. Komplikasi primer : perdarahan, edema paru, tension pneumothoraks, atrial aritmia b. Komplikasi sekunder : infeksi, emfiema g) Tempat Pemasangan WSD a. Bagian apex paru (apical) anterolateral interkostake 1-2 fungsi : untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura b. Bagian basal postero lateral interkostae 8-9 fungsi : untuk mengeluarkan cairan (darah, pus) dari rongga pleura h) Jenis-jenis WSD a. WSD dengan sistem satu botol 17 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] • Sistem yang paling sederhana dan sering digunakan pada pasien simple pneumothoraks • Terdiri dari botol dengan penutup segel yang mempunyai 2 lubang selang yaitu 1 untuk ventilasi dan 1 lagi masuk ke dalam botol • Air steril dimasukan kedalam botol sampai ujung selang terendam 2cm untuk mencegah masuknya udara ke dalam tabung yang menyebabkan kolaps paru • Selang untuk ventilasi dalam botol dibiarkan terbuka untuk memfasilitasi udara dari rongga pleura keluar • Drainage tergantung dari mekanisme pernafasan dan gravitasi • Undulasi pada selang cairan mengikuti irama pernafasan : • Inspirasi akan meningkat • Ekpirasi menurun b. WSD dengan sistem 2 botol • Digunakan 2 botol ; 1 botol mengumpulkan cairan drainage dan botol ke-2 botol water seal. • Botol 1 dihubungkan dengan selang drainage yang awalnya kosong dan hampa udara, selang pendek pada botol 1 dihubungkan dengan selang di botol 2 yang berisi water seal • Cairan drainase dari rongga pleura masuk ke botol 1 dan udara dari rongga pleura masuk ke water seal botol 2 • Prinsip kerjasama dengan sistem 1 botol yaitu udara dan cairan mengalir dari rongga pleura kebotol WSD dan udara dipompakan keluar melalui selang masuk ke WSD • Bisasanya digunakan untuk mengatasi hemothoraks, hemo pneumothoraks, efusi pleural 18 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] c. WSD dengan sistem 3 botol • Sama dengan sistem 2 botol, ditambah 1 botol untuk mengontrol jumlah hisapan yang digunakan • Paling aman untuk mengatur jumlah hisapan • Yang terpenting adalah kedalaman selang di bawah air pada botol ke-3. Jumlah hisapan tergantung pada kedalaman ujung selang yang tertanam dalam air botol WSD • Drainage tergantung gravitasi dan jumlah hisapan yang ditambahkan • Botol ke-3 mempunyai 3 selang : • Tube pendek diatas batas air dihubungkan dengan tube pada botol kedua • Tube pendek lain dihubungkan dengan suction • Tube di tengah yang panjang sampai di batas permukaan air dan terbuka ke atmosfer. F. CIPROFLOXACIN Ciprofloxacin merupakan suatu anti infeksi sintetik golongan quinolon. Ciprofloxacin menghambat DNA topoisomerase yang biasa disebut DNA-gyrase, dengan akibat terhentinya metabolism kuman. Ciprofloxacin tidak menunjukkan resistensi pararel terhadap antibiotika lain yang tidak termasuk pada golongan karboksilat. Dapat digunakan untuk infeksi yang disebabkan bakteri yang resisten terhadap antibiotika lain misalnya aminoglikosida, penicillin, chepalosporin, tertrasiklin, makrolid, antibiotika bertalaktam, sufonamid, derivate trimetropim atau nitrofuram, serta efektif terhadap bakteri gram negative dan positif. 19 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] Ciprofloxacin diabsorbsi terutama di usus kecil, mencapai konsentrasi puncak terutama setelah 60-90 menit dan metabolitnya dieksresikan melalui urin dan feaces. Indikasi Untuk mengobati infeksi yang disebabkan kuman pathogen yang peka terhadap ciprofloxacin: Saluran pernafasan, kecuali pneumonia oleh streptococcus. Saluran kemih termasuk prostatitis Saluran pencernaan termasuk tifoid dan paratifoid Kulit dan jaringan lunak Tulang dan sendi Otitis media Sinus paranasal terutama bila disebabkan bakteri gram negative termasuk pseudomonas atau staphylococcus. Mata Infeksi rongga perut Urethritis dan cervitis gonohrea Sepsis Kontraindikasi Penderita yang hipersensitif terhadap ciprofloxacin atau kuinolon yang lain. Anak-anak dan remaja sebelum akhir fase pertumbuhan Wanita hamil dan menyusui Peringatan dan perhatian Penderita yang pernah mendapat serangan cerebral hany boleh diobati dengan ciprofloxacin bila terjamin mendapat terapi antikonvulsiva yang cocok Hati-hati pada pemberian fungsi ginjal Pemakaian tidak boleh melebihi dosis yang dianjurkan Untuk menghindari kristaluria maka tablet harus dimunum dengan tablet yang cukup. 20 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] Hati-hati bila diberikan pada penderita usia lanjut, penderita epilepsi dan penderita penyakit SSP; harus mempertimbangkan untung ruginya Selama minum obet ini tidak boleh mengendarai kendaraan bermotor, atau menjalankan mesin terutama bila diminum dengan alkohol Hindari sinar matahari yang berlebihan Efek Samping Kadang-kadang terjadi keluhan saluran pencernaan seperti mual, muntah, diare, dyspepsia, sakit perut dan meteorisme Gangguan SSP, seperti sakit kepala, pusing, rasa letih, kadang- kadang gangguan pengelihatan Efek terhadap darah: eosinofil, leukositosis, dan anemia Rekasi kuliat Pada penderita ganguan fungsi hati dapat meningkatkan serum transaminase Interaksi Obat Penyerapan ciprofloxacin dipengaruhi oleh antasida yang mengandung almunium dan magnesium hidroksida maka ciprofloxacin jangan diberikan bersamaan, tetapi 1-2 jam sebelum dan sesudah pemberian antasida. Pemberian bersama teofilin akan meninggikan konsentrasi teofilin dalam plasma. Bila pemberian bersama teofilin tidak dapat dihindarkan, konsentrasi teofilin dalam plasma harus dimonitor, bila perlu dosis tefilin dikurangi Pemberian bersama glibenklamid akan meninggikan efek glikenkamid sehingga dapat terjadi hipoglikemia. Pemberian bersama dengan warfarin akan meningkatkan efek warfarin Pemberian ciprofloxacin dosis tinggi bersama dengan obat-obatan AINS dapat menimbulkan kejang Harus dipetimbangkan terjadiny interaksi bila diberikan bersama probenecid, klidamisin, dan metronidazol 21 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] G. IMIPENEM Deskripsi: Imipenem adalah antibiotik yang melawan infeksi serius yang disebabkan oleh bakteri. Dalam penggunaannya, biasanya disertai dengan Cilastatin. Cilastatin membantu Imipenem bekerja secara lebih efektif dengan mencegah penguraian antibiotik dalam ginjal. Imipenem adalah karbapenem, yang merupakan antibiotic berspektrum terluas dari seluruh antibiotic beta-laktam yang ada. Dalam pemberiannya antibiotic ini diberikan bersama kilastatin, yang menghambat metabolism imipenem di tubulus ginjal, dan mencegah pembentukan senyawa nefrotoksik. Imipenem dapat digunakan pada pengobatan tunggal infeksi bermacammacam bakteri, sementara antibiotic lainnya memerlukan kombinasi dengan antibiotic lain. Indikasi: Untuk mengubati infeksi serius pada sistem pernapasan bawah, kulit, perut, organ reproduksi wanita, dan sistEm tubuh lainnya. Dosis: 1. 1-2 gr/hari melalui pembuluh darah (intra venous), dosis dibagi setiap 6-8 jam 2. Dosis maksimum: 4 gr/hari atau 50 mg/kg/hari, yang mana saja yang lebih rendah. Efek Samping: 1. Efek GI (diare, N/V, diare/radang usus besar yang dikaitkan dengan antibiotik, perubahan warna lidah/gigi, mengubah rasa); Reaksi hipersensitivitas yang mencakup hipersensitif ringan (misalnya ruam) hingga hipersensitif parah (seperti anaphylaxis) bisa terjadi; Efek lainnya (infeksi candidal). 2. Efek CNS (gangguan mental, kebingungan; Imipenem/cilastatin: seizure dan convulsion telah dilaporkan khususnya pada pasien yang memiliki riwayat luka CNS, dan atau disfungsi ginjal); Efek dermatologis parah 22 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] yang jarang (misalnya dermatitis eksfoliatif, sindrom Stevens-Johnson, dan lain-lain); Efek hepatik yang jarang. Instruksi Khusus: 1. Gunakan dengan hati-hati pada pasien yang alergi penicillin, cephalosporins atau beta-lactam lainnya, pasien dengan kerusakan dinjal. 2. Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan gangguan CNS (misalnya epilepsi). 23 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] BAB 3 KASUS DAN PEMBAHASAN A. KASUS Kasus (Trauma dada, trauma abdomen/ginjal, sepsis dan DIC) Tn. A (40 tahun) mengalami kecelakaan mobil, saat masuk IGD kondisi sebagai berikut : Kesadaran apatis; TD: 100/70 mmHg; Nadi : 120x/menit agak lemah; pernapasan : 35x/menit cepat dan dangkal; suhu: 36,50C; suara paru kanan redup, suara paru kiri normal, gerakan dada asimetris tertinggal sebelah kanan, tampak biru daerah dada dan abdomen; katerisasi urine ditemukan urin urin berwarna merah. Hasil pemeriksaan diagnostik adalah USG didapatkan ginjal ruptur, paruparu kanan hemotoraks. Diunit IGD telah dilakukan torakotomi dan laparotomi. Saat ini pasien dirawat di ruang ICU sejak hari pertama/ post operasi. Kondisi saat ini kesadaran CM-apatis,TD:120/80 mmHg, HR:120x/menit, P: 30x/menit, S:36,90C, pernapasan dengan ventilator model volume control (VC) karena pasien post operasi terjadi ARDS, terpasang WSD dengan cairan pleura masih tampak merah sebanyak 100cc/hari, terpasang transfusi PRC kantong kedua, cek AGD tiap shift, mendapatkan terapi ciprofloksasin 3x500 mg (IV), kemampuan mobilisasi tidak ada. Fokus utama tindakan keperawatan yang dilakukan oleh tim perawat ICU adalah mempertahankan jalan napas, memonitor balance cairan, memonitor status pernapasan, memonitor status nutrisi, mengoptimalkan ROM pasif dan aktif, mencegah gangguan integritas kulit, mencegah infeksi. Pada hari ke-14 pasien di rawat di ICU kondisi pasien agak menurun kesadaran sopor koma, pernapasan menggunakan ventilator VC(volume control), luka opersi thoraks tak ada tanda-tanda infeksi, kulit intake, tak ada cairan yang keluar, namun kondisi luka laparotomi mengalami infeksi luka tidak menutup (dehiscence), cairan pus > 100 cc/hari, drain terlihat pus, suhu:39,90C; hasil kultur darah dan pus ditemukan kuman pseudomonas dan hampir semuanya resisten dan hanya satu golongan imipenem yang sensitif. Ners menemukan saat memandikan di pagi hari melena banyak dan caairan gaster merah segar (cairan NGT). Perawat menganalisa bahwa dia mengalami DIC (dessiminated intravascular coagulation). 24 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] Tugas : 1. Identifikasi kata-kata asing dan jelaskan masing-masing kata-kata asing tersebut 2. Jelaskan mekanisme trauma yang dialami oleh tuan. A? 3. Jelaskan patofisiologi dari kondisi tuan A dan hubungkan dengan manifestasi klinik. 4. Jelaskan mengapa dilakukan pemeriksaan USG dan foto thoraks? 5. Sebutkan dan jelaskan pemeriksaan yang tidak dilakukan pada kondisi pasien diatas, meskipun pemeriksaan itu penting. 6. Jelaskan patofisiologi terjadinya ARDS pada Tuan.A 7. Mengapa dilakukan tindakan pemasangan WSD, cek AGD tiap shift? 8. Hal-hal apa saja yang harus di monitor pada pasien dengan WSD dan jelaskan mengapa? 9. Apakah yang melatarbelakangi diberikan antibiotik ciprofloksasin? 10. Apakah rasional perawat melakukan fokus tindakan keperawatan diatas 11. Tindakan-tindakan keperawatan yang tepat yang dapat dilakukan adalah 12. Apa yang terjadi pada Tuan.A setelah 14 hari di rawat 13. Buatlah patofisiologi terhadap kondisi pada hari ke-14 14. Mengapa dapat terjadi DIC pada Tuan. A 15. Sebutkan tanda-tanda DIC yang harus dilengkapi 16. Pemeriksaan diagnostik apa saja yang harus dilakukan pada Tua A untuk menegakkan DIC 17. Mengapa tuan A dilakukan pemeriksaan kultur darah dan Pus? Apa arti dari Hasil pemeriksaan tersebut? 25 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] B. Pembahasam 1) Kata-kata asing dan penjelasan Thorakotomi : operasi membuka cavum thoraks Laparotomi : insisi dinding abdomen. Biasanya hanya dilakukan untuk operasi eksploratif. ARDS : Adult Respiratory Distress Syndrome, merupakan suatu bentuk dari gagal napas akut yang ditandai dengan hipoksemia, penurunan fungsi paru-paru, dispneau, edema paru bilateral, tanpa gagal jantung, dan infiltrate yang menyebar. Biasanya juga disebut NonKardiogenik Edema Pulmonar. WSD : Water Seal Drainage merupakan tindakan invasive yang dilakukan untuk mengeluarkan udara, cairan (darah, pus) dari rongga pleura, rongga thorax; dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung. PRC : Pack Red Cells (transfuse dengan isi sel darah merah/eritrosit) Dehiscense : proses pemisahan atau pemecahan seperti yang terjadi pada luka Imipenem: antibiotik yang melawan infeksi serius yang disebabkan oleh bakteri. Dalam penggunaannya, biasanya disertai dengan Cilastatin. Cilastatin membantu Imipenem bekerja secara lebih efektif dengan mencegah penguraian antibiotik dalam ginjal. Melena : Tinja yang hitam seperti teh atau berwarna kemerahan. Keadaan ini membuktikan adanya pendarahan gastrointestinal. DIC : Disseminated Intravascular Coagulation adalah suatu sindrom kompleks yang terdiri atas banyak segi, yang sistem homeostatic dan fisiologik normalnya mempertahankan darah tetap cair berubah menjadi 26 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] suatu sistem patologik yang menyebabkan terbentuknya trombi fibrin difus, yang menyumbat mikrovaskuler tubuh. 2) Mekanisme truma yang dialami oleh tuan. A Tn. A mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, tanpa menggunakan seatbelt pada pukul 23.00 WIB, kemudian tiba-tiba tanpa terduga dari arah berlawanan terdapat mobil lain melintas di depannya. Tn. A berusaha menghindari kendaraan bermotor ke arah kiri, tetapi ternyata di sebelah kiri jalan terdapat pohon dan Tn. A menabrak pohon tersebut. Sehingga tubuh Tn. A terbentur setir mobil, mengenai dada lebih tepatnya setir menekan dada sebelah kanan. Karena benturan mobil dengan pohon sangat kuat, setelah tubuhnya membentur setir, tubuh Tn. A terpental kembali ke tempat duduk tepat mengenai dinding belakang abdomen. Penekanan di dada tersebut menyebabkan tulang iga sebelah kanan Tn.A patah dan menembus paru-paru dan terjadi perdarahan pada rongga dada. Sedangkan pada abdomen karena terjadi benturan yang kuat juga menyebabkan penekanan pada ginjal dan terjadi trauma tumpul pada ginjal. 27 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] 28 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] 3) Patofisiologi dikaitkan dengan manifestasi Klinis Tn. A 4) Pada Tn.A dilakukan pemeriksaan USG dan foto thoraks USG (ultrasonografi): dilakukan untuk memastikan apa yang menyebabkan memar biru pada bagian abdomen Tn.A dan warna urin merah. apa organ yang terkena tersebut adalah ginjal (karena urin merah) dan/atau organ besar lain ikut terlibat terhadap timbulnya jejas biru. 29 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] Rontgen toraks: dilakukan untuk memastikan ada/tidaknya fraktur/perdarahan karena pada pemeriksaan fisik ditemukan. Dada sebelah kanar memar, perkusi àredup, tidak ada kenaikan dada kanan saat inspirasi. 5) Pemeriksaan yang tidak dilakukan pada kondisi pasien diatas, meskipun pemeriksaan itu penting. CT-scan abdomen Untuk mengetahui gambaran secara spesifik keadaan abdomen Tn.A, apakah mengalami perlukaan yang sangat serius atau tidak. Tetapi, jika hasil USG sudah jelas, pemeriksaan ini tidak perlu dilakukan. Abdominal paracentesis Merupakan pemeriksaan tambahan yang sangat berguna untuk menentukan adanya perdarahan dalam rongga peritoneum. Lebih dari 100.000 eritrosit/mm dalam larutan NaCl yang keluar dari rongga peritoneum setelah dimasukkan 100--200 ml larutan NaCl 0.9% selama 5 menit, merupakan indikasi untuk laparotomi. EKG 30 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] Mengetahui keadaan fungsi jantung Tn.A, apakah masih normal atau ada kelainan. Kelainan jantung memperberat kondisi Tn.A dan memerlukan penanganan yang berbeda terhadap terapi cairan. 31 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] 6) Patofisiologi terjadinya ARDS pada Tuan A 7) Mengapa dilakukan tindakan pemasangan WSD dan cek AGD tiap shift Tindakan WSD 32 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] Tindakan WSD merupakan tindakan invasif yang dilakukan untuk mengeluarkan udara, cairan (darah, pus) dari rongga pleura, rongga thorax; dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung. Pada Tn.A yang mengalami trauma dada, terjadi perdarahan akibat fraktur iga yang menembus paru dan trauma tumpulnya sendiri. Diperlukan suatu cara untuk mengeluarkan darah dari rongga pleura agar ekspansi paru dapat meningkat dan menurunkan tekanan rongga pleura (mengembalikan tekanan negative pada rongga pleura), mengembangkan kembali paru yang kolaps, dan mencegah refluks drainage kembali ke dalam rongga dada. Cek AGD tiap shift Trauma dada pada Tn.A mengakibatkan ARDS dan perdarahan internal, pada pasien dengan ARDS berisiko mengalami penurunan CO2 karena hiperventilasi, tetapi disisi pada klien mungkin terjadi peningkatan CO2 dalam darah sehingga menimbulkan asidosis respiratorik. Perdarahan mengakibatkan penurunan jumlah eritrosit yang mengandung Hb sebagai komponen penting pembawa oksigen. AGD dilakukan untuk mengetahui status pH darah Tn.A (dalam rentang normal/tidak) dan untuk mengevaluasi keefektifan penggunaan ventilator mekanik. Jika AGD tidak dipantau secara ketat, risiko munculnya asidosis tidak diketahui. Asidosis dapat menyebabkan kematian seluruh sel tubuh. 8) Hal-hal yang harus dimonitor pada pasien dengan WSD 33 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] a. Mencegah infeksi di bagian masuknya slang. Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2 hari sekali, dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian masuknya slang dan tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh pasien. b. Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit yang hebat akan diberi analgetik oleh dokter. Dalam perawatan yang harus diperhatikan : Penetapan slang. Slang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang yang dimasukkan tidak terganggu dengan bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di bagian masuknya slang dapat dikurangi. Pergantian posisi badan. Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal kecil dibelakang, atau memberi tahanan pada slang, melakukan pernapasan perut, merubah posisi tubuh sambil mengangkat badan, atau menaruh bantal di bawah lengan atas yang cedera. c. Mendorong berkembangnya paru-paru. Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang. Latihan napas dalam. Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan batuk waktu slang diklem. Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi. d. Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction. 34 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 – 800 cc. Jika perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan torakotomi. Jika banyaknya hisapan bertambah/berkurang, perhatikan juga secara bersamaan keadaan pernapasan. e. Suction harus berjalan efektif : Perhatikan setiap 15 – 20 menit selama 1 – 2 jam setelah operasi dan setiap 1 – 2 jam selama 24 jam setelah operasi. Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien, warna muka, keadaan pernapasan, denyut nadi, tekanan darah. Perlu sering dicek, apakah tekanan negatif tetap sesuai petunjuk jika suction kurang baik, coba merubah posisi pasien dari terlentang, ke 1/2 terlentang atau 1/2 duduk ke posisi miring bagian operasi di bawah atau di cari penyababnya misal : slang tersumbat oleh gangguan darah, slang bengkok atau alat rusak, atau lubang slang tertutup oleh karena perlekatanan di dinding paru-paru. f. Perawatan “slang” dan botol WSD/ Bullow drainage. Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan yang keluar kalau ada dicatat. Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan adanya gelembung udara yang keluar dari bullow drainage. Penggantian botol harus “tertutup” untuk mencegah udara masuk yaitu meng”klem” slang pada dua tempat dengan kocher. Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas botol dan slang harus tetap steril. Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri- sendiri, dengan memakai sarung tangan. 35 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga dada, misal : slang terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll. 9) Latar belakang pemberian antibiotik ciprofloksasin Pada kasus Tn.A kemungkinan pasien diberikan antibiotic ciprofloxacin adalah untuk tindakan profilaksis pasca torakotomi dan laparatomi. Pada pasien pasca laparatomi dan torakotomi berisiko mengalami infeksi pada luka operasi /pasca operasi langsung. Tindakan profilaksis merupakan pemberian obat untuk mencegah suatu penyakit agar tidak muncul. Ciprofloxavin sendiri merupakan suatu anti infeksi sintetik golongan quinolon. Ciprofloxacin menghambat DNA topoisomerase yang biasa disebut DNA-gyrase, dengan akibat terhentinya metabolism kuman, serta efektif terhadap bakteri gram negative dan positif. Sehingga cocok digunakan sebagai antibiotic profilaksis. 10) Rasional perawat melakukan fokus tindakan keperawatan Intervensi Mempertahankan jalan Rasional selang endotrakeal atau selang trakeostomi napas disediakan tidak hanya sebagai jalan nafas, tetapi juga melindungi jalan nafas, memberikan dukungan ventilasi continue, dan memberikan konsentrasi oksigen terus-menerus. Kegagalan mempertahakan jalan nafas akan menganggu proses masuknya oksigen (juga oleh ventilator) ke dalam alveoli. Memonitor balance cairan Tujuan dari balans cairan adalah untuk perfusi yang adekuat. Kelebihan cairan akan mengakibatkan peningkatan edema/kongesti pulmonary dan kekurangan cairan akan mengakibatkan penurunan cardiac output dan Memonitor status tekanan darah. Memonitor status pernafasan, untuk menilai pernapasan keadekuatan fungsi pernafasan dengan cara 36 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] menilai status oksigen dan karbondioksida. Kekurangan O2 akan menyebakan hipoksia jaringan. Kelebihan CO2 dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah, sedangkan kekurangan CO2 dapat menyebabkan Memonitor status nutrisi vasokontriksi. Energy banyak dikeluarkan ketika terjadi peningkatan usaha bernafas dan pada pasien dengan penurunan kesadaran, nutrisi diperoleh secara parenteral, sehingga berisiko mengalami malnutrisi. Pemantauan sangat diperlukan untuk mencegah gagal nafas sehubungan dengan nutrisi Mengoptimalkan ROM yang buruk pada otot inspirasi. Untuk mencegah terjadinya kontraktur atau pasif dan aktif pemendekan otot secara permanen pada bagian yang tidak digerakkan dan mengoptimalkan Mencegah gangguan penggunaan otot-otot yang masih sehat. Pemberian posisi dan mengubah posisi sangat integritas kulit penting untuk menurunkan kemungkinan timbulnya luka akibat penekanan. Penekaan dalam waktu lama akan menyebakan nekrotik jaringan tersebut. Pasien perlu dikaji pula tentang munculnya tanda-tanda adanya gangguan Mencegah infeksi keutuhan kulit. Perhatikan WSD dan luka post operasi laparotomi, kaji adanya tanda-tanda infeksi seperti adanya pus, bau, bengkak, hangat, luka tidak merapat (dehiscence). Lakukan teknik aseptic saat melakukan perawatan luka. Dan berikan antibiotic profilaksis sesuai dengan kolaborasi bersama dokter. 11) Tindakan-tindakan keperawatan yang tepat yang dapat dilakukan 37 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] Status respirasi dikaji setiap 1-2 jam, dokumentasikan frekuensi, itme, pola, dan penggunaan otot-otot bantu pernafasan. Suara nafas diperiksa setiap 4 jam, catat adanya bunyi abnormal seperti cracles Kaji adanya kelemahan, ansietas, penurunan level kesadaran, takipneau, atau tanda-tanda yang menunjukkan adanya ARDS. Memberikan posisi prone, posisi ini dapat meningkatkan asupan oksigen dan menurunkan edema dan atelektasis Melakukan pemeriksaan AGD (Analisa Gas Darah Arteri) à PaO2, PaCO2, pH darah Kolaborasi pemasangan jalan nafas definitive Kolaborasi penggunaan ventilator Monitor penggunaan ventilator Memonitor tekanan darah, nadi. Memantau saturasi oksigen Ubah posisi klien Melakukan resusitasi, jika hemodinamik tidak stabil Memantau balans cairan dengan ketat Kolaborasi penggunaan PA (Pulmonary Arteri) chateter Kolaborasi pemberian nutrisi via parenteral (NGT) Kolaborasi pemberian kortikosteroid. 12) Tuan A setelah 14 hari di rawat mengalami 38 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] Setelah hari ke 14, kondisi Tn.A memburuk. Tuan A mengalami infeksi (sepsis) ditandai dengan munculnya tanda-tanda luka laparotomi mengalami infeksi luka à tidak menutup (dehiscence), cairan pus > 100 cc/hari, drain terlihat pus, suhu:39,90C; hasil kultur darah dan pus ditemukan kuman pseudomonas dan hampir semuanya resisten dan hanya satu golongan imipenem yang sensitif. Perawat menduga bahwa dia mengalami DIC (dessiminated intravascular coagulation) karena menemukan melena, munculnya DIC tersebut dikaitkan dengan trauma dan adanya infeksi. 39 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] 13) Patofisiologi terhadap kondisi pada hari ke-14 40 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] 14) Mengapa dapat terjadi DIC pada Tuan A DIC pada Tuan A kemungkinan disebabkan oleh beberapa factor yang dapat deteksi yaitu trauma dan adanya infeksi. Karena DIC merupakan hasil dari beberapa penyakit yang mendahuluinya. Trauma dan infeksi merangsang pengeluaran thrombin secara berlebihan, fungsi thrombin sendiri adalah untuk mengaktifkan agregasi trombosit, aktivasi factor V dan VIII, aktivasi plasminogen, dan aktivasi fibrinogen. Sehingga terjadi penurunan semua fungsi pembekuan darah dan berisiko terjadinya perdarahan massif. 15) Tanda-tanda DIC yang harus dilengkapi Manifestasi yang ada bergantung pada luas dan lamanya pembentukan trombi fibrin, organ-organ yang terlibat, nekrosis, serta perdarahan yang ditimbulkan. Organ-organ yang paling sering terlibat adalah ginjal, kulit, otak, hipofisis, paru dan adrenal, serta mukosa saluran cerna. Tanda dan gejala (Guyton, 2001).: Adanya melena dan urin berwarna merah, menunjukkan terdapat perdarahan membrane mukosa dan jaringan-dalam Adanya perdarahan disekitar tempat cedera, pungsi vena, penyuntikan, dan pada setiap orifisium. Petekie dan ekimosis Hipotensi (syok) Oliguria atau anuri Kejang dan koma Mual dan muntah Diare Nyeri abdomen Nyeri punggung Dispneau Sianosis 41 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] 16) Pemeriksaan yang harus dilakukan pada Tuan A untuk menegakkan DIC Melakukan pemeriksaan tes diagnostic PT, PTT, TT, jika hasil (+), maka hasil yang terlihat adalah waktu pembekuan yang memanjang dan peningkatan produkproduk pemecahan fibrin. Kadar fibrinogen dan jumlah trombosit menurun. Sediaan apus darah perifer dapat menunjukkan fragmentasi eritrosit sekunder akibat kerusakan oleh serabut fibrin. 17) Mengapa tuan A dilakukan pemeriksaan kultur darah dan Pus? Apa arti dari Hasil pemeriksaan tersebut? Kultur darah dan pus dilakukan untuk menentukan secara pasti bakteri apa yang menyebabkan infeksi, karena ternyata walaupun dengan tindakan proflaksis infeksi tetap saja muncul. Dengan tujuan agar dapat diterapi dengan antibiotik yang sesuai. Hasilnya ditemukan bakteri pseudomonas yang resisten terhadap sebagian besar antibiotic yang akhirnya ditangani dengan pemberian Imipenem. Imipenem merupakan karbapenem, yang merupakan antibiotik berspektrum terluas dari seluruh antibiotic beta-laktam yang ada. Dalam pemberiannya antibiotic ini diberikan bersama kilastatin, yang menghambat metabolisme imipenem di tubulus ginjal, dan mencegah pembentukan senyawa nefrotoksik. Imipenem dapat digunakan pada pengobatan tunggal infeksi bermacam-macam bakteri, sementara antibiotic lainnya memerlukan kombinasi dengan antibiotik lain. 42 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] BAB 4 PENUTUP Tn.A kecelakaan mobil dan mengalami trauma dada dan abdomen yang menimbulkan perdarahan interna. Evakuasi perdarahan ditangani dengan laparatomi dan torakotomi. Pasca operasi ditemukan tanda-tanda ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome). Fokus utama tindakan keperawatan yang dilakukan oleh tim perawat ICU adalah mempertahankan jalan napas, memonitor balance cairan, memonitor status pernapasan, memonitor status nutrisi, mengoptimalkan ROM pasif dan aktif, mencegah gangguan integritas kulit, mencegah infeksi. Pemasangan ventilator dilakukan untuk menurunkan masalah ARDS. Pada hari ke 14, ditemukan adanya tanda-tanda infeksi pada luka post laparatomi. Setelah diperiksa dengan kultur darah dan pus, dihasilkan adanya infeksi Pseudomonas yang resistan dan diputuskan ditangani oleh imipenem sebagai antibiotic beta-lactam yang berspektrum terluas. Dan perawat menduga adanya DIC Karen ditemukannya melena, yang akhirnya dikaitkan dengan trauma dan adanya septic. DIC harus dibuktikan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan diagnostic lanjutan. Penanganan DIC sendiri berfokus pada perbaikan mekanisme yang mendasarinya, yang mungkin memerlukan penggunaan antibiotic, , dukungan kardiovaskular. Penggantian factor-faktor plasma dengan plasma dan kriokresipitat, serta transfuse trombosit dan sel darah merah, mungkin diperlukan. 43 [TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)] DAFTAR PUSTAKA http://www.surgeryencyclopedia.com/St-Wr/Thoracotomy.html (diakses pada tanggal 17 Desember 2010, pukul 14.19 WIB) Diklat Yayasan Ambulans Gawat darurat 118. Basic Trauma life Support & Basic Cardiac Life Support.2009. Jakarta: Perpustakaan Nasional Brunner & Suddart, Suzanne C, Smeltzer and Brenda G. Bare. Keperawatan Medikal Bedah volume I.2005. Jakarta: EGC. Schumacker Lori and Cyntia Chernecky. Critical Care & Emergency Nursing. 2005.USA: Elsevier Saunorus Marianne,Keen Janet Hicks,and Swearingen, Pamela L. Manual of Critical Care Nursing: Nursing Intervention and Collaborative Management. 2005. Missouri: Elsevier Mosby Hack, Erick. Zeerleder, Sacha and Wuillemin,Walter A. Disseminated Intravascular Coagulation in Sepsis. 2005. (accesed in 9 Desember 2010) 44