TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL CARE)

advertisement
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
BAB 1
PENDAHULUAN
Kecelakaan Lalu Lintas dan Masalah Perkotaan jauh sebelum kendaraan
bermotor ditemukan, kecelakaan di jalan hanya melibatkan kereta, hewan, dan
manusia. Kecelakaan lalu lintas menjadi meningkat secara eksponensial ketika
ditemukan berbagai jenis kendaraan bermotor. Kecelakaan sepeda motor yang
tercatat pertama kali terjadi di New York pada tanggal 30 Mei 1896. Pada tanggal
17 Agustus tahun yang sama, tercatat terjadi kecelakaan yang menimpa pejalan
kaki di London.
Sejak saat itu, kecelakaan di seluruh dunia terus terjadi hingga jumlah
kumulatif orang meninggal akibat kecelakaan tercatat 25 juta orang pada tahun
1997. Pada tahun 2002 saja tercatat 1,2 juta orang. Jumlah kecelakaan tidak
merata untuk masing-masing wilayah dan negara.
Pada individu yang mengalami kematian akibat kecelakaan, mereka
sebagian besar mengalami trauma, yang dimaksud dengan korban trauma adalah
korban yang mengalami gangguan fisik, yaitu berupa benturan dengan benda
keras. Penyebab terjadinya benturan bisa bermacam-macam, seperti jatuh,
kejatuhan benda, atau kecelakaan lalu lintas. Berdasarkan tingkat cideranya,
korban trauma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu trauma ringan (non significant)
dan berat (significant). Korban dikatakan trauma ringan bila mengalami cidera
yang kemungkinan kematian dan cacatnya kecil, seperti terkilir, luka bakar
ringan, terpeleset, dan lain-lain. Korban dikatakan trauma berat jika kemungkinan
kematian atau cacat permanennya besar.
Cidera organ/multiorgan sampai rusaknya organ, contohnya kerusakan
paru secara permanen dapat ditimbulkan oleh kejadian trauma. Untuk
menurunkan angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas, maka diperlukan
penanganan
awal
yang
baik.
Meliputi
sistem
pertolongan
pertama,
kegawatdaruratan, dan perawatan kritis secara komprehensif.
1
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
Maka, dalam makalah ini kami akan membahas tentang salah satu bentuk
trauma dada yang menyebabkan rupture ginjal, kerusakan paru, mencetuskan
DIC, syok hmoragic, dan shock septic. Yang akan ditangani mulai dari fase gawat
darurat, kritis, dan perawatan pemulihan.
2
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
BAB 2
LANDASAN TEORI
A. TRAUMA DADA
a) Definisi
Trauma dada adalah abnormalitas rangka dada yang disebabkan oleh
benturan pada dinding dada yang mengenai tulang rangka dada, pleura paruparu, diafragma ataupun isi mediastinal baik oleh benda tajam maupun tumpul
yang dapat menyebabkan gangguan system pernafasan.
b) Patofisiologi
Rongga dada terdiri dari sternum, 12 vetebra torakal, 10 pasang iga yang
berakhir di anterior dalam segmen tulang rawan dan 2 pasang iga yang
melayang. Di dalam rongga dada terdapat paru-paru yang berfungsi dalam
sistem pernafasan. Apabila rongga dada mengalami kelainan, maka akan
terjadi masalah paru-paru dan akan berpengaruh juga bagi sistem pernafasan.
Akibat trauma dada disebabkan karena:
Tension pneumothorak cedera pada paru memungkinkan masuknya udara
(tetapi tidak keluar) ke dalam rongga pleura, tekanan meningkat,
menyebabkan pergeseran mediastinum dan kompresi paru kontralateral
demikian juga penurunan aliran baik venosa mengakibatkan kolapsnya paru.
Pneumothorak tertutup dikarenakan adanya tusukan pada paru seperti patahan
tulang iga dan tusukan paru akibat prosedur invasif penyebabkan terjadinya
perdarahan pada rongga pleural meningkat mengakibatkan paru-paru akan
menjadi kolaps. Kontusio paru mengakibatkan tekanan pada rongga dada
akibatnya paru-paru tidak dapat mengembang dengan sempurna dan ventilasi
menjadi terhambat akibat terjadinya sesak nafas. Sianosis dan tidak menutup
kemungkinan akan terjadi syok.
c) Mekanisme trauma
•
Trauma tumpul toraks (blunt chest trauma)
Kejadian
 Benturan langsung (direct blow )
 Cedera deselerasi
3
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
 Cedera akibat kompresi
 Fraktur kosta paling sering terjadi pada trauma tumpul
Bila terjadi Fraktur scapula, sternum, dan kosta pertama selalu
merupakan trauma yang sangat kuat.
•
Trauma tembus (penetrans)
Sering akibat trauma tusuk. Kelainan yang dapat terjadi :
 Luka / laserasi paru bagian perifer
 Haemotoraks
 Pneumotoraks
 Cedera jantung, pembuluh darah besar atau esofagus
d) Jenis trauma
Terdapat 6 jenis trauma thorax yang harus dikenali pada survei primer, karena
apabila tidak dikenali dapat menyebabkan kematian dengan cepat.
 Gangguan airway
Penekanan pada trakea di daerah toraks dapat terjadi karena fraktur
misalnya fraktur sternum. Pada pemeriksaan klinis penderita akan ada
gejala penekanan airway seperti stridor inspirasi dan suara serak. Biasanya
penderita perlu jalan napas definitif.
 Gangguan breathing
 Pneumothorax terbuka (sucking chest wound)
Defek atau luka yang besar di dinding dada akan menyebabkan
pneumotoraks terbuka. Tekanan di rongga toraks akan segera menjadi
sama dengan tekanan atmosfer. Dapat timbul karena trauma tajam,
sehingga ada hubungan udara luar dengan rongga pleura dan paru
menjadi kuncup.
Apabila lubang ini lebih besar dari 2/3 diameter trakea, maka udara
akan lebih mudah melewati lubang pada dinding dada dibandingkan
melewati mulut, sehingga terjadi sesak yang hebat.
 Tension pneumotoraks
Terdapat kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau dari
luar melalui dinding dada masuk ke dalam rongga pleura paru-paru atau
dari luar melalui dinding dada, kemudian masuk ke dalam rongga pleura
4
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
dan tidak dapat keluar lagi. Maka udara akan semakin banyak pada satu
sisi rongga pleura. Akibatnya adalah paru sebelahnya akan tertekan,
dengan akibat sesak yang berat dan mediastinum akan terdorong,
akibatnya adalah timbul syok.
 Penyebab dari tension pneumotoraks adalah komplikasi penggunaan
ventilasi meklanik dengan tekanan positif pada penderita yang ada
kerusakan pada pleura viseral.
 Tension pneumotoraks ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak yang
berat, distres pernapasan, takikardi, hipotensia, deviasi trakea,
hilangnya suara napas pada satu sisi dan distensi vena leher.
 Hematothorax massif
Terdapat perdarahan hebat pada rongga dada. Pada keadaan ini
akan terjadi sesak, karena darah dalam rongga pleura dan syok karena
kehilangan darah
 Flai chest
Flail chest disebabkan karena fraktur iga multipel pada dua atau
lebih tulang dengan dua atau lebih garis fraktur. Pada saat ekspirasi
segmen akan menonjol keluar, pada inspirasi justru masuk ke dalam,
yang dikenal sebagai pernapasan paradoksal.
Sesak berat yang terjadi harus dibantu dengan oksigenasi dan mungkin
diperlukanventilasi tambahan.
 Circulation (syok)
Cedera toraks yang mempengarui sirkulasi dan harus ditemukan
pada primary adalah hemothorax masif karena terkumpulnya darah dengan
cepat di rongga pleura.juga dapat terjadi pada tamponade jantung,
walaupun penderita datang tidak dalam keadaan sesak nemun dalam
keadaan syok.
Karena darah terkumpul dalam rongga perikardium, maka
kontraksi jantung terganggu sehingga timbul syok yang berat. Biasanya
terjadi pelebaran pembuluh darah vena leher, disertai bunyi jantung yang
jauh dan nadi yang kecil.
5
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
Pada infus yang diguyur tidak banyak menimbulkan respon.
Seharusnya pada penderita ini dilakukan perikardio sintesis, yaitu
penusukan rongga perikardium dengan jarum besar untuk mengeluarkan
darah tersebut.
 Faktur iga
Terjadi akibat kecelakaan kendaraan atau tertimpa benda berat
 Kontusio paru
Pada kontusio paru yang sering terjadi adalah kegagalan bernapas
yang dapat timbul perlahan atau berkembang sesuai waktu, tidak
langsung terjadi setelah kejadian.
e) Thorakotomy
Torakotomi adalah tindakan life saving untuk menhentikan kelainan yang
terjadi karena pendarahan (Reksoprodjo, S, 1995). Indikasi torakotomi pada
hemotoraks adalah bila perdarahan mula-mula lebih dari 1500 ml atau
perdarahan lebih dari 3 - 5 ml/ kg BB/jam selama 4 jam berturut-turut pada
masa observasi.
B. TRAUMA ABDOMEN
a) Definisi
Trauma abdomen adalah trauma yang terjadi pada daerah abdomen yang
meliputi daerah retroperitoneal, pelvis dan organ peritoneal.
b) Mekanisme trauma
 Langsung
 Pasien terkena langsung oleh benda atau perantara benda yang
mengakibatkan cedera misalnya tertabrak mobil dan terjatuh dari
ketinggian
 Tidak langsung
 Pengendara mobil terbentur dengan dash board mobil ketika kedua
mobil tabrakan
c) Jenis trauma
 Trauma tembus (Tusuk dan tembak)
6
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
Penyebab benda tajam atau benda tumpul dengan kekuatan penuh
hingga melukai rongga abdomen.
 Perdarahan hebat à ruptur arteri/vena
 Cedera organ di rongga abdomen
 Trauma tumpul
Trauma di daerah abdomen yang tidak menyebabkan perlukaan
kulit / jaringan tetapi kemungkinan perdarahan akibat trauma bisa terjadi.
d) Manifestasi klinis
Pada
pemeriksaan
sekunder
kita
harus
memeriksa
secara
teliti
kemungkinan adanya luka-luka yang lain, tanda-tanda adanya trauma tumpul.
Bila ditemukan tanda-tanda iritasi peritoneal biasanya menunjukkan ada
cedera pada organ peritoneal.
Ada beberapa indikasi untuk melakukan pemeriksaan secara teliti pada
kasus yang kita curigai adanya trauma tumpul abdomen, antara lain :
 Perdarahan yang tidak diketahui
 Riwayat syok
 Adanya trauma dada mayor
 Adanya fraktur pelvis
 Penderita dengan penurunan kesadaran
 Adanya hematuri
 Pada pemeriksaan fisik ditemukan jejas di abdomen (luka lecet, kontusio,
dan perut distensi)
 Mekanisme trauma yang besar
Pada hakekatnya gejala dan tanda yang timbul dapat karena 2 hal:
 Pecahnya organ solid (padat)
Hepar dan lien (limpa) yang pecah akan menyebabkan perdarahan yang
bervariasi dari ringan sampai sangat berat, bahkan kematian.
Gejala dan tandanya adalah :
 Gejala perdarahan secara umum
7
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
Penderita tampak anemis. Bila perdarahan berat akan timbul gejala
dan tanda syok hemorargik
 Gejala adanya darah intra-peritoneal
Penderita akan merasa nyeri abdomen, yang dapat bervariasi dan
ringan sampai nyeri berat. Pada auskultasi biasanya bising usus
mennurun, yang bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya karena
bising usus akan menurun pada banyak keadaan lain.
Pada pemeriksaan akan teraba bahwa abdomen nyeri tekan,
kadang-kadang ada nyeri lepas dan defans muskular seperti pada
peritonitis. Pada perkusi akan ditemukan pekak sisi yang meninggi.
 Pecahnya organ berlumen
Trauma yang mengenai struktur peritoneal anngka mortalitasnya
tinggi dan sering tidak terdiagnosa maupun salah diagnosa.
Pecahnya gaster, usus halus atau kolon akan menimbulkan
peritonitis yang dapat timbul cepat sekali atau lebih lambat. Pada
pemeriksaan penderita akan menngeluh nyeri seluruh abdomen. Pada
auskultasi bising usus akan menurun. Pada palpasi akan ditemukan defans
muskular, nyeri tekan dan nyeri lepas. Pada perkusi juga dapat
menimbulkan nyeri ketok.
Apabila trauma tajam akan ditemukan bahwa organ intra abdomen
yang menonjol keluar (paling sering omentum, bisa juga usus halus),
trauma ginjal akan menyebabkan perdarahan yang tidak masuk rongga
peritoneum. Perdarahan dari ginjal dapat menyebabkan syok hemoragik.
Gejala lain pada trauma ginjal adalah bahwa kebanyakan penderita akan
kencing kemerahan atau darah(hematuria).
e) Penderita Organ yang berisiko cedera
 Luka Tusuk :
 Hepar (40%)
 Usus halus (30%)
 Diafragma (20%)
 Colon (14%).
 Luka tembak :
8
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
 Usus halus (50%)
 Colon (40%)
 Liver (30%)
 Ruptur vaskuler abdominal (25%)
 Trauma tumpul
 Hepar 40 - 55 %
 Limpa 35 – 45 %
f) Laparatomi
 Definisi
Bedah laparatomi merupakan tindakan operasi pada daerah
abdomen, bedah laparatomi merupakan teknik sayatan yang dilakukan
pada daerah abdomen yang dapat dilakukan pada bedah digestif dan
kandungan.
Adapun tindakan bedah digestif yang sering dilakukan dengan
teknik
sayatan
arah laparatomi
yaitu: Herniotorni,
kolesistoduodenostomi,
hepateroktomi,
apendektomi,
hemoroidektomi
kolostomi,
gasterektomi,
splenorafi/splenotomi,
dan
fistulotomi
atau
fistulektomi.
Tindakan bedah kandungan yang sering dilakukan dengan teknik
sayatan arah laparatomi adalah berbagai jenis operasi uterus, operasi pada
tuba fallopi dan operasi ovarium (Prawirohardjo), yaitu: histerektomi baik
itu histerektomi total, histerektomi sub total, histerektomi radikal,
eksenterasi pelvic dan salingo-coforektomi bilateral. Selain tindakan bedah
dengan teknik sayatan laparatomi pada bedah digestif dan kandungan,
teknik ini juga sering dilakukan pada pembedahan organ lain, menurut
Spencer (1994) antara lain ginjal dan kandung kemih. Ada 4 (empat) cara,
yaitu :

Midline incision

Paramedian, yaitu : panjang (12,5 cm) ± sedikit ke tepi dari garis
tengah
9
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
Transverse upper abdomen incision, yaitu : sisi di bagian atas,

misalnya pembedahan colesistotomy dan splenektomy
Transverse lower abdomen incision, yaitu : 4 cm di atas anterior

spinal iliaka, ± insisi melintang di bagian bawah misalnya : pada
operasi appendictomy.
 Indikasi Laparatomi
 Trauma abdomen (tumpul atau tajam) / Ruptur hepar
 Peritonitis
 Perdarahan saluran pencernaan (Internal Blooding)
 Sumbatan pada usus halus dan usus besar
 Masa pada abdomen (Sjamsuhidajat R, Jong WD, 1997).
 Komplikasi
 Ventilasi paru tidak adekuat
 Gangguan kardiovaskuler : hipertensi, aritmia jantung
 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
 Gangguan rasa nyaman dan kecelakaan
 Post Laparatomi
Perawatan post laparatomi adalah bentuk pelayanan perawatan yang
diberikan kepada pasien-pasien yang telah menjalani operasi pembedahan
perut.
 Tujuan Perawatan Post Laparatomi
 Mengurangi komplikasi akibat pembedahan
 Mempercepat penyembuhan
 Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum
operasi
 Mempertahankan konsep diri pasien
 Mempersiapkan pasien pulang
 Komplikasi Post Laparatomi
 Tromboplebitis
Tromboplebitis post operasi biasanya timbul 7-14 hari setelah
operasi. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari
10
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke
paru-paru, hati dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki
post operasi, ambulatif dini dan kaos kaki TED yang dipakai klien
sebelum mencoba ambulatif.
 Infeksi
Infeksi luka sering muncul pada 36-46 jam setelah operasi.
Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus
aureus,
organisme
;gram
positif.
Stapilokokus
mengakibatkan
pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka yang penting adalah
perawatan luka dengan mempertahankan aseptik dan antiseptik.
 Dehisensi Luka atau Eviserasi
Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka
adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor penyebab
dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu
pembedahan, ketegangan yang berat pada dinding abdomen sebagai
akibat dari batuk dan muntah.
 Proses Penyembuhan Luka
 Fase pertama (Inflamasi)
Berlangsung sampai hari ke 3. Batang lekosit banyak yang rusak/rapuh.
Sel-sel darah baru berkembang menjadi penyembuh dimana serabutserabut bening digunakan sebagai kerangka.
 Fase kedua (Proliferatif)
Dari hari ke 3 sampai hari ke 14. Pengisian oleh kolagen, seluruh
pinggiran sel epitel timbul sempurna dalam 1 minggu. Jaringan baru
tumbuh dengan kuat dan kemerahan.
 Fase ketiga (Maturasi)
Sekitar 2 sampai 10 minggu kolagen terus menerus ditimbun, timbul
jaringan-jaringan baru dan otot dapat digunakan kembali.
 Fase keempat (fase terakhir)
Pada fase penyembuhan akan menyusut dan mengkerut.
 Intervensi untuk Meningkatkan Penyembuhan
 Meningkatkan intake makanan tinggi kalori dan tinggi protein ( TKTP)
11
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
 Menghindari obat-obat anti radang seperti steroid
 Pencegahan infeksi
 Pengembalian Fungsi Fisik
Pengembalian fungsi fisik dilakukan segera setelah operasi dengan latihan
nafas dan batuk efektif, latihan mobilisasi dini. Latiahn-latihan fisik
diantaranya latihan nafas dalam, latihan batuk, menggerakan otot-otot kaki,
menggerakan otot-otot bokong. Latihan alih baring dan turun dari tempat
tidur, semuanya dilakukan hari ke 2 post operasi.
C. ARDS (Adult Respiratory distress syndrome)
a) Definisi
Merupakan keadaan gagal nafas mendadak yang timbul pada klien dewasa
tanpa ada kelainan paru yang mendasari sebelumnya.
b) Patologi
secara makroskopis, paru tampak hitam kemerahan, beratnya bertambah,
tidak terdapat udara, dan hampir tidak mengembang. Potongan penampang
paru menunjukkan perdarahan, kongesti, edema, menyerupai hati, perubahan
paling awal dari segi histology adalah
c) Diagnosis
Diagnosis ARDS dapat dibuat berdasarkan pada kriteria berikut:

Gagal nafas akut

Infiltrate pulmoner “fluffy” bilateral pada gambaran rontgen toraks.

Hipoksemia (PaO2 dibawah 50-60 mmHg) meski FcO2 50-60%
(fraksi oksigen yang dihirup)
d) Penataksanaan medis
Mortalitas pada ARDS mencapai 50% dan tidak bergantung pada
pengobatan. Oleh karena itu, perawat perlu mengetahui tindakan pencegahan
ARDS. Hal-hal penting yang perlu diketahui dan dipahami dengan baik adalah
factor-faktor predisposisi seperti sepsis, pneumonia aspirasi, dan deteksi dini
ARDS. Pengobatan dalam masa laten dapat lebih besar kemungkinannya
untuk berhasil daripada jika dilakukan ketika sudah timbul gejala ARDS.
12
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
Tujuan pengobatan adalah sama walaupun etiloginya berbeda, yaitu
mengembangkan alveoli secara optimal untuk mempertahankan gas darah
arteri dan oksigenasi jaringan yang adekuat, keseimbangan asam-basa, dan
sirkulasi dalam tingkat yang dapat ditoleransi sampai membrane alveolikapiler kembali pulih.
Pemberian cairan harus dilakukan secara seksama, terutama jika ARDS
disertai kelainan fungsi ginjal dan sirkulasi, sebab dengan adanya peningkatan
kenaikan permeabilitas kapiler paru, cairan dari sirkulasi merembes ke rongga
interstisial dan memperberat edema paru. Cairan yang diberikan harus cukup
untuk mempertahankan sirkulasi yang adekuat (denyut jantung tidak cepat,
ekstremitas hangat, dan diuresis yang baik) tanpa menimbulkan edema atau
memperberat edema paru. Jika perlu dimonitor dengan kateter Swan-Ganz dan
teknik thermodelution untuk mengukur curah jantung.
Pemberian albumin tidak terbukti efektif pada ARDS, sebab pada kelainan
permeabilitas yang luas, albumin ikut merembes ke ruang ekstravaskular.
Peranan kortikosteroid pada ARDS masih diperdebatkan, pemberian
metilprednisolon 30 mg/KgBB secara intravena setiap 6 jam sekali lebih
disukai, terutama kortikosteroid terutama diberikan pada syok septic.
e) Patofisioligi
13
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
D. DIC (Disseminated Intravaskular Coagulation)
a) Definisi
Adalah suatu sindrom kompleks yang terdiri atas banyak segi, yang sistem
homeostatic dan fisiologik normalnya mempertahankan darah tetap cair
berubah menjadi suatu sistem patologik yang menyebabkan terbentuknya
trombi fibrin difus, yang menyumbat mikrovaskuler tubuh (Price and Wilson,
2006).
b) Patofisiologi
Sistem fibrinolitik diaktivasi oleh thrombin didalam sirkulasi, yang
memecah fibrinogen menjadi monomer fibrin. Thrombin juga merangsang
agregasi trombosit, mengaktivasi faktor V dan VIII, serta melepas activator
plasminogen, yang membentuk plasmin. Plasmin memecah fibrin, membentuk
produk-produk degradasi fibrin, selanjutnya menginaktivasi factor V dan VIII.
Aktivasi thrombin yang berlebihan mengakibatkan berkurangnya fibrinogen,
trombositopenia, factor-faktor koagulasi, dan fibrinolisis (Linker, 2001), yang
mengakibatkan perdarahan difus.
Hasil thrombus fibrin dapat atau tidak menyumbat mikrovaskular.
Bersamaan dengan ini, sistem fibrinolitik diaktivasi untuk pemecahan
trombifibrin, menghasilkan banyak fibrin dan produk degradasi fibrinogen
yang mengganggu polimerasi fibrin dan fungsi trombosit (Guyton, 2001).
DIC bukan merupakan penyakit, tetapi akibat proses penyakit yang
mendasarinya. Perubahan pada segala komponen sistem vascular, yaitu
dinding pembuluh darah, protein plasma dan trombosit, dapat menyebabkan
suatu gangguan konsumtif (Coleman et al, 1993). Masuknya zat atau aktivasi
prakoagulan kedalam sirkulasi darah mengawali sindrom tersebut dan dapat
terjadi pada segala kondisi yang tromboplastin jaringannya dibebaskan akibat
destruksi jaringan, dengan inisiasi jalur pembekuan ekstrinsik.
Semua penyakit yang merupakan predisposisi terjadinya DIC termasuk
septicemia, pelepasan plasenta dini (solusio plasenta), keganasan metastatik,
reaksi transfuse hemolitik, trauma jaringan yang massif dan syok.
14
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
c) Manifestasi klinis
Bergantung pada luas dan lamanya pembentukan trombi fibrin, organorgan yang terlibat, nekrosis, serta perdarahan yang ditimbulkan. Organ-organ
yang paling sering terlibat adalah ginjal, kulit, otak, hipofisis, paru dan
adrenal, serta mukosa saluran cerna. Terdapat perdarahan membrane mukosa
dan jaringan-dalam, serta perdarahan disekitar tempat cedera, pungsi vena,
penyuntikan, dan pada setiap orifisium. Sering dijumpai petekie dan ekimosis.
Manifestasi lain berupa hipotensi (syok), oliguria atau anuria, kejang dan
koma, mual, muntah, diare, nyeri abdomen, nyeri punggung, dispneau, dan
sianosis (Guyton, 2001).
d) Pemeriksaan diagnostik
Tes diagnostic menunjukkan PT, PTT, TT, yang memanjang dan
peningkatan produk-produk pemecahan fibrin. Kadar fibrinogen dan jumlah
trombosit menurun. Sediaan apus darah perifer dapat menunjukkan
fragmentasi eritrosit sekunder akibat kerusakan oleh serabut fibrin.
e) Penanganan
Penanganan ditujukan pada perbaikan mekanisme yang mendasarinya,
yang mungkin memerlukan penggunaan antibiotic, agen-agen kemoterapeutik,
dukungan kardiovaskular. Penggantian factor-faktor plasma dengan plasma
dan kriokresipitat, serta transfuse trombosit dan sel darah merah, mungkin
diperlukan.
E. WATER SEAL DRAINAGE
a) Definisi
WSD merupakan tindakan invasive yang dilakukan untuk mengeluarkan
udara, cairan (darah, pus) dari rongga pleura, rongga thorax; dan mediastinum
dengan menggunakan pipa penghubung.
b) Tujuan Pemasangan WSD
•
Untuk mengeluarkan udara, cairan (darah, pus) dari rongga pleura, rongga
thorax, dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung.
15
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
•
Mengembalikan tekanan negative pada rongga pleura.
•
Mengembangkan kembali paru yang kolaps.
•
Mencegah refluks drainage kembali ke dalam rongga dada.
•
Mengalirkan / drainage udara atau cairan dari rongga pleura untuk
mempertahankan tekanan negative rongga tersebut.
c) PerubahanTekanan Rongga Pleura
d) Indikasi:
a. Pneumothoraks :
 Spontan> 20% oleh karena rupture bleb
 Luka tusuk tembus
 Klem dada yang terlalu lama
 Kerusakan selang dada pada sistem drainase
b. Hemothoraks :
 Robekan pleura
 Kelebihan antikoagulan
 Pasca bedah thoraks
c. Thorakotomy :
16
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
 Lobektomy
 Pneumoktomy
d. Efusi pleura : Post operasi jantung
e. Emfiema :
 Penyakit paru serius
 Kondisi inflamsi
e) Kontraindikasi Pemasangan:
a. Infeksi pada tempat pemasangan.
b. Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol.
f) Komplikasi Pemasangan WSD:
a. Komplikasi primer : perdarahan, edema paru, tension pneumothoraks,
atrial aritmia
b. Komplikasi sekunder : infeksi, emfiema
g) Tempat Pemasangan WSD
a. Bagian apex paru (apical)

anterolateral interkostake 1-2

fungsi : untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura
b. Bagian basal
 postero lateral interkostae 8-9
 fungsi : untuk mengeluarkan cairan (darah, pus) dari rongga pleura
h) Jenis-jenis WSD
a. WSD dengan sistem satu botol
17
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
• Sistem yang paling sederhana dan sering digunakan pada pasien
simple pneumothoraks
• Terdiri dari botol dengan penutup segel yang mempunyai 2 lubang
selang yaitu 1 untuk ventilasi dan 1 lagi masuk ke dalam botol
• Air steril dimasukan kedalam botol sampai ujung selang terendam
2cm untuk mencegah masuknya udara ke dalam tabung yang
menyebabkan kolaps paru
• Selang untuk ventilasi dalam botol dibiarkan terbuka untuk
memfasilitasi udara dari rongga pleura keluar
• Drainage tergantung dari mekanisme pernafasan dan gravitasi
• Undulasi pada selang cairan mengikuti irama pernafasan :
• Inspirasi akan meningkat
• Ekpirasi menurun
b. WSD dengan sistem 2 botol
• Digunakan 2 botol ; 1 botol mengumpulkan cairan drainage dan
botol ke-2 botol water seal.
• Botol 1 dihubungkan dengan selang drainage yang awalnya kosong
dan hampa udara, selang pendek pada botol 1 dihubungkan dengan
selang di botol 2 yang berisi water seal
• Cairan drainase dari rongga pleura masuk ke botol 1 dan udara dari
rongga pleura masuk ke water seal botol 2
• Prinsip kerjasama dengan sistem 1 botol yaitu udara dan cairan
mengalir dari rongga pleura kebotol WSD dan udara dipompakan
keluar melalui selang masuk ke WSD
• Bisasanya
digunakan untuk mengatasi hemothoraks, hemo
pneumothoraks, efusi pleural
18
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
c. WSD dengan sistem 3 botol
• Sama dengan sistem 2 botol, ditambah 1 botol untuk mengontrol
jumlah hisapan yang digunakan
• Paling aman untuk mengatur jumlah hisapan
• Yang terpenting adalah kedalaman selang di bawah air pada botol
ke-3. Jumlah hisapan tergantung pada kedalaman ujung selang yang
tertanam dalam air botol WSD
• Drainage
tergantung
gravitasi
dan
jumlah
hisapan
yang
ditambahkan
• Botol ke-3 mempunyai 3 selang :
• Tube pendek diatas batas air dihubungkan dengan tube pada botol
kedua
• Tube pendek lain dihubungkan dengan suction
• Tube di tengah yang panjang sampai di batas permukaan air dan
terbuka ke atmosfer.
F. CIPROFLOXACIN
Ciprofloxacin merupakan suatu anti infeksi sintetik golongan quinolon.
Ciprofloxacin menghambat DNA topoisomerase yang biasa disebut DNA-gyrase,
dengan akibat terhentinya metabolism kuman. Ciprofloxacin tidak menunjukkan
resistensi pararel terhadap antibiotika lain yang tidak termasuk pada golongan
karboksilat. Dapat digunakan untuk infeksi yang disebabkan bakteri yang resisten
terhadap antibiotika lain misalnya aminoglikosida, penicillin, chepalosporin,
tertrasiklin, makrolid, antibiotika bertalaktam, sufonamid, derivate trimetropim
atau nitrofuram, serta efektif terhadap bakteri gram negative dan positif.
19
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
Ciprofloxacin diabsorbsi terutama di usus kecil, mencapai konsentrasi
puncak terutama setelah 60-90 menit dan metabolitnya dieksresikan melalui urin
dan feaces.
Indikasi
Untuk mengobati infeksi yang disebabkan kuman pathogen yang peka terhadap
ciprofloxacin:

Saluran pernafasan, kecuali pneumonia oleh streptococcus.

Saluran kemih termasuk prostatitis

Saluran pencernaan termasuk tifoid dan paratifoid

Kulit dan jaringan lunak

Tulang dan sendi

Otitis media

Sinus paranasal terutama bila disebabkan bakteri gram negative termasuk
pseudomonas atau staphylococcus.

Mata

Infeksi rongga perut

Urethritis dan cervitis gonohrea

Sepsis
Kontraindikasi

Penderita yang hipersensitif terhadap ciprofloxacin atau kuinolon yang
lain.

Anak-anak dan remaja sebelum akhir fase pertumbuhan

Wanita hamil dan menyusui
Peringatan dan perhatian

Penderita yang pernah mendapat serangan cerebral hany boleh diobati
dengan ciprofloxacin bila terjamin mendapat terapi antikonvulsiva yang
cocok

Hati-hati pada pemberian fungsi ginjal

Pemakaian tidak boleh melebihi dosis yang dianjurkan

Untuk menghindari kristaluria maka tablet harus dimunum dengan tablet
yang cukup.
20
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]

Hati-hati bila diberikan pada penderita usia lanjut, penderita epilepsi dan
penderita penyakit SSP; harus mempertimbangkan untung ruginya

Selama minum obet ini tidak boleh mengendarai kendaraan bermotor, atau
menjalankan mesin terutama bila diminum dengan alkohol

Hindari sinar matahari yang berlebihan
Efek Samping

Kadang-kadang terjadi keluhan saluran pencernaan seperti mual,
muntah, diare, dyspepsia, sakit perut dan meteorisme

Gangguan SSP, seperti sakit kepala, pusing, rasa letih, kadang-
kadang gangguan pengelihatan

Efek terhadap darah: eosinofil, leukositosis, dan anemia

Rekasi kuliat

Pada penderita ganguan fungsi hati dapat meningkatkan serum
transaminase
Interaksi Obat

Penyerapan ciprofloxacin dipengaruhi oleh antasida
yang mengandung
almunium dan magnesium hidroksida maka ciprofloxacin jangan diberikan
bersamaan, tetapi 1-2 jam sebelum dan sesudah pemberian antasida.

Pemberian bersama teofilin akan meninggikan konsentrasi teofilin dalam
plasma. Bila pemberian
bersama teofilin tidak dapat dihindarkan,
konsentrasi teofilin dalam plasma harus dimonitor, bila perlu dosis tefilin
dikurangi

Pemberian bersama glibenklamid akan meninggikan efek glikenkamid
sehingga dapat terjadi hipoglikemia. Pemberian bersama dengan warfarin
akan meningkatkan efek warfarin

Pemberian ciprofloxacin dosis tinggi bersama dengan obat-obatan AINS
dapat menimbulkan kejang

Harus dipetimbangkan terjadiny interaksi bila diberikan bersama
probenecid, klidamisin, dan metronidazol
21
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
G. IMIPENEM
Deskripsi:
Imipenem adalah antibiotik yang melawan infeksi serius yang disebabkan
oleh bakteri. Dalam penggunaannya, biasanya disertai dengan Cilastatin.
Cilastatin membantu Imipenem bekerja secara lebih efektif dengan mencegah
penguraian antibiotik dalam ginjal.
Imipenem adalah karbapenem, yang merupakan antibiotic berspektrum
terluas dari seluruh antibiotic beta-laktam yang ada. Dalam pemberiannya
antibiotic ini diberikan bersama kilastatin, yang menghambat metabolism
imipenem di tubulus ginjal, dan mencegah pembentukan senyawa nefrotoksik.
Imipenem dapat digunakan pada pengobatan tunggal infeksi bermacammacam bakteri, sementara antibiotic lainnya memerlukan kombinasi dengan
antibiotic lain.
Indikasi:
Untuk mengubati infeksi serius pada sistem pernapasan bawah, kulit, perut,
organ reproduksi wanita, dan sistEm tubuh lainnya.
Dosis:
1. 1-2 gr/hari melalui pembuluh darah (intra venous), dosis dibagi setiap 6-8
jam
2. Dosis maksimum: 4 gr/hari atau 50 mg/kg/hari, yang mana saja yang lebih
rendah.
Efek Samping:
1. Efek GI (diare, N/V, diare/radang usus besar yang dikaitkan dengan
antibiotik,
perubahan
warna
lidah/gigi,
mengubah
rasa);
Reaksi
hipersensitivitas yang mencakup hipersensitif ringan (misalnya ruam)
hingga hipersensitif parah (seperti anaphylaxis) bisa terjadi; Efek lainnya
(infeksi candidal).
2. Efek CNS (gangguan mental, kebingungan; Imipenem/cilastatin: seizure
dan convulsion telah dilaporkan khususnya pada pasien yang memiliki
riwayat luka CNS, dan atau disfungsi ginjal); Efek dermatologis parah
22
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
yang jarang (misalnya dermatitis eksfoliatif, sindrom Stevens-Johnson,
dan lain-lain); Efek hepatik yang jarang.
Instruksi Khusus:
1. Gunakan
dengan
hati-hati
pada
pasien
yang
alergi
penicillin,
cephalosporins atau beta-lactam lainnya, pasien dengan kerusakan dinjal.
2. Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan gangguan CNS (misalnya
epilepsi).
23
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
BAB 3
KASUS DAN PEMBAHASAN
A. KASUS
Kasus (Trauma dada, trauma abdomen/ginjal, sepsis dan DIC)
Tn. A (40 tahun) mengalami kecelakaan mobil, saat masuk IGD kondisi sebagai
berikut : Kesadaran apatis; TD: 100/70 mmHg; Nadi : 120x/menit agak lemah;
pernapasan : 35x/menit cepat dan dangkal; suhu: 36,50C; suara paru kanan redup,
suara paru kiri normal, gerakan dada asimetris tertinggal sebelah kanan, tampak
biru daerah dada dan abdomen; katerisasi urine ditemukan urin urin berwarna
merah. Hasil pemeriksaan diagnostik adalah USG didapatkan ginjal ruptur, paruparu kanan hemotoraks. Diunit IGD telah dilakukan torakotomi dan laparotomi.
Saat ini pasien dirawat di ruang ICU sejak hari pertama/ post operasi. Kondisi saat
ini kesadaran CM-apatis,TD:120/80 mmHg, HR:120x/menit, P: 30x/menit,
S:36,90C, pernapasan dengan ventilator model volume control (VC) karena pasien
post operasi terjadi ARDS, terpasang WSD dengan cairan pleura masih tampak
merah sebanyak 100cc/hari, terpasang transfusi PRC kantong kedua, cek AGD
tiap shift, mendapatkan terapi ciprofloksasin 3x500 mg (IV), kemampuan
mobilisasi tidak ada. Fokus utama tindakan keperawatan yang dilakukan oleh tim
perawat ICU adalah mempertahankan jalan napas, memonitor balance cairan,
memonitor status pernapasan, memonitor status nutrisi, mengoptimalkan ROM
pasif dan aktif, mencegah gangguan integritas kulit, mencegah infeksi.
Pada hari ke-14 pasien di rawat di ICU kondisi pasien agak menurun kesadaran
sopor koma, pernapasan menggunakan ventilator VC(volume control), luka opersi
thoraks tak ada tanda-tanda infeksi, kulit intake, tak ada cairan yang keluar,
namun kondisi luka laparotomi mengalami infeksi luka tidak menutup
(dehiscence), cairan pus > 100 cc/hari, drain terlihat pus, suhu:39,90C; hasil kultur
darah dan pus ditemukan kuman pseudomonas dan hampir semuanya resisten dan
hanya satu golongan imipenem yang sensitif. Ners menemukan saat memandikan
di pagi hari melena banyak dan caairan gaster merah segar (cairan NGT). Perawat
menganalisa bahwa dia mengalami DIC (dessiminated intravascular coagulation).
24
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
Tugas :
1. Identifikasi kata-kata asing dan jelaskan masing-masing kata-kata asing
tersebut
2. Jelaskan mekanisme trauma yang dialami oleh tuan. A?
3.
Jelaskan patofisiologi dari kondisi tuan A dan hubungkan dengan
manifestasi klinik.
4. Jelaskan mengapa dilakukan pemeriksaan USG dan foto thoraks?
5. Sebutkan dan jelaskan pemeriksaan yang tidak dilakukan pada kondisi
pasien diatas, meskipun pemeriksaan itu penting.
6. Jelaskan patofisiologi terjadinya ARDS pada Tuan.A
7. Mengapa dilakukan tindakan pemasangan WSD, cek AGD tiap shift?
8. Hal-hal apa saja yang harus di monitor pada pasien dengan WSD dan
jelaskan mengapa?
9. Apakah yang melatarbelakangi diberikan antibiotik ciprofloksasin?
10. Apakah rasional perawat melakukan fokus tindakan keperawatan diatas
11. Tindakan-tindakan keperawatan yang tepat yang dapat dilakukan adalah
12. Apa yang terjadi pada Tuan.A setelah 14 hari di rawat
13. Buatlah patofisiologi terhadap kondisi pada hari ke-14
14. Mengapa dapat terjadi DIC pada Tuan. A
15. Sebutkan tanda-tanda DIC yang harus dilengkapi
16. Pemeriksaan diagnostik apa saja yang harus dilakukan pada Tua A untuk
menegakkan DIC
17. Mengapa tuan A dilakukan pemeriksaan kultur darah dan Pus? Apa arti
dari Hasil pemeriksaan tersebut?
25
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
B. Pembahasam
1) Kata-kata asing dan penjelasan
 Thorakotomi : operasi membuka cavum thoraks
 Laparotomi : insisi dinding abdomen. Biasanya hanya dilakukan untuk
operasi eksploratif.
 ARDS : Adult Respiratory Distress Syndrome, merupakan suatu bentuk
dari gagal napas akut yang ditandai dengan hipoksemia, penurunan fungsi
paru-paru, dispneau, edema paru bilateral, tanpa gagal jantung, dan
infiltrate yang menyebar. Biasanya juga disebut NonKardiogenik Edema
Pulmonar.
 WSD : Water Seal Drainage merupakan tindakan invasive yang dilakukan
untuk mengeluarkan udara, cairan (darah, pus) dari rongga pleura, rongga
thorax; dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung.
 PRC : Pack Red Cells (transfuse dengan isi sel darah merah/eritrosit)
 Dehiscense : proses pemisahan atau pemecahan seperti yang terjadi pada
luka
 Imipenem: antibiotik yang melawan infeksi serius yang disebabkan oleh
bakteri. Dalam penggunaannya, biasanya disertai dengan Cilastatin.
Cilastatin membantu Imipenem bekerja secara lebih efektif dengan
mencegah penguraian antibiotik dalam ginjal.
 Melena : Tinja yang hitam seperti teh atau berwarna kemerahan. Keadaan
ini membuktikan adanya pendarahan gastrointestinal.
 DIC :
Disseminated Intravascular Coagulation adalah suatu sindrom
kompleks yang terdiri atas banyak segi, yang sistem homeostatic dan
fisiologik normalnya mempertahankan darah tetap cair berubah menjadi
26
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
suatu sistem patologik yang menyebabkan terbentuknya trombi fibrin
difus, yang menyumbat mikrovaskuler tubuh.
2) Mekanisme truma yang dialami oleh tuan. A
Tn. A mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, tanpa menggunakan
seatbelt pada pukul 23.00 WIB, kemudian tiba-tiba tanpa terduga dari arah
berlawanan terdapat mobil lain melintas di depannya. Tn. A berusaha
menghindari kendaraan bermotor ke arah kiri, tetapi ternyata di sebelah kiri jalan
terdapat pohon dan Tn. A menabrak pohon tersebut. Sehingga tubuh Tn. A
terbentur setir mobil, mengenai dada lebih tepatnya setir menekan dada sebelah
kanan. Karena benturan mobil dengan pohon sangat kuat, setelah tubuhnya
membentur setir, tubuh Tn. A terpental kembali ke tempat duduk tepat mengenai
dinding belakang abdomen.
Penekanan di dada tersebut menyebabkan tulang iga sebelah kanan Tn.A
patah dan menembus paru-paru dan terjadi perdarahan pada rongga dada.
Sedangkan pada abdomen karena terjadi benturan yang kuat juga menyebabkan
penekanan pada ginjal dan terjadi trauma tumpul pada ginjal.
27
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
28
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
3) Patofisiologi dikaitkan dengan manifestasi Klinis Tn. A
4) Pada Tn.A dilakukan pemeriksaan USG dan foto thoraks

USG (ultrasonografi): dilakukan untuk memastikan apa yang menyebabkan
memar biru pada bagian abdomen Tn.A dan warna urin merah. apa organ
yang terkena tersebut adalah ginjal (karena urin merah) dan/atau organ
besar lain ikut terlibat terhadap timbulnya jejas biru.
29
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]

Rontgen
toraks:
dilakukan
untuk
memastikan
ada/tidaknya
fraktur/perdarahan karena pada pemeriksaan fisik ditemukan. Dada sebelah
kanar memar, perkusi àredup, tidak ada kenaikan dada kanan saat
inspirasi.
5) Pemeriksaan yang tidak dilakukan pada kondisi pasien diatas, meskipun
pemeriksaan itu penting.

CT-scan abdomen
Untuk mengetahui gambaran secara spesifik keadaan abdomen Tn.A,
apakah mengalami perlukaan yang sangat serius atau tidak. Tetapi, jika
hasil USG sudah jelas, pemeriksaan ini tidak perlu dilakukan.

Abdominal paracentesis
Merupakan pemeriksaan tambahan yang sangat berguna untuk menentukan
adanya perdarahan dalam rongga peritoneum. Lebih dari 100.000
eritrosit/mm dalam larutan NaCl yang keluar dari rongga peritoneum
setelah dimasukkan 100--200 ml larutan NaCl 0.9% selama 5 menit,
merupakan indikasi untuk laparotomi.

EKG
30
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
Mengetahui keadaan fungsi jantung Tn.A, apakah masih normal atau ada
kelainan. Kelainan jantung memperberat kondisi Tn.A dan memerlukan
penanganan yang berbeda terhadap terapi cairan.
31
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
6) Patofisiologi terjadinya ARDS pada Tuan A
7) Mengapa dilakukan tindakan pemasangan WSD dan cek AGD tiap shift

Tindakan WSD
32
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
Tindakan WSD merupakan tindakan invasif yang dilakukan untuk
mengeluarkan udara, cairan (darah, pus) dari rongga pleura, rongga thorax;
dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung.
Pada Tn.A yang mengalami trauma dada, terjadi perdarahan akibat fraktur
iga yang menembus paru dan trauma tumpulnya sendiri. Diperlukan suatu cara
untuk mengeluarkan darah dari rongga pleura agar ekspansi paru dapat
meningkat dan menurunkan tekanan rongga pleura (mengembalikan tekanan
negative pada rongga pleura), mengembangkan kembali paru yang kolaps, dan
mencegah refluks drainage kembali ke dalam rongga dada.

Cek AGD tiap shift
Trauma dada pada Tn.A mengakibatkan ARDS dan perdarahan internal,
pada pasien dengan ARDS berisiko mengalami penurunan CO2 karena
hiperventilasi, tetapi disisi pada klien mungkin terjadi peningkatan CO2 dalam
darah sehingga menimbulkan asidosis respiratorik. Perdarahan mengakibatkan
penurunan jumlah eritrosit yang mengandung Hb sebagai komponen penting
pembawa oksigen. AGD dilakukan untuk mengetahui status pH darah Tn.A
(dalam rentang normal/tidak) dan untuk mengevaluasi keefektifan penggunaan
ventilator mekanik. Jika AGD tidak dipantau secara ketat, risiko munculnya
asidosis tidak diketahui. Asidosis dapat menyebabkan kematian seluruh sel
tubuh.
8) Hal-hal yang harus dimonitor pada pasien dengan WSD
33
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
a. Mencegah infeksi di bagian masuknya slang.
Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2
hari sekali, dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian
masuknya slang dan tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh pasien.
b. Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang.
Untuk rasa sakit yang hebat akan diberi analgetik oleh dokter. Dalam
perawatan yang harus diperhatikan :
 Penetapan slang.
Slang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang yang dimasukkan
tidak terganggu dengan bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di bagian
masuknya slang dapat dikurangi.
 Pergantian posisi badan.
Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal
kecil dibelakang, atau memberi tahanan pada slang, melakukan pernapasan
perut, merubah posisi tubuh sambil mengangkat badan, atau menaruh
bantal di bawah lengan atas yang cedera.
c. Mendorong berkembangnya paru-paru.
 Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang.
 Latihan napas dalam.
 Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan batuk
waktu slang diklem.
 Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.
d. Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.
34
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 – 800 cc. Jika
perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan torakotomi.
Jika banyaknya hisapan bertambah/berkurang, perhatikan juga secara
bersamaan keadaan pernapasan.
e. Suction harus berjalan efektif :
Perhatikan setiap 15 – 20 menit selama 1 – 2 jam setelah operasi dan setiap 1
– 2 jam selama 24 jam setelah operasi.
 Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien, warna
muka, keadaan pernapasan, denyut nadi, tekanan darah.
 Perlu sering dicek, apakah tekanan negatif tetap sesuai petunjuk jika
suction kurang baik, coba merubah posisi pasien dari terlentang, ke 1/2
terlentang atau 1/2 duduk ke posisi miring bagian operasi di bawah atau di
cari penyababnya misal : slang tersumbat oleh gangguan darah, slang
bengkok atau alat rusak, atau lubang slang tertutup oleh karena
perlekatanan di dinding paru-paru.
f. Perawatan “slang” dan botol WSD/ Bullow drainage.

Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan
yang keluar kalau ada dicatat.

Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan
adanya gelembung udara yang keluar dari bullow drainage.

Penggantian botol harus “tertutup” untuk mencegah udara masuk
yaitu meng”klem” slang pada dua tempat dengan kocher.

Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas
botol dan slang harus tetap steril.

Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri-
sendiri, dengan memakai sarung tangan.
35
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]

Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga
dada, misal : slang terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll.
9) Latar belakang pemberian antibiotik ciprofloksasin
Pada kasus Tn.A kemungkinan pasien diberikan antibiotic ciprofloxacin
adalah untuk tindakan profilaksis pasca torakotomi dan laparatomi. Pada pasien
pasca laparatomi dan torakotomi berisiko mengalami infeksi pada luka operasi
/pasca operasi langsung. Tindakan profilaksis merupakan pemberian obat untuk
mencegah suatu penyakit agar tidak muncul. Ciprofloxavin sendiri merupakan
suatu anti infeksi sintetik golongan quinolon. Ciprofloxacin menghambat DNA
topoisomerase yang biasa disebut DNA-gyrase, dengan akibat terhentinya
metabolism kuman, serta efektif terhadap bakteri gram negative dan positif.
Sehingga cocok digunakan sebagai antibiotic profilaksis.
10) Rasional perawat melakukan fokus tindakan keperawatan
Intervensi
Mempertahankan jalan
Rasional
selang endotrakeal atau selang trakeostomi
napas
disediakan tidak hanya sebagai jalan nafas, tetapi
juga melindungi jalan nafas, memberikan
dukungan ventilasi continue, dan memberikan
konsentrasi oksigen terus-menerus. Kegagalan
mempertahakan jalan nafas akan menganggu
proses masuknya oksigen (juga oleh ventilator) ke
dalam alveoli.
Memonitor balance cairan Tujuan dari balans cairan adalah untuk perfusi
yang adekuat. Kelebihan cairan akan
mengakibatkan peningkatan edema/kongesti
pulmonary dan kekurangan cairan akan
mengakibatkan penurunan cardiac output dan
Memonitor status
tekanan darah.
Memonitor status pernafasan, untuk menilai
pernapasan
keadekuatan fungsi pernafasan dengan cara
36
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
menilai status oksigen dan karbondioksida.
Kekurangan O2 akan menyebakan hipoksia
jaringan. Kelebihan CO2 dapat menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah, sedangkan
kekurangan CO2 dapat menyebabkan
Memonitor status nutrisi
vasokontriksi.
Energy banyak dikeluarkan ketika terjadi
peningkatan usaha bernafas dan pada pasien
dengan penurunan kesadaran, nutrisi diperoleh
secara parenteral, sehingga berisiko mengalami
malnutrisi. Pemantauan sangat diperlukan untuk
mencegah gagal nafas sehubungan dengan nutrisi
Mengoptimalkan ROM
yang buruk pada otot inspirasi.
Untuk mencegah terjadinya kontraktur atau
pasif dan aktif
pemendekan otot secara permanen pada bagian
yang tidak digerakkan dan mengoptimalkan
Mencegah gangguan
penggunaan otot-otot yang masih sehat.
Pemberian posisi dan mengubah posisi sangat
integritas kulit
penting untuk menurunkan kemungkinan
timbulnya luka akibat penekanan. Penekaan dalam
waktu lama akan menyebakan nekrotik jaringan
tersebut. Pasien perlu dikaji pula tentang
munculnya tanda-tanda adanya gangguan
Mencegah infeksi
keutuhan kulit.
Perhatikan WSD dan luka post operasi laparotomi,
kaji adanya tanda-tanda infeksi seperti adanya pus,
bau, bengkak, hangat, luka tidak merapat
(dehiscence). Lakukan teknik aseptic saat
melakukan perawatan luka. Dan berikan antibiotic
profilaksis sesuai dengan kolaborasi bersama
dokter.
11) Tindakan-tindakan keperawatan yang tepat yang dapat dilakukan
37
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
 Status respirasi dikaji setiap 1-2 jam, dokumentasikan frekuensi, itme,
pola, dan penggunaan otot-otot bantu pernafasan.
 Suara nafas diperiksa setiap 4 jam, catat adanya bunyi abnormal seperti
cracles
 Kaji adanya kelemahan, ansietas, penurunan level kesadaran, takipneau,
atau tanda-tanda yang menunjukkan adanya ARDS.
 Memberikan posisi prone, posisi ini dapat meningkatkan asupan oksigen
dan menurunkan edema dan atelektasis
 Melakukan pemeriksaan AGD (Analisa Gas Darah Arteri) à PaO2,
PaCO2, pH darah
 Kolaborasi pemasangan jalan nafas definitive
 Kolaborasi penggunaan ventilator
 Monitor penggunaan ventilator
 Memonitor tekanan darah, nadi.
 Memantau saturasi oksigen
 Ubah posisi klien
 Melakukan resusitasi, jika hemodinamik tidak stabil
 Memantau balans cairan dengan ketat
 Kolaborasi penggunaan PA (Pulmonary Arteri) chateter
 Kolaborasi pemberian nutrisi via parenteral (NGT)
 Kolaborasi pemberian kortikosteroid.
12)
Tuan A setelah 14 hari di rawat mengalami
38
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
Setelah hari ke 14, kondisi Tn.A memburuk. Tuan A mengalami infeksi
(sepsis) ditandai dengan munculnya tanda-tanda luka laparotomi mengalami
infeksi luka à tidak menutup (dehiscence), cairan pus > 100 cc/hari, drain terlihat
pus, suhu:39,90C; hasil kultur darah dan pus ditemukan kuman pseudomonas dan
hampir semuanya resisten dan hanya satu golongan imipenem yang sensitif.
Perawat menduga bahwa dia mengalami DIC (dessiminated intravascular
coagulation) karena menemukan melena, munculnya DIC tersebut dikaitkan
dengan trauma dan adanya infeksi.
39
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
13) Patofisiologi terhadap kondisi pada hari ke-14
40
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
14)
Mengapa dapat terjadi DIC pada Tuan A
DIC pada Tuan A kemungkinan disebabkan oleh beberapa factor yang dapat
deteksi yaitu trauma dan adanya infeksi. Karena DIC merupakan hasil dari
beberapa penyakit yang mendahuluinya. Trauma dan infeksi merangsang
pengeluaran thrombin secara berlebihan, fungsi thrombin sendiri adalah untuk
mengaktifkan agregasi trombosit, aktivasi factor V dan VIII, aktivasi
plasminogen, dan aktivasi fibrinogen. Sehingga terjadi penurunan semua fungsi
pembekuan darah dan berisiko terjadinya perdarahan massif.
15)
Tanda-tanda DIC yang harus dilengkapi
Manifestasi yang ada bergantung pada luas dan lamanya pembentukan trombi
fibrin, organ-organ yang terlibat, nekrosis, serta perdarahan yang ditimbulkan.
Organ-organ yang paling sering terlibat adalah ginjal, kulit, otak, hipofisis, paru
dan adrenal, serta mukosa saluran cerna.
Tanda dan gejala (Guyton, 2001).:

Adanya melena dan urin berwarna merah, menunjukkan terdapat perdarahan
membrane mukosa dan jaringan-dalam

Adanya perdarahan disekitar tempat cedera, pungsi vena, penyuntikan, dan
pada setiap orifisium.

Petekie dan ekimosis

Hipotensi (syok)

Oliguria atau anuri

Kejang dan koma

Mual dan muntah

Diare

Nyeri abdomen

Nyeri punggung

Dispneau

Sianosis
41
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
16)
Pemeriksaan yang harus dilakukan pada Tuan A untuk menegakkan
DIC
Melakukan pemeriksaan tes diagnostic PT, PTT, TT, jika hasil (+), maka hasil
yang terlihat adalah waktu pembekuan yang memanjang dan peningkatan produkproduk pemecahan fibrin. Kadar fibrinogen dan jumlah trombosit menurun.
Sediaan apus darah perifer dapat menunjukkan fragmentasi eritrosit sekunder
akibat kerusakan oleh serabut fibrin.
17) Mengapa tuan A dilakukan pemeriksaan kultur darah dan Pus? Apa arti
dari Hasil pemeriksaan tersebut?
Kultur darah dan pus dilakukan untuk menentukan secara pasti bakteri apa
yang menyebabkan infeksi, karena ternyata walaupun dengan tindakan proflaksis
infeksi tetap saja muncul. Dengan tujuan agar dapat diterapi dengan antibiotik
yang sesuai.
Hasilnya ditemukan bakteri pseudomonas yang resisten terhadap sebagian
besar antibiotic yang akhirnya ditangani dengan pemberian Imipenem. Imipenem
merupakan karbapenem, yang merupakan antibiotik berspektrum terluas dari
seluruh antibiotic beta-laktam yang ada. Dalam pemberiannya antibiotic ini
diberikan bersama kilastatin, yang menghambat metabolisme imipenem di tubulus
ginjal, dan mencegah pembentukan senyawa nefrotoksik. Imipenem dapat
digunakan pada pengobatan tunggal infeksi bermacam-macam bakteri, sementara
antibiotic lainnya memerlukan kombinasi dengan antibiotik lain.
42
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
BAB 4
PENUTUP
Tn.A kecelakaan mobil dan mengalami trauma dada dan abdomen yang
menimbulkan perdarahan interna. Evakuasi perdarahan ditangani dengan
laparatomi dan torakotomi. Pasca operasi ditemukan tanda-tanda ARDS (Adult
Respiratory Distress Syndrome). Fokus utama tindakan keperawatan yang
dilakukan oleh tim perawat ICU adalah mempertahankan jalan napas, memonitor
balance cairan, memonitor status pernapasan, memonitor status nutrisi,
mengoptimalkan ROM pasif dan aktif, mencegah gangguan integritas kulit,
mencegah infeksi. Pemasangan ventilator dilakukan untuk menurunkan masalah
ARDS.
Pada hari ke 14, ditemukan adanya tanda-tanda infeksi pada luka post
laparatomi. Setelah diperiksa dengan kultur darah dan pus, dihasilkan adanya
infeksi Pseudomonas yang resistan dan diputuskan ditangani oleh imipenem
sebagai antibiotic beta-lactam yang berspektrum terluas. Dan perawat menduga
adanya DIC Karen ditemukannya melena, yang akhirnya dikaitkan dengan trauma
dan adanya septic. DIC harus dibuktikan dengan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan diagnostic lanjutan.
Penanganan DIC sendiri berfokus pada perbaikan mekanisme yang
mendasarinya, yang mungkin memerlukan penggunaan antibiotic, , dukungan
kardiovaskular.
Penggantian
factor-faktor
plasma
dengan
plasma
dan
kriokresipitat, serta transfuse trombosit dan sel darah merah, mungkin diperlukan.
43
[TRAUMA (EMERGENCY AND CRITICAL
CARE)]
DAFTAR PUSTAKA
http://www.surgeryencyclopedia.com/St-Wr/Thoracotomy.html
(diakses
pada
tanggal 17 Desember 2010, pukul 14.19 WIB)
Diklat Yayasan Ambulans Gawat darurat 118. Basic Trauma life Support & Basic
Cardiac Life Support.2009. Jakarta: Perpustakaan Nasional
Brunner & Suddart, Suzanne C, Smeltzer and Brenda G. Bare. Keperawatan
Medikal Bedah volume I.2005. Jakarta: EGC.
Schumacker Lori and Cyntia Chernecky. Critical Care & Emergency Nursing.
2005.USA: Elsevier
Saunorus Marianne,Keen Janet Hicks,and Swearingen, Pamela L. Manual of
Critical Care Nursing: Nursing Intervention and Collaborative Management.
2005. Missouri: Elsevier Mosby
Hack, Erick. Zeerleder, Sacha and Wuillemin,Walter A. Disseminated
Intravascular Coagulation in Sepsis. 2005. (accesed in 9 Desember 2010)
44
Download