PENGARUH JENIS DAN KONSENTRASI ANTIBIOTIK TERHADAP KONTAMINASI DAN PERKEMBANGAN EKSPLAN Heliconia psittacorum L.f. cv. Lady Di Oleh Cantika A34302057 PROGRAM STUDI HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 PENGARUH JENIS DAN KONSENTRASI ANTIBIOTIK TERHADAP KONTAMINASI DAN PERKEMBANGAN EKSPLAN Heliconia psittacorum L.f. cv. Lady Di Skripsi sebagai salah satu syarat Untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh Cantika A34302057 PROGRAM STUDI HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN CANTIKA. Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Antibiotik Terhadap Kontaminasi dan Perkembangan Eksplan Heliconia psittacorum L.f. cv. Lady Di. (Dibimbing oleh SYARIFAH IIS AISYAH dan DINY DINARTI) Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh jenis antibiotik dalam beberapa konsentrasi terhadap kontaminasi bakteri, toksisitasnya terhadap jaringan dan perkembangan eksplan Heliconia psittacorum L.f. cv. Lady Di. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Benih Leuwi Kopo dan Laboratorium Kultur jaringan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB pada bulan Januari – Juni 2006. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Lingkungan Acak Kelompok yang disusun secara faktorial terdiri dari dua faktor. Faktor pertama adalah jenis antibiotik yang terdiri dari cefotaxime, ceftriaxone dan chlorampenicol. Faktor kedua adalah konsentrasi antibiotik yaitu 500 mg/l dan 1000 mg/l. Jenis antibio tik memberikan pengaruh yang nyata pada seluruh peubah sedangkan konsentrasi hanya memiliki pengaruh yang nyata pada peubah kontaminasi bakteri. Interaksi antara jenis dan konsentrasi antibiotik hanya terjadi pada eksplan berinisiasi. Antibiotik chlorampenicol nyata menekan kontaminasi bakteri pada 6, 9 dan 12 MSP dan konsentrasi 1000 mg/l nyata menekan kontaminasi bakteri pada 6 dan 9 MSP. Kematian eksplan akibat toksisitas antibiotik hanya terjadi pada perlakuan chlorampenicol. Persentase eksplan berinisiasi pada perlakuan cefotaxime nyata memiliki nilai terbesar pada 3 MSP. Interaksi perlakuan cefotaxime 1000 mg/l nyata memiliki nilai persentase eksplan berinisiasi terbesar pada 3 MSP. Persentase eksplan bertunas pada perlakuan cefotaxime nyata memiliki nilai terbesar pada 6 MSP. Jenis bakteri yang menyebabkan kontaminasi eksplan terdiri dari 4 jenis yaitu Pseudomonas sp., Planococcus citreus, Pseudomonas putida dan Kurthia Gibsonii. Ke empat jenis bakteri ini berpotensi untuk hidup dalam media tanam atau tanah. Bakteri Pseudomonas sp. merupakan bakteri utama yang menyebabkan kontaminasi eksplan karena 61.74% dari eksplan yang ditanam terkontaminasi bakteri ini. Judul : PENGARUH TERHADAP JENIS DAN KONSENTRASI KONTAMINASI DAN ANTIBIOTIK PERKEMBANGAN EKSPLAN Heliconia psittacorum L. f. cv. Lady Di Nama : Cantika NRP A34302057 : Menyetujui, Dosen Pembimbing Pembimbing I Pembimbing II Dr Ir Syarifah Iis Aisyah, MSc.Agr. NIP: 131 956 695 Ir Diny Dinarti, MSi. NIP: 131 999 963 Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian Prof Dr Ir Supiandi Sabiham, MAgr. NIP: 130 422 698 Tanggal lulus: RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 16 Juli 1984. Penulis adalah anak dari Bapak Lalu Sukarno dan Ibu Evi Nursanti. Tahun 1996 penulis lulus dari SD Negeri Polisi V Bogor, kemudian pada tahun 1999 penulis menyelesaikan studi di SMP Negeri 1 Bogor. Selanjutnya penulis lulus dari SMU Negeri 1 Bogor pada tahun 2002. Tahun 2002 penulis diterima di IPB melalui ujian Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih program studi Hortikultura, Departemen Budi daya Pertanian yang sekarang berubah nama menjadi Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif di Himpunan Profesi Departemen Budidaya Pertanian (HIMAGRON) tahun kepengurusan 2003/2004. Penulis juga menjadi asisten praktikum mata kuliah Hortikultura dan mata kuliah Kultur Jaringan dan Benih Artifisial untuk Program Diploma 3 pada tahun 2006. KATA PENGANTAR Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi kekuatan dan hidayah-Nya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian mengenai penggunaan antibiotik ini terdorong oleh keinginan mengatasi kontaminasi bakteri pada kultur jaringan heliconia. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Benih Leuwi Kopo dan Laboratorium Kultur Jaringan Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Syarifah Iis Aisyah, MSc.Agr dan Ir. Diny Dinarti, MSi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam pelaksanaan penelitian. 2. Dr. Ir. Agus Purwito, MSc sebagai dosen penguji. 3. Prof. Dr. Ir. Bambang S. Purwoko, MSc. Selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam pelaksanaan studi di IPB. 4. Ibu Elly, Ibu Cicih dan seluruh staf Leuwi kopo yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian. 5. Keluarga tercinta Ayah, Ibu, Aa, Dede, Teh Opie dan Lala atas doa dan dukungannya dalam pelaksanaan penelitian. 6. Helmi yang selalu memberikan semangat dan dukungan, teman-teman Lab. Kuljar, Iis, Urip, Yogo, Ray, Nono, Mba Tami, Mba Niken, Mba Nila, Mba Iin dan Bu Acih. 7. Teman-teman yang memberi semangat, Ido, Kiki, Ade, Memel, Nisa, Asep, keluarga Pondew dan seluruh rekan-rekan Hortikultura 39. 8. Teman-teman Hortikultura 38, PMT-TB 39 dan Agronomi 39. Akhirnya, semoga hasil penelitian ini berguna bagi yang memerlukan. Bogor, September 2006 Penulis DAFTAR ISI PENDAHULUAN ............................................................................................. Latar Belakang ....................................................................................... Tujuan..................................................................................................... Hipotesis ................................................................................................. 1 1 2 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... Botani ..................................................................................................... Syarat Tumbuh ....................................................................................... Teknik Kultur Jaringan........................................................................... Lingkungan Kultur ................................................................................. Media Kultur .......................................................................................... Zat Pengatur Tumbuh ............................................................................. Prosedur Aseptik .................................................................................... Antibiotik ............................................................................................... Cefotaxime ............................................................................................. Ceftriaxone ............................................................................................. Chlorampenicol ...................................................................................... 3 3 4 5 6 7 8 8 9 10 11 11 BAHAN DAN METODE................................................................................. Waktu dan Tempat ................................................................................. Bahan dan Alat ....................................................................................... Metode Penelitian................................................................................... Pelaksanaan ............................................................................................ Pengamatan ............................................................................................ 12 12 12 12 13 17 HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ Kondisi Umum ....................................................................................... Kontaminasi Cendawan.......................................................................... Kontaminasi bakteri ............................................................................... Toksisitas Antibiotik .............................................................................. Inisiasi Eksplan ...................................................................................... Eksplan Bertunas .................................................................................... Perbandingan seluruh Perlakuan dengan Kontrol .................................. Jenis Bakteri .......................................................................................... Pembahasan Umum ................................................................................ 18 19 20 21 23 24 26 27 27 30 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 33 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 34 LAMPIRAN ...................................................................................................... 37 DAFTAR TABEL Nomor Halaman Teks 1. Rekapitulasi Sidik Ragam .......................................................................... 20 2. Persentase Eksplan Heliconia Terkontaminasi bakteri Pada Tiap Jenis Antibiotik .................................................................................................... 21 3. Persentase Eksplan Heliconia Terkontaminasi Bakteri Pada Tiap Konsentrasi................................................................................................... 22 4. Persentase Eksplan Heliconia Mati Karena Toksisitas Antibiotik............... 23 5. Persentase Eksplan Heliconia Berinisiasi Pada Tiap Jenis Antibiotik ......... 24 6. Interaksi Antara Jenis dan Konsentrasi Antibiotik Terhadap Persentase Eksplan Heliconia Berinisiasi ...................................................................... 24 7. Persentase Eksplan Heliconia Bertunas Pada Tiap Jenis Antibiotik............ 26 8. Jumlah Eksplan Heliconia Terkontaminasi Beberapa Jenis bakteri Pada Tiap Perlakuan.............................................................................................. 28 Lampiran 1. Sidik Ragam Eksplan Heliconia Terkontaminasi Bakteri............................ 37 2. Sidik Ragam Eksplan Heliconia Mati Karena Toksisitas Antibiotik ........... 37 3. Sidik Ragam Ekplan Heliconia Berinisiasi .................................................. 38 4. Sidik Ragam Eksplan Heliconia Bertunas ................................................... 38 5. Sidik Ragam Eksplan Heliconia Terkontaminasi Bakteri Perbandingan Dengan Kontrol ............................................................................................ 39 6. Data Kontaminasi Bakteri Perbandingan Dengan Kontrol .......................... 39 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman Teks 1. Heliconia psittacorum L.f. cv. Lady Di ....................................................... 4 2. Rumus Bangun Antibiotik ............................................................................ 11 3. Bagan Proses Identifikasi Bakteri ................................................................ 16 4. Kontaminasi Cendawan 2 MSP.................................................................... 21 5. Kematian Eksplan Heliconia Akibat Toksisitas Antibiotik ......................... 23 6. Inisiasi Eksplan Heliconia 4 MSP ................................................................ 25 7. Eksplan Heliconia Bertunas 12 MSP ........................................................... 26 8. Grafik Jumlah Eksplan Terkontaminasi Bakteri Perbandingan Dengan Kontrol ............................................................................................ 27 10. Gambar Ciri – Ciri Bakteri yang Mengkontaminasi Eksplan ..................... 30 PENDAHULUAN Latar Belakang Heliconia berasal dari Amerika bagian tropis yaitu Caribea dan Mexico. Umumnya jenis ini tumbuh baik pada daerah lembab meskipun beberapa jenis dapat tumbuh di daerah kering. Heliconia merupakan tanaman perdu yang memiliki bentuk bunga yang tegak atau menjuntai. Heliconia secara umum diperbanyak secara vegetatif karena perbanyakan secara generatif sulit dilakukan dikarenakan masa dormansi biji yang sangat panjang (Berry dan Kress, 1991). Sudah lebih dari 250 jenis dan banyak kultivar baru heliconia yang sudah diidentifikasi. Adanya kultivar baru yang bervariasi menghasilkan bentuk bunga heliconia yang lebih unik dan warna-warna yang lebih menarik dan digemari oleh masyarakat (Oey,1996). Teknik kultur jaringan merupakan solusi tepat untuk menghasilkan bibit heliconia yang sehat dalam jumlah yang banyak dalam waktu relatif singkat. Menurut Rodrigues (2005) masalah utama dalam kultur jaringan heliconia adalah jumlah kontaminasi bakteri yang sangat besar, sehingga pengembangan dalam kultur jaringan masih jarang dilakukan. Kontaminasi bakteri pada kultur heliconia umumnya bersifat internal. Menurut Santoso dan Nursandi (2003) bakteri internal yang terdapat dalam eksplan, responnya muncul setelah beberapa hari bahkan sampai satu bulan sehingga sangat mengecewakan, karena pada umumnya sudah terjadi induksi kalus. Salah satu metode untuk menangani kontaminasi yang sangat tinggi adalah dengan penggunaan bahan kimia yang mempunyai kemampuan untuk menghambat dan membunuh bakteri. Bahan kimia yang dijadikan bahan sterilan, seperti HgCl2 , umumnya sangat toksik baik bagi eksplan, hewan, manusia dan beresiko dalam pencemaran lingkungan (Pierik, 1987). Menurut Guri et al. (1998) antibiotik adalah salah satu bahan yang sudah diketahui dapat mengatasi kontaminasi bakteri dalam kultur jaringan. Meskipun memiliki banyak kelemahan seperti misalnya, hanya efektif pada beberapa bakteri saja, toksik terhadap jaringan tanaman dan bersifat sensitif terhadap panas, antibiotik masih digunakan dalam mengatasi kontaminasi bakteri internal. Penggunaan antibiotik cefotaxime dalam media kultur jaringan untuk Heliconia rauliniana dapat mengurangi persentase kontaminasi yang disebabkan oleh bakteri Pseudomonas sp. dan Klebsiella sp. dalam bahan tanaman tanpa menyebabkan toksik pada jaringan tanaman (Rodrigues, 2005). Keberhasilan dalam memperoleh eksplan yang bebas kontaminasi memberikan peluang untuk mengembangkan heliconia secara in vitro, sehingga menghasilkan bibit yang sehat dan cepat dalam waktu yang relatif singkat. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh jenis antibiotik dalam beberapa taraf konsentrasi terhadap persentase kontaminasi bakteri, toksisitasnya terhadap jaringan dan perkembangan eksplan Heliconia psittacorum L.f. cv. Lady Di. Hipotesis 1. Antibiotik cefotaxime memberikan respon yang terbaik dalam mengurangi persentase kontaminasi bakteri pada eksplan heliconia. 2. Konsentrasi antibiotik 1000 mg/l memberikan respon yang terbaik dalam mengurangi persentase kontaminasi bakteri pada eksplan heliconia. 3. Terdapat interaksi antara jenis dan konsentrasi antibiotik dalam mengurangi persentase kontaminasi bakteri pada eksplan heliconia. TINJAUAN PUSTAKA Botani Heliconia merupakan tanaman Angiospermae dengan ordo monocotyledons, kelas Zingiberales, Famili Heliconiaceae, genus Heliconia dan spesies Heliconia spp. Sampai saat ini terdapat 250 spesies heliconia yang sudah teridentifikasi. Ada dua macam bentuk bunga heliconia yaitu bunga yang tegak dan menjuntai. Jenis bunga yang tegak di antaranya Heliconia striata dan H. psittacorum sedangkan bunga yang tumbuh menjuntai di antaranya H. rostrata dengan seludang bunganya yang berwarna kuning merah dan H. chartacea dengan seludang berwarna pink (Oey, 1996). Heliconia dapat diperbanyak melalui tunas yang tumbuh dari rimpang dan memiliki daun yang tegak tersusun dari batang dan daun yang seringkali diakhiri dengan kumpulan bunga majemuk dengan warna-warna menarik yang berasal dari seludang bunganya. Tanaman ini tersusun dari tiga macam tipe daun yaitu daun tegak dengan petiol yang panjang menyerupai pisang, daun yang tumbuh horizontal dengan batang pendek seperti tanaman jahe dan daun berbentuk oblique menyerupai tanaman Canna (Oey,1996 ). Heliconia memiliki seludang bunga berwarna merah cerah, kuning atau kombinasi keduanya. Selain itu seludang bunga ada yang berwarna hijau dan pink. Seludang ada yang bertekstur halus, terselimuti bulu-bulu halus atau bulubulu yang tebal seperti woll. Pada beberapa jenis keistimewaannya tidak berasal dari keindahan warna seludang dan bunganya, melainkan dari warna daunnya (Oey, 1996). Helionia psittacorum L.f. cv. Lady Di merupakan jenis heliconia dengan malai bunga tegak. Seludang bunganya berjumlah 5-8 helai, berwarna merah dengan sedikit merah pucat pada bagian luar. Bunganya berwarna kuning dengan bercak hijau tua bergaris putih pada bagian ujung. Ovary dan pedikel berwarna kuning atau krem. Tinggi tanaman berkisar 76.2 – 152.4 cm (Berry dan Kress, 1991). Gambar 1. Heliconia psittacorum L.f. cv. Lady Di Syarat Tumbuh Heliconia berasal dari Amerika bagian tropis. Beberapa jenis heliconia dapat hidup di daerah beriklim kering, namun sebagian besar berasal dari daerah yang lembab dan basah. (Oey, 1996). Heliconia sangat membutuhkan air, tanah yang berlimpah dan sinar matahari. Heliconia dapat tumbuh dimana saja pada temperatur di atas 5 ºC. Pada suhu dingin semua daun akan mati dikarenakan rhizome yang stres dan lembab, hal ini dapat dicegah dengan mempertahankannya dalam kondisi kering dan menyemprotkan fungisida. Jika suhu kembali hangat, rhizome dapat tumbuh dan menghasilkan tunas kembali (Berry dan Kress, 1991). Secara umum heliconia berkembang biak secara vegetatif. Perbanyakan ini memiliki kelemahan, seperti membutuhkan waktu yang panjang, jumlah bibit sedikit dan kemungkinan meluasnya patogen yang akan menurunkan kualitas tanaman (Atehortua, 1997). Tanaman ini dapat diperbanyak dengan pemisahan anakan, penanaman rhizome dan biji. Perkembangbiakan dengan biji sangat jarang dilakukan karena hanya beberapa spesies saja yang menghasilkan biji dan memerlukan waktu lama untuk berkecambah hingga satu tahun (Berry dan Kress, 1991). Heliconia psittacorum L.f. cv. Lady Di, ditemukan di hutan tropis lalu menyebar ke Florida, Hawai, Barbados dan Costarica. Kultivar ini berbunga pada bulan April hingga November dan memerlukan sinar matahari penuh setiap harinya serta dapat hidup pada 40% naungan (Rimando, 2003). Teknik Kultur Jaringan Tanaman Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh (Gunawan, 1992). Teknik kultur jaringan tanaman telah memberikan sumbangan yang besar tehadap perkembangan industri dan pertanian. Perkembangan di bidang pertanian antara lain, pembentukan tanaman haploid, perbanyakan klonal, mutasi tanaman, tanaman bebas patogen, produksi metabolit sekunder, ilmu genetika, kryopreservasi dan penyimpanan koleksi gen secara in vitro (Dods dan Robert, 1995). Menurut Gunawan (1992), pada prinsipnya perbanyakan melalui kultur jaringan dilakukan untuk tanaman yang 1) persentase perkecambahan biji yang rendah, 2) hibrida-hibrida yang unik, 3) Selalu diperbanyak secara vegetatif seperti pada tanaman kentang dan pisang. Menurut Trigiano dan Gray (2000) terdapat 4 tahap dalam kultur jaringan tanaman yaitu, tahap inisiasi, proliferasi tunas, pengakaran dan aklimatisasi. Tahap inisiasi mencakup persiapan eksplan, sterilisasi eksplan hingga mendapatkan eksplan yang bebas dari kontaminasi. Tahap proliferasi tunas adalah tahap pertumbuhan dan perkembangan tunas sehingga dihasilkan tunas yang sehat, steril dan siap dipindahkan ke media pengakaran. Pada tahap pengakaran, eksplan yang telah bertunas ditanam dalam media dengan zat pengatur tumbuh untuk menghasilkan akar. Setelah tanaman berakar, tanaman dipindahkan ke lapang yang sebelumnya diadaptasikan dahulu pada tahap aklimatisasi. Menurut Gunawan (1992), salah satu faktor pembatas dalam keberhasilan kultur jaringan adalah kontaminasi yang dapat terjadi pada setiap saat dalam masa kultur. Kontaminasi dapat berasal dari eksplan, organisme kecil yang masuk ke media, botol kultur , alat tanam yang kurang steril, lingkungan kerja, ruang kultur yang kotor dan kecerobohan dalam pelaksanaan. Keanekaragaman sumber kontaminasi menyebabkan prosedur aseptik yang harus diperhatikan melalui sterilisasi lingkungan kerja, sterilisasi alat-alat dan media sterilisasi bahan tanaman. Lingkungan Kultur Lingkungan yang digunakan untuk proses kultur jaringan sebaiknya memiliki fasilitas penyinaran, temperatur dan sirkulasi udara yang memadai untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan kultur yang ditanam secara in vitro (Wetherel, 1982). Cahaya sangat penting untuk pengendalian perkembangan eksplan. Unsur-unsur dari cahaya yang perlu diperhatikan adalah kualitas cahaya, panjang penyinaran dan intensitas cahaya. Cahaya putih merupakan cahaya yang baik untuk pertumbuhan kultur. Lampu fluorescent sangat baik dan efisien dalam penggunaan energi bila dibandingkan dengan lampu pijar dilihat dari penyebaran cahaya dan panas yang dikeluarkan. Intensitas cahaya yang baik untuk penyinaran adalah 1000 – 4000 lux. Total cahaya yang dibutuhkan suatu tanaman merupakan fungsi dari periode penyinaran, berapa lama cahaya yang akan diberikan tergantung dari jenis tanaman dan respon yang diinginkan (Gunawan, 1992). Suhu di dalam ruang kultur diharapkan dapat diatur. Suhu antara periode gelap dan terang hendaknya dapat diatur berbeda sehingga proses fisiologis yang diinginkan dapat terjadi. Suhu yang baik untuk kultur jaringan antara 25-28 ºC yang merupakan suhu ruangan normal. Beberapa perlakuan khusus memerlukan suhu rendah, seperti pada pengumbian kentang ya ng memerlukan suhu 18-20 ºC (Gunawan, 1992). Udara dalam ruang kultur perlu dijaga agar tetap bersih dan bebas dari kontaminan. Diperlukan adanya aliran udara yang bertekanan dari dalam ke luar ruangan agar terjadi pertukaran udara yang bebas dari kontaminasi. Kelembaban relatif lingkungan kultur dapat diatur. Bila kelembaban ruangan rendah, penguapan air dari media kultur akan terlalu besar, maka kelembaban ruangan perlu dinaikkan. Kelembaban ruang kultur yang tinggi, akan menyebabkan terjadinya pertumbuha n mikroba yang akan mengkontaminasi kultur dan alat-alat laboratorium Keadaan yang lembab juga dapat mengundang satu spesies tungau hidup di dalam ruang kultur. Tungau tersebut berukuran sangat kecil (0,1-0,3 mm), hal ini memungkinkan tungau untuk berpindah tempat dari kultur satu ke kultur yang lain melalui celah pada penutup wadah. Tungau tersebut dalam perjalannya membawa spora-spora mikroba masuk ke ruang kultur. Terjadinya kontaminasi mikroba yang tersebar dalam kultur – kultur yang sebelumnya telah bebas mikroba, merupakan salah satu tanda terdapatnya tungau kultur (Wetherel, 1982). Media Kultur Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan, sangat bergantung pada media yang digunakan. Media kultur jaringan tanaman menyediakan tidak hanya unsur- unsur makro dan mikro, tetapi juga karbohidrat yang pada umumnya berupa gula untuk menggantikan karbon yang biasanya didapat dari atmosfer melalui fotosintesis (Gunawan, 1992). Komponen yang diperlukan untuk kultur jaringan tanaman terdiri dari unsur makro, unsur mikro, pengkelat besi, vitamin, sumber karbon dan zat pengatur tumbuh. Unsur makro yang diperlukan antara lain nitrogen, phospor, kalium, magnesium dan sulfur. Unsur mikro yang diperlukan yaitu besi, mangan, seng, boron, copper, molibdenum dan klor (Dods dan Robert, 1995). Pengkelat besi seperti NaEDTA sangat diperlukan dalam pelarutan sumber besi (Fe). Selain itu EDTA memberikan pengaruh terhadap sistem enzim dalam morfogenesis kultur (Bonga 1982 dalam Dods dan Robert, 1995). Vitamin memiliki fungsi sebagai katalis dalam sistem enzim dan hanya dibutuhkan dalam jumlah sedikit. Jenis vitamin yang umum digunakan adalah thiamin, niacin dan pyridoxin (Gamborg et al. 1976 dalam Dods dan Robert, 1995). Sumber karbon dalam media diperoleh dari penambahan sukrosa atau D-glikosa dengan konsentrasi 20-30 g/l. Myo inositol merupakan karbohidrat yang digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan eksplan (Dods dan Robert, 1995). Senyawa kompleks seringkali ditambahkan pada media kultur jaringan. Persenyawaan organik kompleks yang dimaksud antara lain, air kelapa, casein hydrolysate, ekstrak ragi, jus tomat, ekstrak kentang dan ekstrak pisang (Gunawan, 1992). Agar-agar juga ditambahkan ke dalam media untuk memudahkan dalam menanam eksplan (Beyl, 2000). Beberapa kompone n untuk media ada yang bersifat sensitif terhadap panas, sehingga perlu ditambahkan setelah media di autoklaf sebelum media membeku.Untuk itu diperlukan suatu filter berukuran mikro untuk mensterilkan komponen tersebut dari bakteri dan spora cendawan. Syarat tempat yang baik untuk inkubasi media adalah ruangan gelap dan sejuk untuk menghidari terjadinya degradasi senyawa yang sensitif terhadap cahaya, seperti IAA (Beyl, 2000). Zat Pengatur Tumbuh Zat pengatur tumbuh dibutuhkan dalam konsentrasi yang rendah. Fungsi dari zat pengatur tumbuh adalah untuk merangsang inisiasi, perkembangan tunas dan akar pada eksplan baik dalam media padat atau cair (Beyl, 2000). Zat pengatur tumbuh mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ (Gunawan, 1992). Auksin merupakan salah satu zat pengatur tumbuh yang berfungsi untuk pemanjangan sel dan pembesaran jaringan, dominasi apikal, pembentukan akar dan somatik embriogenesis (Beyl, 2000). Auksin digunakan untuk pertumbuhan kalus, suspensi sel dan organ. Pemilihan jenis auksin dan konsentrasinya tergantung dari tipe pertumbuhan yang dikehendaki, level auksin endogen, kemampuan mensintesa auksin dan golongan zat tumbuh lain yang ditambahkan (Gunawan, 1992). Sitokinin adalah zat pengatur tumbuh yang berfungsi dalam mendorong pembentukan sel, merangsang inisiasi dan pertumbuhan tunas. Sitokinin dalam konsentrasi yang tinggi dapat menginduksi pembentukan tunas, namun menghambat pertumbuhan akar (Beyl, 2000). Giberelin adalah zat pengatur tumbuh yang tidak terlalu umum digunakan dalam media kultur. Salah satu giberelin yang sering digunakan adalah GA3, yang sensitif terhadap panas. Giberelin berperan dalam mendorong pemanjangan sel dan perkembangan meristem pada beberapa spesies (Beyl, 2000). Prosedur Aseptik Inisiasi kultur yang bebas dari kontaminan merupakan langkah yang sangat penting dalam metode kultur jaringan. Bahan tanaman dari lapang mengandung debu, kotoran-kotoran dan berbagai kontaminan hidup pada permukaannya. Kontaminan hidup dapat berup a cendawan, bakteri, serangga dan telurnya serta spora (Gunawan, 1992). Bakteri tidak saja berada pada bahan tanam bagian permukaan, tetapi pada bagian dalam bahan tanaman. Bila berada di permukaan bahan tanam respon kontaminasinya sangat cepat, dalam tempo dua kali 24 jam sudah bisa tampak kontaminasinya. Kontaminasi yang bersifat internal responnya muncul setelah beberapa hari bahkan sampai 1 bulan sehingga sangat mengecewakan karena umumnya sudah terbentuk induksi kalus (Santoso dan Nursandi, 2003). Prinsip dalam sterilisasi bahan tanam bahwa sel tanaman dan kontaminan adalah sama-sama benda hidup. Kontaminasi harus dihilangkan tanpa mematikan sel tanaman. Bahan–bahan sterilisasi pada umumnya bersifat toksik terhadap jaringan tanaman. Pada beberapa jenis tanaman, ditemukan juga kontaminan yang berasal dari dalam jaringan tanaman, terutama bakteri. Kontaminan internal ini sangat sulit diatasi, karena sterilisasi permukaan tidak menyelesaikan masalah. Pada bahan tanaman yang mengandung kontaminan internal, harus diberi perlakuan antibiotik atau fungisida sistemik (Gunawan, 1992). Media kultur merupakan media yang ideal untuk pertumbuhan tanaman, namun ideal pula untuk pertumbuhan bakteri dan cendawan, oleh karena itu media kultur dan alat-alat yang akan digunakan harus melalui proses sterilisasi terlebih dahulu. Penanaman eksplan harus dilakukan di tempat yang steril yaitu laminar air flow cabinet, dengan prosedur-proseder aseptik yang telah ditentukan (Beyl, 2000). Antibiotik Antibiotik adalah antimikroba ya ng selektif yang diaplikasikan pada jaringan hidup atau secara sistemik membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri (Wikipedia, 1993). Antibiotik dihasilkan dari makhluk hidup seperti tumbuhan, cendawan atau bakteri. Antibiotik tidak bersifat toksik terhadap organisme namun bersifat menghambat pertumbuhan atau membunuh pada konsentrasi yang rendah pada satu atau beberapa organisme (Mol, 1975). Antibiotik sudah digunakan didalam dunia pertanian, seperti penanganan penyakit tanaman, aplikasi pada tanah, penyemprotan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman, pasca panen produk pangan dan kultur jaringan tanaman (Bryden et al., 1994). Antibiotik dalam kultur jaringan memiliki efek positif dan negatif. Efek positif dari penggunaan antibiotik adalah membantu mempercepat pertumbuhan jaringan yang dikulturkan, meningkatkan morfogenesis kalus dan mempercepat pengakaran. Efek negatif dari antibiotik adalah bersifat toksik pada plastida dan mitokondria, mengurangi pembentukan klorofil dan menghambat pembentukan asam amino (Seckinger dan Tores, 2004). Penggunaan antibiotik seringkali menyebabkan fenomena yang berbahaya terhadap bahan tanaman. Penggunaan yang berlebihan dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan eksplan. Penggunaan antibiotik dapat menyebabkan resistensi beberapa mikroorganisme tertentu (Pierik, 1987). Semua problem kontaminasi dapat diatasi dengan penggunaan antibiotik baik jenis ataupun kombinasi dari beberapa antibiotik yang diaplikasikan ke dalam media kultur. Pada kenyataannya jaringan tanaman sensitif terhadap antibiotik dan memberi respon yang beragam untuk masing- masing jenis, namun di lain kasus antibiotik dapat meningkatkan pertumbuhan dari jaringan yang dikulturkan (George dan Sherrington, 1984). Cefotaxime Cefotaxime adalah salah satu antibiotik dari golongan sefalosporin generasi ketiga yang sangat aktif dalam mengatasi bakteri terutama gram negatif. Kemampuannya dalam menghambat bakteri gram positif lebih rendah bila dibandingkan dengan gram negatif. Golongan sefalosporin adalah antibiotik ya ng menghambat sintesis dinding sel bakteri. (Seckinger dan Tores, 2004). Adanya mikroorganisme internal seperti Pseudomonas sp. menyebabkan timbulnya kesulitan di dalam mengembangkan studi tentang evolusi heliconia dalam kultur jaringan. Penggunaan antibiotik cefotaxime terbukti efektif dalam mengatasi kontaminasi bakteri Pseudomonas sp. dan Klebsiela sp. (Rodrigues, 2005). Rumus bangun Cefotaxime dapat dilihat pada Gambar 2. Ceftriaxone Ceftriaxone adalah antibiotik dari golongan sefalosporin generasi ketiga, yang aktif dalam penghambatan sintesis dinding sel bakteri. Responnya hampir sama dengan antibiotik cefotaxime, namun memiliki paro waktu yang lebih panjang. Pada manusia, ceftriaxone terikat 95% pada protein dibandingkan dengan cefotaxime yang terikat 30% pada manusia (Morin dan Gorman, 1982). Ceftriaxone digunakan dalam mengatasi kontaminasi bakteri pada kultur jaringan heliconia. Penggunaan ceftriaxone dengan dosis 200 mg/l, dapat mengatasi kontaminasi bakteri hingga 33% dan tidak toksik terhadap jaringan tanaman (Marulanda dan Isaza, 2004). Rumus bangun Ceftriaxone dapat dilihat pada Gambar 2. Chlorampenicol Chlorampenicol adalah antibiotik yang terbuat dari kultur Streptomyces venezuela pada tahun 1947. Bersifat bakteriostatik, broad spectrum yang aktif pada bakteri gram negatif dan positif. Chlorampenicol secara relatif bersifat toksik, terutama setelah penggunaan jangka panjang, oleh karena itu tidak dianjurkan digunakan pada manusia (Mol, 1975). Chloramphenicol aktif dalam penghambatan sintesis protein bakteri (Mardigan dan Martinko, 2006). Chlorampenicol pada dosis 150 mg/l dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada eksplan heliconia, namun dalam jangka waktu tertentu eksplan teroksidasi akibat dari toksisitas antibiotik (Rodrigues, 2005). Rumus bangun Chlorampenicol dapat dilihat pada Gambar 2. (A) (B) (C) Gambar 2. Rumus Bangun Antibiotik : (A) Cefotaxime, (B) Ceftriaxone, (C) Chlorampenicol. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan mulai Bulan Januari 2006 hingga Juni 2006 berlokasi di Laboratorium Teknologi Benih Leuwi Kopo dan Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, Darmaga, Bogor. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tunas dari rimpang heliconia, media tanam campuran arang sekam, pupuk organik dan tanah yang steril, bakterisida Agrept, fungisida Dithane, media kultur jaringan Murashige and Skoog, BAP 2 mg/l, IBA 10 mg/l, PVP (Polyvinyl Pyrolydone) 1 g/l, detergent, antibiotik cefotaxime, ceftriaxone, chlorampenicol, clorox, alkohol 70%, air steril, aquades, pemadat (agar-agar), spirtus, plastik, karet gelang dan tissue. Alat yang digunakan terdiri dari botol kultur, otoklaf, laminar air flow, mata pisau scalpel, scalpel, gunting, pinset, syringe, hand sprayer, timbangan analitik dan cawan petri. Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan rancangan lingkungan acak kelompok yang disusun secara faktorial terdiri dari dua faktor. Faktor pertama adalah jenis antibiotik dan faktor kedua adalah taraf konsentrasi antibiotik. Jenis antibiotik yang digunakan adalah cefotaxime (C1), ceftriaxone (C2) dan chlorampenicol (C3). Konsentrasi antibiotik terdiri dari dua taraf yaitu 500 mg/l (K 1 ) dan 1000 mg/l (K 2 ). Terdapat satu perlakuan tanpa antibiotik sebagai perlakuan kontrol. Setiap perlakuan diulang tiga kali, satu perlakuan terdiri dari 5 botol kultur, setiap botol kultur terdiri dari satu eksplan sehingga didapatkan 115 satua n percobaan. Model rancangan yang digunakan adalah : Yijk = µ + α i + β j + (αβ)ij + γk + ε ijk Keterangan : Yijk = Nilai pengamatan untuk konsentrasi antibiotik dan kultivar µ = Nilai tengah umum αI = Pengaruh jenis antibiotik ke- i βj = Pengaruh konsentrasi ke - j (αβ)ij = Pengaruh interaksi jenis ke- i dan konsentrasi ke-j γk = Pengaruh ulangan ke-k ε ijk = Galat umum percobaan Data dianalisis dengan menggunakan analisis ragam dan apabila hasil uji F tersebut berbeda nyata pada taraf 5%, maka dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT). Pelaksanaan Pemeliharan Tanaman Induk dan Pertumbuhan Tunas Bahan tanam yang akan dijadikan eksplan diharapkan seragam dan bebas dari penyakit baik yang disebabkan olah cendawan atau bakteri, untuk itu tanaman tersebut ditanam dalam screen house terlebih dahulu, hingga tunas yang akan dijadikan eksplan dapat diperoleh dengan seragam. Penyiraman dengan bakterisida dan fungisida seminggu sekali dimaksudkan untuk menjaga tanaman bebas dari penyakit dan memperkecil tingkat kontaminasi. Tanaman heliconia dibersihkan terlebih dahulu dari media asalnya hingga rimpang dan akarnya bersih. Tanaman yang sudah bersih dikering anginkan selama 2 hari dan ditanam dalam media tanam yang steril. Bagian rimpang dan akar direndam dengan larutan fungisida Dithane M-45 2 g/l dan bakterisida Agrept 2 g/l. Tanaman dikering anginkan selama 1 hari, lalu ditanam dalam media steril. Tanaman diberi pupuk daun Gandasil- D dengan dosis 2 g/l untuk memelihara tanaman dan mendorong tumbuhnya tunas. Pemupukan dilakukan 2 minggu sekali dan diaplikasikan ke media tanam. Penyiapan Alat, Bahan dan Media Untuk menanam eksplan, diperlukan media MS dengan tambahan ZPT berupa BAP 2 mg/L, IBA 10 mg/L dan PVP untuk mencegah pencokelatan 1 g/L. Media MS dibuat dengan mencampurkan larutan stok, ZPT dan PVP dengan konsentrasi yang sudah ditentukan lalu ditera dengan labu erlenmeyer dengan menambahkan air aquades dan larutan gula. Media tersebut dicampurkan dengan bubuk agar sebagai bahan pemadat media lalu dipanaskan agar terjadi homogenisasi bubuk agar dengan air. Media disterilisasikan ke dalam otoklaf selama 30 menit dengan suhu 121°C dengan tekanan 15-17,5 Psi. Setelah selesai di otoklaf, media dimasukkan dalam laminar air flow cabinet dan dibiarkan hingga suhunya mencapai 50º C. Setelah itu antibiotik dengan masing – masing konsentrasi dimasukkan ke dalam media dan dituangkan ke dalam botol kultur. Antibiotik cefotaxime dan ceftriaxone yang digunakan berbentuk serbuk injeksi yang harus diencerkan terlebih dahulu dengan air bidestilata steril untuk membuat larutan stok. Larutan stok yang dibuat disimpan di dalam lemari es karena sangat sensitif terhadap panas dan cahaya. Larutan stok dapat bertahan dalam kondisi stabil jika disimpan pada suhu rendah 5° C selama 22 hari. Lalu antibiotik dimasukkan dalam media sesuai dengan konsentrasi dengan menggunakan syringe. Antibiotik chlorampenicol yang digunakan adalah dalam bentuk kapsul, sehingga isi kapsul langsung dicampurkan dalam media. Alat-alat yang digunakan perlu disterilkan terlebih dahulu di dalam otoklaf selama 1 jam. Penyiapan Eksplan Penyiapan bahan tanam dilakukan dengan cara mengumpulkan tunas dari rimpang heliconia yaitu H. psittacorum L.f. cv. Lady Di. Tunas yang diambil sebagai bahan tanaman adalah tunas yang masih muda dari rimpang dengan tinggi tunas kurang lebih 3 - 5 cm. Setelah bahan tanaman terkumpul, rimpang tersebut dicuci dengan detergen dan dibilas dengan air mengalir selama 15 menit. Rimpang yang telah dibilas dibalut dengan campuran fungisida Dithane dan bakterisida Agrept dalam bentuk pasta selama 1 malam. Eksplan dibilas dengan air hingga bersih dan diinkubasikan selama 3 hari di lemari es dengan tujuan mematikan bakteri serta menghambat pertumbuhan bakteri dan cendawan. Sterilisasi Bahan Tanaman Bahan tanam yang sudah dibalut dengan Dithane dan Agrept dalam bentuk pasta, dicuci dengan air steril. Bagian-bagian yang mati dari bahan tanam tersebut dikelupas dan dibuang. Bahan tanam yang sudah dibersihkan dimasukkan ke dalam laminar air flow cabinet. Eksplan direndam dalam larutan alkohol 70 % selama 30 detik, lalu eksplan dilewatkan ke api bunsen kurang lebih 1 detik dan dibilas dengan air steril. Selanjutnya eksplan direndam dalam larutan Clorox 30% yang dicampur dengan 3 tetes Tween 80 selama 20 menit, lalu dibilas dengan air steril dan pelepah terluar dari bahan tanam dikelupas. Setelah itu bahan tanam tersebut direndam di dalam Clorox 15% selama 30 menit dan dibilas dengan air steril dan pelepah terluar dikelupas kembali dan dibersihkan dari bagian – bagian yang telah rusak atau mati. Setelah itu eksplan dipotong hingga tersisa 1 cm, sehingga didapatkan tunas yang akan ditanam di media perlakuan. Penanaman Eksplan Eksplan ditanam dengan menggunakan alat bantu pinset yang disterilkan dalam bunsen terlebih dahulu. Sebelum penanaman, eksplan direndam dahulu pada larutan antiseptik selama 5 menit. Eksplan dipotong hingga berdiameter 0.5 cm dan tinggi 1.0 cm lalu ditanam dalam media MS padat yang telah diberi antibiotik. Botol kultur ditutup rapat dengan plastik dan diletakkan dalam rak-rak kultur. Suhu di ruangan kultur berkisar 18 – 20 ºC dengan intensitas cahaya 100400 footcandle. Pemindahan Media Antibiotik memiliki batas waktu dalam menghambat pertumbuhan bakteri, oleh karena itu pada selang waktu tertentu perlu dilakukan pemindahan pada media antibiotik baru. Pemindahan ini dilakukan dua kali yaitu minggu ke-2 dan minggu ke-4. Selang waktu ini didasarkan pada kenaikan tingkat kontaminasi bakteri yang terjadi pada eksplan. Jika tingkat kontaminasi lebih dari 30%, maka dilakukan pemindahan eksplan. Sterilisasi lanjut juga dilakukan untuk mengurangi tingkat kontaminasi yang akan terjadi setelah pemindahan media. Sterilisasi lanjut dilakukan pada eksplan yang terkontaminasi bakteri dan masih terlihat hijau. Eksplan yang steril langsung dipindahkan pada media baru. Metode sterilisasi lanjut dilakukan dengan perendaman alkohol 70% selama 1 menit, perendaman clorox 7% selama 20 menit dan clorox 3% selama 30 menit, lalu eksplan dibilas dengan air steril tiga kali dan eksplan ditanam kembali pada media baru. Identifikasi Bakteri Penyebab Kontaminasi Identifikasi bakteri dilakukan di Laboratorium Bakteriologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB (Gambar 3). Metode yang dilakukan dalam identifikasi ini adalah : Spesimen Pewarnaan Gram Blood Agar Pewarnaan Gram Mc Conkey Agar Nutrien Agar Pewarnaan gram Pewarnaan Gram Gram Positif (+) Batang Gram Negatif (-) Kokus Batang Uji Katalase Uji Glukosa Oksidase MSA Identifikasi Kokus Uji biokimia Uji TSIA Urease Uji IMVIC Fermentasi Karbohidrat Glukosa Laktosa Sukrosa Maltosa Manitol Identifikasi Gambar 3. Bagan proses identifikasi bakteri Setelah dilakukan uji - uji seperti terlihat diatas, hasil analisis dibandingkan dengan buku panduan identifikasi bakteri ”Bergey’s Manual and Determinative Bacteriology” sehingga diketahui jenis bakteri sesuai dengan ciri – ciri yang terdapat dalam buku. Pengamatan Pengamatan dilakukan setiap minggu selama 3 bulan. Peubah yang diamati antara lain : a. Jumlah eksplan terkontaminasi bakteri b. Jumlah eksplan terkontaminasi cendawan c. Jumlah eksplan mati akibat toksisitas antibiotik d. Jumlah eksplan berinisiasi e. Jumlah eksplan bertunas f. Jenis bakteri yang menyebabkan kontaminasi eksplan HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini diawali dengan pemeliharan tanaman yang akan dijadikan eksplan bertempat di screen house Leuwi Kopo, Darmaga. Keadaan tanaman setelah di repotting ke media steril, pada awalnya terlihat tidak vigor, namun setelah 1 minggu tanaman sudah mulai beradaptasi dan menjadi vigor. Tanaman dipupuk dengan pupuk daun secara intensif, sehingga pada hari ke-7 setelah penanaman dalam screen house, primordia tunas sudah terlihat. Primordia tunas adalah gumpalan sel yang berwarna putih yang akan tumbuh menjadi tunas. Pada hari ke-14, primordia tunas tumbuh menjadi tunas lateral berukuran 1 – 2 cm dan pada hari ke – 20 tunas lateral yang sudah berukuran 3 -5 cm, dipanen untuk dijadikan eksplan pada media kultur jaringan. Eksplan diberi perlakuan fungisida dan bakterisida secara intensif di dalam screen house untuk mengurangi tingkat kontaminasi. Eksplan yang sudah dipanen perlu di bersihkan dahulu dengan berbagai macam disinfektan lalu diinkubasikan selama 3 hari sebelum ditanam dan disterilisasi. Pada proses sterilisasi, ditemukan eksplan-eksplan yang berukuran kecil dan hangus karena proses sterilisasi. Eksplan yang telah hangus tidak dapat ditanam pada media kultur. Pada minggu pertama setelah penanaman, eksplan terkontaminasi cendawan dan bakteri. Kontaminsi bakteri semakin meningkat setiap minggunya, hal ini dikarenakan semakin menurunnya aktifitas antibiotik, oleh karena itu dilakukan sterilisasi lanjutan dan pemindahan pada media antibiotik yang baru pada 2 MSP dan 4 MSP. Sterilisasi lanjutan ini pada awalnya bertujuan agar bakteri yang mengkontaminasi eksplan tercuci dan mati karena bahan – bahan disinfektan yang digunakan, akan tetapi kontaminasi masih terjadi pada minggu berikutnya, namun ada eksplan yang menjadi steril. Pada 1 MSP, beberapa eksplan sudah mulai berubah warna dari putih krem menjadi hijau muda. Eksplan yang lebih dahulu mengalami perubahan warna adalah eksplan pada perlakuan cefotaxime dan kontrol. Eksplan pada perlakuan chlorampenicol, tidak menunjukkan perubahan warna. Eksplan pada perlakuan kontrol tidak mengalami inisiasi, karena pada 3 MSP seluruh eksplan sudah mengalami kematian akibat kontaminasi baik cendawan ataupun bakteri. Pada rekapitulasi sidik ragam (Tabel 1) diketahui bahwa jenis antibiotik yang diaplikasikan, berpengaruh nyata pada setiap peubah, sedangkan konsentrasi antibiotik hanya berpengaruh nyata pada peubah kontaminasi bakteri 6 dan 9 MSP. Interaksi hanya terjadi pada eksplan berinisiasi pada 3 MSP. Inisiasi tunas mulai terjadi pada 3 MSP, cirinya adalah pembesaran pangkal tunas yang ditanam dan terlihat seperti gembungan. Eksplan yang sudah berinisiasi jika terkena kontaminasi bakteri lama kelamaan akan berubah warna menjadi coklat kehitaman dan eksplan menjadi mati. Tidak semua eksplan yang telah terkontaminasi bakteri mengalami kematian, ada beberapa eksplan yang tetap tumbuh pada saat inisiasi bahkan sampai bertunas, hal ini terjadi karena bakteri yang sudah muncul dihambat perkembangannya oleh antibiotik, sehingga eksplan dapat terus berkembang tanpa terganggu oleh aktifitas bakteri. Eksplan yang steril pada tahap inisiasi mulai tumbuh menjadi tunas pada 6 MSP. Beberapa eksplan pada media chlorampenicol berubah warna menjadi kecoklatan pada 6 MSP, hal ini disebabkan sifat toksik dari senyawa antibiotik terhadap jaringan tanaman. Eksplan pada media antibiotik cefotaxime dan ceftriaxone mengalami pertumbuhan tunas yang cukup baik dan tidak bersifat toksik terhadap eksplan hingga 12 MSP. Tabel 1. Rekapitulasi Sidik Ragam Jenis Peubah Konsentrasi Interaksi %KK %KK tn tn tn tn 63.95 21.08 18.98 19.45 19.79 8.26 8.55 8.90 tn tn tn tn tn tn 219.09 157.32 121.22 10.13 9.56 10.91 * tn tn tn tn tn * tn tn 52.44 21.37 67.61 12.96 6.44 17.05 * tn tn tn tn tn tn tn tn 157.32 345.33 298.80 10.10 14.52 15.78 ( C) (K) (C*K) 3 MSP 6 MSP 9 MSP 12 MSP tn ** ** ** tn * * tn 8 MSP 10 MSP 12 MSP tn * * 3 MSP 5 MSP 7 MSP 6 MSP 9 MSP 12 MSP Keterangan: a) Data berdasarkan hasil transformasi dengan rumus v(x+0.5) b) Data berdasarkan hasil transformasi dengan rumus v(x+1.5) c) Data berdasarkan hasil transformasi dengan rumus v(x+2) d) Nilai kk setelah ditransformasi * berbeda nyata pada taraf 5%, ** berbeda nyata pada taraf 1% tn tidak berbeda nyata Kontaminasi Cendawan Kontaminasi cendawan hanya terjadi pada 1 MSP dan 2 MSP. Kontaminasi cendawan terjadi pada eksplan yang kurang steril dalam proses sterilisasi baik di lapang maupun dalam Laminar air flow cabinet. Kontaminasi cendawan juga terjadi karena kurang sterilnya peralatan yang digunakan untuk menanam. Persentase eksplan yang terkontaminasi cendawan adalah 8.69 % dari seluruh eksplan yang ditanam. Keadaan ini menunjukkan bahwa metode sterilisasi yang diterapkan sudah cukup baik dalam mengatasi kontaminasi cendawan. Pada penelitian Marulanda dan Isaza (2004) mengenai teknik sterilisasi pada heliconia, jumlah kontaminasi cendawan mencapai 13.3% hingga 73.3% pada berbagai metode yang diaplikasikan. Eksplan yang terkontaminasi cendawan berubah menjadi coklat kehitaman dan akhirnya mati. Cendawan cepat sekali berkembang biak, dalam 7 hari hifa sudah menutupi seluruh permukaan eksplan. Jenis cendawan yang menjadi kontaminan ada beberapa macam, namun sebagian besar memiliki ciri hifa berwarna putih yang menyerupai rambut halus (Gambar 4). Gambar 4. Kontaminasi cendawan 2 MSP Kontaminasi Bakteri Persentase eksplan terkontaminasi bakteri cenderung meningkat setiap minggunya. Jenis antibiotik menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap persentase eksplan yang terkontaminasi bakteri pada 6, 9 dan 12 MSP. Chlorampenicol nyata menekan kontaminasi bakteri bila dibandingkan dengan cefotaxime dan ceftriaxone (Tabel 2). Tabel 2. Persentase Eksplan Heliconia Terkontaminasi Bakteri Pada Tiap Jenis Antibiotik. Jenis Antibiotik Cefotaxime Ceftriaxone Chlorampenicol 3 MSP 40.0 26.6 16.6 Persentase (%) 6 MSP 9 MSP 63.4b 70.0b 86.6a 96.6a 30.0c 46.6c 12 MSP 93.4a 96.6a 46.6b Keterangan: MSP= Minggu Setelah Penanaman Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. Chlorampenicol berdaya jangkau luas pada bakteri baik gram positif atau gram negatif (Subronto dan Tjahjati, 2002). Chlorampenicol memiliki masa stabil yang panjang, aktifitasnya menurun 50% dalam 290 hari pada temperatur 20º C (Seckinger dan Tores, 2004), oleh karena itu hingga 12 MSP antibiotik ini tetap aktif dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Persentase eksplan terkontaminasi bakteri pada perlakua n ceftriaxone pada 3 MSP cenderung rendah dan tidak memiliki perbedaan yang nyata dengan jenis antibiotik lain. Pada 6 MSP persentase kontaminasi bakteri semakin meningkat dan nyata memiliki persentase eksplan terkontaminasi bakteri terbesar, hal ini disebabkan oleh semakin menurunnya aktifitas antibiotik. Pada 3 MSP, antibiotik dengan konsentrasi 500 mg/l tidak memiliki perbedaan yang nyata dengan konsentrasi 1000 mg/l. Persentase eksplan yang terkontaminasi bakteri pada perlakuan 1000 mg/l lebih kecil bila dibandingkan dengan perlakuan 500 mg/l, perbedaan ini nyata pada 6 MSP dan 9 MSP (Tabel 3). Tabel 3. Persentase Eksplan Heliconia Terkontaminasi Bakteri Pada Tiap Konsentrasi Antibiotik. Konsentrasi Antibiotik 500 1000 3 MSP 33.4 22.2 Persentase (%) 6 MSP 9 MSP 73.4a 80.0a 46.4b 62.2b 12 MSP 84.4 73.4 Keterangan: MSP= Minggu Setelah Penanaman Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. Kenaikan persentase kontaminasi bakteri dapat disebabkan oleh adanya resistensi bakteri, karena dalam konsentrasi hingga 1000 mg/l, bakteri tetap bertahan hidup (Tabel 3). Pada penelitian Rodrigues (2005) perlakuan antibiotik cefotaxime 500 mg/l dapat menurunkan kontaminasi bakteri pada eksplan heliconia sebesar 30%. Bahan kimia dan nutrisi yang digunakan dalam media kultur jaringa n bukan media yang tepat dalam pertumbuhan bakteri (Leifert dan Cassels, 2001). Jika bakteri tetap saja tumbuh, berarti telah terjadi resistensi bakteri, dimana bakteri dapat bertahan dalam kondisi kekurangan nutrisi untuk hidupnya. Toksisitas Antibiotik Eksplan heliconia yang mengalami kematian karena toksisitas antibiotik hanya terjadi pada perlakuan chlorampenicol. Kematian eksplan mulai terlihat sejak 7 MSP dan mengalami peningkatan hingga 12 MSP (Tabel 4). Tabel 4. Persentase Eksplan Heliconia Mati Karena Toksik Antibiotik. Jenis Antibiotik Cefotaxime Ceftriaxone Chlorampenicol 8 MSP 0.0 0.0 10.0 Persentase (%) 10 MSP 0.0b 0.0b 13.4a 12 MSP 0.0b 0.0b 23.4a Keterangan: MSP= Minggu Setelah Penanaman Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. Chlorampenicol merupakan jenis antibiotik yang menghambat sintesis protein bakteri, meskipun penghambatan ini dinilai tidak berpengaruh terhadap organisme eukariot, namun penggunaan dalam konsentrasi tinggi dan jangka waktu yang panjang dapat berpengaruh dan bersifat toksik terhadap sel eukariot (Schlegel dan Schmidt, 1994). Cefotaxime, ceftriaxone dan antibiotik ß-laktam lainnya memiliki toksisitas yang selektif, toksik terhadap bakteri dan berpengaruh kecil terhadap sel inang (Morin dan Gorman, 1982). Pada eksplan yang mati akibat toksisitas antibiotik, tidak ditemukan atau sedikit sekali terdapat eksudat bakteri namun lama kelamaan eksplan tersebut berubah warna menjadi coklat, menyusut dan akhirnya mati (Gambar 5). Gambar 5. Kematian Eksplan Heliconia Akibat Toksisitas Antibiotik Inisiasi Eksplan Inisiasi eksplan terjadi mulai 3 MSP, hingga eksplan bertunas pada 7 MSP. Eksplan berinisiasi pada perlakuan cefotaxime nyata lebih besar pada 3 MSP (Tabel 5). Penurunan persentase tunas yang berinisiasi disebabkan kematian eksplan akibat kontaminasi. Tabel 5. Persentase Eksplan Heliconia yang Berinisiasi Pada Tiap Jenis Antibiotik. Jenis Antibiotik Cefotaxime Ceftriaxone Chlorampenicol Persentase (%) 5 MSP 60.0 46.6 63.4 3 MSP 63.4a 30.0b 26.6b 7 MSP 33.4 26.6 63.4 Keterangan: MSP= Minggu Setelah Penanaman Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. Interaksi antara jenis dan konsentrasi antibiotik terhadap persentase eksplan berinisiasi terjadi pada 3 MSP. Eksplan pada media chlorampenicol konsentrasi 1000 mg/l tidak berinisiasi (Tabel 6). Tabel 6. Interaksi Antara Jenis dan Konsentrasi Antibiotik Terhadap Persentase Eksplan Heliconia Berinisiasi . Jenis Antibiotik Konsentrasi (mg/l) 500 1000 Cefotaxime Ceftriaxone Chlorampenicol 53.4ba 33.4bac 53.4ba 73.4a 26.6bc 0.0c Cefotaxime Ceftriaxone Chlorampenicol 53.4 40.0 66.6 66.6 53.4 60.0 Cefotaxime Ceftriaxone Chlorampenicol 26.6 13.4 66.6 40.0 40.0 60.0 Keterangan: MSP= Minggu Setelah Penanaman Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada minggu yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. Interaksi chlorampenicol 500 mg/l dan ceftriaxone 500 mg/l lebih efektif dalam inisiasi pertunasan bila dibandingkan dengan konsentrasi 1000 mg/l, hal ini disebabkan oleh terjadinya pengaruh antibiotik pada konsentrasi yang lebih tinggi. Interaksi cefotaxime 1000 mg/l menghasilkan persentase tunas berinisiasi yang tertinggi, dikarenakan kontaminasi bakteri yang terjadi lebih sedikit bila dibandingkan cefotaxime 500 mg/l dan kontaminasi bakteri dapat menghambat pertumbuhan tunas. Meskipun eksplan pada perlakuan chlorampenicol berinisiasi, warna eksplan tidak menghijau seperti perlakuan yang lain (Gambar 6). Menurut Schlegel dan Schmidt (1994) antibiotik yang menghambat sintesis protein bakteri dapat menyebabkan penurunan kadar kloroplas dan mitokondria sepanjang pertumbuhan pada sel eukariot. Eksplan pada perlakuan cefotaxime memiliki jumlah eksplan berinisiasi terbesar pada 3 MSP, namun mengalami penurunan akibat kontaminasi. Eksplan yang berinisiasi pada perlakuan cefotaxime dan ceftriaxone berwarna hijau dan terlihat segar (Gambar 6). Hasil penelitian Yu et al. (2001), cefotaxime dengan konsentrasi 150 mg/l menunjukkan persentase somatik embriogenesis yang besar pada kultur akar pepaya. Keadaan ini menunjukkan bahwa cefotaxime dapat membantu dalam perkembangan eksplan dalam kultur in vitro. Gambar 6. Inisiasi Eksplan Heliconia 4 MST (A) Cefotaxime 1000 mg/l, (B) Ceftriaxone 1000 mg/l dan (C) Chlorampenicol 1000 mg/l. Eksplan Bertunas Eksplan bertunas pada 6 MSP hanya terjadi pada perlakuan cefotaxime, dan memiliki persentase eksplan bertunas terbesar pada tiap minggunya. Pada 9 dan 12 MSP, persentase eksplan bertunas tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap jenis antibiotik (Tabel 7). Tabel 7. Persentase Eksplan Heliconia Bertunas Pada Tiap Jenis Antibiotik. Jenis Antibiotik Cefotaxime Ceftriaxone Chlorampenicol 6 MSP 13.4a 0.0b 0.0b Persentase (%) 9 MSP 10.0 0.0 34.0 12 MSP 10.0 34.0 34.0 Keterangan: MSP= Minggu Setelah Penanaman Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%. Eksplan bertunas merupakan respon lanjut dari inisiasi eksplan dan tidak semua eksplan yang berinisiasi mengalami pertunasan (Gambar 7). Munculnya kontaminasi bakteri pada saat eksplan berinisiasi dapat menghambat pertunasan dan menyebabkan kematian eksplan. Persentase eksplan yang hidup dan bertunas pada perlakuan cefotaxime memiliki nilai tertinggi meskipun menurun pada 9 MSP (Tabel 7). Gambar 7. Eksplan Heliconia Bertunas 12 MSP; (A) Cefotaxime 1000 mg/l, B) Ceftriaxone 1000 mg/l dan (C) Chlorampenicol 1000 mg/l. Perbandingan Seluruh Perlakuan dengan Kontrol Persentase eksplan heliconia terkontaminasi bakteri dibandingkan dengan kontrol dianalisis dengan rancangan lingkungan acak kelompok, namun jenis dan konsentrasi antibiotik dianggap sebagai satu faktor perlakuan. Perlakuan kontrol, nyata memiliki persentase eksplan terkontaminasi bakteri terbesar, meskipun nilainya tidak nyata bila dibandingkan dengan perlakuan ceftriaxone 500 mg/l 1 MSP (Tabel Lampiran 6, Gambar 8). 100 Keterangan : C1K1 : Cefotaxime 500 mg/l 90 Persentase (%) 80 70 C1K2 : Cefotaxime 1000 mg/l 60 50 C2K1 : Ceftriaxone 500 mg/l 40 C2K2 : Ceftriaxone 1000 mg/l 30 20 C3K1 : Chlorampenicol 500 mg/l 10 C3K2 : Chlorampenicol 1000 mg/l 0 Kontrol C1K1 C1K2 C2K1 C2K2 Perlakuan C3K1 1 MSP C3K2 3 MSP Gambar 8. Grafik Perband ingan Persentase Eksplan Heliconia Terkontaminasi Bakteri Antara Kontrol dan Perlakuan Antibiotik Kontaminasi bakteri internal merupakan masalah terbesar dalam kultur jaringan heliconia (Rodrigues, 2005). Jika eksplan sudah terkontaminasi bakteri interna l, perlu dilakukan sterilisasi dengan fungisida sistemik atau dengan penggunaan antibiotik (Gunawan, 1992). Jenis Bakteri Identifikasi bakteri dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Jumlah eksplan yang terkontaminasi bakteri sebanyak 82 eksplan dari keseluruhan eksplan yang ditanam. Sebanyak 71 eksplan atau 61.74% dari seluruh eksplan yang ditanam terkontaminasi oleh bakteri Pseudomonas sp. (Tabel 8). Tabel 8. Jumlah Eksplan Heliconia yang Terkontaminasi Beberapa Jenis Bakteri Pada Setiap Perlakuan. PERLAKUAN Kontrol C1K1 C1K2 C2K1 C2K2 C3K1 C3K2 JUMLAH Persentase (%) A B C D 13 13 10 12 11 8 4 71 61.74 0 0 0 0 1 0 1 2 1.74 0 2 1 1 1 0 0 5 4.35 0 0 1 2 1 0 0 4 3.48 Keterangan : A=Pseudomonas sp. (Berlendir bening hingga putih susu). B=Planococcus citreus (Sangat putih, ujung koloni tidak beraturan). C=Pseudomonas putida (Lendir putih, media berubah warna menjadi pink hingga merah). D=Kurthia gibsonii (Berlendir putih, menggenangi permukaan media). Pseudomonas sp. merupakan bakteri yang dapat berkembang biak secara bebas di lingkungan alam, bakteri gram negatif, berbentuk batang dan dapat bersifat patogen terhadap manusia, hewan dan tanaman. Pseudomonas solanacearum merupakan species yang menjadi patogen banyak tanaman (Holt et al., 1994). Pseudomonas solanacearum adalah bakteri penyebab penyakit layu pada tanaman heliconia (Sewake dan Uchida, 1995). Genus Pseudomonas hidup di tanah dan membutuhkan energi dari luar. Jumlah genus ini di dalam tanah tergantung banyaknya substrat yang ditambahkan untuk energinya (Rao, 1994). Pseudomonas sp. masuk ke jaringan tanaman pada proses pemeliharaan tanaman. Bakteri dapat menyebar melalui tanah yang digunakan sebagai media tanam dan gulma yang tumbuh disekitar screen house. Planococcus citreus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat atau kokus yang berhabitat di lautan yang sangat toleran dengan kondisi garam yang tinggi dan tidak bersifat patogen terhadap tanaman (Holt et al., 1994). Apabila bakteri hidup dalam suatu organisme hidup dapat bersifat patogen karena organisme tersebut dapat menjadi sumber makanannya (Pelczar dan Chan, 1986). Eksplan ya ng terkontaminasi Planococcus citreus mengalami perubahan warna menjadi coklat dan seperti menyusut (Gambar 9). Menurut Rodriguez (1988) Planococcus sp. dapat ditemukan pada tanah yang hiper salin, barang-barang yang mengandung garam tinggi dan makanan laut makarel. Penyebarannya ke dalam tanaman dapat melalui sumber air yang digunakan dalam penyiraman atau dari media tanam yang digunakan. Perbedaan kontaminasi eksplan yang disebabkan oleh Pseudomonas putida dengan Pseudomonas sp adalah bakteri tersebut memproduksi zat warna atau pigmen yang dapat merubah warna media yang awalnya bening menjadi pink hingga merah darah. Margalith (1992) menyatakan bahwa bakteri dapat menghasilkan zat warna dengan mereduksi senyawa NO3 atau memiliki pigmen dalam tubuhnya. Menurut Holt et al. (1994) Pseudomonas putida memilki pigmen flourescent secara alami dalam tubuhnya. Pseudomonas putida di dalam tanah bersifat menguntungkan untuk pertumbuhan tanaman. Pseudomonas putida berkembangbiak di dalam akar dan rizosfer, me ningkatkan penyediaan nutrisi, mengeliminasi mikroorganisme patogen dan memproduksi metabolit untuk pertumbuhan tanaman (Vancura, 1989). Meskipun bakteri ini bersifat menguntungkan, namun responnya dapat berbeda pada kultur in vitro karena eksplan yang terkontaminasi bakteri ini tetap saja mengalami kematian. Beberapa strain dari Pseudomonas putida memproduksi senyawa yang berbahaya untuk tanaman. Kurthia Gibsonii adalah bakteri gram positif berbentuk batang yang hidup pada kotoran hewan dan makanan yang berbahan baku daging. Bakteri ini tidak bersifat patogen (Holt et al., 1994). Penyebarannya dapat melalui pupuk organik yang terdapat pada media tanam atau air yang sudah tercemari bakteri ini. Pada awalnya bakteri ini tidak menyebabkan perubahan apapun terhadap eksplan, namun bakteri ini sangat cepat berkembang hingga menutupi permukaan media dan eksplan menjadi tergenang. Keadaan ini menyebabkan eksplan tidak dapat bertahan dan berkembang lagi dan akhirnya mati. Gambar 9. Gambar Jenis bakteri yang mengkontaminasi eksplan ; (A) Pseudomonas sp., (B) Planococcus citreus, (C) Pseudomonas putida, (D) Kurthia Gibsonii Pembahasan Umum Chlorampenicol merupakan antibiotik berspektrum luas, aktif dalam menghambat bakteri gram negatif, positif , ricketsia dan beberapa bakteri yang tidak bisa dihambat oleh antibiotik lain (Subronto dan Tjahjati, 2002) dan bersifat stabil dalam jangka waktu yang cukup lama (Seckinger dan Tores, 2004). Keadaan ini menjadikan antibiotik chlorampenicol sangat aktif dalam menghambat kontaminasi eksplan dalam jangka waktu yang lama. Chlorampenicol adalah antibiotik yang aktivitasnya menghambat sintesis protein pada bakteri (Madigan dan Martinko, 2006). Chlorampenicol aktif dalam proses elongasi sintesis protein dengan menghambat enzim peptidyltransferase yang merupakan media transfer asam amino (Leshem, 1973). Chlorampenicol secara tidak langsung juga dapat berpengaruh pada sintesis protein tanaman dan menyebabkan kematian eksplan. Cefotaxime dan ceftriaxone merupakan jenis antibiotik dari golongan ß-laktam yang aktifitasnya menghambat dinding sel bakteri (Morin dan Gorman, 1982). Aktifitas ß- laktam adalah menyebabkan kerusakan peptidoglikan yang menyebabkan lisisnya sitoplasma bakteri (Heritage et al., 1999). Struktur dinding sel bakteri berbeda dengan sel tanaman, hal ini menyebabkan penggunaan antibiotik ini cenderung aman untuk digunakan pada tanaman. Meskipun berasal dari golongan antibiotik cefalosporin, ternyata memiliki respon yang berbeda dalam menghambat kontaminasi bakteri. Ceftriaxone diakui secara farmakologik lebih unggul karena memilki waktu paruh yang panjang (Morin dan Gorman, 1982). Ceftriaxone lebih efektif menghambat kontaminasi bakteri dibandingkan cefotaxime, meskipun pada 6 MSP terlihat jelas penurunan aktifitas antibiotiknya (Tabel 2). Cefotaxime menghasilkan senyawa diasetil yang aktif dalam penghambatan bakteri gram negatif (Morin dan Gorman, 1982), oleh karena itu, jumlah kontaminasi bakteri pada cefotaxime menjadi lebih rendah pada 6, 9 dan 12 MSP, bila dibandingkan dengan ceftriaxone (Tabel 2). Meskipun aktifitas antibiotik cefotaxime mengalami penurunan, senyawa diasetil tetap aktif dalam menghambat bakteri internal dan bakteri yang tumbuh dari masa dormansinya. Cefotaxime aman untuk jaringan tana man, oleh karena itu inisiasi dan pertumbuhan tunas dapat berlangsung dengan baik. Penurunan inisiasi dan pertunasan terjadi karena adanya kontaminasi bakteri internal yang terjadi pada saat semakin menurunya aktifitas antibiotik. Tingkat kontaminasi bakteri pada perlakuan antibiotik masih tetap tinggi, oleh karena itu dilakukan identifikasi bakteri. Identifikasi bakteri dilakukan agar sumber bakteri dan jenis antibiotik yang tepat untuk menghambat bakteri tersebut dapat diketahui. Chlorampenicol merupakan antibiotik yang paling efektif dalam menghambat Pseudomonas sp., yang menjadi penyebab utama kontaminasi (Tabel 8). Perkembangan persentase kontaminasi bakteri pada semua perlakuan, ternyata menunjukkan adanya penurunan aktivitas antibiotik yang menyebabkan ketidakmampuan untuk menghambat bakteri internal yang patogenik serta terjadinya resistensi bakteri. Menurut Morin dan Gorman (1982), adanya penghambatan perakitan dinding sel atau perusakan pada sifat perlindungan dinding sel oleh antibiotik, tidak berarti bakteri tidak dapat bertahan hidup. Pada kenyataannya bakteri dapat bertahan dengan perubahan morfologi bakteri, produksi hidrolase atau fenomena lain yang menunjukkan resistensi bakteri. Nogrady (1994) menyatakan bahwa ada 3 lapisan dalam dinding sel bakteri yaitu membran luar, ruang periplasma dan peptidoglikan. Aktifitas antibiotik ß- laktam adalah menghambat peptidoglikan yang merupakan tempat sintesis dinding sel bakteri, namun bakteri dapat menghasilkan senyawa ß- laktamase untuk menghancurkan antibiotik tersebut di ruang periplasma. Ketidakmampuan antibiotik dalam menembus peptidoglikan menyebabkan resistensi bakteri terhadap antibiotik ß-laktam. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penggunaan jenis antibiotik chlorampenicol memiliki persentase kontaminasi bakteri terkecil, namun menyebabkan toksik pada jaringan tanaman. Cefotaxime memberikan respon terbaik dalam inisiasi dan pertunasan eksplan heliconia. Konsentrasi 1000 mg/l memberikan respon yang terbaik dalam menghambat kontaminasi bakteri pada eksplan heliconia. Interaksi antara jenis dan konsentrasi antibiotik tidak terjadi pada eksplan terkontaminasi bakteri. Interaksi perlakuan cefotaxime 1000 mg/l memberikan respon terbaik dalam inisiasi eksplan heliconia pada 3 MSP. Bakteri Pseudomonas sp adalah bakteri utama yang menyebabkan kontaminasi pada eksplan Heliconia psittacorum L.f. cv. Lady Di. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang penggunaan jenis antibiotik kanamycin, gentamicin, neomicin, carbenicillin atau antibiotik lain yang dapat mengendalikan kontaminasi eksplan akibat bakteri Pseudomonas sp. pada kultur jaringan heliconia. Antibiotik cefotaxime tidak menyebabkan toksik terhadap jaringan tanaman dan tidak menghambat perkembangan eksplan, sehingga perlu dilakuan penelitian untuk menggunakannya dalam konsentrasi yang lebih tinggi. Eksplan yang sudah steril pada media chlorampenicol, perlu dipindahkan ke media bebas chlorampenicol sebelum menyebabkan toksik pada eksplan. Media perlakuan antibiotik hendaknya disimpan dalam ruang gelap dan penyimpana n kultur pada perlakuan antibiotik disimpan pada tempat dengan intensitas cahaya rendah, untuk mengurangi terjadinya degradasi zat antibiotik. Perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan perlakuan antibiotik pada media cair. DAFTAR PUSTAKA Atehortua, L. 1997. Heliconias : A New Challange for the Columbian Floricultural Industry. Biotechnology and Development Monitor 3:2021. Beyl, B. 2000. Getting Started with Tissue Culture – Media Preparation, Sterile Technique and laboratory Equipment. P. 21-53. In : R. N. Trigiano and D. J. Gray (Eds). Plant Tissue Culture and laboratory Exercises. CRC Press. London. Berry, F. and W. J. Kress. 1991. Heliconia an Identification Guide. Smithsonian Institution Press. Washington. 331p. Bryden, D., P. Fahy, L. C. Jones, P. J. McDonald, M. L. Moffet, J. A. Seberry, R. B. Taylor, R. K. Howard and C. Princehorn. 1994. Antibiotic in Agronomy and Horticulture. http://www7. health. gov.au/ nhmrc/ publications/synopses/dp15syn.htm. [4 September 2005]. Dods, J. H. and L. W. Robert. 1995. Experiment in Plant Tissue Culture 3rd ed. Cambridge University Press. Amerika. 256p. George, E. F. and L. W. Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture Handbook and Directory of Comercial Laboratories. Exegetics Ltd. England. 709p. Gunawan, L. W. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Bogor. 165hal. Guri, Z. Assaf, Patel and Kishor N. 1998. Compositions and methods to prevent microbial contamination of plant tissue culture media. http://Patf. uspto. gov/netacgi/nph-parser?sect1=PT01. Diakses tanggal 15 Juni 2006. Heritage, J., E. G. V. Evans and R. A. Kilington. 1999. Microbial in Action. Cambridge University Press. UK. 290p. Holt, J. G., N. R. Krieg, P. H. A. Sneath, J. T. Staley dan S. T. Wiliam. 1994. Bergeys Manual of Determinative Bacteriology 9th ed. Lippincott Wiliam and Wikins. Philadelphia. 785hal. Leifert, C. And A. C. Cassels. 2001. Microbial Hazard in Plant Tissue and Cell Cultures. In Vitro Cell. Dev. Biol. Plant. 37:133-138. Leshem, Y. 1973. The Molecular and Hormonal Basis of Plant Growth Regulator. Pergamon Press. New York. 156p. Madigan, M. T. and J. M. Martinko.2006. Brock Biology of Microorganisme 11th ed. Pearson education, Inc. South of America. 1019p. Margalith, P. Z. 1992. Pigment Microbiology. Chapman and hall. London. 156p. Marulanda, M. L. and L. Asaza. 2004. Establecimento In Vitro De Heliconias Con Fines De Produccion Masiva. www.utp.edu.co/php/refistas/scientia et technica/docs fte/115817193-197pdf. [25 September 2005] Mol, H. 1975. Antibiotics and Milk, A Contribution to The Problem and Solution. A.A Balkema. Roterdam. 206p. Morin, R. B. and M. Gorman.1982. Kimia dan Biologi Antibiotik B-Laktam. Penerjemah : Sri Mulyani. IKIP Semarang Press. Semarang. 553hal. Nogrady, T. 1995. Kimia Medisinal Pendekatan Secara Biokimia Edisi kedua. Penerjemah : I. Rasyid dan A. Musadad. ITB Press. Bandung. 630hal. Oey, E. M. 1996. Tropical Flower of Southeast Asia. Periplus. Singapore. 63p. Pelczar, M. J. dan E. C. S. Chan. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Penerjemah : R. S. Hadioetomo, T. Imas, S. S. Tjitrosomo dan S. L. Angka. Universitas Indonesia Press. Jakarta. 443. Pierik, R. L. M. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Martinus Njhoff publisher. Netherland. 344p. Rao, S. N. S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Institut Riset Pertanian India. India. 352hal. Rimando, T. J. 2003. Ornamental Horticulture a Little Giant in The Tropics. SEAMEO Philiphines. 333p. Rodrigues, P.H.V. 2005. In vitro estblisment of Heliconia rauliniana. http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_issuetoc&pid=0103901620050 001& lng= en&nrm= iso. [19 Maret 2005]. Rodriguez, F. 1988. Halopilic Bacteria Vol. 1. CRC Press. Florida. 149p. Santoso, U. dan F. Nursandi. 2003. Kultur Jaringan Tanaman. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang. 191 hal. Schelegel, H. G. and k. Schmidt. 1994. Mikrobiologi Umum Edisi ke-6. Penerjemah : R. M. T. Baskoro. Gajah mada University Press. Yogyakarta. 668hal. Seckinger and Tores. 2004. World Congress of In Vitro Biology. http://www.phytotechlab.com/TABSTYLE/webdocs/SIVB%20May%202 004.pdf. [31 Agustus 2005]. Sewake, K. T. and J. Y. Uchida. 1995. Disease of Heliconia in Hawai. www. heliconia society pt.org/resource.htm. [25 September 2005]. Subronto dan I. Tjahjati. 2001. Ilmu Penyakit Ternak II. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 430hal. Trigiano, R. N. and D. J. Gray. 2000. Introduction to Plant Tissue Culture, p. 3-7. In : R. N. Trigiano and D. J. Gray. 2000. Plant Tissue Culture Concepts and Laboratory Exercises. CRC Press. London. 454p. Vancura, V. 1981. Inoculation of Plants With Pseudomonas putida, p. 185-190. In : V. Vancura and F. Kunc (Eds). Interelationship Between Microorganisms and Plants in Soil. El Sevier. Tokyo. Wetherel, D. F. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman Secara In Vitro. Penerjemah: Koensoemardiya h dan D. Gunawan. IKIP Semarang Press. Semarang. 110hal. Wikipedia. 1993. Antibiotic. <http://en.wikipedia.org/wiki/Antibiotics. [26> Juli 2006]. Yu, T. A., S. D. Yeh and J. S. Yang. 2001. Effects of carbenicilin and Cefotaxime on Papaya Regeneration. http://e journal. sinica. edu. tw/ bbas/ content/ 2001/4/bot 424-07.pdf. [20 Januari 2006]. Tabel Lampiran 1. Sidik Ragam Eksplan Heliconia Terkontaminasi Bakteri* Sumber Ulangan Jenis Antibiotik Konsentrasi Jenis*Konsentrasi Galat 6 MSP Ulangan Jenis Antibiotik Konsentrasi Jenis*Konsentrasi Galat 9 MSP Ulangan Jenis Antibiotik Konsentrasi Jenis*Konsentrasi Galat 12 MSP Ulangan Jenis Antibiotik Konsentrasi Jenis*Konsentrasi Galat 3 MSP db 2 2 1 2 10 2 2 1 2 10 2 2 1 2 10 2 2 1 2 10 JK 0.26 0.49 0.18 0.10 0.89 0.09 1.67 0.50 0.01 0.26 0.00 1.08 0.22 0.08 0.33 0.00 1.36 0.09 0.01 0.38 KT 0.13 0.24 0.18 0.05 0.09 0.05 0.83 0.50 0.01 0.03 0.00 0.54 0.22 0.04 0.03 0.00 0.68 0.09 0.01 0.04 F 1.45 2.72 1.97 0.54 Pr>F 0.28 0.11 0.19 0.60 1.80 31.72 19.02 0.23 0.21 0.00 0.00 0.80 0.04 16.61 6.74 1.24 0.97 0.00 0.03 0.33 0.02 17.67 2.26 0.15 0.98 0.00 0.16 0.86 Keterangan : * berdasarkan transformasi v(x+0.5) Tabel Lampiran 2. Sidik Ragam Eksplan Heliconia Mati Akibat Toksisitas Antibiotik* Sumber Ulangan Jenis Antibiotik Konsentrasi Jenis*Konsentrasi Galat 10 MSP Ulangan Jenis Antibiotik Konsentrasi Jenis*Konsentrasi Galat 12 MSP Ulangan Jenis Antibiotik Konsentrasi Jenis*Konsentrasi Galat 8 MSP db 2 2 1 2 10 2 2 1 2 10 2 2 1 2 10 JK 0.00 0.13 0.01 0.01 0.17 0.01 0.23 0.00 0.00 0.16 0.05 0.62 0.01 0.01 0.22 Keterangan : * berdasarkan transformasi v(x+1.5) KT 0.00 0.06 0.01 0.01 0.02 0.01 0.11 0.00 0.00 0.02 0.02 0.31 0.01 0.01 0.02 F 0.00 3.75 0.42 0.42 Pr>F 1.00 0.06 0.53 0.67 0.45 7.27 0.00 0.00 0.65 0.01 1.00 1.00 1.06 14.14 0.32 0.32 0.38 0.00 0.58 0.73 Tabel Lampiran 3. Sidik Ragam Eksplan Heliconia Berinisiasi* 3 MSP 5 MSP 7 MSP Sumber Ulangan Jenis Antibiotik Konsentrasi Jenis*Konsentrasi Galat Ulangan Jenis Antibiotik Konsentrasi Jenis*Konsentrasi Galat Ulangan Jenis Antibiotik Konsentrasi Jenis*Konsentrasi Galat db 2 2 1 2 10 2 2 1 2 10 2 2 1 2 10 JK 0.14 0.80 0.16 0.72 0.65 0.16 0.13 0.03 0.06 0.20 0.02 0.75 0.11 0.16 1.14 KT 0.07 0.40 0.16 0.36 0.06 0.08 0.06 0.03 0.03 0.02 0.01 0.37 0.11 0.08 0.11 F 1.09 6.13 2.45 5.58 Pr>F 0.37 0.02 0.15 0.02 4.12 3.23 1.44 1.42 0.05 0.08 0.26 0.29 0.10 3.27 0.92 0.69 0.91 0.08 0.36 0.52 Keterangan : * berdasarkan transformasi v(x+2) Tabel Lampiran 4. Sidik Ragam Eksplan Heliconia Bertunas * Sumber Ulangan Jenis Antibiotik Konsentrasi Jenis*Konsentrasi Galat 9 MSP Ulangan Jenis Antibiotik Konsentrasi Jenis*Konsentrasi Galat 12 MSP Ulangan Jenis Antibiotik Konsentrasi Jenis*Konsentrasi Galat 6 MSP db 2 2 1 2 10 2 2 1 2 10 2 2 1 2 10 JK 0.01 0.18 0.00 0.00 0.12 0.06 0.06 0.04 0.08 0.52 0.06 0.06 0.04 0.08 0.52 KT 0.01 0.09 0.00 0.00 0.01 0.03 0.03 0.04 0.04 0.05 0.03 0.03 0.04 0.04 0.05 F 0.45 7.27 0.00 0.00 Pr>F 0.65 0.01 1.00 1.00 0.59 0.59 0.72 0.72 0.57 0.57 0.42 0.51 0.59 0.59 0.72 0.72 0.57 0.57 0.42 0.51 Keterangan : * berdasarkan transformasi v(x+2) Tabel Lampiran 5. Sidik Ragam Eksplan Heliconia Terkontaminasi Bakteri Perbandingan Kontrol 1 MSP 3 MSP Sumber Ulangan Sampel Galat Ulangan Sampel Galat Tabel Lampiran 6. db 2 6 12 2 6 12 JK 1.52 26.95 6.48 1.81 28.57 8.86 KT 0.76 4.49 0.54 0.90 4.76 0.74 F 1.41 8.32 Pr>F 0.28 0.00 1.23 6.45 0.33 0.00 Persentase Eksplan Heliconia Terkontaminasi Bakteri Perbandingan dengan Kontrol Perlakuan 1 MSP 3 MSP Kontrol 66.6a 86.6a C1K1 26.6bc 40.0b C1K2 26.6bc 40.0b C2K1 53.4ba 33.4b C2K2 13.4c 20.0b C3K1 6.6c 26.6b C3K2 0.0c 6.6b Keterangan: MSP= Minggu Setelah Penanaman Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT taraf 5%.