BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kandungan Logam Berat Cu dan Pb di Perairan, Sedimen dan Lamun Pada sub-bab ini, pembahasan hasil penelitian difokuskan pada analisa komparatif konsentrasi logam berat dari tiga stasiun penelitian pada sampel air laut, sedimen dan tumbuhan lamun. Selanjutnya dibandingkan dengan Baku Mutu yang ditetapkan yaitu baku mutu lingkungan perairan laut dengan baku mutu biota laut dalam KEPMEN LH Nomor 51 Tahun 2004, standar baku mutu sedimen berdasarkan SQG (Sediment Quality Guidelines) dan pada lamun berdasarkan SNI 7387-2009 dan Munarso dkk (2004). Stasiun pengambilan sampel yaitu: (a) Stasiun-1: dekat Pulau Cikantung; (b) Stasiun-2: dekat dengan PT. Samudera Marine Indonesia (galangan kapal) dan (c) Stasiun-3: dekat PT Angel Products (rafinasi gula). 4.1.1 Kandungan Logam Berat Cu dan Pb pada Perairan Berdasarkan hasil analisis AAS terhadap sampel air laut dari tiga stasiun di perairan Bojonegara, dapat diketahui bahwa konsentrasi logam berat Cu dan Pb dalam air, masing-masing dengan kisaran sebesar Cu: 0,048-0,055 ppm dan Pb: 0,260 ppm–0,314 ppm (Tabel 3). Tabel 3. Konsentrasi Logam Berat Cu dan Pb pada Perairan Bojonegara pada Masing-masing Stasiun. Lokasi Cu (ppm) Pb (ppm) Stasiun-1 0,055 0,314 Stasiun-2 0,053 0,296 Stasiun-3 0,048 0,260 Pada tabel di atas terlihat bahwa konsentrasi logam berat Pb jauh lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi logam berat Cu. Tingginya kandungan logam 30 31 berat Pb pada perairan diduga disebabkan karena volume limbah industri di sekitar Perairan Bojonegara yang masuk ke perairan teluk Banten terutama dihasilkan dari kegiatan industri yang dalam proses produksinya atau kegiatannya menggunakan logam berat. Limbah yang banyak mengandung unsur Pb umumnya berasal dari banyaknya jumlah kapal yang bersandar di dekat dermaga di sekitar TPI Kepuh, pemukiman, dan PT Angel Products. Selain itu industri-industri yang berada di sekitar lokasi penelitian yaitu adanya PT. Samudera Marine Indonesia, yang dalam kegiatannya bergerak di bidang perbaikan dan galangan kapal dengan berbagai aktifitas seperti pengecatan kapal, perbaikan kapal, bongkar muat barang, penggunaan bahan bakar dan arus transportasi juga berpotensi menghasilkan limbah logam berat Pb. Penggunaan logam berat Pb pada berbagai industri galangan kapal dikarenakan logam berat Pb mempunyai titik lebur yang rendah sehingga mudah dan murah biaya dalam pengoperasiannya, dan mempunyai sifat kimia yang aktif sehingga dapat digunakan untuk melapisi logam untuk pelindung korosi atau karat karena daya larutnya yang rendah air (Darmono 1995). Selain itu, aktivitas kegiatan transportasi laut yang intensif juga berpotensi menghasilkan emisi gas buang dari mesin kapal ke udara. Emisi gas buang yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil mengandung logam berat Pb. Konsentrasi logam berat Pb yang ada di udara dapat kembali masuk ke perairan melalui siklus air (hujan), sehingga dapat menyebabkan bertambahnya polutan logam berat Pb masuk ke dalam laut. Disisi lain, rendahnya kandungan logam berat Cu dalam air, dapat juga dikarenakan penyerapan logam berat Cu oleh tumbuhan air, karena logam Cu ini merupakan logam berat essensial yang sangat dibutuhkan organisme tetapi dalam jumlah yang sedikit. Bangun (2005) menyatakan bahwa logam berat Cu dibutuhkan organisme dalam proses kerja enzim. Bila kadar atau konsentrasi logam berat yang terlalu rendah di suatu perairan dapat menyebabkan kehidupan organisme mengalami defisiensi atau kekurangan nutrisi, namun bila unsur logam berat dalam jumlah yang berlebihan dapat bersifat racun. 32 Perbandingan konsentrasi logam berat Cu dan Pb antar stasiun, menunjukkan bahwa konsentrasi logam berat Cu dan Pb tertinggi adalah di Stasiun-1, dikuti oleh Stasiun-2 dan Stasiun-3. Namun untuk logam berat Cu perbedaan konsentrasinya relatif kecil (0,002-0,007 ppm) dibandingkan logam berat Pb (0,018-0,054 ppm). Hal ini dimungkinkan karena pada kawasan Stasiun1 ini, lebih banyak terdapat industri perkapalan dan aktivitas yang terkait dengan kegiatan transportasi laut yang cukup intensif. Menurut Apriadi (2005) menyatakan bahwa tinggi-rendahnya konsentrasi logam berat dalam perairan juga dapat dipengaruhi oleh beberapa parameter kualitas air, diantaranya salinitas air. Salinitas dapat mempengaruhi keberadaan logam berat di perairan, bila terjadi penurunan salinitas maka akan akan semakin tinggi konsentrasi logam beratnya. Menurut Syakti et al (2012) bahwa penurunan salinitas akan mengakibatkan penurunan senyawa pengkompleks di perairan (Cl-), sehingga logam berat akan lebih banyak dalam bentuk ion bebas dan lebih mudah terserap oleh biota laut. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa Stasiun-1 dengan salinitas perairan sebesar 22 ppt memiliki kandungan logam berat Cu dan Pb yang lebih tinggi dibandingkan pada Stasiun-2 dan Stasiun-3, dengan nilai salinitas masing-masing 23 ppt dan 24 ppt (Tabel 3, Tabel 4). Berdasarkan hasil pengukuran kualitas air pada saat penelitian menunjukkan bahwa kondisi perairan di tiga stasiun di perairan Bojonegara relatif sama (Tabel 4), sehingga dapat dikatakan bahwa besarnya konsentrasi logam berat Cu dan Pb terutama disebabkan perbedaan besarnya volume limbah yang masuk ke perairan yang terkait dengan aktivitas industri yang ada disekitarnya, jarak lokasi stasiun dengan kawasan industri sebagai sumber produksi limbah. 33 Tabel 4. Parameter Kualitas Fisika dan Kimia Perairan Bojonegara Stasiun Suhu Salinitas (0C) (ppt) pH DO Kecerahan -1 (mg L ) (cm) Arus (m/detik) 1 31,2 22 8,54 11,3 10 0,19 2 31,0 23 7,70 2,5 10 0,20 3 31,7 24 7,45 2,2 10 0,21 33-34 7-8,5 >5 <1000 - Baku Mutu * 28-30 Keterangan: * Baku mutu kualitas air laut untuk biota laut, dalam Surat Keputusan Kementrian Negara Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004, Pada Tabel 4 terlihat bahwa kondisi kualitas perairan Bojonegara tidak memenuhi baku mutu kualitas air laut untuk biota laut artinya tidak optimum bagi kehidupan biota laut. Salinitas perairan rendah karena pada saat pengukuran berada dalam musim penghujan sehingga volume air tawar yang masuk ke laut tinggi. Kandungan oksigen terlarut (DO) rendah berkaitan dengan nilai kecerahan yang rendah, karena kekeruhan air sehingga penetrasi cahaya rendah yang mengakibatkan proses fotosintesis terhambat dan oksigen terlarut menjadi rendah. Kandungan oksigen terlarut di stasiun 1 yang sangat tinggi dan sangat jauh berbeda dengan stasiun lainnya, mungkin dikarenakan ketidak telitian dalam pengukuran atau ketidak telitian alat yang digunakan. Bila dibandingkan dengan baku mutu kualitas air laut untuk biota laut yang ada dalam Surat Keputusan Kementrian Negara Lingkungan Hidup No 51 tahun 2004, maka konsentrasi rata-rata logam berat Cu dan logam berat Pb dari tiga stasiun, yaitu Cu (0,052 ppm) dan Pb (0,290 ppm) menunjukkan nilai yang lebih besar dari baku mutu air laut untuk biota laut (0,008 ppm). Konsentrasi logam berat Cu dan Pb yang sudah melewati baku mutu air laut untuk biota laut ini menunjukkan bahwa perairan Bojonegara ini sudah tercemar berat oleh logam berat Cu dan Pb. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena selain perairan tersebut tidak sesuai lagi bagi kehidupan biota laut untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, logam berat yang terkandung di dalam perairan dapat terakumulasi pada biota laut tersebut, diantaranya pada tanaman lamun dan biota bentik yang hidup di wilayah tersebut, pada akhirnya 34 dapat terakumulasi dalam jaringan manusia apabila manusia mengkonsumsi tumbuhan atau hewan tersebut. 4.1.2 Kandungan Logam Berat Cu dan Pb pada Sedimen Berdasarkan hasil analisis AAS terhadap sampel sedimen dari tiga stasiun di perairan Bojonegara, dapat diketahui bahwa konsentrasi logam berat Cu dan Pb pada sedimen, masing-masing dengan kisaran sebesar Cu: 0,180-0,233 ppm dan Pb: 1,413 ppm – 2,003 ppm (Tabel 5). Tabel 5.Kandungan Logam Berat Cu dan Pb pada Sedimen Logam Berat Stasiun Cu (ppm) Pb (ppm) Stasiun-1 0,213 2,003 Stasiun-2 0,180 1,510 Stasiun-3 0,233 1,413 Pada tabel di atas terlihat bahwa konsentrasi logam berat Pb jauh lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi logam berat Cu. Tingginya kandungan logam berat Pb pada sedimen dengan rata-rata konsentrasi sebesar 1,642 ppm diduga disebabkan karena limbah industri di sekitar Perairan Bojonegara yang mayoritas terdapat industri yang dalam proses produksinya atau kegiatannya menggunakan logam berat Pb. Konsentrasi logam berat Pb dalam sedimen ini jauh lebih tinggi dari konsentrasi logam berat Pb di air. Hal ini disebabkan sifat logam berat yang nonbiodegradable (sulit terurai) sehingga mudah terakumulasi di sedimen, sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi dari konsentrasi logam dalam air. Di samping itu sedimen mudah tersuspensi karena pergerakan masa air yang akan melarutkan kembali logam yang dikandungnya dalam air, sehingga sedimen 35 menjadi sumber pencemar potensial dalam skala waktu tertentu akan mengendap di sedimen (Sutamihardja dkk. 1982). Lokasi pengambilan sampel sedimen yang berada di antara daratan dan pulau yang memungkinkan arus perairan menjadi lebih kecil dibandingkan dengan perairan yang berhadapan langsung dengan laut lepas, sehingga kemungkinan logam berat untuk mengendap menjadi lebih besar. Hasil penelitian Amin dkk. (2011) di perairan Tanjung Buton, menunjukkan kondisi yang sama bahwa adanya peningkatan konsentrasi logam berat terutama Pb dalam sedimen disebabkan oleh arus perairan yang lemah, karena perairan ini tidak berhadapan langsung dengan laut lepas tetapi dibatasi oleh pulau-pulau. Selain itu, tingginya konsentrasi logam berat di Stasiun-1, di duga berkaitan dengan tipe sedimen dari masing-masing stasiun. Tipe sedimen di Stasiun-1 yang berdekatan dengan pulau, lebih halus butirannya dibanding Stasiun-2 dan Stasiun-3. Menurut Sahara (2009), konsentrasi logam berat di sedimen juga dipengaruhi oleh ukuran partikel sedimen. Semakin kecil ukuran partikel, semakin besar kandungan logam beratnya. Hal ini disebabkan karena partikel sedimen yang halus memiliki luas permukaan yang besar dengan kerapatan ion yang lebih stabil untuk mengikat logam berat pada partikel sedimen yang lebih besar. . Sedimen yang halus memiliki kemampuan untuk melewatkan air (permeabilitas) menyimpan/menahan air yang lebih baik. Secara tidak langsung, nutrien dan zat hara yang terlarut dalam air pun dapat disimpan dengan baik sehingga sedimen halus umumnya memiliki kemampuan menyerap relatif lebih tinggi. Tingginya kandungan air yang tertahan dalam sedimen halus menyebabkan kemampuan sedimen halus untuk menyerap menjadi lebih rendah dibandingkan sedimen dengan ukuran butiran yang lebih besar. Dengan kata lain, sedimen berbutir besar lebih mudah kehilangan kandungan bahan organik atau nutrien (Mc Lachlan dan Brown 2006 dalam Tuheteru dan Mahfudz 2012). Oleh sebab itu konsentrasi logam berat dalam sedimen di perairan Bojonegara makin lama semakin bertambah tetapi lain halnya dengan konsentrasi logam berat dalam air yang cenderung masih dipengaruhi oleh berbagai faktor hidroninamika seperti 36 pola arus yang dapat menyebarkan logam berat yang terlarut dalam air laut permukaan kesegala arah sehingga logam berat dalam air laut lebih rendah daripada dalam sedimen. Hasil pengukuran konsentasi logam berat Cu dan Pb dalam sedimen perairan Bojonegara, jika dibandingkan dengan baku mutu yang mengacu pada Sediment Quality Value Guidline For Hongkong, kandungan logam berat Cu belum melampaui baku mutu logam berat dalam sedimen (Tabel 6). Tabel 6. Kandungan Logam Berat Cu pada Sedimen Stasiun Sedimen Sedimen Quality Guidline For Hongkong Stasiun-1 0,213 ISDV-lowa (ppm) 65 Stasiun-2 0,180 65 270 Stasiun-3 0,233 65 270 (ppm) ISDV-higha (ppm) 270 Demikian juga untuk kandungan logam berat Pb dalam sedimen di perairan Bojonegara, menunjukkan konsentrasi yang belum melebihi baku mutu yang telah ditetapkan (Tabel 7). Tabel 7. Kandungan Logam Berat Pb di Sedimen Stasiun Sedimen (ppm) Sediment Quality Guidline For Hongkong ISDV-lowa ISDVs-higha (ppm) (ppm) 75 218 Stasiun-1 2,003 Stasiun-2 1,510 75 218 Stasiun-3 1,413 75 218 37 Hasil pengukuran kandungan logam berat Pb di sedimen perairan Bojonegara ini menunjukkan konsentrasi yang lebih tinggi jika dibandingkan hasil penelitian kandungan logam berat Pb di Teluk Lampung (rata-rata sebesar 0,0014 ppm) (Efendi 2009), hal ini diduga dikarenakan beban bahan pencemar di Teluk Banten jauh lebih besar, karena jumlah industri dan intensitas kegiatannya lebih banyak dibandingkan di Teluk Lampung. 4.1.3 Kandungan Logam Berat Cu dan Pb pada Tumbuhan Lamun Berdasarkan hasil analisa AAS pada sampel lamun Enhalus acoroides, menunjukkan adanya akumulasi logam berat Cu dan Pb pada bagian rimpang (rhizome) dan daun (Tabel 8), sehingga dapat dikatakan bahwa tumbuhan ini dapat menyerap dan mengakumulasi logam berat Cu dan Pb. Oleh sebab itu, tumbuhan lamun ini dapat digunakan sebagai indikator biologis pencemaran logam berat Cu dan Pb. Tabel 8. Konsentrasi rata-rata Cu dan Pb pada lamun Enhalus acoroides Cu (ppm) Pb (ppm) Rimpang Cu Pb (ppm) (ppm) Stasiun-1 0,238 1,792 0,515 1,636 Stasiun-2 0,296 2,170 0,103 1,748 Stasiun-3 0,212 1,612 0,201 2,030 Stasiun Daun Hasil analisa kandungan logam berat Cu dan Pb pada lamun Enhalus acoroides pada saat studi pendahuluan pada bulan Agustus 2012 (musim kemarau) secara umum lebih rendah dibandingkan pada bulan Januari 2013 (musim penghujan). Hal ini dimungkinkan karena kondisi perairan pada saat pengambilan sampel di bulan Januari 2013 dengan perairan yang dinamis menyebabkan logam berat Cu dan Pb yang larut dalam air dan bersifat nonbiodegradable mengalami pengendapan pada sedimen, yang kemudian akan 38 diserap oleh lamun dan tersebar (translokasi) pada beberapa bagian akar menuju daun. Dari tiga stasiun dapat dilihat konsentrasi logam berat Pb lebih besar dibandingkan Cu. Tingginya konsentrasi logam Pb pada daun dan rimpang diduga karena tingkat mobilitas logam Pb yang tinggi, sedangkan translokasi logam dari rimpang ke daun untuk logam Cu sangat rendah dibandingkan pada logam Pb, karena tumbuhan membutuhkan Cu untuk aktivitas metabolisme dan pertumbuhan (Hamzah dan Setiawan 2010). Tingginya kandungan Pb di daun dan rimpang lamun disebabkan oleh banyaknya aktivitas transportasi laut seperti banyaknya kapal-kapal yang melintas di sekitar lokasi penelitian seperti kegiatan kapal penangkapan ikan yang melintas dan emisi bahan bakarnya terpapar di badan perairan. Sedangkan adanya kandungan logam berat Cu diperkirakan karena banyaknya industri galangan kapal, menggunakan Cu sebagai campuran bahan pengawet cat, sehingga semakin tinggi nutrien yang terlarut tanpa terendapkan pada sedimen. Dari hasil analisa terdapat perbedaan konsentrasi logam berat Cu dan Pb antara daun dan rimpang lamun. Pada daun kandungan Cu dan Pb yang paling tinggi pada Stasiun-2 dibandingkan dua stasiun lainnya, dikarenakan Stasiun-2 mempunyai beban pencemar logam berat Cu dan Pb dimana lokasi Stasiun-2 yang berada di dekat dengan Pulau Kemanisan yang berdekatan dengan PT Samudra Marine Indonesia (SMI) yang bergerak di bidang perbaikan dan galangan kapal. Masuknya partikel logam berat ke dalam jaringan daun dapat melalui kutikel tipis daun dan dapat juga masuk melalui proses penyerapan pasif. Secara mekanis atau fisiologis, lamun secara aktif dapat mengurangi penyerapan logam ketika konsentrasi logam berat di sedimen tinggi. Hal ini berbeda dengan kandungan logam berat Cu dan Pb yang terdapat pada rimpang lamun Enhalus acoroides yang tertinggi adalah pada Stasiun-3, masing-masing rata-rata sebesar 0,201 ppm, dan 2,030 ppm. Kondisi ini berbeda dengan kandungan logam berat Cu dan Pb pada daun Enhalus acoroides yang tertinggi pada Stasiun-2 dikarenakan pengambilan sampel yang diambil rata-rata secara acak tumbuhan berdasarkan ukuran lamun muda, sedang, dan tua. Pada 39 Stasiun-3 ini diduga ukuran tumbuhan lamun yang sudah tidak utuh dikarenakan jangka waktu tumbuhan lamun kontak dengan logam sudah terlalu lama. Hal ini juga dikatakan bahwa pengaruh polutan terhadap tumbuhan dapat berbeda-beda tergantung pada jenis polutan, konsentrasinya, dan lamanya polutan itu berada (Fitter dan Hay 1991 dalam Panjaitan 2009). Penyerapan tetap dilakukan namun dalam jumlah yang terbatas dan terakumulasi di rimpang. Kandungan logam Cu dan Pb pada daun lebih tinggi daripada rimpang karena daun memiliki kebutuhan fisiologi dari vegetasi tersebut terutama logam Cu merupakan unsur essensial bagi tumbuhan yang berperan dalam proses kerja enzim. Secara umum kandungan logam berat Cu dan Pb pada lamun Enhalus acoroides di perairan Bojonegara masih lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Efendi (2009) kandungan logam berat pada daun sebesar 0,011 ppm dan pada akar sebesar 0,0059 ppm. Hal ini dikarenakan banyaknya pabrik dan industri di Teluk Banten sehingga beban bahan pencemar di Teluk Banten jauh lebih besar dibandingkan di Teluk Lampung. Adanya akumulasi logam berat pada tumbuhan lamun akan membahayakan kehidupan organisme laut dan bagi manusia yang mengkonsumsi tumbuhan tersebut. Pada sebagian masyarakat juga telah mengkonsumsi lamun sebagai makanan. Untuk melihat standar keamanan pangan, besarnya konsentrasi pada daun dibandingkan dengan standar baku mutu untuk tanaman air (Tabel 9). Tabel 9. Konsentrasi Cu dan Pb pada Daun dan Baku Mutu untuk Tanaman Air Stasiun Daun Baku Mutu Cu Pb (ppm) (ppm) Cu (ppm) Pb (ppm) Stasiun-1 0,238 1,792 1,980 *) 0,5 **) Stasiun-2 0,296 2,170 1,980 *) 0,5 **) Stasiun-3 0,212 1,612 1,980 *) 0,5 **) Sumber : *) Munarso dkk (2004) dan **) SNI 7387-2009 40 Berdasarkan hasil penelitian konsentrasi logam berat Cu pada lamun masih rendah dan belum melampaui batas baku mutu tumbuhan air untuk pangan yaitu Cu sebesar 1,98 ppm (Munarso dkk 2004). Sedangkan konsentrasi logam berat Pb sudah melampaui batas baku mutu yang mengacu pada baku mutu tumbuhan air untuk pangan menurut sesuai dengan SNI 7387-2009 yaitu sebesar 0,5 ppm (Tabel 9). Oleh karena itu, masyarakat tidak diperbolehkan untuk mengkonsumsi lamun karena sudah melampai batas toleransi manusia. Karena pada penelitian Rizal (2010) di disekitar perairan Waai dan Galala lamun Enhalus acoroides telah dikonsumsi masyarakat dan setelah diteliti konsentrasi logam berat Pb dan Cd pada akar daun lamun sudah melebihi batas untuk toleransi manusia. 4.2 Kandungan Logam Berat Cu dan Pb pada Perairan, Sedimen, dan Lamun pada Masing-Masing Stasiun Pada sub-bab ini, pembahasan hasil penelitian difokuskan pada analisa komparatif konsentrasi logam berat pada air, sedimen dan lamun pada masingmasing stasiun, untuk mengetahui pola penyerapan logam berat Cu da Pb, pada air, sedimen dan lamun. Hasil analisis AAS, kandungan logam berat pada masingmasing sampel dari setiap stasiun menunjukkan pola yang berbeda (Gambar 7), a. Stasiun-1 41 b. Stasiun-2 c. Stasiun-3 Gambar 7. Konsentrasi Rata-rata Logam Berat Cu dan Pb pada (a) Stasiun-1, (b) Stasiun-2, (c) Stasiun-3 dalam Badan Air, Sedimen, Rimpang, dan Daun Lamun Enhalus acoroides Dari Gambar 7 dapat dilihat perbedaan kandungan logam berat Cu dan Pb pada tiga stasiun berbeda-beda. Bila dibandingkan kandungan logam berat Cu dan Pb pada air, sedimen, rimpang, dan daun Enhalus acoroides pada setiap stasiun dapat dilihat pada Stasiun-1 terlihat konsentrasi tertinggi yaitu Pb pada sedimen sebesar 2,003 ppm dikarenakan Stasiun-1 merupakan daerah dekat Pulau Cikantung, tidak jauh dengan tempat pelelangan ikan dan banyaknya aktivitas transportasi laut dengan adanya kapal yang bersandar dermaga yang dapat memberi pengaruh langsung terhadap konsentrasi logam dalam sedimen. Pada Stasiun-2 konsentrasi tertinggi dari Pb terlihat pada daun lamun Enhalus 42 acoroides sebesar 2,17 ppm dibandingkan dengan air, sedimen, dan rimpang lamun. Pada Stasiun-3 konsentrasi tertinggi yaitu Pb pada rimpang sebesar 2,03 ppm dikarenakan Stasiun-3 merupakan lokasi yang berdekatan dengan Pulau Kemanisan dan dekat dengan pipa pembuangan limbah PT Angel Products. Perbedaan kandungan Cu dan Pb dalam air, sedimen, dan lamun Enhalus acoroides ini dapat menunjukkan adanya perbedaan beban logam berat Cu dan Pb dalam perairan di masing-masing stasiun. Kondisi ini diduga berkaitan dengan adanya pengaruh kondisi lingkungan perairan dan kondisi morfologi-fisiologi dari tumbuhan lamun Enhalus acoroides. Menurut Frieberg et al. (1986) dalam Ariesabeth (2005) tingkat penyerapan substansi toksik oleh tumbuhan dipengaruhi oleh lingkungan dan morfologi serta status hormonal dari tumbuhan tersebut. Apabila dilihat lebih rinci pada tumbuhan lamun konsentrasi paling tinggi terdapat pada daun Enhalus acoroides dapat dilihat pada Stasiun-1 dan Stasiun-2. Hal ini disebabkan karena mekanisme penyerapan lamun menurut Priyanto dan Prayitno (2006) bahwa pada mekanisme penyerapan logam berat pada tanaman melalui akar dapat dibagi menjadi tiga tahapan yang berkesinambungan, yaitu pertama penyerapan oleh akar, translokasi logam dari akar ke bagian organ tumbuhan lain dan lokalisasi logam pada bagian sel tertentu untuk menjaga agar tidak menghambat metabolisme tumbuhan tersebut. Selanjutnya dalam proses transpirasi nutrient juga ke dalam daun sehingga logam berat terserap lebih banyak di daun. Sedangkan pada Stasiun-3 terjadi hal sebaliknya, kandungan logam Pb yang tidak essensial bagi tumbuhan lebih tinggi pada bagian rimpang karena letaknya lebih dekat kontak dengan sedimen dibandingkan dengan daun yang memungkinkan rimpang mempunyai sistem penghentian transpor logam menuju daun terutama logam non esensial, sehingga ada penumpukkan logam di akar (Yoon et al. 2006 dalam Hamzah dan Setiawan). Setiap bagian lamun mempunyai kadar logam yang berbeda sesuai dengan meningkatnya umur daun, dipengaruhi oleh konsentrasinya dalam sedimen dan dalam air (Pulich et al. 1976 dalam Kiswara 1989). Adanya perbedaan ukuran tumbuhan lamun ini dapat menunjukkan perbedaan umur dan jangka waktu 43 tumbuhan lamun kontak dengan logam yang dapat dilihat pada pembahasan subbab selanjutnya. 4.3. Kandungan Logam Berat Cu dan Pb pada Stadia Umur Lamun Enhalus acoroides yang Berbeda 4.3.1 Kandungan Logam Berat Cu pada Lamun Enhalus acoroides Pengukuran kandungan logam berat Cu pada daun maupun rimpang Enhalus acoroides di Perairan Bojonegara dilakukan terhadap tumbuhan lamun muda, sedang, dan tua. Logam berat rata-rata berturut-turut dari terendah hingga tertinggi; Stasiun-1 (0,050-0,110 ppm); Stasiun-2 (0,035-0,145 ppm); dan Stasiun3 (0,178-0,228 ppm) (Tabel 10). Tabel 10. Kandungan Cu pada Daun dan Rimpang Lamun Enhalus acoroides Sampel Daun (ppm) Rimpang (ppm) Muda Stasiun-1 0,248 Lokasi Stasiun-2 0,343 Sedang 0,355 0,300 0,299 Tua 0,108 0,213 0,103 Muda 0,098 0,128 0,228 Sedang 0,110 0,145 0,199 Tua 0,050 0,035 0,178 Perlakuan Stasiun-3 0,194 Jika dilihat perbandingan konsentrasi logam pada rimpang dan daun, maka hasil analisa yang didapat konsentrasi Cu pada daun lebih tinggi dibandingkan Cu pada rimpang. Menurut Mac Farlane et al., 2003 dalam Hamzah dan Setiawan 2010, berdasarkan mekanisme fisiologis, tumbuhan secara aktif mengurangi penyerapan logam berat ketika konsentrasi logam berat di sedimen tinggi. Penyerapan tetap dilakukan, namun dalam jumlah yang terbatas dan terakumulasi di akar atau rimpang. Selain itu, terdapat sel endodermis pada akar yang menjadi penyaring dalam proses penyerapan logam berat. Dari akar, logam akan di translokasikan ke jaringan lainnya seperti daun serta mengalami 44 proses kompleksasi dengan zat yang lain seperti fitokhelat yang dapat berkatan dengan logam berat. Oleh karena itu konsentrasi di daun lebih tinggi dibandingkan di rimpang. Bila dilihat dari kandungan logam berat Cu pada daun muda, sedang dan tua, pada setiap stasiun, memperlihatkan kecenderungan bahwa kandungan logam berat pada daun muda-sedang lebih tinggi dari daun tua. Brouns (1985) mengemukakan hasil dari berbagai penelitian umumnya, menunjukkan bahwa pertumbuhan daun muda lebih cepat dibanding pertumbuhan daun tua. Pertumbuhan lamun ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti fisiologi, metabolisme dan faktor eksternal seperti zat-zat hara, tingkat kesuburan substrat, dan faktor lingkungan lainnya. Tingkat penyerapan secara morfologi ditentukan oleh kadar air dan umur. Semakin tua umur suatu tumbuhan maka tumbuhan tersebut akan semakin sulit untuk mengabsorbsi substansi toksik. 4.3.2 Kandungan Logam Berat Pb pada Lamun Enhalus acoroides Konsentrasi Pb pada daun lamun muda, sedang, dan tua di Perairan Bojonegara dengan konsentrasi tertinggi pada daun sedang di Stasiun-2 sebesar 2,633 ppm. Sedangkan hasil pengukuran konsentrasi Pb pada rimpang muda, sedang, dan tua dengan konsentrasi tertinggi pada rimpang sedang di Stasiun-3 sebesar 2,287 ppm (Tabel 11) Tabel 11. Kandungan Pb pada Daun dan Rimpang Lamun Enhalus acoroides Sampel Daun (ppm) Rimpang (ppm) Muda Stasiun-1 1.263 Lokasi Stasiun-2 1.540 Sedang 2.384 2.633 1.571 Tua 1.730 2.337 2.188 Muda 1.375 1.428 1.690 Sedang 1.608 1.845 2.287 Tua 1.925 1.970 2.115 Perlakuan Stasiun-3 1.077 45 Pada Tabel 11 di atas terlihat bahwa konsentrasi Pb pada daun dan rimpang adalah berbeda. Konsentrasi Pb pada daun cenderung lebih tinggi dari kandungan Pb dalam rimpang. Konsentrasi logam berat yang tinggi pada daun sedang dan tua. Kondisi ini dimungkinkan karena proses akumulasi yang terjadi pada tumbuhan lamun. Semakin meningkatnya umur tumbuhan atau semakin tua berarti makin lama dalam mengakumulasi logam berat. Logam berat akan dialirkan dari akar atau rimpang menuju daun sehingga kemungkinan logam berat pada daun lebih tinggi dibandingkan pada akar. Terlihat bahwa konsentrasi Pb pada daun lebih tinggi dibandingkan Pb di rimpang. Selain itu, anatomi yang khas dari daun lamun adalah ketiadaan stomata dan keberadaan kutikel yang tipis. Kutikel daun yang tipis tidak dapat menahan pergerakan ion dan difusi karbon sehingga daun dapat menyerap nutrien langsung dari air laut. Sehingga logam berat dapat secara cepat diserap oleh daun lamun (Kiswara 1994) Dampak dari toksik logam berat pada tumbuhan, yang mengakibatkan terhambatnya proses fotosintesis pada tumbuhan. Kemampuan fotosintesis akan meningkat dengan bertambahnya umur dan luasan daun. Setelah ukuran daun mencapai maksimum, maka daun akan menjadi tua dan berubah warna menjadi kuning karena klorofil mulai rusak. Rusaknya klorofil akan menurunkan kemampuan fotosintesis daun (Salisbury & Ross 1995 dalam Lakitan 2010). Tinggi konsentrasi Pb pada daun atau rimpang di Stasiun-2 selain karena lokasinya yang jauh dari daratan dikarenakan Stasiun-2 kondisi kerapatan lamun yang tinggi daripada stasiun lainnya. Dapat diasumsikan bahwa lamun yang lebat akan memperlambat gerakan air akibat arus dan ombak dan terjadinya akumulasi (penumpukan kandungan) logam berat dari sedimen menuju akar sehingga terakumulasi pada daun. Tingginya konsentrasi Pb pda lamun dibandingkan dengan Cu dikarenakan Pb merupakan logam non esensial,sedangkan menurut Fitter dan Hay (1991) mengatakan bahwa tumbuhantumbuhan air merupakan pengatur logam yang relatif lemah, khususnya jenis 46 logam nonesensial sehingga tumbuhan air tidak mampu mengeluarkan banyak logam yang terserap mengakibatkan semakin pekatnya logam tersebut. 4.4 Analisis Kandungan Logam Berat Cu dan Pb Berdasarkan Stadia Umur pada Lamun Enhalus acoroides Dalam penelitian ini hasil analisis terhadap kandungan Cu dan Pb menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yaitu untuk menunjukkan ada atau tidaknya perbedaan konsentrasi logam berat Cu dan Pb pada tumbuhan lamun terhadap perlakuan yang telah dilakukan dalam penelitian ini yaitu pada tumbuhan lamun muda, sedang dan tua di masing-masing tiga stasiun penelitian (Lampiran 8). Analisis ragam ini didasarkan pada perbandingan F-hitung semua perlakuan dengan F-tabel dengan menggunakan taraf kepercayaan 95% (6,944). Selanjutnya dianalisis juga uji Duncan dengan perlakuan lamun muda, sedang, dan tua untuk mengetahui konsentrasi mana yang memberikan perbedaan yang nyata ketika pengujian kehomogenan setiap perlakuan. Berdasarkan uji analisis kandungan logam berat Cu dan Pb pada tumbuhan lamun Enhalus acoroides menunjukkan perbedaan antara jenis logam berat, bagian rimpang dan daun (stadia muda, sedang dan tua). Untuk logam berat Pb memberikan perbedaan akumulasi logam berat pada lamun muda dan tua serta lamun muda dan sedang, sedangkan ukuran daun sedang dan tua tidak memberikan perbedaan. Untuk logam berat Cu hanya pada rimpang lamun muda dan sedang yang tidak memberikan perbedaan. Pada konsentrasi Pb pada lamun sedang dan tua tidak adanya perbedaan dikarenakan Pb merupakan unsur non esensial bagi lamun sehingga morfologi daun lamun (lamun muda, sedang, tua) yang menentukan metabolisme lamun tidak berbeda nyata untuk logam Pb. Selain itu kemampuan daun yang dapat menyerap nutrient dari akar maupun langsung dari badan perairan yang sehingga logam berat yang terserap tidak jauh berbeda, karena sampling dilakukan tidak secara periodik sehingga tidak dapat menggambarkan lamanya logam berat berada dalam perairan. 47 Sementara itu tidak adanya perbedaan konsentrasi logam berat Cu hanya pada rimpang muda dan sedang diduga adanya faktor-faktor seperti persamaan mekanisme detoksifiksasi, faktor morfologi, dan fisiologi dari lamun tersebut sehingga tidak berbeda terhadap konsentrasi logam berat tersebut. Hal ini kemungkinan dikarenakan karena kondisi rimpang antara yang muda dan sedang tidak berbeda jauh. Dilihat dari fungsinya rimpang merupakan organ tanaman yang kontak langsung dengan media seperti sedimen dan sekaligus berfungsi menyerap unsur hara yang kemudian langsung ditranslokasikan ke bagian organ lain seperti daun. Jika dilihat dari tinjauan lokasi, Stasiun 2 memiliki daun lamun yang helaiannya masih utuh dan kokoh dibandingkan dengan stasiun 1 atau 3 yang sudah tidak sempurna. Lamun dengan tipe daun yang besar akan lebih dapat menyerap bahan organik dan non organik yang berada pada perairan, karena lamun dengan morfologi yang lebih besar (kuat) akan mempunyai kondisi substrat yang lebih stabil sehingga konsentrasi daun muda lebih rendah dibandingkan daun tua dan sedang. Terlihat konsentrasi tertinggi pada setiap stasiun terdapat pada daun. Diduga karena daun langsung menyerap logam berat yang berada pada permukaan daun yang berasal dari tiga proses yaitu, pertama sedimentasi akibat gaya gravitasi, kedua, tumbukan akibat turbulensi air, dan ketiga adalah pengendapan yang berhubungan dengan hujan.