BAB III KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

advertisement
33
BAB III
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Right Issue
Right issue yang dalam bahasa Indonesia disebut Hak Memesan Efek Terlebih
Dahulu (HMETD) adalah sebuah aksi korporasi dalam pasar modal Indonesia yang
memberi hak kepada para pemegang saham lama (underlying stocks) yang namanya
telah terdaftar untuk menerima penawaran terlebih dahulu apabila perusahaan
melakukan proses emisi atau pengeluaran saham-saham dari saham portepel atau
saham simpanan (treasury stocks) dimana jumlah saham yang berhak ditebus
seimbang dengan jumlah saham yang mereka miliki secara proporsional. Right
issue atau HMETD ini ditawarkan kepada pemegang saham lama terlebih dahulu
karena pemegang saham lama memiliki hak preemptive yaitu hak yang memberikan
kesempatan bagi pemegang saham lama untuk membeli saham baru agar
kepemilikannya pada emiten tidak terdilusi.
Hak ini tidak mengikat karena
pemegang saham dapat menjual HMETD tersebut kepada pemegang saham lain
atau kepada investor baru. Selanjutnya HMETD yang tidak ditebus atau tidak
dimanfaatkan oleh yang berhak akan hangus. Sedangkan saham baru yang ditebus
oleh pemegang saham memiliki hak yang sama dan sederajat dalam segala hal
dengan saham lama yang telah dikeluarkan sebelumnya termasuk kesamaan hak
atas dividend.
Saham baru yang diterbitkan dalam right issue ini umumnya dijual di bawah
harga pasar, dengan discount tertentu, tujuannya agar pemegang saham lama
tertarik untuk menggunakan haknya membeli saham baru. Yang perlu menjadi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
34
strategi dari emiten adalah menentukan discount dari harga HMETD ini karena jika
harga saham di pasar lebih rendah dari pada harga HMETD, tentu saja HMETD ini
tidak akan berhasil karena pemegang saham lama akan memilih membeli saham di
pasar sekunder dibandingkan menebus HMETD.
Jika demikian yang terjadi
gagalah rencana emiten dalam memperoleh dana dengan menerbitkan saham baru.
Ada kecenderungan harga saham naik sebelum right issue. Setelah right issue
diumumkan, harga saham akan turun mendekati harga Execution Price atau harga
pelaksanaan.
3.1.1.
Istilah-Istilah Penting dalam Right Issue
Perlu difahami beberapa istilah penting yang sering muncul dalam aksi right
issue. Istilah-istilah penting yang dimaksud antara lain adalah:
1) Saham Baru. Istilah saham baru dalam aksi right issue bukan berarti saham yang
pertama kali dijual, melainkan saham yang dijual pada periode berikutnya, bisa
yang kedua (second issued) atau ketiga (third issued).
2) Hak. Istilah hak berarti kebebasan investor pemilik saham lama untuk membeli
atau tidak membeli saham baru pada right issue.
3) Exercise the Rights (penggunaan hak) adalah investor menggunakan hak
tebusnya untuk membeli saham baru sesuai dengan term of rights yang sudah
ditetapkan dengan demikian investor membutuhkan modal tambahan.
4) Let the Exercise Expired (tidak menggunakan hak) adalah apabila investor
pemilik saham lama tidak menggunakan haknya untuk membeli saham baru
hasil right issue, maka peluang itu akan hangus.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
35
5) Sell the Rights (penjualan hak) adalah jika investor tidak menggunakan haknya,
baik dengan alasan tidak ingin menambah portofolio atau karena tidak memiliki
modal tambahan, maka investor bisa menjual haknya tersebut. Dimana yang
dijual adalah haknya saja, tidak termasuk saham.
6) Term of Rights (persyaratan pelaksanaan hak). Untuk dapat menggunakan hak
membeli saham baru hasil right issue diperlukan persyaratan, yaitu harus
memiliki saham lama pada batas tanggal cum date, kecuali investor tersebut
adalah pembeli hak dari pemilik saham lama.
7) Market Price (harga pasar) adalah harga saham lama yang terjadi di bursa.
8) Execution Price / Subscription Price atau harga eksekusi adalah harga saham
baru yang berasal dari pelaksanaan right issue, dimana harga ini berlaku bagi
pemegang HMETD yang akan menebus haknya. Execution Price atau harga
eksekusi biasanya lebih rendah dari market price, sebab apabila lebih tinggi
maka tidak ada investor yang bersedia menggunakan haknya dan lebih memilih
membeli saham lama di pasar sekunder.
9) Ex Rights Price atau harga teoritis saham right issue merupakan harga bersih,
yaitu harga yang memperhitungkan total investasi yang ditanamkan di dalam
pembelian saham lama dan saham baru. Harga ini diperoleh dengan
menggunakan rumus:
π»π‘Žπ‘Ÿπ‘”π‘Ž π‘‡π‘’π‘œπ‘Ÿπ‘–π‘‘π‘–π‘  =
(𝑀𝑃 × Σ π‘†π‘Žβ„Žπ‘Žπ‘š πΏπ‘Žπ‘šπ‘Ž)+ (𝐸𝑃 × Σ π‘†π‘Žβ„Žπ‘Žπ‘š π΅π‘Žπ‘Ÿπ‘’)
(Σ π‘†π‘Žβ„Žπ‘Žπ‘š πΏπ‘Žπ‘šπ‘Ž+Σ π‘†π‘Žβ„Žπ‘Žπ‘š π΅π‘Žπ‘Ÿπ‘’)
Dimana:
MP
= Market price
EP
= Execution price
http://digilib.mercubuana.ac.id/
(3.1)
36
10) Harga Rights. Harga ini terjadi jika pemegang saham lama tidak menggunakan
haknya, kemudian menjual hak tersebut kepada orang lain. Dalam hal ini harga
rights adalah harga haknya saja tidak termasuk harga sahamnya. Harga rights
dihitung dengan rumus dibawah ini:
π»π‘Žπ‘Ÿπ‘”π‘Ž π‘…π‘–π‘”β„Žπ‘‘π‘  = π»π‘Žπ‘Ÿπ‘”π‘Ž π‘‡π‘’π‘œπ‘Ÿπ‘–π‘‘π‘–π‘  − 𝐸π‘₯π‘’π‘π‘’π‘‘π‘–π‘œπ‘› π‘ƒπ‘Ÿπ‘–π‘π‘’
(3.2)
11) Underlying Stocks di dalam persyaratan pelaksanaan hak disebutkan bahwa
untuk bisa membeli saham baru hasil right issue, investor harus memiliki saham
lama. Saham lama inilah yang disebut underlying stocks.
12) Dillution Effect
atau efek dilusi. Adalah dampak yang diakibatkan oleh
meningkatnya jumlah saham yang beredar setelah dilaksanakan right issue.
Dengan adanya kebijakan right issue maka jumlah saham yang beredar akan
meningkat signifikan. Hal ini berakibat pada penurunan persentase kepemilikan
absolut dari pemegang saham yang tidak menebus haknya. Sehingga
menurunkan pula hak klaim terhadap keuntungan perusahaan.
3.1.2.
Tujuan Right Issue
Right issue dilaksanakan dengan tujuan memperoleh pendanaan atau
tambahan modal, yang antara lain digunakan untuk:
1) Ekspansi atau pengembangan perusahaan atau untuk memperkuat struktur
permodalan. Ini adalah alasan terbaik dalam aksi right issue.
2) Membayar utang yang jatuh tempo. Hal ini adalah alasan yang kurang baik
dalam aksi right issue.
3) Bonus kepada manajemen atau karyawan perusahaan dalam bentuk saham,
biasanya tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
37
4) Menambah kepemilikan saham/membeli saham-saham pada anak usahanya.
5) Menambah jumlah saham beredar di bursa juga untuk menambah likuiditas dan
kapitalisasi saham yang bersangkutan.
6) Backdoor listing, adalah strategi yang dilakukan oleh perusahaan tertutup untuk
go public dengan mengakuisisi ataupun bergabung (merger) dengan perusahaan
terbuka. Perusahaan terbuka yang sudah go public tersebut melakukan akuisisi
terhadap perusahaan yang sudah disiapkan melakukan backdoor listing. Untuk
pembiayaan akuisisi itu perusahaan terbuka tadi akan melakukan penawaran
saham terbatas (right issue) Dengan demikian, perusahaan tertutup tadi akan
memperoleh dana segar dari masyarakat, sekaligus berubah status sebagai
perusahaan publik.
3.1.3. Mekanisme Right Issue
Mekanisme right issue atau HMETD diawali dengan emiten mengumumkan
kepada publik mengenai rencana untuk HMETD tersebut melalui media koran
dalam bentuk prospektus. Di dalam prospektus, hal-hal penting yang diumumkan
antara lain:
1) Rencana penggunaan dana. Rencana penggunaan dana ini penting untuk
diketahui karena jika dipakai untuk melunasi hutang, tentu saja manfaat bagi
pemegang saham kurang maksimal. Perusahaan yang dalam masalah, dapat
memakai right issue untuk membayar hutang-hutangnya terutama untuk
perusahaan yang tidak mampu untuk meminjam uang dari lembaga keuangan.
Perlu diwaspadai jika emiten bertujuan seperti ini harga saham pasca right issue
berpotensi turun. Lain halnya jika dipakai untuk ekspansi karena potensi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
38
pertumbuhan di masa mendatang akan lebih tinggi sehingga memberikan
manfaat bagi pemegang saham baik dalam bentuk dividend atau capital gain.
2) Rasio right issue memberi informasi mengenai perbandingan jumlah saham
lama yang mengandung HMETD dimana satu HMETD memperoleh hak untuk
menebus berapa saham baru. Rasio ini berguna dalam menghitung
ex right
price saham setelah pelaksanaan right issue.
3) Tanggal pelaksanaan right issue. Tanggal pelaksanaan right issue penting
diperhatikan karena menentukan pemegang saham mana yang berhak untuk
mendapat right issue. Tanggal-tanggal penting tersebut adalah:
a) Cum Date merupakan tanggal terakhir perdagangan saham HMETD.
b) Ex Date yaitu tanggal dimana perdagangan saham tanpa HMETD.
c) Tanggal perdagangan dan pelaksanaan HMETD.
3.2. Analisis Fundamental
Analisis fundamental yang dilakukan pada penelitian ini bertujuan untuk
menjawab pertanyaan apakah kinerja keuangan PT. Adhi Karya (Persero) dalam
kondisi bagus dan akan terus bertumbuh? Untuk menjawab pertanyaan tersebut,
digunakan metode analisis fundamental yang menerapkan tujuh kriteria
sebagaimana dijabarkan di bawah ini:
3.2.1. Kriteria Pertama: Sejarah Peningkatan Pendapatan, Laba dan Arus
Kas Meningkat Secara Konsisten
Metode pertama untuk menentukan apakah PT. Adhi Karya (Persero) mampu
meningkatkan labanya secara konsisten adalah dengan melihat sejarah kinerjanya
di masa lalu. Jika PT. Adhi Karya (Persero) menunjukkan sejarah peningkatan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
39
penjualan dan laba secara konsisten setidaknya selama lima tahun terakhir,
khususnya saat masa resesi, maka ada peluang besar PT. Adhi Karya (Persero)
mampu terus mempertahankan kinerjanya. Demikian pula, jika laba PT. Adhi
Karya (Persero) di masa lalu menunjukkan konsistensi, maka laba di masa depan
akan lebih mudah diprediksi.
Selain memastikan bahwa laba di masa lalu terus meningkat, juga harus
dipastikan bahwa penjualannya juga meningkat seiring dengan peningkatan laba.
Jika sebuah perusahaan menunjukkan laba yang meningkat dengan penjualan yang
stagnan atau turun, hal ini menunjukkan kecenderungan bahwa perusahaan tersebut
tidak berkinerja baik. Di samping kedua hal di atas, penting untuk dipastikan bahwa
arus kas meningkat secara konsisten. Karena ada kemungkinan sebuah perusahaan
menunjukkan penjualan dan laba yang meningkat tapi arus kasnya menurun. Hal
ini dapat terjadi apabila perusahaan tersebut tidak efisien dalam menagih utang dan
apabila ada perusahaan yang untung tapi terkendala dalam menyelesaikan
piutangnya, maka hal ini dapat mengakibatkan kebangkrutan (Khoo, 2013).
3.2.2. Kriteria Kedua: Memiliki Keunggulan Kompetitif yang Berkelanjutan
Meskipun PT. Adhi Karya (Persero) mungkin mampu meningkatkan labanya
di masa lalu, namun tidak ada jaminan ia mampu mempertahankan atau tetap
memperolehnya di masa depan. Pesaing dapat mengungguli, atau menyebabkan
harga jatuh dan menekan PT. Adhi Karya (Persero) sehingga penjualan dan labanya
menurun. Untuk unggul dalam persaingan, walaupun terjadi perang harga, maka
harus memiliki keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Sehingga keunggulan
kompetitif sebuah perusahaan dapat didefinisikan sebagai sebuah economic moat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
40
(benteng ekonomi) yang melindungi laba masa depan perusahaan dari ancaman
pesaing yang akan merebut pangsa pasar dan mengalahkannya dalam persaingan.
Keunggulan kompetitif sebuah perusahaan diidentifikasi dari hal-hal berikut ini
(Khoo, 2013):
1) Memiliki merek dagang yang kuat.
2) Memiliki hak paten dan rahasia penjualan.
3) Memiliki skala ekonomi raksasa.
4) Menjadi pemimpin pasar yang sangat sulit dikalahkan oleh pesaingnya dalam
dekade berikutnya.
5) Biaya transfer yang mahal yang mempertahankan pelanggan.
6) Menjadi perusahaan monopoli dalam sebuah industri.
3.2.3. Kriteria Ketiga: Memilik Pendorong Pertumbuhan Di Masa Depan
Apabila PT. Adhi Karya (Persero) telah memenuhi kedua kriteria di atas, tidak
akan otomatis berarti dapat memiliki penjualan dan laba yang lebih tinggi di masa
depan kecuali telah tersedia pasar potensial yang berkembang untuk produk dan
jasa perusahaan yang akan dijual. Dengan demikian perusahaan harus memiliki
rencana untuk menciptakan produk baru atau secara agresif menembus pangsa
pasar baru sehingga pertumbuhan penjualan di masa depan dapat berkembang.
Menurut Khoo (2013) beberapa hal dibawah termasuk pendorong pertumbuhan
perusahaan, yaitu:
1) Pertumbuhan lini produk baru.
2) Inovasi produk terkini.
3) Aplikasi hak paten baru.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
41
4) Ekspansi dalam kapasitas.
5) Ekspansi dalam pasar atau pembangunan toko baru.
Untuk mengetahui ada dan tidaknya pendorong pertumbuhan perusahaan dan
potensi pasar, dapat dilakukan observasi terhadap dokumen-dokumen berikut:
1) Prospektus Perusahaan yang diterbitkan sebelum aksi korporasi.
2) Laporan Tahunan Perusahaan yang diterbitkan setahun sekali.
3) Laporan Analis. Pada laporan analis akan dilengkapi rangkuman tentang
potensi pasar perusahaan dan rencana pertumbuhannya. Laporan analis
biasanya juga meliputi proyeksi pendapatan dan arus kas di masa depan.
4) Hasil penelitian tentang proyeksi pertumbuhan jangka panjang. Penelitian ini
bisa
dilihat
di
situs-situs
finance
seperti
www.reuters.com
dan
www.morningstars.com.
Dari situs-situs tersebut dapat diobservasi apakah perusahaan yang dianalisis
mampu bertumbuh setidaknya 10% per tahun sebagai ukuran perusahaan tersebut
memiliki kemampuan dan pendorong pertumbuhan di masa depan.
3.2.4. Kriteria Keempat: Memiliki Utang yang Konsevatif
Bagaimanapun, utang merupakan strategi yang baik untuk mengumpulkan
uang dengan tujuan ekspansi. Tetapi apabila utang terlampau banyak akan dapat
menyebabkan perusahaan bangkrut. Utang perusahaan harus bersifat konservatif
dengan syarat dapat dengan mudah dibayar kembali dalam waktu tiga hingga
empat tahun. Jadi ketentuannya adalah: Utang jangka panjang kurang dari tiga
hingga empat kali laba bersih terkini setelah pajak (Khoo dan Lim, 2009).
Kriterianya adalah: Utang Jangka Panjang ≤ (3 – 4) X Laba Bersih
http://digilib.mercubuana.ac.id/
42
3.2.5. Kriteria Kelima: Return On Equity (ROE) Harus Di Atas Rata-Rata
Return on equity (ROE) menunjukkan seberapa besar laba yang dihasilkan
dengan uang yang diinvestasikan oleh pemegang saham. ROE dihitung dari
pembagian laba bersih dengan modal. Menurut Khoo (2013) ROE adalah angka
yang sangat penting untuk diobservasi karena sebuah perusahaan yang
menunjukkan ROE yang tinggi dan konsisten mengindikasikan bahwa:
1) Perusahaan meiliki keunggulan dalam kinerja keuangan.
2) Potensi pertumbuhan harga saham per tahun akan meningkat dikemudian hari.
Umumnya, sebuah perusahaan yang memiliki ROE sebesar 12% sudah dianggap
cukup baik. Namun jika perusahaan tersebut mampu menghasilkan ROE lebih dari
15% secara konsisten maka termasuk perusahaan yang di atas rata-rata.
3.2.6. Kriteria Keenam: Manajemen Perusahaan Terus Menahan / Membeli
Saham Tersebut atau Manajemen yang Akuntabel dan Cakap dalam
Melaksanakan Good Corporate Governance
Faktor selanjutnya yang harus menjadi perhatian adalah apakah institusi
keuangan, fund manager atau para direktur perusahaan terkait ikut membeli,
menahan atau menjual saham perusahaan tersebut. Jika para pihak terkait membeli
dalam jumlah besar saham tersebut, hal ini berarti mereka yakin bahwa mereka
mendapatkan harga yang bagus di saat itu dan saham tersebut akan bertumbuh dan
naik harganya (Khoo dan Lim, 2009).
Di samping itu harus diteliti apakah manajemen PT. Adhi Karya (Persero)
termasuk manajemen yang akuntabel dan cakap dalam melaksanakan Good
Corporate Governance. Hal ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
1) Apakah manajemen bertindak demi kepentingan para pemegang saham?
http://digilib.mercubuana.ac.id/
43
2) Apakah manajemen mengambil langkah-langkah yang akan memaksimumkan
laba jangka panjang dan nilai para pemegang saham?
3.2.7. Kriteria Ketujuh: Tujuan Penggunaan Dana Right Issue untuk
Ekspansi
Faktor yang cukup penting diperhatikan, apabila menganalisis saham right
issue adalah meneliti tujuan perolehan dana hasil penjualan saham tersebut.
Informasi mengenai tujuan penggunaan dana dapat diketahui dari prospektus
perusahaan. Secara umum tujuan penggunaan dana hasil penjualan saham right
issue adalah:
1) Ekspansi perusahaan atau untuk memperkuat struktur permodalan.
2) Membayar utang yang jatuh tempo.
3) Bonus kepada manajemen atau karyawan perusahaan dalam bentuk saham.
4) Menambah kepemilikan/membeli saham-saham pada anak usahanya.
5) Menambah jumlah saham beredar di bursa.
6) Backdoor listing.
Dari beberapa tujuan di atas, penggunaan dana hasil penjualan saham right issue
untuk ekspansi atau pengembangan perusahaan dalam rangka untuk memperkuat
struktur permodalan adalah yang terbaik.
3.3. Intrinsic Value
Intrinsic value dapat disebut fair value atau true value adalah harga saham
yang dianggap benar-benar mewakili performa suatu perusahaan. Oleh karena itu
harga saham di bursa dapat lebih mahal atau lebih murah dari harga sebenarnya.
Jika harga pasar suatu saham berada di bawah harga sebenarnya, maka saham
http://digilib.mercubuana.ac.id/
44
tersebut disebut undervalued. Sedangkan bila harga pasar berada di atas harga
sebenarnya disebut overvalued.
Calon investor biasanya menghitung intrinsic value saham untuk memutuskan
strategi investasinya. Apabila nilai pasar lebih besar dari pada intrinsic value, maka
saham tersebut dalam kondisi overvalued dan keputusan investasinya adalah saham
tersebut layak jual, sedangkan jika nilai pasarnya lebih kecil daripada intrinsic
value, maka saham tersebut dalam kondisi undervalued dan keputusan investasinya
adalah saham tersebut layak dibeli.
Menurut Tandelilin (2010) dalam penilaian saham dikenal adanya tiga jenis
nilai yaitu nilai buku, nilai pasar dan nilai intrinsik saham. Nilai buku merupakan
nilai yang dihitung berdasarkan jumlah ekuitas yang dimiliki perusahaan. Nilai
pasar adalah nilai saham di pasar, yang ditunjukan oleh harga saham tersebut di
bursa. Sedangkan nilai intrinsik adalah nilai saham yang sebenarnya atau yang
seharusnya terjadi. Investor perlu mengetahui nilai tersebut sebagai informasi
penting dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan investasi yang tepat.
Putra (2009), menulis bahwa analisis saham bertujuan untuk menafsir nilai
saham kemudian membandingkannya dengan harga pasar saat ini (current market
price). Intrinsic value menunjukkan present value arus kas yang diharapkan dari
saham tersebut.
Pedoman yang digunakan adalah sebagai berikut :
1) Intrinsic Value < Market Price adalah Overvalued
2) Intrinsic Value > Market Price adalah Undervalued
3) Intrinsic Value = Market Price adalah Fairvalue
http://digilib.mercubuana.ac.id/
45
Informasi tentang market price, investor dengan mudah dapat mengetahuinya
secara langsung dan akurat dari bursa, sedangkan untuk menilai berapa intrinsic
value) suatu saham maka diperlukan analisis.
3.3.1. Valuasi Saham
Valuasi saham adalah suatu cara untuk menghitung intrinsic value saham.
Menurut Damodaran (2006) terdapat tiga metode valuasi saham yang umumnya
digunakan oleh para analis keuangan, yaitu:
1) Relative Valuation
Metode ini melakukan penilaian aset perusahaan dengan cara membandingkan nilai
aset lain yang sejenis baik itu dari sisi laba bersih (price/earning ratio), arus kas
(price/cash flow ratio), nilai buku (price/book value ratio), dan penjualan
(price/sales ratio). Penggunaan metode ini dapat dilakukan bila terdapat aset sejenis
di pasar yang bisa dijadikan sebagai pembandingnya.
2) Contingent Claim Valuation
Metode yang menggunakan option pricing model dalam menilai aset/aktiva suatu
perusahaan yang memiliki karakter seperti option. Aset yang dimaksudkan
misalnya paten atau suatu aset yang dalam tahap pengembangan, sehingga nilainya
di masa mendatang bisa lebih tinggi atau lebih rendah. Penerapan metode ini untuk
menghindari kondisi understate/overstate atas aset yang divaluasi.
3) Discounted Cash Flow (DCF) Valuation
Merupakan metode valuasi yang paling umum digunakan di dunia. Damodaran
(2006) menyebutkan bahwa dalam DCF nilai suatu aset adalah nilai saat ini dari
arus kas yang akan dihasilkan oleh aset tersebut di masa mendatang yang
didiskontokan dengan tingkat suku bunga yang mencerminkan risiko dari aset
http://digilib.mercubuana.ac.id/
46
tersebut. Hal ini dilakukan karena nilai arus kas yang diterima di masa mendatang
berbeda dengan masa sekarang akibat perubahan nilai mata uang. Menurut
Damodaran (2006), metode DCF ini digunakan untuk menilai ekuitas dalam bisnis,
menilai perusahaan secara keseluruhan, dan untuk menilai bagian kecil dari
perusahaan sehingga ada beberapa metode diskonto yang sering kali digunakan
yaitu Free Cash Flow to Firm (FCFF) dan Free Cash Flow to Equity (FCFE).
Valuasi dengan menggunakan FCFF, mengukur nilai arus kas perusahaan termasuk
klaim dalam perusahaan tersebut, seperti bondholder, kreditur dan pemegang
saham preferen, sedangkan valuasi dengan metode FCFE lebih spesifik hanya
mengukur dari sisi ekuitas perusahaan untuk kepentingan pemegang saham saja.
Rumus dasar dari discounted cash flow (DCF) Valuation menurut Damodaran
(2006) adalah sebagai berikut:
𝑑=𝑛
π‘‰π‘Žπ‘™π‘’π‘’ = ∑
𝑑=1
𝐸π‘₯𝑝𝑒𝑐𝑑𝑒𝑑 πΆπ‘Žπ‘ β„Ž πΉπ‘™π‘œπ‘€π‘‘ π‘‡π‘’π‘Ÿπ‘šπ‘–π‘›π‘Žπ‘™ π‘‰π‘Žπ‘™π‘’π‘’
+
(1 + π‘Ÿ)𝑑
(1 + π‘Ÿ)𝑛
(3.3)
Dimana:
Expected Cash Flow dimodelkan sebagai Free Cash Flow to Equity (FCFE) yang
bertumbuh sampai periode ‘n’
r = Cost of equity, dimodelkan dengan Capital Asset Pricing Model (CAPM).
3.3.2. Free Cash Flow to Equity (FCFE)
Dalam penyusunan tesis ini digunakan metode Free Cash Flow to Equity
(FCFE). Hal ini didasarkan karena metode FCFE lebih spesifik dibandingkan
FCFF, dimana menurut Damodaran (2006) FCFE adalah besarnya kas yang dapat
dibayarkan oleh suatu perusahaan kepada pemegang saham setelah dikurangi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
47
semua pengeluaran, reinvestment dan pembayaran utang. FCFE dihitung dengan
mengurangi laba bersih dengan kebutuhan investasi dan menjumlahkan semua
transaksi non-kas seperti depresiasi, kemudian dikurangi modal kerja non-kas dan
ditambahkan dengan kas bersih dari penerbitan utang. Dengan kata lain FCFE
adalah cash flow potensial dividend yang akan diterima oleh pemegang saham.
Terdapat 2 pendekatan untuk mengitung Free Cash Flow to Equity (FCFE)
sebagaima dijelaskan di bawah ini:
1) FCFE dengan Pendekatan Equity Earnings (Damodaran, 2006) :
(3.4)
𝐹𝐢𝐹𝐸 = 𝑁𝐼 − 𝑁𝑒𝑑 πΆπ‘Žπ‘π‘’π‘₯ − βˆ†π‘πΆπ‘ŠπΆ + 𝑁𝑒𝑑 𝐷𝑒𝑏𝑑
Dimana:
NI
= Net Income
Net CapEx
= (Capital Expenditure – Depreciation)
βˆ†NCWC
= Change in Non Cash Working Capital
Net Debt
= (New Debt Issued – Debt Repayment)
2) FCFE dengan Pendekatan Operating Income (Damodaran, 2006):
𝐹𝐢𝐹𝐸 = 𝐸𝐡𝐼𝑇 (1 − π‘‡π‘Žπ‘₯ π‘Ÿπ‘Žπ‘‘π‘’) − πΌπ‘›π‘‘π‘’π‘Ÿπ‘’π‘ π‘‘ 𝐸π‘₯𝑝 (1 − π‘‡π‘Žπ‘₯ π‘Ÿπ‘Žπ‘‘π‘’) − 𝑁𝑒𝑑 πΆπ‘Žπ‘πΈπ‘₯ −
(3.5)
βˆ†π‘πΆπ‘ŠπΆ + 𝑁𝑒𝑑 𝐷𝑒𝑏𝑑
Dimana:
EBIT
= Earning Before Interest and Tax
Net CapEx
= (Capital Expenditure – Depreciation)
βˆ†NCWC
= Change in Non Cash Working Capital
Net Debt
= (New Debt Issued – Debt Repayment)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
48
3.3.3. Discounted Free Cash Flow to Equity
Terdapat dua model yang menjadi dasar dalam menghitung value of equity
atau menghitung nilai diskonto FCFE, yaitu Constant Growth FCFE Model dan
Two Stage Discounted FCFE Model. Berikut penjelasan dari keduanya:
1) Constant Growth FCFE Model.
Model ini mengasumsikan bahwa arus kas yang akan diterima oleh pemegang
saham akan terus tumbuh selamanya dengan tingkat pertumbuhan yang tetap.
Rumus Constant Growth FCFE Model adalah sebagai berikut (Damodaran, 2006):
π‘‰π‘Žπ‘™π‘’π‘’ π‘œπ‘“ πΈπ‘žπ‘’π‘–π‘‘π‘¦ =
𝐹𝐢𝐹𝐸𝑑
𝐾𝑒 − 𝑔
(3.6)
Dimana:
𝐹𝐢𝐹𝐸𝑑 = Free Cash Flow to Equity periode t
𝐾𝑒
= Cost of Equity
𝑔
= growth rate
2) Two Stage Discounted FCFE Model
Model ini mengasumsikan bahwa arus kas yang diterima oleh pemegang saham
akan tumbuh dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi selama periode tertentu dan
kemudian tingkat pertumbuhan tersebut akan turun dan menjadi konstan untuk
selama-lamanya. Rumus Two Stage Discounted FCFE Model adalah sebagai
berikut (Damodaran, 2006):
𝑑=𝑛
π‘‰π‘Žπ‘™π‘’π‘’ π‘œπ‘“ πΈπ‘žπ‘’π‘–π‘‘π‘¦ = ∑
𝑑=1
𝐹𝐢𝐹𝐸
𝑃𝑛
+
(1 + 𝐾𝑒 )𝑑 (1 + 𝐾𝑒 )𝑛
Dimana:
𝐹𝐢𝐹𝐸
= Free Cash Flow to Equity
http://digilib.mercubuana.ac.id/
(3.7)
49
𝑃𝑛
= Terminal Value
𝐾𝑒
= Cost of Equity
Terminal value dihitung mengunakan constant growth model melalui persamaan
berikut (Damodaran, 2006):
𝑃𝑛 =
𝐹𝐢𝐹𝐸𝑛+1
π‘Ÿ − 𝑔𝑛
(3.8)
Dimana:
r - 𝑔𝑛 = Cost of equity pada stble growth
r
= Cost of equity
𝑔𝑛
= Tingkat pertumbuhan setelah terminal value
n
= Periode
3.3.4. Expected Growth Rate
Dalam menghitung proyeksi nilai FCFE ke masa depan, tentunya dibutuhkan
estimasi nilai pertumbuhan (growth rate) pada periode analisis tersebut. Menurut
Damodaran (2006) estimasi tingkat pertumbuhan di masa depan tersebut dapat
dihitung dengan 2 (dua) pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah equity
earnings, digunakan untuk menganalisis perusahaan yang senantiasa memberikan
dividend kepada para pemegang sahamnya. Pendekatan yang kedua adalah
operating income, digunakan untuk menganalisis perusahaan yang tidak teratur,
jarang atau tidak memberikan dividend kepada pemegang sahamnya.
1) Expected Growth Rate dengan Metode Equity Earnings :
Dari Gambar 3.1. dibawah ini, dapat diketahui bahwa estimasi expected growth rate
FCFE dengan pendekatan equity earnings dapat digunakan untuk menganalisis
http://digilib.mercubuana.ac.id/
50
perusahaan yang senantiasa memberikan dividend kepada para pemegang
sahamnya. Metode ini digunakan apabila sudah diketahui berapa nilai Dividend
Payout Ratio-nya (DPR). Selanjutnya, dilihat apakah Return On Equity (ROE)
perusahaan stabil atau tidak, sehingga dapat diketahui dengan rumus manakah akan
digunakan untuk mencari nilai growth rate tersebut.
Expected Growth Rate
Equity Earnings
Stable ROE
ROE x RR
Changing ROE
(ROE x RR) + {(ROEt - ROEt-1)/ (ROEt-1)}
Gambar 3.1. Expected Growth Rate dengan Metode Equity Earnings
Sumber: Damodaran (2006)
2) Expected Growth Rate dengan Metode Operating Income
Dari Gambar 3.2. di bawah ini, Damodaran (2006) dapat diketahui bahwa estimasi
expected growth rate FCFE dengan pendekatan operating income dapat digunakan
untuk menganalisis perusahaan yang tidak teratur, jarang dan atau tidak
memberikan dividend kepada para pemegang sahamnya. Terdapat perbedaan dalam
http://digilib.mercubuana.ac.id/
51
menentukan rumus untuk mencari growth rate dengan pendekatan operating
income sebagaimana dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Expected
Growth Rate
Operating Income
Stable ROC
ROC x RR
Changing
ROC
ROC x RR +
{(ROCt - ROCt-1)/ROCt-1}
Laba Perusahaan
Negatif (Rugi)
1. Revenue Growth
2. Operating Margins
3. Reinvestment Needs
Gambar 3.2. Expected Growth Rate dengan Metode Operating Income
Sumber: Damodaran (2006)
Langkah pertama dilihat dahulu apakah pada laporan keuangan perusahaan terdapat
laba negatif (rugi) atau tidak. Apabila tidak terdapat laba negatif (rugi) maka
langkah kedua adalah melihat Return On Capital (ROC) perusahaan stabil atau
tidak. Kondisi ini akan menentukan rumus yang akan digunakan dalam menghitung
expected growth rate FCFE perusahaan tersebut, dimana masing-masing rumus
merupakan perkalian antara ROC dan faktor Reinvestment Rate (RR) yang belum
diketahui DPR-nya. Sedangkan rumus Return On Capital (ROC) dan Reinvestment
Rate (RR) adalah sebagai berikut (Damodaran, 2006):
http://digilib.mercubuana.ac.id/
52
𝑅𝑂𝐢 =
𝑅𝑅 =
𝐸𝐡𝐼𝑇 (1 − 𝑑)
𝐡𝑉 π‘œπ‘“ 𝐷𝑒𝑏𝑑 + 𝐡𝑉 π‘œπ‘“ πΈπ‘žπ‘’π‘–π‘‘π‘¦
(𝑁𝑒𝑑 πΆπ‘Žπ‘π‘’π‘₯ + πΆβ„Žπ‘Žπ‘›π‘”π‘’ 𝑖𝑛 π‘Šπ‘œπ‘Ÿπ‘˜π‘–π‘›π‘” πΆπ‘Žπ‘π‘–π‘‘π‘Žπ‘™)
𝐸𝐡𝐼𝑇 (1 − 𝑑)
(3.9)
(3.10)
3.3.5. Discount Rate, Cost of Equity dan Capital Asset Pricing Model.
Estimasi discount rate atau faktor diskonto merupakan salah satu tahap yang
penting dalam Discounted Cash Flow Valuation. Faktor ini menggambarkan risiko
dari arus kas di masa depan yang akan didiskontokan. Karena itu penentuan
discount rate harus sesuai dengan jenis kas masa depan yang akan didiskon ke nilai
sekarang. Apabila melakukan valuasi terhadap arus kas masa depan untuk
perusahaan atau Free Cash Flow to Firm (FCFF) maka faktor diskonto yang
digunakan adalah cost of capital yaitu imbal balik minimal yang diharapkan setelah
dilakukan pendanaan untuk investasi perusahaan atau disebut juga Weighted
Average Cost of Capital (WACC) dimana dalam parameter WACC terdapat
komponen cost of equity dan cost of debt. Sedangkan jika melakukan valuasi
terhadap arus kas masa depan untuk ekuitas atau Free Cash Flow to Equity (FCFE),
maka faktor diskonto yang digunakan adalah cost of equity.
Cost of equity (Ke) adalah tingkat pengembalian yang diinginkan oleh investor
dalam melakukan investasi pada ekuitas di suatu perusahaan. Model ini
menerangkan hubungan antara expected return dari suatu aset investasi dengan aset
bebas risiko dan risiko premium aset itu sendiri. Menurut Damodaran (2006)
terdapat dua pendekatan utama dalam menghitung cost of equity yaitu dengan cara
menggunakan risk and return model dan dividend growth model. Secara umum cost
http://digilib.mercubuana.ac.id/
53
of equity dengan risk and return model dapat diperoleh berdasarkan rumus Capital
Asset Pricing Model (CAPM) sebagai berikut (Damodaran, 2006):
𝐾𝑒 = 𝑅𝑓 + 𝛽(π‘…π‘š − 𝑅𝑓 )
(3.11)
Dimana:
Ke = Cost of Equity (Expected return dari aset)
Rf = Risk-free rate
Rm = Expected return on market index
Rm – Rf = Market risk premium
β = Systematic risk of equity
Ada beberapa hal penting dalam menggunakan rumus CAPM, yaitu bagaimana
menilai market risk premium yang akan digunakan dalam perhitungan expected
return on market index, besarnya risk free rate dan nilai beta yang tepat. Berikut ini
adalah penjelasannya:
1) Risk Free Rate (Rf)
Menurut Damodaran (2006) investasi yang dapat dikategorikan risk free adalah
apabila tingkat pengembalian investasi tersebut sudah dapat diketahui dengan pasti,
dimana tingkat pengembalian yang aktual sesuai dengan tingkat pengembalian yang
diharapkan. Hal ini dapat terjadi jika memenuhi dua syarat, yaitu: Pertama adalah
aset tersebut tidak boleh memiliki risiko gagal bayar dan yang kedua adalah aset
tersebut tidak memiliki risiko reinvestasi dalam jangka waktu yang cukup lama.
Surat berharga yang biasanya dianggap risk free adalah surat berharga yang
diterbitkan oleh negara, hal tersebut dikarenakan walau dalam kondisi krisis
sekalipun, negara dapat saja mencetak uang untuk melunasi kewajiban mereka.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
54
Contoh surat berharga negara di antaranya adalah Surat Utang Negara (SUN) dan
Obligasi Negara Republik Indonesia.
2) Market Risk Premium
Market
Risk
premium
menurut
Damodaran
(2006) merupakan
tingkat
pengembalian suatu saham di atas tingkat pengembalian risk free investment.
Perhitungan market risk premium dapat bervariasi, namun yang umum diterapkan
adalah dengan pendekatan average expected return, yaitu dilakukan dengan data
historis, dimana market risk premium didefinisikan sebagai selisih antara tingkat
pengembalian rata-rata atas IHSG (dalam hal ini adalah expected return on market
index, Rm) dengan tingkat pengembalian rata-rata atas risk free investment dalam
beberapa periode waktu. Dalam menentukan market risk premium dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tingkat variance dalam ekonomi suatu
negara, situasi politik serta struktur pasar. Market risk premium pada emerging
market dapat saja lebih tinggi, karena itu dengan pertumbuhan yang lebih tinggi,
tentunya lebih volatile sehingga mengakibatkan investasi berisiko lebih tinggi.
Selain itu pada negara dengan instabilitas politik yang tinggi maka kecenderungan
untuk instabilitas pada ekonomi juga lebih tinggi sehingga dapat berakibat pada
semakin besar risiko perekonomian negara tersebut. Selain itu, jika perusahaan
yang bermain di pasar modal merupakan perusahaan yang besar, terdiversifikasi
dan stabil, maka market risk premium suatu negara juga akan semakin kecil.
3) Systematic Risk of Equity
Systematic risk of equity atau beta (β) merupakan nilai sensitivitas sebuah surat
berharga, sehingga dapat menunjukkan risiko dalam suatu invetasi. Menurut
Damodaran (2006), dalam menghitung nilai beta ada beberapa cara, yaitu dengan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
55
menggunakan data historis, estimasi berdasarkan fundamental perusahaan dan/atau
dengan menggunakan data akunting. Estimasi nilai beta dengan menggunakan data
historis adalah dengan cara meregresi return individual saham dengan return pasar,
sedangkan estimasi beta berdasarkan fundamental dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu :
a) Jenis usaha perusahaan. Karena beta mengukur risiko perusahaan secara relatif
dengan indeks pasar, maka semakin tinggi risiko suatu jenis usaha terhadap
kondisi pasar, maka semakin tinggi pula nilai beta-nya, begitu pula sebaliknya.
b) Operating Leverage perusahaan. Adalah mengukur perbandingan antara biaya
tetap terhadap total biaya produksi. Semakin besar nilai operating leverage,
maka akan semakin besar pula variabilitas laba perusahaan, sehingga
menyebabkan beta menjadi semakin besar dengan asumsi faktor-faktor lainnya
dianggap sama.
c) Financial Leverage perusahaan. Yaitu hubungan antara risiko perusahaan
dengan komposisi utang terhadap modal, sehingga semakin tinggi financial
leverage-nya, maka akan semakin besar pula nilai beta dari perusahaan tersebut.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembayaran bunga utang akan
meningkatkan variance dari pendapatan bersih, sehingga jika financial
leverage-nya lebih tinggi, maka pendapatan akan meningkat selama kondisi
ekonomi baik dan pendapatan akan turun selama kondisi ekonomi buruk.
Selain itu, dalam menghitung koefisien beta, dibedakan apakah untuk perusahaan
terbuka atau tertutup. Penjelasan keduanya dapat diuraikan sebagai berikut:
a) Untuk perusahaan terbuka koefisien beta dihitung dengan cara melakukan
regresi atas data historis berupa pendapatan (return) pasar di Indonesia, yaitu
http://digilib.mercubuana.ac.id/
56
IHSG, terhadap pendapatan return individual saham. Sehingga didapatkan
persamaan Ri = 𝛼 +  (Rm). Pemilihan beta dapat dipengaruhi oleh periode
observasi, dimana semakin panjang periode observasi, maka data yang
diperoleh semakin besar dan nilai beta juga akan semakin baik, namun
karakteritik risiko yang ada juga dapat berubah-ubah karena jika dalam periode
tersebut perusahaan banyak melakukan corporate action.
b) Untuk perusahaan private (tertutup) penentuan koefisien beta menurut
Tandelilin (2010) terdapat dua pendekatan, yaitu beta akuntansi dan beta yang
disesuaikan dengan teknik Hamada. Berikut penjelasannya:
(i) Beta akuntansi, merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk
perusahaan private dengan cara menggunakan Return On Equity industri
sebagai proksi return pasar, dengan rumus sebagai berikut (Damodaran, 2006):
𝑅𝑂𝐸𝑗 = 𝛼 + 𝛽𝑗 . 𝑅𝑀 + 𝑒
(3.12)
Dimana:
𝑅𝑂𝐸𝑗
= Return on equity perusahaan privat individual.
RM = Return on equity pasar (diproksi dari IHSG atau LQ 45)
(ii) Beta dengan teknik Hamada dihitung dengan pendekatan berdasarkan unsurunsur fundamentalnya. Langkah pertama adalah mencari unlevered beta
perusahaan yang sejenis. Kemudian unlevered beta tersebut kemudian diubah
menjadi levered beta dengan rumus Hamada’s Equation sebagai berikut
(Damodaran, 2006).
𝛽𝐿
=
π›½π‘ˆ { 1 + (1 − 𝑑)
𝐷
}
𝐸
http://digilib.mercubuana.ac.id/
(3.13)
57
Dimana:
𝛽𝐿
= Beta perusahaan yang memiliki leverage
π›½π‘ˆ
= Beta perusahaan yang tidak memiliki leverage
t
= tingkat pajak perusahaan
𝐷
= rasio utang terhadap ekuitas
𝐸
3.4. Analisis Teknikal
Analisis teknikal saham adalah metode yang untuk menganalisis pola dan
grafik harga saham yang terjadi berulang kali dimasa lalu (Bodie at. al, 2006).
Analisis teknikal juga dapat digunakan sebagai teknik untuk memprediksi arah
pergerakan harga saham berdasarkan data historis (Tandelilin, 2010) Definisi lain
dari analisis teknikal adalah suatu metode evaluasi pergerakan harga saham,
komoditas, forex, atau jenis sekuritas lainnya di masa lampau dengan menggunakan
bantuan grafik beserta indikator-indikator teknikal untuk meramalkan pergerakan
harga sekuritas di masa yang akan datang (Ong, 2010) Variabel yang digunakan
pada analisis teknikal adalah data harga, volume transaksi dan indeks harga saham
secara individual maupun gabungan. Pada prinsipnya analisis teknikal mencakup
tiga aspek berikut ini:
1) Aksi pasar mempunyai banyak arti, konsekuensinya bahwa harga saham pada
saat ini mencerminkan segala sesuatu yang diketahui oleh pelaku pasar dan akan
berpengaruh pada pasar dan berakibat pada harga saham. Misalnya faktor
makro ekonomi, faktor politik dan sentimen harga. Analis teknikal hanya
berkonsentrasi pada perubahan harga saham, bukan pada faktor-faktor yang
menyebabkan pergerakan harga saham tersebut.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
58
2) Eksistensi pola. Analisis teknikal digunakan untuk mengidentifikasi pola-pola
yang dapat dikenali dan dipercaya. Banyak pola yang mampu memprediksi arah
pergerakan saham dan pola tersebut selalu menggunakan basis yang konsisten
3) Sejarah selalu berulang. Pola-pola grafik yang telah terjadi bahkan untuk jangka
waktu yang sangat lamapun akan terulang kembali di masa yang akan datang
sebagai cerminan psikologi manusia. Bagaimanapun juga bursa adalah
pertemuan antara pembeli dan penjual sehingga selalu ada permintaan dan
penawaran yang mempengaruhi harga saham.
Aplikasi analisis teknikal didukung oleh 2 jenis indikator, yaitu Trendline
Indicator dan Mometum Indicator atau Oscillator yang dapat dijadikan panduan
dalam memprediksi harga dan trend saham melalui grafik yang telah terbentuk,
sehingga para pelaku pasar mendapatkan suatu indikasi dan sinyal negatif, positif
dan netral. Trendline Indicator dapat digunakan ketika market sedang trending dan
memiliki kegunaan utama untuk mengetahui trend yang sedang berlangsung pada
periode tertentu, di samping itu indikator ini juga dapat digunakan untuk
mengetahui titik support dan resistance. Termasuk jenis trendline indicator di
antaranya adalah: Moving Average, Bollinger Band dan Price Channels Index dan
lain lain. Sedangkan Mometum Indicator atau Oscillator digunakan sebagai alat
pengukur kekuatan trend pada suatu periode tertentu. Indikator ini tidak dapat
menunjukkan apakah trend sedang naik atau turun, tetapi hanya mengukur seberapa
kuat atau lemah trend yang terjadi. Sehingga dapat digunakan pada saat market non
trending. Termasuk jenis Oscillator, di antaranya adalah: Stochastic, Moving
Average Convergence Divergence (MACD),
Relative Strength Index (RSI),
Average Directional Index (ADX).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
59
3.4.1. Trendline
Trendline adalah garis yang menghubungkan dua buah titik atau lebih dari
harga saham yang menunjukkan kecenderungan (trend) pergerakan harga saham.
Ada tiga macam trendline, yaitu: Uptrend, dibuat dengan menghubungkan dua
buah titik support (batas bawah). Downtrend, dibuat dengan menghubungkan dua
buah titik resistance (batas atas). Sideways trend, yaitu garis mendatar yang
menghubungkan dua buah titik harga yang sedang dalam kondisi konsolidasi.
3.4.2. Support and Resistance Lines
Gambar 3.3. Support and Resistance Line
Sumber: ChartNexus dan Olahan Penulis (2016)
Support and resistance lines merupakan salah satu unsur penting dalam
analisis teknikal dan dasar untuk mengetahui hubungan trend yang telah terjadi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
60
dengan pola keberlanjutan atau pola pembalikan dari trend tersebut. Pada
prakteknya support dan resistance merupakan momentum dimana kekuatan
penawaran/penjualan dan permintaan/pembelian bertemu.
Support adalah suatu level pada grafik harga saham, dimana permintaan atau
minat beli cukup kuat dibanding tekanan jual, sehingga harga tidak turun dibawah
level ini. Pada prakteknya, saat harga mengalami penurunan dan menjadi lebih
murah, maka para buyer cenderung membeli dan seller menjadi berkurang,
sehingga ketika harga mencapai level support, diyakini bahwa akan terjadi kondisi
dimana permintaan/pembelian lebih besar dari penawaran/ penjualan sehingga
dapat mencegah harga jatuh di bawah level support.
Sedangkan Resistance adalah kebalikan dari support, dimana penawaran atau
minat jual lebih kuat dibanding hasrat beli dan akibatnya harga pasar tidak akan
melebihi level ini. Pada prakteknya di pasar para seller lebih banyak dan cenderung
untuk menjual dan buyyer semakin berkurang. Pada saat harga mencapai level
resistance, diyakini bahwa supply akan mengatasi demand sedemikian sehingga
mencegah harga naik di atas resistance.
3.4.3.
Moving Average
Moving Average (MA) adalah salah satu Trendline Indicator yang digunakan
untuk mengetahui trend yang sedang berlangsung pada periode tertentu dan
memberi prediksi arah pergerakan trend. Di samping itu indikator ini juga dapat
digunakan untuk mengetahui titik support dan resistance serta menemukan sinyal
jual ataupun sinyal beli. Moving Average dihitung dengan menjumlahkan data seri
dari harga penutupan saham (closing price) dalam periode tertentu lalu dibagi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
61
dengan angka yang dijadikan periodenya. Periode moving average dapat
disesuaikan dengan kebutuhan analis. Moving Average terdiri dari 3 macam, yaitu:
1) Simple Moving Average (SMA)
Adalah rata-rata bergerak sederhana, dihitung dengan menjumlahkan harga saham
selama “n” periode kemudian membaginya dengan “n”. Rumusnya:
𝑆𝑀𝐴𝑛 =
( 𝑃1 + 𝑃2 … + 𝑃𝑛 )
𝑛
(3.14)
Dimana:
𝑆𝑀𝐴𝑛
: Rata-rata bergerak sederhana n periode
𝑃1 … 𝑃𝑛
: Harga saham pada hari ke-1 sampai hari ke-n
n
: Periode yang diamati
2) Weighted Moving Average (WMA)
Adalah rata-rata bergerak tertimbang, dihitung dengan mengalikan harga pada “n”
hari yang lalu dengan bobot 1, kemudian ditambah dengan perkalian harga pada n
-1 hari yang lalu dengan bobot 2 dan seterusnya, kemudian dibagi dengan
penjumlahan 1 + 2 +....+ n periode pengamatan. Rumusnya:
π‘Šπ‘€π΄π‘› =
( 𝑃1 × 1 + 𝑃2 × 2 + β‹― + 𝑃𝑛 × π‘› )
(1 + 2 + β‹― + 𝑛 )
(3.15)
Dimana:
π‘Šπ‘€π΄π‘›
: Rata-rata bergerak tertimbang n periode
𝑃1 … 𝑃𝑛
: Harga saham pada hari ke-1 sampai hari ke-n
3) Exponential Moving Average (EMA)
EMA merupakan penyempurnaan dari metode WMA. Sebagaimana diketahui,
pembobotan WMA merupakan penyebab yang mengakibatkan terjadinya
http://digilib.mercubuana.ac.id/
62
keterlambatan sinyal perubahan trend. Pemberian bobot pada EMA sama seperti
pada WMA, juga melibatkan periode. Hanya saja perbedaannya jika pada WMA
semakin panjang periode, maka bobot yang digunakan semakin besar, sedangkan
pada EMA terjadi sebaliknya yaitu semakin panjang periode yang dipakai maka
semakin kecil pembobotan nilai terakhir.
3.4.4. Moving Average Crossovers
Adalah suatu keadaan dimana garis moving average periode pendek
memotong / menyilang ke atas moving average periode lebih panjang. Dan kedua
garis moving average tersebut sedang berada dalam trend mengarah atau mulai
mengarah ke atas. Pada kondisi ini diprediksi merupakan sinyal beli.
Gambar 3.4. Moving Averages Crossovers Antara MA20 dan MA50
Sumber: ChartNexus dan Olahan Penulis (2016)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
63
3.4.5. Stochastic
Indikator stochastic merupakan salah satu indikator momentum yang dapat
mengidentifikasi titik ekstrem oversold/overbought (titik jenuh jual dan jenuh beli)
yang memicu uptrend dan downtrend yang berguna untuk titik masuk dan keluar
pasar. Titik ekstrim ini merupakan sinyal akan adanya perubahan harga. Namun
sinyal jual dan beli tersebut membutuhkan konfirmasi terhadap saham dan indikator
pendukung lainnya.
Gambar 3.5. Indikator Stochastic
Sumber: ChartNexus dan Olahan Penulis (2016)
3.4.6.
Breakout
Breakout adalah sinyal beli saham ketika grafik harga saham menembus ke
atas garis resistance yang kuat setelah sebelumnya berada dalam pola konsolidasi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
64
Posisi breakout dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan posisi buy.
Dalam menetapkan apakah grafik harga saham terjadi breakout atau hanya terjadi
breakout palsu, dibutuhkan suatu kecermatan tersendiri sebagaimana akan
dijelaskan pada bab lima.
Gambar 3.6. Breakout dan Entry Buy Point
Sumber: ChartNexus dan Olahan Penulis (2016)
3.5. Penelitian Terdahulu
Hauwtan (2010) dalam penelitian yang bertujuan untuk menentukan intrinsic
value dan perkiraan harga yang tepat untuk membeli dan menjual saham PT. PP
London Sumatra Indonesia Tbk. menggunakan analisis fundamental dan teknikal,
dimana untuk analisis fundamental dilakukan dengan top-down analysis, yang
diawali dengan analisis ekonomi makro, analisis sektor industri dan yang terakhir
analisis perusahaan itu sendiri, untuk menilai bagaimana kinerja perusahaan dan
prospeknya di masa depan termasuk memprediksi nilai intrinsik perusahaan dengan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
65
menggunakan metode analisis Discounted Cash Flow dengan pendekatan Free
Cash Flow to The Firm. Hasil dari analisa ini menunjukkan bahwa nilai intrinsik
dari saham PT. PP London Sumatra Indonesia Tbk. undervalued terhadap intrinsic
value. Hal tersebut diperkuat oleh hasil analisis teknikal dengan menggunakan
fibonnaci retracement dan fibonnaci extention. Dengan hasil perhitungan analisis
fundamental dan teknikal tersebut, maka disarankan investor untuk melakukan buy
untuk saham tersebut pada level harga Rp7.500,- dan menjual kembali pada level
harga Rp9.224,- Sementara harga pasar disaat tersebut adalah Rp 7.400,Mangatur (2010) dalam penerapan analisis fundamental dan teknikal pada
penentuan nilai intrinsik harga saham PT. Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk.
Dimana pada penerapan analisis fundamental dengan pendekatan top-down yaitu
analisis yang dimulai dari kondisi ekonomi makro kemudian analisis industri atau
sektor perusahaan sampai terakhir analisis kinerja keuangan perusahaan itu sendiri.
Dari analisis kuantitatif untuk memprediksi intrinsic value saham yang
menggunakan metode Discounted Cash Flow (DCF) dengan Free Cash Flow to the
Firm (FCFF) diperoleh nilai saham PGAS adalah Rp 4.725,- Kemudian dari
analisis teknikal diketahui bahwa saham ini sedang dalam kondisi uptrend dengan
target harga Rp 4.400 – Rp 4.800,- Dengan demikian, bila dibandingkan dengan
kondisi harga saham PGAS di market saat analisis dilakukan, yaitu Rp 3.850,adalah undervalued sementara kondisi trendline nya adalah bullish. Maka penulis
memberi rekomendasi buy atas saham PGAS.
Gardner et al. (2010) dalam Journal of Business Case Studies yang berjudul
Calculating the Beta Coefficient and Required Rate of Return for Coca-Cola
menunjukkan bagaimana metode perhitungan Required Rate of Return
http://digilib.mercubuana.ac.id/
66
menggunakan teori portofolio modern dengan data download dari internet. Dalam
jurnal ini ditunjukkan bagaimana menghitung return bulanan indeks S&P 500 dan
return Coca-Cola, dimana datanya digunakan kembali untuk menghitung koefisien
beta dan Required Rate of Return . Di samping itu dalam jurnal ini ditunjukkan
bagaimana memvalidasi data indeks pasar dan company return, kemudian
ditunjukkan bagaimana membuat characteristic line Coca-Cola dan menggunakan
garis tersebut untuk memeriksa apakah hasil regresi telah sesuai.
Harper et al. (2010) menulis dalam Journal of Business Case Studies
yang berjudul Using Hyperlinks to Create a Lecture on Calculating Beta and the
Required Rate of Return for Dow Chemical Company. Pada jurnal ini diperlihatkan
bagaimana cara menghitung koefisien beta untuk perusahaan Dow Chemical
Company dengan menggunakan market
index S&P500. Paper ini menuntun
bagaimana cara memperoleh data Dow Chemical dan data Indeks S&P500, cara
menghitung monthly return dan bagaimana meregresi data tersebut untuk
memperoleh nilai beta. Baik data Dow Chemical maupun S&P500 selama 50 bulan
di download dari Yahoo! Finance kemudian diolah dengan Excel Worksheet untuk
menghitung monthly returns, kemudian di-regres dengan S&P500 index return
sebagai independent variable sedangkan Dow Chemical returns sebagai dependent
variable.
Sehgal, Sanjay and Asheesh Pandey (2010) dalam Asian Journal of Finance
& Accounting. Vol.2. No.1 yang berjudul “Equity Valuation Using Price Multiples:
A Comparative Study for BRICKS”. Melakukan evaluasi terhadap efektifitas tiga
value drivers, yaitu Earning per Share, Price to Book Value dan Discounted Cash
flows untuk menghitung perkiraan harga wajar saham berdasarkan dua kriteria,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
67
yaitu: Root Mean Squared Error dan Thail Inequality Coefficient terhadap datadata tahun 1993 -2007 pada negara BRICKS (Brazil, Rusia, India, China dan South
Korea). Analisis dilakukan dalam tiga fase, dalam fase pertama ditemukan bahwa
price to book value adalah yang terbaik untuk India, China dan Korea Selatan,
sementara Earning per Share menghasilkan penilaian terbaik untuk nilai ekuitas
dalam kasus Brazil dan Korea Selatan. Pada tahap berikutnya diperoleh bahwa
kombinasi antara ketiga drivers tidak signifikan meningkatkan proyeksi harga
dibandingkan dilakukan secara mandiri.
Gardner et al. (2011) dalam jurnal yang berjudul “Using Accounting
Information for Financial Planning and Forecasting: An Application of the
Sustainable Growth Model Using of Coca-Cola” Mengangkat sebuah contoh kasus
untuk memprediksi sustainable growth perusahaan dengan menggunakan analisis
Dupont. Keunggulan dari analisis Dupont adalah memudahkan analisis keuangan
mengetahui secara sekaligus berbagai rasio yang mendukung perhitungan ROE,
di antaranya Net Profit Margin (NPM), Total Asset Turnover (TAT) dan Equity
Multiplier (EM). Dalam jurnal ini Sistem Dupont dikembangkan penggunaannya
dengan mengalikan ROE dan Earning Retention Rate (ERR) untuk memperoleh
sustainable growth dimana tingkat pertumbuhan yang diperoleh merupakan level
tertinggi yang mampu dicaapai perusahaan dengan hanya menggunakan
pertumbuhan penjualan dan dana internal saja.
Imanuel (2011) melakukan kajian penilaian harga terhadap saham subsektor
perbankan kelompok LQ45 menggunakan analisis teknikal dan fundamental
periode Februari 2010 - Januari 2011 dengan tujuan membandingkan pergerakan
harga saham perbankan yang terdaftar dalam indeks LQ45 menggunakan analisis
http://digilib.mercubuana.ac.id/
68
teknikal, menggunakan analisis fundamental untuk melihat kondisi emiten
perbankan,
membandingkan nilai
intrinsik
saham
perusahaan-perusahaan
perbankan periode Februari 2010 - Januari 2011 yang terdaftar dalam indeks LQ45
dengan menggunakan analisis fundamental. Hasil penelitian, pada triwulan I tahun
2010 kelima emiten kecuali bank Danamon mengalami uptrend, dimana saham
bank Danamon ketika itu mengalami trend yang cenderung mendatar atau
sideways. Pada triwulan II tahun 2010 saham Bank BCA, BNI dan Danamon berada
dalam kondisi mendatar sedangkan saham BRI dan Mandiri mengalami kondisi
uptrend. Pada triwulan III tahun 2010 kondisi uptrend ditunjukkan oleh
pergerakkan saham Bank BNI, Danamon, dan Mandiri, sedangkan Bank BCA dan
BNI mengalami kondisi uptrend. Kelima emiten mengalami kondisi yang
cenderung menurun pada triwuan IV. Secara fundamental kondisi kelima emiten
selama tahun 2008-2010 mengalami pertumbuhan laba bersih tiap tahunnya. Harga
aktual rata-rata saham Bank BCA yang tercatat di bursa efek adalah sebesar Rp
5.914,- per lembar sedangkan nilai intrinsik saham BCA setelah dihitung
menggunakan metode Capital Asset Pricing Model dengan perhitungan Dividend
Discounted Model adalah sebesar Rp 5.942,58. Hal ini berarti saham bank BCA
dijual undervalued karena harga pasar lebih kecil dari nilai intrinsik. Hal serupa
juga terjadi pada keempat emiten lainnya, nilai intrinsik saham keempat emiten
lainnya juga lebih tinggi dari pada harga pasar yang diperjual belikan di bursa efek.
Oleh karena itu saham kelima emiten tersebut layak untuk dibeli.
Benaji (2011) membahas intrinsic value saham Perum Pegadaian yang
berencana melakukan IPO pada tahun 2012. Valuasi menggunakan metode
Discounted Free Cash Flow to Equity dengan pendekatan Two Stage Discounted
http://digilib.mercubuana.ac.id/
69
Free Cash Flow to Equity yang menggunakan empat kemungkinan pertumbuhan
dalam menghitung terminal value-nya berdasarkan estimasi pertumbuhan Produk
Domestik Bruto Indonesia.
Marasovićet, Branka and Tea Poklepović (2011) di dalam jurnal yang berjudul
“Markowitz Model With Fundamental and Technical Analysis – Complementary
Methods Or Not” menyimpulkan bahwa analisis fundamental dan teknikal adalah
dua jenis analisis yang saling melengkapi, oleh karena itu di dalam proses pemilihan
saham dan penyusunan portofolio akan lebih optimal melakukan analisis
fundamental terlebih dahulu kemudian diikuti dengan analisis teknikal untuk
memprediksi momentum yang tepat dalam membeli atau menjual saham tersebut,
kedua metode tersebut diperlukan dalam rangka memperhitungkan faktor-faktor
yang relevan dan berpengaruh terhadap perubahan harga saham.
Ariyanto (2012) menguji metode Discounted Cash Flow Model (DCF) dengan
pendekatan valuasi Free Cash Flow to Equity (FCFE) terhadap saham-saham di
Bursa Efek Indonesia dengan tujuan untuk melihat apakah hasil valuasi dengan
pendekatan FCFE telah mencerminkan ekspektasi dari 33 saham yang masuk dalam
Jakarta Islamic Index (JII). Hasil penelitian dengan melakukan uji statistik regresi,
didapat hasil bahwa nilai intrinsik mempunyai hubungan yang signifikan dalam
menjelaskan harga saham yang tercatat pada indeks JII.
Fathi et al. (2012) dalam Journal of Basic and Applied Scientific Research
yang berjudul Profitability Assessment of Fundamental Analysis in Stock Selection
menulis bahwa masalah keuangan dan metode investasi adalah hal penting bagi
para peneliti dan eksekutif. Investasi di pasar modal membutuhkan analisis atas
saham dan menetapkan momentum waktu pembelian dan penjualan saham tersebut.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
70
Untuk tujuan ini, metode yang berbeda antara analisis fundamental dan analisis
teknial dapat masing-masing digunakan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan
mengukur tingkat profitabilitas menggunakan analisis fundamental. Dengan asumsi
kondisi makro ekonomi yang stabil, maka diperoleh profitabilitas dari metode
perhitungan nilai intrinsik menggunakan growth rate dan metode yang
menggunakan perbandingan antara P/E perusahaan dan P/E industri. Temuan ini
menyiratkan korelasi positif antara return yang diperoleh dari perbandingan antara
P/E perusahaan dan P/E industri.
Gardner, et al. (2012) di dalam Journal Of Business & Economics Research
melakukan penilaian terhadap ekuitas perusahaan Coca Cola menggunakan Free
Cash Flow to the Equity (FCFE) dengan model pertumbuhan super normal.
Hasilnya menunjukkan bahwa nilai ekuitas perusahaan Coca Cola sebesar US$161
miliar dan nilai pasar aktual adalah US$ 150 miliar pada tanggal 28 Desember 2010.
Hui Yeh (2012) di dalam International Journal of Business and Social Science
yang berjudul The Profitability of Moving Average in Taiwan: A New Anomaly
menemukan bahwa penerapan analisis teknikal berupa moving average (MA) pada
investasi saham di Taiwan Stock Exchange Capitalization Weighted Stock Index
(TAIEX) dapat memberikan return yang positif dimana hasilnya mengalahkan
strategi investasi buy and hold. Temuan Chao-Hui Yeh menunjukkan bahwa
penggunaan moving averages 5 hari atau MA5 mutlak dapat mengalahkan return
strategi buy and hold. Baik untuk sell-put option strategy maupun sell-call option
strategy. Namun demikian penggunaan analisis teknikal digabungkan dengan
analisis fundamental secara bersamaan dapat menghasilkan investasi yang lebih
sukses.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
71
Dyannas (2013) dalam tesisnya melakukan analisis saham dengan
menggunakan analisis teknikal klasik dan modern. Analisis teknikal yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pola grafik (chart patterns) yang dapat
memberikan berbagai macam informasi seperti titik support dan resistance, sinyal
jual/beli, dan target harga. Indikator lain yang digunakan juga dalam penelitian ini
adalah Moving Average (MA), Parabolic SAR (PSAR), dan Relative Strength Index
(RSI). Obyek penelitian terdiri dari saham perusahaan-perusahaan BUMN sektor
konstruksi yang terdapat di Bursa Efek Indonesia pada periode pengamatan 1 Mei
2012 – 30 April 2013. Hasil analisis dengan berbagai indikator tersebut
menunjukkan bahwa indikator-indikator tersebut dapat saling melengkapi satu
dengan yang lainnya dan pola indikasi yang dihasilkan di akhir periode penelitian
dapat menghasilkan prediksi yang akurat.
Najafi, Mehdi and Farshid Asgari (2013) menulis di dalam jurnal yang
berjudul Using CANSLIM Analysis for Evaluating Stocks of the Companies
Admitted in Tehran Stock Exchange. CANSLIM adalah sebuah strategi atau metode
untuk menganalisis saham secara kombinasi antara analisis fundamental dan
teknikal. Metode ini mempersyaratkan 7 kriteria yang terkandung di dalam nama
CANSLIM yang merupakan singkatan dari: C: Current earnings - A : Annual
earnings - N : New management, products and services - S : Supply and demand L : Leader or laggard? - I : Institutional investment - M : Market Direction. Pada
penelitian ini disimpulkan bahwa ke-7 kriteria dari analisis CANSLIM
mengkonfirmasi saham-saham yang memberikan capital gain terbaik.
Waheed, Abdul and Samuel Asmah (2013) di dalam tesisnya yang berjudul
“Analysis of Moving Average Convergence Divergence (MACD) as a Tool of Equity
http://digilib.mercubuana.ac.id/
72
Trading at the Karachi Stock Exchange” meneliti penggunaan salah satu alat
analisis teknikal yaitu MACD dalam perdagangan saham di Karachi Stock
Exchange (KSE) Pakistan. Di dalam penelitiannya ditemukan bahwa
MACD
merupakan indikator analisis teknikal yang signifikan pada perdagangan saham di
KSE, oleh sebab itu MACD dapat dijadikan salah satu dasar untuk mengambil
keputusan dalam trading saham.
Artha et al. (2014) dalam jurnalnya melakukan penelitian yang bertujuan
untuk mengetahui pengaruh dari analisis fundamental, teknikal, dan faktor makro
ekonomi terhadap harga saham sektor pertanian. Metode yang digunakan adalah
regresi panel. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor fundamental yang terdiri
dari variabel Book Value per Share (BVS), Price to Book Value (PBV), Debt to
Equity Ratio (DER), trend harga saham, BI rate, harga minyak dunia dan kurs
Rupiah memberikan pengaruh signifikan terhadap harga saham sektor pertanian.
Demikian pula analis teknikal yang berupaya untuk mengidentifikasi pola dan trend
harga, diketahui pergerakan harga saham pertanian mengalami fluktuasi yang tinggi
karena adanya krisis pada tahun 2008 hal ini diperkuat dari hasil penelitian ini
bahwa variabel trend harga saham berpengaruh signifikan terhadap harga saham
sektor pertanian.
Lutey et al. (2014) dalam Journal of Accounting and Finance yang berjudul
“An Interpretation of the CAN SLIM Investment Strategy”. Membahas strategi
investasi CANSLIM yang dikembangkan William J. O’Neil dan dipopulerkan
penggunaannya oleh Investor Business Daily. Strategi investasi CANSLIM
menerapkan tujuh kriteria dalam menyaring saham unggulan, yang dapat
diterapkan dengan mudah oleh investor individu. Hasil pengamatan menunjukkan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
73
bahwa teknik screening saham ini cukup sederhana diterapkan dan pada periode
2010 hingga 2013 strategi ini mengungguli perolehan return rata-rata sebesar 9,4%
per bulan dibandingkan dengan Index NASDAQ 100.
Sappar et al. (2015) dalam jurnalnya, melakukan studi pada perusahaan
Consumer Goods Industry di Bursa Efek Indonesia periode 2011-2013 yang
bertujuan menganalisis pengaruh secara parsial dan simultan dari faktor-faktor
fundamental dan teknikal terhadap nilai perusahaan (harga saham). Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa indikator faktor fundamental, yaitu tingkat
inflasi, BI Rate, CR, DPS, NPM, dan PER dinyatakan tidak memiliki pengaruh dan
hanya indikator DER dan ROA yang memiliki pengaruh signifikan secara parsial
terhadap nilai perusahaan, indikator faktor teknikal, yaitu harga penutupan dan
volume perdagangan secara parsial memiliki pengaruh signifikan terhadap nilai
perusahaan, dan indikator faktor fundamental dan teknikal secara simultan
berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. Temuan dalam penelitian ini
menunjukkan adanya perbedaan bentuk pengaruh (positif dan negatif) dari hasil
penelitian dengan teoritis, karena adanya respon yang berbeda dari setiap saham
perusahaan terhadap pengaruh faktor fundamental ekonomi makro. Investor masih
belum menggunakan informasi secara menyeluruh dari faktor fundamental
keuangan dan lebih cenderung menggunakan faktor teknikal dalam mengambil
keputusan investasi pada saham perusahaan sektor consumer goods industry.
Dari beberapa penelitian yang disebutkan di atas, terdapat perbedaan signifikan
dengan obyek dan tujuan penelitian tesis ini, yaitu:
1) Menganalisis aspek fundamental melalui kinerja keuangan perusahaan apakah
dalam kondisi bagus dan akan terus bertumbuh?
http://digilib.mercubuana.ac.id/
74
2) Menganalisis valuasi saham dengan metode Free Cash Flow to Equity (FCFE)
3) Membandingkan harga pasar ketika right issue dengan intrinsic value
4) Menghitung ex right price atau harga teoritis saham right issue.
5) Membandingkan ex right price dan execution price dengan intrinsic value
6) Menganalisis secara teknikal kondisi saham apakah dalam trend naik dan
mengisyaratkan untuk dibeli.
7) Menganalisis secara teknikal untuk menentukan momentum beli saham.
8) Menggunakan analisis fundamental dan teknikal secara bersamaan untuk
menghasilkan kesimpulan yang lebih konprehensif dan tepat.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Download