33 BAB III KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Right Issue Right issue yang dalam bahasa Indonesia disebut Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) adalah sebuah aksi korporasi dalam pasar modal Indonesia yang memberi hak kepada para pemegang saham lama (underlying stocks) yang namanya telah terdaftar untuk menerima penawaran terlebih dahulu apabila perusahaan melakukan proses emisi atau pengeluaran saham-saham dari saham portepel atau saham simpanan (treasury stocks) dimana jumlah saham yang berhak ditebus seimbang dengan jumlah saham yang mereka miliki secara proporsional. Right issue atau HMETD ini ditawarkan kepada pemegang saham lama terlebih dahulu karena pemegang saham lama memiliki hak preemptive yaitu hak yang memberikan kesempatan bagi pemegang saham lama untuk membeli saham baru agar kepemilikannya pada emiten tidak terdilusi. Hak ini tidak mengikat karena pemegang saham dapat menjual HMETD tersebut kepada pemegang saham lain atau kepada investor baru. Selanjutnya HMETD yang tidak ditebus atau tidak dimanfaatkan oleh yang berhak akan hangus. Sedangkan saham baru yang ditebus oleh pemegang saham memiliki hak yang sama dan sederajat dalam segala hal dengan saham lama yang telah dikeluarkan sebelumnya termasuk kesamaan hak atas dividend. Saham baru yang diterbitkan dalam right issue ini umumnya dijual di bawah harga pasar, dengan discount tertentu, tujuannya agar pemegang saham lama tertarik untuk menggunakan haknya membeli saham baru. Yang perlu menjadi http://digilib.mercubuana.ac.id/ 34 strategi dari emiten adalah menentukan discount dari harga HMETD ini karena jika harga saham di pasar lebih rendah dari pada harga HMETD, tentu saja HMETD ini tidak akan berhasil karena pemegang saham lama akan memilih membeli saham di pasar sekunder dibandingkan menebus HMETD. Jika demikian yang terjadi gagalah rencana emiten dalam memperoleh dana dengan menerbitkan saham baru. Ada kecenderungan harga saham naik sebelum right issue. Setelah right issue diumumkan, harga saham akan turun mendekati harga Execution Price atau harga pelaksanaan. 3.1.1. Istilah-Istilah Penting dalam Right Issue Perlu difahami beberapa istilah penting yang sering muncul dalam aksi right issue. Istilah-istilah penting yang dimaksud antara lain adalah: 1) Saham Baru. Istilah saham baru dalam aksi right issue bukan berarti saham yang pertama kali dijual, melainkan saham yang dijual pada periode berikutnya, bisa yang kedua (second issued) atau ketiga (third issued). 2) Hak. Istilah hak berarti kebebasan investor pemilik saham lama untuk membeli atau tidak membeli saham baru pada right issue. 3) Exercise the Rights (penggunaan hak) adalah investor menggunakan hak tebusnya untuk membeli saham baru sesuai dengan term of rights yang sudah ditetapkan dengan demikian investor membutuhkan modal tambahan. 4) Let the Exercise Expired (tidak menggunakan hak) adalah apabila investor pemilik saham lama tidak menggunakan haknya untuk membeli saham baru hasil right issue, maka peluang itu akan hangus. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 35 5) Sell the Rights (penjualan hak) adalah jika investor tidak menggunakan haknya, baik dengan alasan tidak ingin menambah portofolio atau karena tidak memiliki modal tambahan, maka investor bisa menjual haknya tersebut. Dimana yang dijual adalah haknya saja, tidak termasuk saham. 6) Term of Rights (persyaratan pelaksanaan hak). Untuk dapat menggunakan hak membeli saham baru hasil right issue diperlukan persyaratan, yaitu harus memiliki saham lama pada batas tanggal cum date, kecuali investor tersebut adalah pembeli hak dari pemilik saham lama. 7) Market Price (harga pasar) adalah harga saham lama yang terjadi di bursa. 8) Execution Price / Subscription Price atau harga eksekusi adalah harga saham baru yang berasal dari pelaksanaan right issue, dimana harga ini berlaku bagi pemegang HMETD yang akan menebus haknya. Execution Price atau harga eksekusi biasanya lebih rendah dari market price, sebab apabila lebih tinggi maka tidak ada investor yang bersedia menggunakan haknya dan lebih memilih membeli saham lama di pasar sekunder. 9) Ex Rights Price atau harga teoritis saham right issue merupakan harga bersih, yaitu harga yang memperhitungkan total investasi yang ditanamkan di dalam pembelian saham lama dan saham baru. Harga ini diperoleh dengan menggunakan rumus: π»ππππ ππππππ‘ππ = (ππ × Σ ππβππ πΏπππ)+ (πΈπ × Σ ππβππ π΅πππ’) (Σ ππβππ πΏπππ+Σ ππβππ π΅πππ’) Dimana: MP = Market price EP = Execution price http://digilib.mercubuana.ac.id/ (3.1) 36 10) Harga Rights. Harga ini terjadi jika pemegang saham lama tidak menggunakan haknya, kemudian menjual hak tersebut kepada orang lain. Dalam hal ini harga rights adalah harga haknya saja tidak termasuk harga sahamnya. Harga rights dihitung dengan rumus dibawah ini: π»ππππ π ππβπ‘π = π»ππππ ππππππ‘ππ − πΈπ₯πππ’π‘πππ πππππ (3.2) 11) Underlying Stocks di dalam persyaratan pelaksanaan hak disebutkan bahwa untuk bisa membeli saham baru hasil right issue, investor harus memiliki saham lama. Saham lama inilah yang disebut underlying stocks. 12) Dillution Effect atau efek dilusi. Adalah dampak yang diakibatkan oleh meningkatnya jumlah saham yang beredar setelah dilaksanakan right issue. Dengan adanya kebijakan right issue maka jumlah saham yang beredar akan meningkat signifikan. Hal ini berakibat pada penurunan persentase kepemilikan absolut dari pemegang saham yang tidak menebus haknya. Sehingga menurunkan pula hak klaim terhadap keuntungan perusahaan. 3.1.2. Tujuan Right Issue Right issue dilaksanakan dengan tujuan memperoleh pendanaan atau tambahan modal, yang antara lain digunakan untuk: 1) Ekspansi atau pengembangan perusahaan atau untuk memperkuat struktur permodalan. Ini adalah alasan terbaik dalam aksi right issue. 2) Membayar utang yang jatuh tempo. Hal ini adalah alasan yang kurang baik dalam aksi right issue. 3) Bonus kepada manajemen atau karyawan perusahaan dalam bentuk saham, biasanya tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 37 4) Menambah kepemilikan saham/membeli saham-saham pada anak usahanya. 5) Menambah jumlah saham beredar di bursa juga untuk menambah likuiditas dan kapitalisasi saham yang bersangkutan. 6) Backdoor listing, adalah strategi yang dilakukan oleh perusahaan tertutup untuk go public dengan mengakuisisi ataupun bergabung (merger) dengan perusahaan terbuka. Perusahaan terbuka yang sudah go public tersebut melakukan akuisisi terhadap perusahaan yang sudah disiapkan melakukan backdoor listing. Untuk pembiayaan akuisisi itu perusahaan terbuka tadi akan melakukan penawaran saham terbatas (right issue) Dengan demikian, perusahaan tertutup tadi akan memperoleh dana segar dari masyarakat, sekaligus berubah status sebagai perusahaan publik. 3.1.3. Mekanisme Right Issue Mekanisme right issue atau HMETD diawali dengan emiten mengumumkan kepada publik mengenai rencana untuk HMETD tersebut melalui media koran dalam bentuk prospektus. Di dalam prospektus, hal-hal penting yang diumumkan antara lain: 1) Rencana penggunaan dana. Rencana penggunaan dana ini penting untuk diketahui karena jika dipakai untuk melunasi hutang, tentu saja manfaat bagi pemegang saham kurang maksimal. Perusahaan yang dalam masalah, dapat memakai right issue untuk membayar hutang-hutangnya terutama untuk perusahaan yang tidak mampu untuk meminjam uang dari lembaga keuangan. Perlu diwaspadai jika emiten bertujuan seperti ini harga saham pasca right issue berpotensi turun. Lain halnya jika dipakai untuk ekspansi karena potensi http://digilib.mercubuana.ac.id/ 38 pertumbuhan di masa mendatang akan lebih tinggi sehingga memberikan manfaat bagi pemegang saham baik dalam bentuk dividend atau capital gain. 2) Rasio right issue memberi informasi mengenai perbandingan jumlah saham lama yang mengandung HMETD dimana satu HMETD memperoleh hak untuk menebus berapa saham baru. Rasio ini berguna dalam menghitung ex right price saham setelah pelaksanaan right issue. 3) Tanggal pelaksanaan right issue. Tanggal pelaksanaan right issue penting diperhatikan karena menentukan pemegang saham mana yang berhak untuk mendapat right issue. Tanggal-tanggal penting tersebut adalah: a) Cum Date merupakan tanggal terakhir perdagangan saham HMETD. b) Ex Date yaitu tanggal dimana perdagangan saham tanpa HMETD. c) Tanggal perdagangan dan pelaksanaan HMETD. 3.2. Analisis Fundamental Analisis fundamental yang dilakukan pada penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan apakah kinerja keuangan PT. Adhi Karya (Persero) dalam kondisi bagus dan akan terus bertumbuh? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, digunakan metode analisis fundamental yang menerapkan tujuh kriteria sebagaimana dijabarkan di bawah ini: 3.2.1. Kriteria Pertama: Sejarah Peningkatan Pendapatan, Laba dan Arus Kas Meningkat Secara Konsisten Metode pertama untuk menentukan apakah PT. Adhi Karya (Persero) mampu meningkatkan labanya secara konsisten adalah dengan melihat sejarah kinerjanya di masa lalu. Jika PT. Adhi Karya (Persero) menunjukkan sejarah peningkatan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 39 penjualan dan laba secara konsisten setidaknya selama lima tahun terakhir, khususnya saat masa resesi, maka ada peluang besar PT. Adhi Karya (Persero) mampu terus mempertahankan kinerjanya. Demikian pula, jika laba PT. Adhi Karya (Persero) di masa lalu menunjukkan konsistensi, maka laba di masa depan akan lebih mudah diprediksi. Selain memastikan bahwa laba di masa lalu terus meningkat, juga harus dipastikan bahwa penjualannya juga meningkat seiring dengan peningkatan laba. Jika sebuah perusahaan menunjukkan laba yang meningkat dengan penjualan yang stagnan atau turun, hal ini menunjukkan kecenderungan bahwa perusahaan tersebut tidak berkinerja baik. Di samping kedua hal di atas, penting untuk dipastikan bahwa arus kas meningkat secara konsisten. Karena ada kemungkinan sebuah perusahaan menunjukkan penjualan dan laba yang meningkat tapi arus kasnya menurun. Hal ini dapat terjadi apabila perusahaan tersebut tidak efisien dalam menagih utang dan apabila ada perusahaan yang untung tapi terkendala dalam menyelesaikan piutangnya, maka hal ini dapat mengakibatkan kebangkrutan (Khoo, 2013). 3.2.2. Kriteria Kedua: Memiliki Keunggulan Kompetitif yang Berkelanjutan Meskipun PT. Adhi Karya (Persero) mungkin mampu meningkatkan labanya di masa lalu, namun tidak ada jaminan ia mampu mempertahankan atau tetap memperolehnya di masa depan. Pesaing dapat mengungguli, atau menyebabkan harga jatuh dan menekan PT. Adhi Karya (Persero) sehingga penjualan dan labanya menurun. Untuk unggul dalam persaingan, walaupun terjadi perang harga, maka harus memiliki keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Sehingga keunggulan kompetitif sebuah perusahaan dapat didefinisikan sebagai sebuah economic moat http://digilib.mercubuana.ac.id/ 40 (benteng ekonomi) yang melindungi laba masa depan perusahaan dari ancaman pesaing yang akan merebut pangsa pasar dan mengalahkannya dalam persaingan. Keunggulan kompetitif sebuah perusahaan diidentifikasi dari hal-hal berikut ini (Khoo, 2013): 1) Memiliki merek dagang yang kuat. 2) Memiliki hak paten dan rahasia penjualan. 3) Memiliki skala ekonomi raksasa. 4) Menjadi pemimpin pasar yang sangat sulit dikalahkan oleh pesaingnya dalam dekade berikutnya. 5) Biaya transfer yang mahal yang mempertahankan pelanggan. 6) Menjadi perusahaan monopoli dalam sebuah industri. 3.2.3. Kriteria Ketiga: Memilik Pendorong Pertumbuhan Di Masa Depan Apabila PT. Adhi Karya (Persero) telah memenuhi kedua kriteria di atas, tidak akan otomatis berarti dapat memiliki penjualan dan laba yang lebih tinggi di masa depan kecuali telah tersedia pasar potensial yang berkembang untuk produk dan jasa perusahaan yang akan dijual. Dengan demikian perusahaan harus memiliki rencana untuk menciptakan produk baru atau secara agresif menembus pangsa pasar baru sehingga pertumbuhan penjualan di masa depan dapat berkembang. Menurut Khoo (2013) beberapa hal dibawah termasuk pendorong pertumbuhan perusahaan, yaitu: 1) Pertumbuhan lini produk baru. 2) Inovasi produk terkini. 3) Aplikasi hak paten baru. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 41 4) Ekspansi dalam kapasitas. 5) Ekspansi dalam pasar atau pembangunan toko baru. Untuk mengetahui ada dan tidaknya pendorong pertumbuhan perusahaan dan potensi pasar, dapat dilakukan observasi terhadap dokumen-dokumen berikut: 1) Prospektus Perusahaan yang diterbitkan sebelum aksi korporasi. 2) Laporan Tahunan Perusahaan yang diterbitkan setahun sekali. 3) Laporan Analis. Pada laporan analis akan dilengkapi rangkuman tentang potensi pasar perusahaan dan rencana pertumbuhannya. Laporan analis biasanya juga meliputi proyeksi pendapatan dan arus kas di masa depan. 4) Hasil penelitian tentang proyeksi pertumbuhan jangka panjang. Penelitian ini bisa dilihat di situs-situs finance seperti www.reuters.com dan www.morningstars.com. Dari situs-situs tersebut dapat diobservasi apakah perusahaan yang dianalisis mampu bertumbuh setidaknya 10% per tahun sebagai ukuran perusahaan tersebut memiliki kemampuan dan pendorong pertumbuhan di masa depan. 3.2.4. Kriteria Keempat: Memiliki Utang yang Konsevatif Bagaimanapun, utang merupakan strategi yang baik untuk mengumpulkan uang dengan tujuan ekspansi. Tetapi apabila utang terlampau banyak akan dapat menyebabkan perusahaan bangkrut. Utang perusahaan harus bersifat konservatif dengan syarat dapat dengan mudah dibayar kembali dalam waktu tiga hingga empat tahun. Jadi ketentuannya adalah: Utang jangka panjang kurang dari tiga hingga empat kali laba bersih terkini setelah pajak (Khoo dan Lim, 2009). Kriterianya adalah: Utang Jangka Panjang ≤ (3 – 4) X Laba Bersih http://digilib.mercubuana.ac.id/ 42 3.2.5. Kriteria Kelima: Return On Equity (ROE) Harus Di Atas Rata-Rata Return on equity (ROE) menunjukkan seberapa besar laba yang dihasilkan dengan uang yang diinvestasikan oleh pemegang saham. ROE dihitung dari pembagian laba bersih dengan modal. Menurut Khoo (2013) ROE adalah angka yang sangat penting untuk diobservasi karena sebuah perusahaan yang menunjukkan ROE yang tinggi dan konsisten mengindikasikan bahwa: 1) Perusahaan meiliki keunggulan dalam kinerja keuangan. 2) Potensi pertumbuhan harga saham per tahun akan meningkat dikemudian hari. Umumnya, sebuah perusahaan yang memiliki ROE sebesar 12% sudah dianggap cukup baik. Namun jika perusahaan tersebut mampu menghasilkan ROE lebih dari 15% secara konsisten maka termasuk perusahaan yang di atas rata-rata. 3.2.6. Kriteria Keenam: Manajemen Perusahaan Terus Menahan / Membeli Saham Tersebut atau Manajemen yang Akuntabel dan Cakap dalam Melaksanakan Good Corporate Governance Faktor selanjutnya yang harus menjadi perhatian adalah apakah institusi keuangan, fund manager atau para direktur perusahaan terkait ikut membeli, menahan atau menjual saham perusahaan tersebut. Jika para pihak terkait membeli dalam jumlah besar saham tersebut, hal ini berarti mereka yakin bahwa mereka mendapatkan harga yang bagus di saat itu dan saham tersebut akan bertumbuh dan naik harganya (Khoo dan Lim, 2009). Di samping itu harus diteliti apakah manajemen PT. Adhi Karya (Persero) termasuk manajemen yang akuntabel dan cakap dalam melaksanakan Good Corporate Governance. Hal ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: 1) Apakah manajemen bertindak demi kepentingan para pemegang saham? http://digilib.mercubuana.ac.id/ 43 2) Apakah manajemen mengambil langkah-langkah yang akan memaksimumkan laba jangka panjang dan nilai para pemegang saham? 3.2.7. Kriteria Ketujuh: Tujuan Penggunaan Dana Right Issue untuk Ekspansi Faktor yang cukup penting diperhatikan, apabila menganalisis saham right issue adalah meneliti tujuan perolehan dana hasil penjualan saham tersebut. Informasi mengenai tujuan penggunaan dana dapat diketahui dari prospektus perusahaan. Secara umum tujuan penggunaan dana hasil penjualan saham right issue adalah: 1) Ekspansi perusahaan atau untuk memperkuat struktur permodalan. 2) Membayar utang yang jatuh tempo. 3) Bonus kepada manajemen atau karyawan perusahaan dalam bentuk saham. 4) Menambah kepemilikan/membeli saham-saham pada anak usahanya. 5) Menambah jumlah saham beredar di bursa. 6) Backdoor listing. Dari beberapa tujuan di atas, penggunaan dana hasil penjualan saham right issue untuk ekspansi atau pengembangan perusahaan dalam rangka untuk memperkuat struktur permodalan adalah yang terbaik. 3.3. Intrinsic Value Intrinsic value dapat disebut fair value atau true value adalah harga saham yang dianggap benar-benar mewakili performa suatu perusahaan. Oleh karena itu harga saham di bursa dapat lebih mahal atau lebih murah dari harga sebenarnya. Jika harga pasar suatu saham berada di bawah harga sebenarnya, maka saham http://digilib.mercubuana.ac.id/ 44 tersebut disebut undervalued. Sedangkan bila harga pasar berada di atas harga sebenarnya disebut overvalued. Calon investor biasanya menghitung intrinsic value saham untuk memutuskan strategi investasinya. Apabila nilai pasar lebih besar dari pada intrinsic value, maka saham tersebut dalam kondisi overvalued dan keputusan investasinya adalah saham tersebut layak jual, sedangkan jika nilai pasarnya lebih kecil daripada intrinsic value, maka saham tersebut dalam kondisi undervalued dan keputusan investasinya adalah saham tersebut layak dibeli. Menurut Tandelilin (2010) dalam penilaian saham dikenal adanya tiga jenis nilai yaitu nilai buku, nilai pasar dan nilai intrinsik saham. Nilai buku merupakan nilai yang dihitung berdasarkan jumlah ekuitas yang dimiliki perusahaan. Nilai pasar adalah nilai saham di pasar, yang ditunjukan oleh harga saham tersebut di bursa. Sedangkan nilai intrinsik adalah nilai saham yang sebenarnya atau yang seharusnya terjadi. Investor perlu mengetahui nilai tersebut sebagai informasi penting dalam kaitannya dengan pengambilan keputusan investasi yang tepat. Putra (2009), menulis bahwa analisis saham bertujuan untuk menafsir nilai saham kemudian membandingkannya dengan harga pasar saat ini (current market price). Intrinsic value menunjukkan present value arus kas yang diharapkan dari saham tersebut. Pedoman yang digunakan adalah sebagai berikut : 1) Intrinsic Value < Market Price adalah Overvalued 2) Intrinsic Value > Market Price adalah Undervalued 3) Intrinsic Value = Market Price adalah Fairvalue http://digilib.mercubuana.ac.id/ 45 Informasi tentang market price, investor dengan mudah dapat mengetahuinya secara langsung dan akurat dari bursa, sedangkan untuk menilai berapa intrinsic value) suatu saham maka diperlukan analisis. 3.3.1. Valuasi Saham Valuasi saham adalah suatu cara untuk menghitung intrinsic value saham. Menurut Damodaran (2006) terdapat tiga metode valuasi saham yang umumnya digunakan oleh para analis keuangan, yaitu: 1) Relative Valuation Metode ini melakukan penilaian aset perusahaan dengan cara membandingkan nilai aset lain yang sejenis baik itu dari sisi laba bersih (price/earning ratio), arus kas (price/cash flow ratio), nilai buku (price/book value ratio), dan penjualan (price/sales ratio). Penggunaan metode ini dapat dilakukan bila terdapat aset sejenis di pasar yang bisa dijadikan sebagai pembandingnya. 2) Contingent Claim Valuation Metode yang menggunakan option pricing model dalam menilai aset/aktiva suatu perusahaan yang memiliki karakter seperti option. Aset yang dimaksudkan misalnya paten atau suatu aset yang dalam tahap pengembangan, sehingga nilainya di masa mendatang bisa lebih tinggi atau lebih rendah. Penerapan metode ini untuk menghindari kondisi understate/overstate atas aset yang divaluasi. 3) Discounted Cash Flow (DCF) Valuation Merupakan metode valuasi yang paling umum digunakan di dunia. Damodaran (2006) menyebutkan bahwa dalam DCF nilai suatu aset adalah nilai saat ini dari arus kas yang akan dihasilkan oleh aset tersebut di masa mendatang yang didiskontokan dengan tingkat suku bunga yang mencerminkan risiko dari aset http://digilib.mercubuana.ac.id/ 46 tersebut. Hal ini dilakukan karena nilai arus kas yang diterima di masa mendatang berbeda dengan masa sekarang akibat perubahan nilai mata uang. Menurut Damodaran (2006), metode DCF ini digunakan untuk menilai ekuitas dalam bisnis, menilai perusahaan secara keseluruhan, dan untuk menilai bagian kecil dari perusahaan sehingga ada beberapa metode diskonto yang sering kali digunakan yaitu Free Cash Flow to Firm (FCFF) dan Free Cash Flow to Equity (FCFE). Valuasi dengan menggunakan FCFF, mengukur nilai arus kas perusahaan termasuk klaim dalam perusahaan tersebut, seperti bondholder, kreditur dan pemegang saham preferen, sedangkan valuasi dengan metode FCFE lebih spesifik hanya mengukur dari sisi ekuitas perusahaan untuk kepentingan pemegang saham saja. Rumus dasar dari discounted cash flow (DCF) Valuation menurut Damodaran (2006) adalah sebagai berikut: π‘=π ππππ’π = ∑ π‘=1 πΈπ₯ππππ‘ππ πΆππ β πΉπππ€π‘ ππππππππ ππππ’π + (1 + π)π‘ (1 + π)π (3.3) Dimana: Expected Cash Flow dimodelkan sebagai Free Cash Flow to Equity (FCFE) yang bertumbuh sampai periode ‘n’ r = Cost of equity, dimodelkan dengan Capital Asset Pricing Model (CAPM). 3.3.2. Free Cash Flow to Equity (FCFE) Dalam penyusunan tesis ini digunakan metode Free Cash Flow to Equity (FCFE). Hal ini didasarkan karena metode FCFE lebih spesifik dibandingkan FCFF, dimana menurut Damodaran (2006) FCFE adalah besarnya kas yang dapat dibayarkan oleh suatu perusahaan kepada pemegang saham setelah dikurangi http://digilib.mercubuana.ac.id/ 47 semua pengeluaran, reinvestment dan pembayaran utang. FCFE dihitung dengan mengurangi laba bersih dengan kebutuhan investasi dan menjumlahkan semua transaksi non-kas seperti depresiasi, kemudian dikurangi modal kerja non-kas dan ditambahkan dengan kas bersih dari penerbitan utang. Dengan kata lain FCFE adalah cash flow potensial dividend yang akan diterima oleh pemegang saham. Terdapat 2 pendekatan untuk mengitung Free Cash Flow to Equity (FCFE) sebagaima dijelaskan di bawah ini: 1) FCFE dengan Pendekatan Equity Earnings (Damodaran, 2006) : (3.4) πΉπΆπΉπΈ = ππΌ − πππ‘ πΆππππ₯ − βππΆππΆ + πππ‘ π·πππ‘ Dimana: NI = Net Income Net CapEx = (Capital Expenditure – Depreciation) βNCWC = Change in Non Cash Working Capital Net Debt = (New Debt Issued – Debt Repayment) 2) FCFE dengan Pendekatan Operating Income (Damodaran, 2006): πΉπΆπΉπΈ = πΈπ΅πΌπ (1 − πππ₯ πππ‘π) − πΌππ‘ππππ π‘ πΈπ₯π (1 − πππ₯ πππ‘π) − πππ‘ πΆπππΈπ₯ − (3.5) βππΆππΆ + πππ‘ π·πππ‘ Dimana: EBIT = Earning Before Interest and Tax Net CapEx = (Capital Expenditure – Depreciation) βNCWC = Change in Non Cash Working Capital Net Debt = (New Debt Issued – Debt Repayment) http://digilib.mercubuana.ac.id/ 48 3.3.3. Discounted Free Cash Flow to Equity Terdapat dua model yang menjadi dasar dalam menghitung value of equity atau menghitung nilai diskonto FCFE, yaitu Constant Growth FCFE Model dan Two Stage Discounted FCFE Model. Berikut penjelasan dari keduanya: 1) Constant Growth FCFE Model. Model ini mengasumsikan bahwa arus kas yang akan diterima oleh pemegang saham akan terus tumbuh selamanya dengan tingkat pertumbuhan yang tetap. Rumus Constant Growth FCFE Model adalah sebagai berikut (Damodaran, 2006): ππππ’π ππ πΈππ’ππ‘π¦ = πΉπΆπΉπΈπ‘ πΎπ − π (3.6) Dimana: πΉπΆπΉπΈπ‘ = Free Cash Flow to Equity periode t πΎπ = Cost of Equity π = growth rate 2) Two Stage Discounted FCFE Model Model ini mengasumsikan bahwa arus kas yang diterima oleh pemegang saham akan tumbuh dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi selama periode tertentu dan kemudian tingkat pertumbuhan tersebut akan turun dan menjadi konstan untuk selama-lamanya. Rumus Two Stage Discounted FCFE Model adalah sebagai berikut (Damodaran, 2006): π‘=π ππππ’π ππ πΈππ’ππ‘π¦ = ∑ π‘=1 πΉπΆπΉπΈ ππ + (1 + πΎπ )π‘ (1 + πΎπ )π Dimana: πΉπΆπΉπΈ = Free Cash Flow to Equity http://digilib.mercubuana.ac.id/ (3.7) 49 ππ = Terminal Value πΎπ = Cost of Equity Terminal value dihitung mengunakan constant growth model melalui persamaan berikut (Damodaran, 2006): ππ = πΉπΆπΉπΈπ+1 π − ππ (3.8) Dimana: r - ππ = Cost of equity pada stble growth r = Cost of equity ππ = Tingkat pertumbuhan setelah terminal value n = Periode 3.3.4. Expected Growth Rate Dalam menghitung proyeksi nilai FCFE ke masa depan, tentunya dibutuhkan estimasi nilai pertumbuhan (growth rate) pada periode analisis tersebut. Menurut Damodaran (2006) estimasi tingkat pertumbuhan di masa depan tersebut dapat dihitung dengan 2 (dua) pendekatan. Pendekatan yang pertama adalah equity earnings, digunakan untuk menganalisis perusahaan yang senantiasa memberikan dividend kepada para pemegang sahamnya. Pendekatan yang kedua adalah operating income, digunakan untuk menganalisis perusahaan yang tidak teratur, jarang atau tidak memberikan dividend kepada pemegang sahamnya. 1) Expected Growth Rate dengan Metode Equity Earnings : Dari Gambar 3.1. dibawah ini, dapat diketahui bahwa estimasi expected growth rate FCFE dengan pendekatan equity earnings dapat digunakan untuk menganalisis http://digilib.mercubuana.ac.id/ 50 perusahaan yang senantiasa memberikan dividend kepada para pemegang sahamnya. Metode ini digunakan apabila sudah diketahui berapa nilai Dividend Payout Ratio-nya (DPR). Selanjutnya, dilihat apakah Return On Equity (ROE) perusahaan stabil atau tidak, sehingga dapat diketahui dengan rumus manakah akan digunakan untuk mencari nilai growth rate tersebut. Expected Growth Rate Equity Earnings Stable ROE ROE x RR Changing ROE (ROE x RR) + {(ROEt - ROEt-1)/ (ROEt-1)} Gambar 3.1. Expected Growth Rate dengan Metode Equity Earnings Sumber: Damodaran (2006) 2) Expected Growth Rate dengan Metode Operating Income Dari Gambar 3.2. di bawah ini, Damodaran (2006) dapat diketahui bahwa estimasi expected growth rate FCFE dengan pendekatan operating income dapat digunakan untuk menganalisis perusahaan yang tidak teratur, jarang dan atau tidak memberikan dividend kepada para pemegang sahamnya. Terdapat perbedaan dalam http://digilib.mercubuana.ac.id/ 51 menentukan rumus untuk mencari growth rate dengan pendekatan operating income sebagaimana dapat dilihat pada gambar di bawah ini: Expected Growth Rate Operating Income Stable ROC ROC x RR Changing ROC ROC x RR + {(ROCt - ROCt-1)/ROCt-1} Laba Perusahaan Negatif (Rugi) 1. Revenue Growth 2. Operating Margins 3. Reinvestment Needs Gambar 3.2. Expected Growth Rate dengan Metode Operating Income Sumber: Damodaran (2006) Langkah pertama dilihat dahulu apakah pada laporan keuangan perusahaan terdapat laba negatif (rugi) atau tidak. Apabila tidak terdapat laba negatif (rugi) maka langkah kedua adalah melihat Return On Capital (ROC) perusahaan stabil atau tidak. Kondisi ini akan menentukan rumus yang akan digunakan dalam menghitung expected growth rate FCFE perusahaan tersebut, dimana masing-masing rumus merupakan perkalian antara ROC dan faktor Reinvestment Rate (RR) yang belum diketahui DPR-nya. Sedangkan rumus Return On Capital (ROC) dan Reinvestment Rate (RR) adalah sebagai berikut (Damodaran, 2006): http://digilib.mercubuana.ac.id/ 52 π ππΆ = π π = πΈπ΅πΌπ (1 − π‘) π΅π ππ π·πππ‘ + π΅π ππ πΈππ’ππ‘π¦ (πππ‘ πΆππππ₯ + πΆβππππ ππ πππππππ πΆππππ‘ππ) πΈπ΅πΌπ (1 − π‘) (3.9) (3.10) 3.3.5. Discount Rate, Cost of Equity dan Capital Asset Pricing Model. Estimasi discount rate atau faktor diskonto merupakan salah satu tahap yang penting dalam Discounted Cash Flow Valuation. Faktor ini menggambarkan risiko dari arus kas di masa depan yang akan didiskontokan. Karena itu penentuan discount rate harus sesuai dengan jenis kas masa depan yang akan didiskon ke nilai sekarang. Apabila melakukan valuasi terhadap arus kas masa depan untuk perusahaan atau Free Cash Flow to Firm (FCFF) maka faktor diskonto yang digunakan adalah cost of capital yaitu imbal balik minimal yang diharapkan setelah dilakukan pendanaan untuk investasi perusahaan atau disebut juga Weighted Average Cost of Capital (WACC) dimana dalam parameter WACC terdapat komponen cost of equity dan cost of debt. Sedangkan jika melakukan valuasi terhadap arus kas masa depan untuk ekuitas atau Free Cash Flow to Equity (FCFE), maka faktor diskonto yang digunakan adalah cost of equity. Cost of equity (Ke) adalah tingkat pengembalian yang diinginkan oleh investor dalam melakukan investasi pada ekuitas di suatu perusahaan. Model ini menerangkan hubungan antara expected return dari suatu aset investasi dengan aset bebas risiko dan risiko premium aset itu sendiri. Menurut Damodaran (2006) terdapat dua pendekatan utama dalam menghitung cost of equity yaitu dengan cara menggunakan risk and return model dan dividend growth model. Secara umum cost http://digilib.mercubuana.ac.id/ 53 of equity dengan risk and return model dapat diperoleh berdasarkan rumus Capital Asset Pricing Model (CAPM) sebagai berikut (Damodaran, 2006): πΎπ = π π + π½(π π − π π ) (3.11) Dimana: Ke = Cost of Equity (Expected return dari aset) Rf = Risk-free rate Rm = Expected return on market index Rm – Rf = Market risk premium β = Systematic risk of equity Ada beberapa hal penting dalam menggunakan rumus CAPM, yaitu bagaimana menilai market risk premium yang akan digunakan dalam perhitungan expected return on market index, besarnya risk free rate dan nilai beta yang tepat. Berikut ini adalah penjelasannya: 1) Risk Free Rate (Rf) Menurut Damodaran (2006) investasi yang dapat dikategorikan risk free adalah apabila tingkat pengembalian investasi tersebut sudah dapat diketahui dengan pasti, dimana tingkat pengembalian yang aktual sesuai dengan tingkat pengembalian yang diharapkan. Hal ini dapat terjadi jika memenuhi dua syarat, yaitu: Pertama adalah aset tersebut tidak boleh memiliki risiko gagal bayar dan yang kedua adalah aset tersebut tidak memiliki risiko reinvestasi dalam jangka waktu yang cukup lama. Surat berharga yang biasanya dianggap risk free adalah surat berharga yang diterbitkan oleh negara, hal tersebut dikarenakan walau dalam kondisi krisis sekalipun, negara dapat saja mencetak uang untuk melunasi kewajiban mereka. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 54 Contoh surat berharga negara di antaranya adalah Surat Utang Negara (SUN) dan Obligasi Negara Republik Indonesia. 2) Market Risk Premium Market Risk premium menurut Damodaran (2006) merupakan tingkat pengembalian suatu saham di atas tingkat pengembalian risk free investment. Perhitungan market risk premium dapat bervariasi, namun yang umum diterapkan adalah dengan pendekatan average expected return, yaitu dilakukan dengan data historis, dimana market risk premium didefinisikan sebagai selisih antara tingkat pengembalian rata-rata atas IHSG (dalam hal ini adalah expected return on market index, Rm) dengan tingkat pengembalian rata-rata atas risk free investment dalam beberapa periode waktu. Dalam menentukan market risk premium dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tingkat variance dalam ekonomi suatu negara, situasi politik serta struktur pasar. Market risk premium pada emerging market dapat saja lebih tinggi, karena itu dengan pertumbuhan yang lebih tinggi, tentunya lebih volatile sehingga mengakibatkan investasi berisiko lebih tinggi. Selain itu pada negara dengan instabilitas politik yang tinggi maka kecenderungan untuk instabilitas pada ekonomi juga lebih tinggi sehingga dapat berakibat pada semakin besar risiko perekonomian negara tersebut. Selain itu, jika perusahaan yang bermain di pasar modal merupakan perusahaan yang besar, terdiversifikasi dan stabil, maka market risk premium suatu negara juga akan semakin kecil. 3) Systematic Risk of Equity Systematic risk of equity atau beta (β) merupakan nilai sensitivitas sebuah surat berharga, sehingga dapat menunjukkan risiko dalam suatu invetasi. Menurut Damodaran (2006), dalam menghitung nilai beta ada beberapa cara, yaitu dengan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 55 menggunakan data historis, estimasi berdasarkan fundamental perusahaan dan/atau dengan menggunakan data akunting. Estimasi nilai beta dengan menggunakan data historis adalah dengan cara meregresi return individual saham dengan return pasar, sedangkan estimasi beta berdasarkan fundamental dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : a) Jenis usaha perusahaan. Karena beta mengukur risiko perusahaan secara relatif dengan indeks pasar, maka semakin tinggi risiko suatu jenis usaha terhadap kondisi pasar, maka semakin tinggi pula nilai beta-nya, begitu pula sebaliknya. b) Operating Leverage perusahaan. Adalah mengukur perbandingan antara biaya tetap terhadap total biaya produksi. Semakin besar nilai operating leverage, maka akan semakin besar pula variabilitas laba perusahaan, sehingga menyebabkan beta menjadi semakin besar dengan asumsi faktor-faktor lainnya dianggap sama. c) Financial Leverage perusahaan. Yaitu hubungan antara risiko perusahaan dengan komposisi utang terhadap modal, sehingga semakin tinggi financial leverage-nya, maka akan semakin besar pula nilai beta dari perusahaan tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembayaran bunga utang akan meningkatkan variance dari pendapatan bersih, sehingga jika financial leverage-nya lebih tinggi, maka pendapatan akan meningkat selama kondisi ekonomi baik dan pendapatan akan turun selama kondisi ekonomi buruk. Selain itu, dalam menghitung koefisien beta, dibedakan apakah untuk perusahaan terbuka atau tertutup. Penjelasan keduanya dapat diuraikan sebagai berikut: a) Untuk perusahaan terbuka koefisien beta dihitung dengan cara melakukan regresi atas data historis berupa pendapatan (return) pasar di Indonesia, yaitu http://digilib.mercubuana.ac.id/ 56 IHSG, terhadap pendapatan return individual saham. Sehingga didapatkan persamaan Ri = πΌ + ο’ (Rm). Pemilihan beta dapat dipengaruhi oleh periode observasi, dimana semakin panjang periode observasi, maka data yang diperoleh semakin besar dan nilai beta juga akan semakin baik, namun karakteritik risiko yang ada juga dapat berubah-ubah karena jika dalam periode tersebut perusahaan banyak melakukan corporate action. b) Untuk perusahaan private (tertutup) penentuan koefisien beta menurut Tandelilin (2010) terdapat dua pendekatan, yaitu beta akuntansi dan beta yang disesuaikan dengan teknik Hamada. Berikut penjelasannya: (i) Beta akuntansi, merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk perusahaan private dengan cara menggunakan Return On Equity industri sebagai proksi return pasar, dengan rumus sebagai berikut (Damodaran, 2006): π ππΈπ = πΌ + π½π . π π + π (3.12) Dimana: π ππΈπ = Return on equity perusahaan privat individual. RM = Return on equity pasar (diproksi dari IHSG atau LQ 45) (ii) Beta dengan teknik Hamada dihitung dengan pendekatan berdasarkan unsurunsur fundamentalnya. Langkah pertama adalah mencari unlevered beta perusahaan yang sejenis. Kemudian unlevered beta tersebut kemudian diubah menjadi levered beta dengan rumus Hamada’s Equation sebagai berikut (Damodaran, 2006). π½πΏ = π½π { 1 + (1 − π‘) π· } πΈ http://digilib.mercubuana.ac.id/ (3.13) 57 Dimana: π½πΏ = Beta perusahaan yang memiliki leverage π½π = Beta perusahaan yang tidak memiliki leverage t = tingkat pajak perusahaan π· = rasio utang terhadap ekuitas πΈ 3.4. Analisis Teknikal Analisis teknikal saham adalah metode yang untuk menganalisis pola dan grafik harga saham yang terjadi berulang kali dimasa lalu (Bodie at. al, 2006). Analisis teknikal juga dapat digunakan sebagai teknik untuk memprediksi arah pergerakan harga saham berdasarkan data historis (Tandelilin, 2010) Definisi lain dari analisis teknikal adalah suatu metode evaluasi pergerakan harga saham, komoditas, forex, atau jenis sekuritas lainnya di masa lampau dengan menggunakan bantuan grafik beserta indikator-indikator teknikal untuk meramalkan pergerakan harga sekuritas di masa yang akan datang (Ong, 2010) Variabel yang digunakan pada analisis teknikal adalah data harga, volume transaksi dan indeks harga saham secara individual maupun gabungan. Pada prinsipnya analisis teknikal mencakup tiga aspek berikut ini: 1) Aksi pasar mempunyai banyak arti, konsekuensinya bahwa harga saham pada saat ini mencerminkan segala sesuatu yang diketahui oleh pelaku pasar dan akan berpengaruh pada pasar dan berakibat pada harga saham. Misalnya faktor makro ekonomi, faktor politik dan sentimen harga. Analis teknikal hanya berkonsentrasi pada perubahan harga saham, bukan pada faktor-faktor yang menyebabkan pergerakan harga saham tersebut. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 58 2) Eksistensi pola. Analisis teknikal digunakan untuk mengidentifikasi pola-pola yang dapat dikenali dan dipercaya. Banyak pola yang mampu memprediksi arah pergerakan saham dan pola tersebut selalu menggunakan basis yang konsisten 3) Sejarah selalu berulang. Pola-pola grafik yang telah terjadi bahkan untuk jangka waktu yang sangat lamapun akan terulang kembali di masa yang akan datang sebagai cerminan psikologi manusia. Bagaimanapun juga bursa adalah pertemuan antara pembeli dan penjual sehingga selalu ada permintaan dan penawaran yang mempengaruhi harga saham. Aplikasi analisis teknikal didukung oleh 2 jenis indikator, yaitu Trendline Indicator dan Mometum Indicator atau Oscillator yang dapat dijadikan panduan dalam memprediksi harga dan trend saham melalui grafik yang telah terbentuk, sehingga para pelaku pasar mendapatkan suatu indikasi dan sinyal negatif, positif dan netral. Trendline Indicator dapat digunakan ketika market sedang trending dan memiliki kegunaan utama untuk mengetahui trend yang sedang berlangsung pada periode tertentu, di samping itu indikator ini juga dapat digunakan untuk mengetahui titik support dan resistance. Termasuk jenis trendline indicator di antaranya adalah: Moving Average, Bollinger Band dan Price Channels Index dan lain lain. Sedangkan Mometum Indicator atau Oscillator digunakan sebagai alat pengukur kekuatan trend pada suatu periode tertentu. Indikator ini tidak dapat menunjukkan apakah trend sedang naik atau turun, tetapi hanya mengukur seberapa kuat atau lemah trend yang terjadi. Sehingga dapat digunakan pada saat market non trending. Termasuk jenis Oscillator, di antaranya adalah: Stochastic, Moving Average Convergence Divergence (MACD), Relative Strength Index (RSI), Average Directional Index (ADX). http://digilib.mercubuana.ac.id/ 59 3.4.1. Trendline Trendline adalah garis yang menghubungkan dua buah titik atau lebih dari harga saham yang menunjukkan kecenderungan (trend) pergerakan harga saham. Ada tiga macam trendline, yaitu: Uptrend, dibuat dengan menghubungkan dua buah titik support (batas bawah). Downtrend, dibuat dengan menghubungkan dua buah titik resistance (batas atas). Sideways trend, yaitu garis mendatar yang menghubungkan dua buah titik harga yang sedang dalam kondisi konsolidasi. 3.4.2. Support and Resistance Lines Gambar 3.3. Support and Resistance Line Sumber: ChartNexus dan Olahan Penulis (2016) Support and resistance lines merupakan salah satu unsur penting dalam analisis teknikal dan dasar untuk mengetahui hubungan trend yang telah terjadi http://digilib.mercubuana.ac.id/ 60 dengan pola keberlanjutan atau pola pembalikan dari trend tersebut. Pada prakteknya support dan resistance merupakan momentum dimana kekuatan penawaran/penjualan dan permintaan/pembelian bertemu. Support adalah suatu level pada grafik harga saham, dimana permintaan atau minat beli cukup kuat dibanding tekanan jual, sehingga harga tidak turun dibawah level ini. Pada prakteknya, saat harga mengalami penurunan dan menjadi lebih murah, maka para buyer cenderung membeli dan seller menjadi berkurang, sehingga ketika harga mencapai level support, diyakini bahwa akan terjadi kondisi dimana permintaan/pembelian lebih besar dari penawaran/ penjualan sehingga dapat mencegah harga jatuh di bawah level support. Sedangkan Resistance adalah kebalikan dari support, dimana penawaran atau minat jual lebih kuat dibanding hasrat beli dan akibatnya harga pasar tidak akan melebihi level ini. Pada prakteknya di pasar para seller lebih banyak dan cenderung untuk menjual dan buyyer semakin berkurang. Pada saat harga mencapai level resistance, diyakini bahwa supply akan mengatasi demand sedemikian sehingga mencegah harga naik di atas resistance. 3.4.3. Moving Average Moving Average (MA) adalah salah satu Trendline Indicator yang digunakan untuk mengetahui trend yang sedang berlangsung pada periode tertentu dan memberi prediksi arah pergerakan trend. Di samping itu indikator ini juga dapat digunakan untuk mengetahui titik support dan resistance serta menemukan sinyal jual ataupun sinyal beli. Moving Average dihitung dengan menjumlahkan data seri dari harga penutupan saham (closing price) dalam periode tertentu lalu dibagi http://digilib.mercubuana.ac.id/ 61 dengan angka yang dijadikan periodenya. Periode moving average dapat disesuaikan dengan kebutuhan analis. Moving Average terdiri dari 3 macam, yaitu: 1) Simple Moving Average (SMA) Adalah rata-rata bergerak sederhana, dihitung dengan menjumlahkan harga saham selama “n” periode kemudian membaginya dengan “n”. Rumusnya: πππ΄π = ( π1 + π2 … + ππ ) π (3.14) Dimana: πππ΄π : Rata-rata bergerak sederhana n periode π1 … ππ : Harga saham pada hari ke-1 sampai hari ke-n n : Periode yang diamati 2) Weighted Moving Average (WMA) Adalah rata-rata bergerak tertimbang, dihitung dengan mengalikan harga pada “n” hari yang lalu dengan bobot 1, kemudian ditambah dengan perkalian harga pada n -1 hari yang lalu dengan bobot 2 dan seterusnya, kemudian dibagi dengan penjumlahan 1 + 2 +....+ n periode pengamatan. Rumusnya: πππ΄π = ( π1 × 1 + π2 × 2 + β― + ππ × π ) (1 + 2 + β― + π ) (3.15) Dimana: πππ΄π : Rata-rata bergerak tertimbang n periode π1 … ππ : Harga saham pada hari ke-1 sampai hari ke-n 3) Exponential Moving Average (EMA) EMA merupakan penyempurnaan dari metode WMA. Sebagaimana diketahui, pembobotan WMA merupakan penyebab yang mengakibatkan terjadinya http://digilib.mercubuana.ac.id/ 62 keterlambatan sinyal perubahan trend. Pemberian bobot pada EMA sama seperti pada WMA, juga melibatkan periode. Hanya saja perbedaannya jika pada WMA semakin panjang periode, maka bobot yang digunakan semakin besar, sedangkan pada EMA terjadi sebaliknya yaitu semakin panjang periode yang dipakai maka semakin kecil pembobotan nilai terakhir. 3.4.4. Moving Average Crossovers Adalah suatu keadaan dimana garis moving average periode pendek memotong / menyilang ke atas moving average periode lebih panjang. Dan kedua garis moving average tersebut sedang berada dalam trend mengarah atau mulai mengarah ke atas. Pada kondisi ini diprediksi merupakan sinyal beli. Gambar 3.4. Moving Averages Crossovers Antara MA20 dan MA50 Sumber: ChartNexus dan Olahan Penulis (2016) http://digilib.mercubuana.ac.id/ 63 3.4.5. Stochastic Indikator stochastic merupakan salah satu indikator momentum yang dapat mengidentifikasi titik ekstrem oversold/overbought (titik jenuh jual dan jenuh beli) yang memicu uptrend dan downtrend yang berguna untuk titik masuk dan keluar pasar. Titik ekstrim ini merupakan sinyal akan adanya perubahan harga. Namun sinyal jual dan beli tersebut membutuhkan konfirmasi terhadap saham dan indikator pendukung lainnya. Gambar 3.5. Indikator Stochastic Sumber: ChartNexus dan Olahan Penulis (2016) 3.4.6. Breakout Breakout adalah sinyal beli saham ketika grafik harga saham menembus ke atas garis resistance yang kuat setelah sebelumnya berada dalam pola konsolidasi. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 64 Posisi breakout dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan posisi buy. Dalam menetapkan apakah grafik harga saham terjadi breakout atau hanya terjadi breakout palsu, dibutuhkan suatu kecermatan tersendiri sebagaimana akan dijelaskan pada bab lima. Gambar 3.6. Breakout dan Entry Buy Point Sumber: ChartNexus dan Olahan Penulis (2016) 3.5. Penelitian Terdahulu Hauwtan (2010) dalam penelitian yang bertujuan untuk menentukan intrinsic value dan perkiraan harga yang tepat untuk membeli dan menjual saham PT. PP London Sumatra Indonesia Tbk. menggunakan analisis fundamental dan teknikal, dimana untuk analisis fundamental dilakukan dengan top-down analysis, yang diawali dengan analisis ekonomi makro, analisis sektor industri dan yang terakhir analisis perusahaan itu sendiri, untuk menilai bagaimana kinerja perusahaan dan prospeknya di masa depan termasuk memprediksi nilai intrinsik perusahaan dengan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 65 menggunakan metode analisis Discounted Cash Flow dengan pendekatan Free Cash Flow to The Firm. Hasil dari analisa ini menunjukkan bahwa nilai intrinsik dari saham PT. PP London Sumatra Indonesia Tbk. undervalued terhadap intrinsic value. Hal tersebut diperkuat oleh hasil analisis teknikal dengan menggunakan fibonnaci retracement dan fibonnaci extention. Dengan hasil perhitungan analisis fundamental dan teknikal tersebut, maka disarankan investor untuk melakukan buy untuk saham tersebut pada level harga Rp7.500,- dan menjual kembali pada level harga Rp9.224,- Sementara harga pasar disaat tersebut adalah Rp 7.400,Mangatur (2010) dalam penerapan analisis fundamental dan teknikal pada penentuan nilai intrinsik harga saham PT. Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. Dimana pada penerapan analisis fundamental dengan pendekatan top-down yaitu analisis yang dimulai dari kondisi ekonomi makro kemudian analisis industri atau sektor perusahaan sampai terakhir analisis kinerja keuangan perusahaan itu sendiri. Dari analisis kuantitatif untuk memprediksi intrinsic value saham yang menggunakan metode Discounted Cash Flow (DCF) dengan Free Cash Flow to the Firm (FCFF) diperoleh nilai saham PGAS adalah Rp 4.725,- Kemudian dari analisis teknikal diketahui bahwa saham ini sedang dalam kondisi uptrend dengan target harga Rp 4.400 – Rp 4.800,- Dengan demikian, bila dibandingkan dengan kondisi harga saham PGAS di market saat analisis dilakukan, yaitu Rp 3.850,adalah undervalued sementara kondisi trendline nya adalah bullish. Maka penulis memberi rekomendasi buy atas saham PGAS. Gardner et al. (2010) dalam Journal of Business Case Studies yang berjudul Calculating the Beta Coefficient and Required Rate of Return for Coca-Cola menunjukkan bagaimana metode perhitungan Required Rate of Return http://digilib.mercubuana.ac.id/ 66 menggunakan teori portofolio modern dengan data download dari internet. Dalam jurnal ini ditunjukkan bagaimana menghitung return bulanan indeks S&P 500 dan return Coca-Cola, dimana datanya digunakan kembali untuk menghitung koefisien beta dan Required Rate of Return . Di samping itu dalam jurnal ini ditunjukkan bagaimana memvalidasi data indeks pasar dan company return, kemudian ditunjukkan bagaimana membuat characteristic line Coca-Cola dan menggunakan garis tersebut untuk memeriksa apakah hasil regresi telah sesuai. Harper et al. (2010) menulis dalam Journal of Business Case Studies yang berjudul Using Hyperlinks to Create a Lecture on Calculating Beta and the Required Rate of Return for Dow Chemical Company. Pada jurnal ini diperlihatkan bagaimana cara menghitung koefisien beta untuk perusahaan Dow Chemical Company dengan menggunakan market index S&P500. Paper ini menuntun bagaimana cara memperoleh data Dow Chemical dan data Indeks S&P500, cara menghitung monthly return dan bagaimana meregresi data tersebut untuk memperoleh nilai beta. Baik data Dow Chemical maupun S&P500 selama 50 bulan di download dari Yahoo! Finance kemudian diolah dengan Excel Worksheet untuk menghitung monthly returns, kemudian di-regres dengan S&P500 index return sebagai independent variable sedangkan Dow Chemical returns sebagai dependent variable. Sehgal, Sanjay and Asheesh Pandey (2010) dalam Asian Journal of Finance & Accounting. Vol.2. No.1 yang berjudul “Equity Valuation Using Price Multiples: A Comparative Study for BRICKS”. Melakukan evaluasi terhadap efektifitas tiga value drivers, yaitu Earning per Share, Price to Book Value dan Discounted Cash flows untuk menghitung perkiraan harga wajar saham berdasarkan dua kriteria, http://digilib.mercubuana.ac.id/ 67 yaitu: Root Mean Squared Error dan Thail Inequality Coefficient terhadap datadata tahun 1993 -2007 pada negara BRICKS (Brazil, Rusia, India, China dan South Korea). Analisis dilakukan dalam tiga fase, dalam fase pertama ditemukan bahwa price to book value adalah yang terbaik untuk India, China dan Korea Selatan, sementara Earning per Share menghasilkan penilaian terbaik untuk nilai ekuitas dalam kasus Brazil dan Korea Selatan. Pada tahap berikutnya diperoleh bahwa kombinasi antara ketiga drivers tidak signifikan meningkatkan proyeksi harga dibandingkan dilakukan secara mandiri. Gardner et al. (2011) dalam jurnal yang berjudul “Using Accounting Information for Financial Planning and Forecasting: An Application of the Sustainable Growth Model Using of Coca-Cola” Mengangkat sebuah contoh kasus untuk memprediksi sustainable growth perusahaan dengan menggunakan analisis Dupont. Keunggulan dari analisis Dupont adalah memudahkan analisis keuangan mengetahui secara sekaligus berbagai rasio yang mendukung perhitungan ROE, di antaranya Net Profit Margin (NPM), Total Asset Turnover (TAT) dan Equity Multiplier (EM). Dalam jurnal ini Sistem Dupont dikembangkan penggunaannya dengan mengalikan ROE dan Earning Retention Rate (ERR) untuk memperoleh sustainable growth dimana tingkat pertumbuhan yang diperoleh merupakan level tertinggi yang mampu dicaapai perusahaan dengan hanya menggunakan pertumbuhan penjualan dan dana internal saja. Imanuel (2011) melakukan kajian penilaian harga terhadap saham subsektor perbankan kelompok LQ45 menggunakan analisis teknikal dan fundamental periode Februari 2010 - Januari 2011 dengan tujuan membandingkan pergerakan harga saham perbankan yang terdaftar dalam indeks LQ45 menggunakan analisis http://digilib.mercubuana.ac.id/ 68 teknikal, menggunakan analisis fundamental untuk melihat kondisi emiten perbankan, membandingkan nilai intrinsik saham perusahaan-perusahaan perbankan periode Februari 2010 - Januari 2011 yang terdaftar dalam indeks LQ45 dengan menggunakan analisis fundamental. Hasil penelitian, pada triwulan I tahun 2010 kelima emiten kecuali bank Danamon mengalami uptrend, dimana saham bank Danamon ketika itu mengalami trend yang cenderung mendatar atau sideways. Pada triwulan II tahun 2010 saham Bank BCA, BNI dan Danamon berada dalam kondisi mendatar sedangkan saham BRI dan Mandiri mengalami kondisi uptrend. Pada triwulan III tahun 2010 kondisi uptrend ditunjukkan oleh pergerakkan saham Bank BNI, Danamon, dan Mandiri, sedangkan Bank BCA dan BNI mengalami kondisi uptrend. Kelima emiten mengalami kondisi yang cenderung menurun pada triwuan IV. Secara fundamental kondisi kelima emiten selama tahun 2008-2010 mengalami pertumbuhan laba bersih tiap tahunnya. Harga aktual rata-rata saham Bank BCA yang tercatat di bursa efek adalah sebesar Rp 5.914,- per lembar sedangkan nilai intrinsik saham BCA setelah dihitung menggunakan metode Capital Asset Pricing Model dengan perhitungan Dividend Discounted Model adalah sebesar Rp 5.942,58. Hal ini berarti saham bank BCA dijual undervalued karena harga pasar lebih kecil dari nilai intrinsik. Hal serupa juga terjadi pada keempat emiten lainnya, nilai intrinsik saham keempat emiten lainnya juga lebih tinggi dari pada harga pasar yang diperjual belikan di bursa efek. Oleh karena itu saham kelima emiten tersebut layak untuk dibeli. Benaji (2011) membahas intrinsic value saham Perum Pegadaian yang berencana melakukan IPO pada tahun 2012. Valuasi menggunakan metode Discounted Free Cash Flow to Equity dengan pendekatan Two Stage Discounted http://digilib.mercubuana.ac.id/ 69 Free Cash Flow to Equity yang menggunakan empat kemungkinan pertumbuhan dalam menghitung terminal value-nya berdasarkan estimasi pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. MarasoviΔet, Branka and Tea PoklepoviΔ (2011) di dalam jurnal yang berjudul “Markowitz Model With Fundamental and Technical Analysis – Complementary Methods Or Not” menyimpulkan bahwa analisis fundamental dan teknikal adalah dua jenis analisis yang saling melengkapi, oleh karena itu di dalam proses pemilihan saham dan penyusunan portofolio akan lebih optimal melakukan analisis fundamental terlebih dahulu kemudian diikuti dengan analisis teknikal untuk memprediksi momentum yang tepat dalam membeli atau menjual saham tersebut, kedua metode tersebut diperlukan dalam rangka memperhitungkan faktor-faktor yang relevan dan berpengaruh terhadap perubahan harga saham. Ariyanto (2012) menguji metode Discounted Cash Flow Model (DCF) dengan pendekatan valuasi Free Cash Flow to Equity (FCFE) terhadap saham-saham di Bursa Efek Indonesia dengan tujuan untuk melihat apakah hasil valuasi dengan pendekatan FCFE telah mencerminkan ekspektasi dari 33 saham yang masuk dalam Jakarta Islamic Index (JII). Hasil penelitian dengan melakukan uji statistik regresi, didapat hasil bahwa nilai intrinsik mempunyai hubungan yang signifikan dalam menjelaskan harga saham yang tercatat pada indeks JII. Fathi et al. (2012) dalam Journal of Basic and Applied Scientific Research yang berjudul Profitability Assessment of Fundamental Analysis in Stock Selection menulis bahwa masalah keuangan dan metode investasi adalah hal penting bagi para peneliti dan eksekutif. Investasi di pasar modal membutuhkan analisis atas saham dan menetapkan momentum waktu pembelian dan penjualan saham tersebut. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 70 Untuk tujuan ini, metode yang berbeda antara analisis fundamental dan analisis teknial dapat masing-masing digunakan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengukur tingkat profitabilitas menggunakan analisis fundamental. Dengan asumsi kondisi makro ekonomi yang stabil, maka diperoleh profitabilitas dari metode perhitungan nilai intrinsik menggunakan growth rate dan metode yang menggunakan perbandingan antara P/E perusahaan dan P/E industri. Temuan ini menyiratkan korelasi positif antara return yang diperoleh dari perbandingan antara P/E perusahaan dan P/E industri. Gardner, et al. (2012) di dalam Journal Of Business & Economics Research melakukan penilaian terhadap ekuitas perusahaan Coca Cola menggunakan Free Cash Flow to the Equity (FCFE) dengan model pertumbuhan super normal. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai ekuitas perusahaan Coca Cola sebesar US$161 miliar dan nilai pasar aktual adalah US$ 150 miliar pada tanggal 28 Desember 2010. Hui Yeh (2012) di dalam International Journal of Business and Social Science yang berjudul The Profitability of Moving Average in Taiwan: A New Anomaly menemukan bahwa penerapan analisis teknikal berupa moving average (MA) pada investasi saham di Taiwan Stock Exchange Capitalization Weighted Stock Index (TAIEX) dapat memberikan return yang positif dimana hasilnya mengalahkan strategi investasi buy and hold. Temuan Chao-Hui Yeh menunjukkan bahwa penggunaan moving averages 5 hari atau MA5 mutlak dapat mengalahkan return strategi buy and hold. Baik untuk sell-put option strategy maupun sell-call option strategy. Namun demikian penggunaan analisis teknikal digabungkan dengan analisis fundamental secara bersamaan dapat menghasilkan investasi yang lebih sukses. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 71 Dyannas (2013) dalam tesisnya melakukan analisis saham dengan menggunakan analisis teknikal klasik dan modern. Analisis teknikal yang digunakan dalam penelitian ini adalah pola grafik (chart patterns) yang dapat memberikan berbagai macam informasi seperti titik support dan resistance, sinyal jual/beli, dan target harga. Indikator lain yang digunakan juga dalam penelitian ini adalah Moving Average (MA), Parabolic SAR (PSAR), dan Relative Strength Index (RSI). Obyek penelitian terdiri dari saham perusahaan-perusahaan BUMN sektor konstruksi yang terdapat di Bursa Efek Indonesia pada periode pengamatan 1 Mei 2012 – 30 April 2013. Hasil analisis dengan berbagai indikator tersebut menunjukkan bahwa indikator-indikator tersebut dapat saling melengkapi satu dengan yang lainnya dan pola indikasi yang dihasilkan di akhir periode penelitian dapat menghasilkan prediksi yang akurat. Najafi, Mehdi and Farshid Asgari (2013) menulis di dalam jurnal yang berjudul Using CANSLIM Analysis for Evaluating Stocks of the Companies Admitted in Tehran Stock Exchange. CANSLIM adalah sebuah strategi atau metode untuk menganalisis saham secara kombinasi antara analisis fundamental dan teknikal. Metode ini mempersyaratkan 7 kriteria yang terkandung di dalam nama CANSLIM yang merupakan singkatan dari: C: Current earnings - A : Annual earnings - N : New management, products and services - S : Supply and demand L : Leader or laggard? - I : Institutional investment - M : Market Direction. Pada penelitian ini disimpulkan bahwa ke-7 kriteria dari analisis CANSLIM mengkonfirmasi saham-saham yang memberikan capital gain terbaik. Waheed, Abdul and Samuel Asmah (2013) di dalam tesisnya yang berjudul “Analysis of Moving Average Convergence Divergence (MACD) as a Tool of Equity http://digilib.mercubuana.ac.id/ 72 Trading at the Karachi Stock Exchange” meneliti penggunaan salah satu alat analisis teknikal yaitu MACD dalam perdagangan saham di Karachi Stock Exchange (KSE) Pakistan. Di dalam penelitiannya ditemukan bahwa MACD merupakan indikator analisis teknikal yang signifikan pada perdagangan saham di KSE, oleh sebab itu MACD dapat dijadikan salah satu dasar untuk mengambil keputusan dalam trading saham. Artha et al. (2014) dalam jurnalnya melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari analisis fundamental, teknikal, dan faktor makro ekonomi terhadap harga saham sektor pertanian. Metode yang digunakan adalah regresi panel. Hasil penelitian menunjukan bahwa faktor fundamental yang terdiri dari variabel Book Value per Share (BVS), Price to Book Value (PBV), Debt to Equity Ratio (DER), trend harga saham, BI rate, harga minyak dunia dan kurs Rupiah memberikan pengaruh signifikan terhadap harga saham sektor pertanian. Demikian pula analis teknikal yang berupaya untuk mengidentifikasi pola dan trend harga, diketahui pergerakan harga saham pertanian mengalami fluktuasi yang tinggi karena adanya krisis pada tahun 2008 hal ini diperkuat dari hasil penelitian ini bahwa variabel trend harga saham berpengaruh signifikan terhadap harga saham sektor pertanian. Lutey et al. (2014) dalam Journal of Accounting and Finance yang berjudul “An Interpretation of the CAN SLIM Investment Strategy”. Membahas strategi investasi CANSLIM yang dikembangkan William J. O’Neil dan dipopulerkan penggunaannya oleh Investor Business Daily. Strategi investasi CANSLIM menerapkan tujuh kriteria dalam menyaring saham unggulan, yang dapat diterapkan dengan mudah oleh investor individu. Hasil pengamatan menunjukkan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 73 bahwa teknik screening saham ini cukup sederhana diterapkan dan pada periode 2010 hingga 2013 strategi ini mengungguli perolehan return rata-rata sebesar 9,4% per bulan dibandingkan dengan Index NASDAQ 100. Sappar et al. (2015) dalam jurnalnya, melakukan studi pada perusahaan Consumer Goods Industry di Bursa Efek Indonesia periode 2011-2013 yang bertujuan menganalisis pengaruh secara parsial dan simultan dari faktor-faktor fundamental dan teknikal terhadap nilai perusahaan (harga saham). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa indikator faktor fundamental, yaitu tingkat inflasi, BI Rate, CR, DPS, NPM, dan PER dinyatakan tidak memiliki pengaruh dan hanya indikator DER dan ROA yang memiliki pengaruh signifikan secara parsial terhadap nilai perusahaan, indikator faktor teknikal, yaitu harga penutupan dan volume perdagangan secara parsial memiliki pengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan, dan indikator faktor fundamental dan teknikal secara simultan berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan. Temuan dalam penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan bentuk pengaruh (positif dan negatif) dari hasil penelitian dengan teoritis, karena adanya respon yang berbeda dari setiap saham perusahaan terhadap pengaruh faktor fundamental ekonomi makro. Investor masih belum menggunakan informasi secara menyeluruh dari faktor fundamental keuangan dan lebih cenderung menggunakan faktor teknikal dalam mengambil keputusan investasi pada saham perusahaan sektor consumer goods industry. Dari beberapa penelitian yang disebutkan di atas, terdapat perbedaan signifikan dengan obyek dan tujuan penelitian tesis ini, yaitu: 1) Menganalisis aspek fundamental melalui kinerja keuangan perusahaan apakah dalam kondisi bagus dan akan terus bertumbuh? http://digilib.mercubuana.ac.id/ 74 2) Menganalisis valuasi saham dengan metode Free Cash Flow to Equity (FCFE) 3) Membandingkan harga pasar ketika right issue dengan intrinsic value 4) Menghitung ex right price atau harga teoritis saham right issue. 5) Membandingkan ex right price dan execution price dengan intrinsic value 6) Menganalisis secara teknikal kondisi saham apakah dalam trend naik dan mengisyaratkan untuk dibeli. 7) Menganalisis secara teknikal untuk menentukan momentum beli saham. 8) Menggunakan analisis fundamental dan teknikal secara bersamaan untuk menghasilkan kesimpulan yang lebih konprehensif dan tepat. http://digilib.mercubuana.ac.id/