PENDAHULUAN Latar Belakang Wabah penyakit Gumboro (IBD/Infectious Bursal Disease) yang sangat ganas telah terjadi di Eropa pada tahun 1986 dengan tingkat kematian mencapai 70% pada peternakan ayam layer pullet (Muller,2003 ). Virus penyebab wabah ini dikenal sebagai vvIBDV (very virulent IBD Virus).Strain virus ini menyebabkan lesi IBD yang tipikal dan memiliki antigenisitas yang mirip dengan IBD virus klasik. Selain itu vvIBD tetap mengakibatkan infeksi walaupun level antibodi maternal yang sebelumnya bisa memproteksi strain IBD klasik. Hingga kini infeksi vvIBD masih menjadi masalah di Afrika, Asia dan juga di Amerika Selatan. Babiker et al.(2008a)telah melaporkan hasil evaluasinya terhadap beberapa kelompok ayam di Sudan yang divaksin dengan vaksin 228E, D78, Bio-Gumboro dan Gumboro3.Evaluasi yang dilakukan meliputi titer antibodi yang dites dengan metode ELISA. Ternyata hanya 228E yang bisa memproteksi ayam berdasarkan gejala klinis, post mortem gross lesion dan mortality. Kemudian Babikeret al.(2008b) juga menginvestigasi di Khartoum State yang meliputi kejadian di 9 kelompok ayam yang suspect IBD pada Januari-Desember 2005. Semua flock tersebut menggunakan beberapa vaksin komersial yang ada di pasaran. Hasil dari investigasi tersebut adalah bahwa 6 dari 9 flock terdapat IBD outbreak. Sementara itu,Colettiet al. (2001) melakukan penelitian mengenai efikasi dan keamanan vaksinasi intermediate yang diaplikasikan in ovo.Hasilnya adalah bahwa vaksinasi dapat memproteksi infeksi virus pada ayam SPF dan memberikan komersial.Selanjutnya proteksi sebagian pada ayam Colettiet al. (2001) juga melakukan penelitian tentang imunosupresi efeknya. Pada komersial ayam, adanya respon imun terhadap vaksinasi ND tidak terpengaruh oleh dilakukannya vaksinasi in ovo IBD strain intermediate. Secara diagnosa, gambaran klinis IBD ditambah dengan perubahan patologi yang ditampilkan oleh bursa biasanya mengindikasikan infeksi IBD.Metode lebih lanjut dilakukan untuk peneguhan diagnosa.Diagnosa untukmendeteksi keberadaan antigen (virus)dilakukan dengan teknik imunohistokimia. Keberadaan antigen IBDV juga bisa didemonstrasikan dengan AGPT atau antigen capture ELISA(Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Sedangkan genom virus bisa dideteksi dengan metode PCR.Pemeriksaan serologi dilakukan dengan virus-neutralization (VN) atau dengan ELISA untuk spesifik vvIBD antibodi. Penelitian mengenai diagnosa imunohistokimia telah dilakukan oleh IBD dengan menggunakan Inoueet al. pada tahun 1994 di Jepang. Mereka meneliti lesi pada timus, dengan cara membuat 2 grup infeksi, pertama grup HPS-2 strain dan kedua GBF-1 strain. Kemudian mereka menggunakan lesi-lesi pada timus dan membuat imunohistokimia untuk diagnosa IBD.Imunohistokimia dilakukan dengan menggunakan kromogen AEC(3-amino-9-ethylcarbazole). Di Indonesia, penyakit IBD telah menjadi penyakit yang akrab bagi banyak peternak seperti halnya penyakit lain, contohnya ND (Newcastle Disease) dan AI(Avian Influenza). Mengingat banyaknya kerugian yang ditimbulkan akibat infeksi virus ini, yaitu efek imunosupresi dan mortalitas, maka peternak telah mengaplikasikan berbagai program vaksinasi. Berbagai jenis vaksin yang mengandung strain virus dengan virulensi berbeda telah digunakan di Indonesia.Aplikasi pada ayam dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan injeksi pada ayam umur 10-13 hari ataupun dengan injeksi pada DOC (Day Old Chick). Ada juga vaksinasi yang dilakukan pada hatchery sebelum ayam menetas. Sementara itu, virus tantangdi Indonesia telah diteliti oleh Rudd et al. pada tahun 2002. Mereka telah mendapatkan hasil berupa nukleotida yang lengkap dari virus IBD lapangan Indonesia dan juga sekuen asam amino dari segmen genom A dan B. Isolat yang diteliti disebut sebagai isolat Tasik 94, yang mirip dengan strain vvIBD terutama yang ada di Eropa. Tasik 94 juga 2 memiliki homologi nukleotida yang sangat besar dengan vvIBD strain Belanda, yaitu : D6948.Isolat lokal Indonesia juga telah diisolasi oleh Suwarno (2005) di beberapa daerah di Jawa timur, yaitu Lamongan dan Kediri. Berbagai temuan vvIBD dan berkembangnya berbagai jenis vaksin di pasaran menyebabkan evaluasi terhadap beberapa vaksin yang ada di Indonesia menjadi penting. Telah ditemukan beberapa virus tantangyang ada di Indonesia oleh Rudd etal. (2002). Deteksi atau diagnosa IBD yang tepat dirasakan semakin penting karena akan mejadi pedoman program pengendalian penyakit tiap-tiap peternakan. Metode histopatologi dengan pewarnaan HE merupakan metode rutin yang telah lama digunakan di Indonesia.Disamping itu peneguhan atau pelengkap diagnosa juga telah lama dilakukan dengan menguji tingkat kekebalan dengan mengukur titer antibodi ayam.Metode diagnosa IBD dengan menemukan langsung antigen virus dari jaringan antara lain dilakukan dengan teknik imunohistokimia, atau mendeteksi RNA virus dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Metode diagnosa inilah yang penting untuk dievaluasi dan dikembangkan untuk identifikasi virus penyebab penyakit IBD. Perumusan masalah Dengan latar belakang tersebut maka berikut ini secara garis besar diambil perumusan masalah, yaitu: 1. Penyakit IBD telah tersebar di semua benua, walaupun ada beberapa tingkat patogenisitasnya. Hal ini berkaitan dengan berbagai strain virus yang menginfeksi wilayah tersebut. 2. Upaya pengendalian infeksi pada suatu peternakan telah banyak dilakukan, antara lain dengan berbagai program vaksinasi. 3. Berbagai program vaksinasi perlu dievaluasi, karena wabah penyakit IBD masih sering terjadi walaupun telah dilakukan vaksinasi. 3 Tujuan Penelitian Untuk diagnosa rutin IBD biasanya dilakukan dengan histopatologi (pewarnaan HE) pada bursa Fabricius dan diagnosa serologi dengan ELISA.Pada penelitian kali ini dirumuskan beberapa tujuan penelitian. Tujuan penelitian ini adalah : 1. Melakukan kajian dan evaluasi vaksinasi IBD pada broiler dengan metode ELISA untuk mempelajari antibodi hasil vaksinasi. 2. Melakukan kajian dan evaluasi vaksinasi IBD pada broiler dengan metode imunohistokimia untuk mengetahui keberadaan antigen pada jaringan. 3. Membandingkan respon vaksinasi dan infeksi IBD pada bursaFabricius. 4