BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Family Self Sufficiency 2.1.1

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Family Self Sufficiency
2.1.1 Definisi Family Self Sufficiency
Menurut Vohs, Mead, dan Goode (2008), self sufficiency adalah penekanan pada
perilaku yang dipilih oleh individu yang dapat dicapai tanpa keterlibatan aktif dari
orang lain. Seymour (n.d), menyatakan bahwa self sufficiency kecukupan atas sesuatu
yang dimiliki dan berjuang untuk standar hidup yang lebih tinggi, termasuk
makanan, lingkungan, kesehatan, dan pekerjaan. Sehingga, family self sufficiency
adalah persepsi akan kecukupan atau ketidakcukupan tentang keluarga untuk
mencapai standar hidup yang lebih tinggi tanpa adanya keterlibatan atau bantuan dari
orang lain. Family self sufficiency terbagi menjadi empat, yaitu academic, health,
economic, psychosocial.
Academic terbagi atas dua yaitu pendidikan yang dicapai dan keterampilan yang
dimiliki seseorang. Health meliputi kesehatan fisik, kesehatan mental yang dirasakan
seseorang. Psychosocial yang meliputi kenyamanan tempat tinggal, makanan yang
bergizi, kesanggupan menitip anak kepada baby sitter, transportasi, dan keamanan
serta kenyamanan lingkungan sekitar. Menurut Stephenson (2012), family self
sufficiency adalah pendapatan yang diperoleh individu serta mencakup keberhasilan
di tempat kerja, dimana pendapatan dan kinerja dapat mempengaruhi kesejahteraan
keluarga. Family self sufficiency juga didefinisikan sebagai kemampuan individu dan
keluarga untuk secara konsisten memenuhi kebutuhan hidup, termasuk makanan,
rumah, biaya kesehatan, transportasi, pajak, biaya untuk anak, dan pakaian baik
dengan ada atau tidak ada bantuan keuangan atau subsidi dari organisasi tertentu.
Gowdy dan Pearlmutter (1993, dalam Stephenson (2012) menyatakan family self
sufficiency tidak hanya perolehan uang atau sumber daya keuangan melainpkan cara
hidup sseorang. Individu yang memiliki gaji tinggi tetapi tidak bisa hidup hemat dan
individu yang memiliki gaji rendah tetapi mampu untuk hidup hemat akan
berhubungan dengan kecukupan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Menurut Pfeffer dan Lawler (1980), insufficient justification merupakan
paradigma dari sufficiency of reward. Aronson (1963), insufficient justification
11
12
(insufficient punishment) adalah fenomena psikologi sosial yang berhubungan
dengan disonansi kognitif yang melibatkan external justification dan internal
justification. justification merupakan usaha seseorang untuk mencari pembenaran
atas disonansi kita, baik karena situasi atau orang lain. Ketika external justification
tidak berhasil dilakukan, maka individu akan menggunakan internal justification
(mengurangi disonansi dengan melakukan perubahan terhadap diri, baik mengubah
sikap atau perilaku). Insufficient justification terjadi ketika individu menggunakan
motivasi internal untuk membenarkan perilaku.
Menurut Aronson (1963), insufficient punishment terjadi ketika seseorang
diberikan punishment yang berat akan suatu perilaku tertentu maka ketika perilaku
tersebut tidak diawasi, individu akan cenderung melakukan perilaku tersebut
(external justification), sehingga membutuhkan usaha yang lebih besar untuk
menghentikan perilaku tertentu. Tetapi, ketika seseorang diberikan punishment yang
ringan atau sedang akan perilaku tertentu, maka seseorang cenderung tidak
melakukan perilaku tersebut (internal justification).
Gowdy and Pearlmutter (1993, dalam Stephenson (2012), mengemukakan
instrumen skala Family Self Sufficieny terdiri dari empat dimensi, yaitu:
1. Otonomi dan menentukan kebutuhan hidup sendiri (autonomy and selfdetermination).
2. Keamanan finansial dan bertanggung jawab terhadap penggunaan biaya hidup
(financial security and responsibility).
3. Kesejahteraan diri dan keluarga (family and self-well-being).
4. Aset dasar untuk hidup dalam masyarakat (basic assets for living in the
community).
2.1.2 Kriteria Family Self Sufficiency
Gralinski-Bakker et al (2004, dalam Stephenson (2012), menyatakan bahwa
individu yang memiliki Family Self Sufficiency akan memiliki beberapa kriteria
yaitu:
13
1. Memiliki harga diri (self-worth)
Individu yang memiliki kecukukupan untuk memenuhi hidup keluarga akan
memiliki harga diri yang tinggi, karena dipandang oleh orang lain bahwa ia
mampu memenuhi kebutuhan diri dan keluarga.
2. Memiliki kebebasan (freedom)
Individu yang memiliki kecukupan finansial akan memiliki kemampuan
untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga secara bebas tanpa ada batasan
tertentu yang menghalangi individu untuk melakukan sesuatu.
3. Memiliki orientasi masa depan (a sense of future)
Individu yang memiliki kecukupan hidup jelas akan lebih memiliki
perencanaan, mulai dari pendidikan hingga karir yang akan ditempuh untuk
masa depan yang lebih baik.
4. Memiliki sumber daya keuangan yang baik (as well as financial resources)
Individu yang memiliki kecukupan hidup akan mampu mengelola
keuangannya untuk kebutuhan hidup keluarga dengan memiliki tabungan
untuk dipergunakan dalam situasi tertentu.
2.1.3 Faktor yang mempengaruhi Family Self Sufficiency
Hawkins (2002, dalam Stephenson (2012) menyatakan beberapa faktor yang
mempengaruhi Family Self Sufficiency seseorang yaitu:
-
Memiliki simpanan atau tabungan (had a savings or checking account)
Besar atau kecilnya pendapatan seseorang akan berhubungan dengan
simpanan atau tabungan yang dimiliki individu akan mempengaruhi
kecukupan kebutuhan hidup keluarga.
-
Keyakinan bahwa pendapatan dapat menutupi beban atau kebutuhan keluarga
(held the belief that their income covered their financial expenses)
Ketika individu merasa yakin akan kecukupan atas pendapatan yang
diterimanya, maka individu akan mengontrol pengeluarannya agar mampu
mencukupi kebutuhan keluarga.
-
Adanya bantuan dana dari sumber tertentu (had an income or received funds
from a source other than those already listed)
Bantuan yang diterima seseorang juga mempengaruhi kecukupan hidup
individu dan keluarga, seperti adanya bantuan langsung tunai (BLT) yang
merupakan program pemerintah.
14
2.1.4 Dampak Family Self Sufficiency
Murry, dkk (2002, dalam Stephenson (2012) menyatakan dampak dari rendahnya
Family Self Sufficiency yaitu
-
Terjadinya psychological stress pada keluarga
Individu yang mengalami ketidakcukupan atas kebutuhan keluarga akan
berdampak pada stress, yang membuat individu melakukan perilaku tidak etis
yang merugikan orang lain agar mampu mencukupi kebutuhan hidup
keluarga.
-
Adanya pandangan negatif anak terhadap orang tua
Anak yang berasal dari keluarga yang tidak berkecukupan akan memandang
orang tua secara buruk karena dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan
hidup keluarga, sehingga rentan terhadap konflik.
-
Terjadi hambatan sosial-emosional, biologis, maupun intelektual pada anak
Anak yang berasal dari keluarga yang tidak berkecukupan juga akan memiliki
hambatan tertentu, seperti kurangnya gizi, pendidikan yang diterima.
2.2 Salary Sufficiency
2.2.1 Definisi Salary Sufficiency
Menurut Vohs, Mead, dan Goode (2008), self sufficiency adalah penekanan pada
perilaku yang dipilih oleh individu yang dapat dicapai tanpa keterlibatan aktif dari
orang lain. Seymour (n.d), menyatakan bahwa self sufficiency kecukupan atas sesuatu
yang dimiliki dan berjuang untuk standar hidup yang lebih tinggi, termasuk
makanan, lingkungan, kesehatan, dan pekerjaan. Sehingga, salary sufficiency adalah
persepsi akan kecukupan atau ketidakcukupan tentang gaji yang diterima untuk
mencapai standar hidup yang lebih tinggi tanpa adanya keterlibatan atau bantuan dari
orang lain. Kecukupan atas gaji yang diterima seseorang apabila ia mampu
memenuhi kebutuhan akan makanan, lingkungan (pendidikan, tempat tinggal,
kesehatan, serta memilki pekerjaan tetap.
2.2.2 Komponen Salary Sufficiency
Menurut Gowdy dan Pearlmutter (1993, dalam Stephenson (2012), orang yang
memiliki kecukupan atas gaji akan mencakup dua hal berikut, yaitu kekuatan dan
kebebasan (power and freedom). Individu yang memiliki kecukupan atas gaji maka
15
akan lebih memiliki kekuatan dalam melakukan suatu hal dibanding orang yang tidak
berkecukupan, seperti pendapatnya akan lebih didengar, dsb. Begitu pula, individu
yang memiliki kecukupan atas gaji akan memiliki kebebasan untuk melakukan dan
membeli sesuatu dibandingkan individu yang memiliki ketidakcukupan atas gaji
yang diterimanya.
2.2.3 Dampak Salary Sufficiency
Menurut Stephenson (2012), individu yang memiiki ketidakcukupan atas gaji
yang diterima dapat berdampak pada kemiskinan, baik pada orang dewasa dan
keluarga maupun anak-anak.
Menurut Najman et al. (2010) dalam Stephenson (2012), dampak terhadap
keluarga mencakup kecemasan dan depresi sebagai hasil dari pandangan lingkungan
terhadap diri dan keluarganya. Sehingga orang dengan ketidakcukupan atas gaji yang
diterima cenderung rentan terhadap stres. Pada wanita, biasanya ditunjukkan dengan
cara merokok, minum akohol, atau menggunakan narkoba sehingga juga berdampak
pada kesehatan. Komro et al. (2011) dalam Stephenson (2012), menyatakan bahwa
individu yang memiliki ketidakcukupan atas gaji yang diterima serta tinggal di
lingkungan yang serba berketidakcukupan dapat mempengaruhi hidup keluarga yang
berhubungan dengan perilaku, emosi, dan mental seseorang. Ia juga mengatakan
tidak adanya orentasi dan kurang pengetahuan dapat menimbulkan perilaku seks
bebas sehingga mengakibatkan kelahiran di usia muda, berat badan bayi yang tidak
normal (dibawah berat rata-rata), kehamilan dan kenakalan remaja, dikeluarkan dari
sekolah, pembunuhan, bunuh diri, dsb. Hal ini dikarenakan kurangnya penghasilan
keluarga yang menyebabkan kurangnya pendidikan serta lingkungan atau pergaulan
yang bebas dan menyebabkan perilaku yang menyimpang.
Menurut Vanderbilt-Adriance dan Shaw (2008, dalam Stephenson (2012),
ketidakcukupan atas gaji yang diterima juga berdampak pada anak-anak, seperti
terhambatnya pertumbuhan, kualitas kesehatan dan pendidikan yang rendah, serta
anak akan kehilangan haknya. Selain itu ketidakcukupan gaji juga berdampak pada
fisik, kognitif, dan perkembangan mental yang memprihatinkan (Crooks, 1995;
Seccombe, 2002; Smith & Ashiabi, 2007; Wadsworth et al., 2008).
16
2.2.4 Cara mengatasi ketidakcukupan atas gaji
Menurut Stephenson (2012), keluarga yang memiliki ketidakcukupan atas gaji
dapat diatasi sendiri agar tidak menimbulkan stress dan depresi berkepanjangan
dengan cara (1) memiliki orientasi masa depan untuk sukses, (2) dapat menempatkan
diri dan menilai diri dengan baik, (3) dapat mengandalkan diri sendiri.
2.3 Selflessness
2.3.1 Definisi Selflessness
Menurut Dambrun dan Ricard (2011), selflessness berarti rendahnya tingkat selfcenteredness atau rendahnya tingkat untuk mementingkan diri sendiri. Ia mengatakan
bahwa selflessness merupakan pencarian keharmonisan dengan orang lain. Ia
mengatakan bahwa salah satu prinsip keharmonisan yaitu memiliki emosi yang
stabil. Menurut Bachar et al. (2002) selflessness adalah kecenderungan seseorang
untuk melepaskan minat atau kepentingannya sendiri dan mengabaikan kebutuhan
sendiri untuk melayani dan mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan orang
lain.
Selflessness merupakan lawan dari self-centeredness, Dambrun dan Ricard
(2011) mendefinisikan self centeredness sebagai suatu titik dimana diri berhubungan
dengan banyak aktivitas psikologis (konasi, motivasi, perhatian, kognisi, dan
perilaku) yang semuanya mengarah untuk kepentingan diri. Self-centeredness juga
didefinisikan sebagai egois (selfishness) atau memikirkan kepentingan diri (Batson,
1991; Feeney & Collins, 2003) dalam Caprariello (2012).
Self-centeredness merupakan persamaan dari selfishness. Menurut L’Abate dan
Bryson (1994), selfishness merupakan mementingkan kepentingan diri sendiri di atas
kepentingan orang lain. Individu bersikap egois didasarkan atas dorongan atau
kecanduan yang dilakukan secara sosial yang berhubungan dengan pekerjaan untuk
kasus ekstrim atau kebahagiaan diri sendiri. Sedangkan menurut Wispe (1985),
menyatakan selfishness merupakan penekanan pada narcissism, self-concern, dan
adanya pandangan akan “aku”. Ia juga menyatakan bahwa selfishness dilakukan
untuk mencapai kebutuhan dan keinginan individu. Sedangkan selflessness yaitu
kualitas tidak menempatkan diri sendiri terlebih dahulu, tetapi bersedia untuk
memberikan waktu, uang atau usaha untuk orang lain.
17
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, maka selflessness adalah rendahnya
tingkat self-centeredness (mementingkan diri sendiri) dan melayani kebutuhan atau
kepentingan orang lain, serta lebih mengutamakan perbuatan baik, perasaan empati
dan belas kasih terhadap orang lain untuk mencapai keharmonisan.
2.3.2 Karakteristik Selflessness
Karakteristik dari seflessnesss menurut Dambrun dan Ricard (2011) yaitu:
1. Interdependent Self
Individu yang memiliki selflessness akan memiliki perasaan yang kuat yang
berhubungan dengan orang lain. Individu memiliki perasaan untuk memikirkan
kepentingan orang lain. Selain itu, selflessness juga berhubungan dengan mental
dan emosi yang berpusat pada orang lain (other-focused emotion). Sedangkan
individu yang self-centered memiliki fokus terhadap diri (ego- focused emotion).
Interdependent self juga lebih memiliki perilaku untuk mengevaluasi diri (self
evaluation). Interdependent self (selflessness) berhubungan dengan konteks
sosial, sedangkan self-centeredness merupakan bagian dari konteks sosial.
2. Outsider Phenomenologies
Cohen, Hoshino-Browne, and Leung (2007, dalam Dambrun dan Ricard (2011)
memaparkan bahwa outsider merupakan pengalaman diri sendiri mengenai sudut
pandang orang lain dalam melihat dirinya. Karena selfless berhubungan dengan
konteks sosial maka ia memperhatikan sudut pandang orang lain mengenai
dirinya. Sedangkan insider, lebih berpusat pada diri sendiri tanpa memperhatikan
sudut pandang orang lain atau melihat kepentingan sendiri.
3. Impermanent Self
Individu yang selfless memiliki impermanent self, artinya individu cenderung
memiliki perasaan yang continuum atau berkelanjutan dari waktu ke waktu. Ia
cenderung memperhatikan atau mempedulikan apa yang terjadi pada orang lain
dari waktu ke waktu, tidak hanya mempedulikan diri sendiri.
2.3.3 Faktor yang membentuk Selflessness dan Self-centeredness
Individu cenderung berorientasi pada kepuasan diri, sehingga ia cenderung untuk
mementingkan diri sendiri dan keluarga agar dapat memenuhi kepuasan diri
18
(Caprariello, 2012). Menurut Dambrun dan Ricard (2011), terdapat faktor yang dapat
membentuk selflessness dan self-centeredness pada seseorang, yaitu:
1. Latar belakang budaya
-
Individualism dan collectivism
Orang yang individualis cenderung untuk lebih berpusat pada diri sendiri
atau mementingkan diri sendiri dibandingkan individu yang bersifat kolektif.
Individu kolektif cenderung memusatkan pada kesejahteraan orang lain
(umum atau bersama-sama).
-
Horizontal dan vertical individualism
Horizontal individualism yaitu memiliki kebebasan diri tanpa adanya
kompetisi untuk peningkatan diri. Sedangkan vertical individualism yaitu
adanya keinginan untuk meningkatkan diri dengan ketidaksetaraan atau
ketidaksepadanan dengan orang lain dan melakukan kompetisi.
2. Didikan orang tua
-
Avoidance attachment dan anxious attachment
Avoidance attachment yaitu kecenderungan seseorang untuk merasa nyaman
dalam level yang rendah dalam berhubungan dengan orang lain dan
menyebabkan independence (lebih berpusat pada diri dibanding bersama
orang lain). Sedangkan seorang anak dengan anxious attachment akan lebih
merasakan ketakutan atau kecemasan ketika berhubungan dengan orang lain
karena adanya perasaan bahwa ia akan dimanfaatkan oleh orang lain.
- Secure attachment dan insecure attachment
Seorang anak dengan pola asuh atau didikan orang tua yang menekankan
pada secure attachment biasanya anak cenderung lebih selfless (tidak
mementingkan diri sendiri). Sedangkan anak dengan didikan insecure
attachment akan lebih self-centered (memusatkan pada kepentingan sendiri).
3.Pendidikan di sekolah
- Educational practices, mengajarkan dua hal pada anak yaitu dengan adanya
praktek langsung dalam dunia pendidikan maka mengajarkan anak untuk
berkompetisi maupun membandingkan diri dengan lingkungan sosial dan
19
mengajak anak untuk bekerja sama dengan anak lain dalam hal belajar agar
mendapat pemahaman mengenai pelajaran yang lebih baik.
4. Lingkungan sosial
- Hierarchy-Enhancing (HE) dan Hierarchy-Attenuating (HA) environment.
Individu yang memiliki Hierarchy-Enhancing (HE) tinggi atau keinginan yang
terus
meningkat
cenderung
lebih
self-centered,
ia
tidak
mampu
mengembangkan selflessness. Sedangkan Hierarchy-Attenuating (HA) tinggi
atau mengalah, rendah hati cenderung memiliki sifat selfless.
5. Ajaran agama
- Individu yang memiliki intrinsic religious and spirituality (dimotivasi dari
dalam diri) lebih mendukung selflessness. Dibandingkan extrinsic religious and
spirituality (ajaran agama dimotivasi dari orang lain).
6. Pengalaman hidup
- End of life and terminally illnesses, di akhir masa hidup biasanya seseorang
akan mengalami transisi, dimana individu yang memiliki intrinsic religious
akan lebih merasa bahagia dan memandang tercapainya tujuan hidup.
- Near death experience (NDE), individu yang mendekati akhir masa hidup atau
kematian biasanya akan memiliki selfless orientation.
- Brain Lesions, individu yang memiliki gangguan pada otak, seperti orang yang
terkena stroke biasanya mempengaruhi seseorang untuk bersikap selfess atau
self centeredmess.
- Mind-altering drugs, mengkonsumsi obat tertentu juga merupakan faktor
seseorang
bersikap
selfless
maupun
self-centeredness,
individu
yang
mengkonsumsi obat ini biasanya karena depresi atau insomnia yang berdampak
pada psikomotor.
7. Perkembangan usia
- Cognitive egocentrism, dimana terjadi pada masa kanak-kanak. Pada masa ini,
individu lebih mementingkan diri sendiri maupun kelompoknya.
20
- Maturity and wisdom, terjadi seiring berkembangnya usia. Pada masa
perkembangan ini, kemungkinan selfless lebih tinggi karena sudah mulai
mementingkan kesejahteraan orang lain atau lingkungan sosial, tidak hanya
pada diri sendiri maupun kelompok saja.
2.3.4 Struktur dari “self”: selflessness dan self-centeredness
Menurut Dambrun dan Ricard (2011), struktur dari self yaitu:
Tabel 2.1 Struktur dari self
21
Terdapat beberapa hal yang membentuk seseorang untuk memiliki sifat selfless
atau self-centered. Hal ini membuat seseorang memiliki struktur diri yang didasarkan
pada fungsi psikologis, orang yang memiliki selflessness akan memegang prinsip
keharmonisan yang berpusat pada lingkungan dan orang lain. Terdapat dua faktor
yang mempengaruhi reaksi atau perilaku, emosi yang stabil dan perasaan untuk
hidup harmonis. Dampakya adalah kebahagiaan yang bersifat otentik-bertahan lama.
Sedangkan individu yang memiliki fungsi psikologis
self-centered, lebih
memgang prinsip hedonik yang berpusat pada pencapaian atau menghindar, yang
disebabkan atau menyebabkan dorongan kesenangan (pencapaian) maupun afflictive
affects atau kemarahan, kebencian, atau perasaan takut (menghindar). Apabila
kesenangan tersebut tercapai maupun berhasil menghindar dari kemarahan,
kebencian atau rasa takut, maka hal ini menyebabkan kebahagiaan yang meningkat.
2.3.5 Faktor yang mempengaruhi Selflessness
Dambrun dan Ricard (2011) menyatakan terdapat dua faktor yang mempengaruhi
selflessness, yaitu
1. Emotional stability
Individu yang selfless (tidak mementingkan diri sendiri) memiliki emosi yang
stabil dan mementingkan kesejahteraan diri dan orang lain.
2. Feeling of being in harmony
Adanya perasaan untuk hidup harmonis dengan lingkungan, serta adanya
minat untuk melakukan kebaikan terhadap orang lain, tidak hanya pada diri
sendiri.
2.3.6 Dampak Selflessness
Dampak dari selflessness yaitu berorientasi pada kebahagiaan dan kesejahteraan
diri dan orang lain yang bersifat tahan lama atau bertahan lama (Dambrun dan
Ricard, 2011). Ketika orang yang memiliki selflessness tinggi dapat mempertahankan
prinsip keharmonisan serta emosi yang stabil terhadap orang lain, maka individu
akan merasakan kebahagiaan yang bertahan lama.
22
2.4 Tendensi Korupsi
2.4.1 Teori Tendensi Korupsi
Tangney (2003, dalam Cohen dan Wolf (2011) memaparkan bahwa emosi moral
memberikan dorongan dan motivasi pada individu untuk melakukan hal yang baik
serta menghindari perilaku yang buruk. Kaligis (2006), menyatakan korupsi berasal
dari bahasa latin yaitu Corruption atau Corruptus. Artinya, korupsi adalah suatu
perbuatan yang dipolitisir menjadi suatu kejahatan terhadap negara dan masyarakat
dalam pengertian seluas-luasnya.
Quah (n.d), korupsi adalah perilaku menyimpang dari aturan yang ada karena
uang atau keuntungan tertentu.
Korupsi merupakan penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan untuk
keuntungan pribadi. Korupsi diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu korupsi
besar, kecil, dan politik (Transparency International).
-
Korupsi besar merupakan tindakan yang dilakukan pada tingkat tinggi atau
pemerintah atau fungsi sentral negara yang memungkinkan pemimpin untuk
mendapatkan keuntungan dengan mengorbankan kepentingan publik.
-
Korupsi kecil yaitu mengacu pada penyalahgunaan kekuasaan sehari-hari
dipercayakan oleh pejabat publik rendah dan menengah dalam interaksi
mereka dengan warga biasa, yang sering mencoba untuk mengakses barang
atau jasa di tempat-tempat seperti rumah sakit, sekolah, departemen
kepolisian dan instansi lainnya.
-
Korupsi politik yaitu manipulasi kebijakan, lembaga dan aturan prosedur
dalam alokasi sumber daya dan pembiayaan oleh para pembuat keputusan
politik, yang menyalahgunakan posisi mereka untuk mempertahankan
kekuasaan mereka, status dan kekayaan.
Kaligis (2006), bagi perkara tindak pidana korupsi, selain menggunakan
KUHAP, digunakan juga ketentuan-ketentuan mengenai hukum acara yang
tercantum dalam UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
UU No. 31 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU. 20 tahun 2001,
menjelaskan mengenai tindak pidana korupsi yang berisi ancaman mengenai pidana
mati bagi pelaku korupsi.
23
Perhatian internasional terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi sejalan
dengan pendapat Satjipto Rahardjo yang mengatakan, penanganan korupsi tidak
dapat dilakukan dengan cara-cara biasa saja (Ordinary measure) yaitu oleh aparat
hukum dengan senjata undang-undang anti korupsi saja (UU No.31 tahun 1999 jo.
UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi).
Jadi, dari beberapa teori tersebut disimpulkan bahwa tendensi korupsi adalah
rendahnya rasa malu dan rasa bersalah dengan melakukan perilaku yang cenderung
tidak etis yang berhubungan dengan emosi-moral demi mendapat uang atau
keuntungan tertentu.
2.4.2 Definisi rasa malu dan rasa bersalah
Perasaan malu dan bersalah terjadi apabila terdapat stress yang muncul sebagai
dampak dari pelanggaran yang dilakukan (Cohen, Insko, Panter, Wolf, 2011).
Tangney (2003, dalam Cohen et al. (2011) memaparkan bahwa rasa malu dan
bersalah merupakan emosi yang terjadi dari kesadaran diri sebagai hasil dari refleksi
dan evaluasi diri. Kedua emosi ini juga merupakan pendorong munculnya regulasi
diri. Akan tetapi, walau terlihat serupa, perlu diingat bahwa kedua hal ini adalah
variabel yang berbeda. Berdasarkan pandangan perilaku diri (self-behavior) yang
dikemukakan oleh Tracy dan Robins (2004, dalam Cohen et al. (2011), perasaan
bersalah terjadi ketika seseorang membuat atribusi internal mengenai perilaku
spesifik yang tidak sesuai dengan perilakunya sehingga merujuk pada munculnya
perasaan negatif mengenai perilaku yang dilakukan. Di sisi lain, rasa malu muncul
ketika seseorang membuat atribusi internal yang bersifat stabil dan global mengenai
dirinya sehingga merujuk pada perasaan negatif mengenai diri secara global (Cohen
et al. 2011). Pandangan lainnya yang turut mengulas perbedaan mengenai rasa malu
dan bersalah adalah pandangan umum-pribadi (public-private) yang dikemukakan
oleh Combs, Campbell, Jackson, dan Smith (2010, dalam Cohen et al. (2011).
Pandangan ini melandaskan pandangan antropologi dalam pembahasannya. Menurut
pandangan ini, perasaan bersalah diasosiasikan dengan perasaan pribadi bahwa telah
melakukan hal yang salah dan bertentangan dengan hati nuraninya. Sebaliknya,
perasaan malu merupakan perasaan negatif yang muncul ketika seseorang
melakukan kesalahan dan kesalahannya dikemukakan di muka umum (Cohen et al.
2011).
24
2.4. 3 Dimensi tendensi korupsi
Cohen et al. (2011) menyatakan terdapat beberapa dimensi tendensi korupsi,
yaitu:
Variabel kecenderungan perasaan malu dan bersalah disusun oleh dua dimensi
utama, yaitu dimensi kecenderungan rasa malu dan dimensi kecenderungan rasa
bersalah (Cohen et al. 2011). Setiap dimensi ini memiliki masing-masing 2 indikator.
Dimensi kecenderungan perasaan bersalah dapat diindikasikan dengan adanya
evaluasi perilaku negatif dan perbaikan diri. Korelasi antara evaluasi terhadap
perilaku negatif dan perbaikan diri berkorelasi dapat dijelaskan bahwa individu yang
memiliki kecenderungan untuk mengevaluasi perilaku yang negatif akan memiliki
kecenderungan untuk melakukan perbaikan diri.
Dimensi rasa malu memiliki dua indikator, yaitu menarik diri dan mengevaluasi
diri secara negatif. Indikator pengevaluasian diri secara negatif berkorelasi dengan
kedua indikator perasaan bersalah, yakni indikator perbaikan diri dan evaluasi
perilaku negatif. Sebaliknya, indikator menarik diri ditemukan berkorelasi dengan
menyerang lawan dan pelanggaran janji serta berkorelasi positif dengan
kesalahpahaman.
2.4.4 Faktor yang mempengaruhi tendensi korupsi
Tangney dan Dearing (2002, dalam Cohen et al. (2011), memaparkan bahwa
kepribadian merupakan salah satu aspek yang berpengaruh terhadap kecenderungan
munculnya rasa malu dan bersalah. Sebagai contoh, rendahnya kepercayaan diri
lebih merujuk pada kecenderungan akan perasaan malu dibandingkan bersalah.
Sebaliknya, perasaan empati lebih merujuk pada kecenderungan akan perasaan
bersalah dibandingkan malu (Cohen et al. 2011).
2.4.5 Dampak dari tendensi korupsi
Schmader dan Lickel (2006, dalam Cohen, Wolf et al. (2011) membuktikan
bahwa sama seperti rasa bersalah, perasaan malu juga dapat menimbulkan perbaikan
perilaku, namun dapat juga menyebabkan seseorang menjadi menarik diri. Selain itu
juga terjadi ketidakadilan pada masyarakat,antara individu yang memiliki
25
kesempatan untuk melakukan korupsi dan dapat menikmati hasil korupsi tersebut
dengan individu yang tidak memiliki kesempatan untuk melakukan korupsi dan
menikmati hasil korupsi.
2.5 Kerangka Berpikir
Family’s Mental
Health Sufficiency,
Family’s Income
Sufficiency (Family
Self Sufficiency)
Salary Sufficiency
Tendensi Korupsi
-
-
Rasa Malu
Evaluasi diri negatif
Menarik diri
Rasa Bersalah
Evaluasi perilaku negatif
Perbaikan diri
Selflessness
Evaluasi diri negatif merupakan proses evaluasi, dimana individu memandang
buruk diri sendiri setelah melakukan hal yang tidak baik. Stephenson (2012)
mendefinisikan family self sufficiency adalah pendapatan yang diperoleh individu
serta mencakup keberhasilan di tempat kerja, dimana pendapatan dan kinerja dapat
mempengaruhi kesejahteraan keluarga sehingga menimbulkan persepsi kecukupan
hidup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Ketika pegawai mempersepsikan
adanya ketidakcukupan dalam kehidupan keluarga, maka pegawai akan berusaha
agar dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Usaha untuk memenuhi
kecukupan hidup keluarga dapat berupa perilaku menyimpang seperti melakukan
korupsi yang dapat merugikan instansi atau perusahaan, namun membawa
keuntungan pribadi bagi karyawan. Namun, dalam situasi ini pegawai akan
berasumsi bahwa penyimpangan ini dilakukan untuk memenuhi kecukupan hidup
keluarga serta membenarkan perbuatan tersebut. Dengan pembenaran ini, pegawai
akan memiliki evaluasi diri negatif dalam tingkat yang rendah ketika melakukan
penyimpangan. Berdasarkan pemaparan ini, peneliti berpendapat bahwa ketika
family self sufficiency rendah, pegawai akan memiliki evaluasi diri negatif yang
rendah saat melakukan penyimpangan dalam perusahaan tersebut. Dapat disimpulkan
bahwa peneliti berasumsi family self sufficiency dapat memprediksi evaluasi diri
negatif dalam arah positif.
26
Menarik diri adalah upaya individu untuk menghindari keadaan ketika
melakukan kesalahan. Seringkali menarik diri dilakukan untuk menghindari
tanggung jawab dan perasaan bersalah pada pihak yang dirugikan. Ketika pegawai
mempersepsikan bahwa ia tidak mampu memenuhi kecukupan hidup keluarga, maka
pegawai memiliki kecenderungan untuk memenuhi ketidakpuasan yang diterima dari
pihak perusahaan. Tindakan merugikan ini dianggap sebagai upaya untuk
memperoleh kepuasan. Dalam kondisi ini, pegawai cenderung tidak segan
menunjukkan pada perusahaan sebagai balasan untuk menuntut ketidakpuasan yang
diperolehnya. Kemungkinan yang dapat terjadi adalah pegawai menunjukkan
kemampuannya untuk memenuhi ketidakpuasannya dan tidak berupaya untuk
menutupi penyimpangan yang dilakukan apabila perilaku terungkap. Dapat
disimpulkan bahwa peneliti berasumsi bahwa family self sufficiency rendah, pegawai
akan menunjukkan balasan yang dapat dilakukannya dan tidak akan menarik diri.
Hipotesa peneliti adalah family self sufficiency dapat memprediksi perilaku menarik
diri dalam arah positif.
Evaluasi perilaku negatif merupakan kecenderungan individu untuk memandang
buruk perilakunya ketika menyadari melakukan hal yang tidak baik. Ketika pegawai
mempersepsikan adanya ketidakcukupan untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya, pegawai cenderung akan berupaya untuk mengembalikan keadaan agar
dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Upaya ini dapat dilakukan dengan
melakukan penyimpangan dalam lingkup perusahaan. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Deci (1972); Calder dan Staw (1975) dalam Pfeffer dan Lawler
(1980), mengungkapkan bahwa kecukupan akan gaji untuk memenuhi hidup
keluarga berhubungan dengan kinerja, sikap, dan komitmen individu dalam bekerja.
Ia mengatakan bahwa kecukupan terhadap gaji berdampak pada komitmen dan sikap.
Ketika seseorang memiliki kinerja dan komitmen yang rendah, pegawai akan
mempersepsikan bahwa perilakunya bukanlah hal yang negatif, namun upaya untuk
mencapai keadaan yang seimbang agar kecukupan hidup keluarganya terpenuhi.
Dalam hal ini, terjadi proses rasionalisasi, yaitu karyawan menilai bahwa rendahnya
kinerja dan komitmennya yang dilakukannya bukanlah hal yang salah namun hanya
sebuah umpan balik dari ketidakpuasan yang diperoleh dari perusahaan. Berdasarkan
pemaparan ini, peneliti berasumsi bahwa ketika ketika pegawai memiliki family self
sufficiency yang rendah, apabila ia melakukan performa kerja yang rendah dalam
27
lingkup perusahaan, pegawai akan memiliki evaluasi perilaku negatif yang rendah.
Dapat disimpulkan bahwa peneliti berpendapat bahwa family self sufficiency dapat
memprediksi evaluasi perilaku negatif dalam arah positif.
Perbaikan diri merupakan upaya individu untuk memperbaiki kesalahannya
ketika sadar telah melakukan kesalahan. Saat pegawai memiliki family self
sufficiency yang rendah, karyawan akan merasa kecewa dan memiliki kemarahan
pada perusahaan. Kemarahan ini dapat menimbulkan dampak berupa perilaku yang
dengan sengaja dilakukan untuk merugikan perusahaan. Perilaku yang merugikan ini
akan dipersepsikan sebagai upaya membalas kekecewaan yang telah ditimbulkan
oleh perusahaan. Berdasarkan uraian ini, peneliti berasumsi bahwa sepanjang
pegawai masih memiliki kemarahan pada perusahaan, karyawan akan memiliki
inisiatif untuk memperbaiki perilaku yang merugikan perusahaan ini dalam tingkat
yang minim. Hipotesa peneliti adalah family self sufficiency mampu memprediksi
perbaikan diri dalam arah positif.
Kecukupan hidup keluarga merupakan suatu persepsi akan kecukupan atau
ketidakcukupan tentang keluarga untuk mencapai standar hidup yang lebih tinggi
tanpa adanya keterlibatan atau bantuan dari orang lain. Ketika individu memiliki
persepsi ketidakcukupan untuk memenuhi hidup keluarga, maka akan mengalami
kecemasan, ketidakpuasan dibanding individu lain yang memiliki kecukupan atau
persepsi cukup untuk memenuhi hidup keluarga sehingga memicu seseorang untuk
melakukan perilaku yang merugikan perusahaan, seperti dengan melakukan korupsi.
Sehingga, peneliti berasumsi bahwa individu yang memiliki family self sufficiency
tinggi memiliki GASP (rasa malu dan rasa bersalah) yang tinggi, sehingga tendensi
korupsinya rendah.
Evaluasi diri negatif terjadi ketika individu menilai diri buruk atau
memberikan penilaian diri secara keseluruhan dengan negatif ketika melakukan hal
yang tidak bermoral. Individu yang memiliki persepsi kecukupan akan gaji akan
lebih memikirkan hal yang dapat menyebabkan kerugian bagi orang lain maupun diri
sendiri.Seseorang yang memiliki salary yang tinggi akan memiliki persepsi yang
baik terhadap dirinya. Berarti, pegawai yang memiliki salary sufficiency yang tinggi
akan mengevaluasi negatif dirinya secara dalam taraf yang rendah karena memiliki
28
persepsi diri yang positif. Berdasarkan pemaparan ini, peneliti berasumsi bahwa
salary sufficiency dapat memprediksi evaluasi diri negatif dalam arah negatif.
Salah satu upaya yang dilakukan seseorang untuk menghindari situasi ketika
ia melakukan kesalahan adalah dengan menarik diri. Perilaku ini muncul sebagai
usaha untuk menghindari tanggung jawab dan perasaan malu yang timbul karena
terungkapnya kesalahan yang dilakukan. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya,
individu dengan salary sufficiency tinggi juga akan memiliki self esteem yang tinggi.
Sehingga individu dengan salary sufficiency tinggi akan merasa malu apabila
melakukan suatu kesalahan dan kesalahan tersebut terungkap. Dengan demikian,
kecenderungan untuk menarik diri juga semakin tinggi. Perilaku ini juga dapat
dilakukan untuk menghindari tanggung jawab serta konsekuensi. Berdasarkan
pemaparan ini, peneliti berasumsi bahwa salary sufficiency dapat memprediksi
perilaku menarik diri dalam arah positif.
Evaluasi perilaku negatif terjadi ketika individu menilai perbuatannya buruk saat
menyadari melakukan hal yang melanggar moral. Evaluasi perilaku negatif terjadi
ketika timbulnya rasa bersalah setelah melakukan perilaku yang tidak bermoral.
Seseorang yang memiliki salary sufficiency yang tinggi cenderung memiliki
lingkungan sosial yang baik, serta pendidikan yang baik. Sehingga, memiliki konsep
diri yang baik pula. Dengan demikian, ketika seseorang dengan salary sufficiency
tinggi melakukan perilaku yang menyimpang atau tidak bermoral yang dapat
merugikan pihak lain, ia juga akan mengevaluasi bahwa perilakunya buruk karena
tidak sesuai dengan konsep diri positif yang dipegangnya. Peneliti berasumsi bahwa
individu dengan salary sufficiency tinggi dapat memprediksikan evaluasi perilaku
negatif dalam arah positif.
Perbaikan diri merupakan upaya individu memperbaiki kesalahannya ketika
sadar melakukan hal yang buruk. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, faktor
lingkungan sosial mempengaruhi perilaku seseorang. Pegawai dengan salary
sufficiency tinggi cenderung memiliki lingkungan sosial yang baik. Sehingga, ketika
melakukan suatu perbuatan yang buruk atau melanggar moral, individu akan
cenderung untuk memperbaiki kesalahannya. Peneliti berasumsi bahwa salary
sufficiency dapat memprediksi perbaikan diri dalam arah positif. Peneliti berasumsi
29
bahwa individu yang memiliki salary sufficiency tinggi maka GASP (rasa malu dan
rasa bersalah) juga tinggi, sehingga tendensi korupsinya rendah.
Selflessness berarti rendahnya sikap untuk mementingkan kepentingan dan
kebahagiaan diri sendiri dan mempedulikan kepentingan orang lain. Individu
cenderung untuk ingin mencapai kesejahteraan diri dan keluarga. Menurut Dambrun
dan Ricard (2011), selflessness merupakan pencarian keharmonisan, salah satu
prinsip keharmonisan yaitu emosi yang stabil, sehingga seseorang yang memiliki
selflessness tinggi cenderung untuk hidup harmonis dengan orang lain dan tidak akan
melakukan suatu perbuatan yang melanggar konsep diri untuk melakukan perilaku
yang tidak etis yang dapat merugikan orang lain seperti korupsi. Apabila ia
melakukan perilaku tidak etis atau emosi tidak stabil, maka evaluasi diri negatif juga
cenderung tinggi. Berdasarkan pemaparan ini, peneliti berasumsi bahwa selflessness
dapat memprediksi evaluasi diri negatif dalam arah positif.
Menarik diri adalah upaya individu untuk menghindari keadaan ketika
melakukan kesalahan. Seringkali menarik diri dilakukan untuk menghindari
tanggung jawab dan perasaan bersalah pada pihak yang dirugikan, hal ini telah
dipaparkan sebelumnya. Ketika pegawai memiliki selflessness yang rendah, maka
pegawai memiliki kecenderungan untuk mencapai kepuasan dari pihak perusahaan.
Tindakan merugikan ini dianggap sebagai upaya untuk memperoleh keuntungan
yang lebih. Dalam kondisi ini, pegawai cenderung tidak segan menunjukkan pada
perusahaan sebagai balasan untuk menuntut keuntungan yang lebih agar dapat
mencapai kepuasan. Kemungkinan yang dapat terjadi adalah pegawai menunjukkan
kemampuannya untuk mencapai kepuasannya dan tidak berupaya untuk menutupi
penyimpangan yang dilakukan apabila perilaku terungkap. Dapat disimpulkan bahwa
peneliti berasumsi selflessness rendah, pegawai akan menunjukkan balasan yang
dapat dilakukannya dan tidak akan menarik diri. Hipotesa peneliti adalah selflessness
yang rendah dapat memprediksi perilaku menarik diri dalam arah positif.
Evaluasi perilaku negatif merupakan kecenderungan individu untuk memandang
buruk perilakunya ketika menyadari melakukan hal yang tidak baik. Ketika pegawai
memiliki selflessness rendah, maka pegawai akan merespon dengan menampilkan
perilaku secara disengaja untuk merugikan orang lain atau perusahaan untuk
mendapat keuntungan pribadi. Dalam hal ini, empati mungkin ikut berperan.
30
Evaluasi perilaku negatif merupakan bagian dari rasa bersalah. Menurut Burgo
(2013), rasa bersalah berdampak rendahnya empati atau kurangnya kesadaran diri
seseorang. Seseorang yang memiliki selflessness yang tinggi akan memiliki rasa
bersalah yang tinggi, sehingga empati terhadap orang lain juga tinggi dan
kecenderungan untuk merugikan pihak lain menjadi rendah. Berdasarkan pemaparan
ini, peneliti berasumsi bahwa ketika pegawai memiliki selflessness yang tinggi,
apabila pegawai melakukan penyimpangan dalam lingkup perusahaan, pegawai akan
memiliki evaluasi perilaku negatif yang tinggi. Peneliti berpendapat bahwa
selflessness dapat memprediksi evaluasi perilaku negatif dalam arah positif.
Perbaikan diri terjadi ketika individu menyadari bahwa ia telah melakukan
kesalahan. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, struktur dari self menurut
Dambrun dan Ricard (2011), individu yang selfless memiliki emosi yang stabil dan
selalu ingin berada dalam keharmonisan di lingkungan kehidupannya. Sehingga,
ketika individu yang memiliki selflessness yang tinggi melakukan suatu kesalahan
atau perilaku yang tidak etis yang menyebabkan ketidakharmonisan denga orang
lain, individu tersebut akan memperbaiki diri dari kesalahan tersebut. Sehingga,
peneliti berasumsi bahwa semakin tinggi selflessness, maka semakin tinggi perbaikan
diri yang dilakukan ketika melakukan kesalahan. Peneliti berasumsi bahwa individu
yang memiliki selflessness tinggi, maka GASP (rasa malu dan rasa bersalah) juga
tinggi, sehingga tendensi korupsi rendah.
Sehingga, peneliti menyimpulkan bahwa family self sufficiency,
salary
sufficiency, dan selflessness mampu memprediksi rasa malu dan rasa bersalah
(tendensi korupsi) pada seseorang. Ketika individu dengan family self sufficiency dan
salary sufficiency tinggi bergantung dengan selflessness tinggi, maka tendensi
korupsinya lebih rendah dibanding individu dengan famliy self sufficiency dan salary
sufficiency tinggi dengan selflessness yang rendah. Begitu juga, individu dengan
family self sufficiency dan salary sufficiency rendah bergantung dengan selflessness
rendah, maka tendensi korupsinya lebih tinggi dibanding individu yang memiliki
family self sufficiency dan salary sufficiency rendah dengan selflessness tinggi.
Download