BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Family Self Sufficiency 2.1.1 Definisi Family Self Sufficiency Menurut Vohs, Mead, dan Goode (2008), self sufficiency adalah penekanan pada perilaku yang dipilih oleh individu yang dapat dicapai tanpa keterlibatan aktif dari orang lain. Seymour (n.d), menyatakan bahwa self sufficiency kecukupan atas sesuatu yang dimiliki dan berjuang untuk standar hidup yang lebih tinggi, termasuk makanan, lingkungan, kesehatan, dan pekerjaan. Sehingga, family self sufficiency adalah persepsi akan kecukupan atau ketidakcukupan tentang keluarga untuk mencapai standar hidup yang lebih tinggi tanpa adanya keterlibatan atau bantuan dari orang lain. Family self sufficiency terbagi menjadi empat, yaitu academic, health, economic, psychosocial. Academic terbagi atas dua yaitu pendidikan yang dicapai dan keterampilan yang dimiliki seseorang. Health meliputi kesehatan fisik, kesehatan mental yang dirasakan seseorang. Psychosocial yang meliputi kenyamanan tempat tinggal, makanan yang bergizi, kesanggupan menitip anak kepada baby sitter, transportasi, dan keamanan serta kenyamanan lingkungan sekitar. Menurut Stephenson (2012), family self sufficiency adalah pendapatan yang diperoleh individu serta mencakup keberhasilan di tempat kerja, dimana pendapatan dan kinerja dapat mempengaruhi kesejahteraan keluarga. Family self sufficiency juga didefinisikan sebagai kemampuan individu dan keluarga untuk secara konsisten memenuhi kebutuhan hidup, termasuk makanan, rumah, biaya kesehatan, transportasi, pajak, biaya untuk anak, dan pakaian baik dengan ada atau tidak ada bantuan keuangan atau subsidi dari organisasi tertentu. Gowdy dan Pearlmutter (1993, dalam Stephenson (2012) menyatakan family self sufficiency tidak hanya perolehan uang atau sumber daya keuangan melainpkan cara hidup sseorang. Individu yang memiliki gaji tinggi tetapi tidak bisa hidup hemat dan individu yang memiliki gaji rendah tetapi mampu untuk hidup hemat akan berhubungan dengan kecukupan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Menurut Pfeffer dan Lawler (1980), insufficient justification merupakan paradigma dari sufficiency of reward. Aronson (1963), insufficient justification 11 12 (insufficient punishment) adalah fenomena psikologi sosial yang berhubungan dengan disonansi kognitif yang melibatkan external justification dan internal justification. justification merupakan usaha seseorang untuk mencari pembenaran atas disonansi kita, baik karena situasi atau orang lain. Ketika external justification tidak berhasil dilakukan, maka individu akan menggunakan internal justification (mengurangi disonansi dengan melakukan perubahan terhadap diri, baik mengubah sikap atau perilaku). Insufficient justification terjadi ketika individu menggunakan motivasi internal untuk membenarkan perilaku. Menurut Aronson (1963), insufficient punishment terjadi ketika seseorang diberikan punishment yang berat akan suatu perilaku tertentu maka ketika perilaku tersebut tidak diawasi, individu akan cenderung melakukan perilaku tersebut (external justification), sehingga membutuhkan usaha yang lebih besar untuk menghentikan perilaku tertentu. Tetapi, ketika seseorang diberikan punishment yang ringan atau sedang akan perilaku tertentu, maka seseorang cenderung tidak melakukan perilaku tersebut (internal justification). Gowdy and Pearlmutter (1993, dalam Stephenson (2012), mengemukakan instrumen skala Family Self Sufficieny terdiri dari empat dimensi, yaitu: 1. Otonomi dan menentukan kebutuhan hidup sendiri (autonomy and selfdetermination). 2. Keamanan finansial dan bertanggung jawab terhadap penggunaan biaya hidup (financial security and responsibility). 3. Kesejahteraan diri dan keluarga (family and self-well-being). 4. Aset dasar untuk hidup dalam masyarakat (basic assets for living in the community). 2.1.2 Kriteria Family Self Sufficiency Gralinski-Bakker et al (2004, dalam Stephenson (2012), menyatakan bahwa individu yang memiliki Family Self Sufficiency akan memiliki beberapa kriteria yaitu: 13 1. Memiliki harga diri (self-worth) Individu yang memiliki kecukukupan untuk memenuhi hidup keluarga akan memiliki harga diri yang tinggi, karena dipandang oleh orang lain bahwa ia mampu memenuhi kebutuhan diri dan keluarga. 2. Memiliki kebebasan (freedom) Individu yang memiliki kecukupan finansial akan memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga secara bebas tanpa ada batasan tertentu yang menghalangi individu untuk melakukan sesuatu. 3. Memiliki orientasi masa depan (a sense of future) Individu yang memiliki kecukupan hidup jelas akan lebih memiliki perencanaan, mulai dari pendidikan hingga karir yang akan ditempuh untuk masa depan yang lebih baik. 4. Memiliki sumber daya keuangan yang baik (as well as financial resources) Individu yang memiliki kecukupan hidup akan mampu mengelola keuangannya untuk kebutuhan hidup keluarga dengan memiliki tabungan untuk dipergunakan dalam situasi tertentu. 2.1.3 Faktor yang mempengaruhi Family Self Sufficiency Hawkins (2002, dalam Stephenson (2012) menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi Family Self Sufficiency seseorang yaitu: - Memiliki simpanan atau tabungan (had a savings or checking account) Besar atau kecilnya pendapatan seseorang akan berhubungan dengan simpanan atau tabungan yang dimiliki individu akan mempengaruhi kecukupan kebutuhan hidup keluarga. - Keyakinan bahwa pendapatan dapat menutupi beban atau kebutuhan keluarga (held the belief that their income covered their financial expenses) Ketika individu merasa yakin akan kecukupan atas pendapatan yang diterimanya, maka individu akan mengontrol pengeluarannya agar mampu mencukupi kebutuhan keluarga. - Adanya bantuan dana dari sumber tertentu (had an income or received funds from a source other than those already listed) Bantuan yang diterima seseorang juga mempengaruhi kecukupan hidup individu dan keluarga, seperti adanya bantuan langsung tunai (BLT) yang merupakan program pemerintah. 14 2.1.4 Dampak Family Self Sufficiency Murry, dkk (2002, dalam Stephenson (2012) menyatakan dampak dari rendahnya Family Self Sufficiency yaitu - Terjadinya psychological stress pada keluarga Individu yang mengalami ketidakcukupan atas kebutuhan keluarga akan berdampak pada stress, yang membuat individu melakukan perilaku tidak etis yang merugikan orang lain agar mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga. - Adanya pandangan negatif anak terhadap orang tua Anak yang berasal dari keluarga yang tidak berkecukupan akan memandang orang tua secara buruk karena dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga, sehingga rentan terhadap konflik. - Terjadi hambatan sosial-emosional, biologis, maupun intelektual pada anak Anak yang berasal dari keluarga yang tidak berkecukupan juga akan memiliki hambatan tertentu, seperti kurangnya gizi, pendidikan yang diterima. 2.2 Salary Sufficiency 2.2.1 Definisi Salary Sufficiency Menurut Vohs, Mead, dan Goode (2008), self sufficiency adalah penekanan pada perilaku yang dipilih oleh individu yang dapat dicapai tanpa keterlibatan aktif dari orang lain. Seymour (n.d), menyatakan bahwa self sufficiency kecukupan atas sesuatu yang dimiliki dan berjuang untuk standar hidup yang lebih tinggi, termasuk makanan, lingkungan, kesehatan, dan pekerjaan. Sehingga, salary sufficiency adalah persepsi akan kecukupan atau ketidakcukupan tentang gaji yang diterima untuk mencapai standar hidup yang lebih tinggi tanpa adanya keterlibatan atau bantuan dari orang lain. Kecukupan atas gaji yang diterima seseorang apabila ia mampu memenuhi kebutuhan akan makanan, lingkungan (pendidikan, tempat tinggal, kesehatan, serta memilki pekerjaan tetap. 2.2.2 Komponen Salary Sufficiency Menurut Gowdy dan Pearlmutter (1993, dalam Stephenson (2012), orang yang memiliki kecukupan atas gaji akan mencakup dua hal berikut, yaitu kekuatan dan kebebasan (power and freedom). Individu yang memiliki kecukupan atas gaji maka 15 akan lebih memiliki kekuatan dalam melakukan suatu hal dibanding orang yang tidak berkecukupan, seperti pendapatnya akan lebih didengar, dsb. Begitu pula, individu yang memiliki kecukupan atas gaji akan memiliki kebebasan untuk melakukan dan membeli sesuatu dibandingkan individu yang memiliki ketidakcukupan atas gaji yang diterimanya. 2.2.3 Dampak Salary Sufficiency Menurut Stephenson (2012), individu yang memiiki ketidakcukupan atas gaji yang diterima dapat berdampak pada kemiskinan, baik pada orang dewasa dan keluarga maupun anak-anak. Menurut Najman et al. (2010) dalam Stephenson (2012), dampak terhadap keluarga mencakup kecemasan dan depresi sebagai hasil dari pandangan lingkungan terhadap diri dan keluarganya. Sehingga orang dengan ketidakcukupan atas gaji yang diterima cenderung rentan terhadap stres. Pada wanita, biasanya ditunjukkan dengan cara merokok, minum akohol, atau menggunakan narkoba sehingga juga berdampak pada kesehatan. Komro et al. (2011) dalam Stephenson (2012), menyatakan bahwa individu yang memiliki ketidakcukupan atas gaji yang diterima serta tinggal di lingkungan yang serba berketidakcukupan dapat mempengaruhi hidup keluarga yang berhubungan dengan perilaku, emosi, dan mental seseorang. Ia juga mengatakan tidak adanya orentasi dan kurang pengetahuan dapat menimbulkan perilaku seks bebas sehingga mengakibatkan kelahiran di usia muda, berat badan bayi yang tidak normal (dibawah berat rata-rata), kehamilan dan kenakalan remaja, dikeluarkan dari sekolah, pembunuhan, bunuh diri, dsb. Hal ini dikarenakan kurangnya penghasilan keluarga yang menyebabkan kurangnya pendidikan serta lingkungan atau pergaulan yang bebas dan menyebabkan perilaku yang menyimpang. Menurut Vanderbilt-Adriance dan Shaw (2008, dalam Stephenson (2012), ketidakcukupan atas gaji yang diterima juga berdampak pada anak-anak, seperti terhambatnya pertumbuhan, kualitas kesehatan dan pendidikan yang rendah, serta anak akan kehilangan haknya. Selain itu ketidakcukupan gaji juga berdampak pada fisik, kognitif, dan perkembangan mental yang memprihatinkan (Crooks, 1995; Seccombe, 2002; Smith & Ashiabi, 2007; Wadsworth et al., 2008). 16 2.2.4 Cara mengatasi ketidakcukupan atas gaji Menurut Stephenson (2012), keluarga yang memiliki ketidakcukupan atas gaji dapat diatasi sendiri agar tidak menimbulkan stress dan depresi berkepanjangan dengan cara (1) memiliki orientasi masa depan untuk sukses, (2) dapat menempatkan diri dan menilai diri dengan baik, (3) dapat mengandalkan diri sendiri. 2.3 Selflessness 2.3.1 Definisi Selflessness Menurut Dambrun dan Ricard (2011), selflessness berarti rendahnya tingkat selfcenteredness atau rendahnya tingkat untuk mementingkan diri sendiri. Ia mengatakan bahwa selflessness merupakan pencarian keharmonisan dengan orang lain. Ia mengatakan bahwa salah satu prinsip keharmonisan yaitu memiliki emosi yang stabil. Menurut Bachar et al. (2002) selflessness adalah kecenderungan seseorang untuk melepaskan minat atau kepentingannya sendiri dan mengabaikan kebutuhan sendiri untuk melayani dan mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan orang lain. Selflessness merupakan lawan dari self-centeredness, Dambrun dan Ricard (2011) mendefinisikan self centeredness sebagai suatu titik dimana diri berhubungan dengan banyak aktivitas psikologis (konasi, motivasi, perhatian, kognisi, dan perilaku) yang semuanya mengarah untuk kepentingan diri. Self-centeredness juga didefinisikan sebagai egois (selfishness) atau memikirkan kepentingan diri (Batson, 1991; Feeney & Collins, 2003) dalam Caprariello (2012). Self-centeredness merupakan persamaan dari selfishness. Menurut L’Abate dan Bryson (1994), selfishness merupakan mementingkan kepentingan diri sendiri di atas kepentingan orang lain. Individu bersikap egois didasarkan atas dorongan atau kecanduan yang dilakukan secara sosial yang berhubungan dengan pekerjaan untuk kasus ekstrim atau kebahagiaan diri sendiri. Sedangkan menurut Wispe (1985), menyatakan selfishness merupakan penekanan pada narcissism, self-concern, dan adanya pandangan akan “aku”. Ia juga menyatakan bahwa selfishness dilakukan untuk mencapai kebutuhan dan keinginan individu. Sedangkan selflessness yaitu kualitas tidak menempatkan diri sendiri terlebih dahulu, tetapi bersedia untuk memberikan waktu, uang atau usaha untuk orang lain. 17 Berdasarkan beberapa definisi tersebut, maka selflessness adalah rendahnya tingkat self-centeredness (mementingkan diri sendiri) dan melayani kebutuhan atau kepentingan orang lain, serta lebih mengutamakan perbuatan baik, perasaan empati dan belas kasih terhadap orang lain untuk mencapai keharmonisan. 2.3.2 Karakteristik Selflessness Karakteristik dari seflessnesss menurut Dambrun dan Ricard (2011) yaitu: 1. Interdependent Self Individu yang memiliki selflessness akan memiliki perasaan yang kuat yang berhubungan dengan orang lain. Individu memiliki perasaan untuk memikirkan kepentingan orang lain. Selain itu, selflessness juga berhubungan dengan mental dan emosi yang berpusat pada orang lain (other-focused emotion). Sedangkan individu yang self-centered memiliki fokus terhadap diri (ego- focused emotion). Interdependent self juga lebih memiliki perilaku untuk mengevaluasi diri (self evaluation). Interdependent self (selflessness) berhubungan dengan konteks sosial, sedangkan self-centeredness merupakan bagian dari konteks sosial. 2. Outsider Phenomenologies Cohen, Hoshino-Browne, and Leung (2007, dalam Dambrun dan Ricard (2011) memaparkan bahwa outsider merupakan pengalaman diri sendiri mengenai sudut pandang orang lain dalam melihat dirinya. Karena selfless berhubungan dengan konteks sosial maka ia memperhatikan sudut pandang orang lain mengenai dirinya. Sedangkan insider, lebih berpusat pada diri sendiri tanpa memperhatikan sudut pandang orang lain atau melihat kepentingan sendiri. 3. Impermanent Self Individu yang selfless memiliki impermanent self, artinya individu cenderung memiliki perasaan yang continuum atau berkelanjutan dari waktu ke waktu. Ia cenderung memperhatikan atau mempedulikan apa yang terjadi pada orang lain dari waktu ke waktu, tidak hanya mempedulikan diri sendiri. 2.3.3 Faktor yang membentuk Selflessness dan Self-centeredness Individu cenderung berorientasi pada kepuasan diri, sehingga ia cenderung untuk mementingkan diri sendiri dan keluarga agar dapat memenuhi kepuasan diri 18 (Caprariello, 2012). Menurut Dambrun dan Ricard (2011), terdapat faktor yang dapat membentuk selflessness dan self-centeredness pada seseorang, yaitu: 1. Latar belakang budaya - Individualism dan collectivism Orang yang individualis cenderung untuk lebih berpusat pada diri sendiri atau mementingkan diri sendiri dibandingkan individu yang bersifat kolektif. Individu kolektif cenderung memusatkan pada kesejahteraan orang lain (umum atau bersama-sama). - Horizontal dan vertical individualism Horizontal individualism yaitu memiliki kebebasan diri tanpa adanya kompetisi untuk peningkatan diri. Sedangkan vertical individualism yaitu adanya keinginan untuk meningkatkan diri dengan ketidaksetaraan atau ketidaksepadanan dengan orang lain dan melakukan kompetisi. 2. Didikan orang tua - Avoidance attachment dan anxious attachment Avoidance attachment yaitu kecenderungan seseorang untuk merasa nyaman dalam level yang rendah dalam berhubungan dengan orang lain dan menyebabkan independence (lebih berpusat pada diri dibanding bersama orang lain). Sedangkan seorang anak dengan anxious attachment akan lebih merasakan ketakutan atau kecemasan ketika berhubungan dengan orang lain karena adanya perasaan bahwa ia akan dimanfaatkan oleh orang lain. - Secure attachment dan insecure attachment Seorang anak dengan pola asuh atau didikan orang tua yang menekankan pada secure attachment biasanya anak cenderung lebih selfless (tidak mementingkan diri sendiri). Sedangkan anak dengan didikan insecure attachment akan lebih self-centered (memusatkan pada kepentingan sendiri). 3.Pendidikan di sekolah - Educational practices, mengajarkan dua hal pada anak yaitu dengan adanya praktek langsung dalam dunia pendidikan maka mengajarkan anak untuk berkompetisi maupun membandingkan diri dengan lingkungan sosial dan 19 mengajak anak untuk bekerja sama dengan anak lain dalam hal belajar agar mendapat pemahaman mengenai pelajaran yang lebih baik. 4. Lingkungan sosial - Hierarchy-Enhancing (HE) dan Hierarchy-Attenuating (HA) environment. Individu yang memiliki Hierarchy-Enhancing (HE) tinggi atau keinginan yang terus meningkat cenderung lebih self-centered, ia tidak mampu mengembangkan selflessness. Sedangkan Hierarchy-Attenuating (HA) tinggi atau mengalah, rendah hati cenderung memiliki sifat selfless. 5. Ajaran agama - Individu yang memiliki intrinsic religious and spirituality (dimotivasi dari dalam diri) lebih mendukung selflessness. Dibandingkan extrinsic religious and spirituality (ajaran agama dimotivasi dari orang lain). 6. Pengalaman hidup - End of life and terminally illnesses, di akhir masa hidup biasanya seseorang akan mengalami transisi, dimana individu yang memiliki intrinsic religious akan lebih merasa bahagia dan memandang tercapainya tujuan hidup. - Near death experience (NDE), individu yang mendekati akhir masa hidup atau kematian biasanya akan memiliki selfless orientation. - Brain Lesions, individu yang memiliki gangguan pada otak, seperti orang yang terkena stroke biasanya mempengaruhi seseorang untuk bersikap selfess atau self centeredmess. - Mind-altering drugs, mengkonsumsi obat tertentu juga merupakan faktor seseorang bersikap selfless maupun self-centeredness, individu yang mengkonsumsi obat ini biasanya karena depresi atau insomnia yang berdampak pada psikomotor. 7. Perkembangan usia - Cognitive egocentrism, dimana terjadi pada masa kanak-kanak. Pada masa ini, individu lebih mementingkan diri sendiri maupun kelompoknya. 20 - Maturity and wisdom, terjadi seiring berkembangnya usia. Pada masa perkembangan ini, kemungkinan selfless lebih tinggi karena sudah mulai mementingkan kesejahteraan orang lain atau lingkungan sosial, tidak hanya pada diri sendiri maupun kelompok saja. 2.3.4 Struktur dari “self”: selflessness dan self-centeredness Menurut Dambrun dan Ricard (2011), struktur dari self yaitu: Tabel 2.1 Struktur dari self 21 Terdapat beberapa hal yang membentuk seseorang untuk memiliki sifat selfless atau self-centered. Hal ini membuat seseorang memiliki struktur diri yang didasarkan pada fungsi psikologis, orang yang memiliki selflessness akan memegang prinsip keharmonisan yang berpusat pada lingkungan dan orang lain. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi reaksi atau perilaku, emosi yang stabil dan perasaan untuk hidup harmonis. Dampakya adalah kebahagiaan yang bersifat otentik-bertahan lama. Sedangkan individu yang memiliki fungsi psikologis self-centered, lebih memgang prinsip hedonik yang berpusat pada pencapaian atau menghindar, yang disebabkan atau menyebabkan dorongan kesenangan (pencapaian) maupun afflictive affects atau kemarahan, kebencian, atau perasaan takut (menghindar). Apabila kesenangan tersebut tercapai maupun berhasil menghindar dari kemarahan, kebencian atau rasa takut, maka hal ini menyebabkan kebahagiaan yang meningkat. 2.3.5 Faktor yang mempengaruhi Selflessness Dambrun dan Ricard (2011) menyatakan terdapat dua faktor yang mempengaruhi selflessness, yaitu 1. Emotional stability Individu yang selfless (tidak mementingkan diri sendiri) memiliki emosi yang stabil dan mementingkan kesejahteraan diri dan orang lain. 2. Feeling of being in harmony Adanya perasaan untuk hidup harmonis dengan lingkungan, serta adanya minat untuk melakukan kebaikan terhadap orang lain, tidak hanya pada diri sendiri. 2.3.6 Dampak Selflessness Dampak dari selflessness yaitu berorientasi pada kebahagiaan dan kesejahteraan diri dan orang lain yang bersifat tahan lama atau bertahan lama (Dambrun dan Ricard, 2011). Ketika orang yang memiliki selflessness tinggi dapat mempertahankan prinsip keharmonisan serta emosi yang stabil terhadap orang lain, maka individu akan merasakan kebahagiaan yang bertahan lama. 22 2.4 Tendensi Korupsi 2.4.1 Teori Tendensi Korupsi Tangney (2003, dalam Cohen dan Wolf (2011) memaparkan bahwa emosi moral memberikan dorongan dan motivasi pada individu untuk melakukan hal yang baik serta menghindari perilaku yang buruk. Kaligis (2006), menyatakan korupsi berasal dari bahasa latin yaitu Corruption atau Corruptus. Artinya, korupsi adalah suatu perbuatan yang dipolitisir menjadi suatu kejahatan terhadap negara dan masyarakat dalam pengertian seluas-luasnya. Quah (n.d), korupsi adalah perilaku menyimpang dari aturan yang ada karena uang atau keuntungan tertentu. Korupsi merupakan penyalahgunaan kekuasaan yang dipercayakan untuk keuntungan pribadi. Korupsi diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu korupsi besar, kecil, dan politik (Transparency International). - Korupsi besar merupakan tindakan yang dilakukan pada tingkat tinggi atau pemerintah atau fungsi sentral negara yang memungkinkan pemimpin untuk mendapatkan keuntungan dengan mengorbankan kepentingan publik. - Korupsi kecil yaitu mengacu pada penyalahgunaan kekuasaan sehari-hari dipercayakan oleh pejabat publik rendah dan menengah dalam interaksi mereka dengan warga biasa, yang sering mencoba untuk mengakses barang atau jasa di tempat-tempat seperti rumah sakit, sekolah, departemen kepolisian dan instansi lainnya. - Korupsi politik yaitu manipulasi kebijakan, lembaga dan aturan prosedur dalam alokasi sumber daya dan pembiayaan oleh para pembuat keputusan politik, yang menyalahgunakan posisi mereka untuk mempertahankan kekuasaan mereka, status dan kekayaan. Kaligis (2006), bagi perkara tindak pidana korupsi, selain menggunakan KUHAP, digunakan juga ketentuan-ketentuan mengenai hukum acara yang tercantum dalam UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU. 20 tahun 2001, menjelaskan mengenai tindak pidana korupsi yang berisi ancaman mengenai pidana mati bagi pelaku korupsi. 23 Perhatian internasional terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi sejalan dengan pendapat Satjipto Rahardjo yang mengatakan, penanganan korupsi tidak dapat dilakukan dengan cara-cara biasa saja (Ordinary measure) yaitu oleh aparat hukum dengan senjata undang-undang anti korupsi saja (UU No.31 tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi). Jadi, dari beberapa teori tersebut disimpulkan bahwa tendensi korupsi adalah rendahnya rasa malu dan rasa bersalah dengan melakukan perilaku yang cenderung tidak etis yang berhubungan dengan emosi-moral demi mendapat uang atau keuntungan tertentu. 2.4.2 Definisi rasa malu dan rasa bersalah Perasaan malu dan bersalah terjadi apabila terdapat stress yang muncul sebagai dampak dari pelanggaran yang dilakukan (Cohen, Insko, Panter, Wolf, 2011). Tangney (2003, dalam Cohen et al. (2011) memaparkan bahwa rasa malu dan bersalah merupakan emosi yang terjadi dari kesadaran diri sebagai hasil dari refleksi dan evaluasi diri. Kedua emosi ini juga merupakan pendorong munculnya regulasi diri. Akan tetapi, walau terlihat serupa, perlu diingat bahwa kedua hal ini adalah variabel yang berbeda. Berdasarkan pandangan perilaku diri (self-behavior) yang dikemukakan oleh Tracy dan Robins (2004, dalam Cohen et al. (2011), perasaan bersalah terjadi ketika seseorang membuat atribusi internal mengenai perilaku spesifik yang tidak sesuai dengan perilakunya sehingga merujuk pada munculnya perasaan negatif mengenai perilaku yang dilakukan. Di sisi lain, rasa malu muncul ketika seseorang membuat atribusi internal yang bersifat stabil dan global mengenai dirinya sehingga merujuk pada perasaan negatif mengenai diri secara global (Cohen et al. 2011). Pandangan lainnya yang turut mengulas perbedaan mengenai rasa malu dan bersalah adalah pandangan umum-pribadi (public-private) yang dikemukakan oleh Combs, Campbell, Jackson, dan Smith (2010, dalam Cohen et al. (2011). Pandangan ini melandaskan pandangan antropologi dalam pembahasannya. Menurut pandangan ini, perasaan bersalah diasosiasikan dengan perasaan pribadi bahwa telah melakukan hal yang salah dan bertentangan dengan hati nuraninya. Sebaliknya, perasaan malu merupakan perasaan negatif yang muncul ketika seseorang melakukan kesalahan dan kesalahannya dikemukakan di muka umum (Cohen et al. 2011). 24 2.4. 3 Dimensi tendensi korupsi Cohen et al. (2011) menyatakan terdapat beberapa dimensi tendensi korupsi, yaitu: Variabel kecenderungan perasaan malu dan bersalah disusun oleh dua dimensi utama, yaitu dimensi kecenderungan rasa malu dan dimensi kecenderungan rasa bersalah (Cohen et al. 2011). Setiap dimensi ini memiliki masing-masing 2 indikator. Dimensi kecenderungan perasaan bersalah dapat diindikasikan dengan adanya evaluasi perilaku negatif dan perbaikan diri. Korelasi antara evaluasi terhadap perilaku negatif dan perbaikan diri berkorelasi dapat dijelaskan bahwa individu yang memiliki kecenderungan untuk mengevaluasi perilaku yang negatif akan memiliki kecenderungan untuk melakukan perbaikan diri. Dimensi rasa malu memiliki dua indikator, yaitu menarik diri dan mengevaluasi diri secara negatif. Indikator pengevaluasian diri secara negatif berkorelasi dengan kedua indikator perasaan bersalah, yakni indikator perbaikan diri dan evaluasi perilaku negatif. Sebaliknya, indikator menarik diri ditemukan berkorelasi dengan menyerang lawan dan pelanggaran janji serta berkorelasi positif dengan kesalahpahaman. 2.4.4 Faktor yang mempengaruhi tendensi korupsi Tangney dan Dearing (2002, dalam Cohen et al. (2011), memaparkan bahwa kepribadian merupakan salah satu aspek yang berpengaruh terhadap kecenderungan munculnya rasa malu dan bersalah. Sebagai contoh, rendahnya kepercayaan diri lebih merujuk pada kecenderungan akan perasaan malu dibandingkan bersalah. Sebaliknya, perasaan empati lebih merujuk pada kecenderungan akan perasaan bersalah dibandingkan malu (Cohen et al. 2011). 2.4.5 Dampak dari tendensi korupsi Schmader dan Lickel (2006, dalam Cohen, Wolf et al. (2011) membuktikan bahwa sama seperti rasa bersalah, perasaan malu juga dapat menimbulkan perbaikan perilaku, namun dapat juga menyebabkan seseorang menjadi menarik diri. Selain itu juga terjadi ketidakadilan pada masyarakat,antara individu yang memiliki 25 kesempatan untuk melakukan korupsi dan dapat menikmati hasil korupsi tersebut dengan individu yang tidak memiliki kesempatan untuk melakukan korupsi dan menikmati hasil korupsi. 2.5 Kerangka Berpikir Family’s Mental Health Sufficiency, Family’s Income Sufficiency (Family Self Sufficiency) Salary Sufficiency Tendensi Korupsi - - Rasa Malu Evaluasi diri negatif Menarik diri Rasa Bersalah Evaluasi perilaku negatif Perbaikan diri Selflessness Evaluasi diri negatif merupakan proses evaluasi, dimana individu memandang buruk diri sendiri setelah melakukan hal yang tidak baik. Stephenson (2012) mendefinisikan family self sufficiency adalah pendapatan yang diperoleh individu serta mencakup keberhasilan di tempat kerja, dimana pendapatan dan kinerja dapat mempengaruhi kesejahteraan keluarga sehingga menimbulkan persepsi kecukupan hidup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Ketika pegawai mempersepsikan adanya ketidakcukupan dalam kehidupan keluarga, maka pegawai akan berusaha agar dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Usaha untuk memenuhi kecukupan hidup keluarga dapat berupa perilaku menyimpang seperti melakukan korupsi yang dapat merugikan instansi atau perusahaan, namun membawa keuntungan pribadi bagi karyawan. Namun, dalam situasi ini pegawai akan berasumsi bahwa penyimpangan ini dilakukan untuk memenuhi kecukupan hidup keluarga serta membenarkan perbuatan tersebut. Dengan pembenaran ini, pegawai akan memiliki evaluasi diri negatif dalam tingkat yang rendah ketika melakukan penyimpangan. Berdasarkan pemaparan ini, peneliti berpendapat bahwa ketika family self sufficiency rendah, pegawai akan memiliki evaluasi diri negatif yang rendah saat melakukan penyimpangan dalam perusahaan tersebut. Dapat disimpulkan bahwa peneliti berasumsi family self sufficiency dapat memprediksi evaluasi diri negatif dalam arah positif. 26 Menarik diri adalah upaya individu untuk menghindari keadaan ketika melakukan kesalahan. Seringkali menarik diri dilakukan untuk menghindari tanggung jawab dan perasaan bersalah pada pihak yang dirugikan. Ketika pegawai mempersepsikan bahwa ia tidak mampu memenuhi kecukupan hidup keluarga, maka pegawai memiliki kecenderungan untuk memenuhi ketidakpuasan yang diterima dari pihak perusahaan. Tindakan merugikan ini dianggap sebagai upaya untuk memperoleh kepuasan. Dalam kondisi ini, pegawai cenderung tidak segan menunjukkan pada perusahaan sebagai balasan untuk menuntut ketidakpuasan yang diperolehnya. Kemungkinan yang dapat terjadi adalah pegawai menunjukkan kemampuannya untuk memenuhi ketidakpuasannya dan tidak berupaya untuk menutupi penyimpangan yang dilakukan apabila perilaku terungkap. Dapat disimpulkan bahwa peneliti berasumsi bahwa family self sufficiency rendah, pegawai akan menunjukkan balasan yang dapat dilakukannya dan tidak akan menarik diri. Hipotesa peneliti adalah family self sufficiency dapat memprediksi perilaku menarik diri dalam arah positif. Evaluasi perilaku negatif merupakan kecenderungan individu untuk memandang buruk perilakunya ketika menyadari melakukan hal yang tidak baik. Ketika pegawai mempersepsikan adanya ketidakcukupan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, pegawai cenderung akan berupaya untuk mengembalikan keadaan agar dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Upaya ini dapat dilakukan dengan melakukan penyimpangan dalam lingkup perusahaan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Deci (1972); Calder dan Staw (1975) dalam Pfeffer dan Lawler (1980), mengungkapkan bahwa kecukupan akan gaji untuk memenuhi hidup keluarga berhubungan dengan kinerja, sikap, dan komitmen individu dalam bekerja. Ia mengatakan bahwa kecukupan terhadap gaji berdampak pada komitmen dan sikap. Ketika seseorang memiliki kinerja dan komitmen yang rendah, pegawai akan mempersepsikan bahwa perilakunya bukanlah hal yang negatif, namun upaya untuk mencapai keadaan yang seimbang agar kecukupan hidup keluarganya terpenuhi. Dalam hal ini, terjadi proses rasionalisasi, yaitu karyawan menilai bahwa rendahnya kinerja dan komitmennya yang dilakukannya bukanlah hal yang salah namun hanya sebuah umpan balik dari ketidakpuasan yang diperoleh dari perusahaan. Berdasarkan pemaparan ini, peneliti berasumsi bahwa ketika ketika pegawai memiliki family self sufficiency yang rendah, apabila ia melakukan performa kerja yang rendah dalam 27 lingkup perusahaan, pegawai akan memiliki evaluasi perilaku negatif yang rendah. Dapat disimpulkan bahwa peneliti berpendapat bahwa family self sufficiency dapat memprediksi evaluasi perilaku negatif dalam arah positif. Perbaikan diri merupakan upaya individu untuk memperbaiki kesalahannya ketika sadar telah melakukan kesalahan. Saat pegawai memiliki family self sufficiency yang rendah, karyawan akan merasa kecewa dan memiliki kemarahan pada perusahaan. Kemarahan ini dapat menimbulkan dampak berupa perilaku yang dengan sengaja dilakukan untuk merugikan perusahaan. Perilaku yang merugikan ini akan dipersepsikan sebagai upaya membalas kekecewaan yang telah ditimbulkan oleh perusahaan. Berdasarkan uraian ini, peneliti berasumsi bahwa sepanjang pegawai masih memiliki kemarahan pada perusahaan, karyawan akan memiliki inisiatif untuk memperbaiki perilaku yang merugikan perusahaan ini dalam tingkat yang minim. Hipotesa peneliti adalah family self sufficiency mampu memprediksi perbaikan diri dalam arah positif. Kecukupan hidup keluarga merupakan suatu persepsi akan kecukupan atau ketidakcukupan tentang keluarga untuk mencapai standar hidup yang lebih tinggi tanpa adanya keterlibatan atau bantuan dari orang lain. Ketika individu memiliki persepsi ketidakcukupan untuk memenuhi hidup keluarga, maka akan mengalami kecemasan, ketidakpuasan dibanding individu lain yang memiliki kecukupan atau persepsi cukup untuk memenuhi hidup keluarga sehingga memicu seseorang untuk melakukan perilaku yang merugikan perusahaan, seperti dengan melakukan korupsi. Sehingga, peneliti berasumsi bahwa individu yang memiliki family self sufficiency tinggi memiliki GASP (rasa malu dan rasa bersalah) yang tinggi, sehingga tendensi korupsinya rendah. Evaluasi diri negatif terjadi ketika individu menilai diri buruk atau memberikan penilaian diri secara keseluruhan dengan negatif ketika melakukan hal yang tidak bermoral. Individu yang memiliki persepsi kecukupan akan gaji akan lebih memikirkan hal yang dapat menyebabkan kerugian bagi orang lain maupun diri sendiri.Seseorang yang memiliki salary yang tinggi akan memiliki persepsi yang baik terhadap dirinya. Berarti, pegawai yang memiliki salary sufficiency yang tinggi akan mengevaluasi negatif dirinya secara dalam taraf yang rendah karena memiliki 28 persepsi diri yang positif. Berdasarkan pemaparan ini, peneliti berasumsi bahwa salary sufficiency dapat memprediksi evaluasi diri negatif dalam arah negatif. Salah satu upaya yang dilakukan seseorang untuk menghindari situasi ketika ia melakukan kesalahan adalah dengan menarik diri. Perilaku ini muncul sebagai usaha untuk menghindari tanggung jawab dan perasaan malu yang timbul karena terungkapnya kesalahan yang dilakukan. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, individu dengan salary sufficiency tinggi juga akan memiliki self esteem yang tinggi. Sehingga individu dengan salary sufficiency tinggi akan merasa malu apabila melakukan suatu kesalahan dan kesalahan tersebut terungkap. Dengan demikian, kecenderungan untuk menarik diri juga semakin tinggi. Perilaku ini juga dapat dilakukan untuk menghindari tanggung jawab serta konsekuensi. Berdasarkan pemaparan ini, peneliti berasumsi bahwa salary sufficiency dapat memprediksi perilaku menarik diri dalam arah positif. Evaluasi perilaku negatif terjadi ketika individu menilai perbuatannya buruk saat menyadari melakukan hal yang melanggar moral. Evaluasi perilaku negatif terjadi ketika timbulnya rasa bersalah setelah melakukan perilaku yang tidak bermoral. Seseorang yang memiliki salary sufficiency yang tinggi cenderung memiliki lingkungan sosial yang baik, serta pendidikan yang baik. Sehingga, memiliki konsep diri yang baik pula. Dengan demikian, ketika seseorang dengan salary sufficiency tinggi melakukan perilaku yang menyimpang atau tidak bermoral yang dapat merugikan pihak lain, ia juga akan mengevaluasi bahwa perilakunya buruk karena tidak sesuai dengan konsep diri positif yang dipegangnya. Peneliti berasumsi bahwa individu dengan salary sufficiency tinggi dapat memprediksikan evaluasi perilaku negatif dalam arah positif. Perbaikan diri merupakan upaya individu memperbaiki kesalahannya ketika sadar melakukan hal yang buruk. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, faktor lingkungan sosial mempengaruhi perilaku seseorang. Pegawai dengan salary sufficiency tinggi cenderung memiliki lingkungan sosial yang baik. Sehingga, ketika melakukan suatu perbuatan yang buruk atau melanggar moral, individu akan cenderung untuk memperbaiki kesalahannya. Peneliti berasumsi bahwa salary sufficiency dapat memprediksi perbaikan diri dalam arah positif. Peneliti berasumsi 29 bahwa individu yang memiliki salary sufficiency tinggi maka GASP (rasa malu dan rasa bersalah) juga tinggi, sehingga tendensi korupsinya rendah. Selflessness berarti rendahnya sikap untuk mementingkan kepentingan dan kebahagiaan diri sendiri dan mempedulikan kepentingan orang lain. Individu cenderung untuk ingin mencapai kesejahteraan diri dan keluarga. Menurut Dambrun dan Ricard (2011), selflessness merupakan pencarian keharmonisan, salah satu prinsip keharmonisan yaitu emosi yang stabil, sehingga seseorang yang memiliki selflessness tinggi cenderung untuk hidup harmonis dengan orang lain dan tidak akan melakukan suatu perbuatan yang melanggar konsep diri untuk melakukan perilaku yang tidak etis yang dapat merugikan orang lain seperti korupsi. Apabila ia melakukan perilaku tidak etis atau emosi tidak stabil, maka evaluasi diri negatif juga cenderung tinggi. Berdasarkan pemaparan ini, peneliti berasumsi bahwa selflessness dapat memprediksi evaluasi diri negatif dalam arah positif. Menarik diri adalah upaya individu untuk menghindari keadaan ketika melakukan kesalahan. Seringkali menarik diri dilakukan untuk menghindari tanggung jawab dan perasaan bersalah pada pihak yang dirugikan, hal ini telah dipaparkan sebelumnya. Ketika pegawai memiliki selflessness yang rendah, maka pegawai memiliki kecenderungan untuk mencapai kepuasan dari pihak perusahaan. Tindakan merugikan ini dianggap sebagai upaya untuk memperoleh keuntungan yang lebih. Dalam kondisi ini, pegawai cenderung tidak segan menunjukkan pada perusahaan sebagai balasan untuk menuntut keuntungan yang lebih agar dapat mencapai kepuasan. Kemungkinan yang dapat terjadi adalah pegawai menunjukkan kemampuannya untuk mencapai kepuasannya dan tidak berupaya untuk menutupi penyimpangan yang dilakukan apabila perilaku terungkap. Dapat disimpulkan bahwa peneliti berasumsi selflessness rendah, pegawai akan menunjukkan balasan yang dapat dilakukannya dan tidak akan menarik diri. Hipotesa peneliti adalah selflessness yang rendah dapat memprediksi perilaku menarik diri dalam arah positif. Evaluasi perilaku negatif merupakan kecenderungan individu untuk memandang buruk perilakunya ketika menyadari melakukan hal yang tidak baik. Ketika pegawai memiliki selflessness rendah, maka pegawai akan merespon dengan menampilkan perilaku secara disengaja untuk merugikan orang lain atau perusahaan untuk mendapat keuntungan pribadi. Dalam hal ini, empati mungkin ikut berperan. 30 Evaluasi perilaku negatif merupakan bagian dari rasa bersalah. Menurut Burgo (2013), rasa bersalah berdampak rendahnya empati atau kurangnya kesadaran diri seseorang. Seseorang yang memiliki selflessness yang tinggi akan memiliki rasa bersalah yang tinggi, sehingga empati terhadap orang lain juga tinggi dan kecenderungan untuk merugikan pihak lain menjadi rendah. Berdasarkan pemaparan ini, peneliti berasumsi bahwa ketika pegawai memiliki selflessness yang tinggi, apabila pegawai melakukan penyimpangan dalam lingkup perusahaan, pegawai akan memiliki evaluasi perilaku negatif yang tinggi. Peneliti berpendapat bahwa selflessness dapat memprediksi evaluasi perilaku negatif dalam arah positif. Perbaikan diri terjadi ketika individu menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, struktur dari self menurut Dambrun dan Ricard (2011), individu yang selfless memiliki emosi yang stabil dan selalu ingin berada dalam keharmonisan di lingkungan kehidupannya. Sehingga, ketika individu yang memiliki selflessness yang tinggi melakukan suatu kesalahan atau perilaku yang tidak etis yang menyebabkan ketidakharmonisan denga orang lain, individu tersebut akan memperbaiki diri dari kesalahan tersebut. Sehingga, peneliti berasumsi bahwa semakin tinggi selflessness, maka semakin tinggi perbaikan diri yang dilakukan ketika melakukan kesalahan. Peneliti berasumsi bahwa individu yang memiliki selflessness tinggi, maka GASP (rasa malu dan rasa bersalah) juga tinggi, sehingga tendensi korupsi rendah. Sehingga, peneliti menyimpulkan bahwa family self sufficiency, salary sufficiency, dan selflessness mampu memprediksi rasa malu dan rasa bersalah (tendensi korupsi) pada seseorang. Ketika individu dengan family self sufficiency dan salary sufficiency tinggi bergantung dengan selflessness tinggi, maka tendensi korupsinya lebih rendah dibanding individu dengan famliy self sufficiency dan salary sufficiency tinggi dengan selflessness yang rendah. Begitu juga, individu dengan family self sufficiency dan salary sufficiency rendah bergantung dengan selflessness rendah, maka tendensi korupsinya lebih tinggi dibanding individu yang memiliki family self sufficiency dan salary sufficiency rendah dengan selflessness tinggi.