JURNAL BPPK ISSN 2085-3785 Volume 8 Nomor 1, 2015, halaman 1-140 Jurnal BPPK merupakan publikasi ilmiah yang berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian, pengembangan, kajian, dan pemikiran di bidang ekonomi dan keuangan negara. Terbit pertama kali tahun 2010 dengan masa terbit sekali setahun kemudian menambah masa terbit pada tahun 2011 diterbitkan dua kali setahun hingga saat ini, pada bulan Juni dan Desember. Artikel yang diterbitkan dalam Jurnal BPPK telah melalui proses evaluasi dan penyuntingan oleh Dewan Redaksi, Mitra Bestari dan Anggota Staf Editorial. Jurnal BPPK terbuka untuk umum, praktisi, peneliti, pegawai, dan pemerhati masalah ekonomi dan keuangan negara. STAF EDITORIAL Penanggung Jawab Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Ketua Dewan Redaksi Sekretaris Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Dewan Redaksi Agung Darono, S.E., Ak., CA., M.M., M.Eng Dr. Agus Sunarya Sulaeman, Ak., M.Si. Dr. Roberto Akyuwen, S.T.P., S.E., M.Si. Yoopi Abimanyu,S.E., M.A., Ph.D Yuniarto Hadiwibowo, S.S.T., Ak., Ph.D. Mitra Bestari . Prof. Dr . Abdul Halim, M.B.A., Akt. Dr. Akhmad Makhfatih, M.A. Dr. Alla Asmara, S.Pt. Dr. Artidiatun Adji, M,Ec Prof. Heru Subiyantoro, Ph.D. Dr. Mamduh Mahmadah Hanafi, M.B.A Prof. Ir. Noer Azam Achsani. M.Sc., Ph.D. Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.Si Dr. Ir. Tanti Novianti, M.Si Zaafri Ananto Husodo, Ph.D. Dr. Eugenia Mardanugraha, S.Si., M.E. Redaktur Rahmadi Murwanto, Ak., MAcc., M.B.A., Ph.D. Editor Ahli Muh Nurkhamid Editor Pelaksana Adhitya Wira Witantra Nur Etaruni VMI Bimo Adi Sekretariat Agung Arie Pratama Najjahul Imtihan Pambudi Gawe Sukmantara Phesona E.B.T Aditya Wirawan ALAMAT SEKRETARIAT JURNAL BPPK: Bagian Organisasi dan Tata Laksana, Sekretariat Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia Gedung B Soegito Sastromidjojo, Lantai 4, Jl. Purnawarman Nomor 99 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110; Telp. (021) 7394666 ext.253, 7204131; Faksimili (021) 7261775,7244328; webpage: www.bppk.depkeu.go.id; e-mail: [email protected]. JURNAL BPPK Volume 8, Nomor 1, 2015 DAFTAR ISI ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA: USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007 1-20 Wahyu Indrawan MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT (STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEKS) 21-40 GOVERNMENT EXPENDITURE AND ECONOMIC GROWTH: AN EMPIRICAL STUDY IN INDONESIA 41-52 RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCIAL STATISTIC (GFS) DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL 53-76 SMALL MACROECONOMIC MODEL: MODELLING AND FORECASTING FOR MONETARY AND FISCAL POLICIES IN INDONESIA 77-88 Azwar Wesly Febriyanta Sinulingga Puput Waryanto Heryanah STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS) Muhammad Na’im Amali TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin ii 89-106 107-140 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015, Halaman 1-20 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA JURNAL BPPK ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA: USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007 Wahyu Indrawan Australian National University, Canberra, Australia Email: [email protected] INFO ARTIKEL ABSTRAK SEJARAH ARTIKEL Diterima Pertama 5 Maret 2015 Assets and the Poverty Trap in Indonesia: Using Households Panel Data 1993-2007. Indonesia faces relatively high-level of persistent poverty for years which indicates the existence of poverty trap. Using four waves of longitudinal household data (1993-2007), this paper examines the existence and various patterns of household-level poverty traps in Indonesia. By following an asset-based approach introduced by Barrett and Carter (2006) and Adato et al. (2006), this paper performs parametric to construct an asset index and nonparametric techniques to estimate dynamic asset pattern and the poverty trap. Findings indicate that there is evidence for multiple equilibria poverty trap in Sumatra region. Also, this study finds that all households in Sulawesi region converge to a single stable equilibrium below the poverty line, which indicates that these households are collectively trapped. However, the findings show that households in Java and Bali, West Nusa Tenggara and Kalimantan converge to a single stable equilibrium that households in these regions do not face a poverty trap. Dinyatakan Dapat Dimuat 12 Juni 2015 KATA KUNCI: assets accumulation Indonesia poverty trap poverty dynamic. Kekayaan dan jebakan kemiskinan di Indonesia: analisis dengan data panel rumah tangga 1993-2007. Tingkat kemiskinan di Indonesia yang cenderung tidak berkurang secara signifikan selama beberapa periode memberikan indikasi awal kemungkinan adanya rakyat (rumah tangga) yang tidak bisa keluar dari lingkaran kemiskinan. Penelitian ini menggunakan empat periode data panel rumah tangga untuk menguji keberadaan dan pola jebakan kemiskinan di tingkat rumah tangga di Indonesia. Penelitian ini mengikuti pendekatan kekayaan yang diperkenalkan oleh Barret dan Carter (2006) serta Adato et al. (2006). Pendekatan ini memerlukan penerapan metode parametrik untuk membentuk indeks kekayaan dan metode non-parametrik untuk mengestimasi pola kekayaan dinamik dan jebakan kemiskinan. Penelitian ini menemukan adanya bukti yang menunjukkan adanya jebakan kemiskinan dengan banyak titik keseimbangan di wilayah Sumatra. Selain itu, seluruh rumah tangga di wilayah Sulawesi pada periode menengah terindikasikan terjebak dalam kemiskinan secara bersama-sama. Di sisi lain, rumah tangga di wilayah Jawa dan Bali, NTB serta Kalimantan cenderung terhindar dari jebakan kemiskinan. 1. INTRODUCTION Poverty alleviation is an interesting issue in the development problem. Over the past decade when economic growth takes place, the world also sees great improvement in poverty over time. The growth however has not brought about equally improvement in standard of living to everyone. Inequality also rises along the steady evidence of persistent poverty among some subsets of populations. The increasingly evidence of persistent poverty worldwide has thus stimulated the need to understanding of the patterns and mechanisms why some subset of populations tend to be trapped in poverty Understanding the patterns and the cause of the poverty trap can provide important practical policy implications. A possible cause for the subset of population, such as households, trapped in poverty is their inability to accumulate their assets in order to grow their path to move out of poverty over time (Barrett & Carter 2006). Further, there are various Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 patterns of households asset accumulation over time. The analysis of analysis these patterns can favour policy implications by informing target of intervention, identifying of key enabling conditions to the pathway out of poverty, and designing safety net policies (ibid.). For instance, if the households asset accumulation converges into a single point below poverty line, which means that all households are collectively trapped in poverty, then there should be structural policy changes that provide new economic opportunities for households to elevate their convergent point into above poverty line (Naschold 2012). Thus, understanding the cause and patterns of poverty trap can lead to efficient policies. This paper uses four waves of longitudinal household panel data (1993-2007) to explore existence and patterns of household-level poverty traps in Indonesia and how these patterns vary across different livelihood groups and regions in the country. This study would be relevant for Indonesia because, though, 1 ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA: USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007 Wahyu Indrawan Indonesia has enjoyed positive growth for years, but poverty seems still to be a significant development problem. Two periods of the SBY administration also make poverty as development focus, known as propoor policy (BAPPENAS 2008). Though the poverty headcount ratio has been decreased in the last five years from 24.23 per cent in 1998 to 15.42 per cent in 2008, the ratio still lies above 15 per cent (BPS 2008). Furthermore, using longitudinal household data of Indonesia Family Life Surveys (IFLS) and World Bank’s US$2 a day (at PPP adjusted) standard poverty line, Table 1 and Table 2 illustrate early indicators that some households cannot move out of poverty for a long period (7 years lag), neither from 1993 to 2000 nor from 2000 to 2007. There is slight different poverty rate for year 2000 because the number of paired households in 1993-2000 and 2000-2007 is different. Both tables show that there are some households that still live in persistent poverty. This is represented by the shaded cells which are summed to 40.72 per cent in the period 1993-2000 and 24.51 per cent for the later period. Despite the declining figures, this roughly indicates that a poverty trap may exist in some households in Indonesia. Thus, further analysis is needed to test whether the poverty trap exist or not. Table 1. Decomposing poverty transition in Indonesia for the year 1993 and 2000 2000 Poor Non Poor 48.83% 51.17% Always poor Moving out Poor 64.62% 40.72% poor 23.90% 1993 Non Poor Moving in poor Never poor 35.38% 8.11% 27.27% Source: Author’s calculation using IFLS data. Table 2. Decomposing poverty transition in Indonesia for the year 2000 and 2007 2007 Poor 48.14% 2000 Non Poor 51.86% Poor 33.35% Always poor 24.51% Moving in poor 8.84% Non Poor 66.65% Moving out poor 23.62% Never poor 43.02% Source: Author’s calculation using IFLS data. Few studies have investigated poverty dynamics or the poverty trap in Indonesia. Using three waves of IFLS from 1993 to 2000, Sumarto et al. (2009) find that persistent poverty exists in some households in Indonesia. Further, using the same period of longitudinal household panel data, Prima (2009) applies a model of household consumption growth as introduced by Jalan and Ravallion (2002, cited in Prima 2009) to examine the existence of the poverty trap in Indonesia. He finds that the poverty trap exists in 2 Indonesia during the period 1993 to 2000 (ibid.). He also argues that there are multiple equilibria; so that, there are two groups of households, one that has increasing consumption level and positive returns on investment and another group that cannot move out of poverty because their investments seem to be not sufficiently profitable (ibid.). Another study from Wardhana (2010) that adds one latest wave, 2007, of IFLS also finds that chronic poverty seems to exist in Indonesia in the long run. Wardhana uses multiple correspondence analyses (MCA) to construct an assets index and then observes how this multidimensional index plays a role in examining whether households are trapped in poverty over a longer time. Despite many works on the poverty trap in some developing countries, only a few studies focus on Indonesia. Though both Prima (2009) and Wardhana (2010) have examined the existence of the poverty trap in Indonesia, their findings are still at the national level which seems to incompletely represent various characteristics of households in different regions across Indonesia. Even more, aggregating the analyses into the national level may result in cancelling out one characteristic of a region with a similar characteristic but opposite effect from other regions. This paper attempts to fill this gap and to enrich the existing literature. This study differs from previous studies in the approach and the sub-national level analysis used. The study employs asset-based approach in identifying poverty traps. We first construct household-level asset index using regression approach to estimate their regional-specific livelihood contribution of each asset. We then use parametric and non parametric approaches in estimating the long-term patterns of asset accumulation paths for the sampled households and for separate regions and subgroups in the country. The hypothesis is that the poverty trap may exist in some regions, as Prima (2009) and Wardhana (2010) finds in the national level, other than region of Java and Bali because these regions are known as the centre of the economy and more developed areas. Yet, our results shows that multiple equilibria poverty trap only exist in Sumatra region and a single equilibrium poverty trap only exists in Sulawesi region when a longer period of observation is used. The remainder of this paper is organized as follows. Section 2 summarizes some theories and previous empirical literatures of the poverty trap. Section 3 presents the model and methodology used in this study as well as introduces the data. Then, Section 4 summarizes the main results and discussion of the results. Section 5 concludes the study. 2. POVERTY TRAP AND EXISTING LITERATURES A common approach in poverty analysis for answering questions of persistent poverty or the poverty trap is through inter-generation (dynamic) poverty measurements. These measurements attempt Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA: USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007 Wahyu Indrawan to identify and understand the structure and persistence of poverty as summarized in Figure 1. First period measurement in Figure 1 is a traditional static standard income or expenditurebased poverty measure (Barrett & Carter 2006). Using this measure, the population can be divided into poor and non-poor categories at single point of observation, but this measure cannot distinguish which households remain poor (chronic poor) and which swap from poor to non-poor, and vice versa, in the next period (ibid.). Addressing this problem, Grootaert and Kanbur (1995, cited in ibid.) introduce a second generation of poverty measurements that uses panel data-based (dynamic) expenditure or income analysis to decompose households into three categories: the always or chronically poor, the transitorily poor, and the never poor. Notwithstanding, this second generation poverty measurement faces a limitation. It cannot distinguish poverty transitory whether it is a stochastic poverty transition, such as because of random price or stochastic earnings from positive or negative shocks, or it is a structural transition, for instance because of the accumulation of new assets or enhanced returns to the assets (ibid.). The use of asset-based approach can be formulated as Equation (1) (Adato et al. 2006). This equation is intended to distinguish the structural source (represented as sum of assets, Aijt) of poverty (represented as household’s income, yit) from the stochastic source (represented as the error term,εit). J yit Aijt it j 1 (1) Barrett and Carter (2006) propose to reformulate the poverty measurement in an asset-based as a solution for overcoming the limitation of the dynamic expenditure poverty measurement. Further, asset measures have advantage that they are more accurately measured and less volatile than income or expenditures measurements (Giesbert & Schindler 2012). However, a static asset poverty line as the third generation measure still has a limitation in further analysis of poverty. This measure cannot identify whether the current structurally poor are likely to remain poor over the longer time (caught in a poverty trap), or others who are currently non-poor can sustain their position (Barrett & Carter 2006). Therefore, a dynamic asset poverty measure is developed as the fourth generation to decompose these groups based on their positions over the longer term (ibid.). The existence of the poverty trap, which is defined as ‘any self-reinforcing mechanism which causes poverty to persist’ (Azariadis&Stachursky 2004, cited in Barrett & Carter 2013 p.977), should be visible in the pattern of this asset dynamics (Adato et al. 2006). Thus, dynamic poverty analysis requires estimating the pattern which shows the relation between multiple economic assets of a household at a current year and at its initial or base year. To estimate the pattern of assets dynamic, various assets with different units need to be compressed into an appropriate asset index. DeRosa et al. (2013) summarize five common methods to construct an asset index. First, an asset index can be constructed by aggregating weights of the first principal component from a principal component analysis (PCA) (Filmer & Pritchett 2001; Minujin & Delamonica 2002; McKenzie 2005; cited in DeRosa et al. 2013). Second, the asset index is derived from the aggregating weights of the first factor analysis of multiple assets (Naschold 2006; Sahn & Stifel 2003, cited in DeRosa et al. 2013). The third method uses multiple correspondence analyses (MCA) in producing the index (Booysenet al. 2008, cited in DeRosa et al. 2013). Figure 1. Alternative Approach of Poverty Measurements Source: Barrett & Carter (2006). Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 3 ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA: USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007 Wahyu Indrawan Figure 2. Hypothetical Asset Dynamics Source: Adato et al. (2006). Fourth, this method uses the fitted value from a livelihood regression of household assets and characteristics on household income or expenditure as an asset index (Adato et al. 2006; Naschold 2009, cited in DeRosa et al. 2013). Last method constructs the asset index by weighting assets with their estimated monetary values (DeRosa et al. 2013). However, there is still disagreement regarding the robustness of those different methods and only a small consideration of them that would affect subsequent analysed and policy recommendation (ibid.). Researchers usually perform one of these methods to construct the asset index. Thus, this paper uses the fourth method, a livelihoodweighted asset index, in constructing an asset index. Once the asset index is constructed, a hypothetical pattern of asset dynamics can be generated. To make it easier to understand the pattern, Adato et al. (2006) illustrate it in Figure 2. Barrett and Carter (2006, cited in Giesbert & Schindler 2012 p.1595) argue that a poverty trap is a critical threshold, ‘Micawber threshold’, which is associated with an unstable equilibrium in multiple dynamic equilibria. This threshold is represented as asset level Am in Figure 2, while the stylised bifurcated dynamic (Sshape) represents two (or more) stable equilibria that may exist at level Ap* and Ac*. This S-shape results from the existence of locally increasing marginal returns to assets (ibid.). A household that is above this threshold, Am, is predicted to accumulate assets over time and to reach the stable upper asset equilibrium, Ac*, and moves out of poverty (ibid.). On the contrary, when a household is below the threshold, the household is too poor to accumulate assets and tends to fall behind and converge to low-level poverty trap, Ap* (Adato et al. 2006). 4 However, there is another pattern that leads to a poverty trap instead of multiple equilibria poverty trap. The poverty trap may also exist in a circumstance where a household faces a single equilibrium that is below the poverty line (Giesbert & Schindler 2012). This circumstance is likely in a converse way of the convergent asset dynamics in Figure 2 which instead of converge to high equilibrium level, Ac*, the assets accumulation of household converges to lower level equilibrium below the poverty line. The convergent pattern exists when the marginal returns to the assets are globally diminishing (ibid.). Thus, both patterns, either convergent or bifurcated dynamics, can exist in some households, but they need to be empirically tested. Further, there are few empirical studies on different developing countries to empirically test whether the poverty trap exists. Barett et al. (2006) finds multiple equilibria poverty trap in Kenya. On the other hand, a study by Naschold (2012) in rural semiarid India finds that the estimated dynamic asset accumulation paths show single stable equilibrium below the poverty line. This means that a household that is currently poor cannot hope to move out of poverty or move to the higher level of equilibrium in the next period (ibid.). The same pattern is also found by Giesbert and Schindler (2012). They find that the asset dynamic path of the households in rural Mozambique tends to converge to single equilibrium level slightly below poverty line (ibid.). In other words, all rural households are collectively trapped in poor (ibid.). Another study by Baulch and Quisumbing (2013) in rural Bangladesh finds evidence for concavity single low-level equilibrium or poverty trap, but no evidence for multiple equilibria. These studies Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA: USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007 Wahyu Indrawan can have different findings in the dynamic assets equilibrium patterns, but they use a similar assetsbased approach that generally follows the method introduced by Adato et al. (2006). 3. METHODOLOGY AND DATA This study examines whether a poverty trap exists, based on the asset-based approach introduced by Barrett and Carter (2006). In constructing the asset index needed in the asset-based approach, it follows a livelihood-regression asset index from Adato et al. (2006). Further, steps in examining poverty trap follow the methodology used in Mozambique from Giesbert and Schindler (2012) and use statistical package software STATA 12.1. There are two steps in examining the poverty trap: a parametric method to construct an asset index and a non-parametric method to analyse the pattern of asset dynamics and existence of the poverty trap (ibid.). 3.1. Constructing Asset Index This first step is performed to estimate the relation between multiple economic assets of a household at certain time and the assets at early period. These assets are considered to provide contribution in generating incomes and livelihoods for the households. However, since multiple assets usually have wide variation of measurement units, an asset index should be constructed first. Following Adato et al. (2006) this asset index is derived from a bundle of all assets which are held by household and contribute for the future well-being. This index is constructed from the regression function that relates household i’s livelihoodor welfare measure at time t (λit) to the bundle of all assets j=1,2,…,J held at that time (Ait). This function is generally modelled as: J it j Ait Aijt it (2) j 1 In this equation, household’s livelihood (λit) or material well-being is measured by household consumption expenditure divided by the money value of the household’s subsistence needs and provincialspecific poverty line is used as a proxy measure for household’s subsistence needs. Then, an asset index is constructed using the regression results of Equation (2). The coefficients of each asset from this regression represent the marginal contribution to household livelihood of the j different assets. Using the estimates of βj, the livelihoodweighted asset index (Λit) is calculated as the fitted value of the regression function from the Equation (2). Thus, Λit is defined as: it ˆ j ( Ait ) Aijt (3) j This asset index has been expressed in unit-free measurement using poverty line units (PLU), so that a value of 0.5 means that a household owns a bundle of assets that can predict the household’s livelihood is at a half of poverty line. Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 Prior to estimating this asset index, determining the components of the assets bundle that can likely provide a contribution to the household’s livelihood is required. This paper uses two groups assets which are almost similar to assets in Adato et al. (2006). These groups are human capital (education and health) and natural and productive capital. In human capital, this study uses some proxy variables for representing education and health of the households. The mean of household’s member education year (m_edummm) and household’s head education year (eduhhh) are chosen as the proxy for education. Since data for education year is not available, these variables are transformed from the existing data of the level of school graduated. Further, this study does not use health status of household member as represented of the health because the value of health status information is only based on the answer of the member which seems to be very subjective. Instead, it employs variety of nutrient intakes, or food diversity, as the proxy of health (fdiverse2). The consideration of this proxy is that according to Dietary Guidelines for American, a health plate should vary its food (USDA 2011). In contrast, more information concerning households assets are available as a proxy for natural and productive capital. The sources of this capitalis derived from farm business assets, non-farm business assets and non-business assets. Various assets from these three groups that are presumed to provide a contribution for livelihood are picked up and converted to their real value using Consumer Price Index 2007 as base year. These assets consist of land (ln_land), house (ln_house), other building (ln_bldg), four-wheel vehicles (ln_vhcle), other vehicles-such as boat (ln_othvhcle), livestock, poultry and fishpond (ln_livestock), hard-stem plants (ln_plants), tractor and irrigating equipment (ln_tractor), heavy equipment (ln_heqpmnt), small tools for business (ln_smltol), jewelry (ln_jewelry), and savings (ln_saving). The last two asset types are less likely used in a productive activity, but they are relatively liquid assets. All these assets are also measured in their natural logarithm in order to control for severely skewed distribution. Then, to capture potential heterogeneity in asset returns, this paper also includes the interactions of natural and productive capital with the education (edu_**) as well as the urban or rural location of the household (urb_**). Household and time fixed effects are also included to control for household and year specific unobserved heterogeneities. To control for specific characteristics, this study also adds household characteristics and community characteristics. Household characteristics cover the age of household’s head (agehhh) and a dummy variable that represents whether the household’s head is female (d_sexhhh). Further, community characteristics include road quality (road), existence of market (market), existence of industry or factory (factory), and access to electricity (electricity). These characteristics inclusion follows Giesbert and 5 ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA: USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007 Wahyu Indrawan Schindler (2012), but since almost all households already have access to electricity which make this variable less variant among households, then the variable electricity is dropped. Considering these variables, Equation (2) is customized, so that the model of a livelihood-weighted asset index for each region is: J M N j 1 m 1 n 1 it 1+ 2 jit assets jit 3mit HHcharsmit 4 nit Commcharsnit O 5oit interactoit 6it DPit 7it detaTit ui vt where assetsj represents human capital and natural and productive capital, HHchars represents household’s characteristics, Commchars represents community’s characteristics, interact represents the sum of interactive variables, DPis province specific effect, detaTis year specific effect and ui is household specific effect. Then, this equation is analysed by using household fixed-effect panel regression. Compared to Prima (2009) and Wardhana (2010), this study also estimate this regression separately for each hypothetical region instead of national level regression function to take into account the possibility that asset returns could vary across different livelihood and geographical settings. In this paper, provinces of the households are regrouped into five regions: Sumatra and islands, Java and Bali, West Nusa Tenggara, Kalimantan and Sulawesi. These classification are based on their similar economic activities and characteristics each province. Further, the regression results of Equation (4) need to be examined to determine whether the obtained model for each model is valid. Using the estimates of coefficient ( ˆ j ),predicted livelihood ( ˆit ) for each household in different regions and in different period can be obtained. Since this study covers many values of continuous livelihood data, visible analysis is used to determine the most appropriate models using the Epanechnikov kernel density plot of predicted ˆit , and the actual value of livelihood, it (Cameron & Trivedi 2009). The rule is that the estimates can proceed when the kernel density plot of ˆit is not shifting so that it is significantly different with the . The simpler rejecting criterion is that ˆ is it it considered not a well-proper model if the distribution ˆit is totally disappear. Finally, the predicted livelihood, ˆ , which is the fitted of poor households using it value of the most proper model of Equation (4), can be used as the representation of the estimated asset index. 3.2. Estimating Asset Accumulation Dynamics This second step is crucial in this study because the objective is to examine whether a poverty trap 6 Ait f Ait 1 i (4) o 1 livelihood, could be found in the results and to identify the pattern of the asset dynamics. This step uses a non-parametric technique to estimate the relationship between a household’s current and its baseline asset level as Equation (5) (Giesbert & Schindler 2012): (5) where A represents the asset index of household i (it is also the fitted value of livelihood, ˆit , from parametric method), t stands for the current period and t-1 for the baseline period and the error term εi is assumed to be normally and identically distributed with zero and constant variance (ibid.). Equation (5) needs a pair of asset index from current period and baseline level. Yet, the fitted values, ˆit , from parametric method are still in panel data form that could not directly be used. Further, this paper uses four rounds of panel data which covers longer period than data used by Giesbert and Schindler (2012). Thus, in this study, the fitted asset index is transformed from a set of panel data into a pair of current and baseline level of household’s livelihood. To get a deeper picture, the non-parametric technique is run in two different pairs. The first pair uses three to four years lag, so that the baseline-current period is 1993-1997 and 1997-2000. On the other hand, the second pair uses longer period, 7 years lag, so that the baseline-current period is 1993-2000 and 2000-2007. Further, this study uses a local polynomial regression with Epanechnikov kernel weight as used by Giesbert and Schindler (2012) in estimating Equation (5). This non-parametric technique treats At as dependent variable and At-1 as independent variable. This technique can produce a report of asset recursion diagram which shows the pattern of equilibrium of the households whether the households converge into a single stable equilibrium (convergent assets dynamic) or the household have a multiple-equilibria, at least two stable equilibria and at least one unstable equilibrium (ibid.). The unstable equilibrium is called the ‘Micawber threshold’ (Zimmerman & Carter 2003, cited in Giesbert & Schindler 2012, p.1595) at which dynamic assets accumulation bifurcate (Barrett &Carter 2006). Moreover, the detailed visible analysis can be processed from these patterns. Households in some regions can be said to be in a poverty trap when the patterns show that either the single equilibrium converges at a point below the poverty line or the stable equilibrium at the multiple equilibria is at a point below poverty line (Giesbert & Schindler 2012). Thus, by performing this technique, the question of this paper should be answered. Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA: USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007 Wahyu Indrawan Figure 3. Provinces Covered in IFLS1 Source: RAND Corporation (2012). 3.3. Data This study uses continuing longitudinal household unbalanced panel data from RAND Corporation known as Indonesia Family Life Survey (IFLS). By now, there are four waves of IFLS that have been done. The first wave of IFLS (IFLS1) was conducted in 1993-1994 and covered 7,224 households that represented about 83 per cent of the Indonesian population (Sikoki et al. 2009). These household samples are living in 13 provinces out of 26 provinces in that period which can be seen in Figure 3 (ibid.). The second wavewas conducted in 1997. Based on the User Guide of IFLS4 (Sikoki et al. 2009), there were 7,698 households as respondents in IFLS2, of which 6,821 were the original respondents from IFLS1. Thus the recontact rate for IFLS2 is 94.42 per cent. Further, this book also shows that the recontact rate for IFLS3 which was conducted in 2000 is 95.30 per cent which means that there were 10,574 households as total respondents in IFLS3 and 6,800 households of which were the original respondents from IFLS1. Lastly, IFLS4 that was conducted in 2007 covered 13,995 households as total respondents and 92.4 per cent or 6,596 of original respondents from IFLS could be recontacted (ibid.). This recontact rate is at least as high as most longitudinal survey in the United States and Europe (ibid.). In addition, all waves contain massive information collected at the individual and household levels which includes multiple indicators of economic and non-economic well-being (ibid.). For examples: consumption, income, assets, education, migration, labor market outcomes, and, health status (ibid.). The IFLS data has some strengths and limitations. The most powerful strength is that IFLS is the only large-scale longitudinal survey available for Indonesia Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 that provides a dynamics of behaviour at the individual, households and community level (ibid.). IFLS also provides data for multipurpose analyses and the current and retrospective information (ibid.). However, IFLS faces limitations because, by design, it did not cover some provinces which might provide a more realistic view of Indonesian households; for instance, the poorest provinces (West Papua, Papua, East Nusa Tenggara) are not covered in this survey. There are also many missing values in the expenditures variable and the asset measures are not provided with theirquantity values. On the other hand, this study uses a World Bank US$2 a day (at PPP adjusted) poverty line instead of the national poverty line. In deflating and transforming this standard into real term Rupiah (Rp) value, Consumer Price Index (CPI) of 2007 is used as the base year. CPI data is taken from the databank of the World Bank. However, this paper cannot differentiate the real poverty line for each region because of the unavailability of regional CPI in the databank. 4. RESULTS AND DISCUSSIONS 4.1. Descriptive statistics This section summarizes the main descriptive statistics of the dependent variable and the independent variables. Indonesia as a developing country is benefitted by its positive growth over time. This economic growth may become one cause of the increasing asset index for the period 1993 to 2007. This section presents the summary of the earliest and the latest waves which are presented in Table 3 (appendices). Detailed statistics of the variables for the period 1997 to 2000 are also listed in Table 4 (appendices). 7 ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA: USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007 Wahyu Indrawan Figure 4. Kernel Density of The Estimated Asset Index and Livelihood for Each Region 0 5 Linear prediction 10 0 Kernel density estimate kdensity livelihood 10 kdensity livelihood -5 0 5 Linear prediction 10 Kernel density estimate kdensity livelihood kernel = epanechnikov, bandwidth = 0.1252 Density 0 0 .2 .4 .6 .8 Sulawesi .6 .4 4 6 8 Linear prediction kernel = epanechnikov, bandwidth = 0.0698 Kalimantan .2 2 Kernel density estimate kernel = epanechnikov, bandwidth = 0.1210 .2 .4 .6 .8 0 Density .2 .4 .6 .8 1 -5 Density West Nusa Tenggara 1 Java and Bali 0 Density 0 Density .2 .4 .6 .8 Sumatera and islands 0 2 4 6 8 Linear prediction 10 Kernel density estimate kdensity livelihood kernel = epanechnikov, bandwidth = 0.1492 0 2 4 6 8 Linear prediction 10 Kernel density estimate kdensity livelihood kernel = epanechnikov, bandwidth = 0.2287 Source: Author’s calculation. Table 3 (appendices) shows that the mean of asset index for all regions, except Sumatra, raised and Sulawesi enjoyed the largest increase from 1.03 in 1993 to 1.43 in 2007, or almost 50 per cent increase. However, standard deviation of asset index for all regions, except Kalimantan, mostly unchanged in the same period. Ironically, Sulawesi that grew faster than others could not reduce its standard deviation of asset index, even more, the deviation became larger. This can be said that the gap between the non-poor and the poor households remained significant. Further, the growth seemed to bring positive impacts in the components of asset index at the aggregate level as shown in Table 3 (appendices). Human capital which is represented by health (food diversity) and year of education is much better in 2007 than in the base year. Yet, the gap between the lowest and the highest level of human capital seems to be not being better. Moreover, Table 3 (appendices) shows that household’s income on average was almost doubled in 2007, compared to 1993-based. This finding is represented by expenditure per capita of the households. However, the deviation of expenditures per capita in 2007 was, even, larger than its mean. Thus, it reinforces the finding in asset index pattern which indicated that the gap between the poor households and the non-poor households became worse. 8 On the other hand, Table 3 (appendices) shows that there are more various patterns in the households’ productive capital. Some assets on average had an increasing value in 2007 such as jewellery and fourwheel vehicles. In contrast, the value of other productive assets seems to decrease from 1993 to 2007. 4.2. Constructed Asset Index This section is started by a summary of main features of the results from parametric technique for each region. The complete results which consist of the estimated coefficients and their standard error for each independent variable in five different regions are detailed in Table 5 (appendices). Yet, before interpreting the main features of the models, these models should be tested on their wellness. In this study, Kernel density function of the fitted values of asset index (livelihood) is used as the criterion. The results of this test are summarized in Figure 4. From this figure, it can be seen that all of the fitted values of asset index do not move away from the actual livelihood. Thus, it can be inferred that each model for these five regions can be accepted. Overall, consumption-based poverty rate is higher than the asset-based poverty rate. This is well expected given fact that the former should include both structural Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA: USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007 Wahyu Indrawan Figure 5. Asset Recursion Diagram With 3-4 Years Lag Sumatera 6 Java & Bali 6 4 A_t4 West Nusa Tenggara 6 4 A_t4 4 A_t4 2 2 2 0 0 0 -2 -2 -2 -2-1.8 -1.6 -1.4 -1.2 -1-.8-.6-.4-.20 .2.4.6 .8 11.21.4 1.6 1.822.2 2.4 2.62.833.2 3.43.6 3.84 -1 -.8-.6-.4-.2 0 .2 .4 .6 .8 1 1.21.41.61.82 2.22.42.62.83 3.23.43.63.84 A_t A_t Kalimantan -2-1.8 -1.6 -1.4 -1.2 -1-.8-.6-.4-.2 0 .2.4.6 .8 11.21.4 1.6 1.822.2 2.4 2.62.833.23.4 3.6 3.84 A_t Sulawesi 4 4 3 A_t4 2 A_t4 2 1 0 0 -1 -2 -1 -.8 -.6 -.4-.2 0 .2 .4 .6 .8 1 1.21.41.61.8 2 2.22.42.62.8 3 3.23.43.63.8 4 -2-1.8 -1.6 -1.4 -1.2-1 -.8-.6-.4-.2 0 .2 .4 .6 .8 1 1.21.41.61.82 2.22.42.62.83 3.23.43.63.84 A_t A_t Source: author’s calculation. poor (asset-based poverty) as well as the stochastic poor. Further, estimates of five models for each region as parametric results discover some interesting findings. First, when human capital (health and education of the household’s head) are not interacted to productive capital or other characteristics, they are only positively significant in West Nusa Tenggara which is known as one of less developing region in Indonesia. Another interesting finding in this region is that livestock asset is positively significant in contributing to household’s livelihood which is consistent to the major economy of this region which is called as the land of a million cows (Disnakeswan 2013). Yet, this asset seems to have opposite effect when it is interacted to the household who lives in urban area which might be because most urban households do not lay their economy on cattle farming or livestock. Second, household characteristics which are represented by age of household’s head and female headed household are likely not significant in all regions. Similarly, marketplace availability is the only one community characteristic that significantly contribute in household’s livelihood in two out of five regions, while existence of a factory and road quality seem to be not significant. Interestingly, existence of marketplace provides a negative significant Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 contribution in West Nusa Tenggara. In contrast, in Sumatra marketplace availability has positively significant effect on the household’s livelihood. Household’s livelihood in Sumatra region which is known as large farm of oil palm tree is positively contributed by the holding of tractor. Third, the result shows that all human capital and productive capital are not significant in Java and Bali which was hypothesized as the most developing region. Yet, year of education of the household’s head when interacted to urban households becomes positively significant for household’s livelihood. Fourth, the value of other assets, such as boats, is positively significant in contributing household’s livelihood in Kalimantan. This is also as expected because river is one of the main infrastructures for transportation. In contrast, there is no specific asset that relates to the economy of Sulawesi region. Instead, only the value of house and value of house interacted to urban are significant in Sulawesi. But, they have opposite effect; value of house is negatively significant, while interaction urban and house has positively significant contribution. All of these findings are needed to be deepened in the future research. 9 ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA: USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007 Wahyu Indrawan 4.3. Nonparametric Estimation of Dynamic Asset Pattern And Poverty Trap This section presents the nonparametric estimation of the relationship between the asset indexes in the later period and in the base year period. Using local polynomial regression and the second order polynomial, the asset recursion diagram is produced. Since this study using four waves of IFLS that cover long period from 1993 to 2007, this study distinguishes the shorter nonparametric analysis (3 to 4 years lag) from the longer analysis (7 year lag). Further, before this analysis can be done, the fitted values of asset index from parametric technique should be transformed into two pairs of observations. These pairs represent the dynamic of households’ assets over period. The first pairs show the relationship of asset index from the year 1997-1993 and 2000-1997, where the latter years are the baseline for respective pairs. The asset recursion diagrams for each region are summarized in Figure 5. Horizontal axis in Figure 5 represents asset index in the baseline (1993 for 1997 as current year and 1997 for 2000 as current year), and vertical axis represents the asset index at current period. There is a 45-degree line in each graph which means that asset index in the baseline is exactly the same as asset index in the current year. This line also indicates the equilibrium that may exist for each region. Further, there are two intersected lines at point 1 in horizontal and vertical axis. The function of these lines is as a representation of poverty line. So, when the asset equilibrium intersects at point below this line, it can be inferred that the households are at poor condition. Figure 5 shows some interesting findings in the pattern of asset dynamics and the existence of poverty trap for each region. Generally, almost all regions have a single equilibrium which converges at above poverty line, but there are exceptions for Sumatra and Java and Bali regions. These regions seem to have a different pattern. Instead of single equilibrium pattern, there is evidence that multiple equilibria exist in Sumatra and Java and Bali regions. There are an unstable equilibrium at about point 2.55 PLU and two stable equilibria at point 0.65 PLU (below poverty line) and at point 3.35 PLU (much higher than poverty line) in Sumatra. So, it can be concluded that multiple equilibria poverty trap might exist in Sumatra. Further, there is a threshold at its unstable equilibrium point (at about 2.55 PLU) that households can bifurcate. So, households which have assets below the unstable equilibrium point are likely converge to the stable equilibrium below poverty trap or trapped in poverty. In contrast, households that hold assets above the threshold are likely able to accumulate enough assets and to converge at higher Figure 6. Asset Recursion Diagram With 7 Years Lag Sumatra 6 Java & Bali West Nusa Tenggara 6 4 A_t7 4 A_t7 A_t7 3 2.5 2 2 2 1.5 1 0 0 .5 0 -.5 -2 -2 -1 -.8-.6-.4-.2 0 .2 .4 .6 .8 1 1.21.41.61.82 2.22.42.62.83 3.23.43.63.84 -1 -.8-.6-.4-.2 0 .2 .4 .6 .8 1 1.21.41.61.82 2.22.42.62.83 3.23.43.63.84 A_t A_t Kalimantan 4 -1 -1 -.8-.6-.4-.2 0 .2 .4 .6 .8 1 1.21.41.61.82 2.22.42.62.83 A_t Sulawesi 4 3 A_t7 2 A_t7 2 1 0 0 -1 -2 -1 -.8-.6 -.4-.2 0 .2 .4 .6 .8 1 1.21.41.61.8 2 2.22.42.62.8 3 3.23.43.63.8 4 A_t -2-1.8 -1.6 -1.4 -1.2-1 -.8-.6-.4-.2 0 .2 .4 .6 .8 1 1.21.41.61.82 2.22.42.62.83 3.23.43.63.84 A_t Source: author’s calculation. 10 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA: USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007 Wahyu Indrawan level of assets (move out of poverty). This finding is almost similar to Prima (2009) who finds that in national level (overall country) households have multiple equilibria and can bifurcate. However, this finding is not as expected because Sumatra is usually considered as the second largest economy in Indonesia. Though Java and Bali also have multiple equilibria, Figure 5 shows that these multiple equilibria are located above poverty line. Further, these multiple equilibria seem to tangent to the 45-degree line not only two points but along the point from 1.40 PLU to 2.10 PLU. Thus, it can be inferred that poverty trap does not exist in Java and Bali, but, instead, the households in this region converge into non-poverty status. This finding is as expected since Java and Bali is the largest economy and the most developing region in Indonesia. On the other hand, other three regions share a common trend. West Nusa Tenggara, Kalimantan and Sulawesi have a single stable equilibrium above poverty line. This can be interpreted that all households in these regions converge into non-poverty condition or poverty trap is not exist these regions. Yet, Figure 5 shows that the stable equilibrium of Sulawesi is so close to poverty line at around 1.15 PLU which means it can be vulnerable for this region to be trapped in the poverty if there is a little shock. In contrast, West Nusa Tenggara and Kalimantan which are also known as mining region share the same stable equilibrium at higher level at around 1.45 PLU. These findings are quite surprising because Sulawesi is the largest region within eastern Indonesia, but the asset dynamic shows a worse level than West Nusa Tenggara and Kalimantan. To gain a deeper analysis, Figure 6 is used for the longer period analysis (7 year lag). This figure represents the second pairs that show the relationship of asset index from the year 2000-1993 and 20072000, where the latter years are the baseline for respective pairs. As in Figure 6 horizontal axis represents asset index in the baseline (1993 for 2000 as current year and 2000 for 2007 as current year), and vertical axis represents the asset index at current period. There are also a 45-degree line in each graph and two intersected lines at point 1 in horizontal and vertical axis. Generally, there are almost similar pattern in Figure 6 compared to the shorter pattern analysis in Figure 5. Poverty trap seems to still exist and the dynamic asset pattern follows multiple equilibria in Sumatra. Though there are some slight changes, there is still no evidence poverty trap may exist in Java and Bali, West Nusa Tenggara and Kalimantan. Java and Bali seems to have a slight change in the pattern which it initially has multiple equilibria, then in the longer period, the households converge into a single stable equilibrium above poverty line at around 1.75 PLU. On the other hand, households in Sulawesi region seems to have a worsen asset accumulation over longer period. Figure 6 shows that these households still follow a single stable equilibrium, but the stable Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 equilibrium moves to the lower level than one in shorter period. Even more, in this longer period, the stable equilibrium is below poverty line at around 0.65 PLU which can be inferred that in the longer period of observation poverty trap may exist in the households in Sulawesi region. This finding is as predicted in Figure 5 which shows that households in Sulawesi might be at the vulnerable position to become poor. This finding differs to Prima (2009) which argues that in national scales (overall country) multiple equilibria poverty trap exists in Indonesia. But it shares the common pattern with Giesbert and Schindler (2012), Naschold (2012), and Baulch and Quisumbing (2013) who find that households tend to converge in a single equilibrium level using Mozambique, India and Bangladesh as their observations, respectively. 5. CONCLUSION The final part of this paper concludes some findings in this study. Using asset-based approach in analysing longitudinal households panel data in five different regions in Indonesia, this paper attempts to examine whether poverty trap exist in household level in some regions in Indonesia and to identify the pattern of asset dynamics for certain periods. Based on the result from parametric and nonparametric techniques, this study finds that poverty trap seems to exist in form of single equilibrium at Sulawesi and in multiple equilibria in Sumatra. This main finding suggests that this paper’s hypothesis which argues that poverty trap may exist in some regions other than Java and Bali is partly maintained because Kalimantan and West Nusa Tenggara show that there is no evidence that poverty trap exist in these regions. This study also finds that assets accumulation of the households in Kalimantan and West Nusa Tenggara tend to converge into a stable single equilibrium at above poverty line. Another finding shows that contributions of assets toward livelihoods vary across regions. For instance, livestock is positively significant in West Nusa Tenggara, other vehicles, such as boats, are positively significant in Kalimantan, existence of marketplace in the community is positively significant in Sumatera, and year of education of the household’s head in urban area is positively significant in Java and Bali. However, household characteristics, such as age of the household’s head and female headed household, seem to be not significant components in the household’s livelihood for all regions. These findings may provide implications for government’s poverty alleviation policies. Poverty analysis needs to be deepened in Sumatra and Sulawesi regions because it is unexpected that poverty trap seems to exist in these regions. These are unexpected findings because Sumatra is known as the second largest economy and Sulawesi is also the most developing region in eastern Indonesia. While this is true on average, it could be true that the level of development within these two regions vary across households. Especially in the case of Sumatra, our evidence seems to suggest that there could exist a 11 ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA: USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007 Wahyu Indrawan critical asset threshold that determines household’s asset accumulation dynamics and so their long-term poverty. If this is the case, policy intervention might be targeted to helping those below the threshold, who tend to have problem accumulating asset by their own mean. Another policy implication may be related to the specific significant components in each region that should be the focus of assistance. For instance, government should focus in supporting livestock farming in West Nusa Tenggara, boat facilities in Kalimantan and marketplace proximity in Sumatra. This study is still a preliminary stage. Future research is needed to go further into more interesting study. These may include measuring asset growth for each region, more detailed research on each region to gain more realistic picture, updating the period of observation to cover the full periods of SBY administration, and performing separate analysis for poor provinces, such as Papua, West Papua, or East Nusa Tenggara. More importantly, indirect behaviour approach, such as observing the long-term consequence of some small disturbance in asset dynamic equilibrium (for instance, from shocks and asset transfers) on asset accumulation among people locating in different sides of critical asset threshold, can be used to test the patterns of asset-based poverty trap found in this paper. ACKNOWLEDGEMENT This paper had been fully supported by Dr Sommarat Chantarat and Umbu Reku Raya(College of Asia and the Pacific, the Australian National University). Thanks for their helpful assistance in supervising and data analysing. REFERENCES Adato, M, Carter, MR, & May, J 2006, ‘Exploring poverty traps and social exclusion in South Africa using qualitative and quantitative data’, Journal of Development Studies, vol. 42, no. 2, pp. 226-247. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Indonesian National Development Planning Agency) 2011, ‘Handbook: pro-poor planning and budgeting’, May 2008, Republic of Indonesia, Jakarta. Badan Pusat Statistik (Indonesian Central Bureau of Statistics) 2008, ‘Analisis dan penghitungan tingkat kemiskinan 2008 (Analysis and the calculation of poverty rate 2008)’, November 2008, Republic of Indonesia, Jakarta. Barrettt, CB & Carter, MR 2006, ‘The economics of poverty traps and persistent poverty: an assetbased approach’, Journal of Development Studies, vol. 42, no. 2, pp. 178-199. ________________________ 2013, ‘The economics of poverty traps and persistent poverty: empirical and policy implications’, Journal of Development Studies, vol. 49, no. 7, pp. 976-990. Barrettt, CB, Marenya, PP, McPeak, JG, Minten, B, Murithi, F, Oluoch-Kosura, W, Place F, 12 Randrianarisoa, JC, Rasambainarivo, J&Wangila, J 2006, ‘Welfare dynamics in rural Kenya and Madagascar’, Journal of Development Studies, vol. 42, no. 2, pp. 248-277. Baulch, B & Quisumbing, AR 2013, ‘Assets and poverty traps in rural Bangladesh’, Journal of Development Studies, vol. 49, no. 7, pp. 898-916. Cameron, AC & Trivedi, PK 2009, Microeconometrics using Stata, StataCorp, Texas. DeRosa, K, Michelson, H, & Muniz, M 2013, ‘Measuring socio-economic status in the millennium villages: the role of asset index chouce’, Journal of Development Studies, vol. 49, no. 7, pp. 917-935. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan 2013, ‘Provinsi Nusa Tenggara Barat sejuta sapi (West Nusa Tenggara:a land of million-cows)’, Provincial Government of West Nusa Tenggara, Mataram, viewed 30 Oktober 2013, <http://www.disnakeswan.info>. Giesbert, L & Schindler, K 2012, ‘Assets, shocks, and poverty traps in rural Mozambique’, World Development, vol. 40, no. 8, pp. 1594-1609. Naschold, F 2012, ‘The poor stay poor: household asset poverty traps in rural semi-arid India’, World Development, vol. 40, no. 10, pp. 2033-2043. Prima, RA 2009, ‘Social capital and poverty traps: evidence from Indonesia’, paper presented in International conference in honour of Salvatore Vinci, Napoli, 30-31 October. RAND Corporation 2012, The Indonesia family life survey (IFLS), RAND Corporation, viewed 30 Oktober 2013, <http://www.rand.org/labor/FLS/IFLS.html>. Sikoki, B, Straus, J, Witoelar, F & Wattie, AM 2009, The fourth wave of the Indonesia family life survey (IFLS4): overview and field report Volume 1, RAND corporation, California. Sumarto, S, Suryahadi, A, Widyanti, W, &Yumna, A 2009, ‘The relationship between chronic poverty and household dynamics: evidence from Indonesia’, Working Paper no. 132, Chronic Poverty Research Centre, the SMERU Research Institute, Jakarta. USDA, see the US Department of Agriculture and Health and Human Services. The US Department of Agriculture and Health and Human Services 2011, ‘Dietary guidelines for Americans’, June 2011, Federal Government of the United States, Washington, D.C. Wardhana, D 2010, ‘Multidimensional poverty dynamics in Indonesia (1993 - 2007)’, School of Economics, The University of Nottingham, Nottingham. Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA: USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007 Wahyu Indrawan APPENDICES Table 3. Summary Statistics of Variables for 1993 and 2007 No. of obs. Mean Std. Dev. Min Max Variable 1993 2007 1993 2007 1993 2007 1993 2007 1993 2007 Asset index Asset index_Sumatra 1104 1513 1.40 1.37 1.22 1.27 Asset index_Java&Bali 3794 4975 1.62 1.63 0.59 0.54 Asset index_West Nusa Tenggara 367 598 0.96 1.03 0.60 Asset index_Kalimantan 226 351 1.42 1.46 Asset index_Sulawesi 305 340 1.03 1.43 Expenditure per capita in real term (Rp/month) -0.39 -0.57 4.82 4.69 0.27 4.56 4.06 0.65 -1.00 -1.20 2.40 2.83 0.72 0.61 -0.05 0.21 3.27 4.04 1.29 1.39 -3.82 -3.32 4.20 7.37 0.14 7136 12658 364144 623842 520414 630132 13441 27740 22500000 13600000 Human capital Food diversity 7111 13436 0.26 5.68 0.56 1.91 0.00 0.00 5.00 8.00 Education year of HHs' members 7111 13436 4.00 6.71 3.03 3.27 0.00 0.00 16.00 16.00 Education year of HHs' head 7111 13430 5.46 7.81 4.47 4.68 0.00 0.00 16.00 16.00 Log value of land 6895 13118 3.08 -0.18 12.81 12.40 -9.21 -9.21 22.63 21.42 Log value of house 6777 12814 10.62 8.53 10.68 12.47 -9.21 -9.21 22.35 20.72 Log value of building 7097 13342 -5.98 -4.79 8.46 9.66 -9.21 -9.21 22.35 21.42 Log value of hardstem plants 7062 13308 -5.77 -6.69 8.17 7.38 -9.21 -9.21 22.35 20.72 Log value of livestock 7157 13368 -0.50 -1.88 10.92 10.47 -9.21 -9.21 22.35 20.94 Log value of vehicles 7150 13361 -0.09 5.22 11.42 11.99 -9.21 -9.21 22.35 20.72 Productive capital Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 13 ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA: USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007 Wahyu Indrawan No. of obs. Mean Std. Dev. Min Max Variable 1993 2007 1993 2007 1993 2007 1993 2007 1993 2007 Log value of other vehcles 7177 13436 -7.61 -7.08 5.88 6.84 -9.21 -9.21 21.83 18.42 Log value of tractor 7185 13431 -9.12 -8.72 1.50 3.35 -9.21 -9.21 17.92 17.84 Log value of heavy equipment 7182 13433 -8.93 -8.91 2.52 2.61 -9.21 -9.21 18.84 18.13 Log value of small tools 7151 13408 -1.95 -2.83 9.83 9.58 -9.21 -9.21 22.35 18.32 Log value of jewellery 7165 12990 -6.74 2.48 7.18 11.47 -9.21 -9.21 22.35 19.67 Log value of savings 7041 12798 -4.25 -4.18 9.52 9.67 -9.21 -9.21 22.35 20.21 14.00 11.00 99.00 998.00 Household characteristics Age of head of household 7111 13430 45.54 46.88 14.38 35.55 Household is female-headed 7111 13430 0.16 0.22 0.37 0.41 0.00 0.00 1.00 1.00 There is at least one factory (industry) 6664 8819 0.50 0.49 0.50 0.50 0.00 0.00 1.00 1.00 Market is close to the community 6663 8819 0.42 0.41 0.49 0.49 0.00 0.00 1.00 1.00 Main roads are paved or asphaltused 6664 8819 0.95 0.95 0.22 0.22 0.00 0.00 1.00 1.00 Electricity avalaibility 6664 8819 1.00 1.00 0.05 0.04 0.00 0.00 1.00 1.00 Source: Author’s calculation. 14 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA: USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007 Wahyu Indrawan Table 4. Summary statistics of variables for 1997 and 2000 Variable No. of obs. 1997 2000 Mean 1997 Std. Dev. 2000 1997 Min 2000 1997 Max 2000 1997 2000 Asset index Asset index_Sumatra 1027 1332 1.34 1.39 1.21 1.21 -1.50 -1.01 4.58 4.83 Asset index_Java&Bali 3566 4424 1.58 1.59 0.53 0.52 0.18 0.09 3.91 3.68 Asset index_West Nusa Tenggara 381 450 0.98 0.98 0.61 0.62 -0.61 -1.56 2.46 2.73 Asset index_Kalimantan 259 293 1.39 1.49 0.70 0.70 0.09 0.12 3.39 3.45 Asset index_Sulawesi 341 384 1.52 1.12 1.11 1.17 -2.01 -1.98 4.38 5.74 Expenditure per capita in real term (Rp/month) 7536 10229 561,559 514,408 1,658,412 709,644 24,587 14,700 63,700,000 32,500,000 Human capital Food diversity 7502 10248 5.73 5.89 1.42 1.53 0.00 0.00 8.00 8.00 Education year of HHs' members 7502 10248 5.10 5.86 3.13 3.28 0.00 0.00 16.00 16.00 Education year of HHs' head 7502 10246 5.90 6.74 4.51 4.68 0.00 0.00 16.00 16.00 Log value of land 7236 10054 2.92 2.32 12.92 12.85 -9.21 -9.21 22.30 22.27 Log value of house 7058 10009 12.17 10.23 9.95 11.34 -9.21 -9.21 22.87 21.25 Log value of building 7399 10196 -5.05 -4.45 9.50 9.94 -9.21 -9.21 27.74 21.33 Log value of hardstem plants 7442 10143 -6.41 -5.62 7.57 8.43 -9.21 -9.21 20.65 21.00 Log value of livestock 7498 10240 0.04 -4.92 11.00 8.99 -9.21 -9.21 19.78 20.15 Log value of vehicles 7476 10223 2.91 2.53 11.88 11.90 -9.21 -9.21 20.27 21.45 Productive capital Log value of other vehcles 7534 10262 -7.72 -6.97 5.72 6.96 -9.21 -9.21 20.14 19.84 Log value of tractor 7539 10260 -9.09 -9.09 1.72 1.74 -9.21 -9.21 17.84 17.85 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 15 ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA: USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007 Wahyu Indrawan Variable No. of obs. 1997 2000 Mean 1997 Std. Dev. 2000 1997 Min 2000 1997 Max 2000 1997 2000 Log value of heavy equipment 7539 10260 -9.04 -8.93 2.03 2.57 -9.21 -9.21 18.35 18.13 Log value of small tools 7481 10212 -2.84 -1.68 9.58 10.00 -9.21 -9.21 19.04 18.83 Log value of jewellery 7272 9966 3.65 4.32 11.38 11.23 -9.21 -9.21 19.52 20.44 Log value of savings 7319 9834 -4.02 -3.15 9.74 10.27 -9.21 -9.21 20.93 20.61 48.65 47.01 30.52 37.35 12.00 11.00 998.00 998.00 0.19 0.20 0.39 0.40 0.00 0.00 1.00 1.00 Household characteristics Age of head of household Household is female-headed 7502 10246 7502 10246 Community characteristics There is at least one factory (industry) 6616 7652 0.49 0.49 0.50 0.50 0.00 0.00 1.00 1.00 Market is close to the community 6616 7652 0.42 0.42 0.49 0.49 0.00 0.00 1.00 1.00 Main roads are paved or asphaltused 6616 7652 0.95 0.95 0.21 0.21 0.00 0.00 1.00 1.00 Electricity avalaibility 6616 7652 1.00 1.00 0.04 0.04 0.00 0.00 1.00 1.00 Source: Author’s calculation. 16 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA: USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007 Wahyu Indrawan Table 5. Parametric Results Sumatra coef fdiverse2 Java & Bali se coef se West Nusa Tenggara coef se Kalimantan coef se Sulawesi coef se 0.013 (0.029) 0.045 (0.035) 0.063* (0.033) -0.007 (0.054) 0.119 (0.190) m_edummm -0.005 (0.020) 0.014 (0.029) -0.002 (0.021) 0.070 (0.044) 0.027 (0.151) eduhhhmax -0.054 (0.043) -0.023 (0.055) 0.124** (0.057) 0.070 (0.159) -0.291 (0.209) ln_land -0.005 (0.006) 0.004 (0.006) -0.002 (0.005) -0.006 (0.010) 0.020 (0.030) ln_house -0.001 (0.008) -0.015 (0.010) -0.009 (0.009) 0.021 (0.015) -0.092* (0.051) ln_bldg 0.005 (0.007) -0.009 (0.008) -0.004 (0.005) 0.019 (0.012) 0.008 (0.036) ln_plants 0.003 (0.004) 0.006 (0.006) -0.004 (0.004) -0.013** (0.006) -0.003 (0.025) ln_livestock -0.004 (0.005) 0.002 (0.006) 0.013*** (0.005) 0.003 (0.009) -0.002 (0.026) ln_vehicle -0.007 (0.005) -0.001 (0.006) 0.001 (0.006) 0.005 (0.009) 0.009 (0.030) ln_othvhcle -0.003 (0.009) 0.009 (0.010) 0.009 (0.011) 0.029* (0.017) -0.001 (0.060) 0.043** (0.021) 0.013 (0.030) -0.045 (0.032) -0.121 (0.144) -0.010 (0.050) -0.008 (0.018) -0.004 (0.020) -0.075*** (0.028) 0.012 (0.022) 0.058 (0.073) 0.001 (0.006) 0.008 (0.005) -0.000 (0.009) -0.004 (0.031) -0.005 (0.003) -0.002 (0.005) 0.007* (0.004) -0.005 (0.006) 0.006 (0.026) ln_tractor ln_heqpmnt ln_smltol ln_jewelry 0.001 (0.005) ln_saving 0.001 (0.008) 0.001 (0.008) -0.010 (0.007) -0.016 (0.012) 0.001 (0.036) urb_lsave -0.021*** (0.007) 0.004 (0.008) 0.016* (0.009) -0.005 (0.014) -0.009 (0.042) 0.013** (0.006) -0.001 (0.007) -0.002 (0.007) 0.003 (0.011) 0.006 (0.037) -0.015 (0.009) -0.000 (0.010) -0.009 (0.010) -0.012 (0.020) 0.023 (0.064) 0.002 (0.010) -0.000 (0.014) 0.030** (0.014) 0.007 (0.023) 0.044 (0.053) -0.058** (0.026) -0.010 (0.034) 0.029 (0.046) -0.137 (0.213) -0.020 (0.077) 0.018 (0.028) -0.077* (0.045) -0.020 (0.041) -0.017 (0.099) urb_lsmltol -0.004 (0.010) -0.008 (0.012) -0.020* (0.011) -0.003 (0.016) 0.013 (0.045) urb_fdiver -0.042* (0.022) -0.007 (0.028) 0.058** (0.027) -0.050 (0.047) 0.213 (0.161) -0.083** (0.033) -0.187*** (0.064) -0.028 (0.183) -0.035 (0.036) urb_ljwlry urb_lothvhcle urb_lplants urb_ltractor urb_lheqpmnt 0.032 (0.028) urb_edummm 0.013 (0.026) urb_lland -0.008 (0.006) -0.001 (0.007) Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 0.004 (0.035) 0.011 (0.007) -0.011 (0.012) 17 ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA: USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007 Wahyu Indrawan Sumatra coef Java & Bali se coef se West Nusa Tenggara coef Kalimantan se coef se Sulawesi coef se urb_lhouse 0.005 (0.007) -0.003 (0.011) 0.002 (0.010) 0.001 (0.015) -0.058 (0.051) urb_lbldg 0.009 (0.007) -0.005 (0.008) 0.009 (0.007) -0.002 (0.013) -0.052 (0.044) -0.015* (0.008) -0.037*** (0.013) 0.000 (0.036) urb_lvstock 0.018*** (0.006) 0.007 (0.008) urb_lvehicle -0.003 (0.006) 0.008 (0.008) 0.001 (0.007) 0.003 (0.012) 0.014 (0.036) edu_lsave 0.001 (0.001) -0.000 (0.001) 0.002* (0.001) 0.002 (0.002) 0.001 (0.005) edu_lothvhcle 0.001 (0.001) -0.001 (0.001) 0.000 (0.001) -0.002 (0.002) -0.002 (0.008) -0.007** (0.003) -0.000 (0.004) 0.004 (0.004) 0.013 (0.015) 0.002 (0.008) edu_lheqpmnt -0.001 (0.002) -0.001 (0.003) 0.009** (0.003) 0.001 (0.005) -0.008 (0.013) edu_fdiver -0.002 (0.002) -0.005* (0.003) 0.001 (0.002) 0.011** (0.005) 0.008 (0.015) edu_lland 0.001* (0.001) -0.001 (0.001) 0.000 (0.001) 0.003** (0.001) -0.004 (0.004) 0.000 (0.001) 0.003** (0.001) 0.001 (0.001) -0.001 (0.001) 0.002** (0.001) 0.001 (0.001) -0.002 (0.001) -0.002 (0.004) edu_lvstock 0.000 (0.001) -0.000 (0.001) -0.002** (0.001) 0.002* (0.001) 0.000 (0.004) edu_lvehicle 0.001 (0.001) 0.001 (0.001) -0.001 (0.001) 0.002 (0.001) -0.002 (0.004) agehhh -0.000 (0.001) 0.002 (0.002) 0.008 (0.005) 0.004 (0.008) -0.000 (0.006) d_sexhhh -0.057 (0.110) -0.175 (0.135) 0.036 (0.116) 0.051 (0.219) 0.717 (0.761) factory -0.157 (0.218) -0.198 (0.287) -0.293 (0.229) 0.631 (0.475) -1.013 (1.382) market 0.528* (0.309) -0.055 (0.449) -1.193*** (0.392) -0.018 (0.550) 1.279 (2.116) 0.072 (0.369) 0.554 (0.693) -1.163 (1.215) -0.146 (0.818) -1.381 (5.686) D1997 -0.015 (0.147) -0.132 (0.184) -0.512*** (0.175) -0.355 (0.281) -0.888 (0.974) D2000 0.065 (0.153) -0.110 (0.194) -0.441** (0.181) -0.135 (0.291) -1.430 (1.053) D2007 -0.028 (0.158) -0.158 (0.200) -0.317* (0.187) -0.373 (0.324) -1.206 (1.096) edu_ltractor edu_lhouse edu_lbldg road D16 -0.711** (0.340) D18 2.626 (1.619) D32 0.872 (2.291) D36 1.307 (2.290) 18 -0.004** (0.002) 0.016*** (0.006) Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA: USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007 Wahyu Indrawan Sumatra coef Java & Bali se _cons 0.933 (0.594) N 4,896 coef se 0.834 (1.044) 16,545 West Nusa Tenggara coef 1.186 1,788 Kalimantan se (1.323) coef se -0.220 (1.740) 1,118 Sulawesi coef se 4.414 1,353 note: *** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 19 Halaman ini sengaja dikosongkan This page intentionally left blank 20 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015, Halaman 21-40 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA JURNAL BPPK MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT (STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX) Azwar Balai Diklat Keuangan Makassar. Email: [email protected] INFO ARTIKEL ABSTRAK SEJARAH ARTIKEL Diterima Pertama 9 Maret 2015 The purposes of this research were to analyze: (i) financial ratios choosen as predictor for financial distress prediction; (ii) accuration rate of prediction model that formed from analysis. The data used was from resume of financial report of companies at Indonesia Stock Exchange period of 2012-2013. This research used 23 companies of JII as samples with purposive sampling method. This research used binary logit regression analysis. The empirical result shown that the financial ratios such as Current Ratio (CR), Operating Profit Margin (OPM), Return Of Asset (ROA), Return On Equity (ROE) and yield (YLD) can be used for comparing and classifying companies to distress and non-distress group. The financial ratios such as ROA and ROE significantly can be used in predition model with accuration rate of 90,9%. That model also can be used as early warning signal. For regulators such as BEI and Otoritas Jasa Keuangan can use it as tool for evaluating, reviewing and controlling of companies. Dinyatakan Dapat Dimuat 12 Juni 2015 KEYWORDS: binary logit, financial distress, JII. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: (i) rasio keuangan yang terpilih sebagai prediktor dalam memprediksi financial distress; (ii) tingkat akurasi model prediksi financial distress yang terbentuk dari analisis. Data yang digunakan adalah data sekunder dari Bursa Efek Indonesia (BEI) berupa Ringkasan Kinerja Perusahaan Tercatat periode 2012-2013. Dengan teknik purposive sampling, penelitian ini menggunakan sampel 23 emiten yang terhitung dalam saham JII. Penelitian ini menggunakan metode analisis Binary Logit Regression. Hasil empiris menunjukkan bahwa rasio-rasio keuangan dalam laporan keuangan perusahaan yang terdiri dari: Current Ratio (CR), Operating Profit Margin (OPM), Return Of Asset (ROA), Return On Equity (ROE) dan nilai beta saham (YLD) dapat digunakan untuk membedakan dan mengklasifikasikan perusahaan ke dalam kelompok yang mengalami financial distress dan non financial distress. Rasio keuangan yang signifikan memprediksi kemungkinan terjadinya financial distress yaitu ROA dan ROE. Rasio-rasio tersebut digunakan dalam model prediksi financial distress berdasarkan indikator Debt to Total Aset Ratio (DAR) (model kedua) dan terbukti layak secara statistik untuk digunakan sebagai model dengan akurasi prediksi 90,9%. Model prediksi financial distress ini dapat digunakan sebagai early warning signal. Bagi pihak regulator seperti BEI, Otoritas Jasa Keuangan dan lainnya, dapat menggunakan model prediksi financial distress ini sebagai tool dalam menjalankan fungsi evaluasi, reviu dan pengawasan terhadap emiten. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem ekonomi dengan prinsip syariah mulai hadir di Indonesia pada awal tahun 90-an, ketika inisiatif Majelis Ulama Indonesia (MUI) berhasil mendorong berdirinya bank syariah pertama di Indonesia pada tanggal 1 Mei 1992, yaitu Bank Muamalat. Untuk memberikan arahan dan regulasi, berdirilah lembaga Dewan Syariah Nasional (DSN) yang berafiliasi pada MUI, di mana fatwanya menjadi acuan dari pelaku ekonomi syariah dalam penerapannya. Berdirinya bank syariah tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan berdirinya berbagai institusi keuangan berlandaskan prinsip syariah, seperti asuransi syariah, multifinance syariah dan juga tidak ketinggalan pada industri pasar modal. Dengan dimotori oleh Bapepam-LK bekerjasama dengan PT. Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014 Danareksa Investment Management, lahirlah Jakarta Islamic Indeks (JII), yang dijadikan sebagai tolak ukur untuk mengukur kinerja suatu investasi pada saham dengan basis syariah. Selanjutnya pada tahun 2011, indeks syariah berikutnya kembali diluncurkan dengan nama Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI). Lahir dan tumbuhnya industri keuangan syariah adalah bagian dari upaya tujuan pembangunan nasional yaitu untuk mencapai terciptanya masyarakat adil dan makmur. Hal ini antaranya ditandai dengan peran aktif pemerintah dalam mengembangkan industri keuangan syariah yang diharapkan menjadi langkah strategis dalam pengembangan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah. 21 MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT (STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX) Azwar Perkembangan indutri keuangan syariah selalu dihadapkan pada berbagai macam risiko inherent (melekat). Risiko yang mungkin terjadi dapat menimbulkan kerugian bagi industri jika tidak dideteksi dan dikelola sedini mungkin. Berbagai eksposur risiko tersebut bisa berupa penurunan kinerja keuangan hingga risiko kebangkrutan. Salah satu contoh risiko yang dihadapi adalah krisis finansial. Krisis finansial berulang kali menerpa berbagai negara di dunia secara bergiliran baik negara berkembang maupun negara maju. Fenomena krisis di Indonesia dan berdampak signifikan adalah yang terjadi pada krisis moneter 1997-1998. Di antara dampak yang ditimbulkan dari krisis ini adalah dengan ditutupnya 16 bank setelah terjadi rush besarbesaran oleh nasabah bank tersebut sehingga kehilangan likuiditasnya. Begitu pula, dengan krisis ini, inflasi yang melonjak menjadi 77,6%, pertumbuhan ekonomi yang merosot hingga -13,2% (Hatta dalam Ascarya, 2008) dan juga depresiasi nilai tukar rupiah yang mencapai angka Rp 10.000/dolar AS menyebabkan terjadinya penurunan kinerja neraca pembayaran, tekanan pada nilai tukar rupiah, dan dorongan pada laju inflasi yang menyebabkan beberapa perusahaan di Indonesia harus gulung tikar karena mengalami kebangkrutan. Krisis kemudian menjalar ke belahan Asia terutama negara-negara seperti Jepang, Korea, China, Singapura, Hongkong, Malaysia, Thailand termasuk Indonesia yang sudah lama memiliki surat-surat berharga perusahaanperusahaan tersebut. Sedangkan krisis berikutnya yang terjadi pada tahun 2007-2008 dimulai dari Amerika Serikat (AS). Berbeda dari krisis keuangan 1997 yang berdampak lokal, krisis 2008 meluas ke hampir seluruh belahan dunia. Bursa saham berjatuhan. Perusahaanperusahaan keuangan multinasional bangkrut. Banyak perusahaan di AS yang melakukan pengurangan pekerja. Akibat krisis keuangan di AS, para investor portofolio di bursa saham menarik dananya. Akibatnya, bursa saham jatuh dan kini nilai tukar mata uang Asia ikut jatuh pula. Nilai tukar rupiah terhadap dolar sempat mencapai level Rp. 12.650 per dolar AS pada 24 Nopember 2008. Begitu pula dengan IHSG, pada periode yang sama mengalami depresiasi sebesar 42% (Statistik Pasar Modal, 2008). Dengan melihat ancaman krisis ini, perusahaan dan industri diharapkan dapat membuat keputusan dan melakukan tindakan agar tetap bertahan dan tidak mengalami financial distress (kesulitan keuangan) akibat krisis yang bisa saja mengancam. Bagi perusahaan-perusahaan khususnya yang telah mengalami financial distress, penting untuk dapat melakukan analisis prediksi dan deteksi dini sebelum mengalami kebangkrutan. Analisis ini juga menjadi penting bagi pihak-pihak yang berkepentingan seperti investor, otoritas pembuat peraturan, auditor dan perusahaan kompetitor dan masyarakat secara umum. Khusus bagi investor, hasil analisisnya akan digunakan untuk menentukan sikap terhadap 22 sekuritas yang dimiliki pada perusahaan di mana dia akan berinvestasi (Sartono, 2008). Banyak kajian telah dilakukan terhadap topik ini baik dari segi teknik pengumpulan data, teknik analisis dan seterusnya dengan persamaan tujuan yakni mencari solusi optimal akan kinerja estimasi yang terbentuk. Beberapa model yang pernah dibuat di antaranya sebagaimana disebutkan dalam Rowland (2008) adalah: model logit (Kaiser 2001; Bernhandsen, 2001; Neophytou, Charitou dan Charambolis, 2000; Barniv, Agarwal dan Leach, 2002), model neural networks dan model survey (Morris, 1997). Dalam hal objek penelitian, juga terdapat beragam objek, seperti objek kawasan (negara, regional, dan lain-lain), klasifikasi industri, rentang waktu, kondisi perekonomian, dan lainnya. Untuk prediksi financial distress perusahaan di suatu negara, penelitian telah dilakukan oleh Orlowski untuk negara Polandia, Lizal (2002) untuk negara Czech; Hunter dan Isachenkova (2000) untuk negara Russia. Pada literatur asset pricing, konsep prediksi financial distress juga telah digunakan untuk menjelaskan pola pengembalian saham lintas industri (Chan and Chen 1991, Fama and French 1996, Garlappi dan Hong (2007). Adapun di Indonesia, penggunaan analisis multivariat untuk memprediksi financial distresss juga telah banyak dilakukan, beberapa di antaranya adalah Priambodo (2002), Almilia (2006), Brahmana (2007), Rowland (2008) dan Kamaluddin (2011). Kenyataan bahwa financial distress suatu perusahaan ditentukan oleh beragam faktor adalah hal yang tidak dipungkiri. Proses identifikasi dan kuantifikasi pada faktor-faktor tersebut juga bahkan tidak selalu dapat dilakukan dan financial distress juga bukanlah subjek yang mudah untuk dikuantifikasi, sehingga melakukan pemodelan financial distress selalu tergantung pada sejumlah asumsi yang dapat dikuantifikasi. Sebagian besar studi yang dilakukan mengenai prediksi financial distress adalah model yang terbentuk berdasarkan analisis ekonometrik terhadap rasio keuangan. Terdapat dua pertimbangan mengenai hal tersebut. Pertama, laporan keuangan yang dipublikasikan berisi banyak informasi tentang prospek dan capaian perusahaan. Kedua, hal ini merupakan suatu cara untuk mengendalikan efek ukuran sistematis variabel di bawah pengujian (Lev dan Sunder, 1979:187-188). Oleh karena itu, analisis rasio tidak hanya disukai manakala penafsiran perhitungan keuangan diperlukan, tetapi juga telah memainkan fungsi penting dalam pengembangan model prediksi kesulitan keuangan (Rowland, 2008). Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia merupakan pasar yang sangat besar untuk pengembangan industri keuangan syariah. Investasi syariah di pasar modal yang merupakan bagian dari industri keuangan syariah, mempunyai peranan yang cukup penting untuk dapat meningkatkan pangsa pasar industri keuangan syariah di Indonesia. Meskipun secara umum pangsa pasar industri keuangan syariah di Indonesia masih relatif kecil dengan presentase 5%-7%, namun industri keuangan Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT (STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX) Azwar syariah memiliki potensi yang besar sehingga perlu terus didorong untuk bertumbuh, meningkatkan daya saing, ketahanan, dan kemanfaatannya bagi perekonomian nasional (OJK, 2014). Di antara jalan atau upaya untuk menumbuh-kembangkan dan menguatkan industri syariah ini yaitu dengan menambah volume usaha di industri keuangan syariah. JII dan ISSI sebagai bagian dalam industri tersebut, dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan kepercayaan investor untuk melakukan investasi pada saham berbasis syariah dan memberikan manfaat bagi pemodal dalam menjalankan syariah Islam untuk melakukan investasi di bursa efek. Selain itu, JII dan ISSI menjadi tolak ukur kinerja (benchmark) dalam memilih portofolio saham yang halal. Upaya untuk menambah volume usaha industri keuangan syariah, khususnya melalui JII dan ISSI menjadi penting untuk terus digalakkan. Di antara upaya tersebut adalah melalui edukasi dan penelitian. Edukasi untuk memberikan informasi yang memadai kepada masyarakat akan keandalan, keunggulan dan keuntungan berinvestasi dan berusaha di industri keuangan syariah. Sedangkan riset dapat memberikan rekomendasi kepada para users, stakeholders, investor dan pemerintah terkait dengan keputusan dan kebijakan investasi di industri keuangan syariah. Para peneliti terdahulu telah banyak memberikan kontribusi melalui hasil penelitian mereka. Di antara bentuknya adalah berupa model prediksi kesulitan keuangan (financial distress) bagi perusahaan. Model prediksi ini menjadi sangat bermanfaat untuk mengambil langkah-langkah strategis untuk mencegah terjadinya krisis dalam rangka penguatan di masa yang akan datang. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulis termotivasi untuk memberikan kontribusi bagi perkembangan dan penguatan industri keuangan syariah di Indonesia. Penulis mencoba mengindikasi beberapa rasio keuangan sebagai klasifikasi awal perusahaan ke dalam kelompok distress dan non distress. Indikator tersebut mewakili masing-masing proksi kinerja perusahaan pada suatu periode tertentu. Dengan mengacu pada model yang digunakan oleh Rowland (2008), penelitian ini mencoba memprediksi financial distress pada emiten syariah yang tercatat di JII, sehingga diperoleh sebuah model prediksi yang akurat. Penulis memilih JII karena statusnya sebagai indeks saham syariah yang pertama di Indonesia dan memiliki jumlah yang relatif lebih kecil (kurang lebih 30 emiten) dibandingkan dengan indeks syariah lainnya yang terdaftar di BEI yaitu ISSI yang memiliki 317 emiten. Penelitian ini berbeda dari beberapa penelitian terdahulu karena mengambil industri keuangan berbasis syariah sebagai objek penelitian. Sementara penelitian– penelitian terdahulu terkait model prediksi financial distress yang menjadikan industri keuangan syariah sebagai objek penelitian masih jarang ditemukan. Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Rasio keuangan apa yang terpilih sebagai prediktor dari hasil analisis regresi binary logit dalam memprediksi financial distress pada tiap indikator klasifikasi awal pada emiten JII?; 2. Bagaimana akurasi prediksi financial distress emiten JII dari regresi binary logit tersebut? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis: 1. Rasio keuangan yang terpilih sebagai prediktor dalam memprediksi financial distress pada masing-masing indikator klasifikasi awal; 2. Tingkat akurasi prediksi model untuk memprediksi financial distress yang terbentuk dari analisis. 2 KERANGKA TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTES 2.1. Industri Keuangan Syariah dalam Pasar Modal Prinsip syariah dalam pasar modal adalah setiap perdagangan surat berharga mentaati ketentuan transaksi sesuai dengan aturan syariah. Prinsip syariah dalam pasar modal tidak hanya ada dan berkembang di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain. Lembaga keuangan di dunia yang pertama kali menaruh perhatian di dalam mengoperasikan portofolionya dengan manajemen portofolio syariah di dalam pasar modal adalah Amanah Income Fund yang didirikan bulan Juni 1986 oleh para anggota The North American Islamic Trust yang bermarkas di Indiana, Amerika Serikat. Wacana mengenai prinsip syariah dalam pasar modal ini disambut dengan antusias di seluruh belahan bumi ini mulai dari kawasan Timur Tengah, Eropa dan Asia. Beberapa negara telah proaktif dalam mengembangkan pasar modal yang berprinsipkan syariah dan konsisten dalam menerapkan syariah Islam dalam sendi kehidupannya, di antaranya dengan dibentuknya Bahrain Stock di Bahrain, Amman Financial Market di Amman, Muscat Securities Kuwait Stock Exchange di Kuwait dan Kuala Lumpur Stock Exchange di Malaysia. Perkembangan prinsip syariah dalam pasar modal di Indonesia secara tidak langsung juga dipengaruhi pasar modal yang berpegang pada konsep syariah yang terlebih dahulu dijalankan oleh negara-negara lain. Prinsip syariah dalam pasar modal di Indonesia mulai diperkenalkan pada bulan Juli tahun 2000 yang ditandai dengan berdirinya Jakarta Islamic Index (JII). Seiring dengan perkembangan industri keuangan syariah di Indonesia, pada tahun 2011, Bursa Efek Indonesia (BEI) kembali menerbitkan satu saham syariah berikutnya yaitu Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI). Dalam penerapannya, investasi keuangan syariah harus disertai dengan kegiatan underlying transaction berupa sektor riil atau transaksi yang mendasari (Auliyah dan Hamzah, 2006). Untuk itu, 23 MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT (STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX) Azwar penciptaan instrumen investasi syariah dalam pasar modal adalah dari sekuritasi aset atau proyek (assetsecuritisation) sebagai bukti penyertaan, sekuritasi utang (debt-securitisation) atau penerbitan surat utang yang timbul atas transaksi jual beli dan menjadi sumber pendanaan bagi perusahaan, sekuritasi modal (equity-securitisation) dalam bentuk emisi surat berharga oleh perusahaan emiten yang telah terdaftar dalam prinsip syariah dalam pasar modal dalam bentuk saham. Dalam pasar modal, dikenal dua macam pasar transaksi, yaitu pasar perdana dan pasar sekunder. Pada pasar perdana, beberapa instrumen pasar modal yang sesuai dengan syariah yang diperdagangkan adalah muqaradah/mudharabah funds, saham biasa (common-stock), dan muqaradah/mudharabah bonds. Prinsip dasar pasar perdana adalah semua efek harus berbasis pada harta atau transaksi riil, tidak boleh menerbitkan efek utang untuk membayar kembali utang (bay al-dayn bi al-dayn), dana atau hasil penjualan efek akan diterima oleh perusahaan, hasil investasi akan diterima pemodal (shahibul maal), tidak boleh memberikan jaminan hasil yang sematamata merupakan fungsi dari waktu (Harahap, 2001). Sedangkan pada pasar sekunder, terdapat beberapa tambahan dari prinsip dasar pasar perdana, yaitu tidak boleh membeli efek berbasis tren (indeks), suatu efek dapat diperjualbelikan namun hasil (manfaat) yang diperoleh dari efek tersebut berupa kupon atau dividen tidak boleh diperjualbelikan, tidak boleh melakukan suatu transaksi murabahah dengan menjadikan objek transaksi sebagai jaminan. Adapun jenis instrumen pasar modal yang jelas diharamkan syariah adalah preferred stock (saham istimewa), forward contract dan option (Auliyah dan Hamzah, 2006). Dalam rangka memberikan informasi yang lengkap tentang perkembangan bursa kepada publik, Bursa Efek Indonesia (BEI) telah menyebarkan data pergerakan harga saham melalui media cetak dan elektronik. Satu indikator pergerakan harga saham tersebut adalah indeks harga saham. Beberapa indeks yang terdapat dalam BEI saat ini adalah: (i) Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), LQ45, IDX30, KOMPAS100, BISNIS-27, PEFINDO25, SRI-KEHATI, Jakarta Islamic Index (JII), Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI), INFOBANK15, dan lainnya. Khusus untuk JII, penyusunan emiten yang termuat di dalamnya haruslah berdasarkan prinsip yang berlandaskan syariah. Anggota dalam indeks JII bukan emiten yang usahanya bertentangan dengan prinsip syariah seperti perjudian, minuman keras, serta jasa keuangan ribawi atau berbasis bunga. Prinsip ini berdasarkan pada nilai-nilai yang terdapat dalam ekonomi Islam. Menurut Luqman Syuhada (2007), ekonomi Islam adalah “konsep tentang tata cara mendapatkan harta/kekayaan dan membelanjakannya menurut hukum dan adab yang terkandung dalam syariat Islam”. Sedangkan, Menurut Merza Gamal (2005), Sistem ekonomi Islam adalah sebuah sistem perekonomian sunnatullah yang 24 mendorong adanya aliran investasi (melalui zakat) secara optimal (dengan prinsip anti riba) yang bersifat produktif (anti judi). Emiten atau perusahaan publik yang menerbitkan efek syariah wajib menjamin bahwa kegiatan usahanya memenuhi prinsip-prinsip syariah dan memiliki Syariah Compliance Officer (SCO) yaitu pihak atau pejabat dari suatu perusahaan atau lembaga yang telah mendapat sertifikasi dari DSNMUI dalam pemahaman mengenai prinsipprinsip syariah di pasar modal. JII sendiri diluncurkan pada tanggal 3 Juli 2000. JII dihitung mundur hingga tanggal 1 Januari 1995 sebagai hari dasar dengan nilai dasar 100. JII terdiri dari 30 saham yang sesuai dengan Syariah Islam. Untuk menetapkan saham-saham yang masuk dalam perhitungan indeks JII, dilakukan dengan urutan sebagai berikut (Auliyah dan Hamzah, 2006): 1. Memilih kumpulan saham dengan jenis usaha utama yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan sudah tercatat lebih dari 3 bulan (kecuali termasuk dalam 10 kapitalisasi besar). 2. Memilih saham berdasarkan laporan keuangan tahunan atau tengah tahunan terakhir yang memiliki rasio kewajiban terhadap aktiva maksimal sebesar 90%. 3. Memilih 60 saham dari susunan saham di atas berdasarkan urutan rata-rata kapitalisasi pasar (market capitalization) terbesar selama satu tahun terahkir. 4. Memilih 30 saham dengan urutan berdasarkan tingkat likuiditas rata-rata nilai perdagangan reguler selama satu tahun terakhir. Dengan kriteria penentuan tersebut di atas, JII menjadi tolok ukur investasi saham berbasis syariah dengan keunggulan likuiditas tinggi dan kapitalisasi yang besar. Selain itu, saham yang masuk dalam indeks JII juga memiliki kelebihan dibandingkan dengan indeks saham lain khususnya dalam hal tingkat utang yang relatif kecil, sehingga perusahaan atau emiten yang masuk termasuk low risk. Kepala Riset Universal Broker Indonesia, Satrio Utomo, menilai keunggulan JII dibandingkan dengan indeks syariah lainnya, seperti Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI), adalah dari sisi likuiditas. “Likuiditas tetap penting. Ini termasuk satu hal yang penting dibandingkan hanya kriteria syariah. ISSI hanya syariah. Kalau JII ini syariah dan harus likuid. Jangan sampai investor masuk ke saham tiba-tiba menghilang,” kata dia (Sumber : http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/07/1 6/09041160/Belanja.Saham.Halal.di.Bulan.Puasa). Ellen May, praktisi pasar modal, mengatakan: “Kinerja saham-saham yang tergabung dalam JII mirip dengan kinerja indeks LQ45. “Likuiditas dan kapitalisasinya mirip. Frekuensi transaksinya juga besar,” tutur dia. Selama periode 30 Desember 2011 hingga 13 Juli 2012 (year-to-date), kinerja 30 saham halal yang diwakili oleh JII sudah tumbuh 3,90 persen. Pencapaian ini di bawah return Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sebesar 5,17 persen. Namun Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT (STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX) Azwar kinerja JII masih lebih baik daripada return indeks LQ45 sebesar 2,03 persen di periode yang sama. Emiten yang masuk JII antara lain berkode ADRO, CPIN, JSMR dan KLBF. Total bobot keempat saham itu terhadap JII sebesar 11,27 persen. Sedangkan penyumbang bobot terbesar JII masih diduduki ASII sebesar 17,66 persen, UNVR 11,87 persen dan TLKM 11,35 persen (Sumber : http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/ 07/16/09041160/Belanja.Saham.Halal.di.Bulan. Puasa). 2.2. Financial distress Menurut Mamduh (2007), financial distress dapat digambarkan dari dua titik ekstrem yaitu kesulitan likuiditas jangka pendek dan insolvabel. Kesulitan keuangan jangka pendek biasanya bersifat jangka pendek, tetapi bisa berkembang menjadi parah. Indikator kesulitan keuangan dapat dilihat dari analisis aliran kas, analisis strategi perusahaan dan laporan keuangan perusahaan. Menurut Wruck dalam Sari (2005), financial distress merupakan suatu penurunan kinerja (laba), sedangkan Elloumi dan Gueyie dalam Sari (2005) mengkategorikan perusahaan dengan financial distress apabila selama dua tahun berturut-turut mengalami laba operasi negatif. Namun, Classens dalam Sari (2005), mendefinisikan perusahaan yang berada dalam kesulitan keuangan yaitu perusahaan yang memiliki interest coverage ratio (rasio laba usaha terhadap biaya bunga) kurang dari satu. McCue dalam Sari (2005), mendefinisikan financial distress sebagai arus kas negatif. Menurut Sari (2005), financial distress adalah suatu konsep luas yang terdiri dari beberapa situasi di mana suatu perusahaan menghadapi masalah kesulitan keuangan. Menurut Platt dalam Luciana (2004), financial distress merupakan tahap penurunan kondisi keuangan yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi. Kriteria perusahaan yang mengalami financial distress adalah: (1) beberapa tahun memperoleh laba bersih operasi negatif; (2) menghentikan pembayaran dividen; dan (3) mengalami restrukturisasi besar atau penghentian usaha. Menurut Rayenda (2007), financial distress terjadi karena perusahaan tidak mampu mengelola dan menjaga kestabilan kinerja keuangan perusahaannya yang bermula dari kegagalan dalam mempromosikan produk yang dibuatnya yang menyebabkan turunnya penjualan sehingga dengan pendapatan yang menurun dari sedikitnya penjualan memungkinkan perusahaan mengalami kerugian operasional dan kerugian bersih untuk tahun yang berjalan. Lebih lanjut, dari kerugian yang terjadi akan mengakibatkan defisiensi modal dikarenakan penurunan nilai saldo laba yang terpakai untuk melakukan pembayaran dividen, sehingga total ekuitas secara keseluruhan pun akan mengalami defisiensi. Jika hal ini terus terjadi, maka tidak mustahil bahwa suatu saat total kewajiban Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 perusahaan akan melebihi total aktiva yang dimilikinya. Kondisi seperti yang telah disebutkan di atas mengasosiasikan suatu perusahaan sedang mengalami kesulitan keuangan (financial distress) yang pada akhirnya jika perusahaan tidak mampu keluar dari kondisi tersebut di atas, maka perusahaan tersebut akan mengalami kepailitan. Adapun dampak dari financial distress antara lain: (i) resiko yang terkandung dalam biaya dari financial distress berdampak negatif bagi perusahan sebagai pengganti kerugian pajak seiring dengan kenaikan hutang perusahaan; (ii) hubungan terhadap konsumen, pemasok; (iii) karyawan dan kreditor menjadi rusak karena mereka ragu akan eksistensi perusahaan, manajemen akan lebih fokus pada aliran kas jangka pendek dibandingkan kesehatan perusahaan jangka panjang; (iv) biaya tidak langsung yang terkandung pada financial distress akan lebih signifikan dibandingkan biaya langsung yang nyata seperti pembayaran untuk pengacara, dan program untuk pemulihan kembali (Kamaluddin, 2011). Faktor-faktor yang mempengaruhi resiko dari financial distress antara lain: sensivitas pendapatan perusahaan terhadap aktivitas ekonomi secara keseluruhan, proporsi biaya tetap terhadap biaya variabel, likuiditas dan kondisi pasar dari asset perusahaan, dan kemampuan kas terhadap bisnis perusahaan. Financial distress dapat ditinjau dari komposisi neraca-jumlah aset dan kewajiban, dari laporan laba rugi-jika perusahaan terus menerus rugi, dan dari laporan arus kas-jika arus kas masuk lebih kecil dari arus kas keluar (Kamaluddin, 2011). Dalam beberapa penelitian terdahulu lainnya, financial distress juga dapat diketahui dengan beberapa indikator dan kriteria, seperti yang disebutkan oleh Hofer (1980) dan Whitaker (1999) menyatakan bahwa financial distress dapat dilihat ketika perusahaan dalam beberapa tahun mengalami laba bersih operasi atau net operating income negatif. Lau (1987) dan Hill et al. (1996) yang menggunakan adanya pemberhentian tenaga kerja atau menghilangkan pembayaran deviden. Asquith, Gertner dan Scharfstein (1994) menggunakan interest coverage ratio untuk mendefinisikan financial distress. Whitaker (1999) mengukur financial distress dengan cara adanya arus kas yang lebih kecil dari utang jangka panjang saat ini. John, Lang dan Netter (1992) mendefinisikan financial distress sebagai perubahan harga ekuitas. Begitu juga, Steward (1998) dalam Rowland (2008) menyebutkan bahwa Economic Value Added dengan nilai negatif adalah indikasi adanya financial distress. Lebih lanjut, Damodaran (2001) dalam Rowland (2008) memberikan batasan rasio asset turn over 40% dan current ratio 50%. Baidowi (2004) dalam Rowland (2008) memberikan batasan financial distress pada rasio keuangan gross profit margin 19%, debt to total asset 66%, dan debt to equity ratio 11,7%. Ciccone (2001) dalam Ellen (2003) juga menyebutkan, ada dua proxy yang dapat digunakan untuk mengukur kesulitan keuangan yaitu kerugian 25 MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT (STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX) Azwar dan penurunan laba. Kerugian didefinisikan ketika laba sebenarnya pada tahun n kurang dari 0. Atau dapat dikatakan bahwa perusahaan mengalami net income yang negatif. Sedangkan penurunan laba didefinisikan sebagai pendapatan tahun n lebih kecil dari pada pendapatan tahun n-1 atau retained earning negatif. 2.3. Analisis Rasio-Rasio Keuangan Dalam Laporan Keuangan Laporan keuangan menurut Sistem Akuntansi Keuangan (SAK) No.1 adalah bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan merupakan sarana pengkomunikasian informasi keuangan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam perusahaan. Laporan keuangan yang lengkap meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan posisi keuangan, catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian dari laporan keuangan. Menurut Indra (2010), tujuan umum laporan keuangan adalah memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja dan arus kas suatu entitas yang berguna bagi sejumlah pemakai untuk membuat dan mengevaluasi keputusan mengenai alokasi sumber daya yang dipakai suatu enitas dalam aktivitasnya guna mencapai tujuan. Laporan keuangan yang diterbitkan oleh perusahaan merupakan salah satu sumber informasi mengenai posisi keuangan perusahaan, kinerja serta perubahan posisi keuangan perusahaan, yang sangat berguna untuk mendukung pengambilan keputusan yang tepat. Agar informasi yang tersaji menjadi lebih bermanfaat dalam pengambilan keputusan, data keuangan harus dikonversi menjadi informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan ekonomis. Hal ini ditempuh dengan cara melakukan analisis laporan keuangan. Model yang sering digunakan dalam melakukan analisis tersebut adalah dalam bentuk rasio-rasio keuangan. Foster dalam Luciana (2003), menyatakan empat hal yang mendorong analisis laporan keuangan dilakukan dengan model rasio keuangan yaitu : 1. Untuk mengendalikan pengaruh perbedaan besaran antar perusahaan atau antar waktu. 2. Untuk membuat data menjadi lebih memenuhi asumsi alat statistik yang digunakan. 3. Untuk menginvestigasi teori yang terkait dengan dengan rasio keuangan. 4. Untuk mengkaji hubungan empiris antara rasio keuangan dan estimasi atau prediksi variabel tertentu (seperti kebangkrutan atau financial distress). Menurut Kasmir (2008), tujuan pokok analisis keuangan adalah memprediksi kinerja perusahaan pada periode-periode yang akan datang. Laporan ini biasanya memberikan indikator-indikator bagaimana kondisi perusahaan pada periode-periode berikutnya. Menurut Kasmir (2008), hasil analisis laporan keuangan akan memberikan informasi tentang kekuatan dan kelemahan perusahaan. Dengan 26 mengetahui kelemahan perusahaan, manajemen akan dapat melakukan tindakan perbaikan. Dengan adanya kelemahan dan kekuatan yang dimiliki maka akan tergambar kinerja perusahaan. Hasil analisis laporan keuangan ini tercermin dalam rasio-rasio keuangan perusahaan. Rasio-rasio keuangan yang dihasilkan dari analisis laporan keuangan inilah yang merupakan indikator yang digunakan untuk memprediksi terjadinya financial distress. Untuk mendeteksi kesulitan keuangan perusahaan dapat digunakan analisis rasio keuangan. Rasio keuangan menurut James Van Horne dalam Kasmir (2008), rasio merupakan indeks yang menghubungkan dua angka akuntansi dan diperoleh dengan membagi satu angka dengan angka lainnya. Rasio keuangan digunakan untuk mengevaluasi kondisi keuangan dan kinerja perusahaan. Dari hasil rasio keuangan ini akan terlihat kesehatan suatu perusahaan apakah perusahaan tersebut akan mengalami kepailitan. Menurut Brigham dan Daves (2003), tanda-tanda potensi financial distress biasanya terbukti dalam analisis rasio jauh sebelum perusahaan benar-benar gagal. Hal ini diperkuat oleh Whitaker (1999), yang menyatakan bahwa financial distress bukan hanya masalah pada saat perusahaan default tetapi juga dimulai ketika terjadinya peningkatan kemungkinan atau probabilitas perusahaan mengalami default. Dalam menganalisis serta menilai posisi keuangan dan potensi/kemajuan perusahaan, rasiorasio keuangan biasanya dikelompokkan ke dalam kategori-kategori berikut (Brigham dan Houston, 2006) : 1. Rasio Likuiditas (Liquidity Ratios) Munthe (2008) dalam Endang (2013) menyatakan bahwa rasio likuiditas menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya dalam jangka pendek. Perusahaan dalam keadaan likuid apabila perusahaan mampu memenuhi kewajiban keuangannya tepat pada waktunya. Perusahaan dikatakan dapat memenuhi kewajiban keuangannya tepat waktu apabila perusahaan tersebut mempunyai alat pembayaran atau aktiva lancar yang lebih besar daripada utang lancarnya. Semakin tinggi rasio likuiditas maka semakin baik kondisi keuangan perusahaan karena menunjukkan bahwa perusahaan dalam keadaan yang likuid. Semakin tinggi rasio likuiditas, maka semakin kecil kemungkinan perusahaan akan mengalami financial distress, akan tetapi rasio likuiditas yang terlalu tinggi menunjukkan bahwa modal kerja perusahaan tidak produktif mengakibatkan munculnya biaya-biaya yang akan mengurangi laba perusahaan dan akan berpengaruh positif terhadap financial distress. 2. Rasio Manajemen Aktiva (Asset Management Ratios) Rasio ini digunakan untuk mengukur efektifitas perusahaan dalam mengelola aktivanya. Jumlah aktiva Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT (STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX) Azwar yang terlalu banyak akan menimbulkan biaya modal yang besar, sehingga akan menekan keuntungan. Sebaliknya aktiva yang terlalu kecil akan menyebabkan hilangnya penjualan yang menguntungkan. Semakin besar rasio yang didapat maka semakin baik karena perusahaan semakin cepat mengubah persediaannya menjadi kas sehingga kemungkinan terjadinya kesulitan keuangan semakin kecil. 3. Rasio Manajemen Utang (Debt Management Ratios) Rasio manajemen utang menunjukkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka panjang. Suatu perusahaan dikatakan solvabel apabila perusahaan tersebut mempunyai aktiva yang cukup untuk membayar semua hutang-hutangnya. Rasio ini dapat dihitung berdasarkan informasi dari neraca, yaitu pos-pos aktiva dan pos-pos hutang. Munthe (2008) dalam Endang (2013) menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki tingkat utang yang lebih besar akan lebih mudah mengalami financial distress maupun kebangkrutan jika dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki hutang lebih sedikit. 4. Rasio Profitabilitas (Profitability Ratios) Rasio profitabilitas menunjukkan kemampuan dari perusahaan dalam menghasilkan keuntungan. Profitabilitas suatu perusahaan diukur dengan kesuksesan perusahaan dan kemampuan menggunakan aktivanya secara produktif, dengan demikian profitabilitas suatu perusahaan dapat diketahui dengan memperbandingkan antara laba yang diperoleh dalam suatu periode dengan jumlah aktiva atau jumlah modal perusahaan tersebut. Sehingga semakin tinggi kemampuan perusahaan menghasilkan laba, maka semakin kecil kemungkinan perusahaan akan mengalami financial distress. 5. Rasio Nilai Pasar (Market Value Ratios) Rasio ini diterapkan untuk perusahaan yang telah Go Public dan mengukur kemampuan perusahaan dalam menciptakan nilai terutama pada pemegang saham dan calon investor. bagi para investor/calon investor informasi rasio pasar merupakan informasi yang paling mendasar, karena menggambarkan prospek earning perusahaan dimasa depan. Sehingga semakin kecil baik rasio ini, maka semakin kecil kemungkinan perusahaan untuk mengalami kesulitan keuangan. 6. Rasio pasar modal antara lain : a. Price Earning Ratio, rasio antara harga pasar saham dengan laba per lembar saham. Jika rasio ini lebih rendah dari pada rasio industri sejenis, bisa merupakan indikasi bahwa investasi pada saham perusahaan ini lebih berisiko daripada rata-rata industri. b. Market to Book Value, perbandingan antara nilai pasar saham dengan nilai buku saham, Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 juga merupakan indikasi bahwa para investor menghargai perusahaan. 2.4. Manfaat Prediksi Financial distress Prediksi financial distress ini sangat penting bagi berbagai pihak. Hal ini menjadi perhatian bagi berbagai pihak karena dengan mengetahui kondisi perusahaan yang mengalami financial distress, maka berbagai pihak tersebut dapat mengambil keputusan atau tindakan untuk memperbaiki keadaan ataupun untuk menghindari masalah. Ada berbagai macam cara atau metode yang bisa digunakan untuk melakukan prediksi financial distress. Berbagai cara atau metode tersebut dibahas dalam bagian pembahasan dari artikel ini. Berbagai pihak yang berkepentingan untuk melakukan prediksi atas kemungkinan terjadinya financial distress adalah (Almilia, 2006) : a. Pemberi Pinjaman atau Kreditor. Institusi pemberi pinjaman memprediksi financial distress dalam memutuskan apakah akan memberikan pinjaman dan menentukan kebijakan mengawasi pinjaman yang telah diberikan pada perusahaan. Selain itu juga digunakan untuk menilai kemungkinan masalah suatu perusahaan dalam melakukan pembayaran kembali pokok dan bunga. b. Investor. Model prediksi financial distress dapat membantu investor ketika akan memutuskan untuk berinvestasi pad a suatu perusahaan. c. Pembuat Peraturan atau Badan Regulator. Badan regulator mempunyai tanggung jawab mengawasi kesanggupan membayar hutang dan menstabilkan perusahaan individu. Hal ini menyebabkan perlunya suatu model untuk mengetahui kesanggupan perusahaan membayar hutang dan menilai stabilitas perusahaan. d. Pemerintah. Prediksi financial distress penting bagi pemerintah dalam melakukan antitrust regulation. e. Auditor. Model prediksi financial distress dapat menjadi alat yang berguna bagi auditor dalam membuat penilaian going concern perusahaan. Pada tahap penyelesaian audit, auditor harus membuat penilaian tentang going concern perusahaan. Jika ternyata perusahaan diragukan going concern-nya, maka auditor akan memberikan opini wajar tanpa pengeculian dengan paragraf penjelas atau bisa juga memberikan opini disclaimer (atau menolak memberikan pendapat). f. Manajemen. Apabila perusahaan mengalami kebangkrutan, maka perusahaan akan menanggung biaya langsung (fee akuntan dan pengacara) dan biaya tidak langsung (kerugian penjualan atau kerugian paksaan akibat ketetapan pengadilan). Oleh karena itu, manajemen harus melakukan prediksi financial distress dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk dapat mengatasi kesulitan keuangan yang terjadi dan mencegah kebangkrutan pada perusahaan. 27 MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT (STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX) Azwar 2.5. Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian terdahulu yang bertujuan untuk membuat model prediksi financial distress dengan menggunakan rasio keuangan sebagai prediktornya telah banyak dilakukan oleh para ahli, praktisi dan akademisi. Penelitian Brahmana (2007) mencoba menguji suatu model financial distress pada beberapa perusahaan di Indonesia khususnya perusahaanperusahaan industri yang terdaftar di BEJ. Komponen utama dalam menghasilkan prediksi dengan menggunakan model ini adalah rasio-rasio keuangan dan reputasi auditor. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a) Rasio keuangan yang tidak disesuaikan (X1), meliputi: SETA, RETA, TDTA, NITA, FATA, IS, dan LNASET; b) Rasio relatif industri (X2), meliputi : RI_SETA, RI_RETA. RI_NITA, RI_TDTA, RI_FATA, RI_IS; c) Reputasi auditor (X3). Financial distress sebagai variabel tak bebas (Y) perusahaan yang mengalami financial distress yang diwakili oleh perusahaan yang di-delisting di BEJ dengan kriteria: laba operasi negatif, laba bersih negatif, nilai buku ekuitas negatif dan perusahaan yang melakukan merger. Terdapat 4 formulasi umum model dalam penelitian, yakni: model regresi logistik berdasarkan rasio keuangan yang tidak disesuaikan (Model I), model regresi logistik berdasarkan rasio relatif industri (model II), model regresi logistik berdasarkan rasio keuangan yang tidak disesuaikan dan reputasi auditor (model III), dan model regresi logistik berdasarkan rasio relatif industri dan reputasi auditor (model IV). Hasil penelitiannya adalah sebagai berikut: a) Prosentase ketepatan prediksi secara keseluruhan dari model berdasarkan rasio keuangan yang tidak disesuaikan (model I) sebesar 88,9% dan prosentase ketepatan prediksi secara keseluruhan dari model berdasarkan rasio relatif industri (model II) sebesar 83,3%. Jadi terlihat model berdasarkan rasio keuangan yang tidak disesuaikan lebih baik dalam memprediksi probabilitas kondisi listed dan delisted suatu perusahaan; b) Prosentase ketepatan prediksi secara keseluruhan dari model berdasarkan rasio keuangan yang tidak disesuaikan dan reputasi auditor (model III) sebesar 88,9% dan prosentase ketepatan prediksi secara keseluruhan dari model berdasarkan rasio relatif industri dan reputasi auditor (model IV) sebesar 84,4%. Jadi terlihat model berdasarkan rasio keuangan yang tidak disesuaikan lebih baik dalam memprediksi probabilitas kondisi listed dan delisted suatu perusahaan; c) Untuk tingkat signifikansi 95 %, didapat variabel yang signifikan dari tiap-tiap model adalah sebagai berikut: i) Tidak ada rasio keuangan yang signifikan pada model I; ii) Variabel RI_TDTA signifikan dalam model II; iii) Variabel LNAset signifikan dalam model III; iv) Variabel RI_TDTA signifikan dalam model IV. Almilia (2006) memprediksi kondisi financial distress perusahaan Go-Public dengan menggunakan analisis multinomial logit. Penelitian ini berusaha untuk menguji daya klasifikasi rasio keuangan baik yang berasal dari laporan laba rugi, neraca ataupun 28 laporan arus kas untuk memprediksi kondisi financial distress perusahaan dengan teknik analisis multinomial logit. Kelompok perusahaan yang mengalami financial distress dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu; 1) perusahaan yang mengalami laba bersih negatif selama dua tahun berturut-turut; dan 2) perusahaan yang mengalami laba bersih dan nilai buku ekuitas negatif selama dua tahun berturut-turut. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa; a) pada model pertama yaitu model yang memasukkan rasio keuangan yang berasal dari laporan laba rugi dan neraca menunjukkan bahwa rasio TLTA dapat digunakan untuk memprediksi kondisi financial distress perusahaan. Daya klasifikasi total model ini adalah sebesar 79.0%; b) pada model kedua yaitu model yang memasukkan rasio keuangan yang berasal dari laporan arus kas menunjukkan bahwa rasio CFFOTA dan CFFOCL dapat digunakan untuk memprediksi kondisi financial distress perusahaan. Daya klasifikasi total model ini adalah sebesar 58%; c) pada model ketiga yaitu model yang memasukkan rasio keuangan yang berasal dari laporan laba rugi, neraca dan laporan arus kas menunjukkan bahwa rasio CATA, TLTA, NFATA, CFFOCL, CFFOTS dan CFFOTL dapat digunakan untuk memprediksi kondisi financial distress perusahaan. Akurasi klasifikasi model ini adalah sebesar 79,6%. Mous (2005) melakukan komparasi antara analisis diskriminan multivariate dan decision tree dengan menggunakan rasio keuangan untuk memprediksi kesulitan keuangan perusahaan. Sampel yang digunakan adalah 96 perusahaan dengan karakteristik operasional non-cyclical consumer market. Hasil penelitiannya menunjukkan untuk analisis diskriminan dari 28 rasio keuangan yang digunakan diperoleh 3 rasio yang membentuk estimasi fungsi diskriminan yaitu total liabilities to total asset, cash to sales, dan retained earning to total asset dengan tingkat akurasi model diskriminan sebesar 82,5 persen dan akurasi model yang dihasilkan decision tree sebesar 100 persen. Penelitian Priambodo (2002) melakukan klasifikasi kinerja perusahaan dengan menggunakan analisis diskriminan yang bertujuan untuk mengetahui variabel-variabel bebas (rasio keuangan) yang sangat penting hingga dapat menentukan suatu perusahaan akan menciptakan nilai (created value) atau menghancurkan nilai (destroyed value). Analisis diskriminan dilakukan dengan mengelompokkan kasus yang ada menjadi 2 grup (variabel terikat) yaitu grup 1 untuk EVA negatif dan grup 0 untuk EVA positif. Sampel yang diambil untuk melakukan analisa sebanyak 45 kasus, untuk grup 1 sebanyak 22 kasus sedangkan untuk grup 0 sebanyak 23 kasus. Setelah dilakukan analisa diskriminan terhadap data variabel bebas (rasio keuangan) maka diketahui bahwa model diskriminan yang dihasilkan mengalami peningkatan ketepatan akurasi dalam memprediksi dari 77,8% pada tahun 1997 dan 80,0% pada tahun 1998. Untuk 2 tahun sebelumnya (1997) dihasilkan 2 variabel predictor yaitu total asset turnover dan gross profit Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT (STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX) Azwar margin. Sedangkan untuk 1 tahun sebelumnya (1998) dihasilkan 1 variabel predictor yaitu total asset turnover. Platt dan Platt (2002) melakukan penelitian terhadap 24 perusahaan yang mengalami financial distress dan 62 perusahaan yang tidak mengalami financial distress, dengan menggunakan model logit mereka berusaha untuk menentukan rasio keuangan yang paling dominan untuk memprediksi adanya financial distress. Temuan dari penelitian ini adalah : a) variabel EBITDA/sales, current assets/current liabilities dan cash flow growth rate memiliki hubungan negatif terhadap kemungkinan perusahaan akan mengalami financial distress. Semakin besar rasio ini maka semakin kecil kemungkinan perusahaan mengalami financial distress; b) variabel net fixed assets/total assets, long term debt/equity dan notes payable/total assets memiliki hubungan positif terhadap kemungkinan perusahaan akan mengalami financial distress. Semakin besar rasio ini maka semakin besar kemungkinan perusahaan mengalami financial distress. Rowland (2008) berusaha untuk menguji daya klasifikasi rasio keuangan baik yang berasal dari laporan laba rugi, neraca ataupun laporan arus kas untuk memprediksi kondisi financial distress perusahaan dengan teknik analisis binary logit. Penetapan financial distress dilakukan dengan 6 indikator yaitu: 1) Perusahaan yang memiliki nilai EVA negatif; 2) Perusahaan yang rasio asset turn overnya sebesar 40%; 3) Perusahaan yang rasio current rasio-nya sebesar 50%; 4) Perusahaan yang rasio gross profit margin-nya sebesar 19%; 5) Perusahaan yang rasio debt to total asset-nya sebesar 66%; 6) Perusahaan yang rasio debt to equity ratio-nya sebesar 11,7%. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa: 1) Model ketiga (indikator current ratio) dan keempat (indikator asset turn over) memiliki tingkat daya klasifikasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan 4 model lainnya yaitu sebesar 98,08% dan 91,67%; 2) Aspek kinerja likuiditas dan solvabilitas perusahaan berpengaruh signifikan dalam memprediksi financial distress. Kamaludin dan Karina Ayu Pribadi (2011) melakukan penelitian terhadap 80 perusahaan manufuktur di Bursa Efek Jakarta. Rasio-rasio keuangan berupa: Current Ratio, Leverage Ratio, Gross Profit Margin, Inventory Turnover, dan Return On Equity; terbukti memiliki perbedaan di antara perusahaan manufaktur yang mengalami financial distress, perusahaan manufaktur yang berada pada gray area (kesulitan keuangan tinggi tetapi tidak mengalami financial distress), dan perusahaan manufaktur yang tidak mengalami financial distress. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan yang tidak mengalami masalah financial distress memiliki rasio CR, GPM, dan ITO tinggi, sedangkan pada kelompok perusahaan yang mengalami financial distress memiliki rasio ROE dan LEV yang tinggi, dan pada kelompok perusahaan grey area hanya sedikit mengalami masalah keuangan. Rasio keuangan Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 berupa; Current Ratio, Leverage Ratio, Gross Profit Margin, Inventory Turn Over dan Return On Equity dapat digunakan untuk memprediksi kondisi financial distress suatu perusahaan, sehingga dengan hasil yang ada perusahaan dapat menghindari gejala-gejala timbulnya kepailitan, dan perusahaan dapat mengetahui dengan baik bahwa gejala-gejala perusahaan yang akan pailit dapat dideteksi pada rasio-rasio keuangan yang terdapat dalam laporan keuangan perusahaan berdasarkan rasio-rasio dalam model Altman. 2.6. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka teoritis dan beberapa penelitian terdahulu di atas, hipotesis penelitian yang akan dibuktikan dalam penelitian ini adalah : H1 : H2 : H3 : 3 Diduga bahwa rasio-rasio keuangan perusahaan memiliki kemampuan untuk membedakan perusahaan yang dianggap distress dan non-distress secara statistik; Diduga bahwa model prediksi financial distress yang dihasilkan melalui penggunaan rasio keuangan dalam analisis regresi binary logit memiliki akurasi yang tinggi; Diduga bahwa rasio-rasio keuangan perusahaan secara signifikan mampu memprediksi kemungkinan terjadinya financial distress pada perusahaan secara statistik. METODE RISET 3.1. Data, Populasi, dan Sampel Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Indonesia Stock Exchange Bursa Efek Indonesia (BEI) berupa Ringkasan Kinerja Perusahaan Tercatat periode 20122013 yang memuat laporan keuangan seluruh perusahaan atau emiten yang terhitung dalam saham BEI termasuk emiten untuk JII. Populasi yang akan diamati dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan yang terdaftar di BEI selama tahun pengamatan. Sedangkan pemilihan sampel dari populasi dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu pemilihan sampel yang didasarkan pada kriteria tertentu. Kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Tercatat sebagai emiten atau perusahaan yang memiliki saham yang masuk dalam perhitungan indeks JII dan telah melaporkan laporan keuangan yang memuat rasio-rasio keuangan dan nilai presentase saham (yield) dari tahun 2012 sampai 2013 secara lengkap; 2. Perusahaan tidak melakukan merger, akuisisi dan perubahan usaha lainnya; Berdasarkan pada kriteria pemilihan sampel di atas, maka perusahaan yang memenuhi kriteria dan dijadikan sampel dalam penelitian ini berjumlah 23 emiten atau perusahaan. Data laporan keuangan perusahaan tahun 2013 digunakan sebagai pedoman penentuan apakah suatu perusahaan mengalami 29 MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT (STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX) Azwar financial distress atau tidak. Sedangkan data laporan keuangan perusahaan berupa rasio-rasio keuangan tahun 2012 sebagai data yang akan diolah sebagai data-data variabel independen dalam model. 3.2. Variabel Penelitian Penelitian ini menggunakan variabel terikat (dependen) dan variabel bebas (independen). Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kondisi financial distress perusahaan yang merupakan variabel dengan skala data kategorikal (non metrik), yaitu dengan pembagian kategori: 2=perusahaan sehat (non-distress); 1 = perusahaan yang mengalami financial distress. Nilai kategori penentuan perusahaan sehat (non-distress) dan yang mengalami financial distress ditentukan berdasarkan indikator kategori atau klasifikasi krisis yang disebutkan oleh Damodaran (2001) dan Baidowi (2004). Sedangkan variabel independen yang digunakan adalah rasio-rasio keuangan dari laporan keuangan perusahaan meliputi: current ratio (CR), operating profit margin (OPM), return of asset (ROA), return on equity (ROE) dan nilai beta saham (YLD). Kelima rasio ini digunakan dikarenakan dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Almilia (2006), Rowland (2008), Kamaluddin (2011) dan Endang (2012) memberikan bukti bahwa rasio-rasio ini dapat digunakan untuk memprediksi kondisi financial distress suatu perusahaan. 3.3. Metode Analisis Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Regresi Logistik Biner (Binary Logit Regression). Sebagaimana dalam regresi linear, model umum dari regresi logistik ganda (logit) adalah model regresi ganda yaitu model yang melibatkan lebih dari satu prediktor/variabel independen. Model logit secara sederhana didefinisikan sebagai model regresi non-linear yang menghasilkan persamaan di mana variabel dependen bersifat kategorikal. Kategori paling mendasar dari model tersebut menghasilkan binary values seperti angka 0 dan 1. Angka ini mewakilkan suatu kategori tertentu yang dihasilkan dari penghitungan probabilitas terjadinya kategori tersebut (Widarjono, 2005). Gujarati (1995) menyebutkan bahwa model logit seringkali digunakan dalam data klasifikasi. Pendekatan model logit digunakan karena dapat menjelaskan hubungan antara x dan p (x) yang bersifat tidak linear, ketidaknormalan sebaran dari Y, dan keragaman respon tidak konstan yang tidak dapat dijelaskan oleh model linear biasa. Berdasarkan kategori dan penjelasan di atas, penelitian ini menggunakan metode Regresi Logistik Biner (Binary Logit Regression) karena penelitian ini menganalisis beberapa variabel independen sebagai prediktor dengan skala data yang berbentuk nominal dan variabel dependen yang berbentuk kategorikal. Analisis awal dilakukan untuk menguji hipotesis 1 (H1) penelitian dengan teknik Uji Kruskal-Wallis 30 sebagai uji non parametrik dengan tujuan untuk menguji apakah terdapat perbedaan rasio keuangan baik yang berasal dari neraca, laporan laba rugi laporan arus kas dan beta saham antara kedua kelompok perusahaan (distress dan non-distress). Variabel rasio keuangan yang secara statis signifikan berbeda antara kelompok 1 dan 2, akan dimasukkan dalam model untuk memprediksi kondisi financial distress. Tingkat signifikansi (level of significant) yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 90% (α = 0,1), karena dinilai relatif kuat dalam menguji hubungan variabel-variabel yang diuji atau menunjukkan bahwa korelasi antar variabel cukup nyata. Tingkat signifikansi 0,1 artinya kemungkinan besar dari hasil penarikan kesimpulan mempunyai probabilitas sebesar 90% atau toleransi kesalahan sebesar 10%. Dalam melakukan pengujian hipotesis pertama (H1) penelitian ini, akan dibandingkan nilai P-value ini dengan tingkat signifikansi pengujian (α =0,1), dengan kriteria sebagai berikut : 1. 2. Tolak H0 jika Chi-square > nilai Chi-square tabel pada α=0,1, yang berarti rasio keuangan berupa; rasio likuiditas, solvabilitas, efisiensi, profitabilitas, arus kas dan nilai beta memiliki perbedaan antara kedua kelompok perusahaan (distress dan non-distress). Atau dengan kata lain, rasio keuangan dapat menjadi pembeda antara perusahaan yang mengalami financial distress dan non-distress, sehingga dapat dimasukkan dalam model prediksi financial distres; Terima H0 jika Chi-square < nilai Chi-square tabel pada α=0,1, yang berarti rasio keuangan berupa; rasio likuiditas, solvabilitas, efisiensi, profitabilitas, arus kas dan nilai beta tidak memiliki perbedaan antara kedua kelompok perusahaan (distress dan non-distress). Atau dengan kata lain, rasio keuangan tidak dapat menjadi pembeda antara perusahaan yang mengalami financial distress dan non-distress, sehingga tidak dapat dimasukkan dalam model prediksi financial distres; Jika terdapat minimal satu dari rasio keuangan yang menolak H0 maka hipotesis pertama penelitian dapat diterima. Sebaliknya, jika rasio-rasio keuangan yang digunakan dalam model seluruhnya menerima H0 maka hipotesis pertama ditolak. Selanjutnya, pengujian hipotesis kedua (H2) dan hipotesis ketiga (H3) penelitian dengan menggunakan analisis binary logit adalah menguji daya klasifikasi dan signifikansi dari rasio keuangan. Model umum (Hosmer, dan Lemeshow,1989) yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: Logit (FDij) = βi Xj atau Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT (STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX) Azwar FD 1 – FD Ln = β0 + β1CR + β2OPM + β3ROA + β4ROE + β5YLD Ln atau FD FDATO 1 = FDATO 1 – FDATO = β0 + β1CR + β2OPM + β3ROA + β4ROE + β5YLD 1 = 1 + eβ0 +β1CR + β2OPM + β3ROA + β4ROE + β5YLD 1 + eβ0 +β1CR + β2OPM + β3ROA + β4ROE + β5YLD di mana : Ln = Log Natural Prob. (FD / rasio keuangan) = odds = 1 – Prob. (FD / rasio 1 – FD keuangan) FD = Financial distress CR = Current Ratio OPM = Operating Profit Margin ROA = Return Of Asset ROE = Return On Equity YLD = nilai beta saham β1, β2, β3, β4, β5 = nilai koefisien dari setiap variabel bebas (rasio-rasio keuangan) FD Sehingga Ln (FD/1- FD) akan dibaca sebagai log of odds yang merupakan fungsi linier dari variabel bebas (rasio-rasio keuangan) dan dapat diinterpretasikan seperti pada analisis regresi biasa. Model umum di atas, kemudian diturunkan ke dalam 3 (tiga) model financial distress sesuai dengan dengan kategori dan kriteria rasio indikator pada Tabel 1. Tabel 1. Kategori dan Kriteria Indikator Distress Model 1 2 3 Indikator Asset Turn Over (ATO) Debt to Total Aset Ratio (DAR) Gross Profit Margin (GPM) Distress < 40% > 66 % Sumber Damodaran (2001) Baidowi (2004) < 19 % Sumber : Rowland (2008) Model Pertama : Perusahaan dikategorikan mengalami financial distress ketika memiliki rasio Asset Turn Over (ATO) kurang dari 40% (Damodaran, 2001). Rasio ATO merupakan rasio yang mengukur tingkat efisiensi dan efektivitas dari perputaran maupun pemanfaatan total aktiva dalam menghasilkan laba atau penjualan. Rasio ini menunjukkan banyaknya laba atau penjualan yang dapat diperoleh perusahaan untuk tiap rupiah yang telah ditanamkan pada aktiva perusahaan. Semakin tinggi rasio ini semakin baik bagi perusahaan. Rasio perputaran aktiva yang rendah menunjukkan bahwa perusahaan memanfaatkan aset nya secara tidak efisien dan optimal (Syamsuddin, 2006). Model pertama yang digunakan dapat dirumuskan sebagai berikut : Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 Model Kedua : Perusahaan dikategorikan mengalami financial distress ketika memiliki rasio Debt to Total Aset Ratio (DAR) lebih dari 66% (Baidowi, 2004). Rasio DAR adalah salah satu rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat solvabilitas perusahaan. Tingkat solvabilitas perusahaan adalah kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban jangka panjang perusahaan tersebut. Suatu perusahaan dikatakan solvabel berarti perusahaan tersebut memiliki aktiva dan kekayaan yang cukup untuk membayar hutang-hutangnya. Nilai rasio yang tinggi menunjukkan peningkatan dari resiko pada kreditor berupa ketidakmampuan perusahaan membayar semua kewajibannya (Syamsuddin, 2006). Model kedua yang digunakan dapat dirumuskan sebagai berikut : Ln FDDAR FDDAR 1 – FDDAR = β0 + β1CR + β2OPM + β3ROA + β4ROE + β5YLD 1 = 1 + eβ0 +β1CR + β2OPM + β3ROA + β4ROE + β5YLD Model Ketiga : Perusahaan dikategorikan mengalami financial distress ketika memiliki rasio Gross Profit Margin (GPM) kurang dari 19% (Baidowi, 2004). Rasio GPM mencerminkan atau menggambarkan laba kotor yang dapat dicapai setiap rupiah penjualan, atau bila ratio ini dikurangkan terhadap angka 100% maka akan menunjukan jumlah yang tersisa untuk menutup biaya operasi dan laba bersih (Munawir, 2001). Semakin besar GPM, maka kinerja perusahaan akan semakin produktif, sehingga akan meningkatkan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut. Model ketiga yang digunakan dapat dirumuskan sebagai berikut : Ln FDGPM FDGPM 1 – FDGPM = = β0 + β1CR + β2OPM + β3ROA + β4ROE + β5YLD 1 1 + eβ0 +β1CR + β2OPM + β3ROA + β4ROE + β5YLD Ketiga model tersebut dipilih karena modelmodel tersebut secara empiris telah terbukti sebagai model yang memiliki tingkat daya akurasi dan klasifikasi yang cukup tinggi (> 80%) dibandingkan dengan model lainnya dalam mempredikasi financial distress (Rowland, 2008). 31 MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT (STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX) Azwar Sebelum melakukan pengujian hipotesis 2 (H2) penelitian kedua terlebih dahulu akan dilakukan uji kelayakan dari model binary logit regression yang digunakan. Uji yang dilakukan adalah: 1. Uji Kelayakan Model (Goodness of Fit Test). Menurut Ghozali (2001), goodness of fit test dapat dilakukan dengan memperhatikan output dari Hosmer and Lemeshow’s Goodness of fit test, dengan hipotesis: H0 = model yang dihipotesiskan fit dengan data dan H1 = model yang dihipotesiskan tidak fit dengan data. Jika nilai statistik Hosmer and Lemeshow (Chi-square) < α (0,1) maka H0 ditolak yang berarti terdapat perbedaan signifikan antara model dengan nilai observasinya sehingga goodness fit model tidak baik karena model tidak dapat memprediksi nilai observasinya. Jika nilai statistik Hosmer and Lemeshow (Chi-square) > α (0,1) maka H0 tidak dapat ditolak dan berarti model mampu memprediksi nilai observasinya. 2. Uji Kelayakan Keseluruhan Model (Overall Fit Model Test) Dalam menilai overall fit model, dapat dilakukan dengan cara uji Chi Square (χ2). Tes statistik chi square (χ2) digunakan berdasarkan pada fungsi likelihood pada estimasi model regresi. Likelihood (L) dari model adalah probabilitas bahwa model yang dihipotesiskan menggambarkan data input. L ditransformasikan menjadi -2logL untuk menguji hipotesis nol dan alternatif. Penggunaan nilai χ2 untuk keseluruhan model terhadap data dilakukan dengan membandingkan nilai -2 log likelihood awal (hasil block number 0) dengan nilai -2 log likelihood hasil block number 1. Dengan kata lain, nilai chi square didapat dari nilai -2logL1–2logL0. Apabila terjadi penurunan, maka model tersebut menunjukkan model regresi yang baik (Ghozali, 2001). Setelah melalui beberapa tahapan pengujian kelayakan model tersebut, maka untuk membuktikan hipotesis kedua penelitian, dilakukan uji tabulasi silang (classification table). Uji ini dilakukan untuk melihat power of regressions to predict (daya ramal model prediksi) peluang emiten mengalami financial distress atau tidak. Tabulasi silang sebagai konfirmasi tidak adanya perbedaan yang signifikan antara prediksi model regresi logistik dengan data observasi, sehingga dapat dilihat seberapa besar tingkat klasifikasi atau akurasi model prediksi financial distress yang dihasilkan melalui penggunaan rasiorasio keuangan. Daya klasfikasi model prediksi akan dinilai dengan nilai cut-off dengan angka skor antara 0 (nol) dan 1 (satu) yang diinterpretasikan sebagai angka probabilitas. Dengan cut-off-point tertentu model prediksi tersebut akan menghasilkan 3 kategori estimasi, yaitu: estimasi yang tepat, estimasi kesalahan Tipe I dan estimasi kesalahan Tipe II (Wimboh, 1996). Sebuah cut-off-point merupakan suatu nilai untuk menentukan apakah sebuah perusahaan/emiten mengalami financial distress atau 32 tidak. Sebagaimana dinyatakan Wimboh, pendekatan ini telah banyak digunakan oleh peneliti sebelumnya dalam mengestimasi peluang kegagalan bank/perusahaan. Sebagai gambaran, dengan cut-offpoint 0,4 misalnya, maka model prediksi akan mengidentifikasi perusahaan dengan probabilitas lebih dari 0,4 sebagai perusahaan yang mengalami financial distress. Sebaliknya, perusahaan dengan probabilitas kurang dari 0,4 diestimasikan sebagai perusahaan yang tidak mengalami financial distress. Model prediksi akan menghasilkan estimasi yang tepat manakala perusahaan yang mengalami financial distress diestimasikan tepat sebagai perusahaan yang mengalami financial distress. Atau dengan kata lain, nilai persentase kebenaran klasifikasi untuk perusahaan financial distress lebih dari 40%. Kesalahan Tipe I dapat terjadi manakala model prediksi mengestimasi perusahaan non-financial distress sebagai financial distress, atau model menghasilkan probabilitas non-financial distress lebih dari 0,4. Kesalahan Tipe II dapat terjadi ketika model prediksi menghasilkan probabilitas perusahaan yang mengalami financial distress kurang dari 0,4. Semakin rendah cut-off-point yang digunakan maka semakin banyak perusahaan yang diprediksi sebagai perusahaan financial distress dan hanya beberapa bank saja yang diprediksi sebagai perusahaan nonfinancial distress. Dengan demikian, pemilihan cut-offpoint memainkan peran penting dalam perhitungan tingkat kesalahan. Karenanya penentuan cut-off-point yang fair sangat diperlukan. Menurut Wimboh (1996), dalam contoh kasus prediksi kepailitan sebuah bank, proporsi sampel bank pailit dan tidak pailit diyakini merupakan kriteria terbaik untuk menentukan cut-off-point tersebut. Jika sampel bank pailit sebesar 50% misalnya, dan sampel bank tidak pailit sebesar 50% maka dipilih cut-off-point sebesar 0,5. Dan bila sampel bank pailit sebanyak 60% sedangkan bank tidak pailit sebesar 40% maka cut-off-point yang fair adalah 0,4. Pemilihan cut-off-point dalam penelitian ini menggunakan proporsi bank pailit dan tidak pailit sebagaimana dinyatakan oleh Wimboh (1996) tersebut. Selanjutnya, dalam rangka pembuktian hipotesis ketiga (H3) penelitian, pengujian juga akan dilakukan untuk melihat tingkat signifikansi variabel independen (rasio-rasio keuangan) dalam mempengaruhi (memprediksi) variabel terikat (financial distress) dengan uji koefisien regresi. Menurut Ghozali (2001) uji ini pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel independen secara individual dalam menerangkan variabel dependen. Pengujian dilakukan dengan menggunakan signifikan level 0,1 (α=1%). Penerimaan atau penolakan hipotesis dilakukan dengan kriteria: a. Jika nilai signifikan (Sig.) > 0,1 maka hipotesis ditolak atau koefisien regresi tidak signifikan. Ini berarti secara parsial variabel independen tidak Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT (STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX) Azwar b. mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. Jika nilai signifikan (Sig.) ≤ 0,1 maka hipotesis diterima atau koefisien regresi signifikan. Ini berarti secara parsial variabel independen tersebut mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen. Dalam penelitian ini tidak seluruh rasio-rasio keuangan dimasukkan dalam model prediksi, tetapi variabel rasio-rasio keuangan dipilih berdasarkan tingkat signifikansinya. Jadi dalam penelitian ini berusaha mencari rasio-rasio keuangan mana yang paling signifikan dalam menentukan apakah suatu perusahaan akan mengalami financial distress atau tidak. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Statistik Deskriptif Hasil pengujian analisis deskriptif data variabel rasio-rasio keuangan yang digunakan sebagaimana pada Tabel 2 berikut : Tabel 2. Hasil Analisis Deskriptif CR OPM ROA ROE YLD N 23 23 23 23 23 Descriptive Statistics Min. Max. Mean Std. Deviation 14.60 602.76 256.4235 164.39792 2.88 51.26 23.4430 12.56401 2.89 40.38 15.9822 8.64174 3.92 121.94 25.6913 22.65437 1.00 16.17 3.6174 3.09410 Sumber : data diolah Pada Tabel 2, untuk variabel rasio CR nilai ratarata = 256.42, dengan nilai minimal 14.60, nilai maksimal 602.76, dan standar deviasi 164.39, menunjukkan bahwa rata-rata perusahaan yang tercatat sebagai emiten indeks JII memiliki rasio CR yang relatif tinggi yaitu lebih dari 256%. Untuk variabel rasio OPM, nilai rata-rata = 23.44, nilai minimal = 2.88, nilai maksimal = 51.26 dan standar deviasi = 12.56. Hal ini berarti bahwa terdapat 23.44% persentase dari profit yang diperoleh oleh rata-rata perusahaan dari tiap penjualan sebelum dikurangi dengan biaya bunga dan pajak. Untuk variabel rasio ROA, nilai rata-rata = 15.98, nilai minimal = 2.89, nilai maksimal = 40.38 dan standar deviasi = 8.64. Jika mengacu ke kriteria yang disebutkan oleh Lestari dan Sugiharto (2007) di mana angka ROA dapat dikatakan baik apabila > 2%, maka seluruh emiten yang dijadikan sampel termasuk dalam kategori baik dalam hal efisiensi penggunanan aktiva dalam kegiatan operasi untuk menghasilkan keuntungan. Variabel rasio ROE dan YLD, masingmasing memiliki nilai rata-rata = 25.69 dan 3.61, nilai minimum = 3.92 dan 1.00, nilai maksimal = 121.94 dan 16.17, dan standar deviasi = 22.65 dan 3.09. Dengan data ini, dapat dikatakan bahwa nilai kepemilikan saham tertinggi pada indeks JII sebesar 16.17%. Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 4.2 Hasil Pengujian Hipotesis Pertama Hasil pengujian hipotesis pertama penelitian menggunakan uji Kruskal-Wallis sebagaimana pada Tabel 3 berikut : Tabel 3. Hasil Uji Kruskal-Wallis Model Pertama : CR OPM Chi,322 1,289 square Model Kedua : CR OPM Chi3,186 2,367 square Model Ketiga : CR OPM Chi,033 6,533 square Sumber : data diolah ROA ROE YLD 5,533 2,901 5,533 ROA ROE YLD 2,970 ,307 2,761 ROA ROE YLD 7,500 5,633 ,075 Pada model pertama, hasil pengujian menunjukkan bahwa terdapat beberapa rasio keuangan yang memliki nilai Chi-square Kruskal Wallis Test lebih besar dari Chi-square tabel pada dk = k – 1=2 – 1 =1 yaitu 2,71, sehingga dapat dinyatakan bahwa rasio keuangan dapat digunakan sebagai pembeda antara perusahaan yang mengalami financial distress dan non-distress berdasarkan indikator Asset Turn Over (ATO). Pada model kedua, hasil pengujian menunjukkan bahwa terdapat beberapa rasio keuangan yang memliki nilai Chi-square Kruskal Wallis Test lebih besar dari Chi-square tabel pada dk = k – 1=2 – 1 =1 yaitu 2,71, sehingga dapat dinyatakan bahwa rasio keuangan dapat digunakan sebagai pembeda antara perusahaan yang mengalami financial distress dan non-distress berdasarkan indikator Debt to Total Aset Ratio (DAR). Pada model ketiga, hasil pengujian menunjukkan bahwa terdapat beberapa rasio keuangan yang memliki nilai Chi-square Kruskal Wallis Test lebih besar dari Chi-square tabel pada dk = k – 1=2 – 1 =1 yaitu 2,71, sehingga dapat dinyatakan bahwa rasio keuangan dapat digunakan sebagai pembeda antara perusahaan yang mengalami financial distress dan non-distress berdasarkan indikator Gross Profit Margin (GPM). Berdasarkan hasil pengujian Kruskal Wallis Test pada model pertama (ATO), kedua (DAR) dan ketiga (GPM) maka dapat dinyatakan bahwa hipotesis pertama (H1) penelitian diterima. 4.3 Hasil Pengujian Hipotesis Kedua Sebelum melakukan pengujian hipotesis kedua terlebih dahulu akan uji kelayakan dari model Regresi Logistic yang digunakan, dengan melakukan Uji Kelayakan Model (Goodness of Fit Test) dan Uji Kelayakan Keseluruhan Model (Overall Fit Model Test). 33 MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT (STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX) Azwar 4.3.1 Hasil Uji Kelayakan Model (Goodness of Fit Test) Hasil uji kelayakan model dengan memperhatikan output dari Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit Test dapat dilihat pada Tabel 4 berikut : Tabel 4. Hasil Uji Kelayakan Model (Goodness of Fit Test) Model Pertama : Step Chi-square df ,000 1 Sig. 2 1,000 Model Kedua : Step Chi-square df 6,978 1 Sig. 8 ,539 Model Ketiga : Step Chi-square ,000 1 df Sig. 5 2 log likelihood hasil block number 1 sebesar 23,407. Dengan adanya penurunan nilai -2 log likelihood tersebut maka hal ini menunjukkan bahwa maka model yang digunakan adalah model regresi yang baik dan layak digunakan. Selanjutnya, untuk melihat power of regressions to predict (daya ramal model prediksi) peluang emiten mengalami financial distress atau tidak sebagai gambaran atas prediksi model regresi logistik (logit) dengan data observasi, hal yang wajib dilakukan adalah penentuan nilai cut-off. Berdasarkan metode pembagian kategori oleh Wimboh (1996), nilai cut-off dapat ditentukan berdasarkan jumlah sampel pada masing-masing kelompok. Kelompok perusahaan yang mengalami financial distress berjumlah 11 emiten (48%). Sedangkan kelompok perusahaan yang tidak mengalami financial distress berjumlah 12 emiten (52%). Maka nilai cut-off ditetapkan sebesar 0,52. Daya klasifikasi dapat ditunjukkan dengan tabel tabulasi silang antara prediksi model regresi logistik dan hasil observasi. 1,000 Tabel 6. Model Tabulasi Silang Sumber : data diolah Classification Tablea Berdasarkan Tabel 4 di atas, model pertama dan ketiga yang digunakan memiliki nilai Hosmer and Lemeshow (Chi-square) < α (0,1) sehingga H0 ditolak yang berarti model dianggap tidak/kurang mampu memprediksi nilai observasinya. Sedangkan model kedua, memiliki nilai Hosmer and Lemeshow (Chisquare) > α (0,1) sehingga H0 diterima yang berarti model dianggap mampu memprediksi nilai observasinya. Sehingga dengan hasil uji ini, maka model yang layak digunakan dalam penelitian ini hanyalah model kedua. Oleh karena itu, untuk kelanjutan analisis berikutnya hanya model kedua yang dapat digunakan. 4.3.2 Hasil Kelayakan Keseluruhan Model (Overall Fit Model Test) Hasil uji kelayakan keseluruhan model (Overall Fit Model Test) berdasarkan pada fungsi likelihood pada estimasi model regresi dengan membandingkan nilai -2 log likelihood awal (hasil block number 0) dengan nilai -2 log likelihood hasil block number 1 pada output Omnibus Tests of Model Coefficients dapat dilihat pada Tabel 5 berikut : Tabel 5. Hasil Uji Kelayakan Keseluruhan Model (Overall Fit Model Test) Model Kedua : Block 2 log likelihood Blok number 0 31.885 Blok number 1 23.407 Sumber : data diolah Observed Predicted M2 FD Step 1 M2 FD NFD Overall Percentage NFD % Correct 10 1 90,9 4 8 66,7 78,3 a. The cut value is ,500 Sumber : data diolah Berasarkan Tabel 6 di atas, hasil overall classification untuk regresi logistik, ternyata cukup baik, yaitu 78,3%. Persentase kebenaran untuk perusahaan yang mengalami FD (financial distress) ternyata sangat tinggi yaitu sebesar 90,9%, yaitu 10 observasi diprediksikan secara benar dan hanya 1 observasi diprediksikan sebaliknya. Sedangkan persentase kebenaran klasifikasi untuk perusahaan yang NFD (non financial distress) adalah sebesar 66,7% di mana terdapat kesalahan 4 observasi kategori FD dan 8 observasi yang dapat diprediksi secara benar dalam kategori NFD. Oleh karena nilai persentase kebenaran untuk prediksi perusahaan yang mengalami financial distress sangat tinggi (90%) dan melebihi nilai cut-off (0,52) maka dapat dinyatkan bahwa model prediksi atau estimasi yang tepat. Dengan pembuktian ini, hipotesis kedua penelitian (H2) dapat diterima. Adapun hasil pengujian lainnya seperti nilai Cox & Snell R Square dan uji F-value dapat ditampilkan pada Tabel 7 berikut : Berdasarkan tabel 5 di atas, nilai -2 log likelihood awal (hasil block number 0) sebesar 31,885 dan nilai - 34 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT (STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX) Azwar Tabel 7. R-Square dan F-value Tabel 8. Uji Koefisien Secara Parsial Omnibus Tests of Model Coefficients Chidf Sig. square Step 1 Step 21.286 5 .001 Block 21.286 5 .001 Model 21.286 5 .001 Model Summary Step -2 Log Cox & Snell R Nagelkerke R likelihood Square Square 1 10.555a .604 .805 Variables in the Equation B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Step CR ,001 ,004 ,103 1 ,748 1,001 1a OPM ,002 ,046 ,001 1 ,971 1,002 ROA - ,281 2,804 1 ,094 ,625 ,471 ROE ,321 ,179 3,200 1 ,074 1,378 YLD - ,279 ,857 1 ,354 ,772 ,258 a. Variable(s) entered on step 1: CR, OPM, ROA, ROE, YLD. Sumber : data diolah Tampak pada Tabel 7 di atas, nilai chi-square yang merupakan selisih nilai -2 Log likelihood sebelum variabel independen masuk model dan -2 Log likelihood setelah variabel independen masuk model = 21.286.. Nilai chi-square : 21.286 > chi-square tabel pada df 5 (jumlah variabel independen 5) yaitu 9.236 atau dengan signifikansi sebesar 0,001 (< 0,1) sehingga menolak H0, yang menunjukkan bahwa penambahan variabel independen dapat memberikan pengaruh nyata secara simultan terhadap model. Perlu diingat jika pada regresi linear (OLS) untuk menguji signifikansi simultan menggunakan uji Fvalue, maka pada regresi logistik (logit) menggunakan nilai chi-square dari selisih antara -2 Log likelihood sebelum variabel independen masuk model dan -2 Log likelihood setelah variabel independen masuk model. Pengujian ini disebut juga dengan pengujian Maximum likelihood. Dari Tabel 7 di atas, pada Model Summary:, kita dapat melihat kemampuan variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen, dengan menggunkana nilai Nagelkerke R Square. Nilai tersebut disebut juga dengan Pseudo R-Square atau jika pada regresi linear (OLS) lebih dikenal dengan istilah R-Square. Nilai Nagelkerke R Square sebesar 0.805, menunjukkan bahwa kemampuan variabel independen dalam menjelaskan variabel dependen adalah sebesar 0.805 atau 80.5%. Atau dengan kata lain bahwa 80.5% dari variabel dependen (financial distress dan non-distress) dapat diprediksi oleh variabel independen berupa rasio-rasio keuangan: CR, OPM, ROA, ROE dan YLD. Sedangkan sisanya sebesar 19.5% dapat diprediksi dan dijelaskan oleh variabelvariabel independen lainnya yang tidak dimasukkn dalam model. 4.4 Hasil Pengujian Hipotesis Ketiga Setelah melalui beberapa tahapan uji kelayakan model yang dibentuk dan tingkat akurasinya, maka selanjutnya dilakukan uji koefisien regresi logit secara parsial yang dilakukan terhadap variabel-variabel independen dengan tingkat siginifikansi 10% dalam rangka pembuktian hipotesis ketiga penelitian (H3). Secara lengkap hasil uji regresi binary logit disajikan dalam Tabel 7 berikut: Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 Berdasarkan tabel 8 di atas, variabel-variabel yang dapat digunakan dalam memprediksi terjadinya financial distress pada emiten adalah ROA dan ROE. Hal ini karena kedua variabel tersebut terbukti signifikan mampu memprediksi kejadian financial distress emiten dengan nilai sig. < α. Nilai sig. untuk variabel ROA dan ROE masing-masing sebesar 0,094 dan 0,074. Variabel-variabel lainnya seperti CR, OPM dan YLD terbukti tidak signifikan secara statistik mempengaruhi probabilitas kejadian financial distress pada perusahaan. Dari nilai koefisiennya, variabel ROA mempunyai pengaruh negatif dan secara statistik signifikan terhadap probabilitas perusahaan mengalami financial distress. Artinya, semakin tinggi rasio ini (ROA), maka probabilitas atau kemungkinan perusahaan akan mengalami financial distress semakin kecil. Begitu pula sebaliknya, jika rasio ini kecil atau menurun maka probabilitas perusahaan akan mengalami financial distress semakin meningkat. Adapun untuk variabel ROE, memiliki pengaruh positif dan secara statistik signifikan terhadap probabilitas perusahaan mengalami financial distress. Artinya, semakin tinggi rasio ini (ROE), maka probabilitas atau kemungkinan perusahaan akan mengalami financial distress juga semakin tinggi. Jika rasio ini kecil atau menurun maka perusahaan cenderung untuk tumbuh lebih sehat dan tidak mengalami financial distress. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Kamaludin dan Karina Ayu Pribadi (2011) yang justru menemukan bahwa rasio ROE memiliki pengaruh negatif terhadap probabilitas financial distress persuaah manufuktur di BEJ tahun 2009 pasca krisis global 2008. Adapun koefisen rasio keuangan lainnya terbukti tidak signifikan seperti Current Ratio (CR) dan Operating Profit Margin (OPM) memiliki pengaruh positif dan nilai yield beta saham (YLD) memiliki pengaruh negatif. Dengan pembuktian ini, maka hipotesis ketiga (H3) penelitian ini dapat diterima. Berdasarkan hasil uji koefisien regresi dan signifikansi pada Tabel 6 di atas, maka model prediksi financial distress yang terbentuk: 35 MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT (STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX) Azwar Ln atau FDDAR 1 – FDDAR FDDAR = = – 0.471ROA + 0.321ROE 1+ e– 0.471ROA + 0.321ROE 1 Dari model prediksi yang diperoleh tersebut, selanjutnya dapat dilakukan intrepretasi sehingga diketahui hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Pertama, variabel bebas rasio ROA memiliki koefisien 0,471 atau 47,1% dan berpengaruh negatif dengan variabel terikat. Dapat diartikan bahwa log of odds kemungkinan terjadinya financial distress akan naik sebesar 47,1% jika terdapat penurunan rasio ROA dengan signifikansi rasio tersebut mampu memprediksi kemungkinan terjadinya financial distress hingga 90,6%, yang berarti bahwa kemungkinan terjadinya financial distress dari pengaruh variabel ini patut menjadi bahan pertimbangan dan perhatian. Kedua, variabel bebas rasio ROE koefisien 0,321 atau 32,1% dan berpengaruh positif dengan variabel terikat. Dapat diartikan bahwa log of odds kemungkinan terjadinya financial distress akan meningkat sebesar 32,1% jika terdapat kenaikan rasio ROE pada perusahaan. Signifikansi rasio tersebut untuk memprediksi kemungkinan terjadinya financial distress hingga 92,6%, menjelaskan kemungkinan terjadinya financial distress dari pengaruh variabel ini juga patut menjadi bahan pertimbangan dan perhatian 4.5 Pembahasan Hasil analisis membuktikan bahwa rasio-rasio keuangan yang terdiri dari current ratio (CR), operating profit margin (OPM), return of asset (ROA), return on equity (ROE) dan nilai beta saham (YLD) dapat digunakan untuk membedakan dan mengklasifikasikan perusahaan ke dalam kelompok yang mengalami financial distress atau tidak. Artinya, kelompok perusahaan yang mengalami financial distress memiliki rasio-rasio keuangan yang berbeda dengan perusahaan-perusahaan yang tidak mengalami financial distress. Hasil ini mendukung penelitian Priambodo (2002), Mouse (2005), Luciana (2006), Brahmana (2007) dan Rowland (2008) bahwa rasio keuangan dapat digunakan untuk memprediksi kondisi financial distress perusahaan. Beberapa model prediksi yang dibangun dalam penelitian berdasarkan indikator-indikator financial distress, tidak semua layak untuk digunakan. Hal ini karena tidak semua model memenuhi syarat uji Goodness of Fit. Model prediksi financial distress berdasarkan indikator Asset Turn Over (ATO) sebagaimana yang disebutkan oleh Damodaran (2001) tidak memenuhi syarat uji Goodness of Fit sehingga tidak cukup layak untuk digunakan dalam model prediksi. Begitu pula, model prediksi financial distress berdasarkan indikator Gross Profit Margin (GPM) sebagaimana yang disebutkan oleh Baidowi (2004) tidak memenuhi syarat uji Goodness of Fit. Kedua model ini memiliki nilai uji Hosmer and 36 Lemeshow (Chi-square) yang lebih kecil dari α (0,1). Adapun model prediksi financial distress berdasarkan indikator Debt to Total Aset Ratio (DAR) sebagaimana yang disebutkan oleh Baidowi (2004) terbukti layak untuk digunakan sebagai model prediksi yang baik dengan nilai uji Hosmer and Lemeshow (Chi-square) yang lebih besar dari α (0,1). Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian oleh Rowland (2008) sebelumnya yang menyebutkan bahwa ketiga model tersebut secara keseluruhan layak digunakan dalam memprediksi kondisi financial distress khusus pada emiten industri perdagangan di Bursa Efek Jakarta. Selanjutnya, model financial distress dengan indikator Debt to Total Aset Ratio (DAR) juga memiliki akurasi klasifikasi yang tinggi yakni hingga 90.9%. Hal ini sejalan dengan penelitian Rowland (2008) yang juga menemukan bahwa model ini dapat memprediksi terjadinya financial distress hingga tingkat akurasi klasifikasi 86,17%. Dalam hasil uji koefisien regresi logistik, hanya dua rasio keuangan yang signifikan dapat memprediksi kemungkinan terjadinya financial distress emiten yaitu rasio Return of Asset (ROA) dan rasio Return on Equity (ROE). Rasio Return of Asset (ROA) dapat memprediksi kemungkinan terjadinya financial distress dengan pengaruh positif. Jika rasio ini naik, maka hal tersebut dapat menguntungkan perusahaan. Sebaliknya, penurunan rasio ini berdampak pada ancaman kesulitan keuangan perusahaan. Rasio ini digunakan untuk mengukur efektifitas perusahaan dalam mengelola aktivanya. Jumlah aktiva yang terlalu banyak akan menimbulkan biaya modal yang besar, sehingga akan menekan keuntungan. Sebaliknya aktiva yang terlalu kecil akan menyebabkan hilangnya penjualan yang menguntungkan. Semakin besar rasio yang didapat maka semakin baik karena perusahaan semakin cepat mengubah persediaannya menjadi kas sehingga kemungkinan terjadinya kesulitan keuangan semakin kecil. Rasio Return on Equity (ROE) dapat memprediksi kemungkinan terjadinya financial distress dengan pengaruh negatif. Jika rasio naik, maka perusahaan akan semakin terancam mengalami financial distress dimasa yang akan datang. Namun, jika rasio ini turun, hal tersebut dapat menguntungkan perusahaan dari ancaman financial distress. Rasio ini menunjukkan ekuitas proporsi hutang perusahaan, yang jika semakin besar maka semakin besar juga risiko perusahaan mengalami kebangkrutan. Alasan yang cukup mendasar atas diperolehnya hasil yang signifikan adalah bahwa nampaknya kondisi keuangan yang agak memprihatinkan dari suatu perusahaan, akan menjadikan sinyal atau early warning (peringatan dini) bagi perusahaan bahwa mereka dapat mengalami tekanan keuangan atau financial distress pada 1 tahun ke depan (Weston dan Copeland, 1996). Semakin tinggi laba yang diperoleh memungkin adanya dana yang menganggur atau tidak digunakannnya dana perusahaan sesuai dengan keperluan, apabila hal ini tidak dapat dicermati dapat Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT (STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX) Azwar dipastikan perusahaan dapat mengalami kepailitan sebelum mengalami kesulitan keuangan. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningtyas (2010) yang menyatakan bahwa penggunaan laba dapat memprediksi kondisi financial distress suatu perusahaan. Rasio keuangan lainnya seperti Current Ratio (CR), Operating Profit Margin (OPM) dan nilai yield beta saham (YLD) kurang menunjukkan kemampuan memprediksi kondisi financial distress, kemungkinan dikarenakan karakteristik dari perusahaan itu sendiri, di mana perusahaan lebih memungkinkan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya dengan mengandalkan aktiva lancar, di mana perusahaan manufaktur sangat menyadari bahwa industri ini sangat mengandalkan penggunaan aktiva lancar guna melaksanakan kegiatan operasi perusahaan. CR tidak berpengaruh secara signifikan terhadap prediksi kondisi financial distress suatu perusahaan. Hasil ini ternyata sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Beaver dalam Harnanto (1995), mengatakan bahwa rasio-rasio aktiva lancar tidak lebih baik untuk memprediksikan terjadinya kebangkrutan perusahaan manufaktur. Penggunaan Current Ratio dinilai belum memberikan efek pemicu financial distress. Hal ini mengimplikasikan bahwa Current Ratio hanya sebagai informasi tambahan dari laporan keuangan yang cukup kompleks, karena neraca yang terdiri dari aktiva lancar berupa kas yang berasal dari kegiatan operasi, investasi dan pendanaan pada laporan arus kas dari kegiatan operasi yang sifatnya hampir sama dengan laporan laba rugi, jadi keduanya memberikan rincian mengenai kegiatan operasional yang dijalankan perusahaan. Dapat dikatakan bahwa nilai Current Ratio, khususnya kas yang berasal dari kegiatan investasi dan pendanaan, jika nilainya rendah, tidak dapat dipastikan bahwa perusahaan mengalami kondisi keuangan yang buruk. Sedangkan, jika nilai Current Ratio menunjukkan nilai yang tinggi, hal tersebut juga belum tentu menggambarkan bahwa perusahaan dapat memenuhi kewajibannya kepada pihak kreditor. Hal ini mendukung teori yang disampaikan oleh Weston dan Copeland (1996), bahwa rasio keuangan tidak selalu menggambarkan kondisi perusahaan yang sesungguhnya, khususnya cash inflow dan cash flow. Namun dari hasil penelitian ini dapat kita jelaskan bahwa bagaimanapun Current Ratio berupa kas harus dianggap sebagai ukuran kasar karena tidak mempertimbangkan likuiditas komponen individual aktiva lancar. Kemungkinan lain yang perlu ditelusuri dari karakteristik industri itu sendiri, dimana industri perbankan yang aktiva likuidnya berupa aktiva keuangan, akan lebih intensif memperhatikan rasio lancarnya guna pemenuhan kebutuhan nasabah yang memerlukan uang kartal atau uang giralnya, terlebih lagi apabila terjadi rush akan sulit bagi lembaga keuangan ini untuk memenuhi kasnya, butuh proses untuk mencairkan aktiva Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 tetapnya agar bisa menjadi aktiva lancarnya. Terlebih lagi efek dari rush ini apabila tidak dapat ditanggulangi oleh lembaga perbankan akan dapat menggangu stabilitas ekonomi di suatu negara, karena terjadi penarikan dana milik nasabah secara besarbesaran, yang semakin menggambarkan bahwa lembaga perbankan tersebut mengalami kesulitan keuangan disebabkan oleh menjaga likuiditas keuangannya. Berbeda dengan industri non perbankan yang dalam pemenuhan kegiatan operasinya dapat saja memperoleh persediaan bahan baku secara kredit. Sehingga Current Ratio ini lebih memungkinkan dapat memprediksi kondisi financial distress lebih signifikan terhadap lembaga perbankan daripada industri non perbankan. Terlepas dari teoriteori yang dingkapkan para ahli, apabila dilihat dari karakteristik industrinya bisa saja ini menjadi alasan mengapa Current Ratio kurang memicu untuk memprediksi kondisi financial distress pada perusahaan manufaktur. Bagaimanapun perusahaan harus selalu menjaga likuiditas guna memenuhi standar bisnis yang akan dijalankan. 5 KESIMPULAN 6 IMPLIKASI DAN KETERBATASAN Rasio-rasio keuangan dalam laporan keuangan perusahaan yang terdiri dari : Current Ratio (CR), Operating Profit Margin (OPM), Return Of Asset (ROA), Return On Equity (ROE) dan nilai beta saham (YLD) dapat digunakan untuk membedakan dan mengklasifikasikan perusahaan ke dalam kelompok yang mengalami financial distress dan yang tidak mengalami financial distress. Rasio keuangan yang signifikan dapat memprediksi kemungkinan terjadinya financial distress emiten yaitu rasio Return of Asset (ROA) dan rasio Return on Equity (ROE). Rasio-rasio tersebut digunakan dalam model prediksi financial distress berdasarkan indikator Debt to Total Aset Ratio (DAR) (model kedua) dan terbukti layak secara statistik untuk digunakan sebagai model prediksi financial distress yang baik dengan tingkat akurasi prediksi yang tinggi yaitu 90,9%. Model prediksi financial distress dengan rasiorasio keuangan, secara khusus dalam penelitian ini yaitu rasio Return of Asset (ROA) dan rasio Return on Equity (ROE), dapat juga digunakan sebagai early warning signal oleh pihak emiten atau perusahaan, yaitu sebagai alat untuk mengetahui sedini mungkin apakah perusahaan memiliki sinyal financial distress atau tidak untuk satu tahun ke depan, sehingga masih cukup waktu bagi pihak manajemen perusahaan untuk segera melakukan pembenahan agar perusahaan yang bersangkutan tidak mengalami kondisi keuangan yang lebih buruk. Beberapa pihak yang terkait, seperti investor, dapat memperhatikan rasio-rasio ini sebelum menentukan keputusan investasi. Pemerintah dan pihak otoritas yang terkait, dapat menggunakan model prediksi ini untuk memperoleh gambaran emiten yang kemungkinan akan mengalami financial 37 MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT (STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX) Azwar distress pada tahun berikutnya. Bagi pemerintah dan pihak regulator seperti Bursa Efek Indonesia, Unit Pengawas Pasar Modal pada Otoritas Jasa Keuangan dan lainnya, dapat memanfaatkan atau menggunakan model prediksi financial distress ini sebagai tools dalam menjalankan fungsi evaluasi, reviu dan pengawasan terhadap emiten yang masuk dalam perhitungan JII yang diseleksi dalam daftar saham atau efek syariah. Dengan melakukan simulasi, pihak regulator tersebut dapat mengetahui lebih awal emiten-emiten mana yang mempunyai peluang mengalami financial distress dalam satu tahun mendatang, sebagai pilihan instrumen restrukturisasi tertentu berdasarkan hasil simulasi prediksi sehingga kebijakan yang dirumuskan dan diputuskan lebih tepat sasaran. Tidak dipungkiri bahwa penelitian ini juga memiliki keterbatasan kajian. Karenanya, perlu dikemukakan beberapa hal untuk perbaikan pada penelitian mendatang. Perlu dipertimbangkan untuk memproksikan kondisi financial distress dengan enam ukuran lainnya yaitu manajemen, struktur modal dan coverage dan juga peran faktor eksternal dalam pemodelan, seperti exposure risk, legal risk, dan settlement risk. Perlu dipertimbangkan risiko aspek perilaku manajemen yang mengindikasikan hidden action. Seperti: fraud risk dan embezzlement risk yang dapat mendukung kemungkinan terjadinya financial distress perusahaan. Selain itu, perlu untuk juga dilakukan kajian yang sama pada indeks saham syariah lainnya yaitu ISSI. Hal ini mengingat jumlah emten yang jauh lebih banyak sehingga akurasi model diharapkan dapat lebih akurat. DAFTAR PUSTAKA Afriyeni, Endang. 2012. Model Prediksi Financial distress Perusahaan. Polibisnis, Volume 4 No. 2 Oktober 2012. ISSN 1858–3717 1 Agus Sartono, Manajemen Keuangan Teori dan Aplikasi (Yogyakarta : BPFE, 2008) Almilia, Luciana Spica. 2006. Prediksi Kondisi Financial distress Perusahaan Go-Publik dengan Menggunakan Analisis Multinomial Logit. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Vol. XII No. 1 Maret. Altman E, 1983. Corporate Financial distress: A Complete Guide to Predicting, Avoiding, and Dealing with Bankruptcy (New York: John Wiley & Sons). Altman E. 1968. Financial Ratios, Discriminant Analysis and the Prediction of Corporate Bankruptcy. Journal of Finance, September, 1968. Asquith P., R. Gertner dan D. Scharfstein. 1994. Anatomy of Financial distress: An Examination of Junk-Bond Issuers. Quarterly Journal of Economics 109: 1189- 1222. Brahmana, Rayenda K Brahmana. 2007. Identifying Financial distress Condition in Indonesia Manufacture Industry. Birmingham Business 38 School, University of Birmingham, United Kingdom. Brigham, E. F., Daves, P. R.2003. Intermediate Financial Management, Eighth Edition Brigham, E. F., Houston. 2006, Dasar-dasar Manajemen Keuangan . Terjemahan Ali Akbar Yulianto, Buku 1 dan 2, Edisi 10, Penerbit Salemba Empat Chan, K.C. and Nai-fu Chen. 1991. Structural and return characteristics of small and large firms, Journal of Finance 46, 1467—1484. Ellen. 2013. Penerapan Good Corporate Governance, Dampaknya Terhadap Prediksi Financial distress Pada Sektor Aneka Industri dan Barang Konsumsi. Business Accounting Review, VOL.1, NO. 2, 2013 Fama, Eugene F. and Kenneth R. French. 1996. Multifactor explanations of asset pricing anomalies, Journal of Finance 51, 55—84. Gamal, Merza. 2005. Management Dana Syariah. Presentasi Manajemen, Bank Syariah Mandiri. Jakarta. Garlappi, Lorenzo and Hong Yan. 2007. Financial distress and the Cross Section of Equity Returns. draft. NBER Asset Pricing Program Meeting: April. Ghozali, Imam.2001, Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Semarang: Badan Penerbit UNDIP. Gujarati, Damodar.1995, Ekonometrika Dasar, Jakarta: Erlangga: Jakarta. Hamzah, Ardi dan Auliyah Robiyatul. 2006. “Analisa Karakteristik Perusahaaan, Industri dan Ekonomi Makro terhadap Return dan Beta Saham Syariah di Bursa Efek Jakarta.” Jurnal Simposium Nasional Akuntansi IX. Padang. Hanafi Mamduh M., Abdul Halim. 2007. Analisis Laporan Keuangan. Edisi 3. Yogyakarta : Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YPKN. Harahap, Sofyan S. 2001. Menuju Perumusan Teori Akuntansi Islam. Cetakan Pertama, Pustaka Quantum. Harnanto, Yunus, Hadori 1995, Akuntansi Keuangan Lanjutan, Yogyakarta: BPFE. Hofer, C. W. 1980. "Turnaround Strategies". Journal of Business Strategy 1: 19-31. Hunter J., N. Isachenkova. 2000. Failure risk: a comparative study of UK and Russian firms. Discussion Paper 00-1. Department of Economics and Finance, Brunel University Indra Bastian. 2010. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta : Erlangga John, K, L. H. D. Lang and Netter, 1992. "The Voluntary Restructuring of Large Firms in Response to Performance Decline". Journal of Finance 47: 891-917. John, K, L. H. D. Lang and Netter, 1992. "The Voluntary Restructuring of Large Firms in Response to Performance Decline". Journal of Finance 47: 891-917. Kamaludin. 2011. Prediksi Financial distress Kasus Industri Manufaktur Pendekatan Model Regresi Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT (STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX) Azwar Logistik. Jurnal Ilmiah STIE MDP. Vol. 1 No. 1 September 2011 Kamaludin 2011, Manajemen Keuangan: Konsep Dasar dan Penerapannya, Bandung: CV Mandar Maju. Kasmir. 2008. Analisis Laporan Keuangan. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada. Lau, A. H. 1987. "A Five State Financial distress Prediction Model". Journal of Accounting Research 25: 127-138. Lau, A. H. 1987. "A Five State Financial distress Prediction Model". Journal of Accounting Research 25: 127-138. Lev B and Sunder S, 1979, Methodological issues in the use of financial ratios, Journal of Accounting and Economics, 1:3, 187-210. Lízal, Lubomír. 2002. Determinants of Financial distress: What Drives Bankruptcy in a Transition Economy? The Czech Republic Case. William Davidson Working Makalah Diskusi Ekonomi Syari’ah, Sragen, Jawa Tengah . Paper Number 451.(September). Mous, Lonneke. 2005. Predicting Bankruptcy With Discriminant Analysis and Decision Tree Using Financial Ratios. Bachelor Thesis Informatics & Economics. Fakultas of Economic , Erasmus University, Rotterdam. Munawir. 2001. Analisa Laporan Keuangan. Liberty: Yogyakarta Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 2014. http://www.idx.co.id/ Platt, Harlan D. and Marjorie, B. Plat 2002, “Predicting Corporate Financial Ditress: Reflectons on Choice-Based Sample Bias”, Journal of Economic and Finance, Vol. 26 No. 22, p.184-197. Priambodo, Agus. 2002. Prediksi Nilai Economic Value Added Perusahaan Perusahaan 'Go Public' Dengan Analisa Diskriminan. Tesis. School of Business and Management ITB. Rowland. 2008. Penggunaan Biinary Logiit Untuk Prediksi Fiinanciial Diistress Perusahaan Yang Tercatat Dii Bursa Efek Jakarta (Studi Kasus Emiten Industri Perdagangan). Jurnal Ekonomi, Bisnis, dan Akuntansi VENTURA Volume 11, No. 2, Agustus 2008 (153-172) ISSN: 1410 – 6418 Sari, Atmini. 2005. Manfaat Laba dan Arus Kas Untuk Memprediksi Kondisi Financial distress pada Perusahaan Textille Mill Products dan Apparel and Other Textile Products yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. SNA VIII Solo. Statistik Pasar Modal. 2008. Kementerian Keuangan Republik Indonesia Sartono, Agus. 2008. Manajemen Keuangan Teori dan Aplikasi. Yogyakarta : BPFE Syamsuddin, Lukman, 2001. Manajemen Keuangan Perusahaan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Syuhada, Luqman H., Lc. 2007.“Ekonomi Islam Melawan Riba dan Kemiskinan Umat.”. Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 Wahyuningtyas, Fitri 2010, Penggunaan Laba dan Arus Kas Untuk Memprediksi Kondisi Fiancial Distress (Studi Kasus Pada Perusahaan Bukan Bank yang Terdaftar pada Bursa Efek Indonesia Periode 2005- 2008), Skripsi Dipublikasikasikan, Semarang: Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Diponegoro. Weston, J. Fred & Copeland Thomas. 1996. Manajemen Keuangan Jilid 2, Jakarta: Binarupa Aksara. Whitaker, B., Richard. 1999. “The Early Stages of Financial distress.” Journal of Economics and Finance. Vol. 23. No. 2: 123-133. Whitaker, R. B. 1999. "The Early Stages of Financial distress". Journal of Economics and Finance, 23: 123-133 Widarjono, Agus. 2005. Ekonometrika: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Ekonisia FE UII Wimboh Santoso, 1996, “The Determinants of Problem Banks in Indonesia”, Banking Research and Regulation, Bank Indonesia. 39 MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT (STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX) Azwar Halaman ini sengaja dikosongkan This page intentionally left blank 40 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015, Halaman 41-52 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA JURNAL BPPK GOVERNMENT EXPENDITURE AND ECONOMIC GROWTH: AN EMPIRICAL STUDY IN INDONESIA Wesly Febriyanta Sinulingga Badan Kebijakan Fiskal. Email: [email protected] ARTICLE INFORMATION ABSTRACT ARTICLE HISTORY Received 9 March 2015 Indonesia has been experiencing a rapid economic growth amid global crises in the United States and the European Union countries. In addition, government expenditures in Indonesia have also shown an increasing trend in recent years. Using panel data from 33 provinces in Indonesia from 2007 to 2012, this paper describes the current condition of GDP growth and government expenditures, examines the relationship between government expenditure and economic growth, and formulates government expenditure policy in order to harmonize GDP growth, poverty alleviation, and income inequality. The result indicates that government expenditure for development, such as building roads, hospital, bridges, electricity, and water supply, has a significant and positive effect on the regional economic growth rate. Not only can government expenditures affect economic growth but it also can reduce poverty by strengthening human capital through better education and health facilities. Accepted to be published 12 June 2015 KEYWORDS: government expenditure, economic growth, income inequality, poverty alleviation. Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi di tengah krisis ekonomi dan keuangan yang melanda Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Di sisi lain, pengeluaran pemerintah juga menunjukkan adanya tren meningkat. Dengan menggunakan data panel dari 33 provinsi di Indonesia dalam kurun waktu 2007 sampai dengan 2012, penelitian ini akan menggambarkan kondisi terkini pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah di Indonesia, mengetahui hubungan antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi, serta memformulasikan kebijakan pengeluaran yang dapat mengharmonisasikan pertumbuhan PDB, pengurangan kemiskinan, dan kesenjangan pendapatan. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah untuk pembangunan, atau belanja modal, seperti membangun gedung, rumah sakit, jembatan, listrik, dan akses air bersih, memiliki dampak positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pemerintah tidak hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi namun dapat mengurangi kemiskinan dengan memperkuat sumber daya manusia melalui fasilitas pendidikan dan kesehatan yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi bergerak berlawanan dengan tingkat kemiskinan, namun bergerak sejalan dengan kesenjangan pendapatan. 1. INTRODUCTION 1.1. Background of Study Indonesia has been experiencing a rapid economic growth amid global crises in the United States and the European Union countries. Indonesia has a positive trend in economic growth, especially after the financial crisis in 1997-1998. Since 1999 the economy has recovered and the growth rate accelerated from negative growth rate to over 4-6 percent afterwards. According to World Bank, Indonesia Gross Domestic Product (GDP) grows at 5.8 percent on average in the last five years. A substantial growth indicates that the more output produced and the more employment created in the economy. As a result, the level of poverty decreases significantly. The growth rate is mainly driven by the increase of domestic consumer demand and spending from a growing middle class of over 100 million people with increasing levels of disposable income. Given a rapid economic growth, Indonesia has become one of the Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014 major destination countries for foreign investors. Low labor costs, massive natural resources, growing domestic market, favorable demographics are among key elements of the investors’ reasons (KPMG, 2013). Recently, government expenditures, both central and local government, in Indonesia have been increasing every year. Data from Directorate General of Fiscal Balance shows that the central government spending has increased by 63 percent from 2007 to 2011, and local government spending has risen even faster, by 83 percent for the same period. Current expenditure, mostly for government apparatus’ salary, has the biggest portion of the total expenditures. During the period of 2007 to 2011, 46 percent of the total expenditures are spent to pay salaries, whilst only 25 percent is allocated to induce capital formulation. The question whether government expenditures have a positive or negative effect on the economic growth remains inconclusive. Being one of the components of Keynesian Cross, the Keynesian school of thought argues that increasing government spending 41 GOVERNMENT EXPENDITURE AND ECONOMIC GROWTH: AN EMPIRICAL STUDY IN INDONESIA Wesly Febriyanta Sinulingga will expand the level of output (income) in the economy. Government expenditure is regarded as an exogenous variable that boosts economic growth. Nevertheless, an increase in government expenditures may result in a higher budget deficit in the future. If government spending keeps increasing faster compared to the government tax revenue, then fiscal sustainability will be threatened because there exists a smaller capacity to finance both its operating and development expenditures (Sriyana, 2011). Some empirical studies find a positive relationship between government expenditures and economic growth. The relationship between government expenditure and economic growth and poverty alleviation in rural areas in India, Vietnam and Uganda is positive, meaning that government can escalate the level of output in the agricultural areas by developing agricultural research, education, and rural infrastructure (Fan et al., 2000, 2004). Government size, measured as the share of total expenditure in GNP, causes economic growth in the short run and in the long run (Loizides & Vamvoukas, 2005). Applying panel data from 14 states in India over the period of 1990-2002, reallocation of funds to increase the share of public goods expenditures can increase the regional GDP growth by 2.7 percentage points (Hong & Ahmed, 2009). Furthermore, government spending on capital formation, development assistance, private investment, and trade-openness all have positive and significant effect on economic growth in the South Eastern Europe (Alexiou, 2009). However, there exist studies that find a negative relationship between government expenditures and economic growth. The effect of government expenditures on economic growth using data for 98 countries between the years 1960 to 1985 indicates that increases in government consumption significantly and negatively affects economic growth (Barro, 1991). Moreover, applying time-series data from 1965 to 1996, it is argued that government spending in Tanzania has not been productive, and thus, an increase in government spending (public investment) reduces the economic growth (Kweka & Morrissey, 2000). A study using a sample of time-series data in Indonesia from 1969 to 1999 finds that both government unproductive and productive spending have a negative relationship with economic growth. Government is perceived inefficient in development programs implementation and budget management (Ramayandi, 2003). Some studies find that there is no significant effect of government expenditures on the economic growth rate. Public investment that corresponds to a stock of public capital has a positive relationship but insignificant with the output growth rate. This result indicates that “the flow of services from public capital with productive government services is imperfect. One of important factors to boost the level of output in the economy is human capital (Barro, 1991). Agell et al. 42 (1999) also find that the relationship between government spending and economic growth is insignificant. The effect of government expenditures on economic growth may also vary between developing and developed countries. Government spending in agriculture and education promote economic growth in Asia and Africa countries, while spending in agriculture, infrastructure, and social security positively affect economic growth in Latin America (Fan & Saurkar, 2006). Using data from 14 OECD countries during the period of 1970 to 1987, it is found that government consumption, transfers and total spending as a share of GDP have a strongly negative effect on the economic growth, educational spending has a positive effect, and the level of government investment has no effect (Hansson & Henrekson, 1994). Another research is conducted to examine the relationship between government spending and economic growth in G-7 countries, and the result shows that the relationship vary significantly across time as well as across countries, and there is no significant evidence found that government spending can increase nor decrease economic growth (Hsieh & Lai, 1994). Among European Union countries, AngloSaxon and Nordic countries reveal higher speed of adjustment of government spending to potential output than Southern European countries (Arpaia & Turrini, 2008). Given previous literatures, it can be concluded that the relationship between government expenditures and economic growth remains debatable. The impact may differ not only by countries or regions but also by the type of expenditures. This paper applies Cobb Douglas production function to determine the level of output produced in each province. Moreover, this study uses panel data from 33 provinces in Indonesia during the period of 2007-2012 and applies capital expenditures as a proxy of government expenditures. Capital expenditure is expected to be productive expenditures as described by Barro (1991) such that government can increase the level of output by reducing transaction costs, increasing human capacity and the level of productivity. 1.2. Objectives of the Study Given the previous background of the study, this paper aims: 1. To describe the current condition of economic growth and government expenditures in Indonesia. 2. To examine the relationship between government expenditure and economic growth. 3. To formulate the government expenditure policy in order to harmonize GDP growth, poverty alleviation, and income inequality. Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 GOVERNMENT EXPENDITURE AND ECONOMIC GROWTH: AN EMPIRICAL STUDY IN INDONESIA Wesly Febriyanta Sinulingga Figure 2. Capital Expenditure and Economic Growth Scheme 2. LITERATURE REVIEW AND HYPOTHESIS 2.1. The Approach of the Study The role of government in the economy has long been a debate. John M. Keynes and his successors develop a concept that is called Keynesian Cross to explain how government expenditure can affect the level of output in the economy. Government spending has a positive relationship with the level of output (income) and therefore an increase in government spending will enhance the output in the economy. Keynes argues that the government should use its power through tax and spending to influence the business cycle and thus the economy in a particular country (Ekelund and Hebert, 2007). Meanwhile, Adam Smith with his classical colleagues and subsequent economists, known as neoclassical economists, argue that government should have a restricted role in the economy. Government’s roles are limited only to protect property rights and to maintain the competition in the market. Figure 1. Keynesian Cross Keynesian Cross can be described in Figure 1 below. Vertical axis represents expenditure and horizontal axis represents output in the economy or GDP. The red line (Y=E) is a 45 degree line that indicates expenditures equals GDP. Increasing government expenditure by ∆G shifts planned expenditure upward by ∆G (from purple to blue line). Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 The increase of government expenditure affects real expenditure and GDP positively, real expenditures increases from E1 to E2, and GDP moves from Y1 to Y2. Notice that ∆Y > ∆G, meaning that an increase in government expenditure by ∆G have a multiplier effect on the economy by triggering consumption. Government can increase the level of output produced either by individuals or by businesses in the economy through several channels. Firstly, government expenditure can enhance individuals’ productivity by providing better access and facilities to health and education services, such as increasing the number of hospitals and schools and improving the quality of hospitals and schools. Healthy and welleducated individuals will find better jobs that accord their skill and eventually generate more earning. Public infrastructures can also affect economic growth positively by reducing transaction costs especially for businesses such that companies will enter local markets, create new jobs and eventually develop the local economy. Figure 2 depicts how government can affect economic growth through these channels. Human capital and technological change are endogenous factors that affect the level of output in the economy (Barro, 1991; Romer, 1990). Technological change that arises from intentional investment decisions by profit-maximizing company encourages continued capital accumulation. In addition, economic growth is correlated with worldwide market integration but not necessarily related to population size and density. This finding explains why developing countries with large population are still not able to converge with developed countries but still benefit from economic integration with the rest of the world (Romer, 1990). 2.2. Hypothesis From Figure 2, it is known that investing in capital expenditure, such as building schools and hospitals, will strengthen human capital such that productivity enhances due to better level of education and health. In addition, building new and additional infrastructures, such as road, bridges, and highway, can attract private investors because of reduction in transaction costs. Through both channels of capital 43 GOVERNMENT EXPENDITURE AND ECONOMIC GROWTH: AN EMPIRICAL STUDY IN INDONESIA Wesly Febriyanta Sinulingga Table 2. Variable Description of the Study Variable Description Regional GDP : The gross value added in the economy in the regional (provincial) level. Data are obtained from Central Bureau of Statistics Indonesia. Capital Expenditure : Foreign Direct Investment : States expenditures for capital formulation, such as spending on infrastructures (roads and bridges), building, equipment and machinery, and land. Data are acquired from Directorate General of Fiscal Balance Ministry of Finance. The net inflows of investment by foreign investors to Indonesia. Data are gained from Central Bureau of Statistics Indonesia and Indonesia Investment Coordinating Board. Domestic Direct Investment : The net inflows of investment by domestic investors. Data are attained from Central Bureau of Statistics Indonesia and Indonesia Investment Coordinating Board. Population Growth : An increase in the number of people that reside in the provincial level. Data are collected from Central Bureau of Statistics Indonesia. Island : Dummy variable for geographical factor 1 is for provinces in Java and Bali 2 is for provinces in Sumatera 3 is for provinces in Kalimantan 4 is for provinces in Sulawesi 5 is for provinces in Eastern Islands of Indonesia expenditure, government can increase the level of economy with regard to better human capital, public infrastructures, and social facilities. Table 1. Expected Sign of the Parameters Variable Expected Sign Capital Expenditure Domestic Direct Investment Foreign Direct Investment Population Growth Rate + + + + investment, foreign direct investment, and the population growth rate are expected to have a positive relationship with the economic growth rate. 3. Given previous explanation and rationale, the main hypothesis of this study is: H1 : Government expenditure for capital formulation has a significant and positive impact on economic growth rate Table 1 summarizes the expected sign of parameters applied in this study on the regional economic growth rate variable. Government expenditure for capital formulation, domestic direct METHODOLOGY 3.1. Data This paper uses data for 33 provinces in Indonesia during the period of 2007 to 2012. States budget data are acquired from Directorate General of Fiscal Balance, Ministry of Finance of Republic of Indonesia. Other data are acquired from the Central Bureau of Statistics of Indonesia, either from statistics booklet or from statistical yearbook of Indonesia and from Indonesia Investment Coordinating Board. Table 2 provides variables used throughout this paper. Based on summary statistics in Table 3, there are 198 observations (33 provinces x 6 years), but some variables may be lesser because of statistical treatment, such as log of variables. During the period of 2007-2012, provinces in Indonesia grow by 6.23 Table 3. Summary Statistics of Government Expenditure and Economic Growth Model, 2007-2012 Variable Year RGDP rate Log RGDP Log Capital Exp. Log FDI Log DDI Population Growth Island (Dummy) Source: Data processed 44 Observations Mean Standard Deviation Minimum Maximum 198 198 198 198 182 161 198 198 6.225859 30.99089 28.52519 27.28202 26.81953 2.315152 3.618832 1.290823 0.7097897 2.33285 2.349729 3.100465 2007 -5.51 28.48084 26.91767 21.35454 18.42068 -2.01 1 2012 28.47 33.73984 29.99953 32.31968 30.70002 35.08 5 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 GOVERNMENT EXPENDITURE AND ECONOMIC GROWTH: AN EMPIRICAL STUDY IN INDONESIA Wesly Febriyanta Sinulingga Figure 3. Indonesia Annual GDP Growth Rate Trend, 1990-2013 Source: World Bank (2014) percent on average. The minimum growth rate is -5.51 percent in Aceh in 2009, whilst the highest rate is 28.47 percent achieved by West Papua in 2010. Most provinces experience slower economic growth in 2009 because of crisis in United States and most of European Union countries. Provincial population grows at 2.32 percent on average with the minimum growth rate is 2.01 percent that occurs in North Sumatera in 2010, while the highest population growth rate is 35.08 experienced by Papua in 2010. 3.2. Empirical Model This paper describes the economic growth from the point of view of production process developed by applying the neoclassical aggregate production function, known as Cobb Douglas production function. Cobb Douglas function is commonly applied to explain economic growth from production side. Cobb Douglas function is determined as follow: 𝑌 = 𝑓 𝐾, 𝐿 (1) where the level of output in the economy, known as GDP (Y) is attributed to changes in factor production: capital (K) and labor (L). To incorporate government expenditure (G) in the production function, the production function can be formulated as follow:9 𝑌 = 𝑓 𝐾, 𝐿, 𝐺 (2) In accordance to the main purpose of this study, a model is formulated to find the relationship between government expenditure and the economic growth. The model consists of log regional GDP (lrgdp) as the dependent variable and log government expenditure for capital formulation (lcap) as the independent variable of interest. In addition, I also add some control Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 variables that may influence the dependent variable (lrgdp), such as log foreign direct investment (lfdi) log domestic direct investment (lddi), the population growth rate (PG), and a dummy variable, island, to control for any individual effects in the model. 𝑙𝑟𝑔𝑑𝑝 = 𝑓 𝑙𝑐𝑎𝑝, 𝑙𝑓𝑑𝑖, 𝑙𝑑𝑑𝑖, 𝑃𝐺, 𝐼𝑆𝐿𝐴𝑁𝐷 (3) The empirical equation is: 𝑙𝑟𝑔𝑑𝑝𝑖𝑡 = 𝛽0 + 𝛽1 𝑙𝑐𝑎𝑝𝑖𝑡 + 𝛽2 𝑙𝑓𝑑𝑖𝑖𝑡 + 𝛽3 𝑙𝑑𝑑𝑖𝑖𝑡 + 𝛽4 𝑃𝐺𝑖𝑡 + 𝛽5 𝐼𝑆𝐿𝐴𝑁𝐷𝑖𝑡 + λ𝑡 + 𝜀𝑖𝑡 (4) lrgdpit : log regional real GDP lcapit : log government expenditures for capital formulation lfdiit : log foreign direct investment lddiit : log domestic direct investment PGit : population growth rate ISLANDit : dummy variable for island β0 : the intercept β1, β2, β3, β4 : the parameters λt : year dummy variables ℇit : the error term To estimate the unobserved effects of panel data models such as equation (2), there are two methods that are commonly applied in econometrics: Fixed Effect and Random Effect estimation. Fixed Effect can “estimate the effects of time-varying independent variables in the presence of time-constant omitted variables”. In the Fixed Effect model, variables that are constant over time will be omitted. The Random Effect estimation assumes that the unobserved individual effect is uncorrelated with each explanatory variable (Wooldridge, 2009). In this case, the Random Effect 45 GOVERNMENT EXPENDITURE AND ECONOMIC GROWTH: AN EMPIRICAL STUDY IN INDONESIA Wesly Febriyanta Sinulingga Figure 4. Contribution to GDP by Sector in Indonesian Economy, 2000-2013 Source: Central Bureau of Statistics of Indonesia (2014) estimation will include the dummy variable, island, into equation (4). Meanwhile the Fixed Effect model will drop the dummy variable because of its constantover-time characteristic. 4. RESULT AND DISCUSSION 4.1. Current Condition of GDP Growth and Government Expenditures in Indonesia The Indonesia economic growth rate has fluctuated during the last two decades as depicted by Figure 3. The economy reaches its highest growth rate in 1990 with 9 percent growth rate because of the oil boom and political stability in the 1970’s and 1980’s. A crisis that hits most of Asian countries in 19971998 had caused severe effects on the Indonesian economy. Many local companies failed to repay their foreign debts because of the depreciation of the Indonesian rupiah. Thus, the economic growth diminished and reached its lowest level in 1997. The financial crisis not only shook the economy but also had political and social implications. The reigning president ended his 32-year presidency in 1998 after a massive demonstration and chaos triggered by the financial crisis. The GDP growth rate drops from 4.7 percent in 1997 to -13.13 percent in 1998 because of the financial crisis, and new era, called reformation era begins. Figure 3 also depicts that economic growth starts to increase in 1999/2000 when central government decentralizes most of its authorities to local government. Centralistic government is perceived as high cost for the economy. Decentralization is directly influenced price stability and has indirect positive impact on economic growth (Martinez-Vazquez and Mcnab, 2006). Reformation era has shifted most authorities, from central to provincial and municipal 46 government. Local government is responsible to provide social needs, such as education, health, and public infrastructures. Indonesia was recognized as an agricultural country with abundant natural resources and fertile soils, but agriculture no longer became the main source of GDP in the last 2 decades as being shown in Figure 4. Manufacturing replaces agriculture and nowadays plays an important role in contributing to Indonesian GDP. This sector has been the biggest contributor to GDP since 2000, with contribution of more than one quarter of the total GDP every year. Most of manufacturing industries are located in provinces in the island of Java. Central Bureau of Statistics of Indonesia records that there are 23,941 manufacturing industries in Indonesia in 2013 which 19,773 (82.6 percent) are located in Java. Food, apparel, and garment industry are the biggest three industries in Indonesia. Trade, hotel, and restaurant sector contributes 18.09 percent of total GDP in 2013, second below manufacturing and have an increasing trend. On the other hand, natural resource-based sectors, such as agriculture and mining, have a decreasing trend in the last two decades. Government expenditures play an important role in determining the economic progress of a country. The Indonesia government expenditures, on the other hand, have been increasing in the last five years. Figure 5 shows an increasing trend in the government budget. On average, government expenditures increase by 14.4 percent in the five-year period. Most of government expenditures are spent to pay government apparatus’ salaries and honorarium, 42.78 percent of total expenditure on average in 2013, declining from 44.7 percent in 2012. Spending on goods and services increases by 15% on average, and capital expenditure Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 GOVERNMENT EXPENDITURE AND ECONOMIC GROWTH: AN EMPIRICAL STUDY IN INDONESIA Wesly Febriyanta Sinulingga Figure 5. The Allocation of Local Government Expenditure in Indonesia, 2009-2013 Local Government Expenditure Trend Budget Allocation in 2013 Source: Directorate General of Fiscal Balance, Ministry of Finance (2013) rises by 12.7 percent. This decline shows government commitment to allocate more spending on building public infrastructures. In addition, local government expenditures can be classified into nine sectors: economy, health, defense, environment, tourism, public service, education, social securities, and housing. 4.2. Relationship between Government Expenditure and Economic Growth Using STATA 11th edition, Table 4 depicts the estimation result of equation (4) using Ordinary Least Square (OLS), Fixed Effect (FE), and Random Effect (RE). Not only does the equation include the variable of interest, government expenditure for capital Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 formulation, but also it includes other control variables that may affect the dependent variable (economic growth), such as foreign direct investment, domestic direct investment, and population growth. The result in Table 4 provides comparison between Ordinary Least Square, Fixed Effect and Random Effect estimation. Government expenditure, represented by government expenditure for capital formulation, has a positive and significant effect on the level of output in the regional (provincial) economy in Indonesia. The sign is consistent among models: OLS, Fixed Effect, and Random Effect model that commonly applied to estimate panel data. Increasing capital expenditures by one percent will 47 GOVERNMENT EXPENDITURE AND ECONOMIC GROWTH: AN EMPIRICAL STUDY IN INDONESIA Wesly Febriyanta Sinulingga Table 4. The Result of Economic Growth Estimation in Indonesia, 2014 1) Dependent variable: Log regional GDP VARIABLES Log capital expenditure OLS (1) Fixed Effect (2) Random Effect (3) 0.30*** (0.048) 0.18*** (0.037) 0.02*** (0.006) 0.02*** (0.005) 0.00055 (0.002) 22.58*** (1.386) 25.03*** (1.016) 0.27*** (0.043) 0.02*** (0.007) 0.02*** (0.007) 0.00064 (0.003) -1.14*** (0.241) -1.22*** (0.306) -1.99*** (0.274) -2.28*** (0.273) 23.53*** (1.201) Log foreign direct investment Log domestic direct investment Population growth Sumatera Kalimantan Sulawesi Eastern Islands of Indonesia Constant Observations Number of id R-squared 1) Data 198 33 0.143 Standard errors in parentheses *** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1 159 33 based on panel data of 33 provinces in Indonesia, 2007-2012 increase regional GDP by 0.3 percent, 0.18 percent, and 0.27 percent using OLS, Fixed Effect, and Random Effect estimation respectively. This result shows that government can increase economic growth by investing in public infrastructures, such as hospitals, schools, roads, and bridges. These expenditures will increase individuals’ productivity and reduce transaction costs if funds are allocated efficiently. This result confirms previous studies conducted by Fan et al. (2000, 2004), Loizides and Vamvoukas (2005), Hong and Ahmed (2009), and Alexiou (2009). Other finding is foreign direct investment and domestic direct investments as proxies of private investment have a positive and significant effect on regional economic growth. Foreign direct investment, for example, is mostly associated with technology transfer that can increase efficiency in production and reduce costs. FDI eventually creates positive spillovers into recipient countries (Carkovic And Levine, 2005). Realizing the positive impact of investment in the economy, government usually attracts investors, both domestic and foreign investors, through tax incentives. However, this paper finds that the effect of population growth on the level of output is statistically insignificant. The insignificant effect of population growth on the economic growth rate confirms previous studies by Barro (1991) and Romer (1991) that economic growth is mostly influenced by human capital and technological change. This 48 159 33 0.427 argument explains why developing countries which are commonly very populous have a lower growth rate compared to developed countries. Furthermore, this study also confirms that provinces in Java and Bali have a higher economic growth compared to provinces in other islands in Indonesia. This finding indicates that provinces in Java and Bali still become target for development and investment. Given a better initial public infrastructures, it is easier for provinces in Java to attract investments. In addition, differences in provincial characteristics, such as resources and natural environment, economic structure, public and community institutions, social norms or expectations, and demographic characteristic of the population, will result in differences in economic growth rate across provinces. In order to create equality in term of economic output and income, central government then need to pay more attention on building better facilities and infrastructures in provinces in the eastern of Indonesia. 4.3. Economic Growth, Poverty Alleviation, and Inequality The government of Indonesia has released the National Medium-Term Development Plan 2010-2014 on January 20th, 2010 that becomes a guideline for development activities in Indonesia for five-year period. There are three pillars for development Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 GOVERNMENT EXPENDITURE AND ECONOMIC GROWTH: AN EMPIRICAL STUDY IN INDONESIA Wesly Febriyanta Sinulingga strategy: pro-growth, pro-poor, pro-jobs. This plan indicates government commitment to not only increase economic growth but also reduce poverty. The implementation of the National Medium-Term Development Plan is reflected by decreasing current expenditures and increasing expenditures for capital formulation for projects/programs that eventually stimulate growth, reduce poverty, and create jobs. Government expenditure can affect economic growth positively and the poverty rate negatively (Fan et al. 2000, 2004; Fosu, 2010; Hariadi, 2009). However, income inequality, measured by GINI ratio, demonstrates an increasing trend. Figure 5 depicts economic growth, poverty, and income inequality trend in Indonesia in the last fifteen years. Given an increase in economic growth and a decrease in the poverty rate, Indonesia still encounters income inequality problem that rises over time. Growth itself is not sufficient. It should be sustainable, sustained and inclusive (Mckay & Sumner, 2008). High initial level of inequality can be a barrier for the effectiveness of economic growth to reduce poverty while growing inequality reduces poverty directly for a given level of growth (Fosu, 2010). Economic growth not only can affect poverty but also can affect income distribution in the economy. Economic growth can alleviate poverty but also increase income inequality, although the effect is smaller than the reduction in poverty. Hence, government program to induce economic growth is not a trade-off to poverty alleviation (Hariadi, 2009). However, the trend of economic growth in Asia has been both less inclusive and less pro-poor. This trend can be redressed by increasing spending on health, education, and social safety nets; reforming labor markets to enhance the labor share of total income; to reform financial systems more inclusive (Balakrishnan et al., 2013). Other suggestions are to redistribute the benefits of growth through pro-poor public expenditure and to increase the rate of job creation (Mckay & Sumner, 2008). There exists a trade-off between economic growth and income redistribution. If government aggressively redistributes income, economic growth will be lower significantly (Scully, 2008; Benhabib, 2003). Income redistribution through tax structure, for instance, will discourage high-income individuals to work harder. Economic growth raises income inequality by shifting the share of market income to the highest quintile, at the expense of the other income quintiles (Scully, 2008). 5. CONCLUSION Indonesia has become one of the fastest growing countries in the world amid crises in the United States and European Union countries. Government spending is perceived as an important factor in determining the level of output produced in the economy. Aligning with economic growth trend, government expenditure has increased in the last few years that eventually could Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 contribute to both regional and national economic growth. This paper examines the relationship between government expenditure, measured by government expenditure for capital formulation or capital expenditure, and economic growth, measured by regional GDP in 33 provinces in Indonesia during the period of 2007 to 2012. The result indicates that there is a positive and significant effect of capital expenditure on regional economic growth. Local government can increase economic growth by providing better access and facilities to public infrastructures that increase human capital and reduce transaction costs. Better access to health and education facilities can increase individuals’ capacity and productivity. Furthermore, this study finds that local government can increase its regional GDP by encouraging investment, both from domestic and foreign investment. Foreign direct investment, for example, is associated with technology transfer that can increase efficiency in production. Related to individual characteristics, this study indicates that provinces in Java are growing faster than other provinces due to better infrastructures and facilities. However, there is no evidence that population growth increases regional GDP in Indonesia. Economic growth in developing countries like Indonesia is perceived less pro-poor and less inclusive. Thus, economic growth is necessary to be sustainable, sustained and inclusive. The trend shows that economic growth moves in an opposite direction with poverty and in-line with income inequality, measured by GINI ratio. Government should allocate spending to induce growth, redistribute the benefits of growth through pro-poor expenditure and increase job creation. 6. POLICY IMPLICATION AND LIMITATION The results of this study imply that policy makers can stimulate economic growth by nurturing government expenditure on capital formulation and encouraging private sector to invest through foreign direct investment and domestic direct investment. Nevertheless, economic growth should not be the main target because economic trend shows that an increase in economic growth is not only followed by poverty alleviation but also by increasing income inequality. Government of Indonesia should pay more attention on differences in initial level of public infrastructures and facilities among provinces in Indonesia. These differences result in different economic growth rate and can create inequality among provinces. Government should not allocate expenditures to certain provinces that make inequality worse. It should be stressed that there are some caveats in this study. First, the short period of time might have been a lack in this paper. For further research, a longer time series might help to better explain the effects of 49 GOVERNMENT EXPENDITURE AND ECONOMIC GROWTH: AN EMPIRICAL STUDY IN INDONESIA Wesly Febriyanta Sinulingga the government spending on economic growth. In addition, this study does not accommodate the level of openness in trade, such as regional import and export because of data availability. Lastly, there is no technological change factor accommodated in the determination of economic growth. Cobb-Douglas production function determines technology as one of growth factors. The importance of technology in the economy is confirmed by Romer (1990) and Barro (1991). ACKNOWLEDGEMENTS I would like to express my special appreciation to my advisor during the Researcher’s Training Batch XI at Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Professor I Wayan Rusastra, who keeps assisting and encouraging my research. I would also dedicate my thanks to Prof. Shiferaw Gurmu from Georgia State University who inspires me to revise my Econometrics paper on government expenditure and economic growth issues. REFERENCES Agell, J., Lindh, T., and Ohlsson, H. (1999): Growth and the Public Sector: A Reply. European Journal of Political Economy 15:2: 359-366. Alexiou, C. (2009): Government Spending and Economic Growth: Econometric Evidence from The South Eastern Europe (SEE). Journal of Economics And Social Research 11(1): 1-16. Arpaia, A. and Turrini, A. (2008): Government Expenditure and Economic Growth in the EU: Long-run Tendencies and Short-term Adjustment. Economic Papers. European Commission. Balakrishnan, R., Steinberg, C., and Syed, M. (2013): The Elusive Quest for Inclusive Growth: Growth, Poverty, and Inequality. Working Paper. IMF. Barro, R. J. (1991): Economic Growth in a Cross-Section of Countries. Quarterly Journal of Economics 106: 407-43. Benhabib, J. (2003): The Tradeoff between Inequality and Growth. Annals of Economics and Finance 4: 329-345. Carkovic, M. and Levine, R. (2005): Does foreign direct investment accelerate economic growth?, in T. Moran, E. Graham & M. Blomström, eds, ‘Does Foreign Direct Investment Promote Development?’, Center for Global Development and Institute for International Economics, Washington DC, chapter 8, pp. 195–220. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (2013): Available at http://www.djpk.kemenkeu.go.id/attachments/ article/345/deskripsi%20analisis%20apbd%20 2013%20pdf-1.pdf (accessed on 10.17.2014) Ekelund, Robert B. Jr. and Hebert, Robert F., 2007, “A History of Economic Theory and Method”, 5th Edition, Illinois: Waveland Press Inc. Fan, S., P. Hazell, and Thorat, S. (2000): Government spending, agricultural growth, and poverty in 50 rural India. American Journal of Agricultural Economics 82 (4): 1038-1051. Fan, S., Zhang, X., and Rao, N. (2004): Public Expenditure, Growth, and Poverty Reduction in Rural Uganda. Discusion Paper. International Food Policy Research Institute. Fan, S., Huong, P., and Long, T. (2004): Government Spending and Poverty Reduction in Vietnam. Available at http://siteresources.worldbank.org/INTPRS1/Re sources/383606-1106667815039/gov_spending (accessed on 10.18.2014) Fan, S. and Saurkar, A. (2006): Public Spending in Developing Countries: Trends, Determination, and Impact. Available at http://www.ifpri.org/sites/default/files/public ations/eptdp99.pdf (accessed on 10.18.2014) Fosu, A. K. (2010): Growth, Inequality and Poverty Reduction in Developing Countries: Recent Global Evidence. Background paper for the Global Development Outlook 2010: Shifting Wealth and the Implications for Development. OECD Development Centre. Hansson P. and Henrekson M. (1994): A New Framework for Testing the Effect of Government Spending on Growth and Productivity. Public Choice 81: 381-401. Hariadi, P. (2009): Relationship among Economic Growth, Income Distribution and Poverty in Central Java. Economic Journal of Emerging Markets 1(3): 231-242. Hong, H. and Ahmed, S. (2009): Government Spending on Public Goods: Evidence on Growth and Poverty. Economic and Political Weekly 44: 102108. Hsieh, E. and Lai, K. (1994): Government Spending and Economic Growth: the G-7 Experience. Applied Economics 26: 535-542. KPMG Siddharta and Widjaja. (2013): Investing in Indonesia 2013. KPMG Indonesia. Available at http://www.kpmg.com/Ca/en/External%20Doc uments/investing-in-indonesia-2013.pdf (accessed on 10.12.2014) Kweka, J.P. and Morrissey, O. (2000): Government spending and economic growth in Tanzania, 1965-1996. Research Paper. Centre for Research in Economic Development and International Trade, University of Nottingham, no 00/6. Loizides J. and Vamvoukas, G. (2005): Government Expenditure and Economic Growth: Evidence from Trivariate Causality Testing. Journal of Applied Economics Vol VIII: 125-152 Martínez-Vazquez, J. and M. McNab, R. (2006): Fiscal Decentralization, Macrostability, and Growth. Hacienda Pública Española /Revista de Economia Publica 179: 25–49. Mckay, A. and Sumner, A. (2008): Economic Growth, Inequality, and Poverty Reduction: Does ProPoor Growth Matter? Institute of Development Studies in Focus Issue 03.2. Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 GOVERNMENT EXPENDITURE AND ECONOMIC GROWTH: AN EMPIRICAL STUDY IN INDONESIA Wesly Febriyanta Sinulingga Ramayandi, A. (2003): Economic Growth and Government Size in Indonesia: Some Lessons For The Local Authorities. Working Paper in Economics and Development Studies, Padjajaran University. Romer, P.M. (1990): Endogenous Technological Change. The Journal of Political Economy 98:5:2: S71-S102. Scully, G.W. (2008): Economic Freedom and the Tradeoff between Inequality and Growth. Policy Report No. 309. National Center for Policy Analysis. Sriyana, J. (2011): The Effect of Budget Deficit Shock on Government Spending: An Empirical Case in Indonesia. International Journal of Business and Development Studies 3: 41-58. Wooldridge, J.M. (2009): Introductory Econometrics, A Modern Approach. 4th Edition. Ohio: SouthWestern Cengage Learning. Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 51 Halaman ini sengaja dikosongkan This page intentionally left blank 52 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015, Halaman 53-76 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA JURNAL BPPK RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS (GFS) DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL Puput Waryanto Balai Diklat Keuangan Makassar, Indonesia; Email: [email protected] INFO ARTIKEL ABSTRAK SEJARAH ARTIKEL Diterima Pertama 3 Maret 2015 The government need to realize Government Finance Statistics (GFS) could be the right choice because a prove that the application of GFS in some countries was relevant to review fiscal policy, by the regression equation Y = 1,810 - 0,838X where X = application of the GFS and Y= fiscal policy. It was negative and significant influence. Factor GFS application could assess fiscal policy by contribution of 81,1%. The preparation of the GFS did not terminate the obligation in preparing financial statements for a common purpose, which was at the level of central government known as LKPP (Government Financial Statements). Use of basic principles which were adequate in the GFS, consist of the accrual basis, coverage of public sector, and consolidation also supported this GFS as a basis for decision making on fiscal policy more precisely than a general purpose financial statements. Differences between GFS with government accounting standards (the general government sector), as well as between the GFS with financial accounting standards (public enterprise sector), ranging from the purpose, scope, reporting entities, criteria for recognition, measurement, revaluation and changes in value, and the integration of current and position, were obstacles and challenges for all parties, especially the central government in charge of developing systems, procedures, and resources needed to develop the GFS in Indonesia. Dinyatakan Dapat Dimuat 12 Juni 2015 KATA KUNCI: GFS Indonesia Relevansi Penerapan Kebutuhan pemerintah untuk menerapkan Government Finance Statistics (GFS) dapat menjadi pilihan yang tepat karena telah terbukti bahwa dengan penerapan GFS pada beberapa negara dapat secara relevan menilai kebijakan fiskal, dalam persamaan regresi Y = 1,810-0,838X di mana X = penerapan GFS dan Y = kebijakan fiskal. Pengaruh bersifat negatif dan signifikan. Faktor penerapan GFS dapat menilai kebijakan fiskal dengan kontribusi 81,1%. Adapun penyusunan GFS tidak menggugurkan kewajiban penyusunan laporan keuangan untuk tujuan umum, yang dalam tataran pemerintah pusat dikenal dengan LKPP (Laporan Keuangan Pemerintah Pusat). Penggunaan prinsip-prinsip dasar yang memadai dalam GFS, yaitu basis akrual, cakupan sektor publik, dan konsolidasi juga mendukung GFS ini sebagai dasar yang tepat dalam mengambil kebijakan fiskal dibandingkan dengan sekadar laporan keuangan untuk tujuan umum. Perbedaan antara GFS dengan standar akuntansi pemerintah (pada sektor pemerintahan umum), serta antara GFS dengan standar akuntansi keuangan (pada sektor perusahaan publik), mulai dari tujuan, cakupan, entitas pelaporan, kriteria pengakuan, pengukuran, revaluasi dan perubahan nilai, serta integrasi arus dan posisi, merupakan hambatan sekaligus tantangan bagi semua pihak khususnya pemerintah pusat sebagai penanggung jawab dalam mengembangkan sistem, prosedur, dan sumber daya yang dibutuhkan dalam mengembangkan GFS di Indonesia. 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam pemerintahan, kebijakan fiskal memegang peranan yang penting dalam mengatur kestabilan ekonomi nasional. Tentunya, dalam mengambil kebijakan fiskal harus didasari atas pertimbangan sistmatis dan logis berupa informasi yang akurat yang sebagian besar berasal dari laporan keuangan yang disusun dari berbagai sektor, mulai dari sektor pemerintahan umum, hingga sektor korporasi publik. Implikasi kebijakan fiskal dapat dilihat dari struktur pendapatan, pembebanan, arus dan posisi keuangan, serta beberapa indikator penting lainnya yang mencakup semua sektor tersebut. Kebijakan fiskal Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014 akan didasari oleh analisis yang kurang relevan ketika didasari hanya dari laporan keuangan pada sektor umum pemerintahan, karena dampak layanan pemerintah terhadap masyarakat juga diberikan melalui keberadaan korporasi publik, baik korporasi publik keuangan maupun korporasi publik nonkeuangan atas penyediaan barang/jasa publik (IMF, 2014: 1-2). Selama ini, pemerintah pusat hanya menyajikan laporan keuangan untuk tujuan umum (general purpose financial statements) sebagaimana disampaikan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah Nomor 11 tentang Laporan Keuangan Konsolidasian. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan bahwa 53 RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL Puput Waryanto untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara, laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah perlu disampaikan secara tepat waktu dan disusun mengikuti standar akuntansi pemerintahan. Sehubungan dengan itu, UU Nomor 1 Tahun 2004 lebih lanjut mengamanatkan agar laporan keuangan pemerintah dapat menghasilkan statistik keuangan yang mengacu kepada manual Statistik Keuangan Pemerintah (Government Finance Statistics/GFS) sehingga dapat memenuhi kebutuhan analisis kebijakan dan kondisi fiskal, pengelolaan dan analisis perbandingan antarnegara. Dalam penyajian GFS, konsolidasi dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan sektoral, atau fungsi sedangkan kondisi pelaporan keuangan untuk tujuan umum hingga saat ini tidak dapat melakukan konsolidasi sejauh itu. Hal ini bukanlah karena masalah kemampuan, tetapi karena perbedaan tujuan penyusunan laporan keuangan yang belum dicanangkan untuk basis statistik ini. Sebagai langkah yang baik, pada akhir tahun 2014, Menteri Keuangan telah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 275/PMK.05/2014 tentang Manual Statistik Keuangan Pemerintah Indonesia (Mansikapi). Meskipun telah memiliki dasar hukum, dalam menjalankan amanah ini, pemerintah perlu melakukan kajian mendalam mengenai pentingnya implementasi Government Financial Statistics ini, karena melihat adanya kebutuhan sarana dan prasarana, serta SDM yang lebih daripada yang ada sekarang. Sistem pelaporan yang mumpuni pastinya, akan menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi Menteri Keuangan karena keterkaitan GFS sangatlah luas, mulai dari Sistem Neraca Nasional yang berbeda dengan Bagan Akun Standar, serta perbedaan prinsip, pengakuan, dan integrasi arus dan posisi. Dasar pengaturan GFS di berbagai negara, telah ditetapkan oleh IMF melalui GFSM (Government Finance Statistics Manual) 2014, yang merupakan bagian dari serangkaian pedoman GFS internasional. GFSM 2014 pembaruan dari GFSM 2001, dan merupakan edisi ketiga dari pedoman yang menggambarkan kerangka statistik makroekonomi secara khusus, yakni kerangka statistik keuangan pemerintah (GFS), yang dirancang untuk mendukung analisis fiskal. Pedoman ini diterbitkan oleh Departemen Statistik IMF dalam rangka memberikan petunjuk dalam pengembangan dan penerapan statistik, dan diterbitkan sebagai bentuk pelayanan kepada seluruh dunia menuju akuntabilitas dan transparansi keuangan. GFSM 2014 digunakan oleh penyusun GFS, analis fiskal, dan pengguna data fiskal lainnya. Pedoman ini juga menjelaskan hubungan GFS dengan standar akuntansi yang berlaku secara internasional sehingga mungkin berguna bagi pihak yang terlibat dalam mereformasi sistem akuntansi pemerintah. Manual ini terutama fokus pada deskripsi konseptual, klasifikasi, dan pedoman konseptual untuk mengumpulkan dan menguraikan GFS, tetapi tidak menjelaskan metode statistik yang digunakan. 54 Analisis fiskal terus berkembang sebagai respons terhadap meningkatnya kompleksitas merumuskan dan mengevaluasi kebijakan fiskal. Secara khusus, globalisasi menuntut penggunaan data yang dapat dibandingkan secara internasional, di saat muncul kekhawatiran tentang kesinambungan fiskal yang meningkatkan permintaan informasi tentang neraca pemerintah dan sektor publik yang lebih luas. GFS merekomendasikan arus dan posisi ekuitas yang terintegrasi, dicatat dengan basis akrual, sedangkan basis kas digunakan untuk menilai kendala likuiditas pemerintah. Hal ini diakui bahwa penerapan sistem terintegrasi GFS akan membutuhkan waktu penyesuaian berdasarkan kebutuhan dan keadaan negara yang bersangkutan. Secara khusus, banyak negara perlu merevisi sistem akuntansi yang mereka gunakan ke dalam basis akrual. Kebijakan fiskal adalah penggunaan tingkat dan komposisi beban dan pendapatan sektor umum pemerintah dan sektor publik, dan akumulasi yang terkait terhadap aset dan kewajiban pemerintah untuk mencapai tujuan seperti stabilisasi ekonomi, realokasi sumber daya, dan redistribusi pendapatan (IMF, 2014: 404). Statistik fiskal dapat digunakan untuk menganalisis kapasitas pemerintah; kontribusinya terhadap permintaan agregat, investasi, dan tabungan; dampak kebijakan fiskal terhadap perekonomian, termasuk penggunaan sumber daya, kondisi moneter, dan utang nasional; beban pajak; proteksi tarif; dan jaring pengaman sosial. Selain itu, para analis telah menjadi semakin tertarik pada kebijakan fiskal, defisit struktural, menilai efektivitas pengeluaran pengentasan kemiskinan, kesinambungan kebijakan fiskal, utang bersih, kekayaan bersih, dan klaim kontinjensi terhadap pemerintah, termasuk kewajiban untuk pensiun jaminan sosial. Beberapa manfaat penerapan GFS ini perlu diteliti lebih lanjut dengan melakukan penelitian atas penerapan GFS ini pada beberapa negara yang telah menerapkan GFS. Dari hasil penelitian, dapat diketahui mengenai relevansi penerapan GFS dalam menilai Kebijakan Fiskal. Dengan demikian, akan menambah keyakinan pemerintah dalam menentukan langkah tepat ke depan dalam memilih menggunakan GFS atau tidak. Dalam kondisi yang didorong untuk menggunakan GFS, pemerintah RI melalui Kementerian Keuangan telah berusaha menyelaraskan kebutuhan pelaporan keuangan nasional sesuai dengan tuntutan dunia, mengingat kegunaan GFS yang dapat dapat menyentuh level kebijakan fiskal nasional. Oleh karenanya, penulis berusaha melakukan studi komparasi, studi kasus, dan analisis atas berbagai pertanyaan yang muncul: 1. 2. Apakah penerapan GFS bisa dianggap relevan dalam menilai keberhasilan kebijakan fiskal? Bagaimanakah tantangan dan hambatan pemerintah telah menerapkan GFS? Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL Puput Waryanto 2. KERANGKA TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. Government Financial Statistics (GFS) Evolusi pedoman statistik internasional untuk mengkompilasi GFS dimulai pada awal 1970-an, dengan rancangan GFS Manual. Untuk menampung masukan, draft ini diedarkan dalam bahasa Inggris, Spanyol, dan Perancis kepada pemerintah, bank sentral, kantor statistik pusat, dan organisasi internasional, serta dibahas pada sejumlah seminar regional. Berdasarkan masukan tersebut, GFSM 1986 diterbitkan sebagai panduan untuk mengkompilasi GFS tetapi tidak secara langsung sesuai dengan statistik makroekonomi lainnya. GFSM 2001 memperbarui pedoman terorganisasi secara internasional untuk menyusun statistik yang diperlukan untuk analisis fiskal yang ditetapkan oleh GFSM 1986. Pedoman yang telah direvisi itu diselaraskan dengan standar yang sesuai dengan pedoman statistik ekonomi makro lainnya yang diakui secara internasional, konsisten dengan tujuan mendukung analisis fiskal. Selain itu, untuk pertama kalinya pedoman direvisi dengan pendekatan korporasi, yang menggunakan neraca terpadu untuk menyusun dan menyajikan GFS. GFSM 2014 memperbarui pedoman yang diakui secara internasional untuk menyusun statistik yang diperlukan untuk analisis fiskal yang telah ditetapkan oleh GFSM 2001. Revisi diselaraskan dengan update pada panduan dan manual statistik ekonomi makro lainnya, yaitu sistem menyeluruh Sistem Neraca Nasional 2008 (2008 SNA) dan dua manual khusus: Manual Neraca Pembayaran dan Posisi Investasi Internasional (BPM6); dan Manual Statistik Moneter dan Keuangan (MFSM). Pembaruan untuk manual ini merujuk pada 2008 SNA untuk menghindari penafsiran yang berbeda. Untuk masalah yang berhubungan dengan hutang, GFSM 2014 dilengkapi dengan: Statistik Utang Sektor Publik: sebuah Panduan untuk Compiler dan Pengguna (panduan PSDS); dan Statistik Utang Luar Negeri: Panduan untuk Compiler dan Pengguna, 2013 (2013 EDS Guide). Bahasan di dalam GFS sangatlah luas, salah satunya adalah mengenai Gross Operating Balance yang terdapat di dalam Laporan Operasional. Laporan operasional adalah ringkasan transaksi, yang berasal dari interaksi yang disepakati bersama antara unit institusi, pada suatu periode akuntansi yang mengakibatkan perubahan posisi keuangan. Laporan operasional mencatat semua transaksi selama periode akuntansi, yang diklasifikasikan menjadi pendapatan, beban, perolehan aset non-keuangan neto (net acquisitions of nonfinancial assets), perolehan aset keuangan neto (net acquisitions of financial assets), atau keterjadian kewajiban neto (net incurrences of liabilities). Penandingan antara pendapatan dan beban menghasilkan gross operating balance. Sesuai dengan GFS Manual 2014, pendapatan adalah semua transaksi yang meningkatkan kekayaan neto, yang terdiri dari pajak, kontribusi sosial, hibah dan pendapatan lainnya, yang terdiri atas: (1)Pajak Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 merupakan transfer wajib tanpa imbalan langsung yang diterima oleh sektor pemerintah umum;(2) Kontribusi sosial merupakan pendapatan aktual atau pendapatan yang diperhitungkan skema asuransi sosial dalam rangka penyediaan manfaat asuransi sosial yang terutang; (3) Hibah adalah transfer tidak wajib yang diterima dari pemerintah lain/organisasi internasional dalam bentuk kas dan non-kas (barang/ jasa); (4) Pendapatan lain mencakup semua transaksi pendapatan yang tidak diklasifikasikan sebagai pajak, kontribusi sosial atau hibah, yang dapat meliputi penjualan barang dan jasa, bunga dan jenis lain dari pendapatan atas kekayaan, transfer sukarela dalam bentuk kas dan non-kas selain hibah, serta denda dan penalti. Di dalam laporan operasional, pendapatan dicatat dengan basis akrual. Di dalam Laporan Sumber dan Penggunaan Kas, pendapatan dan beban dicatat dengan bais kas. Menurut prinsip akrual GFS, pajak penghasilan dan kontribusi sosial merupakan pendapatan yang harus dikaitkan dengan periode dimana pendapatan tersebut diperoleh, meskipun mungkin ada penundaan yang signifikan antara akhir periode pelaporan dan batas tenggang waktu bagi wajib pajak. Secara konseptual, ketika menggunakan basis akrual, waktu antara saat transaksi pendapatan timbul dan pembayaran diterima (atau dibuat dalam kasus restitusi) dijembatani dengan mencatat transaksi aset atau kewajiban keuangan (jurnal penyesuaian). Beban adalah semua transaksi yang mengurangi kekayaan neto, yang meliputi: (1) Kompensasi pegawai adalah remunerasi dalam bentuk kas atau nonkas yang terutang kepada pegawai sebagai imbalan pekerjaan; (2)Penggunaan barang dan jasa adalah barang dan jasa yang digunakan dalam proses produksi atau diperoleh untuk dijual kembali dikurangi dengan perubahan neto persediaan barang dan jasa tersebut; (3)Penggunaan/konsumsi aset tetap (Penyusutan) adalah penurunan nilai aset tetap selama periode akuntansi sebagai akibat penurunan fisik, kadaluarsa normal, dan kerusakan normal yang tidak disengaja; (4)Bunga adalah beban yang timbul atas penggunaan dana unit lain oleh debitur; (5)Subsidi adalah transfer tahun berjalan yang dibayar oleh unit pemerintah kepada perusahaan dalam rangka memberikan kompensasi atas kerugian operasi, baik berdasarkan tingkat aktivitas produksi atau berdasarkan kuantitas atau nilai barang/jasa yang diproduksi, dijual atau diimpor; (6)Hibah adalah transfer tidak wajib dalam bentuk kas atau non-kas yang dibayarkan ke unit pemerintah umum lainnya atau organisasi internasional. (7) Manfaat sosial adalah transfer tahun berjalan kepada rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan yang timbul atas suatu kejadian seperti sakit, menganggur, pensiun, kebutuhan perumahan atau keadaan keluarga yang dapat dibayarkan dalam kas atau non-kas; (8) Beban lainnya meliputi semua beban yang tidak dapat dimasukkan dalam klasifikasi lain. Pengakuan basis akrual atas beban sejalan dengan pendapatan, jadi akan menerapkan prinsip penandingan waktu yang sama. 55 RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL Puput Waryanto Tabel 1. Perbedaan Konseptual Perbedaan Tujuan Scope Entitas pelaporan Kriteria pengakuan Pengukuran Revaluasi dan perubahan nilai Integrasi arus dan posisi Government Finance Statistics Standar Akuntansi Pemerintah Analisas dan evaluasi outcome kebijakan fiskal. 2) Menetukan dampak ekonomi, bandingkan dengan internasional. Sektor pemrintah umum dan sektor publik. Mencatat transaksi dan aktivitas fiskal di luar sektor pemerintah umum. Unit institusi dan sektor: Unit pelaporan statistik adalah unit institusi: unit yang memiliki kemampuan untuk memiliki aset, memunculkan kewajiban dan terlibat dalam aktivitas ekonomi. Entitas pelaporan dapat berupa unit institusi, namun fokusnya pada kelompok unit institusi. Pengendalian dan sifat aktivitas ekonomi menentukan konsolidasi dan cakupan entitas pelaporan. Sektor pemerintah umum tidak mencakup unit institusi yang bergerak dalam aktivitas pasar. Pengakuan peristiwa ekonomi: Berdasarkan basis akrual dengan mencatat transaksi pada saat nilai ekonomis terjadi, diubah, ditukar, ditransfer, dan dihapuskan. Dalam rangka mempertahankan simeteris antara GFS dan SAP, perbedaan pengakuan diungkapkan dalam memorandum statistik keuangan pemerintah, seperti dalam hal penyisihan piutang tidak tertagih. Harga pasar terkini: Harga pasar terkini digunakan untuk semua arus dan posisi aset/kewajiban. Penilaian dapat dilakukan dengan metode penilaian alternatif jika tidak tersedia pasar aktif. Evaluasi kinerja dan posisi keuangan, akuntabilitas, dan pengambilan keputusan pengguna. 1) Semua revaluasi dan perubahan volume dicatat dalam laporan arus ekonomi lainnya: Pemisahan berguna untuk analisis fiskal, berdasarkan revaluasi dan perubahan volume yang tidak terkait langsung dengan keputusan kebijakan fiskal yang berada dalam kendali pemerintah. GFS memisahkan antara perubahan nilai dan volume. GFS mencakup pencatatan yang komprehensif atas transaksi dan arus ekonomi lainnya sehingga tercipta integrasi penuh arus dan posisi serta rekonsiliasi perbedaan antara neraca awal dan akhir periode. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah. SAP tidak mencakup BUMN/BUMD. Entitas ekonomi dan konsolidasi: Unit pelaporan untuk laporan keuangan adalah entitas ekonomi: kelompok entitas yang mencakup satu atau lebih entitas yang dikendalikan. Pengendalian adalah kriteria utama yang menentukan konsolidasi. Entitas pelaporan pemerintah konsolidasian dapat mencakup kementerian negara/lembaga dan pemerintah daerah. Badan Usaha Milik Negara/Daerah menerapkan standar akuntansi keuangan. Pengakuan peristiwa masa lalu dengan tingkat kemungkinan arus kas keluar: Mengakui kewajiban, termasuk provisi, ketika kejadian ekonomi mas alalu terjadi, jumlahnya dapat diestimasi degan andal, dan kemungkinan arus kas keluar cukup tinggi. Faktor-faktor tersebut memungkinkan terjadinya pengakuan tanpa melibatkan pihak lain untuk mengakui jumlah yang sama secara simetris. Nilai wajar, harga perlehan, dan dasar lain: Aset dan kewajiban yang sejenis dinilai secara konsisten dengan pengungkapan dasar penilaiannya. Dalam SAP, aset dinilai dengan harga perolehan sedangkan utang dinilai menurut jumlah yang harus dibayar pemerintah ketika jatuh tempo. Perbedaan dengan nilai wajar diungkapkan. Keuntungan dan kerugian yang direalisasikan dan belum direalisasikan: Sebagian keuntungan/kerugian karena revaluasi atau perubahan volume dilaporkan dalam laporan kinerja keuangan dan laporan perubahan aset neto/ekuitas. Sebagian lagi sama sekali tidak dilaporkan. SAP mencakup pencatatan yang komprehensif atas transaksi, sehingga tercipta integrasi penuh arus dan posisi serta rekonsiliasi perbedaan antara neraca awal dan akhir periode. Pengertian transaksi dalam SAP mencakup arus ekonomi lainnya dalam GFS. Sumber: diolah dari Mansikapi, 2015 Berbagai bentuk laporan keuangan yang dihasilkan dalam GFS serta keterkaitannya antarlaporan tersebut, dapat dilihat dalam lampiran 1. Sumber informasi utama untuk mengkompilasi Statistik Keuangan Pemerintah adalah sistem akuntansi dan pelaporan yang dikembangkan berdasarkan standar akuntansi. Konsep akuntansi dalam standar akuntansi berbasis akrual pada umumnya konsisten dengan konsep yang diterapkan dalam Statistik Keuangan Pemerintah. Namun 56 demikian, terdapat beberapa perbedaan yang tidak dapat dihindari antara statistik keuangan pemerintah dan standar akuntansi pemerintahan. Statistik keuangan pemerintah memiliki kesamaan dengan standar akuntansi pemerintahan dalam hal aturan, konsep dan prosedur akuntansi. Sistem akuntansi berbasis akrual yang komprehensif meningkatkan kualitas sumber data yang dipergunakan dalam statistik keuangan pemerintah. Pemerintah dapat mengembangkan bagan akun Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL Puput Waryanto standar yang dapat secara efektif menghasilkan data yang diperlukan dalam akuntansi dan statistik keuangan pemerintah. Perbedaan antara standar akuntansi pemerintahan dan statistik keuangan pemerintah terdiri dari: perbedaan konseptual, dan perbedaan penyajian dan istilah. Perbedaan konseptual disajikan dalam tabel 1. Perbedaan penyajian dan istilah terdiri dari: 1. Perbedaan nama akun yang serupa yang digunakan dalam SAP dan Statistik Keuangan Pemerintah. 2. Jenis struktur klasifikasi dalam neraca, laporan operasional dan laporan arus kas. 3. Statistik Keuangan Pemerintah menetapkan tingkat detail minimum atas bagan akun standar komprehensif yang dilaporkan dalam laporan statistik keuangan pemerintah, sedangkan standar akuntansi pemerintah menetapkan bagan akun standar minimum dengan memberikan prmsip dan panduan untuk akun turunan yang dilaporkan dalam laporan keuangan. 4. Cara pengungkapan informasi yang berbeda dalam dua kerangka pelaporan tersebut. 5. Definisi dan/atau nilai total akun yang berbeda. 2.2. Landasan Penerapan GFS di Indonesia UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan bahwa untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara, laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah perlu disampaikan secara tepat waktu dan disusun mengikuti standar akuntansi pemerintahan. Sehubungan dengan itu, UU Nomor 1 Tahun 2004 lebih lanjut mengamanatkan agar laporan keuangan pemerintah dapat menghasilkan statistik keuangan yang mengacu kepada manual Statistik Keuangan Pemerintah (Government Finance Statistics/GFS) sehingga dapat memenuhi kebutuhan analisis kebijakan dan kondisi fiskal, pengelolaan dan analisis perbandingan antarnegara. Penjelasan UU No. 23 Tahun 2009 tentang Pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2007 menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan pengelolaan keuangan negara dan upaya perbaikan untuk menindaklanjuti temuan pemeriksaan BPK, selain yang diamanatkan dalam Undang-Undang tersebut, Pemerintah perlu melakukan beberapa hal berikut sebagaimana direkomendasikan oleh DPR, yaitu antara lain agar Pemerintah meningkatkan kualitas informasi keuangan pemerintah daerah sehingga dalam jangka panjang dapat menyajikan laporan statistik keuangan pemerintah (Government Finance Statistics). Laporan hasil reviu BPK atas pelaksanaan transparansi fiskal tahun 2010 meng-highlight signifikansi dari statistik keuangan pemerintah melalui reviu atas unsur transparansi fiskal: Kejelasan Peran dan Tanggung Jawab, di mana BPK mereviu bahwa peraturan yang mengatur peran dan fungsi lembaga pemerintahan, dan antar lembaga Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 pemerintah dan sektor publik dan swasta telah diatur. Namun fungsi pemerintah secara keseluruhan belum terlihat karena laporan LKPD yang belum terintegrasi dengan LKPP. Ketersediaan Informasi bagi Publik, di mana BPK mereviu bahwa secara umum pemerintah telah melakukan upaya untuk berkomitmen dalam menyediakan informasi fiskal kepada publik. Namun, pemerintah belum sepenuhnya dapat menyajikan informasi fiskal mengenai, antara lain, integrasi posisi fiskal nasional (gabungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah). Laporan Keuangan Pemerintah Pusat merupakan konsolidasi dari laporan keuangan kementerian/lembaga, namun belum termasuk laporan keuangan pemerintah daerah. Sejalan dengan itu, Pemerintah telah menerbitkan PP 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang menggantikan PP 24 tahun 2005. Pasal 6 ayat (2) PP Nomor 71 Tahun 2010 mengatur bahwa pemerintah menyusun Pedoman Umum Sistem Akutansi Pemerintah yang akan menjadi acuan untuk penyusunan Sistem Akuntansi Pemerintah pusat dan daerah, yang diperlukan dalam rangka mewujudkan konsolidasi fiskal dan statistik keuangan pemerintah secara nasional. Dalam rangka pelaksanaan tugas Kanwil Ditjen Perbendaharaan sebagai Representasi Kementerian Keuangan di daerah di bidang pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.01/2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang antara lain mengamanatkan Kanwil Ditjen Perbendaharaan untuk menyusun Laporan Keuangan Konsolidasian Pusat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan Laporan Statistik Keuangan Pemerintah tingkat wilayah. Sejalan dengan itu, Ditjen Perbendaharaan telah menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-41/PB/2013 tanggal 12 November 2013 tentang petunjuk teknis penyusunan laporan keuangan pemerintah konsolidasian tingkat wilayah dan laporan GFS tingkat wilayah dalam rangka memberikan pedoman bagi Kanwil Ditjen Perbendaharaan menyusun laporan dimaksud. Selanjutnya, dalam menciptakan kepastian hukum tentang penerapan GFS di Indonesia, dengan mengadopsi GFS Manual 2014, Menteri Keuangan telah menetapkan PMK Nomor 275/PMK.05/2014 tentang Manual Statistik Keuangan Pemerintah Indonesia (Mansikapi). Penerbitan Peraturan Menteri Keuangan ini mengikuti beberap dasar hukum sebelumnya yang mendorong penyusunan GFS, serta rekomendasi dari IMF. 2.3. Kebijakan Fiskal Barron, et. al. (1988: 552) menyatakan bahwa kebijakan fiskal adalah tindakan nyata pemerintah untuk mempengaruhi ekonomi ke arah tertentu, dengan cara memanipulasi pajak, pengeluaran pemerintah, atau kedua-duanya. Jika digambarkan secara keseluruhan, di mana pajak merupakan 57 RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL Puput Waryanto Gambar 1. Kerangka Pikir pendapatan dan pengeluaran pemerintah adalah beban, maka kerangka kinerja yang menjadi bahasan utama kebijakan fiskal adalah pendapatan dan beban (dalam basis akrual) atau pemasukan dan pengeluaran (dalam basis kas). Sebagai institusi publik, negara harus melibatkan masyarakat, dalam artian bahwa kebijakan pemasukan diharapkan dapat dioptimalkan dari masyarakat yang kemudian disalurkan kembali kepada masyarakat. Dari sudut ekonomi makro, kebijakan fiskal dapat dibedakan menjadi dua yaitu Kebijakan Fiskal Ekspansif dan Kebijakan Fiskal Kontraktif. Kebijakan Fiskal Ekspansif adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah, pada saat munculnya kontraksional gap. Konstraksional gap adalah suatu kondisi dimana output potensial (YF) lebih tinggi dibandingkan dengan output aktual (Y1). Pada saat terjadi kontraksional gap ini kondisi perekonomian ditandai oleh tingginya tingkat 58 pengangguran. Kebijakan ekspansif dilakukan dengan cara menaikkan pengeluaran pemerintah (G) atau menurunkan pajak (T) untuk meningkatkan output (Y). Kebijakan Fiskal Kontraktif adalah kebijakan pemerintah dengan cara menurunkan belanja negara dan menaikkan tingkat pajak. Kebijakan ini bertujuan untuk menurunkan daya beli masyarakat dan mengatasi inflasi. Baiknya politik anggaran surplus dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan pada saat munculnya ekpansionary gap. Ekspansionary gap adalah suatu kondisi dimana output potensial (Yf) lebih kecil dibandingkan dengan output aktual (Y1). Kebijakan ekspansif dilakukan dengan cara menurunkan pengeluaran pemerintah (G) atau menaikkan pajak (T) untuk mengurangi output (Y). Kebijakan Fiskal merupakan suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL Puput Waryanto Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum. Dalam literatur klasik, terdapat beberapa perbedaan pandangan mengenai kebajikan fiskal, terutama menurut teori Keynes dan teori klasik tradisional menurut Nopirin (2000). Pada prinsipnya Keynes berpendapat bahwa kebijakan fiskal lebih besar pengaruhnya terhadap output daripada kebijakan moneter. Kebijakan fiskal merupakan salah satu tugas Menteri Keuangan karena sesuai Pasal 8 UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan, mempunyai tugas: a) menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro; b) menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN; c) mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran; d) melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan; e) melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan undang-undang; f) melaksanakan fungsi bendahara umum negara; g) menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN; h) melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan undangundang. Untuk memastikan bahwa kebijakan fiskal yang telah dilakukan oleh menteri keuangan telah tepat, perlu diketahui mengenai tujuan dari kebijakan fiskal, yaitu sebagai berikut: 1) Mencapai stabilitas perekonomian, 2) Memacu dan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi, 3) Memperluas dan menciptakan lapangan kerja, 4) Menciptakan terwujudnya keadilan sosial bagi masyarakat, dan 5) Mewujudkan pendistribusian dan pemerataan pendapatan. Dari tujuan ini, penulis dapat menarik sebuah kesimpulan daam rangka pemilihan faktor, bahwa kebijakan fiskal dapat dijelaskan oleh Kesinambungan Fiskal karena dapat menggambarkan keadaan fiskal yang stabil dan baik. Ayumu Yamauchi (2004) berpendapat bahwa kesinambungan fiskal akan terjadi jika nilai sekarang (present value) dari kendala pengeluaran (expenditure constraint) yang akan datang dapat dipenuhi tanpa harus melakukan koreksi atau penyesuaian fiskal untuk mencapai keseimbangan. Joseph Ntamatungiro (2004) menekankan bahwa fiskal akan aman jika terdapat kestabilan rasio utang terhadap PDB. Sementara itu, Edwards (2002) berpendapat bahwa fiskal akan stabil bila rasio utang terhadap PDB bersifat stasioner. Di dalam laporan keuangan pemerintah pusat tahun 2013, dijelaskan bahwa salah satu indikator kesinambungan fiskal adalah rasio utang terhadap PDB (Produk Domestik Bruto). Kesinambungan fiskal yang baik adalah yang stabil dari tahun ke tahun, yang menunjukkan bahwa Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 besaran defisit anggaran selalu sebanding dengan PDB yang ditopang. 2.4. Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai relevansi penerapan GFS dalam menilai Kebijakan Fiskal merupakan hal yang masih awal sehingga penulis tidak dapat memperoleh hasil penelitian sebelumnya yang relevan. Oleh karena itu, dengan keterbatasan yang ada, penulis menyusun penelitian ini. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih perlu dikembangkan melalui penelitianpenelitian selanjutnya, dengan tetap memperhatikan kemanfaatan bagi semua pihak yang berkaitan, terutama pemerintah pusat yang bertanggung jawab dalam penyusunan laporan keuangan pemerintah pusat, dan Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal. 2.5. Hipotesis Penelitian Atas dasar tinjauan literatur yang dipaparkan sebelumnya, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H0 : Penerapan Government Finance Statistics adalah tidak relevan dalam menilai Kebijakan Fiskal. H1 : Penerapan Government Finance Statistics adalah relevan dalam menilai Kebijakan Fiskal 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah unit institusional pada negara-negara yang telah menerapkan Government Finance Statistics. Sampel yang dipilih adalah unit institusional sektor publik pada negaranegara yang telah menyusun laporan Government Finance Statistics pada tahun 2008 s.d. 2012 (5 tahun). Penulis melakukan pengambilan data untuk keperluan penelitian berupa unit institusional sektor publik pada 26 negara. Data mengenai penerapan Government Finance Statistics diperoleh dari International Monetary Fund (IMF) sedankan data mengenai Keijakan Fiskal diperoleh dari World Bank. 3.2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Studi Literatur Studi literatur dilakukan dengan meninjau literatur-literatur yang telah ada dan berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Literatur-literatur tersebut berupa buku cetak, jurnal, skripsi, situs internet, dan sebagainya. Tujuan dari studi literatur menurut Iskandar (2008) adalah untuk menjelaskan, membedakan, meramal dan mengendalikan fenomenafenomena atau gejala-gejala yang berhubungan dengan masalah penelitian. 2. Dokumentasi Teknik dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan dan mengikhtisarkan seluruh data sekunder terkait penelitian yang diperoleh dari sumber data baik berupa data yang dipublikasikan maupun data yang tidak dipublikasikan. 59 RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL Puput Waryanto 3.3. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian adalah data kuantitatif. Data terkait penerapan Government Financial Statistics yaitu Gross Operating Balance dan Debt to GNP Ratio pada beberapa negara yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan dari publikasi internet International Monetary Fund (IMF) dan World Bank. 3.4. Metode Analisis dan Model Penelitian Penelitian ini menggunakan 2 variabel penelitian yang terdiri atas 1 variabel bebas dan 1 variabel terikat. Dalam penelitian ini, penulis telah menetapkan variabel bebas dan variabel terikatnya, yakni: Variabel terikat berupa Kebijakan Fiskal. Variabel ini dijelaskan oleh Kesinambungan Fiskal. Adapun penulis memilih variabel tersebut sebagai variabel terikat di dalam penyusunan ini karena penulis menganggap Kesinambungan Fiskal memegang peranan penting dan diperkirakan merupakan hasil dari kebijakan fiskal dalam sebuah negara, sebagaimana dijelaskan di dalam landasan teori, bahwa kebijakan fiskal bertujuan 1) Mencapai stabilitas perekonomian, 2) Memacu dan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi, 3) Memperluas dan menciptakan lapangan kerja, 4) Menciptakan terwujudnya keadilan sosial bagi masyarakat, dan 5) Mewujudkan pendistribusian dan pemerataan pendapatan. Kesinambungan fiskal dapat merepresentasikan hasil kebijakan fiskal melalui rasio utang terhadap PDB. Joseph Ntamatungiro (2004) menekankan bahwa fiskal akan aman jika terdapat kestabilan rasio utang terhadap PDB. Sementara itu, Edwards (2002) berpendapat bahwa fiskal akan stabil bila rasio utang terhadap PDB bersifat stasioner. Variabel bebas berupa Penerapan GFS. Penerapan GFS secara kuantitatif dapat diperkirakan dari Gross Operating Balance yang terdapat di dalam Laporan Operasional, komponen utama dalam Government Finance Statistics (GFS). Gross Operating Balance ini mencerminkan kemampuan fiskal pemerintah dalam menghasilkan nilai tambah dalam kegiatan operasionalnya, karena merupakan hasil pengurangan beban terhadap pendapatan dalam satu tahun fiskal. Dalam kerangka penelitian ini, ibaratnya penulis membandingkan antara pendapatan negara menurut GFS terhadap kestabilan ekonomi negaranya. Untuk memudahkan pemahaman mengenai variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini, tabel 2 menyajikan secara ringkas definisi operasional variabel tersebut. Tabel 2. Operasionalisasi Variabel Variabel Penerapan GFS Kebijakan Fiskal Sumber: data diolah 60 Bentuk Variabel Gross Operating Balance Kesinambungan Fiskal, melalui Debt to GDP Ratio Satuan Persen Nilai interval 3.5. Model Analisis 3.5.1. Analisis Skala Interval Analisis skala Interval yaitu suatu skala yang mempunyai rentangan konstan antara tingkat satu dengan yang aslinya, tetapi tidak mempunyai angka 0 mutlak (Irianto, 2004: 19). Untuk menyederhanakan analisis data, penulis melakukan analisis skala interval pada variabel Kebijakan Fiskal karena rentang data yang dianalisis terlalu jauh. Variabel Kebijakan Fiskal dibagai ke dalam interval yang ditentukan dengan cara: 1.1 Data yang dilakukan analisis skala interval adalah data rata-rata Debt to GDP Ratioyang telah diselisihkan dengan rata-rata Debt to GDP Ratio tahun 2008-2012. 1.2 Interval ditentukan untuk setiap penyimpangan 2,6 persen, dengan pertimbangan bahwa pengelompokan dilakukan atas 5 kelas data pada interval penyimpangan 0-13%. 1.3 Setiap interval memiliki bobot 1 lebih besar dari interval sebelumnya. Semakin kecil selisih terhadap rata-rata, fiskal makin berkesinambungan/stabil dan mendapatkan bobot terbesar. 3.5.2. Uji Asumsi Klasik Uji asumsi klasik penting dilakukan untuk menghasilkan estimator yang linier tidak bias dengan varian yang minimum (Best Linier Unbiased Estimator), yang berarti model regresi tidak mengandung masalah. Karena penulis akan menggunakan regresi linier sederhana, Uji Asumsi Klasik yang penulis gunakan hanya Uji Normalitas. Menurut Imam Ghozali (2007 :110) tujuan dari uji normalitas adalah sebagai berikut: “Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah masing-masing variabel berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas diperlukan karena untuk melakukan pengujian-pengujian variabel lainnya dengan mengasumsikan bahwa nilai residual mengikuti distribusi normal. Jika asumsi ini dilanggar maka uji statistik menjadi tidak valid dan statistik parametrik tidak dapat digunakan.” Uji statistik yang digunakan untuk uji normalitas data dalam penelitian ini adalah uji normalitas atau sampel Kolmogorov-Smirnov. Penulis menggunakan bantuan Aplikasi SPSS 18 dalam melakukan Uji Normalitas. Jika hasil pengujian menunjukkan bahwa Sig. > 0,05 maka data yang diuji berdistribusi normal. 3.5.3. Analisis Regresi Alat uji statistik yang dipergunakan untuk menganalisis dalam penelitian ini adalah analisis regresi linier (Regression Analysis) yaitu untuk menguji pengaruh variabel bebas (Penerapan GFS) terhadap variabel terikat (Kebijakan Fiskal). Analisis regresi liner dipergunakan karena variabel terikat yang dicari dipengaruhi variabel bebas. Regresi linier sederhana menggunakan model persamaan sebagai berikut (Sugiyono, 2010) : Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL Puput Waryanto y = a + bx + e Keterangan: x : Penerapan GFS; y : Kebijakan Fiskal; a : Intercept/Konstanta; b : Koefisien regresi Penerapan GFS; e : error term atau faktor-faktor lain 3.5.4. Pengujian Hipotesis Dalam menguji hipotesis, penulis menggunakan Uji F saja karena hanya menggunakan 1 variabel bebas. Uji F ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel bebas (x) yaitu penerapan GFS memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat (y) yaitu Kebijakan Fiskal. Tujuannya adalah untuk menguji apakah hipotesis yang diajukan diterima atau ditolak. Model hipotesis yang digunakan dalam uji F ini adalah: 1) H0: b = 0 (artinya Penerapan GFS tidak relevan dalam menilai Kebijakan Fiskal). 2) H1: b ≠ 0 (artinya Penerapan GFS dapat secara relevan menilai Kebijakan Fiskal). Nilai Fhitung akan dibandingkan dengan nilai Ftabel. Kriteria pengambilan keputusan yaitu : 1) Jika Fhitung< Ftabel atau nilai sig > 0,05, maka maka H0 diterima dan H1 ditolak berarti Penerapan GFS tidak relevan dalam menilai Kebijakan Fiskal. 2) Jika Fhitung> Ftabel atau nilai sig < 0,05, maka maka H0 ditolak dan H1 diterima berarti artinya Penerapan GFS dapat secara relevan menilai Kebijakan Fiskal. Nilai Fhitung dapat diperoleh dengan menggunakan rumus : (Sugiyono, 2010) 𝐹𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 𝑅2 / 𝑘 1 − 𝑅2 / (𝑛 − 𝑘 − 1) Di mana: R2 = Koefisien korelasi k = Jumlah variabel independen n = Jumlah anggota sampel 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Skala Interval Sesuai dengan operasionalisasi variabel, penulis melakukan pemetaan data variabel sebagaimana ditayangkan dalam tabel 3. Dalam penelitian ini, penulis akan membandingkan pengaruh antara penerapan GFS dalam menilai Kebijakan Fiskal. Data operasionalisasi variabel pada tabel 3, diolah untuk mendapatkan data variabel yang dibutuhkan. Data variabel kebijakan fiskal perlu dicari dari data Kesinambungan Fiskal berupa Debt to GDP Ratio, sedangkan data variabel Penerapan GFS sudah tersedia dari data Gross Tabel 3. Data Operasionalisasi Variabel No. Countries 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Austria Belgium Cyprus Finland France Germany Greece Ireland Italy Luxembourg Malta Netherlands Portugal Slovak Republic Spain Australia Canada Hong Kong Denmark Iceland Israel Japan Norway Sweden United Kingdom United States Average 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 2008 0,102622795 0,509865287 4,015270735 6,849787257 0,051818729 1,442934277 -6,083650092 -1,812373241 -0,439807968 6,548573619 -2,214861657 3,743752076 -1,704193028 Gross Operating Balance (Persentase Terhadap GDP) 2009 2010 2011 2012 -2,938585901 -3,405738148 -1,45289874 -1,580651445 -3,934756828 -2,288451483 -2,166099786 -2,296215894 -1,910011689 -1,501215105 -2,780543467 -3,933928511 0,139277383 -0,298784718 1,497795956 0,410189758 -3,966414537 -3,869456646 -2,083995353 -1,67876382 -1,404396114 -2,75174821 0,796233337 1,582452839 -12,32866007 -8,482040816 -8,239058101 -7,13587422 -9,752685678 -26,12535725 -10,06737934 -5,873889176 -2,880680655 -2,246417275 -1,921825879 -1,004444919 3,278061556 3,354643913 3,891599622 3,260322082 -1,620737551 -1,362159301 -0,254365783 -0,645092107 -1,705953821 -1,464229409 -1,033591559 -0,750741862 -7,058527543 -6,045742351 -1,701019482 -4,95962308 2008 63,8 89,3 48,9 33,9 68,2 66,9 112,6 44,5 105,7 13,7 62,2 58,5 71,6 Debt to GDP Ratio 2009 2010 2011 69,2 71,8 72,3 95,7 95,6 97,8 58,5 61,5 71,6 43,5 48,6 49,1 79,2 82,3 86 74,7 82,4 80,6 129 144,6 165,4 64,9 92,2 106,5 116 118,6 120,1 14,8 19,1 18,2 67,8 69,1 71,6 60,8 62,9 65,2 83,1 93,3 107,8 2012 74,3 99 87,3 52,6 90 83 170,7 117,7 126,3 21,7 71,8 68,2 119,1 -0,375845067 -5,732073446 -5,058861223 -2,705985684 -2,615606739 27,9 35,6 41,1 43,3 46,3 -0,358801531 4,263476162 3,667069024 1,425949734 5,253395028 -9,063022529 -1,730983316 0,094585559 21,815811 5,160658112 -6,518233938 -0,08675551 0,003521322 2,021210931 -0,678283747 -6,435257577 -4,716650359 -5,155123772 14,03550306 2,332385641 -5,587785237 -1,423258415 -0,206502482 5,32202541 -0,512087143 -7,154620592 -3,132746638 -4,932996987 14,23180595 3,267085759 -6,730018436 -1,064929341 0,5406799 5,189564901 0,116030323 -3,745621596 -2,354120221 -5,366033144 16,45968908 3,260870502 -8,831521871 -0,822015028 0,871828599 4,892840778 -1,373425023 -1,804821013 -3,629973029 -5,326875028 16,77355037 2,980244296 40,2 11,8 71,3 30,6 41,9 70,3 77 191,8 54,3 38,4 53,9 16,9 83,3 33,2 40,6 88,2 79,4 210,2 48,9 42 61,3 20,5 85,1 34,6 42,9 92,8 76 215,3 49,6 38,8 69,1 24,2 85,4 33,8 44,1 99,2 74,1 229,6 49,6 37,9 90,7 27,1 87,5 33,1 47,1 94,2 73,3 236,6 49,6 37,1 -2,764778704 -8,715293726 -7,658915668 -5,612852056 -4,027296965 52,2 68 75 81,8 88,7 -3,269338234 -8,678298532 1,351073616 -2,861823888 -8,123279249 -2,979108974 -6,99835835 -1,327932027 -5,824359732 -1,282449644 76,1 62,45 89,7 71,04 98,6 75,91 102,9 80,28 107,2 84,62 Sumber: diolah dari IMF dan Global Finance, 2015 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 61 RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL Puput Waryanto Operating Balance. Data Gross Operating Balance ini hanya dapat diperoleh dari laporan Government Finace Statistics masing-masing negara yang pada kesempatan penelitian ini penulis dapatkan dari IMF. Sedangkan data Debt to GDP Ratio diperoleh dari masing-masing laporan keuangan dan analisis perekonomian suatu negara, yang pada kesempatan ini penulis mendapatkan data tersebut dari Global Finance. Sesuai dengan landasan teori, kesinambungan fiskal diperoleh apabila rasio utang (debt) terhadap GDP adalah stabil. Penulis menggunakan dasar stabilnya rasio tersebut berupa rata-rata rasio utang terhadap GDP selama 2008-2012, yaitu Debt to GDP Ratio rata-rata = 𝑛 𝑘 =0 Debt to GDP Ratio k n 62,45+ 71,04+ 75,91+ 80,28+ 84,62 = = 74,86 5 Rata-rata Debt to GDP Ratio ini akan ditandingkan dengan dengan Debt to GDP Ratio pada masing-masing tahun anggaran, dengan melakukan perhitungan: Penyimpangan terhadap rata-rata = |(Rata-rata pertahun) –74,86| sehingga akan diperoleh selisih yang bernilai mutlak. Kemudian besarnya penyimpangan terhadap rata-rata tersebut dinilai ke dalam 5 kelompok data dengan interval yang sama. Data perhitungan disajikan pada tabel 4, sedangkan interval disajikan pada tabel 5. variabel terikat Y = Kebijakan Fiskal, yang disajikan pada tabel 6. Tabel 6. Variabel Penelitian yang Digunakan Tahun (b) *Berdasarkan interval penyimpangan pada tabel 5. Tabel 5. Interval Penyimpangan Nilai Kesinambungan Fiskal 10,41-13,00 1 7,81-10,40 2 5,21-7,80 3 2,61-5,20 4 0-2,60 5 Sumber: data sekunder (diolah) Interval Penyimpangan Setelah penulis melakukan perhitungan tabel 3, 4, dan 5, maka diperoleh 2 data variabel penelitian yang digunakan yaitu variabel bebas X = Penerapan GFS, dan 62 1 4 5 3 2 4.2. Uji Asumsi Klasik Sebelum melakukan analisis regresi linier, data variabel penelitian pada tabel 6 dilakukan uji asumsi klasik, yaitu uji normalitas dengan metode sampel Kolmogorov-Smirnov. Berdasarkan Lampiran 2: Hasil Uji Asumsi Klasik dengan bantuan SPSS 18, diperoleh data Sig. = 0,999. Dengan demikian, hasil pengujian menunjukkan bahwa Sig. > 0,05 sehingga disimpulkan bahwa data variabel yang diuji (tabel 6) berdistribusi normal dan dapat dilanjutkan dengan analisis regresi linear. 4.3. Analisis Regresi Data pada tabel 6 diolah dengan melakukan analisis regresi linier sederhana melalui program SPSS For Windows, dan diperoleh hasil sebagaimana pada Tabel 7. Tabel 7 Hasil Analisis Regresi Linier Nilai Kesinambungan Fiskal* (c) = |(b) – (d) 74,86| 2008 62,45 12,41 1 2009 71,04 3,82 4 2010 75,91 1,05 5 2011 80,28 5,42 3 2012 84,62 9,76 2 Sumber: diolah dari IMF dan Global Finance (a) Kebijakan Fiskal 2008 1,351073616 2009 -2,861823888 2010 -2,979108974 2011 -1,327932027 2012 -1,282449644 Sumber: data sekunder (diolah) Tabel 4. Data Perhitungan Penyimpangan Debt to GDP Tahun terhadap Ratio (%) rata-rata Penerapan GFS Model 1 Coefficientsa Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients Std. B Beta Error 1,810 ,415 (Constant) Penerapan -,838 ,197 -,926 GFS a. Dependent Variable: Kebijakan_Fiskal T Sig. 4,358 ,022 -4,263 ,024 Berdasarkan Tabel 7, diperoleh koefisien regresi yaitu nilai konstanta (a) = 1,810; b = -0,838; sehingga model persamaan regresi adalah sebagai berikut : Y = 1,810– 0,838.X Dari persamaan regresi yang dihasilkan, dapat dinyatakan bahwa : 1) Jika faktor Penerapan GFS sama dengan 0 maka kebijakan fiskal = 1,810. 2) Nilai koefisien b = -0,838 menunjukkan adanya pengaruh yang negatif antara variabel Penerapan GFS terhadap Kebijakan Fiskal. Artinya, apabila informasi Gross Operating Balance dalam Penerapan GFS tinggi, maka dapat dipandang sebagai penilaian terhadap hasil kebijakan fiskal yang kurang memuaskan dengan asumsi variabel lainnya konstan atau tetap. Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL Puput Waryanto 4.4. Uji Goodness of Fit (R2) Nilai koefisien determinasi atau R2menggambarkan seberapa besar variasi dari variabel terikat dapat diterangkan oleh variabel bebas. Menurut Sugiyono (2010) pedoman untuk memberikan interpretasi koefisien korelasi sebagai berikut: 0,000,199 = sangat rendah; 0,20-0,399 = rendah; 0,400,599 = sedang; 0,60-0,799 = kuat; dan 0,80-1,000 = sangat kuat. Tabel 9. Hasil Analisis Korelasi Model R 1 ,926 R Square ,858 Adjusted R Square -,811 Std. Error of the Estimate ,68720554 a. Predictors: (Constant), Penerapan_GFS Sumber : data sekunder (diolah) Tabel 9 memperlihatkan bahwa nilai koefisien korelasi = 0,926 yang berarti sifatnya sangat kuat. Adjusted R2 Penerapan GFS adalah sebesar 0,811. Nilai tersebut dapat diartikan bahwa sekitar 81,1% variasi variabel terikat dapat dijelaskan dan diprediksi oleh variabel-variabel bebas Penerapan GFS. Sisa variasi variabel terikat sebesar 18,9% dijelaskan oleh variabel bebas lain. Oleh karena itu, para peneliti seharusnya lebih peduli mengenai relevansi antara variabel bebas dan variabel terikat secara teoritis dan logis, serta signifikansinya secara statistik. 4.5. Hasil Uji Hipotesis Untuk membuktikan hipotesis dalam penelitian ini maka dilakukan uji F untuk mengetahui apakah variabel bebas Penerapan GFS, bepengaruh terhadap variabel terikat yaitu Kebijakan Fiskal. Dalam hasil analisis regresi linier sederhana melalui program SPSS For Windows juga diperoleh nilai F hitung (Anova). Nilai ini menunjukkan uji dan tingkat kelayakan model regresi (goodness of fit) sebagai derajat keberartian regresi linier. Nilai F dapat dilihat dalam Tabel 8. Berdasarkan Tabel 8, diketahui nilai F hitung sebesar 18,175. Nilai ini lebih besar dari nilai Ftabel yaitu sebesar 10,127964, dengan menggunakan tingkat kepercayaan 95% atau alpha 0,05 dan degree of freedom (df) = n-k = 5-2 = 3 dan dk = k-1 = 2-1 = 1. Selain itu juga diperoleh nilai sig/significant sebesar 0,024. Sehingga dapat dikatakan bahwa regresi ini adalah linier dan signifikan. Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 Dapat disimpulkan sementara bahwa Fhitung> Ftabel atau nilai sig < 0,05, maka maka Ho ditolak dan H1 diterima berarti Penerapan GFS dapat secara relevan menilai Kebijakan Fiskal. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa hipotesis diterima. H0 Ditoak, H1 diterima: Penerapan Government Finance Statistics adalah relevan dalam menilai Kebijakan Fiskal. 4.6. Penjelasan atas Hasil Penelitian Penerapan Government Finance Statistics adalah relevan dalam menilai Kebijakan Fiskal. Dengan demikian, kebutuhan pemerintah akan adanya penerapan GFS dapat menjadi pilihan yang tepat karena telah terbukti bahwa dengan penerapan GFS pada beberapa negara dapat menjelaskan kebijakan fiskal yang terjadi pada tahun-tahun fiskal. Tingkat kontribusi yang tinggi, yaitu 81,1% menunjukkan adanya hubungan yang kuat antarvariabel. Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, sesuai dengan amanat UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 8, salah satu tugas Menteri Keuangan adalah menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro. Sejauh mana Menteri Keuangan berhasil dalam menyusun kebijakan fiskal, dapat dilihat dari dampak penerapannya. Penelitian ini menggambarkan keberhasilan kebijakan fiskal berupa Kesinambungan Fiskal, melalui Debt to GDP Ratio karena beberapa pertimbangan sesuai landasan teori. Sedangkan Penerapan GFS digambarkan oleh GOB (Gross Operating Balance) sebagai salah satu komponen utama dalam GFS. Penerapan GFS sebagai sebuah pedoman baru perlu dikaji, dan ternyata diperoleh hasil penelitian pada beberapa negara yang telah menerapkan GFS bahwa Penerapan GFS dapat secara relevan menilai Kebijakan Fiskal karena secara konsisten hasil analisis regresi dan uji hipotesis menjunjukkan adanya pengaruh signifikan dan menerima H1. Hal ini penting, karena penulis berusaha mengembalikan lagi pada nature dari GFS itu sendiri yang dirancang untuk mendukung analisis fiskal. Data penelitian yang digunakan adalah penerapan GFS di beberapa negara lain, sementara penulis berusaha meneliti relevansinya terhadap kebijakan fiskal, untuk kemudian dari hasil tersebut dijadikan dasar berpikir bahwa pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 275/PMK.05/2014 tentang Manual Statistik Keuangan Pemerintah Indonesia (Mansikapi) sebagai adopsi dari GFS Manual merupakan pilihan yang tepat. Persamaan regresi yang dihasilkan adalah Y = 1,810–0,838X. Besaran X bernilai negatif dapat dijelaskan dari komponen penerapan GFS yang diwakili dalam penelitian ini oleh Gross Operating Balance. Kemampuan negara dalam menghasilkan Gross Operating Balance yang merupakan hasil pengurangan beban terhadap pedapatan di dalam laporan opersional GFS, ternyata berbanding terbalik dengan kondisi fiskal yang diharapkan. Semakin besar Gross Operating Balance, semakin buruk keadaan 63 RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL Puput Waryanto Bagan 1. Sektor Publik Menurut Mansikapi Sektor Pemerintahan Umum Pemerintah Pusat K/L Pemerintah Provinsi BLU/BLUD Pemerintah Kab/Kota UBL/LNS Dana Jaminan Sosial Sektor Publik Sektor Perusahaan Publik Korporasi Publik Keuangan Korporasi Publik Nonkeuangan Penyimpan Uang Lainnya Sumber: diolah dari Mansikapi fiskalnya yang dibuktikan dengan kesinambungan fiskal yang kurang stabil. Hal ini dapat dijelaskan dengan analogi bahwa pemerintah seharusnya tidak terlalu profit oriented dalam menyelenggarakan kegiatan layanan kepada masyarakat, bahkan pemerintah dituntut untuk menumbuhkan ekonomi masyarakat di negara tersebut dengan terus menambah pengeluaran sektor publik dalam kondisi fiskal yang mengalami resesi, serta melakukan penyeimbangan-penyeimbangan yang dianggap perlu dalam keadaan ekonomi inflasi. Pengeluaran sektor publik yang berhubungan erat dengan beban operasional akan masuk di dalam laporan operasional sebagai beban, mengurangi pendapatan. Semakin besar beban tersebut, maka semakin kecil kemungkinan Gross Operating Balance yang dihasilkan pada laporan opersional tersebut. Kenyataan yang menunjukkan bahwa semakin kecil Gross Operating Balance akan menimbulkan hasil kebijakan fiskal yang lebih baik, merupakan salah satu dasar bagi negara-negara menganut paham defisit, yakni selalu berencana menambah pengeluaran hingga melebihi pendapatan. Kekurangan dana ditutupi dengan pembiayaan utang. Berikut adalah beberapa penjelasan yang penulis kemukakan terkait relevansi penerapan GFS berupa Gross Operating Balance di dalam Laporan Operasional GFS, dalam menilai Kebijakan Fiskal. 64 a. Pendapatan Persamaan regresi hasil penelitian ini, yaitu Y = 1,810– 0,838X menunjukkan bahwa komponen X = Penerapan GFS yang dalam hal ini dijelaskan oleh Gross Operating Balance, memiliki kontribusi yang brsifat negatif atau berkebalikan terhadap Kebijakan Fiskal yang digambarkan oleh kesinambungan fiskal. Pendapatan, yang terdiri atas beberapa jenis, sebagaimana disampaikan dalam landasan teori, sekilas akan menambah arus dan posisi dalam laporan neraca, tetapi konsekuensi dari penambahan arus dan posisi ini adalah pemerintah harus segera menggunakannya dalam pos beban yang tepat untuk kemanfaatan masyarakat. Di dalam bahasan Government Finance Statistics, ruang lingkup sektor publik terkesan lebih luas dari yang dikenal oleh masyarakat, yaitu tersaji dalam Bagan 1. Kebijakan mengenai pendapatan merupakan bagian dari kebijakan fiskal pemerintah, tidak hanya dari sektor pemerintahan umum, tetapi juga dari sektor perusahaan publik. Kenaikan/penurunan pendapatan beserta efeknya terhadap kesinambungan fiskal dapat disebabkan karena pos-pos pendapatan itu sendiri yang meliputi: 1) Pendapatan Pajak Pajak, sebagai transfer wajib tanpa imbalan langsung yang diterima oleh sektor pemerintah umum, dipungut dari wajib pajak berdasarkan kebijakan tarif, Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL Puput Waryanto pengurangan terhadap penghasilan bruto, dan beberapa kebijakan teknis lainnya. Tentunya, selain berpengaruh terhadap pendapatan negara, hal ini juga berakibat pada kondisi wajib pajak yang dikenakan pajak, kondisi usaha wajib pajak, para pekerja yang bekerja di bawah usahnya, para pemasok wajib pajak, pembeli, pihak pembiayaan, semuanya akan merasakan dampak dari salah satu bagian kecil dari kebijakan fiskal ini yaitu kebijakan tarif pajak. Pemberlakuan basis akrual dalam pencatatan pendapatan dan beban juga dirasakan menimbulkan keadilan dalam penandingan pendapatan dan beban, sehingga pendapatan pajak yang meruapakan bagian dari pendapatan pajak tahun ini akan menjadi hak pendapatan pajak tahun ini, meskipun belum terealisasi pembayarannya dalam PPh Pasal 29 (di Indonesia), tetapi dapat direkonsiliasikan dalam sebuah sistem yang terpadu. Lantas apa pengaruhnya terhadap kesinambungan fiskal? Dengan adanya basis akrual misalnya, maka juga akan mengukur tingkat keseimbangan fiskal secara adil dan tidak hanya didasarkan akan penerimaan kas semata pada periode tersebut. Kembali lagi ke dalam masalah pendapatan pajak, pembebanan tarif yang berlebihan akan menyebabkan kondisi wajib pajak yang makin tidak profitabel, karena terlalu banyak sumber daya yang ada dugunakan untuk membayar pajak. Dengan demikian, maka kemampuan wajib pajak dalam meningkatkan perekonomian, kemampuan wajib pajak dalam mencukupi kebutuhan hidupnya menjadi berkurang. Secara psikologis juga dapat berakibat pada kemalasan melakukan kegiatan usaha, sehingga berakibat pada pengangguran tenaga kerja. Pemasok yang berhubungan dengan wajib pajak tersebut, juga akan kehilangan pelanggan. Dalam posisi tarif tertentu, Kurva Laffer menggambarkan hubungan antara tarif pajak dengan penerimaan pajak (Alink dan Kommer, 2011: 61). Penjelasan kurva ini dapat dilihat pada gambar 2. Gambar 2. Laffer Curve Melihat hal itu, maka pengenaan pajak sebagai pungutan harus tetap memperhatikan azas, dan fungsi dari pungutan pajak itu sendiri, tidak sekadar melihat satu sisi saja. Misalnya, dalam pemungutan pajak Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 memiliki azas convenance of payment, dan memiliki fungsi budgetair serta regulerend. Di antara hal itu harus dijaga keseimbangannya, agar menghasilkan kombinasi yang terbaik dalam perekonomian nasional. Sebagai contoh, pemungutan pajak dengan tarif yang sangat tinggi atas penghasilan orang pribadi, dan batas waktu penyetoran adalah pada hari yang sama dengan tanggal gaji, maka hal ini mungkin secara fungsi budgetair bagus karena mempercepat pendapatan negara yang masuk ke kas negara, tetapi tidak sesuai dengan azas convenance of payment karena menyulitkan Wajib Pajak. Pajak seringkali diasosiasikan dengan kebijakan fiskal, tetapi sebenarnya secara terpisah masingmasing memiliki peranan yang berbeda, menurut Barron, et. al. (1988: 552). Mengatur pajak sebagai instrumen fiskal yang mengatur ekonomi merupakan hal baru yang tidak dilakukan pada zaman dahulu, sehingga peranan pajak saat telah diperluas fungsinya, berawal dari sekadar pendapatan negara, diperluas menjadi instrumen fiskal. 2) Kontribusi Sosial Sebagai pendapatan aktual atau pendapatan yang diperhitungkan skema asuransi sosial dalam rangka penyediaan manfaat asuransi sosial yang terutang, kontribusi sosial yang makin besar berpotensi menyebabkan terganggunya kesinambungan fiskal. Kebijakan pendapatan dari kontribusi sosial dapat meliputi kebijakan tarif, kebijakan perjanjian pertanggungan, serta berbagai kebijakan lain yang terkait. Di Indonesia, kontribusi sosial ini mirip dengan iuran yang ditarik oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Dalam penyusunan GFS, sektor ini termasuk dalam cakupan, sedangkan dalam LKPP, belum dicakup. Dalam siklus normal, iuran BPJS diperhitungkan dalam penyusunan lapran dalam rangka penyusunan GFS, sehingga dapat secara keseluruhan dilihat mengenai pendapatan dari kontribusi sosial serta berbagai kemungkinan fiskal yang akan terjadi. Implikasi dari pemungutan iuran adalah makin banyak orang yang menanggungkan dirinya dalam jaminan sosial, artinya selain dilihat dari segi pendapatan kontribusi sosial yang meningkat, juga dapat diamati bahwa masyarakat akan semakin merasa dirinya terjaminkan, dan potensi diri untuk menjalankan kegiatan ekonomi menjadi lebih kecil. Sekali lagi, hal ini hanyalah kecenderungan, karena ada juga kecenderungan sebaliknya, yaitu para karyawan akan merasa lebih merasa aman atau terjamin sehingga lebih produktif karena bisa konsentrasi terhadap pekerjaan rutinnya. Dengan demikian, pengaruh peningkatan pendapatan kontribusi sosial terhadap kesinambungan fiskal tergantung dari kepentingan dan cara pandang masyarakat di sebuah negara dalam menyikapi iuran jaminan sosial. Penerapan sektor dana jaminan sosial ini akan optimal apabila dikeola secara baik, dan memberikan kebijakan-kebijakan yang berimbang. Pengaruh ini hanya dapat dianalisis jika Penerapan GFS 65 RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL Puput Waryanto telah dilakukan karena LKPP tidak memberikan ruang bagi sektor dana jaminan sosial untuk masuk dalam laporan keuangan konsolidasi LKPP. 3) Hibah Hibah, transfer tidak wajib yang diterima dari pemerintah lain/organisasi internasional dalam bentuk kas dan non-kas (barang/jasa), bukanlah suatu target pendapatan tetapi akan memberikan efek yang kurang baik terhadap kesinambungan fiskal ketika hibah yang diberikan membawa misi tidak tertulis, di mana suatu saat di masa depan negara penerima memiliki kewajiban yang tak tertulis untuk melakukan suatu kebijakan tertentu yang sudah barang tentu akan mempengaruhi pengeluaran pengeluaran pemerintah. Secara tidak langsung, pengeluaran tersebut akan mengurangi jatah pengeluaran pemerintah yang akan digunakan untuk kepentingan fungsi utama pemerintahan. Akibatnya, kebijakan pemerintah dalam penerapannya akan merugikan rakyat, dan menurunkan kestabilan ekonomi. Pendapatan Domestik Bruto rendah baik secara nasional maupun perkapita. Oleh karena itu, dalam melakukan perjanjian hibah hendaknya didasari atas perjanjian yang saling percaya dan benar-benar ikhlas antarpihak. 4) Pendapatan lain Pendapatan lain mencakup semua transaksi pendapatan yang tidak diklasifikasikan sebagai pajak, kontribusi sosial atau hibah, yang dapat meliputi penjualan barang dan jasa, bunga dan jenis lain dari pendapatan atas kekayaan, transfer sukarela dalam bentuk kas dan non-kas selain hibah, serta denda dan penalti. Mereka memiliki karakter yang hampir sama dengan jenis sebelumnya. Pada intinya, penerimaan pendapatan lain dapat mengakibatkan timbulnya potensi tidak diterimanya pendapatan lain yang lebih besar, atau berpotensi menambah porsi pengeluaran pemerintah untuk kepentingan terkait. Dalam pendapatan lain ini pun menggunakan basis akrual dalam pengakuan transaksinya. Penerapan basis akrual, misalnya jika terjadi pendapatan sewa selama 5 tahun, kas di terima di muka pada tahun pertama, maka performa pendapatan seharusnya tidak hanya dinilai dari basis kas dengan memasukkannya dalam laporan operasional tahun pertama, tetapi harus bisa menggunakan bais akrual dengan mendistribusikan pendapatan sewa tersebut selama masa sewa berlangsung yang akan menunjukkan performa pendapatan yang sesuai dengan keterjadian transaksinya. Melalui GFS, penandingan antara pendapatan dan beban yang bersesuaian ini juga dapat terkonsolidasi secara intrasektoral maupun intersektoral, sesuai dengan tujuan analisis fiskal dengan statistik pelaporan keuangannya. Nominal dari Gross Operating Balance mencerminkan sektor publik mana yang akan dianalisis, dan hal ini tidak akan bisa dilakukan dalam laporan keuangan pemerintah dengan tujuan umum, 66 yang sekarang dapat dijumpai dalam laporan keuangan pemerintah pusat yang dasar penyusunannya menggunakan PSAP (berdasarkan PP Nomor 71 Tahun 2010). Meskipun dalam penerapannya telah terdapat laporan operasional, tetapi konten dari laporan tersebut nantinya akan berbeda dengan laporan operasional GFS karena cakupan sektor dari LKPP adalah pemerintah pusat saja. Kini, dengan pemerintah daerah pun belum dilakukan konsolidasi. b. Beban Beban, yang terdiri atas beberapa jenis, sebagaimana disampaikan dalam landasan teori, sekilas akan mengurangi arus dan posisi dalam laporan GFS, tetapi konsekuensi dari pengurangan arus dan posisi ini adalah peningkatan perekonomian dengan kondisi fiskal yang berkesinambungan. Implikasi dari kebijakan fiskal terkait beban yaitu mengatur pengeluaran pemerintah. Bebarapa jenis beban yang relevan dalam menilai kebijakan fiskal adalah: 1) Kompensasi pegawai Remunerasi dalam bentuk kas atau nonkas yang terutang kepada pegawai sebagai imbalan pekerjaan. Secara umum pemberian kompensasi adalah untuk membantu organisasi dalam mencapai tujuan keberhasilan strategi dan menjamin terciptanya keadilan baik keadilan internal maupun keadilan eksternal. Schuler dan Jackson (1999) menyatakan bahwa melalui kompensasi dapat digunakan untuk (a) menarik orang-orang yang potensial atau berkualitas untuk bergabung dengan organisasi.(b) mempertahankan pegawai yang baik. (c) meraih keunggulan kompetitif. (d) memotivasi pegawai dalam meningkatkan produktivitas atau mencapai tingkat kinerja yang tinggi. (e) melakukan pembayaran sesuai aturan hukum. (f) memudahkan sasaran strategis. (g) mengokohkan dan menentukan struktur. Apabila pemberian kompensasi tersebut mampu mengundang orang-orang yang potensial untuk bergabung dengan organisasi dan membuat pegawai yang baik untuk tetap bertahan di organisasi, serta mampu memotivasi pegawai untuk meningkatkan kinerjanya, berarti produktivitas juga akan meningkat dan organisasi dapat menghasilkan layanan yang unggul atau produk dengan harga yang kompetitif, sehingga organisasi lebih dimungkinkan untuk dapat mencapai sasaran strategisnya yaitu mempertahankan kelangsungan hidup dan mengembangkan usaha. Hasil penelitian rupanya sejalan dengan prinsip kompensasi ini. Semakin besar kompensasi kepada pegawai, tidak selalu berarti bahwa hal itu merupakan pemborosan dan inefisiensi, tetapi justru dengan perencanaan dan sistem kompensasi yang baik dan terukur, dapat melipatgandakan kinerja organisasi dalam memberikan layanan kepada masyarakat, yang secara tidak langsung berakibat pada stabilitas ekonomi masyarakat. Begitu pula dalam sektor perusahaan publik (BUMN/BUMD), kinerja karyawan dalam menghasilkan barang yang dibutuhkan oleh hajat hidup orang banyak ,dapat terpenuhi Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL Puput Waryanto sebagaimana mestinya, bahkan akan mengalami peningkatan-peningkatan yang berarti. Dalam Government Finance Statistics, kompensasi, sebagai salah satu jenis beban, merupakan hasil konsolidasiatas kompensasi pegawai negeri sipil pusat, pegawai negeri sipil daerah, pegawai kontrak, pegawai BUMN, hingga pegawai dana jaminan sosial. Hal ini terkait dengan cakupan Government Finance Statistics pada bagan 1 yang cakupannya dapat menjamah seluruh sektor publik mulai dari pemerintahan umum hingga korporasi publik, tergantung dari metode konsolidasi yang digunakannya. Luasnya cakupan kompensasi pegawai dalam GFS ini, dapat menjadi dasar yang kuat bagi pemerintah dalam menganalisis masalah dalam rangka pengambilan kebijakan fiskal karena beban kompensasi pegawai sebagai bagian dari pengurang pendapatan, dapat menilai kinerja fiskal pemerintah pada tahun fiskal yang bersangkutan. Mengingat pentingnya kompensasi dalam membentuk stabilitas fiskal, hendaknya pemerintah maupun unit institusional sektor publik lainnya memperhatikan beberapa hal: (1) kompensasi yang diberikan harus dapat dirasakan adil oleh pegawai dan (2) besarnya kompensasi tidak jauh berbeda dengan yang diharapkan oleh pegawai. Kepuasan pegawai akan timbul, dan akan memicu pegawai untuk terus meningkatkan kinerjanya, sehingga tujuan organisasi maupun kebutuhan pegawai akan tercapai secara bersama. Keadilan dapat diperoleh dengan mempertimbangkan kondisi eksternal kondisi internal dan kondisi individu. Kompensasi harus diusahakan sebanding dengan kondisi di luar organisasi. Kompensasi juga harus memperhatikan kondisi individu, sehingga tidak memberikan kompensasi dengan pertimbangan subyektif dan diskriminatif. Untuk memenuhi harapan pegawai, hendaknya kompensasi yang diberikan oleh organisasi dapat memuaskan berbagai kebutuhan pegawai. Kompensasi yang diberikan berdasarkan pekerjaan atau senioritas tanpa memperhatikan kemampuan dan keterampilan seringkali membuat pegawai yang mempunyai keterampilan dan kinerja baik menjadi frustasi dan meninggalkan organisasi, sebab kompensasi yang diberikan oleh organisasi dirasakan tidak adil dan tidak sesuai dengan harapan mereka. Sebaliknya kompensasi ini akan membuat pegawai yang tidak berprestasi menjadi benalu bagi organisasi. Kompensasi yang diberikan berdasarkan kinerja dan keterampilan pegawai nampaknya dapat memuaskan pegawai, sehingga diharapkan pegawai termotivasi untuk meningkatkan kinerja dan mengembangkan keterampilannya. Hal ini disebabkan karena pegawai yang selalu berusaha untuk meningkatkan kinerja dan keterampilannya akan mendapatkan kompensasi yang semakin besar. 2) Penggunaan barang dan jasa Beban kedua adalah barang dan jasa yang digunakan dalam proses produksi atau diperoleh untuk dijual kembali dikurangi dengan perubahan neto Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 persediaan barang dan jasa tersebut. Dalam akuntansi komersial, dikenal adanya beban pokok penjualan atau COGS (Cost of Goods Sold). Terkesan aneh, mengapa di dalam pemerintahan terdapat COGS? Apakah fungsi pemerintah adalah bisnis/penjualan untuk memperoleh keuntungan? Di dalam GFS terdapat sektor korporasi publik nonkeuangan, di mana kegiatan utamanya adalah kegiatan bisnis, tetapi pemerintah memiliki andil yang tinggi dalam menentukan arah kebijakan perusahaan untuk memastikan bahwa kegiatan bisnisnya itu benar-benar sesuai dengan tujuan pemerintah dalam rangka memberikan layanan kepada masyarakat. Di dalam GFS, BUMN merupakan sebuah unit institusi, yaitu entitas ekonomi yang mampu, dalam dirinya sendiri, untuk memiliki aset, menimbulkan kewajiban, dan terlibat dalam kegiatan ekonomi dan transaksi dengan entitas lain. Dalam menjalankan bisnisnya, BUMN ini melakukan penjualan barang/jasa melalui mekanisme pasar. Penjualan yang tinggi akan menyebabkan penggunaan beban pokok penjualan yang lebih besar pula. Akan tetapi, tidak selamanya berbanding lurus antara besarnya biaya produksi terhadap kesinambungna fiskal. Dengan demikian, sejalan dengan peningkatan penjualan itu, efisiensi baban produksi menjadi lebih penting.Selain itu, dapat dipandang bahwa perekonomian masyarakat akan meningkat dengan adanya penggunaan bahan baku dan tenaga kerja dari kalangan masyarakat. Pengadaan barang/jasa, penggunaan tenaga kerja, berakibat baik terhadap perkembangan ekonomi masyarakat sehingga menjadi lebih stabil. 3) Penggunaan/konsumsi aset tetap (Penyusutan) Penurunan nilai aset tetap selama periode akuntansi sebagai akibat penurunan fisik, kadaluarsa normal, dan kerusakan normal yang tidak disengaja.Secara tidak langsung penyusutan berpengaruh terhadap stabilitas fiskal dalam kerangka bahwa makin banyak pengadaan barang modal. Pengadaan barangmodal dilakukan melalui proses pengadaan barang/jasa. Proses ini memiliki dampak yang baik terhadap perekonomian di sektor riil maupun finansial. Di sektor riil, masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam penyediaan bahan baku, tenaga kerja, dan biaya produksi overhead. Masyarakat yang sebelumnya menganggur dapat memperoleh pekerjaan. Para pemasok bahan baku mendapatkan pelanggan. 4) Bunga adalah beban yang timbul atas penggunaan dana unit lain oleh debitur Besaran bunga yang makin bertambah, dimungkinkan adanya penambahan jumlah hutang dalam rangka menjaga Debt to Gross Domestic Bruto Ratio (rasio hutang terhadap PDB). PDB yang selalu meningkat setiap tahunnya harus diikuti oleh peningkatan pembiayaan yang diperlukan untuk menopang defisit anggaran terebut, yang salah satu porsi terbesar berasal dari hutang. Hutang yang makin besar menimbulkan konsekuensi berupa pembayaran 67 RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL Puput Waryanto bunga setiap tanggal jatuh tempo bunga, di samping pembayaran pokok hutangnya.Pokok hutang yang tetap pun masih bisa menambah beban bunga karena pengaruh kurs yang makin melemah, atau karena perjanjian tertentu bahwa yield-to-maturity harus disesuaikan dengan harga pasar terkini yang makin meningkat. Dari 26 negara yang telah menerapkan GFS sebagaimana dapat dilihat pada tabel 1, secara ratarata mengalami kenaikan Debt to GDP Ratio mulai dari 62,45% pada tahun 2008; 71,04% pada tahun 2009; 75,91% pada tahun 2010; 80,28% pada tahun 2011; dan 84,62% pada tahun 2012. Hal ini menggambarkan bahwa memang praktik utang di beberapa negara memang dilakukan, di mana jumlahnya meningkat bukan hanya dari segi persentase tetapi juga nominalnya, sebagai dampak dari penerapan kebijakan defisit anggaran. Negaranegara tersebut juga pastinya memiliki konsekuensi yang sama untuk membayar bunga pada kreditur. Beban bunga makin meningkat seiring dengan penambahan pokok utangnya, tetapi dampaknya akan terasa dalam perekonomian. Menurut Rahardja dan Manurung (2004), defisit anggaran memang direncanakan untuk defisit, sebab pengeluaran pemerintah direncanakan lebih besar dari penerimaan pemerintah (G>T). Anggaran yang defisit ini biasanya ditempuh bila pemerintah ingin menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Hal ini umumnya dilakukan bila perekonomian berada dalam kondisi resesi. Dalam kondisi yang tidak reses pun, seperti negara-negara maju, juga tetap menerapkan kebijakan defisit sehingga rasio utang terhadap PDB menjadi indikator yang disepakati dalam mengukur stabilitas kesinambungan fiskal. Dengan demikian, beban bunga yang makin tinggi, sepanjang masih dalam kernagka yang dapat ditoleransi, dpat meberikan indikator yang baik bahwa fiskal tetap dianggap stabil. Dalam basis akrual, pembebanan bunga utang didasarkan atas kejadian ekonominya, bukan pembayaran semata. Jadi, meskipun pada akhir periode bunga belum dibayar, akan dianggap sebagai penyesuaian beban bunga pada hutang bunga. Dengan demikian, pembebanan ekonomi atas beban bung ini menjadi relevan dan akuntabel dalam memberikan gambaran besaran beban bunga yang sebenarnya dapat diakui dalam tahun berjalan. Pemerintah pun dapat melakukan analisis fiskal dengan dasar ini: peningkatan beban bunga dapat menilai bahwa fiskal stabil. 5) Subsidi Transfer tahun berjalan yang dibayar oleh unit pemerintah kepada perusahaan dalam rangka memberikan kompensasi atas kerugian operasi, baik berdasarkan tingkat aktivitas produksi atau berdasarkan kuantitas atau nilai barang/jasa yang diproduksi, dijual atau diimpor. Tidak ada negara yang tidak menggunakan subsidi. Bahkan negara yang bergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) seperti Inggris dan Amerika Serikat juga menjadikan instrumen subsidi 68 dalam pembangunan ekonomi. Subsidi kepada petani merupakan instrumen yang sangat penting diambil oleh negara OECD. Dia tidak saja dimaksudkan untuk memenuhi produksi dalam negeri, namun adalah untuk memperluas pangsa pasar internasional. Selain itu, program jaminan sosial yang dilakukan di negaranegara OECD juga menunjukan bagaimana negara maju sangat konsen terhadap kebijakan subsidi dalam rangka memberikan pelayan terhadap warga negaranya. Tujuan pemerintah melakukan subsidi adalah agar masyarakat dapat memenuhi hajat hidupnya dengan harga beli yang lebih terjangkau atas barang dan jasa publik yang disubsidi tersebut. Dengan alokasi yang tepat guna, bertambahnya beban subsidi dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Peningkatan daya beli atas kebutuhan tersebut, dapat meningkatkan pengeluaran agregat masyarakat. Akibatnya, setidaknya masyarakat, baik secara terpilih maupun tidak terpilih, dapat menikmati barang/jasa yang disubsidi tersebut. Subsidi terhadap barang produksi akan meningkatkan kemampuan dalam menghasilkan barang/jasa yang juga berdampak pada penyediaan barang/jasa di masyarakat dengan harga yang terjangkau. Keterlibatan masyarakat dalam penyediaan faktor produksi, juga berdampak serius dalam perekonomian. Dungtji Munawar (2013) menyatakan dalam makalahnya bahwa pelaksanaan subsidi perlu mengubah polanya sesuai dengan kondisi. Misalkan, pengalihan subsidi secara bertahap dari subsidi harga yang kurang efektif dan tidak tepat sasaran kepada subsidi bahan-bahan kebutuhan pokok bagi masyarakat kurang mampu (targeted subsidy). Pemerintah diharapkan tetap mempertahankan kebijakan subsidi baik subsidi energi maupun subsidi nonenergi karena subsidi ini masih diperlukan terutama oleh golongan yang memiliki daya beli rendah. Kebijakan subsidi non-energi supaya lebih fokus kepada program subsidi untuk mengurangi beban masyarakat miskin, dan membantu usaha kelompok kecil dan menengah. Misalkan lebih fokus kepada subsidi pupuk atau subsidi benih, dan apabila pemerintah akan menerapkan kebijakan pengurangan subsidi secara bertahap, maka harus dipilih terlebih dahulu skenario yang berdampak paling kecil dan berdasarkan database kependudukan yang akurat. 6) Hibah Transfer tidak wajib dalam bentuk kas atau nonkas yang dibayarkan ke unit pemerintah umum lainnya atau organisasi internasional. Beban Hibah yang diberikan pemerintah kepada organisasi internasional, akan dapat saja berlaku aturan main sebagimana pendapatan hibah yang diterima pemerintah: adanya kepentingan. Di dalam GFS, transaksi antarsektor berupa akun resiprokal yang tercakup dalam GFS dieliminasi, termasuk pemberian hibah dari pusat ke daerah, hibah dari pusat ke BUMN, ataupun dari BUMN ke BUMN. Eliminasi atas akun resiprokal ini dimaksudkan karena transaksi seolah-olah terjadi Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL Puput Waryanto dalam satu unit kesatuan yang tergabung dalam sebuah konsolidasi laporan GFS. Dengan penyatuan data laporan ini, pemberian hibah menjadi dapat lebih jelas efeknya untuk hibah yang diberikan ke luar sektor publik, bisa kepada masyarakat/rumah tangga umum, sektor privat, atau internasional. Kebiajakn fiskal dapat diambil dengan mengambil langkah yang tepat berdasarkan informasi yang akurat dari laporan GFS, khususnya dalam masalah hibah ini. 7) Manfaat sosial Transfer tahun berjalan kepada rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan yang timbul atas suatu kejadian seperti sakit, menganggur, pensiun, kebutuhan perumahan atau keadaan keluarga yang dapat dibayarkan dalam kas atau non-kas. Manfaat sosial ini merupakan konsekuensi dari pemerintah sebagai pelindung warganya. Pada sisi pendapatan, pemerintah juga memperoleh pendapatan dari kontribusi sosial, di mana pendapatan ini dihimpun dari iuran jaminan sosial dari masyarakat yang menjaminkan kondisi keseatan, kecelakaan kerja, atau kematiannya. Kemudian pada sisi beban, pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan manfaat atas jaminan tersebut ketika peristiwa menyebabkan klaim terjadi. Semakin besar manfaat sosial yang diberikan, ternyata berkorelasi positif terhadap kestabilan ekonomi karena masyarakat merasa terlindungi dan percaya kepada sektor publik. Uang pertanggungan dapat digunakan masyarakat untuk menanggung beban terkait, atau juga dapat digunakan untuk kebutuhan lain apabila masih bisa disisihkan. Kondsi kesehatan pun dapat terjaga, dan masyarakat dapat melanjutkan aktivitas ekonominya. 8) Beban lainnya Meliputi semua beban yang tidak dapat dimasukkan dalam klasifikasi lain. Penerapan GFS uang terintegrasi beserta penggunaan bais akrual menjadi tolok ukur dalam setiap pembebananm termasuk beban lainnya ini. Dengan tolok ukur ynag akurat, maka informasi yang diberikan akan lebih akurat sehingga dapat digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan dalam kebijakan fiskal pemerintah. 4.7. Hambatan dan Tantangan Penerapan GFS Pentingnya penerapan GFS, menuntut pemerintah segera merealisasikan GFS di Indonesia. Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 275/PMK.05/2014 tentang Manual Statistik Keuangan Pemerintah Indonesia (Mansikapi), pemerintah telah memiliki pedoman GFS. Mansikapi adalah bentuk GFS yang barusaja ditetapkan di Indonesia sebagai sebuah landasan dalam melakukan statistik keuangan pemerintah. Dalam tahap selanjutnya, perlu adanya sebuah petunjuk teknis yang jelas yang didasari oleh payung hukum. Meskipun mengadopsi dari GFSM 2014, Mansikapi tidak serta merta mengambil mentah- Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 mentah materi yang ada dalam GFSM 2014 tersebut, karena memang GFSM 2014 juga memberikan kelonggaran kepada pengguna untuk menyesuaikan penerapannya di negara masing-masing. Sebagaimana dijelaskan di GFSM, pembagian sektor dan subsektor dalam perekonomian, serta pendefinisian sektor pemerintah umum dan sektor publik untuk menentukan cakupan kompilasi data statistik dalam Statistik Keuangan Pemerintah Indonesia mempertimbangkan ketersediaan data statistik dan manfaatnya, serta cakupan unit dalam Statistik Keuangan Pemerintah. Jadi, meskipun terdapat sedikit perbedaan, tetapi masih dalam garis yang sama. Salah satu bentuk perbedaan yang diterapkan pemerintah RI adalah dimasukkannya BLU/BLUD dan UBL/LNS dalam unsur sektor pemerintahan umum di subsektor pemerintah pusat. Adapun alasan memasukkan BLU/BLUD adalah karena BLU/BLUD merupakan instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan pengklasfikasian BLU/BLUD sebagai kuasi-korporasi atau bagian dari sektor korporasi publik, jika terdapat BLU/BLUD yang memenuhi definisi unit institusi dan menjual barang/jasa dengan harga yang signifikan secara ekonomi. Dalam hal output laporan yang dihasilkan, Mansikapi tidak mewajibkan adanya Laporan perubahan kekayaan neto (The Statement of Total Changes in Net Worth) dan Laporan Ringkas Kewajiban Kontinjensi eksplisit dan Kewajiban implisit bersih untuk Manfaat Jaminan Sosial (The Summary Statement of Explicit Contingent Liabilities and Net Implicit Obligations for Future Social Security Benefits). Mansikapi hanya menjelaskan di bagian Neraca, bahwa perubahan kekayaan neto merupakan ukuran untuk menilai kesinambungan aktivitas fiskal. Kekayaan Keuangan Neto (net financial worth) sama dengan aset keuangan dikurangi dengan kewajiban. Indikator ini diperlukan karena kesulitan untuk menetapkan harga pasar aset non-keuangan, sehingga beberapa analisis difokuskan pada aset keuangan, dan tidak menggunakan total asetnya. Dengan demikian laporan harus diinterpretasi sendiri oleh pengguna dari neraca. Tantangan berikutnya, adalah sebagimana disajikan dalam tabel 1 Perbedaan Konseptual, terdapat perbedaan prinsip antara GFS dengan standar akuntansi pemerintah (pada sektor pemerintahan umum), serta antara GFS dengan standar akuntansi keuangan (pada sektor perusahaan publik), mulai dari tujuan, scope, entitas pelaporan, kriteria pengakuan, pengukuran, revaluasi dan perubahan nilai, serta integrasi arus dan posisi. Perbedaan mendasar inilah yang membuat pemerintah RI harus membentuk sumber daya baru atau memodifikasi sumber daya yang sudah ada agar penerapan GFS dapat terlaksana dengan baik, mengingat kegunaan GFS yang 69 RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL Puput Waryanto bermanfaat dalam menilai kebijakan fiskal. SDM adalah salah satu bagian utama sumber daya yang harus dipersiapkan. Dengan demikian, kegiatan pendidikan dan pelatihan yang memadai perlu dirancang. Di samping kesiapan SDM, hal terkait peraturan, sarana, dan prasarana juga merupakan hal yang penting. Kesiapan dari segi peraturan perundangan sudah mulai dilakukan, yakni Undang-Undang telah dipersiapkan sejak tahun 2004, tetapi kewajiban pembuatan Statistik Keuangan Pemerintah baru diakomodir setelah beberapa tahun kemudian. Tahun 2012, penegasan tugas dan fungsi kanwil Ditjen PBN tentang kewajiban membuat GFS Wilayah. Tahun 2013, penegasan dengan juklak. Kemudian, akhir tahun 2014, pembuatan Mansikapi (Manual Statistik Keuangan Pemerintah). Dengan demikian, dapat dilihat bahwa pada tahun 2012 Kanwil Ditjen PBN sudah ditugaskan untuk membuat GFS, tetapi pedoman baru terbit akhir tahun 2014. Demikian pula dengan SAP yang ada di Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010, meskipun telah mengakomodasi basis akrual, hal itu masih belum bisa secara keseluruhan dapat mengakomodasi Mansikapi. Komite Satandar Akuntansi Pemerintahan di Indonesia belum menyajikan PSAP secara spesifik mengenai GFS, tetapi dilihat dari bahasan yang dilakukan, bahasan lebih berfokus pada laporan keuangan konsolidasi dan Akuntansi Investasi. Laporan Keuangan Konsolidasian diatur di dalam PSAP 11, sedangkan Akuntansi Investasi diatur di dalam PSAP 06. PSAP 11 menjelaskan bahwa standar ini hanya menjelaskan penyusunan laporan keuangan konsolidasian pada unit-unit pemerintahan dalam rangka menyajikan laporan keuangan untuk tujuan umum, yaitu untuk memenuhi kebutuhan bersama sebagain besar pengguna laporan termasuk lembaga legislatif sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundangan. Hal ini dikuatkan dengan paragraf 5 PSAP 11, bahwa pernyataan standar laporan keuangan konsolidasi tidak mengatur: (a) Laporan keuangan konsolidasian perusahaan negara/daerah; (b) Akuntansi untuk investasi dalam perusahaan asosiasi; (c) Akuntansi untuk investasi dalam usaha patungan (joint venture); dan (d) Laporan statistik gabungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan demikian, yang dikonsolidasikan di dalam laporan keuangan pemerintah pusat di Indonesia mencakup semua entitas pelaporan keuangan semua entitas akuntansi termasuk laporan keuangan BLU. Dalam kerangka GFS, perlu juga dikembangkan beberapa sistem dalam menyusun laporan ekonomi dan statistik seperti Sistem Neraca Nasional (System of National Accounts - SNA), Manual Neraca Pembayaran (The Balance of Payments Manual), Manual Statistik Moneter dan Keuangan (The Monetary and Financial Statistics Manual). Tentu hal ini merupakan usaha dan prestasi, yang dapat diambil hikmahnya, bahwa banyak untuk membuat suatu tujuan tercapai, minimal harus memiliki payung hukum terlebih dahulu, dan kemudian diikuti oleh sarana dan prasarananya. 70 5. KESIMPULAN Berdasarkan estimasi model data panel menggunakan pendekatan PLS menunjukkan bahwa variabel LFDI mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel LGDP untuk seluruh sektor. Hal serupa juga ditunjukkan dengan menggunakan Model Efek Tetap dimana LFDI mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap LGDP pada tingkat signifikan 5% dengan intersep yang berbeda antar sektor. Dengan menggunakan Model Efek Acak, variabel LFDI berpengaruh secara signifikan terhadap LGDP di tingkat signifikan 5%. Dari seluruh estimasi model data panel tersebut menunjukkan bahwa variabelLFDI mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel LGDP. Selanjutnya, untuk mengetahui model mana yang memberikan performance paling baik dalam mejelaskan data digunakan Uji Chow atau Uji Likelihood Ratio dan Uji Hausman.Hasil dari uji tersebut menunjukkan bahwa pendekatan FEM menunjukkan performance yang lebih baik dalam menjelaskan data dibanding dengan pendekatan PLS dan REM. Dengan demikian untuk melakukan analisis hasil regresi digunakan Model EfekTetap. Hasil empiris menggunakan Pendekatan Efek Tetap menunjukkan bukti kuat bahwa PMAmempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap GDP pada tingkat signifikansi 5% dimana terlihat bahwa tidak semua subsektor dari PMA tersebut yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dari hasil regresi per sektor dengan menggunakan pendekatan Efek Tetap dengan spesifikasi efek menggunakan cross section fixed effect ditunjukkan bahwa subsektor Tanaman Pangan dan Perkebunan, Pertambangan, Industri makanan, serta Transportasi, Gudang dan Komunikasi berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa PMAmempunyai pengaruh signifikan terhadap GDP berasal dari sektor primer, sekunder, dan juga sektor tersier. 6. IMPLIKASI DAN KETERBATASAN Dalam penelitian ini, masih terdapat beberapaketerbatasan-keterbatasan yaitu penelitian ini hanyameneliti Gross Operating Balance sebagai representasi yan gmenjelaskan penerapan GFS, dalam pengaruhnyaterhadap kebijakan fiskal. Demikian pula kebijakan fiskal, hanya direpresentasikan oleh Debt to GDP Ratio. Penelitian ini tidak memperhitungkan faktor lain dalam GFS karena keterbatasan data kuantitatif yang telah dikumpulkan. Hasil pengujian Penerapan GFS dalam penelitian ini memiliki nilai kontribusi sebesar 81,1% yang artinya sisa variasi variabel terikatsebesar 18,9% dijelaskan oleh variabel bebas lain di luar model tersebut karena penulis hanya melibatkan variabelvariabelbebas sesuai dengan hal mendasar yang dapat diberikan oleh laporan GFS yang dijadikan rujukan dalam penelitian ini. Faktor lain bukan berarti tidak penting, tetapi secara statistik menang diperkirakan hanya memiliki kontribusi yang kecil. Saran untuk Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL Puput Waryanto penelitian selanjutnya adalah untuk menggali lebih dalam variable terikat yang mewakili Penerapan GFS, terlebih pada unsur-unsur lain yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. http://boenkza87frog.blogspot.com/2011/09/kompe nsasi-dan-kinerja-pegawai-dalam.html. Diakses pada tanggal 3 Maret 2015. DAFTAR PUSTAKA Alink, M. dan Komer, V. 2011. Handbook on Tax Adminsitration. Amsterdam: IBFD. Ghozali, Imam. 2007. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Semarang: BPUniversitas Diponogoro. International Monetary Fund. 2014. Government Finance Statistics Manual 2014. Irianto, Agus. 2004. Statistik: Konsep Dasar, Aplikasi, dan Pengembangannya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Iskandar. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan dan Sosial (Kuantitatif dan Kualitatif). Jakarta: Gaung Persada Press. John M. Barron, Mark A. Loewenstein, dan Gerald J. Lynch. 1988. Macroeconmics. Canada: AddisonWesley Publishing Company. Joseph Ntamatungiro. 2004. Fiscal Sustainability in Heavily Indebted Countries Dependent on Nonrenewable Resources: The Case of Gabon. IMF Working Paper. www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2004/wp04 30.pdf. Manurung, Mandala dan Prathama Rahardja. 2004. Pengantar Ilmu Ekonomi. Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Munawar, Dungtji. 2013. Memahami Pengertian dan Kebijakan Subsidi dalam APBN. Bandung: Balai Diklat Keuangan Cimahi. Nopirin. 2000. Ekonomi Moneter Buku II. Edisi ke-1 Cetakan Kesepuluh. Yogyakarta: BPFE UGM. Schuler, R.S., dan S.E. Jackson. 1999. Manajemen Sumber Daya Manusia: Menghadapi Abad Ke-21. Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Sugiyono, 2010. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Yamauchi, Ayumu. 2004. Fiscal Sustainability : The Case of Eritrea. IMF Working Paper, No 7, www.worldbank.org. https://www.gfmag.com/global-data/economicdata/public-debt-percentage-gdp. Diakses pada tanggal 3 Maret 2015. http://elibrarydata.imf.org/FindDataReports.aspx?d=33061&e= 170809. Diakses pada tanggal 3 Maret 2015. http://www.zakapedia.com/2014/09/pengertiankebijakan-fiskal-dan.html#_ Diakses pada tanggal 3 Maret 2015. Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 71 RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL Puput Waryanto LAMPIRAN Gambar 3. Kerangka Laporan Government Finance Statistics BASIS AKRUAL 72 BASIS KAS Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL Puput Waryanto Hasil Uji Asumsi Klasik dengan bantuan Aplikasi SPSS 18 Notes Output Created Comments Input 17-Jun-2015 04:46:52 Data Active Dataset Filter Weight Split File N of Rows in Working Data File Missing Value Handling Definition of Missing Cases Used Syntax E:\prak\Call For Paper\GFS\Call For Paper debt to GDP.sav DataSet1 <none> <none> <none> 5 User-defined missing values are treated as missing. Statistics for each test are based on all cases with valid data for the variable(s) used in that test. NPAR TESTS /K-S(NORMAL)=RES_1 /MISSING ANALYSIS. Resources Processor Time Elapsed Time Number of Cases Alloweda a. Based on availability of workspace memory. 00:00:00,016 00:00:00,036 196608 [DataSet1] E:\prak\Call For Paper\GFS\Call For Paper debt to GDP.sav One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test N Normal Parametersa,b Most Extreme Differences Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 Unstandardize d Residual 5 ,0000000 ,59513746 ,163 ,131 -,163 ,365 ,999 73 RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL Puput Waryanto Hasil Analisis Regresi dengan bantuan Aplikasi SPSS 18 REGRESSION /MISSING LISTWISE /STATISTICS COEFF OUTS R ANOVA /CRITERIA=PIN(.05) POUT(.10) /NOORIGIN /DEPENDENT Kebijakan_Fiskal /METHOD=ENTER Penerapan_GFS. Regression Notes Output Created Comments Input 02-Mar-2015 07:53:58 Data Active Dataset Filter Weight Split File N of Rows in Working Data File Missing Value Handling Definition of Missing Cases Used Syntax Resources E:\prak\Call For Paper\GFS\Call For Paper debt to GDP.sav DataSet1 <none> <none> <none> 5 User-defined missing values are treated as missing. Statistics are based on cases with no missing values for any variable used. REGRESSION /MISSING LISTWISE /STATISTICS COEFF OUTS R ANOVA /CRITERIA=PIN(.05) POUT(.10) /NOORIGIN /DEPENDENT Kebijakan_Fiskal /METHOD=ENTER Penerapan_GFS. Processor Time Elapsed Time Memory Required Additional Memory Required for Residual Plots 00:00:00,031 00:00:00,075 1380 bytes 0 bytes [DataSet1] E:\prak\Call For Paper\GFS\Call For Paper debt to GDP.sav Variables Entered/Removedb Model Variables Variables Entered Removed Method 1 Penerapan_GFSa . Enter a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: Kebijakan_Fiskal d i m e n s i o n 0 Model Summary Adjusted R Std. Error of R R Square Square the Estimate 1 ,926a ,858 ,811 ,68720554 a. Predictors: (Constant), Penerapan_GFS Model d i m e n s i o n 0 74 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL Puput Waryanto ANOVAb Model 1 Regression Residual Sum of Squares 8,583 1,417 Total df 10,000 1 3 Mean Square 8,583 ,472 F 18,175 Sig. ,024a 4 a. Predictors: (Constant), Penerapan_GFS b. Dependent Variable: Kebijakan_Fiskal Model 1 (Constant) Coefficientsa Unstandardized Coefficients B Std. Error 1,810 ,415 Penerapan_GFS -,838 a. Dependent Variable: Kebijakan_Fiskal Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 ,197 Standardized Coefficients Beta -,926 t 4,358 Sig. ,022 -4,263 ,024 75 Halaman ini sengaja dikosongkan This page intentionally left blank 76 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014, Halaman 77-88 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA JURNAL BPPK A SMALL MACROECONOMIC MODEL: MODELLING AND FORECASTING FOR MONETARY AND FISCAL POLICIES IN INDONESIA Heryanah International University of Japan (IUJ), Japan Email: [email protected] ARTICLE INFORMATION ABSTRACT ARTICLE HISTORY Received 23 September 2013 This paper constructed a small macro econometric model of Indonesia using annual time series data from 1986 to 2011. The model consists of 6 behavior, 1 identity equations, 7 endogenous and 5 exogenous variables. The model is generated by using simultaneousequation simulation and the Two Stage Least Square (TSLS) technique.Then the dynamic simulation of the whole model is performed. The performance of the model on the historical data is evaluated based on Root Mean Square Percentage Error (RMSPE).Fiscal and monetary policies are simulated in order to develop the multiplier. Finally, forecasting is generated to identify the future economic performance of Indonesia. Accepted to be published 28 November 2014 KEYWORDS: Macro econometric model Simultaneous simulation Fiscal policies Monetary policies Forcasting 1 INTRODUCTION Paper ini berusaha menciptakan model makro ekonometrik dari Indonesia dengan skala yang kecil. Data yang digunakan adalah data runtun waktu tahunan dari tahun 1986 sampai tahun 2011. Model yang dibentuk terdiri dari 6 persamaan ‘behavior’ dan 1 persamaan identitas. Sementara itu model juga terdiri dari 7 variabel endogenus dan 5 variabel eksogenus. Teknik yang digunakan adalah Two Stage Least Square (TSLS) dengan menggunakan simultaneous equation simulation. Simulasi dinamis diujikan terhadap model secara keseluruhan dan dievaluasi dengan melihat nilai dari Root Mean Square Percentage Error (RMSPE). Setelah mendapat model yang sesuai dilakukan dua simulasi terhadap model yaitu dengan simulasi kebijkanan fiscal dan moneter serta simulasi untuk forecasting. Recently, the usage of econometric models in a country, regional or even world has been expanded. Econometric model play a significant role for a country to determine the direction of its policy, particularly, those related to the economic policies. By constructing econometric model, policy makers could measure and forecast the impact of policy changes on their economy, particularly fiscal, monetary or mix policies. Moreover, they could make forecast of the economic performance for some period ahead. The objective of this study is to construct a small macro econometric model for Indonesia; thereafter the model can be used for policy analysis and forecasting. Second objective is to conduct policy analysis, namely fiscal, monetary and mix policies. To identify the endogenous variable which is impacted by the policy such as GDP, investment, consumption, interest rate, export and import. Finally, this paper would also make forecasting of the economic performance of Indonesia in the next 5 years. This study will develop a Small Scale Macroeconomic Model (SSMM) to explain economic behavior and the relation among endogenous and exogenous variables. SSMM is a comprehensive model that could obtain direct analytical solution even with fewer equations. The model is consists of 6 behavior Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014 and 1 identity equations that generated by using simultaneous-equation simulation and the Two Stage Least Square (TSLS) technique. This study consists of simplified model and variables to represent the real economic condition such as GDP, household consumption, government expenditure, private investment, export, import, official exchange rate, domestic interest rate, lending interest rate and money supply (M2). This paper is structured as follows: First chapter presents the introduction that consists of background, the objective, data methodology and the organization of the paper. Second chapter discuss macroeconomic condition in Indonesia. The third chapter presents the model specification and estimation. The fourth chapter simulates the fiscal and monetary policy through the model. The chapter 5 conducts forecasting of the macroeconomic condition of Indonesia. Finally, the sixth chapter provides the conclusions. 2 OVERVIEW OF THE MACROECONOMIC SITUATION AND THE DATA As the recent survey of development reported by Mahi and Nazara (2012), Indonesia has a good performance in economic development during these four decades. Apart from the crisis 1997, the growth rate of Indonesia has grown fast since 1980 and in the final 77 A SMALL MACROECONOMIC MODEL: MODELLING AND FORECASTING FOR MONETARY AND FISCAL POLICIES IN INDONESIA Heryanah Table 1. Descriptive of The Data GDPID HHC INV G X M DR LR M2 XCRID GDPUS DD Mean 1442385 824923.1 328692.3 113765.4 602307.7 486076.9 4.789861 8.847554 804903.8 5895.645 10329.62 58773.08 Median 1415000 843000 306000 97500 567500 435000 4.662262 9.552211 607000 8138.463 10450 45900 Maximum 2460000 1360000 602000 203000 1220000 942000 13.90054 16.50759 2880000 10389.94 13200 144600 Minimum 690000 376000 137000 67700 236000 186000 -19.32042 -26.23292 28000 1282.56 7030 -8000 Std. Dev. 490255.4 302371.9 124804.1 40327.74 271466.8 213995.1 6.806394 8.209665 822189.2 3728.355 2150.011 43630.84 Skewness 0.342355 0.104471 0.436146 1.035965 0.624805 0.452597 -1.585599 -3.057347 1.049064 Kurtosis 2.35168 Jarque-Bera 0.963243 1.312803 Probability 0.617781 0.518715 0.566859 0.097265 0.371389 0.458403 Sum 37502000 21448000 8546000 Sum Sq. Dev. 6.01E+12 2.29E+12 3.89E+11 4.07E+10 1.84E+12 1.14E+12 1158.175 1684.965 1.69E+13 3.48E+08 1.16E+08 4.76E+10 Observations 26 -0.11226 -0.056961 0.315628 1.919185 2.464213 2.903902 2.483185 2.212196 7.096858 14.02808 3.111332 1.107459 1.494484 1.967831 26 1.13529 26 4.660642 1.981011 1.560013 29.07747 172.2586 4.782415 3.934798 2.469519 1.585845 0.13982 0.290905 0.45252 2957900 15660000 12638000 124.5364 230.0364 20927500 153286.8 268570 1528100 26 26 26 0 26 0 26 0.091519 26 26 26 26 It should be note that: GDPID is Gross Domestic Product of Indonesia (constant LCU) in Billion Rupiah, HHC is Household final consumption expenditure, etc. (constant LCU) in Billion Rupiah, INV is Gross fixed capital formation (constant LCU) in Billion Rupiah, G is General government final consumption expenditure (constant LCU) in Billion Rupiah, X is Exports of goods and services (constant LCU) in Billion Rupiah, M is Imports of goods and services (constant LCU) in Billion Rupiah, LR is Real Lending interest rate (%), DR is Real Deposit interest rate (%), M2 is Money and quasi money (M2) (current LCU) in Billion Rupiah, XCRID isOfficial exchange rate (LCU per US$, period average), DD is Data Discrepancy in Billion Rupiah, GDPUS is United State Gross Domestic Product (constant LCU) in Billion Dollar quarter of 2012, the economy continues to grow a steady pace at 6.2 percent. The figure 1 shows the performance of the GDP of Indonesia from 1960 to 2011. As reported by The World Bank, 1The economic outlook for Indonesia in 2013 remains positive despite a weak global economy, but maintaining strong investment growth is vital.Domestic consumption and investment growth remain strong, while improving growth in Indonesia’s major trading partners supports a modest recovery in exports. A strong policy framework is key to facilitating investors’ ability to plan ahead and to maintaining the confidence in the future that motivates investment. On the fiscal side, the World Bank projects a full year 2012 deficit of 2.5 percent, slightly higher than the Government’s revised Budget target of 2.2 percent of GDP. Revenue growth has moderated but disbursements of capital and material expenditures are still behind their targets, despite strong nominal growth. A more comprehensive figure of Indonesian economy is shown in figure 2. The data used in this research are annual series data from 1986 to 2011. All the data are in the billion Rupiah obtained from World Development Indicators (WDI), consist of: 1 3 Indonesia Economic Quarterly: Policies in Focus http://www.worldbank.org/en/news/feature/2012/12/18/ indonesia-economic 78 1. Gross Domestic Product of Indonesia in constant LCU (GDPID). 2. Household Final Consumption Expenditure of Indonesia in constant LCU (HHC). 3. Gross Fixed Capital Formation of Indonesia in constant LCU (INV). 4. General Government FinalConsumption Expenditure of Indonesia in constant LCU (G). 5. Exports of Goods and Services of Indonesia in constant LCU(X). 6. Imports of Goods and Services of Indonesia constant LCU (M). 7. Real Lending Interest Rate (%) of Indonesia (LR). 8. Real Deposit Interest Rate (%) of Indonesia (DR). 9. Money and Quasi Money of Indonesia in current LCU (M2). 10. Official Exchange Rate is LCU per US$, period average (XCRID). 11. Data Discrepancy (DD) in Billion Rupiah. 12. United State Gross Domestic Product in constant LCU (XCRID). The descriptive of the data are as shown in the table 1. MACROECONOMIC INDONESIA MODEL OF Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 A SMALL MACROECONOMIC MODEL: MODELLING AND FORECASTING FOR MONETARY AND FISCAL POLICIES IN INDONESIA Heryanah Table 2. Unit Root Test (Augmented Dickey-Fuller test statistic) Variables Level First Difference Second Difference Domestic Interest Rate -4.157*** -6.072*** -4.925*** Government Spending -1.360 -4.075** -8.136*** GDP -0.366 -3.357* -6.106*** Household Consumption -2.410 -4.723*** -8.341*** Investment -2.029 -3.479* -5.448*** Lending Interest Rate -4.655*** -6.388*** -4.897*** Import -1.929 -4.692*** -5.785*** Export -1.484 -5.974*** -5.830*** Exchange Rate -1.115 -6.680*** Note: * significant at 10%, ** significant at 5%, *** significant at 1% Since this study using time series data, therefore it is important to check the stationary of the data first before doing estimation. Table 2 shows the ADF for unit root test of the data. The result show that only domestic and lending interest rate are stationer in the level, while other stationer in the first difference. 4.7.1. Private Investment Xt = - 966102.7+ 172.2995USYt - 35.85316ERt (-5.438951) (7.155276) (-2.581941) R2 = 0.87 3.1.1 Private Consumption Ct = - 19581.18+ 0.227198Yt + 0.655512Ct - 1 (-1.06) R2 = 0.993 DW = 2.17 (4.39) (7.68) s = 26500.79 Durbin h = -0.303 s = 102138.7 Multiplier = 3.1 Behavior Equation The model used in this paper is a small macro econometric model that consists of 6 behavioral and 1 identity equations. The behavior equations are: private consumption, private investment, export, import, deposit interest rate and lending interest rate. The specification of the behavioral equations is as follows. -8.043*** 1 1−0.235574 dW = 1.054 = 1.308 The investment equation contains both a multiplier and the accelerator, with investment also depending on the short-term lending interest rate (LR). From the regression, we have the results that the multiplier and accelerator coefficients are significant at 1 per cent confidence level, and lending interest rate significant at 5 per cent confidence level; while the constant just significant at 13 per cent significance. The multiplier effect is about 1.31 suggested that rising in 1 Billion Rupiah in investment will generate 1.31 Billion Rupiah increase in the equilibrium GDP. The accelerate effect is about 0.33 4.7.2. Export It = - 48764.16+ 0.329103(Yt - 1 - Yt - 2) The t statistics (in the parenthesis below each estimated coefficient), the R2, the standard error and the DW statistic are shown for each equation. This equation content lagged dependent variables; therefore the Durbin h statistic is also calculated. Except for constant, the GDP and the previous consumption are significant at 1 per cent confidence level and based on the LM test, there is NO SERIAL CORRELATION in this equation. From the result we see that the Short-run Marginal Propensity to Consume (MPC) for Indonesia is 0.23, suggesting that 1 billion Rupiah increase in real income (as measured by GDP) would increase mean consumption by about 0.23 billion Rupiah. 0.227198 The Long-run MPC is 0.66 ( ). It means 1−0.655512 when consumers have had time to adjust to the 1 Billion Rupiah change in income, they will increase their consumption ultimately by about 0.66 Billion Rupiah. Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014 + 0.235574Yt + 1762.404LRt - 5 (-1.59) R2 = 0.94 (3.13) s = 28999.38 (12.98)(2.32) DW = 1.067 The official exchange rate and interest rate have a negative relationship with export. The entire coefficient is significant at 1 per cent confidence level. If the exchange rate increases by 1 Rupiah, the export value will decrease by 35.85 Billion Rupiah and if US GDP increases by 1 Billion Dollar, the export value will increase by 172.3 Billion Rupiah. 79 A SMALL MACROECONOMIC MODEL: MODELLING AND FORECASTING FOR MONETARY AND FISCAL POLICIES IN INDONESIA Heryanah Table 3. RMSPE of The Baseline 4.7.3. Import Mt = - 187388.9+ 0.530523Yt - 16.82788ERt - 1 (-5.330707) (15.83243) R2 = 0.95 (-3.971189) s = 48513.98 DW = 1.38 GDPID RMSPE: (-1.347772) R2 = 0.49s = 5.009 (4.713158) DW = 2.56 The lending interest rate and domestic interest rate have a positive e relationship. The coefficient is significant at 1 per cent confidence level. If the current plus previous lending interest rate increases by 1 per cent, the domestic interest rate will increase by 0.4 per cent. 4.7.5. Lending Interest Rate LRt = 17.91118- 9.83E - 06 Yt + 0.000121(Yt - Yt - 1) - 1.08E - 05 (M2 - M2t - 1) - 0.122685(LRt - 1 + LRt - 2) (3.63) (-0.68) R2 = 0.86 (-2.25) (-1.89) S = 3.471 (8.72) DW = 1.723 Durbin h = 0.756 This equation content lagged dependent variables; therefore the Durbin h statistic is also calculated. Except for M2-M2t-1, the entire coefficient is significant. The lending interest rate has negative related with GDP but has positive relation with the changes of GDP. 4.8. System and Model By utilizing the Two-Stage Least Squares method (TSLS), we create the simmulation system and models. In the system, I include 6 behaviour equations as explained above, and incorporate 1 identity equation. All coefficients are significant, except for C (1), C (4), C (14), C (17) and C (19) (the results are in the appendixes). Then I construct the dynamic simulation involving the system and identity equation GDP = consumption + government expenditure + investment + export – import + data discrepancy. The figure 1 below describes the result of the simulations by comparing the endogenous variables with their actual values. 80 LR M X DR 0.26 0.23 0.29 0.4 0.4 0.41 8.67 0.03 0.17 1.13 0.12 0.16 2.12 After Improvement 0.06 4.9. Model Validation To test the model, the root mean square percentage error (RMSPE) value are obtained. The results are shown at table 3. And the formula of RMSPE is 𝑅𝑀𝑆𝑃𝐸 = 4.7.4. Deposit Interest Rate DRt = - 2.418732+ 0.401136(LRt + LRt -1) INV Before Improvement RMSPE: The result shows that GDP has a significant positive impact on import at 1% significance level and official exchange rate also has a negative significant impact at 1% significance level. If the GDP increases by 1 Billion Rupiah, the import value will increase by 0.53 Billion Rupiah and if official exchange rate increases by 1 Rupiah, the import value will decrease by 16.8 Billion Rupiah. HHC 1 𝑇 𝑌𝑡𝑠 − 𝑌𝑡𝑎 2 𝑇 𝑡=1 𝑌𝑡𝑎 From the result of Root Mean Square Percentage Errors, the entire variable are acceptable (below 5%), except the Domestic interest rate equation (DR). Therefore, it should be improved by using Two Stage Least Square. After make the improvement, the test shows that the Root Mean Square Percentage Errors are acceptable. Therefore this model can be used for the policy simulation and forecasting purposes. Figure 3 describe the result of the simulations by comparing the endogenous variables with their actual values. 5. FISCAL AND MONETARY POLICIES One of the objectives of this study is to examine the impact of government policies namely fiscal and monetary policies on the economy. This objective could be achieved by examining multiplier analysis. Multiplier is obtained by dividing magnitude of shock change in policy variables to the different between the base-run and the policy simulation. There are two scenarios that would be presented in this study. First, suppose Indonesian government imposes the expansionary fiscal policy in the economy, in other word government increases their expenditure by 20%. Then, the impact of this policy is shown in the figure 4 and the multiplier is presented in table 4. From the result of the simulation, we may see that if government increases their spending by 20 %, most of the economics variables will have positive impacts. On average, in time period study, GDP will increase by 1.69%, household consumption increase by o.64%, investment increase by 2.33%. Export and import will increase by 0.97 % and 2.85 % respectively. While, deposit and lending interest rate will decrease as amount of 0.4 %, 9.48 % and 3.74 % respectively. Second scenario is suppose the government of Indonesia imposes mix policy in the economy. Figure 5 shows the simulation of Mix Policy by incorporating expansionary fiscal policy, by increasing government spending by 10% combine with monetary contraction, by reduce money supply 10% as well. While table 5 illustrates the multiplier resulted from the policy. Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 A SMALL MACROECONOMIC MODEL: MODELLING AND FORECASTING FOR MONETARY AND FISCAL POLICIES IN INDONESIA Heryanah Table 4. The Multiplier of Fiscal Policy Year DR GDPID HHC INV LR M X 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 20.79 -6.88 2.88 14.89 24.68 13.57 -41.99 -3.22 -125.79 64.79 -123.90 -115.01 -59.02 459.99 139.72 -51.84 -150.11 354.66 33.13 -416.17 -234.33 2.15 2.06 0.92 0.01 -0.26 -0.33 -0.74 4.32 3.18 1.70 3.07 3.01 2.61 1.58 1.49 1.64 1.31 1.53 2.85 2.14 1.34 -0.61 -0.76 -1.11 -1.27 -1.25 -1.27 -1.31 -1.08 -0.29 0.32 0.93 1.40 1.72 1.92 2.10 2.29 2.21 2.16 2.35 2.47 2.42 1.65 4.75 0.70 -1.44 -1.45 0.43 -1.11 2.18 14.60 0.76 1.25 5.11 7.57 0.49 -0.57 2.91 1.69 0.91 2.78 4.71 0.93 25.24 -3.25 -13.91 -6.14 -0.72 0.63 -6.49 -21.40 -7.92 -12.86 -36.90 -3.72 -11.23 -11.02 1.74 16.98 120.70 -15.00 -23.84 -24.56 -44.91 4.28 3.88 1.82 0.27 -0.18 -0.30 -0.90 7.23 6.33 2.84 5.23 5.27 4.26 2.37 2.17 2.38 1.84 2.14 4.16 3.06 1.79 4.59 2.31 0.69 -1.14 -1.95 -3.08 -3.35 17.60 3.81 2.53 6.76 3.10 0.32 -0.40 -0.40 -1.99 -2.48 -1.75 0.72 -2.32 -3.14 Average -9.48 1.69 0.64 2.33 -3.74 2.85 0.97 From the results, we observe that if the government of Indonesia imposes the expansionary fiscal and monetary contraction policies to the economic, simultaneously, GDP, investment, export and import will improve with increasing incremental over the simulation period performance in Indonesia. On average, in time period study, GDP increase 0.61 %. Investment, import and export will increase as well as 1.06 %, 1.16 % and 0.97 % respectively. Meanwhile, that policy will make household consumption decrease as 0.4 %. Deposit and lending interest rate decrease as well as the amount 10.7 % and 4.57% respectively. 6. FORECASTING Since forecasting performance usually declines with the length of the forecasting horizon. In this study, forecasting is set for next 5 years. It means, in this study, we will forecast up to year 2016. Firstly, all exogenous variables in this model i.e., exchange rate, US GDP, money supply and Data discrepancy are forecast by employing Exponential Smoothing technique with choosing Holt-Winters – No Seasonal option. For government spending, it is forecasted by estimating with using AR (auto regression) with corporate trend. Secondly, the model is solved to estimate the future values of all endogenous variables. The figure 4 demonstrates the forecasting results for Indonesia until 2016. It can be seen that all variables tend to have upward trend, except for deposit and lending interest rate. We observe that all variables tend to continue the Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014 expanding trend at least up to 2016, except for deposit and lending interest rate. 7. CONCLUSIONS This paper attempted to construct a small size macro econometric model (SSMM) for the economy of Indonesian using annual time series data from 1986 to 2011. The model is generated by using simultaneousequation simulation and the Two Stage Least Square (TSLS) technique. Then the dynamic simulation of the whole model is performed. The performance of the model on the historical data is evaluated based on Root Mean Square Percentage Error (RMSPE). The model is convenient for simulating fiscal and monetary policy and economic forecasting. The comparison of the actual, baseline and scenario indicates that growth estimate of the expansionary policies is optimistic. Additionally, the projecting results show that current expanding economic trend will be continued by growth scenes for the Indonesian economy in the future. REFERENCES Mahi, B. R. and Nazara, S. (2012). “Survey of recent developments.”Bulletin of Indonesian Economic Studies.(48). 7-31. Pasaribu. (2003) “An Econometric Model of the Indonesian Economy: Fiscal Policy Analysis”, International University of Japan. Pindyck, Robert S. and Daniel L. Rubinfeld (1998), “Econometric Models & Economic Forecasts”, Fourth Edition, McGraw-Hill, Singapore. 81 A SMALL MACROECONOMIC MODEL: MODELLING AND FORECASTING FOR MONETARY AND FISCAL POLICIES IN INDONESIA Heryanah Aung, S.H. (2009). “A Macroeconometric Model of Myanmar.”International University of Japan, 2009. The World Bank (2013).”Indonesia Economic Quartery.” http://www.worldbank.org/en/news/feature/2012/1 2/18/indonesia-economic 82 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 A SMALL MACROECONOMIC MODEL: MODELLING AND FORECASTING FOR MONETARY AND FISCAL POLICIES IN INDONESIA Heryanah APPENDIX Table 5. The Multiplier of Mix Policy Year DR GDPID HHC INV LR M X 1991 14.59 1.28 -0.98 0.81 14.99 2.76 4.59 1992 -13.06 0.85 -1.48 2.29 -5.37 1.84 2.31 1993 2.74 -0.22 -2.02 -0.97 -11.83 -0.01 0.69 1994 17.13 -1.01 -2.24 -2.46 -5.3 -1.28 -1.14 1995 25.46 -1.25 -2.25 -2.38 -0.73 -1.62 -1.95 1996 12.05 -1.46 -2.34 -1.27 -1.96 -1.92 -3.08 1997 -42.14 -1.81 -2.41 -2.59 -4.99 -2.41 -3.35 1998 -5.71 3.21 -2.19 1.24 -22.7 5.46 17.6 1999 -123.61 2.27 -1.34 13.72 -7.48 4.54 3.81 2000 64.92 0.82 -0.68 0.01 -13.25 1.39 2.53 2001 -123.54 2.07 -0.09 0.12 -36.12 3.54 6.76 2002 -115.05 1.98 0.36 3.89 -3.03 3.47 3.1 2003 -58.52 1.59 0.67 6.42 -10.51 2.6 0.32 2004 462.41 0.59 0.88 -0.44 -11 0.87 -0.4 2005 139.15 0.46 1.04 -1.61 1.07 0.64 -0.4 2006 -52.66 0.57 1.2 1.61 16.39 0.77 -1.99 2007 -149.1 0.21 1.1 0.46 107.98 0.24 -2.48 2008 349.33 0.37 1.01 -0.32 -15.36 0.46 -1.75 2009 34.45 1.48 1.1 1.27 -22.31 2.13 0.72 2010 -418.98 0.78 1.16 2.89 -23.37 1.05 -2.32 2011 -244.6 0.01 1.07 -0.51 -41.15 -0.07 -3.14 Average -10.7 0.61 -0.4 1.06 -4.57 1.16 0.97 Figure 1. The GDP of Indonesia (in Billion Rupiah) 1960-2011 3000000 2500000 2000000 1500000 1000000 500000 1960 1962 1964 1966 1968 1970 1972 1974 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 0 GDP Source: BPS RI Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014 83 A SMALL MACROECONOMIC MODEL: MODELLING AND FORECASTING FOR MONETARY AND FISCAL POLICIES IN INDONESIA Heryanah Figure 2. Indonesian’s Historical Macro-Economic Indicators Source: The World Bank 84 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 A SMALL MACROECONOMIC MODEL: MODELLING AND FORECASTING FOR MONETARY AND FISCAL POLICIES IN INDONESIA Heryanah Figure 3. Simulation of Endogenous Variables DR GDPID 20 2,500,000 10 2,000,000 HHC 1,400,000 1,200,000 1,000,000 0 1,500,000 -10 1,000,000 800,000 600,000 400,000 -20 500,000 1990 1995 2000 Actual 2005 2010 200,000 1990 DR (Baseline) 1995 Actual INV 2000 2005 2010 1990 GDPID (Baseline) 1995 Actual LR 700,000 30 600,000 20 2000 2005 2010 HHC (Baseline) M 1,000,000 800,000 10 500,000 0 600,000 -10 400,000 400,000 300,000 -20 200,000 200,000 -30 100,000 -40 1990 1995 2000 Actual 2005 2010 INV (Baseline) 0 1990 1995 Actual 2000 2005 LR (Baseline) 2010 1990 1995 Actual 2000 2005 2010 M (Baseline) X 1,400,000 1,200,000 1,000,000 800,000 600,000 400,000 200,000 1990 1995 Actual 2000 2005 2010 X (Baseline) Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014 85 A SMALL MACROECONOMIC MODEL: MODELLING AND FORECASTING FOR MONETARY AND FISCAL POLICIES IN INDONESIA Heryanah Figure 4. Simulation of Expansionary Fiscal Policy DR GDPID 20 2,400,000 10 2,000,000 0 1,600,000 HHC 1,400,000 1,200,000 1,000,000 800,000 -10 1,200,000 -20 600,000 800,000 1990 1995 2000 DR (Scenario 2) 2005 2010 400,000 1990 DR (Baseline) 1995 2000 2005 2010 1990 GDPID (Scenario 2) GDPID (Baseline) INV 1995 HHC (Scenario 2) LR 600,000 500,000 2000 2005 2010 HHC (Baseline) M 30 900,000 20 800,000 10 700,000 0 600,000 -10 500,000 -20 400,000 -30 300,000 400,000 300,000 200,000 -40 1990 1995 2000 INV (Scenario 2) 2005 2010 INV (Baseline) 200,000 1990 1995 LR (Scenario 2) 2000 2005 LR (Baseline) 2010 1990 1995 M (Scenario 2) 2000 2005 2010 M (Baseline) X 1,200,000 1,000,000 800,000 600,000 400,000 200,000 1990 1995 X (Scenario 2) 86 2000 2005 2010 X (Baseline) Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 A SMALL MACROECONOMIC MODEL: MODELLING AND FORECASTING FOR MONETARY AND FISCAL POLICIES IN INDONESIA Heryanah Figure 5. Simulation of Expansionary Fiscal and Monetary Contraction Policy DR GDPID 20 2,400,000 10 2,000,000 0 1,600,000 HHC 1,400,000 1,200,000 1,000,000 800,000 -10 1,200,000 -20 600,000 800,000 1990 1995 2000 DR (Scenario 2) 2005 2010 400,000 1990 DR (Baseline) 1995 2000 2005 2010 1990 GDPID (Scenario 2) GDPID (Baseline) INV 1995 HHC (Scenario 2) LR 600,000 500,000 2000 2005 2010 HHC (Baseline) M 30 900,000 20 800,000 10 700,000 0 600,000 -10 500,000 -20 400,000 -30 300,000 400,000 300,000 200,000 -40 1990 1995 2000 INV (Scenario 2) 2005 2010 INV (Baseline) 200,000 1990 1995 LR (Scenario 2) 2000 2005 LR (Baseline) 2010 1990 1995 M (Scenario 2) 2000 2005 2010 M (Baseline) X 1,200,000 1,000,000 800,000 600,000 400,000 200,000 1990 1995 X (Scenario 2) 2000 2005 2010 X (Baseline) Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014 87 A SMALL MACROECONOMIC MODEL: MODELLING AND FORECASTING FOR MONETARY AND FISCAL POLICIES IN INDONESIA Heryanah Figure 6. Forecasting Simulation DR GDPID 20 HHC 3,000,000 1,600,000 1,400,000 2,500,000 10 1,200,000 2,000,000 1,000,000 1,500,000 800,000 0 600,000 -10 1,000,000 400,000 -20 500,000 1990 1995 2000 Actual 2005 2010 2015 200,000 1990 DR (Scenario 3) 1995 Actual INV 2000 2005 2010 2015 1990 GDPID (Scenario 3) 1995 Actual LR 700,000 30 600,000 20 2000 2005 2010 2015 HHC (Scenario 3) M 1,000,000 800,000 10 500,000 0 600,000 -10 400,000 400,000 300,000 -20 200,000 200,000 -30 100,000 -40 1990 1995 2000 Actual 2005 2010 2015 INV (Scenario 3) 0 1990 1995 Actual 2000 2005 2010 LR (Scenario 3) 2015 1990 1995 Actual 2000 2005 2010 2015 M (Scenario 3) X 1,400,000 1,200,000 1,000,000 800,000 600,000 400,000 200,000 1990 1995 Actual 88 2000 2005 2010 2015 X (Scenario 3) Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015, Halaman 89-106 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA JURNAL BPPK STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS) Muhammad Na'im Amali Kantor Pelayanan Pajak Klaten, Jakarta. Email: [email protected] INFO ARTIKEL ABSTRAK SEJARAH ARTIKEL Diterima Pertama 5 Maret 2015 Mengingat perannya yang sangat strategis, Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus dituntut mampu untuk meningkatkan kinerjanya dengan cara meningkatkan kapabilitas pegawai melalui proses pembelajaran berkelanjutan sebagai bagian dari reformasi administrasi perpajakan yang terus dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan deskripsi mengenai proses pembelajaran yang berlangsung di lingkungan Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus; menganalisis hubungan struktur model pembelajaran pegawai yang dibangun dari kemandirian belajar di lingkungan kerja, proses transformasi ke dalam bentuk pembelajaran organisasi, penerapan manajemen pengetahuan, dan penciptaan inovasi dalam konteks organisasi pembelajar dalam rangka untuk meningkatkan kinerja organisasi; serta menganalisis ada tidaknya perbedaan struktur model pembelajaran pegawai antar unit kantor pajak dan antar kelompok pegawai. Dinyatakan Dapat Dimuat 12 Juni 2015 KATA KUNCI: Kemandirian belajar, pembelajaran organisasi, manajemen pengetahuan, inovasi, kinerja organisasi. 1. Kekayaan Due to its strategic role, the Regional Office of the DGT of Special Jakarta is required to be able to improve its performance by improving its employees’ capabilities through sustainable learning processes as part of the taxation administration reform continuously made. This study aims to describe the learning proccess in the Regional Office of DGT of Special Jakarta; to analyze the relationships of the structure of the employee learning model constructed of the self-directed learning in the workplace, the process of the transformation into the organizational learning form, the knowledge management application, the innovation creation in the context of the learning organization in order to improve the organizational performance; and to analyze whether or not there is a difference in the structure of the employee learning model among tax office units and among groups of employees. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penerimaan pajak dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan dua hal penting dalam pertumbuhan ekonomi sebagai bagian dari kebijakan fiskal. Dalam perspektif anggaran, penerimaan pajak merupakan faktor penentu besarnya APBN karena menyumbang lebih dari 75%. Dengan rata-rata laju pertumbuhan penerimaan perpajakan 14,49% selama periode 2009-2013 telah berhasil mengurangi porsi pembiayaan yang bersumber dari hutang luar negeri setiap tahunnya. Makin menurunnya porsi pembiayaan dari pinjaman luar negeri yang diakibatkan oleh makin meningkatnya porsi penerimaan perpajakan memperlihatkan betapa peranan pajak kian menjadi penting. Berdasarkan hal tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) perlu mengoptimalkan tugasnya dalam menghimpun pajak agar negara mampu membiayai APBN secara mandiri. Untuk semakin meningkatkan peranan DJP, dilakukan reformasi perpajakan sejak tahun 1984 dengan mengubah sistem administrasi perpajakan dari sistem official assessment menjadi sistem self assessment. Sistem self assessment menuntut adanya Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014 peran aktif dari Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya. Kesadaran dan kepatuhan yang tinggi dari Wajib Pajak merupakan faktor terpenting dari pelaksanaan sistem tersebut. Dalam pelaksanaan sistem ini, kewenangan untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada Wajib Pajak sehingga harus aktif dalam menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang melalui pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT). Sedangkan pegawai pajak melakukan fungsi pengawasan terhadap kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut. Namun demikian perlu dilakukan pengujian terhadap kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan pengetahuan pegawai pajak melalui proses pembelajaran (learning proccess). Proses pembelajaran merupakan sumber keunggulan kompetitif yang signifikan bagi organisasi dan dapat meningkatkan kinerja individu dan organisasi (Ellinger, 2004: 158). Pembelajaran dimaknai sebagai proses, cara maupun kegiatan penggunaan pengetahuan untuk meningkatkan kapasitas pegawai dan organisasi dalam rangka meningkatkan kinerja. Penggunaan pengetahuan 89 ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS) Muhammad Na’im Amali dengan lebih baik akan memberikan pengaruh yang bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi (Bontis, 1998: 63). DJP memerlukan pengelolaan sumber daya internal berupa pengetahuan guna mendukung kinerjanya. Peningkatan kinerja dapat diupayakan melalui peningkatan kapabilitas pegawai, karena kapabilitas yang baik dapat mendukung kemampuan pegawai untuk menyerap informasi dan memberikan kontribusi terhadap pencapaian kinerja organisasi. Peningkatan kapabilitas pegawai DJP antara lain dapat dilakukan dengan melakukan transformasi organisasi untuk menjadi organisasi pembelajar (learning organization). Salah satu kunci keberhasilan organisasi ditandai oleh adanya proses pembelajaran untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang cepat dan kompetitif, serta meningkatkan kemampuan penerapan pengetahuan pegawai di dalam organisasi (Cook dan Yanow, 1993: 373-90). Karakteristik penting pembelajaran pada dasarnya adalah kemampuan pegawai untuk menemukan atau menciptakan peluang belajar dari sumber-sumber apapun yang tersedia dan memberikan nilai tambah bagi organisasi melalui proses konversi dari informasi yang sifatnya individual menjadi pengetahuan bagi organisasi. Kapasitas individual untuk memberikan kontribusi dalam membentuk pengetahuan bagi organisasi sangat ditentukan oleh kapasitas pegawai untuk menjadi pembelajar yang mandiri (self-directed learners). Karakteristik dalam pembelajaran organisasi selalu dimulai dengan upaya kemandirian belajar yang berkembang di lingkungan kerja (Confessore dan Kops, 1998: 365-75). Selanjutnya, dilakukan proses transformasi dari pembelajaran individual menjadi pembelajaran organisasional yang merupakan esensi dari pembelajaran organisasi atau organizational learning (Kim, 1993: 37-51). Agar pembelajaran organisasi mampu menghasilkan kinerja maksimal bagi orgnaisasi, maka diperlukan upaya untuk mengelola pengetahuan sebagai sumber daya internal organisasi melalui manajemen pengetahuan atau knowledge management (Davenport dan Prusak, 1998: 5). Manajemen pengetahuan bertujuan membuat pengetahuan menjadi eksplisit, menterjemahkan pengetahuan dan pengalaman, dan mengembangkan pengetahuan yang esensial bagi penciptaan kompetisi dasar pengetahuan. Penerapan manajemen pengetahuan yang baik mampu menghasilkan inovasiinovasi. Dalam jangka panjang, kemampuan berinovasi yang lebih baik dan lebih lama merupakan faktor penting bagi kesuksesan suatu organisasi. Mengingat DJP merupakan institusi perpajakan yang bertanggung jawab memenuhi sumber penerimaan APBN, seringkali kinerjanya lebih banyak diukur berdasarkan keberhasilan dalam capaian penerimaan pajak (bersifat kuantitatif), sedangkan kinerja di bidang lain, misalnya peningkatan kapasitas SDM melalui proses pembelajaran, kurang mendapatkan perhatian. Beberapa variabel yang sering digunakan untuk mengukur keberhasilan DJP di 90 antaranya adalah tingkat penerimaan pajak, kontribusi penerimaan pajak terhadap total penerimaan negara, dan tax ratio (Assifie, 2004: 1-4). Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus (selanjutnya disebut Kanwil) merupakan salah satu unit kantor operasional DJP. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.01/2012 tanggal 30 Maret 2012, Kanwil membawahi 9 (sembilan) Kantor Pelayanan Pajak (KPP), yaitu KPP Perusahaan Masuk Bursa (PMB), KPP Penanaman Modal Asing (PMA) Satu, KPP PMA Dua, KPP PMA Tiga, KPP PMA Empat, KPP PMA Lima, KPP PMA Enam, KPP Badan dan Orang Asing (Badora), dan KPP Minyak dan Gas Bumi (Migas). Tugas yang diemban Kanwil untuk mengamankan penerimaan pajak setiap tahun merupakan tugas yang berat. Berdasarkan Buku Laporan Tahunan (2013), Kanwil berhasil menghimpun penerimaan pajak tahun 2008 melebihi target yang telah ditetapkan oleh Kantor Pusat DJP yaitu 108.05%. Namun selama tahun 20092012, penerimaan pajak yang berhasil dihimpun cenderung dibawah target. Padahal besarnya target penerimaan pajak setiap tahun yang dibebankan kepada Kanwil ini selalu berada pada posisi terbesar kedua setelah Kanwil DJP Wajib Pajak Besar sehingga perannya sangatlah penting dan strategis dibandingkan dengan Kanwil DJP lainnya se-Indonesia. Porsi target penerimaan pajak Kanwil dibandingkan total target penerimaan pajak adalah 15,43% pada tahun 2010 dan meningkat sangat signifikan pada tahun 2012 menjadi 22,67%. Apabila kinerja penerimaan pajak Kanwil terus berada di bawah target yang ditetapkan maka dikhawatirkan dapat berpengaruh pada pencapaian pendapatan negara untuk APBN. Meskipun disadari bahwa untuk mengupayakan pemenuhan target penerimaan pajak tersebut, tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal tetapi juga sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti misalnya kondisi perekonomian dunia (Nasution, 2009: 197-8). Selain itu, kinerja masing-masing KPP yang berada di lingkungan Kanwil cenderung seragam dan tidak terlihat adanya “kompetisi” antar KPP maupun antar kelompok pegawai (pegawai struktural eselon, pegawai struktural non eselon, dan pegawai fungsional pemeriksa) dalam konteks pembelajaran dan peningkatan kapasitas organisasi. Kompetisi yang dimaksud adalah berupa kreativitas pelaksanaan tugas dalam rangka meningkatkan kinerja KPP dan kelompok pegawai di bidang pengembangan SDM, pelayanan perpajakan, peningkatan kepatuhan, pelaksanaan penegakan hukum melalui pemeriksaan dan penagihan, penerimaan pajak, dan peningkatan kompetensi pegawai melalui cara-cara yang inovatif dalam kerangka mencapai tujuan strategis organisasi. Proses internal bisnis yang dilakukan setiap KPP, pejabat struktural eselon, Account Representative, Penelaah Keberatan, Pemeriksa Pajak, bahkan staf pelaksana cenderung rutin mengikuti kebijakan yang ditetapkan secara sentralistik oleh Kantor Pusat DJP sehingga kurang tercipta budaya kreatif dan inovasi dalam organisasi tersebut. Padahal KPP-KPP yang Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS) Muhammad Na’im Amali berada di lingkungan Kanwil ini mengadministrasikan dan melakukan pengawasan terhadap kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak-Wajib Pajak yang memberikan kontribusi penerimaan pajak sangat signifikan. 1.2 Pokok Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan pokok studi ini adalah: bagaimanakah struktur model hubungan antara kemandirian belajar, pembelajaran organisasi, manajemen pengetahuan, dan inovasi dalam konteks organisasi pembelajar terhadap kinerja organisasi? Pokok permasalahan tersebut dirinci dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah praktik kemandirian belajar, pelaksanaan pembelajaran organisasi, penerapan manajemen pengetahuan, penciptaan inovasi yang berlangsung di lingkungan Kanwil dalam rangka untuk mencapai kinerja organisasi? 2. Apakah kemandirian belajar berpengaruh langsung terhadap pembelajaran organisasi, manajemen pengetahuan, inovasi, dan kinerja organisasi di lingkungan Kanwil? 3. Apakah pembelajaran organisasi, manajemen pengetahuan, dan inovasi berpengaruh langsung terhadap kinerja organisasi di lingkungan Kanwil? 4. Apakah terdapat perbedaan struktur model pembelajaran pegawai – yang meliputi kemandirian belajar, pembelajaran organisasi, manajemen pengetahuan, dan inovasi – yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi antar unit kantor pajak dan antar kelompok pegawai? 2. KERANGKA TEORITIS PENGEMBANGAN HIPOTESIS DAN 2.1 Administrasi Perpajakan dan Administrasi Publik Administrasi perpajakan merupakan kunci bagi berhasilnya pelaksanaan kebijakan perpajakan. Administrasi perpajakan mengandung tiga pengertian, yaitu suatu lembaga yang berwenang dan bertanggung jawab menyelenggarakan pemungutan pajak, pegawai dalam lembaga perpajakan yang melaksanakan kegiatan pemungutan pajak, dan proses kegiatan penyelenggaraan pemungutan pajak untuk tujuan tertentu berdasarkan perundang-undangan perpajakan yang berlaku (Mansury, 2002: 5-8). Pajak dan administrasi publik, khususnya administrasi pembangunan, adalah saling terkait yang merujuk pada fungsi pemerintahan, yaitu fungsi alokasi sumber daya, distribusi perpajakan, dan stabilitas ekonomi (Presetyo, 2008: 16-7). Keterkaitan keduanya tercermin dari peningkatan APBN dan target penerimaan pajak setiap tahun sebagai instrumen pembangunan nasional. Dalam rangka implementasi kebijakan perpajakan yang berdasarkan prinsip pemberdayaan masyarakat (community empowerment), sistem self assessment dipilih oleh Pemerintah mulai tahun 1984 sekaligus menandai dimulainya reformasi perpajakan Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 di Indonesia. Penerapan sistem self assessment berimplikasi pada kebutuhan pembelajaran bagi pegawai pajak mengingat kewenangan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban perpajakan berada dipihak Wajib Pajak. Kajian pembelajaran dalam organisasi dapat dipandang sebagai variabel dan metafora (Garavan, 1997: 18-29). Yang pertama memandang pembelajaran dalam organisasi sebagai sesuatu yang sengaja didesain dalam organisasi dan memiliki pengaruh pada output organisasi. Yang kedua, mengevaluasi organisasi sebagai budaya dan mengidentifikasi pembelajaran dalam organisasi sebagai bagian dari budaya organisasi. Penelitian ini menempatkan “pembelajaran” yang dilakukan pegawai dan organisasi, yang didukung pengelolaan pengetahuan dan penciptaan inovasi, sebagai variabel yang mempengaruhi kinerja organisasi dalam konteks organisasi pembelajar. 2.2 Organisasi Pembelajar dan Pembelajaran Organisasi Kim (1993: 37-51) menganggap bahwa organisasi pembelajar memiliki kemampuan untuk bertindak efektif. Menurut Ho (1999: 117-8), organisasi pembelajar memerlukan input dari anggota organisasi sehingga memungkinkan semua anggotanya memiliki kemampuan melakukan transisi berkelanjutan. Garvin (1993: 78-91) mencirikan organisasi pembelajar harus mahir memecahkan masalah, bereksperimen dengan pendekatan baru, belajar dari pengalaman, mencontoh best practices dari pihak lain dan mentransfer pengetahuan dengan cepat dan efisien melalui organisasi. Mengingat beberapa keunggulan yang mencirikan organisasi pembelajar tersebut sehingga Robinson et al. (1997: 228-34) menyatakan bahwa semua organisasi pada dasarnya menginginkan menjadi organisasi pembelajar. Karena organisasi pembelajar merupakan organisasi yang memiliki kemampuan menciptakan masa depan yang berkelanjutan (Senge, 1994: 14). Istilah organisasi pembelajar (learning organization) dan pembelajaran organisasi (organizational learning) sering digunakan secara bergantian sehingga kadang mengakibatkan kerancuan. Untuk menjelaskan perbedaan antara keduanya, Ortenbald (2001: 125-33) menyampaikan tiga perbedaan penting. Pertama, pembelajaran organisasi dipandang sebagai suatu proses atau serangkaian kegiatan, sedangkan organisasi pembelajar dipandang sebagai suatu bentuk organisasi. Kedua, terjadinya pembelajaran dalam organisasi adalah secara alami, sementara itu untuk mengembangkan organisasi pembelajar dibutuhkan suatu usaha. Ketiga, literatur tentang pembelajaran organisasi bersumber dari kajian akademik, sementara literatur tentang organisasi pembelajar lebih banyak dikembangkan dari praktik. Perbedaan lain juga dapat dilihat berdasarkan pada siapa yang melakukan pembelajaran dan lokasi pengetahuan. Dalam pembelajaran organisasi, fokusnya adalah individu, 91 ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS) Muhammad Na’im Amali sedangkan dalam organisasi pembelajar adalah pada tingkat individu, kelompok, dan organisasi. Dalam pembelajaran organisasi, pengetahuan dipandang berada di individu, sementara itu pengetahuan dalam organisasi pembelajar dipandang berada dalam individu dan memori organisasi. 2.3 Kemandirian Belajar Kemandirian para pegawai dalam proses pembelajaran merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh banyak organisasi yang ingin memanfaatkan pengetahuan dan pengembangan keterampilan untuk bersaing dalam konteks lingkungan yang cepat berubah. Knowles (1990: 18) mendefinisikan kemandirian belajar sebagai sebuah proses individual dimana pegawai mampu mengambil inisiatif, dengan atau tanpa bantuan orang lain, untuk mengidentifikasi kebutuhan pembelajaran yang diinginkan, merumuskan tujuan pembelajaran, memilih sumbersumber materi maupun pengajar dalam proses pembelajaran, memilih dan menggunakan strategi pembelajaran yang cocok, serta mengevaluasi hasil pembelajarannya. Sedangkan Guglielmino (1977:6467A) melihat kemandirian belajar sebagai sebuah kemampuan yang menunjukkan kesukarelaan individu untuk melakukan pembelajaran terus menerus, secara rutin dan independen. Jadi, kemandirian belajar merupakan suatu proses yang menunjukkan pada kemampuan individu, kepribadian, dan pola pembelajaran. Dalam pandangan Livneh (1988: 149-59), kemandirian belajar digambarkan dengan individu yang memiliki komitmen dan terbuka untuk belajar (committed and open to learning), pemrakarsa (initiators), kreatif dan cerdas (creative and resourceful), dapat mentolerir perbedaan pendapat (can tolerate ambiguity), berani mengambil risiko (risk), bersifat kompleks (complexity), percaya diri (self confident), memahami kebutuhan akan belajar (understand their own learning needs), dan bertanggung jawab atas pembelajaran yang dilakukan (take responsibility for their learning). Sedangkan Ho (2008: 1237) menggunakan empat dimensi dalam mengukur kemandirian belajar, yaitu komitmen diri (self-recognition), kegemaran untuk belajar (fondness for learning), pembelajaran aktif (active learning), dan pembelajaran berkelanjutan (continuous learning). 2.4 Pembelajaran Organisasi Argyris dan Schon (1978) dalam Friedman (2001: 399) mendefinisikan pembelajaran organisasi sebagai metafora dari proses-proses yang dilakukan pegawai sebagai agen pembelajar dalam organisasi, yaitu dengan melakukan deteksi dan koreksi atas kesalahankesalahan yang terjadi dalam praktik organisasi dan melekatkan hasil-hasilnya dalam persepsi (images) individual dan peta bersama (shared maps) organisasi. Menurut Friedman, proses deteksi dan koreksi yang dilakukan oleh individu sebagai agen pembelajar melalui empat tahap dalam siklus pembelajaran pengalaman (experiential learning), yaitu individu 92 mengenali kesenjangan, kontradiksi, atau ketidaksesuaian antara kinerja dengan standar; individu melakukan penelitian atau penyelidikan untuk mengetahui ketidaksesuaian yang dihadapi; individu mengembangkan beberapa ide atau usulan untuk melakukan perubahan; dan individu menerapkan idenya untuk melakukan perubahan. Definisi yang dikemukakan oleh Argyris dan Schon dianggap kurang sempurna karena lebih menekankan pada proses deteksi dan koreksi, yaitu aspek pembelajaran pasif – bagaimana organisasi beradaptasi terhadap perubahan. Nonaka et al (2001) kemudian menambahkan, organisasi perlu mempertanyakan dan merekonstruksi sudut pandang dan kerangka pemikiran melalui proses penciptaan pengetahuan yang berkelanjutan. Untuk mengatasi keterbatasan tersebut, studi tentang pembelajaran organisasi diperluas dengan memasukkan unsur penciptaan pengetahuan untuk memastikan proses pembangkitan ide-ide dan perilaku baru dilibatkan. Menurut Bontis et al. (2002: 437-69), proses pembelajaran organisasi terdiri dari empat tahap yaitu intuisi (intuiting), menterjemahkan (interpreting), mengintegrasikan (integrating) dan melembagakan (institutionalizing). Tahapan proses pembelajaran organisasi lainnya dikemukakan oleh Huber (1991: 88115), meliputi akuisisi pengetahuan (knowledge acquisition), penyebaran informasi (information distribution), interpretasi informasi (information interpretation), dan proses memori informasi (information memory process). Sedangkan Ho (2008: 1242) menggunakan dimensi pola berbagi informasi (information-sharing patterns), sikap pegawai (inquiry climate), praktik-praktik pembelajaran (learning practices), dan polar pikir pencapaian prestasi (achievement mindset) untuk mengidentifikasi pembelajaran organisasi. 2.5 Manajemen Pengetahuan Manajemen pengetahuan bagi Santosus dan Surmach (2001: 1) merupakan proses dimana organisasi melahirkan nilai-nilai dari aset intelektual dan aset yang berbasiskan pengetahuan. Pengetahuan merupakan sumber daya intangible yang apabila dikembangkan dan dikelola dengan baik akan mampu menciptakan kapabilitas pegawai. Selanjutnya Davidson dan Voss (2002: 32) memandang manajemen pengetahuan merupakan upaya yang memungkinkan organisasi menyerap pengetahuan, pengalaman, dan kreativitas para pegawainya untuk perbaikan kinerja organisasi. Pandangan ini didukung oleh beberapa pakar lainnya, diantaranya adalah Bergeron (2003: 9) yang melihat manajemen pengetahuan sebagai suatu pendekatan untuk mengelola aset intelektual dan informasi lain sehingga memberikan keunggulan bersaing bagi organisasi. Marquardt (1996) mengidentifikasi manajemen pengetahuan berdasarkan empat proses yaitu akuisisi pengetahuan (knowledge acquisistion), penciptaan pengetahuan (knowledge creation), penyimpanan pengetahuan (knowledge storageand renewal), serta Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS) Muhammad Na’im Amali transfer dan pemanfaatan pengetahuan (knowledge transfer and utilization). Zack (1999: 45-58) juga menyebutkan empat proses manajemen pengetahuan, yaitu akuisisi, perbaikan, penyimpanan dan pengambilan, serta presentasi pengetahuan. Sedangkan Gold et al. (2001: 185-214) berpandangan bahwa organisasi harus memiliki dua kemampuan dasar untuk mengelola pengetahuan, yaitu kemampuan infrastruktur pengetahuan dan kemampuan proses pengetahuan. Yang pertama berkaitan dengan teknologi, struktur dan budaya organisasi, sedangkan yang terakhir berkaitan dengan perolehan pengetahuan, konversi, dan proses aplikasi. 2.6 Penciptaan Inovasi Merx-Chermin dan Nijhof (2005: 135-82) memandang inovasi merupakan suatu proses dimana ide-ide yang bernilai ditransformasikan ke dalam bentuk nilai-nilai tambah baru bagi organisasi, pelanggan, pegawai dan stakeholders. Inovasi dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu ilmu dan informasi baru yang didapat secara tidak langsung dari lingkungan luar organisasi melalui proses pembelajaran; serta faktor internal, yaitu karakteristik pegawai (misalnya kreativitas, motivasi dan kepemimpinan) dan karakteristik organisasi (misalnya iklim, struktur, sistem dan prosedur serta aliansi strategis). Dalam kerangka berbagi pengetahuan Nonaka dan Takeuchi (1995: 3), inovasi termasuk invensi yang bertumpu pada kreasi pengetahuan, baik yang tacit maupun eksplisit dari individu, kelompok, dan organisasi sehingga dinyatakan bahwa tidak ada inovasi tanpa pengetahuan (there is no innovation without knowledge). Relasi kedua bentuk pengetahuan itu disebut konversi pengetahuan yang dapat dicapai melalui siklus sosialiasi, eksternalisasi, kombinasi, dan internalisasi (SECI). Bagi organisasi publik, inovasi merupakan alat yang spesifik bagi organisasi sebagai hasil dari pemanfaatan setiap peluang (opportunity) untuk melakukan kegiatan pelayanan yang lebih baik dibandingkan sebelumnya. Keberhasilan inovasi sangat dipengaruhi oleh kreativitas dari para aktor yang terlibat dalam inovasi, baik individu, organisasi, maupun stakeholders (Newel at al., 2002: 40-1). Hansen dan Birkinshaw (2007) dalam Fontana (2009: 91-7) mencoba melihat keberhasilan inovasi dari perspektif rantai nilai inovasi (innovation value chain) yang mampu membantu organisasi menciptakan dan menjadikan inovasiinovasinya berhasil. Perspektif rantai nilai inovasi melihat inovasi sebagai proses tiga fase yang sekuensial dan berkaitan secara proporsional serta menunjang proses penciptaan nilai. Rantai nilai inovasi mencakup tiga aktivitas, yaitu penggalian ide dan konsep (idea generation), pengembangan untuk mengubah konsep menjadi produk (idea conversion), dan penyebaran ide, produk di pasar (idea difussion; spread of the idea). Setiap aktivitas rantai nilai inovasi harus mampu menciptakan nilai tambah dan berimbang. Analisis rantai nilai inovasi tersebut dapat diterapkan di tingkat individu maupun organisasi. Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 2.7 Kinerja Organisasi Kinerja organisasi merupakan indikator yang mengukur seberapa baik suatu organisasi mencapai tujuan mereka. Kinerja organisasi pada umumnya hanya dapat dinilai pada organisasi yang efisien dan efektif dalam mencapai tujuan (Robbins dan Coulter, 2002). Drucker (1998: 150-7) memaknai efisiensi dengan melakukan hal-hal secara tepat (doing things right), dan efektivitas dengan melakukan hal-hal dengan benar (doing the right things). Dalam pandangan Schermerhorn et al. (2002), kinerja organisasi mengacu pada kualitas dan kuantitas prestasi kerja individu maupun kelompok. Pandangan ini mengacu pada pendapat Gomes (1995), kinerja organisasi meliputi beberapa dimensi yaitu quantity of work, menunjukkan jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode waktu yang ditentukan; quality of work, menunjukkan kualitas kerja berdasarkan syarat-syarat kesesuaian dan kesiapannya; job knowledge, terkait dengan luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan keterampilan; creativeness, keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan dan tindakan-tindakan untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang timbul; cooperation, kesetiaan untuk bekerjasama dengan orang lain; dependability, kesadaran dan kepercayaan dalam hal kehadiran dan penyelesaian kerja; initiative, semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan memperbesar tanggung jawabnya; personal quality, menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramahtamahan, dan integritas pribadi. Kaplan dan Norton (2001: 273-6) menyarankan menggunakan model Balance Scorecard (BSc) dalam mengukur kinerja organisasi karena mampu menciptakan first-loop learning, jika kinerja organisasi dapat mengimplementasikan strateginya; dan doubleloop learning, jika kinerja organisasi mampu mengkaji ulang kesesuaian strategi bisnis dengan perubahan lingkungan internal maupun eksternal. Model BSc mengintegrasikan pengukuran aspek keuangan dan non-keuangan dengan melihat berdasarkan empat perspektif yaitu keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Pengukuran kinerja organisasi yang hanya bertumpu pada aspek keuangan tidak akan cukup memberikan informasi yang mendalam bagi pengambil keputusan. Kinerja keuangan hanya cenderung mengukur tangible factors dan sifatnya jangka pendek. Faktor-faktor berwujud pada dasarnya adalah faktor akibat (lagging indicator), dan bukan faktor penyebab (leading indicator). Salah satu kelebihan model BSc adalah mampu menghubungkan secara langsung antara pembelajaran (learning) dengan performansi proses yang selanjutnya akan terhubung dengan kinerja organisasi secara keseluruhan. 2.8 Premis dan Kerangka Konseptual Premis yang digunakan berdasarkan penelitianpenelitian sebelumnya adalah: 1. Kemandirian Belajar berpengaruh positif terhadap Pembelajaran Organisasi (James-Gordon dan Bal, 2003; Lew, 2006); Manajemen Pengetahuan 93 ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS) Muhammad Na’im Amali (Akerlind dan Trevitt, 1999; Dolezalek, 2004); inovasi (Kim, 1997 dalam Muluk, 2008); serta Kinerja Organisasi (Janz, 1999; Bartlett dan Ghosal, 1993; Kandarian, 2004). 2. Pembelajaran Organisasi berpengaruh terhadap Manajemen Pengetahuan (Lee et al., 2007; Theriou dan Chatzoglou, 2008); serta Kinerja Organisasi (Hubber, 1998; Ruiz-Mercader et al., 2006; Theriou dan Chatzoglou, 2008). 3. Manajemen Pengetahuan berpengaruh positif terhadap Inovasi (Nonaka dan Takeuchi, 1995; Fontana, 2009); serta Kinerja Organisasi (Tobing, 2007; Afiouni, 2007; Choi et al., 2008). 4. Inovasi berpengaruh positif terhadap Kinerja Organisasi (Newell, 2002; Amabile dan Schneider (dalam Miron et al., 2004); Kreitner dan Kinicki, 2008; Soo et al., 2000; Fontana, 2009). Berdasarkan premis di atas kemudian disusun model kerangka konseptual dengan menempatkan variabel kemandirian belajar (KB) sebagai variabel eksogen; variabel pembelajaran organisasi (PO), manajemen pengetahuan (MP) dan inovasi (I) sebagai variabel intervening; dan variabel kinerja organisasi (KO) sebagai variabel endogenus. Kemandirian belajar dapat berpengaruh secara langsung terhadap kinerja organisasi, dapat juga berpengaruh secara tidak langsung terhadap kinerja organisasi dengan dimediasi oleh pembelajaran organisasi, manajemen pengetahuan dan inovasi. c. d. PO 1b KB 1c MP I b. 94 H0 : H1 : H0 : H1 : H0 : H1 : Tidak terdapat perbedaan struktur model pembelajaran pegawai yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi baik antar unit kantor pajak maupun antar kelompok pegawai. Hipotesis statistik untuk hipotesis penelitian ketiga adalah: a. H0 : Tidak terdapat perbedaan struktur model pembelajaran pegawai yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi antar unit kantor pajak (salah satu ada yang ≠) H1 : Terdapat perbedaan struktur model pembelajaran pegawai yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi antar unit kantor pajak (μ1a = μ2a = μ3a = μ4a) b. H0 : Tidak terdapat perbedaan struktur model pembelajaran pegawai yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi antar kelompok pegawai (salah satu ada yang ≠) H1 : Terdapat perbedaan struktur model pembelajaran pegawai yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi antar kelompok pegawai (μ1b = μ2b = μ3b = μ4b) KO 2c Tidak terdapat pengaruh langsung KB terhadap PO (xy1 = 0) Terdapat pengaruh langsung KB terhadap PO (xy1 ≠ 0) Tidak terdapat pengaruh langsung KB : 3. 2.9 Hipotesis Penelitian 1. Kemandirian Belajar berpengaruh langsung terhadap Pembelajaran Organisasi, Manajemen Pengetahuan, Inovasi, dan Kinerja Organisasi. Hipotesis penelitian pertama akan diuji melalui teknik statistik dengan hipotesis statistik: a. H0 terhadap MP (xy2 = 0) Terdapat pengaruh langsung KB terhadap MP (xy2 ≠ 0) Tidak terdapat pengaruh langsung KB terhadap I (xy3 = 0) Terdapat pengaruh langsung KB terhadap I (xy3 ≠ 0) Tidak terdapat pengaruh langsung KB terhadap KO (xz = 0) Terdapat pengaruh langsung KB terhadap KO (xz ≠ 0) Pembelajaran Organisasi, Manajemen Pengetahuan, dan Inovasi berpengaruh langsung terhadap Kinerja Organisasi. Hipotesis statistik untuk hipotesis penelitian kedua adalah: a. H0 : Tidak terdapat pengaruh langsung PO terhadap KO (y1z = 0) H1 : Terdapat pengaruh langsung PO terhadap KO (y1z ≠ 0) b. H0 : Tidak terdapat pengaruh langsung MP terhadap KO (y2z = 0) H1 : Terdapat pengaruh langsung MP terhadap KO (y2z ≠ 0) c. H0 : Tidak terdapat pengaruh langsung I terhadap KO (y3z = 0) H1 : Terdapat pengaruh langsung I terhadap KO (y3z ≠ 0) 2a 2b : 2. 1d 1a H1 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma, Pendekatan, dan Jenis Penelitian Kualitas sebuah penelitian yang dianggap baik selain memiliki relevansi dengan kajian teoritis yang dibangun, juga harus mampu menjaga obyektivitas Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS) Muhammad Na’im Amali pengukuran terhadap obyek yang diteliti (Creswell, 1994). Agar penelitian ini dapat memenuhi hal tersebut, maka paradigma penelitian yang dianggap relevan adalah paradigma post-positivism. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif karena lebih mengedepankan realitas obyektif. Berdasarkan beberapa tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dan verifikatif (deducto hypotetico verifikatif). 3.2 Populasi dan Sampel Populasi penelitian adalah 615 pegawai di lingkungan Kanwil, atau 56.32% dari jumlah pegawai yang memenuhi karakteristik yang disesuaikan dengan tujuan penelitian, yaitu (1) status responden merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan bukan calon PNS; (2) responden pegawai bukan struktural terdiri dari Account Representative dan Penelaah Keberatan, tidak termasuk pegawai Pelaksana; (3) responden fungsional merupakan pemeriksa pajak yang memiliki jabatan sebagai Pemeriksa Pajak Muda atau Pemeriksa Pajak Penyelia ke atas (golongan IIIc ke atas); serta (4) pegawai lainnya yang berstatus sebagai staf tidak dimasukkan sebagai responden karena sifat pekerjaan yang dilakukan relatif kurang strategis. Jumlah populasi tersebut terdiri dari 113 pegawai struktural eselon (18%) meliputi eselon 2, eselon 3, dan eselon 4; 357 pegawai bukan struktural (58%) meliputi Account Representative dan Penelaah Keberatan; dan 145 pegawai fungsional (24%) yaitu Pemeriksa Pajak. Teknik penentuan sampel menggunakan sampling jenuh. Agar sampel yang diambil sedapat mungkin mewakili populasi maka jumlah sampel minimal yang akan digunakan didasarkan pada pendekatan rumusan Slovin, sebesar 242 responden. Dari jumlah kuesioner yang disebarkan kepada populasi terpilih, kuesioner yang kembali dan memenuhi kriteria persyaratan untuk keperluan sampel penelitian sebanyak 394 (64%). 3.3 Definisi Operasional Penelitian ini terdiri dari tiga kelompok variabel, meliputi variabel bebas: Kemandirian Belajar (X); variabel antara: Pembelajaran Organisasi (Y1), Manajemen Pengetahuan (Y2), dan Inovasi (Y3); serta variabel terikat: Kinerja Organisasi (Z). Selanjutnya masing-masing variabel yang diinvestigasi dioperasionalisasikan ke dalam beberapa dimensi dan indikator beserta konsep, satuan ukuran dan skala pengukurannya: 1. Kemandirian belajar (X) merupakan proses individual dimana pegawai mampu mengambil inisiatif, dengan atau tanpa bantuan orang lain, untuk mengidentifikasi kebutuhan pembelajaran yang diinginkan, merumuskan tujuan pembelajaran, memilih materi maupun pengajar, menggunakan strategi pembelajaran yang sesuai, dan mengevaluasi hasil pembelajaran yang dilakukan. Variabel ini diukur dengan dimensi komitmen Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 belajar (Xa), memahami pentingnya pembelajaran (Xb), pembelajaran aktif (Xc), dan pembelajaran berkelanjutan (Xd), masing-masing memiliki dua indikator dan menggunakan skala pengukuran ordinal. 2. Pembelajaran organisasi (Y1) merupakan proses pengujian dan transformasi terus menerus pengalaman individual pegawai menjadi pengetahuan bersama yang dapat diakses dan digunakan organisasi untuk mencapai tujuan utamanya. Variabel ini diukur dengan dimensi pola berbagi pengetahuan (Y1a), sikap pegawai (Y1b), praktik pembelajaran (Y1c), dan pola pikir pencapaian prestasi (Y1d), masing-masing memiliki dua indikator dan menggunakan skala pengukuran ordinal. 3. Manajemen pengetahuan (Y2) merupakan pengelolaan pengetahuan organisasi untuk menciptakan nilai dan menghasilkan keunggulan bersaing atau kinerja prima. Variabel ini diukur dengan dimensi akuisisi pengetahuan (Y2a), kreasi dan pengembangan pengetahuan (Y2b), penyimpanan dan mendapatkan kembali pengetahuan (Y2c), dan transfer pengetahuan (Y2d), masing-masing memiliki dua indikator dan menggunakan skala pengukuran ordinal. 4. Inovasi (Y3) merupakan proses mentransformasikan ide-ide yang bernilai ke dalam bentuk produk maupun pelayanan perpajakan yang memiliki nilai-nilai tambah baru dan bermanfaat bagi organisasi, pegawai, Wajib Pajak, dan para pemangku kepentingan. Variabel ini diukur dengan dimensi penggalian ide (Y3a), pengembangan inovasi (Y3b), dan pemanfaatan produk dan jasa (Y3c), masing-masing memiliki dua indikator dan menggunakan skala pengukuran ordinal. Kinerja organisasi (Z) merupakan indikatorindikator yang digunakan untuk mengukur seberapa baik organisasi, baik pada tingkat organisasi maupun tingkat pegawai, menjadi lebih efisien dan efektif dalam mencapai tujuan organisasi. Variabel ini diukur dengan dimensi kinerja tingkat organisasi (Za) yang didasarkan pada aspek hasil (results) meliputi pengembangan SDM, kualitas pelayanan unggulan, tingkat kepatuhan Wajib Pajak, penyelesaian pemeriksaan pajak, pencairan piutang pajak, dan capaian penerimaan pajak; dan kinerja tingkat individu (Zb) yang didasarkan pada aspek kompetensi meliputi integritas, profesionalisme, sinergi, pelayanan, dan kesempurnaan. Beberapa indikator tersebut diukur dengan skala ordinal. 3.4 Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data adalah kuesioner dengan pertanyaan bersifat tertutup yang disusun dengan menggunakan skala Likert (Likert scale) dan tingkat pengukuran ordinal. Skala Likert didesain untuk menelaah seberapa kuat responden setuju atau tidak setuju dengan pernyataan yang disusun dalam 5 (lima) tingkat dari sangat tidak setuju hingga sangat setuju. 95 ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS) Muhammad Na’im Amali 3.5 Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer yang diperoleh secara langsung dari lapangan melalui kuesioner, dan data sekunder yang diperoleh dari hasil publikasi Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Pajak, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, dan sumber-sumber lain dalam bentuk buku, majalah, laporan, peraturan maupun website. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah library research, dilakukan dengan membaca dan mempelajari sejumlah buku/literatur, jurnal, paper, dan sebagainya yang berhubungan dengan masalah dan pembahasan penelitian untuk mendapatkan kerangka teori dalam penentuan arah dan tujuan penelitian dimaksud; dan field research, dilakukan secara langsung di lapangan guna mencari data dan informasi yang diperlukan dengan menggunakan kuesioner dan wawancara mendalam (in depth interview) kepada pihak-pihak yang terkait berdasarkan pedoman wawancara. 3.6 Metode Analisis Data Pengujian validitas dan reliabilitas. Uji validitas untuk mengetahui apakah alat ukur yang telah disusun benar-benar mengukur apa yang perlu diukur, sedangkan uji reliabilitas untuk mengetahui bahwa dalam suatu model satu dimensi, indikatorindikator yang digunakan memiliki derajat kesesuaian yang baik (Sugiyono, 2010: 137). Analisis Deskriptif. Tujuan dari analisis deskriptif adalah untuk menjawab masalah penelitian nomor 1. Alat analisis yang digunakan adalah frequency analysis, yaitu analisis berdasarkan hasil tabulasi dari kuesioner melalui penghitungan alat analisis statistik deduktif secara sederhana, meliputi mean, total skor, dan persentase (%) dengan menggunakan Microsoft Office Excel. Nilai skor tersebut disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan selanjutnya diinterpretasikan ke dalam bentuk implikasi serta rekomendasi manajemen. Analisis Verifikatif. Tujuan dari analisis verifikatif (hypothesis testing) adalah untuk menjawab masalah penelitian nomor 2, 3, dan 4. Alat analisis yang digunakan untuk menguji hubungan korelasional dan kausal antar variabel yang diteliti adalah structural equation modeling (SEM). Alat analisis ini digunakan untuk melakukan uji hipotesis 1 dan 2 terhadap beberapa variabel yang diteliti melalui program LISREL ver 8.54. Sedangkan alat analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis 3 yaitu menganalisis perbedaan struktur model pembelajaran pegawai yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi baik antar unit kantor pajak maupun antar kelompok adalah varians satu arah (one way analysis of variance) atau ANOVA. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Validitas dan Reliabilitas Berdasarkan hasil pengujian validitas dengan teknik korelasi Pearson Moment diperoleh bahwa semua item pernyataan yang digunakan dalam 96 indikator variabel penelitian dinyatakan valid karena memiliki nilai corrected item total correlation> 0.300. Hal ini sesuai dengan uji statistik bahwa r hitung> rtabel; df = 30; α = 0.050 yaitu sebesar 0.361. Sedangkan semua indikator variabel penelitian memiliki nilai Cronbach’s Alpha> 0.700 sehingga dapat dinyatakan bahwa itemitem tersebut memiliki tingkat keandalan (reliabel) yang tinggi. 4.2 Deskripsi praktik kemandirian belajar, pelaksanaan pembelajaran organisasi, penerapan manajemen pengetahuan, penciptaan inovasi dalam rangka untuk mencapai kinerja organisasi Sebesar 88.95% pegawai mempersepsikan positif terhadap variabel Kemandirian Belajar, 10.51% cenderung netral, dan 0.54% negatif. Nilai rata-rata ( ) = 4.26 menunjukkan sebagian besar responden membenarkan melakukan praktik kemandirian belajar secara individual di lingkungan kerja. Dimensi terpenting adalah keharusan adanya komitmen belajar ( = 4.62), yaitu meyakini dan percaya visi dan misi DJP merupakan tujuan strategis organisasi yang hendak dicapai serta penerapan nilai-nilai organisasi dapat menunjang pencapaian tujuan strategis organisasi. Sedangkan proses pembelajaran aktif merupakan dimensi yang kurang optimal dilakukan ( = 4.04). Sebesar 80% pegawai mempersepsikan positif terhadap variabel Pembelajaran Organisasi, 18.5% cenderung netral, dan 1.5% negatif. Nilai = 3.93 menunjukkan sebagian besar responden membenarkan unit kantor pajak dimana mereka bekerja tengah melaksanakan pembelajaran organisasi. Dimensi terpenting adalah mindsetberorientasi pada pencapaian prestasi yang lebih baik ( = 4.15)untuk meningkatkan kinerja individu dan kinerja organisasi. Sedangkan dimensi berbagi pengetahuan antar pegawai masih kurang optimal dilakukan ( = 3.66). Sebesar 81.5% pegawai mempersepsikan positif terhadap variabel Manajemen Pengetahuan, 17.24% cenderung netral, dan 1.26% negatif. Nilai = 3.95 menunjukkan sebagian besar responden membenarkan unit kantor pajak dimana mereka bekerja tengah menerapkan manajemen pengetahuan. Dimensi terpenting adalah proses penciptaan dan pengembangan pengetahuan ( = 4.19). Sedangkan tingkat kemudahan mengakses kembali pengetahuan dari database merupakan dimensi yang paling minim ( = 3.71). Sebesar 76.4% pegawai mempersepsikan positif terhadap variabel Inovasi, 22.32% cenderung netral, dan 1.28% negatif. Nilai = 3.86 menunjukkan sebagian besar responden membenarkan unit kantor pajak dimana mereka bekerja aktif menciptakan inovasi di bidang perpajakan. Dimensi terpenting adalah proses penggalian ide yang bersumber dari internal dan eksternal organisasi ( = 3.97). Sedangkan kemampuan organisasi menyebarkan dan Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS) Muhammad Na’im Amali Gambar 1. T-Values dari Model Persamaan Struktural Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer dengan LISREL memanfaatkan hasil inovasi untuk kepentingan organisasi, Wajib Pajak, pegawai dan para stakeholders lainnya masih kurang optimal dilakukan ( = 3.78). Sebesar 84.14% pegawai mempersepsikan positif terhadap variabel Kinerja Organisasi, 14.73% cenderung netral, dan 1.13% negatif. Nilai = 4.07 menunjukkan sebagian besar responden membenarkan capaian kinerja unit kantor pajak dimana mereka bekerja adalah memuaskan sehingga menjadi semakin efisien dan efektif dalam mencapai tujuan organisasi. Dimensi kinerja tingkat organisasi memiliki skor lebih tinggi (9015) dibandingkan kinerja tingkat individu (8623). Selain itu, diperoleh beberapa temuan lain berdasarkan pernyataan responden: 1. Variabel yang perlu diprioritaskan untuk dikembangkan dalam rangka meningkatkan kinerja organisasi secara berurutan adalah penerapan manajemen pengetahuan (dipilih oleh 117 responden atau 29.70%); pelaksanaan pembelajaran organisasi (134 atau 34.01%); Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 praktik kemandirian belajar (119 atau 30.20%); dan penciptaan inovasi (157 atau 39.85%). 2. Responden yang menyatakan capaian kinerja organisasi tahun 2010-2012 sangat memuaskan adalah 117 responden (29.70%), cukup memuaskan 253 (64.21%), dan kurang memuaskan 24 (6.09%). Pendapat ini lebih dipengaruhi oleh capaian kinerja penerimaan. 3. Model pembelajaran yang paling disukai adalah pembelajaran yang diadakan sendiri dalam organisasi, melalui in-house training (18.58%), pendidikan dan pelatihan (10.93%), diskusi rutin (7.65%), e-learning (7.10%), studi kasus (5.46%), maupun forum komunikasi sesuai rumpun fungsi/jabatan (4.92%) dibandingkan dengan model pembelajaran yang melibatkan pihak eksternal. Beberapa faktor yang diharapkan mampu mendorong pelaksanaan pembelajaran di lingkungan kerja adalah budaya pembelajaran aktif dan berkelanjutan (9.84%), teamwork dan sinergi antar pegawai (6.56%), motivasi dan kesadaran 97 ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS) Muhammad Na’im Amali Gambar 2. Standard Solution untuk Model Persamaan Struktural Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer dengan LISREL kemandirian belajar (6.56%), serta dorongan dan keteladanan pimpinan (4.92%). 4.3 Pengaruh langsung Kemandirian Belajar terhadap Pembelajaran Organisasi, Manajemen Pengetahuan, Inovasi, dan Kinerja Organisasi Untuk menguji hipotesis 1 dan 2, dilakukan analisis verifikatif dengan menggunakan alat analisis SEM. Variabel yang diteliti meliputi variabel laten eksogen yaitu kemandirian belajar (X), dan 4 (empat) variabel laten endogen yaitu pembelajaran organisasi (Y1), manajemen pengetahuan (Y2), inovasi (Y3), dan kinerja organisasi (Y4). Hasil pengujian adalah: Analisis faktor konfirmatori (confirmatory factor analysis). Semua indikator dari konstruk kemandirian belajar, pembelajaran organisasi, manajemen pengetahuan, dan inovasi memiliki loading factor > 0.5 sehingga semua indikator dinyatakan valid. Masing-masing konstruk memiliki nilai composite reliability sebesar 0.86, 0.88, 0.83, dan 0.88 yang lebih besar dari 0.70 dan nilai variance extracted sebesar 0.61, 0.64, 0.56, dan 0.71 yang lebih besar dari 0.50 menunjukkan bahwa semua indikator adalah reliabel 98 dan memenuhi kriteria untuk analisis faktor konfirmatori. Pengujian Kecocokan (goodness of fit). Dalam pengujian model secara keseluruhan (overall model fit) diperoleh hasil df=98; RMSEA=0.049; GFI=0.96; AGFI=0.92; NFI=0.99; NNFI=0.99. Hasil ini menunjukkan adanya kecocokan model dengan tingkat kecocokan yang baik karena diperoleh nilai-nilai goodness of fit index yang sudah memenuhi kriteria dengan baik. Artinya, secara keseluruhan model SEM mempunyai kekuatan prediksi secara statistik. Sedangkan dari hasil pengujian jalur individual (measurement model) diperoleh hasil sebagaimana tampak dalam gambar 1 dan gambar 2. Berdasarkan gambar di atas, nilai faktor muatan untuk setiap indikator pembentuk laten variablevariabel yang diteliti meliputi variabel kemandirian belajar, pembelajaran organisasi, manajemen pengetahuan, inovasi, dan kinerja organisasi mempunyai nilai di atas 0.4. Hal ini menunjukkan bahwa semua indikator secara bersama-sama menyajikan unidimensionalitas untuk setiap variabel laten. Semua jalur yang dihipotesiskan memiliki nilai thitung > 1.96, sehingga dapat disimpulkan bahwa Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS) Muhammad Na’im Amali seluruh koefisien jalur untuk setiap variabel laten adalah signifikan. Selanjutnya, dilakukan pengujian jalur individual (structural model) untuk mengidentifikasi pengaruh langsung (direct effect), pengaruh tidak langsung (indirect effect), dan pengaruh keseluruhan (total effects) antar variabel laten. 4.3.1 Pengaruh langsung Kemandirian Belajar terhadap Pembelajaran Organisasi Variabel kemandirian belajar secara signifikan berpengaruh secara langsung terhadap variabel pembelajaran organisasi (thitung10.10>ttabel1.96) dengan nilai korelasi (koefisien unstandardized) 61%. Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis diterima. Karakteristik dalam pembelajaran organisasi umumnya dimulai dengan upaya kemandirian belajar yang berkembang di lingkungan kerja (Confessore dan Kops, 1998: 365-75). Aktivitas kemandirian belajar membutuhkan adanya kesukarelaan setiap pegawai untuk melakukan pembelajaran terus menerus, secara rutin dan independen. Pentingnya kemandirian belajar di lingkungan kerja ini juga diakui oleh para Kepala KPP di lingkungan Kanwil, mengingat keterbatasan organisasi dalam melakukan program pengembangan dan peningkatan kapasitas pegawai. Kegiatan kemandirian belajar di lingkungan kerja diarahkan untuk memperkuat penguasaan terhadap ketentuan teknis perpajakan, standard operating procedure sesuai jabatan dan fungsi, proses internal bisnis Wajib Pajak yang diadministrasikan, best practices pelayanan prima di bidang perpajakan, serta pengetahuan perpajakan internasional dan skema penghindaran pajak. Best practices merupakan cara atau metode yang paling efisien dan efektif untuk mencapai suatu tujuan dengan prosedur-prosedur tertentu, terutama demi tujuan jangka panjang suatu organisasi (Pasaribu, 2013: 61). Dalam praktik, best practice dapat berupa contoh-contoh terbaik layanan unggulan, success story dalam penggalian potensi perpajakan, materi-materi yang sering dikalahkan dalam proses keberatan atau banding, dan sebagainya. Keberhasilan kemandirian belajar pegawai di lingkungan kerja bergantung pada seberapa besar kesadaran pegawai akan pentingnya kemandirian belajar serta dukungan organisasi terhadap kegiatan ini. Semakin tinggi kesadaran pegawai maka aktivitas kemandirian belajar dapat menjadi bagian dari organization culture. Budaya organisasi yang dikembangkan di lingkungan Kanwil diarahkan untuk mendorong dan memfasilitasi terjadinya praktik kemandirian belajar di lingkungan kerja. Pembentukan budaya organisasi membutuhkan komitmen dan persyaratan yang mengikat seluruh pegawai yang dituangkan dalam bentuk kontrak kinerja yang bersifat formal. Pembentukan budaya organisasi juga memerlukan informal organization, yaitu perilaku informal yang berperan sebagai “pelumas” dalam interaksi pegawai dalam organisasi (Cai, 2006: 33-48). Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 4.3.2 Pengaruh langsung Kemandirian Belajar terhadap Manajemen Pengetahuan Kemandirian belajar mempengaruhi secara langsung manajemen pengetahuan (thitung6.31 > ttabel1.96) sehingga dinyatakan signifikan secara statistik, dengan nilai korelasi 32%, sedangkan nilai korelasi pengaruh tidak langsungnya 39%. Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis diterima. Metode kegiatan kemandirian belajar yang sering dilakukan pegawai di lingkungan Kanwil berupa diklat berbasis kompetensi, IHT, OJT, e-learning, mengupdate ketentuan perpajakan, mempelajari modul dan literatur perpajakan, diskusi dengan pegawai lainnya, serta bekerjasama dalam menyelesaian suatu permasalahan pada dasarnya merupakan kegiatan dalam kerangka penerapan manajemen pengetahuan. Terutama terkait dengan proses akuisisi pengetahuan, kreasi dan pengembangan pengetahuan, penyimpanan dan penggunaan kembali pengetahuan, serta transfer pengetahuan. Sehingga tepat kiranya jika kemandirian belajar pegawai di lingkungan kerja mampu mempengaruhi keberhasilan penerapan manajemen pengetahuan. 4.3.3 Pengaruh langsung Kemandirian Belajar terhadap Inovasi Kemandirian belajar mempengaruhi secara langsung inovasi (thitung4.21 > ttabel1.96) sehingga dinyatakan signifikan secara statistik, dengan nilai korelasi 25%, sedangkan nilai korelasi pengaruh tidak langsungnya 53%. Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis diterima. Kemandirian belajar pegawai yang dibangun dalam bentuk pengembangan pengetahuan dan keahlian, membutuhkan kesempatan untuk mengakses sumber-sumber pengetahuan dan jaringan kerja sehingga pegawai memiliki peluang memperoleh manfaat dari pengetahuan tersebut sesuai dengan bidang keahliannya. Tanpa pegawai yang memiliki pengetahuan dan keahlian maka sulit untuk memperoleh kapasitas inovasi yang berkelanjutan dan sistemis. Jika tanpa pengembangan pegawai kemudian diperoleh suatu kondisi inovatif bisa jadi hanya akan bersifat sporadis, temporer dan tidak berkelanjutan. Sehingga tidak berlebihan bila Kim (1997) mengemukakan, sangatlah mustahil untuk menciptakan semangat inovasi organisasi apalagi mengembangkannya tanpa melalui kemandirian belajar pegawai. Pegawai yang melakukan kemandirian belajar di lingkungan kerja cenderung memiliki ruang untuk meningkatkan potensi dan kapasitas dirinya sehingga mampu menghasilkan komunitas yang profesional (knowledge workers) dan inovatif. 4.3.4 Pengaruh langsung Kemandirian Belajar terhadap Kinerja Organisasi Kemandirian belajar tidak mempengaruhi secara langsung kinerja organisasi (thitung0.63 < ttabel1.96) sehingga dinyatakan tidaksignifikan secara statistik, sertanilai korelasi yang diperoleh 5%, sedangkan nilai korelasi pengaruh tidak langsungnya 99 ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS) Muhammad Na’im Amali 81%. Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis tidak diterima. Hasil ini menunjukkan bahwa keberhasilan kemandirian belajar pegawai di lingkungan kerja tidak serta merta mempengaruhi peningkatan kinerja organisasi. Peran kemandirian belajar tersebut membutuhkan intervensi organisasi dalam memfasilitasi pelaksanaan pembelajaran organisasi, penerapan manajemen pengetahuan, dan penciptaan inovasi sehingga mampu berpengaruh terhadap kinerja organisasi. Hasil ini melengkapi temuan Ho (2008) sebelumnya, bahwa dibutuhkan upaya organisasi untuk mengoptimalkan kegiatan pembelajaran organisasi dan menerapkan manajemen pengetahuan dengan mempromosikan sistem kemandirian belajar yang efektif guna meningkatkan kinerja organisasi. Para pakar memberikan perhatian utama terhadap pentingnya kemandirian belajar yang dilakukan pegawai di lingkungan kerja karena dapat meningkatkan kinerja dan pertumbuhan organisasi, kesejahteraan pegawai, serta daya saing organisasi. Fokus perhatian ini cukup beralasan mengingat pegawai merupakan aset utama yang mampu menggerakkan organisasi untuk mewujudkan visi dan misinya. Kemampuan belajar pegawai di lingkungan Kanwil menjadi tujuan objektif yang diinginkan oleh organisasi untuk menghasilkan pengetahuan dan mengembangkan keterampilan agar mampu menciptakan keunggulan kompetitif dalam konteks organisasi yang mengalami perubahan dengan cepat. Dibutuhkan pengukuran kinerja untuk mengidentifikasi pengaruh peningkatan kapasitas dan kompetensi pegawai terhadap peningkatan kinerja organisasi. Penilaian kinerja pada unit kantor pajak dilakukan baik pada level organisasi maupun level individu. Tujuan penilaian kinerja organisasi adalah membangun organisasi agar melakukan continuous improvement, membentuk keselarasan antar unit kerja, mengembangkan semangat teamwork, dan menjadi dasar peningkatan efektivitas dan efisiensi organisasi. Sedangkan tujuan penilaian kinerja individu adalah menjadi dasar penataan pegawai dan pertimbangan pemberian penghargaan, mengembangkan iklim kerja yang kondusif dan kompetitif, mewujudkan pegawai yang kompeten dan memiliki motivasi tinggi serta memberikan kontribusi maksimal kepada unit kerja, membangun komunikasi efektif dan hubungan yang harmonis antara bawahan dan atasan, tumbuhnya tingkat kepuasaan kerja pegawai, dan mengembangkan budaya kerja yang efektif dan menghargai kualitas proses bisnis serta kualitas pegawai sehingga mampu memberikan kontribusi optimal. Secara statistik dimensi yang paling berperan dalam membentuk pengaruh kemandirian belajar terhadap pembelajaran organisasi (juga terhadap manajemen pengetahuan, inovasi, dan kinerja organisasi) adalah pembelajaran aktif (faktor muatan 0.86), pembelajaran berkelanjutan (0.84), memahami pentingnya pembelajaran (0.78), dan komitmen belajar (0.64). 100 4.4 Pengaruh langsung Pembelajaran Organisasi, Manajemen Pengetahuan, dan Inovasi terhadap Kinerja Organisasi 4.4.1 Pengaruh langsung Pembelajaran Organisasi terhadap Kinerja Organisasi Pembelajaran organisasi mempengaruhi secara langsung kinerja organisasi (thitung2.51 > ttabel1.96) sehingga dinyatakan signifikan secara statistik, dengan nilai korelasi 18%, sedangkan nilai korelasi pengaruh tidak langsungnya 52%. Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis diterima. Hal ini mengkonfirmasi bahwa pembelajaran organisasi memainkan peranan yang penting dalam meningkatkan kapasitas organisasi sehingga dapat berpotensi dalam mencapai kinerja yang maksimal. Secara statistik dimensi yang paling berperan dalam membentuk pengaruh pembelajaran organisasi terhadap kinerja organisasi adalah sikap pegawai (faktor muatan 0.89), praktik pembelajaran (0.84), mindsetpencapaian prestasi (0.78), dan pola berbagi informasi (0.69). Kanwil sangat berkepentingan terhadap pegawai yang kompeten sehingga program pengembangan SDM diharapkan dapat diikuti oleh sebagian besar atau bahkan seluruh pegawai. Namun kenyataannya, karena sumber daya yang dimiliki sangat terbatas sehingga jumlah pegawai yang dapat mengikuti program pengembangan SDM masih sangat minim. Atas kondisi tersebut, dibuat kebijakan yang memungkinkan terjadinya proses knowledge transfer antar. Budaya berbagi pengetahuan antar pegawai sebagai manifestasi dari penerapan pembelajaran organisasi merupakan hal yang penting (Gupta dan Govindarajan, 1986: 695-714). Karena pertama, berbagi pengetahuan dapat menghasilkan synergistic cost advantage yang memungkinkan minimnya biaya berbagi pengetahuan jika dibandingkan dengan unit lain dalam organisasi yang memproduksi pengetahuan baru secara sendiri-sendiri. Kedua, berbagi pengetahuan memampukan pegawai untuk mengidentifikasi dan merespons secara tepat situasi lingkungan yang kritis untuk beradaptasi dengan lingkungan secara lebih cepat. Ketiga, berbagi pengetahuan memudahkan pegawai mendapatkan informasi yang lebih lengkap dan karena itu memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih baik berdasarkan informasi yang diperoleh. Dan terakhir, organisasi akan menciptakan pengetahuan baru dengan jalan mengintegrasikan pengetahuan yang saling melengkapi yang dimiliki secara terpisah oleh para pegawainya. Umumnya terdapat dua batasan yang menjadi kendala pegawai dalam melakukan berbagi pengetahuan, yaitu batasan kognitif dan batasan motivasi (Hinds dan Pfeffer, 2003: 3). Batasan kognitif terjadi manakala pegawai dinilai tidak memiliki keahlian sehingga pengetahuan yang akan dibagi sangat terbatas. Pegawai yang kurang mampu mengartikulasikan pengetahuan tacit yang dimilikinya termasuk mengalami batasan kognitif. Sedangkan batasan motivasi terjadi apabila pegawai tidak bersedia membagi pengetahuannya karena alasan Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS) Muhammad Na’im Amali takut disaingi, organisasi terlalu rigid dan hierarkis dalam mengatur proses berbagi pengetahuan, atau kurangnya insentif atau reward untuk berbagi pengetahuan. Permasalahan utama dalam berbagi pengetahuan antar pegawai pada dasarnya bukan semata faktor motivasi, sebagaimana yang sering dijadikan sebagai alasan konvensional. Menurut Szulanski (1996: 27-43), permasalahan dalam berbagi pengetahuan bisa jadi karena kurangnya kemampuan penerima dalam menyerap (absorptive capacity) pengetahuan, ciri-ciri pengetahuan yang tidak jelas (causual ambiguity), dan adanya hubungan yang kaku (arduous relationship) di antara source dan recipient. 4.4.2 Pengaruh langsung Manajemen Pengetahuan terhadap Kinerja Organisasi Manajemen pengetahuan mempengaruhi secara langsung kinerja organisasi (thitung2.20 > ttabel1.96) sehingga dinyatakan signifikan secara statistik, dengan nilai korelasi 47%, sedangkan nilai korelasi pengaruh tidak langsungnya 35%. Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis diterima.Hal ini mengkonfirmasi bahwa penerapan manajemen pengetahuan berperan penting dalam meningkatkan kapasitas organisasi sehingga dapat menghasilkan kinerja yang maksimal. Secara statistik dimensi yang paling berperan dalam membentuk pengaruh manajemen pengetahuan terhadap kinerja organisasi adalah transfer pengetahuan (faktor muatan 0.79), kreasi dan pengembangan pengetahuan (0.78), akuisisi pengetahuan (0.70), serta penyimpanan dan mendapatkan kembali pengetahuan (0.68). Pendekatan penerapan manajemen pengetahuan di lingkungan Kanwil menggunakan dua strategi yang saling melengkapi. Pertama, strategi kodifikasi dimana pengetahuan yang diperoleh dan dikreasi dikodifikasi melalui proses analisis, didokumentasikan dengan baik, disimpan ke dalam database sehingga dapat diakses dan digunakan berulang-ulang oleh setiap pegawai. Sistem aplikasi on-line membantu komunikasi antara pegawai dan pengetahuan yang tersimpan tersebut. Kedua, strategi personalia, dimana pengetahuan disebarkan melalui kontak pegawai dengan pegawai lainnya melalui sarana yang bersifat off-line. Fungsi utama komputer hanyalah untuk membantu berkomunikasi, seperti email, chatting, video conference, atau meeting. Strategi manajemen pengetahuan tersebut kemudian diwujudkan dalam berbagai aktivitas yang dilakukan di lingkungan Kanwil sebagai upaya untuk memperoleh sumber-sumber informasi dan pengetahuan dari para pegawainya, baik dilakukan secara off-line maupun on-line. Tabel 1. Hasil Uji ANOVA Antar Unit Kantor Pajak Sum of Squares Kemandirian Belajar Pembelajaran Organisasi Manajemen Pengetahuan Inovasi Kinerja Organisasi Between Groups df Mean Square 4.095 9 0.455 Within Groups 118.212 384 0.308 Total 122.307 393 1.677 9 0.186 Within Groups 135.395 384 0.353 Total 137.071 393 Between Groups Between Groups 2.294 9 0.255 Within Groups 104.999 384 0.273 Total 107.293 393 4.537 9 0.504 Within Groups 148.743 384 0.387 Total 153.280 393 2.277 9 0.253 Within Groups 102.989 384 0.268 Total 105.266 393 Between Groups Between Groups F Sig. 1.487 0.154 0.528 0.854 0.932 0.497 1.301 0.234 0.934 0.487 Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan SPSS Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 101 ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS) Muhammad Na’im Amali Tabel 2. Hasil Uji ANOVA Antar Kelompok Pegawai Sum of Squares Kemandirian Belajar Pembelajaran Organisasi Manajemen Pengetahuan Inovasi Kinerja Organisasi Between Groups df Mean Square 0.055 22.252 0.027 Within Groups 118.212 22.307 0.313 Total 122.307 393 1.478 2 0.739 Within Groups 35.594 391 0.347 Total 37.071 393 Between Groups 0.143 2 0.071 Within Groups 7.151 391 0.274 Total 7.293 393 Between Groups 0.828 2 0.414 Within Groups 52.452 391 0.390 Total 53.280 393 Between Groups 0.125 2 0.063 Within Groups 5.141 391 0.269 Total 5.266 393 Between Groups F Sig. 0.088 0.916 2.131 0.12 0.260 0.771 1.062 0.347 0.233 0.792 Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan SPSS Tantangan utama penerapan manajemen pengetahuan adalah terkait penciptaan pengetahuan yang bersumber dari eksternal organisasi sebagai manifestasi Pasal 35A ayat (1) Undang-undang KUP.Upaya ini belum menunjukkan hasil yang optimal karena disinyalir terlalu dominannya penerapan rahasia jabatan di setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak ketiga lainnya. Berbeda dengan penciptaan pengetahuan yang bersumber dari internal organisasi yang relatif lebih mudah dilakukan karena kegiatannya dapat dikendalikan (controllable) oleh pimpinan. Tantangan lainnya adalah tingkat kemudahan dalam mengakses data dan informasi perpajakan yang disimpan dalam aplikasi sistem informasi DJP. Mengingat sifatnya yang rahasia sehingga dilakukan pembatasan kewenangan bagi pegawai dalam mengakses data perpajakan yang tersedia. Pembatasan kewenangan ini sudah barang tentu berpengaruh pada jumlah pegawai yang dapat memanfaatkan data perpajakan yang diadministrasikan oleh organisasi. Disisi lain, manfaat data perpajakan sangat penting bagi upaya pegawai dalam menjalankan tugas utamanya guna menghimpun penerimaan perpajakan. Pemanfaatan pengetahuan perpajakan yang dimiliki organisasi mampu meningkatkan internal capabilities unit kantor pajak di lingkungan Kanwil sehingga menghasilkan perbaikan pada know-how layanan perpajakan, meningkatkan efisiensi layanan perpajakan, dan mengurangi ketidakstabilan kualitas layanan perpajakan kepada Wajib Pajak (Sabherwal dan Sabherwat, 2005). 102 4.4.3 Pengaruh langsung Inovasi terhadap Kinerja Organisasi Variabel inovasi mempengaruhi secara langsung variabel kinerja organisasi (thitung2.01 > ttabel1.96) sehingga dinyatakan signifikan secara statistik, dengan nilai korelasi 47%. Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis diterima. Hal ini mengkonfirmasi bahwa penciptaan inovasi berperan penting dalam meningkatkan kapasitas organisasi sehingga dapat menghasilkan kinerja yang maksimal. Secara statistik dimensi yang paling berperan dalam membentuk pengaruh inovasi terhadap kinerja organisasi adalah pemanfaatan produk dan jasa (faktor muatan 0.81), pengembangan inovasi (0.80) dan penggalian ide (0.79). Budaya inovatif mendorong pegawai pajak mencari cara atau metode baru dalam melaksanakan fungsi pelayanan, pengawasan, dan penegakan hukum di bidang perpajakan. Budaya inovatif pegawai dipengaruhi oleh kreativitas individu maupun organisasi sehingga mampu menunjang kinerjanya. DJP memiliki beberapa jenis layanan unggulan bidang perpajakan yang berorientasi pada percepatan jangka waktu penyelesaian sesuai yang ditetapkan. Beberapa layanan unggulan tersebut adalah pemberian NPWP atau pengukuhan PKP, penyelesaian restitusi PPN, penerbitan SPMKP/SKB/SKD/SKF, penyelesaian permohonan keberatan atau pengurangan/ penghapusan sanksi administrasi/ketetapan pajak yang tidak benar, serta pemindahbukuan. Layanan unggulan ini merupakan wujud dari inovasi di bidang pelayanan perpajakan dan diharapkan dapat menjadi brandname bagi DJP. Konsistensi dalam penerapan layanan unggulan ini sangat strategis untuk Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS) Muhammad Na’im Amali meningkatkan kepuasan Wajib Pajak dan menciptakan kepatuhan sukarela. 4.5 Perbedaan struktur model pembelajaran pegawai yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi antar unit kantor pajak dan antar kelompok pegawai Perbandingan struktur model pembelajaran pegawai yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi antara pegawai yang bekerja di KPP PMA Satu, KPP PMA Dua, KPP PMA Tiga, KPP PMA Empat, KPP PMA Lima, KPP PMA Enam, KPP Badan dan Orang Asing, KPP Minyak dan Gas, KPP Perusahaan Masuk Bursa, dan Kanwil memiliki nilai yang relatif sama untuk semua unit kantor pajak (Fhitung kemandirian belajar=1.478; pembelajaran organisasi=0.528; manajemen pengetahuan=0.932; inovasi=1.301; dan kinerja organisasi=0.943 lebih kecil dari Ftabel 1.90428). Demikian juga dengan perbandingan struktur model pembelajaran pegawai antara kelompok pegawai struktural eselon (terdiri dari Kepala Bagian Umum, Kepala Bidang, Kepala Kantor, Kepala Subbagian, dan Kepala Seksi), pegawai bukan struktural (terdiri dari Account Representative dan Penelaah Keberatan), dan pegawai fungsional Pemeriksa Pajak (F hitung kemandirian belajar=0.088; pembelajaran organisasi=2.131; manajemen pengetahuan=0.260; inovasi=1.062; dan kinerja organisasi=0.233 lebih kecil dari Ftabel 3.01880). Oleh karena Fhitung ≤ Ftabel maka hipotesis diterima. Kemiripan struktur model pembelajaran pegawai yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi antar unit kantor pajak dan antar kelompok pegawai di lingkungan Kanwil di atas menunjukkan bukti bahwa kebijakan yang terkait dengan pengelolaan dan pengembangan SDM relatif sama karena dikelola secara sentralistik oleh Kantor Pusat DJP. Temuan ini menguatkan pendapat Pasaribu (2013: 12), keputusan dalam organisasi publik umumnya diputuskan secara terpusat dan setiap kegiatan dikendalikan langsung oleh pimpinan sehingga cenderung kurang berkembang. Kanwil DJP dan KPP yang merupakan organisasi vertikal di bawah Kantor Pusat DJP nampaknya hanya memiliki ruang yang sempit untuk melakukan kreativitas di bidang pengelolaan dan pengembangan SDM. Hal ini dapat dipahami mengingat DJP yang merupakan organisasi publik yang sangat besar membutuhkan pegawai yang memiliki kompetensi, tingkat kepuasan dan integritas yang tinggi, budaya yang kuat, serta tingkat kinerja yang prima dalam berkontribusi terhadap pencapaian sasaran dan tujuan organisasi. Dengan mempertimbangkan dominasi peran penerimaan pajak dalam struktur APBN, penting kiranya bagi pemerintah untuk meningkatkan kapasitas DJP. Perluasan kapasitas organisasi ini diperlukan agar manajemen dan sistem kerja DJP lebih tertata dengan baik sehingga dapat optimal dalam meningkatkan kinerja penerimaan pajak. Akhirnya pajak harus dinilai dan dipahami sebagai sesuatu yang sangat penting untuk keberlangsungan suatu negara Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 karena 75% lebih APBN yang diperlukan untuk penyelenggaraan pemerintahan bersumber dari penerimaan pajak. 5. KESIMPULAN 6. REKOMENDASI Pegawai di lingkungan Kanwil melakukan praktik kemandirian belajar di lingkungan kerja serta mentransformasi secara kontinyu pengalaman individual mereka menjadi pengetahuan organisasi sehingga dapat diakses dan digunakan bersama sebagai wujud dari pembelajaran organisasi. Unit-unit kantor pajak di lingkungan Kanwil melakukan pengelolaan pengetahuan perpajakan untuk menciptakan nilai tambah sebagai wujud dari manajemen pengetahuan serta mentransformasi ideide inovatif ke dalam bentuk produk dan pelayanan perpajakan sehingga bermanfaat bagi para stakeholder. Para pegawai maupun unit-unit kantor pajak terus berupaya mencapai kinerja secara optimal, pada tingkat organisasi maupun tingkat individu. Kemandirian belajar di lingkungan kerja sangat berperan dalam mendorong pelaksanaan pembelajaran organisasi, penerapan manajemen pengetahuan, penciptaan inovasi di bidang perpajakan; meskipun tidak berpengaruh secara langsung terhadap pencapaian kinerja organisasi. Kemandirian belajar akan memberikan implikasi yang positif terhadap kinerja organisasi jika organisasi mampu melakukan intervensi dengan memfasilitasi pelaksanaan pembelajaran organisasi, penerapan manajemen pengetahuan, dan penciptaan inovasi secara efektif dan bersama-sama. Konsistensi dalam pelaksanaan pembelajaran organisasi, penerapan manajemen pengetahuan, maupun penciptaan inovasi di bidang perpajakan memainkan peranan yang penting dalam meningkatkan kapasitas organisasi sekaligus mampu mempengaruhi pencapaian kinerja organisasi di bidang pengembangan SDM, peningkatan kepatuhan Wajib Pajak, penegakan hukum melalui tindakan pemeriksaan dan penagihan, penerimaan pajak, serta peningkatan kompetensi pegawai sesuai yang diharapkan. Struktur model pembelajaran pegawai yang diorientasikan untuk pencapaian kinerja organisasi secara optimal cenderung seragam sehingga tidak menghasilkan budaya kompetisi yang kreatif antar unit kantor pajak maupun antar kelompok pegawai. Hal ini dikarenakan pengelolaan SDM masih dilakukan secara sentralistik oleh Kantor Pusat DJP. Kanwil sebaiknya mendorong keberlangsungan kegiatan kemandirian belajar para pegawai di lingkungannya dengan memberikan dukungan berupa sarana dan prasarana yang diperlukan, serta lebih diorientasikan pada pemahaman dan penguasaan terhadap perpajakan internasional serta model dan skema penghindaran pajak untuk mencegah adanya potencial loss penerimaan pajak. Selain itu, perlu peningkatan kerjasama dan koordinasi dengan 103 ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS) Muhammad Na’im Amali berbagai pihak eksternal, seperti organisasi profesi, asosiasi bisnis, maupun perguruan tinggi, sehingga dapat menambah sumber-sumber pengetahuan baru dan meningkatkan kegiatan knowledge sharing antar pegawai sebagai bentuk implementasi pembelajaran organisasi yang bermanfaat bagi pegawai serta organisasi. Untuk mengoptimalkan pembangunan database perpajakan yang bersumber dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak ketiga lainnya dalam konteks knowledge capture sebaiknya didukung penuh oleh Pemerintah demi keberlangsungan negara karena APBN untuk penyelenggaraan pemerintahan sebagian besar bersumber dari penerimaan pajak. Kegiatan diskusi rutin yang dilakukan oleh forum-forum (community of practice) dalam rangka knowledge sharing perlu diperluas dengan melibatkan pegawai dari unit kantor lainnya yang mengadministrasikan Wajib Pajak dengan karakteristik sejenis agar kualitas pembelajaran menjadi semakin baik. Sedangkan untuk mengoptimalkan knowledge application sebaiknya pegawai diberikan kewenangan yang lebih luas untuk mengakses dan memanfaatkan data perpajakan yang telah diciptakan, dikelola, dan disimpan oleh organisasi tanpa melanggar ketentuan rahasia jabatan sehingga dapat bermanfaat bagi upaya pengamanan APBN dari sektor penerimaan pajak. Unit-unit kantor pajak di lingkungan Kanwil perlu menjaga konsistensi dalam percepatan pemberian layanan unggulan di bidang perpajakan sesuai batas waktu yang dijanjikan sebagai perwujudan inovasi pelayanan. Keberhasilan layanan unggulan tersebut dapat menjadi brand mark bagi DJP sekaligus diharapkan mampu meningkatkan kepatuhan sukarela dan kepuasan Wajib Pajak. Para pimpinan diharapkan mampu befungsi sebagai inspirator, fasilitator sekaligus motivator bagi para pegawainya dalam melakukan pembelajaran secara mandiri di lingkungan kerja; memperkuat aturan yang dapat mendorong aktivitas berbagi pengetahuan antar pegawai, dalam suatu unit kantor pajak maupun antar unit kantor pajak; mengintegrasikan semua sistem informasi perpajakan yang dimiliki sebagai sumber utama pengetahuan yang dapat mendukung pekerjaan pegawai; memperluas ruang bagi unit-unit vertikal dalam menggali dan menyebarkan ide-ide inovatif di bidang perpajakan dalam rangka untuk meningkatkan kinerja organisasi. DAFTAR PUSTAKA Bergeron, Bryan (2003). Essential of Knowledge Management. New Jersey: John Wiley dan Sons, Inc., hal. 9 Creswell, John W (1994). Research Design: Qualitative, Quantitative and Mixed Methods Approaches, London: Sage Publications. Diterjenahkan oleh Fawaid, Achmad (2012). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Davidson, Carl dan Philip Voss (2002). Knowledge Management an Introduction to Creating Competitive 104 Advantage from Intellectual Capital. New Zealand: Tandem Press, hal. 32. Fontana, Avianti (2009). Innovate: We Can!, How to Create Value Through Innovation in Your Organization and Society. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Gomes, Faustino Cardoso (1995). Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Andi Offset, hal. 142. Kaplan, Robert S. dan David P. Norton (2001). The Strategy Focused Organization: How the Companies Thrive in the New Business Environment. Boston: Business Scholl Press, hal. 273-6. Knowles, M.S. (1990). The Adult Learner: A Neglected Species, Houston: Gulf Publishing, hal. 18. Mansury, R. (2002). Pajak Penghasilan Lanjutan Pasca Reformasi 2000. Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan. Marquardt, Michael J. (1996). Building the Learning Organization: A Systems Approach to Quantum Improvement and Global Success. New York: McGrawHill Newel, Sue et al. (2002). Managing Knowledge Work. New York, USA: Palgrave. Pasaribu, Manerep (2013). Best Practice dan BUMN: Melalui Sharing Best Practices BUMN Bisa Melayani Lebih Baik. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, Kompas Gramedia. Robbins, Stephen P. dan Coulter, M. (2002). Management. Upper Saddle River, New York: Prentice-Hall Schermerhorn, Jr., Hunt, J.M. dan Osborn, R.N. (2002). Organizational Behavior, 7th ed., New York: John Wiley. Senge, P (1994). The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization, New York, USA: Doubleday Currency. Sugiyono (2010). Metode Penelitian Administratif, Bandung: Alfabeta. Antal, Ariane Berthoin, Meinolf Dierkes, John Child dan Ikujiro Nonaka (2001). “Organizational Learning and Knowledge: Reflection on the Dynamic of the Field and Challenges for the Future”, dalam Handbook of Organizational Learning and Knowledge (diedit oleh Meinolf Dierkes, Ariane Berthoin Antal, John Child, dan Ikujiro Nonaka). Oxford UK: Oxford University Press. Assifie, Bahasyim (2004). “Analisis Kinerja Organisasi dengan Pendekatan System Dynamics: Studi Kasus Pada Direktorat Jenderal Pajak Menggunakan Perspektif Modifikasi Balance Scorecard”. Jakarta: Thesis Universitas Indonesia. Bontis, Nick (1998). “Intellectual Capital: An Exploratory Study that Develops Measures and Models”, Management Decision, Vol. 36, No. 2, hal. 6373. Bontis, N., Crossan, M.M. dan Hulland, J. (2002). “Managing on Organizational Learning System by Aligning Stocks and Flows”, Journal of Management Studies, Vol. 39, No. 4, hal. 437-69. Cai, Jian (2006). “Knowledge Management Within Collaoboraton: A Prespective Modelling and Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS) Muhammad Na’im Amali Analyzing Methodology.” Journal of Database Management, Vol. 17, No. 1, hal. 33-48. Confessore, Sharon L. dan Kops, William J. (1998). “Self-directed Learning and the Learning Organization: Examining the Connection between the Individual and the Learning Environment. “Human Resourches Development Quarterly Journal (HRDJ)”, Vol. 9, No. 4, Date Winter 1998, hal. 365-75. Davenport, T. dan Prusak L. (1998). Working Knowledge: How Organizations Manage What They Know. Boston: Harvard Business School Press, hal.5. Drucker, Peter F. (1998). “The Discipline of Innovation”. Harvard Business Review, November-December, hal. 150-7. Ellinger, A.D. (2004). ‘The Concept of Self-directed Learning and Its Implications for Human Resource Development”, Advances in Developing Human Resources, Vol. 6, No. 2, hal. 162. Friedman, Victor J. (2001). “The Individual as Agent of Organizational Learning”,dalam Handbook of Organizational Learning and Knowledge, Oxford UK: Oxford University Press. Garavan, T. (1997). “The Learning Organization: A Review and Evaluation”, The Learning Organization, Vol. 4, No. 1, hal. 18-29. Garvin, D.A. (1993). “Building A Learning Organization”, Harvard Business Review, Vol. 71, No. 4, hal. 78-91. Gold, A.H., Malhotra, A. dan Segars, A.H. (2001). “Knowledge Management: An Organizational Capabilities Perspective”, Journal of Management Information Systems, Vol. 18, No. 1, hal. 185-214. Guglielmino, L. (1977). “Development of Self-directed Learning Readiness Scale”, Doctoral Dissertation Abstracts International, Vol. 38, hal. 6467A. Gupta dan Govindarajan, V. (1986). “Resource Sharing Among SBUs: Strategic Antecedents and Administrative Implications”, Academy of Management Journal, Vol. 29, hal. 695-714. Cook, S.D.N. dan Yanow D. (1993). “Culture and Organizational Learning”. Journal of Management Inquiry, Vol. 2, No. 4, hal. 373-90. Hinds, Pemela J. dan Jeffrey Pfeffer. “Why Organizations Don’t Know What They Know: Cognitive and Motivational Factors Affecting the Transfer Expertise” dalam Ackerman, Mark et al. (2003). Sharing Expertise. Sabon, Asco Typesetter. Ho, Li-An (2008). “What Affects Organizational Performance? The Linking of Learning and Knowledge Management”, Industrial Management & Data Systems, Vol. 108, No. 9, hal. 1234-48. Huber, G.P. (1991). “Organizational Learning: The Contributing Processes and The Literatures”, Organization Science, Vol. 2 No. 1, hal. 88-115. Kim, Daniel H. (1993). “The Link Between Individual and Organizational Learning”, Sloan Management Review, Vol. 35, No. 1, hal. 37-51. Livneh, C. (1988), “Characteristics of Lifelong Learners in the Human Services Professions”, Adult Education Quarterly, Vol. 38, hal. 149-59. Merx-Chermin, Mireille dan Nijhof, Wim J. (2005). “Factors Influencing Knowledge Creation and Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 Innovation in an Organization”, Journal of European Industrial Training, Vol. 29, hal. 135-82. Nasution, Darmin (2009). “Substansi Perubahan Undang-undang Perpajakan 2008”dalam Era Baru Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi, op.cit, hal. 197-8. Ortenbald, A. (2001). “On Differences Between Organizational Learning and Learning Organization”.Learning Organization, Vol. 8, No 3, 4, hal. 125–133. Prasetyo, Adinur (2008). “Pengaruh Uniformity dan Kesamaan Persepsi, serta Ukuran Perusahaan Terhadap Kepatuhan Pajak (Minimalisasi Biaya Kepatuhan Pajak Pada Perusahaan Masuk Bursa)”. Jakarta: Thesis Universitas Indonesia, hal. 16-7. Robinson, T., Clemson, B., dan Ve Ketaing, C. (1997). “Development of High Performance Organizational Learning Units”, The Learning Organization, Vol. 4, No. 5, hal. 228-34. Szulanski, G. (1996) “Exploring Internal Stickiness: Impediments to the Transfer of Best Practice Within the Firm. Strategic Management Journal, Vol. 17, hal 27-43. Zack, M.H. (1999). “Managing Codified Knowledge”, Sloan Management Review, Vol. 40, No. 4, hal. 45-58. Santosus, Megan dan John Surmach (2001). “The ABCs of Knowledge Management”. Knowledge Management Centre. Diunduh dari http://www.cio.com/research/knowledge/edit/kma bes.html hal. 1. 105 Halaman ini sengaja dikosongkan This page intentionally left blank Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 106 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015, Halaman 107-140 BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA JURNAL BPPK TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin KPU Bea dan Cukai Tipe A Tanjung Priok, Jakarta, Indonesia, Email: [email protected] INFO ARTIKEL ABSTRAK SEJARAH ARTIKEL Diterima Pertama 4 Maret 2015 Our analysis try to draw up Indonesia’s position in any economic integration agreement involved, bilaterally or regionally, which are ASEAN Free Trade Area (ASEAN Trade in Goods Agreement), ASEAN-China Free Trade Area, ASEAN-India Free Trade Area, ASEAN-Korea Free Trade Area, Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement, ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area, dan Indonesia-Pakistan Preferential Trade Agreement, the rules of trade in goods in each agreement, and moreover to analyse preferential tariff given based on Minister of Finance Decrees. The research conducted by literature study. Our analysis discover two conclusion, first, Indonesia has given tariff reduction and elimination according to the modality agreed in the integration agreements. We need to analyse further whether our partner has granted us the same commitment. Second, related to the operational certification procedures (OCP), our analysis recommend the ruling of OCP through Minister of Finance Decree, to strengthen legal basis of Certificate of Origin’s examination by the Customs Officers. Dinyatakan Dapat Dimuat 12 Juni 2015 KATA KUNCI: FTA, OCP, Kesepakatan perdagangan, Liberalisasi perdagangan, tarif preferensi, 1 Analisis kami mencoba untuk menggambarkan posisi Indonesia dalam berbagai persetujuan kerjasama/integrasi ekonomi, baik secara bilateral maupun regional, yaitu ASEAN Free Trade Area (ASEAN Trade in Goods Agreement), ASEAN-China Free Trade Area, ASEAN-India Free Trade Area, ASEAN-Korea Free Trade Area, Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement, ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area, dan Indonesia-Pakistan Preferential Trade Agreement, pengaturan tentang perdagangan barang pada masing-masing persetujuan FTA, dan lebih lanjut membuat analisis atas pemberian tarif preferensial berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Penelitian dilakukan dengan metode studi literatur. Analisis kami menyimpulkan, pertama, Indonesia telah melaksanakan penurunan dan penghapusan tarif sesuai dengan modalitas yang disepakati di dalam setiap kesepakatan integrasi. Perlu dikaji lebih lanjut apakah komitmen yang sama juga diberikan oleh negara mitra. Kedua, terkait prosedur operasional sertifikasi barang, kajian merekomendasikan pengaturannya secara mandiri dalam suatu Peraturan Menteri Keuangan, untuk memperkuat dasar hukum penelitian Surat Keterangan Asaloleh Pejabat Bea dan Cukai. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerjasama ekonomi antar negara kini menjadi sebuah keniscayaan. Tidak ada satu pun negara di dunia akan mampu bertahan apabila tidak membuka diri terhadap dunia luar. Negara-negara komunis, yang sebelumnya menerapkan sistem ekonomi tertutup, semacam China dan Russia pun secara aktif terlibat dan bergiat dalam berbagai forum kerjasama ekonomi, baik secara bilateral, regional, maupun internasional. Integrasi ekonomi menjadi pilihan yang paling populer untuk meningkatkan kerjasama ekonomi antar negara. Integrasi ekonomi regional diinisiasi dengan adanya perjanjian antar negara dalam suatu wilayah geografis untuk mengurangi (hingga pada akhirnya menghilangkan) hambatan tarif dan non-tarif atas lalu lintas barang, jasa, serta faktor produksi.Sejak tahun 2003, liberalisasi perdagangan di ASEAN telah meningkatkan volume perdagangan Indonesia, yang ditunjukkan dengan peningkatan yang lebih dari dua kali lipat dari volume ekspor dan impor selama periode Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 2003 sampai dengan 2010 (Benny Gunawan Ardiansyah dalam Siapkah Indonesia dalam Menghadapi Liberalisasi Perdagangan?). Hasil studi Cabalu dan Alfonso (2007) yang berjudul ‘Does AFTA Create or Divert Trade?’,secara khusus melakukan analisis mengenai ada atau tidaknya pengalihan perdagangan sebagai dampak dari suatu integrasi ekonomi (dalam hal ini, ASEAN Free Trade Area).Hasil analisis memunculkan beberapa pola yang menarik, jumlah ekspor ASEAN meningkat pangsanya baik di ASEAN maupun di pasarseluruh dunia selain ASEAN (rest of the world/ROW).Mulai 1980-an sampai 1990-an, pangsa pasar ASEAN di wilayah tersebut mengalami penurunan namun meningkat di seluruh dunia. Pada paruh kedua 1990-an sampai dengan satu dekade kemudian, pangsa ekspor ASEAN telah menunjukkan tanda positif di kedua pasar, tetapi peningkatan pangsa yang paling menonjol adalah di pasar ROW. Hal ini menegaskan bahwa AFTA telah menciptakan perdagangan (trade creation) ketimbang pengalihan perdagangan (trade diversion). Sehingga 107 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin peniadaan hambatan tarif dan non-tarif telah berimplikasi positif terhadap perkembangan perdagangan (Laporan Hasil Kajian Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral: Free Trade Agreement dan Economic Partnership Agreement, dan Pengaruhnya terhadap Arus Perdagangan dan Investasi dengan Negara Mitra). Tahapan dari integrasi regional dapat berlangsung dalam beberapa bentuk, tergantung dari tingkat integrasi antar negara. Secara umum, terdapat 6 bentuk utama integrasi, mulai dari tingkat yang lebih rendah sampai dengan tingkat yang lebih tinggi (Suranovic, 1998). a. Preferential Trade Agreement (PTA). Merupakan bentuk integrasi yang paling rendah dengan memberikan akses preferensial melalui penurunan tarif bea masuk hanya terhadap produk tertentu. Contoh: Indonesia-Pakistan (Preferential Trade Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Islamic Republic of Pakistan ditandatangani di Jakarta pada 3 Februari 2012). b. Free Trade Agreement (FTA). Merupakan tahap kedua dari integrasi dimana negara anggota setuju untuk mengurangi tarif, kuota, dan hambatan lain untuk hampir seluruh barang dan jasa yang diperdagangkan antar negara anggota. Sedangkan kebijakan terhadap negara non-anggota, diserahkan sepenuhnya kepada negara anggota. Contoh: AFTA (1992), ACFTA (2002), AIFTA (2003), AKFTA (2005), IJEPA (2007) dan AANZFTA (2009). c. Customs Union. Merupakan bentuk integrasi yang tidak hanya menghilangkan hambatan perdagangan antar negara anggota, tetapi juga mewajibkan negara anggotanya untuk menyeragamkan kebijakan perdagangan mereka terhadap negara non-anggota (FTA with common external tariff). Contoh: Customs Union of Belarus, Kazakhstan and Russia (2010). d. Common Market. Merupakan bentuk integrasi yang tidak hanya membebaskan perdagangan barang saja, tetapi juga arus faktor produksi, seperti tenaga kerja dan modal. Contoh: EAC (East African Community). e. Economic Union. Merupakan bentuk integrasi dimana harmonisasi di antara negara anggota diperluas lagi, sampai dengan penyeragaman kebijakan fiskal. f. Monetary Union. Merupakan bentuk integrasi paling tinggi, dimana negara-negara anggota menerbitkan mata uang tunggal dan membentuk otoritas moneter bersama. Contoh: Uni Eropa. Negara-negara Eropa telah melalui semua tahap tersebut dan kini ada di tahapan Economic Union dengan nama European Union/Uni Eropa yang ditandai dengan penyatuan mata uang Euro. ASEAN sekarang pada tahap FTA yang sedang menuju tahap common market pada 2015 melalui ASEAN Economic Community (AEC). 140.108 Sementara itu, selain membentuk kawasan perdagangan bebas (free trade area/FTA) dengan ASEAN, China juga mempunyai persetujuan FTA secara bilateral dengan Pakistan, Singapore, Chile, Peru, New Zealand, Costa Rica, Iceland, dan Switzerland, dan membentuk Closer Economic and Partnership Arrangement dengan Hong Kong dan Macau. Secara regional, China terlibat di dalam Asia Pacific Trade Agreement bersama Bangladesh, India, Sri Lanka, Lao PDR, dan Korea. Pada saat ini China juga sedang dalam tahap negosiasi dengan Australia, Norway, dan Gulf Cooperation Council (GCC) untuk membentuk persetujuan FTA (Sumber: China FTA Network) Russia mempunyai persetujuan FTA secara bilateral dengan Armenia (entry date into force/edif 25 Maret 1993), Ukraine (edif 21 Februari 1994), Kyrgyzstan (edif 24 Maret 1993), dan Georgia (edif 10 Mei 1994).Selain itu, secara regional Russia bekerjasama membentuk Eurasian Economic Community (EAEC, ditandatangani pada 10 Oktober 2000 bersama Belarus, Kazakhstan, Kyrgyzstan, dan Tajikistan), Commonwealth of Independent States Free Trade Area (CIS-FTA, ditandatangani pada 15 April 1994 bersama Azerbaijan, Armenia, Belarus, Georgia, Moldova, Kazakhstan, Ukraine, Uzbekistan, Tajikistan, dan Kyrgyzstan), dan Common Economic Zone (edif 20 Mei 2004, bersama Belarus, Kazakhstan, dan Ukraine) (Sumber : The World Bank Global Preferential Trade Agreements Database) Sampai dengan saat ini, Indonesia sudah mengikatkan diri dalam delapan kesepakatan integrasi ekonomi, yaitu ASEAN Free Trade Area (ASEAN Trade in Goods Agreement), ASEAN-China Free Trade Area, ASEAN-India Free Trade Area, ASEAN-Korea Free Trade Area, Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement, ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership Agreement (2003), ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area, dan Indonesia-Pakistan Preferential Trade Agreement. Dari delapan kesepakatan tersebut, tujuh diantaranya telah diimplementasikan oleh pemerintah.ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership Agreement sampai dengan saat ini belum diimplementasikan. 1.2 Rumusan Masalah Indonesia telah mengikatkan diri ke dalam tujuh kesepakatan perdagangan dan sebagai implikasinya, memberikan preferensi tarif kepada para negara mitra.Dipandang dari sudut penerimaan negara, Indonesia telah mengorbankan potensi penerimaan yang tidak sedikit demi untuk terlibat dalam suatu kawasan perdagangan bebas. Data utilisasi tarif preferensi sepanjang 20112012 di bawah ini mencerminkan tingginya tingkat penggunaan tarif preferensi dalam importasi barang yang masuk ke Indonesia. Impor barang yang seharusnya membayar bea masuk sesuai tarif yang berlaku umum, diberikan tarif preferensi yang lebih rendah, sehingga penerimaan negara dari sektor bea masuk menjadi lebih rendah. Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin Tabel 1. Data Utilisasi Tarif Preferensi 2011-2012 Tarif (%) 0 5 5<x<10 10<x<15 20 X > 20 Spesifik (blank) Total Tarif (%) Impor Tarif Preferensi 2011 2012 1.484.569.781 2.233.091.569 7.705.047.598 16.013.466.574 5.018.570.693 10.106.735.152 1.445.619.047 2.374.106.627 338.024.852 480.719.609 1.240.570.423 2.677.576.830 283.101 595.750 143.916 17.232.685.495 33.886.736.026 Impor Tarif Umum 2011 0 57.463.156.302 5 37.714.487.199 5<x<10 9.943.671.060 10<x<15 4.868.642.223 20 345.423.480 X > 20 937.058.764 Spesifik 1.809.242.148 (blank) 805.311 Total 113.082.486.486 Sumber: Dit. IKC, DJBC 2012 61.837.152.533 35.978.156.606 7.573.129.898 4.486.126.151 288.349.922 518.424.763 1.260.678.476 1.502.328 111.943.520.676 Utilisasi FTA (%) 2011 2012 2.5 3.5 17.0 30.8 33.5 57.2 22.9 34.6 49.5 62.5 57.0 83.8 0.0 0.0 0.0 8.7 Data di atas menunjukkan bahwa untuk kelompok barang dengan tarif bea masuk lebih dari 5% sampai dengan 10%, tarif 20%, dan di atas 20%, pemanfaatan tarif preferensi adalah di atas 50%. Dengan demikian, liberalisasi perdagangan barang melalui pemberian tarif preferensi yang lebih rendah dari tarif yang berlaku umum telah secara nyata dan serta merta menyebabkan masalah berkurangnya penerimaan bea masuk. Oleh karena itu, dirasa perlu untuk mengukur tingkat liberalisasi dalam perdagangan yang diberikan oleh Indonesia sebagai akibat dari pengikatan diri Indonesia dalam suatu integrasi ekonomi. 1.3 Tujuan Penulisan Kajian ini akan memberikan tinjauan umum atas ketujuh integrasi ekonomi tersebut dan mencoba mengukur preferensi tarif yang diberikan oleh pemerintah sebagai konsekuensi pengikatan Indonesia dalam integrasi ekonomi tersebut. Tingkat liberalisasi dalam perdagangan barang diukur dengan seberapa jauh tingkat penurunan tarifbea masuk yang diberikan oleh negara Indonesia atas impor barang yang berasal dari negara mitra dagang yang turut mengikatkan diri dalam integrasi ekonomi. Dalam pengukuran tingkat liberalisasi perdagangan, kajian menggunakan data tarif preferensi yang berlaku pada tahun 2014, sehingga diharapkan data yang disajikan memenuhi syarat kekinian. Kajian membatasi diri untuk tidak membahas dampak pemberlakuan kerjasama/integrasi ekonomi terhadap neraca perdagangan. Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 2 KERANGKA TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Chemingui dan Colton (1995) berpendapat bahwa perdagangan internasional adalah alat yang penting untuk alokasi sumber daya. Terjadinya perdagangan internasional memungkinkan berpindahnya suatu sumber daya dari satu negara ke negara yang lain. Saat ini, tidak ada satu negara pun yang sama sekali menutup diri dari perdagangan internasional. Korea Utara, yang dianggap sebagai negara paling tertutup di dunia pun, tetap melakukan perdagangan dengan negara lain, walaupun dalam skala yang tidak besar. Walaupun demikian, perdagangan internasional memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan perdagangan domestik.Negara-negara menetapkan untuk menerapkan berbagai hambatan perdagangan dengan alasan yang beragam. Hambatan dalam perdagangan internasional dapat berupa hambatan tarif (mengenakan tarif bea masuk atas barang impor) atau hambatan non tarif, semisal kuota ekspor, kewajiban surveyor, dan sebagainya. Kompetisi di dalam perdagangan internasional, yang sebagian besar berujung pada upaya untuk memperoleh surplus dalam neraca perdagangan menggiring negara-negara di dunia untuk melonggarkan hambatan dalam perdagangan internasional. Negara-negara kemudian menjalin kesepakatan timbal balik di antara mereka untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas yang dipercaya akan mendatangkan keuntungan bagi semua pihak. Integrasi ekonomi atau perdagangan bebas memungkinkan sumber daya berpindah dari satu negara ke negara lainnya tanpa menemui hambatan perdagangan, baik hambatan tarif maupun non tarif. Integrasi ekonomi dipercaya mendatangkan manfaat sebagai berikut (Ken Edge, 1999): a. Economic Growth. Persaingan antar negara yang sangat ketat akan memacu negara-negara untuk semakin produktif dan efisien dalam proses produksi barang. Hal ini akan menyebabkan distributor barang menurunkan biaya produksi untuk menciptakan persaingan harga. Sehingga masyarakat dapat membeli barang-barang dengan harga yang terjangkau. Hal ini akan mendukung pertumbuhan ekonomi. b. Foreign Exchange Gains.Kegiatan ekspor memungkinkan suatu negara memperoleh hard currency sebagai pembayaran. Uang ini dapat digunakan untuk membiayai impor barang yang diproduksi dengan lebih efisien dan berbiaya rendah dari negara lain. c. Employment. Peningkatan kemampuan industri akan meningkatkan permintaan atas tenaga kerja. Sumber daya manusia akan berpindah dari permintaan tenaga kerja yang rendah ke kawasan yang lebih produktif dan membutuhkan lebih banyak tenaga kerja. d. Increased Production. FTA akan mendorong negara untuk melakukan spesialisasi karena akan meningkatkan keunggulan komparatif suatu 109 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin negara. Hal ini akan menurunkan biaya produksi rata-rata dan meningkatkan produksi. e. Production Efficiencies. Karena perbedaan anugerah sumber daya, setiap negara harus melakukan alokasi dan pembangunan agar dapat bersaing dengan negara yang lain dan merespon dengan tingkat produktivitas yang berhubungan dengan peningkatan teknologi dan inovasi serta peningkatan distribusi dan pemasaran. f. Benefit to Consumers. Semakin tinggi tingkat persaingan di tingkat pemasok, akan memberikan keuntungan kepada konsumen, karena konsumen ditawari produk yang beragam dengan harga yang kompetitif. Disamping memberikan manfaat yang beragam tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa perdagangan bebas/integrasi ekonomi juga mendatangkan kerugian, diantaranya: a. Unemployment Rate. Perubahan peraturan perburuhan dan terbukanya pasar tenaga kerja akan meningkatkan angka pengangguran di negara dengan tingkat upah yang tinggi, karena industri akan lebih memilih tenaga kerja dengan upah rendah. b. Economic Status. Ketergantungan terhadap pasar internasional akan menyebabkan perekonomian domestik menjadi rentan terhadap guncangan. Hal ini dapat menyebabkan turunnya penerimaan dari ekspor, penurunan PDB, penurunan pendapatan, penurunan permintaan domestik dan sebagainya. c. International Market Is Not a Level Playing Field. Pasar internasional bukanlah suatu pasar yang seimbang, negara yang berhasil meningkatkan produksi karena produktif dan efisien akan dapat menguasai pasar internasional. Sementara negara yang tidak memiliki keunggulan tersebut akan jmengalami kemunduran. d. New Entry Players. Perdagangan bebas akan mempersulit perusahaan/negara baru untuk masuk ke pasar, karena mereka dihadapkan pada persaingan dengan perusahaan/negara yang telah berkembang dan maju. e. Pollution and Environmental Problem. Tingginya tingkat persaingan dalam perdagangan bebas membuka kesempatan untuk ekspansi pasar. Hal ini menyebabkan pengurangan biaya produksi dan terabaikannya pengawasan atas kualitas dan dampak pada lingkungan. Berdasarkan pros-cons tersebut di atas, kajian ini akan memotret secara netral posisi Indonesia di dalam perjanjian perdagangan bebas yang telah diimplementasikan, sebagai bahan untuk kajian lanjutan yang lebih komprehensif dan mendalam. membantu peneliti untuk mendapatkan data dari berbagai macam sumber. Berdasarkan tujuan dari penelitian yang ingin mengeksplorasi fenomena liberalisasi perdagangan melalui integrasi ekonomi, maka digunakan metode penelitian kualitatif. Glenn A. Bowen dalam ‘From Qualitative Dissertation to Quality Articles: Seven Lessons Learned’ menyampaikan bahwa penelitian kualitatif melibatkan suatu pengumpulan bahan yang sistematis, pengorganisasian, dan analisa atas bahan yang sebagian besar merupakan teks/dokumen. Walaupun banyak perdebatan, terutama mengenai pengetahuan yang dihasilkan dari suatu penelitian kualitatif (Mays & Pope, 2000), namun terdapat kesepahaman, setidaknya di kalangan ahli peneliti kualitatif, bahwa penelitian kualitatif dapat dipercaya, memiliki relevansi dan kaku, dengan hasil temuan yang aplikatif (Bergman & Coxon, 2005; Lincoln & Guba, 1985; Mays & Pope; Morse et al.). Penelitian menggunakan metode qualitative content analysis (QCA), yaitu suatu metode untuk secara sistematis menjelaskan makna dari bahanbahan kualitatif. Metode ini cocok digunakan untuk menganalisis bahan yang membutuhkan interpretasi tertentu. QCA mengharuskan peneliti untuk fokus pada suatu aspek pertanyaan tertentu yang ingin dijawab oleh penelitian tersebut. Tiga karakteristik utama dari QCA adalah sistematis, fleksibel, dan mengurangi data. Metode ini sistematis karena tiga hal, yaitu seluruh bahan dipertimbangkan, ada urutan langkah yang harus diikuti dalam melakukan analisis, dan konsisten dalam analisis. Fleksibel karena metode disusun agar dapat cocok dengan bahan yang ada.QCA mengurangi data karena membatasi analisis hanya atas aspek bahan yang relevan. (Margrit Schreier, 2012) Data dalam penelitian ini didapat dari naskah persetujuan perdagangan yang telah diimplementasikan oleh Indonesia, yang dapat diunduh secara bebas dari situs ASEAN atau Kementerian Perdagangan RI dan Peraturan Menteri Keuangan yang menetapkan tarif bea masuk untuk setiap pos tarif barang dalam Buku Tarif Kepabeanan Indonesia 2012 yang berlaku untuk tahun 2014. 3 4.1 Tujuan Umum Persetujuan Kerjasama Ekonomi Antar Bangsa Persetujuan kerjasama ekonomi antar bangsa melalui suatu upaya integrasi ekonomi, secara umum memiliki tujuan yang hampir sama, yaitu : METODOLOGI PENELITIAN Metodologi berkaitan dengan proses dan metode yang digunakan oleh peneliti untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia (Creswell, 2007; Edwards & Skinner 2009; Punch, 1998) yang mungkin akan berguna untuk menjawab pertanyaan penelitian dan tujuan dari penelitian. Metodologi penelitian 140.110 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini, Peneliti akan menyajikan tujuan dari terbentuknya kawasan perdagangan bebas, tinjauan mengenai tujuh kesepakatan perdagangan yang telah diimplementasikan oleh Indonesia, prosedur kepabeanan yang disepakati, ketentuan asal barang, prosedur operasional sertifikasi barang dan isu-isu yang timbul dalam implementasi kesepakatan perdagangan tersebut. Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin a. b. c. d. e. f. g. h. Memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan, dan investasi di antara negara-negara yang mengikatkan diri. Secara progresif meliberalisasi dan mendorong perdagangan barang dan jasa, dan menciptakan rezim investasi yang transparan, liberal, dan fasilitatif. Menelusuri area baru dan mengembangkan langkah yang tepat untuk menciptakan kerjasama dan integrasi ekonomi yang lebih dekat. Memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif bagi negara-negara anggota baru dan menjembatani kesenjangan pembangunan diantara para pihak/negara anggota. Membangun kerangka kerjasama untuk memperkuat hubungan ekonomi lebih lanjut di antara negara-negara yang mengikatkan diri. Meningkatkan kesempatan berinvestasi dan meningkatkan kegiatan investasi melalui penguatan perlindungan kegiatan investasi di negara-negara yang mengikatkan diri. Memastikan perlindungan terhadap kekayaan intelektual dan meningkatkan kerjasama di bidang tersebut. Meningkatkan transparansi di dalam rezim pengadaan barang pemerintah dan meningkatkan kerjasama saling menguntungkan di antara para pihak dalam bidang pengadaan barang pemerintah. 4.2 Kesepakatan Perdagangan yang Telah Diimplementasikan di Indonesia. Sampai dengan saat ini Indonesia telah mengimplementasikan tujuh kesepakatan perdagangan, baik secara bilateral maupun regional, yaitu sebagai berikut: 4.2.1 ASEAN Free Trade Area (AFTA) 4.2.1.1 Persetujuan Perdagangan Barang Perjalanan menuju terbentuknya ASEAN Free Trade Area bermula pada tanggal 24 Februari 1976 ketika enam negara anggota ASEAN (ASEAN 6, yaitu Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapore, dan Thailand) menandatangani ASEAN Concord di Bali, Indonesia. Perjanjian tersebut menginginkan agar para anggota bekerjasama untuk meningkatkan pembangunan dan pertumbuhan produksi dan perdagangan. Satu tahun kemudian, pada tanggal 24 Februari 1977 ditandatangani suatu Agreement on ASEAN Preferential Trading Arrangements (PTA) di Manila, Philippines. Pembentukan PTA adalah langkah konkrit awal dari para anggota menuju integrasi ekonomi ASEAN. Melalui PTA, ASEAN mengadopsi berbagai instrumen liberalisasi perdagangan dengan dasar berupa pemberian perlakuan preferensial diantara anggota. Dalam Third Summit Meeting di Manila, Philippines pada tanggal 13-15 Desember 1987, para Kepala Negara/Pemerintahan ASEAN mendeklarasikan bahwa negara anggota harus memperkuat kerjasama Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 ekonomi intra-ASEAN untuk memaksimalkan realisasi dari potensi kawasan dalam perdagangan dan pembangunan. Pertemuan juga menyepakati Protocol on Improvements on Extension of Tariff Preferences under the ASEAN Preferential Trading Arrangements (PTA). Untuk menegaskan kembali komitmen terhadap upaya integrasi ekonomi, para Kepala Negara/Pemerintahan menandatangani Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation pada tanggal 28 Januari 1992 di Singapore. Persetujuan dibuat berdasarkan kesadaran bahwa halangan tarif dan non-tarif telah menghalangi aliran perdagangan dan investasi intra-ASEAN. Persetujuan ini diharapkan dapat memperluas komitmen yang telah ada untuk menghilangkan hambatan-hambatan tersebut. Bersamaan dengan itu, negara anggota bersepakat untuk meningkatkan level komitmen integrasi ekonomi melalui pembentukan ASEAN Free Trade Area. AFTA dibentuk untuk melanjutkan kerjasama di dalam pertumbuhan ekonomi kawasan dengan mempercepat liberalisasi perdagangan dan investasi intra-ASEAN. Skema yang digunakan adalah Common Effective Preferential Tariff (CEPT) Scheme, yaitu suatu pemberian tariff preferensi efektif yang telah disepakati atas impor barang dari negara anggota ASEAN. Persetujuan ini berlaku untuk seluruh produk manufaktur, termasuk barang modal, produk pertanian yang telah diolah lebih lanjut, dan produk lainnya, selain yang didefinisikan sebagai produk pertanian berdasarkan persetujuan ini. Produk pertanian harus dikecualikan dari CEPT Scheme. Barang yang dapat dianggap sebagai barang yang berasal dari negara ASEAN adalah apabila paling sedikit 40% dari kandungan barang tersebut berasal dari negara anggota. Melalui Declaration of ASEAN Concord II yang ditandatangani di Bali, Indonesia pada tanggal 7 Oktober 2003 dan ASEAN Charter yang ditandatangani di Singapore pada tanggal 20 November 2007, para Kepala Negara/Pemerintahan membuat keputusan untuk membentuk ASEAN Community, yang terdiri dari tiga pilar, yaitu ASEAN Political- Security Community (APSC), the ASEAN Economic Community (AEC) dan the ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC). Untuk merealisasikan tujuan pembentukan ASEAN sebagai pasar dan basis produksi tunggal, yang dicirikan dengan arus barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja yang bebas dan aliran modal yang lebih bebas, para Menteri Perdagangan negara anggota menandatangani ASEAN Trade in Goods Agreement di Cha-am, Thailand pada tanggal 26 Februari 2009 dan mulai berlaku selambat-lambatnya 180 hari sejak ditandatangani. ATIGA dibuat untuk menyediakan kerangka legal untuk merealisasikan terciptanya arus bebas barang di kawasan. ATIGA dibangun di atas komitmen yang telah dibuat sebelumnya, yaitu the Agreement on ASEAN Preferential Trading Arrangements (1977), the Agreement on the Common Effective Preferential Tariff Scheme for the ASEAN Free Trade Area (1992), the ASEAN Agreement on Customs (1997), the ASEAN 111 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin Framework Agreement on Mutual Recognition Arrangements (1998), the e-ASEAN Framework Agreement (2000), the Protocol Governing the Implementation of the ASEAN Harmonised Tariff Nomenclature (2003), the ASEAN Framework Agreement for the Integration of Priority Sectors (2004), dan the Agreement to Establish and Implement the ASEAN Single Window (2005). Persetujuan ini harus berlaku terhadap seluruh produk di bawah ASEAN Harmonised Tariff Nomenclature (AHTN). Namun demikian, persetujuan tetap memuat general and security exceptions (sesuai Article XX dan XXI GATT 1994), yaitu barang-barang yang dikecualikan dari upaya penurunan/ penghapusan tarif bea masuk impor. 4.2.1.2 Preferensi Tarif Dalam Rangka AFTA/ATIGA Berdasarkan PMK 208/PMK.011/2012 Penetapan tarif bea masuk dalam rangka ATIGA diatur terakhir di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 208/PMK.011/2012 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka ATIGA. Selain mengatur mengenai besaran tarif bea masuk preferensi dalam rangka ATIGA, PMK ini juga mengatur ketentuan umum pengenaan tarif. Berdasarkan PMK tersebut, untuk tahun 2014, 9899 pos tarif (98.8714% dari total 10012 pos tarif), diberikan preferensi tarif menjadi 0%. Barang-barang yang tidak diberikan preferensi tarif dan tetap dikenakan tarif bea masuk yang berlaku umum sejumlah 113 pos tarif, diantaranya meliputi minuman mengandung etil alkohol, beras, gula, tank dan peralatan militer, dan beberapa pos tarif makanan olahan. Tabel distribusi besaran tarif bea masuk impor barang tahun 2014 dengan skema ATIGA berdasarkan PMK Nomor 208/PMK.011/2012, tercantum pada Lampiran. 4.2.2 ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) 4.2.2.1 Persetujuan Perdagangan Barang Persetujuan kerjasama ekonomi menyeluruh antara ASEAN dengan People’s Republic of China (PRC) pertama kali ditandatangani di Phnom Penh pada 4 November 2002. Kedua belah pihak bersepakat untuk bekerjasama di bidang perdagangan barang, jasa, dan investasi.Sebagai tindak lanjut dari persetujuan tersebut, para Menteri Perdagangan negara-negara anggota ASEAN dan PRC membuat kesepakatan tentang perdagangan barang dalam kerangka kerjasama ekonomi menyeluruh tersebut.Agreement on Trade in Goods of The Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between ASEAN and People’s Republic of China ditandatangani pada 29 November 2004 di Vientiane, Lao PDR dan mulai diberlakukan oleh Indonesia pada tanggal 1 Januari 2006. Perjanjian memprogram perlu adanya penurunan dan penghapusan tarif bea masuk impor secara bertahap. Penurunan dan penghapusan tarif bea masuk 140.112 dimaksudkan sebagai perlakuan preferensial bagi para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian ini. Berdasarkan Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between ASEAN and People’s Republic of China dan Agreement on Trade in Goods of The Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between ASEAN and People’s Republic of China, dilakukan pengkategorian barang sesuai jadwal liberalisasinya. Berikut adalah daftar jumlah pos tarif barang yang didaftarkan sebagai sensitive list (SL) dan highly sensitive list (HSL) oleh masing-masing negara, pada 2004: Tabel 2. SL dan HSL untuk ACFTA Negara Sen Track SL HSL Jumlah Bru Cam 66 34 100 350 150 450 Chi Ind 161 100 261 349 50 399 Lao 88 30 118 Mal 272 96 368 Negara Sen Track SL HSL Jumlah Mya 271 0 271 Phi 267 77 344 Sin 1 1 2 Tha 242 100 342 Vie tbd* tbd* tbd* Berdasarkan daftar di atas, Indonesia adalah negara kedua yang paling banyak mendaftarkan barangnya dalam kategori sensitive track, setelah Cambodia. Singapore di sisi lain, adalah negara yang paling sedikit memasukkan barangnya ke dalam kategori ini. 4.2.2.2 Preferensi Tarif Dalam Rangka ACFTA Berdasarkan PMK 117/PMK.011/2012 Penetapan tarif bea masuk dalam rangka ACFTA diatur terakhir di dalam PMK Nomor 117/PMK.011/2013 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka ACFTA. Selain mengatur mengenai besaran tarif bea masuk preferensi dalam rangka ACFTA, PMK ini juga mengatur ketentuan umum pengenaan tarif dan mengamanatkan pengaturan lebih lanjut tentang pedoman teknis untuk melakukan penelitian terhadap Surat Keterangan Asal (SKA) dalam rangka pelaksanaan ketentuan asal barang, dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Berdasarkan PMK tersebut, untuk tahun 2014, 9797 pos tarif (97.8526% dari total 10012 pos tarif) mendapatkan penurunan tarif, sehingga tarif rataratanya 2.1148%. 8437 pos tarif (84.2689%) diantaranya, diberikan preferensi tarif menjadi 0%. Sejumlah 402 pos tarif dikenakan tarif bea masuk berdasarkan penerapan azas timbal balik. Pengenaan azas timbal balik didasarkan pada ketentuan Annex 2 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin Modality for Tariff Reduction/Elimination for Tariff Lines Placed in the Sensitive Track,Agreement on Trade in Goods of The Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between ASEAN and People’s Republic of China, dengan syarat tarif tersebut tidak lebih tinggi dibandingkan dengan tarif bea masuk yang berlaku umum. Barang-barang yang tidak diberikan preferensi tarif dan tetap dikenakan tarif bea masuk yang berlaku umum sejumlah 215 pos tarif, diantaranya meliputi minuman mengandung etil alkohol, hasil tembakau, film, limbah, karet, beras, dan gula. Tabel distribusi besaran tarifbea masuk impor barang tahun 2014 dengan skema ACFTA berdasarkan PMK Nomor 117/PMK.011/2013, tercantum pada Lampiran. 4.2.3 ASEAN-India Free Trade Area (AIFTA) 4.2.3.1 Persetujuan Perdagangan Barang Kerjasama ekonomi antara negara-negara anggota ASEAN dan India dimaksudkan untuk membentuk suatu ASEAN-India Regional Trade and Investment Area (RTIA), yang meliputi suatu kawasan perdagangan bebas barang, jasa, dan investasi. Upaya kerjasama ekonomi tersebut diinisiasi dengan penandatanganan Persetujuan Kerangka Kerja mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antara Republik India dan Negara-negara Anggota Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Between the Republic of India and the Association of Southeast Asian Nations) di Bali pada 8 Oktober 2003 oleh masingmasing Kepala Negara/Pemerintahan. Sebagai tindak lanjut dari persetujuan tersebut, para Menteri Perdagangan negara-negara anggota ASEAN dan India membuat kesepakatan tentang perdagangan barang dalam kerangka kerjasama ekonomi menyeluruh tersebut. Agreement on Trade in Goods of The Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between the Republic of India and ASEAN ditandatangani pada tanggal 13 Agustus 2009 di Ha Noi, Viet Nam dan mulai diberlakukan oleh Indonesia pada tanggal 8 September 2010. Untuk mempercepat ekspansi perdagangan barang di antara negara anggota, tarif bea masuk impor dan peraturan yang menghambat perdagangan diupayakan untuk dihapuskan melalui persetujuan tersebut. Upaya penurunan dan, kemudian, penghapusan tarif bea masuk impor dilakukan sesuai program pengklasifikasian barang-barang sebagai General and Security Exceptions, Early Harvest Programme, Normal Track, Sensitive Track, Special Products, dan Highly Sensitive List. 4.2.3.2 Preferensi Tarif Dalam Rangka AIFTA Berdasarkan PMK 221/PMK.011/2012 Penetapan tarif bea masuk dalam rangka AIFTA diatur terakhir di dalam PMK Nomor 221/PMK.011/2012 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka AIFTA. Selain mengatur mengenai besaran tarif bea masuk preferensi dalam Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 rangka AIFTA, PMK ini juga mengatur ketentuan umum pengenaan tarif. Berdasarkan PMK tersebut, untuk tahun 2014, 9299 pos tarif (92.8785% dari total 10012 pos tarif) mendapatkan penurunan tarif, sehingga tarif rataratanya 4.2539%. 3912 pos tarif (39.0731%) diantaranya, diberikan preferensi tarif menjadi 0%. Barang-barang yang tidak diberikan preferensi tarif dan tetap dikenakan tarif bea masuk yang berlaku umum sejumlah 713 pos tarif, diantaranya meliputi daging, ikan dan krustasea, susu dan produknya, buah, sayur, dan bunga, bumbu dan rempah, minuman mengandung etil alkohol, tepung, beras, gula, tekstil dan produk tekstil, dan besi. Tabel distribusi besaran tarif bea masuk impor barang tahun 2014 dengan skema AIFTA berdasarkan PMK Nomor 221/PMK.011/2012, tercantum pada Lampiran. 4.2.4 ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA) 4.2.4.1 Persetujuan Perdagangan Barang Upaya pembentukan suatu kawasan perdagangan bebas antara negara-negara anggota ASEAN dan Korea digagas pertama kali dengan penandatanganan Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Among the Governments of the Member Countries of the Association of Southeast Asian Nations and the Republic of Korea pada 13 Desember 2005 di Kuala Lumpur, Malaysia. Upaya untuk memperkuat kerjasama dalam perdagangan barang dilakukan dengan, secara progresif menghilangkan hambatan tarif dan non-tarif. Sebagai tindak lanjut dari persetujuan tersebut, para Menteri Perdagangan negara-negara anggota ASEAN dan Korea membuat kesepakatan tentang perdagangan barang dalam kerangka kerjasama ekonomi menyeluruh tersebut. Agreement on Trade in Goods Under the Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Among the Governments of the Member Countries of the Association of Southeast Asian Nations and the Republic of Korea ditandatangani di Kuala Lumpur, Malaysia, pada tanggal 24 Agustus 2006 (Thailand tidak ikut menandatangani persetujuan ini, dan baru menandatangani pada 27 Februari 2009, setelah menyelesaikan pembahasan tentang isu beras) dan mulai diberlakukan oleh Indonesia pada tanggal 1 Juli 2007. Berdasarkan persetujuan tersebut, dibuat suatu skedul penurunan tarifbea masuk impor barang, yang dikelompokkan menjadi General and Security Exceptions, Normal Track, dan Sensitive Track. Berikut adalah daftar jumlah pos tarif barang yang didaftarkan sebagai sensitive list (SL) dan highly sensitive list (HSL) oleh masing-masing negara, pada 2006: 113 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin Tabel 3. SL dan HSL untuk AKFTA Negara Sen Track Sensitive List Highly Sensitive L Group A Group B Group C Group D Group E Jumlah Negara Sen Track Sensitive List Highly Sensitive L Group A Group B Group C Group D Group E Jumlah PMK Nomor 118/PMK.011/2013, tercantum pada Lampiran. Bru Cam Ind Kor Lao Mal 27 265 321 310 326 339 13 40 5 159 40 469 5 111 40 475 6 139 24 7 40 526 5 155 486 14 45 15 39 452 Mya Phi Sin Tha Vie 193 259 - - 343 160 40 393 5 49 40 353 0 - 33 118 9 40 543 4.2.4.2 Preferensi Tarif Dalam Rangka AKFTA Berdasarkan PMK 118/PMK.011/2012 Penetapan tarif bea masuk dalam rangka AKFTA diatur terakhir di PMK Nomor 118/PMK.011/2013 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka AKFTA. Selain mengatur mengenai besaran tarif bea masuk preferensi dalam rangka AKFTA, PMK ini juga mengatur ketentuan umum pengenaan tarif dan mengamanatkan pengaturan lebih lanjut tentang pedoman teknis untuk melakukan penelitian terhadap Surat Keterangan Asal (SKA) dalam rangka pelaksanaan ketentuan asal barang, dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Berdasarkan PMK tersebut, untuk tahun 2014, 9375 pos tarif (93.6376% dari total 10012 pos tarif) mendapatkan penurunan tarif, sehingga tarif rataratanya 1.4208%. 8236 pos tarif (82.2613%) diantaranya, diberikan preferensi tarif menjadi 0%. Sejumlah 759 pos tarif dikenakan tarif bea masuk berdasarkan penerapan azas timbal balik. Pengenaan azas timbal balik didasarkan pada ketentuan Annex 2 Modality for Tariff Reduction/Elimination for Tariff Lines Placed in the Sensitive Track,Agreement on Trade in Goods of The Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between ASEAN and Republic of Korea, dengan syarat tarif tersebut tidak lebih tinggi dibandingkan dengan tarif bea masuk yang berlaku umum. Barang-barang yang tidak diberikan preferensi tarif dan tetap dikenakan tarif bea masuk yang berlaku umum sejumlah 637 pos tarif, diantaranya meliputi beberapa pos daging, ikan, rempah, produk hewani, bunga, sayur, dan buah, olahan daging dan ikan, kue, olahan sayur dan buah, minuman mengandung etil alkohol, tekstil dan produk tekstil, dan besi. Tabel distribusi besaran tarif bea masuk impor barang tahun 2014 dengan skema AKFTA berdasarkan 140.114 4.2.5 Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) 4.2.5.1 Persetujuan Perdagangan Barang Agreement between the Republic of Indonesia and Japan for an Economic Partnership ditandatangani di Jakarta tanggal 20 Agustus 2007 dan mulai diberlakukan oleh Indonesia tanggal 1 Juli 2008. Kerjasama ekonomi dititikberatkan pada liberalisasi perdagangan barang dan jasa, penguatan kesempatan dan aktivitas investasi, penghargaan terhadap kekayaan intelektual, transparansi di dalam rezim sistem pengadaan pemerintah, mempromosikan kompetisi, perbaikan iklim bisnis, dan penciptaan prosedur yang efektif untuk implementasi persetujuan kerjasama. Liberalisasi perdagangan barang dilakukan dengan cara menurunkan atau menghapuskan tarif bea masuk impor barang yang berasal dari negara mitra. Selain itu, para pihak juga perlu untuk melakukan negosiasi terkait permasalahan seperti peningkatan akses pasar untuk barang yang berasal dari negara mitra. Indonesia dan Japan juga menyepakati untuk menghapus subsidi ekspor atas barang-barang hasil pertanian dan meniadakan hambatan non-tarif di dalam perdagangan barang di antara kedua negara. Namun demikian, bilamana dirasa perlu, perjanjian ini tidak membatasi para pihak untuk menerapkan bea masuk tindakan pengamanan apabila implementasi dari persetujuan ini menimbulkan pelemahan yang signifikan terhadap industri domestik. Skedul penurunan/penghapusan tarif dalam rangka IJEPA tercantum pada Lampiran. 4.2.5.2 Preferensi Tarif Dalam Rangka IJEPA Berdasarkan PMK 209/PMK.011/2012 Penetapan tarif bea masuk dalam rangka IJEPA diatur terakhir di dalam PMK Nomor 209/PMK.011/2012 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka IJEPA. Selain mengatur mengenai besaran tarif bea masuk preferensi dalam rangka IJEPA, PMK ini juga mengatur ketentuan umum pengenaan tarif. Berdasarkan PMK tersebut, untuk tahun 2014, 9699 pos tarif (94.092% dari total 10308 pos tarif) mendapatkan penurunan tarif, sehingga tarif rataratanya 0.9899%. 7546 pos tarif (73.2053%) diantaranya, diberikan preferensi tarif menjadi 0%. Barang-barang yang tidak diberikan preferensi tarif dan tetap dikenakan tarif bea masuk yang berlaku umum sejumlah 609 pos tarif, diantaranya meliputi beberapa pos tarif binatang hidup, daging, dairy produces, beras, gula, minuman mengandung etil alkohol, logam tidak mulia, peralatan militer, mainan, dan peralatan olahraga. Tabel distribusi besaran tarif bea masuk impor barang tahun 2014 dengan skema IJEPA berdasarkan PMK Nomor 209/PMK.011/2012, tercantum pada Lampiran. Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin 4.2.6 ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA) 4.2.6.1 Persetujuan Perdagangan Barang Pembentukan kawasan perdagangan bebas antara negara-negara anggota ASEAN dengan Australia dan New Zealand disepakati oleh para Kepala Negara/Pemerintahan pada 27 Februari 2009 di Chaam, Phetchaburi, Thailand, melalui penandatanganan suatu Agreement Establishing the ASEAN – Australia – New Zealand Free Trade Area. Penetapan tarif bea masuk dalam rangka AANZFTA diberlakukan 60 hari sejak tanggal 20 Oktober 2011 (penandatanganan PMK tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam Rangka AANZFTA). Pembentukan AANZFTA didasari dengan keinginan untuk meminimalisasi hambatan dalam perdagangan, memperdalam dan memperluas hubungan ekonomi di antara para pihak, menurunkan biaya bisnis, meningkatkan perdagangan dan investasi, meningkatkan efisiensi ekonomi, dan menciptakan pasar yang lebih luas dengan penciptaan lebih banyak kesempatan dan scale of economies yang lebih luas untuk dunia bisnis. Persetujuan tersebut memuat pengaturan mengenai perdagangan barang, ketentuan asal barang, prosedur kepabeanan, tindakan sanitari dan fitosanitari, perdagangan jasa, perdagangan elektronik, investasi, pergerakan sumber daya manusia, kekayaan intelektual, kompetisi, dan lain-lain. Liberalisasi perdagangan barang dilakukan dengan upaya untuk mengakselerasi komitmen penurunan tarif, penghapusan subsidi ekspor barang hasil pertanian, penghapusan larangan atau pembatasan impor dan ekspor barang dari atau yang ditujukan ke negara mitra, peniadaan hambatan nontarif, transparansi proses perizinan impor, dan pembentukan komite perdagangan barang. Persetujuan juga memuat general and security exceptions (sesuai Article XX dan XXI GATT 1994). 4.2.6.2 Preferensi Tarif Dalam Rangka AANZFTA Berdasarkan PMK 208/PMK.011/2013 Penetapan tarif bea masuk dalam rangka AANZFTA diatur terakhir di dalam PMK Nomor 208/PMK.011/2013 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka AANZFTA. Selain mengatur mengenai besaran tarifbea masuk preferensi dalam rangka AANZFTA, PMK ini juga mengatur ketentuan umum pengenaan tarif. Berdasarkan PMK tersebut, untuk tahun 2014, 9908 pos tarif (98.9612% dari total 10012 pos tarif) mendapatkan penurunan tarif, sehingga tarif rataratanya 1.2815%. 8888 pos tarif (88.7735%) diantaranya, diberikan preferensi tarif menjadi 0%. Barang-barang yang tidak diberikan preferensi tarif dan tetap dikenakan tarif bea masuk yang berlaku umum sejumlah 104 pos tarif, diantaranya meliputi beberapa pos tarif beras, gula, minuman mengandung etil alcohol, hasil tembakau, dan mesin pertanian dan pengolah hasil pertanian. Tabel distribusi besaran tarif bea masuk impor barang tahun 2014 dengan skema IJEPA berdasarkan Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 PMK Nomor 208/PMK.011/2013, tercantum pada Lampiran. 4.2.7 Indonesia-Pakistan Preferential Trade Agreement (IPPTA) 4.2.7.1 Persetujuan Perdagangan Barang Persetujuan mengenai suatu kerjasama ekonomi menyeluruh antara Indonesia dan Pakistan ditandatangani di Islamabad, Pakistan pada tanggal 24 November 2005. Persetujuan tersebut kemudian menjadi dasar untuk pembentukan suatu FTA diantara kedua negara. Negosiasi pembentukan FTA diantara kedua negara saat ini sudah memasuki putaran keenam (Sumber: http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/index.php? module=IndPakistan). Sementara itu, sebagai upaya untuk mendorong dan meningkatkan kepercayaan diri kedua pemerintah dalam pembahasan peta jalan menuju pembetukan FTA dan untuk memberikan manfaat bagi dunia usaha di kedua negara, Indonesia dan Pakistan bersepakat untuk menandatangani suatu Preferential Trade Agreement Between The Government of The Republic of Indonesia and The Government of The Islamic Republic of Pakistan pada tanggal 3 Februari 2012 di Jakarta, yang mulai diberlakukan oleh Indonesia pada tanggal 18 Januari 2013. Penghapusan berbagai hambatan perdagangan melalui perjanjian perdagangan preferensial (Preferential Trade Agreement/PTA) dipercaya akan berkontribusi terhadap perkembangan perdagangan bilateral dan menciptakan prakondisi yang ideal bagi terbentuknya suatu kawasan perdagangan bebas diantara kedua negara. PTA memuat diantaranya keharusan untuk menurunkan tarif bea masuk impor atas barangbarang yang diatur pada lampiran PTA. Selain itu persetujuan juga mengharuskan dihilangkannya ketentuan para tariff atas barang yang diatur pada PTA dalam waktu selambat-lambatnya enam bulan sejak berlakunya PTA tersebut. Para-Tariff adalah biaya yang dikenakan di perbatasan selain tarif bea masuk atas transaksi perdagangan international, namun memiliki efek seperti pengenaan tarif. Biaya impor yang dikenakan atas suatu jasa tertentu tidak tergolong sebagai para-tariff. Pakistan menawarkan pemberian preferensi tarifbea masuk untuk 287 baris tarif barang impor dari Indonesia. Barang tersebut meliputi diantaranya lobster, udang, pisang, nanas, kopi, teh, kopra, gambir, produk minyak kelapa, gula lainnya, termasuk laktosa, glukosa, fruktosa, dan gula maple, kakao dan produknya, sabun, beberapa produk tekstil, printer, televisi, furniture terbuat dari kayu, bola, dan lain-lain. Sementara itu, Indonesia menawarkan pemberian preferensi tarif bea masuk untuk 216 baris tarif barang impor dari Pakistan, 42 baris tarif diantaranya merupakan permintaan dari Pakistan. Termasuk dalam daftar barang yang diminta oleh Pakistan untuk mendapat preferensi tarif adalah ikan dikeringkan (selain ikan cod), lobster, cumi-cumi, tas tangan kulit, sarung tangan kulit, barang lainnya dari kulit, kipas 115 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin angin, net, shuttlecocks, raket, panah dan busur, dan beberapa produk tekstil. Preferensi tarif diberikan berdasarkan modalitas sebagai berikut : Tabel 4. Modalitas IPPTA MFN X ≤ 5% 5% < X ≤ 10% 10% < X ≤ 15% X ≥ 15% Tarif PTA 0% Preferensi sebesar 50% dari MFN (sehingga tarifnya menjadi 50% dari MFN) Preferensi sebesar 40% dari MFN (sehingga tarifnya menjadi 60% dari MFN) Preferensi sebesar 20% dari MFN (sehingga tarifnya menjadi 80% dari MFN) 4.2.7.2 Preferensi Tarif Dalam Rangka IPPTA Berdasarkan PMK 26/PMK.011/2013 Penetapan tarif bea masuk dalam rangka IPPTA diatur di dalam PMK Nomor 26/PMK.011/2013 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka IPPTA. Selain mengatur mengenai besaran tarif bea masuk preferensi dalam rangka IPPTA, PMK ini juga mengatur ketentuan umum pengenaan tarif. Berdasarkan PMK tersebut, untuk tahun 2014, 220 pos tarif (2.1974% dari total 10012 pos tarif) mendapatkan penurunan tarif, sehingga tarif rataratanya 0.072%. 103 pos tarif (1.03%) diantaranya, diberikan preferensi tarif menjadi 0%, diantaranya Ikan, Krustasea, dan Moluska, Buah, Olahan Buah, Bahan Pewarna, TPT, Logam dan Barang dari Logam, dan Peralatan Mekanik. Barang-barang yang tidak diberikan preferensi tarif dan tetap dikenakan tarif bea masuk yang berlaku umum sejumlah 9792 pos tarif. Tabel distribusi besaran tarif bea masuk impor barang tahun 2014 dengan skema IPPTA berdasarkan PMK Nomor 26/PMK.011/2013, tercantum pada Lampiran. 4.3 Prosedur Kepabeanan dalam Implementasi Kerjasama Perdagangan Pembentukan mekanisme kerjasama diantara otoritas kepabeanan negara-negara anggota dipandang perlu sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kemudahan perdagangan dan kerjasama di bidang yang lain. Sejalan dengan semangat pembentukan FTA yaitu untuk menciptakan arus bebas barang, kerjasama kepabeanan diantara negara anggota harus diakselerasi pelaksanaannya. Karena sifatnya yang penting, pembahasan mengenai kerjasama dan prosedur kepabeanan dimuat dalam seluruh naskah kerjasama, kecuali IPPTA. Kesepakatan utama terkait prosedur kepabeanan adalah adanya upaya bersama untuk berusaha keras menciptakan prosedur kepabeanan yang konsisten, transparan dan dapat diperkirakan.Selain itu, berkaitan dengan transparansi, setiap otoritas kepabeanan diharapkan, apabila diminta, dapat 140.116 menyediakan informasi terkait prosedur kepabeanannya secepat dan seakurat mungkin. Hal penting lainnya yang diatur adalah sebagai berikut : a. adanya pertukaran keahlian tentang cara untuk menyederhanakan dan mempersingkat prosedur kepabeanan; b. adanya pertukaran informasi terkait best practices prosedur kepabeanan, penegakan hukum, dan teknik manajemen risiko; c. memfasilitasi kerjasama dan pertukaran pengalaman dalam aplikasi teknologi informasi dan peningkatan sistem pemeriksaan dan pengawasan dalam prosedur kepabeanan; d. memastikan, apabila dirasa tepat, bahwa peraturan kepabeanan dipublikasikan dan tersedia untuk umum, dan prosedur kepabeanan dipertukarkan diantara contact point kepabeanan. Dalam skema AANZFTA, ketentuan juga memuat perlunya usaha keras dari administrasi pabean untuk membangun sistem mandiri untuk mendukung transaksi e-customs, dengan memperhatikan standar yang sesuai dan best practices yang direkomendasikan oleh World Customs Organization (WCO). Ketentuan lain yang dimuat diantaranya tentang ketentuan nilai pabean berdasarkan Agreement on Implementation of Article VII of the General Agreement on Tariffs and Trade 1994, ketentuan advance rulings terkait klasifikasi tarif, nilai pabean, dan/atau ketentuan asal barang, dan manajemen risiko. Perlakuan/ketentuan adanya manajemen risiko ditujukan agar administrasi pabean dapat menciptakan prosedur yang memberikan kemudahan/kelancaran dalam proses pengeluaran barang bagi pengimpor dengan mitigasi risiko rendah dan memfokuskan pengawasan bagi pengimpor dengan mitigasi risiko tinggi. Bilamana administrasi pabean merasa bahwa pemeriksaan fisik barang tidak diperlukan dalam proses pengeluaran barang, administrasi pabean tersebut perlu berusaha keras untuk menyediakan suatu saluran tunggal untuk memproses barang impor, baik secara elektronik maupun dokumentasi manual. Dalam skema AFTA/ATIGA, selain hal-hal sebagaimana tersebut dalam skema AANZFTA juga diatur ketentuan tentang pre-arrival documentation, yakni suatu upaya untuk menyediakan adanya penyerahan dan pendaftaran atau penelitian pemberitahuan pabean dan dokumen pelengkapnya sebelum kedatangan barang impor. Ketentuan lain yang juga diatur adalah: a. penggunaan teknologi informasi dalam kegiatan kepabeanan berdasarkan standar internasional yang diterima untuk mempercepat proses pengeluaran barang; b. membentuk program Authorised Economic Operators (AEO) untuk mendorong kepatuhan dan efisiensi dari pengawasan pabean, dan pada saat yang bersamaan bekerja bersama untuk saling mengakui keberadaan AEO di masing-masing negara; c. pengembalian atas kelebihan pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor dan/atau Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin klaim kerugian harus segera dilakukan apabila seluruh persyaratan telah terpenuhi; d. dalam hal administrasi pabean melakukan tindakan pengamanan/penyegelan terhadap barang impor, apabila kewajiban telah dipenuhi oleh pengimpor maka pengamanan tersebut harus segera dilepas; e. kewajiban bagi negara anggota untuk membangun dan mengoperasikan Post Clearance Audit (PCA) untuk mempercepat proses pengeluaran barang dan meningkatkan pengawasan pabean; dan f. negara anggota diharapkan memberikan kemudahan seluas mungkin terhadap pergerakan barang dengan skema impor sementara (temporary admission). Dalam ketentuan IJEPA, kedua pihak bersepakat untuk membentuk Sub-Committee on Customs Procedures, yang memiliki tugas sebagai berikut : a. meninjau pelaksanaan dan operasi berbagai ketentuan yang diatur dalam bab mengenai Prosedur Kepabeanan; b. mengidentifikasi area-area yang bisa ditingkatkan untuk memudahkan perdagangan diantara kedua negara; c. melaporkan temuan-temuan dari Sub-Committee kepada Joint Committee; dan d. melaksanakan fungsi lainnya yang didelegasikan oleh Joint Committee. 4.4 Ketentuan Asal Barang (Rules of Origin) 4.4.1 Uruguay Round Agreement Persetujuan mengenai ketentuan asal barang adalah salah satu yang disepakati dalam serangkaian pembicaraan dalam Putaran Uruguay. Kesepakatan tentang ketentuan asal barang yang diatur adalah ketentuan asal barang non-preferensial, yaitu yang tidak berkaitan dengan rezim perdagangan kontrak atau otonom. Pada intinya, negara-negara bersepakat untuk melaksanakan ketentuan asal barang secara konsisten, seragam, dan tidak memihak, dimana negara yang ditetapkan sebagai negara asal suatu barang tertentu adalah negara di mana barang itu diperoleh secara keseluruhan, atau apabila proses produksi barang itu menyangkut lebih dari satu negara, negara asal barang adalah negara dimana dilaksanakan transformasi terakhir yang bersifat substansial. Latar belakang dan ketentuan asal barang berdasarkan Kesepakatan Putaran Uruguay tercantum pada Lampiran. 4.4.2 Preferential Rules of Origin Agar suatu barang dapat mendapatkan tarif preferensi dalam rangka suatu free trade area, barang tersebut harus memenuhi ketentuan tentang asal barang. Hanya barang yang diidentifikasi berasal dari suatu negara anggota yang bisa menikmati tarif preferensial. Kriteria keasalan berdasarkan berbagai perjanjian integrasi ekonomi, meliputi: 1. Barang yang sepenuhnya didapat atau diproduksi di negara anggota pengekspor. Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 2. 3. 4. 5. (Tidak diatur dalam skema IJEPA) Barang yang tidak sepenuhnya didapat atau diproduksi di negara anggota pengekspor, sepanjang memenuhi persyaratan: Untuk skema AFTA/ATIGA, AKFTA, dan AANZFTA: a. Jika barang tersebut memiliki regional value content (RVC) tidak kurang dari 40%. RVC adalah perhitungan kandungan bahan dari suatu barang yang berasal dari negara anggota. RVC dapat dihitung dengan dua cara yaitu cara langsung dan tidak langsung. Cara langsung: RVC = {(ASEAN Material Cost + Direct Labor Cost + Direct Overhead Cost + Other Cost + Profit)/FOB Price} x 100%. Cara tidak langsung : RVC = {(FOB Price – Value of Non-Originating Materials, Parts, or Goods)/FOB Price} x 100%.; atau b. Jika seluruh non-originating materials yang digunakan di dalam produksi dari barang tersebut telah mengalami perubahan dalam klasifikasi tarif (Change in Tariff Classification/CTC) dalam derajat empat digit HS Change in Tariff Heading (CTH) . Untuk skema ACFTA: a. Jika tidak kurang dari 40% kandungan barangnya berasal dari negara anggota; atau b. Jika kandungan keseluruhan nilai bahan baku, bagian, atau produk yang berasal dari luar kawasan negara anggota tidak melebihi 60% dari nilai FOB barang tersebut. Untuk skema AIFTA: a. Jika kandungan AIFTA barang tersebut tidak kurang dari 35% dari nilai FOB; atau b. Jika seluruh non-originating materials yang digunakan di dalam produksi dari barang tersebut telah mengalami setidaknya perubahan dalam klasifikasi tarif dalam derajat subpos HS (Change in Tariff SubHeading/CTSH). Pengekspor diberi keleluasaan untuk menggunakan ketentuan a atau b tersebut di atas. (Khusus untuk skema AANZFTA) Barang yang diproduksi secara eksklusif di negara pengekspor dengan bahan dari satu atau lebih negara anggota. (Khusus untuk skema IJEPA) Barang yang diproduksi secara eksklusif di negara pengekspor dengan bahan dari negara tersebut. (Khusus untuk skema IJEPA) Barang-barang yang memenuhi persyaratan spesifik produk (product specific rules/PSR) dan ketentuan lain, manakala barang tersebut diproduksi sepenuhnya di negara pengekspor dengan menggunakan bahan yang berasal dari selain negara anggota. Barang-barang tersebut harus memenuhi qualifying value content (QVC) sebagaimana ditetapkan untuk masingmasing barang pada PSR. QVC dihitung dengan formula: QVC = {(FOB-VNM)/FOB} x 100%, dengan FOB adalah harga barang, sampai dengan dimuat di atas sarana pengangkut di pelabuhan muat, yang dibayar oleh pengimpor kepada 117 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin pengekspor. Sedangkan VNM adalah nilai dari bahan yang bukan berasal dari negara anggota, yang digunakan dalam proses produksi barang tersebut. Beberapa proses atau operasi dipertimbangkan sebagai minimal dan tidak dipertimbangkan dalam penentuan keasalan barang, yaitu: 1. Kegiatan untuk memastikan keawetan barang selama proses pengiriman barang; 2. Kegiatan untuk memfasilitasi pengiriman atau transportasi; dan 3. Kegiatan pengepakan untuk keperluan penjualan. Perlakuan tarif preferensial diberikan apabila barang tersebut memenuhi pula kriteria direct consignment, yaitu : 1. apabila barang dikirim secara langsung dari negara pengekspor ke negara pengimpor; atau 2. barang dikirim melalui satu atau lebih negara ketiga, dengan syarat: a. transit tersebut dilaksanakan karena alasan geografis atau pertimbangan yang terkait khusus dengan keperluan transportasi, b. barang tersebut tidak diperdagangkan atau dikonsumsi di negara transit tersebut, dan c. barang tersebut tidak mengalami operasi selain bongkar-muat atau operasi lain untuk memastikan barang tetap berada dalam kondisi baik. Klaim untuk mendapatkan tarif preferensial harus didukung dengan suatu surat keterangan asal yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang di negara pengekspor. Perbandingan pengaturan ketentuan asal barang pada beberapa FTA yang telah ditandatangani oleh negara anggota ASEAN dengan negara mitra disajikan pada Lampiran. dari ketentuan asal barang (ROO) pada perjanjian FTA. Sampai dengan saat ini, pemerintah belum mengadopsi pengaturan ini di dalam legislasi nasional. Pemberlakuannya selama ini berlandaskan pada kenyataan bahwa OCP adalah merupakan lampiran dari persetujuan perdagangan barang yang diratifikasi dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden. Di dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang penetapan tarif bea masuk dalam rangka ACFTA dan AKFTA, Menteri Keuangan mendelegasikan pengaturan lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Namun demikian, Peraturan Direktur Jenderal tersebut belum diterbitkan. Sementara itu, di dalam implementasi FTA di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) banyak ditemukan formulir-formulir SKA yang tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum di OCP.Pejabat Bea dan Cukai banyak menemukan formulir SKA yang diragukan keabsahannya.Mekanisme permintaan konfirmasi atas keabsahan suatu SKA seperti yang telah disinggung di atas, diatur di OCP.Oleh karena OCP belum secara tegas dimuat dalam legislasi nasional secara mandiri, proses ini menyebabkan timbulnya sengketa antara DJBC dengan stakeholder.Sengketa tersebut sebagian besar berlanjut sampai ke Pengadilan Pajak (PP). Pengalaman masa lalu terkait pengaturan tentang sistem nilai pabean yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal, seharusnya menjadi pertimbangan di dalam menentukan apakah pengaturan tentang OCP ini dibuat dalam bentuk Peraturan Direktur Jenderal atau bentuk lain. Karena sengketa tentang keabsahan SKA bermuara di PP, maka pandangan PP terhadap kekuatan hukum suatu peraturan menjadi salah satu pertimbangan yang diutamakan. 4.4.3 Operational Certification Procedures Kesepakatan juga mengatur mengenai prosedur operasional sertifikasi barang (Operational Certification Procedures/OCP), yang meliputi prosedur yang harus dipenuhi oleh pengekspor untuk mendapatkan surat keterangan asal/certificate of origin (SKA/CoO), prosedur penelitian pra eksportasi yang dilakukan oleh otoritas berwenang yang menerbitkan SKA/issuing authority, prosedur yang harus dipenuhi oleh pengimpor untuk mendapatkan tarif preferensi, prosedur penelitian yang harus dilakukan oleh otoritas pabean di negara pengimpor sebelum memberikan preferensi tarif, prosedur penyimpanan dokumen, dan ketentuan khusus lainnya. Pengaturan teknis masing-masing prosedur tersebut dan perbandingan pengaturan pada beberapa FTA tercantum pada Lampiran. 4.5.2 Peningkatan Sengketa Tarif FTA di Pengadilan Pajak Data DJBC menunjukkan bahwa selama 2012, PP memutuskan 21 berkas banding terkait penerapan FTA dengan hasil putusan 17 berkas permohonan dikabulkan (81%-DJBC kalah) dan 4 berkas permohonan ditolak (19%-DJBC menang). Sementara pada 2013, dari jumlah keseluruhan 490 berkas, 310 berkas permohonan dikabulkan (62%) dan 189 berkas permohonan ditolak (38%). Data lebih lengkap tersaji pada Lampiran. Yang penting pula untuk dicermati dari data di atas adalah meningkatnya proporsi sengketa terkait Tarif FTA di PP. Jika pada 2012 proporsinya adalah 0.73% dari keseluruhan sengketa, proporsi tersebut meningkat hampir 28 kali lipat pada 2013. Proporsinya pada 2013 menjadi 20.38% dari keseluruhan sengketa.Hal ini menjadi salah satu faktor perlunya untuk mengatur OCP secara mandiri di dalam legislasi nasional, sebagai tafsir dan penjelasan resmi pemerintah tentang pengaturan prosedur operasional sertifikasi barang. Pengaturan ini penting agar seluruh pihak, yaitu DJBC, stakeholder, dan Hakim PP, memiliki pemahaman yang sama. Grafik di bawah ini berturut- 4.5 Isu-Isu Dalam Implementasi Kerjasama Perdagangan 4.5.1 Pengaturan Nasional Prosedur Operasional Sertifikasi Barang Pengaturan mengenai prosedur operasional sertifikasi barang (OCP) adalah merupakan lampiran 140.118 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin turut menggambarkan perkembangan proporsi jumlah sengketa Tarif FTA di PP, dan proporsi jumlah permohonan yang dikabulkan (DJBC dikalahkan) dan ditolak (DJBC dimenangkan) oleh PP, tahun 20122013. Gambar 1. Jumlah Berkas Sengketa DJBC diPengadilan Pajak Terkait Tarif FTA, 2012-2013 3000 2000 Tarif FTA 1000 Lainnya Lainnya Tarif FTA 0 2012 2013 Gambar 2. Hasil Putusan Pengadilan Pajak Atas Sengketa Tarif FTA Berdasarkan Jumlah Berkas, 2012-2013 400 200 Dikabulkan Ditolak Dikabulkan 0 2012 Ditolak 2013 Gambar 3. Hasil Putusan Pengadilan Pajak Atas Sengketa Tarif FTA Berdasarkan Nilai Sengketa (dalam rupiah), 2012-2013 60,000,000,000 40,000,000,000 Dikabulkan 20,000,000,000 Ditolak 0 Dikabu… 2012 4.5.3 Komitmen Liberalisasi Seperti yang telah diuraikan pada bagian terdahulu, pembentukan suatu kawasan perdagangan bebas diantaranya dilakukan dengan memberikan preferensi tarif bea masuk. Tingkat penurunan dan penghapusan tarifbea masuk diberikan sesuai dengan kesepakatan integrasi ekonomi yang disepakati. Level integrasi dengan Pakistan menjadi level integrasi yang Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 paling rendah dan oleh karenanya, komitmen penurunan dan penghapusan tarifnya pun lebih rendah dibandingkan dengan yang lain. Di sisi lain, integrasi Indonesia ke dalam AFTA telah sepenuhnya selesai, sehingga komitmen yang diberikan oleh Indonesia sudah maksimal. Tabel pada Lampiran merangkum karakteristik masing-masing FTA dan tingkat komitmen penurunan dan penghapusan tarif yang diberikan oleh Indonesia (ditunjukkan pada barisbaris berwarna hijau), sebagai akibat dari komitmen Indonesia terlibat di dalam pembentukan integrasi ekonomi. Berdasarkan tabel tersebut Indonesia telah memberikan preferensi tarif sehingga tarif rata-rata dalam perjanjian tersebut turun menjadi 0.00%-4.25%, sedangkan tarif rata-rata pada Buku Tarif Kepabeanan Indonesia pada tahun 2014 adalah 7.76%.Penurunan tarif sedemikian mencerminkan tingkat liberalisasi yang diterapkan oleh Indonesia atas impor barang dari negara mitra integrasi ekonomi. Dari data pada tabel tersebut, dapat disimpulkan pula bahwa Indonesia telah sangat liberal karena jumlah pos tarif yang diturunkan tarif bea masuknya (coverage ratio penurunan tarif) dalam skema AFTA/ATIGA, ACFTA, AKFTA, IJEPA, AIFTA, dan AANZFTA mencapai jumlah lebih dari 90% pos tarif. AANZFTA memiliki coverage ratio penurunan tarif tertinggi dengan 98.9612%, diikuti oleh AFTA/ATIGA 98.8714%, ACFTA 97.8526%, IJEPA 94.0921%, AKFTA 93.6376%, dan AIFTA 92.8785%. Walaupun demikian, penghapusan tarif bea masuk oleh Indonesia dalam skema AFTA/ATIGA mencakup 98,8714% pos tarif, artinya dalam skema AFTA/ATIGA, Indonesia tidak sekedar melakukan penurunan tarif, tetapi penghapusan tarifbea masuk atas hampir seluruh pos tarif barang. Sehingga memasuki pemberlakuan ASEAN Economic Community pada akhir 2015, Indonesia telah menggelar karpet merah bagi masuknya produk impor dari negaranegara ASEAN. Sementara itu, coverage rate penghapusan tarifdalam skema AANZFTA meliputi 88.7735% dari jumlah keseluruhan pos tarif, tetap lebih tinggi dibandingkan ACFTA (84.2689%), AKFTA (82.2613%), IJEPA (73.2053%), atau AIFTA (39.0731%). 5 KESIMPULAN Sejak tahun 1992, Indonesia telah ikut serta membentuk tujuh integrasi ekonomi. Lima buah integrasi diantaranya, mengambil bentuk kawasan perdagangan bebas/free trade area, yaitu ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), ASEAN-India Free Trade Area (AIFTA), ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA), ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA), dan ASEAN Free Trade Area (ASEAN Trade in Goods Agreement/ATIGA). AFTA sedang dalam proses transformasi menjadi common market melalui pembentukan suatu ASEAN Economic Community pada tahun 2015. Dua buah kerjasama lainnya dilakukan secara bilateral, yaitu kerjasama dengan Japan dalam bentuk Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) dan dengan Pakistan dengan 119 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin membentuk Indonesia-Pakistan Preferential Trade Agreement (IPPTA). Pemberlakuan integrasi ekonomi tersebut telah, secara terbatas, meliberalisasi perdagangan internasional antara Indonesia dengan negara-negara mitra yang tergabung membentuk integrasi ekonomi. Indonesia telah melakukan upaya penurunan tarif bea masuk, sebagai bentuk komitmen integrasi ekonomi. Indonesia telah sangat liberal karena jumlah pos tarif yang diturunkan tarif bea masuknya (coverage ratiopenurunan tarif) dalam skema AFTA/ATIGA, ACFTA, AKFTA, IJEPA, AIFTA, dan AANZFTA mencapai jumlah lebih dari 90% pos tarif. Tarif rata-rata dalam perjanjian tersebut pada 2014 turun menjadi 0.00%4.25%, sedangkan tarif rata-rata pada Buku Tarif Kepabeanan Indonesia pada tahun 2014 adalah 7.76%. Liberalisasi tersebut terutama terwujud dalam skema ASEAN FTA, yang pada akhir tahun 2015 akan bertransformasi menjadi ASEAN Economic Community, dimana Indonesia telah menghapus tarif bea masuk untuk sejumlah 98,8714% pos tarif. Dengan kondisi demikian maka menjadi tugas berat dari pemerintah untuk memastikan bahwa industrinasional tidak tercederai terlalu parah sebagai akibat dari proses liberalisasi yang sedang dan akan terus berlanjut dilakukan oleh Indonesia. Kesepakatan integrasi ekonomi, selain mengatur mengenai komitmen penurunan dan penghapusan tarif serta modalitasnya, juga mengatur hal-hal terkait prosedur kepabeanan, ketentuan asal barang, dan prosedur operasional sertifikasi barang. Pengaturan prosedur kepabeanan dimaksudkan agar otoritas pabean dapat berperan maksimal dalam upaya memfasilitasi dan memperlancar terjadinya perdagangan barang di antara para negara anggota. Ketentuan asal barang diatur dengan tujuan memberikan batasan terhadap barang yang dapat diberikan preferensi tarif, artinya hanya barang-barang yang memenuhi ketentuan asal barang berdasarkan kesepakatan tersebut, yang dapat diberikan preferensi tarif. Sedangkan prosedur operasional sertifikasi barang mengatur prosedur yang harus dipenuhi oleh pengekspor untuk mendapatkan surat keterangan asal/certificate of origin (SKA/CoO), prosedur penelitian pra-eksportasi yang dilakukan oleh otoritas berwenang yang menerbitkan SKA/issuing authority, prosedur yang harus dipenuhi oleh pengimpor untuk mendapatkan tarif preferensi, prosedur penelitian yang harus dilakukan oleh otoritas pabean di negara pengimpor sebelum memberikan preferensi tarif, prosedur penyimpanan dokumen, dan ketentuan khusus lainnya. 6 IMPLIKASI DAN KETERBATASAN Indonesia telah melaksanakan penurunan dan penghapusan tarif sesuai dengan modalitas yang disepakati di dalam setiap kesepakatan integrasi.. Hal penting lain yang perlu mendapat perhatian adalah dampak dari pemberlakuan kesepakatan integrasi ekonomi tersebut terhadap neraca 140.120 perdagangan Indonesia dengan negara mitra. Persetujuan integrasi ekonomi memberikan ruang kepada negara anggota untuk melakukan review/peninjauan ulang komitmennya, manakala secara nyata pemberlakuan integrasi ekonomi telah menimbulkan ancaman terhadap balance of payments negara tersebut atau negara anggota mengalami kesulitan finansial eksternal. Kajian merekomendasikan hal-hal sebagai berikut: 1. perlu dilakukannya penelitian atas besaran tarif preferensi yang diterima oleh barang yang diekspor oleh Indonesia ke negara mitra apakah telah sesuai dengan modalitas yang ditentukan dalam perjanjian, 2. perlunya analisis mendalam terkait dampak pemberlakuan setiap integrasi ekonomi terhadap neraca pembayaran Indonesia, dan 3. perlunya pengaturan prosedur operasional sertifikasi barang, secara mandiri dalam suatu Peraturan Menteri Keuangan. Pengaturan dimaksudkan untuk memperkuat dasar hukum penelitian SKA oleh Pejabat Bea dan Cukai. DAFTAR PUSTAKA Ardiansyah, Benny Gunawan (2012). Siapkah Indonesia dalam Menghadapi Liberalisasi Perdagangan? Bowen, Glenn A. (2010). From Qualitative Dissertation to Quality Articles: Seven Lessons Learned, The Qualitative Report 15(4) Khan, Shahid N. (2014).Qualitative Research MethodPhenomenology, Asian Social Science 10(21) Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan (2013).Free Trade Agreement dan Economic Partnership Agreement, dan Pengaruhnya terhadap Arus Perdagangan dan Investasi dengan Negara Mitra Schreier, Margrit (2012). Qualitative Content Analysis in Practice.London: SAGE Publications Ltd. Anonymous. The Issues Faced With Economic Integration Theory. http://www.ukessays.com/essays/economics /the-issues-faced-with-economic-theoryeconomics-essay.php, diakses tanggal 3 Maret 2015 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006. Jakarta: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Preferential Trade Agreement Between The Government of The Republic of Indonesia and The Government of The Islamic Republic of Pakistan, 3 Februari 2012. Jakarta: Kementerian Perdagangan Agreement on Trade in Goods of The Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the Republic of India and Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin ASEAN,13 Agustus 2009.Jakarta: Kementerian Perdagangan Agreement Establishing the ASEAN – Australia – New Zealand Free Trade Area, 27 Februari 2009.Jakarta: Kementerian Perdagangan ASEAN Trade in Goods Agreement, 26 Februari 2009. Jakarta: Kementerian Perdagangan Agreement between the Republic of Indonesia and Japan for an Economic Partnership, 20 Agustus 2007.Jakarta: Kementerian Perdagangan Agreement on Trade in Goods Under the Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Among the Governments of the Member Countries of the Association of Southeast Asian Nations and the Republic of Korea, 24 Agustus 2006.Jakarta: Kementerian Perdagangan Agreement on Trade in Goods of The Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN and People’s Republic of China, 29 November 2004.Jakarta: Kementerian Perdagangan Article XX dan XXI General Agreement on Tarriff and Trade, 1994.Jakarta: Kementerian Perdagangan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208/PMK.011/2013 Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka AANZFTA. Jakarta: Kementerian Keuangan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 26/PMK.011/2013 Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka IPPTA. Jakarta: Kementerian Keuangan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 221/PMK.011/2012 Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka AIFTA. Jakarta: Kementerian Keuangan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 209/PMK.011/2012 Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka IJEPA. Jakarta: Kementerian Keuangan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208/PMK.011/2012 Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka ATIGA. Jakarta: Kementerian Keuangan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.011/2012 Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka AKFTA. Jakarta: Kementerian Keuangan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.011/2012 Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka ACFTA. Jakarta: Kementerian Keuangan. Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 121 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin LAMPIRAN Distribusi Besaran Tarif Bea Masuk Barang Impor Tahun 2014 Tabel A. Distribusi Besaran Tarif Bea Masuk Barang Impor Tahun 2014 dengan skema ATIGA berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208/PMK.011/2012 Besar Tarif Jumlah Pos Tarif (PT) 0%0% 9899 MFN 113 Jumlah 10012 PT PT, meliputi diantaranya 41 PT Minuman Mengandung Etil Alkohol, 10 PT Beras, 7 PT Gula, 7 PT Makanan Olahan, 28 PT Tank dan Peralatan Militer PT MFN : Most Favoured Nation, Tarif yang berlaku umum sesuai BTKI/PMK 213 Tarif rata-rata : 0% di luar tarif MFN Jumlah Pos Tarif yang diliberalisasi : 98.8714% (9899 Pos Tarif) Jumlah Pos Tarif yang diliberalisasi menjadi 0% : 98.8714% Tabel B. Distribusi Besaran Tarif Bea Masuk Barang Impor Tahun 2014 dengan skema ACFTA berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.011/2013 Besar Tarif Jumlah Pos Tarif (PT) 0% 8437 MFN 215 2% 16 PT, meliputi diantaranya 15 PT Kertas 4% 10 PT, diantaranya 9 PT Papan partikel 5% 360 7.50% 37 8% 6 PT, diantaranya 5 PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya 9% 8 PT Minyak Lobak 10% 174 12.50% 62 15% 319 PT, meliputi diantaranya 46 PT Ban, 8 PT Tas Kulit, 74 PT Tekstil dan Produk Tekstil, 12 PT Alas Kaki, 14 PT Perhiasan, 24 PT Pipa Besi, 31 PT Mesin Kendaraan Bermotor dan Bagiannya, 61 PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya, 19 PT Barang dari Plastik 20% 170 PT, meliputi diantaranya 95 PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya, 57 PT Barang dari Plastik, 18 PT Barang Keramik 25% 32 PT, diantaranya 31 PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya 30% 21 PT, meliputi diantaranya 4 PT Etil Alkohol, 13 PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya 40% 80 PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya 140.122 PT PT, meliputi diantaranya 41 PT Minuman Mengandung Etil Alkohol, 18 PT Hasil Tembakau, 12 PT Film, 10 PT Limbah, 26 PT Karet, 11 PT Beras, 6 PT Gula PT, meliputi diantaranya 13 PT Tembakau, 13 PT Senyawa Kimia, 42 PT Plastik, 7 PT Sisa Plastik, 11 PT Kaca, 11 PT Pipa Besi, 11 PT Pompa, 147 PT Kertas, 22 PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya PT, meliputi diantaranya 17 PT Besi, 6 PT Rantai, 13 PT Kertas PT, meliputi diantaranya 65 PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya, 11 PT Kosmetik, 8 PT Senyawa Kimia, 12 PT Herbisida, 30 PT Plastik, 7 PT Besi PT, diantaranya 53 PT Besi Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin Besar Tarif Jumlah Pos Tarif (PT) 45% 41 PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya 50% 8 PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya 55% 10 PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya 60% 6 PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya Jumlah 10012 PT MFN : Most Favoured Nation, Tarif yang berlaku umum sesuai BTKI/PMK 213 Tarif rata-rata : 2.1148% di luar tarif MFN Jumlah Pos Tarif yang diliberalisasi : 97.8526% (9797 Pos Tarif) Jumlah Pos Tarif yang diliberalisasi menjadi 0% : 84.2689% 402 Pos tarif (4.02%) dikenakan BM berdasarkan perlakuan timbal balik Tabel C. Distribusi Besaran Tarif Bea Masuk Barang Impor Tahun 2014 dengan skema AIFTA berdasarkanPeraturan Menteri Keuangan Nomor 221/PMK.011/2012 Besar Tarif Jumlah Pos Tarif (PT) 0% 3912 PT MFN 713 2.50% 73 3.00% 526 4.00% 1 4.50% 1395 4.55% 175 5.00% 95 PT, meliputi diantaranya 9 PT Kakao dan Olahan Kakao, 20 PT, TPT, 29 PT Peralatan Mekanis 6.00% 77 PT, diantaranya 57 PT Besi 6.85% 22 PT Besi 7.00% 1336 9.00% 139 PT, meliputi diantaranya 16 PT Plastik, 79 PT TPT, 22 TP Besi 11.00% 890 PT, meliputi diantaranya 17 PT Hasil Tembakau, 28 PT Plastik, 60 PT Barang dari Karet, 21 PT Barang dari Kulit, 164 PT TPT, 25 PT Perhiasan, 49 PT Besi, 67 PT Peralatan Mekanis, 126 PT Peralatan Elektris, 108 PT Bagian dari Kendaraan Bermotor 11.25% 33 PT, meliputi diantaranya 11 PT Daging, 47 PT Ikan, 40 PT Krustasea, 23 PT Susu dan produknya, 76 PT Buah, sayur, dan bunga, 19 PT Bumbu dan rempah, 10 PT Beras, 33 PT Tepung, 45 PT MMEA, 272 PT TPT, 67 PT Besi PT, diantaranya 36 PT Sabun dll PT, meliputi diantaranya 22 PT Daging, 136 PT Ikan, 53 PT Moluska, 83 PT TPT, 11 PT Bagian dari alas kaki, 78 PT Peralatan mekanis, 46 PT Peralatan elektris PT PT, meliputi diantaranya 24 PT Garam, belerang, tanah, semen, dan kapur, 61 PT Bahan kimia anorganik, 134 PT Bahan kimia organik, 28 PT Bahan penyamak atau pencelup, 50 PT Aneka produk kimia, 47 PT Plastik, 51 PT Karet dan produknya, 68 PT Kertas dan produknya, 68 PT TPT, 27 PT Barang dari kaca, 177 PT Besi dan produknya, 109 PT Peralatan mekanis, 121 PT Peralatan elektris PT, meliputi diantaranya 86 PT Hasil laut (Ikan, Krustasea, dan Moluska) dan olahannya, 31 PT Bunga, Sayur, dan Buah PT, meliputi diantaranya 52 PT Minyak hewani dan nabati, 29 PT Minyak atsiri dan wewangian, 26 PT Sabun, 20 PT Film, 30 PT Plastik, 38 PT Barang dari kayu, 257 PT TPT, 99 PT Besi, 34 PT Barang dari logam tidak mulia, 93 PT Peralatan mekanis, 193 PT Peralatan elektris, 46 PT Kendaraan bermotor PT Besi Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 123 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin Besar Tarif Jumlah Pos Tarif (PT) 12.00% 126 PT, meliputi diantaranya 20 PT Plastik, 12 PT Alas Kaki, 12 PT Barang dari Keramik, 74 PT Kendaraan Bermotor 13.75% 197 PT, meliputi diantaranya 16 PT Plastik, 98 PT TPT, 63 PT Besi 14.00% 24 PT, diantaranya 19 PT Alas Kaki 18.00% 82 PT, meliputi diantaranya 39 PT Plastik, 12 PT Kendaraan Bermotor, 10 PT Barang dari Logam Tidak Mulia 20.00% 130 24.50% 6 37.00% 15 PT Kendaraan Bermotor 41.50% 15 PT Kendaraan Bermotor 45.00% 8 PT Kendaraan Bermotor 50.00% 13 PT Kendaraan Bermotor 54.50% 9 PT Kendaraan Bermotor Jumlah 10012 PT Kendaraan Bermotor PT PT MFN : Most Favoured Nation, Tarif yang berlaku umum sesuai BTKI/PMK 213 Tarif rata-rata : 4.2539% di luar tarif MFN Jumlah Pos Tarif yang diliberalisasi : 92.8785% (9299 Pos Tarif) Jumlah Pos Tarif yang diliberalisasi menjadi 0% : 39.0731% Tabel D. Distribusi Besaran Tarif Bea Masuk Barang Impor Tahun 2014 dengan skema AKFTA berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.011/2013 Besar Tarif Jumlah Pos Tarif (PT) 0% 8236 MFN 637 PT PT, meliputi diantaranya 44 PT Daging, 135 PT Ikan, 10 PT Rempah, 49 PT Produk Hewani, 104 PT Bunga, Sayur, dan Buah, 39 PT Olahan Daging dan Ikan, 18 PT kue, 45 PT Olahan Sayur dan Buah, 41 PT MMEA, 18 PT TPT, 17 PT Besi 3.00% 4 5.00% 231 6.50% 5 7.50% 82 PT, diantaranya 77 PT Besi 8.00% 68 PT, meliputi diantaranya 11 PT Minyak Hewani dan Nabati, 17 PT Bagian Sepeda Motor 10.00% 120 PT, meliputi diantaranya 32 PT Plastik, 40 PT Besi, 10 PT Kendaraan Bermotor 12.50% 100 PT Besi 15.00% 332 PT, meliputi diantaranya 32 PT Barang dari Plastik, 69 PT TPT, 74 PT Besi, 26 PT Peralatan Mekanis, 23 PT Peralatan Elektris, 61 PT Kendaraan Bermotor 20.00% 189 PT, meliputi diantaranya 67 PT Barang dari Plastik, 117 PT Kendaraan Bermotor 30.00% 8 PT Kendaraan Bermotor 45.00% 3 PT Kendaraan Bermotor 140.124 PT PT, meliputi diantaranya 33 PT Ikan, 22 PT Plastik, 28 PT TPT, 57 PT Besi, 16 PT Peralatan Mekanis PT Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin Besar Tarif Jumlah Jumlah Pos Tarif (PT) 10012 PT MFN : Most Favoured Nation, Tarif yang berlaku umum sesuai BTKI/PMK 213 Tarif rata-rata : 1.4208% di luar tarif MFN Jumlah Pos Tarif yang diliberalisasi : 93.6376% (9375 Pos Tarif) Jumlah Pos Tarif yang diliberalisasi menjadi 0% : 82.2613% 759 Pos tarif (7.58%) dikenakan BM berdasarkan perlakuan timbal balik Tabel E. Distribusi Besaran Tarif Bea Masuk Barang Impor Tahun 2014 dengan skema IJEPA berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 209/PMK.011/2012 Besar Tarif Jumlah Pos Tarif (PT) 0% 7546 PT MFN 609 PT, meliputi diantaranya 22 PT Binatang Hidup, 37 PT Daging, 23 PT Dairy Produces, 10 PT Beras, 7 PT Gula, 41 PT MMEA, 345 PT Logam Tidak Mulia, 26 PT Peralatan Militer, 18 PT Mainan dan Peralatan Olahraga 0.60% 391 PT, meliputi diantaranya 16 PT Ikan dan Invertebrata Air, 37 PT Olahan Daging, 20 PT Gula dan Kembang Gula, 21 PT Olahan Serealia, 26 PT Bermacam Olahan yang Dapat Dimakan, 29 PT Barang dari Batu, 39 PT Kaca dan Barang dari Kaca, 62 PT Logam Tidak Mulia, 26 PT JAm dan Arloji 1.30% 125 PT, diantaranya 13 PT Barang dari Batu, 11 PT Logam Tidak Mulia, 42 PT Perkakas dan Barang Lain dari Logam Tidak Mulia 1.80% 476 PT meliputi diantaranya 270 PT Ikan dan Invertebrata Air, 17 PT Olahan dari Tanaman, 16 PT Produk Farmasi, 49 PT Logam Tidak Mulia, 17 PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya 1.90% 133 PT, meliputi diantaranya 50 PT Karet dan Barangnya, 16 PT Perkakas dan Barang Lain dari Logam Tidak Mulia 2.50% 15 PT, diantaranya 10 PT Perkakas dan Barang Lain dari Logam Tidak Mulia 2.80% 32 PT, diantaranya 16 PT Logam Tidak Mulia 3.10% 4 3.60% 255 4.20% 5 PT 4.40% 6 PT Alas Kaki 5.50% 234 5.60% 29 7.30% 110 8.00% 8 8.40% 105 PT Alas Kaki PT meliputi diantaranya 14 PT Olahan dari Tanaman, 31 PT Plastik dan Barang dari Plastik, 37 PT Kayu dan Barang dari Kayu, 35 PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya, 16 PT Jam dan Arloji, 15 PT Mainan dan Peralatan Olahraga, 27 PT Bermacam Barang Hasil Pabrik PT, meliputi diantaranya 17 PT Hasil Tembakau, 29 PT Plastik dan Barang dari Plastik, 20 PT Barang dari Batu, 45 PT Peralatan Mekanis, 64 PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya PT, diantaranya 7 PT Olahan Daging, 10 PT Peralatan Elektris PT, meliputi diantaranya 66 PT Plastik dan Barang dari Plastik, 17 PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya PT PT, meliputi diantaranya 30 PT Batu Mulia dan Logam Mulia, 13 PT Peralatan Elektris, 37 PT Mainan dan Peralatan Olahraga Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 125 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin 9.10% 13 PT diantaranya 9 PT Buah, Sayur dan Bunga 10.00% 15 PT 10.90% 24 PT, meliputi 9 PT Produk Keramik dan 15 PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya 11.30% 8 PT 14.10% 2 PT 14.50% 15 PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya 15.00% 16 PT 16.40% 14 PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya 16.90% 4 PT Etil Alkohol 18.20% 1 PT 20.00% 83 PT, diantaranya 75 PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya 21.80% 11 PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya 22.50% 4 PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya 25.30% 15 PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya Jumlah 10308 PT MFN : Most Favoured Nation, Tarif yang berlaku umum sesuai BTKI/PMK 213 Jumlah pos tarif yang diatur tarifnya di dalam PMK 209/PMK.011/2012 lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan jumlah pos tarif sesuai BTKI 2012 (10012 pos tarif). Hal ini disebabkan adanya beberapa pos tarif yang dipecah berdasarkan BTBMI 2007 dan BTBMI 2002, dengan besar tarif yang berbeda (satu pos tarif, memiliki dua atau lebih tarif yang berbeda). Tarif rata-rata : 0.9899% di luar tarif MFN Jumlah Pos Tarif yang diliberalisasi : 94.092% (9699 Pos Tarif) Jumlah Pos Tarif yang diliberalisasi menjadi 0% : 73.2053% Tabel F. Distribusi Besaran Tarif Bea Masuk Barang Impor Tahun 2014 dengan skema AANZFTA berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208/PMK.011/2013 Besar Tarif Jumlah Pos Tarif (PT) 0% 8888 MFN 104 PT PT, meliputi diantaranya 11 PT Beras, 6 PT Gula, 45 PT MMEA, 11 PT Hasil Tembakau, 15 PT Mesin Pertanian dan Pengolah Hasil Pertanian 0.81% 1 PT Bagian Kendaraan bermotor 1.00% 3 PT 1.50% 1 PT 1.56% 1 PT 1.67% 2 PT Sosis 1.70% 1 PT 2.00% 1 PT 2.96% 1 PT Bagian Kendaraan bermotor 3.00% 87 3.30% 1 4.00% 11 140.126 PT, meliputi diantaranya 59 PT Besi dan produknya, 3 PT Mesin Cuci PT PT, meliputi diantaranya 3 PT Pompa Air Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin Besar Tarif Jumlah Pos Tarif (PT) 5.00% 344 8.00% 75 10.00% 190 11.00% 1 PT 11.25% 7 PT, meliputi diantaranya 3 PT Besi 11.56% 2 PT 12.50% 6 PT diantaranya 3 PT Besi 13.00% 24 PT, meliputi diantaranya 8 PT Bunga, 14 PT Besi dan Produknya 13.50% 59 PT, meliputi 54 PT Ikan, Telur Ikan dan Olahannya, 5 PT Mutiara 15.00% 62 PT, meliputi diantaranya 6 PT Hasil Tembakau, 14 PT Besi dan Produknya, 35 PT Kendaraan Bermotor 16.67% 1 PT 17.50% 3 PT Besi 20.00% 39 22.50% 8 PT Kendaraan Bermotor 23.22% 2 PT Kendaraan Bermotor 25.00% 7 PT, diantaranya 4 PT Sayuran dan Buah 30.00% 7 PT, diantaranya 4 PT Oli 40.00% 27 PT Kendaraan Bermotor 42.50% 1 PT Kendaraan Bermotor 45.00% 23 PT Kendaraan Bermotor 46.43% 2 PT Kendaraan Bermotor 51.67% 1 PT Kendaraan Bermotor 54.09% 2 PT Kendaraan Bermotor 54.50% 2 PT Kendaraan Bermotor 57.73% 2 PT Kendaraan Bermotor 70.00% 2 PT Kendaraan Bermotor 80.00% 2 PT Kendaraan Bermotor 170.00% 9 PT MMEA Jumlah 10012 PT, meliputi diantaranya 3 PT Sapi, 9 PT Daging, 21 PT Susu dan Produk olahannya, 25 PT sayur dan buah, 7 PT Tepung, 5 PT Olahan Ikan, 26 PT Olahan Makanan dan Jus, 47 PT Barang Plastik, 7 PT Kaca, 51 PT Besi dan produknya, 57 PT Kendaraan Bermotor, 33 PT Sepeda Motor PT, meliputi diantaranya 8 PT Lembaran Karet, 12 PT Besi, 9 PT Buldoser dan alat berat lainnya, 9 PT Generator, 8 PT Bagian Kendaraan Bermotor PT, meliputi diantaranya 94 PT PTT Cotton, 31 PT Besi dan Produknya, 10 PT Monitor dan Proyektor, 20 PT Bagian Kendaraan Bermotor PT, meliputi diantaranya 18 PT Barang Plastik, 20 PT Besi dan Produknya PT MFN : Most Favoured Nation, Tarif yang berlaku umum sesuai BTKI/PMK 213 Tarif rata-rata : 1.2815% di luar tarif MFN Jumlah Pos Tarif yang diliberalisasi : 98.9612% (9908 Pos Tarif) Jumlah Pos Tarif yang diliberalisasi menjadi 0% : 88.7735% Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 127 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin Tabel G. Distribusi Besaran Tarif Bea Masuk Barang Impor Tahun 2014 dengan skema IPPTA berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 26/PMK.011/2013 Besar Tarif Jumlah Pos Tarif (PT) 0% 103 MFN 9792 4% 4 5% 90 6% 1 PT Mur 7% 5 PT Barang dari Logam Tidak Mulia 9% 15 32% 2 Jumlah 10012 PT, meliputi diantaranya 15 PT Ikan, Krustasea, dan Moluska, 11 PT Buah, 6 PT Olahan Buah, 7 PT Bahan Pewarna, 27 PT TPT, 10 PT Logam dan Barang dari Logam, 6 PT Peralatan Mekanik PT PT Logam Tidak Mulia PT, meliputi diantaranya 8 PT Olahan Buah, 8 PT Hasil Tembakau, 8 PT Barang dari Kulit, 31 PT TPT, 22 PT Logam dan Barang dari Logam PT, meliputi diantaranya 9 PT TPT dan 5 PT Berbagai Macam Barang Hasil Pabrik PT Tembakau Rokok PT MFN : Most Favoured Nation, Tarif yang berlaku umum sesuai BTKI/PMK 213 Tarif rata-rata : 0.072% di luar tarif MFN Jumlah Pos Tarif yang diliberalisasi : 2.1974% (220 Pos Tarif) Jumlah Pos Tarif yang diliberalisasi menjadi 0% : 1.03% 140.128 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin SKEDUL PENURUNAN/PENGHAPUSAN TARIF DALAM RANGKA IJEPA a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. Skedul A, dengan ketentuan barang yang masuk ke dalam skedul ini tarifbea masuknya dihapuskan pada saat persetujuan ini mulai berlaku. Barang-barang yang diimpor dari Indonesia ke Japan yang diklasifikasikan pada sejumlah 49 bab pada HS, tarifnya dihapuskan. Yang meliputi produk hewani lainnya (bab 5), pohon hidup dan tanaman lainnya; umbi dan akar; bunga potong dan daun (bab 6), bijih logam, terak, dan abu (bab 26), Bahan kimia anorganik; senyawa organik atau anorganik dari logam mulia, dari logam tanah langka, dari unsur radio-aktif atau dari isotop (bab 28), produk farmasi (bab 30), pupuk (bab 31), Ekstrak penyamak atau pencelup; tanin dan turunannya; bahan celup, pigmen dan bahan pewarna lainnya; cat dan pernis; dempul dan mastik lainnya; tinta (bab 32), sabun dan barang lainnya dari bab 34, bahan peledak dan barang lainnya dari bab 36, barang fotografi atau sinematografi (bab 37), aneka produk kimia (bab 38), karet dan barang dari karet (bab 40), gabus dan barang dari gabus (bab 45), Pulp dari kayu atau dari bahan selulosa berserat lainnya; kertas atau kertas karton yang dipulihkan (sisa dan skrap); kertas dan kertas karton serta barang daripadanya (bab 47-49), tekstil dan produk tekstil, selain sutera (bab 51-63), tutup kepala dan bagiannya (bab 65), Payung, payung panas, tongkat jalan, tongkat duduk,cambuk, pecut dan bagiannya (bab 66), Barang dari batu, plester, semen, asbes, mika atau bahan semacam itu (bab 68), produk keramik (bab 69), barang dari besi atau baja (bab 73), aluminium dan barang daripadanya (bab 76), timah dan barang daripadanya (bab 80), logam tidak mulia lainnya dan barang daripadanya (bab 81), perkakas dan bermacam barang dari logam tidak mulia (bab 82-83), peralatan mekanis dan elektris (bab 84-85), kendaraan dan bagiannya (bab 86-89), Instrumen dan aparatus optis, fotografi, sinematografi, pengukur, pemeriksa, presisi, medis dan bedah; bagian dan aksesorinya (bab 90), instrumen musik (bab 92), mainan (bab 95), dan Karya seni, barang kolektor dan barang antik (bab 97). Selain itu, Japan juga menghapuskan sebagian tarif barang yang tercantum pada bab-bab lainnnya. Skedul B3, dengan ketentuan barang yang masuk ke dalam skedul ini diturunkan tarifnya dari base rate (Tarif dasar pada saat mulai berlakunya persetujuan IJEPA) secara merata bertahap selama empat tahun, sehingga pada akhir periode tersebut, tarifnya menjadi 0%. Skedul B5, dengan ketentuan barang yang masuk ke dalam skedul ini diturunkan tarifnya dari base rate secara merata bertahap selama enam tahun, sehingga pada akhir periode tersebut, tarifnya menjadi 0%. Skedul B7, dengan ketentuan barang yang masuk ke dalam skedul ini diturunkan tarifnya dari base rate secara merata bertahap selama delapan tahun, sehingga pada akhir periode tersebut, tarifnya menjadi 0%. Skedul B10, dengan ketentuan barang yang masuk ke dalam skedul ini diturunkan tarifnya dari base rate secara merata bertahap selama sebelas tahun, sehingga pada akhir periode tersebut, tarifnya menjadi 0%. Skedul B15, dengan ketentuan barang yang masuk ke dalam skedul ini diturunkan tarifnya dari base rate secara merata bertahap selama enam belas tahun, sehingga pada akhir periode tersebut, tarifnya menjadi 0%. Skedul P, dengan ketentuan perlakuan tarif bea masuknya sesuai catatan untuk masing-masing negara. Catatan/notes tersebut diantaranya (untuk barang impor dari Indonesia yang masuk ke Japan) berkaitan dengan keharusan negosiasi tarif setiap lima tahun (note 1), tarif rate quota (note 2,3, dan 6), keharusan negosiasi tarif setelah empat tahun persetujuan berjalan (note 4), dan penurunan tarif selama enam tahun dari 15% menjadi 13% (note 5). Sedangkan catatan untuk barang impor dari Japan yang masuk ke Indonesia diantaranya penurunan tarif sesuai jadwal tertentu (note 1, 3 sampai dengan 15) dan pemberian perlakuan khusus terhadap barang-barang yang digunakan oleh industri tertentu atau yang ditujukan ke Kawasan Berikat, Gudang Berikat, dan Kawasan Ekonomi Khusus, serta keharusan untuk melakukan konsultasi dengan pemakai, produsen, dan pihak yang berkaitan (note 2). Skedul Q, dengan ketentuan perlakuan tarif bea masuknya sesuai catatan untuk barang impor dari Indonesia yang masuk ke Japan. Skedul R, dengan ketentuan perlakuan tarif bea masuknya harus dinegosiasikan sesuai catatan untuk masing-masing negara. Skedul X, dengan ketentuan bahwa barang impor yang diklasifikasikan pada skedul ini dikecualikan dari setiap komitmen pengurangan atau penghapusan tarif dan komitmen negosiasi. Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 129 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin Termasuk ke dalam daftar ini untuk barang impor dari Indonesia ke Japan adalah beras, gula, garam, ski-boots, slippers, sutera, chamois, olahan furskins, beberapa pos tarif daging, ikan dan krustasea, dairy produces, olahan daging, kakao dan olahan kakao, olahan serealia, berbagai olahan yang dapat dimakan, dan tembakau. Sedangkan barang impor dari Japan ke Indonesia yang masuk ke dalam daftar ini, diantaranya buah jeruk dan olahannya, beras, gula, preparat mengandung alkohol, minuman mengandung etil alkohol, pedestrian controlled tractors, senjata dan amunisi, minyak atsiri, campuran zat baubauan, beberapa pos tarif binatang hidup, daging, dairy produces, besi dan baja, dan produknya, tepung, dan mainan. 140.130 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin KESEPAKATAN PUTARAN URUGUAY Kesepakatan dicapai dengan latar belakang sebagai berikut : a. ketentuan asal barang yang jelas dan dapat diduga, serta penerapannya dapat mempermudah arus perdagangan internasional; b. memastikan bahwa ketentuan asal barang itu sendiri tidak menimbulkan hambatan-hambatan yang tidak perlu terhadap perdagangan; c. memastikan bahwa ketentuan asal barang tidak meniadakan atau mengganggu hak-hak para Negara Anggota menurut General Agreement on Tarriff and Trade (GATT) 1994; d. perlu adanya transparansi dalam perundangan, ketentuan, dan praktik-praktik mengenai ketentuan asal barang; e. memastikan bahwa ketentuan asal barang dipersiapkan dan diterapkan secara transparan, dapat diduga, konsisten, netral dan tidak memihak; f. adanya mekanisme konsultasi dan prosedur untuk penyelesaian yang cepat, efektif dan adil terhadap sengketa yang muncul dalam lingkup Persetujuan ketentuan asal barang; g. mengharmonisasikan dan memperjelas ketentuan asal barang. Ketentuan asal barang yang disepakati meliputi hal-hal sebagai berikut : 1. negara yang ditetapkan sebagai negara asal suatu barang tertentu adalah negara di mana barang itu diperoleh secara keseluruhan, atau apabila proses produksi barang itu menyangkut lebih dari satu negara, negara asal barang adalah negara dimana dilaksanakan transformasi terakhir yang bersifat substansial; 2. ketentuan asal barang yang diterapkan pada impor dan ekspor, tidak lebih ketat daripada ketentuan asal barang yang diterapkan untuk menentukan apakah suatu barang berasal dari dalam negeri atau tidak, dan ketentuan tersebut tidak boleh mengadakan diskriminasi antara Negara Anggota lain, tanpa menghiraukan afiliasi dari pabrik manufaktur barang yang bersangkutan; 3. ketentuan asal barang dilaksanakan secara konsisten, seragam, dan tidak memihak; 4. atas permintaan seorang pengekspor, pengimpor atau siapa saja yang mempunyai alasan yang dapat dibenarkan, penaksiran mengenai negara asal yang akan diberikan kepada suatu barang harus diumumkan secepat mungkin tetapi tidak lebih dari 150 hari sesudah diterimanya permintaan untuk penaksiran tersebut, asalkan persyaratan yang diperlukan telah disampaikan. Permintaan untuk penaksiran seperti itu harus diterima sebelum perdagangan barang tersebut dimulai dan boleh diterima setiap saat kemudian. Penaksiran tersebut tetap berlaku selama tiga tahun asalkan fakta dan persyaratan, termasuk ketentuan asal barang, yang menjadi dasar penaksiran itu, tetap sebanding. Asalkan pihak-pihak yang bersangkutan diberitahu sebelumnya, penaksiran itu tidak berlaku lagi apabila suatu keputusan yang bertentangan dengan penaksiran diambil dalam suatu peninjauan kembali; 5. apabila dilakukan perubahan terhadap ketentuan asal barang atau menetapkan ketentuan asal barang yang baru, tidak diperkenankan untuk menerapkan perubahan itu secara retroaktif, dan tanpa mengurangi perundangan atau ketentuan mereka; 6. semua informasi yang sifatnya rahasia atau yang diberikan atas dasar kerahasiaan untuk tujuan penerapan ketentuan asal barang, harus diperlakukan secara rahasia oleh pihak berwenang yang bersangkutan, yang tidak boleh mengungkapkan rahasia itu tanpa ijin khusus dari orang itu atau pemerintah yang menyampaikan informasi tersebut, kecuali sejauh diperlukan untuk diungkapkan dalam konteks prosedur peradilan. Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 131 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin Tabel 5. Comparison of Rules of Origin Approaches across Selected ASEAN Agreements Basic Rules of Origin Cumulation Approach ASEAN – Australia New Zealand (AANZFTA) RVC (40) CTC (4-digit) Co-equal Cumulation permitted across AANZFTA provided inputs each satisfy RVC or CTC rule Direct formula (buildup method) or Indirect formula (build- down method) 2 Rules: (1) For goods other than textiles and apparel in HS 50-63, non-CTC qualified inputs up to 10 percent of FOB value of final product allowed (2) For textiles and apparel in HS 50-63, non-CTC qualified up to (a) 10 percent of value or (b) 10 percent of total weight allowed. ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) RVC (40) CTC (4-digit) Co-equal Cumulation permitted across ATIGA provided inputs each satisfy RVC or CTC rule Partial cumulation permitted in RVC calculation on pro rata basis where RVC is at least 20% Direct formula (buildup method) or Indirect formula (build- down method) 1 Rule Non-CTC qualified inputs allowed up to 10 percent of FOB value of final good ASEAN – Japan Comprehensi ve Economic Partnership RVC (40) CTC (4-digit) Co-equal Cumulation permitted across participating countries provided inputs each satisfy RVC or CTC rule Indirect formula (builddown method) only 3 Rules: (1) For goods in HS 16,19,20,22,23,28 through 49 and 64 through 97, non-CTC qualified inputs up to 10 percent of FOB value of final product allowed (2) For goods in HS 18 and 21, non-CTC qualified inputs allowed up to 10 % or 7% of FOB value as per annex 2 (3) For textiles and apparel in HS 50-63, non-CTC qualified up to 10 percent of total weight allowed. ASEAN – Korea Trade in Goods Agreement RVC (40) CTC (4-digit) Co-equal Cumulation permitted across participating countries provided inputs each satisfy RVC or CTC rule Direct formula (buildup method) or Indirect formula (build-down method) 2 Rules: (1) For goods other than textiles and apparel in HS 50-63, non-CTC qualified up to 10 percent of value allowed (2) For textiles and apparel in HS 50-63, non-CTC qualified up to 10 percent of total weight allowed. ASEAN – India Trade in Goods Agreement RVC (35) plus CTSH Cumulation permitted across all RTA Parties provided inputs each satisfy RVC(35)+CTSH rule Direct formula (buildup method) or Modified Indirect formula designed to show nonoriginating content of ≤ 65 percent Not applicable. No CTC ROO. ASEAN – China Trade in Goods Agreement RVC (40) Cumulation permitted across all RTA Parties provided inputs each satisfy RVC (40) rule Modified Indirect formula designed to show non-originating content of ≤ 60 percent. In practice, direct method of calculation is also allowed. Not applicable. Agreement RVC Calculation De Minimis Rule Sumber :Primer on Rules of Origin – AANZFTA, Jakarta : ASEAN Secretariat, October 2009. 140.132 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin A. Prosedur yang harus dipenuhi oleh pengekspor untuk mendapatkan surat keterangan asal/certificate of origin (SKA/CoO) Untuk memperoleh SKA, pengekspor diharuskan mengajukan permohonan kepada issuing authority untuk dilakukannya suatu verifikasi pra-eksportasi untuk memeriksa apakah barang ekspor memenuhi kriteria keasalan. Pengekspor kemudian mengisi form SKA dengan lengkap dan sebenar-benarnya dan kemudian mengajukannya ke issuing authority dengan dilengkapi dokumen yang mendukung kebenaran keasalan barang sebagaimana tercantum pada formulir SKA. B. Prosedur penelitian pra eksportasi yang dilakukan oleh otoritas berwenang yang menerbitkan SKA/issuing authority Issuing authority, setelah menerima permohonan, melakukan penelitian terhadap dokumen yang diajukan oleh pengekspor. Penelitian dilakukan untuk memastikan bahwa: a. Surat permohonan dan formulir SKA telah diisi lengkap dan ditandatangani oleh pemohon; b. Produk yang akan diekspor memenuhi kriteria keasalan sebagaimana diatur pada ketentuan asal barang; c. Pernyataan lain yang tercantum pada SKA sesuai dengan dokumen pendukung; d. Deskripsi, jumlah dan berat barang, tanda dan jumlah kemasan, jenis kemasan, yang dijelasakan pada SKA, sesuai dengan produk yang akan diekspor; e. Multiple items yang diberitahukan pada SKA yang sama dapat diperkenankan, sepanjang setiap item memenuhi kriteria keasalannya masing-masing. Apabila permohonan telah memenuhi persyaratan, issuing authority memberikan nomor referensi dan membubuhkan tanda tangan dan stempelnya pada form SKA. Spesimen tanda tangan pejabat yang berhak menandatangani SKA dan stempel issuing authority dipertukarkan oleh negara anggota, dengan maksud agar otoritas pabean di negara pengimpor dapat melakukan uji silang keabsahan SKA yang diajukan oleh pengimpor. C. Prosedur yang harus dipenuhi oleh pengimpor untuk mendapatkan tarif preferensi Apabila pengangkutan barang melalui satu atau lebih negara ketiga, maka diperlukan dokumen Back to Back Certificate (Movement Certificate, dalam skema ACFTA), yang diterbitkan oleh otoritas berwenang atau otoritas pabean (untuk PRC) di negara transit. Otoritas penerbit melakukan penelitian untuk memastikan kesesuaiannya dengan SKA pertama dan bahwa barang yang dilindungi dengan sertifikat tersebut memenuhi ketentuan/kriteria direct consignment di negara transit. D. Prosedur penelitian yang harus dilakukan oleh otoritas pabean di negara pengimpor sebelum memberikan preferensi tarif Otoritas pabean melakukan penelitian untuk memastikan kesesuaian data antara barang yang diimpor, pemberitahuan pabean impor, SKA, dan dokumen pelengkap pabean.Penelitian juga dilakukan untuk memastikan keabsahan SKA yang diajukan oleh pengimpor.Apabila seluruh data menujukkan kesesuaian dan Pejabat Pabean meyakini keabsahan SKA, maka dapat diberikan preferensi tarif. E. Prosedur penyimpanan dokumen Issuing authority memiliki kewajiban untuk melakukan penyimpanan terhadap seluruh SKA yang diterbitkannya olehnya selama periode tertentu sesuai yang diatur oleh masing-masing kesepakatan. F. Perbandingan pengaturan prosedur operasional sertifikasi barang pada beberapa FTA yang telah ditandatangani oleh negara anggota ASEAN dengan negara mitra Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 133 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin Tabel 6. Penerbit SKA, Penerbitan SKA, dan Third Party Invoicing Agreement ASEAN – Australia/ New Zealand (AANZFTA) ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) Issuing Authorities Issuance ACCI (Australian Chamber of Commerce and Industry), Australian Industry Group (AIG) (AUSTRALIA), Auckland Regional Chamber of Commerce and Industry, Canterbury Employers Chamber of Commerce, Otago Chamber of Commerce, Independent Verification Service Ltd., Wellington Employers Chamber of Commerce (NZ) Form AANZ harus diterbitkan sedekat mungkin dengan tanggal eksportasi tetapi tidak lebih dari 3 hari setelahnya Dapat diterima sepanjang : Brunei: Ministry of Foreign Affairs and Trade Form D harus diterbitkan pada saat eksportasi atau segera setelahnya Dapat diterima sepanjang : Form JIEPA harus diterbitkan pada saat pengapalan (sampai dengan 3 hari setelah tanggal B/L) Dapat diterima sepanjang : Cambodia: Ministry of Commerce Indonesia: Ministry of Trade Lao PDR: Chamber of Commerce and Industry Malaysia: Ministry of International Trade and Industry Myanmar: Ministry of Commerce 3rd party/ country invoicing Nomor third party invoice dan invoice yang diterbitkan oleh manufacturer dicantumkan pada box 10 SKA Box 13 SKA Third Party Invoicing harus dicentang Informasi mengenai nama dan negara perusahaan yang menerbitkan third party invoice harus dicantumkan pada box 7 SKA Nomor third party invoice dicantumkan pada box 10 SKA Box 13 SKA Third Party Invoicing harus dicentang Informasi mengenai nama dan negara perusahaan yang menerbitkan third party invoice harus dicantumkan pada box 7 SKA Philippines: Bureau of Customs Singapore: Singapore Customs Thailand: Ministry of Commerce Vietnam: Ministry of Trade IJEPA Japanese Ministry Of Economy, Trade and Industry Nomor third party invoice (invoice yang digunakan untuk importasi ke negara pengimpor) dicantumkan pada field 7 SKA atau jika pada saat pengajuan untuk mendapatkan Form JIEPA nomor third party invoice belum diketahui, maka nomor yang dicantumkan adalah nomor invoice yang diterbitkan oleh eksportir sesuai Form JIEPA, dan informasi mengenai perusahaan dan negara penerbit invoice dicantumkan di field 8 SKA, seluruh invoice harus dilampirkan saat pengajuan pemberitahuan pabean Informasi bahwa invoice barang akan diterbitkan oleh pihak ketiga harus dicantumkan pada field 8 SKA 140.134 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin Agreement Issuing Authorities Issuance ASEAN – Korea Trade in Goods Agreement Korea Customs, The Korea Chamber of Commerce and Industry Form AK harus diterbitkan pada saat eksportasi atau segera setelahnya ASEAN – India Trade in Goods Agreement ASEAN – China Trade in Goods Agreement Export Inspection Council Entry-Exit Inspection and Quarantine Bureau Form AI harus diterbitkan pada saat eksportasi (sampai dengan 3 hari setelah tanggal B/L) Form E harus diterbitkan menjelang atau pada saat eksportasi (sampai dengan 3 hari setelah tanggal B/L) 3rd party/ country invoicing Dapat diterima sepanjang : Nomor third party invoice dicantumkan pada box 10 SKA Box 13 SKA Third Party Invoicing harus dicentang Informasi mengenai nama dan negara perusahaan yang menerbitkan third party invoice harus dicantumkan pada box 7 SKA Dapat diterima sepanjang : Nomor third party invoice dicantumkan pada box 10 SKA Box 13 SKA Third Party Invoicing harus dicentang Informasi mengenai nama dan negara perusahaan yang menerbitkan third party invoice harus dicantumkan pada box 7 SKA Dapat diterima sepanjang : Nomor third party invoice dicantumkan pada box 10 SKA Eksportir dan consignee berlokasi di negara anggota Third party invoice harus dilampirkan pada saat pengajuan PIB Box 13 SKA Third Party Invoicing harus dicentang Informasi mengenai nama dan negara perusahaan yang menerbitkan third party invoice harus dicantumkan pada box 7 SKA Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 135 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin Tabel 7. Comparison of Operational Certification Procedures across Selected ASEAN Agreements Agreement Pre-export Examination Exporter Application Certificate of Origin Period of Validity Retroactive Issuance ASEAN – Australia/ New Zealand (AANZFTA) Yes – Exporter to request as basis for supporting evidence of origin Written application to issuing authorities with prescribed minimum data Unique Certificate number Original plus two copies Official seal / signature of issuing body Specified minimum data requirements Issued within 3 days of export 12 months Yes – Up to 12 months ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) Yes – Exporter to request as basis for supporting evidence of origin Written application to issuing authorities with prescribed minimum data Unique Certificate number Original plus two copies Official seal / signature of issuing body Specified minimum data requirements Issued within 3 days of export 12 months Yes – Up to 12 months ASEAN – Japan Comprehensi ve Economic Partnership Yes as provided in the Implementing Regulations Written application to issuing authorities with prescribed minimum data and proof of origin of goods Unique Certificate number Original plus two copies Official seal / signature of issuing body Specified minimum data requirements 12 months Yes – Up to 12 months ASEAN – Korea Trade in Goods Agreement Yes – Exporter to request as basis for supporting evidence of origin Written application to issuing authorities with prescribed minimum data Unique Certificate number Original plus two copies Official seal / signature of issuing body Specified minimum data requirements 6 months Yes – Up to 12 months ASEAN – India Trade in Goods Agreement Yes – Exporter to request as basis for supporting evidence of origin Written application to issuing authorities with prescribed minimum data Unique Certificate number Original plus three copies Official seal/signature of issuing body Dedicated form / data requirements Issued within 3 days of export 12 months Yes – Up to 12 months ASEAN – China Trade in Goods Agreement Yes – Exporter to request as basis for supporting evidence of origin Written application to issuing authorities with prescribed minimum data Unique Certificate number Original plus three copies Official seal/signature of issuing body Dedicated form / data requirements Issued within 3 days of export Normally 4 months 6 months when transhipped through a non-Party Yes – Up to 12 months Sumber :Primer on Rules of Origin – AANZFTA, Jakarta : ASEAN Secretariat, October 2009 140.136 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin Tabel 8. Comparison of Operational Certification Procedures across Selected ASEAN Agreements (cont’d) Agreement Action by Importer No Certificate Required ASEAN – Australia/ New Zealand (AANZFTA) Submit original copy of Certificate at time of import declaration No certificate required for goods valued at less than US$ 200 FOB Yes -required in transhipment cases Yes – after the fact verification where considered necessary Issuing body, exporter and importer to keep relevant records for 3 years ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) Submit original copy of Certificate at time of import declaration No certificate required for goods valued at less than US$ 200 FOB Yes -required in transhipment cases Yes – after the fact verification where considered necessary Issuing body, exporter and importer to keep relevant records for 3 years ASEAN – Japan Comprehensive Economic Partnership Submit original copy of Certificate at time of import declaration No certificate required for goods valued at less than US$ 200 FOB Yes – required in transhipment cases Yes – after the fact verification where considered necessary Issuing body, exporter and importer to keep relevant records for 3 years ASEAN – Korea Trade in Goods Agreement Submit original copy of Certificate at time of import declaration No certificate required for goods valued at less than US$ 200 FOB Yes – required in transhipment cases Yes – after the fact verification where considered necessary Issuing body, exporter and importer to keep relevant records for 3 years ASEAN – India Trade in Goods Agreement Submit original copy of Certificate plus triplicate copy at time of import declaration. Triplicate copy sent back to issuing authority in exporting country No exemption specified in OCPs for the AIFTA Yes – required in transhipment cases Yes – after the fact verification where considered necessary Issuing body to keep records for at least 2 years. Exporter to retain “Quadruplicate” copy for 12 months ASEAN – China Trade in Goods Agreement Submit original copy of Certificate plus triplicate copy at time of import declaration. Triplicate copy sent back to issuing authority in exporting country No certificate required for goods valued at less than US$ 200 FOB Yes – required in transhipment cases (different name movement certificate) Yes – after the fact verification where considered necessary Issuing body to keep records for at least 2 years. Exporter to retain “Quadruplicate” copy for 12 months Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 Back-to-back Certificates Verification Procedure Record Keeping 137 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin Tabel 9. Data Putusan Banding PP Terkait Materi Sengketa Tarif FTA Materi Sengketa Putusan Banding Berkas % Dikabulkan* Nilai (Rp.) % Berkas % Nilai (Rp.) Ditolak** % Berkas % Nilai (Rp.) % 2012 Tarif FTA 21 0.73 4,965,768,000 0.93 17 80.95 145,161,000 2.92 Lainnya 2864 99.27 531,775,291,456 99.07 n.a. Jumlah 2885 100 536,741,059,456 100 n.a. 4 19.05 4,820,607,000 97.08 189 37.88 24,701,154,000 32.81 2013 Tarif FTA 499 20.38 75,290,369,005 4.8 310 62.12 50,589,215,005 67.19 Lainnya 1950 79.62 1,492,720,293,816 95.2 n.a. Jumlah 2449 100 1,568,010,662,821 100 n.a. Tebel 10. Karakteristik Integrasi Ekonomi yang Telah Diimplementasikan oleh Indonesia ASEAN FTA (ATIGA) ASEAN China FTA ASEAN Korea FTA Ratifikasi Keppres 85 Tahun 19951* Perpres 2 Tahun 20102* Keppres 48 Tahun 20043* Perpres 25 Tahun 20114* Mulai Berlaku di Indonesia9* 28 Januari 199210* Uk. Pasar (juta USD) Uk. Ekonomi (Triliun USD) Indonesia Japan EPA ASEAN India FTA ASEAN ANZ FTA IPPTA Perpres 11 Tahun 20075* Perpres 12 Tahun 20076* Perpres 36 Tahun 2008 Keppres 69 Tahun 20047* Perpres 40 Tahun 20108* Perpres 26 Tahun 2011 Perpres 98 Tahun 2012 8 Juli 2005 4 Mei 2007 1 Juli 2008 26 Agustus 2010 11 Nov 2011 19 Nov 2012 599 1,939 647 726 1,814 625 n.a. 1.9 7.7 2.9 7.3 3.4 3.2 1.1 Jumlah Pos Tarif Yang Diturunkan Tarifnya11* (%) 98.8714 97.8526 93.6376 94.0921 92.8785 98.9612 2.1974 Jumlah Pos Tarif Yang Dihapus Tarifnya11* (%) 98.8714 84.2689 82.2613 73.2053 39.0731 88.7735 1.03 Jumlah Pos Tarif Dengan Tarif MFN11* (%) 1.1286 2.1474 6.3624 5.9080 7.1215 1.0388 97.8026 Tarif RataRata11* (Diluar Tarif MFN) 0.00% 2.11% 1.42% 0.99% 4.25% 1.28% 0.07% 140.138 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin ASEAN FTA (ATIGA) ASEAN China FTA ASEAN Korea FTA Indonesia Japan EPA ASEAN India FTA ASEAN ANZ FTA IPPTA Tarif Maksimal11* (Diluar Tarif MFN) 0% 60% 45% 25.30% 54.50% 170% 32% Produk dengan Tarif Maksimal11* - Kendaraan Bermotor Kendaraan Bermotor Kendaraan Bermotor Kendaraan Bermotor MMEA Tembakau Rokok Produk dengan Tarif MFN MMEA, Beras, Gula, Makanan Olahan, Tank dan Peralatan Militer MMEA, Hasil Tembakau, Film, Limbah, Karet, Beras, Gula Daging, Ikan, Rempah, Produk Hewani, Bunga, Sayur, dan Buah, Olahan Daging dan Ikan, Kue, Olahan Sayur dan Buah, MMEA, TPT, Besi Binatang Hidup, Daging, Dairy Produces, Beras, Gula, MMEA, Logam Tidak Mulia, Peralatan Militer, Mainan dan Peralatan Olahraga Daging, Ikan, Krustasea, Susu dan produknya, Buah, sayur, dan bunga, Bumbu dan rempah, Beras, Tepung, MMEA, TPT, Besi Beras Gula, MMEA, Hasil Tembakau, Mesin Pertanian dan Pengolah Hasil Pertanian Pengesahan Protocol to Amend Common Effective Preferential Tarif (CEPT) Scheme for ASEAN Free Trade Area (AFTA) ASEAN Trade in Goods Agreement 3* Pengesahan ASEAN-China Comprehensive Economic Cooperation Framework Agreement 4* Pengesahan ASEAN-China Trade in Goods Agreement 5* Pengesahan ASEAN-Korea Comprehensive Economic Cooperation Framework Agreement 6* Pengesahan ASEAN-Korea Trade in Goods Agreement 7* Pengesahan ASEAN-India Comprehensive Economic Partnership Agreement 8* Pengesahan ASEAN-India Trade in Goods Agreement 9* Berdasarkan http://treaty.kemlu.go.id/index.php/treaty 10* Mulai berlaku sejak Agreement on the Common Effective Preferential Tarif (CEPT) Scheme for the ASEAN Free Trade Area (AFTA) ditandatangani, ratifikasi tidak diperlukan 11* Berdasarkan masing-masing Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur, untuk tahun 2014 1* 2* Pengesahan Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 139 Halaman ini sengaja dikosongkan This page intentionally left blank 140 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2014 INDEKS SUBJEK JURNAL BPPK Volume 8 Nomor 1, 2015 AANZFTA, 108, 115, 116, 117, 119, 120, 121, 126, 132, 134, 136, 137 ACFTA, 108, 112, 113, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 133 administrasi, 89, 91, 102, 116, 117 AFTA, 107, 108, 111, 112, 116, 117, 119, 120, 139 agreement, 107 AIFTA, 108, 113, 117, 119, 120, 121, 123, 137 AKFTA, 108, 113, 114, 117, 118, 119, 120, 121, 124 akrual, 53, 54, 55, 56, 58, 65, 66, 68, 69, 70 akuntansi, 26, 53, 54, 55, 56, 57, 67, 69, 70 ASEAN, 107, 108, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 117, 118, 119, 120, 121, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139 asset, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 22, 24, 25, 28, 29, 30, 36, 38 barang dan jasa, 55, 66, 67, 68, 108, 111, 114 BEI, 21, 23, 24, 29 BLU, 69, 70 BLUD, 69 BUMN, 66, 67, 68, 104 capital, 5, 6, 8, 9, 12, 13, 15, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 49, 78 consumption, 2, 5, 7, 8, 42, 43, 77, 78, 79, 80, 81 countries, 2, 4, 41, 42, 43, 45, 46, 48, 49, 53, 132 crisis, 41, 45, 46, 77 debt, 24, 25, 29, 62, 71, 73, 74 dividen, 25 domestic, 41, 44, 45, 47, 48, 49, 77, 79, 80 economic, 1, 3, 5, 6, 7, 12, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 71, 77, 78, 81, 82, 107, 120 efficient, 1 ekonomi syariah, 21 emiten, 21, 23, 24, 29, 30, 32, 33, 34, 35, 36, 37 empirical, 2, 4, 12, 21, 42, 45 equilibria, 1, 2, 4, 6, 10, 11 equilibrium, 1, 2, 4, 6, 10, 11, 12, 79 equity, 24, 25, 29, 30, 36 European, 41, 42, 45, 49, 50, 105, 108 expenditure, 3, 4, 5, 8, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 49, 50, 59, 77, 80 export, 50, 77, 79, 80, 81, 136 financial distress, 21, 22, 23, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38 fiskal, 53, 54, 55, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 89, 108 forecasting, 77, 80, 81 gap, 2, 7, 8, 58 GDP, 41, 42, 43, 45, 46, 48, 49, 60, 61, 62, 63, 67, 70, 73, 74, 77, 78, 79, 80, 81, 83 GFS, ii, 53, 54, 55, 56, 57, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 73, 74, 75 government, 11, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 53, 77, 80, 81 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2014 growth, 1, 2, 7, 8, 12, 29, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 77, 78, 81 highway, 43 hospital, 41 human capital, 5, 6, 8, 9, 41, 42, 43, 48, 49 IJEPA, 108, 114, 115, 117, 119, 120, 121, 125, 129, 134 import, 50, 77, 79, 80, 81, 137 Indonesia, i, 1, 2, 7, 8, 10, 11, 12, 21, 22, 23, 24, 28, 29, 38, 39, 41, 42, 44, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 53, 54, 57, 63, 65, 69, 70, 71, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 90, 91, 104, 105, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 119, 120, 121, 129, 130, 134, 138, 3, 4 inovasi, 89, 90, 91, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 102, 103, 104, 110 interest rate, 77, 79, 80, 81 investment, 2, 42, 43, 44, 45, 47, 48, 49, 50, 77, 78, 79, 80, 81 investor, 22, 23, 24, 27, 31, 37 IPPTA, 115, 116, 120, 121, 128, 138 JII, 21, 23, 24, 29, 33, 38 kebijakan, 23, 27, 38, 41, 53, 54, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 89, 90, 91, 100, 103, 108 kemandirian, 89, 90, 91, 92, 94, 96, 97, 98, 99, 100, 102, 103 kepabeanan, 110, 115, 116, 120 keuangan, i, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 35, 36, 37, 41, 53, 54, 55, 56, 57, 59, 62, 65, 66, 69, 70, 93 keuangan syariah, 21, 22, 23 Keynesian, 41, 43 kinerja, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 28, 29, 31, 58, 66, 67, 71, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104 korporasi, 53, 55, 67, 69 krisis, 22, 23, 30, 35, 41 laba, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 36, 37 liberal, 111, 119, 120 likuiditas, 24, 25, 26, 29, 30, 37, 54 LM Curve, 25 macroeconomic, 77 management, 38, 42, 89, 90 margin, 25, 29, 30, 36 market, 5, 7, 18, 24, 28, 41, 43, 49, 108, 119 modal, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 36, 38, 41, 67, 108, 111 model pembelajaran, 89, 91, 94, 96, 98, 102, 103 monetary, 4, 77, 80, 81 murabahah, 24 neoclassical, 43, 45 opportunities, 1 organisasi, 55, 66, 67, 68, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 4 140.1 TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA? Arfiansyah Darwin panel, 70 Papua, 7, 12, 45 pasar, 21, 22, 23, 24, 25, 27, 67, 68, 69, 93, 107, 110, 111, 114, 115 patterns, 1, 2, 4, 5, 6, 8, 12, 92 pemerintah pusat, 53, 59, 66, 69, 70 pengetahuan, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 103, 104, 110 perdagangan, 23, 24, 36, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 131 pertumbuhan, 70 policy, 1, 2, 4, 11, 12, 41, 42, 49, 53, 77, 78, 80, 81 poor, 2, 3, 4, 6, 7, 8, 10, 11, 12, 49 population, 1, 3, 7, 43, 44, 45, 47, 48, 49 poverty, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 41, 42, 49, 50 price, 3, 46 private, 42, 43, 48, 49, 77, 79 productivity, 42, 43, 48, 49 profitabilitas, 27, 30 PSAP, 66, 70 PTA, 108, 111, 115, 116 publik, 24, 53, 54, 57, 58, 59, 64, 66, 67, 68, 69, 91, 93, 103 rasio, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 35, 36, 37, 59, 60, 62, 67, 68 rate, 2, 7, 8, 12, 21, 29, 41, 42, 44, 45, 46, 48, 49, 77, 79, 80, 81, 119, 129 regional, 2, 7, 22, 41, 42, 44, 45, 47, 48, 49, 50, 55, 77, 107, 108, 111, 117 saham, 21, 22, 23, 24, 27, 29, 30, 31, 33, 35, 36, 37, 38 spending, 41, 42, 43, 47, 49, 50, 80, 81 stability, 46 Sumatra, 1, 2, 6, 7, 9, 10, 11, 13, 15, 17 syariah, 21, 22, 23, 24, 38 tabungan, 54 transaction, 23, 42, 43, 48, 49 transfer, 48, 49, 55, 64, 66, 93, 95, 99, 100, 101 trap, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 9, 10, 11, 12 United States, 7, 12, 41, 45, 49 utang, 24, 25, 26, 27, 54, 59, 60, 62, 64, 68 World Bank, 2, 7, 41, 59, 60, 78, 82, 84, 108 140.2 Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015 PETUNJUK BAGI (CALON) PENULIS JURNAL BPPK 1. Sebagai pra-syarat dalam mengirimkan artikel untuk dapat diterbitkan pada Jurnal BPPK, penulis diwajibkan mengirimkan (calon) artikel Jurnal BPPK yang dilengkapi: Surat pernyataan orisinalitas karya bermaterai cukup (Rp 6.000,-), Lembar Identitas Artikel Jurnal BPPK, Curriculum Vitae. Format terlampir. 2. Artikel yang diajukan diketik dengan program Microsoft Word atau program pengolah kata sejenis dan disimpan dalam format docx menggunakan huruf Cambria, ukuran 10 pts, spasi tunggal, dicetak pada kertas A4 dengan panjang 15 s.d. 30 halaman, dan diserahkan dalam bentuk hardcopy/cetak sebanyak 1 eksemplar beserta softcopy-nya. Pengiriman Artikel softcop yjuga dapat dilakukan melalui e-mail ke alamat: [email protected]. 3. Artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Inggris. Sistematika artikel hasil penelitian adalah a. Judul Penulisan judul tidak lebih dari 14 kata, dicetak dengan huruf kapital, center, Cambria 14. b. Nama Penulis Nama Penulis ditulis tanpa gelar akademik, disertai lembaga asal tempat peneliti melakukan penelitian.Dalam hal artikel ditulis oleh tim, penyunting hanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya tercantum pada urutan pertama. Penulis utama wajib mencantumkan alamat korespondensi dan/atau e-mail. c. Abstrak disertai kata kunci Abstrak dan kata kunci ditulis dalam dua bahasa, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Panjang masing-masing abstrak tidak lebih dari 150 kata yang disertai dengan 3-5 kata kunci. Abstrak minimal berisi judul, tujuan, metode dan hasil penelitian. Penulisan Abstrak yang berbahasa Inggris mengacu pada kaidah penulisan abtrak karya ilmiah yang berlaku umum secara internasional. Dalam hal penerjemahan abstrak bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris, penulis tidak diperkenankan melakukan copy-paste langsung dari software/aplikasi/web penerjemah bahasa. Untuk keperluan translasi direkomendasikan menggunakan jasa penerjemah tersumpah. Adapun biaya yang muncul atas penggunaan jasa tersebut menjadi tanggung jawab penulis artikel. d. Pendahuluan Bagian ini menjelaskan latar belakang riset, rumusan masalah, pernyataan tujuan dan (jika dipandang perlu) organisasi penulisan artikel. e. Kerangka teoritis dan pengembangan hipotesis Memaparkan kerangka teoritis berdasarkan telaah literatur yang menjadi landasan logis untuk mengembangkan hipotesis atau proporsi riset dan model riset. f. Metode riset/penelitian Menguraikan metode seleksi dan pengumpulan data, pengukuran dan definisi operasional variabel, dan metode analisis data. g. Hasil dan pembahasan Menjelaskan analisis data riset dan deskripsi statistik yang diperlukan Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2014 140.3 h. Kesimpulan Memuat simpulan hasil riset, temuan penelitian yang berupa jawaban atas pertanyaan penelitian atau berupa intisari hasil pembahasan. Simpulan disajikan dalam bentuk paragraf. i. Implikasi dan keterbatasan Menjelaskan implikasi temuan dan keterbatasan riset, serta jika perlu saran yang dikemukakan peneliti untuk riset yang akan datang. j. Daftar Pustaka Memuat sumber-sumber pustaka atau referensi yang dikutip di dalam penulisan artikel. Hanya sumber yang diacu yang dimuat dalam daftar referensi ini. Untuk keseragaman penulisan, Daftar Pustaka ditulis sesuai dengan format American Psychological Association (APA) k. Lampiran Memuat tabel, gambar dan instrumen riset yang digunakan 4. Tata cara penyajian kutipan, rujukan, tabel, dan gambar mengikuti ketentuan dalam PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL ILMIAH JURNAL BPPK atau merujuk pada tata cara yang digunakan dalam artikel yang telah dimuat. Artikelberbahasa Indonesia menggunakan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan dan istilah-istilah yang telah dibakukan oleh Pusat Bahasa. 5. Semua Artikel ditelaah secara anonim oleh Dewan Editor yang ditunjuk oleh Sekretariat Jurnal BPPK menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan atau revisi artikel atas dasar rekomendasi/saran dari Dewan Editor atau penyunting. Kepastian pemuatan atau penolakan artikel akan diberitahunkan secara tertulis. 6. Segala sesuatu yang menyangkut perijinan pengutipan, penggunaan software/aplikasi komputer untuk pembuatan artikel atau hal lainnya yang terkait dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) yang dilakukan oleh penulis, berikut konsekuensi hokum yang mungkin timbul, menjadi tanggung jawab penuh penulis artikel. 140.4 Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 1, 2014 SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS ARTIKEL JURNAL BPPK Yang bertanda tangan di bawah ini, Nama Penulis Artikel : ................................................................................................................................ NIP/NRM : ................................................................................................................................ Pangkat / Golongan : ................................................................................................................................ Jabatan : ................................................................................................................................ dengan ini menyatakan bahwa artikel yang saya susun dengan judul : JUDUL ARTIKEL UNTUK JURNAL BPPK (Huruf Tebal) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dan bukan merupakan plagiat dari artikel orang lain. Artikel ini belum pernah dipublikasikan pada jurnal atau media yang lain dan akan diserahkan kepada Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) untuk digandakan, diperbanyak dan/atau disebarluaskan. Apabila kemudian hari pernyataan Saya tidak benar, maka Saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan termasuk sanki pidana. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, untuk dapat dipergunakan bilamana diperlukan. ........................, ............................................. Pembuat Pernyataan Materai Rp6.000,00 ...................................................................... NIP Catatan: Dapat diperbanyak sesuai kebutuhan penulis dan bilamana diperlukan, Softcopy surat pernyataan ini dapat diminta melalui email: [email protected] Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2014 140.5 FORMULIR CURRICULUM VITAE PENULIS ARTIKEL JURNAL BPPK Nama Lengkap : Tempat/Tgl Lahir : Jabatan Sekarang : Unit Kerja : NIP/NRM/Gol. : No. Rekeneing : NPWP : Email : No HP : Bank … Cabang … Riwayat Pendidikan : Jenjang Gelar Universitas Tahun D1 D3 D4/S1 S2 S3 Riwayat Pekerjaan: Jabatan Unit Kerja/Organisasi Periode Penghargaan/Award/Acknowledged Reward: Bidang Keilmuan yang Diminati: Catatan: Dapat diperbanyak sesuai kebutuhan penulis dan bilamana diperlukan, Softcopy Form CV ini dapat diminta melalui email: [email protected]… 140.6 Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 1, 2014 LEMBAR IDENTITAS ARTIKEL JURNAL BPPK Judul Artikel Beri tanda ( ) pada yang telah disediakan sesuai keadaan yang sebenarnya: a. Jenis Artikel Hasil pemikiran pada ______________________________________ (bulan dan tahun) Hasil penelitian tahun _____________________________________ (bulan dan tahun) b. Hubungan dengan penelitian lain sebelumnya Penelitian/Pemikiran baru Ringkasan/Short version Skripsi karya sendiridengan judul __________________________________________________ _______________________________________________________________________________________________________________________ Ringkasan/Short version Thesis karya sendiri dengan judul ___________________________________________________ _______________________________________________________________________________________________________________________ Kajian atau karya Ilmiah lain karya sendiri karya sendiri yaitu _______________________________________________ dengan judul _______________________________________________________________________________________________________ ______________________________________________________________________________________________________________________ Lainnya, sebutkan: _________________________________________________________________________________________________ c. Tempat Penulis melakukan Penelitian/Pemikiran pada Artikel ini Tempat Kerja yaitu ________________________________________________________________________________________________ Sewaktu Pendidikan program_________________________________________________________(nama program studi dan jenjang) di ___________________________________________________________________________________________(nama universitas dan negara) Lainnya, yaitu ______________________________________________________________________________________________________ d. Sumber Pembiayaan dalam melakukan Penelitian/Pemikiran pada Artikel ini Sendiri Lainnnya, yaitu: ____________________________________________________________________________________________________ _______________________________________________________________________________________________________________________ Dengan ini saya menyatakan bahwa data yang saya isi pada formulir ini adalah benar adanya dan tanpa rekayasa. Apabila kemudian hari pernyataan Saya tidak benar, maka Saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan termasuk sangsi pidana. ........................, .................................................... Penulis Artikel, ............................................................................. _vietnam.pdf-quarterly-policies-in-focus-integration Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2014 140.7