Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 1 Tahun 2015

advertisement
JURNAL BPPK
ISSN 2085-3785
Volume 8 Nomor 1, 2015, halaman 1-140
Jurnal BPPK merupakan publikasi ilmiah yang berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian, pengembangan, kajian, dan
pemikiran di bidang ekonomi dan keuangan negara. Terbit pertama kali tahun 2010 dengan masa terbit sekali setahun
kemudian menambah masa terbit pada tahun 2011 diterbitkan dua kali setahun hingga saat ini, pada bulan Juni dan Desember.
Artikel yang diterbitkan dalam Jurnal BPPK telah melalui proses evaluasi dan penyuntingan oleh Dewan Redaksi, Mitra Bestari
dan Anggota Staf Editorial. Jurnal BPPK terbuka untuk umum, praktisi, peneliti, pegawai, dan pemerhati masalah ekonomi dan
keuangan negara.
STAF EDITORIAL
Penanggung Jawab
Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan
Ketua Dewan Redaksi
Sekretaris Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan
Dewan Redaksi
Agung Darono, S.E., Ak., CA., M.M., M.Eng
Dr. Agus Sunarya Sulaeman, Ak., M.Si.
Dr. Roberto Akyuwen, S.T.P., S.E., M.Si.
Yoopi Abimanyu,S.E., M.A., Ph.D
Yuniarto Hadiwibowo, S.S.T., Ak., Ph.D.
Mitra Bestari
.
Prof. Dr . Abdul Halim, M.B.A., Akt.  Dr. Akhmad Makhfatih, M.A.
Dr. Alla Asmara, S.Pt.  Dr. Artidiatun Adji, M,Ec
Prof. Heru Subiyantoro, Ph.D.  Dr. Mamduh Mahmadah Hanafi, M.B.A
Prof. Ir. Noer Azam Achsani. M.Sc., Ph.D.  Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.Si
Dr. Ir. Tanti Novianti, M.Si  Zaafri Ananto Husodo, Ph.D.
Dr. Eugenia Mardanugraha, S.Si., M.E. 
Redaktur
Rahmadi Murwanto, Ak., MAcc., M.B.A., Ph.D.
Editor Ahli
Muh Nurkhamid
Editor Pelaksana
Adhitya Wira Witantra
Nur Etaruni
VMI Bimo Adi
Sekretariat
Agung Arie Pratama  Najjahul Imtihan
Pambudi Gawe  Sukmantara
Phesona E.B.T  Aditya Wirawan
ALAMAT SEKRETARIAT JURNAL BPPK: Bagian Organisasi dan Tata Laksana, Sekretariat Badan Pendidikan dan
Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia Gedung B Soegito Sastromidjojo, Lantai 4, Jl. Purnawarman
Nomor 99 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110; Telp. (021) 7394666 ext.253, 7204131; Faksimili (021) 7261775,7244328;
webpage: www.bppk.depkeu.go.id; e-mail: [email protected].
JURNAL BPPK
Volume 8, Nomor 1, 2015
DAFTAR ISI
ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA:
USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007
1-20
Wahyu Indrawan
MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT
(STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEKS)
21-40
GOVERNMENT EXPENDITURE AND ECONOMIC GROWTH:
AN EMPIRICAL STUDY IN INDONESIA
41-52
RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCIAL STATISTIC (GFS)
DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL
53-76
SMALL MACROECONOMIC MODEL: MODELLING AND FORECASTING
FOR MONETARY AND FISCAL POLICIES IN INDONESIA
77-88
Azwar
Wesly Febriyanta Sinulingga
Puput Waryanto
Heryanah
STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH
TERHADAP KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS)
Muhammad Na’im Amali
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH
DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
ii
89-106
107-140
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015, Halaman 1-20
BADAN PENDIDIKAN DAN
PELATIHAN KEUANGAN
KEMENTERIAN KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA:
USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007
Wahyu Indrawan
Australian National University, Canberra, Australia Email: [email protected]
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
SEJARAH ARTIKEL
Diterima Pertama
5 Maret 2015
Assets and the Poverty Trap in Indonesia: Using Households Panel Data 1993-2007.
Indonesia faces relatively high-level of persistent poverty for years which indicates the
existence of poverty trap. Using four waves of longitudinal household data (1993-2007), this
paper examines the existence and various patterns of household-level poverty traps in
Indonesia. By following an asset-based approach introduced by Barrett and Carter (2006)
and Adato et al. (2006), this paper performs parametric to construct an asset index and
nonparametric techniques to estimate dynamic asset pattern and the poverty trap. Findings
indicate that there is evidence for multiple equilibria poverty trap in Sumatra region. Also,
this study finds that all households in Sulawesi region converge to a single stable equilibrium
below the poverty line, which indicates that these households are collectively trapped.
However, the findings show that households in Java and Bali, West Nusa Tenggara and
Kalimantan converge to a single stable equilibrium that households in these regions do not
face a poverty trap.
Dinyatakan Dapat Dimuat
12 Juni 2015
KATA KUNCI:
assets accumulation
Indonesia
poverty trap
poverty dynamic.
Kekayaan dan jebakan kemiskinan di Indonesia: analisis dengan data panel rumah tangga
1993-2007. Tingkat kemiskinan di Indonesia yang cenderung tidak berkurang secara signifikan
selama beberapa periode memberikan indikasi awal kemungkinan adanya rakyat (rumah
tangga) yang tidak bisa keluar dari lingkaran kemiskinan. Penelitian ini menggunakan empat
periode data panel rumah tangga untuk menguji keberadaan dan pola jebakan kemiskinan di
tingkat rumah tangga di Indonesia. Penelitian ini mengikuti pendekatan kekayaan yang
diperkenalkan oleh Barret dan Carter (2006) serta Adato et al. (2006). Pendekatan ini
memerlukan penerapan metode parametrik untuk membentuk indeks kekayaan dan metode
non-parametrik untuk mengestimasi pola kekayaan dinamik dan jebakan kemiskinan.
Penelitian ini menemukan adanya bukti yang menunjukkan adanya jebakan kemiskinan
dengan banyak titik keseimbangan di wilayah Sumatra. Selain itu, seluruh rumah tangga di
wilayah Sulawesi pada periode menengah terindikasikan terjebak dalam kemiskinan secara
bersama-sama. Di sisi lain, rumah tangga di wilayah Jawa dan Bali, NTB serta Kalimantan
cenderung terhindar dari jebakan kemiskinan.
1.
INTRODUCTION
Poverty alleviation is an interesting issue in the
development problem. Over the past decade when
economic growth takes place, the world also sees great
improvement in poverty over time. The growth
however has not brought about equally improvement
in standard of living to everyone. Inequality also rises
along the steady evidence of persistent poverty among
some subsets of populations. The increasingly evidence
of persistent poverty worldwide has thus stimulated
the need to understanding of the patterns and
mechanisms why some subset of populations tend to
be trapped in poverty
Understanding the patterns and the cause of the
poverty trap can provide important practical policy
implications. A possible cause for the subset of
population, such as households, trapped in poverty is
their inability to accumulate their assets in order to
grow their path to move out of poverty over time
(Barrett & Carter 2006). Further, there are various
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
patterns of households asset accumulation over time.
The analysis of analysis these patterns can favour
policy implications by informing target of intervention,
identifying of key enabling conditions to the pathway
out of poverty, and designing safety net policies (ibid.).
For instance, if the households asset accumulation
converges into a single point below poverty line, which
means that all households are collectively trapped in
poverty, then there should be structural policy changes
that provide new economic opportunities for
households to elevate their convergent point into
above poverty line (Naschold 2012). Thus,
understanding the cause and patterns of poverty trap
can lead to efficient policies.
This paper uses four waves of longitudinal
household panel data (1993-2007) to explore existence
and patterns of household-level poverty traps in
Indonesia and how these patterns vary across different
livelihood groups and regions in the country. This
study would be relevant for Indonesia because, though,
1
ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA:
USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007
Wahyu Indrawan
Indonesia has enjoyed positive growth for years, but
poverty seems still to be a significant development
problem. Two periods of the SBY administration also
make poverty as development focus, known as propoor policy (BAPPENAS 2008). Though the poverty
headcount ratio has been decreased in the last five
years from 24.23 per cent in 1998 to 15.42 per cent in
2008, the ratio still lies above 15 per cent (BPS 2008).
Furthermore, using longitudinal household data
of Indonesia Family Life Surveys (IFLS) and World
Bank’s US$2 a day (at PPP adjusted) standard poverty
line, Table 1 and Table 2 illustrate early indicators that
some households cannot move out of poverty for a long
period (7 years lag), neither from 1993 to 2000 nor
from 2000 to 2007. There is slight different poverty
rate for year 2000 because the number of paired
households in 1993-2000 and 2000-2007 is different.
Both tables show that there are some households that
still live in persistent poverty. This is represented by
the shaded cells which are summed to 40.72 per cent in
the period 1993-2000 and 24.51 per cent for the later
period. Despite the declining figures, this roughly
indicates that a poverty trap may exist in some
households in Indonesia. Thus, further analysis is
needed to test whether the poverty trap exist or not.
Table 1. Decomposing poverty transition in Indonesia
for the year 1993 and 2000
2000
Poor
Non Poor
48.83%
51.17%
Always poor Moving out
Poor 64.62%
40.72%
poor 23.90%
1993
Non Poor
Moving in poor Never poor
35.38%
8.11%
27.27%
Source: Author’s calculation using IFLS data.
Table 2. Decomposing poverty transition in Indonesia
for the year 2000 and 2007
2007
Poor 48.14%
2000
Non Poor
51.86%
Poor
33.35%
Always poor
24.51%
Moving in
poor
8.84%
Non Poor
66.65%
Moving out
poor 23.62%
Never poor
43.02%
Source: Author’s calculation using IFLS data.
Few studies have investigated poverty dynamics
or the poverty trap in Indonesia. Using three waves of
IFLS from 1993 to 2000, Sumarto et al. (2009) find that
persistent poverty exists in some households in
Indonesia. Further, using the same period of
longitudinal household panel data, Prima (2009)
applies a model of household consumption growth as
introduced by Jalan and Ravallion (2002, cited in Prima
2009) to examine the existence of the poverty trap in
Indonesia. He finds that the poverty trap exists in
2
Indonesia during the period 1993 to 2000 (ibid.). He
also argues that there are multiple equilibria; so that,
there are two groups of households, one that has
increasing consumption level and positive returns on
investment and another group that cannot move out of
poverty because their investments seem to be not
sufficiently profitable (ibid.). Another study from
Wardhana (2010) that adds one latest wave, 2007, of
IFLS also finds that chronic poverty seems to exist in
Indonesia in the long run. Wardhana uses multiple
correspondence analyses (MCA) to construct an assets
index and then observes how this multidimensional
index plays a role in examining whether households
are trapped in poverty over a longer time.
Despite many works on the poverty trap in some
developing countries, only a few studies focus on
Indonesia. Though both Prima (2009) and Wardhana
(2010) have examined the existence of the poverty trap
in Indonesia, their findings are still at the national level
which seems to incompletely represent various
characteristics of households in different regions
across Indonesia. Even more, aggregating the analyses
into the national level may result in cancelling out one
characteristic of a region with a similar characteristic
but opposite effect from other regions.
This paper attempts to fill this gap and to enrich
the existing literature. This study differs from previous
studies in the approach and the sub-national level
analysis used. The study employs asset-based approach
in identifying poverty traps. We first construct
household-level asset index using regression approach
to estimate their regional-specific livelihood
contribution of each asset. We then use parametric and
non parametric approaches in estimating the long-term
patterns of asset accumulation paths for the sampled
households and for separate regions and subgroups in
the country.
The hypothesis is that the poverty trap may exist
in some regions, as Prima (2009) and Wardhana
(2010) finds in the national level, other than region of
Java and Bali because these regions are known as the
centre of the economy and more developed areas. Yet,
our results shows that multiple equilibria poverty trap
only exist in Sumatra region and a single equilibrium
poverty trap only exists in Sulawesi region when a
longer period of observation is used.
The remainder of this paper is organized as
follows. Section 2 summarizes some theories and
previous empirical literatures of the poverty trap.
Section 3 presents the model and methodology used in
this study as well as introduces the data. Then, Section
4 summarizes the main results and discussion of the
results. Section 5 concludes the study.
2.
POVERTY TRAP AND EXISTING
LITERATURES
A common approach in poverty analysis for
answering questions of persistent poverty or the
poverty trap is through inter-generation (dynamic)
poverty measurements. These measurements attempt
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA:
USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007
Wahyu Indrawan
to identify and understand the structure and
persistence of poverty as summarized in Figure 1.
First period measurement in Figure 1 is a
traditional static standard income or expenditurebased poverty measure (Barrett & Carter 2006). Using
this measure, the population can be divided into poor
and non-poor categories at single point of observation,
but this measure cannot distinguish which households
remain poor (chronic poor) and which swap from poor
to non-poor, and vice versa, in the next period (ibid.).
Addressing this problem, Grootaert and Kanbur (1995,
cited in ibid.) introduce a second generation of poverty
measurements that uses panel data-based (dynamic)
expenditure or income analysis to decompose
households into three categories: the always or
chronically poor, the transitorily poor, and the never
poor.
Notwithstanding, this second generation poverty
measurement faces a limitation. It cannot distinguish
poverty transitory whether it is a stochastic poverty
transition, such as because of random price or
stochastic earnings from positive or negative shocks, or
it is a structural transition, for instance because of the
accumulation of new assets or enhanced returns to the
assets (ibid.). The use of asset-based approach can be
formulated as Equation (1) (Adato et al. 2006). This
equation is intended to distinguish the structural
source (represented as sum of assets, Aijt) of poverty
(represented as household’s income, yit) from the
stochastic source (represented as the error term,εit).
J
yit   Aijt   it
j 1
(1)
Barrett and Carter (2006) propose to reformulate
the poverty measurement in an asset-based as a
solution for overcoming the limitation of the dynamic
expenditure poverty measurement. Further, asset
measures have advantage that they are more
accurately measured and less volatile than income or
expenditures measurements (Giesbert & Schindler
2012).
However, a static asset poverty line as the third
generation measure still has a limitation in further
analysis of poverty. This measure cannot identify
whether the current structurally poor are likely to
remain poor over the longer time (caught in a poverty
trap), or others who are currently non-poor can sustain
their position (Barrett & Carter 2006). Therefore, a
dynamic asset poverty measure is developed as the
fourth generation to decompose these groups based on
their positions over the longer term (ibid.). The
existence of the poverty trap, which is defined as ‘any
self-reinforcing mechanism which causes poverty to
persist’ (Azariadis&Stachursky 2004, cited in Barrett &
Carter 2013 p.977), should be visible in the pattern of
this asset dynamics (Adato et al. 2006). Thus, dynamic
poverty analysis requires estimating the pattern which
shows the relation between multiple economic assets
of a household at a current year and at its initial or
base year.
To estimate the pattern of assets dynamic, various
assets with different units need to be compressed into
an appropriate asset index. DeRosa et al. (2013)
summarize five common methods to construct an asset
index. First, an asset index can be constructed by
aggregating weights of the first principal component
from a principal component analysis (PCA) (Filmer &
Pritchett 2001; Minujin & Delamonica 2002; McKenzie
2005; cited in DeRosa et al. 2013). Second, the asset
index is derived from the aggregating weights of the
first factor analysis of multiple assets (Naschold 2006;
Sahn & Stifel 2003, cited in DeRosa et al. 2013). The
third method uses multiple correspondence analyses
(MCA) in producing the index (Booysenet al. 2008,
cited in DeRosa et al. 2013).
Figure 1. Alternative Approach of Poverty Measurements
Source: Barrett & Carter (2006).
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
3
ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA:
USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007
Wahyu Indrawan
Figure 2. Hypothetical Asset Dynamics
Source: Adato et al. (2006).
Fourth, this method uses the fitted value from a
livelihood regression of household assets and
characteristics on household income or expenditure as
an asset index (Adato et al. 2006; Naschold 2009, cited
in DeRosa et al. 2013). Last method constructs the
asset index by weighting assets with their estimated
monetary values (DeRosa et al. 2013). However, there
is still disagreement regarding the robustness of those
different methods and only a small consideration of
them that would affect subsequent analysed and policy
recommendation (ibid.). Researchers usually perform
one of these methods to construct the asset index.
Thus, this paper uses the fourth method, a livelihoodweighted asset index, in constructing an asset index.
Once the asset index is constructed, a
hypothetical pattern of asset dynamics can be
generated. To make it easier to understand the pattern,
Adato et al. (2006) illustrate it in Figure 2. Barrett and
Carter (2006, cited in Giesbert & Schindler 2012
p.1595) argue that a poverty trap is a critical threshold,
‘Micawber threshold’, which is associated with an
unstable equilibrium in multiple dynamic equilibria.
This threshold is represented as asset level Am in
Figure 2, while the stylised bifurcated dynamic (Sshape) represents two (or more) stable equilibria that
may exist at level Ap* and Ac*. This S-shape results
from the existence of locally increasing marginal
returns to assets (ibid.). A household that is above this
threshold, Am, is predicted to accumulate assets over
time and to reach the stable upper asset equilibrium,
Ac*, and moves out of poverty (ibid.). On the contrary,
when a household is below the threshold, the
household is too poor to accumulate assets and tends
to fall behind and converge to low-level poverty trap,
Ap* (Adato et al. 2006).
4
However, there is another pattern that leads to a
poverty trap instead of multiple equilibria poverty
trap. The poverty trap may also exist in a circumstance
where a household faces a single equilibrium that is
below the poverty line (Giesbert & Schindler 2012).
This circumstance is likely in a converse way of the
convergent asset dynamics in Figure 2 which instead of
converge to high equilibrium level, Ac*, the assets
accumulation of household converges to lower level
equilibrium below the poverty line. The convergent
pattern exists when the marginal returns to the assets
are globally diminishing (ibid.). Thus, both patterns,
either convergent or bifurcated dynamics, can exist in
some households, but they need to be empirically
tested.
Further, there are few empirical studies on
different developing countries to empirically test
whether the poverty trap exists. Barett et al. (2006)
finds multiple equilibria poverty trap in Kenya. On the
other hand, a study by Naschold (2012) in rural semiarid India finds that the estimated dynamic asset
accumulation paths show single stable equilibrium
below the poverty line. This means that a household
that is currently poor cannot hope to move out of
poverty or move to the higher level of equilibrium in
the next period (ibid.). The same pattern is also found
by Giesbert and Schindler (2012). They find that the
asset dynamic path of the households in rural
Mozambique tends to converge to single equilibrium
level slightly below poverty line (ibid.). In other words,
all rural households are collectively trapped in poor
(ibid.). Another study by Baulch and Quisumbing
(2013) in rural Bangladesh finds evidence for
concavity single low-level equilibrium or poverty trap,
but no evidence for multiple equilibria. These studies
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA:
USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007
Wahyu Indrawan
can have different findings in the dynamic assets
equilibrium patterns, but they use a similar assetsbased approach that generally follows the method
introduced by Adato et al. (2006).
3.
METHODOLOGY AND DATA
This study examines whether a poverty trap
exists, based on the asset-based approach introduced
by Barrett and Carter (2006). In constructing the asset
index needed in the asset-based approach, it follows a
livelihood-regression asset index from Adato et al.
(2006). Further, steps in examining poverty trap follow
the methodology used in Mozambique from Giesbert
and Schindler (2012) and use statistical package
software STATA 12.1. There are two steps in examining
the poverty trap: a parametric method to construct an
asset index and a non-parametric method to analyse
the pattern of asset dynamics and existence of the
poverty trap (ibid.).
3.1. Constructing Asset Index
This first step is performed to estimate the
relation between multiple economic assets of a
household at certain time and the assets at early
period. These assets are considered to provide
contribution in generating incomes and livelihoods for
the households. However, since multiple assets usually
have wide variation of measurement units, an asset
index should be constructed first.
Following Adato et al. (2006) this asset index is
derived from a bundle of all assets which are held by
household and contribute for the future well-being.
This index is constructed from the regression function
that relates household i’s livelihoodor welfare measure
at time t (λit) to the bundle of all assets j=1,2,…,J held at
that time (Ait). This function is generally modelled as:
J
it    j  Ait Aijt   it
(2)
j 1
In this equation, household’s livelihood (λit) or
material well-being is measured by household
consumption expenditure divided by the money value
of the household’s subsistence needs and provincialspecific poverty line is used as a proxy measure for
household’s subsistence needs.
Then, an asset index is constructed using the
regression results of Equation (2). The coefficients of
each asset from this regression represent the marginal
contribution to household livelihood of the j different
assets. Using the estimates of βj, the livelihoodweighted asset index (Λit) is calculated as the fitted
value of the regression function from the Equation (2).
Thus, Λit is defined as:
it   ˆ j ( Ait ) Aijt
(3)
j
This asset index has been expressed in unit-free
measurement using poverty line units (PLU), so that a
value of 0.5 means that a household owns a bundle of
assets that can predict the household’s livelihood is at a
half of poverty line.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
Prior to estimating this asset index, determining
the components of the assets bundle that can likely
provide a contribution to the household’s livelihood is
required. This paper uses two groups assets which are
almost similar to assets in Adato et al. (2006). These
groups are human capital (education and health) and
natural and productive capital.
In human capital, this study uses some proxy
variables for representing education and health of the
households. The mean of household’s member
education year (m_edummm) and household’s head
education year (eduhhh) are chosen as the proxy for
education. Since data for education year is not
available, these variables are transformed from the
existing data of the level of school graduated. Further,
this study does not use health status of household
member as represented of the health because the value
of health status information is only based on the
answer of the member which seems to be very
subjective. Instead, it employs variety of nutrient
intakes, or food diversity, as the proxy of health
(fdiverse2). The consideration of this proxy is that
according to Dietary Guidelines for American, a health
plate should vary its food (USDA 2011).
In contrast, more information concerning
households assets are available as a proxy for natural
and productive capital. The sources of this capitalis
derived from farm business assets, non-farm business
assets and non-business assets. Various assets from
these three groups that are presumed to provide a
contribution for livelihood are picked up and
converted to their real value using Consumer Price
Index 2007 as base year. These assets consist of land
(ln_land), house (ln_house), other building (ln_bldg),
four-wheel vehicles (ln_vhcle), other vehicles-such as
boat (ln_othvhcle), livestock, poultry and fishpond
(ln_livestock), hard-stem plants (ln_plants), tractor and
irrigating equipment (ln_tractor), heavy equipment
(ln_heqpmnt), small tools for business (ln_smltol),
jewelry (ln_jewelry), and savings (ln_saving). The last
two asset types are less likely used in a productive
activity, but they are relatively liquid assets. All these
assets are also measured in their natural logarithm in
order to control for severely skewed distribution.
Then, to capture potential heterogeneity in asset
returns, this paper also includes the interactions of
natural and productive capital with the education
(edu_**) as well as the urban or rural location of the
household (urb_**).
Household and time fixed effects are also included
to control for household and year specific unobserved
heterogeneities. To control for specific characteristics,
this study also adds household characteristics and
community characteristics. Household characteristics
cover the age of household’s head (agehhh) and a
dummy variable that represents whether the
household’s head is female (d_sexhhh). Further,
community characteristics include road quality (road),
existence of market (market), existence of industry or
factory (factory), and access to electricity (electricity).
These characteristics inclusion follows Giesbert and
5
ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA:
USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007
Wahyu Indrawan
Schindler (2012), but since almost all households
already have access to electricity which make this
variable less variant among households, then the
variable electricity is dropped.
Considering these variables, Equation (2) is
customized, so that the model of a livelihood-weighted
asset index for each region is:
J
M
N
j 1
m 1
n 1
it  1+  2 jit  assets jit  3mit  HHcharsmit  4 nit  Commcharsnit
O
 5oit  interactoit  6it DPit  7it detaTit  ui  vt
where assetsj represents human capital and
natural and productive capital, HHchars represents
household’s characteristics, Commchars represents
community’s characteristics, interact represents the
sum of interactive variables, DPis province specific
effect, detaTis year specific effect and ui is household
specific effect. Then, this equation is analysed by using
household fixed-effect panel regression.
Compared to Prima (2009) and Wardhana
(2010), this study also estimate this regression
separately for each hypothetical region instead of
national level regression function to take into account
the possibility that asset returns could vary across
different livelihood and geographical settings. In this
paper, provinces of the households are regrouped into
five regions: Sumatra and islands, Java and Bali, West
Nusa Tenggara, Kalimantan and Sulawesi. These
classification are based on their similar economic
activities and characteristics each province.
Further, the regression results of Equation (4)
need to be examined to determine whether the
obtained model for each model is valid. Using the
estimates of coefficient ( ˆ j ),predicted livelihood ( ˆit )
for each household in different regions and in different
period can be obtained. Since this study covers many
values of continuous livelihood data, visible analysis is
used to determine the most appropriate models using
the Epanechnikov kernel density plot of predicted
ˆit , and the actual value of livelihood, it
(Cameron & Trivedi 2009). The rule is that the
estimates can proceed when the kernel density plot of
ˆit is not shifting so that it is significantly different with
the  . The simpler rejecting criterion is that ˆ is
it
it
considered not a well-proper model if the distribution
ˆit is totally disappear.
Finally, the predicted livelihood, ˆ , which is the fitted
of poor households using
it
value of the most proper model of Equation (4), can be
used as the representation of the estimated asset index.
3.2. Estimating Asset Accumulation Dynamics
This second step is crucial in this study because
the objective is to examine whether a poverty trap
6
Ait  f  Ait 1    i
(4)
o 1
livelihood,
could be found in the results and to identify the pattern
of the asset dynamics. This step uses a non-parametric
technique to estimate the relationship between a
household’s current and its baseline asset level as
Equation (5) (Giesbert & Schindler 2012):
(5)
where A represents the asset index of household i
(it is also the fitted value of livelihood,
ˆit ,
from
parametric method), t stands for the current period
and t-1 for the baseline period and the error term εi is
assumed to be normally and identically distributed
with zero and constant variance (ibid.).
Equation (5) needs a pair of asset index from
current period and baseline level. Yet, the fitted values,
ˆit ,
from parametric method are still in panel data
form that could not directly be used. Further, this
paper uses four rounds of panel data which covers
longer period than data used by Giesbert and Schindler
(2012). Thus, in this study, the fitted asset index is
transformed from a set of panel data into a pair of
current and baseline level of household’s livelihood. To
get a deeper picture, the non-parametric technique is
run in two different pairs. The first pair uses three to
four years lag, so that the baseline-current period is
1993-1997 and 1997-2000. On the other hand, the
second pair uses longer period, 7 years lag, so that the
baseline-current period is 1993-2000 and 2000-2007.
Further, this study uses a local polynomial
regression with Epanechnikov kernel weight as used
by Giesbert and Schindler (2012) in estimating
Equation (5). This non-parametric technique treats At
as dependent variable and At-1 as independent variable.
This technique can produce a report of asset recursion
diagram which shows the pattern of equilibrium of the
households whether the households converge into a
single stable equilibrium (convergent assets dynamic)
or the household have a multiple-equilibria, at least
two stable equilibria and at least one unstable
equilibrium (ibid.). The unstable equilibrium is called
the ‘Micawber threshold’ (Zimmerman & Carter 2003,
cited in Giesbert & Schindler 2012, p.1595) at which
dynamic assets accumulation bifurcate (Barrett
&Carter 2006).
Moreover, the detailed visible analysis can be
processed from these patterns. Households in some
regions can be said to be in a poverty trap when the
patterns show that either the single equilibrium
converges at a point below the poverty line or the
stable equilibrium at the multiple equilibria is at a
point below poverty line (Giesbert & Schindler 2012).
Thus, by performing this technique, the question of this
paper should be answered.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA:
USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007
Wahyu Indrawan
Figure 3. Provinces Covered in IFLS1
Source: RAND Corporation (2012).
3.3. Data
This study uses continuing longitudinal
household unbalanced panel data from RAND
Corporation known as Indonesia Family Life Survey
(IFLS). By now, there are four waves of IFLS that have
been done. The first wave of IFLS (IFLS1) was
conducted in 1993-1994 and covered 7,224
households that represented about 83 per cent of the
Indonesian population (Sikoki et al. 2009). These
household samples are living in 13 provinces out of 26
provinces in that period which can be seen in Figure 3
(ibid.).
The second wavewas conducted in 1997. Based
on the User Guide of IFLS4 (Sikoki et al. 2009), there
were 7,698 households as respondents in IFLS2, of
which 6,821 were the original respondents from IFLS1.
Thus the recontact rate for IFLS2 is 94.42 per cent.
Further, this book also shows that the recontact rate
for IFLS3 which was conducted in 2000 is 95.30 per
cent which means that there were 10,574 households
as total respondents in IFLS3 and 6,800 households of
which were the original respondents from IFLS1.
Lastly, IFLS4 that was conducted in 2007 covered
13,995 households as total respondents and 92.4 per
cent or 6,596 of original respondents from IFLS could
be recontacted (ibid.). This recontact rate is at least as
high as most longitudinal survey in the United States
and Europe (ibid.). In addition, all waves contain
massive information collected at the individual and
household levels which includes multiple indicators of
economic and non-economic well-being (ibid.). For
examples: consumption, income, assets, education,
migration, labor market outcomes, and, health status
(ibid.).
The IFLS data has some strengths and limitations.
The most powerful strength is that IFLS is the only
large-scale longitudinal survey available for Indonesia
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
that provides a dynamics of behaviour at the
individual, households and community level (ibid.).
IFLS also provides data for multipurpose analyses and
the current and retrospective information (ibid.).
However, IFLS faces limitations because, by design, it
did not cover some provinces which might provide a
more realistic view of Indonesian households; for
instance, the poorest provinces (West Papua, Papua,
East Nusa Tenggara) are not covered in this survey.
There are also many missing values in the expenditures
variable and the asset measures are not provided with
theirquantity values.
On the other hand, this study uses a World Bank
US$2 a day (at PPP adjusted) poverty line instead of
the national poverty line. In deflating and transforming
this standard into real term Rupiah (Rp) value,
Consumer Price Index (CPI) of 2007 is used as the base
year. CPI data is taken from the databank of the World
Bank. However, this paper cannot differentiate the real
poverty line for each region because of the
unavailability of regional CPI in the databank.
4.
RESULTS AND DISCUSSIONS
4.1. Descriptive statistics
This section summarizes the main descriptive
statistics of the dependent variable and the
independent variables. Indonesia as a developing
country is benefitted by its positive growth over time.
This economic growth may become one cause of the
increasing asset index for the period 1993 to 2007.
This section presents the summary of the earliest and
the latest waves which are presented in Table 3
(appendices). Detailed statistics of the variables for the
period 1997 to 2000 are also listed in Table 4
(appendices).
7
ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA:
USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007
Wahyu Indrawan
Figure 4. Kernel Density of The Estimated Asset Index and Livelihood for Each Region
0
5
Linear prediction
10
0
Kernel density estimate
kdensity livelihood
10
kdensity livelihood
-5
0
5
Linear prediction
10
Kernel density estimate
kdensity livelihood
kernel = epanechnikov, bandwidth = 0.1252
Density
0
0
.2 .4 .6 .8
Sulawesi
.6
.4
4
6
8
Linear prediction
kernel = epanechnikov, bandwidth = 0.0698
Kalimantan
.2
2
Kernel density estimate
kernel = epanechnikov, bandwidth = 0.1210
.2 .4 .6 .8
0
Density
.2 .4 .6 .8
1
-5
Density
West Nusa Tenggara
1
Java and Bali
0
Density
0
Density
.2 .4 .6 .8
Sumatera and islands
0
2
4
6
8
Linear prediction
10
Kernel density estimate
kdensity livelihood
kernel = epanechnikov, bandwidth = 0.1492
0
2
4
6
8
Linear prediction
10
Kernel density estimate
kdensity livelihood
kernel = epanechnikov, bandwidth = 0.2287
Source: Author’s calculation.
Table 3 (appendices) shows that the mean of
asset index for all regions, except Sumatra, raised and
Sulawesi enjoyed the largest increase from 1.03 in
1993 to 1.43 in 2007, or almost 50 per cent increase.
However, standard deviation of asset index for all
regions, except Kalimantan, mostly unchanged in the
same period. Ironically, Sulawesi that grew faster than
others could not reduce its standard deviation of asset
index, even more, the deviation became larger. This can
be said that the gap between the non-poor and the
poor households remained significant.
Further, the growth seemed to bring positive
impacts in the components of asset index at the
aggregate level as shown in Table 3 (appendices).
Human capital which is represented by health (food
diversity) and year of education is much better in 2007
than in the base year. Yet, the gap between the lowest
and the highest level of human capital seems to be not
being better. Moreover, Table 3 (appendices) shows
that household’s income on average was almost
doubled in 2007, compared to 1993-based. This finding
is represented by expenditure per capita of the
households. However, the deviation of expenditures
per capita in 2007 was, even, larger than its mean.
Thus, it reinforces the finding in asset index pattern
which indicated that the gap between the poor
households and the non-poor households became
worse.
8
On the other hand, Table 3 (appendices) shows
that there are more various patterns in the households’
productive capital. Some assets on average had an
increasing value in 2007 such as jewellery and fourwheel vehicles. In contrast, the value of other
productive assets seems to decrease from 1993 to
2007.
4.2. Constructed Asset Index
This section is started by a summary of main
features of the results from parametric technique for
each region. The complete results which consist of the
estimated coefficients and their standard error for each
independent variable in five different regions are
detailed in Table 5 (appendices). Yet, before
interpreting the main features of the models, these
models should be tested on their wellness. In this
study, Kernel density function of the fitted values of
asset index (livelihood) is used as the criterion. The
results of this test are summarized in Figure 4. From
this figure, it can be seen that all of the fitted values of
asset index do not move away from the actual
livelihood. Thus, it can be inferred that each model for
these five regions can be accepted. Overall,
consumption-based poverty rate is higher than the
asset-based poverty rate. This is well expected given
fact that the former should include both structural
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA:
USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007
Wahyu Indrawan
Figure 5. Asset Recursion Diagram With 3-4 Years Lag
Sumatera
6
Java & Bali
6
4
A_t4
West Nusa Tenggara
6
4
A_t4
4
A_t4
2
2
2
0
0
0
-2
-2
-2
-2-1.8
-1.6
-1.4
-1.2
-1-.8-.6-.4-.20 .2.4.6 .8 11.21.4
1.6
1.822.2
2.4
2.62.833.2
3.43.6
3.84
-1 -.8-.6-.4-.2 0 .2 .4 .6 .8 1 1.21.41.61.82 2.22.42.62.83 3.23.43.63.84
A_t
A_t
Kalimantan
-2-1.8
-1.6
-1.4
-1.2
-1-.8-.6-.4-.2 0 .2.4.6 .8 11.21.4
1.6
1.822.2
2.4
2.62.833.23.4
3.6
3.84
A_t
Sulawesi
4
4
3
A_t4
2
A_t4
2
1
0
0
-1
-2
-1 -.8 -.6 -.4-.2 0 .2 .4 .6 .8 1 1.21.41.61.8 2 2.22.42.62.8 3 3.23.43.63.8 4
-2-1.8
-1.6
-1.4
-1.2-1 -.8-.6-.4-.2 0 .2 .4 .6 .8 1 1.21.41.61.82 2.22.42.62.83 3.23.43.63.84
A_t
A_t
Source: author’s calculation.
poor (asset-based poverty) as well as the stochastic
poor.
Further, estimates of five models for each region
as parametric results discover some interesting
findings. First, when human capital (health and
education of the household’s head) are not interacted
to productive capital or other characteristics, they are
only positively significant in West Nusa Tenggara
which is known as one of less developing region in
Indonesia. Another interesting finding in this region is
that livestock asset is positively significant in
contributing to household’s livelihood which is
consistent to the major economy of this region which is
called as the land of a million cows (Disnakeswan
2013). Yet, this asset seems to have opposite effect
when it is interacted to the household who lives in
urban area which might be because most urban
households do not lay their economy on cattle farming
or livestock.
Second, household characteristics which are
represented by age of household’s head and female
headed household are likely not significant in all
regions. Similarly, marketplace availability is the only
one community characteristic that significantly
contribute in household’s livelihood in two out of five
regions, while existence of a factory and road quality
seem to be not significant. Interestingly, existence of
marketplace
provides
a
negative significant
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
contribution in West Nusa Tenggara. In contrast, in
Sumatra marketplace availability has positively
significant effect on the household’s livelihood.
Household’s livelihood in Sumatra region which is
known as large farm of oil palm tree is positively
contributed by the holding of tractor.
Third, the result shows that all human capital and
productive capital are not significant in Java and Bali
which was hypothesized as the most developing
region. Yet, year of education of the household’s head
when interacted to urban households becomes
positively significant for household’s livelihood.
Fourth, the value of other assets, such as boats, is
positively significant in contributing household’s
livelihood in Kalimantan. This is also as expected
because river is one of the main infrastructures for
transportation. In contrast, there is no specific asset
that relates to the economy of Sulawesi region. Instead,
only the value of house and value of house interacted
to urban are significant in Sulawesi. But, they have
opposite effect; value of house is negatively significant,
while interaction urban and house has positively
significant contribution. All of these findings are
needed to be deepened in the future research.
9
ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA:
USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007
Wahyu Indrawan
4.3. Nonparametric Estimation of Dynamic Asset
Pattern And Poverty Trap
This section presents the nonparametric
estimation of the relationship between the asset
indexes in the later period and in the base year period.
Using local polynomial regression and the second
order polynomial, the asset recursion diagram is
produced. Since this study using four waves of IFLS
that cover long period from 1993 to 2007, this study
distinguishes the shorter nonparametric analysis (3 to
4 years lag) from the longer analysis (7 year lag).
Further, before this analysis can be done, the fitted
values of asset index from parametric technique should
be transformed into two pairs of observations. These
pairs represent the dynamic of households’ assets over
period.
The first pairs show the relationship of asset
index from the year 1997-1993 and 2000-1997, where
the latter years are the baseline for respective pairs.
The asset recursion diagrams for each region are
summarized in Figure 5. Horizontal axis in Figure 5
represents asset index in the baseline (1993 for 1997
as current year and 1997 for 2000 as current year),
and vertical axis represents the asset index at current
period. There is a 45-degree line in each graph which
means that asset index in the baseline is exactly the
same as asset index in the current year. This line also
indicates the equilibrium that may exist for each
region. Further, there are two intersected lines at point
1 in horizontal and vertical axis. The function of these
lines is as a representation of poverty line. So, when the
asset equilibrium intersects at point below this line, it
can be inferred that the households are at poor
condition.
Figure 5 shows some interesting findings in the
pattern of asset dynamics and the existence of poverty
trap for each region. Generally, almost all regions have
a single equilibrium which converges at above poverty
line, but there are exceptions for Sumatra and Java and
Bali regions. These regions seem to have a different
pattern. Instead of single equilibrium pattern, there is
evidence that multiple equilibria exist in Sumatra and
Java and Bali regions.
There are an unstable equilibrium at about point
2.55 PLU and two stable equilibria at point 0.65 PLU
(below poverty line) and at point 3.35 PLU (much
higher than poverty line) in Sumatra. So, it can be
concluded that multiple equilibria poverty trap might
exist in Sumatra. Further, there is a threshold at its
unstable equilibrium point (at about 2.55 PLU) that
households can bifurcate. So, households which have
assets below the unstable equilibrium point are likely
converge to the stable equilibrium below poverty trap
or trapped in poverty. In contrast, households that hold
assets above the threshold are likely able to
accumulate enough assets and to converge at higher
Figure 6. Asset Recursion Diagram With 7 Years Lag
Sumatra
6
Java & Bali
West Nusa Tenggara
6
4
A_t7
4
A_t7
A_t7
3
2.5
2
2
2
1.5
1
0
0
.5
0
-.5
-2
-2
-1 -.8-.6-.4-.2 0 .2 .4 .6 .8 1 1.21.41.61.82 2.22.42.62.83 3.23.43.63.84
-1 -.8-.6-.4-.2 0 .2 .4 .6 .8 1 1.21.41.61.82 2.22.42.62.83 3.23.43.63.84
A_t
A_t
Kalimantan
4
-1
-1 -.8-.6-.4-.2 0 .2 .4 .6 .8 1 1.21.41.61.82 2.22.42.62.83
A_t
Sulawesi
4
3
A_t7
2
A_t7
2
1
0
0
-1
-2
-1 -.8-.6 -.4-.2 0 .2 .4 .6 .8 1 1.21.41.61.8 2 2.22.42.62.8 3 3.23.43.63.8 4
A_t
-2-1.8
-1.6
-1.4
-1.2-1 -.8-.6-.4-.2 0 .2 .4 .6 .8 1 1.21.41.61.82 2.22.42.62.83 3.23.43.63.84
A_t
Source: author’s calculation.
10
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA:
USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007
Wahyu Indrawan
level of assets (move out of poverty). This finding is
almost similar to Prima (2009) who finds that in
national level (overall country) households have
multiple equilibria and can bifurcate. However, this
finding is not as expected because Sumatra is usually
considered as the second largest economy in Indonesia.
Though Java and Bali also have multiple
equilibria, Figure 5 shows that these multiple equilibria
are located above poverty line. Further, these multiple
equilibria seem to tangent to the 45-degree line not
only two points but along the point from 1.40 PLU to
2.10 PLU. Thus, it can be inferred that poverty trap
does not exist in Java and Bali, but, instead, the
households in this region converge into non-poverty
status. This finding is as expected since Java and Bali is
the largest economy and the most developing region in
Indonesia.
On the other hand, other three regions share a
common trend. West Nusa Tenggara, Kalimantan and
Sulawesi have a single stable equilibrium above
poverty line. This can be interpreted that all
households in these regions converge into non-poverty
condition or poverty trap is not exist these regions. Yet,
Figure 5 shows that the stable equilibrium of Sulawesi
is so close to poverty line at around 1.15 PLU which
means it can be vulnerable for this region to be trapped
in the poverty if there is a little shock. In contrast, West
Nusa Tenggara and Kalimantan which are also known
as mining region share the same stable equilibrium at
higher level at around 1.45 PLU. These findings are
quite surprising because Sulawesi is the largest region
within eastern Indonesia, but the asset dynamic shows
a worse level than West Nusa Tenggara and
Kalimantan.
To gain a deeper analysis, Figure 6 is used for the
longer period analysis (7 year lag). This figure
represents the second pairs that show the relationship
of asset index from the year 2000-1993 and 20072000, where the latter years are the baseline for
respective pairs. As in Figure 6 horizontal axis
represents asset index in the baseline (1993 for 2000
as current year and 2000 for 2007 as current year),
and vertical axis represents the asset index at current
period. There are also a 45-degree line in each graph
and two intersected lines at point 1 in horizontal and
vertical axis.
Generally, there are almost similar pattern in
Figure 6 compared to the shorter pattern analysis in
Figure 5. Poverty trap seems to still exist and the
dynamic asset pattern follows multiple equilibria in
Sumatra. Though there are some slight changes, there
is still no evidence poverty trap may exist in Java and
Bali, West Nusa Tenggara and Kalimantan. Java and
Bali seems to have a slight change in the pattern which
it initially has multiple equilibria, then in the longer
period, the households converge into a single stable
equilibrium above poverty line at around 1.75 PLU.
On the other hand, households in Sulawesi region
seems to have a worsen asset accumulation over longer
period. Figure 6 shows that these households still
follow a single stable equilibrium, but the stable
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
equilibrium moves to the lower level than one in
shorter period. Even more, in this longer period, the
stable equilibrium is below poverty line at around 0.65
PLU which can be inferred that in the longer period of
observation poverty trap may exist in the households
in Sulawesi region. This finding is as predicted in
Figure 5 which shows that households in Sulawesi
might be at the vulnerable position to become poor.
This finding differs to Prima (2009) which argues that
in national scales (overall country) multiple equilibria
poverty trap exists in Indonesia. But it shares the
common pattern with Giesbert and Schindler (2012),
Naschold (2012), and Baulch and Quisumbing (2013)
who find that households tend to converge in a single
equilibrium level using Mozambique, India and
Bangladesh as their observations, respectively.
5.
CONCLUSION
The final part of this paper concludes some
findings in this study. Using asset-based approach in
analysing longitudinal households panel data in five
different regions in Indonesia, this paper attempts to
examine whether poverty trap exist in household level
in some regions in Indonesia and to identify the
pattern of asset dynamics for certain periods. Based on
the result from parametric and nonparametric
techniques, this study finds that poverty trap seems to
exist in form of single equilibrium at Sulawesi and in
multiple equilibria in Sumatra. This main finding
suggests that this paper’s hypothesis which argues that
poverty trap may exist in some regions other than Java
and Bali is partly maintained because Kalimantan and
West Nusa Tenggara show that there is no evidence
that poverty trap exist in these regions. This study also
finds that assets accumulation of the households in
Kalimantan and West Nusa Tenggara tend to converge
into a stable single equilibrium at above poverty line.
Another finding shows that contributions of
assets toward livelihoods vary across regions. For
instance, livestock is positively significant in West Nusa
Tenggara, other vehicles, such as boats, are positively
significant in Kalimantan, existence of marketplace in
the community is positively significant in Sumatera,
and year of education of the household’s head in urban
area is positively significant in Java and Bali. However,
household characteristics, such as age of the
household’s head and female headed household, seem
to be not significant components in the household’s
livelihood for all regions.
These findings may provide implications for
government’s poverty alleviation policies. Poverty
analysis needs to be deepened in Sumatra and Sulawesi
regions because it is unexpected that poverty trap
seems to exist in these regions. These are unexpected
findings because Sumatra is known as the second
largest economy and Sulawesi is also the most
developing region in eastern Indonesia. While this is
true on average, it could be true that the level of
development within these two regions vary across
households. Especially in the case of Sumatra, our
evidence seems to suggest that there could exist a
11
ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA:
USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007
Wahyu Indrawan
critical asset threshold that determines household’s
asset accumulation dynamics and so their long-term
poverty. If this is the case, policy intervention might be
targeted to helping those below the threshold, who
tend to have problem accumulating asset by their own
mean. Another policy implication may be related to the
specific significant components in each region that
should be the focus of assistance. For instance,
government should focus in supporting livestock
farming in West Nusa Tenggara, boat facilities in
Kalimantan and marketplace proximity in Sumatra.
This study is still a preliminary stage. Future
research is needed to go further into more interesting
study. These may include measuring asset growth for
each region, more detailed research on each region to
gain more realistic picture, updating the period of
observation to cover the full periods of SBY
administration, and performing separate analysis for
poor provinces, such as Papua, West Papua, or East
Nusa Tenggara. More importantly, indirect behaviour
approach, such as observing the long-term
consequence of some small disturbance in asset
dynamic equilibrium (for instance, from shocks and
asset transfers) on asset accumulation among people
locating in different sides of critical asset threshold,
can be used to test the patterns of asset-based poverty
trap found in this paper.
ACKNOWLEDGEMENT
This paper had been fully supported by Dr Sommarat
Chantarat and Umbu Reku Raya(College of Asia and the
Pacific, the Australian National University). Thanks for
their helpful assistance in supervising and data
analysing.
REFERENCES
Adato, M, Carter, MR, & May, J 2006, ‘Exploring poverty
traps and social exclusion in South Africa using
qualitative and quantitative data’, Journal of
Development Studies, vol. 42, no. 2, pp. 226-247.
Badan
Perencanaan
Pembangunan
Nasional
(Indonesian National Development Planning
Agency) 2011, ‘Handbook: pro-poor planning
and budgeting’, May 2008, Republic of Indonesia,
Jakarta.
Badan Pusat Statistik (Indonesian Central Bureau of
Statistics) 2008, ‘Analisis dan penghitungan
tingkat kemiskinan 2008 (Analysis and the
calculation of poverty rate 2008)’, November
2008, Republic of Indonesia, Jakarta.
Barrettt, CB & Carter, MR 2006, ‘The economics of
poverty traps and persistent poverty: an assetbased approach’, Journal of Development Studies,
vol. 42, no. 2, pp. 178-199.
________________________ 2013, ‘The economics of poverty
traps and persistent poverty: empirical and
policy implications’, Journal of Development
Studies, vol. 49, no. 7, pp. 976-990.
Barrettt, CB, Marenya, PP, McPeak, JG, Minten, B,
Murithi, F, Oluoch-Kosura, W, Place F,
12
Randrianarisoa, JC, Rasambainarivo, J&Wangila, J
2006, ‘Welfare dynamics in rural Kenya and
Madagascar’, Journal of Development Studies, vol.
42, no. 2, pp. 248-277.
Baulch, B & Quisumbing, AR 2013, ‘Assets and poverty
traps in rural Bangladesh’, Journal of
Development Studies, vol. 49, no. 7, pp. 898-916.
Cameron, AC & Trivedi, PK 2009, Microeconometrics
using Stata, StataCorp, Texas.
DeRosa, K, Michelson, H, & Muniz, M 2013, ‘Measuring
socio-economic status in the millennium villages:
the role of asset index chouce’, Journal of
Development Studies, vol. 49, no. 7, pp. 917-935.
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan 2013,
‘Provinsi Nusa Tenggara Barat sejuta sapi (West
Nusa Tenggara:a land of million-cows)’,
Provincial Government of West Nusa Tenggara,
Mataram, viewed 30 Oktober 2013,
<http://www.disnakeswan.info>.
Giesbert, L & Schindler, K 2012, ‘Assets, shocks, and
poverty traps in rural Mozambique’, World
Development, vol. 40, no. 8, pp. 1594-1609.
Naschold, F 2012, ‘The poor stay poor: household asset
poverty traps in rural semi-arid India’, World
Development, vol. 40, no. 10, pp. 2033-2043.
Prima, RA 2009, ‘Social capital and poverty traps:
evidence from Indonesia’, paper presented in
International conference in honour of Salvatore
Vinci, Napoli, 30-31 October.
RAND Corporation 2012, The Indonesia family life
survey (IFLS), RAND Corporation, viewed 30
Oktober 2013,
<http://www.rand.org/labor/FLS/IFLS.html>.
Sikoki, B, Straus, J, Witoelar, F & Wattie, AM 2009, The
fourth wave of the Indonesia family life survey
(IFLS4): overview and field report Volume 1,
RAND corporation, California.
Sumarto, S, Suryahadi, A, Widyanti, W, &Yumna, A
2009, ‘The relationship between chronic poverty
and household dynamics: evidence from
Indonesia’, Working Paper no. 132, Chronic
Poverty Research Centre, the SMERU Research
Institute, Jakarta.
USDA, see the US Department of Agriculture and Health
and Human Services.
The US Department of Agriculture and Health and
Human Services 2011, ‘Dietary guidelines for
Americans’, June 2011, Federal Government of
the United States, Washington, D.C.
Wardhana, D 2010, ‘Multidimensional poverty
dynamics in Indonesia (1993 - 2007)’, School of
Economics, The University of Nottingham,
Nottingham.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA:
USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007
Wahyu Indrawan
APPENDICES
Table 3. Summary Statistics of Variables for 1993 and 2007
No. of obs.
Mean
Std. Dev.
Min
Max
Variable
1993
2007
1993
2007
1993
2007
1993 2007
1993
2007
Asset index
Asset
index_Sumatra
1104
1513
1.40
1.37
1.22
1.27
Asset
index_Java&Bali
3794
4975
1.62
1.63
0.59
0.54
Asset index_West
Nusa Tenggara
367
598
0.96
1.03
0.60
Asset
index_Kalimantan
226
351
1.42
1.46
Asset
index_Sulawesi
305
340
1.03
1.43
Expenditure per
capita in real
term (Rp/month)
-0.39 -0.57
4.82
4.69
0.27
4.56
4.06
0.65
-1.00 -1.20
2.40
2.83
0.72
0.61
-0.05
0.21
3.27
4.04
1.29
1.39
-3.82 -3.32
4.20
7.37
0.14
7136 12658 364144 623842 520414 630132 13441 27740 22500000 13600000
Human capital
Food diversity
7111 13436
0.26
5.68
0.56
1.91
0.00
0.00
5.00
8.00
Education year of
HHs' members
7111 13436
4.00
6.71
3.03
3.27
0.00
0.00
16.00
16.00
Education year of
HHs' head
7111 13430
5.46
7.81
4.47
4.68
0.00
0.00
16.00
16.00
Log value of land
6895 13118
3.08
-0.18
12.81
12.40
-9.21 -9.21
22.63
21.42
Log value of house
6777 12814
10.62
8.53
10.68
12.47
-9.21 -9.21
22.35
20.72
Log value of
building
7097 13342
-5.98
-4.79
8.46
9.66
-9.21 -9.21
22.35
21.42
Log value of hardstem plants
7062 13308
-5.77
-6.69
8.17
7.38
-9.21 -9.21
22.35
20.72
Log value of
livestock
7157 13368
-0.50
-1.88
10.92
10.47
-9.21 -9.21
22.35
20.94
Log value of
vehicles
7150 13361
-0.09
5.22
11.42
11.99
-9.21 -9.21
22.35
20.72
Productive
capital
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
13
ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA:
USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007
Wahyu Indrawan
No. of obs.
Mean
Std. Dev.
Min
Max
Variable
1993
2007
1993
2007
1993
2007
1993 2007
1993
2007
Log value of other
vehcles
7177 13436
-7.61
-7.08
5.88
6.84
-9.21 -9.21
21.83
18.42
Log value of
tractor
7185 13431
-9.12
-8.72
1.50
3.35
-9.21 -9.21
17.92
17.84
Log value of heavy
equipment
7182 13433
-8.93
-8.91
2.52
2.61
-9.21 -9.21
18.84
18.13
Log value of small
tools
7151 13408
-1.95
-2.83
9.83
9.58
-9.21 -9.21
22.35
18.32
Log value of
jewellery
7165 12990
-6.74
2.48
7.18
11.47
-9.21 -9.21
22.35
19.67
Log value of
savings
7041 12798
-4.25
-4.18
9.52
9.67
-9.21 -9.21
22.35
20.21
14.00 11.00
99.00
998.00
Household characteristics
Age of head of
household
7111 13430
45.54
46.88
14.38
35.55
Household is
female-headed
7111 13430
0.16
0.22
0.37
0.41
0.00
0.00
1.00
1.00
There is at least
one factory
(industry)
6664
8819
0.50
0.49
0.50
0.50
0.00
0.00
1.00
1.00
Market is close to
the community
6663
8819
0.42
0.41
0.49
0.49
0.00
0.00
1.00
1.00
Main roads are
paved or asphaltused
6664
8819
0.95
0.95
0.22
0.22
0.00
0.00
1.00
1.00
Electricity
avalaibility
6664
8819
1.00
1.00
0.05
0.04
0.00
0.00
1.00
1.00
Source: Author’s calculation.
14
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA:
USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007
Wahyu Indrawan
Table 4. Summary statistics of variables for 1997 and 2000
Variable
No. of obs.
1997 2000
Mean
1997
Std. Dev.
2000
1997
Min
2000
1997
Max
2000
1997
2000
Asset index
Asset
index_Sumatra
1027
1332
1.34
1.39
1.21
1.21
-1.50
-1.01
4.58
4.83
Asset
index_Java&Bali
3566
4424
1.58
1.59
0.53
0.52
0.18
0.09
3.91
3.68
Asset index_West
Nusa Tenggara
381
450
0.98
0.98
0.61
0.62
-0.61
-1.56
2.46
2.73
Asset
index_Kalimantan
259
293
1.39
1.49
0.70
0.70
0.09
0.12
3.39
3.45
Asset
index_Sulawesi
341
384
1.52
1.12
1.11
1.17
-2.01
-1.98
4.38
5.74
Expenditure per
capita in real term
(Rp/month)
7536 10229 561,559 514,408 1,658,412 709,644 24,587 14,700
63,700,000 32,500,000
Human capital
Food diversity
7502 10248
5.73
5.89
1.42
1.53
0.00
0.00
8.00
8.00
Education year of
HHs' members
7502 10248
5.10
5.86
3.13
3.28
0.00
0.00
16.00
16.00
Education year of
HHs' head
7502 10246
5.90
6.74
4.51
4.68
0.00
0.00
16.00
16.00
Log value of land
7236 10054
2.92
2.32
12.92
12.85
-9.21
-9.21
22.30
22.27
Log value of house
7058 10009
12.17
10.23
9.95
11.34
-9.21
-9.21
22.87
21.25
Log value of
building
7399 10196
-5.05
-4.45
9.50
9.94
-9.21
-9.21
27.74
21.33
Log value of hardstem plants
7442 10143
-6.41
-5.62
7.57
8.43
-9.21
-9.21
20.65
21.00
Log value of
livestock
7498 10240
0.04
-4.92
11.00
8.99
-9.21
-9.21
19.78
20.15
Log value of vehicles 7476 10223
2.91
2.53
11.88
11.90
-9.21
-9.21
20.27
21.45
Productive capital
Log value of other
vehcles
7534 10262
-7.72
-6.97
5.72
6.96
-9.21
-9.21
20.14
19.84
Log value of tractor
7539 10260
-9.09
-9.09
1.72
1.74
-9.21
-9.21
17.84
17.85
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
15
ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA:
USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007
Wahyu Indrawan
Variable
No. of obs.
1997 2000
Mean
1997
Std. Dev.
2000
1997
Min
2000
1997
Max
2000
1997
2000
Log value of heavy
equipment
7539 10260
-9.04
-8.93
2.03
2.57
-9.21
-9.21
18.35
18.13
Log value of small
tools
7481 10212
-2.84
-1.68
9.58
10.00
-9.21
-9.21
19.04
18.83
Log value of
jewellery
7272
9966
3.65
4.32
11.38
11.23
-9.21
-9.21
19.52
20.44
Log value of savings
7319
9834
-4.02
-3.15
9.74
10.27
-9.21
-9.21
20.93
20.61
48.65
47.01
30.52
37.35
12.00 11.00
998.00
998.00
0.19
0.20
0.39
0.40
0.00
0.00
1.00
1.00
Household characteristics
Age of head of
household
Household is
female-headed
7502 10246
7502 10246
Community characteristics
There is at least one
factory (industry)
6616 7652
0.49
0.49
0.50
0.50
0.00
0.00
1.00
1.00
Market is close to
the community
6616 7652
0.42
0.42
0.49
0.49
0.00
0.00
1.00
1.00
Main roads are
paved or asphaltused
6616 7652
0.95
0.95
0.21
0.21
0.00
0.00
1.00
1.00
Electricity
avalaibility
6616 7652
1.00
1.00
0.04
0.04
0.00
0.00
1.00
1.00
Source: Author’s calculation.
16
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA:
USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007
Wahyu Indrawan
Table 5. Parametric Results
Sumatra
coef
fdiverse2
Java & Bali
se
coef
se
West Nusa
Tenggara
coef
se
Kalimantan
coef
se
Sulawesi
coef
se
0.013 (0.029)
0.045 (0.035)
0.063* (0.033)
-0.007 (0.054)
0.119
(0.190)
m_edummm
-0.005 (0.020)
0.014 (0.029)
-0.002 (0.021)
0.070 (0.044)
0.027
(0.151)
eduhhhmax
-0.054 (0.043) -0.023 (0.055)
0.124** (0.057)
0.070 (0.159)
-0.291
(0.209)
ln_land
-0.005 (0.006)
0.004 (0.006)
-0.002 (0.005)
-0.006 (0.010)
0.020
(0.030)
ln_house
-0.001 (0.008) -0.015 (0.010)
-0.009 (0.009)
0.021 (0.015)
-0.092*
(0.051)
ln_bldg
0.005 (0.007) -0.009 (0.008)
-0.004 (0.005)
0.019 (0.012)
0.008
(0.036)
ln_plants
0.003 (0.004)
0.006 (0.006)
-0.004 (0.004)
-0.013** (0.006)
-0.003
(0.025)
ln_livestock
-0.004 (0.005)
0.002 (0.006)
0.013*** (0.005)
0.003 (0.009)
-0.002
(0.026)
ln_vehicle
-0.007 (0.005) -0.001 (0.006)
0.001 (0.006)
0.005 (0.009)
0.009
(0.030)
ln_othvhcle
-0.003 (0.009)
0.009 (0.010)
0.009 (0.011)
0.029* (0.017)
-0.001
(0.060)
0.043** (0.021)
0.013 (0.030)
-0.045 (0.032)
-0.121 (0.144)
-0.010
(0.050)
-0.008 (0.018) -0.004 (0.020)
-0.075*** (0.028)
0.012 (0.022)
0.058
(0.073)
0.001 (0.006)
0.008 (0.005)
-0.000 (0.009)
-0.004
(0.031)
-0.005 (0.003) -0.002 (0.005)
0.007* (0.004)
-0.005 (0.006)
0.006
(0.026)
ln_tractor
ln_heqpmnt
ln_smltol
ln_jewelry
0.001 (0.005)
ln_saving
0.001 (0.008)
0.001 (0.008)
-0.010 (0.007)
-0.016 (0.012)
0.001
(0.036)
urb_lsave
-0.021*** (0.007)
0.004 (0.008)
0.016* (0.009)
-0.005 (0.014)
-0.009
(0.042)
0.013** (0.006) -0.001 (0.007)
-0.002 (0.007)
0.003 (0.011)
0.006
(0.037)
-0.015 (0.009) -0.000 (0.010)
-0.009 (0.010)
-0.012 (0.020)
0.023
(0.064)
0.002 (0.010) -0.000 (0.014)
0.030** (0.014)
0.007 (0.023)
0.044
(0.053)
-0.058** (0.026) -0.010 (0.034)
0.029 (0.046)
-0.137 (0.213)
-0.020
(0.077)
0.018 (0.028)
-0.077* (0.045)
-0.020 (0.041)
-0.017
(0.099)
urb_lsmltol
-0.004 (0.010) -0.008 (0.012)
-0.020* (0.011)
-0.003 (0.016)
0.013
(0.045)
urb_fdiver
-0.042* (0.022) -0.007 (0.028)
0.058** (0.027)
-0.050 (0.047)
0.213
(0.161)
-0.083** (0.033) -0.187*** (0.064)
-0.028
(0.183)
-0.035
(0.036)
urb_ljwlry
urb_lothvhcle
urb_lplants
urb_ltractor
urb_lheqpmnt
0.032 (0.028)
urb_edummm
0.013 (0.026)
urb_lland
-0.008 (0.006) -0.001 (0.007)
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
0.004 (0.035)
0.011 (0.007)
-0.011 (0.012)
17
ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA:
USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007
Wahyu Indrawan
Sumatra
coef
Java & Bali
se
coef
se
West Nusa
Tenggara
coef
Kalimantan
se
coef
se
Sulawesi
coef
se
urb_lhouse
0.005 (0.007) -0.003 (0.011)
0.002 (0.010)
0.001 (0.015)
-0.058
(0.051)
urb_lbldg
0.009 (0.007) -0.005 (0.008)
0.009 (0.007)
-0.002 (0.013)
-0.052
(0.044)
-0.015* (0.008) -0.037*** (0.013)
0.000
(0.036)
urb_lvstock
0.018*** (0.006)
0.007 (0.008)
urb_lvehicle
-0.003 (0.006)
0.008 (0.008)
0.001 (0.007)
0.003 (0.012)
0.014
(0.036)
edu_lsave
0.001 (0.001) -0.000 (0.001)
0.002* (0.001)
0.002 (0.002)
0.001
(0.005)
edu_lothvhcle
0.001 (0.001)
-0.001 (0.001)
0.000
(0.001)
-0.002 (0.002)
-0.002 (0.008)
-0.007** (0.003)
-0.000 (0.004)
0.004
(0.004)
0.013 (0.015)
0.002 (0.008)
edu_lheqpmnt
-0.001 (0.002)
-0.001 (0.003)
0.009**
(0.003)
0.001 (0.005)
-0.008 (0.013)
edu_fdiver
-0.002 (0.002)
-0.005* (0.003)
0.001
(0.002)
0.011** (0.005)
0.008 (0.015)
edu_lland
0.001* (0.001)
-0.001 (0.001)
0.000
(0.001)
0.003** (0.001)
-0.004 (0.004)
0.000 (0.001)
0.003** (0.001)
0.001
(0.001)
-0.001 (0.001)
0.002** (0.001)
0.001
(0.001)
-0.002 (0.001)
-0.002 (0.004)
edu_lvstock
0.000 (0.001)
-0.000 (0.001)
-0.002**
(0.001)
0.002* (0.001)
0.000 (0.004)
edu_lvehicle
0.001 (0.001)
0.001 (0.001)
-0.001
(0.001)
0.002 (0.001)
-0.002 (0.004)
agehhh
-0.000 (0.001)
0.002 (0.002)
0.008
(0.005)
0.004 (0.008)
-0.000 (0.006)
d_sexhhh
-0.057 (0.110)
-0.175 (0.135)
0.036
(0.116)
0.051 (0.219)
0.717 (0.761)
factory
-0.157 (0.218)
-0.198 (0.287)
-0.293
(0.229)
0.631 (0.475)
-1.013 (1.382)
market
0.528* (0.309)
-0.055 (0.449)
-1.193***
(0.392)
-0.018 (0.550)
1.279 (2.116)
0.072 (0.369)
0.554 (0.693)
-1.163
(1.215)
-0.146 (0.818)
-1.381 (5.686)
D1997
-0.015 (0.147)
-0.132 (0.184)
-0.512***
(0.175)
-0.355 (0.281)
-0.888 (0.974)
D2000
0.065 (0.153)
-0.110 (0.194)
-0.441**
(0.181)
-0.135 (0.291)
-1.430 (1.053)
D2007
-0.028 (0.158)
-0.158 (0.200)
-0.317*
(0.187)
-0.373 (0.324)
-1.206 (1.096)
edu_ltractor
edu_lhouse
edu_lbldg
road
D16
-0.711** (0.340)
D18
2.626 (1.619)
D32
0.872 (2.291)
D36
1.307 (2.290)
18
-0.004** (0.002) 0.016*** (0.006)
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
ASSETS AND THE POVERTY TRAP IN INDONESIA:
USING HOUSEHOLDS PANEL DATA 1993-2007
Wahyu Indrawan
Sumatra
coef
Java & Bali
se
_cons
0.933 (0.594)
N
4,896
coef
se
0.834 (1.044)
16,545
West Nusa
Tenggara
coef
1.186
1,788
Kalimantan
se
(1.323)
coef
se
-0.220 (1.740)
1,118
Sulawesi
coef
se
4.414
1,353
note: *** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
19
Halaman ini sengaja dikosongkan
This page intentionally left blank
20
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015, Halaman 21-40
BADAN PENDIDIKAN DAN
PELATIHAN KEUANGAN
KEMENTERIAN KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT
(STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX)
Azwar
Balai Diklat Keuangan Makassar. Email: [email protected]
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
SEJARAH ARTIKEL
Diterima Pertama
9 Maret 2015
The purposes of this research were to analyze: (i) financial ratios choosen as predictor for
financial distress prediction; (ii) accuration rate of prediction model that formed from analysis.
The data used was from resume of financial report of companies at Indonesia Stock Exchange
period of 2012-2013. This research used 23 companies of JII as samples with purposive
sampling method. This research used binary logit regression analysis. The empirical result
shown that the financial ratios such as Current Ratio (CR), Operating Profit Margin (OPM),
Return Of Asset (ROA), Return On Equity (ROE) and yield (YLD) can be used for comparing and
classifying companies to distress and non-distress group. The financial ratios such as ROA and
ROE significantly can be used in predition model with accuration rate of 90,9%. That model
also can be used as early warning signal. For regulators such as BEI and Otoritas Jasa
Keuangan can use it as tool for evaluating, reviewing and controlling of companies.
Dinyatakan Dapat Dimuat
12 Juni 2015
KEYWORDS:
binary logit,
financial distress,
JII.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: (i) rasio keuangan yang terpilih sebagai
prediktor dalam memprediksi financial distress; (ii) tingkat akurasi model prediksi financial
distress yang terbentuk dari analisis. Data yang digunakan adalah data sekunder dari Bursa
Efek Indonesia (BEI) berupa Ringkasan Kinerja Perusahaan Tercatat periode 2012-2013.
Dengan teknik purposive sampling, penelitian ini menggunakan sampel 23 emiten yang
terhitung dalam saham JII. Penelitian ini menggunakan metode analisis Binary Logit
Regression. Hasil empiris menunjukkan bahwa rasio-rasio keuangan dalam laporan
keuangan perusahaan yang terdiri dari: Current Ratio (CR), Operating Profit Margin (OPM),
Return Of Asset (ROA), Return On Equity (ROE) dan nilai beta saham (YLD) dapat digunakan
untuk membedakan dan mengklasifikasikan perusahaan ke dalam kelompok yang
mengalami financial distress dan non financial distress. Rasio keuangan yang signifikan
memprediksi kemungkinan terjadinya financial distress yaitu ROA dan ROE. Rasio-rasio
tersebut digunakan dalam model prediksi financial distress berdasarkan indikator Debt to
Total Aset Ratio (DAR) (model kedua) dan terbukti layak secara statistik untuk digunakan
sebagai model dengan akurasi prediksi 90,9%. Model prediksi financial distress ini dapat
digunakan sebagai early warning signal. Bagi pihak regulator seperti BEI, Otoritas Jasa
Keuangan dan lainnya, dapat menggunakan model prediksi financial distress ini sebagai tool
dalam menjalankan fungsi evaluasi, reviu dan pengawasan terhadap emiten.
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem ekonomi dengan prinsip syariah mulai
hadir di Indonesia pada awal tahun 90-an, ketika
inisiatif Majelis Ulama Indonesia (MUI) berhasil
mendorong berdirinya bank syariah pertama di
Indonesia pada tanggal 1 Mei 1992, yaitu Bank
Muamalat. Untuk memberikan arahan dan regulasi,
berdirilah lembaga Dewan Syariah Nasional (DSN)
yang berafiliasi pada MUI, di mana fatwanya menjadi
acuan dari pelaku ekonomi syariah dalam
penerapannya. Berdirinya bank syariah tersebut
kemudian ditindaklanjuti dengan berdirinya berbagai
institusi keuangan berlandaskan prinsip syariah,
seperti asuransi syariah, multifinance syariah dan juga
tidak ketinggalan pada industri pasar modal. Dengan
dimotori oleh Bapepam-LK bekerjasama dengan PT.
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
Danareksa Investment Management, lahirlah Jakarta
Islamic Indeks (JII), yang dijadikan sebagai tolak ukur
untuk mengukur kinerja suatu investasi pada saham
dengan basis syariah. Selanjutnya pada tahun 2011,
indeks syariah berikutnya kembali diluncurkan
dengan nama Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI).
Lahir dan tumbuhnya industri keuangan syariah
adalah bagian dari upaya tujuan pembangunan
nasional
yaitu
untuk
mencapai
terciptanya
masyarakat adil dan makmur. Hal ini antaranya
ditandai dengan peran aktif pemerintah dalam
mengembangkan industri keuangan syariah yang
diharapkan menjadi langkah strategis dalam
pengembangan sistem ekonomi yang berlandaskan
pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan
kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah.
21
MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT
(STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX)
Azwar
Perkembangan indutri keuangan syariah selalu
dihadapkan pada berbagai macam risiko inherent
(melekat). Risiko yang mungkin terjadi dapat
menimbulkan kerugian bagi industri jika tidak
dideteksi dan dikelola sedini mungkin. Berbagai
eksposur risiko tersebut bisa berupa penurunan
kinerja keuangan hingga risiko kebangkrutan. Salah
satu contoh risiko yang dihadapi adalah krisis
finansial.
Krisis finansial berulang kali menerpa berbagai
negara di dunia secara bergiliran baik negara
berkembang maupun negara maju. Fenomena krisis di
Indonesia dan berdampak signifikan adalah yang
terjadi pada krisis moneter 1997-1998. Di antara
dampak yang ditimbulkan dari krisis ini adalah
dengan ditutupnya 16 bank setelah terjadi rush besarbesaran oleh nasabah bank tersebut sehingga
kehilangan likuiditasnya. Begitu pula, dengan krisis
ini, inflasi yang melonjak menjadi 77,6%,
pertumbuhan ekonomi yang merosot hingga -13,2%
(Hatta dalam Ascarya, 2008) dan juga depresiasi nilai
tukar rupiah yang mencapai angka Rp 10.000/dolar
AS menyebabkan terjadinya penurunan kinerja neraca
pembayaran, tekanan pada nilai tukar rupiah, dan
dorongan pada laju inflasi yang menyebabkan
beberapa perusahaan di Indonesia harus gulung tikar
karena mengalami kebangkrutan. Krisis kemudian
menjalar ke belahan Asia terutama negara-negara
seperti Jepang, Korea, China, Singapura, Hongkong,
Malaysia, Thailand termasuk Indonesia yang sudah
lama memiliki surat-surat berharga perusahaanperusahaan tersebut.
Sedangkan krisis berikutnya yang terjadi pada
tahun 2007-2008 dimulai dari Amerika Serikat (AS).
Berbeda dari krisis keuangan 1997 yang berdampak
lokal, krisis 2008 meluas ke hampir seluruh belahan
dunia. Bursa saham berjatuhan.
Perusahaanperusahaan keuangan
multinasional bangkrut.
Banyak perusahaan di AS yang melakukan
pengurangan pekerja. Akibat krisis keuangan di AS,
para investor portofolio di bursa saham menarik
dananya. Akibatnya, bursa saham jatuh dan kini nilai
tukar mata uang Asia ikut jatuh pula. Nilai tukar
rupiah terhadap dolar sempat mencapai level Rp.
12.650 per dolar AS pada 24 Nopember 2008. Begitu
pula dengan IHSG, pada periode yang sama mengalami
depresiasi sebesar 42% (Statistik Pasar Modal, 2008).
Dengan melihat ancaman krisis ini, perusahaan
dan industri diharapkan dapat membuat keputusan
dan melakukan tindakan agar tetap bertahan dan
tidak mengalami financial distress (kesulitan
keuangan) akibat krisis yang bisa saja mengancam.
Bagi perusahaan-perusahaan khususnya yang telah
mengalami financial distress, penting untuk dapat
melakukan analisis prediksi dan deteksi dini sebelum
mengalami kebangkrutan. Analisis ini juga menjadi
penting bagi pihak-pihak yang berkepentingan seperti
investor, otoritas pembuat peraturan, auditor dan
perusahaan kompetitor dan masyarakat secara umum.
Khusus bagi investor, hasil analisisnya akan
digunakan untuk menentukan sikap terhadap
22
sekuritas yang dimiliki pada perusahaan di mana dia
akan berinvestasi (Sartono, 2008).
Banyak kajian telah dilakukan terhadap topik ini
baik dari segi teknik pengumpulan data, teknik
analisis dan seterusnya dengan persamaan tujuan
yakni mencari solusi optimal akan kinerja estimasi
yang terbentuk. Beberapa model yang pernah dibuat
di antaranya sebagaimana disebutkan dalam Rowland
(2008) adalah: model logit (Kaiser 2001; Bernhandsen, 2001; Neophytou, Charitou dan Charambolis,
2000; Barniv, Agarwal dan Leach, 2002), model neural
networks dan model survey (Morris, 1997). Dalam hal
objek penelitian, juga terdapat beragam objek, seperti
objek kawasan (negara, regional, dan lain-lain),
klasifikasi
industri,
rentang
waktu,
kondisi
perekonomian, dan lainnya. Untuk prediksi financial
distress perusahaan di suatu negara, penelitian telah
dilakukan oleh Orlowski untuk negara Polandia, Lizal
(2002) untuk negara Czech; Hunter dan Isachenkova
(2000) untuk negara Russia. Pada literatur asset
pricing, konsep prediksi financial distress juga telah
digunakan untuk menjelaskan pola pengembalian
saham lintas industri (Chan and Chen 1991, Fama and
French 1996, Garlappi dan Hong (2007). Adapun di
Indonesia, penggunaan analisis multivariat untuk
memprediksi financial distresss juga telah banyak
dilakukan, beberapa di antaranya adalah Priambodo
(2002), Almilia (2006), Brahmana (2007), Rowland
(2008) dan Kamaluddin (2011).
Kenyataan bahwa financial distress suatu
perusahaan ditentukan oleh beragam faktor adalah
hal yang tidak dipungkiri. Proses identifikasi dan
kuantifikasi pada faktor-faktor tersebut juga bahkan
tidak selalu dapat dilakukan dan financial distress juga
bukanlah subjek yang mudah untuk dikuantifikasi,
sehingga melakukan pemodelan financial distress
selalu tergantung pada sejumlah asumsi yang dapat
dikuantifikasi. Sebagian besar studi yang dilakukan
mengenai prediksi financial distress adalah model
yang terbentuk berdasarkan analisis ekonometrik
terhadap rasio keuangan. Terdapat dua pertimbangan
mengenai hal tersebut. Pertama, laporan keuangan
yang dipublikasikan berisi banyak informasi tentang
prospek dan capaian perusahaan. Kedua, hal ini
merupakan suatu cara untuk mengendalikan efek
ukuran sistematis variabel di bawah pengujian (Lev
dan Sunder, 1979:187-188). Oleh karena itu, analisis
rasio tidak hanya disukai manakala penafsiran
perhitungan keuangan diperlukan, tetapi juga telah
memainkan fungsi penting dalam pengembangan
model prediksi kesulitan keuangan (Rowland, 2008).
Indonesia sebagai negara muslim terbesar di
dunia merupakan pasar yang sangat besar untuk
pengembangan industri keuangan syariah. Investasi
syariah di pasar modal yang merupakan bagian dari
industri keuangan syariah, mempunyai peranan yang
cukup penting untuk dapat meningkatkan pangsa
pasar industri keuangan syariah di Indonesia.
Meskipun secara umum pangsa pasar industri
keuangan syariah di Indonesia masih relatif kecil
dengan presentase 5%-7%, namun industri keuangan
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT
(STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX)
Azwar
syariah memiliki potensi yang besar sehingga perlu
terus didorong untuk bertumbuh, meningkatkan daya
saing, ketahanan, dan kemanfaatannya bagi
perekonomian nasional (OJK, 2014). Di antara jalan
atau upaya untuk menumbuh-kembangkan dan
menguatkan industri syariah ini yaitu dengan
menambah volume usaha di industri keuangan
syariah. JII dan ISSI sebagai bagian dalam industri
tersebut, dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan
kepercayaan investor untuk melakukan investasi pada
saham berbasis syariah dan memberikan manfaat bagi
pemodal dalam menjalankan syariah Islam untuk
melakukan investasi di bursa efek. Selain itu, JII dan
ISSI menjadi tolak ukur kinerja (benchmark) dalam
memilih portofolio saham yang halal.
Upaya untuk menambah volume usaha industri
keuangan syariah, khususnya melalui JII dan ISSI
menjadi penting untuk terus digalakkan. Di antara
upaya tersebut adalah melalui edukasi dan penelitian.
Edukasi untuk memberikan informasi yang memadai
kepada masyarakat akan keandalan, keunggulan dan
keuntungan berinvestasi dan berusaha di industri
keuangan syariah. Sedangkan riset dapat memberikan
rekomendasi kepada para users, stakeholders,
investor dan pemerintah terkait dengan keputusan
dan kebijakan investasi di industri keuangan syariah.
Para peneliti terdahulu telah banyak memberikan
kontribusi melalui hasil penelitian mereka. Di antara
bentuknya adalah berupa model prediksi kesulitan
keuangan (financial distress) bagi perusahaan. Model
prediksi ini menjadi sangat bermanfaat untuk
mengambil
langkah-langkah
strategis
untuk
mencegah terjadinya krisis dalam rangka penguatan
di masa yang akan datang.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulis
termotivasi untuk memberikan kontribusi bagi
perkembangan dan penguatan industri keuangan
syariah di Indonesia. Penulis mencoba mengindikasi
beberapa rasio keuangan sebagai klasifikasi awal
perusahaan ke dalam kelompok distress dan non
distress. Indikator tersebut mewakili masing-masing
proksi kinerja perusahaan pada suatu periode
tertentu. Dengan mengacu pada model yang
digunakan oleh Rowland (2008), penelitian ini
mencoba memprediksi financial distress pada emiten
syariah yang tercatat di JII, sehingga diperoleh sebuah
model prediksi yang akurat. Penulis memilih JII
karena statusnya sebagai indeks saham syariah yang
pertama di Indonesia dan memiliki jumlah yang relatif
lebih kecil (kurang lebih 30 emiten) dibandingkan
dengan indeks syariah lainnya yang terdaftar di BEI
yaitu ISSI yang memiliki 317 emiten. Penelitian ini
berbeda dari beberapa penelitian terdahulu karena
mengambil industri keuangan berbasis syariah
sebagai objek penelitian. Sementara penelitian–
penelitian terdahulu terkait model prediksi financial
distress yang menjadikan industri keuangan syariah
sebagai objek penelitian masih jarang ditemukan.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas,
masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
1. Rasio keuangan apa yang terpilih sebagai
prediktor dari hasil analisis regresi binary logit
dalam memprediksi financial distress pada tiap
indikator klasifikasi awal pada emiten JII?;
2. Bagaimana akurasi prediksi financial distress
emiten JII dari regresi binary logit tersebut?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis:
1. Rasio keuangan yang terpilih sebagai prediktor
dalam memprediksi financial distress pada
masing-masing indikator klasifikasi awal;
2. Tingkat
akurasi
prediksi
model
untuk
memprediksi financial distress yang terbentuk
dari analisis.
2
KERANGKA TEORITIS DAN
PENGEMBANGAN HIPOTES
2.1. Industri Keuangan Syariah dalam Pasar
Modal
Prinsip syariah dalam pasar modal adalah setiap
perdagangan surat berharga mentaati ketentuan
transaksi sesuai dengan aturan syariah. Prinsip
syariah dalam pasar modal tidak hanya ada dan
berkembang di Indonesia tetapi juga di negara-negara
lain. Lembaga keuangan di dunia yang pertama kali
menaruh perhatian di dalam mengoperasikan
portofolionya dengan manajemen portofolio syariah
di dalam pasar modal adalah Amanah Income Fund
yang didirikan bulan Juni 1986 oleh para anggota The
North American Islamic Trust yang bermarkas di
Indiana, Amerika Serikat. Wacana mengenai prinsip
syariah dalam pasar modal ini disambut dengan
antusias di seluruh belahan bumi ini mulai dari
kawasan Timur Tengah, Eropa dan Asia. Beberapa
negara telah proaktif dalam mengembangkan pasar
modal yang berprinsipkan syariah dan konsisten
dalam menerapkan syariah Islam dalam sendi
kehidupannya, di antaranya dengan dibentuknya
Bahrain Stock di Bahrain, Amman Financial Market di
Amman, Muscat Securities Kuwait Stock Exchange di
Kuwait dan Kuala Lumpur Stock Exchange di Malaysia.
Perkembangan prinsip syariah dalam pasar modal di
Indonesia secara tidak langsung juga dipengaruhi
pasar modal yang berpegang pada konsep syariah
yang terlebih dahulu dijalankan oleh negara-negara
lain. Prinsip syariah dalam pasar modal di Indonesia
mulai diperkenalkan pada bulan Juli tahun 2000 yang
ditandai dengan berdirinya Jakarta Islamic Index (JII).
Seiring dengan perkembangan industri keuangan
syariah di Indonesia, pada tahun 2011, Bursa Efek
Indonesia (BEI) kembali menerbitkan satu saham
syariah berikutnya yaitu Indeks Saham Syariah
Indonesia (ISSI).
Dalam penerapannya, investasi keuangan
syariah harus disertai dengan kegiatan underlying
transaction berupa sektor riil atau transaksi yang
mendasari (Auliyah dan Hamzah, 2006). Untuk itu,
23
MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT
(STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX)
Azwar
penciptaan instrumen investasi syariah dalam pasar
modal adalah dari sekuritasi aset atau proyek (assetsecuritisation) sebagai bukti penyertaan, sekuritasi
utang (debt-securitisation) atau penerbitan surat
utang yang timbul atas transaksi jual beli dan menjadi
sumber pendanaan bagi perusahaan, sekuritasi modal
(equity-securitisation) dalam bentuk emisi surat
berharga oleh perusahaan emiten yang telah terdaftar
dalam prinsip syariah dalam pasar modal dalam
bentuk saham.
Dalam pasar modal, dikenal dua macam pasar
transaksi, yaitu pasar perdana dan pasar sekunder.
Pada pasar perdana, beberapa instrumen pasar modal
yang sesuai dengan syariah yang diperdagangkan
adalah muqaradah/mudharabah funds, saham biasa
(common-stock), dan muqaradah/mudharabah bonds.
Prinsip dasar pasar perdana adalah semua efek harus
berbasis pada harta atau transaksi riil, tidak boleh
menerbitkan efek utang untuk membayar kembali
utang (bay al-dayn bi al-dayn), dana atau hasil
penjualan efek akan diterima oleh perusahaan, hasil
investasi akan diterima pemodal (shahibul maal),
tidak boleh memberikan jaminan hasil yang sematamata merupakan fungsi dari waktu (Harahap, 2001).
Sedangkan pada pasar sekunder, terdapat beberapa
tambahan dari prinsip dasar pasar perdana, yaitu
tidak boleh membeli efek berbasis tren (indeks), suatu
efek dapat diperjualbelikan namun hasil (manfaat)
yang diperoleh dari efek tersebut berupa kupon atau
dividen tidak boleh diperjualbelikan, tidak boleh
melakukan suatu transaksi murabahah dengan
menjadikan objek transaksi sebagai jaminan. Adapun
jenis instrumen pasar modal yang jelas diharamkan
syariah adalah preferred stock (saham istimewa),
forward contract dan option (Auliyah dan Hamzah,
2006).
Dalam rangka memberikan informasi yang
lengkap tentang perkembangan bursa kepada publik,
Bursa Efek Indonesia (BEI) telah menyebarkan data
pergerakan harga saham melalui media cetak dan
elektronik. Satu indikator pergerakan harga saham
tersebut adalah indeks harga saham. Beberapa indeks
yang terdapat dalam BEI saat ini adalah: (i) Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG), LQ45, IDX30,
KOMPAS100, BISNIS-27, PEFINDO25, SRI-KEHATI,
Jakarta Islamic Index (JII), Indeks Saham Syariah
Indonesia (ISSI), INFOBANK15, dan lainnya.
Khusus untuk JII, penyusunan emiten yang
termuat di dalamnya haruslah berdasarkan prinsip
yang berlandaskan syariah. Anggota dalam indeks JII
bukan emiten yang usahanya bertentangan dengan
prinsip syariah seperti perjudian, minuman keras,
serta jasa keuangan ribawi atau berbasis bunga.
Prinsip ini berdasarkan pada nilai-nilai yang terdapat
dalam ekonomi Islam. Menurut Luqman Syuhada
(2007), ekonomi Islam adalah “konsep tentang tata
cara
mendapatkan
harta/kekayaan
dan
membelanjakannya menurut hukum dan adab yang
terkandung dalam syariat Islam”. Sedangkan, Menurut
Merza Gamal (2005), Sistem ekonomi Islam adalah
sebuah sistem perekonomian sunnatullah yang
24
mendorong adanya aliran investasi (melalui zakat)
secara optimal (dengan prinsip anti riba) yang bersifat
produktif (anti judi).
Emiten
atau
perusahaan
publik
yang
menerbitkan efek syariah wajib menjamin bahwa
kegiatan usahanya memenuhi prinsip-prinsip syariah
dan memiliki Syariah Compliance Officer (SCO) yaitu
pihak atau pejabat dari suatu perusahaan atau
lembaga yang telah mendapat sertifikasi dari DSNMUI dalam pemahaman mengenai prinsipprinsip
syariah di pasar modal.
JII sendiri diluncurkan pada tanggal 3 Juli 2000.
JII dihitung mundur hingga tanggal 1 Januari 1995
sebagai hari dasar dengan nilai dasar 100. JII terdiri
dari 30 saham yang sesuai dengan Syariah Islam.
Untuk menetapkan saham-saham yang masuk dalam
perhitungan indeks JII, dilakukan dengan urutan
sebagai berikut (Auliyah dan Hamzah, 2006):
1. Memilih kumpulan saham dengan jenis usaha
utama yang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah dan sudah tercatat lebih dari 3 bulan
(kecuali termasuk dalam 10 kapitalisasi besar).
2. Memilih saham berdasarkan laporan keuangan
tahunan atau tengah tahunan terakhir yang
memiliki rasio kewajiban terhadap aktiva
maksimal sebesar 90%.
3. Memilih 60 saham dari susunan saham di atas
berdasarkan urutan rata-rata kapitalisasi pasar
(market capitalization) terbesar selama satu
tahun terahkir.
4. Memilih 30 saham dengan urutan berdasarkan
tingkat likuiditas rata-rata nilai perdagangan
reguler selama satu tahun terakhir.
Dengan kriteria penentuan tersebut di atas, JII
menjadi tolok ukur investasi saham berbasis syariah
dengan keunggulan likuiditas tinggi dan kapitalisasi
yang besar. Selain itu, saham yang masuk dalam
indeks JII juga memiliki kelebihan dibandingkan
dengan indeks saham lain khususnya dalam hal
tingkat utang yang relatif kecil, sehingga perusahaan
atau emiten yang masuk termasuk low risk.
Kepala Riset Universal Broker Indonesia, Satrio
Utomo, menilai keunggulan JII dibandingkan dengan
indeks syariah lainnya, seperti Indeks Saham Syariah
Indonesia (ISSI), adalah dari sisi likuiditas. “Likuiditas
tetap penting. Ini termasuk satu hal yang penting
dibandingkan hanya kriteria syariah. ISSI hanya
syariah. Kalau JII ini syariah dan harus likuid. Jangan
sampai investor masuk ke saham tiba-tiba
menghilang,”
kata
dia
(Sumber
:
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/07/1
6/09041160/Belanja.Saham.Halal.di.Bulan.Puasa).
Ellen May, praktisi pasar modal, mengatakan:
“Kinerja saham-saham yang tergabung dalam JII mirip
dengan kinerja indeks LQ45. “Likuiditas dan
kapitalisasinya mirip. Frekuensi transaksinya juga
besar,” tutur dia. Selama periode 30 Desember 2011
hingga 13 Juli 2012 (year-to-date), kinerja 30 saham
halal yang diwakili oleh JII sudah tumbuh 3,90 persen.
Pencapaian ini di bawah return Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) yang sebesar 5,17 persen. Namun
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT
(STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX)
Azwar
kinerja JII masih lebih baik daripada return indeks
LQ45 sebesar 2,03 persen di periode yang sama.
Emiten yang masuk JII antara lain berkode ADRO,
CPIN, JSMR dan KLBF. Total bobot keempat saham itu
terhadap JII sebesar 11,27 persen. Sedangkan
penyumbang bobot terbesar JII masih diduduki ASII
sebesar 17,66 persen, UNVR 11,87 persen dan TLKM
11,35
persen
(Sumber
:
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/
07/16/09041160/Belanja.Saham.Halal.di.Bulan.
Puasa).
2.2. Financial distress
Menurut Mamduh (2007), financial distress dapat
digambarkan dari dua titik ekstrem yaitu kesulitan
likuiditas jangka pendek dan insolvabel. Kesulitan
keuangan jangka pendek biasanya bersifat jangka
pendek, tetapi bisa berkembang menjadi parah.
Indikator kesulitan keuangan dapat dilihat dari
analisis aliran kas, analisis strategi perusahaan dan
laporan keuangan perusahaan.
Menurut Wruck dalam Sari (2005), financial
distress merupakan suatu penurunan kinerja (laba),
sedangkan Elloumi dan Gueyie dalam Sari (2005)
mengkategorikan perusahaan dengan financial
distress apabila selama dua tahun berturut-turut
mengalami laba operasi negatif. Namun, Classens
dalam Sari (2005), mendefinisikan perusahaan yang
berada dalam kesulitan keuangan yaitu perusahaan
yang memiliki interest coverage ratio (rasio laba usaha
terhadap biaya bunga) kurang dari satu. McCue dalam
Sari (2005), mendefinisikan financial distress sebagai
arus kas negatif. Menurut Sari (2005), financial
distress adalah suatu konsep luas yang terdiri dari
beberapa situasi di mana suatu perusahaan
menghadapi masalah kesulitan keuangan.
Menurut Platt dalam Luciana (2004), financial
distress merupakan tahap penurunan kondisi
keuangan
yang
terjadi
sebelum
terjadinya
kebangkrutan ataupun likuidasi. Kriteria perusahaan
yang mengalami financial distress adalah: (1)
beberapa tahun memperoleh laba bersih operasi
negatif; (2) menghentikan pembayaran dividen; dan
(3) mengalami restrukturisasi besar atau penghentian
usaha.
Menurut Rayenda (2007), financial distress
terjadi karena perusahaan tidak mampu mengelola
dan
menjaga
kestabilan
kinerja
keuangan
perusahaannya yang bermula dari kegagalan dalam
mempromosikan produk yang dibuatnya yang
menyebabkan turunnya penjualan sehingga dengan
pendapatan yang menurun dari sedikitnya penjualan
memungkinkan perusahaan mengalami kerugian
operasional dan kerugian bersih untuk tahun yang
berjalan. Lebih lanjut, dari kerugian yang terjadi akan
mengakibatkan
defisiensi
modal
dikarenakan
penurunan nilai saldo laba yang terpakai untuk
melakukan pembayaran dividen, sehingga total
ekuitas secara keseluruhan pun akan mengalami
defisiensi. Jika hal ini terus terjadi, maka tidak
mustahil bahwa suatu saat total kewajiban
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
perusahaan akan melebihi total aktiva yang
dimilikinya. Kondisi seperti yang telah disebutkan di
atas mengasosiasikan suatu perusahaan sedang
mengalami kesulitan keuangan (financial distress)
yang pada akhirnya jika perusahaan tidak mampu
keluar dari kondisi tersebut di atas, maka perusahaan
tersebut akan mengalami kepailitan.
Adapun dampak dari financial distress antara
lain: (i) resiko yang terkandung dalam biaya dari
financial distress berdampak negatif bagi perusahan
sebagai pengganti kerugian pajak seiring dengan
kenaikan hutang perusahaan; (ii) hubungan terhadap
konsumen, pemasok; (iii) karyawan dan kreditor
menjadi rusak karena mereka ragu akan eksistensi
perusahaan, manajemen akan lebih fokus pada aliran
kas jangka pendek dibandingkan kesehatan
perusahaan jangka panjang; (iv) biaya tidak langsung
yang terkandung pada financial distress akan lebih
signifikan dibandingkan biaya langsung yang nyata
seperti pembayaran untuk pengacara, dan program
untuk pemulihan kembali (Kamaluddin, 2011).
Faktor-faktor yang mempengaruhi resiko dari
financial distress antara lain: sensivitas pendapatan
perusahaan terhadap aktivitas ekonomi secara
keseluruhan, proporsi biaya tetap terhadap biaya
variabel, likuiditas dan kondisi pasar dari asset
perusahaan, dan kemampuan kas terhadap bisnis
perusahaan. Financial distress dapat ditinjau dari
komposisi neraca-jumlah aset dan kewajiban, dari
laporan laba rugi-jika perusahaan terus menerus rugi,
dan dari laporan arus kas-jika arus kas masuk lebih
kecil dari arus kas keluar (Kamaluddin, 2011).
Dalam beberapa penelitian terdahulu lainnya,
financial distress juga dapat diketahui dengan
beberapa indikator dan kriteria, seperti yang
disebutkan oleh Hofer (1980) dan Whitaker (1999)
menyatakan bahwa financial distress dapat dilihat
ketika perusahaan dalam beberapa tahun mengalami
laba bersih operasi atau net operating income negatif.
Lau (1987) dan Hill et al. (1996) yang menggunakan
adanya
pemberhentian
tenaga
kerja
atau
menghilangkan pembayaran deviden. Asquith, Gertner
dan Scharfstein (1994) menggunakan interest
coverage ratio untuk mendefinisikan financial distress.
Whitaker (1999) mengukur financial distress dengan
cara adanya arus kas yang lebih kecil dari utang
jangka panjang saat ini. John, Lang dan Netter (1992)
mendefinisikan financial distress sebagai perubahan
harga ekuitas.
Begitu juga, Steward (1998) dalam Rowland
(2008) menyebutkan bahwa Economic Value Added
dengan nilai negatif adalah indikasi adanya financial
distress. Lebih lanjut, Damodaran (2001) dalam
Rowland (2008) memberikan batasan rasio asset turn
over 40% dan current ratio 50%. Baidowi (2004)
dalam Rowland (2008) memberikan batasan financial
distress pada rasio keuangan gross profit margin 19%,
debt to total asset 66%, dan debt to equity ratio 11,7%.
Ciccone (2001) dalam Ellen (2003) juga
menyebutkan, ada dua proxy yang dapat digunakan
untuk mengukur kesulitan keuangan yaitu kerugian
25
MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT
(STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX)
Azwar
dan penurunan laba. Kerugian didefinisikan ketika
laba sebenarnya pada tahun n kurang dari 0. Atau
dapat dikatakan bahwa perusahaan mengalami net
income yang negatif. Sedangkan penurunan laba
didefinisikan sebagai pendapatan tahun n lebih kecil
dari pada pendapatan tahun n-1 atau retained earning
negatif.
2.3. Analisis Rasio-Rasio Keuangan Dalam
Laporan Keuangan
Laporan keuangan menurut Sistem Akuntansi
Keuangan (SAK) No.1 adalah bagian dari proses
pelaporan keuangan. Laporan keuangan merupakan
sarana pengkomunikasian informasi keuangan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan dalam perusahaan.
Laporan keuangan yang lengkap meliputi neraca,
laporan laba rugi, laporan perubahan posisi keuangan,
catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang
merupakan bagian dari laporan keuangan.
Menurut Indra (2010), tujuan umum laporan
keuangan adalah memberikan informasi mengenai
posisi keuangan, kinerja dan arus kas suatu entitas
yang berguna bagi sejumlah pemakai untuk membuat
dan mengevaluasi keputusan mengenai alokasi
sumber daya yang dipakai suatu enitas dalam
aktivitasnya guna mencapai tujuan.
Laporan keuangan yang diterbitkan oleh
perusahaan merupakan salah satu sumber informasi
mengenai posisi keuangan perusahaan, kinerja serta
perubahan posisi keuangan perusahaan, yang sangat
berguna untuk mendukung pengambilan keputusan
yang tepat. Agar informasi yang tersaji menjadi lebih
bermanfaat dalam pengambilan keputusan, data
keuangan harus dikonversi menjadi informasi yang
berguna dalam pengambilan keputusan ekonomis. Hal
ini ditempuh dengan cara melakukan analisis laporan
keuangan. Model yang sering digunakan dalam
melakukan analisis tersebut adalah dalam bentuk
rasio-rasio keuangan. Foster dalam Luciana (2003),
menyatakan empat hal yang mendorong analisis
laporan keuangan dilakukan dengan model rasio
keuangan yaitu :
1. Untuk mengendalikan pengaruh perbedaan
besaran antar perusahaan atau antar waktu.
2. Untuk membuat data menjadi lebih memenuhi
asumsi alat statistik yang digunakan.
3. Untuk menginvestigasi teori yang terkait dengan
dengan rasio keuangan.
4. Untuk mengkaji hubungan empiris antara rasio
keuangan dan estimasi atau prediksi variabel
tertentu (seperti kebangkrutan atau financial
distress).
Menurut Kasmir (2008), tujuan pokok analisis
keuangan adalah memprediksi kinerja perusahaan
pada periode-periode yang akan datang. Laporan ini
biasanya memberikan indikator-indikator bagaimana
kondisi perusahaan pada periode-periode berikutnya.
Menurut Kasmir (2008), hasil analisis laporan
keuangan akan memberikan informasi tentang
kekuatan dan kelemahan perusahaan. Dengan
26
mengetahui kelemahan perusahaan, manajemen akan
dapat melakukan tindakan perbaikan. Dengan adanya
kelemahan dan kekuatan yang dimiliki maka akan
tergambar kinerja perusahaan. Hasil analisis laporan
keuangan ini tercermin dalam rasio-rasio keuangan
perusahaan. Rasio-rasio keuangan yang dihasilkan
dari analisis laporan keuangan inilah yang merupakan
indikator yang digunakan untuk memprediksi
terjadinya financial distress.
Untuk
mendeteksi
kesulitan
keuangan
perusahaan dapat digunakan analisis rasio keuangan.
Rasio keuangan menurut James Van Horne dalam
Kasmir (2008), rasio merupakan indeks yang
menghubungkan dua angka akuntansi dan diperoleh
dengan membagi satu angka dengan angka lainnya.
Rasio keuangan digunakan untuk mengevaluasi
kondisi keuangan dan kinerja perusahaan. Dari hasil
rasio keuangan ini akan terlihat kesehatan suatu
perusahaan apakah perusahaan tersebut akan
mengalami kepailitan.
Menurut Brigham dan Daves (2003), tanda-tanda
potensi financial distress biasanya terbukti dalam
analisis rasio jauh sebelum perusahaan benar-benar
gagal. Hal ini diperkuat oleh Whitaker (1999), yang
menyatakan bahwa financial distress bukan hanya
masalah pada saat perusahaan default tetapi juga
dimulai ketika terjadinya peningkatan kemungkinan
atau probabilitas perusahaan mengalami default.
Dalam menganalisis serta menilai posisi
keuangan dan potensi/kemajuan perusahaan, rasiorasio keuangan biasanya dikelompokkan ke dalam
kategori-kategori berikut (Brigham dan Houston,
2006) :
1.
Rasio Likuiditas (Liquidity Ratios)
Munthe (2008) dalam Endang (2013)
menyatakan bahwa rasio likuiditas menunjukkan
kemampuan
perusahaan
untuk
memenuhi
kewajibannya dalam jangka pendek. Perusahaan
dalam keadaan likuid apabila perusahaan mampu
memenuhi kewajiban keuangannya tepat pada
waktunya. Perusahaan dikatakan dapat memenuhi
kewajiban keuangannya tepat waktu apabila
perusahaan tersebut mempunyai alat pembayaran
atau aktiva lancar yang lebih besar daripada utang
lancarnya. Semakin tinggi rasio likuiditas maka
semakin baik kondisi keuangan perusahaan karena
menunjukkan bahwa perusahaan dalam keadaan yang
likuid. Semakin tinggi rasio likuiditas, maka semakin
kecil kemungkinan perusahaan akan mengalami
financial distress, akan tetapi rasio likuiditas yang
terlalu tinggi menunjukkan bahwa modal kerja
perusahaan
tidak
produktif
mengakibatkan
munculnya biaya-biaya yang akan mengurangi laba
perusahaan dan akan berpengaruh positif terhadap
financial distress.
2.
Rasio Manajemen Aktiva (Asset Management
Ratios)
Rasio ini digunakan untuk mengukur efektifitas
perusahaan dalam mengelola aktivanya. Jumlah aktiva
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT
(STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX)
Azwar
yang terlalu banyak akan menimbulkan biaya modal
yang besar, sehingga akan menekan keuntungan.
Sebaliknya aktiva yang terlalu kecil akan
menyebabkan
hilangnya
penjualan
yang
menguntungkan. Semakin besar rasio yang didapat
maka semakin baik karena perusahaan semakin cepat
mengubah persediaannya menjadi kas sehingga
kemungkinan terjadinya kesulitan keuangan semakin
kecil.
3.
Rasio Manajemen Utang (Debt Management
Ratios)
Rasio
manajemen
utang
menunjukkan
kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban
jangka panjang. Suatu perusahaan dikatakan solvabel
apabila perusahaan tersebut mempunyai aktiva yang
cukup untuk membayar semua hutang-hutangnya.
Rasio ini dapat dihitung berdasarkan informasi
dari neraca, yaitu pos-pos aktiva dan pos-pos hutang.
Munthe (2008) dalam Endang (2013) menyatakan
bahwa perusahaan yang memiliki tingkat utang yang
lebih besar akan lebih mudah mengalami financial
distress maupun kebangkrutan jika dibandingkan
dengan perusahaan yang memiliki hutang lebih
sedikit.
4.
Rasio Profitabilitas (Profitability Ratios)
Rasio profitabilitas menunjukkan kemampuan
dari perusahaan dalam menghasilkan keuntungan.
Profitabilitas suatu perusahaan diukur dengan
kesuksesan
perusahaan
dan
kemampuan
menggunakan aktivanya secara produktif, dengan
demikian profitabilitas suatu perusahaan dapat
diketahui dengan memperbandingkan antara laba
yang diperoleh dalam suatu periode dengan jumlah
aktiva atau jumlah modal perusahaan tersebut.
Sehingga semakin tinggi kemampuan perusahaan
menghasilkan laba, maka semakin kecil kemungkinan
perusahaan akan mengalami financial distress.
5.
Rasio Nilai Pasar (Market Value Ratios)
Rasio ini diterapkan untuk perusahaan yang
telah Go Public dan mengukur kemampuan
perusahaan dalam menciptakan nilai terutama pada
pemegang saham dan calon investor. bagi para
investor/calon investor informasi rasio pasar
merupakan informasi yang paling mendasar, karena
menggambarkan prospek earning perusahaan dimasa
depan. Sehingga semakin kecil baik rasio ini, maka
semakin kecil kemungkinan perusahaan untuk
mengalami kesulitan keuangan.
6.
Rasio pasar modal antara lain :
a. Price Earning Ratio, rasio antara harga pasar
saham dengan laba per lembar saham. Jika
rasio ini lebih rendah dari pada rasio industri
sejenis, bisa merupakan indikasi bahwa
investasi pada saham perusahaan ini lebih
berisiko daripada rata-rata industri.
b. Market to Book Value, perbandingan antara
nilai pasar saham dengan nilai buku saham,
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
juga merupakan indikasi bahwa para investor
menghargai perusahaan.
2.4. Manfaat Prediksi Financial distress
Prediksi financial distress ini sangat penting bagi
berbagai pihak. Hal ini menjadi perhatian bagi
berbagai pihak karena dengan mengetahui kondisi
perusahaan yang mengalami financial distress, maka
berbagai pihak tersebut dapat mengambil keputusan
atau tindakan untuk memperbaiki keadaan ataupun
untuk menghindari masalah. Ada berbagai macam
cara atau metode yang bisa digunakan untuk
melakukan prediksi financial distress. Berbagai cara
atau metode tersebut dibahas dalam bagian
pembahasan dari artikel ini.
Berbagai pihak yang berkepentingan untuk
melakukan prediksi atas kemungkinan terjadinya
financial distress adalah (Almilia, 2006) :
a. Pemberi Pinjaman atau Kreditor. Institusi
pemberi pinjaman memprediksi financial distress
dalam memutuskan apakah akan memberikan
pinjaman dan menentukan kebijakan mengawasi
pinjaman yang telah diberikan pada perusahaan.
Selain itu juga digunakan untuk menilai
kemungkinan masalah suatu perusahaan dalam
melakukan pembayaran kembali pokok dan
bunga.
b. Investor. Model prediksi financial distress dapat
membantu investor ketika akan memutuskan
untuk berinvestasi pad a suatu perusahaan.
c. Pembuat Peraturan atau Badan Regulator. Badan
regulator mempunyai tanggung jawab mengawasi
kesanggupan membayar hutang dan menstabilkan
perusahaan individu. Hal ini menyebabkan
perlunya suatu model untuk mengetahui
kesanggupan perusahaan membayar hutang dan
menilai stabilitas perusahaan.
d. Pemerintah. Prediksi financial distress penting
bagi pemerintah dalam melakukan antitrust
regulation.
e. Auditor. Model prediksi financial distress dapat
menjadi alat yang berguna bagi auditor dalam
membuat penilaian going concern perusahaan.
Pada tahap penyelesaian audit, auditor harus
membuat penilaian tentang going concern
perusahaan. Jika ternyata perusahaan diragukan
going
concern-nya,
maka
auditor
akan
memberikan opini wajar tanpa pengeculian
dengan paragraf penjelas atau bisa juga
memberikan opini disclaimer (atau menolak
memberikan pendapat).
f. Manajemen. Apabila perusahaan mengalami
kebangkrutan,
maka
perusahaan
akan
menanggung biaya langsung (fee akuntan dan
pengacara) dan biaya tidak langsung (kerugian
penjualan atau kerugian paksaan akibat ketetapan
pengadilan). Oleh karena itu, manajemen harus
melakukan prediksi financial distress dan
mengambil tindakan yang diperlukan untuk dapat
mengatasi kesulitan keuangan yang terjadi dan
mencegah kebangkrutan pada perusahaan.
27
MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT
(STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX)
Azwar
2.5. Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu yang bertujuan
untuk membuat model prediksi financial distress
dengan menggunakan rasio keuangan sebagai
prediktornya telah banyak dilakukan oleh para ahli,
praktisi dan akademisi.
Penelitian Brahmana (2007) mencoba menguji
suatu model financial distress pada beberapa
perusahaan di Indonesia khususnya perusahaanperusahaan industri yang terdaftar di BEJ. Komponen
utama dalam menghasilkan prediksi dengan
menggunakan model ini adalah rasio-rasio keuangan
dan reputasi auditor. Variabel independen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah : a) Rasio
keuangan yang tidak disesuaikan (X1), meliputi: SETA,
RETA, TDTA, NITA, FATA, IS, dan LNASET; b) Rasio
relatif industri (X2), meliputi : RI_SETA, RI_RETA.
RI_NITA, RI_TDTA, RI_FATA, RI_IS; c) Reputasi auditor
(X3). Financial distress sebagai variabel tak bebas (Y)
perusahaan yang mengalami financial distress yang
diwakili oleh perusahaan yang di-delisting di BEJ
dengan kriteria: laba operasi negatif, laba bersih
negatif, nilai buku ekuitas negatif dan perusahaan
yang melakukan merger. Terdapat 4 formulasi umum
model dalam penelitian, yakni: model regresi logistik
berdasarkan rasio keuangan yang tidak disesuaikan
(Model I), model regresi logistik berdasarkan rasio
relatif industri (model II), model regresi logistik
berdasarkan rasio keuangan yang tidak disesuaikan
dan reputasi auditor (model III), dan model regresi
logistik berdasarkan rasio relatif industri dan reputasi
auditor (model IV). Hasil penelitiannya adalah sebagai
berikut: a) Prosentase ketepatan prediksi secara
keseluruhan dari model berdasarkan rasio keuangan
yang tidak disesuaikan (model I) sebesar 88,9% dan
prosentase ketepatan prediksi secara keseluruhan
dari model berdasarkan rasio relatif industri (model
II) sebesar 83,3%. Jadi terlihat model berdasarkan
rasio keuangan yang tidak disesuaikan lebih baik
dalam memprediksi probabilitas kondisi listed dan
delisted suatu perusahaan; b) Prosentase ketepatan
prediksi secara keseluruhan dari model berdasarkan
rasio keuangan yang tidak disesuaikan dan reputasi
auditor (model III) sebesar 88,9% dan prosentase
ketepatan prediksi secara keseluruhan dari model
berdasarkan rasio relatif industri dan reputasi auditor
(model IV) sebesar 84,4%. Jadi terlihat model
berdasarkan rasio keuangan yang tidak disesuaikan
lebih baik dalam memprediksi probabilitas kondisi
listed dan delisted suatu perusahaan; c) Untuk tingkat
signifikansi 95 %, didapat variabel yang signifikan
dari tiap-tiap model adalah sebagai berikut: i) Tidak
ada rasio keuangan yang signifikan pada model I; ii)
Variabel RI_TDTA signifikan dalam model II; iii)
Variabel LNAset signifikan dalam model III; iv)
Variabel RI_TDTA signifikan dalam model IV.
Almilia (2006) memprediksi kondisi financial
distress perusahaan Go-Public dengan menggunakan
analisis multinomial logit. Penelitian ini berusaha
untuk menguji daya klasifikasi rasio keuangan baik
yang berasal dari laporan laba rugi, neraca ataupun
28
laporan arus kas untuk memprediksi kondisi financial
distress
perusahaan
dengan
teknik
analisis
multinomial logit. Kelompok perusahaan yang
mengalami financial distress dikelompokkan menjadi
2 kelompok yaitu; 1) perusahaan yang mengalami laba
bersih negatif selama dua tahun berturut-turut; dan 2)
perusahaan yang mengalami laba bersih dan nilai
buku ekuitas negatif selama dua tahun berturut-turut.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa; a) pada
model pertama yaitu model yang memasukkan rasio
keuangan yang berasal dari laporan laba rugi dan
neraca menunjukkan bahwa rasio TLTA dapat
digunakan untuk memprediksi kondisi financial
distress perusahaan. Daya klasifikasi total model ini
adalah sebesar 79.0%; b) pada model kedua yaitu
model yang memasukkan rasio keuangan yang berasal
dari laporan arus kas menunjukkan bahwa rasio
CFFOTA dan CFFOCL dapat digunakan untuk
memprediksi kondisi financial distress perusahaan.
Daya klasifikasi total model ini adalah sebesar 58%; c)
pada model ketiga yaitu model yang memasukkan
rasio keuangan yang berasal dari laporan laba rugi,
neraca dan laporan arus kas menunjukkan bahwa
rasio CATA, TLTA, NFATA, CFFOCL, CFFOTS dan
CFFOTL dapat digunakan untuk memprediksi kondisi
financial distress perusahaan. Akurasi klasifikasi
model ini adalah sebesar 79,6%.
Mous (2005) melakukan komparasi antara
analisis diskriminan multivariate dan decision tree
dengan menggunakan rasio keuangan untuk
memprediksi kesulitan keuangan perusahaan. Sampel
yang digunakan adalah 96 perusahaan dengan
karakteristik operasional non-cyclical consumer
market. Hasil penelitiannya menunjukkan untuk
analisis diskriminan dari 28 rasio keuangan yang
digunakan diperoleh 3 rasio yang membentuk
estimasi fungsi diskriminan yaitu total liabilities to
total asset, cash to sales, dan retained earning to total
asset dengan tingkat akurasi model diskriminan
sebesar 82,5 persen dan akurasi model yang
dihasilkan decision tree sebesar 100 persen.
Penelitian Priambodo (2002) melakukan
klasifikasi kinerja perusahaan dengan menggunakan
analisis
diskriminan
yang
bertujuan
untuk
mengetahui variabel-variabel bebas (rasio keuangan)
yang sangat penting hingga dapat menentukan suatu
perusahaan akan menciptakan nilai (created value)
atau menghancurkan nilai (destroyed value). Analisis
diskriminan dilakukan dengan mengelompokkan
kasus yang ada menjadi 2 grup (variabel terikat) yaitu
grup 1 untuk EVA negatif dan grup 0 untuk EVA
positif. Sampel yang diambil untuk melakukan analisa
sebanyak 45 kasus, untuk grup 1 sebanyak 22 kasus
sedangkan untuk grup 0 sebanyak 23 kasus. Setelah
dilakukan analisa diskriminan terhadap data variabel
bebas (rasio keuangan) maka diketahui bahwa model
diskriminan yang dihasilkan mengalami peningkatan
ketepatan akurasi dalam memprediksi dari 77,8%
pada tahun 1997 dan 80,0% pada tahun 1998. Untuk
2 tahun sebelumnya (1997) dihasilkan 2 variabel
predictor yaitu total asset turnover dan gross profit
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT
(STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX)
Azwar
margin. Sedangkan untuk 1 tahun sebelumnya (1998)
dihasilkan 1 variabel predictor yaitu total asset
turnover.
Platt dan Platt (2002) melakukan penelitian
terhadap 24 perusahaan yang mengalami financial
distress dan 62 perusahaan yang tidak mengalami
financial distress, dengan menggunakan model logit
mereka berusaha untuk menentukan rasio keuangan
yang paling dominan untuk memprediksi adanya
financial distress. Temuan dari penelitian ini adalah :
a) variabel EBITDA/sales, current assets/current
liabilities dan cash flow growth rate memiliki
hubungan negatif terhadap kemungkinan perusahaan
akan mengalami financial distress. Semakin besar rasio
ini maka semakin kecil kemungkinan perusahaan
mengalami financial distress; b) variabel net fixed
assets/total assets, long term debt/equity dan notes
payable/total assets memiliki hubungan positif
terhadap kemungkinan perusahaan akan mengalami
financial distress. Semakin besar rasio ini maka
semakin besar kemungkinan perusahaan mengalami
financial distress.
Rowland (2008) berusaha untuk menguji daya
klasifikasi rasio keuangan baik yang berasal dari
laporan laba rugi, neraca ataupun laporan arus kas
untuk memprediksi kondisi financial distress
perusahaan dengan teknik analisis binary logit.
Penetapan financial distress dilakukan dengan 6
indikator yaitu: 1) Perusahaan yang memiliki nilai
EVA negatif; 2) Perusahaan yang rasio asset turn overnya sebesar 40%; 3) Perusahaan yang rasio current
rasio-nya sebesar 50%; 4) Perusahaan yang rasio
gross profit margin-nya sebesar 19%; 5) Perusahaan
yang rasio debt to total asset-nya sebesar 66%; 6)
Perusahaan yang rasio debt to equity ratio-nya sebesar
11,7%. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa:
1) Model ketiga (indikator current ratio) dan keempat
(indikator asset turn over) memiliki tingkat daya
klasifikasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan 4
model lainnya yaitu sebesar 98,08% dan 91,67%; 2)
Aspek kinerja likuiditas dan solvabilitas perusahaan
berpengaruh signifikan dalam memprediksi financial
distress.
Kamaludin dan Karina Ayu Pribadi (2011)
melakukan penelitian terhadap 80 perusahaan
manufuktur di Bursa Efek Jakarta. Rasio-rasio
keuangan berupa: Current Ratio, Leverage Ratio, Gross
Profit Margin, Inventory Turnover, dan Return On
Equity; terbukti memiliki perbedaan di antara
perusahaan manufaktur yang mengalami financial
distress, perusahaan manufaktur yang berada pada
gray area (kesulitan keuangan tinggi tetapi tidak
mengalami financial distress), dan perusahaan
manufaktur yang tidak mengalami financial distress.
Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan yang tidak
mengalami masalah financial distress memiliki rasio
CR, GPM, dan ITO tinggi, sedangkan pada kelompok
perusahaan yang mengalami financial distress
memiliki rasio ROE dan LEV yang tinggi, dan pada
kelompok perusahaan grey area hanya sedikit
mengalami masalah keuangan. Rasio keuangan
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
berupa; Current Ratio, Leverage Ratio, Gross Profit
Margin, Inventory Turn Over dan Return On Equity
dapat digunakan untuk memprediksi kondisi financial
distress suatu perusahaan, sehingga dengan hasil yang
ada perusahaan dapat menghindari gejala-gejala
timbulnya kepailitan, dan perusahaan dapat
mengetahui dengan baik bahwa gejala-gejala
perusahaan yang akan pailit dapat dideteksi pada
rasio-rasio keuangan yang terdapat dalam laporan
keuangan perusahaan berdasarkan rasio-rasio dalam
model Altman.
2.6. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka teoritis dan beberapa
penelitian terdahulu di atas, hipotesis penelitian yang
akan dibuktikan dalam penelitian ini adalah :
H1
:
H2
:
H3
:
3
Diduga
bahwa
rasio-rasio
keuangan
perusahaan memiliki kemampuan untuk
membedakan perusahaan yang dianggap
distress dan non-distress secara statistik;
Diduga bahwa model prediksi financial
distress yang dihasilkan melalui penggunaan
rasio keuangan dalam analisis regresi binary
logit memiliki akurasi yang tinggi;
Diduga
bahwa
rasio-rasio
keuangan
perusahaan secara signifikan mampu
memprediksi
kemungkinan
terjadinya
financial distress pada perusahaan secara
statistik.
METODE RISET
3.1. Data, Populasi, dan Sampel
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data sekunder yang diperoleh dari Indonesia
Stock Exchange Bursa Efek Indonesia (BEI) berupa
Ringkasan Kinerja Perusahaan Tercatat periode 20122013 yang memuat laporan keuangan seluruh
perusahaan atau emiten yang terhitung dalam saham
BEI termasuk emiten untuk JII.
Populasi yang akan diamati dalam penelitian ini
adalah seluruh perusahaan yang terdaftar di BEI
selama tahun pengamatan. Sedangkan pemilihan
sampel dari populasi dilakukan dengan teknik
purposive sampling, yaitu pemilihan sampel yang
didasarkan pada kriteria tertentu. Kriteria yang
digunakan adalah sebagai berikut :
1.
Tercatat sebagai emiten atau perusahaan yang
memiliki saham yang masuk dalam perhitungan
indeks JII dan telah melaporkan laporan
keuangan yang memuat rasio-rasio keuangan
dan nilai presentase saham (yield) dari tahun
2012 sampai 2013 secara lengkap;
2.
Perusahaan tidak melakukan merger, akuisisi
dan perubahan usaha lainnya;
Berdasarkan pada kriteria pemilihan sampel di
atas, maka perusahaan yang memenuhi kriteria dan
dijadikan sampel dalam penelitian ini berjumlah 23
emiten atau perusahaan. Data laporan keuangan
perusahaan tahun 2013 digunakan sebagai pedoman
penentuan apakah suatu perusahaan mengalami
29
MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT
(STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX)
Azwar
financial distress atau tidak. Sedangkan data laporan
keuangan perusahaan berupa rasio-rasio keuangan
tahun 2012 sebagai data yang akan diolah sebagai
data-data variabel independen dalam model.
3.2. Variabel Penelitian
Penelitian ini menggunakan variabel terikat
(dependen) dan variabel bebas (independen).
Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian
ini adalah kondisi financial distress perusahaan yang
merupakan variabel dengan skala data kategorikal
(non metrik), yaitu dengan pembagian kategori:
2=perusahaan sehat (non-distress); 1 = perusahaan
yang mengalami financial distress. Nilai kategori
penentuan perusahaan sehat (non-distress) dan yang
mengalami financial distress ditentukan berdasarkan
indikator kategori atau klasifikasi krisis yang
disebutkan oleh Damodaran (2001) dan Baidowi
(2004).
Sedangkan variabel independen yang digunakan
adalah rasio-rasio keuangan dari laporan keuangan
perusahaan meliputi: current ratio (CR), operating
profit margin (OPM), return of asset (ROA), return on
equity (ROE) dan nilai beta saham (YLD). Kelima rasio
ini digunakan dikarenakan dalam penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Almilia (2006),
Rowland (2008), Kamaluddin (2011) dan Endang
(2012) memberikan bukti bahwa rasio-rasio ini dapat
digunakan untuk memprediksi kondisi financial
distress suatu perusahaan.
3.3. Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Regresi Logistik Biner (Binary Logit
Regression). Sebagaimana dalam regresi linear,
model umum dari regresi logistik ganda (logit) adalah
model regresi ganda yaitu model yang melibatkan
lebih dari satu prediktor/variabel independen. Model
logit secara sederhana didefinisikan sebagai model
regresi non-linear yang menghasilkan persamaan di
mana variabel dependen bersifat kategorikal. Kategori
paling
mendasar
dari
model
tersebut
menghasilkan binary values seperti angka 0 dan 1.
Angka ini mewakilkan suatu kategori tertentu yang
dihasilkan dari penghitungan probabilitas terjadinya
kategori tersebut (Widarjono, 2005).
Gujarati (1995) menyebutkan bahwa model logit
seringkali digunakan dalam data klasifikasi.
Pendekatan model logit digunakan karena dapat
menjelaskan hubungan antara x dan p (x) yang
bersifat tidak linear, ketidaknormalan sebaran dari Y,
dan keragaman respon tidak konstan yang tidak dapat
dijelaskan oleh model linear biasa.
Berdasarkan kategori dan penjelasan di atas,
penelitian ini menggunakan metode Regresi Logistik
Biner (Binary Logit Regression) karena penelitian ini
menganalisis beberapa variabel independen sebagai
prediktor dengan skala data yang berbentuk nominal
dan variabel dependen yang berbentuk kategorikal.
Analisis awal dilakukan untuk menguji hipotesis
1 (H1) penelitian dengan teknik Uji Kruskal-Wallis
30
sebagai uji non parametrik dengan tujuan untuk
menguji apakah terdapat perbedaan rasio keuangan
baik yang berasal dari neraca, laporan laba rugi
laporan arus kas dan beta saham antara kedua
kelompok perusahaan (distress dan non-distress).
Variabel rasio keuangan yang secara statis signifikan
berbeda antara kelompok 1 dan 2, akan dimasukkan
dalam model untuk memprediksi kondisi financial
distress.
Tingkat signifikansi (level of significant) yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar 90%
(α = 0,1), karena dinilai relatif kuat dalam menguji
hubungan variabel-variabel yang diuji atau
menunjukkan bahwa korelasi antar variabel cukup
nyata. Tingkat signifikansi 0,1 artinya kemungkinan
besar dari hasil penarikan kesimpulan mempunyai
probabilitas sebesar 90% atau toleransi kesalahan
sebesar 10%.
Dalam melakukan pengujian hipotesis pertama
(H1) penelitian ini, akan dibandingkan nilai P-value ini
dengan tingkat signifikansi pengujian (α =0,1), dengan
kriteria sebagai berikut :
1.
2.
Tolak H0 jika Chi-square > nilai Chi-square tabel
pada α=0,1, yang berarti rasio keuangan berupa;
rasio
likuiditas,
solvabilitas,
efisiensi,
profitabilitas, arus kas dan nilai beta memiliki
perbedaan antara kedua kelompok perusahaan
(distress dan non-distress). Atau dengan kata lain,
rasio keuangan dapat menjadi pembeda antara
perusahaan yang mengalami financial distress dan
non-distress, sehingga dapat dimasukkan dalam
model prediksi financial distres;
Terima H0 jika Chi-square < nilai Chi-square tabel
pada α=0,1, yang berarti rasio keuangan berupa;
rasio
likuiditas,
solvabilitas,
efisiensi,
profitabilitas, arus kas dan nilai beta tidak
memiliki perbedaan antara kedua kelompok
perusahaan (distress dan non-distress). Atau
dengan kata lain, rasio keuangan tidak dapat
menjadi pembeda antara perusahaan yang
mengalami financial distress dan non-distress,
sehingga tidak dapat dimasukkan dalam model
prediksi financial distres;
Jika terdapat minimal satu dari rasio keuangan
yang menolak H0 maka hipotesis pertama penelitian
dapat diterima. Sebaliknya, jika rasio-rasio keuangan
yang digunakan dalam model seluruhnya menerima
H0 maka hipotesis pertama ditolak.
Selanjutnya, pengujian hipotesis kedua (H2) dan
hipotesis ketiga (H3) penelitian dengan menggunakan
analisis binary logit adalah menguji daya klasifikasi
dan signifikansi dari rasio keuangan. Model umum
(Hosmer, dan Lemeshow,1989) yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu:
Logit (FDij) = βi Xj
atau
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT
(STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX)
Azwar
FD
1 – FD
Ln
=
β0 + β1CR + β2OPM + β3ROA
+ β4ROE + β5YLD
Ln
atau
FD
FDATO
1
=
FDATO
1 – FDATO
=
β0 + β1CR + β2OPM +
β3ROA + β4ROE + β5YLD
1
=
1 + eβ0 +β1CR + β2OPM + β3ROA + β4ROE + β5YLD
1 + eβ0 +β1CR + β2OPM + β3ROA + β4ROE + β5YLD
di mana :
Ln
= Log Natural
Prob. (FD / rasio
keuangan)
= odds =
1 – Prob. (FD / rasio
1 – FD
keuangan)
FD
= Financial distress
CR
= Current Ratio
OPM
= Operating Profit Margin
ROA
= Return Of Asset
ROE
= Return On Equity
YLD
= nilai beta saham
β1, β2, β3, β4, β5 = nilai koefisien dari setiap variabel
bebas (rasio-rasio keuangan)
FD
Sehingga Ln (FD/1- FD) akan dibaca sebagai log
of odds yang merupakan fungsi linier dari variabel
bebas
(rasio-rasio
keuangan)
dan
dapat
diinterpretasikan seperti pada analisis regresi biasa.
Model umum di atas, kemudian diturunkan ke
dalam 3 (tiga) model financial distress sesuai dengan
dengan kategori dan kriteria rasio indikator pada
Tabel 1.
Tabel 1. Kategori dan Kriteria Indikator Distress
Model
1
2
3
Indikator
Asset Turn
Over (ATO)
Debt to Total
Aset Ratio
(DAR)
Gross Profit
Margin (GPM)
Distress
< 40%
> 66 %
Sumber
Damodaran
(2001)
Baidowi
(2004)
< 19 %
Sumber : Rowland (2008)
Model Pertama :
Perusahaan dikategorikan mengalami financial
distress ketika memiliki rasio Asset Turn Over (ATO)
kurang dari 40% (Damodaran, 2001). Rasio ATO
merupakan rasio yang mengukur tingkat efisiensi dan
efektivitas dari perputaran maupun pemanfaatan total
aktiva dalam menghasilkan laba atau penjualan. Rasio
ini menunjukkan banyaknya laba atau penjualan yang
dapat diperoleh perusahaan untuk tiap rupiah yang
telah ditanamkan pada aktiva perusahaan. Semakin
tinggi rasio ini semakin baik bagi perusahaan. Rasio
perputaran aktiva yang rendah menunjukkan bahwa
perusahaan memanfaatkan aset nya secara tidak
efisien dan optimal (Syamsuddin, 2006).
Model pertama yang digunakan dapat
dirumuskan sebagai berikut :
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
Model Kedua :
Perusahaan dikategorikan mengalami financial
distress ketika memiliki rasio Debt to Total Aset Ratio
(DAR) lebih dari 66% (Baidowi, 2004). Rasio DAR
adalah salah satu rasio yang digunakan untuk
mengukur tingkat solvabilitas perusahaan. Tingkat
solvabilitas
perusahaan
adalah
kemampuan
perusahaan untuk membayar kewajiban jangka
panjang perusahaan tersebut. Suatu perusahaan
dikatakan solvabel berarti perusahaan tersebut
memiliki aktiva dan kekayaan yang cukup untuk
membayar hutang-hutangnya. Nilai rasio yang tinggi
menunjukkan peningkatan dari resiko pada kreditor
berupa ketidakmampuan perusahaan membayar
semua kewajibannya (Syamsuddin, 2006).
Model kedua yang digunakan dapat dirumuskan
sebagai berikut :
Ln
FDDAR
FDDAR
1 – FDDAR
=
β0 + β1CR + β2OPM +
β3ROA + β4ROE +
β5YLD
1
=
1 + eβ0 +β1CR + β2OPM + β3ROA + β4ROE + β5YLD
Model Ketiga :
Perusahaan dikategorikan mengalami financial
distress ketika memiliki rasio Gross Profit Margin
(GPM) kurang dari 19% (Baidowi, 2004). Rasio GPM
mencerminkan atau menggambarkan laba kotor yang
dapat dicapai setiap rupiah penjualan, atau bila ratio
ini dikurangkan terhadap angka 100% maka akan
menunjukan jumlah yang tersisa untuk menutup biaya
operasi dan laba bersih (Munawir, 2001). Semakin
besar GPM, maka kinerja perusahaan akan semakin
produktif, sehingga akan meningkatkan kepercayaan
investor untuk menanamkan modalnya pada
perusahaan tersebut.
Model ketiga yang digunakan dapat dirumuskan
sebagai berikut :
Ln
FDGPM
FDGPM
1 – FDGPM
=
=
β0 + β1CR + β2OPM +
β3ROA + β4ROE +
β5YLD
1
1 + eβ0 +β1CR + β2OPM + β3ROA + β4ROE + β5YLD
Ketiga model tersebut dipilih karena modelmodel tersebut secara empiris telah terbukti sebagai
model yang memiliki tingkat daya akurasi dan
klasifikasi yang cukup tinggi (> 80%) dibandingkan
dengan model lainnya dalam mempredikasi financial
distress (Rowland, 2008).
31
MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT
(STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX)
Azwar
Sebelum melakukan pengujian hipotesis 2 (H2)
penelitian kedua terlebih dahulu akan dilakukan uji
kelayakan dari model binary logit regression yang
digunakan. Uji yang dilakukan adalah:
1.
Uji Kelayakan Model (Goodness of Fit Test).
Menurut Ghozali (2001), goodness of fit test
dapat dilakukan dengan memperhatikan output dari
Hosmer and Lemeshow’s Goodness of fit test, dengan
hipotesis: H0 = model yang dihipotesiskan fit dengan
data dan H1 = model yang dihipotesiskan tidak fit
dengan data. Jika nilai statistik Hosmer and Lemeshow
(Chi-square) < α (0,1) maka H0 ditolak yang berarti
terdapat perbedaan signifikan antara model dengan
nilai observasinya sehingga goodness fit model tidak
baik karena model tidak dapat memprediksi nilai
observasinya. Jika nilai statistik Hosmer and Lemeshow
(Chi-square) > α (0,1) maka H0 tidak dapat ditolak dan
berarti
model
mampu
memprediksi
nilai
observasinya.
2.
Uji Kelayakan Keseluruhan Model (Overall Fit
Model Test)
Dalam menilai overall fit model, dapat dilakukan
dengan cara uji Chi Square (χ2). Tes statistik chi square
(χ2) digunakan berdasarkan pada fungsi likelihood
pada estimasi model regresi. Likelihood (L) dari model
adalah probabilitas bahwa model yang dihipotesiskan
menggambarkan data input. L ditransformasikan
menjadi -2logL untuk menguji hipotesis nol dan
alternatif. Penggunaan nilai χ2 untuk keseluruhan
model
terhadap
data
dilakukan
dengan
membandingkan nilai -2 log likelihood awal (hasil
block number 0) dengan nilai -2 log likelihood hasil
block number 1. Dengan kata lain, nilai chi square
didapat dari nilai -2logL1–2logL0. Apabila terjadi
penurunan, maka model tersebut menunjukkan model
regresi yang baik (Ghozali, 2001).
Setelah melalui beberapa tahapan pengujian
kelayakan model tersebut, maka untuk membuktikan
hipotesis kedua penelitian, dilakukan uji tabulasi
silang (classification table). Uji ini dilakukan untuk
melihat power of regressions to predict (daya ramal
model prediksi) peluang emiten mengalami financial
distress atau tidak. Tabulasi silang sebagai konfirmasi
tidak adanya perbedaan yang signifikan antara
prediksi model regresi logistik dengan data observasi,
sehingga dapat dilihat seberapa besar tingkat
klasifikasi atau akurasi model prediksi financial
distress yang dihasilkan melalui penggunaan rasiorasio keuangan.
Daya klasfikasi model prediksi akan dinilai
dengan nilai cut-off dengan angka skor antara 0 (nol)
dan 1 (satu) yang diinterpretasikan sebagai angka
probabilitas. Dengan cut-off-point tertentu model
prediksi tersebut akan menghasilkan 3 kategori
estimasi, yaitu: estimasi yang tepat, estimasi
kesalahan Tipe I dan estimasi kesalahan Tipe II
(Wimboh, 1996). Sebuah cut-off-point merupakan
suatu nilai untuk menentukan apakah sebuah
perusahaan/emiten mengalami financial distress atau
32
tidak. Sebagaimana dinyatakan Wimboh, pendekatan
ini telah banyak digunakan oleh peneliti sebelumnya
dalam
mengestimasi
peluang
kegagalan
bank/perusahaan. Sebagai gambaran, dengan cut-offpoint 0,4 misalnya, maka model prediksi akan
mengidentifikasi perusahaan dengan probabilitas
lebih dari 0,4 sebagai perusahaan yang mengalami
financial distress. Sebaliknya, perusahaan dengan
probabilitas kurang dari 0,4 diestimasikan sebagai
perusahaan yang tidak mengalami financial distress.
Model prediksi akan menghasilkan estimasi yang
tepat manakala perusahaan yang mengalami financial
distress diestimasikan tepat sebagai perusahaan yang
mengalami financial distress. Atau dengan kata lain,
nilai persentase kebenaran klasifikasi untuk
perusahaan financial distress lebih dari 40%.
Kesalahan Tipe I dapat terjadi manakala model
prediksi mengestimasi perusahaan non-financial
distress sebagai financial distress, atau model
menghasilkan probabilitas non-financial distress lebih
dari 0,4. Kesalahan Tipe II dapat terjadi ketika model
prediksi menghasilkan probabilitas perusahaan yang
mengalami financial distress kurang dari 0,4. Semakin
rendah cut-off-point yang digunakan maka semakin
banyak perusahaan yang diprediksi sebagai
perusahaan financial distress dan hanya beberapa
bank saja yang diprediksi sebagai perusahaan nonfinancial distress. Dengan demikian, pemilihan cut-offpoint memainkan peran penting dalam perhitungan
tingkat kesalahan. Karenanya penentuan cut-off-point
yang fair sangat diperlukan.
Menurut Wimboh (1996), dalam contoh kasus
prediksi kepailitan sebuah bank, proporsi sampel
bank pailit dan tidak pailit diyakini merupakan
kriteria terbaik untuk menentukan cut-off-point
tersebut. Jika sampel bank pailit sebesar 50%
misalnya, dan sampel bank tidak pailit sebesar 50%
maka dipilih cut-off-point sebesar 0,5. Dan bila sampel
bank pailit sebanyak 60% sedangkan bank tidak pailit
sebesar 40% maka cut-off-point yang fair adalah 0,4.
Pemilihan cut-off-point dalam penelitian ini
menggunakan proporsi bank pailit dan tidak pailit
sebagaimana dinyatakan oleh Wimboh (1996)
tersebut.
Selanjutnya, dalam rangka pembuktian hipotesis
ketiga (H3) penelitian, pengujian juga akan dilakukan
untuk
melihat
tingkat
signifikansi
variabel
independen
(rasio-rasio
keuangan)
dalam
mempengaruhi (memprediksi) variabel terikat
(financial distress) dengan uji koefisien regresi.
Menurut Ghozali (2001) uji ini pada dasarnya
menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel
independen secara individual dalam menerangkan
variabel dependen. Pengujian dilakukan dengan
menggunakan
signifikan
level
0,1
(α=1%).
Penerimaan atau penolakan hipotesis dilakukan
dengan kriteria:
a.
Jika nilai signifikan (Sig.) > 0,1 maka hipotesis
ditolak atau koefisien regresi tidak signifikan. Ini
berarti secara parsial variabel independen tidak
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT
(STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX)
Azwar
b.
mempunyai pengaruh secara signifikan terhadap
variabel dependen.
Jika nilai signifikan (Sig.) ≤ 0,1 maka hipotesis
diterima atau koefisien regresi signifikan. Ini
berarti secara parsial variabel independen
tersebut mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap variabel dependen.
Dalam penelitian ini tidak seluruh rasio-rasio
keuangan dimasukkan dalam model prediksi, tetapi
variabel rasio-rasio keuangan dipilih berdasarkan
tingkat signifikansinya. Jadi dalam penelitian ini
berusaha mencari rasio-rasio keuangan mana yang
paling signifikan dalam menentukan apakah suatu
perusahaan akan mengalami financial distress atau
tidak.
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Statistik Deskriptif
Hasil pengujian analisis deskriptif data variabel
rasio-rasio keuangan yang digunakan sebagaimana
pada Tabel 2 berikut :
Tabel 2. Hasil Analisis Deskriptif
CR
OPM
ROA
ROE
YLD
N
23
23
23
23
23
Descriptive Statistics
Min.
Max.
Mean
Std. Deviation
14.60 602.76 256.4235
164.39792
2.88
51.26 23.4430
12.56401
2.89
40.38 15.9822
8.64174
3.92 121.94 25.6913
22.65437
1.00
16.17
3.6174
3.09410
Sumber : data diolah
Pada Tabel 2, untuk variabel rasio CR nilai ratarata = 256.42, dengan nilai minimal 14.60, nilai
maksimal 602.76, dan standar deviasi
164.39,
menunjukkan bahwa rata-rata perusahaan yang
tercatat sebagai emiten indeks JII memiliki rasio CR
yang relatif tinggi yaitu lebih dari 256%. Untuk
variabel rasio OPM, nilai rata-rata = 23.44, nilai
minimal = 2.88, nilai maksimal = 51.26 dan standar
deviasi = 12.56. Hal ini berarti bahwa terdapat
23.44% persentase dari profit yang diperoleh oleh
rata-rata perusahaan dari tiap penjualan sebelum
dikurangi dengan biaya bunga dan pajak. Untuk
variabel rasio ROA, nilai rata-rata = 15.98, nilai
minimal = 2.89, nilai maksimal = 40.38 dan standar
deviasi = 8.64. Jika mengacu ke kriteria yang
disebutkan oleh Lestari dan Sugiharto (2007) di mana
angka ROA dapat dikatakan baik apabila > 2%, maka
seluruh emiten yang dijadikan sampel termasuk
dalam kategori baik dalam hal efisiensi penggunanan
aktiva dalam kegiatan operasi untuk menghasilkan
keuntungan. Variabel rasio ROE dan YLD, masingmasing memiliki nilai rata-rata = 25.69 dan 3.61, nilai
minimum = 3.92 dan 1.00, nilai maksimal = 121.94
dan 16.17, dan standar deviasi = 22.65 dan 3.09.
Dengan data ini, dapat dikatakan bahwa nilai
kepemilikan saham tertinggi pada indeks JII sebesar
16.17%.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
4.2 Hasil Pengujian Hipotesis Pertama
Hasil pengujian hipotesis pertama penelitian
menggunakan uji Kruskal-Wallis sebagaimana pada
Tabel 3 berikut :
Tabel 3. Hasil Uji Kruskal-Wallis
Model Pertama :
CR
OPM
Chi,322
1,289
square
Model Kedua :
CR
OPM
Chi3,186
2,367
square
Model Ketiga :
CR
OPM
Chi,033
6,533
square
Sumber : data diolah
ROA
ROE
YLD
5,533 2,901
5,533
ROA
ROE
YLD
2,970
,307
2,761
ROA
ROE
YLD
7,500 5,633
,075
Pada
model
pertama,
hasil
pengujian
menunjukkan bahwa terdapat beberapa rasio
keuangan yang memliki nilai Chi-square Kruskal Wallis
Test lebih besar dari Chi-square tabel pada dk = k –
1=2 – 1 =1 yaitu 2,71, sehingga dapat dinyatakan
bahwa rasio keuangan dapat digunakan sebagai
pembeda antara perusahaan yang mengalami financial
distress dan non-distress berdasarkan indikator Asset
Turn Over (ATO).
Pada model kedua, hasil pengujian menunjukkan
bahwa terdapat beberapa rasio keuangan yang
memliki nilai Chi-square Kruskal Wallis Test lebih
besar dari Chi-square tabel pada dk = k – 1=2 – 1 =1
yaitu 2,71, sehingga dapat dinyatakan bahwa rasio
keuangan dapat digunakan sebagai pembeda antara
perusahaan yang mengalami financial distress dan
non-distress berdasarkan indikator Debt to Total Aset
Ratio (DAR).
Pada model ketiga, hasil pengujian menunjukkan
bahwa terdapat beberapa rasio keuangan yang
memliki nilai Chi-square Kruskal Wallis Test lebih
besar dari Chi-square tabel pada dk = k – 1=2 – 1 =1
yaitu 2,71, sehingga dapat dinyatakan bahwa rasio
keuangan dapat digunakan sebagai pembeda antara
perusahaan yang mengalami financial distress dan
non-distress berdasarkan indikator Gross Profit Margin
(GPM).
Berdasarkan hasil pengujian Kruskal Wallis Test
pada model pertama (ATO), kedua (DAR) dan ketiga
(GPM) maka dapat dinyatakan bahwa hipotesis
pertama (H1) penelitian diterima.
4.3 Hasil Pengujian Hipotesis Kedua
Sebelum melakukan pengujian hipotesis kedua
terlebih dahulu akan uji kelayakan dari model Regresi
Logistic yang digunakan, dengan melakukan Uji
Kelayakan Model (Goodness of Fit Test) dan Uji
Kelayakan Keseluruhan Model (Overall Fit Model Test).
33
MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT
(STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX)
Azwar
4.3.1 Hasil Uji Kelayakan Model (Goodness of Fit
Test)
Hasil
uji
kelayakan
model
dengan
memperhatikan output dari Hosmer and Lemeshow’s
Goodness of Fit Test dapat dilihat pada Tabel 4
berikut :
Tabel 4. Hasil Uji Kelayakan Model
(Goodness of Fit Test)
Model Pertama :
Step
Chi-square
df
,000
1
Sig.
2
1,000
Model Kedua :
Step
Chi-square
df
6,978
1
Sig.
8
,539
Model Ketiga :
Step
Chi-square
,000
1
df
Sig.
5
2 log likelihood hasil block number 1 sebesar 23,407.
Dengan adanya penurunan nilai -2 log likelihood
tersebut maka hal ini menunjukkan bahwa maka
model yang digunakan adalah model regresi yang baik
dan layak digunakan.
Selanjutnya, untuk melihat power of regressions
to predict (daya ramal model prediksi) peluang emiten
mengalami financial distress
atau tidak sebagai
gambaran atas prediksi model regresi logistik (logit)
dengan data observasi, hal yang wajib dilakukan
adalah penentuan nilai cut-off. Berdasarkan metode
pembagian kategori oleh Wimboh (1996), nilai cut-off
dapat ditentukan berdasarkan jumlah sampel pada
masing-masing kelompok. Kelompok perusahaan yang
mengalami financial distress berjumlah 11 emiten
(48%). Sedangkan kelompok perusahaan yang tidak
mengalami financial distress berjumlah 12 emiten
(52%). Maka nilai cut-off ditetapkan sebesar 0,52.
Daya klasifikasi dapat ditunjukkan dengan tabel
tabulasi silang antara prediksi model regresi logistik
dan hasil observasi.
1,000
Tabel 6. Model Tabulasi Silang
Sumber : data diolah
Classification Tablea
Berdasarkan Tabel 4 di atas, model pertama dan
ketiga yang digunakan memiliki nilai Hosmer and
Lemeshow (Chi-square) < α (0,1) sehingga H0 ditolak
yang berarti model dianggap tidak/kurang mampu
memprediksi nilai observasinya. Sedangkan model
kedua, memiliki nilai Hosmer and Lemeshow (Chisquare) > α (0,1) sehingga H0 diterima yang berarti
model dianggap mampu memprediksi nilai
observasinya. Sehingga dengan hasil uji ini, maka
model yang layak digunakan dalam penelitian ini
hanyalah model kedua. Oleh karena itu, untuk
kelanjutan analisis berikutnya hanya model kedua
yang dapat digunakan.
4.3.2 Hasil Kelayakan Keseluruhan Model
(Overall Fit Model Test)
Hasil uji kelayakan keseluruhan model (Overall
Fit Model Test) berdasarkan pada fungsi likelihood
pada estimasi model regresi dengan membandingkan
nilai -2 log likelihood awal (hasil block number 0)
dengan nilai -2 log likelihood hasil block number 1
pada output Omnibus Tests of Model Coefficients dapat
dilihat pada Tabel 5 berikut :
Tabel 5. Hasil Uji Kelayakan Keseluruhan Model
(Overall Fit Model Test)
Model Kedua :
Block
2 log likelihood
Blok number 0
31.885
Blok number 1
23.407
Sumber : data diolah
Observed
Predicted
M2
FD
Step 1
M2 FD
NFD
Overall
Percentage
NFD
% Correct
10
1
90,9
4
8
66,7
78,3
a. The cut value is ,500
Sumber : data diolah
Berasarkan Tabel 6 di atas, hasil overall
classification untuk regresi logistik, ternyata cukup
baik, yaitu 78,3%. Persentase kebenaran untuk
perusahaan yang mengalami FD (financial distress)
ternyata sangat tinggi yaitu sebesar 90,9%, yaitu 10
observasi diprediksikan secara benar dan hanya 1
observasi diprediksikan sebaliknya. Sedangkan
persentase kebenaran klasifikasi untuk perusahaan
yang NFD (non financial distress) adalah sebesar
66,7% di mana terdapat kesalahan 4 observasi
kategori FD dan 8 observasi yang dapat diprediksi
secara benar dalam kategori NFD.
Oleh karena nilai persentase kebenaran untuk
prediksi perusahaan yang mengalami financial distress
sangat tinggi (90%) dan melebihi nilai cut-off (0,52)
maka dapat dinyatkan bahwa model prediksi atau
estimasi yang tepat. Dengan pembuktian ini, hipotesis
kedua penelitian (H2) dapat diterima.
Adapun hasil pengujian lainnya seperti nilai Cox
& Snell R Square dan uji F-value dapat ditampilkan
pada Tabel 7 berikut :
Berdasarkan tabel 5 di atas, nilai -2 log likelihood
awal (hasil block number 0) sebesar 31,885 dan nilai -
34
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT
(STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX)
Azwar
Tabel 7. R-Square dan F-value
Tabel 8. Uji Koefisien Secara Parsial
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chidf
Sig.
square
Step 1 Step
21.286
5
.001
Block
21.286
5
.001
Model
21.286
5
.001
Model Summary
Step
-2 Log
Cox & Snell R
Nagelkerke R
likelihood
Square
Square
1
10.555a
.604
.805
Variables in the Equation
B
S.E. Wald df Sig. Exp(B)
Step CR
,001 ,004
,103
1 ,748 1,001
1a
OPM ,002 ,046
,001
1 ,971 1,002
ROA
- ,281 2,804
1 ,094
,625
,471
ROE
,321 ,179 3,200
1 ,074 1,378
YLD
- ,279
,857
1 ,354
,772
,258
a. Variable(s) entered on step 1: CR, OPM, ROA, ROE,
YLD.
Sumber : data diolah
Tampak pada Tabel 7 di atas, nilai chi-square
yang merupakan selisih nilai -2 Log likelihood sebelum
variabel independen masuk model dan -2 Log
likelihood setelah variabel independen masuk model =
21.286..
Nilai chi-square : 21.286 > chi-square tabel pada
df 5 (jumlah variabel independen 5) yaitu 9.236 atau
dengan signifikansi sebesar 0,001 (< 0,1) sehingga
menolak H0, yang menunjukkan bahwa penambahan
variabel independen dapat memberikan pengaruh
nyata secara simultan terhadap model.
Perlu diingat jika pada regresi linear (OLS) untuk
menguji signifikansi simultan menggunakan uji Fvalue, maka pada regresi logistik (logit) menggunakan
nilai chi-square dari selisih antara -2 Log likelihood
sebelum variabel independen masuk model dan -2 Log
likelihood setelah variabel independen masuk model.
Pengujian ini disebut juga dengan pengujian Maximum
likelihood.
Dari Tabel 7 di atas, pada Model Summary:, kita
dapat melihat kemampuan variabel independen dalam
menjelaskan
variabel
dependen,
dengan
menggunkana nilai Nagelkerke R Square. Nilai
tersebut disebut juga dengan Pseudo R-Square atau
jika pada regresi linear (OLS) lebih dikenal dengan
istilah R-Square.
Nilai Nagelkerke R Square sebesar 0.805,
menunjukkan
bahwa
kemampuan
variabel
independen dalam menjelaskan variabel dependen
adalah sebesar 0.805 atau 80.5%. Atau dengan kata
lain bahwa 80.5% dari variabel dependen (financial
distress dan non-distress) dapat diprediksi oleh
variabel independen berupa rasio-rasio keuangan: CR,
OPM, ROA, ROE dan YLD. Sedangkan sisanya sebesar
19.5% dapat diprediksi dan dijelaskan oleh variabelvariabel independen lainnya yang tidak dimasukkn
dalam model.
4.4 Hasil Pengujian Hipotesis Ketiga
Setelah melalui beberapa tahapan uji kelayakan
model yang dibentuk dan tingkat akurasinya, maka
selanjutnya dilakukan uji koefisien regresi logit secara
parsial yang dilakukan terhadap variabel-variabel
independen dengan tingkat siginifikansi 10% dalam
rangka pembuktian hipotesis ketiga penelitian (H3).
Secara lengkap hasil uji regresi binary logit
disajikan dalam Tabel 7 berikut:
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
Berdasarkan tabel 8 di atas, variabel-variabel
yang dapat digunakan dalam memprediksi terjadinya
financial distress pada emiten adalah ROA dan ROE.
Hal ini karena kedua variabel tersebut terbukti
signifikan mampu memprediksi kejadian financial
distress emiten dengan nilai sig. < α. Nilai sig. untuk
variabel ROA dan ROE masing-masing sebesar 0,094
dan 0,074. Variabel-variabel lainnya seperti CR, OPM
dan YLD terbukti tidak signifikan secara statistik
mempengaruhi probabilitas kejadian financial distress
pada perusahaan.
Dari nilai koefisiennya, variabel ROA mempunyai
pengaruh negatif dan secara statistik signifikan
terhadap
probabilitas
perusahaan
mengalami
financial distress. Artinya, semakin tinggi rasio ini
(ROA), maka probabilitas atau kemungkinan
perusahaan akan mengalami financial distress
semakin kecil. Begitu pula sebaliknya, jika rasio ini
kecil atau menurun maka probabilitas perusahaan
akan mengalami financial distress semakin meningkat.
Adapun untuk variabel ROE, memiliki pengaruh
positif dan secara statistik signifikan terhadap
probabilitas perusahaan mengalami financial distress.
Artinya, semakin tinggi rasio ini (ROE), maka
probabilitas atau kemungkinan perusahaan akan
mengalami financial distress juga semakin tinggi. Jika
rasio ini kecil atau menurun maka perusahaan
cenderung untuk tumbuh lebih sehat dan tidak
mengalami financial distress. Hasil ini tidak sejalan
dengan penelitian Kamaludin dan Karina Ayu Pribadi
(2011) yang justru menemukan bahwa rasio ROE
memiliki pengaruh negatif terhadap probabilitas
financial distress persuaah manufuktur di BEJ tahun
2009 pasca krisis global 2008. Adapun koefisen rasio
keuangan lainnya terbukti tidak signifikan seperti
Current Ratio (CR) dan Operating Profit Margin (OPM)
memiliki pengaruh positif dan nilai yield beta saham
(YLD) memiliki pengaruh negatif.
Dengan pembuktian ini, maka hipotesis ketiga
(H3) penelitian ini dapat diterima. Berdasarkan hasil
uji koefisien regresi dan signifikansi pada Tabel 6 di
atas, maka model prediksi financial distress yang
terbentuk:
35
MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT
(STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX)
Azwar
Ln
atau
FDDAR
1 – FDDAR
FDDAR
=
=
– 0.471ROA + 0.321ROE
1+
e– 0.471ROA + 0.321ROE
1
Dari model prediksi yang diperoleh tersebut,
selanjutnya dapat dilakukan intrepretasi sehingga
diketahui hubungan antara variabel bebas dengan
variabel terikat. Pertama, variabel bebas rasio ROA
memiliki koefisien 0,471 atau 47,1% dan berpengaruh
negatif dengan variabel terikat. Dapat diartikan bahwa
log of odds kemungkinan terjadinya financial distress
akan naik sebesar 47,1% jika terdapat penurunan
rasio ROA dengan signifikansi rasio tersebut mampu
memprediksi kemungkinan terjadinya
financial
distress hingga 90,6%, yang berarti bahwa
kemungkinan terjadinya financial distress dari
pengaruh variabel ini patut menjadi bahan
pertimbangan dan perhatian. Kedua, variabel bebas
rasio ROE koefisien 0,321 atau 32,1% dan
berpengaruh positif dengan variabel terikat. Dapat
diartikan bahwa log of odds kemungkinan terjadinya
financial distress akan meningkat sebesar 32,1% jika
terdapat kenaikan rasio ROE pada perusahaan.
Signifikansi rasio tersebut untuk memprediksi
kemungkinan terjadinya financial distress hingga
92,6%, menjelaskan kemungkinan terjadinya financial
distress dari pengaruh variabel ini juga patut menjadi
bahan pertimbangan dan perhatian
4.5 Pembahasan
Hasil analisis membuktikan bahwa rasio-rasio
keuangan yang terdiri dari current ratio (CR),
operating profit margin (OPM), return of asset (ROA),
return on equity (ROE) dan nilai beta saham (YLD)
dapat
digunakan
untuk
membedakan
dan
mengklasifikasikan perusahaan ke dalam kelompok
yang mengalami financial distress atau tidak. Artinya,
kelompok perusahaan yang mengalami financial
distress memiliki rasio-rasio keuangan yang berbeda
dengan
perusahaan-perusahaan
yang
tidak
mengalami financial distress. Hasil ini mendukung
penelitian Priambodo (2002), Mouse (2005), Luciana
(2006), Brahmana (2007) dan Rowland (2008) bahwa
rasio keuangan dapat digunakan untuk memprediksi
kondisi financial distress perusahaan.
Beberapa model prediksi yang dibangun dalam
penelitian berdasarkan indikator-indikator financial
distress, tidak semua layak untuk digunakan. Hal ini
karena tidak semua model memenuhi syarat uji
Goodness of Fit. Model prediksi financial distress
berdasarkan indikator
Asset Turn Over (ATO)
sebagaimana yang disebutkan oleh Damodaran
(2001) tidak memenuhi syarat uji Goodness of Fit
sehingga tidak cukup layak untuk digunakan dalam
model prediksi. Begitu pula, model prediksi financial
distress berdasarkan indikator Gross Profit Margin
(GPM) sebagaimana yang disebutkan oleh Baidowi
(2004) tidak memenuhi syarat uji Goodness of Fit.
Kedua model ini memiliki nilai uji Hosmer and
36
Lemeshow (Chi-square) yang lebih kecil dari α (0,1).
Adapun model prediksi financial distress berdasarkan
indikator Debt to Total Aset Ratio (DAR) sebagaimana
yang disebutkan oleh Baidowi (2004) terbukti layak
untuk digunakan sebagai model prediksi yang baik
dengan nilai uji Hosmer and Lemeshow (Chi-square)
yang lebih besar dari α (0,1). Hasil ini berbeda dengan
hasil penelitian oleh Rowland (2008) sebelumnya
yang menyebutkan bahwa ketiga model tersebut
secara keseluruhan layak digunakan dalam
memprediksi kondisi financial distress khusus pada
emiten industri perdagangan di Bursa Efek Jakarta.
Selanjutnya, model financial distress dengan
indikator Debt to Total Aset Ratio (DAR) juga memiliki
akurasi klasifikasi yang tinggi yakni hingga 90.9%. Hal
ini sejalan dengan penelitian Rowland (2008) yang
juga menemukan bahwa model ini
dapat
memprediksi terjadinya financial distress hingga
tingkat akurasi klasifikasi 86,17%.
Dalam hasil uji koefisien regresi logistik, hanya
dua rasio keuangan yang signifikan dapat
memprediksi kemungkinan terjadinya financial
distress emiten yaitu rasio Return of Asset (ROA) dan
rasio Return on Equity (ROE).
Rasio Return of Asset (ROA) dapat memprediksi
kemungkinan terjadinya financial distress dengan
pengaruh positif. Jika rasio ini naik, maka hal tersebut
dapat menguntungkan perusahaan. Sebaliknya,
penurunan rasio ini berdampak pada ancaman
kesulitan keuangan perusahaan. Rasio ini digunakan
untuk mengukur efektifitas perusahaan dalam
mengelola aktivanya. Jumlah aktiva yang terlalu
banyak akan menimbulkan biaya modal yang besar,
sehingga akan menekan keuntungan. Sebaliknya
aktiva yang terlalu kecil akan menyebabkan hilangnya
penjualan yang menguntungkan. Semakin besar rasio
yang didapat maka semakin baik karena perusahaan
semakin cepat mengubah persediaannya menjadi kas
sehingga kemungkinan terjadinya kesulitan keuangan
semakin kecil.
Rasio Return on Equity (ROE) dapat memprediksi
kemungkinan terjadinya financial distress dengan
pengaruh negatif. Jika rasio naik, maka perusahaan
akan semakin terancam mengalami financial distress
dimasa yang akan datang. Namun, jika rasio ini turun,
hal tersebut dapat menguntungkan perusahaan dari
ancaman financial distress. Rasio ini menunjukkan
ekuitas proporsi hutang perusahaan, yang jika
semakin besar maka semakin besar juga risiko
perusahaan mengalami kebangkrutan.
Alasan yang cukup mendasar atas diperolehnya
hasil yang signifikan adalah bahwa nampaknya
kondisi keuangan yang agak memprihatinkan dari
suatu perusahaan, akan menjadikan sinyal atau early
warning (peringatan dini) bagi perusahaan bahwa
mereka dapat mengalami tekanan keuangan atau
financial distress pada 1 tahun ke depan (Weston dan
Copeland, 1996). Semakin tinggi laba yang diperoleh
memungkin adanya dana yang menganggur atau tidak
digunakannnya dana perusahaan sesuai dengan
keperluan, apabila hal ini tidak dapat dicermati dapat
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT
(STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX)
Azwar
dipastikan perusahaan dapat mengalami kepailitan
sebelum mengalami kesulitan keuangan. Hasil
penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Wahyuningtyas (2010) yang
menyatakan bahwa penggunaan laba dapat
memprediksi kondisi financial distress suatu
perusahaan.
Rasio keuangan lainnya seperti Current Ratio
(CR), Operating Profit Margin (OPM) dan nilai yield
beta saham (YLD) kurang menunjukkan kemampuan
memprediksi kondisi financial distress, kemungkinan
dikarenakan karakteristik dari perusahaan itu sendiri,
di mana perusahaan lebih memungkinkan untuk
memenuhi kewajiban jangka pendeknya dengan
mengandalkan aktiva lancar, di mana perusahaan
manufaktur sangat menyadari bahwa industri ini
sangat mengandalkan penggunaan aktiva lancar guna
melaksanakan kegiatan operasi perusahaan.
CR tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
prediksi kondisi financial distress suatu perusahaan.
Hasil ini ternyata sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Beaver dalam Harnanto (1995),
mengatakan bahwa rasio-rasio aktiva lancar tidak
lebih baik untuk memprediksikan terjadinya
kebangkrutan perusahaan manufaktur. Penggunaan
Current Ratio dinilai belum memberikan efek pemicu
financial distress. Hal ini mengimplikasikan bahwa
Current Ratio hanya sebagai informasi tambahan dari
laporan keuangan yang cukup kompleks, karena
neraca yang terdiri dari aktiva lancar berupa kas yang
berasal dari kegiatan operasi, investasi dan
pendanaan pada laporan arus kas dari kegiatan
operasi yang sifatnya hampir sama dengan laporan
laba rugi, jadi keduanya memberikan rincian
mengenai kegiatan operasional yang dijalankan
perusahaan.
Dapat dikatakan bahwa nilai Current Ratio,
khususnya kas yang berasal dari kegiatan investasi
dan pendanaan, jika nilainya rendah, tidak dapat
dipastikan bahwa perusahaan mengalami kondisi
keuangan yang buruk. Sedangkan, jika nilai Current
Ratio menunjukkan nilai yang tinggi, hal tersebut juga
belum tentu menggambarkan bahwa perusahaan
dapat memenuhi kewajibannya kepada pihak
kreditor. Hal ini mendukung teori yang disampaikan
oleh Weston dan Copeland (1996), bahwa rasio
keuangan tidak selalu menggambarkan kondisi
perusahaan yang sesungguhnya, khususnya cash
inflow dan cash flow. Namun dari hasil penelitian ini
dapat kita jelaskan bahwa bagaimanapun Current
Ratio berupa kas harus dianggap sebagai ukuran kasar
karena
tidak
mempertimbangkan
likuiditas
komponen individual aktiva lancar. Kemungkinan lain
yang perlu ditelusuri dari karakteristik industri itu
sendiri, dimana industri perbankan yang aktiva
likuidnya berupa aktiva keuangan, akan lebih intensif
memperhatikan rasio lancarnya guna pemenuhan
kebutuhan nasabah yang memerlukan uang kartal
atau uang giralnya, terlebih lagi apabila terjadi rush
akan sulit bagi lembaga keuangan ini untuk memenuhi
kasnya, butuh proses untuk mencairkan aktiva
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
tetapnya agar bisa menjadi aktiva lancarnya. Terlebih
lagi efek dari rush ini apabila tidak dapat
ditanggulangi oleh lembaga perbankan akan dapat
menggangu stabilitas ekonomi di suatu negara, karena
terjadi penarikan dana milik nasabah secara besarbesaran, yang semakin menggambarkan bahwa
lembaga perbankan tersebut mengalami kesulitan
keuangan disebabkan oleh menjaga likuiditas
keuangannya. Berbeda dengan industri non
perbankan yang dalam pemenuhan kegiatan
operasinya dapat saja memperoleh persediaan bahan
baku secara kredit. Sehingga Current Ratio ini lebih
memungkinkan dapat memprediksi kondisi financial
distress lebih signifikan terhadap lembaga perbankan
daripada industri non perbankan. Terlepas dari teoriteori yang dingkapkan para ahli, apabila dilihat dari
karakteristik industrinya bisa saja ini menjadi alasan
mengapa Current Ratio kurang memicu untuk
memprediksi kondisi financial distress pada
perusahaan manufaktur. Bagaimanapun perusahaan
harus selalu menjaga likuiditas guna memenuhi
standar bisnis yang akan dijalankan.
5
KESIMPULAN
6
IMPLIKASI DAN KETERBATASAN
Rasio-rasio keuangan dalam laporan keuangan
perusahaan yang terdiri dari : Current Ratio (CR),
Operating Profit Margin (OPM), Return Of Asset (ROA),
Return On Equity (ROE) dan nilai beta saham (YLD)
dapat
digunakan
untuk
membedakan
dan
mengklasifikasikan perusahaan ke dalam kelompok
yang mengalami financial distress dan yang tidak
mengalami financial distress. Rasio keuangan yang
signifikan
dapat
memprediksi
kemungkinan
terjadinya financial distress emiten yaitu rasio Return
of Asset (ROA) dan rasio Return on Equity (ROE).
Rasio-rasio tersebut digunakan dalam model prediksi
financial distress berdasarkan indikator Debt to Total
Aset Ratio (DAR) (model kedua) dan terbukti layak
secara statistik untuk digunakan sebagai model
prediksi financial distress yang baik dengan tingkat
akurasi prediksi yang tinggi yaitu 90,9%.
Model prediksi financial distress dengan rasiorasio keuangan, secara khusus dalam penelitian ini
yaitu rasio Return of Asset (ROA) dan rasio Return on
Equity (ROE), dapat juga digunakan sebagai early
warning signal oleh pihak emiten atau perusahaan,
yaitu sebagai alat untuk mengetahui sedini mungkin
apakah perusahaan memiliki sinyal financial distress
atau tidak untuk satu tahun ke depan, sehingga masih
cukup waktu bagi pihak manajemen perusahaan
untuk segera melakukan pembenahan agar
perusahaan yang bersangkutan tidak mengalami
kondisi keuangan yang lebih buruk.
Beberapa pihak yang terkait, seperti investor,
dapat memperhatikan rasio-rasio ini sebelum
menentukan keputusan investasi. Pemerintah dan
pihak otoritas yang terkait, dapat menggunakan
model prediksi ini untuk memperoleh gambaran
emiten yang kemungkinan akan mengalami financial
37
MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT
(STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX)
Azwar
distress pada tahun berikutnya. Bagi pemerintah dan
pihak regulator seperti Bursa Efek Indonesia, Unit
Pengawas Pasar Modal pada Otoritas Jasa Keuangan
dan lainnya, dapat memanfaatkan atau menggunakan
model prediksi financial distress ini sebagai tools
dalam menjalankan fungsi evaluasi, reviu dan
pengawasan terhadap emiten yang masuk dalam
perhitungan JII yang diseleksi dalam daftar saham
atau efek syariah. Dengan melakukan simulasi, pihak
regulator tersebut dapat mengetahui lebih awal
emiten-emiten mana yang mempunyai peluang
mengalami financial distress dalam satu tahun
mendatang, sebagai pilihan instrumen restrukturisasi
tertentu berdasarkan hasil simulasi prediksi sehingga
kebijakan yang dirumuskan dan diputuskan lebih
tepat sasaran.
Tidak dipungkiri bahwa penelitian ini juga
memiliki keterbatasan kajian. Karenanya, perlu
dikemukakan beberapa hal untuk perbaikan pada
penelitian mendatang. Perlu dipertimbangkan untuk
memproksikan kondisi financial distress dengan enam
ukuran lainnya yaitu manajemen, struktur modal dan
coverage dan juga peran faktor eksternal dalam
pemodelan, seperti exposure risk, legal risk, dan
settlement risk. Perlu dipertimbangkan risiko aspek
perilaku manajemen yang mengindikasikan hidden
action. Seperti: fraud risk dan embezzlement risk yang
dapat mendukung kemungkinan terjadinya financial
distress perusahaan. Selain itu, perlu untuk juga
dilakukan kajian yang sama pada indeks saham
syariah lainnya yaitu ISSI. Hal ini mengingat jumlah
emten yang jauh lebih banyak sehingga akurasi model
diharapkan dapat lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Afriyeni, Endang. 2012. Model Prediksi Financial
distress Perusahaan. Polibisnis, Volume 4 No. 2
Oktober 2012. ISSN 1858–3717 1
Agus Sartono, Manajemen Keuangan Teori dan Aplikasi
(Yogyakarta : BPFE, 2008)
Almilia, Luciana Spica. 2006. Prediksi Kondisi
Financial distress Perusahaan Go-Publik dengan
Menggunakan Analisis Multinomial Logit. Jurnal
Ekonomi dan Bisnis Vol. XII No. 1 Maret.
Altman E, 1983. Corporate Financial distress: A
Complete Guide to Predicting, Avoiding, and
Dealing with Bankruptcy (New York: John
Wiley & Sons).
Altman E. 1968. Financial Ratios, Discriminant
Analysis and the Prediction of Corporate
Bankruptcy. Journal of Finance, September,
1968.
Asquith P., R. Gertner dan D. Scharfstein. 1994.
Anatomy of Financial distress: An Examination
of Junk-Bond Issuers. Quarterly Journal of
Economics 109: 1189- 1222.
Brahmana, Rayenda K Brahmana. 2007. Identifying
Financial distress Condition in Indonesia
Manufacture Industry. Birmingham Business
38
School, University of Birmingham, United
Kingdom.
Brigham, E. F., Daves, P. R.2003. Intermediate Financial
Management, Eighth Edition
Brigham, E. F., Houston. 2006, Dasar-dasar Manajemen
Keuangan . Terjemahan Ali Akbar Yulianto,
Buku 1 dan 2, Edisi 10, Penerbit Salemba Empat
Chan, K.C. and Nai-fu Chen. 1991. Structural and
return characteristics of small and large firms,
Journal of Finance 46, 1467—1484.
Ellen. 2013. Penerapan Good Corporate Governance,
Dampaknya Terhadap Prediksi Financial
distress Pada Sektor Aneka Industri dan Barang
Konsumsi. Business Accounting Review, VOL.1,
NO. 2, 2013
Fama, Eugene F. and Kenneth R. French. 1996.
Multifactor explanations of asset pricing
anomalies, Journal of Finance 51, 55—84.
Gamal, Merza. 2005. Management Dana Syariah.
Presentasi Manajemen, Bank Syariah Mandiri.
Jakarta.
Garlappi, Lorenzo and Hong Yan. 2007. Financial
distress and the Cross Section of Equity Returns.
draft. NBER Asset Pricing Program Meeting:
April.
Ghozali, Imam.2001, Analisis Multivariate dengan
Program SPSS, Semarang: Badan Penerbit
UNDIP.
Gujarati, Damodar.1995, Ekonometrika Dasar, Jakarta:
Erlangga: Jakarta.
Hamzah, Ardi dan Auliyah Robiyatul. 2006. “Analisa
Karakteristik Perusahaaan, Industri dan
Ekonomi Makro terhadap Return dan Beta
Saham Syariah di Bursa Efek Jakarta.” Jurnal
Simposium Nasional Akuntansi IX. Padang.
Hanafi Mamduh M., Abdul Halim. 2007. Analisis
Laporan Keuangan. Edisi 3. Yogyakarta :
Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YPKN.
Harahap, Sofyan S. 2001. Menuju Perumusan Teori
Akuntansi Islam. Cetakan Pertama, Pustaka
Quantum.
Harnanto, Yunus, Hadori 1995, Akuntansi Keuangan
Lanjutan, Yogyakarta: BPFE.
Hofer, C. W. 1980. "Turnaround Strategies". Journal of
Business Strategy 1: 19-31.
Hunter J., N. Isachenkova. 2000. Failure risk: a
comparative study of UK and Russian firms.
Discussion Paper 00-1. Department of
Economics and Finance, Brunel University
Indra Bastian. 2010. Akuntansi Sektor Publik.
Yogyakarta : Erlangga
John, K, L. H. D. Lang and Netter, 1992. "The Voluntary
Restructuring of Large Firms in Response to
Performance Decline". Journal of Finance 47:
891-917.
John, K, L. H. D. Lang and Netter, 1992. "The Voluntary
Restructuring of Large Firms in Response to
Performance Decline". Journal of Finance 47:
891-917.
Kamaludin. 2011. Prediksi Financial distress Kasus
Industri Manufaktur Pendekatan Model Regresi
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT
(STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX)
Azwar
Logistik. Jurnal Ilmiah STIE MDP. Vol. 1 No. 1
September 2011
Kamaludin 2011, Manajemen Keuangan: Konsep Dasar
dan Penerapannya, Bandung: CV Mandar Maju.
Kasmir. 2008. Analisis Laporan Keuangan. Jakarta:PT
Raja Grafindo Persada.
Lau, A. H. 1987. "A Five State Financial distress
Prediction Model". Journal of Accounting
Research 25: 127-138.
Lau, A. H. 1987. "A Five State Financial distress
Prediction Model". Journal of Accounting
Research 25: 127-138.
Lev B and Sunder S, 1979, Methodological issues in
the use of financial ratios, Journal of Accounting
and Economics, 1:3, 187-210.
Lízal, Lubomír. 2002. Determinants of Financial
distress: What Drives Bankruptcy in a
Transition Economy? The Czech Republic Case.
William Davidson Working
Makalah Diskusi Ekonomi Syari’ah, Sragen, Jawa
Tengah . Paper Number 451.(September).
Mous, Lonneke. 2005. Predicting Bankruptcy With
Discriminant Analysis and Decision Tree Using
Financial Ratios. Bachelor Thesis Informatics &
Economics. Fakultas of Economic , Erasmus
University, Rotterdam.
Munawir. 2001. Analisa Laporan Keuangan. Liberty:
Yogyakarta
Otoritas
Jasa
Keuangan
(OJK).
2014.
http://www.idx.co.id/
Platt, Harlan D. and Marjorie, B. Plat 2002, “Predicting
Corporate Financial Ditress: Reflectons on
Choice-Based Sample Bias”, Journal of Economic
and Finance, Vol. 26 No. 22, p.184-197.
Priambodo, Agus. 2002. Prediksi Nilai Economic Value
Added Perusahaan Perusahaan 'Go Public'
Dengan Analisa Diskriminan. Tesis. School of
Business and Management ITB.
Rowland. 2008. Penggunaan Biinary Logiit Untuk
Prediksi Fiinanciial Diistress Perusahaan Yang
Tercatat Dii Bursa Efek Jakarta (Studi Kasus
Emiten Industri Perdagangan). Jurnal Ekonomi,
Bisnis, dan Akuntansi VENTURA Volume 11,
No. 2, Agustus 2008 (153-172) ISSN: 1410 –
6418
Sari, Atmini. 2005. Manfaat Laba dan Arus Kas Untuk
Memprediksi Kondisi Financial distress pada
Perusahaan Textille Mill Products dan Apparel
and Other Textile Products yang Terdaftar di
Bursa Efek Jakarta. SNA VIII Solo.
Statistik Pasar Modal. 2008. Kementerian Keuangan
Republik Indonesia
Sartono, Agus. 2008. Manajemen Keuangan Teori dan
Aplikasi. Yogyakarta : BPFE
Syamsuddin, Lukman, 2001. Manajemen Keuangan
Perusahaan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Syuhada, Luqman H., Lc. 2007.“Ekonomi Islam
Melawan Riba dan Kemiskinan Umat.”.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
Wahyuningtyas, Fitri 2010, Penggunaan Laba dan Arus
Kas Untuk Memprediksi Kondisi Fiancial Distress
(Studi Kasus Pada Perusahaan Bukan Bank yang
Terdaftar pada Bursa Efek Indonesia Periode
2005- 2008), Skripsi Dipublikasikasikan,
Semarang:
Fakultas
Ekonomi
Jurusan
Akuntansi Universitas Diponegoro.
Weston, J. Fred & Copeland Thomas. 1996. Manajemen
Keuangan Jilid 2, Jakarta: Binarupa Aksara.
Whitaker, B., Richard. 1999. “The Early Stages of
Financial distress.” Journal of Economics and
Finance. Vol. 23. No. 2: 123-133.
Whitaker, R. B. 1999. "The Early Stages of Financial
distress". Journal of Economics and Finance, 23:
123-133
Widarjono, Agus. 2005. Ekonometrika: Teori dan
Aplikasi. Yogyakarta: Ekonisia FE UII
Wimboh Santoso, 1996, “The Determinants of
Problem Banks in Indonesia”, Banking Research
and Regulation, Bank Indonesia.
39
MODEL PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS DENGAN BINARY LOGIT
(STUDI KASUS EMITEN JAKARTA ISLAMIC INDEX)
Azwar
Halaman ini sengaja dikosongkan
This page intentionally left blank
40
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015, Halaman 41-52
BADAN PENDIDIKAN DAN
PELATIHAN KEUANGAN
KEMENTERIAN KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
GOVERNMENT EXPENDITURE AND ECONOMIC GROWTH:
AN EMPIRICAL STUDY IN INDONESIA
Wesly Febriyanta Sinulingga
Badan Kebijakan Fiskal. Email: [email protected]
ARTICLE INFORMATION
ABSTRACT
ARTICLE HISTORY
Received
9 March 2015
Indonesia has been experiencing a rapid economic growth amid global crises in the United
States and the European Union countries. In addition, government expenditures in Indonesia
have also shown an increasing trend in recent years. Using panel data from 33 provinces in
Indonesia from 2007 to 2012, this paper describes the current condition of GDP growth and
government expenditures, examines the relationship between government expenditure and
economic growth, and formulates government expenditure policy in order to harmonize GDP
growth, poverty alleviation, and income inequality. The result indicates that government
expenditure for development, such as building roads, hospital, bridges, electricity, and water
supply, has a significant and positive effect on the regional economic growth rate. Not only
can government expenditures affect economic growth but it also can reduce poverty by
strengthening human capital through better education and health facilities.
Accepted to be published
12 June 2015
KEYWORDS:
government expenditure,
economic growth,
income inequality,
poverty alleviation.
Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi di tengah krisis ekonomi dan
keuangan yang melanda Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Di sisi lain, pengeluaran
pemerintah juga menunjukkan adanya tren meningkat. Dengan menggunakan data panel dari
33 provinsi di Indonesia dalam kurun waktu 2007 sampai dengan 2012, penelitian ini akan
menggambarkan kondisi terkini pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah di
Indonesia, mengetahui hubungan antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi,
serta memformulasikan kebijakan pengeluaran yang dapat mengharmonisasikan
pertumbuhan PDB, pengurangan kemiskinan, dan kesenjangan pendapatan. Hasil dari
penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah untuk pembangunan, atau belanja
modal, seperti membangun gedung, rumah sakit, jembatan, listrik, dan akses air bersih,
memiliki dampak positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran
pemerintah tidak hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi namun dapat mengurangi
kemiskinan dengan memperkuat sumber daya manusia melalui fasilitas pendidikan dan
kesehatan yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi bergerak berlawanan dengan tingkat
kemiskinan, namun bergerak sejalan dengan kesenjangan pendapatan.
1.
INTRODUCTION
1.1. Background of Study
Indonesia has been experiencing a rapid
economic growth amid global crises in the United
States and the European Union countries. Indonesia
has a positive trend in economic growth, especially
after the financial crisis in 1997-1998. Since 1999 the
economy has recovered and the growth rate
accelerated from negative growth rate to over 4-6
percent afterwards. According to World Bank,
Indonesia Gross Domestic Product (GDP) grows at 5.8
percent on average in the last five years. A substantial
growth indicates that the more output produced and
the more employment created in the economy. As a
result, the level of poverty decreases significantly.
The growth rate is mainly driven by the increase
of domestic consumer demand and spending from a
growing middle class of over 100 million people with
increasing levels of disposable income. Given a rapid
economic growth, Indonesia has become one of the
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
major destination countries for foreign investors. Low
labor costs, massive natural resources, growing
domestic market, favorable demographics are among
key elements of the investors’ reasons (KPMG, 2013).
Recently, government expenditures, both central
and local government, in Indonesia have been increasing
every year. Data from Directorate General of Fiscal
Balance shows that the central government spending
has increased by 63 percent from 2007 to 2011, and
local government spending has risen even faster, by 83
percent for the same period. Current expenditure,
mostly for government apparatus’ salary, has the biggest
portion of the total expenditures. During the period of
2007 to 2011, 46 percent of the total expenditures are
spent to pay salaries, whilst only 25 percent is allocated
to induce capital formulation.
The question whether government expenditures
have a positive or negative effect on the economic
growth remains inconclusive. Being one of the
components of Keynesian Cross, the Keynesian school
of thought argues that increasing government spending
41
GOVERNMENT EXPENDITURE AND ECONOMIC GROWTH:
AN EMPIRICAL STUDY IN INDONESIA
Wesly Febriyanta Sinulingga
will expand the level of output (income) in the
economy. Government expenditure is regarded as an
exogenous variable that boosts economic growth.
Nevertheless, an increase in government expenditures
may result in a higher budget deficit in the future. If
government spending keeps increasing faster
compared to the government tax revenue, then fiscal
sustainability will be threatened because there exists a
smaller capacity to finance both its operating and
development expenditures (Sriyana, 2011).
Some empirical studies find a positive
relationship between government expenditures and
economic growth. The relationship between
government expenditure and economic growth and
poverty alleviation in rural areas in India, Vietnam and
Uganda is positive, meaning that government can
escalate the level of output in the agricultural areas by
developing agricultural research, education, and rural
infrastructure (Fan et al., 2000, 2004). Government
size, measured as the share of total expenditure in GNP,
causes economic growth in the short run and in the
long run (Loizides & Vamvoukas, 2005). Applying
panel data from 14 states in India over the period of
1990-2002, reallocation of funds to increase the share
of public goods expenditures can increase the regional
GDP growth by 2.7 percentage points (Hong & Ahmed,
2009). Furthermore, government spending on capital
formation, development assistance, private investment,
and trade-openness all have positive and significant
effect on economic growth in the South Eastern Europe
(Alexiou, 2009).
However, there exist studies that find a negative
relationship between government expenditures and
economic growth. The effect of government
expenditures on economic growth using data for 98
countries between the years 1960 to 1985 indicates
that
increases
in
government
consumption
significantly and negatively affects economic growth
(Barro, 1991). Moreover, applying time-series data
from 1965 to 1996, it is argued that government
spending in Tanzania has not been productive, and
thus, an increase in government spending (public
investment) reduces the economic growth (Kweka &
Morrissey, 2000). A study using a sample of time-series
data in Indonesia from 1969 to 1999 finds that both
government unproductive and productive spending
have a negative relationship with economic growth.
Government is perceived inefficient in development
programs implementation and budget management
(Ramayandi, 2003).
Some studies find that there is no significant
effect of government expenditures on the economic
growth rate. Public investment that corresponds to a
stock of public capital has a positive relationship but
insignificant with the output growth rate. This result
indicates that “the flow of services from public capital
with productive government services is imperfect. One
of important factors to boost the level of output in the
economy is human capital (Barro, 1991). Agell et al.
42
(1999) also find that the relationship between
government spending and economic growth is
insignificant.
The effect of government expenditures on
economic growth may also vary between developing
and developed countries. Government spending in
agriculture and education promote economic growth in
Asia and Africa countries, while spending in
agriculture, infrastructure, and social security
positively affect economic growth in Latin America
(Fan & Saurkar, 2006). Using data from 14 OECD
countries during the period of 1970 to 1987, it is found
that government consumption, transfers and total
spending as a share of GDP have a strongly negative
effect on the economic growth, educational spending
has a positive effect, and the level of government
investment has no effect (Hansson & Henrekson,
1994). Another research is conducted to examine the
relationship between government spending and
economic growth in G-7 countries, and the result
shows that the relationship vary significantly across
time as well as across countries, and there is no
significant evidence found that government spending
can increase nor decrease economic growth (Hsieh &
Lai, 1994). Among European Union countries, AngloSaxon and Nordic countries reveal higher speed of
adjustment of government spending to potential
output than Southern European countries (Arpaia &
Turrini, 2008).
Given previous literatures, it can be concluded
that
the
relationship
between
government
expenditures and economic growth remains debatable.
The impact may differ not only by countries or regions
but also by the type of expenditures. This paper applies
Cobb Douglas production function to determine the
level of output produced in each province. Moreover,
this study uses panel data from 33 provinces in
Indonesia during the period of 2007-2012 and applies
capital expenditures as a proxy of government
expenditures. Capital expenditure is expected to be
productive expenditures as described by Barro (1991)
such that government can increase the level of output
by reducing transaction costs, increasing human
capacity and the level of productivity.
1.2. Objectives of the Study
Given the previous background of the study, this
paper aims:
1. To describe the current condition of economic
growth and government expenditures in
Indonesia.
2. To examine the relationship between government
expenditure and economic growth.
3. To formulate the government expenditure policy in
order to harmonize GDP growth, poverty
alleviation, and income inequality.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
GOVERNMENT EXPENDITURE AND ECONOMIC GROWTH:
AN EMPIRICAL STUDY IN INDONESIA
Wesly Febriyanta Sinulingga
Figure 2. Capital Expenditure and Economic Growth Scheme
2.
LITERATURE REVIEW AND HYPOTHESIS
2.1. The Approach of the Study
The role of government in the economy has long
been a debate. John M. Keynes and his successors
develop a concept that is called Keynesian Cross to
explain how government expenditure can affect the
level of output in the economy. Government spending
has a positive relationship with the level of output
(income) and therefore an increase in government
spending will enhance the output in the economy.
Keynes argues that the government should use its
power through tax and spending to influence the
business cycle and thus the economy in a particular
country (Ekelund and Hebert, 2007). Meanwhile, Adam
Smith with his classical colleagues and subsequent
economists, known as neoclassical economists, argue
that government should have a restricted role in the
economy. Government’s roles are limited only to
protect property rights and to maintain the
competition in the market.
Figure 1. Keynesian Cross
Keynesian Cross can be described in Figure 1
below. Vertical axis represents expenditure and
horizontal axis represents output in the economy or
GDP. The red line (Y=E) is a 45 degree line that
indicates expenditures equals GDP. Increasing
government expenditure by ∆G shifts planned
expenditure upward by ∆G (from purple to blue line).
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
The increase of government expenditure affects real
expenditure and GDP positively, real expenditures
increases from E1 to E2, and GDP moves from Y1 to Y2.
Notice that ∆Y > ∆G, meaning that an increase in
government expenditure by ∆G have a multiplier effect
on the economy by triggering consumption.
Government can increase the level of output
produced either by individuals or by businesses in the
economy
through
several
channels.
Firstly,
government expenditure can enhance individuals’
productivity by providing better access and facilities to
health and education services, such as increasing the
number of hospitals and schools and improving the
quality of hospitals and schools. Healthy and welleducated individuals will find better jobs that accord
their skill and eventually generate more earning. Public
infrastructures can also affect economic growth
positively by reducing transaction costs especially for
businesses such that companies will enter local
markets, create new jobs and eventually develop the
local economy. Figure 2 depicts how government can
affect economic growth through these channels.
Human capital and technological change are
endogenous factors that affect the level of output in the
economy (Barro, 1991; Romer, 1990). Technological
change that arises from intentional investment
decisions by profit-maximizing company encourages
continued capital accumulation. In addition, economic
growth is correlated with worldwide market
integration but not necessarily related to population
size and density. This finding explains why developing
countries with large population are still not able to
converge with developed countries but still benefit
from economic integration with the rest of the world
(Romer, 1990).
2.2. Hypothesis
From Figure 2, it is known that investing in
capital expenditure, such as building schools and
hospitals, will strengthen human capital such that
productivity enhances due to better level of education
and health. In addition, building new and additional
infrastructures, such as road, bridges, and highway, can
attract private investors because of reduction in
transaction costs. Through both channels of capital
43
GOVERNMENT EXPENDITURE AND ECONOMIC GROWTH:
AN EMPIRICAL STUDY IN INDONESIA
Wesly Febriyanta Sinulingga
Table 2. Variable Description of the Study
Variable
Description
Regional GDP
:
The gross value added in the economy in the regional (provincial) level.
Data are obtained from Central Bureau of Statistics Indonesia.
Capital Expenditure
:
Foreign Direct Investment
:
States expenditures for capital formulation, such as spending on
infrastructures (roads and bridges), building, equipment and
machinery, and land.
Data are acquired from Directorate General of Fiscal Balance Ministry of
Finance.
The net inflows of investment by foreign investors to Indonesia.
Data are gained from Central Bureau of Statistics Indonesia and
Indonesia Investment Coordinating Board.
Domestic Direct Investment
:
The net inflows of investment by domestic investors.
Data are attained from Central Bureau of Statistics Indonesia and
Indonesia Investment Coordinating Board.
Population Growth
:
An increase in the number of people that reside in the provincial level.
Data are collected from Central Bureau of Statistics Indonesia.
Island
:
Dummy variable for geographical factor
1 is for provinces in Java and Bali
2 is for provinces in Sumatera
3 is for provinces in Kalimantan
4 is for provinces in Sulawesi
5 is for provinces in Eastern Islands of Indonesia
expenditure, government can increase the level of
economy with regard to better human capital, public
infrastructures, and social facilities.
Table 1. Expected Sign of the Parameters
Variable
Expected Sign
Capital Expenditure
Domestic Direct Investment
Foreign Direct Investment
Population Growth Rate
+
+
+
+
investment, foreign direct investment, and the
population growth rate are expected to have a positive
relationship with the economic growth rate.
3.
Given previous explanation and rationale, the
main hypothesis of this study is:
H1 : Government expenditure for capital formulation has
a significant and positive impact on economic growth
rate
Table 1 summarizes the expected sign of
parameters applied in this study on the regional
economic growth rate variable. Government
expenditure for capital formulation, domestic direct
METHODOLOGY
3.1. Data
This paper uses data for 33 provinces in
Indonesia during the period of 2007 to 2012. States
budget data are acquired from Directorate General of
Fiscal Balance, Ministry of Finance of Republic of
Indonesia. Other data are acquired from the Central
Bureau of Statistics of Indonesia, either from statistics
booklet or from statistical yearbook of Indonesia and
from Indonesia Investment Coordinating Board. Table
2 provides variables used throughout this paper.
Based on summary statistics in Table 3, there are
198 observations (33 provinces x 6 years), but some
variables may be lesser because of statistical
treatment, such as log of variables. During the period of
2007-2012, provinces in Indonesia grow by 6.23
Table 3. Summary Statistics of Government Expenditure and Economic Growth Model, 2007-2012
Variable
Year
RGDP rate
Log RGDP
Log Capital Exp.
Log FDI
Log DDI
Population Growth
Island (Dummy)
Source: Data processed
44
Observations
Mean
Standard
Deviation
Minimum
Maximum
198
198
198
198
182
161
198
198
6.225859
30.99089
28.52519
27.28202
26.81953
2.315152
3.618832
1.290823
0.7097897
2.33285
2.349729
3.100465
2007
-5.51
28.48084
26.91767
21.35454
18.42068
-2.01
1
2012
28.47
33.73984
29.99953
32.31968
30.70002
35.08
5
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
GOVERNMENT EXPENDITURE AND ECONOMIC GROWTH:
AN EMPIRICAL STUDY IN INDONESIA
Wesly Febriyanta Sinulingga
Figure 3. Indonesia Annual GDP Growth Rate Trend, 1990-2013
Source: World Bank (2014)
percent on average. The minimum growth rate is -5.51
percent in Aceh in 2009, whilst the highest rate is
28.47 percent achieved by West Papua in 2010. Most
provinces experience slower economic growth in 2009
because of crisis in United States and most of European
Union countries. Provincial population grows at 2.32
percent on average with the minimum growth rate is 2.01 percent that occurs in North Sumatera in 2010,
while the highest population growth rate is 35.08
experienced by Papua in 2010.
3.2. Empirical Model
This paper describes the economic growth from
the point of view of production process developed by
applying the neoclassical aggregate production
function, known as Cobb Douglas production function.
Cobb Douglas function is commonly applied to explain
economic growth from production side. Cobb Douglas
function is determined as follow:
𝑌 = 𝑓 𝐾, 𝐿
(1)
where the level of output in the economy, known
as GDP (Y) is attributed to changes in factor
production: capital (K) and labor (L). To incorporate
government expenditure (G) in the production
function, the production function can be formulated as
follow:9
𝑌 = 𝑓 𝐾, 𝐿, 𝐺
(2)
In accordance to the main purpose of this study, a
model is formulated to find the relationship between
government expenditure and the economic growth.
The model consists of log regional GDP (lrgdp) as the
dependent variable and log government expenditure
for capital formulation (lcap) as the independent
variable of interest. In addition, I also add some control
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
variables that may influence the dependent variable
(lrgdp), such as log foreign direct investment (lfdi) log
domestic direct investment (lddi), the population
growth rate (PG), and a dummy variable, island, to
control for any individual effects in the model.
𝑙𝑟𝑔𝑑𝑝 = 𝑓 𝑙𝑐𝑎𝑝, 𝑙𝑓𝑑𝑖, 𝑙𝑑𝑑𝑖, 𝑃𝐺, 𝐼𝑆𝐿𝐴𝑁𝐷
(3)
The empirical equation is:
𝑙𝑟𝑔𝑑𝑝𝑖𝑡 = 𝛽0 + 𝛽1 𝑙𝑐𝑎𝑝𝑖𝑡 + 𝛽2 𝑙𝑓𝑑𝑖𝑖𝑡 + 𝛽3 𝑙𝑑𝑑𝑖𝑖𝑡 +
𝛽4 𝑃𝐺𝑖𝑡 + 𝛽5 𝐼𝑆𝐿𝐴𝑁𝐷𝑖𝑡 + λ𝑡 + 𝜀𝑖𝑡
(4)
lrgdpit
: log regional real GDP
lcapit
: log government expenditures for
capital formulation
lfdiit
: log foreign direct investment
lddiit
: log domestic direct investment
PGit
: population growth rate
ISLANDit
: dummy variable for island
β0
: the intercept
β1, β2, β3, β4
: the parameters
λt
: year dummy variables
ℇit
: the error term
To estimate the unobserved effects of panel data
models such as equation (2), there are two methods
that are commonly applied in econometrics: Fixed
Effect and Random Effect estimation. Fixed Effect can
“estimate the effects of time-varying independent
variables in the presence of time-constant omitted
variables”. In the Fixed Effect model, variables that are
constant over time will be omitted. The Random Effect
estimation assumes that the unobserved individual
effect is uncorrelated with each explanatory variable
(Wooldridge, 2009). In this case, the Random Effect
45
GOVERNMENT EXPENDITURE AND ECONOMIC GROWTH:
AN EMPIRICAL STUDY IN INDONESIA
Wesly Febriyanta Sinulingga
Figure 4. Contribution to GDP by Sector in Indonesian Economy, 2000-2013
Source: Central Bureau of Statistics of Indonesia (2014)
estimation will include the dummy variable, island,
into equation (4). Meanwhile the Fixed Effect model
will drop the dummy variable because of its constantover-time characteristic.
4.
RESULT AND DISCUSSION
4.1. Current Condition of GDP Growth and
Government Expenditures in Indonesia
The Indonesia economic growth rate has
fluctuated during the last two decades as depicted by
Figure 3. The economy reaches its highest growth rate
in 1990 with 9 percent growth rate because of the oil
boom and political stability in the 1970’s and 1980’s.
A crisis that hits most of Asian countries in 19971998 had caused severe effects on the Indonesian
economy. Many local companies failed to repay their
foreign debts because of the depreciation of the
Indonesian rupiah. Thus, the economic growth
diminished and reached its lowest level in 1997.
The financial crisis not only shook the economy
but also had political and social implications. The
reigning president ended his 32-year presidency in
1998 after a massive demonstration and chaos
triggered by the financial crisis. The GDP growth rate
drops from 4.7 percent in 1997 to -13.13 percent in
1998 because of the financial crisis, and new era,
called reformation era begins.
Figure 3 also depicts that economic growth starts
to increase in 1999/2000 when central government
decentralizes most of its authorities to local
government. Centralistic government is perceived as
high cost for the economy. Decentralization is directly
influenced price stability and has indirect positive
impact on economic growth (Martinez-Vazquez and
Mcnab, 2006). Reformation era has shifted most
authorities, from central to provincial and municipal
46
government. Local government is responsible to
provide social needs, such as education, health, and
public infrastructures.
Indonesia was recognized as an agricultural
country with abundant natural resources and fertile
soils, but agriculture no longer became the main
source of GDP in the last 2 decades as being shown in
Figure 4. Manufacturing replaces agriculture and
nowadays plays an important role in contributing to
Indonesian GDP. This sector has been the biggest
contributor to GDP since 2000, with contribution of
more than one quarter of the total GDP every year.
Most of manufacturing industries are located in
provinces in the island of Java. Central Bureau of
Statistics of Indonesia records that there are 23,941
manufacturing industries in Indonesia in 2013 which
19,773 (82.6 percent) are located in Java. Food,
apparel, and garment industry are the biggest three
industries in Indonesia. Trade, hotel, and restaurant
sector contributes 18.09 percent of total GDP in 2013,
second below manufacturing and have an increasing
trend. On the other hand, natural resource-based
sectors, such as agriculture and mining, have a
decreasing trend in the last two decades.
Government expenditures play an important role
in determining the economic progress of a country. The
Indonesia government expenditures, on the other
hand, have been increasing in the last five years. Figure
5 shows an increasing trend in the government budget.
On average, government expenditures increase by 14.4
percent in the five-year period. Most of government
expenditures are spent to pay government apparatus’
salaries and honorarium, 42.78 percent of total
expenditure on average in 2013, declining from 44.7
percent in 2012. Spending on goods and services
increases by 15% on average, and capital expenditure
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
GOVERNMENT EXPENDITURE AND ECONOMIC GROWTH:
AN EMPIRICAL STUDY IN INDONESIA
Wesly Febriyanta Sinulingga
Figure 5. The Allocation of Local Government Expenditure in Indonesia, 2009-2013
Local Government Expenditure Trend
Budget Allocation in 2013
Source: Directorate General of Fiscal Balance, Ministry of Finance (2013)
rises by 12.7 percent. This decline shows government
commitment to allocate more spending on building
public infrastructures. In addition, local government
expenditures can be classified into nine sectors:
economy, health, defense, environment, tourism, public
service, education, social securities, and housing.
4.2. Relationship
between
Government
Expenditure and Economic Growth
Using STATA 11th edition, Table 4 depicts the
estimation result of equation (4) using Ordinary Least
Square (OLS), Fixed Effect (FE), and Random Effect
(RE). Not only does the equation include the variable of
interest, government expenditure for capital
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
formulation, but also it includes other control variables
that may affect the dependent variable (economic
growth), such as foreign direct investment, domestic
direct investment, and population growth.
The result in Table 4 provides comparison
between Ordinary Least Square, Fixed Effect and
Random Effect estimation. Government expenditure,
represented by government expenditure for capital
formulation, has a positive and significant effect on
the level of output in the regional (provincial)
economy in Indonesia. The sign is consistent among
models: OLS, Fixed Effect, and Random Effect model
that commonly applied to estimate panel data.
Increasing capital expenditures by one percent will
47
GOVERNMENT EXPENDITURE AND ECONOMIC GROWTH:
AN EMPIRICAL STUDY IN INDONESIA
Wesly Febriyanta Sinulingga
Table 4. The Result of Economic Growth Estimation in Indonesia, 2014 1)
Dependent variable: Log regional GDP
VARIABLES
Log capital expenditure
OLS
(1)
Fixed Effect
(2)
Random Effect
(3)
0.30***
(0.048)
0.18***
(0.037)
0.02***
(0.006)
0.02***
(0.005)
0.00055
(0.002)
22.58***
(1.386)
25.03***
(1.016)
0.27***
(0.043)
0.02***
(0.007)
0.02***
(0.007)
0.00064
(0.003)
-1.14***
(0.241)
-1.22***
(0.306)
-1.99***
(0.274)
-2.28***
(0.273)
23.53***
(1.201)
Log foreign direct investment
Log domestic direct investment
Population growth
Sumatera
Kalimantan
Sulawesi
Eastern Islands of Indonesia
Constant
Observations
Number of id
R-squared
1) Data
198
33
0.143
Standard errors in parentheses
*** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1
159
33
based on panel data of 33 provinces in Indonesia, 2007-2012
increase regional GDP by 0.3 percent, 0.18 percent,
and 0.27 percent using OLS, Fixed Effect, and Random
Effect estimation respectively. This result shows that
government can increase economic growth by
investing in public infrastructures, such as hospitals,
schools, roads, and bridges. These expenditures will
increase individuals’ productivity and reduce
transaction costs if funds are allocated efficiently.
This result confirms previous studies conducted by
Fan et al. (2000, 2004), Loizides and Vamvoukas
(2005), Hong and Ahmed (2009), and Alexiou (2009).
Other finding is foreign direct investment and
domestic direct investments as proxies of private
investment have a positive and significant effect on
regional economic growth. Foreign direct investment,
for example, is mostly associated with technology
transfer that can increase efficiency in production and
reduce costs. FDI eventually creates positive spillovers
into recipient countries (Carkovic And Levine, 2005).
Realizing the positive impact of investment in the
economy, government usually attracts investors, both
domestic and foreign investors, through tax incentives.
However, this paper finds that the effect of
population growth on the level of output is
statistically insignificant. The insignificant effect of
population growth on the economic growth rate
confirms previous studies by Barro (1991) and Romer
(1991) that economic growth is mostly influenced by
human capital and technological change. This
48
159
33
0.427
argument explains why developing countries which
are commonly very populous have a lower growth
rate compared to developed countries.
Furthermore, this study also confirms that
provinces in Java and Bali have a higher economic
growth compared to provinces in other islands in
Indonesia. This finding indicates that provinces in
Java and Bali still become target for development and
investment.
Given
a
better
initial
public
infrastructures, it is easier for provinces in Java to
attract investments. In addition, differences in
provincial characteristics, such as resources and
natural environment, economic structure, public and
community institutions, social norms or expectations,
and demographic characteristic of the population, will
result in differences in economic growth rate across
provinces. In order to create equality in term of
economic output and income, central government
then need to pay more attention on building better
facilities and infrastructures in provinces in the
eastern of Indonesia.
4.3. Economic Growth, Poverty Alleviation, and
Inequality
The government of Indonesia has released the
National Medium-Term Development Plan 2010-2014
on January 20th, 2010 that becomes a guideline for
development activities in Indonesia for five-year
period. There are three pillars for development
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
GOVERNMENT EXPENDITURE AND ECONOMIC GROWTH:
AN EMPIRICAL STUDY IN INDONESIA
Wesly Febriyanta Sinulingga
strategy: pro-growth, pro-poor, pro-jobs. This plan
indicates government commitment to not only increase
economic growth but also reduce poverty. The
implementation of the National Medium-Term
Development Plan is reflected by decreasing current
expenditures and increasing expenditures for capital
formulation for projects/programs that eventually
stimulate growth, reduce poverty, and create jobs.
Government expenditure can affect economic
growth positively and the poverty rate negatively (Fan
et al. 2000, 2004; Fosu, 2010; Hariadi, 2009). However,
income inequality, measured by GINI ratio,
demonstrates an increasing trend. Figure 5 depicts
economic growth, poverty, and income inequality trend
in Indonesia in the last fifteen years. Given an increase
in economic growth and a decrease in the poverty rate,
Indonesia still encounters income inequality problem
that rises over time. Growth itself is not sufficient. It
should be sustainable, sustained and inclusive (Mckay
& Sumner, 2008). High initial level of inequality can be
a barrier for the effectiveness of economic growth to
reduce poverty while growing inequality reduces
poverty directly for a given level of growth (Fosu,
2010).
Economic growth not only can affect poverty but
also can affect income distribution in the economy.
Economic growth can alleviate poverty but also
increase income inequality, although the effect is
smaller than the reduction in poverty. Hence,
government program to induce economic growth is not
a trade-off to poverty alleviation (Hariadi, 2009).
However, the trend of economic growth in Asia has
been both less inclusive and less pro-poor. This trend
can be redressed by increasing spending on health,
education, and social safety nets; reforming labor
markets to enhance the labor share of total income; to
reform financial systems more inclusive (Balakrishnan
et al., 2013). Other suggestions are to redistribute the
benefits of growth through pro-poor public
expenditure and to increase the rate of job creation
(Mckay & Sumner, 2008).
There exists a trade-off between economic
growth and income redistribution. If government
aggressively redistributes income, economic growth
will be lower significantly (Scully, 2008; Benhabib,
2003). Income redistribution through tax structure, for
instance, will discourage high-income individuals to
work harder. Economic growth raises income
inequality by shifting the share of market income to the
highest quintile, at the expense of the other income
quintiles (Scully, 2008).
5.
CONCLUSION
Indonesia has become one of the fastest growing
countries in the world amid crises in the United States
and European Union countries. Government spending
is perceived as an important factor in determining the
level of output produced in the economy. Aligning with
economic growth trend, government expenditure has
increased in the last few years that eventually could
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
contribute to both regional and national economic
growth.
This paper examines the relationship between
government expenditure, measured by government
expenditure for capital formulation or capital
expenditure, and economic growth, measured by
regional GDP in 33 provinces in Indonesia during the
period of 2007 to 2012. The result indicates that
there is a positive and significant effect of capital
expenditure on regional economic growth. Local
government can increase economic growth by
providing better access and facilities to public
infrastructures that increase human capital and
reduce transaction costs. Better access to health and
education facilities can increase individuals’ capacity
and productivity.
Furthermore, this study finds that local
government can increase its regional GDP by
encouraging investment, both from domestic and
foreign investment. Foreign direct investment, for
example, is associated with technology transfer that
can increase efficiency in production. Related to
individual characteristics, this study indicates that
provinces in Java are growing faster than other
provinces due to better infrastructures and facilities.
However, there is no evidence that population growth
increases regional GDP in Indonesia.
Economic growth in developing countries like
Indonesia is perceived less pro-poor and less
inclusive. Thus, economic growth is necessary to be
sustainable, sustained and inclusive. The trend shows
that economic growth moves in an opposite direction
with poverty and in-line with income inequality,
measured by GINI ratio. Government should allocate
spending to induce growth, redistribute the benefits
of growth through pro-poor expenditure and increase
job creation.
6.
POLICY IMPLICATION AND
LIMITATION
The results of this study imply that policy makers
can stimulate economic growth by nurturing
government expenditure on capital formulation and
encouraging private sector to invest through foreign
direct investment and domestic direct investment.
Nevertheless, economic growth should not be the main
target because economic trend shows that an increase
in economic growth is not only followed by poverty
alleviation but also by increasing income inequality.
Government of Indonesia should pay more
attention on differences in initial level of public
infrastructures and facilities among provinces in
Indonesia. These differences result in different
economic growth rate and can create inequality among
provinces.
Government
should
not
allocate
expenditures to certain provinces that make inequality
worse.
It should be stressed that there are some caveats
in this study. First, the short period of time might have
been a lack in this paper. For further research, a longer
time series might help to better explain the effects of
49
GOVERNMENT EXPENDITURE AND ECONOMIC GROWTH:
AN EMPIRICAL STUDY IN INDONESIA
Wesly Febriyanta Sinulingga
the government spending on economic growth. In
addition, this study does not accommodate the level of
openness in trade, such as regional import and export
because of data availability. Lastly, there is no
technological change factor accommodated in the
determination of economic growth. Cobb-Douglas
production function determines technology as one of
growth factors. The importance of technology in the
economy is confirmed by Romer (1990) and Barro
(1991).
ACKNOWLEDGEMENTS
I would like to express my special appreciation to
my advisor during the Researcher’s Training Batch XI at
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Professor I
Wayan Rusastra, who keeps assisting and encouraging
my research. I would also dedicate my thanks to Prof.
Shiferaw Gurmu from Georgia State University who
inspires me to revise my Econometrics paper on
government expenditure and economic growth issues.
REFERENCES
Agell, J., Lindh, T., and Ohlsson, H. (1999): Growth and
the Public Sector: A Reply. European Journal of
Political Economy 15:2: 359-366.
Alexiou, C. (2009): Government Spending and
Economic Growth: Econometric Evidence from
The South Eastern Europe (SEE). Journal of
Economics And Social Research 11(1): 1-16.
Arpaia, A. and Turrini, A. (2008): Government
Expenditure and Economic Growth in the EU:
Long-run
Tendencies
and
Short-term
Adjustment. Economic Papers. European
Commission.
Balakrishnan, R., Steinberg, C., and Syed, M. (2013):
The Elusive Quest for Inclusive Growth: Growth,
Poverty, and Inequality. Working Paper. IMF.
Barro, R. J. (1991): Economic Growth in a Cross-Section
of Countries. Quarterly Journal of Economics
106: 407-43.
Benhabib, J. (2003): The Tradeoff between Inequality
and Growth. Annals of Economics and Finance 4:
329-345.
Carkovic, M. and Levine, R. (2005): Does foreign direct
investment accelerate economic growth?, in T.
Moran, E. Graham & M. Blomström, eds, ‘Does
Foreign
Direct
Investment
Promote
Development?’, Center for Global Development
and Institute for International Economics,
Washington DC, chapter 8, pp. 195–220.
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (2013):
Available
at
http://www.djpk.kemenkeu.go.id/attachments/
article/345/deskripsi%20analisis%20apbd%20
2013%20pdf-1.pdf (accessed on 10.17.2014)
Ekelund, Robert B. Jr. and Hebert, Robert F., 2007, “A
History of Economic Theory and Method”, 5th
Edition, Illinois: Waveland Press Inc.
Fan, S., P. Hazell, and Thorat, S. (2000): Government
spending, agricultural growth, and poverty in
50
rural India. American Journal of Agricultural
Economics 82 (4): 1038-1051.
Fan, S., Zhang, X., and Rao, N. (2004): Public
Expenditure, Growth, and Poverty Reduction in
Rural Uganda. Discusion Paper. International
Food Policy Research Institute.
Fan, S., Huong, P., and Long, T. (2004): Government
Spending and Poverty Reduction in Vietnam.
Available
at
http://siteresources.worldbank.org/INTPRS1/Re
sources/383606-1106667815039/gov_spending
(accessed on 10.18.2014)
Fan, S. and Saurkar, A. (2006): Public Spending in
Developing Countries: Trends, Determination,
and
Impact.
Available
at
http://www.ifpri.org/sites/default/files/public
ations/eptdp99.pdf (accessed on 10.18.2014)
Fosu, A. K. (2010): Growth, Inequality and Poverty
Reduction in Developing Countries: Recent
Global Evidence. Background paper for the
Global Development Outlook 2010: Shifting
Wealth and the Implications for Development.
OECD Development Centre.
Hansson P. and Henrekson M. (1994): A New
Framework for Testing the Effect of Government
Spending on Growth and Productivity. Public
Choice 81: 381-401.
Hariadi, P. (2009): Relationship among Economic
Growth, Income Distribution and Poverty in
Central Java. Economic Journal of Emerging
Markets 1(3): 231-242.
Hong, H. and Ahmed, S. (2009): Government Spending
on Public Goods: Evidence on Growth and
Poverty. Economic and Political Weekly 44: 102108.
Hsieh, E. and Lai, K. (1994): Government Spending and
Economic Growth: the G-7 Experience. Applied
Economics 26: 535-542.
KPMG Siddharta and Widjaja. (2013): Investing in
Indonesia 2013. KPMG Indonesia. Available at
http://www.kpmg.com/Ca/en/External%20Doc
uments/investing-in-indonesia-2013.pdf
(accessed on 10.12.2014)
Kweka, J.P. and Morrissey, O. (2000): Government
spending and economic growth in Tanzania,
1965-1996.
Research Paper. Centre for
Research in Economic Development and
International Trade, University of Nottingham,
no 00/6.
Loizides J. and Vamvoukas, G. (2005): Government
Expenditure and Economic Growth: Evidence
from Trivariate Causality Testing. Journal of
Applied Economics Vol VIII: 125-152
Martínez-Vazquez, J. and M. McNab, R. (2006): Fiscal
Decentralization, Macrostability, and Growth.
Hacienda Pública Española /Revista de
Economia Publica 179: 25–49.
Mckay, A. and Sumner, A. (2008): Economic Growth,
Inequality, and Poverty Reduction: Does ProPoor Growth Matter? Institute of Development
Studies in Focus Issue 03.2.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
GOVERNMENT EXPENDITURE AND ECONOMIC GROWTH:
AN EMPIRICAL STUDY IN INDONESIA
Wesly Febriyanta Sinulingga
Ramayandi, A. (2003): Economic Growth and
Government Size in Indonesia: Some Lessons
For The Local Authorities. Working Paper in
Economics and Development Studies, Padjajaran
University.
Romer, P.M. (1990): Endogenous Technological
Change. The Journal of Political Economy 98:5:2:
S71-S102.
Scully, G.W. (2008): Economic Freedom and the Tradeoff between Inequality and Growth. Policy
Report No. 309. National Center for Policy
Analysis.
Sriyana, J. (2011): The Effect of Budget Deficit Shock on
Government Spending: An Empirical Case in
Indonesia. International Journal of Business and
Development Studies 3: 41-58.
Wooldridge, J.M. (2009): Introductory Econometrics, A
Modern Approach. 4th Edition. Ohio: SouthWestern
Cengage
Learning.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
51
Halaman ini sengaja dikosongkan
This page intentionally left blank
52
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015, Halaman 53-76
BADAN PENDIDIKAN DAN
PELATIHAN KEUANGAN
KEMENTERIAN KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS (GFS)
DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL
Puput Waryanto
Balai Diklat Keuangan Makassar, Indonesia; Email: [email protected]
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
SEJARAH ARTIKEL
Diterima Pertama
3 Maret 2015
The government need to realize Government Finance Statistics (GFS) could be the right choice
because a prove that the application of GFS in some countries was relevant to review fiscal
policy, by the regression equation Y = 1,810 - 0,838X where X = application of the GFS and Y=
fiscal policy. It was negative and significant influence. Factor GFS application could assess fiscal
policy by contribution of 81,1%. The preparation of the GFS did not terminate the obligation in
preparing financial statements for a common purpose, which was at the level of central
government known as LKPP (Government Financial Statements). Use of basic principles which
were adequate in the GFS, consist of the accrual basis, coverage of public sector, and
consolidation also supported this GFS as a basis for decision making on fiscal policy more
precisely than a general purpose financial statements. Differences between GFS with
government accounting standards (the general government sector), as well as between the GFS
with financial accounting standards (public enterprise sector), ranging from the purpose, scope,
reporting entities, criteria for recognition, measurement, revaluation and changes in value, and
the integration of current and position, were obstacles and challenges for all parties, especially
the central government in charge of developing systems, procedures, and resources needed to
develop the GFS in Indonesia.
Dinyatakan Dapat Dimuat
12 Juni 2015
KATA KUNCI:
GFS
Indonesia
Relevansi
Penerapan
Kebutuhan pemerintah untuk menerapkan Government Finance Statistics (GFS) dapat
menjadi pilihan yang tepat karena telah terbukti bahwa dengan penerapan GFS pada
beberapa negara dapat secara relevan menilai kebijakan fiskal, dalam persamaan regresi Y =
1,810-0,838X di mana X = penerapan GFS dan Y = kebijakan fiskal. Pengaruh bersifat negatif
dan signifikan. Faktor penerapan GFS dapat menilai kebijakan fiskal dengan kontribusi
81,1%. Adapun penyusunan GFS tidak menggugurkan kewajiban penyusunan laporan
keuangan untuk tujuan umum, yang dalam tataran pemerintah pusat dikenal dengan LKPP
(Laporan Keuangan Pemerintah Pusat). Penggunaan prinsip-prinsip dasar yang memadai
dalam GFS, yaitu basis akrual, cakupan sektor publik, dan konsolidasi juga mendukung GFS
ini sebagai dasar yang tepat dalam mengambil kebijakan fiskal dibandingkan dengan sekadar
laporan keuangan untuk tujuan umum. Perbedaan antara GFS dengan standar akuntansi
pemerintah (pada sektor pemerintahan umum), serta antara GFS dengan standar akuntansi
keuangan (pada sektor perusahaan publik), mulai dari tujuan, cakupan, entitas pelaporan,
kriteria pengakuan, pengukuran, revaluasi dan perubahan nilai, serta integrasi arus dan
posisi, merupakan hambatan sekaligus tantangan bagi semua pihak khususnya pemerintah
pusat sebagai penanggung jawab dalam mengembangkan sistem, prosedur, dan sumber daya
yang dibutuhkan dalam mengembangkan GFS di Indonesia.
1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam pemerintahan, kebijakan fiskal memegang
peranan yang penting dalam mengatur kestabilan
ekonomi nasional. Tentunya, dalam mengambil
kebijakan fiskal harus didasari atas pertimbangan
sistmatis dan logis berupa informasi yang akurat yang
sebagian besar berasal dari laporan keuangan yang
disusun dari berbagai sektor, mulai dari sektor
pemerintahan umum, hingga sektor korporasi publik.
Implikasi kebijakan fiskal dapat dilihat dari struktur
pendapatan, pembebanan, arus dan posisi keuangan,
serta beberapa indikator penting lainnya yang
mencakup semua sektor tersebut. Kebijakan fiskal
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
akan didasari oleh analisis yang kurang relevan ketika
didasari hanya dari laporan keuangan pada sektor
umum pemerintahan, karena dampak layanan
pemerintah terhadap masyarakat juga diberikan
melalui keberadaan korporasi publik, baik korporasi
publik
keuangan
maupun
korporasi
publik
nonkeuangan atas penyediaan barang/jasa publik
(IMF, 2014: 1-2).
Selama ini, pemerintah pusat hanya menyajikan
laporan keuangan untuk tujuan umum (general
purpose
financial
statements)
sebagaimana
disampaikan dalam Pernyataan Standar Akuntansi
Pemerintah Nomor 11 tentang Laporan Keuangan
Konsolidasian. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara menyatakan bahwa
53
RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS
DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL
Puput Waryanto
untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas
dalam pengelolaan keuangan negara, laporan
pertanggungjawaban keuangan pemerintah perlu
disampaikan secara tepat waktu dan disusun
mengikuti
standar
akuntansi
pemerintahan.
Sehubungan dengan itu, UU Nomor 1 Tahun 2004 lebih
lanjut mengamanatkan agar laporan keuangan
pemerintah dapat menghasilkan statistik keuangan
yang mengacu kepada manual Statistik Keuangan
Pemerintah (Government Finance Statistics/GFS)
sehingga dapat memenuhi kebutuhan analisis
kebijakan dan kondisi fiskal, pengelolaan dan analisis
perbandingan antarnegara. Dalam penyajian GFS,
konsolidasi dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan
sektoral, atau fungsi sedangkan kondisi pelaporan
keuangan untuk tujuan umum hingga saat ini tidak
dapat melakukan konsolidasi sejauh itu. Hal ini
bukanlah karena masalah kemampuan, tetapi karena
perbedaan tujuan penyusunan laporan keuangan yang
belum dicanangkan untuk basis statistik ini.
Sebagai langkah yang baik, pada akhir tahun
2014, Menteri Keuangan telah menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 275/PMK.05/2014 tentang
Manual Statistik Keuangan Pemerintah Indonesia
(Mansikapi). Meskipun telah memiliki dasar hukum,
dalam menjalankan amanah ini, pemerintah perlu
melakukan kajian mendalam mengenai pentingnya
implementasi Government Financial Statistics ini,
karena melihat adanya kebutuhan sarana dan
prasarana, serta SDM yang lebih daripada yang ada
sekarang. Sistem pelaporan yang mumpuni pastinya,
akan menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi
Menteri Keuangan karena keterkaitan GFS sangatlah
luas, mulai dari Sistem Neraca Nasional yang berbeda
dengan Bagan Akun Standar, serta perbedaan prinsip,
pengakuan, dan integrasi arus dan posisi.
Dasar pengaturan GFS di berbagai negara, telah
ditetapkan oleh IMF melalui GFSM (Government
Finance Statistics Manual) 2014, yang merupakan
bagian dari serangkaian pedoman GFS internasional.
GFSM 2014 pembaruan dari GFSM 2001, dan
merupakan edisi ketiga dari pedoman yang
menggambarkan kerangka statistik makroekonomi
secara khusus, yakni kerangka statistik keuangan
pemerintah (GFS), yang dirancang untuk mendukung
analisis fiskal. Pedoman ini diterbitkan oleh
Departemen Statistik IMF dalam rangka memberikan
petunjuk dalam pengembangan dan penerapan
statistik, dan diterbitkan sebagai bentuk pelayanan
kepada seluruh dunia menuju akuntabilitas dan
transparansi keuangan. GFSM 2014 digunakan oleh
penyusun GFS, analis fiskal, dan pengguna data fiskal
lainnya. Pedoman ini juga menjelaskan hubungan GFS
dengan standar akuntansi yang berlaku secara
internasional sehingga mungkin berguna bagi pihak
yang terlibat dalam mereformasi sistem akuntansi
pemerintah. Manual ini terutama fokus pada deskripsi
konseptual, klasifikasi, dan pedoman konseptual untuk
mengumpulkan dan menguraikan GFS, tetapi tidak
menjelaskan metode statistik yang digunakan.
54
Analisis fiskal terus berkembang sebagai respons
terhadap meningkatnya kompleksitas merumuskan
dan mengevaluasi kebijakan fiskal. Secara khusus,
globalisasi menuntut penggunaan data yang dapat
dibandingkan secara internasional, di saat muncul
kekhawatiran tentang kesinambungan fiskal yang
meningkatkan permintaan informasi tentang neraca
pemerintah dan sektor publik yang lebih luas. GFS
merekomendasikan arus dan posisi ekuitas yang
terintegrasi, dicatat dengan basis akrual, sedangkan
basis kas digunakan untuk menilai kendala likuiditas
pemerintah. Hal ini diakui bahwa penerapan sistem
terintegrasi
GFS
akan
membutuhkan
waktu
penyesuaian berdasarkan kebutuhan dan keadaan
negara yang bersangkutan. Secara khusus, banyak
negara perlu merevisi sistem akuntansi yang mereka
gunakan ke dalam basis akrual. Kebijakan fiskal adalah
penggunaan tingkat dan komposisi beban dan
pendapatan sektor umum pemerintah dan sektor
publik, dan akumulasi yang terkait terhadap aset dan
kewajiban pemerintah untuk mencapai tujuan seperti
stabilisasi ekonomi, realokasi sumber daya, dan
redistribusi pendapatan (IMF, 2014: 404).
Statistik
fiskal
dapat
digunakan
untuk
menganalisis kapasitas pemerintah; kontribusinya
terhadap permintaan agregat, investasi, dan tabungan;
dampak kebijakan fiskal terhadap perekonomian,
termasuk penggunaan sumber daya, kondisi moneter,
dan utang nasional; beban pajak; proteksi tarif; dan
jaring pengaman sosial. Selain itu, para analis telah
menjadi semakin tertarik pada kebijakan fiskal, defisit
struktural,
menilai
efektivitas
pengeluaran
pengentasan kemiskinan, kesinambungan kebijakan
fiskal, utang bersih, kekayaan bersih, dan klaim
kontinjensi terhadap pemerintah, termasuk kewajiban
untuk pensiun jaminan sosial.
Beberapa manfaat penerapan GFS ini perlu diteliti
lebih lanjut dengan melakukan penelitian atas
penerapan GFS ini pada beberapa negara yang telah
menerapkan GFS. Dari hasil penelitian, dapat diketahui
mengenai relevansi penerapan GFS dalam menilai
Kebijakan Fiskal. Dengan demikian, akan menambah
keyakinan pemerintah dalam menentukan langkah
tepat ke depan dalam memilih menggunakan GFS atau
tidak.
Dalam
kondisi
yang
didorong
untuk
menggunakan
GFS,
pemerintah
RI
melalui
Kementerian Keuangan telah berusaha menyelaraskan
kebutuhan pelaporan keuangan nasional sesuai dengan
tuntutan dunia, mengingat kegunaan GFS yang dapat
dapat menyentuh level kebijakan fiskal nasional. Oleh
karenanya, penulis berusaha melakukan studi
komparasi, studi kasus, dan analisis atas berbagai
pertanyaan yang muncul:
1.
2.
Apakah penerapan GFS bisa dianggap relevan
dalam menilai keberhasilan kebijakan fiskal?
Bagaimanakah
tantangan
dan
hambatan
pemerintah telah menerapkan GFS?
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS
DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL
Puput Waryanto
2.
KERANGKA TEORITIS DAN
PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1. Government Financial Statistics (GFS)
Evolusi pedoman statistik internasional untuk
mengkompilasi GFS dimulai pada awal 1970-an,
dengan rancangan GFS Manual. Untuk menampung
masukan, draft ini diedarkan dalam bahasa Inggris,
Spanyol, dan Perancis kepada pemerintah, bank
sentral, kantor statistik pusat, dan organisasi
internasional, serta dibahas pada sejumlah seminar
regional. Berdasarkan masukan tersebut, GFSM 1986
diterbitkan sebagai panduan untuk mengkompilasi GFS
tetapi tidak secara langsung sesuai dengan statistik
makroekonomi lainnya.
GFSM 2001 memperbarui pedoman terorganisasi
secara internasional untuk menyusun statistik yang
diperlukan untuk analisis fiskal yang ditetapkan oleh
GFSM 1986. Pedoman yang telah direvisi itu
diselaraskan dengan standar yang sesuai dengan
pedoman statistik ekonomi makro lainnya yang diakui
secara internasional, konsisten dengan tujuan
mendukung analisis fiskal. Selain itu, untuk pertama
kalinya pedoman direvisi dengan pendekatan
korporasi, yang menggunakan neraca terpadu untuk
menyusun dan menyajikan GFS.
GFSM 2014 memperbarui pedoman yang diakui
secara internasional untuk menyusun statistik yang
diperlukan untuk analisis fiskal yang telah ditetapkan
oleh GFSM 2001. Revisi diselaraskan dengan update
pada panduan dan manual statistik ekonomi makro
lainnya, yaitu sistem menyeluruh Sistem Neraca
Nasional 2008 (2008 SNA) dan dua manual khusus:
Manual Neraca Pembayaran dan Posisi Investasi
Internasional (BPM6); dan Manual Statistik Moneter
dan Keuangan (MFSM). Pembaruan untuk manual ini
merujuk pada 2008 SNA untuk menghindari penafsiran
yang berbeda. Untuk masalah yang berhubungan
dengan hutang, GFSM 2014 dilengkapi dengan:
Statistik Utang Sektor Publik: sebuah Panduan untuk
Compiler dan Pengguna (panduan PSDS); dan Statistik
Utang Luar Negeri: Panduan untuk Compiler dan
Pengguna, 2013 (2013 EDS Guide).
Bahasan di dalam GFS sangatlah luas, salah
satunya adalah mengenai Gross Operating Balance
yang terdapat di dalam Laporan Operasional. Laporan
operasional adalah ringkasan transaksi, yang berasal
dari interaksi yang disepakati bersama antara unit
institusi, pada suatu periode akuntansi yang
mengakibatkan perubahan posisi keuangan. Laporan
operasional mencatat semua transaksi selama periode
akuntansi, yang diklasifikasikan menjadi pendapatan,
beban, perolehan aset non-keuangan neto (net
acquisitions of nonfinancial assets), perolehan aset
keuangan neto (net acquisitions of financial assets),
atau keterjadian kewajiban neto (net incurrences of
liabilities). Penandingan antara pendapatan dan beban
menghasilkan gross operating balance.
Sesuai dengan GFS Manual 2014, pendapatan
adalah semua transaksi yang meningkatkan kekayaan
neto, yang terdiri dari pajak, kontribusi sosial, hibah
dan pendapatan lainnya, yang terdiri atas: (1)Pajak
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
merupakan transfer wajib tanpa imbalan langsung
yang diterima oleh sektor pemerintah umum;(2)
Kontribusi sosial merupakan pendapatan aktual atau
pendapatan yang diperhitungkan skema asuransi
sosial dalam rangka penyediaan manfaat asuransi
sosial yang terutang; (3) Hibah adalah transfer tidak
wajib yang diterima dari pemerintah lain/organisasi
internasional dalam bentuk kas dan non-kas (barang/
jasa); (4) Pendapatan lain mencakup semua transaksi
pendapatan yang tidak diklasifikasikan sebagai pajak,
kontribusi sosial atau hibah, yang dapat meliputi
penjualan barang dan jasa, bunga dan jenis lain dari
pendapatan atas kekayaan, transfer sukarela dalam
bentuk kas dan non-kas selain hibah, serta denda dan
penalti.
Di dalam laporan operasional, pendapatan dicatat
dengan basis akrual. Di dalam Laporan Sumber dan
Penggunaan Kas, pendapatan dan beban dicatat
dengan bais kas. Menurut prinsip akrual GFS, pajak
penghasilan dan kontribusi sosial merupakan
pendapatan yang harus dikaitkan dengan periode
dimana pendapatan tersebut diperoleh, meskipun
mungkin ada penundaan yang signifikan antara akhir
periode pelaporan dan batas tenggang waktu bagi
wajib pajak. Secara konseptual, ketika menggunakan
basis akrual, waktu antara saat transaksi pendapatan
timbul dan pembayaran diterima (atau dibuat dalam
kasus restitusi) dijembatani dengan mencatat transaksi
aset atau kewajiban keuangan (jurnal penyesuaian).
Beban adalah semua transaksi yang mengurangi
kekayaan neto, yang meliputi: (1) Kompensasi pegawai
adalah remunerasi dalam bentuk kas atau nonkas yang
terutang kepada pegawai sebagai imbalan pekerjaan;
(2)Penggunaan barang dan jasa adalah barang dan jasa
yang digunakan dalam proses produksi atau diperoleh
untuk dijual kembali dikurangi dengan perubahan neto
persediaan
barang
dan
jasa
tersebut;
(3)Penggunaan/konsumsi aset tetap (Penyusutan)
adalah penurunan nilai aset tetap selama periode
akuntansi sebagai akibat penurunan fisik, kadaluarsa
normal, dan kerusakan normal yang tidak disengaja;
(4)Bunga adalah beban yang timbul atas penggunaan
dana unit lain oleh debitur; (5)Subsidi adalah transfer
tahun berjalan yang dibayar oleh unit pemerintah
kepada perusahaan dalam rangka memberikan
kompensasi atas kerugian operasi, baik berdasarkan
tingkat aktivitas produksi atau berdasarkan kuantitas
atau nilai barang/jasa yang diproduksi, dijual atau
diimpor; (6)Hibah adalah transfer tidak wajib dalam
bentuk kas atau non-kas yang dibayarkan ke unit
pemerintah
umum
lainnya
atau
organisasi
internasional. (7) Manfaat sosial adalah transfer tahun
berjalan kepada rumah tangga untuk memenuhi
kebutuhan yang timbul atas suatu kejadian seperti
sakit, menganggur, pensiun, kebutuhan perumahan
atau keadaan keluarga yang dapat dibayarkan dalam
kas atau non-kas; (8) Beban lainnya meliputi semua
beban yang tidak dapat dimasukkan dalam klasifikasi
lain. Pengakuan basis akrual atas beban sejalan dengan
pendapatan,
jadi
akan
menerapkan
prinsip
penandingan waktu yang sama.
55
RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS
DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL
Puput Waryanto
Tabel 1. Perbedaan Konseptual
Perbedaan
Tujuan
Scope
Entitas
pelaporan
Kriteria
pengakuan
Pengukuran
Revaluasi dan
perubahan
nilai
Integrasi arus
dan posisi
Government Finance Statistics
Standar Akuntansi Pemerintah
Analisas dan evaluasi outcome kebijakan
fiskal.
2) Menetukan dampak ekonomi, bandingkan
dengan internasional.
Sektor pemrintah umum dan sektor publik.
Mencatat transaksi dan aktivitas fiskal di luar
sektor pemerintah umum.
Unit institusi dan sektor:
Unit pelaporan statistik adalah unit institusi:
unit yang memiliki kemampuan untuk memiliki
aset, memunculkan kewajiban dan terlibat
dalam aktivitas ekonomi.
Entitas pelaporan dapat berupa unit institusi,
namun fokusnya pada kelompok unit institusi.
Pengendalian dan sifat aktivitas ekonomi
menentukan konsolidasi dan cakupan entitas
pelaporan. Sektor pemerintah umum tidak
mencakup unit institusi yang bergerak dalam
aktivitas pasar.
Pengakuan peristiwa ekonomi:
Berdasarkan basis akrual dengan mencatat
transaksi pada saat nilai ekonomis terjadi,
diubah, ditukar, ditransfer, dan dihapuskan.
Dalam rangka mempertahankan simeteris
antara GFS dan SAP, perbedaan pengakuan
diungkapkan dalam memorandum statistik
keuangan pemerintah, seperti dalam hal
penyisihan piutang tidak tertagih.
Harga pasar terkini:
Harga pasar terkini digunakan untuk semua arus
dan posisi aset/kewajiban. Penilaian dapat
dilakukan dengan metode penilaian alternatif
jika tidak tersedia pasar aktif.
Evaluasi kinerja dan posisi keuangan, akuntabilitas,
dan pengambilan keputusan pengguna.
1)
Semua revaluasi dan perubahan volume
dicatat dalam laporan arus ekonomi lainnya:
Pemisahan berguna untuk analisis fiskal,
berdasarkan revaluasi dan perubahan volume
yang tidak terkait langsung dengan keputusan
kebijakan fiskal yang berada dalam kendali
pemerintah. GFS memisahkan antara perubahan
nilai dan volume.
GFS mencakup pencatatan yang komprehensif
atas transaksi dan arus ekonomi lainnya
sehingga tercipta integrasi penuh arus dan
posisi serta rekonsiliasi perbedaan antara
neraca awal dan akhir periode.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
SAP tidak mencakup BUMN/BUMD.
Entitas ekonomi dan konsolidasi:
Unit pelaporan untuk laporan keuangan adalah
entitas ekonomi: kelompok entitas yang mencakup
satu atau lebih entitas yang dikendalikan.
Pengendalian adalah kriteria utama yang
menentukan
konsolidasi.
Entitas
pelaporan
pemerintah
konsolidasian dapat mencakup kementerian
negara/lembaga dan pemerintah daerah.
Badan Usaha Milik Negara/Daerah menerapkan
standar akuntansi keuangan.
Pengakuan peristiwa masa lalu dengan tingkat
kemungkinan arus kas keluar:
Mengakui kewajiban, termasuk provisi, ketika
kejadian ekonomi mas alalu terjadi, jumlahnya
dapat diestimasi degan andal, dan kemungkinan
arus kas keluar cukup tinggi. Faktor-faktor tersebut
memungkinkan terjadinya pengakuan tanpa
melibatkan pihak lain untuk mengakui jumlah yang
sama secara simetris.
Nilai wajar, harga perlehan, dan dasar lain:
Aset dan kewajiban yang sejenis dinilai secara
konsisten
dengan
pengungkapan
dasar
penilaiannya. Dalam SAP, aset dinilai dengan harga
perolehan sedangkan utang dinilai menurut jumlah
yang harus dibayar pemerintah ketika jatuh tempo.
Perbedaan dengan nilai wajar diungkapkan.
Keuntungan dan kerugian yang direalisasikan
dan belum direalisasikan:
Sebagian keuntungan/kerugian karena revaluasi
atau perubahan volume dilaporkan dalam laporan
kinerja keuangan dan laporan perubahan aset
neto/ekuitas. Sebagian lagi sama sekali tidak
dilaporkan.
SAP mencakup pencatatan yang komprehensif atas
transaksi, sehingga tercipta integrasi penuh arus
dan posisi serta rekonsiliasi perbedaan antara
neraca awal dan akhir periode. Pengertian transaksi
dalam SAP mencakup arus ekonomi lainnya dalam
GFS.
Sumber: diolah dari Mansikapi, 2015
Berbagai bentuk laporan keuangan yang
dihasilkan
dalam
GFS
serta
keterkaitannya
antarlaporan tersebut, dapat dilihat dalam lampiran 1.
Sumber informasi utama untuk mengkompilasi
Statistik Keuangan Pemerintah adalah sistem
akuntansi dan pelaporan yang dikembangkan
berdasarkan standar akuntansi. Konsep akuntansi
dalam standar akuntansi berbasis akrual pada
umumnya konsisten dengan konsep yang diterapkan
dalam Statistik Keuangan Pemerintah. Namun
56
demikian, terdapat beberapa perbedaan yang tidak
dapat dihindari antara statistik keuangan pemerintah
dan standar akuntansi pemerintahan.
Statistik
keuangan
pemerintah
memiliki
kesamaan dengan standar akuntansi pemerintahan
dalam hal aturan, konsep dan prosedur akuntansi.
Sistem akuntansi berbasis akrual yang komprehensif
meningkatkan
kualitas
sumber
data
yang
dipergunakan dalam statistik keuangan pemerintah.
Pemerintah dapat mengembangkan bagan akun
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS
DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL
Puput Waryanto
standar yang dapat secara efektif menghasilkan data
yang diperlukan dalam akuntansi dan statistik
keuangan pemerintah. Perbedaan antara standar
akuntansi pemerintahan dan statistik keuangan
pemerintah terdiri dari: perbedaan konseptual, dan
perbedaan penyajian dan istilah. Perbedaan konseptual
disajikan dalam tabel 1.
Perbedaan penyajian dan istilah terdiri dari:
1.
Perbedaan nama akun yang serupa yang
digunakan dalam SAP dan Statistik Keuangan
Pemerintah.
2.
Jenis struktur klasifikasi dalam neraca, laporan
operasional dan laporan arus kas.
3.
Statistik Keuangan Pemerintah menetapkan
tingkat detail minimum atas bagan akun standar
komprehensif yang dilaporkan dalam laporan
statistik keuangan pemerintah, sedangkan
standar akuntansi pemerintah menetapkan bagan
akun standar minimum dengan memberikan
prmsip dan panduan untuk akun turunan yang
dilaporkan dalam laporan keuangan.
4.
Cara pengungkapan informasi yang berbeda
dalam dua kerangka pelaporan tersebut.
5.
Definisi dan/atau nilai total akun yang berbeda.
2.2. Landasan Penerapan GFS di Indonesia
UU
Nomor
1
Tahun
2004
tentang
Perbendaharaan Negara menyatakan bahwa untuk
mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam
pengelolaan
keuangan
negara,
laporan
pertanggungjawaban keuangan pemerintah perlu
disampaikan secara tepat waktu dan disusun
mengikuti
standar
akuntansi
pemerintahan.
Sehubungan dengan itu, UU Nomor 1 Tahun 2004 lebih
lanjut mengamanatkan agar laporan keuangan
pemerintah dapat menghasilkan statistik keuangan
yang mengacu kepada manual Statistik Keuangan
Pemerintah (Government Finance Statistics/GFS)
sehingga dapat memenuhi kebutuhan analisis
kebijakan dan kondisi fiskal, pengelolaan dan analisis
perbandingan antarnegara.
Penjelasan UU No. 23 Tahun 2009 tentang
Pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN Tahun
Anggaran 2007 menyatakan bahwa dalam rangka
meningkatkan pengelolaan keuangan negara dan
upaya perbaikan untuk menindaklanjuti temuan
pemeriksaan BPK, selain yang diamanatkan dalam
Undang-Undang tersebut, Pemerintah perlu melakukan
beberapa hal berikut sebagaimana direkomendasikan
oleh DPR, yaitu antara lain agar Pemerintah
meningkatkan kualitas informasi keuangan pemerintah
daerah sehingga dalam jangka panjang dapat
menyajikan laporan statistik keuangan pemerintah
(Government Finance Statistics).
Laporan hasil reviu BPK atas pelaksanaan
transparansi fiskal tahun 2010 meng-highlight
signifikansi dari statistik keuangan pemerintah melalui
reviu atas unsur transparansi fiskal:
Kejelasan Peran dan Tanggung Jawab, di mana
BPK mereviu bahwa peraturan yang mengatur peran
dan fungsi lembaga pemerintahan, dan antar lembaga
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
pemerintah dan sektor publik dan swasta telah diatur.
Namun fungsi pemerintah secara keseluruhan belum
terlihat karena laporan LKPD yang belum terintegrasi
dengan LKPP.
Ketersediaan Informasi bagi Publik, di mana BPK
mereviu bahwa secara umum pemerintah telah
melakukan upaya untuk berkomitmen dalam
menyediakan informasi fiskal kepada publik. Namun,
pemerintah belum sepenuhnya dapat menyajikan
informasi fiskal mengenai, antara lain, integrasi posisi
fiskal nasional (gabungan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah). Laporan Keuangan Pemerintah
Pusat merupakan konsolidasi dari laporan keuangan
kementerian/lembaga, namun belum termasuk
laporan keuangan pemerintah daerah.
Sejalan dengan itu, Pemerintah telah menerbitkan
PP 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan (SAP) yang menggantikan PP 24 tahun
2005. Pasal 6 ayat (2) PP Nomor 71 Tahun 2010
mengatur bahwa pemerintah menyusun Pedoman
Umum Sistem Akutansi Pemerintah yang akan menjadi
acuan untuk penyusunan Sistem Akuntansi Pemerintah
pusat dan daerah, yang diperlukan dalam rangka
mewujudkan konsolidasi fiskal dan statistik keuangan
pemerintah secara nasional.
Dalam rangka pelaksanaan tugas Kanwil Ditjen
Perbendaharaan sebagai Representasi Kementerian
Keuangan di daerah di bidang pengelolaan fiskal,
Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.01/2012 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat
Jenderal
Perbendaharaan
yang
antara
lain
mengamanatkan Kanwil Ditjen Perbendaharaan untuk
menyusun Laporan Keuangan Konsolidasian Pusat
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan Laporan
Statistik Keuangan Pemerintah tingkat wilayah. Sejalan
dengan itu, Ditjen Perbendaharaan telah menerbitkan
Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor
PER-41/PB/2013 tanggal 12 November 2013 tentang
petunjuk teknis penyusunan laporan keuangan
pemerintah konsolidasian tingkat wilayah dan laporan
GFS tingkat wilayah dalam rangka memberikan
pedoman bagi Kanwil Ditjen Perbendaharaan
menyusun laporan dimaksud.
Selanjutnya, dalam menciptakan kepastian
hukum tentang penerapan GFS di Indonesia, dengan
mengadopsi GFS Manual 2014, Menteri Keuangan telah
menetapkan PMK Nomor 275/PMK.05/2014 tentang
Manual Statistik Keuangan Pemerintah Indonesia
(Mansikapi). Penerbitan Peraturan Menteri Keuangan
ini mengikuti beberap dasar hukum sebelumnya yang
mendorong penyusunan GFS, serta rekomendasi dari
IMF.
2.3. Kebijakan Fiskal
Barron, et. al. (1988: 552) menyatakan bahwa
kebijakan fiskal adalah tindakan nyata pemerintah
untuk mempengaruhi ekonomi ke arah tertentu,
dengan cara memanipulasi pajak, pengeluaran
pemerintah, atau kedua-duanya. Jika digambarkan
secara keseluruhan, di mana pajak merupakan
57
RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS
DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL
Puput Waryanto
Gambar 1. Kerangka Pikir
pendapatan dan pengeluaran pemerintah adalah
beban, maka kerangka kinerja yang menjadi bahasan
utama kebijakan fiskal adalah pendapatan dan beban
(dalam basis akrual) atau pemasukan dan pengeluaran
(dalam basis kas). Sebagai institusi publik, negara
harus melibatkan masyarakat, dalam artian bahwa
kebijakan pemasukan diharapkan dapat dioptimalkan
dari masyarakat yang kemudian disalurkan kembali
kepada masyarakat.
Dari sudut ekonomi makro, kebijakan fiskal dapat
dibedakan menjadi dua yaitu Kebijakan Fiskal
Ekspansif dan Kebijakan Fiskal Kontraktif. Kebijakan
Fiskal Ekspansif adalah suatu kebijakan ekonomi
dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian
untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah
penerimaan dan pengeluaran pemerintah, pada saat
munculnya kontraksional gap. Konstraksional gap
adalah suatu kondisi dimana output potensial (YF)
lebih tinggi dibandingkan dengan output aktual (Y1).
Pada saat terjadi kontraksional gap ini kondisi
perekonomian ditandai oleh tingginya tingkat
58
pengangguran. Kebijakan ekspansif dilakukan dengan
cara menaikkan pengeluaran pemerintah (G) atau
menurunkan pajak (T) untuk meningkatkan output (Y).
Kebijakan Fiskal Kontraktif adalah kebijakan
pemerintah dengan cara menurunkan belanja negara
dan menaikkan tingkat pajak. Kebijakan ini bertujuan
untuk menurunkan daya beli masyarakat dan
mengatasi inflasi. Baiknya politik anggaran surplus
dilaksanakan ketika perekonomian pada kondisi yang
ekspansi yang mulai memanas (overheating) untuk
menurunkan tekanan permintaan pada saat munculnya
ekpansionary gap. Ekspansionary gap adalah suatu
kondisi dimana output potensial (Yf) lebih kecil
dibandingkan dengan output aktual (Y1). Kebijakan
ekspansif dilakukan dengan cara menurunkan
pengeluaran pemerintah (G) atau menaikkan pajak (T)
untuk mengurangi output (Y).
Kebijakan Fiskal merupakan suatu kebijakan
ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi
perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan
mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS
DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL
Puput Waryanto
Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang
berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak
diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat
akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan
jumlah output. Sebaliknya kenaikan pajak akan
menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan
output industri secara umum. Dalam literatur klasik,
terdapat beberapa perbedaan pandangan mengenai
kebajikan fiskal, terutama menurut teori Keynes dan
teori klasik tradisional menurut Nopirin (2000). Pada
prinsipnya Keynes berpendapat bahwa kebijakan fiskal
lebih besar pengaruhnya terhadap output daripada
kebijakan moneter.
Kebijakan fiskal merupakan salah satu tugas
Menteri Keuangan karena sesuai Pasal 8 UU Nomor 17
tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dalam rangka
pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal,
Menteri Keuangan, mempunyai tugas: a) menyusun
kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro; b)
menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan
APBN; c) mengesahkan dokumen pelaksanaan
anggaran; d) melakukan perjanjian internasional di
bidang keuangan; e) melaksanakan pemungutan
pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan
undang-undang; f) melaksanakan fungsi bendahara
umum negara; g) menyusun laporan keuangan yang
merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN;
h) melaksanakan tugas-tugas lain di bidang
pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan undangundang.
Untuk memastikan bahwa kebijakan fiskal yang
telah dilakukan oleh menteri keuangan telah tepat,
perlu diketahui mengenai tujuan dari kebijakan fiskal,
yaitu sebagai berikut: 1) Mencapai stabilitas
perekonomian, 2) Memacu dan mendorong terjadinya
pertumbuhan
ekonomi,
3) Memperluas dan
menciptakan lapangan kerja, 4) Menciptakan
terwujudnya keadilan sosial bagi masyarakat, dan 5)
Mewujudkan
pendistribusian
dan
pemerataan
pendapatan.
Dari tujuan ini, penulis dapat menarik sebuah
kesimpulan daam rangka pemilihan faktor, bahwa
kebijakan fiskal dapat dijelaskan oleh Kesinambungan
Fiskal karena dapat menggambarkan keadaan fiskal
yang stabil dan baik. Ayumu Yamauchi (2004)
berpendapat bahwa kesinambungan fiskal akan terjadi
jika nilai sekarang (present value) dari kendala
pengeluaran (expenditure constraint) yang akan
datang dapat dipenuhi tanpa harus melakukan koreksi
atau
penyesuaian
fiskal
untuk
mencapai
keseimbangan.
Joseph Ntamatungiro (2004) menekankan bahwa
fiskal akan aman jika terdapat kestabilan rasio utang
terhadap PDB. Sementara itu, Edwards (2002)
berpendapat bahwa fiskal akan stabil bila rasio utang
terhadap PDB bersifat stasioner. Di dalam laporan
keuangan pemerintah pusat tahun 2013, dijelaskan
bahwa salah satu indikator kesinambungan fiskal
adalah rasio utang terhadap PDB (Produk Domestik
Bruto). Kesinambungan fiskal yang baik adalah yang
stabil dari tahun ke tahun, yang menunjukkan bahwa
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
besaran defisit anggaran selalu sebanding dengan PDB
yang ditopang.
2.4. Penelitian Sebelumnya
Penelitian mengenai relevansi penerapan GFS
dalam menilai Kebijakan Fiskal merupakan hal yang
masih awal sehingga penulis tidak dapat memperoleh
hasil penelitian sebelumnya yang relevan. Oleh karena
itu, dengan keterbatasan yang ada, penulis menyusun
penelitian ini. Penulis menyadari bahwa penelitian ini
masih perlu dikembangkan melalui penelitianpenelitian selanjutnya, dengan tetap memperhatikan
kemanfaatan bagi semua pihak yang berkaitan,
terutama pemerintah pusat yang bertanggung jawab
dalam penyusunan laporan keuangan pemerintah
pusat, dan Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal.
2.5. Hipotesis Penelitian
Atas dasar tinjauan literatur yang dipaparkan
sebelumnya, hipotesis yang diajukan dalam penelitian
ini adalah:
H0 : Penerapan Government Finance Statistics adalah
tidak relevan dalam menilai Kebijakan Fiskal.
H1 : Penerapan Government Finance Statistics adalah
relevan dalam menilai Kebijakan Fiskal
3.
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah unit institusional
pada negara-negara yang telah menerapkan
Government Finance Statistics. Sampel yang dipilih
adalah unit institusional sektor publik pada negaranegara yang telah menyusun laporan Government
Finance Statistics pada tahun 2008 s.d. 2012 (5 tahun).
Penulis melakukan pengambilan data untuk keperluan
penelitian berupa unit institusional sektor publik pada
26 negara. Data mengenai penerapan Government
Finance Statistics diperoleh dari International Monetary
Fund (IMF) sedankan data mengenai Keijakan Fiskal
diperoleh dari World Bank.
3.2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi:
1.
Studi Literatur
Studi literatur dilakukan dengan meninjau
literatur-literatur yang telah ada dan berkaitan dengan
permasalahan dalam penelitian ini. Literatur-literatur
tersebut berupa buku cetak, jurnal, skripsi, situs
internet, dan sebagainya. Tujuan dari studi literatur
menurut Iskandar (2008) adalah untuk menjelaskan,
membedakan, meramal dan mengendalikan fenomenafenomena atau gejala-gejala yang berhubungan dengan
masalah penelitian.
2.
Dokumentasi
Teknik
dokumentasi
dilakukan
dengan
mengumpulkan dan mengikhtisarkan seluruh data
sekunder terkait penelitian yang diperoleh dari
sumber data baik berupa data yang dipublikasikan
maupun data yang tidak dipublikasikan.
59
RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS
DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL
Puput Waryanto
3.3. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian adalah
data kuantitatif. Data terkait penerapan Government
Financial Statistics yaitu Gross Operating Balance dan
Debt to GNP Ratio pada beberapa negara yang
digunakan dalam penelitian ini didapatkan dari
publikasi internet International Monetary Fund (IMF)
dan World Bank.
3.4. Metode Analisis dan Model Penelitian
Penelitian ini menggunakan 2 variabel penelitian
yang terdiri atas 1 variabel bebas dan 1 variabel
terikat. Dalam penelitian ini, penulis telah menetapkan
variabel bebas dan variabel terikatnya, yakni:
Variabel terikat berupa Kebijakan Fiskal. Variabel
ini dijelaskan oleh Kesinambungan Fiskal. Adapun
penulis memilih variabel tersebut sebagai variabel
terikat di dalam penyusunan ini karena penulis
menganggap Kesinambungan Fiskal memegang
peranan penting dan diperkirakan merupakan hasil
dari kebijakan fiskal dalam sebuah negara,
sebagaimana dijelaskan di dalam landasan teori, bahwa
kebijakan fiskal bertujuan 1) Mencapai stabilitas
perekonomian, 2) Memacu dan mendorong terjadinya
pertumbuhan
ekonomi,
3) Memperluas dan
menciptakan lapangan kerja, 4) Menciptakan
terwujudnya keadilan sosial bagi masyarakat, dan 5)
Mewujudkan
pendistribusian
dan
pemerataan
pendapatan.
Kesinambungan
fiskal
dapat
merepresentasikan hasil kebijakan fiskal melalui rasio
utang terhadap PDB. Joseph Ntamatungiro (2004)
menekankan bahwa fiskal akan aman jika terdapat
kestabilan rasio utang terhadap PDB. Sementara itu,
Edwards (2002) berpendapat bahwa fiskal akan stabil
bila rasio utang terhadap PDB bersifat stasioner.
Variabel bebas berupa Penerapan GFS. Penerapan
GFS secara kuantitatif dapat diperkirakan dari Gross
Operating Balance yang terdapat di dalam Laporan
Operasional, komponen utama dalam Government
Finance Statistics (GFS). Gross Operating Balance ini
mencerminkan kemampuan fiskal pemerintah dalam
menghasilkan
nilai
tambah
dalam
kegiatan
operasionalnya, karena merupakan hasil pengurangan
beban terhadap pendapatan dalam satu tahun fiskal.
Dalam kerangka penelitian ini, ibaratnya penulis
membandingkan antara pendapatan negara menurut
GFS terhadap kestabilan ekonomi negaranya.
Untuk memudahkan pemahaman mengenai
variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini,
tabel 2 menyajikan secara ringkas definisi operasional
variabel tersebut.
Tabel 2. Operasionalisasi Variabel
Variabel
Penerapan GFS
Kebijakan
Fiskal
Sumber: data diolah
60
Bentuk Variabel
Gross Operating
Balance
Kesinambungan
Fiskal, melalui Debt to
GDP Ratio
Satuan
Persen
Nilai
interval
3.5. Model Analisis
3.5.1. Analisis Skala Interval
Analisis skala Interval yaitu suatu skala yang
mempunyai rentangan konstan antara tingkat satu
dengan yang aslinya, tetapi tidak mempunyai angka 0
mutlak (Irianto, 2004: 19). Untuk menyederhanakan
analisis data, penulis melakukan analisis skala interval
pada variabel Kebijakan Fiskal karena rentang data
yang dianalisis terlalu jauh. Variabel Kebijakan Fiskal
dibagai ke dalam interval yang ditentukan dengan cara:
1.1
Data yang dilakukan analisis skala interval
adalah data rata-rata Debt to GDP Ratioyang
telah diselisihkan dengan rata-rata Debt to GDP
Ratio tahun 2008-2012.
1.2
Interval ditentukan untuk setiap penyimpangan
2,6 persen, dengan pertimbangan bahwa
pengelompokan dilakukan atas 5 kelas data
pada interval penyimpangan 0-13%.
1.3
Setiap interval memiliki bobot 1 lebih besar dari
interval sebelumnya. Semakin kecil selisih
terhadap
rata-rata,
fiskal
makin
berkesinambungan/stabil dan mendapatkan
bobot terbesar.
3.5.2. Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik penting dilakukan untuk
menghasilkan estimator yang linier tidak bias dengan
varian yang minimum (Best Linier Unbiased Estimator),
yang berarti model regresi tidak mengandung masalah.
Karena penulis akan menggunakan regresi linier
sederhana, Uji Asumsi Klasik yang penulis gunakan
hanya Uji Normalitas.
Menurut Imam Ghozali (2007 :110) tujuan dari
uji normalitas adalah sebagai berikut:
“Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah
masing-masing variabel berdistribusi normal atau
tidak. Uji normalitas diperlukan karena untuk
melakukan pengujian-pengujian variabel lainnya
dengan mengasumsikan bahwa nilai residual
mengikuti distribusi normal. Jika asumsi ini dilanggar
maka uji statistik menjadi tidak valid dan statistik
parametrik tidak dapat digunakan.”
Uji statistik yang digunakan untuk uji normalitas data
dalam penelitian ini adalah uji normalitas atau sampel
Kolmogorov-Smirnov. Penulis menggunakan bantuan
Aplikasi SPSS 18 dalam melakukan Uji Normalitas. Jika
hasil pengujian menunjukkan bahwa Sig. > 0,05 maka
data yang diuji berdistribusi normal.
3.5.3. Analisis Regresi
Alat uji statistik yang dipergunakan untuk
menganalisis dalam penelitian ini adalah analisis
regresi linier (Regression Analysis) yaitu untuk menguji
pengaruh variabel bebas (Penerapan GFS) terhadap
variabel terikat (Kebijakan Fiskal). Analisis regresi
liner dipergunakan karena variabel terikat yang dicari
dipengaruhi variabel bebas. Regresi linier sederhana
menggunakan model persamaan sebagai berikut
(Sugiyono, 2010) :
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS
DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL
Puput Waryanto
y = a + bx + e
Keterangan:
x : Penerapan GFS; y : Kebijakan Fiskal;
a : Intercept/Konstanta; b : Koefisien regresi
Penerapan GFS; e : error term atau faktor-faktor lain
3.5.4. Pengujian Hipotesis
Dalam menguji hipotesis, penulis menggunakan
Uji F saja karena hanya menggunakan 1 variabel bebas.
Uji F ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel
bebas (x) yaitu penerapan GFS memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap variabel terikat (y) yaitu Kebijakan
Fiskal. Tujuannya adalah untuk menguji apakah
hipotesis yang diajukan diterima atau ditolak. Model
hipotesis yang digunakan dalam uji F ini adalah:
1) H0: b = 0 (artinya Penerapan GFS tidak relevan
dalam menilai Kebijakan Fiskal).
2) H1: b ≠ 0 (artinya Penerapan GFS dapat secara
relevan menilai Kebijakan Fiskal).
Nilai Fhitung akan dibandingkan dengan nilai Ftabel.
Kriteria pengambilan keputusan yaitu :
1) Jika Fhitung< Ftabel atau nilai sig > 0,05, maka maka
H0 diterima dan H1 ditolak berarti Penerapan GFS
tidak relevan dalam menilai Kebijakan Fiskal.
2) Jika Fhitung> Ftabel atau nilai sig < 0,05, maka maka
H0 ditolak dan H1 diterima berarti artinya
Penerapan GFS dapat secara relevan menilai
Kebijakan Fiskal.
Nilai Fhitung dapat diperoleh dengan menggunakan
rumus : (Sugiyono, 2010)
𝐹𝑕𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 =
𝑅2 / 𝑘
1 − 𝑅2 / (𝑛 − 𝑘 − 1)
Di mana:
R2 = Koefisien korelasi
k = Jumlah variabel independen
n = Jumlah anggota sampel
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Analisis Skala Interval
Sesuai dengan operasionalisasi variabel, penulis
melakukan pemetaan data variabel sebagaimana
ditayangkan dalam tabel 3.
Dalam
penelitian
ini,
penulis
akan
membandingkan pengaruh antara penerapan GFS
dalam menilai Kebijakan Fiskal. Data operasionalisasi
variabel pada tabel 3, diolah untuk mendapatkan data
variabel yang dibutuhkan. Data variabel kebijakan
fiskal perlu dicari dari data Kesinambungan Fiskal
berupa Debt to GDP Ratio, sedangkan data variabel
Penerapan GFS sudah tersedia dari data Gross
Tabel 3. Data Operasionalisasi Variabel
No.
Countries
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Austria
Belgium
Cyprus
Finland
France
Germany
Greece
Ireland
Italy
Luxembourg
Malta
Netherlands
Portugal
Slovak
Republic
Spain
Australia
Canada
Hong Kong
Denmark
Iceland
Israel
Japan
Norway
Sweden
United
Kingdom
United States
Average
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
2008
0,102622795
0,509865287
4,015270735
6,849787257
0,051818729
1,442934277
-6,083650092
-1,812373241
-0,439807968
6,548573619
-2,214861657
3,743752076
-1,704193028
Gross Operating Balance (Persentase Terhadap GDP)
2009
2010
2011
2012
-2,938585901 -3,405738148
-1,45289874 -1,580651445
-3,934756828 -2,288451483 -2,166099786 -2,296215894
-1,910011689 -1,501215105 -2,780543467 -3,933928511
0,139277383 -0,298784718
1,497795956
0,410189758
-3,966414537 -3,869456646 -2,083995353
-1,67876382
-1,404396114
-2,75174821
0,796233337
1,582452839
-12,32866007 -8,482040816 -8,239058101
-7,13587422
-9,752685678 -26,12535725 -10,06737934 -5,873889176
-2,880680655 -2,246417275 -1,921825879 -1,004444919
3,278061556
3,354643913
3,891599622
3,260322082
-1,620737551 -1,362159301 -0,254365783 -0,645092107
-1,705953821 -1,464229409 -1,033591559 -0,750741862
-7,058527543 -6,045742351 -1,701019482
-4,95962308
2008
63,8
89,3
48,9
33,9
68,2
66,9
112,6
44,5
105,7
13,7
62,2
58,5
71,6
Debt to GDP Ratio
2009 2010
2011
69,2
71,8
72,3
95,7
95,6
97,8
58,5
61,5
71,6
43,5
48,6
49,1
79,2
82,3
86
74,7
82,4
80,6
129 144,6 165,4
64,9
92,2 106,5
116 118,6 120,1
14,8
19,1
18,2
67,8
69,1
71,6
60,8
62,9
65,2
83,1
93,3 107,8
2012
74,3
99
87,3
52,6
90
83
170,7
117,7
126,3
21,7
71,8
68,2
119,1
-0,375845067 -5,732073446
-5,058861223
-2,705985684
-2,615606739
27,9
35,6
41,1
43,3
46,3
-0,358801531
4,263476162
3,667069024
1,425949734
5,253395028
-9,063022529
-1,730983316
0,094585559
21,815811
5,160658112
-6,518233938
-0,08675551
0,003521322
2,021210931
-0,678283747
-6,435257577
-4,716650359
-5,155123772
14,03550306
2,332385641
-5,587785237
-1,423258415
-0,206502482
5,32202541
-0,512087143
-7,154620592
-3,132746638
-4,932996987
14,23180595
3,267085759
-6,730018436
-1,064929341
0,5406799
5,189564901
0,116030323
-3,745621596
-2,354120221
-5,366033144
16,45968908
3,260870502
-8,831521871
-0,822015028
0,871828599
4,892840778
-1,373425023
-1,804821013
-3,629973029
-5,326875028
16,77355037
2,980244296
40,2
11,8
71,3
30,6
41,9
70,3
77
191,8
54,3
38,4
53,9
16,9
83,3
33,2
40,6
88,2
79,4
210,2
48,9
42
61,3
20,5
85,1
34,6
42,9
92,8
76
215,3
49,6
38,8
69,1
24,2
85,4
33,8
44,1
99,2
74,1
229,6
49,6
37,9
90,7
27,1
87,5
33,1
47,1
94,2
73,3
236,6
49,6
37,1
-2,764778704 -8,715293726
-7,658915668
-5,612852056
-4,027296965
52,2
68
75
81,8
88,7
-3,269338234 -8,678298532
1,351073616 -2,861823888
-8,123279249
-2,979108974
-6,99835835
-1,327932027
-5,824359732
-1,282449644
76,1
62,45
89,7
71,04
98,6
75,91
102,9
80,28
107,2
84,62
Sumber: diolah dari IMF dan Global Finance, 2015
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
61
RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS
DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL
Puput Waryanto
Operating Balance. Data Gross Operating Balance ini
hanya dapat diperoleh dari laporan Government Finace
Statistics masing-masing negara yang pada kesempatan
penelitian ini penulis dapatkan dari IMF. Sedangkan
data Debt to GDP Ratio diperoleh dari masing-masing
laporan keuangan dan analisis perekonomian suatu
negara, yang pada kesempatan ini penulis
mendapatkan data tersebut dari Global Finance.
Sesuai dengan landasan teori, kesinambungan
fiskal diperoleh apabila rasio utang (debt) terhadap
GDP adalah stabil. Penulis menggunakan dasar
stabilnya rasio tersebut berupa rata-rata rasio utang
terhadap GDP selama 2008-2012, yaitu
Debt to GDP Ratio rata-rata
=
𝑛
𝑘 =0 Debt to GDP Ratio k
n
62,45+ 71,04+ 75,91+ 80,28+ 84,62
=
= 74,86
5
Rata-rata Debt to GDP Ratio ini akan
ditandingkan dengan dengan Debt to GDP Ratio pada
masing-masing tahun anggaran, dengan melakukan
perhitungan: Penyimpangan terhadap rata-rata =
|(Rata-rata pertahun) –74,86| sehingga akan diperoleh
selisih yang bernilai mutlak. Kemudian besarnya
penyimpangan terhadap rata-rata tersebut dinilai ke
dalam 5 kelompok data dengan interval yang sama.
Data perhitungan disajikan pada tabel 4, sedangkan
interval disajikan pada tabel 5.
variabel terikat Y = Kebijakan Fiskal, yang disajikan
pada tabel 6.
Tabel 6. Variabel Penelitian yang Digunakan
Tahun
(b)
*Berdasarkan interval penyimpangan pada tabel 5.
Tabel 5. Interval Penyimpangan
Nilai Kesinambungan
Fiskal
10,41-13,00
1
7,81-10,40
2
5,21-7,80
3
2,61-5,20
4
0-2,60
5
Sumber: data sekunder (diolah)
Interval Penyimpangan
Setelah penulis melakukan perhitungan tabel 3, 4,
dan 5, maka diperoleh 2 data variabel penelitian yang
digunakan yaitu variabel bebas X = Penerapan GFS, dan
62
1
4
5
3
2
4.2. Uji Asumsi Klasik
Sebelum melakukan analisis regresi linier, data
variabel penelitian pada tabel 6 dilakukan uji asumsi
klasik, yaitu uji normalitas dengan metode sampel
Kolmogorov-Smirnov. Berdasarkan Lampiran 2: Hasil
Uji Asumsi Klasik dengan bantuan SPSS 18, diperoleh
data Sig. = 0,999. Dengan demikian, hasil pengujian
menunjukkan bahwa Sig. > 0,05 sehingga disimpulkan
bahwa data variabel yang diuji (tabel 6) berdistribusi
normal dan dapat dilanjutkan dengan analisis regresi
linear.
4.3. Analisis Regresi
Data pada tabel 6 diolah dengan melakukan
analisis regresi linier sederhana melalui program SPSS
For Windows, dan diperoleh hasil sebagaimana pada
Tabel 7.
Tabel 7 Hasil Analisis Regresi Linier
Nilai
Kesinambungan
Fiskal*
(c) = |(b) –
(d)
74,86|
2008
62,45
12,41
1
2009
71,04
3,82
4
2010
75,91
1,05
5
2011
80,28
5,42
3
2012
84,62
9,76
2
Sumber: diolah dari IMF dan Global Finance
(a)
Kebijakan Fiskal
2008
1,351073616
2009
-2,861823888
2010
-2,979108974
2011
-1,327932027
2012
-1,282449644
Sumber: data sekunder (diolah)
Tabel 4. Data Perhitungan
Penyimpangan
Debt to GDP
Tahun
terhadap
Ratio (%)
rata-rata
Penerapan GFS
Model
1
Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients
Coefficients
Std.
B
Beta
Error
1,810
,415
(Constant)
Penerapan
-,838
,197
-,926
GFS
a. Dependent Variable: Kebijakan_Fiskal
T
Sig.
4,358
,022
-4,263
,024
Berdasarkan Tabel 7, diperoleh koefisien regresi
yaitu nilai konstanta (a) = 1,810; b = -0,838; sehingga
model persamaan regresi adalah sebagai berikut :
Y = 1,810– 0,838.X
Dari persamaan regresi yang dihasilkan, dapat
dinyatakan bahwa :
1) Jika faktor Penerapan GFS sama dengan 0 maka
kebijakan fiskal = 1,810.
2) Nilai koefisien b = -0,838 menunjukkan adanya
pengaruh yang negatif antara variabel Penerapan
GFS terhadap Kebijakan Fiskal. Artinya, apabila
informasi Gross Operating Balance dalam
Penerapan GFS tinggi, maka dapat dipandang
sebagai penilaian terhadap hasil kebijakan fiskal
yang kurang memuaskan dengan asumsi variabel
lainnya konstan atau tetap.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS
DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL
Puput Waryanto
4.4. Uji Goodness of Fit (R2)
Nilai
koefisien
determinasi
atau
R2menggambarkan seberapa besar variasi dari variabel
terikat dapat diterangkan oleh variabel bebas. Menurut
Sugiyono (2010) pedoman untuk memberikan
interpretasi koefisien korelasi sebagai berikut: 0,000,199 = sangat rendah; 0,20-0,399 = rendah; 0,400,599 = sedang; 0,60-0,799 = kuat; dan 0,80-1,000 =
sangat kuat.
Tabel 9. Hasil Analisis Korelasi
Model
R
1
,926
R
Square
,858
Adjusted
R
Square
-,811
Std. Error
of the
Estimate
,68720554
a. Predictors: (Constant), Penerapan_GFS
Sumber : data sekunder (diolah)
Tabel 9 memperlihatkan bahwa nilai koefisien
korelasi = 0,926 yang berarti sifatnya sangat kuat.
Adjusted R2 Penerapan GFS adalah sebesar 0,811. Nilai
tersebut dapat diartikan bahwa sekitar 81,1% variasi
variabel terikat dapat dijelaskan dan diprediksi oleh
variabel-variabel bebas Penerapan GFS. Sisa variasi
variabel terikat sebesar 18,9% dijelaskan oleh variabel
bebas lain. Oleh karena itu, para peneliti seharusnya
lebih peduli mengenai relevansi antara variabel bebas
dan variabel terikat secara teoritis dan logis, serta
signifikansinya secara statistik.
4.5. Hasil Uji Hipotesis
Untuk membuktikan hipotesis dalam penelitian
ini maka dilakukan uji F untuk mengetahui apakah
variabel bebas Penerapan GFS, bepengaruh terhadap
variabel terikat yaitu Kebijakan Fiskal. Dalam hasil
analisis regresi linier sederhana melalui program SPSS
For Windows juga diperoleh nilai F hitung (Anova).
Nilai ini menunjukkan uji dan tingkat kelayakan model
regresi (goodness of fit) sebagai derajat keberartian
regresi linier. Nilai F dapat dilihat dalam Tabel 8.
Berdasarkan Tabel 8, diketahui nilai F hitung sebesar
18,175. Nilai ini lebih besar dari nilai Ftabel yaitu
sebesar 10,127964, dengan menggunakan tingkat
kepercayaan 95% atau alpha 0,05 dan degree of
freedom (df) = n-k = 5-2 = 3 dan dk = k-1 = 2-1 = 1.
Selain itu juga diperoleh nilai sig/significant sebesar
0,024. Sehingga dapat dikatakan bahwa regresi ini
adalah linier dan signifikan.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
Dapat disimpulkan sementara bahwa Fhitung> Ftabel
atau nilai sig < 0,05, maka maka Ho ditolak dan H1
diterima berarti Penerapan GFS dapat secara relevan
menilai
Kebijakan
Fiskal.
Hasil
penelitian
menyimpulkan bahwa hipotesis diterima.
H0 Ditoak, H1 diterima: Penerapan Government Finance
Statistics adalah relevan dalam menilai Kebijakan
Fiskal.
4.6. Penjelasan atas Hasil Penelitian
Penerapan Government Finance Statistics adalah
relevan dalam menilai Kebijakan Fiskal. Dengan
demikian, kebutuhan pemerintah akan adanya
penerapan GFS dapat menjadi pilihan yang tepat
karena telah terbukti bahwa dengan penerapan GFS
pada beberapa negara dapat menjelaskan kebijakan
fiskal yang terjadi pada tahun-tahun fiskal. Tingkat
kontribusi yang tinggi, yaitu 81,1% menunjukkan
adanya hubungan yang kuat antarvariabel.
Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas
pengelolaan fiskal, sesuai dengan amanat UU Nomor 17
tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 8, salah
satu tugas Menteri Keuangan adalah menyusun
kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro. Sejauh
mana Menteri Keuangan berhasil dalam menyusun
kebijakan fiskal, dapat dilihat dari dampak
penerapannya.
Penelitian
ini
menggambarkan
keberhasilan kebijakan fiskal berupa Kesinambungan
Fiskal, melalui Debt to GDP Ratio karena beberapa
pertimbangan sesuai landasan teori. Sedangkan
Penerapan GFS digambarkan oleh GOB (Gross
Operating Balance) sebagai salah satu komponen
utama dalam GFS.
Penerapan GFS sebagai sebuah pedoman baru
perlu dikaji, dan ternyata diperoleh hasil penelitian
pada beberapa negara yang telah menerapkan GFS
bahwa Penerapan GFS dapat secara relevan menilai
Kebijakan Fiskal karena secara konsisten hasil analisis
regresi dan uji hipotesis menjunjukkan adanya
pengaruh signifikan dan menerima H1. Hal ini penting,
karena penulis berusaha mengembalikan lagi pada
nature dari GFS itu sendiri yang dirancang untuk
mendukung analisis fiskal. Data penelitian yang
digunakan adalah penerapan GFS di beberapa negara
lain, sementara penulis berusaha meneliti relevansinya
terhadap kebijakan fiskal, untuk kemudian dari hasil
tersebut dijadikan dasar berpikir bahwa pemberlakuan
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
275/PMK.05/2014 tentang Manual Statistik Keuangan
Pemerintah Indonesia (Mansikapi) sebagai adopsi dari
GFS Manual merupakan pilihan yang tepat.
Persamaan regresi yang dihasilkan adalah Y =
1,810–0,838X. Besaran X bernilai negatif dapat
dijelaskan dari komponen penerapan GFS yang
diwakili dalam penelitian ini oleh Gross Operating
Balance. Kemampuan negara dalam menghasilkan
Gross Operating Balance yang merupakan hasil
pengurangan beban terhadap pedapatan di dalam
laporan opersional GFS, ternyata berbanding terbalik
dengan kondisi fiskal yang diharapkan. Semakin besar
Gross Operating Balance, semakin buruk keadaan
63
RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS
DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL
Puput Waryanto
Bagan 1. Sektor Publik Menurut Mansikapi
Sektor
Pemerintahan
Umum
Pemerintah
Pusat
K/L
Pemerintah
Provinsi
BLU/BLUD
Pemerintah
Kab/Kota
UBL/LNS
Dana Jaminan
Sosial
Sektor Publik
Sektor
Perusahaan
Publik
Korporasi
Publik
Keuangan
Korporasi
Publik
Nonkeuangan
Penyimpan
Uang
Lainnya
Sumber: diolah dari Mansikapi
fiskalnya yang dibuktikan dengan kesinambungan
fiskal yang kurang stabil.
Hal ini dapat dijelaskan dengan analogi bahwa
pemerintah seharusnya tidak terlalu profit oriented
dalam menyelenggarakan kegiatan layanan kepada
masyarakat, bahkan pemerintah dituntut untuk
menumbuhkan ekonomi masyarakat di negara
tersebut dengan terus menambah pengeluaran sektor
publik dalam kondisi fiskal yang mengalami resesi,
serta melakukan penyeimbangan-penyeimbangan yang
dianggap perlu dalam keadaan ekonomi inflasi.
Pengeluaran sektor publik yang berhubungan
erat dengan beban operasional akan masuk di dalam
laporan operasional sebagai beban, mengurangi
pendapatan. Semakin besar beban tersebut, maka
semakin kecil kemungkinan Gross Operating Balance
yang dihasilkan pada laporan opersional tersebut.
Kenyataan yang menunjukkan bahwa semakin kecil
Gross Operating Balance akan menimbulkan hasil
kebijakan fiskal yang lebih baik, merupakan salah satu
dasar bagi negara-negara menganut paham defisit,
yakni selalu berencana menambah pengeluaran hingga
melebihi pendapatan. Kekurangan dana ditutupi
dengan pembiayaan utang.
Berikut adalah beberapa penjelasan yang penulis
kemukakan terkait relevansi penerapan GFS berupa
Gross Operating Balance di dalam Laporan Operasional
GFS, dalam menilai Kebijakan Fiskal.
64
a.
Pendapatan
Persamaan regresi hasil penelitian ini, yaitu Y =
1,810– 0,838X menunjukkan bahwa komponen X =
Penerapan GFS yang dalam hal ini dijelaskan oleh Gross
Operating Balance, memiliki kontribusi yang brsifat
negatif atau berkebalikan terhadap Kebijakan Fiskal
yang digambarkan oleh kesinambungan fiskal.
Pendapatan, yang terdiri atas beberapa jenis,
sebagaimana disampaikan dalam landasan teori,
sekilas akan menambah arus dan posisi dalam laporan
neraca, tetapi konsekuensi dari penambahan arus dan
posisi ini adalah pemerintah harus segera
menggunakannya dalam pos beban yang tepat untuk
kemanfaatan masyarakat.
Di dalam bahasan Government Finance Statistics,
ruang lingkup sektor publik terkesan lebih luas dari
yang dikenal oleh masyarakat, yaitu tersaji dalam
Bagan 1.
Kebijakan mengenai pendapatan merupakan
bagian dari kebijakan fiskal pemerintah, tidak hanya
dari sektor pemerintahan umum, tetapi juga dari
sektor perusahaan publik. Kenaikan/penurunan
pendapatan beserta efeknya terhadap kesinambungan
fiskal dapat disebabkan karena pos-pos pendapatan itu
sendiri yang meliputi:
1) Pendapatan Pajak
Pajak, sebagai transfer wajib tanpa imbalan
langsung yang diterima oleh sektor pemerintah umum,
dipungut dari wajib pajak berdasarkan kebijakan tarif,
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS
DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL
Puput Waryanto
pengurangan terhadap penghasilan bruto, dan
beberapa kebijakan teknis lainnya. Tentunya, selain
berpengaruh terhadap pendapatan negara, hal ini juga
berakibat pada kondisi wajib pajak yang dikenakan
pajak, kondisi usaha wajib pajak, para pekerja yang
bekerja di bawah usahnya, para pemasok wajib pajak,
pembeli, pihak pembiayaan, semuanya akan
merasakan dampak dari salah satu bagian kecil dari
kebijakan fiskal ini yaitu kebijakan tarif pajak.
Pemberlakuan basis akrual dalam pencatatan
pendapatan dan beban juga dirasakan menimbulkan
keadilan dalam penandingan pendapatan dan beban,
sehingga pendapatan pajak yang meruapakan bagian
dari pendapatan pajak tahun ini akan menjadi hak
pendapatan pajak tahun ini, meskipun belum
terealisasi pembayarannya dalam PPh Pasal 29 (di
Indonesia), tetapi dapat direkonsiliasikan dalam
sebuah sistem yang terpadu. Lantas apa pengaruhnya
terhadap kesinambungan fiskal? Dengan adanya basis
akrual misalnya, maka juga akan mengukur tingkat
keseimbangan fiskal secara adil dan tidak hanya
didasarkan akan penerimaan kas semata pada periode
tersebut.
Kembali lagi ke dalam masalah pendapatan pajak,
pembebanan tarif yang berlebihan akan menyebabkan
kondisi wajib pajak yang makin tidak profitabel,
karena terlalu banyak sumber daya yang ada
dugunakan untuk membayar pajak. Dengan demikian,
maka kemampuan wajib pajak dalam meningkatkan
perekonomian, kemampuan wajib pajak dalam
mencukupi kebutuhan hidupnya menjadi berkurang.
Secara psikologis juga dapat berakibat pada kemalasan
melakukan kegiatan usaha, sehingga berakibat pada
pengangguran
tenaga
kerja.
Pemasok
yang
berhubungan dengan wajib pajak tersebut, juga akan
kehilangan pelanggan. Dalam posisi tarif tertentu,
Kurva Laffer menggambarkan hubungan antara tarif
pajak dengan penerimaan pajak (Alink dan Kommer,
2011: 61). Penjelasan kurva ini dapat dilihat pada
gambar 2.
Gambar 2. Laffer Curve
Melihat hal itu, maka pengenaan pajak sebagai
pungutan harus tetap memperhatikan azas, dan fungsi
dari pungutan pajak itu sendiri, tidak sekadar melihat
satu sisi saja. Misalnya, dalam pemungutan pajak
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
memiliki azas convenance of payment, dan memiliki
fungsi budgetair serta regulerend. Di antara hal itu
harus dijaga keseimbangannya, agar menghasilkan
kombinasi yang terbaik dalam perekonomian nasional.
Sebagai contoh, pemungutan pajak dengan tarif yang
sangat tinggi atas penghasilan orang pribadi, dan batas
waktu penyetoran adalah pada hari yang sama dengan
tanggal gaji, maka hal ini mungkin secara fungsi
budgetair bagus karena mempercepat pendapatan
negara yang masuk ke kas negara, tetapi tidak sesuai
dengan azas convenance of payment karena
menyulitkan Wajib Pajak.
Pajak seringkali diasosiasikan dengan kebijakan
fiskal, tetapi sebenarnya secara terpisah masingmasing memiliki peranan yang berbeda, menurut
Barron, et. al. (1988: 552). Mengatur pajak sebagai
instrumen fiskal yang mengatur ekonomi merupakan
hal baru yang tidak dilakukan pada zaman dahulu,
sehingga peranan pajak saat telah diperluas fungsinya,
berawal dari sekadar pendapatan negara, diperluas
menjadi instrumen fiskal.
2) Kontribusi Sosial
Sebagai pendapatan aktual atau pendapatan yang
diperhitungkan skema asuransi sosial dalam rangka
penyediaan manfaat asuransi sosial yang terutang,
kontribusi sosial yang makin besar berpotensi
menyebabkan terganggunya kesinambungan fiskal.
Kebijakan pendapatan dari kontribusi sosial dapat
meliputi kebijakan tarif, kebijakan perjanjian
pertanggungan, serta berbagai kebijakan lain yang
terkait. Di Indonesia, kontribusi sosial ini mirip dengan
iuran yang ditarik oleh BPJS (Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial). Dalam penyusunan GFS, sektor ini
termasuk dalam cakupan, sedangkan dalam LKPP,
belum dicakup.
Dalam siklus normal, iuran BPJS diperhitungkan
dalam penyusunan lapran dalam rangka penyusunan
GFS, sehingga dapat secara keseluruhan dilihat
mengenai pendapatan dari kontribusi sosial serta
berbagai kemungkinan fiskal yang akan terjadi.
Implikasi dari pemungutan iuran adalah makin banyak
orang yang menanggungkan dirinya dalam jaminan
sosial, artinya selain dilihat dari segi pendapatan
kontribusi sosial yang meningkat, juga dapat diamati
bahwa masyarakat akan semakin merasa dirinya
terjaminkan, dan potensi diri untuk menjalankan
kegiatan ekonomi menjadi lebih kecil. Sekali lagi, hal
ini hanyalah kecenderungan, karena ada juga
kecenderungan sebaliknya, yaitu para karyawan akan
merasa lebih merasa aman atau terjamin sehingga
lebih produktif karena bisa konsentrasi terhadap
pekerjaan rutinnya.
Dengan
demikian,
pengaruh
peningkatan
pendapatan kontribusi sosial terhadap kesinambungan
fiskal tergantung dari kepentingan dan cara pandang
masyarakat di sebuah negara dalam menyikapi iuran
jaminan sosial. Penerapan sektor dana jaminan sosial
ini akan optimal apabila dikeola secara baik, dan
memberikan kebijakan-kebijakan yang berimbang.
Pengaruh ini hanya dapat dianalisis jika Penerapan GFS
65
RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS
DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL
Puput Waryanto
telah dilakukan karena LKPP tidak memberikan ruang
bagi sektor dana jaminan sosial untuk masuk dalam
laporan keuangan konsolidasi LKPP.
3) Hibah
Hibah, transfer tidak wajib yang diterima dari
pemerintah lain/organisasi internasional dalam
bentuk kas dan non-kas (barang/jasa), bukanlah suatu
target pendapatan tetapi akan memberikan efek yang
kurang baik terhadap kesinambungan fiskal ketika
hibah yang diberikan membawa misi tidak tertulis, di
mana suatu saat di masa depan negara penerima
memiliki kewajiban yang tak tertulis untuk melakukan
suatu kebijakan tertentu yang sudah barang tentu akan
mempengaruhi pengeluaran pengeluaran pemerintah.
Secara tidak langsung, pengeluaran tersebut akan
mengurangi jatah pengeluaran pemerintah yang akan
digunakan
untuk
kepentingan
fungsi
utama
pemerintahan.
Akibatnya,
kebijakan
pemerintah
dalam
penerapannya
akan
merugikan
rakyat,
dan
menurunkan
kestabilan
ekonomi.
Pendapatan
Domestik Bruto rendah baik secara nasional maupun
perkapita. Oleh karena itu, dalam melakukan
perjanjian hibah hendaknya didasari atas perjanjian
yang saling percaya dan benar-benar ikhlas antarpihak.
4) Pendapatan lain
Pendapatan lain mencakup semua transaksi
pendapatan yang tidak diklasifikasikan sebagai pajak,
kontribusi sosial atau hibah, yang dapat meliputi
penjualan barang dan jasa, bunga dan jenis lain dari
pendapatan atas kekayaan, transfer sukarela dalam
bentuk kas dan non-kas selain hibah, serta denda dan
penalti. Mereka memiliki karakter yang hampir sama
dengan jenis sebelumnya. Pada intinya, penerimaan
pendapatan lain dapat mengakibatkan timbulnya
potensi tidak diterimanya pendapatan lain yang lebih
besar, atau berpotensi menambah porsi pengeluaran
pemerintah untuk kepentingan terkait. Dalam
pendapatan lain ini pun menggunakan basis akrual
dalam pengakuan transaksinya.
Penerapan basis akrual, misalnya jika terjadi
pendapatan sewa selama 5 tahun, kas di terima di
muka pada tahun pertama, maka performa pendapatan
seharusnya tidak hanya dinilai dari basis kas dengan
memasukkannya dalam laporan operasional tahun
pertama, tetapi harus bisa menggunakan bais akrual
dengan mendistribusikan pendapatan sewa tersebut
selama masa sewa berlangsung yang akan
menunjukkan performa pendapatan yang sesuai
dengan keterjadian transaksinya. Melalui GFS,
penandingan antara pendapatan dan beban yang
bersesuaian ini juga dapat terkonsolidasi secara
intrasektoral maupun intersektoral, sesuai dengan
tujuan analisis fiskal dengan statistik pelaporan
keuangannya.
Nominal
dari
Gross
Operating
Balance
mencerminkan sektor publik mana yang akan
dianalisis, dan hal ini tidak akan bisa dilakukan dalam
laporan keuangan pemerintah dengan tujuan umum,
66
yang sekarang dapat dijumpai dalam laporan keuangan
pemerintah pusat yang dasar penyusunannya
menggunakan PSAP (berdasarkan PP Nomor 71 Tahun
2010). Meskipun dalam penerapannya telah terdapat
laporan operasional, tetapi konten dari laporan
tersebut nantinya akan berbeda dengan laporan
operasional GFS karena cakupan sektor dari LKPP
adalah pemerintah pusat saja. Kini, dengan pemerintah
daerah pun belum dilakukan konsolidasi.
b. Beban
Beban, yang terdiri atas beberapa jenis,
sebagaimana disampaikan dalam landasan teori,
sekilas akan mengurangi arus dan posisi dalam laporan
GFS, tetapi konsekuensi dari pengurangan arus dan
posisi ini adalah peningkatan perekonomian dengan
kondisi fiskal yang berkesinambungan. Implikasi dari
kebijakan fiskal terkait beban yaitu mengatur
pengeluaran pemerintah. Bebarapa jenis beban yang
relevan dalam menilai kebijakan fiskal adalah:
1) Kompensasi pegawai
Remunerasi dalam bentuk kas atau nonkas yang
terutang kepada pegawai sebagai imbalan pekerjaan.
Secara umum pemberian kompensasi adalah untuk
membantu organisasi dalam mencapai tujuan
keberhasilan strategi dan menjamin terciptanya
keadilan baik keadilan internal maupun keadilan
eksternal. Schuler dan Jackson (1999) menyatakan
bahwa melalui kompensasi dapat digunakan untuk (a)
menarik orang-orang yang potensial atau berkualitas
untuk
bergabung
dengan
organisasi.(b)
mempertahankan pegawai yang baik. (c) meraih
keunggulan kompetitif. (d) memotivasi pegawai dalam
meningkatkan produktivitas atau mencapai tingkat
kinerja yang tinggi. (e) melakukan pembayaran sesuai
aturan hukum. (f) memudahkan sasaran strategis. (g)
mengokohkan dan menentukan struktur.
Apabila pemberian kompensasi tersebut mampu
mengundang orang-orang yang potensial untuk
bergabung dengan organisasi dan membuat pegawai
yang baik untuk tetap bertahan di organisasi, serta
mampu memotivasi pegawai untuk meningkatkan
kinerjanya, berarti produktivitas juga akan meningkat
dan organisasi dapat menghasilkan layanan yang
unggul atau produk dengan harga yang kompetitif,
sehingga organisasi lebih dimungkinkan untuk dapat
mencapai sasaran strategisnya yaitu mempertahankan
kelangsungan hidup dan mengembangkan usaha.
Hasil penelitian rupanya sejalan dengan prinsip
kompensasi ini. Semakin besar kompensasi kepada
pegawai, tidak selalu berarti bahwa hal itu merupakan
pemborosan dan inefisiensi, tetapi justru dengan
perencanaan dan sistem kompensasi yang baik dan
terukur, dapat melipatgandakan kinerja organisasi
dalam memberikan layanan kepada masyarakat, yang
secara tidak langsung berakibat pada stabilitas
ekonomi masyarakat. Begitu pula dalam sektor
perusahaan publik (BUMN/BUMD), kinerja karyawan
dalam menghasilkan barang yang dibutuhkan oleh
hajat hidup orang banyak ,dapat terpenuhi
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS
DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL
Puput Waryanto
sebagaimana mestinya, bahkan akan mengalami
peningkatan-peningkatan yang berarti.
Dalam Government Finance Statistics, kompensasi,
sebagai salah satu jenis beban, merupakan hasil
konsolidasiatas kompensasi pegawai negeri sipil pusat,
pegawai negeri sipil daerah, pegawai kontrak, pegawai
BUMN, hingga pegawai dana jaminan sosial. Hal ini
terkait dengan cakupan Government Finance Statistics
pada bagan 1 yang cakupannya dapat menjamah
seluruh sektor publik mulai dari pemerintahan umum
hingga korporasi publik, tergantung dari metode
konsolidasi yang digunakannya. Luasnya cakupan
kompensasi pegawai dalam GFS ini, dapat menjadi
dasar yang kuat bagi pemerintah dalam menganalisis
masalah dalam rangka pengambilan kebijakan fiskal
karena beban kompensasi pegawai sebagai bagian dari
pengurang pendapatan, dapat menilai kinerja fiskal
pemerintah pada tahun fiskal yang bersangkutan.
Mengingat
pentingnya
kompensasi
dalam
membentuk stabilitas fiskal, hendaknya pemerintah
maupun unit institusional sektor publik lainnya
memperhatikan beberapa hal: (1) kompensasi yang
diberikan harus dapat dirasakan adil oleh pegawai dan
(2) besarnya kompensasi tidak jauh berbeda dengan
yang diharapkan oleh pegawai. Kepuasan pegawai
akan timbul, dan akan memicu pegawai untuk terus
meningkatkan kinerjanya, sehingga tujuan organisasi
maupun kebutuhan pegawai akan tercapai secara
bersama.
Keadilan
dapat
diperoleh
dengan
mempertimbangkan kondisi eksternal kondisi internal
dan kondisi individu. Kompensasi harus diusahakan
sebanding dengan kondisi di luar organisasi.
Kompensasi juga harus memperhatikan kondisi
individu, sehingga tidak memberikan kompensasi
dengan pertimbangan subyektif dan diskriminatif.
Untuk memenuhi harapan pegawai, hendaknya
kompensasi yang diberikan oleh organisasi dapat
memuaskan berbagai kebutuhan pegawai. Kompensasi
yang diberikan berdasarkan pekerjaan atau senioritas
tanpa memperhatikan kemampuan dan keterampilan
seringkali membuat pegawai yang mempunyai
keterampilan dan kinerja baik menjadi frustasi dan
meninggalkan organisasi, sebab kompensasi yang
diberikan oleh organisasi dirasakan tidak adil dan
tidak sesuai dengan harapan mereka. Sebaliknya
kompensasi ini akan membuat pegawai yang tidak
berprestasi
menjadi
benalu
bagi
organisasi.
Kompensasi yang diberikan berdasarkan kinerja dan
keterampilan pegawai nampaknya dapat memuaskan
pegawai, sehingga diharapkan pegawai termotivasi
untuk meningkatkan kinerja dan mengembangkan
keterampilannya. Hal ini disebabkan karena pegawai
yang selalu berusaha untuk meningkatkan kinerja dan
keterampilannya akan mendapatkan kompensasi yang
semakin besar.
2) Penggunaan barang dan jasa
Beban kedua adalah barang dan jasa yang
digunakan dalam proses produksi atau diperoleh
untuk dijual kembali dikurangi dengan perubahan neto
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
persediaan barang dan jasa tersebut. Dalam akuntansi
komersial, dikenal adanya beban pokok penjualan atau
COGS (Cost of Goods Sold). Terkesan aneh, mengapa di
dalam pemerintahan terdapat COGS? Apakah fungsi
pemerintah
adalah
bisnis/penjualan
untuk
memperoleh keuntungan? Di dalam GFS terdapat
sektor korporasi publik nonkeuangan, di mana
kegiatan utamanya adalah kegiatan bisnis, tetapi
pemerintah memiliki andil yang tinggi dalam
menentukan arah kebijakan perusahaan untuk
memastikan bahwa kegiatan bisnisnya itu benar-benar
sesuai dengan tujuan pemerintah dalam rangka
memberikan layanan kepada masyarakat.
Di dalam GFS, BUMN merupakan sebuah unit
institusi, yaitu entitas ekonomi yang mampu, dalam
dirinya sendiri, untuk memiliki aset, menimbulkan
kewajiban, dan terlibat dalam kegiatan ekonomi dan
transaksi dengan entitas lain. Dalam menjalankan
bisnisnya, BUMN ini melakukan penjualan barang/jasa
melalui mekanisme pasar. Penjualan yang tinggi akan
menyebabkan penggunaan beban pokok penjualan
yang lebih besar pula. Akan tetapi, tidak selamanya
berbanding lurus antara besarnya biaya produksi
terhadap kesinambungna fiskal. Dengan demikian,
sejalan dengan peningkatan penjualan itu, efisiensi
baban produksi menjadi lebih penting.Selain itu, dapat
dipandang bahwa perekonomian masyarakat akan
meningkat dengan adanya penggunaan bahan baku
dan tenaga kerja dari kalangan masyarakat. Pengadaan
barang/jasa, penggunaan tenaga kerja, berakibat baik
terhadap
perkembangan
ekonomi
masyarakat
sehingga menjadi lebih stabil.
3) Penggunaan/konsumsi aset tetap (Penyusutan)
Penurunan nilai aset tetap selama periode
akuntansi sebagai akibat penurunan fisik, kadaluarsa
normal, dan kerusakan normal yang tidak
disengaja.Secara
tidak
langsung
penyusutan
berpengaruh terhadap stabilitas fiskal dalam kerangka
bahwa makin banyak pengadaan barang modal.
Pengadaan barangmodal dilakukan melalui proses
pengadaan barang/jasa. Proses ini memiliki dampak
yang baik terhadap perekonomian di sektor riil
maupun finansial. Di sektor riil, masyarakat dapat ikut
berpartisipasi dalam penyediaan bahan baku, tenaga
kerja, dan biaya produksi overhead. Masyarakat yang
sebelumnya
menganggur
dapat
memperoleh
pekerjaan. Para pemasok bahan baku mendapatkan
pelanggan.
4) Bunga adalah beban yang timbul atas penggunaan
dana unit lain oleh debitur
Besaran
bunga
yang
makin
bertambah,
dimungkinkan adanya penambahan jumlah hutang
dalam rangka menjaga Debt to Gross Domestic Bruto
Ratio (rasio hutang terhadap PDB). PDB yang selalu
meningkat setiap tahunnya harus diikuti oleh
peningkatan pembiayaan yang diperlukan untuk
menopang defisit anggaran terebut, yang salah satu
porsi terbesar berasal dari hutang. Hutang yang makin
besar menimbulkan konsekuensi berupa pembayaran
67
RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS
DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL
Puput Waryanto
bunga setiap tanggal jatuh tempo bunga, di samping
pembayaran pokok hutangnya.Pokok hutang yang
tetap pun masih bisa menambah beban bunga karena
pengaruh kurs yang makin melemah, atau karena
perjanjian tertentu bahwa yield-to-maturity harus
disesuaikan dengan harga pasar terkini yang makin
meningkat. Dari 26 negara yang telah menerapkan GFS
sebagaimana dapat dilihat pada tabel 1, secara ratarata mengalami kenaikan Debt to GDP Ratio mulai dari
62,45% pada tahun 2008; 71,04% pada tahun 2009;
75,91% pada tahun 2010; 80,28% pada tahun 2011;
dan 84,62% pada tahun 2012.
Hal ini menggambarkan bahwa memang praktik
utang di beberapa negara memang dilakukan, di mana
jumlahnya meningkat bukan hanya dari segi
persentase tetapi juga nominalnya, sebagai dampak
dari penerapan kebijakan defisit anggaran. Negaranegara tersebut juga pastinya memiliki konsekuensi
yang sama untuk membayar bunga pada kreditur.
Beban bunga makin meningkat seiring dengan
penambahan pokok utangnya, tetapi dampaknya akan
terasa dalam perekonomian. Menurut Rahardja dan
Manurung (2004), defisit anggaran memang
direncanakan untuk defisit, sebab pengeluaran
pemerintah direncanakan lebih besar dari penerimaan
pemerintah (G>T). Anggaran yang defisit ini biasanya
ditempuh bila pemerintah ingin menstimulasi
pertumbuhan ekonomi. Hal ini umumnya dilakukan
bila perekonomian berada dalam kondisi resesi.
Dalam kondisi yang tidak reses pun, seperti
negara-negara maju, juga tetap menerapkan kebijakan
defisit sehingga rasio utang terhadap PDB menjadi
indikator yang disepakati dalam mengukur stabilitas
kesinambungan fiskal. Dengan demikian, beban bunga
yang makin tinggi, sepanjang masih dalam kernagka
yang dapat ditoleransi, dpat meberikan indikator yang
baik bahwa fiskal tetap dianggap stabil.
Dalam basis akrual, pembebanan bunga utang
didasarkan atas kejadian ekonominya, bukan
pembayaran semata. Jadi, meskipun pada akhir periode
bunga belum dibayar, akan dianggap sebagai
penyesuaian beban bunga pada hutang bunga. Dengan
demikian, pembebanan ekonomi atas beban bung ini
menjadi relevan dan akuntabel dalam memberikan
gambaran besaran beban bunga yang sebenarnya
dapat diakui dalam tahun berjalan. Pemerintah pun
dapat melakukan analisis fiskal dengan dasar ini:
peningkatan beban bunga dapat menilai bahwa fiskal
stabil.
5) Subsidi
Transfer tahun berjalan yang dibayar oleh unit
pemerintah kepada perusahaan dalam rangka
memberikan kompensasi atas kerugian operasi, baik
berdasarkan tingkat aktivitas produksi atau
berdasarkan kuantitas atau nilai barang/jasa yang
diproduksi, dijual atau diimpor. Tidak ada negara yang
tidak menggunakan subsidi. Bahkan negara yang
bergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) seperti Inggris dan
Amerika Serikat juga menjadikan instrumen subsidi
68
dalam pembangunan ekonomi. Subsidi kepada petani
merupakan instrumen yang sangat penting diambil
oleh negara OECD. Dia tidak saja dimaksudkan untuk
memenuhi produksi dalam negeri, namun adalah untuk
memperluas pangsa pasar internasional. Selain itu,
program jaminan sosial yang dilakukan di negaranegara OECD juga menunjukan bagaimana negara maju
sangat konsen terhadap kebijakan subsidi dalam
rangka memberikan pelayan terhadap warga
negaranya.
Tujuan pemerintah melakukan subsidi adalah agar
masyarakat dapat memenuhi hajat hidupnya dengan
harga beli yang lebih terjangkau atas barang dan jasa
publik yang disubsidi tersebut. Dengan alokasi yang
tepat guna, bertambahnya beban subsidi dapat
meningkatkan daya beli masyarakat. Peningkatan daya
beli atas kebutuhan tersebut, dapat meningkatkan
pengeluaran
agregat
masyarakat.
Akibatnya,
setidaknya masyarakat, baik secara terpilih maupun
tidak terpilih, dapat menikmati barang/jasa yang
disubsidi tersebut. Subsidi terhadap barang produksi
akan meningkatkan kemampuan dalam menghasilkan
barang/jasa yang juga berdampak pada penyediaan
barang/jasa di masyarakat dengan harga yang
terjangkau. Keterlibatan masyarakat dalam penyediaan
faktor produksi, juga berdampak serius dalam
perekonomian.
Dungtji Munawar (2013) menyatakan dalam
makalahnya bahwa pelaksanaan subsidi perlu
mengubah polanya sesuai dengan kondisi. Misalkan,
pengalihan subsidi secara bertahap dari subsidi harga
yang kurang efektif dan tidak tepat sasaran kepada
subsidi bahan-bahan kebutuhan pokok bagi
masyarakat kurang mampu (targeted subsidy).
Pemerintah diharapkan tetap mempertahankan
kebijakan subsidi baik subsidi energi maupun subsidi
nonenergi karena subsidi ini masih diperlukan
terutama oleh golongan yang memiliki daya beli
rendah. Kebijakan subsidi non-energi supaya lebih
fokus kepada program subsidi untuk mengurangi
beban masyarakat miskin, dan membantu usaha
kelompok kecil dan menengah. Misalkan lebih fokus
kepada subsidi pupuk atau subsidi benih, dan apabila
pemerintah akan menerapkan kebijakan pengurangan
subsidi secara bertahap, maka harus dipilih terlebih
dahulu skenario yang berdampak paling kecil dan
berdasarkan database kependudukan yang akurat.
6) Hibah
Transfer tidak wajib dalam bentuk kas atau nonkas yang dibayarkan ke unit pemerintah umum lainnya
atau organisasi internasional. Beban Hibah yang
diberikan pemerintah kepada organisasi internasional,
akan dapat saja berlaku aturan main sebagimana
pendapatan hibah yang diterima pemerintah: adanya
kepentingan. Di dalam GFS, transaksi antarsektor
berupa akun resiprokal yang tercakup dalam GFS
dieliminasi, termasuk pemberian hibah dari pusat ke
daerah, hibah dari pusat ke BUMN, ataupun dari BUMN
ke BUMN. Eliminasi atas akun resiprokal ini
dimaksudkan karena transaksi seolah-olah terjadi
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS
DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL
Puput Waryanto
dalam satu unit kesatuan yang tergabung dalam
sebuah konsolidasi laporan GFS.
Dengan penyatuan data laporan ini, pemberian
hibah menjadi dapat lebih jelas efeknya untuk hibah
yang diberikan ke luar sektor publik, bisa kepada
masyarakat/rumah tangga umum, sektor privat, atau
internasional. Kebiajakn fiskal dapat diambil dengan
mengambil langkah yang tepat berdasarkan informasi
yang akurat dari laporan GFS, khususnya dalam
masalah hibah ini.
7) Manfaat sosial
Transfer tahun berjalan kepada rumah tangga
untuk memenuhi kebutuhan yang timbul atas suatu
kejadian seperti sakit, menganggur, pensiun,
kebutuhan perumahan atau keadaan keluarga yang
dapat dibayarkan dalam kas atau non-kas. Manfaat
sosial ini merupakan konsekuensi dari pemerintah
sebagai pelindung warganya. Pada sisi pendapatan,
pemerintah juga memperoleh pendapatan dari
kontribusi sosial, di mana pendapatan ini dihimpun
dari iuran jaminan sosial dari masyarakat yang
menjaminkan kondisi keseatan, kecelakaan kerja, atau
kematiannya. Kemudian pada sisi beban, pemerintah
memiliki kewajiban untuk memberikan manfaat atas
jaminan tersebut ketika peristiwa menyebabkan klaim
terjadi.
Semakin besar manfaat sosial yang diberikan,
ternyata berkorelasi positif terhadap kestabilan
ekonomi karena masyarakat merasa terlindungi dan
percaya kepada sektor publik. Uang pertanggungan
dapat digunakan masyarakat untuk menanggung
beban terkait, atau juga dapat digunakan untuk
kebutuhan lain apabila masih bisa disisihkan. Kondsi
kesehatan pun dapat terjaga, dan masyarakat dapat
melanjutkan aktivitas ekonominya.
8) Beban lainnya
Meliputi semua beban yang tidak dapat
dimasukkan dalam klasifikasi lain. Penerapan GFS uang
terintegrasi beserta penggunaan bais akrual menjadi
tolok ukur dalam setiap pembebananm termasuk
beban lainnya ini. Dengan tolok ukur ynag akurat,
maka informasi yang diberikan akan lebih akurat
sehingga dapat digunakan sebagai bahan pengambilan
keputusan dalam kebijakan fiskal pemerintah.
4.7. Hambatan dan Tantangan Penerapan GFS
Pentingnya penerapan GFS, menuntut pemerintah
segera merealisasikan GFS di Indonesia. Melalui
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
275/PMK.05/2014 tentang Manual Statistik Keuangan
Pemerintah Indonesia (Mansikapi), pemerintah telah
memiliki pedoman GFS. Mansikapi adalah bentuk GFS
yang barusaja ditetapkan di Indonesia sebagai sebuah
landasan dalam melakukan statistik keuangan
pemerintah. Dalam tahap selanjutnya, perlu adanya
sebuah petunjuk teknis yang jelas yang didasari oleh
payung hukum.
Meskipun mengadopsi dari GFSM 2014,
Mansikapi tidak serta merta mengambil mentah-
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
mentah materi yang ada dalam GFSM 2014 tersebut,
karena memang GFSM 2014 juga memberikan
kelonggaran kepada pengguna untuk menyesuaikan
penerapannya di negara masing-masing. Sebagaimana
dijelaskan di GFSM, pembagian sektor dan subsektor
dalam perekonomian, serta pendefinisian sektor
pemerintah umum dan sektor publik untuk
menentukan cakupan kompilasi data statistik dalam
Statistik
Keuangan
Pemerintah
Indonesia
mempertimbangkan ketersediaan data statistik dan
manfaatnya, serta cakupan unit dalam Statistik
Keuangan Pemerintah. Jadi, meskipun terdapat sedikit
perbedaan, tetapi masih dalam garis yang sama.
Salah satu bentuk perbedaan yang diterapkan
pemerintah RI adalah dimasukkannya BLU/BLUD dan
UBL/LNS dalam unsur sektor pemerintahan umum di
subsektor pemerintah pusat. Adapun alasan
memasukkan BLU/BLUD adalah karena BLU/BLUD
merupakan instansi di lingkungan pemerintah yang
dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa
yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan
dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada
prinsip efisiensi dan produktivitas. Namun demikian,
tidak
tertutup
kemungkinan
pengklasfikasian
BLU/BLUD sebagai kuasi-korporasi atau bagian dari
sektor korporasi publik, jika terdapat BLU/BLUD yang
memenuhi definisi unit institusi dan menjual
barang/jasa dengan harga yang signifikan secara
ekonomi.
Dalam hal output laporan yang dihasilkan,
Mansikapi tidak mewajibkan adanya Laporan
perubahan kekayaan neto (The Statement of Total
Changes in Net Worth) dan Laporan Ringkas Kewajiban
Kontinjensi eksplisit dan Kewajiban implisit bersih
untuk Manfaat Jaminan Sosial (The Summary Statement
of Explicit Contingent Liabilities and Net Implicit
Obligations for Future Social Security Benefits).
Mansikapi hanya menjelaskan di bagian Neraca, bahwa
perubahan kekayaan neto merupakan ukuran untuk
menilai kesinambungan aktivitas fiskal. Kekayaan
Keuangan Neto (net financial worth) sama dengan aset
keuangan dikurangi dengan kewajiban. Indikator ini
diperlukan karena kesulitan untuk menetapkan harga
pasar aset non-keuangan, sehingga beberapa analisis
difokuskan pada aset keuangan, dan tidak
menggunakan total asetnya. Dengan demikian laporan
harus diinterpretasi sendiri oleh pengguna dari neraca.
Tantangan berikutnya, adalah sebagimana
disajikan dalam tabel 1 Perbedaan Konseptual,
terdapat perbedaan prinsip antara GFS dengan standar
akuntansi pemerintah (pada sektor pemerintahan
umum), serta antara GFS dengan standar akuntansi
keuangan (pada sektor perusahaan publik), mulai dari
tujuan, scope, entitas pelaporan, kriteria pengakuan,
pengukuran, revaluasi dan perubahan nilai, serta
integrasi arus dan posisi. Perbedaan mendasar inilah
yang membuat pemerintah RI harus membentuk
sumber daya baru atau memodifikasi sumber daya
yang sudah ada agar penerapan GFS dapat terlaksana
dengan baik, mengingat kegunaan GFS yang
69
RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS
DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL
Puput Waryanto
bermanfaat dalam menilai kebijakan fiskal. SDM adalah
salah satu bagian utama sumber daya yang harus
dipersiapkan. Dengan demikian, kegiatan pendidikan
dan pelatihan yang memadai perlu dirancang.
Di samping kesiapan SDM, hal terkait peraturan,
sarana, dan prasarana juga merupakan hal yang
penting. Kesiapan dari segi peraturan perundangan
sudah mulai dilakukan, yakni Undang-Undang telah
dipersiapkan sejak tahun 2004, tetapi kewajiban
pembuatan Statistik Keuangan Pemerintah baru
diakomodir setelah beberapa tahun kemudian. Tahun
2012, penegasan tugas dan fungsi kanwil Ditjen PBN
tentang kewajiban membuat GFS Wilayah. Tahun 2013,
penegasan dengan juklak. Kemudian, akhir tahun 2014,
pembuatan Mansikapi (Manual Statistik Keuangan
Pemerintah). Dengan demikian, dapat dilihat bahwa
pada tahun 2012 Kanwil Ditjen PBN sudah ditugaskan
untuk membuat GFS, tetapi pedoman baru terbit akhir
tahun 2014.
Demikian pula dengan SAP yang ada di Peraturan
Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010, meskipun telah
mengakomodasi basis akrual, hal itu masih belum bisa
secara keseluruhan dapat mengakomodasi Mansikapi.
Komite Satandar Akuntansi Pemerintahan di Indonesia
belum menyajikan PSAP secara spesifik mengenai GFS,
tetapi dilihat dari bahasan yang dilakukan, bahasan
lebih berfokus pada laporan keuangan konsolidasi dan
Akuntansi Investasi. Laporan Keuangan Konsolidasian
diatur di dalam PSAP 11, sedangkan Akuntansi
Investasi diatur di dalam PSAP 06. PSAP 11
menjelaskan bahwa standar ini hanya menjelaskan
penyusunan laporan keuangan konsolidasian pada
unit-unit pemerintahan dalam rangka menyajikan
laporan keuangan untuk tujuan umum, yaitu untuk
memenuhi kebutuhan bersama sebagain besar
pengguna laporan termasuk lembaga legislatif
sebagaimana
ditetapkan
dalam
peraturan
perundangan.
Hal ini dikuatkan dengan paragraf 5 PSAP 11,
bahwa pernyataan standar laporan keuangan
konsolidasi tidak mengatur: (a) Laporan keuangan
konsolidasian
perusahaan
negara/daerah;
(b)
Akuntansi untuk investasi dalam perusahaan asosiasi;
(c) Akuntansi untuk investasi dalam usaha patungan
(joint venture); dan (d) Laporan statistik gabungan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan
demikian, yang dikonsolidasikan di dalam laporan
keuangan pemerintah pusat di Indonesia mencakup
semua entitas pelaporan keuangan semua entitas
akuntansi termasuk laporan keuangan BLU.
Dalam kerangka GFS, perlu juga dikembangkan
beberapa sistem dalam menyusun laporan ekonomi
dan statistik seperti Sistem Neraca Nasional (System of
National Accounts - SNA), Manual Neraca Pembayaran
(The Balance of Payments Manual), Manual Statistik
Moneter dan Keuangan (The Monetary and Financial
Statistics Manual). Tentu hal ini merupakan usaha dan
prestasi, yang dapat diambil hikmahnya, bahwa banyak
untuk membuat suatu tujuan tercapai, minimal harus
memiliki payung hukum terlebih dahulu, dan
kemudian diikuti oleh sarana dan prasarananya.
70
5.
KESIMPULAN
Berdasarkan estimasi model data panel
menggunakan pendekatan PLS menunjukkan bahwa
variabel LFDI mempunyai pengaruh signifikan
terhadap variabel LGDP untuk seluruh sektor. Hal
serupa juga ditunjukkan dengan menggunakan Model
Efek Tetap dimana LFDI mempunyai pengaruh positif
dan signifikan terhadap LGDP pada tingkat signifikan
5% dengan intersep yang berbeda antar sektor.
Dengan menggunakan Model Efek Acak, variabel LFDI
berpengaruh secara signifikan terhadap LGDP di
tingkat signifikan 5%. Dari seluruh estimasi model data
panel tersebut menunjukkan bahwa variabelLFDI
mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel
LGDP.
Selanjutnya, untuk mengetahui model mana yang
memberikan performance paling baik dalam
mejelaskan data digunakan Uji Chow atau Uji
Likelihood Ratio dan Uji Hausman.Hasil dari uji
tersebut menunjukkan bahwa pendekatan FEM
menunjukkan performance yang lebih baik dalam
menjelaskan data dibanding dengan pendekatan PLS
dan REM. Dengan demikian untuk melakukan analisis
hasil regresi digunakan Model EfekTetap.
Hasil empiris menggunakan Pendekatan Efek
Tetap menunjukkan bukti kuat bahwa PMAmempunyai
pengaruh positif dan signifikan terhadap GDP pada
tingkat signifikansi 5% dimana terlihat bahwa tidak
semua subsektor dari PMA tersebut yang berpengaruh
positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Dari hasil regresi per sektor dengan menggunakan
pendekatan Efek Tetap dengan spesifikasi efek
menggunakan cross section fixed effect ditunjukkan
bahwa subsektor Tanaman Pangan dan Perkebunan,
Pertambangan, Industri makanan, serta Transportasi,
Gudang dan Komunikasi berpengaruh secara positif
dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini
menunjukkan bahwa PMAmempunyai pengaruh
signifikan terhadap GDP berasal dari sektor primer,
sekunder, dan juga sektor tersier.
6.
IMPLIKASI DAN KETERBATASAN
Dalam
penelitian
ini,
masih
terdapat
beberapaketerbatasan-keterbatasan yaitu penelitian
ini hanyameneliti Gross Operating Balance sebagai
representasi yan gmenjelaskan penerapan GFS, dalam
pengaruhnyaterhadap kebijakan fiskal. Demikian pula
kebijakan fiskal, hanya direpresentasikan oleh Debt to
GDP Ratio. Penelitian ini tidak memperhitungkan
faktor lain dalam GFS karena keterbatasan data
kuantitatif yang telah dikumpulkan.
Hasil pengujian Penerapan GFS dalam penelitian
ini memiliki nilai kontribusi sebesar 81,1% yang
artinya sisa variasi variabel terikatsebesar 18,9%
dijelaskan oleh variabel bebas lain di luar model
tersebut karena penulis hanya melibatkan variabelvariabelbebas sesuai dengan hal mendasar yang dapat
diberikan oleh laporan GFS yang dijadikan rujukan
dalam penelitian ini. Faktor lain bukan berarti tidak
penting, tetapi secara statistik menang diperkirakan
hanya memiliki kontribusi yang kecil. Saran untuk
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS
DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL
Puput Waryanto
penelitian selanjutnya adalah untuk menggali lebih
dalam variable terikat yang mewakili Penerapan GFS,
terlebih pada unsur-unsur lain yang bersifat kuantitatif
maupun kualitatif.
http://boenkza87frog.blogspot.com/2011/09/kompe
nsasi-dan-kinerja-pegawai-dalam.html. Diakses
pada
tanggal
3
Maret
2015.
DAFTAR PUSTAKA
Alink, M. dan Komer, V. 2011. Handbook on Tax
Adminsitration. Amsterdam: IBFD.
Ghozali, Imam. 2007. Aplikasi Analisis Multivariate
Dengan
Program
SPSS. Semarang: BPUniversitas Diponogoro.
International Monetary Fund. 2014. Government
Finance Statistics Manual 2014.
Irianto, Agus. 2004. Statistik: Konsep Dasar, Aplikasi,
dan Pengembangannya. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Iskandar. 2008. Metodologi Penelitian Pendidikan dan
Sosial (Kuantitatif dan Kualitatif). Jakarta: Gaung
Persada Press.
John M. Barron, Mark A. Loewenstein, dan Gerald J.
Lynch. 1988. Macroeconmics. Canada: AddisonWesley Publishing Company.
Joseph Ntamatungiro. 2004. Fiscal Sustainability in
Heavily Indebted Countries Dependent on
Nonrenewable Resources: The Case of Gabon. IMF
Working
Paper.
www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2004/wp04
30.pdf.
Manurung, Mandala dan Prathama Rahardja. 2004.
Pengantar Ilmu Ekonomi. Jakarta: Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Munawar, Dungtji. 2013. Memahami Pengertian dan
Kebijakan Subsidi dalam APBN. Bandung: Balai
Diklat Keuangan Cimahi.
Nopirin. 2000. Ekonomi Moneter Buku II. Edisi ke-1
Cetakan Kesepuluh. Yogyakarta: BPFE UGM.
Schuler, R.S., dan S.E. Jackson. 1999. Manajemen
Sumber Daya Manusia: Menghadapi Abad Ke-21.
Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Sugiyono, 2010. Statistika Untuk Penelitian. Bandung:
Alfabeta.
Yamauchi, Ayumu. 2004. Fiscal Sustainability : The Case
of Eritrea. IMF Working Paper, No 7,
www.worldbank.org.
https://www.gfmag.com/global-data/economicdata/public-debt-percentage-gdp. Diakses pada
tanggal 3 Maret 2015.
http://elibrarydata.imf.org/FindDataReports.aspx?d=33061&e=
170809. Diakses pada tanggal 3 Maret 2015.
http://www.zakapedia.com/2014/09/pengertiankebijakan-fiskal-dan.html#_
Diakses
pada
tanggal 3 Maret 2015.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
71
RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS
DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL
Puput Waryanto
LAMPIRAN
Gambar 3. Kerangka Laporan Government Finance Statistics
BASIS AKRUAL
72
BASIS KAS
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS
DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL
Puput Waryanto
Hasil Uji Asumsi Klasik dengan bantuan Aplikasi SPSS 18
Notes
Output Created
Comments
Input
17-Jun-2015 04:46:52
Data
Active Dataset
Filter
Weight
Split File
N of Rows in Working
Data File
Missing Value Handling Definition of Missing
Cases Used
Syntax
E:\prak\Call For Paper\GFS\Call For
Paper debt to GDP.sav
DataSet1
<none>
<none>
<none>
5
User-defined missing values are treated
as missing.
Statistics for each test are based on
all cases with valid data for the
variable(s) used in that test.
NPAR TESTS
/K-S(NORMAL)=RES_1
/MISSING ANALYSIS.
Resources
Processor Time
Elapsed Time
Number of Cases Alloweda
a. Based on availability of workspace memory.
00:00:00,016
00:00:00,036
196608
[DataSet1] E:\prak\Call For Paper\GFS\Call For Paper debt to GDP.sav
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
N
Normal Parametersa,b
Most Extreme
Differences
Mean
Std. Deviation
Absolute
Positive
Negative
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
Unstandardize
d Residual
5
,0000000
,59513746
,163
,131
-,163
,365
,999
73
RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS
DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL
Puput Waryanto
Hasil Analisis Regresi dengan bantuan Aplikasi SPSS 18
REGRESSION
/MISSING LISTWISE
/STATISTICS COEFF OUTS R ANOVA
/CRITERIA=PIN(.05) POUT(.10)
/NOORIGIN
/DEPENDENT Kebijakan_Fiskal
/METHOD=ENTER Penerapan_GFS.
Regression
Notes
Output Created
Comments
Input
02-Mar-2015 07:53:58
Data
Active Dataset
Filter
Weight
Split File
N of Rows in Working
Data File
Missing Value Handling Definition of Missing
Cases Used
Syntax
Resources
E:\prak\Call For Paper\GFS\Call
For Paper debt to GDP.sav
DataSet1
<none>
<none>
<none>
5
User-defined missing values are
treated as missing.
Statistics are based on cases
with no missing values for any
variable used.
REGRESSION
/MISSING LISTWISE
/STATISTICS COEFF OUTS R ANOVA
/CRITERIA=PIN(.05) POUT(.10)
/NOORIGIN
/DEPENDENT Kebijakan_Fiskal
/METHOD=ENTER Penerapan_GFS.
Processor Time
Elapsed Time
Memory Required
Additional Memory
Required for Residual
Plots
00:00:00,031
00:00:00,075
1380 bytes
0 bytes
[DataSet1] E:\prak\Call For Paper\GFS\Call For Paper debt to GDP.sav
Variables Entered/Removedb
Model
Variables
Variables
Entered
Removed
Method
1
Penerapan_GFSa .
Enter
a. All requested variables entered.
b. Dependent Variable: Kebijakan_Fiskal
d
i
m
e
n
s
i
o
n
0
Model Summary
Adjusted R
Std. Error of
R
R Square
Square
the Estimate
1
,926a
,858
,811
,68720554
a. Predictors: (Constant), Penerapan_GFS
Model
d
i
m
e
n
s
i
o
n
0
74
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
RELEVANSI PENERAPAN GOVERNMENT FINANCE STATISTICS
DALAM MENILAI KEBIJAKAN FISKAL
Puput Waryanto
ANOVAb
Model
1
Regression
Residual
Sum of
Squares
8,583
1,417
Total
df
10,000
1
3
Mean Square
8,583
,472
F
18,175
Sig.
,024a
4
a. Predictors: (Constant), Penerapan_GFS
b. Dependent Variable: Kebijakan_Fiskal
Model
1
(Constant)
Coefficientsa
Unstandardized
Coefficients
B
Std. Error
1,810
,415
Penerapan_GFS
-,838
a. Dependent Variable: Kebijakan_Fiskal
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
,197
Standardized
Coefficients
Beta
-,926
t
4,358
Sig.
,022
-4,263
,024
75
Halaman ini sengaja dikosongkan
This page intentionally left blank
76
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014, Halaman 77-88
BADAN PENDIDIKAN DAN
PELATIHAN KEUANGAN
KEMENTERIAN KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
A SMALL MACROECONOMIC MODEL:
MODELLING AND FORECASTING FOR MONETARY AND
FISCAL POLICIES IN INDONESIA
Heryanah
International University of Japan (IUJ), Japan Email: [email protected]
ARTICLE INFORMATION
ABSTRACT
ARTICLE HISTORY
Received
23 September 2013
This paper constructed a small macro econometric model of Indonesia using annual time
series data from 1986 to 2011. The model consists of 6 behavior, 1 identity equations, 7
endogenous and 5 exogenous variables. The model is generated by using simultaneousequation simulation and the Two Stage Least Square (TSLS) technique.Then the dynamic
simulation of the whole model is performed. The performance of the model on the
historical data is evaluated based on Root Mean Square Percentage Error (RMSPE).Fiscal
and monetary policies are simulated in order to develop the multiplier. Finally,
forecasting is generated to identify the future economic performance of Indonesia.
Accepted to be published
28 November 2014
KEYWORDS:
Macro econometric model
Simultaneous simulation
Fiscal policies
Monetary policies
Forcasting
1
INTRODUCTION
Paper ini berusaha menciptakan model makro ekonometrik dari Indonesia dengan skala
yang kecil. Data yang digunakan adalah data runtun waktu tahunan dari tahun 1986
sampai tahun 2011. Model yang dibentuk terdiri dari 6 persamaan ‘behavior’ dan 1
persamaan identitas. Sementara itu model juga terdiri dari 7 variabel endogenus dan 5
variabel eksogenus. Teknik yang digunakan adalah Two Stage Least Square (TSLS) dengan
menggunakan simultaneous equation simulation. Simulasi dinamis diujikan terhadap
model secara keseluruhan dan dievaluasi dengan melihat nilai dari Root Mean Square
Percentage Error (RMSPE). Setelah mendapat model yang sesuai dilakukan dua simulasi
terhadap model yaitu dengan simulasi kebijkanan fiscal dan moneter serta simulasi untuk
forecasting.
Recently, the usage of econometric models in a
country, regional or even world has been expanded.
Econometric model play a significant role for a country
to determine the direction of its policy, particularly,
those related to the economic policies. By constructing
econometric model, policy makers could measure and
forecast the impact of policy changes on their economy,
particularly fiscal, monetary or mix policies. Moreover,
they could make forecast of the economic performance
for some period ahead.
The objective of this study is to construct a
small macro econometric model for Indonesia;
thereafter the model can be used for policy analysis
and forecasting. Second objective is to conduct policy
analysis, namely fiscal, monetary and mix policies. To
identify the endogenous variable which is impacted by
the policy such as GDP, investment, consumption,
interest rate, export and import. Finally, this paper
would also make forecasting of the economic
performance of Indonesia in the next 5 years.
This study will develop a Small Scale
Macroeconomic Model (SSMM) to explain economic
behavior and the relation among endogenous and
exogenous variables. SSMM is a comprehensive model
that could obtain direct analytical solution even with
fewer equations. The model is consists of 6 behavior
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
and 1 identity equations that generated by using
simultaneous-equation simulation and the Two Stage
Least Square (TSLS) technique. This study consists of
simplified model and variables to represent the real
economic condition such as GDP, household
consumption, government expenditure, private
investment, export, import, official exchange rate,
domestic interest rate, lending interest rate and money
supply (M2).
This paper is structured as follows: First chapter
presents the introduction that consists of background,
the objective, data methodology and the organization
of the paper. Second chapter discuss macroeconomic
condition in Indonesia. The third chapter presents the
model specification and estimation. The fourth chapter
simulates the fiscal and monetary policy through the
model. The chapter 5 conducts forecasting of the
macroeconomic condition of Indonesia. Finally, the
sixth chapter provides the conclusions.
2
OVERVIEW OF THE MACROECONOMIC
SITUATION AND THE DATA
As the recent survey of development reported by Mahi
and Nazara (2012), Indonesia has a good performance
in economic development during these four decades.
Apart from the crisis 1997, the growth rate of
Indonesia has grown fast since 1980 and in the final
77
A SMALL MACROECONOMIC MODEL: MODELLING AND FORECASTING FOR
MONETARY AND FISCAL POLICIES IN INDONESIA
Heryanah
Table 1. Descriptive of The Data
GDPID HHC
INV
G
X
M
DR
LR
M2
XCRID GDPUS
DD
Mean
1442385
824923.1 328692.3 113765.4 602307.7 486076.9 4.789861 8.847554 804903.8 5895.645 10329.62 58773.08
Median
1415000
843000
306000
97500
567500
435000
4.662262 9.552211
607000
8138.463
10450
45900
Maximum
2460000
1360000
602000
203000
1220000
942000
13.90054 16.50759
2880000
10389.94
13200
144600
Minimum
690000
376000
137000
67700
236000
186000
-19.32042 -26.23292
28000
1282.56
7030
-8000
Std. Dev.
490255.4 302371.9 124804.1 40327.74 271466.8 213995.1 6.806394 8.209665 822189.2 3728.355 2150.011 43630.84
Skewness
0.342355 0.104471 0.436146 1.035965 0.624805 0.452597 -1.585599 -3.057347 1.049064
Kurtosis
2.35168
Jarque-Bera
0.963243 1.312803
Probability
0.617781 0.518715 0.566859 0.097265 0.371389 0.458403
Sum
37502000 21448000 8546000
Sum Sq. Dev.
6.01E+12 2.29E+12 3.89E+11 4.07E+10 1.84E+12 1.14E+12 1158.175 1684.965 1.69E+13 3.48E+08 1.16E+08 4.76E+10
Observations
26
-0.11226 -0.056961 0.315628
1.919185 2.464213 2.903902 2.483185 2.212196 7.096858 14.02808 3.111332 1.107459 1.494484 1.967831
26
1.13529
26
4.660642 1.981011 1.560013 29.07747 172.2586 4.782415 3.934798 2.469519 1.585845
0.13982
0.290905
0.45252
2957900 15660000 12638000 124.5364 230.0364 20927500 153286.8
268570
1528100
26
26
26
0
26
0
26
0.091519
26
26
26
26
It should be note that: GDPID is Gross Domestic Product of Indonesia (constant LCU) in Billion Rupiah, HHC is Household
final consumption expenditure, etc. (constant LCU) in Billion Rupiah, INV is Gross fixed capital formation (constant LCU) in
Billion Rupiah, G is General government final consumption expenditure (constant LCU) in Billion Rupiah, X is Exports of
goods and services (constant LCU) in Billion Rupiah, M is Imports of goods and services (constant LCU) in Billion Rupiah,
LR is Real Lending interest rate (%), DR is Real Deposit interest rate (%), M2 is Money and quasi money (M2) (current
LCU) in Billion Rupiah, XCRID isOfficial exchange rate (LCU per US$, period average), DD is Data Discrepancy in Billion
Rupiah, GDPUS is United State Gross Domestic Product (constant LCU) in Billion Dollar
quarter of 2012, the economy continues to grow a
steady pace at 6.2 percent. The figure 1 shows the
performance of the GDP of Indonesia from 1960 to
2011.
As reported by The World Bank, 1The economic
outlook for Indonesia in 2013 remains positive despite
a weak global economy, but maintaining strong
investment growth is vital.Domestic consumption and
investment growth remain strong, while improving
growth in Indonesia’s major trading partners supports
a modest recovery in exports.
A strong policy framework is key to facilitating
investors’ ability to plan ahead and to maintaining the
confidence in the future that motivates investment. On
the fiscal side, the World Bank projects a full year 2012
deficit of 2.5 percent, slightly higher than the
Government’s revised Budget target of 2.2 percent of
GDP. Revenue growth has moderated but
disbursements of capital and material expenditures are
still behind their targets, despite strong nominal
growth. A more comprehensive figure of Indonesian
economy is shown in figure 2.
The data used in this research are annual series
data from 1986 to 2011. All the data are in the billion
Rupiah obtained from World Development Indicators
(WDI), consist of:
1
3
Indonesia Economic Quarterly: Policies in Focus
http://www.worldbank.org/en/news/feature/2012/12/18/
indonesia-economic
78
1.
Gross Domestic Product of Indonesia in constant
LCU (GDPID).
2. Household Final Consumption Expenditure of
Indonesia in constant LCU (HHC).
3. Gross Fixed Capital Formation of Indonesia in
constant LCU (INV).
4. General
Government
FinalConsumption
Expenditure of Indonesia in constant LCU (G).
5. Exports of Goods and Services of Indonesia in
constant LCU(X).
6. Imports of Goods and Services of Indonesia
constant LCU (M).
7. Real Lending Interest Rate (%) of Indonesia (LR).
8. Real Deposit Interest Rate (%) of Indonesia (DR).
9. Money and Quasi Money of Indonesia in current
LCU (M2).
10. Official Exchange Rate is LCU per US$, period
average (XCRID).
11. Data Discrepancy (DD) in Billion Rupiah.
12. United State Gross Domestic Product in constant
LCU (XCRID).
The descriptive of the data are as shown in the table 1.
MACROECONOMIC
INDONESIA
MODEL
OF
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
A SMALL MACROECONOMIC MODEL: MODELLING AND FORECASTING FOR
MONETARY AND FISCAL POLICIES IN INDONESIA
Heryanah
Table 2. Unit Root Test (Augmented Dickey-Fuller test statistic)
Variables
Level
First Difference
Second Difference
Domestic Interest Rate
-4.157***
-6.072***
-4.925***
Government Spending
-1.360
-4.075**
-8.136***
GDP
-0.366
-3.357*
-6.106***
Household Consumption
-2.410
-4.723***
-8.341***
Investment
-2.029
-3.479*
-5.448***
Lending Interest Rate
-4.655***
-6.388***
-4.897***
Import
-1.929
-4.692***
-5.785***
Export
-1.484
-5.974***
-5.830***
Exchange Rate
-1.115
-6.680***
Note: * significant at 10%, ** significant at 5%, *** significant at 1%
Since this study using time series data, therefore
it is important to check the stationary of the data first
before doing estimation. Table 2 shows the ADF for
unit root test of the data. The result show that only
domestic and lending interest rate are stationer in the
level, while other stationer in the first difference.
4.7.1. Private Investment
Xt = - 966102.7+ 172.2995USYt - 35.85316ERt
(-5.438951) (7.155276) (-2.581941)
R2 = 0.87
3.1.1
Private Consumption
Ct = - 19581.18+ 0.227198Yt + 0.655512Ct - 1
(-1.06)
R2 = 0.993
DW = 2.17
(4.39) (7.68)
s = 26500.79
Durbin h = -0.303
s = 102138.7
Multiplier =
3.1 Behavior Equation
The model used in this paper is a small macro
econometric model that consists of 6 behavioral and 1
identity equations. The behavior equations are: private
consumption, private investment, export, import,
deposit interest rate and lending interest rate. The
specification of the behavioral equations is as follows.
-8.043***
1
1−0.235574
dW = 1.054
= 1.308
The investment equation contains both a
multiplier and the accelerator, with investment also
depending on the short-term lending interest rate (LR).
From the regression, we have the results that the
multiplier and accelerator coefficients are significant at
1 per cent confidence level, and lending interest rate
significant at 5 per cent confidence level; while the
constant just significant at 13 per cent significance. The
multiplier effect is about 1.31 suggested that rising in 1
Billion Rupiah in investment will generate 1.31 Billion
Rupiah increase in the equilibrium GDP. The accelerate
effect is about 0.33
4.7.2. Export
It = - 48764.16+ 0.329103(Yt - 1 - Yt - 2)
The t statistics (in the parenthesis below each
estimated coefficient), the R2, the standard error and
the DW statistic are shown for each equation. This
equation content lagged dependent variables;
therefore the Durbin h statistic is also calculated.
Except for constant, the GDP and the previous
consumption are significant at 1 per cent confidence
level and based on the LM test, there is NO SERIAL
CORRELATION in this equation.
From the result we see that the Short-run
Marginal Propensity to Consume (MPC) for
Indonesia is 0.23, suggesting that 1 billion Rupiah
increase in real income (as measured by GDP) would
increase mean consumption by about 0.23 billion
Rupiah.
0.227198
The Long-run MPC is 0.66 (
). It means
1−0.655512
when consumers have had time to adjust to the 1
Billion Rupiah change in income, they will increase
their consumption ultimately by about 0.66 Billion
Rupiah.
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
+ 0.235574Yt + 1762.404LRt - 5
(-1.59)
R2 = 0.94
(3.13)
s = 28999.38
(12.98)(2.32)
DW = 1.067
The official exchange rate and interest rate have a
negative relationship with export. The entire
coefficient is significant at 1 per cent confidence level.
If the exchange rate increases by 1 Rupiah, the export
value will decrease by 35.85 Billion Rupiah and if US
GDP increases by 1 Billion Dollar, the export value will
increase by 172.3 Billion Rupiah.
79
A SMALL MACROECONOMIC MODEL: MODELLING AND FORECASTING FOR
MONETARY AND FISCAL POLICIES IN INDONESIA
Heryanah
Table 3. RMSPE of The Baseline
4.7.3. Import
Mt = - 187388.9+ 0.530523Yt - 16.82788ERt - 1
(-5.330707) (15.83243)
R2 = 0.95
(-3.971189)
s = 48513.98
DW = 1.38
GDPID
RMSPE:
(-1.347772)
R2 = 0.49s = 5.009
(4.713158)
DW = 2.56
The lending interest rate and domestic interest
rate have a positive e relationship. The coefficient is
significant at 1 per cent confidence level. If the current
plus previous lending interest rate increases by 1 per
cent, the domestic interest rate will increase by 0.4 per
cent.
4.7.5. Lending Interest Rate
LRt = 17.91118- 9.83E - 06 Yt + 0.000121(Yt - Yt - 1) - 1.08E
- 05 (M2 - M2t - 1) - 0.122685(LRt - 1 + LRt - 2)
(3.63)
(-0.68)
R2 = 0.86
(-2.25)
(-1.89)
S = 3.471
(8.72)
DW = 1.723 Durbin h = 0.756
This equation content lagged dependent
variables; therefore the Durbin h statistic is also
calculated. Except for M2-M2t-1, the entire coefficient
is significant. The lending interest rate has negative
related with GDP but has positive relation with the
changes of GDP.
4.8. System and Model
By utilizing the Two-Stage Least Squares method
(TSLS), we create the simmulation system and models.
In the system, I include 6 behaviour equations as
explained above, and incorporate 1 identity equation.
All coefficients are significant, except for C (1), C (4), C
(14), C (17) and C (19) (the results are in the
appendixes). Then I construct the dynamic simulation
involving the system and identity equation GDP =
consumption + government expenditure + investment
+ export – import + data discrepancy. The figure 1
below describes the result of the simulations by
comparing the endogenous variables with their actual
values.
80
LR
M
X
DR
0.26
0.23
0.29
0.4
0.4
0.41
8.67
0.03
0.17
1.13
0.12
0.16
2.12
After Improvement
0.06
4.9. Model Validation
To test the model, the root mean square
percentage error (RMSPE) value are obtained. The
results are shown at table 3. And the formula of RMSPE
is
𝑅𝑀𝑆𝑃𝐸 =
4.7.4. Deposit Interest Rate
DRt = - 2.418732+ 0.401136(LRt + LRt -1)
INV
Before Improvement
RMSPE:
The result shows that GDP has a significant
positive impact on import at 1% significance level and
official exchange rate also has a negative significant
impact at 1% significance level. If the GDP increases by
1 Billion Rupiah, the import value will increase by 0.53
Billion Rupiah and if official exchange rate increases by
1 Rupiah, the import value will decrease by 16.8 Billion
Rupiah.
HHC
1
𝑇
𝑌𝑡𝑠 − 𝑌𝑡𝑎 2
𝑇
𝑡=1
𝑌𝑡𝑎
From the result of Root Mean Square Percentage
Errors, the entire variable are acceptable (below 5%),
except the Domestic interest rate equation (DR).
Therefore, it should be improved by using Two Stage
Least Square. After make the improvement, the test
shows that the Root Mean Square Percentage Errors
are acceptable. Therefore this model can be used for
the policy simulation and forecasting purposes. Figure
3 describe the result of the simulations by comparing
the endogenous variables with their actual values.
5.
FISCAL AND MONETARY POLICIES
One of the objectives of this study is to examine
the impact of government policies namely fiscal and
monetary policies on the economy. This objective could
be achieved by examining multiplier analysis.
Multiplier is obtained by dividing magnitude of shock
change in policy variables to the different between the
base-run and the policy simulation.
There are two scenarios that would be presented
in this study. First, suppose Indonesian government
imposes the expansionary fiscal policy in the economy,
in other word government increases their expenditure
by 20%. Then, the impact of this policy is shown in the
figure 4 and the multiplier is presented in table 4.
From the result of the simulation, we may see that
if government increases their spending by 20 %, most
of the economics variables will have positive impacts.
On average, in time period study, GDP will increase by
1.69%, household consumption increase by o.64%,
investment increase by 2.33%. Export and import will
increase by 0.97 % and 2.85 % respectively. While,
deposit and lending interest rate will decrease as
amount of 0.4 %, 9.48 % and 3.74 % respectively.
Second scenario is suppose the government of
Indonesia imposes mix policy in the economy. Figure 5
shows the simulation of Mix Policy by incorporating
expansionary fiscal policy, by increasing government
spending by 10% combine with monetary contraction,
by reduce money supply 10% as well. While table 5
illustrates the multiplier resulted from the policy.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
A SMALL MACROECONOMIC MODEL: MODELLING AND FORECASTING FOR
MONETARY AND FISCAL POLICIES IN INDONESIA
Heryanah
Table 4. The Multiplier of Fiscal Policy
Year
DR
GDPID
HHC
INV
LR
M
X
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
20.79
-6.88
2.88
14.89
24.68
13.57
-41.99
-3.22
-125.79
64.79
-123.90
-115.01
-59.02
459.99
139.72
-51.84
-150.11
354.66
33.13
-416.17
-234.33
2.15
2.06
0.92
0.01
-0.26
-0.33
-0.74
4.32
3.18
1.70
3.07
3.01
2.61
1.58
1.49
1.64
1.31
1.53
2.85
2.14
1.34
-0.61
-0.76
-1.11
-1.27
-1.25
-1.27
-1.31
-1.08
-0.29
0.32
0.93
1.40
1.72
1.92
2.10
2.29
2.21
2.16
2.35
2.47
2.42
1.65
4.75
0.70
-1.44
-1.45
0.43
-1.11
2.18
14.60
0.76
1.25
5.11
7.57
0.49
-0.57
2.91
1.69
0.91
2.78
4.71
0.93
25.24
-3.25
-13.91
-6.14
-0.72
0.63
-6.49
-21.40
-7.92
-12.86
-36.90
-3.72
-11.23
-11.02
1.74
16.98
120.70
-15.00
-23.84
-24.56
-44.91
4.28
3.88
1.82
0.27
-0.18
-0.30
-0.90
7.23
6.33
2.84
5.23
5.27
4.26
2.37
2.17
2.38
1.84
2.14
4.16
3.06
1.79
4.59
2.31
0.69
-1.14
-1.95
-3.08
-3.35
17.60
3.81
2.53
6.76
3.10
0.32
-0.40
-0.40
-1.99
-2.48
-1.75
0.72
-2.32
-3.14
Average
-9.48
1.69
0.64
2.33
-3.74
2.85
0.97
From the results, we observe that if the
government of Indonesia imposes the expansionary
fiscal and monetary contraction policies to the
economic, simultaneously, GDP, investment, export and
import will improve with increasing incremental over
the simulation period performance in Indonesia. On
average, in time period study, GDP increase 0.61 %.
Investment, import and export will increase as well as
1.06 %, 1.16 % and 0.97 % respectively. Meanwhile,
that policy will make household consumption decrease
as 0.4 %. Deposit and lending interest rate decrease as
well as the amount 10.7 % and 4.57% respectively.
6.
FORECASTING
Since forecasting performance usually declines
with the length of the forecasting horizon. In this study,
forecasting is set for next 5 years. It means, in this
study, we will forecast up to year 2016.
Firstly, all exogenous variables in this model i.e.,
exchange rate, US GDP, money supply and Data
discrepancy are forecast by employing Exponential
Smoothing technique with choosing Holt-Winters – No
Seasonal option. For government spending, it is
forecasted by estimating with using AR (auto
regression) with corporate trend.
Secondly, the model is solved to estimate the
future values of all endogenous variables. The figure 4
demonstrates the forecasting results for Indonesia
until 2016. It can be seen that all variables tend to have
upward trend, except for deposit and lending interest
rate. We observe that all variables tend to continue the
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
expanding trend at least up to 2016, except for deposit
and lending interest rate.
7.
CONCLUSIONS
This paper attempted to construct a small size
macro econometric model (SSMM) for the economy of
Indonesian using annual time series data from 1986 to
2011. The model is generated by using simultaneousequation simulation and the Two Stage Least Square
(TSLS) technique. Then the dynamic simulation of the
whole model is performed. The performance of the
model on the historical data is evaluated based on Root
Mean Square Percentage Error (RMSPE).
The model is convenient for simulating fiscal and
monetary policy and economic forecasting.
The
comparison of the actual, baseline and scenario
indicates that growth estimate of the expansionary
policies is optimistic. Additionally, the projecting
results show that current expanding economic trend
will be continued by growth scenes for the Indonesian
economy in the future.
REFERENCES
Mahi, B. R. and Nazara, S. (2012). “Survey of recent
developments.”Bulletin of Indonesian Economic
Studies.(48). 7-31.
Pasaribu. (2003) “An Econometric Model of the
Indonesian Economy: Fiscal Policy Analysis”,
International University of Japan.
Pindyck, Robert S. and Daniel L. Rubinfeld (1998),
“Econometric Models & Economic Forecasts”,
Fourth Edition, McGraw-Hill, Singapore.
81
A SMALL MACROECONOMIC MODEL: MODELLING AND FORECASTING FOR
MONETARY AND FISCAL POLICIES IN INDONESIA
Heryanah
Aung, S.H. (2009). “A Macroeconometric Model of
Myanmar.”International University of Japan,
2009.
The World Bank (2013).”Indonesia Economic
Quartery.”
http://www.worldbank.org/en/news/feature/2012/1
2/18/indonesia-economic
82
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
A SMALL MACROECONOMIC MODEL: MODELLING AND FORECASTING FOR
MONETARY AND FISCAL POLICIES IN INDONESIA
Heryanah
APPENDIX
Table 5. The Multiplier of Mix Policy
Year
DR
GDPID
HHC
INV
LR
M
X
1991
14.59
1.28
-0.98
0.81
14.99
2.76
4.59
1992
-13.06
0.85
-1.48
2.29
-5.37
1.84
2.31
1993
2.74
-0.22
-2.02
-0.97
-11.83
-0.01
0.69
1994
17.13
-1.01
-2.24
-2.46
-5.3
-1.28
-1.14
1995
25.46
-1.25
-2.25
-2.38
-0.73
-1.62
-1.95
1996
12.05
-1.46
-2.34
-1.27
-1.96
-1.92
-3.08
1997
-42.14
-1.81
-2.41
-2.59
-4.99
-2.41
-3.35
1998
-5.71
3.21
-2.19
1.24
-22.7
5.46
17.6
1999
-123.61
2.27
-1.34
13.72
-7.48
4.54
3.81
2000
64.92
0.82
-0.68
0.01
-13.25
1.39
2.53
2001
-123.54
2.07
-0.09
0.12
-36.12
3.54
6.76
2002
-115.05
1.98
0.36
3.89
-3.03
3.47
3.1
2003
-58.52
1.59
0.67
6.42
-10.51
2.6
0.32
2004
462.41
0.59
0.88
-0.44
-11
0.87
-0.4
2005
139.15
0.46
1.04
-1.61
1.07
0.64
-0.4
2006
-52.66
0.57
1.2
1.61
16.39
0.77
-1.99
2007
-149.1
0.21
1.1
0.46
107.98
0.24
-2.48
2008
349.33
0.37
1.01
-0.32
-15.36
0.46
-1.75
2009
34.45
1.48
1.1
1.27
-22.31
2.13
0.72
2010
-418.98
0.78
1.16
2.89
-23.37
1.05
-2.32
2011
-244.6
0.01
1.07
-0.51
-41.15
-0.07
-3.14
Average
-10.7
0.61
-0.4
1.06
-4.57
1.16
0.97
Figure 1. The GDP of Indonesia (in Billion Rupiah) 1960-2011
3000000
2500000
2000000
1500000
1000000
500000
1960
1962
1964
1966
1968
1970
1972
1974
1976
1978
1980
1982
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
2010
0
GDP
Source: BPS RI
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
83
A SMALL MACROECONOMIC MODEL: MODELLING AND FORECASTING FOR
MONETARY AND FISCAL POLICIES IN INDONESIA
Heryanah
Figure 2. Indonesian’s Historical Macro-Economic Indicators
Source: The World Bank
84
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
A SMALL MACROECONOMIC MODEL: MODELLING AND FORECASTING FOR
MONETARY AND FISCAL POLICIES IN INDONESIA
Heryanah
Figure 3. Simulation of Endogenous Variables
DR
GDPID
20
2,500,000
10
2,000,000
HHC
1,400,000
1,200,000
1,000,000
0
1,500,000
-10
1,000,000
800,000
600,000
400,000
-20
500,000
1990
1995
2000
Actual
2005
2010
200,000
1990
DR (Baseline)
1995
Actual
INV
2000
2005
2010
1990
GDPID (Baseline)
1995
Actual
LR
700,000
30
600,000
20
2000
2005
2010
HHC (Baseline)
M
1,000,000
800,000
10
500,000
0
600,000
-10
400,000
400,000
300,000
-20
200,000
200,000
-30
100,000
-40
1990
1995
2000
Actual
2005
2010
INV (Baseline)
0
1990
1995
Actual
2000
2005
LR (Baseline)
2010
1990
1995
Actual
2000
2005
2010
M (Baseline)
X
1,400,000
1,200,000
1,000,000
800,000
600,000
400,000
200,000
1990
1995
Actual
2000
2005
2010
X (Baseline)
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
85
A SMALL MACROECONOMIC MODEL: MODELLING AND FORECASTING FOR
MONETARY AND FISCAL POLICIES IN INDONESIA
Heryanah
Figure 4. Simulation of Expansionary Fiscal Policy
DR
GDPID
20
2,400,000
10
2,000,000
0
1,600,000
HHC
1,400,000
1,200,000
1,000,000
800,000
-10
1,200,000
-20
600,000
800,000
1990
1995
2000
DR (Scenario 2)
2005
2010
400,000
1990
DR (Baseline)
1995
2000
2005
2010
1990
GDPID (Scenario 2)
GDPID (Baseline)
INV
1995
HHC (Scenario 2)
LR
600,000
500,000
2000
2005
2010
HHC (Baseline)
M
30
900,000
20
800,000
10
700,000
0
600,000
-10
500,000
-20
400,000
-30
300,000
400,000
300,000
200,000
-40
1990
1995
2000
INV (Scenario 2)
2005
2010
INV (Baseline)
200,000
1990
1995
LR (Scenario 2)
2000
2005
LR (Baseline)
2010
1990
1995
M (Scenario 2)
2000
2005
2010
M (Baseline)
X
1,200,000
1,000,000
800,000
600,000
400,000
200,000
1990
1995
X (Scenario 2)
86
2000
2005
2010
X (Baseline)
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
A SMALL MACROECONOMIC MODEL: MODELLING AND FORECASTING FOR
MONETARY AND FISCAL POLICIES IN INDONESIA
Heryanah
Figure 5. Simulation of Expansionary Fiscal and Monetary Contraction Policy
DR
GDPID
20
2,400,000
10
2,000,000
0
1,600,000
HHC
1,400,000
1,200,000
1,000,000
800,000
-10
1,200,000
-20
600,000
800,000
1990
1995
2000
DR (Scenario 2)
2005
2010
400,000
1990
DR (Baseline)
1995
2000
2005
2010
1990
GDPID (Scenario 2)
GDPID (Baseline)
INV
1995
HHC (Scenario 2)
LR
600,000
500,000
2000
2005
2010
HHC (Baseline)
M
30
900,000
20
800,000
10
700,000
0
600,000
-10
500,000
-20
400,000
-30
300,000
400,000
300,000
200,000
-40
1990
1995
2000
INV (Scenario 2)
2005
2010
INV (Baseline)
200,000
1990
1995
LR (Scenario 2)
2000
2005
LR (Baseline)
2010
1990
1995
M (Scenario 2)
2000
2005
2010
M (Baseline)
X
1,200,000
1,000,000
800,000
600,000
400,000
200,000
1990
1995
X (Scenario 2)
2000
2005
2010
X (Baseline)
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
87
A SMALL MACROECONOMIC MODEL: MODELLING AND FORECASTING FOR
MONETARY AND FISCAL POLICIES IN INDONESIA
Heryanah
Figure 6. Forecasting Simulation
DR
GDPID
20
HHC
3,000,000
1,600,000
1,400,000
2,500,000
10
1,200,000
2,000,000
1,000,000
1,500,000
800,000
0
600,000
-10
1,000,000
400,000
-20
500,000
1990
1995
2000
Actual
2005
2010
2015
200,000
1990
DR (Scenario 3)
1995
Actual
INV
2000
2005
2010
2015
1990
GDPID (Scenario 3)
1995
Actual
LR
700,000
30
600,000
20
2000
2005
2010
2015
HHC (Scenario 3)
M
1,000,000
800,000
10
500,000
0
600,000
-10
400,000
400,000
300,000
-20
200,000
200,000
-30
100,000
-40
1990
1995
2000
Actual
2005
2010
2015
INV (Scenario 3)
0
1990
1995
Actual
2000
2005
2010
LR (Scenario 3)
2015
1990
1995
Actual
2000
2005
2010
2015
M (Scenario 3)
X
1,400,000
1,200,000
1,000,000
800,000
600,000
400,000
200,000
1990
1995
Actual
88
2000
2005
2010
2015
X (Scenario 3)
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015, Halaman 89-106
BADAN PENDIDIKAN DAN
PELATIHAN KEUANGAN
KEMENTERIAN KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH
TERHADAP KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS)
Muhammad Na'im Amali
Kantor Pelayanan Pajak Klaten, Jakarta. Email: [email protected]
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
SEJARAH ARTIKEL
Diterima Pertama
5 Maret 2015
Mengingat perannya yang sangat strategis, Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus dituntut
mampu untuk meningkatkan kinerjanya dengan cara meningkatkan kapabilitas pegawai
melalui proses pembelajaran berkelanjutan sebagai bagian dari reformasi administrasi
perpajakan yang terus dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan deskripsi
mengenai proses pembelajaran yang berlangsung di lingkungan Kantor Wilayah DJP Jakarta
Khusus; menganalisis hubungan struktur model pembelajaran pegawai yang dibangun dari
kemandirian belajar di lingkungan kerja, proses transformasi ke dalam bentuk pembelajaran
organisasi, penerapan manajemen pengetahuan, dan penciptaan inovasi dalam konteks
organisasi pembelajar dalam rangka untuk meningkatkan kinerja organisasi; serta
menganalisis ada tidaknya perbedaan struktur model pembelajaran pegawai antar unit
kantor pajak dan antar kelompok pegawai.
Dinyatakan Dapat Dimuat
12 Juni 2015
KATA KUNCI:
Kemandirian belajar,
pembelajaran organisasi,
manajemen pengetahuan,
inovasi, kinerja organisasi.
1.
Kekayaan Due to its strategic role, the Regional Office of the DGT of Special Jakarta is required
to be able to improve its performance by improving its employees’ capabilities through
sustainable learning processes as part of the taxation administration reform continuously
made. This study aims to describe the learning proccess in the Regional Office of DGT of Special
Jakarta; to analyze the relationships of the structure of the employee learning model
constructed of the self-directed learning in the workplace, the process of the transformation
into the organizational learning form, the knowledge management application, the innovation
creation in the context of the learning organization in order to improve the organizational
performance; and to analyze whether or not there is a difference in the structure of the
employee learning model among tax office units and among groups of employees.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penerimaan pajak dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) merupakan dua hal penting
dalam pertumbuhan ekonomi sebagai bagian dari
kebijakan fiskal. Dalam perspektif anggaran,
penerimaan pajak merupakan faktor penentu besarnya
APBN karena menyumbang lebih dari 75%. Dengan
rata-rata laju pertumbuhan penerimaan perpajakan
14,49% selama periode 2009-2013 telah berhasil
mengurangi porsi pembiayaan yang bersumber dari
hutang luar negeri setiap tahunnya. Makin
menurunnya porsi pembiayaan dari pinjaman luar
negeri yang diakibatkan oleh makin meningkatnya
porsi penerimaan perpajakan memperlihatkan betapa
peranan pajak kian menjadi penting. Berdasarkan hal
tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) perlu
mengoptimalkan tugasnya dalam menghimpun pajak
agar negara mampu membiayai APBN secara mandiri.
Untuk semakin meningkatkan peranan DJP,
dilakukan reformasi perpajakan sejak tahun 1984
dengan mengubah sistem administrasi perpajakan dari
sistem official assessment menjadi sistem self
assessment. Sistem self assessment menuntut adanya
Jurnal BPPK, Volume 7 Nomor 2, 2014
peran aktif dari Wajib Pajak dalam pemenuhan
kewajiban perpajakannya. Kesadaran dan kepatuhan
yang tinggi dari Wajib Pajak merupakan faktor
terpenting dari pelaksanaan sistem tersebut. Dalam
pelaksanaan
sistem
ini,
kewenangan
untuk
menentukan besarnya pajak terutang berada pada
Wajib Pajak sehingga harus aktif dalam menghitung,
menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang
melalui pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT).
Sedangkan pegawai pajak melakukan fungsi
pengawasan
terhadap
kepatuhan
pemenuhan
kewajiban perpajakan tersebut. Namun demikian perlu
dilakukan pengujian terhadap kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan sehingga diperlukan upaya
untuk meningkatkan pengetahuan pegawai pajak
melalui proses pembelajaran (learning proccess).
Proses
pembelajaran
merupakan
sumber
keunggulan kompetitif yang signifikan bagi organisasi
dan dapat meningkatkan kinerja individu dan
organisasi (Ellinger, 2004: 158). Pembelajaran
dimaknai sebagai proses, cara maupun kegiatan
penggunaan pengetahuan untuk meningkatkan
kapasitas pegawai dan organisasi dalam rangka
meningkatkan kinerja. Penggunaan pengetahuan
89
ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP
KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS)
Muhammad Na’im Amali
dengan lebih baik akan memberikan pengaruh yang
bermanfaat bagi peningkatan kinerja organisasi
(Bontis, 1998: 63).
DJP memerlukan pengelolaan sumber daya
internal berupa pengetahuan guna mendukung
kinerjanya. Peningkatan kinerja dapat diupayakan
melalui peningkatan kapabilitas pegawai, karena
kapabilitas yang baik dapat mendukung kemampuan
pegawai untuk menyerap informasi dan memberikan
kontribusi terhadap pencapaian kinerja organisasi.
Peningkatan kapabilitas pegawai DJP antara lain dapat
dilakukan dengan melakukan transformasi organisasi
untuk menjadi organisasi pembelajar (learning
organization). Salah satu kunci keberhasilan organisasi
ditandai oleh adanya proses pembelajaran untuk
beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang cepat
dan kompetitif, serta meningkatkan kemampuan
penerapan pengetahuan pegawai di dalam organisasi
(Cook dan Yanow, 1993: 373-90).
Karakteristik
penting
pembelajaran
pada
dasarnya adalah kemampuan pegawai untuk
menemukan atau menciptakan peluang belajar dari
sumber-sumber
apapun
yang
tersedia
dan
memberikan nilai tambah bagi organisasi melalui
proses konversi dari informasi yang sifatnya individual
menjadi pengetahuan bagi organisasi. Kapasitas
individual untuk memberikan kontribusi dalam
membentuk pengetahuan bagi organisasi sangat
ditentukan oleh kapasitas pegawai untuk menjadi
pembelajar yang mandiri (self-directed learners).
Karakteristik dalam pembelajaran organisasi selalu
dimulai dengan upaya kemandirian belajar yang
berkembang di lingkungan kerja (Confessore dan Kops,
1998: 365-75). Selanjutnya, dilakukan proses
transformasi dari pembelajaran individual menjadi
pembelajaran organisasional yang merupakan esensi
dari pembelajaran organisasi atau organizational
learning (Kim, 1993: 37-51). Agar pembelajaran
organisasi mampu menghasilkan kinerja maksimal
bagi orgnaisasi, maka diperlukan upaya untuk
mengelola pengetahuan sebagai sumber daya internal
organisasi melalui manajemen pengetahuan atau
knowledge management (Davenport dan Prusak, 1998:
5). Manajemen pengetahuan bertujuan membuat
pengetahuan menjadi eksplisit, menterjemahkan
pengetahuan dan pengalaman, dan mengembangkan
pengetahuan yang esensial bagi penciptaan kompetisi
dasar
pengetahuan.
Penerapan
manajemen
pengetahuan yang baik mampu menghasilkan inovasiinovasi. Dalam jangka panjang, kemampuan berinovasi
yang lebih baik dan lebih lama merupakan faktor
penting bagi kesuksesan suatu organisasi.
Mengingat DJP merupakan institusi perpajakan
yang bertanggung jawab memenuhi sumber
penerimaan APBN, seringkali kinerjanya lebih banyak
diukur berdasarkan keberhasilan dalam capaian
penerimaan pajak (bersifat kuantitatif), sedangkan
kinerja di bidang lain, misalnya peningkatan kapasitas
SDM
melalui
proses
pembelajaran,
kurang
mendapatkan perhatian. Beberapa variabel yang sering
digunakan untuk mengukur keberhasilan DJP di
90
antaranya adalah tingkat penerimaan pajak, kontribusi
penerimaan pajak terhadap total penerimaan negara,
dan tax ratio (Assifie, 2004: 1-4).
Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus (selanjutnya
disebut Kanwil) merupakan salah satu unit kantor
operasional DJP. Berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 29/PMK.01/2012 tanggal 30 Maret
2012, Kanwil membawahi 9 (sembilan) Kantor
Pelayanan Pajak (KPP), yaitu KPP Perusahaan Masuk
Bursa (PMB), KPP Penanaman Modal Asing (PMA)
Satu, KPP PMA Dua, KPP PMA Tiga, KPP PMA Empat,
KPP PMA Lima, KPP PMA Enam, KPP Badan dan Orang
Asing (Badora), dan KPP Minyak dan Gas Bumi (Migas).
Tugas yang diemban Kanwil untuk mengamankan
penerimaan pajak setiap tahun merupakan tugas yang
berat. Berdasarkan Buku Laporan Tahunan (2013),
Kanwil berhasil menghimpun penerimaan pajak tahun
2008 melebihi target yang telah ditetapkan oleh Kantor
Pusat DJP yaitu 108.05%. Namun selama tahun 20092012, penerimaan pajak yang berhasil dihimpun
cenderung dibawah target. Padahal besarnya target
penerimaan pajak setiap tahun yang dibebankan
kepada Kanwil ini selalu berada pada posisi terbesar
kedua setelah Kanwil DJP Wajib Pajak Besar sehingga
perannya
sangatlah
penting
dan
strategis
dibandingkan dengan Kanwil DJP lainnya se-Indonesia.
Porsi target penerimaan pajak Kanwil dibandingkan
total target penerimaan pajak adalah 15,43% pada
tahun 2010 dan meningkat sangat signifikan pada
tahun 2012 menjadi 22,67%. Apabila kinerja
penerimaan pajak Kanwil terus berada di bawah target
yang
ditetapkan
maka
dikhawatirkan
dapat
berpengaruh pada pencapaian pendapatan negara
untuk APBN. Meskipun disadari bahwa untuk
mengupayakan pemenuhan target penerimaan pajak
tersebut, tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal
tetapi juga sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal
seperti misalnya kondisi perekonomian dunia
(Nasution, 2009: 197-8).
Selain itu, kinerja masing-masing KPP yang
berada di lingkungan Kanwil cenderung seragam dan
tidak terlihat adanya “kompetisi” antar KPP maupun
antar kelompok pegawai (pegawai struktural eselon,
pegawai struktural non eselon, dan pegawai fungsional
pemeriksa) dalam konteks pembelajaran dan
peningkatan kapasitas organisasi. Kompetisi yang
dimaksud adalah berupa kreativitas pelaksanaan tugas
dalam rangka meningkatkan kinerja KPP dan
kelompok pegawai di bidang pengembangan SDM,
pelayanan perpajakan, peningkatan kepatuhan,
pelaksanaan penegakan hukum melalui pemeriksaan
dan penagihan, penerimaan pajak, dan peningkatan
kompetensi pegawai melalui cara-cara yang inovatif
dalam kerangka mencapai tujuan strategis organisasi.
Proses internal bisnis yang dilakukan setiap KPP,
pejabat struktural eselon, Account Representative,
Penelaah Keberatan, Pemeriksa Pajak, bahkan staf
pelaksana cenderung rutin mengikuti kebijakan yang
ditetapkan secara sentralistik oleh Kantor Pusat DJP
sehingga kurang tercipta budaya kreatif dan inovasi
dalam organisasi tersebut. Padahal KPP-KPP yang
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP
KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS)
Muhammad Na’im Amali
berada di lingkungan Kanwil ini mengadministrasikan
dan melakukan pengawasan terhadap kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak-Wajib
Pajak yang memberikan kontribusi penerimaan pajak
sangat signifikan.
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka
permasalahan pokok studi ini adalah: bagaimanakah
struktur model hubungan antara kemandirian belajar,
pembelajaran organisasi, manajemen pengetahuan,
dan inovasi dalam konteks organisasi pembelajar
terhadap kinerja organisasi? Pokok permasalahan
tersebut dirinci dalam beberapa pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah praktik kemandirian belajar,
pelaksanaan pembelajaran organisasi, penerapan
manajemen pengetahuan, penciptaan inovasi yang
berlangsung di lingkungan Kanwil dalam rangka
untuk mencapai kinerja organisasi?
2. Apakah kemandirian belajar berpengaruh langsung
terhadap pembelajaran organisasi, manajemen
pengetahuan, inovasi, dan kinerja organisasi di
lingkungan Kanwil?
3. Apakah pembelajaran organisasi, manajemen
pengetahuan, dan inovasi berpengaruh langsung
terhadap kinerja organisasi di lingkungan Kanwil?
4. Apakah terdapat perbedaan struktur model
pembelajaran pegawai – yang meliputi kemandirian
belajar, pembelajaran organisasi, manajemen
pengetahuan, dan inovasi – yang berpengaruh
terhadap kinerja organisasi antar unit kantor pajak
dan antar kelompok pegawai?
2.
KERANGKA
TEORITIS
PENGEMBANGAN HIPOTESIS
DAN
2.1 Administrasi Perpajakan dan Administrasi
Publik
Administrasi perpajakan merupakan kunci bagi
berhasilnya pelaksanaan kebijakan perpajakan.
Administrasi perpajakan mengandung tiga pengertian,
yaitu suatu lembaga yang berwenang dan bertanggung
jawab menyelenggarakan pemungutan pajak, pegawai
dalam lembaga perpajakan yang melaksanakan
kegiatan pemungutan pajak, dan proses kegiatan
penyelenggaraan pemungutan pajak untuk tujuan
tertentu berdasarkan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku (Mansury, 2002: 5-8). Pajak dan
administrasi
publik,
khususnya
administrasi
pembangunan, adalah saling terkait yang merujuk pada
fungsi pemerintahan, yaitu fungsi alokasi sumber daya,
distribusi perpajakan, dan stabilitas ekonomi
(Presetyo, 2008: 16-7). Keterkaitan keduanya
tercermin dari peningkatan APBN dan target
penerimaan pajak setiap tahun sebagai instrumen
pembangunan nasional.
Dalam
rangka
implementasi
kebijakan
perpajakan yang berdasarkan prinsip pemberdayaan
masyarakat (community empowerment), sistem self
assessment dipilih oleh Pemerintah mulai tahun 1984
sekaligus menandai dimulainya reformasi perpajakan
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
di Indonesia. Penerapan sistem self assessment
berimplikasi pada kebutuhan pembelajaran bagi
pegawai pajak mengingat kewenangan untuk
menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban
perpajakan berada dipihak Wajib Pajak.
Kajian pembelajaran dalam organisasi dapat
dipandang sebagai variabel dan metafora (Garavan,
1997: 18-29). Yang pertama memandang pembelajaran
dalam organisasi sebagai sesuatu yang sengaja
didesain dalam organisasi dan memiliki pengaruh pada
output organisasi. Yang kedua, mengevaluasi
organisasi sebagai budaya dan mengidentifikasi
pembelajaran dalam organisasi sebagai bagian dari
budaya organisasi. Penelitian ini menempatkan
“pembelajaran” yang dilakukan pegawai dan
organisasi, yang didukung pengelolaan pengetahuan
dan penciptaan inovasi, sebagai variabel yang
mempengaruhi kinerja organisasi dalam konteks
organisasi pembelajar.
2.2 Organisasi Pembelajar dan Pembelajaran
Organisasi
Kim (1993: 37-51) menganggap bahwa organisasi
pembelajar memiliki kemampuan untuk bertindak
efektif. Menurut Ho (1999: 117-8), organisasi
pembelajar memerlukan input dari anggota organisasi
sehingga memungkinkan semua anggotanya memiliki
kemampuan melakukan transisi berkelanjutan. Garvin
(1993: 78-91) mencirikan organisasi pembelajar harus
mahir memecahkan masalah, bereksperimen dengan
pendekatan baru, belajar dari pengalaman, mencontoh
best practices dari pihak lain dan mentransfer
pengetahuan dengan cepat dan efisien melalui
organisasi. Mengingat beberapa keunggulan yang
mencirikan organisasi pembelajar tersebut sehingga
Robinson et al. (1997: 228-34) menyatakan bahwa
semua organisasi pada dasarnya menginginkan
menjadi organisasi pembelajar. Karena organisasi
pembelajar merupakan organisasi yang memiliki
kemampuan menciptakan masa depan yang
berkelanjutan (Senge, 1994: 14).
Istilah
organisasi
pembelajar
(learning
organization)
dan
pembelajaran
organisasi
(organizational learning) sering digunakan secara
bergantian
sehingga
kadang
mengakibatkan
kerancuan. Untuk menjelaskan perbedaan antara
keduanya, Ortenbald (2001: 125-33) menyampaikan
tiga perbedaan penting. Pertama, pembelajaran
organisasi dipandang sebagai suatu proses atau
serangkaian
kegiatan,
sedangkan
organisasi
pembelajar dipandang sebagai suatu bentuk organisasi.
Kedua, terjadinya pembelajaran dalam organisasi
adalah secara alami, sementara itu untuk
mengembangkan organisasi pembelajar dibutuhkan
suatu usaha. Ketiga, literatur tentang pembelajaran
organisasi bersumber dari kajian akademik, sementara
literatur tentang organisasi pembelajar lebih banyak
dikembangkan dari praktik. Perbedaan lain juga dapat
dilihat berdasarkan pada siapa yang melakukan
pembelajaran dan lokasi pengetahuan. Dalam
pembelajaran organisasi, fokusnya adalah individu,
91
ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP
KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS)
Muhammad Na’im Amali
sedangkan dalam organisasi pembelajar adalah pada
tingkat individu, kelompok, dan organisasi. Dalam
pembelajaran organisasi, pengetahuan dipandang
berada di individu, sementara itu pengetahuan dalam
organisasi pembelajar dipandang berada dalam
individu dan memori organisasi.
2.3 Kemandirian Belajar
Kemandirian para pegawai dalam proses
pembelajaran merupakan tujuan yang hendak dicapai
oleh banyak organisasi yang ingin memanfaatkan
pengetahuan dan pengembangan keterampilan untuk
bersaing dalam konteks lingkungan yang cepat
berubah. Knowles (1990: 18) mendefinisikan
kemandirian belajar sebagai sebuah proses individual
dimana pegawai mampu mengambil inisiatif, dengan
atau tanpa bantuan orang lain, untuk mengidentifikasi
kebutuhan
pembelajaran
yang
diinginkan,
merumuskan tujuan pembelajaran, memilih sumbersumber materi maupun pengajar dalam proses
pembelajaran, memilih dan menggunakan strategi
pembelajaran yang cocok, serta mengevaluasi hasil
pembelajarannya.
Sedangkan
Guglielmino
(1977:6467A) melihat kemandirian belajar sebagai
sebuah kemampuan yang menunjukkan kesukarelaan
individu untuk melakukan pembelajaran terus
menerus, secara rutin dan independen. Jadi,
kemandirian belajar merupakan suatu proses yang
menunjukkan pada kemampuan individu, kepribadian,
dan pola pembelajaran.
Dalam pandangan Livneh (1988: 149-59),
kemandirian belajar digambarkan dengan individu
yang memiliki komitmen dan terbuka untuk belajar
(committed and open to learning), pemrakarsa
(initiators), kreatif dan cerdas (creative and
resourceful), dapat mentolerir perbedaan pendapat
(can tolerate ambiguity), berani mengambil risiko
(risk), bersifat kompleks (complexity), percaya diri
(self confident), memahami kebutuhan akan belajar
(understand their own learning needs), dan
bertanggung jawab atas pembelajaran yang dilakukan
(take responsibility for their learning). Sedangkan Ho
(2008: 1237) menggunakan empat dimensi dalam
mengukur kemandirian belajar, yaitu komitmen diri
(self-recognition), kegemaran untuk belajar (fondness
for learning), pembelajaran aktif (active learning), dan
pembelajaran berkelanjutan (continuous learning).
2.4 Pembelajaran Organisasi
Argyris dan Schon (1978) dalam Friedman (2001:
399) mendefinisikan pembelajaran organisasi sebagai
metafora dari proses-proses yang dilakukan pegawai
sebagai agen pembelajar dalam organisasi, yaitu
dengan melakukan deteksi dan koreksi atas kesalahankesalahan yang terjadi dalam praktik organisasi dan
melekatkan hasil-hasilnya dalam persepsi (images)
individual dan peta bersama (shared maps) organisasi.
Menurut Friedman, proses deteksi dan koreksi yang
dilakukan oleh individu sebagai agen pembelajar
melalui empat tahap dalam siklus pembelajaran
pengalaman (experiential learning), yaitu individu
92
mengenali
kesenjangan,
kontradiksi,
atau
ketidaksesuaian antara kinerja dengan standar;
individu melakukan penelitian atau penyelidikan untuk
mengetahui ketidaksesuaian yang dihadapi; individu
mengembangkan beberapa ide atau usulan untuk
melakukan perubahan; dan individu menerapkan
idenya untuk melakukan perubahan. Definisi yang
dikemukakan oleh Argyris dan Schon dianggap kurang
sempurna karena lebih menekankan pada proses
deteksi dan koreksi, yaitu aspek pembelajaran pasif –
bagaimana
organisasi
beradaptasi
terhadap
perubahan. Nonaka et al (2001) kemudian
menambahkan, organisasi perlu mempertanyakan dan
merekonstruksi sudut pandang dan kerangka
pemikiran melalui proses penciptaan pengetahuan
yang berkelanjutan. Untuk mengatasi keterbatasan
tersebut, studi tentang pembelajaran organisasi
diperluas dengan memasukkan unsur penciptaan
pengetahuan untuk memastikan proses pembangkitan
ide-ide dan perilaku baru dilibatkan.
Menurut Bontis et al. (2002: 437-69), proses
pembelajaran organisasi terdiri dari empat tahap yaitu
intuisi (intuiting), menterjemahkan (interpreting),
mengintegrasikan (integrating) dan melembagakan
(institutionalizing). Tahapan proses pembelajaran
organisasi lainnya dikemukakan oleh Huber (1991: 88115), meliputi akuisisi pengetahuan (knowledge
acquisition), penyebaran informasi (information
distribution), interpretasi informasi (information
interpretation), dan proses memori informasi
(information memory process). Sedangkan Ho (2008:
1242) menggunakan dimensi pola berbagi informasi
(information-sharing patterns), sikap pegawai (inquiry
climate), praktik-praktik pembelajaran (learning
practices), dan polar pikir pencapaian prestasi
(achievement
mindset)
untuk
mengidentifikasi
pembelajaran organisasi.
2.5 Manajemen Pengetahuan
Manajemen pengetahuan bagi Santosus dan
Surmach (2001: 1) merupakan proses dimana
organisasi melahirkan nilai-nilai dari aset intelektual
dan aset yang berbasiskan pengetahuan. Pengetahuan
merupakan sumber daya intangible yang apabila
dikembangkan dan dikelola dengan baik akan mampu
menciptakan
kapabilitas
pegawai.
Selanjutnya
Davidson dan Voss (2002: 32) memandang manajemen
pengetahuan merupakan upaya yang memungkinkan
organisasi menyerap pengetahuan, pengalaman, dan
kreativitas para pegawainya untuk perbaikan kinerja
organisasi. Pandangan ini didukung oleh beberapa
pakar lainnya, diantaranya adalah Bergeron (2003: 9)
yang melihat manajemen pengetahuan sebagai suatu
pendekatan untuk mengelola aset intelektual dan
informasi lain sehingga memberikan keunggulan
bersaing bagi organisasi.
Marquardt (1996) mengidentifikasi manajemen
pengetahuan berdasarkan empat proses yaitu akuisisi
pengetahuan (knowledge acquisistion), penciptaan
pengetahuan (knowledge creation), penyimpanan
pengetahuan (knowledge storageand renewal), serta
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP
KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS)
Muhammad Na’im Amali
transfer dan pemanfaatan pengetahuan (knowledge
transfer and utilization). Zack (1999: 45-58) juga
menyebutkan empat proses manajemen pengetahuan,
yaitu
akuisisi,
perbaikan,
penyimpanan
dan
pengambilan,
serta
presentasi
pengetahuan.
Sedangkan Gold et al. (2001: 185-214) berpandangan
bahwa organisasi harus memiliki dua kemampuan
dasar
untuk
mengelola
pengetahuan,
yaitu
kemampuan
infrastruktur
pengetahuan
dan
kemampuan proses pengetahuan. Yang pertama
berkaitan dengan teknologi, struktur dan budaya
organisasi, sedangkan yang terakhir berkaitan dengan
perolehan pengetahuan, konversi, dan proses aplikasi.
2.6 Penciptaan Inovasi
Merx-Chermin dan Nijhof (2005: 135-82)
memandang inovasi merupakan suatu proses dimana
ide-ide yang bernilai ditransformasikan ke dalam
bentuk nilai-nilai tambah baru bagi organisasi,
pelanggan, pegawai dan stakeholders. Inovasi
dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu ilmu dan
informasi baru yang didapat secara tidak langsung dari
lingkungan
luar
organisasi
melalui
proses
pembelajaran; serta faktor internal, yaitu karakteristik
pegawai (misalnya kreativitas, motivasi dan
kepemimpinan) dan karakteristik organisasi (misalnya
iklim, struktur, sistem dan prosedur serta aliansi
strategis). Dalam kerangka berbagi pengetahuan
Nonaka dan Takeuchi (1995: 3), inovasi termasuk
invensi yang bertumpu pada kreasi pengetahuan, baik
yang tacit maupun eksplisit dari individu, kelompok,
dan organisasi sehingga dinyatakan bahwa tidak ada
inovasi tanpa pengetahuan (there is no innovation
without knowledge). Relasi kedua bentuk pengetahuan
itu disebut konversi pengetahuan yang dapat dicapai
melalui siklus sosialiasi, eksternalisasi, kombinasi, dan
internalisasi (SECI). Bagi organisasi publik, inovasi
merupakan alat yang spesifik bagi organisasi sebagai
hasil dari pemanfaatan setiap peluang (opportunity)
untuk melakukan kegiatan pelayanan yang lebih baik
dibandingkan sebelumnya.
Keberhasilan inovasi sangat dipengaruhi oleh
kreativitas dari para aktor yang terlibat dalam inovasi,
baik individu, organisasi, maupun stakeholders (Newel
at al., 2002: 40-1). Hansen dan Birkinshaw (2007)
dalam Fontana (2009: 91-7) mencoba melihat
keberhasilan inovasi dari perspektif rantai nilai inovasi
(innovation value chain) yang mampu membantu
organisasi menciptakan dan menjadikan inovasiinovasinya berhasil. Perspektif rantai nilai inovasi
melihat inovasi sebagai proses tiga fase yang
sekuensial dan berkaitan secara proporsional serta
menunjang proses penciptaan nilai. Rantai nilai inovasi
mencakup tiga aktivitas, yaitu penggalian ide dan
konsep (idea generation), pengembangan untuk
mengubah konsep menjadi produk (idea conversion),
dan penyebaran ide, produk di pasar (idea difussion;
spread of the idea). Setiap aktivitas rantai nilai inovasi
harus mampu menciptakan nilai tambah dan
berimbang. Analisis rantai nilai inovasi tersebut dapat
diterapkan di tingkat individu maupun organisasi.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
2.7 Kinerja Organisasi
Kinerja organisasi merupakan indikator yang
mengukur seberapa baik suatu organisasi mencapai
tujuan mereka. Kinerja organisasi pada umumnya
hanya dapat dinilai pada organisasi yang efisien dan
efektif dalam mencapai tujuan (Robbins dan Coulter,
2002). Drucker (1998: 150-7) memaknai efisiensi
dengan melakukan hal-hal secara tepat (doing things
right), dan efektivitas dengan melakukan hal-hal
dengan benar (doing the right things). Dalam
pandangan Schermerhorn et al. (2002), kinerja
organisasi mengacu pada kualitas dan kuantitas
prestasi kerja individu maupun kelompok. Pandangan
ini mengacu pada pendapat Gomes (1995), kinerja
organisasi meliputi beberapa dimensi yaitu quantity of
work, menunjukkan jumlah kerja yang dilakukan dalam
suatu periode waktu yang ditentukan; quality of work,
menunjukkan kualitas kerja berdasarkan syarat-syarat
kesesuaian dan kesiapannya; job knowledge, terkait
dengan luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan
keterampilan; creativeness, keaslian gagasan-gagasan
yang dimunculkan dan tindakan-tindakan untuk
menyelesaikan berbagai persoalan yang timbul;
cooperation, kesetiaan untuk bekerjasama dengan
orang lain; dependability, kesadaran dan kepercayaan
dalam hal kehadiran dan penyelesaian kerja; initiative,
semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan
memperbesar tanggung jawabnya; personal quality,
menyangkut
kepribadian,
kepemimpinan,
keramahtamahan, dan integritas pribadi.
Kaplan dan Norton (2001: 273-6) menyarankan
menggunakan model Balance Scorecard (BSc) dalam
mengukur kinerja organisasi karena mampu
menciptakan first-loop learning, jika kinerja organisasi
dapat mengimplementasikan strateginya; dan doubleloop learning, jika kinerja organisasi mampu mengkaji
ulang kesesuaian strategi bisnis dengan perubahan
lingkungan internal maupun eksternal. Model BSc
mengintegrasikan pengukuran aspek keuangan dan
non-keuangan dengan melihat berdasarkan empat
perspektif yaitu keuangan, pelanggan, proses bisnis
internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan.
Pengukuran kinerja organisasi yang hanya bertumpu
pada aspek keuangan tidak akan cukup memberikan
informasi yang mendalam bagi pengambil keputusan.
Kinerja keuangan hanya cenderung mengukur tangible
factors dan sifatnya jangka pendek. Faktor-faktor
berwujud pada dasarnya adalah faktor akibat (lagging
indicator), dan bukan faktor penyebab (leading
indicator). Salah satu kelebihan model BSc adalah
mampu menghubungkan secara langsung antara
pembelajaran (learning) dengan performansi proses
yang selanjutnya akan terhubung dengan kinerja
organisasi secara keseluruhan.
2.8 Premis dan Kerangka Konseptual
Premis yang digunakan berdasarkan penelitianpenelitian sebelumnya adalah:
1. Kemandirian Belajar berpengaruh positif terhadap
Pembelajaran Organisasi (James-Gordon dan Bal,
2003; Lew, 2006); Manajemen Pengetahuan
93
ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP
KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS)
Muhammad Na’im Amali
(Akerlind dan Trevitt, 1999; Dolezalek, 2004);
inovasi (Kim, 1997 dalam Muluk, 2008); serta
Kinerja Organisasi (Janz, 1999; Bartlett dan Ghosal,
1993; Kandarian, 2004).
2. Pembelajaran Organisasi berpengaruh terhadap
Manajemen Pengetahuan (Lee et al., 2007; Theriou
dan Chatzoglou, 2008); serta Kinerja Organisasi
(Hubber, 1998; Ruiz-Mercader et al., 2006; Theriou
dan Chatzoglou, 2008).
3. Manajemen Pengetahuan berpengaruh positif
terhadap Inovasi (Nonaka dan Takeuchi, 1995;
Fontana, 2009); serta Kinerja Organisasi (Tobing,
2007; Afiouni, 2007; Choi et al., 2008).
4. Inovasi berpengaruh positif terhadap Kinerja
Organisasi (Newell, 2002; Amabile dan Schneider
(dalam Miron et al., 2004); Kreitner dan Kinicki,
2008; Soo et al., 2000; Fontana, 2009).
Berdasarkan premis di atas kemudian disusun
model kerangka konseptual dengan menempatkan
variabel kemandirian belajar (KB) sebagai variabel
eksogen; variabel pembelajaran organisasi (PO),
manajemen pengetahuan (MP) dan inovasi (I) sebagai
variabel intervening; dan variabel kinerja organisasi
(KO) sebagai variabel endogenus. Kemandirian belajar
dapat berpengaruh secara langsung terhadap kinerja
organisasi, dapat juga berpengaruh secara tidak
langsung terhadap kinerja organisasi dengan dimediasi
oleh
pembelajaran
organisasi,
manajemen
pengetahuan dan inovasi.
c.
d.
PO
1b
KB
1c
MP
I
b.
94
H0
:
H1
:
H0
:
H1
:
H0
:
H1
:
Tidak terdapat perbedaan struktur model
pembelajaran pegawai yang berpengaruh terhadap
kinerja organisasi baik antar unit kantor pajak
maupun antar kelompok pegawai. Hipotesis
statistik untuk hipotesis penelitian ketiga adalah:
a. H0 : Tidak terdapat perbedaan struktur
model pembelajaran pegawai yang
berpengaruh
terhadap
kinerja
organisasi antar unit kantor pajak
(salah satu ada yang ≠)
H1 : Terdapat perbedaan struktur model
pembelajaran
pegawai
yang
berpengaruh
terhadap
kinerja
organisasi antar unit kantor pajak
(μ1a = μ2a = μ3a = μ4a)
b. H0 : Tidak terdapat perbedaan struktur
model pembelajaran pegawai yang
berpengaruh
terhadap
kinerja
organisasi antar kelompok pegawai
(salah satu ada yang ≠)
H1 : Terdapat perbedaan struktur model
pembelajaran
pegawai
yang
berpengaruh
terhadap
kinerja
organisasi antar kelompok pegawai
(μ1b = μ2b = μ3b = μ4b)
KO
2c
Tidak terdapat pengaruh langsung KB
terhadap PO (xy1 = 0)
Terdapat pengaruh langsung KB
terhadap PO (xy1 ≠ 0)
Tidak terdapat pengaruh langsung KB
:
3.
2.9 Hipotesis Penelitian
1. Kemandirian Belajar berpengaruh langsung
terhadap Pembelajaran Organisasi, Manajemen
Pengetahuan, Inovasi, dan Kinerja Organisasi.
Hipotesis penelitian pertama akan diuji melalui
teknik statistik dengan hipotesis statistik:
a.
H0
terhadap MP (xy2 = 0)
Terdapat pengaruh langsung KB
terhadap MP (xy2 ≠ 0)
Tidak terdapat pengaruh langsung KB
terhadap I (xy3 = 0)
Terdapat pengaruh langsung KB
terhadap I (xy3 ≠ 0)
Tidak terdapat pengaruh langsung KB
terhadap KO (xz = 0)
Terdapat pengaruh langsung KB
terhadap KO (xz ≠ 0)
Pembelajaran
Organisasi,
Manajemen
Pengetahuan, dan Inovasi berpengaruh langsung
terhadap Kinerja Organisasi. Hipotesis statistik
untuk hipotesis penelitian kedua adalah:
a. H0 : Tidak terdapat pengaruh langsung PO
terhadap KO (y1z = 0)
H1 : Terdapat pengaruh langsung PO
terhadap KO (y1z ≠ 0)
b. H0 : Tidak terdapat pengaruh langsung
MP terhadap KO (y2z = 0)
H1 : Terdapat pengaruh langsung MP
terhadap KO (y2z ≠ 0)
c. H0 : Tidak terdapat pengaruh langsung I
terhadap KO (y3z = 0)
H1 : Terdapat pengaruh langsung I
terhadap KO (y3z ≠ 0)
2a
2b
:
2.
1d
1a
H1
3.
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Paradigma, Pendekatan, dan Jenis Penelitian
Kualitas sebuah penelitian yang dianggap baik
selain memiliki relevansi dengan kajian teoritis yang
dibangun, juga harus mampu menjaga obyektivitas
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP
KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS)
Muhammad Na’im Amali
pengukuran terhadap obyek yang diteliti (Creswell,
1994). Agar penelitian ini dapat memenuhi hal
tersebut, maka paradigma penelitian yang dianggap
relevan adalah paradigma post-positivism. Pendekatan
penelitian yang digunakan adalah pendekatan
kuantitatif karena lebih mengedepankan realitas
obyektif. Berdasarkan beberapa tujuan penelitian yang
ingin dicapai, maka jenis penelitian yang digunakan
adalah deskriptif dan verifikatif (deducto hypotetico
verifikatif).
3.2 Populasi dan Sampel
Populasi penelitian adalah 615 pegawai di
lingkungan Kanwil, atau 56.32% dari jumlah pegawai
yang memenuhi karakteristik yang disesuaikan dengan
tujuan penelitian, yaitu (1) status responden
merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan bukan
calon PNS; (2) responden pegawai bukan struktural
terdiri dari Account Representative dan Penelaah
Keberatan, tidak termasuk pegawai Pelaksana; (3)
responden fungsional merupakan pemeriksa pajak
yang memiliki jabatan sebagai Pemeriksa Pajak Muda
atau Pemeriksa Pajak Penyelia ke atas (golongan IIIc ke
atas); serta (4) pegawai lainnya yang berstatus sebagai
staf tidak dimasukkan sebagai responden karena sifat
pekerjaan yang dilakukan relatif kurang strategis.
Jumlah populasi tersebut terdiri dari 113 pegawai
struktural eselon (18%) meliputi eselon 2, eselon 3,
dan eselon 4; 357 pegawai bukan struktural (58%)
meliputi Account Representative dan Penelaah
Keberatan; dan 145 pegawai fungsional (24%) yaitu
Pemeriksa Pajak.
Teknik penentuan sampel menggunakan sampling
jenuh. Agar sampel yang diambil sedapat mungkin
mewakili populasi maka jumlah sampel minimal yang
akan digunakan didasarkan pada pendekatan rumusan
Slovin, sebesar 242 responden. Dari jumlah kuesioner
yang disebarkan kepada populasi terpilih, kuesioner
yang kembali dan memenuhi kriteria persyaratan
untuk keperluan sampel penelitian sebanyak 394
(64%).
3.3 Definisi Operasional
Penelitian ini terdiri dari tiga kelompok variabel,
meliputi variabel bebas: Kemandirian Belajar (X);
variabel antara: Pembelajaran Organisasi (Y1),
Manajemen Pengetahuan (Y2), dan Inovasi (Y3); serta
variabel terikat: Kinerja Organisasi (Z). Selanjutnya
masing-masing
variabel
yang
diinvestigasi
dioperasionalisasikan ke dalam beberapa dimensi dan
indikator beserta konsep, satuan ukuran dan skala
pengukurannya:
1. Kemandirian belajar (X) merupakan proses
individual dimana pegawai mampu mengambil
inisiatif, dengan atau tanpa bantuan orang lain,
untuk mengidentifikasi kebutuhan pembelajaran
yang diinginkan, merumuskan tujuan pembelajaran,
memilih materi maupun pengajar, menggunakan
strategi
pembelajaran
yang
sesuai,
dan
mengevaluasi hasil pembelajaran yang dilakukan.
Variabel ini diukur dengan dimensi komitmen
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
belajar (Xa), memahami pentingnya pembelajaran
(Xb), pembelajaran aktif (Xc), dan pembelajaran
berkelanjutan (Xd), masing-masing memiliki dua
indikator dan menggunakan skala pengukuran
ordinal.
2. Pembelajaran organisasi (Y1) merupakan proses
pengujian dan transformasi terus menerus
pengalaman
individual
pegawai
menjadi
pengetahuan bersama yang dapat diakses dan
digunakan organisasi untuk mencapai tujuan
utamanya. Variabel ini diukur dengan dimensi pola
berbagi pengetahuan (Y1a), sikap pegawai (Y1b),
praktik pembelajaran (Y1c), dan pola pikir
pencapaian prestasi (Y1d), masing-masing memiliki
dua indikator dan menggunakan skala pengukuran
ordinal.
3. Manajemen
pengetahuan
(Y2)
merupakan
pengelolaan
pengetahuan
organisasi
untuk
menciptakan nilai dan menghasilkan keunggulan
bersaing atau kinerja prima. Variabel ini diukur
dengan dimensi akuisisi pengetahuan (Y2a), kreasi
dan
pengembangan
pengetahuan
(Y2b),
penyimpanan
dan
mendapatkan
kembali
pengetahuan (Y2c), dan transfer pengetahuan (Y2d),
masing-masing memiliki dua indikator dan
menggunakan skala pengukuran ordinal.
4. Inovasi
(Y3)
merupakan
proses
mentransformasikan ide-ide yang bernilai ke dalam
bentuk produk maupun pelayanan perpajakan yang
memiliki nilai-nilai tambah baru dan bermanfaat
bagi organisasi, pegawai, Wajib Pajak, dan para
pemangku kepentingan. Variabel ini diukur dengan
dimensi penggalian ide (Y3a), pengembangan
inovasi (Y3b), dan pemanfaatan produk dan jasa
(Y3c), masing-masing memiliki dua indikator dan
menggunakan skala pengukuran ordinal.
Kinerja organisasi (Z) merupakan indikatorindikator yang digunakan untuk mengukur seberapa
baik organisasi, baik pada tingkat organisasi maupun
tingkat pegawai, menjadi lebih efisien dan efektif
dalam mencapai tujuan organisasi. Variabel ini diukur
dengan dimensi kinerja tingkat organisasi (Za) yang
didasarkan pada aspek hasil (results) meliputi
pengembangan SDM, kualitas pelayanan unggulan,
tingkat kepatuhan Wajib Pajak, penyelesaian
pemeriksaan pajak, pencairan piutang pajak, dan
capaian penerimaan pajak; dan kinerja tingkat individu
(Zb) yang didasarkan pada aspek kompetensi meliputi
integritas, profesionalisme, sinergi, pelayanan, dan
kesempurnaan. Beberapa indikator tersebut diukur
dengan skala ordinal.
3.4 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan
data adalah kuesioner dengan pertanyaan bersifat
tertutup yang disusun dengan menggunakan skala
Likert (Likert scale) dan tingkat pengukuran ordinal.
Skala Likert didesain untuk menelaah seberapa kuat
responden setuju atau tidak setuju dengan pernyataan
yang disusun dalam 5 (lima) tingkat dari sangat tidak
setuju hingga sangat setuju.
95
ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP
KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS)
Muhammad Na’im Amali
3.5 Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data
primer yang diperoleh secara langsung dari lapangan
melalui kuesioner, dan data sekunder yang diperoleh
dari hasil publikasi Kementerian Keuangan, Direktorat
Jenderal Pajak, Badan Pendidikan dan Pelatihan
Keuangan, dan sumber-sumber lain dalam bentuk
buku, majalah, laporan, peraturan maupun website.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
library research, dilakukan dengan membaca dan
mempelajari sejumlah buku/literatur, jurnal, paper,
dan sebagainya yang berhubungan dengan masalah
dan pembahasan penelitian untuk mendapatkan
kerangka teori dalam penentuan arah dan tujuan
penelitian dimaksud; dan field research, dilakukan
secara langsung di lapangan guna mencari data dan
informasi yang diperlukan dengan menggunakan
kuesioner dan wawancara mendalam (in depth
interview)
kepada
pihak-pihak
yang
terkait
berdasarkan pedoman wawancara.
3.6 Metode Analisis Data
Pengujian validitas dan reliabilitas. Uji
validitas untuk mengetahui apakah alat ukur yang
telah disusun benar-benar mengukur apa yang perlu
diukur, sedangkan uji reliabilitas untuk mengetahui
bahwa dalam suatu model satu dimensi, indikatorindikator yang digunakan memiliki derajat kesesuaian
yang baik (Sugiyono, 2010: 137).
Analisis Deskriptif. Tujuan dari analisis
deskriptif adalah untuk menjawab masalah penelitian
nomor 1. Alat analisis yang digunakan adalah frequency
analysis, yaitu analisis berdasarkan hasil tabulasi dari
kuesioner melalui penghitungan alat analisis statistik
deduktif secara sederhana, meliputi mean, total skor,
dan persentase (%) dengan menggunakan Microsoft
Office Excel. Nilai skor tersebut disajikan dalam bentuk
tabel
distribusi
frekuensi
dan
selanjutnya
diinterpretasikan ke dalam bentuk implikasi serta
rekomendasi manajemen.
Analisis Verifikatif. Tujuan dari analisis
verifikatif (hypothesis testing) adalah untuk menjawab
masalah penelitian nomor 2, 3, dan 4. Alat analisis yang
digunakan untuk menguji hubungan korelasional dan
kausal antar variabel yang diteliti adalah structural
equation modeling (SEM). Alat analisis ini digunakan
untuk melakukan uji hipotesis 1 dan 2 terhadap
beberapa variabel yang diteliti melalui program LISREL
ver 8.54. Sedangkan alat analisis yang digunakan untuk
menguji hipotesis 3 yaitu menganalisis perbedaan
struktur model pembelajaran pegawai yang
berpengaruh terhadap kinerja organisasi baik antar
unit kantor pajak maupun antar kelompok adalah
varians satu arah (one way analysis of variance) atau
ANOVA.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Validitas dan Reliabilitas
Berdasarkan hasil pengujian validitas dengan
teknik korelasi Pearson Moment diperoleh bahwa
semua item pernyataan yang digunakan dalam
96
indikator variabel penelitian dinyatakan valid karena
memiliki nilai corrected item total correlation> 0.300.
Hal ini sesuai dengan uji statistik bahwa r hitung> rtabel; df
= 30; α = 0.050 yaitu sebesar 0.361. Sedangkan semua
indikator variabel penelitian memiliki nilai Cronbach’s
Alpha> 0.700 sehingga dapat dinyatakan bahwa itemitem tersebut memiliki tingkat keandalan (reliabel)
yang tinggi.
4.2 Deskripsi praktik kemandirian belajar,
pelaksanaan
pembelajaran
organisasi,
penerapan
manajemen
pengetahuan,
penciptaan inovasi dalam rangka untuk
mencapai kinerja organisasi
Sebesar 88.95% pegawai mempersepsikan positif
terhadap variabel Kemandirian Belajar, 10.51%
cenderung netral, dan 0.54% negatif. Nilai rata-rata ( )
= 4.26 menunjukkan sebagian besar responden
membenarkan melakukan praktik kemandirian belajar
secara individual di lingkungan kerja. Dimensi
terpenting adalah keharusan adanya komitmen belajar
( = 4.62), yaitu meyakini dan percaya visi dan misi
DJP merupakan tujuan strategis organisasi yang
hendak dicapai serta penerapan nilai-nilai organisasi
dapat menunjang pencapaian tujuan strategis
organisasi. Sedangkan proses pembelajaran aktif
merupakan dimensi yang kurang optimal dilakukan (
= 4.04).
Sebesar 80% pegawai mempersepsikan positif
terhadap variabel Pembelajaran Organisasi, 18.5%
cenderung netral, dan 1.5% negatif. Nilai = 3.93
menunjukkan
sebagian
besar
responden
membenarkan unit kantor pajak dimana mereka
bekerja tengah melaksanakan pembelajaran organisasi.
Dimensi terpenting adalah mindsetberorientasi pada
pencapaian prestasi yang lebih baik ( = 4.15)untuk
meningkatkan kinerja individu dan kinerja organisasi.
Sedangkan dimensi berbagi pengetahuan antar
pegawai masih kurang optimal dilakukan ( = 3.66).
Sebesar 81.5% pegawai mempersepsikan positif
terhadap variabel Manajemen Pengetahuan, 17.24%
cenderung netral, dan 1.26% negatif. Nilai = 3.95
menunjukkan
sebagian
besar
responden
membenarkan unit kantor pajak dimana mereka
bekerja tengah menerapkan manajemen pengetahuan.
Dimensi terpenting adalah proses penciptaan dan
pengembangan pengetahuan ( = 4.19). Sedangkan
tingkat kemudahan mengakses kembali pengetahuan
dari database merupakan dimensi yang paling minim (
= 3.71).
Sebesar 76.4% pegawai mempersepsikan positif
terhadap variabel Inovasi, 22.32% cenderung netral,
dan 1.28% negatif. Nilai
= 3.86 menunjukkan
sebagian besar responden membenarkan unit kantor
pajak dimana mereka bekerja aktif menciptakan
inovasi di bidang perpajakan. Dimensi terpenting
adalah proses penggalian ide yang bersumber dari
internal dan eksternal organisasi ( = 3.97). Sedangkan
kemampuan
organisasi
menyebarkan
dan
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP
KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS)
Muhammad Na’im Amali
Gambar 1. T-Values dari Model Persamaan Struktural
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer dengan LISREL
memanfaatkan hasil inovasi untuk kepentingan
organisasi, Wajib Pajak, pegawai dan para stakeholders
lainnya masih kurang optimal dilakukan ( = 3.78).
Sebesar 84.14% pegawai mempersepsikan positif
terhadap variabel Kinerja Organisasi, 14.73%
cenderung netral, dan 1.13% negatif. Nilai = 4.07
menunjukkan
sebagian
besar
responden
membenarkan capaian kinerja unit kantor pajak
dimana mereka bekerja adalah memuaskan sehingga
menjadi semakin efisien dan efektif dalam mencapai
tujuan organisasi. Dimensi kinerja tingkat organisasi
memiliki skor lebih tinggi (9015) dibandingkan kinerja
tingkat individu (8623).
Selain itu, diperoleh beberapa temuan lain
berdasarkan pernyataan responden:
1. Variabel yang perlu diprioritaskan untuk
dikembangkan dalam rangka meningkatkan kinerja
organisasi secara berurutan adalah penerapan
manajemen pengetahuan (dipilih oleh 117
responden
atau
29.70%);
pelaksanaan
pembelajaran organisasi (134 atau 34.01%);
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
praktik kemandirian belajar (119 atau 30.20%);
dan penciptaan inovasi (157 atau 39.85%).
2. Responden yang menyatakan capaian kinerja
organisasi tahun 2010-2012 sangat memuaskan
adalah 117 responden (29.70%), cukup memuaskan
253 (64.21%), dan kurang memuaskan 24 (6.09%).
Pendapat ini lebih dipengaruhi oleh capaian kinerja
penerimaan.
3. Model pembelajaran yang paling disukai adalah
pembelajaran yang diadakan sendiri dalam
organisasi, melalui in-house training (18.58%),
pendidikan dan pelatihan (10.93%), diskusi rutin
(7.65%), e-learning (7.10%), studi kasus (5.46%),
maupun forum komunikasi sesuai rumpun
fungsi/jabatan (4.92%) dibandingkan dengan
model pembelajaran yang melibatkan pihak
eksternal. Beberapa faktor yang diharapkan mampu
mendorong
pelaksanaan
pembelajaran
di
lingkungan kerja adalah budaya pembelajaran aktif
dan berkelanjutan (9.84%), teamwork dan sinergi
antar pegawai (6.56%), motivasi dan kesadaran
97
ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP
KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS)
Muhammad Na’im Amali
Gambar 2. Standard Solution untuk Model Persamaan Struktural
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer dengan LISREL
kemandirian belajar (6.56%), serta dorongan dan
keteladanan pimpinan (4.92%).
4.3 Pengaruh langsung Kemandirian Belajar
terhadap
Pembelajaran
Organisasi,
Manajemen Pengetahuan, Inovasi, dan Kinerja
Organisasi
Untuk menguji hipotesis 1 dan 2, dilakukan
analisis verifikatif dengan menggunakan alat analisis
SEM. Variabel yang diteliti meliputi variabel laten
eksogen yaitu kemandirian belajar (X), dan 4 (empat)
variabel laten endogen yaitu pembelajaran organisasi
(Y1), manajemen pengetahuan (Y2), inovasi (Y3), dan
kinerja organisasi (Y4). Hasil pengujian adalah:
Analisis faktor konfirmatori (confirmatory
factor analysis). Semua indikator dari konstruk
kemandirian
belajar,
pembelajaran
organisasi,
manajemen pengetahuan, dan inovasi memiliki loading
factor > 0.5 sehingga semua indikator dinyatakan valid.
Masing-masing konstruk memiliki nilai composite
reliability sebesar 0.86, 0.88, 0.83, dan 0.88 yang lebih
besar dari 0.70 dan nilai variance extracted sebesar
0.61, 0.64, 0.56, dan 0.71 yang lebih besar dari 0.50
menunjukkan bahwa semua indikator adalah reliabel
98
dan memenuhi kriteria untuk analisis faktor
konfirmatori.
Pengujian Kecocokan (goodness of fit). Dalam
pengujian model secara keseluruhan (overall model fit)
diperoleh hasil df=98; RMSEA=0.049; GFI=0.96;
AGFI=0.92;
NFI=0.99;
NNFI=0.99.
Hasil
ini
menunjukkan adanya kecocokan model dengan tingkat
kecocokan yang baik karena diperoleh nilai-nilai
goodness of fit index yang sudah memenuhi kriteria
dengan baik. Artinya, secara keseluruhan model SEM
mempunyai kekuatan prediksi secara statistik.
Sedangkan dari hasil pengujian jalur individual
(measurement model) diperoleh hasil sebagaimana
tampak dalam gambar 1 dan gambar 2.
Berdasarkan gambar di atas, nilai faktor muatan
untuk setiap indikator pembentuk laten variablevariabel yang diteliti meliputi variabel kemandirian
belajar,
pembelajaran
organisasi,
manajemen
pengetahuan, inovasi, dan kinerja organisasi
mempunyai nilai di atas 0.4. Hal ini menunjukkan
bahwa semua indikator secara bersama-sama
menyajikan unidimensionalitas untuk setiap variabel
laten. Semua jalur yang dihipotesiskan memiliki nilai
thitung > 1.96, sehingga dapat disimpulkan bahwa
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP
KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS)
Muhammad Na’im Amali
seluruh koefisien jalur untuk setiap variabel laten
adalah signifikan.
Selanjutnya, dilakukan pengujian jalur individual
(structural model) untuk mengidentifikasi pengaruh
langsung (direct effect), pengaruh tidak langsung
(indirect effect), dan pengaruh keseluruhan (total
effects) antar variabel laten.
4.3.1 Pengaruh langsung Kemandirian Belajar
terhadap Pembelajaran Organisasi
Variabel kemandirian belajar secara signifikan
berpengaruh secara langsung terhadap variabel
pembelajaran organisasi (thitung10.10>ttabel1.96) dengan
nilai korelasi (koefisien unstandardized) 61%. Hasil ini
menunjukkan bahwa hipotesis diterima.
Karakteristik dalam pembelajaran organisasi
umumnya dimulai dengan upaya kemandirian belajar
yang berkembang di lingkungan kerja (Confessore dan
Kops, 1998: 365-75). Aktivitas kemandirian belajar
membutuhkan adanya kesukarelaan setiap pegawai
untuk melakukan pembelajaran terus menerus, secara
rutin dan independen. Pentingnya kemandirian belajar
di lingkungan kerja ini juga diakui oleh para Kepala
KPP di lingkungan Kanwil, mengingat keterbatasan
organisasi dalam melakukan program pengembangan
dan peningkatan kapasitas pegawai.
Kegiatan kemandirian belajar di lingkungan kerja
diarahkan untuk memperkuat penguasaan terhadap
ketentuan teknis perpajakan, standard operating
procedure sesuai jabatan dan fungsi, proses internal
bisnis Wajib Pajak yang diadministrasikan, best
practices pelayanan prima di bidang perpajakan, serta
pengetahuan perpajakan internasional dan skema
penghindaran pajak. Best practices merupakan cara
atau metode yang paling efisien dan efektif untuk
mencapai suatu tujuan dengan prosedur-prosedur
tertentu, terutama demi tujuan jangka panjang suatu
organisasi (Pasaribu, 2013: 61). Dalam praktik, best
practice dapat berupa contoh-contoh terbaik layanan
unggulan, success story dalam penggalian potensi
perpajakan, materi-materi yang sering dikalahkan
dalam proses keberatan atau banding, dan sebagainya.
Keberhasilan kemandirian belajar pegawai di
lingkungan kerja bergantung pada seberapa besar
kesadaran pegawai akan pentingnya kemandirian
belajar serta dukungan organisasi terhadap kegiatan
ini. Semakin tinggi kesadaran pegawai maka aktivitas
kemandirian belajar dapat menjadi bagian dari
organization culture. Budaya organisasi yang
dikembangkan di lingkungan Kanwil diarahkan untuk
mendorong dan memfasilitasi terjadinya praktik
kemandirian belajar di lingkungan kerja. Pembentukan
budaya organisasi membutuhkan komitmen dan
persyaratan yang mengikat seluruh pegawai yang
dituangkan dalam bentuk kontrak kinerja yang bersifat
formal. Pembentukan budaya organisasi juga
memerlukan informal organization, yaitu perilaku
informal yang berperan sebagai “pelumas” dalam
interaksi pegawai dalam organisasi (Cai, 2006: 33-48).
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
4.3.2 Pengaruh langsung Kemandirian Belajar
terhadap Manajemen Pengetahuan
Kemandirian belajar mempengaruhi secara
langsung manajemen pengetahuan (thitung6.31 >
ttabel1.96) sehingga dinyatakan signifikan secara
statistik, dengan nilai korelasi 32%, sedangkan nilai
korelasi pengaruh tidak langsungnya 39%. Hasil ini
menunjukkan bahwa hipotesis diterima.
Metode kegiatan kemandirian belajar yang sering
dilakukan pegawai di lingkungan Kanwil berupa diklat
berbasis kompetensi, IHT, OJT, e-learning, mengupdate
ketentuan perpajakan, mempelajari modul dan
literatur perpajakan, diskusi dengan pegawai lainnya,
serta bekerjasama dalam menyelesaian suatu
permasalahan pada dasarnya merupakan kegiatan
dalam kerangka penerapan manajemen pengetahuan.
Terutama terkait dengan proses akuisisi pengetahuan,
kreasi dan pengembangan pengetahuan, penyimpanan
dan penggunaan kembali pengetahuan, serta transfer
pengetahuan. Sehingga tepat kiranya jika kemandirian
belajar pegawai di lingkungan kerja mampu
mempengaruhi keberhasilan penerapan manajemen
pengetahuan.
4.3.3 Pengaruh langsung Kemandirian Belajar
terhadap Inovasi
Kemandirian belajar mempengaruhi secara
langsung inovasi (thitung4.21 > ttabel1.96) sehingga
dinyatakan signifikan secara statistik, dengan nilai
korelasi 25%, sedangkan nilai korelasi pengaruh tidak
langsungnya 53%. Hasil ini menunjukkan bahwa
hipotesis diterima.
Kemandirian belajar pegawai yang dibangun
dalam bentuk pengembangan pengetahuan dan
keahlian, membutuhkan kesempatan untuk mengakses
sumber-sumber pengetahuan dan jaringan kerja
sehingga pegawai memiliki peluang memperoleh
manfaat dari pengetahuan tersebut sesuai dengan
bidang keahliannya. Tanpa pegawai yang memiliki
pengetahuan dan keahlian maka sulit untuk
memperoleh kapasitas inovasi yang berkelanjutan dan
sistemis. Jika tanpa pengembangan pegawai kemudian
diperoleh suatu kondisi inovatif bisa jadi hanya akan
bersifat sporadis, temporer dan tidak berkelanjutan.
Sehingga tidak berlebihan bila Kim (1997)
mengemukakan,
sangatlah
mustahil
untuk
menciptakan semangat inovasi organisasi apalagi
mengembangkannya tanpa melalui kemandirian
belajar pegawai. Pegawai yang melakukan kemandirian
belajar di lingkungan kerja cenderung memiliki ruang
untuk meningkatkan potensi dan kapasitas dirinya
sehingga mampu menghasilkan komunitas yang
profesional (knowledge workers) dan inovatif.
4.3.4 Pengaruh langsung Kemandirian Belajar
terhadap Kinerja Organisasi
Kemandirian belajar tidak mempengaruhi
secara langsung kinerja organisasi (thitung0.63 <
ttabel1.96) sehingga dinyatakan tidaksignifikan secara
statistik, sertanilai korelasi yang diperoleh 5%,
sedangkan nilai korelasi pengaruh tidak langsungnya
99
ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP
KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS)
Muhammad Na’im Amali
81%. Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis tidak
diterima.
Hasil ini menunjukkan bahwa keberhasilan
kemandirian belajar pegawai di lingkungan kerja tidak
serta merta mempengaruhi peningkatan kinerja
organisasi. Peran kemandirian belajar tersebut
membutuhkan
intervensi
organisasi
dalam
memfasilitasi pelaksanaan pembelajaran organisasi,
penerapan manajemen pengetahuan, dan penciptaan
inovasi sehingga mampu berpengaruh terhadap kinerja
organisasi. Hasil ini melengkapi temuan Ho (2008)
sebelumnya, bahwa dibutuhkan upaya organisasi
untuk mengoptimalkan kegiatan pembelajaran
organisasi dan menerapkan manajemen pengetahuan
dengan mempromosikan sistem kemandirian belajar
yang efektif guna meningkatkan kinerja organisasi.
Para pakar memberikan perhatian utama terhadap
pentingnya kemandirian belajar yang dilakukan
pegawai di lingkungan kerja karena dapat
meningkatkan kinerja dan pertumbuhan organisasi,
kesejahteraan pegawai, serta daya saing organisasi.
Fokus perhatian ini cukup beralasan mengingat
pegawai merupakan aset utama yang mampu
menggerakkan organisasi untuk mewujudkan visi dan
misinya. Kemampuan belajar pegawai di lingkungan
Kanwil menjadi tujuan objektif yang diinginkan oleh
organisasi untuk menghasilkan pengetahuan dan
mengembangkan
keterampilan
agar
mampu
menciptakan keunggulan kompetitif dalam konteks
organisasi yang mengalami perubahan dengan cepat.
Dibutuhkan
pengukuran
kinerja
untuk
mengidentifikasi pengaruh peningkatan kapasitas dan
kompetensi pegawai terhadap peningkatan kinerja
organisasi. Penilaian kinerja pada unit kantor pajak
dilakukan baik pada level organisasi maupun level
individu. Tujuan penilaian kinerja organisasi adalah
membangun organisasi agar melakukan continuous
improvement, membentuk keselarasan antar unit kerja,
mengembangkan semangat teamwork, dan menjadi
dasar peningkatan efektivitas dan efisiensi organisasi.
Sedangkan tujuan penilaian kinerja individu adalah
menjadi dasar penataan pegawai dan pertimbangan
pemberian penghargaan, mengembangkan iklim kerja
yang kondusif dan kompetitif, mewujudkan pegawai
yang kompeten dan memiliki motivasi tinggi serta
memberikan kontribusi maksimal kepada unit kerja,
membangun komunikasi efektif dan hubungan yang
harmonis antara bawahan dan atasan, tumbuhnya
tingkat kepuasaan kerja pegawai, dan mengembangkan
budaya kerja yang efektif dan menghargai kualitas
proses bisnis serta kualitas pegawai sehingga mampu
memberikan kontribusi optimal.
Secara statistik dimensi yang paling berperan
dalam membentuk pengaruh kemandirian belajar
terhadap pembelajaran organisasi (juga terhadap
manajemen pengetahuan, inovasi, dan kinerja
organisasi) adalah pembelajaran aktif (faktor muatan
0.86), pembelajaran berkelanjutan (0.84), memahami
pentingnya pembelajaran (0.78), dan komitmen belajar
(0.64).
100
4.4 Pengaruh langsung Pembelajaran Organisasi,
Manajemen
Pengetahuan,
dan
Inovasi
terhadap Kinerja Organisasi
4.4.1 Pengaruh langsung Pembelajaran Organisasi
terhadap Kinerja Organisasi
Pembelajaran organisasi mempengaruhi secara
langsung kinerja organisasi (thitung2.51 > ttabel1.96)
sehingga dinyatakan signifikan secara statistik, dengan
nilai korelasi 18%, sedangkan nilai korelasi pengaruh
tidak langsungnya 52%. Hasil ini menunjukkan bahwa
hipotesis diterima. Hal ini mengkonfirmasi bahwa
pembelajaran organisasi memainkan peranan yang
penting dalam meningkatkan kapasitas organisasi
sehingga dapat berpotensi dalam mencapai kinerja
yang maksimal. Secara statistik dimensi yang paling
berperan dalam membentuk pengaruh pembelajaran
organisasi terhadap kinerja organisasi adalah sikap
pegawai (faktor muatan 0.89), praktik pembelajaran
(0.84), mindsetpencapaian prestasi (0.78), dan pola
berbagi informasi (0.69).
Kanwil sangat berkepentingan terhadap pegawai
yang kompeten sehingga program pengembangan SDM
diharapkan dapat diikuti oleh sebagian besar atau
bahkan seluruh pegawai. Namun kenyataannya, karena
sumber daya yang dimiliki sangat terbatas sehingga
jumlah pegawai yang dapat mengikuti program
pengembangan SDM masih sangat minim. Atas kondisi
tersebut, dibuat kebijakan yang memungkinkan
terjadinya proses knowledge transfer antar.
Budaya berbagi pengetahuan antar pegawai
sebagai manifestasi dari penerapan pembelajaran
organisasi merupakan hal yang penting (Gupta dan
Govindarajan, 1986: 695-714). Karena pertama,
berbagi pengetahuan dapat menghasilkan synergistic
cost advantage yang memungkinkan minimnya biaya
berbagi pengetahuan jika dibandingkan dengan unit
lain dalam organisasi yang memproduksi pengetahuan
baru
secara
sendiri-sendiri.
Kedua,
berbagi
pengetahuan
memampukan
pegawai
untuk
mengidentifikasi dan merespons secara tepat situasi
lingkungan yang kritis untuk beradaptasi dengan
lingkungan secara lebih cepat. Ketiga, berbagi
pengetahuan memudahkan pegawai mendapatkan
informasi yang lebih lengkap dan karena itu
memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih
baik berdasarkan informasi yang diperoleh. Dan
terakhir, organisasi akan menciptakan pengetahuan
baru dengan jalan mengintegrasikan pengetahuan yang
saling melengkapi yang dimiliki secara terpisah oleh
para pegawainya.
Umumnya terdapat dua batasan yang menjadi
kendala
pegawai
dalam
melakukan
berbagi
pengetahuan, yaitu batasan kognitif dan batasan
motivasi (Hinds dan Pfeffer, 2003: 3). Batasan kognitif
terjadi manakala pegawai dinilai tidak memiliki
keahlian sehingga pengetahuan yang akan dibagi
sangat terbatas. Pegawai yang kurang mampu
mengartikulasikan pengetahuan tacit yang dimilikinya
termasuk mengalami batasan kognitif. Sedangkan
batasan motivasi terjadi apabila pegawai tidak
bersedia membagi pengetahuannya karena alasan
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP
KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS)
Muhammad Na’im Amali
takut disaingi, organisasi terlalu rigid dan hierarkis
dalam mengatur proses berbagi pengetahuan, atau
kurangnya insentif atau reward untuk berbagi
pengetahuan. Permasalahan utama dalam berbagi
pengetahuan antar pegawai pada dasarnya bukan
semata faktor motivasi, sebagaimana yang sering
dijadikan sebagai alasan konvensional. Menurut
Szulanski (1996: 27-43), permasalahan dalam berbagi
pengetahuan bisa jadi karena kurangnya kemampuan
penerima dalam menyerap (absorptive capacity)
pengetahuan, ciri-ciri pengetahuan yang tidak jelas
(causual ambiguity), dan adanya hubungan yang kaku
(arduous relationship) di antara source dan recipient.
4.4.2 Pengaruh langsung Manajemen Pengetahuan
terhadap Kinerja Organisasi
Manajemen pengetahuan mempengaruhi secara
langsung kinerja organisasi (thitung2.20 > ttabel1.96)
sehingga dinyatakan signifikan secara statistik, dengan
nilai korelasi 47%, sedangkan nilai korelasi pengaruh
tidak langsungnya 35%. Hasil ini menunjukkan bahwa
hipotesis diterima.Hal ini mengkonfirmasi bahwa
penerapan manajemen pengetahuan berperan penting
dalam meningkatkan kapasitas organisasi sehingga
dapat menghasilkan kinerja yang maksimal. Secara
statistik dimensi yang paling berperan dalam
membentuk pengaruh manajemen pengetahuan
terhadap
kinerja
organisasi
adalah
transfer
pengetahuan (faktor muatan 0.79), kreasi dan
pengembangan
pengetahuan
(0.78),
akuisisi
pengetahuan (0.70), serta penyimpanan dan
mendapatkan kembali pengetahuan (0.68).
Pendekatan penerapan manajemen pengetahuan
di lingkungan Kanwil menggunakan dua strategi yang
saling melengkapi. Pertama, strategi kodifikasi dimana
pengetahuan yang diperoleh dan dikreasi dikodifikasi
melalui proses analisis, didokumentasikan dengan
baik, disimpan ke dalam database sehingga dapat
diakses dan digunakan berulang-ulang oleh setiap
pegawai. Sistem aplikasi on-line membantu komunikasi
antara pegawai dan pengetahuan yang tersimpan
tersebut. Kedua, strategi personalia, dimana
pengetahuan disebarkan melalui kontak pegawai
dengan pegawai lainnya melalui sarana yang bersifat
off-line. Fungsi utama komputer hanyalah untuk
membantu berkomunikasi, seperti email, chatting,
video conference, atau meeting. Strategi manajemen
pengetahuan tersebut kemudian diwujudkan dalam
berbagai aktivitas yang dilakukan di lingkungan Kanwil
sebagai upaya untuk memperoleh sumber-sumber
informasi dan pengetahuan dari para pegawainya, baik
dilakukan secara off-line maupun on-line.
Tabel 1. Hasil Uji ANOVA Antar Unit Kantor Pajak
Sum of Squares
Kemandirian Belajar
Pembelajaran
Organisasi
Manajemen
Pengetahuan
Inovasi
Kinerja Organisasi
Between Groups
df
Mean Square
4.095
9
0.455
Within Groups
118.212
384
0.308
Total
122.307
393
1.677
9
0.186
Within Groups
135.395
384
0.353
Total
137.071
393
Between Groups
Between Groups
2.294
9
0.255
Within Groups
104.999
384
0.273
Total
107.293
393
4.537
9
0.504
Within Groups
148.743
384
0.387
Total
153.280
393
2.277
9
0.253
Within Groups
102.989
384
0.268
Total
105.266
393
Between Groups
Between Groups
F
Sig.
1.487
0.154
0.528
0.854
0.932
0.497
1.301
0.234
0.934
0.487
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan SPSS
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
101
ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP
KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS)
Muhammad Na’im Amali
Tabel 2. Hasil Uji ANOVA Antar Kelompok Pegawai
Sum of Squares
Kemandirian Belajar
Pembelajaran Organisasi
Manajemen Pengetahuan
Inovasi
Kinerja Organisasi
Between Groups
df
Mean Square
0.055
22.252
0.027
Within Groups
118.212
22.307
0.313
Total
122.307
393
1.478
2
0.739
Within Groups
35.594
391
0.347
Total
37.071
393
Between Groups
0.143
2
0.071
Within Groups
7.151
391
0.274
Total
7.293
393
Between Groups
0.828
2
0.414
Within Groups
52.452
391
0.390
Total
53.280
393
Between Groups
0.125
2
0.063
Within Groups
5.141
391
0.269
Total
5.266
393
Between Groups
F
Sig.
0.088
0.916
2.131
0.12
0.260
0.771
1.062
0.347
0.233
0.792
Sumber: Hasil Pengolahan Data dengan SPSS
Tantangan
utama
penerapan
manajemen
pengetahuan adalah terkait penciptaan pengetahuan
yang bersumber dari eksternal organisasi sebagai
manifestasi Pasal 35A ayat (1) Undang-undang
KUP.Upaya ini belum menunjukkan hasil yang optimal
karena disinyalir terlalu dominannya penerapan
rahasia jabatan di setiap instansi pemerintah, lembaga,
asosiasi, dan pihak ketiga lainnya. Berbeda dengan
penciptaan pengetahuan yang bersumber dari internal
organisasi yang relatif lebih mudah dilakukan karena
kegiatannya dapat dikendalikan (controllable) oleh
pimpinan. Tantangan lainnya adalah tingkat
kemudahan dalam mengakses data dan informasi
perpajakan yang disimpan dalam aplikasi sistem
informasi DJP. Mengingat sifatnya yang rahasia
sehingga dilakukan pembatasan kewenangan bagi
pegawai dalam mengakses data perpajakan yang
tersedia. Pembatasan kewenangan ini sudah barang
tentu berpengaruh pada jumlah pegawai yang dapat
memanfaatkan
data
perpajakan
yang
diadministrasikan oleh organisasi. Disisi lain, manfaat
data perpajakan sangat penting bagi upaya pegawai
dalam menjalankan tugas utamanya guna menghimpun
penerimaan perpajakan. Pemanfaatan pengetahuan
perpajakan yang dimiliki organisasi mampu
meningkatkan internal capabilities unit kantor pajak di
lingkungan Kanwil sehingga menghasilkan perbaikan
pada know-how layanan perpajakan, meningkatkan
efisiensi layanan perpajakan, dan mengurangi
ketidakstabilan kualitas layanan perpajakan kepada
Wajib Pajak (Sabherwal dan Sabherwat, 2005).
102
4.4.3 Pengaruh langsung Inovasi terhadap Kinerja
Organisasi
Variabel inovasi mempengaruhi secara langsung
variabel kinerja organisasi (thitung2.01 > ttabel1.96)
sehingga dinyatakan signifikan secara statistik, dengan
nilai korelasi 47%. Hasil ini menunjukkan bahwa
hipotesis diterima. Hal ini mengkonfirmasi bahwa
penciptaan
inovasi
berperan
penting
dalam
meningkatkan kapasitas organisasi sehingga dapat
menghasilkan kinerja yang maksimal. Secara statistik
dimensi yang paling berperan dalam membentuk
pengaruh inovasi terhadap kinerja organisasi adalah
pemanfaatan produk dan jasa (faktor muatan 0.81),
pengembangan inovasi (0.80) dan penggalian ide
(0.79).
Budaya inovatif mendorong pegawai pajak
mencari cara atau metode baru dalam melaksanakan
fungsi pelayanan, pengawasan, dan penegakan hukum
di bidang perpajakan. Budaya inovatif pegawai
dipengaruhi oleh kreativitas individu maupun
organisasi sehingga mampu menunjang kinerjanya. DJP
memiliki beberapa jenis layanan unggulan bidang
perpajakan yang berorientasi pada percepatan jangka
waktu penyelesaian sesuai yang ditetapkan. Beberapa
layanan unggulan tersebut adalah pemberian NPWP
atau pengukuhan PKP, penyelesaian restitusi PPN,
penerbitan
SPMKP/SKB/SKD/SKF,
penyelesaian
permohonan
keberatan
atau
pengurangan/
penghapusan sanksi administrasi/ketetapan pajak
yang tidak benar, serta pemindahbukuan. Layanan
unggulan ini merupakan wujud dari inovasi di bidang
pelayanan perpajakan dan diharapkan dapat menjadi
brandname bagi DJP. Konsistensi dalam penerapan
layanan unggulan ini sangat strategis untuk
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP
KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS)
Muhammad Na’im Amali
meningkatkan kepuasan Wajib Pajak dan menciptakan
kepatuhan sukarela.
4.5 Perbedaan struktur model pembelajaran
pegawai yang berpengaruh terhadap kinerja
organisasi antar unit kantor pajak dan antar
kelompok pegawai
Perbandingan struktur model pembelajaran
pegawai yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi
antara pegawai yang bekerja di KPP PMA Satu, KPP
PMA Dua, KPP PMA Tiga, KPP PMA Empat, KPP PMA
Lima, KPP PMA Enam, KPP Badan dan Orang Asing,
KPP Minyak dan Gas, KPP Perusahaan Masuk Bursa,
dan Kanwil memiliki nilai yang relatif sama untuk
semua unit kantor pajak (Fhitung kemandirian
belajar=1.478;
pembelajaran
organisasi=0.528;
manajemen pengetahuan=0.932; inovasi=1.301; dan
kinerja organisasi=0.943 lebih kecil dari Ftabel 1.90428).
Demikian juga dengan perbandingan struktur model
pembelajaran pegawai antara kelompok pegawai
struktural eselon (terdiri dari Kepala Bagian Umum,
Kepala Bidang, Kepala Kantor, Kepala Subbagian, dan
Kepala Seksi), pegawai bukan struktural (terdiri dari
Account Representative dan Penelaah Keberatan), dan
pegawai
fungsional
Pemeriksa
Pajak
(F hitung
kemandirian
belajar=0.088;
pembelajaran
organisasi=2.131; manajemen pengetahuan=0.260;
inovasi=1.062; dan kinerja organisasi=0.233 lebih kecil
dari Ftabel 3.01880). Oleh karena Fhitung ≤ Ftabel maka
hipotesis diterima.
Kemiripan struktur model pembelajaran pegawai
yang berpengaruh terhadap kinerja organisasi antar
unit kantor pajak dan antar kelompok pegawai di
lingkungan Kanwil di atas menunjukkan bukti bahwa
kebijakan yang terkait dengan pengelolaan dan
pengembangan SDM relatif sama karena dikelola
secara sentralistik oleh Kantor Pusat DJP. Temuan ini
menguatkan pendapat Pasaribu (2013: 12), keputusan
dalam organisasi publik umumnya diputuskan secara
terpusat dan setiap kegiatan dikendalikan langsung
oleh
pimpinan
sehingga
cenderung
kurang
berkembang. Kanwil DJP dan KPP yang merupakan
organisasi vertikal di bawah Kantor Pusat DJP
nampaknya hanya memiliki ruang yang sempit untuk
melakukan kreativitas di bidang pengelolaan dan
pengembangan SDM. Hal ini dapat dipahami mengingat
DJP yang merupakan organisasi publik yang sangat
besar membutuhkan pegawai yang memiliki
kompetensi, tingkat kepuasan dan integritas yang
tinggi, budaya yang kuat, serta tingkat kinerja yang
prima dalam berkontribusi terhadap pencapaian
sasaran dan tujuan organisasi.
Dengan mempertimbangkan dominasi peran
penerimaan pajak dalam struktur APBN, penting
kiranya bagi pemerintah untuk meningkatkan
kapasitas DJP. Perluasan kapasitas organisasi ini
diperlukan agar manajemen dan sistem kerja DJP lebih
tertata dengan baik sehingga dapat optimal dalam
meningkatkan kinerja penerimaan pajak. Akhirnya
pajak harus dinilai dan dipahami sebagai sesuatu yang
sangat penting untuk keberlangsungan suatu negara
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
karena 75% lebih APBN yang diperlukan untuk
penyelenggaraan pemerintahan bersumber dari
penerimaan pajak.
5.
KESIMPULAN
6.
REKOMENDASI
Pegawai di lingkungan Kanwil melakukan praktik
kemandirian belajar di lingkungan kerja serta
mentransformasi secara kontinyu
pengalaman
individual mereka menjadi pengetahuan organisasi
sehingga dapat diakses dan digunakan bersama
sebagai wujud dari pembelajaran organisasi. Unit-unit
kantor pajak di lingkungan Kanwil melakukan
pengelolaan
pengetahuan
perpajakan
untuk
menciptakan nilai tambah sebagai wujud dari
manajemen pengetahuan serta mentransformasi ideide inovatif ke dalam bentuk produk dan pelayanan
perpajakan
sehingga
bermanfaat
bagi
para
stakeholder. Para pegawai maupun unit-unit kantor
pajak terus berupaya mencapai kinerja secara optimal,
pada tingkat organisasi maupun tingkat individu.
Kemandirian belajar di lingkungan kerja sangat
berperan dalam mendorong pelaksanaan pembelajaran
organisasi, penerapan manajemen pengetahuan,
penciptaan inovasi di bidang perpajakan; meskipun
tidak berpengaruh secara langsung terhadap
pencapaian kinerja organisasi. Kemandirian belajar
akan memberikan implikasi yang positif terhadap
kinerja organisasi jika organisasi mampu melakukan
intervensi
dengan
memfasilitasi
pelaksanaan
pembelajaran organisasi, penerapan manajemen
pengetahuan, dan penciptaan inovasi secara efektif dan
bersama-sama.
Konsistensi dalam pelaksanaan pembelajaran
organisasi, penerapan manajemen pengetahuan,
maupun penciptaan inovasi di bidang perpajakan
memainkan
peranan
yang
penting
dalam
meningkatkan kapasitas organisasi sekaligus mampu
mempengaruhi pencapaian kinerja organisasi di
bidang pengembangan SDM, peningkatan kepatuhan
Wajib Pajak, penegakan hukum melalui tindakan
pemeriksaan dan penagihan, penerimaan pajak, serta
peningkatan kompetensi pegawai sesuai yang
diharapkan.
Struktur model pembelajaran pegawai yang
diorientasikan untuk pencapaian kinerja organisasi
secara optimal cenderung seragam sehingga tidak
menghasilkan budaya kompetisi yang kreatif antar unit
kantor pajak maupun antar kelompok pegawai. Hal ini
dikarenakan pengelolaan SDM masih dilakukan secara
sentralistik oleh Kantor Pusat DJP.
Kanwil sebaiknya mendorong keberlangsungan
kegiatan kemandirian belajar para pegawai di
lingkungannya dengan memberikan dukungan berupa
sarana dan prasarana yang diperlukan, serta lebih
diorientasikan pada pemahaman dan penguasaan
terhadap perpajakan internasional serta model dan
skema penghindaran pajak untuk mencegah adanya
potencial loss penerimaan pajak. Selain itu, perlu
peningkatan kerjasama dan koordinasi dengan
103
ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP
KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS)
Muhammad Na’im Amali
berbagai pihak eksternal, seperti organisasi profesi,
asosiasi bisnis, maupun perguruan tinggi, sehingga
dapat menambah sumber-sumber pengetahuan baru
dan meningkatkan kegiatan knowledge sharing antar
pegawai sebagai bentuk implementasi pembelajaran
organisasi yang bermanfaat bagi pegawai serta
organisasi.
Untuk mengoptimalkan pembangunan database
perpajakan yang bersumber dari instansi pemerintah,
lembaga, asosiasi, dan pihak ketiga lainnya dalam
konteks knowledge capture sebaiknya didukung penuh
oleh Pemerintah demi keberlangsungan negara karena
APBN untuk penyelenggaraan pemerintahan sebagian
besar bersumber dari penerimaan pajak. Kegiatan
diskusi rutin yang dilakukan oleh forum-forum
(community of practice) dalam rangka knowledge
sharing perlu diperluas dengan melibatkan pegawai
dari unit kantor lainnya yang mengadministrasikan
Wajib Pajak dengan karakteristik sejenis agar kualitas
pembelajaran menjadi semakin baik. Sedangkan untuk
mengoptimalkan knowledge application sebaiknya
pegawai diberikan kewenangan yang lebih luas untuk
mengakses dan memanfaatkan data perpajakan yang
telah diciptakan, dikelola, dan disimpan oleh organisasi
tanpa melanggar ketentuan rahasia jabatan sehingga
dapat bermanfaat bagi upaya pengamanan APBN dari
sektor penerimaan pajak.
Unit-unit kantor pajak di lingkungan Kanwil perlu
menjaga konsistensi dalam percepatan pemberian
layanan unggulan di bidang perpajakan sesuai batas
waktu yang dijanjikan sebagai perwujudan inovasi
pelayanan. Keberhasilan layanan unggulan tersebut
dapat menjadi brand mark bagi DJP sekaligus
diharapkan mampu meningkatkan kepatuhan sukarela
dan kepuasan Wajib Pajak.
Para pimpinan diharapkan mampu befungsi
sebagai inspirator, fasilitator sekaligus motivator bagi
para pegawainya dalam melakukan pembelajaran
secara mandiri di lingkungan kerja; memperkuat
aturan yang dapat mendorong aktivitas berbagi
pengetahuan antar pegawai, dalam suatu unit kantor
pajak
maupun
antar
unit
kantor
pajak;
mengintegrasikan semua sistem informasi perpajakan
yang dimiliki sebagai sumber utama pengetahuan yang
dapat mendukung pekerjaan pegawai; memperluas
ruang bagi unit-unit vertikal dalam menggali dan
menyebarkan ide-ide inovatif di bidang perpajakan
dalam rangka untuk meningkatkan kinerja organisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Bergeron, Bryan (2003). Essential of Knowledge
Management. New Jersey: John Wiley dan Sons, Inc.,
hal. 9
Creswell, John W (1994). Research Design: Qualitative,
Quantitative and Mixed Methods Approaches, London:
Sage Publications. Diterjenahkan oleh Fawaid,
Achmad (2012). Research Design: Pendekatan
Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Davidson, Carl dan Philip Voss (2002). Knowledge
Management an Introduction to Creating Competitive
104
Advantage from Intellectual Capital. New Zealand:
Tandem Press, hal. 32.
Fontana, Avianti (2009). Innovate: We Can!, How to
Create Value Through Innovation in Your Organization
and Society. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Gomes, Faustino Cardoso (1995). Manajemen Sumber
Daya Manusia. Yogyakarta: Andi Offset, hal. 142.
Kaplan, Robert S. dan David P. Norton (2001). The
Strategy Focused Organization: How the Companies
Thrive in the New Business Environment. Boston:
Business Scholl Press, hal. 273-6.
Knowles, M.S. (1990). The Adult Learner: A Neglected
Species, Houston: Gulf Publishing, hal. 18.
Mansury, R. (2002). Pajak Penghasilan Lanjutan Pasca
Reformasi 2000. Jakarta: Yayasan Pengembangan dan
Penyebaran Pengetahuan Perpajakan.
Marquardt, Michael J. (1996). Building the Learning
Organization: A Systems Approach to Quantum
Improvement and Global Success. New York: McGrawHill
Newel, Sue et al. (2002). Managing Knowledge Work.
New York, USA: Palgrave.
Pasaribu, Manerep (2013). Best Practice dan BUMN:
Melalui Sharing Best Practices BUMN Bisa Melayani
Lebih Baik. Jakarta: PT Elex Media Komputindo,
Kompas Gramedia.
Robbins, Stephen P. dan Coulter, M. (2002).
Management. Upper Saddle River, New York:
Prentice-Hall
Schermerhorn, Jr., Hunt, J.M. dan Osborn, R.N. (2002).
Organizational Behavior, 7th ed., New York: John
Wiley.
Senge, P (1994). The Fifth Discipline: The Art and
Practice of the Learning Organization, New York, USA:
Doubleday Currency.
Sugiyono (2010). Metode Penelitian Administratif,
Bandung: Alfabeta.
Antal, Ariane Berthoin, Meinolf Dierkes, John Child dan
Ikujiro Nonaka (2001). “Organizational Learning and
Knowledge: Reflection on the Dynamic of the Field
and Challenges for the Future”, dalam Handbook of
Organizational Learning and Knowledge (diedit oleh
Meinolf Dierkes, Ariane Berthoin Antal, John Child,
dan Ikujiro Nonaka). Oxford UK: Oxford University
Press.
Assifie, Bahasyim (2004). “Analisis Kinerja Organisasi
dengan Pendekatan System Dynamics: Studi Kasus
Pada Direktorat Jenderal Pajak Menggunakan
Perspektif Modifikasi Balance Scorecard”. Jakarta:
Thesis Universitas Indonesia.
Bontis, Nick (1998). “Intellectual Capital: An
Exploratory Study that Develops Measures and
Models”, Management Decision, Vol. 36, No. 2, hal. 6373.
Bontis, N., Crossan, M.M. dan Hulland, J. (2002).
“Managing on Organizational Learning System by
Aligning Stocks and Flows”, Journal of Management
Studies, Vol. 39, No. 4, hal. 437-69.
Cai, Jian (2006). “Knowledge Management Within
Collaoboraton: A Prespective Modelling and
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
ANALISIS STRUKTUR MODEL PEMBELAJARAN PEGAWAI YANG BERPENGARUH TERHADAP
KINERJA ORGANISASI (KAJIAN PADA KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS)
Muhammad Na’im Amali
Analyzing Methodology.” Journal of Database
Management, Vol. 17, No. 1, hal. 33-48.
Confessore, Sharon L. dan Kops, William J. (1998).
“Self-directed
Learning
and
the
Learning
Organization: Examining the Connection between the
Individual and the Learning Environment. “Human
Resourches Development Quarterly Journal (HRDJ)”,
Vol. 9, No. 4, Date Winter 1998, hal. 365-75.
Davenport, T. dan Prusak L. (1998). Working
Knowledge: How Organizations Manage What They
Know. Boston: Harvard Business School Press, hal.5.
Drucker, Peter F. (1998). “The Discipline of Innovation”.
Harvard Business Review, November-December, hal.
150-7.
Ellinger, A.D. (2004). ‘The Concept of Self-directed
Learning and Its Implications for Human Resource
Development”, Advances in Developing Human
Resources, Vol. 6, No. 2, hal. 162.
Friedman, Victor J. (2001). “The Individual as Agent of
Organizational Learning”,dalam
Handbook
of
Organizational Learning and Knowledge, Oxford UK:
Oxford University Press.
Garavan, T. (1997). “The Learning Organization: A
Review and Evaluation”, The Learning Organization,
Vol. 4, No. 1, hal. 18-29.
Garvin, D.A. (1993). “Building A Learning Organization”,
Harvard Business Review, Vol. 71, No. 4, hal. 78-91.
Gold, A.H., Malhotra, A. dan Segars, A.H. (2001).
“Knowledge Management: An Organizational
Capabilities Perspective”, Journal of Management
Information Systems, Vol. 18, No. 1, hal. 185-214.
Guglielmino, L. (1977). “Development of Self-directed
Learning Readiness Scale”, Doctoral Dissertation
Abstracts International, Vol. 38, hal. 6467A.
Gupta dan Govindarajan, V. (1986). “Resource Sharing
Among
SBUs:
Strategic
Antecedents
and
Administrative
Implications”,
Academy
of
Management Journal, Vol. 29, hal. 695-714.
Cook, S.D.N. dan Yanow D. (1993). “Culture and
Organizational Learning”. Journal of Management
Inquiry, Vol. 2, No. 4, hal. 373-90.
Hinds, Pemela J. dan Jeffrey Pfeffer. “Why Organizations
Don’t Know What They Know: Cognitive and
Motivational Factors Affecting the Transfer
Expertise” dalam Ackerman, Mark et al. (2003).
Sharing Expertise. Sabon, Asco Typesetter.
Ho, Li-An (2008). “What Affects Organizational
Performance? The Linking of Learning and
Knowledge Management”, Industrial Management &
Data Systems, Vol. 108, No. 9, hal. 1234-48.
Huber, G.P. (1991). “Organizational Learning: The
Contributing Processes and The Literatures”,
Organization Science, Vol. 2 No. 1, hal. 88-115.
Kim, Daniel H. (1993). “The Link Between Individual
and Organizational Learning”, Sloan Management
Review, Vol. 35, No. 1, hal. 37-51.
Livneh, C. (1988), “Characteristics of Lifelong Learners
in the Human Services Professions”, Adult Education
Quarterly, Vol. 38, hal. 149-59.
Merx-Chermin, Mireille dan Nijhof, Wim J. (2005).
“Factors Influencing Knowledge Creation and
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
Innovation in an Organization”, Journal of European
Industrial Training, Vol. 29, hal. 135-82.
Nasution, Darmin (2009). “Substansi Perubahan
Undang-undang Perpajakan 2008”dalam Era Baru
Kebijakan
Fiskal:
Pemikiran,
Konsep,
dan
Implementasi, op.cit, hal. 197-8.
Ortenbald, A. (2001). “On Differences Between
Organizational
Learning
and
Learning
Organization”.Learning Organization, Vol. 8, No 3, 4,
hal. 125–133.
Prasetyo, Adinur (2008). “Pengaruh Uniformity dan
Kesamaan Persepsi, serta Ukuran Perusahaan
Terhadap Kepatuhan Pajak (Minimalisasi Biaya
Kepatuhan Pajak Pada Perusahaan Masuk Bursa)”.
Jakarta: Thesis Universitas Indonesia, hal. 16-7.
Robinson, T., Clemson, B., dan Ve Ketaing, C. (1997).
“Development of High Performance Organizational
Learning Units”, The Learning Organization, Vol. 4,
No. 5, hal. 228-34.
Szulanski, G. (1996) “Exploring Internal Stickiness:
Impediments to the Transfer of Best Practice Within
the Firm. Strategic Management Journal, Vol. 17, hal
27-43.
Zack, M.H. (1999). “Managing Codified Knowledge”,
Sloan Management Review, Vol. 40, No. 4, hal. 45-58.
Santosus, Megan dan John Surmach (2001). “The ABCs
of Knowledge Management”. Knowledge Management
Centre.
Diunduh
dari
http://www.cio.com/research/knowledge/edit/kma
bes.html hal. 1.
105
Halaman ini sengaja dikosongkan
This page intentionally left blank
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
106
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015, Halaman 107-140
BADAN PENDIDIKAN DAN
PELATIHAN KEUANGAN
KEMENTERIAN KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
JURNAL BPPK
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG TELAH
DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
KPU Bea dan Cukai Tipe A Tanjung Priok, Jakarta, Indonesia, Email: [email protected]
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
SEJARAH ARTIKEL
Diterima Pertama
4 Maret 2015
Our analysis try to draw up Indonesia’s position in any economic integration agreement
involved, bilaterally or regionally, which are ASEAN Free Trade Area (ASEAN Trade in Goods
Agreement), ASEAN-China Free Trade Area, ASEAN-India Free Trade Area, ASEAN-Korea Free
Trade Area, Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement, ASEAN-Australia-New Zealand
Free Trade Area, dan Indonesia-Pakistan Preferential Trade Agreement, the rules of trade in
goods in each agreement, and moreover to analyse preferential tariff given based on Minister of
Finance Decrees. The research conducted by literature study. Our analysis discover two
conclusion, first, Indonesia has given tariff reduction and elimination according to the modality
agreed in the integration agreements. We need to analyse further whether our partner has
granted us the same commitment. Second, related to the operational certification procedures
(OCP), our analysis recommend the ruling of OCP through Minister of Finance Decree, to
strengthen legal basis of Certificate of Origin’s examination by the Customs Officers.
Dinyatakan Dapat Dimuat
12 Juni 2015
KATA KUNCI:
FTA,
OCP,
Kesepakatan perdagangan,
Liberalisasi perdagangan,
tarif preferensi,
1
Analisis kami mencoba untuk menggambarkan posisi Indonesia dalam berbagai persetujuan
kerjasama/integrasi ekonomi, baik secara bilateral maupun regional, yaitu ASEAN Free
Trade Area (ASEAN Trade in Goods Agreement), ASEAN-China Free Trade Area, ASEAN-India
Free Trade Area, ASEAN-Korea Free Trade Area, Indonesia-Japan Economic Partnership
Agreement, ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area, dan Indonesia-Pakistan
Preferential Trade Agreement, pengaturan tentang perdagangan barang pada masing-masing
persetujuan FTA, dan lebih lanjut membuat analisis atas pemberian tarif preferensial
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Penelitian dilakukan dengan metode studi
literatur. Analisis kami menyimpulkan, pertama, Indonesia telah melaksanakan penurunan
dan penghapusan tarif sesuai dengan modalitas yang disepakati di dalam setiap kesepakatan
integrasi. Perlu dikaji lebih lanjut apakah komitmen yang sama juga diberikan oleh negara
mitra. Kedua, terkait prosedur operasional sertifikasi barang, kajian merekomendasikan
pengaturannya secara mandiri dalam suatu Peraturan Menteri Keuangan, untuk
memperkuat dasar hukum penelitian Surat Keterangan Asaloleh Pejabat Bea dan Cukai.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kerjasama ekonomi antar negara kini menjadi
sebuah keniscayaan. Tidak ada satu pun negara di
dunia akan mampu bertahan apabila tidak membuka
diri terhadap dunia luar. Negara-negara komunis, yang
sebelumnya menerapkan sistem ekonomi tertutup,
semacam China dan Russia pun secara aktif terlibat
dan bergiat dalam berbagai forum kerjasama ekonomi,
baik secara bilateral, regional, maupun internasional.
Integrasi ekonomi menjadi pilihan yang paling populer
untuk meningkatkan kerjasama ekonomi antar negara.
Integrasi ekonomi regional diinisiasi dengan
adanya perjanjian antar negara dalam suatu wilayah
geografis untuk mengurangi (hingga pada akhirnya
menghilangkan) hambatan tarif dan non-tarif atas lalu
lintas barang, jasa, serta faktor produksi.Sejak tahun
2003, liberalisasi perdagangan di ASEAN telah
meningkatkan volume perdagangan Indonesia, yang
ditunjukkan dengan peningkatan yang lebih dari dua
kali lipat dari volume ekspor dan impor selama periode
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
2003 sampai dengan 2010 (Benny Gunawan
Ardiansyah dalam Siapkah Indonesia dalam
Menghadapi Liberalisasi Perdagangan?).
Hasil studi Cabalu dan Alfonso (2007) yang
berjudul ‘Does AFTA Create or Divert Trade?’,secara
khusus melakukan analisis mengenai ada atau tidaknya
pengalihan perdagangan sebagai dampak dari suatu
integrasi ekonomi (dalam hal ini, ASEAN Free Trade
Area).Hasil analisis memunculkan beberapa pola yang
menarik, jumlah ekspor ASEAN meningkat pangsanya
baik di ASEAN maupun di pasarseluruh dunia selain
ASEAN (rest of the world/ROW).Mulai 1980-an sampai
1990-an, pangsa pasar ASEAN di wilayah tersebut
mengalami penurunan namun meningkat di seluruh
dunia. Pada paruh kedua 1990-an sampai dengan satu
dekade kemudian, pangsa ekspor ASEAN telah
menunjukkan tanda positif di kedua pasar, tetapi
peningkatan pangsa yang paling menonjol adalah di
pasar ROW. Hal ini menegaskan bahwa AFTA telah
menciptakan perdagangan (trade creation) ketimbang
pengalihan perdagangan (trade diversion). Sehingga
107
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
peniadaan hambatan tarif dan non-tarif telah
berimplikasi
positif
terhadap
perkembangan
perdagangan (Laporan Hasil Kajian Pusat Kebijakan
Regional dan Bilateral: Free Trade Agreement dan
Economic Partnership Agreement, dan Pengaruhnya
terhadap Arus Perdagangan dan Investasi dengan
Negara Mitra).
Tahapan
dari
integrasi
regional
dapat
berlangsung dalam beberapa bentuk, tergantung dari
tingkat integrasi antar negara. Secara umum, terdapat
6 bentuk utama integrasi, mulai dari tingkat yang lebih
rendah sampai dengan tingkat yang lebih tinggi
(Suranovic, 1998).
a. Preferential Trade Agreement (PTA). Merupakan
bentuk integrasi yang paling rendah dengan
memberikan akses preferensial melalui penurunan
tarif bea masuk hanya terhadap produk tertentu.
Contoh: Indonesia-Pakistan (Preferential Trade
Agreement between the Government of the Republic
of Indonesia and the Government of the Islamic
Republic of Pakistan ditandatangani di Jakarta pada
3 Februari 2012).
b. Free Trade Agreement (FTA). Merupakan tahap
kedua dari integrasi dimana negara anggota setuju
untuk mengurangi tarif, kuota, dan hambatan lain
untuk hampir seluruh barang dan jasa yang
diperdagangkan antar negara anggota. Sedangkan
kebijakan
terhadap
negara
non-anggota,
diserahkan sepenuhnya kepada negara anggota.
Contoh: AFTA (1992), ACFTA (2002), AIFTA
(2003), AKFTA (2005), IJEPA (2007) dan
AANZFTA (2009).
c. Customs Union. Merupakan bentuk integrasi yang
tidak
hanya
menghilangkan
hambatan
perdagangan antar negara anggota, tetapi juga
mewajibkan
negara
anggotanya
untuk
menyeragamkan kebijakan perdagangan mereka
terhadap negara non-anggota (FTA with common
external tariff). Contoh: Customs Union of Belarus,
Kazakhstan and Russia (2010).
d. Common Market. Merupakan bentuk integrasi
yang tidak hanya membebaskan perdagangan
barang saja, tetapi juga arus faktor produksi,
seperti tenaga kerja dan modal. Contoh: EAC (East
African Community).
e. Economic Union. Merupakan bentuk integrasi
dimana harmonisasi di antara negara anggota
diperluas lagi, sampai dengan penyeragaman
kebijakan fiskal.
f. Monetary Union. Merupakan bentuk integrasi
paling tinggi, dimana negara-negara anggota
menerbitkan mata uang tunggal dan membentuk
otoritas moneter bersama. Contoh: Uni Eropa.
Negara-negara Eropa telah melalui semua tahap
tersebut dan kini ada di tahapan Economic Union
dengan nama European Union/Uni Eropa yang
ditandai dengan penyatuan mata uang Euro. ASEAN
sekarang pada tahap FTA yang sedang menuju tahap
common market pada 2015 melalui ASEAN Economic
Community (AEC).
140.108
Sementara itu, selain membentuk kawasan
perdagangan bebas (free trade area/FTA) dengan
ASEAN, China juga mempunyai persetujuan FTA secara
bilateral dengan Pakistan, Singapore, Chile, Peru, New
Zealand, Costa Rica, Iceland, dan Switzerland, dan
membentuk Closer Economic and Partnership
Arrangement dengan Hong Kong dan Macau. Secara
regional, China terlibat di dalam Asia Pacific Trade
Agreement bersama Bangladesh, India, Sri Lanka, Lao
PDR, dan Korea. Pada saat ini China juga sedang dalam
tahap negosiasi dengan Australia, Norway, dan Gulf
Cooperation Council (GCC) untuk membentuk
persetujuan FTA (Sumber: China FTA Network)
Russia mempunyai persetujuan FTA secara
bilateral dengan Armenia (entry date into force/edif 25
Maret 1993), Ukraine (edif 21 Februari 1994),
Kyrgyzstan (edif 24 Maret 1993), dan Georgia (edif 10
Mei 1994).Selain itu, secara regional Russia
bekerjasama
membentuk
Eurasian
Economic
Community (EAEC, ditandatangani pada 10 Oktober
2000 bersama Belarus, Kazakhstan, Kyrgyzstan, dan
Tajikistan), Commonwealth of Independent States Free
Trade Area (CIS-FTA, ditandatangani pada 15 April
1994 bersama Azerbaijan, Armenia, Belarus, Georgia,
Moldova, Kazakhstan, Ukraine, Uzbekistan, Tajikistan,
dan Kyrgyzstan), dan Common Economic Zone (edif 20
Mei 2004, bersama Belarus, Kazakhstan, dan Ukraine)
(Sumber : The World Bank Global Preferential Trade
Agreements Database)
Sampai dengan saat ini, Indonesia sudah
mengikatkan diri dalam delapan kesepakatan integrasi
ekonomi, yaitu ASEAN Free Trade Area (ASEAN Trade in
Goods Agreement), ASEAN-China Free Trade Area,
ASEAN-India Free Trade Area, ASEAN-Korea Free Trade
Area, Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement,
ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership
Agreement (2003), ASEAN-Australia-New Zealand Free
Trade Area, dan Indonesia-Pakistan Preferential Trade
Agreement. Dari delapan kesepakatan tersebut, tujuh
diantaranya
telah
diimplementasikan
oleh
pemerintah.ASEAN-Japan Comprehensive Economic
Partnership Agreement sampai dengan saat ini belum
diimplementasikan.
1.2 Rumusan Masalah
Indonesia telah mengikatkan diri ke dalam tujuh
kesepakatan perdagangan dan sebagai implikasinya,
memberikan preferensi tarif kepada para negara
mitra.Dipandang dari sudut penerimaan negara,
Indonesia telah mengorbankan potensi penerimaan
yang tidak sedikit demi untuk terlibat dalam suatu
kawasan perdagangan bebas.
Data utilisasi tarif preferensi sepanjang 20112012 di bawah ini mencerminkan tingginya tingkat
penggunaan tarif preferensi dalam importasi barang
yang masuk ke Indonesia. Impor barang yang
seharusnya membayar bea masuk sesuai tarif yang
berlaku umum, diberikan tarif preferensi yang lebih
rendah, sehingga penerimaan negara dari sektor bea
masuk menjadi lebih rendah.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
Tabel 1. Data Utilisasi Tarif Preferensi 2011-2012
Tarif (%)
0
5
5<x<10
10<x<15
20
X > 20
Spesifik
(blank)
Total
Tarif
(%)
Impor Tarif Preferensi
2011
2012
1.484.569.781
2.233.091.569
7.705.047.598
16.013.466.574
5.018.570.693
10.106.735.152
1.445.619.047
2.374.106.627
338.024.852
480.719.609
1.240.570.423
2.677.576.830
283.101
595.750
143.916
17.232.685.495
33.886.736.026
Impor Tarif Umum
2011
0
57.463.156.302
5
37.714.487.199
5<x<10
9.943.671.060
10<x<15
4.868.642.223
20
345.423.480
X > 20
937.058.764
Spesifik
1.809.242.148
(blank)
805.311
Total
113.082.486.486
Sumber: Dit. IKC, DJBC
2012
61.837.152.533
35.978.156.606
7.573.129.898
4.486.126.151
288.349.922
518.424.763
1.260.678.476
1.502.328
111.943.520.676
Utilisasi FTA
(%)
2011
2012
2.5
3.5
17.0
30.8
33.5
57.2
22.9
34.6
49.5
62.5
57.0
83.8
0.0
0.0
0.0
8.7
Data di atas menunjukkan bahwa untuk
kelompok barang dengan tarif bea masuk lebih dari 5%
sampai dengan 10%, tarif 20%, dan di atas 20%,
pemanfaatan tarif preferensi adalah di atas 50%.
Dengan demikian, liberalisasi perdagangan
barang melalui pemberian tarif preferensi yang lebih
rendah dari tarif yang berlaku umum telah secara
nyata dan serta merta menyebabkan masalah
berkurangnya penerimaan bea masuk. Oleh karena itu,
dirasa perlu untuk mengukur tingkat liberalisasi dalam
perdagangan yang diberikan oleh Indonesia sebagai
akibat dari pengikatan diri Indonesia dalam suatu
integrasi ekonomi.
1.3 Tujuan Penulisan
Kajian ini akan memberikan tinjauan umum atas
ketujuh integrasi ekonomi tersebut dan mencoba
mengukur preferensi tarif yang diberikan oleh
pemerintah sebagai konsekuensi pengikatan Indonesia
dalam integrasi ekonomi tersebut. Tingkat liberalisasi
dalam perdagangan barang diukur dengan seberapa
jauh tingkat penurunan tarifbea masuk yang diberikan
oleh negara Indonesia atas impor barang yang berasal
dari negara mitra dagang yang turut mengikatkan diri
dalam integrasi ekonomi. Dalam pengukuran tingkat
liberalisasi perdagangan, kajian menggunakan data
tarif preferensi yang berlaku pada tahun 2014,
sehingga diharapkan data yang disajikan memenuhi
syarat kekinian.
Kajian membatasi diri untuk tidak membahas
dampak pemberlakuan kerjasama/integrasi ekonomi
terhadap neraca perdagangan.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
2
KERANGKA TEORITIS DAN
PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Chemingui dan Colton (1995) berpendapat bahwa
perdagangan internasional adalah alat yang penting
untuk alokasi sumber daya. Terjadinya perdagangan
internasional memungkinkan berpindahnya suatu
sumber daya dari satu negara ke negara yang lain. Saat
ini, tidak ada satu negara pun yang sama sekali
menutup diri dari perdagangan internasional. Korea
Utara, yang dianggap sebagai negara paling tertutup di
dunia pun, tetap melakukan perdagangan dengan
negara lain, walaupun dalam skala yang tidak besar.
Walaupun demikian, perdagangan internasional
memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan
perdagangan domestik.Negara-negara menetapkan
untuk menerapkan berbagai hambatan perdagangan
dengan alasan yang beragam. Hambatan dalam
perdagangan internasional dapat berupa hambatan
tarif (mengenakan tarif bea masuk atas barang impor)
atau hambatan non tarif, semisal kuota ekspor,
kewajiban surveyor, dan sebagainya.
Kompetisi di dalam perdagangan internasional,
yang sebagian besar berujung pada upaya untuk
memperoleh surplus dalam neraca perdagangan
menggiring
negara-negara
di
dunia
untuk
melonggarkan
hambatan
dalam
perdagangan
internasional. Negara-negara kemudian menjalin
kesepakatan timbal balik di antara mereka untuk
membentuk suatu kawasan perdagangan bebas yang
dipercaya akan mendatangkan keuntungan bagi semua
pihak. Integrasi ekonomi atau perdagangan bebas
memungkinkan sumber daya berpindah dari satu
negara ke negara lainnya tanpa menemui hambatan
perdagangan, baik hambatan tarif maupun non tarif.
Integrasi ekonomi dipercaya mendatangkan
manfaat sebagai berikut (Ken Edge, 1999):
a. Economic Growth. Persaingan antar negara yang
sangat ketat akan memacu negara-negara untuk
semakin produktif dan efisien dalam proses
produksi barang. Hal ini akan menyebabkan
distributor barang menurunkan biaya produksi
untuk menciptakan persaingan harga. Sehingga
masyarakat dapat membeli barang-barang dengan
harga yang terjangkau. Hal ini akan mendukung
pertumbuhan ekonomi.
b. Foreign Exchange Gains.Kegiatan
ekspor
memungkinkan suatu negara memperoleh hard
currency sebagai pembayaran. Uang ini dapat
digunakan untuk membiayai impor barang yang
diproduksi dengan lebih efisien dan berbiaya
rendah dari negara lain.
c. Employment. Peningkatan kemampuan industri
akan meningkatkan permintaan atas tenaga kerja.
Sumber daya manusia akan berpindah dari
permintaan tenaga kerja yang rendah ke kawasan
yang lebih produktif dan membutuhkan lebih
banyak tenaga kerja.
d. Increased Production. FTA akan mendorong
negara untuk melakukan spesialisasi karena akan
meningkatkan keunggulan komparatif suatu
109
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
negara. Hal ini akan menurunkan biaya produksi
rata-rata dan meningkatkan produksi.
e. Production Efficiencies. Karena perbedaan
anugerah sumber daya, setiap negara harus
melakukan alokasi dan pembangunan agar dapat
bersaing dengan negara yang lain dan merespon
dengan tingkat produktivitas yang berhubungan
dengan peningkatan teknologi dan inovasi serta
peningkatan distribusi dan pemasaran.
f. Benefit to Consumers. Semakin tinggi tingkat
persaingan di tingkat pemasok, akan memberikan
keuntungan kepada konsumen, karena konsumen
ditawari produk yang beragam dengan harga yang
kompetitif.
Disamping memberikan manfaat yang beragam
tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa perdagangan
bebas/integrasi ekonomi juga mendatangkan kerugian,
diantaranya:
a. Unemployment Rate. Perubahan peraturan
perburuhan dan terbukanya pasar tenaga kerja
akan meningkatkan angka pengangguran di negara
dengan tingkat upah yang tinggi, karena industri
akan lebih memilih tenaga kerja dengan upah
rendah.
b. Economic Status. Ketergantungan terhadap pasar
internasional akan menyebabkan perekonomian
domestik menjadi rentan terhadap guncangan. Hal
ini dapat menyebabkan turunnya penerimaan dari
ekspor, penurunan PDB, penurunan pendapatan,
penurunan permintaan domestik dan sebagainya.
c. International Market Is Not a Level Playing Field.
Pasar internasional bukanlah suatu pasar yang
seimbang, negara yang berhasil meningkatkan
produksi karena produktif dan efisien akan dapat
menguasai pasar internasional. Sementara negara
yang tidak memiliki keunggulan tersebut akan
jmengalami kemunduran.
d. New Entry Players. Perdagangan bebas akan
mempersulit perusahaan/negara baru untuk masuk
ke pasar, karena mereka dihadapkan pada
persaingan dengan perusahaan/negara yang telah
berkembang dan maju.
e. Pollution and Environmental Problem. Tingginya
tingkat persaingan dalam perdagangan bebas
membuka kesempatan untuk ekspansi pasar. Hal ini
menyebabkan pengurangan biaya produksi dan
terabaikannya pengawasan atas kualitas dan
dampak pada lingkungan.
Berdasarkan pros-cons tersebut di atas, kajian ini
akan memotret secara netral posisi Indonesia di dalam
perjanjian
perdagangan
bebas
yang
telah
diimplementasikan, sebagai bahan untuk kajian
lanjutan yang lebih komprehensif dan mendalam.
membantu peneliti untuk mendapatkan data dari
berbagai macam sumber.
Berdasarkan tujuan dari penelitian yang ingin
mengeksplorasi fenomena liberalisasi perdagangan
melalui integrasi ekonomi, maka digunakan metode
penelitian kualitatif. Glenn A. Bowen dalam ‘From
Qualitative Dissertation to Quality Articles: Seven
Lessons Learned’ menyampaikan bahwa penelitian
kualitatif melibatkan suatu pengumpulan bahan yang
sistematis, pengorganisasian, dan analisa atas bahan
yang sebagian besar merupakan teks/dokumen.
Walaupun banyak perdebatan, terutama mengenai
pengetahuan yang dihasilkan dari suatu penelitian
kualitatif (Mays & Pope, 2000), namun terdapat
kesepahaman, setidaknya di kalangan ahli peneliti
kualitatif, bahwa penelitian kualitatif dapat dipercaya,
memiliki relevansi dan kaku, dengan hasil temuan yang
aplikatif (Bergman & Coxon, 2005; Lincoln & Guba,
1985; Mays & Pope; Morse et al.).
Penelitian menggunakan metode qualitative
content analysis (QCA), yaitu suatu metode untuk
secara sistematis menjelaskan makna dari bahanbahan kualitatif. Metode ini cocok digunakan untuk
menganalisis bahan yang membutuhkan interpretasi
tertentu. QCA mengharuskan peneliti untuk fokus pada
suatu aspek pertanyaan tertentu yang ingin dijawab
oleh penelitian tersebut. Tiga karakteristik utama dari
QCA adalah sistematis, fleksibel, dan mengurangi data.
Metode ini sistematis karena tiga hal, yaitu seluruh
bahan dipertimbangkan, ada urutan langkah yang
harus diikuti dalam melakukan analisis, dan konsisten
dalam analisis. Fleksibel karena metode disusun agar
dapat cocok dengan bahan yang ada.QCA mengurangi
data karena membatasi analisis hanya atas aspek
bahan yang relevan. (Margrit Schreier, 2012)
Data dalam penelitian ini didapat dari naskah
persetujuan
perdagangan
yang
telah
diimplementasikan oleh Indonesia, yang dapat
diunduh secara bebas dari situs ASEAN atau
Kementerian Perdagangan RI dan Peraturan Menteri
Keuangan yang menetapkan tarif bea masuk untuk
setiap pos tarif barang dalam Buku Tarif Kepabeanan
Indonesia 2012 yang berlaku untuk tahun 2014.
3
4.1 Tujuan Umum Persetujuan Kerjasama
Ekonomi Antar Bangsa
Persetujuan kerjasama ekonomi antar bangsa
melalui suatu upaya integrasi ekonomi, secara umum
memiliki tujuan yang hampir sama, yaitu :
METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi berkaitan dengan proses dan metode
yang digunakan oleh peneliti untuk memperoleh
pengetahuan tentang dunia (Creswell, 2007; Edwards
& Skinner 2009; Punch, 1998) yang mungkin akan
berguna untuk menjawab pertanyaan penelitian dan
tujuan dari penelitian. Metodologi penelitian
140.110
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bagian ini, Peneliti akan menyajikan tujuan
dari terbentuknya kawasan perdagangan bebas,
tinjauan mengenai tujuh kesepakatan perdagangan
yang telah diimplementasikan oleh Indonesia,
prosedur kepabeanan yang disepakati, ketentuan asal
barang, prosedur operasional sertifikasi barang dan
isu-isu yang timbul dalam implementasi kesepakatan
perdagangan tersebut.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Memperkuat dan meningkatkan kerjasama
ekonomi, perdagangan, dan investasi di antara
negara-negara yang mengikatkan diri.
Secara progresif meliberalisasi dan mendorong
perdagangan barang dan jasa, dan menciptakan
rezim investasi yang transparan, liberal, dan
fasilitatif.
Menelusuri area baru dan mengembangkan
langkah yang tepat untuk menciptakan kerjasama
dan integrasi ekonomi yang lebih dekat.
Memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif
bagi
negara-negara
anggota
baru
dan
menjembatani
kesenjangan
pembangunan
diantara para pihak/negara anggota.
Membangun
kerangka
kerjasama
untuk
memperkuat hubungan ekonomi lebih lanjut di
antara negara-negara yang mengikatkan diri.
Meningkatkan kesempatan berinvestasi dan
meningkatkan
kegiatan
investasi
melalui
penguatan perlindungan kegiatan investasi di
negara-negara yang mengikatkan diri.
Memastikan perlindungan terhadap kekayaan
intelektual dan meningkatkan kerjasama di bidang
tersebut.
Meningkatkan transparansi di dalam rezim
pengadaan barang pemerintah dan meningkatkan
kerjasama saling menguntungkan di antara para
pihak
dalam
bidang
pengadaan
barang
pemerintah.
4.2 Kesepakatan Perdagangan yang Telah
Diimplementasikan di Indonesia.
Sampai dengan saat ini Indonesia telah
mengimplementasikan
tujuh
kesepakatan
perdagangan, baik secara bilateral maupun regional,
yaitu sebagai berikut:
4.2.1 ASEAN Free Trade Area (AFTA)
4.2.1.1 Persetujuan Perdagangan Barang
Perjalanan menuju terbentuknya ASEAN Free
Trade Area bermula pada tanggal 24 Februari 1976
ketika enam negara anggota ASEAN (ASEAN 6, yaitu
Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philippines,
Singapore, dan Thailand) menandatangani ASEAN
Concord di Bali, Indonesia. Perjanjian tersebut
menginginkan agar para anggota bekerjasama untuk
meningkatkan pembangunan dan pertumbuhan
produksi dan perdagangan.
Satu tahun kemudian, pada tanggal 24 Februari
1977 ditandatangani suatu Agreement on ASEAN
Preferential Trading Arrangements (PTA) di Manila,
Philippines. Pembentukan PTA adalah langkah konkrit
awal dari para anggota menuju integrasi ekonomi
ASEAN. Melalui PTA, ASEAN mengadopsi berbagai
instrumen liberalisasi perdagangan dengan dasar
berupa pemberian perlakuan preferensial diantara
anggota.
Dalam Third Summit Meeting di Manila,
Philippines pada tanggal 13-15 Desember 1987, para
Kepala Negara/Pemerintahan ASEAN mendeklarasikan
bahwa negara anggota harus memperkuat kerjasama
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
ekonomi intra-ASEAN untuk memaksimalkan realisasi
dari potensi kawasan dalam perdagangan dan
pembangunan. Pertemuan juga menyepakati Protocol
on Improvements on Extension of Tariff Preferences
under the ASEAN Preferential Trading Arrangements
(PTA).
Untuk menegaskan kembali komitmen terhadap
upaya
integrasi
ekonomi,
para
Kepala
Negara/Pemerintahan menandatangani Framework
Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation
pada tanggal 28 Januari 1992 di Singapore. Persetujuan
dibuat berdasarkan kesadaran bahwa halangan tarif
dan non-tarif telah menghalangi aliran perdagangan
dan investasi intra-ASEAN. Persetujuan ini diharapkan
dapat memperluas komitmen yang telah ada untuk
menghilangkan hambatan-hambatan tersebut.
Bersamaan dengan itu, negara anggota
bersepakat untuk meningkatkan level komitmen
integrasi ekonomi melalui pembentukan ASEAN Free
Trade Area. AFTA dibentuk untuk melanjutkan
kerjasama di dalam pertumbuhan ekonomi kawasan
dengan mempercepat liberalisasi perdagangan dan
investasi intra-ASEAN. Skema yang digunakan adalah
Common Effective Preferential Tariff (CEPT) Scheme,
yaitu suatu pemberian tariff preferensi efektif yang
telah disepakati atas impor barang dari negara anggota
ASEAN. Persetujuan ini berlaku untuk seluruh produk
manufaktur, termasuk barang modal, produk pertanian
yang telah diolah lebih lanjut, dan produk lainnya,
selain yang didefinisikan sebagai produk pertanian
berdasarkan persetujuan ini. Produk pertanian harus
dikecualikan dari CEPT Scheme. Barang yang dapat
dianggap sebagai barang yang berasal dari negara
ASEAN adalah apabila paling sedikit 40% dari
kandungan barang tersebut berasal dari negara
anggota.
Melalui Declaration of ASEAN Concord II yang
ditandatangani di Bali, Indonesia pada tanggal 7
Oktober 2003 dan ASEAN Charter yang ditandatangani
di Singapore pada tanggal 20 November 2007, para
Kepala Negara/Pemerintahan membuat keputusan
untuk membentuk ASEAN Community, yang terdiri dari
tiga pilar, yaitu ASEAN Political- Security Community
(APSC), the ASEAN Economic Community (AEC) dan the
ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC). Untuk
merealisasikan tujuan pembentukan ASEAN sebagai
pasar dan basis produksi tunggal, yang dicirikan
dengan arus barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja
yang bebas dan aliran modal yang lebih bebas, para
Menteri Perdagangan negara anggota menandatangani
ASEAN Trade in Goods Agreement di Cha-am, Thailand
pada tanggal 26 Februari 2009 dan mulai berlaku
selambat-lambatnya 180 hari sejak ditandatangani.
ATIGA dibuat untuk menyediakan kerangka legal
untuk merealisasikan terciptanya arus bebas barang di
kawasan. ATIGA dibangun di atas komitmen yang telah
dibuat sebelumnya, yaitu the Agreement on ASEAN
Preferential Trading Arrangements (1977), the
Agreement on the Common Effective Preferential Tariff
Scheme for the ASEAN Free Trade Area (1992), the
ASEAN Agreement on Customs (1997), the ASEAN
111
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
Framework Agreement on Mutual Recognition
Arrangements (1998), the e-ASEAN Framework
Agreement (2000), the Protocol Governing the
Implementation of the ASEAN Harmonised Tariff
Nomenclature (2003), the ASEAN Framework
Agreement for the Integration of Priority Sectors (2004),
dan the Agreement to Establish and Implement the
ASEAN Single Window (2005).
Persetujuan ini harus berlaku terhadap seluruh
produk di bawah ASEAN Harmonised Tariff
Nomenclature (AHTN). Namun demikian, persetujuan
tetap memuat general and security exceptions (sesuai
Article XX dan XXI GATT 1994), yaitu barang-barang
yang
dikecualikan
dari
upaya
penurunan/
penghapusan tarif bea masuk impor.
4.2.1.2 Preferensi Tarif Dalam Rangka
AFTA/ATIGA Berdasarkan PMK
208/PMK.011/2012
Penetapan tarif bea masuk dalam rangka ATIGA
diatur terakhir di dalam Peraturan Menteri Keuangan
(PMK) Nomor 208/PMK.011/2012 tentang Penetapan
Tarif Bea Masuk Dalam Rangka ATIGA. Selain mengatur
mengenai besaran tarif bea masuk preferensi dalam
rangka ATIGA, PMK ini juga mengatur ketentuan
umum pengenaan tarif.
Berdasarkan PMK tersebut, untuk tahun 2014,
9899 pos tarif (98.8714% dari total 10012 pos tarif),
diberikan preferensi tarif menjadi 0%. Barang-barang
yang tidak diberikan preferensi tarif dan tetap
dikenakan tarif bea masuk yang berlaku umum
sejumlah 113 pos tarif, diantaranya meliputi minuman
mengandung etil alkohol, beras, gula, tank dan
peralatan militer, dan beberapa pos tarif makanan
olahan.
Tabel distribusi besaran tarif bea masuk impor
barang tahun 2014 dengan skema ATIGA berdasarkan
PMK Nomor 208/PMK.011/2012, tercantum pada
Lampiran.
4.2.2 ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA)
4.2.2.1 Persetujuan Perdagangan Barang
Persetujuan kerjasama ekonomi menyeluruh
antara ASEAN dengan People’s Republic of China (PRC)
pertama kali ditandatangani di Phnom Penh pada 4
November 2002. Kedua belah pihak bersepakat untuk
bekerjasama di bidang perdagangan barang, jasa, dan
investasi.Sebagai tindak lanjut dari persetujuan
tersebut, para Menteri Perdagangan negara-negara
anggota ASEAN dan PRC membuat kesepakatan
tentang perdagangan barang dalam kerangka
kerjasama ekonomi menyeluruh tersebut.Agreement
on Trade in Goods of The Framework Agreement on
Comprehensive Economic Co-operation between ASEAN
and People’s Republic of China ditandatangani pada 29
November 2004 di Vientiane, Lao PDR dan mulai
diberlakukan oleh Indonesia pada tanggal 1 Januari
2006.
Perjanjian memprogram perlu adanya penurunan
dan penghapusan tarif bea masuk impor secara
bertahap. Penurunan dan penghapusan tarif bea masuk
140.112
dimaksudkan sebagai perlakuan preferensial bagi para
pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian ini.
Berdasarkan
Framework
Agreement
on
Comprehensive Economic Co-operation between ASEAN
and People’s Republic of China dan Agreement on Trade
in Goods of The Framework Agreement on
Comprehensive Economic Co-operation between ASEAN
and People’s
Republic
of China,
dilakukan
pengkategorian barang sesuai jadwal liberalisasinya.
Berikut adalah daftar jumlah pos tarif barang
yang didaftarkan sebagai sensitive list (SL) dan highly
sensitive list (HSL) oleh masing-masing negara, pada
2004:
Tabel 2. SL dan HSL untuk ACFTA
Negara
Sen
Track
SL
HSL
Jumlah
Bru
Cam
66
34
100
350
150
450
Chi
Ind
161
100
261
349
50
399
Lao
88
30
118
Mal
272
96
368
Negara
Sen
Track
SL
HSL
Jumlah
Mya
271
0
271
Phi
267
77
344
Sin
1
1
2
Tha
242
100
342
Vie
tbd*
tbd*
tbd*
Berdasarkan daftar di atas, Indonesia adalah
negara kedua yang paling banyak mendaftarkan
barangnya dalam kategori sensitive track, setelah
Cambodia. Singapore di sisi lain, adalah negara yang
paling sedikit memasukkan barangnya ke dalam
kategori ini.
4.2.2.2 Preferensi Tarif Dalam Rangka ACFTA
Berdasarkan PMK 117/PMK.011/2012
Penetapan tarif bea masuk dalam rangka ACFTA
diatur
terakhir
di
dalam
PMK
Nomor
117/PMK.011/2013 tentang Penetapan Tarif Bea
Masuk Dalam Rangka ACFTA. Selain mengatur
mengenai besaran tarif bea masuk preferensi dalam
rangka ACFTA, PMK ini juga mengatur ketentuan
umum pengenaan tarif dan mengamanatkan
pengaturan lebih lanjut tentang pedoman teknis untuk
melakukan penelitian terhadap Surat Keterangan Asal
(SKA) dalam rangka pelaksanaan ketentuan asal
barang, dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan
Cukai.
Berdasarkan PMK tersebut, untuk tahun 2014,
9797 pos tarif (97.8526% dari total 10012 pos tarif)
mendapatkan penurunan tarif, sehingga tarif rataratanya 2.1148%. 8437 pos tarif (84.2689%)
diantaranya, diberikan preferensi tarif menjadi 0%.
Sejumlah 402 pos tarif dikenakan tarif bea masuk
berdasarkan penerapan azas timbal balik. Pengenaan
azas timbal balik didasarkan pada ketentuan Annex 2
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
Modality for Tariff Reduction/Elimination for Tariff
Lines Placed in the Sensitive Track,Agreement on Trade
in Goods of The Framework Agreement on
Comprehensive Economic Co-operation between ASEAN
and People’s Republic of China, dengan syarat tarif
tersebut tidak lebih tinggi dibandingkan dengan tarif
bea masuk yang berlaku umum. Barang-barang yang
tidak diberikan preferensi tarif dan tetap dikenakan
tarif bea masuk yang berlaku umum sejumlah 215 pos
tarif, diantaranya meliputi minuman mengandung etil
alkohol, hasil tembakau, film, limbah, karet, beras, dan
gula.
Tabel distribusi besaran tarifbea masuk impor
barang tahun 2014 dengan skema ACFTA berdasarkan
PMK Nomor 117/PMK.011/2013, tercantum pada
Lampiran.
4.2.3 ASEAN-India Free Trade Area (AIFTA)
4.2.3.1 Persetujuan Perdagangan Barang
Kerjasama ekonomi antara negara-negara
anggota ASEAN dan India dimaksudkan untuk
membentuk suatu ASEAN-India Regional Trade and
Investment Area (RTIA), yang meliputi suatu kawasan
perdagangan bebas barang, jasa, dan investasi. Upaya
kerjasama ekonomi tersebut diinisiasi dengan
penandatanganan
Persetujuan
Kerangka
Kerja
mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh antara
Republik India dan Negara-negara Anggota Asosiasi
Bangsa-bangsa Asia Tenggara (Framework Agreement
on Comprehensive Economic Cooperation Between the
Republic of India and the Association of Southeast Asian
Nations) di Bali pada 8 Oktober 2003 oleh masingmasing Kepala Negara/Pemerintahan.
Sebagai tindak lanjut dari persetujuan tersebut,
para Menteri Perdagangan negara-negara anggota
ASEAN dan India membuat kesepakatan tentang
perdagangan barang dalam kerangka kerjasama
ekonomi menyeluruh tersebut. Agreement on Trade in
Goods of The Framework Agreement on Comprehensive
Economic Co-operation between the Republic of India
and ASEAN ditandatangani pada tanggal 13 Agustus
2009 di Ha Noi, Viet Nam dan mulai diberlakukan oleh
Indonesia pada tanggal 8 September 2010.
Untuk mempercepat ekspansi perdagangan
barang di antara negara anggota, tarif bea masuk
impor dan peraturan yang menghambat perdagangan
diupayakan untuk dihapuskan melalui persetujuan
tersebut.
Upaya
penurunan
dan,
kemudian,
penghapusan tarif bea masuk impor dilakukan sesuai
program pengklasifikasian barang-barang sebagai
General and Security Exceptions, Early Harvest
Programme, Normal Track, Sensitive Track, Special
Products, dan Highly Sensitive List.
4.2.3.2 Preferensi Tarif Dalam Rangka AIFTA
Berdasarkan PMK 221/PMK.011/2012
Penetapan tarif bea masuk dalam rangka AIFTA
diatur
terakhir
di
dalam
PMK
Nomor
221/PMK.011/2012 tentang Penetapan Tarif Bea
Masuk Dalam Rangka AIFTA. Selain mengatur
mengenai besaran tarif bea masuk preferensi dalam
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
rangka AIFTA, PMK ini juga mengatur ketentuan umum
pengenaan tarif.
Berdasarkan PMK tersebut, untuk tahun 2014,
9299 pos tarif (92.8785% dari total 10012 pos tarif)
mendapatkan penurunan tarif, sehingga tarif rataratanya 4.2539%. 3912 pos tarif (39.0731%)
diantaranya, diberikan preferensi tarif menjadi 0%.
Barang-barang yang tidak diberikan preferensi tarif
dan tetap dikenakan tarif bea masuk yang berlaku
umum sejumlah 713 pos tarif, diantaranya meliputi
daging, ikan dan krustasea, susu dan produknya, buah,
sayur, dan bunga, bumbu dan rempah, minuman
mengandung etil alkohol, tepung, beras, gula, tekstil
dan produk tekstil, dan besi.
Tabel distribusi besaran tarif bea masuk impor
barang tahun 2014 dengan skema AIFTA berdasarkan
PMK Nomor 221/PMK.011/2012, tercantum pada
Lampiran.
4.2.4 ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA)
4.2.4.1 Persetujuan Perdagangan Barang
Upaya pembentukan suatu kawasan perdagangan
bebas antara negara-negara anggota ASEAN dan Korea
digagas pertama kali dengan penandatanganan
Framework Agreement on Comprehensive Economic
Cooperation Among the Governments of the Member
Countries of the Association of Southeast Asian Nations
and the Republic of Korea pada 13 Desember 2005 di
Kuala Lumpur, Malaysia. Upaya untuk memperkuat
kerjasama dalam perdagangan barang dilakukan
dengan, secara progresif menghilangkan hambatan
tarif dan non-tarif.
Sebagai tindak lanjut dari persetujuan tersebut,
para Menteri Perdagangan negara-negara anggota
ASEAN dan Korea membuat kesepakatan tentang
perdagangan barang dalam kerangka kerjasama
ekonomi menyeluruh tersebut. Agreement on Trade in
Goods Under the Framework Agreement on
Comprehensive Economic Cooperation Among the
Governments of the Member Countries of the Association
of Southeast Asian Nations and the Republic of Korea
ditandatangani di Kuala Lumpur, Malaysia, pada
tanggal 24 Agustus 2006 (Thailand tidak ikut
menandatangani
persetujuan
ini,
dan
baru
menandatangani pada 27 Februari 2009, setelah
menyelesaikan pembahasan tentang isu beras) dan
mulai diberlakukan oleh Indonesia pada tanggal 1 Juli
2007.
Berdasarkan persetujuan tersebut, dibuat suatu
skedul penurunan tarifbea masuk impor barang, yang
dikelompokkan menjadi General and Security
Exceptions, Normal Track, dan Sensitive Track.
Berikut adalah daftar jumlah pos tarif barang
yang didaftarkan sebagai sensitive list (SL) dan highly
sensitive list (HSL) oleh masing-masing negara, pada
2006:
113
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
Tabel 3. SL dan HSL untuk AKFTA
Negara
Sen
Track
Sensitive List
Highly Sensitive L
Group A
Group B
Group C
Group D
Group E
Jumlah
Negara
Sen
Track
Sensitive List
Highly Sensitive L
Group A
Group B
Group C
Group D
Group E
Jumlah
PMK Nomor 118/PMK.011/2013, tercantum pada
Lampiran.
Bru
Cam
Ind
Kor
Lao
Mal
27
265
321
310
326
339
13
40
5
159
40
469
5
111
40
475
6
139
24
7
40
526
5
155
486
14
45
15
39
452
Mya
Phi
Sin
Tha
Vie
193
259
-
-
343
160
40
393
5
49
40
353
0
-
33
118
9
40
543
4.2.4.2 Preferensi Tarif Dalam Rangka AKFTA
Berdasarkan PMK 118/PMK.011/2012
Penetapan tarif bea masuk dalam rangka AKFTA
diatur terakhir di PMK Nomor 118/PMK.011/2013
tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka
AKFTA. Selain mengatur mengenai besaran tarif bea
masuk preferensi dalam rangka AKFTA, PMK ini juga
mengatur ketentuan umum pengenaan tarif dan
mengamanatkan pengaturan lebih lanjut tentang
pedoman teknis untuk melakukan penelitian terhadap
Surat Keterangan Asal (SKA) dalam rangka
pelaksanaan ketentuan asal barang, dengan Peraturan
Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
Berdasarkan PMK tersebut, untuk tahun 2014,
9375 pos tarif (93.6376% dari total 10012 pos tarif)
mendapatkan penurunan tarif, sehingga tarif rataratanya 1.4208%. 8236 pos tarif (82.2613%)
diantaranya, diberikan preferensi tarif menjadi 0%.
Sejumlah 759 pos tarif dikenakan tarif bea masuk
berdasarkan penerapan azas timbal balik. Pengenaan
azas timbal balik didasarkan pada ketentuan Annex 2
Modality for Tariff Reduction/Elimination for Tariff
Lines Placed in the Sensitive Track,Agreement on Trade
in Goods of The Framework Agreement on
Comprehensive Economic Co-operation between ASEAN
and Republic of Korea, dengan syarat tarif tersebut
tidak lebih tinggi dibandingkan dengan tarif bea masuk
yang berlaku umum. Barang-barang yang tidak
diberikan preferensi tarif dan tetap dikenakan tarif bea
masuk yang berlaku umum sejumlah 637 pos tarif,
diantaranya meliputi beberapa pos daging, ikan,
rempah, produk hewani, bunga, sayur, dan buah,
olahan daging dan ikan, kue, olahan sayur dan buah,
minuman mengandung etil alkohol, tekstil dan produk
tekstil, dan besi.
Tabel distribusi besaran tarif bea masuk impor
barang tahun 2014 dengan skema AKFTA berdasarkan
140.114
4.2.5 Indonesia-Japan Economic Partnership
Agreement (IJEPA)
4.2.5.1 Persetujuan Perdagangan Barang
Agreement between the Republic of Indonesia and
Japan for an Economic Partnership ditandatangani di
Jakarta tanggal 20 Agustus 2007 dan mulai
diberlakukan oleh Indonesia tanggal 1 Juli 2008.
Kerjasama ekonomi dititikberatkan pada liberalisasi
perdagangan barang dan jasa, penguatan kesempatan
dan aktivitas investasi, penghargaan terhadap
kekayaan intelektual, transparansi di dalam rezim
sistem pengadaan pemerintah, mempromosikan
kompetisi, perbaikan iklim bisnis, dan penciptaan
prosedur yang efektif untuk implementasi persetujuan
kerjasama.
Liberalisasi perdagangan barang dilakukan
dengan cara menurunkan atau menghapuskan tarif bea
masuk impor barang yang berasal dari negara mitra.
Selain itu, para pihak juga perlu untuk melakukan
negosiasi terkait permasalahan seperti peningkatan
akses pasar untuk barang yang berasal dari negara
mitra. Indonesia dan Japan juga menyepakati untuk
menghapus subsidi ekspor atas barang-barang hasil
pertanian dan meniadakan hambatan non-tarif di
dalam perdagangan barang di antara kedua negara.
Namun demikian, bilamana dirasa perlu, perjanjian ini
tidak membatasi para pihak untuk menerapkan bea
masuk tindakan pengamanan apabila implementasi
dari persetujuan ini menimbulkan pelemahan yang
signifikan terhadap industri domestik.
Skedul penurunan/penghapusan tarif dalam
rangka IJEPA tercantum pada Lampiran.
4.2.5.2 Preferensi Tarif Dalam Rangka IJEPA
Berdasarkan PMK 209/PMK.011/2012
Penetapan tarif bea masuk dalam rangka IJEPA
diatur
terakhir
di
dalam
PMK
Nomor
209/PMK.011/2012 tentang Penetapan Tarif Bea
Masuk Dalam Rangka IJEPA. Selain mengatur mengenai
besaran tarif bea masuk preferensi dalam rangka
IJEPA, PMK ini juga mengatur ketentuan umum
pengenaan tarif.
Berdasarkan PMK tersebut, untuk tahun 2014,
9699 pos tarif (94.092% dari total 10308 pos tarif)
mendapatkan penurunan tarif, sehingga tarif rataratanya 0.9899%. 7546 pos tarif (73.2053%)
diantaranya, diberikan preferensi tarif menjadi 0%.
Barang-barang yang tidak diberikan preferensi tarif
dan tetap dikenakan tarif bea masuk yang berlaku
umum sejumlah 609 pos tarif, diantaranya meliputi
beberapa pos tarif binatang hidup, daging, dairy
produces, beras, gula, minuman mengandung etil
alkohol, logam tidak mulia, peralatan militer, mainan,
dan peralatan olahraga.
Tabel distribusi besaran tarif bea masuk impor
barang tahun 2014 dengan skema IJEPA berdasarkan
PMK Nomor 209/PMK.011/2012, tercantum pada
Lampiran.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
4.2.6 ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade
Area (AANZFTA)
4.2.6.1 Persetujuan Perdagangan Barang
Pembentukan kawasan perdagangan bebas
antara negara-negara anggota ASEAN dengan Australia
dan New Zealand disepakati oleh para Kepala
Negara/Pemerintahan pada 27 Februari 2009 di Chaam, Phetchaburi, Thailand, melalui penandatanganan
suatu Agreement Establishing the ASEAN – Australia –
New Zealand Free Trade Area. Penetapan tarif bea
masuk dalam rangka AANZFTA diberlakukan 60 hari
sejak tanggal 20 Oktober 2011 (penandatanganan PMK
tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam Rangka
AANZFTA). Pembentukan AANZFTA didasari dengan
keinginan untuk meminimalisasi hambatan dalam
perdagangan,
memperdalam
dan
memperluas
hubungan ekonomi di antara para pihak, menurunkan
biaya bisnis, meningkatkan perdagangan dan investasi,
meningkatkan efisiensi ekonomi, dan menciptakan
pasar yang lebih luas dengan penciptaan lebih banyak
kesempatan dan scale of economies yang lebih luas
untuk dunia bisnis.
Persetujuan tersebut memuat pengaturan
mengenai perdagangan barang, ketentuan asal barang,
prosedur kepabeanan, tindakan sanitari dan
fitosanitari, perdagangan jasa, perdagangan elektronik,
investasi, pergerakan sumber daya manusia, kekayaan
intelektual, kompetisi, dan lain-lain.
Liberalisasi perdagangan barang dilakukan
dengan upaya untuk mengakselerasi komitmen
penurunan tarif, penghapusan subsidi ekspor barang
hasil pertanian, penghapusan larangan atau
pembatasan impor dan ekspor barang dari atau yang
ditujukan ke negara mitra, peniadaan hambatan nontarif, transparansi proses perizinan impor, dan
pembentukan
komite
perdagangan
barang.
Persetujuan juga memuat general and security
exceptions (sesuai Article XX dan XXI GATT 1994).
4.2.6.2 Preferensi Tarif Dalam Rangka AANZFTA
Berdasarkan PMK 208/PMK.011/2013
Penetapan tarif bea masuk dalam rangka
AANZFTA diatur terakhir di dalam PMK Nomor
208/PMK.011/2013 tentang Penetapan Tarif Bea
Masuk Dalam Rangka AANZFTA. Selain mengatur
mengenai besaran tarifbea masuk preferensi dalam
rangka AANZFTA, PMK ini juga mengatur ketentuan
umum pengenaan tarif.
Berdasarkan PMK tersebut, untuk tahun 2014,
9908 pos tarif (98.9612% dari total 10012 pos tarif)
mendapatkan penurunan tarif, sehingga tarif rataratanya 1.2815%. 8888 pos tarif (88.7735%)
diantaranya, diberikan preferensi tarif menjadi 0%.
Barang-barang yang tidak diberikan preferensi tarif
dan tetap dikenakan tarif bea masuk yang berlaku
umum sejumlah 104 pos tarif, diantaranya meliputi
beberapa pos tarif beras, gula, minuman mengandung
etil alcohol, hasil tembakau, dan mesin pertanian dan
pengolah hasil pertanian.
Tabel distribusi besaran tarif bea masuk impor
barang tahun 2014 dengan skema IJEPA berdasarkan
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
PMK Nomor 208/PMK.011/2013, tercantum pada
Lampiran.
4.2.7 Indonesia-Pakistan Preferential Trade
Agreement (IPPTA)
4.2.7.1 Persetujuan Perdagangan Barang
Persetujuan mengenai suatu kerjasama ekonomi
menyeluruh
antara
Indonesia
dan
Pakistan
ditandatangani di Islamabad, Pakistan pada tanggal 24
November 2005. Persetujuan tersebut kemudian
menjadi dasar untuk pembentukan suatu FTA diantara
kedua negara. Negosiasi pembentukan FTA diantara
kedua negara saat ini sudah memasuki putaran
keenam
(Sumber:
http://ditjenkpi.kemendag.go.id/website_kpi/index.php?
module=IndPakistan). Sementara itu, sebagai upaya
untuk mendorong dan meningkatkan kepercayaan diri
kedua pemerintah dalam pembahasan peta jalan
menuju pembetukan FTA dan untuk memberikan
manfaat bagi dunia usaha di kedua negara, Indonesia
dan Pakistan bersepakat untuk menandatangani suatu
Preferential Trade Agreement Between The Government
of The Republic of Indonesia and The Government of The
Islamic Republic of Pakistan pada tanggal 3 Februari
2012 di Jakarta, yang mulai diberlakukan oleh
Indonesia pada tanggal 18 Januari 2013. Penghapusan
berbagai hambatan perdagangan melalui perjanjian
perdagangan
preferensial
(Preferential
Trade
Agreement/PTA) dipercaya akan berkontribusi
terhadap perkembangan perdagangan bilateral dan
menciptakan prakondisi yang ideal bagi terbentuknya
suatu kawasan perdagangan bebas diantara kedua
negara.
PTA memuat diantaranya keharusan untuk
menurunkan tarif bea masuk impor atas barangbarang yang diatur pada lampiran PTA. Selain itu
persetujuan juga mengharuskan dihilangkannya
ketentuan para tariff atas barang yang diatur pada PTA
dalam waktu selambat-lambatnya enam bulan sejak
berlakunya PTA tersebut. Para-Tariff adalah biaya yang
dikenakan di perbatasan selain tarif bea masuk atas
transaksi perdagangan international, namun memiliki
efek seperti pengenaan tarif. Biaya impor yang
dikenakan atas suatu jasa tertentu tidak tergolong
sebagai para-tariff.
Pakistan menawarkan pemberian preferensi
tarifbea masuk untuk 287 baris tarif barang impor dari
Indonesia. Barang tersebut meliputi diantaranya
lobster, udang, pisang, nanas, kopi, teh, kopra, gambir,
produk minyak kelapa, gula lainnya, termasuk laktosa,
glukosa, fruktosa, dan gula maple, kakao dan
produknya, sabun, beberapa produk tekstil, printer,
televisi, furniture terbuat dari kayu, bola, dan lain-lain.
Sementara itu, Indonesia menawarkan pemberian
preferensi tarif bea masuk untuk 216 baris tarif barang
impor dari Pakistan, 42 baris tarif diantaranya
merupakan permintaan dari Pakistan. Termasuk dalam
daftar barang yang diminta oleh Pakistan untuk
mendapat preferensi tarif adalah ikan dikeringkan
(selain ikan cod), lobster, cumi-cumi, tas tangan kulit,
sarung tangan kulit, barang lainnya dari kulit, kipas
115
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
angin, net, shuttlecocks, raket, panah dan busur, dan
beberapa produk tekstil.
Preferensi tarif diberikan berdasarkan modalitas
sebagai berikut :
Tabel 4. Modalitas IPPTA
MFN
X ≤ 5%
5% < X ≤
10%
10% < X ≤
15%
X ≥ 15%
Tarif PTA
0%
Preferensi sebesar 50% dari MFN
(sehingga tarifnya menjadi 50% dari
MFN)
Preferensi sebesar 40% dari MFN
(sehingga tarifnya menjadi 60% dari
MFN)
Preferensi sebesar 20% dari MFN
(sehingga tarifnya menjadi 80% dari
MFN)
4.2.7.2 Preferensi Tarif Dalam Rangka IPPTA
Berdasarkan PMK 26/PMK.011/2013
Penetapan tarif bea masuk dalam rangka IPPTA
diatur di dalam PMK Nomor 26/PMK.011/2013
tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka
IPPTA. Selain mengatur mengenai besaran tarif bea
masuk preferensi dalam rangka IPPTA, PMK ini juga
mengatur ketentuan umum pengenaan tarif.
Berdasarkan PMK tersebut, untuk tahun 2014,
220 pos tarif (2.1974% dari total 10012 pos tarif)
mendapatkan penurunan tarif, sehingga tarif rataratanya 0.072%. 103 pos tarif (1.03%) diantaranya,
diberikan preferensi tarif menjadi 0%, diantaranya
Ikan, Krustasea, dan Moluska, Buah, Olahan Buah,
Bahan Pewarna, TPT, Logam dan Barang dari Logam,
dan Peralatan Mekanik. Barang-barang yang tidak
diberikan preferensi tarif dan tetap dikenakan tarif bea
masuk yang berlaku umum sejumlah 9792 pos tarif.
Tabel distribusi besaran tarif bea masuk impor
barang tahun 2014 dengan skema IPPTA berdasarkan
PMK Nomor 26/PMK.011/2013, tercantum pada
Lampiran.
4.3 Prosedur Kepabeanan dalam Implementasi
Kerjasama Perdagangan
Pembentukan mekanisme kerjasama diantara
otoritas kepabeanan negara-negara anggota dipandang
perlu sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan
kemudahan perdagangan dan kerjasama di bidang
yang lain. Sejalan dengan semangat pembentukan FTA
yaitu untuk menciptakan arus bebas barang, kerjasama
kepabeanan
diantara
negara
anggota
harus
diakselerasi pelaksanaannya.
Karena sifatnya yang penting, pembahasan
mengenai kerjasama dan prosedur kepabeanan dimuat
dalam seluruh naskah kerjasama, kecuali IPPTA.
Kesepakatan utama terkait prosedur kepabeanan
adalah adanya upaya bersama untuk berusaha keras
menciptakan prosedur kepabeanan yang konsisten,
transparan dan dapat diperkirakan.Selain itu,
berkaitan dengan transparansi, setiap otoritas
kepabeanan diharapkan, apabila diminta, dapat
140.116
menyediakan
informasi
terkait
prosedur
kepabeanannya secepat dan seakurat mungkin. Hal
penting lainnya yang diatur adalah sebagai berikut :
a. adanya pertukaran keahlian tentang cara untuk
menyederhanakan dan mempersingkat prosedur
kepabeanan;
b. adanya pertukaran informasi terkait best practices
prosedur kepabeanan, penegakan hukum, dan
teknik manajemen risiko;
c. memfasilitasi
kerjasama
dan
pertukaran
pengalaman dalam aplikasi teknologi informasi
dan peningkatan sistem pemeriksaan dan
pengawasan dalam prosedur kepabeanan;
d. memastikan, apabila dirasa tepat, bahwa
peraturan kepabeanan dipublikasikan dan
tersedia untuk umum, dan prosedur kepabeanan
dipertukarkan diantara contact point kepabeanan.
Dalam skema AANZFTA, ketentuan juga memuat
perlunya usaha keras dari administrasi pabean untuk
membangun sistem mandiri untuk mendukung
transaksi e-customs, dengan memperhatikan standar
yang sesuai dan best practices yang direkomendasikan
oleh World Customs Organization (WCO). Ketentuan
lain yang dimuat diantaranya tentang ketentuan nilai
pabean berdasarkan Agreement on Implementation of
Article VII of the General Agreement on Tariffs and
Trade 1994, ketentuan advance rulings terkait
klasifikasi tarif, nilai pabean, dan/atau ketentuan asal
barang, dan manajemen risiko. Perlakuan/ketentuan
adanya manajemen risiko ditujukan agar administrasi
pabean dapat menciptakan prosedur yang memberikan
kemudahan/kelancaran dalam proses pengeluaran
barang bagi pengimpor dengan mitigasi risiko rendah
dan memfokuskan pengawasan bagi pengimpor
dengan mitigasi risiko tinggi. Bilamana administrasi
pabean merasa bahwa pemeriksaan fisik barang tidak
diperlukan dalam proses pengeluaran barang,
administrasi pabean tersebut perlu berusaha keras
untuk menyediakan suatu saluran tunggal untuk
memproses barang impor, baik secara elektronik
maupun dokumentasi manual.
Dalam skema AFTA/ATIGA, selain hal-hal
sebagaimana tersebut dalam skema AANZFTA juga
diatur ketentuan tentang pre-arrival documentation,
yakni suatu upaya untuk menyediakan adanya
penyerahan dan pendaftaran atau penelitian
pemberitahuan pabean dan dokumen pelengkapnya
sebelum kedatangan barang impor. Ketentuan lain
yang juga diatur adalah:
a. penggunaan teknologi informasi dalam kegiatan
kepabeanan berdasarkan standar internasional
yang diterima untuk mempercepat proses
pengeluaran barang;
b. membentuk program Authorised Economic
Operators (AEO) untuk mendorong kepatuhan dan
efisiensi dari pengawasan pabean, dan pada saat
yang bersamaan bekerja bersama untuk saling
mengakui keberadaan AEO di masing-masing
negara;
c. pengembalian atas kelebihan pembayaran bea
masuk dan pajak dalam rangka impor dan/atau
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
klaim kerugian harus segera dilakukan apabila
seluruh persyaratan telah terpenuhi;
d. dalam hal administrasi pabean melakukan
tindakan pengamanan/penyegelan terhadap
barang impor, apabila kewajiban telah dipenuhi
oleh pengimpor maka pengamanan tersebut harus
segera dilepas;
e. kewajiban bagi negara anggota untuk membangun
dan mengoperasikan Post Clearance Audit (PCA)
untuk mempercepat proses pengeluaran barang
dan meningkatkan pengawasan pabean; dan
f. negara
anggota
diharapkan
memberikan
kemudahan seluas mungkin terhadap pergerakan
barang dengan skema impor sementara
(temporary admission).
Dalam ketentuan IJEPA, kedua pihak bersepakat
untuk membentuk Sub-Committee on Customs
Procedures, yang memiliki tugas sebagai berikut :
a. meninjau pelaksanaan dan operasi berbagai
ketentuan yang diatur dalam bab mengenai
Prosedur Kepabeanan;
b. mengidentifikasi area-area yang bisa ditingkatkan
untuk memudahkan perdagangan diantara kedua
negara;
c. melaporkan temuan-temuan dari Sub-Committee
kepada Joint Committee; dan
d. melaksanakan fungsi lainnya yang didelegasikan
oleh Joint Committee.
4.4 Ketentuan Asal Barang (Rules of Origin)
4.4.1 Uruguay Round Agreement
Persetujuan mengenai ketentuan asal barang
adalah salah satu yang disepakati dalam serangkaian
pembicaraan dalam Putaran Uruguay. Kesepakatan
tentang ketentuan asal barang yang diatur adalah
ketentuan asal barang non-preferensial, yaitu yang
tidak berkaitan dengan rezim perdagangan kontrak
atau otonom. Pada intinya, negara-negara bersepakat
untuk melaksanakan ketentuan asal barang secara
konsisten, seragam, dan tidak memihak, dimana negara
yang ditetapkan sebagai negara asal suatu barang
tertentu adalah negara di mana barang itu diperoleh
secara keseluruhan, atau apabila proses produksi
barang itu menyangkut lebih dari satu negara, negara
asal barang adalah negara dimana dilaksanakan
transformasi terakhir yang bersifat substansial.
Latar belakang dan ketentuan asal barang berdasarkan
Kesepakatan Putaran Uruguay tercantum pada
Lampiran.
4.4.2 Preferential Rules of Origin
Agar suatu barang dapat mendapatkan tarif
preferensi dalam rangka suatu free trade area, barang
tersebut harus memenuhi ketentuan tentang asal
barang. Hanya barang yang diidentifikasi berasal dari
suatu negara anggota yang bisa menikmati tarif
preferensial.
Kriteria
keasalan
berdasarkan
berbagai
perjanjian integrasi ekonomi, meliputi:
1. Barang yang sepenuhnya didapat atau diproduksi
di negara anggota pengekspor.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
2.
3.
4.
5.
(Tidak diatur dalam skema IJEPA) Barang yang
tidak sepenuhnya didapat atau diproduksi di
negara anggota pengekspor, sepanjang memenuhi
persyaratan:
Untuk skema AFTA/ATIGA, AKFTA, dan
AANZFTA:
a. Jika barang tersebut memiliki regional value
content (RVC) tidak kurang dari 40%. RVC
adalah perhitungan kandungan bahan dari
suatu barang yang berasal dari negara
anggota. RVC dapat dihitung dengan dua cara
yaitu cara langsung dan tidak langsung. Cara
langsung: RVC = {(ASEAN Material Cost +
Direct Labor Cost + Direct Overhead Cost +
Other Cost + Profit)/FOB Price} x 100%. Cara
tidak langsung : RVC = {(FOB Price – Value of
Non-Originating
Materials,
Parts,
or
Goods)/FOB Price} x 100%.; atau
b. Jika seluruh non-originating materials yang
digunakan di dalam produksi dari barang
tersebut telah mengalami perubahan dalam
klasifikasi
tarif
(Change
in
Tariff
Classification/CTC) dalam derajat empat digit
HS Change in Tariff Heading (CTH) .
Untuk skema ACFTA:
a. Jika tidak kurang dari 40% kandungan
barangnya berasal dari negara anggota; atau
b. Jika kandungan keseluruhan nilai bahan
baku, bagian, atau produk yang berasal dari
luar kawasan negara anggota tidak melebihi
60% dari nilai FOB barang tersebut.
Untuk skema AIFTA:
a. Jika kandungan AIFTA barang tersebut tidak
kurang dari 35% dari nilai FOB; atau
b. Jika seluruh non-originating materials yang
digunakan di dalam produksi dari barang
tersebut telah mengalami setidaknya
perubahan dalam klasifikasi tarif dalam
derajat subpos HS (Change in Tariff SubHeading/CTSH).
Pengekspor
diberi
keleluasaan
untuk
menggunakan ketentuan a atau b tersebut di atas.
(Khusus untuk skema AANZFTA) Barang yang
diproduksi secara eksklusif di negara pengekspor
dengan bahan dari satu atau lebih negara anggota.
(Khusus untuk skema IJEPA) Barang yang
diproduksi secara eksklusif di negara pengekspor
dengan bahan dari negara tersebut.
(Khusus untuk skema IJEPA) Barang-barang yang
memenuhi persyaratan spesifik produk (product
specific rules/PSR) dan ketentuan lain, manakala
barang tersebut diproduksi sepenuhnya di negara
pengekspor dengan menggunakan bahan yang
berasal dari selain negara anggota. Barang-barang
tersebut harus memenuhi qualifying value content
(QVC) sebagaimana ditetapkan untuk masingmasing barang pada PSR. QVC dihitung dengan
formula: QVC = {(FOB-VNM)/FOB} x 100%,
dengan FOB adalah harga barang, sampai dengan
dimuat di atas sarana pengangkut di pelabuhan
muat, yang dibayar oleh pengimpor kepada
117
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
pengekspor. Sedangkan VNM adalah nilai dari
bahan yang bukan berasal dari negara anggota,
yang digunakan dalam proses produksi barang
tersebut.
Beberapa proses atau operasi dipertimbangkan
sebagai minimal dan tidak dipertimbangkan dalam
penentuan keasalan barang, yaitu:
1. Kegiatan untuk memastikan keawetan barang
selama proses pengiriman barang;
2. Kegiatan untuk memfasilitasi pengiriman atau
transportasi; dan
3. Kegiatan pengepakan untuk keperluan penjualan.
Perlakuan tarif preferensial diberikan apabila
barang tersebut memenuhi pula kriteria direct
consignment, yaitu :
1. apabila barang dikirim secara langsung dari
negara pengekspor ke negara pengimpor; atau
2. barang dikirim melalui satu atau lebih negara
ketiga, dengan syarat:
a. transit tersebut dilaksanakan karena alasan
geografis atau pertimbangan yang terkait
khusus dengan keperluan transportasi,
b. barang tersebut tidak diperdagangkan atau
dikonsumsi di negara transit tersebut, dan
c. barang tersebut tidak mengalami operasi
selain bongkar-muat atau operasi lain untuk
memastikan barang tetap berada dalam
kondisi baik.
Klaim untuk mendapatkan tarif preferensial
harus didukung dengan suatu surat keterangan asal
yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang di
negara pengekspor.
Perbandingan pengaturan ketentuan asal barang
pada beberapa FTA yang telah ditandatangani oleh
negara anggota ASEAN dengan negara mitra disajikan
pada Lampiran.
dari ketentuan asal barang (ROO) pada perjanjian FTA.
Sampai dengan saat ini, pemerintah belum mengadopsi
pengaturan ini di dalam legislasi nasional.
Pemberlakuannya selama ini berlandaskan pada
kenyataan bahwa OCP adalah merupakan lampiran
dari persetujuan perdagangan barang yang diratifikasi
dengan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden
atau Keputusan Presiden.
Di dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang
penetapan tarif bea masuk dalam rangka ACFTA dan
AKFTA, Menteri Keuangan mendelegasikan pengaturan
lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea
dan Cukai. Namun demikian, Peraturan Direktur
Jenderal tersebut belum diterbitkan.
Sementara itu, di dalam implementasi FTA di
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) banyak
ditemukan formulir-formulir SKA yang tidak sesuai
dengan ketentuan yang tercantum di OCP.Pejabat Bea
dan Cukai banyak menemukan formulir SKA yang
diragukan
keabsahannya.Mekanisme
permintaan
konfirmasi atas keabsahan suatu SKA seperti yang
telah disinggung di atas, diatur di OCP.Oleh karena OCP
belum secara tegas dimuat dalam legislasi nasional
secara mandiri, proses ini menyebabkan timbulnya
sengketa antara DJBC dengan stakeholder.Sengketa
tersebut sebagian besar berlanjut sampai ke
Pengadilan Pajak (PP).
Pengalaman masa lalu terkait pengaturan tentang
sistem nilai pabean yang diatur dengan Peraturan
Direktur Jenderal, seharusnya menjadi pertimbangan
di dalam menentukan apakah pengaturan tentang OCP
ini dibuat dalam bentuk Peraturan Direktur Jenderal
atau bentuk lain. Karena sengketa tentang keabsahan
SKA bermuara di PP, maka pandangan PP terhadap
kekuatan hukum suatu peraturan menjadi salah satu
pertimbangan yang diutamakan.
4.4.3 Operational Certification Procedures
Kesepakatan juga mengatur mengenai prosedur
operasional
sertifikasi
barang
(Operational
Certification Procedures/OCP), yang meliputi prosedur
yang harus dipenuhi oleh pengekspor untuk
mendapatkan surat keterangan asal/certificate of
origin (SKA/CoO), prosedur penelitian pra eksportasi
yang dilakukan oleh otoritas berwenang yang
menerbitkan SKA/issuing authority, prosedur yang
harus dipenuhi oleh pengimpor untuk mendapatkan
tarif preferensi, prosedur penelitian yang harus
dilakukan oleh otoritas pabean di negara pengimpor
sebelum memberikan preferensi tarif, prosedur
penyimpanan dokumen, dan ketentuan khusus lainnya.
Pengaturan teknis masing-masing prosedur
tersebut dan perbandingan pengaturan pada beberapa
FTA tercantum pada Lampiran.
4.5.2 Peningkatan Sengketa Tarif FTA di
Pengadilan Pajak
Data DJBC menunjukkan bahwa selama 2012, PP
memutuskan 21 berkas banding terkait penerapan FTA
dengan hasil putusan 17 berkas permohonan
dikabulkan (81%-DJBC kalah) dan 4 berkas
permohonan ditolak (19%-DJBC menang). Sementara
pada 2013, dari jumlah keseluruhan 490 berkas, 310
berkas permohonan dikabulkan (62%) dan 189 berkas
permohonan ditolak (38%). Data lebih lengkap tersaji
pada Lampiran.
Yang penting pula untuk dicermati dari data di
atas adalah meningkatnya proporsi sengketa terkait
Tarif FTA di PP. Jika pada 2012 proporsinya adalah
0.73% dari keseluruhan sengketa, proporsi tersebut
meningkat hampir 28 kali lipat pada 2013. Proporsinya
pada 2013 menjadi 20.38% dari keseluruhan
sengketa.Hal ini menjadi salah satu faktor perlunya
untuk mengatur OCP secara mandiri di dalam legislasi
nasional, sebagai tafsir dan penjelasan resmi
pemerintah tentang pengaturan prosedur operasional
sertifikasi barang. Pengaturan ini penting agar seluruh
pihak, yaitu DJBC, stakeholder, dan Hakim PP, memiliki
pemahaman yang sama. Grafik di bawah ini berturut-
4.5 Isu-Isu Dalam Implementasi Kerjasama
Perdagangan
4.5.1 Pengaturan Nasional Prosedur Operasional
Sertifikasi Barang
Pengaturan mengenai prosedur operasional
sertifikasi barang (OCP) adalah merupakan lampiran
140.118
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
turut menggambarkan perkembangan proporsi jumlah
sengketa Tarif FTA di PP, dan proporsi jumlah
permohonan yang dikabulkan (DJBC dikalahkan) dan
ditolak (DJBC dimenangkan) oleh PP, tahun 20122013.
Gambar 1.
Jumlah Berkas Sengketa DJBC diPengadilan Pajak
Terkait Tarif FTA, 2012-2013
3000
2000
Tarif FTA
1000
Lainnya
Lainnya
Tarif FTA
0
2012 2013
Gambar 2.
Hasil Putusan Pengadilan Pajak Atas Sengketa Tarif
FTA Berdasarkan Jumlah Berkas, 2012-2013
400
200
Dikabulkan
Ditolak
Dikabulkan
0
2012
Ditolak
2013
Gambar 3.
Hasil Putusan Pengadilan Pajak Atas Sengketa Tarif
FTA Berdasarkan Nilai Sengketa
(dalam rupiah), 2012-2013
60,000,000,000
40,000,000,000
Dikabulkan
20,000,000,000
Ditolak
0
Dikabu…
2012
4.5.3 Komitmen Liberalisasi
Seperti yang telah diuraikan pada bagian
terdahulu, pembentukan suatu kawasan perdagangan
bebas diantaranya dilakukan dengan memberikan
preferensi tarif bea masuk. Tingkat penurunan dan
penghapusan tarifbea masuk diberikan sesuai dengan
kesepakatan integrasi ekonomi yang disepakati. Level
integrasi dengan Pakistan menjadi level integrasi yang
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
paling rendah dan oleh karenanya, komitmen
penurunan dan penghapusan tarifnya pun lebih rendah
dibandingkan dengan yang lain. Di sisi lain, integrasi
Indonesia ke dalam AFTA telah sepenuhnya selesai,
sehingga komitmen yang diberikan oleh Indonesia
sudah maksimal. Tabel pada Lampiran merangkum
karakteristik masing-masing FTA dan tingkat
komitmen penurunan dan penghapusan tarif yang
diberikan oleh Indonesia (ditunjukkan pada barisbaris berwarna hijau), sebagai akibat dari komitmen
Indonesia terlibat di dalam pembentukan integrasi
ekonomi. Berdasarkan tabel tersebut Indonesia telah
memberikan preferensi tarif sehingga tarif rata-rata
dalam perjanjian tersebut turun menjadi 0.00%-4.25%,
sedangkan tarif rata-rata pada Buku Tarif Kepabeanan
Indonesia pada tahun 2014 adalah 7.76%.Penurunan
tarif sedemikian mencerminkan tingkat liberalisasi
yang diterapkan oleh Indonesia atas impor barang dari
negara mitra integrasi ekonomi.
Dari data pada tabel tersebut, dapat disimpulkan
pula bahwa Indonesia telah sangat liberal karena
jumlah pos tarif yang diturunkan tarif bea masuknya
(coverage ratio penurunan tarif) dalam skema
AFTA/ATIGA, ACFTA, AKFTA, IJEPA, AIFTA, dan
AANZFTA mencapai jumlah lebih dari 90% pos tarif.
AANZFTA memiliki coverage ratio penurunan tarif
tertinggi dengan 98.9612%, diikuti oleh AFTA/ATIGA
98.8714%, ACFTA 97.8526%, IJEPA 94.0921%, AKFTA
93.6376%, dan AIFTA 92.8785%.
Walaupun demikian, penghapusan tarif bea
masuk oleh Indonesia dalam skema AFTA/ATIGA
mencakup 98,8714% pos tarif, artinya dalam skema
AFTA/ATIGA, Indonesia tidak sekedar melakukan
penurunan tarif, tetapi penghapusan tarifbea masuk
atas hampir seluruh pos tarif barang. Sehingga
memasuki pemberlakuan ASEAN Economic Community
pada akhir 2015, Indonesia telah menggelar karpet
merah bagi masuknya produk impor dari negaranegara ASEAN.
Sementara itu, coverage rate penghapusan
tarifdalam skema AANZFTA meliputi 88.7735% dari
jumlah keseluruhan pos tarif, tetap lebih tinggi
dibandingkan ACFTA (84.2689%), AKFTA (82.2613%),
IJEPA (73.2053%), atau AIFTA (39.0731%).
5
KESIMPULAN
Sejak tahun 1992, Indonesia telah ikut serta
membentuk tujuh integrasi ekonomi. Lima buah
integrasi diantaranya, mengambil bentuk kawasan
perdagangan bebas/free trade area, yaitu ASEAN-China
Free Trade Area (ACFTA), ASEAN-India Free Trade Area
(AIFTA), ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA),
ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area
(AANZFTA), dan ASEAN Free Trade Area (ASEAN Trade
in Goods Agreement/ATIGA). AFTA sedang dalam
proses transformasi menjadi common market melalui
pembentukan suatu ASEAN Economic Community pada
tahun 2015. Dua buah kerjasama lainnya dilakukan
secara bilateral, yaitu kerjasama dengan Japan dalam
bentuk
Indonesia-Japan
Economic
Partnership
Agreement (IJEPA) dan dengan Pakistan dengan
119
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
membentuk Indonesia-Pakistan Preferential Trade
Agreement (IPPTA).
Pemberlakuan integrasi ekonomi tersebut telah,
secara
terbatas,
meliberalisasi
perdagangan
internasional antara Indonesia dengan negara-negara
mitra yang tergabung membentuk integrasi ekonomi.
Indonesia telah melakukan upaya penurunan tarif bea
masuk, sebagai bentuk komitmen integrasi ekonomi.
Indonesia telah sangat liberal karena jumlah pos tarif
yang diturunkan tarif bea masuknya (coverage
ratiopenurunan tarif) dalam skema AFTA/ATIGA,
ACFTA, AKFTA, IJEPA, AIFTA, dan AANZFTA mencapai
jumlah lebih dari 90% pos tarif. Tarif rata-rata dalam
perjanjian tersebut pada 2014 turun menjadi 0.00%4.25%, sedangkan tarif rata-rata pada Buku Tarif
Kepabeanan Indonesia pada tahun 2014 adalah 7.76%.
Liberalisasi tersebut terutama terwujud dalam skema
ASEAN FTA, yang pada akhir tahun 2015 akan
bertransformasi menjadi ASEAN Economic Community,
dimana Indonesia telah menghapus tarif bea masuk
untuk sejumlah 98,8714% pos tarif. Dengan kondisi
demikian maka menjadi tugas berat dari pemerintah
untuk memastikan bahwa industrinasional tidak
tercederai terlalu parah sebagai akibat dari proses
liberalisasi yang sedang dan akan terus berlanjut
dilakukan oleh Indonesia.
Kesepakatan integrasi ekonomi, selain mengatur
mengenai komitmen penurunan dan penghapusan tarif
serta modalitasnya, juga mengatur hal-hal terkait
prosedur kepabeanan, ketentuan asal barang, dan
prosedur operasional sertifikasi barang.
Pengaturan prosedur kepabeanan dimaksudkan
agar otoritas pabean dapat berperan maksimal dalam
upaya memfasilitasi dan memperlancar terjadinya
perdagangan barang di antara para negara anggota.
Ketentuan asal barang diatur dengan tujuan
memberikan batasan terhadap barang yang dapat
diberikan preferensi tarif, artinya hanya barang-barang
yang memenuhi ketentuan asal barang berdasarkan
kesepakatan tersebut, yang dapat diberikan preferensi
tarif.
Sedangkan prosedur operasional sertifikasi
barang mengatur prosedur yang harus dipenuhi oleh
pengekspor untuk mendapatkan surat keterangan
asal/certificate of origin (SKA/CoO), prosedur
penelitian pra-eksportasi yang dilakukan oleh otoritas
berwenang yang menerbitkan SKA/issuing authority,
prosedur yang harus dipenuhi oleh pengimpor untuk
mendapatkan tarif preferensi, prosedur penelitian
yang harus dilakukan oleh otoritas pabean di negara
pengimpor sebelum memberikan preferensi tarif,
prosedur penyimpanan dokumen, dan ketentuan
khusus lainnya.
6
IMPLIKASI DAN KETERBATASAN
Indonesia telah melaksanakan penurunan dan
penghapusan tarif sesuai dengan modalitas yang
disepakati di dalam setiap kesepakatan integrasi..
Hal penting lain yang perlu mendapat perhatian
adalah dampak dari pemberlakuan kesepakatan
integrasi ekonomi tersebut terhadap neraca
140.120
perdagangan Indonesia dengan negara mitra.
Persetujuan integrasi ekonomi memberikan ruang
kepada
negara
anggota
untuk
melakukan
review/peninjauan ulang komitmennya, manakala
secara nyata pemberlakuan integrasi ekonomi telah
menimbulkan ancaman terhadap balance of payments
negara tersebut atau negara anggota mengalami
kesulitan finansial eksternal.
Kajian merekomendasikan hal-hal sebagai
berikut:
1. perlu dilakukannya penelitian atas besaran tarif
preferensi yang diterima oleh barang yang
diekspor oleh Indonesia ke negara mitra apakah
telah sesuai dengan modalitas yang ditentukan
dalam perjanjian,
2. perlunya analisis mendalam terkait dampak
pemberlakuan setiap integrasi ekonomi terhadap
neraca pembayaran Indonesia, dan
3. perlunya pengaturan prosedur operasional
sertifikasi barang, secara mandiri dalam suatu
Peraturan
Menteri
Keuangan.
Pengaturan
dimaksudkan untuk memperkuat dasar hukum
penelitian SKA oleh Pejabat Bea dan Cukai.
DAFTAR PUSTAKA
Ardiansyah, Benny Gunawan (2012). Siapkah
Indonesia dalam Menghadapi Liberalisasi
Perdagangan?
Bowen, Glenn A. (2010). From Qualitative Dissertation
to Quality Articles: Seven Lessons Learned, The
Qualitative Report 15(4)
Khan, Shahid N. (2014).Qualitative Research MethodPhenomenology, Asian Social Science 10(21)
Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral, Badan
Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan
(2013).Free Trade Agreement dan Economic
Partnership Agreement, dan Pengaruhnya
terhadap Arus Perdagangan dan Investasi
dengan Negara Mitra
Schreier, Margrit (2012). Qualitative Content Analysis in
Practice.London: SAGE Publications Ltd.
Anonymous. The Issues Faced With Economic
Integration
Theory.
http://www.ukessays.com/essays/economics
/the-issues-faced-with-economic-theoryeconomics-essay.php, diakses tanggal 3 Maret
2015
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
1995 Tentang Kepabeanan, sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2006. Jakarta: Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai
Preferential Trade Agreement Between The Government
of The Republic of Indonesia and The
Government of The Islamic Republic of Pakistan,
3 Februari 2012. Jakarta: Kementerian
Perdagangan
Agreement on Trade in Goods of The Framework
Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the Republic of India and
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
ASEAN,13 Agustus 2009.Jakarta: Kementerian
Perdagangan
Agreement Establishing the ASEAN – Australia – New
Zealand Free Trade Area, 27 Februari
2009.Jakarta: Kementerian Perdagangan
ASEAN Trade in Goods Agreement, 26 Februari 2009.
Jakarta: Kementerian Perdagangan
Agreement between the Republic of Indonesia and Japan
for an Economic Partnership, 20 Agustus
2007.Jakarta: Kementerian Perdagangan
Agreement on Trade in Goods Under the Framework
Agreement on Comprehensive Economic
Cooperation Among the Governments of the
Member Countries of the Association of
Southeast Asian Nations and the Republic of
Korea, 24 Agustus 2006.Jakarta: Kementerian
Perdagangan
Agreement on Trade in Goods of The Framework
Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN and People’s
Republic of China, 29 November 2004.Jakarta:
Kementerian Perdagangan
Article XX dan XXI General Agreement on Tarriff and
Trade,
1994.Jakarta:
Kementerian
Perdagangan
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
208/PMK.011/2013 Tentang Penetapan Tarif
Bea Masuk Dalam Rangka AANZFTA. Jakarta:
Kementerian Keuangan
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
26/PMK.011/2013 Tentang Penetapan Tarif
Bea Masuk Dalam Rangka IPPTA. Jakarta:
Kementerian Keuangan
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
221/PMK.011/2012 Tentang Penetapan Tarif
Bea Masuk Dalam Rangka AIFTA. Jakarta:
Kementerian Keuangan
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
209/PMK.011/2012 Tentang Penetapan Tarif
Bea Masuk Dalam Rangka IJEPA. Jakarta:
Kementerian Keuangan
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
208/PMK.011/2012 Tentang Penetapan Tarif
Bea Masuk Dalam Rangka ATIGA. Jakarta:
Kementerian Keuangan
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
118/PMK.011/2012 Tentang Penetapan Tarif
Bea Masuk Dalam Rangka AKFTA. Jakarta:
Kementerian Keuangan
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
117/PMK.011/2012 Tentang Penetapan Tarif
Bea Masuk Dalam Rangka ACFTA. Jakarta:
Kementerian Keuangan.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
121
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
LAMPIRAN
Distribusi Besaran Tarif Bea Masuk Barang Impor Tahun 2014
Tabel A. Distribusi Besaran Tarif Bea Masuk Barang Impor Tahun 2014 dengan skema ATIGA berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208/PMK.011/2012
Besar
Tarif
Jumlah Pos Tarif (PT)
0%0%
9899
MFN
113
Jumlah
10012
PT
PT, meliputi diantaranya 41 PT Minuman Mengandung Etil Alkohol, 10 PT Beras, 7 PT
Gula, 7 PT Makanan Olahan, 28 PT Tank dan Peralatan Militer
PT
MFN : Most Favoured Nation, Tarif yang berlaku umum sesuai BTKI/PMK 213
Tarif rata-rata : 0% di luar tarif MFN
Jumlah Pos Tarif yang diliberalisasi : 98.8714% (9899 Pos Tarif)
Jumlah Pos Tarif yang diliberalisasi menjadi 0% : 98.8714%
Tabel B. Distribusi Besaran Tarif Bea Masuk Barang Impor Tahun 2014 dengan skema ACFTA berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.011/2013
Besar Tarif
Jumlah Pos Tarif (PT)
0%
8437
MFN
215
2%
16
PT, meliputi diantaranya 15 PT Kertas
4%
10
PT, diantaranya 9 PT Papan partikel
5%
360
7.50%
37
8%
6
PT, diantaranya 5 PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya
9%
8
PT Minyak Lobak
10%
174
12.50%
62
15%
319
PT, meliputi diantaranya 46 PT Ban, 8 PT Tas Kulit, 74 PT Tekstil dan Produk
Tekstil, 12 PT Alas Kaki, 14 PT Perhiasan, 24 PT Pipa Besi, 31 PT Mesin Kendaraan
Bermotor dan Bagiannya, 61 PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya, 19 PT Barang
dari Plastik
20%
170
PT, meliputi diantaranya 95 PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya, 57 PT Barang
dari Plastik, 18 PT Barang Keramik
25%
32
PT, diantaranya 31 PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya
30%
21
PT, meliputi diantaranya 4 PT Etil Alkohol, 13 PT Kendaraan Bermotor dan
Bagiannya
40%
80
PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya
140.122
PT
PT, meliputi diantaranya 41 PT Minuman Mengandung Etil Alkohol, 18 PT Hasil
Tembakau, 12 PT Film, 10 PT Limbah, 26 PT Karet, 11 PT Beras, 6 PT Gula
PT, meliputi diantaranya 13 PT Tembakau, 13 PT Senyawa Kimia, 42 PT Plastik, 7
PT Sisa Plastik, 11 PT Kaca, 11 PT Pipa Besi, 11 PT Pompa, 147 PT Kertas, 22 PT
Kendaraan Bermotor dan Bagiannya
PT, meliputi diantaranya 17 PT Besi, 6 PT Rantai, 13 PT Kertas
PT, meliputi diantaranya 65 PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya, 11 PT
Kosmetik, 8 PT Senyawa Kimia, 12 PT Herbisida, 30 PT Plastik, 7 PT Besi
PT, diantaranya 53 PT Besi
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
Besar Tarif
Jumlah Pos Tarif (PT)
45%
41
PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya
50%
8
PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya
55%
10
PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya
60%
6
PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya
Jumlah
10012
PT
MFN : Most Favoured Nation, Tarif yang berlaku umum sesuai BTKI/PMK 213
Tarif rata-rata : 2.1148% di luar tarif MFN
Jumlah Pos Tarif yang diliberalisasi : 97.8526% (9797 Pos Tarif)
Jumlah Pos Tarif yang diliberalisasi menjadi 0% : 84.2689%
402 Pos tarif (4.02%) dikenakan BM berdasarkan perlakuan timbal balik
Tabel C. Distribusi Besaran Tarif Bea Masuk Barang Impor Tahun 2014 dengan skema AIFTA
berdasarkanPeraturan Menteri Keuangan Nomor 221/PMK.011/2012
Besar Tarif
Jumlah Pos Tarif (PT)
0%
3912
PT
MFN
713
2.50%
73
3.00%
526
4.00%
1
4.50%
1395
4.55%
175
5.00%
95
PT, meliputi diantaranya 9 PT Kakao dan Olahan Kakao, 20 PT, TPT, 29 PT Peralatan
Mekanis
6.00%
77
PT, diantaranya 57 PT Besi
6.85%
22
PT Besi
7.00%
1336
9.00%
139
PT, meliputi diantaranya 16 PT Plastik, 79 PT TPT, 22 TP Besi
11.00%
890
PT, meliputi diantaranya 17 PT Hasil Tembakau, 28 PT Plastik, 60 PT Barang dari
Karet, 21 PT Barang dari Kulit, 164 PT TPT, 25 PT Perhiasan, 49 PT Besi, 67 PT
Peralatan Mekanis, 126 PT Peralatan Elektris, 108 PT Bagian dari Kendaraan
Bermotor
11.25%
33
PT, meliputi diantaranya 11 PT Daging, 47 PT Ikan, 40 PT Krustasea, 23 PT Susu dan
produknya, 76 PT Buah, sayur, dan bunga, 19 PT Bumbu dan rempah, 10 PT Beras,
33 PT Tepung, 45 PT MMEA, 272 PT TPT, 67 PT Besi
PT, diantaranya 36 PT Sabun dll
PT, meliputi diantaranya 22 PT Daging, 136 PT Ikan, 53 PT Moluska, 83 PT TPT, 11
PT Bagian dari alas kaki, 78 PT Peralatan mekanis, 46 PT Peralatan elektris
PT
PT, meliputi diantaranya 24 PT Garam, belerang, tanah, semen, dan kapur, 61 PT
Bahan kimia anorganik, 134 PT Bahan kimia organik, 28 PT Bahan penyamak atau
pencelup, 50 PT Aneka produk kimia, 47 PT Plastik, 51 PT Karet dan produknya, 68
PT Kertas dan produknya, 68 PT TPT, 27 PT Barang dari kaca, 177 PT Besi dan
produknya, 109 PT Peralatan mekanis, 121 PT Peralatan elektris
PT, meliputi diantaranya 86 PT Hasil laut (Ikan, Krustasea, dan Moluska) dan
olahannya, 31 PT Bunga, Sayur, dan Buah
PT, meliputi diantaranya 52 PT Minyak hewani dan nabati, 29 PT Minyak atsiri dan
wewangian, 26 PT Sabun, 20 PT Film, 30 PT Plastik, 38 PT Barang dari kayu, 257 PT
TPT, 99 PT Besi, 34 PT Barang dari logam tidak mulia, 93 PT Peralatan mekanis, 193
PT Peralatan elektris, 46 PT Kendaraan bermotor
PT Besi
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
123
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
Besar Tarif
Jumlah Pos Tarif (PT)
12.00%
126
PT, meliputi diantaranya 20 PT Plastik, 12 PT Alas Kaki, 12 PT Barang dari Keramik,
74 PT Kendaraan Bermotor
13.75%
197
PT, meliputi diantaranya 16 PT Plastik, 98 PT TPT, 63 PT Besi
14.00%
24
PT, diantaranya 19 PT Alas Kaki
18.00%
82
PT, meliputi diantaranya 39 PT Plastik, 12 PT Kendaraan Bermotor, 10 PT Barang
dari Logam Tidak Mulia
20.00%
130
24.50%
6
37.00%
15
PT Kendaraan Bermotor
41.50%
15
PT Kendaraan Bermotor
45.00%
8
PT Kendaraan Bermotor
50.00%
13
PT Kendaraan Bermotor
54.50%
9
PT Kendaraan Bermotor
Jumlah
10012
PT Kendaraan Bermotor
PT
PT
MFN : Most Favoured Nation, Tarif yang berlaku umum sesuai BTKI/PMK 213
Tarif rata-rata : 4.2539% di luar tarif MFN
Jumlah Pos Tarif yang diliberalisasi : 92.8785% (9299 Pos Tarif)
Jumlah Pos Tarif yang diliberalisasi menjadi 0% : 39.0731%
Tabel D. Distribusi Besaran Tarif Bea Masuk Barang Impor Tahun 2014 dengan skema AKFTA berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.011/2013
Besar
Tarif
Jumlah Pos Tarif (PT)
0%
8236
MFN
637
PT
PT, meliputi diantaranya 44 PT Daging, 135 PT Ikan, 10 PT Rempah, 49 PT Produk
Hewani, 104 PT Bunga, Sayur, dan Buah, 39 PT Olahan Daging dan Ikan, 18 PT kue,
45 PT Olahan Sayur dan Buah, 41 PT MMEA, 18 PT TPT, 17 PT Besi
3.00%
4
5.00%
231
6.50%
5
7.50%
82
PT, diantaranya 77 PT Besi
8.00%
68
PT, meliputi diantaranya 11 PT Minyak Hewani dan Nabati, 17 PT Bagian Sepeda
Motor
10.00%
120
PT, meliputi diantaranya 32 PT Plastik, 40 PT Besi, 10 PT Kendaraan Bermotor
12.50%
100
PT Besi
15.00%
332
PT, meliputi diantaranya 32 PT Barang dari Plastik, 69 PT TPT, 74 PT Besi, 26 PT
Peralatan Mekanis, 23 PT Peralatan Elektris, 61 PT Kendaraan Bermotor
20.00%
189
PT, meliputi diantaranya 67 PT Barang dari Plastik, 117 PT Kendaraan Bermotor
30.00%
8
PT Kendaraan Bermotor
45.00%
3
PT Kendaraan Bermotor
140.124
PT
PT, meliputi diantaranya 33 PT Ikan, 22 PT Plastik, 28 PT TPT, 57 PT Besi, 16 PT
Peralatan Mekanis
PT
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
Besar
Tarif
Jumlah
Jumlah Pos Tarif (PT)
10012
PT
MFN : Most Favoured Nation, Tarif yang berlaku umum sesuai BTKI/PMK 213
Tarif rata-rata : 1.4208% di luar tarif MFN
Jumlah Pos Tarif yang diliberalisasi : 93.6376% (9375 Pos Tarif)
Jumlah Pos Tarif yang diliberalisasi menjadi 0% : 82.2613%
759 Pos tarif (7.58%) dikenakan BM berdasarkan perlakuan timbal balik
Tabel E. Distribusi Besaran Tarif Bea Masuk Barang Impor Tahun 2014 dengan skema IJEPA berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 209/PMK.011/2012
Besar
Tarif
Jumlah Pos Tarif (PT)
0%
7546
PT
MFN
609
PT, meliputi diantaranya 22 PT Binatang Hidup, 37 PT Daging, 23 PT Dairy Produces,
10 PT Beras, 7 PT Gula, 41 PT MMEA, 345 PT Logam Tidak Mulia, 26 PT Peralatan
Militer, 18 PT Mainan dan Peralatan Olahraga
0.60%
391
PT, meliputi diantaranya 16 PT Ikan dan Invertebrata Air, 37 PT Olahan Daging, 20
PT Gula dan Kembang Gula, 21 PT Olahan Serealia, 26 PT Bermacam Olahan yang
Dapat Dimakan, 29 PT Barang dari Batu, 39 PT Kaca dan Barang dari Kaca, 62 PT
Logam Tidak Mulia, 26 PT JAm dan Arloji
1.30%
125
PT, diantaranya 13 PT Barang dari Batu, 11 PT Logam Tidak Mulia, 42 PT Perkakas
dan Barang Lain dari Logam Tidak Mulia
1.80%
476
PT meliputi diantaranya 270 PT Ikan dan Invertebrata Air, 17 PT Olahan dari
Tanaman, 16 PT Produk Farmasi, 49 PT Logam Tidak Mulia, 17 PT Kendaraan
Bermotor dan Bagiannya
1.90%
133
PT, meliputi diantaranya 50 PT Karet dan Barangnya, 16 PT Perkakas dan Barang
Lain dari Logam Tidak Mulia
2.50%
15
PT, diantaranya 10 PT Perkakas dan Barang Lain dari Logam Tidak Mulia
2.80%
32
PT, diantaranya 16 PT Logam Tidak Mulia
3.10%
4
3.60%
255
4.20%
5
PT
4.40%
6
PT Alas Kaki
5.50%
234
5.60%
29
7.30%
110
8.00%
8
8.40%
105
PT Alas Kaki
PT meliputi diantaranya 14 PT Olahan dari Tanaman, 31 PT Plastik dan Barang dari
Plastik, 37 PT Kayu dan Barang dari Kayu, 35 PT Kendaraan Bermotor dan
Bagiannya, 16 PT Jam dan Arloji, 15 PT Mainan dan Peralatan Olahraga, 27 PT
Bermacam Barang Hasil Pabrik
PT, meliputi diantaranya 17 PT Hasil Tembakau, 29 PT Plastik dan Barang dari
Plastik, 20 PT Barang dari Batu, 45 PT Peralatan Mekanis, 64 PT Kendaraan
Bermotor dan Bagiannya
PT, diantaranya 7 PT Olahan Daging, 10 PT Peralatan Elektris
PT, meliputi diantaranya 66 PT Plastik dan Barang dari Plastik, 17 PT Kendaraan
Bermotor dan Bagiannya
PT
PT, meliputi diantaranya 30 PT Batu Mulia dan Logam Mulia, 13 PT Peralatan
Elektris, 37 PT Mainan dan Peralatan Olahraga
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
125
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
9.10%
13
PT diantaranya 9 PT Buah, Sayur dan Bunga
10.00%
15
PT
10.90%
24
PT, meliputi 9 PT Produk Keramik dan 15 PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya
11.30%
8
PT
14.10%
2
PT
14.50%
15
PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya
15.00%
16
PT
16.40%
14
PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya
16.90%
4
PT Etil Alkohol
18.20%
1
PT
20.00%
83
PT, diantaranya 75 PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya
21.80%
11
PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya
22.50%
4
PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya
25.30%
15
PT Kendaraan Bermotor dan Bagiannya
Jumlah
10308
PT
MFN : Most Favoured Nation, Tarif yang berlaku umum sesuai BTKI/PMK 213
Jumlah pos tarif yang diatur tarifnya di dalam PMK 209/PMK.011/2012 lebih banyak jumlahnya dibandingkan
dengan jumlah pos tarif sesuai BTKI 2012 (10012 pos tarif). Hal ini disebabkan adanya beberapa pos tarif yang
dipecah berdasarkan BTBMI 2007 dan BTBMI 2002, dengan besar tarif yang berbeda (satu pos tarif, memiliki
dua atau lebih tarif yang berbeda).
Tarif rata-rata : 0.9899% di luar tarif MFN
Jumlah Pos Tarif yang diliberalisasi : 94.092% (9699 Pos Tarif)
Jumlah Pos Tarif yang diliberalisasi menjadi 0% : 73.2053%
Tabel F. Distribusi Besaran Tarif Bea Masuk Barang Impor Tahun 2014 dengan skema AANZFTA berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208/PMK.011/2013
Besar
Tarif
Jumlah Pos Tarif (PT)
0%
8888
MFN
104
PT
PT, meliputi diantaranya 11 PT Beras, 6 PT Gula, 45 PT MMEA, 11 PT Hasil
Tembakau, 15 PT Mesin Pertanian dan Pengolah Hasil Pertanian
0.81%
1
PT Bagian Kendaraan bermotor
1.00%
3
PT
1.50%
1
PT
1.56%
1
PT
1.67%
2
PT Sosis
1.70%
1
PT
2.00%
1
PT
2.96%
1
PT Bagian Kendaraan bermotor
3.00%
87
3.30%
1
4.00%
11
140.126
PT, meliputi diantaranya 59 PT Besi dan produknya, 3 PT Mesin Cuci
PT
PT, meliputi diantaranya 3 PT Pompa Air
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
Besar
Tarif
Jumlah Pos Tarif (PT)
5.00%
344
8.00%
75
10.00%
190
11.00%
1
PT
11.25%
7
PT, meliputi diantaranya 3 PT Besi
11.56%
2
PT
12.50%
6
PT diantaranya 3 PT Besi
13.00%
24
PT, meliputi diantaranya 8 PT Bunga, 14 PT Besi dan Produknya
13.50%
59
PT, meliputi 54 PT Ikan, Telur Ikan dan Olahannya, 5 PT Mutiara
15.00%
62
PT, meliputi diantaranya 6 PT Hasil Tembakau, 14 PT Besi dan Produknya, 35 PT
Kendaraan Bermotor
16.67%
1
PT
17.50%
3
PT Besi
20.00%
39
22.50%
8
PT Kendaraan Bermotor
23.22%
2
PT Kendaraan Bermotor
25.00%
7
PT, diantaranya 4 PT Sayuran dan Buah
30.00%
7
PT, diantaranya 4 PT Oli
40.00%
27
PT Kendaraan Bermotor
42.50%
1
PT Kendaraan Bermotor
45.00%
23
PT Kendaraan Bermotor
46.43%
2
PT Kendaraan Bermotor
51.67%
1
PT Kendaraan Bermotor
54.09%
2
PT Kendaraan Bermotor
54.50%
2
PT Kendaraan Bermotor
57.73%
2
PT Kendaraan Bermotor
70.00%
2
PT Kendaraan Bermotor
80.00%
2
PT Kendaraan Bermotor
170.00%
9
PT MMEA
Jumlah
10012
PT, meliputi diantaranya 3 PT Sapi, 9 PT Daging, 21 PT Susu dan Produk olahannya,
25 PT sayur dan buah, 7 PT Tepung, 5 PT Olahan Ikan, 26 PT Olahan Makanan dan
Jus, 47 PT Barang Plastik, 7 PT Kaca, 51 PT Besi dan produknya, 57 PT Kendaraan
Bermotor, 33 PT Sepeda Motor
PT, meliputi diantaranya 8 PT Lembaran Karet, 12 PT Besi, 9 PT Buldoser dan alat
berat lainnya, 9 PT Generator, 8 PT Bagian Kendaraan Bermotor
PT, meliputi diantaranya 94 PT PTT Cotton, 31 PT Besi dan Produknya, 10 PT
Monitor dan Proyektor, 20 PT Bagian Kendaraan Bermotor
PT, meliputi diantaranya 18 PT Barang Plastik, 20 PT Besi dan Produknya
PT
MFN : Most Favoured Nation, Tarif yang berlaku umum sesuai BTKI/PMK 213
Tarif rata-rata : 1.2815% di luar tarif MFN
Jumlah Pos Tarif yang diliberalisasi : 98.9612% (9908 Pos Tarif)
Jumlah Pos Tarif yang diliberalisasi menjadi 0% : 88.7735%
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
127
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
Tabel G. Distribusi Besaran Tarif Bea Masuk Barang Impor Tahun 2014 dengan skema IPPTA berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 26/PMK.011/2013
Besar
Tarif
Jumlah Pos Tarif (PT)
0%
103
MFN
9792
4%
4
5%
90
6%
1
PT Mur
7%
5
PT Barang dari Logam Tidak Mulia
9%
15
32%
2
Jumlah
10012
PT, meliputi diantaranya 15 PT Ikan, Krustasea, dan Moluska, 11 PT Buah, 6 PT
Olahan Buah, 7 PT Bahan Pewarna, 27 PT TPT, 10 PT Logam dan Barang dari
Logam, 6 PT Peralatan Mekanik
PT
PT Logam Tidak Mulia
PT, meliputi diantaranya 8 PT Olahan Buah, 8 PT Hasil Tembakau, 8 PT Barang dari
Kulit, 31 PT TPT, 22 PT Logam dan Barang dari Logam
PT, meliputi diantaranya 9 PT TPT dan 5 PT Berbagai Macam Barang Hasil Pabrik
PT Tembakau Rokok
PT
MFN : Most Favoured Nation, Tarif yang berlaku umum sesuai BTKI/PMK 213
Tarif rata-rata : 0.072% di luar tarif MFN
Jumlah Pos Tarif yang diliberalisasi : 2.1974% (220 Pos Tarif)
Jumlah Pos Tarif yang diliberalisasi menjadi 0% : 1.03%
140.128
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
SKEDUL PENURUNAN/PENGHAPUSAN TARIF DALAM RANGKA IJEPA
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
Skedul A, dengan ketentuan barang yang masuk ke dalam skedul ini tarifbea masuknya
dihapuskan pada saat persetujuan ini mulai berlaku.
Barang-barang yang diimpor dari Indonesia ke Japan yang diklasifikasikan pada sejumlah 49 bab
pada HS, tarifnya dihapuskan. Yang meliputi produk hewani lainnya (bab 5), pohon hidup dan
tanaman lainnya; umbi dan akar; bunga potong dan daun (bab 6), bijih logam, terak, dan abu (bab
26), Bahan kimia anorganik; senyawa organik atau anorganik dari logam mulia, dari logam tanah
langka, dari unsur radio-aktif atau dari isotop (bab 28), produk farmasi (bab 30), pupuk (bab 31),
Ekstrak penyamak atau pencelup; tanin dan turunannya; bahan celup, pigmen dan bahan pewarna
lainnya; cat dan pernis; dempul dan mastik lainnya; tinta (bab 32), sabun dan barang lainnya dari
bab 34, bahan peledak dan barang lainnya dari bab 36, barang fotografi atau sinematografi (bab
37), aneka produk kimia (bab 38), karet dan barang dari karet (bab 40), gabus dan barang dari
gabus (bab 45), Pulp dari kayu atau dari bahan selulosa berserat lainnya; kertas atau kertas
karton yang dipulihkan (sisa dan skrap); kertas dan kertas karton serta barang daripadanya (bab
47-49), tekstil dan produk tekstil, selain sutera (bab 51-63), tutup kepala dan bagiannya (bab 65),
Payung, payung panas, tongkat jalan, tongkat duduk,cambuk, pecut dan bagiannya (bab 66),
Barang dari batu, plester, semen, asbes, mika atau bahan semacam itu (bab 68), produk keramik
(bab 69), barang dari besi atau baja (bab 73), aluminium dan barang daripadanya (bab 76), timah
dan barang daripadanya (bab 80), logam tidak mulia lainnya dan barang daripadanya (bab 81),
perkakas dan bermacam barang dari logam tidak mulia (bab 82-83), peralatan mekanis dan
elektris (bab 84-85), kendaraan dan bagiannya (bab 86-89), Instrumen dan aparatus optis,
fotografi, sinematografi, pengukur, pemeriksa, presisi, medis dan bedah; bagian dan aksesorinya
(bab 90), instrumen musik (bab 92), mainan (bab 95), dan Karya seni, barang kolektor dan barang
antik (bab 97). Selain itu, Japan juga menghapuskan sebagian tarif barang yang tercantum pada
bab-bab lainnnya.
Skedul B3, dengan ketentuan barang yang masuk ke dalam skedul ini diturunkan tarifnya dari
base rate (Tarif dasar pada saat mulai berlakunya persetujuan IJEPA) secara merata bertahap
selama empat tahun, sehingga pada akhir periode tersebut, tarifnya menjadi 0%.
Skedul B5, dengan ketentuan barang yang masuk ke dalam skedul ini diturunkan tarifnya dari
base rate secara merata bertahap selama enam tahun, sehingga pada akhir periode tersebut,
tarifnya menjadi 0%.
Skedul B7, dengan ketentuan barang yang masuk ke dalam skedul ini diturunkan tarifnya dari
base rate secara merata bertahap selama delapan tahun, sehingga pada akhir periode tersebut,
tarifnya menjadi 0%.
Skedul B10, dengan ketentuan barang yang masuk ke dalam skedul ini diturunkan tarifnya dari
base rate secara merata bertahap selama sebelas tahun, sehingga pada akhir periode tersebut,
tarifnya menjadi 0%.
Skedul B15, dengan ketentuan barang yang masuk ke dalam skedul ini diturunkan tarifnya dari
base rate secara merata bertahap selama enam belas tahun, sehingga pada akhir periode tersebut,
tarifnya menjadi 0%.
Skedul P, dengan ketentuan perlakuan tarif bea masuknya sesuai catatan untuk masing-masing
negara. Catatan/notes tersebut diantaranya (untuk barang impor dari Indonesia yang masuk ke
Japan) berkaitan dengan keharusan negosiasi tarif setiap lima tahun (note 1), tarif rate quota
(note 2,3, dan 6), keharusan negosiasi tarif setelah empat tahun persetujuan berjalan (note 4), dan
penurunan tarif selama enam tahun dari 15% menjadi 13% (note 5). Sedangkan catatan untuk
barang impor dari Japan yang masuk ke Indonesia diantaranya penurunan tarif sesuai jadwal
tertentu (note 1, 3 sampai dengan 15) dan pemberian perlakuan khusus terhadap barang-barang
yang digunakan oleh industri tertentu atau yang ditujukan ke Kawasan Berikat, Gudang Berikat,
dan Kawasan Ekonomi Khusus, serta keharusan untuk melakukan konsultasi dengan pemakai,
produsen, dan pihak yang berkaitan (note 2).
Skedul Q, dengan ketentuan perlakuan tarif bea masuknya sesuai catatan untuk barang impor dari
Indonesia yang masuk ke Japan.
Skedul R, dengan ketentuan perlakuan tarif bea masuknya harus dinegosiasikan sesuai catatan
untuk masing-masing negara.
Skedul X, dengan ketentuan bahwa barang impor yang diklasifikasikan pada skedul ini
dikecualikan dari setiap komitmen pengurangan atau penghapusan tarif dan komitmen negosiasi.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
129
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
Termasuk ke dalam daftar ini untuk barang impor dari Indonesia ke Japan adalah beras, gula,
garam, ski-boots, slippers, sutera, chamois, olahan furskins, beberapa pos tarif daging, ikan dan
krustasea, dairy produces, olahan daging, kakao dan olahan kakao, olahan serealia, berbagai
olahan yang dapat dimakan, dan tembakau.
Sedangkan barang impor dari Japan ke Indonesia yang masuk ke dalam daftar ini, diantaranya
buah jeruk dan olahannya, beras, gula, preparat mengandung alkohol, minuman mengandung etil
alkohol, pedestrian controlled tractors, senjata dan amunisi, minyak atsiri, campuran zat baubauan, beberapa pos tarif binatang hidup, daging, dairy produces, besi dan baja, dan produknya,
tepung, dan mainan.
140.130
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
KESEPAKATAN PUTARAN URUGUAY
Kesepakatan dicapai dengan latar belakang sebagai berikut :
a. ketentuan asal barang yang jelas dan dapat diduga, serta penerapannya dapat mempermudah
arus perdagangan internasional;
b. memastikan bahwa ketentuan asal barang itu sendiri tidak menimbulkan hambatan-hambatan
yang tidak perlu terhadap perdagangan;
c. memastikan bahwa ketentuan asal barang tidak meniadakan atau mengganggu hak-hak para
Negara Anggota menurut General Agreement on Tarriff and Trade (GATT) 1994;
d. perlu adanya transparansi dalam perundangan, ketentuan, dan praktik-praktik mengenai
ketentuan asal barang;
e. memastikan bahwa ketentuan asal barang dipersiapkan dan diterapkan secara transparan, dapat
diduga, konsisten, netral dan tidak memihak;
f. adanya mekanisme konsultasi dan prosedur untuk penyelesaian yang cepat, efektif dan adil
terhadap sengketa yang muncul dalam lingkup Persetujuan ketentuan asal barang;
g. mengharmonisasikan dan memperjelas ketentuan asal barang.
Ketentuan asal barang yang disepakati meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. negara yang ditetapkan sebagai negara asal suatu barang tertentu adalah negara di mana barang
itu diperoleh secara keseluruhan, atau apabila proses produksi barang itu menyangkut lebih dari
satu negara, negara asal barang adalah negara dimana dilaksanakan transformasi terakhir
yang bersifat substansial;
2. ketentuan asal barang yang diterapkan pada impor dan ekspor, tidak lebih ketat daripada
ketentuan asal barang yang diterapkan untuk menentukan apakah suatu barang berasal dari
dalam negeri atau tidak, dan ketentuan tersebut tidak boleh mengadakan diskriminasi antara
Negara Anggota lain, tanpa menghiraukan afiliasi dari pabrik manufaktur barang yang
bersangkutan;
3. ketentuan asal barang dilaksanakan secara konsisten, seragam, dan tidak memihak;
4. atas permintaan seorang pengekspor, pengimpor atau siapa saja yang mempunyai alasan yang
dapat dibenarkan, penaksiran mengenai negara asal yang akan diberikan kepada suatu barang
harus diumumkan secepat mungkin tetapi tidak lebih dari 150 hari sesudah diterimanya
permintaan untuk penaksiran tersebut, asalkan persyaratan yang diperlukan telah disampaikan.
Permintaan untuk penaksiran seperti itu harus diterima sebelum perdagangan barang tersebut
dimulai dan boleh diterima setiap saat kemudian. Penaksiran tersebut tetap berlaku selama tiga
tahun asalkan fakta dan persyaratan, termasuk ketentuan asal barang, yang menjadi dasar
penaksiran itu, tetap sebanding. Asalkan pihak-pihak yang bersangkutan diberitahu
sebelumnya, penaksiran itu tidak berlaku lagi apabila suatu keputusan yang bertentangan dengan
penaksiran diambil dalam suatu peninjauan kembali;
5. apabila dilakukan perubahan terhadap ketentuan asal barang atau menetapkan ketentuan asal
barang yang baru, tidak diperkenankan untuk menerapkan perubahan itu secara retroaktif, dan
tanpa mengurangi perundangan atau ketentuan mereka;
6. semua informasi yang sifatnya rahasia atau yang diberikan atas dasar kerahasiaan untuk tujuan
penerapan ketentuan asal barang, harus diperlakukan secara rahasia oleh pihak berwenang yang
bersangkutan, yang tidak boleh mengungkapkan rahasia itu tanpa ijin khusus dari orang itu atau
pemerintah yang menyampaikan informasi tersebut, kecuali sejauh diperlukan untuk
diungkapkan dalam konteks prosedur peradilan.
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
131
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
Tabel 5. Comparison of Rules of Origin Approaches across Selected ASEAN Agreements
Basic Rules of
Origin
Cumulation Approach
ASEAN –
Australia New Zealand
(AANZFTA)
RVC (40)
CTC (4-digit)
Co-equal
Cumulation permitted
across AANZFTA
provided inputs each
satisfy RVC or CTC rule
Direct formula (buildup method) or Indirect
formula (build- down
method)
2 Rules:
(1) For goods other than textiles
and apparel in HS 50-63, non-CTC
qualified inputs up to 10 percent
of FOB value of final product
allowed
(2) For textiles and apparel in HS
50-63, non-CTC qualified up to (a)
10 percent of value or (b) 10
percent of total weight allowed.
ASEAN Trade
in Goods
Agreement
(ATIGA)
RVC (40)
CTC (4-digit)
Co-equal
Cumulation permitted
across ATIGA provided
inputs each satisfy RVC
or CTC rule Partial
cumulation permitted in
RVC calculation on pro
rata basis where RVC is
at least 20%
Direct formula (buildup method) or Indirect
formula (build- down
method)
1 Rule
Non-CTC qualified inputs allowed
up to 10 percent of FOB value of
final good
ASEAN –
Japan
Comprehensi
ve Economic
Partnership
RVC (40)
CTC (4-digit)
Co-equal
Cumulation permitted
across participating
countries provided
inputs each satisfy RVC
or CTC rule
Indirect formula (builddown method) only
3 Rules:
(1) For goods in HS
16,19,20,22,23,28 through 49 and
64 through 97, non-CTC qualified
inputs up to 10 percent of FOB
value of final product allowed
(2) For goods in HS 18 and 21,
non-CTC qualified inputs allowed
up to 10 % or 7% of FOB value as
per annex 2
(3) For textiles and apparel in HS
50-63, non-CTC qualified up to 10
percent of total weight allowed.
ASEAN –
Korea Trade
in Goods
Agreement
RVC (40)
CTC (4-digit)
Co-equal
Cumulation permitted
across participating
countries provided
inputs each satisfy RVC
or CTC rule
Direct formula (buildup method) or Indirect
formula (build-down
method)
2 Rules:
(1) For goods other than textiles
and apparel in HS 50-63, non-CTC
qualified up to 10 percent of value
allowed
(2) For textiles and apparel in HS
50-63, non-CTC qualified up to 10
percent of total weight allowed.
ASEAN –
India Trade
in Goods
Agreement
RVC (35) plus
CTSH
Cumulation permitted
across all RTA Parties
provided inputs each
satisfy RVC(35)+CTSH
rule
Direct formula (buildup method) or Modified
Indirect formula
designed to show nonoriginating content of ≤
65 percent
Not applicable. No CTC ROO.
ASEAN –
China Trade
in Goods
Agreement
RVC (40)
Cumulation permitted
across all RTA Parties
provided inputs each
satisfy RVC (40) rule
Modified Indirect
formula designed to
show non-originating
content of ≤ 60 percent.
In practice, direct
method of calculation is
also allowed.
Not applicable.
Agreement
RVC Calculation
De Minimis Rule
Sumber :Primer on Rules of Origin – AANZFTA, Jakarta : ASEAN Secretariat, October 2009.
140.132
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
A. Prosedur yang harus dipenuhi oleh pengekspor untuk mendapatkan surat keterangan
asal/certificate of origin (SKA/CoO)
Untuk memperoleh SKA, pengekspor diharuskan mengajukan permohonan kepada issuing
authority untuk dilakukannya suatu verifikasi pra-eksportasi untuk memeriksa apakah barang
ekspor memenuhi kriteria keasalan. Pengekspor kemudian mengisi form SKA dengan lengkap dan
sebenar-benarnya dan kemudian mengajukannya ke issuing authority dengan dilengkapi
dokumen yang mendukung kebenaran keasalan barang sebagaimana tercantum pada formulir
SKA.
B. Prosedur penelitian pra eksportasi yang dilakukan oleh otoritas berwenang yang
menerbitkan SKA/issuing authority
Issuing authority, setelah menerima permohonan, melakukan penelitian terhadap dokumen yang
diajukan oleh pengekspor. Penelitian dilakukan untuk memastikan bahwa:
a. Surat permohonan dan formulir SKA telah diisi lengkap dan ditandatangani oleh pemohon;
b. Produk yang akan diekspor memenuhi kriteria keasalan sebagaimana diatur pada ketentuan
asal barang;
c. Pernyataan lain yang tercantum pada SKA sesuai dengan dokumen pendukung;
d. Deskripsi, jumlah dan berat barang, tanda dan jumlah kemasan, jenis kemasan, yang
dijelasakan pada SKA, sesuai dengan produk yang akan diekspor;
e. Multiple items yang diberitahukan pada SKA yang sama dapat diperkenankan, sepanjang
setiap item memenuhi kriteria keasalannya masing-masing.
Apabila permohonan telah memenuhi persyaratan, issuing authority memberikan nomor
referensi dan membubuhkan tanda tangan dan stempelnya pada form SKA. Spesimen tanda
tangan pejabat yang berhak menandatangani SKA dan stempel issuing authority dipertukarkan
oleh negara anggota, dengan maksud agar otoritas pabean di negara pengimpor dapat melakukan
uji silang keabsahan SKA yang diajukan oleh pengimpor.
C. Prosedur yang harus dipenuhi oleh pengimpor untuk mendapatkan tarif preferensi Apabila
pengangkutan barang melalui satu atau lebih negara ketiga, maka diperlukan dokumen Back to
Back Certificate (Movement Certificate, dalam skema ACFTA), yang diterbitkan oleh otoritas
berwenang atau otoritas pabean (untuk PRC) di negara transit. Otoritas penerbit melakukan
penelitian untuk memastikan kesesuaiannya dengan SKA pertama dan bahwa barang yang
dilindungi dengan sertifikat tersebut memenuhi ketentuan/kriteria direct consignment di negara
transit.
D. Prosedur penelitian yang harus dilakukan oleh otoritas pabean di negara pengimpor
sebelum memberikan preferensi tarif
Otoritas pabean melakukan penelitian untuk memastikan kesesuaian data antara barang yang
diimpor, pemberitahuan pabean impor, SKA, dan dokumen pelengkap pabean.Penelitian juga
dilakukan untuk memastikan keabsahan SKA yang diajukan oleh pengimpor.Apabila seluruh data
menujukkan kesesuaian dan Pejabat Pabean meyakini keabsahan SKA, maka dapat diberikan
preferensi tarif.
E. Prosedur penyimpanan dokumen
Issuing authority memiliki kewajiban untuk melakukan penyimpanan terhadap seluruh SKA yang
diterbitkannya olehnya selama periode tertentu sesuai yang diatur oleh masing-masing
kesepakatan.
F.
Perbandingan pengaturan prosedur operasional sertifikasi barang pada beberapa FTA
yang telah ditandatangani oleh negara anggota ASEAN dengan negara mitra
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
133
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
Tabel 6. Penerbit SKA, Penerbitan SKA, dan Third Party Invoicing
Agreement
ASEAN –
Australia/
New
Zealand
(AANZFTA)
ASEAN
Trade in
Goods
Agreement
(ATIGA)
Issuing Authorities
Issuance
ACCI (Australian Chamber of
Commerce and Industry),
Australian Industry Group (AIG)
(AUSTRALIA), Auckland Regional
Chamber of Commerce and
Industry, Canterbury Employers
Chamber of Commerce, Otago
Chamber of Commerce, Independent
Verification Service Ltd., Wellington
Employers Chamber of Commerce
(NZ)
Form AANZ
harus
diterbitkan
sedekat
mungkin
dengan tanggal
eksportasi
tetapi tidak
lebih dari 3 hari
setelahnya
Dapat diterima sepanjang :
 Brunei: Ministry of Foreign Affairs
and Trade
Form D harus
diterbitkan
pada saat
eksportasi atau
segera
setelahnya
Dapat diterima sepanjang :
Form JIEPA
harus
diterbitkan
pada saat
pengapalan
(sampai dengan
3 hari setelah
tanggal B/L)
Dapat diterima sepanjang :
 Cambodia: Ministry of Commerce
 Indonesia: Ministry of Trade
 Lao PDR: Chamber of Commerce
and Industry
 Malaysia: Ministry of
International Trade and Industry
 Myanmar: Ministry of Commerce
3rd party/ country invoicing
 Nomor third party invoice dan
invoice yang diterbitkan oleh
manufacturer dicantumkan pada box
10 SKA
 Box 13 SKA Third Party Invoicing
harus dicentang
 Informasi mengenai nama dan
negara perusahaan yang
menerbitkan third party invoice
harus dicantumkan pada box 7 SKA
 Nomor third party invoice
dicantumkan pada box 10 SKA
 Box 13 SKA Third Party Invoicing
harus dicentang
 Informasi mengenai nama dan
negara perusahaan yang
menerbitkan third party invoice
harus dicantumkan pada box 7 SKA
 Philippines: Bureau of Customs
 Singapore: Singapore Customs
 Thailand: Ministry of Commerce
 Vietnam: Ministry of Trade
IJEPA
Japanese Ministry Of Economy,
Trade and Industry
 Nomor third party invoice (invoice
yang digunakan untuk importasi ke
negara pengimpor) dicantumkan
pada field 7 SKA atau jika pada saat
pengajuan untuk mendapatkan
Form JIEPA nomor third party
invoice belum diketahui, maka
nomor yang dicantumkan adalah
nomor invoice yang diterbitkan oleh
eksportir sesuai Form JIEPA, dan
informasi mengenai perusahaan dan
negara penerbit invoice
dicantumkan di field 8 SKA, seluruh
invoice harus dilampirkan saat
pengajuan pemberitahuan pabean
 Informasi bahwa invoice barang
akan diterbitkan oleh pihak ketiga
harus dicantumkan pada field 8 SKA
140.134
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
Agreement
Issuing Authorities
Issuance
ASEAN –
Korea Trade
in Goods
Agreement
Korea Customs, The Korea Chamber
of Commerce and Industry
Form AK harus
diterbitkan
pada saat
eksportasi atau
segera
setelahnya
ASEAN –
India Trade
in Goods
Agreement
ASEAN –
China Trade
in Goods
Agreement
Export Inspection Council
Entry-Exit Inspection and
Quarantine Bureau
Form AI harus
diterbitkan
pada saat
eksportasi
(sampai dengan
3 hari setelah
tanggal B/L)
Form E harus
diterbitkan
menjelang atau
pada saat
eksportasi
(sampai dengan
3 hari setelah
tanggal B/L)
3rd party/ country invoicing
Dapat diterima sepanjang :
 Nomor third party invoice
dicantumkan pada box 10 SKA
 Box 13 SKA Third Party Invoicing
harus dicentang
 Informasi mengenai nama dan
negara perusahaan yang
menerbitkan third party invoice
harus dicantumkan pada box 7 SKA
Dapat diterima sepanjang :
 Nomor third party invoice
dicantumkan pada box 10 SKA
 Box 13 SKA Third Party Invoicing
harus dicentang
 Informasi mengenai nama dan
negara perusahaan yang
menerbitkan third party invoice
harus dicantumkan pada box 7 SKA
Dapat diterima sepanjang :
 Nomor third party invoice
dicantumkan pada box 10 SKA
 Eksportir dan consignee berlokasi di
negara anggota
 Third party invoice harus
dilampirkan pada saat pengajuan
PIB
 Box 13 SKA Third Party Invoicing
harus dicentang
 Informasi mengenai nama dan
negara perusahaan yang
menerbitkan third party invoice
harus dicantumkan pada box 7 SKA
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
135
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
Tabel 7. Comparison of Operational Certification Procedures across Selected ASEAN Agreements
Agreement
Pre-export
Examination
Exporter
Application
Certificate of Origin
Period of
Validity
Retroactive
Issuance
ASEAN –
Australia/
New Zealand
(AANZFTA)
Yes – Exporter
to request as
basis for
supporting
evidence of
origin
Written
application to
issuing
authorities with
prescribed
minimum data
Unique Certificate number
Original plus two copies
Official seal / signature of
issuing body Specified
minimum data
requirements Issued
within 3 days of export
12 months
Yes – Up to
12 months
ASEAN Trade
in Goods
Agreement
(ATIGA)
Yes – Exporter
to request as
basis for
supporting
evidence of
origin
Written
application to
issuing
authorities with
prescribed
minimum data
Unique Certificate number
Original plus two copies
Official seal / signature of
issuing body Specified
minimum data
requirements Issued
within 3 days of export
12 months
Yes – Up to
12 months
ASEAN –
Japan
Comprehensi
ve Economic
Partnership
Yes as provided
in the
Implementing
Regulations
Written
application to
issuing
authorities with
prescribed
minimum data
and proof of
origin of goods
Unique Certificate number
Original plus two copies
Official seal / signature of
issuing body Specified
minimum data
requirements
12 months
Yes – Up to
12 months
ASEAN –
Korea Trade
in Goods
Agreement
Yes – Exporter
to request as
basis for
supporting
evidence of
origin
Written
application to
issuing
authorities with
prescribed
minimum data
Unique Certificate number
Original plus two copies
Official seal / signature of
issuing body Specified
minimum data
requirements
6 months
Yes – Up to
12 months
ASEAN – India
Trade in
Goods
Agreement
Yes – Exporter
to request as
basis for
supporting
evidence of
origin
Written
application to
issuing
authorities with
prescribed
minimum data
Unique Certificate number
Original plus three copies
Official seal/signature of
issuing body Dedicated
form / data requirements
Issued within 3 days of
export
12 months
Yes – Up to
12 months
ASEAN –
China Trade
in Goods
Agreement
Yes – Exporter
to request as
basis for
supporting
evidence of
origin
Written
application to
issuing
authorities with
prescribed
minimum data
Unique Certificate number
Original plus three copies
Official seal/signature of
issuing body Dedicated
form / data requirements
Issued within 3 days of
export
Normally 4
months 6
months
when
transhipped
through a
non-Party
Yes – Up to
12 months
Sumber :Primer on Rules of Origin – AANZFTA, Jakarta : ASEAN Secretariat, October 2009
140.136
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
Tabel 8. Comparison of Operational Certification Procedures across Selected ASEAN Agreements (cont’d)
Agreement
Action by
Importer
No Certificate
Required
ASEAN –
Australia/ New
Zealand
(AANZFTA)
Submit
original copy
of Certificate at
time of import
declaration
No certificate
required for
goods valued at
less than US$ 200
FOB
Yes -required
in
transhipment
cases
Yes – after the
fact verification
where
considered
necessary
Issuing body,
exporter and
importer to
keep relevant
records for 3
years
ASEAN Trade
in Goods
Agreement
(ATIGA)
Submit
original copy
of Certificate at
time of import
declaration
No certificate
required for
goods valued at
less than US$ 200
FOB
Yes -required
in
transhipment
cases
Yes – after the
fact verification
where
considered
necessary
Issuing body,
exporter and
importer to
keep relevant
records for 3
years
ASEAN – Japan
Comprehensive
Economic
Partnership
Submit
original copy
of Certificate at
time of import
declaration
No certificate
required for
goods valued at
less than US$ 200
FOB
Yes – required
in
transhipment
cases
Yes – after the
fact verification
where
considered
necessary
Issuing body,
exporter and
importer to
keep relevant
records for 3
years
ASEAN – Korea
Trade in Goods
Agreement
Submit
original copy
of Certificate at
time of import
declaration
No certificate
required for
goods valued at
less than US$ 200
FOB
Yes – required
in
transhipment
cases
Yes – after the
fact verification
where
considered
necessary
Issuing body,
exporter and
importer to
keep relevant
records for 3
years
ASEAN – India
Trade in Goods
Agreement
Submit
original copy
of Certificate
plus triplicate
copy at time of
import
declaration.
Triplicate copy
sent back to
issuing
authority in
exporting
country
No exemption
specified in OCPs
for the AIFTA
Yes – required
in
transhipment
cases
Yes – after the
fact verification
where
considered
necessary
Issuing body to
keep records for
at least 2 years.
Exporter to
retain
“Quadruplicate”
copy for 12
months
ASEAN – China
Trade in Goods
Agreement
Submit
original copy
of Certificate
plus triplicate
copy at time of
import
declaration.
Triplicate copy
sent back to
issuing
authority in
exporting
country
No certificate
required for
goods valued at
less than US$ 200
FOB
Yes – required
in
transhipment
cases (different
name 
movement
certificate)
Yes – after the
fact verification
where
considered
necessary
Issuing body to
keep records for
at least 2 years.
Exporter to
retain
“Quadruplicate”
copy for 12
months
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
Back-to-back
Certificates
Verification
Procedure
Record
Keeping
137
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
Tabel 9. Data Putusan Banding PP Terkait Materi Sengketa Tarif FTA
Materi
Sengketa
Putusan Banding
Berkas
%
Dikabulkan*
Nilai (Rp.)
%
Berkas
%
Nilai (Rp.)
Ditolak**
%
Berkas
%
Nilai (Rp.)
%
2012
Tarif
FTA
21
0.73
4,965,768,000
0.93
17
80.95
145,161,000
2.92
Lainnya
2864
99.27
531,775,291,456
99.07
n.a.
Jumlah
2885
100
536,741,059,456
100
n.a.
4
19.05
4,820,607,000
97.08
189
37.88
24,701,154,000
32.81
2013
Tarif
FTA
499
20.38
75,290,369,005
4.8
310
62.12
50,589,215,005
67.19
Lainnya
1950
79.62
1,492,720,293,816
95.2
n.a.
Jumlah
2449
100
1,568,010,662,821
100
n.a.
Tebel 10. Karakteristik Integrasi Ekonomi yang Telah Diimplementasikan oleh Indonesia
ASEAN
FTA
(ATIGA)
ASEAN
China FTA
ASEAN
Korea
FTA
Ratifikasi
Keppres
85 Tahun
19951*
Perpres 2
Tahun
20102*
Keppres
48 Tahun
20043*
Perpres 25
Tahun
20114*
Mulai Berlaku
di Indonesia9*
28 Januari
199210*
Uk. Pasar
(juta USD)
Uk. Ekonomi
(Triliun USD)
Indonesia
Japan EPA
ASEAN
India FTA
ASEAN
ANZ FTA
IPPTA
Perpres 11
Tahun
20075*
Perpres 12
Tahun
20076*
Perpres 36
Tahun 2008
Keppres 69
Tahun
20047*
Perpres 40
Tahun
20108*
Perpres 26
Tahun
2011
Perpres 98
Tahun
2012
8 Juli 2005
4 Mei
2007
1 Juli 2008
26 Agustus
2010
11 Nov
2011
19 Nov
2012
599
1,939
647
726
1,814
625
n.a.
1.9
7.7
2.9
7.3
3.4
3.2
1.1
Jumlah Pos
Tarif Yang
Diturunkan
Tarifnya11*
(%)
98.8714
97.8526
93.6376
94.0921
92.8785
98.9612
2.1974
Jumlah Pos
Tarif Yang
Dihapus
Tarifnya11*
(%)
98.8714
84.2689
82.2613
73.2053
39.0731
88.7735
1.03
Jumlah Pos
Tarif Dengan
Tarif MFN11*
(%)
1.1286
2.1474
6.3624
5.9080
7.1215
1.0388
97.8026
Tarif RataRata11* (Diluar
Tarif MFN)
0.00%
2.11%
1.42%
0.99%
4.25%
1.28%
0.07%
140.138
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
ASEAN
FTA
(ATIGA)
ASEAN
China FTA
ASEAN
Korea
FTA
Indonesia
Japan EPA
ASEAN
India FTA
ASEAN
ANZ FTA
IPPTA
Tarif
Maksimal11*
(Diluar Tarif
MFN)
0%
60%
45%
25.30%
54.50%
170%
32%
Produk
dengan Tarif
Maksimal11*
-
Kendaraan
Bermotor
Kendaraan
Bermotor
Kendaraan
Bermotor
Kendaraan
Bermotor
MMEA
Tembakau
Rokok
Produk
dengan Tarif
MFN
MMEA,
Beras,
Gula,
Makanan
Olahan,
Tank dan
Peralatan
Militer
MMEA,
Hasil
Tembakau,
Film,
Limbah,
Karet,
Beras,
Gula
Daging,
Ikan,
Rempah,
Produk
Hewani,
Bunga,
Sayur, dan
Buah,
Olahan
Daging
dan Ikan,
Kue,
Olahan
Sayur dan
Buah,
MMEA,
TPT, Besi
Binatang
Hidup,
Daging,
Dairy
Produces,
Beras, Gula,
MMEA,
Logam
Tidak
Mulia,
Peralatan
Militer,
Mainan dan
Peralatan
Olahraga
Daging,
Ikan,
Krustasea,
Susu dan
produknya,
Buah,
sayur, dan
bunga,
Bumbu dan
rempah,
Beras,
Tepung,
MMEA, TPT,
Besi
Beras
Gula,
MMEA,
Hasil
Tembakau,
Mesin
Pertanian
dan
Pengolah
Hasil
Pertanian
Pengesahan Protocol to Amend Common Effective Preferential Tarif (CEPT) Scheme for ASEAN Free Trade Area (AFTA)
ASEAN Trade in Goods Agreement
3* Pengesahan ASEAN-China Comprehensive Economic Cooperation Framework Agreement
4* Pengesahan ASEAN-China Trade in Goods Agreement
5* Pengesahan ASEAN-Korea Comprehensive Economic Cooperation Framework Agreement
6* Pengesahan ASEAN-Korea Trade in Goods Agreement
7* Pengesahan ASEAN-India Comprehensive Economic Partnership Agreement
8* Pengesahan ASEAN-India Trade in Goods Agreement
9* Berdasarkan http://treaty.kemlu.go.id/index.php/treaty
10* Mulai berlaku sejak Agreement on the Common Effective Preferential Tarif (CEPT) Scheme for the ASEAN Free Trade Area
(AFTA) ditandatangani, ratifikasi tidak diperlukan
11* Berdasarkan masing-masing Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur, untuk tahun 2014
1*
2* Pengesahan
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
139
Halaman ini sengaja dikosongkan
This page intentionally left blank
140
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2014
INDEKS SUBJEK
JURNAL BPPK
Volume 8 Nomor 1, 2015
AANZFTA, 108, 115, 116, 117, 119, 120, 121, 126,
132, 134, 136, 137
ACFTA, 108, 112, 113, 117, 118, 119, 120, 121, 122,
133
administrasi, 89, 91, 102, 116, 117
AFTA, 107, 108, 111, 112, 116, 117, 119, 120, 139
agreement, 107
AIFTA, 108, 113, 117, 119, 120, 121, 123, 137
AKFTA, 108, 113, 114, 117, 118, 119, 120, 121, 124
akrual, 53, 54, 55, 56, 58, 65, 66, 68, 69, 70
akuntansi, 26, 53, 54, 55, 56, 57, 67, 69, 70
ASEAN, 107, 108, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 117,
118, 119, 120, 121, 132, 133, 134, 135, 136, 137,
138, 139
asset, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 22, 24, 25, 28,
29, 30, 36, 38
barang dan jasa, 55, 66, 67, 68, 108, 111, 114
BEI, 21, 23, 24, 29
BLU, 69, 70
BLUD, 69
BUMN, 66, 67, 68, 104
capital, 5, 6, 8, 9, 12, 13, 15, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47,
49, 78
consumption, 2, 5, 7, 8, 42, 43, 77, 78, 79, 80, 81
countries, 2, 4, 41, 42, 43, 45, 46, 48, 49, 53, 132
crisis, 41, 45, 46, 77
debt, 24, 25, 29, 62, 71, 73, 74
dividen, 25
domestic, 41, 44, 45, 47, 48, 49, 77, 79, 80
economic, 1, 3, 5, 6, 7, 12, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47,
48, 49, 50, 71, 77, 78, 81, 82, 107, 120
efficient, 1
ekonomi syariah, 21
emiten, 21, 23, 24, 29, 30, 32, 33, 34, 35, 36, 37
empirical, 2, 4, 12, 21, 42, 45
equilibria, 1, 2, 4, 6, 10, 11
equilibrium, 1, 2, 4, 6, 10, 11, 12, 79
equity, 24, 25, 29, 30, 36
European, 41, 42, 45, 49, 50, 105, 108
expenditure, 3, 4, 5, 8, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 49,
50, 59, 77, 80
export, 50, 77, 79, 80, 81, 136
financial distress, 21, 22, 23, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31,
32, 33, 34, 35, 36, 37, 38
fiskal, 53, 54, 55, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66,
67, 68, 69, 70, 71, 89, 108
forecasting, 77, 80, 81
gap, 2, 7, 8, 58
GDP, 41, 42, 43, 45, 46, 48, 49, 60, 61, 62, 63, 67, 70,
73, 74, 77, 78, 79, 80, 81, 83
GFS, ii, 53, 54, 55, 56, 57, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65,
66, 67, 68, 69, 70, 73, 74, 75
government, 11, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50,
53, 77, 80, 81
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2014
growth, 1, 2, 7, 8, 12, 29, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48,
49, 50, 77, 78, 81
highway, 43
hospital, 41
human capital, 5, 6, 8, 9, 41, 42, 43, 48, 49
IJEPA, 108, 114, 115, 117, 119, 120, 121, 125, 129,
134
import, 50, 77, 79, 80, 81, 137
Indonesia, i, 1, 2, 7, 8, 10, 11, 12, 21, 22, 23, 24, 28,
29, 38, 39, 41, 42, 44, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 53, 54,
57, 63, 65, 69, 70, 71, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 90,
91, 104, 105, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113,
114, 115, 119, 120, 121, 129, 130, 134, 138, 3, 4
inovasi, 89, 90, 91, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100,
102, 103, 104, 110
interest rate, 77, 79, 80, 81
investment, 2, 42, 43, 44, 45, 47, 48, 49, 50, 77, 78,
79, 80, 81
investor, 22, 23, 24, 27, 31, 37
IPPTA, 115, 116, 120, 121, 128, 138
JII, 21, 23, 24, 29, 33, 38
kebijakan, 23, 27, 38, 41, 53, 54, 57, 58, 59, 60, 61,
62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 89, 90, 91,
100, 103, 108
kemandirian, 89, 90, 91, 92, 94, 96, 97, 98, 99, 100,
102, 103
kepabeanan, 110, 115, 116, 120
keuangan, i, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31,
32, 33, 35, 36, 37, 41, 53, 54, 55, 56, 57, 59, 62, 65,
66, 69, 70, 93
keuangan syariah, 21, 22, 23
Keynesian, 41, 43
kinerja, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 28, 29, 31, 58, 66, 67,
71, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100,
101, 102, 103, 104
korporasi, 53, 55, 67, 69
krisis, 22, 23, 30, 35, 41
laba, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 36, 37
liberal, 111, 119, 120
likuiditas, 24, 25, 26, 29, 30, 37, 54
LM Curve, 25
macroeconomic, 77
management, 38, 42, 89, 90
margin, 25, 29, 30, 36
market, 5, 7, 18, 24, 28, 41, 43, 49, 108, 119
modal, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 36, 38, 41, 67, 108,
111
model pembelajaran, 89, 91, 94, 96, 98, 102, 103
monetary, 4, 77, 80, 81
murabahah, 24
neoclassical, 43, 45
opportunities, 1
organisasi, 55, 66, 67, 68, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95,
96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 4
140.1
TINJAUAN UMUM ATAS TUJUH KESEPAKATAN PERDAGANGAN YANG
TELAH DIIMPLEMENTASIKAN DI INDONESIA: SEBERAPA LIBERALKAH INDONESIA?
Arfiansyah Darwin
panel, 70
Papua, 7, 12, 45
pasar, 21, 22, 23, 24, 25, 27, 67, 68, 69, 93, 107, 110,
111, 114, 115
patterns, 1, 2, 4, 5, 6, 8, 12, 92
pemerintah pusat, 53, 59, 66, 69, 70
pengetahuan, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98,
99, 100, 101, 103, 104, 110
perdagangan, 23, 24, 36, 107, 108, 109, 110, 111,
112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 131
pertumbuhan, 70
policy, 1, 2, 4, 11, 12, 41, 42, 49, 53, 77, 78, 80, 81
poor, 2, 3, 4, 6, 7, 8, 10, 11, 12, 49
population, 1, 3, 7, 43, 44, 45, 47, 48, 49
poverty, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 41, 42, 49,
50
price, 3, 46
private, 42, 43, 48, 49, 77, 79
productivity, 42, 43, 48, 49
profitabilitas, 27, 30
PSAP, 66, 70
PTA, 108, 111, 115, 116
publik, 24, 53, 54, 57, 58, 59, 64, 66, 67, 68, 69, 91,
93, 103
rasio, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33,
35, 36, 37, 59, 60, 62, 67, 68
rate, 2, 7, 8, 12, 21, 29, 41, 42, 44, 45, 46, 48, 49, 77,
79, 80, 81, 119, 129
regional, 2, 7, 22, 41, 42, 44, 45, 47, 48, 49, 50, 55, 77,
107, 108, 111, 117
saham, 21, 22, 23, 24, 27, 29, 30, 31, 33, 35, 36, 37,
38
spending, 41, 42, 43, 47, 49, 50, 80, 81
stability, 46
Sumatra, 1, 2, 6, 7, 9, 10, 11, 13, 15, 17
syariah, 21, 22, 23, 24, 38
tabungan, 54
transaction, 23, 42, 43, 48, 49
transfer, 48, 49, 55, 64, 66, 93, 95, 99, 100, 101
trap, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 9, 10, 11, 12
United States, 7, 12, 41, 45, 49
utang, 24, 25, 26, 27, 54, 59, 60, 62, 64, 68
World Bank, 2, 7, 41, 59, 60, 78, 82, 84, 108
140.2
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2015
PETUNJUK BAGI (CALON) PENULIS JURNAL BPPK
1. Sebagai pra-syarat dalam mengirimkan artikel untuk dapat diterbitkan pada Jurnal BPPK, penulis
diwajibkan mengirimkan (calon) artikel Jurnal BPPK yang dilengkapi:
 Surat pernyataan orisinalitas karya bermaterai cukup (Rp 6.000,-),
 Lembar Identitas Artikel Jurnal BPPK,
 Curriculum Vitae.
Format terlampir.
2. Artikel yang diajukan diketik dengan program Microsoft Word atau program pengolah kata sejenis
dan disimpan dalam format docx menggunakan huruf Cambria, ukuran 10 pts, spasi tunggal,
dicetak pada kertas A4 dengan panjang 15 s.d. 30 halaman, dan diserahkan dalam bentuk
hardcopy/cetak sebanyak 1 eksemplar beserta softcopy-nya. Pengiriman Artikel softcop yjuga dapat
dilakukan melalui e-mail ke alamat: [email protected].
3. Artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Inggris. Sistematika artikel hasil penelitian adalah
a. Judul
Penulisan judul tidak lebih dari 14 kata, dicetak dengan huruf kapital, center, Cambria 14.
b. Nama Penulis
Nama Penulis ditulis tanpa gelar akademik, disertai lembaga asal tempat peneliti melakukan
penelitian.Dalam hal artikel ditulis oleh tim, penyunting hanya berhubungan dengan penulis
utama atau penulis yang namanya tercantum pada urutan pertama. Penulis utama wajib
mencantumkan alamat korespondensi dan/atau e-mail.
c. Abstrak disertai kata kunci
Abstrak dan kata kunci ditulis dalam dua bahasa, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Panjang
masing-masing abstrak tidak lebih dari 150 kata yang disertai dengan 3-5 kata kunci. Abstrak
minimal berisi judul, tujuan, metode dan hasil penelitian.
Penulisan Abstrak yang berbahasa Inggris mengacu pada kaidah penulisan abtrak karya ilmiah
yang berlaku umum secara internasional. Dalam hal penerjemahan abstrak bahasa Indonesia ke
dalam bahasa Inggris, penulis tidak diperkenankan melakukan copy-paste langsung dari
software/aplikasi/web penerjemah bahasa. Untuk keperluan translasi direkomendasikan
menggunakan jasa penerjemah tersumpah. Adapun biaya yang muncul atas penggunaan jasa
tersebut menjadi tanggung jawab penulis artikel.
d. Pendahuluan
Bagian ini menjelaskan latar belakang riset, rumusan masalah, pernyataan tujuan dan (jika
dipandang perlu) organisasi penulisan artikel.
e. Kerangka teoritis dan pengembangan hipotesis
Memaparkan kerangka teoritis berdasarkan telaah literatur yang menjadi landasan logis untuk
mengembangkan hipotesis atau proporsi riset dan model riset.
f.
Metode riset/penelitian
Menguraikan metode seleksi dan pengumpulan data, pengukuran dan definisi operasional
variabel, dan metode analisis data.
g. Hasil dan pembahasan
Menjelaskan analisis data riset dan deskripsi statistik yang diperlukan
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2014
140.3
h. Kesimpulan
Memuat simpulan hasil riset, temuan penelitian yang berupa jawaban atas pertanyaan
penelitian atau berupa intisari hasil pembahasan. Simpulan disajikan dalam bentuk paragraf.
i.
Implikasi dan keterbatasan
Menjelaskan implikasi temuan dan keterbatasan riset, serta jika perlu saran yang dikemukakan
peneliti untuk riset yang akan datang.
j.
Daftar Pustaka
Memuat sumber-sumber pustaka atau referensi yang dikutip di dalam penulisan artikel. Hanya
sumber yang diacu yang dimuat dalam daftar referensi ini. Untuk keseragaman penulisan,
Daftar Pustaka ditulis sesuai dengan format American Psychological Association (APA)
k. Lampiran
Memuat tabel, gambar dan instrumen riset yang digunakan
4. Tata cara penyajian kutipan, rujukan, tabel, dan gambar mengikuti ketentuan dalam PEDOMAN
PENULISAN ARTIKEL ILMIAH JURNAL BPPK atau merujuk pada tata cara yang digunakan dalam
artikel yang telah dimuat. Artikelberbahasa Indonesia menggunakan Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia Yang Disempurnakan dan istilah-istilah yang telah dibakukan oleh Pusat Bahasa.
5. Semua Artikel ditelaah secara anonim oleh Dewan Editor yang ditunjuk oleh Sekretariat Jurnal
BPPK menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan
perbaikan atau revisi artikel atas dasar rekomendasi/saran dari Dewan Editor atau penyunting.
Kepastian pemuatan atau penolakan artikel akan diberitahunkan secara tertulis.
6. Segala sesuatu yang menyangkut perijinan pengutipan, penggunaan software/aplikasi komputer
untuk pembuatan artikel atau hal lainnya yang terkait dengan Hak Atas Kekayaan Intelektual
(HAKI) yang dilakukan oleh penulis, berikut konsekuensi hokum yang mungkin timbul, menjadi
tanggung jawab penuh penulis artikel.
140.4
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 1, 2014
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS
ARTIKEL JURNAL BPPK
Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama Penulis Artikel
: ................................................................................................................................
NIP/NRM
: ................................................................................................................................
Pangkat / Golongan
: ................................................................................................................................
Jabatan
: ................................................................................................................................
dengan ini menyatakan bahwa artikel yang saya susun dengan judul :
JUDUL ARTIKEL UNTUK JURNAL BPPK
(Huruf Tebal)
adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dan bukan merupakan plagiat dari artikel orang lain.
Artikel ini belum pernah dipublikasikan pada jurnal atau media yang lain dan akan diserahkan kepada
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) untuk digandakan, diperbanyak dan/atau
disebarluaskan. Apabila kemudian hari pernyataan Saya tidak benar, maka Saya bersedia menerima
sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan termasuk sanki pidana.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, untuk dapat dipergunakan bilamana
diperlukan.
........................, .............................................
Pembuat Pernyataan
Materai
Rp6.000,00
......................................................................
NIP
Catatan:
Dapat diperbanyak sesuai kebutuhan penulis dan bilamana diperlukan, Softcopy surat pernyataan ini dapat diminta melalui
email: [email protected]
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2014
140.5
FORMULIR CURRICULUM VITAE PENULIS ARTIKEL JURNAL BPPK
Nama Lengkap
:
Tempat/Tgl Lahir
:
Jabatan Sekarang
:
Unit Kerja
:
NIP/NRM/Gol.
:
No. Rekeneing
:
NPWP
:
Email
:
No HP
:
Bank …
Cabang …
Riwayat Pendidikan :
Jenjang
Gelar
Universitas
Tahun
D1
D3
D4/S1
S2
S3
Riwayat Pekerjaan:
Jabatan
Unit Kerja/Organisasi
Periode
Penghargaan/Award/Acknowledged Reward:
Bidang Keilmuan yang Diminati:
Catatan:
Dapat diperbanyak sesuai kebutuhan penulis dan bilamana diperlukan, Softcopy Form CV ini dapat diminta melalui
email: [email protected]…
140.6
Jurnal BPPK Volume 8 Nomor 1, 2014
LEMBAR IDENTITAS ARTIKEL JURNAL BPPK
Judul Artikel
Beri tanda (  ) pada  yang telah disediakan sesuai keadaan yang sebenarnya:
a. Jenis Artikel
 Hasil pemikiran pada ______________________________________ (bulan dan tahun)
 Hasil penelitian tahun _____________________________________ (bulan dan tahun)
b. Hubungan dengan penelitian lain sebelumnya
 Penelitian/Pemikiran baru
 Ringkasan/Short version Skripsi karya sendiridengan judul __________________________________________________
_______________________________________________________________________________________________________________________
 Ringkasan/Short version Thesis karya sendiri dengan judul ___________________________________________________
_______________________________________________________________________________________________________________________
 Kajian atau karya Ilmiah lain karya sendiri karya sendiri yaitu _______________________________________________
dengan judul _______________________________________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________________________________________________
 Lainnya, sebutkan: _________________________________________________________________________________________________
c. Tempat Penulis melakukan Penelitian/Pemikiran pada Artikel ini
 Tempat Kerja yaitu ________________________________________________________________________________________________
 Sewaktu Pendidikan program_________________________________________________________(nama program studi dan jenjang)
di ___________________________________________________________________________________________(nama universitas dan negara)
 Lainnya, yaitu ______________________________________________________________________________________________________
d. Sumber Pembiayaan dalam melakukan Penelitian/Pemikiran pada Artikel ini
 Sendiri
 Lainnnya, yaitu: ____________________________________________________________________________________________________
_______________________________________________________________________________________________________________________
Dengan ini saya menyatakan bahwa data yang saya isi pada formulir ini adalah benar adanya dan tanpa rekayasa.
Apabila kemudian hari pernyataan Saya tidak benar, maka Saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan termasuk sangsi pidana.
........................, ....................................................
Penulis Artikel,
.............................................................................
_vietnam.pdf-quarterly-policies-in-focus-integration
Jurnal BPPK, Volume 8 Nomor 1, 2014
140.7
Download