TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi A.atlas Ngengat A. atlas mempunyai ukuran tubuh yang besar dan merupakan hewan asli Indonesia. Imago aktif di malam hari (nokturnal). bersifat polivoltin. Tubuh ditutupi oleh sisik dan Pupa dari serangga ini terlindung oleh kokon (Peigler 1989). Kedudukan taksonomi A. atlas adalah: Kingdom: Animalia, Filum: Arthopoda, Sub filum: Atelocerata, Kelas: Insecta, Ordo: Lepidoptera, Sub ordo: Ditrysia, Super famili: Bombycoidea, Famili: Saturniidae, Sub famili: Saturniinae, Genus: Attacus (Linnaeus), spesies: A. atlas (Linnaeus) (Triplehorn & Johnson 2005). Siklus Hidup A. atlas A. atlas termasuk serangga holometabola yang perkembangannya mengalami metamorfosis sempurna (Gambar 3). Siklus hidupnya dimulai dari telur, yang menetas menjadi larva. Larva berubah menjadi pupa dan kemudian menjadi imago (ngengat) (Gullan & Cranston 2000). Mulyani (2008) melaporkan siklus hidup A. atlas pada daun sirsak adalah larva membutuhkan 30 - 42 hari (rata-rata 36.60 ±3.83), pupa membutuhkan 24 – 51 hari (rata-rata 29.25 ± 7.070) dan imago memerlukan 3 – 8 hari (rata-rata 5.00 ± 1.257). Waktu yang dibutuhkan untuk satu siklus adalah 60 - 89 hari (rata-rata 70.85 ±7.457). Situmorang (1996) melaporkan periode larva pada daun keben yang dipelihara di laboratorium memerlukan waktu berkisar antara 25-38 hari (rata-rata 28.2 ±1.5) hari untuk betina dan 24-35 hari (rata-rata 27.0 ±1.7) hari untuk jantan. Periode pupa berlangsung sekitar 8-58 hari. 7 Telur Instar 1 Imago Instar 2 Pupa Instar 3 Instar 6 Instar 4 Instar 5 Gambar 3 Siklus hidup A. atlas (www.wormspit.com/Atlas) 8 Morfologi A. atlas Telur Telur A. atlas berbentuk bulat pipih, dengan ukuran lebar 2.3 mm, panjang 2.7 mm dan tebal yaitu 2.1 mm. Warna telur putih kekuningan hingga kuning muda (Peigler 1989). Telur yang dihasilkan dari imago dengan pakan daun keben sekitar 108 – 386 butir. Telur diletakkan berkelompok di sisi bawah permukaan daun yang masih muda (Situmorang 1996). Periode telur yang dipelihara di laboratorium dengan pakan daun sirsak adalah 6 – 10 hari. Peletakan telur oleh induk betina memerlukan waktu selama 2 – 6 hari setelah kawin (Mulyani 2008). Telur dihasilkan dari imago betina yang telah kawin maupun yang tidak kawin. Telur yang dihasilkan dari imago betina yang kawin adalah telur fertil yang dapat menetas menjadi larva, sedangkan telur yang dihasilkan dari imago betina yang tidak kawin adalah telur steril yang tidak menetas. Telur yang dihasilkan ini diselimuti oleh cairan (gum) berwarna kemerahan hingga coklat yang berfungsi untuk melekatkan telur pada daun atau ranting tanaman inang (Awan 2007). Larva Telur menetas menjadi larva. Bentuk larva A. atlas erusiform dengan satu kepala yang berkembang baik dan tubuh yang selindris. Tubuhnya terdiri dari 13 ruas yang terdiri dari 3 ruas di bagian thorak dan 10 ruas di bagian abdomen (Triplehorn & Johnson 2005). Larva A. atlas dilengkapi ”skoli” yang mirip duri-duri sebagai tonjolan dari otot dan ”tuberkel” yaitu tonjolan kutikula yang membentuk seta/rambut. Pada abdomen segmen ke 3 – 6 dan segmen ke 10 terdapat proleg (kaki palsu) yang dilengkapi kait (Gambar 4). Tubuh larva ditutup atau dilindungi oleh kutikula, yang dibentuk dari epidermis. Kutikula mengalami pengerasan. Oleh sebab itu kutikula tersebut perlu ditanggalkan secara periodik untuk mengikuti pertumbuhan larva (Gullan & Cranston 1995). 9 punggung dada Tonjolon tubuh kepala kaki palsu perut kaki kaki palsu belakang Gambar 4 Morfologi larva A. atlas (Peigler 1989) Larva A. atlas terdiri dari enam instar. Instar adalah tahap perkembangan serangga pradewasa antara dua ekdisis yang berurutan (Gullan & Cranston 1995). Menurut Zebua et al. (1997) ciri-ciri tiap instar A. atlas sebagai berikut: larva instar I, panjang tubuh rata-rata 0.5 cm, kepala berwarna coklat kehitaman, tubuh berwarna kuning coklat. Pada fase ini larva dominan terdapat di sisi bawah daun. Menurut Dammerman (1929) larva instar I ini mempunyai banyak seta di permukaan tubuhnya dengan kepala berwarna hitam. Larva instar II ditandai dengan terjadinya molting pertama yang mengakibatkan mengelupasnya kulit luar dan juga pelindung kepala yang menyerupai helm. Larva pada instar ini mempunyai ukuran tubuh 1 – 1.5 cm. Warna bagian kepala coklat agak terang. Pada bagian belakang abdomen terdapat bercak merah yang sangat kontras dengan warna dasar tubuh . Pada larva instar III ukuran tubuhnya terlihat jelas perbedaannya. Panjang tubuh rata-rata 2 – 2.5 cm. Warna bagian kepala masih tetap berwarna coklat agak terang. Bercak merah tubuh bagian belakang masih terlihat jelas. Pada saat menjelang molting, ulat menghentikan keaktifannya dengan posisi istirahat (bentuk C atau J) pada tempat tertentu antara 15 – 25 menit. Hal ini terjadi juga pada instar I – IV. Kulit tubuh (eksuviae) kadangkala dimakan tanpa sisa. 10 Larva instar IV mempunyai tubuh berukuran 2.5 – 3 cm lebih. Larva aktif dan lebih rakus. Kepala berwarna putih kehijauan cerah. Bercak merah tubuh bagian belakang mulai memudar dan berganti menjadi bercak coklat tua yang merata hampir di seluruh tubuh. Tubuh mulai ditutupi tepung putih. Pada larva instar V intensitas makan makin meningkat yang menyebabkan pertambahan yang sangat nyata pada ukuran tubuhnya. Panjang tubuh larva dapat mencapai 6.5 – 8 cm. Kepala lembut dan berwarna hijau muda. Scoli atau tonjolan pada dorsal segmen thorak menjadi tumpul. Tubuh ditutupi tepung putih. Menjelang ganti kulit larva instar V tidak aktif atau beristirahat di cabang atau tangkai daun selama kurang lebih 24 jam. Larva instar VI merupakan instar terakhir dari siklus larva, dimana larva tidak melakukan pergantian kulit lagi, akan tetapi mengeluarkan cairan mirip air liur untuk membentuk serat-serat kokon. Di akhir instar ini kerakusan makan larva agak berkurang dibanding instar sebelumnya. Ukuran tubuh 8 – 10 cm. Tubuh berwarna hijau tua hingga hijau bersemu hitam. Tepung putih mulai menghilang. Gerakan lamban dan posisi istirahat dengan mengangkat bagian tubuh depan, hanya tungkai bagian abdomen saja yang mencengkram ranting daun. Pupa Akhir dari stadium larva adalah terbentuknya pupa yang disebut pupasi. Bentuk pupa obtekta. Pada umumnya warna pupa kecoklatan dan licin. Pupa terlindung dalam suatu kokon (Gambar 5a). Kokon dibuat dari kelenjar sutera yang merupakan modifikasi kelenjar air liur (Triplehorn & Johnson 2005). a b Gambar 5 Pupa A. atlas dalam kokon (a) dan kokon A. atlas (b) (Indrawan 2007) 11 Kokon merupakan materi yang dihasilkan ulat sutera seperti B. mori, A. atlas dan C. trifenestrata. Kokon ini berfungsi membungkus tubuhnya (Gullan & Cranston 1995). Kokon terdiri dari kulit kokon dan pupa. Kulit kokon merupakan materi lapisan serat sutera yang terdiri dari serisin dan fibroin yang berfungsi sebagai pembungkus pupa. Mutu kokon baik tekstur serat maupun warnanya sangat berpengaruh terhadap mutu benang sutera yang akan dihasilkan (Gambar 5b). Kokon dari serat sutera dibentuk oleh cairan sutera yang dihasilkan oleh sepasang kelenjar sutera (silk gland). Kedua kelenjar sutera tersebut bergabung menjadi satu di dekat kepala dan menembus ke tabung luar yang disebut Spineret yang terletak di bagian bawah mulut. Bagian belakang dari kelenjar sutera menghasilkan protein yang disebut fibroin, sedangkan bagian tengahnya menghasilkan protein seperti lem yang disebut serisin. Pada jenis-jenis ulat sutera yang kokonnya berwarna, di bagian tengah ini pula biasanya zat warna dibentuk bersama-sama serisin (Samsijah & Andadari 1992). Komposisi kokon sutera secara umum terdiri atas dua protein yaitu 70-80% fibroin (C15H26N5O6) dan 20-30% serisin (C15H23N5O8). Fibroin merupakan inti dari tiap lembar serat, yaitu bagian dalam dari serat sutera yang tidak larut dalam air panas (Samsijah & Andadari 1992). Secara kimia serat sutera (fibroin) adalah polipeptida, dibangun dari empat asam amino utama, yaitu glycine (38-41%), alanin (3033%), serin (12-16%), dan tyrosin (11-12%) (Ghosh 2004). Serisin merupakan perekat yang menempelkan lembaran lembaran serat menjadi satu, yaitu zat yang menyusun lapisan luar dari serat sutera (Samsijah & Andadari 1992). Unsur kokon yang lainnya adalah materi lilin, karbohidrat, pigmen dan materi anorganik (Ghosh 2004). Klasifikasi mutu kokon pada sutera B. mori berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01 – 5009), bahwa kokon segar dapat dikelompokkan menjadi kokon normal dan kokon tidak normal (kokon cacat). Imago Ngengat A.atlas dikenal sebagai kupu gajah karena mempunyai ukuran tubuh yang besar. Ngengat ini sangat eksotik (indah) dengan warna dasar sayap coklat 12 kemerahan hingga orange (Kalshoven 1981). Perbedaan antara imago jantan dan betina dapat dilihat dari ukuran tubuh, bentangan sayap dan tipe antena. Tubuh imago jantan lebih kecil dari betina dengan warna lebih coklat kekuningan. Bentangan sayap imago jantan 15 – 22 cm, sedangan imago betina 16.5 – 24 cm (Situmorang 1996). Nassig et al. (1996) menyatakan bentuk antena jantan yaitu ”quadripectinate” dan betina adalah ”bipectinate” (Gambar 6). Ukuran antena jantan lebih besar daripada betina. Panjang antena jantan 20 mm dan lebar 9 mm, sedangkan pada betina, panjang dan lebar antena yaitu 20 mm dan 4 mm (Peigler 1989). Fungsi dari antena pada imago jantan antara lain untuk mendeteksi feromon yang dikeluarkan oleh imago betina sebagai isyarat kimia untuk melakukan kopulasi. Gambar 6 Antena A. atlas jantan dan betina (Mulyani 2008) Tubuh ngengat terbagi menjadi tiga bagian yaitu kepala, thoraks dan abdomen (Gullan & Cranston 1995). Bagian thoraknya terdiri dari segmen prothoraks, mesothorak, dan methatroraks. Pada bagian thoraks ini terdapat embelan tungkai yang berjumlah 3 pasang. Sayap berjumlah dua pasang yang terdapat pada mesothoraks dan metathoraks. Bagian abdomen terdiri dari delapan segmen pada jantan dan tujuh segmen pada betina. Imago tidak makan dan hanya hidup dalam waktu yang singkat yaitu 3 – 8 hari pada larva dengan pakan daun sirsak, dan 2 – 7 hari yang larvanya diberi pakan daun kaliki dan jarak pagar (Mulyani 2008). Energi pada imago berasal dari energi yang dikumpulkan sewaktu larva berupa lemak tubuh. Saluran pencernaan pada imago tereduksi (Common 1990). 13 Awan (2007) menyatakan bahwa imago yang baru keluar dari kokon biasanya masih basah oleh suatu cairan yang berwarna putih keruh dan sayapnya belum mengembang sempurna. Penyempurnaan sayap dilakukan dengan menggantung pada ranting atau dahan dimana abdomen mengarah ke bawah. Sayap yang telah mengembang sempurna beberapa jam kemudian akan segera mengeras dan cukup kuat untuk terbang. Pertumbuhan Larva pada Berbagai Kepadatan Populasi merupakan sekumpulan individu organisme dari spesies yang sama dan menempati area atau wilayah tertentu pada suatu waktu. Parameter paling fundamental suatu populasi adalah densitas. Densitas dalam ekologi hewan biasa disebut dengan kepadatan. Salah satu penyebab berubahnya kepadatan dalam suatu populasi adalah mortalitas (Leksono 2007). Menurut Katsumata (1964) luas tempat pemeliharaan larva sangat berhubungan dengan kepadatan populasi dari larva yang dipelihara. Semakin rapat larva yang dipelihara maka suhu dan kelembaban akan semakin meningkat pula. Meningkatnya suhu dan kelembaban dapat menyebabkan kematian larva. Selain itu kepadatan berhubungan dengan kompetisi dalam memanfaatkan makanan yang tersedia. Mulyani (2008) melaporkan pemeliharaan larva instar I – III dengan cawan petri berdiameter 11 cm dan tinggi 1.5 cm dengan kepadatan 2 ekor larva pada pakan daun sirsak, secara berturut-turut memperlihatkan pertambahan bobot 24, 111, 488 kali dari bobot awal. Sedangkan pemeliharaan larva instar IV – VI dengan toples gelas berdiameter 14.5 cm dengan tinggi 23 cm dengan kepadatan 2 ekor larva memberikan pertambahan bobot 1231, 2142 dan 6184 kali dari bobot awal. Faktor Lingkungan terhadap Pertumbuhan Larva a. Faktor abiotik Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh adalah temperatur, kelembaban, sirkulasi udara dan juga parasit dan parasitoid. A. atlas L. termasuk ngengat yang larvanya dapat hidup pada suhu 25°C dengan kelembaban 75 – 80 % (Common 1990). 14 Faktor lingkungan tersebut sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ulat sutera, karena hewan ini bersifat poikiloterm. Faktor suhu dan kelembaban ini sangat berpengaruh pada larva (Veda et al. 1997). Setelah menetas, larva muda memerlukan rangsangan spesifik, yang dideteksi oleh kemoreseptor-kemoreseptor di dalam antenne dan bagian mulutnya, sebelum larva mulai untuk makan. Sel yang peka terhadap rangsangan terdapat di palpus rahang dan antene yang berfungsi sebagai indera pencium, untuk mendeteksi senyawa kimia melalui udara (Common 1990). Attacus atlas memiliki kisaran suhu tertentu untuk dapat hidup. Pada ulat kecil B. mori mempunyai kisaran suhu 25 - 26°C, ulat besar 23 – 25 °C dan waktu mengokon memerlukan suhu 23-25 ºC (Samsijah & Kusumaputra 1978). Selain itu, faktor kelembaban sangat berpengaruh terhadap kehidupan Attacus atlas terutama stadia larva. Faktor kelembaban pada larva instar I – III berbeda dengan larva instar IV – VI. Faktor kelembaban ini sangat berpengaruh terhadap aktivitas makan dari larva. Menurut Samsijah & Kusumaputra (1978) kelembaban untuk ulat kecil pada B. mori ± 85 % dan untuk ulat besar 70 - 75 %, sedangkan waktu mengokon memerlukan kelembaban 60 75%. Mulyani (2008) melaporkan suhu dan kelembaban yang tidak sesuai dapat mengakibatkan stres pada larva, sehingga tidak mau makan, energi menjadi banyak keluar dan kecepatan respirasi akan bertambah. Pakan yang dicerna semakin sedikit sedangkan proses metabolisme meningkat dan pada akhirnya proses pertumbuhan dan perkembangan larva menjadi terganggu. Oksigen dibutuhkan tubuh untuk proses metabolisme berbagai zat makanan, seperti karbohidrat, protein, dan lemak. Hasil dari metabolisme ini berupa energi yang akan digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan ulat sutera selanjutnya. Oleh karena itu pengaturan sirkulasi udara dan kebersihan lingkungan pemeliharaan perlu diperhatikan. Lingkungan pemeliharaan yang kotor akan dihasilkan gas-gas hasil pembusukan, seperti karbondioksida dan amoniak yang berbahaya. 15 b. Faktor biotik Semua fase kehidupan A. atlas tidak luput dari serangan baik parasit maupun predator. Kalshoven (1981) & Peigler (1989) melaporkan parasit yang menyerang fase telur A. atlas adalah dari famili Chalcidoidea (Hymenoptera) yaitu Anastasus colemani, Agiommatus attaci, Tetrastichus dan Xanthopimpla sp. Parasit yang menyerang fase larva muda yaitu Apanteles (Braconidae). Telur Enicospilus plicatus dan E. americanus (Ichneumonidae) diletakkan pada larva inang. Exorista sorbillans (Tachinidae) dan Sarcophagidae (Diptera) mematikan pupa, satu kokon inang dapat berisi beberapa individu parasit. Kelompok predator yang sering menyerang larva A. atlas adalah belalang sembah, capung, lalat, burung, tikus, laba-laba, tawon, semut, cicak, dan kadal. Aktivitas parasit dan predator sangat mempengaruhi populasi dan kehidupan A. atlas. Kokon A. atlas banyak dimakan oleh tikus (Kalshoven 1981). Pada stadia imago predator A. atlas adalah burung dan mamalia. Namun demikian, ngengat A. atlas yang mempunyai ukuran tubuh besar dengan pola dan warna sayap yang bertindak sebagai bagian dari mekanisme pertahanan terhadap predator. Hal ini terlihat dari bentuk sayap depan ngengat yang menyerupai kepala ular. Ngengat yang terganggu akan bertingkah laku mengepakkan sayapnya ke bawah yang memberi kesan mirip kepala ular (Peigler 1989). Tanaman Pakan Alami Indonesia terletak di daerah tropis dengan keanekaragaman tanaman yang tinggi. Larva A. atlas bersifat poliphagus, yang memungkinkan dapat hidup di Indonesia. Pertumbuhan dan perkembangan ulat sutera membutuhkan daun yang mempunyai kualitas dan kuantitas gizi yang baik. Seperti makhluk hidup lainnya, larva A. atlas membutuhkan kandungan gizi berupa karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan air. Kandungan gizi karbohidrat, lemak dan protein memberikan energi bagi kehidupan larva A. atlas. Protein selain untuk pertumbuhan dan perkembangannya, juga digunakan untuk pembentukan serat sutera (Tazima 1978). Air juga mempunyai peranan penting bagi pertumbuhan dan perkembangan larva A. atlas. Ekastuti (1999) melaporkan pada larva 16 B. mori, pakan dengan kandungan air 70 % akan memberikan pertumbuhan yang baik sehingga menghasilkan kokon dengan kualitas baik. Alpukat (Persea americana) Tanaman alpukat merupakan tanaman buah berbentuk pohon. Nama lain sesuai dengan nama daerah yaitu alpuket (Jawa Barat), alpokat (Jawa Timur/Jawa Tengah), boah pokat, jamboo pokat (Batak), advokat, jamboo mentega, jamboo pooan, pookat (Lampung) dan lain-lain. Bagian tanaman alpukat yang banyak dimanfaatkan adalah buahnya sebagai makanan buah segar. Daging buah alpukat mengandung minyak alami sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar kosmetik, industri sabun dan bahan pelembab untuk kecantikan. Bagian lain yang dapat dimanfaatkan adalah daunnya yang muda sebagai obat tradisional (obat batu ginjal, rematik) (Ashari 1995). Tanaman alpukat berasal dari daerah sekitar Chiapas - Guatemala dan Honduras (Amerika Latin) dan diperkirakan masuk ke Indonesia pada abad ke-18. Tanaman ini termasuk Ordo Ranales, Famili Lauraceae dan Genus Persea. Pada umumnya tanaman alpukat dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi, yaitu 5-1500 m dpl. Hama yang menyerang tumbuhan ini selain larva kupu-kupu gajah (Attacus atlas L.), Aphis gossypii Glov, tungau merah (Tetranychus cinnabarinus Boisd), kutu dompolan putih (Pseudococcus citri Risso), dan juga ulat kipat (Cricula trisfenestrata Helf) (Whiley 2002) Ashari (1995) melaporkan alpukat merupakan tanaman tahunan, daunnya ada sepanjang tahun di daerah tropik. Batangnya dapat mencapai 20 m. Akar pancarnya dapat menembus tanah hingga kedalaman 3 – 4 m. Daun alpukat berkedudukan spiral melingkar. Bentuk batang alpukat bervariasi. Tanaman alpukat mempunyai panjang tangkai daun 1,5 – 5 cm. Bentuk lembaran daun alpukat elips hingga bulat telur atau lonjong, panjang daun antara 5 – 40 cm dan lebar daun antara 3 – 15 cm, warna daunnya merah saat masih muda kemudian berubah menjadi hijau. Permukaan daun sebelah atas berlapiskan lilin. Tanaman alpukat mempunyai bunga bergerombol, bersifat biseksual dan hermaprodit. Biji alpukat berkeping dua, embrionya terletak di ujung kotiledon. 17 Penyerbukan sendiri dapat terjadi apabila dalam satu pohon terdapat bunga jantan dan betina yang mekar bersamaan. Daun alpukat mengandung senyawa senyawa flavonoid, tanin katekat, kuinon, saponin, dan steroid/triterpenoid (Maryati 2007). Kayu Manis (Cinnamomum zeylanicum ) Tumbuhan ini di daerah Jawa Barat disebut Ki Amis, sedangkan di Jawa Tengah disebut Manis Jangan, dan di Madura disebut Kanyegar. Tanaman ini berupa pohon dan tingginya dapat mencapai 15 m. Batang kayu manis dapat mencapai diameter 30 cm. Kulit pohon berwarna abu-abu tua, berbau khas dan kayunya berwarna merah coklat muda. Bentuk daun kayu manis tunggal dan kaku seperti kulit. Panjang tangkai daun kayu manis antara 0,5 – 1,5 cm. Daun kayu manis mempunyai 3 buah tulang daun. Warna daun muda merah, memucat dan setelah tua berwarna hijau. Bunga kayu manis berbentuk malai yang tumbuh di ketiak daun dan berwarna kuning. Bentuk buah kayu manis termasuk buah buni. Buah muda berwarna hijau dan setelah tua berwarna hitam. Akar tumbuhan berupa akar tunggang (Steenis 1997). Habitat tumbuhan ini baik pada ketinggian 0 – 2.000 m dpl tetapi paling baik pada 500 – 1.500 m dpl. Tanaman kayu manis menyukai tanah gembur dengan drainase yang baik dan banyak humus. Curah hujan yang dikehendaki antara 2.000 – 2.500 mm/tahun dan terbagi merata dalam setahun serta memerlukan kelembaban yang cukup tinggi (http://www.atsiri-indonesia.com/tanaman.php). Tumbuhan ini bagian kulit batang, daun, dan akarnya bisa dimanfaatkan sebagai obat-obatan yang berkhasiat sebagai peluruh kentut (carminative), peluruh keringat (diaphoretic), antirematik, meningkatkan napsu makan (istomachica), dan menghilangkan sakit (analgesik). Kandungan kimia yang terdapat dalam kayu manis adalah minyak atsiri, eugenol, safrole, sinamaldehide, tanin, kalsium oksalat, damar, dan zat penyamak. Sifat kimia dari kayu manis adalah pedas, sedikit manis, hangat, dan wangi. 18 Sirsak (Annona muricata) Tanaman sirsak termasuk ke dalam famili Annonaceae. Tanaman ini tumbuh tegak. Tanaman sirsak berbentuk pohon yang dapat mencapai 8 - 10 m. Tanaman sirsak mempunyai batang berkayu, bulat dan bercabang. Daun sirsak termasuk daun tunggal. Bentuk daun sirsak bulat telur atau lanset dengan ujung runcing dan tepi rata. Panjang daun antara 6 – 18 cm dan lebar daun antara 2 - 6 cm. Warna daun sirsak hijau kekuningan. Tanaman sirsak mempunyai bunga tunggal terletak pada batang dan ranting. Buah sirsak termasuk majemuk, buah sedikit bergerigi berbentuk bulat telur dan berwarna hijau. Biji bulat telur, keras dan berwana hitam. Tanaman sirsak berakar tunggang. Habitat tumbuhan ini terdapat di daerah tropika dan sub tropika. Tumbuhan ini mempunyai kandungan bahan aktif berupa alkaloid, minyak atsiri dan senyawa aromatik, karbohidrat, lemak, asam amino, polifenol. Bijinya mengandung minyak antara 42 – 45%. Bagian Tanaman yang dimanfaatkan buah, biji, kulit, dan daun. Menurut Ashari (1995) tanaman sirsak berasal dari daerah tropik, yaitu daerah yang terletak diantara Ekuador dan Peru. Tumbuhan ini mempunyai bau daun yang spesifik. Tanaman ini menyenangi jenis tanah berpasir atau lempung berpasir. Tanah liat dan drainase yang kurang baik menyebabkan kerontokan bunga dan buah. Tanaman Annona menyukai iklim lembab dengan suhu panas. sampai 1000 m di atas permukaan laut. Ketinggian tempat yang baik Kelembaban udara kurang dari 70 % menyebabkan kerontokan bunga dan pengeringan kepala putik. Buah sirsak kaya akan vitamin B dan C.