Pertumbuhan Larva dan Produktivitas Kokon

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi A.atlas
Ngengat A. atlas mempunyai ukuran tubuh yang besar dan merupakan hewan asli
Indonesia.
Imago aktif di malam hari (nokturnal).
bersifat polivoltin.
Tubuh ditutupi oleh sisik dan
Pupa dari serangga ini terlindung oleh kokon (Peigler 1989).
Kedudukan taksonomi A. atlas adalah: Kingdom: Animalia, Filum: Arthopoda, Sub
filum: Atelocerata, Kelas: Insecta, Ordo: Lepidoptera, Sub ordo: Ditrysia, Super famili:
Bombycoidea, Famili: Saturniidae, Sub famili: Saturniinae, Genus: Attacus (Linnaeus),
spesies: A. atlas (Linnaeus) (Triplehorn & Johnson 2005).
Siklus Hidup A. atlas
A. atlas termasuk serangga holometabola yang perkembangannya mengalami
metamorfosis sempurna (Gambar 3). Siklus hidupnya dimulai dari telur, yang menetas
menjadi larva. Larva berubah menjadi pupa dan kemudian menjadi imago (ngengat)
(Gullan & Cranston 2000). Mulyani (2008) melaporkan siklus hidup A. atlas pada daun
sirsak adalah larva membutuhkan
30 - 42 hari (rata-rata 36.60 ±3.83), pupa
membutuhkan 24 – 51 hari (rata-rata 29.25 ± 7.070) dan imago memerlukan 3 – 8 hari
(rata-rata 5.00 ± 1.257). Waktu yang dibutuhkan untuk satu siklus adalah 60 - 89 hari
(rata-rata 70.85 ±7.457). Situmorang (1996) melaporkan periode larva pada daun keben
yang dipelihara di laboratorium memerlukan waktu berkisar antara 25-38 hari (rata-rata
28.2 ±1.5) hari untuk betina dan 24-35 hari (rata-rata 27.0 ±1.7) hari untuk jantan.
Periode pupa berlangsung sekitar 8-58 hari.
7
Telur
Instar 1
Imago
Instar 2
Pupa
Instar 3
Instar 6
Instar 4
Instar 5
Gambar 3 Siklus hidup A. atlas (www.wormspit.com/Atlas)
8
Morfologi A. atlas
Telur
Telur A. atlas berbentuk bulat pipih, dengan ukuran lebar 2.3 mm, panjang 2.7 mm
dan tebal yaitu 2.1 mm. Warna telur putih kekuningan hingga kuning muda (Peigler
1989). Telur yang dihasilkan dari imago dengan pakan daun keben sekitar 108 – 386
butir. Telur diletakkan berkelompok di sisi bawah permukaan daun yang masih muda
(Situmorang 1996). Periode telur yang dipelihara di laboratorium dengan pakan daun
sirsak adalah 6 – 10 hari. Peletakan telur oleh induk betina memerlukan waktu selama 2
– 6 hari setelah kawin (Mulyani 2008).
Telur dihasilkan dari imago betina yang telah kawin maupun yang tidak kawin.
Telur yang dihasilkan dari imago betina yang kawin adalah telur fertil yang dapat
menetas menjadi larva, sedangkan telur yang dihasilkan dari imago betina yang tidak
kawin adalah telur steril yang tidak menetas. Telur yang dihasilkan ini diselimuti oleh
cairan (gum) berwarna kemerahan hingga coklat yang berfungsi untuk melekatkan telur
pada daun atau ranting tanaman inang (Awan 2007).
Larva
Telur menetas menjadi larva. Bentuk larva A. atlas erusiform dengan satu kepala
yang berkembang baik dan tubuh yang selindris. Tubuhnya terdiri dari 13 ruas yang
terdiri dari 3 ruas di bagian thorak dan 10 ruas di bagian abdomen (Triplehorn &
Johnson 2005). Larva A. atlas dilengkapi ”skoli” yang mirip duri-duri sebagai tonjolan
dari otot dan ”tuberkel” yaitu tonjolan kutikula yang membentuk seta/rambut. Pada
abdomen segmen ke 3 – 6 dan segmen ke 10 terdapat proleg (kaki palsu) yang
dilengkapi kait (Gambar 4). Tubuh larva ditutup atau dilindungi oleh kutikula, yang
dibentuk dari epidermis. Kutikula mengalami pengerasan. Oleh sebab itu kutikula
tersebut perlu ditanggalkan secara periodik untuk mengikuti pertumbuhan larva (Gullan
& Cranston 1995).
9
punggung
dada
Tonjolon tubuh
kepala
kaki palsu perut
kaki
kaki palsu belakang
Gambar 4 Morfologi larva A. atlas (Peigler 1989)
Larva A. atlas terdiri dari enam instar. Instar adalah tahap perkembangan serangga
pradewasa antara dua ekdisis yang berurutan (Gullan & Cranston 1995). Menurut Zebua
et al. (1997) ciri-ciri tiap instar A. atlas sebagai berikut: larva instar I, panjang tubuh
rata-rata 0.5 cm, kepala berwarna coklat kehitaman, tubuh berwarna kuning coklat.
Pada fase ini larva dominan terdapat di sisi bawah daun. Menurut Dammerman (1929)
larva instar I ini mempunyai banyak seta di permukaan tubuhnya dengan kepala
berwarna hitam.
Larva instar II ditandai dengan terjadinya molting pertama yang mengakibatkan
mengelupasnya kulit luar dan juga pelindung kepala yang menyerupai helm. Larva pada
instar ini mempunyai ukuran tubuh 1 – 1.5 cm. Warna bagian kepala coklat agak terang.
Pada bagian belakang abdomen terdapat bercak merah yang sangat kontras dengan
warna dasar tubuh .
Pada larva instar III ukuran tubuhnya terlihat jelas perbedaannya. Panjang tubuh
rata-rata 2 – 2.5 cm. Warna bagian kepala masih tetap berwarna coklat agak terang.
Bercak merah tubuh bagian belakang masih terlihat jelas. Pada saat menjelang molting,
ulat menghentikan keaktifannya dengan posisi istirahat (bentuk C atau J) pada tempat
tertentu antara 15 – 25 menit. Hal ini terjadi juga pada instar I – IV. Kulit tubuh
(eksuviae) kadangkala dimakan tanpa sisa.
10
Larva instar IV mempunyai tubuh berukuran 2.5 – 3 cm lebih. Larva aktif dan
lebih rakus.
Kepala berwarna putih kehijauan cerah. Bercak merah tubuh bagian
belakang mulai memudar dan berganti menjadi bercak coklat tua yang merata hampir di
seluruh tubuh. Tubuh mulai ditutupi tepung putih.
Pada larva instar V intensitas makan makin meningkat yang menyebabkan
pertambahan yang sangat nyata pada ukuran tubuhnya. Panjang tubuh larva dapat
mencapai 6.5 – 8 cm. Kepala lembut dan berwarna hijau muda. Scoli atau tonjolan
pada dorsal segmen thorak menjadi tumpul. Tubuh ditutupi tepung putih. Menjelang
ganti kulit larva instar V tidak aktif atau beristirahat di cabang atau tangkai daun selama
kurang lebih 24 jam.
Larva instar VI merupakan instar terakhir dari siklus larva, dimana larva tidak
melakukan pergantian kulit lagi, akan tetapi mengeluarkan cairan mirip air liur untuk
membentuk serat-serat kokon. Di akhir instar ini kerakusan makan larva agak berkurang
dibanding instar sebelumnya. Ukuran tubuh 8 – 10 cm. Tubuh berwarna hijau tua
hingga hijau bersemu hitam. Tepung putih mulai menghilang. Gerakan lamban dan
posisi istirahat dengan mengangkat bagian tubuh depan, hanya tungkai bagian abdomen
saja yang mencengkram ranting daun.
Pupa
Akhir dari stadium larva adalah terbentuknya pupa yang disebut pupasi. Bentuk
pupa obtekta. Pada umumnya warna pupa kecoklatan dan licin. Pupa terlindung dalam
suatu kokon (Gambar 5a).
Kokon dibuat dari kelenjar sutera yang merupakan
modifikasi kelenjar air liur (Triplehorn & Johnson 2005).
a
b
Gambar 5 Pupa A. atlas dalam kokon (a) dan kokon A. atlas (b) (Indrawan 2007)
11
Kokon merupakan materi yang dihasilkan ulat sutera seperti B. mori, A. atlas dan
C.
trifenestrata. Kokon ini berfungsi membungkus tubuhnya (Gullan & Cranston
1995). Kokon terdiri dari kulit kokon dan pupa. Kulit kokon merupakan materi lapisan
serat sutera yang terdiri dari serisin dan fibroin yang berfungsi sebagai pembungkus
pupa. Mutu kokon baik tekstur serat maupun warnanya sangat berpengaruh terhadap
mutu benang sutera yang akan dihasilkan (Gambar 5b).
Kokon dari serat sutera dibentuk oleh cairan sutera yang dihasilkan oleh sepasang
kelenjar sutera (silk gland). Kedua kelenjar sutera tersebut bergabung menjadi satu di
dekat kepala dan menembus ke tabung luar yang disebut Spineret yang terletak di bagian
bawah mulut. Bagian belakang dari kelenjar sutera menghasilkan protein yang disebut
fibroin, sedangkan bagian tengahnya menghasilkan protein seperti lem yang disebut
serisin. Pada jenis-jenis ulat sutera yang kokonnya berwarna, di bagian tengah ini pula
biasanya zat warna dibentuk bersama-sama serisin (Samsijah & Andadari 1992).
Komposisi kokon sutera secara umum terdiri atas dua protein yaitu 70-80%
fibroin (C15H26N5O6) dan 20-30% serisin (C15H23N5O8). Fibroin merupakan inti
dari tiap lembar serat, yaitu bagian dalam dari serat sutera yang tidak larut dalam air
panas (Samsijah & Andadari 1992). Secara kimia serat sutera (fibroin) adalah
polipeptida, dibangun dari empat asam amino utama, yaitu glycine (38-41%), alanin (3033%), serin (12-16%), dan tyrosin (11-12%) (Ghosh 2004). Serisin merupakan perekat
yang menempelkan lembaran lembaran serat menjadi satu, yaitu zat yang menyusun
lapisan luar dari serat sutera (Samsijah & Andadari 1992). Unsur kokon yang lainnya
adalah materi lilin, karbohidrat, pigmen dan materi anorganik (Ghosh 2004). Klasifikasi
mutu kokon pada sutera B. mori berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01 –
5009), bahwa kokon segar dapat dikelompokkan menjadi kokon normal dan kokon tidak
normal (kokon cacat).
Imago
Ngengat A.atlas dikenal sebagai kupu gajah karena mempunyai ukuran tubuh
yang besar.
Ngengat ini sangat eksotik (indah) dengan warna dasar sayap coklat
12
kemerahan hingga orange (Kalshoven 1981). Perbedaan antara imago jantan dan betina
dapat dilihat dari ukuran tubuh, bentangan sayap dan tipe antena.
Tubuh imago jantan lebih kecil dari betina dengan warna lebih coklat kekuningan.
Bentangan sayap imago jantan 15 – 22 cm, sedangan imago betina 16.5 – 24 cm
(Situmorang 1996).
Nassig et al. (1996) menyatakan
bentuk antena jantan yaitu
”quadripectinate” dan betina adalah ”bipectinate” (Gambar 6). Ukuran antena jantan
lebih besar daripada betina. Panjang antena jantan 20 mm dan lebar 9 mm, sedangkan
pada betina, panjang dan lebar antena yaitu 20 mm dan 4 mm (Peigler 1989). Fungsi
dari antena pada imago jantan antara lain untuk mendeteksi feromon yang dikeluarkan
oleh imago betina sebagai isyarat kimia untuk melakukan kopulasi.
Gambar 6 Antena A. atlas jantan dan betina (Mulyani 2008)
Tubuh ngengat terbagi menjadi tiga bagian yaitu kepala, thoraks dan abdomen
(Gullan & Cranston 1995). Bagian thoraknya terdiri dari segmen prothoraks,
mesothorak, dan methatroraks. Pada bagian thoraks ini terdapat embelan tungkai yang
berjumlah 3 pasang. Sayap berjumlah dua pasang yang terdapat pada mesothoraks dan
metathoraks.
Bagian abdomen terdiri dari delapan segmen pada jantan dan tujuh
segmen pada betina. Imago tidak makan dan hanya hidup dalam waktu yang singkat
yaitu 3 – 8 hari pada larva dengan pakan daun sirsak, dan 2 – 7 hari yang larvanya
diberi pakan daun kaliki dan jarak pagar (Mulyani 2008). Energi pada imago berasal
dari energi yang dikumpulkan sewaktu larva berupa lemak tubuh. Saluran pencernaan
pada imago tereduksi (Common 1990).
13
Awan (2007) menyatakan bahwa imago yang baru keluar dari kokon biasanya
masih basah oleh suatu cairan yang berwarna putih keruh dan sayapnya belum
mengembang sempurna. Penyempurnaan sayap dilakukan dengan menggantung pada
ranting atau dahan dimana abdomen mengarah ke bawah.
Sayap yang telah
mengembang sempurna beberapa jam kemudian akan segera mengeras dan cukup kuat
untuk terbang.
Pertumbuhan Larva pada Berbagai Kepadatan
Populasi merupakan sekumpulan individu organisme dari spesies yang sama dan
menempati area atau wilayah tertentu pada suatu waktu. Parameter paling fundamental
suatu populasi adalah densitas. Densitas dalam ekologi hewan biasa disebut dengan
kepadatan. Salah satu penyebab berubahnya kepadatan dalam suatu populasi adalah
mortalitas (Leksono 2007). Menurut Katsumata (1964) luas tempat pemeliharaan larva
sangat berhubungan dengan kepadatan populasi dari larva yang dipelihara. Semakin
rapat larva yang dipelihara maka suhu dan kelembaban akan semakin meningkat pula.
Meningkatnya suhu dan kelembaban dapat menyebabkan kematian larva. Selain itu
kepadatan berhubungan dengan kompetisi dalam memanfaatkan makanan yang tersedia.
Mulyani (2008) melaporkan pemeliharaan larva instar I – III dengan cawan petri
berdiameter 11 cm dan tinggi 1.5 cm dengan kepadatan 2 ekor larva pada pakan daun
sirsak, secara berturut-turut memperlihatkan pertambahan bobot 24, 111, 488 kali dari
bobot awal.
Sedangkan pemeliharaan larva instar IV – VI dengan toples gelas
berdiameter 14.5 cm dengan tinggi 23 cm dengan kepadatan 2 ekor larva memberikan
pertambahan bobot 1231, 2142 dan 6184 kali dari bobot awal.
Faktor Lingkungan terhadap Pertumbuhan Larva
a. Faktor abiotik
Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh adalah temperatur, kelembaban,
sirkulasi udara dan juga parasit dan parasitoid. A. atlas L. termasuk ngengat yang
larvanya dapat hidup pada suhu 25°C dengan kelembaban 75 – 80 % (Common 1990).
14
Faktor lingkungan tersebut sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ulat sutera, karena
hewan ini bersifat poikiloterm. Faktor suhu dan kelembaban ini sangat berpengaruh
pada larva (Veda et al. 1997). Setelah menetas, larva muda memerlukan rangsangan
spesifik, yang dideteksi oleh kemoreseptor-kemoreseptor di dalam antenne dan bagian
mulutnya, sebelum larva mulai untuk makan.
Sel yang peka terhadap rangsangan
terdapat di palpus rahang dan antene yang berfungsi sebagai indera pencium, untuk
mendeteksi senyawa kimia melalui udara (Common 1990).
Attacus atlas memiliki kisaran suhu tertentu untuk dapat hidup. Pada ulat kecil B.
mori mempunyai kisaran suhu 25 - 26°C, ulat besar 23 – 25 °C dan waktu mengokon
memerlukan suhu 23-25 ºC (Samsijah & Kusumaputra 1978).
Selain itu, faktor
kelembaban sangat berpengaruh terhadap kehidupan Attacus atlas terutama stadia larva.
Faktor kelembaban pada larva instar I – III berbeda dengan larva instar IV – VI. Faktor
kelembaban ini sangat berpengaruh terhadap aktivitas makan dari larva.
Menurut
Samsijah & Kusumaputra (1978) kelembaban untuk ulat kecil pada B. mori ± 85 % dan
untuk ulat besar 70 - 75 %, sedangkan waktu mengokon memerlukan kelembaban 60 75%.
Mulyani (2008) melaporkan suhu dan kelembaban yang tidak sesuai dapat
mengakibatkan stres pada larva, sehingga tidak mau makan, energi menjadi banyak
keluar dan kecepatan respirasi akan bertambah. Pakan yang dicerna semakin sedikit
sedangkan proses metabolisme meningkat dan pada akhirnya proses pertumbuhan dan
perkembangan larva menjadi terganggu.
Oksigen dibutuhkan tubuh untuk proses metabolisme berbagai zat makanan,
seperti karbohidrat, protein, dan lemak. Hasil dari metabolisme ini berupa energi yang
akan digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan ulat sutera selanjutnya. Oleh
karena itu pengaturan sirkulasi udara dan kebersihan lingkungan pemeliharaan perlu
diperhatikan.
Lingkungan pemeliharaan yang kotor akan dihasilkan gas-gas hasil
pembusukan, seperti karbondioksida dan amoniak yang berbahaya.
15
b. Faktor biotik
Semua fase kehidupan A. atlas tidak luput dari serangan baik parasit maupun
predator. Kalshoven (1981) & Peigler (1989) melaporkan parasit yang menyerang fase
telur A. atlas adalah dari famili Chalcidoidea (Hymenoptera) yaitu Anastasus colemani,
Agiommatus attaci, Tetrastichus dan Xanthopimpla sp. Parasit yang menyerang fase
larva muda yaitu Apanteles (Braconidae). Telur Enicospilus plicatus dan E. americanus
(Ichneumonidae) diletakkan pada larva inang. Exorista sorbillans (Tachinidae) dan
Sarcophagidae (Diptera) mematikan pupa, satu kokon inang dapat berisi beberapa
individu parasit.
Kelompok predator yang sering menyerang larva A. atlas adalah
belalang sembah, capung, lalat, burung, tikus, laba-laba, tawon, semut, cicak, dan kadal.
Aktivitas parasit dan predator sangat mempengaruhi populasi dan kehidupan A. atlas.
Kokon A. atlas banyak dimakan oleh tikus (Kalshoven 1981).
Pada stadia imago predator A. atlas adalah burung dan mamalia. Namun demikian,
ngengat A. atlas yang mempunyai ukuran tubuh besar dengan pola dan warna sayap
yang bertindak sebagai bagian dari mekanisme pertahanan terhadap predator. Hal ini
terlihat dari bentuk sayap depan ngengat yang menyerupai kepala ular. Ngengat yang
terganggu akan bertingkah laku mengepakkan sayapnya ke bawah yang memberi kesan
mirip kepala ular (Peigler 1989).
Tanaman Pakan Alami
Indonesia terletak di daerah tropis dengan keanekaragaman tanaman yang tinggi.
Larva A. atlas bersifat poliphagus, yang memungkinkan dapat hidup di Indonesia.
Pertumbuhan dan perkembangan ulat sutera membutuhkan daun yang mempunyai
kualitas dan kuantitas gizi yang baik. Seperti makhluk hidup lainnya, larva A. atlas
membutuhkan kandungan gizi berupa karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan air.
Kandungan gizi karbohidrat, lemak dan protein memberikan energi bagi kehidupan larva
A. atlas. Protein selain untuk pertumbuhan dan perkembangannya, juga digunakan untuk
pembentukan serat sutera (Tazima 1978). Air juga mempunyai peranan penting bagi
pertumbuhan dan perkembangan larva A. atlas. Ekastuti (1999) melaporkan pada larva
16
B. mori, pakan dengan kandungan air 70 % akan memberikan pertumbuhan yang baik
sehingga menghasilkan kokon dengan kualitas baik.
Alpukat (Persea americana)
Tanaman alpukat merupakan tanaman buah berbentuk pohon. Nama lain sesuai
dengan nama daerah yaitu alpuket (Jawa Barat), alpokat (Jawa Timur/Jawa Tengah),
boah pokat, jamboo pokat (Batak), advokat, jamboo mentega, jamboo pooan, pookat
(Lampung) dan lain-lain. Bagian tanaman alpukat yang banyak dimanfaatkan adalah
buahnya sebagai makanan buah segar. Daging buah alpukat mengandung minyak alami
sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar kosmetik, industri sabun dan bahan
pelembab untuk kecantikan. Bagian lain yang dapat dimanfaatkan adalah daunnya yang
muda sebagai obat tradisional (obat batu ginjal, rematik) (Ashari 1995).
Tanaman alpukat berasal dari daerah sekitar Chiapas - Guatemala dan Honduras
(Amerika Latin) dan diperkirakan masuk ke Indonesia pada abad ke-18. Tanaman ini
termasuk Ordo Ranales, Famili Lauraceae dan Genus Persea. Pada umumnya tanaman
alpukat dapat tumbuh di dataran rendah sampai dataran tinggi, yaitu 5-1500 m dpl.
Hama yang menyerang tumbuhan ini selain larva kupu-kupu gajah (Attacus atlas L.),
Aphis gossypii Glov, tungau merah (Tetranychus cinnabarinus Boisd), kutu dompolan
putih (Pseudococcus citri Risso), dan juga ulat kipat (Cricula trisfenestrata Helf)
(Whiley 2002)
Ashari (1995) melaporkan alpukat merupakan tanaman tahunan, daunnya ada
sepanjang tahun di daerah tropik. Batangnya dapat mencapai 20 m. Akar pancarnya
dapat menembus tanah hingga kedalaman 3 – 4 m. Daun alpukat berkedudukan spiral
melingkar. Bentuk batang alpukat bervariasi.
Tanaman alpukat mempunyai panjang
tangkai daun 1,5 – 5 cm. Bentuk lembaran daun alpukat elips hingga bulat telur atau
lonjong, panjang daun antara 5 – 40 cm dan lebar daun antara 3 – 15 cm, warna daunnya
merah saat masih muda kemudian berubah menjadi hijau. Permukaan daun sebelah atas
berlapiskan lilin. Tanaman alpukat mempunyai bunga bergerombol, bersifat biseksual
dan hermaprodit. Biji alpukat berkeping dua, embrionya terletak di ujung kotiledon.
17
Penyerbukan sendiri dapat terjadi apabila dalam satu pohon terdapat bunga jantan dan
betina yang mekar bersamaan. Daun alpukat mengandung senyawa senyawa flavonoid,
tanin katekat, kuinon, saponin, dan steroid/triterpenoid (Maryati 2007).
Kayu Manis (Cinnamomum zeylanicum )
Tumbuhan ini di daerah Jawa Barat disebut Ki Amis, sedangkan di Jawa Tengah
disebut Manis Jangan, dan di Madura disebut Kanyegar. Tanaman ini berupa pohon
dan tingginya dapat mencapai 15 m. Batang kayu manis dapat mencapai diameter 30
cm. Kulit pohon berwarna abu-abu tua, berbau khas dan kayunya berwarna merah
coklat muda. Bentuk daun kayu manis tunggal dan kaku seperti kulit. Panjang tangkai
daun kayu manis antara 0,5 – 1,5 cm. Daun kayu manis mempunyai 3 buah tulang daun.
Warna daun muda merah, memucat dan setelah tua berwarna hijau. Bunga kayu manis
berbentuk malai yang tumbuh di ketiak daun dan berwarna kuning. Bentuk buah kayu
manis termasuk buah buni. Buah muda berwarna hijau dan setelah tua berwarna hitam.
Akar tumbuhan berupa akar tunggang (Steenis 1997).
Habitat tumbuhan ini baik pada ketinggian 0 – 2.000 m dpl tetapi paling baik
pada 500 – 1.500 m dpl. Tanaman kayu manis menyukai tanah gembur dengan drainase
yang baik dan banyak humus. Curah hujan yang dikehendaki antara 2.000 – 2.500
mm/tahun dan terbagi merata dalam setahun serta memerlukan kelembaban yang cukup
tinggi (http://www.atsiri-indonesia.com/tanaman.php).
Tumbuhan ini bagian kulit batang, daun, dan akarnya bisa dimanfaatkan sebagai
obat-obatan yang berkhasiat sebagai peluruh kentut (carminative), peluruh keringat
(diaphoretic),
antirematik,
meningkatkan
napsu
makan
(istomachica),
dan
menghilangkan sakit (analgesik). Kandungan kimia yang terdapat dalam kayu manis
adalah minyak atsiri, eugenol, safrole, sinamaldehide, tanin, kalsium oksalat, damar, dan
zat penyamak. Sifat kimia dari kayu manis adalah pedas, sedikit manis, hangat, dan
wangi.
18
Sirsak (Annona muricata)
Tanaman sirsak termasuk ke dalam famili Annonaceae. Tanaman ini tumbuh
tegak. Tanaman sirsak berbentuk pohon yang dapat mencapai 8 - 10 m. Tanaman sirsak
mempunyai batang berkayu, bulat dan bercabang. Daun sirsak termasuk daun tunggal.
Bentuk daun sirsak bulat telur atau lanset dengan ujung runcing dan tepi rata. Panjang
daun antara 6 – 18 cm dan lebar daun antara 2 - 6 cm. Warna daun sirsak hijau
kekuningan.
Tanaman sirsak mempunyai bunga tunggal terletak pada batang dan
ranting. Buah sirsak termasuk majemuk, buah sedikit bergerigi berbentuk bulat telur
dan berwarna hijau. Biji bulat telur, keras dan berwana hitam. Tanaman sirsak berakar
tunggang. Habitat tumbuhan ini terdapat di daerah tropika dan sub tropika. Tumbuhan
ini mempunyai kandungan bahan aktif berupa alkaloid, minyak atsiri dan senyawa
aromatik, karbohidrat, lemak, asam amino, polifenol.
Bijinya mengandung minyak
antara 42 – 45%. Bagian Tanaman yang dimanfaatkan buah, biji, kulit, dan daun.
Menurut Ashari (1995) tanaman sirsak berasal dari daerah tropik, yaitu daerah
yang terletak diantara Ekuador dan Peru. Tumbuhan ini mempunyai bau daun yang
spesifik. Tanaman ini menyenangi jenis tanah berpasir atau lempung berpasir. Tanah
liat dan drainase yang kurang baik menyebabkan kerontokan bunga dan buah. Tanaman
Annona menyukai iklim lembab dengan suhu panas.
sampai 1000 m di atas permukaan laut.
Ketinggian tempat yang baik
Kelembaban udara kurang dari 70 %
menyebabkan kerontokan bunga dan pengeringan kepala putik. Buah sirsak kaya akan
vitamin B dan C.
Download