BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang Survei batimetri merupakan proses untuk mendapatkan data kedalaman dan kondisi topografi dasar laut, termasuk lokasi obyek-obyek yang mungkin membahayakan. Pembuatan peta batimetri ada tiga tahap, yaitu tahap pengumpulan data, pengolahan data dan penyajian data (Rismanto,2011). Untuk memperoleh peta batimetri yang akurat di perairan, diperlukan pengamatan pasut dan survei batimetri yang sesuai spesifikasi pekerjaan. Hal tersebut dilakukan agar kedalaman yang terdapat dalam peta batimetri terdefinisi dengan baik terhadap MSL atau bidang referensi. Pemetaan batimetri merupakan kebutuhan dasar dalam penyediaan informasi spasial dalam perencanaan, kegiatan dan pengambilan keputusan terkait informasi di bidang kelautan (Soeprapto,2001). Peta batimetri dalam aplikasinya memiliki banyak manfaat dalam bidang pekerjaan rekayasa, antara lain penentuan jalur pelayaran yang aman, perencanaan bangunan pinggir pantai, pendeteksian adanya potensi bencana tsunami di suatu wilayah, dan pertambangan minyak lepas pantai. Selain itu, peta batimetri diperlukan untuk mengetahui kondisi morfologi suatu daerah perairan. Peta batimetri harus selalu diperbaruhi sesuai dengan perubahan dan perkembangan kondisi perairan tersebut, hal ini dikarenakan kondisi laut yang sangat dinamis. Salah satu metode yang diterapkan pada pengukuran batimetri yaitu dengan menggunakan teknologi akustik dasar laut. Akustik dasar laut mempunyai keterkaitan antara lain dalam proses perambatan suara pada medium air yang mampu memberikan informasi dasar perairan, komunikasi dan penentuan posisi di perairan. Salah satu teknologi akustik dalam pemetaan batimetri yaitu dengan menggunakan echosounder, dalam kegiatan aplikatif ini pengukuran kedalaman menggunakan alat multibeam echosounder. Alat ini memiliki kelebihan dalam hal pengukuran 1 2 kedalaman pada daerah yang luas dan juga memiliki nilai kedalaman yang tinggi. Dengan alat multibeam echosounder ini, cakupan area yang harus 100% terukur dapat dijangkau karena memiliki nilai jarak kedalaman yang rapat, tidak seperti singlebeam yang harus mengambil sampling jarak tertentu dalam pemerumannya. Hal ini biasanya diperlukan dalam kegiatan rekayasa atau engineering, seperti pemasangan pipa dasar laut, peletakan kabel bawah air, deteksi kapal karam, deteksi pesawat karam dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan rekayasa yang sebagaimana telah disebutkan tersebut harus dilakukan mengikuti standarisasi IHO SP-44 tahun 2008 Orde Spesial. Proses pengolahan data multibeam echosounder beserta koreksi-koreksinya sangat berpengaruh penting pada keakuratan dan ketelitian data hasil pemrosesan. Hal ini disebabkan oleh adanya dinamika laut dan pergerakan kapal yang terjadi pada saat pengukuran. Beberapa data yang harus dikoreksikan diantaranya data pengamatan pasut, data pengukuran Sound Velocity Profile (SVP) dan data pergerakan kapal. Data-data tersebut harus diukur dan diolah dengan baik agar mendapatkan kualitas yang diharapkan. Proses pengolahan data multibeam echosounder beserta koreksinya pada setiap perangkat lunak memiliki prosedur, kemampuan dan keterbatasan masingmasing. Untuk mengetahui kemampuan perangkat lunak tersebut perlu dilakukan studi. Caris Hips and Sips merupakan perangkat lunak bawaan alat yang digunakan dalam pengolahan data hasil pengukuran batimetri ini. Dalam kegiatan aplikatif ini, diharapkan penggunaan perangkat lunak Caris Hips and Sips dapat menyelesaikan pengolahan data hasil pengukuran dengan nilai ketelitian yang baik dan dapat menyajikan informasi dasar laut dengan nilai kedalaman akurat yang kualitasnya baik, mengacu pada ketentuan IHO SP-44 Orde Spesial tahun 2008. I. 2 Lingkup Kegiatan Lingkup kegiatan pada pekerjaan aplikatif ini meliputi hal-hal sebagai berikut: 3 1. Pada kegiatan ini, data pengukuran batimetri dengan alat multibeam echosounder Seabat Reson T20P. 2. Pengukuran dilakukan di sebagian perairan Selat Sunda dilakukan oleh Dishidros TNI-AL, yang diukur pada 13 Desember 2013. 3. Pengolahan data hasil pengukuran batimetri dengan menggunakan perangkat lunak Caris Hips and Sips versi 6.1. 4. Referensi ketinggian yang digunakan adalah muka surutan terendah selama pengamatan pasut yang dilakukan 4 hari. 5. Kontrol dan uji kualitas data yang dipakai mengikuti aturan IHO SP-44 Orde Spesial tahun 2008. 6. Hasil dari pekerjaan ini berupa peta batimetri sebagian dasar perairan Selat Sunda. I. 3 Tujuan Kegiatan aplikatif yang dikerjakan ini bertujuan untuk mengolah dan menyajikan data hasil pengukuran multibeam echosounder menggunakan perangkat lunak Caris Hips and Sips untuk pemetaan batimetri. I. 4 Manfaat Manfaat dari kegiatan aplikatif ini adalah agar dapat diketahui tahap pengolahan dan cara pemrosesan data hasil pengukuran multibeam echosounder, yang menghasilkan peta batimetri dengan kedalaman terkoreksi dan teruji oleh IHO agar dapat digunakan sebagai informasi kedalaman dalam keperluan rekayasa laut. I. 5 I.5.1 Landasan Teori Survei Batimetri Survei batimetri merupakan suatu proses dan aktivitas dalam menentukan posisi titik-titik di dasar permukaan air laut dengan sistem koordinat tertentu, sehingga dari data hasil survei tersebut didapatkan model bentuk topografi dasar 4 permukaan air laut yang divisualisasikan atau dituangkan dalam peta (Parikesit, 2008). Sebuah peta batimetri umumnya menampilkan relief lantai atau dataran dengan garis-garis kontur yang disebut dengan kontur kedalaman (depth contours atau isobath) dan dapat memiliki informasi tambahan berupa informasi navigasi permukaan. Namun pada dasarnya, peta yang menampilkan titik-titik kedalaman beserta nilai kedalamannya dengan koordinat yang sudah tereferensi sesuai standarnya merupakan peta batimetri yang sesungguhnya. Pengukuran survei batimetri mencakup sepanjang koridor survei dengan lebar yang bervariasi. Peralatan survei batimetri berupa echosounder yang digunakan untuk mendapatkan data kedalaman optimum yang mencakup seluruh kedalaman terdalam area survei. Agar memenuhi syarat kualitas peta batimetri yang baik, dijelaskan pada publikasi khusus SP-44 tahun 2008, bahwa survei batimetri harus mengacu pada standar minimum ketelitian International Hydrographic Organization (IHO). Ada tiga tahap pembuatan peta batimetri, yaitu tahap pengumpulan data, pengolahan data dan penyajian informasi (Rismanto,2011). I.5.2 Pengukuran Batimetri I.5.2.1 Pengukuran Kedalaman dengan Multibeam Echosounder Kedalaman laut merupakan jarak antara dasar laut pada suatu tempat terhadap permukaan lautnya. Tujuan dari pengukuran kedalaman adalah untuk mendapatkan nilai titik-titik kedalaman topografi dasar laut. Pengukuran dilakukan dengan metode gelombang akustik yang dipancarkan oleh tranduser (pemancar) yang dipasang dibawah vessel menuju permukaan dasar perairan yang kemudian dipantulkan kembali menuju hidrofon (penerima) sehingga didapatkan nilai kedalaman berdasarkan selang waktu tempuh gelombang akustik pergi-pulang. Alat yang digunakan dalam kegiatan aplikatif ini adalah multibeam echosounder. Prinsip yang digunakan oleh multibeam echosounder sama dengan konsep pada singlebeam echosounder, yang membedakan adalah jumlah beam yang dipancarkan yaitu lebih dari satu pancaran untuk multibeam echosounder. Pola yang 5 dipancarkan adalah melintang dan melebar terhadap badan kapal. Setiap beam yang dipancarkan akan mendapatkan satu titik kedalaman. Multibeam menggunakan sistem penyapuan ketika kapal bergerak maju untuk menghasilkan luasan yang menggambarkan permukaan dasar laut dari hasil titik-titik kedalaman yang didapat dari tiap beam yang dipancarkan tersebut seperti pada Gambar I.1 (Shelf, 2011). Gambar I.1 Sapuan multibeam echosounder (Shelf, 2011) Konfigurasi tranduser merupakan gabungan beberapa stave yang tersusun seperti matriks (array). Stave adalah bagian dari tranduser yang dimiliki multibeam echosounder, yang memiliki fungsi sebagai saluran untuk memancarkan dan menerima pulsa akustik yang dipantulkan dari dasar laut. Selanjutnya, gelombang akustik yang dipantulkan dari dasar laut tersebut akan diinisialisasi oleh tranduser untuk dapat membedakan gelombang pantul yang datang. Kesalahan sering kali terlihat pada hasil sudut pancaran beam terluar karena adanya lintasan gelombang akustik yang jaraknya lebih panjang. Kesalahan tersebut dapat memperbesar kesalahan refraksi sudut. Setiap stave pada multibeam echosounder akan memancarkan sinyal pulsa akustik dengan kode tertentu, sehingga kode sinyal antara stave yang satu dengan stave yang lain berbeda walaupun frekuensinya sama. Tranduser multibeam echosounder menggunakan tiga metode 6 pendeteksian untuk mendeteksi arah datangnya sinyal yang dipantulkan dari dasar laut, yaitu pendeteksian amplitudo, fase dan interferometrik (sudut). Multibeam echosounder umumnya menggunakan teknik interferometrik untuk mendeteksi arah datangnya gelombang pantul sebagai fungsi dari waktu. Pendeteksian interferometrik digunakan untuk menentukan sudut sinyal datang. Dengan menggunakan akumulasi sinyal akustik yang diterima pada dua array yang terpisah, suatu pola interferensi akan terbentuk. Pola ini menunjukkan hubungan fase tiap sinyal yang diterima. Berdasarkan hubungan yang ada, suatu arah akan dapat ditentukan. Bila informasi ini dikombinasikan dengan jarak, akan dihasilkan data kedalaman. Pada prinsipnya pengukuran multibeam echosounder yang digunakan adalah pengukuran selisih fase pulsa, sama dengan singelbeam echosounder. Teknik pengukuran yang digunakan selisih fase pulsa merupakan fungsi dari selisih pulsa waktu pemancaran dan penerimaan pulsa akustik serta sudut datang dari sinyal tiap tranduser. Persamaan (I.1) adalah persamaan kedalaman singlebeam echosounder yang merupakan fungsi dari selang waktu: ∆t ........................................................................................................... (I.1) Keterangan: D = kedalaman yang diukur v = cepat rambat gelombang akustik tergantung pada STP (± 1500 m/s) ∆t = selang waktu antara saat gelombang akustik yang dipancarkan dengan saat penerimaan kembali gelombang pantulnya Selisih fase pulsa dalam multibeam echosounder artinya sebagai fungsi dari selisih fase waktu pemancaran dan waktu penerimaan. Kemudian perhitungan waktu tempuh dan arah sudut pancaran setiap stave yang ditentukan dari pengukuran selisih fase pulsa multibeam echosounder. Multibeam echosounder memiliki dua macam sistem pemancaran gelombang yaitu sistem sweep dan sistem swath. Sistem sweep atau multi-single beam bekerja dengan memancarkan banyak gelombang single, sedangkan sistem swath bekerja dengan satu pancaran gelombang yang memiliki lebar dan panjang yang membentuk sebuah kolom dan dapat juga dipakai sebagai side scan sonar (de Jong dkk, 2002). Sistem swath akan menghasilkan area lebih 7 besar pada perairan dalam, namun pada perairan dangkal kedua sistem tersebut menghasilkan cakupan area yang sama. Pengukuran kedalaman di dasar laut dengan sistem swath dan sistem sweep diilustrasikan pada Gambar I.2. Gambar I.2 Ukuran jejak multibeam echosounder dengan sudut swath ψ (de Jong dkk, 2002) Berikut adalah persamaan-persamaan untuk menentukan kedalaman maupun posisi objek: Persamaan (I.2) digunakan dalam menentukan kedalaman (D) dari objek dan persamaan (I.3) digunakan untuk menentukan posisi across track (y) (de Jong dkk, 2002). ∆t.cosΨ .................................................................................................. (I.2) ∆t.sinΨ .................................................................................................. (I.3) Keterangan: y = posisi across track Ψ = sudut swath 8 I.5.2.2 Sound Velocity Profile Multibeam echosounder menembakkan gelombang akustik kedalam dasar perairan dengan kecepatan rambat normal sekitar 1500 m/s, namun dalam kondisi tertentu kecepatan dapat berubah menjadi lebih cepat atau lebih lambat. Hal ini adalah suatu alasan mengapa pada saat pengolahan data multibeam perlu didefinisikan nilai yang benar dari SVP pada saat pengukuran. SVP atau profil kecepatan suara merupakan gambaran dari perambatan gelombang akustik di dalam air. Di setiap perairan tertentu memiliki SVP yang berbeda-beda tergantung pada salinitas, suhu dan tekanan yang ada pada perairan tersebut. Nilai kecepatan meningkat seiring meningkatnya salinitas, suhu dan tekanan. Kecepatan akan meningkat 3 m/s setiap kenaikan suhu, 1,2 m/s setiap kenaikan 1 ppt (part per thousand) dan 0,5 m/s setiap perubahan 30 m kedalaman (Schmidt dkk, 2003). Oleh sebab itu, maka perambatan gelombang akustik di dalam perairan tidak pernah konstan. Gambar I.3 menampilkan contoh dari profil kecepatan suara secara vertikal. Gambar I.3 Contoh profil kecepatan suara secara vertikal (Survei G., 2011) Pada Gambar I.3 terjadi perubahan bentuk di setiap kenaikan kedalaman, dan sedikit lengkungan di tengah yang biasanya diakibatkan oleh perubahan suhu atau salinitas, sedangkan untuk perubahan tekanan akan konstan seiring bertambahnya kedalaman. Perubahan salinitas terjadi karena beberapa faktor, seperti penumpukan sedimen atau pengaruh pasut yang menyebabkan terjadinya penumpukan garam. Hal 9 ini menyebabkan salinitas menjadi tinggi dan mempengaruhi kenaikan kecepatan gelombang suara. Perubahan temperatur dipengaruhi oleh pemanasan dari matahari, perubahan suhu menjadi dingin saat malam hari atau adanya pengaruh hujan. Dalam pemrosesan data multibeam, SVP sangat penting, jika terjadi kesalahan pada SVP maka akan menyebabkan jalur menjadi tidak horisontal atau melengkung. Kesalahan ini dapat terjadi karena kesalahan dalam menentukan nilai SVP dalam sebuah perairan yang dapat mengganggu perhitungan waktu tembakan dan penerimaan beam, sehingga kedalaman yang tercatat menjadi tidak valid. Arah dari perambatan gelombang akustik dalam air akan berubah seiring dengan perubahan dari kecepatan gelombang akustik tersebut. Ketika gelombang suara merambat dari area dengan kecepatan yang tinggi mengarah ke kecepatan yang rendah maka arah dari gelombang akan membelok ke arah bawah, begitu pula sebaliknya seperti ilustrasi pada Gambar I.4. Gambar I.4 Perubahan arah gelombang akustik karena pengaruh perbedaan kedalaman (L-3, 2000) I.5.2.3 Pengamatan Pasut Pasut merupakan suatu fenomena naik turunnya permukaan air laut secara periodik yang disebabkan oleh pengaruh gaya gravitasi benda-benda langit (matahari dan bulan). Pasut biasanya diamati sebagai gerakan vertikal naik dan turun dari lautan yang mempunya periode 12,4 jam atau 24,8 jam (de Jong dkk, 2002). Karena 10 fenomena ini merupakan fenomena periodik, pasut dapat diprediksi menggunakan teori keseimbangan yang dikembangkan oleh Newton. Menurut Newton, gaya tarik menarik yang bekerja antara dua benda berbanding langsung dengan perkalian massa kedua benda dan berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya. Maka gaya tarik oleh bulan dan matahari yang bekerja pada tempat yang berbeda letaknya di bumi akan berbeda pula pengaruhnya. Faktor inilah yang menjadi sebab timbulanya pasut. Tujuan dari pengamatan pasut adalah untuk mencatat gerakan vertikal permukaan air laut secara periodik untuk menentukan referensi kedalaman seperti muka rata-rata air laut (MSL) atau muka surutan (chart datum). Data pasut yang diamati juga digunakan sebagai koreksi hasil pengukuran kedalaman pada peta batimetri. Untuk keperluan pemetaan batimetri yang menyangkut suatu wilayah yang cukup luas, penentuan chart datum tidaklah cukup hanya didasarkan pada suatu stasiun pengamatan pasut saja. Hal tersebut terkait dengan sifat pasut di suatu perairan tidak akan sama dengan sifat pasut di tempat lain. Sehingga chart datum di suatu tempat tidak dapat diterapkan untuk tempat lain yang jaraknya cukup jauh. Untuk mendapatkan nilai pasut yang valid, dilakukan pengamatan pasut pada umumnya 15-29 hari dimana pada selang waktu tersebut mencakup hari dimana survei tersebut dilakukan. Secara umum nilai chart datum ditentukan dengan persamaan (I.4): CD = MSL – konstanta utama .............................................................................. (I.4) MSL adalah permukaan yang didefinisikan sebagai hasil rata-rata tinggi permukaan laut setiap saat. Sedangkan muka surutan peta atau chart datum adalah suatu bidang permukaan pada suatu daerah perairan yang didefinisikan terletak di bawah permukaan air laut terendah yang mungkin terjadi di daerah yang bersangkutan, atau dengan kata lain permukaan air laut tidak pernah menyentuh muka surutan peta. Chart datum ditentukan setelah mengetahui data-data yang diamati pada saat pengamatan pasut muka air laut. Muka surutan harus ditetapkan sedemikian rupa agar air rendah yang mungkin terjadi tidak lebih rendah dari muka surutannya. Sedangkan menurut de Jong dkk, sounding datum adalah datum yang 11 dipilih selama survei berlangsung dengan menggunakan rata-rata nilai air terendah atau diambil menggunakan nilai terendah seketika itu juga. Hal ini dipilih sewenangwenang agar dapat memfasilitasi saat survei pemeruman, dan mungkin atau tidak mungkin tetap dianggap sebagai chart datum. Gambar I.5 mengilustrasikan mengenai kedudukan chart datum. Gambar I.5 Kedudukan muka surutan peta dan sounding datum (Soeprapto, 2001) Muka surutan peta sering disebut sebagai bidang nol pada peta batimetri, sedangkan sounding datum merupakan surutan peta terendah selama dilakukan pekerjaan sounding (pemeruman) (Soeprapto, 2001). Kedudukan muka surutan peta ditunjukkan oleh jarak surutan peta (Zo) yang dihitung dari duduk tengah (So) sampai bidang tertentu. Untuk pekerjaan yang sifatnya teknis, dimana pada daerah yang dilakukan survei belum diketahui muka surutan petanya, maka sebagai pengganti muka surutan peta digunakan sounding datum. I.5.2.4 Pergerakan Kapal Kesalahan kedalaman sapuan jejak terukur dengan sudut swath besar maupun sudut swath kecil keduanya disebabkan oleh efek gerak roll dan kesalahan refraksi akustik. Untuk membatasi ukuran jejak dan kesalahan kedalaman terukur, banyak sistem yang secara otomatis akan mengurangi sudut swath seiring meningkatnya kedalaman. Parameter roll, pitch dan yaw dari sikap pergerakan kapal dan heave (gerak vertikal kapal) diperlukan secara realtime oleh multibeam echosounder. Persyaratan akurasi adalah fungsi dari sistem kinerja, dimana untuk sistem kinerja 12 yang tinggi, roll dan pitch biasanya diperlukan dengan akurasi 0,05º. Sedangkan heave yang dibutuhkan adalah dengan akurasi 5-10 cm. Tiga atau empat sistem antenna GPS memberikan komponen roll dan pitch dengan akurasi yang dibutuhkan (de Jong dkk, 2002). Motion Reference Unit (MRU) adalah sensor yang digunakan untuk mengukur gerakan pitch, roll, yaw dan heave, sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar I.6. Sensor tersebut diletakkan berada dekat dengan tranduser, dimana mid-range MRU terintegrasi dengan sistem DGPS. Gambar I.6 Ilustrasi pergerakan kapal (BoatSafe, 2000) Efek dari rollbias θr ditunjukkan pada Gambar I.7 dimana kesalahan pancaran beam R menjadi R’. Kesalahan tersebut mengakibatkan berubahnya sumbu X dari sapuan beam menjadi X’. Untuk mendapatkan nilai sudut rollbias θr, maka dirumuskan persamaan (I.5) (L-3, 2009). .....................................................................................................(I.5) Keterangan: Dθr = jarak kesalahan X terhadap X’ 13 Gambar I.7 Geometri residu rollbias δθr (L-3, 2009) Untuk kesalahan pitchbias δθp dapat diilustrasikan pada Gambar I.8 dimana efeknya tertulis dalam persamaan (I.6). ............................................................................................................ (I.6) Keterangan: R = kesalahan pancaran beam D = kedalaman sebenarnya δθp = kesalahan sudut pitchbias Untuk pitchbias δθp kecil maka ditulis persamaan (I.7) ................................................................................................... (I.7) Keterangan: δx = jarak kesalahan antara D terhadap R Gambar I.8 menunjukkan kesalahan δD dan δx sebagai fungsi dari kesalahan pitchbias δθp. 14 Gambar I.8 Geometri residu pitchbias δθp (de Jong dkk, 2002) Sebuah residu kesalahan yaw δθy menghasilkan kesalahan dalam x dan arah y seperti yang ditunjukkan oleh Gambar I.9 yang diperoleh persamaan (I.8) .................................................................................................... (I.8) Keterangan: y = pancaran beam sebenarnya y’ = kesalahan pancaran beam δx = jarak kesalahan antara y dan y’ δθy = kesalahan yawbias ‘ Gambar I.9 Geometri residu yawbias δθy (de Jong dkk, 2002) 15 I.5.2.5 Penentuan Posisi Peruman Tujuan dari penentuan peruman adalah untuk mengetahui koordinat horisontal pengukuran batimetri. Pada pengukuran batimetri dilakukan diatas wahana yang bergerak, baik disebabkan oleh wahana tersebut maupun karena permukaan air laut itu sendiri yang selalu bergerak vertikal ataupun horisontal. Dengan demikian, dalam setiap pengukuran kedalaman perlu ditentukan posisinya pada saat bersamaan. Maka tiap angka kedalaman (z) yang didapat akan ditentukan posisinya (x,y). Dalam penentuan koordinat horisontal menggunakan sistem Differensial GPS dengan metode Real Time Differential GPS. Metode tersebut digunakan untuk objek yang bergerak (kapal), dan menggunakan titik referensi dari stasiun referensi terdekat secara otomatis. Poerbandono dan Djunarsjah (2005), mengatakan bahwa RTDGPS adalah sistem penentuan posisi secara real time differential dengan menggunakan data pseudorange. Stasiun monitor mengirimkan koreksi differensial secara real time menggunakan sistem komunikasi data ke kapal. Real time berarti proses yang dilakukan untuk menampilkan koordinat pada saat itu juga. Diperlukan minimum dua receiver GPS yaitu di stasiun referensi dan di stasiun pengamat. Stasiun referensi adalah stasiun yang telah diketahui koordinatnya, sedangkan stasiun pengamat adalah stasiun yang akan ditentukan posisinya. Data hasil pengukuran yang didapatkan berupa posisi satelit, jarak satelit ke penerima, informasi waktu dan lain sebagainya. Sistem koordinat kapal digambarkan dengan sistem tegak lurus yang terbentuk dari sumbu x, y dan z seperti pada Gambar I.10. 16 Gambar I.10 Sistem koordinat kartesian kapal (Parikesit, 2008) Keterangan: 1. Sumbu x diambil dari arah haluan kapal, dihitung positif kearah gerak majunya kapal. 2. Sumbu y diambil dari arah kedua sisi kapal, dihitung positif kearah sisi bagian kanan kapal. 3. Sumbu z diambil dari kedalaman laut, dihitung positif sesuai dengan meningkatnya kedalaman laut. 4. Permukaan laut diasumsikan sebagai bidang datar. I.5.3 Orde Ketelitian Survei Hidrografi Standarisasi yang dijadikan acuan dalam penentuan posisi mengacu pada IHO SP-44 tahun 2008 pada Tabel I.1. 17 Tabel I.1 Standarisasi penentuan posisi Orde Spesial Contoh area yang dipetakan Pelabuhan, tempat berlabuh, dan saluransaluran kritis dengan hambatan sarat kapal minimum. Ketelitian Hz dan V (Tingkat kepercayaan = 95%) 2 m dan Posisi alat bantu navigasi tetap dan fitur penting bagi navigasi 2m a = 0,25 m b = 0,0075 1a 1b 2 Pelabuhan, pelabuhan yang mendekati terusan, jalur anjuran, dan daerah perairan dengan kedalaman hingga 100 m. Daerah yang tidak tercakup dalam Orde Khusus atau Orde 1 atau daerah dengan kedalaman hingga 200 m. Daerah yang tidak tercakup dalam Orde Khusus atau Orde 1 dan 2. 5 m ± 5% dan 20 m ± 5% dan 150 m ± 5% dan a = 0,5 m a = 1,0 m a=1m b = 0,013 b = 0,023 b = 0,023 m 2m 2m 2m Menurut standar teknis pelaksanaan survei hidrografi terdapat beberapa klasifikasi derajat ketelitian yang dibedakan menjadi 4 orde ketelitian yaitu Orde Spesial, Orde 1a, Orde 1b dan Orde 2 (IHO SP-44, 2008). Pada kegiatan aplikatif ini menggunakan derajat ketelitian Orde Spesial. Orde spesial survei hidrografi mendekati standar ketelitian survei rekayasa dan digunakan secara terbatas di daerah-daerah kritis dimana kedalaman di bawah permukaan air laut sangat minim dan dalam hal ini, karakteristik dasar airnya berpotensi membahayakan kapal. Daerah-daerah kritis tersebut ditentukan secara langsung oleh instansi yang bertanggung jawab dalam masalah kualitas survei. Contohnya berupa pelabuhan tempat sandar dan alur masuknya. Semua sumber kesalahan harus dibuat seminimal mungkin. 18 Orde spesial membutuhkan penggunaan yang berkaitan dengan side scan sonar, multi transducer atau multibeam echosounder beresolusi tinggi dengan jarak antar lajur perum yang rapat untuk mendapatkan gambaran dasar air 100%. Harus diyakinkan bahwa setiap benda dengan ukuran lebih besar dari 1 meter persegi dapat terlihat oleh peralatan perum yang digunakan. Penggunaan side scan sonar dan multibeam echosounder mungkin diperlukan di daerah-daerah dimana benda-benda kecil dan rintangan bahaya mungkin dapat ditemukan atau untuk survei keperluan investigasi. I.5.4 Uji Kualitas Data Uji kualitas data multibeam dilakukan pada daerah lajur pertampalan yang harusnya memiliki nilai kedalaman yang sama. Tetapi tidak ada pengukuran yang tidak luput dari koreksi kesalahan. Uji kualitas data pertampalan yang dilakukan ini mengacu pada standar IHO SP-44 Orde Spesial. Nilai toleransi kesalahan pertampalan antara lajur kiri dan lajur kanan dihitung menggunakan persamaan (I.9) dengan tingkat kepercayaan 95%. ................................................................................................ (I.9) Keterangan : a : kesalahan independen (jumlah kesalahan yang bersifat tetap) b : faktor kesalahan kedalaman yang dependen (jumlah kesalahan yang bersifat tidak tetap) d : kedalaman rata-rata (bxd) : kesalahan kedalaman yang dependen (jumlah semua kesalahan kedalaman yang dependen) Nilai konstanta a dan b dalam persamaan (I.10) harus disesuaikan sesuai dengan orde survei yang diacu, yaitu orde spesial. Pada tabel I.1 di sub bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa pada orde spesial, nilai konstanta a = 0,25 dan b = 0,0075. 19 Data kedalaman pertampalan dari kedua lajur yang berbeda harus dilakukan uji statistik agar dapat diketahui apakah memenuhi standar toleransi dengan tingkat kepercayaan 95% (±1,96) atau tidak. Pada uji statistik ini dilakukan dengan metode sampling, dimana dilakukan pemilihan 40 sampel data secara acak dari jalur yang saling bertampalan. Sampel ini mengambil 2 titik di area bertampalan yang masingmasing titik merupakan data dari jalur kanan dan jalur kiri dengan posisi berdekatan atau pada posisi yang sama. Uji ini dilakukan dengan asumsi bahwa H1 (kedalaman lajur 1) sama nilainya dengan H2 (kedalaman lajur 2) yang saling bertampalan. Nilai H1 dan H2 yang didapat lalu dihitung selisihya dan dilakukan perhitungan nilai rata-rata dan standar deviasi. Persamaan (I.10) menjelaskan mengenai perhitungan rata-rata, sedangkan persamaan (I.11) menjelaskan tentang perhitungan nilai standar deviasi (Boediono & Koester , 2004). ........................................................................................................ (I.10) ....................................................................................................... (I.11) Keterangan : S : standar deviasi H1 : kedalaman lajur 1 H2 : kedalaman lajur 2 Ĥ : rata-rata Hi : beda nilai kedalaman antara lajur 1 dan lajur 2 n : banyaknya sampel Sehingga menurut acuan IHO, data akan diterima atau ditolak jika: a. Data ditolak, jika σ*Ztabel > + atau σ*Ztabel < - b. Data diterima, jika σ*Ztabel > - atau σ*Ztabel < + 20 Keterangan: σ* Ztabel I.5.5 = standar deviasi X 1,96 (Ztabel) Penyajian Informasi Informasi dari sebuah data kedalaman hasil pengolahan dapat disajikan dengan berbagai cara, seperti penyajian melalui visualisasi secara 3 dimensi atau 2 dimensi dan melalui pembuatan peta batimetri. Hasil akhir penyajian informasi pada kegiatan aplikatif ini adalah peta batimetri. Penyajian peta batimetri berupa data spasial yang berisi informasi kedalaman suatu daerah perairan. Informasi batimetri dapat menggambarkan tentang kondisi struktur dan bentuk dasar perairan dari suatu daerah dengan data kontur beserta persebaran titik-titik kedalaman yang sudah terolah dan terkoreksi terhadap chart datum (Setiawan dkk, 2014).