HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum

advertisement
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Penelitian
Pengamatan terhadap pertumbuhan alfalfa dilaksanakan dua hari setelah
penanaman, dimana beberapa dari benih alfalfa yang ditanam mulai bertunas. Tunas
alfalfa pada hari kedua setelah tanam mulai tampak antara 1-2 tunas per polybag.
Pertumbuhan normal yang menghasilkan tunas secara serentak terjadi antara 4-7 hari
setelah tanam. Lumut dan jamur tumbuh akibat keadaan media tanah yang selalu
lembab dan adanya bahan-bahan organik tanah yang mendukung pertumbuhan lumut
dan jamur (Gambar 2).
Gambar 2. Keberadaan Lumut dan Jamur pada Media Tanam
Selama penelitian juga dilakukan pengamatan terhadap keberadaan hama
yang berpotensi mengganggu pertumbuhan dan produktivitas alfalfa. Hama-hama
tersebut antara lain kutu daun, belalang (Empoasca solana), ulat (Spodoptera
exigua), kupu-kupu (Colias eurytheme), kumbang (Hippodamia convergens). Hamahama tersebut dapat masuk ke dalam rumah kaca melalui dinding-dinding rumah
kaca. Kutu daun menyerang pada bagian daun alfalfa dan membuat bercak-bercak
kuning pada daun (kemungkinan sel-sel daun yang menjadi mati), dan jika bercakbercak kuning tersebut telah memenuhi seluruh daun maka daun tersebut akan
menjadi kering dan akhirnya rontok. Belalang dan kumbang adalah predator dari
kutu daun. Penanganan terhadap hama cukup dilakukan dengan menghalau hamahama tersebut, memindahkan mereka dari tanaman alfalfa dan tidak sampai
menggunakan pestisida, karena hama-hama (kecuali kutu daun) muncul secara
sporadis. Rhizobium tidak ditemukan pada akar alfalfa, dikarenakan memang tidak
adanya
inokulasi
rhizobium
pada
awal
penelitian
(Gambar
3).
Gambar 3. Akar Alfalfa
Berat Bahan Kering
Berat bahan kering hijauan merupakan salah satu parameter yang diamati di
dalam hal vigoritas tanaman. Uji sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan
pemupukan fosfor tidak memberikan pengaruh yang nyata, sedangkan umur potong
awal memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap berat bahan kering alfalfa
(Tabel 2). Tidak terdapat interaksi antara perlakuan pemupukan fosfor dan umur
potong awal dalam meningkatkan berat bahan kering.
Tabel 2. Pengaruh Pemupukan Fosfor dan Umur Potong Awal Terhadap
Berat Bahan Kering Alfalfa (gram / polybag)
Umur Potong Awal
(Hari)
60
80
100
Rataan
Pemupukan P (kg/ha)
0
0,98
1,46
2,82
1,76
30
0,88
1,44
3,9
2,07
60
0,95
1,88
2,8
1,88
90
0,84
2,13
3,79
2,25
180
1,45
1,98
3,52
2,32
Rataan
1,02 c
1,78 b
3,37 a
Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh nyata (p<0,05)
Alfalfa yang dipupuk dengan baik tidak hanya membuat produksi bahan
kering per satuan luas lebih besar, namun juga membuat alfalfa dapat tumbuh
kembali dengan lebih baik sesudah pemanenan dilakukan (Hughes, Metcalfe, dan
Johnson, 1952). Whiteman (1980) menyatakan alfalfa responsif terhadap aplikasi
pemupukan khususnya fosfor, namun berdasarkan uji sidik ragam diketahui bahwa
pemupukan fosfor tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap berat
bahan kering alfalfa. Banyak hal yang mempengaruhi produktivitas suatu tanaman,
salah satunya adalah faktor lingkungan. Diduga pH tanah pada media tanam masih
rendah (asam) akibat pemberian kapur yang kurang, sehingga fosfor menjadi tidak
tersedia bagi tanaman akibat terjerap oleh Al dan Fe (lebih lanjut akan dibahas di
bagian bawah). Meskipun pemupukan fosfor tidak memberikan pengaruh nyata
secara statistik namun sebenarnya alfalfa memberikan respon terhadap pemupukan
fosfor. Produksi bahan kering alfalfa cenderung meningkat seiring bertambahnya
level pemberian pupuk SP36, walaupun kenaikannya tidak signifikan secara statistik.
Hutton (1977) menyatakan bahwa legum tanggap terhadap pemberian P dalam
bentuk superphospat.
Perlakuan umur potong awal memberikan pengaruh yang berbeda nyata
(p>0,05) terhadap produksi bahan kering alfalfa. Selisih antara produksi bahan
kering (per polybag) dengan umur potong awal 60 hari dan 80 hari yaitu sekitar 0,76
gram dan nyata secara statistik pada taraf 5%. Kemudian selisih antara produksi
bahan kering dengan umur potong awal 80 hari dan 100 hari yaitu sekitar 1,59 gram
dan nyata secara statistik pada taraf 5% (2 kali lipat selisih umur potong awal 60 hari
dan 80 hari).
Terjadi mobilisasi fosfor dari bagian tanaman yang tua ke bagian tanaman
yang muda sehingga semakin lama umur potong, pembentukan jaringan muda
menyebabkan kebutuhan fosfor meningkat. Hal ini sesuai dengan Gardner (1991)
yang menyatakan sepanjang masa pertumbuhan vegetatif, akar, daun, dan batang
merupakan daerah-daerah pemanfaatan yang kompetitif dalam hal hasil asimilasi.
Proporsi hasil asimilasi yang dibagikan ke ketiga bagian organ ini dapat
mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan produktivitas. Daun muda yang sedang
berkembang memerlukan hasil asimilasi yang diimpornya untuk penyediaan energi
dan kerangka karbon yang diperlukannya untuk tumbuh dan berkembang sampai
daun-daun itu dapat memproduksi hasil asimilasi yang cukup untuk memenuhi
kebutuhannya sendiri. Setelah daun menjadi dewasa dan mulai menua, daun itu
mungkin gagal memenuhi kebutuhan energinya sendiri karena usia atau penaungan
atau kedua-duanya. Sebelum mati, banyak senyawa anorganik maupun organik
dalam daun dimobilisasi kembali dan ditranslokasikan ke bagian-bagian tanaman
yang lain.
4
3,5
3
2,5
2
1,5
1
0,5
0
Umur Potong Awal 60 Hari
Umur Potong Awal 80 Hari
Umur Potong Awal 100 Hari
Berat Bahan Kering (gram / polybag)
Gambar 4. Berat Bahan Kering
Berat bahan kering alfalfa yang rendah diduga terjadi karena alfalfa (tanaman
C3) tidak mendapatkan cahaya matahari yang cukup banyak untuk melakukan proses
fotosintesis secara optimal, mengingat kondisi cuaca pada saat penelitian (musim
penghujan) cenderung berawan. Menurut Salisbury dan Ross (1995), cahaya adalah
faktor lingkungan yang diperlukan untuk mengendalikan pertumbuhan dan
perkembangan tumbuhan, alasan utamanya tentu saja karena cahaya menyebabkan
fotosintesis.
Kelembaban udara yang tinggi diduga juga mempengaruhi rendahnya berat
bahan kering alfalfa. Kota Bogor terletak pada ketinggian 190 sampai 330 meter dari
permukaan laut. Udaranya relatif sejuk dengan suhu udara rata-rata setiap bulannya
adalah 26°C dan kelembaban udaranya kurang lebih 70% (Wikipedia, 2008). Alfalfa
tumbuh secara ekstensif pada kelembaban udara yang rendah dengan pengairan
(Hughes, Metcalfe, dan Johnson, 1952). Berdasarkan berat bahan kering dengan
mempertimbangkan aspek vigoritas hijauan alfalfa (Medicago sativa L.), maka
perlakuan umur potong awal 100 hari lebih menguntungkan.
Tinggi Vertikal Akhir
Pertumbuhan tanaman dapat dilihat dari ukuran tanaman yang dapat dijadikan
ciri pertumbuhan, salah satunya adalah dapat dilihat dengan satu dimensi yaitu tinggi
tanaman (Lakitan, 1996). Tinggi vertikal akhir tanaman juga merupakan salah satu
parameter di dalam hal vigoritas tanaman, selain berat bahan kering.
Tabel 3. Pengaruh Pemupukan Fosfor dan Umur Potong Awal Terhadap
Tinggi Vertikal Akhir Alfalfa (cm)
Umur Potong Awal
(Hari)
Pemupukan P (kg/ha)
0
30
60
90
180
Rataan
60
80
100
43,92
48,90
62,64
41,94
49,28
57,79
38,55
49,92
57
43,65
53,33
62,78
45,14
50,69
59,38
42,64 c
50,42 b
59,92 a
Rataan
51,82
49,67
48,49
53,25
51,74
Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh nyata (p<0,05)
Berdasarkan uji sidik ragam diketahui bahwa pemupukan fosfor tidak
memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap tinggi vertikal akhir alfalfa.
Diduga pH tanah pada media tanam masih rendah (asam) akibat pemberian kapur
yang kurang, sehingga fosfor menjadi tidak tersedia bagi tanaman akibat terjerap
oleh Al dan Fe. Akibatnya adalah alfalfa tidak mendapat suplai fosfor dari perlakuan
pemupukan fosfor, padahal menurut Hardjowigeno (1995) pengaruh fosfor terhadap
tanaman amatlah penting karena fosfor merupakan bagian dari inti sel, sangat
penting dalam pembelahan sel dan juga untuk perkembangan jaringan meristem.
Perlakuan umur potong awal memberikan pengaruh yang berbeda nyata
(p>0,05) terhadap tinggi vertikal akhir alfalfa. Umur potong awal 100 hari
memberikan rataan tinggi vertikal akhir alfalfa paling tinggi yaitu 59,92 cm. Namun
alfalfa dengan tinggi 59,92 cm masih terbilang pendek, karena menurut Wheeler
(1950) alfalfa dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian sekitar 2,5 kaki atau 76,2
cm.
Tinggi tanaman berkaitan erat dengan berat kering. Tinggi vertikal akhir
alfalfa yang belum mencapai potensi optimalnya ini juga turut menyebabkan
rendahnya berat kering alfalfa dalam penelitian, karena semakin tinggi tanaman,
maka berat kering cenderung meningkat pula. Tinggi tanaman alfalfa yang terbilang
pendek diduga terjadi karena pH tanah pada media tanam masih rendah (asam)
akibat pemberian kapur yang kurang, sehingga fosfor menjadi tidak tersedia bagi
tanaman akibat terjerap oleh Al dan Fe, padahal pengaruh fosfor terhadap tanaman
amatlah penting karena fosfor merupakan bagian inti sel, sangat penting dalam
pembelahan sel dan juga untuk perkembangan jaringan meristem (Hardjowigeno,
1995). Selain itu alfalfa (tanaman C3) diduga tidak mendapatkan cahaya matahari
yang cukup banyak untuk bertumbuh, mengingat kondisi cuaca pada saat penelitian
(musim penghujan) cenderung berawan. Lakitan (1996) menyatakan bahwa
pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh faktor keliling, dan yang paling primer
tersangkut dalam pertumbuhan tanaman adalah energi penyinaran dalam bentuk
panas dan cahaya.
70
60
50
40
30
20
10
0
Umur Potong Awal 60 Umur Potong Awal 80 Umur Potong Awal 100 Hari
Hari
Hari
Tinggi Vertikal Akhir
Gambar 5. Tinggi Vertikal Akhir
Pemanenan alfalfa dengan memotong alfalfa pada ketinggian 3 cm di atas
permukaan media tanam mengakibatkan ada sebagian alfalfa yang tidak dapat
tumbuh kembali. Hal ini dikarenakan titik tumbuh (epikotil) ikut terpanen, dan
menurut Meyer (1999) pertumbuhan vegetatif berjalan melalui pembelahan sel dan
perluasan di dalam epikotil atau titik tumbuh pada tanaman muda. Oleh karena
pertimbangan daya tumbuh kembali tanaman, maka pada proses pemanenan umur
potong alfalfa 80 dan 100 hari pemotongan alfalfa dilakukan pada ketinggian 5 cm
(terdapat titik tumbuh). Diketahui bahwa sekitar 7 hari setelah panen, alfalfa yang
mendapat perlakuan umur potong awal 80 dan 100 hari dapat tumbuh kembali
dengan cepat dan mencapai ketinggian kurang lebih 10 cm. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Sanchez (1993) bahwa alfalfa memerlukan waktu yang lebih cepat untuk
benar-benar tumbuh kembali setelah dirumput dibandingkan dengan berbagai spesies
yang merambat seperti Desmodium spp, siratro, dan kacang bulu sangat peka
terhadap peranggasan.
Tanaman seperti alfalfa yang menawarkan kemungkinan hasil produksi untuk
hay alfalfa per musim tanam, palatabilitas, dan nilai nutrisi yang tinggi ketika
dipotong pada suatu masa pertumbuhan, maka pentingnya pemotongan atau
pemanenan alfalfa pada waktu yang tepat adalah sudah jelas. Ketika pemanenan
terlambat maka palatabilitas, kandungan protein, dan nilai pakan akan menurun
semua. Namun sebaliknya, jika dipanen terlalu muda, hasil panenan akan rendah dan
vigor (kekuatan) tanaman akan berkurang dengan tumbuhnya gulma dan alfalfa akan
berumur pendek (Hughes et al., 1952). Berdasarkan tinggi vertikal akhir dengan
mempertimbangkan aspek vigoritas hijauan alfalfa (Medicago sativa L.), maka
perlakuan pemupukan fosfor sebanyak 0 kg P / ha dan umur potong awal 100 hari
lebih menguntungkan.
Kandungan Protein Kasar
Kandungan protein kasar yang tinggi merupakan salah satu indikasi bahwa
suatu tanaman pakan memiliki kualitas yang baik. Dalam penelitian ini alfalfa
mengandung rataan protein kasar antara 26 – 29% dengan koefisien variasi 10%. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Hanson dan Barnes (1973) bahwa alfalfa memproduksi
lebih banyak protein per hektar daripada tanaman lain untuk ternak. Sebagai
perbandingan, lamtoro (Leucaena spp) yang merupakan hijauan pakan yang sering
digunakan oleh para peternak, mempunyai kandungan protein kasar sekitar 18,75%.
Flemingia macrophylla yang merupakan tanaman legum perdu mempunyai
kandungan protein kasar antara 11-24%.
Tabel 4. Pengaruh Pemupukan Fosfor dan Umur Potong Awal Terhadap
Kandungan Protein Kasar Alfalfa (% dari Berat Bahan Kering)
Umur Potong Awal
(Hari)
Pemupukan P (kg/ha)
0
60
180
Rataan
60
80
100
Rataan
27,4
23,9
29,7
27,0
28,0
24,8
28,3
27,0
30,5
29,2
28,8
29,5
28,6
26,0
29
Berdasarkan uji sidik ragam diperoleh bahwa pemupukan dan umur potong
tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap kandungan protein kasar
alfalfa. Rataan kandungan protein kasar alfalfa cenderung untuk meningkat bila
dipupuk dengan level fosfor yang semakin meningkat, walaupun kenaikannya tidak
signifikan. Respon alfalfa ketika diberi pupuk dengan 60 kg P/ha sangat kecil yaitu
protein kasar hanya bertambah sekitar 0,06% dari kontrol. Pemberian pupuk 180 kg
P/ha hanya menambah protein kasar alfalfa sekitar 2,5% dari kontrol dan tidak
berbeda nyata secara statistik.
Rataan kandungan protein kasar alfalfa pada saat umur potong awal 60 hari
sebesar 28,6% cenderung menurun pada saat umur potong awal 80 hari yaitu menjadi
26,0%, dan kemudian cenderung naik lagi menjadi 29% pada saat umur potong awal
100 hari meskipun tidak berbeda nyata secara nyata secara statistik. Perubahan
kandungan protein dalam kondisi optimal dapat disebabkan karena perbedaan
kandungan unsur hara tanah terutama nitrogen dan umur tanaman. Perubahan umur
tanaman dari muda ke umur tanaman lebih tua pada umumnya menurunkan
kandungan protein hijauan. Hal ini terjadi karena adanya mobilisasi nitrat dari
jaringan tua ke jaringan lebih muda, namun pada penelitian ini ternyata perbedaan
umur dari 60-100 hari tidak menunjukkan fenomena perubahan protein secara nyata
menurut analisis statistik.
Berdasarkan tabel 4 terlihat bahwa alfalfa (Medicago sativa L.) termasuk
tanaman lambat mengalami penuaan, ini terbukti dari tidak adanya penurunan
kandungan protein kasar meskipun umur potong awal ditambah. Berarti jika alfalfa
dibudidayakan dengan orientasi untuk memproduksi benih (memerlukan umur lebih
lama, 100 hari), maka produk yang dihasilkan yaitu benih dan sekaligus hijauan
makanan ternak yang berkualitas.
Kandungan Serat Kasar
Tabel 5. Pengaruh Pemupukan Fosfor dan Umur Potong Awal Terhadap
Kandungan Serat Kasar Alfalfa (% dari Berat Bahan Kering)
Umur Potong Awal
(Hari)
Pemupukan P (kg/ha)
0
60
180
Rataan
60
80
100
Rataan
24,4
24,35
24,88
24,54
24,49
23,93
23,77
24,06
23,44
25,46
23,46
24,12
24,11
24,58
24,04
Rataan kandungan serat kasar alfalfa dalam penelitian ini yaitu sebesar 24%.
Perlakuan pemupukan fosfor dan umur potong awal tidak memberikan pengaruh
yang nyata terhadap kandungan serat kasar alfalfa.
Berdasarkan analisis kandungan serat kasar maka dapat disimpulkan bahwa
perlakuan pemupukan fosfor sebanyak 0 kg P / ha dan umur potong 60 hari lebih
menguntungkan. Secara kimiawi, dinding sel serat terutama adalah selulosa.
Kebanyakan dinding sel terdiri atas sejumlah besar persentase dari lignin.
Kandungan yang lain terdiri dari jumlah yang kecil termasuk tannin, dyes, dan
bermacam larutan atau komponen yang siap diubah. Namun serat yang yang baik
adalah yang mendekati selulosa murni, sebuah polimer kompleks dari residu rantai
glukosa (C6H10O5)n dari panjang molekular yang besar (Janick et al, 1969). Secara
fisiologis pembentukan serat kasar dan proses lignifikasi terkait dengan laju
fotosintesis dan akumulasi bahan kering.
Berdasarkan tabel 5 terlihat bahwa alfalfa (Medicago sativa L.) termasuk
tanaman lambat mengalami penuaan, ini terbukti dari tidak adanya kenaikan
kandungan serat kasar meskipun umur potong awal ditambah. Hal ini juga
menunjukkan bahwa alfalfa merupakan hijauan makanan ternak ruminansia yang
berkualitas tinggi karena mempunyai kandungan serat kasar yang tergolong rendah
yaitu hanya berkisar 24%.
Pembahasan Umum Penelitian
Hal pertama yang menyebabkan pemupukan SP36 tidak berpengaruh nyata
terhadap semua peubah yang diamati adalah diduga masih rendahnya dosis kapur
untuk mencapai pH tanah yang diharapkan yaitu sampai 6. Menurut Plaster (1992)
seperti pupuk ammonia, pupuk kandang dapat menurunkan pH. Kira-kira 1 ton kapur
akan menghilangkan keasaman yang dihasilkan dari 10 ton pupuk kandang. Jadi
dengan pemberian pupuk kandang sebesar 500 ton / ha, maka seharusnya dilakukan
penambahan kapur lagi sebanyak 50 ton / ha. Pemberian kapur dolomite sebanyak 10
ton / ha dalam penelitian ini dilakukan hanya untuk menaikkan pH tanah latosol dari
4 sampai mendekati pH tanah netral. Kekurangan kapur inilah yang membuat tanah
tetap asam karena pengaruh pupuk kandang yang diberikan, sehingga pH tanah yang
netral untuk pertumbuhan alfalfa yang optimal tidak tercapai. Pada tanah yang masih
asam, terjadilah fiksasi fosfat yang akhirnya menyebabkan pemupukan SP36 tidak
berpengaruh nyata terhadap produksi bahan kering, tinggi tanaman, kandungan
protein kasar, dan kandungan serat kasar.
Reaksi fiksasi fosfor atau jerapan (absorbsi) terjadi oleh ion-ion Ca2+, Fe3+,
dan Al3+. Jerapan adalah pelekatan suatu zat padat pada permukaan koloid
(Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 1991). Unsur fosfor (P) diserap oleh
tanaman dalam bentuk orthophosphat primer (H2PO4-) dan dalam bentuk
orthophosphat skunder (HPO42-) pada tanah alkali. Orthophosphat merupakan anion
dan dapat mengalami reaksi kimia dengan Ca2+, Fe3+, dan Al3+. Jika reaksi ini terjadi
maka fosfat tidak akan lama tersedia di dalam tanah. Reaksi ini dinamakan reaksi
fiksasi fosfor (Sopher et al, 1982). Semakin tinggi dosis pemupukan fosfor, maka
semakin tinggi pula peningkatan jerapan terhadap fosfor yang diberikan, sehingga
perlakuan pemupukan fosfor (SP36) terhadap produksi bahan kering, tinggi tanaman,
kandungan protein kasar, dan kandungan serat kasar alfalfa menjadi tidak berbeda
nyata. Hal ini sesuai dengan penjelasan yang diberikan oleh Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, (1991) bahwa ion-ion logam dapat membentuk suatu jerapan
antara senyawa organik dan permukaan liat. Peningkatan jerapan dengan rantai
organik yang panjang ditimbulkan oleh gaya Van der walls dan menjadi lebih sangkil
bila ukuran molekul bertambah.
Hal kedua yang menyebabkan pemupukan SP36 tidak berpengaruh nyata
terhadap semua peubah yang diamati diduga karena pH tanah yang masih rendah
akibat pemberian kapur yang kurang, sehingga banyak fosfor yang tidak tersedia
akibat terjerap oleh Al dan Fe. Sebenarnya pupuk kandang sendiri memiliki
kandungan P2O5 yang sangat rendah, yaitu hanya sekitar 4 pounds / ton pupuk
kandang, namun pupuk kandang dapat membantu mencegah fosfor dari proses
fiksasi dalam tanah, dan membuat fosfor menjadi lebih tersedia bagi tanaman
(Plaster, 1992). Keberadaan pupuk kandang (500 ton / ha) pada awal pemberian
menyebabkan pH tanah menjadi rendah atau asam, namun seiring dengan
berjalannya waktu pH tanah akan meningkat dan tanah menjadi basa. Kelarutan
fosfat dalam tanah sangat rendah terutama pada pH rendah (Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, 1991), namun dalam keadaan basa (pH tanah tinggi), akibat
pengaruh pemberian pupuk kandang, fosfat potensial (Tabel 6) dalam tanah dapat
digunakan dan menyebabkan tanah menjadi kaya akan unsur fosfor sehingga
pengaruh pemupukan SP36 menjadi tidak berbeda nyata terhadap produksi bahan
kering. Apalagi fosfor (SP36) pada awal pemberian pupuk kandang sudah banyak
Tabel 6. Ciri Fisik dan Kimia Tanah Latosol Darmaga
Analisis*
PH H2O (1 : 1)
Metode*
Kandungan*
Penilaian**
pH meter
4,56
Masam
KCl (1 : 1)
C-organik (%)
N-total (%)
P-tersedia (ppm)
P-total (ppm)
Basa-basa
3,61
Walkley dan Black
2,15
Sedang
Kjeldahl
0,23
Sedang
Bray-1
4,9
Sangat Rendah
HCl 25%
133,0
Sangat Tinggi
N NH4 Oac pH 7,0
Ca-dd (me/100g)
2,25
Mg-dd (me/100g)
1,58
K-dd (me/100g)
0,46
KTK (me/100g)
16,36
KB (%)
29,40
Al-dd (me/100g)
N KCl
Kejenuhan Al (%)
H-dd (me/100g)
Unsur mikro
2,42
33,47
N KCl
0,28
0,05 N HCl
Fe (ppm)
15,88
Cu (ppm)
0,52
Zn (ppm)
3,88
Mn (ppm)
43,80
Tekstur
Pipet
Pasir (%)
4,90
Debu (%)
19,43
Liat (%)
75,67
Kelas Tekstur = Liat
Keterangan : * Arios (2005)
** Pusat Penelitian Tanah (1983)
Rendah
Tinggi
yang terjerap oleh ion-ion Ca2+, Fe3+, dan Al3+ seperti penjelasan yang sudah
diberikan sebelumnya. Lakitan (1996) menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman
dipengaruhi oleh faktor keliling, dan yang paling primer tersangkut dalam
pertumbuhan tanaman adalah tanah yang member hara dan kelembaban disamping
sebagai penyokong secara mekanis
Faktor ketiga yang menyebabkan pemupukan fosfor (P) tidak berpengaruh
nyata terhadap semua peubah yang diamati adalah bentuk pupuk SP36 pada saat
diberikan. Pupuk SP36 diberikan dalam bentuk serbuk, yang akan cepat habis
ketersediaannya di dalam tanah apalagi ditambah dengan adanya pencucian oleh
aktivitas penyiraman. Seharusnya pupuk SP36 diberikan dalam bentuk granule yang
tidak mudah habis atau tercuci oleh aktivitas penyiraman.
Hal keempat yang menyebabkan fosfor (P) tidak berpengaruh nyata terhadap
semua peubah yang diamati adalah penempatan pupuk. Tempat yang tepat dalam
aplikasi pupuk akan menyediakan bagi tanaman pasokan nutrien yang cukup. Metode
yang paling baik ditentukan beberapa faktor, seperti tanaman seperti apa yang akan
ditanam, tipe tanah, tingkat kesuburan tanah, dan sesuai dengan pilihan atau
keinginan petani (Sopher et al, 1982). Penyiapan media tanam dengan cara diaduk
bertujuan agar pupuk dapat merata di setiap bagian dari polybag. Namun ternyata
setelah melihat pemupukan SP36 yang tidak berpengaruh nyata maka disimpulkan
metode penempatan pupuk yang dipakai kurang tepat. Penempatan pupuk untuk
penelitian seperti ini perlu mempertimbangkan penggunaan polybag sebagai tempat
media tanam dan pencucian unsur hara karena aktivitas penyiraman. Penempatan
pupuk SP36 (granule) pada media tanam dengan kedalaman 1-2 cm dari permukaan
media tanam (tanpa diaduk) dapat menjadi pilihan.
Download