HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Pengamatan terhadap pertumbuhan alfalfa dilaksanakan dua hari setelah penanaman, dimana beberapa dari benih alfalfa yang ditanam mulai bertunas. Tunas alfalfa pada hari kedua setelah tanam mulai tampak antara 1-2 tunas per polybag. Pertumbuhan normal yang menghasilkan tunas secara serentak terjadi antara 4-7 hari setelah tanam. Lumut dan jamur tumbuh akibat keadaan media tanah yang selalu lembab dan adanya bahan-bahan organik tanah yang mendukung pertumbuhan lumut dan jamur (Gambar 2). Gambar 2. Keberadaan Lumut dan Jamur pada Media Tanam Selama penelitian juga dilakukan pengamatan terhadap keberadaan hama yang berpotensi mengganggu pertumbuhan dan produktivitas alfalfa. Hama-hama tersebut antara lain kutu daun, belalang (Empoasca solana), ulat (Spodoptera exigua), kupu-kupu (Colias eurytheme), kumbang (Hippodamia convergens). Hamahama tersebut dapat masuk ke dalam rumah kaca melalui dinding-dinding rumah kaca. Kutu daun menyerang pada bagian daun alfalfa dan membuat bercak-bercak kuning pada daun (kemungkinan sel-sel daun yang menjadi mati), dan jika bercakbercak kuning tersebut telah memenuhi seluruh daun maka daun tersebut akan menjadi kering dan akhirnya rontok. Belalang dan kumbang adalah predator dari kutu daun. Penanganan terhadap hama cukup dilakukan dengan menghalau hamahama tersebut, memindahkan mereka dari tanaman alfalfa dan tidak sampai menggunakan pestisida, karena hama-hama (kecuali kutu daun) muncul secara sporadis. Rhizobium tidak ditemukan pada akar alfalfa, dikarenakan memang tidak adanya inokulasi rhizobium pada awal penelitian (Gambar 3). Gambar 3. Akar Alfalfa Berat Bahan Kering Berat bahan kering hijauan merupakan salah satu parameter yang diamati di dalam hal vigoritas tanaman. Uji sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemupukan fosfor tidak memberikan pengaruh yang nyata, sedangkan umur potong awal memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap berat bahan kering alfalfa (Tabel 2). Tidak terdapat interaksi antara perlakuan pemupukan fosfor dan umur potong awal dalam meningkatkan berat bahan kering. Tabel 2. Pengaruh Pemupukan Fosfor dan Umur Potong Awal Terhadap Berat Bahan Kering Alfalfa (gram / polybag) Umur Potong Awal (Hari) 60 80 100 Rataan Pemupukan P (kg/ha) 0 0,98 1,46 2,82 1,76 30 0,88 1,44 3,9 2,07 60 0,95 1,88 2,8 1,88 90 0,84 2,13 3,79 2,25 180 1,45 1,98 3,52 2,32 Rataan 1,02 c 1,78 b 3,37 a Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh nyata (p<0,05) Alfalfa yang dipupuk dengan baik tidak hanya membuat produksi bahan kering per satuan luas lebih besar, namun juga membuat alfalfa dapat tumbuh kembali dengan lebih baik sesudah pemanenan dilakukan (Hughes, Metcalfe, dan Johnson, 1952). Whiteman (1980) menyatakan alfalfa responsif terhadap aplikasi pemupukan khususnya fosfor, namun berdasarkan uji sidik ragam diketahui bahwa pemupukan fosfor tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap berat bahan kering alfalfa. Banyak hal yang mempengaruhi produktivitas suatu tanaman, salah satunya adalah faktor lingkungan. Diduga pH tanah pada media tanam masih rendah (asam) akibat pemberian kapur yang kurang, sehingga fosfor menjadi tidak tersedia bagi tanaman akibat terjerap oleh Al dan Fe (lebih lanjut akan dibahas di bagian bawah). Meskipun pemupukan fosfor tidak memberikan pengaruh nyata secara statistik namun sebenarnya alfalfa memberikan respon terhadap pemupukan fosfor. Produksi bahan kering alfalfa cenderung meningkat seiring bertambahnya level pemberian pupuk SP36, walaupun kenaikannya tidak signifikan secara statistik. Hutton (1977) menyatakan bahwa legum tanggap terhadap pemberian P dalam bentuk superphospat. Perlakuan umur potong awal memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0,05) terhadap produksi bahan kering alfalfa. Selisih antara produksi bahan kering (per polybag) dengan umur potong awal 60 hari dan 80 hari yaitu sekitar 0,76 gram dan nyata secara statistik pada taraf 5%. Kemudian selisih antara produksi bahan kering dengan umur potong awal 80 hari dan 100 hari yaitu sekitar 1,59 gram dan nyata secara statistik pada taraf 5% (2 kali lipat selisih umur potong awal 60 hari dan 80 hari). Terjadi mobilisasi fosfor dari bagian tanaman yang tua ke bagian tanaman yang muda sehingga semakin lama umur potong, pembentukan jaringan muda menyebabkan kebutuhan fosfor meningkat. Hal ini sesuai dengan Gardner (1991) yang menyatakan sepanjang masa pertumbuhan vegetatif, akar, daun, dan batang merupakan daerah-daerah pemanfaatan yang kompetitif dalam hal hasil asimilasi. Proporsi hasil asimilasi yang dibagikan ke ketiga bagian organ ini dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan produktivitas. Daun muda yang sedang berkembang memerlukan hasil asimilasi yang diimpornya untuk penyediaan energi dan kerangka karbon yang diperlukannya untuk tumbuh dan berkembang sampai daun-daun itu dapat memproduksi hasil asimilasi yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Setelah daun menjadi dewasa dan mulai menua, daun itu mungkin gagal memenuhi kebutuhan energinya sendiri karena usia atau penaungan atau kedua-duanya. Sebelum mati, banyak senyawa anorganik maupun organik dalam daun dimobilisasi kembali dan ditranslokasikan ke bagian-bagian tanaman yang lain. 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 Umur Potong Awal 60 Hari Umur Potong Awal 80 Hari Umur Potong Awal 100 Hari Berat Bahan Kering (gram / polybag) Gambar 4. Berat Bahan Kering Berat bahan kering alfalfa yang rendah diduga terjadi karena alfalfa (tanaman C3) tidak mendapatkan cahaya matahari yang cukup banyak untuk melakukan proses fotosintesis secara optimal, mengingat kondisi cuaca pada saat penelitian (musim penghujan) cenderung berawan. Menurut Salisbury dan Ross (1995), cahaya adalah faktor lingkungan yang diperlukan untuk mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan, alasan utamanya tentu saja karena cahaya menyebabkan fotosintesis. Kelembaban udara yang tinggi diduga juga mempengaruhi rendahnya berat bahan kering alfalfa. Kota Bogor terletak pada ketinggian 190 sampai 330 meter dari permukaan laut. Udaranya relatif sejuk dengan suhu udara rata-rata setiap bulannya adalah 26°C dan kelembaban udaranya kurang lebih 70% (Wikipedia, 2008). Alfalfa tumbuh secara ekstensif pada kelembaban udara yang rendah dengan pengairan (Hughes, Metcalfe, dan Johnson, 1952). Berdasarkan berat bahan kering dengan mempertimbangkan aspek vigoritas hijauan alfalfa (Medicago sativa L.), maka perlakuan umur potong awal 100 hari lebih menguntungkan. Tinggi Vertikal Akhir Pertumbuhan tanaman dapat dilihat dari ukuran tanaman yang dapat dijadikan ciri pertumbuhan, salah satunya adalah dapat dilihat dengan satu dimensi yaitu tinggi tanaman (Lakitan, 1996). Tinggi vertikal akhir tanaman juga merupakan salah satu parameter di dalam hal vigoritas tanaman, selain berat bahan kering. Tabel 3. Pengaruh Pemupukan Fosfor dan Umur Potong Awal Terhadap Tinggi Vertikal Akhir Alfalfa (cm) Umur Potong Awal (Hari) Pemupukan P (kg/ha) 0 30 60 90 180 Rataan 60 80 100 43,92 48,90 62,64 41,94 49,28 57,79 38,55 49,92 57 43,65 53,33 62,78 45,14 50,69 59,38 42,64 c 50,42 b 59,92 a Rataan 51,82 49,67 48,49 53,25 51,74 Keterangan : superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh nyata (p<0,05) Berdasarkan uji sidik ragam diketahui bahwa pemupukan fosfor tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap tinggi vertikal akhir alfalfa. Diduga pH tanah pada media tanam masih rendah (asam) akibat pemberian kapur yang kurang, sehingga fosfor menjadi tidak tersedia bagi tanaman akibat terjerap oleh Al dan Fe. Akibatnya adalah alfalfa tidak mendapat suplai fosfor dari perlakuan pemupukan fosfor, padahal menurut Hardjowigeno (1995) pengaruh fosfor terhadap tanaman amatlah penting karena fosfor merupakan bagian dari inti sel, sangat penting dalam pembelahan sel dan juga untuk perkembangan jaringan meristem. Perlakuan umur potong awal memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p>0,05) terhadap tinggi vertikal akhir alfalfa. Umur potong awal 100 hari memberikan rataan tinggi vertikal akhir alfalfa paling tinggi yaitu 59,92 cm. Namun alfalfa dengan tinggi 59,92 cm masih terbilang pendek, karena menurut Wheeler (1950) alfalfa dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian sekitar 2,5 kaki atau 76,2 cm. Tinggi tanaman berkaitan erat dengan berat kering. Tinggi vertikal akhir alfalfa yang belum mencapai potensi optimalnya ini juga turut menyebabkan rendahnya berat kering alfalfa dalam penelitian, karena semakin tinggi tanaman, maka berat kering cenderung meningkat pula. Tinggi tanaman alfalfa yang terbilang pendek diduga terjadi karena pH tanah pada media tanam masih rendah (asam) akibat pemberian kapur yang kurang, sehingga fosfor menjadi tidak tersedia bagi tanaman akibat terjerap oleh Al dan Fe, padahal pengaruh fosfor terhadap tanaman amatlah penting karena fosfor merupakan bagian inti sel, sangat penting dalam pembelahan sel dan juga untuk perkembangan jaringan meristem (Hardjowigeno, 1995). Selain itu alfalfa (tanaman C3) diduga tidak mendapatkan cahaya matahari yang cukup banyak untuk bertumbuh, mengingat kondisi cuaca pada saat penelitian (musim penghujan) cenderung berawan. Lakitan (1996) menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh faktor keliling, dan yang paling primer tersangkut dalam pertumbuhan tanaman adalah energi penyinaran dalam bentuk panas dan cahaya. 70 60 50 40 30 20 10 0 Umur Potong Awal 60 Umur Potong Awal 80 Umur Potong Awal 100 Hari Hari Hari Tinggi Vertikal Akhir Gambar 5. Tinggi Vertikal Akhir Pemanenan alfalfa dengan memotong alfalfa pada ketinggian 3 cm di atas permukaan media tanam mengakibatkan ada sebagian alfalfa yang tidak dapat tumbuh kembali. Hal ini dikarenakan titik tumbuh (epikotil) ikut terpanen, dan menurut Meyer (1999) pertumbuhan vegetatif berjalan melalui pembelahan sel dan perluasan di dalam epikotil atau titik tumbuh pada tanaman muda. Oleh karena pertimbangan daya tumbuh kembali tanaman, maka pada proses pemanenan umur potong alfalfa 80 dan 100 hari pemotongan alfalfa dilakukan pada ketinggian 5 cm (terdapat titik tumbuh). Diketahui bahwa sekitar 7 hari setelah panen, alfalfa yang mendapat perlakuan umur potong awal 80 dan 100 hari dapat tumbuh kembali dengan cepat dan mencapai ketinggian kurang lebih 10 cm. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sanchez (1993) bahwa alfalfa memerlukan waktu yang lebih cepat untuk benar-benar tumbuh kembali setelah dirumput dibandingkan dengan berbagai spesies yang merambat seperti Desmodium spp, siratro, dan kacang bulu sangat peka terhadap peranggasan. Tanaman seperti alfalfa yang menawarkan kemungkinan hasil produksi untuk hay alfalfa per musim tanam, palatabilitas, dan nilai nutrisi yang tinggi ketika dipotong pada suatu masa pertumbuhan, maka pentingnya pemotongan atau pemanenan alfalfa pada waktu yang tepat adalah sudah jelas. Ketika pemanenan terlambat maka palatabilitas, kandungan protein, dan nilai pakan akan menurun semua. Namun sebaliknya, jika dipanen terlalu muda, hasil panenan akan rendah dan vigor (kekuatan) tanaman akan berkurang dengan tumbuhnya gulma dan alfalfa akan berumur pendek (Hughes et al., 1952). Berdasarkan tinggi vertikal akhir dengan mempertimbangkan aspek vigoritas hijauan alfalfa (Medicago sativa L.), maka perlakuan pemupukan fosfor sebanyak 0 kg P / ha dan umur potong awal 100 hari lebih menguntungkan. Kandungan Protein Kasar Kandungan protein kasar yang tinggi merupakan salah satu indikasi bahwa suatu tanaman pakan memiliki kualitas yang baik. Dalam penelitian ini alfalfa mengandung rataan protein kasar antara 26 – 29% dengan koefisien variasi 10%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hanson dan Barnes (1973) bahwa alfalfa memproduksi lebih banyak protein per hektar daripada tanaman lain untuk ternak. Sebagai perbandingan, lamtoro (Leucaena spp) yang merupakan hijauan pakan yang sering digunakan oleh para peternak, mempunyai kandungan protein kasar sekitar 18,75%. Flemingia macrophylla yang merupakan tanaman legum perdu mempunyai kandungan protein kasar antara 11-24%. Tabel 4. Pengaruh Pemupukan Fosfor dan Umur Potong Awal Terhadap Kandungan Protein Kasar Alfalfa (% dari Berat Bahan Kering) Umur Potong Awal (Hari) Pemupukan P (kg/ha) 0 60 180 Rataan 60 80 100 Rataan 27,4 23,9 29,7 27,0 28,0 24,8 28,3 27,0 30,5 29,2 28,8 29,5 28,6 26,0 29 Berdasarkan uji sidik ragam diperoleh bahwa pemupukan dan umur potong tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap kandungan protein kasar alfalfa. Rataan kandungan protein kasar alfalfa cenderung untuk meningkat bila dipupuk dengan level fosfor yang semakin meningkat, walaupun kenaikannya tidak signifikan. Respon alfalfa ketika diberi pupuk dengan 60 kg P/ha sangat kecil yaitu protein kasar hanya bertambah sekitar 0,06% dari kontrol. Pemberian pupuk 180 kg P/ha hanya menambah protein kasar alfalfa sekitar 2,5% dari kontrol dan tidak berbeda nyata secara statistik. Rataan kandungan protein kasar alfalfa pada saat umur potong awal 60 hari sebesar 28,6% cenderung menurun pada saat umur potong awal 80 hari yaitu menjadi 26,0%, dan kemudian cenderung naik lagi menjadi 29% pada saat umur potong awal 100 hari meskipun tidak berbeda nyata secara nyata secara statistik. Perubahan kandungan protein dalam kondisi optimal dapat disebabkan karena perbedaan kandungan unsur hara tanah terutama nitrogen dan umur tanaman. Perubahan umur tanaman dari muda ke umur tanaman lebih tua pada umumnya menurunkan kandungan protein hijauan. Hal ini terjadi karena adanya mobilisasi nitrat dari jaringan tua ke jaringan lebih muda, namun pada penelitian ini ternyata perbedaan umur dari 60-100 hari tidak menunjukkan fenomena perubahan protein secara nyata menurut analisis statistik. Berdasarkan tabel 4 terlihat bahwa alfalfa (Medicago sativa L.) termasuk tanaman lambat mengalami penuaan, ini terbukti dari tidak adanya penurunan kandungan protein kasar meskipun umur potong awal ditambah. Berarti jika alfalfa dibudidayakan dengan orientasi untuk memproduksi benih (memerlukan umur lebih lama, 100 hari), maka produk yang dihasilkan yaitu benih dan sekaligus hijauan makanan ternak yang berkualitas. Kandungan Serat Kasar Tabel 5. Pengaruh Pemupukan Fosfor dan Umur Potong Awal Terhadap Kandungan Serat Kasar Alfalfa (% dari Berat Bahan Kering) Umur Potong Awal (Hari) Pemupukan P (kg/ha) 0 60 180 Rataan 60 80 100 Rataan 24,4 24,35 24,88 24,54 24,49 23,93 23,77 24,06 23,44 25,46 23,46 24,12 24,11 24,58 24,04 Rataan kandungan serat kasar alfalfa dalam penelitian ini yaitu sebesar 24%. Perlakuan pemupukan fosfor dan umur potong awal tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan serat kasar alfalfa. Berdasarkan analisis kandungan serat kasar maka dapat disimpulkan bahwa perlakuan pemupukan fosfor sebanyak 0 kg P / ha dan umur potong 60 hari lebih menguntungkan. Secara kimiawi, dinding sel serat terutama adalah selulosa. Kebanyakan dinding sel terdiri atas sejumlah besar persentase dari lignin. Kandungan yang lain terdiri dari jumlah yang kecil termasuk tannin, dyes, dan bermacam larutan atau komponen yang siap diubah. Namun serat yang yang baik adalah yang mendekati selulosa murni, sebuah polimer kompleks dari residu rantai glukosa (C6H10O5)n dari panjang molekular yang besar (Janick et al, 1969). Secara fisiologis pembentukan serat kasar dan proses lignifikasi terkait dengan laju fotosintesis dan akumulasi bahan kering. Berdasarkan tabel 5 terlihat bahwa alfalfa (Medicago sativa L.) termasuk tanaman lambat mengalami penuaan, ini terbukti dari tidak adanya kenaikan kandungan serat kasar meskipun umur potong awal ditambah. Hal ini juga menunjukkan bahwa alfalfa merupakan hijauan makanan ternak ruminansia yang berkualitas tinggi karena mempunyai kandungan serat kasar yang tergolong rendah yaitu hanya berkisar 24%. Pembahasan Umum Penelitian Hal pertama yang menyebabkan pemupukan SP36 tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diamati adalah diduga masih rendahnya dosis kapur untuk mencapai pH tanah yang diharapkan yaitu sampai 6. Menurut Plaster (1992) seperti pupuk ammonia, pupuk kandang dapat menurunkan pH. Kira-kira 1 ton kapur akan menghilangkan keasaman yang dihasilkan dari 10 ton pupuk kandang. Jadi dengan pemberian pupuk kandang sebesar 500 ton / ha, maka seharusnya dilakukan penambahan kapur lagi sebanyak 50 ton / ha. Pemberian kapur dolomite sebanyak 10 ton / ha dalam penelitian ini dilakukan hanya untuk menaikkan pH tanah latosol dari 4 sampai mendekati pH tanah netral. Kekurangan kapur inilah yang membuat tanah tetap asam karena pengaruh pupuk kandang yang diberikan, sehingga pH tanah yang netral untuk pertumbuhan alfalfa yang optimal tidak tercapai. Pada tanah yang masih asam, terjadilah fiksasi fosfat yang akhirnya menyebabkan pemupukan SP36 tidak berpengaruh nyata terhadap produksi bahan kering, tinggi tanaman, kandungan protein kasar, dan kandungan serat kasar. Reaksi fiksasi fosfor atau jerapan (absorbsi) terjadi oleh ion-ion Ca2+, Fe3+, dan Al3+. Jerapan adalah pelekatan suatu zat padat pada permukaan koloid (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 1991). Unsur fosfor (P) diserap oleh tanaman dalam bentuk orthophosphat primer (H2PO4-) dan dalam bentuk orthophosphat skunder (HPO42-) pada tanah alkali. Orthophosphat merupakan anion dan dapat mengalami reaksi kimia dengan Ca2+, Fe3+, dan Al3+. Jika reaksi ini terjadi maka fosfat tidak akan lama tersedia di dalam tanah. Reaksi ini dinamakan reaksi fiksasi fosfor (Sopher et al, 1982). Semakin tinggi dosis pemupukan fosfor, maka semakin tinggi pula peningkatan jerapan terhadap fosfor yang diberikan, sehingga perlakuan pemupukan fosfor (SP36) terhadap produksi bahan kering, tinggi tanaman, kandungan protein kasar, dan kandungan serat kasar alfalfa menjadi tidak berbeda nyata. Hal ini sesuai dengan penjelasan yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, (1991) bahwa ion-ion logam dapat membentuk suatu jerapan antara senyawa organik dan permukaan liat. Peningkatan jerapan dengan rantai organik yang panjang ditimbulkan oleh gaya Van der walls dan menjadi lebih sangkil bila ukuran molekul bertambah. Hal kedua yang menyebabkan pemupukan SP36 tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diamati diduga karena pH tanah yang masih rendah akibat pemberian kapur yang kurang, sehingga banyak fosfor yang tidak tersedia akibat terjerap oleh Al dan Fe. Sebenarnya pupuk kandang sendiri memiliki kandungan P2O5 yang sangat rendah, yaitu hanya sekitar 4 pounds / ton pupuk kandang, namun pupuk kandang dapat membantu mencegah fosfor dari proses fiksasi dalam tanah, dan membuat fosfor menjadi lebih tersedia bagi tanaman (Plaster, 1992). Keberadaan pupuk kandang (500 ton / ha) pada awal pemberian menyebabkan pH tanah menjadi rendah atau asam, namun seiring dengan berjalannya waktu pH tanah akan meningkat dan tanah menjadi basa. Kelarutan fosfat dalam tanah sangat rendah terutama pada pH rendah (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 1991), namun dalam keadaan basa (pH tanah tinggi), akibat pengaruh pemberian pupuk kandang, fosfat potensial (Tabel 6) dalam tanah dapat digunakan dan menyebabkan tanah menjadi kaya akan unsur fosfor sehingga pengaruh pemupukan SP36 menjadi tidak berbeda nyata terhadap produksi bahan kering. Apalagi fosfor (SP36) pada awal pemberian pupuk kandang sudah banyak Tabel 6. Ciri Fisik dan Kimia Tanah Latosol Darmaga Analisis* PH H2O (1 : 1) Metode* Kandungan* Penilaian** pH meter 4,56 Masam KCl (1 : 1) C-organik (%) N-total (%) P-tersedia (ppm) P-total (ppm) Basa-basa 3,61 Walkley dan Black 2,15 Sedang Kjeldahl 0,23 Sedang Bray-1 4,9 Sangat Rendah HCl 25% 133,0 Sangat Tinggi N NH4 Oac pH 7,0 Ca-dd (me/100g) 2,25 Mg-dd (me/100g) 1,58 K-dd (me/100g) 0,46 KTK (me/100g) 16,36 KB (%) 29,40 Al-dd (me/100g) N KCl Kejenuhan Al (%) H-dd (me/100g) Unsur mikro 2,42 33,47 N KCl 0,28 0,05 N HCl Fe (ppm) 15,88 Cu (ppm) 0,52 Zn (ppm) 3,88 Mn (ppm) 43,80 Tekstur Pipet Pasir (%) 4,90 Debu (%) 19,43 Liat (%) 75,67 Kelas Tekstur = Liat Keterangan : * Arios (2005) ** Pusat Penelitian Tanah (1983) Rendah Tinggi yang terjerap oleh ion-ion Ca2+, Fe3+, dan Al3+ seperti penjelasan yang sudah diberikan sebelumnya. Lakitan (1996) menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh faktor keliling, dan yang paling primer tersangkut dalam pertumbuhan tanaman adalah tanah yang member hara dan kelembaban disamping sebagai penyokong secara mekanis Faktor ketiga yang menyebabkan pemupukan fosfor (P) tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diamati adalah bentuk pupuk SP36 pada saat diberikan. Pupuk SP36 diberikan dalam bentuk serbuk, yang akan cepat habis ketersediaannya di dalam tanah apalagi ditambah dengan adanya pencucian oleh aktivitas penyiraman. Seharusnya pupuk SP36 diberikan dalam bentuk granule yang tidak mudah habis atau tercuci oleh aktivitas penyiraman. Hal keempat yang menyebabkan fosfor (P) tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diamati adalah penempatan pupuk. Tempat yang tepat dalam aplikasi pupuk akan menyediakan bagi tanaman pasokan nutrien yang cukup. Metode yang paling baik ditentukan beberapa faktor, seperti tanaman seperti apa yang akan ditanam, tipe tanah, tingkat kesuburan tanah, dan sesuai dengan pilihan atau keinginan petani (Sopher et al, 1982). Penyiapan media tanam dengan cara diaduk bertujuan agar pupuk dapat merata di setiap bagian dari polybag. Namun ternyata setelah melihat pemupukan SP36 yang tidak berpengaruh nyata maka disimpulkan metode penempatan pupuk yang dipakai kurang tepat. Penempatan pupuk untuk penelitian seperti ini perlu mempertimbangkan penggunaan polybag sebagai tempat media tanam dan pencucian unsur hara karena aktivitas penyiraman. Penempatan pupuk SP36 (granule) pada media tanam dengan kedalaman 1-2 cm dari permukaan media tanam (tanpa diaduk) dapat menjadi pilihan.