BAB V KEBIJAKAN PEMBANGUNAN Sejak dahulu sampai

advertisement
BAB V KEBIJAKAN PEMBANGUNAN
Sejak dahulu sampai sekarang, praktek politik tidak bisa dilepaskan begitu saja
dengan ekonomi. Kehidupan politik dan kehidupan ekonomi saling bertemu, saling
mempengaruhi dan jalin menjalin. Dalam setiap tindakan politik ada aspek ekonominya,
demikian pula struktur perekoomian suatu masyarakat dapat mempengaruhi lembagalembaga-lembaga politik.
Sampai abad ke-17 M, keterlibatan pemerintah dalam bidang perekonomian dapat
ditelusuri dengan adanya usaha negara Spanyol dalam membiayai penjelajahan Colombus
untuk menemukan jalan terpendek dari Eropa ke India. Berhasilnya penemuan tersebut
mengakibatkan dorongan yang luar biasa kepada negara-negara Eropa untuk berlombalomba mengejar kekayaan-salah satunya dengan menjajah negara-negara di Asia yang
mereka temukan. Dari sini kemudian berkembang sebuah aliran atau paham ekonomi
Merkantilis (negara merupakan faktor positif “pemimpin’ dalam perekonomian. 1
Politik perekonomian merkantilisme sebagai aliran perekonomian bertujuan untuk
memperkuat negara dengan jalan akumulasi kekayaan atau kapital, karena itu
pembangunan ekonomi harus diprioritaskan. Kalau upaya akumulasi ini tidak cukup
dilakukan dalam negeri, perdagangan internasional harus digalakkan sebagai sarana
perjuangan mencapai kepentingan akumulasi kapital. Demi memperoleh surplus sebanyak
mungkin dari perdagangan internasional dalam lingkungan yang penuh konflik,
pemerintah dalam masing-masing negara harus mengembangkan kebijaksanaan
“nasionalis ekonomi”, yaitu dengan : pertama, menerapkan pengendalian harga dan upah
buruh sehingga barang yang dihasilkan bisa dijual dengan harga yang bersaing di pasar
internasional; menerapkan strategi industrialiasi substitusi impor, ketiga, menggalakkan
ekspor barang manufaktur dan membatasi impor hanya untuk komoditi pasar. 2
Pada abad ke-18, lahirlah di Eropa stelsel perekonomian baru yang didasarkan atas
ajaran Quesnay di Perancis dengan aliran phisiokratnya dan Adam Smith di Inggris dengan
aliran klasiknya yang membuka aliran perekonomian liberal. Stelsel perekonomian ini
berbeda sekali dengan stelsel perekonomian merkantilisme. Jika dalam stelsel
perekonomian merkantilisme negara memainkan peran positif dalam
bidang
perekonomian, maka sebaliknya aliran liberalisme justru tidak menghendaki campur
tangan negara dalam bidang ini. Negara harus membiarkan individu masing-masing
mencari kesejahteraannya, berusaha dan berekonomi dengan sebebas-bebasnya dalam
ekonomi domestik maupun internasional. Dengan kata lain, mereka menganjurkan pasar
bebas. Selanjutnya, pada akhir Perang Dunia I di Inggris dikemukakan ide-ide tentang
“Negara Kesejahteraan (Welfare State), antara lain oleh pelopor-pelopor “Fabian
Society”3, sebagai akibat dari tidak terjadinya keseimbangan dalam pemenuhan lapangan
pekerjaan (full employment) dari politik ekonomi liberalis.
Pada waktu itu, walaupun pasar telah mencapai keseimbangan makro ekonomi,
namun di sisi lain telah banyak menimbulkan pengangguran dan hal ini merupakan sumber
kemiskinan. Dalam situasi tersebut, penciptaan lapangan pekerjaan tidak bisa dilakukan
1
lagi oleh pasar. Karena itu negara harus turun tangan untuk melakukan investasi, bahkan
investasi besar untuk menciptaan proyek berskala besar guna mencipakan kesempatan
kerja. 4 Dari sini kita kembali melihat, bahwa negara memainkan peranan positif dan
konstruktif dalam semua bidang, terutama dalam sektor perekonomian. Campur tangan
negara dalam sektor perekonomian yang vital dapat dipandang sebagai salah satu ciri dari
perekonomian abad ke dua puluh satu ini.
Ada dua kebijakan yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mempengaruhi
pembangunan, yaitu kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.
Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter adalah upaya mengendalikan atau mengarahkan perekonomian makro
ke kondisi yang diinginkan dengan mengatur jumlah uang yang beredar. Yang dimaksud
dengan kondisi lebih baik adalah meningkatnya output keseimbangan dan atau
terpeliharanya stabilitas harga. Melalui kebijakan moneter, pemerintah dapat
mempertahankan kemampuan ekonomi untuk tumbuh, sekaligus mengendalikan inflasi.
Jika yang dilakukan adalah menambah uang beredar, maka pemerintah dikatakan
menempuh kebijakan moneter ekspansif. Sebaliknya jika jumlah uang berdar dikurangi,
pemerintah menempuh kebijakan moneter kontraktif.5
Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pengaturan kinerja
ekonomi melalui mekanisme penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan fiskal
terwujud dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Dalam dokumen
APBN, kita dapat melihat berapa pendapatan pemerntah, darimana saja pendapatan
tersebut, komposisi pendapatan, penduduk mana atau siapa yang terkena beban tinggi dan
beban rendah dari total pendapatan pemerintah, untuk apa saja pendapatan pemerintah,
sektor mana yang mendapat alokasi pengeluaran tinggi dan mana yang rendah, dan
sebagainya. 6
Kebijakan fiskal sebagai sarana menggalakkan pembangunan ekonomi bermaksud
mencapai tujuan berikut : 7
1. Meningkatkan laju investasi. Kebijakan fiskal bertujuan meningkatkan dan
memacu laju investasi di sektor swasta dan sektor negara. Ini dapat dicapai dengan
mengendalikan konsumsi baik aktual maupun potensial dan dengan meningkatkan
rasio tabungan marginal.
2. Mendorong investasi optimal secara sosial. Kebijakan fiskal harus mendorong
investasi ke jalur-jalur yang diinginkan masyarakat. Ini berkaitan dengan pola
optimum investasi dan menjadi tanggung jawab dari negara untuk mendorong
investasi pada overhead sosial dan ekonomi. Seperto investasi di bidang transport,
perhubungan, konservasi lahan untuk overhead ekonomi. Sedang investasi di
2
bidang pendidikan, kesehatan masyarakat, dan fasilitas latihan teknik untuk
overhead sosial kedua kategori investasi ini menghasilkan ekonomi eksternal.
3. Meningkatkan kesempatan kerja. Pemerintah juga harus menyelenggarakan
pekerjaan umum lokal pembangunan masyarakat yang melibatkan banyak buruh
dan sedikit modal perkapita, mendirikan perusahaan negara, mendirikan
perusahaan negara, mendorong perusahaan swasta tumbuh lewat tax holiday,
pinjaman murah, subsidi dan sebagainya.
4. Meningkatkan stabilitas ekonomi di tengah ketidakstabilan internasional.
Kebijakan fiskal harus meningkatkan usaha mempertahankan stabilitas ekonomi
menghadapi fluktuasi siklus internasional jangka pendek.
5. Menanggulangi inflasi. Adanya ketidakseimbangan antara permintaan dan
penawaran sumber-sumber riil, maka harus ada tindakan fiskal untuk
menanggulangi itu semua yaitu baik berupa pajak yaitu pajak langsung progresif
yang dilengkapi pajak komoditi dan didukung oleh penerapan tindakan moneter
yang tidak bertentangan.
6. Kebijakan fiskal berguna untuk mengelola permintaan dan penawaran angregat.
Misalnya, pengenaan pajak progresif akan mengendalikan hawa nafsu individu
atau perusahaan yang mencoba terus meningkatkan keuntungan mereka.
Pemerintah juga dapat menggunakan pajak dan subsidi untuk meningkatkan
penawaran agregat. Misalnya, subsidi pendidikan yang diberikan kepada pengelola
pendidikan swasta
Kebijakan Pemerintah dalam Ekonomi Pembangunan dalam Islam
Kebijakan Fiskal dalam Islam
Kebijakan fiskal dalam Islam memiliki orientasi ideologi yang berbeda dengan
konvensional. Kebijakan fiskal yang diimplementasikan harus membawa nilai-nilai Islam.
Berdasarkan dari kualitas dan kuantitas yang ingin dicapai, kebijakan fiskal yang
ditetapkan harus menggambarkan fisosofi dasar Islam dan oleh karena itu pertimbangan
kekurangan negara dalam mewujudkan kedua tujuan tersebut harus dianalisis dengan baik.
Negara harus mengidentifikasi bagian yang dianggap kurang dan tidak pernah
berhenti menganalisa akar permasalahannya dan mencari solusinya. Bagaimanapun juga,
permasalahan ekonomi selalu terkait dengan problem sosial yang mengakibatkan tidak
efektifnya pendidikan dan sistem hukum yang berlaku. Ada sebuah tanggungjawab yang
harus diemban untuk membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan dan dukungan.
Negara secara aktif menyediakan lingkungn yang kondusif untuk mencapai dua elemen
moral dan kemajuan ekonomi tersebut.
3
Ada beberapa cendekiawan muslim yang berpendapat lain, bahwa Negara cukup
bertanggung jawab dalam hal kebijakan fiskal, berakhir pada terpenuhinya kebutuhan
hidup standar masyarakat. Namun ini hanya sebagian kecil saja. Dua pendapat ini
melahirkan perbedaan pandangan dalam mengambil fiskal. Pendapat pertama, negara akan
aktif dalam mengatur sistem pajak secara hati-hati untuk menbantu efektifitas zakat. Jika
pendapat kedua, akan mengambil kebijakan pajak yang rendah untuk memaksimumkan
usaha, sehingga aktivitas ekonomi tidak terganggu oleh tingginya tingkat pajak. Dalam
kasus ini, distribusi kekakayaan hanya tergantung pada efektifnya pengumpulan dan
pendistribusian zakat.
Terlepas dari dua pendapat di atas, ada konsensus terhadap prinsip utama dari
tujuan pembangunan. Semua setuju untuk menetapkan pajak dalam batas wajar, tidak
membahayakan insentif untuk masyarkat melakukan usaha. Kebijakan fiskal juga harus
terhindar dari hal-hal yang tidak perlu dan pengeluaran yang sia-sia yang akan merusak
konsep moderat standar hidup dalam Islam. Seperti membangun super stadium yang
memberikan dampak sangat kecil bagi kesejahteraan masyarakat. Baitul maal yang ada
harus benar-benar efisien dan para eksekutifnya mengatur penerimaan dan pemasukannya
dengan tepat.
Dalam ekonomi Islam, kebijakan fiskal mempunyai peran yang lebih penting
dibanding sistem pasar bebas dalam ekonomi konvensional, didasarkan pada hal :
1. Peran kebijakan fiskal akan relatif lebih dibatasi dalam ekonomi Islam dibanding
dengan sistem pasar bebas dalam ekonomi konvensional, pertama, tingkat bunga
tidak mempunyai peran dalam ekonomi Islam. Kedua, Islam tidak membolehkan
perjudian yang mengandung spekulasi. Hal ini membawa pada implikasi :
a. Operasi pasar terbuka tidak bisa efektif dalam ekonomi Islam. Persediaan
nilai tukar.
b. Tidak akan ada permintaan unag untuk tujuan spekulasi. Permintaan uang
akan menjadi tujuan untuk zakat dan kewajiban atas kas yang menganggur.
2. Pemerintah harus lebih keras dan tegas dalam menjamin bahwa pungutan atas zakat
dapat dikumpulkan dari setiap muslim yang mempunyai kelebihan harta melebihi
batas nishab dan ditujukan untuk yang berhak menerimanya.
3. Selam hutang negara didasarkan atas tidak adanya bubga, maka pengeluaran
pemerintah akan lebih banyak dibiayai dari pengumpulan zakat, pajak, serta
perolehan bagi hasil. Oleh karena itu, ukuran dari hutang negara akan lebih sedikit
dalam ekonomi Islam dibanding dalam ekonomi konvensioanl.
Kebijakan Fiskal Periode Awal Islam
Pada masa Rasulullah, kebijakan fiskal yang diambil meliputi tindakan-tindakan
sebagai berikut :
1. Pendapatan nasional dan partisipasi kerja, meliputi tindakan :
a. mempekerjakan kaum Muhajirin dengan Anshor, yang tentu saja
menimbulkan mekanisme distribusi pendapatan dan kekayaan sehingga
meningkatkan permintaan agregat terhadap output yang akan
diproduksi.
4
b. Pembagian tanah, yaitu memberikan modal untuk berusaha yang
dampaknya tentu akan menyerap tenaga kerja serta meningkatkan
pendapatan mayarakat yang imbasnya akan menaikkan tingkat
konsumsi masyarakat yang mendorong kenaikan agregat demand.
c. Menghubungkan kerjasama (partnership) antara kaum Muhajirin dan
Ansor dalam hal modal, sumber daya manusia yang akan meningkatkan
produksi total.
2. Kebijakan pajak, yaitu kebijakan yang dikeluarkan pemerintah berdasarkan
atas jenis dan jumlahnya (pajak proporsional). Misalnya saja terkait dengan
pajak tanah, maka tergantung produktivitas dari tanah tersebut atau
berdasarkan atas zonanya.
3. Menerapkan kebijakan fiskal berimbang. Untuk kasus ini, pada masa
Rasulullah dengan motode tersebut hanya mengalami sekali defisit neraca
anggaran belanja yaitu setelah terjadinya “Fathul Makkah”, namun
kemudian kembali membaik (surplus) setelah perang Hunain.
4. Kebijakan fiskal khusus. Kebijakan ini dikenakan dari sektor voulentair
(sukarela) dengan cara meminta bantuan muslim kaya. Jalan yang
ditempuh yaitu dengan memberikan pinjaman kepada orang-orang tertentu
yang baru masuk Islam serta menerapkan kebijakan insentif.
Anggaran Publik
Kebijakan anggaran publik merupakan bagian dari kebijakan fiskal selain pajak
dan transfer. Untuk komponen-komponen kebijakan pengelolaan anggaran di satu pihak
tidak akan terlepas dari kebijakan pajak sehubungan dengan penggalian sumber-sumber
pendapatan negara, dan di pihak lain dengan transfer payment seperti social safety net,
sehubungan dengan alokasi belanja negara.
Penyusunan anggaran yang efisien sangat penting karena keterkaitannya dengan
berbagai sektor perekonomian lainnya. Kontribusinya yang besar tidak hanya dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dalam pengurangan penduduk miskin dan
menciptakan stabilitas ekonomi serta peningkatan pendapatan perkapita.
Para ulama terdahulu telah memberikan kaidah-kaidah umum yang didasarkan dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam memandu kebijakan belanja pemerintah. Di antara
kaidah-kaidah tersebut adalah :
 Pembelanjaan pemerintah harus diperuntukkan untuk kemaslahatan umat. Bukan
untuk kemaslahatan seseorang atau kelompok masyarakat tertentu, apalagi
kemaslahatan pejabat pemerintah
 Menghindari kesulitan dan mudharat harus didahulukan daripada harus melakukan
pembenahan.
 Mudharat individu dapat dijadikan alasan demi menghindari mudharat dalam skala
umum.
5

Kaidah al-gurmu bil gurmi, yaitu kaidah yang menyatakan bahwa yang
mendapatkan manfaat harus siap menanggung beban, yang ingin untung harus siap
menanggung kerugian.
 Kaidah ma la yatimmu al-wajibu illa bihi fahuwa wajib, bahwa sesuatu hal yang
wajib ditegakkan, dan tanpa ditunjang oleh faktor penunjang lainnya maka tidak
dapat dibangun, maka menegakkan faktor penunjang tersebut menjadi wajib
hukumnya.
Kebijakan belanja publik dalam system ekonomi Islam, dapat dibagi menjadi 3
bagian :
Secara konseptual, anggaran publik pemerintah dalam ekonomi konvensional
maupun ekonomi Islam hampir sama. Namun demikian, tujuan-tujuan yang ingin
dicapainya, anggaran publik dalam Islam selalu ditujukan untuk menciptakan keadilan,
sehingga segala sesuatunya harus berdasarkan pada aturan al-Qur’an dan hadits.
Sedangkan dalam ekonomi konvensional, kebijakan anggaran publik hanya sebagai
komponen kebijakan moneter untuk pencapaian tujuan makro ekonomi.
Proses pembuatan struktur anggaran publik dan penentuan prioritas anggarannya
sebaiknya melalui musyawarah. Dengan musyawarah, partisipasi publik melalui wakilnya
di setiap tingkatan akan melahirkan anggaran publik yang memang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Ada beberapa alas an bahwa anggaran publik harus
dimusyawarahkan, yaitu :
 Mengizinkan masyarakat melalui wakilnya untuk mengatur alokasi anggaran.
 Untuk menambah kepercayaan diri pemerintah melakukan tindakan, karena
pemerintah merasa langkahnya telah disepakati bersama.
 Untuk memudahkan masyarakat melalui wakilnya melakukan pengecekan dari
setiap tindakan pemerintah yang menyalahi komitmen bersama yang telah
dibuat.
Dalam sistem anggaran Islami, anggaran defisit diperbolehkan, tapi sedapat
mungkin dihindarkan. Sejarah perjuangan Rasulullah SAW mencatat sekali saja anggaran
defisit yaitu ketika jatuhnya kota Mekkah. Utang pemerintah ini dibayar sebelum satu
tahun yaitu segera setelah usainya perang Hunain. Porsi alokasi dana untuk pembangunan
infrastruktur relatif cukup besar. Misalnya khalifah Umar pada jamannya pernah
memerintahkan Amr bin Ash yang menjabat sebagai Gubernur Mesir untuk
membelanjakan minimal sepertiga dana Baitul Mal untuk pembangunan infrastruktur.
Beliau juga membangun kanal antara Kairo dan pelabuhan Suez untuk memfasilitasi
pelayanan antara Hijaz dan Mesir, selain juga membangun dua kota bisnis Kufah dan
Basrah.
1
George Soule, 1994, Pemikiran Para pakar Ekonomi Terkemuka dari Aristoteles Hingga Keynes, (Terjemah
Gilarso), Yogyakarta : Kanisisius, hal.33
6
2
Mohtra Mas’oed, 1994, Ekonomi Politik Internasional dan Pembangunan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
hal. 20.
3
F.Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Semarang : Putra Bardin, hal. 77
4
M. Dawam Rahardjo, ”Peran Negara dalam Proses Demokrasi Ekonomi” dalam Jurnal Reformasi Ekonomi,
No.1 Januari – April 2001, hal. 19.
5
Prahatma Rahardja, 2006. Teori Ekonomi Makro. Jakarta : Lembaga Penerbit FE UI, hal. 269.
6
Bramantyo Djohanputro, MBA, Ph.D, 2006.Prinsip-prinsip Ekonomi Makro. Jakarta : PPM, hal. 106.
7
Nurkse R, Problems of Capital Formation in Underdeveloped Countries, hal. 142 -143
7
Download