BAB II KAJIAN PUSTAKA Kebebasan politik yang tersedia di masa reformasi, telah membuka kesempatan bagi kebangkitan gerakan social di Indonesia. Era reformasi menyediakan struktur kesempatan politik yang lebih terbuka. Termasuk didalamnya sebuah ruang politik yang lebih ramah bagi gerakan buruh. Menyusul reformasi 1998, ada begitu banyak organisasi buruh yang tumbuh. Tidak ada lagi pembatasan yang bersifat politik. Siapa saja bisa membentuk organisasi buruh. Ruang kebebasan bagi buruh untuk memperjuangkan kepentingannya terbuka lebar (Rekson Silaban, 2009: 1-2). II.1. Sejarah Pergerakan Buruh di Indonesia Gerakan buruh di Indonesia berawal dari gerakan buruh sektor perkebunan dan transportasi pada era kolonialisme Belanda. Bahkan kehadiran organisasi-organisasi buruh atau kaum pekerja mendahului partai politik dan organisasi massa yang lain. Kehadiran serikat buruh pertama kali dapat dilacak pada tahun 1905, ketika para pegawai Kereta Api Negara mendirikan SS Bond (Staatsspoorwegen). Serikat buruh ini kemudian berkembang kuat ketika para pekerja kereta api baik Negara maupun swasta sepakat membentuk VSTP (Vereeniging van Spoor-en Tramveg Personeel in Nedelansch-Indie) pada 14 November 1908. Dibawah kepemimpinan Semaoen serikat pekerja ini berkembang militan. Pada masa kolonialisme Belanda, otoritas Hindia Belanda memperlakukan gerakan buruh sebagai gerakan politik yang berbahaya. Gerakan buruh diberangus dan banyak aktivisnya dikejar-kejar. Dari sisi gerakan buruh sendiri, watak politik menjadi tak terelakkan karena satu-satunya pemecahan terhadap masalah kemiskinan, kesengsaraan, dan penindasan kelas pekerja saat itu adalah tumbangnya rezim kolonial Belanda. Cikal bakal munculnya organisasi pekerja lahir dari kongres IV Serikat Islam (SI) di Surabaya. Dari kongres itu lahir sebuah federasi pkerja (buruh) yang bernama PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh). Alimin, Samaoen dan Soejopratnoto menjadi pengurus federasi ini. Dalam program umumnya, PPKB menetapkan Negara sebagai pelaksana perintah rakyat dan berfungsi untuk mempersatukan kaum buruh untuk mengubah nasibnya. Gerakan oranisasi ini sarat dengan muatan politis, namun tetap dilakuka untuk mendukung aksi-aksi ekonomi pekerja (buruh). Pada kongres V dan VI diadakanlah suatu pertemuan untuk memutuskan pembersihan organisasi dari orangorang yang tidak sealiran. Pada tahun 1920 Samaoen dan Alimin mendirikan PKI, yaitu anggota SI yang terkena pembersihan. Perpecahan PPKB melahirkan Revoluntionaire Vakcentrale (RV) yang diketuai oleh Samaoen, pengurus VSTP (Serikat Pekerja Kereta Api) Semarang. Organisasi inilah yang kemudian menjadi awal gerakan buruh progresif di Indonesia. Pada tahun 1921, pemerintah colonial mengalami kelesuan ekonomi yang ditandai dengan rasionalisasi perusahaan. Pada masa ini aksi-aksi pemogokan banyak terjadi. Pemerintah Kolonial juga mengaktifkan kantor pengawasan bperburuhan yang berada dibawah Depatemen Kehakiman yang mana bagian ini secara terpusat mengawasi pergerakan Serikat Pekerja (buruh) dan mengamati kebutuhan dikeluarkannya peraturan hukum baru menyangkut perburuhan. Dari golongan bangsa Indonesia, RV membangun hubungan dengan Profintern (organisasi buruh internasional saat itu) dan menjadi anggotanya pada tahun 1923. sejalan dengn itu rganisasi-organisasi buruh tetap bermunculan tapi tidak seprogresif sebelumnya. Organisasi-organisasi tersebut terus aktif hingga Perang Dunia II terjadi pada saat Perang Dunia II emerintah membentuk panitia untuk mengurus soal-soal perburuhan yang terdiri dari wakil pemerintah, majikan dan pekerja (buruh). Panitia ini bertugas menyelesaikan perselisihan perburuhan langkah ini diambil karena pemerintah colonial perlu menjamin beroperasinya perusahaanperusahaan yang terlibat dalam perang tersebut. Pada masa awal kemerdekaan, gerakan buruh juga aktif dalam politik guna memperkuat kemerdekaan Indonesia. Tak lama setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, sejumlah perwakilan buruh berkumpul di Jakarta guna merumuskan platform bersama dalam cara bagaimana gerakan buruh bisa ikut memperkuat republik yang baru berdiri tersebut. Pertemuan itu kemudian berhasil membentuk Barisan Buruh Indonesia (BBI). BBI mengutamakan barisan buruh untuk memudahkan mobilisasi oleh Serikat Pekerja dan Partai Buruh. Dalam kongresnya pada bulan September 1945 yang dihadiri oleh kaum buruh, tercetuslah Partai Buruh Indonesia (PBI). Barisan Buruh Indonesia (BBI) juga sepakat untuk menuntaskan revolusi nasional. Untuk mempertahankan tanah air dari serangan musuh BBI membentuk Laskar Buruh Bersenjata di pabrik-pabrik. Untuk kaum perempuan dibentuk Barisan Buruh Wanita (BBW). Pada tahun 1946, BBI dilebur menjadi Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GABSI). Serikat Buruh tidak sepakat dengan struktur GABSI keluar dan membentuk Gabungan Serikat Buruh Vertikal (GASBV). Di tahun yang sama kemudian dibentuklah SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia hasil leburan GABSI dan GASBV oleh Alimin dan Harjono. Pada tahun 1950-an dan awal 1960-an, SOBSI yang didukung PKI adalah organisasi buruh yang paling aktif dan kuat diantara banyaknya organisasi buruh yang memiliki kaitan dengan partai politik. SOBSI sangat berpengaruh, misalnya dalam nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di akhir 1950-an. Namun, keadaan darurat militer dan kendali manejarial pada perusahaan-perusahaan tersebut menempatkan tentara pada posisi ang kemudian malah berhadapan langsung dengan keompok-kelompok militant gerakan buruh yang biasanya dipimpin oleh kelompok komunis (Hawkins, 1963). Penghancuran PKI menyusul peristiwa 1965 telah mengakibatkan lenyapnya tradisi politik gerakan serikat buruh dan warisan ini terus meghambat buruh terorganisasi di Indonesia. Sejak 1970-an hingga kejatuhan rezim Orde Baru pimpinan Soeharto, buruh dihambat oleh system korporatis yang sangat otoriter yang hanya memberikan ruang kepada satu federasi serikat buruh yang sah dibentuk dan didukung pemerintah. Pada tahun 1973, didirikanlah Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) sebagai serikat pekerja terbesar yang diakui oleh pemerintah dan hingga saat ini masih eksis dan berskala internasional. Dengan adanya SPSI ini diharapkan masalah perburuhan dapat diselesaikan. SPSI merupakan satu-satunya Federasi Serikat Pekerja yang diakui oleh Departemen Tenaga Kerja dan setiap Serikat Pekerja yang dibentuk harus berafiliasi dengan SPSI. Reformasi sebagai hasil dari krisis politik dan ekonomi pada tahun 1998 telah membuka kesempatan-kesempatan baru bagi pengorganisasian buruh di Indonesia. Krisis ekonomi Indonesia yang berdampak pada meningkatnya angka pengangguran dalam jumlah besar menjadi salah satu faktor penjelas atas kenyataan lemahnya posisi tawar organisasi buruh. Dari beberapa kurun waktu tersebut, semakin bermunculan berbagai Serikat Pekerja yang diyakini dapat membantu para buruh dalam mengatasi masalahnya. Hingga saat ini pergerakan buruh tetap terjadi sebagai bentuk perjuangan mereka terhadap pemenuhan hak-haknya. II.2. Hubungan Industrial dan Kondisi Umum Buruh Di Indonesia Pelaksanaan hubunga industrial pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari kondisi perekonomian, sebab intensitas suatu produksi tidak hanya karena ada pekerja dan pengusaha, tetapi juga dipengaruhi oleh perekonomian masyarakat. Demikian juga syarat-syarat keja dipengaruhi oleh kondisi pasar kerja dan tingkat pengangguran serta pertumbuhan ekonomi. Dalam melaksanakn hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijaka, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Dalam melaksanakan hubungan industrial, buruh dan serikat buruhnya mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan dan keahliannya dalam memajukan perusahaan serta memperjuangkan kesejahteraan anggota besar keluarganya. Pengusaha dan organisasi pengusahanya mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja dan memberikan kesejahteraan buruh secara terbuka, demokratis dan berkeadilan. Adapun hubungan indusrial yang diterapkan di Indonesia adalah Hubungan Industrial Pancasila yaitu hubungan industrial yang didasarkan pada kelima sila yang menjadi falsafah bangsa Indonesia yaitu: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpim oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyaratan/perwakilan dan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berikut penjabaran Hubungan Industrial berdasarkan Pancasila: 1. Hubungan industrial berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa menyatakan bahwa pengusaha dan pekerja harus sama-sama menerima dan percaya bahwa perusahaan adalah berkat Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kesempatan yang diberikan Tuhan bagi mereka, supaya mereka dapat melayani sesame manusia serta kesempatan untuk berbakti pada nusa dan bansa. Disamping itu pengusaha dan pekerja harus sama-sama menghormati kebebasan beragama dan beribadah, serta sama-sama membangun dan menjaga kerukunan antar umat beragama. Pengusaha dan pekerja tidak boleh bertindak diskriminatif atas perbedaan agama. 2. Hubungan industrial berdasarkan Kemanusiaan yang adil dan beradab menganjurkan bahwa setiap pekerja tidak diperlakukan hanya sebagai factor produksi, akan tetapi terutama sebagai mahluk individu yang memiliki kepribadian, perasaan, kehormatan dan harga diri. Pekerja (buruh) mempunyai keterbatasan fisik dan mental. Oleh sebab itu harus disusun system pembagian kerja yang seimbang sesuai dengan keahlian dan kemampuan kerja masingmasing dengan mempertimbangkan keterbatsan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Pengusaha harus memberikan imbalan yang sesuai dengan nilai kontribusi kerja yang diberikan oleh buruh. 3. Hubungan industrial berdasarkan Persatuan Indonesia menunjukkan bahwa setiap warga Negara berhak bekerja di seluruh pelosok Indonesia tanpa diskriminasi atas suku atau warna kulit, jenis kelamin, tempat lahir, agama, golongan atau aliran politik. Pengusaha dan pekerja(buruh) harus sama-sama membangun kebersamaan di perusahaan, meningkatkan rasa cinta tanah air dan masyarakat serta menempatkan kepentingan Negara dan rakyat diatas kepentingan pribadi dan kelompok. 4. Hubungan Industrial berdasarkan Kerakyatan yang dipimpim oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyaratan/perwakilan berarti bahwa pengusaha membuka kesempatan bagi pekerja secara demokratis memilih wakilnya untuk berhubungan dengan pengusaha dan untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Hak pekerja membentuk Serikat Pekerja merupakan salah satu wujud sila keempat ini. Pengusaha perlu menyediakan waktu untuk mendengarkan saran dan keluhan pekerja (buruh). Pengusaha dan pekerja (buruh) harus membuka diri untuk berdialog dan mengutamakan permusyawaratan dalam membuat keputusan bagi kepentingan bersama, dan 5. Hubungan Industrial berdasarkan Keadilan Sosial mempunyai arti bahwa para pekerja harus diperlakukan secara adil. Pengusaha dan pekerja harus sama-sama berusaha meningkatkan hasil perusahaan supaya dapat meningkatkan kesejahteraan pengusaha, pekerja(buruh) dan keluarganya. Setiap orang menerima imbalan sesuai dengan fungsi, kemampuan, dan kontribusinya terhadap peningkatan produktifitas perusahaan. Baik dalam pemberian kesempatan dan penugasan maupun dalam pemberian upah atau penghargaan dan tindakan disiplin, pengusaha harus bersifat adil terhadap semua pekerja. Sesuai dengan prinsip hubungan industrial Pancasila, aka pengusaha dan buruh harus sama-sama mempunyai sikap social yang mencerminkan kesatuan dan kesepakatan nasional, kerjasama, sukarela, toleransi, rasa saling enghormati, keterbukaan, rasa saling tolong menolong dan mawas diri sebagai mana diamanatkan oleh Undan-Undang Dasar (UUD)1945. Perkembangan industri yang meningkat tajam pada kenyataanya tidak diikuti dengan perbaikan kondisi kehidupan dan kesejahteraan para buruh. Masalah kemiskinan dan kesejahteraan buruh pada tahun-tahun terakhir ini menunjukkan posisinya sebagai masalah utama dalam hubungan industrial. Gejala kesenjangan social di dunia kerja yang terjadi antara buruh maupun antara buruh dengan penguaha dapat memberikan peluang yang besar terhadap munculnya permasalahan industrial. Buruh sebagai factor utama dalam jalannya suatu industri, sudah sepatutnya mendapatkan perhatian yang serius. Kondisi buruh yang rentan terhadap kemiskinan harus segera diatasi karena akan mempengaruhi produksi dan produktifitas kerjanya. Kesejahteraan buruh adalah suatu tata kehidupan yang mencakup kualitas hidup pekerja dan keluarganya didalam keutuhan satuan keluarga yang aman, selamat dan sejahtera baik secara jasmani maupun rohani kearah perkembangan pribadi untuk mewujudkan Sumber Daya Manusia (SDM) yan unggul. Kesejahteraan bagi buruh tidak hanya berbentuk materil saja tetapi juga berbentuk moril. Pemenuhan kesejahteraan buruh dipenuhi untuk menciptakan ketenangan dalam bekerja dan berusaha yang disebut dengan Industrial Peace (Robinson, 2007). Menurut Undan-Undang No 3 tahun 1992 selain pemenuhan akan fasilitas kesejahteraan, buruh juga berhak atas pemenuhan jaminan social. Jaminan social adalah segala sesuatu bentuk perlindungan bagi pekerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh pekerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, jaminan hari tua dan meninggal dunia. Jaminan social bagi buruh antara lain mencakup: 1. Tunjangan kecelakaan kerja 2. Tunjangan hari tua 3. Tunjangan kematian, dan 4. Tunjangan pemeliharaan kesehatan berupa Jamsostek II.3. Upah dan Perselisihan Buruh Tujuan buruh melakukan pekerjaan adalah untuk mendapatkan penghasilan yang cukup untuk membiayai kehidupannya maupun bersama keluarganya. Selama buruh melakukan pekerjaan, buruh berhak atas pengupahan yang menjamin kehidupannya bersama dengan keluarganya. Selama buruh melakukan pekerjaan, majikan wajib untuk membayar upah para buruh tersebut. Upah adalah pembayaran yang diterima buruh selama dia melakukan pekerjaan atau dipandang melakukan pekerjaan. Dilihat dari sudut nilainya, upah dibedakan antara upah nominal yaitu jumlah yang berupa uang, dan upah rill yaitu banyaknya barang yang dapat dibeli dengan jumlah uang itu. Bagi buruh yang penting ialah upah riil ini, karena dengan upahnya itu harus mendapatkan cukup barang yang diperlukan untuk kehidupannya bersama dengan keluarganya. Kenaikan upah nominal tidak mempunyai arti baginya, jika kenaikan upah itu disertai atau disusul oleh kenaikan harga keperluan hidupnya sehari-hari. Turunnya harga barang keperluan hidup karena misalnya bertambahnya barang produksi barang tersebut, akan merupakan kenaikan upah bagi buruh walaupun jumlah uang ia terima dari majikan adalah sama seperti sediakala. Sebaliknya harga barang keperluan hidup, selalu berarti turunnya upah bagi buruh (Imam Soepomo, 1992: 131). Dalam perkembangannya, buruh tidak dapat hidup sendiri-sendiri melainkan harus dapat beradaptasi dengan buruh-buruh lainnya, baik itu yang berada dalam satu perusahaan majikannya maupun dengan perusahaan lainnya. Hal ini diperlukan dalam rangka agar pemenuhan hak-hak mereka seperti penupahan dapat terkoordinasi dengan yang lainnya, sehingga antara buruh yang satu dengan yang lainnya dapat mengetahui kondisi masing-masing. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mereka didalam memecahkan persoalan yang terjadi antara buruh dengan majikan, seperti adanya perselisihan perburuhan. Apabila terjadi perselisihan perburuhan antara buruh dan majikan akan menimbulkan berbagai macam tindakan, adapun tindakan tersebut adalah sebagai berikut: • Dari pihak majikan menolak buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat perselisihan perburuhan, dilakukan dengan maksud untuk menekan atau membantu majikan lain menekan supaya buruh menerima hubungan kerja, syarat-sayarat kerja dan/atau keadaan perburuhan. • Dari pihak buruh secara kolektif menghentikan pekerjaan atau memperlambat jalannya pekerjaan, sebagai akibat perselisihan perburuhan, dilakukan dengan maksud untuk menekan atau membantu golongan buruh lain menekan supaya majikan menerima hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perburuhan (Imam Soepomo, 1992: 148). II.4. Pola Advokasi Serikat Buruh Selama ini pola hubungan serikat buruh dengan buruh sebagai anggotanya lebih mirip hubungan dokter dengan pasiennya. Atau pengacara dengan kliennya. Hubungan ini lebih menyerupai “patron-client”. Model dan sifat hubungan inilah yang banyak dikerjakan serikat buruh selama ini, dimana para aktivis buruh hadir ketika buruh menghadapi persoalan. Pendekatan terhadap persoalan yang dihadapi buruh bersifat kuratif atau reaktif, sama seperti ketika dokter mengobati pasien. Model hubungan seperti ini perlu dibawa ketingkat yang lebih ideal. Kasus-kasus individual seyogyanya dianalisis ketingkat yang lebih besar sehingga akar persoalannya bisa dipecahkan. Advokasi individual perlu dibawa ketingkat yang lebih besar pada tingkat advokasi dalam konteks sosial yang lebih besar (Rekson Silaban, 2009: 112). Ketika serikat buruh baru bermunculan, pada saat itu tidak ada organisasi buruh tingkat nasional yang atas nama buruh dapat bernegosiasi dengan kepentingan lain. Organisasi buruh tidak dapat sepenuhnya memanfaatkan momen keterbukaan yang diciptakan peristiwa Mei 1998 untuk mengembalikan pengaruh penting gerakan buruh. Dengan demikian, secara historis gerakan serikat buruh memiliki watak politik dan watak politik itu diperlukan guna memperjuangkan tidak hanya kepentingan buruh tetapi juga komunitas masyarakat. Hal inilah yang nantinya dapat melahirkan suatu bentuk tatanan maupun struktur sosial yang kompleks. Salah satu wujud dari struktur sosial ialah kelompok social. Kelompok sosial merupakan kumpulan manusia, tetapi bukan sembarang kumpulan. Suatu kumpulan manusia dapat dikatakan sebagai kelompk apabila memenuhi kondisi tertentu. Kondisi itu menurut Soerjono Soekanto adalah: 1. Setiap anggota kelompok tersebut harus sadar bahwa dia merupakan sebahagian dari kelompok yang bersangkutan. 2. Adanya hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan lainnya dalam kelompok itu. 3. Adanya faktor yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota kelompok sehingga hubungan antara mereka bertambah erat. Faktor tadi dapat berupa nasib yang sama, kepentingan yang sama, tujua yang sama, idiologi politik yang sama dan lan-lain. Tentunya faktor mempunyai musuh bersama misalnya, dapat pula menjadi faktor pengikat/pemersatu. 4. Berstruktur, berkaidah, dan mempunyai pola perilaku (M.arief Nasution, T.K Brahmana, Padamean Daulay, 2003: 12-13). Didalam mengelola tatanan masyarakat tersebut diperlukan suatu proses pengendalian sosial. Suatu proses pengendalian sosial dapat dilaksanakan dengan pelbagai cara yang pada pokoknya berkisar pada cara-cara tanpa kekerasan (persuasive) ataupun dengan paksaan (coercive). Didalam suatu masyarakat yang secara relatif berada dalam keadaan yang tenteram, maka cara-cara yang persuasive mungkin efektif apabila dibandingkan dengan paksaan. Hal ini disebabkan oleh karena masyarakat yang tenteram bagian terbesar dari kaidah-kaidah dan nilai-nilai telah melembaga atau bahkan mendarah daging didalam diri para warga masyarakat. Paksaan lebih sering diperlukan didalam masyarakat yang sedang bergolak, oleh karena di dalam keadaan seperti itu pengendalian sosial juga berfungsi untuk membentuk kaidah-kaidah yang baru yang menggantikan kaidah-kaidah lama yang telah goyah (Soerjono Soekanto, 2002: 159-160). II.5. Defenisi Konsep Didalam memperjelas maksud dan tujuan penelitian, serta untuk menghindari timbulnya kesalahan penafsiran dalam penelitian maka dalam penelitian ini perlu diuraikan batasan konsep yang digunakan. Adapun batasan konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah: • Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menrima upah atau imbalan dalam bentuk lain (Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan). • Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak yang mempekerjakan pekerja dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak, milik orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum, baik milik swasta maupun milk negara (Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan). • Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena sesuatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha (Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan). • Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara pekrja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak (Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan). • Perjanjian Kerja Bersama adalah perjanjian yang merupakan perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggngjawab dibidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpuan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan keajiban kedua belah pihak (Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan). • Upah adalah penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada tenaga kerja untuk sesuatu pekerjaan yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang ditetapkan menurut suatu perjanjian, atau peaturan perundangan dan dibayar atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan teaga kerja, termasuk tunjangan, baik untuk buruh sendiri maupun keluarganya (Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Perlindungan Upah). • Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap (Departemen Tenaga Kerja, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per-01/Men/1999 Tentang Upah Minimum). • Upah Minimum Regional adalah upah pokok terendah termasuk tunjangan tetap yang diterima oleh buruh di wilayah terentu dalam suatu propinsi (Departemen Tenaga Kerja, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per01/Men/1996 Tentang Upah Minimum Regional). • Serikat Buruh merupakan organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk buruh baik diperusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan buruh serta meningkatkan kesejahteraan buruh dan keluarganya (Republik Indonesia, Undang-Undang Pekerja/Serikat Buruh). Nomor 21 Tahun 2000 Tentang