B4 arsitektur

advertisement
arsitektur
REPUBLIKA ● AHAD, 26 SEPTEMBER 2010
B4
MASJID AGUNG BANTEN
Sarat Nilai-Nilai Islam dan Multibudaya
WISATAPASUNDAN.COM
Pintu masjid dibuat
rendah dengan tujuan
agar umat Islam senantiasa merendahkan diri
di hadapan Allah.
● 24 Tiang penyangga Atap
Oleh Ratna Sahara
M
asjid Agung
Banten termasuk
masjid tua yang
penuh nilai
sejarah. Masjid
Agung Banten
merupakan situs
bersejarah peninggalan Kesultanan
Banten. Masjid ini dibangun oleh Sultan
Maulana Hasanuddin, putra Sunan
Gunung Jati, sekitar 1552-1570 M.
Masjid Agung Banten ini terdapat di
Desa Banten Lama, Kecamatan
Kasemen, Kota Serang, Provinsi
Banten.
Sekilas bangunan masjid berarsitektur unik ini terlihat seperti perpaduan
gaya Hindu- Jawa, Cina, dan Eropa.
Bahkan, warnanya mirip dengan klenteng. Sebenarnya, arsitektur masjid
kebanggaan masyarakat Banten ini
sarat dengan nilai-nilai Islami.
Masjid Agung Banten terletak di kompleks bangunan masjid di Desa Banten
Lama, sekitar sepuluh kilometer
sebelah utara Kota Serang. Masjid ini
dibangun pertama kali oleh Sultan
Maulana Hasanuddin (1552-1570),
sultan pertama Kasultanan Demak.
Salah satu keunikan yang tampak
dari masjid ini adalah atap bangunan
utama yang bertumpuk lima mirip
pagoda Cina. Ini adalah karya arsitektur Cina yang bernama Tjek Ban Tjut.
Selain Tjek Ban Tjut, arsitek lain masjid
Agung Benten ini adalah Raden Sepat.
Raden Sepat mulanya dari Majapahit,
kemudian membangun Masjid Demak,
Cirebon, dan Masjid Banten Lama ini.
Jadi, antara Masjid Demak, Cirebon,
dan Banten Lama, secara arsitektural
memiliki mata rantai yang sama, khususnya dari segi atap. Masjid Agung
Demak dan Cirebon memiliki atap bertumpak tiga bersusun yang memiliki
makna tentang iman, Islam, dan ihsan.
Sedangkan, Masjid Agung Banten
memiliki lima atap bersusun yang
melambangkan rukun Islam.
Mantan staf Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala Serang,
Muhammad Al-Hatta Kurdie, mengata-
● Makam Para Sultan Banten
Infak mencapai
Rp 20 juta seminggu
asjid Agung Banten, sebagaimana masjid tua dan bersejarah lainnya, selalu ramai
dengan para peziarah, baik
yang sekadar datang untuk shalat di
masjid ini maupun yang hanya ingin
menyaksikan keindahan Masjid Agung
Banten yang sudah berusia ratusan
tahun ini.
Para pengunjung itu datang dari berbagai daerah. Tak hanya dari Provinsi
Banten dan Jawa Barat, tetapi juga dari
berbagai daerah lainnya di Pulau Jawa.
Bahkan, pada peringatan hari besar
Islam, jumlah peziarah yang datang ke
masjid ini semakin banyak. Puncaknya
biasanya terjadi pada bulan Syawal,
Dzulhijjah (Haji), Rabiul Awal (Mulud), dan
Rajab.
“Ada juga yang datang pada hari
Kamis, Jumat dan Ahad ke Masjid
Banten ini,” ungkap Ratu Mulyati, salah
seorang warga kompleks Masjid Agung
Banten yang juga masih keturunan ke-13
dari Sultan Banten.
Menurut Ibu satu anak itu, saking
banyaknya peziarah yang datang ke
M
masjid Banten, setiap pekannya masjid
ini bisa mengumpulkan infak dari periazah hingga mencapai Rp 20 juta.
Infak tersebut, jelas Ratu Mulyati,
digunakan pengurus masjid untuk membantu masyarakat kurang mampu yang
ada di sekitarnya. Dana tersebut biasanya dibagikan setiap bulan. “Kadang ada
yang menerima sebesar Rp 50 ribu atau
Rp 20 ribu untuk satu keluarga.
Semuanya tergantung besarnya infak
yang diterima dan jumlah anggota
keluarga yang terdaftar sebagai penerima infak,” ungkapnya.
Ia menambahkan, khusus pada bulan
Ramadhan, masjid juga menyediakan
dapur umum untuk berbuka puasa bagi
musafir dan warga sekitar.
Namun, Ratu berharap ke depannya
uang infak masjid tersebut tidak hanya
dibagikan kepada masyarakat sekitar,
melainkan digunakan untuk pengembangan dan peningkatkan kesejahteraan
masyarakat yang kurang mampu, termasuk penyediaan lapangan kerja bagi
pemuda yang menganggur.
● Menara Masjid Agung Banten
FOTO-FOTO: DOK RATNA
kan, atap masjid ini mengisyaratkan
bahwa rukun Islam itu ada lima, yakni
syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji.
Begitu pula dengan shalat wajib, juga
ada lima, yang harus dikerjakan setiap
umat Islam, yakni Subuh, Zuhur, Ashar,
Maghrib, dan Isya.
Beragam keunikan
Selain atap, keunikan masjid ini terletak dari banyaknya tiang penyangga
atap. Setidaknya, ada 24 tiang penyangga atap yang kesemuanya berbentuk segi delapan. Hatta menjelaskan, delapan
bentuk persegi tersebut merupakan
hasil pembagian dari 24 dibagi tiga.
Menurut tokoh Banten ini, ke-24 tiang
itu merupakan simbol waktu dalam
sehari, yakni 24 jam. Sementara itu,
angka tiga merupakan simbol dari
ibadah, ma’isyah, dan istirahah. “Jadi,
pesan yang disampaikan adalah agar
umat Islam bisa memanfaatkan waktu
seadil-adilnya untuk ketiga hal tersebut, yang masing-masing memiliki
alokasi waktu sebanyak 8 jam. Ada
waktu untuk beribadah, waktu untuk
bekerja, dan waktu untuk mencari
penghidupan, serta waktu istirahat,
atau tidur,” jelasnya.
Selain itu, Masjid Agung Banten ini
juga memiliki menara yang sangat unik.
Bentuknya mirip mercusuar. Tingginya
mencapai 24 meter. Menara ini terletak
di sebelah timur masjid. Terbuat dari
batu bata dengan diameter bagian
bawahnya kurang lebih sepuluh meter.
Untuk mencapai ujung menara, ada
83 buah anak tangga yang harus ditapaki dan yang melewati lorong, yang
hanya dapat ditempuh oleh satu orang.
Dari atas menara ini akan terlihat
pemandangan di sekitar masjid dan
perairan lepas pantai. Sebab, jarak
antara menara dengan laut hanya
sekitar 1,5 km. Dahulu, selain digunakan sebagai tempat mengumandangkan
azan, menara ini juga digunakan
sebagai tempat menyimpan senjata.
Masjid banten ini juga memiliki pintu
yang unik. Pintu masuk masjid di sisi
depan berjumlah enam buah yang
melambangkan rukun Iman. Enam pintu
itu dibuat pendek. Tujuannya, agar setiap
jamaah senantiasa merendahkan diri di
hadapan Allah SWT, serta menanggalkan
segala bentuk keangkuhan.
Di dalam masjid juga terdapat
mimbar yang besar dan antik penuh
hiasan dan warna. Beberapa kalangan
mengatakan, tempat khutbah ini merupakan wakaf Nyai Haji Irad Jonjang
Serang pada 23 Syawal 1323 Hijriyah
(1903 Masehi), sebagaimana tertulis
■ ratna sahara ed: syahruddin el-fikri
● Mimbar Masjid Banten
Penulis (kiri) bersama Ratu Mulyati, salah seorang warga komplek Masjid Banten yang juga masih
keturunan ke-13 dari Sultan Banten, dengan latar masjid Agung Benten.
FLICKR
dalam huruf Arab gundul pada lengkung bagian atas muka mimbar.
Selain itu, Masjid Agung Banten juga
memiliki paviliun tambahan yang terletak di sisi selatan bangunan inti.
Paviliun dua lantai ini dinamakan
Tiyamah—berbentuk persegi panjang
dengan gaya arsitektur Belanda kuno.
Bangunan ini dirancang oleh seorang
arsitek Belanda yang bernama Hendick
Lucasz Cardeel. Biasanya, acara-acara
seperti rapat dan kajian Islami dilakukan di sini.
Banyak lagi hal-hal unik yang terdapat di Masjid Agung Banten ini.
Misalnya, umpak dari batu andesit berbentuk labu yang berukuran besar dan
beragam pada setiap dasar tiang masjid.
Adapun yang berukuran paling besar
dengan garis labu yang paling banyak
adalah umpak pada empat tiang saka
guru di tengah-tengah ruang shalat.
Menurut Hatta, labu tersebut merupakan simbol dari pertanian. Sebab,
Banten Lama terkenal makmur, gemah
rimpah loh jinawi. Bahkan, pada masa
kepemimpinan Maulana Yusuf, Banten
terkenal dengan persawahannya yang
luas hingga mencapai batas sungai
Citarum. Keberadaan Danau Tasikardi
di sekitar masjid (bagian belakang
masjid lebih kurang 100 meter dari
masjid) merupakan bukti lain yang
menguatkan pendapat ini.
Di sebelah selatan masjid terdapat
makam para Sultan Banten beserta
keluarganya. Di antaranya, makam
Sultan Maulana Hasanuddin dan istrinya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan
Abu Nasir Abdul Qohhar. Sementara
itu, di sisi utara serambi selatan terdapat makam Sultan Maulana Muhammad
dan Sultan Zainul Abidin.
Masjid Agung Banten merupakan
situs bersejarah penyebaran Islam di
Jawa. Masjid Agung Banten adalah
salah satu peninggalan yang kaya akan
nilai-nilai sejarah dan multibudaya, termasuk Islam.
Masjid Agung Banten ini juga menjadi
tempat favorit ziarah umat Islam di
Jawa. Namun, ada beberapa catatan
yang mesti diperhatikan oleh warga
sekitar dan Pemda setempat. Misalnya,
perlunya penataan kios pedagang agar
lebih rapi sehingga tidak merusak
pemandangan dan keindahan masjid.
Selain itu, perlunya menjaga kebersihan
pekarangan masjid. Tentunya, dengan
lingkungan yang asri, kios pedagang
yang tertata rapi di sekitar Masjid
Agung Banteng bisa menjadi salah satu
objek pariwisata unggulan Provinsi
Banten. ■ ed: syahruddin el-fikri
Download