BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Berikut ini akan dijabarkan mengenai kajian pustaka yang digunakan dalam penelitian ini. 2.1.1 Teori Agensi (Agency Theory) Teori agensi muncul untuk mengatasi konflik agensi yang dapat terjadi dalam hubungan keagenan. Adanya pemisahan kepemilikan oleh prinsipal dan pengendalian oleh agen dalam sebuah organisasi cenderung menimbulkan konflik keagenan antara prinsipal dan agen. Prinsipal adalah pemegang saham atau investor, sedangkan agen adalah orang yang diberi kuasa oleh prinsipal yaitu manajemen yang mengelola perusahaan yang terdiri dari dewan komisaris dan dewan direksi. Teori keagenan juga berperan dalam menyediakan informasi sehingga akuntansi memberikan umpan balik (feedback) selain nilai prediktifnya (Febrina dan Suaryana, 2011). Teori agensi adalah teori yang menjelaskan tentang hubungan antara prinsipal dan agen. Teori agensi menyatakan bahwa hubungan keagenan timbul ketika salah satu pihak (prinsipal) memberi kuasa kepada pihak lain (agen) untuk melakukan beberapa jasa untuk kepentingannya yang melibatkan pendelegasian beberapa otoritas pembuatan keputusan kepada agen. Agen pun berkewajiban melakukan hal-hal yang 12 memberikan manfaat dan meningkatkan kesejahteraan prinsipal (Jensen and Meckling, 1976 dalam Febrina dan Suaryana, 2011). 2.1.2 Teori Sinyal (Signalling Theory) Teori sinyal menjelaskan alasan perusahaan untuk memberikan informasi terkait aktivitas bisnisnya kepada pihak eksternal, seperti investor, kreditur dan masyarakat. Dorongan ini dikarenakan adanya asimetri informasi antara perusahaan dan pihak eksternal, karena perusahaan mengetahui lebih banyak mengenai kegiatan dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pihak eksternal. Perusahaan pun harus mengungkapkan informasi yang dimilikinya, dimana salah satunya adalah laporan mengenai CSR, untuk mengurangi adanya asimetri informasi tersebut (Rustariani, 2010). Sinyal secara umum dapat diartikan sebagai suatu isyarat yang ditunjukkan oleh perusahaan (manajer) kepada pihak luar. Sinyal ini dapat berupa promosi atau informasi lain yang menunjukkan bahwa perusahaan tersebut lebih baik dibandingkan perusahaan lainnya. Apapun bentuk maupun jenis sinyal yang dikeluarkan oleh perusahaan, semuanya bertujuan agar pihak eksternal dapat melakukan perubahan penilaian atas perusahaan atau dengan kata lain perusahaan harus mengeluarkan sinyal yang memiliki kekuatan informasi yang mampu mengubah penilaian pihak eksternal perusahaan (Gumanti, 2009:4). 13 2.1.3 Teori Stakeholder (Stakeholder Theory) Stakeholder adalah semua pihak, baik internal maupun eksternal yang memiliki hubungan baik yang bersifat memengaruhi maupun dipengaruhi, bersifat langsung maupun tidak langsung oleh perusahaan. Berdasarkan teori stakeholder, manajemen organisasi diharapkan untuk melakukan aktivitas yang dianggap penting oleh stakeholder mereka dan melaporkan kembali aktivitas-aktivitas tersebut kepada para stakeholder-nya. Menurut Harsanti (2011), teori ini menyatakan bahwa seluruh stakeholder memiliki hak untuk memperoleh informasi mengenai aktivitas organisasi yang memengaruhi mereka, bahkan ketika mereka memilih untuk tidak menggunakan informasi tersebut, dan bahkan ketika mereka tidak secara langsung memainkan peran yang konstruktif dalam kelangsungan hidup organisasi. Teori stakeholder tidak hanya menjelaskan perusahaan sebagai suatu entitas yang beroperasi dalam tujuan untuk memperoleh laba semata, tetapi perusahaan juga harus memberikan manfaat bagi para stakeholder-nya, seperti pemegang saham, kreditur, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis, dan pihak-pihak lainnya (Muid, 2011). Perusahaan hidup di lingkungan masyarakat dan tentunya segala aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan memiliki dampak terhadap sosial dan lingkungan di sekitarnya, sehingga praktik pengungkapan CSR dapat dikatakan memainkan peranan penting bagi perusahaan dalam menjamin kelangsungan hidup perusahaan. Perusahaan diharapkan mampu dalam memenuhi kebutuhan informasi bagi para stakeholder-nya melalui pengungkapan CSR, sehingga dengan demikian perusahaan akan memperoleh dukungan dari para stakeholder-nya, terutama 14 kelompok yang sangat memperhatikan isu-isu dampak sosial dan lingkungan perusahaan (Sembiring, 2003). 2.1.4 Pecking Order Theory Pecking order theory menjelaskan alasan mengapa perusahaan menetapkan suatu tingkatan mengenai sumber dana yang paling disukai. Teori ini didasarkan atas adanya asimetri informasi, dimana manajemen memiliki informasi yang lebih banyak mengenai prospek, risiko dan nilai perusahaan daripada pemodal publik. Manajemen memiliki informasi yang lebih banyak daripada pemodal karena mereka yang berperan dalam pengambilan keputusan-keputusan keuangan, menyusun rencana perusahaan dan sebagainya. Adanya asimetri informasi inilah yang akan memengaruhi pilihan antara sumber dana internal (dana dari hasil operasi perusahaan) ataukah eksternal, dan antara penerbitan hutang baru atau ekuitas baru (Husnan, 2006:276). Secara ringkas, pecking order theory tersebut dinyatakan sebagai berikut (Husnan, 2006:278). 1) Perusahaan lebih menyukai pendanaan internal. 2) Perusahaan akan berusaha menyesuaikan rasio pembagian dividen dengan kesempatan investasi yang dihadapi, dan berupaya untuk tidak melakukan perubahan pembayaran dividen yang terlalu besar. 15 3) Pembayaran dividen yang cenderung konstan dan fluktuasi laba yang diperoleh mengakibatkan dana internal kadang-kadang berlebih ataupun kurang untuk berinvestasi. 4) Apabila pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling aman terlebih dahulu. Penerbitan sekuritas akan dimulai dari penerbitan obligasi, kemudian obligasi yang dapat dikonversikan menjadi modal sendiri, baru akhirnya menerbitkan saham baru. 2.1.5 Corporate Social Responsibility Perusahaan semakin menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan tidak hanya tergantung dari keuntungan (profit) yang diperolehnya, tetapi juga hubungan yang baik antara perusahaan dengan masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Hal tersebut sesuai dengan teori legitimasi yang menyatakan bahwa perusahaan memiliki kontrak sosial dengan masyarakat dimana aktivitas bisnis yang dijalankan oleh perusahaan harus didasarkan pada nilai-nilai keadilan, dan bagaimana perusahaan memperhatikan berbagai kelompok kepentingan agar melegitimasi tindakan perusahaan (Tilt, 1994 dalam Haniffa dan Cooke). Jika sistem nilai perusahaan dan sistem nilai masyarakat tidak selaras, maka perusahaan akan kehilangan legitimasinya, yang selanjutnya akan mengancam kelangsungan hidup perusahaan (Lindblom, 1994 dalam Haniffa dan Cooke, 2005). Menurut Darwin (2004) dalam Anggraini (2006), Corporate Social Responsibility (CSR) atau pertanggungjawaban sosial perusahaan adalah suatu 16 mekanisme bagi suatu organisasi untuk secara sukarela mengintegrasikan perhatian terhadap keadaan lingkungan dan sosial masyarakat ke dalam kegiatan operasi yang dilakukannya dan interaksinya dengan stakeholder, yang melebihi tanggung jawab organisasi di bidang hukum. The World Business Council for Sustainable Development seperti yang dikutip oleh Indrawan (2011) merumuskan CSR sebagai: “the continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society”. Adapun kegiatan CSR menurut The World Business Council for Sustainable Development mencakup: human rights, employee rights, environmental protection, supplier relation, community involvement, stakeholder rights, CSR performance monitoring and assessment. Menurut Hopkins (2003) yang dikutip Chaudhury et al. (2011), CSR berkaitan dengan bagaimana perusahaan memperlakukan para stakeholder-nya, baik itu internal maupun eksternal, secara etis atau melalui pertanggungjawaban sosial. Tujuan yang lebih luas dari dilakukannya pertanggungjawaban sosial ini adalah untuk membuat standar hidup para stakeholder-nya lebih tinggi, dimana perusahaan juga tetap berfokus dalam meningkatkan profitabilitasnya. Hopkins dalam penelitiannya juga menemukan bahwa perusahaan yang melakukan CSR akan berfokus pada beberapa atau semua hal berikut. 17 1) Lingkungan: perusahaan yang peduli pada lingkungan, akan fokus pada dampak yang ditimbulkan dari produk/jasa yang dihasilkannya terhadap lingkungan maupun dalam meningkatkan kualitas lingkungan. 2) Karyawan: perusahaan yang memikirkan persepektif ini, berarti perusahaan peduli pada semua karyawannya, sehingga perusahaan akan berusaha untuk menciptakan kondisi lapangan pekerjaan yang baik, memberikan upah kerja yang sesuai dan memberikan pelatihan kepada karyawannya. 3) Masyarakat: perusahaan yang peduli pada masyarakat akan mengambil langkah lebih maju dalam meningkatkan kualitas hidup dari para karyawan serta keluarganya maupun masyarakat lokal dan sosial. 4) Peraturan: selama fokus pada masalah ini, perusahaan akan sepenuhnya tunduk pada hukum dan akan lebih bertanggung jawab secara sosial. 5) Tanggap darurat: terkadang perusahaan memiliki rencana untuk siap menghadapi krisis bisnis dan menjamin keselamatan dari para pekerjanya serta masyarakat sekitar. Di samping itu, perusahaan juga akan mengambil inisiatif untuk menyediakan bantuan di saat-saat darurat, seperti ketika terjadi bencana alam dan wabah penyakit. 2.1.6 Nilai Perusahaan Ada beberapa definisi mengenai nilai perusahaan. Menurut Samuel (2000) dalam Nurlela dan Islahuddin (2008) nilai perusahaan atau dikenal juga sebagai firm value merupakan konsep penting bagi para investor, karena hal tersebut merupakan 18 indikator bagi pasar untuk menilai perusahaan secara keseluruhan. Wahyudi dan Pawestri (2005) di sisi lain menyebutkan bahwa nilai perusahaan adalah harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli jika perusahaan tersebut dijual. Nilai perusahaan dapat dilihat melalui nilai pasar atau nilai buku perusahaan dari ekuitasnya. Ekuitas pada neraca keuangan menggambarkan total modal perusahaan. Selain itu, nilai pasar bisa menjadi ukuran nilai perusahaan. Penilaian terhadap perusahaan tidak hanya mengacu pada nilai nominalnya saja, tetapi juga reputasi atau image yang melekat pada perusahaan tersebut (Kurniawan, 2008). Menurut Sujoko and Soebiantoro (2007), nilai perusahaan merupakan pandangan investor atas keberhasilan yang dicapai perusahaan dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya, yang tercermin melalui tingginya harga pasar saham perusahaan. Harga pasar saham yang tinggi akan membuat nilai perusahaan juga menjadi tinggi, dan meningkatkan kepercayaan investor tidak hanya terhadap kinerja perusahaan, tetapi juga terhadap prospek perusahaan di masa depan. 2.1.7 Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan merupakan skala yang menentukan besar atau kecilnya perusahaan. Terdapat berbagai proksi yang biasanya digunakan untuk menunjukkan ukuran perusahaan, seperti jumlah karyawan, total aset, jumlah penjualan, dan kapitalisasi pasar. Semakin besar aset maka semakin banyak pula modal yang ditanam, semakin tinggi tingkat penjualan maka semakin tinggi pula tingkat perputaran uang dan semakin besar kapitalisasi pasar maka semakin dikenal pula 19 dalam masyarakat. Umumnya ukuran perusahaan terbagi dalam tiga kategori, yaitu perusahaan besar (large firm), perusahaan menengah (medium size), dan perusahaan kecil (small firm) (Sudarmadji dan Sularto, 2007). Perusahaan yang berukuran besar biasanya memiliki peran sebagai pemegang kepentingan yang lebih luas. Hal tersebut membuat berbagai kebijakan perusahaan besar akan memberikan dampak yang besar terhadap kepentingan publik dibandingkan dengan perusahaan kecil. Perusahaan yang besar lebih diperhatikan oleh masyarakat sehingga mereka lebih berhati-hati dalam melakukan segala kegiatan usahanya, sehingga perusahaan harus memastikan bahwa segala kegiatan usaha yang dilakukannya tidak memiliki dampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya (Ikbal, 2012). 2.1.8 Profitabilitas Tujuan didirikannya suatu perusahaan adalah untuk memperoleh laba, maka wajar apabila profitabilitas menjadi perhatian utama para investor. Laba merupakan indikator kinerja yang dilakukan manajemen dalam mengelola kekayaan perusahaan. Laba berfungsi untuk mengukur efektivitas bersih dari sebuah usaha bisnis. Laba juga akan menjamin pasokan modal di masa depan untuk kepentingan ekspansi atau perluasan usaha. Kinerja suatu perusahaan dapat dilihat dari tingkat perolehan laba (Sujoko and Soebiantoro, 2007). Profitabilitas merupakan rasio untuk menilai kemampuan perusahaan dalam memperoleh keuntungan atau laba dalam suatu periode tertentu (Kasmir, 2012:114). 20 Laba merupakan ringkasan hasil bersih aktivitas operasi usaha dalam periode tertentu yang dinyatakan dalam istilah keuangan. Laba ditugaskan untuk menyediakan baik pengukuran perubahan kekayaan pemegang saham selama periode maupun mengestimasi laba usaha sekarang, yaitu sampai sejauh mana perusahaan dapat menutupi biaya operasi dan menghasilkan pengembalian kepada pemegang saham sehingga laba dikatakan sebagai indikator profitabilitas perusahaan. Laba merupakan satu-satunya faktor penentu perubahan nilai saham yang menunjukan prospek perusahaan di masa yang akan datang (Subramanyam dan Wild, 2010:143). Definisi tersebut di atas menunjukan bahwa profitabilitas merupakan perhitungan untuk menilai kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba. Profitabilitas dimaksudkan untuk mengukur efisiensi atas penggunaan aktiva perusahaan atau mungkin juga efisiensi yang dikaitkan dengan penjualan yang berhasil diciptakan, sehingga profitabilitas ini dapat dikatakan sebagai ukuran tingkat efektifitas manajemen suatu perusahaan. 2.1.9 Leverage Leverage adalah penggunaan aset dan sumber dana (source of funds) oleh perusahaan yang memiliki biaya tetap (beban tetap) dengan tujuan untuk meningkatkan keuntungan potensial pemegang saham. Leverage dalam konteks bisnis terdiri atas dua macam yaitu leverage operasional (operating leverage) dan leverage keuangan (financial leverage) (Sartono, 2010:257). 21 Menurut Sari (2012), leverage merupakan alat untuk mengukur seberapa besar perusahaan tergantung pada kreditur dalam membiayai aset perusahaan. Perusahaan yang mempunyai tingkat leverage tinggi berarti sangat bergantung pada pinjaman luar untuk membiayai asetnya, sedangkan perusahaan yang mempunyai tingkat leverage lebih rendah lebih banyak membiayai asetnya dengan modal sendiri. Jadi dapat dikatakan bahwa tingkat leverage perusahaan menggambarkan risiko keuangan perusahaan. 2.1.10 Definisi Bank Menurut Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 1998 Tanggal 10 November 1998 tentang perbankan, yang dimaksud bank adalah sebuah lembaga atau perusahaan yang aktifitasnya menghimpun dana berupa giro, deposito, tabungan dan simpanan yang lain dari pihak yang kelebihan dana (surplus spending unit) dan kemudian menempatkannya kembali pada masyarakat yang membutuhkan dana (deficit spending unit) melalui penjualan jasa keuangan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak. Definisi lain bank menurut PSAK No.31, yaitu bank merupakan suatu lembaga yang berperan sebagai perantara keuangan antara pihak yang memiliki dana dan pihak yang memerlukan dana, serta sebagai lembaga yang berfungsi memperlancar lalu lintas pembayaran. 22 2.2 Hipotesis Penelitian Berikut ini akan dijabarkan mengenai hipotesis yang disusun dalam penelitian ini disertai dengan teori dan alasan yang mendukung. 2.2.1 Pengaruh Ukuran Perusahaan pada Nilai Perusahaan Ukuran perusahaan merupakan salah satu acuan dalam menilai kinerja perusahaan. Ukuran perusahaan yang besar menunjukkan bahwa perusahaan mengalami perkembangan, sehingga investor akan merespon secara positif dan nilai perusahaan pun akan meningkat (Sujoko dan Soebiantoro, 2007). Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa semakin besar ukuran perusahaan, maka ada kecenderungan lebih banyak investor yang menaruh perhatian pada perusahaan tersebut. Perusahaan yang besar cenderung memiliki kondisi yang lebih stabil, sehingga investor akan tertarik untuk membeli saham perusahaan tersebut. Kondisi tersebut mengakibatkan meningkatnya harga saham perusahaan di pasar modal. Investor memiliki ekspektasi yang besar pada perusahaan besar, berupa perolehan dividen dari perusahaan tersebut. Peningkatan permintaan saham perusahaan tersebut dapat memacu peningkatan harga saham di pasar modal. Peningkatan tersebut menunjukkan bahwa perusahaan dianggap memiliki “nilai” yang lebih besar di mata para investor (Analisa, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Sujoko dan Soebiantoro (2007), Analisa (2011) serta Prasetyorini (2013) juga membuktikan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif pada nilai perusahaan. 23 Berdasarkan pernyataan dan hasil-hasil penelitian tersebut, maka dapat ditarik hipotesis sebagai berikut. H1: Ukuran Perusahaan berpengaruh positif pada Nilai Perusahaan. 2.2.2 Pengaruh Profitabilitas pada Nilai Perusahaan Profitabilitas dapat memengaruhi nilai perusahaan (Hermuningsih, 2013). Tujuan perusahaan dalam meningkatkan laba perusahaan dan memaksimumkan nilai perusahaan merupakan dua hal yang saling berkaitan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan para pemegang saham, dimana tujuan tersebut merupakan suatu kriteria penting dalam menjamin kelangsungan hidup perusahaan. Profitabilitas yang tinggi menunjukkan prospek perusahaan yang baik sehingga investor akan merespon positif sinyal tersebut dan otomatis nilai perusahaan akan meningkat. Hal ini sesuai dengan signaling theory yang menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki laba yang tinggi, merupakan sinyal bahwa perusahaan tersebut mempunyai prospek bagus di masa yang akan datang (Sujoko dan Soebiantoro, 2007). Ayuningtias (2013) dan Kusuma, dkk. (2012) membuktikan nilai perusahaan dipengaruhi secara positif oleh profitabilitas. Pengaruh tersebut disebabkan terjadinya sentimen positif dari para investor, sehingga menyebabkan harga saham meningkat dan otomatis berdampak pada nilai perusahaan yang meningkat. Hasil penelitian Sujoko dan Soebiantoro (2007) juga menemukan bukti bahwa profitabilitas berpengaruh positif pada nilai perusahaan. 24 Berdasarkan pernyataan dan hasil-hasil penelitian tersebut, maka dapat ditarik hipotesis sebagai berikut. H2: Profitabilitas berpengaruh positif pada Nilai Perusahaan. 2.2.3 Pengaruh Leverage pada Nilai Perusahaan Struktur utang atau leverage merupakan gambaran mengenai besar atau kecilnya pemakaian utang oleh suatu perusahaan yang digunakan untuk membiayai aktivitas operasionalnya. Leverage yang semakin tinggi akan menimbulkan masalah keuangan, sehingga nilai perusahaan pun menurun (Sujoko dan Soebiantoro, 2007). Semakin tinggi tingkat leverage suatu perusahaan, maka semakin besar peluang perusahaan mengalami pailit, sehingga risiko kreditur pun akan meningkat, dan dapat menimbulkan masalah kegenan (Li-Ju dan Shun-Yu, 2011). Manajemen perusahaan akan berusaha untuk menjaga agar rasio leverage tidak bertambah tinggi. Hal tersebut sesuai dengan pecking order theory, yang menyatakan bahwa perusahaan lebih menyukai internal financing daripada eksternal financing. Perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling aman terlebih dahulu, yaitu obligasi, baru kemudian diikuti sekuritas yang berkarakteristik opsi (seperti obligasi konversi), dan akhirnya apabila masih belum mencukupi, perusahaan terpaksa untuk menerbitkan saham. Jadi pada intinya, apabila perusahaan masih bisa mengusahakan sumber pendanaan internal maka sumber pendanaan eksternal tidak akan diusahakan. Maka dapat disimpulkan rasio leverage yang tinggi menyebabkan turunnya nilai perusahaan (Weston dan Copeland, 1992 dalam Rahayu dan 25 Asandimitra). Penelitian yang dilakukan oleh Prastika (2012), Li-Ju dan Shun-Yu (2011) serta Sujoko dan Soebiantoro (2007) membuktikan leverage signifikan berpengaruh negatif pada nilai perusahaan. Berdasarkan pernyataan dan hasil-hasil penelitian tersebut, maka dapat ditarik hipotesis sebagai berikut. H3: Leverage berpengaruh negatif pada Nilai Perusahaan. 2.2.4 Pengaruh CSR pada Nilai Perusahaan Rustiarini (2010) menyatakan bahwa perusahaan akan mengungkapkan suatu informasi jika informasi tersebut dapat meningkatkan nilai perusahaan. Hal ini sesuai dengan teori sinyal, dimana perusahaan akan memberikan sinyal kepada pihak luar, baik itu investor maupun masyarakat berupa informasi yang menunujukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan perusahaan lain. CSR dalam hal ini diharapkan dapat memberikan sinyal positif kepada para stakeholder-nya, karena laporan ini akan menunjukkan bahwa perusahaan juga memiliki kepedulian dan rasa tanggung jawab kepada lingkungan dan stakeholdernya. Sinyal positif ini pun diharapkan dapat membantu perusahaan dalam membangun image perusahaan yang positif, sehingga berdampak pada kinerja pasar perusahaan yang tercermin dalam harga pasar saham perusahaan, yang berarti juga meningkatkan nilai perusahaan (Kusumadilaga, 2010). Penelitian yang mengaitkan CSR dengan nilai perusahaan diungkapkan oleh Murwaningsari (2009), Rustiarini (2010) serta Harjoto dan Jo (2011) yang 26 mendukung hipotesa yang menyatakan bahwa tingkat pengungkapan informasi CSR dalam laporan tahunan perusahaan berpengaruh positif pada nilai perusahaan. Berdasarkan pernyataan dan hasil-hasil penelitian tersebut, maka dapat ditarik hipotesis sebagai berikut. H4: CSR berpengaruh positif pada Nilai Perusahaan. 2.2.5 Pengaruh Ukuran Perusahaan pada CSR Ukuran perusahaan merupakan variabel penduga yang banyak digunakan untuk menjelaskan variasi pengungkapan dalam laporan tahunan perusahaan (Sembiring, 2005). Hal tersebut dikaitkan dengan teori agensi, dimana perusahaan besar biasanya memiliki agency cost yang lebih besar karena informasi asimetri yang lebih besar antara manajer dan para shareholder (pemegang saham). Agency costs meningkat dengan adanya modal dari luar (outside capital) dan perusahaan besar biasanya memiliki proporsi modal luar yang lebih besar. Sehingga untuk mengurangi agency costs, perusahaan besar akan lebih banyak mengungkapkan informasi dibandingkan perusahaan kecil (Sari, 2012). Yao et al. (2011) juga menyatakan bahwa semakin besar suatu perusahaan, maka perusahaan tersebut akan semakin disorot oleh para stakeholder. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa perusahaan membutuhkan upaya yang lebih besar untuk memperoleh legitimasi dari para stakeholder-nya dalam rangka menciptakan keselarasan nilai-nilai sosial dari kegiatan perusahaan dengan norma perilaku yang ada dalam masyarakat. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa ukuran 27 perusahaan berpengaruh positif pada CSR, seperti penelitian yang dilakukan oleh Sembiring (2005), Yao et al. (2011), Febrina dan Suaryana (2011) serta Sari (2012). Berdasarkan pernyataan dan hasil-hasil penelitian tersebut, maka dapat ditarik hipotesis sebagai berikut. H5: Ukuran Perusahaan berpengaruh positif pada CSR. 2.2.6 Pengaruh Profitabilitas pada CSR Hubungan antara profitabilitas perusahaan dengan CSR telah menjadi postulat (anggapan dasar) untuk mencerminkan pandangan bahwa reaksi sosial memerlukan gaya manajerial. Semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan, maka semakin besar tingkat pengungkapan CSR yang dilakukan oleh perusahaan (Bowman & Haire, 1976 dan Preston, 1978, Hackston & Milne, 1996 dalam Anggraini, 2006). Hal tersebut sesuai dengan teori agensi, dimana perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi akan menjadi sorotan publik, sehingga perusahaan tersebut harus lebih banyak mengungkapkan informasi mengenai pertanggungjawaban sosialnya (Ikbal, 2012). Donovan dan Gibson (2000) dalam Sembiring (2005) menyatakan pendapat yang berbeda mengenai hubungan antara profitabilitas dengan CSR, dimana ketika perusahaan memperoleh laba yang tinggi, maka perusahaan (manajemen) menganggap tidak perlu untuk melaporkan hal-hal yang dapat mengganggu informasi tentang prestasi keuangan perusahaan. Sebaliknya, ketika perusahaan memperoleh laba yang rendah, mereka berharap para pengguna laporan akan membaca “good 28 news” mengenai kinerja perusahaan, contohnya pertanggungjawaban sosial yang dilakukan oleh perusahaan, sehingga diharapkan investor akan tetap berinvestasi di perusahaan tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa profitabilitas mempunyai hubungan yang negatif terhadap tingkat pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Walaupun demikian, Sembiring (2005) tidak berhasil membuktikan bahwa profitabilitas berpengaruh negatif pada CSR. Penelitian yang dilakukan oleh Sari (2012) juga menunjukkan bahwa profitabilitas berpengaruh positif pada CSR. Berdasarkan pernyataan dan hasil-hasil penelitian tersebut, maka dapat ditarik hipotesis sebagai berikut. H6: Profitabilitas berpengaruh positif pada CSR. 2.2.7 Pengaruh Leverage pada CSR Leverage mencerminkan risiko keuangan perusahaan karena dapat menggambarkan struktur modal perusahaan dan mengetahui risiko tak tertagihnya suatu utang. Semakin tinggi tingkat leverage suatu perusahaan, maka perusahaan memiliki risiko keuangan yang tinggi sehingga menjadi sorotan dari para debtholders. Belkaoui dan Karpik (1989) dalam Sembiring (2005) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat rasio leverage, maka semakin besar kemungkinan perusahaan akan melakukan pelanggaran perjanjian hutang, sehingga perusahaan pun akan berusaha untuk melaporkan laba sekarang lebih tinggi. Supaya laba yang dilaporkan tinggi, maka manajer harus mengurangi biaya-biaya, termasuk biaya untuk mengungkapkan informasi sosial. 29 Biaya CSR yang terbatas menandakan bahwa tingkat pengungkapan informasi sosial menjadi rendah atau terbatas. Hal tersebut sesuai dengan teori agensi, dimana perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi akan mengurangi tingkat pengungkapan CSR yang dilakukannya agar tidak menjadi sorotan para debtholders (Utami dan Prastiti, 2011). Hasil penelitian Belkaoui dan Karpik juga menunjukkan bahwa leverage berpengaruh negatif pada CSR. Nur dan Priantinah (2012) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa leverage berpengaruh negatif pada CSR. Berdasarkan pernyataan dan hasil-hasil penelitian tersebut, maka dapat ditarik hipotesis sebagai berikut. H7: Leverage berpengaruh negatif pada CSR. 2.2.8 Pengaruh Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, dan Leverage pada Nilai Perusahaan Melalui CSR Rumusan hipotesis sebelumnya sudah menjelaskan bagaimana hubungan antar variabel secara parsial, yaitu bagaimana masing-masing pengaruh ukuran perusahaan, profitabilitas, dan leverage pada CSR dan juga pengaruhnya pada nilai perusahaan. Hipotesis yang disusun tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara variabel berbeda-beda, ada yang berpengaruh positif maupun negatif. Maka dapat ditarik rumusan hipotesis sebagai berikut. H8: Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, dan Leverage berpengaruh pada Nilai Perusahaan melalui CSR. 30