BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Sulawesi Tenggara terletak dijazirah Tenggara Pulau Sulawesi, Secara geografis terletak di bagian Selatan garis khatulistiwa, memanjang dari utara ke Selatan di antara 3o-6o LS dan membentang dari Barat ke Timur diantara 120o45' - 124o06' BT. Provinsi Sulawesi Tenggara di sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Tengah, sebelah selatan berbatasan dengan Propinsi NTT di laut Flores, sebelah Timur berbatasan dengan Provinsi Maluku dan sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Selatan di Teluk Bone. Secara administratif pemerintahan, Provinsi Sulawesi Tenggara terdiri atas 10 Kabupaten dan 2 Kota, 177 kecamatan dan 1.911 desa/kelurahan (BPS Sultra, 2012). Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak disertai peningkatan pengetahuan dan pemahaman masyarakat, menimbulkan fenomena sosial yang sangat menarik untuk dipelajari.Hal ini dapat dilihat dengan berbagai perilaku sosial yang tidak mendukung perilaku hidup sehat. Kondisi ini merupakan ancaman bagi program pembangunan kesehatan dimasa yang akan datang. Salah satu akibat dari kemajuan teknologi adalah kecenderungan transisi epidemiologi yang sudah mengarah pada timbulnya berbagai kasus penyakit non infeksi.Disisi lain, masalah penyakit infeksi masih merupakan faktor utama penyebab kesakitan. Masalah kependudukan lain yang timbul adalah kondisi lingkungan fisik yang tidak seimbang lagi dengan kondisi lingkungan biologi. Kondisi ini sebagai akibat dari pembangunan fisik yang tidak memperhatikan kelangsungan dan keseimbangan ekosistem. Bila hal ini tidak diperhatikan, akan menjadi salah satu faktor pendorong tingginya prevalensi berbagai penyakit infeksi serta masalah kesehatan lainnya. Pelaksanaan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menghendaki arah dan tujuan kebijakan pembangunan diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan Nasional. Perencanaan pembangunan daerah merupakan bagian integral perencanan pembangunan nasional yang disusun secara sistematis, terarah, terpadu, menyeluruh, dan tanggap terhadap perubahan untuk menjawab permasalahan yang ada di daerah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dinas kesehatan sebagai salah satu SKPD Pemerintah Kabupaten Kota bertanggung jawab dalam melaksanakan program pembangunan kesehatan di Sulawesi Tenggara. Untuk itu, Dinas Kesehatan Kab/kota Sulawesi Tenggara membuat perencanaan yang menjabarkan potret permasalahan pembangunan kesehatan untuk memecahkan permasalahan kesehatan di Kabupaten Kota Provinsi Sulawesi Tenggara secara terencana dan bertahap melalui sumber pembiayaan APBD setempat, dengan mengutamakan kewenangan yang wajib disusun sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah (Renstra 2008-2013). Penyelenggaraan pelayanan kesehatan merupakan salah satu dari 11 bidang kewenangan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Penyerahan inidilakukan atas dasar pertimbangan pemerataan dan keadilan, sehingga masyarakat mempunyai kesempatan lebih baik dalam mengakses pelayanan kesehatan. Asumsinya adalah bahwa daerah lebih dekat dan lebih memahami kondisi masyarakatnya sehingga kebijakan pelayanan kesehatan dapat lebih menyentuh kebutuhan masyarakat yang sebenarnya. Hal ini sebagai solusi dari anggapan adanya kegagalan perencanaan dariatas dalam menyentuh kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat selama ini, karena kualitas pelayanan menjadi salah satu indikator kinerja birokrasi dan keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah (Dwiyanto dkk, 2003). Penyerahan kewenangan di bidang kesehatan telah dimulai jauh sebelum dilaksanakannya UU No 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah. Penerapan kewenangan ini diawali dengan keluarnya PP No. 7 Tahun 1987 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintah di bidang kesehatan kepada daerah, diikuti dengan keluarnya PP No. 8 tahun 1995 dan SK Menkes No. 1002 Tahun 1995 tentang penyelenggaraan percontohan otonomi daerah bidang kesehatan pada 26 kabupaten (Sunarsih, 2002). Urusan kesehatan yang diserahkan kepada daerah berdasarkan kebijakan tersebut yakni pelayanan kesehatan dasar, rujukan dan gudang farmasi (Annisa dan Suryawati, 2011). Pada awal pelaksanaannya terdapat indikasi bahwa pelayanan kesehatan didaerah justru dirasakan menurun. Permasalahan ini diduga berawal dari proses politik (formulasi) atau proses administratif (manajemen) di lapangan, atau pada kedua proses tersebut (Jones, 1996). Salah satu bentuk penurunan pelayanan kesehatan tersebut antara lain tercermin dalam pengurangan anggaran kesehatan secara umum dan anggaran obat publik khususnya yang bersumber dari APBD, meski belum pasti namun dapat diduga pengurangan anggaran akan mengurangi kecukupan pengadaan obat publik (Riyanto, 2002). Anggaran obat kabupaten /Kota di Provinsi Sulawesi Tenggara yang bersumber dari APBD cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Apalagi dengan adanya bantuan dana obat bersumber dari kemenkes RI, cq Dirjen Binfar dan alkes mengalokasikan anggaran Obat Publik dalam bentuk Buffer stock kab/kota atau Dana Alokasi Khusus (DAK) ke seluruh Kabupaten Kota, sehingga pemerintah kabupaten kota mengurangi alokasi pembiayaaan obat melalui APBD. Sejak Desentralisasi Pemerintah kabupaten/ kota kurang memperhatikan alokasi anggaran obat dan Kabupaten Pemekaran cenderung mengalokasikan anggaran APBD ke sektor diluar kesehatan seperti infrastruktur. Berkurangnya anggaran obat akan menjadi masalah tersendiri karena menyangkut kecukupan anggaran obat, padahal ketersediaan obat merupakan salah satu indikator keberhasilan pelayanan kesehatan. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu apakah alokasi anggaran untuk pembiayaan obat mempengaruhi ketersediaan obat di sarana pelayanan kesehatan pemerintah kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi Tenggara. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memastikan bahwa anggaran obat cukup di sarana pelayanan kesehatan pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. 2. Tujuan Khusus a. Untuk Melihat penganggaran untuk obat dalam 10 tahun terakhir b. Untuk Menganalisis komitmen pemerintah daerah kabupaten/kota dalam menjamin kesinambungan pembiayaan obat. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Mendapatkan informasi implementasi Kebijakan penganggaran untuk obat 2. Manfaat praktis a. Sebagai Feed back untuk Perencanaan obat untuk Pusat dan Daerah b. Sebagai masukan untuk pengambilan keputusan tentang penganggaran untuk obat di sarana pelayanan kesehatan pemerintah. c. Sebagai wahana pembelajaran guna peningkatan pengetahuan dan keterampilan tentang kebijakan penganggaran untuk obat. E. Keaslian penelitian No 1 Nama Judul dan Waktu Penelitian Sihombing : Evaluasi Pengelolaan Obat Gudang Farmasi Kabupaten (GFK) di daerah percontohan Otonomi, Tahun 1999 2 Lapian : Pengaruh Pelaksanaan Desentralisasi terhadap pengadaan obat pada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (DKK) Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2002 3 Mustika : Ketersediaan Obat Publik Pada Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkulu Selatan Pasca otonomi Daerah, Tahun 2004 Tujuan Penelitian Metode yang digunakan Hasil Penelitian Mengungkapkan manfaat otonomi daerah dalam sektor pelayanan kesehatan, dan membandingkan hasil kinerja GFK di daerah percontohan otonomi dengan GFK non otonomi melalui indikator pengelolaan obat Untuk mengetahuii pengaruh pelaksanaan desentralisasi terhadap pengadaan obat pada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (DKK) Provinsi Sulawesi Utara Penelitian non eksperimental yang bersifat deskriptif eksploratif Pengelolaan obat dan implementasinya pada kedua GFK tidak berbeda secara bermakna. Perbedaan hanya pada struktur organisasi dan dana operasional kedua GFK. Quasi eksperimental Meneliti ketersediaan obat publik di Dinas Kesehatan Bengkulu Selatan pascaotonomi daerah Penelitian bersifat deskriptif analitis Ada pengaruh pelaksanaan desentralisasi terhadap pengadaan obat di dinas kesehatan Kabupaten/ kota ke arah negarif yaitu jumlah anggaran meningkat tapi dari pembiayaan untu program pelayanan kesehatan cenderung menurun. Pemanfaatan anggaran yang tersedia diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan yang tajam anggaran pengadaan obat sebelum dan setelah desentralisasi.