TINJAUAN PUSTAKA Botani Pinus Menurut USDA (United States Departement of Agriculture) 2006, pinus tersusun dalam sistematika sebagai berikut : Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Subdivisi : Spermatophyta Divisi : Coniferophyta Kelas : Pinopsida Ordo : Pinales Famili : Pinaceae Genus : Pinus Spesies : Pinus merkusii (USDA, 2006). Pinus merkusii Jung et de Vriesse termasuk suku Pinaceae, sinonim dengan P. sylvestri auct. Non. L, P. sumatrana Jung, P. finlaysoniana Blume, P. latteri Mason, P. merkusii var. Tonkinensis, P. merkusiana Cooling & Gaussen. Nama daerah : Damar Batu, Huyam, Kayu Sala, Sugi, Tusam (Sumatera), Pinus (Jawa), Sral (Kamboja), Thong Mu (Vietnam), Tingyu (Burma), Tapusan (Filipina), Indochina Pine, Sumatra Pine, Merkus Pine (Amerika Serikat dan Inggris), dan lain – lain (Harahap dan Izudin, 2002 dalam Siregar, 2005). P. merkusii Jungh et de Vriesse pertama sekali ditemukan dengan nama tusam di daerah Sipirok, Tapanuli Selatan oleh seorang ahli botani dari Jerman yaitu Dr. F. Universitas Sumatera Utara R. Junghuhn pada tahun 1841. Jenis ini tergolong jenis cepat tumbuh dan tidak membutuhkan persyaratan khusus. Keistimewaan jenis ini antara lain merupakan satu – satunya jenis pinus yang menyebar secara alami ke Selatan khatulistiwa sampai 2 0 LS (Harahap, 2000 dalam Siregar, 2005). Tajuk daun Tajuk umumnya berbentuk piramida dan bentuk ini nyata sekali pada waktu muda. Pada keadaan yang kurang baik tajuknya agak mendatar atau berbentuk paying terbuka (Anonim, 1976). Daunnya berbentuk seperti jarum karenanya disebut daun jarum, daun – daun ini berpasangan dalam satu ikatan yang terdiri dari dua jarum dalam satu fasikel, dibungkus oleh suatu selaput tipis 3 mm sampai 10 mm, panjang daun antara 12 – 25 cm sedangkan lebar daun 1 mm – 2 mm, bentuk penampangnya segitiga dan bagian ujungnya lancip. Panjang daun berbeda dan menurut Cooling (1968), panjang daun dapat dijadikan sebagai pembeda provenans. Daun pada pohon dewasa dua macam, daun sisik bersegi tiga melanset cepat gugur, di ketiaknya muncul tunas pendek, dan daun jarum dalam kelompok 2 – 4 yang dapat bertahan lebih dari 2 tahun dan tepinya bergerigi halus (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 2005). Daunnya dalam berkas dua dan berkas jarum (sebetulnya adalah tunas yang sangat pendek yang tidak pernah tumbuh) pada pangkalnya dikelilingi oleh suatu sarung dari sisik yang berupa selaput tipis panjangnya sekitar 0,5 cm (Steenis, 2003 dalam Siregar, 2005). Universitas Sumatera Utara Serasah pinus akan terdekomposisi secara alami dalam waktu 8 – 9 tahun. Serasah pinus merupakan serasah daun jarum yang mempunyai kandungan lignin dan ekstraktif tinggi serta bersifat asam, sehingga sulit untuk dirombak oleh mikroorganisme (Mindawati et al, 1998 dalam Siregar, 2005). Batang dan Kulit Batang Pinus merkusii memiliki pertelaan pohon berukuran sedang, selalu hijau, berumah satu, dan tingginya hingga 15 – 45 m. Batang utama lurus dalam tegakan rapat, bebas cabang sampai 10 – 25 m, berdiameter hingga 100 – 140 cm, dan tidak berbanir tetapi bagian pangkal melebar. Pepagan tebal dan kasar beralur dalam. Tajuk cabang – cabang dalam pusaran teratur dan anak – anak cabang lokos dengan pangkal tanpa daun (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 2005). Menurut Lasschuit (1951) yang dikutip oleh Sulawati (1981), bentuk batang Pinus merkusii di tanah Gayo (Aceh) mempunyai sifat ganjil, yaitu mempunyai bentuk batang spiral dan ini terjadi terutama pada pohon – pohon muda di tanah – tanah yang lebih baik. Pohon – pohon yang sudah tua mempunyai bentuk batang yang lurus, hal ini akibat dari pertumbuhan yang cepat. Pendapat yang sama dinyatakan oleh Cooling (1968), hal tersebut dapat saja terjadi akibat kekurangan cahaya pada waktu muda. Kulit batang berwarna coklat tua agak kelabu, kasar, beralur dalam dan menyerpih dalam keping – keping panjang lurus kadang – kadang juga bengkok, tetapi di Tapanuli ditemukan kulit batang yang licin, jarang beralur dalam, tipis dan berwarna muda (Soerianegara, 1979). Universitas Sumatera Utara Kulit batang bervariasi dalam warna, tebal dan bentuk. Cooling (1988), menyatakan bahwa di Thailand warna kulit coklat gelap hingga abu – abu dengan tebal setinggi dada 6 cm. Di Kamboja warna kulit coklat kelabu gelap, dibedakan atas kulit yang halus dan kasar. Kulit kasar mempunyai retakan yang dalam, sedang kulit yang halus sebaliknya. Di Vietnam ditemukan warna kulit yang coklat kemerahan. Tebal 6 – 7 cm pada setinggi dada, mempunyai retakan yang dalam. Di Indonesia, warna kulit agak coklat, pada bagian pucuk berwarna hijau kelabu dan halus. Pohon – pohon tua berwarna merah coklat kelabu dan bersisik. Bunga, Kerucut, dan Biji Pembungaan tergantung pada keadaan iklim. Sesudah musim kemarau yang kering, biasanya pinus berbuah lebat dan kerucutnya pun memuaskan. Sebaliknya bila banyak hujan pembungaannya jelek dan kerucutnya pun susah masak (Beekman, 1949). Perbungaan berbentuk runjung. Runjung jantan silindris, berkelompok di sekitar pangkal tunas muda, kuning atau kemerah – merahan, terdiri dari atas sisik – sisik yang tersusun spiral dan masing – masing dengan dua kantung sari terbalik. Runjung betina di ujung atau agak di ujung ranting, beragam bentuknya, terdiri atas sisik – sisik tersusun spiral yang menebal di ujung (apofisis), menghasilkan onak (duri) atau kait yang kokoh dan tiap sisik berbakal biji 2. Biji sering berbentuk bulat telur dan bersayap lebar (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 2005). Susunan bunga jantan terdapat di antara kuncup – kuncup daun yang sedang berkembang pada cabang – cabang muda. Ukuran bunga jantan adalah panjang antara 18 – 20 mm dan tebal kira – kira 3 mm. Susunan bunga betina adalah kerucut – Universitas Sumatera Utara kerucut yang lurus atau agak lengkung bertangkai pendek yang tempatnya kadang – kadang terpisah jauh, tetapi kebanyakan berdekatan dengan susunan bunga jantan yang sama (Beekman, 1949). Buah berbentuk kerucut – kerucut. Panjang kerucut antara 5 – 8,5 cm dan tebal 1 – 5 cm berbentuk tabung meruncing atau bentuk telur apabila buah itu sudah membuka. Kerucut – kerucut itu di waktu muda menunjuk ke atas, tetapi lambat laun menunduk (Beekman, 1949). Biji terletak dalam jalur sisik berkerucut, berpasangan dan bersayap. Biji pinus panjang antara 4 – 7 mm, lebar 4 mm dan tebal 2 mm. Sayap tidak simetris, warna kekuning – kuningan dan kering (Beekman, 1949). Pohon pinus berbunga dan berbuah sepanjang tahun, terutama pada bulan Juli – November. Biji yang baik warna kulitnya kering kecoklatan, bentuk bijinya bulat, padat, dan tidak berkerut. Jumlah biji kering 57.900 butir per kg atau 31.000 butir/l (Khaerudin, 1999 dalam Siregar, 2005). Cooling (1968) menyatakan bahwa biji bervariasi menurut ketinggian tempat tumbuh. Dia menarik suatu hubungan linier antara berat dari 1000 biji dengan ketinggian tempat tumbuh, dan berkesimpulan bahwa makin tinggi tempat tumbuh makin besar dari 1000 biji. Kecepatan Tumbuh Kecepatan tumbuh Pinus merkusii berbeda sekali pada waktu muda dan pada waktu dewasa. Pertumbuhan ini terutama disebabkan karena pengaruh cuaca. Cahaya sangat dibutuhkan oleh Pinus merkusii sebagai jenis pohon pionir (Beekman, 1949). Universitas Sumatera Utara Menurut Khaerudin (1999) tinggi P. merkusii dapat mencapai 20 – 40 m dengan diameter 100 cm dan batang bebas cabang 2 – 23 m. Pinus tidak berbanir, kulit luar berwarna coklat kelabu sampai coklat tua, tidak mengelupas dan beralur lebar serta dalam. Kayu pinus berwarna coklat – kuning muda, berat jenis rata – rata 0,55 dan termasuk kelas kuat III serta kelas awet IV (Khaerudin, 1999 dalam Siregar, 2005). Kemampuan Berkembang Biak Pembiakan dengan benih sangat mudah sekali asal syarat – syarat terpenuhi dan pembiakan lain dengan tunas – tunas tunggak. Pinus merkusii dapat mempermuda diri dengan tanpa bantuan dari manusia. Untuk permudaan alam ini satu syaratnya ialah bahwa biji dapat mencapai tanah. Serasah yang terlalu tebal serta tanaman bawah yang terlalu rapat menghalangi permudaan alam ini (Beekman, 1949). Penyebaran Alam dan Keadaan Tempat Tumbuh Pinus merkusii merupakan jenis pinus daerah tropis, dan satu – satunya jenis yang mempunyai penyebaran alami mulai dari belahan bumi utara, melintas khatulistiwa, menyebar sampai belahan bumi selatan (Cooling, 1968). Tusam merupakan satu-satunya jenis Pinus asli Indonesia (Sumatera : Aceh, Tapanuli dan Kerinci) dengan penyebaran : a. Strain Aceh penyebarannya dari pegunungan Seulawah Agam sampai sekitar TN Gunung Leuser kemudian ke Selatan mengikuti Pegunungan Bukit Barisan lebih kurang 300 km melalui Danau Laut Tawar, Uwak, Blangkejeren sampai Kutacane. Pada daerah ini ketinggian 800-2000 mdpl. Universitas Sumatera Utara b. Strain Tapanuli, menyebar di daerah Tapanuli ke Selatan Danau Toba. Tegakan tusam alam terdapat di pegunungan Dolok Tusam, Batu Manumpak, Sialogo, Habinsaran, Dolok Sibualbuali, Dolok Sipirok, Sipagimbar, Padang Mandailing dan Dolok Pardumahan. Pada perbukitan Dolok Saut tegakan tusam bercampur dengan pohon daun lebar. Ketinggian tempat 1000-1500 mdpl. c. Strain Kerinci menyebar di sekitar Pegunungan Kerinci. Tegakan alami relatif mengelompok dalam luasan yang tidak begitu luas di CA Bukit Tapan, Sungai Penuh, Bukit Terbakar dan Pungut Mudik. Ketinggian tempat 1500-2000 mdpl. Gambar 1. Hutan pinus (USDA, 2006). P. merkusii termasuk famili Pinaceae, tumbuh secara alami di Aceh, Sumatera Utara, dan Gunung Kerinci. P. merkusii mempunyai sifat pioner yaitu dapat tumbuh baik pada tanah yang kurang subur seperti padang alang – alang. Di Indonesia, P. merkusii dapat tumbuh pada ketinggian antara 200 – 2.000 mdpl. Pertumbuhan optimal dicapai pada ketinggian antara 400 – 1.500 mdpl (Khaerudin, 1999 dalam Siregar, 2005). Universitas Sumatera Utara Pohon pinus tergolong jenis pohon pionir yang dapat tumbuh di segala jenis tanah yang berasal dari beberapa bahan induk yang berbeda dan jenis ini tidak memerlukan persyaratan tempat tumbuh yang tinggi (Cooling, 1968). Jenis ini tumbuh pada daerah – daerah dengan kisaran ketinggian yang luas, yaitu mulai pada ketinggian 50 – 2000 m di atas permukaan laut (Cooling, 1968). Di Aceh jenis ini tumbuh dengan baik pada ketinggian 500 – 2000 m diatas permukaan laut dengan curah hujan rata – rata 3500 – 4000 mm/tahun dengan periode kering 3 – 4 bulan (Buys et al, 1928 yang dikutip oleh Cooling (1968). Selanjutnya Cooling (1968), menyatakan bahwa pinus mempunyai toleransi yang luas terhadap iklim, dapat tumbuh pada daerah – daerah yang mempunyai periode enam bulan kering sampai ke daerah – daerah yang selalu basah. Pemanfaatan Penduduk di sekitar hutan alam tusam biasanya memakainya sebagai bahan bangunan untuk rumah demikian pula dengan pemakaian teras kayu untuk penyulut kayu bakar banyak digunakan terutama di daerah pegunungan yang berhawa sejuk/dingin. Gondorukem dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat sabun, resin, dan cat. Terpentin digunakan untuk bahan industri parfum, obat – obatan, dan desinfektan. Hasil kayunya bermanfaat untuk konstruksi, korek api, pulp, dan kertas serat panjang. Bagian kulitnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan abunya digunakan untuk bahan campuran pupuk, karena mengandung kalium (Dahlian dan Hartoyo, 1997 dalam Siregar, 2005). Universitas Sumatera Utara Status Konservasi Menurut Red List Category IUCN 1994, tusam dikategorikan Rawan. Hal ini berarti bahwa populasinya berkurang karena luas wilayah keberadaan populasinya diperkirakan kurang dari 20.000 km2 atau wilayah yang dapat ditempatinya diperkirakan kurang dari 2000 km2, atau keadaan populasinya mengalami fragmentasi berat (sangat serius) atau diketahui hanya berada pada satu lokasi dan populasinya diamati atau diduga berkurang secara terus menerus dengan memperhatikan luas, wilayah keberadaan, kualitas habitat, dan jumlah individu dewasa. Persemaian Pinus Persyaratan lokasi tempat tumbuh : (1) Topografi : Tusam (Pinus merkusii) dapat tumbuh pada dataran rendah hingga dataran tinggi, mulai ketinggian 200 – 1700 mdpl, (2) Iklim : Pohon ini banyak dijumpai pada hutan – hutan yang berperiode kering ringan dan daerah bercurah hujan cukup tinggi, dengan tipe curah hujan A sampai C. Suhu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan antara 17 0C dan 270C, (3) Tanah : Tusam tidak memerlukan persyaratan yang tinggi terhadap keadaan tanah dan dapat tumbuh pada bermacam – macam jenis tanah yang formasinya sangat berbeda – beda. Tanah yang lembab tidak cocok untuk tusam, pohon ini membutuhkan tanah yang porous. Pengadaan benih : Benih diunduh dari pohon yang sehat dan berumur minimal 20 tahun. Pohon ini berbuah sepanjang tahun terutama pada bulan Juli – Nopember. Buah kerucut (cone) yang masak ditandai dengan warna coklat perunggu dan masih tertutup, sedangkan biji yang baik adalah berwarna kecoklatan berbentuk bulat dan tidak berkerut. Universitas Sumatera Utara Cara pengadaaan bibit : Pengadaan bibit dapat dilakukan secara generatif (biji) dan vegetatif (putaran). (1) Pembiakan secara generatif (biji) : Biji disemai dalam bak dengan media pasir halus. Anakan yang tumbuh dan berdaun dua lembar harus segera dipindahkan ke bedeng penyapihan pada umur 2 bulan. Agar anakan tumbuh subur, perlu ditulari dengan cendawan mikoriza yang berasal dari pohon inang atau dengan tanah dari hutan tusam. Pemindahan ke lapangan dilakukan pada musim hujan setelah anakan mencapai tinggi 20 – 25 cm pada umur 1 sampai dengan 1,5 tahun, dengan jarak tanam 3 x 1 m atau 3 x 2 m. (2) Pembiakan secara vegetatif (puteran) : Permudaan buatan dapat dilakukan dengan putaran yang berasal dari persemaian dengan tinggi minimum 20 cm. Gambar 2. Persemaian Pinus merkusii (Aek Nauli, 2007). Penaburan dan perkecambahan : perkecambahan dimulai 7 hari setelah penaburan. Daya kecambah 80 % dapat dicapai dalam 12 – 15 hari. Benih dapat langsung ditabur pada kantung plastik (1 – 2 per kantung) atau disebar dahulu lalu disapih ke kantung plastik setelah panjang kecambah mencapai 3 – 4 cm. Media penyapihan bermikorhiza yang terdiri dari campuran pasir dan tanah humus dari Universitas Sumatera Utara tegakan pinus perbandingan 3 : 1. Bibit siap tanam setelah 9 – 10 bulan (Sukmana dkk, 2005). Pemeliharaan : (1) Penyiangan: Penyiangan pada tahun pertama dilakukan 3 kali atau tergantung dari tingkat peliaran gulma. (2) Penyulaman : Penyulaman dilakukan pada tahun pertama dan kedua. Pada tahun pertama penyulaman dilakukan dari bibit yang bersal dari persemaian sehingga umur dan besarnya tidak banyak perbedaan dengan bibit asal. (3) Pemangkasan : Pemangkasan dilakukan tergantung dari tujuan penanaman. Bila tujuannya untuk memanen kayu. Pemangkasan perlu dilakukan. Hama dan penyakit : Anakan yang baru tumbuh di persemaian mudah terserang jamur tanah Rhizoctonia sp dan Fusarium sp. Fungisida yang diberikan pada perlakuan tanah dapat dilakukan secara fumigasi sebelum penanaman atau diberikan dengan cara penyuntikan tanah sedalam 10 – 15 cm. Sedangkan di hutan alam tegakan tusam banyak diserang hama Millionia basalis sehingga tanaman menjadi gundul dan pada tanaman muda dapat mematikan tanaman. Teknik pengendalian pada tanaman muda dengan insektisida Azudrin 15 WSC dan Hostathion 40 EC dengan dosis 3 – 4 ml / liter air per pohon dengan cara penyemprotan (Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 2005). Kriteria Bibit Yang Baik Definisi Bibit Bibit merupakan salah satu penentu keberhasilan budi daya tanaman. Budi daya tanaman sebenarnya telah dimulai sejak memilih bibit tanaman yang baik. Hal ini dapat dimengerti karena bibit merupakan obyek utama yang akan dikembangkan Universitas Sumatera Utara dalam proses budi daya selanjutnya. Selain itu, bibit juga merupakan pembawa gen dari induknya yang menentukan sifat tanaman tersebut setelah berproduksi. Dengan demikian, untuk memperoleh tanaman yang memiliki sifat tertentu dapat diperoleh dengan memilih bibit yang berasal dari induk yang memiliki sifat tersebut (Setiawan, 1999). Gambar 3. Deretan Bibit Pinus merkusii (Aek Nauli, 2007). Sampai sekarang pengertian bibit masih sering dirancukan dengan pengertian benih (seed) dan tanaman induk (parent stock). Banyak orang yang tertukar untuk mengistilahkan bibit pada benih. Pengertian bibit juga sering tertukar dengan tanaman induk penghasil benih atau bibit. Kerancuan ini masih sering terjadi di masyarakat karena belum ada kepastian tentang pembatasan pengertian bibit. Pengertian bibit yang dimaksud disini adalah tanaman kecil (belum dewasa) yang berasal dari pembiakan generatif (dari biji), vegetatif, kultur jaringan, atau teknologi pembiakan lainnya. Selain itu, bibit juga dapat diperoleh dari kombinasi cara – cara perbanyakan tersebut (Setiawan, 1999). Universitas Sumatera Utara Pentingnya bibit dalam dunia usaha sudah tidak diragukan lagi. Tidak pelak lagi negara yang industri pembibitannya maju dapat menghasilkan produk – produk yang bermutu tinggi dan berdaya saing tinggi. Hal ini berkaitan erat dengan penguasaan teknologi pemuliaan serta pengawasan mutu benih dan bibit yang baik (Setiawan, 1999). Untuk memperoleh bibit yang baik dalam memilih bibit perlu menguasai pengetahuan tentang macam – macam bibit, ciri bibit yang baik, dan kiat – kiat tertentu dalam memilih bibit. Dengan mengetahui macam – macam bibit maka dapat diketahui dengan pasti perbedaan bibit biji dan lainnya. Pengetahuan ciri bibit yang baik memberikan kepastian tentang asal – usul bibit, kesehatan, dan sertifikasi bibit. Adapun pengetahuan tentang kiat – kiat dalam memilih bibit memberi pengetahuan tentang cara memperoleh bibit yang baik (Setiawan, 1999). Kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahan dalam memilih bibit dapat berakibat fatal. Hal ini dimungkinkan karena kesalahan tersebut baru diketahui setelah tanaman mulai berproduksi. Kesalahan dalam memilih varietas tanaman sulit dideteksi sebelum tanaman tersebut berproduksi. Memang ada varietas tanaman tertentu yang perbedaan antar varietasnya dapat diketahui dari perbedaan daunnya sehingga penentuan varietas dapat dilakukan sebelum tanaman tersebut berproduksi. Namun, varietas tanaman yang seperti itu tidak banyak. Pada kebanyakan tanaman, kesalahan tersebut baru tampak dari batang dan buah yang dihasilkan yang tidak memiliki sifat – sifat seperti yang diharapkan (Setiawan, 1999). Mengingat pentingnya peranan bibit dalam proses budi daya tanaman secara keseluruhan, pengetahuan untuk memilih bibit yang baik sangat penting dikuasai. Universitas Sumatera Utara Dengan berbekal pengetahuan ini diharapkan tidak terjadi lagi kerugian besar dalam usaha yang diakibatkan oleh kesalahan dalam memilih bibit (Setiawan, 1999). Bibit yang baik paling tidak memiliki tiga kriteria, yaitu berasal dari induk yang baik, sehat, dan bersertifikat. Jika ada satu kriteria yang tidak terpenuhi maka mutu bibit tersebut patut diragukan. Oleh karenanya, ketiga kriteria ini penting diperhatikan dalam menilai sebuah bibit tergolong baik atau tidak. 1. Berasal dari induk yang baik Induk yang baik merupakan faktor pertama yang harus diperhatikan dalam menilai bibit. Faktor inilah yang dapat dijadikan acuan tentang kemungkinan sifat – sifat tanaman yang akan diwarisi kelak. Dengan menggunakan cara perbanyakan vegetatif maka secara genetik bibit tersebut dapat dipastikan memiliki sifat yang sama dengan induknya. Dengan demikian, untuk memastikan bibit tersebut memiliki sifat – sifat yang baik, harus dipastikan bahwa tanaman tersebut berasal dari induk yang baik pula (Anonim, 1995). Induk tanaman yang baik untuk dijadikan sumber perbanyakan bibit adalah tanaman dari varietas unggul (baik), sehat, dan telah cukup umur. Dengan perbanyakan vegetatif, dari tanaman induk varietas unggul akan diturunkan sifat – sifat unggul pada bibit yang dihasilkan. Tanaman induk yang sehat dengan teknik perbanyakan yang baik (steril) tentunya akan menghasilkan bibit yang bebas penyakit. Sebaliknya, tanaman induk yang telah terserang penyakit kemungkinan besar juga akan menularkan penyakitnya kepada bibit yang dihasilkan. Demikian pula, faktor umur tanaman induk perlu mendapat perhatian. Tanaman yang terlalu Universitas Sumatera Utara muda kurang baik dijadikan tanaman induk. Selain bibit yang dihasilkan bermutu rendah, juga berakibat jelek terhadap pohon induknya sendiri (Anonim, 1995). Untuk memastikan bahwa bibit tersebut berasal dari induk yang baik, satu – satunya cara yang paling aman dengan mengetahui sendiri secara pasti tanaman induk bibit tersebut. Hal ini tidak sulit dilakukan jika sudah mengenalinya (Anonim, 1995). 2. Bibit sehat dan berpenampilan baik Dalam memilih bibit tanaman, yang perlu diperhatikan pertama kali ialah pertumbuhan batang, cabang, dan daunnya. Selanjutnya dapat diperhatikan juga penampakan luarnya, apakah ada gejala serangan hama dan penyakit atau tidak. Bentuk batang dan cabang dipilih yang baik, kelihatan mulus dan kokoh, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek sesuai dengan umurnya. Tanaman yang kerdil biasanya kelihatan pendek dari yang seharusnya. Ada pula bibit yang pertumbuhan tingginya terlalu pesat, sedangkan batangnya kelihatan kecil dan terkesan kurang kokoh. Perlu diperhatikan bahwa bibit yang baik biasanya memiliki batang utama yang lurus dan tumbuh tegak.Pertumbuhan daun tanaman dipilih yang kelihatan rimbun, subur, dan segar. Pada daun tidak tampak bercak – cak, berlubang, atau bentuk cacat lainnya yang menandakan adanya gejala serangan penyakit atau hama. Untuk melihat apakah bibit bebas dari penyakit atau hama, tidak dapat dilihat secara sepintas. Namun, untuk lebih pastinya kita perlu tahu dahulu gejala – gejala serangan penyakit tersebut (Anonim,1995). 3. Bibit bersertifikat Dalam memilih bibit, keberadaan sertifikat sangat penting diperhatikan. Apalagi bagi masyarakat yang awam sekali dengan masalah bibit. Masyarakat mudah Universitas Sumatera Utara terkecoh hanya dengan melihat penampilan bibit yang sehat, pertumbuhannya baik, dan diiming – imingi dengan varietas yang baik. Padahal bibit tersebut belum tentu terjamin keasliannya. Meskipun keberadaan sertifikat itu tidak dapat menjamin seratus persen keaslian bibit, tetapi paling tidak mengurangi resiko tertipu (Anonim, 1995). Gambar 4. Bibit Pinus merkusii (Aek Nauli, 2007). Tujuan dari registrasi dan sertifikasi adalah untuk menjamin secara hukum (yuridis) kebenaran bibit yang dihasilkan dari pohon induk yang telah ditentukan sehingga masyarakat tidak dirugikan. Dengan kata lain, bibit yang telah diberi label lebih terjamin secara hukum tentang keaslian varietas dan cara perbanyakannya. Hal ini dimungkinkan karena bibit yang berlabel diproduksi dibawah pengawasan Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (Anonim,1995). Pada saat pelaksanaan perbanyakan, petugas akan mengawasi tentang kebenaran pohon induk, entries, dan cara perbanyakan yang digunakan, serta jumlah tanaman yang diperbanyakan. Menjelang pelabelan, dilakukan pemeriksaan lagi Universitas Sumatera Utara tentang jumlah bibit yang tumbuh dengan baik dan layak diberi label. Selanjutnya penangkar mengisi label dan mengajukan permohonan nomor seri label dan legalisasi oleh Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih. Dengan sistem pengawasan seperti ini diharapkan keterangan tentang bibit yang tertera di dalam label benar – benar menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Label yang telah diisi dan dilegalisasi oleh balai memuat data – data : 1) Nama dan alamat penangkar, 2) Asal bibit, 3) Jenis tanaman, 4) Tanggal pemasangan label (Anonim, 1995). Standarisasi Mutu Bibit Tujuan dari pembangunan persemaian adalah untuk memproduksi bibit yang nantinya akan digunakan untuk penanaman dengan demikian persemaian adalah bagian dari proses pembangunan hutan tanaman. Bibit sebagai cikal bakal tanaman disiapkan di persemaian dengan menerapkan teknik persemaian yang tepat untuk tiap – tiap jenis tanaman, penggunaan benih, dan media persemaian berkualitas dan pengaturan kondisi persemaian yang optimum untuk pertumbuhan semai. Manajemen persemaian khususnya persemaian modern dengan demikian melibatkan sumberdaya dan sistem kerja yang terprogram dan pengendalian untuk menghasilkan bibit yang bermutu tinggi (Tampubolon dan Rusmana, 1998). Mutu bibit tanaman yang tinggi secara umum ditentukan oleh bibit yang dapat beradaptasi di lapangan secara cepat, tingkat daya hidup yang tinggi, dan mempunyai pertumbuhan yang tinggi (Barnett dan Baker, 1991 ; Johnson dan Cline, 1991). Universitas Sumatera Utara Persyaratan yang lebih ketat yaitu bibit bermutu tinggi dikaitkan langsung dengan mutu tegakan yang terbentuk yakni produk akhir berupa kayu atau serat yang akan digunakan sebagai bahan baku industri kehutanan. Hal ini banyak berhubungan dengan sifat – sifat turunan (hereditas) dari pohon atau tegakan asal benih ke tegakan yang terbentuk. Sebagai contoh benih yang diperoleh dari tegakan yang mempunyai banyak pohon bengkok akan mempunyai peluang yang tinggi untuk menghasilkan pohon yang bengkok pula (deformasi batang) meskipun bibit yang ditanam dapat beradaptasi dan tumbuh cepat di lapangan. Tinggi rendahnya mutu bibit tanaman hutan khususnya bibit asal biji sangat ditentukan oleh sifat hereditas (genetis), tingkat kematangan fisiologis buah atau biji,kesehatan buah dan biji (FAO, 1985), dan perlakuan di persemaian. Albrech (1993) mengemukakan bahwa mutu benih mencakup mutu fisiologis, kematangan benih, dan daya hidup benih dimana mutu tersebut tergantung pada sifat genetis, waktu pengunduhan, metode ekstraksi, dan metode penyimpanan benih. Shopie (1997) mencatat persyaratan mutu benih yang harus dipenuhi adalah kemurnian benih yang tinggi, viabilitas tinggi, sehat, penampilan fisik baik, dan kadar air cukup. Sifat hereditas mengisyaratkan bahwa benih sebaiknya diperoleh dari kebun benih (seed orchard) atau sumber – sumber benih yang lain yang mempunyai tegakan berpenampilan unggul dan baik sehat serta jelas asal – usulnya. Penetapan kriteria mutu bibit di persemaian dapat dilakukan dengan cara menilai sifat – sifat morfologis semai (Wakely, 1948 dalam Sutton, 1980) dan sifat – sifat morfologis semai (Sutton, 1980). Sifat – sifat morfologis seperti warna daun, ukuran semai, kesehatan semai, kelurusan batang, dan kekuatan tumbuh (vigor) telah Universitas Sumatera Utara dikembangkan dalam beberapa dekade terakhir untuk memilih bibit tanaman untuk reboisasi. Pengukuran morfologi bibit telah dilakukan secara tradisional dalam proses seleksi bibit secara rutin karena pengukuran tersebut relatif cepat dan sederhana (Thompson dan Schultz, 1995). Pada sisi lain Johnson dan Cline (1991) mengatakan bahwa kriteria morfologi bibit seperti tinggi, diameter batang, dan arsitektur bibit dapat diubah melalui kegiatan persemaian. Sedangkan penilaian bibit berdasarkan sifat – sifat fisiologis pada dasarnya ditekankan pada proses pertumbuhan semai. Beberapa pakar menentukan pentingnya penilaian kapasitas pertumbuhan perakaran (root growth capacity) sebagai ukuran mutu bibit tanaman kehutanan (Ritchie dan Dunlap, 1980). Johnson dan Cline (1991) menekankan pentingnya kriteria fisiologis seperti kandungan air dalam tanaman (water relation), nutrisi karbohidrat, dormansi, dan ketahanan terhadap angin. Kapasitas pertumbuhan perakaran adalah merupakan kemampuan semai memproduksi akar putih lateral yang baru, baik dalam jumlah maupun panjang. Akar putih lateral telah dibuktikan merupakan komponen sistem perakaran yang penting untuk menjamin tingkat survival dan adaptabilitas yang tinggi dari bibit yang baru ditanam di lapangan penanaman. Penilaian kapasitas pertumbuhan perakaran dalam kegiatan persemaian memang tidak praktis dan membutuhkan waktu namun bila didukung oleh penelitian hubungan antara kapasitas pertumbuhan perakaran dengan ciri morfologis semai akan memudahkan penetapan kriteria mutu bibit yang dapat digunakan oleh petugas persemaian. Mutu bibit secara morfologis dapat dinilai dari bagian semai mulai dari pucuk sampai akar semai. Penampakan luar bibit yang baik dapat dilihat dari tinggi semai, Universitas Sumatera Utara jumlah daun, diameter leher akar (root colar), warna daun, ada tidaknya serangan ham penyaki, dan kelurusan batang. Johnson dan Cline (1991) menyarankan mutu bibit yang utama yakni tinggi tanaman, diameter batang, dan arsitektur pucuk. Dari kriteria itu yang paling signifikan pada penampilan tanaman adalah diameter pangkal batang. Bagi bibit yang dikembangkan pada wadah polybag dengan media semai yang sarang, penelitian dapat ditambah dengan kekompakan akar dan ada tidaknya deformasi akar. Universitas Sumatera Utara