BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Laporan WHO mengenai pengawasan global terhadap resistensi
antimikroba pada April 2014 menunjukkan bahwa resistensi antibiotik terjadi di
seluruh dunia dan ke depannya akan semakin mengancam. Sebagai gambaran,
WHO melaporkan terjadinya resistensi fluoroquinolon yang merupakan obat untuk
infeksi saluran kemih yang disebabkan E. coli. Kemudian resistensi sefalosporin
generasi ketiga menyebabkan kegagalan pengobatan pada kencing nanah telah
dikonfirmasi di beberapa negara (WHO, 2014).
Fenomena resistensi antimikroba ini merupakan gejala alam. Namun
tindakan tertentu manusia dapat mempercepat munculnya resistensi dan
mempercepat penyebarannya. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat
memicu terbentuknya strain baru mikroba patogen yang akhirnya menyebabkan
terjadinya resistensi (WHO, 2014).
Munculnya resistensi antimikroba menjadi tantangan bagi saintis untuk
menemukan senyawa bioaktif baru yang aman dan poten untuk menghadapi
tantangan tersebut. Fungi endofit telah dipelajari sebagai sumber senyawa bioaktif
yang baru dan penting sebagai antimikrobia, insektisida, sitotoksik, dan antikanker
(Zhao dkk., 2010). Sebagai contoh antibiotik cryptosporioptide telah diisolasi dari
ekstrak etil asetat fungi endofit Cryptosporiopsis sp. (Saleem dkk., 2013).
Kemudian ekstrak etil asetat dari fungi endofit Aspergillus sp. yang berasal dari
1
2
Eucommia ulmoides, memiliki aktivitas antimikrobia (Zhang dkk., 2014).
Dari hasil penelitian Nisak (2013) ditemukan fungi endofit dengan kode
DJ1 dan DJ2 yang diisolasi dari daun jinten (Coleus amboinicus Lour.), dan kode
BJ1 yang diisolasi dari batang jinten. Ekstrak etil asetat fungi DJ2 memiliki
aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa,
Bacillus subtilis, dan Salmonella thypi. Penelitian lanjutan mengenai aktivitas
antibakteri dari ekstrak etil asetat fungi BJ1 belum dilakukan.
Potensi fungi endofit sebagai penghasil senyawa antimikroba memicu
ketertarikan penulis untuk melanjutkan penelitian sebelumnya untuk meneliti
aktivitas antibakteri dari ekstrak etil asetat fungi BJ1. Bakteri uji yang digunakan
untuk uji aktivitas antibakteri adalah Bacillus subtilis dan Eschericia coli. Bakteri
tersebut digunakan karena Nisak (2013) menyatakan bahwa fungi BJ1 yang sudah
dilakukan uji skrining aktivitas antimikroba dengan metode difusi agar, memiliki
aktivitas antibakteri terhadap bakteri Gram positif Bacillus subtilis dan Gram
negatif Eschericia coli.
Penelitian diawali dengan pembuatan kultur fungi BJ1. Fungi BJ1
difermentasi untuk menghasilkan metabolit sekunder. Setelah fermentasi selesai,
biomassa dipisahkan dari media fermentasi dengan cara filtrasi. Media fermentasi
diekstraksi dengan etil asetat, kemudian fase etil asetat diuapkan untuk
mendapatkan ekstrak. Ekstrak diuji aktivitas antibakterinya dengan uji disk
diffusion. Dilanjutkan dengan identifikasi golongan senyawa aktif ekstrak etil asetat
fungi BJ1 dengan metode KLT-bioautografi.
3
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana potensi aktivitas antibakteri dari ekstrak etil asetat fungi BJ1?
2. Apa golongan senyawa yang bertanggung jawab atas aktivitas antibakteri dari
ekstrak etil asetat fungi BJ1?
C. Tujuan Penelitian
1. Menguji aktivitas antibakteri ekstrak etil asetat fungi BJ1.
2. Mengidentifikasi golongan senyawa yang berperan dalam aktivitas antibakteri
ekstrak etil asetat fungi BJ1 dengan metode KLT-bioautografi.
D. Tinjauan Pustaka
1. Fungi Endofit
Istilah endofit merujuk pada organisme yang seluruh atau sebagian siklus
hidupnya berada pada jaringan tumbuhan hidup (seperti daun, bunga, ranting,
ataupun akar) tanpa menyebabkan gejala penyakit pada inangnya. Organisme
seperti fungi, bakteri, actinomycetes, dan mycoplasma dilaporkan sebagai endofit
pada tanaman (Khan, 2007). Hampir semua kelas tumbuhan berpembuluh
merupakan inang bagi organisme endofit (Zhang dkk., 2006). Fungi endofit
dilaporkan terdapat di tumbuhan hidup tumbuh di beragam lingkungan termasuk
iklim tropis, iklim sedang, xerofitik, dan akuatik. Kebanyakan kelas fungi
Ascomycetes, Deutromycetes, dan Bacidiomycetes dilaporkan merupakan fungi
endofit (Khan, 2007).
Fungi endofit merupakan sumber senyawa bioaktif yang baru dan penting
sebagai antimikrobia, inseksida, sitotoksik, dan antikanker (Zhao dkk., 2010).
4
Beberapa tahun terakhir ini banyak produk alam bioaktif yang diisolasi dari endofit
telah dilaporkan, di antara produk-produk tersebut, senyawa aktif antimikrobia
mencakup alkaloid, peptida, steroid, terpenoid, kuinon, flavonoid, senyawa alifatik,
fenol, dan lainnya (Yu dkk., 2010).
Fungi endofit dapat menghasilkan metabolit yang sama dengan inangnya.
Chitra dkk. (2014) melaporkan telah mengisolasi senyawa piperin dari fungi
Colletotrichum gloeosporioides endofit pada tanaman Piper nigrum L. Hal ini
menunjukkan profil metabolit endofit dipengaruhi oleh keunikan lingkungan kimia
tumbuhan inangnya. Kehadiran endofit dengan kemampuan mensintesis senyawa
spesifik tumbuhan menunjukkan indikasi interaksi endofit dan inangnya.
Potensi fungi endofit mengahasilkan senyawa antimikroba dilaporkan dari
berbagai penelitian. Asam 2-Hydroksi-6-metilbenzoat dilaporkan memiliki
aktivitas antimikroba yang kuat, diperoleh dari fungi Phoma sp. PG23 yang
merupakan fungi endofit dari tanaman obat Taraxacum mongolicum (Zhang dkk.,
2013). Bai dkk. (2014) berhasil mengisolasi senyawa flavipesins A dari dari fungi
Aspergillus flavipes yang merupakan endofit dari tanaman bakau Acanthus
ilicifolius. Senyawa tersebut memiliki aktivitas antibakteri dan antibiofilm.
2. Fermentasi
Menurut Tortora dkk. (2010) istilah fermentasi memiliki beberapa definisi,
yaitu:
a. Pembusukan makanan karena mikroorganisme
5
b. Proses yang menghasilkan minuman beralkohol
c. Proses mikroba skala besar yang menghasilkan produk
d. Proses metabolisme yang menghasilkan energi dalam kondisi anaerobik
e. Proses metabolisme yang menghasilkan energi dari gula/molekul
organik, yang tidak memerlukan oksigen/sistem transport elektron, dan
menggunakan molekul organik sebagai akseptor elektron terakhir.
Keterlibatan mikroorganisme dalam proses fermentasi telah banyak dimanfaatkan
oleh industri saat ini misalnya seperti produksi bir dan wine dari buah anggur
(Tortora dkk., 2010). Dalam mikrobiologi industri, fermentasi digambarkan sebagai
proses pengubahan bahan dasar menjadi produk yang dikehendaki dengan bantuan
mikroorganisme tertentu (Stanbury dkk., 2003). Berbeda dengan sejarahnya,
fermentasi dewasa ini tidak hanya tentang produksi alkohol atau asam laktat.
Namun, dalam perkembangannya telah banyak menghasilkan berbagai produk
yang bermanfaat untuk manusia.
Menurut Stanbury dkk. (2003) dalam Nababan (2013) untuk mengerti
tentang produksi metabolit pada mikroorganisme pada proses fermentasi, terlebih
dahulu harus dipahami mengenai fase-fase pertumbuhan mikroba pada kultur.
Setelah inokulasi kultur pada media, ada suatu masa dimana pertumbuhan tidak
terjadi, periode ini disebut dengan fase lag dan dapat dianggap sebagai masa
adaptasi. Kemudian laju pertumbuhan sel perlahan-lahan meningkat dan sel tumbuh
pada kecepatan yang maksimum dan konstan, periode ini disebut fase log atau
eksponensial. Akhirnya, pertumbuhan terhenti dan sel memasuki apa yang disebut
6
sebagai fase stasioner. Setelah jangka waktu yang lebih lama, jumlah sel viable
menurun saat kultur memasuki fase kematian.
Selama fase log, produk yang dihasilkan bersifat esensial terhadap
pertumbuhan sel, termasuk didalamnya adalah asam amino, nukleotida, protein,
asam nukleat, lipid, karbohidrat, dan sebagainya. Produk-produk ini disebut
metabolit primer dan fase dimana produk ini dihasilkan disebut tropofase. Selama
fase deselerasi dan stasioner, beberapa kultur mikroba mensintesis senyawa yang
tidak dihasilkan selama tropofase dan tidak memiliki fungsi yang jelas terhadap
metabolisme sel. Senyawa ini disebut metabolit sekunder dan fase dimana senyawa
ini diproduksi disebut idiofase. Tidak sedikit mikroorganisme yang memiliki
aktivitas antimikrobial, yang lainnya memiliki aktivitas inhibitor enzim spesifik,
beberapa adalah promotor pertumbuhan dan banyak yang memiliki sifat-sifat
farmakologis. Jadi, metabolit sekunder telah menjadi dasar dari sejumlah proses
fermentasi.
Fermentasi dapat dilakukan dengan 3 macam sistem, yaitu:
a. Batch culture
Sistem batch adalah yang paling sederhana dan sering digunakan di
laboratorium untuk memperoleh biomassa sel atau metabolitnya.
Fermentasi dengan sistem batch merupakan sistem tertutup dikarenakan
tidak ada penambahan nutrisi yang dibutuhkan mikroba dan tidak ada
produk buangan yang dihilangkan selama sistem ini berlangsung (Stanbury
dkk., 2003). Keuntungan sistem ini adalah mudah, sederhana, dan
kemungkinan kontaminasi kecil. Kerugian system ini adalah kultur mikroba
7
yang menua, tidak ada perbaruan pertumbuhan mikroba, pembentukan
metabolit toksik yang bercampur dengan produk, konsentrasi substrat
terbatas, dan sukar untuk diaplikasikan dalam skala besar (Patrick dan Finn,
2008).
b. Continuous culture
Sistem contious merupakan sistem batch yang fase eksponensialnya
diperpanjang dengan tetap menjaga jumlah nutrisi dan jumlah biomassa/sel
mikroba (Stanbury dkk., 2003). Selama fermentasi berlangsung, mikroba
diberi nutrisi atau medium baru, sementara itu jumlah sel atau media
dikeluarkan dari fermentor dengan kecepatan yang sama. Ketika media
ditambahkan ke dalam kultur secara kontinyu dengan kecepatan yang tetap
maka kondisi steady state dapat tercapai. Artinya, pembentukan biomassa
baru dalam kultur sebanding dengan pengeluaran massa sel dari fermentor.
Keuntungan sistem ini adalah memiliki produktivitas dan kecepatan
pertumbuhan yang dapat dioptimalkan, proses dalam waktu lama dapat
dijalankan, dapat digunakan model sel amobil, serta faktor fisis dan
lingkungan mudah dianalisis; sedangkan kerugiannya adalah tidak sesuai
dengan kaidah Good Manufacturing Practice sehingga dilarang digunakan
untuk memproduksi produk farmasi, resiko kontaminasi yang besar, produk
yang belum optimal terbentuk, dan mudah timbul perubahan/mutasi pada
mikroba (Nisak, 2013).
c. Fed-batch culture
8
Metode ini adalah sistem terbuka dengan penambahan nutrisi secara terusmenerus tanpa pengurangan volume kultur. Penambahan media dan nutrisi
yang baru berpengaruh pada peningkatan volume kultur. Sistem ini
memungkinkan organisme untuk tumbuh pada tingkat pertumbuhan yang
dikehendaki, menimalkan produksi produk yang tidak diinginkan, dan
memungkinkan pencapaiaan jumlah sel dan kadar produk yang tinggi.
Kekurangan sistem ini diperlukan pengetahuan pertumbuhan organisme dan
pembentukan produk (Patrick dan Finn, 2008).
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses fermentasi antara lain:
a. Media
Formulasi media yang tepat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
mikroba agar tumbuh sesuai dengan yang diinginkan. Formulasi media yang
ideal perlu memperhatikan komposisi elemen yang dibutuhkan, sumber
energi yang dipakai, produk yang akan dihasilkan (biomass / metabolit /
keduanya), apakah formulasi mempengaruhi produk (misalnya kondisi pH
media akam mempengaruhi produk yang berupa protein), bagaimana mode
fermentasinya (batch/fed-batch/continuous), apakah pemilihan media
mempengaruhi proses downstream, dan instrumen sterilisasi bagi media
tersebut (misalnya substrat yang tidak tahan panas tidak bisa disterilisasi
dengan sterilisasi panas) (Harvey dan Neil, 2008).
Media dibagi menjadi tiga kategori yaitu:
1) Media sintetik, yaitu media yang dibuat secara sintetis kimia. Semua
komponen yang terdapat dalam media sintetik adalah konsentrasi
9
spesifik dari komponen-komponennya. Media sintetik biasanya simpel,
mengandung karbon / sumber energi, sumber nitrogen, dan senyawa
inorganik.
Untuk
organisme
yang
membutuhkan
komponen
pertumbuhan yang spesifik, kompleksitas media sintetik akan naik
signifikan.
Media
sintetik
berguna
untuk
eksperimen
yang
membutuhkan akurasi data yang tepat dan interpretasi hasil yang jelas.
Jumlah sel yang tumbuh dalam media sintetik cenderung lebih rendah
dibandingkan jenis media lainnya (semi sintetik dan kompleks) karena
seringkali media ini tidak cocok dengan kebutuhan organime / sel.
Namun pengaruh nutrisi tunggal pada sel mudah diketahui
dibandingkan dengan media yang kompleks. Media sintetik juga tidak
memerlukan proses dowsstream yang rumit dalam skala industri
maupun laboratorium (Harvey dan Neil, 2008).
2) Media semi sintetik, yaitu media yang dibuat secara sintesis tetapi
terdapat komponen yang tidak spesifik. Contohnya ekstrak khamir
untuk sel yang membutuhkan vitamin B. komponen tersebut walaupun
tidak diketahui isinya namun memiliki nutrisi yang kaya dan cocok
untuk pertumbuhan sel. Media semi sintetik ini berguna untuk riset skala
laboratorium yang tidak mampu untuk menyediakan komponen media
yang murni dalam jumlah yang besar. Karena mengandung komponen
yang tidak spesfik, untuk menghasilkan hasil yang tepat, senyawa yang
terdapat di media semi sintetik pertu dianalisis lagi untuk mengetahui
komponen-komponen yang berada pada media tersebut. Penggunaan
10
media semi sintetik juga memerlukan monitoring yang rutin untuk
menganalisis kebutuhan komponen yang diperlukan (misalnya jika
vitamin yang terdapat dalam ekstrak khamir kurang maka perlu
ditambah lagi). Sehingga penggunaan media semi sintetik akan
berimplikasi pada waktu dan biaya produksi (Harvey dan Neil, 2008).
3) Media kompleks, yaitu media dengan komposisi yang beragam.
Komponen media ini beragam, dari sumber karbon dan nitrogen yang
sumbernya lebih dari satu macam, adanya vitamin, faktor pertumbuhan
dan elemen-elemen kompleks yang dibutuhkan sel. Media kompleks
cenderung
membentuk
busa
yang dapat
mengganggu
proses
downstream. Penggunaan media kompleks berimplikasi pada proses
yang beragam serta rencana eksperimen yang penuh kehati-hatian, dan
memerlukan fermentasi dengan banyak replikasi untuk mendapatkan
hasil yang jelas. Sama seperti media semi sintetik, penggunaan media
kompleks juga memerlukan monitoring yang rutin untuk menganalisis
kebutuhan komponen yang diperlukan. Jika ingin menggunakan media
kompleks perlu dipertimbangkan keuntungan dan kerugian yang akan
didapat (Harvey dan Neil, 2008).
Komponen media fermentasi antara lain:
1) Sumber karbon
Sumber karbon berfungsi sebagai sumber energi bagi sel, dan bahan
untuk mensintesis metabolit primer dan sekunder. Sumber energi
yang baik tergantung tipe organismenya (autotroph, chemotroph,
11
dan lain-lain). Pemilihan sumber karbon disesuaikan dengan
organisme, namun dari segi ekonomi juga diperhatikan. Sumber
karbon yang biasa digunakan antara lain glukosa, sukrosa, laktosa,
dan gula lainnya yang spesifik untuk sel tertentu (Harvey dan Neil,
2008).
2) Sumber nitrogen
Nitrogen diperlukan untuk pertumbuhan sel dan sintesis protein dan
asam nukleat. Sumber nitrogen antara lain ammonia, garam nitrogen
(contoh (NH4)2SO4, NH4Cl, dan lain-lain) dan nitrogen kompleks
(contoh ekstrak khamir) (Harvey dan Neil, 2008).
3) Substrat lain
Substrat ini berupa elemen-elemen seperti kalsium, magnesium,
fosfat, natrium, kalium, dan sulfur. Kemudian faktor pertumbuhan
seperti vitamin, purin, pirimidin, dan asam amino. Substrat-substrat
tersebut esensial untuk pertumbuhan mikroorganisme. Kebutuhan
substrat-substrat
tersebut
sedikit
sehingga
disebut
sebagai
mikronutrien (Harvey dan Neil, 2008).
4) Inhibitor
Inhibitor digunakan untuk menekan aktivitas sel yang dapat
menghasilkan produk toksik yang dapat menurunkan pertumbuhan
sel dan produksi metabolit (Harvey dan Neil, 2008).
12
b. Aerasi dan agitasi
Aerasi dan agitasi berfungsi untuk meningkatkan keberadaan oksigen
terlarut dalam media fermentasi, sehingga pembentukan metabolit dapat
berjalan maksimal (Stanbury dkk., 2003). Aerasi ini penting untuk
organisme aerobik yang pertumbuhannya memerlukan oksigen.
c. Suhu
Masing-masing mikroba mempunyai suhu optimal untuk pertumbuhannya.
Beberapa mikroorganisme mempunyai rentang suhu optimal sekitar 25300C. Pertumbuhan akan melambat pada kondisi suhu yang rendah karena
enzim tidak bekerja secara efisien. Pertumbuhan semakin meningkat seiring
meningkatnya suhu hingga dicapai suhu optimal. Kemudian setelah
melewati titik optimum pertumbuhan turun kembali karena terjadi
denaturasi enzim sehingga terjadi penurunan kecepatan pertumbuhan
(Rahmawati, 2012).
d. pH
kebanyakan enzim pada pH optimal aktivitasnya maksimal. Di bawah atau
di atas pH optimal tersebut aktivitas dan kecepatan reaksinya menurun.
Ketika konsentrasi H+ di dalam medium berubah drastis, struktur tiga
dimensi protein berubah. Perubahan pH yang ekstrim akan mendenaturasi
protein. Asam / basa merubah bentuk protein karena H+ / OH- bersaing
dengan ikatan hidrogen dan ikatan ionik di dalam enzim mengakibatkan
protein terdenaturasi. pH optimal dimana mikroba baik pertumbuhannya
diantara pH 6,5 dan 8,5 (Tortora dkk., 2010).
13
e. Sterilitas
Proses fermentasi yang terjadi kontaminasi karena kurangnya sterilitas
menurut Stanbury dkk. (2003) dapat mengakibatkan:
1) Media perumbuhan yang digunakan untuk pertumbuhan organisme
dimanfaatkan oleh kontaminan sehingga produksi metabolit berkurang.
2) Kontaminan tumbuh subur di dalam fermentor daripada organisme
utama.
3) Terjadi kontaminasi pada produk akhir.
4) Kontaminan menghasilkan senyawa yang menyulitkan ekstraksi produk
akhir.
5) Kontaminan mendegradasi produk yang diinginkan.
3. Ekstraksi Hasil Fermentasi
Menurut Khan (2007), fermentasi fungi endofit untuk menghasilkan
metabolit dapat dilakukan menggunakan media cair dan padat. Untuk fermentasi
dengan media cair, setelah fermentasi selesai, miselia dan media dipisahkan dengan
filtrasi. Fitrat diekstraksi dengan pelarut organik heksan, diklormetan, etil asetat,
dan butanol secara berurutan. Proses ekstraksi ini dilakukan 4 kali masing-masing
solven. Ekstrak yang didapat kemudian diuapkan untuk mendapatkan residu padat.
Untuk fermentasi dengan media padat, setelah fermentasi selesai, media padat
diekstraksi menggunakan solven methanol. Ekstraksi dilakukan sampai lima kali
kemudian ekstrak methanol diuapkan untuk mendapatkan residu padat. Ekstrak
tersebut kemudian difraksinasi dengan heksan, diklormetan, etil asetat, dan butanol.
14
4. Senyawa Antimikroba
Senyawa antimikroba adalah senyawa yang dapat menggangu pertumbuhan
dan metabolisme mikroba. Dalam penggunaan umum, istilah ini menyatakan
penghambatan pertumbuhan, dan bila dimaksudkan untuk kelompok-kelompok
organisme yang khusus, maka sering kali digunakan istilah-istilah seperti
antibakteri atau antifungi (Pelczar dan Chan, 1988).
Pelczar dan Chan (1988) mengemukakan beberapa beberapa hal pokok
yang harus dipenuhi oleh suatu bahan antimikroba yaitu:
a. Harus mempunyai kemampuan untuk merusak atau menghambat
mikroorganisme patogen spesifik.
b. Tidak mengakibatkan resisten pada mikroba patogen.
c. Berspektrum luas,
d. Mudah larut dalam air dan stabil.
e. Tidak mengganggu keseimbangan flora mikroba normal dalam tubuh inang.
f. Tidak menimbulkan efek samping pada inang dalam jangka waktu yang
lama.
g. Tetap aktif dalam plasma darah.
h. Konsentrasi antimikroba dalam jaringan atau darah harus dapat mencapai
taraf cukup tinggi sehingga mampu menghambat atau mematikan.
Siswandono (1995) menambahkan bahwa antibiotika dapat dikelompokkan
berdasarkan spektrum aktifitasnya:
a. Antibiotika dengan spektrum luas, efektif baik terhadap bakteri Gram
positif maupun bakteri Gram negatif.
15
b. Antibiotika yang aktifitasnya lebih dominan terhadap bakteri Gram positif.
c. Antibiotika yang aktifitasnya lebih dominan terhadap bakteri Gram negatif.
d. Antibiotika yang aktifitasnya lebih dominan terhadap Mycobacteriae.
e. Antibiotika yang aktif terhadap jamur/antijamur.
f. Antibiotika yang aktif terhadap neoplasma (antikanker).
Beberapa hal yang dapat mempengaruhi kerja zat antimikroba menurut
Pelczar dan Chan (1988) adalah sebagai berikut:
a. Konsentrasi atau intensitas zat antimikroba
Semakin tinggi konsentrasi suatu zat antimikroba maka semakin banyak
bakteri yang terbunuh. Lain halnya dengan eagle phenomenon (paradoxical
effect), yaitu peningkatan konsentrasi zat antimikroba justru menghasilkan
sedikit bakteri yang terbunuh (Smith, 2004).
b. Jumlah mikroorganisme
Semakin banyak jumlah organisme yang ada semakin banyak pula waktu
yang diperlukan untuk membunuhnya.
c. Suhu
Kenaikan suhu yang besar dapat menaikkan keefektifan suatu desinfektan
atau bahan mikrobial lain. Hal ini disebabkan karena zat kimia merusak
mikroorganisme melalui reaksi kimia. Dan reaksi kimia dipercepat dengan
meningkatkan suhu.
d. Spesies mikroorganisme
Spesies mikroorganisme menunjukkan ketahanan yang berbeda-beda
terhadap suatu bahan kimia tertentu.
16
e. Adanya bahan organik
Adanya bahan organik asing dapat menurunkan keefektifan zat kimia
antimikrobial dengan cara menginaktifkan bahan kimia tersebut. Adanya
bahan organik dalam campuran zat antimikrobial dapat mengakibatkan
penggabungan zat antimikrobial dengan bahan organik membentuk produk
yang tidak bersifat antimicrobial. Penggabungan zat antimikrobial dengan
bahan organik menghasilkan suatu endapan sehingga antimikrobial tidak
mungkin lagi mengikat mikroorganisme, dan akumulasi bahan organik pada
permukaan sel mikroba menjadi suatu pelindung yang akan mengganggu
kontak antara zat antimikrobial dengan sel.
Cara kerja zat antimikroba dalam melakukan efeknya terhadap
mikroorganisme adalah sebagai berikut :
a. Merusak dinding sel
Pada umumnya bekteri memiliki suatu lapisan luar yang kaku disebut
dinding sel. Dinding sel ini berfungsi untuk mempertahankan bentuk dan
menahan sel, dinding sel bakteri tersusun atas lapisan peptidoglikan yang
merupakan polimer komplek yang terdiri atas rangkaian asam N-asetil
glukosamin dan asam N-asetilmuramat yang tersusun secara bergantian.
Keberadaan lapisan peptidoglikan ini menyebabkan dinding sel bersifat
kaku dan kuat sehingga mampu menahan tekanan osmotik dalam sel yang
kaku. Dalam beberapa kasus, gangguan sintesis dinding sel menyebabkan
pembebasan asam lipoteikoat, yang biasanya mengatur aktivitas enzim
hidrolitik yang memainkan peran dalam perubahan dinamis dari dinding sel
17
dalam pertumbuhan dan pembelahan sel. Ketika asam lipoteikoat sebagai
pengatur hilang, enzim ini dapat aktif menghidrolisis dinding sel,
menyebabkan kehancuran sel (DeMarco dan Lerner, 2009). Contoh
penisilin, antibiotik β-laktam mencegah sintesis dan pembentukan
peptidoglikan (Tortora dkk., 2010).
b. Menghambat sintesis protein
Sintesis protein menjadi target toksisitas selektif karena sintesis protein
merupakan aktivitas utama dari sel baik prokariot maupun eukariot. Sel
prokariot memiliki ribosom 70S yang dibentuk dari subunit 50S dan 30S.
Antibiotik kloramfenikol mentarget subunit 50S dan menghambat formasi
ikatan peptida. Antibiotik tetrasiklin berikatan di subunit 30S, mengganggu
ikatan tRNA dengan mRNA. Antibiotik streptomisin merubah bentuk
subunit 30S sehingga pembacaan kode mRNA terganggu (Tortora dkk.,
2010).
c. Melukai membran plasma
Sitoplasma dibatasi oleh selaput yang disebut membran plasma yang
mempunyai permeabilitas selektif, membran ini tersusun atas fosfolipid dan
protein. Membran plasma berfungsi mengatur keluar masuknya bahanbahan tertentu dalam sel. Antibiotik polipeptida dapat merubah
permeabilitas membran plasma sehingga kehilangan metabolit penting dari
sel (Tortora dkk., 2010). Antibiotik lipopeptida, daptomycin dapat
menghasilkan pori di membran plasma sehingga mengakibatkan sel mati
(DeMarco dan Lerner, 2009).
18
d. Menghambat sintesis molekul esensial
Di dalam sel terdapat enzim yang membantu kelangsungan proses-proses
metabolisme. Kerja enzim ini dapat dihambat karena bersaing dengan suatu
zat yang disebut antimetabolit yang bentuk zat ini menyerupai substrat
untuk enzim tersebut (Tortora dkk., 2010). Antibiotik sulfamida yang
strukturnya analog dengan p-aminobenzoic acid (PABA) bersaing untuk
enzim
dihydropteroate
synthetase
dalam
biosintesis
dihidrofolat.
Dihidrofolat kemudian diubah menjadi tetrahidrofolat yang digunakan
untuk biosintesis metabolit esensial seperti purin, thimidilat, glisin dan
methionine. Jika pembentukan tetrahidrofolat dalam bakteri terganggu
maka pertumbuhan bakteri terhambat dan mengalami kematian. Contoh
lainnya adalah trimethoprim yang menghambat enzim dihidrofolat
reduktase yang mereduksi dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat (DeMarco
dan Lerner, 2009).
e. Menghambat sintesis asam nukleat
DNA, RNA, dan protein memegang peranan penting dalam proses
kehidupan normal sel. Beberapa bahan antimikroba dalam bentuk antibiotik
dapat menghambat sintesis protein. Apabila keberadaan DNA, RNA dan
protein mengalami gangguan atau hambatan pada pembentukan atau
fungsinya, dapat mengakibatkan kerusakan sel sehingga proses kehidupan
sel terganggu. Beberapa antibiotik mengganggung proses replikasi dan
transkripsi DNA di mikroorganisme. Beberapa obat dengan aksi seperti ini
memiliki kegunaan yang terbatas karena dapat menggangu DNA dan RNA
19
mamalia juga (Tortora dkk., 2010). Quinolone contoh antibiotik yang
menghambat replikasi DNA, sedangkan rifamycin (rifampin and rifaximin)
contoh antibiotik yang menghambat RNA polymerase (DeMarco dan
Lerner, 2009).
5. Metode Uji Aktivitas Antimikroba
Menurut Jorgensen dan Ferraro (2009) metode uji antibiotik yang biasa
digunakan adalah sebagai berikut:
a. Broth dilution tests
Salah satu metode uji antimikroba yang paling awal adalah metode
makrodilusi atau tube-dilution. Prosedur uji ini menggunakan seri kadar
senyawa antibiotik. Senyawa antibiotik kemudian dimasukkan ke dalam
tabung yang berisi media yang diinokulasi dengan bakteri. Setelah inkubasi
18-24 jam, tabung diperiksa untuk melihat pertumbuhan bakteri dibuktikan
dari kekeruhannya. Konsentrasi terendah antibiotik yang mencegah
pertumbuhan disebut minimal inhibitory concentration (MIC).
Miniaturisasi makrodilusi yaitu mikrodilusi merupakan metode uji yang
praktis dan semakin populer. Uji ini menggunakan microplate 96 sumuran.
Senyawa antibiotik kemudian dimasukkan tiap-tiap sumuran yang berisi
media yang diinokulasi dengan bakteri. Setelah inkubasi, MIC ditentukan
dengan cara manual dengan melihat kekeruhan tiap-tiap sumuran atau
secara otomatis menggunakan perangkat deteksi untuk pemeriksaan
kekeruhan tiap-tiap sumuran.
20
b. Antimicrobial gradient method
Metode difusi gradien antimikroba menggunakan prinsip pembentukan
gradien konsentrasi antimikroba dalam media padat sebagai sarana untuk
menentukan kerentanan/susceptibility. Contoh metode ini yang tersedia
secara komersial adalah Etest. Metode ini menggunakan strip plastik tipis
yang diresapi di bagian bawahnya dengan gradien konsentrasi antibiotik dan
ditandai di atas permukaannya dengan skala konsentrasi. Strip ditempatkan
di cawan petri yang telah diinokulasi dengan bakteri. Setelah semalam
diinkubasi, hasil MIC ditentukan oleh persimpangan dari bagian bawah
yang merupakan zona jernih berbentuk elips yang merupakan daerah
hambat pertumbuhan dengan skala konsentrasi antibiotik yang terdapat di
atas strip.
c. Uji disk diffusion
Uji disk diffusion merupakan uji yang sederhana dan praktis dan telah
terstandarisasi. Pengujian ini dilakukan dengan menginokulasi bakteri ke
cawan petri yang berisi media padat. Dua belas piringan antibiotik dapat
ditempatkan pada permukaan media yang telah diinokulasi. Pelat diinkubasi
selama 18-24 jam sebelum penentuan hasil. Zona hambat pertumbuhan
masing-masing piringan antibiotik diukur. Diameter zona hambat terkait
dengan kerentanan isolat dan kecepatan difusi obat melalui media padat.
d. Automated instrument systems
Penggunaan instrumentasi dapat menstandarisasi pembacaan titik akhir dan
menghasilkan hasil uji yang peka dalam waktu yang lebih cepat, karena
21
sistem yang sensitif dengan deteksi optik memungkinkan mendeteksi
perubahan halus pertumbuhan bakteri. Contoh instrumen tersebut antara
lain:
1) MicroScan Walkaway adalah perangkat inkubator yang dapat
menginkubasi dan menganalisis 40-96 microplate 96 sumuran.
Microplate yang sudah berisi senyawa antibiotik dan bakteri uji,
kemudian ditempatkan di salah satu slot inkubator dalam instrumen.
Instrumen akan menginkubasi bakteri dalam periode waktu yang
tepat, kemudian memeriksa secara berkala dengan perangkat deteksi
untuk menentukan pertumbuhan bakteri.
2) BD Phoenix Automated Microbiology System memiliki inkubator
besar dengan kapasitas untuk memproses 99 microplate 96 sumuran.
BD Phoenix Automated Microbiology System memonitor setiap
microplate tiap 20 menit menggunakan turbidometri dan kolorimetri
untuk mendeteksi pertumbuhan bakteri.
6. Mikroba Uji
a. Bacillus subtilis
Bacillus subtilis termasuk bakteri Gram positif aerobik dan dapat membentuk
endospora. Bacillus subtilis memiliki bentuk batang uniseluler yang jarang
membentuk rantai. Bacillus subtilis mampu mendegradasi pektin dan
polisakarida dalam jaringan tanaman, dan beberapa strain menyebabkan
kebusukan pada umbi kentang. Bacillus subtilis dapat tumbuh minimal pada
media yang tanpa ditambahkan faktor pertumbuhan (Todar, 2012). Bacillus
22
subtilis telah menjadi organisme model dan dianggap sebagai acuan adaptasi
dan diferensiasi sel, sehingga menjadi salah satu organisme yang paling luas
diteliti di alam dengan tujuan utamanya untuk memperoleh pemahaman
lengkap mengenai proses fidiologis kehidupan sel, yang menurut penelitian
terakhir genomenya terdiri dari 4200 gen (Willey dkk., 2008). Bacillus
subtilis tidak termasuk organisme yang patogen terhadap manusia, namun jika
seseorang dalam keadaan imunitasnya turun maka ada kemungkinan infeksi
dapat terjadi. Spesies lainnya dalam genus Bacillus yang menyebabkan
patogen antara lain Bacillus anthracis yang menyebabkan antrax. Kemudian
Bacillus cereus yang dapat mencemari makanan sehingga menimbulkan
keraacunan pada manusia (EPA, 1997).
Menurut Todar (2012a), Bacillus subtilis diklasifikasikan sebagai
berikut:
Kingdom
: Bacteria
Filum
: Firmicutes
Kelas
: Bacilli
Ordo
: Bacillales
Famili
: Bacillaceae
Genus
: Bacillus
Spesies
: Bacillus subtilis
b. Escherichia coli
Escherichia coli merupakan penghuni normal dalam saluran pencernaan
manusia dan hewan. Bakteri ini berbentuk batang, anerobik fakultatif,
23
merupakan bakteri Gram negatif. Bakteri Gram negatif memiliki struktur
dinding sel yang tipis (10-15 nm) dan berlapis tiga (multi). Kandungan lipid
dinding sel bakteri Gram negatif lebih tinggi (11-22 %) dari pada yang
dikandung Gram positif, peptidoglikan ada di dalam lapisan kaku sebelah
dalam (Pelczar dan Chan, 1986). Bakteri E. coli juga dapat ditemukan di air,
makanan, dan tanah. Selain dapat menyebabkan diare, E. Coli dapat
menyebabkan meningitis pada neonatus dan menyebabkan infeksi saluran
urin (Extraintestinal Pathogenic E. coli / ExPC) (Baylis dkk., 2006).
Menurut Todar (2012b), Esccherichia coli diklasifikasikan sebagai
berikut:
Kingdom
: Bacteria
Filum
: Protobacteria
Kelas
: Gamma Protobacteria
Ordo
: Enterobacteriales
Famili
: Enterobacteriaceae
Genus
: Escherichia
Spesies
: Escherichia coli
7. Metode KLT-Bioautografi
Metode KLT-bioautografi merupakan metode untuk mendeteksi bercak
pada kromatogram hasil kromatografi lapis tipis yang memiliki aktivitas
antimikroba sehingga mendekatkan metode separasi dengan uji biologis (Pratiwi,
2008). KLT-bioautografi dapat dengan cepat memisahkan dan mendeteksi
komponen aktif dari ekstrak tanaman, dan juga memiliki keuntungan tambahan
24
seperti praktis, sederhana, dan tidak membutuhkan peralatan khusus (Gu dkk.,
2009). Ada tiga macam metode bioautografi yaitu:
a. Bioautografi kontak
Plat KLT diletakkan di permukaan media agar terinokulasi mikroorganisme
selama beberapa menit atau jam, agar senyawa aktif berdifusi. Selanjutnya
plat KLT dipindahkan dan media agar diinkubasi. Zona hambat akan
muncul di tempat kontak antara senyawa antimikroba dan media agar
(Choma dan Grzelak, 2010).
b. Bioautografi agar-overlay
Plat KLT dituang dengan media agar terinokulasi mikroorganisme, media
ditunggu hingga padat kemudian diinkubasi. Agar senyawa aktif berdifusi
dengan baik, plat disimpan pada temperatur rendah sebelum diinkubasi.
Area hambatan dilihat dengan pewarnaan menggunakan cat tetrazolium.
Senyawa aktif akan tampak sebagai area jernih dengan latar belakang ungu.
Bioautografi agar-overlay adalah penggabungan dari bioautografi kontak
dan bioautografi langsung. Senyawa antimikroba ditransfer dari plat KLT
ke lapisan agar seperti pada pengujian bioautografi kontak, namun selama
inkubasi dan visualisasi lapisan agar tetap kontak dengan plat KLT
sebagaimana pada bioautografi langsung (Choma dan Grzelak, 2010).
c. Bioautografi langsung
Plat KLT direndam dalam suspensi mikroorganisme dan diinkubasi. Plat
KLT akan ditutupi dengan media cair menjadi tempat tumbuhnya
mikroorganisme. Sedangkan pada spot dimana senyawa antimikroba berada
25
akan terbentuk zona hambatan. Visualisasi zona hambat menggunakan cat
tetrazolium. Pada plat KLT akan muncul area putih dengan latar ungu. Area
putih tersebut menunjukkan keberadaan senyawa antimikroba (Choma dan
Grzelak, 2010).
E. Keterangan Empiris
Keterangan empiris yang ingin diketahui dari penelitian ini adalah potensi
antibakteri ekstrak etil asetat fungi BJ1. Kemudian golongan senyawa yang
berperan dalam aktivitas antibakteri dalam ekstrak etil asetat fungi BJ1.
Download