Dokumentasi dan Informasi Hukum

advertisement
Dokumentasi dan Informasi Hukum
Undang-undang dan Peraturan Pemerintah
Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
DAFTAR ISI
UU Nomor 33 Tahun 2004 .................................................................... 1
Penjelasan UU Nomor 33 Tahun 2004 ....................................................... 5
UU Nomor 32 Tahun 2004 ...................................................................77
Penjelasan UU Nomor 32 Tahun 2004 ................................................... 183
UU Nomor 15 Tahun 2004 .................................................................. 255
Penjelasan UU Nomor 15 Tahun 2004 .................................................... 267
UU Nomor 17 Tahun 2003 ................................................................. 279
Penjelasan UU Nomor 17 Tahun 2003 .................................................... 297
PP Nomor 60 Tahun 2008 ................................................................... 317
Penjelasan PP Nomor 60 Tahun 2008 ..................................................... 339
PP Nomor 38 Tahun 2008 ................................................................... 401
Penjelasan PP Nomor 38 Tahun 2008 ..................................................... 411
PP Nomor 39 Tahun 2007 ................................................................... 417
Penjelasan PP Nomor 39 Tahun 2007 ..................................................... 439
PP Nomor 8 Tahun 2006 ................................................................... 447
Penjelasan PP Nomor 8 Tahun 2006 ...................................................... 465
PP Nomor 55 Tahun 2005 ................................................................... 477
Penjelasan PP PP Nomor 55 Tahun 2005 ................................................. 505
PP Nomor 24 Tahun 2005 ................................................................... 523
Penjelasan PP Nomor 24 Tahun 2005 ..................................................... 529
iii
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 33 TAHUN 2004
TENTANG
PERIMBANGAN KEUANGAN
ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 mengamanatkan diselenggarakan otonomi seluas-luasnya
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. bahwa hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah, dan antar Pemerintahan Daerah
perlu diatur secara adil dan selaras;
c. bahwa untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah
melalui penyediaan sumber-sumber pendanaan berdasarkan
kewenangan Pemerintah Pusat, Desentralisasi, Dekonsentrasi,
dan Tugas Pembantuan, perlu diatur perimbangan keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berupa sistem
keuangan yang diatur berdasarkan pembagian kewenangan, tugas,
dan tanggung jawab yang jelas antarsusunan pemerintahan;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah sudah tidak sesuai
dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan serta tuntutan
penyelenggaraan otonomi daerah, sehingga perlu diganti;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, huruf c dan
huruf d, perlu ditetapkan Undang-Undang tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
1
2
Mengingat :
1. Pasal 1 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23,
Pasal 23C, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4355);
4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4437);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA
PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara
3
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
2.
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan Tugas Pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
3.
Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah adalah suatu
sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan,
dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan Desentralisasi, dengan
memper-timbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran
pendanaan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
4.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
5.
Daerah otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
6.
Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi daerah
kabupaten atau walikota bagi daerah kota.
7.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga
perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
8.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
9.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada gubernur
sebagai wakil Pemerintah.
10. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan/atau
desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggung­
jawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.
11. Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah.
12. Pengeluaran Daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah.
13. Pendapatan Daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah
nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan.
4
14. Belanja daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang
bersangkutan.
15. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau
pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang
bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.
16. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut APBN adalah
rencana keuangan tahunan pemerintahan Negara yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat.
17. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD adalah
rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui
bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
18.
Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang
diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
19. Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi.
20.
Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai
kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
21. Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan
keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi.
22. Celah fiskal dihitung berdasarkan selisih antara kebutuhan fiskal Daerah dan
kapasitas fiskal Daerah.
23. Dana Alokasi Khusus, selanjutnya disebut DAK, adalah dana yang bersumber
dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan
untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah
dan sesuai dengan prioritas nasional.
24. Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima
sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain
sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
25. Obligasi Daerah adalah Pinjaman Daerah yang ditawarkan kepada publik
melalui penawaran umum di pasar modal.
26. Dana Dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh
gubernur sebagai wakil Pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan
pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi, tidak termasuk dana
yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah.
27. Dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan
oleh Daerah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka
pelaksanaan Tugas Pembantuan.
28. Hibah adalah Penerimaan Daerah yang berasal dari pemerintah negara asing,
badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, Pemerintah, badan/
lembaga dalam negeri atau perseorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah
maupun barang dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak
perlu dibayar kembali.
29. Dana Darurat adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada
Daerah yang mengalami bencana nasional, peristiwa luar biasa, dan/atau krisis
solvabilitas.
30. Rencana Kerja Pemerintah Daerah, selanjutnya disebut RKPD, adalah dokumen
perencanaan daerah provinsi, kabupaten, dan kota untuk periode 1 (satu)
tahun.
31. Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah, selanjutnya disebut Renja SKPD,
adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 1
(satu) tahun.
32. Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah, selanjutnya disebut
RKA SKPD, adalah dokumen perencanaan dan penganggaran yang beris program
dan kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah yang merupakan penjabaran dari
Rencana Kerja Pemerintah Daerah dan rencana strategis Satuan Kerja Perangkat
Daerah yang bersangkutan dalam satu tahun anggaran, serta anggaran yang
diperlukan untuk melaksanakannya.
33. Pengguna Anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran
kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah.
34. Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan barang
milik Negara/Daerah.
5
6
BAB II
PRINSIP KEBIJAKAN PERIMBANGAN KEUANGAN
Pasal 2
(1) Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan
subsistem Keuangan Negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara
Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
(2) Pemberian sumber keuangan Negara kepada Pemerintahan Daerah dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi didasarkan atas penyerahan tugas oleh Pemerintah
kepada Pemerintah Daerah dengan memperhatikan stabilitas dan keseimbangan
fiskal.
(3) Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan
suatu sistem yang menyeluruh dalam rangka pendanaan penyelenggaraan asas
Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan.
Pasal 3
(1) PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk
mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi Daerah sebagai
perwujudan Desentralisasi.
(2) Dana Perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah
dan Pemerintahan Daerah dan antar-Pemerintah Daerah.
(3) Pinjaman Daerah bertujuan memperoleh sumber pembiayaan dalam rangka
penyelenggaraan urusan Pemerintahan Daerah.
(4) Lain-lain Pendapatan bertujuan memberi peluang kepada Daerah untuk
memperoleh pendapatan selain pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3).
BAB III
DASAR PENDANAAN PEMERINTAHAN DAERAH
Pasal 4
(1) Penyelenggaraan urusan Pemerintahan Daerah dalam rangka pelaksanaan
Desentralisasi didanai APBD.
(2) Penyelenggaraan urusan Pemerintah yang dilaksanakan oleh gubernur dalam
rangka pelaksanaan Dekonsentrasi didanai APBN.
(3) Penyelenggaraan urusan Pemerintah yang dilaksanakan oleh gubernur dalam
rangka Tugas Pembantuan didanai APBN.
7
(4) Pelimpahan kewenangan dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi dan/atau
penugasan dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan dari Pemerintah
kepada Pemerintah Daerah diikuti dengan pemberian dana.
BAB IV
SUMBER PENERIMAAN DAERAH
Pasal 5
(1) Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi terdiri atas Pendapatan
Daerah dan Pembiayaan.
(2) Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:
a. Pendapatan Asli Daerah;
b. Dana Perimbangan; dan
c. Lain-lain Pendapatan.
(3) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:
a. sisa lebih perhitungan anggaran Daerah;
b. penerimaan Pinjaman Daerah;
c. Dana Cadangan Daerah; dan
d. hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan.
BAB V
PENDAPATAN ASLI DAERAH
Pasal 6
(1) PAD bersumber dari:
a.
Pajak Daerah;
b.
Retribusi Daerah;
c.
hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan d. lain-lain PAD
yang sah.
(2) Lain-lain PAD yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi:
a.
hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan;
b.
jasa giro;
c.
pendapatan bunga;
d.
keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan
8
e.
komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/
atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah.
Pasal 7
Dalam upaya meningkatkan PAD, Daerah dilarang:
a.
menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi
biaya tinggi; dan
b.
menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menghambat mobilitas
penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah, dan kegiatan impor/
ekspor.
Pasal 8
Ketentuan mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan UndangUndang.
Pasal 9
Ketentuan mengenai hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c ditetapkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
BAB VI
DANA PERIMBANGAN
Bagian Kesatu
Jenis
Pasal 10
(1) Dana Perimbangan terdiri atas:
a.
Dana Bagi Hasil;
b.
Dana Alokasi Umum; dan
c.
Dana Alokasi Khusus.
(2) Jumlah Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
setiap tahun anggaran dalam APBN.
9
Bagian Kedua
Dana Bagi Hasil
Pasal 11
(1) Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam.
(2) Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas:
a.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
b.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan
c.
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi
Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.
(3) Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berasal dari:
a.
kehutanan;
b.
pertambangan umum;
c.
perikanan;
d.
pertambangan minyak bumi;
e.
pertambangan gas bumi; dan
f.
pertambangan panas bumi.
Pasal 12
(1) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB dan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (2) huruf a dan huruf b dibagi antara daerah provinsi, daerah
kabupaten/kota, dan Pemerintah.
(2) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% (sembilan puluh persen) untuk
Daerah dengan rincian sebagai berikut:
a.
16,2% (enam belas dua persepuluh persen) untuk daerah provinsi yang
bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah provinsi;
b.
64,8% (enam puluh empat delapan persepuluh persen) untuk daerah
kabupaten/kota yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum
Daerah kabupaten/kota; dan
c.
9% (sembilan persen) untuk biaya pemungutan.
(3) 10% (sepuluh persen) bagian Pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan kepada
seluruh daerah kabupaten dan kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan
PBB tahun anggaran berjalan, dengan imbangan sebagai berikut:
10
a.
65% (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata kepada seluruh
daerah kabupaten dan kota; dan
b.
35% (tiga puluh lima persen) dibagikan sebagai insentif kepada daerah
kabupaten dan kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui
rencana penerimaan sektor tertentu.
(4) Dana Bagi Hasil dari penerimaan BPHTB adalah sebesar 80% (delapan puluh
persen) dengan rincian sebagai berikut:
a.
16% (enam belas persen) untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan
disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah provinsi; dan
b.
64% (enam puluh empat persen) untuk daerah kabupaten dan kota
penghasildan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah kabupaten/kota.
(5) 20% (dua puluh persen) bagian Pemerintah dari penerimaan BPHTB dibagikan
dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten dan kota.
(6) Penyaluran Dana Bagi Hasil PBB dan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dan ayat (4) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
Pasal 13
(1) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (2) huruf c yang merupakan bagian Daerah adalah sebesar 20% (dua
puluh persen).
(2) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi
antara Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/kota.
(3) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibagi dengan imbangan 60% (enam puluh persen) untuk kabupaten/kota dan
40% (empat puluh persen) untuk provinsi.
(4) Penyaluran Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan
secara triwulanan.
Pasal 14
Pembagian Penerimaan Negara yang berasal dari sumber daya alam sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) ditetapkan sebagai berikut:
a. Penerimaan Kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan
Hutan (IHPH) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang dihasilkan dari wilayah
Daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen)
untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.
11
b. Penerimaan Kehutanan yang berasal dari Dana Reboisasi dibagi dengan imbangan
sebesar 60% (enam puluh persen) untuk Pemerintah dan 40% (empat puluh
persen) untuk Daerah.
c.
Penerimaan Pertambangan Umum yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang
bersangkutan, dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah
dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.
d.
Penerimaan Perikanan yang diterima secara nasional dibagi dengan imbangan
20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen)
untuk seluruh kabupaten/kota.
e.
Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah
yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan:
f.
g.
1.
84,5% (delapan puluh empat setengah persen) untuk Pemerintah; dan
2.
15,5% (lima belas setengah persen) untuk Daerah.
Penerimaan Pertambangan Gas Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang
bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan:
1.
69,5% (enam puluh sembilan setengah persen) untuk Pemerintah; dan
2.
30,5% (tiga puluh setengah persen) untuk Daerah.
Pertambangan Panas Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan
yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak, dibagi dengan imbangan 20%
(dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk
Daerah.
Pasal 15
(1) Dana Bagi Hasil dari penerimaan IHPH yang menjadi bagian Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 huruf a, dibagi dengan rincian:
a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi; dan
b. 64% (enam puluh empat persen) untuk kabupaten/kota penghasil.
(2) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PSDH yang menjadi bagian Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a, dibagi dengan rincian:
a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
b.
32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan
c.
32% (tiga puluh dua persen) dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk
kabupaten/kotalainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
12
Pasal 16
b:
Dana Bagi Hasil dari Dana Reboisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf
a.
60% (enam puluh persen) bagian Pemerintah digunakan untuk rehabilitasi hutan
dan lahan secara nasional; dan
b.
40% (empat puluh persen) bagian daerah digunakan untuk kegiatan rehabilitasi
hutan dan lahan di kabupaten/kota penghasil.
Pasal 17
(1) Penerimaan Pertambangan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
huruf c terdiri atas:
a. Penerimaan Iuran Tetap (Land-rent); dan
b. Penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalti).
(2) Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara Iuran Tetap (Land-rent) yang menjadi
bagian Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibagi dengan
rincian:
a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan
b. 64% (enam puluh empat persen) untuk kabupaten/kota penghasil.
(3) Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi
(Royalti) yang menjadi bagian Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, dibagi dengan rincian:
a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan
c. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi
yang bersangkutan.
(4) Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dibagikan
dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota dalam provinsi yang
bersangkutan.
Pasal 18
(1) Penerimaan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf d terdiri
atas:
a. Penerimaan Pungutan Pengusahaan Perikanan; dan
b. Penerimaan Pungutan Hasil Perikanan.
(2) Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara sektor perikanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 huruf d dibagikan dengan porsi yang sama besar kepada
kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
13
Pasal 19
(1) Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagikan ke Daerah
adalah Penerimaan Negara dari sumber daya alam Pertambangan Minyak
Bumi dan Gas Bumi dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi
komponen pajak dan pungutan lainnya.
(2) Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 huruf e angka 2 sebesar 15% (lima belas persen) dibagi dengan rincian
sebagai berikut:
a. 3% (tiga persen) dibagikan untuk provinsi yang ber-sangkutan;
b. 6% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil; dan
c. 6% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi
yang bersangkutan.
(3) Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 huruf f angka 2 sebesar 30% (tiga puluh persen) dibagi dengan rincian
sebagai berikut:
a. 6% (enam persen) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan;
b. 12% (dua belas persen) dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil; dan
c. 12% (dua belas persen) dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam
provinsi bersangkutan.
(4) Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan ayat
(3) huruf c, dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/
kota dalam provinsi yang bersangkutan.
Pasal 20
(1) Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 huruf e angka 2 dan huruf f angka 2 sebesar 0,5%
(setengah persen) dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar.
(2) Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi masing- masing
dengan rincian sebagai berikut:
a.
0,1% (satu persepuluh persen) dibagikan untuk provinsi yang ber­
sangkutan;
b.
0,2% (dua persepuluh persen) dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil;
dan
0,2% (dua persepuluh persen) dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya
c.
dalam provinsi yang bersangkutan.
(3) Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dibagikan
dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota dalam provinsi yang
bersangkutan.
Pasal 21
(1) Penerimaan Negara dari Pertambangan Panas Bumi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 huruf g merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terdiri
atas:
a. Setoran Bagian Pemerintah; dan
b. Iuran tetap dan iuran produksi.
(2) Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Pertambangan Panas Bumi yang dibagikan
kepada Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf g dibagi dengan
rincian:
a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan
c. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi
yang bersangkutan.
(3) Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dibagikan
dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota dalam provinsi yang
bersangkutan.
Pasal 22
Pemerintah menetapkan alokasi Dana Bagi Hasil yang berasal dari sumberdaya
alam sesuai dengan penetapan dasar perhitungan dan daerah penghasil.
Pasal 23
Dana Bagi Hasil yang merupakan bagian Daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 disalurkan berdasarkan realisasi penerimaan tahun anggaran berjalan.
Pasal 24
(1) Realisasi penyaluran Dana Bagi Hasil yang berasal dari sektor minyak bumi dan
gas bumi tidak melebihi 130% (seratus tiga puluh persen) dari asumsi dasar
harga minyak bumi dan gas bumi dalam APBN tahun berjalan.
(2) Dalam hal Dana Bagi Hasil sektor minyak bumi dan gas bumi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) melebihi 130% (seratus tiga puluh persen), penyaluran
dilakukan melalui mekanisme APBN Perubahan.
Pasal 25
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat
(1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administrasi berupa pemotongan atas penyaluran
Dana Bagi Hasil sektor minyak bumi dan gas bumi.
Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut mengenai Dana Bagi Hasil diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Ketiga
Dana Alokasi Umum
Pasal 27
(1) Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam
persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN.
(2) DAU untuk suatu Daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar.
(3) Celah fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah kebutuhan fiskal
dikurangi dengan kapasitas fiskal Daerah.
(4) Alokasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan jumlah
gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah.
Pasal 28
(1) Kebutuhan fiskal Daerah merupakan kebutuhan pendanaan Daerah untuk
melaksanakan fungsi layanan dasar umum.
(2) Setiap kebutuhan pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur
secara berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan
Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan
Manusia.
(3) Kapasitas fiskal Daerah merupakan sumber pendanaan Daerah yang berasal
dari PAD dan Dana Bagi Hasil.
Pasal 29
Proporsi DAU antara daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan berdasar­
kan imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota.
15
16
Pasal 30
(1) DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah provinsi sebagai-mana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (2) dihitung berdasarkan perkalian bobot daerah provinsi
yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh daerah provinsi.
(2) Bobot daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan per­
bandingan antara celah fiskal daerah provinsi yang bersangkutan dan total celah
fiskal seluruh daerah provinsi.
Pasal 31
(1) DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dihitung berdasarkan perkalian bobot
daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh daerah
kabupaten/ kota.
(2) Bobot daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
perbandingan antara celah fiskal daerah kabupaten/kota yang bersangkutan
dan total celah fiskal seluruh daerah kabupaten/kota.
Pasal 32
(1) Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan nol menerima DAU sebesar
alokasi dasar.
(2) Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut lebih
kecil dari alokasi dasar menerima DAU sebesar alokasi dasar setelah dikurangi
nilai celah fiskal.
(3) Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut sama
atau lebih besar dari alokasi dasar tidak menerima DAU.
Pasal 33
Data untuk menghitung kebutuhan fiskal dan kapasitas fiska sebagaimana di­
maksud dalam Pasal 28 diperoleh dari lembaga statistik pemerintah dan/atau lembaga
pemerintah yang berwenang menerbitkan data yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 34
Pemerintah merumuskan formula dan penghitungan DAU sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32 dengan memperhatikan pertimbangan dewan
yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan otonomi
daerah.
17
Pasal 35
Hasil penghitungan DAU per provinsi, kabupaten, dan kota ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.
Pasal 36
(1) Penyaluran DAU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilaksanakan setiap
bulan masing-masing sebesar 1/12 (satu perdua belas) dari DAU Daerah yang
bersangkutan.
(2) Penyaluran DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sebelum
bulan bersangkutan.
Pasal 37
Ketentuan lebih lanjut mengenai DAU diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Dana Alokasi Khusus
Pasal 38
Besaran DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN.
Pasal 39
(1) DAK dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang
merupakan urusan Daerah.
(2) Kegiatan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan fungsi yang
telah ditetapkan dalam APBN.
Pasal 40
(1) Pemerintah menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria
khusus, dan kriteria teknis.
(2) Kriteria umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mem­
pertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah dalam APBD.
(3) Kriteria khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mem­
perhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik Daerah.
(4) Kriteria teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh kementerian
Negara/departemen teknis.
18
Pasal 41
(1) Daerah penerima DAK wajib menyediakan Dana Pendamping sekurang-kurangnya
10% (sepuluh persen) dari alokasi DAK.
(2) Dana Pendamping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggarkan dalam
APBD.
(3) Daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tidakdiwajibkan menyediakan Dana
Pendamping.
Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai DAK diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VII
LAIN-LAIN PENDAPATAN
Pasal 43
Lain-lain Pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan Dana
Darurat.
Pasal 44
(1) Pendapatan hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 merupakan bantuan
yang tidak mengikat.
(2) Hibah kepada Daerah yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui
Pemerintah.
(3) Hibah dituangkan dalam suatu naskah perjanjian antara Pemerintah Daerah dan
pemberi hibah.
(4) Hibah digunakan sesuai dengan naskah perjanjian sebagaimana dimaksud pada
ayat (3).
Pasal 45
Tata cara pemberian, penerimaan, dan penggunaan hibah, baik dari dalam
negeri maupun luar negeri diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 46
(1) Pemerintah mengalokasikan Dana Darurat yang berasal dari APBN untuk keperluan
mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan/atau peristiwa luar
biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh Daerah dengan menggunakan sumber
APBD.
19
(2) Keadaan yang dapat digolongkan sebagai bencana nasional dan/atau peristiwa
luar biasa ditetapkan oleh Presiden.
Pasal47
(1) Pemerintah dapat mengalokasikan Dana Darurat pada Daerah yang dinyatakan
mengalami krisis solvabilitas.
(2) Daerah dinyatakan mengalami krisis solvabilitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berdasarkan evaluasi Pemerintah sesuai dengan peraturan perundangundangan.
(3) Krisis solvabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 48
Ketentuan lebih lanjut mengenai Dana Darurat diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB VIII
PINJAMAN DAERAH
Bagian Kesatu
Batasan Pinjaman
Pasal 49
(1) Pemerintah menetapkan batas maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah
dan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan keadaan dan prakiraan per­
kembangan perekonomian nasional.
(2) Batas maksimal kumulatif pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak melebihi 60% (enam puluh persen) dari Produk Domestik Bruto tahun
bersangkutan.
(3) Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah
Daerah secara keseluruhan selambat-lambatnya bulan Agustus untuk tahun
anggaran berikutnya.
(4) Pengendalian batas maksimal kumulatif Pinjaman Daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 50
(1) Daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri.
20
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan
sanksi administratif berupa penundaan dan/atau pemotongan atas penyaluran
Dana Perimbangan oleh Menteri Keuangan.
Bagian Kedua
Sumber Pinjaman
Pasal 51
(1) Pinjaman Daerah bersumber dari:
a. Pemerintah;
b. Pemerintah Daerah lain;
c. lembaga keuangan bank;
d. lembaga keuangan bukan bank; dan e. masyarakat.
(2) Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a diberikan melalui Menteri Keuangan.
(3) Pinjaman Daerah yang bersumber dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf e berupa Obligasi Daerah diterbitkan melalui pasar modal.
Bagian Ketiga
Jenis dan Jangka Waktu Pinjaman
Pasal 52
(1) Jenis Pinjaman terdiri atas :
a. Pinjaman Jangka Pendek;
b. Pinjaman Jangka Menengah; dan
c. Pinjaman Jangka Panjang.
(2) Pinjaman Jangka Pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan
Pinjaman Daerah dalam jangka waktu kurang atau sama dengan satu tahun
anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok
pinjaman, bunga, dan biaya lain seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran
yang bersangkutan.
(3) Pinjaman Jangka Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran
dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman,
bunga, dan biaya lain harus dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi
sisa masa jabatan Kepala Daerah yang bersangkutan.
(4) Pinjaman Jangka Panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran
21
dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman,
bunga, dan biaya lain harus dilunasi pada tahun-tahun anggaran berikutnya
sesuai dengan persyaratan perjanjian pinjaman yang bersangkutan.
Bagian Keempat
Penggunaan Pinjaman
Pasal 53
(1) Pinjaman Jangka Pendek dipergunakan hanya untuk menutup kekurangan arus
kas.
(2) Pinjaman Jangka Menengah dipergunakan untuk membiayai penyediaan layanan
umum yang tidak menghasilkan peneri-maan.
(3) Pinjaman Jangka Panjang dipergunakan untuk membiayai proyek investasi yang
menghasilkan penerimaan.
(4) Pinjaman Jangka Menengah dan Jangka Panjang wajib mendapatkan persetujuan
DPRD.
Bagian Kelima
Persyaratan Pinjaman
Pasal 54
Dalam melakukan pinjaman, Daerah wajib memenuhi persyaratan:
a. jumlah sisa Pinjaman Daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak
melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD
tahun sebelumnya;
b. rasio kemampuan keuangan Daerah untuk mengembalikan pinjaman ditetapkan
oleh Pemerintah;
c. tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang berasal dari
Pemerintah.
Pasal 55
(1) Daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain.
(2) Pendapatan Daerah dan/atau barang milik Daerah tidak boleh dijadikan jaminan
Pinjaman Daerah.
(3) Proyek yang dibiayai dari Obligasi Daerah beserta barang milik Daerah yang
melekat dalam proyek tersebut dapat dijadikan jaminan Obligasi Daerah.
22
Bagian Keenam
Prosedur Pinjaman Daerah
Pasal 56
(1) Pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada Pemerintah Daerah yang
dananya berasal dari luar negeri.
(2) Pinjaman kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui perjanjian penerusan pinjaman kepada Pemerintah Daerah.
(3) Perjanjian penerusan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
antara Menteri Keuangan dan Kepala Daerah.
(4) Perjanjian penerusan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
dinyatakan dalam mata uang Rupiah atau mata uang asing.
Bagian Ketujuh
Obligasi Daerah
Pasal 57
(1) Daerah dapat menerbitkan Obligasi Daerah dalam mata uang Rupiah di pasar
modal domestik.
(2) Nilai Obligasi Daerah pada saat jatuh tempo sama dengan nilai nominal Obligasi
Daerah pada saat diterbitkan.
(3) Penerbitan Obligasi Daerah wajib memenuhi ketentuan dalam Pasal 54 dan Pasal
55 serta mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
(4) Hasil penjualan Obligasi Daerah digunakan untuk membiayai investasi
sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan memberikan manfaat bagi
masyarakat.
(5) Penerimaan dari investasi sektor publik sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
digunakan untuk membiayai kewajiban bunga dan pokok Obligasi Daerah terkait
dan sisanya disetorkan ke kas Daerah.
Pasal 58
(1) Dalam hal Pemerintah Daerah menerbitkan Obligasi Daerah, Kepala Daerah
terlebih dahulu mendapatkan persetujuan DPRD dan Pemerintah.
(2) Penerbitan Obligasi Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan atas nilai bersih
maksimal Obligasi Daerah yang akan diterbitkan pada saat penetapan APBD.
23
Pasal 59
Pemerintah tidak menjamin Obligasi Daerah.
Pasal 60
Setiap Obligasi Daerah sekurang-kurangnya mencantumkan:
a.
nilai nominal;
b.
tanggal jatuh tempo;
c.
tanggal pembayaran bunga;
d.
tingkat bunga (kupon);
e.
frekuensi pembayaran bunga;
f.
cara perhitungan pembayaran bunga;
g.
ketentuan tentang hak untuk membeli kembali Obligasi Daerah sebelum
jatuh tempo; dan
h.
ketentuan tentang pengalihan kepemilikan.
Pasal 61
(1) Persetujuan DPRD mengenai penerbitan Obligasi Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 58 ayat (1) meliputi pembayaran semua kewajiban bunga dan pokok
yang timbul sebagai akibat penerbitan Obligasi Daerah dimaksud.
(2) Pemerintah Daerah wajib membayar bunga dan pokok setiap Obligasi Daerah
pada saat jatuh tempo.
(3) Dana untuk membayar bunga dan pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disediakan dalam APBD setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban
tersebut.
(4) Dalam hal pembayaran bunga dimaksud melebihi perkiraan dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Kepala Daerah melakukan pembayaran dan me­
nyampaikan realisasi pembayaran tersebut kepada DPRD dalam pembahasan
Perubahan APBD.
Pasal 62
(1) Pengelolaan Obligasi Daerah diselenggarakan oleh Kepala Daerah.
(2) Pengelolaan Obligasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurangkurangnya meliputi:
a.
penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan Obligasi Daerah termasuk
kebijakan pengendalian risiko;
b.
perencanaan dan penetapan struktur portofolio Pinjaman Daerah;
24
c.
penerbitan Obligasi Daerah;
d.
penjualan Obligasi Daerah melalui lelang;
e.
pembelian kembali Obligasi Daerah sebelum jatuh tempo;
f.
pelunasan pada saat jatuh tempo; dan
g. pertanggungjawaban.
Bagian Kedelapan
Pelaporan Pinjaman
Pasal 63
(1) Pemerintah Daerah wajib melaporkan posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban
pinjaman kepada Pemerintah setiap semester dalam tahun anggaran berjalan.
(2) Dalam hal Daerah tidak menyampaikan laporan, Pemerintah dapat menunda
penyaluran Dana Perimbangan.
Pasal 64
(1) Seluruh kewajiban Pinjaman Daerah yang jatuh tempo wajib dianggarkan dalam
APBD tahun anggaran yang bersangkutan.
(2) Dalam hal Daerah tidak memenuhi kewajiban membayar pinjamannya kepada
Pemerintah, kewajiban membayar pinjaman tersebut diperhitungkan dengan
DAU dan/atau Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara yang menjadi hak Daerah
tersebut.
Pasal 65
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pinjaman Daerah termasuk Obligasi Daerah
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PENGELOLAAN KEUANGAN DALAM RANGKA DESENTRALISASI
Bagian Kesatu
Asas Umum
Pasal 66
(1) Keuangan Daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundangundangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab
dengan memperhatikan keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.
25
(2) APBD, Perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap
tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(3) APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, dan
distribusi.
(4) Semua Penerimaan dan Pengeluaran Daerah dalam tahun anggaran yang
bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD.
(5) Surplus APBD dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran Daerah tahun
anggaran berikutnya.
(6) Penggunaan surplus APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk membentuk
Dana Cadangan atau penyertaan dalam Perusahaan Daerah harus memperoleh
persetujuan terlebih dahulu dari DPRD.
Pasal 67
(1) Peraturan Daerah tentang APBD merupakan dasar bagi Pemerintah Daerah untuk
melakukan Penerimaan dan Pengeluaran Daerah.
(2) Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada pengeluaran
atas beban APBD, jika anggaran untuk mendanai pengeluaran tersebut tidak
tersedia atau tidak cukup tersedia.
(3) Semua Pengeluaran Daerah, termasuk subsidi, hibah, dan bantuan keuangan
lainnya yang sesuai dengan program Pemerintah Daerah didanai melalui APBD.
(4) Keterlambatanpembayaran atas tagihan yang berkaitan dengan pelaksanaan
APBD dapat mengakibatkan pengenaan denda dan/atau bunga.
(5) APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan
kemampuan Keuangan Daerah.
(6) Dalam hal APBD diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan
untuk menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
(7) Dalam hal APBD diperkirakan surplus, ditetapkan penggunaan surplus tersebut
dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
Pasal 68
Tahun anggaran APBD sama dengan tahun anggaran APBN, yang meliputi masa
1 (satu) tahun mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.
26
Bagian Kedua
Perencanaan
Pasal 69
(1) Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah
menyusun RKPD yang mengacu pada Rencana Kerja Pemerintah sebagai
satu kesatuan dalam sistemperencanaan pembangunan nasional.
(2) RKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar penyusunan
rancangan APBD.
(3) RKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dijabarkan dalam RKA SKPD.
(4) Ketentuan mengenai pokok-pokok penyusunan RKA SKPD sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan RKA SKPD diatur dengan Peraturan
Daerah.
Pasal 70
(1) APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan anggaran
pembiayaan.
(2) Anggaran pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari
Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan.
(3) Anggaran belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diklasifikasikan menurut
organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.
(4) Anggaran pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan.
Pasal 71
(1) Pemerintah Daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran
berikutnya sejalan dengan RKPD kepada DPRD selambat-lambatnya bulan Juni
tahun berjalan.
(2) DPRD membahas kebijakan umum APBD yang diajukan Pemerintah Daerah
dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya.
(3) Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati, Pemerintah Daerah
dan DPRD membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijadikan
acuan bagi setiap SKPD.
Pasal 72
(1) Kepala SKPD selaku pengguna anggaran menyusun RKA SKPD tahun berikutnya.
27
(2) Renja SKPD disusun dengan pendekatan prestasi kerja yang akan dicapai.
(3) RKA SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan prakiraan belanja
untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun.
(4) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) disampaikan kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan
RAPBD.
(5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada pejabat
pengelola Keuangan Daerah sebagai bahan penyusunan rancangan Peraturan
Daerah tentang APBD tahun berikutnya.
Pasal 73
(1) Kepala Daerah mengajukan rancangan Peraturan Daerah tentang APBD disertai
penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD.
(2) DPRD bersama dengan Pemerintah Daerah membahas Rancangan APBD yang
disampaikan dalam rangka mendapatkan persetujuan.
(3) Rancangan APBD yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah
dituangkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
Bagian Ketiga
Pelaksanaan
Pasal 74
Semua Penerimaan Daerah wajib disetor seluruhnya tepat waktu ke Rekening
Kas Umum Daerah.
Pasal 75
(1) Pengeluaran atas beban APBD dalam satu tahun anggaran hanya dapat
dilaksanakan setelah APBD tahun anggaran yang bersangkutan ditetapkan dalam
Peraturan Daerah.
(2) Dalam hal Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak disetujui
DPRD, untuk membiayai keperluan setiap bulan Pemerintah Daerah dapat
melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar realisasi APBD tahun
anggaran sebelumnya.
(3) Kepala SKPD menyusun dokumen pelaksanaan anggaran untuk SKPD yang
dipimpinnya berdasarkan alokasi anggaran yang ditetapkan oleh Kepala
Daerah.
28
(4) Pengguna anggaran melaksanakan kegiatan sebagaimana tersebut dalam
dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan.
(5) Pengguna anggaran berhak untuk menguji, membebankan pada mata anggaran
yang disediakan, dan memerintahkan pembayaran tagihan atas beban APBD.
(6) Pembayaran atas tagihan yang dibebankan APBD dilakukan oleh bendahara
umum Daerah.
(7) Pembayaran atas tagihan yang dibebankan APBD tidak boleh dilakukan sebelum
barang dan/atau jasa diterima.
Pasal 76
(1) Daerah dapat membentuk Dana Cadangan guna mendanai kebutuhan yang tidak
dapat dibebankan dalam satu tahun anggaran yang ditetapkan dengan Peraturan
Daerah.
(2) Dana Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber dari
penyisihan atas penerimaan APBD kecuali dari DAK, Pinjaman Daerah, dan
penerimaan lain yang penggunaan-nya dibatasi untuk pengeluaran tertentu.
(3) Penggunaan Dana Cadangan dalam satu tahun anggaran menjadi penerimaan
pembiayaan APBD dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Pasal 77
(1) Dana Cadangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) ditempatkan
dalam rekening tersendiri dalam Rekening Kas Umum Daerah.
(2) Dalam hal Dana Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum digunakan
sesuai dengan peruntukannya, dana tersebut dapat ditempatkan dalam
portofolio yang memberikan hasil tetap dengan risiko rendah.
Pasal 78
(1) Pemerintah Daerah dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain atas dasar
prinsip saling menguntungkan.
(2) Kerja sama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Daerah.
(3) Anggaran yang timbul akibat dari kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dicantumkan dalam APBD.
Pasal 79
(1) Dalam keadaan darurat, Pemerintah Daerah dapat melakukan belanja dari APBD
yang belum tersedia anggarannya.
29
(2) Belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selanjutnya diusulkan dalam
rancangan perubahan APBD dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi
Anggaran.
Pasal 80
(1) Perubahan APBD ditetapkan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulanse belum
berakhirnya tahun anggaran.
(2) Perubahan APBD hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun
anggaran, kecuali dalam keadaan luar biasa.
(3) Keadaan luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah keadaan
yang menyebabkan estimasi penerimaan dan/atau pengeluaran dalam APBD
mengalami kenaikan atau penurunan lebih besar dari 50% (lima puluh persen).
Bagian Keempat
Pertanggungjawaban
Pasal 81
(1) Pemerintah Daerah menyampaikan rancangan Peraturan Daerah tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan
yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat 6 (enam)
bulan setelah berakhirnya tahun anggaran.
(2) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setidak- tidaknya
meliputi Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas
Laporan Keuangan, yang dilampiri laporan keuangan Perusahaan Daerah.
(3) Bentuk dan isi Laporan Pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disusun dan disajikan sesuai dengan Standar
Akuntasi Pemerintahan.
Pasal 82
Pengelolaan dan pertanggungjawaban Keuangan Daerah dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang Keuangan Negara dan
Perbendaharaan Negara.
Bagian Kelima
Pengendalian
Pasal 83
(1) Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal jumlah kumulatif defisit APBN
dan APBD.
30
(2) Jumlah kumulatif defisit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak melebihi 3%
(tiga persen) dari Produk Domestik Bruto tahun bersangkutan.
(3) Menteri Keuangan menetapkan kriteria defisit APBD dan batas maksimal defisit
APBD masing-masing Daerah setiap tahun anggaran.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
dikenakan sanksi berupa penundaan atas penyaluran Dana Perimbangan.
Pasal 84
Dalam hal APBD diperkirakan defisit, pembiayaan defisit bersumber dari:
a. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA);
b. Dana Cadangan;
c. Penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan
d. Pinjaman Daerah.
Bagian Keenam
Pengawasan dan Pemeriksaan
Pasal 85
(1) Pengawasan Dana Desentralisasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pemeriksaan Dana Desentralisasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di bidang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab
Keuangan Negara.
Pasal 86
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Keuangan Daerah diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB X
DANA DEKONSENTRASI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 87
(1) Pendanaan dalam rangka Dekonsentrasi dilaksanakan setelah adanya pelimpahan
wewenang Pemerintah melalui kementerian negara/lembaga kepada gubernur
sebagai wakil Pemerintah di Daerah.
31
(2) Pelaksanaan pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didanai
oleh Pemerintah.
(3) Pendanaan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan
dengan wewenang yang dilimpahkan.
(4) Kegiatan Dekonsentrasi di Daerah dilaksanakan oleh SKPD yang ditetapkan oleh
gubernur.
(5) Gubernur memberitahukan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/
lembaga yang berkaitan dengan kegiatan Dekonsentrasi di Daerah kepada
DPRD.
(6) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberitahukan
kepada DPRD pada saat pembahasan RAPBD.
(7) Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dialokasikan untuk kegiatan
yang bersifat nonfisik.
Bagian Kedua
Penganggaran Dana Dekonsentrasi
Pasal 88
Dana Dekonsentrasi merupakan bagian anggaran kementerian negara/lembaga
yang dialokasikan berdasarkan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/
lembaga.
Bagian Ketiga
Penyaluran Dana Dekonsentrasi
Pasal 89
(1) Dana Dekonsentrasi disalurkan melalui Rekening Kas Umum Negara.
(2) Pada setiap awal tahun anggaran gubernur menetapkan Satuan Kerja Perangkat
Daerah sebagai pelaksana kegiatan Dekonsentrasi.
(3) Dalam hal terdapat sisa anggaran lebih atas pelaksanaan Dekonsentrasi, sisa
tersebut merupakan penerimaan kembali APBN.
(4) Dalam hal terdapat saldo kas atas pelaksanaan Dekonsentrasi, saldo tersebut
harus disetor ke Rekening Kas Umum Negara.
(5) Dalam hal pelaksanaan Dekonsentrasi menghasilkan penerimaan, maka
penerimaan tersebut merupakan penerimaan APBN dan disetor ke Rekening
Kas Umum Negara sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
32
Bagian Keempat
Pertanggungjawaban dan Pelaporan Dana Dekonsentrasi
Pasal 90
(1) Penatausahaan keuangan dalam pelaksanaan Dekonsentrasi dilakukan secara
terpisah dari penatausahaan keuangan dalam pelaksanaan Tugas Pembantuan
dan Desentralisasi.
(2) SKPD menyelenggarakan penatausahaan uang/barang dalam rangka Dekon­
sentrasi secara tertib sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) SKPD menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi kepada
gubernur.
(4) Gubernur menyampaikan laporan pertanggungjawaban seluruh pelaksanaan
kegiatan Dekonsentrasi kepada menteri negara/pimpinan lembaga yang
memberikan pelimpahan wewenang.
(5) Menteri negara/pimpinan lembaga menyampaikan laporan pertanggung­jawaban
pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi secara nasional kepada Presiden sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kelima
Status Barang dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi
Pasal 91
(1) Semua barang yang diperoleh dari Dana Dekonsentrasi menjadi barang milik
Negara.
(2) Barang milik Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihibahkan
kepada Daerah.
(3) Barang milik Negara yang dihibahkan kepada Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib dikelola dan ditatausahakan oleh Daerah.
(4) Barang milik Negara yang tidak dihibahkan kepada Daerah wajib dikelola dan
ditatausahakan oleh kementerian negara/lembaga yang memberikan pelimpahan
wewenang.
Pasal 92
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penganggaran, penyaluran, pelaporan,
pertanggungjawaban, dan penghibahan barang milik Negara yang diperoleh atas
pelaksanaan Dana Dekonsentrasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
33
Bagian Keenam
Pengawasan dan Pemeriksaan
Pasal 93
(1) Pengawasan Dana Dekonsentrasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pemeriksaan Dana Dekonsentrasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di bidang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara.
BAB XI
DANA TUGAS PEMBANTUAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 94
(1) Pendanaan dalam rangka Tugas Pembantuan dilaksanakan setelah adanya
penugasan Pemerintah melalui kementerian negara/lembaga kepada Kepala
Daerah.
(2) Pelaksanaan Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didanai
oleh Pemerintah.
(3) Pendanaan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan
dengan penugasan yang diberikan.
(4) Kegiatan Tugas Pembantuan di Daerah dilaksanakan oleh SKPD yang ditetapkan
oleh gubernur, bupati, atau walikota.
(5) Kepala Daerah memberitahukan rencana kerja dan anggaran kementerian
negara/lembaga yang berkaitan dengan kegiatan Tugas Pembantuan kepada
DPRD.
(6) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberitahukan
kepada DPRD pada saat pembahasan RAPBD.
(7) Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dialokasikan untuk kegiatan
yang bersifat fisik.
34
Bagian Kedua
Penganggaran Dana Tugas Pembantuan
Pasal 95
Dana Tugas Pembantuan merupakan bagian anggaran kementerian negara/
lembaga yang dialokasikan berdasarkan rencana kerja dan anggaran kementerian
negara/lembaga.
Bagian Ketiga
Penyaluran Dana Tugas Pembantuan
Pasal 96
(1) Dana Tugas Pembantuan disalurkan melalui Rekening Kas Umum Negara.
(2) Pada setiap awal tahun anggaran Kepala Daerah menetapkan Satuan Kerja
Perangkat Daerah sebagai pelaksana kegiatan Tugas Pembantuan.
(3) Dalam hal terdapat sisa anggaran lebih atas pelaksanaan Tugas Pembantuan,
sisa tersebut merupakan penerimaan kembali APBN.
(4) Dalam hal terdapat saldo kas atas pelaksanaan Tugas Pembantuan, saldo tersebut
harus disetor ke Rekening Kas Umum Negara.
(5) Dalam hal pelaksanaan Tugas Pembantuan menghasilkan penerimaan, maka
penerimaan tersebut merupakan penerimaan APBN yang harus disetor ke
Rekening Kas Umum Negara sesuai ketentuan yang berlaku.
Bagian Keempat
Pertanggungjawaban dan Pelaporan Pelaksanaan
Tugas Pembantuan
Pasal 97
(1) Penatausahaan keuangan dalam pelaksanaan Tugas Pembantuan dilakukan
secara terpisah dari penatausahaan keuangan dalam pelaksanaan Dekonsentrasi
dan Desentralisasi.
(2) SKPD menyelenggarakan penatausahaan uang/barang dalam rangka Tugas
Pembantuan secara tertib sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) SKPD menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan Tugas Pembantuan kepada
Gubernur, bupati, atau walikota.
(4) Kepala Daerah menyampaikan laporan pertanggungjawaban seluruh pelaksanaan
kegiatan Tugas Pembantuan kepada menteri negara/pimpinan lembaga yang
menugaskan.
35
(5) Menterinegara/pimpinan lembaga menyampaikan laporan pertanggungjawaban
pelaksanaan kegiatan Tugas Pembantuan secara nasional kepada Presiden sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Bagian Kelima
Status Barang dalam Pelaksanaan
Tugas Pembantuan
Pasal 98
(1) Semua barang yang diperoleh dari Dana Tugas Pembantuan menjadi barang milik
Negara.
(2) Barang milik Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihibahkan
kepada Daerah.
(3) Barang milik Negara yang dihibahkan kepada Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dikelola dan ditatausahakan oleh Daerah.
(4) Barang milik Negara yang tidak dihibahkan kepada Daerah wajib dikelola
dan ditatausahakan oleh kementerian negara/lembaga yang memberikan
penugasan.
Pasal 99
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penganggaran, penyaluran pelaporan,
pertanggungjawaban, dan penghibahan barang milik Negara yang diperoleh atas
pelaksanaan Dana Tugas Pembantuan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Enam
Pengawasan dan Pemeriksaan
Pasal 100
(1) Pengawasan Dana Tugas Pembantuan dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pemeriksaan Dana Tugas Pembantuan dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di bidang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara.
BAB XII
SISTEM INFORMASI KEUANGAN DAERAH
Pasal 101
(1) Pemerintah menyelenggarakan Sistem Informasi Keuangan Daerah secara
nasional, dengan tujuan :
36
a.
merumuskan kebijakan dan pengendalian fiskal nasional;
b.
c.
menyajikan informasi Keuangan Daerah secara nasional;
merumuskan kebijakan Keuangan Daerah, seperti Dana Perimbangan,
Pinjaman Daerah, dan pengendalian defisit anggaran; dan
melakukan pemantauan, pengendalian dan evaluasi pendanaan Desentrali­
sasi, Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan, Pinjaman Daerah, dan defisit
anggaran Daerah.
d.
(2) Sistem Informasi Keuangan Daerah secara nasional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah.
Pasal 102
(1) Daerah menyampaikan informasi Keuangan Daerah yang dapat dipertanggung­
jawabkan kepada Pemerintah.
(2) Daerah menyelenggarakan Sistem Informasi Keuangan Daerah.
(3) Informasi yang berkaitan dengan Sistem Informasi Keuangan Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), mencakup:
a. APBD dan laporan realisasi APBD provinsi, kabupaten, dan kota;
b. neraca Daerah;
c. laporan arus kas;
d. catatan atas laporan Keuangan Daerah;
e. Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan;
f. laporan keuangan Perusahaan Daerah; dan
g. data yang berkaitan dengan kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal Daerah.
(4) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d disampaikan kepada Pemerintah sesuai dengan Standar Akuntansi
Pemerintahan.
(5) Menteri Keuangan memberikan sanksi berupa penundaan penyaluran Dana
Perimbangan kepada Daerah yang tidak menyampaikan informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
Pasal 103
Informasi yang dimuat dalam Sistem Informasi Keuangan Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 101 merupakan data terbuka yang dapat diketahui, diakses,
dan diperoleh masyarakat.
Pasal 104
Penyelenggaraan Sistem Informasi Keuangan Daerah sebagaimana dimaksud
37
dalam Pasal 101, Pasal 102, dan Pasal 103, diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 105
(1) Peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Per­
imbangan Keuangan antara Pemerintah dan Daerah masih tetap berlaku
sepanjang belum diganti dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan
Undang-Undang ini.
(2) Peraturan pelaksanaan sebagai tindak lanjut Undang-Undang ini sudah selesai
selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 106
(1) Pelaksanaan tambahan Dana Bagi Hasil sektor minyak bumi dan gas bumi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf e dan huruf f serta Pasal 20
dilaksanakan mulai tahun anggaran 2009.
(2) Sejak berlakunya Undang-Undang ini sampai dengan tahun anggaran 2008
penerimaan pertambangan minyak bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah
yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan:
a.
85% (delapan puluh lima persen) untuk Pemerintah; dan
b.
15% (lima belas persen) untuk Daerah.
(3) Sejak berlakunya Undang-Undang ini sampai dengan tahun anggaran 2008
penerimaan pertambangan gas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang
bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan:
a.
70% (tujuh puluh persen) untuk Pemerintah; dan
b.
30% (tiga puluh persen) untuk daerah.
Pasal 107
(1) Sejak berlakunya Undang-Undang ini sampai dengan tahun anggaran 2007 DAU
ditetapkan sekurang-kurangnya 25,5% (dua puluh lima setengah persen) dari
Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN.
(2) Ketentuan mengenai alokasi DAU sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini
dilaksanakan sepenuhnya mulai tahun anggaran 2008.
38
Pasal 108
(1) Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan yang merupakan bagian dari
anggaran kementerian negara/lembaga yang digunakan untuk melaksanakan
urusan yang menurut peraturan perundang-undangan menjadi urusan Daerah,
secara bertahap dialihkan menjadi Dana Alokasi Khusus.
(2) Pengalihan secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 109
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, maka:
1.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3848) dinyatakan tidak berlaku.
2.
Ketentuan yang mengatur tentang Dana Bagi Hasil sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Provinsi Papua dinyatakan tetap berlaku selama tidak diatur lain.
Pasal 110
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan UndangUndang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 15 Oktober 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
39
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Oktober 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 126.
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 33 TAHUN 2004
TENTANG
PERIMBANGAN KEUANGAN
ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH
UMUM
Negara Kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan pemerintahan Negara
dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil, makmur, dan merata
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerahdaerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengamanatkan agar hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan Pemerintah
Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang.
Dengan demikian, Pasal ini merupakan landasan filosofis dan landasan konstitusional
pembentukan Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam
penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002 tentang
Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA merekomendasikan
kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat agar melakukan perubahan yang
bersifat mendasar dan menyeluruh terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
41
42
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sejalan dengan amanat
TAP MPR tersebut serta adanya perkembangan dalam peraturan perundang-undangan
di bidang Keuangan Negara yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, menyebabkan terjadinya perubahan yang
bersifat mendasar dan menyeluruh dalam sistem Keuangan Negara. Dengan demikian,
Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1999 perlu diperbaharui serta diselaraskan dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pembentukan Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk mendukung pendanaan atas
penyerahan urusan kepada Pemerintahan Daerah yang diatur dalam Undang-Undang
tentang Pemerintahan Daerah. Pendanaan tersebut menganut prinsip money follows
function, yang mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan
yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan.
Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah men­
cakup pembagian keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah secara
proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan memperhatikan potensi,
kondisi, dan kebutuhan Daerah.
Pemerintah pada hakikatnya mengemban tiga fungsi utama yakni fungsi
distribusi, fungsi stabilisasi, dan fungsi alokasi. Fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi
pada umumnya lebih efektif dan tepat dilaksanakan oleh Pemerintah, sedangkan
fungsi alokasi oleh Pemerintahan Daerah yang lebih mengetahui kebutuhan, kondisi,
dan situasi masyarakat setempat. Pembagian ketiga fungsi dimaksud sangat penting
sebagai landasan dalam penentuan dasar-dasar perimbangan keuangan antara
Pemerintah dan Pemerintahan Daerah.
Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, penyerahan, pelimpahan,
dan penugasan urusan pemerintahan kepada Daerah secara nyata dan bertanggung
jawab harus diikuti dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber
daya nasional secara adil, termasuk perimbangan keuangan antara Pemerintah dan
Pemerintahan Daerah. Sebagai daerah otonom, penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan tersebut dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi,
dan akuntabilitas.
Pendanaan penyelenggaraan pemerintahan agar terlaksana secara efisien dan
efektif serta untuk mencegah tumpang tindih ataupun tidak tersedianya pendanaan
pada suatu bidang pemerintahan, maka diatur pendanaan penyelenggaraan
pemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
43
dibiayai dari APBD, sedangkan penyelenggaraan kewenangan pemerintahan yang
menjadi tanggung jawab Pemerintah dibiayai dari APBN, baik kewenangan Pusat
yang didekonsentrasikan kepada Gubernur atau ditugaskan kepada Pemerintah
Daerah dan/atau Desa atau sebutan lainnya dalam rangka Tugas Pembantuan.
Sumber-sumber pendanaan pelaksanaan Pemerintahan Daerah terdiri atas
Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan Lain-lain
Pendapatan Yang Sah.
Pendapatan Asli Daerah merupakan Pendapatan Daerah yang bersumber dari
hasil Pajak Daerah, hasil Retribusi Daerah, hasil pengelolaan kekayaan Daerah
yang dipisahkan, dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, yang bertujuan
untuk memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam menggali pendanaan dalam
pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas Desentralisasi.
Dana Perimbangan merupakan pendanaan Daerah yang bersumber dari APBN
yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi
Khusus (DAK). Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu Daerah
dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan
sumber pendanaan pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta untuk mengurangi
kesenjangan pendanaan pemerintahan antar-Daerah. Ketiga komponen Dana
Perimbangan ini merupakan sistem transfer dana dari Pemerintah serta merupakan
satu kesatuan yang utuh.
DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dibagihasilkan
kepada Daerah berdasarkan angka persentase tertentu. Pengaturan DBH dalam
Undang-Undang ini merupakan penyelarasan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000. Dalam Undang-Undang ini dimuat
pengaturan mengenai Bagi Hasil penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 serta sektor pertambangan
panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003
tentang Panas Bumi. Selain itu, dana reboisasi yang semula termasuk bagian dari
DAK, dialihkan menjadi DBH.
DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah yang
dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar-Daerah
melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi Daerah.
DAU suatu Daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu
Daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan Daerah (fiscal need) dan potensi
Daerah (fiscal capacity). Dalam Undang-Undang ini ditegaskan kembali mengenai
formula celah fiskal dan penambahan variabel DAU. Alokasi DAU bagi Daerah
44
yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi
DAU relatif kecil. Sebaliknya, Daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan
fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip
tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.
DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus
di Daerah tertentu yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas
nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan
dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong
percepatan pembangunan Daerah.
Undang-Undang ini juga mengatur hibah yang berasal dari pemerintah negara
asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, Pemerintah, badan/
lembaga dalam negeri atau perseorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah, maupun
dalam bentuk barang dan/atau jasa termasuk tenaga ahli, dan pelatihan yang tidak
perlu dibayar kembali.
Dalam lain-lain pendapatan selain hibah, Undang-Undang ini juga mengatur
pemberian Dana Darurat kepada Daerah karena bencana nasional dan/atau peristiwa
luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi dengan dana APBD. Di samping itu,
Pemerintah juga dapat memberikan Dana Darurat pada Daerah yang mengalami krisis
solvabilitas, yaitu Daerah yang mengalami krisis keuangan berkepanjangan. Untuk
menghindari menurunnya pelayanan kepada masyarakat setempat, Pemerintah dapat
memberikan Dana Darurat kepada Daerah tersebut setelah dikonsultasikan terlebih
dahulu dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pinjaman Daerah merupakan salah satu sumber Pembiayaan yang bertujuan
untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi Daerah dan meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat. Pembiayaan yang bersumber dari pinjaman harus dikelola secara
benar agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi Keuangan Daerah sendiri serta
stabilitas ekonomi dan moneter secara nasional. Oleh karena itu, Pinjaman Daerah
perlu mengikuti kriteria, persyaratan, mekanisme, dan sanksi Pinjaman Daerah yang
diatur dalam Undang-Undang ini.
Dalam Undang-Undang ini juga ditegaskan bahwa Daerah dilarang melakukan
pinjaman langsung ke luar negeri. Pinjaman yang bersumber dari luar negeri hanya
dapat dilakukan melalui Pemerintah dengan mekanisme penerusan pinjaman.
Pengaturan ini dimaksudkan agar terdapat prinsip kehati-hatian dan kesinambungan
fiskal dalam kebijakan fiskal dan moneter oleh Pemerintah. Di lain pihak, Pinjaman
Daerah tidak hanya dibatasi untuk membiayai prasarana dan sarana yang menghasilkan
penerimaan, tetapi juga dapat untuk membiayai proyek pembangunan prasarana
dasar masyarakat walaupun tidak menghasilkan penerimaan. Selain itu, dilakukan
45
pembatasan pinjaman dalam rangka pengendalian defisit APBD dan batas kumulatif
pinjaman Pemerintah Daerah.
Daerah juga dimungkinkan untuk menerbitkan Obligasi Daerah dengan
persyaratan tertentu, serta mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang
pasar modal dan memenuhi ketentuan nilai bersih maksimal Obligasi Daerah yang
mendapatkan persetujuan Pemerintah. Segala bentuk akibat atau risiko yang timbul
dari penerbitan Obligasi Daerah menjadi tanggung jawab Daerah sepenuhnya.
Pengelolaan keuangan dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundangundangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan
kepada para pemangku kepentingan yang sudah menjadi tuntutan masyarakat. Semua
penerimaan dan pengeluaran yang menjadi hak dan kewajiban Daerah dalam tahun
anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD. Dalam pengadministrasian
Keuangan Daerah, APBD, Perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Surplus APBD digunakan untuk membiayai Pengeluaran Daerah tahun anggaran
berikutnya, membentuk Dana Cadangan, dan penyertaan modal dalam Perusahaan
Daerah. Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber
Pembiayaan untuk menutup defisit tersebut.
Pengaturan Dana Dekonsentrasi bertujuan untuk menjamin tersedianya dana
bagi pelaksanaan kewenangan Pemerintah yang dilimpahkan kepada gubernur
sebagai wakil Pemerintah. Dana Tugas Pembantuan untuk menjamin tersedianya
dana bagi pelaksanaan kewenangan Pemerintah yang ditugaskan kepada Daerah.
Dalam Undang-Undang ini ditegaskan bahwa pengadministrasian Dana Dekon­
sentrasi dan Tugas Pembantuan dilakukan melalui mekanisme APBN, sedangkan
pengadministrasian Dana Desentralisasi mengikuti mekanisme APBD. Hal ini
dimaksudkan agar penyelenggaraan pembangunan dan Pemerintahan Daerah dapat
dilakukan secara efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.
Dalam rangka meningkatkan pelaksanaan Desentralisasi berdasarkan prinsip
transparansi dan akuntabilitas, diperlukan adanya dukungan Sistem Informasi
Keuangan Daerah. Sistem tersebut antara lain dimaksudkan untuk perumusan
kebijakan dan pengendalian fiskal nasional.
Berdasarkan pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, maka pokok-pokok
muatan Undang- Undang ini adalah sebagai berikut:
a.
Penegasan prinsip-prinsip dasar perimbangan keuangan Pemerintah dan
Pemerintahan Daerah sesuai asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas
Pembantuan;
46
b.
Penambahan jenis Dana Bagi Hasil dari sektor Pertambangan Panas Bumi, Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh
Pasal 21;
c
Pengelompokan Dana Reboisasi yang semula termasuk dalam komponen Dana
Alokasi Khusus menjadi Dana Bagi Hasil;
d.
Penyempurnaan prinsip pengalokasian Dana Alokasi Umum;
e.
Penyempurnaan prinsip pengalokasian Dana Alokasi Khusus;
f.
Penambahan pengaturan Hibah dan Dana Darurat;
g.
Penyempurnaan persyaratan dan mekanisme Pinjaman Daerah, termasuk
Obligasi Daerah;
h.
Pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan;
i.
Penegasan pengaturan Sistem Informasi Keuangan Daerah; dan
j.
Prinsip akuntabilitas dan responsibilitas dalam Undang-Undang ini dipertegas
dengan pemberian sanksi.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah
merupakan bagian pengaturan yang tidak terpisahkan dari sistem Keuangan
Negara, dan dimaksudkan untuk mengatur sistem pendanaan atas kewenangan
pemerintahan yang diserahkan, dilimpahkan, dan ditugasbantukan kepada
Daerah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan stabilitas pada ayat ini adalah stabilitas kondisi
perekonomian nasional.
Yang dimaksud dengan keseimbangan fiskal pada ayat ini adalah keseimbangan
fiskal antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah serta antar- Daerah.
Ayat (3)
Perimbangan keuangan dilaksanakan sejalan dengan pembagian kewenangan
antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah. Dengan demikian, pengaturan
47
perimbangan keuangan tidak hanya mencakup aspek Pendapatan Daerah
tetapi juga mengatur aspek pengelolaan dan pertanggungjawabannya.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (4)
Pendanaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini disesuaikan
dengan besarnya beban kewenangan yang dilimpahkan dan/atau Tugas
Pembantuan yang diberikan.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Huruf b
Termasuk hasil dari pelayanan Badan Layanan Umum (BLU) Daerah.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
48
Pasal 7
Huruf a
Yang dimaksud dengan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang
menyebabkan ekonomi biaya tinggi adalah Peraturan Daerah yang mengatur
pengenaan Pajak dan Retribusi oleh Daerah terhadap objek-objek yang
telah dikenakan pajak oleh Pusat dan Provinsi, sehingga menyebabkan
menurunnya daya saing Daerah.
Huruf b
Contoh pungutan yang dapat menghambat kelancaran mobilitas
penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar-Daerah, dan kegiatan impor/
ekspor antara Pasal 8 lain adalah Retribusi izin masuk kota dan Pajak/
Retribusi atas pengeluaran/pengiriman barang dari suatu daerah ke daerah
lain.
Pasal 8
Ketentuan mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diarahkan untuk
memberikan kewenangan yang lebih besar kepada Daerah dalam
perpajakan dan Retribusi Daerah melalui perluasan basis Pajak dan
Retribusi dan pemberian diskresi dalam penetapan tarif Pajak dan Retribusi
tersebut.
Perluasan basis Pajak tersebut antara lain dengan menambah jenis Pajak dan
Retribusi baru dan diskresi penetapan tarif dilakukan dengan memberikan
kewenangan sepenuhnya kepada Daerah dalam menetapkan tarif sesuai
tarif maksimal yang ditetapkan dalam Undang-Undang.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Dana Perimbangan yang terdiri atas 3 (tiga) jenis sumber dana, merupakan
pendanaan pelaksanaan Desentralisasi yang alokasinya tidak dapat dipisahkan
satu dengan yang lain karena masing-masing jenis Dana Perimbangan
tersebut saling mengisi dan melengkapi.
Ayat (2)
Pencantuman Dana Perimbangan dalam APBN dimaksudkan untuk memberikan
kepastian pendanaan bagi Daerah.
49
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Huruf b
Yang dimaksud dengan Rekening Kas Umum Daerah adalah rekening tempat
penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh gubernur/bupati/walikota
untuk menampung seluruh Penerimaan Daerah dan membayar seluruh
Pengeluaran Daerah pada bank yang ditetapkan. Rekening Kas Umum
Daerah ini dikelola oleh Kepala satuan kerja pengelola Keuangan Daerah
selaku Bendahara Umum Daerah.
Ayat (5)
Pemberian insentif ini dimaksudkan untuk mendorong intensifikasi
pemungutan PBB. Yang dimaksud dengan sektor tertentu adalah
penerimaan PBB dari sektor perkotaan dan perdesaan.
Ayat (4)
Pembagian tersebut dimaksudkan dalam rangka pemerataan kemampuan
keuangan antar-Daerah.
Pembagian tersebut dimaksudkan dalam rangka pemerataan kemampuan
keuangan antar-Daerah.
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
50
Ayat (3)
Bagian Daerah dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 dan PPh Pasal 21
untuk kabupaten/kota sebesar 60% (enam puluh persen) dan bagian provinsi
sebesar 40% (empat puluh persen) ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 14
Huruf a
Huruf b
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Cukup jelas
Huruf g
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, Penerimaan
Negara Bukan Pajak dari hasil pengusahaan sumber daya panas bumi terdiri
atas:
1) Penerimaan Negara Bukan Pajak dari kontrak pengusahaan panas bumi
yang ditandatangani sebelum Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003
tentang Panas Bumi ditetapkan, berasal dari setoran bagian Pemerintah
setelah dikurangi dengan kewajiban perpajakan dan pungutan-pungutan
lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2) Penerimaan Negara Bukan Pajak dari kontrak pengusahaan panas
bumi yang ditandatangani sesudah Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2003 tentang Panas Bumi ditetapkan, berasal dari Iuran Tetap dan Iuran
Produksi.
51
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan Penerimaan Iuran Ekplorasi dan Eksploitasi
(Royalti) adalah Iuran Produksi yang diterima Negara dalam hal Pemegang
Kuasa Pertambangan Eksplorasi mandapat hasil berupa bahan galian yang
tergali atas kesempatan Eksplorasi yang diberikan kepadanya serta atas
hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan eksploitasi (Royalti) satu
atau lebih bahan galian.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Penerimaan Iuran Tetap (Land-rent) adalah
seluruh penerimaan iuran yang diterima Negara sebagai imbalan
atas kesempatan Penyelidikan Umum, Eksplorasi, atau Eksploitasi pada
suatu wilayah Kuasa Pertambangan.
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan Pungutan Pengusahaan Perikanan adalah pungutan
Negara yang dikenakan kepada perusahaan perikanan Indonesia yang
memperoleh Izin Usaha Perikanan (IUP), Alokasi Penangkapan Ikan
Penanaman Modal (APIPM), dan Surat Izin Kapa Pengangkut Ikan (SIKPI),
sebagai imbalan atas kesempatan yang diberikan kepada Pemerintah
Indonesia untuk melakukan usaha perikanan dalam wilayah perikanan
Republik Indonesia.
52
Huruf b
Yang dimaksud dengan Pungutan Hasil Perikanan adalah pungutan Negara
yang dikenakan kepada perusahaan perikanan Indonesia yang melakukan
usaha penangkapan ikan sesuai dengan Surat Penangkapan Ikan (SPI)
yang diperoleh.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor Pertambangan Minyak
Bumi dan Gas Bumi berasal dari kegiatan Operasi Pertamina itu sendiri,
kegiatan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract), dan kontrak
kerja sama selain Kontrak Bagi Hasil.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Komponen Pajak adalah pajak-pajak dalam kegiatan Pertambangan
Minyak Bumi dan Gas Bumi dan pungutan-pungutan lain sesuai dengan
ketentuan perundang- undangan.
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Huruf a
Huruf b
Bagian untuk provinsi harus digunakan untuk menunjang pemenuhan
sarana pendidikan dasar.
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
53
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan iuran tetap adalah iuran yang dibayarkan kepada
Negara sebagai imbalan atas kesempatan eksplorasi, studi kelayakan,
dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja.
Yang dimaksud dengan iuran produksi adalah iuran yang dibayarkan
kepada Negara atas hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan Panas
Bumi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 22
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan dasar penghitungan dan daerah
penghasil diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Penerimaan pertambangan minyak bumi dan gas bumi yang dibagihasilkan,
penghitungannya didasarkan pada realisasi harga minyak dan gas bumi.
Realisasi harga minyak dan gas bumi tersebut tidak melebihi 130% (seratus
tiga puluh persen) dari asumsi dasar harga minyak bumi dan gas bumi
yang ditetapkan dalam APBN tahun berjalan.
Ayat (2)
Apabila realisasi harga minyak bumi dan gas bumi melebihi 130% (seratus
tiga puluh persen) dari asumsi dasar harga minyak bumi dan gas bumi yang
54
ditetapkan dalam APBN tahun berjalan, kelebihan Dana Bagi Hasil
berasal dari penerimaan sektor pertambangan minyak bumi dan gas
bumi dibagikan ke Daerah sebagai DAU tambahan melalui Penerimaan
Dalam Negeri Neto dengan menggunakan formulasi DAU.
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Muatan Peraturan Pemerintah antara lain mengatur kewenangan masingmasing instansi yang terlibat di dalam penetapan daerah penghasil, dasar
penghitungan, perkiraan dana bagi hasil, jangka waktu proses penetapan,
mekanisme konsultasi dengan dewan yang bertugas memberikan saran dan
pertimbangan terhadap kebijakan otonomi daerah, tata cara penyaluran,
pelaporan, dan pertanggungjawaban.
Pasal 27
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pendapatan Dalam Negeri Neto adalah Penerimaan Negara yang berasal dari
pajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan Penerimaan Negara yang
dibagihasilkan kepada Daerah.
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah gaji
pokok ditambah tunjangan keluarga dan tunjangan jabatan sesuai dengan
peraturan penggajian Pegawai Negeri Sipil.
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan layanan dasar publik antara lain adalah
penyediaan layanan kesehatan dan pendidikan, penyediaan infrastruktur,
dan pengentasan masyarakat dari kemiskinan.
Ayat (2)
Jumlah penduduk merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan
akan penyediaan layanan publik di setiap Daerah.
55
Luas wilayah merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan atas
penyediaan sarana dan prasarana per satuan wilayah.
Indeks Kemahalan Konstruksi merupakan cerminan tingkat kesulitan geografis
yang dinilai berdasarkan tingkat kemahalan harga prasarana fisik secara
relatif antar-Daerah.
Produk Domestik Regional Bruto merupakan cerminan potensi dan aktivitas
perekonomian suatu Daerah yang dihitung berdasarkan total seluruh output
produksi kotor dalam suatu wilayah.
Indeks Pembangunan Manusia merupakan variabel yang mencerminkan
tingkat pencapaian kesejahteraan penduduk atas layanan dasar di bidang
pendidikan dan kesehatan.
Kebutuhan pendanaan suatu Daerah dihitung dengan pendekatan total
pengeluaran rata-rata nasional.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Contoh perhitungan : Kebutuhan Fiskal sama dengan Kapasitas Fiskal
Kebutuhan Fiskal
=
Rp 100 miliar
Kapasitas Fiskal
=
Rp 100 miliar
Alokasi Dasar
=
Rp 50 miliar
Celah Fiskal
=
Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal
=
Rp 100 miliar – Rp100 miliar = 0
DAU
=
Alokasi Dasar
Total DAU
=
Rp 50 miliar
56
Ayat (2)
Dalam hal celah fiskal negatif maka jumlah DAU yang diterima Daerah
adalah sebesar Alokasi Dasar setelah diperhitungkan dengan celah
fiskalnya. Contoh perhitungan :
Kebutuhan Fiskal = Rp 100 miliar
Kapasitas Fiskal
= Rp 125 miliar
Alokasi Dasar
= Rp 50 miliar
Celah Fiskal
= Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal
= Rp 100 miliar – Rp 125 miliar
= Rp-25 miliar (negatif)
DAU
= Alokasi Dasar + Celah Fiskal
Total DAU
= Rp50 miliar + Rp-25 miliar = Rp25 miliar
Ayat (3)
Contoh perhitungan : Celah Fiskal (negatif) melebihi Alokasi Dasar
Kebutuhan Fiskal = Rp 100 miliar
Kapasitas Fiskal = Rp 175 miliar
Alokasi Dasar
= Rp 50 miliar
Celah Fiskal
= Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal
= Rp 100 miliar – Rp 175 miliar
= Rp-75 miliar (negatif)
DAU
= Celah Fiskal + Alokasi Dasar
Total DAU = Rp-75 miliar + Rp 50 miliar = Rp-25 miliar atau disesuaikan
menjadi Rp 0 (nol)
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
57
Pasal 37
Muatan Peraturan Pemerintah tersebut antara lain mengatur bobot variabel,
persentase imbangan DAU antara provinsi dan kabupaten/kota, dan tata cara
penyaluran.
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Daerah tertentu adalah Daerah yang memenuhi
kriteria yang ditetapkan setiap tahun untuk mendapatkan alokasi DAK.
Dengan demikian, tidak semua Daerah mendapatkan alokasi DAK.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan fungsi dalam rincian Belanja Negara antara lain
terdiri atas layanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi,
lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata,
budaya, agama, pendidikan dan perlindungan sosial.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kriteria umum dihitung untuk melihat kemampuan APBD untuk membiayai
kebutuhan-kebutuhan dalam rangka pembangunan Daerah yang dicerminkan
dari penerimaan umum APBD dikurangi dengan belanja pegawai.
Kemampuan Keuangan Daerah = Penerimaan Umum APBD –
belanja pegawai Daerah
Penerimaan Umum
= PAD + DAU + (DBH – DBHDR)
Belanja Pegawai Daerah
= Belanja PNSD
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah UndangUndang yang mengatur tentang kekhususan suatu Daerah.
Yang dimaksud dengan karakteristik Daerah antara lain adalah daerah
pesisir dan kepulauan, daerah perbatasan dengan negara lain, daerah
tertinggal/terpencil, daerah yang termasuk rawan banjir dan longsor,
serta daerah yang termasuk daerah ketahanan pangan.
58
Ayat (4)
Kriteria teknis antara lain meliputi standar kualitas/kuantitas konstruksi,
serta perkiraan manfaat lokal dan nasional yang menjadi indikator dalam
perhitungan teknis.
Pasal 41
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud Daerah dengan kemampuan fiskal tertentu adalah Daerah
yang selisih antara Penerimaan Umum APBD dan belanja pegawainya
sama dengan nol atau negatif.
Pasal 42
Muatan Peraturan Pemerintah tersebut antara lain kriteria umum, kriteria khusus,
kriteria teknis, mekanisme pengalokasian, tata cara penyaluran, penganggaran
di Daerah, pemantauan dan pengawasan, evaluasi, dan pelaporan.
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Ayat (1)
Ayat (2)
Pemberian hibah yang bersumber dari luar negeri dituangkan dalam
naskah perjanjian hibah yang ditandatangani oleh Pemerintah dan pemberi
hibah luar negeri.
Ayat (3)
Dalam menerima hibah, Daerah tidak boleh melakukan ikatan yang
secara politis dapat mempengaruhi kebijakan Daerah.
Yang dimaksud dengan pemberi hibah dalam ayat ini adalah Pemerintah
selaku pihak yang menerushibahkan kepada Daerah.
Ayat (4)
Hibah yang diterima oleh Daerah antara lain dapat digunakan untuk
menunjang peningkatan fungsi pemerintahan dan layanan dasar umum,
serta pemberdayaan aparatur Daerah.
59
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Ayat (1)
Pada dasarnya biaya penanggulangan bencana nasional dibiayai dari APBD,
tetapi apabila APBD tidak mencukupi untuk menanggulangi bencana
Nasional dan/atau peristiwa luar biasa lainnya Pemerintah mengalokasikan
Dana Darurat yang bersumber dari APBN.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan bencana nasional dan atau peristiwa luar biasa
lainnya adalah bencanayang menimbulkan dampak yang luas sehingga
mengganggu kegiatan perekonomian dan sosial.
Pasal 47
Ayat (1)
Ayat (2)
Krisis solvabilitas adalah krisis keuangan berkepanjangan yang dialami
Daerah selama 2 (dua) tahun anggaran dan tidak dapat diatasi melalui
APBD.
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 48
Muatan Peraturan Pemerintah tersebut antara lain mengatur kriteria penetapan
bencana nasional atau peristiwa luar biasa, kriteria dan persyaratan pengajuan,
tata cara penyaluran, dan pertanggungjawabannya.
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dana Perimbangan yang dapat dilakukan penundaan penyaluran dan/atau
pemotongan adalah Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum.
60
Pasal 51
Ayat (1)
Huruf a
Huruf b
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud dengan masyarakat adalah orang pribadi dan/atau badan
yang melakukan investasi di pasar modal.
Ayat (2)
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah berasal dari APBN atau
pinjaman luar negeri Pemerintah yang diteruspinjamkan kepada Daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pinjaman jangka pendek tidak termasuk kredit jangka pendek yang
lazim terjadi dalam perdagangan, misalnya pelunasan kewajiban atas
pengadaan/pembelian barang dan/atau jasa tidak dilakukan pada saat
barang dan atau jasa dimaksud diterima.
Yang termasuk biaya lain misalnya biaya administrasi, komitmen, provisi,
asuransi, dan denda.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
61
Pasal 53
Ayat (1)
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan layanan umum adalah layanan yang menjadi tanggung
jawab Daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas
Yang dimaksud dengan menghasilkan penerimaan adalah hasil penerimaan
yang berkaitan dengan pembangunan prasarana dan sarana yang dibiayai
dari pinjaman yang bersangkutan.
Ayat (4)
Persetujuan DPRD dimaksud termasuk dalam hal pinjaman tersebut diterus­
pinjamkan kepada BUMD.
Pasal 54
Huruf a
Yang dimaksud dengan penerimaan umum APBD tahun sebelumnya adalah
seluruh penerimaan APBD tidak termasuk Dana Alokasi Khusus, Dana
Darurat, dana pinjaman lama, dan penerimaan lain yang kegunaannya
dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu.
Huruf b
Rasio kemampuan Keuangan Daerah dihitung berdasarkan perbandingan
antara jumlah Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, dan Dana Alokasi
Umum setelah dikurangi belanja wajib dibagi dengan penjumlahan angsuran
pokok, bunga, dan biaya lain yang jatuh tempo.
Yang dimaksud dengan belanja wajib adalah belanja pegawai dan
belanja anggota DPRD.
{PAD + DAU + (DBH – DBHDR)} – Belanja
DSCR =
Wajib Pokok pinjaman + Bunga + Biaya Lain
>X
DSCR = Debt Service Coverage Ratio atau Rasio Kemampuan
Membayar Kembali Pinjaman;
PAD
= Pendapatan Asli Daerah;
DAU
= Dana Alokasi Umum;
DBH
= Dana Bagi Hasil; dan
62
DBHDR= Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi.
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan nilai bersih adalah tambahan atas nilai nominal
Obligasi Daerah yang beredar. Tambahan nilai nominal ini merupakan
selisih antara nilai nominal Obligasi Daerah yang diterbitkan dengan
nilai nominal obligasi yang ditarik kembali dan dilunasi sebelum jatuh
tempo dan obligasi yang dilunasi pada saat jatuh tempo selama satu tahun
anggaran.
Pasal 59
Ketentuan ini menegaskan bahwa segala risiko yang timbul sebagai akibat
dari penerbitan Obligasi Daerah tidak dijamin dan/atau ditanggung oleh
Pemerintah.
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Ayat (1)
Persetujuan DPRD atas semua Obligasi Daerah yang diterbitkan secara
otomatis merupakan persetujuan atas pembayaran dan pelunasan segala
63
kewajiban keuangan di masa mendatang yang timbul dari penerbitan
Obligasi Daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Semua kewajiban bunga dan pokok yang timbul akibat penerbitan Obligasi
dialokasikan dalam APBD setiap tahun sampai dengan berakhirnya
kewajiban tersebut. Perkiraan dana yang perlu dialokasikan untuk
pembayaran kewajiban untuk satu tahun anggaran disampaikan kepada
DPRD untuk diperhitungkan dalam APBD tahun yang bersangkutan.
Ayat (4)
Realisasi pembayaran bunga dapat melebihi proyeksi pembayaran bunga
dalam satu tahun anggaran, apabila tingkat bunga yang berlaku dari
Obligasi Daerah dengan tingkat bunga mengambang lebih besar daripada
asumsi tingkat bunga yang ditetapkan dalam APBD.
Pasal 62
Ayat (1)
Pengelolaan dan pertanggungjawaban Obligasi Daerah dilakukan oleh
unit yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
Ayat (2)
Dalam rangka mencapai biaya obligasi yang paling rendah pada tingkat
risiko yang dapat diterima dan dikendalikan, Pemerintah Daerah wajib
melaksanakan dan melaporkan kegiatan yang sekurang-kurangnya seperti
disebutkan pada ayat ini.
Pasal 63
Ayat (1)
Tembusan
DPRD
laporan
sebagai pemberitahuan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas
posisi
kumulatif
dimaksud
disampaikan
kepada
64
Ayat (2)
Tata cara pelaksanaan pemotongan dan penundaan Dana Alokasi Umum
dan/atau Bagian Daerah dari Penerimaan Negara diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Pasal 65
Muatan Peraturan Pemerintah tersebut antara lain mengatur tata cara,
prosedur, dan persyaratan Obligasi.
Pasal 66
Ayat (1)
Ayat (2)
Penyelenggara Keuangan Daerah wajib mengelola Keuangan Daerah dengan
mengacu pada asas-asas yang tercantum dalam ayat ini. Pengelolaan
dimaksud dalam ayat ini mencakup keseluruhan perencanaan, penguasaan,
penggunaan, pertanggungjawaban, dan pengawasan.
Cukup jelas
Ayat (3)
Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran Daerah menjadi
dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang
bersangkutan.
Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran Daerah menjadi
pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang
bersangkutan.
Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran Daerah menjadi
pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran Daerah harus diarahkan
untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta
meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.
Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran Daerah
harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
65
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 67
Ayat (1)
Ayat (2)
Dalam menyusun APBD dimaksud, diupayakan agar belanja operasional tidak
melampaui pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Ayat (6)
Denda dan/atau bunga dimaksud dapat dikenakan kepada kedua belah
pihak.
Ayat (5)
Program Pemerintah Daerah dimaksud diusulkan di dalam rancangan
Peraturan Daerah tentang APBD serta disusun sesuai dengan kebutuhan
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan kemampuan dalam menghimpun
Pendapatan Daerah dengan berpedoman kepada Rencana Kerja Pemerintah
dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (7)
Penggunaan surplus APBD perlu mempertimbangkan prinsip pertanggungjawaban antargenerasi, terutama untuk pelunasan utang, pembentukan
Dana Cadangan, dan peningkatan jaminan sosial.
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas
66
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Rincian Belanja Daerah menurut organisasi disesuaikan dengan susunan
perangkat daerah/lembaga teknis daerah.
Rincian Belanja Daerah menurut fungsi antara lain terdiri atas layanan
umum, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan
dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan,
serta perlindungan sosial. Rincian Belanja Daerah menurut jenis belanja
(sifat ekonomi) antara lain terdiri atas belanja pegawai, belanja barang,
belanja modal, bunga, subsidi, hibah, dan bantuan sosial.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Ayat (1)
Dana Cadangan adalah dana yang disisihkan untuk menampung kebutuhan
yang memerlukan dana relatif besar yang tidak dapat dipenuhi dalam satu
tahun anggaran. Pembentukan Dana Cadangan dalam APBD diperlakukan
sebagai pengeluaran pembiayaan, sedangkan pada saat Dana Cadangan
digunakan diperlakukan sebagai penerimaan pembiayaan.
Peraturan Daerah tentang pembentukan Dana Cadangan sekurang-kurangnya
memuat tujuan, jumlah, sumber, periode, jenis pengeluaran, penggunaan,
dan penempatan dana.
67
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam tahun pelaksanaan kegiatan yang didanai dengan Dana Cadangan
sesuai dengan Peraturan Daerah, Dana Cadangan dicairkan dan merupakan
penerimaan pembiayaan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Pasal 77
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Salah satu contoh portofolio yang memberikan hasil tetap dengan
risiko rendah adalah deposito pada bank pemerintah.
Pasal 78
Ayat (1)
Ayat (2)
Kerja sama dengan pihak lain dilakukan manakala Pemerintah Daerah me­
miliki keterbatasan dana dalam menyediakan fasilitas layanan umum. Kerja
sama dengan pihak lain meliputi kerja sama antar-Daerah, antara Pemerintah
Daerah dan BUMD, serta antara Pemerintah Daerah dengan swasta, yang
bertujuan untuk mengoptimalkan aset Daerah tanpa mengganggu layanan
umum.
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 79
Ayat (1)
Pengeluaran tersebut dalam Pasal ini termasuk belanja untuk keperluan
mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang
APBD yang bersangkutan.
Keadaan darurat sekurang-kurangnya harus memenuhi seluruh
sebagai berikut:
a. bukan merupakan kegiatan normal dari aktivitas Pemerintah Daerah dan
tidak dapat diprediksikan sebelumnya;
kriteria
68
b. tidak diharapkan terjadi secara berulang;
c. berada di luar kendali dan pengaruh Pemerintah Daerah; dan
d. memiliki dampak yang signifikan terhadap anggaran dalam rangka
pemulihan yang disebabkan oleh keadaan darurat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 80
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (3)
Persentase 50% (lima puluh persen) adalah merupakan selisih (gap) kenaikan
antara pendapatan dan belanja dalam APBD.
Pasal 81
Ayat (1)
Ayat (2)
Pemeriksaan laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan diselesaikan
selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan
dari Pemerintah Daerah.
Laporan Realisasi Anggaran selain menyajikan realisasi pendapatan dan
belanja, juga menjelaskan prestasi kerja SKPD.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Ayat (1)
Yang dimaksudkan dengan jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD
adalah jumlah defisit APBN ditambah jumlah defisit seluruh APBD
dalam suatu tahun anggaran. Penetapan batas maksimal kumulatif defisit
dimaksudkan dalam rangka prinsip kehati-hatian dan pengendalian fiskal
nasional.
69
Ayat (2)
Ayat (3)
Jumlah maksimal kumulatif defisit tidak melebihi 3% (tiga persen) dari
Produk Domestik Bruto, sesuai dengan kaidah yang baik (best practice)
dalam bidang pengelolaan fiskal.
Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal defisit APBD untuk masingmasing Daerah setiap tahun pada bulan Agustus.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 84
Pada dasarnya APBD disusun dengan mempertimbangkan kemampuan
Keuangan Daerah.
Dalam hal belanja diperkirakan lebih besar daripada pendapatan, maka
sumber-sumber pembiayaan defisit diperoleh dari penggunaan SiLPA, Dana
Cadangan, hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan Pinjaman
Daerah.
Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pemeriksaan Keuangan Daerah sekurang-kurangnya meliputi PAD, Dana
Perimbangan, Lain-lain Pendapatan, Pinjaman Daerah, dan Belanja Daerah.
Pemeriksaan Keuangan Daerah ini dilakukan secara tahunan dan pada
akhir masa jabatan Kepala Daerah dan DPRD.
Pasal 86
Cukup jelas
Pasal 87
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
70
Ayat (3)
Ayat (4)
Pemberitahuan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga
yang berkaitan dengan kegiatan Dekonsentrasi dimaksudkan untuk sinkroni­
sasi antara kegiatan yang akan dibiayai dari APBD dan kegiatan yang
dibiayai dari APBN guna menghindari adanya duplikasi pendanaan.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (5)
Ketentuan ayat ini dimaksudkan agar besaran dana yang dialokasikan harus
menjamin terlaksananya penyelenggaraan kewenangan yang dilimpahkan.
Cukup jelas
Ayat (7)
Kegiatan yang bersifat nonfisik antara lain koordinasi perencanaan,
fasilitasi, pelatihan, pembinaan, pengawasan, dan pengendalian.
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah ketentuan
tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
71
Pasal 90
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pemisahan penatausahaan keuangan antara dana Dekonsentrasi, dana
Tugas Pembantuan, dan dana Desentralisasi dimaksudkan agar terwujud
penatausahaan yang tertib dan taat asas dalam pengelolaan keuangan.
Yang dimaksud dengan laporan pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi antara
lain meliputi pertanggungjawaban pelaksanaan substansi kewenangan,
biaya penyelenggaraan, keluaran, dan hasil pelaksanaan kewenangan yang
dilimpahkan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 91
Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Ayat (1)
Ayat (2)
Penugasan oleh Pemerintah melalui kementerian negara/lembaga merupa­
kan penugasan dalam lingkup kewenangan Pemerintah.
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan ayat ini dimaksudkan agar besaran dana yang dialokasikan harus
menjamin terlaksananya penugasan yang diberikan.
72
Ayat (4)
Ayat (5)
Pemberitahuan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga
yang berkaitan dengan kegiatan Tugas Pembantuan dimaksudkan untuk
sinkronisasi antara kegiatan yang akan dibiayai dari APBD dan kegiatan
yang dibiayai dari APBN guna menghindari adanya duplikasi pendanaan.
Ayat (6)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 95
Cukup jelas
Pasal 96
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah ketentuan
tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Pasal 97
Ayat (1)
Pemisahan penatausahaan keuangan antara Dana Tugas Pembantuan dengan
Dana Dekonsentrasi dan Dana Desentralisasi dimaksudkan agar terwujud
penatausahaan yang tertib dan taat asas dalam pengelolaan keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas
73
Ayat (3)
Ayat (4)
Cukup jelas
Yang dimaksud dengan laporan pelaksanaan kegiatan Tugas Pembantuan
antara lain meliputi pertanggungjawaban pelaksanaan substansi kewenangan,
biaya penyelenggaraan,keluaran, dan hasil pelaksanaan kewenangan yang
ditugaspembantuankan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
Cukup jelas
Pasal 100
Cukup jelas
Pasal 101
Ayat (1)
Sistem Informasi Keuangan Daerah secara nasional adalah sarana bagi
Pemerintah untuk mengolah, menyajikan, dan mempublikasikan informasi
dan laporan pengelolaan Keuangan Daerah sebagai sarana menunjang
tercapainya tata pemerintahan yang baik melalui transparansi dan
akuntabilitas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 102
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan informasi keuangan yang dapat dipertanggung
jawabkan adalah informasi yang bersumber dari Peraturan Daerah tentang
APBD, pelaksanaan APBD, dan laporan realisasi APBD.
Ayat (2)
Penyelenggaraan Sistem Informasi Keuangan Daerah oleh Daerah dilaksanakan
secara bertahap sesuai dengan kemampuan Keuangan Daerah.
74
Ayat (3)
Ayat (4)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (5)
Pemberian sanksi dilakukan setelah adanya teguran tertulis. Dana
Perimbangan yang ditunda penyalurannya akibat pemberian sanksi dilakukan
dengan tidak mengganggu pelaksanaan penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah.
Pasal 103
Cukup jelas
Pasal 104
Pokok-pokok muatan Peraturan Pemerintah tersebut, antara lain, mekanisme
penyampaian laporan Keuangan Daerah, prinsip-prinsip penyelenggaraan
sistem informasi keuangan di daerah, standar dan format informasi
keuangan di Daerah, dan mekanisme penerapan sanksi atas keterlambatan
penyampaian laporan.
Pasal 105
Cukup jelas
Pasal 106
Cukup jelas
Pasal 107
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Formula DAU digunakan mulai tahun anggaran 2006, tetapi sampai
dengan tahun anggaran 2007 alokasi DAU yang diberlakukan untuk
masing-masing Daerah ditetapkan tidak lebih kecil dari tahun anggaran
2005.
Sampai dengan tahun anggaran 2007 apabila DAU untuk provinsi tertentu
lebih kecil dari tahun anggaran 2005, kepada provinsi yang bersangkutan
dialokasikan dana penyesuaian yang besarnya sesuai dengan kemampuan
dan perekonomian Negara.
75
Pasal 108
Cukup jelas
Pasal 109
Cukup jelas
Pasal 110
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4438.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 32 TAHUN 2004
TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah
sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah, yang mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan
daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan,keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu
daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan
daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspekaspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar peme­
rintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang
dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewena­
ngan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah
dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara;
c. bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Peme­
rintahan Daerah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan,
ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah
sehingga perlu diganti;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, dan
huruf c perlu ditetapkan Undang-Undang tentang Pemerintahan
Daerah;
77
78
Mengingat :
1. Pasal 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20,
Pasal 21, Pasal 22D , Pasal 23E ayat (2), Pasal 24A ayat (1), Pasal
31 ayat (4), Pasal 33, dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4310);
5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4355);
6. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4389);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH.
79
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
2.
Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
3.
Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
4.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga
perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
5.
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
6.
Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
7.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
8.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah
kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal
di wilayah tertentu.
9.
Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau
desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari
pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
10. Peraturan daerah selanjutnya disebut Perda adalah peraturan daerah provinsi
dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota.
80
11. Peraturan kepala daerah adalah peraturan Gubernur dan/atau peraturan Bupati/
Walikota.
12. Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan
asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
13. Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah adalah
suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis,
transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan
desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan
daerah serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas
pembantuan.
14. Anggaran pendapatan dan belanja daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah
rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan
peraturan daerah.
15. Pendapatan daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambah
nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
16. Belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang
nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
17. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau
pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang
bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
18. Pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima
sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain
sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
19. Kawasan khusus adalah bagian wilayah dalam provinsi dan/atau kabupaten/
kota yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi
pemerintahan yang bersifat khusus bagi kepentingan nasional.
20. Pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang selanjutnya
disebut pasangan calon adalah bakal pasangan calon yang telah memenuhi
persyaratan untuk dipilih sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.
21. Komisi Pemilihan Umum Daerah yang selanjutnya disebut KPUD adalah KPU
Provinsi, Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2003yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang ini untuk
81
menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah di setiap
provinsi dan/atau kabupaten/kota.
22. Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara, dan Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut PPK, PPS, dan KPPS
adalah pelaksana pemungutan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah pada tingkat kecamatan, desa/kelurahan, dan tempat pemungutan
suara.
23. Kampanye pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang selanjutnya
disebut kampanye adalah kegiatan dalam rangka meyakinkan para pemilih
dengan menawarkan visi, misi, dan program pasangan calon.
Pasal 2
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi
dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing
mempunyai pemerintahan daerah.
(2) Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjalankan oto­nomi
seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah,
dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan
daya saing daerah.
(4) Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki
hubungan dengan Pemerintah dan dengan pemerintahan daerah lainnya.
(5) Hubungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi hubungan wewenang,
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya
lainnya.
(6) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan
sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras.
(7) Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber
daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan
kewilayahan antarsusunan pemerintahan.
(8) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
(9) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
82
Pasal 3
(1) Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) adalah:
(2
a.
pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas pemerintah daerah
provinsi dan DPRD provinsi;
b.
pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas pemerintah daerah
kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota.
Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas kepala
daerah dan perangkat daerah.
BAB II
PEMBENTUKAN DAERAH DAN KAWASAN KHUSUS
Bagian Kesatu
Pembentukan Daerah
Pasal 4
(1) Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan
dengan undang-undang.
(2) Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas, ibukota, kewenangan
menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah,
pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan,peralatan,
dan dokumen, serta perangkat daerah.
(3) Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian
daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah
atau lebih.
(4) Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia
penyelenggaraan pemerintahan.
Pasal 5
(1) Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus memenuhi
syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
(2) Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk provinsi
meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang
akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan
Gubernur, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
83
(3) Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kabupaten/
kota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota
yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur serta rekomendasi
Menteri Dalam Negeri.
(4) Syarat teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi faktor yang menjadi
dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi
daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan,
keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi
daerah.
(5) Syarat fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi paling sedikit 5
(lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit 5 (lima)
kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk
pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.
Pasal 6
(1) Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain apabila daerah yang
bersangkutan tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah.
(2) Penghapusan dan penggabungan daerah otonom dilakukan setelah melalui
proses evaluasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
(3) Pedoman evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 7
(1) Penghapusan dan penggabungan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (2) beserta akibatnya ditetapkan dengan undang-undang.
(2) Perubahan batas suatu daerah, perubahan nama daerah, pemberian nama
bagian rupa bumi serta perubahan nama, atau pemindahan ibukota yang
tidak mengakibatkan penghapusan suatu daerah ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
(3) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan atas usul dan
persetujuan daerah yang bersangkutan.
Pasal 8
Tata cara pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
84
Bagian Kedua
Kawasan Khusus
Pasal 9
(1) Untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus
bagi kepentingan nasional, Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus
dalam wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota.
(2) Fungsi pemerintahan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
Perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas ditetapkan dengan undangundang.
(3) Fungsi pemerintahan tertentu selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Untuk membentuk kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3), Pemerintah mengikutsertakan daerah yang bersangkutan.
(5) Daerah dapat mengusulkan pembentukan kawasan khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada Pemerintah.
(6) Tata cara penetapan kawasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB III
PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN
Pasal 10
(1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini
ditentukan menjadi urusan Pemerintah.
(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalan­
kan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.
85
(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan
sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau wakil
Pemerintah di daerah atau dapat menugaskankepada pemerintahan daerah
dan/atau pemerintahan desa.
(5) Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di luar
urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dapat:
a.
menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;
b.
melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku
wakil Pemerintah; atau
c.
menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau
pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
Pasal 11
(1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar
susunan pemerintahan.
(2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antarpemerintahan
daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem
pemerintahan.
(3) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang
diselenggarakan berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.
(4) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang berpedoman
pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan
oleh Pemerintah.
Pasal 12
(1) Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber
pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan
urusan yang didesentralisasikan.
(2) Urusan pemerintahan yangdilimpahkan kepada Gubernur disertai dengan
pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan.
86
Pasal 13
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi
merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi:
a.
perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b.
perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c.
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d.
penyediaan sarana dan prasarana umum;
e.
penanganan bidang kesehatan;
f.
penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
g.
penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h.
pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i.
fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk
lintas kabupaten/kota;
j.
pengendalian lingkungan hidup;
k.
pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l.
pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n.
pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/
kota;
o.
penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan
oleh kabupaten/kota; dan
p.
urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan.
(2) Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerinta­
han yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang
bersangkutan.
Pasal 14
(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/
kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi:
a.
perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b.
perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c.
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
87
d.
penyediaan sarana dan prasarana umum;
e.
penanganan bidang kesehatan;
f.
penyelenggaraan pendidikan;
g.
penanggulangan masalah sosial;
h.
pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i.
fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j.
pengendalian lingkungan hidup;
k.
pelayanan pertanahan;
l.
pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n.
pelayanan administrasi penanaman modal;
o.
penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
p.
urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan.
(2) Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi
unggulan daerah yang bersangkutan.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal
12, Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
(1) Hubungan dalam bidang keuangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:
a.
pemberian sumber-sumber keuangan untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah;
b.
pengalokasian dana perimbangan kepada pemerintahan daerah; dan
c.
pemberian pinjaman dan/atau hibah kepada pemerintahan daerah.
(2) Hubungan dalam bidang keuangan antarpemerintahan daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:
a.
bagi hasil pajak dan nonpajak antara pemerintahan daerah provinsi dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota;
b.
pendanaan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab bersama;
88
c.
pembiayaan bersama atas kerja sama antardaerah; dan
d.
pinjaman dan/atau hibah antarpemerintahan daerah.
(3) Hubungan dalam bidang keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 16
(1) Hubungan dalam bidang pelayanan umum antara Pemerintah dan pemerintahan
daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:
a.
kewenangan, tanggung jawab, dan penentuan standar pelayanan
minimal;
b.
pengalokasian pendanaan pelayanan umum yang menjadi kewenangan
daerah; dan
c.
fasilitasi pelaksanaan kerja sama antarpemerintahan daerah dalam
penyelenggaraan pelayanan umum.
(2) Hubungan dalam bidang pelayanan umum antar pemerintahan daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:
a.
pelaksanaan bidang pelayanan umum yang menjadi kewenangan daerah;
b.
kerja sama antarpemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan
umum; dan
c.
pengelolaan perizinan bersama bidang pelayanan umum.
(3) Hubungan dalam bidang pelayanan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dalam peraturan perundang- undangan.
Pasal 17
(1) Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya antara Pemerintah dan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:
a.
kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian
dampak, budidaya, dan pelestarian;
b.
bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya; dan
c.
penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.
(2) Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya antarpemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(4) dan ayat (5) meliputi:
89
a.
pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
yang menjadi kewenangan daerah;
b.
kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antarpemerintahan daerah; dan
c.
pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam
dan sumber daya lainnya.
(3) Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Pasal 18
(1) Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola
sumber daya di wilayah laut.
(2) Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di
bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundangundangan.
(3) Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut;
b.
pengaturan administratif;
c.
pengaturan tata ruang;
d.
penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah
atau yang dilimpahkankewenangannya oleh Pemerintah;
e.
ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan
f.
ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
(4) Kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis
pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi
dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota.
(5) Apabila wilayah laut antara 2 (dua) provinsi kurang dari 24 (dua puluh empat)
mil, kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut dibagi sama
jarak atau diukur sesuai prinsip garis tengah dari wilayah antar 2 (dua) provinsi
tersebut, dan untuk kabupaten/kota memperoleh 1/3 (sepertiga)dari wilayah
kewenangan provinsi dimaksud.
90
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) tidak berlaku
terhadap penangkapan ikan oleh nelayan kecil.
(7) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4),
dan ayat (5) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
BAB IV
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN
Bagian Kesatu
Penyelenggara Pemerintahan
Pasal 19
(1) Penyelenggara pemerintahan adalah Presiden dibantu oleh 1 (satu) orang
wakil Presiden, dan oleh menteri negara.
(2) Penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD.
Bagian Kedua
Asas Penyelenggaraan Pemerintahan
Pasal 20
(1) Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan
Negara yang terdiri atas:
a.
asas kepastian hukum;
b.
asas tertib penyelenggara negara;
c.
asas kepentingan umum;
d.
asas keterbukaan;
e.
asas proporsionalitas;
f.
asas profesionalitas;
g.
asas akuntabilitas;
h.
asas efisiensi; dan
i.
asas efektivitas.
(2) Dalam menyelenggarakan pemerintahan, Pemerintah menggunakan asas
desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(3) Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah meng­
gunakan asas otonomi dan tugas pembantuan.
91
Bagian Ketiga
Hak dan Kewajiban Daerah
Pasal 21
Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak:
a.
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;
b.
memilih pimpinan daerah;
c.
mengelola aparatur daerah;
d.
mengelola kekayaan daerah;
e.
memungut pajak daerah dan retribusi daerah;
f.
mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya yang berada di daerah;
g.
mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan
h.
mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 22
Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban:
a.
melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional,
serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.
meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
c.
mengembangkan kehidupan demokrasi;
d.
mewujudkan keadilan dan pemerataan;
e.
meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
f.
menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
g.
menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
h.
mengembangkan sistem jaminan sosial;
i.
menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
j.
mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
k.
melestarikan lingkungan hidup;
l.
mengelola administrasi kependudukan;
m. melestarikan nilai sosial budaya;
n.
membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan
kewenangannya; dan
o. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
92
Pasal 23
(1) Hak dan kewajiban daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22
diwujudkan dalam bentuk rencana kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan
dalam bentuk pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah yang dikelola
dalam sistem pengelolaan keuangan daerah.
(2) Pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
secara efisien, efektif, transparan, akuntabel, tertib, adil, patut, dan taat pada
peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Pemerintah Daerah
Paragraf Kesatu
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Pasal 24
(1) Setiap daerah dipimpin oleh kepala pemerintah daerah yang disebut kepala
daerah.
(2) Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk provinsi disebut
Gubernur, untuk kabupaten disebut bupati, dan untuk kota disebut walikota.
(3) Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh satu orang
wakil kepala daerah.
(4) Wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk provinsi disebut
wakil Gubernur, untuk kabupaten disebut wakil bupati dan untuk kota disebut
wakil walikota.
(5) Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah
yang bersangkutan.
Paragraf Kedua
Tugas dan Wewenang serta Kewajiban Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah
Pasal 25
Kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang:
a.
memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan
yang ditetapkan bersama DPRD;
b.
mengajukan rancangan Perda;
93
c.
menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
d.
menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk
dibahas dan ditetapkan bersama;
e.
mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
f.
mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa
hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
g.
melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Pasal 26
(1) Wakil kepala daerah mempunyai tugas:
a.
membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan
daerah;
b.
membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan
pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup;
c.
memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten
dan kota bagi wakil kepala daerah provinsi;
d.
memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah
kecamatan, kelurahan dan/atau desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/
kota;
e.
memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam
penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah;
f.
melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan
oleh kepala daerah; dan
g.
melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah
berhalangan.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wakil kepala
daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah.
(3) Wakil kepala daerah menggantikan kepala daerah sampai habis masa jabatannya
apabila kepala daerah meninggal dunia, berhenti, diberhentikan, atau tidak
dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus
dalam masa jabatannya.
94
Pasal 27
(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
dan Pasal 26, kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban:
a.
memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan
dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b.
meningkatkan kesejahteraan rakyat;
c.
memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;
d.
melaksanakan kehidupan demokrasi;
e.
menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan;
f.
menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
g.
memajukan dan mengembangkan daya saing daerah;
h.
melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik;
i.
melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan
daerah;
j.
menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan
semua perangkat daerah;
k.
menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah
di hadapan Rapat Paripurna DPRD.
(2) Selain mempunyai kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala
daerah mempunyai kewajiban juga untuk memberikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan
pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyeleng­
garaan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
(3) Laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah sebagai­
mana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden melalui Menteri
Dalam Negeri untuk Gubernur, dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui
Gubernur untuk Bupati/Walikota 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan Pemerintah sebagai
dasar melakukan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan sebagai
bahan pembinaan lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
95
Paragraf Ketiga
Larangan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Pasal 28
Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang:
a.
membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi diri,
anggota keluarga, kroni, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, merugikan kepentingan
umum, dan meresahkan sekelompok masyarakat, atau mendiskriminasikan
warga negara dan/atau golongan masyarakat lain;
b.
turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara/
daerah, atau dalam yayasan bidang apapun;
c.
melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya, baik
secara langsung maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan daerah yang
bersangkutan;
d.
melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan menerima uang, barang dan/atau
jasa dari pihaklain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan
dilakukannya;
e.
menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan selain
yang dimaksud dalam Pasal 25 huruf f;
f.
menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya;
g.
merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, sebagai anggota DPRD
sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Paragraf Keempat
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Pasal 29
(1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti karena:
a.
meninggal dunia;
b.
permintaan sendiri; atau
c.
diberhentikan.
(2) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c diberhentikan karena:
a.
berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru;
b.
tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan
tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan;
96
c.
tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah;
d.
dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah dan/atau
wakil kepala daerah;
e.
tidak melaksanakan kewajiban
daerah;
f.
melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.
kepala daerah dan/atau wakil kepala
(3) Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2) huruf a dan huruf b
diberitahukan oleh pimpinan DPRD untuk diputuskan dalam Rapat Paripurna
dan diusulkan oleh pimpinan DPRD.
(4) Pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf d dan huruf e dilaksanakan dengan ketentuan:
a.
Pemberhentian kepaladaerah dan wakil kepala daerah diusulkan kepada
Presiden berdasarkan putusan Mahkamah Agung atas pendapat DPRD
bahwa kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan melanggar
sumpah/janji jabatan dan/atau tidak melaksanakan kewajiban kepala
daerah dan wakil kepala daerah;
b. Pendapat DPRD sebagaimanadimaksud pada huruf a diputuskan melalui
Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga
perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan
persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota
DPRD yang hadir.
c.
Mahkamah Agung wajib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat
DPRD tersebut paling lambat 30 (tigapuluh) hari setelah permintaan
DPRD itu diterima Mahkamah Agung dan putusannya bersifat final.
d.
Apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa kepala daerah dan/atau
wakil kepala daerah terbukti melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau
tidak melaksanakan kewajiban, DPRD menyelenggarakan Rapat Paripurna
DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari
jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurangkurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk
memutuskan usul pemberhentian kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah kepada Presiden.
e. Presiden wajib memroses usul pemberhentian kepala daerah dan/atau
wakil kepala daerah tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak DPRD
menyampaikan usul tersebut.
97
Pasal 30
(1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh
Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila dinyatakan melakukan tindak
pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan.
(2) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa
melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Pasal 31
(1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh
Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana
korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap
keamanan negara.
(2) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa
melalui usulan DPRD karena terbukti melakukan makar dan/atau perbuatan
lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
dinyatakan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Pasal 32
(1) Dalam hal kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah menghadapi krisis
kepercayaan publik yang meluas karena dugaan melakukan tindak pidana
dan melibatkan tanggung jawabnya, DPRD menggunakan hak angket untuk
menanggapinya.
(2) Penggunaan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
setelah mendapatkan persetujuan Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan
putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga)
dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk melakukan penyelidikan terhadap
kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.
(3) Dalam hal ditemukan bukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), DPRD menyerahkan proses penyelesaiannya kepada aparat
penegak hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Apabila kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan bersalah
karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat
98
5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang belum
memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
DPRD mengusulkan pemberhentian sementara dengan keputusan DPRD.
(5) Berdasarkan keputusan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Presiden
menetapkan pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah.
(6) Apabila kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dinyatakan bersalah
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPRD mengusulkan
pemberhentian berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri
oleh sekurang- kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD
dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga)
dari jumlah anggota DPRD yang hadir.
(7) Berdasarkan keputusan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Presiden
memberhentikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.
Pasal 33
(1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diberhentikan sementara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), dan Pasal
32 ayat (5) setelah melalui proses peradilan ternyata terbukti tidak bersalah
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, paling lambat 30 (tiga puluh) hari Presiden telah merehabilitasikan
dan mengaktifkan kembali kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang
bersangkutan sampai dengan akhir masa jabatannya.
(2) Apabila kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diberhentikan
sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir masa jabatannya,
Presiden merehabilitasikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang
bersangkutan dan tidak mengaktifkannya kembali.
(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30,
Pasal 31, dan Pasal 32 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 34
(1) Apabila kepala daerah diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), dan Pasal 32 ayat (5), wakil kepala daerah
melaksanakan tugas dan kewajiban kepala daerah sampai dengan adanya
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
99
(2) Apabilawakil kepaladaerah diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud
Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), dan Pasal 32 ayat (5), tugas dan kewajiban
wakil kepala daerah dilaksanakan oleh kepala daerah sampai dengan adanya
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Apabila kepala daerah dan wakil kepala daerah diberhentikan sementara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), dan Pasal
32 ayat (5), Presiden menetapkan penjabat Gubernur atas usul Menteri Dalam
Negeri atau penjabat Bupati/Walikota atas usul Gubernur dengan pertimbangan
DPRD sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
(4) Tata cara penetapan, kriteria calon, dan masa jabatan penjabat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
(1) Apabilakepala daerah diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal
30 ayat (2), Pasal 31 ayat (2), dan Pasal 32 ayat (7) jabatan kepala daerah
diganti oleh wakil kepala daerah sampai berakhir masa jabatannya dan proses
pelaksanaannya dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Paripurna DPRD dan
disahkan oleh Presiden.
(2) Apabila terjadi kekosongan jabatan wakilkepaladaerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang sisa masa jabatannya lebih dari 18 (delapan belas) bulan,
kepala daerah mengusulkan 2 (dua) orang calon wakil kepala daerah untuk dipilih
oleh Rapat Paripurna DPRD berdasarkan usul partai politik atau gabungan partai
politik yang pasangan calonnya terpilih dalam pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah.
(3) Dalam hal kepala daerah dan wakil kepala daerah berhenti atau diberhentikan
secara bersamaan dalam masa jabatannya, Rapat Paripurna DPRD memutuskan
dan menugaskan KPUD untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak ditetapkannya
penjabat kepala daerah.
(4) Dalam hal terjadi kekosongan jabatan kepala daerah dan wakil kepala
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sekretaris daerah melaksanakan
tugas sehari-hari kepala daerah sampai dengan Presiden mengangkat penjabat
kepala daerah.
(5) Tata cara pengisian kekosongan, persyaratan dan masa jabatan penjabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
100
Paragraf Kelima
Tindakan Penyidikan terhadap Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah
Pasal 36
(1) Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau
wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari
Presiden atas permintaan penyidik.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari
terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan
dapat dilakukan.
(3) Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan persetujuan
tertulissesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2).
(4) Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah:
a.
tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau
b.
disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
pidana mati, atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap
keamanan negara.
(5) Tindakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setelah dilakukan
wajib dilaporkan kepada Presiden paling lambat dalam waktu 2 (dua) kali 24
(dua puluh empat) jam.
Paragraf Keenam
Tugas Gubernur sebagai Wakil Pemerintah
Pasal 37
(1) Gubernur yang karena jabatannya berkedudukan juga sebagai wakil Pemerintah
di wilayah provinsi yang bersangkutan.
(2) Dalam kedudukannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur
bertanggung jawab kepada Presiden.
Pasal 38
(1) Gubernur dalam kedudukannya
memiliki tugas dan wewenang:
sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 37
101
a. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah
kabupaten/kota;
b. koordinasi penyelenggaraan urusan Pemerintah di daerah provinsi dan
kabupaten/kota;
c.
koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan
di daerah provinsi dan kabupaten/kota.
(2) Pendanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibebankan kepada APBN.
(3) Kedudukan keuangan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
(4) Tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Paragraf Kesatu
Umum
Pasal 39
Ketentuan tentang DPRD sepanjang tidak diatur dalam Undang- Undang ini
berlaku ketentuan Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD,
dan DPRD.
Paragraf Kedua
Kedudukan dan Fungsi
Pasal 40
DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai
unsur penyelenggaraan pemerintah daerah.
Pasal 41
DPRD memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
102
Paragraf Ketiga
Tugas dan Wewenang
Pasal 42
(1) DPRD mempunyai tugas dan wewenang:
a.
membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat
persetujuan bersama;
b.
membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama
dengan kepala daerah;
c.
melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan
perundah-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan
pemerintah daerah dalam melaksanakan progrma pembangunan daerah,
dan kerja sama internasional di daerah;
d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil
kepala daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD
provinsi dan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD
kabupaten/kota;
e.
memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan
wakil kepala daerah;
f.
memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah
terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
g.
memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang
dilakukan oleh pemerintah daerah;
h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah;
i.
membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah;
j.
melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah;
k.
memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama antar daerah dan
dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.
(2) Selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD
melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan.
103
Paragraf Keempat
Hak dan Kewajiban
Pasal 43
(1) DPRD mempunyai hak:
a. interpelasi;
b. angket; dan
c. menyatakan pendapat.
(2) Pelaksanaan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan setelah diajukan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dan mendapatkan persetujuan dari Rapat Paripurna DPRD yang
dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan
putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga)
dari jumlah anggota DPRD yang hadir.
(3) Dalam menggunakan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk
panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD yang bekerja dalam
waktu paling lama 60 (enam puluh) hari telah menyampaikan hasil kerjanya
kepada DPRD.
(4) Dalam melaksanakan tugasnya, panitia angket sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dapat memanggil, mendengar, dan memeriksa seseorang yang dianggap
mengetahui atau patut mengetahui masalah yang sedang diselidiki serta untuk
meminta menunjukkan surat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang
sedang diselidiki.
(5) Setiap orang yang dipanggil, didengar, dan diperiksa sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) wajib memenuhi panggilan panitia angket kecuali ada alasan
yang sah menurut peraturan perundang-undangan.
(6) Dalam hal telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak memenuhi
panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), panitia angket dapat memanggil
secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(7) Seluruh hasil kerja panitia angket bersifat rahasia.
(8) Tata cara penggunaan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan
pendapat diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD yang berpedoman pada
peraturan perundang-undangan.
104
Pasal 44
(1) Anggota DPRD mempunyai hak:
a. mengajukan rancangan Perda;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
f.
imunitas;
g. protokoler; dan
h. keuangan dan administratif.
(2) Kedudukan protokoler dan keuangan pimpinan dan anggota DPRD diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 45
Anggota DPRD mempunyai kewajiban:
a.
mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan menaati segala peraturan perundang-undangan;
b.
melaksanakankehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah;
c.
mempertahankan dan memeliharakerukunan nasionalserta keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
d.
memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah;
e.
menyerap, menampung,
masyarakat;
menghimpun,
dan
menindaklanjuti
aspirasi
f. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok,
dan golongan.
g.
memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya selaku anggota
DPRD sebagai wujud tanggung jawab moral dan politis terhadap daerah
pemilihannya.
h.
menaati Peraturan Tata Tertib, Kode Etik, dan sumpah/janji anggota DPRD;
i.
menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.
105
Paragraf Kelima
Alat Kelengkapan DPRD
Pasal 46
(1) Alat kelengkapan DPRD terdiri atas:
a. pimpinan;
b. komisi;
c. panitia musyawarah;
d. panitia anggaran;
e. Badan Kehormatan; dan
f. alat kelengkapan lain yang diperlukan.
(2) Pembentukan, susunan, tugas, dan wewenang alat kelengkapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD dengan
berpedoman pada peraturan perundang- undangan.
Pasal 47
(1) Badan Kehormatan DPRD dibentuk dan ditetapkan dengan keputusan DPRD.
(2) Anggota Badan Kehormatan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih
dari dan oleh anggota DPRD dengan ketentuan:
a.
untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan sampai dengan 34 (tiga
puluh empat) berjumlah 3 (tiga) orang, dan untuk DPRD yang beranggotakan
35 (tiga puluh lima) sampai dengan 45 (empat puluh lima) berjumlah 5
(lima) orang.
b. untuk DPRD provinsi yang beranggotakan sampai dengan 74 (tujuh puluh
empat) berjumlah 5 (lima) orang, dan untuk DPRD yang beranggotakan
75 (tujuh puluh lima) sampai dengan 100 (seratus) berjumlah 7 (tujuh)
orang.
(3) Pimpinan Badan Kehormatan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri
atas seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua yang dipilih dari dan oleh anggota
Badan Kehormatan.
(4) Badan Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh sebuah
sekretariat yang secara fungsional dilaksanakan oleh Sekretariat DPRD.
Pasal 48
Badan Kehormatan mempunyai tugas:
a.
mengamati, mengevaluasi disiplin, etika, dan moral para anggota DPRD dalam
rangka menjaga martabat dan kehormatan sesuai dengan Kode Etik DPRD;
106
b.
meneliti dugaan pelanggaran yang dilakukan anggota DPRD terhadap Peraturan
Tata Tertib dan Kode Etik DPRD serta sumpah/janji;
c.
melakukan penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi atas pengaduan Pimpinan
DPRD, masyarakat dan/atau pemilih;
d.
menyampaikan kesimpulan atas hasil penyelidikan, verifikasi, dan klarifikasi
sebagaimana dimaksud pada huruf c sebagai rekomendasi untuk ditindaklanjuti
oleh DPRD.
Pasal 49
(1) DPRD wajib menyusun kode etik untuk menjaga martabat dan kehormatan
anggotaDPRD dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
(2) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang- kurangnya meliputi:
a. pengertian kode etik;
b.
c.
tujuan kode etik;
pengaturan sikap, tatakerja, dan tata hubungan antarpenyelenggara
pemerintahan daerah dan antaranggota serta antara anggota DPRD dan
pihak lain;
d. hal yang baik dan sepantasnya dilakukan oleh anggota DPRD;
e. etika dalam penyampaian pendapat, tanggapan, jawaban, sanggahan;
dan
f. sanksi dan rehabilitasi.
Pasal 50
(1) Setiap anggota DPRD wajib berhimpun dalam fraksi.
(2) Jumlah anggota setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurangkurangnya sama dengan jumlah komisi di DPRD.
(3) Anggota DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari 1 (satu) partai politik
yang tidak memenuhi syarat untuk membentuk 1 (satu) fraksi, wajib bergabung
dengan fraksi yang ada atau membentuk fraksi gabungan.
(4) Fraksi yang ada wajib menerima anggota DPRD dari partai politik lain yang
tidak memenuhi syarat untuk dapat membentuk satu fraksi.
(5) Dalam hal fraksi gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) setelah dibentuk,
kemudian tidak lagi memenuhi syarat sebagai fraksi gabungan, seluruh anggota
fraksi gabungan tersebut wajib bergabung dengan fraksi dan/atau fraksi
gabungan lain yang memenuhi syarat.
(6) Parpol yang memenuhi persyaratan untuk membentuk fraksi hanya dapat
membentuk satu fraksi.
107
(7) Fraksi gabungan dapat dibentuk oleh partai politik dengan syarat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (5).
Pasal 51
(1) DPRD provinsi yang beranggotakan 35 (tiga puluh lima) sampai dengan 75
(tujuh puluh lima) orang membentuk 4 (empat) komi- si, yang beranggotakan
lebih dari 75 (tujuh puluh lima) orang membentuk 5 (lima) komisi.
(2) DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35
(tiga puluh lima) orang membentuk 3 (tiga) komisi, yang beranggotakan lebih
dari 35 (tiga puluh lima) orang membentuk 4 (empat) komisi.
Pasal 52
(1) Anggota DPRD tidak dapat dituntut dihadapan pengadilan karena pernyataan,
pertanyaan dan/atau pendapat yang dikemukakan secara lisan ataupun tertulis
dalam rapat DPRD, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Tata Tertib
dan kode etik DPRD.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal
anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati
dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan, atau hal-hal yang dimaksud oleh
ketentuan mengenai pengumuman rahasia negara dalam peraturan perundangundangan.
(3) Anggota DPRD tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan
dan/atau pendapat yang dikemukakan dalam rapat DPRD.
Pasal 53
(1) Tindakan penyidikan terhadap anggota DPRD dilaksanakan setelah adanya
persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden bagi anggota
DPRD provinsi dan dari Gubernur atas nama Menteri Dalam Negeri bagi anggota
DPRD kabupaten/kota.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
diberikan dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari semenjak diterimanya
permohonan, proses penyidikan dapat dilakukan.
(3) Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan diperlukan persetujuan
tertulis dengan cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah:
a.
tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan; atau
108
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana
mati, atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
(5) Setelah tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan, tindakan
penyidikan harus dilaporkan kepada pejabat yang memberikan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lambat 2 (dua kali) 24 (dua puluh empat) jam.
Bagian Keenam
Larangan dan Pemberhentian Anggota DPRD
Pasal 54
(1) Anggota DPRD dilarang merangkap jabatan sebagai:
a. pejabat negara lainnya;
b. hakim pada badan peradilan;
c. pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, pegawai pada badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah dan/atau badan lain yang anggarannya
bersumber dari APBN/APBD.
(2) Anggota DPRD dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada
lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat/pengacara,
notaris,dokterpraktik dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas,
wewenang, dan hak sebagai anggota DPRD.
(3) Anggota DPRD dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
(4) Anggota DPRD yang melakukan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib melepaskan pekerjaan tersebut selama menjadi anggota DPRD.
(5) Anggota DPRD yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) diberhentikan oleh pimpinan berdasarkan hasil pemeriksaan Badan
Kehormatan DPRD.
(6) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD yang berpedoman
pada peraturan perundang- undangan.
Bagian Ketujuh
Penggantian Antarwaktu Anggota DPRD
Pasal 55
(1) Anggota DPRD berhenti antarwaktu sebagai anggota karena:
a. meninggal dunia;
109
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis;
dan
c. diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan.
(2) Anggota DPRD diberhentikan antarwaktu, karena:
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan
tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan;
b. tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota DPRD;
c. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan, dan/atau melanggar kode
etik DPRD;
d. tidak melaksanakan kewajiban anggota DPRD;
e. melanggar larangan bagi anggota DPRD;
f. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mem­
peroleh kekuatan hukum tetap karena melanggar tindak pidana dengan
ancaman pidana paling singkat 5 (lima) tahun penjara atau lebih.
(3) Pemberhentian anggota DPRD yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada
Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi anggota DPRD provinsi dan kepada
Gubernur melalui Bupati/Walikota bagi anggota DPRD kabupaten/kota untuk
diresmikan pemberhentiannya.
(4) Pemberhentian anggota DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e dilaksanakan setelah ada keputusan DPRD
berdasarkan rekomendasi dari Badan Kehormatan DPRD.
(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD berpedoman pada
peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedelapan
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Paragraf Kesatu
Pemilihan
Pasal 56
(1) Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang
dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil.
110
(2) Pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh partai politik
atau gabungan partai politik.
Pasal 57
(1) Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD
yang bertanggungjawab kepada DPRD.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, KPUD menyampaikan laporan penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada DPRD.
(3) Dalam mengawasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah, dibentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah yang keanggotaannya terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan
tinggi, pers, dan tokoh masyarakat.
(4) Anggota panitia pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah
5 (lima) orang untuk provinsi, 5 (lima) orang untuk kabupaten/kota dan 3 (tiga)
orang untuk kecamatan.
(5) Panitia pengawas kecamatan diusulkan oleh panitia pengawas kabupaten/
kota untuk ditetapkan oleh DPRD.
(6) Dalam hal tidak didapatkan unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3), panitia
pengawas kabupaten/kota/kecamatan dapat diisi oleh unsur yang lainnya.
(7) Panitia pengawas pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dibentuk
oleh dan bertanggungjawab kepada DPRD dan berkewajiban menyampaikan
laporannya.
Pasal 58
Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah warga negara Republik
Indonesia yang memenuhi syarat:
a.
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b.
setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, dan kepada
Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah;
c.
berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau
sederajat;
d.
berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;
e.
sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh
dari tim dokter;
111
f.
tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih;
g.
tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
h.
mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;
i.
menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;
j.
tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara
badan hukum yang menjadi tanggungjawabnya yang merugikan keuangan
negara.
k. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
l.
tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
m. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai
NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak;
n.
menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat
pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri;
o.
belum pernah menjabat sebagaikepala daerah atau wakil kepala daerah
selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama; dan
p.
tidak dalam status sebagai penjabat kepala daerah.
Pasal 59
(1) Peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan
calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan
partai politik.
(2) Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan
sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPRD atau 15%
(lima belas persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilihan Umum
anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
(3) Partai politik atau gabungan partai politik wajib membuka kesempatan yang
seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 58 dan selanjutnya memproses bakal calon dimaksud
melalui mekanisme yang demokratis dan transparan.
(4) Dalam proses penetapan pasangan calon, partai politik atau gabungan partai
politik memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat.
112
(5) Partai politik atau gabungan partai politik pada saat mendaftarkan pasangan
calon, wajib menyerahkan:
a. surat pencalonan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau
pimpinan partai politik yang bergabung;
b. kesepakatan tertulis antarpartai politik yang bergabung untuk mencalonkan
pasangan calon;
c. surat pernyataan tidak akanmenarik pencalonan atas pasangan yang
dicalonkan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau para
pimpinan partaipolitikyang bergabung;
d. surat pernyataan kesediaan yang bersangkutan sebagai calon kepala
daerah dan wakil kepala daerah secara berpasangan;
e. surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri sebagai pasangan calon;
f. surat pernyataan kesanggupan mengundurkan diri dari jabatan apabila
terpilih menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan;
g. surat pernyataan mengundurkan diri dari jabatan negeri bagi calon yang
berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia,
dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
h. surat pernyataan tidak aktif dari jabatannya bagi pimpinan DPRD tempat
yang bersangkutan menjadi calon di daerah yang menjadi wilayah
kerjanya;
i.
surat pemberitahuan kepada pimpinan bagi anggota DPR, DPD, dan
DPRD yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah dan wakil
kepala daerah;
j. kelengkapan persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58; dan
k. naskah visi, misi, dan program dari pasangan calon secara tertulis.
(6) Partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat mengusulkan satu pasangan calon dan pasangan calon tersebut
tidak dapat diusulkan lagi oleh partai politik atau gabungan partai politik
lainnya.
(7) Masa pendaftaran pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak pengumuman pendaftaran pasangan
calon.
113
Pasal 60
(1) Pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) diteliti persyaratan
administrasinya dengan melakukan klarifikasi kepada instansi pemerintah yang
berwenang dan menerima masukan dari masyarakat terhadap persyaratan
pasangan calon.
(2) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara
tertulis kepada pimpinan partai politik atau gabungan partai politik yang
mengusulkan, paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal penutupan
pendaftaran.
(3) Apabila pasangan calon belum memenuhi syarat atau ditolak karena tidak
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan/atau Pasal 59,
partai politik atau gabungan partai politik yang mengajukan calon diberi
kesempatan untuk melengkapi dan/atau memperbaiki surat pencalonan beserta
persyaratan pasangan calon atau mengajukan calon baru paling lambat 7
(tujuh) hari sejak saat pemberitahuan hasil penelitian persyaratan oleh KPUD.
(4) KPUD melakukan penelitian ulang kelengkapan dan atau perbaikan persyaratan
pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan sekaligus mem­
beritahukan hasil penelitian tersebut paling lambat 7 (tujuh) hari kepada
pimpinan partai politik atau gabungan partai politik yang mengusulkan.
(5) Apabila hasil penelitian berkas pasangan calon sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) tidak memenuhi syarat dan ditolak oleh KPUD, partai politik dan atau
gabungan partai politik, tidak dapat lagi mengajukan pasangan calon.
Pasal 61
(1) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) dan
ayat (4), KPUD menetapkan pasangan calon paling kurang 2 (dua) pasangan
calon yang dituangkan dalam Berita Acara Penetapan pasangan calon.
(2) Pasangan calon yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diumumkan secara luas paling lambat 7 (tujuh) hari sejak selesainya
penelitian.
(3) Terhadap pasangan calon yang telah ditetapkan dan diumumkan, selanjutnya
dilakukan undian secara terbuka untuk menetapkan nomor urut pasangan
calon.
(4) Penetapan dan pengumuman pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) bersifat final dan mengikat.
114
Pasal 62
(1) Partai politik atau gabungan partai politik dilarang menarik calonnya dan/
atau pasangan calonnya, dan pasangan calon atau salah seorang dari pasangan
calon dilarang mengundurkan diri terhitung sejak ditetapkan sebagai pasangan
calon oleh KPUD.
(2) Apabila partai politik atau gabungan partai politik menarik calonnya
dan/atau pasangan calon dan/atau salah seorang dari pasangan calon
mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), partai politik
atau gabungan partai politik yang mencalonkan tidak dapat mengusulkan
calon pengganti.
Pasal 63
(1) Dalam hal salah satu calon atau pasangan calon berhalangan tetap sejak
penetapan calon sampai pada saat dimulainya hari kampanye, partai politik
atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya berhalangan tetap dapat
mengusulkan pasangan calon pengganti paling lambat 3 (tiga) hari sejak
pasangan calon berhalangan tetapdan KPUD melakukan penelitian persyaratan
administrasi dan menetapkan pasangan calon pengganti paling lambat 4
(empat) hari sejak pasangan calon pengganti didaftarkan.
(2) Dalam hal salah 1 (satu) calon atau pasangan calon berhalangan tetap pada saat
dimulainya kampanye sampai hari pemungutan suara dan masih terdapat 2
(dua) pasangan calon atau lebih, tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah dilanjutkan dan pasangan calon yang berhalangan
tetap tidak dapat diganti serta dinyatakan gugur.
(3) Dalam hal salah satu calon atau pasangan calon berhalangan tetap pada saat
dimulainya kampanye sampai hari pemungutan suara sehingga jumlah pasangan
calon kurang dari 2 (dua) pasangan, tahapan pelaksanaan pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah ditunda paling lambat 30 (tiga puluh)
hari dan partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya
berhalangan tetap mengusulkan pasangan calon pengganti paling lambat 3 (tiga)
hari sejak pasangan calon berhalangan tetap dan KPUD melakukan penelitian
persyaratan administrasi dan menetapkan pasangan calon pengganti paling
lambat 4 (empat) hari sejak pasangan calon pengganti didaftarkan.
Pasal 64
(1) Dalam hal salah satu calon atau pasangan calon berhalangan tetap setelah
pemungutan suara putaran pertama sampai dimulainya hari pemungutan suara
115
putaran kedua, tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah ditunda paling lambat 30 (tiga puluh) hari.
(2) Partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya berhalangan
tetap mengusulkan pasangan calon pengganti paling lambat 3 (tiga) hari sejak
pasangan calon berhalangan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
KPUD melakukan penelitian persyaratan administrasi dan menetapkan pasangan
calon pengganti paling lambat 4 (empat) hari sejak pasangan calon pengganti
didaftarkan.
Pasal 65
(1) Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilaksanakan melalui masa
persiapan, dan tahap pelaksanaan.
(2) Masa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pemberitahuan DPRD kepada kepala daerah mengenai berakhirnya masa
jabatan;
b.
Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan
kepala daerah;
c.
Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal
tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah;
d.
Pembentukan Panitia Pengawas, PPK, PPS dan KPPS;
e.
Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau.
(3) Tahap pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
Penetapan daftar pemilih;
b.
Pendaftaran dan Penetapan calon kepala daerah/ wakil kepala daerah;
c.
Kampanye;
d.
Pemungutan suara;
e.
Penghitungan suara; dan
f.
Penetapan pasangan calon kepala daerah/ wakil kepala daerah terpilih,
pengesahan, dan pelantikan.
(4) Tata cara pelaksanaan masa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan tahap pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur KPUD
dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
Pasal 66
(1) Tugas dan wewenang KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah adalah:
116
a.
merencanakan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah;
b.
menetapkan tata cara pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah sesuai dengan tahapan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan;
c.
mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua
tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah;
d.
menetapkan tanggal dan tata cara pelaksanaan kampanye, serta
pemungutan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah;
e.
meneliti persyaratan partai politik atau gabungan partai politik yang
mengusulkan calon;
f.
meneliti persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang
diusulkan;
g.
menetapkan pasangan calon yang telah memenuhi persyaratan;
h.
menerima pendaftaran dan mengumumkan tim kampanye;
i.
mengumumkan laporan sumbangan dana kampanye;
j.
menetapkan hasil rekapitulasi penghitungan suara dan mengumumkan
hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah;
k.
melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah;
l.
melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur oleh peraturan
perundang-undangan;
m. menetapkan kantor akuntan publik untuk mengaudit dana kampanye dan
mengumumkan hasil audit.
(2) Dalam penyelenggaran pemilihan gubernur dan wakil gubernur KPUD kabupaten/
kota adalah bagian pelaksana tahapan penyelenggaraan pemilihan yang
ditetapkan oleh KPUD provinsi.
(3) Tugas dan wewenang DPRD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah adalah:
a. memberitahukan kepada kepala daerah mengenai akan berakhirnya masa
jabatan;
b. mengusulkan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah
yang berakhir masa jabatannya dan mengusulkan pengangkatan kepala
daerah dan wakil kepala daerah terpilih;
117
c. melakukan pengawasan pada semua tahapan pelaksanaan pemilihan;
d. membentuk panitia pengawas;
e. meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPUD; dan
f.
menyelenggarakan rapat paripurna untuk mendengarkan penyampaian
visi, misi, dan program dari pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala
daerah.
(4) Panitia pengawas pemilihan mempunyai tugas dan wewenang:
a.
mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah;
b.
menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah;
c.
menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah;
d.
meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada
instansi yang berwenang; dan
e.
mengatur hubungan koordinasi antar panitia pengawasan pada semua
tingkatan.
Pasal 67
(1) KPUD berkewajiban:
a.
memperlakukan pasangan calon secara adil dan setara;
b.
menetapkan standarisasi serta kebutuhan barang dan jasa yang berkaitan
dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
berdasarkan peraturan perundang-undangan;
c.
menyampaikan laporan kepada DPRD untuk setiap tahap pelaksanaan
pemilihan dan menyampaikan informasi kegiatannya kepada masyarakat;
d.
memelihara arsip dan dokumen pemilihan serta mengelola barang
inventaris milik KPUD berdasarkan peraturan perundang-undangan;
e. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD;
f.
melaksanakan semua tahapan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah secara tepat waktu.
118
Paragraf Kedua
Penetapan Pemilih
Pasal 68
Warga negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau
sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.
Pasal 69
(1) Untuk dapat menggunakan hak memilih, warga negara Republik Indonesia harus
terdaftar sebagai pemilih.
(2) Untuk dapat didaftar sebagai pemilih, warga negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya;
b. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(3) Seorang warga negara Republik Indonesia yang telah terdaftar dalam daftar
pemilih ternyata tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) tidak dapat menggunakan hak memilihnya.
Pasal 70
(1) Daftar pemilih pada saat pelaksanaan pemilihan umum terakhir di daerah
digunakan sebagai daftar pemilih untuk pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah.
(2) Daftar pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah dengan daftar
pemilih tambahan yang telah memenuhi persyaratan sebagai pemilih ditetapkan
sebagai daftar pemilih sementara.
Pasal 71
Pemilih yang telah terdaftar sebagai pemilih sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 70 diberi tanda bukti pendaftaran untuk ditukarkan dengan kartu pemilih
untuk setiap pemungutan suara.
Pasal 72
(1) Seorang pemilih hanya didaftar 1 (satu) kali dalam daftar pemilih.
(2) Apabila seorang pemilih mempunyai lebih dari 1 (satu) tempat tinggal, pemilih
tersebut harus menentukan satu di antaranya untuk ditetapkan sebagai tempat
tinggal yang dicantumkan dalam daftar pemilih.
119
Pasal 73
(1) Pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 70 kemudian berpindah tempat tinggal atau karena ingin menggunakan
hak pilihnya di tempat lain, pemilih yang bersangkutan harus melapor
kepada PPS setempat.
(2) PPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencatat nama pemilih dari daftar
pemilih dan memberikan surat keterangan pindah tempat memilih.
(3) Pemilih melaporkan kepindahannya kepada PPS di tempat pemilihan yang
baru.
(4) Pemilih terdaftar yang karena sesuatu hal terpaksa tidak dapat menggunakan hak
pilihnya di TPS yang sudah ditetapkan, yang bersangkutan dapat menggunakan
hak pilihnya di tempat lain dengan menunjukkan kartu pemilih.
Pasal 74
(1) Berdasarkan daftar pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 dan Pasal 73
PPS menyusun dan menetapkan daftar pemilih sementara.
(2) Daftar pemilih sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan
oleh PPS untuk mendapat tanggapan masyarakat.
(3) Pemilih yang belum terdaftar dalam daftar pemilih sementara dapat
mendaftarkan diri ke PPS dan dicatat dalam daftar pemilih tambahan.
(4) Daftar pemilih sementara dan daftar pemilih tambahan ditetapkan sebagai
daftar pemilih tetap.
(5) Daftar pemilih tetap disahkan dan diumumkan oleh PPS.
(6) Tata cara pelaksanaan pendaftaran pemilih ditetapkan oleh KPUD.
Paragraf Ketiga
Kampanye
Pasal 75
(1) Kampanye dilaksanakan sebagai bagian dari penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah.
(2) Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan selama 14 (empat
belas) hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara.
(3) Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh tim
kampanye yang dibentuk oleh pasangan calon bersama- sama partai politik atau
gabungan partai politik yang mengusulkan pasangan calon.
120
4) Tim kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didaftarkan ke KPUD
bersamaan dengan pendaftaran pasangan calon.
(5) Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bersama-sama
atau secara terpisah oleh pasangan calon dan/atau oleh tim kampanye.
(6) Penanggung jawab kampanye adalah pasangan calon, yang pelaksanaannya
dipertanggungjawabkan oleh tim kampanye.
(7) Tim kampanye dapat dibentuk secara berjenjang di provinsi, kabupaten/
kota bagi pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan kabupaten/kota
dan kecamatan bagi pasangan calon Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil
Walikota.
(8) Dalam kampanye, rakyat mempunyai kebebasan untuk menghadiri kampanye.
(9) Jadwal pelaksanaan kampanye ditetapkan oleh KPUD dengan memperhatikan
usul dari pasangan calon.
Pasal 76
(1) Kampanye dapat dilaksanakan melalui:
a.
pertemuan terbatas;
b.
tatap muka dan dialog;
c.
penyebaran melalui media cetak dan media elektronik;
d.
penyiaran melalui radio dan/atau televisi;
e.
penyebaran bahan kampanye kepada umum;
f.
pemasangan alat peraga di tempat umum;
g.
rapat umum;
h.
debat publik/debat terbuka antarcalon; dan/atau
i.
kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundang- undangan.
(2) Pasangan calon wajib menyampaikan visi, misi, dan program secara lisan
maupun tertulis kepada masyarakat.
(3) Calon kepala daerah dan wakil kepala daerah berhak untuk mendapatkan
informasi atau data dari pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan perundangundangan.
(4) Penyampaian materi kampanye dilakukan dengan cara yang sopan, tertib, dan
bersifat edukatif.
(5) Penyelenggaraan kampanye dilakukan di seluruh wilayah provinsi untuk pemilihan
gubernur dan wakil gubernur dan diseluruh wilayah kabupaten/kota untuk
pemilihan bupati dan wakil bupati dan walikota dan wakil walikota.
121
Pasal 77
(1) Media cetak dan media elektronik memberikan kesempatan yang sama kepada
pasangan calon untuk menyampaikan tema dan materi kampanye.
(2) Media elektronik dan media cetak wajib memberikan kesempatan yang sama
kepada pasangan calon untuk memasang iklan pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah dalam rangka kampanye.
(3) Pemerintah daerah memberikan kesempatan yang sama kepada pasangan calon
untuk menggunakan fasilitas umum.
(4) Semua yang hadir dalam pertemuan terbatas atau rapat umum yang diadakan
oleh pasangan calon hanya dibenarkan membawa atau menggunakan tanda
gambar dan/atau atribut pasangan calon yang bersangkutan.
(5) KPUD berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk menetapkan lokasi
pemasangan alat peraga untuk keperluan kampanye.
(6) Pemasangan alat peraga kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (5) oleh
pasangan calon dilaksanakan dengan memper- timbangkan etika, estetika,
kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(7) Pemasangan alat peraga kampanye pada tempat yang menjadi milik perseorangan
atau badan swasta harus seizin pemilik tempat tersebut.
(8) Alat peraga kampanye harus sudah dibersihkan paling lambat 3 (tiga) hari
sebelum hari pemungutan suara.
Pasal 78
Dalam kampanye dilarang:
a.
mempersoalkan dasar negara Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon kepala daerah/wakil
kepala daerah dan/atau partai politik;
c.
menghasut atau mengadu domba partai politik, perseorangan, dan/atau
kelompok masyarakat;
d.
menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan atau menganjurkan penggunaan
kekerasan kepada perseorangan, kelompok masyarakat dan/atau partai
politik;
e.
mengganggu keamanan, ketenteraman, dan ketertiban umum;
f.
mengancam dan menganjurkan penggunaan kekerasan untuk mengambil alih
kekuasaan dari pemerintahan yang sah;
122
g.
merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye pasangan calon lain;
h.
menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan pemerintah daerah;
i.
menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan; dan
j.
melakukan pawai atau arak-arakan yang dilakukan dengan berjalan kaki dan/
atau dengan kendaraan di jalan raya.
Pasal 79
(1) Dalam kampanye, dilarang melibatkan:
a. hakim pada semua peradilan;
b. pejabat BUMN/BUMD;
c. pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri;
d. kepala desa.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila pejabat
tersebut menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
(3) Pejabat negara yang menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah
dalam melaksanakan kampanye harus memenuhi ketentuan:
a. tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya;
b. menjalani cuti di luar tanggungan negara; dan
c. pengaturan lama cuti dan jadwal cuti dengan memperhatikan ke­
berlangsungan tugas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
(4) Pasangan calon dilarang melibatkan pegawai negeri sipil, anggota Tentara
Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai
peserta kampanye dan juru kampanye dalam pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah.
Pasal 80
Pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan
kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan
atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye.
Pasal 81
(1) Pelanggaran atas ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 78 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf
f, merupakan tindak pidana dan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang- undangan.
123
(2) Pelanggaran atas ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 78 huruf g, huruf h, huruf i dan huruf j, yang merupakan
pelanggaran tata cara kampanye dikenai sanksi:
a.
peringatan tertulis apabila penyelenggara kampanye melanggar larangan
walaupun belum terjadi gangguan;
b.
penghentian kegiatan kampanye di tempat terjadinya pelanggaran atau
di seluruh daerah pemilihan yang bersangkutan apabila terjadi gangguan
terhadap keamanan yang berpotensi menyebar ke daerah pemilihan lain.
(3) Tata cara pengenaan sanksi terhadap pelanggaran larangan pelaksanaan
kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh KPUD.
(4) Pelanggaran atas ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79 dikenai sanksi penghentian kampanye selama masa
kampanye oleh KPUD.
Pasal 82
(1) Pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau
memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih.
(2) Pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai
pasangan calon oleh DPRD.
Pasal 83
(1) Dana kampanye dapat diperoleh dari:
a. pasangan calon;
b. partai politik dan/atau gabungan partai politik yang mengusulkan;
c. sumbangan pihak-pihak lain yang tidak mengikat yang meliputi sumbangan
perseorangan dan/atau badan hukum swasta.
(2) Pasangan calon wajib memiliki rekening khusus dana kampanye dan rekening
yang dimaksud didaftarkan kepada KPUD.
(3) Sumbangan dana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dari
perseorangan dilarang melebihi Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
dan dari badan hukum swasta dilarang melebihi Rp 350.000.000,00 (tiga ratus
lima puluh juta rupiah).
(4) Pasangan calon dapatmenerima dan/atau menyetujui pembiayaan bukan dalam
bentuk uang secara langsung untuk kegiatan kampanye.
124
(5) Sumbangan kepada pasangan calon yang lebih dari Rp 2.500.000,00 (dua juta
lima ratus ribu rupiah) baik dalam bentuk uang maupun bukan dalam bentuk
uang yang dapat dikonversikan ke dalam nilai uang wajib dilaporkan kepada
KPUD mengenai jumlah dan identitas pemberi sumbangan.
(6) Laporan sumbangan dana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan
ayat (5) disampaikan oleh pasangan calon kepada KPUD dalam waktu 1 (satu)
hari sebelum masa kampanye dimulai dan 1 (satu) hari sesudah masa kampanye
berakhir.
(7) KPUD mengumumkan melalui media massa laporan sumbangan dana kampanye
setiap pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (6) kepada masyarakat
satu hari setelah menerima laporan dari pasangan calon.
Pasal 84
(1) Dana kampanye digunakan oleh pasangan calon, yang teknis pelaksanaannya
dilakukan oleh tim kampanye.
(2) Dana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan
oleh pasangan calon kepada KPUD paling lambat 3 (tiga) hari setelah hari
pemungutan suara.
(3) KPUD wajib menyerahkan laporan dana kampanye sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) kepada kantor akuntan publik paling lambat 2 (dua) hari
setelah KPUD menerima laporan dana kampanye dari pasangan calon.
(4) Kantor akuntan publik wajib menyelesaikan audit paling lambat 15 (lima belas)
hari setelah diterimanya laporan dana kampanye dari KPUD.
(5) Hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan oleh KPUD paling
lambat 3 (tiga) hari setelah KPUD menerima laporan hasil audit dari kantor
akuntan publik.
(6) Laporan dana kampanye yang diterima KPUD wajib dipelihara dan terbuka untuk
umum.
Pasal 85
(1) Pasangan calon dilarang menerima sumbangan atau bantuan lain untuk kampanye
yang berasal dari:
a. negara asing,lembaga swasta asing, lembaga swadaya masyarakat asing
dan warga negara asing;
b. penyumbang atau pemberi bantuan yang tidak jelas identitasnya;
c. pemerintah, BUMN, dan BUMD.
125
(2) Pasangan calon yang menerima sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak dibenarkan menggunakan dana tersebut dan wajib melaporkannya
kepada KPUD paling lambat 14 (empat belas) hari setelah masa kampanye
berakhir dan menyerahkan sumbangan tersebut kepada kas daerah.
(3) Pasangan calon yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calonoleh KPUD.
Paragraf Keempat
Pemungutan Suara
Pasal 86
(1) Pemungutan suara pemilihan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala
daerah diselenggarakan paling lambat 1 (satu) bulan sebelum masa jabatan
kepala daerah berakhir.
(2) Pemungutan suara dilakukan dengan memberikan suara melalui surat suara
yang berisi nomor, foto, dan nama pasangan calon.
(3) Pemungutan suara dilakukan pada hari libur atau hari yang diliburkan.
Pasal 87
(1) Jumlah surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2) dicetak sama
dengan jumlah pemilih tetap dan ditambah 2,5% (dua setengah perseratus)
dari jumlah pemilih tersebut.
(2) Tambahan surat suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan
sebagai cadangan di setiap TPS untuk mengganti surat suara pemilih yang
keliru memilih pilihannya serta surat suara yang rusak.
(3) Penggunaan tambahan surat suara sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dibuatkan berita acara.
Pasal 88
Pemberian suara untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
dilakukan dengan mencoblos salah satu pasangan calon dalam surat suara.
Pasal 89
(1) Pemilih tunanetra, tunadaksa, atau yang mempunyai halangan fisik lain pada
saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh petugas KPPS atau orang
lain atas permintaan pemilih.
126
(2) PetugasKPPS atau orang lain yang membantu pemilih sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan pemilih yang dibantunya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian bantuan kepada pemilih sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 90
(1) Jumlah pemilih di setiap TPS sebanyak-banyaknya 300 (tiga ratus) orang.
(2) TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan lokasinya di tempat yang
mudah dijangkau, termasuk oleh penyandang cacat, serta menjamin setiap
pemilih dapat memberikan suaranya secara langsung, bebas, dan rahasia.
(3) Jumlah, lokasi, bentuk, dan tata letak TPS ditetapkan oleh KPUD.
Pasal 91
(1) Untuk keperluan pemungutan suara dalam pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah disediakan kotak suara sebagai tempat surat suara yang digunakan
oleh pemilih.
(2) Jumlah,bahan, bentuk, ukuran, dan warna kotak suara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh KPUD dengan berpedoman pada peraturan
perundang-undangan.
Pasal 92
(1) Sebelum melaksanakan pemungutan suara, KPPS melakukan:
a. pembukaan kotak suara;
b. pengeluaran seluruh isi kotak suara;
c. pengidentifikasian jenis dokumen dan peralatan; serta
d. penghitungan jumlah setiap jenis dokumen dan peralatan.
(2) Kegiatan KPPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihadiri oleh saksi
dari pasangan calon, panitia pengawas, pemantau, dan warga masyarakat.
(3) Kegiatan KPPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuatkan berita acara
yang ditandatangani oleh Ketua KPPS, dan sekurang- kurangnya 2 (dua) anggota
KPPS dan dapat ditandatangani oleh saksi dari pasangan calon.
Pasal 93
(1) Setelah melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92, KPPS
memberikan penjelasan mengenai tata cara pemungutan suara.
(2) Dalam memberikan suara, pemilih diberi kesempatan oleh KPPS berdasarkan
prinsip urutan kehadiran pemilih.
127
(3) Apabila menerima surat suara yang ternyata rusak, pemilih dapat meminta
surat suara pengganti kepada KPPS, kemudian KPPS memberikan surat suara
pengganti hanya satu kali.
(4) Apabila terdapat kekeliruan dalam cara memberikan suara, pemilih dapat
meminta surat suara pengganti kepada KPPS, kemudian KPPS memberikan
surat suara pengganti hanya satu kali.
(5) Penentuan waktu dimulai dan berakhirnya pemungutan suara ditetapkan oleh
KPUD.
Pasal 94
(1) Pemilih yang telah memberikan suara di TPS diberi tanda khusus oleh KPPS.
(2) Tanda khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPUD
dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
Pasal 95
Suara untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dinyatakan sah
apabila:
a. surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS; dan
b. tanda coblos hanya terdapat pada 1 (satu) kotak segi empat yang memuat satu
pasangan calon; atau
c. tanda coblos terdapat dalam salah satu kotak segi empat yang memuat
nomor, foto dan nama pasangan calon yang telah ditentukan; atau
d. tanda coblos lebih dari satu, tetapi masih di dalam salah satu kotak segi
empat yang memuat nomor, foto dan nama pasangan calon; atau
e. tanda coblos terdapat pada salah satu garis kotak segi empat yang memuat
nomor, foto dan nama pasangan calon.
Pasal 96
(1) Penghitungan suara di TPSdilakukan oleh KPPS setelah pemungutan suara
berakhir.
(2) Sebelum penghitungan suara dimulai, KPPS menghitung:
a. jumlah pemilih yang memberikan suara berdasarkan salinan daftar
pemilih tetap untuk TPS;
b. jumlah pemilih dari TPS lain;
c. jumlah surat suara yang tidak terpakai; dan
d. jumlah surat suara yang dikembalikan oleh pemilih karena rusak atau
keliru dicoblos.
128
(3) Penggunaan surat suara tambahan dibuatkan berita acara yang ditandatangani
oleh Ketua KPPS dan sekurang-kurangnya 2 (dua) anggota KPPS.
(4) Penghitungan suara dilakukan dan selesai di TPS oleh KPPS dan dapat dihadiri oleh
saksi pasangan calon, panitia pengawas, pemantau, dan warga masyarakat.
(5) Saksi pasangan calon harus membawa surat mandat dari tim kampanye yang
bersangkutan dan menyerahkannya kepada Ketua KPPS.
(6) Penghitungan suara dilakukan dengan cara yang memungkinkan saksi pasangan
calon, panitia pengawas, pemantau, dan warga masyarakat yang hadir dapat
menyaksikan secara jelas proses penghitungan suara.
(7) Pasangan calon dan warga masyarakat melalui saksi pasangan calon yang
hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh
KPPS apabila ternyata terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(8) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh saksi pasangan calon atau warga
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat diterima, KPPS seketika
itu juga mengadakan pembetulan.
(9) Segera setelah selesai penghitungan suara di TPS, KPPS membuat berita acara
dan sertifikat hasil penghitungan suara yang ditandatangani oleh ketua dan
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota KPPS serta dapat ditandatangani
oleh saksi pasangan calon.
(10) KPPS memberikan 1 (satu) eksemplar salinan berita acara dan sertifikat hasil
penghitungan suara kepada saksi pasangan calon yang hadir dan menempelkan
1 (satu) eksemplar sertifikat hasil penghitungan suara di tempat umum.
(11)
KPPS menyerahkan berita acara, sertifikat hasil penghitungan suara, surat
suara, dan alat kelengkapan administrasi pemungutan dan penghitungan suara
kepada PPS segera setelah selesai penghitungan suara.
Pasal 97
(1) Setelah menerima berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara, PPS
membuat berita acara penerimaan dan melakukan rekapitulasi jumlah suara
untuk tingkat desa/kelurahan dan dapat dihadiri oleh saksi pasangan calon,
panitia pengawas, pemantau, dan warga masyarakat.
(2) Saksi pasangan calon harus membawa surat mandat dari Tim Kampanye
yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada PPS.
(3) Pasangan calon dan warga masyarakat melalui saksi pasangan calon yang
hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh
129
PPS apabila ternyata terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(4) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh saksi pasangan calon atau warga
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima, PPS seketika
itu juga mengadakan pembetulan.
(5) Setelah selesai melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara di semua TPS
dalam wilayah kerja desa/kelurahan yang bersangkutan, PPS membuat berita
acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara yang ditandatangani
oleh ketua dan paling sedikit 2 (dua) orang anggota PPS serta ditandatangani
oleh saksi pasangan calon.
(6) PPS wajib memberikan 1 (satu) eksemplar salinan berita acara dan sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPS kepada saksi pasangan calon yang
hadir dan menempelkan 1 (satu) eksemplar sertifikat hasil penghitungan suara
di tempat umum .
(7) PPS wajib menyerahkan 1 (satu) eksemplar berkas berita acara dan sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPS kepada PPK setempat.
Pasal 98
(1) Setelah menerima berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara, PPK
membuat berita acara penerimaan dan melakukan rekapitulasi jumlah suara
untuk tingkat kecamatan dan dapat dihadiri oleh saksi pasangan calon, panitia
pengawas, pemantau, dan warga masyarakat.
(2) Saksi pasangan calon harus membawa surat mandat dari Tim Kampanye yang
bersangkutan dan menyerahkannya kepada PPK.
(3) Pasangan calon dan warga masyarakat melalui saksi pasangan calon yang
hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara oleh
PPK apabila ternyata terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(4) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh atau melalui saksi pasangan calon,
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima, PPK seketika itu juga
mengadakan pembetulan.
(5) Setelah selesai melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara di semua PPS
dalam wilayah kerja kecamatan yang bersangkutan, PPK membuat berita acara
dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara yang ditandatangani oleh
ketua dan sekurang- kurangnya 2 (dua) orang anggota PPK serta ditandatangani
oleh saksi pasangan calon.
130
(6) PPK wajib memberikan 1 (satu) eksemplar salinan berita acara dan sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK kepada saksi pasangan calon yang
hadir dan menempelkan 1 (satu) eksemplar sertifikat hasil penghitungan suara
di tempat umum.
(7) PPK wajib menyerahkan 1 (satu) eksemplar berkas berita acara dan sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan suara di PPK kepada KPU kabupaten/kota.
Pasal 99
(1) Setelah menerima berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara, KPU
kabupaten/kota membuat berita acara penerimaan dan melakukan rekapitulasi
jumlah suara untuk tingkat kabupaten/kota dan dapat dihadiri oleh saksi
pasangan calon, panitia pengawas, pemantau, dan warga masyarakat.
(2) Saksi pasangan calon harus membawa surat mandat dari Tim Kampanye
yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada KPU kabupaten/kota.
(3) Pasangan calon dan warga masyarakat melalui saksi pasangan calon yang
hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara
oleh KPU kabupaten/kota apabila ternyata terdapat hal-hal yang tidak sesuai
dengan peraturan perundang- undangan.
(4) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh atau melalui saksi pasangan calon,
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima, KPU kabupaten/kota
seketika itu juga mengadakan pembetulan.
(5) Setelah selesai melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara di semua PPK
dalam wilayah kerja kecamatan yang bersangkutan, KPU kabupaten/kota
membuat berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara yang
ditandatangani oleh ketua dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota KPU
kabupaten/kota serta ditandatangani oleh saksi pasangan calon.
(6) KPU kabupaten/kota wajib memberikan 1 (satu) eksemplar salinan berita acara
dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di KPU kabupaten/kota
kepada saksi pasangan calon yang hadir dan menempelkan 1 (satu) eksemplar
sertifikat hasil penghitungan suara di tempat umum.
(7) KPU kabupaten/kota wajib menyerahkan 1 (satu) eksemplar berkas berita
acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di KPU kabupaten/
kota kepada KPU provinsi.
Pasal 100
(1) Dalam hal pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/
kota, berita acara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara selanjutnya
131
diputuskan dalam pleno KPU kabupaten/kota untuk menetapkan pasangan
calon terpilih.
(2) Penetapan pasangan calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada DPRD kabupaten/kota untuk diproses pengesahan dan
pengangkatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 101
(1) Setelah menerima berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara, KPU
provinsi membuat berita acara penerimaan dan melakukan rekapitulasi jumlah
suara untuk tingkat provinsi dan dapat dihadiri oleh saksi pasangan calon,
panitia pengawas, pemantau, dan warga masyarakat.
(2) Saksi pasangan calon harus membawa surat mandat dari Tim Kampanye
yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada KPU provinsi.
(3) Pasangan calon dan warga masyarakat melalui saksi pasangan calon yang
hadir dapat mengajukan keberatan terhadap jalannya penghitungan suara
oleh KPU provinsi apabila ternyata terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal keberatan yang diajukan oleh atau melalui saksi pasangan calon,
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diterima, KPU provinsi seketika
itu juga mengadakan pembetulan.
(5) Setelah selesai melakukan rekapitulasi hasil penghitungan suara di semua KPU
kabupaten/kota, KPU provinsi membuat berita acara dan sertifikat rekapitulasi
hasil penghitungan suara yang ditandatangani oleh ketua dan sekurangkurangnya 2 (dua) orang anggota KPU provinsi serta ditandatangani oleh
saksi pasangan calon.
(6) KPU provinsi wajib memberikan 1 (satu) eksemplar salinan berita acara dan
sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di KPU provinsi kepada saksi
pasangan calon yang hadir dan menempelkan 1 (satu) eksemplar sertifikat hasil
penghitungan suara di tempat umum.
Pasal 102
(1) Berita acara dan rekapitulasi hasilpenghitungan suara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 101 ayat (5) selanjutnya diputuskan dalam pleno KPU provinsi
untuk menetapkan pasangan calon terpilih.
(2) Penetapan pasangan calon terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh
KPU provinsi disampaikan kepada DPRD provinsi untuk diproses pengesahan
pengangkatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
132
Pasal 103
(1) Penghitungan ulang surat suara di TPS dilakukan apabila dari hasil penelitian
dan pemeriksaan terbukti terdapat satu atau lebih penyimpangan sebagai
berikut:
a. penghitungan suara dilakukan secara tertutup;
b. penghitungan suara
cahaya;
dilakukan di tempat yang kurang penerangan
c. saksi pasangan calon, panitia pengawas, pemantau, dan warga masyarakat
tidak dapat menyaksikan proses penghitungan suara secara jelas;
d. penghitungan suara dilakukan di tempat lain di luar tempat dan waktu
yang telah ditentukan; dan/atau
e. terjadi ketidakkonsistenan dalam menentukan surat suara yang sah dan
surat suara yang tidak sah.
(2) Penghitungan ulang surat suara dilakukan pada tingkat PPS apabila terjadi
perbedaan data jumlah suara dari TPS.
(3) Penghitungan ulang surat suara dilakukan pada tingkat PPK apabila terjadi
perbedaan data jumlah suara dari PPS.
(4) Apabila terjadi perbedaan data jumlah suara pada tingkat KPU Kabupaten/
Kota, dan KPU Provinsi, dilakukan pengecekan ulang terhadap sertifikat
rekapitulasi hasil penghitungan suara pada 1 (satu) tingkat di bawahnya.
Pasal 104
(1) Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi kerusuhan yang meng­
akibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan
suara tidak dapat dilakukan.
(2) Pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila dari hasil penelitian dan
pemeriksaan Panitia Pengawas Kecamatan terbukti terdapat satu atau lebih
dari keadaan sebagai berikut:
a. pembukaan kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan
suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan;
b. petugas KPPS meminta pemilih memberi tanda khusus, menandatangani,
atau menulis nama atau alamatnya pada surat suara yang sudah
digunakan;
133
c.
lebih dari seorang pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu kali
pada TPS yang sama atau TPS yang berbeda;
d.
petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan
oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah; dan/atau
e.
lebih dari seorang pemilih yang tidak terdaftar sebagai pemilih mendapat
kesempatan memberikan suara pada TPS.
Pasal 105
Penghitungan suara dan pemungutan suara ulang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 103 dan Pasal 104 diputuskan oleh PPK dan dilaksanakan selambatlambatnya 7 (tujuh) hari sesudah hari pemungutan suara.
Pasal 106
(1) Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung
dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil
penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.
(3) Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah provinsi dan kepada pengadilan negeri untuk pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota.
(4) Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan suara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14 (empat belas) hari sejak
diterimanya permohonan keberatan oleh Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/
Mahkamah Agung.
(5) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat
final dan mengikat.
(6) Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus
sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah kabupaten dan kota.
(7) Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6)bersifat final.
134
Paragraf Kelima
Penetapan Calon Terpilih dan Pelantikan
Pasal 107
(1) Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh
suara lebih dari 50 % (lima puluh persen) jumlah suara sah ditetapkan
sebagai pasangan calon terpilih.
(2) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi,
pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh
suara lebih dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah suara sah,
pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar dinyatakan sebagai pasangan
calon terpilih.
(3) Dalam hal pasangan calon yang perolehan suara terbesar sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) terdapat lebih dari satu pasangan calon yang perolehan suaranya
sama, penentuan pasangan calon terpilih dilakukan berdasarkan wilayah
perolehan suara yang lebih luas.
(4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi,
atau tidak ada yang mencapai 25 % (dua puluh lima persen) dari jumlah suara
sah, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pemenang pertama
dan pemenang kedua.
(5) Apabila pemenang pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh dua
pasangan calon, kedua pasangan calon tersebut berhak mengikuti pemilihan
putaran kedua.
(6) Apabila pemenang pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh oleh
tiga pasangan calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua
dilakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas.
(7) Apabila pemenang kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh
oleh lebih dari satu pasangan calon, penentuannya dilakukan berdasarkan
wilayah perolehan suara yang lebih luas.
(8) Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh
suara terbanyak pada putaran kedua dinyatakan sebagai pasangan calon
terpilih.
Pasal 108
(1) Dalam hal calon wakil kepala daerah terpilih berhalangan tetap, calon kepala
daerah terpilih dilantik menjadi kepala daerah.
135
(2) Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengusulkan dua calon
wakil kepala daerah kepada DPRD untuk dipilih.
(3) Dalam hal calon kepala daerah terpilih berhalangan tetap, calon wakil kepala
daerah terpilih dilantik menjadi kepala daerah.
(4) Kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengusulkan dua calon
wakil kepala daerah kepada DPRD untuk dipilih.
(5) Dalam hal pasangan calon terpilih berhalangan tetap, partai politik atau
gabungan partai politik yang pasangan calonnya meraih suara terbanyak
pertama dan kedua mengusulkan pasangan calon kepada DPRD untuk dipilih
menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah selambat-lambatnya dalam
waktu 60 (enam puluh) hari.
(6) Untuk memilih wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (4), pemilihannya dilakukan selambat- lambatnya dalam waktu 60 (enam
puluh) hari.
Pasal 109
(1) Pengesahan pengangkatan pasangan calon Gubernur dan wakil Gubernur terpilih
dilakukan oleh Presiden selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari.
(2) Pengesahan pengangkatan pasangan calon bupati dan wakil bupati atau walikota
dan wakil walikota terpilih dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama
Presiden selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari.
(3) Pasangan calon Gubernur dan wakil Gubernur terpilih diusulkan oleh DPRD
provinsi, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari, kepada Presiden melalui
Menteri Dalam Negeri berdasarkan berita acara penetapan pasangan calon
terpilih dari KPU provinsi untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan.
(4) Pasangan calon bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota
diusulkan oleh DPRD kabupaten/kota, selambat- lambatnya dalam waktu 3
(tiga) hari, kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur berdasarkan berita
acara penetapan pasangan calon terpilih dari KPU kabupaten/kota untuk
mendapatkan pengesahan pengangkatan.
Pasal 110
(1) Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebelum memangku jabatannya
dilantik dengan mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pejabat yang
melantik.
136
(2) Sumpah/janji kepaladaerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
“Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban
saya sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah dengan sebaik-baiknya
dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan
peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat,
nusa dan bangsa.”
(3) Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak pelantikan dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu
kali masa jabatan.
Pasal 111
(1) Gubernur dan wakil Gubernur dilantik oleh Menteri Dalam Negeri atas nama
Presiden.
(2) Bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota dilantik oleh Gubernur
atas nama Presiden.
(3) Pelantikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan
dalam Rapat Paripurna DPRD.
(4) Tata cara pelantikan dan pengaturan selanjutnya diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 112
Biaya kegiatan Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dibebankan
pada APBD.
Paragraf Keenam
Pemantauan Pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah
Pasal 113
(1) Pemantauan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat dilakukan
oleh pemantau pemilihan yang meliputi lembaga swadaya masyarakat, dan
badan hukum dalam negeri.
(2) Pemantau pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi
persyaratan yang meliputi:
137
a.
bersifat independen; dan
b.
mempunyai sumber dana yang jelas.
(3) Pemantau pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
harus mendaftarkan dan memperoleh akreditasi dari KPUD.
Pasal 114
(1) Pemantau pemilihan wajib menyampaikan laporan hasil pemantauanya kepada
KPUD paling lambat 7 (tujuh) hari setelah pelantikan kepala daerah dan wakil
kepala daerah terpilih.
(2) Pemantau pemilihan wajib mematuhi segala peraturan perundang-undangan.
(3) Pemantau pemilihan yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan/atau tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 113 dicabut haknya sebagai pemantau pemilihan dan/atau
dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.
(4) Tata cara untuk menjadi pemantau pemilihan dan pemantauan pemilihan
serta pencabutan hak sebagai pemantau diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf Ketujuh
Ketentuan Pidana Pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah
Pasal 115
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar
mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan
untuk pengisian daftar pemilih, diancam dengan pidana penjara paling singkat
15 (lima belas) hari dan paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000,00
(satu juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak
pilihnya dan orang yang kehilangan hak pilihnya tersebut mengadukan, diancam
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) dan
paling banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan surat yang menurut suatu aturan
dalam Undang-Undang ini diperlukan untuk menjalankan suatu perbuatan dengan
maksud untuk digunakan sendiri atau orang lain sebagai seolah-olah surat sah
138
atau tidak dipalsukan, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
bulan dan paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000,00
(enam juta rupiah).
(4) Setiap orang yang dengan sengaja dan mengetahui bahwa suatu surat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) adalah tidak sah atau dipalsukan, menggunakannya,
atau menyuruh orang lain menggunakannya sebagai surat sah, diancam dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 18 (delapan belas)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah)
dan paling banyak Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah).
(5) Setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekuasaan yang
ada padanya saat pendaftaran pemilih menghalang-halangi seseorang untuk
terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilihan kepala daerah menurut undangundang ini, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan
paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.
600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000,00 (enam
juta rupiah).
(6) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar
atau menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai surat yang sah tentang
suatu hal yang diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi Pasangan calon
kepala daerah/wakilkepala daerah, diancam dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp. 600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp.
6.000.000,00 (enam juta rupiah).
Pasal 116
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kampanye di luar jadwal waktu
yang telah ditetapkan oleh KPUD untuk masing- masing pasangan calon
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) diancam dengan pidana penjara
paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan
kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, huruf e dan huruf f diancam dengan pidana penjara paling singkat
3 (tiga) bulan atau paling lama 18 (delapan belas) bulan dan/atau denda
139
paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan
kampanye pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 78 huruf g, huruf h, huruf i dan huruf j dan Pasal 79
ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), diancam dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah).
(4) Setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri
dan kepala desa yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 83 diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.
600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) ataupalingbanyak Rp. 6.000.000,00 (enam
juta rupiah).
(5) Setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu
jalannya kampanye, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.
600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp. 6.000.000,00
(enam juta rupiah).
(6) Setiap orang yang memberi atau menerima dana kampanye melebihi batas
yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3), diancam dengan
pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 24 (dua puluh
empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(7) Setiap orang yang dengan sengaja menerima atau memberi dana kampanye dari
atau kepada pihak-pihak yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85
ayat (1), dan/atau tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 85 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat)
bulan atau paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(8) Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar
dalam laporan dana kampanye sebagaimana diwajibkan oleh Undang-Undang
ini, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan atau paling
lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah) atau paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
140
Pasal 117
(1) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman
kekerasan dan menghalang-halangi seseorang yang akan melakukan haknya
untuk memilih, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan
paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00
(satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau
materi lainnyakepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau
memilihPasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara
tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana
penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling
banyak Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(3) Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja mengaku
dirinya sebagai orang lain untuk menggunakan hak pilih, diancam dengan pidana
penjara paling singkat 15 (lima belas) hari dan paling lama 60 (enam puluh)
hari dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000,00 ( satu juta rupiah).
(4) Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja memberikan
suaranya lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS, diancam dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) bulan dan/
atau denda paling sedikit Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) dan paling
banyak Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(5) Setiap orang yang dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara diancam
dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama
3 (tiga) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(6) Seorang majikan atau atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada
seorang pekerja untuk memberikan suaranya, kecuali dengan alasan bahwa
pekerjaan tersebut tidak bisa ditinggalkan, diancam dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(7) Setiap orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara mendampingi
seorang pemilih selain yang diatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89
ayat (1), diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling
141
lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00
(satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(8) Setiap orang yang bertugas membantu pemilih sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 89 ayat (2) dengan sengaja memberitahukan pilihan si pemilih kepada
orang lain, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan
paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00
(satu juta rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Pasal 118
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan
suara seorang pemilih menjadi tidak berharga ataumenyebabkan Pasangan
calon tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suaranya berkurang,
diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) bulan dan paling lama
1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja merusak atau menghilangkan hasil pemungutan
suara yang sudah disegel, diancam dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) bulan atau paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling sedikit
Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan paling banyak Rp. 20.000.000,00
(dua puluh juta rupiah).
(3) Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan rusak atau hilangnya hasil
pemungutan suara yang sudah disegel, diancam dengan pidana penjara paling
singkat 15 (lima belas) hari dan paling lama 2 (dua) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(4) Setiap orang yang dengan sengaja mengubah hasil penghitungan suara dan/
atau berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara, diancam dengan
pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 3 (tiga) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 119
Jika tindak pidana dilakukan dengan sengaja oleh penyelenggara atau pasangan
calon, ancaman pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari pidana yang diatur dalam
Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, dan Pasal 118.
142
Bagian Kesembilan
Perangkat Daerah
Pasal 120
(1) Perangkat daerah provinsi terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD,
dinas daerah, dan lembaga teknis daerah.
(2) Perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat
DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan.
Pasal 121
(1) Sekretariat daerah dipimpin oleh Sekretaris Daerah.
(2) Sekretaris daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas
dan kewajiban membantu kepala daerah dalam menyusun kebijakan dan
mengkoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah.
(3) Dalam pelaksanaan tugas dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), sekretaris daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah.
(4) Apabila sekretaris daerah berhalangan melaksanakan tugasnya, tugas sekretaris
daerah dilaksanakan oleh pejabat yang ditunjuk oleh kepala daerah.
Pasal 122
(1) Sekretaris Daerah diangkat dari pegawai negeri sipil yang memenuhi
persyaratan.
(2) Sekretaris Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk provinsi diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Gubernur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(3) Sekretaris Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kabupaten/
kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usulBupati/Walikota
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Sekretaris Daerah karena kedudukannya sebagai pembina pengawai negeri sipil
di daerahnya.
Pasal 123
(1) Sekretariat DPRD dipimpin oleh Sekretaris DPRD.
(2) Sekretaris DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan
oleh Gubernur/Bupati/Walikota dengan persetujuan DPRD.
(3) Sekretaris DPRD mempunyai tugas:
143
a. menyelenggarakan administrasi kesekretariatan DPRD;
b. menyelenggarakan administrasi keuangan DPRD;
c. mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD; dan
d. menyediakan dan mengkoordinasi tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD
dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan kemampuan keuangan
daerah.
(4) Sekretaris DPRD dalam menyediakan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf d wajib meminta pertimbangan pimpinan DPRD.
(5) Sekretaris DPRD dalam melaksanakan tugasnya secara teknis operasional
berada dibawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan DPRD dan secara
administratif bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui Sekretaris
Daerah.
(6) Susunan organisasi sekretariat DPRD ditetapkan dalam peraturan daerah
berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
Pasal 124
(1) Dinas daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah.
(2) Dinas daerah dipimpin oleh kepala dinas yang diangkat dan diberhentikan
oleh kepala daerah dari pegawai negeri sipil yang memenuhi syarat atas usul
Sekretaris Daerah.
(3) Kepala dinas daerah bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui Sekretaris
Daerah.
Pasal 125
(1) Lembaga teknis daerah merupakan unsur pendukung tugas kepala daerah dalam
penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik berbentuk
badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah.
(2) Badan, kantor atau rumah sakit umum daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dipimpin oleh kepala badan, kepala kantor, atau kepala rumah sakit
umum daerah yang diangkat oleh kepala daerah dari pegawai negeri sipil
yang memenuhi syarat atas usul Sekretaris Daerah.
(3) Kepala badan, kantor, atau rumah sakit umum daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) bertanggung jawab kepada kepala daerah melalui Sekretaris
Daerah.
144
Pasal 126
(1) Kecamatan dibentuk di wilayah kabupaten/kota dengan Perda berpedoman
pada Peraturan Pemerintah.
(2) Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh camat yang
dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang
bupati atau walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah.
(3) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) camat juga menyelenggarakan
tugas umum pemerintahan meliputi:
a. mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;
b. mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban
umum;
c. mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundangundangan;
d. mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan
umum;
e.
mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat
kecamatan;
f.
membinapenyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan;
g. melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya
dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau
kelurahan.
(4) Camat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat oleh Bupati/Walikota atas
usul sekretaris daerah kabupaten/kota dari pegawai negeri sipil yang menguasai
pengetahuan teknis pemerintahandan memenuhi persyaratan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(5) Camat dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3) dibantu oleh perangkat kecamatan dan bertanggung jawab kepada
Bupati/Walikota melalui Sekretaris Daerah kabupaten/kota.
(6) Perangkat kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bertanggung jawab
kepada camat.
(7) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4),
ayat (5), dan ayat (6) ditetapkan dengan peraturan bupati atau walikota dengan
berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
145
Pasal 127
(1) Kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan dengan Perda berpedoman pada
Peraturan Pemerintah.
(2) Kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh lurah yang dalam
pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari Bupati/Walikota.
(3) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) lurah mempunyai tugas:
a. pelaksanaan kegiatan pemerintahan kelurahan;
b. pemberdayaan masyarakat;
c. pelayanan masyarakat;
d. penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum; dan
e. pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum.
(4) Lurah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat oleh Bupati/Walikota
atas usul Camat dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis
pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
(5) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Lurah
bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Camat.
(6) Lurah dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dibantu oleh perangkat kelurahan.
(7) Perangkat kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bertanggung jawab
kepada Lurah.
(8) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas Lurah sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), dapat dibentuk lembaga lainnya sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan
dengan Perda.
(9) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat
(4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) ditetapkan dengan peraturan bupati atau
walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 128
(1) Susunan organisasi perangkat daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120
ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dalam Perda dengan memperhatikan faktorfaktor tertentu dan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
(2) Pengendalian organisasi perangkat daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Pemerintah untuk provinsi dan oleh Gubernur untuk kabupaten/
kota dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
146
(3) Formasi dan persyaratan jabatan perangkat daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan
Kepala Daerah dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
BAB V
KEPEGAWAIAN DAERAH
Pasal 129
(1) Pemerintah melaksanakan pembinaan manajemen pegawai negeri sipil daerah
dalam satu kesatuan penyelenggaraan manajemen pegawai negeri sipil secara
nasional.
(2) Manajemen pegawai negeri sipil daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan,
pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan
kewajiban kedudukan hukum, pengembangan kompetensi, dan pengendalian
jumlah.
Pasal 130
(1) Pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon
II pada pemerintah daerah provinsi ditetapkan oleh Gubernur.
(2) Pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon
II pada pemerintah daerah kabupaten/kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota
setelah berkonsultasi kepada Gubernur.
Pasal 131
(1) Perpindahan pegawai negeri sipil antar kabupaten/kota dalam satu provinsi
ditetapkan oleh Gubernur setelah memperoleh pertimbangan Kepala Badan
Kepegawaian Negara.
(2) Perpindahan pegawai negeri sipil antar kabupaten/kota antar provinsi, dan
antar provinsi ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah memperoleh
pertimbangan Kepala Badan Kepegawaian Negara.
(3) Perpindahan pegawai negeri sipil provinsi/kabupaten/kota ke departemen/
lembaga pemerintah non departemen atau sebaliknya,ditetapkan oleh Menteri
Dalam Negeri setelah memperoleh pertimbangan Kepala Badan Kepegawaian
Negara.
147
Pasal 132
Penetapan formasi pegawainegerisipil daerah provinsi/kabupaten/kota setiap
tahun anggaran dilaksanakan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara atas
usul Gubernur.
Pasal 133
Pengembangan karir pegawai negeri sipil daerah mempertimbangkan integritas
dan moralitas, pendidikan dan pelatihan, pangkat, mutasi jabatan, mutasi antar
daerah, dan kompetensi.
Pasal 134
(1) Gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil daerah dibebankan pada APBD yang
bersumber dari alokasi dasar dalam dana alokasi umum.
(2) Penghitungan dan penyesuaian besaran alokasi dasar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) akibat pengangkatan, pemberhentian, dan pemindahan pegawai
negeri sipil daerah dilaksanakan setiap tahun.
(3) Penghitungan alokasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dalam Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat Dan Pemerintahan Daerah.
(4) Pemerintah melakukan pemutakhiran data pengangkatan, pemberhentian, dan
pemindahan pegawai negeri sipil daerah untuk penghitungan dan penyesuaian
alokasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 135
(1) Pembinaan dan pengawasan manajemen pegawai negeri sipil daerah
dikoordinasikan pada tingkat nasional oleh Menteri Dalam Negeri dan pada
tingkat daerah oleh Gubernur.
(2) Standar, norma, dan prosedur pembinaan dan pengawasan manajemen pegawai
negeri sipil daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
PERATURAN DAERAH DAN PERATURAN KEPALA DAERAH
Pasal 136
(1) Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama
DPRD.
148
(2) Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/
kabupaten/kota dan tugas pembantuan.
(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut
dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan
ciri khas masing-masing daerah.
(4) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
(5) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku setelah diundangkan
dalam lembaran daerah.
Pasal 137
Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yang meliputi:
a.
kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c.
kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e.
kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f.
kejelasan rumusan; dan
g.
keterbukaan.
Pasal 138
(1) Materi muatan Perda mengandung asas:
a.
pengayoman;
b.
kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d.
kekeluargaan;
e.
kenusantaraan;
f.
bhineka tunggal ika;
g.
keadilan;
h.
kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i.
ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j.
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
149
(2) Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perda dapat memuat
asas lain sesuai dengan substansi Perda yang bersangkutan.
Pasal 139
(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka
penyiapan atau pembahasan rancangan Perda.
(2) Persiapan pembentukan, pembahasan, dan pengesahan rancangan Perda
berpedoman kepada peraturan perundang-undangan.
Pasal 140
(1) Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD, Gubernur, atau Bupati/Walikota.
(2) Apabila dalam satu masa sidang, DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota
menyampaikan rancangan Perda mengenai materi yang sama maka yang dibahas
adalah rancangan Perda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan
Perda yang disampaikan Gubernur atau Bupati/Walikota digunakan sebagai
bahan untuk dipersandingkan.
(3) Tata cara mempersiapkan rancangan Perda yang berasal dari Gubernur atau
Bupati/Walikota diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 141
(1) Rancangan Perda disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau
alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan Perda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD.
Pasal 142
(1) Penyebarluasan rancangan Perda yang berasal dari DPRD dilaksanakan oleh
sekretariat DPRD.
(2) Penyebarluasan rancangan Perda yang berasal dari Gubernur, atau Bupati/
Walikota dilaksanakan oleh sekretariat daerah.
Pasal 143
(1) Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan
hukum, seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan peraturan
perundangan.
(2) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan
atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
150
(3) Perda dapat memuat ancaman pidana atau denda selain sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundangan
lainnya.
Pasal 144
(1) Rancangan Perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur
atau Bupati/Walikota disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Gubernur atau
Bupati/Walikota untuk ditetapkan sebagai Perda.
(2) Penyampaian rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan
bersama.
(3) Rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan
oleh Gubernur atau Bupati/Walikota paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
rancangan tersebut disetujui bersama.
(4) Dalam hal rancangan Perda tidak ditetapkan Gubernur atau Bupati/Walikota
dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) rancangan Perda tersebut
sah menjadi Perda dan wajib diundangkan dengan memuatnya dalam lembaran
daerah.
(5) Dalam hal sahnya rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
rumusan kalimat pengesahannya berbunyi, “Perda ini dinyatakan sah,” dengan
mencantumkan tanggal sahnya.
(6) Kalimat pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus dibubuhkan
pada halaman terakhir Perda sebelum pengundangan naskah Perda ke dalam
lembaran daerah.
Pasal 145
(1) Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah
ditetapkan.
(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
(3) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya
Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan
selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud.
151
(5) Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan
Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan
oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan
keberatan kepada Mahkamah Agung.
(6) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan sebagian
atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan
Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
(7) Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan
Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda dimaksud dinyatakan
berlaku.
Pasal 146
(1) Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundang-undangan,
kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan
kepala daerah.
(2) Peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilarang bertentangan dengan kepentingan umum,
Perda, dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pasal 147
(1) Perda diundangkan dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah
diundangkan dalam Berita Daerah.
(2) Pengundangan Perda dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah
dalam Berita Daerah dilakukan oleh Sekretaris Daerah.
(3) Pemerintah daerah wajib menyebarluaskan Perda yang telah diundangkan
dalam Lembaran Daerah dan Peraturan Kepala Daerah yang telah diundangkan
dalam Berita Daerah.
Pasal 148
(1) Untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan Perda dan penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong
Praja.
(2) Pembentukan dan susunan organisasi Satuan Polisi Pamong Praja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
Pasal 149
(1) Anggota Satuan Polisi Pamong Praja dapat diangkat sebagai penyidik pegawai
negeri sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
152
(2) Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran atas ketentuan Perda
dilakukan oleh pejabat penyidik dan penuntut umum sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(3) Dengan Perda dapat juga ditunjuk pejabat lain yang diberi tugas untuk melakukan
penyidikan terhadap pelanggaran atas ketentuan Perda.
BAB VII
PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
Pasal 150
(1) Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah disusun perencanaan
pembangunan daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan
pembangunan nasional.
(2) Perencanaan pembangunan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusunoleh pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota sesuai dengan
kewenangannya yang dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah.
(3) Perencanaan pembangunan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
disusun secara berjangka meliputi:
a. Rencana pembangunan jangka panjang daerah disingkat dengan RPJP
daerah untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun yang memuat visi, misi,
dan arah pembangunan daerah yang mengacu kepada RPJP nasional;
b. Rencana pembangunan jangka menengah daerah yang selanjutnya disebut
RPJM daerah untuk jangka waktu 5 (lima) tahun merupakan penjabaran dari
visi, misi, dan program kepala daerah yang penyusunannya berpedoman
kepada RPJP daerah dengan memperhatikan RPJM nasional;
c. RPJM daerah sebagaimana dimaksud pada huruf b memuat arah kebijakan
keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, dan
program satuan kerja perangkat daerah, lintas satuan kerja perangkat
daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana kerja dalam
kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif;
d. Rencana kerja pembangunan daerah, selanjutnya disebut RKPD,
merupakan penjabaran dari RPJM daerah untuk jangka waktu 1 (satu)
tahun, yang memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas
pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang
dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun ditempuh dengan
153
mendorong partisipasi masyarakat, dengan mengacu kepada rencana kerja
Pemerintah;
e. RPJP daerah dan RJMD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan
b ditetapkan dengan Perda berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
Pasal 151
(1) Satuan kerja perangkat daerah menyusun rencana stratregis yang selanjutnya
disebut Renstra-SKPD memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program
dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsinya, berpedoman
pada RPJM Daerah dan bersifat indikatif.
(2) Renstra-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dirumuskan dalam bentuk
rencana kerja satuan kerja perangkat daerah yang memuat kebijakan, program,
dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah
daerah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
Pasal 152
(1) Perencanaan pembangunanan daerah didasarkan pada data dan informasi
yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
(2) Data
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
dan informasi sebagaimana dimaksud padaayat (1) mencakup:
penyelenggaraan pemerintahan daerah;
organisasi dan tata laksana pemerintahan daerah;
kepala daerah, DPRD, perangkat daerah, dan PNS daerah;
keuangan daerah;
potensi sumber daya daerah;
produk hukum daerah;
kependudukan;
informasi dasar kewilayahan; dan
informasi lain terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
(3) Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, untuk tercapainya daya
guna dan hasil guna, pemanfaatan data dan informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dikelola dalam sistem informasi daerah yang terintegrasi secara
nasional.
Pasal 153
Perencanaan pembangunan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
152 disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan.
154
Pasal 154
Tahapan, tata cara penyusunan, pengendalian, dan evaluasi pelaksanaan
rencana pembangunan daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah yang
berpedoman pada perundang-undangan.
BAB VIII
KEUANGAN DAERAH
Paragraf Kesatu
Umum
Pasal 155
(1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
didanai dari dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja daerah.
(2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di
daerah didanai dari dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara.
(3) Administrasi pendanaan penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terpisah dari administrasi pendanaan
penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 156
(1) Kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah.
(2) Dalam melaksanakan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala
daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya yang berupa
perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban,
serta pengawasan keuangan daerah kepada para pejabat perangkat daerah.
(3) Pelimpahan sebagianatau seluruh kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) didasarkan pada prinsip pemisahan kewenangan antara yang memerintahkan,
menguji, dan yang menerima/mengeluarkan uang.
Paragraf Kedua
Pendapatan, Belanja, dan Pembiayaan
Pasal 157
Sumber pendapatan daerah terdiri atas:
a. pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu:
155
1) hasil pajak daerah;
2) hasil retribusi daerah;
3) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
4) lain-lain PAD yang sah;
b. dana perimbangan; dan
c. lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Pasal 158
(1) Pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan Undang- Undang yang
pelaksanaannya di daerah diatur lebih lanjut dengan Perda.
(2) Pemerintahan daerah dilarang melakukan pungutan atau dengan sebutan lain di
luar yang telah ditetapkan undang-undang.
(3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 157 huruf a angka 3 dan lain-lain PAD yang sah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 157 huruf a angka 4 ditetapkan dengan Perda berpedoman pada
peraturan perundang- undangan.
Pasal 159
Dana perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 huruf b terdiri
atas:
a. Dana Bagi Hasil;
b. Dana Alokasi Umum; dan
c. Dana Alokasi Khusus.
Pasal 160
(1) Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 huruf a bersumber dari
pajak dan sumber daya alam.
(2) Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri dari:
a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor perdesaan, perkotaan, perkebunan,
pertambangan serta kehutanan;
b.
Bea Perolehan Atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) sektor perdesaan,
perkotaan, perkebunan, pertambangan serta kehutanan;
c.
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, Pasal 25, dan Pasal 29 wajib pajak orang
pribadi dalam negeri.
156
(3) Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berasal dari:
a. Penerimaan kehutana yang berasal dari iuran hak pengusahaan hutan (IHPH),
provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi yang dihasilkan dari
wilayah daerah yang bersangkutan;
b. Penerimaan pertambangan umum yang berasal dari penerimaan iuran
tetap (landrent) dan penerimaan iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi
(royalty) yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan;
c. Penerimaan perikanan yang diterima secara nasional yang dihasilkan dari
penerimaan pungutan pengusahaan perikanan dan penerimaan pungutan
hasil perikanan;
d. Penerimaan pertambangan minyak yang dihasilkan dari wilayah daerah
yang bersangkutan;
e. Penerimaan pertambangan gas alam yang dihasilkan dari wilayah daerah
yang bersangkutan;
f.
Penerimaan pertambangan panas bumi yang berasal dari penerimaan
setoran bagian Pemerintah, iuran tetap dan iuran produksi yang dihasilkan
dari wilayah daerah yang bersangkutan.
(4) Daerah penghasil sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri berdasarkan pertimbangan dari
menteri teknis terkait.
(5) Dasar penghitungan bagian daerah dari daerah penghasil sumber daya alam
ditetapkan oleh Menteri Teknis terkait setelah memperoleh pertimbangan
Menteri Dalam Negeri.
(6) Pelaksanaan ketentuan pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5)
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 161
(1) DAU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 huruf b dialokasikan berdasarkan
persentase tertentu dari pendapatan dalam negeri neto yang ditetapkan dalam
APBN.
(2) DAU untuk suatu daerah ditetapkan berdasarkan kriteria tertentu yang
menekankan pada aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang formula dan penghitungan DAUnya ditetapkan sesuai Undang-Undang.
157
Pasal 162
(1) Dana Alokasi Khusus (DAK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 huruf c
dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu dalam rangka pendanaan
pelaksanaan desentralisasi untuk:
a. mendanai kegiatan khusus yang ditentukan Pemerintah atas dasar
prioritas nasional;
b. mendanai kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu.
(2) Penyusunan kegiatan khusus yang ditentukan oleh Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dikoordinasikan dengan Gubernur.
(3) Penyusunan kegiatan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan setelah dikoordinasikan oleh daerah yang bersangkutan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai DAK diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 163
(1) Pedoman penggunaan, supervisi, monitoring, dan evaluasi atas dana bagi
hasil pajak, dana bagi hasil sumber daya alam, DAU, dan DAK diatur dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri.
(2) Pengaturan lebih lanjut mengenai pembagian dana perimbangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 157 huruf b ditetapkan dalam Undang-Undang tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Pasal 164
(1) Lain-lain pendapatan daerah yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
156 huruf c merupakan seluruh pendapatan daerah selain PAD dan dana
perimbangan, yang meliputi hibah, dana darurat, dan lain-lain pendapatan
yang ditetapkan Pemerintah.
(2) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bantuan berupa uang,
barang, dan/atau jasa yangberasal dari Pemerintah, masyarakat, dan badan
usaha dalam negeri atau luar negeri.
(3) Pendapatan dana darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
bantuan Pemerintah dari APBN kepada pemerintah daerah untuk mendanai
keperluan mendesak yang diakibatkan peristiwa tertentu yang tidak dapat
ditanggulangi APBD.
Pasal 165
(1) Keadaan yang dapat digolongkan sebagai peristiwa tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 164 ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
158
(2) Besarnya alokasi dana darurat ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan
memperhatikan pertimbangan Menteri Dalam Negeri dan Menteri teknis
terkait.
(3) Tata cara pengelolaan dan pertanggungjawaban penggunaan dana darurat diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 166
(1) Pemerintah dapat mengalokasikan dana darurat kepada daerah yang dinyatakan
mengalami krisis keuangan daerah, yang tidak mampu diatasi sendiri, sehingga
mengancam keberadaannya sebagai daerah otonom.
(2) Tata cara pengajuan permohonan, evaluasi oleh Pemerintah, dan pengalokasian
dana darurat di atur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 167
(1) Belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22.
(2) Perlindungan dan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan
dasar, pendidikan, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas sosial
dan fasilitas umum yang layak, serta mengembangkan sistem jaminan sosial.
(3) Belanjadaerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan analisis
standar belanja, standar harga, tolok ukur kinerja, dan standar pelayanan
minimal yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 168
(1) Belanja kepala daerah dan wakil kepala daerah diatur dalam Perda yang
berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
(2) Belanja pimpinan dan anggota DPRD diatur dalam Perda yang berpedoman
pada Peraturan Pemerintah.
Pasal 169
(1) Untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintah daerah
dapat melakukan pinjaman yang bersumber dari Pemerintah, pemerintah
daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan
masyarakat.
(2) Pemerintah daerah dengan persetujuan DPRD dapat menerbitkan obligasi
daerah untuk membiayai investasi yang menghasilkan penerimaan daerah.
159
Pasal 170
(1) Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman yang berasal dari penerusan
pinjaman hutang luar negeri dari Menteri Keuangan atas nama Pemerintah
setelah memperoleh pertimbangan Menteri Dalam Negeri.
(2) Perjanjian penerusan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
antara Menteri Keuangan dan kepala daerah.
Pasal 171
(1) Ketentuan mengenai pinjaman daerah dan obligasi daerah diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(2) Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
mengatur tentang:
a. persyaratan bagi pemerintahdaerah dalam melakukan pinjaman;
b. penganggaran kewajiban pinjaman daerah yang jatuh tempo dalam
APBD;
c. pengenaaan sanksi dalam hal pemerintah daerah tidak pinjaman
kepada lembaga perbankan, serta lembaga keuangan bukan bank dan
masyarakat;
d.
tata cara pelaporan posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban pinjaman
setiap semester dalam tahun anggaran berjalan;
e. persyaratan penerbitan obligasi daerah, pembayaran bunga dan pokok
obligasi;
f.
pengelolaan obligasi daerah yang mencakup pengendalian risiko, penjualan
dan pembelian obligasi, pelunasan dan penganggaran dalam APBD.
Pasal 172
(1) Pemerintah daerah dapat membentuk dana cadangan guna membiayai
kebutuhan tertentu yang dananya tidak dapat disediakan dalam satu tahun
anggaran.
(2) Pengaturan tentang
Pemerintah.
dana
cadangan
daerah ditetapkan dengan Peraturan
(3) Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya
mengatur persyaratan pembentukan dana cadangan, serta pengelolaan dan
pertanggungjawabannya.
160
Pasal 173
(1) Pemerintah daerah dapat melakukan penyertaan modal pada suatu Badan
Usaha Milik Pemerintah dan/atau milik swasta.
(2) Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditambah,
dikurangi, dijual kepada pihak lain, dan/atau dapat dialihkan kepada badan
usaha milik daerah.
(3) Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Paragraf Ketiga
Surplus dan Defisit APBD
Pasal 174
(1) Dalam hal APBD diperkirakan surplus, penggunaannya ditetapkan dalam Perda
tentang APBD.
(2) Surplus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan untuk:
a. pembayaran cicilan pokok utang yang jatuh tempo;
b. penyertaan modal (investasi daerah);
c. transfer ke rekening dana cadangan.
(3) Dalam hal APBD diperkirakan defisit, dapat didanai dari sumber pembiayaan
daerah yang ditetapkan dalam Perda tentang APBD.
(4) Pembiayaan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersumber dari:
a. sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu;
b. transfer dari dana cadangan;
c. hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
d. pinjaman daerah.
Pasal 175
(1) Menteri Dalam Negeri melakukan pengendalian defisit anggaran setiap daerah.
(2) Pemerintah daerah wajib melaporkan posisi surplus/defisit APBD kepada Menteri
Dalam Negeri dan Menteri Keuangan setiap semester dalam tahun anggaran
berjalan.
(3) Dalam hal pemerintah daerah tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Pemerintah dapat melakukan penundaan atas penyaluran dana
perimbangan.
161
Paragraf Keempat
Pemberian Insentif dan Kemudahan Investasi
Pasal 176
Pemerintah daerah dalam meningkatkan perekonomian daerah dapat
memberikan insentif dan/atau kemudahan kepada masyarakat dan/atau investor
yang diatur dalam Perda dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Paragraf Kelima
BUMD
Pasal 177
Pemerintah daerah dapat memiliki BUMD yang pembentukan, penggabungan,
pelepasan kepemilikan, dan/atau pembubarannya ditetapkan dengan Perda yang
berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Paragraf Keenam
Pengelolaan Barang Daerah
Pasal 178
(1) Barang milik daerah yang dipergunakan untukmelayani kepentingan umum
tidak dapat dijual, diserahkan haknya kepada pihak lain, dijadikan tanggungan,
atau digadaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Barang milik daerah dapat dihapuskan dari daftar inventaris barang daerah
untuk dijual, dihibahkan, dan/atau dimusnahkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Pelaksanaan pengadaan barang dilakukan sesuai dengan kemampuan keuangan
dan kebutuhan daerah berdasarkan prinsip efisiensi, efektivitas, dan transparansi
dengan mengutamakan produk dalam negeri sesuai dengan peraturan perundangundangan.
(4) Pelaksanaan penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
berdasarkan kebutuhan daerah, mutu barang, usia pakai, dan nilai ekonomis
yang dilakukan secara transparan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
162
Paragraf Ketujuh
APBD
Pasal 179
APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu)
tahun anggaran terhitung mulai 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember.
Pasal 180
(1) Kepala daerah dalam penyusunan rancangan APBD menetapkan prioritas dan
plafon anggaran sebagai dasar penyusunan rencana kerja dan anggaran satuan
kerja perangkat daerah.
(2) Berdasarkan prioritas dan plafon anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepala satuan kerja perangkat daerah menyusun rencana kerja dan anggaran
satuan kerja perangkat daerah dengan pendekatan berdasarkan prestasi kerja
yang akan dicapai.
(3) Rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah
sebagai bahan penyusunan rancangan Perda tentang APBD tahun berikutnya.
Pasal 181
(1) Kepala daerah mengajukan rancangan Perda tentang APBD disertai penjelasan
dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD untuk memperoleh
persetujuan bersama.
(2) Rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibahas pemerintah
daerah bersama DPRD berdasarkan kebijakan umum APBD, serta prioritas dan
plafon anggaran.
(3) Pengambilan keputusan DPRD untuk menyetujui rancangan Perda sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum
tahun anggaran dilaksanakan.
(4) Atas dasar persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kepala daerah
menyiapkan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBDdan
rancangan dokumen pelaksanaan anggaran satuan kerja perangkat daerah.
Pasal 182
Tata cara penyusunan rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat
daerah serta tata cara penyusunan dokumen pelaksanaan anggaran satuan kerja
perangkat daerah diatur dalam Perda yang berpedoman pada peraturan perundangundangan.
163
Paragraf Kedelapan
Perubahan APBD
Pasal 183
(1) Perubahan APBD dapat dilakukan apabila terjadi:
a. perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum APBD;
b. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar
unit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja; dan
c.
keadaan yang menyebabkan sisa lebih perhitungan anggaran tahun
sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan dalam tahun anggaran
berjalan.
(2) Pemerintah daerah mengajukan rancangan Perda tentang perubahan APBD,
disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD.
(3) Pengambilan keputusan mengenai rancangan Perda tentang perubahan APBD
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh DPRD paling lambat 3 (tiga)
bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir.
Paragraf Kesembilan
Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD
Pasal 184
(1) Kepala daerah menyampaikan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa
oleh Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun
anggaran berakhir.
(2) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang- kurangnya
meliputi laporan realisasi APBD, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas
laporan keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan badan usaha milik
daerah.
(3) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dan disajikan
sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
164
Paragraf Kesepuluh
Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah dan
Peraturan Kepala Daerah tentang APBD, Perubahan APBD dan
Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD
Pasal 185
(1) Rancangan Perda provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan
rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan
oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam
Negeri untuk dievaluasi.
(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri
Dalam Negeri kepada Gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung
sejak diterimanya rancangan dimaksud.
(3) Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda
tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD
sudah sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi, Gubernur menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda
dan Peraturan Gubernur.
(4) Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda
tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD
bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi, Gubernur bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling
lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi.
(5) Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur dan DPRD, dan
Gubernur tetap menetapkan rancangan Perda tentang APBD dan rancangan
Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD menjadi Perda dan Peraturan
Gubernur, Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda dan Peraturan Gubernur
dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.
Pasal 186
(1) Rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD yang telah disetujui bersama
dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD sebelum
ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada
Gubernur untuk dievaluasi.
(2) Hasil evaluasi disampaikan oleh Gubernur kepada Bupati/Walikota paling lama
15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan Perda kabupaten/
kota dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
165
(3) Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang APBD
dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD sudah sesuai
dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, Bupati/Walikota menetapkan rancangan dimaksud menjadi Perda dan
Peraturan Bupati/Walikota.
(4) Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda tentang APBD
dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD tidak
sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, Bupati/Walikota bersama DPRD melakukan penyempurnaan paling
lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya hasil evaluasi.
(5) Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Bupati/Walikota dan DPRD,
dan Bupati/Walikota tetap menetapkan rancangan Perda tentang APBD dan
rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD menjadi
Perda dan Peraturan Bupati/Walikota, Gubernur membatalkan Perda dan
Peraturan Bupati/Walikota dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu
APBD tahun sebelumnya.
(6) Gubernur menyampaikan hasil evaluasi rancangan Perda kabupaten/kota
tentangAPBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran
APBD kepada Menteri Dalam Negeri.
Pasal 187
(1) Apabila DPRD sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 ayat
(3) tidak mengambil keputusan bersama dengan kepala daerah terhadap
rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD, kepala daerah melaksanakan
pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya
untuk membiayai keperluan setiap bulan yang disusun dalam rancangan
peraturan kepala daerah tentang APBD.
(2) Rancangan peraturan kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilaksanakan setelah memperoleh pengesahan dari Menteri DalamN e g e r i bagi provinsi dan Gubernur bagi kabupaten/kota.
(3) Untuk memperoleh pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), rancangan
peraturan kepala daerah tentang APBD beserta lampirannya disampaikan
paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak DPRD tidak mengambil
keputusan bersama dengan kepala daerah terhadap rancangan Perda tentang
APBD.
(4) Apabila dalam batas waktu 30 (tiga puluh) hari Menteri Dalam Negeri atau
Gubernur tidak mengesahkan rancangan peraturan kepala daerah sebagaimana
166
dimaksud pada ayat (2), kepala daerah menetapkan rancangan peraturan
kepala daerah dimaksud menjadi peraturan kepala daerah.
Pasal 188
Proses penetapan rancangan Perda tentang Perubahan APBD dan rancangan
peraturan kepala daerah tentang Penjabaran Perubahan APBD menjadi Perda dan
peraturan kepala daerah berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185,
Pasal 186, dan Pasal 187.
Pasal 189
Proses penetapan rancangan Perda yang berkaitan dengan pajak daerah,
retribusi daerah, dan tata ruang daerah menjadi Perda, berlaku Pasal 185
dan Pasal 186, dengan ketentuan untuk pajak daerah dan retribusi daerah
dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan, dan untuk tata ruang
daerah dikoordinasikan dengan menteri yang membidangi urusan tata ruang.
Pasal 190
Peraturan kepala daerah tentang Penjabaran APBD dan peraturan kepala
daerah tentang Penjabaran Perubahan APBD dijadikan dasar penetapan dokumen
pelaksanaan anggaran satuan kerja perangkat daerah.
Pasal 191
Dalam rangka evaluasi pengelolaan keuangan daerah dikembangkan sistem
informasi keuangan daerah yang menjadi satu kesatuan dengan sistem informasi
pemerintahan daerah.
Paragraf Kesebelas
Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah
Pasal 192
(1) Semua penerimaan dan pengeluaran pemerintahan daerah dianggarkan dalam
APBD dan dilakukan melalui rekening kas daerah yang dikelola oleh Bendahara
Umum Daerah.
(2) Untuk setiap pengeluaran atas beban APBD, diterbitkan surat keputusan
otorisasi oleh kepala daerah atau surat keputusan lain yang berlaku sebagai
surat keputusan otorisasi.
(3) Pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran belanja daerah jika
untuk pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dalam
APBD.
167
(4) Kepala daerah, wakil kepala daerah, pimpinan DPRD, dan pejabat daerah
lainnya, dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran belanja
daerah untuk tujuan lain dari yang telah ditetapkan dalam APBD.
Pasal 193
(1) Uang milik pemerintahan daerah yang sementara belum digunakan dapat
didepositokan dan/atau diinvestasikan dalam investasi jangka pendek sepanjang
tidak mengganggu likuiditas keuangan daerah.
(2) Bunga deposito, bunga atas penempatan uang di bank, jasa giro, dan/atau
bunga atas investasi jangkapendek merupakan pendapatan daerah.
(3) Kepala daerah dengan persetujuan DPRD dapat menetapkan peraturan
tentang:
a. penghapusan tagihan daerah, sebagian atau seluruhnya; dan
b. penyelesaian masalah Perdata.
Pasal 194
Penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan
pertanggungjawaban keuangan daerah diatur lebih lanjut dengan Perda yang
berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
BAB IX
KERJA SAMA DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Pasal 195
(1) Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan
kerja sama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi
dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwujudkan dalam bentuk
badan kerjasama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama.
(3) Dalam penyediaan pelayanan publik, daerah dapat bekerja sama dengan pihak
ketiga.
(4) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) yang membebani
masyarakat dan daerah harus mendapatkan persetujuan DPRD.
Pasal 196
(1) Pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah
dikelola bersama oleh daerah terkait.
168
(2) Untuk menciptakan efisiensi, daerah wajib mengelola pelayanan publik secara
bersama dengan daerah sekitarnya untuk kepentingan masyarakat.
(3) Untuk pengelolaan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), daerah membentuk badan kerja sama.
(4) Apabila daerah tidak melaksanakan kerja sama sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), pengelolaan pelayanan publik tersebut dapat dilaksanakan
oleh Pemerintah.
Pasal 197
Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195
dan Pasal 196 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 198
(1) Apabila terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar
kabupaten/kota dalam satu provinsi, Gubernur menyelesaikan perselisihan
dimaksud.
(2) Apabila terjadi perselisihan antarprovinsi, antara provinsi dan kabupaten/kota
di wilayahnya,serta antara provinsi dan kabupaten/kota di luar wilayahnya,
Menteri Dalam Negeri menyelesaikan perselisihan dimaksud.
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat final.
BAB X
KAWASAN PERKOTAAN
Pasal 199
(1) Kawasan perkotaan dapat berbentuk :
a.
Kota sebagai daerah otonom;
b.
bagian daerah kabupaten yang memiliki ciri perkotaan;
c.
bagian dari dua atau lebih daerah yang berbatasan langsung dan memiliki
ciri perkotaan.
(2) Kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikelola oleh
pemerintah kota.
(3) Kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikelola oleh
daerah atau lembaga pengelola yang dibentuk dan bertanggungjawab kepada
pemerintah kabupaten.
169
(4) Kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dalam hal
penataan ruang dan penyediaan fasilitas pelayanan umum tertentu dikelola
bersama oleh daerah terkait.
(5) Di kawasan perdesaan yang direncanakan dan dibangun menjadi kawasan
perkotaan, pemerintah daerah yang bersangkutan dapat membentuk badan
pengelola pembangunan.
(6) Dalam perencanaan, pelaksanaan pembangunan, dan pengelolaan kawasan
perkotaan, pemerintah daerah mengikutsertakan masyarakat sebagai upaya
pemberdayaan masyarakat.
(7) Ketentuan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5),
dan ayat (6) ditetapkan dengan Perda dengan berpedoman pada Peraturan
Pemerintah.
BAB XI
DESA
Bagian Pertama
Umum
Pasal 200
(1) Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang
terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa.
(2) Pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan Desa dengan mem­
perhatikan asal usulnya atas prakarsa masyarakat.
(3) Desa di kabupaten/kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya
menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa bersama badan
permusyawaratan desa yang ditetapkan dengan Perda.
Pasal 201
(1) Pendanaan sebagai akibat perubahan status desa menjadi kelurahan dibebankan
pada APBD kabupaten/kota.
(2) Dalam hal desa berubah statusnya menjadi kelurahan, kekayaannya menjadi
kekayaan daerah dan dikelola oleh kelurahan yang bersangkutan.
170
Bagian Kedua
Pemerintah Desa
Pasal 202
(1) Pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa.
(2) Perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya.
(3) Sekretaris desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diisi dari pegawai
negeri sipil yang memenuhi persyaratan.
Pasal 203
(1) Kepala desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1) dipilih langsung
oleh dan dari penduduk desa warga negara Republik Indonesia yang syarat
selanjutnya dan tatacara pemilihannya diatur dengan Perda yang berpedoman
kepada Peraturan Pemerintah.
(3) Calon kepala desa yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan kepala
desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan sebagai kepala desa.
(4) Pemilihan kepala desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya
berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam Perda dengan
berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
Pasal 204
Masa jabatan kepala desa adalah 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali
hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Pasal 205
(1) Kepala desa terpilih dilantik oleh Bupati/Walikota paling lambat 30 (tiga puluh)
hari setelah pemilihan.
(2) Sebelum memangku jabatannya, kepala desa mengucapkan sumpah/janji.
(3) Susunan kata-kata sumpah/janji dimaksud adalah sebagai berikut:
“Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan memenuhi
kewajiban saya selaku kepala desa dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya,
dan seadil-adilnya; bahwa saya akan selalu taat dalam mengamalkan dan
mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara; dan bahwa saya akan
menegakkan kehidupan demokrasi dan Undang-Undang Dasar 1945 serta
melaksanakan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya
yang berlaku bagi desa, daerah, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
171
Pasal 206
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup:
a.
urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;
b.
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan
pengaturannya kepada desa;
c.
tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintahprovinsi, dan/atau pemerintah
kabupaten/kota;
d.
urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang- perundangan
diserahkan kepada desa.
Pasal 207
Tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah
kabupaten/kota kepada desa disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana,
serta sumber daya manusia.
Pasal 208
Tugas dan kewajiban kepala desa dalam memimpin penyelenggaraan pemerin­
tahan desa diatur lebih lanjut dengan Perda berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Badan Permusyawaratan Desa
Pasal 209
Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama
kepaladesa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
Pasal 210
(1) Anggota badan permusyawaratan desa adalah wakil dari penduduk desa
bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat.
(2) Pimpinan badan permusyawaratan desa dipilih dari dan oleh anggota badan
permusyawaratan desa.
(3) Masa jabatan anggota badan permusyawaratan desa adalah 6 (enam) tahun
dan dapat dipilih lagi untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
(4) Syarat dan tata cara penetapan anggota dan pimpinan badan permusyawaratan
desa diatur dalam Perda yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
172
Bagian Keempat
Lembaga Lain
Pasal 211
(1) Di desa dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan yang ditetapkan dengan
peraturan desa dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
(2) Lembaga kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas
membantu pemerintah desa dan merupakan mitra dalam memberdayakan
masyarakat desa.
Bagian Kelima
Keuangan Desa
Pasal 212
(1) Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan
uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang
dapat dijadikan milikdesa berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban.
(2) Hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan
pendapatan, belanja dan pengelolaan keuangan desa.
(3) Sumber pendapatan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri
atas:
a.
pendapatan asli desa;
b.
bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota;
c.
bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima
oleh kabupaten/kota;
d.
bantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/
kota;
e.
hibah dan sumbangan dari pihak ketiga.
(4) Belanja desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk mendanai
penyelenggaraan pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.
(5) Pengelolaan keuangan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
oleh kepala desa yang dituangkan dalam peraturan desa tentang anggaran
pendapatan dan belanja desa.
(6) edoman pengelolaan keuangan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan berpedoman pada peraturan per­
undang-undangan.
173
Pasal 213
(1) Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan
dan potensi desa.
(2) Badan usaha milik desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman
pada peraturan perundang-undangan.
(3) Badan usaha milik desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan
pinjaman sesuai peraturan perundang- undangan.
Bagian Keenam
Kerja Sama Desa
Pasal 214
(1) Desa dapat mengadakan kerja sama untuk kepentingan desa yang diatur
dengan keputusan bersama dan dilaporkan kepada Bupati/Walikota melalui
camat.
(2) Kerjasama antar desa dan desa dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan kewenangannya.
(3) Kerjasama desa dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
(4) Untuk pelaksanaan kerja sama, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) dapat dibentuk badan kerja sama.
Pasal 215
(1) Pembangunan kawasan perdesaan yang dilakukan oleh kabupaten/kota dan atau
pihak ketiga mengikutsertakan pemerintah desa dan badan permusyawaratan
desa.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Perda, dengan memperhatikan:
a. kepentingan masyarakat desa;
b. kewenangan desa;
c. kelancaran pelaksanaan investasi;
d. kelestarian lingkungan hidup;
e. keserasian kepentingan antar kawasan dan kepentingan umum.
174
Pasal 216
(1) Pengaturan lebih lanjut mengenai desa ditetapkan dalam Perda dengan
berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
(2) Perda, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengakui dan menghormati
hak, asal-usul, dan adat istiadat desa.
BAB XII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 217
(1) Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh
Pemerintah yang meliputi :
a.
koordinasi pemerintahan antarsusunan pemerintahan;
b.
pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan;
c.
pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan urusan
pemerintahan;
d.
pendidikan dan pelatihan; dan
e.
perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi
pelaksanaan urusan pemerintahan.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan secara
berkala pada tingkat nasional, regional, atau provinsi.
(3) Pemberian pedoman dan standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b mencakup aspek perencanaan, pelaksanaan, tata laksana, pendanaan,
kualitas, pengendalian dan pengawasan.
(4) Pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c dilaksanakan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu, baik
secara menyeluruh kepada seluruh daerah maupun kepada daerah tertentu
sesuai dengan kebutuhan.
(5) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
dilaksanakan secara berkala bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah,
anggota DPRD, perangkat daerah, pegawai negeri sipil daerah, dan kepala
desa.
(6) Perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi sebagai­
mana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilaksanakan secara berkala ataupun
sewaktu-waktu dengan memperhatikan susunan pemerintahan.
175
(7) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan
huruf e dapat dilakukan kerja sama dengan perguruan tinggi dan/atau lembaga
penelitian.
Pasal 218
(1) Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh
Pemerintah yang meliputi:
a. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah;
b. Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh
aparat pengawas intern Pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal 219
(1) Pemerintah memberikan penghargaan dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah.
(2) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada pe­merin­
tah­an daerah, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, anggota DPRD,
perangkat daerah, PNS daerah, kepala desa, anggota badan permusyawaratan
desa, dan masyarakat.
Pasal 220
(1) Sanksi diberikan oleh Pemerintah dalam rangka pengawasan penyelenggaraan
pemerintahan daerah.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada pemerintahan
daerah, kepala daerah atau wakil kepala daerah, anggota DPRD, perangkat
daerah, PNS daerah, dan kepala desa.
Pasal 221
Hasil pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 dan
Pasal 218 digunakan sebagai bahan pembinaan selanjutnya oleh Pemerintah dan
dapat digunakan sebagai bahan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Pasal 222
(1) Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai­
mana dimaksud dalam Pasal 217 dan Pasal 218 secara nasional dikoordinasikan
oleh Menteri Dalam Negeri.
176
(2) Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai­
mana dimaksud pada ayat (1) untuk kabupaten/kota dikoordinasikan oleh
Gubernur.
(3) Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa dikoordinasikan
oleh Bupati/Walikota.
(4) Bupati dan walikota dalam pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dapat melimpahkan kepada camat.
Pasal 223
Pedoman pembinaan dan pengawasan yang meliputi standar, norma, prosedur,
penghargaan, dan sanksi diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB XIII
PERTIMBANGAN DALAM KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH
Pasal 224
(1) Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, Presiden dapat mem­
bentuk suatu dewan yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan
terhadap kebijakan otonomi daerah.
(2) Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan saran dan
pertimbangan kepada Presiden antara lain mengenai rancangan kebijakan:
a.
pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah serta pembentukan
kawasan khusus;
b.
perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah, yang
meliputi:
1) perhitungan bagian masing-masing daerah atas dana bagi hasil
pajak dan sumber daya alam sesuai dengan peraturan perundangundangan;
2) formula dan perhitungan DAU masing-masing daerah berdasarkan
besaran pagu DAU sesuai dengan peraturan perundangan;
3) DAK masing-masing daerah untuk setiap tahun anggaran berdasarkan
besaran pagu DAK dengan menggunakan kriteria sesuai dengan
peraturan perundangan.
(3) Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri
yang susunan organisasi keanggotaan dan tata laksananya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Presiden.
177
BAB XIV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 225
Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus
selain diatur dengan Undang-Undang ini diberlakukan pula ketentuan khusus yang
diatur dalam undang-undang lain.
Pasal 226
(1) Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Provinsi Papua, dan
ProvinsiDaerah Istimewa Yogyakarta sepanjang tidak diatur secara khusus dalam
Undang-Undang tersendiri.
(2) Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomo 22 Tahun 1999, adalah tetap dengan ketentuan
bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
didasarkan pada Undang-Undang ini.
(3) Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah diselenggarakan sesuai ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa
Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dengan penyempurnaan:
a. Pemilihan kepala daerah yang berakhir masa jabatannya sampai dengan
bulan April 2005, diselenggarakan pemilihan secara langsung sebagaimana
dimaksud Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam paling lambat pada bulan Mei 2005.
b.
Kepala daerah selain yang dinyatakan pada huruf (a) diatas diselenggarakan
pemilihan kepala daerah sesuai dengan periode masa jabatannya.
c. Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya
sebelum Undang-Undang ini disahkan sampai dengan bulan April 2005,
sejak masa jabatannya berakhir diangkat seorang penjabat kepala
daerah.
d. Penjabat kepala daerah tidak dapat menjadi calon kepala daerah atau
calon wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung sebagaimana
dimaksud Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
178
e. Anggota Komisi Independen Pemilihan dari unsur anggota Komisi Pemilihan
Umum Republik Indonesia diisi oleh Ketua dan anggota Komisi Pemilihan
Umum Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Pasal 227
(1) Khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta karena kedudukannya
sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia, diatur dengan undang-undang
tersendiri.
(2) Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara berstatus sebagai
daerah otonom, dan dalam wilayah administrasi tersebut tidak dibentuk daerah
yang berstatus otonom.
(3) Undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat pengaturan:
a.
kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab sebagai ibukota
Negara;
b.
tempat kedudukan perwakilan negara-negara sahabat;
c.
keterpaduan rencana umum tata ruang Jakarta dengan rencana umum
tata ruang daerah sekitar;
d.
kawasan khusus untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu
yang dikelola langsung oleh Pemerintah.
Pasal 228
(1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi wewenang Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) yang didekonsentrasikan,
dilaksanakan oleh instansi vertikal di daerah.
(2) Instansi vertikal sebagaimana dimaksud pada ayat (1),jumlah,
luas wilayah kerjanya ditetapkan Pemerintah.
susunan
dan
(3) Pembentukan, susunan organisasi, dan tata laksana instansi vertikal di daerah,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dengan Keputusan
Presiden.
(4) Semua instansi vertikal yang menjadi perangkat daerah, kekayaannya dialihkan
menjadi milik daerah.
Pasal 229
Batas daerah provinsi atau kabupaten/kota yang berbatasan dengan wilayah
negara lain, diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan dengan memperhati­
kan hukum internasional yang pelaksanaannya ditetapkan oleh Pemerintah.
179
Pasal 230
Anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia tidak menggunakan hak memilihnya dalam pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah sepanjang belum diatur dalam undang-undang.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 231
Pada saat berlakunya undang-undang ini, nama, batas, dan ibukota provinsi,
daerah khusus, daerah istimewa, kabupaten, dan kota, tetap berlaku kecuali
ditentukan lain dalam peraturan perundang- undangan.
Pasal 232
(1) Provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan, dan desa yang ada pada saat
diundangkannya Undang-Undang ini tetap sebagai provinsi, kabupaten/kota,
kecamatan, kelurahan, dandesa kecuali ditentukan lain dalam peraturan
perundang-undangan.
(2) Pembentukan daerah provinsi atau kabupaten/kota yang telah memenuhi
seluruh persyaratan pembentukan sesuai peraturan perundang-undangan tetap
diproses sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum UndangUndang ini diundangkan.
Pasal 233
(1) Kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2004 sampai dengan
bulan Juni 2005 diselenggarakan pemilihan kepala daerah secara langsung
sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang ini pada bulan Juni 2005.
(2) Kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada bulan Januari 2009 sampai
dengan bulan Juli 2009 diselenggarakan pemilihan kepala daerah secara langsung
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini pada bulan Desember 2008.
Pasal 234
(1)
Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya
sebelum bulan Juni 2005, sejak masa jabatannya berakhir diangkat seorang
penjabat kepala daerah.
(2) Penjabat kepala daerah yang ditetapkan sebelum diundangkannya UndangUndang ini, menjalankan tugas sampai berakhir masa jabatannya.
180
(3) Pendanaan kegiatan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang
diselenggarakan pada tahun 2005 dibebankan pada APBN dan APBD.
Pasal 235
Pemilihan Gubernur dan Bupati/Walikota dalam satu daerah yang sama
yang berakhir masa jabatannya pada bulan dan tahun yang sama dan/atau
dalam kurun waktu antara 1 (satu) sampai dengan 30 (tiga puluh) hari, pemungutan
suaranya diselenggarakan pada hari yang sama.
Pasal 236
(1) Kepala desa dan perangkat desa yang ada pada saat mulai berlakunya UndangUndang ini tetap menjalankan tugas sampai habis masa jabatannya.
(2) Anggota badan perwakilan desa yang ada pada saat mulai berlakunya UndangUndang ini menjalankan tugas sebagaimana di atur dalam Undang-Undang ini
sampai habis masa jabatannya.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 237
Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara lang­
sung dengan daerah otonom wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya
pada Undang-Undang ini.
Pasal 238
(1)Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemerintahan
daerah sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang
ini dinyatakan tetap berlaku.
(2) Peraturan pelaksanaan atas Undang-Undang ini ditetapkan selambat-lambatnya
2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini ditetapkan.
Pasal 239
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, maka Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 240
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
181
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan UndangUndang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 15 Oktober 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Oktober 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 125
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 32 TAHUN 2004
TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH
I.
PENJELASAN UMUM
1. Dasar Pemikiran
a.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui
otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan
dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintahan daerah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan
antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintahan daerah, potensi dan
keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Aspek hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan
selaras. Disamping itu, perlu diperhatikan pula peluang dan tantangan
dalam persaingan global dengan memanfaatkan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Agar mampu menjalankan perannya tersebut,
183
184
daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan
pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam
kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, disamping karena
adanya perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, juga memperhatikan beberapa Ketetapan MPR dan Keputusan
MPR, seperti; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam
Penyelenggaraan Otonomi Daerah; dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi Atas
Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA pada sidang tahunan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 2002 dan
Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
5/MPR/2003 tentang Penugasan Kepada MPR-RI Untuk Menyampaikan
Saran Atas Laporan Pelaksanaan Keputusan MPR-RI oleh Presiden, DPR,
BPK, dan MA pada Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2003.
Dalam melakukan perubahan undang-undang, diperhatikan berbagai
undang-undang yang terkait di bidang politik diantaranya UndangUndang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah; Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan
dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden.Selainitu juga diperhatikan undang-undang yang terkait
di bidang keuangan negara, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, dan Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Atas Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan
Negara.
b.
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya
dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua
urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang
ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan
membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan
peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan
pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
185
Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi
yang nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu
prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan
berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah
ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan
potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi
bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang
dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang
dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan
maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan
daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan
bagian utama dari tujuan nasional.
Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus
selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan
selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam
masyarakat.
Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin
keserasian hubungan antara Daerah dengan Daerah lainnya, artinya mampu
membangun kerjasama antar Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan
bersama dan mencegah ketimpangan antar Daerah. Hal yang tidak kalah
pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan
yang serasi antar Daerah dengan Pemerintah, artinya harus mampu
memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan
negara.
Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak
dicapai, Pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian
pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan
pengawasan. Disamping itu diberikan pula standar, arahan, bimbingan,
pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan, dan evaluasi.
Bersamaan itu Pemerintah wajib memberikan fasilitasi yang berupa
pemberian peluang kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah
agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan
efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2.
Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus
Pembentukan daerah pada dasarnya dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan
publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat disamping
186
sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal. Untuk itu maka pembentukan
daerah harus mempertimbangkan berbagai faktor seperti kemampuan ekonomi,
potensi daerah, luas wilayah, kependudukan, dan pertimbangan dari aspek
sosial politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan serta pertimbangan
dan syarat lain yang memungkinkan daerah itu dapat menyelenggarakan dan
mewujudkan tujuan dibentuknya daerah dan diberikannya otonomi daerah.
Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus di daerah otonom untuk
menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus
dan untuk kepentingan nasional/berskala nasional, misalnya dalam bentuk
kawasan cagar budaya, taman nasional, pengembangan industri strategis,
pengembangan teknologi tinggi seperti pengembangan tenaga nuklir, peluncuran
peluru kendali, pengembangan prasarana komunikasi, telekomunikasi,
transportasi, pelabuhan dan daerah perdagangan bebas, pangkalan militer,
serta wilayah eksploitasi, konservasi bahan galian strategis, penelitian
dan pengembangan sumber daya nasional, laboratorium sosial, lembaga
pemasyarakatan spesifik. Pemerintah wajib mengikutsertakan pemerintah
daerah dalam pembentukan kawasan khusus tersebut.
3. Pembagian Urusan Pemerintahan
Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan
antara Pemerintah dengan daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan
tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan
pemerintahan yang sepenuhnya/tetap menjadi kewenangan Pemerintah. Urusan
pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa
dan negara secara keseluruhan. Urusan pemerintahan dimaksud meliputi:
politik luar negeri dalam arti mengangkat pejabat diplomatik dan menunjuk
warga negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan
kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian dengan negara lain, menetapkan
kebijakan perdagangan luar negeri, dan sebagainya; pertahanan misalnya
mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata, menyatakan damai dan
perang, menyatakan negara atau sebagian wilayah negara dalam keadaan bahaya,
membangun dan mengembangkan sistem pertahanan negara dan persenjataan,
menetapkan kebijakan untuk wajib militer, bela negara bagi setiap warga
negara dan sebagainya; keamanan misalnya mendirikan dan membentuk
kepolisian negara, menetapkan kebijakan keamanan nasional, menindak setiap
orang yang melanggar hukum negara, menindak kelompok atau organisasi yang
kegiatannya mengganggu keamanan negara dan sebagainya; moneter misalnya
mencetak uang dan menentukan nilai mata uang, menetapkan kebijakan
187
moneter, mengendalikan peredaran uang dan sebagainya; yustisi misalnya
mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim dan jaksa, mendirikan
lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian,
memberikan grasi, amnesti, abolisi, membentuk undang-undang, Peraturan
Pemerintah pengganti undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan peraturan
lain yang berskala nasional, dan lain sebagainya; dan agama, misalnya
menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan
pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam
penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebagainya; dan bagian tertentu
urusan pemerintah lainnya yang berskala nasional, tidak diserahkan kepada
daerah.
Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurrent
artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang
tertentu dapat dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan pemerintah
daerah. Dengan demikian setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa
ada bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, ada bagian urusan
yang diserahkan kepada Provinsi, dan ada bagian urusan yang diserahkan
kepada Kabupaten/Kota.
Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent secara proporsional
antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka disusunlah
kriteria yang meliputi: eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan
mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan
antar tingkat pemerintahan.
Urusan yang menjadi kewenangan daerah, meliputi urusan wajib dan urusan
pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah suatu urusan pemerintahan yang
berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan,
pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar; sedangkan
urusan pemerintahan yang bersifat pilihan terkait erat dengan potensi unggulan
dan kekhasan daerah.
Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pe­
merintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan
dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang
ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi
kewenangan kabupaten/kota, apabila regional menjadi kewenangan provinsi,
dan apabila nasional menjadi kewenangan Pemerintah.
Kriteria akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan
dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu
188
bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat
dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian
akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada
masyarakat akan lebih terjamin.
Kriteria efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan
dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil, dana, dan
peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang
harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan. Artinya apabila suatu
bagian urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdayaguna dan
berhasilguna dilaksanakan oleh daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/
Kota dibandingkan apabila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan
tersebut diserahkan kepada Daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/
Kota. Sebaliknya apabila suatu bagian urusan akan lebih berdayaguna dan
berhasil guna bila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan tersebut
tetap ditangani oleh Pemerintah. Untuk itu pembagian bagian urusan harus
disesuaikan dengan memperhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian
urusan pemerintahan tersebut. Ukuran dayaguna dan hasilguna tersebut dilihat
dari besarnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dan besar kecilnya resiko
yang harus dihadapi.
Sedangkan yang dimaksud dengan keserasian hubungan yakni bahwa pengelolaan
bagian urusan pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang
berbeda, bersifat saling berhubungan (inter-koneksi), saling tergantung (interdependensi), dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan
memperhatikan cakupan kemanfaatan.
Pembagian urusan pemerintahan sebagaimana tersebut di atas ditempuh
melalui mekanisme penyerahan dan atau pengakuan atas usul Daerah terhadap
bagian urusan-urusan pemerintah yang akan diatur dan diurusnya. Berdasarkan
usulan tersebut Pemerintah melakukan verifikasi terlebih dahulu sebelum
memberikan pengakuan atas bagian urusan-urusan yang akan dilaksanakan oleh
Daerah. Terhadap bagian urusan yang saat ini masih menjadi kewenangan Pusat
dengan kriteria tersebut dapat diserahkan kepada Daerah.
Tugas pembantuan pada dasarnya merupakan keikutsertaan Daerah atau
Desa termasuk masyarakatnya atas penugasan atau kuasa dari Pemerintah
atau pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah di bidang
tertentu.
189
4. Pemerintahan Daerah
Pemerintahan Daerah adalah pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan daerah
yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah yaitu Pemerintah Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintah Daerah yang dipilih secara demokratis.
Pemilihan secara demokratis terhadap Kepala Daerah tersebut, dengan
mengingat bahwa tugas dan wewenang DPRD menurut Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, menyatakan antara lain bahwa DPRD tidak memiliki tugas dan
wewenang untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, maka
pemilihan secara demokratis dalam Undang-Undang ini dilakukan oleh rakyat
secara langsung. Kepala daerah dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh
seorang wakil kepala daerah, dan perangkat daerah.
Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat
yang persyaratan dan tata caranya ditetapkan dalam peraturan perundangundangan. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat
dicalonkan baik oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu
yang memperoleh sejumlah kursi tertentu dalam DPRD dan atau memperoleh
dukungan suara dalam Pemilu Legislatif dalam jumlah tertentu.
Susunan dan kedudukan DPRD yang mencakup keanggotaan, pimpinan, fungsi,
tugas, wewenang, hak, kewajiban, penggantian antar waktu, alat kelengkapan,
protokoler, keuangan, peraturan tata tertib, larangan dan sanksi, diatur
tersendiri di dalam Undang-Undang mengenai Susunan dan Kedudukan Majelis
Per­musyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Da­erah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hal-hal yang belum cukup diatur dalam
Undang-Undang tersebut dan yang masih memerlukan pengaturan lebih lanjut
baik yang bersifat penegasan maupun melengkapi diatur dalam undang- undang
ini.
Melalui undang-undang ini Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) provinsi,
kabupaten, dan kota diberikan kewenangan sebagai penyelenggara pemilihan
kepala daerah. KPUD yang dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah KPUD
sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. Untuk itu, tidak perlu dibentuk dan ditetapkan
KPUD dan keanggotaannya yang baru. Agar penyelengaraan pemilihan dapat
berlangsung dengan baik, maka DPRD membentuk panitia pengawas. Kewenangan
190
KPUD provinsi, kabupaten, dan kota dibatasi sampai dengan penetapan calon
terpilih dengan Berita Acara yang selanjutnya KPUD menyerahkan kepada
DPRD untuk diproses pengusulannya kepada Pemerintah guna mendapatkan
pengesahan.
Gubernur sebagai Kepala Daerah Provinsi berfungsi pula selaku wakil Pemerintah
di daerah dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang
kendali pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan
dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada strata
pemerintahan kabupaten dan kota.
Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang
kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna
bahwa diantara lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang
sama dan sejajar, artinya tidak saling membawahi. Hal ini tercermin dalam
membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah. Hubungan kemitraan
bermakna bahwa antara Pemerintah Daerah dan DPRD adalah sama-sama
mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi
daerah sesuai dengan fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga itu
membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung bukan
merupakan lawan ataupun pesaing satu sama lain dalam melaksanakan fungsi
masing-masing.
5.
Perangkat Daerah
Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh
perangkat daerah. Secara umum perangkat daerah terdiri dari unsur staf yang
membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi, diwadahi dalam lembaga
sekretariat; unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan
pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga
teknis daerah; serta unsur pelaksana urusan daerah yang diwadahi dalam
lembaga dinas daerah.
Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi
adalah adanya urusan pemerintahan yang perlu ditangani. Namun tidak berarti
bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk ke dalam
organisasi tersendiri. Besaran organisasi perangkat daerah sekurang-kurangnya
mempertimbangkan faktor kemampuan keuangan; kebutuhan daerah; cakupan
tugas yang meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan, jenis dan banyaknya
tugas; luas wilayah kerja dan kondisi geografis; jumlah dan kepadatan
penduduk; potensi daerah yang bertalian dengan urusan yang akan ditangani;
sarana dan prasarana penunjang tugas. Oleh karena itu kebutuhan akan
191
organisasi perangkat daerah bagi masing-masing daerah tidak senantiasa sama
atau seragam.
Tata cara atau prosedur, persyaratan, kriteria pembentukan suatu organisasi
perangkat daerah ditetapkan dalam peraturan daerah yang mengacu pedoman
yang ditetapkan Pemerintah.
6. Keuangan Daerah
Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal
apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian
sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan mengacu
kepada Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah, dimana besarnya disesuaikan dan diselaraskan
dengan pembagian kewenangan antara Pemerintah dan Daerah. Semua sumber
keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada
daerah menjadi sumber keuangan daerah.
Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang antara lain
berupa: kepastian tersedianya pendanaan dari Pemerintah sesuai dengan urusan
pemerintah yang diserahkan; kewenangan memungut dan mendayagunakan
pajak dan retribusi daerah dan hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumbersumber daya nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan lainnya; hak
untuk mengelola kekayaan Daerah dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan
lain yang sah serta sumber-sumber pembiayaan. Dengan pengaturan tersebut,
dalam hal ini pada dasarnya Pemerintah menerapkan prinsip “uang mengikuti
fungsi”.
Di dalam Undang-Undang mengenai Keuangan Negara, terdapat penegasan di
bidang pengelolaan keuangan, yaitu bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan
negara adalah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan; dan kekuasaan
pengelolaan keuangan negara dari presiden sebagian diserahkan kepada
gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintah daerah untuk mengelola
keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan
daerah yang dipisahkan. Ketentuan tersebut berimplikasi pada pengaturan
pengelolaan keuangan daerah, yaitu bahwa gubernur/bupati/walikota ber­
tanggungjawab atas pengelolaan keuangan daerah sebagai bagian dari
kekuasaan pemerintahan daerah. Dengan demikian pengaturan pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan daerah melekat dan menjadi satu dengan
pengaturan pemerintahan daerah, yaitu dalam Undang-Undang mengenai
Pemerintahan Daerah.
192
7. Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah
Penyelenggara pemerintahan daerah dalam melaksanakan tugas, wewenang,
kewajiban, dan tanggungjawabnya serta atas kuasa peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dapat menetapkan kebijakan daerah yang dirumuskan
antara lain dalam peraturan daerah, peraturan kepala daerah, dan ketentuan
daerah lainnya. Kebijakan daerah dimaksud tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum
serta peraturan Daerah lain.
Peraturan daerah dibuat oleh DPRD bersama-sama Pemerintah Daerah, artinya
prakarsa dapat berasal dari DPRD maupun dari Pemerintah Daerah. Khusus
peraturan daerah tentang APBD rancangannya disiapkan oleh Pemerintah
Daerah yang telah mencakup keuangan DPRD, untuk dibahas bersama DPRD.
Peraturan daerah dan ketentuan daerah lainnya yang bersifat mengatur
diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah. Peraturan
daerah tertentu yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD,
perubahan APBD, dan tataruang, berlakunya setelah melalui tahapan evaluasi
oleh Pemerintah. Hal itu ditempuhdengan pertimbangan antara lain untuk
melindungi kepentingan umum, menyelaraskan dan menyesuaikan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau peraturan Daerah
lainnya, terutama peraturan daerah mengenai pajak daerah dan retribusi
daerah.
8. Kepegawaian Daerah
Dalam sistem kepegawaian secara nasional, Pegawai Negeri Sipil memiliki
posisi penting untuk menyelenggarakan pemerintahan dan difungsikan sebagai
alat pemersatu bangsa. Sejalan dengan kebijakan desentralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan, maka ada sebagian kewenangan di bidang
kepegawaian untuk diserahkan kepada daerah yang dikelola dalam sistem
kepegawaian daerah.
Kepegawaian Daerah adalah suatu sistem dan prosedur yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan sekurang-kurangnya meliputi perencanaan,
persyaratan, pengangkatan, penempatan, pendidikan dan pelatihan,
penggajian, pemberhentian, pensiun, pembinaan, kedudukan, hak, kewajiban,
tanggungjawab, larangan, sanksi, dan penghargaan merupakan sub-sistem dari
sistem kepegawaian secara nasional. Dengan demikian kepegawaian daerah
merupakan satu kesatuan jaringan birokrasi dalam kepegawaian nasional.
193
Sistem manajemen pegawai yang sesuai dengan kondisi pemerintahan saat
ini, tidak murni menggunakan unified system namun sebagai konsekuensi
digunakannya kebijakan desentralisasi maka dalam hal ini menggunakan
gabungan antara unified system dan separated system, artinya ada bagianbagian kewenangan yang tetap menjadi kewenangan pemerintah, dan ada
bagian-bagian kewenangan yang diserahkan kepada Daerah untuk selanjutnya
dilaksanakan oleh pembina kepegawaian daerah. Prinsip lain yang dianut adalah
memberikan suatu kejelasan dan ketegasan bahwa ada pemisahan antara
pejabat politik dan pejabat karier baik mengenai tata cara rekruitmennya
maupun kedudukan, tugas, wewenang, fungsi, dan pembinaannya. Berdasarkan
prinsip dimaksud maka pembina kepegawaian daerah adalah pejabat karier
tertinggi pada pemerintah daerah.
Penempatan pegawai untuk mengisi jabatan dengan kualifikasi umum menjadi
kewenangan masing-masing tingkatan pemerintahan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, sedangkan untuk pengisian jabatan tertentu yang
memerlukan kualifikasi khusus seperti tenaga ahli di bidang tertentu, pengalaman
kerja tertentu di Kabupaten atau Kota, maka pembina kepegawaian tingkat
Provinsi dan atau Pemerintah dapat memberikan fasilitasi. Hal ini dalam rangka
melakukan pemerataan tenaga-tenaga pegawai tertentu dan penempatan
pegawai yang tepat serta sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diperlukan
di seluruh daerah.
Gaji dan tunjangan PNS Daerah disediakan dengan menggunakan Dana Alokasi
Dasar yang ditetapkan secara nasional, merupakan bagian dalam Dana Alokasi
Umum (DAU) yang dinyatakan secara tegas. Hal ini dimaksudkan untuk lebih
mempermudah apabila terjadi mutasi pegawai antar daerah atau dari daerah
ke pusat, dan atau sebaliknya serta untuk menjamin kepastian penghasilan yang
berhak diterima oleh setiap pegawai.
Pemberhentian pegawai negeri sipil daerah pada prinsipnya menjadi kewenangan
Presiden, namun mengingat bahwa jumlah pegawai sangat besar maka agar
tercipta efisiensi dan efektivitas maka sebagian kewenangan tersebut diserahkan
kepada pembina kepegawaian daerah.
9. Pembinaan dan Pengawasan
Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang
dilakukan oleh Pemerintah dan atau Gubernur selaku Wakil Pemerintah
di Daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi
daerah. Dalam rangka pembinaan oleh Pemerintah, Menteri dan Pimpinan
194
Lembaga Pemerintah Non Departemen melakukan pembinaan sesuai dengan
fungsi dan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam
Negeri untuk pembinaan dan pengawasan provinsi serta oleh gubernur untuk
pembinaan dan pengawasan kabupaten/kota.
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan
yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan
rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengawasan yang dilaksanakan oleh Pemerintah terkait dengan penyelenggaraan
urusan pemerintahan dan utamanya terhadap peraturan daerah dan peraturan
kepala daerah.
Dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan peraturan
daerah, Pemerintah melakukan dengan 2 (dua) cara sebagai berikut :
1) Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah (RAPERDA), yaitu
terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah,
retribusi daerah, APBD, dan RUTR sebelum disahkan oleh kepala daerah
terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Raperda
provinsi,dan oleh Gubernur terhadap Raperda kabupaten/kota. Mekanisme
ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hal tersebut dapat mencapai
daya guna dan hasil guna yang optimal.
2) Pengawasan terhadap semua peraturan daerah di luar yang termasuk
dalam angka 1, yaitu setiap peraturan daerah wajib disampaikan kepada
Menteri DalamNegeriuntuk provinsi dan Gubernur untuk kabupaten/
kota untuk memperoleh klarifikasi. Terhadap peraturan daerah yang
bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih
tinggi dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku.
Dalam rangka mengoptimalkan fungsi pembinaan dan pengawasan, Pemerintah
dapat menerapkan sanksi kepada penyelenggara pemerintahan daerah apabila
diketemukan adanya penyimpangan dan pelanggaran oleh penyelenggara
pemerintahan daerah tersebut. Sanksi dimaksud antara lain dapat berupa
penataan kembali suatu daerah otonom, pembatalan pengangkatan pejabat,
penangguhan dan pembatalan berlakunya suatu kebijakan daerah baik peraturan
daerah, keputusan kepala daerah, dan ketentuan lain yang ditetapkan daerah
serta dapat memberikan sanksi pidana yang diproses sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
195
10.Desa
Desa berdasarkan Undang-Undang ini adalah desa atau yang disebut dengan
nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem Pemerintahan
Nasional dan berada di kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Landasan pemikiran dalam
pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli,
demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.
Undang-Undang ini mengakui otonomi yang dimiliki oleh desa ataupun dengan
sebutan lainnya dan kepada desa melalui pemerintah desa dapat diberikan
penugasan ataupun pendelegasian dari Pemerintah ataupun pemerintah daerah
untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedang terhadap desa di luar
desa geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang
dibentuk karena pemekaran desa ataupun karena transmigrasi ataupun karena
alasan lain yang warganya pluralistis, majemuk, ataupun heterogen, maka
otonomi desa akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang
mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri.
Sebagai perwujudan demokrasi, dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa
dibentuk Badan Permusyawaratan Desa atau sebutan lain yang sesuai dengan
budaya yang berkembang di Desa bersangkutan, yang berfungsi sebagai
lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa, seperti dalam
pembuatan dan pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa, dan Keputusan Kepala Desa. Di desa dibentuk lembaga kemasyarakatan
yang berkedudukan sebagai mitra kerja pemerintah desa dalam memberdayakan
masyarakat desa.
Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat Desa yang dalam
tata cara dan prosedur pertanggungjawabannya disampaikan kepada Bupati
atau Walikota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa, Kepala
Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggungjawabannya dan
kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggungjawabannya
namun tetap harus memberi peluang kepada masyarakat melalui Badan
Permusyawaratan Desa untuk menanyakan dan/atau meminta keterangan lebih
lanjut terhadap hal-hal yang bertalian dengan pertanggungjawaban dimaksud.
Pengaturan lebih lanjut mengenai desa seperti pembentukan, penghapusan,
penggabungan, perangkat pemerintahan desa, keuangan desa, pembangunan
196
desa, dan lain sebagainya dilakukan oleh kabupaten dan kota yang ditetapkan
dalam peraturan daerah mengacu pada pedoman yang ditetapkan Pemerintah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “Daya saing daerah” dalam ayat ini adalah
merupakan kombinasi antara faktor kondisi ekonomi daerah, kualitas
kelembagaan publik daerah, sumber daya manusia, dan teknologi, yang
secara keseluruhan membangun kemampuan daerah untuk bersaing dengan
daerah lain.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “asas otonomi dan tugas pembantuan” dalam ayat
ini adalah bahwa pelaksanaan urusan pemerintahan oleh daerah dapat
diselenggarakan secara langsung oleh pemerintahan daerah itu sendiri dan
dapat pula penugasan oleh pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/
kota dan desa atau penugasan dari pemerintah kabupaten/kota ke desa.
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “hubungan administrasi” dalam ayat ini adalah
hubungan yang terjadi sebagai konsekuensi kebijakan penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang merupakan satu kesatuan dalam penyelenggaraan
sistem administrasi negara.
Yang dimaksud dengan “hubungan kewilayahan” dalam ayat ini adalah
hubungan yang terjadi sebagai konsekuensi dibentuk dan disusunnya
197
daerah otonom yang diselenggarakan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dengan demikian, wilayah daerah merupakan satu kesatuan
wilayah negara yang utuh dan bulat.
Ayat (8)
Yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
adalah daerah yang diberikan otonomi khusus, sedangkan daerah istimewa
adalah Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ayat (9)
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “cakupan wilayah” dalam ketentuan ini, khusus
untuk daerah yang berupa kepulauan atau gugusan pulau-pulau dalam
penentuan luas wilayah di dasarkan atas prinsip negara kepulauan yang
pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah.
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan”
dalam ketentuanini untuk provinsi 10 (sepuluh) tahun, untuk kabupaten/
kota 7 (tujuh) tahun, dan kecamatan 5 (lima) tahun.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Persetujuan DPRD dalam ketentuan ini diwujudkan dalam bentuk keputusan
DPRD yang diproses berdasarkan pernyataan aspirasi sebagian besar
masyarakat setempat.
198
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Persetujuan Gubernur dalam ketentuan ini diwujudkan dalam bentuk
keputusan Gubernur berdasarkan hasil kajian tim yang khusus dibentuk oleh
pemerintah provinsi yang bersangkutan terhadap perlunya dibentuk provinsi
baru dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan. Tim dimaksud
mengikutsertakan tenaga ahli sesuai dengan kebutuhan.
Yang dimaksud dengan faktor lain dalam ketentuan ini antara lain
pertimbangan kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat,
rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan evaluasi terhadap kemampuan daerah dalam
ayat ini adalah penilaian dengan menggunakan sistem pengukuran
kinerja serta indikator-indikatornya, yang meliputi masukan, proses,
keluaran, dan dampak. Pengukuran dan indikator kinerja digunakan untuk
memperbandingkan antara satu daerah dengan daerah lain, dengan angka
rata-rata secara nasional untuk masing-masing tingkat pemerintahan, atau
dengan hasil tahun-tahun sebelumnya untuk masing-masing daerah.
Aspek lain yang dievaluasi antara lain adalah: keberhasilan dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan; upaya-upaya dan
kebijakan yang diambil: ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan
dan kebijakan nasional; dan dampak dari kebjakan daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “akibat” dalam ketentuan ini adalah perubahan
yang timbul karena terjadinya penggabungan atau penghapusan suatu
199
daerah yang antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas, ibukota,
pengalihan personal, pendanaan, peralatan dan dokumen, perangkat daerah,
serta akibat lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Yang dimaksud rupa bumi adalah bagian-bagian wilayah yang senyatanya
ada dan/atau kemudian ada, namun belum diberi nama, seperti: tanah
timbul, semenanjung, bukit/gunung/pegunungan, sungai, delta, danau,
lembah, selat, pulau, dan sebagainya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 8
Tata cara yang diatur dalam peraturan pemerintah memuat mekanisme dan
prosedur tentang pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah.
Pasal 9
Ayat (1)
Ayat (2)
Kawasan khusus adalah kawasan strategis yang secara nasional menyangkut
hajat hidup orang banyak dari sudut politik, sosial, budaya, lingkungan
dan pertahanan dan keamanan. Dalam kawasan khusus diselenggarakan
fungsi-fungsi pemerintahan tertentu sesuai kepentingan nasional. Kawasan
khusus dapat berupa kawasan otorita, kawasan perdagangan bebas, dan
kegiatan industri dan sebagainya.
Cukup jelas
Ayat (3)
Fungsi pemerintahan tertentu dalam ketentuan ini antara lain, pertahanan
negara, pendayagunaan wilayah perbatasan dan pulau-pulau tertentu/
terluar, lembaga pemasyarakatan, pelestarian warisan budaya dan cagar
alam, pelestarian lingkungan hidup, riset dan teknologi.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “mengikutsertakan’ dalam ketentuan ini adalah
dalam perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan dan pemanfaatan.
Ayat (5)
Cukup jelas
200
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Ayat (2)
Yang dimaksud urusan pemerintah dalam ayat ini adalah urusan pemerintahan
yang mutlak menjadi kewenangannya dan urusan bidang lainnya yaitu bagianbagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya Pemerintah.
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Huruf b
Yang dimaksud dengan urusan pertahanan misalnya mendirikan dan
membentuk angkatan bersenjata, menyatakan damai dan perang,
menyatakan negara atau sebagian wilayah negara dalam keadaan
bahaya, membangun dan mengembangkan sistem pertahanan negara
dan persenjataan, menetapkan kebijakan untuk wajib militer, bela
negara bagi setiap warga negara dan sebagainya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan urusan politik luar negeri dalam arti mengangkat
pejabat diplomatik dan menunjuk warga negara untuk duduk dalam
jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negeri,
melakukan perjanjian dengan negara lain, menetapkan kebijakan
perdagangan luar negeri, dan sebagainya.
Yang dimaksud dengan urusan keamanan misalnya mendirikan dan
membentuk kepolisian negara, menetapkan kebijakan keamanan
nasional, menindak setiap orang, kelompok atau organisasi yang
kegiatannya mengganggu keamanan negara dan sebagainya.
Huruf d
Yang dimaksud dengan urusan yustisi misalnya mendirikan lembaga
peradilan, mengangkat hakim dan jaksa, mendirikan lembaga
pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian,
memberikan grasi, amnesti, abolisi, membentuk undang-undang,
Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang, Peraturan Pemerintah,
dan peraturan lain yang berskala nasional.
201
Huruf e
Yang dimaksud dengan urusan moneter dan fiskal nasional adalah kebijakan
makro ekonomi, misalnya mencetak uang dan menentukan nilai mata
uang, menetapkan kebijakan moneter, mengendalikan peredaran uang
dan sebagainya.
Huruf f
Yang dimaksud dengan urusan agama, misalnya menetapkan hari libur
keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan
terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam
penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebagainya; dan bagian
tertentu urusan pemerintah lainnya yang berskala nasional, tidak
diserahkan kepada daerah.
Khusus di bidang keagamaan sebagian kegiatannya dapat ditugaskan oleh
Pemerintah kepada Daerah sebagai upaya meningkatkan keikutsertaan
Daerah dalam menumbuhkembangkan kehidupan beragama.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di
daerah” dalam ketentuan ini adalah berupa perangkat Pemerintah atau
dalam rangka dekonsentrasi kepada Gubernur.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “di luar urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5)” dalam ketentuan ini adalah urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan Pemerintah di luar ayat (3) sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kriteria eksternalitas” dalam ketentuan ini adalah
penyelenggara suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan luas,
besaran, dan jangkauan dampak yang timbul akibat penyelenggaraan suatu
urusan pemerintahan.
Yang dimaksud dengan “kriteria akuntabilitas” dalam ketentuan ini adalah
penanggungjawab penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan ditentukan
berdasarkan kedekatannya dengan luas, besaran, dan jangkauan dampak
yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan.
202
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kriteria efisiensi” dalam ketentuan ini adalah
penyelenggara suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan
perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang dapat diperoleh.
Yang dimaksud dengan “antar pemerintahan daerah” dalam ketentuan ini
adalah hubungan antar provinsi dengan provinsi, kabupaten/kota dengan
kabupaten/kota, atau provinsi dengan kabupaten/kota.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “urusan wajib” dalam ketentuan ini adalah urusan
yang sangat mendasar yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar
warga negara antara lain:
a. perlindungan hak konstitusional;
b. perlindungan kepentingan nasional, kesejahteraan masyarakat,
ketentraman dan ketertiban umum dalam kerangka menjaga keutuhan
NKRI; dan
c. pemenuhan komitmen nasional yang berhubungan dengan perjanjian
dan konvensi internasional.
Yang dimaksud dengan “urusan pilihan” dalam ketentuan ini adalah urusan
yang secara nyata ada di Daerah dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi
unggulan daerah.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan ketertiban umum dan ketentraman umum dan
ketentraman masyarakat pada ketentuan ini termasuk penyelenggaraan
perlindungan masyarakat.
203
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
Huruf k
Cukup jelas
Huruf l
Cukup jelas
Huruf m
Cukup jelas
Huruf n
Cukup jelas
Huruf o
Cukup jelas
Huruf p
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan yang secara nyata ada” dalam
ketentuan ini sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi yang
dimiliki antara lain pertambangan, perikanan, pertanian, perkebunan,
kehutanan, pariwisata.
204
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Huruf c
Lihat penjelasan Pasal 13 ayat (1) huruf c.
Huruf d
Cukup jelas
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
Huruf k
Cukup jelas
Huruf l
Cukup jelas
Huruf m
Cukup jelas
Huruf n
Cukup jelas
Huruf o
Cukup jelas
205
Huruf p
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan yang secara nyata ada”
dalam ketentuan ini sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi
yang dimiliki antara lain pertambangan, perikanan, pertanian,
perkebunan, kehutanan, dan pariwisata.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Huruf b
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pengaturan administratif” dalam ketentuan ini
antara lain perizinan, kelaikan dan keselamatan.
Huruf c
Cukup jelas
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
206
Huruf f
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “garis pantai” dalam ketentuan ini adalah
perpotongan garis air rendah dengan daratan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “nelayan kecil” adalah nelayan masyarakat
tradisional Indonesia yang menggunakan bahan dan alat penangkapan
ikan secara tradisional, dan terhadapnya tidak dikenakan surat izin
usaha dan bebas dari pajak, serta bebas menangkap ikan di seluruh
pengelolaan perikanan dalam wilayah Republik Indonesia.
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Ayat (2)
Asas Umum Penyelenggaraan Negara dalam ketentuan ini sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme, ditambah asas
efisiensi dan asas efektivitas.
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
207
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Huruf b
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan instansi vertikal di daerah dalam huruf b ini
adalah perangkat departemen dan/atau lembagapemerintah non
departemen yang mengurus urusan pemerintahan yang tidak diserahkan
kepada daerah dalam wilayah tertentu dalam rangka dekonsentrasi.
Huruf c
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
208
Pasal 27
Ayat (1)
Huruf a
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kehidupan demokrasi” dalam ketentuan
ini antara lain penyerapan aspirasi, peningkatan partisipasi, serta
menindaklanjuti pengaduan masyarakat.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
Huruf k
Cukup jelas
Yang dimaksud dengan rapat Paripurna DPRD dalam ketentuan ini adalah
rapat Paripurna yang diselenggarakan setelah 3 (tiga) bulan terpilihnya
pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “menginformasikan” dalam ketentuan ini dilakukan
melalui media yang tersedia di daerah dan dapat diakses oleh publik sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
209
Ayat (3)
Ayat (4)
Ketentuan tentang laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah ini tidak
menutup adanya laporan lain baik atas kehendak kepala daerah atau atas
permintaan Pemerintah.
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 28
Huruf a
Huruf b
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan turut serta adalah menjadi direksi atau komisaris
suatu perusahaan.
Huruf c
Cukup jelas
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan tidak dapat melaksanakan tugas secara
berkelanjutan atau berhalangan tetap adalah menderita sakit yang
210
mengakibatkan baik fisik maupun mental tidak berfungsi secara normal
yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang berwenang
dan/atau tidak diketahui keberadaannya.
Huruf c
Huruf d
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak
menghapuskan tanggung jawab yang bersangkutan selama memangku
jabatannya.
Ayat (4)
Cukup jelas
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan putusan “bersifat final” dalam ketentuan ini
adalah putusan Mahkamah Agung tidak dapat ditempuh upaya hukum
lainnya.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan” dalam ketentuan ini adalah
putusan pengadilan tingkat pertama atau pada pengadilan negeri.
211
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “didakwa” dalam ketentuan ini adalah berkas
perkaranya telah dilimpahkan ke pengadilan dalam proses penuntutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan“krisis kepercayaan publik yang meluas” dalam
ketentuan ini adalah suatu situasi kehidupan di masyarakat yang sudah
mengganggu berjalannya penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan
daerah.
Ayat (2)
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
212
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Ayat (2)
Penyampaian permohonan penyelidikan dan penyidikan dimaksud disertai
uraian jelas tentang tindak pidana yang diduga telah dilakukan.
Ayat (4)
Penyampaian permohonan penyelidikan dan penyidikan dimaksud disertai
uraian jelas tentang tindak pidana yang diduga telah dilakukan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “wilayah provinsi” dalam ketentuan ini adalah
wilayah administrasi yang menjadi wilayah kerja Gubernur.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
213
Pasal 42
Ayat (1)
Huruf a
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”perjanjian internasional” dalam ketentuan
ini adalah perjanjian antar Pemerintah dengan pihak luar negeri
yang terkait dengan kepentingan daerah.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “kekosongan jabatan wakil kepala daerah” dalam
ketentuan ini adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).
Huruf f
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan “membentuk” dalam ketentuan ini adalah
termasuk pengajuan Rancangan Perda sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004.
Yang dimaksud dengan ”kerjasama internasional” dalam ketentuan
ini adalah kerjasama daerah dengan pihak luar negeri yang meliputi
kerjasama Kabupaten/Kota ”kembar”, kerjasama teknik termasuk
bantuan kemanusiaan, kerjasama penerusan pinjaman/hibah, kerjasama
penyertaan modal dan kerjasama lainnya sesuai dengan peraturan
perundangan.
Huruf h
Yang dimaksud dengan ”laporan keterangan pertanggungjawaban” dalam
ketentuan ini adalah laporan yang disampaikan oleh kepala daerah
setiap tahun dalam sidang Paripurna DPRD yang berkaitan dengan
penyelenggaraan tugas otonomi dan tugas pembantuan.
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
214
Huruf k
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”tugas dan wewenang” sebagaimana yang diatur
pada ayat (2) antara lain Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Pasal 43
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “hak Interpelasi” dalam ketentuan ini adalah hak
DPRD untuk meminta keterangan kepada kepala daerah mengenai
kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis yang berdampak
luas pada kehidupan masyarakat, daerah dan negara.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “hak Angket” dalam ketentuan ini adalah
pelaksanaan fungsi pengawasan DPRD untuk melakukan penyelidikan
terhadap suatu kebijakan tertentu kepala daerah yang penting dan
strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah
dan negara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundangundangan.
Huruf c
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “hak menyatakan pendapat” dalam ketentuan ini
adalah hak DPRD untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan
kepala daerah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah
disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut
pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
215
Ayat (5)
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Huruf a
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan “tindak lanjut” dalam ketentuan ini adalah pemberian
sanksi apabila terbukti adanya pelanggaran atau rehabilitasi nama baik
apabila tidak terbukti adanya pelanggaran.
Pasal 49
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “menjaga martabat dan kehormatan anggota DPRD”
dalam ketentuan ini termasuk menjaga martabat dan kehormatan DPRD.
216
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 50
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “anggota DPRD dari partai politik lain” dalam
ketentuan ini adalah keseluruhan anggota partai politik dimaksud
untuk bergabung ke satu fraksi lainnya.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “fraksi gabungan” adalah gabungan dari partai
politik untuk membentuk satu fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “jumlah komisi” dalam ketentuan ini adalah komisi
sebagai alat kelengkapan DPRD.
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Ayat (1)
Ayat (2)
Dalam hal anggota yang bersangkutan menyampaikan hal yang sama di luar
rapat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, maka ketentuan tersebut
tidak berlaku.
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
217
Pasal 53
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (3)
Penyampaian permohonan penyidikan dimaksud disertai uraian jelas tentang
tindak pidana yang diduga telah dilakukan.
Pejabat yang memberi ijin tidak dapat diwakilkan.
Ayat (4)
Huruf a
Huruf b
Cukup jelas
Yang dimaksud dengan “tindak pidana kejahatan terhadap keamanan
negara” termasuk terorisme, separatisme, dan makar.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Huruf b
Yang dimaksud dengan tidak dapat melaksanakan tugas secara
berkelanjutan atau berhalangan tetap adalah menderita sakit yang
mengakibatkan baik fisik maupun mental tidak berfungsi secara normal
yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang berwenang
dan/atau tidak diketahui keberadaannya.
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
218
Huruf d
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Ayat (1)
Ayat (2)
Jumlah yang diusulkan sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali jumlah anggota
panitia pengawas kecamatan.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
219
Pasal 58
Huruf a
Yang dimaksud dengan “bertakwa” dalam ketentuan ini dalam arti taat
menjalankan kewajiban agamanya.
Huruf b
- Yang dimaksud dengan “setia” dalam ketentuan ini adalah tidak pernah
terlibat gerakan separatis, tidak pernah melakukan gerakan secara
inkonstitusional atau dengan kekerasan untuk mengubah Dasar Negara
serta tidak pernah melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
- Yang dimaksud dengan “setia kepada pemerintah” dalam ketentuan ini
adalah yang mengakui pemerintah yang sah menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Huruf c
Huruf d
Cukup jelas
Huruf j
Ketentuan ini tidak dimaksudkan harus dengan memiliki Kartu Tanda
Penduduk daerah yang bersangkutan.
Huruf i
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud dengan “sekolah lanjutan tingkat atas dan/atau sederajat”
dalam ketentuan ini dibuktikan dengan surat tanda tamat belajar yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.
Cukup jelas
Huruf k
Cukup jelas
220
Huruf l
Huruf m
Cukup jelas
Huruf o
Cukup jelas
Huruf n
Yang dimaksud dengan “tidak pernah melakukan perbuatan tercela” dalam
ketentuan ini adalah tidak pernah melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan norma agama, norma kesusilaan, dan norma adat antara lain seperti
judi, mabuk, pecandu narkoba, dan zina.
Cukup jelas
Huruf p
Cukup jelas
Pasal 59
Ayat (1)
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “mekanisme yang demokratis dan transparan” dalam
ketentuan ini adalah mekanisme yang berlaku dalam partai politik
atau gabungan partai politik yang mencalonkan dan proses penyelenggaraan
serta keputusannya dapat diakses oleh publik.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (3)
Partai politik atau gabungan partai politik dalam ketentuan ini adalah partai
politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD.
Cukup jelas
Ayat (5)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pimpinan partai politik” adalah
dan sekretaris partai politik atau sebutan pimpinan lainnya
dengan kewenangan berdasarkan anggaran dasar/anggaran
tangga partai politik yang bersangkutan, sesuai dengan tingkat
pencalonannya.
ketua
sesuai
rumah
daerah
221
Huruf b
Huruf c
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Yang dimaksud dengan “jabatan negeri” dalam ketentuan ini adalah
jabatan struktural dan jabatan fungsional.
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
Huruf k
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
222
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “terbuka” dalam ketentuan ini wajib dihadiri oleh
pasangan calon, wakil partai politik atau gabungan partai politik yang
mengusulkan, pers dan wakil masyarakat.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Yang dimaksud dengan “pengawasan” dalam ketentuan ini adalah
pengawasan yang dilakukan melalui rapat DPRD dengan agenda laporan
KPUD tentang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah.
Huruf d
Cukup jelas
223
Huruf e
Huruf f
Cukup jelas
Yang dimaksud dengan “rapat paripurna” dalam ketentuan ini adalah
rapat paripurna DPRD yang tidak memerlukan korum, dihadiri oleh wakil
masyarakat dan terbuka untuk umum.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan “laporan pelanggaran” dalam ketentuan ini
adalah laporan yang disampaikan oleh pemantau dan masyarakat.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
224
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Cukup jelas
Pasal 86
Cukup jelas
225
Pasal 87
Cukup jelas
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Cukup jelas
Pasal 90
Cukup jelas
Pasal 91
Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Cukup jelas
Pasal 95
Cukup jelas
Pasal 96
Cukup jelas
Pasal 97
Cukup jelas
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
Cukup jelas
Pasal 100
Cukup jelas
226
Pasal 101
Cukup jelas
Pasal 102
Cukup jelas
Pasal 103
Cukup jelas
Pasal 104
Cukup jelas
Pasal 105
Cukup jelas
Pasal 106
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (5)
Dalam hal daerah tersebut belum terdapat pengadilan negeri, pengajuan
keberatan dapat disampaikan ke DPRD.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (7)
Putusan pengadilan tinggi yang bersifat final dalam ketentuan ini
adalah putusan pengadilan tinggi yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dan tidak bisa lagi ditempuh upaya hukum.
Pasal 107
Ayat (1)
Cukup jelas
227
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
- Yang dimaksud dengan peroleh suara yang lebih luas adalah pasangan
calon yang unggul di lebih banyak jumlah kabupaten/kota untuk calon
Gubernur dan wakil Gubernur, pasangan calon yang unggul di lebih
banyak jumlah kecamatan untuk calon Bupati dan wakil Bupati, Walikota
dan wakil Walikota.
- Apabila diperoleh persebaran yang sama pada tingkat kabupaten/
kota untuk Gubernur dan wakil Gubernur, pasangan calon terpilih
ditentukan berdasarkan persebaran tingkat kecamatan,kelurahan/desa,
dan seterusnya. Hal yang sama berlaku untuk penetapan pasangan
calon Bupati dan wakil Bupati, Walikota dan wakil Walikota.
Ayat (4)
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 108
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
228
Ayat (5)
Calon yang diajukan untuk dipilih oleh DPRD dalam ketentuan ini harus
memenuhi persyaratan yang diatur dalam undang-undang ini.
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 109
Ayat (1)
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan 30 (tiga puluh) hari dalam ketentuan ini
dihitung sejak diterimanya usulan pengesahan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan 30 (tiga puluh) hari dalam ketentuan ini
dihitung sejak diterimanya usulan pengesahan.
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan 3 (tiga) hari dalam ketentuan ini dihitung sejak
diterimanya penetapan berita acara dari KPUD.
Pasal 110
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Pada waktu pengucapan sumpah/janji lazimnya dipakai kata-kata tertentu
sesuai dengan agama masing-masing, misalnya untuk penganut agama Islam
didahului dengan kata “Demi Allah” dan untuk penganut agama Kristen/
Katolik diakhiri dengan kata-kata “ Semoga Tuhan Menolong Saya”, untuk
agama budha diawali dengan ucapan “Demi Sang Hyang Adi Buddha”, dan
untuk agama Hindu diawali dengan ucapan “Om Atah Paramawisesa”.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 111
Ayat (1)
Cukup jelas
229
Ayat (2)
Ayat (3)
Cukup jelas
Yang dimaksud dengan rapat paripurna dalam ketentuan ini dapat
dilaksanakan di gedung DPRD atau di tempat lain yang dipandang
layak untuk itu.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal112
Cukup jelas
Pasal 113
Cukup jelas
Pasal 114
Cukup jelas
Pasal 115
Cukup jelas
Pasal 116
Cukup jelas
Pasal 117
Cukup jelas
Pasal 118
Cukup jelas
Pasal 119
Cukup jelas
Pasal120
Cukup jelas
Pasal 121
Cukup jelas
230
Pasal 122
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Dalam pengisian Sekretaris Daerah Provinsi, Gubernur mengajukan 3 (tiga)
calon yang memenuhi persyaratan kepada Presiden melalui Menteri Dalam
Negeri. Selanjutnya Menteri Dalam Negeri memberikan penilaian terhadap
calon-calon serta mengusulkan kepada Presiden terhadap salah satu calon
yang paling memenuhi persyaratan untuk diangkat oleh Presiden.
Ayat (3)
Dalam pengisian Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota,Bupati/Walikota
mengajukan 3 (tiga) calon yang memenuhi persyaratan kepada Gubernur.
Selanjutnya atas dasar usulan itu Gubernur berkonsultasi kepada Menteri
Dalam Negeri untuk memberikan penilaian terhadap calon-calon serta
memberikan persetujuan terhadap salah satu calon yang paling memenuhi
persyaratan untuk diangkat oleh Gubernur.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pembina“ pegawai negeri sipil dalam ketentuan ini
adalah pelaksanaan pengembangan profesionalisme dan karier pegawai
negeri sipil di daerah dalam rangka peningkatan kinerja.
Pasal 123
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (5)
Sekretariat DPRD dalam menyampaikan pertanggungjawaban kepada Kepala
Daerah harus melalui Sekretaris Daerah agar tercipta kinerja perangkat
daerah secara optimal.
231
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 124
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (3)
Kepala Dinas dalam menyampaikan pertanggungjawaban kepada Kepala
Daerah harus melalui Sekretaris Daerah agar tercipta kinerja perangkat
daerah secara optimal.
Pasal 125
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 126
Ayat (1)
Ayat (2)
Kecamatan adalah wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten
dan daerah kota.
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “mengkoordinasikan” pada ayat (3) bertujuan untuk
mendorong kelancaran berbagai kegiatan ditingkat kecamatan kearah
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Yang dimaksud dengan “membina“ pada ayat (3) ini antara lain dalam
bentuk fasilitasi pembuatan peraturan desa, terwujudnya administrasi tata
pemerintahan desa yang baik.
232
Ayat (4)
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 127
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (3)
Kelurahan adalahwilayah kerja Lurahsebagai perangkat daerah kabupaten/
kota dalam wilayah kerja kecamatan.
Yang dimaksud dengan lembaga lain dalam ayat ini adalah lembaga
kemasyarakatan seperti Rukun Tetangga, Rukun Warga, PKK, Karang Taruna,
dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat.
Ayat (9)
Cukup jelas
233
Pasal 128
Ayat (1)
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “faktor-faktor tertentu“ dalam ketentuan ini
adalah beban tugas, cakupan wilayah, jumlah penduduk.
Yang dimaksud dengan “pengendalian“ dalam ketentuan ini adalah penerapan
prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi dalam melakukan
penataan organisasi perangkat daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 129
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Pegawai Negeri Sipil Daerah” dalam ketentuan pada
ayat (1) adalah pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 130
Cukup jelas
Pasal 131
Ayat (1)
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Badan Kepegawaian Negara dalam ketentuan ini
adalah Badan Kepegawaian Negara dan dalam hal tertentu dilakukan oleh
kantor regional BKN.
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 132
Cukup jelas
234
Pasal 133
Cukup jelas
Pasal 134
Cukup jelas
Pasal 135
Cukup jelas
Pasal 136
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Yang dimaksud dengan “bertentangan dengan kepentingan umum”
dalam ketentuan ini adalah kebijakan yang berakibat terganggunya
kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum, dan
terganggunya ketenteraman/ketertiban umum serta kebijakan yang bersifat
diskriminatif.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 137
Cukup jelas
Pasal 138
Cukup jelas
Pasal 139
Ayat (1)
Hak masyarakat dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan
Tata Tertib DPRD.
Ayat (2)
Cukup jelas
235
Pasal 140
Cukup jelas
Pasal 141
Cukup jelas
Pasal 142
Cukup jelas
Pasal 143
Ayat (1)
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “biaya paksaan penegakan hukum” dalam ketentuan
ini merupakan sanksi tambahan dalam bentuk pembebanan biaya
kepada pelanggar Perda di luar ketentuan yang diatur dalam ketentuan
pidana.
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 144
Cukup jelas
Pasal 145
Ayat (1)
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “DPRD bersama kepala mencabut Perda” dalam
ketentuan ini adalah dalam bentuk Perda tentang pencabutan Perda.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
236
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 146
Cukup jelas
Pasal 147
Cukup jelas
Pasal 148
Cukup jelas
Pasal 149
Cukup jelas
Pasal 150
Cukup jelas
Pasal 151
Cukup jelas
Pasal 152
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Huruf b
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan organisasi dan tata laksana dalam ketentuan ini
termasuk kecamatan, kelurahan, dan desa.
Huruf c
Cukup jelas
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
237
Huruf f
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Yang dimaksud dengan informasi dasar kewilayahan dalam ketentuan ini
termasuk batas wilayah dan lain-lain.
Huruf i
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 153
Cukup jelas
Pasal 154
Cukup jelas
Pasal 155
Cukup jelas
Pasal 156
Ayat (1)
Ayat (2)
Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat
dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat
dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban tersebut.
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 157
Huruf a
Angka (1)
Cukup jelas
238
Angka (2)
Angka (3)
Yang dimaksud dengan “lain-lain PAD yang sah” antara lain penerimaan
daerah di luar pajak dan retribusi daerah seperti jasa giro, hasil
penjualan aset daerah.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang
dipisahkan” antara lain bagian laba dari BUMD, hasil kerjasama dengan
pihak ketiga.
Angka (4)
Cukup jelas
Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan
kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan
desentralisasi.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”lain-lain pendapatan Daerah yang sah” antara lain
hibah atau dana darurat dari Pemerintah.
Pasal 158
Cukup jelas
Pasal 159
Cukup jelas
Pasal 160
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “Daerah penghasil sumber daya alam” dalam
ketentuan ini adalah daerah dimana sumber daya alam yang tersedia berada
pada wilayah yang berbatasan atau berada pada lebih dari satu daerah.
239
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 161
Cukup jelas
Pasal 162
Cukup jelas
Pasal 163
Yang dimaksud dengan penggunaan dalam ketentuan ini adalah pengalokasian
belanja daerah yang sesuai dengan kewajiban daerah sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 164
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “peristiwa tertentu” antara lain bencana alam.
Pasal 165
Cukup jelas
Pasal 166
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “krisis keuangan daerah” dalam ketentuan ini adalah
krisis solvabilitas yang dialami oleh daerah tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 167
Ayat (1)
Cukup jelas
240
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan peningkatan pelayanan dasar pendidikan dalam
ketentuan ini sekurang-kurangnya 20%.
Ayat (3)
- Yang dimaksud dengan Analisa Standar Belanja (ASB) adalah penilaian
kewajaranatas beban kerja dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan
suatu kegiatan.
- Yang dimaksud dengan Standar harga adalah harga satuan setiap unit
barang yang berlaku di suatu Daerah.
- Yang dimaksud dengan tolok ukur kinerja adalah ukuran keberhasilan
yang dicapai pada setiap satuan kerja perangkat daerah.
- Yang dimaksud dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah standar
suatu pelayanan yang memenuhi persyaratan minimal kelayakan.
- Termasuk dalamperaturan perundangan antara lain pedoman penyusunan
analisa standar belanja, standar harga, tolok ukur kinerja, dan standar
pelayanan minimal yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.
Pasal 168
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Belanja Pimpinan dan Anggota DPRD” dalam
ketentuan ini termasuk belanja Sekretariat DPRD.
Pasal 169
Cukup jelas
Pasal 170
Cukup jelas
Pasal 171
Cukup jelas
Pasal 172
Cukup jelas
Pasal 173
Cukup jelas
241
Pasal 174
Cukup jelas
Pasal 175
Cukup jelas
Pasal 176
Yang dimaksud insentif dan/atau kemudahan dalam ayat ini adalah pemberian
dari Pemerintah Daerah antara lain dalam bentuk penyediaan sarana, prasarana,
dana stimulan, pemberian modal usaha, pemberian bantuan teknis, keringanan
biaya dan percepatan pemberian ijin.
Pasal 177
Cukup jelas
Pasal 178
Cukup jelas
Pasal 179
Cukup jelas
Pasal 180
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “Pejabat Pengelola Keuangan Daerah” dalam ketentuan
ini yaitu Pejabat yang diberi kuasa oleh Kepala Daerah mengelola Keuangan
Daerah yang mempunyai tugas meliputi menyusun dan melaksanakan
kebijakan pengelolaan APBD, menyusun rancangan APBD dan rancangan
Perubahan APBD, mengelola akuntansi, menyusun laporan keuangan daerah
dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
Pasal 181
Cukup jelas
Pasal 182
Cukup jelas
242
Pasal 183
Cukup jelas
Pasal 184
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (3)
Standar Akuntansi Pemerintahan disusun oleh Komite Standar Akuntansi
Pemerintahan dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 185
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan evaluasi dalam ayat ini adalah bertujuan
untuk tercapainya keserasian antara kebijakan Daerah dan kebijakan
nasional, keserasian antara kepentingan publik dan kepentingan aparatur,
serta untuk meneliti sejauh mana APBD Provinsi tidak bertentangan dengan
kepentingan umum, peraturan yang lebih tinggi, dan Perda lainnya.
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 186
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan evaluasi dalam ayat ini adalah bertujuan untuk
tercapainya keserasian antara kebijakan Daerah dan kebijakan nasional,
keserasian antara kepentingan publik dan kepentingan aparatur, serta untuk
meneliti sejauh mana APBD Kabupaten/Kota tidak bertentangan dengan
kepentingan umum, peraturan yang lebih tinggi, dan Perda lainnya.
243
Ayat (2)
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (6)
Menteri Dalam Negeri segera menindaklanjuti hasil evaluasi sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan ini sebelum Rancangan Perda dan Rancangan
Peraturan Kepala Daerah disahkan.
Pasal 187
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pengesahan yang dimaksud dalam ketentuan ini dimuat dalam rancangan
peraturan kepala daerah pada bagian bawah halaman akhir disertai katakata “telah disahkan oleh Menteri Dalam Negeri/Gubernur dengan Surat ....
tanggal ....nomor.. .....”
Ayat (4)
Pengesahan yang dimaksud dalam ketentuan ini dimuat dalam rancangan
peraturan kepala daerah pada bagian bawah halaman akhir disertai katakata “telah disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri/Gubernur dengan
Surat ...... tanggal .....nomor.. .......” dan telah melewati batas waktu 30
(tiga puluh) hari.
Pasal 188
Cukup jelas
Pasal 189
Cukup jelas
244
Pasal 190
Cukup jelas
Pasal 191
Cukup jelas
Pasal 192
Ayat (1)
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “surat keputusan lain” dalam ketentuan ini antara
lain surat keputusan pengangkatan pegawai negeri sipil, surat pengangkatan
dalam jabatan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 193
Ayat (1)
Ayat (2)
Penempatan deposito hanya dapat dilakukan pada bank Pemerintah
dan investasi jangka pendek hanya dapat dilakukan pada kegiatan
yang mengandung resiko rendah.
Yang dimaksud dengan “bunga” dalam ketentuan ini termasuk perolehan
bagi hasil pada bank Syari’ah.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “masalah perdata” dalam ketentuan ini kemungkinan
adanya persoalan mengenai perdata seperti utang piutang, tagihan pajak
dan denda yang diupayakan penyelesaiannya di luar proses pengadilan.
Pasal 194
Cukup jelas
Pasal 195
Cukup jelas
245
Pasal 196
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “dapat dilaksanakan oleh Pemerintah” dalam
ketentuan ini didahului dengan upaya fasilitasi oleh Pemerintah.
Pasal 197
Cukup jelas
Pasal 198
Ayat (1)
Ayat (2)
Gubernur dalam menyelesaikan perselisihan tersebut dapat berkonsultasi
dengan Pemerintah.
Menteri Dalam Negeri dalam menyelesaikan perselisihan dapat berkonsultasi
dengan Presiden.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 199
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
246
Ayat (5)
Ayat (6)
Kawasan perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama
pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam, dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perdesaan, pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 200
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (3)
Desa yang menjadi kelurahan dalam ketentuan ini tidak seketika berubah
dengan adanya pembentukan pemerintahan kota, begitu pula desa yang
berada di perkotaan dalam pemerintahan kabupaten.
Pasal 201
Cukup jelas
Pasal 202
Ayat (1)
Ayat (2)
Desa yang dimaksud dalam ketentuan ini termasuk antara lain Nagari di
Sumatera Barat, Gampong di provinsi NAD, Lembang di Sulawesi Selatan,
Kampung di Kalimantan Selatan dan Papua, Negeri di Maluku.
Yang dimaksud dengan “Perangkat Desa lainnya” dalam ketentuan ini
adalah perangkat pembantu Kepala Desa yang terdiri dari Sekretariat Desa,
pelaksana teknis lapangan seperti kepala urusan, dan unsur kewilayahan
seperti kepala dusun atau dengan sebutan lain.
Ayat (3)
Sekretaris desa yang ada selama ini yang bukan Pegawai Negeri Sipil secara
bertahap diangkat menjadi pegawai negeri sipil sesuai peraturan perundangundangan.
247
Pasal 203
Cukup jelas
Pasal 204
Masa jabatan kepala desa dalam ketentuan ini dapat dikecualikan bagi kesatuan
masyarakat hukum adat yang keberadaannya masih hidup dan diakui yang
ditetapkan dengan Perda.
Pasal 205
Cukup jelas
Pasal 206
Cukup jelas
Pasal 207
Cukup jelas
Pasal 208
Cukup jelas
Pasal 209
Yang dimaksud dengan Badan Permusyawaratan Desa dalam ketentuan ini adalah
sebutan nama Badan Perwakilan Desa sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan.
Pasal 210
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “ wakil ” dalam ketentuan ini adalah penduduk desa
yang memangku jabatan seperti ketua rukun warga, pemangku adat, dan
tokoh masyarakat lainnya.
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
248
Pasal 211
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan lembaga kemasyarakatan desa dalam ketentuan ini
seperti: Rukun Tetangga, Rukun Warga, PKK, karang taruna, lembaga
pemberdayaan masyarakat.
Pasal 212
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/
Kota adalah bantuan yang bersumber dari APBN, APBD Provinsi, APBD
Kabupaten/Kota yang disalurkan melalui kas Desa dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan Desa.
Huruf e
Pendapatan asli desa meliputi; hasil usaha desa, hasil kekayaan
desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong dan lain-lain
pendapatan asli desa yang sah.
Yang dimaksud dengan “Sumbangan dari pihak ketiga” dalam ketentuan
ini dapat berbentuk hadiah, donasi, wakaf dan atau lain-lain sumbangan
serta pemberian sumbangan dimaksud tidak mengurangi kewajibankewajiban pihak penyumbang.
Ayat (4)
Cukup jelas
249
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 213
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Badan Usaha Milik Desa adalah badan hukum sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 214
Cukup jelas
Pasal 215
Cukup jelas
Pasal 216
Cukup jelas
Pasal 217
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “regional” dalam ketentuan ini adalah koordinasi
lintas provinsi dalam wilayah tertentu.
Ayat (3)
Cukup jelas
Yang dimaksud dengan “pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi”
kepada seluruh daerah dalam pelaksanaannya hingga pemerintahan desa.
Ayat (5)
Cukup jelas
250
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 218
Ayat (1)
Huruf a
Huruf b
Pengawasan yang dimaksud dalam ketentuan ini dimaksudkan agar
pelaksanaan berbagai urusan pemerintahan di daerah tetap dapat
berjalan sesuai dengan standar dan kebijakan Pemerintah berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan “Perda dan peraturan kepala daerah” dalam
ketentuan ini meliputi Perda provinsi dan peraturan Gubernur, Perda
kabupaten/kota dan peraturan Bupati/Walikota dan peraturan desa dan
peraturan kepala desa.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 219
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penghargaan“ dalam ketentuan ini adalah
salah satu wujudpembinaan dalam rangka pembinaan penyelenggaraan
pemerintahan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 220
Cukup jelas
Pasal 221
Cukup jelas
Pasal 222
Cukup jelas
251
Pasal 223
Cukup jelas
Pasal 224
Cukup jelas
Pasal 225
Cukup jelas
Pasal 226
Ayat (1)
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Undang-Undang tersendiri adalah Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 1999 tentang Daerah Khusus Ibu kota Jakarta, UndangUndang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Provinsi Daerah Istimewa Aceh, jo Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Cukup jelas
Ayat (3)
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah dilakukan lebih awal dari ketentuan
Undang-Undang ini karena terdapat beberapa kepala daerah yang
dipenjabatkan lebih dari satu kali. Karenanya diperlukan penetapan
kepala daerah definitif melalui pemilihan langsung. Dalam menetapkan
daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung
dilakukan dengan terlebih dahulu Komisi Independen Pemilihan dan DPRD
Kabupaten/Kota berkonsultasi dengan Penguasa Darurat Sipil Pusat melalui
Penguasa Darurat Sipil Daerah dan aparat keamanan setempat. Untuk
pelaksanaan pemilihan kepala daerah, maka sesuai Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dibentuk Komisi Independen
Pemilihan dengan 9 (sembilan) orang anggota. Anggota Komisi Independen
Pemilihan dari unsur KPU diisi oleh ketua dan anggota KPUD provinsi. Hal ini
dimaksudkan, karena pada saat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001
diundangkan belum ada ketentuan tentang KPUD yang bersifat tetap
dan independen sesuai dengan konstitusi.
252
Pasal 227
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Otonomi daerah di Provinsi DKI Jakarta bersifat tunggal sehingga
wilayah kota dan kabupaten di Provinsi DKI Jakarta tidak bersifat otonom.
Ayat (3)
Huruf a
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Provinsi DKI Jakarta dalam kedudukan sebagai ibukota negara memiliki
tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab tertentu yang berbeda
dengan daerah lain.
Yang dimaksud dengan keterpaduan dalam huruf c adalah keterpaduan
didalam proses penyusunan, substansi materi yang dimuat dan
pelaksanaan Rencana Umum Tata Ruang masing-masing daerah yang
difasilitasi dan disahkan berlakunya oleh Pemerintah.
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 228
Cukup jelas
Pasal 229
Yang dimaksud dengan batas daerah provinsi atau kabupaten/kota dalam
ketentuan ini meliputi :
a. Daerah yang berbatasandarat dengan negara tetangga garis batas wilayah­
nya sama dengan batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. Daerah yang berbatas laut dengan negara tetangga dan jaraknya kurang
dari 24 mil laut, garis batas kewenangan lautnya sama dengan batas
wilayah NKRI dengan negara tetangga yang diukur berdasarkan prinsip sama
jarak (garis tengah/middle line).
Pasal 230
Cukup jelas
253
Pasal 231
Cukup jelas
Pasal 232
Cukup jelas
Pasal 233
Cukup jelas
Pasal 234
Cukup jelas
Pasal 235
Cukup jelas
Pasal 236
Cukup jelas
Pasal 237
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan dalam ketentuan ini
antara lain peraturan perundang-undangan sektoral seperti Undang-Undang
Kehutanan, Undang-Undang Pengairan, Undang-Undang Perikanan, UndangUndang Pertanian, Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Pertanahan dan
Undang-Undang Perkebunan.
Pasal 238
Cukup jelas
Pasal 239
Cukup jelas
Pasal 240
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4437
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2004
TENTANG
PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB
KEUANGAN NEGARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa untuk mendukung keberhasilan penyelenggaraan
pemerintahan negara, keuangan negara wajib dikelola secara
tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien,
ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan;
b. bahwa untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara
sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu dilakukan pemeriksaan
berdasarkan standar pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan
yang bebas dan mandiri;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b, perlu dibentuk Undang-undang tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 23 dan Pasal
23E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
2. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286);
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
5, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4355);
255
256
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERIKSAAN
TANGGUNG JAWAB KEUANGAN NEGARA
PENGELOLAAN
DAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang
dilakukan secara independen, obyektif, dan profesional berdasarkan standar
pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan
informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
2.
Badan Pemeriksa Keuangan,yang selanjutnya disebut BPK, adalah Badan
Pemeriksa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3.
Pemeriksa adalah orang yang melaksanakan tugas pemeriksaan pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara untuk dan atas nama BPK.
4.
Pejabat yang diperiksa dan/atau yang bertanggung jawab, yang selanjutnya
disebut pejabat, adalah satu orang atau lebih yang diserahi tugas untuk
mengelola keuangan negara.
5.
Lembaga perwakilan adalah DPR, DPD, DPRD Provinsi dan/atau DPRD Kabupaten/
Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
6.
Pengelolaan Keuangan Negara adalah keseluruhan kegiatan pejabat pengelola
keuangan negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangannya, yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban.
7.
Tanggung Jawab Keuangan Negara adalah kewajiban Pemerintah untuk
melaksanakan pengelolaan keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan, dengan
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
257
8.
Standar pemeriksaan adalah patokan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara yang meliputi standar umum, standar
pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan yang wajib dipedomani oleh
BPK dan/atau pemeriksa.
9.
Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 56 ayat
(3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
10. Dokumen adalah data, catatan, dan/atau keterangan yang berkaitan dengan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, baik tertulis di atas kertas
atau sarana lain, maupun terekam dalam bentuk/corak apapun.
11. Opini adalah pernyataan profesional sebagai kesimpulan pemeriksa mengenai
tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan.
12. Rekomendasi adalah saran dari pemeriksa berdasarkan hasil pemeriksaannya,
yang ditujukan kepada orang dan/atau badan yang berwenang untuk melakukan
tindakan dan/atau perbaikan.
BAB II
LINGKUP PEMERIKSAAN
Pasal 2
(1) Pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan
negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara.
(2) BPK melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara.
Pasal 3
(1) Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan
oleh BPK meliputi seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
(2) Dalam hal pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan
undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada
BPK dan dipublikasikan.
Pasal 4
1)
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas pemeriksaan
keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
258
(2) Pemeriksaan Keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan.
(3) Pemeriksaan Kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan
negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta
pemeriksaan aspek efektivitas.
(4) Pemeriksaan dengan tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak
termasuk dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3).
Pasal 5
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilaksanakan berdasarkan
standar pemeriksaan.
(2) Standar pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh BPK,
setelah berkonsultasi dengan Pemerintah.
BAB III
PELAKSANAAN PEMERIKSAAN
Pasal 6
Penentuan obyek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan,
penentuan waktu dan metode pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian
laporan pemeriksaan dilakukan secara bebas dan mandiri oleh BPK.
Pasal 7
(1) Dalam merencanakan tugas pemeriksaan, BPK memperhatikan permintaan,
saran, dan pendapat lembaga perwakilan.
(2) Dalam rangka membahas permintaan, saran, dan pendapat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), BPK atau lembaga perwakilan dapat mengadakan
pertemuan konsultasi.
Pasal 8
Dalam merencanakan tugas pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (1), BPK dapat mempertimbangkan informasi dari pemerintah, bank
sentral, dan masyarakat.
Pasal 9
(1) Dalam menyelenggarakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara, BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat
pengawasan intern pemerintah.
259
(2) Untuk keperluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), laporan hasil pemeriksaan
intern pemerintah wajib disampaikan kepada BPK.
(3) Dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, BPK dapat menggunakan pemeriksa
dan/atau tenaga ahli dari luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama
BPK.
Pasal 10
Dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan, pemeriksa dapat:
a.
meminta dokumen yang wajib disampaikan oleh pejabat atau pihak lain yang
berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara;
b.
mengakses semua data yang disimpan di berbagai media, aset, lokasi, dan
segala jenis barang atau dokumen dalam penguasaan atau kendali dari entitas
yang menjadi obyek pemeriksaan atau entitas lain yang dipandang perlu
dalam pelaksanaan tugas pemeriksaannya;
c.
melakukan penyegelan tempat penyimpanan uang, barang, dan dokumen
pengelolaan keuangan negara;
d.
meminta keterangan kepada seseorang;
e.
memotret, merekam dan/atau mengambil sampel sebagai alat bantu
pemeriksaan.
Pasal 11
Dalam rangka meminta keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
huruf d, BPK dapat melakukan pemanggilan kepada seseorang.
Pasal 12
Dalam rangka pemeriksaan keuangan dan/atau kinerja, pemeriksa melakukan
pengujian dan penilaian atas pelaksanaan sistem pengendalian intern pemerintah.
Pasal 13
Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap
adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.
Pasal 14
(1)
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan
hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
260
(2)
Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
bersama oleh BPK dan Pemerintah.
BAB IV
HASIL PEMERIKSAAN DAN TINDAK LANJUT
Pasal 15
(1) Pemeriksa menyusun laporan hasil pemeriksaan setelah pemeriksaan selesai
dilakukan.
(2) Dalam hal diperlukan,
pemeriksaan.
pemeriksa
dapat
menyusun
laporan
interim
Pasal 16
(1) Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah memuat
opini.
(2) Laporan hasil pemeriksaan atas kinerja memuat temuan, kesimpulan, dan
rekomendasi.
(3) Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu memuat kesimpulan.
(4) Tanggapan pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas temuan,
kesimpulan, dan rekomendasi pemeriksa, dimuat atau dilampirkan pada
laporan hasil pemeriksaan.
Pasal 17
(1) Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat
disampaikan oleh BPK kepada DPR dan DPD selambat-lambatnya 2 (dua)
bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah pusat.
(2) Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah
disampaikan oleh BPK kepada DPRD selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah
menerima laporan keuangan dari pemerintah daerah.
(3) Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
disampaikan pula kepada Presiden/gubernur/ bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(4) Laporanhasil pemeriksaan kinerja disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai
dengan kewenangannya.
(5) Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu disampaikan kepada
DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya.
261
(6) Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)
disampaikan pula kepada Presiden/gubernur/ bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(7) Tata cara penyampaian laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur bersama
oleh BPK dan lembaga perwakilan sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 18
(1) Ikhtisarhasil pemeriksaan semester disampaikan kepada lembaga perwakilan
selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah berakhirnya semester yang
bersangkutan.
(2) Ikhtisarhasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan
pula kepada Presiden/gubernur/bupati/walikota selambat-lambatnya 3 (tiga)
bulan sesudah berakhirnya semester yang bersangkutan.
Pasal 19
(1) Laporan hasil pemeriksaan yang telah disampaikan kepada lembaga perwakilan,
dinyatakan terbuka untuk umum.
(2) Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk
laporan yang memuat rahasia negara yang diatur dalam peraturan perundangundangan.
Pasal 20
(1) Pejabatwajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.
(2) Pejabat wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK tentang tindak
lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.
(3) Jawaban atau penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan
kepada BPK selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah laporan hasil
pemeriksaan diterima.
(4) BPK memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(5) Pejabat yang diketahui tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
(6) BPK memberitahukan hasil pemantauan tindak lanjut sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) kepada lembaga perwakilan dalam hasil pemeriksaan semester.
262
Pasal 21
(1) Lembaga perwakilan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK dengan melakukan
pembahasan sesuai dengan kewenangannya.
(2) DPR/DPRD meminta penjelasan kepada BPK dalam rangka menindaklanjuti hasil
pemeriksaan.
(3) DPR/DPRD dapat meminta BPK untuk melakukan pemeriksaan lanjutan.
(4) DPR/DPRD dapat meminta Pemerintah untuk melakukan tindak lanjut hasil
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (3).
BAB V
PENGENAAN GANTI KERUGIAN NEGARA
Pasal 22
(1) BPK menerbitkan surat keputusan penetapan batas waktu pertanggungjawaban
bendahara atas kekurangan kas/barang yang terjadi, setelah mengetahui ada
kekurangan kas/barang dalam persediaan yang merugikan keuangan negara/
daerah.
(2) Bendahara dapat mengajukan keberatan atau pembelaan diri kepada BPK
dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima surat keputusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Apabila bendahara tidak mengajukan keberatan atau pembelaan dirinya ditolak,
BPK menetapkan surat keputusan pembebanan penggantian kerugian negara/
daerah kepada bendahara bersangkutan.
(4) Tata cara penyelesaian ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara
ditetapkan oleh BPK setelah berkonsultasi dengan pemerintah.
(5) Tata cara penyelesaian ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
berlaku pula bagi pengelola perusahaan umum dan perusahaan perseroan yang
seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki
oleh Negara Republik Indonesia, sepanjang tidak diatur dalam undang-undang
tersendiri.
Pasal 23
(1) Menteri/pimpinan lembaga/ gubernur/ bupati/ walikota/ direksi perusahaan
negara dan badan-badan lain yang mengelola keuangan negara melaporkan
penyelesaian kerugian negara/daerah kepada BPK selambat-lambatnya 60 (enam
puluh) hari setelah diketahui terjadinya kerugian negara/daerah dimaksud.
263
(2) BPK memantau penyelesaian pengenaan ganti kerugian negara/daerah
terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan/atau pejabat lain pada
kementerian negara/lembaga/ pemerintah daerah.
BAB VI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 24
(1) Setiap orang yang dengan sengaja tidak menjalankan kewajiban menyerahkan
dokumen dan/atau menolak memberikan keterangan yang diperlukan untuk
kepentingan kelancaran pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalangi, dan/atau
menggagalkan pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam)
bulan dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
(3) Setiap orang yang menolak pemanggilan yang dilakukan oleh BPK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 tanpa menyampaikan alasan penolakan secara tertulis
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/
atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(4) Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan atau membuat palsu dokumen
yang diserahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 25
(1) Setiap pemeriksa yang dengan sengaja mempergunakan dokumen yang diperoleh
dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 melampaui batas kewenangannya, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).
(2) Setiap pemeriksa yang menyalahgunakan kewenangannya sehubungan dengan
kedudukan dan/atau tugas pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
dipidana dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling
264
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda setinggi- tingginya Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Pasal 26
(1) Setiap pemeriksa yang dengan sengaja tidak melaporkan temuan pemeriksaan
yang mengandung unsur pidana yang diperolehnya pada waktu melakukan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang tidak memenuhi kewajiban untuk menindaklanjuti rekomendasi
yang disampaikan dalam laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6
(enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 27
(1) Ketentuan mengenai pemeriksaan atas laporan keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang ini dilaksanakan mulai sejak pemeriksaan atas laporan
keuangan Tahun Anggaran 2006.
(2) Penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang sedang dilakukan oleh BPK dan/
atau Pemerintah pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada sebelum
berlakunya Undang-undang ini.
(3) Tata cara penyelesaian ganti kerugian negara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (4) dan ayat (5) ditetapkan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun
setelah berlakunya Undang-undang ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
Pada saat Undang-undang ini berlaku, Instructie en Verdere Bepalingen voor de
Algemene Rekenkamer atau IAR (Staatsblad 1898 Nomor 9 sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Staatsblad 1933 Nomor 320) dinyatakan tidak berlaku.
265
Pasal 29
Undang-undang ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juli 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juli 2004
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 66
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2004
TENTANG
PEMERIKSAAN PENGELOLAAN DAN TANGGUNG JAWAB
KEUANGAN NEGARA
I.
UMUM
A.
Dasar Pemikiran
Untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara sesuai dengan ketentuan yang
telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
perlu dilakukan pemeriksaan oleh satu badan pemeriksa keuangan yang bebas dan
mandiri, sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 23E Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, sampai saat ini, BPK
masih berpedoman kepada Instructie en Verdere Bepalingen voor de Algemene
Rekenkamer atau IAR (Staatsblad 1898 Nomor 9 sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Staatsblad 1933 Nomor 320).
Sampai saat ini BPK, yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1973
tentang Badan Pemeriksa Keuangan, masih belum memiliki landasan operasional
yang memadai dalam pelaksanaan tugasnya untuk memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara. Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, selain berpedoman pada IAR, dalam
pelaksanaan pemeriksaan BPK juga berpedoman pada Indische Comptabiliteitswet
atau ICW (Staatsblad 1925 Nomor 448 Jo. Lembaran Negara 1968 Nomor 53).
Agar BPK dapat mewujudkan fungsinya secara efektif, dalam Undangundang ini diatur hal-hal pokok yang berkaitan dengan pemeriksaan pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara sebagai berikut:
267
268
1.
Pengertian pemeriksaan dan pemeriksa;
2.
Lingkup pemeriksaan;
3.
Standar pemeriksaan;
4.
Kebebasan dan kemandirian dalam pelaksanaan pemeriksaan;
5.
Akses pemeriksa terhadap informasi;
6.
Kewenangan untuk mengevaluasi pengendalian intern;
7.
Hasil pemeriksaan dan tindak lanjut;
8.
Pengenaan ganti kerugian negara;
9.
Sanksi pidana.
B. Lingkup Pemeriksaan BPK
Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pemeriksaan yang menjadi tugas BPK meliputi pemeriksaan
atas pengelolaan dan tanggung jawab mengenai keuangan negara. Pemeriksaan
tersebut mencakup seluruh unsur keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Sehubungan dengan itu, kepada BPK diberi kewenangan untuk melakukan
3 (tiga) jenis pemeriksaan, yakni:
1. Pemeriksaan keuangan, adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Pemeriksaan keuangan ini dilakukan oleh
BPK dalam rangka memberikan pernyataan opini tentang tingkat kewajaran
informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pemerintah.
2.Pemeriksaan kinerja, adalah pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi,
serta pemeriksaan atas aspek efektivitas yang lazim dilakukan bagi kepentingan
manajemen oleh aparat pengawasan intern pemerintah.
Pasal 23E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengamanatkan BPK untuk melaksanakan pemeriksaan kinerja pengelolaan
keuangan negara. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk mengidentifikasikan
hal- hal yang perlu menjadi perhatian lembaga perwakilan. Adapun untuk
pemerintah, pemeriksaan kinerja dimaksudkan agar kegiatan yang dibiayai
dengan keuangan negara/daerah diselenggarakan secara ekonomis dan efisien
serta memenuhi sasarannya secara efektif.
3.
Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, adalah pemeriksaan yang dilakukan
dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja.
Termasuk dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas
hal-hal lain yang berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif.
269
Pelaksanaan pemeriksaan sebagaimana dimaksudkan di atas didasarkan
pada suatu standar pemeriksaan. Standar dimaksud disusun oleh BPK dengan
mempertimbangkan standar di lingkungan profesi audit secara internasional.
Sebelum standar dimaksud ditetapkan, BPK perlu mengkonsultasikannya dengan
pihak pemerintah serta dengan organisasi profesi di bidang pemeriksaan.
C. Pelaksanaan Pemeriksaan
BPK memiliki kebebasan dan kemandirian dalam ketiga tahap pemeriksaan,
yakni perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan hasil pemeriksaan. Kebebasan
dalam tahap perencanaan mencakup kebebasan dalam menentukan obyek yang
akan diperiksa, kecuali pemeriksaan yang obyeknya telah diatur tersendiri dalam
undang-undang, atau pemeriksaan berdasarkan permintaan khusus dari lembaga
perwakilan.
Untuk mewujudkan perencanaan yang komprehensif, BPK dapat memanfaatkan
hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah, memperhatikan masukan
dari pihak lembaga perwakilan, serta informasi dari berbagai pihak. Sementara
itu kebebasan dalam penyelenggaraan kegiatan pemeriksaan antara lain meliputi
kebebasan dalam penentuan waktu pelaksanaan dan metode pemeriksaan, termasuk
metode pemeriksaan yang bersifat investigatif. Selain itu, kemandirian BPK dalam
pemeriksaan keuangan negara mencakup ketersediaan sumber daya manusia,
anggaran, dan sarana pendukung lainnya yang memadai.
BPK dapat memanfaatkan hasil pekerjaan yang dilakukan oleh aparat
pengawasan intern pemerintah. Dengan demikian, luas pemeriksaan yang akan
dilakukan dapat disesuaikan dan difokuskan pada bidang-bidang yang secara potensial
berdampak pada kewajaran laporan keuangan serta tingkat efisiensi dan efektivitas
pengelolaan keuangan negara. Untuk itu, aparat pengawasan intern pemerintah
wajib menyampaikan hasil pemeriksaannya kepada BPK.
BPK diberi kewenangan untuk mendapatkan data, dokumen, dan keterangan
dari pihak yang diperiksa, kesempatan untuk memeriksa secara fisik setiap aset
yang berada dalam pengurusan pejabat instansi yang diperiksa, termasuk melakukan
penyegelan untuk mengamankan uang, barang, dan/atau dokumen pengelolaan
keuangan negara pada saat pemeriksaan berlangsung.
D. Hasil Pemeriksaan dan Tindak Lanjut
Hasil setiap pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK disusun dan disajikan
dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) segera setelah kegiatan pemeriksaan
selesai.
270
Pemeriksaan keuangan akan menghasilkan opini. Pemeriksaan kinerja akan
menghasilkan temuan, kesimpulan, dan rekomendasi, sedangkan pemeriksaan
dengan tujuan tertentu akan menghasilkan kesimpulan. Setiap laporan hasil
pemeriksaan BPK disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai dengan kewenangannya
ditindaklanjuti, antara lain dengan membahasnya bersama pihak terkait.
Selain disampaikan kepada lembaga perwakilan, laporan hasil pemeriksaan
juga disampaikan oleh BPK kepada pemerintah. Dalam hal laporan hasil
pemeriksaan keuangan, hasil pemeriksaan BPK digunakan oleh pemerintah untuk
melakukan koreksi dan penyesuaian yang diperlukan, sehingga laporan keuangan
yang telah diperiksa (audited financial statements) memuat koreksi dimaksud
sebelum disampaikan kepada DPR/DPRD. Pemerintah diberi kesempatan untuk
menanggapi temuan dan kesimpulan yang dikemukakan dalam laporan hasil
pemeriksaan. Tanggapan dimaksud disertakan dalam laporan hasil pemeriksaan
BPK yang disampaikan kepada DPR/DPRD. Apabila pemeriksa menemukan unsur
pidana, Undang-undang ini mewajibkan BPK melaporkannya kepada instansi yang
berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BPK diharuskan menyusun ikhtisar hasil pemeriksaan yang dilakukan selama
1 (satu) semester. Ikhtisar dimaksud disampaikan kepada DPR/DPD/DPRD sesuai
dengan kewenangannya, dan kepada Presiden serta gubernur/ bupati/walikota
yang bersangkutan agar memperoleh informasi secara menyeluruh tentang hasil
pemeriksaan. Dalam rangka transparansi dan peningkatan partisipasi publik,
Undang-undang ini menetapkan bahwa setiap laporan hasil pemeriksaan yang sudah
disampaikan kepada lembaga perwakilan dinyatakan terbuka untuk umum. Dengan
demikian, masyarakat dapat memperoleh kesempatan untuk mengetahui hasil
pemeriksaan, antara lain melalui publikasi dan situs web BPK. Undang-undang ini
mengamanatkan pemerintah untuk menindaklanjuti rekomendasi BPK. Sehubungan
dengan itu, BPK perlu memantau dan menginformasikan hasil pemantauan atas tindak
lanjut tersebut kepada DPR/DPD/DPRD.
E. Pengenaan Ganti Kerugian Negara
Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 62 ayat (3) Undang-undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-undang ini mengatur lebih
lanjut tentang pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara. BPK
menerbitkan surat keputusan penetapan batas waktu pertanggungjawaban bendahara
atas kekurangan kas/barang yang terjadi, setelah mengetahui ada kekurangan kas/
barang dalam persediaan yang merugikan keuangan negara/daerah. Bendahara
tersebut dapat mengajukan keberatan terhadap putusan BPK. Pengaturan tata
271
cara penyelesaian ganti kerugian negara/daerah ini ditetapkan oleh BPK setelah
berkonsultasi dengan pemerintah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penyampaian laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat
ini diperlukan agar BPK dapat melakukan evaluasi pelaksanaan pemeriksaan
yang dilakukan oleh akuntan publik. Hasil pemeriksaan akuntan publik
dan evaluasi tersebut selanjutnya disampaikan oleh BPK kepada lembaga
perwakilan, sehingga dapat ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 4
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (4)
Pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi antara lain pemeriksaan atas
hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan
atas sistem pengendalian intern pemerintah.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
272
Ayat (2)
Dalam penyusunan standar pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat
ini, BPK menetapkan proses penyiapan standar dan berkonsultasi mengenai
substansi standar kepada Pemerintah. Proses penyiapan standar dimaksud
mencakup langkah-langkah yang perlu ditempuh secara cermat (due
process) dengan melibatkan organisasi terkait dan mempertimbangkan
standar pemeriksaan internasional agar dihasilkan standar yang diterima
secara umum.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Permintaan dimaksud dapat berupa hasil keputusan rapat paripurna, rapat
kerja, dan alat kelengkapan lembaga perwakilan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8
Informasi dari pemerintah termasuk dari lembaga independen yang dibentuk
dalam upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, seperti Komisi
Pemberantasan Korupsi, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha, dan Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
Informasi dari masyarakat termasuk hasil penelitian dan pengembangan,
kajian, pendapat dan keterangan organisasi profesi terkait, berita media
massa, pengaduan langsung dari masyarakat.
Pasal 9
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (3)
Penggunaan pemeriksa dan/atau tenaga ahli dari luar BPK dilakukan
apabila BPK tidak memiliki/tidak cukup memiliki pemeriksa dan/atau
tenaga ahli yang diperlukan dalam suatu pemeriksaan.
273
Pemeriksa dan/atau tenaga ahli dalam bidang tertentu dari luar
BPK dimaksud adalah pemeriksa di lingkungan aparat pengawasan intern
pemerintah, pemeriksa, dan/atau tenaga ahli lain yang memenuhi
persyaratan yang ditentukan oleh BPK.
Penggunaan pemeriksa yang berasal dari aparat pengawasan intern
pemerintah merupakan penugasan pimpinan instansi yang bersangkutan.
Pasal 10
Huruf a
Huruf b
Penyegelan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pemeriksa sebagai
salah satu bagian dari prosedur pemeriksaan paling lama 2 x 24 jam
dengan memperhatikan kelancaran pelaksanaan pekerjaan/ pelayanan di
tempat yang diperiksa. Penyegelan hanya dilakukan apabila pemeriksaan
atas persediaan uang, barang, dan/atau dokumen pengelolaan keuangan
negara terpaksa ditunda karena sesuatu hal. Penyegelan dilakukan untuk
mengamankan uang, barang, dan/atau dokumen pengelolaan keuangan
negara dari kemungkinan usaha pemalsuan, perubahan, pemusnahan,
atau penggantian pada saat pemeriksaan berlangsung.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada huruf d dilakukan
oleh pemeriksa untuk memperoleh, melengkapi, dan/atau meyakini
informasi yang dibutuhkan dalam kaitan dengan pemeriksaan.Yang dimaksud
dengan seseorang adalah perseorangan atau badan hukum.
Huruf e
Kegiatan pemotretan, perekaman, dan/atau pengambilan sampel (contoh)
fisik obyek yang dilakukan oleh pemeriksa bertujuan untuk memperkuat
dan/atau melengkapi informasi yang berkaitan dengan pemeriksaan.
Pasal 11
Tata cara pemanggilan dimaksud ditetapkan oleh BPK setelah berkonsultasi
dengan Pemerintah.
274
Pasal 12
Pengujian dan penilaian dimaksud termasuk atas pelaksanaan sistem kendali
mutu dan hasil pemeriksaan aparat pemeriksa intern pemerintah.
Dengan pengujian dan penilaian dimaksud BPK dapat meningkatkan efisiensi
dan efektifitas pelaksanaan pemeriksaan.
Hasil pengujian dan penilaian tersebut menjadi masukan bagi pemerintah
untuk memperbaiki pelaksanaan sistem pengendalian dan kinerja pemeriksaan
intern.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Laporan interim pemeriksaan dimaksud, diterbitkan sebelum suatu
pemeriksaan selesai secara keseluruhan dengan tujuan untuk segera
dilakukan tindakan pengamanan dan/atau pencegahan bertambahnya
kerugian.
Pasal 16
Ayat (1)
Opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran
informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan
pada kriteria (i) kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, (ii)
kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), (iii) kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan, dan (iv) efektivitas sistem pengendalian
intern. Terdapat 4 (empat) jenis opini yang dapat diberikan oleh pemeriksa,
yakni (i) opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion), (ii) opini
wajar dengan pengecualian (qualified opinion), (iii) opini tidak wajar
(adversed opinion), dan (iv) pernyataan menolak memberikan opini
(disclaimer of opinion).
275
Ayat (2)
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan laporan keuangan pemerintah pusat pada ayat ini
adalah laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Ayat (2)
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan laporan keuangan pemerintah daerah pada ayat
ini adalah laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 Undangundang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Laporan hasil pemeriksaan yang terbuka untuk umum berarti dapat
diperoleh dan/atau diakses oleh masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas
276
Pasal 20
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Tindak lanjut atas rekomendasi dapat berupa pelaksanaan seluruh atau
sebagian dari rekomendasi.Dalam hal sebagian atau seluruh rekomendasi
tidak dapat dilaksanakan, pejabat wajib memberikan alasan yang sah.
Cukup jelas
Ayat (4)
Dalam rangka pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat ini, BPK
menatausahakan laporan hasil pemeriksaan dan menginventarisasi
permasalahan, temuan, rekomendasi, dan/atau tindak lanjut atas
rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.
Selanjutnya BPK menelaah jawaban atau penjelasan yang diterima dari
pejabat yang diperiksa dan/atau atasannya untuk menentukan apakah
tindak lanjut telah dilakukan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat berupa
pemeriksaan hal-hal yang berkaitan dengan keuangan, pemeriksaan kinerja,
dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Ayat (4)
Cukup jelas
277
Pasal 22
Ayat (1)
Ayat (2)
Pembelaan diri ditolak oleh BPK apabila bendahara tidak dapat membukti­
kan bahwa dirinya bebas dari kesalahan, kelalaian, atau kealpaan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (3)
Surat keputusan dimaksud pada ayat ini diterbitkan apabila belum ada
penyelesaian yang dilakukan sesuai dengan tata cara penyelesaian ganti
kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh BPK.
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4400
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2003
TENTANG
KEUANGAN NEGARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan
tujuan bernegara menimbulkan hak dan kewajiban negara yang
dapat dinilai dengan uang;
b. bahwa pengelolaan hak dan kewajiban negara sebagaimana
dimaksud pada huruf a telah diatur dalam Bab VIII UUD 1945;
c. bahwa Pasal 23C Bab VIII UUD 1945 mengamanatkan hal-hal
lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
hurufa, huruf b, dan huruf c perlu dibentuk Undangundang tentang Keuangan Negara;
Mengingat : Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18, Pasal
18A, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22D, Pasal 23, Pasal 23A,
Pasal 23B, Pasal 23C, Pasal 23D, Pasal 23E, dan Pasal 33 ayat (2), ayat
(3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah
diubah dengan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KEUANGAN NEGARA.
279
280
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1.
Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat
dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa
barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan
hak dan kewajiban tersebut.
2.
Pemerintah adalah pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah.
3.
Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disebut DPR adalah Dewan Perwakilan
Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.
4.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar 1945.
5.
Perusahaan Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya
dimiliki oleh Pemerintah Pusat.
6.
Perusahaan Daerah adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya
dimiliki oleh Pemerintah Daerah.
7.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut APBN,
adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat.
8.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD,
adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
9.
Penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara.
10. Pengeluaran negara adalah uang yang keluar dari kas negara.
11. Penerimaan daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah.
12. Pengeluaran daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah.
13. Pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai
penambah nilai kekayaan bersih.
14. Belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih.
15. Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai
penambah nilai kekayaan bersih.
281
16. Belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih.
17. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/
atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran
yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.
Pasal 2
Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi :
a.
hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan
melakukan pinjaman;
b.
kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan
negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c.
Penerimaan Negara;
d.
Pengeluaran Negara;
e.
Penerimaan Daerah;
f.
Pengeluaran Daerah;
g.
kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak
lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat
dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
negara/ perusahaan daerah;
h.
kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan
tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
i.
kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan
pemerintah.
Pasal 3
(1) Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundangundangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab
dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
(2) APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBNsetiap
tahun ditetapkan dengan undang-undang.
(3) APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap
tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(4) APBN/APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi,
distribusi, dan stabilisasi.
282
(5) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban
negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam
APBN.
(6) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban
daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam
APBD.
(7) Surplus penerimaan negara/daerah dapat digunakan untuk membiayai
pengeluaran negara/daerah tahun anggaran berikutnya.
(8) Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (7) untuk membentuk dana cadangan atau penyertaan pada Perusahaan
Negara/Daerah harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPR/
DPRD.
Pasal 4
Tahun Anggaran meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari
sampai dengan tanggal 31 Desember.
Pasal 5
(1) Satuan hitung dalam penyusunan, penetapan, dan pertanggungjawaban APBN/
APBD adalah mata uang Rupiah.
(2) Penggunaan mata uang lain dalam pelaksanaan APBN/APBD diatur oleh Menteri
Keuangan sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku.
BAB II
KEKUASAAN ATAS PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA
Pasal 6
(1) Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan
keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.
(2) Kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) :
a.
dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil
Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan;
b.
dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/
Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
c.
diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan
daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah
dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
283
d.
tidak termasuk kewenangan dibidang moneter, yang meliputi antara
lain mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang diatur dengan undangundang.
Pasal 7
(1) Kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara digunakan untuk mencapai tujuan
bernegara.
(2) Dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan untuk mencapai tujuan
bernegara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setiap tahun disusun APBN
dan APBD.
Pasal 8
Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri
Keuangan mempunyai tugas sebagai berikut:
a)
menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro;
b)
menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN;
c)
mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran;
d)
melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan;
e)
melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan
undang-undang;
f)
melaksanakan fungsi bendahara umum negara;
g)
menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan
APBN;
h)
melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan
ketentuan undang-undang.
Pasal 9
Menteri/pimpinan lembaga sebagai Pengguna Anggaran/Pengguna Barang
kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya mempunyai tugas sebagai berikut:
a.
menyusun rancangan
pimpinnya;
anggaran
kementerian
negara/lembaga
yang
di­
b.
menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
c.
melaksanakananggaran kementerian negara/lembagayang dipimpinnya;
d.
melaksanakan pemungutan penerimaan negara bukan pajak dan menyetorkannya
ke Kas Negara;
284
e.
mengelola piutang dan utang negara yang menjadi tanggung jawab kementerian
negara /lembaga yang dipimpinnya;
f.
mengelola barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab
kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya;
g.
menyusun dan menyampaikan laporan keuangan kementerian negara/lembaga
yang dipimpinnya;
h.
melaksanakan tugas-tugas lain yang menjadi tanggung jawabnya berdasarkan
ketentuan undang-undang.
Pasal 10
(1) Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana tersebut dalam Pasal 6
ayat (2) huruf c :
a. dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah
selaku pejabat pengelola APBD;
b. dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat
pengguna anggaran/barang daerah.
(2) Dalam rangka pengelolaanKeuangan Daerah, Pejabat Pengelola Keuangan
Daerah mempunyai tugas sebagai berikut :
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD;
b. menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD;
c. melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan
dengan Peraturan Daerah;
d. melaksanakan fungsi bendahara umum daerah;
e. menyusun laporan keuangan yang merupakan per-tanggungjawaban
pelaksanaan APBD.
(3) Kepala satuankerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/
barang daerah mempunyai tugas sebagai berikut:
a. menyusun anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
b. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
c. melaksanakan
dipimpinnya;
anggaran
satuan
kerja
perangkat
daerah
yang
d. melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;
e. mengelola utang piutang daerah yang menjadi tanggung jawab satuan
kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
285
f. mengelola barang milik/kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab
satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
g. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan satuan kerja perangkat
daerah yang dipimpinnya.
BAB III
PENYUSUNAN DAN PENETAPAN APBN
Pasal 11
(1) APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap
tahun dengan undang-undang.
(2) APBN terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.
(3) Pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak,
dan hibah.
(4) Belanja negara dipergunakan untuk keperluan penyeleng-garaan tugas
pemerintahan pusat dan pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah.
(5) Belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.
Pasal 12
(1) APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara
dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara.
(2) Penyusunan Rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman
kepada rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan
bernegara.
(3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan
untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN.
(4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, Pemerintah Pusat dapat mengajukan
rencana penggunaan surplus anggaran kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 13
(1) Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka
ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat
selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan.
(2) Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat membahas kerangka
ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh
286
Pemerintah Pusat dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN tahun
anggaran berikutnya.
(3) Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal,
Pemerintah Pusat bersama Dewan Perwakilan Rakyat membahas kebijakan
umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian
negara/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran.
Pasal 14
(1) Dalam rangka penyusunan rancangan APBN, menteri/ pimpinan lembaga selaku
pengguna anggaran/pengguna barang menyusun rencana kerja dan anggaran
kementerian negara/lembaga tahun berikutnya.
(2) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun
berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.
(3) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai
dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran
yang sedang disusun.
(4) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan
rancangan APBN.
(5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada
Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan rancangan undang-undang tentang
APBN tahun berikutnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran
kementerian negara/lembaga diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 15
(1) Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN,
disertai nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan
Perwakilan Rakyat pada bulan Agustus tahun sebelumnya.
(2) Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang APBN dilakukan sesuai dengan
undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan
Rakyat.
(3) Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan
jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Undang-undang tentang
APBN.
287
(4) Pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan
Undang-undang tentang APBN dilakukan selambat- lambatnya 2 (dua) bulan
sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.
(5) APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi,
fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.
(6) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan Undangundang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah Pusat dapat
melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran
sebelumnya.
BAB IV
PENYUSUNAN DAN PENETAPAN APBD
Pasal 16
(1) APBD merupakan wujud pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap
tahun dengan Peraturan Daerah.
(2) APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.
(3) Pendapatan daerah berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan,
dan lain-lain pendapatan yang sah.
(4) Belanja daerah dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.
Pasal 17
(1) APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan
kemampuan pendapatan daerah.
(2) Penyusunan Rancangan APBD sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ber­
pedoman kepada rencana kerja Pemerintah Daerah dalam rangka mewujudkan
tercapainya tujuan bernegara.
(3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan
untuk menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
(4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, ditetapkan penggunaan surplus
tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
Pasal 18
(1) Pemerintah Daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran
berikutnya sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah, sebagai landasan
penyusunan RAPBD kepada DPRD selambat-lambatnya pertengahan Juni tahun
berjalan.
288
(2) DPRD membahas kebijakan umum APBD yang diajukan oleh Pemerintah Daerah
dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya.
(3) Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati dengan DPRD,
Pemerintah Daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membahas
prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap
Satuan Kerja Perangkat Daerah.
Pasal 19
(1) Dalam rangka penyusunan RAPBD, Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah
selaku pengguna anggaran menyusun rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja
Perangkat Daerah tahun berikutnya.
(2) Rencana kerjaSatuan KerjaPerangkat Daerah disusun dengan pendekatan
berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.
(3) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan
prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang
sudah disusun.
(4) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) dan (2) disampaikan
kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD.
(5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada pejabat
pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan
Daerah tentang APBD tahun berikutnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran Satuan
Kerja Perangkat Daerah diatur dengan Peraturan Daerah.
Pasal 20
(1) Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentangAPBD,
disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD pada
minggu pertama bulan Oktober tahun sebelumnya.
(2) Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dilakukan sesuai
dengan undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan DPRD.
(3) DPRD dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah
penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang
APBD.
(4) Pengambilan keputusan oleh DPRD mengenai Rancangan Peraturan Daerah
tentang APBD dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran
yang bersangkutan dilaksanakan.
289
(5) APBD yang disetujui oleh DPRD terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi,
program, kegiatan, dan jenis belanja.
Apabila DPRD tidak menyetujui Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), untuk membiayai keperluan setiap bulan Pemerintah
Daerah dapat melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD
tahun anggaran sebelumnya.
BAB V
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA
PEMERINTAH PUSAT DAN BANK SENTRAL, PEMERINTAH DAERAH,
SERTA PEMERINTAH/LEMBAGA ASING
Pasal 21
Pemerintah Pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan
pelaksanaan kebijakan fiskal dan moneter.
Pasal 22
(1) Pemerintah Pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada Pemerintah Daerah
berdasarkan undang-undang perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2) Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada
Pemerintah Daerah atau sebaliknya.
(3) Pemberian pinjaman dan/atau hibah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilakukan setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Pemerintah Daerah dapat memberikan pinjaman kepada/menerima pinjaman
dari daerah lain dengan persetujuan DPRD.
Pasal 23
(1) Pemerintah Pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau menerima
hibah/pinjaman dari pemerintah/lembaga asingdengan persetujuan DPR.
(2) Pinjaman dan/atau hibah yang diterima Pemerintah Pusat sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat diteruspinjam-kan kepada Pemerintah
Daerah/Perusahaan Negara/ Perusahaan Daerah.
290
BAB VI
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH DAN PERUSAHAAN NEGARA,
PERUSAHAAN DAERAH, PERUSAHAAN SWASTA, SERTA
BADAN PENGELOLA DANA MASYARAKAT
Pasal 24
(1) Pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/penyertaan modal kepada
dan menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah.
(2) Pemberian pinjaman/hibah/penyertaan modal dan penerimaan pinjaman/hibah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN/
APBD.
(3) Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan
negara.
(4) Gubernur/bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan kepada
perusahaan daerah.
(5) Pemerintah Pusat dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan
negara setelah mendapat persetujuan DPR.
(6) Pemerintah Daerah dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan
daerah setelah mendapat persetujuan DPRD.
(7) Dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional,
Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan
modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR.
Pasal 25
(1) Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada badan
pengelola dana masyarakat yang mendapat fasilitas dari Pemerintah Pusat.
(2) Gubernur/bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan kepada
badan pengelola dana masyarakat yang mendapat fasilitas dari Pemerintah
Daerah.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) berlaku bagi badan
pengelola dana masyarakat yang mendapat fasilitas dari pemerintah.
291
BAB VII
PELAKSANAAN APBN DAN APBD
Pasal 26
(1) Setelah APBN ditetapkan dengan undang-undang, pelaksanaannya dituangkan
lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
(2) Setelah APBD ditetapkan dengan peraturan daerah, pelaksanaannya dituangkan
lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota.
Pasal 27
(1) Pemerintah Pusat menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama APBN dan
prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada DPR
selambat-lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk
dibahas bersama antara DPR dan Pemerintah Pusat.
(3) Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas
bersama DPR dengan Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan prakiraan
perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi:
a. perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang
digunakan dalam APBN;
b. perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
c. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit
organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja;
d. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya
harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.
(4) Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum
tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan
APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.
(5) Pemerintah Pusat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perubahan
APBN tahun anggaran yang bersangkutan berdasarkan perubahan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum tahun
anggaran yang bersangkutan berakhir.
Pasal 28
(1) Pemerintah Daerah menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama APBD
dan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya.
292
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada DPRD
selambat-lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan,
untuk dibahas bersama antara DPRD dan Pemerintah Daerah.
(3) Penyesuaian APBD dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan
dibahas bersama DPRD dengan Pemerintah Daerah dalam rangka penyusunan
prakiraan Perubahan atas APBD tahun anggaran yang bersangkutan, apabila
terjadi :
a.
perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum
APBD;
b.
keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran
antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja.
c.
keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus
digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.
(4) Dalam keadaan darurat Pemerintah Daerah dapat melakukan pengeluaran yang
belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan
perubahan APBD, dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.
(5) Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan
APBD tahun anggaran yang bersangkutan berdasarkan perubahan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) untuk mendapatkan persetujuan DPRD sebelum tahun
anggaran yang bersangkutan berakhir.
Pasal 29
Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan
APBN dan APBD ditetapkan dalam undang-undang yang mengatur perbendaharaan
negara.
BAB VIII
PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN APBN DAN APBD
Pasal 30
(1) Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban
pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa
oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah
tahun anggaran berakhir.
(2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBN,
Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri
dengan laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya.
293
Pasal 31
(1) Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan
yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6
(enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
(2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBD,
Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri
dengan laporan keuangan perusahaan daerah.
Pasal 32
(1) Bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD sebagai­
mana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 disusun dan disajikan sesuai dengan
standar akuntansi pemerintahan.
(2) Standar akuntansi pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun
oleh suatu komite standar yang independen dan ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah setelah terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari Badan
Pemeriksa Keuangan.
Pasal 33
Pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara diatur
dalam undang-undang tersendiri.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA, SANKSI ADMINISTRATIF, DAN GANTI RUGI
Pasal 34
(1) Menteri/Pimpinan lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota yang terbukti melaku­
kan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang
tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara
dan denda sesuai dengan ketentuan undang- undang.
(2) Pimpinan Unit Organisasi Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat
Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kegiatan anggaran yang telah
ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD
diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undangundang.
(3) (Presiden memberi sanksi administratif sesuai dengan ketentuan undangundang kepada pegawai negeri serta pihak-pihak lain yang tidak memenuhi
kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini.
294
Pasal 35
(1) Setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar
hukum atau melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang
merugikan keuangan negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud.
(2) Setiap orang yang diberi tugas menerima, menyimpan, membayar, dan/atau
menyerahkan uang atau surat berharga atau barang-barang negara adalah
bendahara yang wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada
Badan Pemeriksa Keuangan.
(3) Setiap bendahara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bertanggung jawab secara
pribadi atas kerugian keuangan negara yang berada dalam pengurusannya.
Ketentuan mengenai penyelesaian kerugian negara diatur di dalam undangundang mengenai perbendaharaan negara.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 36
(1) Ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja
berbasis akrual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13, 14, 15, dan 16
undang-undang ini dilaksanakan selambat-lambatnya dalam 5 (lima) tahun.
Selama pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual
belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan pengukuran berbasis kas.
(2) Batas waktu penyampaian laporan keuangan oleh pemerintah pusat/pemerintah
daerah, demikian pula penyelesaian pemeriksaan laporan keuangan pemerintah
pusat/pemerintah daerah oleh Badan Pemeriksa Keuangan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31, berlaku mulai APBN/APBD tahun 2006.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 37
Pada saat berlakunya undang-undang ini :
1.
Indische Comptabiliteitswet (ICW), Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1968 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor
53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2860);
295
2.
Indische Bedrijvenwet (IBW) Stbl. 1927 Nomor 419 jo. Stbl. 1936 Nomor
445;
3.
Reglement voor het Administratief Beheer (RAB) Stbl. 1933 Nomor 381; sepanjang
telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 38
Ketentuan pelaksanaan sebagai tindak lanjut undang-undang ini sudah selesai
selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak undang-undang ini diundangkan.
Pasal 39
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Telah sah
pada tanggal 5 April 2003
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 April 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 47.
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2003
TENTANG
KEUANGAN NEGARA
I.
UMUM
1.
Dasar Pemikiran
Dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam
alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dibentuk pemerintahan
negara yang menyelenggarakan fungsi Dasar Pemikiran pemerintahan dalam
berbagai bidang. Pembentukan pemerintahan negara tersebut menimbulkan
hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu
dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara.
Sebagai suatunegara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan hukum, dan
menyelenggarakan pemerintahan negara berdasarkan konstitusi, sistem
pengelolaan keuangan negara harus sesuai dengan aturan pokok yang ditetapkan
dalam Undang-Undang Dasar. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab VIII Hal
Keuangan, antara lain disebutkan bahwa anggaran pendapatan dan belanja
negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang, dan ketentuan mengenai
pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara serta
macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang. Hal-hal lain
mengenai keuangan negara sesuai dengan amanat Pasal 23C diatur dengan
undang-undang.
Selama ini dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan negara masih digunakan
ketentuan perundang-undangan yang disusun pada masa pemerintahan kolonial
Hindia Belanda yang berlaku berdasarkan Aturan Peralihan Undang-Undang
Dasar 1945, yaitu Indische Comptabiliteitswet yang lebih dikenal dengan
nama ICW Stbl. 1925 No. 448 selanjutnya diubah dan diundangkan dalam
297
298
Lembaran Negara 1954 Nomor 6, 1955 Nomor 49, dan terakhir Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1968, yang ditetapkan pertama kali pada tahun 1864 dan mulai
berlaku pada tahun 1867, Indische Bedrijvenwet (IBW) Stbl. 1927 No. 419 jo.
Stbl. 1936 No. 445 dan Reglement voor het Administratief Beheer (RAB) Stbl. 1933
No. 381. Sementara itu, dalam pelaksanaan pemeriksaan pertanggungjawaban
keuangan negara digunakan Instructie en verdere bepalingen voor de Algemeene
Rekenkamer (IAR) Stbl. 1933 No. 320. Peraturan perundang-undangan tersebut
tidak dapat mengakomodasikan berbagai perkembangan yang terjadi dalam
sistem kelembagaan negara dan pengelolaan keuangan pemerintahan negara
Republik Indonesia. Oleh karena itu, meskipun berbagai ketentuan tersebut
secara formal masih tetap berlaku, secara materiil sebagian dari ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan dimaksud tidak lagi dilaksanakan.
Kelemahan perundang-undangan dalam bidang keuangan negara menjadi
salah satu penyebab terjadinya beberapa bentuk penyimpangan dalam
pengelolaan keuangan negara. Dalam upaya menghilangkan penyimpangan
tersebut dan mewujudkan sistem pengelolaan fiskal yang berkesinambungan
(sustainable) sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam UndangUndang Dasar dan asas-asas umum yang berlaku secara universal dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara diperlukan suatu undang-undang yang
mengatur pengelolaan keuangan negara.
Upaya untuk menyusun undang-undang yang mengatur pengelolaan keuangan
negara telah dirintis sejak awal berdirinya negara Indonesia. Oleh karena
itu, penyelesaian Undang-undang tentang Keuangan Negara merupakan
kelanjutan dan hasil dari berbagai upaya yang telah dilakukan selama ini
dalam rangka memenuhi kewajiban konstitusional yang diamanatkan oleh
Undang-Undang Dasar 1945.
2.
Hal-hal Baru dan/atau Perubahan Mendasar dalam Ketentuan Pengelolaan
Keuangan Negara yang Diatur dalam Undang-undang ini
Hal-hal baru dan/atau perubahan mendasar dalam ketentuan keuangan
negara yang diatur dalam undang-undang ini meliputi pengertian dan ruang
lingkup keuangan negara, asas-asas umum pengelolaan keuangan negara,
kedudukan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan
negara, pendelegasian kekuasaan Presiden kepada Menteri Keuangan dan
Menteri/Pimpinan Lembaga, susunan APBN dan APBD, ketentuan mengenai
penyusunan dan penetapan APBN dan APBD, pengaturan hubungan keuangan
antara pemerintah pusat dan bank sentral, pemerintah daerah dan pemerintah/
lembaga asing, pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah dengan
299
perusahaan negara, perusahaan daerah dan perusahaan swasta, dan badan
pengelola dana masyarakat, serta penetapan bentuk dan batas waktu
penyampaian laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD.
Undang-undang ini juga telah mengantisipasi perubahan standar akuntansi
di lingkungan pemerintahan di Indonesia yang mengacu kepada perkembangan
standar akuntansi di lingkungan pemerintahan secara internasional.
3. Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Negara
Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah
dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud
dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang
dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang
fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta
segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan
milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh
obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai
oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan
badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses,
Keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan
dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan
kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban.
Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan
hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek
sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
negara.
Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan
dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub
bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
4. Asas-asas Umum Pengelolaan Keuangan Negara
Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggara­an
negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional,
terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah
ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar. Sesuai dengan amanat Pasal 23C
Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang tentang Keuangan Negara perlu
menjabarkan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar
tersebut ke dalam asas-asas umum yang meliputi baik asas-asas yang telah
300
lama
asas
baru
baik)
dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan,
universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas
sebagai pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang
dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain :
X
akuntabilitas berorientasi pada hasil;
X
profesionalitas;
X
proporsionalitas;
X
keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara;
X
pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.
Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya
prinsip- prinsip pemerintahan daerah sebagaimana yang telah dirumuskan
dalam Bab VI Undang-Undang Dasar 1945. Dengan dianutnya asas-asas umum
tersebut di dalam Undang-undang tentang Keuangan Negara, pelaksanaan
Undang-undang ini selain menjadi acuan dalam reformasi manajemen keuangan
negara, sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan
desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5. Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara
Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan
keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan
tersebut meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang
bersifat khusus. Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan
dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri
Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan
kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga
selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga
yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam bidang
keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah
Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada
hakekatnya adalah Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu
pemerintahan. Prinsip ini perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat
kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya
mekanisme checks and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan
profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.
Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan
fiskal dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan,
administrasi kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan.
301
Sesuai dengan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
negara sebagian kekuasaan Presiden tersebut diserahkan kepada Gubernur/
Bupati/Walikota selaku pengelola keuangan daerah. Demikian pula untuk
mencapai kestabilan nilai rupiah tugas menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
dilakukan oleh bank sentral.
6.
Penyusunan dan Penetapan APBN dan APBD
Ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN/APBD dalam undangundang ini meliputi penegasan tujuan dan fungsi penganggaran pemerintah,
penegasan peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan
dan penetapan anggaran, pengintegrasian sistem akuntabilitas kinerja
dalam sistempenganggaran, penyempurnaan klasifikasi anggaran, penyatuan
anggaran, dan penggunaan kerangka pengeluaran jangka menengah dalam
penyusunan anggaran.
Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi.
Sebagai instrumen kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan
pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan
dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Dalam upaya untuk meluruskan
kembali tujuan dan fungsi anggaran tersebut perlu dilakukan pengaturan
secara jelas peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan
dan penetapan anggaran sebagai penjabaran aturan pokok yang telah
ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Sehubungan dengan itu,
dalam undang-undang ini disebutkan bahwa belanja negara/belanja daerah
dirinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis
belanja. Hal tersebut berarti bahwa setiap pergeseran anggaran antarunit
organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja harus mendapat persetujuan
DPR/DPRD.
Masalah lain yang tidak kalah pentingnya dalam upaya memperbaiki
proses penganggaran di sektor publik adalah penerapan anggaran berbasis
prestasi kerja. Mengingat bahwa sistem anggaran berbasis prestasi kerja/hasil
memerlukan kriteria pengendalian kinerja dan evaluasi serta untuk menghindari
duplikasi dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/
lembaga/perangkat daerah, perlu dilakukan penyatuan sistem akuntabilitas
kinerja dalam sistem penganggaran dengan memperkenalkan sistem penyusunan
rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah.
Dengan penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga/
perangkat daerah tersebut dapat terpenuhi sekaligus kebutuhan akan anggaran
302
berbasis prestasi kerja dan pengukuran akuntabilitas kinerja kementerian/
lembaga/perangkat daerah yang bersangkutan.
Sejalan dengan upaya untuk menerapkan secara penuh anggaran berbasis
kinerja di sektor publik, perlu pula dilakukan perubahan klasifikasi anggaran
agar sesuai dengan klasifikasi yang digunakan secara internasional. Perubahan
dalam pengelompokan transaksi pemerintah tersebut dimaksudkan untuk
memudahkan pelaksanaan anggaran berbasis kinerja, memberikan gambaran
yang objektif dan proporsional mengenai kegiatan pemerintah, menjaga
konsistensi dengan standar akuntansi sektor publik, serta memudahkan
penyajian dan meningkatkan kredibilitas statistik keuangan pemerintah.
Selama ini anggaran belanja pemerintah dikelompokkan atas anggaran belanja
rutin dan anggaran belanja pembangunan. Pengelompokan dalam anggaran
belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan yang semula bertujuan
untuk memberikan penekanan pada arti pentingnya pembangunan dalam
pelaksanaannya telah menimbulkan peluang terjadinya duplikasi, penumpukan,
dan penyimpangan anggaran. Sementara itu, penuangan rencana pembangunan
dalam suatu dokumen perencanaan nasional lima tahunan yang ditetapkan
dengan undang-undang dirasakan tidak realistis dan semakin tidak sesuai dengan
dinamika kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dalam era globalisasi.
Perkembangan dinamis dalam penyelenggaraan pemerintahan membutuhkan
sistem perencanaan fiskal yang terdiri dari sistem penyusunan anggaran
tahunan yang dilaksanakan sesuai dengan Kerangka Pengeluaran Jangka
Menengah (Medium Term Expenditure Framework) sebagaimana dilaksanakan
di kebanyakan negara maju. Walaupun anggaran dapat disusun dengan baik,
jika proses penetapannya terlambat akan berpotensi menimbulkan masalah
dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, dalam undang-undang ini diatur secara
jelas mekanisme pembahasan anggaran tersebut di DPR/DPRD, termasuk
pembagian tugas antara panitia/komisi anggaran dan komisi- komisi pasangan
kerja kementerian negara/lembaga/perangkat daerah di DPR/DPRD.
7. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Bank Sentral, Pemerintah
Daerah, Pemerintah/Lembaga Asing, Perusahaan Negara, Perusahaan
Daerah, Perusahaan Swasta, serta Badan Pengelola Dana Masyarakat
Sejalan dengan semakin luas dan kompleksnya kegiatan pengelolaan keuangan
negara, perlu diatur ketentuan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah
dan lembaga-lembaga infra/supranasional. Ketentuan tersebut meliputi
hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral, pemerintah
303
daerah, pemerintah asing, badan/lembaga asing, serta hubungan keuangan
antara pemerintah dan perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan
swasta dan badan pengelola dana masyarakat. Dalam hubungan keuangan
antara pemerintah pusat dan bank sentral ditegaskan bahwa pemerintah pusat
dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan
fiskal dan moneter. Dalam hubungan dengan pemerintah daerah, undangundang ini menegaskan adanya kewajiban pemerintah pusat mengalokasikan
dana perimbangan kepada pemerintah daerah. Selain itu, undang-undang ini
mengatur pula perihal penerimaan pinjaman luar negeri pemerintah. Dalam
hubungan antara pemerintah dan perusahaan negara, perusahaan daerah,
perusahaan swasta, dan badan pengelola dana masyarakat ditetapkan bahwa
pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/penyertaan modal kepada dan
menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah setelah mendapat
persetujuan DPR/DPRD.
8. Pelaksanaan APBN dan APBD
Setelah APBN ditetapkan secara rinci dengan undang-undang, pelaksanaan­
nya dituangkan lebih lanjut dengan keputusan Presiden sebagai pedoman bagi
kementerian negara/lembaga dalam pelaksanaan anggaran. Penuangan dalam
keputusan Presiden tersebut terutama menyangkut hal-hal yang belum dirinci
di dalam undang-undang APBN, seperti alokasi anggaran untuk kantor pusat
dan kantor daerah kementerian negara/lembaga, pembayaran gaji dalam
belanja pegawai, dan pembayaran untuk tunggakan yang menjadi beban
kementerian negara/lembaga. Selain itu, penuangan dimaksud meliputi pula
alokasi dana perimbangan untuk provinsi/kabupaten/kota dan alokasi subsidi
sesuai dengan keperluan perusahaan/badan yang menerima.
Untuk memberikan informasi mengenai perkembangan pelaksanaan APBN/
APBD, pemerintah pusat/pemerintah daerah perlu menyampaikan laporan
realisasi semester pertamakepada DPR/DPRD pada akhir Juli tahun anggaran
yang bersangkutan. Informasi yang disampaikan dalam laporan tersebut menjadi
bahan evaluasi pelaksanaan APBN/APBD semester pertama dan penyesuaian/
perubahan APBN/APBD pada semester berikutnya.
Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan
APBN/APBD ditetapkan tersendiri dalam undang-undang yang mengatur
perbendaharaan negara mengingat lebih banyak menyangkut hubungan
administratif antarkementerian negara/lembaga di lingkungan pemerintah.
304
9. Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara
Salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas
pengelolaan keuangan negara adalah penyampaian laporan pertanggungjawaban
keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun
dengan mengikuti standar akuntansi pemerintah yang telah diterima secara
umum.
Dalam undang-undang ini ditetapkan bahwa laporan pertanggung-jawaban
pelaksanaan APBN/APBD disampaikan berupa laporan keuangan yang setidaktidaknya terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas
dan catatan atas laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar
akuntansi pemerintah. Laporan keuangan pemerintah pusat yang telah
diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPR
selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang
bersangkutan, demikian pula laporan keuangan pemerintah daerah yang
telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada
DPRD selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran
yang bersangkutan.
Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/walikota selaku pengguna anggaran/pengguna barang
bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Undangundang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi manfaat/hasil
(outcome). Sedangkan Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga
bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Undangundang tentang APBN, demikian pula Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah
bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Peraturan
Daerah tentang APBD, dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan
(output). Sebagai konsekuensinya, dalam undang-undang ini diatur sanksi yang
berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota, serta
Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat
Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah
ditetapkan dalam Undang- undang tentang APBN /Peraturan Daerah tentang
APBD. Ketentuan sanksi tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif
dan represif, serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-undang
tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan.
Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa
yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau
menyerahkan uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggungjawab
305
secara pribadi atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya.
Kewajiban untuk mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola
keuangan negara dimaksud merupakan unsur pengendalian intern yang andal.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Huruf a
Huruf b
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Cukup jelas
Huruf i
Kekayaan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam huruf i meliputi
kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan
pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga,
atau perusahaan negara/daerah.
Pasal 3
Ayat (1)
Setiap penyelenggara negara wajib mengelola keuangan negara secara
tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif,
306
transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan
dan kepatutan.
Pengelolaan dimaksud dalam ayat ini mencakup keseluruhan kegiatan
perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggungjawaban.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi
dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang
bersangkutan.
Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi
pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang
bersangkutan.
Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi
pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan
negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan
untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta
meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.
Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara
harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi
alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental
perekonomian.
Ayat (5)
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
307
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Kekuasaan pengelolaan Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam
ayat ini meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang
bersifat khusus. Kewenangan yang bersifat umum meliputi penetapan
arah, kebijakan umum, strategi, dan prioritas dalam pengelolaan APBN,
antara lain penetapan pedoman pelaksanaan dan pertanggungjawaban
APBN, penetapanpedoman penyusunan rencana kerja kementerian negara/
lembaga, penetapan gaji dan tunjangan, serta pedoman pengelolaan
Penerimaan Negara.
Kewenangan yang bersifat khusus meliputi keputusan/ kebijakan teknis
yang berkaitan dengan pengelolaan APBN, antara lain keputusan sidang
kabinet di bidang pengelolaan APBN, keputusan rincian APBN, keputusan
dana perimbangan, dan penghapusan aset dan piutang negara.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan lembaga adalah lembaga
negara dan lembaga pemerintah nonkementerian negara.
Di lingkungan lembaga negara, yang dimaksud dengan pimpinan
lembaga adalah pejabat yang bertangguing jawab atas pengelolaan
keuangan lembaga yang bersangkutan.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
308
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Huruf a
Huruf b
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Cukup jelas
Huruf e
Piutang dimaksud dalam ayat ini adalah hak negara dalam rangka
penerimaan negara bukan pajak yang pemungutannya menjadi tanggung
jawab kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.
Utang dimaksud dalam ayat ini adalah kewajiban negara kepada pihak ketiga
dalam rangka pengadaan barang dan jasa yang pembayarannya merupakan
tanggung jawab kementerian negara/lembaga berkaitan sebagai unit
pengguna anggaran dan/atau kewajiban lainnya yang timbul berdasarkan
undang-undang/keputusan pengadilan.
Huruf f
Huruf g
Cukup jelas
Penyusunan dan penyajian laporan keuangan dimaksud adalah dalam
rangka akuntabilitas dan keterbukaan dalam pengelolaan keuangan
negara, termasuk prestasi kerja yang dicapai atas penggunaan anggaran.
Huruf h
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
309
Ayat (2)
Huruf a
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Penyusunan dan penyajian laporan keuangan dimaksud adalah dalam
rangka akuntabilitas dan keterbukaan dalam pengelolaan keuangan
daerah, termasuk prestasi kerja yang dicapai atas penggunaan
anggaran.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
310
Ayat (2)
Ayat (3)
Dalam pungutan perpajakan tersebut termasuk pungutan bea masuk dan
cukai.
Ayat (4)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (5)
Rincian belanja negara menurut organisasi disesuaikan dengan susunan
kementerian negara/lembaga pemerintahan pusat.
Rincian belanja negara menurut fungsi antara lain terdiri dari pelayanan
umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup,
perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama,
pendidikan, dan perlindungan sosial.
Rincian belanja negara menurut jenis belanja (sifat ekonomi) antara lain
terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga,
subsidi, hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain.
Pasal 12
Ayat (1)
Ayat (2)
Dalam menyusun APBN dimaksud, diupayakan agar belanja operasional
tidak melampaui pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Cukup jelas
Ayat (3)
Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik
Bruto. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik
Bruto.
Ayat (4)
Penggunaan surplus anggaran perlu mempertimbangkan prinsip per­
tanggungjawaban antar generasi sehingga penggunaannya diutamakan
untuk pengurangan utang, pembentukan dana cadangan, dan peningkatan
jaminan sosial.
Pasal 13
Cukup jelas
311
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (5)
Perubahan Rancangan Undang-undang tentang APBN dapat diusulkan
oleh DPR sepanjang tidak mengakibatkan peningkatan defisit anggaran.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (4)
Rincian belanja daerah menurut organisasi disesuaikan dengan susunan
perangkat daerah/lembaga teknis daerah.
Rincian belanja daerah menurut fungsi antara lain terdiri dari pelayanan
umum, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan
dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan,
serta perlindungan sosial. Rincian belanja daerah menurut jenis belanja
(sifat ekonomi) antara lain terdiri dari belanja pegawai, belanja barang,
belanja modal, bunga, subsidi, hibah, dan bantuan sosial.
312
Pasal 17
Ayat (1)
Ayat (2)
Dalam menyusun APBD dimaksud, diupayakan agar belanja operasional
tidak melampaui pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Cukup jelas
Ayat (3)
Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Regional
Bruto daerah yang bersangkutan. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal
60% dari Produk Regional Bruto daerah yang bersangkutan.
Ayat (4)
Penggunaan surplus anggaran perlu mempertimbangkan prinsip per­
tanggungjawaban antar generasi, sehingga penggunaannya diutamakan
untuk pengurangan utang, pembentukan cadangan, dan peningkatan jaminan
sosial.
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (5)
Perubahan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dapat diusulkan oleh
DPRD sepanjang tidak mengakibatkan peningkatan defisit anggaran.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
313
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pemerintah wajib menyampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan salinan
setiap perjanjian pinjaman dan/atau hibah yang telah ditandatangani.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pemerintah wajib menyampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan salinan
setiap perjanjian pinjaman dan/atau hibah yang telah ditandatangani.
Pasal 24
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pemerintah wajib menyampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan salinan
setiap perjanjian pinjaman dan/atau hibah yang telah ditandatangani.
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
314
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan badan pengelola dana masyarakat dalam ayat
ini tidak termasuk perusahaan jasa keuangan yang telah diatur dalam
aturan tersendiri.
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pengeluaran tersebut dalam ayat ini termasuk belanja untuk keperluan
mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN
yang bersangkutan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
315
Ayat (3)
Ayat (4)
Cukup jelas
Pengeluaran tersebut dalam ayat ini termasuk belanja untuk keperluan
mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang
APBD yang bersangkutan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan diselesaikan selambatlambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari Pemerintah
Pusat.
Ayat (2)
Laporan Realisasi Anggaran selain menyajikan realisasi pendapatan
dan belanja, juga menjelaskan prestasi kerja setiap kementerian negara/
lembaga.
Pasal 31
Ayat (1)
Pemeriksaan laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan diselesaikan
selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan
dari Pemerintah Daerah.
Ayat (2)
Laporan Realisasi Anggaran selain menyajikan realisasi pendapatan dan
belanja, juga menjelaskan prestasi kerja satuan kerja perangkat daerah.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Apabila dalam waktu 2 (dua) bulan tidak memberikan pertimbangan yang
316
diminta, Badan Pemeriksa Keuangan dianggap menyetujui sepenuhnya
standar akuntansi pemerintahan yang diajukan oleh Pemerintah.
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Ayat (2)
Kebijakan yang dimaksud dalam ayat ini tercermin pada manfaat/hasil
yang harus dicapai dengan pelaksanaan fungsi dan program kementerian
negara/lembaga/pemerintahan daerah yang bersangkutan.
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelaksanaan Undangundang ini sudah harus selesai selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu)
tahun. Pelaksanaan penataan dimulai sejak ditetapkannya Undang-undang ini
dan sudah selesai dalam waktu 2 (dua) tahun.
Pasal 39
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4286
317
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 60 TAHUN 2008
TENTANG
SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 58 ayat (2) UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Sistem Pengendalian
Intern Pemerintah;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4355);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM PENGENDALIAN INTERN
PEMERINTAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1.
Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang integral pada tindakan dan
kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh
318
pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan
organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan
keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan
perundang-undangan.
2.
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, yang selanjutnya disingkat SPIP,
adalah Sistem Pengendalian Intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di
lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
3.
Pengawasan Intern adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi,
pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan
tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang
memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang
telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan
dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik.
4.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, yang selanjutnya disingkat
BPKP, adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang bertanggung jawab
langsung kepada Presiden.
5.
Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan
pengawasan intern adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang
bertanggung jawab langsung kepada menteri/pimpinan lembaga.
6.
Inspektorat Provinsi adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang
bertanggung jawab langsung kepada gubernur.
7.
Inspektorat Kabupaten/Kota adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang
bertanggung jawab langsung kepada bupati/walikota.
8.
Kementerian negara adalah organisasi dalam Pemerintahan Republik Indonesia
yang dipimpin oleh menteri untuk melaksanakan tugas dalam bidang
tertentu.
9.
Lembaga adalah organisasi non-kementerian negara dan instansi lain pengguna
anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan
perundang-undangan lainnya.
10. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
11. Instansi Pemerintah adalah unsur penyelenggara pemerintahan pusat atau unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
319
Pasal 2
(1) Untuk mencapai pengelolaan keuangan negara yang efektif, efisien, transparan,
dan akuntabel, menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota wajib
melakukan pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan pemerintahan.
(2) Pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan pemerintahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dengan berpedoman pada SPIP sebagaimana
diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
(3) SPIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertujuan untuk memberikan
keyakinan yang memadai bagi tercapainya efektivitas dan efisiensi pencapaian
tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara, keandalan pelaporan keuangan,
pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundangundangan.
BAB II
UNSUR SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
(1) SPIP terdiri atas unsur:
a. lingkungan pengendalian;
b. penilaian risiko;
c. kegiatan pengendalian;
d. informasi dan komunikasi; dan
e. pemantauan pengendalian intern.
(2) Penerapan unsur SPIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
menyatu dan menjadi bagian integral dari kegiatan Instansi Pemerintah.
Bagian Kedua
Lingkungan Pengendalian
Pasal 4
Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menciptakan dan memelihara lingkungan
pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk penerapan
Sistem Pengendalian Intern dalam lingkungan kerjanya, melalui:
320
a. penegakan integritas dan nilai etika;
b. komitmen terhadap kompetensi;
c. kepemimpinan yang kondusif;
d. pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan;
e. pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat;
f. penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber
daya manusia;
g. perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif; dan
h. hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait.
Pasal 5
Penegakan integritas dan nilai etika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf
a sekurang-kurangnya dilakukan dengan:
a. menyusun dan menerapkan aturan perilaku;
b. memberikan keteladanan pelaksanaan aturan perilaku pada setiap tingkat
pimpinan Instansi Pemerintah;
c. menegakkan tindakan disiplin yang tepat atas penyimpangan terhadap
kebijakan dan prosedur, atau pelanggaran terhadap aturan perilaku;
d. menjelaskan dan mempertanggungjawabkan adanya intervensi atau pengabaian
pengendalian intern; dan
e. menghapus kebijakan atau penugasan yang dapat mendorong perilaku tidak
etis.
Pasal 6
Komitmen terhadap kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b
sekurang-kurangnya dilakukan dengan:
a. mengidentifikasi dan menetapkan kegiatan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
tugas dan fungsi pada masing-masing posisi dalam Instansi Pemerintah;
b. menyusun standar kompetensi untuk setiap tugas dan fungsi pada masingmasing posisi dalam Instansi Pemerintah;
c. menyelenggarakan pelatihan dan pembimbingan untuk membantu pegawai
mempertahankan dan meningkatkan kompetensi pekerjaannya; dan
d. memilih pimpinan Instansi Pemerintah yang memiliki kemampuan manajerial
dan pengalaman teknis yang luas dalam pengelolaan Instansi Pemerintah.
321
Pasal 7
Kepemimpinan yang kondusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf
c sekurang-kurangnya ditunjukkan dengan:
a.
mempertimbangkan risiko dalam pengambilan keputusan;
b.
menerapkan manajemen berbasis kinerja;
c.
mendukung fungsi tertentu dalam penerapan SPIP;
d.
melindungi atas aset dan informasi dari akses dan penggunaan yang tidak
sah;
e.
melakukan interaksi secara intensif dengan pejabat pada tingkatan yang
lebih rendah; dan
f. merespon secara positif terhadap pelaporan yang berkaitan dengan keuangan,
penganggaran, program, dan kegiatan.
Pasal 8
(1) Pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf d sekurang-kurangnya dilakukan dengan:
a. menyesuaikan dengan ukuran dan sifat kegiatan Instansi Pemerintah;
b. memberikan kejelasan wewenang dan tanggung jawab dalam Instansi
Pemerintah;
c. memberikan kejelasan hubungan dan jenjang pelaporan intern dalam
Instansi Pemerintah;
d. melaksanakan evaluasi dan penyesuaian periodik terhadap struktur
organisasi sehubungan dengan perubahan lingkungan strategis; dan
e. menetapkan jumlah pegawai yang sesuai, terutama untuk posisi
pimpinan.
(2) Penyusunan struktur organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman
pada peraturan perundang-undangan.
Pasal 9
Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf e sekurang-kurangnya dilaksanakan dengan memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a.
wewenang diberikan kepada pegawai yang tepat sesuai dengan tingkat tanggung
jawabnya dalam rangka pencapaian tujuan Instansi Pemerintah;
322
b.
pegawai yang diberi wewenang sebagaimana dimaksud dalam huruf a memahami
bahwa wewenang dan tanggung jawab yang diberikan terkait dengan pihak
lain dalam Instansi Pemerintah yang bersangkutan; dan
c.
pegawai yang diberi wewenang sebagaimana dimaksud dalam huruf b
memahami bahwa pelaksanaan wewenang dan tanggung jawab terkait
dengan penerapan SPIP.
Pasal 10
(1) Penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber
daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf f dilaksanakan
dengan memperhatikan sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut:
a.
penetapan kebijakan dan prosedur sejak rekrutmen sampai dengan
pemberhentian pegawai;
b.
penelusuran latar belakang calon pegawai dalam proses rekrutmen;
dan
c.
supervisi periodik yang memadai terhadap pegawai.
(2) Penyusunan dan penerapan kebijakan pembinaan sumber daya manusia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada peraturan perundangundangan.
Pasal 11
Perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf g sekurang-kurangnya harus:
a.
memberikan keyakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan, efisiensi,
dan efektivitas pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi
Pemerintah;
b. memberikan peringatan dini dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko
dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah; dan
c. memelihara dan meningkatkan kualitas tata kelola penyelenggaraan tugas
dan fungsi Instansi Pemerintah.
Pasal 12
Hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf h diwujudkan dengan adanya mekanisme saling uji
antar Instansi Pemerintah terkait.
323
Bagian Ketiga
Penilaian Risiko
Pasal 13
(1) Pimpinan Instansi Pemerintah wajib melakukan penilaian risiko.
(2) Penilaian risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. identifikasi risiko; dan
b. analisis risiko.
(3) Dalam rangka penilaian risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan
Instansi Pemerintah menetapkan:
a. tujuan Instansi Pemerintah; dan
b. tujuan pada tingkatan kegiatan, dengan berpedoman pada peraturan
perundang-undangan.
Pasal 14
(1) Tujuan Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf
a memuat pernyataan dan arahan yang spesifik, terukur, dapat dicapai,
realistis, dan terikat waktu.
(2) Tujuan Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dikomunikasikan kepada seluruh pegawai.
(3) Untuk mencapai tujuan Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan:
a. strategi operasional yang konsisten; dan
b. strategi manajemen terintegrasi dan rencana penilaian risiko.
Pasal 15
Penetapan tujuan pada tingkatan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (3) huruf b sekurang-kurangnya dilakukan dengan memperhatikan ketentuan
sebagai berikut:
a. berdasarkan pada tujuan dan rencana strategis Instansi Pemerintah;
b. saling melengkapi, saling menunjang, dan tidak bertentangan satu dengan
lainnya;
c. relevan dengan seluruh kegiatan utama Instansi Pemerintah;
d. mengandung unsur kriteria pengukuran;
e. didukung sumber daya Instansi Pemerintah yang cukup; dan
f. melibatkan seluruh tingkat pejabat dalam proses penetapannya.
324
Pasal 16
Identifikasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a
sekurang-kurangnya dilaksanakan dengan:
a. menggunakan metodologi yang sesuai untuk tujuan Instansi Pemerintah dan
tujuan pada tingkatan kegiatan secara komprehensif;
b. menggunakan mekanisme yang memadai untuk mengenali risiko dari faktor
eksternal dan faktor internal; dan
c. menilai faktor lain yang dapat meningkatkan risiko.
Pasal 17
(1) Analisis risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b dilaksanakan
untuk menentukan dampak dari risiko yang telah diidentifikasi terhadap
pencapaian tujuan Instansi Pemerintah.
(2) Pimpinan Instansi Pemerintah menerapkan prinsip kehati-hatian dalam
menentukan tingkat risiko yang dapat diterima.
Bagian Keempat
Kegiatan Pengendalian
Pasal 18
(1) Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menyelenggarakan kegiatan pengendalian
sesuai dengan ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi Instansi
Pemerintah yang bersangkutan.
(2) Penyelenggaraan kegiatan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurang- kurangnya memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. kegiatan pengendalian diutamakan pada kegiatan pokok Instansi
Pemerintah;
b. kegiatan pengendalian harus dikaitkan dengan proses penilaian risiko;
c. kegiatan pengendalian yang dipilih disesuaikan dengan sifat khusus
Instansi Pemerintah;
d. kebijakan dan prosedur harus ditetapkan secara tertulis;
e. prosedur yang telah ditetapkan harus dilaksanakan sesuai yang ditetapkan
secara tertulis; dan
f.
kegiatan pengendalian dievaluasi secara teratur untuk memastikan
bahwa kegiatan tersebut masih sesuai dan berfungsi seperti yang
diharapkan.
325
(3)Kegiatan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. reviu atas kinerja Instansi Pemerintah yang bersangkutan;
b. pembinaan sumber daya manusia;
c. pengendalian atas pengelolaan sistem informasi;
d. pengendalian fisik atas aset;
e. penetapan dan reviu atas indikator dan ukuran kinerja;
f. pemisahan fungsi;
g. otorisasi atas transaksi dan kejadian yang penting;
h. pencatatan yang akurat dan tepat waktu atas transaksi dan kejadian;
i. pembatasan akses atas sumber daya dan pencatatannya;
j. akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya; dan
k. dokumentasi yang baik atas Sistem Pengendalian Intern serta transaksi
dan kejadian penting.
Pasal 19
Reviu atas kinerja Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (3) huruf a dilaksanakan dengan membandingkan kinerja dengan tolok ukur
kinerja yang ditetapkan.
Pasal 20
(1) Pimpinan Instansi Pemerintah wajib melakukan pembinaan sumber daya
manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf b.
(2) Dalam melakukan pembinaan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pimpinan Instansi Pemerintah harus sekurang-kurangnya:
a. mengkomunikasikan visi, misi, tujuan, nilai, dan strategi instansi kepada
pegawai;
b. membuat strategi perencanaan dan pembinaan sumber daya manusia
yang mendukung pencapaian visi dan misi; dan
c. membuat uraian jabatan, prosedur rekrutmen, program pendidikan dan
pelatihan pegawai, sistem kompensasi, program kesejahteraan dan
fasilitas pegawai, ketentuan disiplin pegawai, sistem penilaian kinerja,
serta rencana pengembangan karir.
Pasal 21
(1)Kegiatan pengendalian atas pengelolaan sistem informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf c dilakukan untuk memastikan akurasi
dan kelengkapan informasi.
326
(2) Kegiatan pengendalian atas pengelolaan sistem informasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. pengendalian umum; dan
b. pengendalian aplikasi.
Pasal 22
Pengendalian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf
a terdiri atas:
a. pengamanan sistem informasi;
b. pengendalian atas akses;
c. pengendalian atas pengembangan dan perubahan perangkat lunak aplikasi;
d. pengendalian atas perangkat lunak sistem;
e. pemisahan tugas; dan
f. kontinuitas pelayanan.
Pasal 23
Pengamanan sistem informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf
a sekurang-kurangnya mencakup:
a. pelaksanaan penilaian risiko secara periodik yang komprehensif;
b. pengembangan rencana yang secara jelas menggambarkan program pengamanan
serta kebijakan dan prosedur yang mendukungnya;
c. penetapan organisasi untuk mengimplementasikan dan mengelola program
pengamanan;
d. penguraian tanggung jawab pengamanan secara jelas;
e. implementasi kebijakan yang efektif atas sumber daya manusia terkait dengan
program pengamanan; dan
f. pemantauan efektivitas program pengamanan dan melakukan perubahan
program pengamanan jika diperlukan.
Pasal 24
Pengendalian atas akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf b
sekurang-kurangnya mencakup:
a.
klasifikasi sumber daya sistem informasi berdasarkan kepentingan dan
sensitivitasnya;
b. identifikasi pengguna yang berhak dan otorisasi akses ke informasi secara
formal;
327
c. pengendalian fisik dan pengendalian logik untuk mencegah dan mendeteksi
akses yang tidak diotorisasi; dan
d. pemantauan atas akses ke sistem informasi, investigasi atas pelanggaran,
serta tindakan perbaikan dan penegakan disiplin.
Pasal 25
Pengendalian atas pengembangan dan perubahan perangkat lunak aplikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c sekurang-kurangnya mencakup:
a. otorisasi atas fitur pemrosesan sistem informasi dan modifikasi program;
b. pengujian dan persetujuan atas seluruh perangkat lunak yang baru dan yang
dimutakhirkan; dan
c. penetapan prosedur untuk memastikan terselenggaranya pengendalian atas
kepustakaan perangkat lunak.
Pasal 26
Pengendalian atas perangkat lunak sistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 huruf d sekurang-kurangnya mencakup:
a. pembatasan akses ke perangkat lunak sistem berdasarkan tanggung jawab
pekerjaan dan dokumentasi atas otorisasi akses;
b. pengendalian dan pemantauan atas akses dan penggunaan perangkat lunak
sistem; dan
c. pengendalian atas perubahan yang dilakukan terhadap perangkat lunak
sistem.
Pasal 27
Pemisahan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf e sekurangkurangnya mencakup:
a. identifikasi tugas yang tidak dapat digabungkan dan penetapan kebijakan
untuk memisahkan tugas tersebut;
b. penetapan pengendalian akses untuk pelaksanaan pemisahan tugas; dan
c. pengendalian atas kegiatan pegawai melalui penggunaan prosedur, supervisi,
dan reviu.
Pasal 28
Kontinuitas pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf f sekurangkurangnya mencakup:
328
a. penilaian, pemberian prioritas, dan pengidentifikasian sumber daya pendukung
atas kegiatan komputerisasi yang kritis dan sensitif;
b.
langkah-langkah pencegahan dan minimalisasi potensi kerusakan dan terhentinya
operasi komputer;
c. pengembangan dan pendokumentasian rencana komprehensif untuk mengatasi
kejadian tidak terduga; dan
d.
pengujian secara berkala atas rencana untuk mengatasi kejadian tidak terduga
dan melakukan penyesuaian jika diperlukan.
Pasal 29
Pengendalian aplikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b
terdiri atas:
a. pengendalian otorisasi;
b. pengendalian kelengkapan;
c. pengendalian akurasi; dan
d. pengendalian terhadap keandalan pemrosesan dan file data.
Pasal 30
Pengendalian otorisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf a sekurangkurangnya mencakup:
a. pengendalian terhadap dokumen sumber;
b. pengesahan atas dokumen sumber;
c. pembatasan akses ke terminal entri data; dan
d. penggunaan file induk dan laporan khusus untuk memastikan bahwa seluruh
data yang diproses telah diotorisasi.
Pasal 31
Pengendalian kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf b
sekurang-kurangnya mencakup:
a. pengentrian dan pemrosesan seluruh transaksi yang telah diotorisasi ke
dalam komputer; dan
b. pelaksanaan rekonsiliasi data untuk memverifikasi kelengkapan data.
Pasal 32
Pengendalian akurasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf c sekurangkurangnya mencakup:
329
a. penggunaan desain entri data untuk mendukung akurasi data;
b. pelaksanaan validasi data untuk mengidentifikasi data yang salah;
c. pencatatan, pelaporan, investigasi, dan perbaikan
segera; dan
data yang salah dengan
d. reviu atas laporan keluaran untuk mempertahankan akurasi dan validitas
data.
Pasal 33
Pengendalian terhadap keandalan pemrosesan dan file data sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 huruf d sekurang-kurangnya mencakup:
a. penggunaan prosedur yang memastikan bahwa hanya program dan file data versi
terkini digunakan selama pemrosesan;
b. penggunaan program yang memiliki prosedur untuk memverifikasi bahwa
versi file komputer yang sesuai digunakan selama pemrosesan;
c. penggunaan program yang memiliki prosedur untuk mengecek internal file
header labels sebelum pemrosesan; dan
d. penggunaan aplikasi yang mencegah perubahan file secara bersamaan.
Pasal 34
(1) Pimpinan Instansi Pemerintah wajib melaksanakan pengendalian fisik atas aset
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf d.
(2) Dalam melaksanakan pengendalian fisik atas aset sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pimpinan Instansi Pemerintah wajib menetapkan, mengimplementasikan,
dan mengkomunikasikan kepada seluruh pegawai:
a. rencana identifikasi, kebijakan, dan prosedur pengamanan fisik; dan
b. rencana pemulihan setelah bencana.
Pasal 35
(1) Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menetapkan dan mereviu indikator dan
ukuran kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf e.
(2) Dalam melaksanakan penetapan dan reviu indikator dan pengukuran kinerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan Instansi Pemerintah harus:
a. menetapkan ukuran dan indikator kinerja;
b. mereviu dan melakukan validasi secara periodik atas ketetapan dan
keandalan ukuran dan indikator kinerja;
c. mengevaluasi faktor penilaian pengukuran kinerja; dan
330
d. membandingkan secara terus-menerus data capaian kinerja dengan
sasaran yang ditetapkan dan selisihnya dianalisis lebih lanjut.
Pasal 36
(1) Pimpinan Instansi Pemerintah wajib melakukan pemisahan fungsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf f.
(2) Dalam melaksanakan pemisahan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pimpinan Instansi Pemerintah harus menjamin bahwa seluruh aspek utama
transaksi atau kejadian tidak dikendalikan oleh 1 (satu) orang.
Pasal 37
(1) Pimpinan Instansi Pemerintah wajib melakukan otorisasi atas transaksi dan
kejadian yang penting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3)
huruf g.
(2) Dalam melakukan otorisasi atas transaksi dan kejadian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pimpinan Instansi Pemerintah wajib menetapkan
dan mengkomunikasikan syarat dan ketentuan otorisasi kepada seluruh
pegawai.
Pasal 38
(1) Pimpinan Instansi Pemerintah wajib melakukan pencatatan yang akurat dan
tepat waktu atas transaksi dan kejadian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (3) huruf h.
(2) Dalam melakukan pencatatan yang akurat dan tepat waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pimpinan Instansi Pemerintah perlu mempertimbangkan:
a. transaksi dan kejadian diklasifikasikan dengan tepat dan dicatat
segera; dan
b. klasifikasi dan pencatatan yang tepat dilaksanakan dalam seluruh siklus
transaksi atau kejadian.
Pasal 39
(1) Pimpinan Instansi Pemerintah wajib membatasi akses atas sumber daya
dan pencatatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf i
dan menetapkan akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf j.
(2) Dalam melaksanakan pembatasan akses atas sumber daya dan pencatatannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan Instansi Pemerintah wajib
331
memberikan akses hanyakepada pegawai yang berwenang dan melakukan
reviu atas pembatasan tersebut secara berkala.
(3) Dalam menetapkan akuntabilitasterhadap sumber daya dan pencatatannya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan Instansi Pemerintah wajib
menugaskan pegawai yang bertanggung jawab terhadap penyimpanan sumber
daya dan pencatatannya serta melakukan reviu atas penugasan tersebut secara
berkala.
Pasal 40
(1) Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menyelenggarakan dokumentasi yang
baik atas Sistem Pengendalian Intern serta transaksi dan kejadian penting
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf k.
(2) Dalam menyelenggarakan dokumentasi yang baik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) pimpinan Instansi Pemerintah wajib memiliki, mengelola,
memelihara, dan secara berkala memutakhirkan dokumentasi yang mencakup
seluruh Sistem Pengendalian Intern serta transaksi dan kejadian penting.
Bagian Kelima
Informasi dan Komunikasi
Pasal 41
Pimpinan Instansi Pemerintah wajib mengidentifikasi, mencatat,
mengkomunikasikan informasi dalam bentuk dan waktu yang tepat.
dan
Pasal 42
(1) Komunikasi atas informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 wajib
diselenggarakan secara efektif.
(2) Untuk menyelenggarakan komunikasi yang efektif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pimpinan Instansi Pemerintah harus sekurang-kurangnya:
a. menyediakan dan memanfaatkan berbagai bentuk dan sarana komunikasi;
dan
b. mengelola, mengembangkan, dan memperbarui sistem informasi secara
terus menerus.
332
Bagian Keenam
Pemantauan
Pasal 43
(1) Pimpinan Instansi Pemerintah wajib melakukan pemantauan Sistem Pengendalian
Intern.
(2) Pemantauan Sistem Pengendalian Intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui pemantauan berkelanjutan, evaluasi terpisah, dan tindak
lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya.
Pasal 44
Pemantauan berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat
(2) diselenggarakan melaluikegiatan pengelolaan rutin, supervisi, pembandingan,
rekonsiliasi, dan tindakan lain yang terkait dalam pelaksanaan tugas.
Pasal 45
(1) Evaluasiterpisah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) diselenggarakan
melalui penilaian sendiri, reviu, dan pengujian efektivitas Sistem Pengendalian
Intern.
(2) Evaluasiterpisah dapat dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah
atau pihak eksternal pemerintah.
(3) Evaluasiterpisah dapat dilakukan dengan menggunakan daftar uji pengendalian
intern sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 46
Tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43 ayat (2) harus segera diselesaikan dan dilaksanakan sesuai
dengan mekanisme penyelesaian rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya yang
ditetapkan.
BAB III
PENGUATAN EFEKTIVITAS PENYELENGGARAAN SPIP
Bagian Kesatu
Umum
333
Pasal 47
(1) Menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota bertanggung
jawab atas efektivitas penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern di
lingkungan masing-masing.
(2) Untuk memperkuat dan menunjang efektivitas Sistem Pengendalian Intern
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
a.
pengawasan intern atas penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi
Pemerintah termasuk akuntabilitas keuangan negara; dan
b.
pembinaan penyelenggaraan SPIP.
Bagian Kedua
Pengawasan Intern atas Penyelenggaraan Tugas dan
Fungsi Instansi Pemerintah
Pasal 48
(1) Pengawasan intern sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) huruf a
dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah.
(2) Aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melakukan pengawasan intern melalui:
a. audit;
b. reviu;
c. evaluasi;
d. pemantauan; dan
e. kegiatan pengawasan lainnya.
Pasal 49
(1) Aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
ayat (1) terdiri atas:
a. BPKP;
b. Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan
pengawasan intern;
c. Inspektorat Provinsi; dan
d. Inspektorat Kabupaten/Kota.
(2) BPKP melakukan pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara
atas kegiatan tertentu yang meliputi:
334
a. kegiatan yang bersifat lintas sektoral;
b. kegiatan kebendaharaan umum negara berdasarkan penetapan oleh
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara; dan
c. kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden.
(3) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan intern untuk kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b, Menteri Keuangan melakukan koordinasi
kegiatan yang terkait dengan Instansi Pemerintah lainnya.
(4) Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan
pengawasan intern melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam
rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian negara/lembaga yang
didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(5) Inspektorat Provinsi melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam
rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah provinsi
yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi.
(6) Inspektorat Kabupaten/Kota melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan
dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah
kabupaten/kota yangdidanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
kabupaten/kota.
Pasal 50
(1) Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) terdiri atas:
a. audit kinerja; dan
b. audit dengan tujuan tertentu.
(2) Audit kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan audit
atas pengelolaan keuangan negara dan pelaksanaan tugas dan fungsi Instansi
Pemerintah yang terdiri atas aspek kehematan, efisiensi, dan efektivitas.
(3) Audit dengan tujuan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
mencakup audit yang tidak termasuk dalam audit kinerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Pasal 51
(1) Pelaksanaan audit intern di lingkungan Instansi Pemerintah dilakukan oleh
pejabat yang mempunyai tugas melaksanakan pengawasan dan yang telah
memenuhi syarat kompetensi keahlian sebagai auditor.
(2) Syarat kompetensi keahlian sebagai auditor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dipenuhi melalui keikutsertaan dan kelulusan program sertifikasi.
335
(3) Kebijakan yang berkaitan dengan program sertifikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan oleh instansi pembina jabatan fungsional sesuai
peraturan perundang-undangan.
Pasal 52
(1) Untuk menjaga perilaku pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51
ayat (1) disusun kode etik aparat pengawasan intern pemerintah.
(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) wajib menaati kode
etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh organisasi profesi
auditor dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan pemerintah.
Pasal 53
(1) Untuk menjaga mutu hasil audit yang dilaksanakan aparat pengawasan intern
pemerintah, disusun standar audit.
(2) Setiap pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) wajib melaksana­
kan audit sesuai dengan standar audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Standar audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh organisasi profesi
auditor dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
Pasal 54
(1) Setelah melaksanakan tugas pengawasan, aparat pengawasan intern pemerin­
tah wajib membuat laporan hasil pengawasan dan menyampaikannya kepada
pimpinan Instansi Pemerintah yang diawasi.
(2) Dalam hal BPKP melaksanakan pengawasan atas kegiatan kebendaharaan umum
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b, laporan
hasil pengawasan disampaikan kepada Menteri Keuangan selaku Bendahara
Umum Negara dan kepada pimpinan Instansi Pemerintah yang diawasi.
(3) Secara berkala, berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), BPKP menyusun dan menyampaikan ikhtisar laporan hasil pengawasan
kepada Presiden dengan tembusan kepada Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara.
(4) Secara berkala, berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan
pengawasan intern, Inspektorat Provinsi, dan Inspektorat Kabupaten/Kota
menyusun dan menyampaikan ikhtisar laporan hasil pengawasan kepada
menteri/pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
336
kewenangan dan tanggung jawabnya dengan tembusan kepada Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.
Pasal 55
(1) Untuk menjaga mutu hasil audit aparat pengawasan intern pemerintah,
secara berkala dilaksanakan telaahan sejawat.
(2) Pedoman telaahan sejawat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun
oleh organisasi profesi auditor.
Pasal 56
Aparat pengawasan intern pemerintah dalam melaksanakan tugasnya harus
independen dan obyektif.
Pasal 57
(1) Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan
pengawasan intern melakukan reviu atas laporan keuangan kementerian
negara/lembaga sebelum disampaikan menteri/pimpinan lembaga kepada
Menteri Keuangan.
(2) Inspektorat Provinsi melakukan reviu atas laporan keuangan pemerintah
daerah provinsi sebelum disampaikan gubernur kepada Badan Pemeriksa
Keuangan.
(3) Inspektorat Kabupaten/Kota melakukan reviu atas laporan keuangan pemerintah
daerah kabupaten/kota sebelum disampaikan bupati/walikota kepada Badan
Pemeriksa Keuangan.
(4) BPKP melakukan reviu atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat sebelum
disampaikan Menteri Keuangan kepada Presiden.
(5) Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara menetapkan standar reviu
atas laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4) untuk digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan reviu
atas laporan keuangan oleh aparat pengawasan intern pemerintah.
Pasal 58
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pengawasan intern terhadap
akuntabilitas keuangan negara diatur dengan Peraturan Presiden.
337
Bagian Ketiga
Pembinaan Penyelenggaraan Sistem Pengendalian
Intern Pemerintah
Pasal 59
(1) Pembinaan penyelenggaraan SPIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
ayat (2) huruf b meliputi:
a. penyusunan pedoman teknis penyelenggaraan SPIP;
b. sosialisasi SPIP;
c. pendidikan dan pelatihan SPIP;
d. pembimbingan dan konsultansi SPIP; dan
e. peningkatan kompetensi auditor aparat pengawasan intern pemerintah.
(2) Pembinaan penyelenggaraan SPIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dilakukan
oleh BPKP.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 60
Ketentuan mengenai SPIP di lingkungan pemerintah daerah diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota dengan berpedoman
pada Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 61
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Agustus 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
338
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Agustus 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 127
339
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 60 TAHUN 2008
TENTANG
SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH
I.
UMUM
Undang-undang di bidang keuangan negara membawa implikasi perlunya sistem
pengelolaan keuangan negara yang lebih akuntabel dan transparan. Hal ini baru dapat
dicapai jika seluruh tingkat pimpinan menyelenggarakan kegiatan pengendalian
atas keseluruhan kegiatan di instansi masing-masing. Dengan demikian maka
penyelenggaraan kegiatan pada suatu Instansi Pemerintah, mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, sampai dengan pertanggungjawaban, harus dilaksanakan
secaratertib,terkendali, serta efisien dan efektif. Untuk itu dibutuhkan suatu sistem
yang dapat memberi keyakinan memadai bahwa penyelenggaraan kegiatan pada
suatu Instansi Pemerintah dapat mencapai tujuannya secara efisien dan efektif,
melaporkan pengelolaan keuangan negara secara andal, mengamankan aset
negara, dan mendorong ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Sistem
ini dikenal sebagai Sistem Pengendalian Intern yang dalam penerapannya harus
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan serta mempertimbangkan ukuran,
kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi Instansi Pemerintah tersebut.
Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara memerintahkan pengaturan lebih lanjut ketentuan mengenai
sistem pengendalian intern pemerintah secara menyeluruh dengan Peraturan
Pemerintah. Sistem Pengendalian Intern dalam Peraturan Pemerintah ini dilandasi
pada pemikiran bahwa Sistem Pengendalian Intern melekat sepanjang kegiatan,
dipengaruhi oleh sumber daya manusia, serta hanya memberikan keyakinan yang
memadai, bukan keyakinan mutlak.
340
Berdasarkan pemikiran tersebut, dikembangkan unsur Sistem Pengendalian
Intern yang berfungsi sebagai pedoman penyelenggaraan dan tolok ukur pengujian
efektivitas penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern. Pengembangan unsur
Sistem Pengendalian Intern perlu mempertimbangkan aspek biaya-manfaat (cost
and benefit), sumber daya manusia, kejelasan kriteria pengukuran efektivitas,
dan perkembangan teknologi informasi serta dilakukan secara komprehensif.
Unsur Sistem Pengendalian Intern dalam Peraturan Pemerintah ini mengacu
pada unsur Sistem Pengendalian Intern yang telah dipraktikkan di lingkungan
pemerintahan di berbagai negara, yang meliputi:
a. Lingkungan pengendalian
Pimpinan Instansi Pemerintah dan seluruh pegawai harus menciptakan dan
memelihara lingkungan dalam keseluruhan organisasi yang menimbulkan perilaku
positif dan mendukung terhadap pengendalian intern dan manajemen yang
sehat.
b. Penilaian risiko
Pengendalian intern harus memberikan penilaian atas risiko yang dihadapi
unit organisasi baik dari luar maupun dari dalam.
c. Kegiatan pengendalian
Kegiatan pengendalian membantu memastikan bahwa arahan pimpinan Instansi
Pemerintah dilaksanakan. Kegiatan pengendalian harus efisien dan efektif dalam
pencapaian tujuan organisasi.
d. Informasi dan komunikasi
Informasi harus dicatat dan dilaporkan kepada pimpinan Instansi Pemerintah
dan pihak lain yang ditentukan. Informasi disajikan dalam suatu bentuk dan
sarana tertentu serta tepat waktu sehingga memungkinkan pimpinan Instansi
Pemerintah melaksanakan pengendalian dan tanggung jawabnya.
e. Pemantauan
Pemantauan harus dapat menilai kualitas kinerja dari waktu ke waktu dan
memastikan bahwa rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya dapat segera
ditindaklanjuti.
Untuk memperkuat dan menunjang efektivitas penyelenggaraan Sistem
Pengendalian Intern dilakukan pengawasan intern dan pembinaan penye­
lenggaraan SPIP.
341
Pengawasan intern merupakan salah satu bagian dari kegiatan pengendalian
intern yang berfungsi melakukan penilaian independen atas pelaksanaan
tugas dan fungsi Instansi Pemerintah. Lingkup pengaturan pengawasan intern
mencakup kelembagaan, lingkup tugas, kompetensi sumber daya manusia,
kode etik, standar audit, pelaporan, dan telaahan sejawat. Pembinaan
penyelenggaraan SPIP meliputi penyusunan pedoman teknis penyelenggaraan,
sosialisasi, pendidikan dan pelatihan, dan pembimbingan dan konsultansi SPIP,
serta peningkatan kompetensi auditor aparat pengawasan intern pemerintah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penilaian risiko” adalah kegiatan penilaian atas
kemungkinan kejadian yang mengancam pencapaian tujuan dan sasaran
Instansi Pemerintah.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “lingkungan pengendalian” adalah kondisi dalam
Instansi Pemerintah yang memengaruhi efektivitas pengendalian intern.
Yang dimaksud dengan “kegiatan pengendalian” adalah tindakan yang
diperlukan untuk mengatasi risiko serta penetapan dan pelaksanaan
kebijakan dan prosedur untuk memastikan bahwa tindakan mengatasi
risiko telah dilaksanakan secara efektif.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “informasi” adalah data yang telah diolah
yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dalam rangka
penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah. Yang dimaksud
dengan “komunikasi” adalah proses penyampaian pesan atau informasi
342
denganmenggunakan simbol atau lambang tertentu baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk mendapatkan umpan balik.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “pemantauan pengendalian intern” adalah proses
penilaian atas mutu kinerja Sistem Pengendalian Intern dan proses yang
memberikan keyakinan bahwa temuan audit dan evaluasi lainnya
segera ditindaklanjuti.
Ayat (2)
Dalam menerapkan unsur SPIP, pimpinan Instansi Pemerintah bertanggung
jawab untuk mengembangkan kebijakan, prosedur dan praktik detil
untuk menyesuaikan dengan kegiatan Instansi Pemerintah dan untuk
memastikan bahwa unsur tersebut telah menyatu dan menjadi bagian
integral dari kegiatan Instansi Pemerintah.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Huruf a
Huruf b
Keteladanan diwujudkan dalam bentuk tindakan dan ucapan.
Huruf c
Aturan perilaku antara lain berisi standar etika dan pedoman perilaku
bagi pegawai Instansi Pemerintah yang disusun secara partisipatif pada
tingkat kementerian negara/lembaga, provinsi, dan kabupaten/kota.
Instansi Pemerintah dapat menyusun aturan perilaku yang lebih khusus
sesuai kebutuhan. Penerapan aturan perilaku tersebut dilaksanakan baik
dalam urusan kedinasan maupun kemasyarakatan.
Cukup jelas.
Huruf d
Dalam hal pimpinan Instansi Pemerintah mengintervensi atau mengabaikan
pengendalian intern maka pimpinan Instansi Pemerintah yang bersangkutan
harus menjelaskan dan mempertanggungjawabkan intervensi dan pengabaian
pengendalian intern.
343
Huruf e
Untuk menghapus kebijakan atau penugasan yang dapat mendorong peri­
laku tidak etis, pimpinan Instansi Pemerintah dituntut memiliki dasar yang
kuat dalam penetapan sasaran yang realistis dan dapat dicapai serta tidak
menuntut pegawainya untuk mencapai sasaran yang tidak realistis. Selain
itu, pimpinan Instansi Pemerintah harus menyediakan dan memberikan
penghargaan yang sepadan dengan prestasi kerjanya. Penghargaan ini
diberikan dalam rangka penegakan integritas dan kepatuhan terhadap
nilai etika.
Pasal 6
Huruf a
Huruf b
Standar kompetensi disusun berdasarkan analisis atas pengetahuan, keahlian,
dan kemampuan yang diperlukan secara tepat dalam rangka pelaksanaan
tugas dan fungsi.
Huruf c
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 7
Huruf a
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam mempertimbangkan risiko, pimpinan Instansi Pemerintah mengambil
keputusan setelah dengan cermat menganalisis risiko terkait dan menentukan
bagaimana risiko tersebut diminimalkan.
Yang dimaksud dengan ”fungsi tertentu” antara lain mencakup pencatatan
danpelaporan keuangan, sistem manajemen informasi, pengelolaan sumber
daya manusia, dan pengawasan baik intern maupun ekstern.
Huruf d
Cukup jelas.
344
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Kebijakan dan prosedur yang berkaitan dengan pembinaan sumber
daya manusia antara lain penetapan formasi, rekrutmen, pelatihan
prajabatan, pelatihan dalam jabatan, pengangkatan dalam pangkat
dan jabatan, penilaian prestasi pegawai, disiplin, penggajian, dan
pemberhentian.
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Yang dimaksud dengan “mekanisme saling uji” adalah mencocokkan data yang
saling terkait dari 2 (dua) atau lebih Instansi Pemerintah yang berbeda.
Pasal 13
Cukup jelas.
345
Pasal 14
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam menetapkan strategi manajemen terintegrasi dan rencana
penilaian risiko, pimpinan Instansi Pemerintah:
1. mempertimbangkan tujuan Instansi Pemerintah dan sumber risiko
yang relevan dari faktor internal dan faktor eksternal, dan
2. menetapkan struktur pengendalian untuk menangani risiko tersebut.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Huruf a
Huruf b
Metode identifikasi risiko dapat mencakup pemeringkatan (ranking activities)
secara kualitatif dan kuantitatif, pembahasan pada tingkat pimpinan,
prakiraan dan perencanaan strategis, serta pertimbangan terhadap temuan
audit dan evaluasi aparat pengawasan intern pemerintah.
Risiko yang berasal dari faktor eksternal misalnya peraturan perundangundangan baru, perkembangan teknologi, bencana alam, dan gangguan
keamanan. Risiko yang berasal dari faktor internal misalnya keterbatasan
dana operasional, sumber daya manusia yang tidak kompeten, peralatan
yang tidak memadai, kebijakan dan prosedur yang tidak jelas, dan suasana
kerja yang tidak kondusif.
Huruf c
Dalam menilai faktor lain yang dapat meningkatkan risiko, pimpinan
Instansi Pemerintah mempertimbangkan seluruh risiko akibat kegagalan
pencapaian tujuan dan keterbatasan anggaran yang pernah terjadi
antara lain disebabkan oleh pengeluaran program yang tidak tepat,
346
pelanggaran terhadap pengendalian dana, dan ketidaktaatan terhadap
peraturan perundang-undangan. Selain itu, pimpinan Instansi Pemerintah
mengidentifikasi setiap risiko yang melekat pada sifat misinya atau pada
signifikansi dan kompleksitas dari setiap program atau kegiatan spesifik yang
dilaksanakan.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tingkat risiko yang dapat diterima” adalah batas
toleransi risiko dengan mempertimbangkan aspek biaya dan manfaat.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Tolok ukur kinerja antara lain berbentuk target, anggaran, prakiraan, dan
kinerja periode yang lalu.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Huruf b
Cukup jelas.
Strategi perencanaan dan pembinaan sumber daya manusia mencakup
kebijakan, program, praktik yang menjadi acuan bagi Instansi Pemerintah
tersebut dan dapat mengidentifikasi kebutuhan sumber daya manusia
pada saat ini dan masa yang akan datang.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
347
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pengendalian umum”
meliputi struktur,
kebijakan dan prosedur yang berlaku terhadap seluruh operasional
komputer Instansi Pemerintah.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pengendalian aplikasi” meliputi struktur,
kebijakan, dan prosedur yang dirancang untuk membantu memastikan
kelengkapan, keakuratan, otorisasi sertakeabsahan semuatransaksi
selamapemrosesan aplikasi.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Huruf a
Huruf b
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pengendalian fisik” atau yang dikenal dengan
istilah physical control adalah pembatasan akses terhadap sumber daya
informasi secara fisik misalnya dengan memakai kartu akses ruangan
untuk memasuki suatu ruangan penyimpanan komputer.
Yang dimaksud dengan “pengendalian logik” atau yang dikenal dengan
istilah logical control adalah pembatasan akses terhadap sumber
daya informasi dengan menggunakan logika komputer misalnya
melaluipenggunaan kode akses (password) untuk memasuki suatu
sistem jaringan komunikasi.
Huruf d
Cukup jelas.
348
Pasal 25
Huruf a
Huruf b
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Huruf c
Prosedur untuk memastikan terselenggaranya pengendalian atas kepustakaan
perangkat lunak (software libraries) termasuk pemberian label, pembatasan
akses, dan penggunaan kepustakaan perangkat lunak yang terpisah.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Huruf a
Huruf b
Contoh langkah pencegahan dan minimalisasi potensi kerusakan dan
terhentinya operasi komputer antara lain melalui penggunaan prosedur
back-up data dan program, penyimpanan back-up data di tempat lain,
pengendalian atas lingkungan, pelatihan staf, serta pengelolaan dan
pemeliharaan perangkat keras.
Huruf c
Cukup jelas.
Contoh rencana untuk mengatasi kejadian tidak terduga (contingency plan)
misalnya langkah pengamanan apabila terjadi bencana alam, sabotase, dan
terorisme.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
349
Pasal 30
Huruf a
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “laporan khusus” (exception reporting) adalah
laporan yang mengungkapkan hal yang tidak normal seperti rekening
piutang yang bersaldo kredit, tanggal surat keputusan suatu permohonan
mendahului tanggal surat permohonan.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Huruf a
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam merancang entri data agar diperhatikan fitur yang mendukung
akurasi data. Misalnya, untuk field yang sudah terstandardisasi seperti unit
organisasi, pengentrian dilakukan dengan memasukkan nomor kode organisasi
dan komputer secara otomatis menampilkan nama unit organisasi.
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Pengendalian fisik atas aset dilakukan untuk mengamankan dan melindungi
aset yang berisiko.
350
Ayat (2)
Huruf a
Contoh kebijakan dan prosedur pengamanan fisik atas aset antara lain:
1. Aset yang berisiko hilang, dicuri, rusak, digunakan tanpa hak seperti
uang tunai, surat berharga, perlengkapan, persediaan, dan peralatan,
secara fisik diamankan dan akses ke aset tersebut dikendalikan.
2. Akses ke gedung dan fasilitas dikendalikan dengan pagar, penjaga,
dan/atau pengendalian fisik lainnya.
3. Akses ke fasilitas dibatasi dan dikendalikan diluar jam kerja.
Huruf b
Dalam praktik istilah rencana pemulihan setelah bencana dikenal dengan
disaster recovery plan.
Pasal 35
Ayat (1)
Penetapan dan reviu indikator dan ukuran kinerja bertujuan agar pengukuran
kinerja dapat dilakukan dengan tepat.
Ayat (2)
Huruf a
Ukuran dan indikator kinerja ditetapkan untuk tingkat Instansi
Pemerintah, kegiatan, dan pegawai.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Evaluasi atas faktor pengukuran kinerja dilakukan untuk meyakinkan
bahwa faktor tersebut seimbang dan terkait dengan misi, sasaran,
dan tujuan serta mengatur insentif yang pantas untuk mencapai tujuan
dengan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Pemisahan fungsi ditujukan untuk mengurangi risiko terjadinya kesalahan,
pemborosan, atau kecurangan.
351
Ayat (2)
Tanggung jawab dan tugas atas transaksi atau kejadian dipisah-pisahkan
dan dilimpahkan kepada pegawai yang berbeda secara sistematis untuk
menjamin adanya checks and balances dan mengurangi kesempatan
terjadinya kolusi. Aspek utama transaksi atau kejadian meliputi otorisasi,
persetujuan, pemrosesan dan pencatatan, pembayaran atau penerimaan
dana, reviu dan audit, serta penyimpanan dan penanganan aset.
Pasal 37
Ayat (1)
Otorisasi atas transaksi dan kejadian yang penting dilakukan untuk
memberikan keyakinan bahwa hanya transaksi dan kejadian yang valid yang
dilaksanakan.
Ayat (2)
Syarat dan ketentuan otorisasi sesuai dengan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan.
Pasal 38
Ayat (1)
Pencatatan yang akurat dan tepat waktu bertujuan agar tersedia informasi
yang relevan danterpercaya untuk pengambilan keputusan.
Ayat (2)
Huruf a
Klasifikasi yang tepatdan pencatatan yang segera dilakukan agar
informasi yang diperoleh tetap relevan, bernilai, dan bermanfaat bagi
pimpinan Instansi Pemerintah dalam mengendalikan kegiatan dan dalam
pengambilan keputusan. Klasifikasi yang tepat atas transaksi dan kejadian
mencakup pengaturan dan format informasi pada dokumen sumber dan
catatan ikhtisar (summary record) sebagai sumber pelaporan.
Huruf b
Siklus transaksi atau kejadian mencakup otorisasi, pelaksanaan,
pemrosesan, dan klasifikasiakhir dalam pencatatan ikhtisar.
Pasal 39
Cukup jelas.
352
Pasal 40
Ayat (1)
Pendokumentasian yang baik atas Sistem Pengendalian Intern serta
transaksi dan kejadian penting dilakukan agar kegiatan dapat dikendalikan
dan dievaluasi.
Ayat (2)
Dokumentasi atas Sistem Pengendalian Intern mencakup identifikasi,
penerapan, dan evaluasi atas tujuan dan fungsi Instansi Pemerintah pada
tingkat kegiatan serta pengendaliannya yang tercermin dalam kebijakan
administratif, pedoman akuntansi, dan pedoman lainnya.
Dokumentasi atas Sistem Pengendalian Intern juga mencakup dokumentasi
yang menggambarkan sistem informasi otomatis, pengumpulan dan pe­
nanganan data, serta pengendalian umum dan pengendalian aplikasi.
Dokumentasi atas transaksi dan kejadian penting dilaksanakan secara
lengkap dan akurat untuk memfasilitasi penelusuran transaksi dan kejadian
serta informasi terkait sejak otorisasi dan inisiasi, pemrosesan, dan
penyelesaian.
Pasal 41
Identifikasi, pencatatan, dan komunikasi informasi dilakukan untuk memudahkan
pelaksanaan pengendalian dan tanggung jawab.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Bentuk dan sarana untuk mengkomunikasikan informasi penting antara
lain berupa buku pedoman kebijakan dan prosedur, surat edaran,
memorandum, papan pengumuman, situs internet dan intranet, rekaman
video, e-mail, dan arahan lisan, termasuk pula tindakan pimpinan yang
mendukung implementasi Sistem Pengendalian Intern.
Huruf b
Dalam rangka mengelola, mengembangkan, dan memperbarui sistem
informasi, pimpinan Instansi Pemerintah perlu mempertimbangkan
manajemen sistem informasi, mekanisme identifikasi kebutuhan
353
informasi, perkembangan dan kemajuan teknologi informasi, pemantauan
mutu informasi, dan kecukupan sumber daya manusia dan keuangan
untuk pengembangan teknologi informasi.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pemantauan berkelanjutan” adalah penilaian atas
mutu kinerja Sistem Pengendalian Intern secara terus menerus dan menyatu
dalam kegiatan Instansi Pemerintah. Yang dimaksud dengan “evaluasi
terpisah” adalah penilaian atas mutu kinerja Sistem Pengendalian Intern
dengan ruang lingkup dan frekuensi tertentu berdasarkan pada penilaian
risiko dan efektivitas prosedur pemantauan yang berkelanjutan.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Ayat (2)
Evaluasi terpisah Instansi Pemerintah dilakukan dengan mempertimbangkan
lingkup dan frekuensi evaluasi, metodologi, dan sumber daya.
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam melakukan evaluasi terpisah, apabila diperlukan, evaluator dapat
menggunakan metode atau alat lain yang sesuai seperti pembandingan
(benchmarking), kuesioner, bagan arus (flowchart), dan teknik kuantitatif.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
354
Ayat (2)
Kegiatan audit, reviu, evaluasi, dan pemantauan merupakan kegiatan yang
berkaitan langsung dengan penjaminan kualitas (quality assurance).
Huruf a
Yang dimaksud dengan “audit” adalah proses identifikasi masalah,
analisis, dan evaluasi bukti yang dilakukan secara independen, obyektif
dan profesional berdasarkan standar audit, untuk menilai kebenaran,
kecermatan, kredibilitas, efektivitas, efisiensi, dan keandalan informasi
pelaksanaan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “reviu” adalah penelaahan ulang bukti-bukti
suatu kegiatan untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut telah
dilaksanakan sesuaidengan ketentuan, standar, rencana, atau norma
yang telah ditetapkan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “evaluasi” adalah rangkaian kegiatan mem­
bandingkan hasil atau prestasi suatu kegiatan dengan standar, rencana,
atau norma yang telah ditetapkan, dan menentukan faktor-faktor yang
mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan suatu kegiatan dalam
mencapai tujuan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pemantauan” adalah proses penilaian kemajuan
suatu program atau kegiatan dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Huruf e
Kegiatan pengawasan lainnya antara lain berupa sosialisasi mengenai
pengawasan, pendidikan dan pelatihan pengawasan, pembimbingan
dan konsultansi, pengelolaan hasil pengawasan, dan pemaparan hasil
pengawasan.
Pasal 49
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
355
Huruf c
Huruf d
Yang dimaksud dengan “Inspektorat Provinsi” termasuk Instansi
Pemerintah yang masih menggunakan nama Badan Pengawasan Daerah
Provinsi.
Yang dimaksud dengan “Inspektorat Kabupaten/Kota” termasuk Instansi
Pemerintah yang masih menggunakan nama Badan Pengawasan Daerah
Kabupaten/Kota.
Ayat (2)
Huruf a
Kegiatan yang bersifat lintas sektoral merupakan kegiatan yang dalam
pelaksanaannya melibatkan dua atau lebih kementerian negara/lembaga
atau pemerintah daerah yang tidak dapat dilakukan pengawasan oleh
Aparat Pengawasan Intern Pemerintah kementerian negara/lembaga,
provinsi, atau kabupaten/kota karena keterbatasan kewenangan.
Huruf b
Huruf c
Yang dimaksud dengan “yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara” adalah bagian anggaran yang dikuasai oleh menteri/
pimpinan lembaga sebagai pejabat pemegang kewenangan penggunaan
anggaran kementerian negara/lembaga selaku Pengguna Anggaran.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
356
Ayat (2)
Audit kinerja atas pengelolaan keuangan negara antara lain:
a. audit atas penyusunan dan pelaksanaan anggaran;
b. audit atas penerimaan, penyaluran, dan penggunaan dana; dan
c. audit atas pengelolaan aset dan kewajiban.
Sedangkan audit kinerja atas pelaksanaan tugas dan fungsi antara lain audit
atas kegiatan pencapaian sasaran dan tujuan.
Ayat (3)
Audit dengan tujuan tertentu antara lain audit investigatif, audit atas
penyelenggaraan SPIP, dan audit atas hal-hal lain di bidang keuangan.
Pasal 51
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “auditor” adalah pejabat fungsional pegawai negeri
sipil di lingkungan Instansi Pemerintah sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pada saat Peraturan Pemerintah ini ditetapkan, yang dimaksud dengan
“pedoman yang ditetapkan pemerintah” adalah Kode Etik Aparat Pengawasan
Intern Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara.
Pasal 53
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “standar audit” adalah kriteria atau ukuran mutu
untuk melakukan kegiatan audit yang wajib dipedomani oleh aparat
pengawasan intern pemerintah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pada saat Peraturan Pemerintah ini ditetapkan, yang dimaksud dengan
“pedoman yang ditetapkan pemerintah” adalah Standar Audit Aparat
Pengawasan Intern Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.
Pasal 54
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Laporan hasil pengawasan dapat berupa laporan hasil audit, laporan
hasil reviu, laporan hasil evaluasi, atau laporan hasil pemantauan.
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 55
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “telaahan sejawat” adalah kegiatan yang dilaksanakan
unit pengawas yang ditunjuk guna mendapatkan keyakinan bahwa
pelaksanaan kegiatan audit telah sesuai dengan standar audit.
Ayat (2)
Selama pedoman telaahan sejawat belum ada, telaahan sejawat dilakukan
dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara.
Pasal 56
Yang dimaksud dengan “independen” adalah aparat pengawasan intern pemerintah
dalam pelaksanaan tugasnya bebas dari pengaruh pihak manapun.
Pasal 57
Cukup jelas.
357
358
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Huruf a
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Peningkatan kompetensi auditor aparat pengawasan intern pemerintah
meliputi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, penelitian dan
pengembangan, dan pembinaan jabatan fungsional di bidang audit.
Ayat (2)
Pelaksanaan sosialisasi, pendidikan dan pelatihan, serta pembimbingan
dan konsultansi SPIP dapat dilakukan oleh Instansi Pemerintah lain setelah
berkoordinasi dengan BPKP.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4890
359
LAMPIRAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 60 TAHUN 2008
TANGGAL : 28 AGUSTUS 2008
DAFTAR UJI PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH
PENDAHULUAN
Dalam rangka pencapaian visi, misi, dan tujuan serta pertanggungjawaban
kegiatan Instansi Pemerintah, pimpinan Instansi Pemerintah wajib menerapkan setiap
unsur dari Sistem Pengendalian Intern. Untuk memastikan bahwa Sistem Pengendalian
Intern tersebut sudah dirancang dan diimplementasikan dengan baik, dan secara
memadai diperbaharui untuk memenuhi keadaan yang terus berubah perlu dilakukan
pemantauan secara terus-menerus. Secara khusus, sebagaimana diamanatkan
dalam Pasal 43 Peraturan Pemerintah ini, pimpinan Instansi Pemerintah melakukan
pemantauan antara lain melalui evaluasi terpisah atas Sistem Pengendalian Internnya
masing- masing untuk mengetahui kinerja dan efektivitas Sistem Pengendalian Intern
serta cara meningkatkannya. Pemantauan juga berguna untuk mengidentifikasi dan
mengatasi risiko utama seperti penggelapan, pemborosan, penyalahgunaan, dan
salah-kelola (mismanagement).
Daftar Uji Pengendalian Intern Pemerintah dimaksudkan untuk membantu
pimpinan Instansi Pemerintah dan evaluator dalam menentukan sampai seberapa
jauh pengendalian intern suatu Instansi Pemerintah dirancang dan berfungsi serta,
jika perlu, untuk membantu menentukan apa, bagian mana, dan bagaimana
penyempurnaan dilakukan.
Daftar Uji Pengendalian Intern Pemerintah terdiri dari lima bagian sesuai
dengan unsur Sistem Pengendalian Intern: lingkungan pengendalian, penilaian risiko,
kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi, serta pemantauan. Masing-masing
bagian berisi suatu daftar faktor utama yang harus dipertimbangkan saat mengevaluasi
Sistem Pengendalian Intern terkait dengan masing-masing unsurnya. Faktor-faktor
ini menggambarkan isu atau hal penting dari setiap unsur Sistem Pengendalian
Intern. Termasuk dalam masing-masing faktor tersebut adalah butir-butir yang harus
dipertimbangkan oleh pengguna pada saat melakukan evaluasi. Butir-butir tersebut
dimaksudkan untuk membantu pengguna mempertimbangkan hal-hal spesifik yang
menunjukkan seberapa jauh Sistem Pengendalian Intern berfungsi. Pengguna harus
mempertimbangkan butir-butir tersebut untuk menentukan:
360
(1) kesesuaian penerapan butir tersebut dalam situasi tertentu,
(2) kemampuan Instansi Pemerintah dalam menerapkan butir tersebut,
(3) kelemahan pengendalian yang mungkin terjadi, dan
(4)
pengaruh butir tersebut terhadap kemampuan Instansi Pemerintah dalam
mencapai visi, misi, dan tujuannya.
Pada setiap butir diberikan ruang kosong untuk mencatat komentar
atau catatan mengenai situasi terkait butir tersebut. Komentar dan catatan biasanya
tidak berupa ‘ya’ atau ‘tidak’, tetapi umumnya meliputi informasi mengenai
bagaimana Instansi Pemerintah menangani masalah tersebut.
Pengguna juga boleh menggunakan ruang kosong ini untuk mengindikasikan
masalah yang ditemukan sebagai kelemahan pengendalian. Daftar uji ini juga
dimaksudkan untuk membantu pengguna mengambil kesimpulan mengenai
implementasi unsur-unsur Sistem Pengendalian Intern Instansi Pemerintah. Untuk
itu, ruang kosong disediakan pada akhir setiap bagian untuk mencatat penilaian
keseluruhan dan mengidentifikasi tindakan yang harus diambil atau dipertimbangkan.
Ruang kosong tambahan juga disediakan untuk penilaian ringkas keseluruhan
pada akhir daftar uji ini.
Daftar Uji Pengendalian Intern Pemerintah dapat dijadikan panduan bagi
pimpinan Instansi Pemerintah dan evaluator. Daftar uji ini hanya merupakan
referensi awal serta dapat disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan risiko
masing-masing Instansi Pemerintah. Dalam menerapkan daftar uji ini perlu
dipertimbangkan tujuan Instansi Pemerintah dan aspek biaya-manfaat. Pengguna harus
mempertimbangkanbutir-butir yang relevan serta menghilangkan atau menambah
butir lainnya jika perlu sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi Instansi
Pemerintah. Selain itu, pengguna dapat mengatur ulang atau menyusun kembali
butir-butir tersebut untuk memenuhi kebutuhannya dengan tetap mengikuti format
unsur-unsur Sistem Pengendalian Intern.
Daftar Uji Pengendalian Intern ini dikembangkan dengan menggunakan banyak
sumber informasi dan ide-ide yang berbeda-beda. Sumber utamanya adalah
Internal Control Management and Evaluation Tool dari General Accounting
Office (GAO), ketentuan-ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam pasal-pasal dan
penjelasan Peraturan Pemerintah ini, serta peraturan perundang-undangan lainnya.
361
BAGIAN I
LINGKUNGAN PENGENDALIAN
Unsur sistem pengendalian intern yang pertama adalah lingkungan pengendalian.
Lingkungan pengendalian diwujudkan melalui:
a. penegakan integritas dan nilai etika;
b. komitmen terhadap kompetensi;
c. kepemimpinan yang kondusif;
d. pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan;
e. pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat;
f. penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber
daya manusia;
g. perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif; dan
h. hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait.
Daftar uji berikut ini dimaksudkan untuk menilai tercapai tidaknya suatu
lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk
penerapan Sistem Pengendalian Intern dan manajemen yang sehat.
A. PENEGAKAN INTEGRITAS DAN NILAI ETIKA KOMENTAR/CATATAN
1. Instansi Pemerintah telah menyusun dan menerapkan aturan perilaku serta
kebijakan lain yang berisi tentang standar perilaku etis, praktik yang dapat
diterima, dan praktik yang tidak dapat diterima termasuk benturan kepentingan.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. Aturan perilakutersebut sifatnya menyeluruh dan langsung berkenaan
dengan hal-hal seperti pembayaran yang tidak wajar, kelayakan penggunaan
sumber daya, benturan kepentingan, kegiatan politik pegawai, gratifikasi,
dan penerapan kecermatan profesional.
b.
Secara berkala pegawai menandatangani pernyataan komitmen untuk
menerapkan aturan perilaku tersebut.
c. Pegawai memperlihatkan bahwa yang bersangkutan mengetahui perilaku
yang dapat diterima dan tidak dapat diterima, hukuman yang akan
dikenakan terhadap perilaku yang tidak dapat diterima dan tindakan
yang harus dilakukan jika yang bersangkutan mengetahui adanya sikap
perilaku yang tidak dapat diterima.
362
2. Suasana etis dibangun pada setiap tingkat pimpinan Instansi Pemerintah dan
dikomunikasikan di lingkungan Instansi Pemerintah yang bersangkutan. Hal-hal
yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. Pimpinan Instansi Pemerintah membina serta mendorong terciptanya
budaya yang menekankan pentingnya nilai-nilai integritas dan etika. Hal
ini bisa dicapai melalui komunikasi lisan dalam rapat, diskusi, dan melalui
keteladanan dalam kegiatan sehari-hari.
b. Pegawai memperlihatkan adanya dorongan sejawat untuk menerapkan
sikap perilaku dan etika yang baik.
c. Pimpinan Instansi Pemerintah melakukan tindakan yang cepat dan
tepat segera setelah timbulnya gejala masalah.
3. Pekerjaan yang terkait dengan masyarakat, anggota badan legislatif, pegawai,
rekanan, auditor, dan pihak lainnya dilaksanakan dengan tingkat etika yang
tinggi. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. Laporan keuangan, anggaran, dan pelaksanaan program yang disampaikan
kepada badan legislatif, Intansi Pemerintah, dan pihak yang berkepentingan
disajikan dengan wajar dan akurat.
b. Pimpinan Instansi Pemerintah mengungkapkan masalah dalam instansi
yang bersangkutan serta menerima komentar dan rekomendasi pada saat
auditor dan evaluator melakukan tugasnya.
c. Atas kekurangan tagihan dari rekanan atau kelebihan pembayaran dari
pengguna jasa segera dilakukan perbaikan.
d. Instansi Pemerintah memiliki prosespenanganan tuntutan dan kepentingan
pegawai secara cepat dan tepat.
4. Tindakan disiplin yang tepat dilakukan terhadap penyimpangan atas kebijakan
dan prosedur atau atas pelanggaran aturan perilaku. Hal-hal yang perlu
dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a.
Pimpinan Instansi Pemerintah mengambil tindakan atas pelanggaran
kebijakan, prosedur, atau aturan perilaku.
b.
Jenis sanksi dikomunikasikan kepada seluruh pegawai di lingkungan
Instansi Pemerintah sehingga pegawai mengetahui konsekuensi dari
penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan.
5. Pimpinan Instansi Pemerintah menjelaskan dan mempertanggungjawabkan
adanya intervensi atau pengabaian atas pengendalian intern. Hal-hal yang
perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
363
a. Terdapat pedoman yang mengatur situasi, frekuensi, dan tingkat pimpinan
yang diperkenankan melakukan intervensi dan pengabaian.
b. Intervensi atau pengabaian terhadap pengendalian intern didokumentasi­
kan secara lengkap termasuk alasan dan tindakan khusus yang diambil.
c. Pengabaian pengendalian intern tidak boleh dilakukan oleh pimpinan
Instansi Pemerintah tingkat bawah kecuali dalam keadaan darurat dan
segera dilaporkan kepada pimpinan Instansi Pemerintah yang lebih tinggi,
serta didokumentasikan.
6. Pimpinan Instansi Pemerintah menghapus kebijakan atau penugasan yang dapat
mendorong perilaku tidak etis. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah
sebagai berikut:
a. Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan tujuan yang realistis dan dapat
dicapai dan tidak menekan pegawai untuk mencapai tujuan lain yang
tidak realistis.
b. PimpinanInstansi Pemerintahsesuaidengan kewenangannya memberikan
penghargaan untuk meningkatkan penegakan integritas dan kepatuhan
terhadap nilai-nilai etika.
c. Kompensasi dan kenaikan jabatan atau promosi didasarkan pada
prestasi dan kinerja.
B. KOMITMEN TERHADAP KOMPETENSI KOMENTAR/CATATAN
1.
Pimpinan Instansi Pemerintah mengidentifikasi dan menetapkan kegiatan yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas dan fungsi pada masing-masing posisi
dalam Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai
berikut:
a. Pimpinan Instansi Pemerintah menganalisis tugas yang perlu dilaksanakan
atas suatu pekerjaan dan memberikan pertimbangan serta pengawasan
yang diperlukan.
b. Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan dan memutakhirkan uraian
jabatan atau perangkat lain untuk mengidentifikasi dan mendefinisikan
tugas khusus.
2. Instansi Pemerintah menyusun standar kompetensi untuk setiap tugas dan
fungsi pada masing-masing posisi dalam Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu
dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. Pengetahuan, keahlian, dan kemampuan yang diperlukan untuk setiap
jabatan diidentifikasi dan diberitahukan kepada pegawai.
364
b. Terdapat proses untuk memastikan bahwa pegawai yang terpilih untuk
menduduki suatu jabatan telah memiliki pengetahuan, keahlian, dan
kemampuan yang diperlukan.
3. Instansi Pemerintah menyelenggarakan pelatihan dan pembimbingan untuk
membantu pegawai mempertahankan dan meningkatkan kompetensi
pekerjaannya. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. Terdapat program pelatihan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan
pegawai.
b. Instansi Pemerintah sudah menekankan perlunya pelatihan berkesinam­
bungan dan memiliki mekanisme pengendalian untuk membantu
memastikan bahwa seluruh pegawai sudah menerima pelatihan yang
tepat.
c. Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki keahlian manajemen yang
diperlukan dan sudah dilatih untuk memberikan pembimbingan yang
efektif bagi peningkatan kinerja.
d. Penilaian kinerja didasarkan pada penilaian atas faktor penting pekerjaan
dan dengan jelas mengidentifikasi pekerjaaan yang telah dilaksanakan
dengan baik dan yang masih memerlukan peningkatan.
e. Pegawai mendapat pembimbingan yang obyektif dan konstruktif untuk
peningkatan kinerja.
4. Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki kemampuan manajerial dan pengalaman
teknis yang luas dalam pengelolaan Instansi Pemerintah.
C. KEPEMIMPINAN YANG KONDUSIF KOMENTAR/CATATAN
1. Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki sikap yang selalu mempertimbangkan
risiko dalam pengambilan keputusan.
2. Pimpinan Instansi Pemerintah menerapkan manajemen berbasis kinerja.
3. Pimpinan InstansiPemerintah mendukungfungsitertentu dalam penerapan SPIP,
antara lain pencatatan dan pelaporan keuangan, sistem manajemen informasi,
pengelolaan pegawai, dan pengawasan baik intern maupun ekstern. Hal-hal
yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. Pimpinan Instansi Pemerintah menyelenggarakan akuntansi dan anggaran
untuk pengendalian kegiatan dan evaluasi kinerja.
b. penyelenggara akuntansi yang didesentralisasi memiliki tanggung jawab
membuat laporan kepada pejabat keuangan pusat.
365
c. penyelenggaraan manajemen keuangan, akuntansi dan anggaran
dikendalikan oleh pejabat pengelola keuangan sehingga terdapat
sinkronisasi dengan barang milik negara.
d. Pimpinan Instansi Pemerintah menggunakan fungsi manajemen informasi
untuk mendapatkan data operasional yang penting dan mendukung
upaya penyempurnaan sistem informasi sesuai perkembangan teknologi
informasi.
e. Pimpinan Instansi Pemerintah memberi perhatian yang besar pada pegawai
operasional dan menekankan pentingnya pembinaan sumber daya manusia
yang baik.
f. Pimpinan Instansi Pemerintah memandang penting dan merespon informasi
hasil pengawasan.
4. Perlindungan atas aset dan informasi dari akses dan penggunaan yang tidak
sah.
5. Interaksi yang intensif dengan pimpinan pada tingkatan yang lebih rendah.
6. Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki sikap yang positif dan responsif terhadap
pelaporan yang berkaitan dengan keuangan, penganggaran, program, dan
kegiatan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. Pimpinan Instansi Pemerintah mengetahui dan ikut berperan dalam isu
penting pada laporan keuangan serta mendukung penerapan prinsipprinsip dan estimasi akuntansi yang konservatif.
b. Pimpinan Instansi Pemerintah mengungkapkan semua informasi keuangan,
anggaran, dan program yang diperlukan agar kondisi kegiatan dan keuangan
Instansi Pemerintah tersebut dapat dipahami sepenuhnya.
c. Pimpinan Instansi Pemerintah menghindari penekanan pada pencapaian
hasil-hasil jangka pendek.
d. Pegawai tidak menyampaikan laporan pencapaian target yang tidak
tepat atau tidak akurat.
e. Fakta tidak dibesar-besarkan dan estimasi anggaran tidak ditinggikan
sehingga menjadi tidak wajar.
7. Tidak ada mutasi pegawai yang berlebihan di fungsi-fungsi kunci, seperti
pengelolaan kegiatan operasional dan program, akuntansi atau pemeriksaan
intern, yang mungkin menunjukkan adanya masalah dengan perhatian Instansi
Pemerintah terhadap pengendalian intern. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan
adalah sebagai berikut:
366
a. tidak adanya mutasi pimpinan Instansi Pemerintah yang berlebihan
yang berkaitan dengan masalah-masalah pengendalian intern.
b. pegawai yang menduduki posisi penting tidak keluar (mengundurkan diri)
dengan alasan yang tidak terduga.
c. adanya tingkat perputaran (turnover) pegawai yang tinggi yang dapat
melemahkan pengendalian intern.
d. Perputaran pegawai yang tidak berpola yang mengindikasikan kurangnya
perhatian pimpinan Instansi Pemerintah terhadap pengendalian intern.
D. STRUKTUR ORGANISASI KOMENTAR/CATATAN
1. Struktur organisasi Instansi Pemerintah disesuaikan dengan ukuran dan sifat
kegiatan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. Struktur organisasi mampu memfasilitasi arus informas di dalam Instansi
Pemerintah yang bersangkutan secara menyeluruh.
b. Pimpinan Instansi Pemerintah secara jelas menyatakan faktor-faktor
yang menjadi pertimbangan dalam menentukan tingkat sentralisasi atau
desentralisasi organisasi.
2. Pimpinan Instansi Pemerintah memberikan kejelasan wewenang dan tanggung
jawab. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. Pimpinan Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab atas kegiatan atau
fungsi utama sepenuhnya menyadari tugas dan tanggung jawabnya.
b.
Bagan organisasi yang tepat dan terbaru yang menunjukkan bidang
tanggung jawab utama disampaikan kepada semua pegawai.
c. Pimpinan Instansi Pemerintah memahami pengendalian intern yang
menjadi tanggung jawabnya dan memastikan bahwa pegawainya juga
memahami tanggung jawab masing-masing.
3. Kejelasan hubungan dan jenjang pelaporan intern dalam Instansi Pemerintah.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. Hubungan dan jenjang pelaporan ditetapkan serta secara efektif
memberikan informasi yang dibutuhkan pimpinan Instansi Pemerintah
untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
b.
Pegawai memahami hubungan dan jenjang pelaporan yang telah
ditetapkan.
c. Pimpinan Instansi Pemerintahdapat dengan mudah saling berkomunikasi.
367
4. Pimpinan Instansi Pemerintah melaksanakan evaluasi dan penyesuaian secara
periodik terhadap struktur organisasi sehubungan dengan perubahan lingkungan
strategis.
5. Instansi Pemerintah menetapkan jumlah pegawai yang sesuai, terutama untuk
posisi pimpinan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki waktu yang cukup untuk
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
b. Pegawai tidak boleh bekerja lembur
menyelesaikan tugas yang diberikan.
secara
berlebihan
untuk
c. Pimpinan Instansi Pemerintah tidak merangkap tugas dan tanggung
jawab bawahannya lebih dari satu orang.
E. PENDELEGASIAN WEWENANG DAN KOMENTAR/CATATAN TANGGUNG JAWAB
1. Wewenang diberikan kepada pegawai yang tepat sesuai dengan tingkat tanggung
jawabnya dalam rangka pencapaian tujuan Instansi Pemerintah. Hal-hal yang
perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. wewenan dan tanggung jawab ditetapkan dengan jelas di dalam
Instansi Pemerintah dan dikomunikasikan kepada semua pegawai.
b. Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki tanggung jawab sesuai ke­
wenangannya dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya.
c. Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki prosedur yang efektif untuk
memantau hasil kewenangan dan tanggung jawab yang didelegasikan.
2. Pegawai yang diberi wewenang memahami bahwa wewenang dan tanggung
jawab yang diterimanya terkait dengan pihak lain dalam Instansi Pemerintah
yang bersangkutan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai
berikut:
a. uraian tugas secara jelas
menunjukkan tingkat wewenang dan tanggung jawab yang didelegasikan
pada jabatan yang bersangkutan.
b. uraian tugas dan evaluasi kinerja merujuk pada pengendalian intern terkait
tugas, tanggung jawab, dan akuntabilitas.
3. Pegawaiyang diberiwewenang memahami bahwa pelaksanaan wewenang
dan tanggung jawab terkait dengan penerapan SPIP. Hal-hal yang perlu
dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
368
a. Pegawai, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya, diberdayakan
untuk mengatasi masalah atau melakukan perbaikan.
b.
Untuk penyelesaian pekerjaan, terdapat keseimbangan antara pendele­
gasian kewenangan yang diterima dengan keterlibatan pimpinan yang
lebih tinggi.
F. KEBIJAKAN DAN PRAKTIK PEMBINAAN KOMENTAR/CATATAN SUMBER DAYA
MANUSIA
1. Penetapan kebijakan dan prosedur sejak rekrutmen sampai dengan pemberhenti­
an pegawai. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. Pimpinan Instansi Pemerintah mengkomunikasikan kepada pengelola
pegawai mengenai kompetensi pegawai baru yang diperlukan atau berperan
serta dalam proses penerimaan pegawai.
b. Instansi Pemerintah sudah memiliki standar atau kriteria rekrutmen
dengan penekanan pada pendidikan, pengalaman, prestasi, dan perilaku
etika.
c. uraian dan persyaratan jabatan sesuai dengan standar yang ditetapkan
oleh instansi yang berwenang.
d. terdapat program orientasi bagi pegawai baru dan program pelatihan
berkesinambungan untuk semua pegawai.
e. promosi, remunerasi, dan pemindahan pegawai didasarkan pada penilaian
kinerja.
f. penilaian kinerja didasarkan pada tujuan dan sasaran dalam rencana
strategis Instansi Pemerintah bersangkutan.
g. nilai integritas dan etika termasuk kriteria dalam penilaian kinerja.
h. pegawai diberikan umpan balik dan pembimbingan untuk meningkatkan
kinerja serta diberikan saran perbaikan.
i.
sanksi disiplin atau tindakan pembimbingan diberikan atas pelanggaran
kebijakan atau kode etik.
j.
pemberhentian pegawai dilakukan sesuai dengan ketentuan perundangundangan.
2. Penelusuran latar belakang calon pegawai dalam proses rekrutmen. Hal-hal
yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. calon pegawai yang sering berpindah pekerjaan diberi perhatian
khusus.
369
3.
b.
standar penerimaan pegawai harus mensyaratkan adanya investigasi atas
catatan kriminal calon pegawai.
c.
referensi dan atasan calon pegawai di tempat kerja sebelumnya harus
dikonfirmasi.
d.
ijazah pendidikan dan sertifikasi profesi harus dikonfirmasi.
Supervisi periodik yang memadai terhadap pegawai. Hal-hal yang perlu
dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. Pimpinan Instansi Pemerintah memberikan panduan, penilaian, dan
pelatihan di tempat kerja kepada pegawai untuk memastikan ketepatan
pelaksanaan pekerjaan, mengurangi kesalahpahaman, serta mendorong
berkurangnya tindakan pelanggaran.
b. Pimpinan Instansi Pemerintah memastikan bahwa pegawai memahami
dengan baik tugas, tanggung jawab, dan harapan pimpinan Instansi
Pemerintah.
G. PERWUJUDAN PERAN APARAT KOMENTAR/CATATAN PENGAWASAN INTERN
PEMERINTAH YANG EFEKTIF
1. Di dalam Instansi Pemerintah, terdapat mekanisme untuk memberikan
keyakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan, efisiensi, dan efektivitas
pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah. Halhal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a.
aparat pengawasan intern pemerintah, yang independen, melakukan
pengawasan atas kegiatan Instansi Pemerintah.
b.
aparat pengawasan intern pemerintah membuat laporan hasil pengawasan
setelah melaksanakan tugas pengawasan.
c.
untuk menjaga mutu hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern
pemerintah, secara berkala dilaksanakan telaahan sejawat.
2. Di dalam Instansi Pemerintah terdapat mekanisme peringatan dini dan
peningkatan efektivitas manajemen risiko dalam penyelenggaraan tugas dan
fungsi Instansi Pemerintah.
3. Di dalam Instansi Pemerintah, terdapat upaya memelihara dan meningkatkan
kualitas tata kelola penyelenggaraan (good governance) tugas dan fungsi Instansi
Pemerintah.
4. Hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah yang mengelola anggaran,
akuntansi dan perbendaharaan sehingga tercipta mekanisme saling uji. Hal-hal
yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
370
a. Instansi Pemerintah memiliki hubungan kerja yang baik dengan Intansi
Pemerintah yang mengelola anggaran, akuntansi dan perbendaharaan,
serta melakukan pembahasan secara berkala tentang pelaporan keuangan
dan anggaran, pengendalian intern serta kinerja.
b. Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki hubungan kerja yang baik dengan
Instansi Pemerintah yang melaksanakan tanggung jawab pengendalian
yang bersifat lintas instansi.
Bagian Ikhtisar Lingkungan Pengendalian Berikan Kesimpulan Umum dan
Tindakan-tindakan yang diperlukan di sini:
BAGIAN II
PENILAIAN RISIKO
Unsur pengendalian intern yang kedua adalah penilaian risiko. Penilaian risiko
diawali dengan penetapan maksud dan tujuan Instansi Pemerintah yang jelas dan
konsisten baik pada tingkat instansi maupun pada tingkat kegiatan. Selanjutnya
Instansi Pemerintah mengidentifikasi secara efisien dan efektif risiko yang dapat
menghambat pencapaian tujuan tersebut, baik yang bersumber dari dalam maupun
luar instansi. Terhadap risiko yang telah diidentifikasi dianalisis untuk mengetahui
pengaruhnya terhadap pencapaian tujuan. Pimpinan Instansi Pemerintah merumuskan
pendekatan manajemen risiko dan kegiatan pengendalian risiko yang diperlukan
untuk memperkecil risiko.
Pimpinan Instansi Pemerintah atau evaluator harus berkonsentrasi pada
penetapan tujuan instansi, pengidentifikasian dan analisis risiko serta pengelolaan
risiko pada saat terjadi perubahan.
Daftar uji berikut ini dimaksudkan untuk menilai efektivitas penilaian risiko
yang dilaksanakan oleh pimpinan Instansi Pemerintah dalam rangka penerapan Sistem
Pengendalian Intern.
A. PENETAPAN TUJUAN INSTANSI SECARA KOMENTAR/CATATAN KESELURUHAN
1. Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan tujuan Instansi Pemerintah
dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Hal-hal yang perlu
dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan tujuan Instansi Pemerintah
secara keseluruhan dalam bentuk misi, tujuan dan sasaran, sebagaimana
dituangkan dalam rencana strategis dan rencana kinerja tahunan.
371
b. Tujuan Instansi Pemerintah secara keseluruhan disusun sesuai dengan
persyaratan program yang ditetapkan dengan peraturan perundangundangan.
c. Tujuan Instansi Pemerintah secara keseluruhan harus cukup spesifik,
terukur, dapat dicapai, realistis, dan terikat waktu.
2. Seluruh tujuan Instansi Pemerintah secara jelas dikomunikasikan pada semua
pegawai sehingga pimpinan Instansi Pemerintah mendapatkan umpan balik,
yang menandakan bahwa komunikasi tersebut berjalan secara efektif.
3.
Pemerintah menetapkan strategi operasional yang rencana strategis Instansi
Pemerintah dan rencana penilaian risiko. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan
adalah sebagai berikut:
a. Rencana strategis mendukung tujuan Instansi Pemerintah secara
keseluruhan.
b.
c.
d.
4.
Rencana strategis mencakup alokasi dan prioritas penggunaan sumber
daya.
Rencana strategis dan anggaran dirancang secara rinci sesuai dengan
tingkatan Instansi Pemerintah.
Asumsi yang mendasari rencana strategis dan anggaran Instansi Pemerintah,
konsisten dengan kondisi yang terjadi sebelumnya dan kondisi saat ini.
Instansi Pemerintah memiliki rencana strategis yang terpadu dan penilaian
risiko, yang mempertimbangkan tujuan Instansi Pemerintah secara keseluruhan
dan risiko yang berasal dari faktor intern dan ekstern, serta menetapkan
suatu struktur pengendalian penanganan risiko.
B. PENETAPAN TUJUAN PADA TINGKATAN KOMENTAR/CATATAN KEGIATAN
1. Penetapan tujuan pada tingkatan kegiatan harus berdasarkan pada tujuan
dan rencana strategis Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan
adalah sebagai berikut:
a. Semua kegiatan penting didasarkan pada tujuan dan rencana strategis
Instansi Pemerintah secara keseluruhan.
b. Tujuan pada tingkatan kegiatan dikaji ulang secara berkala untuk memasti­
kan bahwa tujuan tersebut masih relevan dan berkesinambungan.
2. Tujuan pada tingkatan kegiatan saling melengkapi, saling menunjang, dan
tidak bertentangan satu dengan lainnya.
3. Tujuan pada tingkatan kegiatan relevan dengan seluruh kegiatan utama
Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai
berikut:
372
a.
Tujuan pada tingkatan kegiatan ditetapkan untuk semua kegiatan
operasional penting dan kegiatan pendukung.
b.
Tujuan pada tingkatan kegiatan konsisten dengan praktik dan kinerja
sebelumnya yang efektif serta kinerja industri/bisnis yang mungkin
dapat diterapkan pada kegiatan Instansi Pemerintah.
4. Tujuan pada tingkatan kegiatan mempunyai unsur kriteria pengukuran.
5. Tujuan pada tingkatan kegiatan didukung sumber daya Instansi Pemerintah yang
cukup. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. Sumber daya yang diperlukan untuk mencapai tujuan sudah di­
identifikasi.
b. Jika tidak tersedia sumber daya yang cukup, pimpinan Instansi Pemerintah
harus memiliki rencana untuk mendapatkannya.
6. Pimpinan Instansi Pemerintah mengidentifikasi tujuan pada tingkatan kegiatan
yang penting terhadap keberhasilan tujuan Instansi Pemerintah secara
keseluruhan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. Pimpinan Instansi Pemerintah mengidentifikasi hal yang harus ada atau
dilakukan agar tujuan Instansi Pemerintah secara keseluruhan tercapai.
b. Tujuan pada tingkatan kegiatan yang penting harus mendapat perhatian
dan direviu secara khusus serta capaian kinerjanya dipantau secara
teratur oleh pimpinan Instansi Pemerintah.
7. Semua tingkatan pimpinan Instansi Pemerintah terlibat dalam proses penetapan
tujuan pada tingkatan kegiatan dan berkomitmen untuk mencapainya.
C. IDENTIFIKASI RISIKO KOMENTAR/CATATAN
1. Pimpinan Instansi Pemerintah menggunakan metodologi identifikasi risiko
yang sesuai untuk tujuan Instansi Pemerintah dan tujuan pada tingkatan
kegiatan secara komprehensif. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah
sebagai berikut:
a. Metode kualitatif dan kuantitatif digunakan untuk mengidentifikasi risiko
dan menentukan peringkat risiko relatif secara terjadwal dan berkala.
b. Cara suatu risiko diidentifikasi, diperingkat, dianalisis, dan diatasi telah
dikomunikasikan kepada pegawai yang berkepentingan.
c. Pembahasan identifikasi risiko dilakukan pada rapat tingkat pimpinan
Instansi Pemerintah.
d. Identifikasi risiko merupakan bagian dari prakiraan rencana jangka
pendek dan jangka panjang, serta rencana strategis.
373
e. Identifikasi risiko merupakan hasil dari pertimbangan atas temuan audit,
hasil evaluasi, dan penilaian lainnya.
f. Risiko yang diidentifikasi pada tingkat pegawai dan pimpinan tingkat
menengah menjadi perhatian pimpinan Instansi Pemerintah yang lebih
tinggi.
2. Risiko dari faktor eksternal dan internal diidentifikasi dengan menggunakan
mekanisme yang memadai. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah
sebagai berikut:
a. Instansi Pemerintah mempertimbangkan risiko dari perkembangan
teknologi.
b. Risiko yang timbul dari perubahan kebutuhan atau harapan badan legislatif,
pimpinan Instansi Pemerintah, dan masyarakat sudah dipertimbangkan.
c. Risiko yang timbul dari
di­­identifikasi.
peraturan perundang-undangan baru sudah
d. Risiko yang timbul dari bencana alam, tindakan kejahatan, atau tindakan
terorisme sudah dipertimbangkan.
e. Identifikasi risiko yang timbul dari perubahan kondisi usaha, politik, dan
ekonomi sudah dipertimbangkan.
f. Risiko yang timbul dari rekanan utama sudah dipertimbangkan.
g. Risiko yang timbul dari interaksi dengan Instansi Pemerintah lainnya dan
pihak di luar pemerintahan sudah dipertimbangkan.
h. Risiko yang timbul dari pengurangan kegiatan dan pengurangan pegawai
Instansi Pemerintah sudah dipertimbangkan.
i.
Risiko yang timbul dari rekayasa ulang proses bisnis (business process
re­engine­ering) atau perancangan ulang proses operasional sudah di­
pertimbangkan.
j. Risiko yang timbul dari gangguan pemrosesan sistem informasi dan tidak
tersedianya sistem cadangan sudah dipertimbangkan.
k. Risiko yang timbul dari pelaksanaan program yang didesentralisasi sudah
diidentifikasi.
l.
Risiko yang timbul dari tidak terpenuhinya kualifikasi pegawai dan tidak
adanya pelatihan pegawai sudah dipertimbangkan.
m. Risiko yang timbul dari ketergantungan terhadap rekanan atau pihak
lain dalam pelaksanaan kegiatan penting Instansi Pemerintah sudah
diidentifikasi.
374
n. Risiko yang timbul dari perubahan besar dalam tanggung jawab pimpinan
Instansi Pemerintah sudah diidentifikasi.
o. Risiko yang timbul dari akses pegawai yang tidak berwenang terhadap
aset yang rawan sudah dipertimbangkan.
p. Risiko yang timbul dari kelemahan pengelolaan pegawai.
q. Risiko yang timbul dari ketidaktersediaan dana untuk pembiayaan
program baru atau program lanjutan sudah dipertimbangkan.
3. Penilaian atas faktorlain yang dapat meningkatkan risiko telah dilaksanakan.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. Risiko yang timbul dari kegagalan pencapaian misi, tujuan, dan sasaran
masa lalu atau keterbatasan anggaran sudah dipertimbangkan.
b. Risiko yang timbul dari pembiayaan yang tidak memadai, pelanggaran
penggunaan dana, atau ketidakpatuhan terhadap peraturan perundangundangan di masa lalu sudah dipertimbangkan.
c. Risiko melekat pada misi Instansi Pemerintah, program yang komplek
dan penting, serta kegiatan khusus lainnya sudah diidentifikasi.
4. Risiko Instansi Pemerintah secara keseluruhan dan pada setiap tingkatan
kegiatan penting sudah diidentifikasi.
D. ANALISIS RISIKO KOMENTAR/CATATAN
1. Analisis risiko dilaksanakan untuk menentukan dampak risiko terhadap
pencapaian tujuan Instansi Pemerintah.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan proses formal dan informal
untuk menganalisis risiko berdasarkan kegiatan sehari-hari.
b. Kriteria klasifikasi risiko rendah, menengah atau tinggi sudah ditetapkan.
c. Pimpinan dan pegawai Instansi Pemerintah yang berkepentingan diikut­
sertakan dalam kegiatan analisis risiko.
d. Risiko yang diidentifikasi dan dianalisis relevan dengan tujuan kegiatan.
e. Analisis risiko mencakup perkiraan seberapa penting risiko bersangkutan.
f. Analisis risiko mencakup perkiraan kemungkinan terjadinya setiap risiko
dan menentukan tingkatannya.
g. Cara terbaik mengelola atau mengurangi risiko dan tindakan khusus yang
harus dilaksanakan sudah ditetapkan.
375
2. Pimpinan Instansi Pemerintah menerapkan prinsip kehati-hatian dalam me­
nentukan tingkat risiko yang dapat diterima. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan
adalah sebagai berikut:
a. Pendekatan penentuan tingkat risiko yang dapat diterima bervariasi
antar Instansi Pemerintah tergantung dari varian dan toleransi risiko.
b. Pendekatan yang diterapkan dirancang agar tingkat risiko yang dapat
diterima tetap wajar dan pimpinan Instansi Pemerintah bertanggung
jawab atas penetapannya.
c. Kegiatan pengendalian khusus untuk mengelola serta mengurangi risiko
secara keseluruhan dan di setiap tingkatan kegiatan, sudah ditetapkan
dan penerapannya selalu dipantau.
E. MENGELOLA RISIKO SELAMA PERUBAHAN KOMENTAR/CATATAN
1. Instansi Pemerintah memiliki mekanisme untuk mengantisipasi, mengidentifikasi,
dan bereaksi terhadap risiko yang diakibatkan oleh perubahan-perubahan dalam
pemerintahan, ekonomi, industri, peraturan, operasional atau kondisi lain
yang dapat mempengaruhi tercapainya maksud dan tujuan Instansi Pemerintah
secara keseluruhan atau maksud dan tujuan suatu kegiatan. Hal-hal yang perlu
dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. Semua kegiatan di dalam Instansi Pemerintah yang mungkin akan sangat
terpengaruh oleh perubahan sudah dipertimbangkan dalam prosesnya.
b. Perubahan rutin sudah ditangani melalui identifikasi risiko dan proses
analisis yang ditetapkan.
c. Risiko yang diakibatkan oleh kondisi yang berubah-ubah secara signifikan
sudah ditangani pada tingkat yang cukup tinggi di dalam Instansi Pemerintah
sehingga dampaknya terhadap organisasi sudah dipertimbangkan dan
tindakan yang layak sudah diambil.
2. Instansi Pemerintah memberikan perhatian khusus terhadap risiko yang
ditimbulkan oleh perubahan yang mungkin memiliki pengaruh yang lebih
besar terhadap Instansi Pemerintah dan yang menuntut perhatian pimpinan
tingkat atas. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. Instansi Pemerintah secara khusus sudah memberikan perhatian terhadap
risiko yang ditimbulkan akibat menerima pegawai baru untuk menempati
posisi kunci atau akibat tingginya keluar-masuk pegawai di suatu
bidang.
376
b. Sudah ada mekanisme untuk menentukan risiko yang terkandung akibat
diperkenalkannya sistem informasi baru atau berubahnya sistem informasi
dan risiko yang terlibat dalam pelatihan pegawai dalam menggunakan
sistem baru ini dan menerima perubahan.
c. Pimpinan Instansi Pemerintah sudah memberikan pertimbangan khusus
terhadap risiko yang diakibatkan oleh perkembangan dan ekspansi yang
cepat atau penciutan yang cepat serta pengaruhnya terhadap kemampuan
sistem dan erubahan rencana, maksud, dan tujuan strategis.
d. Sudah diberikan pertimbangan terhadap risiko yang terlibat saat
memperkenalkan perkembangan dan penerapan teknologi baru yang
penting serta pemanfaatannya dalam proses operasional.
e. Risiko sudah dianalisis secara menyeluruh saat Instansi Pemerintah akan
memulai kegiatan untuk menyediakan suatu keluaran atau jasa baru.
f. Risiko yang diakibatkan oleh pelaksanaan kegiatan di suatu area geografis
baru sudah ditetapkan.
Bagian Ikhtisar Penilaian Risiko
Berikan Kesimpulan Umum dan Tindakan-tindakan yang diperlukan di sini:
BAGIAN III
KEGIATAN PENGENDALIAN
Unsur sistem pengendalian intern yang ketiga adalah kegiatan pengendalian.
Kegiatan pengendalian intern adalah kebijakan dan prosedur yang dapat
membantu memastikan dilaksanakannya arahan pimpinan Instansi Pemerintah
untuk mengurangi risiko yang telah diidentifikasi selama proses penilaian risiko.
Daftar uji berikut ini dimaksudkan untuk menilai tercapai tidaknya suatu
lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk
penerapan Sistem Pengendalian Intern dan manajemen yang sehat.
Kegiatan pengendalian yang diterapkan dalam suatu Instansi Pemerintah dapat
berbeda dengan yang diterapkan pada Instansi Pemerintah lain.
Perbedaan penerapan ini antara lain disebabkan oleh perbedaan:
(1) visi, misi, dan tujuan;
(2) lingkungan dan cara beroperasi;
(3) tingkat kerumitan organisasi;
377
(4) sejarah atau latar belakang serta budaya; dan
(5) risiko yang dihadapi.
Kegiatan pengendalian terdiri atas:
a. reviu atas kinerja Instansi Pemerintah yang bersangkutan;
b. pembinaan sumber daya manusia;
c. pengendalian atas pengelolaan sistem informasi;
d. pengendalian fisik atas aset;
e. penetapan dan reviu atas indikator dan ukuran kinerja;
f. pemisahan fungsi;
g. otorisasi atas transaksi dan kejadian yang penting;
h. pencatatan yang akurat dan tepat waktu atas transaksi dan kejadian;
i.
pembatasan akses atas sumber daya dan pencatatannya;
j. akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya; dan
k. dokumentasi yang baik atas Sistem Pengendalian Intern serta transaksi dan
kejadian penting.
Daftar uji berikut ini dimaksudkan untuk menilai apakah kegiatan pengendalian
intern pada suatu Instansi Pemerintah sudah memadai.
A. PENERAPAN UMUM KOMENTAR/CATATAN
1. Kebijakan dan prosedur yang ada berkaitan dengan kegiatan Instansi
Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. Semua tujuan yang relevan dan risikonya untuk masing-masing kegiatan
penting sudah diidentifikasi pada saat pelaksanaan penilaian risiko.
b. Pimpinan Instansi Pemerintah telah mengidentifikasi tindakan dan
kegiatan pengendalian yang diperlukan untuk menangani risiko tersebut
dan memberikan arahan penerapannya.
2. Kegiatan pengendalian yang diidentifikasi sebagai hal yang diperlukan sudah
diterapkan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. Kegiatan pengendalian yang diatur dalam pedoman pelaksanaan kebijakan
dan prosedur sudah diterapkan dengan tepat dan memadai.
b. Pegawai dan atasannya memahami tujuan dari kegiatan pengendalian
tersebut.
378
d. Petugas pengawas mereviu berfungsinya kegiatan pengendalian yang sudah
ditetapkan dan selalu waspada terhadap adanya kegiatan pengendalian
yang berlebihan.
e. Terhadap penyimpangan, masalah dalam penerapan, atau informasi yang
membutuhkan tindak lanjut, telah diambil tindakan secara tepat waktu.
3. Kegiatan pengendalian secara berkala dievaluasi untuk memastikan bahwa
kegiatan-kegiatan tersebut masih sesuai dan berfungsi sebagaimana di­
harapkan.
B. REVIU ATAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH YANG BERSANGKUTAN
1.
Reviu pada Tingkat Puncak – Pimpinan Instansi Pemerintah memantau pencapaian
kinerja Instansi Pemerintah tersebut dibandingkan rencana sebagai tolok ukur
kinerja. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. Pimpinan Instansi Pemerintah terlibat dalam penyusunan rencana strategis
dan rencana kerja tahunan.
b. PimpinanInstansi Pemerintahterlibat dalam pengukuran dan pelaporan
hasil yang dicapai.
c. PimpinanInstansi Pemerintah secara berkala mereviu kinerja dibandingkan
rencana.
d. Inisiatif signifikan dari Instansi Pemerintah dipantau pencapaian targetnya
dan tindak lanjut yang telah diambil.
2. Reviu Manajemen pada Tingkat Kegiatan – Pimpinan Instansi Pemerintah mereviu
kinerja dibandingkan tolok ukur kinerja. Halhal yang perlu dipertimbangkan
adalah sebagai berikut:
a. Pimpinan Instansi Pemerintah pada setiap tingkatan kegiatan mereviu
laporan kinerja, menganalisis kecenderungan, dan mengukur hasil
dibandingkan target, anggaran, prakiraan, dan kinerja periode yang lalu.
b. Pejabat pengelola keuangan dan pejabat pelaksana tugas operasional
mereviu serta membandingkan kinerja keuangan, anggaran, dan operasional
dengan hasil yang direncanakan atau diharapkan.
c. Kegiatan pengendalian yang tepat telah dilaksanakan, antara lain seperti
rekonsiliasi dan pengecekan ketepatan informasi.
C. PEMBINAAN SUMBER DAYA MANUSIA KOMENTAR/CATATAN
1. Pemahaman bersama atas visi, misi, tujuan, nilai, dan strategi Instansi
Pemerintah telah tercermin dalam rencana strategis, rencana kerja tahunan,
379
dan pedoman panduan kerja lainnya dan telah dikomunikasikan secara jelas
dan konsisten kepada seluruh pegawai.
2. Instansi Pemerintah memiliki strategi pembinaan sumber daya manusia yang
rencana kerja tahunan, dan dokumen perencanaan sumber daya manusia
lainnya yang meliputikebijakan, program, dan praktek pengelolaan pegawai
yang akan menjadi panduan bagi Instansi Pemerintah tersebut.
3. Instansi Pemerintah memiliki strategi perencanaan sumber daya manusia yang
spesifik dan eksplisit, yang dikaitkan dengan keseluruhan rencana strategis,
dan yang memungkinkan dilakukannya identifikasi kebutuhan pegawai baik
pada saat ini maupun di masa mendatang.
4. Instansi Pemerintah telah memiliki persyaratan jabatan dan menetapkan kinerja
yang diharapkan untuk setiap posisi pimpinan.
5. Pimpinan isi Instansi Pemerintah, dan mendorong adanya umpan balik dari
pegawai.
6. Sistem manajemen kinerja Instansi Pemerintah mendapat prioritas Pemerintah
yang dirancang sebagai mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan.
7. Instansi Pemerintah telah memiliki prosedur untuk memastikan bahwa pegawai
dengan kompetensi yang tepat yang direkrut dan dipertahankan.
8. Pegawai telah diberikan orientasi, pelatihan dan kelengkapan kerja untuk
melaksanakan tugas dan tanggung jawab, meningkatkan kinerja, meningkatkan
kemampuan, serta memenuhi tuntutan kebutuhan organisasi yang berubahubah.
9. Sistem kompensasi cukup memadai untuk mendapatkan, memotivasi, dan
mempertahankan pegawai serta insentif dan penghargaan disediakan untuk
mendorong pegawai melakukanctugascdenganckemampuan maksimal.
10. Instansi Pemerintah memiliki program kesejahteraan dan fasilitas untuk
meningkatkan kepuasan dan komitmen pegawai.
11. Pengawasan atasan dilakukan secara berkesinambungan untuk memastikan
bahwa tujuan pengendalian intern bisa dicapai.
12. Pegawai diberikan evaluasi kinerja dan umpan balik yang bermakna, jujur,
dan konstruktif untuk membantu pegawai memahami hubungan antara
kinerjanya dan pencapaian tujuan Instansi Pemerintah.
13. Pimpinan Instansi Pemerintah melakukan kaderisasi untuk memastikan
tersedianya pegawai dengan kompetensi yang diperlukan.
380
D. PENGENDALIAN ATAS PENGELOLAAN KOMENTAR/CATATAN SISTEM INFORMASI
Pengendalian atas pengelolaan sistem informasi dilakukan untuk memastikan
akurasi dan kelengkapan informasi.
Pengendalian dilakukan melalui pengendalian umum dan pengendalian
aplikasi.
1. Pengendalian Umum
a. Pengamanan Sistem Informasi
1) Instansi Pemerintah secara berkala melaksanakan penilaian risiko secara
periodik yang komprehensif.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a) Penilaian risiko dilaksanakan dan didokumentasikan secara teratur dan
pada saat sistem, fasilitas, atau kondisi lainnya berubah.
b) Penilaian risiko tersebut sudah mempertimbangkan sensitivitas dan
keandalan data.
c) Penetapan risiko akhir dan persetujuan pimpinan Instansi Pemerintah
didokumentasikan.
2) Pimpinan Instansi Pemerintah mengembangkan rencana yang secara jelas
menggambarkan program pengamanan serta kebijakan dan prosedur
yang mendukungnya.
3)Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan organisasi untuk meng­
implementasikan dan mengelola program pengamanan.
4) Pimpinan Instansi Pemerintah
pengamanan secara jelas.
5) Instansi Pemerintah mengimplementasikan kebijakan yang
pegawai yang terkait dengan program pengamanan.
6) Instansi Pemerintah memantau efektivitas program pengamanan dan
melakukan perubahan program pengamanan jika diperlukan. Hal-hal yang
perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a) Pimpinan Instansi Pemerintah secara berkala menilai kelayakan kebijakan
pengamanan dan kepatuhan terhadap kebijakan tersebut.
b) Tindakan korektif diterapkan dan diuji dengan segera dan efektif serta
dipantau secara terus-menerus.
menetapkan
uraian
tanggung
efektif
jawab
atas
b. Pengendalian atas Akses
1)
Instansi Pemerintah mengklasifikasikan sumber daya sistem informasi
berdasarkan kepentingan dan sensitivitasnya.
381
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a) Klasifikasi sumber daya dan kriteria terkait sudah ditetapkan dan
dikomunikasikan kepada pemilik sumber daya.
b) Pemilik sumber daya memilah-milah sumber daya informasi berdasarkan
klasifikasi dan kriteria yang sudah ditetapkan dengan memperhatika
penetapan dan penilaian risiko serta mendokumentasikannya.
2) Pemilik sumber daya mengidentifikasi pengguna yang berhak dan otorisasi
akses ke informasi secara formal.
3) Instansi Pemerintah menetapkan pengendalian fisik dan pengendalian
logik untuk mencegah dan mendeteksi akses yang tidak diotorisasi.
4) Instansi Pemerintah memantau akses ke sistem informasi, melakukan
investigasi atas pelanggaran, dan mengambil tindakan perbaikan dan
penegakan disiplin.
c. Pengendalian atas Pengembangan dan Perubahan Perangkat Lunak Aplikasi
1) Fitur pemrosesan sistem informasi dan modifikasi program diotorisasi.
2) Seluruh perangkat lunak yang baru dan yang dimutakhirkan sudah diuji
dan disetujui.
3) Instansi Pemerintah telah menetapkan prosedur untuk memastikan
terselenggaranya pengendalian atas kepustakaan perangkat lunak
(software libraries) termasuk pemberian label, pembatasan akses,
dan penggunaan kepustakaan perangkat lunak yang terpisah.
d. Pengendalian atas Perangkat Lunak Sistem
1) Instansi Pemerintah membatasi akses ke perangkat lunak sistem
berdasarkan tanggung jawab pekerjaan dan otorisasi akses tersebut
didokumentasikan.
2) Akses ke dan penggunaan perangkat lunak sistem dikendalikan dan
dipantau.
3) Instansi Pemerintah mengendalikan perubahan yang dilakukan terhadap
perangkat lunak sistem.
e. Pemisahan Tugas
1) Tugas yang tidak dapat digabungkan sudah diidentifikasi dan kebijakan
untuk memisahkan tugas tersebut sudah ditetapkan.
2) Pengendalian atas akses sudah ditetapkan untuk pelaksanaan pemisahan
tugas.
382
3) Instansi Pemerintah melakukan pengendalian atas kegiatan pegawai
melalui penggunaan prosedur, supervisi, dan reviu.
f. Kontinuitas pelayanan
1) Instansi Pemerintah melakukan penilaian, pemberian prioritas, dan
pengidentifikasian sumber daya pendukung atas kegiatan komputerisasi
yang kritis dan sensitif.
2) Instansi Pemerintah sudah mengambil langkah-langkah pencegahan dan
minimalisasi potensi kerusakan dan terhentinya operasi komputer antara
lain melalui penggunaan prosedur backup data dan program, penyimpanan
back-up data ditempat lain, pengendalianatas lingkungan, pelatihan
staf, serta pengelolaan dan pemeliharaan perangkat keras.
3) Pimpinan Instansi Pemerintah sudah mengembangkan dan mendokumen­
tasikan rencana komprehensif untuk mengatasi kejadian tidak terduga
(contingency plan), misalnya langkah pengamanan apabila terjadi bencana
alam, sabotase, dan terorisme.
4) Instansi Pemerintah secara berkala menguji rencana untuk mengatasi
kejadian tidak terduga dan melakukan penyesuaian jika diperlukan.
2. Pengendalian Aplikasi
a. Pengendalian Otorisasi
1) Instansi Pemerintah mengendalikan dokumen sumber. Hal-hal yang perlu
dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a) Akses ke dokumen sumber yang masih kosong dibatasi.
b) Dokumen sumber diberikan nomor urut tercetak (prenumbered).
2) Atas dokumen sumber dilakukan pengesahan. Hal-hal yang perlu
dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a) Dokumen sumber yang penting memerlukan tanda tangan otorisasi.
b) Untuk sistem aplikasi batch, harus digunakan lembar kendali batch
yang menyediakan informasi seperti tanggal, nomor kendali, jumlah
dokumen, dan jumlah kendali (control totals) dari field kunci.
c) Reviu independen terhadap data dilakukan sebelum data dientri
ke dalam sistem aplikasi.
3) Akses ke terminal entri data dibatasi.
4) File induk dan laporan khusus digunakan untuk memastikan bahwa
seluruh data yang diproses telah diotorisasi.
383
b. Pengendalian Kelengkapan
1)
Transaksi yang dientri dan diproses ke dalam komputer adalah seluruh
transaksi yang telah diotorisasi.
2) Rekonsiliasi data dilaksanakan untuk memverifikasi kelengkapan data.
c. Pengendalian Akurasi
1) Desain entri data digunakan untuk mendukung akurasi data.
2) Validasi data dan editing dilaksanakan untuk mengidentifikasi data yang
salah.
3) Data yang salah dengan segera dicatat, dilaporkan, diinvestigasi, dan
diperbaiki.
4) Laporan keluaran direviu untuk mempertahankan akurasi dan validitas
data.
d. Pengendalian terhadap Keandalan Pemrosesan dan File Data
5) Terdapat prosedur untuk memastikan bahwa hanya program dan file
data versi terkini yang digunakan selama pemrosesan.
6) Terdapat program yang memiliki prosedur untuk memverifikasi bahwa
versi file komputer yang sesuai yang digunakan selama pemrosesan.
7) Terdapat program yang memiliki prosedur untuk mengecek internal file
header labels sebelum pemrosesan.
8) Terdapat aplikasi yang mencegah perubahan file secara bersamaan.
E. PENGENDALIAN FISIK ATAS ASET KOMENTAR/CATATAN
1. Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan, mengimplementasikan, dan meng­
komunikasikan rencana identifikasi, kebijakan, dan prosedur pengamanan fisik
kepada seluruh pegawai. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai
berikut:
a.
Kebijakan dan prosedur pengamanan fisik telah ditetapkan, di­
implementasikan, dan dikomunikasikan ke seluruh pegawai.
b.
Instansi pemerintah telah mengembangkan rencana untuk identifikasi dan
pengamanan aset infrastruktur.
c.
Aset yang berisiko hilang, dicuri, rusak, digunakan tanpa hak seperti uang
tunai, surat berharga, perlengkapan, persediaan, dan peralatan, secara
fisik diamankan dan akses ke aset tersebut dikendalikan.
384
d.
Aset seperti uang tunai, surat berharga, perlengkapan, persediaan,
dan peralatan secara periodik dihitung dan dibandingkan dengan
catatan pengendalian; setiap perbedaan diperiksa secara teliti.
e.
Uang tunai dan surat berharga yang dapat diuangkan dijaga dalam
tempat terkunci dan akses ke aset tersebut secara ketat dikendalikan.
f.
Formulir seperti blangko cek dan Surat Perintah Membayar, diberi
nomor urut tercetak (prenumbered), secara fisik diamankan, dan akses ke
formulir tersebut dikendalikan.
g.
Penanda tangan cek mekanik dan stempel tanda tangan secara fisik
dilindungi dan aksesnya dikendalikan dengan ketat.
h.
Peralatan yang berisiko dicuri diamankan dengan dilekatkan atau
dilindungi dengan cara lainnya.
i.
Identitas aset dilekatkan pada meubelair, peralatan, dan inventaris
kantor lainnya.
j.
persediaan dan perlengkapan disimpan di tempat yang diamankan
secara fisik dan dilindungi dari kerusakan.
k.
Seluruh fasilitas dilindungi dari api dengan menggunakan alarm
kebakaran dan sistem pemadaman kebakaran.
l.
Akses ke gedung dan fasilitas dikendalikan dengan pagar, penjaga,
atau pengendalian fisik lainnya.
m. Akses ke fasilitas di luar jam kerja dibatasi dan dikendalikan.
2. Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan, mengimplementasikan, dan
mengkomunikasikan rencana pemulihan setelah bencana (disaster recovery
plan) kepada seluruh pegawai.
F. PENETAPAN DAN REVIU INDIKATOR DAN KOMENTAR/CATATAN UKURAN
KINERJA
(1) Ukuran dan indikator kinerja ditetapkan untuk tingkat Instansi Pemerintah,
kegiatan, dan pegawai.
(2) Instansi Pemerintah mereviu dan melakukan validasi secara periodik atas
ketetapan dan keandalan ukuran dan indikator kinerja.
(3) Faktor penilaian pengukuran kinerja dievaluasi untuk meyakinkan bahwa faktor
tersebut seimbang dan terkait dengan misi, sasaran, dan tujuan serta mengatur
insentif yang pantas untuk mencapai tujuan dengan tetap memperhatikan
peraturan perundang-undangan.
385
(4) Data capaian kinerja dibandingkan secara terus-menerus dengan sasaran yang
ditetapkan dan selisihnya dianalisis lebih lanjut.
G. PEMISAHAN FUNGSI KOMENTAR/CATATAN
Pimpinan Instansi Pemerintah menjamin bahwa seluruh aspek utama
transaksi atau kejadian tidak dikendalikan oleh 1 (satu) orang. Hal-hal yang perlu
dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
(1) Tidak seorangpun diperbolehkan mengendalikan seluruh aspek utama transaksi
atau kejadian.
(2) Tanggung jawab dan tugas atas transaksi atau kejadian dipisahkan di antara
pegawai berbeda yang terkait dengan otorisasi, persetujuan, pemrosesan
dan pencatatan, pembayaran atau pemerimaan dana, reviu dan audit, serta
fungsi-fungsi penyimpanan dan penanganan aset.
(3) Tugas dilimpahkan secara sistematik ke sejumlah orang untuk memberikan
keyakinan adanya checks and balances.
(4) Jika memungkinkan, tidak seorangpun diperbolehkan menangani sendiri uang
tunai, surat berharga, dan aset berisiko tinggi lainnya.
(5) Saldo bank direkonsiliasi oleh pegawai yang tidak memiliki tanggung jawab
atas penerimaan, pengeluaran, dan penyimpanan kas.
(6) Pimpinan Instansi Pemerintah mengurangi kesempatan terjadinya kolusi karena
adanya kesadaran bahwa kolusi mengakibatkan ketidakefektifan pemisahan
fungsi.
H. OTORISASI ATAS TRANSAKSI DAN KOMENTAR/CATATAN KEJADIAN YANG
PENTING
Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan dan mengkomunikasikan syarat dan
ketentuan otorisasi kepada pegawai. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah
sebagai berikut:
(1) Terdapat pengendalian untuk memberikan keyakinan bahwa hanya transaksi
dan kejadian yang valid diproses dan dientri, sesuai dengan keputusan dan
arahan pimpinan Instansi Pemerintah.
(2) Terdapat pengendalian untuk memastikan bahwa hanya transaksi dan kejadian
signifikan yang dientri adalah yang telah diotorisasi dan dilaksanakan hanya
oleh pegawai sesuai lingkup otoritasnya.
(3) Otorisasi yang secara spesifik memuat kondisi dan syarat otorisasi dikomunikasikan
secara jelas kepada pimpinan dan pegawai Instansi Pemerintah.
386
(4) Terdapat persyaratan otorisasi yang sejalan dengan arahan dan dalam
batasan yang ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dan
ketentuan pimpinan Instansi Pemerintah.
I.
PENCATATAN YANG AKURAT DAN TEPAT KOMENTAR/CATATAN WAKTU ATAS
TRANSAKSI DAN KEJADIAN
(1) Transaksi dan kejadian diklasifikasikan dengan tepat dan dicatat dengan
segera sehingga tetap relevan, bernilai, dan berguna bagi pimpinan
InstansiPemerintah dalammengendalikan kegiatan dan dalam pengambilan
keputusan.
(2) Klasifikasi dan pencatatan yang tepat dilaksanakan untuk seluruh siklus transaksi
atau kejadian yang mencakupotorisasi, pelaksanaan, pemrosesan, dan klasifikasi
akhir dalam pencatatan ikhtisar.
J. PEMBATASAN AKSES
PENCATATANNYA
ATAS
SUMBERvDAYA
KOMENTAR/CATATAN
DAN
Pimpinan Instansi Pemerintah memberikan akses hanya kepada pegawai
yang berwenang dan melakukan reviu atas pembatasan tersebut secara berkala.
Halhal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
1. Risiko penggunaan secara tidak sah atau kehilangan dikendalikan dengan
membatasi akses ke sumber daya dan pencatatannya hanya kepada
pegawai yang berwenang.
2. Penetapan pembatasan akses untuk penyimpanan secara periodik direviu dan
dipelihara.
3. Pimpinan Instansi Pemerintah mempertimbangkan faktor-faktor seperti nilai
aset, kemudahan dipindahkan, kemudahan ditukarkan ketika menentukan
tingkat pembatasan akses yang tepat.
K. AKUNTABILITAS TERHADAP
PENCATATANNYA
SUMBER
KOMENTAR/CATATAN
DAYA
DAN
Pimpinan Instansi Pemerintah menugaskan pegawai yang bertanggung jawab
terhadap penyimpanan sumber daya dan pencatatannya serta melakukan reviu
atas penugasan tersebut secara berkala. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah
sebagai berikut:
1.
Pertanggungjawaban atas penyimpanan, penggunaan, dan pencatatan sumber
daya ditugaskan pegawai khusus.
387
2.
Penetapan pertanggungjawaban akses untuk penyimpanan sumber daya secara
periodik direviu dan dipelihara.
3.
Pembandingan berkala antara sumber daya dengan pencatatan akuntabilitas
dilakukan untuk menentukan kesesuaiannya dan, jika tidak sesuai, dilakukan
audit.
4. Pimpinan Instansi Pemerintah menginformasikan dan mengkomunikasikan
tanggung jawab atas akuntabilitas sumber daya dan catatan kepada pegawai
dalam organisasi dan meyakinkan bahwa petugas tersebut memahami tanggung
jawabnya.
L. DOKUMENTASI YANG BAIK ATAS SISTEM KOMENTAR/CATATAN PENGENDALIAN
INTERN SERTA TRANSAKSI DAN KEJADIAN PENTING
Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki, mengelola, memelihara, dan secara
berkala memutakhirkan dokumentasi yang mencakup seluruh Sistem Pengendalian
Intern serta transaksi dan kejadian penting. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan
adalah sebagai berikut:
1. Terdapat dokumentasi tertulis yang mencakup Sistem Pengendalian Intern
Instansi Pemerintah dan seluruh transaksi dan kejadian penting.
2. Dokumentasi tersedia setiap saat untuk diperiksa.
3. Dokumentasi atas Sistem Pengendalian Intern mencakup identifikasi, penerapan,
dan evaluasi atas tujuan dan fungsi Instansi Pemerintah pada tingkatan kegiatan
serta pengendaliannya yang tercermin dalam kebijakan administratif, pedoman
akuntansi, dan pedoman lainnya.
4. Dokumentasi atas Sistem Pengendalian Intern mencakup dokumentasi yang
menggambarkan sistem informasi otomatis, pengumpulan dan penanganan
data, serta pengendalian umum dan pengendalian aplikasi.
5. Terdapat dokumentasi atas transaksi dan kejadian penting yang lengkap dan
akurat sehingga memudahkan penelusuran transaksi dan kejadian penting
sejak otorisasi, inisiasi, pemrosesan, hingga penyelesaian.
6. Terdapat dokumentasi, baik dalam bentuk cetakan maupun elektronis, yang
berguna bagi pimpinan Instansi Pemerintah dalam mengendalikan kegiatannya
dan bagi pihak lain yang terlibat dalam evaluasi dan analisis kegiatan.
7. Seluruh dokumentasi dan catatan dikelola dan dipelihara secara baik serta
dimutakhirkan secara berkala.
Bagian Ikhtisar Kegiatan Pengendalian Berikan Kesimpulan Umum dan Tindakantindakan yang diperlukan di sini:
388
BAGIAN IV
INFORMASI DAN KOMUNIKASI
Unsur pengendalian intern keempat adalah informasi dan komunikasi.
Instansi Pemerintah harus memiliki informasi yang relevan dan dapat diandalkan
baik informasi keuangan maupun nonkeuangan, yang berhubungan dengan peristiwaperistiwa eksternal serta internal.
Informasi tersebut harus direkam dan dikomunikasikan kepada pimpinan
Instansi Pemerintah dan lainnya di seluruh Instansi Pemerintah yang memerlukannya
dalam bentuk serta dalam kerangka waktu, yang memungkinkan yang bersangkutan
melaksanakan pengendalian intern dan tanggung jawab operasional.
Daftar uji berikut ini dimaksudkan untuk menilai apakah Instansi Pemerintah
telah menerapkan unsur informasi yang tepat dan komunikasi secara baik
sehingga menunjang Sistem Pengendalian Intern dan manajemen yang sehat.
A. INFORMASI KOMENTAR/CATATAN
1. Informasi dari sumber internal dan eksternal didapat dan disampaikan
kepada pimpinan Instansi Pemerintah sebagai bagian dari pelaporan Instansi
Pemerintah sehubungan dengan pencapaian kinerja operasi dalam mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a.
Informasi internal yang penting dalam mencapai tujuan Instansi Pemerintah,
termasuk informasi yang berkaitan dengan faktor-faktor keberhasilan
yang kritis, sudah diidentifikasi dan secara teratur dilaporkan kepada
pimpinan Instansi Pemerintah.
b.
Instansi Pemerintah sudah mendapatkan dan melaporkan kepada pimpinan
semua informasi eksternal relevan, yang dapat mempengaruhi tercapainya
misi, maksud, dan tujuan Instansi Pemerintah, terutama yang berkaitan
dengan perkembangan peraturan perundang-undangan serta perubahan
politik dan ekonomis.
c.
Pimpinan Instansi Pemerintah di semua tingkatan telah memperoleh
informasi internal dan eksternal yang diperlukan.
2. Informasi terkait sudah diidentifikasi, diperoleh dan didistribusikan kepada
pihak yang berhak dengan rincian yang memadai, bentuk, dan waktu yang
tepat, sehingga memungkinkan mereka dapat melaksanakan tugas dan tanggung
389
jawabnya secara efisien dan efektif. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah
sebagai berikut:
a.
Pimpinan Instansi Pemerintah sudah menerima informasi hasil analisis
yang dapat membantu dalam mengidentifikasi tindakan khusus yang
perlu dilaksanakan.
b.
Informasi sudah disiapkan dalam bentuk rincian yang tepat sesuai dengan
tingkatan pimpinan Instansi Pemerintah.
c.
Informasi yang relevan diringkas dan disajikan secara memadai sehingga
memungkinkan dilakukannya pengecekan secara rinci sesuai keperluan.
d.
Informasidisediakan tepat waktu agar dapat dilaksanakannya pemantauan
kejadian, kegiatan, dan transaksi sehingga memungkinkan dilakukannya
tindakan korektif secara cepat.
e. Pimpinan yang bertanggung jawab terhadap suatu program sudah menerima
informasioperasional dan keuangan untuk membantu mengukur dan
menentukan pencapaian rencana kinerja strategis, tahunan dan target
Instansi Pemerintah sehubungan dengan pertanggungjawaban penggunaan
sumber daya.
f. Informasi operasional sudah disediakan bagi pimpinan Instansi Pemerintah
sehingga mereka dapat menentukan apakah pelaksanaan program sudah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
g.
B.
Informasi keuangan dan anggaran yang memadai sudah disediakan guna
mendukung penyusunan pelaporan keuangan internal dan eksternal.
KOMUNIKASI KOMENTAR/CATATAN
1. Pimpinan Instansi Pemerintah harus memastikan terjalinnya komunikasi internal
yang efektif. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a.
Pimpinan Instansi Pemerintah sudah memberikan arahan yang jelas kepada
seluruh tingkatan organisasi bahwa tanggung jawab pengendalian intern
adalah masalah penting dan harus diperhatikan secara serius.
b. Tugas yang dibebankan kepada pegawai sudah dikomunikasikan dengan
jelas dan sudah dimengerti aspek pengendalian internnya, peranan
masing-masing pegawai, dan hubungan pekerjaan antar pegawai.
c. Pegawai sudah diinformasikan bahwa, jika ada hal yang tidak diharapkan
terjadi dalam pelaksanaan tugas, perhatian harus diberikan bukan hanya
kepada kejadian tersebut, tetapi juga pada penyebabnya, sehingga
kelemahan potensial pengendalian intern bisa diidentifikasi dan diperbaiki
390
sebelum kelemahan tersebut menimbulkan kerugian lebih lanjut terhadap
Instansi Pemerintah.
d.
Sikap perilaku yang bisa dan tidak bisa diterima serta konsekuensinya
sudah dikomunikasikan secara jelas kepada pegawai.
e.
Pegawai memiliki saluran komunikasi informasi ke atas selain melalui
atasan langsungnya, dan ada keinginan yang tulus dari pimpinan Instansi
Pemerintah untuk mendengar keluhan sebagai bagian dari proses
manajemen.
f.
Adanya mekanisme yang memungkinkan informasi mengalir ke seluruh
bagian dengan lancar dan menjamin adanya komunikasi yang lancar
antar kegiatan fungsional.
g.
Pegawai mengetahui adanya saluran komunikasi informal atau terpisah
yang bisa berfungsi apabila jalur informasi normal gagal digunakan.
h.
Pegawai mengetahui adanya jaminan tidak akan ada tindakan ‘balas
dendam’ (reprisal) jika melaporkan informasi yang negatif, perilaku yang
tidak benar, atau penyimpangan.
i.
Adanya mekanisme yang memungkinkan pegawai menyampaikan
rekomendasi penyempurnaan kegiatan, dan pimpinan Instansi Pemerintah
memberikan penghargaan terhadap rekomendasi yang baik berupa hadiah
langsung atau bentuk penghargaan lainnya.
j. Pimpinan Instansi Pemerintah sering berkomunikasi dengan aparat
pengawasan intern pemerintah, dan terus melaporkan kepada aparat
pengawasan intern pemerintah mengenai kinerja, risiko, inisiatif penting,
dan kejadian penting lainnya.
2. Pimpinan Instansi Pemerintah harus memastikan bahwa sudah terjalin
komunikasi eksternal yang efektif yang memiliki dampak signifikan terhadap
program, proyek, operasi dan kegiatan lain termasuk penganggaran dan
pendanaannya. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. Adanya saluran komunikasi yang terbuka dan efektif dengan masyarakat,
rekanan, konsultan, dan aparat pengawasan intern pemerintah serta
kelompok lainnya yang bisa memberikan masukan yang signifikan terhadap
kualitas pelayanan Instansi Pemerintah.
b. Semua pihak eksternal yang berhubungan dengan Instansi Pemerintah
sudah diinformasikan mengenai kode etik yang berlaku dan juga sudah
mengerti bahwa tindakan yang tidak benar, seperti pemberian komisi,
tidak diperkenankan.
391
c. Komunikasi dengan eksternal sangat didorong untuk dapat mengetahui
berfungsinya pengendalian intern.
d.
Pengaduan, keluhan, dan pertanyaan mengenai layanan instansi
pemerintah, ditindaklanjuti dengan baik karena dapat menunjukkan
adanya permasalahan dalam pengendalian.
e.
Pimpinan Instansi Pemerintah memastikan bahwa saran dan rekomendasi
aparat pengawasan intern pemerintah, auditor, dan evaluator lainnya sudah
dipertimbangkan sepenuhnya dan ditindaklanjuti dengan memperbaiki
masalah atau kelemahan yang diidentifikasi.
f.
Komunikasi dengan badan legislatif, Instansi Pemerintah pengelola
anggaran dan perbendaharaan, Instansi Pemerintah lain, media, dan
masyarakat harus berisi informasi sehingga misi, tujuan, risiko yang
dihadapi Instansi Pemerintah lebih dapat dipahami.
C. BENTUK DAN SARANA KOMUNIKASI KOMENTAR/CATATAN
1.
Pimpinan Instansi Pemerintah menggunakan berbagai bentuk dan sarana
dalam mengkomunikasikan informasi penting kepada pegawai dan lainnya.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a.
Pimpinan Instansi Pemerintah sudah menggunakan bentuk dan sarana
komunikasi efektif, berupa buku pedoman kebijakan dan prosedur, surat
edaran, memorandum, papan pengumuman, situs internet dan intranet,
rekaman video, e-mail, dan arahan lisan.
b.
Pimpinan telah melakukan komunikasi dalam bentuk tindakan positif saat
berhubungan dengan pegawai di seluruh organisasi dan memperlihatkan
dukungan terhadap pengendalian intern.
2. Instansi Pemerintah mengelola, mengembangkan, dan memperbarui sistem
informasi untuk meningkatkan kegunaan dan keandalan komunikasi informasi
secara terus menerus. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai
berikut:
a.
Manajemen sistem informasi dilaksanakan berdasarkan suatu rencana
strategis sistem informasi yang merupakan bagian dari rencana strategis
Instansi Pemerintah secara keseluruhan.
b.
Adanya mekanisme untuk mengidentifikasi berkembangnya kebutuhan
informasi.
c.
Sebagai bagian dari manajemen informasi, Instansi Pemerintah telah
memantau, menganalisis, mengevaluasi, dan memanfaatkan perkembangan
392
dan kemajuan teknologi untuk dapat memberikan pelayanan lebih cepat
dan efisien.
d.
Pimpinan Instansi Pemerintah secara terus menerus memantau mutu
informasi yang dikelola, diukur dari segi kelayakan isi, ketepatan waktu,
keakuratan, dan kemudahan aksesnya.
3.
Dukungan pimpinan Instansi Pemerintah terhadap pengembangan teknologi
informasi ditunjukkan dengan komitmennya dalam menyediakan pegawai
dan pendanaan yang memadai terhadap upaya pengembangan tersebut.
Bagian Ikhtisar Informasi dan Komunikasi Berikan Kesimpulan Umum dan
Tindakan-tindakan yang diperlukan di sini:
BAGIAN V
PEMANTAUAN
Pemantauan merupakan unsur pengendalian intern yang kelima atau terakhir.
Pemantauan Sistem Pengendalian Intern dilaksanakan melalui pemantauan
berkelanjutan, evaluasi terpisah, dan tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan
reviu lainnya. Pemantauan berkelanjutan diselenggarakan melalui kegiatan
pengelolaan rutin, supervisi, pembandingan, rekonsiliasi, dan tindakan lain yang
terkait dalam pelaksanaan tugas. Evaluasi terpisah diselenggarakan melalui
penilaian sendiri, reviu, dan pengujian efektivitas Sistem Pengendalian Intern yang
dapat dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah atau pihak eksternal
pemerintah dengan menggunakan daftar uji pengendalian intern.
Tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya harus segera
diselesaikan dan dilaksanakan sesuai dengan mekanisme penyelesaian rekomendasi
hasil audit dan reviu lainnya yang ditetapkan.
Daftar uji berikut ini dimaksudkan untuk menilai apakah Instansi Pemerintah
telah menerapkan unsur pemantauan secara baik sehingga dapat menunjang
Sistem Pengendalian Intern dan manajemen yang sehat.
A. PEMANTAUAN BERKELANJUTAN KOMENTAR/CATATAN
1.
Pimpinan Instansi Pemerintah memiliki strategi untuk meyakinkan bahwa
pemantauan berkelanjutan efektif dan dapat memicu evaluasi terpisah pada
saat persoalan teridentifikasi atau pada saat sistem berada dalam keadaan
kritis, serta pada saat pengujian secara berkala diperlukan. Hal-hal yang
perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
393
a.
Strategi pimpinan Instansi Pemerintah menyediakan umpan balik rutin,
pemantauan kinerja, dan mengendalikan pencapaian tujuan.
b.
Adanya strategi pemantauan yang meliputi metode untuk menekankan
pimpinan program atau operasional bahwa mereka bertanggung jawab atas
pengendalian intern dan pemantauan efektivitas kegiatan pengendalian
sebagai bagian dari tugas mereka secara teratur dan setiap hari.
c. Adanya strategi pemantauan yang meliputi metode untuk menekankan
pimpinan program bahwa mereka bertanggung jawab atas pengendalian
intern dan bahwa tugas mereka adalah untuk memantau efektivitas
kegiatan pengendalian secara teratur.
d. Adanya strategi pemantauan yang mencakup identifikasi kegiatan operasi
penting dan sistem pendukung pencapaian misi yang memerlukan reviu
dan evaluasi khusus.
e. Adanya strategi yang meliputi rencana untuk mengevaluasi secara
berkala kegiatan pengendalian atas kegiatan operasi penting dan sistem
pendukung pencapaian misi.
2. Dalam proses melaksanakan kegiatan rutin, pegawai Instansi Pemerintah
mendapatkan informasi berfungsinya pengendalian intern secara efektif.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. Laporan operasional sudah terintegrasi atau direkonsiliasi dengan data
laporan keuangan dan anggaran dan digunakan untuk mengelola operasio­
nal berkelanjutan, serta pimpinan Instansi Pemerintah memperhatikan
adanya ketidakakuratan atau penyimpangan yang bisa mengindikasikan
adanya masalah pengendalian intern.
b. Pimpinan yang bertanggung jawab atas kegiatan operasional membanding­
kan informasi kegiatan atau informasi operasional lainnya yang didapat
dari kegiatan sehari-hari dengan informasi yang didapat dari sistem
informasi dan menindaklanjuti semua ketidakakuratan atau masalah lain
yang ditemukan.
c. Pegawai operasional harus menjamin keakuratan laporan keuangan unit
dan bertanggung jawab jika ditemukan kesalahan.
3. Komunikasi dengan pihak eksternal harus dapat menguatkan data yang
dihasilkan secara internal atau harus dapat mengindikasikan adanya masalah
dalam pengendalian intern. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah
sebagai berikut:
394
a. Pengaduan rekanan mengenai praktik tidak adil oleh Instansi Pemerintah
harus diselidiki.
b. Badan legislatif dan badan pengawas mengkomunikasikan informasi
kepada Instansi Pemerintah mengenai kepatuhan atau hal lain yang
mencerminkan berfungsinya pengendalian intern dan pimpinan Instansi
Pemerintah menindaklanjuti semua masalah yang ditemukan.
c. Kegiatan pengendalian yang gagal mencegah atau mendeteksi adanya
masalah yang timbul harus direviu.
4. Struktur organisasi dan supervisi yang memadai dapat membantu mengawasi
fungsi pengendalian intern. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah
sebagai berikut:
5.
a.
Pengeditan dan pengecekan otomatis serta kegiatan penatausahaan
digunakan untuk membantu dalam mengontrol keakuratan dan kelengkapan
pemrosesan transaksi.
b.
Pemisahan tugas dan tanggung jawab digunakan untuk membantu mencegah
penyelewengan.
c.
Aparat pengawasan intern pemerintah harus independen dan memiliki
wewenang untuk melapor langsung ke pimpinan Instansi Pemerintah dan
tidak melakukan tugas operasional apapun bagi kepentingan pimpinan
Instansi Pemerintah.
Data yang tercatat dalam sistem informasi dan keuangan secara berkala
dibandingkan dengan aset fisiknya dan, jika ada selisih, harus telusuri. Hal- hal
yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. Tingkat persediaan barang, perlengkapan, dan aset lainnya sudah dicek
secara berkala; selisih antara jumlah yang tercatat dengan jumlah aktual
harus dikoreksi dan penyebab selisih tersebut harus dijelaskan.
b.
Frekuensi pembandingan antara pencatatan dan fisik aktual didasarkan
atas tingkat kerawanan aset.
c. Tanggung jawab untuk menyimpan, menjaga, dan melindungi aset dan
sumber daya lain dibebankan kepada orang yang ditugaskan.
6.
Pimpinan Instansi Pemerintah mengambil langkah untuk menindaklanjuti
rekomendasi penyempurnaan pengendalian internal yang secara teratur
diberikan olehaparatpengawasan internpemerintah, auditor, dan evaluator
lainnya.
7. Rapat dengan pegawai digunakan untuk meminta masukan tentang efektivitas
pengendalian intern. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai
berikut:
395
a.
Masalah, informasi, dan masukan yang relevan berkaitan dengan
pengendalian intern yang muncul pada saat pelatihan, seminar, rapat
perencanaan, dan rapat lainnya diterima dan digunakan oleh pimpinan
untuk mengatasi masalah atau untuk memperkuat sistem pengendalian
intern.
b.
Saran dari pegawai mengenai pengendalian intern harus dipertimbangkan
dan ditindaklanjuti sebagaimana mestinya.
c.
Pimpinan Instansi Pemerintah mendorong pegawai untuk mengidentifi­
kasi kelemahan pengendalian intern dan melaporkannya ke atasan
langsungnya.
8. Pegawai secara berkala diminta untuk menyatakan secara tegas apakah
mereka sudah mematuhi kode etik atau peraturan sejenis mengenai perilaku yang
diharapkan. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a.
Pegawai secara berkala menyatakan kepatuhan mereka terhadap kode
etik.
b.
Tanda tangan diperlukan untuk membuktikan dilaksanakannya fungsi
pengendalian intern penting, misalnya rekonsiliasi.
B.
EVALUASI TERPISAH KOMENTAR/CATATAN
1. Ruang lingkup dan frekuensi evaluasi pengendalian intern secara terpisah telah
memadai bagi Instansi Pemerintah. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah
sebagai berikut:
a.
Hasil penilaian risiko dan efektivitas pemantauan yang berkelanjutan
dipertimbangkan saat menentukan lingkup dan frekuensi evaluasi
terpisah.
b.
Kegiatan evaluasi terpisah seringkali diperlukan pada saat adanya ke­
jadian misalnya perubahan besar dalam rencana atau strategi manaje­
men, pemekaran atau penciutan Instansi Pemerintah, atau perubahan
operasional atau pemrosesan informasi keuangan dan anggaran.
c.
Evaluasi secara berkala dilakukan terhadap bagian dari pengendalian
intern secara memadai.
d.
Evaluasi terpisah dilakukan oleh pegawai yang mempunyai keahlian
tertentu yang disyaratkan dan dapat melibatkan aparat pengawasan intern
pemerintah atau auditor eksternal.
2. Metodologi evaluasi pengendalian intern Instansi Pemerintah haruslah logis
dan memadai.
396
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. Metodologi yang dipergunakan telah mencakup self assessment dengan
menggunakan daftar periksa (check list), daftar kuesioner, atau perangkat
lainnya.
b. Evaluasi terpisah tersebut meliputi suatu reviu terhadap rancangan
pengendalian intern dan pengujian langsung (direct testing) atas kegiatan
pengendalian intern.
c. Dalam Instansi Pemerintah yang menggunakan sistem informasi berbasis
komputer, evaluasi terpisah dilakukan dengan menggunakan teknik
audit berbantuan komputer untuk mengidentifikasi indikator inefisiensi,
pemborosan, atau penyalahgunaan.
d. Tim evaluasi terpisah menyusun suatu rencana evaluasi untuk meyakinkan
terlaksananya kegiatan tersebut secara terkoordinasi.
e.
Jika proses evaluasi terpisah dilakukan oleh pegawai Instansi Pemerintah,
maka harus dipimpin oleh seorang pejabat dengan kewewenangan,
kemampuan, dan pengalaman memadai.
f.
Tim evaluasi terpisah harus memahami secara memadai mengenai visi,
misi, dan tujuan Instansi Pemerintah serta kegiatannya.
g. Tim evaluasi terpisah sudah memahami bagaimana pengendalian
intern Instansi Pemerintah seharusnya berkerja dan bagaimana
implementasinya.
h.
Tim evaluasi terpisah menganalisis hasil evaluasi dibandingkan dengan
kriteria yang sudah ditetapkan.
i.
Proses evaluasi didokumentasikan sebagaimana mestinya.
3. Jika evaluasi terpisah dilaksanakan oleh aparat pengawasan intern pemerintah,
maka aparat pengawasan intern pemerintah tersebut harus memiliki sumber
daya, kemampuan, dan independensi yang memadai. Hal-hal yang perlu
dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a.
Aparat pengawasan intern pemerintah memiliki staf dengan tingkat
kompetensi dan pengalaman yang cukup.
b. Aparat pengawasan intern pemerintah secara organisasi independen dan
melapor langsung ke pimpinan tertinggi di dalam Instansi Pemerintah.
c. Tanggung jawab, lingkup kerja, dan rencana pengawasan aparat
pengawasan intern pemerintah harus sesuai dengan kebutuhan Instansi
Pemerintah yang bersangkutan.
397
4. Kelemahan yang ditemukan selama evaluasi terpisah segera diselesaikan. Halhal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. Kelemahan yang ditemukan segera dikomunikasikan kepada orang yang
bertanggung jawab atas fungsi tersebut dan atasan langsungnya.
b. Kelemahan dan masalah pengendalian intern yang serius segera dilaporkan
ke pimpinan tertinggi Instansi Pemerintah.
C. PENYELESAIAN AUDIT KOMENTAR/CATATAN
1. Instansi Pemerintah sudah memiliki mekanisme untuk meyakinkan ditindak­
lanjutinya temuan audit atau reviu lainnya dengan segera. Hal- hal yang perlu
dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. Pimpinan Instansi Pemerintah segera mereviu dan mengevaluasi temuan
audit, hasil penilaian, dan reviu lainnya yang menunjukkan adanya
kelemahan dan yang mengidentifikasi perlunya perbaikan.
b. Pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan tindakan yang memadai
untuk menindaklanjuti temuan dan rekomendasi.
c. Tindakankorektif untuk menyelesaikan masalah yang menarik perhatian
pimpinan Instansi Pemerintah dilaksanakan dalam jangka waktu yang
ditetapkan.
d. Dalam hal terdapat ketidaksepakatan dengan temuan atau rekomendasi,
pimpinanInstansi Pemerintah menyatakan bahwa temuan atau rekomendasi
tersebut tidak tepat atau tidak perlu ditindaklanjuti.
e. Pimpinan Instansi Pemerintah mempertimbangkan untuk melakukan
konsultasi dengan auditor (seperti BPK, aparat pengawasan intern
pemerintah, dan auditor eksternal lainnya) dan pereviu jika diyakini akan
membantu dalam proses penyelesaian audit.
2. Pimpinan Instansi Pemerintah tanggap terhadap temuan dan rekomendasi audit
dan reviu lainnya guna memperkuat pengendalian intern. Hal-hal yang perlu
dipertimbangkan adalah sebagai berikut:
a. Pimpinan Instansi Pemerintah yang berwenang mengevaluasi temuan dan
rekomendasi dan memutuskan tindakan yang layak untuk memperbaiki
atau meningkatkan pengendalian.
b. Tindakan pengendalian intern yang diperlukan, diikuti untuk memastikan
penerapannya.
398
3. Instansi Pemerintah menindaklanjuti temuan dan rekomendasi audit dan reviu
lainnya dengan tepat. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai
berikut:
a.
Masalah yang berkaitan dengan transaksi atau kejadian tertentu
dikoreksi dengan segera.
b. Penyebab yang diungkapkan dalam temuan atau rekomendasi diteliti oleh
pimpinan Instansi Pemerintah.
c. Tindakan diambil untuk memperbaiki kondisi atau mengatasi penyebab
terjadinya temuan.
d.
Pimpinan Instansi Pemerintah dan auditor memantau temuan audit dan
reviu serta rekomendasinya untuk meyakinkan bahwa tindakan yang
diperlukan telah dilaksanakan.
e.
Pimpinan Instansi Pemerintah secara berkala mendapat laporan status
penyelesaian audit dan reviu sehingga pimpinan dapat meyakinkan kualitas
dan ketepatan waktu penyelesaian setiap rekomendasi.
Bagian Ikhtisar Pemantauan Berikan Kesimpulan Umum dan Tindakan-tindakan
yang diperlukan di sini:
BAGIAN VI
IKHTISAR PENGENDALIAN INTERN SECARA KESELURUHAN
A. LINGKUNGAN PENGENDALIAN KOMENTAR/CATATAN
Pimpinan dan pegawai Instansi Pemerintah memiliki sikap perilaku yang positif
dan mendukung pengendalian intern dan manajemen bersih. Pimpinan Instansi
Pemerintah harus menyampaikan pesan bahwa nilai-nilai integritas dan etis tidak
boleh dikompromikan. Pimpinan Instansi Pemerintah menunjukkan suatu komitmen
terhadap kompetensi/kemampuan pegawainya dan menggunakan kebijakan dan
praktik pembinaan sumber daya manusia yang baik. Pimpinan Instansi Pemerintah
memiliki kepemimpinan yang kondusif yang mendukung pengendalian intern yang
efektif. Struktur organisasi Instansi Pemerintah dan metode pendelegasian wewenang
dan tanggung jawab memberikan kontribusi terhadap efektivitas pengendalian intern.
Instansi Pemerintah memiliki hubungan kerja yang baik dengan badan legislatif serta
auditor internal dan eksternal.
B. PENILAIAN RISIKO KOMENTAR/CATATAN
Pimpinan
Instansi
Pemerintah
sudah
menetapkan
tujuan
keseluruhan
Instansi Pemerintah yang jelas dan konsisten serta tujuan tingkatan kegiatan yang
mendukungnya. Pimpinan Instansi Pemerintah sudah melakukan identifikasi risiko
secara menyeluruh, mulai dari sumber internal maupun eksternal, yang dapat
mempengaruhi kemampuan Instansi Pemerintah dalam mencapai tujuannya.
Analisis risiko sudah dilaksanakan, dan Instansi Pemerintah sudah mengembangkan
pendekatan yang memadai untuk mengelola risiko. Selain itu, sudah ada mekanisme
untuk mengidentifikasi perubahan yang dapat mempengaruhi kemampuan Instansi
Pemerintah tersebut dalam mencapai visi, misi, dan tujuannya.
C. KEGIATAN PENGENDALIAN KOMENTAR/CATATAN
Kebijakan, prosedur, teknik, dan mekanisme pengendalian yang memadai
sudah dikembangkan dan sudah diterapkan untuk memastikan adanya kepatuhan
terhadap arahan yang sudah ditetapkan. Kegiatan pengendalian yang tepat sudah
dikembangkan untuk setiap kegiatan Instansi Pemerintah dan diterapkan sebagaimana
mestinya.
D. INFORMASI DAN KOMUNIKASI KOMENTAR/CATATAN
Sistem informasi untuk mengidentifikasi dan mencatat informasi operasional dan
keuangan yang penting yang berhubungan dengan peristiwa internal dan eksternal
telah ada dan diimplementasikan. Informasi tersebut dikomunikasikan kepada
pimpinan dan pihak lain di lingkungan Instansi Pemerintah dalam bentuk yang
memungkinkan pihak tersebut melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara
efisien dan efektif. Pimpinan Instansi Pemerintah memastikan bahwa komunikasi
internal telah terjalin dengan efektif.
Pimpinan Instansi Pemerintah juga harus memastikan bahwa komunikasi
eksternal yang efektif juga terjalin dengan kelompok-kelompok yang dapat
mempengaruhi pencapaian visi, misi, dan tujuan Instansi Pemerintah. Pimpinan
Instansi Pemerintah menggunakan berbagai bentuk komunikasi yang sesuai dengan
kebutuhannya serta mengelola, mengembangkan, dan memperbaiki sistem
informasinya dalam upaya meningkatkan komunikasi secara berkesinambungan.
E. PEMANTAUAN KOMENTAR/CATATAN
Pemantauan pengendalian intern menilai kualitas kinerja pengendalian intern
Instansi Pemerintah secara terus-menerus sebagai bagian dari proses pelaksanaan
kegiatan sehari-hari. Selain itu, evaluasi terpisah terhadap pengendalian intern
dilakukan secara berkala dan kelemahan yang ditemukan diteliti lebih lanjut.
399
400
Sudah ada prosedur untuk memastikan bahwa seluruh temuan audit dan reviu
lainnya segera dievaluasi, ditentukan tanggapan yang tepat, dan dilaksanakan
tindakan perbaikannya.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 38 TAHUN 2008
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2006
TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa ketersediaan infrastruktur yang memadai, merupakan
kebutuhan yang mendesak untuk mendukung pelaksanaan
pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan perekonomian
dan kesejahteraan masyarakat, serta untuk meningkatkan daya
saing Indonesia dalam perdagangan global;
b. bahwa untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, perlu
untuk mengambil langkah-langkah yang komprehensif guna
menciptakan iklim investasi dalam bidang infrastruktur;
c. bahwa penilaian barang milik negara diperlukan dalam rangka
mendapatkan nilai wajar yang merupakan unsur penting dalam
rangka penyusunan neraca pemerintah, pemanfaatan, dan
pemindahtanganan barang milik negara/daerah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor
6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4355);
401
402
3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4609);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN
PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN BARANG
MILIK NEGARA/ DAERAH.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006
tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4609), diubah sebagai berikut:
1.
Di antara angka 4 dan angka 5 Pasal 1 disisipkan 1 (satu) angka, yakni angka 4a
dan angka 22 sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1.
Barang milik negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas
beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
2.
Barang milik daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas
beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
3.
Pengelola barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab
menetapkan kebijakan dan pedoman serta melakukan pengelolaan barang
milik negara/daerah.
4.
Pengguna barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan barang
milik negara/daerah.
4.a. Penilai adalah pihak yang melakukan penilaian secara independen
berdasarkan kompetensi yang dimilikinya terdiri dari penilai internal
dan penilai eksternal.
403
5.
Kuasa pengguna barang adalah kepala satuan kerja atau pejabat yang
ditunjuk oleh pengguna barang untuk menggunakan barang yang berada
dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.
6.
Perencanaan kebutuhan adalah kegiatan merumuskan rincian kebutuhan
barang milik negara/daerah untuk menghubungkan pengadaan barang yang
telah lalu dengan keadaan yang sedang berjalan sebagai dasar dalam
melakukan tindakan yang akan datang.
7.
Penggunaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pengguna barang dalam
mengelola dan menatausahakan barang milik negara/daerah yang sesuai
dengan tugas pokok dan fungsi instansi yang bersangkutan.
8.
Pemanfaatan adalah pendayagunaan barang milik negara/daerah yang tidak
dipergunakan sesuaidengan tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga/
satuan kerja perangkat daerah, dalam bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama
pemanfaatan, dan bangun serah guna/bangun guna serah dengan tidak mengubah
status kepemilikan.
9.
Sewa adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah oleh pihak lain dalam
jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai.
10. Pinjam pakai adalah penyerahan penggunaan barang antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah dalam jangka waktu
tertentu tanpa menerima imbalan dan setelah jangka waktu tersebut berakhir
diserahkan kembali kepada pengelola barang.
11. Kerjasama pemanfaatan adalah pendayagunaan barang milik negara/daerah
oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan
penerimaan negara bukan pajak/pendapatan daerah dan sumber pembiayaan
lainnya.
12. Bangun guna serah adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa
tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana
berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam
jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan
kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah
berakhirnya jangka waktu.
13. Bangun serah guna adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa
tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana
berikut fasilitasnya, dan setelah selesai pembangunannya diserahkan untuk
didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang
disepakati.
404
14. Penghapusan adalah tindakan menghapus barang milik negara/daerah dari daftar
barang dengan menerbitkan surat keputusan dari pejabat yang berwenang untuk
membebaskan pengguna dan/atau kuasa pengguna barang dan/atau pengelola
barang dari tanggung jawab administrasi dan fisik atas barang yang berada
dalam penguasaannya.
15. Pemindahtanganan adalah pengalihan kepemilikan barang milik negara/daerah
sebagai tindak lanjut dari penghapusan dengan cara dijual, dipertukarkan,
dihibahkan atau disertakan sebagai modal pemerintah.
16. Penjualan adalah pengalihan kepemilikan barang miliknegara/daerah kepada
pihak lain dengan menerima penggantian dalam bentuk uang.
17. Tukar-menukar adalah pengalihan kepemilikan barang milik negara/daerah
yang dilakukan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, antar
pemerintah daerah, atau antara pemerintah pusat/pemerintah daerah dengan
pihak lain, dengan menerima penggantian dalam bentuk barang, sekurangkurangnya dengan nilai seimbang.
18. Hibah adalah pengalihan kepemilikan barang dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah, dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, antar
pemerintah daerah, atau dari pemerintah pusat/ pemerintah daerah kepada
pihak lain, tanpa memperoleh penggantian.
19. Penyertaan modal pemerintah pusat/daerah adalah pengalihan kepemilikan
barang milik negara/daerah yang semula merupakan kekayaan yang tidak
dipisahkan menjadi kekayaan yang dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai
modal/saham negara atau daerah pada badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, atau badan hukum lainnya yang dimiliki negara.
20. Penatausahaan adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pembukuan,
inventarisasi, dan pelaporan barang milik negara/daerah sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
21. Inventarisasi adalah kegiatan untuk melakukan pendataan, pencatatan, dan
pelaporan hasil pendataan barang milik negara/daerah.
22. Penilaian adalah proses kegiatan yang dilakukanoleh penilai untuk memberikan
suatu opini nilai atas suatu obyek penilaian pada saat tertentu dalam rangka
pengelolaan barang milik negara/ daerah.
23. Daftar barang pengguna, yang selanjutnya disingkat dengan DBP, adalah daftar
yang memuat data barang yang digunakan oleh masing-masing pengguna
barang.
405
24. Daftar barang kuasa pengguna, yang selanjutnya disingkat dengan DBKP,
adalah daftar yang memuat data barang yang dimiliki oleh masing-masing
kuasa pengguna barang.
25. Kementerian negara/lembaga adalah kementerian negara/lembaga pemerintah
non kementerian negara/lembaga negara.
26. Menteri/pimpinan lembaga adalah pejabat yang bertanggung jawab atas
penggunaan barang kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.
27. Pihak lain adalah pihak-pihak selain kementerian negara/lembaga dan satuan
kerja perangkat daerah.
2.
Ketentuan Pasal 2 ayat (2) huruf c diubah sehingga Pasal 2 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Barang milik negara/daerah meliputi:
a. barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN/D; atau b. barang
yang berasal dari perolehan lainnya yang sah.
(2) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis;
b. barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak;
c. barang yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; atau
d. barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
3.
Ketentuan Pasal 26 ditambahkan 2 (dua) ayat yakni ayat (3) dan ayat (4)
sehingga Pasal 26 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26
(1) Kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara/ daerah dilaksanakan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dana dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara/Daerah untuk memenuhi biaya operasional/
pemeliharaan/perbaikan yang diperlukan terhadap barang milik negara/
daerah dimaksud;
406
(2)
b.
mitra kerjasama pemanfaatan ditetapkan melalui tender dengan
mengikutsertakan sekurang-kurangnya lima peserta/peminat, kecuali
untuk barang milik negara/daerah yang bersifat khusus dapat dilakukan
penunjukan langsung;
c.
mitra kerjasama pemanfaatan harus membayar kontribusi tetap ke
rekening kas umum negara/ daerah setiap tahun selama jangka waktu
pengoperasian yang telah ditetapkan dan pembagian keuntungan hasil
kerjasama pemanfaatan;
d.
besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil
kerjasama pemanfaatan ditetapkan dari hasil perhitungan tim yang
dibentuk oleh pejabat yang berwenang;
e.
besaran pembayaran kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil
kerjasama pemanfaatan harus mendapat persetujuan pengelola barang;
f.
selama jangka waktu pengoperasian, mitra kerjasama pemanfaatan
dilarang menjaminkan atau menggadaikan barang milik negara/daerah
yang menjadi obyek kerjasama pemanfaatan;
g.
jangka waktu kerjasama pemanfaatan paling lama 30 (tiga puluh)
tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang.
Semua biaya yang berkenaan dengan persiapan dan pelaksanaan kerjasama
pemanfaatan tidak dapat dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara/Daerah.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g tidak berlaku dalam hal
kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara/daerah dilakukan untuk
penyediaan infrastruktur tersebut di bawah ini :
a.
infrastruktur transportasi meliputi pelabuhan laut, sungai atau danau,
bandar udara, jaringan rel dan stasiun kereta api;
b.
infrastruktur jalan meliputi jalan tol dan jembatan tol;
c.
infrastruktur sumber daya air meliputi saluran pembawa air baku dan
waduk/bendungan;
d.
infrastruktur air minum meliputi bangunan pengambilan air baku,
jaringan transmisi, jaringan distribusi, dan instalasi pengolahan air
minum;
e.
infrastruktur air limbah meliputi instalasi pengolah air limbah, jaringan
pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan yang meliputi
pengangkut dan tempat pembuangan;
407
f.
infrastruktur telekomunikasi meliputi jaringan telekomunikasi;
g.
infrastruktur ketenagalistrikan meliputi pembangkit, transmisi, atau
distribusi tenaga listrik; atau
h.
infrastruktur minyak dan gas bumi meliputi pengolahan, penyimpanan,
pengangkutan, transmisi, dan distribusi minyak dan gas bumi.
(4) Jangka waktu kerjasama pemanfaatan barang milik negara/daerah untuk
penyediaan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 50
(lima puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani.
4.
Ketentuan Pasal 39 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) diubah serta ditambahkan 2
(dua) ayat, yakni ayat (5) dan ayat (6), sehingga Pasal 39 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 39
(1) Penilaian barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan dalam
rangka pemanfaatan atau pemindahtanganan dilakukan oleh penilai internal
yang ditetapkan oleh pengelola barang, dan dapat melibatkan penilai
eksternal yang ditetapkan oleh pengelola barang.
(2) Penilaian barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan dalam
rangka pemanfaatan atau pemindahtanganan dilakukan oleh penilai internal
yang ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota, dan dapat melibatkan
penilai eksternal yang ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota.
(3) Penilaian barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dilaksanakan untuk mendapatkan nilai wajar, dengan estimasi terendah
menggunakan NJOP.
(4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi
penjualan barang milik negara berupa tanah yang diperlukan untuk
pembangunan rumah susun sederhana.
(5) Nilai jual barang milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan
oleh Menteri Keuangan berdasarkan perhitungan yang ditetapkan oleh Menteri
Pekerjaan Umum.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian Barang Milik Negara diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
408
5.
Ketentuan dalam Pasal 44 ayat (1) huruf a diubah, sehingga Pasal 44 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 44
(1)
Penghapusan barang milik negara/daerah dengan tindak lanjut pemusnahan
dilakukan apabila barang milik negara/daerah dimaksud:
a.
tidak dapat digunakan, tidak dapat dimanfaatkan, dan/atau tidak dapat
dipindahtangankan; atau
b. alasan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh:
a.
pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang untuk
barang milik negara; atau
b.
pengguna barang dengan surat keputusan dari pengelola barang setelah
mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota untuk barang milik
daerah.
(3) Pelaksanaan pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan
dalam berita acara dan dilaporkan kepada pengelola barang.
(4) Ketentuan Pasal 46 substansi tetap dan penjelasan Pasal 46 ayat (3) huruf e
diubah sehingga rumusan penjelasan Pasal 46 adalah sebagaimana tercantum
dalam Penjelasan Pasal Demi Pasal Angka6 Peraturan Pemerintah ini.
(5) Ketentuan Pasal 51 ayat (3) diubah sehingga Pasal 51 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 51
(1) Penjualan barang milik negara/daerah dilaksanakan dengan pertimbangan:
a. untuk optimalisasi barang milik negara yang berlebih atau idle;
b. secara ekonomis lebih menguntungkan bagi negara apabila dijual;
c. sebagai pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penjualan barang milik negara/daerah dilakukan secara lelang, kecuali dalam
hal-hal tertentu.
(3) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. barang milik negara/daerah yang bersifat khusus; dan
b. barang milik negara/daerah lainnya yang ditetapkan lebih lanjut oleh
pengelola barang.
409
Pasal II
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 Mei 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Mei 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 78
Salinan sesuai dengan aslinya
DEPUTI MENTERI SEKRETARIS NEGARA
BIDANG PERUNDANG-UNDANGAN,
MUHAMMAD SAPTA MURTI
410
411
PENJELASAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 38 TAHUN 2008
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 6 TAHUN 2006
TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH
I. UMUM
a.Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah mengatur mengenai pengelolaan barang milik negara
yang meliputi perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan,
penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan, penilaian,
penghapusan, pemindahtanganan,penatausahaan, pembinaan, pengawasan,
dan pengendalian.
Pemanfaatan barang milik negara dalam bentuk Kerjasama Pemanfaatan
yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tersebut ternyata belum berjalan
sebagaimana mestinya. Upaya Pemerintah untuk menarik minat mitra atau
investor Kerjasama Pemanfaatan dalam melakukan pembangunan infrastruktur
masih menemui hambatan.
Hambatan tersebut merupakan akibat dari kemudahan atau fasilitas investasi
yang ditawarkan oleh negara-negara tetangga yang mampu memberikan jangka
waktu investasi yang relatif lebih lama dibandingkan dengan yang diberikan
oleh Negara Republik Indonesia. Untuk itu, dalam rangka meningkatkan
perekonomian dan kesejahteraan masyarakat serta untuk meningkatkan daya
saing Indonesia dalam perdagangan global, jangka waktu untuk pemanfaatan
barang milik negara dalam bentuk Kerjasama Pemanfaatan (KSP) perlu
disesuaikan.
Dengan pertimbangan Kerjasama Pemanfaatan tidak terjadi pengalihan hak
atas barang milik Negara, maka penyesuaian jangka waktu dimaksud dapat
dilakukan sedemikian rupa sehingga relatif lebih lama dibandingkan dengan Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah Negara.
412
b.
Penilaian barang milik negara/daerah diperlukan dalam rangka mendapatkan
nilai wajar atau nilai pasar sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Nilai wajar
atau nilai pasar atas barang milik negara/daerah yang diperoleh dari penilaian
ini merupakan unsur penting dalam rangka penyusunan neraca pemerintah,
pemanfaatan dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 2
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 26
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 39
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penilai internal” adalah penilai Pegawai Negeri
Sipil di lingkungan Pemerintah yang diangkat oleh kuasa Menteri
Keuangan yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk
melakukan penilaian secara independen.
Yang dimaksud dengan “penilai eksternal” adalah penilai selain penilai
internal yang mempunyai izin praktek penilaian dan menjadi anggota
asosiasi penilaian yang diakui oleh Departemen Keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
413
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pengecualian penjualan barang milik Negara dari ayat (3) dimaksudkan
agar tujuan pembangunan rumah susun sederhana dapat tercapai namun
kewajaran harga/nila barang milik Negara tersebut masih diperhatikan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 44
Ayat (1)
Huruf a
Yang termasuk tidak dapat digunakan, tidak dapat dimanfaatkan, dan/
atau tidak dapat dipindahtangankan antara lain dengan pertimbangan
tidak layak secara ekonomis atau mempunyai dampak berbahaya jika
dipertahankan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “sesuai ketentuan peraturan perundangundangan” antara lain Undang-Undang Kepabeanan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
414
Ayat (3)
Huruf a
r Tidak sesuai dengan tata ruang wilayah artinya pada lokasi tanah
dan/atau bangunan milik negara/daerah dimaksud terjadi perubahan
peruntukan dan/atau fungsi kawasan wilayah, misalnya dari
peruntukan wilayah perkantoran menjadi wilayah perdagangan.
r Tidak sesuai dengan penataan kota artinya atas tanah dan/
atau bangunan milik negara/daerah dimaksud perlu dilakukan
penyesuaian, yang berakibat pada perubahan luas tanah dan/atau
bangunan tersebut.
Huruf b
Yang dihapuskan adalah bangunan yang berdiri di atas tanah
tersebut untuk dirobohkan yang selanjutnya didirikan bangunan
baru di atas tanah yang sama (rekonstruksi) sesuai dengan alokasi
anggaran yang telah disediakan dalam dokumen penganggaran.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “tanah dan/atau bangunan diperuntukkan
bagi pegawai negeri” adalah:
r tanah dan/atau bangunan, yang merupakan kategori rumah
negara golongan III;
r tanah yang merupakan tanah kavling yang menurut perencanaan
awal pengadaannya untuk pembangunan perumahan pegawai
negeri.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kegiatan yang
menyangkut kepentingan bangsa dan negara, masyarakat luas, rakyat
banyak/bersama, dan/atau kepentingan pembangunan.
Kategori bidang-bidang kegiatan yang termasuk untuk kepentingan
umum antara lain sebagai berikut:
r jalan umum, jalan tol, rel kereta api, saluran air minum/air
bersih dan/atau saluran pembuangan air;
r waduk, bendungan, dan bangunan pengairan lainnya termasuk
saluran irigasi;
r rumah sakit umum dan pusat-pusat kesehatan masyarakat;
r pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api atau terminal;
r peribadatan;
r pendidikan atau sekolah;
r pasar umum;
r fasilitas pemakaman umum;
r fasilitas keselamatan umum seperti antara lain tanggul
penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana;
r pos dan telekomunikasi;
r sarana olahraga;
r stasiun penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya
untuk lembaga penyiaran publik;
r kantor pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan negara
asing, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan lembaga internasional di
bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa;
r fasilitas Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya;
r rumah susun sederhana;
r tempat pembuangan sampah;
r cagar alam dan cagar budaya;
r pertamanan;
r panti sosial;
r pembangkit, transmisi, dan distribusi tenaga listrik.
Huruf e
Barang milik negara/daerah yang ditetapkan sebagai pelaksanaan
peraturan perundang-undangan karena adanya keputusan pengadilan
atau penyitaan, dapat dipindahtangankan tanpa memerlukan
persetujuan DPR/DPRD.”
Angka 7
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Lelang adalah penjualan barang milik negara/daerah dihadapan pejabat
lelang.
415
416
Ayat (3)
Huruf a
Yang termasuk barang milik negara/daerah yang bersifat khusus
adalah barang-barang yang diatur secara khusus sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, misalnya rumah negara golongan
III yang dijual kepada penghuni atau kendaraan dinas perorangan
pejabat negara yang dijual kepada pejabat negara.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4855
417
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 2007
TENTANG
PENGELOLAAN UANG NEGARA/DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 28 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,
perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Uang
Negara/Daerah;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4355);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN UANG NEGARA/
DAERAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan
negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam
418
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD).
Kas Negara adalah tempat penyimpanan Uang Negara yang ditentukan oleh
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh
penerimaan negara dan untuk membayar seluruh pengeluaran negara.
Rekening Kas Umum Negara adalah rekening tempat penyimpanan Uang Negara
yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk
menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran
negara pada Bank Sentral.
Kas Daerah adalah tempat penyimpanan Uang Daerah yang ditentukan oleh
gubernur/bupati/walikota untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan
membayar seluruh pengeluaran daerah.
Rekening Kas Umum Daerah adalah rekening tempat penyimpanan Uang Daerah
yang ditentukan oleh gubernur/bupati/walikota untuk menampung seluruh
penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah pada bank yang
ditetapkan.
Bank Sentral adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 23D.
Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional
dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran.
Bendahara adalah setiap orang atau badan yang diberi tugas untuk dan atas
nama negara/daerah, menerima, menyimpan, dan membayar/menyerahkan
uang atau surat berharga atau barang-barang negara/daerah.
Bendahara Umum Negara adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan
fungsi bendahara umum negara.
Bendahara Umum Daerah adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan
fungsi bendahara umum daerah.
Bendahara Penerimaan adalah orang yang ditunjuk untuk menerima,
menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan
uang pendapatan negara/daerah dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD pada
kantor/satuan kerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah.
Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan,
membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk
keperluan belanja negara/daerah dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD pada
kantor/satuan kerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah.
419
Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah adalah kepala badan/dinas/biro
keuangan/bagian keuangan yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan
APBD dan bertindak sebagai Bendahara Umum Daerah.
Uang Negara adalah uang yang dikuasai oleh Bendahara Umum Negara.
Uang Daerah adalah uang yang dikuasai oleh Bendahara Umum Daerah.
Uang Persediaan adalah sejumlah uang yang disediakan untuk satuan kerja
dalam melaksanakan kegiatan operasional kantor sehari-hari.
Kuasa Bendahara Umum Negara adalah pejabat yang diangkat oleh Bendahara
Umum Negara untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka
pelaksanaan anggaran dalam wilayah kerja yang telah ditetapkan.
Kuasa Bendahara Umum Daerah adalah pejabat yang diangkat oleh Bendahara
Umum Daerah untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka
pelaksanaan anggaran dalam wilayah kerja yang telah ditetapkan.
Pengelolaan Uang adalah kegiatan pengelolaan yang mencakup pengelolaan kas
dan surat berharga termasuk kegiatan untuk menanggulangi kekurangan kas
atau memanfaatkan kelebihan kas secara optimal.
BAB II
BENDAHARA UMUM NEGARA DAN
BENDAHARA UMUM DAERAH
Bagian Kesatu
Bendahara Umum Negara
Pasal 2
(1) Menteri Keuangan adalah Bendahara Umum Negara.
(2) Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara mengangkat Kuasa
Bendahara Umum Negara untuk melaksanakan sebagian wewenang
Bendahara Umum Negara dan tugas kebendaharaan yang berkaitan dengan
pengelolaan uang dan surat berharga.
Pasal 3
Kuasa Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
terdiri atas:
a.
Kuasa Bendahara Umum Negara pusat; dan
b.
Kuasa Bendahara Umum Negara di daerah.
420
Pasal 4
Wewenang Bendahara Umum Negara dalam pengelolaan Uang Negara yang
dilaksanakan oleh Kuasa Bendahara Umum Negara pusat meliputi:
a. menetapkan sistem penerimaan dan pengeluaran Kas Negara;
b. menunjuk bank dan/atau lembaga keuangan lainnya dalam rangka pe­
laksanaan penerimaan dan pengeluaran anggaran negara;
c. mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan
anggaran negara;
d. menyimpan Uang Negara;
e. menempatkan Uang Negara;
f. mengelola/menatausahakan investasi melalui pembelian Surat Utang
Negara;
g. melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat Pengguna Anggaran
atas beban Rekening Kas Umum Negara; dan
h. menyajikan informasi keuangan negara.
Pasal 5
(1) Kuasa Bendahara Umum Negara di daerah bertugas:
a.
menerima, menyimpan, membayar, menatausahakan, dan mempertanggung­
jawabkan uang yang berada dalam pengelolaannya; dan/atau
b.
menerima, menyimpan, menyerahkan, mencatat, dan mempertanggung­
jawabkan surat berharga yang berada dalam pengelolaannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas Kuasa Bendahara Umum
Negara di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan.
Pasal 6
(1) Untuk melaksanakan tanggung jawabnya dalam pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara, Bendahara Umum Negara mempunyai
kewenangan untuk mengeluarkan pedoman yang wajib dipatuhi oleh pengelola
keuangan negara di seluruh kementerian negara/lembaga/pemerintah
daerah.
(2) Bendahara Umum Negara mempunyai kewenangan untuk memperhitungkan,
menagih, memotong dana perimbangan, dan/atau hak daerah lainnya yang
berasal dari Pemerintah Pusat atas kewajiban daerah kepada Pemerintah
Pusat yang belum diselesaikan.
421
(3) Bendahara Umum Negara bertanggung jawab atas pelaksanaan perbendaharaan
negara sesuai dengan norma transparansi dan pengelolaan yang baik.
Bagian Kedua
Bendahara Umum Daerah
Pasal 7
(1) Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah bertindak sebagai Bendahara
Umum Daerah.
(2) Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum Daerah
dibantu oleh Kuasa Bendahara Umum Daerah untuk melaksanakan tugas-tugas
kebendaharaan yang berkaitan dengan pengelolaan Uang Daerah dan surat
berharga.
Pasal 8
Wewenang Bendahara Umum Daerah dalam pengelolaan Uang Daerah
meliputi:
a.
memberikan petunjuk teknis pelaksanaan sistem penerimaan dan pengeluaran
Kas Daerah;
b.
memantau pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran APBD oleh bank dan/
atau lembaga keuangan lainnya yang telah ditunjuk;
c.
mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan APBD;
d.
menyimpan Uang Daerah;
e.
melaksanakan penempatan Uang Daerah;
f.
mengelola/menatausahakan investasi;
g.
melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat Pengguna Anggaran
atas beban Rekening Kas Umum Daerah; dan
h.
menyajikan informasi keuangan daerah.
Pasal 9
(1) Kuasa Bendahara Umum Daerah bertugas :
a.
menyiapkan anggaran kas;
b.
menyiapkan surat penyediaan dana;
c.
menerbitkan surat perintah pencairan dana; dan
d.
menyimpan seluruh bukti asli kepemilikan daerah.
422
(2) Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kuasa Bendahara
Umum Daerah berwenang:
a. memantau pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran APBD oleh bank dan/
atau lembaga keuangan lainnya yang telah ditunjuk;
b.
mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan
APBD;
c. menyimpan Uang Daerah;
d. melaksanakan penempatan Uang Daerah dan mengelola/menatausahakan
investasi;
e. melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat Pengguna
Anggaran atas beban Rekening Kas Umum Daerah;
f. melaksanakan pemberian pinjaman atas nama pemerintah daerah;
g. melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah; dan h. melakukan
penagihan piutang daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang Kuasa
Bendahara Umum Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
(4) Penarikan dana dari Rekening Kas Umum Daerah di Bank Umum dilakukan
atas perintah Bendahara Umum Daerah/Kuasa Bendahara Umum Daerah.
(5) Pemindahbukuan dana dari rekening penerimaan dan rekening pengeluaran ke
Rekening Kas Umum Daerah dilakukan atas perintah Bendahara Umum Daerah/
Kuasa Bendahara Umum Daerah.
BAB III
UANG NEGARA/DAERAH
Bagian Kesatu
Uang Negara
Pasal 10
(1) Uang Negara meliputi rupiah dan valuta asing.
(2) Uang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas uang dalam Kas
Negara dan uang pada Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran
kementerian negara/lembaga.
423
Pasal 11
(1) Penambahan Uang Negara bersumber dari:
a. pendapatan negara, antara lain penerimaan pajak, Penerimaan Negara
Bukan Pajak, dan hibah;
b. penerimaan pembiayaan, antara lain penerimaan pinjaman, hasil penjualan
kekayaan negara yang dipisahkan, dan pelunasan piutang; dan
c. penerimaan negara lainnya, antara lain penerimaan perhitungan pihak
ketiga.
(2) Pengurangan Uang Negara diakibatkan oleh:
a. belanja negara;
b. pengeluaran pembiayaan, antara lain pembayaran pokok utang, penyertaan
modal negara, dan pemberian pinjaman; dan
c. pengeluaran negara lainnya, antara lain pengeluaran perhitungan pihak
ketiga.
Bagian Kedua
Uang Daerah
Pasal 12
(1) Uang Daerah meliputi rupiah dan valuta asing.
(2) Uang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari uang dalam
Kas Daerah dan uang pada Bendahara Penerimaan daerah dan Bendahara
Pengeluaran daerah.
Pasal 13
(1) Penambahan Uang Daerah bersumber dari:
a. pendapatan daerah, antara lain Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan,
dan lain-lain pendapatan daerah yang sah;
b. penerimaan pembiayaan, antara lain penerimaan pinjaman daerah, hasil
penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan dan penerimaan pelunasan
piutang; dan
c. penerimaan daerah lainnya, antara lain penerimaan perhitungan pihak
ketiga.
(2) Pengurangan Uang Daerah diakibatkan oleh:
a. belanja daerah;
424
b. pengeluaran pembiayaan, antara lain pembayaran pokok utang, penyertaan
modal pemerintah daerah, dan pemberian pinjaman; dan
c. pengeluaran daerah lainnya, antara lain pengeluaran perhitungan pihak
ketiga.
BAB IV
REKENING MILIK BENDAHARA UMUM NEGARA/DAERAH DAN
MILIK KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA
Bagian Kesatu
Rekening Milik Bendahara Umum Negara
Paragraf 1
Rekening di Bank Sentral
Pasal 14
(1) Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara membuka Rekening Kas
Umum Negara dan rekening lainnya pada Bank Sentral dalam rangka pengelolaan
Uang Negara.
(2) Semua penerimaan negara masuk ke Rekening Kas Umum Negara dan semua
pengeluaran negara keluar dari Rekening Kas Umum Negara.
(3) Guna memperlancar pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara,
Bendahara Umum Negara dapat membuka subrekening Kas Umum Negara dan
rekening lainnya di Bank Sentral.
(4) Subrekening sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bagian dari
Rekening Kas Umum Negara.
(5) Penarikan dana dari Rekening Kas Umum Negara, subrekening Kas Umum Negara
dan rekening lainnya di Bank Sentral dilakukan atas perintah Menteri Keuangan
selaku Bendahara Umum Negara atau Kuasa Bendahara Umum Negara pusat.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembukaan dan pengelolaan Rekening Kas
Umum Negara, Subrekening Kas Umum Negara dan rekening lainnya diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 15
Bendahara Umum Negara berkoordinasi dengan Gubernur Bank Sentral dapat
membuka rekening yang memperoleh imbalan bunga di Bank Sentral guna
425
memungkinkan penempatan yang menguntungkan atas kelebihan dana yang ada
pada Rekening Kas Umum Negara.
Paragraf 2
Rekening di Bank Umum
Pasal 16
(1) Bendahara Umum Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara dapat membuka
rekening penerimaan di Bank Umum/badan lainnya yang ditunjuk sebagai
mitra Kuasa Bendahara Umum Negara dalam rangka pelaksanaan penerimaan
negara.
(2) Rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dioperasikan sebagai rekening
bersaldo nihil yang seluruh penerimaannya dilimpahkan ke Rekening Kas Umum
Negara sekurang-kurangnya sekali sehari pada akhir hari kerja sebagaimana
yang ditetapkan dalam perjanjian dengan Bank Umum bersangkutan.
(3) Dalam hal kewajiban pelimpahan secara teknis belum dapat dilakukan setiap
hari, Bendahara Umum Negara mengatur pelimpahan secara berkala.
(4) Bendahara Umum Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara pusat dapat membuka
rekening pengeluaran di Bank Umum/badan lainnya yang ditunjuk sebagai mitra
Kuasa Bendahara Umum Negara pusat dalam rangka pelaksanaan pengeluaran.
(5) Rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dioperasikan sebagai rekening
yang menampung pagu dana untuk membiayai kegiatan pemerintah sesuai
rencana pengeluaran, yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
(6) Bendahara Umum Negara dapat membuka rekening pengeluaran di Bank Umum/
badan lainnya yang ditunjuk sebagai mitra Kuasa Bendahara Umum Negara
di daerah dalam rangka pelaksanaan pengeluaran di daerah.
(7) Rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dioperasikan sebagai rekening
bersaldo nihil.
(8) Pemindahbukuan dana dari rekening penerimaan dan rekening pengeluaran
pada Bank Umum ke Rekening Kas Umum Negara pada Bank Sentral dilakukan
atas perintah Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara atau
Kuasa Bendahara Umum Negara pusat.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembukaan dan pengoperasian rekening
penerimaan dan rekening pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan.
426
Pasal 17
(1) Bendahara Umum Negara berkoordinasi dengan Gubernur Bank Sentral
menetapkan kriteria dan persyaratan untuk memilih Bank Umum yang dapat
melayani penerimaan dan/atau pengeluaran baik bagi pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah.
(2) Bendahara Umum Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara pusat menunjuk
Bank Umum yang memenuhi kriteria dan persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) untuk melayani penerimaan dan/atau pengeluaran pemerintah
pusat.
(3) Penunjukan Bank Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimuat dalam
perjanjian antara Bendahara Umum Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara
pusat dengan Bank Umum yang bersangkutan.
(4) Perjanjian sebagaimana
mencakup:
dimaksud
pada
ayat
(3)
sekurang-kurangnya
a. jenis pelayanan yang diberikan;
b. mekanisme pengeluaran/penyaluran dana melalui Bank Umum;
c. pelimpahan penerimaan dan saldo rekening pengeluaran ke Rekening Kas
Umum Negara;
d. pemberian bunga/jasa giro/bagi hasil atas saldo rekening;
e. pemberian imbalan atas jasa pelayanan;
f. kewajiban menyampaikan laporan;
g. sanksi berupa denda dan/atau pengenaan bunga yang harus dibayar
karena pelayanan yang tidak sesuai dengan perjanjian; dan
h. tata cara penyelesaian perselisihan.
Bagian Kedua
Rekening Milik Bendahara Umum Daerah
Pasal 18
(1) Gubernur/bupati/walikota menunjuk Bank Umum sesuai dengan kriteria dan
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan/atau Bank
Sentral untuk menyimpan Uang Daerah yang berasal dari penerimaan daerah
dan untuk membiayai pengeluaran daerah.
(2) Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum Daerah
membuka rekening Kas Umum Daerah pada Bank Sentral dan/atau Bank
427
Umum yang ditunjuk oleh gubernur/bupati/walikota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Penunjukan Bank Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat
dalam perjanjian antara Bendahara Umum Daerah dengan Bank Umum yang
bersangkutan.
(4) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sekurang-kurangnya
mencakup:
a. jenis pelayanan yang diberikan;
b. mekanisme pengeluaran/penyaluran dana melalui bank;
c. pelimpahan penerimaan dan saldo rekening pengeluaran ke Rekening
Kas Umum Daerah;
d. pemberian bunga/jasa giro/bagi hasil atas saldo rekening;
e. pemberian imbalan atas jasa pelayanan;
f. kewajiban menyampaikan laporan;
g. sanksi berupa denda dan/atau pengenaan bunga yang harus dibayar
karena pelayanan yang tidak sesuai dengan perjanjian; dan
h. tata cara penyelesaian perselisihan.
(5) Pembukaan rekening di Bank Sentral oleh gubernur/bupati/walikota berdasar­
kan penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman kepada
ketentuan yang diterbitkan oleh Bank Sentral.
Pasal 19
(1) Bendahara Umum Daerah/Kuasa Bendahara Umum Daerah dapat membuka
rekening penerimaan pada Bank Umum yang ditunjuk oleh gubernur/bupati/
walikota untuk mendukung kelancaran pelaksanaan operasional penerimaan
daerah.
(2) Rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dioperasikan sebagai rekening
bersaldo nihil yang seluruh penerimaannya dilimpahkan ke Rekening Kas Umum
Daerah sekurang-kurangnya sekali sehari pada akhir hari kerja sebagaimana
yang ditetapkan dalam perjanjian dengan Bank Umum bersangkutan.
(3) Dalam hal kewajiban pelimpahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara
teknis belum dapat dilakukan setiap hari, gubernur/bupati/walikota mengatur
pelimpahan secara berkala.
(4) Bendahara Umum Daerah dapat membuka rekening pengeluaran pada Bank
Umum yang ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota untuk mendukung
kelancaran pelaksanaan operasional pengeluaran daerah.
428
(5) Rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dioperasikan sebagai rekening
yang menampung pagu dana untuk membiayai kegiatan pemerintah daerah
sesuai rencana pengeluaran, yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan
Kepala Daerah.
(6) Pemindahbukuan dana dari rekening penerimaan dan/atau rekening pengeluaran
pada Bank Umum ke Rekening Kas Umum Daerah dilakukan atas perintah
Bendahara Umum Daerah.
(7) Ketentuan lebih lanjut tentang pembukaan dan pengoperasian rekening
penerimaan dan rekening pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
Bagian Ketiga
Rekening Milik Kementerian Negara/Lembaga
Pasal 20
(1) Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran dapat membuka rekening
penerimaan dan rekening pengeluaran dan/atau rekening lainnya pada Bank
Umum/badan lainnya setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri
Keuangan selaku Bendahara Umum Negara atau Kuasa Bendahara Umum
Negara.
(2) Untuk kepentingan tertentu menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna
Anggaran dapat membuka rekening di Bank Sentral setelah mendapat persetujuan
dari Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
(3) Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran wajib melampirkan izin
tertulis dari Bendahara Umum Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara dalam
rangka pembukaan rekening untuk kepentingan kementerian negara/lembaga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Rekening penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dioperasikan sebagai
rekening bersaldo nihil yang seluruh penerimaannya dilimpahkan ke Rekening
Kas Umum Negara sekurang-kurangnya sekali sehari pada akhir hari kerja
sesuai perjanjian dengan Bank Umum bersangkutan.
(5) Kementerian negara/lembaga, Bank Sentral/Bank Umum/badan lainnya wajib
menyampaikan informasi mengenai rekening sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) atas permintaan tertulis Bendahara Umum Negara/Kuasa
Bendahara Umum Negara.
429
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembukaan, pengoperasian, dan
penutupan rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
BAB V
PENUNJUKAN BADAN LAIN
Pasal 21
(1) Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dapat menunjuk badan
lain untuk melaksanakan penerimaan dan/atau pengeluaran negara untuk
mendukung kegiatan operasional kementerian negara/lembaga.
(2) Penunjukan badan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam
suatu kontrak kerja.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kontrak kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 22
(1) Gubernur/bupati/walikota dapat menunjuk badan lain yang sudah ditunjuk
oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) untuk
melaksanakan penerimaan dan/atau pengeluaran daerah dalam rangka
mendukung kegiatan operasional satuan kerja perangkat daerah.
(2) Gubernur/bupati/walikota dapat menunjuk badan lain selain yang dimaksud
pada ayat (1) dengan persetujuan Menteri Keuangan.
(3) Penunjukan badan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dituangkan dalam kontrak kerja.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kontrak kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
BAB VI
BUNGA DAN/ATAU JASA GIRO SERTA BIAYA PELAYANAN
Pasal 23
Menteri Keuangan berkoordinasi dengan Gubernur Bank Sentral untuk:
a.
merumuskan usulan kebijakan jangka menengah tentang penggantian secara
bertahap Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan Surat Utang Negara (SUN)
sebagaiinstrumen moneter yang diamanatkan dalam Pasal 71 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
430
b.
menyusun rekomendasi tentang satuan biaya yang harus dibayar kepada
Bank Sentral sebagai imbalan atas pelayanan yang diberikan kepada Bendahara
Umum Negara; dan
c.
menyusun usulan kebijakan tentang satuan biaya yang harus dibayar
kepada Bank Umum sebagai imbalan atas pelayanan yang diberikan kepada
Bendahara Umum Negara.
Pasal 24
(1) Pemerintah Pusat/Daerah memperoleh bunga dan/atau jasa giro atas dana
yang disimpan pada Bank Sentral.
(2) Jenis dana, tingkat bunga dan/atau jasa giro sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) serta biaya sehubungan dengan pelayanan yang diberikan oleh Bank
Sentral ditetapkan berdasarkan kesepakatan Gubernur Bank Sentral dengan
Menteri Keuangan.
(3) Bunga/jasa giro yang diterima pemerintah disetor ke Kas Negara/Daerah.
Pasal 25
Terhadap Uang Negara/Daerah yang berada di Bank Umum/badan lain, Bendahara
Umum Negara/Daerah berhak memperoleh bunga, jasa giro/bagi hasil pada tingkat
bunga yang berlaku umum untuk keuntungan Kas Negara/Daerah.
BAB VII
PENERIMAAN NEGARA/DAERAH
Bagian kesatu
Penerimaan Kementerian Negara/Lembaga
Pasal 26
(1) Pada setiap awal tahun anggaran, menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna
Anggaran mengangkat Bendahara Penerimaan untuk melaksanakan tugas
kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan pada kantor
satuan kerja di lingkungan kementerian negara/lembaga bersangkutan.
(2) Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menteri/
pimpinan lembaga atau Kuasa Pengguna Anggaran/Pejabat lain yang ditunjuk
dapat membuka rekening penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (1).
431
(3) Penerimaan Negara yang ditampung pada rekening sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) setiap hari disetor seluruhnya ke Rekening Kas Umum Negara.
Bagian Kedua
Penerimaan Pemerintah Daerah
Pasal 27
(1) Pada setiap awal tahun anggaran gubernur/bupati/walikota mengangkat
Bendahara Penerimaan untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka
pelaksanaan anggaran pendapatan pada kantor satuan kerja di lingkungan
pemerintah daerah.
(2) Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) gubernur/
bupati/walikota memberi izin kepada kepala satuan kerja perangkat daerah
di lingkungan pemerintah daerahnya untuk membuka rekening penerimaan pada
Bank Umum yang ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota.
(3) Semua pendapatan asli daerah yang ditampung di rekening penerimaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setiap hari disetor seluruhnya ke Rekening
Kas Umum Daerah.
BAB VIII
UANG PERSEDIAAN KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA/SATUAN KERJA/
SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH
Bagian Kesatu
Uang Persediaan Kementerian Negara/Lembaga
Pasal 28
(1) Dalam rangka pelaksanaan pengeluaran, kementerian negara/lembaga dapat
diberikan Uang Persediaan sebagai uang muka kerja untuk membiayai kegiatan
operasional sehari-hari.
(2) Menteri/Pimpinan Lembaga dapat membuka rekening pengeluaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) pada Bank Umum untuk menampung Uang
Persediaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)
Pada setiap awal tahun anggaran, menteri/pimpinan lembaga mengangkat
Bendahara Pengeluaran pada satuan kerja kementerian negara/lembaga untuk
mengelola Uang Persediaan yang harus dipertanggungjawabkan.
432
(4) Dalam rangka pengelolaan kas, Bendahara Umum Negara dapat memerintahkan
pemindahbukuan dan/atau penutupan rekening pengeluaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Pasal 29
(1) Uang Persediaan hanya digunakan untuk jenis pengeluaran yang tidak
dapat dilakukan langsung oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran
kepada pihak yang menyediakan barang dan/atau jasa.
(2) Penggunaan Uang Persediaan yang menyimpang dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan pelanggaran dan dapat dikenakan sanksi
berupa pencabutan fasilitas pemberian Uang Persediaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) serta penetapan besaran, tata cara penggunaan, pembukaan
dan penutupan rekening, pembukuan, pelaporan, dan pertanggungjawaban
Uang Persediaan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Bagian Kedua
Uang Persediaan Satuan Kerja Perangkat Daerah
Pasal 30
(1) Dalam rangka pelaksanaan pengeluaran, satuan kerja perangkat daerah
dapat diberikan Uang Persediaan sebagai uang muka kerja untuk membiayai
kegiatan operasional sehari-hari.
(2) Gubernur/bupati/walikota dapat memberikan izin pembukaan rekening
pengeluaran pada Bank Umum untuk menampung Uang Persediaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada satuan kerja perangkat daerah.
(3) Pada setiap awal tahun anggaran gubernur/bupati/walikota mengangkat
Bendahara Pengeluaran pada satuan kerja perangkat daerah untuk mengelola
Uang Persediaan yang harus dipertanggungjawabkan.
(4) Dalam rangka pengelolaan kas, Bendahara Umum Daerah dapat memerintahkan
pemindahbukuan dan/atau penutupan rekening pengeluaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Pasal 31
(1) Uang Persediaan hanya digunakan untuk jenis pengeluaran yang tidak dapat
dilakukan langsung oleh kepala satuan kerja perangkat daerah kepada pihak
yang menyediakan barang dan/atau jasa.
433
(2) Penggunaan Uang Persediaan yang menyimpang dari ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan pelanggaran dan dapat dikenakan sanksi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) serta penetapan besaran, tata cara penggunaan, pembukaan
dan penutupan rekening, pembukuan, pelaporan, dan pertanggungjawaban
Uang Persediaan diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
BAB IX
PERENCANAAN KAS PEMERINTAH PUSAT/DAERAH
Bagian Kesatu
Perencanaan Kas Pemerintah Pusat
Pasal 32
(1) Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara atau Kuasa Bendahara
Umum Negara pusat bertanggung jawab untuk membuat perencanaan kas dan
menetapkan saldo kas minimal.
(2) Berdasarkan perencanaan arus kasdan saldo kas minimal, Bendahara Umum
Negara atau Kuasa Bendahara Umum Negara pusat menentukan strategi
manajemen kas untuk mengatasi kekurangan kas maupun untuk menggunakan
kelebihan kas.
(3) Strategi manajemen kas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilaksanakan
oleh Bendahara Umum Negara atau Kuasa Bendahara Umum Negara pusat dapat
memastikan:
a. negara selalu memiliki akses yang cukup untuk memperoleh persediaan
kas guna memenuhi pembayaran kewajiban negara; dan/atau
b. saldo kas di atas saldo kas minimal diarahkan untuk mendapatkan manfaat
yang optimal.
(4) Dalam rangka penyusunan perencanaan kas, kementerian negara/lembaga
dan pihak-pihak lain yang terkait dengan penerimaan dan pengeluaran APBN
wajib menyampaikan proyeksi penerimaan dan pengeluaran secara periodik
kepada Bendahara Umum Negara atau Kuasa Bendahara Umum Negara.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai ruang lingkup, periode, dan bentuk proyeksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
434
Bagian Kedua
Perencanaan Kas Pemerintah Daerah
Pasal 33
(1) Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum Daerah
bertanggung jawab untuk membuat perencanaan kas dan menetapkan saldo kas
minimal.
(2) Berdasarkan perencanaan arus kas dan saldo kas minimal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bendahara Umum Daerah menentukan strategi manajemen kas
untuk mengatasi kekurangan kas maupun untuk menggunakan kelebihan kas.
(3) Strategi manajemen kas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilaksanakan
oleh Bendahara Umum Daerah harus dapat memastikan:
a.
pemerintah daerah selalu memiliki akses yang cukup untuk memperoleh
persediaan kas guna memenuhi pembayaran kewajiban daerah; dan/atau
b.
saldo kas di atas saldo kas minimal diarahkan untuk mendapatkan manfaat
yang optimal.
(4) Dalam rangka penyusunan perencanaan kas, satuan kerja perangkat daerah
wajib menyampaikan proyeksi penerimaan dan pengeluaran secara periodik
kepada Bendahara Umum Daerah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai ruang lingkup, periode, dan bentuk proyeksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam peraturan kepala daerah
mengenai sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah.
BAB X
PENGELOLAAN KEKURANGAN/KELEBIHAN KAS
Bagian Kesatu
Pengelolaan Kekurangan Kas
Pasal 34
Dalam hal terjadi kekurangan kas, Bendahara Umum Negara dapat melakukan
pinjaman baik dari dalam maupun luar negeri dan/atau menjual atau menerbitkan
Surat Utang Negara, dan/atau menjual surat berharga lainnya sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang- undangan.
435
Pasal 35
Dalam hal terjadi kekurangan kas, Bendahara Umum Daerah dapat melakukan
pinjaman dari dalam negeri dan/atau menjual Surat Utang Negara dan/atau surat
berharga lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Bagian Kedua
Pengelolaan Kelebihan Kas
Pasal 36
(1) Dalam hal terjadi kelebihan kas, Bendahara Umum Negara setelah berkoordinasi
dengan Gubernur Bank Sentral dapat menempatkan Uang Negara pada
rekening di Bank Sentral/Bank Umum yang menghasilkan bunga/jasa giro
dengan tingkat bunga yang berlaku.
(2) Penempatan Uang Negara pada Bank Umum dilakukan dengan memastikan
bahwa Bendahara Umum Negara dapat menarik uang tersebut sebagian atau
seluruhnya ke Rekening Kas Umum Negara pada saat diperlukan.
(3) Kelebihan kas dapat digunakan untuk pembelian kembali Surat Utang Negara.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan Uang Negara pada Bank Umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tata cara pembelian/penjualan
kembali Surat Utang Negara dalam rangka pengelolaan kas sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 37
(1) Dalam hal terjadi kelebihan kas, Bendahara Umum Daerah dapat menempatkan
Uang Daerah pada rekening di Bank Sentral/Bank Umum yang menghasilkan
bunga/jasa giro dengan tingkat bunga yang berlaku.
(2) Penempatan Uang Daerah pada Bank Umum dilakukan dengan memastikan
bahwa Bendahara Umum Daerah dapat menarik uang tersebut sebagian atau
seluruhnya ke Rekening Kas Umum Daerah pada saat diperlukan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan Uang Daerah pada Bank Umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Kepala Daerah.
BAB XI
PERTANGGUNGJAWABAN, AKUNTANSI DAN
PELAPORAN UANG NEGARA/DAERAH
Pasal 38
(1) Bendahara Umum Negara/Daerah, menteri/pimpinan lembaga/gubernur/
bupati/walikota/kepala kantor atau Satuan Kerja di pusat maupun di daerah
bertanggung jawab atas pengelolaan uang yang menjadi tanggung jawabnya.
(2) Bendahara Umum Negara/Daerah, kementerian negara/lembaga/pemerintah
daerah dan semua unit kerja yang berada di bawahnya, yang menguasai Uang
Negara/Daerah, melakukanakuntansi atas pengelolaan Uang Negara/Daerah
berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan.
(3) Pelaporan pengelolaan Uang Negara dalam rangka pertanggungjawaban
Pemerintah Pusat dalam bentuk laporan keuangan pemerintah pusat dilakukan
secara periodik dan berjenjang.
(4) Pelaporan pengelolaan Uang Daerah dalam rangka pertanggungjawaban
Pemerintah Daerah dalam bentuk laporan keuangan pemerintah daerah
dilakukan secara periodik.
BAB XII
PENGAWASAN PENGELOLAAN UANG NEGARA/DAERAH
Pasal 39
(1) Pengendalian internal terhadap pengelolaan Uang Negara/Daerah dilakukan
oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota/kepala kantor/
satuan kerja.
(2) Pengawasan fungsional terhadap pengelolaan Uang Negara/Daerah dilakukan
oleh aparat pengawasan fungsional pusat/daerah dan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 40
Pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku, rekening-rekening yang
dimiliki oleh menteri/pimpinan lembaga sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah
ini wajib ditutup dan dananya dipindahkan ke rekening baru yang dibuka dengan
persetujuan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 paling lambat
3 (tiga) bulan terhitung sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
BAB XIV
SANKSI
Pasal 41
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dapat
dikenakan hukuman administratif, denda dan/atau tuntutan pidana sesuai ketentuan
yang berlaku.
BAB XV
PENUTUP
Pasal 42
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Juli 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 Juli 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 83
437
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 2007
TENTANG
PENGELOLAAN UANG NEGARA/DAERAH
UMUM
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara diperlukan suatu sistem pengelolaan Kas Negara yang
mengacu kepada prinsip pengelolaan kas yang baik. Prinsip tersebut mencakup
adanya perencanaan kas yang baik serta pemanfaatan semaksimal mungkin dana kas
yang belum digunakan (idle cash). Selama ini pengelolaan Uang Negara/Daerah yang
dilaksanakan belum memenuhi prinsip pengelolaan uang sebagaimana mestinya.
Perencanaan kas merupakan faktor utama yang mendukung keberhasilan
pengelolaan Kas Negara/Daerah yang baik. Sebagaimana diketahui bahwa unit-unit
yang terkait dengan penerimaan dan pengeluaran negara di pemerintah pusat tersebar
di seluruh departemen dan lembaga. Keberhasilan pembuatan perencanaan kas yang
baik sangat bergantung kepada koordinasi dan dukungan dari seluruh departemen/
lembaga serta kecermatan mereka dalam pembuatan perencanaan penerimaan
dan pengeluaran masing-masing kementerian negara/lembaga. Sehubungan dengan
hal tersebut perlu ada ketentuan yang mewajibkan peranserta semua kementerian
negara/lembaga dalam pembuatan perencanaan Kas Negara.
Selama ini masih banyak Uang Negara yang dikelola di luar kontrol Menteri
Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Di seluruh kementerian negara/
lembaga terdapat rekening-rekening pemerintah yang menyimpan Uang Negara,
baik yang berasal dari penerimaan negara maupun dari alokasi dana APBN yang akan
dipergunakan untuk membiayai kegiatan operasional kementerian negara/lembaga.
Rekening-rekening tersebut dikelola sendiri dan tidak terjangkau pengawasan
Menteri Keuangan. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
439
440
Perbendaharaan Negara, seluruh keuangan negara berada dalam pengelolaan
Bendahara Umum Negara.
Berdasarkan pertimbangan perlunya suatu pengaturan mengenai pengelolaan
Uang Negara/Daerah yang baik sebagai pedoman pengelolaan Kas Negara/Daerah
serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah.
Lingkup Peraturan Pemerintah ini pada dasarnya mencakup berbagai aspek
pengaturan mengenai kewenangan Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum
Negara dan kewenangan Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku
Bendahara Umum Daerah, dengan maksud agar pengelolaan kas dapat dilaksanakan
sesuai dengan prinsip pengelolaan keuangan yang baik. Aspek pengaturan tersebut
antara lain mengenai: perencanaan kas melalui peramalan kas, arus kas masuk,
arus kas keluar, pengelolaan kas kurang dan kas lebih, pelaksanaan rekening tunggal
perbendaharaan (Treasury Single Account) dan pelaporan.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kementerian negara/lembaga termasuk unit organisasi
yang mengelola dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
441
Ayat (2)
Kewajiban daerah yang dapat diperhitungkan dengan dana perimbangan
adalah kewajiban pajak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang
berlaku, kewajiban pembayaran iuran/potongan untuk asuransi kesehatan
dan dana pensiun.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan wewenang Bendahara Umum
Daerah dalam pengelolaan Uang Daerah, sedangkan wewenang Bendahara
Umum Daerah selaku Pejabat Pengelola Keuangan Daerah secara lebih luas
diatur dalamPeraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran
kementerian negara/lembaga termasuk bendahara pada satuan kerja
perangkat daerah yang melakukan kegiatan dekonsentrasi atau tugas
pembantuan.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
442
Ayat (2)
Kas Daerah termasuk kas dana cadangan yang masih dalam pengelolaan
Bendahara Umum Daerah.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Rekening Kas Umum Negara adalah merupakan perwujudan penerapan
Rekening Tunggal Perbendaharaan (Treasury Single Account).
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Ayat (2)
Pemilihan Bank Umum untuk memberikan pelayanan di bidang penerimaan
negara harus mempertimbangkan kemudahan akses kepada penyetor pajak
dan penerimaan negara lainnya untuk dapat menyetor dimana saja.
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
443
Ayat (4)
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Untuk melayani pengeluaran pemerintah, mekanisme pengeluaran/
penyaluran dana yang dilaksanakan melalui Bank Umum dengan menggunakan
penyediaan dana dari Rekening Kas Umum Negara.
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Ayat (2)
Penunjukan Bank Umum sebagai pengelola Kas Umum Daerah harus
dilakukan secara transparan dan berdasarkan asas kesatuan kas, kesatuan
perbendaharaan dan optimalisasi pengelolaan kas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
444
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Yang dimaksud dengan badan lain adalah badan hukum diluar lembaga
keuangan yang memiliki kompetensi dan reputasi yang baik untuk
melaksanakan fungsi penerimaan dan pengeluaran.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Yang dimaksud dengan berlaku umum adalah tingkat suku bunga, jasa
giro/bagi hasil yang ditetapkan oleh Bank Umum atau badan lain yang
bersangkutan bagi nasabah.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
445
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4738
446
447
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 2006
TENTANG
PELAPORAN KEUANGAN DAN KINERJA INSTANSI PEMERINTAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 55 ayat (5) UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pelaporan Keuangan
dan Kinerja Instansi Pemerintah;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4355);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4493), yang telah ditetapkan menjadi
Undang- Undang dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);
448
4. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 120,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAPORAN KEUANGAN DAN
KINERJA INSTANSI PEMERINTAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1.
Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban pengelolaan keuangan
negara/daerah selama suatu periode.
2.
Kinerja adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang hendak atau telah
dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas
terukur.
3.
Laporan Kinerja adalah ikhtisar yang menjelaskan secara ringkas dan
lengkap tentang capaian Kinerja yang disusun berdasarkan rencana kerja
yang ditetapkan dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD.
4.
Laporan Realisasi Anggaran adalah laporan yang menggambarkan realisasi
pendapatan, belanja, dan pembiayaan selama suatu periode.
5.
Neraca adalahlaporan yang menyajikan informasi posisi keuangan Pemerintah
yaitu aset, utang, dan ekuitas dana pada suatu tanggal tertentu.
6.Laporan Arus Kas adalah laporan yang menggambarkan arus kas masuk dan
keluar selama suatu periode, serta posisi kas pada tanggal pelaporan.
7.
Catatan atas Laporan Keuangan adalah bagian yang tak terpisahkan dari laporan
keuangan yang menyajikan informasi tentang penjelasan pos-pos laporan
keuangan dalam rangka pengungkapan yang memadai.
8.
Standar Akuntansi Pemerintahan, yang selanjutnya disebut SAP, adalah prinsipprinsip akuntansi yang diterapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan
keuangan Pemerintah.
449
9.
Sistem Pengendalian Intern adalah suatu proses yang dipengaruhi oleh manajemen
yang diciptakan untuk memberikan keyakinan yang memadai dalam pencapaian
efektivitas, efisiensi, ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku, dan keandalan penyajian laporan keuangan Pemerintah.
10. Sistem Akuntansi Pemerintahan adalah rangkaian sistematik dari prosedur,
penyelenggara, peralatan, dan elemen lain untuk mewujudkan fungsi
akuntansi sejak analisis transaksi sampai dengan pelaporan keuangan di
lingkungan organisasi pemerintah.
11. Entitas Pelaporan adalah unit pemerintahan yang terdiri dari satu atau lebih
entitas akuntansi yang berkewajiban menyampaikan laporan pertanggung­
jawaban berupa laporan keuangan.
12. Entitas Akuntansi adalah unit pemerintahan Pengguna Anggaran yang
berkewajiban menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan
untuk digabungkan pada Entitas Pelaporan.
13. Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pejabat yang bertanggung jawab
atas pengelolaan keuangan Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.
14. Kementerian Negara/Lembaga adalah Kementerian Negara/Lembaga peme­
rintah non Kementerian Negara/Lembaga negara.
15. PejabatPengelola Keuangan Daerah adalah kepala badan/dinas/biro keuangan/
bagian keuangan yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan APBD dan
bertindak sebagai Bendahara Umum Daerah.
16. Satuan Kerja Perangkat Daerah adalah organisasi/lembaga pada pemerintah
daerah yang bertanggung jawab kepada gubernur/bupati/walikota dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan yang terdiri dari sekretaris daerah, dinas
daerah dan lembaga teknis daerah, kecamatan, dan satuan polisi pamong
praja sesuai dengan kebutuhan daerah.
17. Bendahara Umum Negara adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan
fungsi Bendahara Umum Negara.
18. Bendahara Umum Daerah adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan
fungsi Bendahara Umum Daerah.
19. Pengguna Anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran
Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah.
20. Perusahaan Negara/Daerah adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian
modalnya dimiliki oleh pemerintah pusat/daerah.
21. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut APBN, adalah
rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat.
450
22.Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah
rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
23. Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut BLU, adalah instansi
di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual
tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya
didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas, yang pengelolaan
keuangannya diselenggarakan sesuai dengan peraturan pemerintah terkait.
24. Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan adalah dana APBN yang alokasikan
kepada Menteri Keuangan/Bendahara Umum Negara sebagai Pengguna Anggaran
selain yang dialokasikan untuk Kementerian Negara/Lembaga, yang dalam
pelaksanaannya dapat diserahkan kepada Kementerian Negara/Lembaga/pihak
lain sebagai kuasa Pengguna Anggaran.
25. Dana Dekonsentrasi adalah anggaran yang disediakan sehubungan dengan
pelimpahan wewenang pelaksanaan kegiatan pemerintah pusat di daerah kepada
gubernur sebagai wakil pemerintah pusat disertai kewajiban melaporkan dan
mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada menteri/pimpinan lembaga
terkait.
26. Dana Tugas Pembantuan adalah anggaran yang disediakan sehubungan dengan
penugasan tertentu dari pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa disertai
kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada
menteri/pimpinan lembaga terkait.
BAB II
PELAPORAN KEUANGAN DAN KINERJA
Pasal 2
Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD, setiap Entitas
Pelaporan wajib menyusun dan menyajikan:
a. Laporan Keuangan; dan
b. Laporan Kinerja.
Pasal 3
(1) Entitas Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri dari:
a. Pemerintah pusat;
b. Pemerintah daerah;
451
c.
d.
Kementerian Negara/Lembaga; dan
Bendahara Umum Negara.
(2) Entitas Pelaporan Kementerian Negara/Lembaga sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan selaku Bendahara
Umum Negara.
Pasal 4
(1) Setiap kuasa Pengguna Anggaran di lingkungan suatu Kementerian Negara/
Lembaga merupakan Entitas Akuntansi.
(2) Bendahara Umum Daerah dan setiap Pengguna Anggaran di lingkungan pemerintah
daerah merupakan Entitas Akuntansi.
BAB III
KOMPONEN LAPORAN KEUANGAN
Pasal 5
(1) Laporan Keuangan pemerintah pusat/daerah setidak-tidaknya terdiri dari:
a. Laporan Realisasi Anggaran;
b. Neraca;
c. Laporan Arus Kas ; dan
d. Catatan atas Laporan Keuangan.
(2) Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat
Daerah setidak-tidaknya terdiri dari:
a. Laporan Realisasi Anggaran;
b. Neraca; dan
c. Catatan atas Laporan Keuangan.
(3) Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara/Daerah setidak- tidaknya terdiri
dari:
a. Laporan Realisasi Anggaran;
b. Neraca;
c. Laporan Arus Kas ; dan
d. Catatan atas Laporan Keuangan.
(4) Penambahan unsur-unsur Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan dan/
atau oleh komite yang menyusun SAP.
452
(5) Ilustrasi format Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Laporan Arus Kas,
serta susunan Catatan atas Laporan Keuangan disajikan pada Lampiran I,
penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan serta ketentuan SAP.
Pasal 6
(1) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal5 disusun dan disajikan
sesuai dengan SAP.
(2) Penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 dihasilkan dari suatu Sistem Akuntansi Pemerintahan.
Pasal 7
(1) Laporan Realisasi Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 menyajikan
realisasi pendapatan, belanja, dan pembiayaan yang diperbandingkan dengan
anggarannya dan dengan realisasi periode sebelumnya.
(2) Neraca sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 menyajikan aset, utang, dan
ekuitas dana yang diperbandingkan dengan periode sebelumnya.
(3) Laporan Arus Kas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 menyajikan arus kas
dari aktivitas operasi, arus kas dari aktivitas investasi aset non keuangan,
arus kas dari aktivitas pembiayaan, dan arus kas dari aktivitas non anggaran
yang diperbandingkan dengan periode sebelumnya.
BAB IV
PENYUSUNAN LAPORAN KEUANGAN
Pasal 8
(1) Menteri/Pimpinan
Lembaga
selaku
Pengguna
Anggaran
menyusun
Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) sebagai
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN pada Kementerian Negara/Lembaga
yang bersangkutan dan menyampaikannya kepada Presiden melalui Menteri
Keuangan.
(2) Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara menyusun Laporan Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) sebagai pertanggungjawaban
pengelolaan perbendaharaan negara dan menyampaikannya kepada Presiden.
(3) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampai­
kan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
(4) Untuk pelaksanaan pemeriksaan keuangan, Laporan Keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan (2) disampaikan pula kepada Badan Pemeriksa
Keuangan.
453
Pasal 9
(1) Menteri Keuangan menyusun Laporan Keuangan pemerintah pusat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) untuk memenuhi pertanggungjawaban
pelaksanaan APBN.
(2) Laporan Keuangan pemerintah pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusun berdasarkan Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga serta
laporan pertanggungjawaban pengelolaan perbendaharaan negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8.
(3) LaporanKeuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh
Menteri Keuangan kepada Presiden, untuk selanjutnya disampaikan kepada
Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah tahun
anggaran berakhir.
Pasal 10
(1) Kepala Satuan KerjaPerangkat Daerah selaku Pengguna Anggaran menyusun
Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) sebagai
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD pada Satuan Kerja Perangkat Daerah
yang bersangkutan dan menyampaikannya kepada gubernur/bupati/walikota
melalui Pejabat Pengelola Keuangan Daerah.
(2) Pejabat Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum Daerah menyusun
Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) sebagai
pertanggungjawaban pengelolaan perbendaharaan daerah dan menyampaikan­
nya kepada gubernur/bupati/walikota.
(3) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan
selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Pasal 11
(1) Pejabat Pengelola Keuangan Daerah menyusun Laporan Keuangan pemerintah
daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) untuk disampaikan kepada
gubernur/bupati/walikota untuk memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD.
(2) Laporan Keuangan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disusun berdasarkan Laporan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah serta
laporan pertanggungjawaban pengelolaan perbendaharaan daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10.
454
(3) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh
gubernur/bupati/walikota kepada Badan Pemeriksa Keuangan selambatlambatnya 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Pasal 12
(1)Menteri/Pimpinan Lembaga memberikan tanggapan dan melakukan penye­suai­
an terhadap Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(1) berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atas Laporan
Keuangan Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.
(2) Laporan Keuangan yang telah disesuaikan bersama tembusan tanggapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri Keuangan
oleh menteri/pimpinan lembaga selambat-lambatnya 1 (satu) minggu setelah
laporan hasil pemeriksaan diterbitkan Badan Pemeriksa Keuangan untuk
digunakan sebagai bahan penyesuaian Laporan Keuangan pemerintah pusat.
(3) MenteriKeuangan atas nama pemerintah memberikan tanggapan dan melakukan
penyesuaian terhadap Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (3) berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atas Laporan
Keuangan Kementerian Negara/Lembaga dan Laporan Keuangan pemerintah
pusat serta koreksi lain berdasarkan SAP.
Pasal 13
Gubernur/bupati/walikota memberikan tanggapan dan melakukan penyesuaian
terhadap Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3)
berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atas Laporan Keuangan
pemerintah daerah serta koreksi lain berdasarkan SAP.
Pasal 14
(1) Berdasarkan Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (3), Menteri Keuangan menyusun rancangan undang-undang tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.
(2) Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya 6 (enam)
bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Pasal 15
(1) Berdasarkan Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pejabat
Pengelola Keuangan Daerah menyusun rancangan peraturan daerah tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
455
(2) Rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
oleh gubernur/bupati/walikota kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
(3) Rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah
disetujui bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, untuk tingkat
pemerintah provinsi disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri, dan untuk
tingkat pemerintah kabupaten/kota disampaikan kepada gubernur.
Pasal 16
Hubungan antarlembaga dalam proses penyusunan laporan pertanggung­
jawaban pelaksanaan APBN/APBD digambarkan dalam diagram yang tercantum
pada Lampiran II.
BAB V
LAPORAN KINERJA
Pasal 17
(1) Laporan Kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, berisi ringkasan
tentang keluaran dari masing-masing kegiatan dan hasil yang dicapai dari
masing-masing program sebagaimana ditetapkan dalam dokumen pelaksanaan
APBN/APBD.
(2) Bentuk dan isi Laporan Kinerja disesuaikan dengan bantuk dan isi rencana kerja
dan anggaran sebagaimana ditetapkan dalam peraturan pemerintah terkait,
ilustrasi format Laporan Kinerja disajikan pada Lampiran III.
Pasal 18
(1) Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran menyusun Laporan
Kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan menyampaikannya kepada
Menteri Keuangan, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, dan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.
(2) LaporanKinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan selambatlambatnya 2 (dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Pasal 19
(1) Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku Pengguna Anggaran menyusun
Laporan Kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan menyampaikannya
kepada gubernur/bupati/walikota, dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur
Negara.
456
(2) Laporan Kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan selambatlambatnya 2 (dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Pasal 20
(1) Laporan Kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dihasilkan dari suatu
sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah yang diselenggarakan oleh
masing-masing Entitas Pelaporan dan/atau Entitas Akuntansi.
(2) Sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikembangkan secara terintegrasi dengan sistem perencanaan, sistem
penganggaran, sistem perbendaharaan, dan Sistem Akuntansi Pemerintahan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Presiden.
(4) Peraturan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diusulkan oleh
Menteri Keuangan setelah berkoordinasi dengan Menteri Negara Perencanaan
Pembangunan Nasional, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara,
dan Menteri Dalam Negeri.
(5) Sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) setidak-tidaknya mencakup perkembangan keluaran dari masing-masing
kegiatan dan hasil yang dicapai dari masing-masing program sebagaimana
ditetapkan dalam dokumen pelaksanaan APBN/APBD.
(6) Hubungan Laporan Kinerja dan Laporan Keuangan digambarkan pada diagram
yang tercantum pada Lampiran IV.
BAB VI
SUPLEMEN LAPORAN KEUANGAN
Pasal 21
Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dilampiri
dengan laporan keuangan BLU bentuk ringkas.
Pasal 22
(1) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dilampiri
dengan Ikhtisar laporan keuangan Perusahaan Negara/Daerah.
(2) Ikhtisarlaporan keuangan Perusahaan Negara/Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disusun oleh Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota selaku
wakil pemerintah pusat/daerah dalam kepemilikan kekayaan pemerintah pusat/
daerah yang dipisahkan.
457
(3) Bentuk dan isi dari ikhtisar laporan keuangan Perusahaan Negara/Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana ditetapkan pada
Lampiran V.
Pasal 23
(1) Untuk memenuhi ketentuan penyusunan ikhtisar laporan keuangan Perusahaan
Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, menteri yang ditunjuk dan/
atau diberi kuasa untuk mewakili Pemerintah pusat selaku pengelola/pembina
Perusahaan Negara wajib menyampaikan:
a.
laporan keuangan Perusahaan Negara yang belum diaudit kepada Menteri
Keuangan selambat-lambatnya 2 1/2 (dua setengah) bulan setelah tahun
APBN berakhir; dan
b.
laporan keuangan Perusahaan Negara yang telah diaudit kepada Menteri
Keuangan selambat-lambatnya 5 1/2 (lima setengah) bulan setelah tahun
APBN berakhir.
(2) Untuk memenuhi ketentuan penyusunan ikhtisar laporan keuangan Perusahaan
Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Perusahaan Daerah wajib
menyampaikan:
a.
laporan keuangan Perusahaan Daerah yang belum diaudit kepada Pejabat
Pengelola Keuangan Daerah selambat- lambatnya 2 1/2 (dua setengah)
bulan setelah tahun APBD berakhir; dan
b.
laporan keuangan Perusahaan Daerah yang telah diaudit kepada
Pejabat Pengelola Keuangan Daerah selambat- lambatnya 5 1/2 (lima
setengah) bulan setelah tahun APBD berakhir.
Pasal 24
Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat dilampirkan
ikhtisar dan/atau informasi tambahan non-keuangan yang relevan.
BAB VII
PERNYATAAN TANGGUNG JAWAB
Pasal 25
(1) LaporanKeuangan tahunan Kementerian Negara/Lembaga/pemerintah daerah/
Satuan Kerja Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 disertai
dengan pernyataan tanggung jawab yang ditandatangani oleh menteri/pimpinan
lembaga/ gubernur/bupati/walikota/kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah.
458
(2)Laporan Keuangan tahunan bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan yang
dialokasikan kepada Kementerian Negara/Lembaga, dan pemerintah daerah,
disampaikan secara terpisah dan disertai dengan pernyataan tanggung jawab
yang ditandatangani oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota
yang menerima alokasi Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan tersebut.
Pasal 26
(1) Pernyataan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 memuat
pernyataan bahwa pengelolaan APBN/APBD telah diselenggarakan berdasarkan
Sistem Pengendalian Intern yang memadai dan akuntansi keuangan telah
diselenggarakan sesuai dengan SAP.
(2) Bentuk dan isi dari pernyataan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibuat sesuai dengan Lampiran VI.
BAB VIII
LAPORAN KEUANGAN DAN KINERJA INTERIM
Pasal 27
(1) Kepala satuan kerja sebagai kuasa Pengguna Anggaran di lingkungan Kementerian
Negara/Lembaga menyampaikan Laporan Keuangan dan Kinerja interim
sekurang-kurangnya setiap triwulan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga.
(2) Menteri/Pimpinan Lembaga menyusun Laporan Keuangan dan Kinerja interim
Kementerian Negara/Lembaga berdasarkan Laporan Keuangan dan Kinerja
interim kuasa Pengguna Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
menyampaikannya kepada Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan, dan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.
(3) Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah sebagai Pengguna Anggaran/kuasa
Pengguna Anggaran menyampaikan Laporan Keuangan dan Kinerja interim
sekurang-kurangnya setiap triwulan kepada gubernur/bupati/walikota, dilampiri
dengan Laporan Keuangan dan Kinerja interim atas pelaksanaan kegiatan Dana
Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, isi, dan tata cara penyampaian
LaporanKeuangan dan Kinerja interim di lingkungan pemerintah pusat diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan, dan di lingkungan pemerintah daerah
diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri.
459
BAB IX
LAPORAN KEUANGAN ATAS PELAKSANAAN KEGIATAN
DANA DEKONSENTRASI/TUGAS PEMBANTUAN
Pasal 28
(1) Satuan Kerja Perangkat Daerah yang menjadi pelaksana kegiatan Dana
Dekonsentrasi menyelenggarakan akuntansi dan menyusun Laporan Keuangan
dan Kinerja sebagaimana berlaku bagi kuasa Pengguna Anggaran pada tingkat
pemerintah pusat.
(2) Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah menyampaikan Laporan Keuangan dan
Kinerja atas pelaksanaan kegiatan Dana Dekonsentrasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada gubernur dan Menteri/Pimpinan Lembaga terkait.
(3) Gubernur menyiapkan Laporan Keuangan dan Kinerja gabungan berdasarkan
laporanyang diterima dari Satuan Kerja Perangkat Daerah yang menjadi
pelaksana kegiatan Dana Dekonsentrasi, dan selanjutnya menyampaikannya
kepada Menteri/Pimpinan Lembaga terkait serta kepada Presiden melalui
Menteri Keuangan.
Pasal 29
(1) Satuan Kerja Perangkat Daerah yang menjadi pelaksana kegiatan Tugas
Pembantuan menyelenggarakan akuntansi dan menyusun Laporan Keuangan
dan Kinerja sebagaimana berlaku bagi kuasa Pengguna Anggaran pada tingkat
pemerintah pusat.
(2) Laporan Keuangan dan Kinerja atas pelaksanaan kegiatan Tugas Pembantuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada gubernur/bupati/
walikota dan Menteri/Pimpinan Lembaga terkait.
(3) Gubernur/bupati/walikota menyiapkan Laporan Keuangan dan Kinerja
gabungan berdasarkan laporan yang diterima dari Satuan Kerja Perangkat
Daerah yang menjadi pelaksana kegiatan Tugas Pembantuan dan selanjutnya
menyampaikannya kepada Menteri/Pimpinan Lembaga terkait serta kepada
Presiden melalui Menteri Keuangan.
Pasal 30
(1) Laporan Keuangan dan Kinerja atas pelaksanaan kegiatan Dana Dekonsentrasi/
Tugas Pembantuan dilaporkan secara terintegrasi dalam Laporan Keuangan
Kementerian Negara/Lembaga Pengguna Anggaran yang bersangkutan.
460
(2) Laporan Keuangan dan Kinerja atas pelaksanaan kegiatan Dana Dekonsentrasi/
Tugas Pembantuan dilampirkan pada laporan pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan akuntansi dan
penyusunan Laporan Keuangan dan Kinerja atas pelaksanaan kegiatan Dana
Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.
BAB X
LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN BENDAHARA
Pasal 31
(1) Bendahara penerimaan/pengeluaran wajib menatausahakan dan menyusun
laporan pertanggungjawaban atas uang yang dikelolanya dalam rangka
pelaksanaan APBN/APBD.
(2) Laporan pertanggungjawaban bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyajikan informasi tentang saldo awal, penambahan, penggunaan, dan saldo
akhir uang persediaan yang dikelolanya pada suatu periode.
(3) Laporan pertanggungjawaban bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan kepada Bendahara Umum Negara/Daerah atau Kuasa Bendahara
Umum Negara/Daerah, Menteri/Pimpinan Lembaga/gubernur/bupati/walikota,
dan Badan Pemeriksa Keuangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penatausahaan dan penyusunan
laporanpertanggungjawaban bendahara serta penyampaiannya untuk tingkat
pemerintah pusat diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan, dan untuk tingkat
pemerintah daerah diatur dengan Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota dengan
mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.
BAB XI
LAPORAN MANAJERIAL DI BIDANG KEUANGAN
Pasal 32
(1) Laporan manajerial di bidang keuangan dapat dihasilkan dari Sistem
Akuntansi Pemerintahan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, bentuk, isi, dan tata cara pelaporan
manajerial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan
Menteri/Pimpinan Lembaga/gubernur/bupati/walikota atau pejabat lain yang
ditunjuk.
461
BAB XII
PENGENDALIAN INTERN
Pasal 33
(1) Untuk meningkatkan keandalan Laporan Keuangan dan Kinerja sebagaimana
diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, setiap Entitas Pelaporan dan Akuntansi
wajib menyelenggarakan Sistem Pengendalian Intern sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan terkait.
(2) Dalam Sistem Pengendalian Intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus diciptakan prosedur rekonsiliasi antara data transaksi keuangan yang
diakuntansikan oleh Pengguna Anggaran/kuasa Pengguna Anggaran dengan
data transaksi keuangan yang diakuntansikan oleh Bendahara Umum Negara/
Daerah.
(3) Aparat pengawasan intern pemerintah pada Kementerian Negara/Lembaga/
pemerintah daerah melakukan review atas Laporan Keuangan dan Kinerja dalam
rangka meyakinkan keandalan informasi yang disajikan sebelum disampaikan
oleh Menteri/Pimpinan Lembaga/gubernur/bupati/walikota kepada pihak-pihak
sebagaimana diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 11.
(4) Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara berwenang menunjuk
aparat pengawasan intern pemerintah untuk melakukan evaluasi efisiensi
dan efektivitas pelaksanaan kegiatan Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan
serta Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan pada Pengguna Anggaran/kuasa
Pengguna Anggaran yang bersangkutan.
BAB XIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 34
(1) Setiap keterlambatan penyampaian Laporan Keuangan oleh Pengguna Anggaran/
kuasa Pengguna Anggaran pada tingkat pemerintah pusat yang disebabkan oleh
kesengajaan dan/atau kelalaian, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum
Negara dapat memberi sanksi berupa penangguhan pelaksanaan anggaran atau
penundaan pencairan dana.
(2) Setiap keterlambatan penyampaian Laporan Keuangan oleh Pengguna Anggaran/
kuasa Pengguna Anggaran pada tingkat pemerintah daerah yang disebabkan oleh
kesengajaan dan/atau kelalaian, kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah
selaku Bendahara Umum Daerah dapat memberi sanksi berupa penangguhan
pelaksanaan anggaran atau penundaan pencairan dana.
462
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota
dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri
Dalam Negeri.
(5) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak membebaskan
kuasa Pengguna Anggaran dari kewajiban penyampaian Laporan Keuangan.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 35
(1) Pelaksanaan ketentuan Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah
pusat sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini berlaku selambatlambatnya pada APBN tahun anggaran 2006.
(2) Pelaksanaan ketentuan Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah
daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini berlaku selambatlambatnya pada APBD tahun anggaran 2007.
Pasal 36
Segala ketentuan yang mengatur Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi
Pemerintah tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diatur
dengan ketentuan yang baru sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 37
Ketentuan pelaksanaan sebagai tindak lanjut Peraturan Pemerintah ini
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 sudah selesai selambat-lambatnya 1 (satu)
tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
Pasal 38
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
463
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 April 2006
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 april 2006
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 25
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 2006
TENTANG
PELAPORAN KEUANGAN DAN KINERJA INSTANSI PEMERINTAH
I.
UMUM
Sebelum berlakunya paket undang-undang di bidang keuangan negara, ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku mengharuskan pertanggungjawaban
pengelolaan keuangan negara dalam bentuk perhitungan anggaran negara/daerah.
Wujud laporan ini hanya menginformasikan aliran kas pada APBN/APBD sesuai dengan
format anggaran yang disahkan oleh legislatif, tanpa menyertakan informasi tentang
posisi kekayaan dan kewajiban pemerintah. Laporan demikian, selain memuat
informasi yang terbatas, juga waktu penyampaiannya kepada legislatif amat terlambat.
Keandalan (reliability) informasi keuangan yang disajikan dalam perhitungan anggaran
juga sangat rendah karena sistem akuntansi yang diselenggarakan belum didasarkan
pada standar akuntansi dan tidak didukung oleh perangkat data dan proses yang
memadai.
Upaya konkrit dalam mewujudkan akuntabilitas dan transparansi di lingkungan
pemerintah mengharuskan setiap pengelola keuangan negara untuk menyampaikan
laporan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan dengan cakupan yang lebih luas
dan tepat waktu. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
menegaskan bahwa laporan pertanggungjawaban keuangan dimaksud dinyatakan
dalam bentuk Laporan Keuangan yang setidak- tidaknya meliputi Laporan Realisasi
Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, dan disusun
berdasarkan SAP.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara lebih
lanjutmemperjelasbahwaLaporan Keuangan dimaksud harus disusun berdasarkan
proses akuntansi yang wajib dilaksanakan oleh setiap Pengguna Anggaran dan kuasa
465
466
Pengguna Anggaran serta pengelola Bendahara Umum Negara/Daerah. Sehubungan
itu, pemerintah pusat maupun setiap pemerintah daerah perlu menyelenggarakan
akuntansi dalam suatu sistem yang pedomannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan
untuk lingkungan pemerintah pusat dan oleh Menteri Dalam Negeri untuk lingkungan
pemerintah daerah.
Salah satu hal yang amat penting dalam praktek akuntansi dan pelaporan
keuangan di lingkungan pemerintah berhubungan dengan penetapan satuan kerja
instansi yang memiliki tanggung jawab publik secara eksplisit di mana laporan
keuangannya wajibdiaudit dengan opini dari lembaga pemeriksa yang berwenang.
Instansi demikian digolongkan sebagai Entitas Pelaporan. Sementara instansi lain
yang wajib menyelenggarakan akuntansi dan berperan secara terbatas sebagai
entitas akuntansi berperan sebagai penyumbang bagi Laporan Keuangan yang disusun
dan disampaikan oleh Entitas Pelaporan. Dalam Peraturan Pemerintah ini ditetapkan
bahwa yang termasuk Entitas Pelaporan adalah (i) pemerintah pusat, (ii) pemerintah
daerah, (iii) setiap Kementerian Negara/Lembaga, dan (iv) Bendahara Umum
Negara. Sementara itu, setiap kuasa Pengguna Anggaran, termasuk entitas pelaksana
Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan, untuk tingkat pemerintah pusat, Satuan
Kerja Perangkat Daerah, Bendahara Umum Daerah, dan kuasa Pengguna Anggaran
tertentu di tingkat daerah diwajibkan menyelenggarakan akuntansi sebagai Entitas
Akuntansi.
Peraturan Pemerintah ini menjabarkan lebih rinci komponen Laporan Keuangan
yang wajib disusun dan disampaikan oleh setiap tingkatan Pengguna Anggaran,
pengelola perbendaharaan, serta pemerintah pusat/daerah. Selain itu, diatur
pula hierarkhi kegiatan akuntansi mulai dari tingkat satuan kerja pelaksana
sampai tersusunnyaLaporan Keuangan pemerintah pusat/daerah dengan ketentuan
jadwal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, ditetapkan bahwa Laporan
Keuangan pemerintah pada gilirannya harus diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) sebelum disampaikan kepada pihak legislatif sesuai dengan kewenangannya.
Pemeriksaan BPK dimaksud adalah dalam rangka pemberian pendapat (opini)
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Dengan demikian,
Laporan Keuangan yang disusun oleh pemerintah yang disampaikan kepada BPK
untuk diperiksa masih berstatus belum diaudit (unaudited financial statements).
Sebagaimana lazimnya, Laporan
Keuangan tersebut setelah diperiksa dapat
disesuaikan berdasarkan temuan audit dan/atau koreksi lain yang diharuskan
oleh SAP. Laporan Keuangan yang telah diperiksa dan telah diperbaiki itulah
467
yang selanjutnya diusulkan oleh pemerintah pusat/daerah dalam suatu rancangan
undang-undang atau peraturan daerah tentang Laporan Keuangan pemerintah pusat/
daerah untuk dibahas dengan dan disetujui oleh DPR/DPRD.
Selain itu, menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, pada rancangan
undang-undang atau peraturan daerah tentang Laporan Keuangan pemerintah pusat/
daerah disertakan atau dilampirkan informasi tambahan mengenai Kinerja instansi
pemerintah, yakni prestasi yang berhasil dicapai oleh Pengguna Anggaran sehubungan
dengan anggaran yang telah digunakan. Pengungkapan informasi tentang Kinerja
ini adalah relevan dengan perubahan paradigma penganggaran pemerintah yang
ditetapkan dengan mengidentifikasikan secara jelas keluaran (outputs) dari setiap
kegiatan dan hasil (outcomes) dari setiap program. Untuk keperluan tersebut, perlu
disusun suatu sistem akuntabilitas Kinerja instansi pemerintah yang terintegrasi
dengan sistem perencanaan strategis, sistem penganggaran, dan Sistem Akuntansi
Pemerintahan. Ketentuan yang dicakup dalam sistem akuntabilitas kinerja instansi
pemerintah tersebut sekaligus dimaksudkan untuk menggantikan ketentuan yang
termuat dalam Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah, sehingga dapat dihasilkan suatu Laporan Keuangan dan Kinerja
yang terpadu.
Selain itu, terhadap paket Laporan Keuangan pemerintah pusat/daerah
disertakan pula ikhtisar Laporan Keuangan Perusahaan Negara/daerah untuk
periode yang sama. Peraturan Pemerintah ini mengatur lebih lanjut hal-hal yang
berhubungan dengan penyajian informasi tambahan dimaksud.
Dalam rangka memperkuat akuntabilitas pengelolaan anggaran dan
perbendaharaan, setiap pejabat yang menyajikan Laporan Keuangan diharuskan
memberi pernyataan tanggung jawab atas Laporan Keuangan yang bersangkutan.
Menteri/ pimpinan lembaga/ gubernur/ bupati/ walikota/ kepala Satuan Kerja
Perangkat Daerah harus secara jelas menyatakan bahwa Laporan Keuangan telah
disusun berdasarkan Sistem Pengendalian Intern yang memadai dan informasi
yang termuat pada Laporan Keuangan telah disajikan sesuai dengan SAP.
Peraturan Pemerintah ini merupakan landasan bagi penyelenggaraan kegiatan
akuntansi mulai dari satuan kerja Pengguna Anggaran, penyusunan Laporan
Keuangan oleh Entitas Pelaporan dan penyajiannya kepada BPK untuk diaudit,
hingga penyampaian rancangan undang-undang atau rancangan peraturan daerah
tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD. Namun, segala hal yang
berhubungan dengan pembahasan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan
APBN/APBD oleh legislatif atau penggunaan laporan tersebut oleh pihak-pihak
terkait tidak dicakup pengaturannya dalam Peraturan Pemerintah ini.
468
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Entitas PelaporanKementerianNegara/Lembaga ditetapkan oleh Menteri
Keuangan berdasarkan pertimbangan kemandirian pelaksanaan anggaran,
pengelolaan kegiatan, dan besarnya anggaran.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kuasa Pengguna Anggaran pada ayat ini adalah setiap
satuan kerja yang mempunyai dokumen pelaksanaan anggaran tersendiri,
termasuk satuan kerja yang memperoleh alokasi anggaran dari Anggaran
Pembiayaan dan Perhitungan.
Ayat (2)
Kuasa Pengguna Anggaran di lingkungan pemerintah daerah dapat
ditetapkan sebagai entitas akuntansi oleh gubernur/bupati/walikota
bila mempunyai dokumen pelaksanaan anggaran yang terpisah, jumlah
anggarannya relatif besar, dan pengelolaan kegiatannya dilakukan secara
mandiri.
Pasal 5
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
469
Ayat (4)
Penambahan unsur-unsur Laporan Keuangan tingkat pemerintah daerah
ditetapkanoleh Menteri Keuangan setelah berkoordinasi dengan Menteri
Dalam Negeri.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tingkat keandalan Laporan Keuangan berhubungan erat dengan keandalan
sistem akuntansi yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah.
Sistem akuntansi perlu dikembangkan dengan mengacu pada SAP serta
mempertimbangkan kondisi pendukung yang diperlukan, terutama
personil, dukungan teknologi informasi, prosedur dan tata kerja, bagan
perkiraan standar, dan lembaga atau organisasi pendukung. Karenanya,
sistem akuntansi tersebut dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan
tingkat kompleksitas kegiatan bidang keuangan maupun bidang teknis.
Sistem Akuntansi Pemerintahan pada tingkat pemerintah pusat diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan, sedangkan pada tingkat pemerintah
daerah diatur dengan Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota mengacu pada
peraturan daerah tentang pengelolaan keuangan daerah dan berpedoman
pada peraturan pemerintah mengenai SAP.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga sebagaimana dimaksud
pada ayat ini merupakan konsolidasian dengan laporan keuangan BLU
maupun satuan kerja yang menyelenggarakan pengelolaan dana tersendiri
dan secara struktural dibawahkannya.
Ayat (2)
Laporan Keuangan Menteri Keuangan/Bendahara Umum Negara sebagai­
mana dimaksud pada ayat ini termasuk pertanggungjawaban Anggaran
470
Pembiayaan dan Perhitungan yang disusun berdasarkan Laporan Keuangan
setiap kuasa Pengguna Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Laporan Keuangan yang diserahkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan Laporan Keuangan
dengan status belum diperiksa (unaudited).
Pasal 9
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (3)
Presiden dapat mendelegasikan kepada Menteri Keuangan atas nama
pemerintah pusat untuk menyampaikan Laporan Keuangan dengan
status belum diperiksa (unaudited) sebagaimana dimaksud pada ayat
ini kepada Badan Pemeriksa Keuangan dalam rangka pelaksanaan
pemeriksaan keuangan.
Pasal 10
Ayat (1)
Penyelenggaraan teknis akuntansi dan penyusunan Laporan Keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat diselenggarakan langsung
oleh satuan kerja Pengguna Anggaran atau dibantu oleh satuan kerja/
pihak lain yang ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota berdasarkan
pertimbangan kondisi sumber daya yang tersedia, namun tanggung jawab
atas laporan tersebut berada pada satuan kerja Pengguna Anggaran yang
bersangkutan.
Laporan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat ini merupakan konsolidasian dengan laporan keuangan BLU yang
secara struktural dibawahkannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
471
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (3)
Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat ini merupakan Laporan
Keuangan dengan status belum diperiksa (unaudited). Penyampaian Laporan
Keuangan tersebut kepada Badan Pemeriksa Keuangan adalah dalam rangka
pelaksanaan pemeriksaan keuangan.
Pasal 12
Ayat (1)
Ayat (2)
Laporan Keuangan yang telah disesuaikan sebagaimana dimaksud merupakan
Laporan Keuangan dengan status telah diperiksa (audited).
Laporan Keuangan yang telah disesuaikan sebagaimana dimaksud merupakan
Laporan Keuangan dengan status telah diperiksa (audited).
Ayat (3)
Laporan Keuangan yang telah disesuaikan sebagaimana dimaksud merupakan
Laporan Keuangan dengan status telah diperiksa (audited). Yang dimaksud
dengan koreksi lain pada ayat ini yaitu penyesuaian terhadap Laporan
Keuangan yang disusun oleh pemerintah pusat berdasarkan data keuangan
yang diperoleh setelah Laporan Keuangan unaudited disampaikan kepada
Badan Pemeriksa Keuangan.
Pasal 13
Laporan Keuangan yang telah disesuaikan sebagaimana dimaksud merupakan
Laporan Keuangan dengan status telah diperiksa (audited).
Yang dimaksud dengan koreksi lain pada ayat ini yaitu penyesuaian terhadap
Laporan Keuangan yang disusun oleh pemerintah daerah berdasarkan data
keuangan yang diperoleh setelah Laporan Keuangan unaudited disampaikan
kepada Badan Pemeriksa Keuangan.
472
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyampaian rancangan peraturan daerah dimaksud adalah dalam rangka
evaluasi terhadap setiap rancangan peraturan daerah mengenai APBD agar
sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan perundang- undangan yang
lebih tinggi.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Tata cara tentang penyusunan kegiatan dan indikator Kinerja dimaksud
didasarkan pada ketentuan peraturan pemerintah tentang rencana kerja
pemerintah dan peraturan pemerintah tentang penyusunan rencana kerja
dan anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
Informasi tentang Realisasi Kinerja disajikan secara bersanding dengan Kinerja
yang direncanakan dan dianggarkan sebagaimana tercantum dalam Rencana
Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/
Pemerintah Pusat/Daerah untuk tahun anggaran yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
473
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Peraturan Presiden dimaksud mengatur antara lain isi dan bentuk
Laporan Kinerja. Konsep peraturan tersebut disusun oleh suatu tim
yang terdiri dari unsur Kementerian Keuangan, Kementerian Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional, KementerianNegara Pendayagunaan
Aparatur Negara, dan Kementerian Dalam Negeri.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 21
Bentuk ringkas yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah lembar muka
Laporan Keuangan (face of financial statements). Dalam hal suatu BLU di
lingkungan pemerintah daerah tidak dibawahkan secara struktural oleh
suatu Satuan Kerja Perangkat Daerah, laporan keuangan BLU ringkas
dimaksud dilampirkan langsung pada Laporan Keuangan pemerintah daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Informasi tambahan non-keuangan sebagaimana dimaksud antara lain statistik
pegawai, pergantian pejabat, dan keterangan mengenai bencana alam.
474
Pasal 25
Pejabat pemerintah yang membuat pernyataan tanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada pasal ini dapat mewajibkan para pejabat yang dibawahkannya
untuk membuat pernyataan tanggung jawab yang sama dalam batas tanggung
jawab masing-masing.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Kuasa Pengguna Anggaran yang dimaksud pada ayat ini adalah kuasa
Pengguna Anggaran di lingkungan pemerintah daerah yang telah ditetapkan
sebagai Entitas Akuntansi.
Ayat (4)
Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri berkoordinasi dengan Menteri
Negara Pendayagunaan Aparatur Negara mengenai Pelaporan Kinerja interim
sebelum peraturan ditetapkan.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Laporan manajerial di bidang keuangan adalah laporan yang menyajikan
informasi keuangan untuk membantu manajemen pemerintahan dalam
pengambilan keputusan dan pengendalian yang berhubungan dengan
pengelolaan keuangan.
Ayat (2)
Peraturan mengenai jenis, bentuk, isi, dan tata cara pelaporan manajerial
pada ayat ini dapat dibentuk sesuai dengan kebutuhan Kementerian Negara/
Lembaga/pemerintah daerah.
Pasal 33
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Reviu oleh aparat pengawasan intern pemerintah pada Kementerian
Negara/Lembaga/pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat ini
tidak membatasi tugas pemeriksaan/pengawasan oleh lembaga pemeriksa/
pengawas lainnya sesuai dengan kewenangannya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
475
476
Pasal 38
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4614
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 55 TAHUN 2005
TENTANG
DANA PERIMBANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 26, Pasal 37, dan Pasal
42 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah,
dan Pasal 160 ayat (6), Pasal 162 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perlu untuk menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Dana Perimbangan.
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437);
3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438).
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG DANA PERIMBANGAN.
477
478
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1.
Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
2.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
3.
Daerah otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
4. Kepala daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi daerah
kabupaten atau walikota bagi daerah kota.
5.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disebut DPRD, adalah
lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan
Daerah.
6. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut APBN, adalah
rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat.
7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah
rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui
bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
8. Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi.
9. Dana Bagi Hasil, selanjutnya disebut DBH, adalah dana yang bersumber
dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka
persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
Desentralisasi.
479
10. DBH Pajak adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan Pajak Bumi dan
Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Pajak Penghasilan Pasal
25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, dan Pajak Penghasilan
Pasal 21.
11. Pajak Bumi dan Bangunan, selanjutnya disebut PBB adalah pajak yang dikenakan
atas bumi dan bangunan.
12. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, selanjutnya disebut BPHTB, adalah
pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan
13. Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri,
selanjutnya disebut PPh WPOPDN adalah Pajak Penghasilan terutang oleh
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri berdasarkan ketentuan Pasal 25 dan
Pasal 29 Undang-undang tentang Pajak Penghasilan yang berlaku kecuali pajak
atas penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (8).
14. Pajak Penghasilan Pasal 21, selanjutnya disebut PPh Pasal 21, adalah Pajak
atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran
lainnya sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan yang
dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi berdasarkan ketentuan Pasal 21
undang-undang tentang Pajak Penghasilan yang berlaku.
15. DBH Sumber Daya Alam adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan
sumber daya alam kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan
minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.
16. Dana Reboisasi, selanjutnya disebut DR, adalah dana yang dipungut dari
pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dari Hutan Alam yang berupa
kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan.
17. Provisi Sumber Daya Hutan, selanjutnya disebut PSDH, adalah pungutan yang
dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil yang dipungut dari Hutan
Negara.
18. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan, selanjutnya disebut IIUPH, adalah
pungutan yang dikenakan kepada Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan
atas suatu kawasan hutan tertentu yang dilakukan sekali pada saat izin
tersebut diberikan.
19. Pungutan Pengusahaan Perikanan adalah pungutan hasil perikanan yang
dikenakan kepada perusahaan perikanan Indonesia yang memperoleh Izin Usaha
Perikanan (IUP), Alokasi Penangkapan Ikan Penanaman Modal (APIPM), dan
Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), sebagai imbalan atas kesempatan
yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia untuk melakukan usaha perikanan
dalam wilayah perikanan Republik Indonesia.
480
20. Pungutan Hasil Perikanan adalah pungutan hasil perikanan yang dikenakan
kepada perusahaan perikanan Indonesia yang melakukan usaha penangkapan
ikan sesuai dengan Surat Penangkapan Ikan (SPI) yang diperoleh.
21. Iuran Tetap (Land-rent) adalah iuran yang diterima negara sebagai imbalan
atas kesempatan Penyelidikan Umum, Eksplorasi atau Eksploitasi pada suatu
wilayah kerja.
22. Iuran Ekplorasi dan Eksploitasi (royalty) adalah iuran produksi pemegang
kuasa usaha pertambangan atas hasil dari kesempatan eksplorasi/eksploitasi.
23. Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU, adalah dana yang bersumber
dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan
keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi.
24. Dana Alokasi Khusus, selanjutnya disebut DAK, adalah dana yang bersumber
dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan
untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan
sesuai dengan prioritas nasional.
25. Menteriteknisadalahmenteri yang bertugas dan bertanggungjawab di bidang
teknis tertentu.
Pasal 2
(1) Dana Perimbangan terdiri atas:
a. Dana Bagi Hasil;
b. Dana Alokasi Umum; dan
c. Dana Alokasi Khusus.
(2) Jumlah Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
setiap tahun anggaran dalam APBN.
BAB II
DANA BAGI HASIL
Bagian Pertama
Umum
Pasal 3
DBH bersumber dari:
a. Pajak; dan
b. Sumber Daya Alam.
481
Bagian Kedua
DBH Pajak
Pasal 4
DBH yang bersumber dari pajak terdiri atas:
a.
PBB;
b.
BPHTB; dan
c.
PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21.
Paragraf Pertama
DBH PBB
Pasal 5
(1) Penerimaan Negara dari PBB dibagi dengan imbangan 10% (sepuluh persen)
untuk Pemerintah dan 90% (sembilan puluh persen) untuk daerah.
(2) DBH PBB untuk daerah sebesar 90% (sembilan puluh persen) dibagi dengan
rincian sebagai berikut:
a.
16,2% (enam belas dua persepuluh persen) untuk provinsi yang
bersangkutan;
b
64,8% (enam puluh empat delapan persepuluh persen) untuk kabupaten/
kota yang bersangkutan; dan
c.
9% (sembilan persen) untuk biaya pemungutan.
Pasal 6
(1) Bagian Pemerintah sebesar 10% (sepuluh persen) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) dialokasikan kepada seluruh kabupaten dan kota.
(2) Alokasi untuk kabupaten dan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi
dengan rincian sebagai berikut:
a.
6,5% (enam lima persepuluh persen) dibagikan secara merata kepada seluruh
kabupaten dan kota; dan
b.
3,5% (tiga lima persepuluh persen) dibagikan sebagai insentif kepada kabupaten
dan/kota yang realisasi penerimaan PBB sektor Pedesaan dan Perkotaan pada
tahun anggaran sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan yang
ditetapkan.
482
Paragraf Kedua
DBH BPHTB
Pasal 7
(1) Penerimaan Negara dari BPHTB dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen)
untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk daerah.
(2) DBH BPHTB untuk daerah sebesar 80% (delapan puluh persen) dibagi dengan
rincian sebagai berikut:
a.
16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan
b.
64% (enam puluh empat persen) untuk kabupaten/kota yang ber­
sangkutan.
(3) Bagian Pemerintah sebesar 20% (dua puluh persen) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dialokasikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten
dan kota.
Paragraf Ketiga
DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21
Pasal 8
(1) Penerimaan Negara dari PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 dibagikan kepada daerah
sebesar 20% (dua puluh persen).
(2) DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi
dengan rincian sebagai berikut :
a.
8% (delapan persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan
b.
12% (dua belas persen) untuk kabupaten/kota dalam provinsi yang
bersangkutan.
(3) DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b dibagi dengan rincian sebagai berikut:
a.
8,4% (delapan empat persepuluh persen) untuk kabupaten/kota tempat
wajib pajak terdaftar; dan
b.
3,6% (tiga enam persepuluh persen) untuk seluruh kabupaten/kota dalam
provinsi yang bersangkutan dengan bagian yang sama besar.
483
Paragraf Keempat
Penetapan Alokasi DBH Pajak
Pasal 9
Alokasi DBH Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7,
dan Pasal 8 ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Pasal 10
Alokasi DBH PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan DBH
BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, ditetapkan:
a.
berdasarkan rencana penerimaan PBB dan BPHTB tahun anggaran bersangkutan;
dan
b.
paling lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran bersangkutan
dilaksanakan.
Pasal 11
(1) Alokasi DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 untuk masing-masing daerah terdiri atas:
a.
Alokasi Sementara yang ditetapkan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum
tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan; dan
b.
Alokasi Definitif yang ditetapkan paling lambat pada bulan pertama
triwulan keempat tahun anggaran berjalan.
(2) Alokasi DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a didasarkan atas rencana penerimaan DBH PPh WPOPDN dan PPh
Pasal 21.
Alokasi DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b didasarkan atas prognosa realisasi penerimaan DBH PPh
WPOPDN dan PPh Pasal 21.
Paragraf Kelima
Penyaluran DBH Pajak
Pasal 12
DBH Pajak disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum
Negara ke Rekening Kas Umum Daerah.
484
Pasal 13
(1) Penyaluran DBH PBB dan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
Pasal 6, dan Pasal 7 dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan PBB dan
BPHTB tahun anggaran berjalan.
(2) Penyaluran DBH PBB dan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)
dan Pasal 7 ayat (2) dilaksanakan secara mingguan.
(3) Penyaluran PBB dan BPHTB bagianPemerintah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (2) huruf a dan Pasal 7 ayat (3) dilaksanakan dalam 3 (tiga)
tahap, yaitu bulan April, bulan Agustus, dan bulan Nopember tahun anggaran
berjalan.
(4) Penyaluran PBB bagian Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(2) huruf b dilaksanakan dalam bulan Nopember tahun anggaran berjalan.
Pasal 14
(1) Penyaluran DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 dilaksanakan berdasarkan prognosa realisasi penerimaan PPh WPOPDN
dan PPh Pasal 21 tahun anggaran berjalan.
(2) Penyaluran DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (2) dilaksanakan secara triwulanan, dengan perincian sebagai
berikut:
a. penyaluran triwulan pertama sampai dengan triwulan ketiga masing-masing
sebesar 20% (dua puluh persen) dari alokasi sementara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a; dan
b. penyaluran triwulan keempat didasarkan pada selisih antara Pembagian
Definitif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b dengan
jumlah dana yang telah dicairkan selama triwulan pertama sampai dengan
triwulan ketiga.
(3) Dalam hal terjadi kelebihan penyaluran karena penyaluran triwulan pertama
sampai dengan triwulan ketiga yang didasarkan atas pembagian sementara lebih
besar daripada pembagian definitif maka kelebihan dimaksud diperhitungkan
dalam penyaluran tahun anggaran berikutnya.
485
Bagian Ketiga
DBH Sumber Daya Alam
Pasal 15
DBH Sumber Daya Alam berasal dari:
a. Kehutanan;
b. Pertambangan Umum;
c. Perikanan;
d. Pertambangan Minyak Bumi;
e. Pertambangan Gas Bumi; dan
f. Pertambangan Panas Bumi.
Paragraf Pertama
DBH Sumber Daya Alam Kehutanan
Pasal 16
(1) DBH Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a berasal
dari:
a. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH);
b. Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH); dan c. Dana Reboisasi (DR).
(2) DBH Kehutanan yang berasal dari IIUPH sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a untuk daerah sebesar 80% (delapan puluh persen) dibagi dengan
rincian:
a.
16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan
b.
64% (enam puluh empat persen) untuk kabupaten/kota penghasil.
(3) DBH Kehutanan yang berasal dari PSDH sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b untuk daerah sebesar 80% (delapan puluh persen) dibagi dengan
rincian:
a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
b.
32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan
c.
32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi
yang bersangkutan.
(4) DBH Kehutanan yang berasal dari PSDH sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf c, dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten/kota
lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
486
(5) DBH Kehutanan yang berasal dari DR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c sebesar 40% (empat puluh persen) dibagi kepada kabupaten/kota penghasil
untuk mendanai kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.
Paragraf Kedua
DBH Sumber Daya Alam Pertambangan Umum
Pasal 17
DBH Pertambangan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b
berasal dari :
a.
Iuran Tetap (Land-rent); dan
b.
Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalty).
Pasal 18
(1) DBH Pertambangan Umum sebesar 80% (delapan puluh persen) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 huruf a yang berasal dari wilayah kabupaten/kota
dibagi dengan rincian:
a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan
b. 64% (enam puluh empat persen) untuk kabupaten/kota penghasil.
(2) DBH Pertambangan Umum sebesar 80% (delapan puluh persen) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 huruf b yang berasal dari wilayah kabupaten/kota
dibagi dengan rincian:
a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
b.
32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan
c.
32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi
yang bersangkutan.
(3) DBH Pertambangan Umum sebagaiman dimaksud pada ayat (2) huruf c, dibagikan
dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam
provinsi yang bersangkutan.
Pasal 19
(1) DBH Pertambangan Umum sebesar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
huruf a yang berasal dari wilayah provinsi adalah sebesar 80% (delapan puluh
persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
(2) DBH Pertambangan Umum sebesar 80% (delapan puluh persen) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 huruf b yang berasal dari wilayah provinsi dibagi
dengan rincian:
487
a.
26% (dua puluh enam persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan
b.
54% (lima puluh empat persen) untuk kabupaten/kota lainnya dalam
provinsi yang bersangkutan.
(3) DBH Pertambangan Umum sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf b, dibagikan
dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam
provinsi yang bersangkutan.
Paragraf Ketiga
DBH Sumber Daya Alam Perikanan
Pasal 20
(1) DBH Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c berasal dari :
a. Pungutan Pengusahaan Perikanan; dan
b. Pungutan Hasil Perikanan.
(2) DBH Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk daerah sebesar 80%
(delapan puluh persen) dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh
kabupaten/kota.
Paragraf Keempat
DBH Sumber Daya Alam Pertambangan Minyak Bumi
Pasal 21
(1) DBH pertambangan minyak bumi sebesar 15,5% (lima belas setengah persen)
berasal dari penerimaan negara sumber daya alam pertambangan minyak bumi
dari wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan setelah dikurangi komponen
pajak dan pungutan lainnya.
(2) DBH pertambangan minyak bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar
15% (lima belas persen) dibagi dengan rincian sebagai berikut:
a. 3% (tiga persen) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan;
b.
6% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil; dan
c.
6% (enam persen) dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam
provinsi yang bersangkutan.
(3) DBH Pertambangan Minyak Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar
0,5% (setengah persen) dibagi dengan rincian sebagai berikut:
a.
0,1% (satu persepuluh persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
b.
0,2% (dua persepuluh persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan
488
c. 0,2% (dua persepuluh persen) untuk seluruh kabupaten/kota lainnya
dalam provinsi yang bersangkutan.
(4) DBH Pertambangan Minyak Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
dan ayat (3) huruf c, dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
Pasal 22
(1) DBH pertambangan minyak bumi sebesar 15,5% (lima belas setengah persen)
berasal dari penerimaan negara sumber daya alam pertambangan minyak
bumi dari wilayah provinsi yang bersangkutan setelah dikurangi komponen
pajak dan pungutan lainnya.
(2) DBH pertambangan minyak bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar
15% (lima belas persen) dibagi dengan rincian sebagai berikut:
a.
5% (lima persen) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; dan
b.
10% (sepuluh persen) dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota dalam
Provinsi yang bersangkutan.
(3) DBH Pertambangan Minyak Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar
0,5% (setengah persen) dibagi dengan rincian sebagai berikut:
a. 0,17% (tujuh belas perseratus persen) dibagikan untuk provinsi yang
bersangkutan; dan
b. 0,33% (tiga puluh tiga perseratus persen) dibagikan untuk seluruh
kabupaten/kota dalam Provinsi yang bersangkutan.
(4) DBH Pertambangan Minyak Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
dan ayat (3) huruf b, dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh
kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan.
Paragraf Kelima
DBH Sumber Daya Alam Pertambangan Gas Bumi
Pasal 23
(1) DBH pertambangan gas bumi sebesar 30,5% (tiga puluh setengah persen) berasal
dari penerimaan negara sumber daya alam pertambangan gas bumi dari wilayah
kabupaten/kota yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan
pungutan lainnya.
(2) DBH pertambangan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar 30%
(tiga puluh persen) dibagi dengan rincian sebagai berikut:
489
a.
6% (enam persen) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan;
b.
12% (dua belas persen) dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil; dan
c.
12% (dua belas persen) dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota lainnya
dalam provinsi yang bersangkutan.
(3) DBH Pertambangan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar 0,5%
(setengah persen) dibagi dengan rincian sebagai berikut:
a.
0,1% (satu persepuluh persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
b.
0,2% (dua persepuluh persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan
c.
0,2% (dua persepuluh persen) untuk seluruh kabupaten/kota lainnya
dalam provinsi yang bersangkutan.
(4) DBH Pertambangan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan
ayat (3) huruf c, dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
Pasal 24
(1) DBH Pertambangan Gas Bumi sebesar 30,5% (tiga puluh setengah persen)
berasal dari penerimaan negara sumber daya alam pertambangan gas bumi
dari wilayah provinsi yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak
dan pungutan lainnya.
(2) DBH Pertambangan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar 30%
(tiga puluh persen) dibagi dengan rincian sebagai berikut:
a.
10% (sepuluh persen) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan; dan
b.
20% (dua puluh persen) dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota dalam
Provinsi yang bersangkutan.
(3) DBH Pertambangan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar 0,5%
(setengah persen) dibagi dengan rincian sebagai berikut:
a. 0,17% (tujuh belas perseratus persen) dibagikan untuk provinsi yang
bersangkutan; dan
b. 0,33% (tiga puluh tiga perseratus persen) dibagikan untuk seluruh
kabupaten/kota dalam Provinsi yang bersangkutan.
(4) DBH Pertambangan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan
ayat (2) huruf b, dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh
kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan.
490
Pasal 25
DBH yang berasal dari Pertambangan Minyak Bumi dan Pertambangan Gas Bumi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat
(3), dan Pasal 24 ayat (3) wajib dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan
dasar.
Paragraf Keenam
DBH Sumber Daya Alam Pertambangan Panas Bumi
Pasal 26
(1) DBH Pertambangan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf
f berasal dari:
a.
Setoran Bagian Pemerintah; atau
b.
Iuran Tetap dan Iuran Produksi.
(2) DBH Pertambangan Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
daerah sebesar 80% (delapan puluh persen) dan dibagi dengan rincian:
a.
16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan
b.
32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil;
c.
32% (tiga puluh dua persen) untuk seluruh kabupaten/kota lainnya
dalam provinsi yang bersangkutan.
(3) DBH Pertambangan Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c,
dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota dalam
provinsi yang bersangkutan.
Paragraf Ketujuh
Penetapan Alokasi DBH Sumber Daya Alam
Pasal 27
(1) Menteri teknis menetapkan daerah penghasil dan dasar penghitungan DBH
Sumber Daya Alam paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum tahun anggaran
bersangkutan dilaksanakan setelah berkonsultasi dengan Menteri Dalam
Negeri.
(2) Dalam hal sumber daya alam berada pada wilayah yang berbatasan atau
berada pada lebih dari satu daerah, Menteri Dalam Negeri menetapkan daerah
penghasil sumber daya alam berdasarkan pertimbangan menteri teknis terkait
paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah diterimanya usulan pertimbangan
dari menteri teknis.
491
(3) Ketetapan Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi
dasar penghitungan DBH sumber daya alam oleh menteri teknis.
(4) Ketetapan menteri teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
kepada Menteri Keuangan.
(5) Menteri Keuangan menetapkan perkiraan alokasi DBH Sumber Daya Alam untuk
masing-masing daerah paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya
ketetapan dari menteri teknis.
(6) Perkiraan alokasi DBH Sumber Daya Alam Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi
untuk masing-masing Daerah ditetapkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari
setelah menerima ketetapan dari menteri teknis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), perkiraan bagian Pemerintah, dan perkiraan unsur-unsur
pengurang lainnya.
Paragraf Kedelapan
Penghitungan Realisasi Produksi DBH SDA
Pasal 28
(1) Penghitungan realisasi DBH sumber daya alam dilakukan secara triwulanan
melalui mekanisme rekonsiliasi data antara pemerintah pusat dan daerah
penghasil kecuali untuk DBH sumber daya alam Perikanan.
(2) Dalam hal realisasi DBH sumber daya alam berasal dari penerimaan pertambangan
minyak bumi dan/atau gas bumi perhitungannya didasarkan atas realisasi lifting
minyak bumi dan/atau gas bumi dari departemen teknis.
Paragraf Kesembilan
Penyaluran DBH Sumber Daya Alam
Pasal 29
(1) Penyaluran DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilaksanakan berdasarkan
realisasi penerimaan sumber daya alam tahun anggaran berjalan.
(2) Penyaluran DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilaksanakan secara
triwulanan.
Pasal 30
Penyaluran DBH Sumber Daya Alam dilaksanakan dengan cara pemindahbukuan
dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah.
492
Pasal 31
(1) Penyaluran DBH Pertambangan Minyak Bumi dan Pertambangan Gas Bumi ke
daerah dilakukan dengan menggunakan asumsi dasar harga minyak bumi tidak
melebihi 130% (seratus tiga puluh persen) dari penetapan dalam APBN tahun
berjalan.
(2) Dalam hal asumsi dasar harga minyak bumi yang ditetapkan dalam APBN
Perubahan melebihi 130% (seratus tiga puluh persen), selisih penerimaan
negara dari minyak bumi dan gas bumi sebagai dampak dari kelebihan dimaksud
dialokasikan dengan menggunakan formula DAU.
(3) Ketentuan mengenai tata cara penghitungan selisih penerimaan negara dari
minyak bumi dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Bagian Keempat
Pemantauan dan Evaluasi
Pasal 32
Menteri Keuangan melakukan pemantauan dan evaluasi atas penggunaan
anggaran pendidikan dasar yang berasal dari DBH Minyak Bumi dan Gas Bumi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.
Pasal 33
(1) Menteri teknis melakukan pemantauan dan evaluasi teknis pelaksanaan kegiatan
yang didanai dari DBH DR.
(2) Menteri Keuangan melakukan pemantauan dan evaluasi atas penggunaan
anggaran rehabilitasi hutan dan lahan yang berasal dari DBH DR.
Pasal 34
(1) Apabila hasil pemantauan dan evaluasi mengindikasikan adanya penyimpangan
pelaksanaan Pasal 16 ayat (5) dan Pasal 25, Menteri Keuangan meminta aparat
pengawasan fungsional untuk melakukan pemeriksaan.
(2) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijadikan sebagai
bahan pertimbangan dalam pengalokasian DBH sebagaimana dimaksud dalam
dalam Pasal 21 ayat (3), Pasal 22 ayat (3), Pasal 23 ayat (3), dan Pasal 24 ayat
(3) untuk tahun anggaran berikutnya.
493
Pasal 35
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghitungan, tata cara penyesuaian
rencana alokasi dengan realisasi DBH Sumber Daya Alam, tata cara penyaluran,
pedoman umum, petunjuk teknis pelaksanaan DBH, pemantauan dan evaluasi, dan
tata cara pemotongan atas sanksi administrasi DBH diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
Pasal 36
DPOD memberikan pertimbangan atas rancangan kebijakan DBH kepada Presiden
sebelum penyampaian Nota Keuangan dan RAPBN tahun anggaran berikutnya.
BAB III
DANA ALOKASI UMUM
Bagian Pertama
Umum
Pasal 37
(1) DAU dialokasikan untuk:
a.
provinsi; dan
b.
kabupaten/kota.
(2) Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam
persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto.
(3) Proporsi DAU antara provinsi dan kabupaten/kota dihitung dari perbandingan
antara bobot urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan
kabupaten/kota.
(4) Dalam hal penentuan proporsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum dapat
dihitung secara kuantitatif, proporsi DAU antara provinsi dan kabupaten/
kota ditetapkan dengan imbangan 10% (sepuluh persen) dan 90% (sembilan
puluh persen).
(5) Jumlah keseluruhan DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dalam APBN.
494
Bagian Kedua
Mekanisme Pengalokasian
Paragraf Pertama
Penghitungan
Pasal 38
DPOD memberikan pertimbangan atas rancangan kebijakan formula dan
perhitungan DAU kepada Presiden sebelum penyampaian Nota Keuangan dan
RAPBN tahun anggaran berikutnya.
Pasal 39
(1) MenteriKeuangan melakukan perumusan formula dan penghitungan alokasi
DAU dengan memperhatikan pertimbangan DPOD sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38.
(2) Menteri Keuangan menyampaikan formula dan perhitungan DAU sebagai
bahan penyusunan RAPBN.
Pasal 40
(1) DAU untuk suatu daerah dialokasikan berdasarkan formula yang terdiri atas
celah fiskal dan alokasi dasar.
(2) Celah fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan selisih antara
kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal.
(3) Kebutuhan fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diukur dengan
menggunakan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan
Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan
Manusia.
(4) Kapasitas fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diukur berdasarkan
Pendapatan Asli Daerah dan DBH.
(5) Alokasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan
jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah.
Pasal 41
(1) Data yang digunakan dalam penghitungan DAU diperoleh dari lembaga statistik
Pemerintah dan/atau lembaga Pemerintah yang berwenang menerbitkan data
yang dapat dipertanggungjawabkan.
(2) Dalam hal data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tersedia, data
yang digunakan adalah data dasar penghitungan DAU tahun sebelumnya.
495
Pasal 42
(1) DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu provinsi dihitung berdasarkan perkalian
bobot provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh provinsi.
(2) Bobot provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perbandingan
antara celah fiskal provinsi yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh
provinsi.
Pasal 43
(1) DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu kabupaten/kota dihitung berdasarkan
perkalian bobot kabupaten/kota yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh
kabupaten/kota.
(2) Bobot kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
perbandingan antara celah fiskal kabupaten/kota yang bersangkutan dan total
celah fiskal seluruh kabupaten/kota.
Pasal 44
(1) Kebutuhan fiskal daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2)
dihitung berdasarkan perkalian antara total belanja daerah rata-rata dengan
penjumlahan dari perkalian masing-masing bobot variabel dengan indeks
jumlah penduduk, indeks luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Indeks
Pembangunan Manusia, dan indeks Produk Domestik Regional Bruto per kapita.
(2) Kapasitas fiskal daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) merupakan
penjumlahan dari Pendapatan Asli Daerah dan DBH.
Pasal 45
(1) Daerah yang memiliki nilai celah fiskal lebih besar dari 0 (nol), menerima
DAU sebesar alokasi dasar ditambah celah fiskal.
(2) Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan 0 (nol), menerima
DAU sebesar alokasi dasar.
(3) Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut
lebih kecil dari alokasi dasar, menerima DAU sebesar alokasi dasar setelah
diperhitungkan nilai celah fiskal.
(4) Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut
sama atau lebih besar dari alokasi dasar, tidak menerima DAU.
496
Pasal 46
(1) DAU untuk suatu daerah otonom baru dialokasikan setelah undang- undang
pembentukan disahkan.
(2) Penghitungan DAU untuk daerah otonom baru dilakukan setelah tersedia
data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40.
(3) Dalam hal data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tersedia, penghitungan
DAU dilakukan dengan membagi secara proporsional dengan daerah induk.
(4) Penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan data jumlah
penduduk, luas wilayah, dan belanja pegawai.
Pasal 47
(1) Kelebihan penerimaan negara dari minyak bumi dan gas bumi yang ditetapkan
dalam APBN Perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2)
dialokasikan sebagai DAU tambahan.
(2) DAU tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan kepada
daerah berdasarkan formula DAU atas dasar celah fiskal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2).
Paragraf Kedua
Penetapan Alokasi
Pasal 48
(1) Alokasi DAU per daerah ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
(2) Alokasi DAU tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ditetapkan dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
Paragraf Ketiga
Penyaluran
Pasal 49
(1) DAU disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara
ke Rekening Kas Umum Daerah.
(2) Penyaluran DAU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dilaksanakan setiap
bulan masing-masing sebesar 1/12 (satu per duabelas) dari alokasi DAU daerah
yang bersangkutan.
497
(3) Tata cara penyaluran DAU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, Pasal 46
ayat (2), dan Pasal 47 ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
BAB IV
DANA ALOKASI KHUSUS
Bagian Pertama
Umum
Pasal 50
(1) Besaran DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN.
(2) DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dalam APBN sesuai
dengan program yang menjadi prioritas nasional.
Pasal 51
(1) DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang
merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas nasional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) yang menjadi urusan daerah.
(2) Daerah Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah daerah yang
dapat memperoleh alokasi DAK berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus,
dan kriteria teknis.
Bagian Kedua
Mekanisme Pengalokasian DAK
Paragraf Pertama
Penetapan Program dan Kegiatan
Pasal 52
(1) Program yang menjadi prioritas nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
50 ayat (2) dan Pasal 51 ayat (1) dimuat dalam Rencana Kerja Pemerintah tahun
anggaran bersangkutan.
(2) Menteri teknis mengusulkan kegiatan khusus yang akan didanai dari DAK dan
ditetapkan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri, Menteri
Keuangan, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, sesuai
dengan Rencana Kerja Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
498
(3) Menteri teknis menyampaikan ketetapan tentang kegiatan khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri Keuangan.
Paragraf Kedua
Penghitungan DAK
Pasal 53
Setelah menerima usulan kegiatan khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 ayat (3) Menteri Keuangan melakukan penghitungan alokasi DAK.
Pasal 54
(1) Penghitungan alokasi DAK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dilakukan
melalui 2 (dua) tahapan, yaitu:
a
Penentuan daerah tertentu yang menerima DAK; dan
b
Penentuan besaran alokasi DAK masing-masing daerah.
(2) Penentuan Daerah Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus
memenuhi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis.
(3) Besaran alokasi DAK masing-masing daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b ditentukan dengan perhitungan indeks berdasarkan kriteria
umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis.
Pasal 55
(1) Kriteria umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dirumuskan berdasarkan
kemampuan keuangan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD
setelah dikurangi belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah.
(2) Kemampuan keuangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
melalui indeks fiskal netto.
(3) Daerah yang memenuhi krietria umum merupakan daerah dengan indeks fiskal
netto tertentu yang ditetapkan setiap tahun.
Pasal 56
(1) Kriteria khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dirumuskan ber­
dasarkan:
a. Peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan otonomi
khusus; dan
b.
Karakteristik daerah.
499
(2) Kriteria khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dirumuskan melalui indeks
kewilayahan oleh Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan masukan dari
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional dan menteri/pimpinan
lembaga terkait.
Pasal 57
(1) Kriteria teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 disusun berdasarkan
indikator-indikator kegiatan khusus yang akan didanai dari DAK.
(2) Kriteria teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dirumuskan melalui
indeks teknis oleh menteri teknis terkait.
(3) Menteri teknis menyampaikan kriteria teknis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) kepada Menteri Keuangan.
Paragraf Ketiga
Penetapan Alokasi dan Penggunaan DAK
Pasal 58
Alokasi DAK per daerah ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 59
(1) Berdasarkan penetapan alokasi DAK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58,
menteri teknis menyusun Petunjuk Teknis Penggunaan DAK.
(2) Petunjuk Teknis Penggunaan DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri.
Bagian Ketiga
Penganggaran di Daerah
Pasal 60
(1) Daerah penerima DAK wajib mencantumkan alokasi dan penggunaan DAK di
dalam APBD.
(2) Penggunaan DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
Petunjuk Teknis Penggunaan DAK.
(3) DAK tidak dapat digunakan untuk mendanai administrasi kegiatan, penyiapan
kegiatan fisik, penelitian, pelatihan, dan perjalanan dinas.
500
Pasal 61
(1) Daerah penerima DAK wajib menganggarkan Dana Pendamping dalam APBD
sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) dari besaran alokasi DAK yang
diterimanya.
(2) Dana Pendamping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk
mendanai kegiatan yang bersifat kegiatan fisik.
(3) Daerah dengan kemampuan keuangan tertentu tidak diwajibkan menganggarkan
Dana Pendamping.
Bagian Keempat
Penyaluran DAK
Pasal 62
DAK disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara
ke Rekening Kas Umum Daerah.
Bagian Kelima
Pelaporan
Pasal 63
(1) Kepala daerah menyampaikan laporan triwulan yang memuat laporan pelaksanaan
kegiatan dan penggunaan DAK kepada :
a. Menteri Keuangan;
b. Menteri teknis; dan
c. Menteri Dalam Negeri.
(2) Penyampaian laporan triwulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah triwulan yang
bersangkutan berakhir.
(3) Penyaluran DAK dapat ditunda apabila Daerah tidak menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
(4) Menteri teknis menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan DAK setiap
akhir tahun anggaran kepada Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan dan
Pembangunan Nasional, dan Menteri Dalam Negeri.
501
Bagian Keenam
Pemantauan dan Evaluasi
Pasal 64
(1) Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional bersama-sama dengan Menteri
Teknis melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pemanfaatan dan teknis
pelaksanaan kegiatan yang didanai dari DAK.
(2) Menteri Keuangan melakukan pemantauan dan evaluasi pengelolaan keuangan
DAK.
Pasal 65
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan program dan kegiatan,
penyaluran, dan pelaporan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
BAB V
PENGAWASAN
Pasal 66
Pengawasan atas pelaksanaan Dana Perimbangan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 67
(1) Pelaksanaan tambahan Dana Bagi Hasil dari pertambangan minyak bumi dan
gas bumi sebesar 0,5% (setengah persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 dan Pasal 24 dilaksanakan mulai Tahun Anggaran 2009.
(2) Pelaksanaan Dana Bagi Hasil dari pertambangan minyak dan gas bumi yang
melebihi 130% (seratus tiga puluh persen) dari asumsi dasar harga minyak dan
gas bumi dalam APBN tahun berjalan dilaksanakan mulai tahun anggaran
2009.
(3) Sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini sampai dengan Tahun Anggaran
2008 penerimaan pertambangan minyak bumi yang dihasilkan dari wilayah
daerah yang bersangkutansetelah dikurangi komponen pajak dan pungutan
lainnya, dibagi dengan imbangan:
a.
85% (delapan puluh lima persen) untuk Pemerintah; dan
502
b.
15% (lima belas persen) untuk daerah.
(4) Sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini sampai dengan Tahun Anggaran 2008
penerimaan pertambangan gas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang
bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya,
dibagi dengan imbangan:
a. 70% (tujuh puluh persen) untuk Pemerintah; dan
b.
30% (tiga puluh persen) untuk daerah.
Pasal 68
DBH Pertambangan Panas Bumi yang bersumber dari penerimaan kontrak
pengusahaan panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b yang
ditandatangani sesudah berlakunya Undang- Undang Nomor 27 tahun 2003 tentang
Panas Bumi, berasal dari Iuran Tetap dan Iuran Produksi.
Pasal 69
(1) Sejak berlakunya peraturan pemerintah ini sampai dengan Tahun Anggaran 2007
jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25,5% (dua puluh lima
setengah persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam
APBN.
(2) Ketentuan mengenai alokasi DAU sebagaimana diatur dalam peraturan
pemerintah ini dilaksanakan sepenuhnya mulai Tahun Anggaran 2008
Pasal 70
Sebelum ditetapkannya Rekening Kas Umum Negara dan Rekening Kas Umum
Daerah, penyaluran Dana Perimbangan dilakukan melalui Rekening Bendaharawan
Umum Negara/Kas Negara ke Rekening Kas Daerah.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 71
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka:
1.
Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2000 tentang Pembagian
Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, selama tidak diatur dalam peraturan pemerintah ini dinyatakan tetap
berlaku.
503
2.
Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2001
dinyatakan tidak berlaku.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 115 Tahun 2000 tentang Pembagian Hasil
Penerimaan Pajak Penghasilan OPDN dan PPh Pasal 21 antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah dinyatakan tidak berlaku.
4. Ketentuan yang terkait dengan Dana Perimbangan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam dan Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus Provinsi Papua dinyatakan tetap berlaku selama tidak diatur lain.
Pasal 72
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Desember 2005
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Desember 2005
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA AD INTERM,
ttd.
YUSRIL IHZA MAHENDRA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 137
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 55 TAHUN 2005
TENTANG
DANA PERIMBANGAN
UMUM
Dalam rangka menciptakan suatu sistem perimbangan keuangan yang
proporsional, demokratis, adil, dan transparan berdasarkan atas pembagian
kewenangan pemerintahan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah,
maka
telah diundangkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang
merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Penyempurnaan dari
Undang-Undang tersebut antara lain penegasan prinsip-prinsip dasar perimbangan
keuangan Pemerintah dan Pemerintahan Daerah sesuai asas Desentralisasi,
Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan, penambahan jenis Dana Bagi
Hasil dari sektor Pertambangan Panas Bumi, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21, pengelompokan Dana
Reboisasi yang semula termasuk dalam komponen Dana Alokasi Khusus menjadi
Dana Bagi Hasil, penyempurnaan prinsip pengalokasian Dana Alokasi Umum, dan
penyempurnaan prinsip pengalokasian Dana Alokasi Khusus.
Dana Perimbangan bertujuan untuk menciptakan keseimbangan keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan antara Pemerintahan Daerah. Dana
Perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil dari penerimaan pajak dan SDA, Dana
Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus merupakan sumber pendanaan bagi daerah
dalam pelaksanaan desentralisasi, yang alokasinya tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lain mengingat tujuan masing-masing jenis penerimaan tersebut
saling mengisi dan melengkapi.
505
506
Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari APBN yang dibagihasilkan
kepada Daerah berdasarkan angka persentase tertentu dengan memperhatikan
potensi daerah penghasil.
Dana Alokasi Umum bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan
antardaerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan
belanja pegawai, kebutuhan fiskal, dan potensi daerah.
Kebutuhan daerah dicerminkan dari luas daerah, keadaan geografis, jumlah
penduduk, tingkat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di daerah, dan tingkat
pendapatan masyarakat di daerah. Sedangkan kapasitas fiskal dicerminkan dari
Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil Pajak, dan Sumber Daya Alam.
Dana Alokasi Khusus dimaksudkan untuk mendanai kegiatan khusus yang
menjadi urusan daerah dan merupakan prioritas nasional, sesuai dengan fungsi
yang merupakan perwujudan tugas kepemerintahan di bidang tertentu,
khususnya dalam
dasar masyarakat.
upaya pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan
Melalui penyempurnaan prinsip-prinsip, mekanisme, dan penambahan
persentase beberapa komponen dana perimbangan diharapkan daerah dapat
meningkatkan fungsi pemerintahan daerah sebagai ujung tombak dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat.
PASAL DEMI PASAL.
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
507
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
DBH dimaksud bersumber dari penerimaan PPh WPOPDN dan PPh Pasal
21 berdasarkan daerah tempat Wajib Pajak terdaftar.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Huruf b
Alokasi definitif yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan merupakan
koreksi atas ketetapan alokasi sementara, sebagai dasar untuk penyaluran
triwulan keempat tahun anggaran berjalan.
Ayat (2)
Alokasi sementara sebagai dasar penyaluran triwulan pertama, triwulan
kedua, dan triwulan ketiga tahun anggaran berjalan.
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
508
Pasal 13
Ayat (1)
Ayat (2)
Penyaluran DBH PBB dan BPHTB dilaksanakan secara mingguan yaitu
setiap hari rabu dan jumat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kelebihan penyaluran dapat terjadi dalam hal jumlah alokasi sementara yang
menjadi dasar penyaluran dari triwulan I (pertama) sampai dengan triwulan
III (ketiga) lebih besar dari alokasi definitif. Kelebihan penyaluran dimaksud
harus diperhitungkan dalam penyaluran tahun anggaran berikutnya.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Yang dimaksud dengan berasal dari Wilayah provinsi adalah penerimaan
pertambangan umum yang bersumber dari wilayah 4-12 mil laut berdasarkan
kewenangan pengelolaan sumber daya di wilayah laut.
509
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Yang dimaksud dengan pungutan lain adalah
dengan peraturan perundangan yang berlaku.
pungutan
yang
sesuai
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Setoran Bagian Pemerintah adalah penerimaan negara dari pengusaha
panas bumi atas dasar kontrak pengusahaan panas bumi yang
ditandatangani sebelum Undang-undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang
Panas Bumi ditetapkan, setelah dikurangi dengan kewajiban perpajakan
dan pungutan-pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundanganundangan.
Huruf b
Iuran Tetap adalah iuran yang dibayarkan kepada negara sebagai imbalan
atas kesempatan eksplorasi, studi kelayakan, dan eksploitasi pada suatu
wilayah kerja.
Iuran Produksi adalah iuran yang dibayarkan kepada negara atas
hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan panas bumi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
510
Pasal 27
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan unsur-unsur pengurang lainnya antara lain Pajak
Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Minyak Bumi dan
Gas Bumi, dan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan lifting yaitu jumlah produksi minyak bumi dan/atau
gas bumi yang dijual.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
511
Pasal 34
Pemantauan atas tambahan DBH Minyak Bumi dan Gas Bumi untuk anggaran
pendidikan dasar ini menyangkut apakah penggunaannya sesuai dengan
peruntukannya. Apabila tidak sesuai penggunannya akan dikenakan sanksi
administrasi berupa pemotongan penyaluran DBH Minyak Bumi dan Gas Bumi.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Daerah kabupaten/kota yang ada di wilayah Provinsi DKI Jakarta tidak
menerima DAU karena otonomi Provinsi DKI Jakarta diletakkan pada lingkup
provinsi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
DAU sebagaimana dimaksud dalam ayat ini merupakan jumlah DAU untuk
seluruh provinsi dan kabupaten/kota.
Yang dimaksud dengan Pendapatan Dalam Negeri Neto adalah pendapatan
dalam negeri setelah dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan
kepada daerah.
Ayat (3)
Ayat (4
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (5)
Jumlah keseluruhan DAU dalam APBN setiap tahunnya bersifat final.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
512
Pasal 40
Ayat (1)
Alokasi DAU untuk daerah dihitung dengan menggunakan formula:
DAU = CF + AD dimana,
CF
= Celah Fiskal
AD
= Alokasi Dasar
CF = Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal
Luas wilayah sebagaimana dimaksud dalam ayat ini adalah luas wilayah
daratan.
Ayat (4)
Ayat (3)
DAU = Dana Alokasi Umum
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah meliputi gaji pokok, tunjangan keluarga,
dan tunjangan jabatan sesuai dengan peraturan penggajian Pegawai
Negeri Sipil termasuk di dalamnya tunjangan beras dan tunjangan Pajak
Penghasilan (PPh Pasal 21).
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
DAU Provinsii = Bobot Provinsii X DAU Provinsi
Ayat (2)
Bobot Provinsii =
CF Provinsii
Σ CF Provinsi
dimana,
CF Provinsii = celah fiskal suatu daerah provinsi
∑CF Provinsi = total celah fiskal seluruh provinsi
513
Pasal 43
Ayat (1)
DAU Kab/Kotai = Bobot Kab/Kotai X DAU Kab/Kota
Ayat (2)
CF Kab/Kotai
Bobot Kab/Kotai =
Σ CF Kab/Kota
dimana,
CF Kab/Kotai = celah fiskal suatu daerah Kab/Kota
∑CF Kab/Kota = total celah fiskal seluruh Kab/Kota
Pasal 44
Ayat (1)
Kebutuhan fiskal dihitung dengan menggunakan rumus:
Total Belanja Daerah Rata-rata X
α1
α2
α3
α4
α5
indeks jumlah penduduk +
indeks luas wilayah +
indeks kemahalan konstruksi +
indeks pembangunan manusia +
indeks PDRB per kapita
α1, α2, α3, α4, . . .
α1, α2, α3, α4, dan α5 merupakan bobot masing-masing indeks yang
ditentukan berdasarkan hasil uji statistik.
Kedua parameter dimaksud dipergunakan sebagai indikator untuk mengukur
tingkat kesenjangan kemampuan keuangan antar daerah dalam rangka
pendanaan pelaksanaan Desentralisasi. Semakin kecil nilai indeks, semakin
baik tingkat pemerataan kemampuan keuangan antardaerah.
Total Belanja Belanja Pegawai + Belanja Barang+ Belanja Modal
=
Daerah Rata-Rata Jumlah provinsi atau kabupaten/kota
Dalam penghitungan Total Belanja Daerah Rata-rata tidak dimasukkan
data belanja daerah yang jauh di atas dan/atau di bawah rata-rata
(outlier), agar lebih mencerminkan tingkat kewajaran total belanja ratarata daerah.
514
Indeks jumlah penduduk dihitung dengan rumus:
Indeks jumlah
=
penduduk daerahi
Indeks luas wilayah dihitung dengan rumus:
Indeks luas wilayah
=
daerahi
Luas wilayah daerahi
Rata-rata luas wilayah secara Nasional
Indeks kemahalan konstruksi dihitung dengan rumus:
Indeks kemahalan
Indeks kemahalan konstruksi daerahi
=
kons. daerahi
Rata-rata kemahalan kons. secara Nasional
Indeks pembangunan manusia dihitung dengan rumus:
Indeks pemb. =
manusia daerahi
Indeks IPM daerahi
Rata-rata IPM secara Nasional
Indeks PDRB per kapita dihitung dengan rumus:
Indeks PDRB
=
per kapita daerahi
Jml penduduk daerahi
Rata-rata jml penduduk secara Nasional
PDRB per kapita daerahi
Rata-rata PDRB per kapita Nasional
Ayat (2)
Cara penghitungan kapasitas fiskal:
Kapasitas Fiskal
Pasal 45
=
Pendapatan Asli daerah + Dana Bagi Hasil
515
Ayat (1)
Kebutuhan Fiskal = Rp150 miliar
Kapasitas Fiskal = Rp100 miliar
Alokasi Dasar
= Rp50 miliar
Celah Fiskal
= Kebutuhan Fiskal — Kapasitas Fiskal
= Rp150 miliar — Rp100 miliar = 50 miliar
DAU
= Alokasi Dasar + Celah Fiskal
Total DAU
= Rp5 0miliar + Rp50 miliar
= Rp100 miliar
Ayat (2)
Contoh perhitungan: Kebutuhan Fiskal sama dengan Kapasitas Fiskal
Kebutuhan Fiskal= Rp100 miliar
Kapasitas Fiskal = Rp100 miliar
Alokasi Dasar
= Rp50 miliar
Celah Fiskal
= Kebutuhan Fiskal — Kapasitas Fiskal
= Rp100 miliar — Rp100 miliar = 0
DAU
= Alokasi Dasar + Celah Fiskal
Total DAU
= Rp50 miliar + Rp0 miliar
= Rp50 miliar
Ayat (3)
Dalam hal celah fiskal negatif maka jumlah DAU yang diterima Daerah
adalah sebesar Alokasi Dasar setelah diperhitungkan dengan celah fiskalnya.
Contoh perhitungan:
Kebutuhan Fiskal = Rp100miliar
Kapasitas Fiskal = Rp125miliar
Alokasi Dasar
= Rp50 miliar
Celah Fiskal
= Kebutuhan Fiskal — Kapasitas Fiskal
= Rp100 miliar — Rp125 miliar
= Rp-25 miliar (negatif)
DAU
= Alokasi Dasar + Celah Fiskal
Total DAU
= Rp50 miliar + (— Rp25 miliar)
Ayat (4)
= Rp25 miliar
516
Contoh perhitungan: Celah Fiskal (negatif) melebihi Alokasi Dasar
Kebutuhan Fiskal= Rp100 miliar
Kapasitas Fiskal = Rp175 miliar
Alokasi Dasar
= Rp50 miliar
Celah Fiskal
= Kebutuhan Fiskal — Kapasitas Fiskal
= Rp100 miliar — Rp175miliar
= —Rp75 miliar (negatif)
DAU
= Alokasi Dasar + Celah Fiskal
Total DAU
= Rp50 miliar + (—Rp75miliar)
= —Rp25 miliar atau disesuaikan menjadi Rp0 (nol)
Apabila dalam proses pengalokasian DAU ada daerah yang CF-nya negatif
dan nilai negatif tersebut lebih besar dari AD, dilakukan penyesuaian
sehingga daerah tersebut akan menerima DAU sama dengan nol atau tidak
mendapatkan DAU. Dengan penyesuaian tersebut, maka total DAU
yang dialokasikan secara nasional akan melebihi pagu yang ditetapkan.
Untuk menyamakan dengan pagunya, selisih tersebut akan dkurangkan
secara proporsional terhadap DAU yang sudah dialokasikan ke daerah.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengalokasian DAU tambahan menggunakan formula DAU dan data
penghitungan DAU tahun anggaran berjalan.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup Jelas
517
Pasal 51
Ayat (1)
Ayat (2)
Kegiatan khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah mengutamakan kegiatan
pembangunan dan/atau pengadaan dan/atau peningkatan dan/atau
perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat dengan
umur ekonomis yang panjang, termasuk pengadaan sarana fisik penunjang.
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Ayat (2)
Rencana Kerja Pemerintah merupakan hasil Musyawarah Perencanaan
Pembangunan Nasional yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
Penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional tersebut
diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara pemerintah (Menteri, Gubernur dan
Bupati/Walikota).
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Ayat (1)
Kemampuan
=
keuangan daerah Penerimaan
umum APBD
Penerimaan umum APBD
=
—
Belanja PNSD
PAD + DAU + (DBH — DBHDR)
518
Ayat (2)
Indeks fiskal netto dirumuskan:
FN i= (PUi, t-2 — BP i, t-2)
i
IFNi
FNi
N
=
=
=
=
PUi, t-2
= Penerimaan Umum (PAD+(DBH-DBH DR)+DAU) daerah i, pada
waktu t-2
BPi, t-2
= Belanja Pegawai (Gaji PNSD) daerah i, pada waktu t-2
1, 2, …, N
Indeks Fiskal Netto daerah i
Fiskal Netto daerah i
Jumlah Daerah
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Huruf a
Misalnya UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua
dan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.
Huruf b
Contoh karakteristik daerah antara lain adalah daerah pesisir dan
kepulauan, daerah perbatasan darat dengan negara lain, daerah
tertinggal/terpencil, daerah yang termasuk rawan banjir dan longsor,
serta daerah yang termasuk daerah ketahanan pangan.
Ayat (2)
Indeks kewilayahan dirumuskan:
N
= jumlah daerah
IKWi = Indeks Kharakeristik wilayah daerah i
519
X1
X2
= daerah perbatasan
= daerah pesisir dan kepulauan
Kriteria khusus ini ditetapkan setiap tahun oleh pemerintah sesuai dengan
kebijakan pembangunan nasional pada tahun anggaran bersangkutan.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Peraturan Menteri Keuangan mengenai alokasi DAK per daerah ditetapkan paling
lambat 2 (dua) minggu setelah UU APBN ditetapkan.
Pasal 59
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Petunjuk Teknis Penggunaan DAK ditetapkan paling lambat 2 (dua) minggu
setelah penetapan alokasi DAK oleh Menteri Keuangan.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Ayat (2)
Kewajiban penyediaan Dana Pendamping menunjukkan komitmen daerah
terhadap bidang kegiatan yang didanai dari DAK yang merupakan kewenangan
daerah.
Yang dimaksud kegiatan fisik adalah kegiatan diluar kegiatan administrasi
proyek, kegiatan penyiapan proyek fisik, kegiatan penelitian, kegiatan
pelatihan, kegiatan perjalanan pegawai daerah, dan kegiatan umum lain
yang sejenis.
Ayat (3)
Yang dimaksud daerah dengan kemampuan keuangan tertentu adalah daerah
yang selisih antara penerimaan umum APBD dan Belanja Pegawainya sama
dengan 0 (nol) atau negatif.
520
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Format laporan diatur lebih lanjut oleh menteri terkait.
Mekanisme penundaan penyaluran DAK diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Menteri Keuangan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Formula DAU digunakan mulai tahun anggaran 2006, tetapi sampai dengan
tahun anggaran 2007 alokasi DAU yang diberlakukan untuk masing-masing
daerah ditetapkan tidak lebih kecil dari tahun anggaran 2005.
521
Sampai dengan tahun anggaran 2007 apabila DAU untuk provinsi tertentu
lebih kecil dari tahun anggaran 2005, kepada provinsi yang bersangkutan
dialokasikan Dana Penyesuaian yang besarnya sesuai dengan kemampuan
dan perekonomian negara.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4575
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2005
TENTANG
STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 32 ayat (2) Undang- Undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Standar Akuntansi Pemerintahan;
Mengingat : 1.
Pasal 5 ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4286);
3. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4355);
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4437);
5. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438).
523
524
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN
PEMERINTAH
PEMERINTAHAN.
TENTANG
STANDAR
AKUNTANSI
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Pemerintah adalah pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah.
2. Akuntansi adalah proses pencatatan, pengukuran, pengklasifikasian, peng­
ikhtisaran transaksi dan kejadian keuangan, penginterpretasian atas hasilnya,
serta penyajian laporan.
3. Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan adalah prinsip- prinsip yang
mendasari penyusunan dan pengembangan Standar Akuntansi Pemerintahan
bagi Komite Standar Akuntansi Pemerintahan dan merupakan rujukan penting
bagi Komite Standar Akuntansi Pemerintahan, penyusun laporan keuangan, dan
pemeriksa dalam mencari pemecahan atas sesuatu masalah yang belum diatur
secara jelas dalam Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan.
4.
Standar Akuntansi Pemerintahan, selanjutnya disebut SAP, adalah prinsip-prinsip
akuntansi yang diterapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan
pemerintah.
5.
Sistem Akuntansi Pemerintahan adalah serangkaian prosedur manual maupun
yang terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran
dan pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan pemerintah.
6.
Komite Standar Akuntansi Pemerintahan, selanjutnya disebut KSAP, adalah
komite sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara yang berfungsi menyusun dan mengembangkan SAP.
7.
Interpretasi Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan, selanjutnya disebut
IPSAP, adalah klarifikasi, penjelasan dan uraian lebih lanjut atas pernyataan
SAP yang diterbitkan oleh KSAP.
8.
Buletin Teknis adalah informasi yang diterbitkan oleh KSAP yang memberikan
arahan/pedoman secara tepat waktu untuk mengatasi masalah-masalah
akuntansi maupun pelaporan keuangan yang timbul.
9.
Pengantar Standar Akuntansi Pemerintahan adalah uraian yang memuat latar
belakang penyusunan SAP.
525
Pasal 2
(1) SAP dinyatakan dalam bentuk Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan,
yang selanjutnya disebut PSAP.
(2) SAP dilengkapi dengan Pengantar Standar Akuntansi Pemerintahan.
(3) PSAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dan dikembangkan oleh KSAP
dengan mengacu kepada Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan.
(4) Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan dikembangkan oleh KSAP.
(5) Pengantar Standar Akuntansi Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) adalah sebagaimana ditetapkan dalam lampiran I.
(6) Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) adalah sebagaimana ditetapkan dalam lampiran II.
Pasal 3
(1) PSAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat dilengkapi dengan
IPSAP dan/atau Buletin Teknis.
(2) IPSAP dan Buletin Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dan
ditetapkan oleh KSAP dan diberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan.
(3) IPSAP dan Buletin Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari SAP.
Pasal 4
PSAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terdiri dari:
1.
PSAP Nomor 01 tentang Penyajian Laporan Keuangan, adalah sebagaimana
ditetapkan dalam lampiran III;
2.
PSAP Nomor 02 tentang Laporan Realisasi Anggaran, adalah sebagaimana
ditetapkan dalam lampiran IV;
3.
PSAP Nomor 03 tentang Laporan Arus Kas, adalah sebagaimana ditetapkan dalam
lampiran V;
4.
PSAP Nomor 04 tentang Catatan atas Laporan Keuangan, adalah sebagaimana
ditetapkan dalam lampiran VI;
5.
PSAP Nomor 05 tentang Akuntansi Persediaan, adalah sebagaimana ditetapkan
dalam lampiran VII;
6.
PSAP Nomor 06 tentang Akuntansi Investasi, adalah sebagaimana ditetapkan
dalam lampiran VIII;
526
7.
PSAP Nomor 07 tentang Akuntansi Aset Tetap, adalah sebagaimana ditetapkan
dalam lampiran IX;
8.
PSAP Nomor 08 tentang Akuntansi Konstruksi Dalam Pengerjaan, adalah
sebagaimana ditetapkan dalam lampiran X;
9.
PSAP Nomor 09 tentang Akuntansi Kewajiban, adalah sebagaimana ditetapkan
dalam lampiran XI;
10. PSAP Nomor 10 tentang Koreksi Kesalahan, Perubahan Kebijakan Akuntansi, dan
Peristiwa LuarBiasa,adalah sebagaimana ditetapkan dalam lampiran XII; dan
11. PSAP Nomor 11 tentang Laporan Keuangan Konsolidasian, adalah sebagaimana
ditetapkan dalam lampiran XIII.
Pasal 5
Pengantar Standar Akuntansi Pemerintahan dan Kerangka Konseptual Akuntansi
Pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 serta PSAP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 dan tercantum dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini, merupakan
satu kesatuan serta bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 6
(1)
Pemerintah menyusun sistem akuntansi pemerintahan yang mengacu pada
SAP.
(2)
Sistem akuntansi pemerintahan pada tingkat pemerintah pusat diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
(3) Sistem akuntansi pemerintahan pada tingkat pemerintah daerah diatur dengan
peraturan gubernur/bupati/walikota, mengacu pada Peraturan Daerah tentang
pengelolaan keuangan daerah yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah.
Pasal 7
Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan
akuntansi pemerintahan sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan
Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku.
Pasal 8
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada saat ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
527
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Juni 2005
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Juni 2005
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 49
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2005
TENTANG
STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN
UMUM
Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 32 ayat (2) yang menyatakan bahwa
standar akuntansi pemerintahan disusun oleh suatu komite standar yang independen
dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah terlebih dahulu mendapat
pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan.
Standar akuntansi pemerintahan dimaksud dibutuhkan dalam rangka penyusunan
laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD berupa laporan keuangan
yang setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus
Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan.
Peraturan Pemerintah ini juga merupakan pelaksanaan Pasal 184 ayat (1)
dan (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang
menyatakan bahwa laporan keuangan pemerintah daerah disusun dan disajikan
sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
529
530
Pasal 3
Ayat (1)
IPSAP dimaksudkan untuk menjelaskan lebih lanjut topik tertentu guna
menghindari salah tafsir pengguna PSAP.
Buletin Teknis merupakan arahan/pedoman untuk penerapan PSAP
maupun IPSAP.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 2005 NOMOR 4503
Download