xlvii Data hasil isolasi dan seleksi bakteri proteolitik

advertisement
Data hasil isolasi dan seleksi bakteri proteolitik, data aktivitas enzim
protease, kerapatan optis dan uji derajat hidrolisis pakan dianalisis secara
deskriptif. Data hasil uji pertumbuhan dan kecernaan pakan dianalisis secara
statistika dengan Anova dan uji Duncan dengan selang kepercayaan 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi dan Seleksi Bakteri Proteolitik
Isolasi Bakteri Proteolitik
Ikan lele yang digunakan untuk isolasi bakteri berasal dari petani lele di
daerah Cibalagung Bogor, sebanyak 4 ekor. Saluran pencernaan yang didapatkan
dari masing-masing ikan digerus menjadi satu sebelum dilakukan kegiatan isolasi.
Isolasi juga dilakukan terhadap sampel air kolam pemeliharaan lele dari tempat
yang sama sebagai pembanding.
Kegiatan isolasi bakteri dari saluran pencernaan ikan lele dan kolam
pemeliharaan ikan berturut-turut mendapatkan 7 dan 3 isolat yang dipilih
berdasarkan perbedaan morfologi koloninya. Koloni-koloni bakteri yang
didapatkan memiliki karakter morfologis antara lain bulat kecil, bulat sedang,
bulat besar, dan warna yang didapatkan adalah putih kusam, putih susu, krem,
kuning, dan bening.
Seleksi Bakteri Proteolitik
Aktivitas Proteolitik
Hasil uji aktivitas proteolitik bakteri hasil isolasi disajikan pada Gambar 1.
Aktivitas proteolitik positif ditandai dengan adanya zona bening di sekeliling
koloni isolat, yang merupakan luas areal hidrolisis substrat kasein oleh isolat
bakteri.
Gambar 1. Zona hidrolisis kasein oleh bakteri proteolitik (A1, L1, L3, L4, L7),
dan bakteri non proteolitik (C) dan TSB.
xlvii
Hasil pengukuran luas diameter hasil aktivitas proteolitik disajikan pada
Lampiran 8. Empat bakteri dengan diameter hidrolisis kasein tertinggi adalah A1,
L1, L4 dan L3 yang menghasilkan zona bening dengan diameter berturut-turut
sebesar 30, 28, 28 dan 25 mm. Enam isolat lainnya tidak terpilih untuk mengikuti
pengujian patogenisitas karena zona hidrolisis kaseinnya terlalu sempit (11, 10, 8,
8, 6 dan 5 mm).
Keempat bakteri tersebut selanjutnya mengikuti pengujian
patogenisitas.
Luas zona hidrolisis kasein dijadikan sebagai dasar acuan pertama dalam
seleksi bakteri proteolitik, yang mengindikasikan kemampuannya dalam
memanfaatkan protein untuk kelangsungan hidupnya, dengan terlebih dahulu
merombak protein menjadi asam-asam amino. Meskipun menurut Suhartono
(1989b), dalam beberapa kasus, luas zona hidrolisis kasein tidak secara otomatis
langsung berkorelasi dengan produktivitasnya dalam menghasilkan enzim
protease, namun metode ini masih cukup efektif untuk seleksi awal. Gupta dan
Khare (2006) dan Tang (2008) juga melakukan metode zona bening ini untuk
menyeleksi bakteri proteolitik, dan pada tahap terakhirnya memperoleh
Pseudomonas aeruginosa yang mampu memproduksi protease dalam jumlah
besar.
Uji Patogenisitas
Uji patogenisitas bertujuan untuk mengetahui apakah isolat yang
didapatkan bersifat patogen terhadap ikan uji atau tidak. Meskipun isolat tidak
diberikan secara langsung dalam keadaan hidup pada pakan uji (hanya ekstrak
enzimnya saja), namun dikhawatirkan ekstrak protease dari bakteri patogen dapat
berefek negatif terhadap ikan uji. Pengujian dilakukan terhadap 4 bakteri yang
memiliki zona hidrolisis kasein tertinggi (A1, L1, L3 dan L4)
dan larutan
fisiologis sebagai kontrol menggunakan ikan nila sebagai ikan uji.
Hasil uji patogenisitas yang dilakukan selama dua minggu di akuarium
disajikan pada Lampiran 9. Tingkat kelulusan hidup ikan nila yang diinjeksi isolat
A1 dan L1 sebesar 100% hingga akhir masa pengamatan, sama dengan kontrol,
yang mengindikasikan bahwa isolat A1 dan L1 tidak bersifat patogen terhadap
ikan nila. Tingkat kelangsungan hidup ikan nila pada perlakuan injeksi isolat L3
dan L4 hanya 40 dan 20% di akhir pengamatan.
xlviii
Berdasarkan analisis secara deskriptif, isolat A1 dan L1 terpilih sebagai
bakteri penghasil enzim protease pada percobaan selanjutnya. Pertimbangannya
adalah berdasarkan peringkatnya yang tertinggi pada uji zona hidrolisis kasein,
dan terbukti tidak bersifat patogen pada ikan nila.
Optimasi Potensi Bakteri Terpilih sebagai Sumber Enzim Protease
Kerapatan Optis Bakteri A1 dan L1
Nilai kerapatan optis mencerminkan kepadatan populasi bakteri di dalam
cairan kultur. Meskipun nilai kerapatan optis ini tidak bisa membedakan antara
populasi bakteri yang hidup dengan yang mati, namun metode ini cukup efektif
menggambarkan dinamika pertumbuhan bakteri. Hasil pengamatan nilai kerapatan
optis bakteri A1 dan L1 setiap 4 jam selama empat hari tersaji di Gambar 2 dan
Lampiran 10. Kurva pertumbuhan pada Gambar 2 memperlihatkan bahwa kedua
bakteri mengalami fase-fase pertumbuhannya pada waktu yang hampir
bersamaan.
Gambar 2.
Kerapatan optis cairan kultur bakteri A1 (▲) dan L1 (□) dalam
pengamatan selama 4 hari pada waktu kulturnya.
Fase pertumbuhan awal (lag phase) dan fase eksponensial bakteri A1 dan
L1 dimulai dari awal kultur hingga jam ke-44 (mendekati 2 hari). Fase stasioner
bakteri A1 terjadi antara jam ke-44 sampai jam ke-52, sedangkan bakteri L1
antara jam ke-44 sampai jam ke-68. Fase kematian terjadi setelah stasioner, di
mana populasi bakteri cenderung terus mengalami penurunan.
Menurut Pelczar dan Chan (1986), fase pertumbuhan bakteri terdiri dari
periode awal yaitu fase lamban atau lag phase, diikuti oleh suatu periode
xlix
pertumbuhan yang cepat (fase logaritma atau eksponensial), kemudian mendatar
(fase statis atau stasioner) dan akhirnya fase penurunan populasi sel-sel hidup
(fase kematian atau penurunan). Penentuan fase pertumbuhan bermanfaat untuk
mengetahui kapan waktu panen sel yang tepat untuk memproduksi suatu produk
atau senyawa metabolit, antara lain enzim (Suhartono 1989b).
Pemantauan Aktivitas Enzim Protease Bakteri A1 dan L1
Kegiatan ekstraksi enzim yang dilanjutkan dengan pengujian aktivitas
enzim protease bakteri A1 dan L1, dilakukan selama 4 hari setiap 4 jam sekali
pada waktu kulturnya, sebanyak 25 titik pengamatan (Gambar 3 dan Lampiran
11). Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengetahui adanya fluktuasi produksi enzim
protease oleh kedua bakteri, karena daya sintesis enzim oleh bakteri dari satu fase
ke fase lain tidak sama.
Gambar 3.
Aktivitas enzim protease (µg/menit.ml) bakteri A1 (▲) dan L1 (□)
dalam pengamatan selama 4 hari pada waktu kulturnya.
Dari Gambar 3 terlihat bahwa aktivitas enzim protease bakteri A1 mulai
mengalami peningkatan pada titik waktu ke-11 (atau jam ke-40) dan semakin
meningkat pada titik waktu berikutnya, sedangkan pada bakteri L1, peningkatan
yang signifikan dimulai pada titik waktu ke-14 (atau jam ke-52). Bakteri A1 mulai
meningkatkan sekresi enzim proteasenya menjelang memasuki fase stasioner,
sedangkan bakteri L1 di dalam fase stasioner. Enzim dari kedua bakteri
menunjukkan tingkat aktivitas enzim tertinggi pada periode yang hampir
l
bersamaan, yaitu pada titik waktu ke-18 hingga ke-24 (atau jam ke-68 hingga ke92). Tingkat produksi tertinggi ini justru dihasilkan ketika kedua bakteri berada di
dalam fase penurunan.
Menurut Suhartono (1989a), sintesis enzim ekstraselular oleh bakteri
dalam jumlah terbesar secara normal terjadi pada saat sebelum sporulasi, yaitu
pada akhir fase eksponensial dan awal stasioner. Keadaan ini membawa pada
suatu dugaan bahwa kemungkinan ada hubungan sebab akibat antara eksoenzim
dan sporulasi. Bacilus sp misalnya, memproduksi protease serin pada tahap akhir
pertumbuhan, yaitu saat sel memasuki fase sporulasi, dan Bacillus subtilis
meningkatkan produksi protease jenis subtilisin pada saat menjalani proses
sporulasi.
Berdasarkan hasil pengamatan pada tahap ini, maka diputuskan bahwa
pemanenan enzim protease untuk bakteri A1 dan L1 dilakukan pada umur kultur 3
hari (72 jam), yaitu pada posisi aman di dalam rentangan masa produksi enzim
protease yang tertinggi. Hasil ini serupa dengan Wang et al. (2008), yang
melaporkan bahwa kondisi produksi protease yang optimal oleh bakteri
Chryseobacterium taeanense TKU001 adalah dengan inkubasi kultur bakteri
tersebut pada suhu 37oC selama 3 hari. Tang (2008) yang mengisolasi bakteri
penghasil protease dan mengoptimasi produksi protease oleh Pseudomonas
aeruginosa juga melaporkan hal yang sama. Mabrouk et al. (1999) yang
mengoptimasi produksi protease Bacillus licheniformis melaporkan hal yang
berbeda, bahwa waktu inkubasi selama 5 hari pada suhu 37oC menghasilkan
protease dengan aktivitas yang maksimal.
Penentuan Dosis Enzim Protease Bakteri
Setelah mendapatkan waktu kultur bakteri yang optimal untuk memanen
enzim protease, tahap selanjutnya adalah menentukan dosis enzim protease yang
tepat untuk menghidrolisis protein pakan percobaan. Hasil uji derajat hidrolisis
protein pakan formulasi yang diberi ekstrak enzim protease bakteri A1 dan L1
pada beberapa level dosis disajikan pada Gambar 4 dan Lampiran 12.
li
Gambar 4.
Nilai derajat hidrolisis protein pakan (%) pada beberapa level dosis
enzim protease bakteri A1 (▲) dan L1 (□).
Dari Gambar 4 terlihat bahwa derajat hidrolisis protein pakan percobaan
meningkat bersamaan dengan meningkatnya dosis enzim protease yang diberikan.
Pada dosis 1000 ml enzim / kg pakan, derajat hidrolisis protein mencapai rataan
91.99% (±0.65). Ini mengandung pengertian bahwa dari 100 gram protein yang
terkandung di dalam pakan, sebanyak 91.99 gram telah diubah menjadi bentuk
protein terlarut, dan sisanya (8.01 gram) masih berupa protein tidak larut. Dosis
1000 ml ekstrak enzim protease / kg pakan terpilih untuk diaplikasikan dalam
percobaan selanjutnya.
Dosis 1000 ml enzim protease perkilogram pakan dalam penelitian ini
setara dengan memberikan enzim protease dengan total aktivitas 8 x 105 µg
perkilogram pakan. Hou et al. (2010) memberikan kombinasi enzim-enzim
protease untuk menghidrolisis tulang rangka limbah ikan Pollock sebanyak 1.2
g/kg substrat dengan aktivitas 1.2 x 105 µg/g atau setara dengan 1.44 x 105 µg/kg
substrat, dan berhasil memecahkan ikatan peptida pada substrat sebanyak 25%.
Beal et al. (1998c) menghidrolisis tepung bungkil kedelai (TBK) dengan enzim
protease sebanyak 2.5 g/ kg TBK dengan aktivitas 4 x 105 µg/g atau setara dengan
10 x 105 µg/kg TBK, dan melaporkan adanya penurunan jumlah dan densitas
ikatan protein yang mengindikasikan adanya hidrolisis protein TBK.
Tingginya derajat hidrolisis protein pada pakan percobaan yang
disuplementasi dengan enzim protease bakteri A1 dan L1 disebabkan oleh adanya
lii
kontribusi beberapa bahan baku pakannya. Protein yang terdapat di dalam pakan
formulasi sebesar 31.12 % bobot kering pakan berasal dari sumbangan TBK
sebesar 10.52%, tepung ikan 6.56%, polar 5.84%, tepung darah 5.67% dan dedak
2.52%. Prosentase sumbangan protein dari masing-masing bahan baku
dibandingkan dengan total protein pakan ditampilkan pada Gambar 5.
Gambar 5.
Prosentase sumbangan protein masing-masing bahan baku terhadap
total protein pakan formulasi (%).
TBK, tepung ikan dan tepung darah sebagai tiga komponen terbesar
penyumbang protein dalam pakan formulasi akan mengalami perombakan protein
yang signifikan bila dihidrolisis oleh enzim protease. Hou et al. (2010) yang
menggunakan kompleks enzim protease untuk menghidrolisis limbah ikan Pollock
Alaska yang terdiri dari daging dan tulang buangan melaporkan adanya penurunan
signifikan jumlah ikatan peptida. Beal et al. (1998a) menggunakan teknik in vitro
untuk mengevaluasi kemampuan beberapa jenis enzim protease dalam
meningkatkan kecernaan nitrogen TBK, dan menemukan peningkatan sebesar
12% daripada kontrolnya. Rooke et al. (1998) melaporkan adanya peningkatan
konsentrasi asam amino TBK setelah ditreatment dengan enzim protease. TBK
dalam pakan percobaan yang merupakan penyumbang terbesar dalam komposisi
protein pakan akan secara signifikan menambah jumlah protein yang terhidrolisis.
Uji Kecernaan dan Pertumbuhan pada Ikan Nila
liii
Hasil uji kecernaan total dan protein pakan untuk ikan nila disajikan di
Tabel 7, sedangkan perhitungan nilai kecernaan pakan oleh ikan nila, analisis
ragam dan uji Duncannya berturut-turut tersaji di Lampiran 13, 18 dan 19. Pakan
formulasi yang ditambah enzim A1 (pakan B) dan L1 (pakan C) meningkat nilai
kecernaan protein dan totalnya secara signifikan dibandingkan kontrolnya (pakan
A), dengan nilai kecernaan total 48, 72 dan 76%, dan kecernaan protein pakan 75,
84 dan 90%, berturut-turut untuk pakan A, B dan C. Pakan B dan C telah
mengalami proses pencernaan awal dengan cukup baik, sehingga jumlah nutrien
terhidrolisisnya lebih banyak dibandingkan pakan A, dan kecernaannya
meningkat.
Tabel 7. Laju pertumbuhan spesifik (LPS), jumlah konsumsi pakan (JKP),
efisiensi pakan (EP), retensi protein (RP), kecernaan protein pakan (KP),
kecernaan total pakan (KT) dan kelangsungan hidup (SR) ikan nila.
Parameter
KT (%)
KP (%)
LPS(%)
JKP (g)
EP (%)
RP (%)
SR (%)
Pakan Formulasi (28% P)
Kontrol
Enzim
Enzim
A1
L1
A
B
C
PERLAKUAN
Pakan komersial (31%P)
Kontrol
Enzim
Enzim
A1
L1
D
E
F
Pakan
Komersial
(28% P)
G
48 ± 1.6a 72 ± 1.8d
76 ± 0.8e
70 ± 0.5c 69 ± 0.3c
87 ± 0.3f
61 ± 0.9b
a
d
e
c
b
f
75 ± 1.0
84 ± 0.1
90 ± 0.3
82 ± 1.4
81 ± 0.8
93 ± 0.3
75 ± 0.5a
a
bc
abc
c
c
c
2.3±0.2
2.8±0.2
2.7±0.1
3.0 ± 0.3
2.9 ± 0.2
3.0±0.2
2.5±0.1ab
a
abc
abc
c
bc
c
162 ±25
209±32
203±11
245±58
242±37
257±20
184±17abc
a
bc
ab
c
bc
abc
76 ± 3.4
83 ± 2.7
80 ± 2.5
86 ± 3.2
83 ± 2.0
81 ± 4.4
76 ± 3.3a
44 ± 2.0a 50 ± 1.9c 49 ± 1.4bc
45 ± 2.1a
44 ± 1.1a
43 ± 2.0a
45 ± 2.0ab
a
a
a
a
a
a
97 ± 5.8
97 ± 5.8
100 ± 0
100 ± 0
97 ± 5.8
97 ± 5.8
100 ± 0.0a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (DMRT)
Kecernaan protein dan total pakan komersial mengalami peningkatan
signifikan dibandingkan kontrolnya (pakan D), untuk treatment dengan enzim L1
(pakan F), namun tidak untuk enzim A1 (pakan E). Pakan D, E dan F berturutturut memiliki nilai kecernaan total 70, 69 dan 87% dan kecernaan protein 82, 81
dan 93%. Tidak diketahui dengan pasti alasan timbulnya perbedaan respon di
antara kedua enzim ini, namun diduga penyebabnya adalah bahwa enzim A1 tidak
sebaik enzim L1 dalam menghidrolisis bahan pakan komersial. Dimungkinkan
ada sejenis ikatan protein atau senyawa kompleks lain di dalam pakan komersial
yang tidak dapat dipecahkan oleh enzim A1, tetapi enzim L1 berhasil
melakukannya, sehingga kecernaannya berbeda.
liv
Di antara tiga jenis pakan yang tidak dihidrolisis dengan enzim, pakan
formulasi (A) memiliki kecernaan total yang paling rendah (48%) dibandingkan
pakan komersial 31% (D; 70% ) dan pakan komersial 28% (G; 61% ) dengan
selisih di antara ketiganya yang signifikan, dan juga kecernaan protein A paling
rendah (75%) dibandingkan G (75%) dan D (82%), dengan selisih antara A dan D
yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas bahan pakan A secara
umum paling rendah dari dua pakan lainnya, dan kualitas bahan sumber protein
pakan A sama dengan pakan G, tetapi lebih buruk dari pakan D. Tidak
mengherankan
apabila
treatmentnya
dengan
enzim
protease
mampu
meningkatkan kecernaan total dan protein pakan formulasi secara signifikan,
karena kondisi bahan dasarnya masih memungkinkan untuk ditingkatkan
kualitasnya.
Peningkatan nilai kecernaan pada pakan formulasi tidak terlepas dari
kontribusi bahan-bahan sumber protein pakan yang mengalami hidrolisis dengan
bantuan enzim protease bakteri. Menurut Laining et al. (2003), tepung darah akan
mengalami peningkatan kecernaan total dari 48.1% menjadi 67.9% dan 61.7%,
dan peningkatan kecernaan protein dari 55.2% menjadi 87.5% dan 84.2% setelah
difermentasi dengan asam format dan propionat pada uji kecernaan dengan ikan
kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Ini membuktikan bahwa nilai kecernaan
total dan protein tepung darah dapat ditingkatkan dengan beberapa treatment,
termasuk dengan hidrolisis oleh enzim protease bakteri A1 dan L1. Ghazi et al
(2002, 2003) dan Marsman et al. (1997) melaporkan adanya peningkatan
kecernaan protein pakan yang berbasis TBK setelah ditreatment dengan enzim
protease, untuk ayam broiler. Swift et al. (1996) juga melaporkan adanya
peningkatan kecernaan nitrogen dan energi secara signifikan pada pakan berbasis
TBK untuk ayam broiler, setelah ditreatment dengan Vegpro (enzim protease
komersial). Sedangkan tepung ikan, menurut Smith et al. (1994), nilai kecernaan
proteinnya masih cukup bervariasi (75.1 – 91.7%, tergantung jenis ikan yang
digunakan), sehingga masih dapat ditingkatkan kecernaannya dengan enzim
protease. Lebih jauh, Rosmawati (2005) juga melaporkan adanya peningkatan
kecernaan total dan protein yang signifikan pada pakan percobaannya yang
dihidrolisis dengan enzim pankreatin dan pepsin.
lv
Nilai kecernaan pakan menggambarkan kinerja
pencernaan dan
penyerapan pakan yang terjadi di saluran pencernaan ikan. Kecernaan pakan
dipengaruhi oleh kemampuan ikan mencerna pakan dan kualitas pakan yang
dikonsumsi oleh ikan, yang ditentukan oleh karakter bahan baku penyusunnya.
Bahan berserat tinggi tidak dapat dicerna oleh ikan non-herbivora karena
ketiadaan enzim yang dapat memecah dinding sel yang kompleks yang terdapat
padanya. Sumber protein nabati diketahui memiliki nilai kecernaan protein yang
bervariasi karena adanya struktur sekunder dan tersier pada ikatan protein dan
perbedaan komposisi asam aminonya. Selain itu, pakan yang karakternya
diketahui dapat melintas cepat di saluran pencernaan ikan akan dicerna secara
kurang sempurna, karena singkatnya waktu pemaparan oleh enzim pencernaan
(Millamena et al. 2002).
Perhitungan laju pertumbuhan spesifik (LPS), jumlah konsumsi pakan,
efisiensi pakan dan retensi protein pakan tersaji di Lampiran 14 dan 15 serta Tabel
7. Terlihat dari Tabel 7, pemberian enzim A1 pada pakan formulasi berpengaruh
nyata meningkatkan LPS ikan nila. LPS rata-rata pada pakan B dan pakan C
adalah 2.8 dan 2.7%, sedangkan pakan A hanya 2.3%. Berdasarkan hasil uji lanjut
Duncan (Lampiran 16 dan Tabel 7), meskipun hanya pakan B yang secara
signifikan meningkat dibandingkan pakan A, namun LPS pada pakan B dan C
yang berkadar protein 28% tidak berbeda nyata dengan pakan komersial kontrol
dan terhidrolisisnya (pakan D, E dan F) yang berkadar protein 31% (3.0; 2.9;
3.0%). LPS pakan A secara statistika jauh lebih kecil daripada pakan D, E dan F.
Peningkatan LPS ini berkaitan dengan adanya peningkatan yang sangat
signifikan untuk parameter kecernaan total dan protein pada pakan formulasi yang
dihidrolisis oleh enzim A1 dan L1. Meningkatnya kecernaan total dan protein
menyebabkan meningkat pula asupan nutrisi yang terserap dan dimanfaatkan oleh
tubuh ikan dalam proses metabolisme. Penyerapan protein yang lebih baik akan
menyebabkan meningkatnya ketersediaan asam amino yang diperlukan untuk
pertumbuhan. Meningkatnya tingkat penyerapan nutrisi pakan secara total akan
meningkatkan ketersediaan energi, yang selanjutnya akan meningkatkan ‘efek
penghematan protein’, sehingga asam amino akan lebih termanfaatkan secara
efisien sebagai komponen pembangun tubuh dan bukan sebagai sumber energi.
lvi
Jumlah pakan yang dikonsumsi ikan nila dari ketujuh perlakuan juga
mengalami perbedaan (Lampiran 17 Tabel 7). Meskipun selisihnya belum
signifikan, konsumsi pakan B dan C (209 dan 203 gram) mengalami peningkatan
dibandingkan pakan A (162 gram), sehingga nilainya secara statistika menyamai
konsumsi pakan D, E dan F (245; 242 dan 257 gram). Hal ini menunjukkan
bahwa enzim protease dari bakteri A1 dan L1 juga mampu meningkatkan
palatabilitas pakan formulasi. Inkubasi pakan formulasi dengan enzim bakteri A1
dan L1 menghasilkan aroma yang kuat seperti aroma terasi, yang menjadi atraktan
tambahan bagi ikan yang mengkonsumsinya.
Dilihat dari parameter efisiensi pakan, pakan formulasi kontrol (A) berada
di posisi terendah (76%), sedangkan pakan komersial kontrol (D) di posisi
tertinggi (86%) dengan jarak bentangan (multiple range test) yang berbeda sangat
nyata (Lampiran 20 dan Tabel 7). Perlakuan hidrolisis pakan formulasi dengan
enzim A1 (pakan B) mampu meningkatkan efisiensi pakan menjadi 83%. Nilai
efisiensi pakan B secara statistik mampu menyamai pakan D, E dan F (86; 83 dan
81%). Ini mengindikasikan bahwa peningkatan jumlah konsumsi pakan pada
pakan formulasi yang dihidrolisis oleh enzim A1 dan L1 diikuti juga dengan
peningkatan deposisi bobot tubuh yang lebih efisien, sehingga nilai efisiensi
pakannya meningkat.
Dari Tabel 7 dan Lampiran 21 terlihat bahwa pakan B dan C memberikan
nilai retensi protein yang tertinggi (50 dan 49%), meningkat signifikan
dibandingkan pakan A (44.40%), dan berbeda nyata dengan pakan D, E dan F (44;
44 dan 43%). Tingginya nilai retensi protein pada pakan B dan C disebabkan
karena meskipun kadar proteinnya lebih rendah (28.00; 28.10% bobot basah)
dibandingkan pakan D, E dan F (31.00; 31.10; 31.10% bobot basah), namun
deposisi protein tubuhnya yang tercermin dari laju pertumbuhannya tidak berbeda
nyata. Pemberian enzim A1 dan L1 mampu meningkatkan efisiensi pemanfaatan
protein pakan dan pembentukan jaringan tubuh.
Pada pakan komersial dengan kadar protein 31% (bobot basah), pemberian
enzim A1 dan L1 ternyata tidak meningkatkan laju pertumbuhan ikan nila (Tabel
7). LPS pakan komersial yang diberi enzim A1, L1 dan kontrolnya (pakan E, F
dan D) adalah sebesar 2.9, 3.0 dan 3.0%. Meskipun ada peningkatan signifikan
lvii
pada parameter kecernaan protein dan total pakan dengan pemberian enzim L1,
namun hal ini ternyata tidak diikuti dengan peningkatan laju pertumbuhannya. Hal
yang serupa juga terjadi pada parameter retensi protein, efisiensi dan jumlah
konsumsi pakan. Perbedaan efek ini mungkin disebabkan karena adanya
perbedaan kualitas bahan baku penyusun di antara pakan formulasi dengan
komersial. Nilai kecernaan total dan protein pakan formulasi hanya 48 dan 75%,
sedangkan pakan komersial cukup tinggi yaitu 70 dan 82%. Kualitas pakan
komersial yang sudah cukup baik menyebabkan perlakuan hidrolisis enzim tidak
memberikan peningkatan yang berarti. Rosmawati (2005) yang memberikan
enzim pepsin dan pankreatin komersial pada pakan buatan untuk benih gurami
juga melaporkan hal serupa. Pemberian enzim pepsin meningkatkan kecernaan
protein, tetapi tidak meningkatkan laju pertumbuhan benih gurami.
Tidak ada perbedaan nyata untuk parameter kelangsungan hidup, yang
mengindikasikan bahwa enzim A1 dan L1 tidak berpengaruh terhadap parameter
ini (Tabel 7 dan Lampiran 22). Dari 10 individu ikan yang dipelihara di setiap unit
percobaan, kematian yang terjadi maksimal hanya 1 individu saja. Nilai rata-rata
SR terendah adalah 97% untuk perlakuan A, B, E dan F, sedangkan perlakuan C,
D dan G mencapai 100%. Tingkat kelulusan hidup yang tinggi juga didukung oleh
terjaganya kualitas air media hidup ikan nila (Lampiran 23). Sistem resirkulasi,
penyiponan feses dan pembersihan bak filter resirkulasi yang rutin dilakukan dan
pencahayaan dengan lampu TL telah mampu menjaga kualitas air media tetap
stabil dan sesuai untuk mendukung kehidupan ikan nila yang optimal.
lviii
Download