komputasi data multibeam sonar untuk

advertisement
KOMPUTASI DATA MULTIBEAM SONAR UNTUK
PERENCANAAN PEMBANGUNAN
JEMBATAN SELAT SUNDA
AHMAD SIROJI
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
KOMPUTASI DATA MULTIBEAM SONAR UNTUK
PERENCANAAN PEMBANGUNAN JEMBATAN SELAT
SUNDA
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka dibagian akhir Skripsi ini.
Bogor, Desember 2012
AHMAD SIROJI
C54080047
RINGKASAN
AHMAD SIROJI. Komputasi Data Multibeam Sonar untuk Perencanaan
Pembangunan Jembatan Selat Sunda. Dibimbing oleh HENRY M. MANIK
dan DJOKO HARTOYO
Jembatan merupakan suatu kontruksi yang dibangun untuk sarana
transportasi. Pemerintah Indonesia mencanangkan akan melaksanakan
pembangunan jembatan Selat Sunda pada awal tahun 2014 sebagai penghubung
antara Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera. Pembangunan jembatan tersebut akan
memakan waktu yang cukup lama, oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk
mendapatkan informasi yang relevan agar berjalan dengan efisien. Tujuan dari
penelitian ini adalah mengaplikasikan instrumen hidroakustik multibeam sonar
dalam interpretasi kedalaman dan sebaran jenis sedimen sebagai informasi utama
dalam kegiatan pembangunan jembatan Selat Sunda.
Pemeruman dilakukan pada tanggal 27 Desember 2010 sampai dengan 1
Januari 2011 di perairan Selat Sunda yaitu pada kordinat 5052’-6002’ LS dan
105045’-106054’ BT. Pemeruman ini dilakukan oleh Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT) dengan menggunakan Kapal Baruna Jaya IV. Alat
yang digunakan untuk penentuan posisi yaitu DGPS Sea star 8200 VB yang
bekerja dengan metode Real Time Differensial GPS (RTDGPS). Coda Octopus
F180 berfungsi untuk melakukan koreksi terhadap pengaruh perubahan vertikal
pada beam (heading, pitching dan rolling). Perangkat lunak Caris HIPS&SIPS
6.1. digunakan untuk mengolah data kedalaman, sedangkan untuk untuk
mendapatkan nilai amplitudo yang digunakan untuk klasifikasi sedimen dasar laut
menggunakan perangkat lunak MB-System berbasis linux.
Pasang surut di lokasi penelitian termasuk ke dalam tipe campuran,
dimana tipe pasang surut ini cocok untuk diadakan pembangunan jembatan karena
tipe pasang surut ini mempunyai pengaruh yang relatif kecil terhadap sebaran dan
distribusi sedimen permukaan dasar laut. Kedalaman lokasi penelitian berkisar
antara 17,5-175 m. Berdasarkan data pemeruman terdapat beberapa punggungan
laut yang dapat digunakan sebagai tempat peletakan tiang jembatan. Terdapat dua
lokasi yang dianggap cocok yaitu pada lokasi 1 dan 2, dimana kedua lokasi
tersebut merupakan punggungan laut. Kedalaman kedua posisi tersebut berkisar
antara 17-35 m. Jenis sedimen dasar laut yang didapatkan merupakan hasil
klasifikasi dengan cara mencocokkan nilai amplitudo dengan jenis sedimen hasil
coring. Nilai amplitudo yang didapatkan berkisar antara 250-500, dimana pada
selang nilai ini terdapat empat jenis sedimen yaitu silty sand, sandy silt, sand dan
rocks. Lokasi penelitian didominasi oleh sedimen jenis sandy silt dengan persen
penutupan 49%. Lokasi 1 dan 2 memiliki jenis sedimen sandy silt. Jenis tiang
yang cocok adalah tiang tahanan lekatan antara tiang dengan tanah (Friction
piles), yaitu bila tiang dipancangkan pada tanah dengan nilai kuat gesek tinggi
seperti pasir, maka beban yang diterima oleh tiang akan ditahan berdasarkan
gesekan antara tiang dan tanah sekeliling tiang.
ABSTRACT
AHMAD SIROJI. Data Computation Multibeam Sonar for Bridge
Construction at Sunda Strait. Supervised by HENRY M. MANIK and
DJOKO HARTOYO.
The bridge is a construction for marine transportation facility. The
Indonesian Government initiated will carry out the largest projects to build a
bridge at Sunda Strait on 2014. The bridge construction will take quite a long
time, therefore effort should be made to obtain relevant information to the
construction of the bridge is running efficiently. The purpose of this research is to
apply the instrument hydroacoustic of multibeam sonar to measure sea water
depths and to map the distribution of sediment types. Survey conducted in Sunda
Strait on the coordinates of 5052’-6002’S and 105045’-106054’E. Data acquisition
done by using hydrostar software. Bathymetry data was processed with Caris
HIPS&SIPS. Data amplitude was processed with MB Systems to make sediment
classification. Tides in research area is mixture type, where tidal type is suitable
for the construction of the bridge was held because tidal type has a relatively
small effect on the scatter and distribution of sea floor sediments. Depth research
area have range from 17,5-175 m, there are several ridge sea that can be used as
a laying pole bridge. There are two locations considered suitable on location 1
and 2, where both the location is ridge sea with depth range17-35 m. The type of
sediment obtained by processing data amplitude and core of sample sediment.
The types of sedimen in research area are silty sand, sandy silt, sand and rocks.
Sediment is dominated by sandy silt with percent coverage of 49%. Location 1
and 2 have a sandy silt sediment. The pole type that fits is the pillar of the
prisoner's coherency between the pole to the ground (Friction piles), when the
pole to stick on the ground with powerful high friction values such as sand, then
load that is accepted by the mast will be withheld based on friction between the
pole and the land around the pole.
Keyword: Multibeam Sonar, Bridge Construction, Data Acquisition, Sediment
Classification, Friction Piles.
© Hak Cipta milik Ahmad Siroji, tahun 2012
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya
dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya.
KOMPUTASI DATA MULTIBEAM SONAR UNTUK
PERENCANAAN PEMBANGUNAN
JEMBATAN SELAT SUNDA
AHMAD SIROJI
SKRIPSI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Kelautan pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
SKRIPSI
Judul Skripsi
: KOMPUTASI DATA MULTIBEAM SONAR
UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN
JEMBATAN SELAT SUNDA
Nama Mahasiswa
: Ahmad Siroji
Nomor Pokok
: C54080047
Departemen
: Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Utama
Anggota
Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T
NIP. 19701229 199703 1 008
Ir. Djoko Hartoyo, M.Sc
NIP. 19681020 1994031 1 005
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc
NIP. 19580909 1988303 1 003
Tanggal Lulus: 23 Nopember 2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas semua rahmat
dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Tidak lupa Rasul
tercinta Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi panutan dan tauladan umat
islam. Skripsi yang berjudul KOMPUTASI DATA MULTIBEAM SONAR
UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN JEMBATAN SELAT SUNDA
diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ilmu
Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Selama menyelesaikan penelitian ini Penulis telah memperoleh banyak
dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini Penulis
mengucapkan terima kasih banyak kepada:
1. Kedua orang tua Penulis, Rosyidi dan Kartini beserta semua keluarga besar
Penulis yang selalu mendoakan dan memberikan motivasi.
2. Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T dan Ir. Djoko Hartoyo, M.Sc selaku komisi
pembimbing yang telah membantu Penulis dalam proses penyusunan skripsi,
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
3. Dr. Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc selaku penguji tamu, terima kasih atas saran
dan masukannya.
4. Nurhidayah Siregar yang selalu menemani Penulis dalam pembuatan skripsi,
beserta keluarga terima kasih atas perhatian dan motivasi yang telah diberikan.
5. Gugum Gumbira atas bantuan dan bimbingannya yang diberikan kepada
Penulis.
6. Bapak/Ibu dosen dan staf penunjang Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
atas bantuannya selama Penulis menyelesaikan studi di IPB.
viii
ix
7. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang telah memberikan
kesempatan kepada Penulis untuk menggunakan data multibeam sonar.
8. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) yang
telah membantu Penulis dalam perolehan data pasang surut di lokasi penelitian.
9. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (PPPGL) yang telah
memberikan informasi mengenai data sampel coring di perairan Selat Sunda.
10. Teman-teman ITK, khususnya ITK 45 terima kasih atas motivasi, doa dan
kerjasamanya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
sehingga Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan
skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Desember 2012
AHMAD SIROJI
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Indramayu, pada tanggal 16
Maret 1989. Penulis adalah anak ke enam dari pasangan Ayah
Rosyidi dan Ibu Kartini. Penulis mengenyam pendidikan
Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Cisarua, Bandung
pada tahun 2005-2008, kemudian pada tahun 2008
melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor, penulis pernah menjadi asisten
praktukum mata kuliah Iktiologi pada tahun ajaran 2010-2011, dan asisten
praktukum mata kuliah Ekologi perairan pada tahun ajaran 2011-2012 Program
Diploma IPB. Penulis juga aktif mengikuti organisasi BEM FPIK IPB pada
divisi Pengembangan Budaya Olahraga dan Seni (PBOS) pada tahun 2009-2010
dan sebagai pengurus pada divisi Hubungan Luar dan Komunikasi
(HUBLUKOM) di Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelauatan pada
tahun 2010-2011. Penulis juga mengikuti beberapa kepanitian selama masa kuliah
yakni menjadi Kordinator Divisi Keamanan dalam kegiatan PORIKAN 2010 dan
mengikuti Pelatihan Aplikasi GIS untuk Pemetaan Sumberdaya Pertanian Lokal
Potensial, SEAMEO BIOTROP 2012.
Tugas akhir yang dikerjakan penulis untuk menyelesaikan pendidikan di
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan ilmu Kelautan,
melakukan penelitian dengan judul “Komputasi Data Multibeam Sonar untuk
Perencanaan Pembangunan Jembatan Selat Sunda”.
63
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ...........................................................................
viii
DAFTAR ISI..........................................................................................
x
DAFTAR TABEL .................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................
xv
1.
PENDAHULUAN ..........................................................................
1.1. Latar Belakang .........................................................................
1.2. Tujuan ......................................................................................
1
1
3
2.
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................
2.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ...........................................
2.2. Prinsip Kerja Multibeam Sonar ................................................
2.3. SEA BEAM 1050 D Multibeam Sonar ......................................
2.4. Sedimen Dasar Laut ..................................................................
2.5. Klasifikasi Dasar Perairan ........................................................
2.6. Ketentuan Pembangunan Jembatan ..........................................
2.6.1.Definisi jembatan .............................................................
2.6.2.Tiang Pondasi ..................................................................
4
4
5
8
9
11
12
14
15
3.
METODOLOGI PENELITIAN ......................................................
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................
3.2. Perolehan Data Penelitian .........................................................
3.2.1 Data Pasang Surut................................................................
3.2.2 Data Sampel Coring ............................................................
3.2.3 Data Pemeruman .................................................................
3.3. Pemrosesan Data .......................................................................
3.3.1 Pemrosesan Data Pasang Surut ...........................................
3.3.2 Pemrosesan Data Kedalaman ..............................................
3.3.2 Pemrosesan Data Amplitudo ...............................................
17
17
18
18
19
20
23
23
25
27
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN ..........................................................
4.1. Pasang Surut..............................................................................
4.2. Profil Batimetri .........................................................................
4.3. Klasifikasi Dasar Perairan.........................................................
4.4. Ketentuan Pembangunan Jembatan ..........................................
29
29
31
34
43
5.
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................
5.1. Kesimpulan ...............................................................................
5.2. Saran .........................................................................................
47
47
48
x
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
49
LAMPIRAN ...........................................................................................
52
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .............................................................
63
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Jenis sedimen dan ukurannya..............................................................
11
2. Spesifikasi gravity core .......................................................................
19
3. Perangkat Keras dan Perangkat Lunak ...............................................
22
4. Konstanta harmonik di lokasi penelitian.............................................
29
5. Kisaran ampltitudo dan jenis sedimen di lokasi penelitian .................
37
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Visualisasi sapuan multibeam sonar ..................................................
6
2. Geometri waktu transduser ................................................................
7
3. Jangkauan sapuan ELAC SEABEAM 1050 D (Frekuensi 50 kHz)
terhadap kedalaman ...........................................................................
9
4. Bagian pokok jembatan......................................................................
15
5. Model tiang ........................................................................................
16
6. Peta lokasi penelitian di perairan Selat Sunda ...................................
18
7. Tide gauge valeport 740 ....................................................................
19
8. Peralatan sampling sedimen pada kapal survei PPPGL .....................
20
9. Posisi offset sensor pada Kapal Baruna Jaya IV ................................
21
10. Diagram alir perolehan data multibeam sonar .................................
23
11. Diagram alir pengolahan data pasang surut dengan metode
admiralty ..........................................................................................
24
12. Diagram alir pemrosesan data kedalaman pada perangkat lunak
CARIS HIPS&SIPS 6.1 .....................................................................
26
13. Diagram alir pemrosesan data amplitudo pada perangkat lunak
MB System .........................................................................................
28
14. Pasang surut di lokasi penelitian pada bulan Desember 2010 ...........
30
15. Track kapal survei batimetri di lokasi penelitian ..............................
32
16. Profil 3 dimensi batimetri lokasi penelitian.......................................
33
17. Grafik sebaran nilai amplitudo berdasarkan data coring ...................
36
18. Kisaran nilai amplitudo .....................................................................
38
xiii
19. Peta klasifikasi jenis sedimen dasar perairan di lokasi penelitian .....
40
20. Persentase sebaran sedimen di lokasi penelitian ...............................
42
21. Rencana peletakan tiang beton dan jembatan gantung ultra panjang
pada jembatan Selat Sunda ................................................................
44
22. Lokasi peletakan tiang beton pada jembatan Selat Sunda .................
45
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Spesifikasi Instrumen ..........................................................................
53
2. Profil Kapal Baruna Jaya IV ...............................................................
54
3. Standar ketelitian kedalaman menurut International
Hydrographic organization (IHO) ...................................................
55
4. Data jenis sedimen hasil coring ..........................................................
60
5. Contoh sedimen hasil coring ..............................................................
61
xv
1. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Jembatan adalah suatu konstruksi yang dibangun untuk melewatkan
angkutan di atas suatu penghalang. Semakin lebar halangan yang harus dilewati,
makin besar panjang jembatan yang dibutuhkan. Jembatan sangat berperan
sebagai salah satu prasarana perhubungan yang pada hakikatnya merupakan unsur
penting dalam mendukung perekonomian dan kehidupan masyarakat. Jembatan
yang dibangun harus direncanakan dengan matang agar mampu melewatkan
lalulintas yang dilayaninya dengan aman dan nyaman serta mampu bertahan
dalam waktu yang sangat lama.
Pemerintah Indonesia mencanangkan akan melaksanakan pembangunan
jembatan Selat Sunda pada awal tahun 2014 sebagai penghubung antara Pulau
Jawa dengan Pulau Sumatera. Salah satu proses pembangunan jembatan adalah
tahap studi kelayakan, dimana semua aspek ditinjau untuk memastikan bahwa
proses pembangunan jembatan dapat dilanjutkan atau tidak serta untuk
mengetahui kapan jembatan tersebut dibutuhkan. Salah satu aspek yang harus
ditinjau dalam perencanaan jembatan adalah informasi dasar perairan yang akan
dijadikan sebagai penopang tiang jembatan. Informasi mengenai dasar perairan
dapat diperoleh melalui survei batimetri. Multibeam merupakan instrumen
hidroakustik yang telah banyak digunakan dalam kegiatan survei batimetri.
Anderson et al. (2008) menyatakan bahwa intrumen multibeam sonar mampu
memindai dasar perairan dengan cakupan area yang luas dengan resolusi yang
tinggi. Survei batimetri harus mencakup area yang luas agar menghasilkan peta
1
2
batimetri yang akurat pada setiap titik pengukuran di dasar perairan, sehingga dari
survei ini mampu menghasilkan peta batimetri yang baik.
Pengamatan karakteristik dasar perairan akan diamati dengan
menggunakan instrumen multibeam sonar, yaitu gelombang berupa pulsa akan
dipancarkan ke dasar perairan dengan menggunakan panjang gelombang tertentu
yang kemudian bila gelombang tersebut telah menyentuh dasar perairan
gelombang akan dikembalikan dan diterima kembali oleh receiver dalam bentuk
echo. Penentuan sebaran jenis sedimen dapat dilakukan dengan menganalisis
nilai back scattering strength yang dihasilkan (Munandar, 2008). Nilai back
scattering strength secara kuantitatif berdasarkan besarnya frekuensi yang
digunakan untuk berbagai tipe dasar perairan. Sebaran sedimen pada suatu
perairan akan berubah secara berkala bergantung pada masukan yang ada di
sekitar perairan tersebut.
Pemasangan tiang jembatan harus memperhatikan sebaran sedimen. Studi
awal dilakukan untuk mengetahui keadaan mengenai dasar laut, yaitu kedalaman
dan jenis sedimen pada dasar periran yang nantinya akan berguna untuk
mengestimasi panjang dan jenis tiang yang akan ditanam ke dalam dasar perairan.
Setelah tiang terpasang perlu dilakukan pengecekan secara berkala untuk
mengetahui perubahan yang terjadi setelah adanya pemasangan kontruksi. Studi
yang dilakukan adalah untuk mengetahui sebaran jenis sedimen akibat adanya
kegiatan bawah laut yang dilakukan serta mendeteksi kedalaman perairan
sepanjang jalur kontruksi apakah mengalami perubahan atau tidak.
3
1.2.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah mengaplikasikan instrumen hidroakustik
multibeam sonar dalam interpretasi kedalaman dan sebaran jenis sedimen sebagai
informasi utama dalam kegiatan perencanaan pembangunan jembatan Selat
Sunda.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Perairan Selat Sunda terletak di antara Pulau Sumatera dan Pulau Jawa
serta berhubungan dengan Laut Jawa dan Samudera Hindia. Pada perairan ini
terdapat pulau–pulau kecil dan gunung berapi yang masih aktif yaitu Gunung
Krakatau. Di perairan selat bagian utara yang berhubungan dengan Laut Jawa,
kedalaman lautnya dangkal (kurang dari 50 m), tetapi di perairan selat bagian
selatan yang berhubungan dengan Samudera Hindia mempunyai kedalaman laut
lebih dari 1000 m. Wyrtki (1961) menyatakan bahwa massa air di Selat Sunda
bergerak ke arah Samudera Hindia sepanjang tahun dan sangat kuat hubungannya
dengan gradien permukaan muka laut (sea level).
Sebagai perairan yang menghubungkan Laut Jawa dan Samudera Hindia,
Selat Sunda merupakan salah satu selat yang menarik karena hampir setiap saat
kondisinya dipengaruhi oleh karakteristik oseanik Samudra Hindia dan sifat
perairan dangkal Laut Jawa. Menurut Kurnio dan Hadjawidjaksana (1995),
keberadaan Gunung Krakatau yang terdiri atas beberapa gugusan pulau yaitu
Sertung, Rakata dan Anak Krakatau yang aktif selalu memuntahkan material
piroklastik antara selang waktu satu hingga empat menit dan cenderung
menghasilkan tsunami dengan gelombang sedang dan kecil. Topografi perairan
Selat Sunda sangat beragam, ada yang berbentuk paparan, slope deep sea basin
dan gunung bawah laut.
Kedalaman perairan Selat Sunda dapat dibagi menjadi tiga kategori umum
yaitu (1) perairan oseanik, (2) wilayah tengah selat dan (3) perairan dengan
karakteristik laut dangkal. Kondisi tersebut memberikan peluang terhadap
4
5
berbagai jenis usaha perikanan yang dapat dilakukan. Arus pantai yang terjadi di
kedalaman laut kurang dari 200 m adalah lebih merupakan akibat angin dan arus
pasang surut yang rata-rata memiliki pola relatif lemah (Bishop, 1984).
Dijelaskan lebih lanjut bahwa arus pantai dapat diketahui dengan Model Ekman
yang dikembangkan dimana di dalamnya meliputi topografi dasar laut dan gradasi
tekanan.
2.2. Pinsip Kerja Multibeam Sonar
Multibeam sonar merupakan instrumen hidroakustik yang memiliki
resolusi lebih tinggi dibandingkan dengan echo sounder pada umumnya dan
mampu memetakan berbagai lokasi dasar perairan. Pada dasarnya prinsip kerja
dari mutibeam sonar sama dengan prinsip kerja single beam, namun pada
multibeam sonar terdapat banyak beam yang memancarkan pulsa suara secara
bersamaan dan memiliki penerimanya masing-masing. Multibeam sonar
menghasilkan pancaran yang melebar dan melintang terhadap badan kapal.
Hanya dengan satu ping instrumen ini mampu mencakup area yang luas dengan
berbagai kedalaman yang berbeda (L-3 Communications Sea Beam Instruments,
2000). Oleh karena itu instrumen ini dapat menghasilkan peta batimetri yang
akurat. Berikut ini merupakan gambar yang memperlihatkan daerah hasil sapuan
instrumen multibeam sonar.
6
Sumber: Diaz (2000)
Gambar 1. Visualisasi sapuan multibeam sonar
Transduser yang terdapat di dalam multibeam sonar terdiri atas
serangkaian elemen yang memancarkan pulsa suara meliputi area yang luas di
bawah kapal survei, dengan multibeam sonar memungkinkan untuk mendapatkan
100% cakupan wilayah survei tanpa harus interpolasi antara garis survei
(Kagesten, 2008).
Multibeam sonar (MBS) memiliki ketelitian yang sangat baik dalam
pengukuran kedalaman. Parkinson (1996) menjelaskan bahwa kedalaman laut
dapat diukur melalui cepat rambat gelombang akustik yang dipancarkan sampai
diterima kembali dibagi dengan dua kali waktu yang dibutuhkan dalam
perambatan (Gambar 2).
7
h
Gambar 2. Geometri waktu transduser
Sehingga pengukuran kedalaman oleh MBS dapat dirumuskan sebagai berikut:
……………………………………………………………..….(1)
Keterangan:
h
= Kedalaman (m)
v
= Cepat rambat gelombang akustik
t
= Waktu gelombang suara yang ditransmisikan dan diterima kembali
Menurut Waddington (2011) instrumen multibeam merupakan alat yang
tepat digunakan untuk survei batimetri sebagai perencanaan ataupun untuk
memantau kondisi jembatan. The Maine Department of Transportation
merupakan suatu lembaga yang bergerak di bidang infrastruktur telah mengganti
12 penyelam handal yang biasa digunakan untuk inspeksi jembatan dengan
menggunakan instrumen multibeam. Hal ini dilakukan karena penyelam hanya
mampu melakukan inspeksi pada saat tertentu saja, bergantung pada kondisi
lingkungan. Meskipun survei dengan multibeam belum digunakan secara luas
pada teknik umum jembatan, mutltibeam mulai berperan dalam beberapa
8
jembatan dan aplikasi yang terkait. Beberapa tahun terakhir survei multibeam
telah digunakan sebagai alat penilaian untuk inspeksi secara berkala baik sebelum
maupun setelah pembangunan jembatan.
Kedalaman hasil pengukuran yang didapatkan tetap harus dikoreksi dari
berbagai kesalahan yang mungkin terjadi. Kesalahan tersebut dapat berasal dari
kecepatan gelombang suara, pasang surut, kecepatan kapal, sistem pengukuran,
offset dan posisi kapal (PPDKK BAKOSURTANAL, 2004). Berdasarkan S-44
International Hydrographyc Organisation (IHO) batas toleransi kesalahan
ketelitian kedalaman (σ) dihitung dengan menggunakan persamaan 2.
…………………...………………..………….………..(2)
Keterangan:
σ
a
b
d
bxd
= ketelitian kedalaman
= konstanta kesalahan kedalaman, yaitu jumlah dari semua konstanta
kesalahan
= faktor pengganti kesalahan kedalaman lain
= kedalaman (m)
= kesalahan kedalaman lain, jumlah semua kesalahan
2.3. SEA BEAM 1050 D Multibeam Sonar
SEA BEAM 1050 D Multibeam Sonar merupakan jenis multibeam yang
dapat digunakan pada kedalaman laut tidak lebih dari 3000 m. Multibeam jenis
ini memiliki kemampuan untuk memetakan wilayah laut secara luas dengan lebar
sapuan mencapai 1530 dan memiliki 126 beam dengan jumlah bukaan 1,50 untuk
masing-masing beam (Lampiran 1). SEABEAM 1050 D memiliki dua frekuensi
yang dapat digunakan, yaitu 50 kHz dan 180 kHz. Kemampuan deteksi
menggunakan frekuensi 50 kHz dapat mencapai kedalaman 3000 m (Gambar 3),
sedangkan frekuensi 180 kHz diperuntukkan pada perairan yang memiliki
9
kedalaman 0-100 m. Frekuensi 180 kHz dioperasikan di perairan dangkal
menghasilkan data kedalaman yang lebih detail dibandingkan dengan frekuensi 50
kHz, frekuensi 180 kHz pada laut dalam akan menghasilkan atenuasi yang tinggi.
Atenuasi adalah gejala pelemahan sinyal yang terjadi pada proses transmisi
gelombang suara pada medium air. Faktor-faktor yang mempengaruhi atenuasi
adalah absorpsi, refleksi dan refraksi gelombang suara.
Keunggulan lain dari SEABEAM 1050 D multibeam sonar adalah
menghasilkan data dengan standar IHO dan memiliki kemampuan yang sama
bagus untuk digunakan di laut dangkal ataupun laut kedalaman medium (L3
Communications ELAC Nautik GmbH, 2003).
Sumber: L3 Communications ELAC Nautik GmbH (2003)
Gambar 3.Jangkauan sapuan ELAC SEABEAM 1050 D (Frekuensi 50 kHz)
terhadap kedalaman
2.4. Sedimen Dasar Laut
Sedimen laut meliputi fragmen-fragmen batuan dengan berbagai ukuran
dan bentuk. Setiap perairan akan memiliki bentuk sedimen yang berbeda, hal ini
10
dipengaruhi oleh masukan sedimen pada perairan tersebut. Informasi mengenai
sedimen sangat diperlukan untuk mengetahui biota-biota yang mendiami perairan
tersebut, selain itu juga sangat diperlukan untuk mengetahui kekuatan atu
kekokohan sedimen dalam menopang beban yang ada di atasnya seperti halnya
dalam pembangunan jembatan. Pujiyati (2008) menyatakan bahwa substrat dasar
perairan memiliki peran yang sangat penting terhadap kehidupan biota yang ada
di dasar perairan seperti ikan demersal, baik ikan demersal besar maupaun ikan
demersal kecil.
Menurut asal usulnya sedimen dasar laut dapat digolongkan sebagai
berikut (Wibisono 2005):
1. Lithogenus: merupakan jenis sedimen yang berasal dari pelapukan batuan
dari daratan, lempeng kontinen termasuk yang berasal dari kegiatan
vulkanik. Sedimen ini memasuki kawasan laut melalui drainase air sungai.
2. Biogenous: merupakan jenis sedimen yang berasal dari organisme laut yang
telah mati terdiri atas remah-remah tulang, gigi-geligi dan cangkangcangkang tanaman maupun hewan mikro.
3. Hydrogenous: merupakan jenis sedimen yang berasal dari komponen kimia
yang larut dalam air laut dengan konsentrasi lewat jenuh sehingga menjadi
pengendapan di dasar laut.
4. Cosmogenous merupakan jenis sedimen yang berasal dari luar angkasa,
partikel dari benda-benda angkasa ditemukan di dasar laut dan banyak
mengandung unsur besi sehingga mempunyai respon magnetik dan memiliki
ukuran 10-60 m.
11
Wentworth (1922) mengklasifikasikan jenis sedimen berdasarkan
ukurannya menjadi 6 jenis.
Tabel 1. Jenis sedimen dan ukurannya
Nama Partikel
Ukuran (mm)
Bongkah/Boulder
>256
Kerakal/Cobble
64-256
Kerikil/Pebble
2-64
Pasir/Sand
0.0625-2
Lanau/Silt
0.0039-0.0625
Lempung/Clay
<0.0039
Sedimen
Gravel
Gravel
Gravel
Sand
Silt
Clay
Nama Batu
Konglomerat dan
Bereaksi berdasarkan
kebundaran partikel
Sandstone
Batu Lanau
Batu Lempung
2.5. Klasifikasi Dasar Perairan
Informasi mengenai tipe dasar perairan termasuk vegetasi perairan secara
umum dapat digambarkan pada sinyal dan sebaran spasial echo, dimana sinyal ini
dapat disimpan dan divalidasi dengan posisi objek yang diperoleh menggunakan
Global Positioning System (GPS). Verifikasi hasil sampel dasar perairan harus
diobservasi melalui penyelaman atau dengan menggunakan kamera bawah air
(underwater camera) yang harus direkam bersamaan dengan akuisisi data akustik
sehingga pada saat verifikasi data yang ada dapat digunakan untuk
membandingkan tipe dasar perairan yang belum diketahui (Burczynski, 2002).
Nilai dari sinyal echo selain bergantung pada tipe dasar perairan
khususnya kekasaran dan kekerasan juga bergantung pada parameter alat seperti
frekuensi dan transducer beam width (Burczynski, 2002). Kloser et al., (2001)
dan Schlagintweit (1993) mengamati klasifikasi dasar laut dengan frekuensi
akustik yang berbeda. Dasar perairan yang memiliki ciri-ciri yang sama,
perbedaan indeks kekasaran diamati berdasarkan perbedaan dua frekuensi yang
mereka gunakan. Selanjutnya, Schlagintweit (1993) menemukan bahwa
12
perbedaan yang timbul dari frekuensi 40 dan 208 kHz disebabkan oleh perbedaan
penetrasi dasar laut berdasarkan frekuensi pada berbagai tipe dasar perairan.
Kagesten (2008) menjelaskan bahwa klasifikasi sedimen dapat dilakukan
dengan menganalisis nilai amplitudo, yaitu kuatnya intensitas sinyal suara yang
diterima oleh receiver dalam bentuk energi listrik (backscatter). Multibeam sonar
memiliki kemampuan untuk membedakan dasar laut melalui analisis nilai
amplitudo, sedimen yang keras akan memantulkan nilai amplitudo yang tinggi
yang dipengaruhi oleh tingkat kekerasan dan kekasaran dasar tersebut. Analisis
terhadap amplitudo dari gelombang suara yang kembali dapat menghasilkan
informasi mengenai struktur dan kekerasan dari dasar laut. Amplitudo dari
Multibeam sonar mempunyai sapuan dan detail yang lebih baik dibanding dengan
single beam, namun proses pengolahan data lebih kompleks. Berdasarkan
penjelasan tersebut besaran amplitudo dapat dihitung dengan persamaan 3.
, I = Intensity [W/m2], I0 = 1012 W/m2…………………..(3)
2.6. Ketentuan Pembangunan Jembatan
Gagasan untuk menghubungkan pulau-pulau di nusantara ini dicetuskan
oleh almarhum Prof. Sedyatmo yaitu menghubungkan pulau Sumatera dengan
pulau Jawa. Pada bulan April 1986, Bapak Presiden RI ke-2 meminta untuk
dilakukan studi kemungkinan-kemungkinan untuk merealisasikan gagasan
tersebut. Oleh karena itu, pada bulan Januari 1989 telah disepakati bersama
antara BPPT, Bappenas dan Departemen Pekerjaan Umum untuk melaksanakan
studi hubungan Jawa-Sumatera-Bali. Studi ini dikenal dengan nama “Tri Nusa
Bima Sakti dan Penyeberangan Utama” (Mustazir dan Vaza, 2008).
13
Ada 3 alternatif sarana penyeberangan selat Sunda yaitu terowongan di
bawah dasar laut, terowongan terapung dan jembatan panjang. Namun demikian,
selama pembuatan jembatan memungkinkan alternatif ini pada umumnya paling
murah dan memberikan berbagai keuntungan yang lebih baik dari pada alternatif
terowongan. Sehingga dalam usaha mewujudkan penyeberangan Selat Sunda
selanjutnya dilakukan studi kelayakan jembatan penyeberangan untuk
menentukan panjang bentang dan kedalaman pondasi yang paling optimal,
kemudian langsung dilanjutkan dengan desain. Diperkirakan jembatan ini
memiliki panjang total kurang lebih 27,4 km dan waktu pembangunan kurang
lebih 13 tahun.
Lingkup kerja pra-studi pembangunan jembatan Selat Sunda terdiri atas
empat paket, yaitu paket I pemetaan, paket II geologi, paket III pra desain dan
paket IV kajian lingkungan (Wiratman, 2008). Paket I meliputi topografi,
hidrografi (batimetri), sub bottom prifiling (profil dasar laut), oseanografi (arus,
gelombang, pasang surut), studi tsunami, side scan sonar test (citra dasar laut),
magnetometri (pendeteksian obyek logam) dan klimatologi & meteorology. Paket
II meliputi pengeboran dasar laut, studi geologi, geologi teknik, vulkanologi
seismologi dan rekayasa gempa studi geoteknik. Paket III meliputi studi
transportasi, desain geometri (alinyemen horisontal dan vertikal), studi banding,
studi material dan metode konstruksi pra desain jembatan (struktur atas/bawah),
uji terowongan angin, uji hidrodinamika (sedimentasi dan abrasi). Tahap IV
meliputi kajian fisika-kimia, biologi darat dan laut, sosial budaya dan kesehatan
masyarakat.
14
2.6.1. Definisi Jembatan
Jembatan adalah suatu konstruksi yang dibangun untuk melewatkan
angkutan di atas suatu penghalang. Jembatan dibangun untuk memberikan ruang
bagi pejalan kaki, pemandu kenderaan atau kereta api di atas halangan tersebut.
Jembatan terdiri dari enam bagian pokok yaitu:
1. Bagian atas jembatan yaitu bagian struktur jembatan yang berada pada
bagian atas jembatan, berfungsi menampung beban-beban yang
ditimbulkan oleh lalu lintas orang dan kendaraan dan juga yang lain
kemudian menyalurkannya kebangunan bawah.
2. Landasan yaitu bagian ujung bawah dari suatu bagian atas jembatan yang
berfungsi menyalurkan gaya-gaya reaksi dari bangunan atas ke bangunan
bawah.
3. Bagian bawah jembatan yaitu bagian struktur jembatan yang berada di
bawah struktur atas jembatan yang berfunsi untuk menerima/memikul
beban-beban yang diberikan bangunan atas dan kemudian
menyalurkannya ke pondasi.
4. Pondasi yaitu bagian struktur jembatan yang berfungsi untuk menerima
beban beban dari bangunan bawah dan menyalurkannya ke tanah.
5. Oprit yaitu timbunan tanah di belakang bangunan bawah jembatan yang
terletak pada kedua ujung pilar–pilar jembatan (abutment), timbunan
tanah ini harus dibuat sepadat mungkin untuk menghindari terjadinya
settlement.
15
6. Bangunan pengaman jembatan yaitu bagian struktur jembatan yang
berfunsi untuk pengamanan terhadap pengaruh sungai yang bersangkutan
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sumber: Ohio Department of Transportation (2012)
Gambar 4. Bagian pokok jembatan
2.6.2. Tiang Pondasi
Fungsi dari tiang pondasi adalah untuk mendukung seluruh bangunan di
atasnya dan mentransfer beban dari bangunan ke tanah atau batuan. Berbagai
tipe tiang yang digunakan dalam konstruksi pondasi sangat tergantung pada
beban yang bekerja pada pondasi tersebut selain tersedianya bahan yang ada,
juga cara-cara pelaksanaan pemancangannya. Klasifikasi tiang pondasi
berdasarkan tiang meneruskan beban dapat dibedakan menjadi dua (Usman et al.,
2004) yaitu :
1. Tiang tahanan ujung ( End Bearing Pile). Bila ujung tiang mencapai
tanah keras dengan kuat dukung tinggi, maka beban yang diterima akan
diteruskan ketanah dasar pondasi melalui ujung tiang (Gambar 5a).
16
2. Tiang tahanan lekatan antara tiang dengan tanah (Friction piles). Bila
tiang dipancangkan pada tanah dengan nilai kuat gesek tinggi (jenis
tanah pasir), maka beban yang diterima oleh tiang akan ditahan
berdasarkan gesekan antara tiang dan tanah sekeliling tiang (Gambar 5b).
(a)
Sumber: Usman et al., (2004)
(b)
Gambar 5. Model tiang: (a) tahanan ujung, (b) tahanan letakan
antara tiang dengan tanah
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Pengukuran kedalaman laut atau pemeruman pada penelitian ini dilakukan
di perairan Selat Sunda yang dimaksudkan untuk mendapatkan data kedalaman
laut, morfologi dasar laut dan sebaran sedimaen yang terdapat pada perairan
tersebut. Survei ini perlu dilakukan terutama untuk memperoleh gambaran
kedalaman dasar laut dan hubungannya dengan konstruksi jembatan yang akan
dibangun sebagai penghubung antara Pulau Jawa dengan Pulau Sumatra.
Pemeruman dilakukan dengan menggunakan intrumen multibeam tipe SEA
BEAM 1050 D yang terdapat pada kapal riset Baruna Jaya IV (Lampiran 2) milik
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pada tanggal 27 Desember
2010 sampai dengan 1 Januari 2011 di perairan Selat Sunda yaitu pada kordinat
5052’-6002’ LS dan 105045’-106054’ BT. Pemeruman ini dilakukan untuk
mendapatkan morfologi dasar perairan Selat Sunda sebagai perencanaan dalam
pembangunan Jembatan Selat Sunda yang rencananya akan mulai dijalankan pada
awal tahun 2014. Pengolahan data akustik dilakukan di Laboratorium Akustik
dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Balai
Teknologi Survei Kelautan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
Jakarta. Gambar 6 menunjukkan lokasi pemeruman di perairan Selat Sunda.
17
18
Gambar 6. Peta lokasi penelitian di perairan Selat Sunda
3.2. Perolehan Data Penelitian
3.2.1 Data Pasang Surut
Data pasang surut diperoleh dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan
Nasional (BAKOSURTANAL) yang diambil pada bulan Desembar 2010. Stasiun
pengamatan pasang surut terletak di perairan Ciwandan, Banten yaitu pada
kordinat 6001’09” LS dan 105057’03” BT. Stasiun tersebut merupakan tempat
yang sangat dekat dengan daerah peneliatian. Menurut Hasanudin (2009) data
pasang surut yang digunakan sebaiknya data pasang surut lokasi penelitian atau
dari lokasi yang terdekat dengan daerah penelitian. Instrumen yang digunakan
adalah Tide Gauge Valeport 740 (Gambar 7), pengukuran dilakukan selama 30
hari dengan interval waktu pengambilan setiap 1 jam.
Pengukuran pasang surut dilakukan sesuai dengan ketetapan Special
Publication No. 44 (S.44)-IHO yang mejelaskan bahwa pengukuran pasang surut
dilakukan minimal 29 hari untuk mendapatkan data pasang surut yang akurat.
19
Gambar 7. Tide gauge valeport 740
3.2.2 Data Sampel Coring
Data sampel coring diperoleh dari Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi Kelautan (PPPGL). Pengambilan sampel tersebut dilakukan pada
pertengahan bulan Maret sampai dengan awal bulan April tahun 2010. Peralatan
yang digunakan dalam pengambilan contoh sedimen permukaan dasar laut adalah
Gravity core dan grab sampler (Gambar 8). Spesifikasi dari gravity core yang
digunakan dapat terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Spesifikasi gravity core
No
1
2
3
4
5
Spesifikasi
Diameter tabung
Panjang
Pemberat
Panjang kabel
Penggerak
Satuan Alat
2,5 inchi
100 cm
60 kg
150 m
winch (penggerak mesin)
Penggunaan gravity core dan grab sampler bergantung pada kondisi
sedimen di lokasi pengambilan sampel. Penggunaan kedua peralatan dalam
pengambilan sampel juga dilakukan untuk mendapatkan hasil sampel sedimen
20
yang maksimal, sehingga data yang dihasilkan dapat mewakili dan
menginterpretasikan sebaran sedimen di perairan Selat Sunda.
a
b
Gambar 8. Peralatan sampling sedimen pada kapal survei PPPGL; (a)gravity core,
(b) grab sampler
3.2.3 Data Pemeruman
Pengambilan data akustik atau pemeruman dilakukan dengan
menggunakan instrumen SEA BEAM 1050 D multibeam sonar yang dioperasikan
dengan frekuensi 50 kHz. Sebelum dilakukan pemeruman, kapal yang digunakan
harus dilakukan koreksi offset, yaitu penentuan titik referensi kapal. Nilai offset
dari setiap sensor yang digunakan harus dihitung terhadap center line. Nilai offset
tersebut penting untuk melakukan koreksi dari beberapa sensor yang digunakan
terhadap sumbu salib kapal. Berikut merupakan offset dari multibeam ELAC SEA
BEAM 1050 D, DGPS Sea star 8200 VB yang digunakan untuk penentuan posisi
kapal dengan metode Real Time Differensial GPS (RTDGPS) dan Coda Octopus
F180 yang berfungsi untuk melakukan koreksi terhadap pengaruh perubahan
vertikal pada beam (heading, pitching dan rolling) (Gambar 9).
21
Gambar 9. Posisi offset sensor pada Kapal Baruna Jaya IV
Coda Octopus F180 diasumsikan berada tepat pada posisi center line.
Mekanisme koreksi offset dilakukan dengan pendekatan jarak dari masing-masing
instrumen tersebut dibuat nol sehingga ketiga instrumen tersebut diasumsikan
berhimpit (Djunarsjah, 2005). Pada sumbu x nilai -0,530 m artinya posisi offset
Seastar 8200 VB digeser ke arah kiri sejauh 0,530 m sedangkan pada sumbu z,
draft transduser dinaikan sejauh 3,40 m sehingga diasumsikan berhimpit pada
center line. Sistem navigasi yang digunakan dalam Kapal Baruna Jaya IV diatur
dalam perangkat lunak Hypack yang secara langsung terhubung dengan sistem
akuisisi data multibeam ELAC SEA BEAM 1050D.
Pengambilan sampel sedimen atau coring dilakukan oleh Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi Kelautan (PPPGL) pada pertengahan bulan Maret
sanpai dengan awal bulan Mei 2010. Pengambilan sampel sedimen tersebut
dilakukan dengan menggunakan Gravity core dan grab sampler. Secara umum
22
alat yang digunakan untuk mendapatkan data dan pengolahannya pada penelitian
ini dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini:
Tabel 3. Perangkat Keras dan Perangkat Lunak
Perangkat Keras
Perangkat lunak
Multibeam Sonar (SEA BEAM 1050 D)
MB System (Basis Linux)
Personal Computer (PC)
Generic Mapping Tool (GMT)
Gravity core
Caris HIPS & SIPS 6.1
ArcGis 7.2
Grab sampler
Microsoft Excel 2007
Akuisisi data multibeam dilakukan menggunakan perangkat lunak
Hydrostar. Data yang telah diakuisisi selanjutnya diolah menggunakan perangkat
lunak CARIS HIPS and SIPS 6.1 dan MB Systems. Perangkat lunak CARIS HIPS
and SIPS 6.1 digunakan untuk mengolah nilai kedalaman sehingga didapatkan
produk akhir berupa peta batimetri yang divisualisasikan menggunakan perangkat
lunak Generic Mapping Tool (GMT ) baik secara dua dimensi maupun tiga
dimensi. Perangkat lunak MB Systems digunakan untuk melakukan klasifikasi
dasar perairan dengan mencocokan nilai amplitudo yang sudah diinterpolasi
dengan data hasil coring. Informasi yang telah didapatkan kemudian digunakan
sebagai informasi utama dalam perencanaan peletakan tiang jembatan. Gambar
10 merupakan diagram alir sistem akuisisi dan pengolahan data multibeam ELAC
SEABEAM 1050D.
23
Navigasi
(Hypack)
CodaOctopus
F 180
Sea star
8200 VBS
Transducer
LSE 237
CTD/SVP
Akuisisi Data
(Hydrostar)
XSE* Data Processing
MB system
XSE* Data Processing
Caris HIPS and SIPS
Export Amplitudo
Export Kedalaman (xyz)
GMT
GMT 2D dan 3D
Gambar 10. Diagram alir perolehan data multibeam sonar
3.3. Pemrosesan Data
3.3.1 Pemrosesan Data Pasang Surut
Data pasang surut diolah dengan menggunakan Metode admiralty. Metode
admiralty merupakan metode pengolahan data pasut yang disederhanakan untuk
menentukan amplitudo (A) dan fase (G) dari komponen-komponen utama pasang
surut. Pengolahan data pada metode admiralty sangat sederhana yaitu hanya
dengan memasukkan nilai tinggi pasang surut pada program admiralty. Proses
ini akan menghasilkan konstanta pasang surut yang akan digunakan dalam
penentuan tipe pasut dengan bilangan formzahl. Penentuan tipe pasut dengan
menggunakan rumus Formzahl adalah sebagai berikut :
24
………………………………………….…(4)
Keterangan:
F
K1 dan O1
M2 dan S2
= nilai Formzahl
= amplitudo komponen pasut diurnal
= amplitudo komponen pasut semidiurnal
Dengan kisaran nilai Formzahl:
0.00 < F ≤ 0,25
= tipe pasut semidiurnal
= tipe pasut campuran cenderung semidiurnal
0,25 < F ≤ 1,50
1,50 < F ≤ 3,00
= tipe pasut campuran cenderung diurnal
= tipe pasut diurnal
F ≥ 3,00
Setelah bilangan formzahl diperoleh, maka dapat ditentukan tipe pasang
surut pada lokasi penelitian. Secara garis besar langkah yang digunakan pada
metode admiralty tampak seperti pada diagram alir di bawah ini.
Open Admiralty.Xls
Input Data Pasang Surut
Diperoleh Konstanta
Pasang Surut
Hitung Konstanta dengan
Rumus Formzahl
Lihat Kisaran
Bilangan Formzahl
Tipe Pasang Surut
Gambar 11. Diagram alir pengolahan data pasang surut dengan metode admiralty
25
3.3.2 Pemrosesan Data Kedalaman
Pengolahan data kedalaman dilakukan menggunakan perangkat lunak
CARIS HIPS&SIPS 6.1 milik BPPT dengan nomor seri CW9605878. Tahap awal
pengolahan data adalah pembuatan file kapal (Vessel file). Vessel file berisi nilai
jarak setiap sensor yang direferensikan terhadap titik pusat kapal (centre line).
Proses berikutnya, yaitu pembuatan proyek baru (create new project) denga
menggunakan vessel file yang telah dibuat. Setelah proyek dibuat, data
kedalaman dalam bentuk *XSE diubah menjadi hsfmenggunakan menu
Conversion Wizard sehingga data tersebut dapat diproses dalam perangkat lunak
CARIS HIPS&SIPS 6.1.
Data kedalaman tersebut selanjutnya dikoreksi (Clean Auxiliary Sensor
Data) menggunakan menu Swath Editor untuk menghilangkan ping yang
dianggap buruk, menu Altiutde Editor dan Navigation Editor kemudian digunakan
untuk menghilangkan pengaruh pergerakan dan kecepatan kapal yang memiliki
nilai diluar kisaran. Setelah koreksi data dilakukan kemudian masukan parameter
yang mempengaruhi nilai kedalaman, yaitu pasang surut dan kecepatan
gelombang suara masing-masing melalui menu Load Tide dan Sound Velocity
Correction. Data tersebut kemudian digabungkan (Merging) untuk mendapatkan
hasil akhir berupa peta batimetri. Peta batimetri tersebut kemudian diexport
kedalam bentuk ASCII sehingga dapat divisualisasikan menggunakan GMT
secara tiga dimensi. Gambar 12 merupakan diagram alir pemrosesan data data
kedalaman dengan CARIS HIPS&SIPS 6.1.
26
Create a Vessel File
Create New Project
Convert Raw Data
Swath Editor
Clean Auxiliary Sensor
Data
Altitude Editor
Navigation Editor
Load Tide
Merge
Sound Velocity
Correction
New Field Sheet
Base Surface
Product Surface
Export to ASCII
GMT 3D
Gambar 12. Diagram alir pemrosesan data kedalaman pada perangkat lunak
CARIS HIPS&SIPS 6.1
27
3.3.3 Pemrosesan Data Amplitudo
Data amplitudo yang diperoleh harus dilakukan beberapa kalibrasi
menggunakan softwawe MB System. Beberapa kalibrasi yang dilakukan adalah
kedalaman perairan, kecepatan suara dan navigasi kapal. Masing-masing beam
akan memancarkan gelombang suara hingga mengenai dasar perairan yang
kemudian dipantulkan kembali dan diterima oleh receiver. Sinyal yang diterima
receiver akan disimpan dengan format *.XSE, data ini merupakan data mentah.
MBCLEAN merupakan proses penyaringan secara otomatis yang
dilakukan oleh alat untuk beam yang menghasilkan nilai buruk. MBEDIT
merupakan tindak lanjut MBCLEAN dengan memberikan visualisasi terhadap nilai
kedalaman yang akan dikoreksi. MBNAVEDIT merupakan kalibrasi yang
dilakukan terhadap gerakan kapal seperti heave, picth dan roll.
MBVELOCITYTOOL merupakan proses kalibrasi terhadap besarnya
kecepatan suara selama pengambilan data berlangsung. MBBACKANGEL
merupakan kalibrasi yang dilakukan dengan cara memunculkan tabel amplitudo
dengan grazing angel yang digunakan sebagai acuan untuk nilai amplitudo
dengan kedalaman. MBPROSES meruapakan proses yang dilakukan untuk
mengabungkan semua kalibrasi dan menghasilkan keluaran data dengan format
*.mb94.
Klasifikasi dasar perairan merupakan pemetaan sebaran jenis sedimen
yang terdapat pada suatu perairan. Sedimen pada suatu perairan cenderung
didominasi oleh satu atau beberapa jenis partikel, akan tetapi mereka tetap terdiri
dari ukuran yang berbeda-beda (Hutabarat dan Evants, 1985). Setiap sampel
meliliki posisi berupa bujur dan lintang, nilai amplitudo jenis sedimen dapat
28
diketahui dengan cara mencocokkan posisi atau kordinat pada sampel coring
dengan data hasil ekstrak. Penentuan nilai amplitudo dilakukan pada titik
kordinat pada beam yang memiliki kordinat sama dengan posisi sampel coring,
kemudian diambil beberapa penarikan contoh nilai amplitudo di sekitar titik
sampel coring serta pada ping sebelum dan sesudah pada beam yang sama di
pengambilan coring.
Proses berikutnya adalah menampilkan peta sebaran sedimen berdasarkan
nilai amplitudonya. Gambar 13 merupakan diagram alir pemrosesan nilai
amplitudo pada perangkat lunak MB System. Peletakan tiang jembatan Selat
Sunda disesuaikan dengan melihat sebaran jenis sedimen yang ada pada perairan
tersebut.
MBCLEAN
Raw Data
(*XSE)
Koreksi (*XSE)
MBEDIT
MBPROCESS
MBNAVEDIT
Output *mb94
MBVELOCITYTOOL
Data Acoustic
MBBACKANGLE
Data Hasil Coring
Klasifikasi jenis sedimen
dasar laut
Peta klasifikasi dasar
perairan
Gambar 13. Diagram alir pemrosesan data amplitudo pada perangkat lunak MB
System
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pasang Surut
Pasang surut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya
permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi
dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama oleh matahari dan
bulan. Data hasil pengamatan diuraikan menjadi komponen harmonik. Hasil
akhir perhitungan dengan menggunakan metode admiralty dapat dilihat pada
Tablel 4 berikut.
Tabel 4. Konstanta harmonik di lokasi penelitian
S0
M2
S2
N2
A (cm) 136.5 21.65 10.88 3.04
103.38 25.47 247.63
G0
K1
O1
M4
MS4
K2
P1
12.24
4.66
0.26
0.94
2.94
4.04
264.87
353.6
210.29
148.98
25.47 264.87
Keterangan :
A
= Amplitudo harmonik ke-n
= Fase perlambatan
G0
S0
= Muka laut rata-rata (mean sea level)
= Konstanta harmonik yang dipengaruhi oleh posisi bulan
M2
S2
= Konstanta harmonik yang dipengaruhi oleh posisi matahari
N2
= Konstanta harmonik yang dipengaruhi oleh perubahan jarak bulan
= Konstanta harmonik yang dipengaruhi oleh deklinasi bulan dan matahari
K1
O1
= Konstanta harmonik yang dipengaruhi oleh deklinasi bulan
M4
= Konstanta harmonik yang dipengaruhi oleh pengaruh ganda M2
MS4 = Konstanta harmonik yang dipengaruhi oleh interaksi antara M2 dan S2
K2
= Konstanta harmonik yang dipengaruhi oleh perubahan jarak matahari
= Konstanta harmonik yang dipengaruhi oleh deklinasi matahari
P1
Konstanta harmonik tersebut dapat digunakan untuk berbagai keperluan,
yaitu koreksi batimetri. Menurut Sasmita (2008) untuk mengurangi kesalahan,
nilai kedalaman yang didapatkan dari pemeruman dikoreksi dengan menggunakan
nilai Mean Sea Level (MSL) sehingga menghasilkan data kedalaman yang akurat.
Selain itu juga konstanta harmonik berguna untuk menghitung berbagai elevasi
29
30
atau chart datum yang dapat digunakan sebagai referensi ketinggian dengan
diikatkan ke bench mark.
Berdasarkan konstanta harmonik di atas diperoleh nilai bilangan formzahl
sebesar 0,52. Hal ini menujukkan bahwa pada lokasi penelitian mempunyai tipe
pasang surut campuran. Hasil ini menunjukkan hasil yang sama dengan hasil
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Witasari dan Rubiman (2003),
menjelaskan pasang surut di perairan Selat Sunda memiliki tipe pasang surut
campuran dominan ganda. Gambar 14 menunjukan pasang surut di lokasi
penelitian dengan sumbu x sebagai waktu pengambilan data dan sumbu y sebagai
tinggi pasang surut. Nilai kisaran pasang surut di lokasi penelitian sebesar 0,851,68 m.
Gambar 14. Pasang surut di lokasi penelitian pada bulan Desember 2010
Pasang surut tipe campuran merupakan tipe pasang surut yang
memungkinkan dalam sehari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut
dengan tinggi dan periode yang berbeda. Data pasang surut pada suatu wilayah
dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam pembangunan infrastruktur,
khususnya dalam pemodelan desain konstruksi. Nilai MSL yang diperoleh 136,5
cm, nilai inilah yang digunakan dalam pengoreksian data kedalaman dari hasil
31
pemeruman. Nilai MSL diartikan sebagai tinggi muka air rata-rata antara muka
air tinggi rata-rata dan muka air rendah rata-rata, elevasi ini sering digunakan
sebagai referensi elevasi di daratan. Siswanto (2010) menyatakan bahwa tipe
pasang surut campuran mempunyai pengaruh yang relatif kecil terhadap sebaran
dan distribusi sedimen permukaan dasar, sehingga hal demikian sesuai bila pada
perairan ini akan dibangun sebuah jembatan.
4.2. Profil Batimetri
Profil batimetri dapat memberikan informasi mengenai struktur dan asal
pembentukan dasar laut karena dasar perairan sendiri dapat berupa pasir, lumpur,
atau batuan. Profil batimetri merupakan informasi awal dalam pertimbangan
kegiatan bawah laut seperti pemasangan kabel dan peletakan pipa bawah laut.
Kemiringan dan unsur yang menyusun dasar perairan merupakan hal yang sangat
dipertimbangkan dalam kegiatan tersebut. Jalur pipa dan kabel bawah laut
ditentukan secara optimal dengan mengacu pada peta geologi dasar laut.
Perairan Selat Sunda merupakan perairan yang sangat unik karena perairan
tersebut mendapatkan pengaruh dari dua perairan yang berbeda yaitu dari perairan
Laut Jawa sebagai perairan dangkal dan dari perairan Samudra Hindia. Gambar
15 merupakan jalur atau track kapal survei batimetri yang dilakukan di lokasi
penelitian oleh BPPT.
32
P. Sangiang
Gambar 15. Track kapal survei batimetri di lokasi penelitian
Profil batimetri perairan Selat Sunda mempunyai gradasi yang nyata, hal
tersebut ditunjukkan dari hasil pemeruman kedalaman bervariasi antara 17,5 m
sampai dengan 175 m. Perubahan kedalaman terjadi secara bergradasi mulai dari
perairan Banten dan berangsur-angsur bertambah dalam menuju ke perairan
Lampung.
Nilai keakuratan data yang diperoleh selama akuisisi dijaga agar selalu
tinggi. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan peta batimetri yang akurat.
Berdasarkan ketentuan IHO Tahun 2008, lokasi penelitian termasuk dalam orde
dua dengan ketelitian horizontal sebesar 150 meter. Spasi lajur perum maksimum
orde ini yaitu empat kali kedalaman rata-rata. Special Publication No. 44 (S.44)IHO Tahun 1998 menjelaskan bahwa skala pemeruman menentukan resolusi dari
33
peta batimetri yang dihasilkan (Lampiran 3). Gambar 16 merupakan profil tiga
dimensi batimetri lokasi penelitian.
E
E
E
E
0
5 52’ S
5052’ S
5054’ S
5054’ S
5056’ S
5056’ S
P. Sangiang
5058’ S
5058’ S
6000’ S
6000’ S
6002’ S
6002’ S
E
E
E
Gambar 16. Profil 3 dimensi batimetri lokasi penelitian
E
34
Gambar 16 menunjukkan profil batimetri Selat Sunda yang diperoleh dari
hasil pemeruman, dimana pada gambar tersebut terlihat pola batimetri yang tidak
rata. Hasil pemeruman menujukkan bahwa perairan ini termasuk dalam kategori
perairan dangkal dengan kedalaman rata-rata antara 35-52,5 m. Kedalaman
perairan yang terdeteksi menunjukkan adanya variasi kedalaman yang berbeda
untuk setiap posisi lintang dan bujur, ada yang berupa paparan dan ada juga yang
berupa slope.
Kedalaman tertinggi berada kordinat 5054’32,14” LS dan 105047’19,21” BT
dengan nilai kedalaman antara 157,5-175,5 m. Posisi tersebut merupakan sebuah
palung, yaitu dasar laut yang dalam yang biasanya diakibatkan oleh menyusupnya
lempeng samudera ke bawah lempeng benua. Jadi lokasi palung berada di
daerah-daerah tumbukan lempeng benua dan samudera. Kedalaman palung
sangat berbeda dengan kedalaman di daerah sekitarnya. Selain itu juga palung
terdapat pada kordinat 6000’58,12” LS dan 105051’46,38” BT. Palung pada
kordinat ini terbentuk lebih lebar namun memiliki kedalaman yang berbeda, yakni
lebih dangkal berkisar antara 140-157,5 m.
4.3. Klasifikasi Dasar Perairan
Sedimen laut merupakan akumulasi dari mineral-mineral dan pecahanpecahan batuan yang bercampur dengan hancuran cangkang dan tulang dari
organisme laut serta beberapa partikel lain yang terbentuk melalui proses kimia
yang terjadi di laut (Gross, 1999). Selat sunda mempunyai jenis sedimen yang
beragam, menurut Helfinalis (2003) jenis sedimen di dasar perairan Selat Sunda
terdiri atas clayey silt, sand, silty clay, clayey sand, silt, silty sand dan sandy silt.
35
Jenis sedimen clayey silt tersebar dari perairan barat Banten hingga ke sisi
perairan timur Bakauhuni. Penyebaran tersebut sangat dipengaruhi oleh aktifitas
arus yang melintasi perairan Selat Sunda.
Klasifikasi jenis sedimen dasar laut dapat dilakukan dengan menggunakan
nilai sebaran amplitudo, yaitu kuatnya intensitas sinyal suara yang diterima oleh
receiver dalam bentuk energi listrik. Data amplitudo difilter dan diinterpolasi
dengan menggunakan metode Gaussian Weighted Mean. Pemilihan metode
tersebut dilakukan untuk mendapatkan nilai amplitudo seluruh lokasi
pemeruman. Gaussian Weighted Mean melakukan pemfilteran terhadap data
amplitudo dari setiap beam. Amplitudo pada metode ini merupakan fungsi
eksponensial dari arah antar beam dan normal factor. Nilai amplitudo yang
digunakan sebagai patokan dalam klasifikasi jenis sedimen dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti source level, frekuensi yang digunakan, sudut datang,
jarak kolom air, kekerasan, kekasaran, ukuran butiran, densitas dan luas
permukaan (Urick, 1983).
Berdasarkan data survei PPPGL terdapat 22 stasiun pengambilan data
sampel coring dengan jenis sedimen yang teridentifikitasi yaitu silty sand, sandy
silt, sand dan rocks (Lampiran 4). Setiap sampel coring memiliki data posisi atau
kordinat, kordinat tersebut dioverlay terhadap nilai amplitudo yang dihasilkan dari
hasil pemeruman. Setiap jenis sedimen akan mempunyai kisaran amplitudo, nilai
inilah yang digunakan untuk klasifikasi dasar perairan. Kisaran nilai amplitudo
dari setiap jenis sedimen dapat dilihat pada Gambar 17.
36
Gambar 17. Grafik sebaran nilai amplitudo berdasarkan data coring
Pengambilan data sampel coring dilakukan di sekitar jalur penelitian.
Gambar 17 menunjukkan sebaran nilai ampltitudo dasar perairan yang diperoleh
dari data pemeruman yang telah diekstrak dengan mencocokkan kordinat sampel
coring. Berdasarkan hasil pencocokan tersebut diperoleh sebaran nilai amplitudo
dengan nilai minimum sebesar 250 dan nilai maksimum sebesar 500. Kisaran
nilai amplitudo tersebut didasarkan pada jenis sedimen yang ditemui dari hasil
pengambilan sampel coring, dimana terdiri atas empat jenis sedimen yaitu, silty
sand, sandy silt, sand dan rocks. Keempat jenis sedimen tersebut kemudian
diplotkan kedalam peta klasifikasi dasar perairan.
Penelitian mengenai klasifikasi jenis sedimen dasar laut menggunakan
nilai amplitudo dicocokkan dengan hasil pengambilan sampel coring telah
dilakukan oleh Aritonang pada tahun 2010 di perairan Labuhan Maringgai
(Lampung)-Bojonegara (Banten) menggunakan data multibeam Elac Seabeam
1050 D. Penelitian yang sama dilakukan oleh Gumbira pada tahun 2011 sebagai
37
pertimbangan dalam kegiatan peletakan pipa bawah laut di perairan Balongan,
Indramayu. Hasil penelitian tersebut menujukkan sebaran sedimen di lokasi
penelitain dengan kisaran ampltitudo tertentu yang bergantung pada jenis
sedimennya. Tabel 5 memperlihatkan kisaran ampltitudo dan jenis sedimen dari
penelitian yang pernah dilakukan.
Tabel 5. Kisaran ampltitudo dan jenis sedimen di lokasi penelitian
Peneliti
Aritonang
(2010)
Gumbira
(2011)
Penelitian ini
(2012)
Kisaran
Amplitudo
311-352
352-399
399-428
300-350
350-400
400-450
250-297
297-360
360-403
403-500
Jenis Sedimen
Silty clay
Clayey silt
Sandy silt
Silt
Silty clay
Clayey silt
Silty Sand
Sandy Silt
Sand
Rocks
Ukuran Butiran
(mm)
0,004-0,062
<0,004
0,062-2
0,01-0,08
0,008-0,01
0,001-0,01
0,004-0,04
0,04-0,062
0,062-2
> 256
Dasar perairan laut memiliki karakteristik memantulkan dan
menghamburkan kembali gelombang suara seperti halnya permukaan perairan
laut. Perbedaan nilai amplitudo yang didapatkan disebabkan kedalaman kolom
perairan dan ukuran butiran sedimen yang berbeda (Urick, 1983). Nilai amplitudo
yang berada di luar kisaran dianggap sebagai data yang tidak terdeteksi. Nilai
amplitudo difilter sehingga hanya dihasilkan nilai amplitudo dari lokasi penelitian.
Nilai inilah yang kemudian dianalisis lebih lanjut untuk melihat sebaran sedimen
di lokasi penelitian. Gambar 18 merupakan perbedaan antara nilai ampltitudo
yang belum difilter dan setelah difilter.
38
P. Sangiang
a
P. Sangiang
b
Gambar 18. Kisaran nilai amplitudo: (a) sebelum difilter, (b) setelah difilter
Gambar 18a merupakan kisaran nilai amplitudo pada lokasi penelitian
yang belum difilter. Pada gambar tersebut terdapat dua kisaran nilai amplitudo
yang mempunyai selang sangat besar, pertama pada nilai amplitudo terendah yaitu
pada selang -371,096 ke 267,273 dan kedua terdapat pada akhir selang yaitu dari
398,735 ke 1300,730. Nilai ini diindikasi berasal dari data yang tidak terdeteksi,
sehingga untuk selanjutnya kisaran nilai ini tidak diperlukan. Kisaran nilai
ampltitudo yang tidak diperlukan dibuang atau difilter melalui perangkat lunak
MB System berbasis linux. Pemfilteran ini dilakukan secara manual dengan cara
mengamati kisaran nilai amplitudo kemudian mengubah nilai dan selang
amplitudo yang benar-benar berasal dari lokasi penelitian. Setelah dilakukan
pemfilteran kisaran nilai amplitudo pada lokasi penelitian berada pada selang 250500 (Gambar 18b), nilai inilah yang kemudian dipakai untuk melihat sebaran
sedimen.
39
Peta klasifikasi dasar perairan memperlihatkan sebaran jenis sedimen yang
teramati secara spasial melalui pemeruman. Data hasil pemeruman yang diolah
menjadi peta klasifikasi dasar perairan merupakan hasil olahan nilai amplitudo
yang terdeteksi. Klasifikasi dasar perairan pada penelitian ini dimulai dari
perairan di sekitar Banten sampai ke perairan Lampung. Kisaran nilai amplitudo
dari 250-500 terdiri atas empat jenis sedimen, dimana setiap jenis sedimen
mempunyai kisaran nilai amplitudo yang berbeda-beda.
Perairan Selat Sunda merupakan perairan yang sangat unik, hal demikian
terlihat pada sebaran sedimen yang berbeda dengan perairan yang lain. Perairan
Selat Sunda mendapatkan pengaruh dari dua perairan yang mempunyai karakter
berbeda yaitu Laut Jawa dan Samudera Hindia. Laut Jawa relatif mempunyai
aktifitas oseanografi yang lemah, berbeda dengan perairan Samudera Hindia yang
mempunyai aktifitas oseanografi yang relatif lebih tinggi. Hal tersebut
berpengaruh terhadap sebaran sedimen di sekitar Pulau Sangiang, dimana pada
sebelah barat pulau sangiang jenis sedimen didominasi oleh rocks dan di sebelah
timur didominasi oleh sandy silt. Hal ini terjadi karena energi atau arus yang
berasal dari perairan Samudera Hindia lebih besar dari arus Laut Jawa yang
bergerak ke arah perairan Selat Sunda, sehingga partikel yang berukuran kecil
akan terbawa oleh energi atau arus yang berasal dari perairan Samudera Hindia ke
sebelah timur dan timur laut Pulau Sangiang. Gambar 19 merupakan peta
klasifikasi jenis sedimen dasar perairan di sekitar perairan Selat Sunda.
40
E
E
E
E
5052’ S
5052’ S
5054’ S
5054’ S
5056’ S
5056’ S
P. Sangiang
5058’ S
5058’ S
6000’ S
6000’ S
6002’ S
Silty sand
Sandy silt
Sand
Rocks
E
6002’ S
E
E
E
Gambar 19. Peta klasifikasi jenis sedimen dasar perairan di lokasi penelitian
Klasifikasi jenis sedimen dasar perairan yang terlihat pada gambar di atas
sebagian besar ditutupi oleh jenis sedimen sandy silt dengan persen penutupan
41
sebesar 49%. Kisaran nilai amplitudo jenis sedimen ini berada pada 297-360.
Sandy silt di lokasi penelitian menyebar secara merata yaitu dari perairan di
sekitar Banten sampai ke perairan Lampung. Helfinalis (2003) menyatakan
bahwa endapan sedimen di perairan Ciwandan dan perairan Anyer didominasi
oleh kerikil dan pasir. Jenis sedimen berikutnya yaitu silty sand dengan persen
penutupan sebesar 18,22%. Jenis sedimen ini terfokus pada perairan Selatan
Lampung yaitu pada kordinat 5052’-5056’ LS dan 105047’-105050’ BT. Selain itu
silty sand juga berada di sebelah selatan Pulau Sangiang. Rocks atau batuan
hanya berada di sebelah barat Pulau Sangiang dengan persen penutupan sebesar
11,69%. Jenis batuan dari hasil coring merupakan batuan yang berupa pecahanpecahan karang. Jenis sedimen yang terakhir yaitu sand dengan persen penutupan
sebesar 16,82% yang berada di sekitar pulau Sangiang dan sebagian kecil
menyebar di sepanjang jalur penelitian.
Pada peta klasifikasi dasar perairan terdapat spot-spot yang berwarna
hitam, bagian ini merupakan bagian yang tidak teridentikasi atau bagian yang
tidak termasuk ke dalam selang nilai amplitudo yang ada. Nilai amplitudo yang
lebih besar dari 500 diartikan bahwa jenis sedimen yang tidak teridentifikasi lebih
keras dari jenis sedimen rocks sedangkan nilai amplitudo yang lebih kecil dari 250
diartikan bahwa jenis sedimen lebih lunak dari silty sand. Dengan demikian nilai
amplitudo yang lebih besar dari 500 dan lebih kecil dari 250 dikatakan sebagai
kelas yang tidak teridentifikasi. Jenis sedimen yang tidak teridentifikasi memiliki
persen penutupan sebesar 4,27%. Gambar 20 merupakan presentasi sebaran
sedimen di lokasi penelitian.
42
Gambar 20. Persentase sebaran sedimen di lokasi penelitian
Sedimen di laut tersusun oleh 4 komponen pokok yang diklasifikasikan
berdasarkan asal-usulnya, yaitu sebagai sedimen terigenik (dari daratan dan
lingkungan vulkanik), biogenik (dari aktifitas organisme), halmirogenik (dari
reaksi inorgenik) dan kosmogenik (dari luar angkasa). Menurut Rubiman (2003),
sedimen di perairan Selat Sunda tersusun dari endapan biogenik, terigenik dan
halmirogenik. Jenis sedimen pada penelitian ini umumnya didominasi oleh jenis
sedimen golongan biogenik yaitu jenis sedimen yang berasal dari organisme laut
yang telah mati terdiri atas remah-remah tulang, gigi-geligi dan cangkangcangkang tanaman maupun hewan mikro. Hasil coring menunjukkan jenis
sedimen pada lokasi penelitian berasal dari cangkang-cangkang organisme dan
batuan berasal dari pecahan karang (Lampiran 5).
43
4.4. Ketentuan Pembangunan Jembatan
Penelitian ini mengkaji pra-studi pembangunan jembatan Selat Sunda
hanya pada dua parameter dari paket I yaitu profil batimetri dan pasang surut.
Profil batimetri di perairan Selat Sunda sangat bervariasi, seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya kedalamannya bergradasi mulai dari perairan Banten yang
berangsur-angsur bertambah dalam menuju ke perairan Lampung. Berdasarkan
hasil pemeruman yang telah dilakukan kedalaman berkisar antara 17,5-175 m.
Perairan Selat Sunda yang merupakan penghubung Pulau Sumatera dan
Pulau Jawa memiliki kondisi batimetri yang sangat bervariasi. Pada umumnya
perairan sebelah timur bagian utara Selat Sunda cukup dangkal dengan kedalaman
rata-rata berkisar antara 20 hingga 80 m, sedangkan untuk perairan sebelah barat
bagian selatan Selat Sunda pada umumnya masih terpengaruh oleh kedalaman
dari Samudera Hindia yaitu kedalamannya lebih dari 100 m. Informasi
kedalaman ini merupakan informasi awal yang sangat penting untuk melihat
dimana lokasi peletakan tiang beton yang cocok agar dapat menopang beban
dalam jangka waktu yang sangat lama. Gambar 21 merupakan rencana peletakan
tiang beton dan jembatan gantung ultra panjang pada jembatan Selat Sunda.
44
7
6
5
4
3
2
1
Jembatan Beton
Jembatan Gantung Ultra-Panjang
Sumber: Wiratman, 2008
Gambar 21. Rencana peletakan tiang beton dan jembatan gantung ultra panjang
pada jembatan Selat Sunda
Berdasarkan hasil penelitian ini rencana peletakan tiang tersebut bisa
dikatakan sesuai, dengan melihat kedalaman pada lokasi satu (Gambar 21).
Lokasi tersebut mempunyai kedalaman berkisar 17-35 m, dimana pada lokasi
tersebut terdapat punggungan laut. Menurut Usman et al., 2004 menyatakan
bahwa punggungan laut dapat berfungsi sebagai tempat peletakan tiang pondasi di
laut. Namun untuk mengetahui kekuatan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
seperti dikorelasikan dengan data seismik. Hal yang sama terlihat pada lokasi 2,
45
adanya punggungan laut yang lebih besar daripada wilayah 1. Pemasangan tiang
berikutnya akan dilakukan di daratan Pulau Sangiang, dimana pada daerah ini
tidak dilakukan pengamatan. Peletakan tiang pada Pulau Sangiang perlu
dilakukan pengkajian lebih lanjut mengenai struktur tanah pada pulau tersebut.
Lokasi 4 dan 5 tidak dapat ditentukan kesesuaian peletakan tiang, hal ini
dikarenakan tidak adanya data kedalaman pada wilayah tersebut. Lokasi 6 dan 7
berada di luar lokasi penelitian. Gambar 22 merupakan rencana peletakan tiang
beton yang diplotkan terhadap batimetri lokasi penelitian.
5
4
P. Sangiang
3
2
1
Gambar 22. Lokasi peletakan tiang beton pada jembatan Selat Sunda
46
Ketinggian tiang peyangga juga harus diperhatikan karena antara Pulau
Prajurit dan Pulau Sangiang merupakan jalur Alur Layar Kepulauan Indonesia
(ALKI), sehingga adanya jembatan Selat Sunda diharapkan tidak akan
mengganggu aktifitas pelayaran pada perairan tersebut.
Selain kedalaman perairain peletakan tiang juga memperhatikan jenis
sedimen pada wilayah yang akan dijadikan tempat penempatan tiang. Lokasi 1
dan 2 memiliki jenis sedimen sandy silt, jenis sedimen ini merupakan jenis
sedimen yang mempunyai gaya gesek yang tinggi. Menurut Usman et al, (2004)
jenis tiang yang digunakan adalah tiang tahanan lekatan antara tiang dengan
tanah (Friction piles) yaitu bila tiang dipancangkan pada tanah dengan nilai kuat
gesek tinggi (jenis tanah pasir), maka beban yang diterima oleh tiang akan ditahan
berdasarkan gesekan antara tiang dan tanah di sekeliling tiang.
Pasang surut dilokasi penelitian merupakan tipe pasang surut campuran
yaitu memungkinkan dalam sehari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air
surut dengan tinggi dan periode yang berbeda. Tipe pasang surut pada lokasi
penelitian menunjukkan range yang tidak begitu besar antara kondisi pasang dan
pada saat surut. Siswanto (2010) menyatakan bahwa tipe pasang surut ini
mempunyai pengaruh yang relatif kecil terhadap sebaran dan distribusi sedimen
permukaan dasar laut. Hal tersebut dirasa cocok apabila pada perairan ini akan
dibangun jembatan karena aktifitas gerusan sedimen yang relatif kecil. Namun
untuk lebih memastikan perlu dilakukan pengamatan lebih serius terhadap arus,
baik arus permukaan maupun arus dalam.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Pasang surut di lokasi penelitian termasuk kedalam jenis campuran. Nilai
MSL yang diperoleh 136,5 cm, nilai inilah yang digunakan dalam pengoreksian
data kedalaman dari hasil pemeruman. Profil batimetri perairan Selat Sunda
mempunyai gradasi yang nyata, hal tersebut ditunjukkan dari hasil pemeruman
kedalaman bervariasi antara 17,5 m sampai dengan 175 m. Berdasarkan hasil
pemeruman terdapat dua palung dengan kedalaman dan ukuran yang berbeda.
Klasifikasi jenis sedimen dasar laut dapat dilakukan dengan menggunakan nilai
sebaran amplitudo yaitu kuatnya intensitas sinyal suara yang diterima oleh
receiver dalam bentuk energi listrik. Hasil pemeruman menunjukkan kisaran nilai
amplitudo pada lokasi penelitian berkisar antara 250-500, dimana pada selang
nilai amplitudo tersebut terdapat empat jenis sedimen yaitu silty sand, sandy silt,
sand dan rocks.
Berdasarkan hasil penelitian ini rencana peletakan tiang bisa dikatakan
sesuai yaitu pada lokasi 1 dan 2. Kedua lokasi tersebut merupakan punggung laut
dengan kedalaman berkisar antara 17-35 m, namun untuk mengetahui kekuatan
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut seperti dikorelasikan dengan data seismik.
Selain itu, perairan Selat Sunda memiliki tipe pasang surut campuran dimana tipe
pasang surut ini mempunyai pengaruh yang relatif kecil terhadap sebaran dan
distribusi sedimen permukaan dasar laut.
47
48
5.2. Saran
Disarankan untuk penelitian berikutnya dalam bidang yang sama
menggunakan data yang lengkap, sehingga dalam interpretasi tidak mengalami
kesulitan. Selain itu juga perlu dilakukan pengkajian khusus mengenai jenis
sedimen dan lapisannya serta kecepatan arus, baik arus permukaan maupun arus
dalam sebagai perencanaan dalam pembangunan jembatan.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson JT, DV Holliday, R Kloser, DG Reid, and Y Simrad. 2008. Acoustic
Saebed Classification: Current Practice and Future Direction.-ICES
J.Mar.Sci, 5: 1004-1011.
Aritonang FML. 2010. Pengukuran Kedalaman dan Klasifikasi Dasar Laut
Menggunakan Instrumen Sea Beam 1050 D Multibeam Sonar. Skripsi
[Tidak Dipublikasikan]. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Bishop JM. 1984. Aplied Oceanography. John Willey and Sons, Inc. New York.
Burczynski J. 2002. Bottom Classification. BioSonics, Inc.
(http://www.BioSonics.com). [8 November 2011].
Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga Direktorat Bina
Teknik, 2009. Prosedur Operasional Standar Penyelenggaraan Jembatan
Khusus (Pertimbangan Penghubungan Tetap Jembatan Antar Pulau,
Teluk, & Sungai Besar). Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal
Bina Marga Direktorat Bina Teknik. Jakarta.
Diaz JVM. 2000. Analysis of Multibeam Sonar Data for the Characterization of
Seafloor Habitats. The University Of New Brunswick. New Brunswick.
Djunarsjah E. 2005. Diktat Hidrografi II. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Gross MG.1990. Oceanography : A View of Earth. Prentice Hall, Inc. Englewood
Cliff . New Jersey.
Gumbira G. 2011. Aplikasi Instrumen Multibeam Sonar Dalam Kegiatan
Peletakan Pipa Bawah Laut (Contoh Studi Perairan Balongan). Skripsi
[Tidak Dipublikasikan]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Hasanudin M. 2009. Pemetaan Dasar Laut Menggunakan Multibeam Echosounder.
Oseana. 34(1): 1-8.
Hutabarat S dan M. E.Stewart. 2000. Pengantar Oseanografi. UI – Press. Jakarta.
Helfinalis. 2003. Sedimen dan penyusupan massa air laut Samarinda Hindia ke
Perairan selat Sunda berdasarkan kandungan suspensi di perairan Selat
Sunda. Jurnal Pesisir dan Pantai Indoneia. 9: 23-29.
IHO. 2008. Standards For Hydrographic Surveys. International Hydrographic
Bureau. Monaco.
49
50
Kagesten G. 2008. Geological Seafloor Mapping with Backscatter Data From A
Multibeam Echo Sounder. Department of Earth Sciences, Gothenburg
University. Gothenburg.
Kloser RJ, Bax NJ, Ryan T, Williams A. dan Baker B A. (2001). Remote sensing
of seabed types in the Australian South East Fishery – development and
application of normal incident acoustic techniques and associated ground
truthing. Journal of Marine and Freshwater Research. 552: 475-489.
Kurnio H, Hadjawidjaksana K. 1995. Aliran derbis pembangkit tsunami pada
letusan Krakatau 1883. Kelautan Nasional. 5: 12-23.
L-3 Communications SeaBeam Instruments. 2003. Multibeam Sonar Theory of
Operation.(http://www.mbari.org/data/mbsystem/sonarfunction/SeaBeam
MultibeamTheoryOperation.pdf ) [3 November 2011]
Munandar HM. 2008. Deteksi dan Kuantifikasi Bottom Acoustic Back Scattering
Strength dengan Instrumen Echo Sounder. Prosiding: Instrumentasi
Berbasis Fisika 2008, 28 Agustus 2008. Bandung. Laboratorium
Elektronika dan Intrumentasi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Mustazir dan Vaza H. 2008. Gagasan dan konsep analisa kontruksi jembatan
bentang panjang. Majalah kontruksi jalan. 12: 1-18.
Ohio Department of Transportation. 2012. Bridge Terms Definitions
(http://www.dot.state.oh.us/Divisions/Communications/BridgingtheGap/P
ages/BridgeTermDefinitions.aspx) [28 Juli 2012]
Parkinson BW. (1996), Echosounder: Theory and Applications, Chap. 1:
Introduction and Heritage of NAVSTAR, the Global Positioning System.
American Institute of Aeronautics and Astronautics. Washington DC.
[PPDKK BAKOSURTANAL] Pusat Pemetaan Dasar Kelautan dan
Kedirgantaraan . 2004. Norma Pedoman Prosedur Standar dan Spesifikasi
survei Hidrografi.
http://www.bakosurtanal.go.id/upl_file/tutorial/survei_hidrografi.doc. [22
November 2011].
Poerwo P. 2008. Segera Bangun Jembatan Selat Sunda. Ditjen Penataan Ruang
Departemen PU. Jakarta.
Pujiyati S. 2008. Pendekatan Metode Hidroakustik Untuk Analisis Keterkaitan
Antara Tipe Substrat Dasar Perairan Dengan Komunitas Ikan Demersal.
Disertasi (Tidak dipublikasikan). Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
51
Raharjo SA. 2002. Analisis Kecepatan Perambatan Gelombang Bias pada
Medium dan Faktor Kualitas Medium di Lereng Barat Gunung Merapi,
Yogyakarta. Skripsi [Tidak Dipublikasikan]. Universitas Gajah Mada.
Yogyakarta.
Sasmita DK. 2008. Aplikasi Multibeam Echosounder System (MBES) untuk
Keperluan Batimetrik. Skrpisi [Tidak Dipublikasikan]. Program Studi Teknik
Geodesi dan Geomatika. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Schlagintweit GEO. 1993. Real-time acoustic bottom classification: a field
evaluation of RoxAnn. Proceedings of Ocean. 93: 214-219.
Siswanto AD. 2004. Kajian laju sedimentasi dan perubahan garis pantai di
perairan Delta Bodri, kabupaten Kendal. Skripsi [Tidak Dipublikasikan]..
Ilmu Kelautan, FPIK-Undip. Semarang.
Urick RJ. 1983. Principles of Underwater Sound. McGraw-Hill Inc. New York.
Usman E, Novico F, Budiono K, Raharjo P, Setiady D, Yuningsih, dan Yayu N.
2004. Analisis geoteknik kelautan pada sisi ketapang (selat bali) untuk
pengembangan penghubung Jawa–Bali. Jurnal Geologi Kelautan. 2(2):
37–48.
Waddington T. 2011. High‐Resolution Multibeam Surveys for Bridge
Assessment. US Hydro 2011 Conference. Florida. 15(3): 252-267.
Wentworth CK. 1922. A Scale of Grade And Class Terms For Clastic Sediments.
Journal of Geology. 30: 377–392.
Wibisono MS. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Grasindo. Jakarta.
Wiratman. 2008. Rencana Kerja Aspek Teknis Studi Pra Kelayakan Jembatan
Selat Sunda. Wiratman & associates dan AG Network. Jakarta.
Wyrkti K. 1961. Physical Oceanography of the Southeast Asian Waters. Naga
Report. Vol 2. The University of California Scripps Institution of
Oceanography La Jolla, California.
LAMPIRAN
53
Lampiran 1. Spesifikasi Instrumen
Spesifikasi Sea beam 1050D –Multibeam Sonar
Technical Data
Frequency
50 kHz
Number of Beam
126 (fewer selectable)
Beam Width
1530
Power Suply
115/230 Volt AC User selectable
Max. Pulse Power
3,5 KW per transducer array
Max. Source Level
234 dB 1µPa/1 m
Pulse Length
0.3, 1.3, 10 ms; selectable
Bandwith
12 kHz, 3.3 kHZ, 1kHz; selectable
Sidelobe suspension
36 dB (transmit and receive)
Survey speed
up to 16 knot for continous sea floor
coverage
Dimension
Sonar Proccesor Unit (SEE 30480 x 540 x 360mm
1050)
Weight approx 33 kg
Trabsducer (LSE 237)
530 x 290 mm each
Weight w/cable 60Kg
Interface And Sensor
Motion
DMS-2, Octans, POS M/V, MRU 5
Heading
NMEA 0183 standard, sentence HDT
Position
NMEA 0183 standard, sentence GGA or
VTG
SoundVelocity
Data input via RS 232
Software
ELAC HDP 4061, CARIS, COASTAL
OCEANOGRAPHICS
EIVA, QPS, ROXAR
Spesifikasi Coda Octopus F 180
Parameter
Roll and Pitch
Heading
Accurasi
Speed
Weight
Power
Temperatur
Humidity
Antena
Keterangan
<0,0250
1 m baseline (0,10)
2 m baseline (0,0250)
4 m baseline (0.0250)
5% from heave amplitude
0,5 – 4 m (stand alone), 20 – 1 cm
(RTK)
0,003 m/s
2,5 Kg
9 – 19 Vdc, 25 Watts
-10 - 600 C
Splash proof
Novatel Pinwheel
54
Lampiran 2. Profil Kapal Baruna Jaya IV
Spesifikasi
Nama
Pemilik
Pembuat
Tahun Pembuatan
Total Dimensi
Mesin Utama
Kecepatan
Gross Tonage
Jangkauan
Fuel oil tank
Fesh tank
Akomodasi
Klasifikasi
Instrumen
Perlatan Penelitian
Keterangan
Baruna Jaya IV
BadanPengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT)
CMN France
1995
60,4 x 11,6 x 4,5 (meter)
2 x 1100 PS Niigata 5PA5L
16-20 knot
1189 – 1218 GT
7500 mil
190 – 250 m3
90 m3
20 PAX
BKI, BV
ELAC SEABEAM 1050D, Coda Octopus F
180, Fish Finder, Squid Jigger, bottom dan
mid water trawl longline, gill net dan fish
proccessing
55
Lampiran 3. Standar ketelitian kedalaman menurut International hydrographic
organization (IHO)
Lintang
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
Bujur
105.908
105.908
105.908
105.908
105.908
105.855
105.855
105.855
105.855
105.855
105.855
105.855
105.856
105.856
105.856
105.856
105.856
105.856
105.856
105.856
105.856
105.856
105.856
105.856
105.856
105.856
105.856
105.856
105.856
105.856
105.856
105.856
105.856
105.856
105.857
105.857
Kedalaman
38.895088
38.940559
39.834682
39.816002
40.834999
126.496002
126.451241
126.44619
126.441551
125.784622
125.578125
125.383102
125.602333
125.928993
126.544014
127.280067
127.240974
127.263321
127.565025
128.431244
128.942215
129.121948
129.316513
129.362366
128.49762
128.173294
128.205383
128.350769
128.425552
128.49707
128.643997
128.631409
129.113373
129.592606
129.547836
129.363892
Ketelitian
1.37643998
1.37681983
1.38426792
1.38411273
1.39255340
1.97722231
1.97696195
1.97693257
1.97690558
1.97308041
1.97187649
1.97073878
1.97201766
1.97392169
1.97750154
1.98177737
1.98155050
1.98168019
1.98343025
1.98844628
1.99139924
1.99243690
1.99355958
1.99382407
1.98883012
1.98695389
1.98713960
1.98798081
1.98841336
1.98882694
1.98967634
1.98960358
1.99238741
1.99515161
1.99489354
1.99383287
56
Lampiran 3. Lanjutan
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
105.857
105.857
105.857
105.857
105.857
105.857
105.857
105.857
105.857
105.857
105.857
105.857
105.857
105.857
105.857
105.857
105.857
105.857
105.857
105.857
105.858
105.858
105.858
105.858
105.858
105.858
105.858
105.858
105.858
105.858
105.858
105.858
105.858
105.858
105.858
105.858
105.858
105.858
105.858
130.035217
130.536346
131.288574
132.796188
133.075043
132.297821
130.837524
130.506683
131.07309
132.08548
131.941849
130.958618
131.332031
132.598572
132.696854
133.174484
133.748428
134.214157
131.289993
132.571915
132.694122
132.68837
131.738998
133.276062
133.801727
133.553162
133.941925
134.893738
134.80127
134.71199
134.626007
133.978561
134.757507
134.737473
134.397079
134.561874
134.29631
134.584503
134.92807
1.99770118
2.00058390
2.00490329
2.01353230
2.01512431
2.01068393
2.00231442
2.00041338
2.00366691
2.00946909
2.00864694
2.00300979
2.00515254
2.01240333
2.01296489
2.01569173
2.01896356
2.02161460
2.00491143
2.01225099
2.01294928
2.01291642
2.00748523
2.01627117
2.01926712
2.01785102
2.02006541
2.02547673
2.02495166
2.02444456
2.02395607
2.02027397
2.02470310
2.02458931
2.02265489
2.02359163
2.02208188
2.02372023
2.02567164
57
Lampiran 3. Lanjutan
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
105.858
105.859
105.859
105.859
105.859
105.859
105.859
105.859
105.859
105.859
105.859
105.859
105.859
105.859
105.859
105.859
105.859
105.859
105.859
105.86
105.86
105.86
105.86
105.86
105.86
105.86
105.86
105.86
105.86
105.86
105.86
105.86
105.86
105.86
105.86
105.86
105.86
105.86
105.86
133.432007
133.088989
134.235001
133.384003
133.011993
133.098999
132.841995
131.835495
130.664001
130.43399
132.037994
132.140991
132.796997
132.367004
133.295151
131.169968
131.572998
132.925003
133.772003
133.712997
135.361603
133.694595
132.852722
133.827988
134.027008
134.053192
133.798004
133.067917
134.051163
135.175995
134.855133
133.673615
133.91124
130.267227
135.777008
136.301544
135.703186
134.865997
136.0979
2.01716042
2.01520390
2.02173317
2.01688673
2.01476446
2.01526102
2.01379390
2.00803794
2.00131757
1.99999544
2.00919732
2.00978675
2.01353692
2.01107958
2.01638004
2.00422286
2.00653406
2.01426787
2.01909784
2.01876173
2.02813137
2.01865690
2.01385516
2.01941668
2.02054972
2.02069874
2.01924592
2.01508364
2.02068720
2.02707866
2.02525753
2.01853738
2.01989072
1.99903632
2.03048546
2.03345408
2.03006731
2.02531922
2.03230207
58
Lampiran 3. Lanjutan
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
105.86
105.86
105.861
105.861
105.861
105.861
105.861
105.861
105.861
105.861
105.861
105.861
105.861
105.861
105.861
105.861
105.861
105.861
105.861
105.861
105.861
105.861
105.861
105.861
105.862
105.862
105.862
105.862
105.862
105.862
105.862
105.862
105.862
105.862
105.862
105.862
105.862
105.862
105.862
137.111008
136.682999
137.247269
136.033371
136.443314
136.525482
136.865234
138.370148
138.360016
139.065247
137.887009
137.972565
139.559113
139.326309
138.219864
140.926392
141.07692
140.804413
113.079323
127.427216
141.792374
114.794159
146.289032
114.516014
148.935837
118.527748
148.686859
146.24556
145.392365
143.814407
145.176636
141.232452
141.511398
134.506683
151.066223
147.767227
151.692657
126.834663
136.734283
2.03802679
2.03561022
2.03879552
2.03193689
2.03425569
2.03472015
2.03663948
2.04511941
2.04506244
2.04902432
2.04240084
2.04288252
2.05179424
2.05048899
2.04427417
2.05944338
2.06028376
2.05876213
1.89758384
1.98263107
2.06427338
1.90794802
2.08917394
1.90627079
2.10369300
1.93032075
2.10233151
2.08893463
2.08423233
2.07550749
2.08304168
2.06115172
2.06270748
2.02327796
2.11530686
2.09729498
2.11870978
1.97919106
2.03589993
59
Lampiran 3. Lanjutan
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
-6.006
105.862
105.862
105.862
105.862
105.862
105.862
105.862
105.862
105.863
105.863
105.863
105.863
105.863
105.863
105.863
105.863
105.863
105.863
105.863
105.863
105.863
140.15033
139.380249
141.684799
131.910858
131.694565
153.749496
143.569641
129.562592
155.025269
137.720566
137.512573
154.776382
126.686897
130.894684
154.028076
126.623856
127.563919
124.06234
124.155258
155.883591
155.66777
2.05510525
2.05079149
2.06367400
2.00846950
2.00723068
2.12984469
2.07415085
1.99497860
2.13672207
2.04146345
2.04029144
2.13538212
1.97833229
2.00264269
2.13134834
1.97796580
1.98342384
1.96301651
1.96356078
2.14133664
2.14017726
Contoh Perhitungan
Konstanta kesalahan kedalaman alpha = 1 m
Faktor pengganti kesalahan kedalaman lain betha = 0,023
Kedalaman = 155.66777 m
Ketelitian pengukuran (σ)adalah :
60
Lampiran 4. Data jenis sedimen hasil coring
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
Bujur
105,8339
105,856
105,825
105,861
105,825
105,8032
105,793
105,763
105,828
105,842
105,406
105,843
105,84
105,866
105,84
105,821
105,854
105,781
105,816
105,819
105,867
105,761
Lintang
-6,046944444
-5,984638889
-6,019305556
-5,997138889
-5,943055556
-5,904583333
-5,910277778
-5,894833333
-6,032222222
-6,014722222
-6,01775
-5,991111111
-5,99775
-5,949333333
-5,910583333
-5,895305556
-5,965138889
-5,898472222
-5,971888889
-5,97789786
-5,8976788
-5,9879995
Jenis Sedimen
Rocks
Rocks
Rocks
Rocks
Rocks
Rocks
Rocks
Sand
Sand
Sand
Sand
Sandy Silt
Sandy Silt
Sandy Silt
Sandy Silt
Sandy Silt
Sandy Silt
Silty Sand
Silty Sand
Silty Sand
Silty Sand
Silty Sand
61
Lampiran 5. Contoh sedimen hasil coring
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN GEOLOGI KELAUTAN
SEDIMEN PERMUKAAN DASAR LAUT
PERAIRAN SELAT SUNDA
No. Sampel
Koordinat
:
:
SS - 04
105° 54' 21.6" BT
6° 01' 3.9"
LS
Kedalaman Air
Geologiawan
FOTO
:
:
Yusuf Adam
PEMERIAN
Pasir; putih kecoklatan, kasar, terpilah sedang,
fragmen cangkang moluska dominan.
No. Sampel
Koordinat
:
:
SS - 05
105° 52' 30"
6° 01' 9.5"
BT
LS
Kedalaman Air
Geologiawan
FOTO
:
:
Yusuf Adam
PEMERIAN
Karang;
No. Sampel
Koordinat
:
:
SS - 06
105° 54' 46.8" BT
5° 59' 28.0"
LS
Kedalaman Air
Geologiawan
FOTO
:
:
Yusuf Adam
PEMERIAN
Pasir Biogenik; putih kecoklatan, kasar, terpilah
sedang, fragmen cangkang moluska sangat
dominan.
62
Lampiran 5. Lanjutan
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN GEOLOGI KELAUTAN
SEDIMEN PERMUKAAN DASAR LAUT
PERAIRAN SELAT SUNDA
No. Sampel
Koordinat
:
:
SS - 10
105° 53' 2.4"
5° 57' 54.4"
BT
LS
Kedalaman Air
Geologiawan
FOTO
:
:
Yusuf Adam
PEMERIAN
Lanau pasiran; abu-abu, halus, terpilah
sedang, lunak dan liat.
No. Sampel
Koordinat
:
:
SS - 11
105° 48' 57.6" BT
LS
5° 58' 18.8"
Kedalaman Air
Geologiawan
FOTO
:
:
Yusuf Adam
PEMERIAN
Pasir lanauan; abu-abu, halus-kasar, terpilah
buruk, lunak, bagian top pasir dan bottom
lanau-lempung.
No. Sampel
Koordinat
:
:
SS - 12
105° 51' 57.6" BT
LS
5° 56' 11.0"
FOTO
Kedalaman Air
Geologiawan
:
:
Yusuf Adam
PEMERIAN
Pasir Biogenik; putih kecoklatan, kasar, terpilah
buruk, fragmen karang dan moluska dominan.
Download