Chapter II

advertisement
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
2.1 Hortikultura
Komoditas hortikultura termasuk produk yang mudah rusak (perishable product),
dimana tingkat kerusakan dapat terjadi dari masa panen hingga pascapanen dan
pada saat pendistribusian (pengangkutan). Penanganan dan perlakuan produk
hortikultura pada pascapanen yang kurang baik dan memadai dapat menyebabkan
tingkat kerusakan produk hingga 30-40 persen (Gumbira dan Intan, 2000).
Komoditas hortikultura juga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, sehingga
usaha agribisnis hortikultura (buah, sayur, florikultura dan tanaman obat) dapat
menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat dan petani baik berskala kecil,
menengah maupun besar, karena memiliki keunggulan berupa nilai jual yang
tinggi, keragaman jenis, ketersediaan sumberdaya lahan dan teknologi, serta
potensi serapan pasar di dalam negeri dan internasional yang terus meningkat.
Pasokan produk hortikultura nasional diarahkan untuk memenuhi kebutuhan
konsumen dalam negeri, baik melalui pasar tradisional, pasar modern, maupun
pasar luar negeri (ekspor) (Ditjen Hortikultura, 2012).
2.2 Packing House
Rumah pengemasan (packing house) adalah suatu bangunan tempat menangani
kegiatan penanganan pascapanen hasil hortikultura sejak dipanen sampai
pengemasan dan siap didistribusikan ke pasar tujuan. Di dalam rumah
pengemasan antara lain dilakukan kegiatan seperti pembersihan/ pencucian,
sortasi, trimming, grading, serta pengemasan (Ditjen. PPHP Deptan, 2008).
Menurut Ditjen. PPHP Kementan (2012), proses penanganan hortikultura dalam
packing house terdiri dari:
1) Penerimaan produk,
2) Proses penanganan dengan tahapan sortasi, trimming, pembersihan/pencucian,
penirisan, pengeringan, grading (pengkelasan), pelilinan (waxing), Pelayuan
(cutting), pencelupan kedalam larutan kimia (chemical dipping), pemeraman
(ripening),
3) Pengemasan dan pelabelan,
4) Produk akhir,
5) Penyimpanan produk,
6) Pengendalian hama penyakit pasca panen,
7) Kesehatan dan keselamatan kerja,
8) Pengangkutan dan distribusi,
9) Pengawasan dan pembinaan.
2.3 Analisis Ekonomi
Dalam analisis ekonomi proyek dilihat dari segi perekonomian secara
keseluruhan. Yang diperhatikan ialah hasil keseluruhan berupa produktivitas atau
keuntungan yang diperoleh dari semua sumber yang dipakai dalam proyek untuk
masyarakat, atau perekonomian secara menyeluruh tanpa melihat siapa yang
menyediakan sumber-sumber tersebut dan siapa dalam masyarakat yang
menerima hasil dari proyek tersebut.
2.4 Biaya
Biaya adalah pengeluaran untuk pelaksanaan proyek, operasi, serta pemeliharaan
instalasi hasil proyek (Soeharto, 2002). Biaya suatu proyek dapat pula
diklasifikasikan menjadi biaya langsung dan biaya tidak langsung. Biaya langsung
dapat digolongkan melalui beberapa cara yang berbeda sesuai dengan kebutuhan
masing-masing perusahaan.
Biaya langsung yang dikeluarkan dalam proyek ini antara lain:
1)
Lahan tempat didirikannya packing house.
2)
Pendirian bangunan meliputi biaya untuk tenaga kerja, bahan baku pendirian
bangunan serta kelengkapan fasilitas di dalamnya.
3)
Fasilitas bangunan, baik sanitasi maupun listrik (penerangan).
4)
Alat produksi meliputi meja kerja, bak pencucian, kereta dorong, wadah
produk, timbangan, alat pengemasan, pisau dan gunting, alat sortasi, alat
pengkelasan (grader), gudang pendingin (cold storage), generator, tempat
penyimpanan kemasan dan bahan kimia serta alat pengangkutan lokal.
5)
Bahan penanganan yang memenuhi standarisasi.
Selain penggolongan biaya di atas terdapat juga penggolongan biaya tidak
langsung seperti polusi udara, polusi suara, perubahan nilai-nilai (norma) dalam
masyarakat (Alex, Nitisemito dan Umar, 1995).
2.5 Manfaat (Benefit)
Benefit adalah segala bentuk keuntungan atau manfaat yang diterima oleh
masyarakat, yang diperoleh dari suatu proyek baik yang dapat dihitung dengan
uang ataupun yang tidak dapat dihitung dengan uang. Disbenefit atau beban
adalah kerugian yang ditanggung oleh masyarakat akibat adalah suatu proyek.
Sebagai contoh, terjadinya pencemaran udara akibat asap yang dikeluarkan oleh
industri hasil proyek (Soeharto, 2002). Manfaat dalam proyek pertanian bisa
berasal dari kenaikan nilai output atau dari pengurangan biaya-biaya
(Gitingger, 1986).
Manfaat dari suatu investasi dapat dilihat dari pihak mana yang melakukan suatu
proyek/investasi tersebut. Pihak swasta lebih berminat tentang manfaat ekonomis
suatu investasi. Sedangkan pihak pemerintah, atau lembaga non-profit, melihat
pengertian menguntungkan bisa dalam arti yang lebih relatif. Mungkin
dipertimbangkan berbagai faktor seperti manfaat bagi masyarakat luas bisa
berwujud penyerapan tenaga kerja, pemanfaatan sumber daya yang melimpah
ditempat tersebut dan sebagainya (Husnan dan Suwarsono, 2002).
Investasi yang diteliti bisa berbentuk investasi berskala besar sampai dengan
investasi yang sederhana. Dampak yang dihasilkan bisa berupa dampak ekonomis
dan bisa juga besifat sosial. Dengan demikian, pada umumnya suatu studi
kelayakan investasi akan menyangkut tiga aspek, yaitu:
1)
Manfaat ekonomis proyek tersebut bagi proyek itu sendiri (sering juga
disebut manfaat finansial). Yang berarti apakah proyek itu cukup
menguntungkan apabila dibandingkan dengan resiko proyek tersebut.
2)
Manfaat proyek tersebut bagi negara tempat proyek itu dilaksanakan (sering
juga disebut manfaat nasional).
3)
Manfaat sosial proyek tersebut bagi masyarakat sekitar proyek tersebut.
Banyak manfaat yang bisa diperoleh dari suatu proyek, diantaranya adalah
peningkatan output yang dihasilkan, penyerapan tenaga kerja.
Manfaat yang dinilai dalam penelitian ini adalah kenaikan nilai hasil produksi
dikarenakan meningkatnya jumlah produk dan kualitas produk sebagai akibat
adanya proyek. Manfaat lain adalah kemampuan/kapasitas daya tampung packing
house dalam menyimpan setiap jenis produk. Serta nilai sayuran (baik dari segi
harga, fisik, maupun kualitas) yang telah dikelola. Harus adanya perbedaan antara
setelah dilakukannya penanganan pasca panen dengan tanpa dilakukannya
penanganan pasca panen, baik hari segi harga jual produk serta volume produk
yang terjual. Adanya penanganan di packing house seperti grading, sortasi, hingga
pengemasan dapat menyelamatkan produk-produk tersebut dari kerusakan.
2.6 Harga
Harga adalah suatu nilai tukar dari produk barang maupun jasa yang dinyatakan
dalam satuan moneter. Dalam analisis ekonomi harga yang dipakai merupakan
harga bayangan (shadow price). Penilaian harga bayangan ini berlaku untuk input
maupun output (Soekartawi, 1995).
Harga bayangan dapat didefenisikan sebagai harga yang berlaku dalam keadaan
keseimbangan (Soekartawi, 1995). Dengan kata lain, adanya pasar tidak sempurna
yang disebabkan antara lain karena lembaga pemasaran yang tidak fleksible,
pengawasan harga, informasi yang tidak sempurna mengenai harga yang
ditawarkan oleh penjual/pembeli saingan, adanya kebijakan pemerintah berupa
pajak tidak langsung, subsidi maupun dalam hal pengaturan harga.
Dalam Gitingger (1993), pada proyek pertanian umumnya ada tiga hal analisis
ekonomi dimana lebih tepat digunakan harga bayangan daripada harga pasar.
Ketiga hal tersebut adalah:
1)
Nilai valuta asing,
2)
Harga pasar internasional (nilai barang-barang yang penting dalam pasaran
dunia),
3)
Tenaga kerja (tenaga kerja di bidang pertanian yang tidak terlatih).
Harga bayangan dapat dianggap semacam penyesuaian yang dibuat oleh peneliti
proyek terhadap harga pasar dari beberapa faktor produksi atau hasil produksi
tertentu (Kadariah (1999) dalam Siregar (2009)).
2.6.1 Harga Bayangan Nilai Tukar
Harga bayangan nilai tukar biasanya dipakai kurs resmi yang berlaku, yaitu kurs
tukar yang ditentukan oleh pemerintah. Besar harga bayangan nilai tukar ini
kadang-kadang lebih besar dari harga pasar ataupun kurs yang berlaku.
Penentuan harga bayangan nialai tukar yaitu sebagai berikut :
1) Harga bayangan harus menggambarkan nillai kesejahteraan ekonomi dengan
adanya tambahan satu satuan mata uang asing.
2) Harga bayangan harus menggambarkan imbangan dari satu satuan mata uang
asing dalam penggunaan dibidang lain.
3) Harga bayangan harus berada pada tingkat keseimbangan nilai tukar.
2.6.2 Harga Bayangan Output
Harga bayangan yang dipergunakan adalah harga Free on Board (FOB) jika
output yang dihasilkan di ekspor. Harga FOB ini terlebih dahulu dikonversikan
kedalam nilai tukar rupiah selanjutnya dikurangi biaya transportasi dan tata niaga.
Sedangkan untuk output yang tidak diperdagangkan di pasaran internasional harga
ekonominya sama dengan harga pasar domestik. Jika output yang dihasilkan
merupakan subsitusi impor maka digunakan harga Cost Insurancce Freight (CIF).
Harga CIF ini dikonfersikan terlebih dahulu kedalam nilai tukar rupiah dan
ditambah dengan biaya transportasi dan tata niaga.
Output dalam penelitian ini adalah kubis. Harga bayangan yang digunakan oleh
output adalah harga FOB karena merupakan barang yang diekspor. Maka harga
bayangan kubis diperoleh dengan mengalikan harga FOB kubis dengan nilai SER.
Untuk melihat harga komoditas perdagangan internasional pada analisis ekonomi,
dapat dapat juga dilihat dari status komoditas dalam perdagangan internasional
(ekspor/impor). Berikut beberapa pendekatan penentuan harga :
a.
Harga diperkirakan atas dasar harga di negara lain yang terdekat.
b.
Diturunkan dari harga CIF negara pengimpor dengan mengurangkan semua
biaya, seperti biaya asuransi, transportasi, pajak ekspor, biaya handling di
pelabuhan, sampai diperoleh harga komoditas ekspor dilokasi usaha.
c.
Diturunkan dari harga FOB negara pengekspor dengan menambahkankan
semua biaya, seperti biaya asuransi, transportasi, pajak impor, biaya
handling di pelabuhan, sampai diperoleh harga komoditas impor di lokasi
usaha.
Catatan: Harga FOB dan CIF dapat diperoleh dari Bank Dunia (Price Prospects
for Major Primary Commodities) atau FAO, yang di review oleh Depperindag
atau Deptan. Berikut diagram penentuan shadow price untuk traded goods.
Gambar 2.1. Diagram Penentuan Shadow Price untuk Traded Goods
2.6.3 Harga Bayangan Tenaga Kerja
Dalam pasar persaingan sempurna tingkat upah pasar mencerminkan nilai
produktivitas marginalnya. Untuk tenaga kerja terdidik, upah tenaga kerja
bayangan sama dengan upah pasar (finansial), sedangkan tenaga kerja tidak
terdidik dengan anggapan belum bekerja sesuai dengan tingkat produktivitasnya,
maka harga bayangan upahnya disesuaikan terhadap harga upah finansialnya yaitu
sebesar 80 persen dari tingkat upah yang berlaku di daerah penelitian mengacu
pada Suryana (1980) dalam Siregar (2009).
2.7 Studi Kelayakan
Studi kelayakan adalah studi awal untuk merumuskan informasi yang dibutuhkan
oleh pemakai akhir, kebutuhan sumber daya, biaya, manfaat dan kelayakan proyek
yang diusulkan (O’Brien, 2005). Pengertian layak dalam penilaian studi kelayakan
adalah kemungkinan dari gagasan usaha/proyek yang akan dilaksanakan
memberikan manfaat (benefit), baik dalam arti finansial maupun dalam arti sosial
benefit (Ibrahim, 2009).
Menurut Gittinger (1986), ada enam aspek dalam mengevaluasi suatu proyek
yaitu:
1)
Aspek teknis, yaitu analisis yang berhubungan dengan input proyek
(penyediaan) dan output (produksi) berupa barang nyata dan jasa-jasa.
2)
Aspek institusional-organisasi-manajerial, yaitu analisis yang berhubungan
dengan penetapan institusi/lembaga proyek yang mempertimbangkan
struktur kelembagaan, pola sosial dan budaya yang berada pada suatu
daerah atau negara setempat, manajerial, kesanggupan dan keahlian staf
dalam menangani masalah proyek.
3)
Aspek sosial, yaitu analisis yang mempertimbangkan pola dan kebiasaan
sosial yang lebih luas dari investasi yang diusulkan. Proyek harus tanggap
pada keadaan sosial dan dampak lingkungan yang merugikan.
4)
Aspek komersial, yaitu analisis yang menyangkut rencana pemasaran output
yang dihasilkan oleh proyek dan rencana penyediaan input yang dibutuhkan
untuk kelangsungan dan pelaksanaan proyek untuk memperoleh peralatan
dan perbekalan proyek.
5)
Aspek finansial, yaitu analisis yang berkenaan dengan pengaruh-pengaruh
finansial dari suatu proyek dan diusulkan terhadap para peserta proyek.
6)
Aspek ekonomi, yaitu menganalisis apakah proyek yang diusulkan akan
memberikan kontribusi yang nyata terhadap pembangunan perekonomian
secara keseluruhan dan apakah kontribusinya cukup besar dalam
penggunaan sumber daya yang diperlukan.
Adapun tujuan dilakukan studi kelayakan adalah untuk menghindari keterlanjuran
penanaman modal yang besar untuk kegiatan yang ternyata tidak menguntungkan.
Tentunya studi kelayakan ini akan memakan biaya, tapi biaya tersebut relatif kecil
apabila dibandingkan dengan resiko kegagalan yang dialami bila kita membangun
proyek tanpa melakukannya studi kelayakan.
2.8 Kerangka Pemikiran
Perkembangan pemasaran hortikultura khususnya kubis di Desa Siboras
Kecamatan Pematang Silimahuta meningkat pesat hingga tingkat ekspor. Karena
sifat produk yang mudah rusak maka dibutuhkan packing house untuk
mengurangi resiko dari kelemahan dari sifat-sifat produk agar dapat bertahan
lama, segar, dan kualitasnya tetap terjaga hingga ke tangan konsumen. Pemakaian
packing house ini di pengaruhi oleh beberapa biaya dan manfaat untuk
pengoperasiannya. Oleh karena itu dibutuhkan studi kelayakan untuk mengetahui
apakah pengadaan packing house layak atau tidak layak untuk dijalankan. Secara
singkat dapat dibuat skema kerangka pemikiran yang terdapat pada Gambar 1.
Perkembangan Hortikultura
Ekspor Hortikultura
Sifat Produk Hortikultura
Packing House
Cost/ Biaya
Benefit/Manfaat
Kelayakan
Gambar 2.2. Skema Kerangka Pemikiran Studi Pengembangan Packing
House Komoditi Hortikultura di Desa Siboras, Kecamatan
Pematang Silimahuta, Kabupaten Simalungun.
Keterangan:
: Menyatakan pengaruh
: Menyatakan hubungan
2.9 Hipotesis
Adapun hipotesis penelitian yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:
1.
Pengembangan packing house di Desa Siboras Kecamatan Pematang
Silimahuta Kabupaten Simalungun mengeluarkan biaya yang tinggi.
2.
Adanya manfaat (benefit) yang diperoleh dari pengembangan packing house
di Desa Siboras Kecamatan Pematang Silimahuta Kabupaten Simalungun.
3.
Pengembangan packing house di Desa Siboras Kecamatan Pematang
Silimahuta Kabupaten Simalungun adalah layak.
Download