II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Permukiman Kumuh Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No 4 tahun 1992, perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan, misalnya pendidikan, pasar, transportasi, pelayanan kesehatan, pelayanan keuangan, dan administrasi. Sedangkan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Sementara itu, Undang - undang No 4 tahun 1999 mendefinisikan bahwa satuan lingkungan permukiman merupakan kawasan perumahan dengan luas wilayah dan jumlah penduduk tertentu, yang dilengkapi dengan sistem prasarana, sarana lingkungan, dan tempat kerja terbatas dengan penataan ruang yang terencana dan teratur sehingga memungkinkan pelayanan dan pengelolaan yang optimal. UU tersebut menyatakan bahwa perumahan dan permukiman merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Perumahan, lingkungan permukiman serta prasarana dan sarana pendukungnya diperlukan dalam kawasan permukiman untuk memenuhi fungsinya sebagai kebutuhan dasar manusia, pengembangan keluarga dan mendorong kegiatan ekonomi. Dinas Tata kota DKI Jakarta (1997) mendefinisikan permukiman kumuh sebagai permukiman yang berpenghuni padat, kondisi sosial ekonomi umumnya rendah, jumlah rumah sangat padat, dan ukurannya di bawah standar, prasarana lingkungan hampir tidak ada, atau tidak memenuhi persyaratan teknis dan kesehatan, umumnya dibangun di atas tanah Negara atau milik orang lain, tumbuh tidak terencana dan umumnya berada di lokasi yang strategis di pusat-pusat kota. Aturan normatif lain terkait dengan permukiman kumuh dituangkan dalam bentuk kebijakan penanganan permukiman kumuh sesuai dengan Surat Edaran Menpera No. 04/SE/M/I/93 tahun 1993, yang menyatakan bahwa perumahan dan permukiman kumuh adalah lingkungan hunian dan usaha yang tidak layak huni yang keadaannya tidak memenuhi persyaratan teknis, sosial, kesehatan, keselamatan dan kenyamanan serta tidak memenuhi persyaratan ekologis dan legal administratif yang penanganannya dilaksanakan melalui pola perbaikan/pemugaran, peremajaan maupun relokasi sesuai dengan tingkat/ kondisi permasalahan yang ada. 4 Pendapat lain tentang definisi permukiman kumuh dinyatakan oleh Sadyohutomo (2008), yaitu tempat tinggal penduduk miskin di pusat kota dan permukiman padat tidak teratur di pinggiran kota yang penghuninya umumnya berasal dari para migran luar daerah. Sebagian dari permukiman ini merupakan permukiman yang ilegal pada tanah yang bukan miliknya, tanpa seijin pemegang hak tanah sehingga disebut sebagai permukiman liar (wild occupation atau squatter settlement). Tanah-tanah yang diduduki secara liar ini adalah tanah-tanah pemerintah atau negara, misalnya sempadan sungai, sempadan pantai, dan tanah instansi yang tidak terawat. Penyebab munculnya permukiman kumuh adalah sebagai berikut (Sadyohutomo, 2008): 1. Pertumbuhan kota yang tinggi, yang tidak diimbangi oleh tingkat pendapatan yang cukup 2. Keterlambatan pemerintah kota dalam merencanakan dan membangun prasarana (terutama jalan) pada daerah perkembangan permukiman baru. Seiring dengan kebutuhan perumahan yang meningkat maka masyarakat secara swadaya memecah bidang tanah dan membangun permukiman tanpa didasari perencanaan tapak (site plan) yang memadai. Akibatnya bentuk dan tata letak kaveling tanah menjadi tidak teratur dan tidak dilengkapi prasarana dasar permukiman. Menurut Ooi dan Phua (2007) penghuni liar dan tempat tinggal kumuh terbentuk karena ketidakmampuan pemerintah kota dalam merencanakan dan penyediaan perumahan yang terjangkau bagi kalangan yang berpendapatan rendah di suatu populasi perkotaan. Oleh karena itu bangunan liar dan pemukiman kumuh adalah solusi dari perumahan bagi populasi perkotaan yang berpendapatan rendah. Pada daerah mega urban atau area metropolitan, sebagian dari masalah terkait dengan koordinasi antara kekuasaan yang berbeda dalam pengelolaan pembangunan ekonomi, perencanaan kota, dan alokasi lahan. Menurut Avelar et al. (2008) karakteristik permukiman kumuh mempunyai kondisi perumahan dengan kepadatan tinggi dan ukuran unit perumahan relatif kecil, atap rumah di daerah kumuh biasanya terbuat dari bahan yang sama dengan dinding. Karakteristik pemukiman kumuh yang paling menonjol adalah kualitas bangunan rumahnya yang tidak permanen, dengan kerapatan bangunan yang tinggi dan tidak teratur, prasarana jalan yang sangat terbatas kalaupun ada berupa gang-gang sempit yang berliku-liku, tidak adanya saluran drainase dan tempat penampungan sampah, sehingga terlihat kotor. Tidak jarang pula pemukiman kumuh terdapat di daerah yang secara berkala mengalami banjir (Rebekka, 1991) 5 Menurut hasil penelitian Suparlan (2000), ciri-ciri dari pemukiman kumuh adalah: 1. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai. 2. Kondisi hunian rumah dan permukiman serta penggunaan ruang-ruangnya mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin. 3. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam pengunaan ruang-ruang yang ada di permukiman kumuh sehingga mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya. 4. Permukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu terwujud sebagai: a. Sebuah komunitas tunggal, berada di tanah milik negara, dan karena itu dapat digolongkan sebagai hunian liar. b. Satuan komunitas tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RT atau sebuah RW. c. Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai sebuah RT atau RW atau bahkan terwujud sebagai sebuah kelurahan, dan bukan hunian liar. 5. Penghuni pemukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen. Warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat pendapatan yang beranekaragam, begitu juga asal muasalnya. Dalam masyarakat permukiman kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut. 6. Sebagian besar penghuni permukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di sektor informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor informal. Menurut Sueca (2004) rumah kumuh memberikan jawaban hidup bagi orang yang tinggal di dalamnya. Tanpa bantuan sedikitpun dari pemerintah, penduduk mampu membangun perekonomian secara mandiri, serta tidak memerlukan kredit perbankan. Penduduk mampu memanfaatkan sumber daya yang amat terbatas agar dapat bertahan hidup dan umumnya mampu mendaur ulang bahan-bahan yang tidak terpakai menjadi sesuatu yang berguna. Dengan demikian secara swadaya, kebutuhan dasar perumahan dapat dipenuhi. Secara ekonomi, permukiman ini juga memasok barang dan tenaga kerja yang murah, terutama dalam sektor informal. Munculnya permukiman liar dan permukiman yang tidak layak huni sebenarnya merupakan kelemahan manajemen dalam mengelola tata ruang kota. 6 Upaya telah dilakukan untuk mengurangi persoalan permukiman kumuh yaitu dengan perbaikan kondisi lingkungan dan membuat rumah susun yang telah melibatkan partisipasi masyarakat (Bandiyono, 2004). Menurut Dinas Tata Kota DKI Jakarta, kawasan kumuh dikelompokkan berdasarkan beberapa kriteria yaitu kepadatan penduduk eksisting, tata letak bangunan, keadaan konstruksi, ventilasi, kepadatan bangunan, keadaan jalan, drainase, pemakaian air bersih, pembuangan limbah manusia, dan pembuangan sampah. Stratifikasi kumuh berat, sedang, ringan dan sangat ringan ditentukan berdasarkan nilai indeks komposit dari 10 peubah tersebut. 2.2. Urbanisasi Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa atau daerah ke kota. Urbanisasi terjadi karena adanya anggapan bahwa kota adalah tempat untuk mengubah nasib, tempat untuk mencari penghidupan yang lebih baik dan tempat untuk mencari kesenangan. Urbanisasi merupakan salah satu indikator dari tingkat kemajuan ekonomi suatu negara atau wilayah. Persebaran penduduk yang tidak merata antara desa dengan kota akan menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan. Berbeda dengan perspektif ilmu kependudukan, definisi urbanisasi berarti persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Perpindahan manusia dari desa ke kota hanya salah satu penyebab urbanisasi. perpindahan itu sendiri dikategorikan 2 macam, yakni: Migrasi Penduduk dan Mobilitas Penduduk. Beda dari keduanya adalah migrasi penduduk lebih bermakna perpindahan penduduk dari desa ke kota yang bertujuan untuk tinggal menetap di kota. Sedangkan Mobilitas Penduduk berarti perpindahan penduduk yang hanya bersifat sementara atau tidak menetap. Untuk mendapatkan suatu niat untuk hijrah atau pergi ke kota dari desa, seseorang biasanya harus mendapatkan pengaruh yang kuat dalam bentuk ajakan, informasi media massa, impian pribadi, terdesak kebutuhan ekonomi, dan lain sebagainya. Pengaruh-pengaruh tersebut bisa dalam bentuk sesuatu yang mendorong, memaksa atau faktor pendorong seseorang untuk urbanisasi, maupun dalam bentuk yang menarik perhatian atau faktor penarik (Wikipedia, 2009). Faktor penyebab terjadinya urbanisasi adalah : 1. Kehidupan kota yang lebih modern dan mewah 2. Sarana dan prasarana kota yang lebih lengkap 3. Banyak lapangan pekerjaan di kota 4. Di kota banyak perempuan cantik dan laki-laki ganteng 7 5. Pengaruh buruk sinetron Indonesia 6. Pendidikan sekolah dan perguruan tinggi jauh lebih baik dan berkualitas Sedangkan faktor pendorong terjadinya urbanisasi adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Lahan pertanian yang semakin sempit Merasa tidak cocok dengan budaya tempat asalnya Menganggur karena tidak banyak lapangan pekerjaan di desa Terbatasnya sarana dan prasarana di desa Diusir dari desa asal Memiliki impian kuat menjadi orang kaya Dalam rangka menemukan sebuah definisi atau konsepsi urbanisasi diperlukan beberapa pertimbangan, dimana pertimbangan ini didasarkan atas sifat yang dimiliki arti dan istilah urbanisasi, yaitu multi-sektoral dan kompleks, misalnya saja (Ningsih, 2002) : 1. Dari segi demografi, urbanisasi ini dilihat sebagai suatu proses yang ditunjukkan melalui perubahan penyebaran penduduk dalam suatu wilayah. Masalah-masalah mengenai kepadatan penduduk berakibat lanjut terhadap masalah perumahan dan masalah kelebihan tenaga kerja menjadi masalah yang sangat merisaukan karena dapat menghambat pembangunan. Pemerintah secara khusus menangani masalah perumahan dengan diadakannya Departemen Perumahan. 2. Dari segi ekonomi, urbanisasi adalah perubahan struktural dalam sektor mata pencaharian. Ini dapat dilihat dari banyaknya penduduk desa yang meninggalkan pekerjaannya di bidang pertanian, beralih bekerja menjadi buruh atau pekerja kasar yang sifatnya non agraris di kota. Masalah-masalah yang menyangkut mata pencaharian sektor informasi atau yang lebih dikenal dengan istilah pedagang kaki lima. 3. Dalam pengertian sosiologi maka urbanisasi dikaitkan dengan sikap hidup penduduk dalam lingkungan pedesaan yang mendapat pengaruh dari kehidupan kota. Dalam hal ini apakah mereka dapat bertahan pada cara hidup desa ataukah mereka mengikuti arus cara hidup orang kota yang belum mereka kenal secara mendalam, sehingga akan dapat menimbulkan masalahmasalah sosiologis yang baru. Dari segi sosiologi, urbanisasi dapat menimbulkan lapisan sosial yang baru dan menjadi beban kota, karena kebanyakan dari mereka yang tidak berhasil hidup layak di kota dan akan menjadi penggelandang membentuk daerah slum atau daerah hunian liar Menurut McGee (1990) proses perkembangan dan urbanisasi kota-kota di Indonesia (terutama di Pulau Jawa) ditandai oleh adanya restrukturisasi internal kota- 8 kota besarnya. Kota-kota di Indonesia pada beberapa dekade mendatang cenderung akan terus berkembang baik secara demografis, fisik, maupun spasial. Fenomena menyusutnya penduduk perdesaan dalam dua dekade yang lalu akibat adanya migrasi besar-besaran penduduk perdesaan. Hal ini memberi indikasi bahwa kota-kota di Indonesia akan berkembang pesat baik secara demografis maupun spasial di masa mendatang. Lipton (1977) menyatakan bahwa urbanisasi merupakan refleksi dari gejala kemandegan ekonomi di desa yang dicirikan oleh sulitnya mendapatkan pekerjaan dan fragmentasi lahan (sebagai faktor pendorong), serta daya tarik kota dengan penghasilan tinggi (sebagai faktor penarik). Faktor pendorong dan faktor penarik sama-sama menjadi determinan penting. Urbanisasi menjadi pilihan yang rasional bagi penduduk di dalam usaha mengejar pendapatan yang lebih baik ketimbang tetap bertahan di desa. Meningkatnya proses urbanisasi tersebut tidak terlepas dari kebijaksanaan pembangunan perkotaan, khususnya pembangunan ekonomi yang dikembangkan oleh pemerintah. Peningkatan jumlah penduduk akan berkorelasi positif dengan meningkatnya urbanisasi di suatu wilayah. Ada kecenderungan bahwa aktivitas perekonomian akan terpusat pada suatu area yang memilik tingkat konsentrasi penduduk yang cukup tinggi. Hubungan positif antara konsentrasi penduduk dengan aktivitas kegiatan ekonomi ini akan menyebabkan makin membesarnya area konsentrasi penduduk, sehingga menimbulkan apa yang dikenal dengan nama daerah perkotaan. Di sini dapat dilihat adanya keterkaitan timbal balik antara aktivitas ekonomi dengan konsentrasi penduduk. Para pelaku ekonomi cenderung melakukan investasi di daerah yang telah memiliki konsentrasi penduduk yang tinggi serta memiliki sarana dan prasarana yang lengkap. Karena mereka dapat menghemat berbagai biaya, antara lain biaya distribusi barang dan jasa. Sebaliknya, penduduk akan cenderung datang kepada pusat kegiatan ekonomi karena di tempat itulah mereka akan lebih mudah memperoleh kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan. Dengan demikian, urbanisasi merupakan suatu proses perubahan yang wajar dalam upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk atau masyarakat. 2.3. Aplikasi Geospasial dalam Pemukiman Kumuh Mengingat dampak yang ditimbulkan cukup signifikan pada aspek ekonomi dan kemanusiaan, pemukiman kumuh membutuhkan mekanisme pemantauan yang memadai. Pemantauan dapat dilakukan melalui pendekatan survei lapang yang saat ini banyak digunakan oleh dinas dan Badan Pusat Statistik. Mekanisme tersebut 9 cukup bermanfaat untuk meninjau masalah dalam ruang lingkup tertentu, namun sulit divalidasi melalui proses yang melibatkan informasi spasial seperti luasan atau lokasi geografisnya. Dengan semakin berkembangnya teknologi geospasial terutama sensor penginderaan jauh, identifikasi atau pemetaan permukiman kumuh secara spasial dimungkinkan. Dengan pendekatan tersebut diharapkan ketimpangan informasi yang belum dapat dicakup oleh pendekatan pertama dapat dikurangi. Namun demikian, hasil studi literatur menunjukkan bahwa aplikasi penginderaan jauh dalam pemantauan permukiman kumuh cukup terbatas. Percobaan pendahuluan dilakukan oleh Raghavswamy et al. (1989) dalam memetakan lingkungan kumuh di Bombai, India menggunakan citra Landsat Thematic Mapper. Satelit generasi baru seperti ASTER juga telah dimanfaatkan untuk tujuan ini (Netzband and Rahman, 2009) pada metropolitan Delhi di India. Perkembangan teknologi sensor saat ini mampu menghasilkan citra satelit dengan resolusi spasial yang tinggi, seperti Quickbird. Citra satelit Quickbird adalah citra satelit yang cocok untuk studi daerah perkotaan yang menunjukkan fitur yang cukup detail untuk analisis yang diperlukan. Citra satelit ini diluncurkan pada tanggal 28 Februari 2005. Resolusi spasial data citra Quickbird adalah 0.6 m untuk pankromatik dan 2.4 m untuk multispektral. Resolusi spasial yang sangat tinggi memungkinkan untuk membedakan konstruksi dalam ukuran kecil. Quickbird multispektral memiliki tiga band yaitu biru (0,45-0.52 mm), hijau (0,52-0,60 mm), merah (0,63-0,69 mm) dan satu band inframerah dekat (0,76-0,90 mm). Data citra ini terekam dalam skala warna 11 bit yang menghasilkan tingkat intensitas yang lebar (sampai 2048 tingkatan warna atau rona) (Avelar et al., 2008). 10