tinjauan pustaka - Universitas Sumatera Utara

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Tanaman aren dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom
:Plantae
Divisi
:Magnoliophyta
Kelas
:Liliopsida
Ordo
:Arecales
Famili
:Arecaceae
Genus
:Arenga
Spesies
: Arenga pinnata Merr.
Aren memiliki akar yang dapat tumbuh dalam sampai 10 m dengan akar
serabut berwarna putih kekuningan dan mengandung saponin, flavonoida dan
polifenol. Perakaran pohon aren menyebar dan cukup dalam, sehingga tanaman
ini dapat diandalkan sebagai vegetasi pencegah erosi, terutama untuk daerah yang
tanahnya mempunyai kemiringan lebih dari 20 %.
Batang aren bisa mencapai tinggi 20 m dengan diameter 30-65 cm.
Tanaman ini adalah palem besar, tidak bercabang dengan batang tebal, berserat
dan berbulu hitam (Effendi, 2009). Batang mengandung teras pati yang lunak
dengan banyak serabut kasar dan berkayu. Struktur umum yang dimiliki pada
batang, pada bagian luar terdapat epidermis yang ditutupi oleh bahan lemak alam
yang sangat tahan air (kutin). Lapisan kutin disebut dengan kutikula. Pada A.
pinnata, kutikulanya cukup tebal, bersifat kedap air dan gas (impermeabel).
Bagian sebelah dalam epidermis terdapat korteks yang terdiri dari jaringan
parenkim, kolenkim, dan sklerenkim. Di sebelah dalam korteks terdapat silinder
Universitas Sumatera Utara
pusat yang berisi jaringan pembuluh yang biasa disebut ikatan pembuluh (berkas
pengangkut).
Daunnya majemuk menyirip, seperti daun kelapa, panjang hingga 5 m
dengan tangkai daun hingga 1,5 m. Anak daun seperti pita bergelombang hingga
7 x 145 cm. Daunnya hijau gelap di atas dan hijau keputihan dibawah karena
lapisan lilin disisi bawahnya (Orwa dkk., 2009). Anak daun bentuk lanset,
menyirip, pangkal membulat, ujung runcing, tepi rata dan tangkai pendek.
Bunga aren berumah satu, bunga jantan berpasangan, daun kelopak tiga,
bulat telur, benang sari banyak, kepala sari bentuk jarum. Bunga betina bulat,
bakal buah tiga, putik tiga, berwarna putih, mahkota terbagi tiga, kuning keputihputihan. Bunga-bunga aren diatur dalam kelompok besar yang muncul diketiak
daun, bunga jantan dan betina panjangnya hingga 2 m. Aren dapat berbunga mulai
umur 6 – 12 tahun. Pembungaannya mula-mula muncul tunas bunga dari pucuk
diikuti tunas berikutnya kearah pangkal batang dan umumnya berlangsung 2-5
tahun sampai pohon tersebut mati. Tipe penyerbukannya adalah menyerbuk
sendiri. Musim berbunga berkisar Juni–Agustus (Tambunan dkk., 2009). Batang
dari tandan bunga dapat disadap dan nira dikonsumsi sebagai tuak atau menjadi
gula. Tandan bunga terakhir hampir dapat menyentuh tanah.
Buah aren termasuk kedalam buah buni, berbentuk peluru dengan ujung
pesok ke dalam, ukuran garis tengah buah sekitar 4 cm, beruang 3, berbiji 3. Buah
tersusun dalam untaian seperti rantai. Setiap tandan buah mempunyai 10 tangkai
atau lebih dan setiap tangkai memiliki lebih kurang 50 butir buah. Waktu muda
buah berwarna hijau setelah tua menjadi warna kuning kecoklatan. Daging buah
warna kuning keputih putihan, lunak dan dapat menyebabkan gatal pada kulit
Universitas Sumatera Utara
karena mengandung kristal kalsium oksalat yang dapat menghambat proses
perkecambahan (Tambunan dkk., 2009).
Biji aren putih, kenyal, berukuran 2,5 – 3,5 cm dan lebar 2 – 2,5 cm. Kulit
biji pada waktu muda warna kuning kecoklatan dan setelah tua menjadi warna
hitam dan keras. Terdapat jumlah benih kering rata-rata 190 – 210 butir per kg
(Orwa dkk., 2009).
Menurut Effendi (2009) tanaman aren dapat tumbuh dengan baik di dekat
pantai sampai pada dataran tinggi 1200 m dpl. Tanaman aren sangat cocok pada
kondisi landai dengan kondisi agroklimat beragam seperti daerah pegunungan
dimana curah hujan tinggi dengan tanah bertekstur liat berpasir. Dalam
pertumbuhan tanaman ini membutuhkan kisaran suhu 20-25°C, terutama untuk
mendorong perkembangan generatif agar dapat berbunga dan berbuah. Sedang
untuk pembentukan mahkota tanaman, kelembaban tanah dan ketersediaan air
sangat diperlukan dimana curah hujan yang dibutuhkan antara 1200-3500
mm/tahun agar kelembaban tanah dapat dipertahankan.
Pemuliaan Tanaman Aren
Sekalipun aren lebih dikenal sebagai hasil hutan non kayu, aren telah
mulai dibudidayakan secara baik oleh suku Batak Toba sejak awal tahun 1900.
Tanaman ini tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia pada berbagai kondisi
agroekosistem. Penyebaran dan pertumbuhan aren umumnya berlangsung secara
alamiah. Di beberapa tempat, terutama yang memiliki kebiasaan memproduksi
gula atau mengkonsumsi minuman beralkohol, aren sering ditanam secara
sengaja, meskipun sebagai tanaman pinggiran atau tanaman sela di antara tanaman
pepohonan yang sudah ada. Para petani mengakui bahwa gula yang dihasilkan
Universitas Sumatera Utara
dari nira aren sangat menolong ekonomi mereka, namun perhatian pemerintah
terhadap upaya pengembangan tanaman ini sangat terbatas dan tidak konsisten.
Hal yang sama dijumpai pada lembaga-lembaga penelitian, penelitian tanaman
aren umumnya dilakukan secara insidentil (Allorerung, 2007).
Permintaan aren tidak hanya untuk memenuhi industri gula, namun
industri bioetanol juga. Tanaman aren sangat potensial dan produktif sebagai
sumber bioetanol dibandingkan tanaman lain. Selain itu produksi yang dihasilkan
jauh lebih sedikit daripada bahan yang digunakan. Jagung memproduksi bioetanol
sebanyak 6.000 liter per hektar per tahun, singkong 2.000 liter, biji sorgum 4.000
liter, jerami padi dan ubijalar 7.800 liter sedangkan aren memproduksi 40.000 liter
ethanol per hektar per tahun. Tanaman ini juga tidak membutuhkan pemupukan
dan tidak terserang hama ataupun penyakit yang mengharuskan penggunaan
pestisida sehingga aman bagi lingkungan. Tidak seperti singkong dan tebu yang
dipanen 3-4 bulan sekali, aren dapat dipanen sepanjang tahun (Arien, 2009).
Masalah utama pengembangan aren: input teknologi sangat minim,
manajemen produksi, pengolahan dan pemasaran masih cara tradisional;
diseminasi teknologi belum mencapai sebagian besar petani; dampak negatif
produksi aren sebagai minuman keras. Kesulitan dalam penyediaan benih/bibit
unggul. Sampai saat ini belum ada varietas yang dilepas, benih yang ada diambil
dari Blok Penghasil Tinggi (BPT) yang diseleksi berdasarkan seleksi individu
terbaik populasi tersebut (Effendi, 2010).
Aren diperbanyak secara generatif yaitu melalui biji dari buah yang sudah
matang fisiologis. Tampaknya benih aren memiliki masa dormansi sehingga benih
yang baru dipanen tidak bisa segera berkecambah. Struktur kernel biji yang keras
menyebabkan biji aren relatif lambat berkecambah (Allorerung, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Sampai saat ini sumber benih tanaman aren dikembangkan secara generatif
yaitu melalui biji dari pohon induk yang memiliki kriteria sebagai berikut :
1. Batang pohon harus besar dengan pelepah daun merunduk dan rimbun.
Sampai saat ini tanaman aren yang tumbuh dilapangan dikategorikan dalam 2
aksesi yaitu Aren Genjah (pohon agak kecil dan pendek) dengan produksi nira
antara 10 -15 liter/tandan/hari, dan Aren Dalam (pohon besar dan tinggi) dengan
produksi nira 20 – 30 liter/tandan/hari. Untuk pohon induk dianjurkan adalah
aksesi Dalam.
Oleh karena itu hal yang harus diperhatikan dalam memilih dan menentukan
pohon induk sebagai sumber benih yaitu pohon yang sudah berbunga baik sistem
pembungaan betina maupun sistem pembungaan jantan dan sedang disadap
niranya. Hal ini penting karena tanaman aren dikenal sebagai tanaman
hapaksantik yaitu fase reproduktifnya membatasi pertumbuhan batang dengan
daya tahan hidup mencapai 3 tahun.
2. Pohon terpilih harus memiliki produktifitas yang tinggi.
Untuk mengetahui bahwa pohon induk yang telah dipilih sebagai sumber benih
dari mayang betina dengan memiliki produktifitas nira yang tinggi antara 20 – 30
liter/mayang/hari, maka perlu dilakukan penyadapan nira dari mayang jantan
pertama atau kedua. Sebab tidak semua mayang jantan yang keluar (9 – 11
mayang) dan tidak semua pohon mengeluarkan nira. Hal ini sangat dipengaruhi
oleh proses fisiologi tanaman.
Apabila yang disadap mayang jantan pertama atau kedua produksi niranya banyak
maka pohon tersebut adalah produktif untuk pohon induk sebagai sumber benih.
Pohon yang terpilih sebagi sumber benih dengan produksi nira yang banyak maka
tidak dianjurkan untuk proses penyadapan untuk tandan-tandan selanjutnya secara
Universitas Sumatera Utara
berturut-turut. Bila pohon induk dilakukan penyadapan terus menerus (dipaksa)
maka akan menghasilkan buah yang kelihatannya utuh tetapi bijinya berkerut
bahkan kempes sehingga bila ditanam menghasilkan pohon aren yang tidak baik
(Maliangkay, 2009).
Keberhasilan program pemuliaan pohon memerlukan keragaman genetik
yang cukup tinggi dari populasi aren yang ada sehingga seleksi yang dilakukan
akan lebih optimal. Untuk keperluan ini maka konservasi ex situ aren diperlukan
sebagai populasi dasar bagi kegiatan pemuliaan aren di masa mendatang. Hasil
akhir yang didapatkan dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Eksplorasi materi genetik berupa buah dan daun telah dilakukan di 4 populasi
sebaran alam aren yaitu Temanggung (Jawa Tengah), Kalimantan Selatan,
Sulawesi Utara dan Bengkulu (masing-masing sebanyak 22, 20, 21 dan 20
sampel).
2. Besarnya keragaman genetik dalam populasi aren masih tinggi yang
ditunjukkan oleh nilai rata-rata heterozigositas harapan (He) sebesar 0.4381.
Keragaman genetik total populasi rata-rata sebesar 0.4712 yang terdistribusi
menjadi keragaman genetik dalam populasi sebesar 0.4381 atau 92,98% dan
sisanya antar populasi sebesar 0.0331 atau 7,02 %.
3. Hubungan kekerabatan genetik antar keempat populasi aren dapat
dikelompokkan menjadi 2 klaster, yaitu klaster pertama meliputi populasi
Temanggung (P. Jawa) dan Kalimantan Selatan (P. Kalimantan); klaster kedua
populasi Bengkulu (P. Sumatera), dan Sulawesi Utara (P. Sulawesi).
4. Pembibitan aren masih membutuhkan waktu yang cukup lama agar bibit siap
tanam.
(Haryjanto, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Untuk mengoptimalkan manfaat dari potensi aren ini serta untuk
menjamin keberhasilan program dalam jangka panjang, perlu didukung dengan
kegiatan penelitian. Aspek-aspek yang masih perlu diteliti meliputi potensi
genetik, farming system, perbaikan mutu dan pengembangan aneka produk,
pengaruhnya terhadap aspek lingkungan dan sosial ekonomi petani. Di samping
itu, perlu upaya pengembangan sumber daya manusia petani dan kemampuan
penelitian (research capacity building) (Allorerung, 2007).
Keragaman Genetik
Keragaman genetik memainkan peran yang sangat penting dalam
adaptabilitas suatu spesies karena ketika lingkungan suatu spesies berubah, variasi
gen yang kecil diperlukan agar spesies dapat bertahan hidup dan beradaptasi.
Spesies yang memiliki derajat keragaman genetik yang tinggi pada populasinya
akan
memiliki
lebih
banyak
variasi
alel
yang
dapat
diseleksi
(Elfrod dan Stansfield, 2007).
Dalam pemuliaan tanaman, keragaman genetik dalam populasi tanaman
mempunyai
arti
yang
sangat
penting
(Mangoendidjojo,
2003)
untuk
pengembangan sumber genetik yang diperlukan dalam pemuliaan tanaman
(Karsinah
dkk.,
2002).
Tingkat
keragaman
individu
dalam
populasi
menggambarkan status keberadaan spesies tersebut di alam. Populasi dengan
keragaman genetik yang tinggi mempunyai peluang hidup yang lebih baik karena
mempunyai
kemampuan
yang
lebih
baik
untuk
beradaptasi
dengan
lingkungannya.
Variasi fenotipik secara positif terkait dengan keragaman genetik, tetapi
juga tergantung pada faktor-faktor lingkungan serta pada interaksi antara genotipe
Universitas Sumatera Utara
dan lingkungan (Moose dan Mumm, 2008). Jadi, menentukan keragaman genetik
melalui variasi antara genotipe, kelompok genotipe, atau populasi adalah penting
untuk program pemuliaan tanaman genetik.
Tenda, dkk (2010) telah meneliti keragaman genetik aren pada bulan
Desember 2009 yaitu eksplorasi di desa Kandolo kecamatan Teluk Pandan dan
desa Peridan kecamatan Sangkuliran, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi
Kalimantan Timur. Hasil eksplorasi diperoleh dua tipe aren yaitu aren genjah
yang terdapat di desa Kandolo kecamatan Teluk Pandan dan aren Dalam yang
terdapat di desa Paridan kecamatan Sangkuliran. Tipe aren genjah memiliki
keragaman tinggi pada sifat tinggi batang, jumlah daun, panjang tangkai mayang
jantan, panjang rangkaian mayang jantan, jumlah mayang jantan, jumlah mayang
betina dan lama berproduksi per mayang. Sedangkan tipe aren Dalam memiliki
keragaman tinggi pada sifat tinggi batang, panjang tangkai mayang jantan, jumlah
mayang jantan, panjang tangkai mayang betina, jumlah mayang betina, produksi
nira, dan lama berproduksi permayang.
Teknik
biologi
molekuler
telah
memberikan
peluang
untuk
mengembangkan dan mengidentifikasi peta genetik dari suatu kultivar tanaman.
Pendekatan genetika molekuler dengan menggunakan penanda DNA telah
berhasil membentuk penanda molekuler yang mampu dalam mendeteksi gen dan
sifat-sifat tertentu, evaluasi keragaman dan evolusi pada tingkat genetik.
Beberapa teknik penanda DNA tersebut adalah Restriction Fragment Length
Polymorphism (RFLP), Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP) dan
Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD).
Teknik marka molekuler telah banyak digunakan untuk identifikasi
kultivar dari inbrida kurma (Phoenix dactylifera L.; Arecaceae) dan konservasi
Universitas Sumatera Utara
keanekaragaman hayati. Isolasi kemurnian DNA adalah prasyarat untuk
amplifikasi PCR dan penggunaan selanjutnya seperti sidik jari DNA dan
sekuensing gen yang baru-baru ini telah dikembangkan. Untuk menghindari
masalah yang berkaitan dengan pelestarian dan penggunaan nitrogen cair,
digunakan pasir steril untuk menggiling daun kurma tersebut. Efek individu dan
gabungan dari natrium klorida (NaCl), polivinilpirolidon (PVP) dan lithium
klorida (LiCl) dengan metode cetyl trimethyl ammonium bromida (CTAB) untuk
hasil DNA dari kemurnian yang cukup dan amplifikasi PCR dievaluasi dalam
penelitian ini. Kehadiran LiCl dan PVP sendiri atau bersama-sama dalam buffer
lisis tidak secara signifikan meningkatkan hasil dan kemurnian DNA
dibandingkan dengan penambahan NaCl. Studi ini menyarankan bahwa grinding
daun kurma dengan pasir steril dan inklusi NaCl (1,4 M) dalam buffer lisis tanpa
menggunakan nitrogen cair yang mahal, PVT dan LiCl, memberikan hasil DNA
dari kemurnian yang cukup, cocok untuk amplifikasi PCR (Ibrahim dkk., 2010).
Beberapa penelitian mengenai keragaman genetik yang dilakukan dengan
marka RAPD antara lain: belimbing (Yulita, 2011), jagung, (Leah dkk., 2010),
jarak pagar (Yunus, 2007 dan Suryatini, 2011), kelapa sawit (Hayati dkk., 2004
dan Zulhermana, 2009), buah kiwi (Palombi dan Damiano, 2001).
Dari penelitian yang dilakukan oleh Yunus (2007) menunjukkan bahwa
keragaman tanaman jarak pagar di Jawa Tengah dapat dikelompokkan menjadi 2
kelompok dan 2 individu tunggal tidak berkelompok. Dua kelompok itu yaitu
kelompok I terdiri atas Kudus I dan Grobogan sedangkan kelompok II terdiri atas
Banyumas I, Pati, Cilacap, Banyumas II, Pemalang, Purwodadi dan Batang. Dua
kelompok tersebut berada pada jarak kemiripan DICE I. Hal ini menunjukkan
bahwa tanaman jarak pagar kelompok I memiliki kemiripan genetik yang tinggi.
Universitas Sumatera Utara
Demikian juga tanaman jarak pagar kelompok II. Ciri-ciri tanaman memiliki
kemiripan yang tinggi yaitu memilik jarak kemiripan DICE mendekati 0.
Sebanyak 723 aksesi kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Dari 26
populasi yang mewakili sepuluh negara di Afrika dan salah satu keluarga dura
Deli disaring untuk variasi alel pada lokus tujuh enzim dari enam sistem enzim
menggunakan elektroforesis gel pati. Diferensiasi genetik di antara populasi tinggi
(F (ST) = 0,301), menunjukkan divergensi genetik tinggi. Perhitungan dari F (ST)
oleh zona geografis mengungkapkan bahwa F tinggi (ST) adalah sebagian besar
karena F (ST) di antara populasi di Afrika Barat, menunjukkan pilihan
diversifikasi di wilayah ini. Analisis cluster UPGMA mengungkapkan tiga
kelompok utama; populasi terpencil barat dari Sierra Leone Senegal dan berada di
satu cluster tetapi dipisahkan menjadi dua sub-cluster yang berbeda, populasi
terpencil timur dari Madagaskar berada di satu cluster, sedangkan populasi dari
Angola, Kamerun, Demokrat Republik Kongo, Ghana, Tanzania, Nigeria dan
Guinea berada di satu cluster. Keluarga dura Deli terkait erat dengan populasi 6
dari Guinea (Hayati dkk., 2004)
Berdasarkan hasil amplifikasi DNA dengan PCR – ISSR menggunakan
tujuh primer, didapatkan hanya tiga primer (UBC 828, UBC 885, dan UBC 890)
yang mampu mengamplifikasi DNA dalam reaksi PCR – ISSR. Hasil
elektroforesis produk amplifikasi DNA menghasilkan 12 – 16 pola pita DNA
dengan kisaran ukuran 280 – 1650 bp. Polimorfisme yang diperoleh sangat tinggi
(masing – masing primer sebesar 100%). Nilai keinformatifan primer (PIC)
berada pada kisaran 0,85 – 0,92, yang berarti primer tersebut mampu mendeteksi
polimorfisme dalam suatu populasi sebesar 85 – 92%. Hasil analisis kelompok
dengan UPGMA (MEGA 5.05) menunjukkan bahwa jarak pagar dibagi dalam dua
Universitas Sumatera Utara
kelompok, dan hanya jarak pagar asal Pancasari yang membentuk kelompok
sendiri (Suryatini, 2011).
Hasil analisis UPGMA menunjukkan bahwa marka RAPD mampu
memisahkan individu pisifera Nigeria yang berasal dari TxP famili dan klon.
Marka RAPD mengelompokan seluruh pisifera Nigeria pada tingkat kesamaan
0,83. Ketika analisis dilakukan menggunakan marka RAPD, seluruh klon pisifera
membentuk satu kelompok pada tingkat kesamaan 1,00 hal ini mengindikasikan
bahwa seluruh klon yang dianalisis benar-benar seragam (Zulhermana, 2009).
RAPD juga digunakan untuk sidik jari genotipe buah Kiwi dan untuk
mendeteksi variasi genetik yang tidak diinginkan dalam mikropropogasi tanaman.
Fragmen diberi skor sebagai ada (1) atau tidak (0), pembacaan yang dimasukkan
dalam file komputer sebagai matriks biner (satu untuk setiap penanda). Dua
analisis cluster dilakukan untuk mengekspresikan dalam bentuk dendrograms
hubungan antara genotipe dan variabilitas genetik terdeteksi. Teknik berbasis
DNA yang digunakan mampu memperkuat semua genotipe. Disimpulkan bahwa
ketika teknik kultur jaringan yang digunakan, analisis variabilitas somaklonal bisa
membutuhkan lebih dari satu teknik berbasis DNA; pada kenyataannya, variasi
genetik
hadir
dalam
sumber
yang
berbeda
dapat
mengganggu
atau
menggabungkan kemampuan polimorfik lebih atau kurang polimorfik, seperti
hasil
penelitian
yang
ditunjukkan
dengan
penanda
RAPD
(Palombi dan Damiano, 2001).
Marka RAPD
RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) merupakan metode
perbanyakan genom yang paling sering digunakan karena sangat mudah dan
Universitas Sumatera Utara
membutuhkan jumlah DNA genom yang tidak terlalu banyak. RAPD banyak
digunakan untuk menganalisis keanekaragaman karakter genetik dalam berbagai
penelitian dengan pertimbangan antara lain tidak membutuhkan latar belakang
pengetahuan tentang genom yang akan dianalisis, primer yang digunakan bersifat
universal (dapat digunakan untuk prokariot maupun eukariot), mampu
menghasilkan karakter yang relatif tidak terbatas jumlahnya, bahan-bahan yang
digunakan relatif lebih murah, preparasi lebih mudah,dan memberikan hasil lebih
cepat dibandingkan dengan analisis molekular lainnya. Metode RAPD mampu
mendetekasi sekuen nukleotida dengan hanya menggunakan satu primer. Primer
tersebut akan memberikan utas tunggal genom yang satu dan pada utas DNA
pasangannya dengan arah berlawanan. Selama situs penempelan primer masih
berada pada jarak yang dapat diamplifikasi pada umumnya tidak lebih dari 5000
pasangan
basa
(pb),
maka
akan
diperoleh
produk
DNA
amplifikasi
(Weising dkk., 1995).
Prinsip teknik RAPD didasarkan pada kemampuan primer menempel pada
cetakan DNA. Primer yang didesain berupa primer tunggal pendek agar dapat
menempel secara acak pada DNA genom organisme. Dengan demikian akan
terdapat banyak pola fragmen DNA. Perbedaan ini dapat dilihat dengan adanya
pola pita pada gel agarosa setelah diwarnai dengan pewarnaan DNA seperti
etidium bromide (gel red). Disamping ditentukan oleh ada tidaknya situs
penempelan primer, keberhasilan teknik ini ditentukan juga oleh kemurnian dan
keutuhan cetakan DNA. Cetakan DNA yang tidak murni akan mengganggu
penempelan primer pada situsnya dan akan menghambat aktifitas enzim
polymerase DNA. Enzim ini berfungsi untuk melakukan polimerisasi DNA.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan
cetakan
DNA
yang
banyak
mengalami
fragmentasi
dapat
menghilangkan situs penempelan primer.
Salah satu keuntungan pemakaian analisis keragaman genetik tanaman
dengan menggunakan teknik molekuler yang memanfaatkan teknologi amplifikasi
PCR adalah kuantitas DNA yang diperlukan hanya sedikit. Disamping itu, dalam
pelaksanaan teknik RAPD tingkat kemurnian DNA yang dibutuhkan tidak perlu
terlalu tinggi, atau dengan kata lain teknik amplifikasi PCR relatif toleran
terhadap tingkat kemurnian DNA. Walaupun demikian, dalam suatu teknik isolasi
DNA masih diperlukan suatu tahapan untuk meminimalkan senyawa-senyawa
kontaminan yang dapat mengganggu reaksi PCR seperti polisakarida dan
metabolit sekunder. Hal ini disebabkan keberadaan polisakarida dan metabolit
sekunder dalam sel tanaman sering menyulitkan dalam isolasi asam nukleat.
Adanya polisakarida dan senyawa metabolit sekunder dalam sel tanaman sering
menyulitkan dalam proses isolasi asam nukleat. Struktur polisakarida yang mirip
dengan asam nukleat akan menyebabkan polisakarida tersebut akan mengendap
bersama dengan asam nukleat (Wilkins dan Smart, 1996).
Dalam program pemuliaan tanaman, diperlukan identifikasi baik karakter
morfologi maupun molekuler untuk menguji keragaman genotip klon-klon yang
akan dipilih untuk tetua persilangan. Pemakaian teknik RAPD memiliki resolusi
yang sebanding dengan RFLP dalam hal analisis kekerabatan antar genotif dan
mampu menghasilkan jumlah karakter yang tidak terbatas sehingga sangat
membantu dalam analisis keragaman genetik tanaman yang tidak diketahui latar
belakang genomnya. Analisis RAPD hanya memerlukan sejumlah kecil DNA
sehingga sangat sesuai untuk species tanaman berkayu. RAPD memerlukan biaya
lebih rendah dibandingkan biaya untuk uji kekerabatan berdasarkan analisis DNA
Universitas Sumatera Utara
yang lain. Metode RAPD menggunakan primer dengan ukuran sepuluh basa
sering digunakan untuk studi kekerabatan, identifikasi varietas, pemetaan genetik,
analisis struktur DNA organisme dan finger printing suatu individu organisme.
Teknik RAPD menggunakan primer acak maupun spesifik telah terbukti dapat
digunakan sebagai penanda molekuler untuk berbagai karakter agronomis penting.
Pemakaian marka molekuler RAPD banyak digunakan untuk menyusun
kekerabatan beberapa individu dalam spesies maupun kekerabatan antar spesies.
Penggunaan kekerabatan ini dapat dijadikan rujukan dalam pemuliaan persilangan
untuk mendapatkan keragaman yang tinggi dari hasil suatu persilangan penanda
RAPD yang efektif dalam mengevaluasi silsilah bahan, sementara SSR sangat
penting
untuk
mengenali
perbedaan
antara
karakteristik
kuantitatif.
(Maftuchah, 2001).
Pada tahun 2010 BALITKA sedang melakukan penelitian untuk
mengidentifikasi fragmen DNA sebagai penanda sifat kopyor, klarifikasi kandidat
penanda sifat produksi buah pada kelapa kultivar Dalam Mapanget, dan
identifikasi penanda tanaman tahan terhadap P. palmivora. Pemanfaatan penanda
DNA akan menghemat waktu dan tenaga kerja karena pengujian yang dilakukan
pada tingkat DNA tidak dipengaruhi oleh lingkungan tumbuh. Keuntungan
lainnya adalah jumlah benih, bibit, atau galur yang dibutuhkan untuk pengujian
dapat dikurangi, karena banyak yang sudah tidak terpilih setelah seleksi dengan
penanda DNA pada tahap awal generasi, sehingga desain pemuliaan lebih efektif.
Efisiensi paling besar adalah seleksi terhadap sifat spesifik (target) akan lebih
cepat karena seleksi berdasarkan genotif spesifik lebih mudah diidentifikasi dan
diseleksi (Pandin, 2010).
Universitas Sumatera Utara
Pada
umumnya
ekstraksi
DNA
tanaman
dilaksanakan
dengan
menggunakan bufer pengekstrak sodium dodecyl sulphate (SDS) dan cetyl trimetil
ammonium bromide (CTAB). Perlakuan lisis sel dengan menggunakan detergen
non ionik CTAB menghasilkan kuantitas DNA yang cukup tinggi terutama dari
jaringan segar, dengan jumlah DNA yang dihasilkan bervariasi tergantung pada
species dan kondisi awal material yang digunakan. Pada tanaman dengan
kandungan polisakarida dan metabolit sekunder tinggi perlu dilakukan modifikasi
pada saat ekstraksi DNA. Untuk menghilangkan polisakarida ekstraksi lisat
disarankan
dengan
menggunakan
kloroform
dibandingkan
dengan
kloroform/isoamilalkohol karena lebih efisien untuk mengisolasi asam nukleat.
Secara umum hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan pemakaian tiga
metode isolasi DNA genom yang diujikan maka dihasilkan dua metode yang
mampu menghasilkan DNA genom jarak pagar dengan kuantitas dan kualitas
yang baik, yaitu metode Doyle and Doyle (1990), menggunakan bufer CTAB,
menggunakan bufer pengektrak SDS. Metode isolasi DNA berdasarkan metode
Doyle and Doyle yang menggunakan bufer CTAB dan metode Zheng dkk. yang
menggunakan bufer pengektrak SDS sesuai untuk dipergunakan dalam isolasi
DNA genom tanaman jarak pagar (Zainudin dan Maftuchah, 2010).
Ada tiga kontaminan utama yang terkait dengan DNA tanaman yang dapat
menyebabkan kesulitan yang cukup besar ketika melakukan eksperimen PCR:
senyawa polifenol, polisakarida dan RNA. Kehadiran zat fenolik seperti quercetin,
isorhamnetin heterosides, (+) catechin, (-) epikatekin, 5-caffeoylshikimic asam
(asam dactylifric) dan isomer posisi nya (asam 3-caffeoylshikimic dan asam 4caffeoylshikimic) yang hadir dalam daun kurma dapat mengganggu keberhasilan
isolasi DNA dengan amplifikasi PCR. Inklusi natrium klorida (NaCl) dengan
Universitas Sumatera Utara
buffer lisis telah digunakan untuk menghilangkan polisakarida. Demikian juga,
polivinilpirolidon (PVP) telah direkomendasikan untuk menghilangkan senyawa
polifenol dan lithium klorida (LiCl) untuk RNA (Ibrahim dkk., 2010).
Hasil ekstraksi DNA kemiri sunan dengan menggunakan kombinasi
penambahan antioksidan polivinilpolipirolidon (PVPP) dan mercaptoethanol,
namun tanpa penggunaan nitrogen cair, ataupun penyimpanan lebih lama (over
night) dari ekstrak daun yang telah digerus sebelum dilakukan purifikasi seperti
yang sering dilakukan untuk tanaman tahunan pada umumnya, memperlihatkan
hasil yang sangat memuaskan, dimana DNA mempunyai kualitas dan kuantitas
yang sangat baik serta pola pita amplikon DNA terlihat sangat jelas dan tebal,
sehingga bisa dikatakan bahwa teknik isolasi DNA yang dipakai dalam kegiatan
ini adalah sangat memberikan hasil yang nyata dan memenuhi syarat untuk
digunakan dalam ekstraksi DNA kemiri susan (Syafaruddin dan Santoso, 2011).
Universitas Sumatera Utara
Download