16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Model

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1.
Model - Model Penelitian & Pengembangan
Terdapat banyak model pengembangan produk yang dicetuskan oleh ahli
dalam bidang pendidikan. Dari sekian banyak model pengembangan produk yang
populer dan biasa dijadikan rujukan oleh para pengembang adalah model
pengembangan Borg dan Gall, Sugiyono, Sadiman, dan Pustekom Depdiknas.
a. Model Borg dan Gall
Gambar 2.1. Bagan Model Penelitian Pengembangan
Menurut Borg & Gall (1983:98)
Uji coba
perseorangan
Analisis
kebutuhan
Revisi
Pengembangan
media
pembelajaran
berbasis
multimedia
Uji coba
kelompok kecil
Revisi
Pengembangan
produk
Penyebaran &
pelaporan
Uji coba
lapangan
Revisi
Borg & Gall (1983:95) menawarkan model penelitian pengembangan
seperti pada bagan 2.1. Langkah-langkah untuk mengembangkan media
pembelajaran berbasis komputer
terdiri dari: (1) analisis kebutuhan, (2)
16
17
perencanaan media, (3) pengembangan produk, (4) uji coba perseorangan, (5)
revisi, (6) uji coba kelompok kecil, (7) revisi, (8) uji coba kelompok besar, (9)
revisi, dan (10) penyebaran dan pelaporan. Dalam model tersebut, Borg dan Gall
merinci langkah-langkah uji coba media pembelajaran berbasis komputer yang
dikembangkan. Titik tekan yang paling mendasar pada model Borg dan Gall
adalah tahapan uji coba produk dan revisi yang dilakukan secara berurutan
dalam garis kontinum. Uji coba dilakukan dengan melibatkan ahli materi, ahli
model dan siswa.
b. Model Sugiyono
Sugiyono (2010:298) menawarkan model penelitian pengembangan
sebagaimana bagan 2.2 berikut ini :
Gambar 2.2. Bagan Model Penelitian Pengembangan
Menurut Sugiono (2010:298)
Validasi
Potensi dan
Pengumpulan
Masalah
Data
Uji coba
Pemakaian
Revisi Produk
Revisi Produk
Desain Produk
Uji coba
Produk
Desain
Revisi Desain
Produksi
Massal
Sebagaimana Bagan 2.2, Sugiyono (2010:299) berpendapat bahwa dalam
proses pengembangan media pembelajaran berbasis komputer, pengembang harus
melalui sepuluh tahapan, yaitu: (1) identifikasi potensi dan masalah yang
melatarbelakangi pengembangan, (2) pengumpulan data informasi yang
dibutuhkan sebagai bahan untuk perencanaan produk yang akan dikembangkan,
(3) merancang desain produk yang diharapkan, (4) validasi desain untuk menilai
apakah rancangan produk yang akan dikembangkan akan lebih efektif dan efisien,
18
(5) perbaikan desain sebagaimana hasil validasi, (6) uji coba produk dalam bentuk
prototype, (7) revisi produk, (8) uji coba pemakaian, (9) revisi produk, (10)
produksi massal produk tersebut.
Dengan proses yang cukup panjang tersebut, salah satu kelebihan dari
model Sugiyono adalah adanya tahapan uji coba berlapis yang dilakukan sejak
produk masih dalam bentuk desain rancangan hingga sebelum produk tersebut
memasuki tahapan produksi massal.
c. Model Sadiman
Model yang ditawarkan oleh Sadiman dkk (2007:98) mengarah pada
penelitian pengembangan media pembelajaran berbasis komputer. Sistematika
pengembangan program media dalam model Sadiman menitikberatkan pada
masalah media yang memiliki kecenderungan untuk dimanfaatkan pada proses
pendidikan formal. Berikut adalah bagan langkah-langkah pengembangan media
pembelajaran maupun media pembelajaran berbasis multimedia berdasarkan
adaptasi dari model Sadiman yang dipakai oleh pengembang.
Gambar 2.3. Bagan Model Penelitian Pengembangan
Menurut Sadiman dkk (2007:101)
Perumusan
butir-butir
materi
Identifikasi
kebutuhan
Perumusan
alat pengukur
keberhasilan
Perumusan
tujuan
Penulisan
naskah
Ya
Tidak
Revisi
Produksi
Produk siap
dimanfaatkan
Tes/uji coba
19
Berdasarkan Gambar Bagan 2.3, dalam sistematika pengembangan model
Sadiman, terdapat langkah-langkah yang akan dilakukan guna mencapai hasil
yang diharapkan. Adapaun tahapan tersebut adalah: (1) identifikasi kebutuhan, (2)
perumusan tujuan, (3) perumusan butir-butir materi, (4) perumusan alat pengukur
keberhasilan, (5) penulisan naskah media pembelajaran, (6) produksi, (7) tes/uji
coba, (8) revisi, (9) produk siap dimanfaatkan (Sadiman, 2007:101).
d. Model Pustekom Depdiknas
Pustekom Depdiknas sebagai struktur pemerintah yang bergerak di bidang
pengelolaan
sumber
belajar
berbasis
teknologi
komunikasi
mempunyai
pendekatan sendiri dalam proses pengembangan media pembelajaran berbasis
komputer. Pustekom Depdiknas (2008) memiliki model penelitian pengembangan
sebagaimana bagan 2.4 berikut ini.
Gambar 2.4. Bagan Model Penelitian Pengembangan
Menurut Pustekom Depdiknas (2008)
Pengembangan
naskah
Bedah kurukulum
Produksi
Identifikasi media
Penyempurnaan
Tes/uji coba
Revisi
Langkah-langkah
yang
dilakukan
seorang
pengembang
media
pembelajaran berbasis komputer menurut Pustekom Depdiknas (2008) adalah: 1)
bedah kurikulum, 2) identifikasi media, 3) pengembangan naskah, 4) produksi, 5)
20
penyempurnaan, 6) tes/uji coba, dan 7) revisi. Perbedaan model Pustekom
Depdiknas dengan dua model sebelumnya adalah model Pustekom Depdiknas
(2008) menawarkan tinjauan kurikulum sebagai latar belakang pengembangan
media. Disamping itu, tahapan penyempurnaan setelah proses produksi tidak
didasarkan dengan adanya proses evaluasi.
Berdasarkan tinjauan model-model penelitian dan pengembangan di atas
mulai dari model penelitian dan pengembangan menurut Borg & Gall, Sugiyono,
Sadiman, dan Pustekom Depdiknas, peneliti menyimpulkan bahwa model
penelitian
pengembangan
untuk
penelitian
ini
yaitu
model
penelitian
pengembangan Borg & Gall. Meskipun setiap suatu rancangan model penelitian
dan pengembangan memiliki kekurangan dan kelebihan, akan tetapi model
penelitian dan pengembangan Borg & Gall ini lebih sistematis dan mudah
digunakan dalam suatu rancangan penelitian pengembangan. Oleh karena hal
tersebut peneliti mengambil model penelitian dan pengembangan model Borg &
Gall sebagai model rancangan penelitian dan pengembangan ini. Langkah-langkah
untuk mengembangkan media pembelajaran berbasis komputer terdiri dari: (1)
analisis kebutuhan, (2) perencanaan media, (3) pengembangan produk, (4) uji
coba perseorangan, (5) revisi, (6) uji coba kelompok kecil, (7) revisi, (8) uji coba
kelompok besar, (9) revisi, dan (10) penyebaran dan pelaporan (Borg & Gall,
1983:95). Penelitian dan pengembangan yang akan dilakukan nanti dapat
diharapkan
terencana
dengan
baik
dengan
adanya
model
penelitian
pengembangan Borg & Gall. Sehingga dengan suatu perencanaan yang baik maka
akan diperoleh hasil penelitian pengembangan yang baik pula untuk memproduksi
suatu produk media pembelajaran yang akan dikembangkan.
Berdasarkan model-model pengembangan diatas, peneliti menggunakan
model pengembangan dari Borg & Gall yang terdiri dari: (1) analisis kebutuhan,
(2) perencanaan media, (3) pengembangan produk, (4) uji coba perseorangan, (5)
revisi, (6) uji coba kelompok kecil, (7) revisi, (8) uji coba kelompok besar, (9)
revisi, dan (10) penyebaran dan pelaporan.
21
2.
Model Pembelajaran
a. Pengertian Model Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran dilakukan oleh dua komponen yaitu siswa
dan guru. Perilaku guru adalah mengajar dan perilaku siswa adalah
belajar. Perilaku mengajar dan belajar tersebut terkaitan dengan bahan
pembelajaran. Bahan pembelajaran dapat berupa pengetahuan, nilai-nilai
susila, seni, agama, sikap, dan keterampilan. Keterkaitan antara kegiatan
guru dan siswa dengan pengajaran adalah model pembelajaran.
Model dapat dipahami sebagai : 1). Suatu tipe atau desain, 2).
Suatu deskripsi atau analogi yang dipergunakan untuk membantu proses
visualisasi sesuatu yang tidak dapat denganlangsung diamati, 3). Suatu
sistem asumsi-asumsi, data-data, dan inferensi-inferensi yang digunakan
untuk menggambarkan secara matematis suatu objek atau peristiwa, 4).
Suatu desain yang disederhanakan dari suatu sistem kerja, suatu
terjemaahan realitas yang disederhanakan, 5). Suatu deskripsi dari suatu
sistem yang mungkin atau imajiner, dan 6). Penyajian yang diperkecil
agar dapat menjelaskan dan menunjukkan sifat bentuk aslinya
(Komarudin,2000:152).
Menurut Joyce, weil, dan Calhom (2011:30) suatu model
pembelajran merupakan gambaran suatu lingkungan pembelajaran, yang
juga meliputi perilaku guru saat model tersebut diterapkan. Model-model
ini memiliki banyak kegunaan yang menjangkau segala bidang
pendidikan, mulai dari materi perencanaan dan kurikulum hingga materi
perencangan instruksional, termasuk program-program multimedia.
Joyce dan weil berpendapat bahwa model pembelajaran adalah suatu
rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum
(rencana
pembelajaran
jangka
panjang),
merancang bahan-bahan
pembelajaran, dan membimbing pembelajaran dikelas atau yang lain
(Rusman, 2012:133). Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan,
artinya para guru boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan
efisien untuk mencapai tujuan pendidikan.
22
Disisi lain Joyce sendiri mengungkapkan model pembelajaran
adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagi pedoman
dalam perencanaan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam
tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran
termasuk didalamnya buku-buku, film, computer, kurikulum, dan lain-lain
( Trianto,2007:5). Selanjutnya, setiap model pembelajaran mengarahkan
kita ke dalam mendesain pembelajaran untuk membantu peserta didik
sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai.
Soekamto mengemukakan model pembelajaran adalah kerangka
konseptual
yang
melukiskan
prosedur
yang
sistematis
dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar
tertentu,
dan
berfungsi
sebagai
pedoman
bagi
para
perancang
pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar
mengajar (dalam Trianto, 2007: 5). Dalam hal ini model pembelajaran
memberikan kerangka dan arah bagi guru atau tenaga pendidik untuk
mengajar.
Arend menyatakan bahwa “the term teaching model refers to a
particular approach to instruction that includes it’s goals, syntax,
environment, and management system (Trianto, 2012:53). Istilah model
pengajaran mengarah pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu
termasuk tujuan, sintak, lingkungan, dan sistem pengelolaannya.
Berdasarkan uraian yang telah diuraikan sebelumnya, model
pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur
sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai
tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang
pembelajarna dan para guru dalam merancang dan melaksanakan
pembelajaran.
b. Ciri-ciri Model Pembelajaran
Menurut Depdikbud (Trianto, 2012: 61), pembelajaran terpadu
sebagai suatu proses mempunyai beberapa karakteristik atau cirri-ciri,
yaitu:
23
1) Holistik, segala sesuatu atau fenomena yang menjadi pusat perhatian
dalam pembelajaran terpadu diamati dan dikaji dari beberapa bidang
kajian sekaligus, tidak dari sudut pandang yang terkotak-kotak.
Sehingga memungkinkan siswa untuk memahamai suatu fenomena
dari segala sisi.
2) Bermakna, pengkajian suatu fenomena dari berbagai macam aspek
memungkinkan terbentuknya semacam jalinan antara konsep-konsep
yang berhubungan yang disebut schemata. Rujukan yang nyata dari
segala konsep diperoleh, dan keterkaitan dengan konsep-konsep
lainnya akan menambah kebermaknaan konsep yang dipelajaran.
3) Otentik, pembelajaran terpadu memungkinkan siswa memahami
secara langsung prinsip dan konsep yang ingin dipelajarinya melalui
kegiatan belajar secara langsung. Mereka memahami dari hasil
belajarnya sendiri, bukan sekedar pemberitahuan guru.
4) Aktif, pembelajaran terpadu menekankan keaktifan siswa dalam
pembelajaran, baik secara fisik, mental, intelektual, maupun
emosional guna tercapainya hasil belajar yang optimal dengan
mempertimbangkan hasrat, minat, dan kemampuan siswa sehingga
mereka termotivasi untuk terus menerus belajar.
Sehingga ciri-ciri model pembelajaran sebagai berikut:
1) Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli.
2) Mempunyai misi atau tujaun pendidikan.
3) Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar
dikelas.
4) Memiliki bagian-bagian model.
5) Memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran.
6) Membuat persiapan mengajar (desain instuksional) dengan pedoman
model pembelajaran yang dipilih.
c. Model Problem Based Learning (PBL)
Dalam pengembangan model yang digunakan oleh peneliti adalah
model Problem Based Learning (PBL). Arend menjelaskan dalam
24
Hosnan, Problem Based Learning (PBL) adalah model pembelajaran
dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah autentik sehingga
siswa dapat menyusun pengetahuanya sendiri, menumbuhkembangkan
keterampilan yang lebih tinggi dan inquiri, memandirikan siswa dan
meningkatkan kepercayaan diri sendiri (2014:295).
Sanjaya mengartikan Problem Based Learning (PBL) sebagai
rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses
penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah. Terdapat tiga ciri
utama dari Problem Based Learning (PBL). Pertama, merupakan
rangakaian aktifitas pembelajaran, kedua aktifitas pembelajaran diarahkan
untuk menyelesaikan masalah, ketiga pemecahan masalah dilakukan
dengan menggunakan pendekatan berfikir secara alamiah (2006:214).
Dalam upaya meningkatkan kemampuan berfikir kritis siswa
Problem Based Learning (PBL) sebagai salah satu model pembelajaran
yang sesuai untuk diterapkan. Tujuan Problem Based Learning (PBL)
bukanlah penyampaian sejumlah besar pengetahuan kepada peserta didik,
melainkan
pada
pengembangan
kemampuan
berfikir
kritis
dan
kemampuan memecahkan masalah dan sekaligus mengemabngkan
kemampuan peserta didik untuk secara aktif membangun pengetahuanya
sendiri (Hosnan, 2014:299).
Ciri-ciri Problem Based Learning (PBL) menurut Hosnan adalah sebagai
berikut :
a. Pengajuan masalah atau pertanyaan : pengaturan masalah berkisar
pada masalah atau pertanyaan yang penting bagi siswa maupun
masyarakat. Pertanyaan dan masalah yang diajukan itu haruslah
memenuhi kriteria autentik, jelas, mudah dipahami, luas dan
bermanfaat.
b. Keterkaitan dengan berbagai masalah disiplin ilmu : masalah yang
diajukan dalam pembelajaran hendaknya mengaitkan atau melibatkan
berbagai disiplin ilmu.
25
c. Penyelidikan yang autentik : penyelidikan yang diperlukan dalam
pembelajaran
berbasis
masalah
bersifat
autentik.
Selain
itu
penyelidikan diperlukan untuk mencari penyelesaian masalah yang
bersifat nyata. Siswa menganalisis dan merumuskan masalah,
mengembangkan dan meramalkan hipotesia, mengumpulkan dan
menganalisis
informasi,
melaksanakan
eksperimen,
menarik
kesimpulan dan menggambarkan hasil akhir.
d. Menghasilkan dan memamerkan hasil karya : pada Problem Based
Learning (PBL), siswa bertugas menyusun hasil penelitianya dalam
bentuk karya dan memamerkan hasil karyanya. Artinya, hasil
penyelesaian masalah siswa ditampilkan atau dibuat laporanya.
e. Kolaborasi : pada Problem Based Learning (PBL), tugas belajar
berupa masalah harus diselesaikan bersama-sama antara siswa dengan
siswa, baik dalam kelompok kecil maupun besar, dan bersama-sama
antar siswa dengan guru (2014:300).
Tabel 2.1. Sintak atau langkah Problem Based Learning (PBL)
Tahap
Tahap 1
Mengorientasikan peserta
didik terhadap masalah
Tahap 2
Mengorganisasi peserta didik
untuk belajar
Tahap 3
Membimbing penyelidikan
individual maupun kelompok
Tahap 4
Mengembangkan dan
menyajikan hasil karya
Tahap 5
Menganilis dan
mengevaluasi proses
pemecahan masalah
Sumber : (Hosnan.2014:300)
Aktifitas Guru dan Peserta didik
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan sarana
atau logistic yang dibutuhkan. Guru memotivasi
peserta didik untuk terlibat dalam aktivitas pemecahan
masalah nyata yang dipilih atau ditentukan
Guru membantu peserta didik mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan
dengan masalah yang sudah diorientasikan pada tahap
sebelumnya
Guru mendorong peserta didik untuk mengumpulkan
informasi yang sesuai dan melaksanakan eksperimen
untuk mendapatkan kejelasan yang diperlukan untuk
penyelesaian masalah
Guru membantu peserta didik untuk berbagi tugas dan
merencanakan atau menyiapkan karya yang sesuai
sebagai hasil pemecahan masalah dalam bentuk
laporan,video atau model
Guru membantu peserta didik untuk melakukan
refleksi atau evaluasi terhadap proses pemecahan
masalah yang dilakukan.
26
3.
Pembelajaran Sejarah
a. Pengertian Pembelajaran Sejarah
Dalam konteks standar proses pendidikan, mengajar tidak hanya
sekedar menyampaikan materi atau bahan pembelajaran, tetapi juga
dimaknai. Pertama, sebagai proses mengatur lingkungan (situasi dan kondisi)
agar terjadi proses pembelajaran. Kedua, sebagai proses pembentukan
karakter, watak, peradaban, dan meningkatkan mutu kehidupan peseta didik.
Ketiga, sebagai proses pemberdayaan potensi peseta didik untuk menguasai
kompetensi yang diharapkan (Leo Agung: 2013:98). Dapat dilihat
pemberdayaan tersebut diarahkan untuk merangsang dan mendorong
pencapaian kompetensi dan perilaku khusus agar setiap pribadi mampu
menjadi pembelajaran sepanjang hayat serta menciptakan masyarakat gemar
belajar.
Menurut Isjoni (2011:14) pembelajaran adalah sesuatu yang dilakukan
oleh siswa, bukan dibuat untuk siswa. Pada dasarnya ,erupakan upaya
pendidikan untuk membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar.
Tujuan pembelajaran menurut Isjoni adalah terwujud efisien dan efektifitas
kegiatan belajar yang dilakukan peserta didik.
Menurut Kimbe dan Germeazy pembelajaran adalah suatu perubahan
perilaku yang relativ tepat dan merupakan hasil praktik yang diulang-ulang
(dalam Thobroni,2011:18). Pembelajaran memiliki makna peserta didik
(subyek) harus aktif mencari, menemukan, menganalisa, merumuskan,
memecahkan masalah, dan menyimpulkan suatu masalah. Hal tersebut harus
dilakukan berulang-ulang oleh peserta didik, agar terjadi perubahan perilaku
pada peserta didik tersebut.
Kokom (2011:3) mendefinisikan pembelajaran sebagai suatu sistem
atau proses membelajarkan subjek didik/pembelajar yang direncanakan atau
didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis agar subjek
didik/pembelajar dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif
dan efesien. Proses yang dilakukan atau dialamai oleh peserta didik yang
telah direncana agar peserta didik mengalami perubahan.
27
Atas pemikiran diatas, pemerintah RI telah merumuskan pengertian
dari pembelajaran yang tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional, yakni pembelajaran adalah suatu proses
interaksi peserta didik dengan pendidikan dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar. Dengan demikian, pembelajaran yang baik adalah
pembelajaran yang memberikan kegiatan interaksi yang aktif dari peserta
didik dan guru atau pendidik.
Brown mencirikan karakteristik pembelajaran sebagai berikut
(dalam Thombroni, 2011:18):
1) Belajar adalah menguasai atau memperoleh.
2) Belajar adalah mengingat-ingat informasi atau keterampilan.
3) Prores mengingat-ingat melibatkan sistem penyimpanan, memori, dan
organisasi kognitif.
4) Belajar melibatkan perhatian aktif sadar dan bertindak menurut
peristiwa-peristiwa di luar serta didalam organisme.
5) Belajar itu bersifat permanen, tetapi tunduk pada lupa.
6) Belajar melibatkan bentuk latihan, mungkin latihan yang ditopang
dengan imbalan dan hukum.
7) Belajar adalah suatu perubahan perilaku.
Ciri-ciri pembelajaran menurut Edi Suardi (dalam Basuki
Wibowo,2012:9) meliputi: (1) pembelajaran memiliki tujuan yakni
membentuk anak didik dalam suatu perkembangan tertentu. (2) ada suatu
prosedur yang direncanakan, didesain untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan. (3) kegiatan pembelajaran ditandai dengan suatu materi
khusus. (4) ditandai dengan aktifitas anak didik. (5) dalam kegiatan
pembelajaran, guru berperan sebagai pembimbing. (6) dalam kegiatan
pembelajaran membutuhkan disiplin. (7) ada batas waktu. (8) evaluasi.
Dengan demikian pembelajaran membutuhkan sebuah proses
yang disadari yang cendrung bersifat permanen dan mengubah perilaku.
Pada proses pembelajaran terjadi penyimpanan informasi yang kemudian
di simpan di memori. Informasi tersebut diwujudkan secara praktis pada
28
keaktifan peserta didik dalam merespon dan beraksi terhadap peristiwaperistiwa yang terjadi di lingkungannya.
Berkaitan
dengan
sejarah,
Widjaya
(dalam
Basuki
Wibowo,2012:10) menyatakan bahwa pembelajaran sejarah adalah
perpaduan antara aktivitas belajar dan mengajar yang didalamnya
mempelajari tentang peristiwa masa lampau yang erat kaitannya dengan
masa kini. Selanjutnya Isjoni (2007:13) menyatakan bahwa:
“Pembelajaran sejarah memiliki peran fundamental dalam
kaitannya dengan guna atau tujuan dari belajar sejarah, melalui
pembelajaran sejarah dapat juga dilakukan penilaian moral saat
ini sebagai ukuran menilai masa lampau”.
Sebagai sebuah sistem pembelajaran merupakan suatu rangkaian
yang merupakan suatu kesatuan. Pada hakikatnya pembelajaran sebgai
sistem merupakan suatu kesatuan berbagai unsur/elemen yang memiliki
hubungan dan berinteraksi untuk mencapai tujuan sistem tersebut.
Selama ini lebih dari lima dekade pengembangan kurikulum di
Indoneisa sebelum diterapkannya kurikulum KTSP (yang sebelumnya
merupakan kurikulum KBK) telah di dominasi oleh dua filosofi baik untuk
kurikulum ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam yaitu berdasarkan pada
filsafat Essensialisme dan Perenialisme. Essensialisme berarti tujuan
pendidikan dan kurikulum harus diarahkan kepada "Pengembangan Intelek
dan Keunggulan Akademik". Sedangkan Perenialisme juga memiliki arah
yang sama yaitu untuk "Pengembangan Kekuatan Rasional dan
Keunggulan akademik". Pendidikan harus mengembangkan kapitalis
manusia
dan
ini
berarti
kurikulum
ilmu-ilmu
sosial
harus
mempertimbangkan semua jenis intelejensi. Hal ini berarti untuk dapat
berkontribusi terhadap pengembangan kapitalis manusia, kurikulum ilmuilmu sosial harus memiliki orientasi dalam filosofi. (Hasan, 2009:2)
Kesadaran dalam pembelajaran sejarah memerlukan partisipasi aktif,
memecahkan masalah dan kerja sama. Guru berperan sebagai fasilitator
dan pembimbing untuk mendorong berkembangnya how to learn pada diri
29
siswa. Beberapa indikator siswa yang memiliki kesadaran sejarah adalah
tumbuhnya minat
perhatian, rasa hayat
sejarah
dan kerjasama.
Keseluruhan indikator tersebut tercermin adanya pembelajaran yang
berpusat pada siswa. Peningkatan kesadaran sejarah siswa sebagai salah
satu tujuan kurikulum KTSP adalah pandangan filosofis konstruktivisme.
b. Komponen-komponen Pembelajaran Sejarah
Didalam proses pembelajaran terdapat komponen-komponen yang
menyusun suatu pembelajaran yaitu (1) tujuan, (2) bahan pembelajaran,
(3) kegiatan pembelajaran, (4) metode, (5) media, (6) sumber penunjang,
(7) evaluasi (Agung dan Wahyuni 2013:104). Tujuan yang hendak dicapai
dalam pembelajaran adalah membantu peserta didik agar memperoleh
berbagai pengalaman dan dengan pengalaman itu, tingkah laku peserta
didik bertambah. Tujuan pembelajaran mengacu pada ranah kognitif,
afektif, dan psikomotor. Bahan pembelajaran mengacu pada sesuatu yang
menajadi isi kurikulum. Kegiatan pembelajarn merupakan inti dalam
pendidikan yang berlangsung didalam atau luar kelas. Metode merupakan
cara yang digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Media
merupakan alat yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk
membantu menyampaikan informasi. Sumber penunjang belajar adalah
bahan atau materi untuk menambah ilmu pengetahuan yang mengandung
hal-hal baru bagi pelajar. Evaluasi merupakan kegiatan pengendalian,
penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen
pendidikan pada setiap jalur jenjang dan jenis pendidikan sebagai bentuk
pertanggung jawaban penyelenggara pendidikan.
Sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran guru perlu
mengembangkan
perencanaan
pembelajaran.
Dalam
kegiatan
pembelajaran, pembuatan perencanaan atau desain pembelajaran berfungsi
untuk memudahkan serta memberikan efektifitas dalam pembelajaran agar
tujuan yang hendak dicapai bisa dengan mudah terlaksana. Seperti yang
diutarakan oleh Sri Narwati (2012:33) perencanaan pembelajaran adalah
30
rencana
yang
menggambarkan
prosedur
dan
pengorganisasian
pembelajaran untuk mencapai satu kompetensi dasar yang ditetapkan
dalam standar isi dan dijabarkan dalam silabus.
c. Tujuan Pembelajaran Sejarah
Sejarah
merupakan
mata
pelajaran
yang
menanamkan
pengetahuan, sikap, dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan
perkembaangan masyarakat Indonesia dan dunia dari masa lampau hingga
masa kini. Sehingga pembelajaran sejarah memiliki tujuan tersendiri.
Seperti yang di ungkapkan oleh Hasan (dalam Wibowo: 2012: 17) bahwa
pendidikan
sejarah
dalam
kurikulum
pendidikan
dasar
haruslah
mempersiapkan peserta didik untuk hidup di masyarakat. Oleh kerena itu
posisi disiplin ilmu sejarah sebagai sumber materi untuk mengembangkan
berbagai kemampuan yang diperlukan peserta didik.
Daliman (2012:56) pengajaran sejarah disekolah bertujuan agar
siswa memperoleh kemampuan berpikir histori dan pemahaman sejarah.
Melalui pengajaran sejarah, siswa mampu mengembangakan kompetensi
untuk berpola secara kronologis dan memiliki pengetahuan tentang masa
lampau yang dapat digunakan utnuk memahami dan menjelaskan proses
perkembangan dan perubahan masyarakat serta keragaman sosial budaya
dalam rangka menemukan dan menumbuhkan jati diri bangsa di tengahtengah kehidupan masyarakat dunia. Pengajaran sejarah juga bertujuan
agar siswa menyadari adanya keragaman pengalaman hidup pada masingmasing masyarakat dan adanya cara pandang yang berbeda.
Peraturan Mendiknas No. 22 Tahun 2006 Standar Isi untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah (dalam Aman,2011:58)
menyebutkan bahwa mata pelajaran sejarah secara rinci memiliki tujuan
agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1) Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan
tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini,
dan masa depan.
31
2) Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara
benar dengan didasarkan pada pendidikan pada pendekatan ilmiah dan
metodologi keilmuan.
3) Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap
peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia dimasa
lampau.
4) Menumbuhkan
pemahaman
peserta
didik
terhadap
proses
terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan
masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang.
5) Menumbuhkan kesadaran kesadaran dalam diri peserta didik sebagai
bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta
tanah air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang
kehidupan baik nasional maupun internasional.
Barbagai tujuan yang telah dipaparkan kaitannya dengan tujuan
mempelajari sejarah, bahwa pada dasarnya sejarah bertujuan untuk
mengembangkan kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh peserta didik
dengan mengacu pada pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada masa lampau sehingga dalam diri peserta didik terwujud satu
kesadaran sejarah.
d. Pembelajaran Konstruktivisme
Filsafat konstruktifisme mengatakan pengetahuan seseorang itu
dikonstruksikan oleh siswa sendiri. Pengetahuan dapat diperoleh melalui atas
kemauan
individu,
dan
indinvidu
sendirilah
yang
membentuk
pengetahuannya. Selaras yang dikemukakan oleh Bruning (Schunk 2012:320)
kostruktivsime adalah perspektif psikologis dan filosofis yang memandang
bahwa masing-masing individu membentuk atau mebangun sebagian besar
dari apa yang mereka pelajarai dan pahami.
Dalam
perkembangan
ilmu,
teori
dari
kostruktivisme
ini
dikonstruksikan oleh tokoh Pieget dan Vygotsky karena mereka adalah
merupakan pondasi bagi para gerakan konstruktivis itu sendiri. Seiring
32
perkembangan zaman konstruktivis semakin banyak diaplikasikan dalam
pembelajaran dan pengajaran. Schunk
(2012:320) mengatakan teori
pembelajaran memperlihatkan peralihan dari pengaruh lingkungan ke faktor
manusia sebagai penjelasan bagi pembelajaran.
Konstruktivisme yang digagaskan oleh Pieget lebih menekankan
kepada kognitif anak. Kognitif akan terjadi apabila pengetahuan yang dimiliki
oleh anak diolah melalui keadaan ketidakseimbangan dalam menerima atau
memahami informasi baru. Hal tersebut diuraikan oleh Pieget dalam proses
pengembangan teori konstruktivisme yaitu:
1). Skema, adalah konsep atau kerangka yang eksis di dalam pikiran
individu
yang
dipakai
untuk
mengorganisasikan
dan
menginterprestasikan informasi (Santrock, 2010:46). Pieget lebih
memfokuskan
pada
bagaimana
anak
mengorganisasikan
dan
memahami pengalaman mereka.
2) Asimilasi, yaitu memasukan pengetahuan baru kedalam pengetahuan
yang telah ada atau struktur skema yang telah ada.
3) Akomodasi, yaitu menyesuaikan pengetahuan yang ada terhadap
informasi baru.
4) Ekuilibrasi, yaitu untuk menjelaskan bagaimana individu bergerak
dari satu tahap pemikiran terhadap pemikiran selanjutnya. Dalam hal
ini, individu mengalami konflik kognitif (disekuilibrium), hingga
individu dapat memecahkan konflik tersebut dan mendapatkan
keseimbangan (ekulibrum). Piaget berasumsi disekuilibrium dan
ekulibrum terjadi gesekan kuat saat asimilasi dan ekomodasi
bekerjasama dan menghasilkan perubahan kognitif.
Konstruktivisme yang dikembangkan oleh Vigotsky lebih
menekankan pada interaksi lingkungan sosial yang menghasilkan
perubahan
pada
individu
(dalam
Shunck,
2012:337).
Vigotsky
merumuskan poin pokok dalam kontruktivisme sosial sebagai berikut:
1) Interaksi sosial itu penting, pengetahuan dibangun di antara dua atau
lebih individu.
33
2) Pengaturan diri dikembangkan melalui internalisasi dari tindakan dan
operasi mental terjadi dalam interaksi sosial.
3) Perkembangan manusia terjadi melalui alat-alat cultural (bahasa,
symbol-simbol) yang diterukan dari orang ke orang (transmisi alat-alat
kulutal)
4) Bahasa adalah alat cultural yang penting.
Pembelajaran
sejarah
mengarah
kepada
pemahaman
dan
pengetahuan peristiwa dimasa silam. Oakeshoot (Ankersmit 1987:81)
mengatakan bahwa pengetahuan kita mengenai masa silam dibenarkan
melalui bukti-bukti historis seperti dokumentasi, arsip, prasasti, dan
sebagainya, dan bukti tersebut dapat ditunjukan dalam museum ataupun
arsip. Dalam pembelajaran, peserta didik selain mendapatkan informasi
yang diberian pengajar dapat juga langsung menuju tempat-tempat
bersejarah ataupun kearsipan untuk memahami fakta sejarah tersebut
melalui data maupun fakta.
Pemahaman masa silam atau sejarah, bagi peserta didik dapat
membangun sendiri pengetahuannya melalui lingkungan sekitar. Seperti
menuju tempat-tempat bersejarah atau kantor kearsipan nasional atau
daerah. Hal ini dapat membangun pengetahuan mereka dilapangan.
Dengan kondisi tersebut peserta didik dapat mekonstruksikan dan
mensinkronisasikan apa yang didapat dalam kelas dan di lapangan yang
berdasarkan fakta sejarah dan data sejarah adalah sesuai dengan yang
mereka
ketahui.Proses
pembelajaran
sejarah,
untuk
memperoleh
pengetahuan tampak jelas diperoleh dari sikap kritis siswa. Kemampuan
berfikir kritis siswa dalam pembelajaran dikembangkan melalui metode
PBL, dan penanaman nilai melalui pendekatan analisis nilai.
4.
Kemampuan Berpikir Kritis
a. Berpikir Kritis
Berfikir kritis merupakan rangkaian proses berfikir. Menurut
Ngalim Purwanto (2004:43), berpikir adalah suatu keaktifan pribadi
34
manusia yang mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan.
Sedangkan menurut pendapat Bimo Walgito (2004:122) berpikir
merupakan sebuah proses penguatan hubungan antara stimulus dan respon.
Senada dengan itu menurut Ennis (1989: 54), berpikir kritis adalah cara
berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan nalar yang difokuskan
untuk menentukan apa yang harus diyakini dan dilakukan.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa berpikir
merupakan suatu proses kerja otak dimana didalamnya menyangkut
tentang suatu proses yang aktif dalam mencoba merumuskan dan
mengarahkan sebuah informasi kepada tujuan tertentu sebagai bentuk
respon dari informasi yang diterima sehingga menjadi suatu gambaran
baru (ide) tentang apa yang akan dituju. Hal ini sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh Ediasri T. Admodiwiryo (2001:47) bahwa berpikir sebagai
pembentukan ide-ide terorganisir dari pengalaman-pengalaman seseorang
dan pengorganisasian informasi-informasi kedalam bentuk yang khas.
Berpikir kritis didefinisikan oleh The National Council for
Excellence in Critical Thinking dalam Theodorus M. Tuanakotta (2011:8)
sebagai berikut :
“Critical thinking is the intellectualy disciplined process of
actively and skillfully conceptualizing, applying,analyzing,
sinthesizing, and/or evaluating information gathered from, or
generated by, observation, experience, reflection, reasoning, or
communication, as a giude to belief and action.”
Dalam pengertiannya bahwa berpikir kritis merupakan suatu proses
disiplin berpikir yang bersumber pada aktivitas dan kemampuan
mengkonsep, mengaplikasi, menganalisis, sintesis, dan mengevaluasi
informasi yang diperoleh dengan melakukan pengamatan, refleksi, ataupun
komunikasi serta tindakan.
Beberapa defenisi berpikir kritis menurut para ilmuan yang dikutip
oleh Alec Fisher (2008:2-4) antara lain :
a. Menurut John Dewey, berpikir kritis merupakan suatu bentuk
berpikir reflektif yang memuat suatu pertimbangan yang aktif,
35
persistent (terus menerus), dan teliti mengenai sebuah keyakinan atau
bentuk pengetahuan yang diterima begitu saja dipandang dari sudut
alasan-alasan yang mendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan
lanjutan yang menjadi kecenderungannya.
b. Gleser, mendefinisikan berpikir kritis sebagai (1) suatu sikap mau
berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah dan hal-hal yang
berada dalam jangkauan pengalaman seseorang; (2) pengetahuan
tentang metode-metode pemeriksaan dan penalaran yang logis; dan
(3) semacam suatu keterampilan untuk menerapkan metode-metode
tersebut.
c. Menurut Richard Paul, berpikir kritis adalah metode berpikir,
mengenai hal, substansi atau masalah apa saja, dimana si pemikir
meningkatkan kualitas pemikirannya dengan menangani secara
terampil struktur-struktur yang melekat dalam pemikiran dan
menerapkan standar-standar intelektual padanya.
Selain itu berikut defenisi dari berpikir menurut para ahli psikologi
yang dikutip oleh Ngalim Purwanto (2004:44) yaitu :
a. Psikologi Asosiasi mengemukakan bahwa berpikir itu tidak lain
daripada jalannya tanggapan yang dikuasai.
b. Aliran Behaviorisme berpendapat bahwa berpikir adalah gerakangerakan reaksi yang dilakukan oleh urat syaraf dan otot-otot bicara
seperti halnya kita mengucapkan buah pikiran.
c. Psikologi Gestalt memandang bahwa berpikir merupakan keaktifan
psikis yang abstrak yang prosesnya tidak dapat kita amati dengan otak
indra kita.
Dalam banyak hal, kegiatan berpikir merupakan suatu bentuk prose
memecahkan sebuah masalah lewat informasi yang diterima. Pemecahan
masalah tersebut merupakan sebuah proses kerja otak kedalam suatu
bentuk pencapaian pemahaman yang baru sebagai jawaban dari
permasalahan yang ingin dicerna dan disempurnakan dalam hubungannya
dengan peningkatan dan pembangunan pengetahuan (kognitif).
36
Edward Glaser (1941:5) mendefenisikan berpikir kritis sebagai
suatu sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah dan
hal-hal yang berada dalam jangkauan seseorang, pengetahuan tentang
metode-metode pemeriksaan dan penalaran logis, dan semacam suatu
keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut. .
Defenisi lebih lanjut mengenai berpikir kritis adalah diungkapkan
oleh Elaine B. Johnson (2011:185) sebagai berikut :
a. Berpikir kritis adalah sebuah proses sistematis yang memungkinkan
peserta didik untuk merumuskan dan mengevaluasi keyakinan dan
pendapat peserta didik sendiri.
b. Berpikir kritis adalah sebuah proses terorganisasi yang memungkinkan
peserta didik mengevaluasi bukti, asumsi, logika, dan bahasa yang
mendasari orang lain.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat didefenisikan berpikir kritis
adalah suatu proses berpikir secara sestematis dan terorganisir dengan
maksud
untuk
mencapai
pemahaman
yang
mendalam,
dengan
mengunkapkan ide-ide dibalik suatu kejadian, sehingga kejadian tersebut
memberikan pemahaman dalam mengungkapkan makna dari kejadian
tersebut. Dalam berpikir kritis maka individu akan memunculkan potensi
yang terpendam dari dalam pikirannya. Tentunya dalam memunculkan
potensi terpendam tersebut, perlu adanya langkah-langkah yang harus
diperhatikan.
Fee-Alexandra Haase (dalam jurnal Nómadas. Revista Crítica de
Ciencias Sosiales Juridicas tahun 2010) menyebutkan ; Critical Thinking
is the intellectually disciplined process of using information in a process
of observation, experience, reflection, or reasoning using the following
strategies: (1) Conceptualising information, (2) Applying information (3)
Analysing information (4)) Synthesizing information (5)) Evaluating
information (Berpikir kritis adalah proses disiplin intelektual yang
menggunakan informasi dalam proses pengamatan, pengalaman, refleksi,
atau penalaran dengan menggunakan strategi berikut: (1) Konseptualisasi
37
informasi, (2) Menerapkan informasi, (3) Menganalisis informasi, (4)
Sintesis informasi, dan (5) Mengevaluasi informasi. Selanjutnya Ennis
(1995: 55-56), mengidentifikasi 12 indikator berpikir kritis, yang
dikelompokkannya dalam lima besar aktivitas sebagai berikut:
a. Memberikan
penjelasan
sederhana,
yang
berisi:
memfokuskan
pertanyaan, menganalisis pertanyaan dan bertanya, serta menjawab
pertanyaan tentang suatu penjelasan atau pernyataan.
b. Membangun keterampilan dasar, yang terdiri atas mempertimbangkan
sumber
dapat
dipercaya
atau
tidak
dan
mengamati
serta
mendeduksi
atau
mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi.
c. Menyimpulkan,
yang
terdiri
atas
kegiatan
mempertimbangkan hasil deduksi, meninduksi atau mempertimbangkan
hasil induksi, dan membuat serta menentukan nilai pertimbangan.
d. Memberikan penjelasan lanjut, yang terdiri atas mengidentifikasi
istilah-istilah dan definisi pertimbangan dan juga dimensi, serta
mengidentifikasi asumsi.
e. Mengatur strategi dan teknik, yang terdiri atas menentukan tindakan
dan berinteraksi dengan orang lain.
Selain itu, terdapat juga langkah-langkah dalam berpikir kritis. (
Elanie B. Johnson 2011: 190-201)
a. Subjek yang ingin diteliti harus dijelaskan dengan setepat-tepatnya, hal
ini dapat berupa pencarian mengenai isu, masalah, keputusan, atau
kegiatan yang sedang dipertimbangkan.
b. Memahami sudut pandang yang digunakan dengan melakukan
pertimbangan-pertimbangan untuk meningkatkan pengetahuan dan
mendapatkan pemahaman.
c. Mengindentifikasi alasan dari sebuah informasi (kejadian) yang
diterima (dihadapi). Alasan yang bagus didasarkan pada informasi yang
dapat dipercaya dan relevan dengan kesimpulan yang ditarik
sebelumnya.
38
d. Menganalisis asumsi ataupun ide-ide dari sebuah informasi, dengan
tidak mudah menerima asumsi tersebut.
e. Dalam memahami dan mencari makna dari sebuah informasi, perlu
memperhatikan kata-kata yang digunakan.
f. Menilai secara akurat bukti-bukti yang digunakan sebagai alasan dalam
menyampaikan informasi.
g. Melihat kesimpulan yang ditawarkan dari sebuah informasi. Dimana
individu yang berpikir kritis harus membuat sebuah keputusan cerdas
setelah mempertimbangkan kekuatan sebuah argumen.
h. Mempertimbangkan implikasi dari kesimpulan yang telah diambil.
Kedelapan langkah yang telah diuraikan diatas jika benar-benar
dilakukan akan membuat peserta didik
mengenai
hampir
semua
pencapaiannya, peserta didik
subjek
atau
dapat berpikir dengan baik
situasi,
sehingga
dalam
dapat lebih memahami informasi yang
disampaikan dari pada sekedar mengetahui atau mengingatnya. Dengan
demikian bahwa berpikir kritis merupakan aktivitas mental sistematis yang
dilakukan oleh orang-orang dengan pikiran terbuka untuk memperluas
pemahaman peserta didik.
Dalam berpikir kritis maka individu sebagai pemikir kritis meneliti
dengan cermat proses berpikir peserta didik dari apa yang menjadi
informasi yang peserta didik terima untuk mendapatkan pemahaman yang
mendalam dan sebaik-baiknya.
Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa berpikir
kritis adalah berpikir rasional tentang sesuatu. Kemudian mengumpulkan
informasi sebanyak mungkin tentang sesuatu tersebut sebelum mengambil
suatu keputusan atau melakukan suatu tindakan.
b. Kemampuan Berpikir Kritis Sejarah
Sebagian besar orang tua dan pendidik setuju bahwa dalam
masyarakat modern saat ini, anak-anak harus menguasai keterampilan
berpikir dalam tingkatan yang lebih tinggi. Menurut Browne dan Keeley
39
dalam Elanie B. Johnson (2011:183) kemampuan berpikir dengan jelas dan
imajinatif, menilai bukti, bermain logika, dan mencari alternatif dari ide-ide
konvensional, akan memberi anak-anak muda dalam sebuah rute yang jelas
ditengah carut marut pemikiran pada zaman teknologi saat ini.
Angelo (1995:6) menyebutkan bahwa berpikir kritis harus memenuhi
karakteristik yang meliputi analisis, sintesis, pengenalan masalah dan
pemecahannya, kesimpulan dan penilaian. Kemampuan berpikir kritis
merupakan suatu proses dimana individu sanggup dan memiliki kecakapan
dalam berpikir ketingkat yang lebih tinggi. kemampuan berpikir kritis
tentunya menjadi bagian terpenting sebagai dasar untuk memecahkan setiap
permasalahan lewat informasi yang diterima. Dalam proses pembelajaran,
khususnya pembelajaran sejarah, kemampuan berpikir kritis menjadi suatu
hal yang tidak dapat dipisahkan, hal ini dikarenakan pemebelajaran sejarah
merupakan suatu pembelajaran yang mencoba menggali dampak dari sebuah
peristiwa sejarah berdasarkan hubungan kausalnya (sebab akibat).
Mengutip pendapat Fernand Braudel (Lechte, 2001) memahami
sejarah dari sudut waktu. Menurutnya dalam memahami sejarah ada tiga
kerangka waktu yakni event history (short term/jangka pendek), conjucture
(mid term/jangka menengah) dan longue duree (long term/jangka panjang).
Selain itu sejarah juga dikaji dari sudut ruang yang tidak bisa diabaikan.
Dari pemikiran Fernand Braudel ini, dalam pembelajaran sejarah
harus memahami adanya perubahan dalam konsep waktu dan harus disadari
oleh siswa tingkat SMA yang tentunya sudah memiliki kemampuan berpikir
kritis dalam memahami setiap peristiwa sejarah secara kronologis dan mampu
menganalisis sebab-akibat peritiwa sejarah tersebut. Tidak luput juga untuk
memperhatikan perkembangan kekinian yang semakin global di dalam
pembelajaran sejarah, sehingga bisa menjadi wahana dalam pengembangan
kemampuan intelektual dan kebanggaan masa lampau serta merupakan upaya
memperbaiki kehidupan masyarakat dalam bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya.
40
Menurut Hisyam Zaini (2008:145) tujuan pembelajaran untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kritis diantaranya :
a. Mengembangkan kecakapan menganalisis.
b. Mengembangkan kemampuan yang masuk akal dari pengamatan.
c. Memperbaiki kecakapan menghafal.
d. Mengembangkan kecakapan, strategi, dan kebiasaan belajar.
e. Belajar terma-terma/istilah/fakta-fakta.
f. Belajar konsep-konsep dan teori-teori.
g. Meningkatkan kecakapan mengurangi elemen-elemen yang ada dalam
terma-terma dan fakta-fakta ilmu pengetahuan.
h. Meningkatkan kecakapan menjabarkan unsur-unsur yang ada dalam
sebuah teori ilmu pengetahuan.
Seperti yang dikutip oleh Muhibin Syah (2005:120) dalam berpikir
kritis, peserta didik dituntut menggunakan strategi kognitif tertentu yang
tepat untuk menguji kendala, gagasan pemecahan masalah, dan mengatasi
kesalahan atau kekurangan. Tentu saja dengan kemampuan dalam
menggunakan strategi berpikir secara kritis, segala bentuk gagasan yang
dikeluarkan setelah melalu proses berpikir akan terasa sangat memuaskan dan
terorganisir. Dengan demikian maka kemampuan berpikir kritis dijadikan
sebagai dasar karena didalamnya merupakan suatu bentuk kesanggupan dan
kejelihan dalam menentukan gagasan lewat cara pandang dalam berpikir yang
menghasilkan sebuah pemahaman yang baru dan menarik khusunya dalam
mengolah informasi yang diterima menuju kearah kesempurnaan.
Menurut Ennis dalam Costa (1985:55) indikator kemampuan berpikir
kritis kritis dapat diturunkan dari aktivitas kritis peserta didik meliputi : a.
Mencari pernyataan yang jelas dari pertanyaan.,b. Mencari alasan, c.
Berusaha mengetahui informasi dengan baik, d. Memaknai sumber yang
memiliki kredibilitas dan menyebutnya, e. Memerhatikan situasi dan kondisi
secara keseluruhan, f. Berusaha tetap relevan dengan ide utama, g. Mengingat
kepentingan yang asli dan mendasar, h. Mencari alternative, i. Bersikap dan
berpikir terbuka, j. Mengambil posisi ketika ada bukti yang cukup untuk
41
melakukan sesuatu, k. Mencari penjelasan sebanyak mungkin, l. Bersikap
secara sistematis dan teratur dengan bagian dari keseluruhan masalah.
Dengan melihat bagian-bagian yang menjadi indikator dalam berpikir
kritis, tentunya kemampuan dalam berpikir kritis peserta didik merupakan
suatu bentuk pencapaian hasil pembelajaran yang sesuai dengan apa yang
menjadi tujuan dalam teori konstruktivisme. Membangun pengetahuan kognitif
peserta merupakan konsekuensi dari pada sebuah kemampuan berpikir kritis.
Dengan kemampuan dalam berpikir ketingkat yang lebih tinggi (kritis) tentu
saja secara simultan akan semakin meningkatkan daya pikir dan mengubah
serta memgkonstruk pengetahuan peserta didik tersebut yang tentunya kearah
pemikiran yang memiliki banyak sudut pandang.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik sebuah Indikator
kemampuan berpikir kritis secara keseluruhan yang dipakai dalam penelitian
ini untuk melihat kemampuan berpikir kritis peserta didik adalah :
1) Keterampilan Menganalisis
Keterampilan
menganalisis
menguraikan sebuah struktur
ke
merupakan
dalam
suatu
keterampilan
komponen-komponen agar
mengetahui pengorganisasian struktur tersebut. Dalam keterampilan ini
terkandung
tujuan
untuk
memahami
sebuah
konsep
dengan
cara
menguraikan atau merinci globalitas tersebut ke dalam bagian-bagian yang
lebih kecil dan terujperinci.
2). Keterampilan Mensintesis
Keterampilam mensintesis merupakan ketrampilan yang berlawanan
dengan keterampilan menganalisis. Keterampilan mensintesis adalah
keterampilan menggabungkan bagian-bagian menjadi sebuah bentukan atau
susunan yang baru.
3). Keterampilan Mengenal dan Memecahkan Masalah
Keterampilan ini merupakan katerampilan aplikatif konsep kepada
beberapa pengertian. Keterampilan ini menuntut pembaca untuk memahami
bacaan dengan kritis sehingga setelah selesai kegiatan membaca mampu
42
menangkap
beberapa pokok pikiran bacaan, sehingga mampu mempola
sebuah konsep.
4). Keterampilan Menyimpulkan
Keterampilan menyimpulkan adalah kegiatan akal pikiran manusia
berdaarkan pengertian/pengetahuan (kebenaran) yang dimilikinya, dapat
beranjak mencapai pengertian (kebenaran) yang baru yang lain.
5). Keterampilan Mengevaluasi atau Menilai
Keterampilan
ini
menuntut
pemikiran
yang
matang
dalam
menentukan nilai sesuatu dengan berbagai kriteria yang ada.
5. Pendidikan Nilai
a. Pengertian Nilai
Suatu nilai selalu dihadapi oleh manusia dalam hidup sehari-hari.
Setiap kali mereka hendak melakukan sesuatu pekerjaan, maka harus
menentukan pilihan di antara sekian banyak kemungkinan dan harus memilih.
Nilai akan menjalankan fungsinya dalam memilih tersebut. Untuk
menghukum atau memilih tindakan atau tujuan tertentu nilai menjadi ukuran
karena nilai tidak terletak pada barang atau peristiwa, tetapi manusia yang
dapat memasukkan nilai ke dalamnya sehingga barang atau peristiwa itu
memiliki sebuah nilai. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan suatu
hal itu disukai, diinginkan, dikejar, dihargai, berguna dan dapat membuat
orang yang menghayatinya menjadi bermartabat (Adisusilo.2014:56). Riqi
Yuliati mendefinisikan nilai sebagai segala hal yang berhubungan dengan
tingkah laku manusia mengenai baik dan buruk diukur oleh agama, tradisi,
etika, moral dan kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat.(2014:15).
Hill dalam Adisusilo (2013:60) berpendapat bahwa nilai sebagai acuan
tingkah laku hidup, mempunyai tiga tahapan, yaitu :
1. Values thinking, yaitu nilai-nilai pada tahapan dipikirkan atau values
cognitive
43
2. Values affective, yaitu nilai-nilai yang menjadi keyakinan atau niat pada
diri orang untuk melakukan sesuatu, pada tahap ini dapat dirinci lagi
menjadi ‘dispotition’ dan ‘commitments’.
3. Tahap terakhir adalah values actions, yaitu tahap dimana nilai telah
menjadi keyakinan dan menjadi niat yang kuat (komitmen kuat)
diwujudkan menjadi suatu tindakan nyata atau perbuatan konkret.
b. Pendidikan Nilai
Pendidikan nilai merupakan salah satu instrument penting dalam
sebuah pembelajaran untuk mengarahkan siswa kepada susuatu yang baik.
Zeim Mubarok mendefinisikan pendidikan nilai adalah suatu proses dimana
seseorang menemukan maknanya sebagai pribadi pada saat dimana nilai-nilai
tertentu memberikan arti pada jalan hidupnya. Lebih jelasnya menegaskan
bahwa proses tersebut menyangkut “perjalanan menuju diri sendiri”,
menyentuh bagian-bagian terdalam diri manusia, seperti daya refleksi,
intropeksi, analisa dan kemampuan menemukan diri sendiri dan betapa besar
harga dirinya.(2009:23).
Dalam Riqi Yuliati & Rusdiana (2014:61-62) menjelaskan pengertian
pendidikan nilai menurut beberapa tokoh, yaitu :
1. Menurut Winecoff (1987), pendidikan nilai berhubungan dengan tiga
dimensi yaitu identification of a core personel and sosial values,
philosopy and rational inquiry into the core, and decision making
related to the core based on inquiry and respone.
2. Dahlan (2007), pendidikan nilai sebagai suatu proses kegiatan yang
dilaksanakan secara sistematis untuk melahirkan manusia yang
memiliki komitmen kognitif, komitmen afektif dan komitmen pribadi
yang berlandaskan nilai-nilai agama.
3. Soelaeman
(1987),
pendidikan
nilai
adalah
bentuk
kegiatan
pengembangan ekpresi nilai-nilai yang ada melalui proses sistematis
dan kritis sehingga mereka dapat meningkatkan atau memperbaiki
kualitas kognitif dan afektif peserta didik.
44
4. Hasan (1996), pendidikan nilai merupakan suatu konsep pendidikan
yang memiliki konsep umum, atribut fakta dan data ketrampilan antara
suatu atribut dan atribut lainya serta memiliki label (nama diri) yang
dikembangkan
berdasarkan
prinsip
pemahaman,
penghargaan,
identifikasi diri, penerapan dalam perilaku,pembentukan wawasan, dan
kebiasaan terhadap nilai dan moral.
5. Sumantri (1993), memahami pendidikan niali merupakan aktivitas
pendidikan yang penting bagi orang dewasa dan remaja, baik di dalam
sekolah maupun diluar sekolah karena “penentuan nilai” merupakan
aktivitas penting yang harus dipikirkan dengan cermat dan mendalam.
Oleh karena itu, hal ini merupakan tugas pendidikan (masyarakat
didik) untuk berupaya meningkatkan nilai moral individu dan
masyarakat.
Adisusilo menjabarkan rumusan Frankea tentang tujuan pendidikan nilai
sebagai berikut :
1. Membantu peserta didik untuk mengembangkan tingkah laku yang
secara moral baik dan benar.
2. Membantu peserta didik untuk meningkatkan kemampuan refleksi
secara otonom, dapat mengendalikan diri, dapat meningkatkan
kebebasan mental spiritual dan mampu mengkritisi prinsip-prinsip atau
aturan-aturan yang sedang berlaku.
3. Membantu peserta didik untuk menginternalisasikan nilai-nilai moral,
norma-norma dalam rangka menghadapi kehidupan konkretnya.
4. Membantu peserta didik untuk mengadopsi prinsip-prinsip universalfundamental, nilai-nilai kehidupan sebagai pijakan untuk pertimbangan
moral dalam menentukan keputusan.
5. Membantu peserta didik untuk mampu membuat keputusan yang
benar, bermoral dan bijaksana.
Dari pengertian para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa
pengertian dan tujuan dari pendidikan nilai sejalan, yaitu untuk
menciptakan manusia yang bijaksana, manusia yang sebenarnya manusia
45
dan mampu menerima dan bertindak sesuai dengan nilai –nilai kebenaran.
Dalam penelitian ini pendidikan nilai yang ditanamkan kepada peserta
didik bersumber dari nilai-nilai yang terkandung di dalam serat wicara
keras yang syarat dengan nilai luhur.
c. Pendekatan Analisis Nilai (Values Analysis Approach)
Secara umum, pendekatan dalam sebuah pembelajaran dilihat dari segi
proses dibagi menjadi dua, yaitu; pendekatan yang berorientasi kepada
guru/lembaga pendidikan (traditionat teacher/institution centered approach)
dan pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada peserta didik (student
centered approach) (Rianto,2006:11).
Nurul Zuriah (2007:65) menjelaskan bahwa pendekatan analisis nilai
ini menekankan agar peserta didik dapat menggunakan kemampuan berpikir
logis dan ilmiyah dalam menganalisis masalah sosial yang berhubungan
dengan
nilai
tertentu. Selain itu peserta didik dalam menghubungkan dan
merumuskan konsep tentang nilai mereka sendiri. Cara yang dapat digunakan
dalam pendekatan ini, antara lain diskusi terarah yang menuntut argumentasi,
penegasan bukti , penegasan prinsip, analisi terhadap kasus, debat, dan
penelitian. Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) merupakan
pendekatan yang memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan
siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang
berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan
perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya adalah
bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan
masalah-masalah
yang
memuat
nilai-nilai
sosial.
Dan
adapun
pendekatan perkembangan kognitif memberikan penekanan pada dilemma
moral yang bersifat perseorang (Zaim Mubarok 2008:68 ).
Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan
penekanan pada perkembangan kemampuan peserta didik untuk berpikir logis,
dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai- nilai
sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah
46
satu perbedaan diantara keduanya adalah pendekatan analisis nilai lebih
menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai
sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada
dilema moral yang bersifat perseorangan (Dalmeri,2014:279).
Metode yang paling sering digunakan dalam pendekatan analisis untuk
menilai sebuah tindakan adalah metode belajar kelompok berdasarkan
masalah dan isu-isu nilai sosial, studi kepustakaan dan penelitian lapangan,
dan diskusi kelas rasional. Tahapan operasi intelektual yang sering digunakan
dalam analisis nilai meliputi menyatakan masalah, mempertanyakan dan
menguatkan dalam relevansi laporan, menerapkan kasus yang sama untuk
memenuhi syarat dan memperbaiki posisi nilai, menunjukkan inkonsistensi
logis dan empiris dalam argumen, dan pengujian bukti(Douglas P. Superka,
dkk,1976:55-56).
Namun demikian, sebagai sebuah pendekatan dari proses pendidikan,
pendekatan analisis nilai memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dan
kekurangan tersebut antara lain: ( Teuku Ramli Zakaria, 2000: 479-495)
a. Kelebihan Pendekatan Analisis Nilai
1. Mudah diaplikasikan dalam ruang kelas, karena penekanannya
pada pengembangan kemampuan kognitif.
2. Pendekatan ini menawarkan langkah-langkah yang sistematis
dalam pelaksanaan proses pembelajaran moral.
b. Kekurangan Pendekatan Analisis Nilai
1. Menurut Superka, dkk. (1976), pendekatan ini sangat menekankan
aspek kognitif,dan sebaliknya mengabaikan aspek afektif serta
perilaku.
2. Menurut Ryan dan Lickona (1987), pendekatan ini sama dengan
pendekatan perkembangan kognitif dan pendekatan klarifikasi
nilai, sangat berat memberi penekanan pada proses, kurang
mementingkan isi nilai.
47
Zaim Elmubarok (2009:68) menjalaskan enam langkah analisis
nilai yang penting dan perlu diperhatikan dalam proses pendidikan nilai
yaitu :.
Tabel 2.2. Langkah-langkah VAA
Tahap
Langkah analisis nilai
Tugas penyelesaian masalah
1. Tahap 1.2. Mengidentifikasi dan
menjelaskan nilai yang
terkait
3. Tahap 2 4. Mengumpulkan fakta yang
berhubungan
5. Tahap 3 6. Menguji kebenaran fakta
yang berkaitan
7. Tahap 4 8. Menjelaskan kaitan antara
fakta yang bersangkutan
Mengurangi perbedaan penafsiran
tentang nilai yang terkait
9. Tahap 5 10. Merumuskan keputusan
moral sementara
11. Tahap 6 12. Menguji prinsip moral yang
digunakan dalam mengambil
keputusan
Mengurangi perbedaan dalam fakta
yang berhubungan
Mengurangi perbedaan kebenaran
tentang fakta yang berkaitan
Mengurangi perbedaan tentang
kaitan antara fakta yang
bersangkutan
Mengurangi perbedaan dalam
rumusan keputusan sementara
Mengurangi perbedaan dalam
pengujian prinsip moral yang
diterima
Dalam penelitian ini pendekatan analisis nilai atau values analysis
approach (VAA) dipilih peneliti untuk menanam nilai kepada peserta didik
dengan cara menganalisis nilai-nilai yang terkandung dalam permasalahan
sosial politik yang disajikan peneliti dalam pendekatan pembelajaran dengan
menyesuaikan dengan nilai-nilai yang terkandung dalm serat wicara keras
sebagai basis pengembangan model.
48
6. Nilai-Nilai Serat Wicara Keras (SWK)
a. Serat Wicara Keras
Naskah Serat Wicara Keras (SWK) berupa manuskrip yang ditulis
oleh Yosodipuro II dengan bahasa dan aksara. SWK ditulis dalam bentuk
puisi tradisional Jawa (tembang). Tembang yang dipakai dalam naskhah SWK
ialah tembang cilik atau tembang Macapat. Naskhah ini ditulis sesudah tahun
1789 dan selesai pada tahun 1816 di Surakarta. Terdapat lapan varian
naskhah SWK di musium Sanabudaya. SWK pada naskhah C ditulis dalam
sebelas pupuh atau tembang (Poerwadarminta, 1938: 503). Pupuh-pupuh
tersebut iaitu Asmaradana, Sinom, Dhandhanggula, Gambuh, Kinanthi,
Megatruh, Pangkur, Dhandhanggula, Kinanthi, Gambuh, dan Sinom. SWK
merupakan bentuk kritikan yang disampaikan karena kondisi sosial politik
Surakarta saat itu. Karya ini merupakan luahan kemarahan Yosodipuro II
terhadap keadaan sosial politik Surakarta pada waktu itu. Namun aspek-aspek
estetis karya sastra tidak dilupakan. (Venny:2010:183).
Serat Wicara Keras (SWK) ini ditulis pada hari kamis wage, 6 Jumadil
Awal, mangsa 10, tahun 1747 (antara 26 Maret-19 April 1819). Selain itu,
Serat Wicara Keras memang lebih besifat Piwulang, tetapi juga merupakan
sebuah kritik sosial tajam yang dilontarkan oleh Yasadipura II. Oleh karena
itu, Serat ini memiliki nilai cipta yang tinggi sebagai sumber sejarah untuk
menggambarkan kondisi dan sikap sosial politik yang terjadi pada saat itu.
(http://neoroby.blogspot.co.id/2007/04/raden-ngabehi-yasadipura-ii.html
diakses januari 2016 pukul 10.00)
Serat Wicara Keras ini dapat diartikan sebagai bicara “blak-blakan”
atau bicara apa adanya. Bait pertama dalam karyanya ini tampaknya
menunjukan sebuah keputusan sekaligus suatu jalan terbaik untuk
mengungkapkan ganjalan batin dan pujangga melihat realitas sosial-politik
mesyarakat Surakarta yang sedang “sakit” saat itu, dan agar “setan-setan”
49
pembawa penyakit itu pun lari terbirit-birit. Hal tersebut tertuang di dalam
bait pertama karyanya tersebut, yang berbunyi :
“Watake wicara Kerar, sumuke pengucap wengis, iku nangekasake napas,
setane nuli kekinthil yen njur ririh manis, nora tangi napasipun, ayem sarta
santosa, setane lumayu ngenthir, pan wus kocap wong sabar ngunjara
setan”.
Artinya :
“Hati yang panas mengucapkan kata-kata kasar, cara demikian
membangkitkan rasa, dapat menundhukkan setan, bila lemah lembut, tidak
akan membangkitkan rasa, dan tenang-tenang serta gembira, jika berbicara
keras setan akan terbirit-birit, bukankah telah diketahui orang sabar
memenjara setan”.
Penggunaan berbagai jenis tembang Macapat pada Serat WK
membuat serat ini terkesan lebih variatif dan tidak membosankan. Setiap
pupuh memuat satu pokok pemikiran yang berbeda dengan pupuh yang lain.
Untuk mengarang suatu tembang, diperlukan pengetahuan yang mendalam
mengenai bahasa, sastra, dan budaya Jawa. Karena untuk menulis tembang
seorang pengarang harus mentaati aturan-aturan tembang Macapat yang akan
ditulis, iaitu aturan mengenai guru lagu, guru wilangan, dan guru gatra.Guru
wilangan ialah jumlah suku kata yang ada dalam satu baris tembang. Guru
lagu atau sering disebut dhong-dhing ialah aturan mengenai vokal di akhir
baris. Sedangkan guru gatra ialah jumlah baris dalam suatu rangkap tembang.
Tembang macapat atau tembang cilik menurut Padmosoekatjo (1953:
12) terdiri daripada Kinanthi, Pucung, Asmaradana, Mijil, Maskumambang,
Pangkur, Sinom, Dhandhanggula, dan Durma. Masing-masing tembang
tersebut mempunyai konvensi atau aturan yang berbeda. Adapun konvensi
guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu daripada sesetiap tembang adalah
sebagai berikut.
1)Kinanthi
2)Pucung
3)Asmaradana
4)Mijil
5)Maskumambang
6)Pangkur
7)Sinom
8)Dhandhanggula
: 8u, 8i, 8a, 8i, 8a, 8i (guru gatra = 6)
: 12u, 6a, 8i, 12a (guru gatra = 4)
: 8i, 8a, 8e(o), 8a, 7a, 8u, 8a (guru gatra = 7)
: 10i, 6o, 10e, 10i, 6i, 6u (guru gatra = 6)
: 12i, 6a, 8i, 8a (guru gatra = 4)
: 8a, 11i, 8u, 7a, 12u, 8a, 8i (guru gatra = 7)
: 8a, 8i, 8a, 8i, 7i, 8u, 7a, 8i, 12a (guru gatra = 9)
: 10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a gatra = 10)
50
9)Durma
: 12a, 7i, 6a, 7a, 8i, 5a, 7i (guru gatra = 7)
Adanya aturan-aturan penulisan tembang, menyebabkan seorang
penulis tembang mesti mampu memilih kosakata yang sesuai dan tidak
menyimpang daripada konvensi tembang yang berlaku. Hal ini merupakan
sesuatu yang sukar. Terkadang suatu kata tidak boleh dipakai kerana
penggunaannya tidak sesuai dengan hitungan guru wilangan ataupun guru
lagu. Oleh itu penulis mesti kaya akan kosakata yang boleh mengganti
kosakata yang tidak sesuai dengan konvensi. Kosakata pengganti tersebut
juga tidak boleh menyimpang daripada makna yang dijangka. Selain
penggunaan aturan di atas, penulis juga mesti menggunakan rasa dan
mindanya dalam mengolah bahasa. Penggunaan bahasa indah atau bahasa
sastera serta bahasa Kawi disarankan dalam penulisan tembang untuk
menambah unsur keindahan.
Selain mempunyai aturan-aturan tembang, setiap jenis tembang
Macapat juga mempunyai sifat tersendiri. Biasanya watak inilah yang
mempengaruhi dipergunakan atau tidaknya suatu tembang dalam acara
tertentu. Padmosoekotjo (1953: 13) mengemukakan watak masing-masing
tembang Macapat ialah sebagai berikut.
1) Kinanthi mempunyai watak gembira, senang, cinta kasih. Tembang ini
biasanya digunakan untuk menyampaikan piwulang ‘ajaran’ dan cerita
cinta.
2) Pocung berwatak kendho ‘longgar’, gregeten, ‘menggemaskan’.
Tembang ini biasanya digunakan untuk menyampaikan sesuatu yang
lucu dan sesuka hati.
3) Asmaradana mempunyai watak sedih kerana cinta, biasanya digunakan
dalam cerita cinta.
4) Mijil berwatak himbauan, cocok digunakan untuk menyampaikan
nasihat.
5) Maskumambang
berwatak
perasaan sedih dan memilukan.
nelangsa
‘memilukan’.
Melukiskan
51
6) Pangkur berwatak sereng, ‘keras’. Digunakan untuk menceritakan
sesuatu yang keras dan cinta yang menyala-nyala.
7) Sinom berwatak grapyak ‘ramah’, renyah, ‘lincah’. Cocok untuk
nasihat dan pengajaran.
8) Dhandhanggula
berwatak
luwes
‘fleksibel’.
Cocok
untuk
menyampaikan berbagai-bagai hal. Juga dapat digunakan dalam
suasana apapun.
9) Durma berwatak keras, marah. Tembang ini biasanya digunakan untuk
menyampaikan suasana marah dan cerita perang.
b. Nilai-nilai dalam SWK sebagai basis model pembelajaran sejarah
Secara umum serat wicara keras berisi kritikan yang disampaikan
pujangga terhadap penguasa. Dari bentuk kritik tersebut penulis mencoba
mereduksi nilai-nilai apa saja yang terkandung didalamnya,
Nilai-nilai karakter dalm Serat Wicara Keras antara lain yaitu :
1. Sikap kritis tercermin dari isi SWK yang berisi kritikan keras yang
disampaikan oleh pujangga keraton saat itu yaitu Yosodipuro II
terhadap penguasa. Sikap kritis pujangga muncul karena melihat
kenyataan sosial dari para pemimpin-pemimpin saat itu yang sudah
mulai
menyimpang
dari
tatanan
yang
seharusnya
dan
mengesampingkan kepentingan rakyat. Seperti yang termuat salah
satunya dalam pupuh Sinom bait 7 yang berbunyi
“sanadyan ora wania | ngarêpan garundêl buri | iku wong watak niaya |
nora ngeman kaki nini | wong tuwa kang wus mati | katut tinunjang
pêpisuh | mêmule pêndhak Ruwah | ilang bae tanpa kardi | nak putune
ting balengkrah nora kaprah ||”.
Artinya ::
walaupun tidak berani | di depan bergumam di belakang | itu watak jelek |
tidak sayang kakek nenek | orang tua yang sudah mati | terbawa terkena
umpatan | mengeluh tiap bulan Ruwah | hilang saja tanpa membuat | anak
cucunya pada tercecer tidak karuan ||
2. Nilai kepedulian sosial tercermin dari rasa kepedulian yang dimiliki
oleh pujangga Yosodipuro II saat beliau menyampaikan kritikan dalam
serat tersebut. Sebagai seorang pujangga keraton kehidupanya dapat
52
dikatakan cukup terjamin. Namun melihat kondisi sosial masyarakat
saat itu dibawah kepemimpinan yang tidak cakap muncul rasa
kepedulianya terhadap sesama yang ditunjukanya dalam bentuk
kritikan ini. Salah satunya seperti tersirat dalam pupuh Sinom bait 22 :
“kaya alam wiradigda | lali kalamun wong cilik | kudu angowahi adat |
ambubrah janji wus dadi | amêmpêng kudu jurit | sêsumbare bisa mabur
| saguh lamun malumpat | bêngawane wong Sêmanggi | kabèh obat ing
loji pan dadya toya ||
Artinya :
seperti alam yang kuat | lupa jika orang kecil | harus mengubah adat |
merombak janji yang sudah jadi | bersungguh-sungguh harus bertarung |
kesombongannya seolah bisa terbang | sanggup jika melompat | sungai
orang Sêmanggi | semua obat di loji akan menjadi air ||
3. Nilai kepemimpinan, dalam SWK ini objek kritiknya adalah para
penguasa saat itu. Dalam kritikan tersebut disampaikan akan perilaku
yang ditunjukan oleh para pemimpin yang menyimpang dan tidak
mencerminkan
keteladanan
sebagai
seorang
pemimpin
yang
mengayomi dan mensejahterakan rakyatnya. Selain mengkritisi sikap
dan perilaku para pemimpin juga memberikan gambaran akan
pemimpin yang seharusnya. Terdapat dalam pupuh sinom bait 6.
“aywa dumèh wong awirya | anak putune wong mukti | sanadyan
mêngku nagara | aywa sumakeyan êdir | tan nganggo dugi-dugi | sapa
sira sapa ingsun | puniku bêbakalan | atêtombok kaki nini | kang wus
bêcik panggonane mèlu nyambat ||”
Artinya :
jangan mentang-mentang menjadi orang berkuasa | anak cucunya serba
kecukupan | walaupun menguasai negara | jangan semena-mena | tidak
menggunakan perasaan | siapa kamu siapa saya | hal itu akan |
menyusahkan kakek nenek | yang sudah baik tempatnya pun ikut
mengeluh ||
4. Nilai keberanian dan kejujuran tercermin dari posisi YosodipuroII
sebagai salah satu orang pemerintah dalam artian disini perananya
sebagai pujangga keraton maka beliau merupakan orang dalam
pemerintahan saat itu. Namun beliau berani melakukan kritikan
tersebut secara jujur apa adanya sesuai dengan penilainya ketika itu.
Salah satunya terdapat langsung pada pupuh sinom bait pertama :
53
“watêke wicara kêras | sumuking pangucap wêngis | iku nangèkakên
napas | setane nuli kêkinthil | yèn ujar ririh manis | nora tangi napasipun
| ayêm sarta santosa | setane lumayu ngênthir | pan wus kocap wong
sabar ngunjara setan ||”
Artinya :
wataknya berbicara keras | ucapan yang terlontar bengis | itu
membangunkan nafas | setan lalu mengikuti | jika berucap pelan dan
manis | tidak terbangun nafasnya | tenang serta kuat | setannya berlari
terbirit-birit | jika sudah terbilang sabar memenjarakan setan ||
5. Nilai cinta tanah air tercermin dari kritik yang diberikan bukan untuk
kepentingan tertentu, melainkan karena bentuk cnitanya kepada
keraton sendiri saat itu. Bertujuan untuk menyadarkan para penguasa.
Karena jika pemimpin berperilaku seperti itu maka Negara akan
menuju
kehancuran.
Salah
satunya
terdapat
dalam
pupuh
Dhandanggulo bait ke 7 .:
“duk lolose saking ing nagari | ngontragakên ing nagara liyan | pating
bathithit polahe | linurugan lor kidul | pangrasane ambêbayani | dene
trahing prawira | lan dadya têtunggul | bupati môncanagara | wêkasane
têka angisin-isini | ngucêmakên nagara ||”
Artinya :
saat perginya dari negara | menggegerkan negara lainnya | sok belagu
tingkah lakunya | dikeroyok dari utara dan selatan | dianggapnya sangat
tangguh | karena Keturunan bangsawan | dan menjadi pemimpin | bupati
môncanagara | akhirnya justru memalukan | memalukan nagara || »
6. Nilai religius tercermin dari sudut pandang si pujangga dalam
memberikan pandanganya terhadap pemimpin yang menyimpang
melalui standar agama yang dianutnya ketika itu. Seperti yang
dicontohkan salah satunya dalam pupuh Dhandangulo bait 29 :
“êndi têgêse panggawe bêcik|kaya ta karêp ngibadah salat | maca Kuran
sadayane | ngèlingi sastra ayu |myang parimbon utawa malih | carita
kuna-kuna | kang pantês tiniru | puniku luwih prayoga | dèn amantêp
sarta narima tabêri | uwas-uwas sirnakna ||”
Artinya :
apa maksudnya berbuat baik | seperti ingin melaksanakan ibadah shalat |
membaca seluruh Qur’an | mengingat-ingat pitutur yang baik | pada
primbon juga | crita yang lalu | yang pantas ditiru | itu lebih baik |
mantapkanlah dan tekuni | hilangkan rasa was-was ||
7. Nilai kesopanan dan estetika yang tercermin dari kesantunanya dalam
bentuk dari isi SWK ini. Meski berisi kritikan yang keras,tegas dan
54
berani namun disampaikan dalam bentuk tembang dengan pemilihan
kata yang bagus. Tembang disini yang digunakan adalah tembang
mocapat yang terdiri dari : sinom, gambung, dandanggulo, megatruh,
kinanti. Hal yang menarik ialah walaupun naskhah ini merupakan
luahan kemarahan, namun aspek-aspek estetis pembangun karya
sastera tidak dilupakan oleh YS II dalam menggubah karyanya. Unsurunsur estetis yang ditemukan dalam karya sastera ini yaitu
penggunaan: (1) tembang Macapat (puisi tradisional Jawa) sebagai
struktur penggubah WK, (2) tembung Saroja, (3) tembung Garba atau
Sandi, (4) Sasmita tembang, (6) pemanjangan suku kata, (7) kosakata
Kawi, (8) purwakanthi, dan (9) perumpamaan dan istilah-istilah
khusus (Venny:2010:183).
Nilai nilai budaya dan pendidikan karakter bangsa yang termasuk kedalam
grand desain pendidikan karakter kementerian pendidikan nasional yang terdiri
dari 18 karakter yaitu : religious, jujur, toleransi, disiplin, kerja-keras, kreatif,
mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, cinta tanah air, cinta damai, tanggung jawab,
peduli sosial, peduli lingkungan. Berdasarkan reduksi nilai-nilai yang terkandung
dalam SWK di atas, terdapat nilai karakter yang dipetakan sesuai dengan nilainilai budaya dan pendidikan karakter bangsa pada grand desain pendidikan
karakter kemendiknas.
Tabel 2.2. Indikator nilai karakter SWK
Nilai-nilai yang terkandung dalam
Serat Wicara Keras
Sikap kritis
Kepedulian sosial
Keberanian
Jujur
Cinta tanah air
Kepemimpinan
Religious
Kesopanan
Nilai-nilai budaya dan pendidikan
karakter bangsa pada grand desain
pendidikan karakter kemendiknas
Demokratis
Peduli sosial
Semangat
Jujur
Cinta tanah air
Tanggung jawab
Religius
Kreatif
55
B. Penelitian Yang Relevan
Adapun penelitian yang relevan dengan penelitian dan pengembangan ini, ialah :
1. Penelitian yang pertama adalah hasil penelitin dari Moh. Imron Rosidi yang
berjudul ”Pengembangan Model Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
Berbasis
Nilai-nilai
Kearifan
Lokal
Tradisi
Kebo-keboan
Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar dan Keterampilan Sosial Siswa”. Penelitian ini
merupakan penelitian dan pengembangan yang dimodifikasi dari konsep
Borg and Gall. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa guru dalam
pembelajaran IPS masih terfokus pada model pemebelajaran konvensional.
Dengan diterapkanya model pembelajaran yang dilakukan oleh peneliti
berhasil dalam meningkatakan hasil belajar siswa dan ketrampilan sosial
siswa. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji efektifitas yang menunjukkan hasil
uji t 2,578 dengan taraf signifikasi 0,0013 < 0,025 yang artinya terdapat
pengaruh yang signifikan terhadap model yang dikembangkan. Sedangkan
untuk uji t penilaian keterampilan sosial sebesar 5,944 dengan taraf
signifikansi 0,000<0,025. Dengan kata lain model pembelajaran IPS yang
dikembangkan efektif meningkatkan hasil belajar dan keterampilan sosial
siswa di Sekolah Dasar Negeri 1 Bedewang Kecamatan Songgon Kabupaten
Banyuwangi.
2. Penelitian yang kedua berjudul “Model Pembelajaran Sejarah Berbasis
Arsip-Dokumen untuk Meningkatkan Eksplanasi Sejarah Mahasiswa STKIPPGRI Pontianak Kalimantan Barat” oleh Fandri Minandar. Penelitian pada
tesis ini mengembangkan model pembelajaran sejarah berbasis arsipdokumen sebagai alternatif untuk meningkatkan kemampuan eksplanasi
mahasiswa. Hasil uji kelayakan para ahli materi memberikan nilai 4,96
(sangat baik) dan ahli model 4,78 (sangat baik). Sedangkan, hasil uji
efektivitas menunjukkan hasil perhitungan uji T 2,510 dengan taraf
signifikansi 0,016 < 0,025, yang artinya model pembelajaran sejarah yang
dikembangkan
mahasiswa.
efektif
untuk
meningkatkan
kemampuan
eksplanasi
56
3. Penelitian yang relevan berikutnya adalah “Model Pembelajaran yang
Efektif untuk meningkatkan Keterampilan Berfikir Kritis (Suatu Persepsi
Guru)”, oleh I Wayan Sadia Program Pascasarjana UPG. Berdasarkan
rumusan masalah, tujuan penelitian, dan temuan-temuan penelitian, maka
dapat dirumuskan beberapa simpulan sebagai berikut. Pertama, model
pembelajaran yang paling dominan digunakan guru dalam proses
pembelajaran adalah model ekspositori. Hal ini menunjukkan bahwa
sebagian
guru
masih
mempertahankan
model
pembelajaran
yang
konvensional yang berpusat pada guru (teacher centered) dan siswa sebagai
pembelajar yang pasif. Kedua, menurut persepsi guru, model-model
pembelajaran yang dipandang akan memberi kontribusi yang signifikan
dalam mengembangkan keterampilan berpikir kritis adalah pembelajaran
kontekstual (24,6%), model pembelajaran berbasis masalah (20,6%), model
problem solving (18,3%), model sains-teknologi-masyarakat (13,1%), model
siklus belajar (6,9%), dan model pembelajaran berbasis penilaian portofolio
(5,7%). Ketiga, keterampilan berpikir kritis awal siswa SMP kelas IX dan
siswa SMA kelas X masih berkategori rendah. Untuk siswa kelas IX SMP
skor rerata keterampilan berpikir kritis siswa adalah 42,15 dan untuk siswa
SMA kelas X skor reratanya adalah 49,38 (skor standar 100).
4. Penelitian yang keempat adalah “Pengaruh Model Pembelajaran Team
Assisted Individualzation Berbasis Nilai-nilai Karakter Terhadap Hasil
Belajar IPS kelas IV” I Nyoman Arya Pramana Syahruddin Md Sumantri
dari Jurusan PGSD, FIP Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja,
Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar
IPS antara kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran TAI (team
assisted individualzation) berbasis nilai-nilai karakter kelompok siswa
yang mengikuti model pembelajaran konvensional. Jenis penelitian ini
adalah penelitian eksperimen semu (quasi experiment) dengan rancangan
post-test only control group design. Populasi dari penelitian ini adalah
seluruh siswa kelas IV SD semester genap di Gugus 6 Kecamatan Kubu
57
Kabupaten Karangasem Tahun Pelajaran 2013/2014 dengan jumlah populasi
197 siswa. Sampel diambil dengan cara random sampling yang berjumlah
72 orang siswa. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah hasil
belajar IPS. Bentuk tes hasil belajar IPS yang digunakan adalah pilihan
ganda. Data dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif dan statistik
inferensial. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil
belajar IPS yang signifikan antara siswa yang mengikuti pembelajaran
dengan model pembelajaran TAI (team assisted
individualzation)
berbasis nilai-nilai karakter dan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan
model pembelajaran konvensional pada siswa kelas IV semester genap tahun
pelajaran 2013/2014 di SD Negeri 3 Dukuh. Perbandingan perhitungan ratarata hasil belajar IPS kelompok eksperimen adalah 23,42 lebih besar dari
rata-rata hasil belajar IPS kelompok kontrol adalah 20,83. Adanya
perbedaan yang signifikan menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan
model pembelajaran TAI (team assisted
individualzation)
berbasis
nilai-nilai karakter berpengaruh terhadap hasil belajar IPS dibandingkan
dengan model pembelajaran konvensional.
5. Penelitian yang kelima dengan judul “Keterampilan Berpikir Kritis Siswa
pada Pembelajaran Fisika dengan Pendekatan Starter Eksperimen” oleh
Mitra Dewi Rahmawati, Sriyono, Ashari Program Studi Pendidikan Fisik
dari Universitas Muhammadiyah Purworejo Jalan. K.H. Ahmad Dahlan,
Telah dilakukan penelitian guna mengetahui hasil analisis keterampilan
berpikir kritis siswa pada pembelajaran fisika dengan pendekatan Starter
Eksperimen.
diarahkan
Penelitian
ini
merupakan
penelitian
deskriptif
yang
untuk memperoleh informasi mengenai keterampilan berpikir
kritis pada indikator apa saja yang muncul serta melihat seberapa besar
keterampIlan berpikir kritis siswa dapat berkembang pada pembelajaran
Fisika materi Kalor dan Perpindahannya dengan pendekatan Starter
Eksperimen. Subjek penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri 2
Karanganyar kelas VIIA yang berjumlah 32. Data dikumpulkan dengan
58
menggunakan metode angket dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan
indikator bertanya dan menjawab pertanyaan merupakan indikator tertiggi
yaitu 82,98%, indikator ini diperkuat dengan hasil analisis menggunakan
angket dengan persentase tertinggi yaitu sebesar 81,64%. Indikator lainnya
yaitu indikator mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan suatu
definisi sebesar 75%, indikator menginduksi dan mempertimbangkan hasil
induksi sebesar 74,47%, indikator mempertimbangkan apakah sumber
dapat dipercaya atau tidak sebesar 74,16%. Aspek yang jumlah persentase
rata-rata
paling
rendah
yaitu
pada
indikator
mengobservasi
dan
mempertimbangkan hasil observasi sebesar 72,91%. Rata-rata persentase
keterampilan berpikir kritis siswa secara keseluruhan dari lember observasi
menunjukkan keterampilan berpikir kritis yang dicapai siswa sebesar
75,90% dan persentase keseluruhan dari angket respon keterampilan berpikir
kritis siswa sebesar 76,79%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
secara umum keterampilan berpikir kritis siswa pada pembelajaran Kalor
dan Perpindahannya dengan pendekatan Starter Eksperimen tergolong baik.
Terdapat kemunculan-kemunculan kegiatan berarti yang merupakan refleksi
dari kegiatan berpikir kritis siswa, baik dari individu maupun kelompok
selama pembelajaran dengan pendekatan Starter Eksperimen.
6. Penelitian berikutnya berjudul “Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Pada
Pembelajaran Fisika Kelas X Menggunakan Model Problem Posing
Learning di SMA Negeri 1 Petanahan Tahun Pelajaran 2013/2014” oleh
Intan Widiarti, Siska Desy Fatmaryanti, Nurhidayati dari Program Studi
Pendidikan Fisika Universitas Muhammadiyah Purworejo Jalan K.H.A.
Dahlan 3, Purworejo, Jawa Tengah. Telah dilakukan Penelitian Tindakan
Kelas (PTK) yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis
peserta didik melalui model problem posing learning. Penelitian ini
dilakukan di SMA Negeri 1 Petanahan. Subyek penelitian adalah 29 peserta
didik dari kelas X SOS 1. Penelitian ini dilakukan pada bulan April-Mei
tahun 2014 pada pokok bahasan Alat-alat Optik. Pengumpulan data dalam
59
penelitian
ini
menggunakan
metode
angket,
observasi,
tes,
dan
dokumentasi. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan
menggunakan model problem posing learning dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kritis peserta didik. Hal ini dilihat dari data hasil
observasi kemampuan berpikir kritis peserta didik, diperoleh persentase
40,80% pada pra siklus, meningkat menjadi 60,63% pada siklus I dan
menjadi 75,86% pada siklus II. Hasil tes kemampuan berpikir kritis peserta
didik juga mengalami peningkatan dari skor awal 55,10% menjadi 67,93%
pada siklus I dan 78,45% pada siklus II. Kemampuan berpikir kritis peserta
didik juga dilihat dengan peningkatan hasil angket dari 39,37% pada pra
siklus, 54,31% pada siklus I dan 71,55% pada siklus II.
7. Penelitian ketujuh yaitu “Pendekatan Pembelajaran Analisis Nilai untuk
Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Sikap Kepedulian Sosial Siswa pada
Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial” oleh Ani Siti Anisah dari
Fakultas Pendidikan Islam dan Keguruan Universitas Garut. Hasil analisis
data menunjukkan bahwa peningkatan pemahaman konsep kelas eksperimen
sebesar 34,7% berkategori sedang, sedangkan pada kelas kontrol dengan
pendekatan konvensional mengalami peningkatan (N Gain) 8,7% berkategori
rendah. Untuk variabel sikap kepedulian sosial dengan pendekatan analisis
nilai, kelas eksperimen mengalami peningkatan (N Gain) sebesar 25% dan
kelas yang kontrol (N Gain) 2,2%. Setelah dilakukan Uji-T menunjukkan
adanya perbedaan yang signifikan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan pendekatan
pembelajaran Analisis Nilai (value analysis) dam pembelajaran IPS
berpengaruh dalam meningkatkan pemahaman konsep dan sikap kepedulian
sosial siswa.
8. Penelitian kedelapan, “Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa
Melalui Implementasi Model Problem Based Learning (PBL) Pada
Pembelajaran IPA Terpadu Siswa SMP” oleh Risa Hartati dan Hayat
60
Sholihin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan
berpikir kritis siswa melalui implementasi model Problem Based Learning
(PBL) pada pembelajaran IPA Terpadu. Penelitian ini merupakan penelitian
kuasi eksperimen dengan desain non-equivalent pretest-posttest control
group design. Sampel penelitian ini terdiri dari 50 siswa kelas VII di salah
satu SMP Negeri di Kabupaten Lampung Utara pada tahun ajaran 2014/2015
yang dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling. Instrumen
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes berpikir kritis
materi pencemaran lingkungan yang digunakan untuk mengukur penguasaan
kemampuan berpikir kritis siswa. Teknik analisis data menggunakan uji
normalitas, uji homogenitas, dan uji t (independent sample t-test) terhadap
nilai gain yang dinormalisasi (Ngain) dari nilai pretest dan post-test siswa
dengan menggunakan program IBM SPSS Statistics 22 dan Microsoft Excel.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa antara kelas yang menerapkan
model PBL dengan kelas kontrol. Kemampuan berpikir kritis siswa kelas
eksperimen mengalami peningkatan sebesar 47% sedangkanpeningkatan
kemampuan berpikir kritis siswa kelas kontrol sebesar 32%. Hasil penelitian
ini dibuktikan dari nilai signifikansi uji t sebesar 0,026 yang berarti bahwa
H0 ditolak dan H
diterima. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
penerapan model PBL pada pembelajaran IPA terpadu memiliki dampak
yang positif terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa.
9. Penelitian yang kesembilan adalah “Pedagogy for developing critical
thinking in adolescents: Explicit instruction produces greatest gains” oleh
Lisa M. Marin dan Diane F. Halpern yang membahas Meskipun
pengembangan dan transfer keterampilan berpikir kritis diakui sebagai
tujuan pertama untuk pendidikan, ada sedikit bukti empiris yang dapat
membantu pendidik memutuskan bagaimana mengajarkan cara-cara yang
meningkatkan kemampuan pemikiran kritis. Dalam dua penelitian, kami
membandingkan secara eksplisit dan tertanam mode instruksional dan dinilai
61
dengan berpikir kritis oleh Halpern. Penilaian yang menggunakan
pembangunan respon dan pilihan ganda respon format dengan situasi seharihari. Peserta adalah siswa SMA di Amerika negara menghadiri berkinerja
rendah sekolah tinggi dengan pendaftaran minoritas besar. Dalam kedua
studi siswa menerima instruksi eksplisit dapat menunjukkan pencapaian
yang jauh lebih besar daripada yang di instruksi dalam kelompok . Nilai ratarata itu menunjukan hubungan yang signifikan untuk nilai berfikir kritis
seperti yang diharapkan, tetapi hubungannya dengan berpikir kritis adalah
jauh lebih lemah daripada nilai tes standar. Hasil ini memberikan bukti kuat
bahwa instruksi eksplisit metode yang efektif untuk mengajarkan
keterampilan berpikir kritis untuk siswa SMA.
10. Penelitian yang kesepuluh adalah hasil dari Alias Masek and Sulaiman
Yamin yang berjudul “The Effect of Problem Based Learning on Critical
Thinking Ability: A Theoretical and Empirical Review” . Berdasarkan
review, dapat disimpulkan bahwa 1) proses tertentu dalam PBL secara
teoritis mendukung pengembangan berpikir kritis siswa sesuai dengan desain
yang diterapkan, 2) bukti empiris secara umum menjelaskan pengaruh PBL
pada kemampuan berpikir kritis siswa, terutama studi di luar bidang medis,
3) beberapa bukti menunjukkan bahwa PBL memerlukan waktu jangka
panjang untuk menumbuhkan kemampuan kritis siswa berpikir, 4) beberapa
prediktor mungkin juga mempengaruhi hubungan PBL dan berpikir kritis
seperti usia, jenis kelamin, prestasi akademik, dan latar belakangpendidikan,
yang menyerukan untuk pekerjaan penelitian lebih lanjut. Implikasinya
adalah bahwa, kurikulum PBL harus hati-hati menyusun dan memilih elemen
berfikir kritis untuk efektifitas PBL. Ini termasuk peran fasilitator dalam
mediasi belajar siswa , terutama dalam memicu meta-kognitif pemikiran
siswa.
11. Penelitian kesebelas adalah milik Claudette Thompson yang berjudul
Critical Thinking across the Curriculum:
Process over Output ,St.
Bonaventure University. Berpikir kritis adalah keterampilan yang paling
62
berharga yang dapat mewariskan sekolah untuk murid lulusan mereka.
Mengajar untuk berfikir kritis selalu menjadi tujuan pembelajaran bagi guru
di semua disiplin ilmu dan tingkat. Kompetensi berpikir kritis memerlukan
pergeseran filosofis dari output proses, belajar dan berpikir untuk tunduk
isolasi untuk integrasi subjek. Sebagai kerangka kerja untuk memahami
pemikiran kritis lintas kurikulum, artikel ini berisi ulasan tradisional dan
kontemporer mengenai teori-teori yang relevan dengan proses ini,
mengeksplorasi sifat berpikir kritis dan pendekatan untuk menganalisis
instruksi dan penilaian sehingga guru dapat menggunakanya dalam proses
belajar untuk mendorong meningkatnya kemampuan berpikir kritis. Analisis
ini didukung oleh deskripsi dari praktek pedagogis yang telah digunakan
untuk memotivasi siswa untuk terlibat dalam proses-proses
yang
meningkatkan kemampuan berpikir kritis.
12. Penelitian keduabelas adalah karya Scott Burris and Bryan L. Garton dengan
judul Effect of Instructional Strategy on Critical Thinking and Content
Knowledge : Using Problem Based Learning in The Secondary Classrom”
dari Texas Tech University,University of Missouri yang menjelaskan tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pembelajaran berbasis
masalah (PBL) pada kemampuan berfikir kritis dan pengetahuan konten
berpikir di kalangan siswa yang dipilih di bidang pertanian kelas sekunder
Missouri. Penelitian ini menggunakan desain kelompok pembanding kuasieksperimental non-setara. Perlakuan terdiri dari dua strategi pembelajaran:
pembelajaran berbasis masalah dan diawasi studi. Populasi target
diidentifikasi sebagai mahasiswa pertanian sekunder di Missouri. Dua belas
guru pertanian sekunder dipilih berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh
peneliti. Kelas utuh secara acak ditugaskan untuk pengobatan dari tingkat.
The dihasilkan sampel (n = 140) terdiri dari 77 siswa dalam belajar dan
kelompok perlakuan berbasis masalah 63 siswa pada kelompok perlakuan
diawasi studi. Analisis kovarians diindikasikan pengobatan efek pada
kemampuan berpikir kritis dan pengetahuan konten.
63
C. Kerangka Berfikir
Nilai nilai yang terkandung dalam naskah Serat Wicara Keras memiliki
peran dan fungsi, yang dalam penelitan ini diharapkan selain menambah
pengetahuan, dan pemahamaan, juga dapat untuk meningkatkan kemampuan
berfikir kritis melalui nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, dimana siswa nanti
akan mempunyai kemampuan menganalisis masalah dan menyimpulkanya.
Supaya penelitan ini mengarah pada sasaran yang diinginkan, maka diperlukan
tinjauan pustaka sebagai sebagai
studi pendahuluan untuk dasar teori, dan
pengumpulan serat serta mengalih bahasakan untuk dapat direduksi nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya. Tahap selanjutnya dalam studi pendahuluan yaitu
melakukan pra penelitan yang dilakukan di Sekolah Menengah Atas IC Al
Mujtaba Sukoharjo untuk melihat proses pembelajaran yang berlangsung dan
kemampuan siswa. Selain itu penelitan dilakukan dengan wawancara ke informan
kepada guru untuk mengetahui tingkat kebutuhan siswa akan model yang akan
peneliti kembangkan.
Sebelum pelaksanaan pengembangan model terlebih dahulu membuat
draf model yang akan digunakan dengan dengan nilai yang terkandung dalam
serat. Nilai-nilai dalam serat tersebut dijadikan sebagai basis dalam proses belajar
di dalam kelas. Dalam pembuatan draf model ini, model pembelajaran yang akan
dibuat menggunakan strategi pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
dimana dalam model ini siswa diorentasikan untuk memcahkan sebuah masalah
dengan menggunakan pendekatan kontruktivisme,dan pendekatan analisis Nilai
(VAA). Teori konsturuktivisme menyatakan bahwa siswa harus menemukan
sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru
dengan atauran-aturan lama dan merevisinya apabila peraturan itu tidak berlaku
lagi (Trianto. 2007:13). Menurut teori ini prinsip yang paling penting adalah guru
tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus
membangun sendiri pengetahuan dari sumber yang dipelajarinya.
Teori konstruktivisme yakni dalam proses pembelajaran siswalah yang
harus mendapat penekanan (Jauhar, 2011:35). Siswa harus aktif mengembangkan
pengetahuan mereka, bukan guru atau orang lain. Siswa harus bertanggung jawab
64
terhadap hasil belajarnya, penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu
dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk
berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa. Untuk mengimplementasikan
model ini melalui Penelitian eksperimen. Sugiyono (2012:109) menambahkan
penelitian eksperimen dapat diartikan sebagai metode penelitian yang digunakan
untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang
terkendalikan. Dalam melakukan eksperimen peneliti memanipulasikan suatu
stimulan, treatment atau kondisi-kondisi eksperimental, kemudian menobservasi
pengaruh yang diakibatkan oleh adanya perlakuan atau manipulasi tersebut.
Dengan demikian penelitian eksperimen dilaksanakan untuk melihat keberhasilan
dari draf model yang di ujikan kepada siswa.
Dalam pelaksanaanya siswa dibagi kedalam kelompok kecil yang terdiri
4-5 orang. Sehingga dalam satu kelas terdapat 4 kelompok untuk saling berdiskusi
di dalam memecahkan masalah. Kelompok belajar akan diberi tugas untuk
mengaplikasikan nilai dari serat wicara keras dengan menganalisis masalah dan
menyelesaiakan lembar kerja yang dibagikan kepada setiap kelompok. Masalah
yang diberikan berkaitan dengan masalah social politik yang terjadi di negeri ini,
yang banyak disaksikan dalam media yang ditayangkan setiap saat. Siswa akan
berdiskusi untuk menganalisis permasalah yang terjadi, dengan memberikan
kritikan dan solusi yang dituangkan dalam lembar kerja siswa. Melalui kegiatan
yang terpusat pada siswa tersebut, guru hanya memfasilitasi dan membimbing
proses diskusi yang berlangsung dalam kelompok kecil maupun dalam kelompok
besar.
Melalui kegiatan tersebut maka diharapkan nilai-nilai yang terkandung
dalam SWK dapat terinternalisasi dalam diri siswa yang ditunjukkan melalui
sikap kritis yang dimilikinya. Oleh karena itu, dengan semakin meningkatnya
kemampuan berfikir kritis siswa yang diukur melalui iji posttest juga berpengaruh
terhadap meningkatnya nilai pestasi. Hal lain yang diharapkan dengan situasi
pembelajaran sejarah adalah situasi belajar yang menarik, efektif dan
menyenangkan dan siswa menjadi lebih antusias dalam belajar sejarah.
65
Gambar. 2.5 . Kerangka Berfikir Peneliti
Kondisi awal pembelajaran/
kenyatan
 Teacher center.
 Metode yang digunakan seperti
seperti ceramah, presentasi
media powerpoint, tanya jawab
dan diskusi.
 Siswa yang pasif.
 Keterbatasan sumber belajar
primer
 siswa kurang mampu
mengidentifikasi
peristiwa/masalah
 kemampuan berfikir kritis dan
prestasi sedang
Kondisi pembelajaran yang
diharapkan
Masalah
Solusi
-
Student Center
-
Metode diskusi kelompok
(kontruktivisme)pendekatan
PBL dan VAA
-
Siswa Aktif
-
Siswa mampu memahami
masalah
-
siswa mampu memahami
nilai yang terkandung dalam
suatu peristiwa
-
Kemampuan berfikir kritis
dan prestasi tinggi
Nilai-Nilai SWK –Sebagai Basis Pengembangan Model
Pembelajaran Sejarah
-SK : Untuk Memahami prinsip dasar ilmu sejarah
-KD : Menggunakan Langkah-langkah penelitian sejarah
-Nilai Yang Terkandung
1. Sikap Kritis Pujangga terhadap penguasa
2. Kepemimpinan yang seharusnya bijak
3. Kepekaan sosial terhadap masalah yang terjadi
4. Keberanian dan kejujuran pujangga
5. Religius sebagai tolak ukur perilaku
6. Cinta tanah air
7. Etika estetika dalam menyampaikan kritikan
Produk Model Pembelajaran Sejarah Berbasis
Nilai-nilai Serat Wicara Keras untuk
Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kritis Siswa
Download