BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Model - Model Penelitian & Pengembangan Terdapat banyak model pengembangan produk yang dicetuskan oleh ahli dalam bidang pendidikan. Dari sekian banyak model pengembangan produk yang populer dan biasa dijadikan rujukan oleh para pengembang adalah model pengembangan Borg dan Gall, Sugiyono, Sadiman, dan Pustekom Depdiknas. a. Model Borg dan Gall Gambar 2.1. Bagan Model Penelitian Pengembangan Menurut Borg & Gall (1983:98) Uji coba perseorangan Analisis kebutuhan Revisi Pengembangan media pembelajaran berbasis multimedia Uji coba kelompok kecil Revisi Pengembangan produk Penyebaran & pelaporan Uji coba lapangan Revisi Borg & Gall (1983:95) menawarkan model penelitian pengembangan seperti pada bagan 2.1. Langkah-langkah untuk mengembangkan media pembelajaran berbasis komputer terdiri dari: (1) analisis kebutuhan, (2) 16 17 perencanaan media, (3) pengembangan produk, (4) uji coba perseorangan, (5) revisi, (6) uji coba kelompok kecil, (7) revisi, (8) uji coba kelompok besar, (9) revisi, dan (10) penyebaran dan pelaporan. Dalam model tersebut, Borg dan Gall merinci langkah-langkah uji coba media pembelajaran berbasis komputer yang dikembangkan. Titik tekan yang paling mendasar pada model Borg dan Gall adalah tahapan uji coba produk dan revisi yang dilakukan secara berurutan dalam garis kontinum. Uji coba dilakukan dengan melibatkan ahli materi, ahli model dan siswa. b. Model Sugiyono Sugiyono (2010:298) menawarkan model penelitian pengembangan sebagaimana bagan 2.2 berikut ini : Gambar 2.2. Bagan Model Penelitian Pengembangan Menurut Sugiono (2010:298) Validasi Potensi dan Pengumpulan Masalah Data Uji coba Pemakaian Revisi Produk Revisi Produk Desain Produk Uji coba Produk Desain Revisi Desain Produksi Massal Sebagaimana Bagan 2.2, Sugiyono (2010:299) berpendapat bahwa dalam proses pengembangan media pembelajaran berbasis komputer, pengembang harus melalui sepuluh tahapan, yaitu: (1) identifikasi potensi dan masalah yang melatarbelakangi pengembangan, (2) pengumpulan data informasi yang dibutuhkan sebagai bahan untuk perencanaan produk yang akan dikembangkan, (3) merancang desain produk yang diharapkan, (4) validasi desain untuk menilai apakah rancangan produk yang akan dikembangkan akan lebih efektif dan efisien, 18 (5) perbaikan desain sebagaimana hasil validasi, (6) uji coba produk dalam bentuk prototype, (7) revisi produk, (8) uji coba pemakaian, (9) revisi produk, (10) produksi massal produk tersebut. Dengan proses yang cukup panjang tersebut, salah satu kelebihan dari model Sugiyono adalah adanya tahapan uji coba berlapis yang dilakukan sejak produk masih dalam bentuk desain rancangan hingga sebelum produk tersebut memasuki tahapan produksi massal. c. Model Sadiman Model yang ditawarkan oleh Sadiman dkk (2007:98) mengarah pada penelitian pengembangan media pembelajaran berbasis komputer. Sistematika pengembangan program media dalam model Sadiman menitikberatkan pada masalah media yang memiliki kecenderungan untuk dimanfaatkan pada proses pendidikan formal. Berikut adalah bagan langkah-langkah pengembangan media pembelajaran maupun media pembelajaran berbasis multimedia berdasarkan adaptasi dari model Sadiman yang dipakai oleh pengembang. Gambar 2.3. Bagan Model Penelitian Pengembangan Menurut Sadiman dkk (2007:101) Perumusan butir-butir materi Identifikasi kebutuhan Perumusan alat pengukur keberhasilan Perumusan tujuan Penulisan naskah Ya Tidak Revisi Produksi Produk siap dimanfaatkan Tes/uji coba 19 Berdasarkan Gambar Bagan 2.3, dalam sistematika pengembangan model Sadiman, terdapat langkah-langkah yang akan dilakukan guna mencapai hasil yang diharapkan. Adapaun tahapan tersebut adalah: (1) identifikasi kebutuhan, (2) perumusan tujuan, (3) perumusan butir-butir materi, (4) perumusan alat pengukur keberhasilan, (5) penulisan naskah media pembelajaran, (6) produksi, (7) tes/uji coba, (8) revisi, (9) produk siap dimanfaatkan (Sadiman, 2007:101). d. Model Pustekom Depdiknas Pustekom Depdiknas sebagai struktur pemerintah yang bergerak di bidang pengelolaan sumber belajar berbasis teknologi komunikasi mempunyai pendekatan sendiri dalam proses pengembangan media pembelajaran berbasis komputer. Pustekom Depdiknas (2008) memiliki model penelitian pengembangan sebagaimana bagan 2.4 berikut ini. Gambar 2.4. Bagan Model Penelitian Pengembangan Menurut Pustekom Depdiknas (2008) Pengembangan naskah Bedah kurukulum Produksi Identifikasi media Penyempurnaan Tes/uji coba Revisi Langkah-langkah yang dilakukan seorang pengembang media pembelajaran berbasis komputer menurut Pustekom Depdiknas (2008) adalah: 1) bedah kurikulum, 2) identifikasi media, 3) pengembangan naskah, 4) produksi, 5) 20 penyempurnaan, 6) tes/uji coba, dan 7) revisi. Perbedaan model Pustekom Depdiknas dengan dua model sebelumnya adalah model Pustekom Depdiknas (2008) menawarkan tinjauan kurikulum sebagai latar belakang pengembangan media. Disamping itu, tahapan penyempurnaan setelah proses produksi tidak didasarkan dengan adanya proses evaluasi. Berdasarkan tinjauan model-model penelitian dan pengembangan di atas mulai dari model penelitian dan pengembangan menurut Borg & Gall, Sugiyono, Sadiman, dan Pustekom Depdiknas, peneliti menyimpulkan bahwa model penelitian pengembangan untuk penelitian ini yaitu model penelitian pengembangan Borg & Gall. Meskipun setiap suatu rancangan model penelitian dan pengembangan memiliki kekurangan dan kelebihan, akan tetapi model penelitian dan pengembangan Borg & Gall ini lebih sistematis dan mudah digunakan dalam suatu rancangan penelitian pengembangan. Oleh karena hal tersebut peneliti mengambil model penelitian dan pengembangan model Borg & Gall sebagai model rancangan penelitian dan pengembangan ini. Langkah-langkah untuk mengembangkan media pembelajaran berbasis komputer terdiri dari: (1) analisis kebutuhan, (2) perencanaan media, (3) pengembangan produk, (4) uji coba perseorangan, (5) revisi, (6) uji coba kelompok kecil, (7) revisi, (8) uji coba kelompok besar, (9) revisi, dan (10) penyebaran dan pelaporan (Borg & Gall, 1983:95). Penelitian dan pengembangan yang akan dilakukan nanti dapat diharapkan terencana dengan baik dengan adanya model penelitian pengembangan Borg & Gall. Sehingga dengan suatu perencanaan yang baik maka akan diperoleh hasil penelitian pengembangan yang baik pula untuk memproduksi suatu produk media pembelajaran yang akan dikembangkan. Berdasarkan model-model pengembangan diatas, peneliti menggunakan model pengembangan dari Borg & Gall yang terdiri dari: (1) analisis kebutuhan, (2) perencanaan media, (3) pengembangan produk, (4) uji coba perseorangan, (5) revisi, (6) uji coba kelompok kecil, (7) revisi, (8) uji coba kelompok besar, (9) revisi, dan (10) penyebaran dan pelaporan. 21 2. Model Pembelajaran a. Pengertian Model Pembelajaran Kegiatan pembelajaran dilakukan oleh dua komponen yaitu siswa dan guru. Perilaku guru adalah mengajar dan perilaku siswa adalah belajar. Perilaku mengajar dan belajar tersebut terkaitan dengan bahan pembelajaran. Bahan pembelajaran dapat berupa pengetahuan, nilai-nilai susila, seni, agama, sikap, dan keterampilan. Keterkaitan antara kegiatan guru dan siswa dengan pengajaran adalah model pembelajaran. Model dapat dipahami sebagai : 1). Suatu tipe atau desain, 2). Suatu deskripsi atau analogi yang dipergunakan untuk membantu proses visualisasi sesuatu yang tidak dapat denganlangsung diamati, 3). Suatu sistem asumsi-asumsi, data-data, dan inferensi-inferensi yang digunakan untuk menggambarkan secara matematis suatu objek atau peristiwa, 4). Suatu desain yang disederhanakan dari suatu sistem kerja, suatu terjemaahan realitas yang disederhanakan, 5). Suatu deskripsi dari suatu sistem yang mungkin atau imajiner, dan 6). Penyajian yang diperkecil agar dapat menjelaskan dan menunjukkan sifat bentuk aslinya (Komarudin,2000:152). Menurut Joyce, weil, dan Calhom (2011:30) suatu model pembelajran merupakan gambaran suatu lingkungan pembelajaran, yang juga meliputi perilaku guru saat model tersebut diterapkan. Model-model ini memiliki banyak kegunaan yang menjangkau segala bidang pendidikan, mulai dari materi perencanaan dan kurikulum hingga materi perencangan instruksional, termasuk program-program multimedia. Joyce dan weil berpendapat bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran dikelas atau yang lain (Rusman, 2012:133). Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikan. 22 Disisi lain Joyce sendiri mengungkapkan model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagi pedoman dalam perencanaan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk didalamnya buku-buku, film, computer, kurikulum, dan lain-lain ( Trianto,2007:5). Selanjutnya, setiap model pembelajaran mengarahkan kita ke dalam mendesain pembelajaran untuk membantu peserta didik sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Soekamto mengemukakan model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar (dalam Trianto, 2007: 5). Dalam hal ini model pembelajaran memberikan kerangka dan arah bagi guru atau tenaga pendidik untuk mengajar. Arend menyatakan bahwa “the term teaching model refers to a particular approach to instruction that includes it’s goals, syntax, environment, and management system (Trianto, 2012:53). Istilah model pengajaran mengarah pada suatu pendekatan pembelajaran tertentu termasuk tujuan, sintak, lingkungan, dan sistem pengelolaannya. Berdasarkan uraian yang telah diuraikan sebelumnya, model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pembelajarna dan para guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran. b. Ciri-ciri Model Pembelajaran Menurut Depdikbud (Trianto, 2012: 61), pembelajaran terpadu sebagai suatu proses mempunyai beberapa karakteristik atau cirri-ciri, yaitu: 23 1) Holistik, segala sesuatu atau fenomena yang menjadi pusat perhatian dalam pembelajaran terpadu diamati dan dikaji dari beberapa bidang kajian sekaligus, tidak dari sudut pandang yang terkotak-kotak. Sehingga memungkinkan siswa untuk memahamai suatu fenomena dari segala sisi. 2) Bermakna, pengkajian suatu fenomena dari berbagai macam aspek memungkinkan terbentuknya semacam jalinan antara konsep-konsep yang berhubungan yang disebut schemata. Rujukan yang nyata dari segala konsep diperoleh, dan keterkaitan dengan konsep-konsep lainnya akan menambah kebermaknaan konsep yang dipelajaran. 3) Otentik, pembelajaran terpadu memungkinkan siswa memahami secara langsung prinsip dan konsep yang ingin dipelajarinya melalui kegiatan belajar secara langsung. Mereka memahami dari hasil belajarnya sendiri, bukan sekedar pemberitahuan guru. 4) Aktif, pembelajaran terpadu menekankan keaktifan siswa dalam pembelajaran, baik secara fisik, mental, intelektual, maupun emosional guna tercapainya hasil belajar yang optimal dengan mempertimbangkan hasrat, minat, dan kemampuan siswa sehingga mereka termotivasi untuk terus menerus belajar. Sehingga ciri-ciri model pembelajaran sebagai berikut: 1) Berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli. 2) Mempunyai misi atau tujaun pendidikan. 3) Dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan kegiatan belajar mengajar dikelas. 4) Memiliki bagian-bagian model. 5) Memiliki dampak sebagai akibat terapan model pembelajaran. 6) Membuat persiapan mengajar (desain instuksional) dengan pedoman model pembelajaran yang dipilih. c. Model Problem Based Learning (PBL) Dalam pengembangan model yang digunakan oleh peneliti adalah model Problem Based Learning (PBL). Arend menjelaskan dalam 24 Hosnan, Problem Based Learning (PBL) adalah model pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah autentik sehingga siswa dapat menyusun pengetahuanya sendiri, menumbuhkembangkan keterampilan yang lebih tinggi dan inquiri, memandirikan siswa dan meningkatkan kepercayaan diri sendiri (2014:295). Sanjaya mengartikan Problem Based Learning (PBL) sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah. Terdapat tiga ciri utama dari Problem Based Learning (PBL). Pertama, merupakan rangakaian aktifitas pembelajaran, kedua aktifitas pembelajaran diarahkan untuk menyelesaikan masalah, ketiga pemecahan masalah dilakukan dengan menggunakan pendekatan berfikir secara alamiah (2006:214). Dalam upaya meningkatkan kemampuan berfikir kritis siswa Problem Based Learning (PBL) sebagai salah satu model pembelajaran yang sesuai untuk diterapkan. Tujuan Problem Based Learning (PBL) bukanlah penyampaian sejumlah besar pengetahuan kepada peserta didik, melainkan pada pengembangan kemampuan berfikir kritis dan kemampuan memecahkan masalah dan sekaligus mengemabngkan kemampuan peserta didik untuk secara aktif membangun pengetahuanya sendiri (Hosnan, 2014:299). Ciri-ciri Problem Based Learning (PBL) menurut Hosnan adalah sebagai berikut : a. Pengajuan masalah atau pertanyaan : pengaturan masalah berkisar pada masalah atau pertanyaan yang penting bagi siswa maupun masyarakat. Pertanyaan dan masalah yang diajukan itu haruslah memenuhi kriteria autentik, jelas, mudah dipahami, luas dan bermanfaat. b. Keterkaitan dengan berbagai masalah disiplin ilmu : masalah yang diajukan dalam pembelajaran hendaknya mengaitkan atau melibatkan berbagai disiplin ilmu. 25 c. Penyelidikan yang autentik : penyelidikan yang diperlukan dalam pembelajaran berbasis masalah bersifat autentik. Selain itu penyelidikan diperlukan untuk mencari penyelesaian masalah yang bersifat nyata. Siswa menganalisis dan merumuskan masalah, mengembangkan dan meramalkan hipotesia, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melaksanakan eksperimen, menarik kesimpulan dan menggambarkan hasil akhir. d. Menghasilkan dan memamerkan hasil karya : pada Problem Based Learning (PBL), siswa bertugas menyusun hasil penelitianya dalam bentuk karya dan memamerkan hasil karyanya. Artinya, hasil penyelesaian masalah siswa ditampilkan atau dibuat laporanya. e. Kolaborasi : pada Problem Based Learning (PBL), tugas belajar berupa masalah harus diselesaikan bersama-sama antara siswa dengan siswa, baik dalam kelompok kecil maupun besar, dan bersama-sama antar siswa dengan guru (2014:300). Tabel 2.1. Sintak atau langkah Problem Based Learning (PBL) Tahap Tahap 1 Mengorientasikan peserta didik terhadap masalah Tahap 2 Mengorganisasi peserta didik untuk belajar Tahap 3 Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok Tahap 4 Mengembangkan dan menyajikan hasil karya Tahap 5 Menganilis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah Sumber : (Hosnan.2014:300) Aktifitas Guru dan Peserta didik Guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan sarana atau logistic yang dibutuhkan. Guru memotivasi peserta didik untuk terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah nyata yang dipilih atau ditentukan Guru membantu peserta didik mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang sudah diorientasikan pada tahap sebelumnya Guru mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang sesuai dan melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan kejelasan yang diperlukan untuk penyelesaian masalah Guru membantu peserta didik untuk berbagi tugas dan merencanakan atau menyiapkan karya yang sesuai sebagai hasil pemecahan masalah dalam bentuk laporan,video atau model Guru membantu peserta didik untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap proses pemecahan masalah yang dilakukan. 26 3. Pembelajaran Sejarah a. Pengertian Pembelajaran Sejarah Dalam konteks standar proses pendidikan, mengajar tidak hanya sekedar menyampaikan materi atau bahan pembelajaran, tetapi juga dimaknai. Pertama, sebagai proses mengatur lingkungan (situasi dan kondisi) agar terjadi proses pembelajaran. Kedua, sebagai proses pembentukan karakter, watak, peradaban, dan meningkatkan mutu kehidupan peseta didik. Ketiga, sebagai proses pemberdayaan potensi peseta didik untuk menguasai kompetensi yang diharapkan (Leo Agung: 2013:98). Dapat dilihat pemberdayaan tersebut diarahkan untuk merangsang dan mendorong pencapaian kompetensi dan perilaku khusus agar setiap pribadi mampu menjadi pembelajaran sepanjang hayat serta menciptakan masyarakat gemar belajar. Menurut Isjoni (2011:14) pembelajaran adalah sesuatu yang dilakukan oleh siswa, bukan dibuat untuk siswa. Pada dasarnya ,erupakan upaya pendidikan untuk membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar. Tujuan pembelajaran menurut Isjoni adalah terwujud efisien dan efektifitas kegiatan belajar yang dilakukan peserta didik. Menurut Kimbe dan Germeazy pembelajaran adalah suatu perubahan perilaku yang relativ tepat dan merupakan hasil praktik yang diulang-ulang (dalam Thobroni,2011:18). Pembelajaran memiliki makna peserta didik (subyek) harus aktif mencari, menemukan, menganalisa, merumuskan, memecahkan masalah, dan menyimpulkan suatu masalah. Hal tersebut harus dilakukan berulang-ulang oleh peserta didik, agar terjadi perubahan perilaku pada peserta didik tersebut. Kokom (2011:3) mendefinisikan pembelajaran sebagai suatu sistem atau proses membelajarkan subjek didik/pembelajar yang direncanakan atau didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis agar subjek didik/pembelajar dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif dan efesien. Proses yang dilakukan atau dialamai oleh peserta didik yang telah direncana agar peserta didik mengalami perubahan. 27 Atas pemikiran diatas, pemerintah RI telah merumuskan pengertian dari pembelajaran yang tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni pembelajaran adalah suatu proses interaksi peserta didik dengan pendidikan dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Dengan demikian, pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang memberikan kegiatan interaksi yang aktif dari peserta didik dan guru atau pendidik. Brown mencirikan karakteristik pembelajaran sebagai berikut (dalam Thombroni, 2011:18): 1) Belajar adalah menguasai atau memperoleh. 2) Belajar adalah mengingat-ingat informasi atau keterampilan. 3) Prores mengingat-ingat melibatkan sistem penyimpanan, memori, dan organisasi kognitif. 4) Belajar melibatkan perhatian aktif sadar dan bertindak menurut peristiwa-peristiwa di luar serta didalam organisme. 5) Belajar itu bersifat permanen, tetapi tunduk pada lupa. 6) Belajar melibatkan bentuk latihan, mungkin latihan yang ditopang dengan imbalan dan hukum. 7) Belajar adalah suatu perubahan perilaku. Ciri-ciri pembelajaran menurut Edi Suardi (dalam Basuki Wibowo,2012:9) meliputi: (1) pembelajaran memiliki tujuan yakni membentuk anak didik dalam suatu perkembangan tertentu. (2) ada suatu prosedur yang direncanakan, didesain untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. (3) kegiatan pembelajaran ditandai dengan suatu materi khusus. (4) ditandai dengan aktifitas anak didik. (5) dalam kegiatan pembelajaran, guru berperan sebagai pembimbing. (6) dalam kegiatan pembelajaran membutuhkan disiplin. (7) ada batas waktu. (8) evaluasi. Dengan demikian pembelajaran membutuhkan sebuah proses yang disadari yang cendrung bersifat permanen dan mengubah perilaku. Pada proses pembelajaran terjadi penyimpanan informasi yang kemudian di simpan di memori. Informasi tersebut diwujudkan secara praktis pada 28 keaktifan peserta didik dalam merespon dan beraksi terhadap peristiwaperistiwa yang terjadi di lingkungannya. Berkaitan dengan sejarah, Widjaya (dalam Basuki Wibowo,2012:10) menyatakan bahwa pembelajaran sejarah adalah perpaduan antara aktivitas belajar dan mengajar yang didalamnya mempelajari tentang peristiwa masa lampau yang erat kaitannya dengan masa kini. Selanjutnya Isjoni (2007:13) menyatakan bahwa: “Pembelajaran sejarah memiliki peran fundamental dalam kaitannya dengan guna atau tujuan dari belajar sejarah, melalui pembelajaran sejarah dapat juga dilakukan penilaian moral saat ini sebagai ukuran menilai masa lampau”. Sebagai sebuah sistem pembelajaran merupakan suatu rangkaian yang merupakan suatu kesatuan. Pada hakikatnya pembelajaran sebgai sistem merupakan suatu kesatuan berbagai unsur/elemen yang memiliki hubungan dan berinteraksi untuk mencapai tujuan sistem tersebut. Selama ini lebih dari lima dekade pengembangan kurikulum di Indoneisa sebelum diterapkannya kurikulum KTSP (yang sebelumnya merupakan kurikulum KBK) telah di dominasi oleh dua filosofi baik untuk kurikulum ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam yaitu berdasarkan pada filsafat Essensialisme dan Perenialisme. Essensialisme berarti tujuan pendidikan dan kurikulum harus diarahkan kepada "Pengembangan Intelek dan Keunggulan Akademik". Sedangkan Perenialisme juga memiliki arah yang sama yaitu untuk "Pengembangan Kekuatan Rasional dan Keunggulan akademik". Pendidikan harus mengembangkan kapitalis manusia dan ini berarti kurikulum ilmu-ilmu sosial harus mempertimbangkan semua jenis intelejensi. Hal ini berarti untuk dapat berkontribusi terhadap pengembangan kapitalis manusia, kurikulum ilmuilmu sosial harus memiliki orientasi dalam filosofi. (Hasan, 2009:2) Kesadaran dalam pembelajaran sejarah memerlukan partisipasi aktif, memecahkan masalah dan kerja sama. Guru berperan sebagai fasilitator dan pembimbing untuk mendorong berkembangnya how to learn pada diri 29 siswa. Beberapa indikator siswa yang memiliki kesadaran sejarah adalah tumbuhnya minat perhatian, rasa hayat sejarah dan kerjasama. Keseluruhan indikator tersebut tercermin adanya pembelajaran yang berpusat pada siswa. Peningkatan kesadaran sejarah siswa sebagai salah satu tujuan kurikulum KTSP adalah pandangan filosofis konstruktivisme. b. Komponen-komponen Pembelajaran Sejarah Didalam proses pembelajaran terdapat komponen-komponen yang menyusun suatu pembelajaran yaitu (1) tujuan, (2) bahan pembelajaran, (3) kegiatan pembelajaran, (4) metode, (5) media, (6) sumber penunjang, (7) evaluasi (Agung dan Wahyuni 2013:104). Tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran adalah membantu peserta didik agar memperoleh berbagai pengalaman dan dengan pengalaman itu, tingkah laku peserta didik bertambah. Tujuan pembelajaran mengacu pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Bahan pembelajaran mengacu pada sesuatu yang menajadi isi kurikulum. Kegiatan pembelajarn merupakan inti dalam pendidikan yang berlangsung didalam atau luar kelas. Metode merupakan cara yang digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Media merupakan alat yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk membantu menyampaikan informasi. Sumber penunjang belajar adalah bahan atau materi untuk menambah ilmu pengetahuan yang mengandung hal-hal baru bagi pelajar. Evaluasi merupakan kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur jenjang dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggung jawaban penyelenggara pendidikan. Sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran guru perlu mengembangkan perencanaan pembelajaran. Dalam kegiatan pembelajaran, pembuatan perencanaan atau desain pembelajaran berfungsi untuk memudahkan serta memberikan efektifitas dalam pembelajaran agar tujuan yang hendak dicapai bisa dengan mudah terlaksana. Seperti yang diutarakan oleh Sri Narwati (2012:33) perencanaan pembelajaran adalah 30 rencana yang menggambarkan prosedur dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu kompetensi dasar yang ditetapkan dalam standar isi dan dijabarkan dalam silabus. c. Tujuan Pembelajaran Sejarah Sejarah merupakan mata pelajaran yang menanamkan pengetahuan, sikap, dan nilai-nilai mengenai proses perubahan dan perkembaangan masyarakat Indonesia dan dunia dari masa lampau hingga masa kini. Sehingga pembelajaran sejarah memiliki tujuan tersendiri. Seperti yang di ungkapkan oleh Hasan (dalam Wibowo: 2012: 17) bahwa pendidikan sejarah dalam kurikulum pendidikan dasar haruslah mempersiapkan peserta didik untuk hidup di masyarakat. Oleh kerena itu posisi disiplin ilmu sejarah sebagai sumber materi untuk mengembangkan berbagai kemampuan yang diperlukan peserta didik. Daliman (2012:56) pengajaran sejarah disekolah bertujuan agar siswa memperoleh kemampuan berpikir histori dan pemahaman sejarah. Melalui pengajaran sejarah, siswa mampu mengembangakan kompetensi untuk berpola secara kronologis dan memiliki pengetahuan tentang masa lampau yang dapat digunakan utnuk memahami dan menjelaskan proses perkembangan dan perubahan masyarakat serta keragaman sosial budaya dalam rangka menemukan dan menumbuhkan jati diri bangsa di tengahtengah kehidupan masyarakat dunia. Pengajaran sejarah juga bertujuan agar siswa menyadari adanya keragaman pengalaman hidup pada masingmasing masyarakat dan adanya cara pandang yang berbeda. Peraturan Mendiknas No. 22 Tahun 2006 Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah (dalam Aman,2011:58) menyebutkan bahwa mata pelajaran sejarah secara rinci memiliki tujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1) Membangun kesadaran peserta didik tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan. 31 2) Melatih daya kritis peserta didik untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendidikan pada pendekatan ilmiah dan metodologi keilmuan. 3) Menumbuhkan apresiasi dan penghargaan peserta didik terhadap peninggalan sejarah sebagai bukti peradaban bangsa Indonesia dimasa lampau. 4) Menumbuhkan pemahaman peserta didik terhadap proses terbentuknya bangsa Indonesia melalui sejarah yang panjang dan masih berproses hingga masa kini dan masa yang akan datang. 5) Menumbuhkan kesadaran kesadaran dalam diri peserta didik sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki rasa bangga dan cinta tanah air yang dapat diimplementasikan dalam berbagai bidang kehidupan baik nasional maupun internasional. Barbagai tujuan yang telah dipaparkan kaitannya dengan tujuan mempelajari sejarah, bahwa pada dasarnya sejarah bertujuan untuk mengembangkan kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh peserta didik dengan mengacu pada pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau sehingga dalam diri peserta didik terwujud satu kesadaran sejarah. d. Pembelajaran Konstruktivisme Filsafat konstruktifisme mengatakan pengetahuan seseorang itu dikonstruksikan oleh siswa sendiri. Pengetahuan dapat diperoleh melalui atas kemauan individu, dan indinvidu sendirilah yang membentuk pengetahuannya. Selaras yang dikemukakan oleh Bruning (Schunk 2012:320) kostruktivsime adalah perspektif psikologis dan filosofis yang memandang bahwa masing-masing individu membentuk atau mebangun sebagian besar dari apa yang mereka pelajarai dan pahami. Dalam perkembangan ilmu, teori dari kostruktivisme ini dikonstruksikan oleh tokoh Pieget dan Vygotsky karena mereka adalah merupakan pondasi bagi para gerakan konstruktivis itu sendiri. Seiring 32 perkembangan zaman konstruktivis semakin banyak diaplikasikan dalam pembelajaran dan pengajaran. Schunk (2012:320) mengatakan teori pembelajaran memperlihatkan peralihan dari pengaruh lingkungan ke faktor manusia sebagai penjelasan bagi pembelajaran. Konstruktivisme yang digagaskan oleh Pieget lebih menekankan kepada kognitif anak. Kognitif akan terjadi apabila pengetahuan yang dimiliki oleh anak diolah melalui keadaan ketidakseimbangan dalam menerima atau memahami informasi baru. Hal tersebut diuraikan oleh Pieget dalam proses pengembangan teori konstruktivisme yaitu: 1). Skema, adalah konsep atau kerangka yang eksis di dalam pikiran individu yang dipakai untuk mengorganisasikan dan menginterprestasikan informasi (Santrock, 2010:46). Pieget lebih memfokuskan pada bagaimana anak mengorganisasikan dan memahami pengalaman mereka. 2) Asimilasi, yaitu memasukan pengetahuan baru kedalam pengetahuan yang telah ada atau struktur skema yang telah ada. 3) Akomodasi, yaitu menyesuaikan pengetahuan yang ada terhadap informasi baru. 4) Ekuilibrasi, yaitu untuk menjelaskan bagaimana individu bergerak dari satu tahap pemikiran terhadap pemikiran selanjutnya. Dalam hal ini, individu mengalami konflik kognitif (disekuilibrium), hingga individu dapat memecahkan konflik tersebut dan mendapatkan keseimbangan (ekulibrum). Piaget berasumsi disekuilibrium dan ekulibrum terjadi gesekan kuat saat asimilasi dan ekomodasi bekerjasama dan menghasilkan perubahan kognitif. Konstruktivisme yang dikembangkan oleh Vigotsky lebih menekankan pada interaksi lingkungan sosial yang menghasilkan perubahan pada individu (dalam Shunck, 2012:337). Vigotsky merumuskan poin pokok dalam kontruktivisme sosial sebagai berikut: 1) Interaksi sosial itu penting, pengetahuan dibangun di antara dua atau lebih individu. 33 2) Pengaturan diri dikembangkan melalui internalisasi dari tindakan dan operasi mental terjadi dalam interaksi sosial. 3) Perkembangan manusia terjadi melalui alat-alat cultural (bahasa, symbol-simbol) yang diterukan dari orang ke orang (transmisi alat-alat kulutal) 4) Bahasa adalah alat cultural yang penting. Pembelajaran sejarah mengarah kepada pemahaman dan pengetahuan peristiwa dimasa silam. Oakeshoot (Ankersmit 1987:81) mengatakan bahwa pengetahuan kita mengenai masa silam dibenarkan melalui bukti-bukti historis seperti dokumentasi, arsip, prasasti, dan sebagainya, dan bukti tersebut dapat ditunjukan dalam museum ataupun arsip. Dalam pembelajaran, peserta didik selain mendapatkan informasi yang diberian pengajar dapat juga langsung menuju tempat-tempat bersejarah ataupun kearsipan untuk memahami fakta sejarah tersebut melalui data maupun fakta. Pemahaman masa silam atau sejarah, bagi peserta didik dapat membangun sendiri pengetahuannya melalui lingkungan sekitar. Seperti menuju tempat-tempat bersejarah atau kantor kearsipan nasional atau daerah. Hal ini dapat membangun pengetahuan mereka dilapangan. Dengan kondisi tersebut peserta didik dapat mekonstruksikan dan mensinkronisasikan apa yang didapat dalam kelas dan di lapangan yang berdasarkan fakta sejarah dan data sejarah adalah sesuai dengan yang mereka ketahui.Proses pembelajaran sejarah, untuk memperoleh pengetahuan tampak jelas diperoleh dari sikap kritis siswa. Kemampuan berfikir kritis siswa dalam pembelajaran dikembangkan melalui metode PBL, dan penanaman nilai melalui pendekatan analisis nilai. 4. Kemampuan Berpikir Kritis a. Berpikir Kritis Berfikir kritis merupakan rangkaian proses berfikir. Menurut Ngalim Purwanto (2004:43), berpikir adalah suatu keaktifan pribadi 34 manusia yang mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan. Sedangkan menurut pendapat Bimo Walgito (2004:122) berpikir merupakan sebuah proses penguatan hubungan antara stimulus dan respon. Senada dengan itu menurut Ennis (1989: 54), berpikir kritis adalah cara berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan nalar yang difokuskan untuk menentukan apa yang harus diyakini dan dilakukan. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa berpikir merupakan suatu proses kerja otak dimana didalamnya menyangkut tentang suatu proses yang aktif dalam mencoba merumuskan dan mengarahkan sebuah informasi kepada tujuan tertentu sebagai bentuk respon dari informasi yang diterima sehingga menjadi suatu gambaran baru (ide) tentang apa yang akan dituju. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Ediasri T. Admodiwiryo (2001:47) bahwa berpikir sebagai pembentukan ide-ide terorganisir dari pengalaman-pengalaman seseorang dan pengorganisasian informasi-informasi kedalam bentuk yang khas. Berpikir kritis didefinisikan oleh The National Council for Excellence in Critical Thinking dalam Theodorus M. Tuanakotta (2011:8) sebagai berikut : “Critical thinking is the intellectualy disciplined process of actively and skillfully conceptualizing, applying,analyzing, sinthesizing, and/or evaluating information gathered from, or generated by, observation, experience, reflection, reasoning, or communication, as a giude to belief and action.” Dalam pengertiannya bahwa berpikir kritis merupakan suatu proses disiplin berpikir yang bersumber pada aktivitas dan kemampuan mengkonsep, mengaplikasi, menganalisis, sintesis, dan mengevaluasi informasi yang diperoleh dengan melakukan pengamatan, refleksi, ataupun komunikasi serta tindakan. Beberapa defenisi berpikir kritis menurut para ilmuan yang dikutip oleh Alec Fisher (2008:2-4) antara lain : a. Menurut John Dewey, berpikir kritis merupakan suatu bentuk berpikir reflektif yang memuat suatu pertimbangan yang aktif, 35 persistent (terus menerus), dan teliti mengenai sebuah keyakinan atau bentuk pengetahuan yang diterima begitu saja dipandang dari sudut alasan-alasan yang mendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang menjadi kecenderungannya. b. Gleser, mendefinisikan berpikir kritis sebagai (1) suatu sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah dan hal-hal yang berada dalam jangkauan pengalaman seseorang; (2) pengetahuan tentang metode-metode pemeriksaan dan penalaran yang logis; dan (3) semacam suatu keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut. c. Menurut Richard Paul, berpikir kritis adalah metode berpikir, mengenai hal, substansi atau masalah apa saja, dimana si pemikir meningkatkan kualitas pemikirannya dengan menangani secara terampil struktur-struktur yang melekat dalam pemikiran dan menerapkan standar-standar intelektual padanya. Selain itu berikut defenisi dari berpikir menurut para ahli psikologi yang dikutip oleh Ngalim Purwanto (2004:44) yaitu : a. Psikologi Asosiasi mengemukakan bahwa berpikir itu tidak lain daripada jalannya tanggapan yang dikuasai. b. Aliran Behaviorisme berpendapat bahwa berpikir adalah gerakangerakan reaksi yang dilakukan oleh urat syaraf dan otot-otot bicara seperti halnya kita mengucapkan buah pikiran. c. Psikologi Gestalt memandang bahwa berpikir merupakan keaktifan psikis yang abstrak yang prosesnya tidak dapat kita amati dengan otak indra kita. Dalam banyak hal, kegiatan berpikir merupakan suatu bentuk prose memecahkan sebuah masalah lewat informasi yang diterima. Pemecahan masalah tersebut merupakan sebuah proses kerja otak kedalam suatu bentuk pencapaian pemahaman yang baru sebagai jawaban dari permasalahan yang ingin dicerna dan disempurnakan dalam hubungannya dengan peningkatan dan pembangunan pengetahuan (kognitif). 36 Edward Glaser (1941:5) mendefenisikan berpikir kritis sebagai suatu sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah dan hal-hal yang berada dalam jangkauan seseorang, pengetahuan tentang metode-metode pemeriksaan dan penalaran logis, dan semacam suatu keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut. . Defenisi lebih lanjut mengenai berpikir kritis adalah diungkapkan oleh Elaine B. Johnson (2011:185) sebagai berikut : a. Berpikir kritis adalah sebuah proses sistematis yang memungkinkan peserta didik untuk merumuskan dan mengevaluasi keyakinan dan pendapat peserta didik sendiri. b. Berpikir kritis adalah sebuah proses terorganisasi yang memungkinkan peserta didik mengevaluasi bukti, asumsi, logika, dan bahasa yang mendasari orang lain. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat didefenisikan berpikir kritis adalah suatu proses berpikir secara sestematis dan terorganisir dengan maksud untuk mencapai pemahaman yang mendalam, dengan mengunkapkan ide-ide dibalik suatu kejadian, sehingga kejadian tersebut memberikan pemahaman dalam mengungkapkan makna dari kejadian tersebut. Dalam berpikir kritis maka individu akan memunculkan potensi yang terpendam dari dalam pikirannya. Tentunya dalam memunculkan potensi terpendam tersebut, perlu adanya langkah-langkah yang harus diperhatikan. Fee-Alexandra Haase (dalam jurnal Nómadas. Revista Crítica de Ciencias Sosiales Juridicas tahun 2010) menyebutkan ; Critical Thinking is the intellectually disciplined process of using information in a process of observation, experience, reflection, or reasoning using the following strategies: (1) Conceptualising information, (2) Applying information (3) Analysing information (4)) Synthesizing information (5)) Evaluating information (Berpikir kritis adalah proses disiplin intelektual yang menggunakan informasi dalam proses pengamatan, pengalaman, refleksi, atau penalaran dengan menggunakan strategi berikut: (1) Konseptualisasi 37 informasi, (2) Menerapkan informasi, (3) Menganalisis informasi, (4) Sintesis informasi, dan (5) Mengevaluasi informasi. Selanjutnya Ennis (1995: 55-56), mengidentifikasi 12 indikator berpikir kritis, yang dikelompokkannya dalam lima besar aktivitas sebagai berikut: a. Memberikan penjelasan sederhana, yang berisi: memfokuskan pertanyaan, menganalisis pertanyaan dan bertanya, serta menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan atau pernyataan. b. Membangun keterampilan dasar, yang terdiri atas mempertimbangkan sumber dapat dipercaya atau tidak dan mengamati serta mendeduksi atau mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi. c. Menyimpulkan, yang terdiri atas kegiatan mempertimbangkan hasil deduksi, meninduksi atau mempertimbangkan hasil induksi, dan membuat serta menentukan nilai pertimbangan. d. Memberikan penjelasan lanjut, yang terdiri atas mengidentifikasi istilah-istilah dan definisi pertimbangan dan juga dimensi, serta mengidentifikasi asumsi. e. Mengatur strategi dan teknik, yang terdiri atas menentukan tindakan dan berinteraksi dengan orang lain. Selain itu, terdapat juga langkah-langkah dalam berpikir kritis. ( Elanie B. Johnson 2011: 190-201) a. Subjek yang ingin diteliti harus dijelaskan dengan setepat-tepatnya, hal ini dapat berupa pencarian mengenai isu, masalah, keputusan, atau kegiatan yang sedang dipertimbangkan. b. Memahami sudut pandang yang digunakan dengan melakukan pertimbangan-pertimbangan untuk meningkatkan pengetahuan dan mendapatkan pemahaman. c. Mengindentifikasi alasan dari sebuah informasi (kejadian) yang diterima (dihadapi). Alasan yang bagus didasarkan pada informasi yang dapat dipercaya dan relevan dengan kesimpulan yang ditarik sebelumnya. 38 d. Menganalisis asumsi ataupun ide-ide dari sebuah informasi, dengan tidak mudah menerima asumsi tersebut. e. Dalam memahami dan mencari makna dari sebuah informasi, perlu memperhatikan kata-kata yang digunakan. f. Menilai secara akurat bukti-bukti yang digunakan sebagai alasan dalam menyampaikan informasi. g. Melihat kesimpulan yang ditawarkan dari sebuah informasi. Dimana individu yang berpikir kritis harus membuat sebuah keputusan cerdas setelah mempertimbangkan kekuatan sebuah argumen. h. Mempertimbangkan implikasi dari kesimpulan yang telah diambil. Kedelapan langkah yang telah diuraikan diatas jika benar-benar dilakukan akan membuat peserta didik mengenai hampir semua pencapaiannya, peserta didik subjek atau dapat berpikir dengan baik situasi, sehingga dalam dapat lebih memahami informasi yang disampaikan dari pada sekedar mengetahui atau mengingatnya. Dengan demikian bahwa berpikir kritis merupakan aktivitas mental sistematis yang dilakukan oleh orang-orang dengan pikiran terbuka untuk memperluas pemahaman peserta didik. Dalam berpikir kritis maka individu sebagai pemikir kritis meneliti dengan cermat proses berpikir peserta didik dari apa yang menjadi informasi yang peserta didik terima untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam dan sebaik-baiknya. Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis adalah berpikir rasional tentang sesuatu. Kemudian mengumpulkan informasi sebanyak mungkin tentang sesuatu tersebut sebelum mengambil suatu keputusan atau melakukan suatu tindakan. b. Kemampuan Berpikir Kritis Sejarah Sebagian besar orang tua dan pendidik setuju bahwa dalam masyarakat modern saat ini, anak-anak harus menguasai keterampilan berpikir dalam tingkatan yang lebih tinggi. Menurut Browne dan Keeley 39 dalam Elanie B. Johnson (2011:183) kemampuan berpikir dengan jelas dan imajinatif, menilai bukti, bermain logika, dan mencari alternatif dari ide-ide konvensional, akan memberi anak-anak muda dalam sebuah rute yang jelas ditengah carut marut pemikiran pada zaman teknologi saat ini. Angelo (1995:6) menyebutkan bahwa berpikir kritis harus memenuhi karakteristik yang meliputi analisis, sintesis, pengenalan masalah dan pemecahannya, kesimpulan dan penilaian. Kemampuan berpikir kritis merupakan suatu proses dimana individu sanggup dan memiliki kecakapan dalam berpikir ketingkat yang lebih tinggi. kemampuan berpikir kritis tentunya menjadi bagian terpenting sebagai dasar untuk memecahkan setiap permasalahan lewat informasi yang diterima. Dalam proses pembelajaran, khususnya pembelajaran sejarah, kemampuan berpikir kritis menjadi suatu hal yang tidak dapat dipisahkan, hal ini dikarenakan pemebelajaran sejarah merupakan suatu pembelajaran yang mencoba menggali dampak dari sebuah peristiwa sejarah berdasarkan hubungan kausalnya (sebab akibat). Mengutip pendapat Fernand Braudel (Lechte, 2001) memahami sejarah dari sudut waktu. Menurutnya dalam memahami sejarah ada tiga kerangka waktu yakni event history (short term/jangka pendek), conjucture (mid term/jangka menengah) dan longue duree (long term/jangka panjang). Selain itu sejarah juga dikaji dari sudut ruang yang tidak bisa diabaikan. Dari pemikiran Fernand Braudel ini, dalam pembelajaran sejarah harus memahami adanya perubahan dalam konsep waktu dan harus disadari oleh siswa tingkat SMA yang tentunya sudah memiliki kemampuan berpikir kritis dalam memahami setiap peristiwa sejarah secara kronologis dan mampu menganalisis sebab-akibat peritiwa sejarah tersebut. Tidak luput juga untuk memperhatikan perkembangan kekinian yang semakin global di dalam pembelajaran sejarah, sehingga bisa menjadi wahana dalam pengembangan kemampuan intelektual dan kebanggaan masa lampau serta merupakan upaya memperbaiki kehidupan masyarakat dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya. 40 Menurut Hisyam Zaini (2008:145) tujuan pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis diantaranya : a. Mengembangkan kecakapan menganalisis. b. Mengembangkan kemampuan yang masuk akal dari pengamatan. c. Memperbaiki kecakapan menghafal. d. Mengembangkan kecakapan, strategi, dan kebiasaan belajar. e. Belajar terma-terma/istilah/fakta-fakta. f. Belajar konsep-konsep dan teori-teori. g. Meningkatkan kecakapan mengurangi elemen-elemen yang ada dalam terma-terma dan fakta-fakta ilmu pengetahuan. h. Meningkatkan kecakapan menjabarkan unsur-unsur yang ada dalam sebuah teori ilmu pengetahuan. Seperti yang dikutip oleh Muhibin Syah (2005:120) dalam berpikir kritis, peserta didik dituntut menggunakan strategi kognitif tertentu yang tepat untuk menguji kendala, gagasan pemecahan masalah, dan mengatasi kesalahan atau kekurangan. Tentu saja dengan kemampuan dalam menggunakan strategi berpikir secara kritis, segala bentuk gagasan yang dikeluarkan setelah melalu proses berpikir akan terasa sangat memuaskan dan terorganisir. Dengan demikian maka kemampuan berpikir kritis dijadikan sebagai dasar karena didalamnya merupakan suatu bentuk kesanggupan dan kejelihan dalam menentukan gagasan lewat cara pandang dalam berpikir yang menghasilkan sebuah pemahaman yang baru dan menarik khusunya dalam mengolah informasi yang diterima menuju kearah kesempurnaan. Menurut Ennis dalam Costa (1985:55) indikator kemampuan berpikir kritis kritis dapat diturunkan dari aktivitas kritis peserta didik meliputi : a. Mencari pernyataan yang jelas dari pertanyaan.,b. Mencari alasan, c. Berusaha mengetahui informasi dengan baik, d. Memaknai sumber yang memiliki kredibilitas dan menyebutnya, e. Memerhatikan situasi dan kondisi secara keseluruhan, f. Berusaha tetap relevan dengan ide utama, g. Mengingat kepentingan yang asli dan mendasar, h. Mencari alternative, i. Bersikap dan berpikir terbuka, j. Mengambil posisi ketika ada bukti yang cukup untuk 41 melakukan sesuatu, k. Mencari penjelasan sebanyak mungkin, l. Bersikap secara sistematis dan teratur dengan bagian dari keseluruhan masalah. Dengan melihat bagian-bagian yang menjadi indikator dalam berpikir kritis, tentunya kemampuan dalam berpikir kritis peserta didik merupakan suatu bentuk pencapaian hasil pembelajaran yang sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dalam teori konstruktivisme. Membangun pengetahuan kognitif peserta merupakan konsekuensi dari pada sebuah kemampuan berpikir kritis. Dengan kemampuan dalam berpikir ketingkat yang lebih tinggi (kritis) tentu saja secara simultan akan semakin meningkatkan daya pikir dan mengubah serta memgkonstruk pengetahuan peserta didik tersebut yang tentunya kearah pemikiran yang memiliki banyak sudut pandang. Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik sebuah Indikator kemampuan berpikir kritis secara keseluruhan yang dipakai dalam penelitian ini untuk melihat kemampuan berpikir kritis peserta didik adalah : 1) Keterampilan Menganalisis Keterampilan menganalisis menguraikan sebuah struktur ke merupakan dalam suatu keterampilan komponen-komponen agar mengetahui pengorganisasian struktur tersebut. Dalam keterampilan ini terkandung tujuan untuk memahami sebuah konsep dengan cara menguraikan atau merinci globalitas tersebut ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil dan terujperinci. 2). Keterampilan Mensintesis Keterampilam mensintesis merupakan ketrampilan yang berlawanan dengan keterampilan menganalisis. Keterampilan mensintesis adalah keterampilan menggabungkan bagian-bagian menjadi sebuah bentukan atau susunan yang baru. 3). Keterampilan Mengenal dan Memecahkan Masalah Keterampilan ini merupakan katerampilan aplikatif konsep kepada beberapa pengertian. Keterampilan ini menuntut pembaca untuk memahami bacaan dengan kritis sehingga setelah selesai kegiatan membaca mampu 42 menangkap beberapa pokok pikiran bacaan, sehingga mampu mempola sebuah konsep. 4). Keterampilan Menyimpulkan Keterampilan menyimpulkan adalah kegiatan akal pikiran manusia berdaarkan pengertian/pengetahuan (kebenaran) yang dimilikinya, dapat beranjak mencapai pengertian (kebenaran) yang baru yang lain. 5). Keterampilan Mengevaluasi atau Menilai Keterampilan ini menuntut pemikiran yang matang dalam menentukan nilai sesuatu dengan berbagai kriteria yang ada. 5. Pendidikan Nilai a. Pengertian Nilai Suatu nilai selalu dihadapi oleh manusia dalam hidup sehari-hari. Setiap kali mereka hendak melakukan sesuatu pekerjaan, maka harus menentukan pilihan di antara sekian banyak kemungkinan dan harus memilih. Nilai akan menjalankan fungsinya dalam memilih tersebut. Untuk menghukum atau memilih tindakan atau tujuan tertentu nilai menjadi ukuran karena nilai tidak terletak pada barang atau peristiwa, tetapi manusia yang dapat memasukkan nilai ke dalamnya sehingga barang atau peristiwa itu memiliki sebuah nilai. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan suatu hal itu disukai, diinginkan, dikejar, dihargai, berguna dan dapat membuat orang yang menghayatinya menjadi bermartabat (Adisusilo.2014:56). Riqi Yuliati mendefinisikan nilai sebagai segala hal yang berhubungan dengan tingkah laku manusia mengenai baik dan buruk diukur oleh agama, tradisi, etika, moral dan kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat.(2014:15). Hill dalam Adisusilo (2013:60) berpendapat bahwa nilai sebagai acuan tingkah laku hidup, mempunyai tiga tahapan, yaitu : 1. Values thinking, yaitu nilai-nilai pada tahapan dipikirkan atau values cognitive 43 2. Values affective, yaitu nilai-nilai yang menjadi keyakinan atau niat pada diri orang untuk melakukan sesuatu, pada tahap ini dapat dirinci lagi menjadi ‘dispotition’ dan ‘commitments’. 3. Tahap terakhir adalah values actions, yaitu tahap dimana nilai telah menjadi keyakinan dan menjadi niat yang kuat (komitmen kuat) diwujudkan menjadi suatu tindakan nyata atau perbuatan konkret. b. Pendidikan Nilai Pendidikan nilai merupakan salah satu instrument penting dalam sebuah pembelajaran untuk mengarahkan siswa kepada susuatu yang baik. Zeim Mubarok mendefinisikan pendidikan nilai adalah suatu proses dimana seseorang menemukan maknanya sebagai pribadi pada saat dimana nilai-nilai tertentu memberikan arti pada jalan hidupnya. Lebih jelasnya menegaskan bahwa proses tersebut menyangkut “perjalanan menuju diri sendiri”, menyentuh bagian-bagian terdalam diri manusia, seperti daya refleksi, intropeksi, analisa dan kemampuan menemukan diri sendiri dan betapa besar harga dirinya.(2009:23). Dalam Riqi Yuliati & Rusdiana (2014:61-62) menjelaskan pengertian pendidikan nilai menurut beberapa tokoh, yaitu : 1. Menurut Winecoff (1987), pendidikan nilai berhubungan dengan tiga dimensi yaitu identification of a core personel and sosial values, philosopy and rational inquiry into the core, and decision making related to the core based on inquiry and respone. 2. Dahlan (2007), pendidikan nilai sebagai suatu proses kegiatan yang dilaksanakan secara sistematis untuk melahirkan manusia yang memiliki komitmen kognitif, komitmen afektif dan komitmen pribadi yang berlandaskan nilai-nilai agama. 3. Soelaeman (1987), pendidikan nilai adalah bentuk kegiatan pengembangan ekpresi nilai-nilai yang ada melalui proses sistematis dan kritis sehingga mereka dapat meningkatkan atau memperbaiki kualitas kognitif dan afektif peserta didik. 44 4. Hasan (1996), pendidikan nilai merupakan suatu konsep pendidikan yang memiliki konsep umum, atribut fakta dan data ketrampilan antara suatu atribut dan atribut lainya serta memiliki label (nama diri) yang dikembangkan berdasarkan prinsip pemahaman, penghargaan, identifikasi diri, penerapan dalam perilaku,pembentukan wawasan, dan kebiasaan terhadap nilai dan moral. 5. Sumantri (1993), memahami pendidikan niali merupakan aktivitas pendidikan yang penting bagi orang dewasa dan remaja, baik di dalam sekolah maupun diluar sekolah karena “penentuan nilai” merupakan aktivitas penting yang harus dipikirkan dengan cermat dan mendalam. Oleh karena itu, hal ini merupakan tugas pendidikan (masyarakat didik) untuk berupaya meningkatkan nilai moral individu dan masyarakat. Adisusilo menjabarkan rumusan Frankea tentang tujuan pendidikan nilai sebagai berikut : 1. Membantu peserta didik untuk mengembangkan tingkah laku yang secara moral baik dan benar. 2. Membantu peserta didik untuk meningkatkan kemampuan refleksi secara otonom, dapat mengendalikan diri, dapat meningkatkan kebebasan mental spiritual dan mampu mengkritisi prinsip-prinsip atau aturan-aturan yang sedang berlaku. 3. Membantu peserta didik untuk menginternalisasikan nilai-nilai moral, norma-norma dalam rangka menghadapi kehidupan konkretnya. 4. Membantu peserta didik untuk mengadopsi prinsip-prinsip universalfundamental, nilai-nilai kehidupan sebagai pijakan untuk pertimbangan moral dalam menentukan keputusan. 5. Membantu peserta didik untuk mampu membuat keputusan yang benar, bermoral dan bijaksana. Dari pengertian para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian dan tujuan dari pendidikan nilai sejalan, yaitu untuk menciptakan manusia yang bijaksana, manusia yang sebenarnya manusia 45 dan mampu menerima dan bertindak sesuai dengan nilai –nilai kebenaran. Dalam penelitian ini pendidikan nilai yang ditanamkan kepada peserta didik bersumber dari nilai-nilai yang terkandung di dalam serat wicara keras yang syarat dengan nilai luhur. c. Pendekatan Analisis Nilai (Values Analysis Approach) Secara umum, pendekatan dalam sebuah pembelajaran dilihat dari segi proses dibagi menjadi dua, yaitu; pendekatan yang berorientasi kepada guru/lembaga pendidikan (traditionat teacher/institution centered approach) dan pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada peserta didik (student centered approach) (Rianto,2006:11). Nurul Zuriah (2007:65) menjelaskan bahwa pendekatan analisis nilai ini menekankan agar peserta didik dapat menggunakan kemampuan berpikir logis dan ilmiyah dalam menganalisis masalah sosial yang berhubungan dengan nilai tertentu. Selain itu peserta didik dalam menghubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai mereka sendiri. Cara yang dapat digunakan dalam pendekatan ini, antara lain diskusi terarah yang menuntut argumentasi, penegasan bukti , penegasan prinsip, analisi terhadap kasus, debat, dan penelitian. Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) merupakan pendekatan yang memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya adalah bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Dan adapun pendekatan perkembangan kognitif memberikan penekanan pada dilemma moral yang bersifat perseorang (Zaim Mubarok 2008:68 ). Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan peserta didik untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai- nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah 46 satu perbedaan diantara keduanya adalah pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilema moral yang bersifat perseorangan (Dalmeri,2014:279). Metode yang paling sering digunakan dalam pendekatan analisis untuk menilai sebuah tindakan adalah metode belajar kelompok berdasarkan masalah dan isu-isu nilai sosial, studi kepustakaan dan penelitian lapangan, dan diskusi kelas rasional. Tahapan operasi intelektual yang sering digunakan dalam analisis nilai meliputi menyatakan masalah, mempertanyakan dan menguatkan dalam relevansi laporan, menerapkan kasus yang sama untuk memenuhi syarat dan memperbaiki posisi nilai, menunjukkan inkonsistensi logis dan empiris dalam argumen, dan pengujian bukti(Douglas P. Superka, dkk,1976:55-56). Namun demikian, sebagai sebuah pendekatan dari proses pendidikan, pendekatan analisis nilai memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan tersebut antara lain: ( Teuku Ramli Zakaria, 2000: 479-495) a. Kelebihan Pendekatan Analisis Nilai 1. Mudah diaplikasikan dalam ruang kelas, karena penekanannya pada pengembangan kemampuan kognitif. 2. Pendekatan ini menawarkan langkah-langkah yang sistematis dalam pelaksanaan proses pembelajaran moral. b. Kekurangan Pendekatan Analisis Nilai 1. Menurut Superka, dkk. (1976), pendekatan ini sangat menekankan aspek kognitif,dan sebaliknya mengabaikan aspek afektif serta perilaku. 2. Menurut Ryan dan Lickona (1987), pendekatan ini sama dengan pendekatan perkembangan kognitif dan pendekatan klarifikasi nilai, sangat berat memberi penekanan pada proses, kurang mementingkan isi nilai. 47 Zaim Elmubarok (2009:68) menjalaskan enam langkah analisis nilai yang penting dan perlu diperhatikan dalam proses pendidikan nilai yaitu :. Tabel 2.2. Langkah-langkah VAA Tahap Langkah analisis nilai Tugas penyelesaian masalah 1. Tahap 1.2. Mengidentifikasi dan menjelaskan nilai yang terkait 3. Tahap 2 4. Mengumpulkan fakta yang berhubungan 5. Tahap 3 6. Menguji kebenaran fakta yang berkaitan 7. Tahap 4 8. Menjelaskan kaitan antara fakta yang bersangkutan Mengurangi perbedaan penafsiran tentang nilai yang terkait 9. Tahap 5 10. Merumuskan keputusan moral sementara 11. Tahap 6 12. Menguji prinsip moral yang digunakan dalam mengambil keputusan Mengurangi perbedaan dalam fakta yang berhubungan Mengurangi perbedaan kebenaran tentang fakta yang berkaitan Mengurangi perbedaan tentang kaitan antara fakta yang bersangkutan Mengurangi perbedaan dalam rumusan keputusan sementara Mengurangi perbedaan dalam pengujian prinsip moral yang diterima Dalam penelitian ini pendekatan analisis nilai atau values analysis approach (VAA) dipilih peneliti untuk menanam nilai kepada peserta didik dengan cara menganalisis nilai-nilai yang terkandung dalam permasalahan sosial politik yang disajikan peneliti dalam pendekatan pembelajaran dengan menyesuaikan dengan nilai-nilai yang terkandung dalm serat wicara keras sebagai basis pengembangan model. 48 6. Nilai-Nilai Serat Wicara Keras (SWK) a. Serat Wicara Keras Naskah Serat Wicara Keras (SWK) berupa manuskrip yang ditulis oleh Yosodipuro II dengan bahasa dan aksara. SWK ditulis dalam bentuk puisi tradisional Jawa (tembang). Tembang yang dipakai dalam naskhah SWK ialah tembang cilik atau tembang Macapat. Naskhah ini ditulis sesudah tahun 1789 dan selesai pada tahun 1816 di Surakarta. Terdapat lapan varian naskhah SWK di musium Sanabudaya. SWK pada naskhah C ditulis dalam sebelas pupuh atau tembang (Poerwadarminta, 1938: 503). Pupuh-pupuh tersebut iaitu Asmaradana, Sinom, Dhandhanggula, Gambuh, Kinanthi, Megatruh, Pangkur, Dhandhanggula, Kinanthi, Gambuh, dan Sinom. SWK merupakan bentuk kritikan yang disampaikan karena kondisi sosial politik Surakarta saat itu. Karya ini merupakan luahan kemarahan Yosodipuro II terhadap keadaan sosial politik Surakarta pada waktu itu. Namun aspek-aspek estetis karya sastra tidak dilupakan. (Venny:2010:183). Serat Wicara Keras (SWK) ini ditulis pada hari kamis wage, 6 Jumadil Awal, mangsa 10, tahun 1747 (antara 26 Maret-19 April 1819). Selain itu, Serat Wicara Keras memang lebih besifat Piwulang, tetapi juga merupakan sebuah kritik sosial tajam yang dilontarkan oleh Yasadipura II. Oleh karena itu, Serat ini memiliki nilai cipta yang tinggi sebagai sumber sejarah untuk menggambarkan kondisi dan sikap sosial politik yang terjadi pada saat itu. (http://neoroby.blogspot.co.id/2007/04/raden-ngabehi-yasadipura-ii.html diakses januari 2016 pukul 10.00) Serat Wicara Keras ini dapat diartikan sebagai bicara “blak-blakan” atau bicara apa adanya. Bait pertama dalam karyanya ini tampaknya menunjukan sebuah keputusan sekaligus suatu jalan terbaik untuk mengungkapkan ganjalan batin dan pujangga melihat realitas sosial-politik mesyarakat Surakarta yang sedang “sakit” saat itu, dan agar “setan-setan” 49 pembawa penyakit itu pun lari terbirit-birit. Hal tersebut tertuang di dalam bait pertama karyanya tersebut, yang berbunyi : “Watake wicara Kerar, sumuke pengucap wengis, iku nangekasake napas, setane nuli kekinthil yen njur ririh manis, nora tangi napasipun, ayem sarta santosa, setane lumayu ngenthir, pan wus kocap wong sabar ngunjara setan”. Artinya : “Hati yang panas mengucapkan kata-kata kasar, cara demikian membangkitkan rasa, dapat menundhukkan setan, bila lemah lembut, tidak akan membangkitkan rasa, dan tenang-tenang serta gembira, jika berbicara keras setan akan terbirit-birit, bukankah telah diketahui orang sabar memenjara setan”. Penggunaan berbagai jenis tembang Macapat pada Serat WK membuat serat ini terkesan lebih variatif dan tidak membosankan. Setiap pupuh memuat satu pokok pemikiran yang berbeda dengan pupuh yang lain. Untuk mengarang suatu tembang, diperlukan pengetahuan yang mendalam mengenai bahasa, sastra, dan budaya Jawa. Karena untuk menulis tembang seorang pengarang harus mentaati aturan-aturan tembang Macapat yang akan ditulis, iaitu aturan mengenai guru lagu, guru wilangan, dan guru gatra.Guru wilangan ialah jumlah suku kata yang ada dalam satu baris tembang. Guru lagu atau sering disebut dhong-dhing ialah aturan mengenai vokal di akhir baris. Sedangkan guru gatra ialah jumlah baris dalam suatu rangkap tembang. Tembang macapat atau tembang cilik menurut Padmosoekatjo (1953: 12) terdiri daripada Kinanthi, Pucung, Asmaradana, Mijil, Maskumambang, Pangkur, Sinom, Dhandhanggula, dan Durma. Masing-masing tembang tersebut mempunyai konvensi atau aturan yang berbeda. Adapun konvensi guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu daripada sesetiap tembang adalah sebagai berikut. 1)Kinanthi 2)Pucung 3)Asmaradana 4)Mijil 5)Maskumambang 6)Pangkur 7)Sinom 8)Dhandhanggula : 8u, 8i, 8a, 8i, 8a, 8i (guru gatra = 6) : 12u, 6a, 8i, 12a (guru gatra = 4) : 8i, 8a, 8e(o), 8a, 7a, 8u, 8a (guru gatra = 7) : 10i, 6o, 10e, 10i, 6i, 6u (guru gatra = 6) : 12i, 6a, 8i, 8a (guru gatra = 4) : 8a, 11i, 8u, 7a, 12u, 8a, 8i (guru gatra = 7) : 8a, 8i, 8a, 8i, 7i, 8u, 7a, 8i, 12a (guru gatra = 9) : 10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a gatra = 10) 50 9)Durma : 12a, 7i, 6a, 7a, 8i, 5a, 7i (guru gatra = 7) Adanya aturan-aturan penulisan tembang, menyebabkan seorang penulis tembang mesti mampu memilih kosakata yang sesuai dan tidak menyimpang daripada konvensi tembang yang berlaku. Hal ini merupakan sesuatu yang sukar. Terkadang suatu kata tidak boleh dipakai kerana penggunaannya tidak sesuai dengan hitungan guru wilangan ataupun guru lagu. Oleh itu penulis mesti kaya akan kosakata yang boleh mengganti kosakata yang tidak sesuai dengan konvensi. Kosakata pengganti tersebut juga tidak boleh menyimpang daripada makna yang dijangka. Selain penggunaan aturan di atas, penulis juga mesti menggunakan rasa dan mindanya dalam mengolah bahasa. Penggunaan bahasa indah atau bahasa sastera serta bahasa Kawi disarankan dalam penulisan tembang untuk menambah unsur keindahan. Selain mempunyai aturan-aturan tembang, setiap jenis tembang Macapat juga mempunyai sifat tersendiri. Biasanya watak inilah yang mempengaruhi dipergunakan atau tidaknya suatu tembang dalam acara tertentu. Padmosoekotjo (1953: 13) mengemukakan watak masing-masing tembang Macapat ialah sebagai berikut. 1) Kinanthi mempunyai watak gembira, senang, cinta kasih. Tembang ini biasanya digunakan untuk menyampaikan piwulang ‘ajaran’ dan cerita cinta. 2) Pocung berwatak kendho ‘longgar’, gregeten, ‘menggemaskan’. Tembang ini biasanya digunakan untuk menyampaikan sesuatu yang lucu dan sesuka hati. 3) Asmaradana mempunyai watak sedih kerana cinta, biasanya digunakan dalam cerita cinta. 4) Mijil berwatak himbauan, cocok digunakan untuk menyampaikan nasihat. 5) Maskumambang berwatak perasaan sedih dan memilukan. nelangsa ‘memilukan’. Melukiskan 51 6) Pangkur berwatak sereng, ‘keras’. Digunakan untuk menceritakan sesuatu yang keras dan cinta yang menyala-nyala. 7) Sinom berwatak grapyak ‘ramah’, renyah, ‘lincah’. Cocok untuk nasihat dan pengajaran. 8) Dhandhanggula berwatak luwes ‘fleksibel’. Cocok untuk menyampaikan berbagai-bagai hal. Juga dapat digunakan dalam suasana apapun. 9) Durma berwatak keras, marah. Tembang ini biasanya digunakan untuk menyampaikan suasana marah dan cerita perang. b. Nilai-nilai dalam SWK sebagai basis model pembelajaran sejarah Secara umum serat wicara keras berisi kritikan yang disampaikan pujangga terhadap penguasa. Dari bentuk kritik tersebut penulis mencoba mereduksi nilai-nilai apa saja yang terkandung didalamnya, Nilai-nilai karakter dalm Serat Wicara Keras antara lain yaitu : 1. Sikap kritis tercermin dari isi SWK yang berisi kritikan keras yang disampaikan oleh pujangga keraton saat itu yaitu Yosodipuro II terhadap penguasa. Sikap kritis pujangga muncul karena melihat kenyataan sosial dari para pemimpin-pemimpin saat itu yang sudah mulai menyimpang dari tatanan yang seharusnya dan mengesampingkan kepentingan rakyat. Seperti yang termuat salah satunya dalam pupuh Sinom bait 7 yang berbunyi “sanadyan ora wania | ngarêpan garundêl buri | iku wong watak niaya | nora ngeman kaki nini | wong tuwa kang wus mati | katut tinunjang pêpisuh | mêmule pêndhak Ruwah | ilang bae tanpa kardi | nak putune ting balengkrah nora kaprah ||”. Artinya :: walaupun tidak berani | di depan bergumam di belakang | itu watak jelek | tidak sayang kakek nenek | orang tua yang sudah mati | terbawa terkena umpatan | mengeluh tiap bulan Ruwah | hilang saja tanpa membuat | anak cucunya pada tercecer tidak karuan || 2. Nilai kepedulian sosial tercermin dari rasa kepedulian yang dimiliki oleh pujangga Yosodipuro II saat beliau menyampaikan kritikan dalam serat tersebut. Sebagai seorang pujangga keraton kehidupanya dapat 52 dikatakan cukup terjamin. Namun melihat kondisi sosial masyarakat saat itu dibawah kepemimpinan yang tidak cakap muncul rasa kepedulianya terhadap sesama yang ditunjukanya dalam bentuk kritikan ini. Salah satunya seperti tersirat dalam pupuh Sinom bait 22 : “kaya alam wiradigda | lali kalamun wong cilik | kudu angowahi adat | ambubrah janji wus dadi | amêmpêng kudu jurit | sêsumbare bisa mabur | saguh lamun malumpat | bêngawane wong Sêmanggi | kabèh obat ing loji pan dadya toya || Artinya : seperti alam yang kuat | lupa jika orang kecil | harus mengubah adat | merombak janji yang sudah jadi | bersungguh-sungguh harus bertarung | kesombongannya seolah bisa terbang | sanggup jika melompat | sungai orang Sêmanggi | semua obat di loji akan menjadi air || 3. Nilai kepemimpinan, dalam SWK ini objek kritiknya adalah para penguasa saat itu. Dalam kritikan tersebut disampaikan akan perilaku yang ditunjukan oleh para pemimpin yang menyimpang dan tidak mencerminkan keteladanan sebagai seorang pemimpin yang mengayomi dan mensejahterakan rakyatnya. Selain mengkritisi sikap dan perilaku para pemimpin juga memberikan gambaran akan pemimpin yang seharusnya. Terdapat dalam pupuh sinom bait 6. “aywa dumèh wong awirya | anak putune wong mukti | sanadyan mêngku nagara | aywa sumakeyan êdir | tan nganggo dugi-dugi | sapa sira sapa ingsun | puniku bêbakalan | atêtombok kaki nini | kang wus bêcik panggonane mèlu nyambat ||” Artinya : jangan mentang-mentang menjadi orang berkuasa | anak cucunya serba kecukupan | walaupun menguasai negara | jangan semena-mena | tidak menggunakan perasaan | siapa kamu siapa saya | hal itu akan | menyusahkan kakek nenek | yang sudah baik tempatnya pun ikut mengeluh || 4. Nilai keberanian dan kejujuran tercermin dari posisi YosodipuroII sebagai salah satu orang pemerintah dalam artian disini perananya sebagai pujangga keraton maka beliau merupakan orang dalam pemerintahan saat itu. Namun beliau berani melakukan kritikan tersebut secara jujur apa adanya sesuai dengan penilainya ketika itu. Salah satunya terdapat langsung pada pupuh sinom bait pertama : 53 “watêke wicara kêras | sumuking pangucap wêngis | iku nangèkakên napas | setane nuli kêkinthil | yèn ujar ririh manis | nora tangi napasipun | ayêm sarta santosa | setane lumayu ngênthir | pan wus kocap wong sabar ngunjara setan ||” Artinya : wataknya berbicara keras | ucapan yang terlontar bengis | itu membangunkan nafas | setan lalu mengikuti | jika berucap pelan dan manis | tidak terbangun nafasnya | tenang serta kuat | setannya berlari terbirit-birit | jika sudah terbilang sabar memenjarakan setan || 5. Nilai cinta tanah air tercermin dari kritik yang diberikan bukan untuk kepentingan tertentu, melainkan karena bentuk cnitanya kepada keraton sendiri saat itu. Bertujuan untuk menyadarkan para penguasa. Karena jika pemimpin berperilaku seperti itu maka Negara akan menuju kehancuran. Salah satunya terdapat dalam pupuh Dhandanggulo bait ke 7 .: “duk lolose saking ing nagari | ngontragakên ing nagara liyan | pating bathithit polahe | linurugan lor kidul | pangrasane ambêbayani | dene trahing prawira | lan dadya têtunggul | bupati môncanagara | wêkasane têka angisin-isini | ngucêmakên nagara ||” Artinya : saat perginya dari negara | menggegerkan negara lainnya | sok belagu tingkah lakunya | dikeroyok dari utara dan selatan | dianggapnya sangat tangguh | karena Keturunan bangsawan | dan menjadi pemimpin | bupati môncanagara | akhirnya justru memalukan | memalukan nagara || » 6. Nilai religius tercermin dari sudut pandang si pujangga dalam memberikan pandanganya terhadap pemimpin yang menyimpang melalui standar agama yang dianutnya ketika itu. Seperti yang dicontohkan salah satunya dalam pupuh Dhandangulo bait 29 : “êndi têgêse panggawe bêcik|kaya ta karêp ngibadah salat | maca Kuran sadayane | ngèlingi sastra ayu |myang parimbon utawa malih | carita kuna-kuna | kang pantês tiniru | puniku luwih prayoga | dèn amantêp sarta narima tabêri | uwas-uwas sirnakna ||” Artinya : apa maksudnya berbuat baik | seperti ingin melaksanakan ibadah shalat | membaca seluruh Qur’an | mengingat-ingat pitutur yang baik | pada primbon juga | crita yang lalu | yang pantas ditiru | itu lebih baik | mantapkanlah dan tekuni | hilangkan rasa was-was || 7. Nilai kesopanan dan estetika yang tercermin dari kesantunanya dalam bentuk dari isi SWK ini. Meski berisi kritikan yang keras,tegas dan 54 berani namun disampaikan dalam bentuk tembang dengan pemilihan kata yang bagus. Tembang disini yang digunakan adalah tembang mocapat yang terdiri dari : sinom, gambung, dandanggulo, megatruh, kinanti. Hal yang menarik ialah walaupun naskhah ini merupakan luahan kemarahan, namun aspek-aspek estetis pembangun karya sastera tidak dilupakan oleh YS II dalam menggubah karyanya. Unsurunsur estetis yang ditemukan dalam karya sastera ini yaitu penggunaan: (1) tembang Macapat (puisi tradisional Jawa) sebagai struktur penggubah WK, (2) tembung Saroja, (3) tembung Garba atau Sandi, (4) Sasmita tembang, (6) pemanjangan suku kata, (7) kosakata Kawi, (8) purwakanthi, dan (9) perumpamaan dan istilah-istilah khusus (Venny:2010:183). Nilai nilai budaya dan pendidikan karakter bangsa yang termasuk kedalam grand desain pendidikan karakter kementerian pendidikan nasional yang terdiri dari 18 karakter yaitu : religious, jujur, toleransi, disiplin, kerja-keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, cinta tanah air, cinta damai, tanggung jawab, peduli sosial, peduli lingkungan. Berdasarkan reduksi nilai-nilai yang terkandung dalam SWK di atas, terdapat nilai karakter yang dipetakan sesuai dengan nilainilai budaya dan pendidikan karakter bangsa pada grand desain pendidikan karakter kemendiknas. Tabel 2.2. Indikator nilai karakter SWK Nilai-nilai yang terkandung dalam Serat Wicara Keras Sikap kritis Kepedulian sosial Keberanian Jujur Cinta tanah air Kepemimpinan Religious Kesopanan Nilai-nilai budaya dan pendidikan karakter bangsa pada grand desain pendidikan karakter kemendiknas Demokratis Peduli sosial Semangat Jujur Cinta tanah air Tanggung jawab Religius Kreatif 55 B. Penelitian Yang Relevan Adapun penelitian yang relevan dengan penelitian dan pengembangan ini, ialah : 1. Penelitian yang pertama adalah hasil penelitin dari Moh. Imron Rosidi yang berjudul ”Pengembangan Model Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial Berbasis Nilai-nilai Kearifan Lokal Tradisi Kebo-keboan Untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan Keterampilan Sosial Siswa”. Penelitian ini merupakan penelitian dan pengembangan yang dimodifikasi dari konsep Borg and Gall. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa guru dalam pembelajaran IPS masih terfokus pada model pemebelajaran konvensional. Dengan diterapkanya model pembelajaran yang dilakukan oleh peneliti berhasil dalam meningkatakan hasil belajar siswa dan ketrampilan sosial siswa. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji efektifitas yang menunjukkan hasil uji t 2,578 dengan taraf signifikasi 0,0013 < 0,025 yang artinya terdapat pengaruh yang signifikan terhadap model yang dikembangkan. Sedangkan untuk uji t penilaian keterampilan sosial sebesar 5,944 dengan taraf signifikansi 0,000<0,025. Dengan kata lain model pembelajaran IPS yang dikembangkan efektif meningkatkan hasil belajar dan keterampilan sosial siswa di Sekolah Dasar Negeri 1 Bedewang Kecamatan Songgon Kabupaten Banyuwangi. 2. Penelitian yang kedua berjudul “Model Pembelajaran Sejarah Berbasis Arsip-Dokumen untuk Meningkatkan Eksplanasi Sejarah Mahasiswa STKIPPGRI Pontianak Kalimantan Barat” oleh Fandri Minandar. Penelitian pada tesis ini mengembangkan model pembelajaran sejarah berbasis arsipdokumen sebagai alternatif untuk meningkatkan kemampuan eksplanasi mahasiswa. Hasil uji kelayakan para ahli materi memberikan nilai 4,96 (sangat baik) dan ahli model 4,78 (sangat baik). Sedangkan, hasil uji efektivitas menunjukkan hasil perhitungan uji T 2,510 dengan taraf signifikansi 0,016 < 0,025, yang artinya model pembelajaran sejarah yang dikembangkan mahasiswa. efektif untuk meningkatkan kemampuan eksplanasi 56 3. Penelitian yang relevan berikutnya adalah “Model Pembelajaran yang Efektif untuk meningkatkan Keterampilan Berfikir Kritis (Suatu Persepsi Guru)”, oleh I Wayan Sadia Program Pascasarjana UPG. Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian, dan temuan-temuan penelitian, maka dapat dirumuskan beberapa simpulan sebagai berikut. Pertama, model pembelajaran yang paling dominan digunakan guru dalam proses pembelajaran adalah model ekspositori. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian guru masih mempertahankan model pembelajaran yang konvensional yang berpusat pada guru (teacher centered) dan siswa sebagai pembelajar yang pasif. Kedua, menurut persepsi guru, model-model pembelajaran yang dipandang akan memberi kontribusi yang signifikan dalam mengembangkan keterampilan berpikir kritis adalah pembelajaran kontekstual (24,6%), model pembelajaran berbasis masalah (20,6%), model problem solving (18,3%), model sains-teknologi-masyarakat (13,1%), model siklus belajar (6,9%), dan model pembelajaran berbasis penilaian portofolio (5,7%). Ketiga, keterampilan berpikir kritis awal siswa SMP kelas IX dan siswa SMA kelas X masih berkategori rendah. Untuk siswa kelas IX SMP skor rerata keterampilan berpikir kritis siswa adalah 42,15 dan untuk siswa SMA kelas X skor reratanya adalah 49,38 (skor standar 100). 4. Penelitian yang keempat adalah “Pengaruh Model Pembelajaran Team Assisted Individualzation Berbasis Nilai-nilai Karakter Terhadap Hasil Belajar IPS kelas IV” I Nyoman Arya Pramana Syahruddin Md Sumantri dari Jurusan PGSD, FIP Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar IPS antara kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran TAI (team assisted individualzation) berbasis nilai-nilai karakter kelompok siswa yang mengikuti model pembelajaran konvensional. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu (quasi experiment) dengan rancangan post-test only control group design. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IV SD semester genap di Gugus 6 Kecamatan Kubu 57 Kabupaten Karangasem Tahun Pelajaran 2013/2014 dengan jumlah populasi 197 siswa. Sampel diambil dengan cara random sampling yang berjumlah 72 orang siswa. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah hasil belajar IPS. Bentuk tes hasil belajar IPS yang digunakan adalah pilihan ganda. Data dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif dan statistik inferensial. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar IPS yang signifikan antara siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran TAI (team assisted individualzation) berbasis nilai-nilai karakter dan siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran konvensional pada siswa kelas IV semester genap tahun pelajaran 2013/2014 di SD Negeri 3 Dukuh. Perbandingan perhitungan ratarata hasil belajar IPS kelompok eksperimen adalah 23,42 lebih besar dari rata-rata hasil belajar IPS kelompok kontrol adalah 20,83. Adanya perbedaan yang signifikan menunjukkan bahwa pembelajaran menggunakan model pembelajaran TAI (team assisted individualzation) berbasis nilai-nilai karakter berpengaruh terhadap hasil belajar IPS dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional. 5. Penelitian yang kelima dengan judul “Keterampilan Berpikir Kritis Siswa pada Pembelajaran Fisika dengan Pendekatan Starter Eksperimen” oleh Mitra Dewi Rahmawati, Sriyono, Ashari Program Studi Pendidikan Fisik dari Universitas Muhammadiyah Purworejo Jalan. K.H. Ahmad Dahlan, Telah dilakukan penelitian guna mengetahui hasil analisis keterampilan berpikir kritis siswa pada pembelajaran fisika dengan pendekatan Starter Eksperimen. diarahkan Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang untuk memperoleh informasi mengenai keterampilan berpikir kritis pada indikator apa saja yang muncul serta melihat seberapa besar keterampIlan berpikir kritis siswa dapat berkembang pada pembelajaran Fisika materi Kalor dan Perpindahannya dengan pendekatan Starter Eksperimen. Subjek penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri 2 Karanganyar kelas VIIA yang berjumlah 32. Data dikumpulkan dengan 58 menggunakan metode angket dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan indikator bertanya dan menjawab pertanyaan merupakan indikator tertiggi yaitu 82,98%, indikator ini diperkuat dengan hasil analisis menggunakan angket dengan persentase tertinggi yaitu sebesar 81,64%. Indikator lainnya yaitu indikator mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan suatu definisi sebesar 75%, indikator menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi sebesar 74,47%, indikator mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak sebesar 74,16%. Aspek yang jumlah persentase rata-rata paling rendah yaitu pada indikator mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi sebesar 72,91%. Rata-rata persentase keterampilan berpikir kritis siswa secara keseluruhan dari lember observasi menunjukkan keterampilan berpikir kritis yang dicapai siswa sebesar 75,90% dan persentase keseluruhan dari angket respon keterampilan berpikir kritis siswa sebesar 76,79%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara umum keterampilan berpikir kritis siswa pada pembelajaran Kalor dan Perpindahannya dengan pendekatan Starter Eksperimen tergolong baik. Terdapat kemunculan-kemunculan kegiatan berarti yang merupakan refleksi dari kegiatan berpikir kritis siswa, baik dari individu maupun kelompok selama pembelajaran dengan pendekatan Starter Eksperimen. 6. Penelitian berikutnya berjudul “Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Pada Pembelajaran Fisika Kelas X Menggunakan Model Problem Posing Learning di SMA Negeri 1 Petanahan Tahun Pelajaran 2013/2014” oleh Intan Widiarti, Siska Desy Fatmaryanti, Nurhidayati dari Program Studi Pendidikan Fisika Universitas Muhammadiyah Purworejo Jalan K.H.A. Dahlan 3, Purworejo, Jawa Tengah. Telah dilakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik melalui model problem posing learning. Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 1 Petanahan. Subyek penelitian adalah 29 peserta didik dari kelas X SOS 1. Penelitian ini dilakukan pada bulan April-Mei tahun 2014 pada pokok bahasan Alat-alat Optik. Pengumpulan data dalam 59 penelitian ini menggunakan metode angket, observasi, tes, dan dokumentasi. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan model problem posing learning dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik. Hal ini dilihat dari data hasil observasi kemampuan berpikir kritis peserta didik, diperoleh persentase 40,80% pada pra siklus, meningkat menjadi 60,63% pada siklus I dan menjadi 75,86% pada siklus II. Hasil tes kemampuan berpikir kritis peserta didik juga mengalami peningkatan dari skor awal 55,10% menjadi 67,93% pada siklus I dan 78,45% pada siklus II. Kemampuan berpikir kritis peserta didik juga dilihat dengan peningkatan hasil angket dari 39,37% pada pra siklus, 54,31% pada siklus I dan 71,55% pada siklus II. 7. Penelitian ketujuh yaitu “Pendekatan Pembelajaran Analisis Nilai untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Sikap Kepedulian Sosial Siswa pada Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial” oleh Ani Siti Anisah dari Fakultas Pendidikan Islam dan Keguruan Universitas Garut. Hasil analisis data menunjukkan bahwa peningkatan pemahaman konsep kelas eksperimen sebesar 34,7% berkategori sedang, sedangkan pada kelas kontrol dengan pendekatan konvensional mengalami peningkatan (N Gain) 8,7% berkategori rendah. Untuk variabel sikap kepedulian sosial dengan pendekatan analisis nilai, kelas eksperimen mengalami peningkatan (N Gain) sebesar 25% dan kelas yang kontrol (N Gain) 2,2%. Setelah dilakukan Uji-T menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan pendekatan pembelajaran Analisis Nilai (value analysis) dam pembelajaran IPS berpengaruh dalam meningkatkan pemahaman konsep dan sikap kepedulian sosial siswa. 8. Penelitian kedelapan, “Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Melalui Implementasi Model Problem Based Learning (PBL) Pada Pembelajaran IPA Terpadu Siswa SMP” oleh Risa Hartati dan Hayat 60 Sholihin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa melalui implementasi model Problem Based Learning (PBL) pada pembelajaran IPA Terpadu. Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen dengan desain non-equivalent pretest-posttest control group design. Sampel penelitian ini terdiri dari 50 siswa kelas VII di salah satu SMP Negeri di Kabupaten Lampung Utara pada tahun ajaran 2014/2015 yang dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes berpikir kritis materi pencemaran lingkungan yang digunakan untuk mengukur penguasaan kemampuan berpikir kritis siswa. Teknik analisis data menggunakan uji normalitas, uji homogenitas, dan uji t (independent sample t-test) terhadap nilai gain yang dinormalisasi (Ngain) dari nilai pretest dan post-test siswa dengan menggunakan program IBM SPSS Statistics 22 dan Microsoft Excel. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa antara kelas yang menerapkan model PBL dengan kelas kontrol. Kemampuan berpikir kritis siswa kelas eksperimen mengalami peningkatan sebesar 47% sedangkanpeningkatan kemampuan berpikir kritis siswa kelas kontrol sebesar 32%. Hasil penelitian ini dibuktikan dari nilai signifikansi uji t sebesar 0,026 yang berarti bahwa H0 ditolak dan H diterima. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan model PBL pada pembelajaran IPA terpadu memiliki dampak yang positif terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa. 9. Penelitian yang kesembilan adalah “Pedagogy for developing critical thinking in adolescents: Explicit instruction produces greatest gains” oleh Lisa M. Marin dan Diane F. Halpern yang membahas Meskipun pengembangan dan transfer keterampilan berpikir kritis diakui sebagai tujuan pertama untuk pendidikan, ada sedikit bukti empiris yang dapat membantu pendidik memutuskan bagaimana mengajarkan cara-cara yang meningkatkan kemampuan pemikiran kritis. Dalam dua penelitian, kami membandingkan secara eksplisit dan tertanam mode instruksional dan dinilai 61 dengan berpikir kritis oleh Halpern. Penilaian yang menggunakan pembangunan respon dan pilihan ganda respon format dengan situasi seharihari. Peserta adalah siswa SMA di Amerika negara menghadiri berkinerja rendah sekolah tinggi dengan pendaftaran minoritas besar. Dalam kedua studi siswa menerima instruksi eksplisit dapat menunjukkan pencapaian yang jauh lebih besar daripada yang di instruksi dalam kelompok . Nilai ratarata itu menunjukan hubungan yang signifikan untuk nilai berfikir kritis seperti yang diharapkan, tetapi hubungannya dengan berpikir kritis adalah jauh lebih lemah daripada nilai tes standar. Hasil ini memberikan bukti kuat bahwa instruksi eksplisit metode yang efektif untuk mengajarkan keterampilan berpikir kritis untuk siswa SMA. 10. Penelitian yang kesepuluh adalah hasil dari Alias Masek and Sulaiman Yamin yang berjudul “The Effect of Problem Based Learning on Critical Thinking Ability: A Theoretical and Empirical Review” . Berdasarkan review, dapat disimpulkan bahwa 1) proses tertentu dalam PBL secara teoritis mendukung pengembangan berpikir kritis siswa sesuai dengan desain yang diterapkan, 2) bukti empiris secara umum menjelaskan pengaruh PBL pada kemampuan berpikir kritis siswa, terutama studi di luar bidang medis, 3) beberapa bukti menunjukkan bahwa PBL memerlukan waktu jangka panjang untuk menumbuhkan kemampuan kritis siswa berpikir, 4) beberapa prediktor mungkin juga mempengaruhi hubungan PBL dan berpikir kritis seperti usia, jenis kelamin, prestasi akademik, dan latar belakangpendidikan, yang menyerukan untuk pekerjaan penelitian lebih lanjut. Implikasinya adalah bahwa, kurikulum PBL harus hati-hati menyusun dan memilih elemen berfikir kritis untuk efektifitas PBL. Ini termasuk peran fasilitator dalam mediasi belajar siswa , terutama dalam memicu meta-kognitif pemikiran siswa. 11. Penelitian kesebelas adalah milik Claudette Thompson yang berjudul Critical Thinking across the Curriculum: Process over Output ,St. Bonaventure University. Berpikir kritis adalah keterampilan yang paling 62 berharga yang dapat mewariskan sekolah untuk murid lulusan mereka. Mengajar untuk berfikir kritis selalu menjadi tujuan pembelajaran bagi guru di semua disiplin ilmu dan tingkat. Kompetensi berpikir kritis memerlukan pergeseran filosofis dari output proses, belajar dan berpikir untuk tunduk isolasi untuk integrasi subjek. Sebagai kerangka kerja untuk memahami pemikiran kritis lintas kurikulum, artikel ini berisi ulasan tradisional dan kontemporer mengenai teori-teori yang relevan dengan proses ini, mengeksplorasi sifat berpikir kritis dan pendekatan untuk menganalisis instruksi dan penilaian sehingga guru dapat menggunakanya dalam proses belajar untuk mendorong meningkatnya kemampuan berpikir kritis. Analisis ini didukung oleh deskripsi dari praktek pedagogis yang telah digunakan untuk memotivasi siswa untuk terlibat dalam proses-proses yang meningkatkan kemampuan berpikir kritis. 12. Penelitian keduabelas adalah karya Scott Burris and Bryan L. Garton dengan judul Effect of Instructional Strategy on Critical Thinking and Content Knowledge : Using Problem Based Learning in The Secondary Classrom” dari Texas Tech University,University of Missouri yang menjelaskan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pembelajaran berbasis masalah (PBL) pada kemampuan berfikir kritis dan pengetahuan konten berpikir di kalangan siswa yang dipilih di bidang pertanian kelas sekunder Missouri. Penelitian ini menggunakan desain kelompok pembanding kuasieksperimental non-setara. Perlakuan terdiri dari dua strategi pembelajaran: pembelajaran berbasis masalah dan diawasi studi. Populasi target diidentifikasi sebagai mahasiswa pertanian sekunder di Missouri. Dua belas guru pertanian sekunder dipilih berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh peneliti. Kelas utuh secara acak ditugaskan untuk pengobatan dari tingkat. The dihasilkan sampel (n = 140) terdiri dari 77 siswa dalam belajar dan kelompok perlakuan berbasis masalah 63 siswa pada kelompok perlakuan diawasi studi. Analisis kovarians diindikasikan pengobatan efek pada kemampuan berpikir kritis dan pengetahuan konten. 63 C. Kerangka Berfikir Nilai nilai yang terkandung dalam naskah Serat Wicara Keras memiliki peran dan fungsi, yang dalam penelitan ini diharapkan selain menambah pengetahuan, dan pemahamaan, juga dapat untuk meningkatkan kemampuan berfikir kritis melalui nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, dimana siswa nanti akan mempunyai kemampuan menganalisis masalah dan menyimpulkanya. Supaya penelitan ini mengarah pada sasaran yang diinginkan, maka diperlukan tinjauan pustaka sebagai sebagai studi pendahuluan untuk dasar teori, dan pengumpulan serat serta mengalih bahasakan untuk dapat direduksi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Tahap selanjutnya dalam studi pendahuluan yaitu melakukan pra penelitan yang dilakukan di Sekolah Menengah Atas IC Al Mujtaba Sukoharjo untuk melihat proses pembelajaran yang berlangsung dan kemampuan siswa. Selain itu penelitan dilakukan dengan wawancara ke informan kepada guru untuk mengetahui tingkat kebutuhan siswa akan model yang akan peneliti kembangkan. Sebelum pelaksanaan pengembangan model terlebih dahulu membuat draf model yang akan digunakan dengan dengan nilai yang terkandung dalam serat. Nilai-nilai dalam serat tersebut dijadikan sebagai basis dalam proses belajar di dalam kelas. Dalam pembuatan draf model ini, model pembelajaran yang akan dibuat menggunakan strategi pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dimana dalam model ini siswa diorentasikan untuk memcahkan sebuah masalah dengan menggunakan pendekatan kontruktivisme,dan pendekatan analisis Nilai (VAA). Teori konsturuktivisme menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan atauran-aturan lama dan merevisinya apabila peraturan itu tidak berlaku lagi (Trianto. 2007:13). Menurut teori ini prinsip yang paling penting adalah guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan dari sumber yang dipelajarinya. Teori konstruktivisme yakni dalam proses pembelajaran siswalah yang harus mendapat penekanan (Jauhar, 2011:35). Siswa harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan guru atau orang lain. Siswa harus bertanggung jawab 64 terhadap hasil belajarnya, penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa. Untuk mengimplementasikan model ini melalui Penelitian eksperimen. Sugiyono (2012:109) menambahkan penelitian eksperimen dapat diartikan sebagai metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendalikan. Dalam melakukan eksperimen peneliti memanipulasikan suatu stimulan, treatment atau kondisi-kondisi eksperimental, kemudian menobservasi pengaruh yang diakibatkan oleh adanya perlakuan atau manipulasi tersebut. Dengan demikian penelitian eksperimen dilaksanakan untuk melihat keberhasilan dari draf model yang di ujikan kepada siswa. Dalam pelaksanaanya siswa dibagi kedalam kelompok kecil yang terdiri 4-5 orang. Sehingga dalam satu kelas terdapat 4 kelompok untuk saling berdiskusi di dalam memecahkan masalah. Kelompok belajar akan diberi tugas untuk mengaplikasikan nilai dari serat wicara keras dengan menganalisis masalah dan menyelesaiakan lembar kerja yang dibagikan kepada setiap kelompok. Masalah yang diberikan berkaitan dengan masalah social politik yang terjadi di negeri ini, yang banyak disaksikan dalam media yang ditayangkan setiap saat. Siswa akan berdiskusi untuk menganalisis permasalah yang terjadi, dengan memberikan kritikan dan solusi yang dituangkan dalam lembar kerja siswa. Melalui kegiatan yang terpusat pada siswa tersebut, guru hanya memfasilitasi dan membimbing proses diskusi yang berlangsung dalam kelompok kecil maupun dalam kelompok besar. Melalui kegiatan tersebut maka diharapkan nilai-nilai yang terkandung dalam SWK dapat terinternalisasi dalam diri siswa yang ditunjukkan melalui sikap kritis yang dimilikinya. Oleh karena itu, dengan semakin meningkatnya kemampuan berfikir kritis siswa yang diukur melalui iji posttest juga berpengaruh terhadap meningkatnya nilai pestasi. Hal lain yang diharapkan dengan situasi pembelajaran sejarah adalah situasi belajar yang menarik, efektif dan menyenangkan dan siswa menjadi lebih antusias dalam belajar sejarah. 65 Gambar. 2.5 . Kerangka Berfikir Peneliti Kondisi awal pembelajaran/ kenyatan Teacher center. Metode yang digunakan seperti seperti ceramah, presentasi media powerpoint, tanya jawab dan diskusi. Siswa yang pasif. Keterbatasan sumber belajar primer siswa kurang mampu mengidentifikasi peristiwa/masalah kemampuan berfikir kritis dan prestasi sedang Kondisi pembelajaran yang diharapkan Masalah Solusi - Student Center - Metode diskusi kelompok (kontruktivisme)pendekatan PBL dan VAA - Siswa Aktif - Siswa mampu memahami masalah - siswa mampu memahami nilai yang terkandung dalam suatu peristiwa - Kemampuan berfikir kritis dan prestasi tinggi Nilai-Nilai SWK –Sebagai Basis Pengembangan Model Pembelajaran Sejarah -SK : Untuk Memahami prinsip dasar ilmu sejarah -KD : Menggunakan Langkah-langkah penelitian sejarah -Nilai Yang Terkandung 1. Sikap Kritis Pujangga terhadap penguasa 2. Kepemimpinan yang seharusnya bijak 3. Kepekaan sosial terhadap masalah yang terjadi 4. Keberanian dan kejujuran pujangga 5. Religius sebagai tolak ukur perilaku 6. Cinta tanah air 7. Etika estetika dalam menyampaikan kritikan Produk Model Pembelajaran Sejarah Berbasis Nilai-nilai Serat Wicara Keras untuk Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kritis Siswa