Unsur asing dalam Konspirasi Century

advertisement
"Unsur asing dalam Konspirasi Century"
OPINI: Konspirasi di Century,
by Bambang Soesatyo, Anggota Timwas Penyelesaian Kasus Bank Century DPR
Kamis, 06 September 2012
http://jaringanantikorupsi.blogspot.hk/2012/09/medianusantara-opini-konspirasi-di.html
Ada angin segar berhembus dari KPK. Kabarnya, para pimpinan komisioner hampir
semuanya sepakat untuk menaikan status kasus Bank Century ke penyidikan. Jika
informasi itu benar, berarti KPK jilid III sudah bergerak maju dan telah kembali ke jalan yang
benar.
Sebab, selama ini Kita menduga KPK menggunakan paradigma yang keliru dalam
menentukan delik pidana saat menafsirkan kesalahan (schuld) serta niat jahat (mens rea)
untuk terpenuhinya unsur delik korupsi. Padahal seharusnya pembuktian 'mens rea' adalah
adanya 'actus reus' (tindakan salah).
Untuk membuktikan apakah actus reus mengandung unsur mens rea kita liat dari unsur
'kesengajaannya' (opzettelijk). Yakni, Willen (perbuatan itu dikehendaki dan diketahui) dan
Wetten (perbuatan itu diketahui akibatnya).
Nah, perbuatan2 yang melanggar ketentuan dalam pemberian FPJP dengan merubah CAR
dan peryaratan lain dengan mengabaikan pandangan Direktur Pengawasan BI dalam rapat
Dewan Gubernur BI serta bentuk intervensi Gubernur BI agar Bank Century dibantu dangan
alasan tidak ingin ada Bank yang tutup karena akan berakibat buruk bagi perekonomian
meskipun melanggar ketentuan adalah dikehendaki dan diketahui akibat dari perbuatan
tersebut yang berdampak pada kerugian negara.
Unsur-unsur itu sesungguhnya telah memenuhi unsur suatu 'niat jahat' dg cara melawan
hukum dan penyalahgunaan wewenang. Apalagi BPK telah menyimpulkan adanya
perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan wewenang dan indikasi kerugian negara.
Terlepas dari kemajuan dalam proses hukum yang sedang berlangsung di KPK,
LATARBELAKANG dan rekam jejak eks Bank Century patut didalami mengingat skandal
bank tersebut tidak bisa dipisahkan dari unsur kekuatan dan dana asing. Karena itu, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) secara tidak langsung ditantang untuk melakukan
penyelidikan lebih komprehensif, dengan meminta penjelasan dari Departemen Pertanian
Amerika Serikat (USDA) dan Commodity Credit Corporation (CCC). Seperti diketahui,
Banck Century terbentuk dari proses merger Bank CIC, Bank Pikko dan Bank Danpac.
Periode tahun 2000-2001, Bank Indonesia menunjuk Bank CIC menjadi peserta Program
GSM-102 dari Departemen Pertanian AS yang dilaksanakan oleh Commodity Credit Corp.
Melalui program GSM-102, USDA menyediakan dana murah sebagai dukungan
pembiayaan ekspor produk-produk pertanian AS. Untuk Indonesia waktu itu, USDA
mengalokasikan kredit murah sebesar 1,2 miliar dolar AS.
Tidak kurang dari 14 bank lokal yang ditunjuk BI, termasuk bank milik pemerintah. Dari total
dana alokasi GSM-102 itu, Bank CIC dipercaya mengelola 953,9 juta dolar AS atau
mencapai 85 persen, dengan jangka waktu tiga tahun. Jumlah ini mencerminkan begitu
tingginya kepercayaan BI kepada bank kecil bernama CIC. Anehnya, USDA, CCC maupun
Kedutaan AS di Jakarta menerima begitu saja penunjukan Bank CIC oleh BI. Padahal, Bank
CIC saat tercatat baru mendapat izin sebagai bank devisa. Sudah barang tentu belum
kredibel sebagai international banking. Pengalaman Bank CIC dalam trade financing bisa
dikatakan nol.
Fasilitas GSM 102 yang dikelola Bank CIC jatuh tempo tahun 2002 dαn 2003, tetapi belum
bisa dikembalikan oleh Bank CIC, karena sebagian besar dana tertahan di Surat Berharga.
Maka, USDA dαn CCC sebagai penjamin fasilitas GSM memasukan Indonesia dalam daftar
hitam. Semua fasilitas penjaminan kredit yang berkait dengan impor komoditi pertanian dari
AS dibekukan (waktu itu).
Kegagalan Bank CIC mengembalikan dana dari Program GSM-102 itu sempat menjadi
masalah hukum. Sejumlah orang dari manajemen CIC, BI serta pejabat pada Departmen
Keuangan RI diperiksa Kejaksaan Tinggi Jakarta. Entah apa alasannya, akhir penanganan
kasus ini tak pernah jelas hingga kini.
Setelah itu, identitas Bank CIC sengaja dihilangkan melalui merger dengan dua bank lain.
Lahirlah Bank Century. Logikanya, beban Bank CIC berupa kewajiban mengembalikan dana
Program GSM-102 dibukukan menjadi beban Bank Century. Berarti, USDA-CCC punya
tagihan di Bank Century. Namun, ketika begitu banyak nasabah Bank Century menggugat
dan mengajukan tagihan instrumen pemerintah yang menangani bailout bank bermasalah
ini, entah kenapa USDA-CCC tidak ikut mengajukan tagihan.
Penunjukan Bank CIC, penyimpangan pengelolaan dan kegagalan Bank CIC
mengembalikan dana program GSM-102 mencerminkan penyalahgunaan wewenang
sejumlah oknum pejabat BI waktu itu. Penunjukan Bank CIC tentu saja tak lepas dari
rekomendasi dari divisi pengawasan di BI. Sebab, baik-buruknya manajemen dan kinerja
bank dimonitor dan dinilai oleh Divisi pengawasan.
Dalam rentang waktu yang cukup panjang hingga 2004, sosok pejabat BI yang sangat
berpengaruh dalam hal pengawasan bank adalah Aulia Pohan. Sebelum pensiun pada
2005, Dia terakhir menjabat sebagai Deputi Gubernur BI. Pengaruhnya di BI sangat
dominan. Dalam banyak hal, orang dalam BI lebih mendengar Aulia dibanding pejabat BI
lainnya. Pengetahuannya tentang bank yang sehat dan tidak sehat sangat lengkap.
Karena itu, tidak salah jika penunjukan Bank CIC sebagai pengelola dana GSM-102 pada
periode tahun 2000-2001 dikaitkan dengan wewenang pengawasan bank yang melekat
pada Aulia Pohan. Apalagi jumlah dana yang dipercayakan kepada Bank CIC terbilang
sangat besar pada saat semua bank di Indonesia sedang diselimuti krisis likuiditas.
Karenanya, kemungkinan terjadinya penyalahgunaan wewenang memang layak untuk
diselidiki lagi.
Status Dana
Kepada USDA dan CCC, KPK mestinya bisa berkomunikasi, mempertanyakan dana
GSM-102 sebesar 953,9 juta dolar AS yang seharusnya tercatat sebagai kewajiban eks
Bank Century yang kini berganti nama menjadi Bank Mutiara itu. Apakah dana itu akan
dianggap hangus atau akan terus ditagih. Untuk sementara ini, layak diasumsikan bahwa
Bank Mutiara terpaksa menanggung beban pengembalian Dana GSM-102 itu.
KPK juga bisa mempertanyakan sikap USDA-CCC yang tidak mempersoalkan
penunjukakan Bank CIC oleh BI. Bukan rahasia lagi bahwa kedutaan negara-negara
sahabat selalu memberi rekomendasi kepada pemerintah atau institusi pemerintah di
negara asalnya sebelum menggelar atau mengaktualisasikan program. Dalam konteks ini,
menjadi aneh jika Kedutaan AS di Jakarta tidak bersikap atas keputusan BI menunjuk Bank
CIC sebagai peserta program GSM-102 dengan jumlah sangat besar.
Kalau dana itu dianggap hangus, tentunya akan dilihat sebaga masalah oleh pihak berwajib
(penegak hukum) di AS, mengingat dana GSM-102 adalah dana milik pemerintah AS
(USDA), walaupun dicairkan melalui mekanisme kredit bank. Dana GSM-102 untuk
Indonesia diterima dari SCB sebesar 191.4 juta dolar AS, Bank Denver 616 juta dolar AS,
dan Deutsche Bank 146.5 juta dolar AS.
Kalau status dana GSM-102 ini tidak diperjelas, akan muncul beragam spekulasi. Bisa saja
muncul anggapan bahwa sebagian dana dari program GSM-102 untuk Indonesia itu
sekadar sebagai penyamaran. Artinya, bukan digunakan untuk memperlancar impor produk
pertanian dari AS, melainkan untuk membiayai kepentingan AS lainnya di Indonesia,
termasuk kepentingan politik. Apalagi, beberapa tahun lalu, sempat dimunculkan dugaan
bahwa ada aliran dana dari AS yang digunakan untuk membiayai kegiatan politik
pihak-pihak tertentu di Indonesia.
Pada akhirnya, persoalan dana GSM-102 untuk Indonesia patut dikaitkan dengan
kegelisahan Hesham Al Waraq dan Rafat Ali Rizvi yang terpaksa mendaftarkan juga
gugatan mereka di OKI (Organisasi Konferensi Islam). Hingga bulan ini, gugatan
Hesham-Rafat di International Centre for Settlement of Invesment Disputes (ICSID) di
Washington nyaris tanpa progres.
Di ICSID, gugatan Hesham-Rafat tercatat sebagai perkara No.ARB/11/13), yang didaftarkan
19 Mei 2011. Namun, berdasarkan ketetapan ICSID pada 22 Juni 2012, kasus ini ditunda
(suspended). Pada daftar penanganan kasus yang dibuat ICSID, kasus gugatan
Rafat-Hesham berstatus pending.
Mungkin karena progresnya yang begitu lamban, Hesham-Rafat bermanuver dengan
mencatatkan gugatan mereka di OKI. ICSID sendiri dipahami sebagai pengadilan Arbitrase
Bank Dunia. Boleh jadi, ICSID tidak ingin mengganggu salah satu bos dari lembaga
keuangan multilateral, yakni Sri Mulyani yang menjabat sebagai Direktur Pelaksana Bank
Dunia.
Namun, langkah Hesham dan Rafat menggugat pemerintah RI di ICSID dan OKI tetap saja
harus dilihat sebagai pesan buruk tentang Indonesia. Sebab, manuver kedua orang ini
berpotensi merusak citra atau kredibilitas Indonesia.
Jadi sekali lagi, sudah menjadi tugas kita semua untuk mendorong para penegak hukum
khususnya KPK bertindak cepat. Sebelum alat bukti dan saksi-saksi hilang. Seperti
diketahui, kasus Bank Century ini sudah kehilangan beberapa saksi kunci karena meninggal
dunia. Seperti Boedi Sampoerna yang memiliki dana lebih Rp.2 triliun yang dipecah-pecah
pencairannya. Lalu, Budi Rohadi, Deputy Gubernur BI yang meninggal mendadak di kamar
mandi rumah dinas perwakilan BI di Amerika Serikat. Budi adalah orang yang banyak
mengetahui tentang kasus Bank Century. Sebelum kematiannya dia sempat mengeluh
merasa sendirian dan mengatakan bahwa BI adalah Bank Central paling liberal di dunia.
Terakhir, ada Siti Fadjriah yang sedang terbaring tidak berdaya karena sakit parah. Siti
Fadjriah adalah saksi penting atas peran Boediono selaku Gubernur BI ketika itu, dalam
memuluskan bantuan Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) Rp.683 miliar dan Bailout
Rp.6,7 triliun terhadap Bank Century.
Download