Identifikasi keragaman gen growth hormone

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Friesian Holstein
Sapi memiliki peran utama dalam evolusi kebudayaan manusia dan penting
dalam segi ekonomi. Semua ternak sapi saat ini diperkirakan telah di domestikasi
dari Bos primigenius yang sekarang sudah punah. Domestikasi sapi pertama kali
ditemukan di Turki (Perkins, 1969) dengan dua spesies utama ternak sapi di dunia,
yaitu tipe berpunuk (Zebu) dan tidak berpunuk (Taurin). Tipe berpunuk termasuk
dalam spesies Bos indicus yang tersebar di wilayah Asia dan Afrika Selatan,
sedangkan tipe tidak berpunuk (Taurine) termasuk dalam spesies Bos taurus yang
tersebar di wilayah Eropa dan Afrika Barat. Kedua spesies ini kemungkinan besar
didomestikasi secara bebas (Loftus et al., 1994) sekitar 10.000 tahun sebelum
sekarang.
Pada umumnya sapi perah yang dipelihara di Indonesia adalah jenis sapi
Friesian Holstein (FH) yang termasuk keturunan dari sapi B. taurus. Bangsa sapi
Friesian Holstein murni memiliki warna bulu hitam dan putih (black Holstein) atau
merah dan putih (red Holstein) dengan batas-batas warna yang jelas, seperti pada
dahi umumnya terdapat warna putih berbentuk segitiga dan bulu kipas ekor, bagian
perut serta kaki dari teracak sampai lutut (knee) atau (hock) berwarna putih, memiliki
tanduk yang pendek dan mengarah ke depan (Gambar 1). Sifat-sifatnya adalah jinak,
mudah menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan, produksi susu tinggi dengan
kadar lemak susu rendah, memiliki ukuran tubuh dan kecepatan pertumbuhan yang
bagus, dan mempunyai kemampuan yang tinggi dalam mengubah pakan menjadi
susu (Blakely dan Bade, 1998). Daerah penyebaran FH di Indonesia terutama di
dataran tinggi Pulau Jawa. Jawa Timur memiliki populasi sapi perah terbesar, yaitu
139 ribu ekor, diikuti Jawa Tengah 115,4 ribu ekor, Jawa Barat 102,7 ribu ekor, dan
DI Yogyakarta 7,3 ribu ekor (Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, 2009).
Diwyanto et al. (2000) menyatakan bahwa produksi susu sapi perah di
Indonesia untuk daerah dataran tinggi berkisar antara 3000-3900 liter perlaktasi. Hal
ini sudah menyamai performans sapi perah B. taurus yang dipelihara di daerah panas
seperti di sejumlah negara Amerika latin yang berkisar antara 3500-4500 liter
perlaktasi, sementara produksi susu sapi perah FH di daerah iklim sedang mencapai
lebih 6000 liter perlaktasi.
Gambar 1. Sapi Friesian Holstein, Jenis Sapi Perah yang Banyak Dibudidayakan
Peternak di Indonesia (Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan, 2009)
Sapi Pedaging
Tipe sapi pedaging atau sapi potong memiliki keunggulan dalam
menghasilkan karkas berkualitas dan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Beberapa
bangsa sapi dari spesies B. taurus yaitu sapi Limousin dan Simmental. Sapi
Limousin memiliki perdagingan yang bagus dengan laju pertumbuhan yang tinggi
(Phillips, 2001), dengan bobot badan sapi betina normalnya adalah 600 kg dan bobot
sapi jantan mencapai 1000 kg. Bangsa sapi Simmental memiliki karakter berat sapih
dan pertambahan berat badan pasca sapih yang tinggi (Williamson dan Payne, 1993).
Sapi yang termasuk dalam spesies B. indicus, seperti sapi Brahman, memiliki ciri
khas yaitu berpunuk di bagian punggungnya, berambut pendek dan halus, serta
sebagian besar berwarna putih. Spesies B. indicus memiliki kemampuan beradaptasi
dengan lingkungan panas dan tahan terhadap penyakit caplak (Phillips, 2001).
Penghambat perkembangan industri sapi potong antara lain terbatasnya sapi lokal
sehingga belum siap mengisi kebutuhan bakalan industri peternakan (feedlotter) dan
beroperasinya rumah pemotongan hewan (RPH) tradisional dan ilegal di hampir
seluruh wilayah Indonesia (Williamson dan Payne, 1993).
Hormon Pertumbuhan
Lawrence dan Fowler (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan merupakan
suatu proses deposisi, pemindahan substansi sel-sel, serta peningkatan ukuran dan
jumlah sel pada tingkat dan titik berbeda dalam suatu waktu tertentu. Pertumbuhan
secara efektif dikontrol oleh hormon dan salah satu hormon yang penting dalam
mengatur proses pertumbuhan adalah hormon pertumbuhan (growth hormone).
Chung et al. (2000) menyatakan bahwa hormon pertumbuhan (GH) bersama-sama
4 dengan hormon Insulin-Like Growth Factor-1 (IGF-1) berperan sangat penting
dalam mengatur pertumbuhan kelenjar susu dan produksi susu, metabolisme, laktasi,
dan komposisi tubuh.
Proses sintesis dan pelepasan hormon pertumbuhan atau somatotropin
dikontrol oleh dua macam hormon yang terdapat di hipotalamus, yaitu Growth
Hormone Releasing Hormone (GHRH) yang berfungsi sebagai penggertak
(stimulator) dan Somatotropin Releasing-Inhibitory Factor (SRIF) atau somatostatin
sebagai penghambat (inhibitor) (Anderson et al., 2004). Kedua hormon tersebut
disekresikan oleh neuron sekretoris dalam hipotalamus dan masuk ke dalam
pembuluh darah pituitari (Hartman, 2000). Neurotransmiter dan neuropeptida
mengontrol sekresi somatotropin secara langsung pada bagian somatotrop atau secara
tidak langsung melalui jalur hipotalamus (Franklin dan Ferry, 2006).
Metode PCR-RFLP (Polymerase Chain Reaction-Restriction
Fragment Lenght Polymorphism)
PCR merupakan suatu teknik untuk menggandakan jumlah molekul DNA
pada ruas-ruas tertentu dan monomer-monomer nukleotida yang dilakukan secara in
vitro. Proses ini berjalan dengan bantuan primer dan enzim polymerase. Primer
merupakan oligonukleotida spesifik yang menempel pada bagian sampel DNA yang
akan diperbanyak. Enzim polymerase merupakan enzim yang dapat mencetak urutan
DNA baru. Hasil dari proses PCR dapat divisualisasikan dengan elektroforesis
(Williams, 2005). Muladno (2002) menyatakan bahwa Polymerase Chain Reaction
(PCR) merupakan suatu reaksi in vitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA
pada target tertentu dengan cara mensintesis molekul DNA baru yang berkomplemen
dengan molekul DNA target tersebut dengan bantuan enzim polimerase dan
oligonukleotida pendek sebagai primer dalam suatu mesin thermocycler. Secara
umum, reaksi yang terjadi dalam mesin PCR dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu
tahap denaturasi (pemisahan untai ganda DNA), tahap annealing (penempelan
primer), dan tahap extension (pemanjangan primer).
Metode PCR-RFLP adalah teknik pertama yang dikembangkan untuk
memvisualisasikan perbedaan pada level DNA yang didasarkan pada penggunaan
enzim pemotong (restriction enzim) yang dapat memotong DNA pada tempat
sekuens nukleotida spesifik (Montaldo dan Herrera, 1998). Li dan Graur (1991)
5 menyatakan bahwa enzim pemotong yang dapat mengenal sekuens DNA spesifik
disebut recognition sequences dan biasanya memiliki panjang empat sekuens basa
atau lebih dan bersifat palindrome.
PCR-RFLP merupakan suatu metode yang sederhana dan biasa digunakan
untuk mencari keragaman genotipe (Yahyaoi et al., 2001). Penyisipan (insersi),
penghilangan (delesi), maupun subtitusi nukleotida yang terjadi pada daerah
rekognisi suatu enzim restriksi menyebabkannya tidak lagi dikenalinya situs
pemotongan enzim restriksi dan terjadinya menyebabkannya perbedaan pola
pemotongan DNA (Lewin, 1994). Teknik RFLP yang dikombinasikan dengan teknik
PCR telah secara luas digunakan untuk mendapatkan variasi pada setiap daerah atau
lokasi DNA, baik pada daerah yang bersifat penyandi (coding region) pada genom
maupun pada daerah yang tidak penyandi atau daerah non-coding (Vasconcellos et
al., 2003).
Meghen et al. (1995) menyatakan bahwa jumlah dan ukuran fragmen DNA
yang dihasilkan oleh enzim pemotong memiliki pola pita ada atau tidaknya tempat
restriksi. Apabila tidak terpotong ada indikasi terjadi mutasi pada situs tersebut
sehingga tidak ada variasi hasil pemotongan dan ekspresinya bersifat kodominan.
Nei dan Kumar (2000) menyatakan bahwa atas dasar terpotong atau tidaknya
fragmen DNA dengan enzim pemotong, hasil fragmen potongan DNA tersebut dapat
divisualisasi melalui teknik elektroforesis yang hasilnya menunjukkan ada tidaknya
polimorfisme pada suatu individu dalam populasi.
Keragaman Genetik
Identifikasi keragaman genetik dalam suatu populasi digunakan untuk
mengetahui dan melestarikan bangsa-bangsa dalam populasi terkait dengan penciri
suatu sifat khusus. Informasi keragaman genetik suatu bangsa akan sangat
bermanfaat bagi keamanan dan ketersediaan bahan pangan yang berkesinambungan
(Blott et al., 1998). Nei dan Kumar (2000) menyatakan bahwa populasi dinilai
beragam jika memiliki dua atau lebih alel dalam satu lokus dengan frekuensi yang
cukup (biasanya lebih dari 1%). Hukum Hardy-Weinberg menyatakan bahwa
frekuensi genotipe suatu populasi yang cukup besar tidak akan berubah dari satu
generasi ke generasi lainnya jika tidak ada seleksi, migrasi, mutasi, dan genetic drift.
Keadaan populasi yang demikian disebut dalam keadaan equilibrium (seimbang)
6 (Noor, 2008). Selain itu silang dalam dan silang luar juga dapat mempengaruhi
frekuensi genotipe. Keragaman genetik dapat digunakan sebagai parameter dalam
mempelajari genetika populasi dan genetika evolusi. Tingkat keragaman dalam
populasi dapat digambarkan dari frekuensi alel. Frekuensi alel merupakan rasio
relatif suatu alel terhadap keseluruhan alel yang ditemukan dalam satu populasi (Nei
dan Kumar, 2000).
Derajat heterozigositas, menurut Nei (1987), merupakan rataan persentase
lokus heterozigositas tiap individu atau rataan persentase individu heterozigot dalam
populasi. Suatu alel dikatakan polimorfik jika memiliki frekuensi alel sama dengan
atau kurang dari 0,99. Hartl dan Clark (1997) menyatakan bahwa polimorfisme
genetik dalam suatu populasi dapat digunakan dalam menentukan hubungan antar
subpopulasi yang terfragmentasi dalam suatu spesies. Perhitungan keragaman
genetik dalam populasi secara kuantitatif dapat diperoleh melalui dua ukuran
keragaman variasi populasi yaitu proporsi lokus polimorfisme dalam populasi dan
rata-rata proporsi individu heterozigot dalam setiap lokus (Nei dan Kumar, 2000).
Keragaman genetik antara subpopulasi dapat diketahui dengan melihat persamaan
dan perbedaan frekuensi alel di antara subpopulasi (Li et al., 2000).
Javanmard et al. (2005) menyatakan bahwa nilai heterozigositas di bawah 0,5
(50%) mengindikasikan rendahnya variasi suatu gen dalam populasi dan jika nilai Ho
(heterozigositas pengamatan) lebih rendah dari He (heterozigositas harapan) maka
dapat mengindikasikan adanya proses seleksi yang intensif (Tambasco et al., 2003).
Avise (1994) juga menyatakan bahwa semakin tinggi derajat heterozigositas suatu
populasi maka daya tahan hidup populasi tersebut akan semakin tinggi. Seiring
dengan menurunnya derajat heterozigositas akibat dari silang dalam dan fragmentasi
populasi, sebagian besar alel resesif yang bersifat lethal semakin meningkat
frekuensinya.
Keragaman Gen Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH)
Growth Hormone Releasing Hormone (GHRH) dikenal juga dengan nama
Growth Hormone Realising Factor (GHRF) atau somatocrinin terdiri dari 44 peptida
asam amino dengan berat molekul 12447 Da dan panjang 107 aa (Connor et al.,
2002). Baker et al. (2000) menyatakan bahwa GHRH dikenal pula dengan
somatoliberin pertama kali diisolasi pada tahun 1982 dari sel pituitary dan sel
7 hipotalamus. Berdasarkan fungsi protein, somatoliberin sama seperti glukagon,
sekretin, dan VIP (Vasoactive Intestinal Peptide).
Beberapa penelitian telah dilakukan pada ternak sapi dan diketahui bahwa
somatotropin, somatoliberin dan sejenis sintesisnya meningkatkan produksi baik
pada ternak perah yaitu meningkatkan produksi dan lemak susu (Bonneau dan
Laarveld, 1999) maupun ternak pedaging (Achtung et al., 2001) yang dapat
meningkatkan laju pertumbuhan, sehingga mempersingkat waktu yang dibutuhkan
untuk mencapai bobot potong. Cheong et al. (2006) menambahkan berdasarkan hasil
penelitiannya bahwa gen GHRH merupakan salah satu penanda genetik untuk
produksi daging.
Gen adalah bagian segmen DNA termasuk semua nukleotida yang
ditranskripsi ke dalam mRNA yang akan ditranslasi menjadi protein (Nicholas, 1996;
Brown, 1999; Muladno, 2002). Gen GHRH pada sapi terletak pada kromosom nomor
13 (Barendse et al., 1994) terdiri dari lima ekson dan empat intron (Gambar 2).
Bagian gen yang mengkode asam amino dan menghasilkan protein disebut daerah
penyandi (coding sequence) (CDS). Selain itu terdapat pula bagian segmen depan
(leader segment) dan segmen belakang (trailer segment) yang mengapit daerah CDS.
Beberapa gen pada eukaryot bersifat tidak kontinyu karena adanya ekson (pengkode
protein) dan intron (space internal antara pengkode protein). Pada saat transkripsi,
bagian intron hilang (splicing), sehingga proses translasi berjalan baik (Brown,
1999).
5’ Kodon awal ATG
Coding Sequence (CDS)
Kodon akhir TGA 3’
5’
3’
Ekson 1
Ekson 2
Intron 1
Ekson 3
Intron 2
Ekson 4
Intron 3
Ekson 5
Intron 4
Flangking
region 5’
Keterangan :
Ekson 1
Ekson 2
Ekson 3
Ekson 4
Ekson 5
Flangking
region 3’
= 65 – 128
= 4340 – 4440
= 4707 – 4811
= 7048 – 7167
= 9337 – 9356
= 64 bp
= 101 bp
= 105 bp
= 120 bp
= 20 bp
Intron 1
Intron 2
Intron 3
Intron 4
= 129 – 4339
= 4441 – 4706
= 4812 – 7047
= 7168 – 9336
= 4211 bp
= 266 bp
= 2236 bp
= 2168 bp
Gambar 2. Rekonstruksi Struktur Gen GHRH Berdasarkan Sekuens Gen GHRH di
GenBank, Nomor Akses AF242855
8 Panjang gen GHRH pada sapi adalah 9356 pb (pasang basa). Moody et al.
(1995) melaporkan adanya keragaman gen GHRH pada sapi pedaging dengan
metode
PCR-RFLP
menggunakan
primer
GTAAGGATGC(C/T)(A/G)CTCTGGGT-3’
5’TGCCTGCTCATGATGTCCTGGA-3’;
GHRH
dan
serta
forward
GHRH
enzim restriksi
5’reverse
HaeIII
yang
menghasilkan dua buah alel yaitu 317, 83, 55 pb (alel A) dan 196, 121, 83, 55 pb
(alel B). Keragaman ditemukan pada exon ketiga gen GHRH pada sapi (no. Akses
GenBank U29611). Ruas fragmen untuk gen GHRH|HaeIII pada sapi Polish Black
and White menurut Dybus dan Grzesiak (2006) terletak menutupi bagian ekson 2,
seluruh intron 2, dan sebagian dari ekson 3; analisis keragaman terletak di intron 2
(no. Akses GenBank AF242855), menghasilkan tiga genotipe, yaitu AA (242 dan 55
pb), genotipe AB (242, 194, 55, dan 48 pb), dan genotipe BB (194, 55, dan 48 pb).
Kmiéc et al. (2007) melakukan penelitian terhadap keragaman gen GHRH|HaeIII
dan hubungannya dengan sifat produksi susu pada sapi Polish Red-and-White (salah
satu varietas bangsa Friesian Holstein). Produk PCR teramplifikasi sepanjang 297
pb, menghasilkan tiga genotipe, yaitu BB (194, 55, dan 48 pb), AB (242, 194, 55,
dan 48 pb) dan AA (242, 55, dan 48 pb). Menghasilkan frekuensi genotipe AA
sebesar 9,6%, genotipe AB sebesar 37% dan genotipe BB sebesar 53,4%. Frekuensi
alel A sebesar 28,1% dan frekuensi alel B sebesar 71,9%.
Tabel 1. Keragaman Gen GHRH Menurut Beberapa Penelitian pada Beberapa Jenis
Ternak
Ternak
Sapi Perah dan
Pedaging
Sapi Pedaging
Sapi Perah
Sapi Pedaging
Sapi Perah
Babi
Babi
Jumlah Alel
2
Posisi Marker
Intron 1
Metode
RFLP
Sumber
Moody et al. (1995)
2
2
Intron 2
Intron 2
RFLP
RFLP
12 tipe
5’UTR dan
intron
Intron 2
Ekson 3
Ekson 3
Analisis sekuen
Dybus et al. (2003)
Dybus dan Grzesiak
(2006)
Cheong et al. (2006)
RFLP
RFLP
RFLP
Kmiec et al. (2007)
Pierzchala et al. (2003)
Franco et al. (2005)
2
2
2
9 
Download