(SDM) merupakan aset yang penting dalam sebuah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sumber daya manusia (SDM) merupakan aset yang penting dalam sebuah
organisasi, karena SDM yang akan menggerakan organisasi serta mengembangkan
dan mempertahankan organisasi dalam berbagai tuntutan zaman. Persaingan yang
semakin ketat, sehingga menuntut organisasi harus mempunyai SDM yang berkualitas.
Organisasi harus mampu mempertahankan kinerja secara keseluruhan, baik kinerja
organisasi, individu, maupun kelompok. SDM memegang peranan penting dalam
meningkatkan kinerja, kesuksesan, dan keefektifan organisasi. Maka karyawan sebagai
SDM dari sebuah organisasi dituntut untuk dapat bekerja dengan baik demi
kelangsungan organisasi.
Menurut Katz (dalam Smith, Organ, dan Near, 1983) terdapat tiga perilaku dasar
karyawan yang penting agar organisasi dapat berfungsi dengan baik, efektif, serta
efisien. Tiga hal tersebut adalah:
a. Rendahnya tingkat absensi dan turn over, sehingga organisasi perlu mendorong
karyawan untuk masuk dan tetap berada dalam organisasi.
b. Karyawan harus memahami peran dan tugas masing-masing sesuai yang telah
ditetapkan dalam deskripsi tugas dan memenuhi standar kualitas yang ada telah
ditetapkan.
c. Berperilaku inovatif dan spontan diluar deskripsi peran yang ditetapkan untuk
mencapai tujuan. Berkaitan dengan hal ini, Katz (dalam Smith, Organ, & Near,
1983) menambahkan bahwa sebuah organisasi yang semata-mata hanya
mengandalkan karyawannya untuk berperilaku sesuai pada blueprint perilaku yang
telah ditentukan akan memiliki sistem sosial yang sangat rapuh.
Berdasarkan tiga hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa organisasi tidak dapat
berjalan secara efektif dan efisien apabila karyawan yang berada dalam organisasi
1
2
hanya menjalankan fungsi peran pokoknya saja atau hanya berperilaku sesuai deskripsi
pekerjaannya (in-role), sehingga karyawan juga diharapkan untuk dapat berperilaku
melebihi apa yang menjadi deskripsi pekerjaannya (extra-role). Melakukan perilaku
ekstra seperti, mau bekerjasama dengan rekan kerja, melindungi sumber daya
organisasi, memberikan saran dan partisipasi aktif, memberikan pelayanan ekstra pada
konsumen, dan turut menciptakan iklim organisasi yang baik. Perilaku extra-role disebut
juga dengan Organizational Citizenship Behavior (selanjutnya disingkat dengan OCB).
Menurut Organ (1988) OCB adalah perilaku individual yang bebas, tidak terkait
secara langsung atau eksplisit dengan sistem reward dan dapat meningkatkan fungsi
efektif. Organ juga menjelaskan bahwa OCB merupakan perilaku yang menguntungkan
bagi organisasi, OCB tidak dapat ditumbuhkan dengan dasar kewajiban peran formal.
Menurut Sloat (dalam Prihatsanti & Kartika, 2010) OCB merupakan istilah yang
digunakan untuk mengidentifikasi perilaku karyawan yang disebut sebagai ”anggota
yang baik” atau good organizational citizen, adalah karyawan yang melakukan tindakan
yang mengarah pada terciptanya keefektifan fungsi-fungsi dalam organisasi dan
tindakan tindakan tersebut secara eksplisit tidak diminta (secara sukarela), serta tidak
secara formal diberi penghargaan (dengan insentif). Bolino dan Turnley (dalam Schultz
& Sydney, 2010) mengemukakan bahwa perilaku OCB dapat berwujud mengerjakan
tugas tambahan, secara sukarela membantu pekerjaan orang lain, berkembang pada
bidang atau profesinya, mengikuti aturan yang ada walaupun tidak ada yang
mengawasi, mempromosikan dan melindungi organisasi, menjaga sikap dengan baik
serta mentoleransi ketidaknyamanan.
Perilaku OCB dapat diukur dengan melihat lima aspek yang dikemukakan oleh
Podsakoff, MacKenzie, Moorman, dan Fetter (dalam Organ, Podsakoff, & MacKenzie,
2006), yaitu altruism yang berupa perilaku tolong menolong antar karyawan,
conscientiousness berupa karyawan yang berusaha melebihi ekspektasi perusahaan,
sportmanship yang ditunjukkan dengan perilaku karyawan yang tidak banyak mengeluh
dalam menghadapi pekerjaan, courtesy yang merupakan perilaku mengajarkan kepada
3
orang lain dan civic virtue yang berupa tindakan ikut serta dalam mendukung fungsifungsi administrasi organisasi.
Organisasi yang sukses membutuhkan karyawan yang mampu menunjukkan
kinerja melebihi harapan dan standar yang ada. Dunia kerja yang dinamis seperti saat
ini menjadikan tugas kerja semakin sering dikerjakan dalam tim dan fleksibilitas menjadi
sangat
penting,
maka
organisasi
membutuhkan
karyawan
yang
bersedia
memperlihatkan perilaku “good citizen” seperti, membantu anggota tim lainnya,
mengajukan diri untuk melakukan tugas ekstra, menghindari konflik dengan pihak lain
dalam bekerja, menghormati aturan perusahaan, serta memiliki toleransi yang tinggi
terhadap kondisi-kondisi yang menyulitkan dirinya selama menyelesaikan tugasnya
(Robbins & Judge, 2013). Menurut (Organ, Podsakoff, & MacKenzie, 2006) perilaku
OCB dapat memberikan manfaat yang besar terhadap organisasi, diantaranya adalah:
a.
Meningkatkan produktivitas rekan kerja dan manajer.
b.
Menghemat sumber daya yang dimiliki organisasi.
c.
Perilaku OCB membuat koordinasi dan kegiatan tim kerja lebih efektif.
d.
Mempertahankan stabilitas kinerja organisasi.
e.
Membantu organisasi untuk bertahan dan beradaptasi dengan perubahan
lingkungan.
Perilaku OCB tentu tidak dapat muncul tanpa suatu penyebab. OCB dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kepuasan kerja. Karyawan yang
puas akan lebih mungkin berbicara positif tentang organisasi, membantu orang lain, dan
melakukan kinerja yang melampaui harapan normal, selain itu karyawan menjadi
bangga dapat melebihi tuntutan tugas karena ingin membalas pengalaman positif yang
dialami (Robbins, 1996). Luthans (1995) mengatakan bahwa kepuasan kerja
merupakan suatu ungkapan kepuasan karyawan tentang bagaimana pekerjaan yang
mereka kerjakan dapat memberikan manfaat bagi organisasi. Menurut Robbins (1996)
kepuasan kerja merupakan sikap umum individu terhadap pekerjaannya. Seseorang
dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi menunjukkan sikap yang positif terhadap
4
pekerjaannya, sedangkan seseorang yang memiliki tingkat kepuasan kerja yang rendah
menunjukkan sikap yang negatif tehadap pekerjaannya.
Pendapat lain mengatakan bahwa kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja
merupakan dua hal yang berbeda (Herzberg, 1974). Maksudnya, kepuasan dan
ketidakpuasan kerja bukan merupakan suatu variabel yang bisa digambarkan dalam
satu kontinum kepuasan dan ketidakpuasan. Herzberg membagi situasi yang
mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaannya menjadi dua kelompok, yaitu
kelompok satisfiers dan kelompok dissatisfiers. Menurut Herzberg (1974) yang dapat
membuat seseorang puas dengan pekerjaannya dan memacu untuk bekerja dengan
baik adalah kelompok satisfiers, terdiri dari pengakuan, tanggung jawab, pencapaian
prestasi, persepsi terhadap pekerjaan itu sendiri, dan peluang untuk mengembangkan
diri. Sedangkan kelompok dissatisfiers terdiri dari upah, keamanan kerja, status,
prosedur organisasi, kondisi kerja dan kualitas hubungan interpersonal.
Terdapat penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa kepuasan kerja
memiliki hubungan positif dengan OCB. Seperti penelitian oleh Bateman dan Organ
(1983) terhadap 82 staff universitas non-akademik dalam delapan depertemen yang
berbeda, pengumpulan data menggunakan skala OCB dengan tujuh aspek dan Job
Descriptive Index (JDI) untuk mengukur kepuasan kerja. menemukan bahwa kepuasan
kerja memiliki hubungan yang positif dengan OCB, sehingga semakin tingginya
kepuasan kerja pada karyawan maka karyawan akan memberikan dedikasi usahausahanya serta menunjukkan perilaku yang menguntungkan perusahaan. Penelitian lain
oleh Mohammad, Habib, dan Alias (2011) pada 79 staff non-akademik di Universitas
Kebangsaan Malaysia, menggunakan dua dimensi OCB (OCB-I dan OCB-O) sebagai
variabel tergantung dan dua aspek kepuasan kerja (kepuasan kerja intrinsik dan
ekstrinsik) sebagai variabel bebas. Menjelaskan bahwa kepuasan kerja intrinsik maupun
ekstrinsik mempunyai hubungan yang kuat pada OCB, sehingga dengan kepuasan kerja
yang tinggi dapat mendorong karyawan untuk menjadi lebih spontan dan bersedia
mencapai tujuan organisasi meskipun melebihi tugas resmi dan tanggung jawab
5
mereka. Selain itu, penelitian oleh Andriani, Djalali, dan Sofiah (2012) pada 100
karyawan PT Terminal Petikemas Surabaya, mengukur variabel OCB dengan lima
aspek (altruism, conscientious, sportsmanship, courtesy dan civic virtue) dan lima aspek
kepuasan kerja (pekerjaan, imbalan, kesempatan promosi, supervisi, dan rekan kerja).
Penelitian tersebut menemukan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan
antara kepuasan kerja dengan OCB, sehingga peningkatan kepuasan kerja cenderung
akan meningkatkan perilaku OCB.
Namun beberapa penelitian sebelumnya juga ada yang menemukan bahwa
kepuasan kerja dengan OCB tidak selalu memiliki hubungan yang kuat. Seperti
penelitian oleh Randall, Cropanzano, Bormann, dan Birjulin (1999) terhadap 128 orang
karyawan pada tiga perusahaan manufacturing, menggunakan dua dimensi OCB (OCBI dan OCB-O) dan skala kepuasan kerja tiga aitem, data didapatkan dengan melakukan
distribusi skala secara langsung kepada subjek, hasil penelitian tersebut menemukan
bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kepuasan kerja dengan OCB.
Penelitian lain oleh Mehboob dan Bhutto (2012) terhadap 84 karyawan Business
Institutes, menggunakan lima aspek OCB dan dua aspek kepuasan kerja (intrinsik dan
ekstrinsik), data variabel kepuasan kerja didapatkan dari karyawan secara langsung
sementara data OCB didapatkan dari ketua divisi atau koordinator karyawan. Penelitian
tersebut menemukan bahwa kepuasan kerja tidak signifikan berhubungan dengan OCB,
kepuasan kerja hanya memiliki hubungan dengan dua aspek OCB yaitu courtsey dan
altruism, sehingga dalam penelitian tersebut kepuasan kerja memiliki kemampuan yang
lemah dalam hal memprediksi OCB.
Penelitian lain oleh Budiman, Anantadjaya, dan Prasetyawati (2014) pada 102
karyawan hotel bintang 4 di Jakarta, menggunakan tiga aspek OCB-O (civic virtue,
sportsmanship, dan conscientiousness) sebagai indikator OCB dan lima aspek
kepuasan kerja (pay, promotion, supervision, co-workers, dan work conditions). Hasil
dari penelitian tersebut adalah kepuasan kerja tidak signifikan memiliki hubungan positif
dengan OCB. Budiman, Anantadjaya, dan Prasetyawati (2014) berpendapat bahwa
6
masing-masing organisasi memiliki budaya organisasi yang khas, dalam penelitian
tersebut kepuasan kerja karyawan berasal dari imbalan yang bisa didapatkan oleh
karyawan (aspek pay mampu menjelaskan kepuasan kerja sebesar 85%), sehingga
kepuasan kerja yang tinggi tidak secara signifikan mampu mempengaruhi perilaku OCB.
Penelitian oleh Ningsih dan Arsanti (2014) pada karyawan non-frontliner salah
satu cabang bank nasional di Purwadadi, menemukan bahwa kepuasan kerja tidak
mempunyai pengaruh signifikan terhadap OCB, sehingga kepuasan yang dimiliki
karyawan terhadap pekerjaannya tidak secara langsung dapat mempengaruhi karyawan
untuk memunculkan perilaku extra-role atau OCB. Ningsih dan Arsanti (2014)
berpendapat bahwa adanya perbedaan status karyawan yaitu karyawan tetap dan
karyawan kontrak mempunyai kontribusi terhadap perilaku OCB, dalam penelitian
tersebut 63% subjek merupakan karyawan kontrak atau tidak tetap, sehingga perilaku
OCB yang ditunjukkan terhadap organisasi bukan karena kepuasan kerja melainkan
semata-mata karena adanya harapan terhadap keberlanjutan masa kerja dan
pengangkatan menjadi karyawan tetap .
Berdasarkan uraian di atas, jelas terdapat beberapa kontradiksi dalam hubungan
antara kepuasan kerja dengan OCB, sedang beberapa penelitian mendukung hubungan
positif antara kepuasan kerja dan OCB, namun terdapat penelitian lain yang
menyimpulkan bahwa tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara kepuasan kerja
dan OCB. Maka dari itu peneliti tertarik untuk membuktikan hubungan antara kepuasan
kerja dan OCB. Rumusan pertanyaan dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan
antara kepuasan kerja dengan OCB.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris hubungan antara kepuasan
kerja dengan OCB pada karyawan PT Kalbe Farma.
7
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada perkembangan
Ilmu Psikologi Industri dan Organisasi, khususnya dalam bidang yang berkaitan
dengan kepuasan kerja dan OCB.
2. Manfaat Praktis
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran tingkat kepuasan
kerja di dalam perusahaan serta tingkat perilaku OCB di dalam perusahaan.
Menambah pengetahuan dan kesadaran kepada pelaku industri khusunya bidang
sumber daya manusia bahwa kepuasan kerja pada karyawan sangat penting untuk
dipenuhi sebagai salah satu cara menumbuhkan periaku OCB dalam organisasi.
Download