III. KERANGKA TEORITIS 3.1. Teori Perubahan Iklim Cuaca dan iklim mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kehidupan di bumi. Keduanya merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari- hari dan esensial bagi kesehatan, produksi pangan dan kehidupan. Banyak pertimbangan mengenai prospek dari perubahan iklim yang diakibatkan ulah manusia sebagai suatu hal yang menjadi perhatian. IPCC (1996) menyajikan bukti-bukti ilmiah bahwa aktivitas manusia mungkin sudah dan sedang mempengaruhi iklim. Jika kita ingin memahami, mendeteksi, dan pada akhirnya memprediksi pengaruh manusia terhadap iklim, satu hal yang perlu adalah memahami sistem yang menentuka n iklim bumi da n proses yang menyebabka n terjadinya perubahan Dalam konteks umum, cuaca dan iklim adalah memiliki definisi yang sangat dekat. Cuaca sebagaimana kita alami sampai saat ini adalah fluktuasi atmos fer di sekitar kita, yang dikarakteristikkan oleh suhu, angin, penyerapan, awan dan unsur cuaca lainnya. Cuaca tersebut adalah hasil dari perkembangan dan dekomposisi sistem cuaca seperti sistem tekanan rendah dan tinggi dari suatu mid-latitude yang bersamaan dengan zona frontal, pemancaran dan cyclone tropis. Cuaca juga memiliki tingkat predictability yang terbatas. Sistem konvektive skala-meso hanya dapat memprediksi periode jam, cyclone skala synoptic mungkin dapat diprediksi dalam periode hari sampai minggu (IPCC, 2001). Sementara iklim berkaitan dengan rata-rata cuaca dalam konteks rata-rata dan variabilitasnya pada sepanjang waktu tertentu dan suatu area tertentu. Klimatologi klasik menyajikan suatu klasifikasi dan deskripsi berbagai regim 66 iklim yang ditemukan di bumi. Iklim bervariasi dari tempat ketempat tergantung ketinggian, jarak ke permukaan laut, vegetasi, keberadaan atau ketidakadaan pegunungan atau faktor- faktor geografik lainnya. Iklim juga bervariasi dalam hal waktu, dari musim ke musim, tahun ke tahun, dekade ke dekade atau skala waktu yang lebih panjang seperti abad es (IPCC, 2001). Variasi yang signifikan secara statistik dari pengertian iklim atau variabilitasnya untuk periode yang lebih panjang atau dekade adalah yang dimaksudkan sebagai perubahan iklim. IPCC (2001) menyatakan bahwa climate change refers to a statistically significant variation in either the mean state of the climate or in its variability, persisting for an extended period (typically decades or longer). Selain itu diperjelas juga bahwa climate change may be due to natural internal processes or external forcings , or to persistent anthropogenic changes in the composition of the atmosphere or in land use. Kementerian Lingkungan Hidup (2001) mendefinisikan perubahan iklim adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia. Peruba han fisik ini tidak terjadi hanya sesaat tetapi dalam kurun waktu yang pa njang. Sedangkan LAPAN (2002) mendefinisikan perubahan iklim adalah perubahan rata-rata salah satu atau lebih elemen cuaca pada suatu daerah tertentu. Sedangkan istilah perubahan iklim skala global adalah perubahan iklim dengan acuan wilayah Bumi secara keseluruhan. Definisi yang umumnya diterima juga berdasarkan pasal 1 Konvensi PBB mengenai Peruba han Iklim yang menyataka n :“Climate change means a change of climate which is attributed directly or inderictly to human activities that alters 67 the composition of the global atmosphere and which is in addition to natural climate variability observed over comparable time periods. Atau diterjemahkan: “Perubahan iklim ialah beruba hnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan komposisi atmosfer secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan.” Kamus mende finiskkan pentingnya dan notasi dari variabilitas iklim dan perubahan iklim. Variasi dan perubahan iklim yang disebabkan oleh kekuatan eksternal, mungkin sebagian dapat diprediksi terutama yang lebih besar, benua dan global, dan skala spatial. Karena aktivitas manusia seperti emisi gas rumah kaca atau perubahan penggunaan lahan, menghasilkan dampak faktor eksternal, hal ini dipercaya bahwa aspek perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia dalam skala besar merupakan bagian yang dapat diprediksikan. Namun demikian, ke mampuan unt uk mengaktualisasika n cukup terbatas karena tidak dapat memprediksi secara akurat perubahan populasi, perubahan ekonomi, perkembangan teknologi dan karakteristik yang relevan lainnya dari aktivitas manusia di masa depan. Oleh karena itu, dalam praktek, kita harus berhati- hati dalam menyusun skenario aktivitas manusia da n menentuka n proyeks i iklim yang berbasis skenario aktivitas manusia tersebut. Pengetahuan secara tradisional tentang cuaca dan iklim difokuskan pada variabel- variabe l yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari secara langsung seperti rata-rata, suhu maksimum dan minimum, angin didekat permukaan bumi, penyerapan air dalam berbagai bentuk, kelembaban, bentuk dan jumlah awan, dan radiasi matahari. Namun demikian, variabel tersebut hanya ba gian dari realitas 68 yang menentukan cuaca dan iklim. Pertumbuhan, pergerakan, dan dekomposisi sistem cuaca juga tergantung pada struktur vertikal dari atmos fer, pengaruh penggunaan lahan, dan laut serta banyak faktor lainnya yang secara tidak langsung dialami oleh manusia. Iklim ditentukan oleh sirkulasi atmosfer dan interaksinya dengan samudera dalam skala luas dan lahan dengan berbagai gambarannya seperti vegetasi da n kesuburan tanah (IPCC, 2001). Untuk memahami iklim dan variasinya serta memahami dan kemungkinan memprediksi perubahannya yang diakibatkan oleh aktivitas manusia, kita tidak dapat mengesampingkan berbagai faktor dan komponen yang menentukan iklim. Kita harus memahami sistem iklim, yaitu suatu sistem yang sangat kompleks yang terdiri dari atmos fer, samudera, es dan penutup salju, permukaan tanah dan unsurunsurnya, banyaknya interaksi yang bersifat mutual diantara komponen tersebut, dan variasi yang besar secara fisika, kimia, dan biologi terhadap sistem iklim secara keseluruhan termasuk suatu deskripsi secara statistik dari variasinya (IPCC, 2001). Sistem iklim sebagaimana didefinisikan sebelumnya, adalah sistem yang interaktif terdiri dari lima komponen utama yaitu atmosphere, hydrosphere, cryosphere, permukaan tanah dan biosphere, yang didorong atau dipengaruhi oleh berbagai variasi mekanisme kekuatan eksternal dimana yang paling penting ada lah matahari seperti yang terdapat pada Gambar 8. Dampak secara langsung dari aktivitas manusia terhadap sistem iklim juga dipertimbangkan sebagai kekuatan eksternal. Atmosphere adalah bagian yang paling tidak stabil dan berubah sangat cepat dalam sistem iklim. Atmosphere terutama terdiri dari Nitrogen (N 2 ) yang mencapai sekitar 78.1 persen volume mixing ratio, Oxygen 69 (O 2 , 20.9 persen) da n Argon (Ar, 0.93 persen). Carbon dioxide (CO 2 ), methane (CH4 ), selain itu, juga terdapat nitrous oxide (N 2 O) dan ozone (O 3 ), yang mengabsorsi dan menahan radiasi sinar inframerah (IPCC, 2001). Sumber: Intergovernmental Panel on Climate Change, 2001. Gambar 8. Skema Tinjauan Komponen Sistem Iklim Globa l Keterangan: Bold : prosesnya Thin arrows: interaksinya Bold arrows: beberapa aspek yang kemungkinan merubahnya Hydrosphere adalah komponen yang seluruhnya mengandung permukaan berbe ntuk cairan dan dasarnya mengandung air termasuk sungai, danau dan air dari salinasi samudera maupun lautan. Lautan mencakup hampir 70% dari permukaan bumi. Lautan menyimpan dan meminda hkan sejumlah energi yang besar dan menghancurkannya serta menyimpan carbon dioxide dalam jumlah besar. Cryosphere mencakup kumpulan es di Greenland da n Antartica, glatsier di 70 berbagai benua dan ladang salju, serta es di lautan. Karena kumpulan es menyimpan air dalam jumlah besar, variasi dari volumenya merupakan sumber yang potensial terjadinya variasi tingkat permukaan laut (IPCC, 2001). Menurut Rusbiantoro .D (2008), jika ditinjau dari kejadiannya, perubahan iklim merupaka n kejadian yang diakiba tka n oleh : 1. Meningkatnya temperatur rata-rata pada lapisan atmosfer, 2. Meningkatnya temperatur pada air laut, dan 3. Meningkatnya temperatur pada daratan. Lebih lanjut dikemukakan pula bahwa gejala terjadinya perubahan iklim dapat diamati dan dirasakan dengan adanya : 1. Pergant ian mus im yang tidak bisa diprediksi, 2. Hujan badai sering terjadi di mana- mana, 3. Sering terjadi angin puting beliung, 4. Banjir dan kekeringan terjadi pada waktu yang bersamaan, 5. Penyakit mewabah di banyak tempat, dan 6. Terumbu karang memutih. Banyak ahli berpendapat bahwa penyebab utama peruba han iklim adalah aktivitas manus ia walau ada penyebab lain yang bersifat alami. Penyebab pemanasan bumi yang diakibatkan oleh aktivitas manusia ini antara lain : 1 Pembakaran bahan bakar batu bara, misalnya untuk pembangkit listrik, 2 Pembakaran minyak bumi, misalnya untuk kendaraan bermotor, 3 Pembakaran gas alam, misalnya untuk keperluan memasak. Akibat dari proses pembakaran itu, karbon dioksida dan gas- gas lainnya terlepas ke atmos fer. Gas-gas tersebut disebut dengan gas rumah kaca. Jika gas 71 rumah kaca yang memenuhi atmosfer semakin banyak, maka akan semakin kuat juga menjadi insulator yang menyekat panas dari sinar matahari yang dipancarkan ke permukaan bumi. Diperkirakan proses menghangat dan mendinginnya bumi ini telah saling berganti- ganti dan kurang lebih terjadi selama 4 milyar tahun (Rusbiantoro. D, 2008). 3.2. Teori Produksi Pada model CGE umumnya fungsi produksi yang digunakan adalah fungsi produksi Leontief dan fungsi produksi yang elastisitasnya adalah Constant Elasticity of Substituttion (CES) (Wibowo, 2009). Penggunaan kedua fungsi produksi tersebut bertujuan untuk menyederhanakan dan mengurangi jumlah parameter substitusi yang harus digunakan di dalam persamaan (Hakim, 2004). Berdasarkan Nicholson (2005), fungsi produksi Leontief mengasumsikan bahwa setiap penambahan output akan diikuti dengan peningkatan permintaan input produksi dalam proporsi tetap (fixed proportion). Hal ini berarti bahwa tidak ada substitusi diantara masing- masing input produksi (faktor primer dan input antara). Untuk menjelaskan konsep dasar fungsi produksi Leontief, dijelaskan melalui gambar 9. Mengacu pada konsep teori yang dikemukakan Nicholson (2005), amaka untuk menghasilka n sebuah output misalnya sebanyak q1, diperlukan v unit kapital (K) dan u unit tenaga kerja (L), sehingga untuk output sebesar Y unit akan diperlukan K= vY dan L= uY. Pada kondisi tersebut diasumsikan bahwa L/K = u/v ada lah merupaka n satu-satunya teknologi produksi yang tersedia. Dengan demikian, untuk menghasilkan sebuah output diperlukan kapital dan tenaga kerja dalam proporsi yang tetap. Perlu diingat bahwa penamba han salah satu input 72 produksi tanpa menambah input lainnya secara proporsional tidak akan dapat menghasilkan tambahan output. L q=2 L’ L* q=1 u/v K’ K* K Sumber: Nicholson, 2005. Gambar 9. Fungsi Produksi Leontief Sebagaimana dijelakan pada Nicholson (2005), secara matematis, fungsi produksi Leontief dapat dinyatakan dalam be ntuk persamaan seba gai berikut : Y = min (K/v, L/u). Mengacu pada gambar 9, dapat dijelaskan bahwa jika K berada pada titik K* dan L di titik L’, maka K*/v < L’/u, sehingga Y = K*/v. Pada kondisi tersebut berarti bahwa jumlah tenaga kerja yang paling efisien adalah pada titik-titik dimana K*/v = L/u atau L = (u/v)K*, yaitu pada titik L*. Dengan demikian akan selalu berlaku persamaan Y/L = (l/v)K/L di sepanjang garis “fungsi produksi sama” (isoquant). Sementara itu, fungsi produksi lainnya yang sering digunakan pada model CGE yaitu fungsi produksi CES, yaitu fungs i yang memungkinkan adanya susbtitusi diantara faktor- faktor primer (Wibowo, 2009). Sepe rti dijelaskan pada Nicholson (2005), secara umum fungsi CES dinyatakan dengan persamaan [ −ρ −ρ sebagai beriut: Y = τ αK + (1 − α ) L ] −r / ρ , dimana r adalah tingkat homogenitas 73 dari fungsi produksi; τ > 0 adalah parameter yang menunjukka n ukuran dari fungsi produksi; α adalah parameter shares masing- masing faktor produksi yang besarnya : 0 ≤ α ≤ 1; sedangkan ρ adalah parameter substitusi. Dengan fungsi produksi CES tersebut, tingkat permintaan faktor primer akan dipengaruhi oleh harga relatif, nilai elastisitas substitusi, share masing- masing faktor dalam biaya produksi, dan tingkat output yang dihasilkan. Dengan kata lain, elastisitas substitusi memungkinkan bagi sebuah industri atau sektor untuk merespon terhadap perubahan harga relatif dan atau ketersediaan faktor primer (Nicholson, 2005). Mankiw (2006) mengemukakan bahwa harga yang diba yarka n untuk setiap faktor produksi-tenaga kerja, tanah, atau modal sama dengan nilai produk marginal dari faktor produksi tersebut. Produk marginal dari setiap faktor produksi akan bergantung pada jumlah faktor tersebut yang tersedia. Karena perilaku penurunan produk marginal, suatu faktor produksi yang ditawarkan dengan berlimpah memiliki produk marginal dan harga yang rendah, dan sebuah faktor produksi yang jarang d itawarkan memiliki produk marginal dan harga yang tinggi. Akibatnya, ketika penawaran faktor-faktor produksi turun, keseimbangan harga faktor produksi meningkat. Berdasarkan Mankiw (2006), djelaskan bahwa ketika penawaran setiap faktor produksi berubah, dampaknya tidak hanya dibatasi pada pasar faktor produksi tersebut. Pada berbagai situasi umum, faktor-faktor produksi digunakan bersama-sama dalam cara tertentu sehingga membuat produktivitas masingmasing faktor bergantung pada jumlah faktor produksi lainnya yang tersedia untuk digunakan dalam proses produksi. Sebagai hasilnya, perubahan dalam 74 penawaran setiap faktor produksi akan mempengaruhi pendapatan dari semua faktor produksi lainnya. 3.3. Teori Produktivitas 3.3.1. Average Physical Productivity Teori produktivitas yang dijelaskan pada bagian berikut berdasarkan teori yang dikemukakan dalam literatur teori mikro ekonomi N.G Mankiw (2006). Dalam penggunaan terminologi secara umum produktivitas tenaga kerja (labour productivity) seringkali diartikan sebagai produktivitas rata-rata atau average productivity. Walaupun konsep produktivitas rata-rata tidak begitu dianggap penting dalam teori ekonomi seperti halnya produktivitas marjinal, konsep produktivitas rata-rata justru mendapat perhatian besar dalam diskusi secara empiris. Hal ini disebabkan produktivitas rata-rata sangat mudah diukur, sehingga seringkali dianggap sebagai ukuran efisiensi. Produktivitas rata-rata dari suatu input misalnya lahan didefinisikan secara matematis sebagai berikut: APl = output q f (k , l ) …………….......………………………(3.1) = = land input l l dimana, AP l juga tergantung pada tingkat input modal yang digunakan. 3.3.2. Marginal Productivity Marginal Productivity atau produktivitas marjinal didefinisikan sebagai perubahan output akiba t peruba han salah satu input dari input produktif (Nicholson, 2005). Untuk menjelaskan mengenai produktivitas marjinal tersebut, maka digunakan suatu bentuk fungsi produksi yang menggunakan dua jenis input 75 yaitu modal (k) dan tenaga kerja (l), dalam bentuk fungsi produksi sebagai be rikut : q = f (k , l ) …………………………………………………………(3.2) Fungsi produksi tersebut menunjukkan jumlah output yang dapat diproduksi dengan menggunakan alternatif kombinasi dari input capital (k) dan tenaga kerja (l). Penyederhanaan fungs i prod uksi hanya menggunakan dua jenis input yaitu modal dan tenaga kerja dimaks udk an untuk memuda hka n analisis karena pada kenyataannya produksi suatu barang ditentukan oleh lebih dari dua jenis input. 3.3.2.1. Marginal Physical Product Untuk mempelajari lebih lanjut mengenai variasi dari penggunaan input didefinisikan Marginal Physical Product dari suatu inp ut yaitu tamba han output yang dapat diproduksi dengan menggunakan tambahan satu unit input produksi sementara penggunaan jenis input lainnya bersifat konstan. Mengacu pada mankiw (2005), maka secara matematis dirumuskan: Marginal Physical Product dari Modal = MPk = Marginal Physical Product dari tenaga kerja = ∂q = fk ∂k …….....…(3.3) MPl = ∂q = f l ……..(3.4) ∂l Definisi secara matematis dari marginal product menggunakan partial derivatives, yang menggambarkan bahwa penggunaan semua input lainnya adalah konstan sementara input yang digunakan ( dalam hal ini moda l dan tenaga kerja ) adalah bervariasi. 76 3.3.2.2. Diminishing Marginal Productivity Namun de mikian, lebih lanjut Mankiw (2005) menjelaskan bahwa marginal physical product dari suatu input tergantung pada seberapa besar jumlah input yang digunakan. Input tenaga kerja misalnya, tidak dapat ditambah sampai tak terhingga (indefinitely) terhadap suatu tingkat produksi tertentu (sementara jumlah peralatan, pupuk, dan input lainnya tetap) tanpa menggganggu tingkat produktivitas itu sendiri. Oleh karena itu, penamba han satu jenis input pada akhirnya juga akan berdampak pada penurunan marginal productivity atau lebih dikenal sebagai diminishing marginal productivity. Secara matematis, asumsi dari diminishing marginal productivity adalah asumsi mengena i second-order partial derivatives dari fungsi produksi yaitu dirumuskan: ∂MPk ∂ 2 f = 2 = f kk = f11 < 0 ∂k ∂k …………………………………...………(3.5) ∂MP1 ∂ 2 f = 2 = f ll = f 22 < 0 ∂l ∂l …………………………………...…………(3.6) Asumsi diminishing marginal productivity pertama kali dikemukakan oleh Ekonom Thomas Malthus yang mengkhawatirkan bahwa peningkatan populasi yang cepat akan menghasilkan produktivitas tenaga kerja yang lebih renda h. Namun para ahli matematik melihat bahwa terkait dengan fungsi produksi menyarankan bahwa kekhawatiran tersebut salah tempat. Menurut Mankiw (2005), perubahan produktivitas marjinal tenaga kerja sepanjang waktu tergantung tidak hanya bagaimana tingkat pertumbuhan tenaga kerja tersebut tetapi juga pada perubahan input lainnya seperti modal. Hal ini berarti bahwa dalam konteks marginal productivity harus diperhitungkan juga rasio antara tambahan 77 penggunaan tenaga kerja dengan modal atau secara matematis dirumuskan ∂MPl / ∂k = f lk . Dalam banyak kasus f lk > 0, sehingga penurunan produktivitas tenaga kerja ketika kedua input yaitu tenaga kerja dan modal meningkat tidak merupakan kesimpulan yang selalu benar. Berdasarkan fakta yang ada menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja meningkat cukup signifikan sejak Malthus mengemukakan teorinya karena meningkatnya input modal dapat mengkompensasi penurunan produktivitas marjinal itu sendiri (Mankiw, 2005). 3.4. Model Estimasi Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Pertanian Cline (2007) menjelaskan bahwa dampak perubahan iklim dapat diestimasi pada tiga isu utama yaitu pertama, fertilisasi karbon (carbon fertilization), kedua irigasi da n ke tiga dampak terhadap perdagangan produk pertanian. Isu ke tiga tersebut diatas merupaka n isu yang kr usial yaitu apaka h dalam menjelaskan da mpak perubahan iklim terhadap pertanian dengan atau tanpa menggunakan efek operasional melalui perdagangan internasional. Cline (2007) lebih lanjut menjelaskan ba hwa ada dua metode yang dapat digunakan untuk mengestimasi dampak potensial pemanasan global (perubahan iklim) terhadap sektor pertanian pada tahun 2080-an. Kedua model disusun oleh Mendelson-Schlesinger yang diperuntukkan untuk estimasi perubahan iklim di negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Model yang digunakan untuk mengestimasi dampak perubahan iklim terhadap produksi sektor pertanian di negara-negara maju adalah model statistik dalam bentuk reduced form dan cross section model. Model reduced form adalah model yang diturunkan dari ringkasan estimasi secara statistik yang didasarkan pada hasil dari suatu model pertumbuhan 78 produksi pertanian dan model linear programing pertanian Amerika Serikat (Mendelson dan Neuman 1999). Model tersebut menyatakan bahwa dampak perubahan suhu, presipitasi, dan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer mengikuti model persamaan sebagai berikut : [ y = 2.16 x − 308 + 53.7T − 2.3T 2 + 0.22 P + 36.5 ln(c / 350) ] ..............(3.7) dimana: y = output sektor pertanian tahunan tahun 1990 (dalam US$ per hektar lahan pertanian) T = Rata-rata suhu tahunan dalam satuan derajat celsius (0 C) P = Presipitasi rata-rata tahunan dalam milimeter c = Konsentrasi karbon dioksida di atmos fer (parts per million atau ppm) Berdasarkan model pada persamaan 3.7. tersebut perlu dicatat bahwa pada periode dasar, konsentrasi karbon dioksida adalah 350 ppm, sehingga besaran angka dalam model persamaan menjadi 36.5 dika li de ngan logaritma natural dari angka 1 (satu) yaitu nol, sehingga nilai fertilisasi karbon dikeluarkan dari model persamaan ketika menjelaskan dampak perubahan iklim terhadap produksi pertanian pada saat ini (1990). Gambar 10 menunjukkan kurva yang menghubungkan output nol dan output sebesar $ 200 per hektar berdasarkan persamaan 3.7. Kedua kurva menunjukkan bahwa suhu optimal pada 11.7 0 C. Pada suhu tersebut, output yang dihasilkan sebesar $ 200 per hektar pada presipitasi sekitar 2.5 mm. Model kedua yang juga dikemukakan oleh Mendelson dan Schlesinger(1999) adalah model cross-section atau disebut Ricardian Agricultural 79 Impact Function. Fungsi Ricardion cross-section sebagaimana diidentifikasi pada Mendelson dan Schlesinger (1999) dirumuskan: [ v = r x g x − 475.5 + 223.2T − 7.87T 2 + 0.063P − 0.000026 P 2 + 480 ln(c / 350) ] ...................................................................................................................(3.8) dimana: r = tingkat bunga yang bernilai 0.03 g = faktor tingkat pertumbuhan output pertanian yang bernilai 1.02 T = rata-rata suhu tahunan dalam satuan derajat celsius (0 C) P = presipitasi rata-rata tahunan dalam milimeter c = konsentrasi karbon dioksida di atmos fer (parts per million atau ppm) Precipitation (mm per day) 16 14 12 10 q=200 8 6 4 q=0 2 0 -5 -2 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 Temperature (0C) Sumber: Clien, 2007. Gambar 10. Kurva Isoproduksi Fungsi Reduced Form Mendelsohn-Schlesinger Selanjutnya Mendelson, Dinar dan Sanghi (2001) menyusun model estimasi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas pertanian untuk India, kemudian 80 Kurukasuriya et al. (2006) menyusun model estimasi untuk Afrika, dan serangkaian studi yang disponsori oleh World Bank menyusun model estimasi untuk negara- negara Amerika Latin. Ketiga model estimasi tersebut, stuktur modelnya adalah sebagai berikut : z = ∑i [α iTi + β iTi + γPi + δ i Pi 2 2 ]+ K .....................................................(3.9) dimana: z = ukuran produktivitas pertanian (net revenue per hektar untuk Afrika, logaritma natural dari net revenue per hektar untuk India, dan nilai lahan per hektar untuk Amerika Latin) T = suhu rata-rata tahunan dalam satuan derajat celsius (0 C) P = presipitasi rata-rata bulanan dalam milimeter i = musim K= variabel komposit yang menggambarkan regresi konstan maupun pengaruh dari variabel kontrol lainnya dalam estimasi mode l tertentu. Sementara itu menurut Garna ut, R (1998) dimensi lain dari penggunaan model keseimbangan umum adalah dapat digunakan dalam analisis dampak perubahan iklim terhadap pertanian yaitu pada harga produk pertanian di pasar global. Oleh karena itu, jika menggunakan model keseimbangan umum, seperti GTAP, peruba han harga ada lah merupaka n variabe l endogenous. Berbagai model estimasi dampak perubahan iklim de ngan menggunakan mod el persamaan ekonometrik sebagaimana dijelaskan diatas, selanjutnya menjadi referensi penulis dalam menyusun model estimasi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas pertanian pada komoditas pangan yaitu padi, gandum dan jagung di berbagai negara. Dalam penyusunan model estimasi tersebut digunakan model regresi be rganda (multiple regression model) yaitu mode l untuk 81 mengestimasi variabel dependent (dalam penelitian ini adalah tingkat produktivitas padi, gandum dan jagung) dengan menggunakan lebih dari satu independent (explanatory) variabel (dalam penelitian ini mencakup tiga variabel indepe nde nt yaitu suhu rata-rata, konsentrasi karbon dan tingkat presipitasi di setiap negara yang diteliti) (Sitepu, R.K dan B.M, Sinaga, 2006). Sedangkan data yang digunakan untuk menyusun model persamaan regresi berganda tersebut adalah berupa data pa nel yaitu sebuah set data yang berisi data sampel individu (dalam penelitian ini individu negara), pada sebuah periode waktu tertentu yaitu selama periode 1991-2000, sehingga akan didapatkan berbagai observasi pada setiap individu di dalam sampel. Dengan kata lain, data panel merupakan gabungan antara data lintas-waktu (time series) dan data lintasindividu (cross section). Baltagi (2005) dalam bukunya menjelaskan beberapa keuntungan dari penggunaan data panel. Data panel berka itan de ngan individual, perusahaan, negara, dan sebagainya dalam periode tertentu, maka tidak ada batasan terhadap heterogenitas dari unit ini. Dengan mengkombinasikan data time series da n cross section, data panel memberikan data yang lebih informatif, lebih bervariasi, sedikit kolinieritas antar variabel, lebih banyak derajat kebebasan (degree of freedom) dan lebih efisien. Dengan mempelajari penelitian cross section yang repetitif, data panel merupakan pendekatan yang lebih baik untuk mempelajari dinamika peruba han. Data panel bisa mendeteksi lebih baik dan mengukur efek yang tidak bisa diobservasi dengan data cross section atau data time series saja. Data panel membuat kita mempelajari model behavioral yang lebih kompleks. Data panel dapat meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agregasi individu atau 82 perusahaan karena unit data lebih banyak. Walaupun demikian, menurut Baltagi, data panel bukan merupakan metode yang sempurna dan tetap mempunyai beberapa kelemahan. Diantaranya adalah masalah desain dan pengoleksian data, terjadinya distorsi dan kesalahan pengukuran, masalah selectivity, dimens i seri waktu yang lebih pe ndek d an depe nde nsi cross section. Pada penelitian ini untuk menangkap perilaku individu negara yang mencerminkan perbedaan tingkat produktivitas padi, gandum dan jagung di setiap negara yang diteliti, maka model persamaan regresi berganda yang digunakan adalah menggunakan variabel dummy intersep. Pada model ini, intersep berbeda dari individu ke individu, sementara parameter slope diasumsikan ko nstan pada unit individu dan unit waktu. Jadi penggunaan variabel dummy hanya berperan dalam penggolongan unit individu (Baltagi, 2005). Secara umum model regresi berganda dengan variabel dummy intercept dapat dirumuskan sebagai berikut : …………….................. (3.10) dimana: Y : variabel dependen β0 : koefisien intersep β i, …, βk : koefisien parameter regresi ℇ faktor pengganggu stokastik (error term) : i = 1, 2, … : DI pengamatan ke-i : koefisien dummy untuk negara : variabel dummy negara 83 Untuk mengestimasi parameter-parameter dalam persamaaan regresi berganda yang digunakan dalam penelitian ini digunakan metode kuadrat terkecil/OLS (ordinary least squeares). Dengan asusmsi-asumsi tertentu, maka model OLS memiliki beberapa sifat statistik yang sangat menarik dan powerfull dan popular dalam mengestimasi suatu model persamaan regresi (Sitepu, R.K dan B.M, Sinaga, 2006). Selanjutnya parameter-parameter hasil estimasi baik intersep, dummy intersep, dan koefisien dari masing- masing variabel independent pada setiap model persamaan yang dihasilkan dilakukan evaluasi. Evaluasi hasil estimasi model persamaan umumnya dibagi ke dalam tiga bagian yaitu, kriteria ekonomi, kr iteria statistik da n kriteria ekonometrika (Sitepu, R.K dan B.M, Sinaga, 2006). Lebih lanjut Sitepu, R.K dan B.M, Sinaga ( 2006), menjelaskan bahwa kriteria pertama yaitu Economic ‘A Priori’ Criteria, dalam hal ini ditentukan oleh pr insip-pr ins ip yang sesuai dengan kr ieteria eko nomi yang mengacu pada arah dan besaran (sign da n magnitude) dari nilai koefisien variabel independent yang dihasilkan dalam mode l estimasi. Sementara kriteria kedua adalah statistical criteria, ditentukan oleh teori statistik dan membantu evaluasi mode l secara statistika yang dapat dipercaya dari koe fisien estimasi mode l. Kriteria statistik yang paling sering digunakan adalah correlation coefficient dan standard deviation atau standard error. Sedangkan kriteria ketiga yaitu econometric criteria, ditentukan oleh ilmu ekonometrika yang membantu mengevaluasi apakah asumsi dari metode ekonometrika terpenuhi atau tidak. Kriteria ekonometrik membantu kita untuk menetapkan apakah estimasi yang diinginkan memiliki properties unbiasedness, consistency dan lain- lain. Pada kriteria ekonometrik juga 84 dilakukan pengujian terhadap asumsi dari metode pendugaan OLS, antara lain asumsi multicollinearity, autocorrelation da n heteroscedasticity. 3.5. Teori Perdagangan Internas ional Konsep perdagangan bebas untuk pertama kali diperkenalkan oleh Adam Smith pada awal abad ke-19 dengan teori keunggulan absolut (absolute comparative). Ricardo (1817), kemudian menyempur naka n Teori Adam Smith dengan model keunggulan komparatif (The Theory of Comparative Advantage). Teori ini menekankan pada perbedaan harga relatif antara dua input produksi sebagai penentu terjadinya perdagangan. Selanjutnya Heckscher-Ohlin (H-O) dengan The Theory of Factor Proportions (1949 – 1977) mengembangkan Teori klasik Ricardo tersebut yang intinya menyatakan bahwa walaupun tingkat teknologi yang dimiliki sama, perdagangan internasional akan tetap terjadi bila ada perbedaan kepemilikan faktor produksi (factor endowment) diantara masingmasing negara. Teori H-O menyatakan bahwa satu negara dengan kepemilikan kapital berlebih akan berspesialisasi dan mengekspor komoditi padat kapital (capital-intensive goods), dan sebaliknya negara dengan kepemilikan tenaga kerja berlebih akan memproduksi dan mengekspor komoditi padat tenaga kerja (laborintensive goods). Selanjutnya konsep perdagangan internasional terus berkembang, namun masih tetap menggunakan konsep keunggulan komparatif yang dikembangkan sebelumnya. Krugman dan Obstfeld (2000) menjelaskan bahwa perdagangan antar negara terjadi karena adanya dua alasan, yaitu: (1) karena negara-negara tersebut berbeda satu sama lain, dan (2) negara-negara melakuka n perda gangan dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi. Konsep teori Krugman dan Obsfeld (2000) 85 menyatakan bahwa akan lebih efisien jika dilakukan perdagangan dengan negara lain dibandingkan jika negara itu memproduksi semua produk. Sesuai de nga n tujuan pe nelitian, maka pendekatan tentang perdagangan internasional untuk bisa memahami manfaat yang dapat diperoleh dari adanya perdagangan dilakukan dengan menggunakan keseimbangan umum. Secara sederhana teori keseimbangan umum dapat dijelaskan dengan menggunakan model “ekonomi dua pasar” (Salvatore, 2000). Dengan model ini dimisalkan, ketika pemerintah negara 1 menerapkan tarif terhadap produk yang selama ini diimpor yaitu X, akibatnya harga produk X akan meningkat relatif terhadap harga di pasar internasional. Sesuai dengan hukum penwaran, maka peningkatan harga X akan merangsang produsen domestik di negara 1 untuk meningkatkan produksinya, dan sebaliknya produksi Y akan menurun karena produsen doimestik akan merugi. Sesuai hukum permintaan dan penawaran tenaga kerja, maka dengan m,eningkatnya produksi X, maka akan diikuti oleh relokasi faktor produksi seperti tenaga kerja dari industri yang menghasilkan produk Y ke industri yang memproduksi X. Namun, dalam mode l partial equilibrium, proses terjadinya relokasi faktor input produksi tersebut tidak akan terdeteksi. Contoh lain adalah ketika impor negara 1 menurun karena pe nge naan tarif, maka negara lain yang menerima dampak penurunan impor negara 1 tersebut akan mengalami penurunan penerimaan sehingga kemampuan ekspornya juga akan turun. Hal ini akan mengakibatkan impor negara 1 tersebut juga turun. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa kebijakan tarif impor berdampak terhadap berbagai variabel ekonomi lainnya di negara lain. Namun, karena yang digunakan 86 adalah model partial, maka dampak terhadap negara lain tersebut tidak akan terlihat. Oleh karena itu, agar dampak suatu kebijakan yang diterapkan di suatu negara dapat ditangkap pengaruhnya terhadap negara lainnya, maka analisis yang tepat adalah analisis ekonomi keseimbangan umum. Untuk menjelaskan analisis menggunakan model ekonomi keseimbangan umum yang dicapai melalui perdagangan akan dijelaskan melalaui grafik berikut dengan mengacu pada teori Ekonomi Internasional yang dikemukakan Salvatore (2000). Berbeda dengan analisis partial, dalam analisis model keseimbangan umum sudah merangkum aspek dari pelaku yaitu produsen dalam bentuk produksi, dan konsumen melalui konsumsi serta perdagangan, semua dirangkum dalam satu diagram yang utuh pada kondisi keseimbangan. Sisi produksi dari masing- masing negara 1 dan 2 digambarkan dalam satu titik yaitu E*, dimana kurva yang menunjukkan adanya perdagangan atau tawar menawar antara kedua Negara tersebut saling berpotongan. Sebagaimana pemahaman terhadap penggunaan konsep suatu teor i yaitu untuk menyederhanakan suatu fenomena, maka untuk memuda hka n analisis ini juga disederhanakan dengan menggunakan beberapa asumsi yaitu : 1) diasumsikan hanya terdapat dua Negara di dunia yaitu Negara 1 dan Negara 2 secara individu atau merupakan gabungan dari berbagai Negara; 2) diasumsikan juga bahwa hanya terdapat dua jenis produk yaitu X dan Y; 3) struktur pasar diasumsikan pada kondisi pasar persaingan sempurna: 4) Asumsi terakhir adalah perekonomian kedua negara berada dalam kondisi penggunaan tenaga kerja penuh atau full employment. 87 Y 120 Negara 1 100 PB=PB’=1 E 1 80 III 2 E* 60 40 20 X X 0 60 40 20 20 20 40 60 80 100 120 140 Negara 2 40 60 E’ 80 III’ Y Su mber: Salvat ore, 2000. Gambar 11. Proses Terjadinya Perdagangan Antara Dua Negara Setelah berlangsungnya perdagangan antara Negara 1 dan Negara 2, maka kondisi produksi dan konsumsi terhadap barang X dan Y di masing- masing Negara dapat dijelaskan sebagai berikut. Untuk Negara 1 akan memproduksi barang X dan Y masing- masing sebanyak 130 dan 20 yang ditunjukan pada titik E yang juga identik dengan titik E* . Dengan memproduksi sejumlah barang X dan Y tersebut, maka Negara 1 akan mengkonsumsi barang X dan Y masing- masing sebanyak 70 dan 80 yang juga ditunjukkan pada titik E, tetapi ditarik dari garis sumbu O, sedangkan sisanya yaitu masing- masing sebanyak 60 unit X dan 60 unit Y aka n diperdagangkan dengan Negara 2, yang berarti Negara 1 akan mengekspor barang X dan mengimpor barang Y. 88 Sementara itu, dengan cara yang sama, maka untuk Negara 2 akan memproduksi barang X dan Y masing- masing sebanyak 40 dan 120 yang ditunjukkan pada titik E’ yang juga identik dengan titik E* . Sedangkan konsumsinya masing- masing sebanyak 100 X dan 60Y yang juga ditunjukkan pada titik E’, tetapi ditarik terhadap garis sumbu O, sehingga sisanya yaitu masing- masing sebanyak 60 X akan diimpor dari Negara 1 dan sebanyak 60 Y akan diekspor ke Negara 1. Jumlah barang X dan Y tersebut adalah yang ke mudian diperda gangka n oleh kedua Negara. Perdagangan internasional antara kedua Negara akan mencapai keseimbangan apabila kedua Negara memperdagangkan masing- masing sebanyak 60X dan 60Y yang didasarkan pada harga relative kedua barang tersebut yaitu ditunjukkan pada Pb=1 yang merupakan perpotongan kurva penawaran kedua Negara tersebut sebagaimana ditunjukkan pada titik E* . Harga relative kedua barang yaitu X da n Y terjadi dalam kondisi keseimbangan pada tingkat harga Pb =1, sehingga harga tersebut yang selanjutnya berlaku dalam transaksi perdagangan di pasar domestik bagi masing- masing Negara. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa transaksi perdagangan akan didasarkan pada harga relative yang sama bagi produsen, konsumen, dan pedagang di kedua Negara tersebut. Sebagaimana digambarkan pada grafik, titik E milik Negara 1 yang terletak pada kurva indeferen III akan mencerminkan jumlah tingkat konsumsi Negara tersebut diukur dari pusat sumbu atau titik 0, sementara untuk titik E yang sama akan mengukur jumlah produksi barang X dan Y Negara 1 tetapi ditarik dari titik E’. 89 Dengan mengacu pada penjelasan tersebut diatas, maka secara teori perdagangan bebas akan memberikan manfaat yang maksimal bagi kedua belah pihak (Negara 1 dan 2). Namun demikian, pada kenyataanya masih terjadi distorsi pasar sebagai akibat adanya campur tangan atau intervensi pemerintah, sehingga berakibat pada tidak tidak maksimalnya manfaat yang diperoleh oleh pelaku pasar yaitu produsen, konsumen bahkan pemerintah itu sendiri. Sampai saat ini berbagai bentuk interventi pemerintah yang sering dilakukan baik di Negara maju maupun di Negara berkembang antara lain pengenaan tariff bea masuk, subsidi terhadap produk ekspor, larangan atau pembatasan ekspor maupun impor dan berbagai bentuk intervensi lainnya yang semuanya berdampak pada munculnya distorsi pasar. Berikut ini akan dijelaskan menge nai pemberlakuan intervensi yang mendistorsi pasar tersebut, yaitu dalam bentuk pemberlakuan tarif bea masuk. Menurut Dunn dan Mutti (2000) tarif adalah pajak atau bea yang dikenakan terhadap suatu produk yang masuk atau ke luar da ri suatu negara. Tarif yang dikenakan terhadap produk yang diimpor disebut tarif impor, sedangkan tarif yang dikenakan terhadap produk ekspor disebut dengan tarif ekspor. Secara teoritis, pajak yang berasal dari tarif memberikan pemasukan bagi pemerintah. Oleh karena itu, sampai saat ini masih banyak negara terutama negara-negara berkembang yang mengandalkan tarif sebagai salah satu sumber penerimaan negara. Menurut Dunn dan Mutti (2000), dampak pemberlakuan tarif bisa berbeda antar negara. Pada negara-negara kecil yang tidak mampu mempe ngaruhi harga duni a, pe nerapa n tarif hanya akan meruba h harga di negara tersebut, sementara 90 harga dunia tidak mengalami perubahan. Sebaliknya, pada kasus negara besar, penerapan tarif akan mampu mempengaruhi harga dunia. Berikut ini akan dijelaskan mengenai dampak pemberlakuan tarif impor pada kasus negara kecil dan kasus negara besar. Konsep teori yang digunakan dalam menjelaskan dampak pemberlakuan tarif impor tersebut mengacu pada Dunn dan Mutti (2000). 1. Dampak Pe rubahan Iklim dan Tarif Impor pada Kasus Negara Kecil Menurut Dunn dan Mutti (2000), negara kecil didefinisikan sebagai negara yang tidak mampu mempengaruhi harga dunia, sehingga TOT dunia tidak mengalami perubahan sekalipun negara kecil tersebut melakukan perubahan kebijakan perdagangannya. Mengacu pada teori yang dikemukakan Dunn dan Mutti (200), maka di dalam keseimbangan perdagangan bebas, yang mengasumsikan hanya ada dua komoditi misalkan makanan dan pakaian, negara A akan memaksimumkan kesejahteraannya dengan berproduksi pada titik dimana rasio dari marginal cost (MC) domestiknya sama dengan rasio nilai tukar dunia. Negara tersebut akan melakukan perdagangan untuk mencapai kemungkinan kurva indiferen yang paling tinggi. Keseimbangan perdagangan bebas seperti itu ditunjukkan oleh Gambar 12, dengan rasio harga dunia ditunjukkan oleh slope TT, produksi berada pada titik P 1 , dan konsumsi pada titik C 1 . TT bersinggungan dengan kurva indiferen i2, negara A mengekspor pakaian dan mengimpor maka nan. Sebagaimana dijelaskan Dunn dan Mutti (2000), maka jika negara A menetapkan tarif pada impor makanannya, dampak pertamanya adalah meningkatnya harga domestik makanan, yang menyebabkan divergensi antara rasio nilai tukar domestik dan rasio nilai tukar dunia. Akibatnya rasio nilai tukar 91 domestik menjadi sama dengan slope DD, lebih landai dari TT, yang menunjukkan suatu harga relatif yang lebih tinggi untuk makanan. Tarif tersebut merubah rasio harga domestik dan rasio harga eksternal. Berdasarkan konsep teori yang dijelaskan Dunn dan Mutti (2000), maka secara geometrik hal ini terlihat sebagai sudut antara dua garis harga, dimana harga maka nan yang lebih tinggi menyebabkan perusahaan mengembangkan produksi makanan dan mengurangi produksi pakaian. Titik produksi berpindah ke P 2 , dimana garis harga do mestik (DD) merupaka n tangen terhadap kurva kemungkinan produksi. Lebih lanjut Dunn dan Mutti (2000) menjelaskan bahwa dengan asumsi bahwa rasio harga dunia tetap tidak berubah, perdagangan internasional terjadi sepanjang garis P 2 C2 (pararel terhadap TT). Keseimbangan baru pada konsumsi dicapai ketika dua kondisi terpenuhi: Pertama, garis harga domestik, EE, yang slopenya sama dengan rasio harga domestik, merupakan tangen terhadap suatu kurva indiferen i1 , Kedua, garis harga dunia, P 2 C2 , memotong kurva indiferen komuniti pada titik tangennya dengan garis harga domestik, EE. Kedua kondisi ini terpenuhi pada titik C 2 pada Gambar 12. Menurut Dunn dan Mutti (2000), secara teknis, kondisi pertama menjamin bahwa MRS pada konsumsi menyamai rasio harga domestik yang dihadapi konsumen; kondisi kedua memenuhi persyaratan bahwa rasio harga do mestik berbeda dari rasio harga dunia. Pada keseimbangan baru, negara A terus mengekspor pakaian dan mengimpor makanan tetapi dalam jumlah yang lebih kecil dari sebelumnya. Tarif telah mendorong produksi makanan dan mengurangi ketergantungan negara A terhadap makanan impor. 92 Tarif juga telah mengurangi output domestik berupa ekspor pakaian dan mengurangi kesejahteraan sebagaimana diindikasikan oleh pergerakan kurva indifferent yang lebih rendah, dari i2 ke i1. Jadi, baik dengan menggunakan pendekatan keseimbangan umum maupun keseimbangan parsial, kebijakan tarif pada kasus negara kecil berdampak pada berkurangnya kesejahteraan nasional (Dunn dan Mutti, 2000). Selanjutnya, jika dampak perubahan iklim diasumsikan mempengaruhi produktivitas makanan maupun bahan baku pakaian, maka akan menyebabkan produksi makanan maupun pakaian turun ditunjukkan melalui pergeseran kurva FG ke F 1 G1 . Mekanisme dampak pengenaan tarif dan adanya dampak perubahan iklim terhadap keseimbangan produksi, konsumsi, ekspor, dan impor sama seperti kondisi sebelum adanya dampak perubahan iklim. T C1 T Makanan E C 3T 1 C2 i2 D i1 C4 F F 1 i 21 Dampak perub. iklim P2 i 11 E P21 P1 D P 11 0 Pakaian D1 G1 G T Sumber: Dunn dan Mutti, 2000 (dimod ifikasi). Gambar 12. Dampak Peruba han Iklim da n Tarif Pada Model Keseimba ngan Umum untuk Kasus Negara Kecil 93 2. Dampak Pe rubahan Iklim dan Tarif Impor Pada Kasus Negara Besar Dunn dan Mutti (2000) mengemukakan juga teorinya untuk kasus negara besar yang diasumsika n seba gai negara yang mampu mempengaruhi harga dunia. Artinya, bila negara tersebut mengenakan tarif terhadap suatu komoditi impornya, maka kebijakan tersebut akan berdampak pada perubahan rasio harga dunia sehingga TOT akan berubah. Untuk menjelaskan dampak kebijakan tarif pada kasus negara besar, digunakan contoh yang sama dengan yang diterapkan pada kasus negara kecil sebagaimana dikemukakan Dunn dan Mutti (2000). Diasumsikan ba hwa negara A mengenakan pajak pada makanan impor, dampaknya adalah harga maka nan dunia turun secara relatif terhadap harga pakaian. Karena negara A adalah negara besar, maka untuk suatu tingka t tarif ad valorem tertentu, harga domestik makanan tidak akan meningkat seperti terjadi pada kasus negara kecil, sehingga pergeseran dalam produksi menjadi lebih kecil. Kondisi ini dijelaskan pada Gambar 13 dimana kondisinya adalah sama dengan kasus yang baru dijelaskan pada negara kecil kecuali bahwa tarif sekarang menyebabkan rasio harga dunia berubah dari kemiringan garis TT ke kemiringan garis P2C2, sementara produksi terjadi pada P2. Sebagaimana dijelaskan Dunn dan Mutti (2000), garis tersebut memiliki proporsi yang sama dengan sebelumnya, karena diukur berdasarkan size of the wedge. Perdagangan internasional sekarang terjadi pada rasio harga (sepanjang garis P 2 C 2 ). Kemudian, keseimbangan baru untuk tingkat konsumsi dicapai pada titik C 2 , yaitu saat kedua garis yaitu tarif- garis yang mendistorsi harga do mestik yang merupaka n tangen da ri suatu kur va indiferen, bersinggungan de ngan harga dunia pada titik singgung tersebut. 94 T Rasio harga duni a setelah tarif C1 T1 C2 i2 Makanan C3 i1 C4 i2 1 i 11 F F2 Dampak perub. iklim P2 P4 Rasio harga domestik setelah tarif P1 P3 0 Pakaian T1 G2 T Rasio harga dunia sebelum tarif G Sumber: Dunn dan Mutti, 2000 (dimod ifikasi). Gambar 13. Dampak Tarif Pada Model Keseimba ngan Umum untuk Kasus Negara Besar Dengan mengacu pada konsep teori yang dikemukakan Dunn dan Mutti (2000), yang ditunjukkan oleh Gambar 13, negara A mencapa i suatu kurva indiferen yang lebih tinggi disebabkan oleh tarif da n kondisi ini tidak dapat dihindari. Sebagaimana dijelaskan Dunn dan Mutti (2000), kondisi tersebut responnya tergantung pada besarnya perubahan dari rasio harga dunia. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa negara A mendapatkan keuntungan dari tarif ketika keuntungannya dari perbaikan TOT melebih kerugiannya dari penggunaan sumberdaya domestik yang kurang efisien. Besarnya perbaikan dari TOT akibat pengenaan tarif tersebut tergantung kepada elastisitas permintaan dan penawaran domestik da n luar negeri. Menurut Dunn dan Mutti (2000), keuntungan lainnya adalah adanya kerugian yang akan diterima ROW (negara lainnya). Seandainya negara lain 95 melakukannya secara bersama-sama, maka mereka dapat membalas dengan mengenakan tarif mereka sendiri, sehingga menyebabkan TOT bergeser kembali kebelakang. TOT dapat bergeser ke rasio perdagangan bebas (bukan hasil yang diperlukan), tetapi dampaknya adalah perdagangan dan kesejahteraan dunia berkurang. Sementara, persetujuan perdagangan secara bersama, justru akan membalikkan pengurangan tarif secara timbal balik, sehingga akan menguntungkan kedua negara. Selanjutnya, jika dampak perubahan iklim diasumsikan mempengaruhi produktivitas makanan maupun bahan baku pakaian, maka akan menyebabkan produksi makanan maupun pakaian turun ditunjukkan melalui pergeseran kurva FG ke F 2 G2 . Mekanisme dampak pengenaan tarif dan adanya dampak perubahan iklim terhadap keseimbangan produksi, konsumsi, ekspor, dan impor sama seperti kondisi sebelum adanya dampak perubahan iklim. 3.6. Teori Keseimbanga n Umum Pada abad ke-19, Leon Walras adalah orang yang pertama kali mengembangkan teori keseimbangan umum. Teori keseimbangan umum yang dikembangkan Walras adalah model keseimbangan pasar kompetitif pada sebuah sistem ekonomi pertukaran (exchange economy), dimana tidak terdapat kegiatan produksi. Dengan demikian, berdasarkan teori keseimbangan yang dikemukakan Walras, maka semua agen ekonomi adalah para konsumen sehingga aggregat supply adalah sama dengan agregrat endowment yang dimiliki konsumen. Lebih lanjut dalam teori Walras dikemukakan bahwa dalam pendekatan keseimbangan umum, perubahan dalam suatu pasar aka n mengakibatkan perubahan pula di pasar lainnya, karena pendekatan ini memperlakukan pasar sebagai suatu sistem. 96 Konsep dasar ekonomi keseimbangan umum didasarkan pada efisiensi pareto atau pareto optimum pada setiap agen ekonomi (produsen, konsumen, investor, dan pemerintah) (Nicholson, 1994). Konsep teori efisiensi pareto pada bagian ini didasarkan pada Nicholson (1994) yang mengacu pada kondisi sederhana dan terfokus pada kasus, 2 (dua) faktor produksi dan 2 (dua) komoditi. 3.6.1. Keseimbangan Produksi Kerangka teori keseimbangan produksi yang digunakan dalam bagian ini didasarkan pada Nicholson (1994). Berdasarkan teori produksi dinyatakan bahwa produsen berada dalam keseimbangan apabila MRTS lk = w1/w2 dimana w1 adalah harga faktor L (tenaga kerja) dan w2 adalah harga faktor K (modal). Untuk kasus dua pe rusahaan yang masing- masing menghasilkan komoditi yang berbeda, yaitu dimisalkan x1 dan x2, maka keseimbangan simultan yang terjadi dijelaskan melalui kotak Edgeworth. Keseimbangan simultan antar dua produk x1 dan x2 aka n tercapai pada saat isokuan x1 bersinggungan dengan isokuan x2. Kondisi ini tercapai karena titik-titik singgung tersebut membentuk kurva yang disebut de ngan Kurva Kontrak atau Contract Curve (CC) (Nicholson, 1994). Sebagaimana dijelaskan Nicholson (1994), dalam ekonomi pertukaran, maka semua alokasi yang efisien akan terletak sepanjang kurva kontrak, sedangkan titik diluar kurva kontrak adalah tdaik efisien, karena seseorang dapat memperoleh kesejahteraan yang lebih tinggi jika pindah dari titik tersebut ke arah kurva kontrak. Di sepanjang kurva kontrak, preferensi individu bersaing satu sama lain, yang berarti kesejehteraan yang dipe roleh seseorang hanya mungkin tercapai atas pengorbanan orang lain (Nicholson, 1994). 97 Secara matematis keseimbangan produksi dapat ditunjukkan sebagai berikut: MRTS1k = MRTS1k = w1 .........................................................................(3.12) w2 dimana MRTS adalah slope dari isokuan. OX2 X22 X23 X1 P3 X12 X24 K P2 X11 P1 OX1 L Sumber: Nicholson, 1994 Gambar 14. Diagram Kotak Edgeworth pada Kasus Dua Komoditi da n Dua Faktor Produksi Gambar 14 menunjukkan bahwa tingkat output x1 dan x2 yang diproduksi perusahaan harus sesuai dengan permintaan konsumen terhadap barang x1 dan x2 (Oktaviani, 2008) dimana permintaan konsumen ditentuka n oleh harga relatif p1 dan p2. Untuk menyesuaikan sektor penawaran dengan sektor permintaan, dibutuhkan konsep Kurva Kemungkinan Produksi (KKP) atau Production Possibility Curve (PPC) (Oktaviani, 2008). Sebagaimana dijelaskan dalam teori produksi (Nicholson, 1994), maka PPC diturunkan dari kurva kontrak yang terbentuk dalam kotak Edgeworth. PPC tidak lain adalah kumpulan titik-titik yang menggambarkan transformasi dari satu 98 produk menjadi produk lain melalaui alokasi faktor produksi. Sedangkan Slope dari PPC itu sendiri disebut seba gai Marginal Rate of Product Transformation (MRPT). Pada pasar persaingan sempurna MRPT12 harus sama dengan ratio dari harga barang X1 terhadap X2 atau secara matematis dirumuskan sebagai berikut: MRPT12 = P1 P2 .......................................................................................(3.13) OX2 X24 P1 X23 P2 X22 P3 X21 P4 O X11 X12 X13 X14 OX1 Sumber: Nicholson, 1994 Gambar 15. Kurva Kemungkinan Produksi Sebagaimana disajikan pada gambar 15, daerah batas PPC yang ditunjukkan oleh P1, P2, P3, dan P4, memperlihatkan berbagai kombinasi penggunaan K dan L yang efisien untuk menghasilkan X1 dan X2 . Kurva PPC tersebut ditransfer dari lok us titik-titik efisiensi pada gambar 15 tersebut, sedangka n slope PPC memperlihatkan bagaimana output X 1 dapat ditukarkan terhadap output X2 dengan tetap menggunakan sejumlah sumberdaya (input) yang sama. 99 3.6.2. Keseimbangan Sektor Produksi dan Konsumsi Berdasarkan Nicholson (1994), keseimbangan sektor produksi dan konsumsi akan tercapai pada saat MRPT 12 =MRS 12 = P1 , dimana MRPT P2 menunjukkan tingkat transformasi suatu produk terhadap produk lain, sedangkan MRS menunjukkan sejauh mana konsumen mau mempertukarkan suatu komoditi dengan komoditi lainnya. Lebih lanjut Nicholson (1994) menjelaskan bahwa keseimbangan akan terjadi jika transformasi produksi adalah sama atau sesuai dengan tingkat subtitusi konsumsi atau de ngan kata lain MRPT = MRS. Secara konsep ekonomi, keseimbangan total adalah bahwa kombinasi output X1 dan X2 harus optimal baik dari sudut prod usen maupun ko nsumen, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 16. Keseimbangan umum secara keseluruhan harus terpenuhi de ngan adanya keseimbangan alokasi pada sektor produksi dan konsumsi, dimana keseimbangan tersebut dilakukan melalui mekanisme harga, sehingga akan tercapai efisiensi dalam perekonomian (Oktaviani, 2008). Disamping harus memenuhi asumsi pasar persaingan sempurna dan efisiensi pareto, terdapat beberapa asumsi lain dari model CGE (Gilig dan Carl, 2002) yaitu: a. Pada pasar komoditi dan pasar input, total permintaan sama dengan total penawaran. b. Pada tingka t harga keseimbangan ke untungan pe rusahaan sama de nga n nol. c. Pendapatan rumah tangga sama dengan pengeluaran rumah tangga. d. Penerimaan pemerintah sama dengan pengeluaran pemerintah. Berdasarkan uraian tersebut terlihat bahwa mode l keseimbangan umum adalah model ekonomi yang melihat ekonomi sebagai suatu sistem yang lengkap 100 (Dixon et al., 1992). Model CGE dapat juga dibuat dibuat pada level makro, tetapi harus memasukan level mikro yang lebih rinci karena harus ada keterkaitan antara pe laku-pelaku ekonomi seperti industri, rumah tangga, investor, pemerintah, importir, dan eksportir dan antara pasar yang berbeda. Dengan menagcu pada Nicholson (1994), maka pasar dikatakan mencapai keseimbangan jika memenuhi syarat-syarat ya itu: non negatif, homogen da n memiliki harga ya ng unik, tidak terjadi kelebihan permintaan (excess demand) dan efisien pada harga pasar. C* X2 Slope= P* ∆X 2* = x*1 ∆X 1* Px 2 P X2 1 Slope= X2 * P* P ∆X 2 = x1 ∆X 1 Px 2 X2 2 U3 U2 C U1 O X1 1 X1 * X1 2 X1 Sumber: Nicholson, 1994 Gambar 16. Keseimbangan Sektor Produksi dan Konsumsi 3.7. Model Computable General Equilibrium Statis dan Dinamis Model CGE yang tidak memasukkan unsur dinamis disebut sebagai model komparatif (comparative static). Model ORANI merupakan salah satu contoh model CGE komparatif statik untuk kasus ekonomi Australia (Oktaviani, 2008). 101 Sedangkan model WAYANG (Wittwer, 1999) merupakan model komparatif statik untuk kasus ekonomi Indonesia. Menurut Oktaviani (2008), mode l CGE dinamis dapat diklasifikasikan mnjadi: (1) model periode tunggal, dikenal sebagai “sequential solution” atau “recursive”, dan (2) model “fully dynamic” atau “multi period”. Lebih lanjut, Oktaviani (2008), mengemukakan bahwa model comparative static merupakan model yang memodifikasi model statis dengan tidak memasukan unsur periode waktu. Model ini menunjukkan model CGE yang membandingkan perbedaan nilai variabel untuk waktu yang akan datang (T) dengan atau tanpa menggunakan shock variabel eksogen. Semua persamaan dan variabel pada model menunjukkan keadaan perekonomian pada periode yang akan datang. Variabel C B O T (Tahun) Sumber: Horridge, 1998. Gambar 17. Model Komparatif Statik Model komparatif statik dapat digambarka n seperti pada Gambar 17, dimana gambar tersebut menunjukkan jumlah tenaga kerja pada periode awal (periode 0) yang dinyatakan dengan B. Kemudian dengan adanya perubahan kebijakan, mka tenaga kerja dapat mencapai titik C. Selanjutnya, pada simulasi 102 model komparatif statik ini akan menghasilkan perubahan persentase pada tenaga kerja sebesar 100* (C-B)/B, yang menunjukkan bagaimana tenaga kerja pada periode T akan dipengaruhi oleh perubahan kebijakan. Perubahan dampak kebijakan dalam jangka pendek atau jangka panjang aka n tergantung pada pemilihan closure pada model (Oktaviani, 2008). Sebagai contoh perubahan kebijakan variabel eksogen seperti perubahan tenaga kerja, tabungan, penurunan dalam nilai tukar perdagangan dan pertumbuhan dalam konsumsi publik (Oktaviani , 2008).