perencanaan strategik

advertisement
III. KERANGKA TEORITIS
3.1. Teori Perubahan Iklim
Cuaca dan iklim mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kehidupan di
bumi. Keduanya merupakan bagian dari kehidupan manusia sehari- hari dan
esensial bagi kesehatan, produksi pangan dan kehidupan. Banyak pertimbangan
mengenai prospek dari perubahan iklim yang diakibatkan ulah manusia sebagai
suatu hal yang menjadi perhatian. IPCC (1996) menyajikan bukti-bukti ilmiah
bahwa aktivitas manusia mungkin sudah dan sedang mempengaruhi iklim. Jika
kita ingin memahami, mendeteksi, dan pada akhirnya memprediksi pengaruh
manusia terhadap iklim, satu hal yang perlu adalah memahami sistem yang
menentuka n iklim bumi da n proses yang menyebabka n terjadinya perubahan
Dalam konteks umum, cuaca dan iklim adalah memiliki definisi yang sangat
dekat. Cuaca sebagaimana kita alami sampai saat ini adalah fluktuasi atmos fer di
sekitar kita, yang dikarakteristikkan oleh suhu, angin, penyerapan, awan dan unsur
cuaca lainnya. Cuaca tersebut adalah hasil dari perkembangan dan dekomposisi
sistem cuaca seperti sistem tekanan rendah dan tinggi dari suatu mid-latitude yang
bersamaan dengan zona frontal, pemancaran dan cyclone tropis. Cuaca juga
memiliki tingkat predictability yang terbatas. Sistem konvektive skala-meso hanya
dapat memprediksi periode jam, cyclone skala synoptic mungkin dapat diprediksi
dalam periode hari sampai minggu (IPCC, 2001).
Sementara iklim berkaitan dengan rata-rata cuaca dalam konteks rata-rata
dan variabilitasnya pada sepanjang waktu tertentu dan suatu area tertentu.
Klimatologi klasik menyajikan suatu klasifikasi dan deskripsi berbagai regim
66
iklim yang ditemukan di bumi. Iklim bervariasi dari tempat ketempat tergantung
ketinggian, jarak ke permukaan laut, vegetasi, keberadaan atau ketidakadaan
pegunungan atau faktor- faktor geografik lainnya. Iklim juga bervariasi dalam hal
waktu, dari musim ke musim, tahun ke tahun, dekade ke dekade atau skala waktu
yang lebih panjang seperti abad es (IPCC, 2001).
Variasi yang signifikan secara statistik dari pengertian iklim atau
variabilitasnya untuk periode yang lebih panjang atau dekade adalah yang
dimaksudkan sebagai perubahan iklim. IPCC (2001) menyatakan bahwa climate
change refers to a statistically significant variation in either the mean state of the
climate or in its variability, persisting for an extended period (typically decades
or longer). Selain itu diperjelas juga bahwa climate change may be due to natural
internal processes or external forcings , or to persistent anthropogenic changes in
the composition of the atmosphere or in land use.
Kementerian Lingkungan Hidup (2001) mendefinisikan perubahan iklim
adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain suhu dan distribusi
curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan
manusia. Peruba han fisik ini tidak terjadi hanya sesaat tetapi dalam kurun waktu
yang pa njang. Sedangkan LAPAN (2002) mendefinisikan perubahan iklim adalah
perubahan rata-rata salah satu atau lebih elemen cuaca pada suatu daerah tertentu.
Sedangkan istilah perubahan iklim skala global adalah perubahan iklim dengan
acuan wilayah Bumi secara keseluruhan.
Definisi yang umumnya diterima juga berdasarkan pasal 1 Konvensi PBB
mengenai Peruba han Iklim yang menyataka n :“Climate change means a change
of climate which is attributed directly or inderictly to human activities that alters
67
the composition of the global atmosphere and which is in addition to natural
climate variability observed over comparable time periods. Atau diterjemahkan:
“Perubahan iklim ialah beruba hnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak
langsung oleh aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan komposisi
atmosfer secara global dan selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim
alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan.”
Kamus mende finiskkan pentingnya dan notasi dari variabilitas iklim dan
perubahan iklim. Variasi dan perubahan iklim yang disebabkan oleh kekuatan
eksternal, mungkin sebagian dapat diprediksi terutama yang lebih besar, benua
dan global, dan skala spatial. Karena aktivitas manusia seperti emisi gas rumah
kaca atau perubahan penggunaan lahan, menghasilkan dampak faktor eksternal,
hal ini dipercaya bahwa aspek perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia
dalam skala besar merupakan bagian yang dapat diprediksikan.
Namun demikian, ke mampuan unt uk mengaktualisasika n cukup terbatas
karena tidak dapat memprediksi secara akurat perubahan populasi, perubahan
ekonomi, perkembangan teknologi dan karakteristik yang relevan lainnya dari
aktivitas manusia di masa depan. Oleh karena itu, dalam praktek, kita harus
berhati- hati dalam menyusun skenario aktivitas manusia da n menentuka n proyeks i
iklim yang berbasis skenario aktivitas manusia tersebut.
Pengetahuan secara tradisional tentang cuaca dan iklim difokuskan pada
variabel- variabe l yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari secara langsung
seperti rata-rata, suhu maksimum dan minimum, angin didekat permukaan bumi,
penyerapan air dalam berbagai bentuk, kelembaban, bentuk dan jumlah awan, dan
radiasi matahari. Namun demikian, variabel tersebut hanya ba gian dari realitas
68
yang menentukan cuaca dan iklim. Pertumbuhan, pergerakan, dan dekomposisi
sistem cuaca juga tergantung pada struktur vertikal dari atmos fer, pengaruh
penggunaan lahan, dan laut serta
banyak faktor lainnya yang secara tidak
langsung dialami oleh manusia. Iklim ditentukan oleh sirkulasi atmosfer dan
interaksinya dengan samudera dalam skala luas dan lahan dengan berbagai
gambarannya seperti vegetasi da n kesuburan tanah (IPCC, 2001).
Untuk memahami iklim dan variasinya serta memahami dan kemungkinan
memprediksi perubahannya yang diakibatkan oleh aktivitas manusia, kita tidak
dapat mengesampingkan berbagai faktor dan komponen yang menentukan iklim.
Kita harus memahami sistem iklim, yaitu suatu sistem yang sangat kompleks yang
terdiri dari atmos fer, samudera, es dan penutup salju, permukaan tanah dan unsurunsurnya, banyaknya interaksi yang bersifat mutual diantara komponen tersebut,
dan variasi yang besar secara fisika, kimia, dan biologi terhadap sistem iklim
secara keseluruhan termasuk suatu deskripsi secara statistik dari variasinya (IPCC,
2001).
Sistem iklim sebagaimana didefinisikan sebelumnya, adalah sistem yang
interaktif terdiri dari lima komponen utama yaitu atmosphere, hydrosphere,
cryosphere, permukaan tanah dan biosphere, yang didorong atau dipengaruhi oleh
berbagai variasi mekanisme kekuatan eksternal dimana yang paling penting
ada lah matahari seperti yang terdapat pada Gambar 8. Dampak secara langsung
dari aktivitas manusia terhadap sistem iklim juga dipertimbangkan sebagai
kekuatan eksternal. Atmosphere adalah bagian yang paling tidak stabil dan
berubah sangat cepat dalam sistem iklim. Atmosphere terutama terdiri dari
Nitrogen (N 2 ) yang mencapai sekitar 78.1 persen volume mixing ratio, Oxygen
69
(O 2 , 20.9 persen) da n Argon (Ar, 0.93 persen). Carbon dioxide (CO 2 ), methane
(CH4 ), selain itu, juga terdapat nitrous oxide (N 2 O) dan ozone (O 3 ), yang
mengabsorsi dan menahan radiasi sinar inframerah (IPCC, 2001).
Sumber: Intergovernmental Panel on Climate Change, 2001.
Gambar 8. Skema Tinjauan Komponen Sistem Iklim Globa l
Keterangan:
Bold
: prosesnya
Thin arrows: interaksinya
Bold arrows: beberapa aspek yang kemungkinan merubahnya
Hydrosphere adalah komponen yang seluruhnya mengandung permukaan
berbe ntuk cairan dan dasarnya mengandung air termasuk sungai, danau dan air
dari salinasi samudera maupun lautan. Lautan mencakup hampir 70% dari
permukaan bumi. Lautan menyimpan dan meminda hkan sejumlah energi yang
besar dan menghancurkannya serta menyimpan carbon dioxide dalam jumlah
besar. Cryosphere mencakup kumpulan es di Greenland da n Antartica, glatsier di
70
berbagai benua dan ladang salju, serta es di lautan. Karena kumpulan es
menyimpan air dalam jumlah besar, variasi dari volumenya merupakan sumber
yang potensial terjadinya variasi tingkat permukaan laut (IPCC, 2001).
Menurut Rusbiantoro .D (2008), jika ditinjau dari kejadiannya, perubahan
iklim merupaka n kejadian yang diakiba tka n oleh :
1. Meningkatnya temperatur rata-rata pada lapisan atmosfer,
2. Meningkatnya temperatur pada air laut, dan
3. Meningkatnya temperatur pada daratan.
Lebih lanjut dikemukakan pula bahwa gejala terjadinya perubahan iklim
dapat diamati dan dirasakan dengan adanya :
1. Pergant ian mus im yang tidak bisa diprediksi,
2. Hujan badai sering terjadi di mana- mana,
3. Sering terjadi angin puting beliung,
4. Banjir dan kekeringan terjadi pada waktu yang bersamaan,
5. Penyakit mewabah di banyak tempat, dan
6. Terumbu karang memutih.
Banyak ahli berpendapat bahwa penyebab utama peruba han iklim adalah
aktivitas manus ia walau ada penyebab lain yang bersifat alami. Penyebab
pemanasan bumi yang diakibatkan oleh aktivitas manusia ini antara lain :
1
Pembakaran bahan bakar batu bara, misalnya untuk pembangkit listrik,
2
Pembakaran minyak bumi, misalnya untuk kendaraan bermotor,
3
Pembakaran gas alam, misalnya untuk keperluan memasak.
Akibat dari proses pembakaran itu, karbon dioksida dan gas- gas lainnya
terlepas ke atmos fer. Gas-gas tersebut disebut dengan gas rumah kaca. Jika gas
71
rumah kaca yang memenuhi atmosfer semakin banyak, maka akan semakin kuat
juga menjadi insulator yang menyekat panas dari sinar matahari yang dipancarkan
ke permukaan bumi. Diperkirakan proses menghangat dan mendinginnya bumi ini
telah saling berganti- ganti dan kurang lebih terjadi selama 4 milyar tahun
(Rusbiantoro. D, 2008).
3.2. Teori Produksi
Pada model CGE umumnya fungsi produksi yang digunakan adalah fungsi
produksi Leontief dan fungsi produksi yang elastisitasnya adalah Constant
Elasticity of Substituttion (CES) (Wibowo, 2009). Penggunaan kedua fungsi
produksi tersebut bertujuan untuk menyederhanakan dan mengurangi jumlah
parameter substitusi yang harus digunakan di dalam persamaan (Hakim, 2004).
Berdasarkan Nicholson (2005), fungsi produksi Leontief mengasumsikan bahwa
setiap penambahan output akan diikuti dengan peningkatan permintaan input
produksi dalam proporsi tetap (fixed proportion). Hal ini berarti bahwa tidak ada
substitusi diantara masing- masing input produksi (faktor primer dan input antara).
Untuk menjelaskan konsep dasar fungsi produksi Leontief, dijelaskan melalui
gambar 9. Mengacu pada konsep teori yang dikemukakan Nicholson (2005),
amaka untuk menghasilka n sebuah output misalnya sebanyak q1, diperlukan v
unit kapital (K) dan u unit tenaga kerja (L), sehingga untuk output sebesar Y unit
akan diperlukan K= vY dan L= uY. Pada kondisi tersebut diasumsikan bahwa L/K
= u/v ada lah merupaka n satu-satunya teknologi produksi yang tersedia. Dengan
demikian, untuk menghasilkan sebuah output diperlukan kapital dan tenaga kerja
dalam proporsi yang tetap. Perlu diingat bahwa penamba han salah satu input
72
produksi tanpa menambah input lainnya secara proporsional tidak akan dapat
menghasilkan tambahan output.
L
q=2
L’
L*
q=1
u/v
K’
K*
K
Sumber: Nicholson, 2005.
Gambar 9. Fungsi Produksi Leontief
Sebagaimana dijelakan pada Nicholson (2005), secara matematis, fungsi
produksi Leontief dapat dinyatakan dalam be ntuk persamaan seba gai berikut : Y
= min (K/v, L/u). Mengacu pada gambar 9, dapat dijelaskan bahwa jika K berada
pada titik K* dan L di titik L’, maka K*/v < L’/u, sehingga Y = K*/v. Pada
kondisi tersebut berarti bahwa jumlah tenaga kerja yang paling efisien adalah
pada titik-titik dimana K*/v = L/u atau L = (u/v)K*, yaitu pada titik L*. Dengan
demikian akan selalu berlaku persamaan Y/L = (l/v)K/L di sepanjang garis
“fungsi produksi sama” (isoquant).
Sementara itu, fungsi produksi lainnya yang sering digunakan pada model
CGE yaitu fungsi produksi CES, yaitu fungs i yang memungkinkan adanya
susbtitusi diantara faktor- faktor primer (Wibowo, 2009). Sepe rti dijelaskan pada
Nicholson (2005), secara umum fungsi CES dinyatakan dengan persamaan
[
−ρ
−ρ
sebagai beriut: Y = τ αK + (1 − α ) L
]
−r / ρ
, dimana r adalah tingkat homogenitas
73
dari fungsi produksi; τ > 0 adalah parameter yang menunjukka n ukuran dari
fungsi produksi; α adalah parameter shares masing- masing faktor produksi yang
besarnya : 0 ≤
α ≤ 1; sedangkan ρ adalah parameter substitusi. Dengan fungsi
produksi CES tersebut, tingkat permintaan faktor primer akan dipengaruhi oleh
harga relatif, nilai elastisitas substitusi, share masing- masing faktor dalam biaya
produksi, dan tingkat output yang dihasilkan. Dengan kata lain, elastisitas
substitusi memungkinkan bagi sebuah industri atau sektor untuk merespon
terhadap perubahan harga relatif dan atau ketersediaan faktor primer (Nicholson,
2005).
Mankiw (2006) mengemukakan bahwa harga yang diba yarka n untuk setiap
faktor produksi-tenaga kerja, tanah, atau modal sama dengan nilai produk
marginal dari faktor produksi tersebut. Produk marginal dari setiap faktor
produksi akan bergantung pada jumlah faktor tersebut yang tersedia. Karena
perilaku penurunan produk marginal, suatu faktor produksi yang ditawarkan
dengan berlimpah memiliki produk marginal dan harga yang rendah, dan sebuah
faktor produksi yang jarang d itawarkan memiliki produk marginal dan harga yang
tinggi. Akibatnya, ketika penawaran faktor-faktor produksi turun, keseimbangan
harga faktor produksi meningkat.
Berdasarkan Mankiw (2006), djelaskan bahwa ketika penawaran setiap
faktor produksi berubah, dampaknya tidak hanya dibatasi pada pasar faktor
produksi tersebut. Pada berbagai situasi umum, faktor-faktor produksi digunakan
bersama-sama dalam cara tertentu sehingga membuat produktivitas masingmasing faktor bergantung pada jumlah faktor produksi lainnya yang tersedia
untuk digunakan dalam proses produksi. Sebagai hasilnya, perubahan dalam
74
penawaran setiap faktor produksi akan mempengaruhi pendapatan dari semua
faktor produksi lainnya.
3.3. Teori Produktivitas
3.3.1. Average Physical Productivity
Teori produktivitas yang dijelaskan pada bagian berikut berdasarkan teori
yang dikemukakan dalam literatur teori mikro ekonomi N.G Mankiw (2006).
Dalam penggunaan terminologi secara umum produktivitas tenaga kerja (labour
productivity) seringkali diartikan sebagai produktivitas rata-rata atau average
productivity. Walaupun konsep produktivitas rata-rata tidak begitu dianggap
penting dalam teori ekonomi seperti halnya produktivitas marjinal, konsep
produktivitas rata-rata justru mendapat perhatian besar dalam diskusi secara
empiris. Hal ini disebabkan produktivitas rata-rata sangat mudah diukur, sehingga
seringkali dianggap sebagai ukuran efisiensi. Produktivitas rata-rata dari suatu
input misalnya lahan didefinisikan secara matematis sebagai berikut:
APl =
output
q f (k , l )
…………….......………………………(3.1)
= =
land input l
l
dimana, AP l juga tergantung pada tingkat input modal yang digunakan.
3.3.2. Marginal Productivity
Marginal Productivity atau produktivitas marjinal didefinisikan sebagai
perubahan output akiba t peruba han salah satu input dari input produktif
(Nicholson, 2005). Untuk menjelaskan mengenai produktivitas marjinal tersebut,
maka digunakan suatu bentuk fungsi produksi yang menggunakan dua jenis input
75
yaitu modal (k) dan tenaga kerja (l), dalam bentuk fungsi produksi sebagai be rikut
:
q = f (k , l )
…………………………………………………………(3.2)
Fungsi produksi tersebut menunjukkan jumlah output yang dapat diproduksi
dengan menggunakan alternatif kombinasi dari input capital (k) dan tenaga kerja
(l). Penyederhanaan fungs i prod uksi hanya menggunakan dua jenis input yaitu
modal dan tenaga kerja dimaks udk an untuk memuda hka n analisis karena pada
kenyataannya produksi suatu barang ditentukan oleh lebih dari dua jenis input.
3.3.2.1. Marginal Physical Product
Untuk mempelajari lebih lanjut mengenai variasi dari penggunaan input
didefinisikan Marginal Physical Product dari suatu inp ut yaitu tamba han output
yang dapat diproduksi dengan menggunakan tambahan satu unit input produksi
sementara penggunaan jenis input lainnya bersifat konstan. Mengacu pada
mankiw (2005), maka secara matematis dirumuskan:
Marginal Physical Product dari Modal =
MPk =
Marginal Physical Product dari tenaga kerja =
∂q
= fk
∂k
…….....…(3.3)
MPl =
∂q
= f l ……..(3.4)
∂l
Definisi secara matematis dari marginal product menggunakan partial
derivatives, yang menggambarkan bahwa penggunaan semua input lainnya adalah
konstan sementara input yang digunakan ( dalam hal ini moda l dan tenaga kerja )
adalah bervariasi.
76
3.3.2.2. Diminishing Marginal Productivity
Namun de mikian, lebih lanjut Mankiw (2005) menjelaskan bahwa marginal
physical product dari suatu input tergantung pada seberapa besar jumlah input
yang digunakan. Input tenaga kerja misalnya, tidak dapat ditambah sampai tak
terhingga (indefinitely) terhadap suatu tingkat produksi tertentu (sementara jumlah
peralatan, pupuk, dan input lainnya tetap) tanpa menggganggu tingkat
produktivitas itu sendiri. Oleh karena itu, penamba han satu jenis input pada
akhirnya juga akan berdampak pada penurunan marginal productivity atau lebih
dikenal sebagai diminishing marginal productivity. Secara matematis, asumsi dari
diminishing marginal productivity adalah asumsi mengena i second-order partial
derivatives dari fungsi produksi yaitu dirumuskan:
∂MPk ∂ 2 f
= 2 = f kk = f11 < 0
∂k
∂k
…………………………………...………(3.5)
∂MP1 ∂ 2 f
= 2 = f ll = f 22 < 0
∂l
∂l
…………………………………...…………(3.6)
Asumsi diminishing marginal productivity pertama kali dikemukakan oleh
Ekonom Thomas Malthus yang mengkhawatirkan bahwa peningkatan populasi
yang cepat akan menghasilkan produktivitas tenaga kerja yang lebih renda h.
Namun para ahli matematik melihat bahwa terkait dengan fungsi produksi
menyarankan bahwa kekhawatiran tersebut salah tempat. Menurut Mankiw
(2005), perubahan produktivitas marjinal tenaga kerja sepanjang waktu tergantung
tidak hanya bagaimana tingkat pertumbuhan tenaga kerja tersebut tetapi juga pada
perubahan input lainnya seperti modal. Hal ini berarti bahwa dalam konteks
marginal productivity harus diperhitungkan juga rasio antara tambahan
77
penggunaan tenaga kerja dengan modal atau secara matematis dirumuskan
∂MPl / ∂k = f lk . Dalam banyak kasus f lk > 0, sehingga penurunan produktivitas
tenaga kerja ketika kedua input yaitu tenaga kerja dan modal meningkat tidak
merupakan kesimpulan yang selalu benar. Berdasarkan fakta yang ada
menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja meningkat cukup signifikan sejak
Malthus mengemukakan teorinya karena meningkatnya input modal dapat
mengkompensasi penurunan produktivitas marjinal itu sendiri (Mankiw, 2005).
3.4. Model Estimasi Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas
Pertanian
Cline (2007) menjelaskan bahwa dampak perubahan iklim dapat diestimasi
pada tiga isu utama yaitu pertama, fertilisasi karbon (carbon fertilization), kedua
irigasi da n ke tiga dampak terhadap perdagangan produk pertanian. Isu ke tiga
tersebut diatas merupaka n isu yang kr usial yaitu apaka h dalam menjelaskan
da mpak perubahan iklim terhadap pertanian dengan atau tanpa menggunakan efek
operasional melalui perdagangan internasional.
Cline (2007) lebih lanjut menjelaskan ba hwa ada dua metode yang dapat
digunakan untuk mengestimasi dampak potensial pemanasan global (perubahan
iklim) terhadap sektor pertanian pada tahun 2080-an. Kedua model disusun oleh
Mendelson-Schlesinger yang diperuntukkan untuk estimasi perubahan iklim di
negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Model yang digunakan untuk
mengestimasi dampak perubahan iklim terhadap produksi sektor pertanian di
negara-negara maju adalah model statistik dalam bentuk reduced form dan cross
section model. Model reduced form adalah model yang diturunkan dari ringkasan
estimasi secara statistik yang didasarkan pada hasil dari suatu model pertumbuhan
78
produksi pertanian dan model linear programing pertanian Amerika Serikat
(Mendelson dan Neuman 1999). Model tersebut menyatakan bahwa dampak
perubahan suhu, presipitasi, dan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer
mengikuti model persamaan sebagai berikut :
[
y = 2.16 x − 308 + 53.7T − 2.3T 2 + 0.22 P + 36.5 ln(c / 350)
]
..............(3.7)
dimana:
y = output sektor pertanian tahunan tahun 1990 (dalam US$ per hektar
lahan pertanian)
T = Rata-rata suhu tahunan dalam satuan derajat celsius (0 C)
P = Presipitasi rata-rata tahunan dalam milimeter
c = Konsentrasi karbon dioksida di atmos fer (parts per million atau ppm)
Berdasarkan model pada persamaan 3.7. tersebut perlu dicatat bahwa pada
periode dasar, konsentrasi karbon dioksida adalah 350 ppm, sehingga besaran
angka dalam model persamaan menjadi 36.5 dika li de ngan logaritma natural dari
angka 1 (satu) yaitu nol, sehingga nilai fertilisasi karbon dikeluarkan dari model
persamaan ketika menjelaskan dampak perubahan iklim terhadap produksi
pertanian pada saat ini (1990).
Gambar 10 menunjukkan kurva yang menghubungkan output nol dan output
sebesar $ 200 per hektar berdasarkan persamaan 3.7. Kedua kurva menunjukkan
bahwa suhu optimal pada 11.7 0 C. Pada suhu tersebut, output yang dihasilkan
sebesar $ 200 per hektar pada presipitasi sekitar 2.5 mm.
Model
kedua
yang
juga
dikemukakan
oleh
Mendelson
dan
Schlesinger(1999) adalah model cross-section atau disebut Ricardian Agricultural
79
Impact Function. Fungsi Ricardion cross-section sebagaimana diidentifikasi pada
Mendelson dan Schlesinger (1999) dirumuskan:
[
v = r x g x − 475.5 + 223.2T − 7.87T 2 + 0.063P − 0.000026 P 2 + 480 ln(c / 350)
]
...................................................................................................................(3.8)
dimana:
r = tingkat bunga yang bernilai 0.03
g = faktor tingkat pertumbuhan output pertanian yang bernilai 1.02
T = rata-rata suhu tahunan dalam satuan derajat celsius (0 C)
P = presipitasi rata-rata tahunan dalam milimeter
c = konsentrasi karbon dioksida di atmos fer (parts per million atau ppm)
Precipitation (mm per day)
16
14
12
10
q=200
8
6
4
q=0
2
0
-5
-2
1
4
7
10
13
16
19
22
25
28
31
Temperature (0C)
Sumber: Clien, 2007.
Gambar 10. Kurva Isoproduksi Fungsi Reduced Form Mendelsohn-Schlesinger
Selanjutnya Mendelson, Dinar dan Sanghi (2001) menyusun model estimasi
dampak perubahan iklim terhadap produktivitas pertanian untuk India, kemudian
80
Kurukasuriya et al. (2006) menyusun model estimasi untuk Afrika, dan
serangkaian studi yang disponsori oleh World Bank menyusun model estimasi
untuk negara- negara Amerika Latin. Ketiga model estimasi tersebut, stuktur
modelnya adalah sebagai berikut :
z = ∑i [α iTi + β iTi + γPi + δ i Pi
2
2
]+ K
.....................................................(3.9)
dimana:
z =
ukuran produktivitas pertanian (net revenue per hektar untuk Afrika,
logaritma natural dari net revenue per hektar untuk India, dan nilai
lahan per hektar untuk Amerika Latin)
T =
suhu rata-rata tahunan dalam satuan derajat celsius (0 C)
P =
presipitasi rata-rata bulanan dalam milimeter
i =
musim
K=
variabel komposit yang menggambarkan regresi konstan maupun
pengaruh dari variabel kontrol lainnya dalam estimasi mode l
tertentu.
Sementara itu menurut Garna ut, R (1998) dimensi lain dari penggunaan
model keseimbangan umum adalah dapat digunakan dalam analisis dampak
perubahan iklim terhadap pertanian yaitu pada harga produk pertanian di pasar
global. Oleh karena itu, jika menggunakan model keseimbangan umum, seperti
GTAP, peruba han harga ada lah merupaka n variabe l endogenous.
Berbagai model estimasi dampak perubahan iklim de ngan menggunakan
mod el persamaan ekonometrik sebagaimana dijelaskan diatas, selanjutnya
menjadi referensi penulis dalam menyusun model estimasi dampak perubahan
iklim terhadap produktivitas pertanian pada komoditas pangan yaitu padi, gandum
dan jagung di berbagai negara. Dalam penyusunan model estimasi tersebut
digunakan model regresi be rganda (multiple regression model) yaitu mode l untuk
81
mengestimasi variabel dependent
(dalam penelitian ini
adalah tingkat
produktivitas padi, gandum dan jagung) dengan menggunakan lebih dari satu
independent (explanatory) variabel (dalam penelitian ini mencakup tiga variabel
indepe nde nt yaitu suhu rata-rata, konsentrasi karbon dan tingkat presipitasi di
setiap negara yang diteliti) (Sitepu, R.K dan B.M, Sinaga, 2006).
Sedangkan data yang digunakan untuk menyusun model persamaan regresi
berganda tersebut adalah berupa data pa nel yaitu sebuah set data yang berisi data
sampel individu (dalam penelitian ini individu negara), pada sebuah periode
waktu tertentu yaitu selama periode 1991-2000, sehingga akan didapatkan
berbagai observasi pada setiap individu di dalam sampel. Dengan kata lain, data
panel merupakan gabungan antara data lintas-waktu (time series) dan data lintasindividu (cross section).
Baltagi (2005) dalam bukunya menjelaskan beberapa keuntungan dari
penggunaan data panel. Data panel berka itan de ngan individual, perusahaan,
negara, dan sebagainya dalam periode tertentu, maka tidak ada batasan terhadap
heterogenitas dari unit ini. Dengan mengkombinasikan data time series da n cross
section, data panel memberikan data yang lebih informatif, lebih bervariasi,
sedikit kolinieritas antar variabel, lebih banyak derajat kebebasan (degree of
freedom) dan lebih efisien. Dengan mempelajari penelitian cross section yang
repetitif, data panel merupakan pendekatan yang lebih baik untuk mempelajari
dinamika peruba han. Data panel bisa mendeteksi lebih baik dan mengukur efek
yang tidak bisa diobservasi dengan data cross section atau data time series saja.
Data panel membuat kita mempelajari model behavioral yang lebih kompleks.
Data panel dapat meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agregasi individu atau
82
perusahaan karena unit data lebih banyak. Walaupun demikian, menurut Baltagi,
data panel bukan merupakan metode yang sempurna dan tetap mempunyai
beberapa kelemahan. Diantaranya adalah masalah desain dan pengoleksian data,
terjadinya distorsi dan kesalahan pengukuran, masalah selectivity, dimens i seri
waktu yang lebih pe ndek d an depe nde nsi cross section.
Pada penelitian ini untuk menangkap perilaku individu negara yang
mencerminkan perbedaan tingkat produktivitas padi, gandum dan jagung di setiap
negara yang diteliti, maka model persamaan regresi berganda yang digunakan
adalah menggunakan variabel dummy intersep. Pada model ini, intersep berbeda
dari individu ke individu, sementara parameter slope diasumsikan ko nstan pada
unit individu dan unit waktu. Jadi penggunaan variabel dummy hanya berperan
dalam penggolongan unit individu (Baltagi, 2005). Secara umum model regresi
berganda dengan variabel dummy intercept dapat dirumuskan sebagai berikut :
…………….................. (3.10)
dimana:
Y
:
variabel dependen
β0
:
koefisien intersep
β i, …, βk :
koefisien parameter regresi
ℇ
faktor pengganggu stokastik (error term)
:
i = 1, 2, … :
DI
pengamatan ke-i
:
koefisien dummy untuk negara
:
variabel dummy negara
83
Untuk mengestimasi parameter-parameter dalam persamaaan regresi
berganda yang digunakan dalam penelitian ini digunakan metode kuadrat
terkecil/OLS (ordinary least squeares). Dengan asusmsi-asumsi tertentu, maka
model OLS memiliki beberapa sifat statistik yang sangat menarik dan powerfull
dan popular dalam mengestimasi suatu model persamaan regresi (Sitepu, R.K dan
B.M, Sinaga, 2006).
Selanjutnya parameter-parameter hasil estimasi baik intersep, dummy
intersep, dan koefisien dari masing- masing variabel independent pada setiap
model persamaan yang dihasilkan dilakukan evaluasi. Evaluasi hasil estimasi
model persamaan umumnya dibagi ke dalam tiga bagian yaitu, kriteria ekonomi,
kr iteria statistik da n kriteria ekonometrika (Sitepu, R.K dan B.M, Sinaga, 2006).
Lebih lanjut Sitepu, R.K dan B.M, Sinaga ( 2006), menjelaskan bahwa
kriteria pertama yaitu Economic ‘A Priori’ Criteria, dalam hal ini ditentukan oleh
pr insip-pr ins ip yang sesuai dengan kr ieteria eko nomi yang mengacu pada arah
dan besaran (sign da n magnitude) dari nilai koefisien variabel independent yang
dihasilkan dalam mode l estimasi. Sementara kriteria kedua adalah statistical
criteria, ditentukan oleh teori statistik dan membantu evaluasi mode l secara
statistika yang dapat dipercaya dari koe fisien estimasi mode l. Kriteria statistik
yang paling sering digunakan adalah correlation coefficient dan standard
deviation atau standard error. Sedangkan kriteria ketiga yaitu econometric
criteria, ditentukan oleh ilmu ekonometrika yang membantu mengevaluasi apakah
asumsi dari metode ekonometrika terpenuhi atau tidak. Kriteria ekonometrik
membantu kita untuk menetapkan apakah estimasi yang diinginkan memiliki
properties unbiasedness, consistency dan lain- lain. Pada kriteria ekonometrik juga
84
dilakukan pengujian terhadap asumsi dari metode pendugaan OLS, antara lain
asumsi multicollinearity, autocorrelation da n heteroscedasticity.
3.5. Teori Perdagangan Internas ional
Konsep perdagangan bebas untuk pertama kali diperkenalkan oleh Adam
Smith pada awal abad ke-19 dengan teori keunggulan absolut (absolute
comparative). Ricardo (1817), kemudian menyempur naka n Teori Adam Smith
dengan model keunggulan komparatif (The Theory of Comparative Advantage).
Teori ini menekankan pada perbedaan harga relatif antara dua input produksi
sebagai penentu terjadinya perdagangan. Selanjutnya Heckscher-Ohlin (H-O)
dengan The Theory of Factor Proportions (1949 – 1977) mengembangkan Teori
klasik Ricardo tersebut yang intinya menyatakan bahwa walaupun tingkat
teknologi yang dimiliki sama, perdagangan internasional akan tetap terjadi bila
ada perbedaan kepemilikan faktor produksi (factor endowment) diantara masingmasing negara. Teori H-O menyatakan bahwa satu negara dengan kepemilikan
kapital berlebih akan berspesialisasi dan mengekspor komoditi padat kapital
(capital-intensive goods), dan sebaliknya negara dengan kepemilikan tenaga kerja
berlebih akan memproduksi dan mengekspor komoditi padat tenaga kerja (laborintensive goods).
Selanjutnya konsep perdagangan internasional terus berkembang, namun
masih tetap menggunakan konsep keunggulan komparatif yang dikembangkan
sebelumnya. Krugman dan Obstfeld (2000) menjelaskan bahwa perdagangan antar
negara terjadi karena adanya dua alasan, yaitu: (1) karena negara-negara tersebut
berbeda satu sama lain, dan (2) negara-negara melakuka n perda gangan dengan
tujuan untuk mencapai skala ekonomi. Konsep teori Krugman dan Obsfeld (2000)
85
menyatakan bahwa akan lebih efisien jika dilakukan perdagangan dengan negara
lain dibandingkan jika negara itu memproduksi semua produk.
Sesuai de nga n tujuan pe nelitian, maka pendekatan tentang perdagangan
internasional untuk bisa memahami manfaat yang dapat diperoleh dari adanya
perdagangan dilakukan dengan menggunakan keseimbangan umum.
Secara sederhana teori keseimbangan umum dapat dijelaskan dengan
menggunakan model “ekonomi dua pasar” (Salvatore, 2000). Dengan model ini
dimisalkan, ketika pemerintah negara 1 menerapkan tarif terhadap produk yang
selama ini diimpor yaitu X, akibatnya harga produk X akan meningkat relatif
terhadap harga di pasar internasional. Sesuai dengan hukum penwaran, maka
peningkatan harga X akan merangsang produsen domestik di negara 1 untuk
meningkatkan produksinya, dan sebaliknya produksi Y akan menurun karena
produsen doimestik akan merugi. Sesuai hukum permintaan dan penawaran
tenaga kerja, maka dengan m,eningkatnya produksi X, maka akan diikuti oleh
relokasi faktor produksi seperti tenaga kerja dari industri yang menghasilkan
produk Y ke industri yang memproduksi X. Namun, dalam mode l partial
equilibrium, proses terjadinya relokasi faktor input produksi tersebut tidak akan
terdeteksi.
Contoh lain adalah ketika impor negara 1 menurun karena pe nge naan tarif,
maka negara lain yang menerima dampak penurunan impor negara 1 tersebut akan
mengalami penurunan penerimaan sehingga kemampuan ekspornya juga akan
turun. Hal ini akan mengakibatkan impor negara 1 tersebut juga turun. Dengan
kata lain dapat disimpulkan bahwa kebijakan tarif impor berdampak terhadap
berbagai variabel ekonomi lainnya di negara lain. Namun, karena yang digunakan
86
adalah model partial, maka dampak terhadap negara lain tersebut tidak akan
terlihat. Oleh karena itu, agar dampak suatu kebijakan yang diterapkan di suatu
negara dapat ditangkap pengaruhnya terhadap negara lainnya, maka analisis yang
tepat adalah analisis ekonomi keseimbangan umum.
Untuk menjelaskan analisis menggunakan model ekonomi keseimbangan
umum yang dicapai melalui perdagangan akan dijelaskan melalaui grafik berikut
dengan mengacu pada teori Ekonomi Internasional yang dikemukakan Salvatore
(2000).
Berbeda dengan analisis partial, dalam analisis model keseimbangan
umum sudah merangkum aspek dari pelaku yaitu produsen dalam bentuk
produksi, dan konsumen melalui konsumsi serta perdagangan, semua dirangkum
dalam satu diagram yang utuh pada kondisi keseimbangan. Sisi produksi dari
masing- masing negara 1 dan 2 digambarkan dalam satu titik yaitu E*, dimana
kurva yang menunjukkan adanya perdagangan atau tawar menawar antara kedua
Negara tersebut saling berpotongan.
Sebagaimana pemahaman terhadap penggunaan konsep suatu teor i yaitu
untuk menyederhanakan suatu fenomena, maka untuk memuda hka n analisis ini
juga disederhanakan dengan menggunakan beberapa asumsi yaitu : 1)
diasumsikan hanya terdapat dua Negara di dunia yaitu Negara 1 dan Negara 2
secara individu atau merupakan gabungan dari berbagai Negara; 2) diasumsikan
juga bahwa hanya terdapat dua jenis produk yaitu X dan Y; 3) struktur pasar
diasumsikan pada kondisi pasar persaingan sempurna: 4) Asumsi terakhir adalah
perekonomian kedua negara berada dalam kondisi penggunaan tenaga kerja penuh
atau full employment.
87
Y
120
Negara 1
100
PB=PB’=1
E
1
80
III
2
E*
60
40
20
X
X
0
60
40
20
20
20
40
60
80
100
120
140
Negara 2
40
60
E’
80
III’
Y
Su mber: Salvat ore, 2000.
Gambar 11. Proses Terjadinya Perdagangan Antara Dua Negara
Setelah berlangsungnya perdagangan antara Negara 1 dan Negara 2, maka
kondisi produksi dan konsumsi terhadap barang X dan Y di masing- masing
Negara dapat dijelaskan sebagai berikut. Untuk Negara 1 akan memproduksi
barang X dan Y masing- masing sebanyak 130 dan 20 yang ditunjukan pada titik E
yang juga identik dengan titik E* . Dengan memproduksi sejumlah barang X dan Y
tersebut, maka Negara 1 akan mengkonsumsi barang X dan Y masing- masing
sebanyak 70 dan 80 yang juga ditunjukkan pada titik E, tetapi ditarik dari garis
sumbu O, sedangkan sisanya yaitu masing- masing sebanyak 60 unit X dan 60 unit
Y aka n diperdagangkan dengan Negara 2, yang berarti Negara 1 akan mengekspor
barang X dan mengimpor barang Y.
88
Sementara itu, dengan cara yang sama, maka untuk Negara 2 akan
memproduksi barang X dan Y masing- masing sebanyak
40 dan 120 yang
ditunjukkan pada titik E’ yang juga identik dengan titik E* . Sedangkan
konsumsinya masing- masing sebanyak 100 X dan 60Y yang juga ditunjukkan
pada titik E’, tetapi ditarik terhadap garis sumbu O, sehingga sisanya yaitu
masing- masing sebanyak 60 X akan diimpor dari Negara 1 dan sebanyak 60 Y
akan diekspor ke Negara 1. Jumlah barang X dan Y tersebut adalah yang
ke mudian diperda gangka n oleh kedua Negara.
Perdagangan
internasional antara
kedua
Negara
akan
mencapai
keseimbangan apabila kedua Negara memperdagangkan masing- masing sebanyak
60X dan 60Y yang didasarkan pada harga relative kedua barang tersebut yaitu
ditunjukkan pada Pb=1 yang merupakan perpotongan kurva penawaran kedua
Negara tersebut sebagaimana ditunjukkan pada titik E* . Harga relative kedua
barang yaitu X da n Y terjadi dalam kondisi keseimbangan pada tingkat harga Pb
=1, sehingga harga tersebut yang selanjutnya berlaku dalam transaksi
perdagangan di pasar domestik bagi masing- masing Negara.
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa transaksi perdagangan akan didasarkan pada harga
relative yang sama bagi produsen, konsumen, dan pedagang di kedua Negara
tersebut. Sebagaimana digambarkan pada grafik, titik E milik Negara 1 yang
terletak pada kurva indeferen III akan mencerminkan jumlah tingkat konsumsi
Negara tersebut diukur dari pusat sumbu atau titik 0, sementara untuk titik E yang
sama akan mengukur jumlah produksi barang X dan Y Negara 1 tetapi ditarik dari
titik E’.
89
Dengan mengacu pada penjelasan tersebut diatas, maka secara teori
perdagangan bebas akan memberikan manfaat yang maksimal bagi kedua belah
pihak (Negara 1 dan 2). Namun demikian, pada kenyataanya masih terjadi distorsi
pasar sebagai akibat adanya campur tangan atau intervensi pemerintah, sehingga
berakibat pada tidak tidak maksimalnya manfaat yang diperoleh oleh pelaku pasar
yaitu produsen, konsumen bahkan pemerintah itu sendiri.
Sampai saat ini
berbagai bentuk interventi pemerintah yang sering dilakukan baik di Negara maju
maupun di Negara berkembang antara lain pengenaan tariff bea masuk, subsidi
terhadap produk ekspor, larangan atau pembatasan ekspor maupun impor dan
berbagai bentuk intervensi lainnya yang semuanya berdampak pada munculnya
distorsi pasar. Berikut ini akan dijelaskan menge nai pemberlakuan intervensi
yang mendistorsi pasar tersebut, yaitu dalam bentuk pemberlakuan tarif bea
masuk.
Menurut Dunn dan Mutti (2000) tarif adalah pajak atau bea yang
dikenakan terhadap suatu produk yang masuk atau ke luar da ri suatu negara.
Tarif yang dikenakan terhadap produk yang diimpor disebut tarif impor,
sedangkan tarif yang dikenakan terhadap produk ekspor disebut dengan tarif
ekspor. Secara teoritis, pajak yang berasal dari tarif memberikan pemasukan bagi
pemerintah.
Oleh karena itu, sampai saat ini masih banyak negara terutama
negara-negara berkembang yang mengandalkan tarif sebagai salah satu sumber
penerimaan negara.
Menurut Dunn dan Mutti (2000), dampak pemberlakuan tarif bisa berbeda
antar negara. Pada negara-negara kecil yang tidak mampu mempe ngaruhi harga
duni a, pe nerapa n tarif hanya akan meruba h harga di negara tersebut, sementara
90
harga dunia tidak mengalami perubahan. Sebaliknya, pada kasus negara besar,
penerapan tarif akan mampu mempengaruhi harga dunia. Berikut ini akan
dijelaskan mengenai dampak pemberlakuan tarif impor pada kasus negara kecil
dan kasus negara besar. Konsep teori yang digunakan dalam menjelaskan dampak
pemberlakuan tarif impor tersebut mengacu pada Dunn dan Mutti (2000).
1. Dampak Pe rubahan Iklim dan Tarif Impor pada Kasus Negara Kecil
Menurut Dunn dan Mutti (2000), negara kecil didefinisikan sebagai negara
yang tidak mampu mempengaruhi harga dunia, sehingga TOT dunia tidak
mengalami perubahan sekalipun negara kecil tersebut melakukan perubahan
kebijakan perdagangannya. Mengacu pada teori yang dikemukakan Dunn dan
Mutti (200),
maka di dalam keseimbangan perdagangan bebas,
yang
mengasumsikan hanya ada dua komoditi misalkan makanan dan pakaian, negara
A akan memaksimumkan kesejahteraannya dengan berproduksi pada titik dimana
rasio dari marginal cost (MC) domestiknya sama dengan rasio nilai tukar dunia.
Negara tersebut akan melakukan perdagangan untuk mencapai kemungkinan
kurva indiferen yang paling tinggi. Keseimbangan perdagangan bebas seperti itu
ditunjukkan oleh Gambar 12, dengan rasio harga dunia ditunjukkan oleh slope
TT, produksi berada pada titik P 1 , dan konsumsi pada titik C 1 . TT bersinggungan
dengan kurva indiferen i2, negara A mengekspor pakaian dan mengimpor
maka nan.
Sebagaimana dijelaskan Dunn dan Mutti (2000), maka jika negara A
menetapkan tarif pada impor makanannya, dampak pertamanya adalah
meningkatnya harga domestik makanan, yang menyebabkan divergensi antara
rasio nilai tukar domestik dan rasio nilai tukar dunia. Akibatnya rasio nilai tukar
91
domestik menjadi sama dengan slope DD, lebih landai dari TT, yang
menunjukkan suatu harga relatif yang lebih tinggi untuk makanan. Tarif tersebut
merubah rasio harga domestik dan rasio harga eksternal. Berdasarkan konsep teori
yang dijelaskan Dunn dan Mutti (2000), maka secara geometrik hal ini terlihat
sebagai sudut antara dua garis harga, dimana harga maka nan yang lebih tinggi
menyebabkan perusahaan mengembangkan produksi makanan dan mengurangi
produksi pakaian. Titik produksi berpindah ke P 2 , dimana garis harga do mestik
(DD) merupaka n tangen terhadap kurva kemungkinan produksi.
Lebih lanjut Dunn dan Mutti (2000) menjelaskan bahwa dengan asumsi
bahwa rasio harga dunia tetap tidak berubah, perdagangan internasional terjadi
sepanjang garis P 2 C2 (pararel terhadap TT). Keseimbangan baru pada konsumsi
dicapai ketika dua kondisi terpenuhi: Pertama, garis harga domestik, EE, yang
slopenya sama dengan rasio harga domestik, merupakan tangen terhadap suatu
kurva indiferen i1 , Kedua, garis harga dunia, P 2 C2 , memotong kurva indiferen
komuniti pada titik tangennya dengan garis harga domestik, EE. Kedua kondisi ini
terpenuhi pada titik C 2 pada Gambar 12.
Menurut Dunn dan Mutti (2000), secara teknis, kondisi pertama menjamin
bahwa MRS pada konsumsi menyamai rasio harga domestik yang dihadapi
konsumen; kondisi kedua memenuhi persyaratan bahwa rasio harga do mestik
berbeda dari rasio harga dunia. Pada keseimbangan baru, negara A terus
mengekspor pakaian dan mengimpor makanan tetapi dalam jumlah yang lebih
kecil dari sebelumnya. Tarif telah mendorong produksi makanan dan mengurangi
ketergantungan negara A terhadap makanan impor.
92
Tarif juga telah mengurangi output domestik berupa ekspor pakaian dan
mengurangi kesejahteraan sebagaimana diindikasikan oleh pergerakan kurva
indifferent yang lebih rendah, dari i2 ke i1. Jadi, baik dengan menggunakan
pendekatan keseimbangan umum maupun keseimbangan parsial, kebijakan tarif
pada kasus negara kecil berdampak pada berkurangnya kesejahteraan nasional
(Dunn dan Mutti, 2000). Selanjutnya, jika dampak perubahan iklim diasumsikan
mempengaruhi produktivitas makanan maupun bahan baku pakaian, maka akan
menyebabkan produksi makanan maupun pakaian turun ditunjukkan melalui
pergeseran kurva FG ke F 1 G1 . Mekanisme dampak pengenaan tarif dan adanya
dampak perubahan iklim terhadap keseimbangan produksi, konsumsi, ekspor, dan
impor sama seperti kondisi sebelum adanya dampak perubahan iklim.
T
C1 T
Makanan
E
C 3T 1
C2
i2
D
i1
C4
F
F
1
i 21
Dampak
perub.
iklim
P2
i 11
E
P21
P1
D
P 11
0
Pakaian
D1
G1
G
T
Sumber: Dunn dan Mutti, 2000 (dimod ifikasi).
Gambar 12. Dampak Peruba han Iklim da n Tarif Pada Model Keseimba ngan
Umum untuk Kasus Negara Kecil
93
2. Dampak Pe rubahan Iklim dan Tarif Impor Pada Kasus Negara Besar
Dunn dan Mutti (2000) mengemukakan juga teorinya untuk kasus negara
besar yang diasumsika n seba gai negara yang mampu mempengaruhi harga dunia.
Artinya, bila negara tersebut mengenakan tarif terhadap suatu komoditi impornya,
maka kebijakan tersebut akan berdampak pada perubahan rasio harga dunia
sehingga TOT akan berubah. Untuk menjelaskan dampak kebijakan tarif pada
kasus negara besar, digunakan contoh yang sama dengan yang diterapkan pada
kasus negara kecil sebagaimana dikemukakan Dunn dan Mutti (2000).
Diasumsikan ba hwa negara A mengenakan pajak pada makanan impor,
dampaknya adalah harga maka nan dunia turun secara relatif terhadap harga
pakaian. Karena negara A adalah negara besar, maka untuk suatu tingka t tarif ad
valorem tertentu, harga domestik makanan tidak akan meningkat seperti terjadi
pada kasus negara kecil, sehingga pergeseran dalam produksi menjadi lebih kecil.
Kondisi ini dijelaskan pada Gambar 13 dimana kondisinya adalah sama dengan
kasus yang baru dijelaskan pada negara kecil kecuali bahwa tarif sekarang
menyebabkan rasio harga dunia berubah dari kemiringan garis TT ke kemiringan
garis P2C2, sementara produksi terjadi pada P2.
Sebagaimana dijelaskan Dunn dan Mutti (2000), garis tersebut memiliki
proporsi yang sama dengan sebelumnya, karena diukur berdasarkan size of the
wedge. Perdagangan internasional sekarang terjadi pada rasio harga (sepanjang
garis P 2 C 2 ). Kemudian, keseimbangan baru untuk tingkat konsumsi dicapai pada
titik C 2 , yaitu saat kedua garis yaitu tarif- garis yang mendistorsi harga do mestik
yang merupaka n tangen da ri suatu kur va indiferen, bersinggungan de ngan harga
dunia pada titik singgung tersebut.
94
T
Rasio harga duni a setelah tarif
C1
T1
C2
i2
Makanan
C3
i1
C4
i2 1
i 11
F
F2
Dampak
perub.
iklim
P2
P4
Rasio harga domestik
setelah tarif
P1
P3
0
Pakaian
T1
G2
T
Rasio harga dunia
sebelum tarif
G
Sumber: Dunn dan Mutti, 2000 (dimod ifikasi).
Gambar 13.
Dampak Tarif Pada Model Keseimba ngan Umum untuk Kasus
Negara Besar
Dengan mengacu pada konsep teori yang dikemukakan Dunn dan Mutti
(2000), yang ditunjukkan oleh Gambar
13, negara A mencapa i suatu kurva
indiferen yang lebih tinggi disebabkan oleh tarif da n kondisi ini tidak dapat
dihindari. Sebagaimana dijelaskan Dunn dan Mutti (2000), kondisi tersebut
responnya tergantung pada besarnya perubahan dari rasio harga dunia. Dengan
kata lain dapat disimpulkan bahwa negara A mendapatkan keuntungan dari tarif
ketika keuntungannya dari perbaikan TOT melebih kerugiannya dari penggunaan
sumberdaya domestik yang kurang efisien. Besarnya perbaikan dari TOT akibat
pengenaan tarif tersebut tergantung kepada elastisitas permintaan dan penawaran
domestik da n luar negeri.
Menurut Dunn dan Mutti (2000), keuntungan lainnya adalah adanya
kerugian yang akan diterima ROW (negara lainnya). Seandainya negara lain
95
melakukannya secara bersama-sama, maka mereka dapat membalas dengan
mengenakan tarif mereka sendiri, sehingga menyebabkan TOT bergeser kembali
kebelakang. TOT dapat bergeser ke rasio perdagangan bebas (bukan hasil yang
diperlukan), tetapi dampaknya adalah perdagangan dan kesejahteraan dunia
berkurang. Sementara, persetujuan perdagangan secara bersama, justru akan
membalikkan
pengurangan
tarif
secara
timbal
balik,
sehingga
akan
menguntungkan kedua negara. Selanjutnya, jika dampak perubahan iklim
diasumsikan mempengaruhi produktivitas makanan maupun bahan baku pakaian,
maka akan menyebabkan produksi makanan maupun pakaian turun ditunjukkan
melalui pergeseran kurva FG ke F 2 G2 . Mekanisme dampak pengenaan tarif dan
adanya dampak perubahan iklim terhadap keseimbangan produksi, konsumsi,
ekspor, dan impor sama seperti kondisi sebelum adanya dampak perubahan iklim.
3.6. Teori Keseimbanga n Umum
Pada abad ke-19, Leon Walras adalah orang yang pertama kali
mengembangkan teori keseimbangan umum. Teori keseimbangan umum yang
dikembangkan Walras adalah model keseimbangan pasar kompetitif pada sebuah
sistem ekonomi pertukaran (exchange economy), dimana tidak terdapat kegiatan
produksi. Dengan demikian, berdasarkan teori keseimbangan yang dikemukakan
Walras, maka semua agen ekonomi adalah para konsumen sehingga aggregat
supply adalah sama dengan agregrat endowment yang dimiliki konsumen. Lebih
lanjut dalam teori Walras dikemukakan bahwa dalam pendekatan keseimbangan
umum, perubahan dalam suatu pasar aka n mengakibatkan perubahan pula di pasar
lainnya, karena pendekatan ini memperlakukan pasar sebagai suatu sistem.
96
Konsep dasar ekonomi keseimbangan umum didasarkan pada efisiensi
pareto atau pareto optimum pada setiap agen ekonomi (produsen, konsumen,
investor, dan pemerintah) (Nicholson, 1994). Konsep teori efisiensi pareto pada
bagian ini didasarkan pada Nicholson (1994) yang mengacu pada kondisi
sederhana dan terfokus pada kasus, 2 (dua) faktor produksi dan 2 (dua) komoditi.
3.6.1. Keseimbangan Produksi
Kerangka teori keseimbangan produksi yang digunakan dalam bagian ini
didasarkan pada Nicholson (1994). Berdasarkan teori produksi dinyatakan bahwa
produsen berada dalam keseimbangan apabila MRTS
lk
= w1/w2 dimana w1
adalah harga faktor L (tenaga kerja) dan w2 adalah harga faktor K (modal).
Untuk kasus dua pe rusahaan yang masing- masing menghasilkan komoditi yang
berbeda, yaitu dimisalkan x1 dan x2, maka keseimbangan simultan yang terjadi
dijelaskan melalui kotak Edgeworth. Keseimbangan simultan antar dua produk
x1 dan x2 aka n tercapai pada saat isokuan x1 bersinggungan dengan isokuan x2.
Kondisi ini tercapai karena titik-titik singgung tersebut membentuk kurva yang
disebut de ngan Kurva Kontrak atau Contract Curve (CC) (Nicholson, 1994).
Sebagaimana dijelaskan Nicholson (1994), dalam ekonomi pertukaran,
maka semua alokasi yang efisien akan terletak sepanjang kurva kontrak,
sedangkan titik diluar kurva kontrak adalah tdaik efisien, karena seseorang dapat
memperoleh kesejahteraan yang lebih tinggi jika pindah dari titik tersebut ke arah
kurva kontrak. Di sepanjang kurva kontrak, preferensi individu bersaing satu sama
lain, yang berarti kesejehteraan yang dipe roleh seseorang hanya mungkin tercapai
atas pengorbanan orang lain (Nicholson, 1994).
97
Secara matematis keseimbangan produksi dapat ditunjukkan sebagai
berikut:
MRTS1k = MRTS1k =
w1
.........................................................................(3.12)
w2
dimana MRTS adalah slope dari isokuan.
OX2
X22
X23
X1
P3
X12
X24
K
P2
X11
P1
OX1
L
Sumber: Nicholson, 1994
Gambar 14. Diagram Kotak Edgeworth pada Kasus Dua Komoditi da n Dua
Faktor Produksi
Gambar 14 menunjukkan bahwa tingkat output x1 dan x2 yang diproduksi
perusahaan harus sesuai dengan permintaan konsumen terhadap barang x1 dan x2
(Oktaviani, 2008) dimana permintaan konsumen ditentuka n oleh harga relatif p1
dan p2. Untuk menyesuaikan sektor penawaran dengan sektor permintaan,
dibutuhkan konsep Kurva Kemungkinan Produksi (KKP) atau Production
Possibility Curve (PPC) (Oktaviani, 2008).
Sebagaimana dijelaskan dalam teori produksi (Nicholson, 1994), maka PPC
diturunkan dari kurva kontrak yang terbentuk dalam kotak Edgeworth. PPC tidak
lain adalah kumpulan titik-titik yang menggambarkan transformasi dari satu
98
produk menjadi produk lain melalaui alokasi faktor produksi. Sedangkan Slope
dari PPC itu sendiri disebut seba gai Marginal Rate of Product Transformation
(MRPT). Pada pasar persaingan sempurna MRPT12 harus sama dengan ratio dari
harga barang X1 terhadap X2 atau secara matematis dirumuskan sebagai berikut:
MRPT12 =
P1
P2
.......................................................................................(3.13)
OX2
X24
P1
X23
P2
X22
P3
X21
P4
O
X11
X12
X13 X14
OX1
Sumber: Nicholson, 1994
Gambar 15. Kurva Kemungkinan Produksi
Sebagaimana disajikan pada gambar 15, daerah batas PPC yang ditunjukkan
oleh P1, P2, P3, dan P4, memperlihatkan berbagai kombinasi penggunaan K dan
L yang efisien untuk menghasilkan X1 dan X2 . Kurva PPC tersebut ditransfer dari
lok us titik-titik efisiensi pada gambar 15 tersebut, sedangka n slope PPC
memperlihatkan bagaimana output X 1 dapat ditukarkan terhadap output X2
dengan tetap menggunakan sejumlah sumberdaya (input) yang sama.
99
3.6.2. Keseimbangan Sektor Produksi dan Konsumsi
Berdasarkan Nicholson (1994), keseimbangan sektor produksi dan
konsumsi akan tercapai pada saat MRPT 12 =MRS 12 =
P1
, dimana MRPT
P2
menunjukkan tingkat transformasi suatu produk terhadap produk lain, sedangkan
MRS menunjukkan sejauh mana konsumen mau mempertukarkan suatu komoditi
dengan komoditi lainnya. Lebih lanjut Nicholson (1994) menjelaskan bahwa
keseimbangan akan terjadi jika transformasi produksi adalah sama atau sesuai
dengan tingkat subtitusi konsumsi atau de ngan kata lain MRPT = MRS. Secara
konsep ekonomi, keseimbangan total adalah bahwa kombinasi output X1 dan X2
harus optimal baik dari sudut prod usen maupun ko nsumen, sebagaimana
ditunjukkan pada gambar 16.
Keseimbangan umum secara keseluruhan harus terpenuhi de ngan adanya
keseimbangan alokasi pada sektor produksi dan konsumsi, dimana keseimbangan
tersebut dilakukan melalui mekanisme harga, sehingga akan tercapai efisiensi
dalam perekonomian (Oktaviani, 2008). Disamping harus memenuhi asumsi pasar
persaingan sempurna dan efisiensi pareto, terdapat beberapa asumsi lain dari
model CGE (Gilig dan Carl, 2002) yaitu:
a. Pada pasar komoditi dan pasar input, total permintaan sama dengan total
penawaran.
b. Pada tingka t harga keseimbangan ke untungan pe rusahaan sama de nga n nol.
c. Pendapatan rumah tangga sama dengan pengeluaran rumah tangga.
d. Penerimaan pemerintah sama dengan pengeluaran pemerintah.
Berdasarkan uraian tersebut terlihat bahwa mode l keseimbangan umum
adalah model ekonomi yang melihat ekonomi sebagai suatu sistem yang lengkap
100
(Dixon et al., 1992). Model CGE dapat juga dibuat dibuat pada level makro, tetapi
harus memasukan level mikro yang lebih rinci karena harus ada keterkaitan antara
pe laku-pelaku ekonomi seperti industri, rumah tangga, investor, pemerintah,
importir, dan eksportir dan antara pasar yang berbeda. Dengan menagcu pada
Nicholson (1994), maka pasar dikatakan mencapai keseimbangan jika memenuhi
syarat-syarat ya itu: non negatif, homogen da n memiliki harga ya ng unik, tidak
terjadi kelebihan permintaan (excess demand) dan efisien pada harga pasar.
C*
X2
Slope=
P*
∆X 2*
= x*1
∆X 1*
Px 2
P
X2 1
Slope=
X2 *
P*
P
∆X 2
= x1
∆X 1
Px 2
X2 2
U3
U2
C
U1
O
X1 1
X1 *
X1 2
X1
Sumber: Nicholson, 1994
Gambar 16. Keseimbangan Sektor Produksi dan Konsumsi
3.7. Model Computable General Equilibrium Statis dan Dinamis
Model CGE yang tidak memasukkan unsur dinamis disebut sebagai model
komparatif (comparative static). Model ORANI merupakan salah satu contoh
model CGE komparatif statik untuk kasus ekonomi Australia (Oktaviani, 2008).
101
Sedangkan model WAYANG (Wittwer, 1999) merupakan model komparatif
statik untuk kasus ekonomi Indonesia.
Menurut Oktaviani (2008), mode l CGE dinamis dapat diklasifikasikan
mnjadi: (1) model periode tunggal, dikenal sebagai “sequential solution” atau
“recursive”, dan (2) model “fully dynamic” atau “multi period”.
Lebih lanjut, Oktaviani (2008), mengemukakan bahwa model comparative
static merupakan model yang memodifikasi model statis dengan tidak
memasukan unsur periode waktu. Model ini menunjukkan model CGE yang
membandingkan perbedaan nilai variabel untuk waktu yang akan datang (T)
dengan atau tanpa menggunakan shock variabel eksogen. Semua persamaan dan
variabel pada model menunjukkan keadaan perekonomian pada periode yang akan
datang.
Variabel
C
B
O
T
(Tahun)
Sumber: Horridge, 1998.
Gambar 17. Model Komparatif Statik
Model komparatif statik dapat digambarka n seperti pada Gambar 17,
dimana gambar tersebut menunjukkan jumlah tenaga kerja pada periode awal
(periode 0) yang dinyatakan dengan B. Kemudian dengan adanya perubahan
kebijakan, mka tenaga kerja dapat mencapai titik C. Selanjutnya, pada simulasi
102
model komparatif statik ini akan menghasilkan perubahan persentase pada tenaga
kerja sebesar 100* (C-B)/B, yang menunjukkan bagaimana tenaga kerja pada
periode T akan dipengaruhi oleh perubahan kebijakan. Perubahan dampak
kebijakan dalam jangka pendek atau jangka panjang aka n tergantung pada
pemilihan closure pada model (Oktaviani, 2008).
Sebagai contoh perubahan
kebijakan variabel eksogen seperti perubahan tenaga kerja, tabungan, penurunan
dalam nilai tukar perdagangan dan pertumbuhan dalam konsumsi publik
(Oktaviani , 2008).
Download