Chapter II - USU-IR - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karet Alam
Karet alam (Natural Rubber/NR), merupakan produk metabolit sekunder yang
dihasilkan oleh lebih dari 2000 jenis spesies tumbuhan. Pada umumnya karet alam
komersial yang dikenal diperoleh dengan penyadapan tumbuhan Hevea Brasiliensis
dan sisanya berasal dari tumbuhan semak dan tumbuhan kecil: milkweed (Asclepias
spp.), dandelion (Taraxacum spp.) dan Guayule (Andrew Ciesielski, 1999).
Tumbuhan Hevea Brasiliensis telah dikenal oleh bangsa Maya di Amerika
Selatan selama berabad-abad lamanya dengan sebutan Cautchou, pohon menangis.
Kemudian pada 1770 oleh Joseph Priestley menciptakan istilah baru yaitu rubber
(penghapus), karena Cautchouc bisa dipakai sebagai penghapus tulisan pensil, to rub
out. Senyawa isoprena merupakan produk degradasi utama karet alam, yang
diidentifikasi pada tahun 1860 seperti yang dipublikasikan oleh J.C.F. Williams pada
tahun 1862 di Journal Of Chem. Soc. 15 Part 10 (Stevents, M. P., 2001).
Karet alam dalam bentuk lateks yang diperoleh dari hasil penyadapan
merupakan dispersi koloidal dengan massa jenis 0,975 -0,980 g/mL dan pH 6,5 -7,
yang terdiri dari komponen karet dan non-karet, seperti protein, lipida, karbohidrat,
asam dan beberapa senyawa anorganik. Komposisi ini sangat bervariasi tergantung
pada tumbuhan karet sumbernya, seperti pada Tabel 2.1 (Flint, C. F., 1938).
Lateks karet alam yang diperoleh dari hasil sadapan tumbuhan karet pada
umumnya diolah menjadi lateks pekat dan karet kering, tergantung penggunaannya.
Karet kering merupakan produk utama, sekitar 90% yang dihasilkan dan
dikategorikan menjadi beberapa jenis. Di Indonesia, produk karet kering dikenal
dengan nama Standard Indonesian Rubber (SIR), SIR 10, SIR 20, SIR 30. Dimana
6
Universitas Sumatera Utara
angka mengacu pada kandungan maksimum pengotor yang terdapat dalam produk
(Thio Goan Loo, 1980).
(a)
(b)
Gambar 2.1. Pohon karet alam Hevea Brasiliensis (a) dan lateks karet alam (b)
Gambar 2.2. Tanaman Gua yule yang sedang tumbuh di Yulex Ehrenberg, Amerika
Serikat (Jan Van Beilen dkk., 2006)
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Komposisi lateks karet alam (Ceylon rubber latex)
No
Komponen
Persentase (%)
1
Kandungan karet kering
41,29
2
Protein
2,18
3
Karbohidrat
0,36
4
Senyawa anorganik
0,41
5
Air
55,15
Tabel 2.2. Standar Indonesian Rubber (SIR)
No
Uraian
SIR 5
1
Kadar kotoran maksimum
0,05%
SIR 10
0,10%
SIR 20
0,20%
SIR 50
0,50%
2
Kadar abu maksimum
0,50%
0,75%
1,00%
1,50%
3
Kadar zat atsiri maksimum
1,0%
1,0%
1,0%
1,0%
4
PRI minimum
60
50
40
30
5
Plastisitas – Po minimum
30
30
30
30
6
Kode warna
hijau
-
merah
kuning
Secara kimia, karet alam merupakan senyawa poliisoprena, polimer rantai panjang
linier dengan unit berulang (monomer) isoprena, C5H8 yang terdiri atas 95% (w/w)
cis-1,4-poliisoprena, dengan berat molekul rata-rata 1.000.000. Disamping itu ada
jenis lain tetapi dalam jumlah sedikit, yaitu karet alam yang disebut getah perca
(gutta percha) merupakan trans-1,4-poliisoprena (Flint, C. F., 1938).
H 3C
H
C
CH 2
C
C
(a)
H 2C
H2
C
H 3C
CH 2
C
(b)
H
Gambar 2.3. Rumus kimia cis-1,4-poliisoprena (a) dan trans-1,4-poliisoprena (b)
Universitas Sumatera Utara
Pemanfaatan karet alam secara langsung sangat terbatas oleh karena sifatnya
yang tidak tahan terhadap panas, oksigen, ozon, radiasi, sinar matahari dan
kelarutannya dalam pelarut-pelarut hidrokarbon. Keterbatasan ini diakibatkan oleh
terdapatnya ikatan rangkap dua karbon-karbon pada struktur kimia cis-1,4poliisoprena.
Karet alam pada suhu 0°C sampai 10°C bersifat rapuh, gampang rusak,
kabur/gelap. Diatas 20°C lembut, melenting dan diatas 60°C plastis dan lengket.
Karet alam tidak larut dalam air, alkohol dan aseton, tetapi larut dalam bensin,
benzen, kloroform, karbon tetraklorida, karbon disulfida serta sedikit larut dalam eter
(William Klingensmit dan Brendan Rodgers, 2004).
Karet alam saat ini telah diolah menghasilkan beberapa material yang
digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti ban, balon, sarung tangan karet,
benang karet, tabung/pipa/selang, belt conveyor/transmission, seal, kondom, perekat
(adhesive), pengikat (binder) dan lain-lain (William Klingensmit dan Brendan
Rodgers, 2004).
2.2. Modifikasi kimia karet alam
Pemakaian karet alam secara langsung dalam kehidupan manusia sangat terbatas oleh
karena sifat-sifat karet yang tidak stabil. Untuk meningkatkan pemakaian produk
karet alam dalam bidang yang lebih luas maka perlu dilakukan modifikasi kimia
terhadap struktur kimia poliisoprena. Modifikasi kimia karet alam yang paling utama
adalah terkait dengan ikatan rangkap dua karbon-karbon dan introduksi gugus
pemodifikasi (modifier) pada rantai karbon polimer cis-1,4-poliisoprena yang
bertujuan untuk mendapatkan sifat-sifat dan stabilitas karet alam tertentu sehingga
dapat diaplikasikan dalam bidang yang lebih luas.
Beberapa modifikasi kimia karet alam yang telah dilakukan adalah dengan
epoksidasi ( Takayuki dkk., 2007; Chonlada A. dkk., 2008 dan Heping Yu, dkk.,
2008), Fluorinasi (Sandra Schlögl dkk., 2011), hidrogenasi (Suwadee K. dkk., 2008),
oksidasi (Jing Zhang dkk., 2010), siklisasi (Janssen,1957; Tomorskii, A dkk.,1961;
Universitas Sumatera Utara
Lee D.F., 1963 ; Mirzataheri, 2000 dan Riyajan dkk., 2006), depolimerisasi (Hussin
Mohd. Nor dan John R. Ebdon, 1998) dan pencangkokan/grafting (Charmondusit K.
dkk., 1998; Nakason, C. dkk. 2004; Eddyanto, 2007; Hinchiranan, N. dkk., 2007 dan
Suwadee dkk., 2008 ). Modifikasi karet alam dengan epoksidasi, depolimerisasi dan
siklisasi bahkan berhasil diproduksi secara komersial.
Gambar 2.4. Skema sederhana biosintesa poliisoprena (William K. dan
Brendan Rogers, 2004)
Universitas Sumatera Utara
Epoksidasi karet alam menghasilkan karet alam epoksidasi/Epoxidized
Natural Rubber (ENR), penelitian tentang karet alam epoksidasi bermula pada tahun
1920-an, seperti yang dipublikasikan tahun 1922 oleh R. Pummerer dan P.A. Burkard
pada Uber Kautschuk, Ber. Dtsch. Chem. Ges. 55, 3458 (Si Dong Li dkk., 1997).
Tetapi penelitian epoksidasi karet alam berkembang baru pada dua dekade terakhir
dan berhasil diproduksi secara komersial dengan nama ENR-25, ENR-50 dan ENR75, dimana bilangan mengacu pada derajat epoksidasi yaitu 25%, 50% dan 75%.
Epoksidasi karet alam menghasilkan produk yang memiliki gugus epoksi
(oxirane) secara acak pada posisi ikatan rangkap poliisoprena. Epoksidasi dapat
dilakukan dalam fase larutan (karet lateks) dengan pereaksi asam perptalat,
perbenzoat dan perasetat (Takayuki S. dkk., 2007).
H3 C
H
C
C
H2
H 3C
C
H
C
H 2C
C
C
H2
H2 C
H
O
C
(100-x)%
NR
H 3C
C
C
H2
H2 C
x%
ENR
Gambar 2.5. Reaksi epoksidasi karet alam
Perbedaan pereaksi yang digunakan menghasilkan produk akhir yang berbeda
sifatnya dan banyaknya gugus epoksi yang terbentuk sangat bervariasi yang
tergantung pada kondisi reaksi. Pereaksi yang banyak digunakan adalah perasam
(peracid) menggunakan asam formiat dan hidrogen peroksida pada lateks karet
(Chonlada A. dkk., 2008; Heping Yu, dkk., 2008). Produk karet alam epoksidasi
dikenal dengan karet yang tahan terhadap minyak. Sifat produk ini dibanding karet
alam adalah memiliki ketahanan minyak (oil resistance) lebih baik, permeabilitas gas
rendah, suhu transisi gelas (Tg) lebih tinggi dan stabilitas termal yang lebih baik
(Seng Neon Gan dan Z.A. Hamid, 1997).
Karet
epoksidasi
juga
meningkat
kepolarannya
sehingga
memiliki
kompatibilitas yang baik dengan polimer PVC (Chantara T. R. dan Khairul Zaman,
Universitas Sumatera Utara
1999), nylon (Maswanee N. Dkk., 2012) dan karet nitril karboksilasi (Seng Neon Gan
dan Z.A. Hamid, 1997).
Modifikasi karet alam juga dapat menghasilkan karet alam cair (Liquid
Natural Rubber/LNR), yaitu produk karet alam yang diperoleh dengan proses
depolimerisasi menghasilkan oligomer karet alam dengan berat molekul lebih rendah
dari polimernya. Karet alam cair merupakan bentuk karet alam yang sudah lama
dikenal yaitu pada tahun 1923 ketika pertama kali diproduksi secara komersial
dengan nama dagang DPR oleh Hardman (Hussin Mohd. Nor dan John R. Ebdon,
1998).
Secara umum LNR diproduksi dengan cara pemutusan rantai poliisoprena
secara oksidatif. Pada awalnya metode yang digunakan untuk membuat LNR adalah
dengan mengolah karet alam pada suhu 0-80oC dengan kehadiran garam logam berat
yang larut dalam minyak, seperti kobal linoleat atau naftalena sehingga karet alam
terdegradasi. Kemudian produk degradasi dilarutkan dalam petroleum eter dengan
konsentrasi 20% dan viscositas sekitar 3000 poise pada suhu 25oC. LNR ini agak
kental berwarna jingga sampai kuning dan mengandung 10% oksigen (Hussin Mohd.
Nor dan John R. Ebdon, 1998).
Berdasarkan analisis LNR mengandung 0,001%-0,6% hidroperoksida, 0,3%
carboxyl, 0,6% - l,5% ester, 3,3% - 4,0% aldehida dan 6,0% C=O (gugus fungsi
keton). LNR dapat dibuat menjadi padat dengan pemanasan pada suhu 100 oC diudara
terbuka. Metode pembuatan LNR dikembangkan selanjutnya dengan degradasi karet
alam pada suhu 110-140 oC beberapa jam atau dengan suhu 250-300 oC dengan
waktu
yang
lebih
singkat
dengan
penambahan
plastisizer
seperti
mercaptobenzthiazole (MBT). LNR yang diperoleh dengan metode ini memiliki berat
molekul 2000, viskositas 5000-25000 Poise pada 20°C dan mengandung sekitar 1%
oksigen (Hussin Mohd. Nor dan John R. Ebdon, 1998).
LNR yang diperoleh dengan metode tersebut diatas masih memiliki ikatan
rangkap karbon-karbon pada rantainya sehingga dapat digunakan untuk menghasilkan
karet vulkanisasi pada suhu 140 oC. Oleh karena LNR adalah cairan, zat tambahan
Universitas Sumatera Utara
dapat dengan mudah dicampurkan tanpa konsumsi banyak energi sehingga lebih
murah prosesnya dibandingkan karet alam. Pengembangan selanjutnya terhadap
pembuatan LNR adalah penggunaan zat tambahan (ingredient) baru seperti
p-
quinone dioxime sebagai curing agent, Pb-peroksida sebagai pengisi dan amina
sebagai akselerator. Zat-zat tambahan ini mempermudah kerja penanganannya,
mengurangi kelengketan dan tahan lama dan yang paling penting adalah bahwa
produk ini dapat divulkanisasi pada suhu ruang (Hussin Mohd. Nor dan John R.
Ebdon, 1998).
Secara kimiawi degradasi polimer dapat terjadi dengan bantuan senyawa
pemutus rantai molekul polimer. Penambahan senyawa pemutus rantai molekul
sistem
redoks,
campuran
hidrogen
peroksida
dengan
natrium
hipoklorit,
dikombinasikan dengan hidroksilamin netral sulfat akan menghasilkan lateks dengan
viskositas Mooney rendah dan memiliki daya rekat baik. Secara garis besar
depolimerisasi dapat dilakukan dengan mastikasi, pirolisis, fotolisis, dekomposisi
kimia (Tanaka, Yasuyuki dkk, 1996).
Depolimerisasi menghasilkan karet dengan viskositas rendah, berat molekul
rendah antara 40.000 - 50.000. Pada suhu kamar bentuk cairan sehingga memudahkan
dalam proses pengolahan/pencampuran sampai proses akhir pengolahan. Karet alam
cair sekaligus dapat berperan seperti plastisizer yang menurunkan waktu dan
konsumsi energi pada proses pengolahan produk campurannya. Selanjutnya dapat
mengalami ikat silang (cure) dengan mekanisme yang sama seperti karet alam
(William Klingensmit dan Brendan Rodgers, 2004).
Produk ini biasanya diaplikasikan sebagai campuran material ban, keramik,
modifier pelumas, bahan dasar polimer pembalut alat elektrik (electrical
encapsulants), bahan seal (sealant) dan pemodifikasi aspal (modifier asphalt). Produk
karet alam cair merupakan salah satu produk modifikasi yang berhasil secara
komersial tersedia di pasar.
Universitas Sumatera Utara
2.3. Siklisasi Karet Alam
Siklisasi karet alam merupakan reaksi pembentukan cincin enam karbon
intramolekuler cis-1,4-poliisoprena menghasilkan karet alam siklis (Cyclized Natural
Rubber/CNR), yang dapat terjadi dengan melibatkan senyawa asam atau katalis
Friedel-Craft. Perubahan karet alam menjadi resin/resinifikasi merupakan reaksi
dimana terjadi pengurangan jumlah ikatan rangkap poliisoprena yang diikuti dengan
pembentukan struktur siklis dan tidak terjadi perubahan rumus empiris karet, C5H8.
Sementara itu berat molekul tetap tinggi dan tetap larut dalam pelarut karet yang
menunjukkan tidak terjadi ikat silang (cross link). Karet kehilangan sifat
elastisitasnya dan berubah menjadi material yang keras dan rapuh. Pengurangan
jumlah ikatan rangkat yang terjadi dalam reaksi siklisasi bervariasi sekitar 40-90%.
Beberapa peneliti sepakat dengan struktur karet alam siklis seperti gambar 2.4.(Lee,
1963)
CH 3
H2
C
H 2C
H2 C
C
H2
C
C
n
CH
CH 2
Gambar 2.6. Struktur siklik karet alam siklis
Beberapa peneliti telah berhasil membuat karet alam siklis melibatkan katalis
yang berbeda seperti asam p-toluena sulfonat (Janssen, 1954), P2O5 (Tumorsski,
1961), SnCl4 ( Lee, D.F., 1963 dan Mirzataheri, 2000) dan H2SO4 (Riyajan, 2006)
dan juga penggunaan bahan baku karet, metode serta yield yang berbeda. Janssen,
1954 menggunakan karet padatan sebagai bahan baku, jenis RSS 1 dengan metode
pencampuran leleh di dalam alat pencampuran internal/internal mixer, yield 85%.
Sementara itu penggunaan karet padatan yang dilarutkan dalam pelarut organik
dilakukan oleh Tumorsski, (1961); Lee, (1963) dan Mirzataheri, 2000 dengan
masing-masing yield 95%, 80% dan 72,6%. Sedangkan Riyajan, 2006 menggunakan
Universitas Sumatera Utara
karet alam lateks non-protein/deproteinized natural rubber (DPNR) dengan yield
86%.
Ikatan rangkap bersifat labil dan mudah dipengaruhi oleh katalis. Reaksi
siklisasi dapat terjadi jika ada dua unit ikatan rangkap yang berdekatan bereaksi
menghasilkan struktur siklis dengan hadirnya pereaksi/katalis yang sesuai. Siklisasi
karet alam disepakati secara umum sebagai tipe reaksi polimerisasi ionik, dimana
terjadi protonasi pada ikatan rangkap yang diikuti oleh tahapan propagasi
pembentukan struktur siklis dan diakhiri dengan deprotonasi (Lee, 1963). Telah
diusulkan mekanisme reaksi molekul-molekul poliisoprena dalam pembentukan
cincin enam karbon sebagai mekanisme ion karbonium. Reaksi ini dapat terjadi
sepanjang rantai poliisopren pada karet untuk menghasilkan struktur polisiklik
(Mirzataheri, 2000).
Gambar 2.7. Mekanisme reaksi siklisasi karet alam (Riyajan dkk., 2006)
Sifat produk karet alam siklis bervariasi tergantung pada derajat siklisasi
produk yang dihasilkan. Dengan kata lain jumlah ikatan rangkap yang masih terdapat
pada produk mempengaruhi sifat karet alam siklis yang dihasilkan. Disamping itu
bobot molekul juga berpengaruh terhadap sifat karet alam siklis tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Rata-rata ukuran struktur siklis yang terbentuk selama proses siklisasi
ditemukan bahwa tidak tergantung pada konsentrasi karet dan katalisnya tetapi
ditentukan oleh temperatur reaksi siklisasi. Ikatan rangkap yang masih terdapat pada
produk karet alam siklis lebih kecil dari 20% (Lee, D.F., 1963).
p
n
Karet Alam
q
Karet Alam Siklis/ CNR
< 20 %
80%
Gambar 2.8. Reaksi siklisasi karet alam menghasilkan karet alam siklis
2.4. Pencangkokan
Pencangkokan (grafting) merupakan teknik yang secara luas dilakukan untuk
memodifikasi bahan polimer dengan tujuan mendapatkan sifat-sifat tertentu polimer
yang diinginkan. Pada reaksi pencangkokan terbentuk ikatan kovalen antar monomer
dengan rantai polimer. Teknik pencangkokan telah dilakukan dengan menggunakan
inisiator panas (Zhen Yao dkk., 1998), bahan kimia, radiasi, fotokimia, induksi
plasma dan enzimatik (A. Bhattacharya dan B. N. Misra, 2004).
2.4.1. Pencangkokan dengan inisiasi panas
Pencangkokan berlangsung dengan inisiasi panas berlangsung pada suhu 110-150 oC
pada pencampur internal (internal mixer). Kopolimerisasi stirena dan Anhidrida
maleat telah dilakukan pada suhu 110-130 oC dalam tanki reaktor dengan pengadukan
menghasilkan yield 55% (Zhen Yao dkk., 1998). Peneliti lain juga telah berhasil
melakukan kopolimerisasi Anhidrida maleat pada karet alam menggunakan
pencampur internal dengan suhu 135 oC dan kecepatan rotor 60 rpm selama 10 menit
(Nakason, C. dkk., 2001).
Universitas Sumatera Utara
2.4.2. Pencangkokan dengan inisiasi bahan kimia
Secara garis besar, pencangkokan dengan inisiasi bahan kimia ada dua yaitu
mekanisme radikal bebas dan mekanisme ionik. Peranan inisiator sangat penting
dalam proses kimia dan menentukan jalur dalam proses pencangkokan.
2.4.2.1. Pencangkokan mekanisme radikal bebas
Radikal bebas dihasilkan dari inisiator dengan pengaruh panas. Kemudian radikal
selanjutnya mengabtraksi atom hidrogen polimer subtrat, sehingga terbentuk radikal
pada molekul polimer. Selanjutnya monomer bertindak sebagai akseptor radikal
membentuk kopolimer cangkok. Kemudian radikal monomer menjadi donor radikal
pada monomer tetangganya, begitu seterusnya, seperti mekanisme di bawah ini.
Gambar 2.9. Mekanisme reaksi kopolimerisasi cangkok dengan inisiator radikal
bebas (A. Bhattacharya dan B. N. Misra, 2004).
2.4.2.2. Pencangkokan mekanisme ionik
Pencangkokan juga dapat dilakukan dengan model ionik. Suspensi logam alkali
dalam larutan basa Lewis, senyawa organologam dan naftalinida sangat berguna
sebagai inisitor untuk tujuan ini. Alkil aluminium (R3Al) dan polimer induk dalam
bentuk halide (ACL) berinteraksi untuk membentuk ion karbonium sepanjang rantai
polimer, yang membentuk kopolimer. Reaksi ini berlangsung melalui mekanisme
kationik.
+
ACl + R3Al → A R3AlCl
-
+
+
A + M → AM -M → kopolimer cangkok
Katalis kationik BF3 dapat juga digunakan.
Universitas Sumatera Utara
Pencangkokan juga dapat melalui mekanisme anionik. Sodium-ammonia atau
metoksida dari logam alkali membentuk alkoksida dari polimer (PO-Na+), yang
bereaksi dengan monomer membentuk kopolimer cangkok.
+
P-OH + NaOR → PO Na + ROH
-
PO-+M → POM -M → kopolimer cangkok
2.4.3. Pencangkokan dengan inisiasi radiasi
Pencangkokan radiasi dapat berlangsung denga model ionik dimana terbentuknya ion
dengan adanya irradisi berenergi tinggi, yang dapat dibedakan menjadi dua jenis
yaitu: kationik dan anionik. Polimer diirradiasi untuk membentuk ion yang kemudian
bereaksi dengan monomer membentuk kopolimer cangkok atau bisa juga dengan cara
dimana monomer diirradiasi untuk membentuk ion yang kemudian bereaksi dengan
polimer membentuk kopolimer cangkok. Mekanisme dengan analogi yang sama
dapat terjadi pada pencangkokan radiasi anionik.
Gambar 2.10. Mekanisme reaksi pencangkokan kationik yang diinisiasi melalui
polimer (path I) dan monomer (path II) (A. Bhattacharya dan B. N.
Misra, 2004).
Universitas Sumatera Utara
2.4.4. Pencangkokan dengan inisiasi fotokimia
Ketika kromofor yang terdapat pada makromolekul menyerap cahaya akan terjadi
eksitasi yang mungkin berdisosiasi membentuk radikal bebas reaktif yang akan
menginisiasi reaksi. Jika absorbsi tidak menghasilkan radikal bebas melalui
pemecahan ikatan, proses ini dapat dilakukan dengan penambahan fotosintetizer
seperti benzofenon, xanthone, Na-2,7-antraquinon sulfonat. Jadi, proses ini dapat
berlangsung dengan menggunakan atau tanpa fotosintetizer.
Mekanisme tanpa sensitizer melibatkan terbentuknya radikalbebas pada rantai
polimer yang bereaksi dengan monomer membentuk kopolimer cangkok. Pada bagian
lain, mekanisme dengan sensitizer terjadi dengan terbentuknya radikal oleh sensitizer
yang kemudian mengabstraksi atom hidrogen polimer untuk menghasilkan gugus
radikal yang dibutuhkan pada proses pencangkokan.
Gambar 2.11. Mekanisme reaksi pencangkokan fotokimia(A. Bhattacharya dan B. N.
Misra, 2004).
Universitas Sumatera Utara
2.4.5. Pencangkokan dengan inisiasi induksi plasma
Proses utama dalam plasma adalah eksitasi elektron terinduksi, ionisasi dan
disossiasi. Kemudian elektron tereksitasi dari plasma memiliki energi yang cukup
untuk menginduksi pembelahan dari ikatan kimia dalam struktur polimer membentuk
radikal makromolekul kemudian menginisiasi kopolimer cangkok.
2.4.6. Pencangkokan dengan inisiasi enzimatik
Metode ini merupakan metode yang cukup baru. Prinsipnya enzim menginisiasi
reaksi grafting kimia/elektrokimia. Contohnya, tirosin dapat mengkonversi fenol
menjadi o-kuinon yang reaktif. Kemudian mengalami reaksi non-enzimatik dengan
kitosan (Bhattacharya, A. dan B. N. Misra, 2004).
2.5. Pencangkokan monomer Anhidrida Maleat
Anhidrida Maleat (AM) merupakan salah satu monomer polifungsional yang banyak
digunakan
memodifikasi
material polimer untuk menghasilkan material teknik,
bioteknik (bioengineering) dan nanoteknik (nanoengineering) berkinerja tinggi (high
performance), baik polimer alam maupun sintesis. Penggunaan Anhidrida Maleat
telah berhasil memperbaiki sifat-sifat kopolimer cangkok (graft copolymerization)
polimer thermoplastik seperti poliolefin, polistiren, poliamida dan juga biopolimer
dapat terdegradasi (biodegradable polymers),
polisakarida dan karet alam dan
sintesis (Zakir M. O. Rzayev, 2011).
Introduksi molekul Anhidrida maleat pada molekul nonpolar senyawa
poliolefin dan karet mengatasi kelemahan akan rendahnya energi permukaan polimer
ini, meningkatkan hidrofilitas permukaannya sehingga bermanfaat pada aplikasi di
bidang pelapisan (coating) dan tinta cetak (printing ink) dan adhesinya terhadap
polimer bersifat polar (poliamida), logam dan serat kaca (glass fiber) (Zakir M. O.
Rzayev, 2011).
Pada masa dekade terakhir ini, pencangkokan
Anhidrida maleat pada
berbagai jenis polimer thermoplastik terutama poliolefin dan pembuatan material
Universitas Sumatera Utara
teknik berkemampuan tinggi (high performance engineering materials) dan
nanokomposit dengan menggunakan sistim pereaksi reaktif (reactive extruder
systems) dan in situ kompatibelisasi campuran polimer telah sangat berkembang,
bahkan beberapa berhasil secara komersial.
Sejarah pencangkokan Anhidrida maleat pada polyolefin khususnya
polipropilen (pp) telah dimulai pada tahun 1969, dan berkembang sampai saat ini baik
dalam fase larutan, cairan (molten process) dan padatan (solid phase grafting
process). Ide dan Hasegawa telah melakukan pencangkokan Anhidrida maleat pada
polipropilen dalam fase cair menggunakan benzoil peroksida sebagai inisiator dan
plastograph Brabender menghasilkan kopolimer cangkok yang kemudian digunakan
dalam campuran poliamida dan polipropilen (pp) sebagai pencampuran reaktif (Zakir
M. O. Rzayev, 2011).
Untuk mempelajari mekanisme pencangkokan, fungsionalisasi pp dengan
Anhidrida maleat telah diakukan penelitian dalam fase larutan (S. N. Sathe dkk.,
1994; J. L. White, A. Sasaki, 2003) dan fase leleh (N. G. Gaylord, R. Mehta, 1988;
Simmons, W. E. Baker, 1989) menggunakan berbagai jenis sistem ekstruder. Dengan
pertimbangan biaya yang lebih rendah dan peralatan maka dipilih metode dengan fase
leleh melalui proses reaktif.
Pencangkokan Anhidrida maleat pada low density polietilena (LDPE) dengan
kehadiran dikumil peroksida dalam fase cair menghasilkan produk yang kemudian
digunakan sebagai kompatibeliser pada campuran polietilen dengan poliamida 66.
Juga dilaporkan bahwa reaksi berlangsung dalam pencampur internal dan ekstruder
ganda (twin-extruder) dan disampaikan kinetika reaksi pencangkokannya (J. Cha, J.
L. White, 2001).
Pencangkokan Anhidrida maleat pada polimer menggunakan sistim ekstruder
screw ganda (twin-screw extruder) sangat menguntungkan untuk memproduksi
material baru secara komersial. Twin-screw extruders berfungsi sebagai reactor aliran
kontinu berperan penting dalam produksi material termoplastik berkinerja tinggi (S.
N. Sathe dkk., 1994; J. Cha, J. L. White, 2001).
Universitas Sumatera Utara
Penelitian yang penting terkait pencangkokan Anhidrida maleat pada pp
adalah
penggunaan
berbagai
jenis
ekstruder
dan
pencampur.
Kemudian,
fungsionalisasi Anhidrida maleat pada pp dalam fase leleh telah diteliti oleh Gaylord
dan Mishra, 1983 dan Ho dkk., 1993 dimana reaksinya berlangsung di dalam
pencampur internal Brabender Plasticorder. Konsenrasi AM dan inisiator peroksida
berpengaruh terhadap jumlah kopolimer cangkok.
Penelitian pencangkokan AM pada pp menggunakan proses reaktif di dalam
Haake torque rheometer diperoleh kesimpulan bahwa meningkatnya konsentrasi
monomer Anhidrida maleat, inisiator, kecepatan rotor dan waktu reaksi
mengakibatkan naiknya drajat grafting AM pada pp ( Bettini dan Agnelli, 1999).
Peranan stirena pada pencangkokan AM pada PP sangat nyata meningkatkan
derajat grafting yang diperoleh pada perbandingan mol AM dan stirena 1:1. Stirena
sebagai monomer electron donor, dapat berinteraksi dengan AM melalui kompleks
bermuatan membentuk kopolimer stirena-AM yang selanjutnya dapat beraksi
menghasilkan kopolimer cangkok AM-g-PP (Dong and Liu, 2003).
Penambahan stirena sebagai monomer kedua dalam sistim pencampuran fase
leleh dapat membantu meningkatkan derajat grafting AM pada PP. Monomer stirena
dapat menjembatani jarak antara makroradikal PP dan monomer AM, dimana stirena
terlebih dahulu bereaksi dengan makroradikal PP membentuk makroradikal stirena
yang lebih stabil untuk selanjutnya bereaksi dengan AM membentuk kopolimer AMg-PP (Li dkk., 2001).
Pencangkokan AM pada karet alam dapat meningkatkan kompatibilitas antara
karet alam dengan elastomer polar dan plastic seperti poliamida.Belakangan ini
pencangkokan AM pada karet alam banyak dilakukan dalam fase lelh menggunakan
pencampur seperti roll mill dan pencampur internal/internal mixer ( J. Saelao, P.
Phinyocheep, 2005; Demin Jia, 2000).
Penggunaan karet alam terfungsionalisasi AM sebagai kompatibeliser dalam
campuran
poliamida/karet
alam
dan
karet
alam
terfungsionalisasi
maleat
memperlihatkan meningkatkanya kompatibilitas dan sifat mekanik campuran yang
Universitas Sumatera Utara
diakibatkan oleh terjadinya interaksi intermolekuler antara gugus ujung poliamida
atau gugus hidroksil dari makromolekul cassava starch (Nakason, C. dkk., 2001; M.
Sclavons dkk., 1996).
2.6. Anhidrida Maleat
Anhidrida Maleat juga dikenal dengan nama lain yaitu: cis-butenadioat Anhidridaa,
Anhidridaa toksilat dan dihidro-2,5-dioksofuran. Merupakan senyawa organik yang
memiliki rumus molekul C4H2O3. Anhidrida Maleat merupakan padatan tidak
berwarna atau berwarna putih dan memiliki bau yang tajam. Anhidrida Maleat adalah
senyawa vinil tidak jenuh, merupakan bahan baku pada sintesa resin poliester,
pelapisan permukaan karet, deterjen, bahan aditif dan minyak pelumas, plastisizer dan
kopolimer. Anhidrida Maleat mempunyai sifat kimia khas yaitu adanya ikatan
etilenik dengan gugus karbonil di dalamnya, yang berfungsi dalam reaksi adisi.
Anhidrida Maleat diproduksi secara komersial dengan reaksi oksidasi benzena atau
senyawa aromatik lainnya. Anhidrida Maleat dapat dibuat seperti reaksi di bawah ini.
O
O
H 3C
C
HC
C
HC
C
OH
OH +
H3 C
C
O
HC
C
O
OH
O
HC
+ 2CH3COOH
C
O
O
Asetat Anhidrida
Asam Maleat
Anhidrida Maleat
Asam Asetat
Gambar 2.12. Reaksi pembentukan Anhidrida Maleat
Anhidrida Maleat mempunyai sifat kimia khas yaitu adanya ikatan etilenik
dengan gugus karbonil di dalamnya ,yang berfungsi dalam reaksi adisi. Anhidrida
maleat dapat mengalami reaksi sebagai berikut:
a. hidrolisis menghasilkan asam maleat, cis HO2CCH = CHCO2H.
b. Dengan alkohol bereaksi menghasilkan ester, cis-HO2CCH = CHCO2CH3.
Universitas Sumatera Utara
c. Anhidrida Maleat merupakan dienofil dalam reaksi Diels-Alder.
d. Anhidrida Maleat merupakan dieno Anhidrida Maleat (AM) dapat berfungsi
sebagai ligan yang baik untuk kompleks logam bervalensi rendah, misalnya
Pt(PPh3)2(MA) dan Fe(CO)4(MA).
Anhidrida Maleat dan senyawa isostruktur analognya secara luas digunakan
pada reaksi pembentukan makromolekul dengan struktur linier, bercabang dan
penataan ulang untuk menghasilkan material kinerja tinggi, bioteknik dan nano
teknik.
Tabel 2.3. Sifat-sifat Anhidrida Maleat (HSDB, 1995)
No
1
2
3
4
5
6
Sifat
Deskripsi
Rumus Molekul
Berat Molekul
Titik Didih
Titik Leleh
Kelarutan
Keterangan
Tak berwarna atau padatan putih
C4H2O3
98,06 g/mol
202 oC
52,8 oC
Larut dalam air, eter, asetat, kloroform,
dioksan, aseton, benzen, toluen dan o-xylen
Gambar 2.13. Struktur kimia senyawa Maleat Anhidridaa dan senyawa isostrukturnya
(Zakir M. O. Rzayev, 2011).
Universitas Sumatera Utara
2.7. Inisiator
Selain teknik pencangkokan dengan panas dan radiasi, semua reaksi pencangkokan
pada proses grafting dimana konsentrasi inisiator mempengaruhi laju reaksi grafting.
Ada berbagai ketergantungan hubungan secara empiris dari efisiensi grafting terhadap
konsentrasi inisiator. Jelas bahwa sekali konsentrasi tertentu inisiator terpenuhi,
peningkatan jumlah inisiator tidak serta merta meningkatkan konversi dari monomer
tercangkok (Krump, H., P. 2005).
Homolisis ikatan peroksida yang lemah membentuk radikal yang sangat
reaktif. Inisiator peroksida cukup sering digunakan dalam proses grafting secara
kimia. Berikut beberapa alasan menggunakan peroksida sebagai inisiator yaitu :
1.
Kecepatan dekomposisi peroksida, proses awal dekomposisi untuk menghasilkan
radikal bebas sangat bergantung pada kondisi reaksi dan variabel proses.
2.
Reaktifitas radikal yang dihasilkan melalui pemindahan atom hidrogen dari
polimer.
3.
Inisiasi
radikal
terhadap
monomer
mengarah
pada
homopolimerisasi.
Homopolimerisasi dari monomer reaktif meningkat bersamaan dengan
meningkatnya reaktifitas inisiator untuk berpolimerisasi menghasilkan tingkatan
rendah dari radikal bebas.
4.
Waktu paruh (t1/2) peroksida, hal ini menunjukan laju dekomposisi peroksida
dibawah kondisi reaksi yang khusus termasuk temperatur, sifat fisik dari polimer
diantara faktor lainnya.
5.
Sifat fisik peroksida, sifat fisik (cair, padat, terserap dalam pembawa padat) dapat
menjadi penting untuk pengiriman dan pencampuran termasuk karakteristik fisik
lainnya seperti volatilitas, kelarutan, bau dan toksisitasnya (Eddyanto, 2007).
2.8. Benzoil Peroksida
Kebanyakan pemicu yang digunakan secara luas adalah radikal bebas yang dihasilkan
dari peruraian peroksida. Benzoil peroksida C14H10O4 mempunyai berat molekul
242,23 g/mol, berbentuk kristal granul, tidak berwarna hingga berwarna keputihan,
Universitas Sumatera Utara
larut dalam benzene, eter, aseton, kloroform, titik leleh 104,5 oC (220,1 F); titik
dekomposisi 106-108 oC (223-226 F); tekanan uap <1 mmHg pada 20oC; gravitasi
spesifik (air=1) 1,3340 pada 25 oC; kelarutan dalam air <1%. Peroksida organik
seperti benzoil peroksida merupakan sumber radikal bebas yang kuat. Digunakan
sebagai inisiator polimerisasi, katalis dan agen vulkanisir (HSBD, 1995).
O
O
O
O
Gambar 2.14. Struktur Benzoil Peroksida
2.9. Ekstrusi menggunakan peralatan Brabender Olasticorder
Ekstruder (extruder) yang digunakan dalam studi ini adalah extruder Brabender
Plasticorder Model PL 2000. Brabender Plasticorder (torque rheometer) telah secara
luas digunakan untuk menentukan sifat-sifat pemrosesan bahan polimer, reologi
lelehan polimer pencampuran polimer dan lain-lain. Torque rheometer merupakan
peralatan penting untuk mengukur toque secara umum. Torque rheometer merupakan
suatu alat dengan ruang pencampuran berjaket yang volumenya sekitar 50 cm3.
Pencampuran material dalam ruang pencampuran dilakukan oleh dua pencampur
(rotor) horisontal yang memiliki tonjolan. Hambatan oleh material bahan uji terhadap
rotor berputar dalam ruang pencampuran diketahui dengan bantuan keseimbangan
dinamometer.
Dinamometer terpasang ke sistem pengukuran mekanik yang tepat yang
menunjukkan dan mencatat torsi. Sebuah drive DC thyrister terkontrol digunakan
untuk mengontrol kecepatan rotor, sekitar 0 sampai dengan 150 rpm. Suhu ruang
pencampuran dikendalikan oleh sirkulasi minyak panas. Suhu dapat bervariasi hingga
300° C. Termokopel dengan perekam temperatur digunakan untuk pengukuran
Universitas Sumatera Utara
temperatur. Berbagai jenis rotor dapat dengan mudah dipasang dan turun karena
pengikat dan kopling sistem yang sederhana. Setelah kondisi pengujian (tipe rotor,
rpm dan suhu ) diatur, waktu yang cukup diberikan untuk suhu untuk mencapai nilai
yang ditetapkan dan menjadi stabil. Selanjutnya bahan dimasukkan ke ruang
pencampuran untuk mendapatkan waktu kurva torsi atau plastogram.
Gambar 2.15. Internal Mixer Brabender Plasticorder Model PLE 331
2.10.
Karakterisasi
2.10.1. Softening Point
Ketika suatu material seperti es meleleh, maka terjadi perubahan dari padatan
menjadi cairan pada satu suhu tertentu yang disebut dengan titik leleh. Beberapa
material tidak dapat meleleh dengan kenaikan suhu tetapi menjadi lebih lembut (soft)
tanpa berubah menjadi lelehan. Untuk material/produk yang demikian maka suhu
tersebut dikenal dengan suhu softening (softening point). Aspal dan karet alam siklis
merupakan contoh material yang berubah menjadi lebih lembut ketika dinaikkan
suhunya. Pada penelitian ini penentuan softening point dilakukan dengan metode
Capillary.
Universitas Sumatera Utara
2.10.2. Viskositas
Viskositas merupakan ukuran kekentalan suatu fluida yang menunjukkan besar
kecilnya gesekan internal fluida. Viskositas fluida berhubungan dengan gaya gesek
antarlapisan fluida ketika satu lapisan bergerak melewati lapisan yang lain. Pada zat
cair, viskositas disebabkan terutama oleh gaya kohesi antar molekul. Setiap fluida
memiliki besaran viskositas yang berbeda yang dinyatakan dengan massa per
volume. Viskositas dapat dengan mudah dipahami dengan meninjau satu lapisan tipis
fluida yang ditempatkan di antara dua lempeng logam yang rata. Satu lempeng
bergerak (lempeng atas) dan lempeng yang lain diam (lempeng bawah). Fluida yang
bersentuhan dengan lempeng ditahan oleh gaya adhesi antara molekul fluida dan
molekul lempeng. Dengan demikian, lapisan fluida yang bersentuhan dengan
lempeng yang bergerak akan ikut bergerak, sedangkan lapisan fluida yang
bersentuhan dengan lempeng diam akan tetap diam. Lapisan fluida yang bergerak
mempunyai kelajuan sama dengan kelajuan lempeng yang bergerak, yaitu sebesar v.
lapisan fluida yang diam akan menahan lapisan fluida di atasnya karena adanya gaya
kohesi. Lapisan yang ditahan itu menahan lapisan di atasnya lagi dan seterusnya
sehingga kelajuan setiap lapisan fluida bervariasi dari nol sampai v. Untuk
menggerakkan lempeng diperlukan gaya. Untuk membuktikannya, dapat dicoba
dengan menggerakan sebuah potongan kaca di atas tumpahan sirup. Semakin kental
fluida, semakin besar gaya yang diperlukan untuk mendorong. Pada penelitian ini
penentuan viskositas dilakukan dengan metode (Ford 4CCup) In Toluene.
2.10.3. Massa Jenis
Massa jenis adalah bilangan yang menyatakan perbandingan massa dengan volume
suatu benda. Semakin tinggi massa jenis suatu benda, maka semakin besar pula massa
setiap volumenya. Massa jenis rata-rata setiap benda merupakan total massa dibagi
dengan total volumenya. Jika benda homogen yang massa m mempunyai volume V,
maka massa jenisnya dapat kita tentukan dengan menggunakan rumus:
Universitas Sumatera Utara
ρ=m/V
Dalam sistem Satuan Internasional (SI), satuan massa jenis dinyatakan dengan
kilogram per meter kubik (kg/m3), sedangkan dalam sistem cgs satuan massa jenis
adalah gram per sentimeter kubik (g/cm3). Jika dikonversikan, kesetaraan kedua
satuan ini adalah 1.000 g/cm3 = 1 kg/m3).
2.10.4. Warna
Warna adalah spektrum tertentu yang terdapat di dalam suatu cahaya sempurna yang
berwarna putih. Identitas suatu warna ditentukan panjang gelombang cahaya tersebut.
Pada penelitian ini penentuan warna dilakukan dengan metode Gadner Scale 1963, in
60% TL.
2.10.5. Spektrofotometri Infra Merah
Spektrofotometri infra merah/Infra Red (IR) merupakan teknik yang umum
digunakan untuk memperoleh informasi struktur molekul suatu senyawa. Daerah
serapan inframerah terletak antara daerah tampak dan panjang gelombang mikro,
pada kisaran panjang gelombang 0,5-200 µm. Daerah 0,8-2,5 µm disebut inframerah
dekat dan daerah 15-200 µm disebut inframerah jauh. Molekul-molekul suatu
senyawa mempunyai frekuensi vibrasi yang khas. Gugus fungsional ini mengabsorbsi
radiasi infra merah dan menjadi energi vibrasi molekular.
Spektrofotometri inframerah berkaitan dengan interaksi molekul dengan
energi radiasi inframerah.
Apabila sinar infra merah dilewatkan melalui suatu
cuplikan senyawa, maka sejumlah frekuensi diserap sedangkan yang lain akan
diteruskan. Molekul-molekul tertentu dalam suatu senyawa akan menyerap sinar infra
merah pada frekuensi yang tertentu pula, jika dalam molekul tersebut ada transisi
energi. Transisi yang terjadi dalam serapan berkaitan erat dengan perubahanperubahan vibrasinya. Setiap ikatan dalam molekul mengalami gerakan vibrasi ke
depan dan ke belakang yang konstan, rotasi atom, dan sedikit gerakan bengkokan.
Ketika molekul mengabsorbsi sinar infra merah, gerakan molekul ini menaikkan
Universitas Sumatera Utara
intensitas. Oleh karena masing-masing frekuensi radiasi berkaitan dengan gerakan
spesifik, maka jenis gerakan molekul yang dimiliki oleh sampel dapat dilihat dengan
mengukur spektrum infra merahnya. Gugus fungsional yang ada dalam molekul dapat
ditentukan dengan menginterpretasikan spektrum inframerah (F.W. Fifield dan D.
Kealey, 2000).
Informasi mengenai struktur suatu senyawa dapat diperoleh dengan
mempelajari daerah terjadinya absorbsi gugus fungsional. Daerah yang paling
berguna untuk mengenal struktur senyawa adalah daerah 4000-1500 cm-1. Serapan
setiap tipe ikatan (N-H, C-H, O-H, C-X, C=O, C-C, C=C, C=N, dan sebagainya)
hanya diperoleh dalam bagian-bagian kecil tertentu dari daerah vibrasi inframerah.
Kisaran serapan yang kecil dapat digunakan untuk menentukan setiap tipe ikatan.
Daerah 4000-2500 cm-1 merupakan absorbsi yang disebabkan oleh regangan ikatan
N-H, C-H, O-H, serta gerakan kontraksi. Ikatan O-H dan N-H menyerap pada daerah
3600-3300 cm-1 dan regangan ikatan C-H terjadi dekat 3000 cm-1 Daerah antara
2500-2000 cm-1 adalah daerah tempat regangan ikatan rangkap tiga, untuk itu baik
nitril ( R-C=N) maupun alkuna keduanya menunjukkan puncak di daerah ini. Daerah
dari 2000-1500 cm-1 mengandung serapan ikatan rangkap dua, ikatan C=O, C=N,
C=C, menunjukkan serapan di daerah ini. Produk hasil sintesis diharapkan
mempunyai serapan C=O, C=C, OH, dan serapan aromatis (Da-Wen Sun, 2009).
Pada dasarnya spektrofotometri FT-IR (Fourier Trasform Infra Red) adalah
sama
dengan
spektrofotometri
IR
dispersi,
yang
membedakannya
adalah
pengembangan pada sistim optiknya sebelum berkas sinar infra-merah melewati
contoh.
2.10.6. Analisa Thermal
Analisa termal secara umum didefinisikan sebagai sekumpulan teknik yang mengukur
sifat fisis suatu bahan dan atau hasil-hasil reaksi yang diukur sebagai fungsi
temperatur. Pemeriksaan dengan metode ini dapat memberikan informasi pada
kesempurnaan kristal, polimorfisme, titik lebur, sublimasi, transisi kaca, degradasi,
Universitas Sumatera Utara
penguapan, pirolisis, interaksi padat-padat dan kemurnian. Data semacam ini berguna
untuk karakterisasi senyawa yang memandang kesesuaian, stabilitas, kemasan dan
pengawasan kualitas. Pengukuran dalam analisis termal meliputi suhu transisi,
termogravimetri dan analisis cemaran.
Gambar 2.16. Peralatan Spektrofotometri Infra Merah Model GALAXY 5000
Karakteristik termal memegang peranan penting terhadap sifat suatu bahan
karena berkaitan erat dengan struktur dalam bahan itu sendiri. Suatu bahan bila
dipanaskan akan terjadi perubahan struktur yang mengakibatkan adanya perubahan
dalam kapasitas panas atau energi termal bahan tersebut. Teknik analisa termal
digunakan untuk mendeteksi perubahan fisika (penguapan) atau kimia (dekomposisi)
Universitas Sumatera Utara
suatu bahan yang ditunjukkan dengan penyerapan panas (endotermik) dan
pengeluaran panas (eksotermik). Proses termal meliputi antara lain proses perubahan
fase (transisi gelas), pelunakan, pelelehan, oksidasi, dan dekomposisi (F.W. Fifield
dan D. Kealey, 2000).
Dalam kaitannya dengan industri, teknik analisa termal digunakan untuk
penentuan kontrol kualitas suatu produk/bahan khususnya polimer. Tanpa adanya
pengetahuan data-data termal, pemrosesan suatu bahan akan sangat sulit dilakukan.
Sifat termal suatu bahan menggambarkan kelakuan dari bahan tersebut jika dikenakan
perlakuan termal (dipanaskan/didinginkan). Dengan demikian pengetahuan tentang
sifat termal suatu bahan menjadi sangat penting dalam kaitannya dengan pemrosesan
bahan menjadi barang jadi maupun untuk control kualitas.
Dua jenis teknik analisa termal yang utama adalah Analisa Termogravimetrik
/Thermographymetric Analysis (TGA), yang secara otomatis merekam perubahan
berat sampel sebagai fungsi dari suhu maupun waktu dan Kalorimetri Pemindaian
Differensial/Differential Scanning Chalorimetry (DSC) yang mengukur perbedaan
suhu, T, antara sampel dengan material referensi yang inert sebagai fungsi dari suhu.
2.10.6.1. Analisa Thermogravimetri
Analisa Thermogravimetri atau Thermographymetric Analysis (TGA) adalah teknik
untuk mengukur perubahan berat dari suatu senyawa sebagai fungsi suhu ataupun
waktu. Hasilnya biasanya berupa rekaman diagram yang kontinu, reaksi dekomposisi
satu tahap yang skematik diperlihatkan pada Gambar 1. sampel yang digunakan,
dengan berat beberapa miligram, dipanaskan pada laju konstan, berkisar antara 1 – 20
0C /menit, mempertahan berat awalnya , Wi, sampai mulai terdekomposisi pada suhu
Ti. Pada kondisi pemanasan dinamis, dekomposisi biasanya berlangsung pada range
suhu tertentu, Ti – Tf, dan daerah konstan kedua teramati pada suhu diatas Tf, yang
berhubungan harga berat residu Wf. Berat Wi, Wf, dan ΔW adalah harga-harga yang
sangat penting dan dapat digunakan pada perhitungan kuantitatif dari perubahan
komposisinya, dll.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.17. Skema thermogram reaksi dekomposisi satu atap
Gambar 2.18. Peralatan Thermographymetric Analysis (TGA)
Bertolak belakang dengan berat, harga Ti dan Tf, merupakan harga yang
bergantung pada beragam variabel, seperti laju pemanasan, sifat dari padatan
(ukurannya) dan atmosfer di atas sampel. Efek dari atmosfer ini dapat sangat
dramatis, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2.12 untuk dekomposisi CaCO3;
pada kondisi vakum, dekomposisi selesai sebelum ~500 0C, namun dalam CO2
tekanan atmosfer 1 atm, dekomposisi bahkan belum berlangsung hingga suhu di atas
900 0C. Oleh sebab itu, Ti dan Tf merupakan nilai yang sangat bergantung pada
Universitas Sumatera Utara
kondisi eksperimen, karenanya tidak mewakili suhu-suhu dekomposisi pada
equilibrium.
Gambar 2.19. Dekomposisi CaCO3 pada atmosfer yang berbeda
2.10.6.2. Differential Scanning Calorimetry (DSC)
Analisa termal diferensial adalah teknik dimana suhu sampel dibandingkan dengan
material referen inert selama perubahan suhu terprogram. Suhu sampel dan referensi
akan sama apabila tidak terjadi perubahan, namun pada saat terjadinya beberapa
peristiwa termal, seperti pelelehan, dekomposisi atau perubahan struktur kristal pada
sampel, suhu dari sampel dapat berada di bawah (apabila perubahannya bersifat
endotermik) ataupun di atas (apabila perubahan bersifat eksotermik) suhu referensi.
Prinsip DSC tidak jauh berbeda dengan prinsip kalorimetri biasa, hanya dalam
hal ini digunakan sampel dari polimer yang agak jauh lebih kecil (maksimum 50 mg ,
misalnya 10 mg ) dan peralatan kalor lebih teliti. Berbeda dengan dengan teknik
TGA, teknik DSC menggunakan teknik pemanas individual masing-masing untuk
sampel dan pembanding seperti diperlihatkan pada Gambar 2.13 (David I. bower,
2002).
Hasil pengujian DSC merupakan kurva termogram yang dapat digunakan
untuk menentukan suhu transisi glass dan suhu leleh,seperti pada Gambar 2.14. Suhu
sampel dan pembanding selalu dipertahankan sama dengan menggunakan panas. Bila
Universitas Sumatera Utara
terjadi perubahan kapasitas kalor sampel selama kenaikan suhu, pemanas sampel
berusaha mengatur banyaknya kalor yang diberikan. Perbedaan tenaga listrik yang
dibutuhkan antara pemanas sampel dan pemanas pembanding ini berbanding
langsung dengan perubahan entalpi proses yang dialami sampel.
Gambar 2.20. Perlatan Differential scanning calorimetry (DSC) TA INSTRUMENTS
Q2000
Gambar 2.21. Skematik pengujian dengan DSC
Suhu sampel dan pembanding selalu dipertahankan sama dengan menggunakan
panas. Bila terjadi perubahan kapasitas kalor sampel selama kenaikan suhu, pemanas
sampel berusaha mengatur banyaknya kalor yang diberikan. Perbedaan tenaga listrik
yang dibutuhkan antara pemanas sampel dan pemanas pembanding ini berbanding
langsung dengan perubahan entalpi proses yang dialami sampel. Karena itu dalam
Universitas Sumatera Utara
termogram DSC, yakni plot perubahan entalpi (ΔH) terhadap kenaikan suhu, proses
eksotermis dinyatakan sebagai – ΔH dan proses endotermis sebagai + ΔH, (Basuki
Wirjosentono, 1995). Karakterisasi sifat thermal dalam penelitian ini menggunakan
alat DSC TA INSTRUMENTS Q2000.
Gambar 2.22 . Model ilustrasi Termogram DSC
Universitas Sumatera Utara
Download