1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan Bank syariah di Indonesia saat ini sangat pesat, seiring
dengan tumbuhnya pemahaman masyarakat bahwa bunga (interest) dan
modal yang hasilnya telah ditentukan di muka (predetermined return) adalah
merupakan riba yang dilarang oleh syariah Islam. Atas dasar pemahaman
seperti ini, maka sejak tahun 1950, telah banyak para cendikiawan muslim
dan teoritisi ekonomi Islam yang menghendaki keberadaan Bank yang
terbebas dari bunga atau riba (Interest free Banking)1. Lembaga perbankan
merupakan salah satu lembaga keuangan di Indonesia dijelaskan menurut
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
tentang Perbankan dan Undang–Undang No. 23 Tahun 1999 jo. UndangUndang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, bahwa lembaga
perbankan memiliki fungsi sebagai penghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat melalui kredit usaha.
Penjelasan mengenai fungsi Bank, pada dasarnya Bank konvensional
dan Bank syariah memiliki fungsi utama yang sama yaitu menghimpun dana
dan menyalurkan dana masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat, yaitu sebagai lembaga intermediary institution2.
1
2
Abdullah Saeed, 2003, Bank Islam dan Bunga, Studi Kritis dan Interprestasi Kontemporer
Tentang Riba dan Bunga, Pustaka Pelajar Ctk. Pertama, hlm. 2.
Rachmadi Usman, 2000, Aspek-aspek Hukum Perbankan Indonesia, Ctk. Pertama, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 59.
2
Peran serta masyarakat untuk menghimpun dana pembangunan dapat
melalui tabungan masyarakat, baik melalui lembaga perbankan maupun nonBank. Fungsi utama Bank adalah sebagai intermediary financial, di mana
Bank berperan sebagai perantara dari pihak-pihak yang mempunyai kelebihan
dana (surplus of funds) dengan pihak-pihak yang memerlukan dana (lack of
funds)3.
Tugas Bank yang mendasar adalah menghimpun dana dari masyarakat
dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak. Bank juga disebut sebagai lembaga kepercayaan
masyarakat (fiduciary financial institution) di mana Bank memiliki visi dan
misi yang sangat mulia yaitu sebagai sebuah lembaga yang diberi tugas untuk
mengemban amanat pembangunan bangsa demi tercapainya peningkatan taraf
hidup rakyat banyak4.
Dewasa ini, kebutuhan akan modal semakin diperlukan guna
menunjang kegiatan perekonomian. Hal ini ditambah lagi dengan
berkembangnya kegiatan bisnis yang semakin pesat sehingga diperlukan
modal dalam jumlah yang relatif besar dan cepat guna mengimbangi
perkembangan
tersebut.
Bank
yang
merupakan
lembaga
keuangan
merupakan perantara dari pihak yang mempunyai kelebihan dana (surplus of
funds) dengan pihak yang kekurangan dana (lack of funds). Secara garis
besar, kegiatan operasional Bank dapat dibedakan menjadi tiga yakni :
3
4
Muhamad Djumhana, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia, Cetakan Ketiga, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, hlm. 77.
Nindyo Pramono, 1997, Hukum Perbankan 1, PPS MMH UGM, Yogyakarta, hlm. 1.
3
1. Kegiatan pengimpunan dana (funding)
2. Kegiatan penyaluran dana (lending)
3. Jasa Bank
Bank dalam kegiatannya sebagai penyalur dana kepada masyarakat itu, maka
seringkali Bank disebut sebagai perantara keuangan masyarakat (financial
intermediary).5
Bank sebagai financial intermediary berfungsi untuk menyalurkan
dana dari pihak yang kelebihan kepada pihak yang kekurangan berupa
pemberian kredit. Pemberian kredit itu dilakukan, baik dengan modal sendiri,
dengan dana-dana yang dipercayakan oleh pihak ketiga, maupun dengan jalan
memperedarkan alat-alat pembayaran baru berupa uang giral.6 Adanya kredit
tersebut, maka dunia usaha bisa mendapatkan akses modal guna
mengembangkan usahanya. Berkembangnya usaha, maka berkembang pula
suatu daerah, sehingga fungsi Bank sebagai agen pembangunan bisa
terlaksana sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 4 undang-undang nomor 7
tahun 1992 tentang Perbankan yaitu :
“Perbankan
Indonesia
bertujuan
menunjang
pelaksanaan
pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan
pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional kearah peningkatan
kesejahteraan rakyat banyak.”
Sejak di undangkannya Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan
tertanggal 10 November 1998, maka Indonesia secara resmi menggunakan
5
6
Muhamad Djumhana, 2009, Hukum Perbankan Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm. 101.
Ibid. hlm. 106.
4
sistem perbankan ganda (dual Banking system). Dual Banking system adalah
pemberlakuan dua sistem perbankan (konvensional dan syariah secara
berdampingan) yang pelaksanaanya diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.7
Bank Syariah menawarkan alternatif jasa perbankan dengan sistem
imbalan berupa bagi hasil (profit and loss sharing principle) dan mark up
atau profit margin. Sistem ini menerapkan prinsip keadilan antara pihak Bank
dan nasabah. Dasar hukum operasional Bank syariah diatur dalam berbagai
peraturan perundang-undangan seperti :
1.
Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Bank Syariah.
Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan
prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank
umum syariah dan Bank pembiayaan rakyat syariah (Pasal 1 angka 7).
2.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha
Syariah.
3.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/3/PBI/2009 tentang Bank Umum
Syariah.
4.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/16/PBI/2008 tentang Perubahan
Peraturan Bank Indonesia nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan
Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan dan Penyaluran Dana
serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.
7
Abdul Ghofur Anshori, 2000, Perbankan Syariah di Indonesia, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, hlm. 36.
5
Bank syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri dari Bank umum
syariah dan Bank pembiayaan rakyat syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah.
Walaupun terdapat perbedaan prinsip dalam menjalankan kegiatan
antara Bank syariah dan Bank konvensional, namun keduanya memiliki
fungsi yang sama yakni sebagai financial intermediary atau menyalurkan
dana dari pihak yang kelebihan dana kepada pihak yang kekurangan dana.
Bentuk penyaluran dana ini berbeda antara Bank konvensional dengan Bank
syariah, dalam Bank konvesional penyalurannya dananya berupa kredit,
sedangkan dalam Bank syariah berupa pembiayaan. Kredit dalam dunia
perbankan merupakan kegiatan usaha yang paling utama karena pendapatan
terbesar dari usaha Bank berasal dari pendapatan kegiatan usaha kredit, yaitu
berupa bunga dan provisi. Ruang lingkup dari kredit sebagai kegiatan
perbankan tidaklah semata-mata berupa kegiatan peminjaman kepada
nasabah, tetapi sangatlah kompleks karena menyangkut keterkaitan unsurunsur yang cukup banyak, diantaranya meliputi sumber-sumber dana kredit,
alokasi dana, organisasi dan manajemen perkreditan, kebijakan perkreditan,
dokumentasi dan administrasi kredit, pengawasan kredit, serta penyelesaian
kredit bermasalah.8
Kegiatan penyaluran dana yang dilakukan oleh Bank syariah disebut
dengan pembiayaan. Pengertian pembiayaan terdapat dalam Undang-undang
8
Muhamad Djumhana, Op. cit, hlm. 471.
6
nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah jo Pasal 1 angka 8 Peraturan
Bank Indonesia Nomor 10/16/PBI/2008 yang menyatakan bahwa Pembiayaan
adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa
transaksi bagi hasil, sewa-menyewa atau sewa beli, jual beli dan pinjam
meminjam.
Salah satu bentuk penyaluran dana pada Bank syariah adalah melalui
produk pembiayaan murabahah. Murabahah adalah jual-beli barang pada
harga
asal
dengan
tambahan
keuntungan
yang
sudah
disepakati9.
Karakteristik murabahah adalah bahwa penjual harus memberi tahu pembeli
mengenai harga pembelian produk dan menyatakan jumlah keuntungan yang
ditambahkan pada biaya (cost) tersebut10.
Produk murabahah ini merupakan produk pembiayaan di mana bank
menjadi mediator bagi pihak yang berkepentingan, seperti halnya nasabah
dengan dealer kendaraan. Nasabah sebagai pemesan membeli barang sesuai
spesifikasi yang tercantum dalam akad pembiayaan murabahah. Pemesanan
tersebut meliputi barang yang dihalalkan menurut syariah, dinyatakan dengan
jelas dan rinci mengenai spesifikasi barang, harga beli barang bank dan harga
jual bank kepada nasabah sehingga termasuk didalamnya keuntungan yang
diperoleh bank serta persetujuan nasabah untuk membayar harga jual bank
tersebut secara tangguh, baik secara sekaligus (lumpsum) atau secara
angsuran.
9
10
Muhammad Syafi’i Antonio, 2001, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Cetakan Pertama,
Gema Insani Press, Jakarta, hlm. 101.
Wiroso, 2005, Jual-beli Murabahah, UII Press, Yogyakarta, hlm. 13.
7
Adapun yang dimaksud harga beli adalah sejumlah uang yang
dikeluarkan bank untuk membeli barang dari pemasok yang diminta oleh
nasabah. harga beli bank tersebut berdasarkan Surat Persetujuan Prinsip dari
bank kepada nasabah termasuk didalamnya biaya-biaya langsung yang terkait
dengan pembelian barang tersebut. Sedangkan harga jual adalah harga beli
ditambah dengan sejumlah keuntungan bank yang disepakati oleh bank dan
nasabah yang ditetapkan dalam perjanjian ini.
Bank bertindak sebagai penyedia barang memenuhi pesanan pembeli.
Butir ke-9 Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor:
04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah berbunyi bahwa jika bank hendak
mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad
jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip, menjadi
milik Bank.
Pembiayaan murabahah pada Bank Muamalat Cabang Yogyakarta
terdapat Akad Wakalah/ Kuasa Pembelian Barang. Pasal 2 butir 1 Akad
Murabahah pada Bank Muamalat Cabang Yogyakarta berbunyi:
“Pihak pertama (bank) berjanji dan mengikatkan diri untuk menjual
barang dan menyerahkannya kepada pihak kedua (nasabah),
sebagaimana pihak kedua (nasabah) berjanji dan dengan ini
mengikatkan diri untuk membeli dan menerima barang tersebut dari
pihak pertama. Manakala pihak Pertama tidak dapat menyediakan
barang obyek jual beli, maka pihak pertama akan memberikan
Wakalah/ Kuasa yang tidak dapat dipisahkan dengan perjanjian ini
untuk membeli barang sesuai dengan keinginan kepada pihak kedua
(nasabah), dan pihak kedua (nasabah) berkewajiban untuk
memberikan bukti pembelian barang tersebut kepada pihak pertama”.
Keunggulan pembiayaan produk murabahah adalah bahwa nasabah
dapat membeli barang sesuai dengan keinginan dan kemampuan ekonominya,
8
di samping itu pembiayaannya dilakukan dengan angsuran sehingga tidak
memberatkan pihak nasabah itu sendiri adapun keunggulan yang lain adalah
bahwa dalam produk murabahah tidak mengenal riba atau sistem bunga
tetapi dalam hal ini adanya keterbukaan antara pihak Bank dan nasabah
bahwa Bank sebelumnya memberikan informasi atas barang yang akan dibeli
sesuai dengan keinginan nasabah dan harga yang telah ditentukan oleh dealer
telah diketahui oleh pihak nasabah, kemudian pihak Bank menjual kembali
kepada nasabah sesuai dengan harga pembelian dari pihak dealer, dan
ditambah keuntungan bagi pihak Bank. Tambahan keuntungan bagi pihak
Bank ini, diperjanjikan diawal transaksi yang didasarkan atas kesepakatan
bersama antara pihak Bank dengan nasabah, jadi dalam hal ini tidak terjadi
unsur saling mendzalimi.
Pembiayaan murabahah memungkinkan adanya dhomman (jaminan),
karena sifat dari pembiayaan murabahah merupakan jual-beli yang
pembayarannya tidak dilakukan secara tunai, maka tanggungan pembayaran
tersebut merupakan hutang yang harus dibayar oleh nasabah. Bank syariah
memberlakukan prinsip kehati-hatian dengan mengenakan dhomman pada
nasabah. Transaksi jual-beli pada umumnya dapat dijelaskan mengenal unsur
jaminan (dhomman). Kedudukan dhomman dalam transaksi jual-beli secara
teori bahwa dhomman hanya sebatas pada penjual bahwa penjual menjamin
barang yang dijual tidak adanya cacat tersembunyi.11
11
Hartono Soerjopratiknjo, 1982, Aneka Perjanjian Jual-beli, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm. 23.
9
Peran Bank Islam dalam murabahah dapat digambarkan lebih tepat
dengan istilah pembiayaan bukan penjual barang. Bank tidak memegang
barang, tidak pula mengambil risiko atasnya. Kerja Bank hampir semuanya
terkait dengan penanganan dokumen-dokumen terkait. Kontrak penjualan
adalah sekadar formalitas.
PT. Bank Muamalat Indonesia (BMI) merupakan Bank Islam pertama
yang menerapkan prinsip syariah dalam operasionalnya meskipun belum ada
undang-undang secara khusus mengatur masalah penerapan prinsip syariah.
Namun disamping itu, bahwa keberadaan PT. Bank Muamalat Indonesia
sebagai yang pertama menerapkan prinsip syariah secara otomatis telah
terlebih dahulu membuka cabang di beberapa daerah termasuk di Yogyakarta.
Pada dasarnya prinsip syariah di PT. Bank Muamalat Indonesia
terlebih khusus lagi di PT. BMI cabang Yogyakarta tidak terlepas dari azas
dan prinsip ekonomi syariah yang merupakan implementasi dari kebijakan
sistem moneter yang diharapkan mampu mengakomodisir seluruh aspek
syariah tidak terkecuali pada sistem perbankan syariah.
Permintaan untuk pembelian oleh nasabah dilengkapi dengan suatu
janji untuk membeli yang disertai dengan pembayaran uang muka untuk
menjamin bahwa nasabah memang serius dengan permintaan pembeliannya
dan bahwa ia akan menggenapi pembayaran ketika Bank menunjukkan
kesiapannya untuk menyelesaikan kontrak jual-beli murabahah begitu Bank
mengabarkan kepada nasabah bahwa barang telah siap diserahkan, atau
bahwa dokumen-dokumen yang berkenaan dengan barang telah tiba. Bank
10
tidak perlu menunggu tibanya barang untuk diperiksa sebelum diserahkan
kepada pembeli. Kondisi barang tidak terlalu dipedulikan oleh Bank karena
tanggungjawab
pembelilah
untuk
mengecek
spesifikasinya,
sebelum
penandatanganan kontrak yang si nasabah menyatakan bahwa ia tidak akan
memproses-hukumkan Bank atas cacat yang ada pada barang.
Aplikasi pembiayaan murabahah pada perbankan syariah dapat
dijelaskan adanya dua hubungan hukum yang terjadi yaitu hubungan hukum
pertama pembiayaan murabahah antara Bank dengan nasabah dimana pihak
Bank berkedudukan sebagai pemberi pembiayaan terhadap pembelian mobil
sedangkan pihak nasabah sebagai pihak yang menerima pembiayaan. Adapun
hubungan kedua terjadi anatara pihak Bank dengan nasabah adalah akad
wakalah/kuasa pembelian barang dimana pihak Bank menyerahkan
sepenuhnya kepada pihak nasabah untuk mewakili dan bertindak sebagai
perpanjang tangannya Bank untuk membeli mobil yang dimaksud.
Adanya akad pembiayaan murabahah, Bank melakukan pembelian
barang yang sebelumnya telah dipesan oleh nasabah. Antara bank dan
nasabah juga dapat mengadakan akad wakalah/kuasa pembelian barang.
adanya Akad wakalah/kuasa pembelian barang tersebut, Bank mengalihkan
tanggung jawabnya kepada nasabah agar nasabah membeli sendiri barang
yang diinginkan.
11
Mencermati latar belakang tersebut kemudian mendorong minat
penulis untuk melakukan penelitian guna menyusun tesis dengan judul
“TANGGUNG
JAWAB
BANK
DALAM
AKAD
PEMBIAYAAN
MURABAHAH (Studi pada Bank Muamalat Cabang Yogyakarta).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang diangkat
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah hubungan hukum antara Bank dan nasabah dalam
pembiayaan murabahah?
2.
Bagaimanakah
tanggung
jawab
Bank
terhadap
nasabah
dalam
pembiayaan murabahah?
C. Tujuan Penelitian
Bertitik tolak dari permasalahan diatas, maka penelitian ini memiliki
tujuan sebagai berikut :
1.
Untuk mengkaji hubungan hukum antara Bank dan nasabah dalam
pembiayaan murabahah pada Bank Muamalat Cabang Yogyakarta.
2.
Untuk mengkaji Tanggung jawab Bank dalam pembiayaan murabahah
pada Bank Muamalat Cabang Yogyakarta.
12
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian dalam tulisan ini dilihat dari 2 (dua) segi, yaitu :
1.
Manfaat secara teoritis
Memberikan kontribusi yang bersifat akademik untuk memperkaya
khasanah kajian dibidang perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan
hukum perbankan Islam khususnya.
2.
Manfaat secara praktis
a.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan tambahan baru dan
masukan positif bagi para akademisi dan praktisi perbankan syariah
untuk lebih mengetahui hubungan hukum antara Bank terhadap
nasabah dalam pembiayaan murabahah ; serta mengetahui tanggung
jawab Bank terhadap nasabah dalam pembiayaan murabahah.
b.
Penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan manfaat bagi
pihak-pihak yang terkait dalam menciptakan produk pembiayaan
beserta pengaplikasiannya agar tidak menyimpangi dari fatwa dewan
syariah nasional (DSN), peraturan Bank Indonesia (PBI) maupun
ketentuan perbankan lain dan memenuhi kemaslahatan umat.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian yang terkait dengan tanggung jawab bank dalam
pembiayaan murabahah (studi pada bank muamalat cabang yogyakarta)
menurut penulis belum pernah dilakukan oleh peneliti lainnya, maka terhadap
penelitian yang akan dilakukan oleh penulis belum pernah dilakukan.
13
Penulis telah mengadakan penelusuran terhadap tulisan-tulisan
sebelumnya sebagai referensi keahlian terhadap penelitian yang akan
dilakukan penulis. Penulis menemukan kesamaan penelitian yang hamper
sejenis jika dilihat dari maksud dan tujuan penelitian tersebut dilakukan, akan
tetapi dengan kajian yang berbeda yaitu penelitian yang pernah dilakukan
oleh:
1.
Riswan, kenotariatan, pada tahun 2006, dengan judul “Kajian Yuridis
Pelaksanaan Akad Murabahah pada PT. Bank Muamalat Indonesia
cabang Makasar”.12 Penelitian tersebut dilaksanakan dalam rangka
penyusunan tesis Magister Kenotariatan Pada Program sekolah
pascasarjana Universitas Gajah Mada. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa saat nasabah membutuhkan pembiayaan maka dapat mengajukan
permohonan kepada PT. Bank Muamalat Indonesia Cabang Makasar
untuk dibuatkan akad pembiayaan murabahah. Apabila nasabah dalam
keadaan overmacht maka Bank syariah berkewajiban untuk menanggung
risiko.
2.
Hadarian Napol, kenotariatan, pada tahun 2007 dengan judul “Praktik
Pembiayaan dengan Akad Murabahah pada PT. Bank Rakyat Indonesia
(persero) Tbk Cabang Syariah Banjarmasin”.13 Penelitian tersebut
dilaksanakan dalam rangka penyusunan tesis Magister Kenotariatan Pada
12
13
Riswan, 2006, “Kajian Yuridis Pelaksanaan Akad Murabahah pada PT. Bank Muamalat
Indonesia cabang Makasar’, Tesis, Magister Kenotariatan, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, hlm. 8
Hadarian Napol, 2007, “Praktik Pembiayaan Dengan Akad Murabahah Pada PT. Bank Rakyat
Indonesia (persero) Tbk Cabang Syariah Banjarmasin, Tesis, Magister Hukum Kenotariatan,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 8
14
Program
sekolah
pascasarjana
Universitas
Gajah
Mada.
Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa praktik akad murabahah pada PT.
BRI (persero) Tbk cabang syariah Banjarmasin berpedoman pada Fatwa
DSN MUI dan peraturan perundang-undangan perbankan syariah,
sehingga dalam pelaksanaanya sudah sesuai dengan prinsip syariah asas
demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian. Akibat hukum terhadap
akad murabahah yang bermasalah dapat dilihat dari penyebabnya, yakni
dapat disebabkan oleh wanprestasi, perbuatan melawan hukum atau force
majuer. Apabila permasalahan disebabkan oleh wanprestasi, maka PT.
BRI (persero) Tbk cabang syariah Banjarmasin dapat meminta ganti
kerugian dengan atau tanpa pembatalan kontrak. Apabila permasalahan
disebabkan oleh adanya perbuatan melawan hukum, maka akibat
hukumnya adalah berupa tuntutan ganti kerugian Kemudian jika
permasalahannya oleh adanya force majuer, maka bukan alasan untuk
membatalkan akad, akan tetapi merupakan keadaan yang bersifat
sementara/menangguhkan sampai keadaan dapat teratasi.
Penelitian yang dilakukan penulis mempunyai perbedaan karena
membahas hubungan hukum antara Bank dan nasabah pada pembiayaan
murabahah di Bank Muamalat Cabang Yogyakarta.
Dengan demikian berdasarkan hal-hal yang telah penulis uraikan di
atas maka belum ada yang melakukan penelaahan dengan pokok masalah
mengenai Tanggung Jawab Bank Dalam pembiayaan Murabahah (Studi Pada
Bank Muamalat Cabang Yogyakarta). Penulis dalam melakukan penelitian ini
berusaha menggali pemahaman tentang tanggung jawab bank dihadapkan
pada dunia hukum di era sekarang ini.
Download