BAB II TINJAUAN PUSTAKA Setiap penelitian memerlukan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Setiap penelitian memerlukan kerangka teori yang digunakan
untuk mendukung pernyataan dan menjadi dasar dilakukannya sebuah
penelitian. Pada bab ini penulis akan memaparkan sejumlah teori yang
terkait dengan penelitian ini, yakni teori tentang perempuan dalam
kontruksi sosial, perempuan dewasa awal, teori cinta menurut ahli
psikologi, lingkaran kekerasan, dan teori kelekatan.
A. Perempuan dan Konstruksi Sosial
Manusia, baik laki-laki maupun perempuan tumbuh dalam
dunia yang telah dikonstruksikan oleh lingkungan sosial sejak mereka
dilahirkan. Ekspektasi sosial yang dilekatkan dalam diri laki-laki dan
perempuan agar menjadi ’laki-laki seutuhnya’, atau ’perempuan
seutuhnya’. ’Menjadi laki-laki seutuhnya’ kerap kali disangkutpautkan
dengan kekuasaan, kekuatan, dan kemandirian, sedangkan ’menjadi
perempuan seutuhnya’ seringkali dikaitkan dengan kelemahlembutan,
kepatuhan, dan keibuan. Konstruksi sosial tersebut perlahan dapat
membuat individu terkungkung dalam pengertian yang dibangun
masyarakat tentang ’bagaimana seharusnya menjadi laki-laki’ dan
’bagaimana seharusnya menjadi perempuan’ yang mendorong individu
untuk berperilaku sesuai dengan kontruksi yang dibangun baik secara
sadar maupun tidak sadar.
Jika ditelusuri, konstruksi tersebut tidak dapat dipisahkan dari
budaya patriarki yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Secara harafiah, patriarki artinya aturan-aturan dari ayah atau laki-laki,
namun kini lebih diartikan sebagai dominasi laki-laki di bawah aturan
ayah (the rule of father). Menurut Goldberg (dalam Nurdin dkk, 2006)
dalam sudut pandang antropologi, hampir seluruh sistem organisasi
seperti politik, finansial, ekonomi, religi yang menduduki sejumlah
posisi teratas diduduki oleh kaum laki-laki. Hal tersebut menunjukkan
bahwa laki-laki cenderung mendominasi arena politik dan membuat
aturan-aturan yang melanggengkan kekuasaan dan superioritasnya atas
perempuan (Subono, 2001).
Tidak dapat dipungkiri, perempuan dari jaman dahulu telah
menjadi subordinat yang lemah dan harus tunduk pada laki-laki. Para
pemikir Yunani kuno semacam Plato misalnya, memiliki pandangan
bahwa perempuan dapat berpartisipasi dalam sistem pemerintahan
aristokrasi yang menurutnya ideal, namun demikian Plato sendiri
mengatakan bahwa warga yang mati dalam kondisi tidak baik akan
dikutuk menjadi perempuan. Aristoteles murid Plato justru berpendapat
bahwa perempuan memang warga kelas dua yang tidak memiliki hak
demokrasi di negara karena sifat pasif organ seksualnya (vagina yang
dimasuki oleh penis) (Prabowo, 2014). Bahkan hingga kini, di era
modern yang seolah membawa perempuan pada kesetaraan, namun
pada kenyataannya perempuan masih mengalami ketimpangan. Meski
kini perempuan telah dapat bekerja dan memasuki sektor publik, namun
dalam prakteknya perempuan masih kerap dipandang sebagai seks
kelas dua dibawah laki-laki.
B. Perempuan Dewasa Awal
Istilah adult atau dewasa awal berasal dari kata adultus yang
berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau
telah menjadi dewasa. Santrock (2002) menyatakan bahwa masa
dewasa awal adalah masa untuk bekerja dan menjalin hubungan dengan
lawan jenis dan terkadang menyisakan sedikit waktu untuk hal lainnya.
Kenniston (dalam Santrock, 2002) menyatakan bahwa ada dua kriteria
yang diajukan untuk menunjukkan akhir masa muda dan permulaan
dari masa dewasa awal ialah kemandirian ekonomi dan kemandirian
dalam membuat keputusan.
Hurlock (1999) mengatakan bahwa masa dewasa awal berkisar
antara usia 18-40 tahun. Sementara itu, Dariyo (2003) menyatakan
bahwa secara umum individu yang tergolong dewasa muda ialah
individu yang berusia 20-40 tahun. Pada rentang usia ini, individu yang
sudah tergolong dewasa memiliki peran dan tanggung jawab yang lebih
besar dan tidak lagi bergantung secara ekonomis, sosiologis, maupun
psikologis pada orangtuanya.
C. Pemilihan Pasangan sebagai Salah Satu Tugas Perkembangan
Dewasa Awal
Pada setiap rentang perkembangan kehidupan, individu dalam
rentang usia tertentu memiliki tugas perkembangan yang sedapat
mungkin dipenuhi. Hurlock (1980) menyatakan bahwa tugas
perkembangan individu dewasa awal, antara lain ialah individu mulai
bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, memilih pasangan
hidup, mulai mempersiapkan diri untuk membina keluarga dan
mengasuh anak, mengelola rumah tangga, mengambil tanggung jawab
sebagai warga negara, dan mencari kelompok sosial yang
menyenangkan.
Menurut Santrock (2002), pacaran merupakan salah satu cara
untuk mengupayakan pemilihan pasangan yang hendak dijadikan rekan
hidup. Pacaran memiliki fungsi utama untuk memilih dan mendapatkan
seorang pasangan. Sebelum periode ini, pacaran hanya bertujuan untuk
menyeleksi pasangan dan memerlukan pengawasan yang cermat oleh
orang tua. Para orang tua jaman dahulu biasanya saling mengunggulkan
anaknya sebagai calon pasangan dan bahkan memilihkan pasangan bagi
remajanya. Namun seiring berjalannya waktu, individu yang memasuki
masa dewasa awal kini telah memiliki kendali yang jauh lebih besar
terhadap pemilihan pasangan dan proses berpacaran menuju persiapan
pernikahan.
D. Teori Cinta Menurut Para Ahli Psikologi
Dalam relasi berpacaran, remaja seringkali melibatkan berbagai
macam jenis emosi-emosi baik positif maupun negatif yang
dipersepsikan sebagai bentuk cinta antara satu dengan yang lainnya.
Para tokoh psikologi turut merumuskan definisi dan pengertian
mengenai cinta agar memudahkan kita memahami konsep cinta yang
terjalin antara dua individu.
1. Teori Cinta Erich Fromm
Fromm (2005) membahas mengenai cinta dengan membedah
terlebih dahulu mengenai manusia dan eksistensinya. Fromm
memandang manusia sebagai makhluk yang sadar akan dirinya,
mempunyai kesadaran tentang dirinya, sesama, masa lalu,
kemungkinan masa depannya dan kesadaran akan eksistensinya sebagai
sesuatu yang terpisah. Sadar akan keterpisahan ini merupakan faktor
utama munculnya kegelisahan dan kecemasan. Oleh sebab itu, Fromm
mengatakan bahwa kebutuhan manusia yang paling dalam ialah
kebutuhan untuk mengatasi keterpisahannya dan meninggalkan penjara
kesendiriannya. Untuk mengatasi keterpisahan pada tiap individu,
Fromm mengungkapkan ide tentang cinta sebagai jawaban dari masalah
eksistensi manusia. Dalam cinta, terdapat jawaban utuh yang terletak
pada pencapaian penyatuan antar pribadi dan peleburan dengan pribadi
lain. Hasrat akan peleburan antar pribadi ini yang paling kuat
pengaruhnya dalam diri manusia. Terdapat empat unsur dasar dari cinta
yang diungkapkan Fromm, yakni:
a) Perhatian (Care)
Cinta adalah perhatian aktif pada kehidupan dan pertumbuhan dari
apa yang kita cintai. Implikasi dari cinta yang berupa perhatian
tulus seorang ibu kepada anaknya.
b) Tanggung jawab (Responsibility)
Tanggung jawab dalam arti sesungguhnya adalah suatu tindakan
yang sepenuhnya bersifat sukarela. Bertanggungjawab berarti
mampu dan siap menanggapi.
c) Rasa hormat (Respect)
Rasa hormat berasal dari kata respicere yang artinya melihat. Rasa
hormat merupakan kemampuan untuk melihat seseorang
sebagaimana adanya, menyadari individualitas yang unik. Rasa
hormat berarti kepedulian bahwa seseorang perlu tumbuh dan
berkembang sebagaimana adanya.
d) Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan yang menjadi satu aspek dari cinta adalah pengetahuan
yang tidak bersifat eksternal, tetapi dapat menembus kedalaman.
Perhatian, tanggung jawab, rasa hormat, dan pengetahuan
mempunyai keterkaitan satu sama lain. Semuanya merupakan
sindrom sikap yang terdapat dalam pribadi yang dewasa, yakni
pribadi yang mengembangkan potensi dirinya secara produktif.
2. Teori Segitiga Cinta Sternberg
Berbeda dengan Fromm yang menekankan pada sebab,
akibat dan aspek-aspek yang menimbulkan cinta, Sternberg lebih
menekankan pada penjelasan mengenai komponen-komponen
pembentuk cinta dan beragam jenis cinta yang dihasilkan dari
kombinasi tiap komponen. Teori tentang komponen cinta disebut
pula sebagai teori segitiga cinta karena didalamnya mengandung tiga
komponen berikut (Tambunan, 2001):
a) Keintiman (intimacy)
Keintiman adalah elemen emosi yang didalamnya terdapat
kehangatan, kepercayaan dan keinginan untuk membina
hubungan.
b) Gairah (passion)
Gairah adalah elemen motivasional yang disadari oleh dorongan
dari dalam diri yang bersifat seksual.
c) Komitmen
Komitmen adalah elemen kognitif berupa keputusan untuk
secara berkesinambungan menjalankan suatu kehidupan
bersama.
Kombinasi dari ketiga komponen cinta tersebut dapat
membentuk 8 pola hubungan cinta sebagai berikut:
a) Liking (suka), yakni seseorang hanya mengalami komponen
keintiman saja, tanpa adanya gairah dan komitmen.
b) Infatuated (tergila-gila), yakni cinta yang muncul karena adanya
gairah tanpa disertai keintiman dan komitmen.
c) Empty love, yakni cinta yang berasal dari komitmen tanpa adanya
gairah dan keintiman.
d) Romantic love, yakni cinta yang muncul dari kombinasi antara
keintiman dan gairah tanpa disertai komitmen.
e) Companionate love, yakni cinta yang muncul dari kombinasi
antara keintiman dan komitmen, tapa melibatkan gairah.
f) Fatuous love, yakni cinta yang muncul dari kombinasi antara
hasrat dan komitmen tanpa adanya keintiman.
g) Non love, yakni cinta yang tidak memiliki ketiga komponen ini.
h) Consummate love, yakni cinta yang muncul dari kombinasi
ketiganya dan disebut juga sebagai cinta yang utuh.
E. Kekerasan terhadap Perempuan dalam Pacaran
1. Pengertian Kekerasan dalam Pacaran
Kekerasan dalam pacaran atau dating violence adalah
tindakan atau ancaman untuk melakukan kekerasan, yang dilakukan
salah seorang anggota dalam hubungan dating ke anggota lainnya
(Sugarman & Hotaling dalam Krahe, 2001). Selain itu, menurut The
National Clearinghouse on Family Violence and Dating Violence
(2006), dating violence adalah serangan seksual, fisik, maupun
emosional yang dilakukan kepada pasangan, sewaktu berpacaran.
The American Psychological Association (dalam Warkentin, 2008)
menyebutkan bahwa dating violence adalah kekerasan psikologis
dan fisik yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam hubungan
pacaran, yang mana perilaku ini ditujukan untuk memperoleh
kontrol, kekuasaan dan kekuatan atas pasangannya.
Collins (dalam Marcus, 2007) mengatakan bahwa terdapat 5
hal yang dapat menjelaskan sebuah hubungan sebagai dating.
Kelima hal tersebut adalah: (1) involvement – apakah remaja tersebut
pacaran, usia dimana dia memulai pacaran, dan konsistensi serta
frekuensi pacaran (2) partner-selection – siapa yang mereka pilih
menjadi pacar mereka (apakah usianya lebih tua, sama atau dari suku
dan sosioekonomi status yang berbeda atau sama) (3) content – apa
yang dilakukan mereka bersama-sama, keberagaman dari aktivitas
yang dilakukan bersama, situasi yang dihindari ketika mereka
bersama; (4) quality – hal dimana hubungan tersebut menghasilkan
suatu pengalaman yang menguntungkan, seperti intimacy, affection,
nurturance, antagonism, and high conflict and controlling
behaviors; and (5) cognitive and emotional processes – apakah
terdapat partner yang memberikan respon emosional yang merusak,
persepsi, harapan, schema, dan atribusi.
Peneliti di The University of Michigan Sexual Assault
Prevention and Awareness Center Burandt, Wickliffe, Scott,
Handeyside, Nimeh & Cope (dalam Murray, 2007) mendefiniskan
dating violence sebagai tindakan yang disengaja (intentional), yang
dilakukan dengan menggunakan taktik melukai dan paksaan fisik
untuk memperoleh dan mempertahankan kekuatan (power) dan
kontrol (control) terhadap pasangan dating-nya. Lebih lanjut
dikatakan bahwa perilaku ini tidak dilakukan atas paksaan orang
lain, sang pelaku lah yang memutuskan untuk melakukan perilaku
ini atau tidak, erilaku ini ditujukan agar sang korban tetap
bergantung atau terikat dengan pasangannya. dapat disimpulkan
bahwa dating violence adalah ancaman atau tindakan untuk
melakukan kekerasan kepada salah satu pihak dalam hubungan
berpacaran, yang mana kekerasan ini ditujukan untuk memperoleh
kontrol, kekuasaan dan kekuatan atas pasangannya, perilaku ini bisa
dalam bentuk kekerasan emosional, fisik dan seksual.
2. Bentuk-Bentuk Kekerasan dalam Pacaran
Secara umum, Murray (2007) mengemukakan beberapa
bentuk kekerasan yang dikelompokkan sebagai berikut:
a) Kekerasan Verbal dan Emosional
Kekerasan verbal dan emosional adalah ancaman yang
dilakukan pasangan terhadap pacarnya dengan perkataan maupun
mimik wajah. Menurut Murray (2007), kekerasan verbal dan
emosional terdiri dari:
1. Name calling
Nama panggilan yang diutarakan kepada pasangan merupakan
bentuk pelabelan negatif yang diberikan pacar terhadap
peasangannya. Panggilan ini seperti mengatakan pacar gendut,
jelek, malas, bodoh, tidak ada seorangpun yang
menginginkannya, ingin muntah melihat sang pacar.
2. Intimidating looks
Pacar menunjukkan wajah yang kecewa tanpa mengatakan
alasan mengapa ia marah atau kecewa dengan pacarnya, jadi
pihak laki-laki atau perempuannya mengetahui apakah pacarnya
marah atau tidak hanya dilihat dari ekspresi wajahnya, tanpa
mendapatkan penjelasan.
3. Use of pagers and cell phones
Seorang pacar ada yang memberikan ponsel kepada pacarnya,
supaya dapat mengingatkan atau supaya tetap bisa menghubungi
pacarnya. Alat komunikasi ini memampukan pacarnya untuk
memeriksa keadaan pacarnya sesering mereka mau. Ada juga
dari mereka yang tidak memberikan ponsel kepada pacarnya,
namun baik yang memberikan ponsel maupun yang tidak
memberikan ponsel tersebut akan marah ketika orang lain
menghubungi pacarnya. Individu ini harus mengetahui siapa
yang menghubungi pacarnya dan mengapa orang tersebut
menghubungi pacarnya.
4. Making a boy/girl wait by the phone
Seorang pacar berjanji akan menelepon pacarnya pada jam
tertentu, akan tetapi sang pacar tidak menelepon juga. Pacar yang
dijanjikan akan ditelepon, terus menerus menunggu telepon dari
pasangannya, membawa teleponnya kemana saja di dalam
rumah, misalnya pada saat makan bersama keluarga. Hal ini
terjadi berulangkali, sehingga membuat si pacar tidak menerima
telepon dari temannya, tidak berinteraksi dengan keluarganya
karena menunggu telepon dari pacarnya.
5. Monopolizing a girl’s/ boy`s time
Korban kekerasan dalam pacaran juga cenderung kehabisan
waktu untuk melakukan aktivitas dengan teman atau untuk
mengurus keperluan dirinya sendiri karena mereka selalu
menghabiskan waktu bersama dengan pacarnya. Sang pacar
memonopoli hampir seluruh waktu pasangannya.
6. Making a girl`s/ boy`s feel insecure
Seringkali orang yang melakukan dating violence memanggil
pacarnya dengan mengkritik, dan mereka mengatakan bahwa
semua hal itu dilakukan karena mereka sayang pada pacarnya
dan menginginkan yang terbaik untuk pacarnya. Padahal mereka
membuat pacar mereka merasa tidak nyaman. Ketika pacar
mereka terus menerus dikritik, mereka akan merasa bahwa
semua yang ada pada diri mereka buruk, tidak ada peluang atau
kesempatan untuk meninggalkan pasangannya.
7. Blaming
Kekerasan ini dilakukan dengan melimpahkan akar dari seluruh
permasalahan kepada pasangannya. Semua kesalahan yang
terjadi adalah perbuatan pasangannya, bahkan mereka sering
mencurigai pacar mereka atas perbuatan yang belum tentu
disaksikannya, seperti menuduhnya melakukan perselingkuhan.
8. Manipulation/ making himself look pathetic
Kekerasan ini biasanya terwujud dalam bentuk perkataan tentang
sesuatu hal yang konyol, misalnya pacarnyalah orang yang satusatunya mengerti dirinya, atau mengatakan kepada pacarnya
bahwa dia akan bunuh diri jika tidak bersama pacarnya lagi.
9. Making threats
Biasanya mereka mengatakan jika kamu melakukan ini, maka
saya akan melakukan sesuatu padamu. Ancaman mereka bukan
hanya berdampak pada pacar mereka, tetapi kepada orangtua,
dan teman mereka.
10. Interrogating
Pasangan yang pencemburu, posesif, suka mengatur, cenderung
menginterogasi pacarnya, dimana pacarnya berada sekarang,
siapa yang bersama mereka, berapa orang laki-laki atau wanita
yang bersama mereka, atau mengapa mereka tidak membalas
pesan mereka.
11. Humiliating her/ him in public
Mengatakan sesuatu mengenai organ tubuh pribadi pacarnya
kepada pacarnya di depan teman-temannya. Atau mempermalukan pacarnya di depan teman-temannya.
12. Breaking treasured items
Tidak memperdulikan perasaan atau barang-barang milik pacar
mereka, jika pasangan mereka menangis, mereka menganggap
hal itu sebuah kebodohan.
b) Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah pemaksaan untuk melakukan
kegiatan atau kontak seksual sedangkan pacar mereka tidak
menghendakinya (Murray, 2007). Pria lebih sering melakukan tipe
kekerasan ini dibandingkan wanita (Hamby, Sugarman, & BoneyMcCoy, dalam Heatrich & O`Learry, 2007). Menurut Murray
(2007), kekerasan seksual dapat mencakup perkosaan (melakukan
hubungan seks tanpa ijin pasangannya atau tanpa sepengetahuan
pasangannya), sentuhan yang tidak diinginkan, dan ciuman yang
tidak diinginkan.
c) Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah perilaku yang mengakibatkan pacar
terluka secara fisik, seperti memukul, menampar, menendang dan
sebagainya (Murray, 2007). Wanita juga melakukan kekerasan tipe
ini dengan pasangannya akan tetapi konsekuensi fisik yang
dihasilkan tidak begitu berbahaya seperti yang dilakukan pria
terhadap wanita. (Cantos, Neidig, & O’Leary, 1994; Cascardi,
Langhinrichsen, & Vivian, 1992; Stets & Straus, dalam Heatrich &
O`Learry, 2007).
3. Perempuan sebagai Korban Kekerasan dalam Pacaran
Dalam relasi berpacaran, perempuan seringkali menjadi
korban kekerasan dalam relasi tersebut. Kate Millet (1998)
berpendapat bahwa akar dari penindasan kaum perempuan ada
dalam sistem gender yang sangat patriarkis. Menurutnya, seks
merupakan alat politis dalam relasi laki-laki dan perempuan yang
menjadikan laki-laki memiliki kekuasaan dalam pembentukan nilainilai, emosi serta logika yang mengontrol kehidupan akademi, religi,
dan keluarga. Hal ini berakibat pada rasa inferioritas yang muncul
dalam diri perempuan terhadap dominasi laki-laki. Di dalam relasi
patriarki, laki-laki adalah pihak yang dianggap lebih kuat belajar
mengendalikan dan mengontrol perempuan sehingga perempuan
dilihat sebagai objek kepunyaan laki-laki.
4. Lingkaran Kekerasan dalam Perspektif Psikologi
Kekerasan yang kerap terjadi dalam relasi intim dua individu
membentuk suatu pola tarik menarik dan terhubung erat seperti
lingkaran antara korban dan pelaku kekerasan. Walker (1979)
merumuskan sebuah lingkaran kekerasan yang terjadi antara pelaku
dan korban kekerasan yang disebut dengan “battering cycle”.
Lingkaran ini dijelaskan melalui tiga fase yang tergantung pada
intensitas dan frekuensi kemunculan kekerasan, yakni: 1) The
tension-building phase; 2) The explosion of acute battering phase; 3)
The contrition phase. Pada fase pertama, pelaku membentuk
tegangan dan melakukan berbagai bentuk kekerasan yang pernah
dilakukan seperti perlakuan posesif, pelecehan secara verbal,
intimidasi, dan pengekangan kebebasan. Pada situasi ini, korban
dengan otomatis melakukan pembelaan diri dan menahan marah atas
perlakuan pelaku. Pada situasi ini, pelaku menjadi sangat waspada
akan kemungkinan berbagai bentuk pertentangan atau perlawanan
yang ditunjukkan korban. Oleh karena pelaku terus-menerus
memproyeksikan kemarahannya kepada orang lain, pelaku tidak
dapat menyadari dan memahami kondisi kritis yang sesungguhnya
ada di dalam dirinya. Fase pembentukan tegangan ini cenderung
terus berlanjut hingga titik kekerasan fisik terjadi terhadap korban.
Zimbardo (1979) – seorang psikolog sosial – menegaskan
bahwa perilaku kekerasan hanya dapat diberhentikan oleh pelaku,
bukan korban. Hal ini disebabkan karena sistem tubuh pelaku sendiri
memberikan reward atau penguatan di setiap tindak kekerasan yang
dilakukan. Dengan kata lain, pengulangan perilaku kekerasan seperti
serangan, pukulan, hinaan, mendapatkan penguatan. Sumber
penguatan tersebut ialah umpan balik dari reaksi tubuh pelaku itu
sendiri berupa pelepasan tegangan melalui setiap bentuk kekerasan
yang dilakukan. Pada fase kedua, yakni pemunculan kekerasan,
pelaku terus menunjukkan berbagai bentuk agresi seperti memukul,
menendang, mendorong hingga pelaku sampai pada titik kelelahan
dan kehabisan energi. Pelepasan energi yang besar membuat
tegangan dalam diri pelaku semakin rendah. Pelepasan tegangan ini
merupakan situasi melegakan yang dirasakan oleh pelaku. Rasa lega
yang dialami pelaku selepas melakukan tindak kekerasan membuat
pelaku menjadi adiksi atau kecanduan dengan rasa lega tersebut,
sehingga perilaku kekerasan terus diulang.
Fase yang terakhir dari lingkaran kekerasan ini ialah
contrition phase, yakni suatu fase yang menempatkan pelaku pada
perasaan sedih karena berdosa atas pelepasan tegangan melalui
perilaku kekerasan terhadap korban. Pada fase ini, pelaku akan
mendekati korban dan membujuk agar korban dapat bertahan dalam
relasi intim dan memaafkannya. Pelaku cenderung mengumbar janji
tentang perbaikan diri dan mengajak orang-orang terdekatnya untuk
turut membujuk korban kembali kepada dirinya. Pelaku juga berjanji
mengikuti konseling, berhenti minum alkohol, berselingkuh, atau
apapun yang diinginkan korban. Pelaku juga dapat membawakan
bunga, hadiah, kartu permintaan maaf, atau apapun yang
membuatnya dapat dimaafkan oleh korban. Pada intinya, pelaku
mengambil celah di rasa bersalah korban dengan meyakinkan korban
bahwa korban merupakan satu-satunya perempuan yang dapat
menyelamatkan dirinya, cinta yang ada dapat menaklukan setiap
perilaku buruk pelaku, pelaku mengancam bunuh diri jika korban
tidak menerimanya lagi. Hasilnya, korban terbujuk oleh rasa
tanggung jawab untuk menolong pelaku dan berharap ada peluang
positif akan harapan yang lebih baik dari hubungan tersebut.
RESPONS KORBAN: Melindungi diri sebisa
mungkin, Pihak keamanan dihubungi oleh tetangga, teman,
keluarga. Berusaha menenangkan pasangan, atau pergi
2. BATTERING
Mendorong, memukul,
mencekik, memperkosa,
menggunakan senjata
1. TENSION BUILDING
Moody, afeksi
tumpul, berteriak,
berkata-kata kasar,
menghancurkan
benda
RESPONS KORBAN:
Mendekati dan
menenangkan pasangan,
Diam/ talkactive.
Menjauh dari keluarga
dan teman. Pasif.
Memahami
3. CONTRITION STAGE
POWER & CONTROL
DENIAL
Pergi ke gereja, mengirim bunga,
hadiah, “Aku tidak akan
melakukannya lagi”, mengajak
bercinta, menangis, menyatakan cinta
Meminta maaf,
mohon ampun,
Berjanji akan
berubah,
RESPONS KORBAN: Sepakat untuk
kembali mempercayai. Menerima pasangan
kembali, Menghentikan proses hukum. Merasa
senang dan penuh harapan.
Gambar 2.1 Lingkaran Kekerasan
Melalui Gambar 2.1, dapat dilihat bahwa lingkaran
kekerasan terus bergulir dengan pola yang sama antara pelaku dan
korban. Pola tersebut seringkali berhasil membuat korban tetap
bertahan dalam hubungan. Pelaku dan korban turut meyakinkan satu
sama lain bahwa ketika keduanya bersama-sama, baik pelaku
maupun korban merasa dapat mengalahkan dunia. Agama, tradisi
kuno tentang perempuan, rasa bersalah berkonspirasi untuk membuat
perempuan bertahan dalam hubungan tersebut.
F. Kajian Teori Kelekatan pada Perempuan Korban Kekerasan
dalam Pacaran
Sejarah kelekatan dan pengasuhan anak di masa lampau
merupakan pendahulu yang membentuk relasi positif di antara
pasangan muda (Sroufe, Egeland, dan Carlson, 1999). Bayi yang
memiliki kelekatan tidak aman (menimbulkan rasa cemas) kepada
pengasuhnya cenderung tidak dapat mengembangkan relasi yang positif
dengan pasangannya di masa remaja. Remaja yang memiliki sejarah
kelekatan yang aman lebih mampu mengendalikan emosinya secara
lebih baik dan lebih nyaman untuk membuka dirinya dalam relasi
berpacaran. Kelekatan dibahas lebih mendalam melalui kajian etologis
yang dikemukakan oleh John Bowlby.
Etologi sendiri adalah studi mengenai tingkah laku hewan dan
manusia dalam konteks evolusi. Perspektif etologi klasik diperkenalkan
oleh Darwin (1859) yang menyatakan bahwa beragam spesies memiliki
nenek moyang yang sama dan spesies dapat berubah untuk memenuhi
persyaratan lingkungan mereka yang berubah. Tidak semua spesies
dapat bertahan saat menghadapi keadaan lingkungan yang berubah
sehingga dalam teorinya, Darwin mencetuskan teori seleksi alam, yakni
sebuah anggapan bahwa alam memilih siapa-siapa saja yang mampu
beradaptasi paling baik dengan lingkungan mereka. Mereka yang
beradaptasi paling baik adalah mereka yang akan bertahan hidup.
Untuk dapat beradaptasi, hampir semua spesies mendekatkan diri pada
kelompoknya sehingga kelompok mereka menjadi kuat untuk
menghadapi predator yang sewaktu-waktu mungkin menyerang
mereka.
Pandangan ini kemudian digunakan Bowlby untuk menjelaskan
pentingnya kelekatan antara bayi dan figur lekat utama (biasanya ibu).
Asumsi dasar dari teori kelekatan ialah oleh karena ketidakmatangan
bayi yang sangat ekstrim pada saat dilahirkan, bayi dapat bertahan
dengan bantuan berupa perlindungan dan perhatian dari orang dewasa.
Oleh sebab itu, tingkah laku bayi seperti menangis atau tersenyum
merupakan simbol yang dimunculkan bayi untuk menjaga kedekatan
dengan figur lekat. Bayi menangis ketika ditinggal pergi oleh sang ibu
menunjukkan kecemasan saat harus menghadapi dunia ini seorang diri.
Bayi memerlukan kehadiran ibu untuk melindunginya dari ancaman
dan bahaya. Karenanya, bayi akan terus menangis ketika membutuhkan
pertolongan ibunya. Ibu sebagai pemberi perhatian (caregiver) dan bayi
saling melengkapi proses pembentukan sistem perilaku lekat
(attachment behavioral system) yang berkontribusi dalam pembentukan
ikatan emosi antara anak dan figur lekat.
Ya
Apakah figur
lekat responsif,
terjangkau?
Rasa aman,
dicintai,
percaya diri
Ceria,
eksplorasi,
bersosialisasi,
tersenyum
Tidak
Perilaku Lekat:
1. Mencari figur
lekat
2. Memberikan
kontak mata,
memanggil
3. Bergerak ke arah
figur lekat
Takut,
Cemas
Defensif
Menghindari
kontak,
defensif,
eksplorasi
Gambar 2.2 Sistem Perilaku Lekat
Kelekatan merupakan salah satu sistem perilaku yang mencakup
dasar eksplorasi, pemberian perhatian, relasi, dan pemenuhan
kebutuhan fisik. Selama anak merasa aman, sistem kelekatan akan
stabil, dan sistem perilaku lain dapat diaktifkan. Secara berkelanjutan,
sistem kelekatan ini akan membuat anak yang bertumbuh menjadi
remaja atau individu dewasa merasa aman untuk mengeksplorasi dunia
luar.
1. Tahap Pembentukan Kelekatan
Bowlby (1980) menyatakan bahwa seorang anak membentuk
kelekatan dengan figur lekat dengan perilaku seperti mencari
kedekatan, menjamin keselamatan, mencari rasa aman dan
perlindungan, sedangkan seorang figur lekat menjadi terikat dengan
anak melalui komitmen, pemberian perhatian, tanggung jawab, dan
mencintai anak. Berikut ialah tahapan kunci dalam pembentukan
kelekatan antara anak dan orang tua sebagai figur lekat:
a) Usia 0-3 bulan: Respons tak terpilah kepada manusia
Selama bulan pertama di awal kehidupannya, bayi
menunjukkan beragam jenis respons kepada orang disekitarnya,
namun respons ini tidak terpilah dan sama kepada semua orang,
seperti senyuman, tangisan, genggaman tangan. Pada usia 5 minggu,
senyum sosial paling serius dimulai karena bayi mulai dapat melihat
wajah manusia secara utuh dan mampu melakukan kontak mata.
Senyum ini menjadi simbol kelekatan dengan pengasuh atau figur
lekatnya. Begitupun tangisan yang juga merupakan hasil dari
kedekatan pengasuh dan anak yang menjadi seperti teriakan bahaya
sebagai tanda bayi memerlukan pertolongan.
b) Usia 3-6 bulan: Fokus kepada orang-orang yang dikenal
Sejak usia 3 bulan tingkah laku bayi mulai berubah, respons
sosial bayi mulai menjadi selektif. Selama fase ini, bayi
mempersempit respons mereka kepada orang-orang yang dikenal
saja. Figur lekat utama biasanya ibu, namun tidak selalu demikian.
Bayi tampak mengembangkan kelekatan paling kuat pada seseorang
yang paling sigap menangkap sinyal mereka dan yang terlibat
dengan interaksi yang paling menyenangkan bagi mereka.
c) Usia 6 bulan-3 tahun: Kelekatan yang intens dan pencarian
kedekatan yang aktif
Sejak usia 6 bulan, kelekatan bayi pada orang tertentu menjadi
semakin intens dan ekslusif. Yang paling menyolok ialah bayi
menangis keras ketika figur ibu meninggalkan ruangan,
memperlihatkan adanya kecemasan terhadap perpisahan. Para
pengamat juga mencatat intensitas bayi menuambut ibunya setelah
ditinggalkan untuk sementara waktu. Ketika ibunya kembali dan
memeluknya, maka bayi akan balas memeluk ibunya dan tersenyum
senang. Ibu juga menunjukkan kebahagiaan atas pertemuan kembali
tersebut. Bayi mulai mengekspresikan emosi-emosi yang kuat dan
mulai merayap mengikuti orang tua yang berjalan meninggalkannya.
Bayi akan membuat usaha paling maksimal untuk memperoleh
kembali kontak dengan orang tua. Ini sangat menjelaskan bahwa
bayi menggunakan pengasuhnya sebagai basis aman untuk
eksplorasi dan mencetak konsep figur lekat yang akan dibawa terus
sepanjang kehidupannya.
d) Usia 3-5 tahun: Pembentukan ‘internal working models’
Pada usia ini, anak membawa pola kelekatan ini keluar dari
keluarga, biasanya ke lingkungan sekolah. Keseimbangan antara
kelekatan dan kesempatan ekplorasi berdampak pada pembelajaran,
perilaku anak, dan pola persahabatan yang dijalinnya dengan teman
sebaya. Konsep terkait rasa aman telah tersimpan dalam proses
mental anak yang berguna untuk mengatasi situasi sulit. Pada
tahapan ini, kecemasan terhadap perpisahan dan kehilangan mulai
menyatu dengan kecemasan tentang harga diri dan relasi dengan
teman sebaya. Ketika seorang anak memiliki memori tentang rasa
aman dan model internal yang positif, anak cenderung lebih dapat
menghadapi tantangan dan mengatasi kegagalan atau penolakan.
Sebaliknya, anak yang insecure cenderung menyangkal perasaannya
dan menjadi agresif atau depresif.
e) Usia Remaja-Dewasa
Individu di usia ini mulai berpisah dengan figur lekat dan
menjadi mandiri. Individu yang secure dengan harga diri dan
kompetensi yang tinggi lebih berhasil mengatasi tantangan. Orang
tua sebagai figur lekat masih sangat diperlukan pada tahap ini untuk
berbagi pengalaman dan regulasi emosi untuk mencapai konsep diri
yang koheren dan fleksibel. Relasi kelekatan awal dengan orang tua
berlangsung lama dan kelekatan yang baru mulai terbentuk dalam
persahabatan dan hubungan percintaan.
2. Komponen Kunci Kelekatan
Pola kelekatan yang terjalin antara anak dan figur lekat dapat
dilihat melalui tiga komponen kunci yang diamati dari perilaku dua
arah antara anak terhadap figur lekat dan respons figur lekat terhadap
perilaku anak. Berikut ialah tiga komponen kunci dalam kelekatan
(Bowlby, 1973):
Proximity Maintenance
Mencari kedekatan dan
menolak perpisahan
KELEKATAN
(Attachment)
Secure Base
Menjadi dasar
eksplorasi dunia luar
Safe Haven
Pemberian rasa nyaman,
dukungan, jaminan,dll
Gambar 2.3 Komponen Kunci Kelekatan
a) Proximity Maintenance (Memelihara Kedekatan)
Proximity maintenance dapat mencakup perilaku anak
yang terus mencari kedekatan dengan figur lekat dan memelihara
kedekatan tersebut. Perilaku ini biasanya ditunjukkan oleh anak
jika anak sedang berada dalam situasi yang membuatnya takut
atau tertekan karena alasan tertentu. Pemeliharaan kedekatan
dengan figur lekat ini diupayakan anak untuk terhindar dari rasa
cemas tentang faktor-faktor ketidakmatangan yang dimiliki anak
(seperti usia atau emosi) dalam menghadapi situasi yang
dianggap mengancam. Pencapaian pada komponen proximity
maintenance ini menghasilkan rasa aman dan dicintai. Menurut
Bowlby (1982), perilaku yang dimunculkan pada proximity
maintenance ialah mencari kedekatan dengan individu dewasa
yang dijadikan figur lekat dan menunjukkan protes terhadap
situasi terpisah dengan figur lekat.
Sebagai contoh, seorang bayi yang merasa lapar hanya
dapat menangis karena bayi tersebut tidak dapat mengambil
makan sendiri sehingga menangis merupakan upaya yang
dilakukan bayi untuk mendapatkan pertolongan dari figur lekat.
Contoh lainnya, ketika anak memasuki usia 3-5 tahun dan
kehilangan sosok figur lekat di sebuah tempat pebelanjaan, anak
tersebut akan menangis atau mungkin berlari mencari-cari figur
lekat tersebut. Semakin anak bertumbuh besar dan memasuki
usia sekolah, remaja, atau dewasa, anak akan berusaha
menjangkau figur lekat dengan cara apapun ketika berada dalam
situasi sulit.
b) Safe Haven (Menjadi Tempat Perlindungan)
Safe haven merupakan perilaku yang ditunjukkan oleh
figur lekat sebagai respons dalam menanggapi perilaku anak
yang mencari kedekatan dengannya. Respons tersebut dalam
berbentuk pemberian rasa nyaman, kehangatan, ketenangan, atau
jaminan akan keselamatan pada waktu anak membutuhkan
karena pada dasarnya, kecemasan anak akan jauh berkurang
ketika anak menyadari bahwa figur lekat ada disekitarnya dan
dapat diakses untuk memenuhi kebutuhan anak untuk
diperhatikan dan dilindungi. Selain itu, figur lekat berperan
untuk memahami bahwa kebutuhan anak untuk diperhatikan
perlu didukung pula oleh apreasiasi atau dorongan untuk anak
dapat mengambil keputusannya secara mandiri. Safe hafen yang
dibangun oleh figur lekat ini memberikan ‘batas aman’ agar anak
dapat belajar untuk bernegosiasi dengan situasi, mengupayakan
keberhasilan, dan mengatasi kegagalannya sendiri.
Sebagai contoh, ketika anak menunjukkan perilaku
proximity maintenance di saat yang mencemaskan, figur lekat
dengan sesegera mungkin membantu anak dengan menyediakan
kebutuhan anak sehingga kecemasan anak tersebut dapat
direduksi dan anak dapat kembali melakukan eksplorasi dengan
lingkungannya. Contoh lain, ketika anak telah dewasa, figur
lekat tetap menjadi sosok yang mau mendengarkan keluh-kesah
anak atau bahkan memberikan beberapa alternatif solusi yang
dapat membantu sang anak menyelesaikan persoalannya.
c) Secure Base (Menjadi Basis Aman)
Secure base juga merupakan perilaku yang ditunjukkan
oleh figur lekat sebagai respons dalam menanggapi perilaku anak
yang mencari kedekatan dengannya. Respons yang ditunjukkan
berupa kepekaan dalam menanggapi perilaku anak. Figur lekat
yang peka melihat dunia dari sudut pandang anak dan
memperlakukan anak dengan pemahaman yang mendalam,
pemberian kebutuhan dan kasih sayang. Respons ini juga
mereduksi kecemasan anak dan membantu anak untuk
mengembangkan kemampuan dalam mengenai dan mengatur
emosi serta perilakunya. Selain itu, figur lekat juga menunjukkan
respons menerima anak secara utuh karena anak yang merasa
diterima dan dihargai sebagai individu yang unik dengan
kelebihan dan kekurangan yang khusus, akan berkembang
menjadi individu yang seimbang, realistis, konsep diri yang
positif, dan harga diri yang baik.
Sebagai contoh, figur lekat tetap menunjukkan keinginan
untuk dekat dan memenuhi kebutuhan anak meskipun sang anak
sedang mengalami kegagalan. Meskipun anak merasa sedih atau
kecewa dengan kegagalan yang dialaminya, namun karena figur
lekat tetap memberikan dukungan dan rasa aman kepada anak,
maka anak dapat lebih cepat meregulasi emosi sedih dan
kecewanya dan anak dapat kembali mengeksplorasi
lingkungannya tanpa rasa takut.
Pola kelekatan yang terjalin dari anak masih bayi dengan orang
tua sebagai figur lekat terus mengalami proses peralihan dalam
sepanjang rentang kehidupannya satu per satu. Berikut ini ialah proses
peralihan pola kelekatan:
TARGET PERILAKU LEKAT
Fase Perkembangan
Orang Tua
Teman
Sebaya/
Pasangan
Bayi
Proximity maintenance
Safe haven
Secure base
Anak-Anak Awal
Proximity maintenance
Safe haven
Secure base
Anak-Anak Akhir/ Awal
Proximity maintenance
Remaja
Safe haven
Secure base
Masa Dewasa
Proximity maintenance
Safe haven
Secure base
Tabel 2.1 Proses Peralihan Kelekatan
3. Tipe-Tipe Kelekatan
Konsep yang lebih lengkap mengenai kelekatan diungkapkan
oleh Ainsworth (1969) yang menyatakan bahwa kelekatan adalah
ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain
yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalam suatu kedekatan yang
bersifat kekal sepanjang waktu. Ainsworth, Blehar, Waters dan Wall
(dalam Fraley dan Spieker, 2003; Cummings, 2003, Sroufe, 2003;
Cassidy, 2003; Waters dan Beauchaine, 2003) membuat sebuah
eksperimen untuk melihat tingkah laku lekat dengan metode ‘situasi
terpisah’. Pada eksperimen ini, anak ditempatkan dalam ruangan yang
dirancang dengan lingkungan fisik yang tidak familiar, adanya
perpisahan dengan pengasuh, dan adanya kontak dengan orang asing.
Kombinasi dari ketiga aspek tersebut dengan sengaja diciptakan untuk
melihat reaksi anak. Berdasarkan eksperimen tersebut diperoleh dua
kategori utama, yakni kelekatan aman (secure) dan tidak aman
(insecure).
a) Kelekatan Aman (Secure Attachment)
Relasi orang tua-anak dapat dianggap sebagai prototip bagi
relasi lain yang dibangun anak di masa depan. Relasi ini merupakan
relasi pertama yang digunakan anak sebagai dasar yang akan
diterapkan dalam pengalaman relasi berikutnya. Singkatnya, kualitas
dari relasi orangtua-anak ini merupakan prediktor kesuksesan relasi
anak dengan figur lekat pengganti di masa remaja dan dewasa
(Gearity, 2005). Pada kelekatan aman ini, ibu digunakan sebagai
dasar eksplorasi, anak berada dekat ibu untuk beberapa saat kemudian
melakukan eksplorasi, anak kembali pada ibu ketika ada orang asing,
tapi memberikan senyuman apabila ada ibu didekatnya (Cicchetti dan
Toth, 1995). Ainsworth dkk (1978) mendeskripsikan bahwa anak
yang merasa secure seringkali menunjukkan protes ketika ditinggal
bersama dengan orang lain oleh figur lekat di tempat yang asing.
Protes dapat berupa stres, keengganan bermain dan eksplorasi,
penolakan terhadap upaya orang lain untuk menghiburnya. Ketika
figur lekat datang, anak akan menyambut dengan hangat dan
menunjukkan keinginan untuk melakukan kontak fisik dengan figur
lekat sebelum melanjutkan eksplorasinya.
Gearity (2005) menyatakan bahwa relasi yang terjalin antara
orangtua-anak harus mencapai dua tujuan dasar sebagai pondasi relasi
yang sehat dengan orang lain di masa mendatang, yakni 1)
pembentukan rasa percaya pada dunia, “ketika saya membutuhkan
kamu, kamu ada”; 2) pengembangan regulasi emosi – anak belajar
mengekspresikan perasaan yang sedang dirasakan. Ketika dua tujuan
dasar ini tercapai, anak mengalami relasi lekat yang baik dan
cenderung mengeksplorasi lingkungan sekitarnya dengan meyakini
bahwa figur lekat akan selalu ada ketika dibutuhkan sehingga anak
merasa aman. Melalui eksplorasi ini, anak yang secure memiliki
kompetensi yang lebih baik dan tumbuh sebagai anak yang mandiri di
kemudian hari. Kestenbaum et al., (1989) menemukan bahwa kualitas
dari kelekatan anak-orangtua berpengaruh pada kapasitas empati,
regulasi emosi, perkembangan kognitif, dan kontrol perilaku anak di
relasi-relasi berikutnya.
Thompson (2000) juga menyatakan bahwa anak yang secure
cenderung tumbuh menjadi individu yang percaya diri dan resilien
ketika menghadapi tekanan dari teman sebaya. Hal ini membawa
individu pada kesejahteraan psikologis dan ketahanan terhadap
tekanan. Schore (2001) menegaskan bahwa anak yang secure
memiliki kapasitas psikologi dan neurologi yang baik untuk mengatur
emosi, khususnya dalam menghadapi stresor dari lingkungan
eksternal yang didapatkannya di masa mendatang.
b) Kelekatan Tidak Aman (Insecure attachment)
Tipe lain yang dapat muncul dari relasi lekat orangtua-anak
ialah kelekatan tidak aman (insecure attachment). Pada umumnya,
tipe ini menunjukkan penolakan terhadap kehadiran ibu,
menampakkan permusuhan, kurang tertarik dengan kehadiran ibu,
mengacuhkan dan kurang mengekspresikan emosi negatif. Seorang
anak yang tidak mendapatkan rasa aman dari figur lekat cenderung
menunjukkan kurang berkembangnya kapasitas diri untuk
menghadapi situasi sulit sepanjang hidup. Bowlby (1940)
menegaskan bahwa kegagalan pembentukan kelekatan antara anak
dan ibu memiliki konsekuensi yang serius seperti pertumbuhan yang
lambat, agresivitas, kecemasan akan rasa bergantung, hambatan
intelektual, penyimpangan perilaku sosial, tumpunya afeksi, depresi,
dan munculnya perilaku delikuen. Menurut Gearity (2005), kegagalan
dalam mencapai dua tujuan dasar kelekatan menempatkan anak pada
kesulitan dalam membangun relasi-relasi berikutnya sepanjang hidup.
Sebagai contoh, ketiadaan basis aman sebagai pembentukan rasa
percaya dapat membatasi kompetensi dan keberanian anak untuk
mengeksplorasi lingkungan karena anak merasa dunia bukan tempat
yang aman. Di samping itu, Barnett dan Butler (1999)
mengemukakan bahwa anak yang tidak secure memiliki potensi
untuk menjadi individu yang sangat rapuh terhadap tekanan teman
sebaya dan komentar negatif dari orang lain. Lebih lanjut, Waters dan
Cummings (2000), kerapuhan ini membuka ruang bagi berbagai
emosi negatif seperti keraguan pada diri sendiri yang berujung pada
kecemasan, depresi, dan respons negatif terhadap pengalaman sosial
yang baru. Melalui eksperimen yang dilakukan terkait respons anak
terhadap situasi terpisah dengan orang tua sebagai figur lekat,
Ainsworth (1978) membagi tipe kelekatan tidak aman ke dalam dua
jenis sebagai berikut ini:
1. Avoidant Attachment
Avoidant attachment merupakan strategi yang dikembangkan oleh
anak dengan orang tua yang tidak mendukung terjalinnya kontak
afeksi dan tidak menunjukkan simpati maupun rasa nyaman
(Karen, 1994). Anak yang tergolong dalam avoidant attachment
jarang menangis ketika dikondisikan terpisah dari figur lekat dan
menghindari kontak ketika figur lekat kembali (Papalia et al,
1999). Anak tidak menunjukkan protes terhadap kepergian ibu,
melainkan anak cenderung mengalihkan perhatian dari perginya
ibu, secara aktif mengeksplor lingkungan ketika sang ibu tidak ada.
Anak juga tidak menyadari kembalinya ibu dan menunjukkan
perilaku menghindar jika sang ibu mendekatinya (Lyons-Ruth &
Zeanah, 1993).
2. Ambivalence Attachment
Pola kelekatan insecure ini muncul dari pengalaman anak dengan
pengasuhan yang tidak konsisten oleh orang tua sehingga anak
tidak pernah yakin apakah ekspresi kecemasan atau stress yang
dirasakannya perlu untuk ditunjukkan. Ada hambatan dari pola
pengasuhan dan perlindungan yang konsisten oleh orang tua
sehingga muncul perasaan pada anak bahwa mengeksplorasi dunia
dan lingkungan sekitar bukanlah pilihan yang tepat. Hal ini
berdampak pada rendahnya stres yang dimiliki anak, namun
rendah pula kepercayaan diri di masa mendatang. Ketika anak
merasa bingung dan mendekatkan diri pada figure lekat, anak
hanya hanya menunjukkan emosi marahnya dan menolak terjadi
kontak fisik. Pola ini dapat terbawa hingga sang anak dewasa yang
turut berkontribusi dalam membentuk perilaku histeria, yakni
seperti lari dari keintiman, memiliki banyak tuntutan terhadap
orang lain, tidak matang dan mudah terbawa begitu dalam oleh
emosi yang dirasakannya (Karen, 1994).
4. Kelekatan Tidak Aman sebagai Dasar Perilaku Kekerasan
Kelekatan tidak aman (insecure attachment) antara anak
dan orang tua yang berlanjut ke hubungan romantis masa dewasa
dapat mengarah pada pemunculan tindak kekerasan pada pasangan.
Hal itu disebabkan karena pola kelekatan tidak aman ini membuat
anak merasa terpisah dan tertolak oleh figur lekat yang berujung
pada rasa marah yang diekspresikan maupun dipendam. Melalui
studi yang dilakukan pada kelekatan romantis dewasa, ditemukan
bahwa anak yang memiliki kelekatan insecure-ambivalent
terasosiasi dengan beberapa respons perilaku seperti mudah jatuh
cinta, menjadi sangat pencemburu, menjadi sumber ketakutan,
kecemasan, kesepian meskipun berada dalam suatu hubungan,
memiliki harga diri yang rendah (Collins & Read, 1990; Feeney &
Noller, 1990). Individu ini juga menunjukkan kebutuhan akan
kedekatan intim secara berlebihan dan berfokus pada perasaan dan
kebutuhannya sendiri tanpa mempertimbangkan perasaan dan
kebutuhan pasangannya (Daniels & Shaver, 1991).
Berbanding terbalik, individu yang insecure-avoidant
secara konsisten menunjukkan respons yang stabil. Individu ini
mengembangkan strategi untuk merasa aman dengan menghindari
kontak dengan lingkungan sosial secara intim, khususnya dalam
situasi yang penuh tekanan. Dalam relasi romantis yang dijalinnya,
individu dengan insecure-avoidant ini melihat hubungan dengan
pesimis dan cenderung menghindari penyelesaian masalah dalam
hubungan. Selain itu, tampak pula penyangkalan atas
kebutuhannya berkenaan dengan kontak fisik dan juga
menghindari pasangannya atau tampak tidak nyaman ketika
pasangannya melakukan kontak fisik dengannya (Hazan & Shaver,
1987). Berikut ialah dinamika yang muncul dari kelekatan yang
tidak aman sebagai dasar dari perilaku kekerasan:
a) Perpisahan dan Kemarahan
Marah adalah respons terhadap perpisahan dengan figur
ibu. Bowlby (1973) menyebutkan bahwa hasil observasi
terhadap anak yang mengalami perpisahan dan tidak mengalami
perpisahan dengan ibu menunjukkan perbedaan yang signifikan
dalam permainan peran. Anak yang mengalami situasi terpisah
dari sang ibu terlihat melakukan tindak agresi atau kekerasan
terhadap ‘boneka dengan rupa ibu mereka’. Rasa marah
terhadap orang tua ini seringkali diekspresikan hanya sesekali
dan diselingi dengan rasa sayang. Situasi seperti ini dinamakan
Bowlby sebagai ambivalence. Anak yang ambivalence insecure
ini menunjukkan ambivalensinya hingga 20 minggu setelah
pertemuan kembali dengan orang tua. Emosi marah yang
ditunjukkan pada situasi tersebut memiliki dua fungsi, yakni
untuk membantu anak dalam mengatasi hambatan saat terjadi
pertemuan kembali dan membuat orang yang dicintainya (figur
lekat) tidak meninggalkannya lagi.
Bowlby juga menandai dugaan bahwa kecemasan
tentang perpisahan merupakan dasar dari emosi marah dalam
hubungan romantis dewasa. Bowlby mengamati bahwa remaja
usia 15-18 tahun yang mengalami gangguan perilaku cenderung
didisplinkan oleh orang tua dengan cara ditinggalkan ketika
remaja tidak berperilaku baik. Bowlby juga menambahkan
bahwa emosi marah merupakan tahap pertama sebagai reaksi
atas perpisahan dan manifestasi dari rasa takut terhadap
kehilangan. Rasa marah ini dirancang untuk mengambil kembali
objek yang hilang atau mencengah kehilangan tersebut. Ini
adalah bentuk dari isyarat dan kontrol. Namun, pada
kenyataannya, emosi marah itu sendiri justru menyebabkan
jarak dengan figur yang bersangkutan. Jarak yang muncul saat
emosi marah berlangsung dapat memperbesar rasa keterpisahan
yang berujung pada rasa marah yang lebih besar. Selain itu, jika
rasa takut dan marah semakin ekstrim, maka akan muncul
perilaku kekerasan atau menaruh rasa dendam terhadap figur
yang bersangkutan. Oleh karena alasan inilah, rasa marah
sebagai respons terhadap keterpisahan dapat memproduksi
muatan-muatan emosi yang memuncak pada ledakan
kemarahan. Jadi, rasa marah yang dilahirkan dari rasa takut
(anger born of fear) merupakan sumber penting yang
mengawali ledakan kemarahan.
Jika dikaitkan dengan hubungan romantis dewasa, ketika
relasi dengan orang yang dicintai terancam perpisahan, emosi
yang muncul ialah kecemasan dan juga kemarahan. Sebagai
respons atas risiko kehilangan, kecemasan dan kemarahan ini
berlangsung bergantian. Ketika pasangan mulai terlihat
menjauh, pemanggilan memori atas kejadian-kejadian positif
yang membuat individu mencintai dan peduli terhadap pasangan
tersebut dapat memulihkan situasi berjarak yang terjadi. Pada
situasi, waktu, dan level yang tepat, kemarahan bukan hanya
menjadi hal yang wajar, namun sangat diperlukan karena dapat
menghalangi munculnya perilaku yang berbahaya, mengusir
emosi-emosi negatif, dan lainnya yang bertujuan untuk
mempertahankan hubungan dengan orang yang dianggap
spesial. Beberapa tipe relasi yang berpotensi melibatkan emosi
marah ialah: 1) relasi antar pasangan seksual – pacar, suami,
atau istri; 2) relasi anak-orang tua; 3) relasi keluarga antar
generasi. Ketika relasi-relasi tersebut terancam, individu yang
ada di dalam ikatan relasi tersebut mengalami kecemasan dan
mungkin kemarahan bisa terjadi (Brisch, 2012).
b) Penolakan dan Kemarahan
Bowlby (dalam Dutton, 1999) menyatakan bahwa
penolakan yang terjadi dalam relasi anak dan ibu dapat
mengganggu sistem kelekatan. Satu-satunya cara untuk
memulihkan sistem tersebut ialah dengan menjalin kontak fisik
dengan figur lekat. Jika ibu sesekali menolak kontak fisik
dengan anak namun beberapa waktu setelahnya mengijinkan
adanya kontak fisik, maka konflik yang terjadi tidak
berlangsung lama. Berbeda halnya dengan ibu yang
menganggap kontak fisik dengan anak merupakan hal yang
tidak menyenangkan, anak cenderung merasa tertolak dan
konflik berlangsung berkepanjangan. Konflik tersebut dapat
menjadi mendalam, serius, dan tidak terkatakan. Anak yang
mengalami penolakan secara fisik oleh orang tua cenderung
mengalami kemarahan dan penarikan diri dalam setiap situasi
yang melibatkan cinta dan kelekatan.
Ketika seorang individu memiliki keyakinan bahwa
figur lekat akan selalu ada saat dibutuhkan, individu tersebut
tidak akan memiliki ketakutan yang kronis dibandingkan
dengan individu yang tidak percaya bahwa figur lekat akan
tersedia saat dibutuhkan. Keyakinan bahwa figur lekat dapat
atau tidak dapat dijangkau oleh individu, perlahan akan
membentuk suatu model perilaku yang diaktifkan selama masa
ketidakmatangan – bayi, kanak-kanak, remaja – dan berbagai
ekspektasi apapun yang muncul dalam proses perkembangan
setelah itu sulit untuk mengubah model perilaku yang telah
terbentuk dan relatif menetap. Ekspektasi ini yang disebut
dengan istilah “working models” atau “internal representations”
tentang diri dan pasangan, merupakan komponen sentral dari
kepribadian yang mengatur tentang aspek kesadaran dan
ketidaksadaran tentang pengaturan dan pemaknaan informasi
terkait dengan kelekatan, pengalaman kelekatan, dan perasaan
(Main, Kaplan & Casidy, 1985). Representasi internal tersebut:
1) berisi tentang model dari konsep diri terkait layak atau tidak
layak individu mendapatkan cinta atau perhatian; 2)
menghasilkan ekspektasi yang tidak disadari tentang
konsekuensi dari kelekatan masa lampau; 3) menyediakan pola
dalam membangun relasi sosial di masa mendatang.
G. Paradoks Cinta Pada Perempuan Korban Kekerasan dalam
Pacaran: Antara Pengorbanan dan Perpisahan
Berdasarkan paparan teori di atas, maka dapat disusun
sebuah kerangka teoritis untuk dapat memahami fenomena
kekerasan perempuan dalam pacaran, yakni terkait dengan
konstruksi sosial yang memetakan peran dan fungsi gender seiring
bertambahnya usia memasuki dewasa, tugas perkembangan yang
perlu dipenuhi perempuan di masa remaja akhir menuju dewasa
awal, pola kelekatan perempuan dengan orang tua di masa lampau
dan pola kelekatan perempuan dengan pacar saat ini.
POLA KELEKATAN
ANAK
ORANGTUA
proximity maintenance, safe haven, secure base
Rasa aman, dicintai,
percaya diri,
mengeksplorasi
Menghindari kontak,
merasa cemas, merasa
tidak aman
SECURE
PACAR
ANAK
Resilien terhadap tekanan,
kesejahteraan psikologis,
mengatur emosi
PERGI
(LEAVE)
PERILAKU LEKAT
INSECURE
ANAK
PACAR
Rapuh terhadap tekanan,
keraguan pada diri sendiri,
sulit mengambil keputusan
LINGKARAN
KEKERASAN
Gambar 2.4 Kerangka Pikir Teori
PERILAKU LEKAT
DI MASA DEWASA
BERTAHAN
(STAY)
Download