BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Kanker payudara merupakan masalah besar di seluruh dunia dan merupakan jenis kanker yang paling sering terdiagnosis pada wanita (Dizon et al., 2009). Di Amerika Serikat diperkirakan 1 dari 9 wanita akan mengalami kanker payudara dalam hidupnya. Risiko kanker payudara akan semakin meningkat seiring bertambahnya umur, mayoritas pasien terdiagnosis pada usia di atas 50 tahun. Wanita paling banyak menderita kanker payudara, hanya 1 % laki-laki yang terdiagnosis dengan kanker payudara (Gundermann, 2006). Pemeriksaan Immunohistochemistry (IHC) dilakukan untuk mengetahui apakah pasien kanker payudara tersebut bersifat Estrogen Receptor-positive (ER-positive) ataukah Estrogen Receptor-negative (ER-negative). Kanker payudara yang mengekspresikan banyak reseptor estrogen di permukaannya disebut ER-positive, dan yang kurang mengeskpresikan reseptor estrogen disebut ER-negative. Kanker payudara dengan ER-positive memberikan prognosis yang lebih baik untuk keperhasilan penggunaan terapi hormonal (Moy, 2008; Mothaffar et al., 2010). Pada pasien kanker payudara dengan ER-positive, dilakukan terapi hormonal yang merupakan salah satu jenis dari terapi adjuvan sistemik yang biasa diberikan setelah terapi lokal definitif untuk kanker payudara. Tamoxifen merupakan jenis terapi hormonal yang paling luas digunakan. Tamoxifen merupakan anti estrogen nonsteroid sintetik yang bekerja dengan cara berikatan secara kompetitif terhadap reseptor estrogen, sehingga menghambat aksi dari 1 2 estradiol (Fung et al., 2003; Juneja et al., 2002). Terapi Tamoxifen jangka panjang rutin diberikan pada penderita kanker payudara. Hal ini karena secara statistik pemberian Tamoxifen meningkatkan angka survival terhadap kanker endometrium dan mencegah insidensi pada payudara kontralateral (Ascher et al., 2000). Sebagai suatu selective estrogen receptor modulator (SERM), Tamoxifen berikatan dengan ER seperti halnya estrogen, namun mengubah bentuk ER dengan cara yang sedikit berbeda. Obat ini memperlihatkan aktivitas antagonis dan agonis estrogen ganda tergantung pada konteks jaringan, sel atau gen. Tamoxifen akan bertindak menyerupai estrogen pada endometrium, tulang, hati, dan bahkan pada beberapa gen di payudara. Sementara pada mayoritas gen di payudara, Tamoxifen bertindak sebagai antagonis dalam menghambat estrogendependent transcription (Mothafar et al., 2010). Tamoxifen diharapkan dapat menjadi obat preventif pada wanita asimtomatik yang termasuk golongan risiko tinggi kanker payudara (Ismail, 1994; Fung et al., 2003). Pemberian jangka panjang Tamoxifen, pada beberapa penelitian menunjukkan adanya efek samping berupa peningkatan ketebalan endometrium. Endometrium yang menebal dapat merupakan suatu gambaran dari polip, hiperplasi, atau kanker endometrium (Ismail, 1994; Bourne et al., 1997; Ascher et al., 2000; Fung et al., 2003). Dosis kumulatif yang tinggi dari Tamoxifen memiliki risiko relatif 3-7 kali terhadap terjadinya kanker endometrium yang biasanya diawali dengan tanda klinis perdarahan abnormal (Buchanan et al., 2009). Seoud et al. (1999) 3 mengumpulkan dari berbagai penelitian bahwa kanker endometrium yang terjadi akibat penggunaan tamoxifen berkisar antara 0-8%, sedangkan Fung et al. (2003) menemukan angka 2%. Gambaran patologis awal dari proses tersebut adalah hiperplasi endometrium dengan atau tanpa sel atipikal. Semakin kompleks derajat hiperplasi dan semakin banyak ditemukan sel atipikal, maka risiko kanker endometrium akan semakin besar (Buchanan et al., 2009). Perlunya pemeriksaan skrining terhadap risiko kanker endometrium terus menjadi kajian. Skrining pada populasi umum tanpa faktor risiko pada dasarnya tidak diperlukan. Rekomendasi dari American College of Obstetry and Gynecology (ACOG) berlawanan dengan pernyataan tersebut. ACOG menyarankan untuk melakukan pemeriksaan skrining endometrium pada penderita kanker payudara, terutama yang mendapat terapi Tamoxifen (Ascher et al., 2000). Berbagai modalitas pemeriksaan dapat digunakan untuk skrining kanker endometrium, yang pada dasarnya adalah mencari perubahan abnormal pada dinding endometrium. Di antara berbagai modalitas pemeriksaan skrining, ultrasonografi adalah modalitas yang non invasif dengan tingkat akurasi yang diperkirakan memadai. Menurut rekomendasi ACOG, ultrasonografi atau biopsi endometrial dapat digunakan sebagai evaluasi awal pada perdarahan postmenopause dan bila ditemukan ketebalan endometrium kurang atau sama dengan 4 milimeter, maka pemeriksaan biopsi tidak diperlukan (Buchanan et al., 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Cohen et al. (1993) mendapatkan angka sensitivitas 91% dan spesifitas 96% pada penggunaan ultrasonografi untuk 4 menemukan kelainan histologis endometrium wanita penderita kanker payudara yang mendapatkan Tamoxifen. Pada penelitian lanjutannya, Cohen et al. (1994) mengemukakan adanya penebalan signifikan antara kelompok yang diberi tamoxifen dengan frekuensi sebesar 35% dan pada kelompok kontrol sebesar 20% . Beberapa penelitian lain mendapatkan hasil yang bertolak belakang, tidak terdapat perbedaan ketebalan endometrium pada penderita kanker payudara yang mendapat terapi Tamoxifen dengan yang tidak mendapat terapi Tamoxifen yang diukur dengan ultrasonografi. Menurut penelitian Fung et al. (2003), angka sensitivitas adalah 63,3%, spesivisitas adalah 60,4%, nilai prediksi positif adalah 43,3% dan nilai prediksi negatif adalah 77,5%. Penelitian tersebut menyimpulkan ultrasonografi kurang akurat untuk mendeteksi penebalan endometrium pada penderita kanker payudara yang menerima Tamoxifen. Seoud et al. (1999) juga menyimpulkan tidak ada korelasi antara ketebalan endometrium dengan patologi endometrium. Kontroversi ini menunjukkan masih diperlukannya penelitian yang mempelajari pengaruh pemberian Tamoxifen terhadap penebalan endometrium pada pasien-pasien kanker payudara. B. Rumusan Masalah 1. Stimulasi berlebihan dari agonis estrogen diperkirakan menyebabkan penebalan endometrium, yang dapat merupakan tanda terjadinya kanker endometrium. 2. Salah satu kondisi yang menyebabkan stimulasi berlebihan dari agonis estrogen adalah pemberian terapi Tamoxifen pada penderita kanker payudara. 5 3. Ultrasonografi transvaginal diperkirakan dapat menjadi modalitas pemeriksaan skrining yang akurat pada penebalan endometrium. 4. Diperlukan penelitian mengenai hubungan antara penebalan endometrium pada pemeriksaan ultrasonografi transvaginal dengan pemberian terapi Tamoxifen terhadap penderita kanker payudara. C. Pertanyaan Penelitian Apakah terdapat hubungan antara penebalan endometrium pada pemeriksaan ultrasonografi transvaginal dengan pemberian terapi Tamoxifen terhadap penderita kanker payudara? D. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara penebalan endometrium pada pemeriksaan ultrasonografi transvaginal dengan pemberian terapi Tamoxifen terhadap penderita kanker payudara. E. Manfaat penelitian Manfaat penelitian ini bagi dunia praktis kedokteran adalah sebagai dasar evidence based medicine dalam memutuskan perlunya melakukan screening dengan pemeriksaan ultrasonografi transvaginal untuk mengukur ketebalan endometrium pada penderita kanker payudara yang mendapat terapi Tamoxifen. Manfaat penelitian ini bagi dunia riset kedokteran adalah sebagai salah satu referensi bagi penelitian selanjutnya di bidang radiologi, khususnya ultrasonografi diagnostik di bagian ultrasonografi ginekologi. 6 F. Keaslian Penelitian Penelitian yang menghubungkan antara penggunaan tamoxifen dengan penebalan endometrium pada penderita kanker payudara menurut sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Tabel 1 memperlihatkan beberapa penelitian mengenai efek tamoxifen dengan endometrium. Penelitian Juneja et al. (2002) menunjukkan bahwa terapi Tamoxifen terhadap penderita kanker payudara menyebabkan peningkatan ketebalan endometrium yang lebih signifikan dibandingkan tanpa pemberian terapi Tamoxifen. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Juneja et al. (2002) yang membatasi subyek penelitian hanya pada wanita postmenopause. Penelitian ini tidak membatasi pada usia postmenopause saja didasarkan oleh penelitian Haryono (2012) yang menyatakan bahwa usia penderita kanker payudara di Yogyakarta memiliki kecenderungan berbeda dengan yang dipublikasikan oleh beberapa negara maju. Penderita kanker payudara di Yogyakarta memiliki karakteristik usia yang lebih muda, 52,1% berusia dibawah 50 tahun. Beberapa penelitian mengenai efek peningkatan ketebalan endometrium akibat pemberian terapi Tamoxifen pada penderita kanker payudara yang dapat digunakan sebagai acuan pustaka, di antaranya dapat dilihat pada tabel 1. 7 Tabel 1. Penelitian mengenai Tamoxifen dan penebalan endometrium. Peneliti Topik Subyek Juneja et al., 2002 Efek tamoxifen terhadap perubahan endometrium pada wanita postmenopause dengan kanker payudara . Ultrasound screening untuk abnormalitas endometrium pada wanita penderita kanker payudara yang diberi tamoxifen. 35 penderita kanker payudara dengan tamoxifen dan 33 kontrol tanpa tamoxifen Perkembangan patologi endometrium pada pasien kanker payudara yang diberi tamoxifen Fung et al., 2003 Seoud et al., 1999 Tempat penelitian Christian Medical College &Hospital, Vellore Hasil 304 penderia kanker payudara dengan tamoxifen Ottawa Regional Cancer Centre 80 wanita predan post menopause penderita kanker payudara yang diberi tamoxifen Beirut Medical Centre 72% pemeriksaan ultrasonografi menemukan kelainan uterus yg signifikan dengan adanya perdarahan pervaginam. Pada wanita dengan pemberian tamoxifen yang asimtomatik, screening dengan ultrasononografi rutin hanya memiliki nilai prediksi positif dan spesifisitas yang rendah. Tidak terdapat korelasi antara ketebalan endometrium dengan patologi endometrium. Peningkatan ketebalan endometrium rata-rata pada pemberian tamoxifen (7,8±6,4 mm) dibandingkan tanpa tamoxifen (4.0±2,0 mm)