BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit dengan insidensi yang cukup tinggi di masyarakat. Saat ini diperkirakan 170 juta orang di dunia menderita DM dan kemungkinan jumlahnya akan semakin meningkat hingga mencapai 366 juta orang pada tahun 2030 (Patel et al., 2012). World Health Organization (WHO) memprediksi peningkatan jumlah penderita DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Selain itu International Diabetes Federation (IDF) juga memprediksi peningkatan jumlah penderita DM dari 7 juta pada tahun 2009 menjadi 12 juta pada tahun 2030 (PERKENI, 2011). Diabetes melitus adalah kumpulan gangguan metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia kronik dan kurangnya sekresi ataupun fungsi dari insulin endogen. Diabetes melitus dapat disebabkan oleh faktor genetik, faktor lingkungan, dan interaksi antara kedua faktor tersebut (Patel et al., 2012). Komplikasi DM juga menunjukkan keadaan yang berat pada beberapa penderita, seperti nefropati, neuropati, retinopati, kaki diabetes, maupun ketoasidosis sehingga dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. Keadaan glukotoksisitas, lipotoksisitas, stress oksidatif, dan sitotoksik sitokin pada DM dapat menyebabkan kerusakan seluler dan mempercepat proses apoptosis, sehingga menyebabkan kerusakan serius pada sistem tubuh khususnya saraf dan pembuluh darah (Liu et al., 2010). Hiperglikemia kronik juga dapat meningkatkan produksi sitokin proinflamasi melalui aktivasi Toll-Like Receptors (TLRs) 2 dan 4 sehingga menyebabkan destruksi 1 2 sel beta pankreas dan disfungsi endokrin pankreas pada DM tipe 1 dan 2. Umumnya, DM tipe 1 dan 2 juga disebut sebagai proses inflamasi, hal ini ditandai dengan peningkatan interleukin (IL) IL-6, IL-8, IL-1, dan TNF-α dalam darah penderita DM (Ingaramo et al., 2013). Tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) merupakan sitokin proinflamasi yang terlibat pada perkembangan resistensi insulin. Disregulasi dari produksi TNF-α terkait dengan berbagai penyakit pada manusia termasuk DM tipe 2 (Swaroop et al., 2012). Pada kondisi hiperglikemia kronik, produksi TNF-α menjadi lebih cepat pada jaringan saraf dan pembuluh darah sehingga menyebabkan meningkatnya permeabilitas mikrovaskular, hiperkoagulasi, kerusakan saraf, dan mempercepat proses aterosklerosis yang terkait dengan resistensi insulin (Satoh et al., 2003). Beberapa studi menunjukkan bahwa tingginya kadar TNF-α pada tikus diabetes yang diinduksi streptozotocin (STZ) juga terjadi di hepar yang merupakan salah satu organ penting dalam metabolisme glukosa serta respon terhadap resistensi insulin (Hickman dan Macdonald, 2007). Peningkatan kadar TNF-α hepar ini terjadi karena disregulasi kerja insulin sehingga produksi glukosa hepar meningkat dan menyebabkan hiperglikemia kronis (Lin dan Sun, 2010). Peningkatan kadar TNF-α di hepar juga menyebabkan meningkatnya aktivitas Inducible Nitric Oxide Synthase (iNOS) atau dikenal dengan NOS2 di hepar sebesar 45-70% melalui up-regulation jalur Nuclear Transcription Factor Kappa-B (NFκB) (Madar et al., 2005). Nuclear Transcription Factor Kappa-B merupakan salah satu faktor kunci transkripsi yang terlibat dalam merangsang kaskade yang dapat menyebabkan inflamasi pada kondisi diabetes. Ekspresi iNOS selain dipengaruhi oleh sitokin proinflamasi juga dapat 3 dipengaruhi oleh induser resistensi insulin lainnya seperti obesitas, asam lemak bebas, hiperglikemia, endotoksin, dan stres oksidatif (Fujimoto et al., 2005). Peningkatan ekspresi iNOS akan menyebabkan produksi NO meningkat dan berkaitan dengan kerusakan seluler dan apoptosis. Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara jalur TNF- α dan aktivitas iNOS (Ingaramo et al., 2013). Saat ini telah banyak dikembangkan penelitian terhadap nutrisi tertentu yang dapat memberikan efek antidiabetik, antiinflamasi, maupun antioksidan terkait dengan upaya pencegahan komplikasi DM, salah satunya adalah kefir. Kefir merupakan susu fermentasi yang dibuat dari inokulasi susu sapi, kambing, atau domba dengan biji kefir (Gaware et al., 2011). Biji kefir merupakan campuran bakteri asam laktat (Lactobacilli, Lactococci, Lactobacillus kefir, Lactobacillus parakefir, Lactobacillus kefiranofaciens, dan Lactobacillus kefirgramum) dengan khamir dan bakteri asam asetat (Sawitri, 2011). Kefir juga mengandung vitamin (vitamin A, K, D, B2, dan B12), mineral (kalsium, fosfor, dan magnesium), asam amino, dan enzim (Gaware et al., 2011). Penelitian Hadisaputro et al. (2012) melaporkan bahwa suplementasi kefir bening dengan dosis 3,6 mL/200 gram berat badan selama 4 minggu dapat menurunkan kadar glukosa darah dan kadar sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-6, IL-8, dan TNF-α pada tikus Wistar hiperglikemia yang diinduksi dengan streptozotocin. Salah satu bahan baku pembuatan kefir adalah susu kambing. Susu kambing banyak mengandung vitamin, mineral, asam amino, dan beberapa senyawa bioaktif seperti eksopolisakarida, peptida bioaktif, antioksidan, maupun komponen imunomodulator yang memiliki efek terapetik untuk penyakit kardiovaskular, 4 inflamasi, kanker, serta aman digunakan untuk individu dengan alergi susu sapi (Johannson, 2011). Kandungan laktosa yang lebih sedikit dan kandungan asam lemak jenuh sekitar 64,36 persen merupakan hal yang menjadi kekurangan susu kambing untuk digunakan sebagai bahan baku dalam pengolahan kefir. Dalam upaya mengatasi hal ini biasanya dilakukan dengan penambahan susu kedelai yang kandungan gizinya hampir setara dengan susu sapi serta dapat digunakan sebagai sumber makanan bagi bakteri asam laktat dan dapat mengurangi kandungan lemak dari kefir yang dihasilkan karena kedelai sedikit mengandung asam lemak jenuh (Sawitri, 2011). Kandungan asam lemak susu kedelai sebagian besar adalah asam lemak tidak jenuh dengan kadar asam linolenat 5-10 %, asam linoleat 43-56%, asam oleat 15-33%, dan asam lemak jenuh 26% (Estiasih, 2006). Isoflavon pada kacang kedelai juga menunjukkan beberapa fungsi biologi, seperti antioksidan, inhibitor pada proliferasi sel kanker, antiinflamasi, pencegahan penyakit jantung koroner, dan osteoporosis (Wang et al., 2013). Kombinasi kefir susu kambing dengan susu kedelai dapat meningkatkan kualitas dari kefir susu kambing tanpa mengubah kualitas microbial, pH, viskositas, dan kandungan asam amino (Nurliyani et al., 2013). Hal yang sama juga dinyatakan dalam penelitian Sawitri (2011) bahwa penambahan susu kedelai dalam kefir susu kambing akan meningkatkan kandungan protein dan isolavon serta menurunkan kandungan lemak dari susu kambing. Beberapa penelitian untuk pengembangan nutrisi tertentu biasanya menggunakan hewan coba untuk memudahkan pengaturan asupan nutrisinya. Hewan 5 coba DM biasanya dibuat dengan menginduksi senyawa yang bersifat diabetogenik. Streptozotocin adalah salah satu senyawa diabetogenik yang sering digunakan untuk menginduksi hewan coba DM karena memiliki efek toksik terhadap sel beta pankreas. Mekanisme diabetogenik dari STZ dapat secara langsung menyebabkan kerusakan sel beta pankreas sehingga terjadi gangguan sekresi insulin. Selain bersifat diabetogenik, STZ juga bersifat hepatotoksik, nefrotoksik, dan menyebabkan ulkus lambung sehingga penggunaannya juga dapat menyebabkan kerusakan pada organ lainnya (Zafar et al., 2009). Berdasarkan berbagai penelitian sebelumnya terkait DM dan inflamasi, maka akan diteliti kadar TNF-α plasma dan ekpresi gen iNOS hepar dengan pemberian kefir berbahan dasar susu kambing dan susu kedelai pada tikus yang diinduksi STZ dan NA. Tumor necrosis factor alpha dipilih karena merupakan salah satu sitokin penanda terjadinya inflamasi seperti halnya gen iNOS yang merupakan salah satu gen yang terlibat dalam proses inflamasi dan resistensi insulin. Ekspresi gen iNOS yang dipilih yaitu di hepar karena pada kondisi DM terjadi peningkatan ekspresi gen iNOS hepar hingga 70%. Peningkatan ini menyebabkan peningkatan risiko komplikasi dan apoptosis hepar yang merupakan organ penting untuk metabolisme glukosa. I.2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini: 1. Manakah diantara kefir susu kambing, susu kedelai, dan kombinasi susu kambing dan kedelai yang dapat menurunkan kadar TNF-α plasma lebih besar pada tikus yang diinduksi STZ dan NA? 6 2. Manakah diantara kefir susu kambing, susu kedelai, dan kombinasi susu kambing dan kedelai yang dapat menekan ekspresi gen iNOS hepar lebih besar pada tikus yang diinduksi STZ dan NA? I.3. Tujuan Penelitian I.3.1. Tujuan umum Mengetahui pengaruh kefir susu kambing, susu kedelai, dan kombinasi susu kambing dan kedelai terhadap kadar TNF-α plasma dan ekspresi gen iNOS hepar pada tikus yang diinduksi dengan STZ dan NA. I.3.2. Tujuan khusus 1. Mengetahui pengaruh pemberian kefir susu kambing, susu kedelai, dan kombinasi susu kambing dan kedelai yang dapat menurunkan kadar TNF-α plasma lebih besar pada tikus yang diinduksi dengan STZ dan NA. 2. Mengetahui pengaruh pemberian kefir susu kambing, susu kedelai, dan kombinasi susu kambing dan kedelai yang dapat menekan ekspresi gen iNOS hepar lebih besar pada tikus yang diinduksi dengan STZ dan NA. I.4. Keaslian Penelitian Penelitian sejenis yang pernah dilakukan diantaranya : 1. Penelitian Hadisaputro et al. (2012) melaporkan bahwa pemberian kefir bening dengan dosis 3,6 mL/200 gram berat badan selama 4 minggu secara bermakna menurunkan kadar glukosa darah, kadar sitokin (IL-1 dan IL-6), dan menurunkan 7 kadar TNF-α, sedangkan kadar IL-10 meningkat dibandingkan dengan kelompok kontrol pada tikus Wistar hiperglikemia yang diinduksi STZ. Penelitian ini tidak menggunakan kefir berbahan dasar susu kambing dan susu kedelai serta tidak menganalisis ekspresi gen inducible nitric oxide synthase (iNOS) di hepar. 2. Penelitian Muhammada et.al (2013) potensi imunomodulator dari yoghurt susu kambing terhadap ekspresi inducible nitric oxide synthase (iNOS) dan gambaran histopatologi jaringan tiroid tikus model autoimmune thyroiditis (AITD) hasil induksi natrium iodida (NaI) melaporkan bahwa setelah pemberian terapi yoghurt susu kambing 109 cfu/mL/hari selama 4 minggu terjadi penurunan ekspresi iNOS dan adanya perbaikan struktur dan bentuk folikel, regenerasi sel folikuler, serta pengurangan infiltrasi mononuklear pada gambaran histopatologi tiroid tikus model autoimmune thyroiditis (AITD). Penelitian ini tidak menggunakan tikus model diabetes melitus yang diinduksi STZ-NA, tidak menggunakan terapi kefir berbahan dasar susu kambing dan susu kedelai, dan tidak memeriksa kadar TNF-α plasma. I.5. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini yaitu : 1. Manfaat klinis: Memberikan bukti bahwa kefir susu kambing dan susu kedelai dapat digunakan sebagai minuman fungsional dalam upaya pengobatan dan pencegahan komplikasi DM. 8 2. Manfaat ilmiah: Menambah data penelitian terkait pangan fungsional untuk penderita DM, sebagai dasar ilmiah penggunaan kefir berbasis susu kambing dan susu kedelai untuk penderita DM, serta sebagai dasar penelitian lebih lanjut tentang penggunaan pangan lokal yang dapat menjadi makanan ataupun minuman fungsional bagi penderita DM. 3. Manfaat bagi masyarakat: Menambah informasi tentang penggunaan minuman berbasis susu kambing dan susu kedelai sebagai minuman fungsional untuk pengobatan dan pencegahan komplikasi DM.