BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semua aktivitas ekonomi pasti terkait dengan sumber daya alam dan lingkungan, contohnya adalah dalam proses pembuatan produk (material) hingga setelah produk tersebut digunakan yang pada akhirnya nanti akan menjadi limbah yang efeknya pasti berdampak pada alam atau lingkungan ini, oleh karena itu baik kita sebagai konsumen maupun produsen harus peduli dengan kelestarian lingkungan. Permasalahan lingkungan yang meningkat mengakibatkan praktek bisnis dan konsumen mulai peduli dengan permasalahan ini, konsep yang “Berkelanjutan” (sustainable) merupakan salah satu konsep yang penting dibicarakan di era bisnis modern saat ini (Cherian dan Jacob, 2012; Mathur dan Jain, 2013). Hal lain yang menyebabkan meningkatnya kepedulian lingkungan adalah karena media yang selalu membahas mengenai lingkungan, peraturan hukum yang ketat tentang lingkungan, isu lingkungan yang terus berkembang seperti semakin meningkatnya dampak dari pemanasan global, serta dampak industri, yang pada akhirnya mempengaruhi opini masyarakat. Ketatnya peraturan lingkungan dan pengaruh tekanan konsumen juga membuat akademik berfokus pada startegi manajemen yang berpengaruh pada lingkungan (Leonidou, 2010). Disisi produsen, mereka mulai mengembangkan konsep pemasaran yang peduli lingkungan, yang sering disebut dengan pemasaran hijau. Terjadinya peningkatan strategi pemasaran hijau ini digunakan untuk 1 mempromosikan praktis peduli lingkungan dan berharap dengan pengimplementasian ini dapat meningkatkan permintaan dari produk (Raska dan Shaw, 2012) akan tetapi tidak semua perusahaan mempunyai kemampuan untuk mengimplementasikan pemasaran hijau (Chen, 2012) Pemasaran hijau adalah pemasaran dari sebuah produk yang peduli dengan keamanan lingkungan yang terdiri dari modifikasi produk, merubah proses produksi, merubah bentuk kemasan produk, dan memodifikasi iklan (American Marketing Assosiation dalam Jagale dan Dalvi, 2013). Banyak cara yang dilakukan perusahaan untuk menyukseskan pemasaran hijau. Serenity Edwards (Direktur tanggung jawab sosial dan perusahaan pada Direct Marketing Association) dalam Tsai (2010) menjelaskan ada enam cara untuk mempromosikan pemasaran hijau, yaitu : a) Mengintegrasikan inisiatif hijau ke dalam setiap aspek organisasi, perusahaan berusaha untuk menghubungkan merek perusahaan untuk upaya tanggung jawab sosial. b) Menggunakan ekolabel atau ekologo pada produk atau bahan pemasaran. c) Melibatkan konsumen dalam pemasaran hijau, perusahaan memotivasi konsumen dengan mendorong mereka untuk berpartisipasi dan terlibat dalam kampanye atau terlibat langsung dengan produk. d) Bertanya dan menghormati pilihan pelanggan dan preferensinya. Mencari data konsumen kemudian melakukan segmentasi. e) Menerapkan pendekatan siklus hidup, memilih material dan produk dengan menggunakan prinsip siklus hidup sehingga mengurangi limbah. 2 f) Beralih ke dunia online, seperti mobile marketing, media sosial, email marketing. Dari keenam cara tersebut salah satunya adalah dari sisi kemasan produk yang mencantumkan ekolabel di kemasan produk tersebut. Ekolabel adalah alat potensial dan atraktif yang berguna untuk menginformasikan ke konsumen tentang dampak lingkungan yang terjadi akibat keputusan pembelian oleh konsumen, yang secara berkelanjutan nantinya membantu produsen untuk memperluas market share dan mengekstrak preferensi market place (Rashid et al., 2009). Suki (2013), diantara ketiga alat komunikasi pemasaran hijau, ekolabel adalah alat komunikasi yang paling kuat mempengaruhi perilaku pembelian produk ramah lingkungan. Ekolabel menyediakan informasi tentang aspek lingkungan dari produk atau jasa yang dapat mempengaruhi konsumen, pertanyaannya adalah bagaimana konsumen dapat menerima label tersebut dan apa pentingnya mereka peduli terhadap label (Kavaliauske et al.,2013). Studi mengindikasikan persepsi konsumen terhadap ekolabel merupakan hal yang penting, walaupun mereka sering dibingungkan oleh terminologi yang digunakan pada label (D’Souza, 2004). Dari konsensi ekolabel, memiliki makna bahwa produk mengandung beberapa kriteria yang menunjukan bahwa produk memiliki dampak lingkungan yang lebih kecil dibandingkan kategori produk normal (Chamorro dan Banegil, 2006). Ekolabel membuat konsumen mengidentifikasi dengan mudah dan nyaman tentang produk paling ramah lingkungan di pasar, akan tetapi ekolabel tidak mengirimkan informasi tentang sikap dan perilaku produsen terhadap lingkungan, jadi belum tentu dibalik alat tersebut 3 menjamin terdapat filosofi sebenarnya tentang pemasaran hijau (Chamorro dan Banegil,2006). Disisi lain, Magnusson (2001) dalam Granvist et al. (2004) menemukan bahwa ekolabel berkorelasi lemah terhadap keputusan pembelian konsumen. Pada kondisi lain, konsumen perlu usaha untuk mencari informasi tentang produk ramah lingkungan sedangkan perusahaan kurang menginformasikan tentang kandungan produk atau spesifikasi produk tersebut (Luzio dan Lemke, 2013). Erskine dan Collins (1997) dalam Rashid et al. (2009), dalam prakteknya, ini akan menjadi sulit untuk menjadikan ekolabel bekerja secara baik dan efektif berkontribusi kepada lingkungan. Hal ini menunjukan bahwa usaha dari produsen untuk peduli lingkungan belum terlalu ditanggapi oleh konsumen. Hal ini disebabkan oleh perilaku konsumen untuk ikut andil dalam menyukseskan usaha produsen ini dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu pengetahuan konsumen tentang isu lingkungan dan sikap kepedulian konsumen tersebut terhadap lingkungan. Rashid et al. (2009), mengatakan ekolabel mungkin dapat berpengaruh pada keputusan pembelian jika dipengaruhi oleh faktor luar, seperti kredibilitas (Cary et al., 2004), tingkat kepedulian lingkungan (Grankvist et al., 2004) dan ketersediaan produk ekolabel pada toko-toko (Thogersen,2000). Leire dan Thidell (2005) dan Thogersen et al. (2010) dalam Purohit (2012) mengatakan dibutuhkannya pemahaman lebih baik tentang respon konsumen terhadap ekolabel. Juwaheer dan Sharmila P (2012) menemukan adanya hubungan positif antara keefektifan strategi pemasaran hijau dengan pola pembelian konsumen untuk produk ramah lingkungan, jadi 4 sangat berguna bagi perusahaan untuk mempromosikan strategi brand hijau, pengekolabelan dan pengemasan hijau untuk mendorong atau menciptakan pola konsumsi produk ramah lingkungan pada konsumen. Barber et al. (2009) mengatakan komponen yang penting dalam perilaku kesadaran konsumen yang peduli lingkungan adalah untuk meningkatan pengetahuan tentang produk dan lingkungan. Spruyt (2007) dalam Cherian dan Jacob (2012) menemukan bahwa perilaku secara langsung dipengaruhi oleh sikap, dimana dihubungkan dengan pengetahuan dan pengalaman pribadi yang dimiliki oleh konsumen. Bazoche et al. 2008; Loureiro, 2003 dalam Barber et al. (2009), meningkatnya kesadaran tentang perlunya pengetahuan tentang “green“ akan mempengaruhi keputusan pembelian konsumen. Meningkatnya pengetahuan diasumsikan akan mengubah sikap terhadap peduli lingkungan seseorang, dan keduanya (pengetahuan dan sikap terhadap lingkungan) akan mempengaruhi perilaku peduli lingkungan (Arcury, 1990 dalam Barber et al., 2009), akan tetapi Muller dan Taylor (1991) dalam Martin dan Antonis (1995) mengatakan bahwa pengetahuan lingkungan memiliki dampak yang sedikit pada perilaku bahkan Synodinus (1990) menemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan sikap, selain itu banyak peneliti yang juga meneliti antara sikap pada lingkungan dengan perilaku terhadap lingkungan akan tetapi masih belum ditemukan kejelasan bagaimana hubungan sebenarnya (Martin dan Antonis, 1995). Martin dan Antonis (1995) menyarankan untuk lebih baik jika kita memahami bagaimana hubungan 5 antara pengetahuan lingkungan, sikap dan dampak keduanya terhadap perilaku. Di Indonesia sudah sekitar 90 % konsumen Indonesia yang sudah memiliki perhatian terhadap isu lingkungan (penelitian AC Nielsen, 2009). Ekolabel di Indonesia sudah ada sejak tahun 2004 dengan acuan ISO 14020, environmental labels and declarations-general principles; ISO 14024, environmental labels and declarations–Types I environmental labellingprinciples and procedures dan ISO/IEC Guide 65, General requirements for product sertification, selain itu BSN (Badan Sertifikasi Nasional) juga menerapakan SNI terkait dengan ekolabel. Tujuan ekolabel ini adalah dalam rangka perlindungan lingkungan, mendorong inovasi industri ramah lingkungan, dan membangun kesadaran masyarakat atau konsumen terhadap produk ramah lingkungan (Suminto, 2011). Ekolabel Indonesia lahir dengan latar belakang bahwa tuntutan konsumen pada perdagangan internasional semakin meningkat, pola konsumsi dunia juga cenderung mengarah pada “konsumen hijau” misalnya di Jepang dikenal dengan sistem Green Purchase Low (Green Keo Nyu Ha) yang diberlakukan mulai April 2006, dimana setiap produk yang berbasis pada kayu, baik domestik maupun impor harus dilengkapi dengan dokumen asal usul kayu dan untuk saat ini pengecekan dilakukan pada 5 jenis barang yang bahan dasarnya menggunakan kayu yaitu kertas, alat tulis, bahan interior dan mebel. KLH (Kementrian Lingkungan Hidup) Indonesia sudah menghimbau industri untuk menggunakan ekolabel dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri No. 2 tahun 2014 tentang Pencantuman Logo Ekolabel. Ekolabel 6 menurut KLH merupakan salah satu perangkat pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat proaktif sukarela dan diharapkan sebagai perangkat yang efektif untuk melindungi fungsi lingkungan hidup, kepentingan masyarakat dan peningkatan efisiensi produksi serta daya saing. Selain itu ekolabel juga dimaksudkan untuk mewujudkan sinergi pengendalian dampak negatif ke lingkungan sepanjang daur hidupnya serta mendorong persediaan dan permintaan produk dan jasa ramah lingkungan. Sedangkan menurut Mutu Certification International, Ekolabel adalah Label, tanda atau sertifikasi pada suatu produk yang memberikan keterangan kepada konsumen bahwa produk tersebut dalam daur hidupnya menimbulkan dampak lingkungan negatif yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan produk lainnya yang sejenis dengan tanpa bertanda ekolabel. Daur hidup produk mencakup perolehan bahan baku, proses pembuatan, perindustrian, pemanfaatan, pembuangan serta pendaur ulangan. Informasi ekolabel ini digunakan oleh pembeli atau calon pembeli dalam memilih produk yang diinginkan berdasarkan pertimbangan aspek lingkungan dan aspek lainnya. Di lain pihak, penyedia produk mengharapkan penerapan label lingkungan dasar mempengaruhi konsumen dalam pengambilan keputusan pembelian produk. Di banyak negara, program ekolabel telah mendapatkan perhatian yang serius oleh pemerintah, mengingat isu lingkungan telah menjadi isu penting dalam perdagangan. Program ekolabel pertama kali diperkenalkan di Jerman pada tahun 1979 yang dikenal dengan nama “Blue angel”. Kemudian diikuti oleh negara-negara lain seperti Jepang dengan ”Ecomark”, Taiwan dengan ”Green mark”, Singapore dan Thailand dengan ”Green label”, serta 7 Indonesia dengan nama ”Ramah lingkungan”. Hingga saat ini sudah ada sekitar 25 negara yang telah mempunyai program ekolabel (Suminto, 2011). Oleh karena itu dalam penelitian ini, peneliti meneliti seberapa besar manfaat ekolabel pada produk ramah lingkungan terhadap niat beli ulang konsumen terhadap produk ramah lingkungan dengan melihat faktor lain sebagai variabel moderasi yaitu kepedulian lingkungan, yang mungkin dengan adanya variabel ini akan mempengaruhi tingkat pengaruh antara sikap dengan niat pembelian ulang produk ramah lingkungan. 1.2 Rumusan Masalah Penelitian ini dibentuk atas dasar adanya celah / kesenjangan baik itu empiris maupun teoritis, yaitu 1. Kesenjangan empiris yang pertama adalah adanya ketidak-konsistenan hasil yang terjadi antara persepsi terhadap ekolabel, sikap terhadap beli produk ramah lingkungan dan niat membeli produk ramah lingkungan. Penelitian D’Souza et al. (2006) dan Sammer dan Wustenhagen (2006), menemukan bahwa ekolabel secara langsung dapat mempengaruhi niat membeli produk ramah lingkungan, kemudian Rashid (2009) menemukan bahwa ekolabel berpengaruh positif terhadap niat membeli produk ramah lingkungan, akan tetapi Rahbar dan Wahid (2011) menemukan bahwa tidak ada hubungan antara ekolabel dengan perilaku membeli produk ramah lingkungan, kemudian Laire dan Thidell (2005) dalam Cherian dan Jacob (2012) mengatakan bahwa ekolabel tidak secara otomatis mempengaruhi niat membeli produk ramah lingkungan. Dengan adanya bukti-bukti penelitian tersebut, yaitu ada yang mengatakan memiliki 8 hubungan langsung, kemudian ada juga yang menemukan bahwa tidak berpengaruh secara langsung, maka dengan adanya hal ini dapat memunculkan variabel lain yang mungkin bisa mempengaruhi hubungan variabel keduanya, baik itu variabel moderasi dan mediasi. 2. Kesenjangan empiris yang kedua dibentuk atas dasar kesenjangan empiris pertama yang bisa memunculkan variabel moderasi atau mediasi untuk menutup kesenjangan empiris pertama. Dalam penelitian ini diambillah variabel moderasi yaitu kepedulian lingkungan yang terdiri dari pengetahuan lingkungan dan sikap terhadap peduli terhadap lingkungan. Seperti yang dikatakan Rashid (2009) bahwa ekolabel mungkin dapat berpengaruh pada keputusan pembelian jika dipengaruhi oleh faktor eksternal, seperti kredibilitas, tingkat kepedulian lingkungan dan ketersediaan produk ekolabel. Disisi lain, hal ini juga sesuai dengan saran Polonsky et al. (2006) bahwa level dari kepedulian lingkungan dijadikan variabel moderator antara sikap dan perilaku. Penggunanan variabel moderasi ini juga didasarkan pada adanya ketidakjelasan hubungan antara sikap dan perilaku terhadap lingkungan (Martin dan Antonius, 1995). Dikatakan dalam disertasi oleh Cho (2012) terdapat dua penelitian yang menunjukan bahwa adanya hubungan yang kuat antara sikap dan perilaku (Kellgren dan Wood, 1986; Simmons dan Widmar, 1990), akan tetapi penelitian lain menunjukan adanya hubungan yang lemah antara sikap dan perilaku (Heberlein, 1981; Kaiser et al., 1999; Mainieri et al., 1997; Stern, 2000). 9 3. Kesenjangan empiris ketiga adalah sebab terbentuknya variabel moderasi kepedulian lingkungan yang memiliki multi konstruk, variabel kepedulian lingkungan dalam penelitian ini dimodifikasi dari penelitian Bohlem et al. (1993), yang membangun kepedulian lingkungan dengan multi konstruk yaitu pengetahuan lingkungan, sikap terhadap peduli lingkungan, dan perilaku peduli lingkungan. Dalam penelitian ini diambil 2 konstruk saja yaitu pengetahuan lingkungan, dan sikap terhadap lingkungan, hal ini dikarenakan di dalam konstruk perilaku terhadap lingkungan yang diteliti oleh Bohlem et al. sudah terdapat item perilaku pembelian terhadap produk ramah lingkungan. Selain dasar empiris ini, hubungan antara pengetahuan dan sikap dan perilaku juga menghasilkan hasil yang tidak konsisten, seperti penelitian Cheah dan Ian (2009) menemukan bahwa pengetahuan lingkungan mempunyai hubungan yang kuat dengan sikap terhadap produk ramah lingkungan, sedangkan Syrodinos (1990) menemukan tidak ada korelasi antara pengetahuan dan sikap. Meinhold dan Amy (2005) menemukan bahwa pengetahuan lingkungan signifikan sebagai moderator hubungan antarak sikap dan perilaku terhadap lingkungan. Bissing-Olson et al. (2013) menemukan bahwa sikap terhadap lingkungan sebagai moderator hubungan antara aktifitas sehari-hari dengan perilaku sehari-hari yang terkait dengan lingkungan 4. Kesenjangan teoritis dalam penelitian ini dilihat dari penerapan teori dasar antara model perilaku konsumen, hierarki keterlibatan tinggi konsumen dan theory of planned behavior. Penerapan ketiga teori ini yang memunculkan variable-variabel di dalam penilitan ini. Variabel yang 10 diambil dari model perilaku konsumen dan hierarki keterlibatan tinggi konsumen adalah persepsi terhadap ekolabel, jika dikaitkan dengan model perilaku konsumen adalah sebagai stimulus, dan strategi pemasaran yang dapat mempengaruhi perilaku konsumen, sedangkan aspek kognitif dari keterlibatan tinggi konsumen dimasukkan ke dalam persepsi terhadap ekolabel yang memiliki unsur kepercayaan terhadap ekolabel dan kepercayaan merupakan dasar terbentuknya sikap, yang mengarah kepada niat seseorang. Berdasarkan atas Theory of Planned Behavior maka niat tidak hanya terbentuk dari sikap, akan tetapi norma subyektif dan persepsi kemampuan mengontrol (Perceived Behavioral Control), maka kedua variabel ini di dalam penelitian ini juga dijadikan sebagai variabel independen. 1.3 Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian dari penilitin ini adalah 1. Apakah ekolabel berpengaruh positif pada sikap terhadap pembelian produk ramah lingkungan? 2. Apakah ekolabel secara langsung berpengaruh positif pada niat beli ulang produk ramah lingkungan? 3. Apakah ekolabel berpengaruh positif pada niat beli ulang produk ramah lingkungan dimediasi oleh sikap terhadap pembelian produk ramah lingkungan? 4. Apakah sikap terhadap pembelian produk ramah lingkungan berpengaruh positif pada niat beli ulang produk ramah lingkungan? 11 5. Apakah norma subjektif berpengaruh positif pada niat beli ulang produk ramah lingkungan? 6. Apakah persepsi kemampuan mengontrol berpengaruh positif pada niat beli ulang produk ramah lingkungan? 7. Apakah kepedulian lingkungan (pengetahuan lingkungan dan sikap terhadap peduli lingkungan) memperkuat hubungan antara sikap terhadap pembelian produk ramah lingkungan dengan niat beli ulang produk ramah lingkungan ? 1.4 Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah 1. Menganalisis pengaruh ekolabel pada sikap terhadap pembelian produk ramah lingkungan. 2. Menganalisis pengaruh langsung ekolabel pada niat beli ulang produk ramah lingkungan 3. Menganalisis pengaruh ekolabel pada niat beli ulang produk ramah lingkungan dimediasi oleh sikap terhadap pembelian produk ramah lingkungan 4. Menganalisis pengaruh sikap terhadap pembelian produk ramah lingkungan pada niat beli ulang produk ramah lingkungan. 5. Menganalisis pengaruh norma subjektif pada niat beli ulang produk ramah lingkungan. 6. Menganalisis pengaruh persepsi kemampuan mengontrol pada niat beli ulang produk ramah lingkungan? 12 7. Menganalisis pengaruh kepedulian lingkungan pada kekuatan hubungan antara sikap terhadap pembelian produk ramah lingkungan dengan niat beli ulang produk ramah lingkungan. 1.5 Manfaat penilitian 1. Bagi pemasar Manfaat penelitian ini bagi pemasar adalah agar pemasar dapat mengetahui faktor-faktor apa saja yang bisa mempengaruhi niat konsumen terhadap pembelian produk akibat aktivitas pemasaran hijau, sehingga pemasar dapat membuat strategi pemasaran hijau yang lebih baik lagi sehingga berdampak efektif bagi perusahaan dan lingkungan. 2. Bagi konsumen Manfaat penelitian ini bagi konsumen adalah agar konsumen lebih mengetahui tentang pemasaran hijau sehingga dapat membantu pemasar mensukseskan pemasaran hijau serta membuat konsumen lebih peka terhadap lingkungan. 3. Bagi Akademisi Manfaat penelitian ini bagi akademisi adalah dapat menambah pustaka tentang komunikasi pemasaran serta perilaku konsumen khususnya dalam bidang pemasaran hijau. 13