BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Financial Distress Pada sektor swasta Financial distress atau kesulitan keuangan dapat didefinisikan sebagai kegagalan untuk memenuhi komitmen keuangan, berupa ketidaksanggupan melunasi pinjaman, kegagalan membayar dividen (atau bahkan pengurangan jumlah pembayaran deviden), kekurangan modal kerja, dan ketidakcukupan dana untuk membayar sejumlah biaya perusahaan (Jones and Hensher 2004, Luo and Yu, 2011). Pengertian lain dari Plat (2002) mendefinisikan Financial Distress sebagai penurunan kondisi keuangan yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan atau likuidasi. Pada sektor publik Financial distress diartikan sebagai kondisi keuangan yang tidak sehat (Mahmudi, 2010). Kondisi keuangan yang tidak sehat ini dilihat dari aset pemerintah daerah yaitu jika pemerintah daerah sebagian besar berupa aset lancar, maka hal itu kurang menguntungkan dilihat manajemen kas karena terlalu likuid (overliquid, sebaliknya jika sebagian besar berupa aset tetap sedangkan aset lancarnya sangat sedikit maka pemda dalam kondisi tidak likuid (illiquid). Pendapat 8 lain menjelaskan bahwa Financial distress adalah ketidakmampuan pemerintah untuk menyediakan pelayanan publik sesuai standar mutu pelayanan yang telah ditetapkan. Ketidakmampuan pemerintah ini karena pemerintah tidak mempunyai ketersediaan dana untuk diinvestasikan pada insfrastruktur yang digunakan dalam penyediaan pelayanan pada publik tersebut. Kondisi kekurangan atau ketersediaan dana ini mengindikasikan bahwa pemerintah mengalami kesulitan keuangan. (Jones dan Walker, 2007). Mahmudi (2010) menjelaskan analisis risiko yang dilakukan untuk menghindari terjadinya kerugian akibat krisis ekonomi dan keuangan yang mungkin dialami pemerintah daerah terkait dengan utang yaitu: 1. Menganalisis kondisi ekonomi makro nasional, regional, dan internasional dan prediksi ke depan. 2. Menganalisis nilai tukar (exchange rate) dan prediksi ke depan. 3. Memprediksi dan mengantisipasi adanya kejutan eksternal (external shock) yang berpengaruh terhadap manajemen utang. 4. Membuat skema tindakan perlindungan nilai utang (hedging) 5. Memprediksi dan mengantisipasi timbulnya utang bersyarat (contingen liabilities) 6. Melakukan uji kekuatan terhadap portofolio utang yang saat ini dimilki pemerintah daerah dengan mendasarkan pada kejutan ekonomi dan keuangan (economics financial shocks) yang mempengaruhi daerah. 9 Kondisi kesulitan keuangan ini sebenarnya lebih menitikberatkan kepada upaya pemerintah dalam memenuhi penyerapan anggaran demi terealisasinya pembangunan daerah. Pengaruh desentralisasi daerah ini mengakibatkan pemerintah daerah berbondong-bondong ingin meningkatkan pembangunan tanpa campur tangan pemerintah pusat. Oleh karena pemerintah daerah membutuhkan dana dari pihak ketiga baik berupa investasi maupun pinjaman daerah. Kesulitan keuangan tidak semata-mata pemerintah daerah telah jatuh diambang kebangkrutan. Akan tetapi dapat dilihat dari segi keuangan bahwa kemungkinan dana yang ada tidak bisa mencukupi kebutuhan pemerintah daerah. 2.1.1.1 Bentuk-bentuk Financial Distress Secara umum terdapat beberapa macam kondisi perusahaan yang mengalami financial distress (Gitman, 1994) yaitu: 1. Economic Failure yaitu kondisi ini terjadi apabila perusahaan tidak mempunyai pendapatan yang cukup untuk menutup biaya produksi maupun biaya modal (cost of capital). 2. Business Failure yaitu suatu kondisi yang menggambarkan suatu perusahaan atau bisnis yang pengembalian atas investasinya (return) negative atau rendah. 3. In Default yaitu suatu perusahaan berada dalam kondisi in default bila perusahaan melanggar jangka waktu perjanjian hutang (term of loan agreement).Terdapat dua istilah berbeda dalam kondisi ini yaitu technical default apabila debitur dalam hal ini perusahaan, melanggar 10 perjanjian pinjaman dan payment default apabila perusahaan gagal memenuhi kewajiban membayar bunga ataupun pokok pinjamannya. Kegagalan dikarenakan dalam perusahaan tidak mampu membayar hutang setelah masa grace period (perpanjangan waktu periode). 4. Insolvent yaitu perusahaan tidak mampu memenuhi kewajiban jangka pendeknya disebabkan kekurangan likuiditas atau perusahaan tidak mampu memperoleh laba bersih (menderita kerugian). Terdapat dua istilah didalam Insovent yaitu Technical Insolvency apabila perusahaan kekurangan kas sehingga tidak mampu memenuhi hutang lancarnya pada saat jatuh tempo. Bankruptcy insolvency apabila nilai buku (book value) dari total kewajiban perusahaan lebih besar daripada nilai pasar dari total assetnya, sehingga nilai perusahaan (firm’s net worth) adalah negative. 5. Bankruptcy yaitu suatu kondisi perusahaan yang memiliki modal telah negative, yang berarti klaim dari kreditur tidak akan dapat dipenuhi kecuali harta dari perusahaan telah dapat dilikuidasi (dijual). Perusahaan dinyatakan bangkrut secara legal apabila perusahaan telah membuat pernyataan kebangkrutan yang berlaku. 11 2.1.1.2 Faktor-faktor Penyebab Financial Distress Apabila ditinjau dari aspek keuangan perusahaan (financial factor) maka terdapat tiga keadaan yang dapat menyebabkan perusahaan mengalami financial distress (Whitaker, 1999): 1. Faktor ketidakmampuan modal atau kekurangan dana Terjadinya ketidakseimbangan aliran penerimaan uang yang bersumber pada penjualan atau penagihan piutang dengan pengeluaran uang untuk membiayai operasi perusahaan, akan menimbulkan persoalan kekurangan dana. Apabila perusahaan tidak mampu menarik dana untuk memenuhi kekurangan dana tersebut, maka perusahaan akan berada pada kondisi tidak likuid. 2. Besarnya beban hutang dan bunga Apabila perusahaan mampu menarik dana dari luar misalnya mendapatkan kredit dari bank untuk menutup kekurangan dana, maka masalah likuiditas perusahaan dapat teratasi untuk sementara waktu. Tetapi kemudian timbul persoalan baru yaitu adanya keterkaitan kewajiban untuk membayar kembali pokok pinjaman dan bunga kredit. Walaupun demikian keadaan ini tidak membahayakan perusahaan dan masih memberikan keuntungan bagi perusahaan, apabila tingkat bunga lebih rendah dari tingkat investasi harta (return on asset) dan perusahaan melakukan apa yang disebut dengan manajemen risiko atas hutang yang diterimanya. Ketidakmampuan perusahaan melakukan manajemen risiko atas hutangnya dapat 12 mengakibatkan perusahaan harus mendapatkan risiko menderita kerugian yang seharusnya tidak perlu terjadi. 3. Menderita kerugian Pendapatan yang diperoleh perusahaan harus mampu menutup seluruh biaya yang dikeluarkan dan menghasilkan laba bersih. Besarnya laba bersih sangat penting bagi perusahaan untuk melakukan reinvestasi, sehingga akan menambah kekayaan bersih perusahaan dan meningkatkan ROE (return on equity) untuk menjamin kepentingan pemegang saham. Oleh karenanya perusahaan harus selalu berupaya meningkatkan pendapatan Ketidakmampuan dan perusahaan mengendalikan mempertahankan tingkat biaya. keseimbangan pendapatan dengan biaya niscaya perusahaan akan menderita kerugian dan perusahaan akan mengalami financial distress. 2.1.1.3 Memprediksi Financial Distress Menurut Foster (1994) ada beberapa indikator atau sumber informasi yang dapat digunakan dalam memprediksi kondisi financial distress, yaitu antara lain seperti berikut: 1. Informasi dari analisis arus kas 2. Informasi dari analisis strategi perusahaan 3. Informasi dari analisis laporan keuangan yang diperbandingkan dengan laporan keuangan entitas lainnya 4. Informasi dari analisis faktor-faktor eksternal seperti return saham dan bond rating. 13 2.1.1.4 Informasi Laporan Keuangan dan Prediksi Financial Distress Almilia dan Kristijadi (2003) yang meneliti tentang financial distress di perusahaan menggunakan rasio-rasio keuangan yang digunakan oleh Platt dan Platt (2002) dalam penelitiannya. Rasio keuangan yang digunakan adalah rasio keuangan yang berasal dari informasi di dalam neraca dan laporan laba rugi. Almilia dan Kristijadi (2003) memberikan bukti bahwa rasio keuangan profit margin, likuiditas, efisiensi, profitabilitas, financial leverage, posisi kas dan pertumbuhan dapat digunakan memprediksi financial distress. Jones and Walker (2007) melakukan pengujian local government ditress di Australia dengan menggunakan tiga variable predikor berupa council characteristic, local service delivery, infrastructure dan financial variables. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa terdapat dua variabel yang mempengaruhi local government distress yaitu jumlah penduduk dan jumlah pendapatan daerah yang merupakan ukuran-ukuran dalam financial variables. Hasil-hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa informasi dalam laporan keuangan pemerintah daerah dapat digunakan untuk memprediksi kondisi pada waktu yang akan datang. Sutaryo (2010) melakukan penelitian financial distress di pemerintah kota/kabupaten se-Indonesia dengan menggunakan 14 rasio dan menghasilkan bahwa 10 rasio yaitu Profit Margin, Return on Equity, Return on Asset (rasio surplus/defisit), Current ratio, OROE, ORTR, ORCA, ORTA, ORWCA, dan DER memiliki pengaruh yang signifkan 14 terhadap financial distress. Syurmita (2012) melakukan penelitian financial distress dipemerintah kota/kabupaten se-Indonesia dengan menggunakan lima rasio yaitu Kemandirian keuangan, Derajat Desentralisasi, Rasio Solvabilitas, Pemekaran wilayah, Kompleksitas. Hasil yang didapat mengindikasikan bahwa Rasio Solvabilitas, Derajat Desentralisasi, dan Kompleksitas memiliki kemampuan untuk memprediksi financial distress. 2.1.2 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Laporan keuangan merupakan laporan yang tersruktur mengenai posisi keuangan dan transaksi-transaksi yang dilakukan oleh suatu entitas pelaporan (Suwardjono, 2013). Sedangkan PP nomor 71 tahun 2010 menyebutkan tujuan pelaporan keuangan pemerintah adalah untuk menyajikan informasi yang berguna untuk pengambilan keputusan dan untuk menunjukkan akuntabilitas entitas pelaporan atas sumber daya. Secara garis besar tujuan umum penyajian laporan keuangan oleh pemerintah daerah adalah (Mardiasmo, 2002): 1. Untuk memberikan informasi yang digunakan dalam pembuatan keputusan ekonomi, sosial, dan politik serta sebagai bukti pertanggungjawaban (accountability) dan pengelolaan (stewardship). 2. Untuk memberikan informasi yang digunakan untuk mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasional. 15 Secara khusus, tujuan penyajian laporan keuangan oleh pemerintah daerah adalah (Mahmudi, 2010): 1. Memberikan informasi keuangan untuk menentukan dan memprediksi aliran kas, saldo neraca, dan kebutuhan sumber daya finansial jangka pendek unit pemerintah. 2. Memberikan informasi keuangan untuk menentukan dan memprediksi kondisi ekonomi suatu unit pemerintah dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya. 3. Memberikan informasi keuangan untuk memonitor kinerja, kesesuaiannya dengan peraturan perundangan-undangan, kontrak yang telah disepakati, dan ketentuan lain yang disyaratkan. 4. Memberikan informasi untuk perencanaan dan penganggaran, serta untuk memprediksi pengaruh pemilikan dan pembelanjaan sumber daya ekonomi terhadap pencapaian tujuan operasional. 5. Memberikan informasi untuk mengevaluasi kinerja manajerial dan organisasional. Dalam era otonomi daerah dan desentralisasi, pemerintah daerah diharapkan dapat menyajikan laporan keuangan yang terdiri atas Laporan Surplus/ defisit, Laporan Realisasi Anggaran (Perhitungan APBD), Laporan Aliran Kas, dan Neraca. Laporan keuangan tersebut merupakan komponen penting untuk menciptakan akuntabilitas sektor publik dan merupakan salah satu alat ukur kinerja finansial pemerintah daerah. Bagi pihak eksternal, Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang berisi 16 informasi keuangan daerah akan digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk pengambilan keputusan ekonomi, sosial, dan politik. Sedangkan bagi pihak intern pemerintah daerah, laporan keuangan tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk penilaian kinerja. 2.1.3 Relevansi Informasi Laporan Keuangan Daerah PP nomor 71 tahun 2010 menjelaskan bahwa Laporan keuangan dikatakan relevan apabila informasi yang termuat didalamnya dapat mempengaruhi keputusan pengguna dengan membantu mengevaluasi peristiwa masa lalu atau masa kini, dan memprediksi masa depan, serta menegaskan atau mengkoreksi hasil evaluasi mereka di masa lalu. Laporan keuangan digunakan sebagai media penyampaian informasi yang bertujuan untuk menyediakan alternatif dalam membuat suatu kebijakan. Relevansi adalah kemampuan informasi untuk membantu pemakai dalam membedakan beberapa alternatif keputusan sehingga pemakai dapat dengan mudah menentukan pilihan. Informasi yang relevan menurut PP nomor 71 tahun 2010 adalah sebagai berikut: 1. Memiliki manfaat umpan balik (feedback value) yaitu informasi memungkinkan pengguna untuk menegaskan atau mengkoreksi ekspektasi mereka masa lalu. 2. Memiliki manfaat prediktif (predictive value) yaitu informasi dapat membantu pengguna untuk memprediksi masa yang akan datang berdasarkan hasil masa lalu dan kejadian masa kini. 17 3. Tepat waktu yaitu informasi disajikan tepat waktu sehingga dapat berpengaruh dan berguna dalam pengambilan keputusan 4. Lengkap artinya informasi akuntansi keuangan pemerintah disajikan selengkap mungkin, mencangkup semua informasi akuntansi yang dapat mempengaruhi kendala yang ada. 2.1.4 Analisis laporan keuangan pemerintah daerah Fungsi utama dari laporan keuangan pemerintah adalah untuk memberikan informasi keuangan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan tersebut yang akan digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan ekonomi, sosial, dan politik. Tidak banyak para pemangku kepentingan membutuhkan cara memahami yang tepat tentang laporan keuangan. Sehingga analisis mengenai laporan keuangan sangat perlu untuk mengetahui cara memahami laporan keuangan, bagaimana menafsirkan angka-angka dalam laporan keuangan, bagaimana mengevaluasi dalam laporan keuangan, dan bagaimana menggunakan laporan keuangan itu digunakan untuk pengambilan keputusan. Mahmudi (2010) berpendapat bahwa terdapat beberapa metode dalam analisis laporan keuangan yaitu : 1. Analisis Varian (selisih) pada umumnya digunakan untuk menganalisis laporan realisasi anggaran, yaitu dilakukan dengan cara mengevaluasi selisih yang terjadi antara anggaran dengan realisasi. 18 2. Analisis Rasio Keuangan merupakan perbandingan antara dua angka yang datanya diambil dari elemen laporan keuangan. terdapat berbagai macam analisis rasio keuangan, antara lain (1) Analisis Aset, (2) Analisis Likuiditas, (3) Analisis Solvabilitas, (4) Analisis Kewajiban (leverage), (5) Analisis Ekuitas, (6) Analisis Profitabilitas, dan (7) Analisis Aktivitas. 3. Analisis Pertumbuhan dilakukan untuk mengetahui kecenderungan baik berupa kenaikan atau penurunan kinerja selama kurun waktu tertentu. 4. Analisis Regresi dilakukan untuk menguji pengaruh variale independen terhadap variable dependen. Contoh analisis regresi misalnya menguji pengaruh likuiditas keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, menguji pengaruh tingkat serapan APBD terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, dan lain sebagainya. 5. Analisis Prediksi dilakukan untuk memprediksi pendapatan tahun depan dapat digunakan data tahun ini dan beberapa tahun lalu seagai dasar prediksi. 2.1.5 Otonomi Daerah Sejak era reformasi di pasca orde baru, banyak ketimpangan ekonomi daerah karena diakibatkan oleh sentralisasi ekonomi oleh pemerintah pusat. Ekonomi Indonesia di waktu itu jatuh pada titik paling rendah sejak negara ini merdeka. Kecenderungan ekonomi indonesia yang 19 berbasis kepada negara-negara asing menimbulkan efek tersendiri di lingkup pemerintahan daerah. Setelah era reformasi pemerintah mempertegas kedudukan pemerintah daerah guna untuk mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat dengan dikeluarkannya Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, di pasal 7 menegaskan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, peradilan, moneter, fiskal, agama, dan pembangunan ekonomi secara makro. Disamping itu daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan hidup. Pelaksanaan otonomi daerah telah memasuki tahapan baru setelah direvisinya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dan semenjak memasuki perkembangan era sekarang, Undang-Undang No.32 Tahun 2004 direvisi kembali menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU No.23 Tahun 2014 menyebutkan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Suparmoko (2002) mengemukakan bahwa Otonomi daerah (sistem desentralisasi) adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus 20 kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Sedangkan menurut Syarifudin (2005) otonomi daerah adalah kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan melainkan kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Mariun (2003) Otonomi daerah adalah kebebasan (kewenangan) yang dimiliki oleh pemerintah daerah yang memungkinkan mereka untuk membuat inisiatif sendiri dalam rangka mengelola dan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki oleh daerahnya sendiri. Otonomi daerah merupakan kebebasan untuk dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Tujuan otonomi daerah adalah sebagai berikut (Mardiasmo, 2002): 1. Meningkatkan pelayanan masyarakat yang semakin baik. 2. Pengembangan kehidupan demokrasi. 3. Keadilan Sosial. 4. Pemerataan wilayah daerah.. 5. Pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka keutuhan NKRI. 6. Mendorong pemberdayaan masyarakat. 7. Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD. 21 Kelebihan dari Otonomi Daerah menurut Suparmoko (2002) adalah: 1. Lebih terukur potensi terhadap penerimaan pendapatan daerah dengan pemerintah pusat. 2. Sistem pemerintahan dengan otonomi daerah akan lebih mampu menyediakan jasa pelayanan publik yang bervariasi sesuai dengan keinginan masing-masing masyarakat. 3. Pemerintah daerah akan lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakatnya sendiri. 4. Otonomi daerah akan lebih banyak berinovasi dalam bidang administrasi dan ekonomi yang dapat dilakukan. Sedangkan kendala-kendala dari otonomi daerah adalah sebagai berikut (Bastian, 2005): 1. Belum memadai dan belum mantapnya kelembagaan di daerah, sehingga cenderung dapat menghambat pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. 2. Masih terbatasnya ketersediaan dana pembangunan, sementara tuntutan untuk mempercepat pembangunan semakin gencar. 3. Masih terbatasnya ketersediaan sarana dan prasarana dasar dibeberapa daerah. 4. Tidak meratanya ketersediaan sumber daya alam di beberapa daerah. 5. Kendala sumber keuangan daerah dalam APBD. 22 Penelitian ini akan menggabungkan berbagai variabel dari penelitian terdahulu. Penelitian ini akan menggunakan variabel analisis keuangan yaitu kinerja keuangan, kemandirian keuangan, return on asset, rasio solvabilitas, dan rasio efisiensi. 2.1.6 Kinerja Keuangan Pengertian kinerja keuangan pemerintah daerah Menurut Agustina (2013) yaitu tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja dibidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran. Bentuk kinerja tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari unsur Laporan Pertanggungjawaban keuangan daerah berupa perhitungan APBD. Kinerja keuangan diperoleh dari kapabilitas dalam penentuan kebijakan. Penyesuaian penyusunan anggaran terhadap kebijakan yang ditetapkan menghasilkan kinerja keuangan yang bagus. Untuk menilai kinerja keuangan diperlukan analisis laporan keuangan untuk memberikan gambaran kinerja keuangan (Mahmudi, 2010). Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Halim (2002) bahwa salah satu alat untuk menganalisis kinerja keuangan pemerintah daerah adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakan. 23 2.1.7 Kemandirian Keuangan Rasio kemandirian keuangan daerah menunjukkan tingkat kemampuan suatu daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah (Widodo, 2001). Pendapat dari Halim (2002) menyatakan bahwa Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal) menunjukkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Prinsip kemandirian keuangan daerah menjadi landasan dalam mengembangkan kemampuan daerah untuk memperoleh Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini sebagai upaya untuk mengatasi dan mengurangi ketergantungan fiskal terhadap pemerintah pusat. Mahmudi (2010) berpendapat bahwa semakin tinggi kemampuan daerah dalam menghasilkan PAD, maka semakin besar pula diskresi daerah untuk menggunakan PAD tersebut sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas pembangunan daerah. 2.1.8 Return on Asset Return on asset mempunyai peranan yang sangat penting dalam penggunaan APBD Pemerintah Daerah. Return on asset disesuaikan melalui penggantian laba (rugi) dengan surplus (defisit) atas anggaran pemerintah (Sutaryo, 2010). Return on asset di pemerintah daerah lebih 24 terkait dengan pengelolaan kekayaan daerah. Selisih Laporan Realisasi Anggaran menunjukkan pemanfaatan didalam pemenuhan pembangunan daerah. Penyerapan anggaran yang signifikan berdampak kepada akses pendapatan yang didapat oleh pemerintah daerah menjadi maksimal. Terkait hal ini Mahmudi (2010) menjelaskan bahwa pendapatan di bedakan menjadi atas dua sumber yang diperoleh yaitu pertama sumber pendapatan yang saat ini ada dan sudah ditetapkan dengan peraturan perundangan. Yang kedua yaitu sumber pendapatan dimasa datang yang masih potensial atau tersembunyi dan baru akan diperoleh apabila sudah dilakukan upaya-upaya tertentu. 2.1.9 Rasio Solvabilitas Rasio solvabilitas adalah rasio untuk mengukur kemampuan pemerintah dalam mengambil kebijakan membuat pinjaman daerah. Rasio ini diukur dengan menggunakan perbandingan antara jumlah hutang dengan jumlah pendapatan (Wibowo dan Samekto, 2013). Rasio solvabilitas dapat digunakan untuk melihat kemampuan pemerintah daerah dalam memenuhi kewajibannya, baik kewajiban jangka pendek maupun jangka panjang. Kewajiban menurut PP Nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan didefinisikan sebagai utang yang timbul dari peristiwa masa lalu yang penyelesaiannya mengakibatkan aliran keluar sumber daya ekonomi pemerintah. 25 Mahmudi (2010) mengutarakan pendapat bahwa klasifikasi kewajiban dikategorikan menjadi dua yaitu sebagai berikut : 1. Kewajiban jangka pendek yaitu kewajiban yang diharapkan dibayar dalam waktu 12 bulan setelah tanggal pelaporan. Yang termasuk kewajiban jangka pendek berupa utang jangka pendek kepada lembaga keuangan bank maupun bukan bank, utang kepada pegawai, utang wesel jangka jangka pendek, utang bunga pinjaman, utang jangka pendek dari pihak ketiga, dan lain-lain. Kewajiban jangka pendek ini akan menyerap aset lancar pemerintah daerah. 2. Kewajiban jangka panjang dapat berupa utang jangka panjang kepada lembaga keuangan bank maupun bukan bank, utang jangka panjang kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah lainnya, utang wesel jangka panjang, dan obligasi pemerintah daerah. Kewajiban jangka panjang akan menyerap aset lancar dan aset tidak lancar pemerintah daerah. Untuk menghindari kesulitan keuangan akibat pembiayaan pembangunan yang besar dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dalam hal ini pemerintah daerah dapat menggunakan alternatif pinjaman. Pembiayaan internal seperti Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan transfer pemerintah pusat kepada daerah tidak mencukupi untuk mendanai sejumlah investasi pembangunan, sehingga memungkinkan menggunakan pembiayaan eksternal. 26 2.1.10 Rasio Efisiensi Rasio efisiensi selalu berkaitan dengan seberapa praktis dan hemat terhadap anggaran pemerintah. Proporsi anggaran pemerintah daerah jika dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah harus terdapat pembiayaan yang lebih kepada aktivitas pembangunan daerah. Tingkat efisien anggaran pemerintah tergantung sebagaimana mengatur proporsi belanja daerah (Atmaja, 2012). Pada prinsipnya desentralisasi ditujukan untuk efisiensi sektor publik dalam produksi dan distribusi pelayanan, meningkatkan pelayanan kualitas pembuatan keputusan dengan menggunakan informasi lokal, meningkatkan akuntabilitas dan meningkatkan kemampuan respon terhadap kebutuhan dan kondisi lokal (Giovanni, 2002). Desentralisasi ini menuntut pemerintah daerah untuk memaksimalkan secara efisien belanja yang akan digunakan. Berdasarkan PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program, dan kegiatan, serta jenis belanja. Klasifikasi belanja daerah menurut jenis belanja terdiri dari: 1. Belanja pegawai adalah belanja kompensasi, baik dalam bentuk uang maupun barang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan perundangundangan yang diberikan kepada DPRD, dan pegawai pemerintah daerah baik yang bertugas di dalam maupun di luar daerah sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan, kecuali pekerjaan 27 yang berkaitan dengan pembentukan modal. Contoh: gaji dan tunjangan, honorarium, lembur, kontribusi sosial, dan lain-lain sejenis. 2. Belanja barang dan jasa adalah digunakan untuk pembelian barang dan jasa yang habis pakai guna memproduksi barang dan jasa. Contoh: pembelian barang dan jasa keperluan kantor, jasa pemeliharaan, ongkos perjalanan dinas. 3. Belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/ pengadaan aset tetap dan aset lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan, buku perpustakaan, dan hewan. 4. Belanja lain-lain. Contoh: Bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Menurut Halim (2009) klasifikasi belanja dibagi menjadi dua berdasarkan penilaian kewajaran biaya suatu program atau kegiatan yaitu biaya tidak langsung dan biaya langsung. Biaya tidak langsung merupakan belanja yang tidak memiliki keterkaitan secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Contoh: belanja pegawai, belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Sedangkan belanja langsung merupakan belanja yang memiliki keterkaitan secara langsung dengan 28 program dan kegiatan yang meliputi belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal. Menurut Dirjen Perimbangan Keuangan (2014) menyebutkan bahwa belanja pegawai dan belanja lain-lain bersifat konsumtif, sementara belanja modal serta belanja barang dan jasa bersifat investasi, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Karena itu penggunaan analisis belanja untuk mengetahui sejauh mana belanja pemerintah daerah untuk kepentingan pembangunan lebih didominasi belanja yang bersifat konsumsi atau investasi. Pergeseran dari belanja yang bersifat konsumsi ke belanja yang bersifat investasi merupakan indikasi yang baik. 2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian Syurmita (2012) dengan judul Prediksi Financial distress Pemerintah Daerah Kabupaten/kota di Indonesia. Penelitian tersebut menggunakan 100 sampel laporan keuangan pemerintah daerah tahun anggaran 2010. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa variabel independen yang digunakan yaitu derajat desentralisasi, pemekaran wilayah, dan rasio solvabilitas mempunyai pengaruh positif terhadap financial distress, sedangkan kemandirian keuangan dan populasi berpengaruh negatif terhadap financial distress. Penelitian Sutaryo (2010) tentang Nilai Relevan Informasi Keuangan Cash Modified Basis kemampuan rasio keuangan dalam memprediksi financial distress pemerintah daerah di Indonesia tahun 2005-2009. Penelitian ini menggunakan 14 Rasio keuangan dengan 29 pembagian sampel antara financial distress dan non financial distress. Penelitian ini berhasil membuktikan 10 rasio bisa memprediksi financial distress. Penelitian yang dilakukan oleh Atmaja (2012) dengan judul Analisis Rasio Keuangan untuk Memprediksi Financial distress. Penelitian ini menggunakan variabel yaitu rasio kinerja keuangan, rasio posisi keuangan, rasio efisiensi, dan rasio hutang. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan adanya tiga variabel berpengaruh secara stimulant terhadap financial distress, sedangkan satu variabel yaitu rasio kinerja keuangan tidak berpengaruh secara signifikan. Variabel rasio posisi keuangan dan rasio efisiensi berpengaruh negatif terhadap financial distress, sedangkan rasio hutang berpengaruh positif terhadap financial distress. Penelitian ini menggunakan penggabungan variabel yang mengadopsi dari penelitian-penelitian terdahulu. Variabel yang digunakan merupakan pengukuran dari tiap sisi entitas-entitas laporan keuangan pemerintah daerah. Variabel yang digunakan adalah kinerja keuangan, kemandirian keuangan, return on asset, rasio solvabilitas, dan rasio efisiensi. Variabel Kinerja Keuangan diambil dari penelitian terdahulu Atmaja (2012) yang menghasilkan tidak adanya pengaruh signifikan terhadap financial distress dengan sampel yang digunakan yaitu pemerintah daerah Jawa Tengah periode tahun 2010. Penelitian ini akan 30 menguji kembali hubungan pengaruh kinerja keuangan terhadap financial distress.Variabel ini akan menggunakan pengukuran performance government wealth (PerGW) untuk mengetahui seberapa tingkat kinerja keuangan pemerintah daerah. Variabel kemandirian keuangan mengadopsi dari penelitian terdahulu Syurmita (2012) yang menghasilkan adanya pengaruh negative kemandirian keuangan terhadap financial distress dengan sampel yang digunakan adalah 100 LKPD di Indonesia. Penelitian ini akan mendukung penelitian sebelumnya bahwa adanya pengaruh negatif terhadap variabel dependen. Variabel ini akan menggunakan pengukuran PAD dengan realisasi total belanja daerah. Variabel return on asset diambil dari penelian sebelumnya Wibowo dan Samekto (2013). Wibowo dan Samekto (2013) menggunakan variabel return on asset dengan hasil yang didapat menunjukkan tidak adanya pengaruh signifikan terhadap financial distress. Penelitian ini akan menguji kembali pengaruh return on asset terhadap financial distress. Penelitian ini menggunakan pengukuran analisis profitabilitas yaitu surplus (defisit) dengan net asset. Variabel rasio solvabilitas mengambil dari penelitian terdahulu Syurmita (2012) yang menunjukan tidak adanya pengaruh signifikan terhadap financial distress. Penelitian akan menguji kembali pengaruh rasio solvabilitas terhadap financial distress. Variabel rasio solvabilitas 31 menggunakan pengukuran total hutang dengan total pendapatan untuk mengetahui seberapa tingkat penggunaan hutang pemerintah daerah. Variabel rasio efisiensi mengambil dari penelitian sebelumnya (Atmaja, 2012) yang menunjukkan adanya pengaruh negative terhadap financial distress. Pengukuran yang dilakukannya menggunakan Level Capital Outlay (LCO). Sedangkan Sutaryo (2010) menggunakan pengukuran fixed cost to operating revenue (FETOR) menghasilkan tidak adanya pengaruh signifikan terhadap financial distress. Penelitian ini akan menguji kembali pengaruh rasio efisiensi terhadap financial distress. Penelitian ini menggunakan pengukuran FETOR untuk mengetahui seberapa tingkat analisis belanja dengan pendapatan. 2.3 Hipotesis Penelitian 2.3.1 Pengaruh Kinerja Kinerja Keuangan terhadap Financial Distress Perusahaan biasa sering menggunakan rasio kinerja keuangan untuk mengetahui besarnya tingkat efektivitas dan efisiensi operasional perusahaan. Jika perbandingan pendapatan jauh lebih tinggi dari biaya, maka perusahaan dapat mengelola manajemen biaya dengan baik. Dalam pemerintahan alokasi pendapatan mempunyai peran vital untuk menentukan besarnya pengeluaran pemerintah. Kinerja keuangan bisa diukur dengan membandingkan antara selisih total pendapatan dikurangi total belanja dengan total pendapatan (Wibowo dan Samekto, 2013). Jika hasil yang didapat menunjukkan angka yang tinggi, maka kinerja 32 keuangan pemerintah daerah dinilai telah bagus dalam menjalankan perencanaan pembangunan sehingga besar kemungkinan potensi untuk mengalami kesulitan keuangan kecil. Dengan demikian hipotesis alternative penelitian yang diajukan: H1 : Kinerja Keuangan berpengaruh negatif terhadap Financial Distress 2.3.2 Pengaruh Kemandirian Keuangan terhadap Financial Distress Pemerintah daerah mempunyai hak-hak dan kewajiban untuk mengelola pemerintahan didaerah sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 2008. Dari beberapa hak-hak dan kewajiban pemerintah daerah antara lain adalah menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak. Tentu dengan adanya peraturan ini pemerintah daerah diharuskan mengembangkan fasilitas-fasilitas umum dengan membangun infrastruktur yang memadai sebagai upaya peningkatan kualitas pelayanan publik. Apabila semakin meningkatnya kualitas pelayanan publik, maka akan mendorong peningkatan pendapatan asli daerah. Pendapatan asli daerah yang tinggi mengindikasikan pemerintah daerah dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan sendiri sehingga dana yang dibutuhkan melalui pinjaman kepada pihak ketiga tidak begitu besar. Sehingga Pemerintah Daerah mampu terhindar dari kemungkinan kesulitan keuangan. Dengan demikian hipotesis alternative penelitian ini adalah : 33 H2 : Kemandirian Keuangan berpengaruh negatif terhadap Financial Distress 2.3.3 Pengaruh Return on Asset terhadap Financial Distress Return on Asset merupakan gambaran untuk mengetahui kemampuan pemerintah dalam menerapkan kebijakan untuk penyerapan anggaran. Pendapatan yang digunakan pemerintah daerah dalam memenuhi kebutuhan daerahnya agar mampu mengalokasikan pendanaan untuk pembangunan diberbagai sektor. Menurut Sutaryo (2010) bahwa dalam organisasi pemerintah yang non profit oriented, return on asset disesuaikan melalui penggantian laba (rugi) dengan surplus (defisit) atas anggaran pemerintah. Surplus yang tinggi mengindikasikan bahwa pemerintah tidak mampu melaksanakan program kerja yang telah direncanakan sehingga anggaran yang telah ditetapkan tidak terserap secara baik. Sebaliknya defisit anggaran mengindikasikan bahwa pendapatan pemerintah daerah tidak mampu menutup jumlah pengeluaran atau belanja daerah (Sutaryo, 2010). Oleh karena itu return on asset mempunyai pengaruh terhadap anggaran yang ditetapkan agar bisa digunakan untuk mencukupi pemenuhan dalam pembayaran bunga pinjaman daerah. Dengan demikian hipotesis alternative yang bisa diajukan : H3 : Return on Asset berpengaruh positif terhadap Financial Distress 34 2.3.4 Pengaruh Rasio Solvabilitas terhadap Financial Distress Kemandirian daerah dalam memberikan pelayanan publik dan pembangunan daerah menuntut kemampuan fiskal daerah agar dapat merealisasikan program pembangunan daerah. Dalam membangun keuangan daerah tidak diartikan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah harus dibiayai semua oleh pendapatan asli daerah (PAD) (Halim, 2014). Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, sumbersumber pelaksanaan pemerintahan daerah terdiri dari: pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain pendapatan yang sah. Penggunaan dana pinjaman sebagai salah satu pilihan pembiayaan dalam pembangunan daerah memegang peranan yang sangat penting. Hal ini dapat menjadi acuan pemerintah daerah jika PAD yang didapat sangat rendah. Beberapa penelitian terdahulu seperti Wibowo dan samekto (2013) menggunakan Current Liability Ratio, dan Debt to Revenue sebagai informasi akuntansi relevan dalam mengukur Financial Distress pemerintah daerah di Jawa Timur. Penelitiannya menghasilkan adanya hubungan yang cukup kuat dengan financial distress. Cohen (2006) menggunakan rasio terkait kewajiban keuangan pemerintah berupa debt to equity ratio dan long term liabilities to total assets dengan memprediksi kinerja pemerintah daerah di Yunani. Berdasarkan hal tersebut dapat diajukan hipotesis alternative : H4 : Rasio Solvabilitas berpengaruh negatif terhadap Financial Distress 35 2.3.5 Pengaruh Rasio Efisiensi terhadap Financial Distress Menurut Halim dan Plat (2002) bahwa belanja daerah adalah semua pengeluaran pemerintah daerah pada suatu periode anggaran. Dalam penggunaannya, belanja daerah diprioritaskan untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan perundangan. Tingkat efisiensi anggaran ditentukan seberapa besar porsi belanja yang akan direalisasikan (Atmaja, 2012). Alokasi anggaran yang efisien akan mampu memaksimalkan pendanaan dengan baik. Analisis belanja daerah sangat penting dilakukan untuk mengevaluasi apakah pemerintah daerah menggunakan APBD secara ekonomis, efisien, dan efektif (value for money) (Mahmudi, 2010). Penelitian terdahulu Atmaja (2012) menggunakan level of capital outlay tentang analisis rasio keuangan terhadap financial distress di Jawa Tengah. Hasil dari penelitiannya menghasilkan adanya pengaruh negative terhadap financial distress. Sutaryo (2010) dan Cohen (2006) menggunakan fixed cost to operating revenue (FETOR) untuk mengukur rasio efisiensi terhadap financial distress. Dengan demikian hipotesis yang digunakan adalah : H5 : Efisiensi berpengaruh negatif terhadap Financial Distress 36 Gambar 2.1 Rerangka Pemikiran Kinerja Keuangan Kemandirian Keuangan Return on Asset Financial Distress Rasio Solvabilitas Efisiensi 37