PERAN STRUKTUR CORPORATE GOVERNANCE DALAM TINGKAT KEPATUHAN MANDATORY DISCLOSURE KONVERGENSI IFRS Oleh: ERNI SURYANDARI F UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA ABSTRACT This study aims to examine the role of Corporate Governance Structure Mandatory Disclosure In Compliance Level Convergence IFRS . Identify items Mandatory Disclosure Compliance Level Convergence IFRS uses Cheklis Bapepam LK . Selected items is adjusted to GAAP applicable in Indonesia . Characteristics of Corporate Governance which is used, among others, is the number of commissioners, the proportion of independent director, chief commissioner of education background, the number of commissioners meeting , and the number of audit committee members . The population of this study is manufacturing companies listed in Indonesia Stock Exchange ( IDX ) . Selection of the study sample using purposive sampling method , which is the company that publishes the annual report . Based on purposive sampling method , the study sample size was 117. The results of this study indicate that corporate governance does not significantly influence the rate of Mandatory Disclosure Compliance Convergence IFRS. Research shows that leverage variable and significant negative effect on the extensive disclosures sustainability report . Keywords : Mandatory Disclosure, Corporate Governance, the Board of Commissioners , Commissioner Independent, Audit Committee 1 I. PENDAHULUAN Laporan tahunan pada dasarnya adalah sumber informasi bagi investor sebagai salah satu dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan investasi dalam pasar modal, juga sebagai sarana pertanggungjawaban manajemen atas sumber daya yang dipercayakan kepadanya (Kartika, 2009). Proses pembuatan laporan tahunan tidak lepas dari penelitian mengenai kelengkapan pengungkapan (disclosure) dalam laporan tahunan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hal ini sangat penting untuk dilakukan karena akan memberikan gambaran kondisi perusahaan, serta mampu menunjukkan sifat perbedaan kelengkapan ungkapan antar perusahaan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Perusahaan akan menggunakan laporan tahunannya yang terdiri dari laporan wajib dan laporan sukarela untuk pemegang saham dan investor potensial maupun pemerintah. Laporan tahunan perusahaan dapat memberikan gambaran kinerja selama satu tahun, dan dapat menjelaskan masa depan perusahaan tersebut (Widiyastuti, 2002 dalam Kartika, 2009). Dalam pencapaian efisiensi dan sebagai sarana akuntabilitas publik, pengungkapan laporan keuangan menjadi faktor yang signifikan. Laporan keuangan dapat diungkapkan dalam bentuk penjelasan mengenai kebijakan akuntansi yang ditempuh kontijensi, metode persediaan, jumlah saham yang beredar dan ukuran alternatif, seperti pos-pos yang dicatat berdasar historical cost (Naim dan Rakhman, 2000 dalam Kartika, 2009). Dalam kualitas informasi keuangan terdapat dua jenis pengungkapan (disclosure) yang diterbitkan oleh perusahaan. Pengungkapan wajib yang di ungkapkan dalam perusahaan yang harus memenuhi tinggkat kepatuhan mandatory disclosure konfergensi IFRS. IFRS adalah singkatan dari International Financial Reporting Standards atau Standar Pelaporan Keuangan Internasional. IFRS adalah bagian akuntansi internasional di mana untuk mengatur dan melaporkan informasi keuangan. Hal ini berasal dari pernyataan dari Akuntansi yang berbasis di London International Standards Board (IASB). Penelitian tentang pencapaian efisiensi dan sebagai sarana akuntabilitas publik, 2 pengungkapan laporan keuangan menjadi faktor yang signifikan (Naim dan Rahman, 2000 dalam Kartika, 2009). Transparansi dan distribusi informasi yang merata di kalangan pelaku pasar modal pada umumnya, dan investor pada khususnya, akan sangat menentukan keefektifan fungsi pasar modal. Krisis keuangan Asia pada tahun 1997 tidak hanya diakibatkan oleh hilangnya kepercayaan investor, tetapi juga dari kurangnya tata kelola perusahaan yang efektif dan transparansi pada banyak pasar keuangan Asia dan perusahaan individu di akhir tahun 1990-an (Ho dan Wong ,2001 dalam Anyta, 2011). Berbagai kasus kegagalan dan skandal perusahaan besar baik di dalam maupun di luar negeri, serta krisis keuangan global tahun 2008 telah mendorong investor untuk lebih memperhatikan pengungkapan informasi perusahaan yang bersifat wajib (mandatory disclosure). Beberapa tahun terakhir, pengungkapan dan transparansi dalam laporan keuangan menjadi isu penting di Indonesia, Forum for Corporate governance in Indonesia (FCGI, 2006) mempublikasikan sebuah survei yang dilakukan oleh Pricewaterhouse Coopers pada tahun 1999 terhadap investor internasional di Asia, yang menunjukkan bahwa peringkat Indonesia berada pada salah satu yang terburuk dalam standar audit dan kepatuhan, akuntabilitas kepada pemegang saham, standar pengungkapan dan transparansi (Utami dkk., 2012). Adanya kasus pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan manufaktur di pasar modal menjadi bukti bahwa transparansi dan kepatuhan terhadap pengungkapan wajib masih kurang, terutama pada laporan laba rugi, misalnya kasus mark-up laporan keuangan PT Kimia Farma, Tbk yang overstated, yaitu laba pada laporan keuangan yang seharusnya Rp 99,594 miliar ditulis Rp 132,000 miliar sehingga terjadi penggelembungan laba bersih tahunan senilai Rp 32,668 miliar (Syahrul, 2002 dalam Utami dkk., 2012). Manipulasi laporan keuangan PT Kimia Farma, Tbk terjadi karena lemahnya penerapan corporate governance. Kasus PT Kimia Farma, Tbk ini mengindikasikan pentingnya pengungkapan wajib dalam laporan keuangan. Pengungkapan wajib dalam laporan keuangan telah diatur dalam standar akuntansi internasional yaitu IFRS. 3 Semua perusahaan go public dan multinasional di Indonesia diwajibkan untuk menerapkan standar akuntansi yang konvergen dengan IFRS (Internasional Financial Reporting Standards) untuk penyusunan laporan keuangan pada atau setelah 1 Januari 2012 (Gamayuni, 2009 dalam Prawinandi dkk., 2012). Adopsi peraturan pengungkapan saja tidak dapat menjamin tingkat pengungkapan yang lebih tinggi sehingga diperlukan sistem institusional yaitu corporate governance untuk memonitor manajer dan mengelola perusahaan untuk menjamin bahwa perusahaan mengungkapkan informasi yang memadai (Akhtaruddin et al., 2009 dalam Prawinandi dkk., 2012). Corporate governance mensyaratkan adanya struktur perangkat untuk mencapai tujuan dan pengawasan atas kinerja perusahaan (Mintara, 2008 dalam dalam Prawinandi dkk., 2012), dimana hasil kinerja perusahaan ini tertuang dalam pengungkapan perusahaan. Inti corporate governance di Indonesia adalah pada dewan komisaris menurut FCGI, 2001 (Forum Corporate Governance in Indonesia), sehingga struktur corporate governance yang digunakan dalam penelitian ini adalah dewan komisaris, termasuk komite yang berada di bawah dewan komisaris yaitu komite audit. Struktur corporate governance tersebut antara lain jumlah anggota dewan komisaris, proporsi komisaris independen, latar belakang pendidikan komisaris utama, jumlah anggota komite audit dan jumlah rapat dewan komisaris. Penelitian tentang tingkat kepatuhan mandatory disclosure IFRS sudah dilakukan oleh beberapa orang, antara lain oleh Tsalavoutas et al. (2008) di Yunani; Al-Akra et al. (2010) di Yordania; Tsalavoutas dan Dionysiou (2011) di Yunani dan Prawinandi dkk.,(2012). Motivasi penelitian ini adalah ingin mengetahui tingkat kepatuhan Mandatory Disclosure Konvergensi IFRS pada perusahaan manufaktur. Berdasarkan latar belakang penelitian, maka dapat ditarik permasalahan penelitian sebagai berikut: Apakah jumlah anggota dewan komisaris, komisaris independen, belakang pendidikan komisaris utama,jumlah rapat dewan komisaris, jumlah anggota komite audit berpengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan mandatory disclosure konvergensi IFRS ? 4 II. RERANGKA TEORITIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS A. RERANGKA TEORITIS 1. Teori Stakeholder Istilah stakeholder awalnya diperkenalkan oleh Stanford Research Institute (SRI), yakni merujuk kepada “those groups without whose support theorganization would cease to exist” (Freeman, 1983 dalam Anyta, 2011). Inti dari pemikiran itu kurang lebih mengarah pada keberadaan suatu organisasi (dalam hal ini perusahaan) yang sangat dipengaruhi oleh dukungan kelompokkelompok yang memiliki hubungan dengan organisasi tersebut. Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yuen, et al. (2009) dalam Anyta (2010), penelitian kali ini mencoba menjelaskan fenomena praktik pengungkapan MCGD (mandatory corporate governance disclosure) di Indonesia dari perspektifstakeholder theory. Berdasarkan teori stakeholder, perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri, namun harus memberikan manfaat bagi stakeholder-nya (pemegang saham, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis, dan pihak lain). Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang diberikan stakeholder kepadaperusahaan tersebut (Ghozali dan Chariri, 2007 dalam Handayani, 2011). 2. Teori Agensi Jensen dan Meckling (1976) dalam Endrianto (2010), menjelaskan hubungan keagenan di dalam teori agensi (agency theory) bahwa perusahaan merupakan kumpulan kontrak (nexus of contract) antara pemilik sumber daya ekonomis (principal) dan manajer (agency) yang mengurus penggunaan dan pengendalian sumber daya tersebut. Menurut Meisser, et al., (2006:7) dalam Endrianto (2010), hubungan keagenan ini mengakibatkan dua permasalahan yaitu : (a) terjadinya informasi asimetris (information asymmetry), dimana manajemen secara umum memiliki lebih banyak informasi mengenai posisi keuangan yang sebenarya dan posisi 5 operasi entitas dari pemilik; dan (b) terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest) akibat ketidak samaan tujuan, dimana manajemen tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan pemilik. 3. Mandatory Disclosure Konfergensi IFRS Pengungkapan (disclosure) didefinisikan sebagai penyediaan sejumlah informasi yang dibutuhkan untuk pengoperasian secara optimal pasar modal efisien (Hendriksen, 2007). Pengungkapan ada yang bersifat wajib (mandatory) yaitu pengungkapan informasi yang wajib dilakukan oleh perusahaan yang didasarkan pada peraturan atau standar tertentu. Mandatory disclosure bertujuan memenuhi kebutuhan informasi pengguna laporan keuangan, memastikan pengendalian kualitas kinerja melalui ketaatan terhadap hukum dan standar akuntansi yang berlaku (Adina dan Ion, 2008 dalam Prawinandi dkk., 2012), dan ada yang bersifat sukarela (voluntary,), yang merupakan pengungkapan informasi melebihi persyaratan minimum dari peraturan yang berlaku diungkapkan oleh perusahaan. Informative disclosure yang bertujuan memberikan informasi yang layak kepada pengguna laporan (Wolk et al., 2006 dalam Prawinandi dkk., 2012). Mandatory dan voluntary disclosure dalam laporan keuangan telah diatur standar akuntansi internasional IFRS. Terdapat beberapa istilah yang digunakan berkaitan dengan penerapan IFRS. Konvergensi IFRS memiliki arti menyelaraskan standar akuntansi yang dipakai di suatu negara dengan IFRS untuk memperkecil perbedaan di antara keduanya (Chen, 2009 dalam Prawinandi dkk., 2012). Adopsi IFRS artinya mengambil bahasa pelaporan keuangan internasional untuk diterapkan kedalam bahasa pelaporan keuangan suatu negara (Gamayuni, 2009 dalam Prawinandi dkk., 2012), sedangkan harmonisasi artinya adalah proses untuk meningkatkan komparabilitas laporan keuangan dengan menentukan batasan-batasan seberapa besar praktik-praktik tersebut dapat beragam (Perramon dan Amat, 2007 dalam Prawinandi dkk., 2012). Perusahaan-perusahaan di dunia telah dan sedang dalam proses adopsi IFRS dengan perkembangan yang sangat mengesankan. Di benua Amerika, 6 hampir semua negara di Amerika Latin dan Kanada mengadopsi IFRS. Di Asia-Oceania, Indonesia, Australia, Selandia Baru, Korea, Hong Kong, dan Singapura telah atau akan mengadopsi IFRS secara penuh. Afrika Selatan dan Israel telah mengadopsi IFRS. Di Eropa, negara-negara selain Uni Eropa seperti Turki dan Rusia juga telah mengadopsi IFRS secara penuh. Sebagian besar negara anggota G20 juga merupakan pengadopsi IFRS. Perusahaan go public dan multinasional di Indonesia diwajibkan untuk menerapkan standar akuntansi yang konvergen dengan IFRS untuk penyusunan laporan keuangan pada atau setelah 1 Januari 2012 (Gamayuni, 2012 dalam Prawinandi dkk.,2012). Indonesia melakukan konvergensi IFRS secara bertahap sejak 2008 hingga 2011 dimana tahap-tahap tersebut terdiri dari tahap adopsi pada tahun 2008 hingga tahun 2010, tahap persiapan akhir yang dilaksanakan selama tahun 2011 dan tahap pengimplementasian PSAK berbasis IFRS serta dilakukan evaluasi secara komprehensif mulai tahun 2012 (Husin, 2008 dalam Prawinandi dkk., 2012). 4. Struktur Corporate Governance Corporate Governance adalah seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengendalikan perusahaan (FCGI ,2001 dalam Prawinandi dkk., 2012). Istilah corporate governance ini muncul karena adanya agency theory, dimana kepengurusan suatu perusahaan terpisah dari kepemilikan (Herwidayatmo, 2000 dalam Prawinandi dkk., 2012). Corporate governance mensyaratkan adanya struktur perangkat dalam perusahaan untuk mencapai tujuan dan pengawasan atas kinerja perusahaan (Mintara, 2008 dalam Prawinandi dkk., 2012). Indonesia menganut sistem dua tingkat atau Two Tiers System, artinya perusahaan mempunyai dua badan terpisah, yaitu dewan pengawas (dewan komisaris) dan dewan manajemen (dewan direksi) FCGI, 2001 dalam Prawinandi dkk., 2012. Dari penjelasan 7 di atas dapat disimpulkan bahwa struktur corporate governance merupakan suatu susunan organ di dalam perusahaan yang menjalankan fungsi tata kelola sebagai pihak pengawas dan pihak yang menjalankan perusahaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia 2008). Inti dari corporate governance di Indonesia adalah pada dewan komisaris (FCGI, 2001 dalam Prawinadi dkk., 2012), sehingga struktur corporate governance yang digunakan dalam penelitian ini adalah dewan komisaris, termasuk komite yang berada di bawah dewan komisaris, yaitu komite audit. Perusahaan harus membuat pernyataan tentang pelaksanaan Corporate Governance berdasarkan Pedoman Corporate Governance yang dikeluarkan oleh KNKG (komite nasional kebijakan governance). Pengungkapan wajib merupakan bagian yang tidak terpisah dari lapran tahunan perusahaan. Pernyataan tentang pelaksanaan Corporate Governance disertai aspek-aspek penting yang telah dilaksanakan (Siswanto, 2009). 5. Jumlah Anggota Dewan Komisaris Tugas dewan komisaris adalah melakukan pengawasan dan memberikan nasehat kepada direksi. Dewan direksi adalah pihak yang menjalankan manajemen dalam perusahaan, sementara dewan komisaris adalah pihak yang menjalankan tata kelola perusahaan yang dilakukan manajemen dalam hal ini adalah dewan direksi (Setiawan, 2006 dalam Utami dkk., 2008). Tugas pengawasan dan nasihat itu dilaksanakan oleh dewan komisaris berdasarkan anggaran dasar perseorangan. Tugas dewan komisaris mengawasi dan memberikan nasehat kepada dewan direksi (GCG code, 2001 dalam Utami dkk., 2008). Pengawasan oleh dewan komisaris meliputi baik pengawasan atas kebijaka direksi dalam melakukan pengurusan perseroan terbatas, serta jalannya pengurusan tersebut secara umum, baik perseorangan maupun usaha perseroan. Pengawasan dan nasihat yang dilakukan dewan komisaris harus bertujuan untuk kepentingan perseorangan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseorangan. 8 Jumlah anggota dewan komisaris seperti juga direksi, bisa terdiri dari satu orang atau bisa juga lebih. Dewan komisaris yang terdiri lebih dari satu orang anggota bersifat “majelis”, dan setiap anggota dewan komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri, melainkan berdasarkan keputusan Dewan Komisaris. Perseroan yang kegiatannya menghimpun dan mengelola dana masyarakat, menerbitkan surat pengakuan utang serta perseroan terbuka (Tbk) wajib mempunyai paling sedikit dua orang anggota dewan komisaris. 6. Proporsi Komisaris Independen Dewan komisaris menggambarkan puncak dari sistim pengendalian pada perusahaan besar, yang memiliki peran ganda yaitu peran untuk memonitor dan pengesahan (ratification) (Antoni, 2008). Komisaris Independen merupakan bagian dari Dewan Komisaris yang tidak berasal dari pihak terafiliasi (Prawinandi dkk., 2012). Terafiliasi adalah pihak yang mempunyai hubungan bisnis dan kekeluargaan dengan pemegang saham pengendali, anggota Direksi dan Dewan Komisaris lain, serta dengan perusahaan itu sendiri (KNKG, 2006 dalam Prawinandi dkk., 2012). Cheng dan Courtenay (2006) dalam Prawinandi dkk., (2012) meneliti hubungan antara independensi Dewan Komisaris dan luas pengungkapan sukarela. Dewan komisaris adalah pihak yang berperan penting dalam menyediakan laporan keuangan perusahaan yang reliable. Keberadaan dewan komisaris mempunyai pengaruh terhadap kualitas laporan keuangan dan dipakai sebagai ukuran tingkat rekayasa yang dilakukan oleh manajer (Chtourou et al.,2001 dalam Antonia, 2008). Dewan komisaris yang independen secara umum mempunyai pengawasan yang lebih baik terhadap manajemen, sehingga mempengaruhi kemungkinan kecurangan dalam menyajikan laporan keuangan yang dilakukan oleh manajer (Chtourou et al.,2001 dalam Antonia, 2008) atau dengan kata lain, semakin kompeten dewan komisaris dalam menyajikan laporan keuangan perusahaan yang realiabel, maka semakin mengurangi kemungkinan kecurangan dalam pelaporan keuangan. 9 Proporsi dewan komisaris harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan pengambilan keputusan yang efektif, tepat dan cepat serta dapat bertindak secara independen (Antonia, 2008). Menurut Peraturan Pencatatan nomor IA tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek bersifat Ekuitas di Bursa yaitu jumlah komisaris independen minimum 30%. Dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance), perusahaan tercatat wajib memiliki komisaris independen yang jumlahnyaproporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh bukan pemegang sahampengendali dengan ketentuan jumlah komisaris independen sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari jumlah seluruh anggota komisaris. (Kusumaning, 2004 dalam Antonia, 2008). 7. Latar Belakang Pendidikan Komisaris Utama Latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh komisaris utama berpengaruh terhadap pengetahuan yang dimiliki (Ahmed and Nicholls, 1994 dalam Suhardjanto dkk., 2010). Komisaris utama yang memiliki latar belakang pendidikan bisnis akan lebih baik dalam mengelola bisnis dan mengambil keputusan (Bray, Howard, dan Golan, 1995 dalam Suhardjanto dkk., 2010. Susunan kebijakan perusahaan adalah bentuk distribusi kepemilikan, dan sifat dari Board of Directors adalah faktor level perusahaan yang paling menonjol yang mempengaruhi kebijakan Direktur Utama, Board of Directors mungkin bertindak sebagai kendala karena harus menyetujui inisiatif strategis sebelum Direktur Utama dapat menjalankan inisiatif tersebut (Kumala, 2012). Managerial Discretion akan tinggi ketika Direktur Utama memiliki kendali yang besar atas anggota Board of Directors, jika tidak, Direktur Utama akan terhalang kurangnya pengetahuan pihak luar untuk memilih strategistrategi dalam memimpin perusahaan guna memaksimumkan kinerja. Marris dan McEachern (dikutip dari Kumala, 2012) menyatakan, kebijaksanaan akan lebih tinggi bagi Direktur Utama dengan kepemilikan saham perusahaan yang signifikan, terutama dalam ketiadaannya pemegang saham lain yang signifikan. Latar belakang pendidikan Direktur Utama akan mempengaruhi berbagai keputusan yang akan diambil, karena Direktur Utama akan 10 menyelaraskan antara kebijakan dengan ilmu yang pernah diperoleh (Kumala, 2012). Pendidikan pada bidang ekonomi banyak menekankan pada pencapaian secara finansial, sehingga mengabaikan kinerja sosial yang harus dilakukan perusahaan Arce, 2004 dalam Kumala, (2012). Hambrick dan Manson dalam Manner, (2010) berpendapat bahwa jumlah dan jenis pendidikan berisi “informasi yang kaya dan komplek” tentang individu. Pendapat bahwa pendidikan itu sendiri adalah bentuk nilai-nilai dan keyakinan perilaku didukung oleh Frank et al, 1993 (dikutip dari Manner, 2010). 8. Jumlah Rapat Dewan Komisaris Tingkat pengungkapan wajib sangat di pengaruhi oleh jumlah rapat dewan komisaris. Jika jumlah rapat dewan komisaris setiap periodenya sedikit maka akan berdampak pada berkurangnya pengawasan dan pelaporan atas pengungkapan mandatory disclosurekonfergensi IFRS. Rapat dewan komisaris merupakan suatu proses yang dilalui oleh dewan komisaris dalam pengambilan suatu keputusan mengenai kebijakan perusahaan. Rapat yang diselenggarakan oleh dewan komisaris dilakukan untuk mengawasi kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh dewan direksi dan implementasinya (Waryanto, 2010). 9. Jumlah Anggota Komite Audit Peran komite audit sangat penting karena mempengaruhi kualitas laba perusahaan yang merupakan salah satu informasi penting yang tersedia untuk publik dan dapat digunakan investor untuk menilai perusahaan (Suarayana, 2006). Investor sebagai pihak luar perusahaan tidak dapat mengamati secara langsung kualitas sistem informasi perusahaan (Teoh dan Wong, 1993 dalam Suarayana, 2006). Oleh karena itu, persepsi mengenai kinerja komite audit akan mempengaruhi penilaian investor terhadap kualitas laba perusahaan (Suarayana,2006). Tugas komite berhubungan dengan kualitas laporan keuangan, karena komite audit diharapkan dapat membantu dewan komisaris dalam pelaksanaan tugas yaitu mengawasi proses pelaporan keuangan oleh manajemen (Suarayana, 2006). Dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan perusahaan yang baik (good corporate governance) BEI mewajibkan perusahaaan tercatat memiliki 11 komisaris independen dan komiteaudit. Keanggotaan komite audit sekurangkurangnya tiga anggota dan seorang di antaranyakomisaris independen perusahaan tercatat sekaligus menjadi ketua komite (Suarayana, 2006). Sebaliknya, pihak lainadalah pihak ekstern yang independen dan sekurangkurangnya salah seorang memilikikemampuan di bidang akuntansi dan keuangan (Suarayana, 2006). Komite audit bertugas membantu dewan komisaris untuk memonitor proses pelaporan keuangan oleh manajemen untuk meningkatkan kredibilitas laporan keuangan (Bradbury et al. 2004 dalam Suarayana, 2006). Tugas komite audit meliputi menelaah kebijakan akuntansi yang diterapkan oleh perusahaan, menilai pengendalian internal, menelaah sistem pelaporan eksternal dan kepatuhan terhadap peraturan. Di dalam pelaksanaan tugasnya komite menyediakan komunikasi formal antara dewan, manajemen, auditor eksternal, dan auditor internal (Bradbury et al., 2004 dalam Suarayana, 2006). Adanya komunikasi formal antara komite audit, auditor internal, dan auditor eksternal akan menjamin proses audit internal dan eksternal dilakukan dengan baik. Proses audit internal dan eksternal yang baik akan meningkatkan akurasi laporan keuangan dan kemudian meningkatkan kepercayaan terhadap laporan keuangan (Anderson et al., 2003 dalam Suarayana, 2006). B. PENURUNAN HIPOTESIS 1. Pengaruh jumlah anggota dewan komisaris terhadap tingkat kepatuhan mandatory disclosure konvergensi IFRS Inti dari corporate governance Indonesia ada pada dewan komisaris karena tugas utama dewan komisaris adalah mengawasi dan mengevaluasi pembuatan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan tersebut oleh dewan direksi serta memberi nasehat kepada dewan direksi (Muntoro, 2005 dalam Prawinandi dkk., 2012). Menurut Undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, jumlah minimal anggota dewan komisaris adalah 1 orang. Di Australia menunjukkan bahwa jumlah anggota dewan komisaris berpengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan pengungkapan IFRS (Kent dan 12 Stewart, 2008 dalam Prawinandi dkk., 2012). Erik dan Anete (2005) dalam Yuendkk. (2009) berpendapat bahwa pemegang saham pengendali mungkin akan kurang tergantung pada transparansi dan pengungkapan informasi, dan mereka mendapatkan informasi secara langsung dari saluran informal. Hasil penelitian Al-Akra et al. (2010) di Aman menunjukkan bahwa jumlah anggota dewan komisaris berpengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan pengungkapan wajib IFRS. Hasil penelitian Prawinandi (2012), jumlah anggota dewan komisaris tidak berpengaruh tingkat kepatuhan Mandatory Disclosure konfergensiIFRS. Peran anggota dewan komisaris adalah dalam mengawasi dan mengevaluasi pembuatan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan. Semakin besar proporsi jumlah anggota dewan komisaris diharapkan tindak kecurangan akan semakin sedikit dan dapat meningkatkan kepatuhan Mandatory Disclosure konfergensiIFRS, karena besarnya jumlah anggota dewan komisaris memungkinkan perusahaan tidak didominasi oleh pihak manajemen dalam menjalankan perannya. Berdasarkan uraian di atas, hipotesis yang dikembangkan adalah H1 :Jumlah anggota dewan komisaris berpengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan mandatory disclosure konvergensi IFRS 2. Pengaruh Proporsi komisaris independen terhadap tingkat kepatuhan mandatory disclosure konvergensi IFRS Komisaris Independen adalah anggota dewankomisaris yang tidak terafiliasi dengan direksi, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentinga perusahaan. Komisaris independen adalah komisaris yang berasal dari luar perusahaan (Suhardjanto dan Afni, 2009 dalam Prawinandi dkk.,2012). Keberadaan komisaris independen telah diatur dalam Kep-305/BEJ/07-2004 yang mengatur agar perusahaan yang listed di bursa mempunyai komisaris independen minimal 30% dari jumlah anggota dewan komisaris. Kriteria komisaris independen di Indonesia diambil dari 13 kriteria otoritas bursa efek Australia tentang outside directors, dimana kriteria tersebut menekankan tentang pentingnya independensi dalam dewan komisaris (FCGI, 2001 dalam Prawinandi dkk., 2012). Dengan makin besarnya proporsi komisaris independen maka proses pengawasan yang dilakukan dewan ini makin berkualitas dengan makin banyaknya pihak independen dalam perusahaan yang menuntut adanya transparansi dalam pelaporan keuangan perusahaan (Nasution dan Setiawan, 2007 dalam Prawinandi dkk.,2012). Komisaris independen harus secara proaktif mengupayakan agar dewankomisarismelakukanpengawasanterhadap pelaporan keuangan yang transparan terhadap tingkat kepatuhan mandatory disclosure konvergensi IFRS. Proporsi komisaris independen berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan dalam laporan keuangan (Huafang dan Jianguo 2007 dalam Prawinandi dkk., 2012). Hasil penelitian Prawinandi (2012), menunjukkan bahwa proporsi komisaris independen berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengungkapan dalam laporan keuangan. Semakin besarnya proporsi komisaris independen maka proses pengawasan yang dilakukan dewan ini makin berkualitas dengan makin banyaknya pihak independen dalam perusahaan yang menuntut adanya transparansi dalam pelaporan keuangan perusahaan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhanmandatory disclosure konvegensi IFRS. Berdasarkan uraian di atas, hipotesis yang dikembangkan adalah: H2:Proporsi komisaris independen berpengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan mandatory disclosure konvergensi IFRS 3. Pengaruh Latar belakang pendidikan komisaris utama terhadap tingkat kepatuhan mandatory disclosure konvergensi IFRS Istilah menurut BPS direktur utama adalah orang yang berwenang merumuskan dan menetapkan suatu kebijaksanaan dan program umum perusahaan, atau organisasi sesuai dengan batas wewenang yang diberikan oleh suatu badan pengurus atau badan pimpinan yang serupa seperti dewan komisaris. Suhardjanto dan Afni (2009) menjelaskan bahwa latar belakang 14 pendidikan komisaris utama akan mempengaruhi keputusan dan masukan yang diberikan kepada dewan direksi. Salah satu keputusan yang dibuat oleh dewan direksi adalah keputusan tentang mandatory disclosure yang akan dilakukan oleh perusahaan. Penelitian Suhardjanto dan Afni (2009) dalam Prawinandi dkk (2012) di Indonesia menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan dewan komisaris merupakan faktor yang menentukan social disclosure dalam annual report perusahan. Hasil penelitian Prawinandi (2012),dimana hasilnya menunjukkan bahwa bahwa latar belakang pendidikan komisaris utama tidak mempengaruhi mandatory disclosure Konfegensi IFRS. Komisaris utama yang memiliki latar belakang pendidikan ekonomi dan bisnis diharapkan lebih memahami tentang pengelolaan perusahaan dan pengambilan keputusan bisnis, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan mandatory disclosure Konfegensi IFRS (Prawinandi dkk., 2012). Berdasarkan uraian di atas, hipotesis yang dikembangkan adalah: H3:Latar belakang pendidikan komisaris utama berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan mandatory disclosure konvergensi IFRS 4. Pengaruh jumlah rapat dewan komisaris terhadap tingkat kepatuhan mandatory disclosure konvergensi IFRS Tingkat pengungkapan wajib sangat di pengaruhi oleh jumlah rapat dewan komisaris. Jika jumlah rapat dewan komisaris setiap periodenya sedikit maka akan berdampak pada berkurangnya pengawasan dan pelaporan atas pengungkapan mandatory disclosurekonfergensi IFRS. Selain itu, dengan seringnya mengadakan pertemuan akan meningkatkan kepatuhan pengungkapan. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Xie et al. (2003) dalam Waryanto (2010) yang menemukan bahwa semakin sering dewan komisaris mengadakan rapat, maka fungsi pengawasan semakin efektif sehingga pengungkapan 73 yang dilakukan perusahaan akan semakin luas.Dengan bahwa semakin banyak rapat yang diselenggarakan dewan komisaris akan meningkatkan kinerjanya. Hal tersebut berdampak terhadap 15 peningkatan pengungkapan informasi oleh dewan komisaris terkait dengan pengungkapan mandatory disclosurekonvergensi IFRS. H4: Jumlah rapat dewan komisaris berpengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan mandatory disclosure konvergensi IFRS 5 Pengaruh Jumlah anggota komite audit terhadap tingkat kepatuhan mandatory disclosure konvergensi IFRS FCGI (2001) dalam Prawinandi dkk., (2012) menjelaskan bahwa agar dapat menjalankan fungsinya di tengah lingkungan bisnis yang kompleks dengan baik, dewan komisaris perlu membentuk komite-komite yang membantunya menjalankan tugas, salah satunya adalah komite audit. SE03/PM/2000 mewajibkan semua perusahaan publik untuk memiliki komite audit. Kep-29/PM/2004 menjelaskan bahwa tugas komite audit adalah memberi pendapat kepada dewan komisaris terhadap laporan atau hal-hal yang disampaikan oleh dewan direksi kepada dewan komisaris, mengidentifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian komisaris dan melaksanakan tugas-tugas lain yang berkaitan dengan tugas dewan komisaris. Penelitian Kent dan Stewart (2008) dalam Prawinandi dkk., (2012) di Australia menunjukkan bahwa jumlah anggota komite audit mempengaruhi kualitas pengungkapan dalam laporan keuangan yang disusun berdasarkan IFRS, dimana di dalamnya termasuk mandatory disclosurekonfergensi IFRS. Hasil penelitian Al-Akra et al. (2010) dalam Prawinandi dkk., (2012) di Yordania menunjukkan bahwa jumlah komite audit merupakan faktor yang berpengaruh positif terhadap kepatuhan pengungkapan wajib IFRS. Hasil penelitian Prawinandi (2012),menunjukkan bahwa jumlah anggota komite audit berpengaruh terhadap kualitas laporan keuangan, dimana kualitas tersebut diukur melalui pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan dalam laporan keuangannya. Jumlah komite audit yang bertugas menelaah kebijakan akuntansi yang diterapkan oleh perusahaan, menilai pengendalian internal, menelaah sistem pelaporan eksternal dan kepatuhan terhadap peraturan, sehingga diharapkan 16 dapat meningkatkan kepatuhanmandatory disclosure konvergensi IFRS. Berdasarkan uraian di atas, hipotesis yang dikembangkan adalah: H5: Jumlah anggota komite audit berpengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan mandatory disclosure konvergensi IFRS III. METODE PENELITIAN A. Objek/Subyek Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Periode penelitian mencakup data pada tahun 2012-2013. Sampel dalam penelitian ini adalah perusahaan yang bergerak pada bidang manufaktur. B. Jenis Data Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diambil dalam annual report perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2011-2012. C. Teknik Pengambilan Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI dan memiliki kreteria tertentu. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. D. Teknik Pengumpulan Data Data dikumpulkan menggunakan penelusuran data sekunder melalui metode dokumentasi. Dokumentasi dilakukan dengan menggunakan sumber-sumber data dokumenter seperti laporan tahunan dan summary of financial statement perusahaan yang menjadi sampel penelitian. E. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel 1. Variabel Dependen (tingkat kepatuhan mandaroty disclosure konfergensi IFRS) Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat kepatuhan mandatory disclosure konfergensi IFRS. mandatory disclosure dapat diartikan Pengungkapan yang bersifat wajib 17 (mandatory) yaitu pengungkapan informasi yang wajib dilakukan oleh perusahaan yang didasarkan pada peraturan atau standar tertentu. Identifikasi item pengungkapan menggunakan cheklist BAPEPAM LK 2013. Item-item yang dipilih dari checklist ini disesuaikan dengan PSAK yang berlaku di Indonesia yang wajib diterapkan untuk perusahaan manufaktur yang sudah konfergensi IFRS. Pengungkapan wajib diukur dengan menggunakan teknik dikotomis, yakni jika item tersebut dapat diterapkan (applicable) dalam perusahaan dan diungkapkan diberi skor 1 dan jika tidak diungkapkan diberi skor 0. Tingkat kepatuhan mandatory disclosure konvergensi IFRS dalam penelitian ini diperoleh dengan membagikan total klasifikasi item tingkat kepatuhan mandatory disclosure perusahaan dengan Jumlah seluruh kreteria item cheklis pengungkapan yang telah di tetapkan BAPEPAM LK 2013 yang sudah konfergensi IFRS yaitu 155 item pengungkapan untuk perusahaan manufaktur. Rumus yang digunakan untuk menghitung tingkat kepatuhan pengungkapan wajib konvergensi IFRS ini adalah MANDSCORE = Total Klasifikasi yang di ungkapkan X 100% 155 2. Variabel Independen (struktur corporate governance) a. Jumlah Anggota Dewan Komisaris Jumlah anggota dewan komisaris adalah banyaknya anggota dewan komisaris dalam suatu perusahaan (Ujiyantho dan Pramuka, 2007 dalam Prawinandi dkk., 2012). Jumlah anggota dewan komisaris diukur dengan jumlah komisaris dari pihak yang terafiliasi (memiliki hubungan, salah satunya pihak internal perusahaan) dan tidak terafiliasi (tidak memiliki hubungan) dengan perusahaan (KNKG, 2006 dalam Prawinandi., 2012). Cara mengukur anggota dewan komisaris dengan menjumlah total anggota dewan komisaris. 18 b. Proporsi Komisaris Independen Proporsi komisaris independen adalah perbandingan jumlah anggota dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan (tidak terafiliasi) dengan jumlah seluruh anggota dewan komisaris (Haniffa dan Cooke, 2005 dalam Prawinandi dkk., 2012), dimana ukuran yang digunakan oleh Haniffa dan Cooke (2005) dalam Prawinandi dkk., (2012) adalah dengan membagi jumlah anggota komisaris yang berasal dari luar perusahaan dengan jumlah keseluruhan anggota dewan komisaris. Jumlah anggota dewan komisaris independen JADK = Jumlah seluruh anggota komisaris c. Latar Belakang Pendidikan Komisaris Latar belakang pendidikan komisaris utama adalah latar belakang pendidikan ekonomi dan bisnis yang dimiliki oleh komisaris utama (Suhardjanto dan Afni, 2009 dalam Prawinandi dkk., 2012). Latar belakang pendidikan ini diukur dengan variabel dummy, dimana jika komisaris utama memiliki latar belakang pendidikan ekonomi atau bisnis diberi kode 1, selain ekonomi atau bisnis diberi kode 0 (Suhardjanto dan Miranti, 2009 dalam Prawinandi dkk., 2012). d. Jumlah Rapat Dewan komisaris Tingkat pengungkapan wajib sangat di pengaruhi oleh jumlah rapat dewan komisaris. Jika jumlah rapat dewan komisaris setiap periodenya sedikit maka akan berdampak pada berkurangnya pengawasan dan pelaporan atas pengungkapan mandatory disclosure. Jumlah rapat dewan komisaris dalam penelitian ini di ukur dengan menjumlah seluruh rapat yang diselenggarakan selama satu periode. e. Jumlah Anggota Komite Audit Komite audit adalah komite yang bertugas membantu dewan komisaris untuk memastikan bahwa laporan keuangan 19 disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, struktur pengendalian internal perusahaan dilaksanakan dengan baik, pelaksanaan audit internal maupun eksternal dilaksanakan sesuai dengan standar audit yang berlaku, dan tindak lanjut temuan hasil audit dilaksanakan oleh manajemen (BAPEPAMLK, 2010 dalam Prawinandi dkk., 2012). Ukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah anggota komite audit dalam perusahaan (Zaluki dan Husin, 2009 dalam Prawinandi dkk., 2012). 3. Variabel Kontrol a. Jumlah Anggota Dewan Direksi Menurut KNKG (2006) dalam Prawinandi dkk., (2012), direksi adalah organ perusahaan yang bertugas dan bertanggung jawab secara kolegial dalam mengelola perusahaan dan mengambil keputusan strategis dalam perusahaan. Jumlah anggota dewan direksi diukur dari banyaknya anggota direksi masing-masing perusahaan, sesuai yang digunakan penelitian Suhartini (2006) dalam Prawinandi dkk., (2012). b. Profitabilitas Profitabilitas digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan (Apostolou dan Nanopoulos, 2009 dalam Prawinandi dkk., 2012). Profitabilitas diukur dengan membandingkan pendapatan setelah pajak dengan total ekuitas (Fekete et al., 2009 dalam Prawinandi dkk., 2012). Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba pada periode tertentu (Nurkhin, 2009 dalam Utami dkk., 2012). c. Leverage Leverage adalah rasio utang terhadap ekuitas perusahaan (Sejjaaka, 2004 dalam Prawinandi dkk., 2012). Leverage merupakan pengukur besarnya aktiva yang dibiayai dengan utang. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan Haniffa dan Cooke 20 (2005), Suhardjanto dan Miranti (2009) dalam Utami dkk., 2012 yaitu menggunakan rasio utang terhadap modal sendiri. Leverage diukur dengan membandingkan total utang dengan total ekuitas perusahaan (Lama et al., 2010 dalam Prawinandi dkk., 2012). IV. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Gambaran Umum Obyek Penelitian Perusahaan yang menjadi obyek dalam penelitian ini adalah perusahaan manufakturgo public yang terdaftar dalam Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2012 sampai 2013. Berdasarkan metode purposive sampling diperoleh 117 perusahaan manufaktur yang memenuhi kriteria. Berikut perincian proses pengambilan sampel dapat dilihat pada tabel 1 : TABEL 1 Proses Pengambilan Sampel Keterangan Perusahaan manufaktur yang tedaftar di BEI 2011 132 2012 143 Perusahaan yang tidak memiliki Laporan tahunan (annualreport) atau Laporan Keuangan Perusahaan yang tidak memenuhi kriteria sampel Jumlah sampel per-tahun Jumlah seluruh sampel (36) (40) (43) 53 (39) 64 117 B. Uji Statistik Deskriptif Adapun deskriptif disajikan dalam tabel berikut : Tabel 2 memberikan gambaran statistik deskriptif pada setiap variabel penelitian. Jumlah dalam penelitian ini adalah 117 sampel. 21 TABEL 2 Satistik Deskriptif Descriptive Statistics N Mandatory Disclosure Jumlah Anggota dewan Komis aris Proporsi Dewan Komis aris Independen Latar Bekang Komis aris Utama Jumlah Rapat Dewan Komis aris Jumlah Komite Audit Jumlah Anggota Dewan direksi Prifitabilitas Laverage Valid N (listwise) 117 Minimum ,75 Maximum ,99 Sum 103,52 Mean ,8848 Std. Deviation ,05519 117 2 10 493 4,21 1,771 115 ,00 1,00 46,49 ,4043 ,12379 117 0 1 62 ,53 ,501 117 1 43 578 4,94 4,962 116 2 7 359 3,09 ,543 117 2 13 572 4,89 2,177 117 117 114 -443,71 -44,71 121,90 13,50 1191,91 72,52 10,1873 ,6198 48,37912 4,49028 Sumber: Output SPSS C. Uji Asumsi Klasik 1. Uji Normalitas Hasil pengujian normalitas disajikan pada tabel 3: TABEL 3 Hasil Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test N Normal Parameters a,b Most Extreme Differences Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative Kolmogorov-Smirnov Z As ymp. Sig. (2-tailed) Unstandardiz ed Res idual 114 ,0000000 ,05350360 ,058 ,035 -,058 ,617 ,840 a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. Nilai Asymp. Sig (2-tailed) yang diperoleh melalui uji one-sample kolmogorov-smirnov (KS) sebesar 0,840 menunjukkan lebih besar dari α (0,05), maka dapat disimpulkan bahwa data berdistribusi normal. 22 2. Uji Multikolinearitas Hasil uji multikoliniearitas menggunakan metode variance inflation factors (VIF) disajikan pada tabel 4: TABEL 4 Hasil Uji Multikolinieritas Coefficientsa Model 1 (Constant) Jumlah Anggota dewan Komisaris Proporsi Dewan Komisaris Independen Latar Bekang Komisaris Utama Jumlah Rapat Dewan Komisaris Jumlah Komite Audit Jumlah Anggota Dewan direksi Prifitabilitas Laverage Unstandardized Coefficients B Std. Error ,866 ,036 Standardized Coefficients Beta t 23,890 Sig. ,000 Collinearity Statistics Tolerance VIF -,002 ,004 -,070 -,598 ,551 ,645 1,549 ,011 ,045 ,026 ,253 ,801 ,857 1,167 ,000 ,011 -,003 -,026 ,979 ,937 1,068 ,001 ,001 ,107 1,113 ,268 ,952 1,050 -,003 ,010 -,033 -,332 ,741 ,919 1,088 ,007 ,003 ,268 2,262 ,026 ,630 1,587 -8,9E-005 -,004 ,000 ,003 -,038 -,102 -,372 -1,060 ,710 ,291 ,856 ,953 1,168 1,049 a. Dependent Variable: Mandatory Disclosure sumber Output Spss Tabel 4 menunjukkan nilai tolerance menunjukkan semua variabel independen dalam penelitian ini lebih besar dari 0,10 dan nilai VIF (Variance Inflation Factor) untuk semua variabel kurang dari 10. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinieritas dalam penelitian. 3. Uji Heteroskedastisitas Hasil uji glejser menunjukkan tidak satupun variabel bebas yang signifikan secara statistik mempengaruhi variabel terikat.Hal ini terlihat dari tingkat probabilitas signifikansi di atas 0,05.Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas. Hasil uji heteroskedastisitas dengan menggunakan metode glejtser disajikan pada tabel 5. 23 TABEL 5 Hasil uji Heteroskedastisitas Coefficientsa Model 1 (Constant) Jumlah Anggota dewan Komisaris Proporsi Dewan Komisaris Independen Latar Bekang Komisaris Utama Jumlah Rapat Dewan Komisaris Jumlah Komite Audit Jumlah Anggota Dewan direksi Prifitabilitas Laverage Unstandardized Coefficients B Std. Error ,089 ,022 Standardized Coefficients Beta t 4,065 Sig. ,000 Collinearity Statistics Tolerance VIF ,002 ,002 ,127 1,091 ,278 ,634 1,577 -,044 ,026 -,166 -1,658 ,100 ,855 1,170 -,007 ,006 -,114 -1,196 ,234 ,936 1,068 -,001 ,001 -,149 -1,574 ,118 ,958 1,044 -,001 ,006 -,024 -,249 ,804 ,925 1,081 -,015 ,009 -,198 -1,692 ,094 ,621 1,609 -6,1E-005 -,002 ,000 ,002 -,044 -,082 -,441 -,863 ,660 ,390 ,855 ,950 1,169 1,053 a. Dependent Variable: Abs Ut Sumber Output Spss . 4. Uji Autokorelasi Hasil uji autokorelasi dengan menggunakan uji autokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji Durbin-Watson (D-W), disajikan pada tabel 6: TABEL 6 Hasil Uji Autokorelasi Model Summaryb Model 1 R ,270a R Square ,073 Adjusted R Square ,003 Std. Error of the Estimate ,05550 DurbinWatson 1,163 a. Predictors: (Constant), Laverage, Jumlah Anggota dewan Komisaris , Latar Bekang Komis aris Utama, Jumlah Rapat Dewan Komisaris, Proporsi Dewan Komisaris Independen, Jumlah Komite Audit, Prifitabilitas , Jumlah Anggota Dewan direksi b. Dependent Variable: Mandatory Disclosure Dari tabel diatas pada model persamaan menunjukan bahwa nilai sebasar 1,163 pada daerah D-W diantara -2 sampai dengan +2, berarti model regresi tidak terjadi autokorelasi. 24 D. Uji Hipotesis 1. Uji Pengaruh Simultan (Uji Nilai F) Berdasarkan tabel 7 diperoleh nilai signifikansi (0,414) > alpha (0,05) yang artinya tidak terdapat pengaruh secara bersama-sama variabel independen dalam hal ini jumlah anggota dewan komisaris, proporsi komisaris independen, latarbelakang komisaris utama, jumlah anggota dewan komisaris, jumlah dewan direksi, profitabilitas, dan leverage terhadap variabel dependen yaitu kepatuhan pengungkapan mandatory disclosure konfergensi IFRS. TABEL 7 Hasil Uji Nilai F ANOVAb Model 1 Regres sion Residual Total Sum of Squares ,026 ,323 ,349 df 8 105 113 Mean Square ,003 ,003 F 1,036 Sig. ,414a a. Predictors: (Constant), Laverage, Jumlah Anggota dewan Komisaris, Latar Bekang Komisaris Utama, Jumlah Rapat Dewan Komis aris , Propors i Dewan Komisaris Independen, Jumlah Komite Audit, Prifitabilitas , Jumlah Anggota Dewan direks i b. Dependent Variable: Mandatory Disclosure 2. Uji Parsial (Uji Nilai t) Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan alat analisis regresi linear berganda diperoleh hasil seperti yang tampak pada tabel 8. Dari tabel 8 dibawah ini dapat dirumuskan persamaan regresi sebagai berikut: MANDSCORE = 0,866 – 0,002(JADK) + 0,011(PDKI) + 0,000(LBKU) + 0,001 (JRDK) + (-0,003) (JAKA) + 0,007 (JADD) + (-89E0,005) (prof) + (-0,004) (lev) + e 25 TABEL 8 Hasil Uji Nilai t Coefficientsa Model 1 (Constant) Jumlah Anggota dewan Komisaris Proporsi Dewan Komisaris Independen Latar Bekang Komisaris Utama Jumlah Rapat Dewan Komisaris Jumlah Komite Audit Jumlah Anggota Dewan direksi Prifitabilitas Laverage Unstandardized Coefficients B Std. Error ,866 ,036 Standardized Coefficients Beta t 23,890 Sig. ,000 Collinearity Statistics Tolerance VIF -,002 ,004 -,070 -,598 ,551 ,645 1,549 ,011 ,045 ,026 ,253 ,801 ,857 1,167 ,000 ,011 -,003 -,026 ,979 ,937 1,068 ,001 ,001 ,107 1,113 ,268 ,952 1,050 -,003 ,010 -,033 -,332 ,741 ,919 1,088 ,007 ,003 ,268 2,262 ,026 ,630 1,587 -8,9E-005 -,004 ,000 ,003 -,038 -,102 -,372 -1,060 ,710 ,291 ,856 ,953 1,168 1,049 a. Dependent Variable: Mandatory Disclosure sumber Output Spss Hasil pengujian terhadap hipotesis-hipotesis penelitian adalah sebagai berikut: a. Jumlah anggota dewan komisaris terhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure kovergensi IFRS Variabel jumlah anggota dewan komisaris memiliki nilai koefisien regresi sebesar -0,002 dengan signifikansi sebesar 0,551 > alpha (0,05) sehingga jumlah anggota dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure kovergensi IFRS. Dengan demikian hipotesis satu ditolak. b. Proporsi dewan komisaris berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure kovergensi IFRS Variabel proporsi dewan komisaris memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0,011 dengan signifikasi sebesar 0,801> alpa (0,05) sehingga proporsi dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure kovergensi IFRS. Dengan demikian hipotesis kedua ditolak. c. Latar belakang pendidikan komisaris terhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure kovergensi IFRS Variabel latar belakang pendidikan komisaris utama memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0,000 dengan signifikasi sebesar 0,979 > alpa (0,05) 26 sehingga latar belakang pendidikan komisaris utama tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure kovergensi IFRS. Dengan demikian hipotesis ketiga ditolak. d. Jumlah rapat dewan komisaris terhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure kovergensi IFRS Variabel jumlah rapat dewan komisaris memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0,001 dengan signifikasi sebesar 0,268> alpa (0,05) sehingga jumlah rapat dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure kovergensi IFRS. Dengan demikian hipotesis keempat ditolaK. e. Jumlah anggota komite auditterhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure kovergensi IFRS Variabel jumlah anggota komite audit mimiliki nilai koefisien regresi sebesar -0,003 dengan signifikasi sebesar 0,741 > alpa (0,05) sehingga jumlah anggota komite audit tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure kovergensi IFRS. Dengan demikian hipotesis satu ditolak. f. Veriabel Kontrol jumlah anggota dewan direksi Variabel jumlah anggota dewan direksi memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0,007 dengan signifikasi sebesar 0,026 < alpa (0,05) sehingga jumlah anggota dewan direksi berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure kovergensi IFRS. g. Variabel kontrol profitabilitas Variabel profitabilitas memiliki nilai koefisien regresi sebesar -8,9E-0,005 dengan signifikasi sebesar 0,856 > alpa (0,05) sehingga variabel provitabilitas tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure kovergensi IFRS. h. Variabel kontrol leverage Variabel leverage memiliki nilai koefisien regresi sebesar -0,004 dengan signifikasi sebesar 0,953 > alpa (0,05) sehingga leverage tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure kovergensi IFRS. 27 3. Koefisien Determinasi (Adjusted R2) TABEL 9 Hasil Uji Determinasi Model Summaryb Model 1 R ,270a R Square ,073 Adjusted R Square ,003 Std. Error of the Estimate ,05550 DurbinWatson 1,163 a. Predictors: (Constant), Laverage, Jumlah Anggota dewan Komisaris , Latar Bekang Komis aris Utama, Jumlah Rapat Dewan Komisaris, Proporsi Dewan Komisaris Independen, Jumlah Komite Audit, Prifitabilitas , Jumlah Anggota Dewan direksi b. Dependent Variable: Mandatory Disclosure Dari hasil tabel tersebut diketahui bahwa nilai adjusted R2sebesar 0,003 atau 3%. Hal ini menunjukkan bahwa variabel dependen tingkat kepatuhan mandatory disclosure konfergensi IFRS dapat dijelaskan sebesar 0,3% oleh variabel-varibel independen yaitu jumlah anggota dewan komisaris, proporsi komisaris independen, latar belakang pendidikan komisaris, jumlah rapat dewan komisaris, dan jumlah anggota komite audit.resiko. sedangkan sisanya sebesar 99,7% dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti. E. Pembahasan Penelitian ini menguji pengaruh jumlah anggota dewan komisaris, proporsi komisaris independen, latar belakang komisaris utama, jumlah rapat dewan komisaris, dan jumlah anggota komite audit. Dan variabel kontrol dalam penelitian ini adalah profitabilitas, leverage dan jumlah anggota dewan direksi. Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan menunjukan bahwa semua variabel independen tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure konvergensi IFRS. Sedangkan dalam penelitian ini menunjukkan satu variabel kontrol yang berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure konvergensi IFRS. Variabel kontrol yang berpengaruh signifikan terhadap terhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure konvergensi IFRS adalah jumlah anggota dewan direksi. 28 1. Pengaruh jumlah anggota dewan komisaris terhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure konvergensi IFRS Hasil pengujian hipotesis pertama membuktikan bahwa jumlah anggota dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure konvergensi IFRS. Penolakan hipotesis pertama ini mengidikasikan bahwa jumlah anggota dewan komisaris yang terlalu besar akan membuat proses mencari kesepakatan dan pengambilan keputusan menjadi sulit, panjang dan bertele-tele, sedangkan jumlah anggota yang kecil menyebabkan dewan komisaris tidak dapat memberikan tekanan kepada dewan direksi (Muntoro, 2005 dalam prawinandi dkk, 2012) sehingga tidak dapat mendorong perusahaan untuk mengungkapkan informasi wajib yang lebih memadai. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh prawindandi dkk (2012), Al-Akra et al. (2010). Namun, hasil penelitian ini bertentangan dengan Suhardjanto,dkk (2010) menunjukkan bahwa jumlah anggota dewan komisaris bepengaruh terhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure konvergensi IFRS. 2. Pengaruh proporsi komisaris independen terhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure konvergensi IFRS Hasil pengujian hipotesis kedua menunjukkan bahwa proporsi komisaris independen tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure konvergensi IFRS. Hal ini mengidentifikasikan bahwa proporsi yang di tetapkan untuk komisaris independen dengan ketentuan minimum dewan komisaris independen sebesar 30% belum cukup tinggi untuk membuat komisaris independen tersebut mendominasi kebijakan yang diambil oleh dewan komisaris dalam mengawasi dan mengevaluasi pembuatan kebijakan pembuatan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan, yang diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan mandatory disclosurekonvergensi IFRS. Jika komisaris independen merupakan pihak mayoritas dalam jumlah anggota dewan komisaris (>50%) mungkin dapat lebih efektif dalam memonitor perusahaan. 29 Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Utama dkk (2012). Akan tetapi berlawanan dengan penelitian Prawidandi dkk (2012) yang menyatakan proporsi dewan komisaris independen berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure konvergensi IFRS. 3. Pengaruh latar belakang pendidikan komisaris utama terhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure konvergensi IFRS Hasil pengujian hipotesis ketiga menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan komisaris utama tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure konvergensi IFRS. Penolakan hipotesis ini disebabkan karena bidang latar belakang pendidikan yang digunakan dalam penelitian ini hanya ekonomi dan bisnis. Dimana terdapat kemungkinan bahwa latar belakang pendidikan komisaris utama yang sesuai dengan jenis usaha perusahaan dapat yang dapat menunjang kelangsungan bisnis lebih diperlukan dalam perusahaan. Selain itu, keahlian dan kemampuan seseorang tidak hanya dilihat dari latar belakang pendidikannya saja, tapi juga dilihat dari sejauh mana pengalaman yang telah ia dapat. Penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh prawinandi dkk (2012) dan Kumala (2012) yang menyatakan latar belakang pendidikan komisaris utama tidak berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure konvergensi IFRS. 4. Pengaruh jumlah rapat dewan komisaris terhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure konvergensi IFRS. Hasil pengujian hipotesis keempat menunjukkan bahwa jumlah rapat dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure konvergensi IFRS. Hal ini mengidentifikasikan kesadaran perusahaan untuk melakukan pengungkapan wajib yang konfergensi dengan IFRS bukan berdasarkan tinggi rendahnya intensutas rapat dewan komisaris. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tinggi rendahnya intensitas rapat dewan komisaris bukan pertimbangan untuk tingkat kepatuhan mandatory disclosure konvergensi IFRS. Selain itu, 30 seringkali terdapat seorang atau lebih jalannya rapat kelompoknya dan hanya sehingga komisaris mementingkan mengesampingkan yang mendominasi kepentingan pribadi kepentingan atau perusahaan, padahal proses rapat sangat penting dalam menentukan efektivitas dewan komisaris (Muntoro, 2006 dalam Utami dkk, 2012). Penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Utami dkk, (2012) yang mengatakanjumlah rapat dewan komiaris utama tidak berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure konvergensi IFRS 5. Pengaruh jumlah komite audit terhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure konvergensi IFRS. Hasil pengujian hipotesis kelima menunjukkan bahwa jumlah komite audit tidak berpengaruh terhadap tingkat pengungkapan Mandatory disclosure konvergensi IFRS.Penolakan hipotesis pertama ini mengidikasikan bahwa jumlah anggota komite audit yang terlalu besar akan Jika jumlah anggota komite audit terlalu besar maka komunikasi dan koordinasi dalam komite audit menjadi sulit dilakukan sehingga tugas pemeriksaan dan pengawasan yang dilakukan komite audit untuk membantu dewan komisaris menjadi kurang efektif sehingga tidak dapat mendorong manajemen untuk melakukan mandatory disclosure konvergensi IFRS yang lebih tinggi. Sedangkan jumlah anggota yang kecil dianggap kurangefektif, aktif dan dinamis. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang di lakukan oleh Suhardjanto dkk, (2010) mengatakan jumlah anggota komite tidak berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure konvergensi IFRS. 6. Pengaruh variabel kontrol jumlah anggota dewan direksi, profitabilitas, leverage terhadap tingkat pengungkapan Mandatory disclosure konvergensi IFRS. Hasil pengujian hipotesis terhadap varibel kontrol pertama yaitu jumlah anggota dewan direksi menunjukkan bahwa terdapat pengaruh 31 terhadap tingkat pengungkapan mandatory disclosure konvergensi IFRS. Dikarenakan peran dewan direksi yang sangat tinggi dalam perusahaan yang bertangungjawab dalam pengelolaan purusahaan dan pengambilan keputusan strategis. Semakin tinggi jumlah anggota dewan direksi maka pengambilan keputusan dan kebijakan dalam perusahaan akan semakin tinggi terhadap tingkat mandatory disclosure konvergensi IFRS. Variabel kontrol kedua profitabilitas tidak berpengaruh pengaruh terhadap tingkat kepatuhan mandatory disclosure konvergensi IFRS. karena adanya budaya yang bekembang di Indonesia, yang menganggap bahwa praktik corporate governance adalah suatu bentuk kepatuhan terhadap peraturan dan ketentuan yang berlaku di Indonesia (Mintara, 2008 dalam prawinandi dkk, 2012). Perusahaan yang berusaha menerapkan corporate governance dengan baik akan tetap mengungkapkan informasi yang memadai, tidak peduli apakah profitabilitasnya tinggi atau rendah untuk memenuhi prinsip-prinsip corporate governance, salah satunya adalah pengungkapan dan transparansi. Variabel kontrol ketiga leverage tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kepatuhan mandatory disclosure konvergensi IFRS. Dikarenakan jika memiliki leverage tinggi perusahaan akan lebih dimonitor oleh stakeholders, dimana sebagian perusahaan akan berusaha melakukan pengungkapan stakeholders lebih (Sejjaka, tinggi 2004 untuk dalam memenuhi kebutuhan Prawinandi dkk, informasi 2012) dan sebagianperusahaan yang lain berusaha untuk mengurangi pengungkapan informasi agar tidak menjadi sorotan debtholders (Suhardjanto dan Afni, 2009). V. SIMPULAN, IMPLIKASI DAN KETERBATASAN A. Simpulan Berdasarkan analisis dan pengujian dari data dalam penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 32 1. Jumlah anggota dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan mandatory disclosure konvergensi IFRS 2. Proporsi komisaris independentidak berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan mandatory disclosure konvergensi IFRS 3. Latar belakang pendidikan komisaris utama tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kepatuhan mandatory disclosure konvergensi IFRS 4. Jumlah rapat dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan mandatory disclosure konvergensi IFRS 5. Jumlah anggota komite audit tidak berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan mandatory disclosure konvergensi IFRS 6. Jumlah anggota dewan direksi berpengaruh positif terhadap tingkat kepatuhan mandatory disclosure konvergensi IFRS 7. Profitabilitas tidak berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan mandatory disclosure konvergensi IFRS 8. Leverage tidak berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan mandatory disclosure konvergensi IFRS B. Saran Saran yang dapat diberikan peneliti untuk penelitian-penelitian serupa dimasa yang akan dating adalah sebagai berikut: 1. Melakukan penelitian secara berkelanjutan agar diketahui tingkat kepatuhan mandatory disclosure konvergensi IFRSdari tahun ke tahun. 2. Memperluas objek penelitian, tidak hany aperusahaan manufaktur tetapi seluruh perusahaan non-financial. 3. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menambahkan pengungkapan sukarela pada perusahaan. C. Keterbatasan 1. Jangka waktu periode pengamatan hanya dua tahun dari tahun 2012-2013 sehingga sampel yang digunakan sangat terbatas . 33 2. Penelitian ini hanya menggunakan objek penelitian dari perusahaan manufaktur saja sehingga hasil penelitian tidak bias digeneralisir pada tipe perusahaan lainnya. 3. Variabel-variabel yang digunakan hanya dari sisi perusahaan saja dan belum menggunakan faktor-faktor luar perusahaan atau factor makro ekonomi. Daftar Pustaka Antonia, Edgina, 2008, “Analisis Pengaruh Reputasi Auditor, Proporsi Dewan Komisaris Independen, Leverage, Kepemilikan Manajerial Dan Proporsi Komite Audit Independen Terhadap Manajemen Laba. Pada Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia Periode 2004 – 2006 , Universitas Diponogoro, Semarang. Cahyati, Ari Dewi, 2011, “Peluang Manajemen Laba Pasca Konvergensi Ifrs: Sebuah Tinjauan Teoritis Dan Empiris”, Jurnal Keuangan dan perbankan. Vol.2 No.1. Darmayasa, 2012, “Konfergensi Internasional Financial Reporting Standards (IFRS) dan Dampaknya Terhadap Perpajakkan. Jurnal bisnis dan kewirausahaan. Vol. 8 No.1, hal 11-19. Effendi, Bahtiar, 2012, “Pengaruh Dewan Komisaris Terhadap Environmental Disclosure Pada Perusahaan Manufaktur Yang Listing Di Bei Tahun 2008- 2011. Makalah Simposium Nasional Akuntansi XV, Aceh. Ghozali, 2007, “ Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponogoro. Handayani, Fitri, 2011, “Hubungan antara karakteristik Corporate governance dan Pengungkapan tanggung jawab Sosial perusahaan (Studi Empiris pada Perusahaan High Profile yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia)”,. Semarang, Universitas Diponegoro. Kumala, Idha, 2012, “Pengaruh karakteristik direktur Utama terhadap corporate social Performance (csp) (studi pada perusahaan yang terdaftar di bursa efek indonesia 2010)”, Semarang, Universitas Diponogoro. 34 Kartika, Andi, 2009, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kelengkapan Pengungkapan Laporan Keuangan Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia”, Kajian Akuntansi, Vol. 1 No. 1, hal 29-47. Kharis, Abdul, 2010, “Corporate Governance Dan Ketaatan Pengungkapan Wajib Terhadap Badan Usaha Milik Negara”, Journal of Accounting Research. Nuswandari, Cahyani, 2009, “Pengungkapan Pelaporan Keuangan Dalam Perspektif Signalling Theory”, Kajian Akuntansi, Vol. 1 No. 1, hal 4857. Suaryana, Agung, 2004, “Pengaruh Komite Audit Terhadap Kualitas Laba” Journal of Accounting Research. Suhardjanto, Djoko, 2010, “Peran Corporate Governance Dalam Praktik Risk Disclosure Pada Perbankan Indonesia” Journal of Accounting Research. Prawinandi, W., Suhardjanto, D., Triatmoko, H., 2012, “Peran struktur corporate governance dalam tingkat kepatuhan mandatory disclosure konvergensi IFRS” Makalah Simposium Nasional Akuntansi XV, Aceh. Utami, dan Rahmawati, 2008, “Pengaruh Komposis Dewan Komisaris dan Keberadaan Komite Audit Terhadap Aktifitas Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta”, Makalah Simposium Nasional Akuntansi, Yogyakarta. Utami, Suhardjanto, dan Hartoko, 2012, “ Investigasi Dalam Konvergensi Ifrs di Indonesia: Tingkat Kepatuhan Pengungkapan Wajib Dan Kaitannya Dengan Mekanisme Corporate Governance,” Makalah Simposium Nasional Akuntansi XV, Aceh. Waryanto, 2010, “Pengaruh Karateristik Good Corporate Governance (GCG) terhadap Luas Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) di Indonesia”, Universitas Diponegoro, Semarang. 35 36