ANTARA POLITIK REDISTRIBUSI DAN POLITIK

advertisement
BAB I
MEMBENTANGKAN SPEKTRUM STRATEGI:
ANTARA POLITIK REDISTRIBUSI DAN POLITIK REKOGNISI
A. Latar Belakang
Penelitian
ini
akan
berupaya
untuk
mengungkap
bagaimana
transformasi strategi dalam gerakan komunitas waria di Yogyakarta dalam
memperjuangkan hak-hak asasi mereka sebagai manusia dan juga sebagai
warga negara. Sejak kurun waktu tahun 1970-an, komunitas waria di
Yogyakarta telah melakukan berbagai aktivitas dalam gerakan
mereka
sebagai upaya untuk mendefinisikan, mempraktikkan, dan mereproduksi
identitas mereka sebagai waria. Waria sebagai identitas seksual mereka,
selama ini membuat mereka kerap kali mengalami eksklusi dari praktikpraktik sosial, budaya, ekonomi, maupun kewarganegaraan, sehingga mereka
berjuang untuk mendapatkan inklusivitas secara penuh.
Eksklusi tersebut berakar pada asosiasi mereka atas tubuh dan
seksualitas sebagai waria (Lister dalam Isin, 2002). Oleh karena itu, strategistrategi politik identitas selama kurun waktu satu dasawarsa terakhir dirasa
menjadi pilihan yang dirasa paling masuk akal. Akan tetapi, di sisi lain,
kejadian pada tahun 2016 menunjukkan adanya upaya membangun
solidaritas dan penyatuan gerakan waria dengan gerakan rakyat lain yang
lebih besar. Dengan kata lain, relevansi politik kelas dan radikalisasi di
gerakan waria secara khusus maupun gerakan LGBT secara umum di
Yogyakarta kembali menguat.
1
Oleh karena itu, dalam riset ini menjadi penting untuk mendiskusikan
kembali mengenai pertanyan-pertanyaan kunci berikut ini: Apa saja strategi
gerakan yang dipilih dan dilakukan oleh komunitas waria di Yogyakarta?
Faktor apa yang membuat mereka memilih strategi tersebut? Bagaimana
konteks ekonomi, sosial, dan politik yang melingkupi pemilihan strategi
tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut relevan dengan perdebatan dasar
dalam persoalan HAM yakni mendefinisikan manusia itu sendiri serta klaim
untuk merebut hak-hak kelompok minortas, dalam hal ini waria sebagai
kelompok minoritas seksual. Pendefinisian gender tidak terlepas dari
pendefinisian
manusia,
‘heteronormativitas’,
hanya
padahal
ada
manusia
sebatas
dalam
perempuan
atau
kerangka
laki-laki.
Kecenderungan heteronormativitas ini juga menjadi basis dalam upaya
pemenuhan hak-hak warga negara. Bagi manusia atau warga negara yang
bukan merupakan keduanya, atau berada di ruang ‘antara’, kemudian
menjadi semacam pseudo human yang harus menempuh jalur yang berliku
guna menjadi ‘manusia’ yang seutuhnya agar diakui sebagai warga negara.
Hal tersebut senada dengan cerita yang dikutip oleh Mohammad Yasir
Alimi (2011), yang ditulis oleh Jose dan diangkat kembali oleh Steven G.
Smith dalam Journal of Quarterli Affairs, yang mengilustrasikan kerumitan
antara gender dan kemanusiaan: manusia memiliki identitas yang
menjadikannya manusia, tetapi karena identitas itu, manusia hanya dikenal
sebatas identitas saja. Apa yang dikatakan oleh Jose, “Saya tidak mengenal
manusia, yang saya kenal hanya laki-laki dan perempuan” mengilustrasikan
2
secara pas bagaimana ketegori laki-laki dan perempuan—identitas manusia
yang paling fundamental—telah menutupi manusia yang berada di balik
identitas itu.
Di antara berbagai identitas, gender dan seks merupakan apek paling
mendasar dalam kehidupan manusia. Kemanusiaan kita bahkan didefinisikan
oleh gender dan seks itu(Alimi: 2011). Tanpanya, kemanusiaan itu sulit
dipahami. Kemanusiaan kita seolah sah dan diakui ketika orang tua kita
menjawab pertanyaan: “jenis kelaminnya apa ya?” ataupun ketika mereka
melihat
sendiri
dan
memuji:
“gantengnya!”
“cantiknya!”
meskipun
kenyataannya tidak selalu demikian. Pujian-pujian semacam ini tidak pernah
dilekatkan pada selain manusia. Untuk yang bukan manusia, istilah yang
dipakai adalah: “berapa anaknya? Atau pernyataan “gemuk sekali.”.
Sangat sulit membayangkan untuk menjadi manusia di luar gender dan
seks. Percakapan antar manusia bisa terjadi karena dalam kerangka jender
dan seks. Mengetahui teman bicaranya laki-laki, perempuan, atau bukan
keduanya seakan-akan prasyarat untuk terjadinya komunikasi. Karena dari
sana akan mengalir bagimana harus memanggil, bagaimana harus bersikap,
dsb. Gender dan seks adalah “kerangka inteligibilitas” kehidupan sosial
manusia. Muncul masalah ketika matrik gender/ seks ini dimapankan,
dimana jenis kelamin tertentu harus berperan sebagai gender dan seksualitas
tertentu, dan diluarnya didefinisikan sebagai abnormal. Gerak kehidupan
sealu bergerak ke arah pluralitas, dan univokalitas apapun bentuknya akan
bertabrakan dengan gerak pluralitas ini. (Alimi, 2011)
3
Karena alasan di atas, kelekatan gender/ seks dan kemanusiaan
menjadikan keduanya definisi sekaligus pembatas bagi kemanusiaan. Yang
telah memungkinkan kemanusiaan ini berlangsung, juga telah menjadi
sumber penderitaan bagi manusia.
Banyak kekerasan yang menciderai
kemanusiaan karena persoalan gender dan seksualitas. Misalnya seperti apa
yang dialami para transgender, waria, banci, gay, dan lesbian, yaitu mereka
yang dianggap gagal mencocokkan antara seks yang mereka miliki dengan
gender dan seksualitas. Memiliki penis, tetapi kok memakai rok, memiliki
penis, tetapi kok suka laki-laki.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana transformasi strategi gerakan komunitas waria di
yogyakarta dalam memperjuangan keadilan sosial?
Untuk membantu menjawab pertanyaan penelitian tersebut, akan
dilacak juga pertanyaan turunan berikut ini:
a. Apa saja strategi gerakan yang dipilih dan dilakukan oleh komunitas
waria di Yogyakarta?
b. Bagaimana konteks ekonomi, sosial, dan politik yang melingkupi
pemilihan strategi tersebut?
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan strategi gerakan adalah
upaya untuk menemukan langkah terbaik untuk merespon kondisi eksternal
atau kondisi lingkungan strategis di luar komunitas waria dengan kondisi
internal di komunitas mereka. Sedangkan yang dimaksud dengan
4
transformasi adalah fase-fase tapak perjalanan strategi yang dilakukan dalam
kurun waktu 1978 s.d. tahun 2016.
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memetakan pemilihan strategi
gerakan waria di Yogyakarta dan juga melacak konteks yang melingkupa
perjalanan gerakan komunitas waria di Yogyakarta yang melingkupi kondisi
eksternal atau kondisi lingkungan strategis di luar komunitas waria dengan
kondisi internal di komunitas mereka.
D. Literature review
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di
Yogyakarta, dalam ruang sosial terdapat berbagai komunitas waria yang ada
di Yogyakarta seperti Keluarga Besar Waria Yogyakarta (LSM Kebaya), Ikatan
Waria Yogyakarta (IWAYO), Wadah Inspirasi Waria BI (WIWBI), sanggar Tari
Waria Kricak, dan Eben Ezer. Keluarga Besar Waria Yogyakarta (Kebaya),
sebuah NGO yang berangkat dari kepedulian mengenai adanya perlakuan
diskriminasi terhadap waria dan stigma yang melekat pada waria yang
diberikan oleh masyarakat terlebih bila mereka adalah ODHA (Orang Dengan
HIV&AIDS). Selama ini telah terdapat NGO yang fokus terhadap waria dalam
penanganan HIV&AIDS. Salah satunya adalah divisi pengorganisasian
komunitas waria Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY.
PKBI ini memang bentukan intelektual untuk memperjuangkan hak waria,
pekerja seks, dan kelompok marginal lainnya. Mami Vinolia yang merupakan
5
penggagas lahirnya LSM Kebaya sempat berkecimpung beberapa tahun di
PKBI DIY. Dari sanalah kemudian Mami Vinolia dan beberapa kawan waria
membentuk LSM Kebaya pada tanggal 18 Desember 2006. (Widayanti, 2008)
Visi dari LSM Kebaya adalah menurunkan angka HIV dan penanganan
kasus
AIDS
dalam
komunitas
waria.
Sedangkan
misinya
adalah
meningkatkan taraf hidup waria dengan masyarakat lainnya sesama warga
Indonesia. Pendekatan yang dilakukan memang cenderung pada right based
approach yang juga termasuk kegiatan advokasi kebijakan. Organisasi waria
inipun memiliki peran penting dalam merekonstruksi identitas waria di
Yogyakarta di tengah keberagaman identitas waria Yogyakarta. (Widayanti:
2008)
Di Indonesia sendiri, keberadaan transgender pada dasarnya tidak
terpisah dalam ruang sosial budaya. Seperti Bissu di Sulawesi Selatan,
tubuhnya laki-laki namun berpenampilan laiknya perempuan, dan diyakini
memiliki kemampuan transendental sebagai penyambung manusia dengan
sang Ilahi, yang diwakili dalam upacara-upacara adat yang dipimpin oleh
Bisu. Mirip dengan konsp two-spirit dalam kepercayaan Indian di Amerika. Di
Yogyakarta sendiri, keberadaan cross dresser maupun drag queen tidak perlu
dipertanyakan lagi. Semua orang kenal Dhidhik Nini Thowok: laki-laki,
seniman,
piawai
menari,
maestro,
namun
hampir
dalam
setiap
penampilannya memerankan dan berpenampilan sebagai watak perempuan.
Bahkan di Keraton Kasultanan Yogyakarta, terdapat tarian Bedhoyo Kakung
yang semua penarinya adalah orang laki-laki yang berdandan laiknya penari
Bedhoyo yang perempuan.
6
Transgender tidak bisa dipisahkan dengan fenomena sosial dalam
masyarakat. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Rr Woro Oyi Ananda
(2001), terdapat temuan mengenai ambiguitas dan ambivalensi sikap
masyarakat terhadap waria. Di satu sisi, masyarakat tidak membuka
kesempatan pendidikan, kehidupan yang layak dan pekerjaan bagi waria,
namun di sisi lain, seiring dengan menjamurnya prostitusi waria, stereotype
masyarakat yang sering ditujukan pada waria adalah bahwa waria identik
dengan prostitusi. Lebih ironis lagi, sebagian masyarakat tersebut diam-diam
juga berminat pada jasa waria.
Dalam bukunya, FX Rudy Gunawan (1995) mengemukakan bahwa
fenomena seks adalah fenomena yang multidimensional. Oleh karena itu,
mempelajari fenomena seks adalah mempelajari fenomena manusia
seutuhnya. Persoalan waria yang sangan luas dan komplek merupakan
fenomena seksualitas manusia modern yang ditampilkan sebagai sebuah
refleksi filosofis terhadap fenomena-fenomena tersebut, karena berkaitan
dengan persoalan dasar dalam konsep eksistensi manusia secara umum dan
persoalan hubungan antar manusia secara khusus. Dan justru karena
persoalannya sangat mendasar, maka seharusnya pemecahannya harus sama
mendasarnya. Pada tataran yang mendasar ini, sebenarnya, seluruh
persoalan dalam fenomena trasgender bisa diantisipasi dengan menanamkan
kembali nilai-nilai universal tentang kesetaraan derajat dan harkat manusia
serta seluruh atribut hak asasi yang melekat di dalamnya.
Sebagai kelompok minoritas, transgender senantiasa mendapat
perhatian orang lain. Perhatian tersebut dimanifestasikan lebih banyak
7
bersifat sekedar memperhatikan. Ada yang menganggapnya sebagai
tontonan, penyebar penyakit dan dosa, ataupun secara lebih ekstrim sebagai
orang yang dilaknat. Sehingga lahirlah diskriminasi terhadap mereka dan
ruang gerak mereka pun dibatasi dan tidak diberi peluang untuk membela
diri (Nadia, 2005).
Menjadi transgender memang memiliki konsekuensi-konsekuensi
tertentu, karena hidup dalam suatu komunitas masyarakat yang beragam di
mana sebagai bagan dari anggot masyarakat waria juga terkena aturanaturan yang berlaku di dalamnya, meski aturan-aturan itu adakalanya tidak
menguntungkan bagi keberadaan mereka. Hal ini karena identitas itu sendiri
bukan semata-mata dibentuk secara individual, melainkan juga secara sosial,
yakni ketika perilaku seseorang dipresentasikan secara sosial. Dengan
demikian, antara perilaku individu dan realitas di dalam masyarakat terjadi
satu proses dialektika (Nadia, 2005).
Dalam hal peneriman masyarakat terhadap waria, terdapat dua
konteks, yaitu individu dan kelompok. Konteks individu ini bergantung pada
perilaku sosial sehari-hari oleh seorang waria. Konteks itu terlepas dari
dunia mereka yang umumnya diidentikkan dengan pekerja seks. Perilaku
seorang waria dipahami oleh masyarakat sebagaimana memahami perilaku
bukan waria. Jika dia berbuat baik maka dipandanga sejajar dengan orangorang yang berbuat baik lainnya.
Sementara itu, dalam konteks komunitas, dunia trasgender dipandang
dalam suatu konstruksi yang sangat historis. Hal demikian mengakibatkan
dunia waria dipandang oleh masyarakat dengan sikap ambigu. Di satu sisi
8
trasgender terutama waria, senantiasa dianggap erat dengan praktik
prostitusi, dan penyakit. Namun, di sisi lain, masyarakat menerima kelompok
waria hidup bersama dalam lingkungan, baik karena kepentingan ekonomi
atau pertimbangan yang lain. Akibatnya, meskipun masyarakat memahami
seorang waria dalam perilakunya sehari-hari, namun ia juga dibatasi oleh
konteks kultural, sehingga peraturan-peraturan ketat ditetapkan kepada
mereka tanpa kecuali.
Belum lagi persoalan hak sipil sebagai warga negara dalam hal ini
misalnya KTP yang tidak ramah terhadap waria karena memang di KTP
hanya tersedia dua pilihan: laki-laki dan perempuan. Padahal, KTP ini
asumsinya merupakan “right to get rights” bagi semua warga negara. Oleh
karena itu menjadi penting untuk melacak sejauh mana keberadaan Ikatan
Wria Yogyakarta (Iwayo) mampu menjadi representasi komunitas waria
dalam isu-isu identitas mereka maupun perjuangan merebut Hak-hak sipilpolitik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya.
E.
Kerangka Teori
E.1. Politik Redistribusi
Penelitian ini menggunakan pendekatan yang diusung oleh Nancy
Fraser (2003) dalam karyanya “The Social Justice in the Age of Identity
Politics” untuk menganalisis problema keadilan sosial dalam dua konstelasi
politik progresif yang tengah berkembang di era globalisasi: pertama,
perjuangan politik progresif berbasis keadilan redistributif sebagai
tanggapan terhadap akselerasi ekonomi global yang melahirkan tatanan
9
neoliberalisme. Kedua, politik progresif dalam bentuk trend politik rekognisi
(recognition politics) yang memunculkan bentuk-bentuk artikulasi politik
baru seperti politik ethno-nasionalisme, bangkitnya gerakan politik agama,
politik gender dan new social movement yang menghadirkan diskursus
multikulturalisme.
Klaim
politik
progresif
dalam
konteks
persoalan
redistribusi
(redistribution matters), mempersoalkan bagaimana keadilan ditinjau sebagai
proses distribusi barang dna sumber daya secara adil, serta kesetaraan akses
bagi tiap-tiap individu. Klaim keadilan redistributif ini telah diperbincangkan
sejak lama oleh berbagai pandangan filsafat politik dari pemikiran sosialis,
sosial-demokrasi sampai dengan rumusan canggih dari kaum libertarian
seperti John Rawls (1971) dan Ronald Dworkin (1981) yang mensintesakan
kemerdekaan individu dan kesetaraan distributif secara sosial demokrasi.
Paradigma keadilan redistribusi memfokuskan ketidakadilan dari
perspektif sosial-ekonomi dan berangkat dari analiss bahwa akar-akar
ketidkadilan sosial pertama-tama bermula dari struktur sosial ekonomi
masyarakat yang timpang. Ketidakadilan sosal dalam perspektif keadilan
redistrbutif termanifestasi dalam bentuk terjadinya eksploitasi ekonomi
(pemerasan tenaga pekerja untuk keuntungan kalangan pemilik modal,
penghisapan sumber daya alam untuk pentingan bisnis dan korporasi tanpa
mengindhakan kebutuhan publik), marjinalisasi ekonomi (ketika tiap-tiap
orang dibatasi oleh kondisi upah minim dan tidak adanya akses kepada
penghasilan ekonomi yang lebih baik bagi rakyat), dan deprivasi ekonomi
(ketika tiap-tiap orang hidup di bawah standar hidup material yang normal).
10
E.2. Politik Rekognisi
Pemikiran Foucault di atas senada dengan pendekatan kaum Marxis
Fungsionalis seperti Jeffrey Weeks (1981: 98) yang mengemukakan bahwa
penyimpangan yang dilabelkan pada kaum homoseksual merupakan sebuah
fenomena baru dalam sistem sosial budaya kemasyarakatan. Budaya baru
tersebut akan mampu menjadi stimulus dalam mengubah pola interaksi
antar budaya yang ada di dalam masyarakat di mana penyimpangan
dianggap mampu memberi kontribusi adanya budaya yang berbeda (different
culture), sehingga akan muncul sebuah kekayaan wacana kebudayaan dan
kategorisasi sosial yang beragam, mulai dari komoseksual sebagai identitas
seksual, pilihan seksual, bentuk subkultur.
Politik representasi merupakan konsep yang dikembangkan dari
gagasan tentang “representasi” oleh Stuart Hall (1997). Konsep ini
didefinisikan sebagai suatu rekayasa konstruksi sosial yang dimungkinkan
melalui bekerjanya sirkuit kebudayaan dalam melahirkan produksi dan
reproduksi makna atau pencitraan yang mampu menciptakan suatu opini
publik, atau menentukan posisi subyektivitas seseorang di dalam ruang dan
relasi sosialnya. Hall melanjutkan bahwa bekerjanya sirkuit kebudayaan yang
melahirkan “representasi” merupakan suatu relasi sinergis (timbal-balik)
antara komponen-komponen yang
melibatkan regulasi (pengaturan-
pengaturan) dan siklus konsumsi-produsi di dalam realitas kehidupan kita
sehari-hari, serta interaksi ketiganya (regulasi-produksi-konsumsi) dalam
membentuk identitas kita. (Setyaningrum, 2005)
11
Identitas terbagi dalam dua kategori utama: identitas sosial (kelas, ras,
etnis, gender, dan seksualitas) serta identitas politik (nasionalitas dan
kewarganegaraan—citizenship). Identitas sosial menentukan posisi subjek di
dalam
relasi
atau
interaksi
sosialnya,
sedangkan
identitas
politik
menentukan posisi subjek dalam suatu komunitas melalui suatu rasa
kepemilikan (sense of belonging) dan sekaligus menandai posisi subjek yang
lain dalam suatu pembedaan (sense of otherness). Oleh karena identitas juga
berkaitan dengan segala sesuatu yang membuat sekelompok orang menjadi
berbeda dengan yang lainnya, maka konstruksi identitas berkaitan erat
dengan konstruksi mengenai “perbedaan” (difference). Identitas politik
(political identity) secara konseptual berbeda dengan politik identitas
(politics of identity); identitas politik merupaka konstruksi yang menentukan
posisi kepentingan subjek di dalam ikatan suatu komunitas politik,
sedangkan pengertian politik identitas adalah berkaitan dengan mekanisme
politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun identitas
sosial) sebagai sumber daya dan sarana politik. (Linda Martin Alcoff dalam
Setyaningrum, 2005)
Ketika identitas dimobilisasi bagi kepentingan artikulatif, terdapat
peluang-peluang bagi munculnya klaim-klaim
terhadap identitas sosial-
politik baru” yang secar politis menyebabkan adanya kondisi yang dilematis
dari perkembangan masyarakat kontemporer. Di satu sisi, wilayah (ruang)
politik bagi klaim identitas baru tersebut dapat melahirkan peluang-peluang
konflik. Sementara di sisi lain, pengaturan-pengaturan politik, yang
menjamin berangsungnya suatu proses kesetaraan melalui demokrasi liberal,
12
dapat membuka peluang yang lebih besar bagi pengakuan publik dan
pengorganisasian politik dari klaim-klaim identitas baru tadi, yang secar
potensial memunculkan konflik. Situasi seperti ini yang membuat kita perlu
merfleksikan kembali kaitan antara identitas sosial dan identitas politik yang
secara dinemis memengaruhi upaya mengartikulasikan kepentingan politik
sekelompok orang. Sehingga pengategorisasian “identitas” tidak dapat lagi
secara sederhana kita pahami sebagai polarisasi identitas sosial atau politik.
Hal ini dikarenakan identitas sosial atau budaya seseorang, misalnya yang
didasari
oleh
sistem
kelas
(bawah,
menegah,
atas),
seksualitas
(heteroseksual, homoseksual), agama (Islam, Kristen, Katolik, Hidu, Budha,
dsb.), merupakan sumber bagi pembentukan identitas politik dan oleh
karena itu signifikan bagi mobilisasi politik identitas. (Setyaningrum, 2005).
Klaim terhadap identitas merupakan kategori-kategori pembedaan
kolektivitas yang peluang-peluangnya dapat kita temukan di dalam struktur
kelas, gender, dan seksualitas, orientasi budaya, atau bahkan dalam gaya
hidup
(bentuk-bentuk
konsumsi).
Perkembangan
di
dalam
dunia
kontemporer saat ini menunjukkan bahwa identitas “bukan” lagi menjadi
monopoli bagi rezim kolektif tradisional (seperti ikatan paternalistik dalam
relasi etnisitas, agama, struktur kelas sosial) atau bahkan negara. Tetapi juga
menjadi wilayah bagi munculnya rezim-reim “klaim-klaim kolektivitas baru”
lintas kelas, ras, etnis, atau agama, misalnya kelompok homoseksual. Klaim
kolektivitas bahkan dapat diciptakan melalui diskursus politik kebudayaan,
misanya pembedaan kelompok-kelompok liberal-fundamentalis, dsb.
13
Dari pemaparan di atas, dalam konteks penelitian ini, menjadi relevan
untuk mencari jawaban yang dapat menjelaskan kompleksitas di dalam
kaitan antara identitas waria sebagai sumber daya dan sarana politik secara
komprehensif. Ini tidak lain karena terminologi mengenai identitas politik
tidak pernah definitif, apalagi konstruksi mengenai kategori-kategori di
dalam identitas bersifat “cair dan fleksibel”.
Akan tetapi, penelitian ini juga perlu untuk memperluas pandangan
mengenai identitas di atas, yang ditentang oleh Jenny Bourne (1987), yang
melihat pengertian politik identitas sebagai suatu kemunduran proyek
politik yang bersifat emansipatoris karena politik identitas merupakan suatu
wujud eksploitasi kelaur (mobilisasi individu) dan penindasan ke dalam diri
subjek (manipulasi kesadaran), karena yang dipentingkan dalam relasi sosial
adalah upaya untuk menekankan “Who I am – Siapa Saya?” (Bourne: 1987:1)
Gagasan tentang politik rekognisi menggambarkan situasi masyarakat
yang adil melalui tujuan menerima martabat individu atas semua individu
(Fraser 1995; Honneth 2004). Klaim politik rekognisi ini terutama terkait
untuk mengatasi ketidakadilan budaya atau simbolik yang berakar dalam
pola sosial representasi, interpretasi, dan komunikasi; seperti dominasi
budaya, non-pengakuan, dan tidak adanya penghormatan (Fraser 1995). Ide
ini berkembang dalam kurun waktu tahun tujuh puluhan dan delapan
puluhan bersama-sama dengan munculnya gerakan sosial baru seperti
feminisme dan multikulturalisme dengan perjuangan untuk 'pengakuan
perbedaan' yang membawa spanduk gender, seksualitas, 'ras', dan etnis
sebagai pusat politik mobilisasi (Fraser 1995, 1996). Selain itu, Fraser juga
14
menjelaskan pengakuan sebagai fenomena 'pasca-sosialis', di mana identitas
kelompok
menggantikan
kepentingan
kelas
dan
dominasi
budaya
menggantikan eksploitasi sebagai bentuk fundamental dari ketidakadilan
(Fraser 2000). Oleh karena itu, pengakuan martabat manusia ini juga pusat
prinsip keadilan sosial karena kualitas moral hubungan sosial tidak hanya
dapat dipertimbangkan dalam hal wajar hanya distribusi materi (Honneth
2004).
E.3. Politik Rekognisi
Meskipun terdapat perbedaan antara ketidakadilan sosial ekonomi dan
ketidakadilan budaya yang meresap dalam masyarakat kontemporer,
keduanya berakar pada proses dan praktek yang sistematis merugikan
beberapa kelompok ketika berhadapan dengan publik maupun kelompk lain.
Oleh karena itu, perlu adanya solusi atas ketidakadilan sosial ini demi
mencapai keadilan sosial.
Dalam hal ini, secara analitis bagian ini akan membedakan
ketidakadilan ekonomi dan ketidakadilan budaya termasuk solusi untuk
keduanya. Solusi untuk ketidakadilan ekonomi adalah tentu saja berbagai
macam restrukturisasi politik-ekonomi. Hal ini mungkin melibatkan
redistribusi pendapatan, reorganisasi pembagian kerja, menundukkan
investasi untuk pengambilan keputusan yang demokratis, atau membentuk
struktur ekonomi dasar lainnya.
Solusi untuk ketidakadilan budaya, sebaliknya, adalah semacam
perubahan budaya atau simbolik. Ini bisa melibatkan menilai kembali atas
penghormatan identitas dan produk budaya dari kelompok yang selama ini
15
dipinggirkan. Hal ini juga dapat melibatkan pengakuan positif atas
keragaman budaya. Lebih radikal lagi, itu bisa melibatkan transformasi pola
sosial dari representasi, interpretasi dan komunikasi dengan cara yang akan
mengubah pemahaman semua orang.
Menurut Fraser (1995), ada dua jenis solusi atas ketidakadilan secara
budaya: 'afirmasi' dan 'transformasi'. Solusi afirmatif bagi ketidakadilan
dimaksudkan untuk mengubah ketidakadilan dalam pengaturan sosial tanpa
mengganti kerangka generatif secara mendasar. Di sisi lain, solusi
transformatif
dimaksudkan
untuk
mengubah
ketidakadilan
melalui
restrukturisasi kerangka dasar yang menghasilkan ketidakadilan tersebut.
Namun, solusi ini bukan merupakan perbandingan antara perubahan
bertahap versus perubahan revolusioner, akan tetapi inti dari perbedaan
antara solusi afrimatif dan transformatif ini adalah perbedaan proses dan
hasil akhir yang ingin dicapai melalui solusi tersebut (Fraser 1995).
Afirmation
Redistribution the liberal welfare state
surface reallocations of
existing goods to existing
groups; supports group
differentiation; can
generate misrecognition
Recognition
mainstream
multiculturalism
surface reallocations of
respect to existing
identities of existing
groups; supports group
differentiation
Transformation
Socialism
deep restructuring of
relations of production;
blurs group differentiation;
can help remedy some
forms of misrecognition
Deconstruction
deep restructuring of
relations of recognition;
blurs group differentiation
Seperti yang dibahas sebelumnya di atas, adalah penting untuk mencari
solusi atas pengucilan sosial seperti ketidakadilan sosial dalam rangka untuk
mendapatkan solusi yang paling cocok itu. Fraser (1995 ) berpendapat
16
bahwa dalam kasus bentuk kolektivitas berdasarkan eksploitasi terhadap
kelas pekerja, itu terikat dengan ketidakadilan distributif membutuhkan
solusi redistributif.
Sebaliknya, seperti dalam kolektivitas ketik dari seksualitas dibenci
seperti orang LGBT, yang misrecognition sebagai bentuk ketidakadilan
membutuhkan
solusi
rekognisi
termasuk
pengakuan
afirmatif
dan
pengakuan transformatif. Solusi afirmatif dan transformatif tidak bertahap
terhadap perubahan revolusi, tetapi perbedaan antara keadaan akhir dari
hasil
dibandingkan
proses
yang
menghasilkan
final
hasil Fraser
(1995 ). Solusi afirmatif bagi ketidakadilan dimaksudkan untuk mengubah
hasil yang tidak memadai dari struktur sosial Bonhoeffer kerangka generatif
mendasar. Oleh karena itu, solusi afirmatif pengakuan untuk heterosexism
dan homophobia bertujuan untuk merevaluasi identitas LGBT. Politik
identitas LGBT mewadahi orientasi seksual dan identitas gender dengan cara
yang sama sebagai etnis, sebagai substantif, budaya, dan identificatory positif
( Epstein 1987 ). Di sisi lain, solusi transformatif dimaksudkan untuk
mengubah hasil adil oleh restrukturisasi kerangka dasar yang menciptakan
mereka. Akibatnya, solusi transformatif dari pengakuan meliputi pendekatan
'queer theory' bertujuan untuk mendestabilisasi identitas seksual kaku dan
mendekonstruksi dikotomi homo-hetero. Hal ini juga bertujuan untuk
mendevaluasi heteroseksual yang dibandingkan dengan homoseksualitas
dan memperlakukan identitas sebagai suatu konstruksi. Menurut perspektif
‘queer theory’, baik homoseksual dan heteroseksual dipandang sebagai
17
perwujudan ambiguitas seksual dan menandakan satu sama lain dalam
waktu yang sama ( Fraser 1995 ).
F.
Prosedur Penelitian
F.1. Gambaran umum penelitian: Case Study
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yakni untuk menjawab
pertanyaan yang menekankan bagaimana pengalaman sosial diciptakan dan
diberi arti. Seperti telah dikemukakan di atas, seksualitas dan identitas
merupakan sesuatu hal yang dapat dikonstruksikan dan dikontestasikan.
Oleh karena itu dalam penelitian mengenai politik representasi transgender
ini akan berpegang pada keyakinan bahwa sifat realita tersebut dibangun
secara sosial.
Mengapa Kualitatif, karena riset ini akan mempelajari mengenai
komunitas transgender, yang perlu mengidentifikasi berbagai macam
variabel yang tidak bisa ‘diukur’ secara kuantitatif. Dismping itu, dalam
rangka memperdengarkan suara-suara komunitas transgender yang selma ini
tidak ‘terdengar’, menjadi penting untuk melakukan eksplorasi secara
langsung terhadap permasalahan, bila dibandingkan menggunakan informasi
lain dari literatur maupun bergantung pada hasil dari penelitian lainnya.
Terlebih, penelitian mengenai isu ini membutuhkan pemahaman yang
kompleks dan detail. Detail ini hanya apat direngkuh dengan cara berbicara
secara langsung dengan orang-orang, menyambangi rumah maupun tempat
kerja mereka, dan mengizinkan mreka untuk menceritakan kisah mereka
tanpa harus dibebani dengan apa yang kita harapkan dapat temukan atau
atas apa yang kita baca dalam literatur. Kita juga melakukan riset kualitatif
18
ketika kita ingin memberdayakan individu untuk berbagi kisah mereka,
mendengar suara mereka, dan meminimalisasi relasi kuasa yang hadir di
antara peneliti dan partisipan dalam suatu studi. Sedangkan format desain
penelitian ini menggunakan Qualitative Constructivis/ Interpretivist Format.
(Creswell, 2007: 40)
Peneliti menggunakan metode studi kasus, khususnya studi kasus
komparatif
untuk
mendapatkan
gambaran
yang
utuh
bagaimana
karakteristik subjek penelitian (Iwayo) dalam politik representasi identitas
treansgender dilakukan. Studi kasus dipilih untuk dapat mengeksplorasi
kasus-kasu yang berbeda dari waktu ke waktu melalui pengumpulan data
yang mendalam serta melibatkan berbagai sumber informasi. Konteks kasus
dapat mendudukan kasus dalam settingnya yang terdiri dari setting fisik
maupun sosial, sejarah, atau setting ekonomi. Struktur kasus terdiri dari
masalah, konteks, isu, dan pelajaran yang dipelajari.
Studi kasus dalam penelitian ini bersifat Instrumental, yang merupakan
sebuah alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar yakni kontribusi dalam
menyusun agenda advokasi bagi komunitas waria. Kasus dalam penelitian
ini, pada dasarnya memerankan peran yang supportive, bersifat fasilitatif
untuk memahami sesuatu tujuan yang lebi besar seperti yang telah
diungkapkan sebelumnya. Oleh karena itu, menjadi penting untuk melakukan
spesifikasi dan mendefinisikan isu yang akan dilihat dalam kasus ini (Stake
dalam Creswell, 2007: 142). Penelitian studi kasus berkaitan dengan sebuah
isu yang dieksplorasi melalui satu atau lebih kasus dalam sebuah ‘bounded
system’ seperti setting, konteks. (Creswell, 1995: 73).
19
Berikut ini adalah batasan kasus dalam penelitian ini:
F.2. Jenis data dan teknik pengumpulan data
Menurut Creswell (1998), dalam studi kasus, menggunakan berbagai
sumber informasi yang meliputi: observasi, wawancara, materi audio-visual,
dokumentasi dan laporan. Peneliti secara utama menggunakan teknik
observasi partisipan dan wawancara. Metode observasi partisipan ini menjadi
penting bagi peneliti untuk dapat mengombinasikan yang diucapkan dengan
apa yang dilakukan. Karena apa yang dijawab oleh informan/ narasumber
bisa jadi sifatnya normatif, sehingga perlu untuk melihat lebih lanjut
bagaimana informan menafsirkan yang dikatakan dalam perilakunya. Selain
keterampilan menulis catatan lapangan, beberapa taktik juga perlu dilakukan
(Denzin dalam Mulyana, 2001) yakni: “mencuri dengar” dan “melacak” yakni
mengikuti seseorang dalam melakukan serangkaian kegiatan normalnya
selama periode waktu tertentu, juga digunakan dalam penelitian ini.
Pengumpulan data diambil dari berbagai sumber informasi, untuk
membangun gambaran yang mendalam dari studi kasus. Wawancara dan
observasi juga merupakan alat pengumpul data yang akan digunakan.
a. Wawancara
Wawancara etnografis dalam penelitian ini dimaknai sebagai jenis
peristiwa percakapan (speech event) yang khusus (Spreadly 1997:71). Oleh
karena itu, wawancara dalam penelitan ini meliputi pertanyaan yang bersifat
etnografis:
Pertama, peneliti mencatat pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh
orang-orang dalam kehidupan setiap hari:
20
Kedua, peneliti mencatat secara langsung pertanyaan yang digunakan
oleh para partisipan dalam suatu lingkungan kebudayaan:
Ketiga, peneliti meminta narasumber untuk membicarakan suatu lingkup
budaya tertentu.
Pertanyaan Contoh: mengambil beberapa tindakan atau peristiwa
tunggal yang diidentifikasikan oleh narasumber dan meminta suatu contoh.
Pertanyaan pengalaman: menanyakan pada narasumber mengenai
pengalaman apa pun yang mereka miliki dalam beberapa setting tertentu.
Pemilihan
narasumber
dalam
penelitian
ini
dilakukan
secara
komprehensif (Endaswara, 2008) yakni seleksi berdasarkan kasus, tahap,
dan unsur yang relevan.
b. Observasi Partisipan
Observasi menjadi penting karena mengharuskan peneliti menyelami
makna budaya lewat partisipasi, lewat kegiatan keseharian subjek penelitian.
Peneliti melebur dalam setting sosial mereka, mengamati orang-orang dalam
lingkungan alami mereka dan ikut serta dalam aktivitas mereka. Dalam
penelitian ini, peneliti menulis catatan lapangan mendalam melalui observasi
yang dilakukan di Iwayo. Selama melakukan observasi, peneliti membuat
sebuah catatan observasi berupa tabulasi catatan deskriptif dan catatan
reflektif (Creswell, 2011).
F.3. Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan cara mendeskripsikan bagaimana
pergulatan identitas di Iwayo. Berdasarkan lapis abstraksi yang telah
21
dilakukan di atas, jawaban dan penjelasan pada bagian sebelumnya akan
mendukung penjelasan berikutnya. Lebih lanjut, penjelasan ini sekaligus
membangun argumen dalam pembahasan selanjutnya untuk menjawab
pertanyaan mengenai strategi dalam politik representasi yang dilakukan oleh
masing-masing komunitas.
Dalam analisis data, kerangka teori digunakan sebagai pembanding
analisis berdasarkan teori maupun hasil penelitian yang terkait dengat data
di lapangan. Kerangka teori yang telah disusun sebelumnya, digunakan
sebagai ‘alat’/ tools maupun sebagai ‘perekat’/glue (Thomas, 2011). Artinya,
studi kasus ini dandaikan sebagai sebuah ‘bungkusan’ berisi berbagai temuan
yang ada di lapangan. Temuan-temuan ini berasal dari: (1) berbagai momen
(sejak kurun waktu 1970-an sampai dengan tahun 2016); (2) individuindividu (para narasumber kunci dan narasumber-narasumber lainnya); (3)
Dokumen-dokumen yang terkait dengan aktivitas dan berita-berita seputar
waria di Yogyakarta; dan sumber-sumber lainnya.
22
Download