BAB I MEMBENTANGKAN SPEKTRUM STRATEGI: ANTARA POLITIK REDISTRIBUSI DAN POLITIK REKOGNISI A. Latar Belakang Penelitian ini akan berupaya untuk mengungkap bagaimana transformasi strategi dalam gerakan komunitas waria di Yogyakarta dalam memperjuangkan hak-hak asasi mereka sebagai manusia dan juga sebagai warga negara. Sejak kurun waktu tahun 1970-an, komunitas waria di Yogyakarta telah melakukan berbagai aktivitas dalam gerakan mereka sebagai upaya untuk mendefinisikan, mempraktikkan, dan mereproduksi identitas mereka sebagai waria. Waria sebagai identitas seksual mereka, selama ini membuat mereka kerap kali mengalami eksklusi dari praktikpraktik sosial, budaya, ekonomi, maupun kewarganegaraan, sehingga mereka berjuang untuk mendapatkan inklusivitas secara penuh. Eksklusi tersebut berakar pada asosiasi mereka atas tubuh dan seksualitas sebagai waria (Lister dalam Isin, 2002). Oleh karena itu, strategistrategi politik identitas selama kurun waktu satu dasawarsa terakhir dirasa menjadi pilihan yang dirasa paling masuk akal. Akan tetapi, di sisi lain, kejadian pada tahun 2016 menunjukkan adanya upaya membangun solidaritas dan penyatuan gerakan waria dengan gerakan rakyat lain yang lebih besar. Dengan kata lain, relevansi politik kelas dan radikalisasi di gerakan waria secara khusus maupun gerakan LGBT secara umum di Yogyakarta kembali menguat. 1 Oleh karena itu, dalam riset ini menjadi penting untuk mendiskusikan kembali mengenai pertanyan-pertanyaan kunci berikut ini: Apa saja strategi gerakan yang dipilih dan dilakukan oleh komunitas waria di Yogyakarta? Faktor apa yang membuat mereka memilih strategi tersebut? Bagaimana konteks ekonomi, sosial, dan politik yang melingkupi pemilihan strategi tersebut? Pertanyaan-pertanyaan tersebut relevan dengan perdebatan dasar dalam persoalan HAM yakni mendefinisikan manusia itu sendiri serta klaim untuk merebut hak-hak kelompok minortas, dalam hal ini waria sebagai kelompok minoritas seksual. Pendefinisian gender tidak terlepas dari pendefinisian manusia, ‘heteronormativitas’, hanya padahal ada manusia sebatas dalam perempuan atau kerangka laki-laki. Kecenderungan heteronormativitas ini juga menjadi basis dalam upaya pemenuhan hak-hak warga negara. Bagi manusia atau warga negara yang bukan merupakan keduanya, atau berada di ruang ‘antara’, kemudian menjadi semacam pseudo human yang harus menempuh jalur yang berliku guna menjadi ‘manusia’ yang seutuhnya agar diakui sebagai warga negara. Hal tersebut senada dengan cerita yang dikutip oleh Mohammad Yasir Alimi (2011), yang ditulis oleh Jose dan diangkat kembali oleh Steven G. Smith dalam Journal of Quarterli Affairs, yang mengilustrasikan kerumitan antara gender dan kemanusiaan: manusia memiliki identitas yang menjadikannya manusia, tetapi karena identitas itu, manusia hanya dikenal sebatas identitas saja. Apa yang dikatakan oleh Jose, “Saya tidak mengenal manusia, yang saya kenal hanya laki-laki dan perempuan” mengilustrasikan 2 secara pas bagaimana ketegori laki-laki dan perempuan—identitas manusia yang paling fundamental—telah menutupi manusia yang berada di balik identitas itu. Di antara berbagai identitas, gender dan seks merupakan apek paling mendasar dalam kehidupan manusia. Kemanusiaan kita bahkan didefinisikan oleh gender dan seks itu(Alimi: 2011). Tanpanya, kemanusiaan itu sulit dipahami. Kemanusiaan kita seolah sah dan diakui ketika orang tua kita menjawab pertanyaan: “jenis kelaminnya apa ya?” ataupun ketika mereka melihat sendiri dan memuji: “gantengnya!” “cantiknya!” meskipun kenyataannya tidak selalu demikian. Pujian-pujian semacam ini tidak pernah dilekatkan pada selain manusia. Untuk yang bukan manusia, istilah yang dipakai adalah: “berapa anaknya? Atau pernyataan “gemuk sekali.”. Sangat sulit membayangkan untuk menjadi manusia di luar gender dan seks. Percakapan antar manusia bisa terjadi karena dalam kerangka jender dan seks. Mengetahui teman bicaranya laki-laki, perempuan, atau bukan keduanya seakan-akan prasyarat untuk terjadinya komunikasi. Karena dari sana akan mengalir bagimana harus memanggil, bagaimana harus bersikap, dsb. Gender dan seks adalah “kerangka inteligibilitas” kehidupan sosial manusia. Muncul masalah ketika matrik gender/ seks ini dimapankan, dimana jenis kelamin tertentu harus berperan sebagai gender dan seksualitas tertentu, dan diluarnya didefinisikan sebagai abnormal. Gerak kehidupan sealu bergerak ke arah pluralitas, dan univokalitas apapun bentuknya akan bertabrakan dengan gerak pluralitas ini. (Alimi, 2011) 3 Karena alasan di atas, kelekatan gender/ seks dan kemanusiaan menjadikan keduanya definisi sekaligus pembatas bagi kemanusiaan. Yang telah memungkinkan kemanusiaan ini berlangsung, juga telah menjadi sumber penderitaan bagi manusia. Banyak kekerasan yang menciderai kemanusiaan karena persoalan gender dan seksualitas. Misalnya seperti apa yang dialami para transgender, waria, banci, gay, dan lesbian, yaitu mereka yang dianggap gagal mencocokkan antara seks yang mereka miliki dengan gender dan seksualitas. Memiliki penis, tetapi kok memakai rok, memiliki penis, tetapi kok suka laki-laki. B. Rumusan Masalah Bagaimana transformasi strategi gerakan komunitas waria di yogyakarta dalam memperjuangan keadilan sosial? Untuk membantu menjawab pertanyaan penelitian tersebut, akan dilacak juga pertanyaan turunan berikut ini: a. Apa saja strategi gerakan yang dipilih dan dilakukan oleh komunitas waria di Yogyakarta? b. Bagaimana konteks ekonomi, sosial, dan politik yang melingkupi pemilihan strategi tersebut? Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan strategi gerakan adalah upaya untuk menemukan langkah terbaik untuk merespon kondisi eksternal atau kondisi lingkungan strategis di luar komunitas waria dengan kondisi internal di komunitas mereka. Sedangkan yang dimaksud dengan 4 transformasi adalah fase-fase tapak perjalanan strategi yang dilakukan dalam kurun waktu 1978 s.d. tahun 2016. C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memetakan pemilihan strategi gerakan waria di Yogyakarta dan juga melacak konteks yang melingkupa perjalanan gerakan komunitas waria di Yogyakarta yang melingkupi kondisi eksternal atau kondisi lingkungan strategis di luar komunitas waria dengan kondisi internal di komunitas mereka. D. Literature review Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di Yogyakarta, dalam ruang sosial terdapat berbagai komunitas waria yang ada di Yogyakarta seperti Keluarga Besar Waria Yogyakarta (LSM Kebaya), Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO), Wadah Inspirasi Waria BI (WIWBI), sanggar Tari Waria Kricak, dan Eben Ezer. Keluarga Besar Waria Yogyakarta (Kebaya), sebuah NGO yang berangkat dari kepedulian mengenai adanya perlakuan diskriminasi terhadap waria dan stigma yang melekat pada waria yang diberikan oleh masyarakat terlebih bila mereka adalah ODHA (Orang Dengan HIV&AIDS). Selama ini telah terdapat NGO yang fokus terhadap waria dalam penanganan HIV&AIDS. Salah satunya adalah divisi pengorganisasian komunitas waria Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY. PKBI ini memang bentukan intelektual untuk memperjuangkan hak waria, pekerja seks, dan kelompok marginal lainnya. Mami Vinolia yang merupakan 5 penggagas lahirnya LSM Kebaya sempat berkecimpung beberapa tahun di PKBI DIY. Dari sanalah kemudian Mami Vinolia dan beberapa kawan waria membentuk LSM Kebaya pada tanggal 18 Desember 2006. (Widayanti, 2008) Visi dari LSM Kebaya adalah menurunkan angka HIV dan penanganan kasus AIDS dalam komunitas waria. Sedangkan misinya adalah meningkatkan taraf hidup waria dengan masyarakat lainnya sesama warga Indonesia. Pendekatan yang dilakukan memang cenderung pada right based approach yang juga termasuk kegiatan advokasi kebijakan. Organisasi waria inipun memiliki peran penting dalam merekonstruksi identitas waria di Yogyakarta di tengah keberagaman identitas waria Yogyakarta. (Widayanti: 2008) Di Indonesia sendiri, keberadaan transgender pada dasarnya tidak terpisah dalam ruang sosial budaya. Seperti Bissu di Sulawesi Selatan, tubuhnya laki-laki namun berpenampilan laiknya perempuan, dan diyakini memiliki kemampuan transendental sebagai penyambung manusia dengan sang Ilahi, yang diwakili dalam upacara-upacara adat yang dipimpin oleh Bisu. Mirip dengan konsp two-spirit dalam kepercayaan Indian di Amerika. Di Yogyakarta sendiri, keberadaan cross dresser maupun drag queen tidak perlu dipertanyakan lagi. Semua orang kenal Dhidhik Nini Thowok: laki-laki, seniman, piawai menari, maestro, namun hampir dalam setiap penampilannya memerankan dan berpenampilan sebagai watak perempuan. Bahkan di Keraton Kasultanan Yogyakarta, terdapat tarian Bedhoyo Kakung yang semua penarinya adalah orang laki-laki yang berdandan laiknya penari Bedhoyo yang perempuan. 6 Transgender tidak bisa dipisahkan dengan fenomena sosial dalam masyarakat. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Rr Woro Oyi Ananda (2001), terdapat temuan mengenai ambiguitas dan ambivalensi sikap masyarakat terhadap waria. Di satu sisi, masyarakat tidak membuka kesempatan pendidikan, kehidupan yang layak dan pekerjaan bagi waria, namun di sisi lain, seiring dengan menjamurnya prostitusi waria, stereotype masyarakat yang sering ditujukan pada waria adalah bahwa waria identik dengan prostitusi. Lebih ironis lagi, sebagian masyarakat tersebut diam-diam juga berminat pada jasa waria. Dalam bukunya, FX Rudy Gunawan (1995) mengemukakan bahwa fenomena seks adalah fenomena yang multidimensional. Oleh karena itu, mempelajari fenomena seks adalah mempelajari fenomena manusia seutuhnya. Persoalan waria yang sangan luas dan komplek merupakan fenomena seksualitas manusia modern yang ditampilkan sebagai sebuah refleksi filosofis terhadap fenomena-fenomena tersebut, karena berkaitan dengan persoalan dasar dalam konsep eksistensi manusia secara umum dan persoalan hubungan antar manusia secara khusus. Dan justru karena persoalannya sangat mendasar, maka seharusnya pemecahannya harus sama mendasarnya. Pada tataran yang mendasar ini, sebenarnya, seluruh persoalan dalam fenomena trasgender bisa diantisipasi dengan menanamkan kembali nilai-nilai universal tentang kesetaraan derajat dan harkat manusia serta seluruh atribut hak asasi yang melekat di dalamnya. Sebagai kelompok minoritas, transgender senantiasa mendapat perhatian orang lain. Perhatian tersebut dimanifestasikan lebih banyak 7 bersifat sekedar memperhatikan. Ada yang menganggapnya sebagai tontonan, penyebar penyakit dan dosa, ataupun secara lebih ekstrim sebagai orang yang dilaknat. Sehingga lahirlah diskriminasi terhadap mereka dan ruang gerak mereka pun dibatasi dan tidak diberi peluang untuk membela diri (Nadia, 2005). Menjadi transgender memang memiliki konsekuensi-konsekuensi tertentu, karena hidup dalam suatu komunitas masyarakat yang beragam di mana sebagai bagan dari anggot masyarakat waria juga terkena aturanaturan yang berlaku di dalamnya, meski aturan-aturan itu adakalanya tidak menguntungkan bagi keberadaan mereka. Hal ini karena identitas itu sendiri bukan semata-mata dibentuk secara individual, melainkan juga secara sosial, yakni ketika perilaku seseorang dipresentasikan secara sosial. Dengan demikian, antara perilaku individu dan realitas di dalam masyarakat terjadi satu proses dialektika (Nadia, 2005). Dalam hal peneriman masyarakat terhadap waria, terdapat dua konteks, yaitu individu dan kelompok. Konteks individu ini bergantung pada perilaku sosial sehari-hari oleh seorang waria. Konteks itu terlepas dari dunia mereka yang umumnya diidentikkan dengan pekerja seks. Perilaku seorang waria dipahami oleh masyarakat sebagaimana memahami perilaku bukan waria. Jika dia berbuat baik maka dipandanga sejajar dengan orangorang yang berbuat baik lainnya. Sementara itu, dalam konteks komunitas, dunia trasgender dipandang dalam suatu konstruksi yang sangat historis. Hal demikian mengakibatkan dunia waria dipandang oleh masyarakat dengan sikap ambigu. Di satu sisi 8 trasgender terutama waria, senantiasa dianggap erat dengan praktik prostitusi, dan penyakit. Namun, di sisi lain, masyarakat menerima kelompok waria hidup bersama dalam lingkungan, baik karena kepentingan ekonomi atau pertimbangan yang lain. Akibatnya, meskipun masyarakat memahami seorang waria dalam perilakunya sehari-hari, namun ia juga dibatasi oleh konteks kultural, sehingga peraturan-peraturan ketat ditetapkan kepada mereka tanpa kecuali. Belum lagi persoalan hak sipil sebagai warga negara dalam hal ini misalnya KTP yang tidak ramah terhadap waria karena memang di KTP hanya tersedia dua pilihan: laki-laki dan perempuan. Padahal, KTP ini asumsinya merupakan “right to get rights” bagi semua warga negara. Oleh karena itu menjadi penting untuk melacak sejauh mana keberadaan Ikatan Wria Yogyakarta (Iwayo) mampu menjadi representasi komunitas waria dalam isu-isu identitas mereka maupun perjuangan merebut Hak-hak sipilpolitik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya. E. Kerangka Teori E.1. Politik Redistribusi Penelitian ini menggunakan pendekatan yang diusung oleh Nancy Fraser (2003) dalam karyanya “The Social Justice in the Age of Identity Politics” untuk menganalisis problema keadilan sosial dalam dua konstelasi politik progresif yang tengah berkembang di era globalisasi: pertama, perjuangan politik progresif berbasis keadilan redistributif sebagai tanggapan terhadap akselerasi ekonomi global yang melahirkan tatanan 9 neoliberalisme. Kedua, politik progresif dalam bentuk trend politik rekognisi (recognition politics) yang memunculkan bentuk-bentuk artikulasi politik baru seperti politik ethno-nasionalisme, bangkitnya gerakan politik agama, politik gender dan new social movement yang menghadirkan diskursus multikulturalisme. Klaim politik progresif dalam konteks persoalan redistribusi (redistribution matters), mempersoalkan bagaimana keadilan ditinjau sebagai proses distribusi barang dna sumber daya secara adil, serta kesetaraan akses bagi tiap-tiap individu. Klaim keadilan redistributif ini telah diperbincangkan sejak lama oleh berbagai pandangan filsafat politik dari pemikiran sosialis, sosial-demokrasi sampai dengan rumusan canggih dari kaum libertarian seperti John Rawls (1971) dan Ronald Dworkin (1981) yang mensintesakan kemerdekaan individu dan kesetaraan distributif secara sosial demokrasi. Paradigma keadilan redistribusi memfokuskan ketidakadilan dari perspektif sosial-ekonomi dan berangkat dari analiss bahwa akar-akar ketidkadilan sosial pertama-tama bermula dari struktur sosial ekonomi masyarakat yang timpang. Ketidakadilan sosal dalam perspektif keadilan redistrbutif termanifestasi dalam bentuk terjadinya eksploitasi ekonomi (pemerasan tenaga pekerja untuk keuntungan kalangan pemilik modal, penghisapan sumber daya alam untuk pentingan bisnis dan korporasi tanpa mengindhakan kebutuhan publik), marjinalisasi ekonomi (ketika tiap-tiap orang dibatasi oleh kondisi upah minim dan tidak adanya akses kepada penghasilan ekonomi yang lebih baik bagi rakyat), dan deprivasi ekonomi (ketika tiap-tiap orang hidup di bawah standar hidup material yang normal). 10 E.2. Politik Rekognisi Pemikiran Foucault di atas senada dengan pendekatan kaum Marxis Fungsionalis seperti Jeffrey Weeks (1981: 98) yang mengemukakan bahwa penyimpangan yang dilabelkan pada kaum homoseksual merupakan sebuah fenomena baru dalam sistem sosial budaya kemasyarakatan. Budaya baru tersebut akan mampu menjadi stimulus dalam mengubah pola interaksi antar budaya yang ada di dalam masyarakat di mana penyimpangan dianggap mampu memberi kontribusi adanya budaya yang berbeda (different culture), sehingga akan muncul sebuah kekayaan wacana kebudayaan dan kategorisasi sosial yang beragam, mulai dari komoseksual sebagai identitas seksual, pilihan seksual, bentuk subkultur. Politik representasi merupakan konsep yang dikembangkan dari gagasan tentang “representasi” oleh Stuart Hall (1997). Konsep ini didefinisikan sebagai suatu rekayasa konstruksi sosial yang dimungkinkan melalui bekerjanya sirkuit kebudayaan dalam melahirkan produksi dan reproduksi makna atau pencitraan yang mampu menciptakan suatu opini publik, atau menentukan posisi subyektivitas seseorang di dalam ruang dan relasi sosialnya. Hall melanjutkan bahwa bekerjanya sirkuit kebudayaan yang melahirkan “representasi” merupakan suatu relasi sinergis (timbal-balik) antara komponen-komponen yang melibatkan regulasi (pengaturan- pengaturan) dan siklus konsumsi-produsi di dalam realitas kehidupan kita sehari-hari, serta interaksi ketiganya (regulasi-produksi-konsumsi) dalam membentuk identitas kita. (Setyaningrum, 2005) 11 Identitas terbagi dalam dua kategori utama: identitas sosial (kelas, ras, etnis, gender, dan seksualitas) serta identitas politik (nasionalitas dan kewarganegaraan—citizenship). Identitas sosial menentukan posisi subjek di dalam relasi atau interaksi sosialnya, sedangkan identitas politik menentukan posisi subjek dalam suatu komunitas melalui suatu rasa kepemilikan (sense of belonging) dan sekaligus menandai posisi subjek yang lain dalam suatu pembedaan (sense of otherness). Oleh karena identitas juga berkaitan dengan segala sesuatu yang membuat sekelompok orang menjadi berbeda dengan yang lainnya, maka konstruksi identitas berkaitan erat dengan konstruksi mengenai “perbedaan” (difference). Identitas politik (political identity) secara konseptual berbeda dengan politik identitas (politics of identity); identitas politik merupaka konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek di dalam ikatan suatu komunitas politik, sedangkan pengertian politik identitas adalah berkaitan dengan mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun identitas sosial) sebagai sumber daya dan sarana politik. (Linda Martin Alcoff dalam Setyaningrum, 2005) Ketika identitas dimobilisasi bagi kepentingan artikulatif, terdapat peluang-peluang bagi munculnya klaim-klaim terhadap identitas sosial- politik baru” yang secar politis menyebabkan adanya kondisi yang dilematis dari perkembangan masyarakat kontemporer. Di satu sisi, wilayah (ruang) politik bagi klaim identitas baru tersebut dapat melahirkan peluang-peluang konflik. Sementara di sisi lain, pengaturan-pengaturan politik, yang menjamin berangsungnya suatu proses kesetaraan melalui demokrasi liberal, 12 dapat membuka peluang yang lebih besar bagi pengakuan publik dan pengorganisasian politik dari klaim-klaim identitas baru tadi, yang secar potensial memunculkan konflik. Situasi seperti ini yang membuat kita perlu merfleksikan kembali kaitan antara identitas sosial dan identitas politik yang secara dinemis memengaruhi upaya mengartikulasikan kepentingan politik sekelompok orang. Sehingga pengategorisasian “identitas” tidak dapat lagi secara sederhana kita pahami sebagai polarisasi identitas sosial atau politik. Hal ini dikarenakan identitas sosial atau budaya seseorang, misalnya yang didasari oleh sistem kelas (bawah, menegah, atas), seksualitas (heteroseksual, homoseksual), agama (Islam, Kristen, Katolik, Hidu, Budha, dsb.), merupakan sumber bagi pembentukan identitas politik dan oleh karena itu signifikan bagi mobilisasi politik identitas. (Setyaningrum, 2005). Klaim terhadap identitas merupakan kategori-kategori pembedaan kolektivitas yang peluang-peluangnya dapat kita temukan di dalam struktur kelas, gender, dan seksualitas, orientasi budaya, atau bahkan dalam gaya hidup (bentuk-bentuk konsumsi). Perkembangan di dalam dunia kontemporer saat ini menunjukkan bahwa identitas “bukan” lagi menjadi monopoli bagi rezim kolektif tradisional (seperti ikatan paternalistik dalam relasi etnisitas, agama, struktur kelas sosial) atau bahkan negara. Tetapi juga menjadi wilayah bagi munculnya rezim-reim “klaim-klaim kolektivitas baru” lintas kelas, ras, etnis, atau agama, misalnya kelompok homoseksual. Klaim kolektivitas bahkan dapat diciptakan melalui diskursus politik kebudayaan, misanya pembedaan kelompok-kelompok liberal-fundamentalis, dsb. 13 Dari pemaparan di atas, dalam konteks penelitian ini, menjadi relevan untuk mencari jawaban yang dapat menjelaskan kompleksitas di dalam kaitan antara identitas waria sebagai sumber daya dan sarana politik secara komprehensif. Ini tidak lain karena terminologi mengenai identitas politik tidak pernah definitif, apalagi konstruksi mengenai kategori-kategori di dalam identitas bersifat “cair dan fleksibel”. Akan tetapi, penelitian ini juga perlu untuk memperluas pandangan mengenai identitas di atas, yang ditentang oleh Jenny Bourne (1987), yang melihat pengertian politik identitas sebagai suatu kemunduran proyek politik yang bersifat emansipatoris karena politik identitas merupakan suatu wujud eksploitasi kelaur (mobilisasi individu) dan penindasan ke dalam diri subjek (manipulasi kesadaran), karena yang dipentingkan dalam relasi sosial adalah upaya untuk menekankan “Who I am – Siapa Saya?” (Bourne: 1987:1) Gagasan tentang politik rekognisi menggambarkan situasi masyarakat yang adil melalui tujuan menerima martabat individu atas semua individu (Fraser 1995; Honneth 2004). Klaim politik rekognisi ini terutama terkait untuk mengatasi ketidakadilan budaya atau simbolik yang berakar dalam pola sosial representasi, interpretasi, dan komunikasi; seperti dominasi budaya, non-pengakuan, dan tidak adanya penghormatan (Fraser 1995). Ide ini berkembang dalam kurun waktu tahun tujuh puluhan dan delapan puluhan bersama-sama dengan munculnya gerakan sosial baru seperti feminisme dan multikulturalisme dengan perjuangan untuk 'pengakuan perbedaan' yang membawa spanduk gender, seksualitas, 'ras', dan etnis sebagai pusat politik mobilisasi (Fraser 1995, 1996). Selain itu, Fraser juga 14 menjelaskan pengakuan sebagai fenomena 'pasca-sosialis', di mana identitas kelompok menggantikan kepentingan kelas dan dominasi budaya menggantikan eksploitasi sebagai bentuk fundamental dari ketidakadilan (Fraser 2000). Oleh karena itu, pengakuan martabat manusia ini juga pusat prinsip keadilan sosial karena kualitas moral hubungan sosial tidak hanya dapat dipertimbangkan dalam hal wajar hanya distribusi materi (Honneth 2004). E.3. Politik Rekognisi Meskipun terdapat perbedaan antara ketidakadilan sosial ekonomi dan ketidakadilan budaya yang meresap dalam masyarakat kontemporer, keduanya berakar pada proses dan praktek yang sistematis merugikan beberapa kelompok ketika berhadapan dengan publik maupun kelompk lain. Oleh karena itu, perlu adanya solusi atas ketidakadilan sosial ini demi mencapai keadilan sosial. Dalam hal ini, secara analitis bagian ini akan membedakan ketidakadilan ekonomi dan ketidakadilan budaya termasuk solusi untuk keduanya. Solusi untuk ketidakadilan ekonomi adalah tentu saja berbagai macam restrukturisasi politik-ekonomi. Hal ini mungkin melibatkan redistribusi pendapatan, reorganisasi pembagian kerja, menundukkan investasi untuk pengambilan keputusan yang demokratis, atau membentuk struktur ekonomi dasar lainnya. Solusi untuk ketidakadilan budaya, sebaliknya, adalah semacam perubahan budaya atau simbolik. Ini bisa melibatkan menilai kembali atas penghormatan identitas dan produk budaya dari kelompok yang selama ini 15 dipinggirkan. Hal ini juga dapat melibatkan pengakuan positif atas keragaman budaya. Lebih radikal lagi, itu bisa melibatkan transformasi pola sosial dari representasi, interpretasi dan komunikasi dengan cara yang akan mengubah pemahaman semua orang. Menurut Fraser (1995), ada dua jenis solusi atas ketidakadilan secara budaya: 'afirmasi' dan 'transformasi'. Solusi afirmatif bagi ketidakadilan dimaksudkan untuk mengubah ketidakadilan dalam pengaturan sosial tanpa mengganti kerangka generatif secara mendasar. Di sisi lain, solusi transformatif dimaksudkan untuk mengubah ketidakadilan melalui restrukturisasi kerangka dasar yang menghasilkan ketidakadilan tersebut. Namun, solusi ini bukan merupakan perbandingan antara perubahan bertahap versus perubahan revolusioner, akan tetapi inti dari perbedaan antara solusi afrimatif dan transformatif ini adalah perbedaan proses dan hasil akhir yang ingin dicapai melalui solusi tersebut (Fraser 1995). Afirmation Redistribution the liberal welfare state surface reallocations of existing goods to existing groups; supports group differentiation; can generate misrecognition Recognition mainstream multiculturalism surface reallocations of respect to existing identities of existing groups; supports group differentiation Transformation Socialism deep restructuring of relations of production; blurs group differentiation; can help remedy some forms of misrecognition Deconstruction deep restructuring of relations of recognition; blurs group differentiation Seperti yang dibahas sebelumnya di atas, adalah penting untuk mencari solusi atas pengucilan sosial seperti ketidakadilan sosial dalam rangka untuk mendapatkan solusi yang paling cocok itu. Fraser (1995 ) berpendapat 16 bahwa dalam kasus bentuk kolektivitas berdasarkan eksploitasi terhadap kelas pekerja, itu terikat dengan ketidakadilan distributif membutuhkan solusi redistributif. Sebaliknya, seperti dalam kolektivitas ketik dari seksualitas dibenci seperti orang LGBT, yang misrecognition sebagai bentuk ketidakadilan membutuhkan solusi rekognisi termasuk pengakuan afirmatif dan pengakuan transformatif. Solusi afirmatif dan transformatif tidak bertahap terhadap perubahan revolusi, tetapi perbedaan antara keadaan akhir dari hasil dibandingkan proses yang menghasilkan final hasil Fraser (1995 ). Solusi afirmatif bagi ketidakadilan dimaksudkan untuk mengubah hasil yang tidak memadai dari struktur sosial Bonhoeffer kerangka generatif mendasar. Oleh karena itu, solusi afirmatif pengakuan untuk heterosexism dan homophobia bertujuan untuk merevaluasi identitas LGBT. Politik identitas LGBT mewadahi orientasi seksual dan identitas gender dengan cara yang sama sebagai etnis, sebagai substantif, budaya, dan identificatory positif ( Epstein 1987 ). Di sisi lain, solusi transformatif dimaksudkan untuk mengubah hasil adil oleh restrukturisasi kerangka dasar yang menciptakan mereka. Akibatnya, solusi transformatif dari pengakuan meliputi pendekatan 'queer theory' bertujuan untuk mendestabilisasi identitas seksual kaku dan mendekonstruksi dikotomi homo-hetero. Hal ini juga bertujuan untuk mendevaluasi heteroseksual yang dibandingkan dengan homoseksualitas dan memperlakukan identitas sebagai suatu konstruksi. Menurut perspektif ‘queer theory’, baik homoseksual dan heteroseksual dipandang sebagai 17 perwujudan ambiguitas seksual dan menandakan satu sama lain dalam waktu yang sama ( Fraser 1995 ). F. Prosedur Penelitian F.1. Gambaran umum penelitian: Case Study Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yakni untuk menjawab pertanyaan yang menekankan bagaimana pengalaman sosial diciptakan dan diberi arti. Seperti telah dikemukakan di atas, seksualitas dan identitas merupakan sesuatu hal yang dapat dikonstruksikan dan dikontestasikan. Oleh karena itu dalam penelitian mengenai politik representasi transgender ini akan berpegang pada keyakinan bahwa sifat realita tersebut dibangun secara sosial. Mengapa Kualitatif, karena riset ini akan mempelajari mengenai komunitas transgender, yang perlu mengidentifikasi berbagai macam variabel yang tidak bisa ‘diukur’ secara kuantitatif. Dismping itu, dalam rangka memperdengarkan suara-suara komunitas transgender yang selma ini tidak ‘terdengar’, menjadi penting untuk melakukan eksplorasi secara langsung terhadap permasalahan, bila dibandingkan menggunakan informasi lain dari literatur maupun bergantung pada hasil dari penelitian lainnya. Terlebih, penelitian mengenai isu ini membutuhkan pemahaman yang kompleks dan detail. Detail ini hanya apat direngkuh dengan cara berbicara secara langsung dengan orang-orang, menyambangi rumah maupun tempat kerja mereka, dan mengizinkan mreka untuk menceritakan kisah mereka tanpa harus dibebani dengan apa yang kita harapkan dapat temukan atau atas apa yang kita baca dalam literatur. Kita juga melakukan riset kualitatif 18 ketika kita ingin memberdayakan individu untuk berbagi kisah mereka, mendengar suara mereka, dan meminimalisasi relasi kuasa yang hadir di antara peneliti dan partisipan dalam suatu studi. Sedangkan format desain penelitian ini menggunakan Qualitative Constructivis/ Interpretivist Format. (Creswell, 2007: 40) Peneliti menggunakan metode studi kasus, khususnya studi kasus komparatif untuk mendapatkan gambaran yang utuh bagaimana karakteristik subjek penelitian (Iwayo) dalam politik representasi identitas treansgender dilakukan. Studi kasus dipilih untuk dapat mengeksplorasi kasus-kasu yang berbeda dari waktu ke waktu melalui pengumpulan data yang mendalam serta melibatkan berbagai sumber informasi. Konteks kasus dapat mendudukan kasus dalam settingnya yang terdiri dari setting fisik maupun sosial, sejarah, atau setting ekonomi. Struktur kasus terdiri dari masalah, konteks, isu, dan pelajaran yang dipelajari. Studi kasus dalam penelitian ini bersifat Instrumental, yang merupakan sebuah alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar yakni kontribusi dalam menyusun agenda advokasi bagi komunitas waria. Kasus dalam penelitian ini, pada dasarnya memerankan peran yang supportive, bersifat fasilitatif untuk memahami sesuatu tujuan yang lebi besar seperti yang telah diungkapkan sebelumnya. Oleh karena itu, menjadi penting untuk melakukan spesifikasi dan mendefinisikan isu yang akan dilihat dalam kasus ini (Stake dalam Creswell, 2007: 142). Penelitian studi kasus berkaitan dengan sebuah isu yang dieksplorasi melalui satu atau lebih kasus dalam sebuah ‘bounded system’ seperti setting, konteks. (Creswell, 1995: 73). 19 Berikut ini adalah batasan kasus dalam penelitian ini: F.2. Jenis data dan teknik pengumpulan data Menurut Creswell (1998), dalam studi kasus, menggunakan berbagai sumber informasi yang meliputi: observasi, wawancara, materi audio-visual, dokumentasi dan laporan. Peneliti secara utama menggunakan teknik observasi partisipan dan wawancara. Metode observasi partisipan ini menjadi penting bagi peneliti untuk dapat mengombinasikan yang diucapkan dengan apa yang dilakukan. Karena apa yang dijawab oleh informan/ narasumber bisa jadi sifatnya normatif, sehingga perlu untuk melihat lebih lanjut bagaimana informan menafsirkan yang dikatakan dalam perilakunya. Selain keterampilan menulis catatan lapangan, beberapa taktik juga perlu dilakukan (Denzin dalam Mulyana, 2001) yakni: “mencuri dengar” dan “melacak” yakni mengikuti seseorang dalam melakukan serangkaian kegiatan normalnya selama periode waktu tertentu, juga digunakan dalam penelitian ini. Pengumpulan data diambil dari berbagai sumber informasi, untuk membangun gambaran yang mendalam dari studi kasus. Wawancara dan observasi juga merupakan alat pengumpul data yang akan digunakan. a. Wawancara Wawancara etnografis dalam penelitian ini dimaknai sebagai jenis peristiwa percakapan (speech event) yang khusus (Spreadly 1997:71). Oleh karena itu, wawancara dalam penelitan ini meliputi pertanyaan yang bersifat etnografis: Pertama, peneliti mencatat pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang dalam kehidupan setiap hari: 20 Kedua, peneliti mencatat secara langsung pertanyaan yang digunakan oleh para partisipan dalam suatu lingkungan kebudayaan: Ketiga, peneliti meminta narasumber untuk membicarakan suatu lingkup budaya tertentu. Pertanyaan Contoh: mengambil beberapa tindakan atau peristiwa tunggal yang diidentifikasikan oleh narasumber dan meminta suatu contoh. Pertanyaan pengalaman: menanyakan pada narasumber mengenai pengalaman apa pun yang mereka miliki dalam beberapa setting tertentu. Pemilihan narasumber dalam penelitian ini dilakukan secara komprehensif (Endaswara, 2008) yakni seleksi berdasarkan kasus, tahap, dan unsur yang relevan. b. Observasi Partisipan Observasi menjadi penting karena mengharuskan peneliti menyelami makna budaya lewat partisipasi, lewat kegiatan keseharian subjek penelitian. Peneliti melebur dalam setting sosial mereka, mengamati orang-orang dalam lingkungan alami mereka dan ikut serta dalam aktivitas mereka. Dalam penelitian ini, peneliti menulis catatan lapangan mendalam melalui observasi yang dilakukan di Iwayo. Selama melakukan observasi, peneliti membuat sebuah catatan observasi berupa tabulasi catatan deskriptif dan catatan reflektif (Creswell, 2011). F.3. Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan dengan cara mendeskripsikan bagaimana pergulatan identitas di Iwayo. Berdasarkan lapis abstraksi yang telah 21 dilakukan di atas, jawaban dan penjelasan pada bagian sebelumnya akan mendukung penjelasan berikutnya. Lebih lanjut, penjelasan ini sekaligus membangun argumen dalam pembahasan selanjutnya untuk menjawab pertanyaan mengenai strategi dalam politik representasi yang dilakukan oleh masing-masing komunitas. Dalam analisis data, kerangka teori digunakan sebagai pembanding analisis berdasarkan teori maupun hasil penelitian yang terkait dengat data di lapangan. Kerangka teori yang telah disusun sebelumnya, digunakan sebagai ‘alat’/ tools maupun sebagai ‘perekat’/glue (Thomas, 2011). Artinya, studi kasus ini dandaikan sebagai sebuah ‘bungkusan’ berisi berbagai temuan yang ada di lapangan. Temuan-temuan ini berasal dari: (1) berbagai momen (sejak kurun waktu 1970-an sampai dengan tahun 2016); (2) individuindividu (para narasumber kunci dan narasumber-narasumber lainnya); (3) Dokumen-dokumen yang terkait dengan aktivitas dan berita-berita seputar waria di Yogyakarta; dan sumber-sumber lainnya. 22