IPAP PTSD – Tambahan Prinsip Umum I. Evaluasi Awal dan berkala A. PTSD merupakan gejala umum dan sering kali tidak terdiagnosis. Bukti adanya prevalensi paparan trauma yang tinggi, (termasuk kekerasan dalam rumah tangga), maka sangat penting untuk mengetahui riwayat paparan terhadap trauma. B. Evaluasi awal harus menggunakan kriteria menurut DSM-IV atau ICD-10. Dengan mempertimbangkan kebanyakan riset tentang PTSD pada umumnya dan tentang farmakoterapi pada khususnya, menggunakan kriteria DSM-IV, maka dari itu penggunaan kriteria ini sangatlah berguna. C. Evaluasi awal harus meliputi penilaian status mental dan riwayat medis yang menyeluruh dan jika dibutuhkan, dapat dilakukan rujukan yang sesuai untuk evaluasi medis atau laboratorium. D. Apabila pada evaluasi awal atau berkala dijumpai respon-respon yang tidak memadai, pertimbangkan: trauma yang sedang berlangsung, gejala inti yang berhubungan dengan PTSD yang mepengaruhi cara pengobatan (misalnya resiko untuk bunuh diri, gejala psikotik, insomnia atau mimpi buruk), penyakit psikiatri komorbid (termasuk depresi, gangguan bipolar, gangguan cemas lainnya, penyalahgunaan zat terlarang), diagnosis lain yang mungkin, ketidak patuhan terhadap rekomendasi pemberian obat, dan masalah proses pengadilan. E. Pasien dengan gangguan bipolar harus sudah dibuat stabil sebelum diperkenalkan dengan antidepresan untuk pengobatan PTSD. Hal ini juga berlaku untuk kelainan-kelainan komorbid (misalnya kelainan psikosis) yang mungkin perlu diobati terlebih dahulu sebelum dimulainya pengobatan PTSD. Namun, pada kasus yang lain, pengobatan PTSD juga bisa efektif terhadap kelainan komorbid, sehingga pada saat yang bersamaan pengobatan dapat dimulai. F. Instrumen skala penilaian gejala yang terstandardisasi (Standardized Symptom Rating Scale) samgat berguna untuk penilaian awal (baseline) dan selanjutnya. II. Pilihan penatalaksanaan: dengan obat, psikososial atau kedua-duanya. A. Penatalaksanaan awal bisa berupa farmakoterapi atau psikoterapi. Pilihan pasien dan atau keahlian khusus dari klinisi dapat mempengaruhi pilihan tersebut. Komorbiditas dapat mempengaruhi jenis obat atau psikoterapi yang dianjurkan, atau juga mempengaruhi pemilihan penggunaan obat atau psikoterapi. B. Kedua pendekatan tersebut telah terbukti berhasil, dan tiap pendekatan memiliki kelebihan dan kekurangan. III. Gangguan Stres akut (ASD) vs PTSD Sesaat setelah mengalami kejadian traumatis mayoritas populasi akan memperlihatkan disstres yang bermakna. Pada sebagian besar orang, gejala tersebut akan pulih dalam waktu 4 minggu, dan seringkali dalam jangka waktu 10-14 hari pertama. Oleh karena itu, penatalaksanaan farmakologi (atau psikososial) pada periode ini umumnya harus dihindari, kecuali untuk individu yang sangat jelas menunjukkan gejala atau yang mengalami disfungsi karena gejalanya. Dukungan dan pertolongan psikologis merupakan pilihan pengobatan terhadap distres semacam ini yang dialami segera setelah peristiwa trauma. A. Penatalaksanaan PTSD kronis lebih mudah dipahami daripada pengobatan stres akut (ASD=acute stress disorder) atau PTSD akut. B. Walaupun banyak dokter kelihatannya percaya bahwa jenis pengobatan yang sama dapat memperbaiki ASD dan PTSD akut (kurang dari 3 bulan), namun sangat sedikit penelitian yang membahas kondisi ini. Khusus untuk ASD, banyak bukti kuat yang menunjukkan bahwa CBT efektif terhadap perbaikan gejala dan pencegahan terjadinya PTSD dikemudian. Hanya ada sedikit studi pendahuluan mengenai intervensi farmakologis terhadap ASD yang telah dilakukan. Khusus untuk PTSD akut, dianjurkan untuk tidak menunda pengobatan bagi orang yang memiliki kriteria diagnostik tersebut. IV. Obat-obatan dan Respon yang memadai A. Penderita PTSD yang akan diberikan obat-obatan, dengan beberapa pengecualian, harus mendapatkan SSRI atau SNRI sebagai obat pilihan pertama. B. Umumnya respon yang adekwat untuk pengobatan PTSD dengan SSRI terjadi dalam 4 – 12 minggu. Orang dapat berharap setidak-tidaknya dengan dosis yang memadai terjadi respon partial dalam 4-12 minggu. Diasumsikan bahwa dosis yang memadai atau yang ditoleransi maksimal diberikan selama periode waktu yang direkomendasikan ini. Jika tidak mendapatkan respon yang memadai, kami tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk menganjurkan apakah sebaiknya dosis ditingkatkan atau, ditambah obat lain atau dialihkan pada obat lain. Para klinisi mungkin menginginkan agar pilihan tetap terbuka sesuai dengan pendekatan yang mereka sukai. Juga dapat dijumpai kasus yang memerlukan waktu lebih dari 12 minggu untuk didapatkan respon yang memadai, seperti yang dilaporkan pada penelitian kohort pasien yang diberikan sertraline, yaitu pasien yang hanya memberikan respon sebagian pada 12 minggu pertama, berangsur meberikan respon penuh setelah pengobatan 35 minggu. C. Sebagian pasien mungkin menunjukkan tanda awal pemburukan ketika mulai diobati. Pada beberapa kasus hal ini berkaitan dengan dampak efek anxiogenic SSRI. Pada kasus lain, hal itu mungkin berhubungan dengan diskusi mengenai trauma dimana pikiran dan perasaan pikiran yang berkaitan dengan trauma belum pulih. D. Pasien yang merespon dengan sangat baik terhadap SSRI harus diobati minimal satu tahun. E. Benzodiazepin tidak direkomendasikan sebagai terapi tunggal, dan dapat memperburuk keadaan pada beberapa bulan pertama setelah trauma. Karena sejumlah antidepresan kelihatan efektif terhadap pengobatan gangguan cemas menyeluruh dan serangan panik, antidepresan ini patut diperhitungkan untuk diberikan kepada pasien sebelum pasien diberikan benzodiazepin. Lagipula, tidak ada hasil penelitian yang dipublikasikan menunjukkan efektivitas benzodiazepin terhadap PTSD. Jika seorang dokter memilih untuk meresepkan obat-obatan ini sebagai tambahan untuk meningkatkan efektivitasnya terhadap komorbiditas gangguan cemas yang residual misalnya gangguan cemas menyeluruh dan serangan panik, obat-obatan ini harus digunakan sebagai tambahan jika tidak ada riwayat penyalahgunaan zat psikotropik. F. Untuk setiap evaluasi terhadap respon pengobatan yang tidak memadai, kami menganjurkan untuk menilai ulang diagnostik, serta juga mengevaluasi kepatuhan pasien terhadap pengobatan. V. A. B. C. D. VI. VII. Menangani Efek Samping Pasien dengan gangguan cemas, termasuk penderita PTSD sering mengalami sensitivitas yang berlebihan terhadap efek samping obat-obatan, dan mungkin membutuhkan titrasi dosis yang lebih perlahan daripada yang diberikan kepada pasien lain misalnya pasien depresi. Jika efek klinis obat hanya nampak sebagian atau tidak menghasilkan efek sama sekali, penting untuk memikirkan apakah gejala tersebut adalah akibat respon obat yang tidak memadai atau merupakan efek samping obat. Efek samping metabolik dan kardiovaskular yang bisa terjadi karena obat-obatan antipsikotik juga dapat terjadi pada beberapa pasien dengan PTSD kronis yang menggunakan obat-obatan ini. Efek samping ini termasuk disregulasi glukosa yang menyebabkan Diabetes Tipe II atau pemburukan diabetes yang sebelumnya terkontrol, penambahan berat badan, penumpukan lemak di abdominal, peningkatan trigliserida atau peningkatan kolesterol total dan kolesterol LDL. Sejalan dengan rekomendasi ini, pengontrolan yang memadai terhadap profil metabolisme sangat dianjurkan. Ada kemungkinan terjadi interaksi obat yang tidak diharapkan misalnya yang dimediasi oleh penghambatan atau perangsangan sistem enzim cytochrome P450. Dengan meningkatnya komorbiditas penyakit medis, sangat mungkin seorang pasien yang menderita PTSD akan minum obat lain. Maka dari itu dokter harus terbiasa dengan interaksi obat yang sering terjadi jika menggunakan obat-obatan ini untuk menanggulangi PTSD. Dukungan Sosial Dukungan sosial makin berkurang bagi penderita PTSD (Davidson et al, 1991) dan perhatian terhadap hal ini harus diberikan sebagai bagian yang penting dalam proses penyembuhan (Davidson, 2002). Brewin et al (2000), menekankan bahwa kurangnya dukungan sosial merupakan satu-satunya sebab yang paling penting sebagai faktor prediksi untuk berkembangnya PTSD setelah trauma. Respon Plasebo Kadang-kadang respon awal yang cepat dapat menjadi indikasi tentang adanya respon ”palsu” atau ”nonspesifik”, seperti yang dikatakan dalam penelitian tentang depresi. Kita tidak tahu sampai sejauh mana kasus ini relevan terhadap PTSD, atau bagaimana menanganinya dengan cara yang paling baik. Beberapa pakar berpendapat bahwa dalam situasi seperti ini pengantian obat lebih dianjurkan dari pada penambahan obat lain pada obat pertama, tetapi tidak ada data yang menjelaskan hal ini. VIII. Pertimbangan Biaya dan manfaat (Cost-benefit consideration) Biaya sering merupakan pertimbangan yang penting dalam seleksi obat. Namun, biaya obat-obatan harus dilihat secara lebih luas yaitu dari keseimbangan biaya dan manfaat yang didapat, oleh karena obat yang ”lebih murah” bisa saja mempunyai efek samping yang lebih banyak yang malah dapat menyebabkan beban biaya tambahan. Karena keragaman dalam biaya pengobatan pada satu negara terhadap negara lainnya, kami tidak merekomendasikan hal spesifik tentang ini. Hal yang terkait dalam pertimbangan seleksi obat adalah yang berkenaan dengan pertimbangan risiko dan manfaat yang didapat. Tingkat Bukti Ilmiah (Levels of Evidence/LEO)1 1 = Lebih dari satu penelitian obat dengan power plasebo-kontrol yang memadai (yaitu n = 30 atau lebih dalam tiap kelompok) 2 = Satu atau lebih pernelitian obat plasebo-kontrol yang sederhana, dengan monoterapi, kombinasi atau terapi tembahan. 3 = Penelitian open-label atau studi kasus 4 = Tanpa bukti yang dipublikasikan, atau tanpa adanya konsensus klinis 1 Sejumlah pedoman tentang PTSD sudah tersedia, termasuk Pedoman Konsensus Ahli/The Expert Consensus Guidelines (Foa, Davidson and Frances, 1999), Kelompok Internasional untuk Studi tentang Stres Traumatis (Foa, Keane and Friedman, 2000), Panduan Klinis Praktis - hasil kerjasaman oleh Departemen Pertahanan dan Veteran Amerika Serikat/the US Departements of Veterans Affairs and Defense Joint Clinical Practice Guidelines , 2004 (http://www.oqp.med.va.gov/cpg/PTSD/PTSD_base.htm) dan The United Kingdom’s National Institute of Clinical Excellence (http://nice.org.uk/pdf/CG026fullguideline.pdf.3/28.2005). Tak ada satupun yang mengemukakan tentang tahapan pengobatan secara klinis, dan semuanya lebih merupakan kajian atas bukti ilmiah dalam mendukung dukungan, namun kurang, terhadap pengobatan tertentu. Tingkatan bukti kami adalah mirip secara luas dengan ISTSS dan NICE.