4 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Jagung (Zea mays L

advertisement
4
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Jagung (Zea mays L.) adalah tanaman semusim dan termasuk jenis
rumputan/graminae
yang
mempunyai
batang
tunggal,
meski
terdapat
kemungkinan munculnya cabang anakan pada beberapa genotipe dan lingkungan
tertentu. Batang jagung terdiri atas buku dan ruas. Daun jagung tumbuh pada
setiap buku, berhadapan satu sama lain. Bunga jantan terletak pada bagian
terpisah pada satu tanaman hari pendek, jumlah daunnya ditentukan pada saat
inisiasi bunga jantan, dan dikendalikan oleh genotipe, lama penyinaran, dan suhu
(Subekti et al, 2008).
Sistem perakaran jagung dapat dibagi menjadi sistem perakaran embrio
yang terdiri dari akar tunggal utama dan akar seminal, dan sistem perakaran
pasca-embrio yang dibentuk oleh akar adventif. Akar adventif dibentuk pada node
di bawah tanah yang disebut akar mahkota, sedangkan akar lainnya dibentuk pada
node di atas tanah disebut akar pengait. Akar lateral yang muncul dari semua jenis
akar
utama
juga
termasuk
ke
dalam
sistem
perakaran
pasca-embrio
(Hochholdinger et al, 2004).
Akar merupakan salah satu faktor dari morfologi tanaman. Dengan
perakaran yang sehat, tanaman jagung akan lebih kokoh dan dapat menyerap
unsur hara yang ada di dalam tanah lebih banyak lagi, sehingga pertumbuhan dan
hasil tanaman lebih maksimal (Hayati et al, 2011).
Batang tanaman yang kaku tingginya berkisar antara 1.5 m dan 2.5 m dan
terbungkus oleh pelepah daun yang berselang-seling yang berasal dari setiap
buku. Buku batang mudah terlihat. Pelepah daun terbentuk pada buku dan
Universitas Sumatera Utara
5
membungkus rapat-rapat panjang batang utama. Sering melingkupi hingga buku
berikutnya. Setiap pelepah daun kemudian membengkok menjauhi batang
sebagian daun panjang luas dan melengkung. Ligula ini melekat kuat melingkupi
batang pada ujung pelepah. Lembar daun berselang-seling dan bentuknya lir
rumput. Daun panjang ini memiliki lebar agak seragam. Dan tulang daunnya
terlihat jelas. Dengan banyak tulang daun kecil sejajar dengan panjang daun dan
tidak jarang. Sebelum bibit mencapai tinggi 20 cm seluruh tunas daun dan
pembungaan akhir sudah terbentuk (Rubattzky dan Yaguchi, 1998).
Keunikan jagung di antara rumput padi-padian penting dunia terletak pada
sifat perbungaannya. Jagung merupakan tanaman berumah satu. Jagung
menghasilkan bunga-bunga jantannya dalam suatu perbungaan terminal (malai)
dan bunga-bunga betinanya pada tunas-tunas samping (tongkol). Jadi, tidak
seperti setiap tanaman padi-padian utama lainnya, jagung memproduksi hasil
ekonominya (bijinya) pada suatu tunas samping. Jagung adalah protandrus, yaitu
mekarnya bunga jantan (pelepasan tepung sari) biasanya terjadi satu atau dua hari
sebelum munculnya tangkai putik (umumnya dikenal sebagai rambut). Karena
pemisahan tongkol dan malai bunga jantan serta protandri pembungaannya,
jagung merupakan suatu spesies yang terutama menyerbuk silang. Produksi
tepung sari melimpah, dan ada taksiran-taksiran bahwa 25.000 sampai 50.000
butir
tepung
sari
dihasilkan
untuk
setiap
biji
yang
potensial
(Goldsworthy dan Fisher, 1992).
Tipe biji jagung berhubungan dengan letak pati lunak atau soft starch dan
pati keras atau horny starch dalam endosperm biji jagung. Pati lunak yaitu pati
yang bercampur dengan protein dalam bentuk matriks dan terpecah selama
Universitas Sumatera Utara
6
pengeringan sehingga membentuk rongga-rongga kosong, sedangkan pati keras
yaitu pati yang bercampur dengan protein tersusun secara matriks tebal dan tidak
terpecah selama pengeringan (Koswara, 2009).
Pemahaman morfologi dan fase pertumbuhan jagung sangat membantu
dalam mengidentifikasi pertumbuhan tanaman, terkait dengan optimasi perlakuan
agronomis. Cekaman air (kelebihan dan kekurangan), cekaman hara (defisiensi
dan keracunan), terkena herbisida atau serangan hama dan penyakit akan
menyebabkan tanaman tumbuh tidak normal, atau tidak sesuai dengan morfologi
tanaman (Subekti et al, 2008).
Karakteristik Tanah Masam
Tanah-tanah masam di Indonesia terdiri atas Podsolik, Latosol, Podsol,
Organosol dan bagian terbesar tanah Aluvial Hidromorf. Tanah Podsolik dan
Podsol bersifat masam karena berasal dari bahan induk masam dan telah
mengalami pelapukan intensif yang disertai pelindian kuat. Tanah Latosol bersifat
masam karena telah mengalami pelapukan intensif dan pelindian kuat.
Kemasaman tanah Organosol ditimbulkan oleh perombakan bahan organik yang
menghasilkan berbagai asam organik. Banyak tanah Aluvial Hidromorf menjadi
luar biasa masam (pH 3,5 atau kurang) karena senyawa pirit yang dikandungnya
teroksidasi menjadi asam sulfat, disamping jarosit yang terbentuk. Karena itu
tanah semacam ini dinamakan tanah Sulfat Masam atau Sulfurik. Hampir semua
tanah masam berada di luar Jawa, sehingga mau tidak mau perluasan lahan
pertanian ke luar Jawa harus berurusan dengan tanah masam itu. 54% luas daratan
Indonesia tertutup oleh tanah-tanah masam. Di antaranya tanah Podsolik
Universitas Sumatera Utara
7
merupakan
bagian
yang
terluas
yaitu
27%
luas
daratan
Indonesia
(Notohadiprawiro, 2006).
Tanah-tanah di Indonesia sebagian besar berkembang pada iklim tropika
basah dengan curah hujan >200 mm/bulan dan karena didukung pula oleh
temperatur yang tinggi maka proses pelapukan berjalan lebih cepat bila
dibandingkan dengan daerah-daerah beriklim kering. Proses pelapukan ini
menghasilkan penciri-penciri spesifik sehingga memberikan nama tersendiri pada
masing-masing jenis tanah mineral masam. Curah hujan yang tinggi menyebabkan
proses pencucian yang intensif, sehingga kation-kation basa (Ca,Mg, K, dan Na)
hilang dari pelapisan tanah, dan tanah memiliki kejenuhan basa yang rendah.
Pencucian dari mineral liat pada lapisan atas menyebabkan terjadinya
penumpukan mineral liat pada horizon di bawahnya sehingga terbentuk horizon
argilik, tanah yang terbentuk adalah Ultisol (Barchia, 2009).
Tanah ultisol mempunyai sebaran yang sangat luas, meliputi hampir 25%
dari total daratan Indonesia. Sebaran terluas terdapat di Kalimantan (21.938.000
ha), diikuti di Sumatera (9.469.000 ha), Maluku dan Papua (8.859.000 ha),
Sulawesi (4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha), dan Nusa Tenggara (53.000 ha).
Tanah ini dapat dijumpai pada berbagai relief, mulai dari datar hingga bergunung
(Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).
Tanah podsolik merah-kuning secara umum masuk dalam ordo ultisol.
Dikatakan secara umum karena pada dasarnya nama tanah yang berasal dari
sistem klasifikasi yang berbeda tidak mungkin dipadankan secara langsung dan
lengkap. Hal ini disebabkan karena setiap sistem klasifikasi menggunakan
seperangkat kriteria kelas yang berbeda. Andaipun kriteria sama akan tetapi
Universitas Sumatera Utara
8
hierarki penerapannya berbeda, hasil pembentukan kelas berbeda pula
(Notohadiprawiro, 2006)
Ultisol memiliki kelas besar butir yang bervariasi dari berlempung halus
(17-35% liat) sampai berliat (37-55% liat). Reaksi tanah sangat masam (pH 4,14,8). Kandungan bahan organik lapisan atas yang tipis (8–12 cm), umumnya
rendah sampai sedang, dan lapisan bawahnya sebagian besar sangat rendah
dengan rasio C/N tergolong rendah (5–10). Kandungan P-potensial sangat rendah,
dan K-potensial bervariasi sangat rendah sampai rendah, baik di lapisan atas
maupun lapisan bawah. Jumlah basa-basa dapat tukar tergolong sangat rendah di
seluruh lapisan, terkecuali di lapisan atas umumnya rendah. Kandungan K dapat
tukar hanya berkisar dari 0,00 sampai 0,1 cmol (+)/kg tanah. KTK tanah di semua
lapisan termasuk rendah, dan KB sebagian besar sangat rendah (20% atau
kurang), terkecuali lapisan atas termasuk rendah sampai sedang (21-51%). Potensi
kesuburan alami Ultisol dengan demikian disimpulkan sangat rendah sampai
rendah (Subagyo et al, 2000).
Pengaruh Tanah Masam Terhadap Tanaman
Kemasaman tanah yang dinyatakan dengan pH dapat digunakan sebagai
indikator kesuburan kimia tanah, karena dapat mencerminkan ketersediaan hara
dalam tanah. Kemasaman tanah sangat mempengaruhi ketersediaan N anorganik
dimana pada pH rendah, aktivitas mikroorganisme untuk mendekomposisi N
organik menjadi terhambat. N anorganik pada tanah mineral masam hasil
dekomposisi lebih banyak terakumulasi dalam bentuk NH4+, karena proses
nitrifikasi membentuk NO3- terhambat pada pH < 5.39, dan akan optimum
ketersediaan N dalam bentuk NO3- pada pH > 6.0. Selanjutnya, bentuk ion
Universitas Sumatera Utara
9
H2PO4-1 dan pada tanah mineral masam kelarutan PO4-3 sulit terjadi, bahkan P
dimungkinkan akan mengendap membentuk H3PO4 (Barchia, 2009).
pH tanah dapat mempengaruhi ketersediaan hara tanah dan bisa menjadi
faktor yang berhubungan dengan kualitas tanah. pH sangat penting dalam
menentukan aktivitas dan dominasi mikroorganisme tanah yang berhubungan
dengan proses-proses yang sangat erat kaitannya dengan siklus hara, penyakit
tanaman, dekomposisi dan sintesa senyawa kimia organik dan transport gas ke
atmosfer oleh mikroorganisme (Sudaryono, 2009).
Pada pH rendah terjadi kekahatan (deficiency) unsur-unsur hara makro dan
bersamaan dengan itu terjadi peningkatan ketersediaan unsur-unsur hara mikro,
yang dapat melampaui batas sehingga bersifat meracun. Pada pH tinggi hampir
semua unsur hara mikro bersifat kahat. Dengan kata lain, pH tanah merupakan
salah satu faktor penting yang mengatur keadaan lingkungan ion dalam tanah.
Persoalan yang biasanya timbul dalam tanah masam ialah: (1) kekahatan Ca, Mg
dan P, (2) kekahatan Cu dan Mo, (3) keracunan Al dan Mn; kadang-kadang juga
keracunan Fe, (4) laju penguraian bahan organik sangat lambat (daur nitrogen
dalam sistem tanah tanaman terganggu, kemampuan bahan organik dalam
ameliorasi struktur tanah menurun) (Notohadiprawiro, 2006).
Konsentrasi aluminium yang cukup tinggi pada tanah asam (yang pHnya
di bawah 4,7) dapat menghambat pertumbuhan beberapa spesies, tidak hanya
karena efeknya yang merusak ketersediaan fosfat, tapi tampaknya jika karena
penghambatan penyerapan besi dan karena efek beracun secara langsung terhadap
metabolisme tumbuhan (Salisbury dan Ross, 1995).
Universitas Sumatera Utara
10
Gejala pertama yang tampak dari keracunan Al adalah sistem perakaran
yang tidak berkembang (pendek dan tebal) sebagai akibat penghambatan
perpanjangan sel. Beberapa pengaruh buruk keberadaan Al tersebut antara lain
terjadi gangguan penyerapan hara, bergabung dengan dinding sel, dan
menghambat pembelahan sel (Hanum, 2013).
Studi fisiologi efisiensi hara N, P, K diarahkan kepada dasar fisiologik
efisiensi pada kondisi tercekam Al dan unsur hara kurang. Hasil percobaan kultur
hara menunjukkan bahwa, baik pada N, P, maupun K, galur yang efisien
mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam menggunakan unsur dalam
pembentukan bahan kering dibandingkan dengan galur inefisien. Disamping itu,
dalam hal efisiensi N, galur efisien mempunyai kemampuan yang lebih dalam
menyerap dan mengasimilasi nitrat dibandingkan dengan ammonium. Sedangkan
dalam hal efisiensi K, ada petunjuk bahwa galur efisien, sebagian fungsi K dapat
digantikan oleh Mg. Juga pentunjuk bahwa galur-galur yang tenggang Al juga
efisien N, P, K (Makmur, 2003).
Gejala keracunan Al yang paling mudah dilihat adalah penghambatan
pertumbuhan akar. Penghambatan pertumbuhan akar telah banyak dilaporkan
seperti pada padi, kedelai, gandum, dan jagung. Oleh karena itu parameter
panjang akar biasanya dapat digunakan untuk menilai ketenggangan tanaman
terhadap keracunan Al (Hanum, 2013).
Pendugaan Parameter Genetik
Heritabilitas adalah perbandingan antara besaran ragam genotipe dengan
besaran total ragam fenotipe dari suatu karakter. Hubungan ini menggambarkan
seberapa jauh fenotipe yang tampak merupakan refleksi dari genotipe. Faktor
Universitas Sumatera Utara
11
genetik tidak akan memperlihatkan karakter yang dibawanya, kecuali dengan
adanya faktor lingkungan yang diperlukan. Sebaliknya, bagaimana pun orang
mengadakan
manipulasi
dan
perbaikan-perbaikan
terhadap
faktor-faktor
lingkungan, tak akan menyebabkan perkembangan suatu karakter, kecuali kalau
faktor genetik yang diperlukan terdapat pada individu-individu atau populasi
tanaman yang bersangkutan (Syukur et al, 2015).
Nilai dugaan heritabilitas suatu karakter perlu diketahui untuk menduga
kemajuan dari suatu seleksi, apakah karakter tersebut banyak dipengaruhi oleh
faktor genetik atau lingkungan karena heritabilitas dalam arti luas merupakan
proporsi ragam genetik terhadap ragam fenotipiknya. Dalam hal ini, ragam
genetik merupakan ragam genetik total yang mencakup ragam dominan, ragam
aditif, dan ragam epistasis. Ragam genetik dan lingkungan berimplikasi pada
penampilan fenotipik tanaman
yang diekspresikan pada masing-masing
karakternya (Martono, 2009).
Sesuai dengan komponen ragam genetiknya, heritabilitas dibedakan
menjadi heritabilitas dalam arti luas (broad sense heritability) (h2(BS)) dan
heritabilitas dalam arti sempit (narrow sense heritability) (h2(NS)). Heritabilitas
dalam arti luas merupakan perbandingan antara ragam genetik total dan ragam
fenotipe (h2(BS) = σ2G / σ2P). Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa
ragam genetik terdiri dari ragam genetik aditif (σ2A), ragam genetik dominan (σ2D)
dan ragam genetik epistasis (σ2I). Heritabilitas dalam arti sempit merupakan
perbandingan antara ragam aditif dan ragam fenotipe (h2(NS) = σ2A / σ2P)
(Syukur et al, 2015).
Universitas Sumatera Utara
12
Suatu karakter memiliki keragaman fenotipe dan genotipe luas apabila
ragam fenotipe dan genotipe karakter tersebut lebih besar dua kali simpangan
bakunya dan keragaman sempit apabila ragam fenotipe dan genotipenya lebih
kecil dua kali simpangan bakunya. Keragaman fenotipe dan genotipe yang luas
dari karakter yang diamati ini memberikan peluang berhasilnya seleksi
(Barmawi et al, 2013).
Variabilitas yang luas merupakan salah satu syarat keberhasilan seleksi
terhadap karakter yang diinginkan, juga nilai rata-rata yang tinggi. Keefektifan
program seleksi akan semakin efisien apabila nilai duga heritabilitas sifat tersebut
cukup tinggi. Nilai heritabilitas yang tinggi untuk suatu sifat menggambarkan
bahwa karakter tersebut penampilannya lebih ditentukan oleh faktor genetik. Sifat
yang demikian akan mudah diwariskan pada generasi berikutnya, sehingga seleksi
dapat dilakukan pada generasi awal (Alnopri, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Download