Industri dan Petani Dukung Pengenaan BK Ekspor Kakao Rabu, 14 April 2010 JAKARTA (Suara Karya): Kalangan industri dan petani mendukung pengenaan bea keluar (BK) untuk ekspor biji kakao. Selain mendorong peningkatan utilisasi produksi industri pengolahan kakao (coklat), juga akan mendorong petani untuk melakukan fermentasi biji kakao. Dengan ini, kalangan industri pengolahan kakao mendapat kepastian pasokan bahan baku kakao yang difermentasi untuk diolah menjadi produk cokelat. Sementara itu, petani bisa mendapatkan nilai tambah dari proses fermentasi kakao karena harganya lebih tinggi. Selama ini, kalangan petani diarahkan oleh oknum pedagang dan eksportir untuk menjual dalam bentuk biji kakao tanpa difermentasi. Ini menyebabkan pendapatan yang diterima petani lebih rendah. Demikian hasil pertemuan Asosiasi Kakao Fermentasi Indonesia (AKFI) dan Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) dengan Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat di Jakarta, kemarin. Ketua Umum AFKI Syamsuddin Said mengatakan, Indonesia harus menjadi produsen kakao difermentasi untuk menekan potensi kerugian sebesar Rp 1 triliun per tahun yang harus diterima petani. Ini karena yang diperdagangkan di dalam negeri, terutama untuk ekspor tidak difermentasi terlebih dahulu. Mulai tahun ini, produksi kakao fermentasi bisa digenjot hingga 10.000 ton. Namun, ke depan, produksi kakao fermentasi didorong hingga 100.000 hingga 150.000 ton per tahun. Selama ini, sebagian besar produksi kakao di Indonesia tidak difermentasi dan langsung dijual sehingga harganya lebih rendah. Selisih harga antara kakao fermentasi dan tidak sekitar Rp 2.000 hingga Rp 2.500 per kilogram. Sedangkan produksi kakao per tahun bisa mencapai 400.000 sampai 500.000 ton. "Ini berarti ada sekitar 5 juta kilogram kakao yang bila dikalikan (selisih harga kakao fermentasi dan non-fermentasi) Rp 2.000, maka setiap tahun petani kehilangan Rp 1 triliun. Ini uang petani," kata Syamsuddin, yang anggotanya merupakan petani, pengumpul, dan pedagang kakao. Karena itu, kalangan petani mendukung langkah pemerintah menerapkan BK untuk kakao mulai 1 April 2010. Namun, diharapkan sebagian dana dari BK tersebut kelak dikembalikan kepada petani, misalnya pembinaan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas kakao. "Dengan adanya BK, kita bisa menjadi juara dunia (produsen kakao) dalam dua hingga tiga tahun mendatang, tidak tanggung-tanggung dengan mutu kelas satu seperti Ghana. Selama ini kualitas kakao kita dinilai rendah dan banyak potongannya. Ini karena tidak diproses fermentasi dulu," ujar Syamsuddin. Untuk itu, lanjutnya, pemerintah harus bersikap tegas dan tidak mengubah kebijakan penerapan BK ekspor kakao yang tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 67 Tahun 2010. Sesuai dengan ketentuan ini, mulai 1 April 2010, ekspor kakao dikenakan BK secara progresif hingga 15 persen atau sesuai dengan perkembangan harga kakao di pasar internasional. Rendah Sementara itu, Ketua Umum AIKI Piter Jasman mengatakan, selama ini harga kakao Indonesia dinilai rendah oleh para pedagang internasional karena tidak difermentasi. Jadi, tidak memiliki acuan harga di pasar internasional yang ada di New York (AS) dan London (Inggris). Selama ini, acuan harga hanya menyangkut kakao yang difermentasi. "Potongan harga kakao Indonesia bisa mencapai 350 dolar AS per ton dari harga terminal (acuan harga di New York dan London). Ini karena tidak difermentasi," ujarnya. Saat ini harga kakao fermentasi di dunia mencapai sekitar 2.964 dolar AS per ton. Potensi pasar kakao di dunia juga sangat besar dan pertumbuhan permintaan mencapai 5 persen per tahun. Permintaan dunia saat ini sebesar 3,5 juta ton. Dengan penerapan BK, diharapkan akan banyak investor asing maupun domestik yang menanamkan modalnya di industri pengolahan kakao, khususnya di dekat sentra produksi kakao. Potensi investasi pengolahan kakao juga sangat besar di Indonesia. Ini mengingat hanya lima industri pengolah kakao dengan kapasitas produksi 300.000 ton yang masih beroperasi. "Banyak pabrik pengolahan kakao tutup akibat menghadapi persaingan tidak sehat. Sebelumnya, di dalam negeri pembelian kakao dikenakan PPN 10 persen. Namun, tidak dikenakan pajak untuk ekspor. Jadi, saya optimistis dengan kebijakan BK ekspor kakao ini, maka dalam waktu dekat akan banyak investor yang masuk ke pengolahan kakao. Selain itu, petani juga akan terdorong untuk melakukan fermentasi kakao karena harganya lebih tinggi," ujarnya. Bahkan, dalam waktu dekat, rencananya ada dua investasi baru untuk pabrik pengolahan biji kakao di Indonesia. Investornya berasal dari Malaysia dan Singapura. Harapan akan adanya relokasi pabrik pengolahan kakao dari luar negeri (Eropa), termasuk dari industriawan lokal, juga berpotensi untuk direalisasikan. "Paling sedikit ada dua, yakni dari Singapura dan Malaysia," tutur Piter. Sementara itu, Menteri Perindustrian MS Hidayat meminta agar para pedagang atau eksportir kakao beralih menjadi pelaku industri, khususnya dengan membangun pabrik pengolahan kakao di Tanah Air. Penerapan BK ekspor kakao merupakan cara untuk memajukan industri hilir (pengolah kakao) di dalam negeri. Jadi, produksi kakao Indonesia tidak lagi banyak diekspor dalam kondisi belum diolah (berbentuk biji kakao). Dengan ini, maka nilai tambah bisa dinikmati oleh industri dan petani di Indonesia. "Industri itu jadi tulang punggung perekonomian karena menciptakan nilai tambah dan menyerap tenaga kerja. Jadi bukan perdagangan. Ini juga supaya kita tidak dikatakan seperti VOC (Belanda era penjajahan) yang hanya jual barang mentah terus," ucap Hidayat sambil tersenyum. Untuk itu, mulai tahun ini, sejalan dengan dikenakannya BK ekpsor kakao per 1 April 2010, Kementerian Perindustrian berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian serta instansi terkait lainnya akan mendukung berkembangnya industri pengolahan kakao di Tanah Air. Bahkan, Bank Indonesia akan diajak berbicara terkait dukungan dari perbankan terhadap sektor industri pengolahan kakao ini. "Saya akan koordinasi dengan perbankan nasional dan Bank Indonesia, termasuk membicarakan suku bunga kredit," katanya. Pengembagangan industri pengolahan kakao bagi Indonesia memiliki arti strategis. Pemerintah menargetkan hingga tahun 2020 produksi kakao Indonesia bisa mencapai 2 juta ton per tahun. (Andrian)