2. tinjauan pustaka

advertisement
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi fisik Teluk Jakarta
Teluk Jakarta terletak di bagian utara kota Jakarta merupakan teluk dangkal
dengan rata-rata kedalaman 15 m dengan luas 514 km2 dan dengan panjang garis
pantai sekitar 72 km (Bukit, 1995 dalam Hendiarti et al., 2005).
Secara geografis Teluk Jakarta dibatasi oleh Tanjung Krawang di sisi timur,
Tanjung Pasir di sisi barat, Laut Jawa di sisi utara dan daratan kota Jakarta,
Tangerang dan Bekasi di sisi selatan. Secara administratif, Teluk Jakarta terletak
diantara 3 provinsi antara lain: Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat (Arifin,
2004).
Terdapat 13 sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta, tiga diantaranya cukup
besar yaitu Sungai Cisadane, Ciliwung, dan Sungai Citarum serta 10 sungai kecil
seperti Sungai Kamal, Cengkareng Drain, Angke, Karang, Ancol, Sunter,
Cakung, Blencong, Grogol, dan Pasanggrahan (Wouthuyzen, 2006).
2.2. Kualitas Perairan
Fitoplankton mengandung pigmen berupa klorofil. Pigmen ini menyerap
cahaya matahari sebagai sumber energi untuk fotosintesis. Ada tiga macam
klorofil yaitu klorofil-a, b dan c, diantara ketiga macam klorofil tersebut, klorofila merupakan bagian terpenting dalam proses fotosintesis dan dikandung oleh
semua jenis fitoplankton yang masih hidup di laut (Nontji, 1987 dalam Prasasti et
al., 2005).
Pengukuran klorofil-a merupakan indikator biomassa fitoplankton secara tidak
langsung. Untuk mengkonversi klorofil-a menjadi biomassa total plankton maka
3
4
harus dikalikan dengan rasio antara berat klorofil-a terhadap berat fitoplankton.
Sebagai contoh, berat klorofil-a dan berat fitoplankton umumnya 1:1000,
seandainya berat klorofil-a yang diukur 1µg, maka berat fitoplankton tersebut
1000 µg (Basmi, 2000). Perairan Indonesia dengan nilai klorofil yang tinggi
hampir selalu berkaitan dengan adanya pengadukan dasar perairan dan pengaruh
masukan air sungai (Arinardi et al., 1996).
Puncak kelimpahan fitoplankton di Teluk Jakarta terjadi sebulan atau dua
bulan setelah curah hujan tinggi, dan bulan-bulan berikutnya diikuti kelimpahan
zooplankton (Arinardi et al., 1996). Arinardi (1995) mengatakan bahwa musim
barat dengan curah hujan yang tinggi memberikan dampak yang besar terhadap
kepadatan klorofil-a. Sebaran klorofil-a yang melebihi 5.0 mg/m3 terlihat
membujur mulai dari selatan Tanjung Pasir sampai ke Tanjung Gembong dengan
sedikit lekukan di bagian teluk. Konsentrasi terpadat (lebih dari 7.5 mg/m3)
dalam musim ini terlihat di sekitar Kali Angke hingga Muara Baru dan Marunda
hingga Kali Blencong. Pola sebaran dalam musim timur hampir seperti pada
musim barat hanya dengan kepadatan yang lebih rendah, dalam musim peralihan
konsentrasi klorofil-a relatif rendah dan sebaran terpadat hanya di sekitar
Marunda hingga Kali Blencong.
Suhu permukaan laut (SPL) di perairan Indonesia menunjukkan ciri khas
perairan tropis yaitu umumnya relatif tinggi dengan perbedaan sebaran horisontal
yang kecil. Perubahan suhu sepanjang tahun tergantung pada intensitas radiasi
matahari, kecepatan angin, musim (curah hujan dan penguapan) serta asal massa
air (Arinardi et al., 1996). Kondisi SPL di Teluk Jakarta mengalami dua kali nilai
minimum dan dua kali nilai maksimum setiap tahunnya. Nilai minimum pada
5
bulan Februari disebabkan angin musim barat yang cukup keras, sedangkan nilai
minimum pada bulan Agustus disebabkan penguapan yang relatif tinggi oleh
pengaruh angin musim timur. Daerah SPL tinggi berada di sekitar wilayah pantai
dan pesisir. SPL di Teluk Jakarta berkisar antara 25.6-32.3°C, dengan perbedaan
suhu antara lapisan permukaan dan lapisan dasar berkisar antara 0.2-0.5°C
(Praseno dan Kastoro, 1980). Pola sebaran suhu terdapat di sekitar lokasi
pembangkit listrik Muara Karang, yang terdapat saluran buangan air pendingin
turbin. (Purwoto et al., 1994 dalam Siswandono, 1995). Secara umum nilai suhu
di sekitar PLTU Muara Karang berkisar antara 28.7-42.2°C yang disebabkan oleh
limbah air panas PLTU Muara Karang. Sebaran limbah air panas pada musim
peralihan dapat tersebar luas hingga mencapai jarak 1.700 m dari pantai. Suhu
permukaan tercatat antara 28.3-35.5°C ketika beroperasi dengan kapasitas 300
MW dan 40.01°C pada kapasitas 700MW (Burhanuddin, 1993). Di bawah ini
terdapat kisaran suhu di Teluk Jakarta (Tabel 1).
Tabel 1. Kisaran suhu musiman air Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu
Suhu °C
Musim
Teluk Jakarta
Kepulauan Seribu
Kisaran
Rata-rata
Permukaan
Dasar
Barat
25.5-29.0
28.0
28.2-28.8
28.1-28.6
Peralihan II
29.1-30.6
29.8
29.0-30.2
28.4-29.6
Timur
28.7-30.2
29.3
28.1-28.6
28.1-28.6
Peralihan I
29.4-30.4
29.6
29.1-29.4
29.1-29.3
Sumber: (Laporan ANDAL Regional Reklamasi Pantura –Jakarta, LPM ITB, 1999 dalam Astuti et al., 2009)
Terlihat pada Tabel 1 di atas bahwa suhu di Teluk Jakarta cenderung naik pada
musim peralihan 1 dan musim peralihan 2, namun suhu pada musim barat dan
musim timur cenderung lebih rendah.
Kandungan fosfat di permukaan perairan Teluk Jakarta memiliki nilai tertinggi
sepanjang pantai bagian barat mencapai 0.60 µgA/l, berangsur-angsur menurun di
6
sekitar Pelabuhan Tanjung Priok yang mencapai <0.20 µgA/l dan meningkat
kembali ke arah timur yakni di sekitar muara Sungai Citarum. Pada musim
peralihan barat-timur, kandungan fosfat tertinggi terdapat di sepanjang pantai
Teluk Jakarta bagian barat dan berangsur-angsur menurun ke arah laut.
Kandungan fosfat di Teluk Jakarta pada musim barat berasal dari daratan yang
terangkut oleh aliran sungai. Keadaan demikian masih berlangsung hingga musim
peralihan barat-timur. Kadar fosfat di perairan Teluk Jakarta tidak menunjukkan
adanya variasi musim, namun di beberapa tempat, khususnya di muara sungai
pada musim peralihan timur-barat dan musim barat menunjukkan nilai yang
tinggi. Pengaliran bahan organik dari darat sangat berperan dalam menentukan
pola sebaran fosfat di perairan Teluk Jakarta (Ilahude, 1995).
Kandungan nitrat di permukaan perairan Teluk Jakarta pada musim barat,
kisaran tertinggi tersebar di sepanjang pantai dengan kisaran nilai 1.0 µgA/l
hingga 2.5 µgA/l. Nilai tertinggi terdapat di sekitar Sungai Bekasi dan muara
Sungai Tanjung Gembong. Pada musim peralihan barat-timur, musim timur dan
musim barat, kandungan nitrat tertinggi bergeser ke arah timur dengan kisaran
nilai 0.7 µgA/l hingga >0.9 µgA/l. Tingginya kandungan nitrat di sepanjang
pantai pada musim barat, khususnya di depan muara-muara sungai, diperkirakan
berasal dari daratan yang terangkut oleh sungai dan terpekatkan di sekitar muara
sungai dan di sepanjang pantai selama musim penghujan. Seperti fosfat,
kandungan nitrat di perairan Teluk Jakarta akan mencapai puncaknya pada musim
barat khususnya di muara-muara sungai (Ilahude, 1995).
Kandungan silikat di permukaan perairan Teluk Jakarta khususnya pada musim
barat berkisar < 5.0 µgA/l hingga > 27.0 µgA/l, nilai kandungan silikat tertinggi
7
terbatas di sepanjang pantai Teluk Jakarta bagian barat dan berangsur-angsur
menurun ke arah laut yang lebih jeluk. Pada musim peralihan barat-timur nilai
kandungan silikat berkisar antara < 5.0 µgA/l hingga > 20.0 µgA/l, nilai
kandungan silikat tertinggi terdapat di sepanjang pantai Teluk Jakarta bagian
timur. Pada musim timur, nilai kandungan silikat berkisar 2.5 µgA/l hingga 5
µgA/l, nilai tertinggi ditemukan sepanjang pantai Cilincing hingga Muara
Gembong. Pada musim peralihan timur-barat, kandungan silikat meningkat
berkisar 5.0 µgA/l hingga 27.5 µgA/l. Konsentrasi nilai kandungan silikat
tertinggi pada musim peralihan timur-barat menempati perairan pantai Tanjung
Priok hingga pantai Muara Baru dan berangsur-angsur menurun ke arah laut.
Berdasarkan pola sebaran dan kisaran kandungannya diperkirakan kadar silikat di
perairan Teluk Jakarta berubah sesuai dengan perubahan musim. Pada musim
penghujan pada umumnya kandungan silikat akan meningkat dan mencapai
puncaknya pada musim barat, demikian pula sebaliknya pada musim kemarau
(musim timur) silikat akan mencapai nilai terendah (Ilahude, 1995).
2.3 Curah hujan
Perairan Indonesia sangat dipengaruhi oleh musim yang mempunyai kaitan
erat dengan sistem tekanan udara tinggi dan tekanan udara rendah di atas benua
Asia dan Australia. Bulan Desember, Januari dan Februari adalah musim dingin
di belahan bumi bagian utara dan musim panas di belahan bumi bagian selatan
sesuai dengan posisi matahari. Pada musim dingin ini, pusat tekanan udara tinggi
terdapat di atas daratan Asia menuju Australia dan di Indonesia dikenal sebagai
angin musim barat. Sebaliknya pada bulan Juni, Juli dan Agustus pusat tekanan
udara tinggi terjadi di atas daratan Australia dan pusat tekanan udara rendah di
8
atas daratan Asia, sehingga di Indonesia berhembus angin musim timur. Untuk
daerah di selatan khatulistiwa, musim barat biasanya mempunyai curah hujan
yang tinggi sedang dalam musim timur, curah hujan sangat rendah. Curah hujan
selain mempengaruhi kadar salinitas, juga kelimpahan plankton (terutama di
perairan pantai) (Wyrtki, 1961 dalam Arinardi et al., 1996)
2.4 Arus
Secara umum arus di Teluk Jakarta dipengaruhi adanya arus sungai, arus dari
outlet PLTU dan angin. Di bagian permukaan pola arus hampir seluruhnya
menuju ke arah lepas pantai, kecuali dari PLTU ke arah tengah. Pada bulan Mei
2004, arus cukup kuat yang bervariasi antara 4.4 cm/det –54.8 cm/det dengan
nilai rata-rata kecepatan arus relatif lemah yaitu kurang dari 20 cm/det.
Kecepatan arus maksimum cukup kuat yaitu lebih dari 50 cm/det yang
dijumpai pada lapisan permukaan. Pada bulan Mei 2004, arus dominan ke arah
tenggara terkecuali di daerah Cilincing dominan ke arah barat daya. Pada bulan
Oktober 2004, nilai kecepatan arus di sekitar perairan Teluk Jakarta ini bervariasi
antara 1.6 cm/det –48.8 cm/det. Nilai rata-rata kecepatan arus relatif lemah
dengan nilai kurang dari 20 cm/det. Arah arus berbeda di setiap lokasi perairan
dan secara umum di lapisan permukaan arah arus sepanjang Teluk Jakarta
dominan menuju ke arah barat daya hingga barat laut (Razak, 2004).
2.5 Seston
Seston adalah partikel-partikel yang melayang di dalam air dan terdiri dari
komponen hidup serta mati. Komponen hidup meliputi fitoplankton, zooplankton,
bakteri, fungi dan sebagainya. Komponen mati terdiri dari detritus organik yang
9
berasal dari jasad hidup dan partikel-partikel inorganik. Sebaran seston di laut
dipengaruhi oleh masukan yang berasal dari daratan melalui sungai dan dari
udara. Perpindahan atau pergerakan seston terjadi karena proses pengendapan,
adveksi, difusi dan resuspensi endapan dasar perairan sebagai akibat pengikisan.
Di Teluk Jakarta, kadar seston sangat dipengaruhi oleh gelombang, arus
musim dan curah hujan. Pada musim barat dan musim timur, hembusan angin
yang kuat dan hampir terus menerus disertai hujan dalam musim barat
mengakibatkan kadar seston cukup tinggi, yakni sekitar 7,0 mg/l. Pada musim
barat, sebaran seston yang relatif padat (lebih dari 5,0 mg/l) terlihat mulai dari
Tanjung Pasir sampai ke Tanjung Gembong sedangkan pada musim timur, pola
sebarannya agak meliuk masuk ke arah barat daya teluk, terus meluas ke arah
utara dan memanjang ke luar Teluk Jakarta. Pada musim peralihan barat-timur
dan 2, sebaran padat seston tersebut (lebih dari 5,0 mg/l) umumnya sejajar dengan
garis pantai dan hampir selalu berada di dalam Teluk sesuai dengan pola gerak
arus (Arinardi, 1995).
2.6 Aplikasi penginderaan jauh untuk deteksi kualitas air
Penginderaan jauh didefinisikan sebagai ilmu dan teknologi yang dapat
mengidentifikasi, mengukur maupun menganalisis karakteristik dari objek tanpa
kontak langsung (JARS, 1999). Dalam penelitian ini, parameter yang diamati
adalah klorofil-a dan suhu permukaan laut (SPL).
2.6.1 Klorofil-a
Menurut Parson et al. (1984) dalam Prasasti et al. (2005) dilihat dari segi
fisiologis tumbuhan (fitoplankton), spektrum cahaya terpenting untuk tumbuhan
10
laut terdapat pada panjang gelombang 400-720 nm yang dikenal dengan PAR
(Photosyntetically Available Radiation). Klorofil-a di laut dapat dideteksi pada
panjang gelombang 0.45-0.65µm (JARS, 1999). Sifat spektral dari fitoplankton
cenderung memiliki penyerapan dan pemantulan yang terbatas. Seluruh plankton
menyerap kuat cahaya pada dua daerah di spektrum gelombang tampak karena
adanya klorofil-a. Kurva karakteristik absorbansi klorofil-a dapat dilihat pada
Gambar 1.
Sumber: Maul (1985) dalam Prasasti et al. (2005)
Gambar 1. Kurva karakteristik absorbansi klorofil-a
Penyerapan maksimum pertama pada kisaran cahaya biru (400-500 nm)
dengan puncak pada 443 nm, kedua pada kisaran cahaya merah (600-700 nm)
dengan puncak di sekitar 680-685 nm. Klorofil-a memantulkan maksimum pada
11
gelombang cahaya hijau (500-600 nm), terutama pada kisaran 550 nm dan 600 nm
(Kirk, 1983; Maul, 1985; Yentch, 1983 dalam Wouthuyzen, 2006). Ekstrand
(1998) mengemukakan rasio kanal 3 (0.63-0.69 µm) dengan kanal 1 (0.45-0.52
µm) pada citra satelit Landsat TM baik untuk pendugaan konsentrasi klorofil-a di
perairan pesisir dan perairan tawar, karena kedua kanal tersebut sedikit
dipengaruhi oleh sedimen tersuspensi.
Han dan Jordan (2005) melakukan penelitian membuat algoritma untuk
mengestimasi klorofil-a di Teluk Pensacola, Florida menggunakan citra satelit
Landsat-7 ETM+. Teknik pembuatan algoritma yaitu dengan merasiokan kanalkanal citra tanggal 20 Mei 2002 dan mengkorelasikan dengan nilai pada 16 titik
stasiun pengambilan data in situ klorofil-a, pada tanggal 14 dan 15 Mei 2002.
Teluk Pensacola memiliki luas 373 km2. Teluk tersebut sangat dipengaruhi 3
sungai besar yaitu Sungai Escambia, Blackwater, dan Yellow rivers. Hasil
penelitian Han dan Jordan yaitu kombinasi rasio kanal 1 (0.45-0.52 µm) banding
kanal 3 (0.63-0.69 µm) merupakan kombinasi rasio paling baik yang digunakan
untuk mengestimasi klorofil-a, algoritmanya yaitu:
log(
_ )=
9.5126 + 12.8315 ×
log
+1
log
+3
(1)
Keterangan:
log ETM+1 = logaritma nilai ETM+1 dengan proses COST model
log ETM+3 = logaritma nilai ETM+3 dengan proses COST model
Persamaan 1 memiliki nilai R2 sebesar 0.67. Nilai reflektansi pada kanal 1 dan
kanal 3 menurun saat konsentrasi klorofil-a di laut meningkat. Meskipun nilai
reflektansi kedua kanal tersebut mengalami penurunan, namun penurunan nilai
reflektansi kanal 3 lebih cepat dari pada kanal 1.
12
Subagio (2006) bersama tim dari LAPAN dan Bakosurtanal melakukan
percobaan pembuatan algoritma untuk mengestimasi konsentrasi klorofil-a di
wilayah perairan Delta Berau, Kalimantan Timur dari citra satelit Landsat-7
ETM+. Algoritma tersebut adalah :
log(
_ ) = 0.2154
0.639 × log
1
2
(2)
Keterangan:
RTM1 adalah nilai radian pada kanal 1
RTM2 adalah nilai radian pada kanal 2.
2.6.2 Suhu permukaan laut (SPL)
Suhu air merupakan salah satu faktor abiotik yang mempunyai peran dalam
kehidupan dan pertumbuhan organisme perairan. Suhu merupakan salah satu
parameter penting untuk mengetahui dan memahami peran lautan sebagai gudang
penyimpanan bahang (heat reservoir).
Radiansi yang diterima sensor infra merah termal dari perairan hanya berasal
dari lapisan permukaan dengan ketebalan 0.1 mm. Walaupun demikian pada
sebagian besar permukaan laut, kecuali perairan kutub, kedalaman 0-20 m
merupakan lapisan percampuran (mix layer) dimana suhu cukup homogen
(Robinson, 1985).
Ambarwulan (2006) melakukan penelitian mengenai pendugaan SPL perairan
Delta Mahakam dari citra satelit Landsat 7 ETM+ kanal 61 (low gain) dan kanal
62 (high gain) menggunakan algoritma yang dikembangkan oleh Gubbons et al.
(1989) dalam Ambarwulan (2006). Hasil penelitiannya yaitu SPL pada Delta
Mahakam tanggal 24 Mei 2003 dengan menggunakan kanal 61 berkisar antara 2527°C, sedangkan 25-34°C dengan menggunakan kanal 62. Perbedaan tersebut
karena adanya perbedaan karakteristik antara kedua kanal tersebut.
13
Narieswari (2006) melakukan penelitian mengenai estimasi suhu permukaan
laut perairan Delta Berau menggunakan 5 kanal TIR (Thermal Infra Red) citra
Terra ASTER. Penelitian ini membandingkan penggunaan dua metode
perhitungan SPL, yaitu algoritma Alley & Nilsen (2001) dan algoritma Kishino
(2002). Algoritma Alley & Nilsen menggunakan satu kanal berdasarkan suhu
pancarannya (brightness temperature). Algoritma Kishino menggunakan semua
nilai suhu pancaran dari kelima kanal. Perhitungan dengan algoritma Alley &
Nielsen (single band), menunjukkan bahwa penggunaan kanal 13 menghasilkan
SPL estimasi yang paling mendekati SPL in situ dibandingkan dengan
menggunakan 4 kanal lainnya. Perhitungan dengan algoritma Kishino juga
memberikan hasil nilai SPL yang mendekati SPL in situ dengan suhu maksimum
mencapai 27°C. Pola sebaran suhu yang ditunjukkan dengan algoritma Alley &
Nilsen hampir sama dengan pola yang ditunjukkan dengan algoritma Kishino.
Adanya perbedaan antara SPL in situ dan SPL hasil estimasi disebabkan
pengukuran SPL in situ pada bulan Agustus 2005 tidak bertepatan pada saat
akuisisi citra satelit tanggal 18 Juni 2004.
Hasil pengamatan visual yang dilakukan Gillespie et al. (1999) dalam Nichol
(2005) juga menunjukkan kanal 13 pada satelit Terra ASTER, merupakan kanal
yang paling baik karena memiliki noise yang kecil serta kontras suhu paling tinggi
dibandingkan kontras suhu kanal TIR lainnya.
2.7 Satelit Landsat-7 ETM+
Satelit Landsat-7 ETM+ diluncurkan pada 15 April 1999. Satelit Landsat-7
ETM+ membawa jenis sensor baru, yaitu sensor Enhanced Thematic Mapper +
(plus), sama seperti pada sensor TM (Thematic Mapper) yang memiliki 7 kanal,
14
pada sensor ETM+ ditambahkan kanal 8 (pankromatik) dengan resolusi spasial 15
meter. Sejak 31 Mei 2003 sensor mengalami kegagalan pada salah satu bagian
instrumen yang disebut Scan Line Corrector (SLC) sehingga sejak 14 Juli 2003
data yang diambil berada dalam kondisi SLC-off mode. Sebagian data yang hilang
tersebut masih dapat diisi dengan menggunakan citra lama sebelum Mei 2003
dengan menggunakan histogram matching yang disebut citra Landsat-7 ETM+
SLC-on mode (Wouthuyzen, 2006; Satellite Imagery Corporation; 2008).
Luas sapuan Landsat-7 ETM+ sebesar 185 km2, memberikan kemampuan
satelit ini untuk meliput areal yang luas (GeoCommunity, 2008). Landsat-7
ETM+ memiliki 8 spektral kanal, mulai dari kanal tampak sampai kanal infra
merah termal. Pada kanal tampak (visible) dan infra merah pendek (0.45-1.75
µm) memiliki resolusi spasial 30 meter, sedangkan pada kanal infra merah termal
jauh (10.40-12.50 µm) memiliki resolusi spasial 60 meter. Resolusi spasial paling
tinggi terletak pada kanal 8 (pankromatik) dengan panjang gelombang 0.52-0.90
µm, yaitu 15 meter.
Landsat-7 ETM+ memiliki kisaran spektral biru (0.45-0.52 µm) yang tidak
terdapat pada Terra ASTER. Tidak seperti pada citra Terra ASTER memiliki 5
kanal infra merah jauh, sedangkan Landsat-7 ETM+ hanya memiliki 1 jenis kanal
infra merah jauh (TIR) yaitu kanal 6 yang terbagi atas low gain dan high gain.
Citra Landsat-7 ETM+ melewati pada pukul 10:00 waktu setempat. Satelit
tersebut berorbit sirkular dan sinkron dengan matahari (sun synchronous).
(GeoCommunity, 2008).
Masing-masing kanal citra Landsat-7 ETM+ memiliki karakteristik.
Karakteristik Landsat 7 dapat dilihat pada Tabel 2.
15
Tabel 2. Karakteristik Satelit Landsat-7 ETM+
Orbit
Ketinggian
Sudut inklinasi
Resolusi temporal
Jarak lintasan di khatulistiwa
Periode orbit
Kanal
Domain
Spektral (µm)
1 (Biru)
0.45-0.52
2 (Hijau)
0.52-0.60
3 (Merah)
0.63-0.69
4 (NIR)
0.76-0.90
5 (SWIR)
1.55-1.75
6 (TIR)
10.40-12.50
7 (SWIR)
2.08-2.35
Pankromatik
(8)
0.52-0.90
Sun synchronous
700-737 km (705 km di khatulistiwa)
98.2°±0.15°
16 hari
172 km
98.9 menit
Resolusi
Spasial
Keterangan
(m)
Kanal biru. Penetrasi maksimum pada air
berguna untuk batimetri pada air dangkal,
untuk membedakan antara tanah dan
30
vegetasi dan tipe-tipe pohon (daun gugur
dan daun jarum)
Kanal hijau. Untuk mengukur puncak
30
reflektansi warna hijau. Dapat digunakan
untuk membedakan vegetasi.
Kanal Merah. Untuk membedakan daerah
30
absorpsi klorofil, membedakan spesies
tanaman.
Kanal Infra Merah Dekat. Berguna untuk
30
menentukan kandungan biomassa, deskripsi
tubuh air dan kelembaban tanah.
Kanal Infra Merah tengah I. Dapat
30
mengindikasikan kandungan tanaman dan
tanah, membedakan salju dan awan.
Kanal infra merah termal. Citra malam hari
60
berguna untuk pemetaan termal dan untuk
perkiraan kelembaban tanah.
Kanal Infra merah tengah II. Untuk
mengklasifikasi vegetasi, perbedaan
30
kelembaban tanah dan pemetaan suhu
permukaan.
Kanal pankromatik (citra hitam putih).
Dengan resolusi yang tinggi dan
15
kemampuan pendeteksian yang tinggi.
Sumber: Satellite Imagery Corporation, 2008; GeoCommunity, 2008
2.8 Satelit Terra ASTER
ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer)
merupakan salah satu instrumen observasi yang ada pada satelit Terra. Satelit ini
diluncurkan pada 18 Desember 1999 atas kerjasama Jepang dan Amerika Serikat
dalam memecahkan persoalan yang menyangkut sumber daya alam dan
16
lingkungan. Satelit ini memiliki orbit sinkron dengan matahari (sun-synchronous)
dengan waktu orbit 30 menit di belakang satelit Landsat. Terra ASTER memiliki
14 spektral kanal, mulai dari kanal tampak sampai kanal infra merah termal dan
memiliki resolusi spasial serta resolusi radiometrik yang cukup tinggi.
Instrumen ASTER terdiri dari tiga subsistem yang berbeda yaitu VNIR
(Visible and Near Infrared), SWIR (Shortwave Infrared) dan TIR (Thermal
Infrared). Karakteristik untuk instrumen ASTER dapat dilihat pada Tabel 3.
VNIR digunakan untuk mendeteksi pantulan cahaya dari permukaan bumi
dengan jarak dari level cahaya tampak hingga infra merah dekat dengan 3 kanal.
Kanal 3N (Normal) dari VNIR dapat dikombinasikan dengan 3B (3 backward)
yang dihasilkan dari perekaman perbedaan sudut pandang sebesar 23.5° relatif
terhadap arah nadir teleskop menjadi DEM (Digital Elevation Model).
SWIR memiliki resolusi spasial 30 meter dan terbagi atas 6 kanal gelombang
pendek infra merah. Penggunaan radiometer ini memungkinkan menerapkan
Terra ASTER untuk mengidentifikasi jenis batu dan mineral serta untuk
mengamati gejala bencana alam seperti gunung berapi yang masih aktif.
TIR memiliki resolusi spasial 90 meter dan terbagi atas 5 kanal pada spektrum
inframerah termal. Jika dibandingkan dengan sensor ETM satelit Landsat 7,
ASTER memiliki jumlah kanal lebih banyak dengan kisaran spektral yang lebih
sempit untuk setiap kanalnya (Sulyantara dan Widipaminto, 2003).
Citra hasil perekaman Terra ASTER tersedia dalam beberapa kelas, yaitu:
(1) Level 1 A.
Citra sudah dilengkapi dengan beberapa koefisien geometrik dan kalibrasi
radiometrik, tetapi koefisien tersebut belum diaplikasikan dalam data.
17
(2) Level 1 B
Citra telah dikoreksi geometrik dan terkalibrasi radiometrik berdasarkan
koefisien yang tersedia dalam level 1A.
(3) Citra olahan 2A02, 2A03V, 2A03S, 2B01V, 2B01S, 2B01T, 2B03, 2B04,
2B05V, 2B05S, 3A01, 4A01 (Digital Terrain Model - DTM)
Tabel 3. Karakteristik Satelit Terra ASTER
Orbit
Waktu perekaman
Ketinggian
Sudut inklinasi
Resolusi temporal
Jarak lintasan di khatulistiwa
Periode orbit
Subsistem
VNIR
SWIR
TIR
Sun synchronous
10:30±15 menit (am)
705 km di khatulistiwa
98.3°±0.15°
16 hari
172 km
98.88 menit
Kanal
Kisaran Spektral
(µm)
1 (Hijau)
2 (Merah)
3N
3B
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
0.52-0.60
0.63-0.69
0.78-0.86
0.78-0.86
1.600-1.700
2.145-2.185
2.185-2.225
2.235-2.285
2.295-2.365
2.360-2.430
8.125-8.457
8.457-8.825
8.925-9.275
10.25-10.95
10.95-11.65
Sumber: ERSDAC, 2003
Resolusi
Spasial (m)
Resolusi
Radiometrik
15
8-bit
30
8-bit
90
12-bit
Download