KARAKTERISTIK POLYCYCLIC AROMATIC HYDROCARBONS (PAH) DI AIR dan SEDIMEN SERTA AKUMULASINYA PADA TUBUH IKAN NOMEI (HORPODON NEHEREUS) DI PERAIRAN TARAKAN RATNO ACHYANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul: Kharakteristik Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) di Air dan Sedimen Serta Akumulasinya pada Tubuh Ikan Nomei (Horpodon nehereus) di Kota Tarakan, adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis ini. Bogor, Mei 2011 Ratno Achyani NRP. C551080111 ABSTRACT RATNO ACHYANI. Characteristics of the Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) in Water, Sedimen and their accumulation in the Nomei fish (Horpodon nehereus) in Tarakan Waters. Under direction of TRI PRARTONO, ETTY RIANI. PAHs are important pollutant in the marine environment because of their mutagenic and carcinogenic properties. PAHs are the most toxic among the hydrocarbon families. The purpose of this study was to identify the component of PAHs and their concentration in water, sediment and their accumulation in the tissue and liver of the fish Horpodon neherus. The study was conducted from June-December 2010. Water was analyzed using by liquid-liquid extraction, while the sediment and fish tissue sampel was carried out using soxhlet extraction. All of extracts were analyzed by GC-MS (Gas Chromatograph Mass Spectrometyr). Lipid content of the fish tissue was ditermined by gravimetric method. Two compounds of PAHs were found with total concentration ranged from 6-248 µg/l in the waters, and 5 component of those were found with total concentration ranged from 7-69 ng/g in the sediment. The content PAH in tissue ranged from 27-422 ng/g and those in liver 6 ranged from121-833 ng/g. The lipid content varied based on the size of body fish, 200 µg/g for <20 cm, 600 µg/g for 21-25 cm and 1700 µg/g for >25 cm size. Keyword; PAH, sediment, water, Horpodon nehereus, aquatic environment status RINGKASAN RATNO ACHYANI. Karakteristik Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) di Air dan Sedimen Serta Akumulasinya pada Tubuh Ikan Nomei (Horpodon nehereus) Di Kota Tarakan. Dibimbing oleh TRI PRARTONO, ETTY RIANI. Kegiatan-kegiatan pembangunan yang berasal dari daratan berpotensi mempengaruhi perairan di sekitarnya. Pembangunan yang cukup signifikan di Kota Tarakan Propinsi Kalimantan Timur yang wilayahnya berupa pulau saat ini dapat menjadi sumber pencemar perairan di sekitarnya. Salah satu yang akhirakhir ini menjadi perhatian adalah pencemar PAH. PAH masuk ke lingkungan khususnya di perairan laut melalui hujan, buangan industri, tumpahan minyak dan aliran permukaan. Keberadaan senyawa ini di lingkungan menjadi penting karena bersifat karsinogenik dan mutagenik. Tujuan utama penelitian ini menentukan komponen PAH dan konsentrasinya yang ada di air laut, sedimen dan tingkat akumulasinya pada tubuh ikan Nomei. Manfaat dari penelitian ini adalah menduga sumber potensi pencemar dan tingkat bahayanya terhadap kondisi lingkungan perairan. Jenis dan banyaknya sampel yang digunakan adalah air (3 sampel), sedimen (3 sampel), daging (3 sampel) dan hati ikan Nomei (3 sampel). Stasiun pengambilan contoh air dan sedimen ditentukan berdasarkan 3 lokasi keterwakilan yaitu wilayah yang mewakili daerah kurang banyak kegiatan, mewakili daerah yang aktif/banyak kegiatan dan lokasi pengambilan contoh ikan Nomei. Prosedur analisis PAH dalam air dilakukan dengan metode liquid-liquid extraction. Analisa PAH dalam sedimen, daging dan hati ikan Nomei dilakukan dengan metode soxhlet dan prosedur analisis yang digunakan untuk mengetahui kandungan lemak pada daging ikan Horpodon nehereus dengan metode gravimetri. Analisa jenis PAH pada sampel sedimen, air, daging dan hati ikan Nomei dilakukan dengan menggunakan GCMS tipe Shimadzu QP2010. Secara umum jenis PAH yang ditemukan pada cuplik air adalah 2 jenis yaitu fenantrena (PHE) dan fluorantena (FLA). Pada Stasiun 1 hanya ditemukan PHE dengan konsentrasi rendah yaitu 6 µg/l. Pada Stasiun 3 ditemukan FLA mencapai 132 µg/l dan PHE yang mencapai 248 µg/l, tetapi PAH tidak diterdeteksi di Stasiun dua. Pada cuplik sedimen terdapat 5 jenis senyawa PAH. Konsentrasi cuplik sedimen berkisar antara 7-69 ng/g. Konsentrasi maksimum ditemukan pada Stasiun 1 yaitu PHE-C1 69 ng/g dan konsentrasi terendah pada Stasiun 3 yaitu ANT-C1 7 ng/g. Level konsentrasi PAH di air adalah sedang dan sedimen adalah kecil-sedang. Hasil analisis komponen PAH pada cuplik daging teridentifkasi 10 jenis PAH. Kandungan PAH total pada daging berkisar antara 27-422 ng/g. Kandungan PAH total pada daging ikan Nomei kecil adalah 1067 ng/g, ukuran sedang 605 ng/g, dan ukuran besar 1025 ng/g. NAP-C2 dan PHE-C1adalah jenis PAH yang ditemukan pada setiap ukuran ikan. NAP-C2 mempunyai konsentrasi 377 ng/g pada ukuran kecil, 309 ng/g pada ukuran sedang, dan 422 ng/g pada ukuran besar. Dan PHE-C1 mempunyai konsentrasi 117 ng/g pada ukuran kecil, 47 ng/g pada ukuran sedang, dan 160 ng/g pada ukuran besar. Jenis PYR dan ANT hanya ditemukan pada ukuran kecil dengan konsentrasi 172 ng/g dan 270 ng/g. ACE dan FLU adalah senyawa PAH yang hanya terdapat pada daging sedang dengan konsentrasi 73 ng/g dan 116 ng/g. NAP-C1 hanya ditemukan pada ukuran besar yaitu 74 ng/g. FLA dan BPH terdeteksi pada ukuran kecil dan sedang. Konsentrasi terbesar FLA 64 ng/g dan BPH 68 ng/g pada ukuran kecil. Jenis PHE hanya terdeteksi pada ukuran ikan sedang dan besar yaitu 115 ng/g dan 203 ng/g. Pada cuplik hati ikan Nomei teridentifikasi 6 jenis senyawa PAH yang terakumlasi. Kandungan PAH total pada hati ikan Nomei kecil adalah 1679 ng/g, ukuran sedang 977 ng/g, dan ukuran besar 1445 ng/g. NAP-C2 dan PHE adalah jenis PAH yang ditemukan pada setiap ukuran ikan. NAP-C2 mempunyai konsentrasi 833 ng/g pada ukuran kecil, 573 ng/g pada ukuran sedang, dan 660 ng/g pada ukuran besar. PHE mempunyai konsentrasi 427 ng/g pada ukuran kecil, 215 ng/g pada ukuran sedang, dan 176 ng/g pada ukuran besar. Akumulasi total kandungan PAH dalam tubuh ikan Nomei adalah terkontaminasi sangat tinggi. Jenis PAH FLA hanya ditemukan pada hati ikan Nomei kecil dengan konsentrasi 298 ng/g. NAP-C1 hanya ditemukan pada hati ukuran sedang dengan konsentrasi 190 ng/g dan NAP hanya ditemukan pada hati ukuran besar dengan konsentrasi 381 ng/g. BPH adalah senyawa PAH yang hanya terdapat pada hati ukuran kecil dan besar dengan konsentrasi 121 ng/g dan 227 ng/g. Kandungan lipid pada ikan menunjukkan adanya peningkatan persentasi jumlah lipid berdasarkan ukuran tubuh. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin besar tubuh ikan semakin besar pula kandungan lipidnya, namun konsentrasi PAH pada daging tidak berkorelasi positif. Karakteristik PAH di perairan dan sedimen menunjukkan PAH pirogenik dan petrogenik. Level konsentrasi PAH di air adalah sedang dan sedimen adalah kecil-sedang. Akumulasi total kandungan PAH dalam tubuh ikan Nomei adalah terkontaminasi sangat tinggi. Kata Kunci: PAH, sedimen, air, Horpodon nehereus, status lingkungan perairan © Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2011 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebarkan sumbernya. Pengutip hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengutip dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB KARAKTERISTIK POLYCYCLIC AROMATIC HYDROCARBONS (PAH) DI AIR dan SEDIMEN SERTA AKUMULASINYA PADA TUBUH IKAN NOMEI (HORPODON NEHEREUS) DI PERAIRAN TARAKAN RATNO ACHYANI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Harpasis S Sanusi, M.Sc Judul Tesis : Karakteristik Polycyclic Aromatic Hidrocarbons (PAHs) Di Air dan Sedimen Serta Akumulasinya Pada Tubuh Ikan Nomei (Harpodon Nehereus) Di Perairan Tarakan Nama : Ratno Achyani NIM : C551080111 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc Ketua Dr. Ir. Etty Riani, MS Anggota Diketahui, Ketua Mayor Ilmu Kelautan Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian : 18 Mei 2011 Tanggal Lulus : KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesesaikan. Tema yang dipilh dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan juni 2010 ini adalah environment investigation, dengan judul Karakteristik Polycyclic Aromatic Hidrocarbons (PAH) Di Air dan Sedimen Serta Akumulasinya Pada Tubuh Ikan Nomei (Harpodon Nehereus) Di Kota Tarakan Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Tri Prartono. M.Sc dan Ibu Dr. Ir. Etty Riani. MS selaku pembimbing yang dengan sabar memberi pencerahan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Saudari Pipiet dan Prita dari Laboratorium Pangan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif hidayatullah Ciputat Jakarta, yang telah membantu selama analasis sampel. Penghargaan juga disampaikan kepada Almarhum Ayah yang selalu bekerja keras untuk anak-anaknya dan keluarga, Ibu tercinta dan adik-adikku Rita, Tri, Wahyu yang penuh perhatian, istriku tersayang Endah Wanti Hastuti dan anakku Ra’id Eshan Nawfal Ali penyemangatku, atas segala doa dan kasih sayangnya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada saudara-saudara saya senasib dan sepenanggungan, Agung, Sabam, Afdal dan semua teman-teman IKL 2008 yang mencerahkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Mei 2011 Ratno Achyani RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Balikpapan pada 29 Juli 1981 dari Ayah Alm. Ngatman dan Ibu Sutrisnani. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara. Mempunyai istri bernama Endah Wanti Hastuti dan dikaruniai seorang putra bernama Ra’id Eshan Nawfal Ali. Pendidikan SD, SMP dan SMA ITCI ditempuh di Penajam Pasir Utara. Pada tahun 2000 meneruskan pendidikan sarjana di Universitas Mulawarman pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan dimana lulus tahun 2005 dan pada tahun yang sama menjadi Dosen pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Borneo Tarakan pada Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan. Penulis menjadi peneliti di Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Univ. Borneo Tarakan, sempat menjabat menjadi Kepala Laboratorium Kualitas Air dan terakhir menjadi Sekretaris Jurusan Manajemen Sumber Daya Perairan. Tahun 2008 penulis diterima di Program Studi Ilmu Kelautan pada Program Pascasarjana IPB dengan beasiswa BPPS DIKTI Republik Indonesia. xii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL……………………………………………………………. xiv DAFTAR GAMBAR………………………………………………………… xvi DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………. xix 1 PENDAHULUAN…………………………………………………………. 1 1.1 Latar Belakang………………………………………………………… 1 1.2 Perumusan Masalah……………………………………………………. 2 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………………... 2 2 TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………… 4 2.1 Minyak Bumi………………………………………………………….. 4 2.2 Karakteristik PAH……………………………………………………... 4 2.3 PAH di Lingkungan Perairan………………………………………….. 8 2.4 Sumber PAH…………………………………………………………... 10 2.5 Konsentrasi PAH………………………………………………………. 12 2.6 PAH Sebagai Indikator Sumber Pencemar……………………………. 17 2.7 Toksisitas………………………………………………………………. 19 2.7.1 Uji Toksisitas (Bioassay)……………………………………….. 19 2.7.2 Toksisitas PAH…………………………………….……………. 21 2.7.3 Dampak PAH terhadap Organisme……………………………... 22 2.7.4 Jenis PAH Bersifat Racun………………………………………. 22 2.8 Karakteristik Perairan Pesisir dan Laut………………………………... 27 2.9 Ikan Nomei (Horpodon nehereus)…………………………………….. 28 3 BAHAN DAN METODE…………………………………………………. 31 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian…………………………………………. 31 3.2 Bahan dan Alat………………………………………………………… 31 3.3 Pengumpulan Data…………………………………………………….. 31 3.3.1 Penentuan Stasiun Pengambilan Cuplikan………………………. 31 3.3.2 Teknik Pengambilan Cuplikan…………………………………... 31 3.4 Analisis Cuplikan……………………………………………………… 34 3.4.1 Perlakuan cuplikan………………………………………………. 34 xiii 3.4.2 Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH)………………………. 34 3.4.3 Analisis lipid…………………………………………………….. 36 3.5 Analisis Data…………………………………………………………... 36 4 HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………………. 39 4.1 Hasil Penelitian………………………………………………………... 39 4.1.1 Kandungan PAH Di Air…………………………………………. 39 4.1.2 Kandungan PAH Di Sedimen…………………………………… 44 4.1.3 Kandungan PAH di Daging dan Hati Ikan Nomei………………. 48 4.1.4 Kandungan Lipid………………………………………………… 59 4.2 Pembahasan……………………………………………………………. 60 4.2.1 Sumber PAH…………………………………………………….. 60 4.2.2 Tingkat Konsentrasi PAH……………………………………….. 62 4.2.3 Status Ekotoksikologi PAH……………………………………… 64 5 KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………………. 69 5.1 Kesimpulan……………………………………………………………. 69 5.2 Saran…………………………………………………………………… 70 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………... 71 LAMPIRAN………………………………………………………………….. 80 xiv DAFTAR TABEL Hal 1 Penelitan PAH terkait dengan distribusi, karakteristik dan akumulasinya pada beberapa biota perairan di beberapa wilayah dunia. 3 2 Jenis PAH yang biasa digunakan dalam studi environmental forensic investigations (∑ PAH 50 ) dengan 16 jenis PAH sebagai polutan prioritas menurut USEPA (∑ PAH 16 ) (Boehm 2006). 5 3 Pengelompokan PAH berdasarkan berat molekul dan jumlah ring (USEPA). 8 4 Besaran potensi 16 bahan pencemar PAH, terikat pada sedimen (K OC ) dan air (K OW ). 9 5 Total konsentrasi PAH pada sedimen laut pada beberapa wilayah Amerika Utara, Eropa, Afrika dan Asia (dimodifikasi dari Latimer dan Jinshu 2003). 13 6 Konsentrasi PAH di perairan laut beberapa wilayah dunia. 14 7 Konsentrasi PAH dari beberapa biota bivalva laut dan invertebrata (dimodifikasi dari Meador 2006). 15 8 Rasio individu PAH sebagai penduga sumber. 17 9 Rangkuman sensitifitas sifat kronis pada organisme air tawar dan laut (dimodifikasi dari EPA/600/R-02/013). 24 10 Beberapa individu PAH yang bersifat karsinogenik (Neff 1979). 27 11 Daftar 28 jenis PAH, kuantifikasi ion dan konfirmasi ion untuk SIM (single ion monitoring) GC-MS yang digunakan dalam mengidentifikasi senyawa PAH selain menggunakan library internal GC-MS (Orecchio et al. 2009). 35 12 Ratio individu PAH penentu sumber pencemar. 36 13 Tingkatan level konsentrasi PAH pada sedimen (Baumard et al. 1998). 37 14 Konsentrasi ERL (effect range low) dan ERM (effect range median)untuk menentukan status kontaminasi PAH di sedimen terhadap organisme laut (Woodhead et al. 1999, O’connor dan john 2000, Burton 2002). 37 xv 15 Klasifikasi status jaringan ikan yang terkontaminasi PAH (Varanasi et al. 1993 dalam Gomes et al. 2010). 37 16 Kriteria kualitas PAH di perairan laut menurut USEPA (Irwin 1997). 38 17 Sumber pencemar PAH dari beberapa wilayah dunia. 61 18 Diagnosis sumber PAH berdasarkan ratio. 62 19 Tingkatan level konsentrasi PAH di sedimen pada setiap stasiun. 62 20 Konsentrasi ∑PAH pada permukaan sedimen di beberapa wilayah dunia (dimodifikasi dari Mosatafa et al. 2009). 63 21 Konsentrasi ∑PAH pada air laut di beberapa wilayah dunia. 64 22 Status kontaminasi PAH pada ikan Nomei. 64 23 Konsentrasi ∑PAH beberapa jenis ikan di beberapa wilayah dunia. 65 24 Status kontaminasi PAH di sedimen terhadap organisme laut berdasarkan konsentrasi ERL dan ERM pada setiap stasiun. 67 25 Rangkuman sensitifitas sifat kronis pada organisme air tawar dan laut terhadap FLA (dimodifikasi dari EPA/600/R-02/013). 67 26 Konsentrasi individu PAH di perairan pada setiap stasiun. 68 xvi DAFTAR GAMBAR Hal 1 Analisis PAH (∑PAH 50 ) pada cuplikan minyak mentah (Boehm 2006). 6 2 Stuktur 16 jenis polutan utama PAH menurut United State Environmental Protection Agency (USEPA) (Amir et al. 2005). 7 3 Karakteristik umum kumpulan PAH untuk sumber petrogenik dan pirogenik (Boehm 2006). (A) Ciri dari sumber petrogenik (contoh cuplikan minyak mentah): alkil >parent, sedikit PAH dengan rantai 4-6; (B) Ciri pertama pirogenik (contoh cuplikan aspal): parent>alkil, ring 2 dan 3 lebih tinggi konsentrasinya; (C) Ciri kedua pirogenik (contoh cuplikan urban runoff): parent>alkil, rantai 4-6 lebih tinggi konsentrasinya. 12 4 Kurva hubungan antara konsentrasi bahan toksik terhadap respon hewan 20 uji. 5 LC 50 Menggambarkan nilai tengah respon dari populasi. 21 6 Proses mixed function oxidase (MFO) dalam metabolisme benzo[a]pirena. 23 7 Ikan Nomei (Horpodon nehereus) dengan nama lokal ikan Pepija atau Lembe-Lembe. 29 8 Persentasi jenis makanan yang ditemukan pada perut Horpodon nehereus (Pillay 1953). 30 9 Histogram yang menunjukkan variasi bulanan volume beberapa jenis makanan yang dimakan ikan nomei berdasarkan perbedaan bulan (Pilay 1952). (a) Udang dan udang-udangan, (b) Ikan nomei, (c) Ikan yang lain, (d) Larva megalopa, (e) Bahan tumbuhan, (f) Detritus. 30 10 Peta lokasi pengambilan cuplikan. Cuplikan air dan sedimen (Stasiun 1, 2, dan 3), cuplikan ikan (Stasiun 2). 32 11 Histogram konsentrasi individu PAH (ug/l) dalam cuplikan air. 39 12 TIC (total ionic current) pada cuplikan air 1. ( [1] fluorantena), [O] series dari hidrokarbon alkana). 40 13 TIC (total ionic current) pada cuplikan air 2 yang tidak terdeteksi adanya PAH. ([O] series dari hidrokarbon alkana). 41 14 TIC (total ionic current) pada cuplikan air 3. ( [1] fluorantena, [2] fenantrena (PHE), [O] series dari hidrokarbon alkana). 42 xvii 15 Histogram konsentrasi individu PAH (ng/g) dalam cuplikan sedimen. 44 16 TIC (total ionic current) pada cuplikan sedimen 1. [1] 1,3dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C1)), [4] fenantrena (PHE), [5] 2metil-fenantrena (2-M-PHE (PHE-C1)), [6] 4- metil-fenantrena (4-MPHE (PHE-C1)). 45 17 TIC (total ionic current) pada cuplikan sedimen 2. [3] 1,6-dimetil-4-(1metilethil)-naftalena (1,6-D-4-NAP (NAP-C1)), [4] fenantrena (PHE). 46 18 TIC (total ionic current) pada cuplikan sedimen 3. [1] 1,3dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C1)), [2] 1,2,3,4-tetrahidro-1,6 dimetil-4-(1-metiletil)-(1S-cis) naftalena (1T-1D-4M-1S-NAP (NAPC1)), [4] fenantrena (PHE), [7] 9-metil-fenantrena (9-M-PHE (PHE-C1)), [8] 9-metil-antrasena (9-M-ANT (ANT-C1)), [9] fluorantena (FLA). 47 19 Diagram konsentrasi individu PAH (ng/g) dalam daging ikan Nomei. 48 20 TIC (total ionic current) pada cuplikan daging ikan Nomei kecil. [1] 1,3dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C1)), [2] 1,6- dimetilnaftalena (1,6D-NAP (NAP-C1), [5] 4-metil-bifenil (4-M-BL (BPH), [10] antrasena (ANT), [11] 4-metilfenantrena (4-M-PHE (PHE-C1)), [13] fluorantena (FLA), [14] pirena (PYR). 49 21 TIC (total ionic current) pada cuplikan daging ikan Nomei sedang. [1] 1,3-dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C1)), [2] 1,6- dimetilnaftalena (1,6-D-NAP (NAP-C2), [4] 3-metilbifenil (3-M-BL (BPH)), [7] ncycloheptyl-2,2-diphenylacetamid (N-C-2,2-D- asenaftena (ACE)), [9] fenantrena (PHE), [12] 9-metilantrasena (9-M-ANT (ANT-C1)), [13] fluorantena (FLA). 50 22 TIC (total ionic current) pada cuplikan daging ikan Nomei besar. [1] 1,3dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C2)), [2] 1,6-dimetilnaftalena (1,6D-NAP (NAP-C2)), [3] 1,7-dimetilnaftalena (1,7-D-NAP (NAP-C2)), [4] 3-metilbifenil (3-M-BL (BPH)), [6] 1-allyl- naftalena (1-A-NAP (NAPC1)), [8] fluorena (FLU), (9) fenantrena (PHE), [11] 4-metilfenantrena (4M-PHE (PHE-C1)). 51 23 Diagram konsentrasi individu PAH (ng/g) dalam hati ikan Nomei. 52 24 TIC (total ionic current) pada cuplikan hati ikan Nomei kecil. [2] 1,3dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C2)), [3] 1,4-dimetilnaftalena (1,4-DNAP (NAP-C2)), [4] 1,5-dimetilnaftalena (1,5-D-NAP (NAP-C2)), [7] 3metilbifenil (3-M-BL (BPH)), [10] fenantrena (PHE), [11] fluorantena (FLA). TIC (total ionic current) pada cuplikan hati ikan Nomei sedang. [2] 1,3dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C2)), [3] 1,4-dimetilnaftalena (1,4-DNAP (NAP-C2)), [5] 1,7-dimetilnaftalena (1,7-D-NAP (NAP-C2)), [8] 1allyl-naftalena (1-A-NAP (NAP-C1)), [10] fenantrena (PHE). 53 25 54 xviii 26 TIC (total ionic current) pada cuplikan hati ikan Nomei besar. [1] naftalena (NAP), [2] 1,3-dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C2)), [3] 1,4-dimetilnaftalena (1,4-D-NAP (NAP-C2)), [6] 2,6-dimetilnaftalena (2,6-D-NAP (NAP-C2)), [7] 3-metilbifenil (3-M-BL (BPH)), [9] diphenylmethan (D-MTH (BPH)), [10] fenantrena (PHE). 55 27 Perbedaan jenis dan konsentrasi PAH pada daging dan hati ikan Nomei kecil. 57 28 Perbedaan jenis dan konsentrasi PAH pada daging dan hati ikan Nomei sedang. 57 29 Perbedaan jenis dan konsentrasi PAH pada daging dan hati ikan Nomei besar. 58 30 Perbedaan senyawa dan konsentrasi PHE dan 1,3-D-NAP pada daging dan hati ikan Nomei berdasarkan ukuran. 58 31 Konsentrasi jumlah lipid berdasarkan ukuran tubuh ikan Nomei (A), total konsentrasi PAH dalam daging berdasarkan ukuran tubuh ikan Nomei (B). 59 32 Penentuan sumber pencemar PAH di air dan sedimen berdasarkan persentasi konsentrasi antara berat molekul rendah, berat molekul tinggi dan alkil PAH. Pada air sumber pencemar PAH berasal dari sumber petrogenik dan pirogenik dengan persentasi berat molekul rendah (sumber petrogenik) lebih besar. Pada sedimen sumber pencemar PAH juga berasal dari sumber petrogenik dan pirogenik, dengan persentasi jumlah alkil lebih besar dari parent (sumber petrogenik). 61 xix DAFTAR LAMPIRAN Hal 1 Bagan alir ekstraksi PAH dalam air laut menurut Yu et al. 2009 yang telah dimodifikasi 79 2 Bagan alir ekstraksi PAH pada sedimen, daging dan hati ikan Horpodon nehereus menurut Liu et al. 2007 yang telah dimodifikasi 80 3 Prosedur SEAMIC IMFJ (Southeast Asian Medical Information Center International Medical Foundation of Japan) Tahun 1985 81 4 Spektrum fenantrena 82 5 Spektrum pirena 82 6 Spektrum 1,3-dimetilnaftalena 82 7 Spektrum 1,6 dimetilnaftalena 83 8 Spektrum 3-metilbifenil 83 9 Spektrum antrasena 83 10 Spektrum 4-metifenantrena 84 11 Spektrum 9-metilantrasena 84 12 Spektrum fluorantena 84 13 Spektrum 1,3-dimetilnaftalena 85 14 Spektrum 1,7 dimetilnaftalena 85 15 Spektrum 1,5-dimetilnaftalena 85 16 Spektrum 1,4-dimetilnaftalena 86 17 Spektrum 2,6-dimetilnaftalena 86 18 Spektrum 1,2,3,4-tetrahidro-1,6 dimetil -4-(1-metil etil)-(1S-cis) naftalena 86 19 Spektrum 9-metilantrasena 87 20 Spektrum 4-metilbipenil 87 21 Spektrum 1-alil-naftalena 87 xx 22 Spektrum 2-metilfenantrena 88 23 Spektrum 1,6-dimetil -4-(1-metil etil)-naftalena 88 24 Spektrum naftalena 88 25 Spektrum difenilmethan 89 26 Spektrum fluorena 89 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah Kota Tarakan Propinsi Kalimantan Timur wilayahnya berupa pulau dan saat ini mengalami perkembangan yang cukup signifikan, namun kegiatankegiatan pembangunan yang berasal dari daratan tersebut berpotensi mempengaruhi perairan di sekitarnya. Hal ini ditunjukkan berbagai material daratan termasuk limbah yang masuk ke laut, dan diantaranya adalah limbah berupa minyak yang mampu dialirkan dengan melalui ± 20 anak sungai. Komponen minyak sebagai sumber pencemar antara lain berasal dari buangan air balast, ceceran bahan bakar mesin-mesin kapal dan buangan oli bekas di daratan. Salah satu bahan pencemar komponen minyak yang berbahaya adalah polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH). PAH terdiri dari 2 atau lebih rantai karbon siklik yang memiliki stabilitas yang tinggi di lingkungan, mempunyai sifat hidrophobik yang tinggi dan struktur kimia yang stabil, sifatnya tidak mudah larut dan dapat dengan cepat terserap melalui partikel tanah, terutama pada bahanbahan organik (Tang et al. 2005). Distribusi dan fate PAH sebagai kontaminan organik di sedimen pada ekosistem perairan sangat perlu diperhatikan karena mempunyai efek mutagenik dan karsinogenik. Konsentrasi PAH dalam tingkat tertentu di air laut dan sedimen dapat bersifat toksik terhadap organisme laut bentik dan pelagik (Arias et al. 2009). Konsentrasi PAH di lingkungan 1-50 ppb dapat menyebabkan respon subletal pada beberapa organisme yang sensitif (Neff 1979). Kandungan benzena 108 ppm, toulena 28 ppm, naftalena 3.8 ppm, dapat memberikan efek toksik pada Cancer magister (Dungeness crab) (Caldwell et al. 1977). Efek toksik PAH benzena 386 ppm dan toulena 1180 ppm juga berpengaruh pada Gambusia affinis (Mosquito fish) serta pada Carassius auratus (goldfish) yaitu toluena 22.80 ppm, xilin 16.94 ppm dan 1,3,5-trimetilbenzena 12.52 ppm (Brenniman et al. 1976). Banyak kegiatan-kegiatan yang ada di Kota Tarakan berpotensi sebagai sumber polutan PAH, diantaranya kegiatan-kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas, kegiatan industri pengolahan kayu dan pengolahan ikan dan udang di 2 pesisir utara, selatan dan barat, pembuangan limbah-limbah oli dari usaha bengkel yang banyak tersebar, lalu lintas aktivitas kapal serta kegiatan pembakaran sampah dengan incenerator di TPAS (tempat pembuangan akhir sampah). Penelitian tentang senyawa organik PAH sudah banyak dilakukan baik berupa distribusi, karakteristik dan akumulasinya pada sedimen, air dan biota laut (Tabel 1). Di wilayah Indonesia informasi saat ini hanya sebatas pada perairan laut dalam dan beberapa perairan seperti Teluk Jakarta, sehingga data tentang efek PAH di Indonesia masih sangat sedikit. 1.2 Perumusan Masalah Kegiataan pembangunan akhir-akhir ini meningkat dengan pesat terutama infrastruktur, mulai dari pembukaan lahan untuk pemukiman, jalan dan industri yang dibangun untuk meningkatkan kesejahteraan. Peningkatan pembangunan di berbagai bidang khususnya industri dan perdagangan, penggunaan bahan berbahaya dan beracun (B3) di dalam proses industri akan semakin meningkat. Konsekuensinya limbah berbahaya dan beracun yang dikeluarkan oleh kegiatan tersebut akan menimbulkan pencemaran lingkungan apabila tidak dikelola dengan baik. Pencemaran lingkungan ini khususnya di perairan, tentunya akan berdampak negatif terhadap lingkungan, biota dan manusia. Salah satu yang akhir-akhir ini menjadi perhatian adalah pencemar PAH. PAH masuk ke lingkungan khususnya di perairan laut melalui hujan, buangan industri, tumpahan minyak dan aliran permukaan yang masuk melalui sungai. Senyawa ini terutama keberadaannya di lingkungan menjadi penting karena sifatnya yang/dapat bersifat karsinogenik dan mutagenik. Informasi mengenai keberadaan, jenis, konsentrasi dan akumulasinya terutama pada biota di lingkungan perairan laut khususnya di Kota Tarakan tidak tersedia. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan utama penelitian ini menentukan jenis PAH dan konsentrasinya yang ada di air laut, sedimen dan tingkat akumulasinya pada tubuh ikan Nomei. Manfaat dari penelitian ini adalah mengetahui sumber potensi pencemar dan tingkat bahayanya terhadap kondisi lingkungan perairan. 3 Tabel 1 Penelitan PAH terkait dengan distribusi, karakteristik dan akumulasinya pada beberapa biota perairan di beberapa wilayah dunia. Uraian Jenis cuplikan Lokasi Sumber pencemar Sedimen pesisir Cotonou (Benin) Soclo et al. 2000 dan Aquitaine (Perancis) Kontaminasi Air pada microlayer dan subsurface perairan Distribusi sumber Referensi Pantai Alexandria, Nemr dan Aly Mesir (2003) dan Sedimen sungai, estuari Thailand dan laut Boonyatumanond et al. 2006 Level PAH pada Bivalva (Mitylus Laut Adriatic, Italia Perugini et al. organisme laut galloprovinncialis) 2007 Cephalopoda sagittatus) (Todarodes Crustacea norvegicus) (Nephrops Ikan (Mullus barbatus, Scomber scombrus, Micromesistius poutassou, Merluccius merluccius) Distibusi Sedimen Ikan (Tilapia sp) Distribusi dan Sedimen laut karakteristik Daerah rawa Mai Liang et al. 2007 Po, Hong Kong Korea Yim et al. 2007 Konsentrasi, Air, remis (Brachidontes Daerah estuari (Arias distribusi dan sp, Tagelus sp), ikan Blanca, Argentina 2009) sumber (Odontesthes sp) Distribusi dan Sedimen karakteristik Konsentrasi Daerah pesisir Mostafa Hadhramout, Teluk 2009 Aden, Yaman Air laut, suspended Teluk particulate matter (SPM), daerah permukaan sedimen dan Cina core sedimen Perubahan dan Ikan, barnacle variasi pada kepiting biota et et al. al. dalam, Qiu et al. 2009 Selatan dan Daerah mangrove Gomes Teluk Guanabara, 2010 Tenggara Brazil et al. 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Bumi Minyak bumi adalah suatu campuran komplek yang sebagian besar komponen dan hidrokarbon mengandung karbon dan hidrogen serta sejumlah kecil unsur-unsur yaitu nitrogen, sulfat, oksigen termasuk unsur-unsur logam seperti vanadium, ferrum dan nikel (Sanusi dan Sugeng 2009). Berdasarkan perbedaan hidrokarbon yang terkandung di dalamnya, baik perbedaan jenis, struktur maupun komposisi campurannya, minyak bumi dibedakan dalam 3 jenis yaitu minyak bumi parafinik (alkana), minyak bumi aspaltik (naftenik/sikloparafin/sikloalkana) dan minyak bumi campuran (Sanusi dan Sugeng 2009). Minyak mentah mengandung senyawa hidrokarbon sekitar 50-98%. Minyak berdasarkan kelarutannya dalam pelarut organik dapat dibedakan : 1) Hidrokarbon jenuh yaitu alkana dengan struktur C n H 2n+2 (alifatik) dan C n H 2n (alisiklik) dengan n<40. Hidrokarbon jenuh paling banyak terkandung dalam minyak mentah. 2) Hidrokarbon aromatik, yaitu kelas monosiklik aromatik BTEX (benzena, toluena, etilbenzena, xilen) dan PAH ( naftalena, antrasena, fenantrena). PAH bersifat karsinogenik atau dapat ditransformasi oleh mikroba menjadi senyawa karsinogen, sehingga menjadi senyawa penting dalam menjaga kualitas lingkungan; 3) Resin, yaitu senyawa polar mengandung nitrogen, sulfur, oksigen (piridin dan thiopen), sehingga disebut juga senyawa NSO; 4) Aspalth, yaitu senyawa dengan berat molekul besar dan mengandung logam berat nikel, vanadium dan besi. Namun variasi minyak mentah berbeda di berbagai tempat (Mangkoedihardjo 2005). 2.2 Karakteristik PAH PAH adalah kelompok pencemar organik persisten (POP) khas yang terdiri dari ratusan kandungan individual. Komponen ini terdiri dari 2 atau lebih rantai benzena yang terdiri dari atom hidrogen dan karbon (Douben 2006). Secara umum terdapat 50 jenis senyawa yang sering digunakan dalam studi environmental 5 forensic investigations. Namun hanya 16 senyawa yang menurut USEPA (united states environmental protection agency) sangat berbahaya keberadaannya di lingkungan (Tabel 2). Beberapa senyawa tersebut adalah PAH yang tidak tersubstitusi (parent) dan non-alkil (Gambar 1dan 2) Tabel 2 Jenis PAH yang biasa digunakan dalam studi environmental forensic investigations (∑PAH 50 ) dengan 16 jenis PAH sebagai polutan prioritas menurut USEPA (∑PAH 16 ) (Boehm 2006). Jenis PAH Naftalena* C1-naftalena C2-naftalena C3-naftalena C4-naftalena Bifenil Asenaftilena* Asenaftena* Dibenzofuran Fluorena* C1-Fluorena C2-Fluorena C3-Fluorena Antrasena* Fenantrena* C1-fenantrena/antrasena C2-fenantrena/antrasena C3-fenantrena/antrasena C4-fenantrena/antrasena Dibenzotiofena C1- dibenzotiofena C2- dibenzotiofena C3- dibenzotiofena C4- dibenzotiofena Fluorantena* *16 PAH polutan prioritas USEPA Singkatan NAP NAP-C1 NAP-C2 NAP-C3 NAP-C4 BPH ACL ACE DBF FLU FLU-C1 FLU-C2 FLU-C3 ANT PHE PHE-C1 PHE-C2 PHE-C3 PHE-C4 DBT DBT-C1 DBT-C2 DBT-C3 DBT-C4 FLA Jenis PAH Pirena* C1-Fluorantena/pirena C2-Fluorantena/pirena C3-Fluorantena/pirena Benz(a)antrasena* Krisena* C1-krisena C2-krisena C3-krisena C4-krisena Benzo(a)Fluorantena Benzo(b)Fluorantena* Benzo(j,k)Fluorantena* Benzo(e)pirena Benzo(a)pirena* Perylene Indeno(1,2,3-c,d)pirena* Dibenzo(a,h)antrasena* Benzo(g,h,i)perylene* Dibenzo(a,e)pirena Dibenzo(a,h)pirena Dibenzo(a,1)pirena Dibenzo(a,i)pirena Dibenzo(a,e)Fluorantena Anthanthren Singkatan PYR FLA/PYR-C1 FLA/PYR-C2 FLA/PYR-C3 BaA CHR CHR-C1 CHR-C2 CHR-C3 CHR-C4 BaF BbF BkF BeP BaP Per ID-PYR DaA BgP DeP DhP D1P DiP DeF ANTr 6 Gambar 1 Analisis PAH (∑PAH 50 ) pada cuplikan minyak mentah (Boehm 2006). Ket : (*) ∑PAH 16 polutan utama menurut USEPA PAH dihasilkan dari proses alami dan proses antropogenik. Menurut Boehm (2006) PAH secara umum dihasilkan melalui 4 proses : 1. Lambat, perubahan suhu rendah (<70oC)/diagenesis dari partikel organik sebagai bagian dari perubahan yang dijalani oleh biomolekul dan hubungan organik setelah pertama kali terdeposit di sedimen; 2. Relatif cepat (hari-tahun), perubahan yang panjang, temperatur sedang (100-300oC) membentuk minyak fosil yaitu petroleum dan batu bara (contoh dari petrogenik); 3. Cepat, temperatur tinggi (>500oC), pembakaran yang tidak sempurna/tidak efisien (contohnya oksigen yang sedikit) dari biomasa bahan organik (pirolisis) seperti kebakaran hutan dan rumput serta kegiatan antropogenik seperti pembakaran bahan bakar fosil (contoh dari pirogenik); 4. Biosintesis oleh tumbuhan dan binatang dari komponen PAH individu atau gabungan yang relatif sederhana. 7 1. naftalen 5. fenantrena 2. asenaftilen 6. antrasena 3. asenaftena 7. fluorantena 4. fluorena 8. pirena 9. benzo(a)antrasena 10. krisenae 3. benzo(a)piren 14. dibenzo(a,h)antrasena 11. benzo(b)fluoranten 12. benzo(k)fluoranten 15. dibenzo(g,h,i)piren 16. indeno(1,2,3-cd)piren Gambar 2 Stuktur 16 jenis polutan utama PAH menurut United State Environmental Protection Agency (USEPA) (Amir et al. 2005). PAH bersifat hidrofobik (log K OW 3–8) dengan daya larut yang sangat rendah, sehingga konsentrasi PAH di lingkungan perairan sangat rendah (Nemr dan Aly 2003). Selain bersifat hidrofobik, PAH memiliki struktur stabil, sehingga PAH tidak mudah larut dan dapat diabsorsi dengan cepat ke dalam tanah termasuk di lingkungan perairan seperti sedimen (Tang et al. 2005). Secara umum kelarutan PAH bervariasi, yaitu tingkat kelarutan rendah ke sangat rendah dan tingkat kelarutan rendah ke moderat. Daya larut PAH bervariasi berdasarkan kondisi media, 1-2 bulan di lingkungan perairan, 2 bulan sampai 2 tahun di tanah, dan 8 bulan sampai 6 tahun di sedimen. Log n-octanol/water partition coefficients (log K OW S) dari PAH meningkat dengan peningkatan massa molekul dengan kisaran kira-kira 3.0-7.0, mengindikasikan sifat hidropobik tinggi untuk PAH dengan berat molekul tinggi (Kalf et al. 1996). 8 Antrasena, fluorena dan fenantrena adalah senyawa PAH yang memiliki 2 rantai benzena yang dikelompokkan dalam PAH dengan berat molekul rendah (BMR). Fluorantena memiliki 4 rantai benzena yang digolongkan pada PAH dengan berat molekul tinggi (BMT) (Tabel 3). Semakin besar berat molekulnya maka semakin persisten keberadaannya di lingkungan. Tabel 3 Pengelompokan PAH berdasarkan berat molekul dan jumlah ring (USEPA). Berat molekul rendah (BMR; <202) 2-ring 3-ring Asenaftilen Antrasena Bifenil Fluorena Naftalena-1 Fenantrena Metilnaftalena-1 1-Metilfenantrena Metilnaftalena-2 2,6-dimetilnaftalena Berat molekul tinggi (BMT; >202) 4-ring 5-ring Benzo(a)antrasena Krisena Fluorantena Benzo(a)pirena Pirena Benzo(e)pirena Dibenz(a,h)antrasena Pirelin Fenantrena dan fluorena memiliki sifat karsinogenik. Antrasena tidak bersifat karsinogenik namun sangat fototoksik (peningkatan sifat toksik ketika terkena cahaya, khususnya sinar UV) sehingga dapat berubah menjadi karsinogenik. Fluorantena adalah PAH tidak bersifat toksik namun berpotensi menjadi karsinogenik. Fluorena bukan PAH yang bersifat phototoksik. Antrasena, fluorantena dan fenantrena sering digunakan dalam menduga sumber dari PAH (Irwin 1997). Fenantrena lebih stabil dari pada antrasena. Ketika temperatur rendah fenantrena memproduksi fraksi molal lebih banyak dari pada antrasena (Tang et al. 2005). 2.3 PAH di Lingkungan Perairan PAH masuk ke lingkungan secara umum melalui tiga proses; (1) pembakaran bahan organik pada saat suhu sangat tinggi; (2) tumpahan minyak; (3) proses diagenesis (perubahan bahan organic sedimen secara fisik, kimia dan biologi) (Neff 1979). Pergerakan PAH di lingkungan tergantung pada propertinya seperti mudahnya PAH larut di air dan mudahnya PAH menguap ke atmosfir. Secara umum PAH tidak mudah larut dalam air. PAH berada di udara sebagai uap 9 air atau terperangkap pada partikel kecil. PAH dapat berpindah dengan jarak yang jauh sebelum mereka kembali ke bumi melalui hujan atau partikel yang tersuspensi (Irwin 1997). Nilai K OC mengindikasikan besarnya potensi terikat pada organik karbon di tanah dan sedimen secara kimia (Tabel 4). PAH dengan berat molekul rendah mempunyai kisaran nilai dari 3-4 yang mengindikasikan potensi moderate terserap pada karbon organik di tanah dan sedimen. Potensi medium nilai K OC adalah 4. PAH dengan berat molekul tinggi mempunyai nilai K OC berkisar antara 5-6, mengindikasikan kecenderungan yang kuat terserap pada karbon organik. Penyerapan PAH di tanah dan sedimen meningkat dengan meningkatnya kandungan orgnik karbon dan juga tergantung pada ukuran partikel (Irwin 1997). Tabel 4 Besaran potensi 16 bahan pencemar PAH terikat pada sedimen (K OC ) dan air (K OW ). No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 K OW K OC Jenis PAH Naftalena Asenaftilena Asenaftena Fluorena Antrasena Fenantrena Fluorantena Pirena Benz(a)antrasena Krisena Benzo(b)Fluorantena Benzo(j,k)Fluorantena Benzo(a)pirena Indeno(1,2,3c,d)pirena Dibenzo(a,h)antrasena Benzo(g,h,i)perylene NAP ACL ACE FLU ANT PHE FLA PYR BaA CHR BbF BkF BaP 3.37 4.07 3.98 4.18 4.45 4.45 4.90 4.88 5.61 5.16 6.04 6.06 6.06 1.40 3.66 3.86 4.15 4.15 4.58 4.58 5.30 5.30 5.74 5.74 6.74 Berat molekul 128 152 153 166 178 178 202 202 228 228 252 252 252 ID-PYR 6.58 6.20 276 DaA BgP 6.82 6.50 6.52 6.20 278 276 Singkatan Nilai K OC Nilai K OW : Octanol: water partition coefficients : Organic carbon: water in sediment partition coefficients Kegiatan antropogenik adalah sumber utama dari PAH, besaran PAH di tanah pada daerah urban kira-kira 2-10 lebih tinggi dari daerah pedesaan (Tang et 10 al. 2005). PAH terbentuk selama proses pirolisis pada semua bahan organik dan bahan kontaminan organik yang tersebar di sedimen perairan. PAH di permukaan tanah dapat disebarkan oleh aliran air permukaan dan debu. Permukaan tanah adalah salah satu sumber dari kontaminasi PAH yang berada di udara dan sedimen. Bentuk tanah dan strukturnya seperti organik karbon memainkan fungsi penting ketika PAH terabsorpsi di tanah (Tang et al. 2005). Partisi dari bahan kontaminan yang hidropobik, yaitu yang tersuspensi dan terlarut mengontrol fate PAH di lingkungan dan bioaviability pada organisme akuatik. Konsentrasi PAH di air dapat dipengaruhi oleh durasi dari jumlah partikel PAH yang terabsorbsi. Kandungan karbon organik di air dan sedimen memainkan peran penting dalam distribusi PAH (Menon dan Menon 1999). PAH dengan berat molekul rendah dapat hilang dengan cepat di sedimen, sedangkan PAH dengan berat molekul tinggi lebih persisten (Wilcock et al.1996, diacu dalam Amir et al. 2005). Fate dari sedimen dan air yang terkontaminasi oleh PAH, konsentrasinya akan berkurang seiring dengan waktu. Hal ini disebabkan oleh adanya biodegradasi oleh bakteri atau mikroorganisme. Biodegradasi PAH berhubungan dengan berat molekul. Rantai 2 dan 3 dari PAH (naftalena, fluorena dan fenantrena) dengan cepat terdegradasi. PAH dengan 4 rantai (fluorantena, pirena, benz(a)antrasena dan krisena) umumnya terdegradasi 50% dalam beberapa bulan. PAH dengan rantai 5 (benzo(b)fluorantena dan benzo(a)pirena) berkurang lambat selama beberapa tahun (Irwin 1997). Sedimen di rawa manggrove yang terkontaminasi PAH dari 2135 ng/g menjadi 1196 ng/g (120 hari) (Ke et al. 2002). PAH dari tumpahan minyak memiliki reaktivitas yang terjadi dari komponen minyak selama biodegradasi yaitu: n-alkana (berat molekul rendah) > fenantrena > 3-2-metilfenantrena> nalkana dengan panjang rantai intermediate > n-alkana dengan rantai lebih panjang > isoprenoids 9-1-metilfenantrena (Juan et al. 1996). 2.4 Sumber PAH PAH masuk ke dalam air melalui berbagai sumber yang dengan cepat diabsorpsi oleh partikel organik dan anorganik. Level PAH yang terakumulasi oleh biota perairan lebih tinggi dari kandungan lingkungan. PAH dapat berpindah 11 melalui beberapa kegiatan seperti fotooksidasi, oksidasi kimia, metabolisme mikroba dan metabolisme oleh metazoan yang lebih tinggi. Konsentrasi relatif dari PAH pada ekosistem perairan secara umum adalah lebih tinggi pada sedimen, intermediate di biota akuatik, dan rendah di kolom perairan (Neff 1979). Secara umum sumber PAH yang masuk ke lingkungan perairan dapat dibedakan berdasarkan 2 sumber : a. Pirogenik. PAH yang terbentuk karena peningkatan suhu secara alami dan proses antropogenik. Selama proses peningkatan suhu, bahan organik tersebut lolos dari pembakaran sempurna (oksidasi menjadi karbon dioksida dan air). PAH pirogenik terbentuk selama pembakaran menggunakan kayu (kompor), dan pembakaran dari bahan bakar fosil (bensin, solar, oli mesin). b. Petrogenik. Minyak dan batu bara yang ada di dalam stuktur geologi dan terbentuk pada waktu yang lama menghasilkan PAH petrogenik. Batu bara terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi. Selama terkubur jutaan tahun, bahan ini berubah menjadi batu bara, membentuk senyawa aromatik dengan struktur 3 dimensi. Jumlah rantai aromatik yang terbentuk per unit struktur batu bara bervariasi. Sebagian besar batu bara terdiri dari 3-5 rantai per unit struktur, dengan beberapa unit dapat mencapai 10 rantai aromatik. PAH petrogenik secara umum dicirikan dengan alkil PAH lebih banyak daripada non-alkil dari PAH utama dan sebaliknya merupakan sumber pirogenik. Selain itu sumber dari petrogenik lebih banyak PAH dengan rantai 2 dan 3, dan sumber dari pirogenik lebih banyak PAH dari rantai 4-6 (Gambar 3). PAH dengan jumlah rantai karbon 4-6 merupakan berat molekul tinggi >202 seperti naftalena, fluorantena dan pirena biasanya terdeteksi sebagai sumber pirogenik seperti dari pembakaran batu bara, kayu, dan bahan bakar kendaraan. PAH dengan berat molekul rendah <202 yaitu PAH dengan jumlah rantai karbon 2-3/alkilsusbstituted PAH berasal dari sumber petrogenik seperti 2-metilnaftalena, asenaftena, fenantrena dan fluorena (Arias et al. 2009). PAH seperti fenantrena berasal dari sumber petrogenik dan pirogenik (mixed sources) (Boehm 2006). PAH dengan rantai 4 sampai 7 umumnya berasal dari sumber pirogenik. PAH dari 12 proses pirolitik lebih sering berasosiasi dengan sedimen dan sebagian besar resistan terhadap degradasi oleh mikroba dibandingkan dengan PAH yang berasal dari petrogenik (Mostafa et al. 2009). A B C Gambar 3 Karakteristik umum kumpulan PAH untuk sumber petrogenik dan pirogenik (Boehm 2006). (A) Ciri dari sumber petrogenik (contoh cuplikan minyak mentah): alkil >parent, sedikit PAH dengan rantai 46; (B) Ciri pertama pirogenik (contoh cuplikan aspal): parent>alkil, ring 2 dan 3 lebih tinggi konsentrasinya; (C) Ciri kedua pirogenik (contoh cuplikan urban runoff): parent>alkil, rantai 4-6 lebih tinggi konsentrasinya. 2.5 Konsentrasi PAH Secara global, konsentrasi PAH baik di sedimen, air dan biota telah banyak diteliti. Distribusi PAH di lingkungan sebagian besar dipengaruhi oleh sifat solibilitas dan hidropobik, yang membuat PAH dapat dengan mudah ditemukan di sedimen. PAH di sedimen telah diketahui nilainya dari banyak bagian di dunia (Tabel 5). Konsentrasi total PAH di perairan laut adalah kecil (Tabel 6). Batasan konsentrasi sangat besar walaupun relatif berada dalam satu kawasan, sehingga sulit membedakan dengan wilayah yang lain. 13 Tabel 5 Total konsentrasi PAH pada sedimen laut pada beberapa wilayah Amerika Utara, Eropa, Afrika dan Asia (dimodifikasi dari Latimer dan Jinshu 2003). Lokasi Amerika utara Seluruh pantai amerika Seluruh pantai amerika Pelabuhan New Bedford, MA Selat Pales verdes, CA, USA Teluk Naragansett, RI Teluk Alaska (sebelum kasus Exxon Valdez) Daerah estuari Carolina utara Stasiun Alaska Daerah barat laut Beaufort (sedimen Polar Star) Daerah estuari Fraser (BC, Canada) Pintu masuk Burrard (BC, Canada) Selat Georgia (BC, Canada) Teluk San Francisco embayments (1800an-1999) Eropa Teluk Bay (wilayah tengah Mediterania) Bagian selatan Laut Mediterania Dekat daerah pantai Spanyol dan Perancis (Laut Mediterania) Laut Baltic Wilayah Estuari Gironde (Perancis) Teluk Arcachon (Perancis) Laut Cretan (wilayah timur Mediterania Wilayah Estuari Irish Afrika Pantai Cotonou (Benin) Asia Laut Kuning Teluk Kyeonggi (Korea) Hong Kong (permukaan) Laut Putih (Rusia, Laut Artic) Laut Cina Selatan Daerah estuari Sungai Yangtze (core) Teluk Bohai Konsentrasi (ng/gDw) 13.4-40 453 4.87-30 674 14 000-170 000 1 252-7 037 100-29 300 1 096 33-9 630 2.17-733 159-1 092 180-620 (pembakaran) 220-660 (petroleum) 430-91 800 (pembakaran) 70-39 500 (petroleum) 300-8 470 (pembakaran) 560-4 300 (petroleum) 40-6 300 (pirogenik) 86.5-48 060 20-18 700 0.32-8 400 3.16-30 100 3.5-853 293 14.6-158.5 (73% pembakaran) 83-22 960 80-1411 20-5 734 9.1-1 400 7.25-4 420 13-208 24.7-275.4 122-11 740 31-2 513 14 Tabel 6 Konsentrasi PAH di perairan laut beberapa wilayah dunia. Lokasi Konsentrasi (ng/l) Referensi Teluk Narragansett 39.05 Quin et al. 1988 Perairan laut Inggris dan Wales nd-10 724 Law et al. 1997 Pantai Alexandria Mesir Subsurface Microlayer Nemr dan Aly (2003) 47.0 245 Teluk dalam Selatan Cina Permukaan Dasar Qiu et al. 2009 73.3 66.1 Muara Kamal Teluk Jakarta 0.5064-0.6733 pg/l Augustine 2008 Daerah estuari Teluk Saronikos, 133-459 Yunani Valavanidis et al. 2008 Wilayah Pelabuhan Selatan Cina Luo et al. 2004 Macao, 701.42-2 579.50 Secara umum berdasarkan lokasi, terdapat perbedaan konsentrasi PAH yaitu konsentrasi pada daerah lepas pantai adalah kecil, diikuti oleh daerah dekat pantai dan terakhir pada lapisan mikro permukaan laut/surface micro layer (SSM). Akumulasi PAH dari lingkungan juga terjadi pada organisme laut. Namun nilai konsentrasi yang besar dari jaringan di tubuh organisme, diperoleh dari variasi konsentrasinya di alam, lamanya terekspose, dan kemampuan spesies dalam memetabolisme senyawa tersebut. Pada biota invertebrata, konsentrasi tertinggi dapat ditemukan pada organ dalam seperti hepatopankreas, dan di jaringan yang terikut dalam siklus umum, hal ini mungkin berhubungan dengan variasi kandungan lipid, siklus bertelur, atau flux lingkungan (Jovanovich dan Marion 1987; Maruya et al. 1997; Miles dan Roster 1999 diacu dalam Latimer dan Jinshu 2003). Konsentrasi PAH pada bivalva dan inveterbrata laut dari berbagai wilayah di dunia di tunjukkan pada Tabel 7. 15 Tabel 7 Konsentrasi PAH dari beberapa biota bivalva laut dan invertebrata (di modifikasi dari Meador 2006). Spesies Cara Wilayah makan Total PAH PAH bk/bb (ng/g) Mussels dan Oysters Mytilus edulis FF Norwegia 500-12 845 11-32 bk Mytilus galloprovincialis FF Mediterania 24-390 23/14 bk Mussels dan Oysters FF USA (semua pantai) 77-1 100 214/24 bk Mussels dan Oysters FF USA (semua pantai) 192-503 97-191/44 bk Mytilus edulis FF Teluk Naples, Italia 205 6/16 bb Mytilus galloprovincialis FF Mediterania, Spanyol 190-5 490 6/ns bb Mytilus edulis FF bagian utara laut Baltic 440 3/19 bk Mytilus edulis FF Finlandia (laut Archipelago) nd-150 7/7 bb FF Teluk Meksiko, USA 36-7 530 4/17 bk Mytilus galloprovincialis FF Yunani 77-110 57/17 bb Crassostrea virginica FF Florida, USA 361-11 026 14/> 25 bk Mytilus edulis FF Belanda 45-100 2/6 bb Mytilidae 16 Tabel 7 (lanjutan) M. edulis, M. galloprovincialis dan C. Gigas FF Perancis tt-300 000 110/td bk Mytilus edulis FF Skotlandia 54-2 803 27/10 bb Mytilus edulis FF Puget Sound, WA 40.63-600 9/24 bk Mytilus spp FF Teluk San Francisco 180-4 100 6/34 bk Benthik invertebrata Macoma balthica DF/FF Scheldt, Belanda 947 (449) 2/12 bk Crangon crangon Scav Scheldt, Belanda 410 (285) 2/12 bk Nereis diversicolor Omn Scheldt, Belanda 785 (409) 2/12 bk Homarus americanus Scav Nova Scotia, Kanada 235-73 000 1/10 bb Littorina littorea Herb Bagian Selatan Norwegia 595-1 430 4/27 bk Patella vulgata Herb Bagian Selatan Norwegia 674-15 462 2/31 bk Asterias rubens Pred Bagian Selatan Norwegia 325-458 2/19 bk Macropipus tubrculatus Omn spanyol 60-930 6/td bb (tt) tidak terdeteksi; (td) tidak dilaporkan; (bk) berat kering; (bb) berat basah Cara makan: (DF) deposit feeder; (FF) filter feeder;(Omn) omnivora; (herb) herbivora; (Pred) predator 17 Ikan mengakumulasi bahan kontaminan khususnya PAH melalui kulit, tapi sebagian besar melalui insang (Irwin 1997). Secara umum, meskipun antara PAH dengan berat molekul rendah dan berat molekul tinggi terserap relatif cepat pada spesies perairan seperti ikan, metabolisme dan depurasinya juga cepat. PAH dapat masuk ke semua jaringan tubuh yang terdapat lemak. Biasanya terserap di ginjal, hati dan lemak. Jumlah yang kecil tersimpan pada limpa, kelenjar ginjal dan indung telur. 2.6 PAH Sebagai Indikator Sumber Pencemar Senyawa PAH dapat digunakan sebagai salah satu indikator status lingkungan. Distribusi dan fate dari PAH sebagai bahan kontaminasi organik di sedimen ekosistem perairan sangat perlu diperhatikan karena mempunyai efek mutagenik dan karsinogenik. Konsentrasi PAH dalam tingkat tertentu di air laut dan sedimen dapat bersifat toksik terhadap organisme laut bentik dan pelagik, sehingga keberadaannya perlu diperhatikan. Sifatnya yang tidak mudah larut, dapat menghilang dengan cepat di perairan, mampu meningkatkan konsentrasi dan berat molekulnya sendiri, mudah terakumulasi dan terabsorpsi pada biota dan sedimen, menunjukkan perlunya perhatian khususnya pada lingkungan perairan pesisir. Pendugaan sumber PAH dilakukan dengan menggunakan rasio dari beberapa individu PAH (Tabel 8). Tabel 8 Rasio individu PAH sebagai penduga sumber. Diagnostik ratio Pirolitik Petrogenik BMR/BMT ∑MP/PHE FLA(FLA+PYR) Double ratio PHE/ANT, FLA/ANT dan PHE/ANT, FLA/PYR Low <1 >0.5 <10 / >1 high >1 <0.5 >15 / <1 BMR : berat molekul rendah; BMT : berat molekul tinggi; MP : metilfenantrena; PHE : fenantrena; FLA : fluorantena; PYR : pirena; ANT : antrasena Rasio dari FLA/PYR dapat mengindikasikan asal sumber dari PAH. Sumber petrogenik diindikasikan oleh rasio FLA/PYR <1 dan nilai >1 mengindikasikan 18 sumber pirolitik (Sicre et al. 1987, diacu dalam Ke et al. 2002). Menentukan sumber pencemar PAH dalam air dapat menggunakan rasio FLA/(FLA+PYR). Jika rasionya adalah 1, dapat diduga sumber pencemar berasal dari petrogenik. Rasio FLA/(FLA+PYR) <0.40 mengindikasikan sumber pencemar PAH berasal dari sumber petroleum (oli, mesin diesel, batu bara, dsb), rasio antara 0.4-0.5 mengindikasikan sumber dari pembakaran bahan bakar fosil (kendaraan dan minyak mentah) dan rasio >0.5 berasal dari pembakaran rumput, kayu/pembakaran batu bara (Zhang et al. 2006; Arias et al. 2009). Sumber dari PAH dari sedimen dapat diperoleh berdasarkan rasio total antara isomer metilfenantrena terhadap fenantrena (MP/P). Rasio MP/P <1 menunjukkan sumber dari pirogenik dan MP/P >1 menunjukkan sumber dari petrogenik (Blumer dan Youngblood 1975, diacu dalam Yim et al. 2007; Boonyatumanond et al. 2006). Pendugaan sumber PAH pada biota dapat menggunakan rasio fenantrena, ANT, fluorantena dan pirena yaitu rasio antara PHE/ANT, FLA/ANT dan FLA/PYR. Rasio PHE/ANT <10 dan FLA/PYR >1, mencirikan sumber pirogenik dan rasio PHE/ANT >15 dan FLA/PYR <1 mencirikan sumber petrogenik (Steinhauer dan Boehm 1992; Budzinski et al. 1997; Baumard et al. 1998, diacu dalam Yim et al. 2007). Fluorantena dan pirena adalah penanda khusus untuk sumber pirolisis/pembakaran yang tidak sempurna. Di lain pihak pada emisi hasil pembakaran bahan bakar sepert mesin diesel, profilnya predominan oleh fenantrena, fluorantena dan pirena (Li et al. 2003; Wang et al. 2009, diacu dalam Arias et al. 2009). Beberapa PAH seperti fenantrena berasal dari sumber petrogenik dan pirogenik (mixed sources) (Irwin 1997). Rasio jumlah berat molekul rendah (BMR) dengan berat molekul tinggi (BMT) adalah bila nilainya kecil menggambarkan sumber dari pirolitik dan bila nilainya besar bersumber dari petrogenik (Budzinski et al. 1997, Sicre et al. 1987, Mostafa et al. 2009). Sumber petrogenik secara umum alkil PAH lebih banyak dari pada non alkil dari PAH utama dan sebaliknya merupakan sumber petrogenik. Sumber dari petroleum biasanya berupa krisena, fluorena, naftalena, fenantrena, antrasena dan dibenzo thiopen (DbT). Sumber dari oli motor berupa 19 naftalena, benzo(a)pirena, fluorena dan fenantrena. Petroleum lebih besar menyumbang PAH jenis berat molekul rendah seperti naftalena, asenaftena dan fluorin, dan juga alkil PAH seperti metilnaftalen. Pembakaran (pirolitik) menyumbang PAH jenis berat molekul tinggi lebih besar seperti fenantrena, fluorantena, pirena dan benzo(a)pirena, juga termasuk sedikit PAH jenis berat molekul rendah seperti naftalena (Irwin 1997). 2.7 Toksisitas 2.7.1 Uji toksisitas (Bioassay) Semua bahan atau senyawa kimia yang terbuang diduga sebagai bahan pencemar beracun (Poisonous pollutant), kecuali apabila terbukti melalui uji biologis (bioassay/toxicity test) senyawa atau bahan tersebut tidak meracuni organisme yang hidup di dalamnya beserta penghuninya (hewan dan manusia) khususnya PAH. Toksisitas suatu senyawa dapat digolongkan berdasarkan efek yang terjadi pada konsentrasi tertentu, yaitu : 1) Letal, langsung menyebabkan kematian atau cukup mematikan. 2) Sub-letal, diatas kadar yang langsung menyebabkan kematian. 3) Akut, dimana menimbulkan suatu rangsangan syaraf yang cukup hebat sehingga menghasilkan respon yang cepat (untuk ikan biasanya dalam waktu 4 hari). 4) Sub-akut, menimbulkan respon setelah waktu yang lama dan mungkin menjadi menahun/kronik. 5) Kronik, menimbulkan rangsangan yang lambat atau menerus dalam selang waktu yang lama, dan 6) Kumulatif yaitu peningkatan kadar pada waktu yang lama. Pengaruh bahan toksik terhadap suatu organisme dapat di amati berdasarkan beberapa kondisi hidupnya yaitu; 1) siklus hidup (life cycle) hewan uji yaitu pengamatan yang dilakukan mulai dari fase larva sampai hewan tersebut mati. 2) Sebagian dari siklus hidupnya (partial life cycle), pengamatan yang dilakukan pada fase larva sampai dewasa, dan 3) Awal siklus hidup (early life cycle), pengamatan hanya pada fase larva. Uji toksisitas secara kuantitatif dapat ditinjau dari lamanya waktu, yang dapat diklasifikasikan menjadi toksisitas letal, sub-letal, kronis. Toksisitas akut adalah efek total yang didapat pada dosis tunggal/banyak dalam 24 jam pemaparan. Toksisitas akut sifatnya mendadak, waktu singkat dan biasanya 20 reversibel. Toksisitas kronis sifatnya permanen, lama, konstan, kontinyu, irreversible. Uji toksisitas atas dasar dosis dan waktu berarti spesifik toksisitas akut/kronis. Dosis adalah jumlah racun yang masuk ke dalam tubuh, besar, kecilnya menentukan efek. Sedangkan efek dosis ini merupakan fungsi dari usia, jenis kelamin, berat badan, cara masuk ke tubuh, frekuensi, interval waktu, kecepatan eksresi, kombinasi dengan zat lain. Uji toksisitas letal biasanya dijalankan dalam jangka waktu 24, 48, 72 dan 96 jam. LD yaitu dosis yang menyebabkan kematian. Semakin tinggi konsentrasi semakin tinggi tingkat kematiannya (Gambar 4). LD50 atau LC50 (konsentrasi letal 50%) atau TLm (toleransi limit median) atau TL50 (toleransi limit 50%) yaitu dosis yang menyebabkan kematian 50% hewan uji dalam waktu uji (inkubasi) 12, 24, 48, 72, dan 96 jam. Menurut Wrigh dan Pamela (2002) LC 50 adalah konsentrasi bahan toksik yang menyebabkan kematian 50% (nilai tengah respon) dari hewan/populasi tes pada waktu tertentu (Gambar 5). Ketika konsentrasi letal median (LC 50 ) dihitung, keyakinan 95% limit yang terkait dengan nilai (DO, pH, Suhu) juga dilaporkan (Zakrzewski 2002). Gambar 4 Kurva hubungan antara konsentrasi bahan toksik terhadap respon hewan uji EC (konsentrasi efektif) yaitu konsentrasi bahan uji yang mengakibatkan suatu tingkah laku atau respon hewan uji yang tidak normal. Angka indeks menunjukkan persentasi jumlah hewan uji yang mengalami perubahan fisiologis 21 yang terjadi selama waktu uji (EC 50 – 48 Jam) (Sanusi dan Sugeng 2009). Menurut Philp (2001) EC 50 adalah dosis efektif yang menyebabkan 50% perubahan efek maksimum dari hewan uji. Gambar 5 LC 50 Menggambarkan nilai tengah respon dari populasi. Selain hal tersebut diatas juga digunakan evaluasi seperti NOEC (No Observed Effect Concentration) yaitu konsentrasi tertinggi yang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap hewan uji dari control. LOEC (lowest observed effect concentrations) yaitu konsentrasi terendah yang secara signifikan berpengaruh terhadap ketahanan, pertumbuhan/reproduksi dari hewan uji terhadap kontrol (Wrigh dan Pamela 2002), untuk mengevaluasi tingkat bahan toksik khususnya PAH. 2.7.2 Toksisitas PAH Material organik di perairan alami mempunyai efek yang kuat pada ketersediaan pencemar organik. Ketersediaan dari beberapa pencemar organik meningkat dengan peningkatan konsentrasi materi organik yang terlarut di air (Kukkonen 1991 diacu dalam Tuvikene 1995). Toksisitas adalah senyawa yang dapat bersifat racun yang dapat membahayakan makhluk dan lingkungan disekitarnya pada konsentrasi tertentu. PAH termasuk senyawa organik yang bersifat toksik. Faktor-faktor yang mempengaruhi toksisitas PAH antara lain 22 adalah karakteristiknya, kadar PAH, jenis biota laut, aktivitas mikroba dan lama pemaparannya (Sanusi dan Sugeng 2009). Kelimpahan alkil PAH yang lebih banyak (terutama pada sumber petrogenik) persisten untuk waktu yang lebih lama, dan beberapa lebih toksik dari senyawa utamanya. Metilfenantrena lebih toksik dari pada fenantrena. PAH yang terurai tidak berarti mengurangi potensi dampaknya secara biologi terhadap komponen biologi, PAH yang terurai dapat lebih berbahaya (Irwin 1997). Menurut karakteristik senyawa PAH, toksisitasnya dapat dibagi menjadi 2 yaitu : 1. Senyawa PAH dengan jumlah karbon rendah (C 8 -C 14 ) memberikan toksisitas akut (2.35-970 µg/l di perairan (Irwin 1997)) terhadap biota laut. Hal ini dikarenakan kelarutan dari senyawa tersebut tinggi (K OW 1.404.15). 2. Senyawa PAH dengan jumlah karbon tinggi (>C 14 ) memberikan toksisitas kronis (10-710 µg/l di perairan (Irwin 1997)) terhadap biota laut, karena kelarutan dari senyawa tersebut rendah (K OW 4.15-6.20). 2.7.3 Dampak PAH terhadap Organisme PAH yang terakumulasi dalam tubuh organisme, dapat mempengaruhi kehidupannya. Beberapa PAH, yang terakumulasi dalam biota, mempunyai kemampuan untuk menyerap energi cahaya ultraviolet (UV) yang dapat mempengaruhi sifat toksisitasnya seperti antrasena dan fluorantena. Peningkatan potensi toksisitas bersamaan dengan pemaparan cahaya disebut fototoksisitas (Irwin 1997). Efek toksik PAH pada biota laut bersifat lokal dan sementara dan tidak berdampak nyata dalam jangka panjang, Selain itu, efeknya juga dapat pulih kembali (reversible). Perbedaan jenis individu maupun campuran senyawa PAH, lama pemaparan, besaran dan efeknya berbeda pada masing-masing biota, baik yang bersifat akut maupun Kronis (Tabel 9). 2.7.4 Jenis PAH Bersifat Racun Secara umum sifat toksik, mutagenik dan karsinogenik dari PAH disebabkan oleh transformasi dari metabolisme PAH karena adanya sistem MFO (mixed function oxidase) yaitu sistim enzim yang menjadi katalisator pada proses 23 metabolisme PAH. Proses penting ini pada populasi dan ekosistem tidak jelas, karena masih diabaikan ketika mengelola lingkungan (Kalf et al. 1996). Sistem MFO bertindak untuk mendegradasi aromatik dan sejumlah senyawa organik (termasuk PAH) oleh hidroksilasi (fase 1) dan konjugasi dengan glucuronic acid (fase 2). Reaksi antara bahan kontaminan organik dengan uridine diphosphate glucuronic acid (UDPGA) disebut glucuronisasi atau glucuronid konjugasi sebagai bagian dari fase 2 pada proses metabolisme (Gambar 6). Beberapa PAH berubah menjadi bentuk lebih water soluble oleh glucuronisasi (Irwin 1997). Sifat karsinogenik individu PAH berbeda-beda (Tabel 10). Gambar 6 Proses mixed function oxidase (MFO) dalam metabolisme benzo[a]pirena 24 Tabel 9 Rangkuman sensitifitas sifat kronis pada organisme air tawar dan laut (dimodifikasi dari EPA/600/R-02/013). Spesies Test Habitat PAH Cladoceran, Daphnia magna LC W Durasi Fluorantena 21d NOEC (µg/l) OEC (µg/l) Nilai Efek yang diamati (relatif terhadap kronis kontrol) (µg/l) 6.9-17 35 Pengurangan panjang 17% 24.5 73 Pengurangan panjang 25%, beberapa ikan dewasa 37% Tidak ada yang bertahan Ikan yang bertahan berkurang 83%, 96.39 Cladoceran, Daphnia magna Midge, Paratanytarsus sp. LC W Fenantrena 21d 46-57 148 163 LC W Asenaftena 26d 32-295 575 Midge, Paratanytarsus sp. LC W Asenaftena 26d 27-164 315 676 21.7 Fathead minnow, Pimephales promelas ELS W Fluorantena 32d 3.7-10.4 Fathead minnow, Pimephales promelas ELS W Asenaftena 50-109 32d 109 410 630 Ikan yang bertahan berkurang 60%, pengurangan pertumbuhan 90%, tidak terjadi reproduksi Ikan yang bertahan berkurang 20%, pengurangan pertumbuhan 30% Ikan yang bertahan berkurang 60% Ikan yang bertahan berkurang 67%, Pengurangan pertumbuhan 50% Pengurangan pertumbuhan 5% Pengurangan pertumbuhan 20%, ikan yang bertahan berkurang 66% mati 411.8 227.3 15.02 73.82 25 Tabel 9 (lanjutan) Fathead minnow, Pimephales promelas Rainbow trout, Oncorhynchus mykiss ELS W Asenaftena ELS B/W Fenantrena 3235d 90d 67-332 495 Pengurangan pertumbuhan 54% 405 5 8 Ikan yang bertahan berkurang 41%, Pengurangan pertumbuhan 33% Ikan yang bertahan berkurang 48%, pengurangan pertumbuhan 44% Ikan yang bertahan berkurang 52%, Pengurangan pertumbuhan 75% mati Terjadi pengurangan ikan muda 93% Tidak ada yang bertahan Terjadi pengurangan ikan muda 91% Tidak terjadi reproduksi, pengurangan pertumbuhan 34% Ikan yang bertahan berkurang 96%, Tidak terjadi reproduksi Ikan yang bertahan berkurang 26.7%, terjadi pengurangan ikan muda 91.7% Tidak ada yang bertahan 6.325 14 32 Mysid, Americamysis bahia Mysid, Americamysis bahia LC LC B/W B/W Asenaftena Asenaftena 35d 25d 100-240 66 340 20.5-44.6 510 91.8 168 354 Mysid, Americamysis bahia LC B/W Fluorantena 28d 3592 621 43 285.7 63.99 15.87 26 Tabel 9 (lanjutan) Mysid, Americamysis bahia Mysid, Americamysis bahia Mysid, Americamysis bahia LC B/W Fluorantena 31d 0.41-11.1 18.8 LC B/W Fenantrena 32d 1.5-5.5 11.9 LC B/W pirena 28d 3.82 5.37 6.97 9.82 15.8 20.9 Sheepshead minnow, Cyprinodon variegatus Test Habitat NOEC OEC LC B/W Asenaftena 28d : LC = life-cycle; PLC = partial life-cycle; ELS = early life-stage : I = infauna; B = epibenthic; W = water column : No Observed Effect Concentration : observed effect concentration 240-520 38.2 970 2 000 2 800 Ikan yang bertahan berkurang 23%, tidak terjadi reproduksi Tidak ada yang bertahan 14.44 Terjadi pengurangan ikan muda 46% Terjadi pengurangan ikan muda 47% Terjadi pengurangan ikan muda 73% Terjadi pengurangan ikan muda 85% Terjadi pengurangan ikan muda 90%, ikan yang bertahan berkurang 37% Tidak ada yang bertahan Ikan yang bertahan berkurang 70% Tidak ada yang bertahan Tidak ada yang bertahan 4.53 8.129 710.2 27 Tabel 10 Beberapa individu PAH yang bersifat karsinogenik (Neff 1979). Komponen Antrasena Fenantrena Benz[a]antrasena 7,12-dimetilbenz[a]antrasena Sifat Karsinogenik --+ ++++ Komponen Aceantirilen Benz[j]aceantirilen 3-metilkolantren Sifat Karsinogenik -++ ++++ Napthasen -- Pirena -- Dibenz[aj]antrasena + Dibenz[ah]antrasena +++ Benzo[a]pirena +++ Dibenz[ac]antrasena + Benzo[e]pirena -- Benzo[a]fenantrena +++ Dibenzo[al]pirena ± Fluorena -- Dibenzo[ah]pirena +++ Benzo[a]fluorena -- Dibenzo[ai]pirena +++ Benzo[b]fluorena -- Dibenzo[cd,jk]pirena -- Benzo[c]fluorena -- Indeno[1,2,3-cd]pirena + Dibenzo[ag]fluorena + Krisena ± Dibenzo[ah]fluorena ± Dibenzo[b,def]krisena Dibenzo[ac]fluorena ± Dibenzo[def,p]krisena + Fluorantena -- Dibenzo[def,mno]krisena -- ++ Benzo[b]fluorantena ++ Perilen -- Benzo[i]fluorantena ++ Benzo[ghi]perilen -- Benzo[k]fluorantena -- koronen -- Benzo[mno]fluorantena -- Ket : (--) tidak bersifat karsinogenik; (±) sifat karsinogeniknya lemah; (+) bersifat karsinogenik; (++, +++, ++++) sifat kasinogeniknya tinggi 2.8 Karakteristik Perairan Pesisir dan Laut Pesisir merupakan suatu wilayah yang menjadi peralihan antara daratan dan laut. Pesisir memiliki peran antara lain sebagai sumber penyedia sumber daya alam, jasa pendukung kehidupan dan kenyamanan dan sebagai mitigasi bencana. Pesisir dan daratan memiliki keterkaitan. Keterkaitan daratan (DAS) dengan pesisir adalah sebagai penghubung antara daratan di hulu dengan pesisir, penghantar bahan pencemar dari hulu ke pesisir dan dampak yang dihulu akan dirasakan di pesisir karena peran DAS. Batasan wilayah pesisir di daratan yaitu wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut, masih dipengaruhi oleh proses-proses seperti pasang surut, angin laut dan intrusi garam. Batasan wilayah pesisir di laut adalah daerah yang dipengaruhi oleh proses alami didaratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, 28 serta daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan (Bengen 2004). Daratan dan proses-proses yang terjadi di daratan (misalnya aliran air besar dengan zat partikel yang dibawanya menuju laut) akan mempengaruhi salinitas, turbiditas, kesuburan dan kecerahan perairan pantai. Iklim setempat seperti curah hujan akan mempengaruhi salinitas dan angin yang kencang akan menyebabkan berkembangannya arus dan gelombang laut. Pengaruh dari faktor setempat ini akan menyebabkan sifat atau keadaan oseanografi menjadi lebih kompleks dan unik bagi suatu daerah perairan pantai/pesisir yang berlainan dari sifat/pola umum di laut lepas yang banyak ditentukan baik oleh pengaruh musim maupun pengaruh samudera yang berdekatan. Wilayah pesisir dan laut juga rentan terhadap dampak pencemaran akibat aliran limbah dari daratan melalui sungai, saluran yang menuju ke laut (ocean outfall)/pembuangan langsung ke laut. Secara fisik, kondisi pesisir dan laut lepas di pengaruhi oleh siklus hidrologi, hidrodinamika, topografi wilayah pesisir dan laut, zonasi dan intensitas kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam serta teknologi yang dipakai dalam kegiatan tersebut. Kondisi ini mempengaruhi sifat, pola dan intensitas pencemaran yang mungkin terjadi akibat kegiatan sosial ekonomi di wilayah pesisir dan laut. Ketika masuk ke perairan pesisir dan laut, limbah akan berinteraksi dengan air laut dan menghasilkan perilaku limbah yang khas. Perilaku tersebut bisa berupa menguap, terlarut, terdispersi, dsb. Hal ini selanjutnya akan berpengaruh pada konsentrasi limbah dan intensitas serta besaran dampak terhadap lingkungan yang mungkin ditimbulkan (Mukhtasor 2007). 2.9 Ikan Nomei (Horpodon nehereus) Tarakan adalah salah satu pulau yang berada di Propinsi Kalimantan Timur yang mempunyai luas wilayah ± 657.33 km2, dengan luas kawasan pesisir pantai ± 70 km2. Luas laut Pulau Tarakan 406.53 km2 (61.85%). Salah satu potensi sumberdaya hayati perairan yang ada di Pulau Tarakan adalah ikan Nomei (Horpodon nehereus), dikenal dengan nama lokal ikan Pepija atau Lembe-Lembe 29 (Gambar 7). Ikan Nomei merupakan ikan komersial yang banyak dipasarkan dalam bentuk ikan kering yang menjadi satu makanan khas Kota Tarakan. Gambar 7 Ikan Nomei (Horpodon nehereus) dengan nama lokal ikan Pepija atau Lembe-Lembe. Ikan Nomei hidup di perairan lepas pantai yang dalam pada sedimen lumpur berpasir sepajang tahun. Namun ikan ini juga berkumpul di wilayah yang luas di daerah delta sungai untuk mencari makan pada musim angin monsun. Ikan ini adalah predator yang agresif dan sangat pendar. Mempunyai 6 telur pada sekali bertelur dalam setahun. Ikan Nomei mempunyai kebiasaan makan sebagai karnivora dengan udang-udangan yang merupakan sumber makanan. Menurut Pillay (1953) ikan ini juga memakan ikan, detritus, larva megalopa dan tumbuhan (Gambar 8). Daging ikan Nomei seperti jeli, tubuhnya terkandung banyak sekali air dan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Mulut yang menganga, gigi besar, mata kecil dan badan yang lembut, ikan Nomei mirip dengan Chauliodontidae yang mencirikan ikan laut dalam (Haneda 1950). Jenis makanan ikan Nomei berbeda berdasarkan musim seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9. 30 Gambar 8 Persentasi jenis makanan yang ditemukan pada perut Horpodon nehereus (Pillay 1953). a d Jumlah organisme f e b Bulan Gambar 9 Histogram yang menunjukkan variasi bulanan volume beberapa jenis makanan yang dimakan ikan Nomei berdasarkan perbedaan bulan (Pilay 1953). (a) Udang dan udang-udangan, (b) Ikan Nomei, (c) Ikan yang lain, (d) Larva megalopa, (e) Bahan tumbuhan, (f) Detritus. c 31 3 BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-Juli 2010 untuk pengambilan cuplikan di perairan laut Kota Tarakan, dan bulan Juli-Desember 2010 untuk analisis cuplikan di laboratorium. Cuplikan dianalisis di Laboratorium Kualitas Air Universitas Borneo Tarakan dan Laboratorium Pangan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Tanggerang Selatan. 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan selama penelitian adalah cuplikan sedimen, air, ikan Nomei (daging dan hati). Alat yang digunakan adalah ekman grab, dissecting set, frezee dried, van dorn water sampler dan pendeteksi PAH spektrometry massa gas kromatograf (GC-MS) tipe Shimadzu QP2010, detection limit 0.001 ppb. 3.3 Pengumpulan Data 3.3.1 Penentuan Stasiun Pengambilan Cuplikan Stasiun pengambilan cuplikan air dan sedimen ditentukan berdasarkan 3 lokasi keterwakilan. Lokasi pertama adalah wilayah yang mewakili daerah kurang banyak kegiatan. Lokasi kedua merupakan lokasi pengambilan cuplikan ikan dan lokasi ketiga mewakili daerah yang aktif/banyak kegiatan. Pengambilan cuplikan ikan hanya dilakukan pada 1 stasiun yaitu lokasi penangkapan di utara (Stasiun 2) karena hanya di wilayah tersebut cuplikan ikan dapat ditemukan (Gambar 10) dan ditangkap pada saat kondisi air laut pasang. 3.3.2 Teknik Pengambilan Cuplikan 1. Air Cuplikan air diambil dengan menggunakan van dorn water sampler berkapasitas 2 liter, kedalaman 1 meter dari permukaan air dan 1 meter dari permukaan sedimen yang kemudian di komposit. Sebanyak 2 liter 32 Gambar 10 Peta lokasi pengambilan cuplikan. Cuplikan air dan sedimen (Stasiun 1, 2, dan 3), cuplikan ikan (Stasiun 2). 33 dimasukkan ke dalam botol gelap yang sudah dibersihkan dengan bilasan methanol dan hexan. Dalam trasportasi menuju laboratorium cuplikan dimasukkan dalam boks es, dan setelah di laboratorium disimpan dalam pembeku (freezer). 2. Sedimen Sedimen dari dasar perairan diambil menggunakan ekman grab, selanjutnya dilakukan pengambilan cuplikan sedimen dengan menggunakan sub core sampai kedalaman 3 cm. Cuplikan sedimen kemudian disimpan dalam plastik yang telah disterilkan dengan prosedur IAEA 1360. Dalam transportasi menuju laboratorium cuplikan dimasukkan dalam boks es, dan kemudian setelah di laboratorium cuplikan disimpan dalam pembeku. 3. Cuplikan ikan Nomei Cuplikan ikan dapat dibedakan berdasarkan berat badan kecil (27.9 ±79.41), sedang (181±735.9) dan besar (460±103 ) (Liang et al. 2007), berdasarkan ukuran tubuh (Neves et al. 2007), ukuran ikan dewasa (Ramachandran et al. 2006) dan berdasarkan panjang berat (Vuorinen et al. 2006). Dalam penelitian ini ikan dibedakan berdasarkan ukuran tubuh komersil (kecil (<20 cm), sedang (21-25 cm) dan besar (>25 cm)), selain untuk mendapatkan informasi konsentrasi akumulasi PAH berdasarkan ukuran tersebut. Ikan Nomei diambil dengan menggunakan mini trawl. Kemudian ikan dibedakan berdasarkan tiga kelompok ukuran tubuh yaitu Ukuran kecil (<20 cm), sedang (21-25 cm) dan besar (>25 cm). Setiap ukuran cuplikan kemudian diambil hati dan dagingnya. Daging dipilih dengan pertimbangan bahwa di dalamnya memiliki kandungan lipid yang paling besar sehingga kemungkinan PAH yang terserap cukup banyak, sedangkan hati merupakan organ yang memetabolisme atau sebagai filter semua bahan beracun dalam tubuh ikan termasuk dalam hal ini PAH. Berat cuplikan yang diambil disesuaikan dengan jumlah standar untuk kebutuhan analisis PAH. Kemudian cuplikan hati dan daging 34 disimpan dalam boks es selama transportasi ke laboratorium dan dalam laboratorium disimpan dalam pembeku sampai siap untuk dianalisis. 3.4 Analisis Cuplikan 3.4.1 Perlakuan Cuplikan Sebelum dianalisis cuplikan sedimen, daging dan cuplikan hati ikan Nomei terlebih dahulu dikeringkan dengan pengering beku (freezed dried). Cuplikan air terlebih dahulu di saring untuk menghilangkan partikel sedimen, kemudian disimpan pada kondisi beku sampai analisis dilakukan. 3.4.2 Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) Prosedur analisis yang digunakan untuk PAH dalam air dilakukan menurut Yu et al. 2009 yang dimodifikasi (Lampiran 1). Cuplikan air sebanyak 2 liter diekstraksi menggunakan 30 ml dicloromethan sebanyak tiga kali. Supernatan kemudian dimurnikan dengan kolom gelas yang diisi dengan alumina/silica (1:2) 30 gr. Fraksi alifatik dielut dengan 20 ml hexan dan fraksi kedua yang merupakan PAH dielut dengan 70 ml diclorometan/hexan (3:7). Analisis PAH dalam sedimen, daging dan hati ikan Nomei dilakukan dengan metode soxhlet (Liu et al. 2007) yang dimodifikasi (Lampiran 2). Cuplikan sedimen 40 gr kering diekstraksi menggunakan soxhlet ±16 jam dengan pelarut hexan/aseton (1:1) 150 ml. Supernatan kemudian diberikan perlakuan dengan bubuk tembaga untuk menghilangkan sulfur dan dimurnikan di kolom gelas dengan menggunakan silica gel yang diaktifkan/Al 2 O 3 (1:2) 10 gr. Fraksi alifatik dielut dengan hexan 40 ml dan fraksi aromatik dibilas dengan diclorometan/hexan (3:7). Cuplikan daging yang digunakan adalah 10 gr dan cuplikan hati 5 gr. Standar eksternal yang digunakan dalam penelitian ini adalah fluorin 100 ppm, fenantrena 100 ppm, antrasena 100 ppm dan fluorantena 100 ppm. Analisis jenis PAH dalam cuplikan sedimen, air, daging dan hati ikan Nomei dilakukan dengan menggunakan GC-MS tipe Shimadzu QP2010, dengan detektor ionisasi nyala (FID), injeksi pisah (split injector) dan menggunakan silica lebur kolom (coulumn fused silica) DB5 MS dengan panjang 30 m, diameter 35 inline 0.32 mm. Temperatur program GC diatur pada 40oC selama 1 min, di naikkan 6 oC/menit sampai 300 oC, kemudian 300oC dipertahankan selama 20 min. Untuk mengidentifkasi jenis dan nama PAH, pada internal sistem GC-MS Shimadzu QP2010 menggunakan library National Institute of Standards and Technology (NIST) 27, NIST147 dan WILEY7. Selain internal library juga digunakan single ion monitoring (SIM) dalam Orecchio et al. 2009 (Tabel 11). Tabel 11 Daftar 28 jenis PAH, kuantifikasi ion dan konfirmasi ion untuk SIM (single ion monitoring) GC-MS yang digunakan dalam mengidentifikasi senyawa PAH selain menggunakan library internal GC-MS (Orecchio et al. 2009). Kelompok Jenis PAH Ion tertinggi Ion penanda 1 Asenaftilen Asenaftena Fluorena Asenaftena d 10 152 154 166 164 76, 151 152, 76 164,165 2 Fenantrena Antrasena 2-Metil fenantrena 2-Metil antrasena 9-Metil fenantrena 9-Metil antrasena 2,4-Dimetil fenantrena Fluorantena 1,2-Dimetil fenantrena Pirena 1-Metilpirena Benz[a]antrasena Fenantrena d 10 178 178 192 192 192 192 206 202 206 202 216 228 188 188, 89 188, 89 96, 82 96, 82 96, 82 96, 82 191 101, 200 191 101, 200 108, 94 114, 226 3 Krisena Benzo[b]Fluorantena Benzo[k]Fluorantena Benzo[e]pirena Benzo[a]pirena Krisena d 12 228 252 252 252 252 240 114, 226 126, 250 126, 250 126, 250 126, 250 4 Perilen Indeno[1,2,3-cd]pirena Dibenz[a,h]antrasena Benzo[g,h,i]perylen Dibenzo[a,l]pirena Dibenzo[a,e]pirena Dibenzo[a,i]pirena Dibenzo[a,h]pirena 252 276 278 276 302 302 302 302 126, 250 277, 138 279, 139 277, 138 151 151 151 151 36 3.4.3 Analisis Lipid Prosedur analisis yang digunakan untuk mengetahui kandungan lemak pada daging ikan Horpodon nehereus adalah SEAMIC IMFJ (Southeast Asian Medical Information Center International Medical Foundation of Japan) tahun 1985 (Lampiran. 3). Daging ikan Nomei 5 gr di tambahkan Na 2 SO 4 10 gr kemudian di campur. Masukkan dalam oven 105oC ± 2 jam, kemudian didinginkan dalam desikator. Cuplikan kemudian di ekstrasi dengan soxhlet dengan pelarut dietil eter 300 ml. Supernatan kemudian diuapkan dengan rotary evaporator sampai ± 10 ml. supernatant kemudian dipindahkan ke gelas beaker yang sudah diketahui beratnya, kemudian dikeringkan dan di timbang kembali. 3.5 Analisis Data Dalam menentukan sumber pencemar PAH, digunakan beberapa rasio yaitu; rasio antara fluorantena dan pirena (FLA/FLA+PYR), rasio total isomer metilfenantrena terhadap fenantrena (MPHE/PHE), rasio BMR/BMT dan double ratio fenantrena (PHE), antrasena (ANT), fluorantena (FLA) dan pirena (PYR) (Tabel 12). Tabel 12 Ratio individu PAH penentu sumber pencemar. Ratio diagnosis Pirolitik Petrogenik Referensi BMR/BMT <1 >1 Budzinski et al. 1997, Sicre et al. 1987, Mostafa et al. 2009 ∑MPHE/PHE <1 >1 Gschwend dan Hites (1981), Garrigues et al. 1995, Boonyatumanond et al. 2006 FLA(FLA+PYR) >0.5 <0.5 Budzinski et al. 1997, Qiao et al. 2006, Mostafa et al. 2009. PHE/ANT <10 >15 Liang et al. 2007, Soclo et al. 2000, Yim et al. 2007, Tian et al. 2008, Ke et al. 2002, Tang et al. 2005 BMR : Berat molekul rendah; BMT : berat molekul tinggi; MPHE : metilfenantrena; PHE ; fenantrena; FLA : fluorantena; PYR : pirena 37 Dalam menentukan level konsentrasi di sedimen mengacu pada Baumard et al. (1998) (Tabel 13). Dalam menentukan efek kontaminasi PAH di sedimen terhadap organisme laut dilakukan perbandingan berdasarkan effect range low (ERL) dan effect range median (ERM) (Tabel 14) dan nilai kualitas lingkungan perairan terhadap PAH menggunakan kriteria menurut USEPA (Tabel 16). Dalam mengetahui status kontaminasi PAH pada tubuh, mengacu pada kriteria oleh Varanasi et al. 1993 dalam Gomes et al. 2010 (Tabel 15). Tabel 13 Tingkatan level konsentrasi PAH pada sedimen (Baumard et al. 1998). Konsentrasi Kecil Sedang Tinggi Sangat Tinggi ∑PAH (ng/g) 0-100 100-1 000 1 000-5 000 >5 000 Tabel 14 Konsentrasi ERL (effect range low) dan ERM (effect range median) untuk menentukan status kontaminasi PAH di sedimen terhadap organisme laut (Woodhead et al. 1999; O’connor dan john 2000; Burton 2002). No Komponen ERL (ng/g) ERM (ng/g) 1 BMR 550 3 160 2 BMT 1 700 9 600 3 Total PAH 4 000 45 000 Tabel 15 Klasifikasi status jaringan ikan yang terkontaminasi PAH (Varanasi et al. 1993 dalam Gomes et al. 2010). No Klasifikasi Konsentrasi PAH (ng/g) 1 Tidak terkontaminasi <10 2 Nilai kontaminasi kecil 3 Nilai kontaminasi sedang 100-1 000 4 Nilai kontaminasi tinggi >1 000 99-100 38 Tabel 16 Kriteria kualitas PAH di perairan laut menurut USEPA (Irwin 1997). No Komponen Akut (µg/l) Kronis (µg/l) 1 2 3 4 5 6 Naftalena Asenaftena Fenantrena Fluorantena Pirena Total PAH 2.35 970 7.7 40 tn 300 620* 710 4.6 16 10 tn Nilai berdasarkan Environmental Protection Agency (EPA), National Oceanic and Atmospheric Administrations (NOAA), Lowest observed effect concentrations (LOEC), tidak ada nilai (tn), (*) tidak ada nilai di perairan laut, nilai yang diberikan adalah perairan tawar. 39 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Kandungan PAH Di Air Secara umum jenis PAH yang ditemukan pada cuplikan air adalah fenantrena (PHE) dan fluorantena (FLA) (Gambar 11). Pada Stasiun 1 hanya ditemukan fenantrena dengan konsentrasi rendah yaitu 6 µg/l. Pada Stasiun 3 ditemukan fluorantena mencapai 132 µg/l dan fenantrena yang mencapai 248 µg/l, Konsentrasi µg/l tetapi PAH tidak terdeteksi di Stasiun 2 (Gambar 12-13). Stasiun I Stasiun III Gambar 9 Histogram konsentrasi individu PAH (µg/l) dalam cuplikan air. Stasiun 3 merupakan lokasi yang mewakili wilayah padat kegiatan yaitu pelabuhan, dengan berbagai kegiatan seperti hilir mudik kapal, bongkar muat barang termasuk kegiatan bongkar muat minyak, dan merupakan daerah operasi PT. PERTAMINA. Stasiun air 1 merupakan daerah tidak banyak kegiatan, walaupun pada cuplikannya terdeteksi fenantrena. Stasiun air 2 merupakan daerah penangkapan ikan Nomei seperti kegiatan penangkapan ikan, dan hasil analisis menunjukkan tidak ditemukan komponen PAH. 40 800000 1 700000 Intensitas 600000 500000 400000 300000 200000 1 100000 0 5 10 20 30 40 Waktu retensi (menit) Gambar 10 TIC (total ionic current) pada cuplikan air 1. ( [1] fluorantena), [O] series dari hidrokarbon alkana). 50 60 41 800000 700000 Intensitas 600000 500000 400000 300000 200000 100000 0 5 10 20 30 Waktu retensi (menit) 40 50 Gambar 11 TIC (total ionic current) pada cuplikan air 2 yang tidak terdeteksi adanya PAH. ([O] series dari hidrokarbon alkana). 60 42 800000 1 2 700000 Intensitas 600000 500000 400000 300000 200000 1 2 100000 0 5 10 20 30 40 50 60 Waktu retensi (menit) Gambar 12 TIC (total ionic current) pada cuplikan air 3. ( [1] fluorantena, [2] fenantrena (PHE), [O] series dari hidrokarbon alkana). 43 Perbedaan keberadaan dan konsentrasi PAH dalam air disebabkan oleh beberapa hal seperti sifat fisik dan kimiawinya. PAH dengan berat molekul rendah (asenaftena, naftalena, fluorena) dapat dengan cepat hilang dari kolom air karena adanya proses volatilisasi dan degradasi oleh mikroba. Sementara berat molekul tinggi (benzo(a)antrasena, benzo(a)pirena) lebih mudah hilang selama proses fotooksidasi dan terabsorpsi ke partikel sedimen yang kemudian mengendap di dasar perairan (Irwin 1997). Secara umum, volatilisasi di permukaan adalah >100 jam untuk PAH dengan berat molekul tinggi, seperti benz(a)antrasena and benzo(a)pirena dan <100 jam untuk PAH dengan berat molekul rendah seperti naftalena and antrasena. Namun waktu tersebut sangat bervariasi tergantung pada kecepatan angin di permukaan dan pergolakan air (Irwin 1997). PAH juga bersifat hidropobik (tidak suka air) yang mengindikasikan daya larutnya di dalam air sangat rendah yaitu log K OW 3.0-7.0 (Kalf et al. 1996), dan karenanya konsentrasi PAH di perairan cenderung rendah 0-4 µg/l (Arias et al. 2009), 0.5964-0.6733 µg/l (Augustine 2008). Konsentrasi yang rendah juga dapat disebabkan oleh proses absorpsi PAH ke dalam partikel organik dan anorganik (Neff 1979). Ada 3 proses utama yang menyebabkan terjadinya degradasi PAH yang mungkin dapat menyebabkan penurunan konsentrasi PAH dalam perairan (Sanusi dan Sugeng 2009). 1) Fotooksidasi; proses senyawa PAH dalam perairan akan terurai membentuk radikal lebih sederhana dengan gugus oksigen dan mudah terlarut dan terdegradasi lebih lanjut. 2) Oksidasi kimiawi; hal ini disebabkan adanya kelarutan oksigen yang cukup dalam badan air. Elektron terlepas dari senyawa kimia yang teroksidasi diikuti oleh peralihan elektron dari senyawa kimia yang tereduksi disebut dengan proses oksidasi-reduksi. Hasil akhirnya adalah produk CO 2 dan H 2 O. Variabel pH, temperatur dan DO menentukan kecepatan proses oksidasi. 3) Transformasi biologi; yaitu degradasi senyawa PAH secara biologi yang dilakukan oleh bakteri dan jamur. Besaran dan luasan photodegradasi berbeda antar senyawa PAH. Faktorfaktor seperti kedalaman perairan, turbiditas dan temperatur berpengaruh terhadap nilai dari photodegradasi. Fotolisis dari banyak PAH diduga terjadi dekat 44 permukaan air, PAH dengan berat molekul tinggi seperti benzo(a)pirena menjadi lebih sensitif pada fotolisis (Irwin 1997). 4.1.2 Kandungan PAH Di Sedimen Pada cuplikan sedimen terdapat 5 jenis senyawa PAH (Gambar 15-18). Konsentrasi cuplikan sedimen berkisar antara 7-69 ng/g. PHE-C1 adalah konsentrasi maksimum yang ditemukan pada Stasiun 1 yaitu 69 ng/g dan ANT-C1 Konsentrasi Konsentrasi ng/g adalah konsentrasi terendah pada Stasiun 3 yaitu 7 ng/g. Stasiun I Stasiun II Stasiun III Gambar 15 Histogram konsentrasi individu PAH (ng/g) dalam cuplikan sedimen. Total konsentrasi di sedimen secara umum lebih besar dari pada di perairan. Konsentrasi dan jenis PAH di Stasiun 3 lebih tinggi dibanding dengan Stasiun 1 dan 2. Perbedaan konsentrasi dan jenis ini diduga berkaitan dengan perbedaan kondisi fisik ke tiga wilayah, seperti dijelaskan sebelumnya yaitu lokasi Stasiun 3 merupakan daerah padat kegiatan, selain merupakan daerah pelabuhan yang banyak aliran sungai yang bermuara di lokasi ini. Aliran sungai ini mentransport sumber-sumber PAH yang berasal dari daratan. PAH yang masuk ke dalam air dengan cepat diabsorpsi oleh partikel organik dan anorganik. Partikel-partikel ini kemudian mengendap dan terakumulasi di dasar perairan. 45 10000000 1 4 5&6 900000 800000 700000 Intensitas 600000 500000 400000 300000 4 5 6 1 200000 100000 0 5 10 20 30 Waktu retensi (menit) 40 50 60 Gambar 16 TIC (total ionic current) pada cuplikan sedimen 1. [1] 1,3-dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C1)), [4] fenantrena (PHE), [5] 2-metil-fenantrena (2-M-PHE (PHE-C1)), [6] 4- metil-fenantrena (4-M-PHE (PHE-C1)). 46 10000000 3 4 900000 800000 Intensitas 700000 600000 500000 400000 300000 3 4 200000 100000 0 5 10 20 30 40 50 60 Waktu retensi (menit) Gambar 17 TIC (total ionic current) pada cuplikan sedimen 2. [3] 1,6-dimetil-4-(1-metilethil)-naftalena (1,6-D-4-NAP (NAP-C1)), [4] fenantrena (PHE). 47 10000000 1 2 4 7&8 9 900000 800000 700000 Intensitas 600000 500000 400000 300000 1 200000 2 4 7 8 9 100000 0 5 10 20 30 40 50 60 Waktu retensi (menit) Gambar 18 TIC (total ionic current) pada cuplikan sedimen 3. [1] 1,3-dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C1)), [2] 1,2,3,4-tetrahidro-1,6 dimetil-4-(1-metiletil)-(1S-cis) naftalena (1T-1D-4M-1S-NAP (NAP-C1)), [4] fenantrena (PHE), [7] 9-metil-fenantrena (9-MPHE (PHE-C1)), [8] 9-metil-antrasena (9-M-ANT (ANT-C1)), [9] fluorantena (FLA). 48 Keberadaan pirena, fenantrena dan fluorantena secara umum di sedimen sering ditemukan (Irwin 1997). Sumber PAH dari daratan juga dapat berasal dari runoff dan sumber antropogenik termasuk pembakaran fosil, oil spill, emisi industri dan urbanisasi yang merupakan proses pirolitik (Yim et al. 2007). 4.1.3 Kandungan PAH di Daging dan Hati Ikan Nomei Hasil analisis komponen PAH pada cuplikan daging teridentifkasi 10 jenis yang ditunjukan pada Gambar 19-22. Kandungan PAH total pada daging ikan Nomei kecil adalah 1067 ng/g, ukuran sedang 605 ng/g, dan ukuran besar 1025 ng/g. naftalena-C2 dan fenantrena-C1 adalah jenis PAH yang ditemukan pada setiap ukuran ikan. Naftalena-C2 mempunyai konsentrasi 377 ng/g pada ukuran kecil, 309 ng/g pada ukuran sedang, dan 422 ng/g pada ukuran besar. fenantrenaC1 mempunyai konsentrasi 117 ng/g pada ukuran kecil, 47 ng/g pada ukuran sedang, dan 160 ng/g pada ukuran besar. Gambar 19 Diagram konsentrasi individu PAH (ng/g) dalam daging ikan Nomei. Jenis PAH pirena dan antrasena hanya ditemukan pada daging ikan ukuran kecil dengan konsentrasi 172 ng/g dan 270 ng/g. Asenaftena dan fluorena adalah senyawa PAH yang hanya terdapat pada daging ikan ukuran sedang dengan konsentrasi 73 ng/g dan 116 ng/g dan naftalena-C1 hanya ditemukan pada dagin ikan ukuran besar yaitu 74 ng/g. 49 20000000 1 2 10 5 13 11 18000000 16000000 Intensitas 14000000 12000000 14 10000000 8000000 6000000 1 2 5 10 11 13 14 4000000 2000000 0 5 10 20 30 40 50 60 Waktu retensi (menit) Gambar 18 TIC (total ionic current) pada cuplikan daging ikan Nomei kecil. [1] 1,3-dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C1)), [2] 1,6dimetilnaftalena (1,6-D-NAP (NAP-C1), [5] 4-metil-bifenil (4-M-BL (BPH), [10] antrasena (ANT), [11] 4-metilfenantrena (4-M-PHE (PHE-C1)), [13] fluorantena (FLA), [14] pirena (PYR). 50 20000000 1&2 4&7 9 12 13 18000000 16000000 14000000 Intensitas 12000000 10000000 8000000 6000000 1 2 4 7 9 12 13 4000000 2000000 0 5 10 20 30 40 50 60 Waktu retensi (menit) Gambar 19 TIC (total ionic current) pada cuplikan daging ikan Nomei sedang. [1] 1,3-dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C1)), [2] 1,6dimetilnaftalena (1,6-D-NAP (NAP-C2), [4] 3-metilbifenil (3-M-BL (BPH)), [7] n-cycloheptyl-2,2-diphenylacetamid (N-C2,2-D- asenaftena (ACE)), [9] fenantrena (PHE), [12] 9-metilantrasena (9-M-ANT (ANT-C1)), [13] fluorantena (FLA). 51 20000000 1, 2 & 3 18000000 4&6 8 9 40 50 11 16000000 Intensitas 14000000 12000000 10000000 8000000 4&6 8 1 6000000 2 3 9 11 4000000 2000000 5 10 20 30 Waktu retensi (menit) 60 Gambar 20 TIC (total ionic current) pada cuplikan daging ikan Nomei besar. [1] 1,3-dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C2)), [2] 1,6dimetilnaftalena (1,6-D-NAP (NAP-C2)), [3] 1,7-dimetilnaftalena (1,7-D-NAP (NAP-C2)), [4] 3-metilbifenil (3-M-BL (BPH)), [6] 1-allyl- naftalena (1-A-NAP (NAP-C1)), [8] fluorena (FLU), (9) fenantrena (PHE), [11] 4-metilfenantrena (4-MPHE (PHE-C1)). 52 Fluorantena dan bifenil terdeteksi pada daging ikan ukuran kecil dan sedang. Konsentrasi terbesar fluorantena 64 ng/g dan bifenil 68 ng/g pada ikan ukuran kecil. Jenis fenantrena hanya terdeteksi pada ukuran ikan sedang dan besar yaitu 115 ng/g dan 203 ng/g. Sistem enzimatik mampu memetabolisme dan mengkonjugasi PAH yang terjadi pada berbagai jenis ikan (Varanasi et al. 1989, diacu dalam Boumard 1998). Distribusi bahan kontaminan pada jaringan ikan diatur oleh fenomena yang kompleks, terutama ketersediaan dari bahan kontaminan itu sendiri (Boumard 1998). PAH dengan berat molekul tinggi, mempunyai kemampuan melakukan biotrasformasi ke berat molekul yang lebih tinggi dari berat molekul yang rendah (Varanasi dan Gmur 1981; Broman et al. 1990, diacu dalam Boumard 1998). Pada cuplikan hati ikan Nomei teridentifikasi 6 jenis senyawa PAH yang terakumlasi (Gambar 23-26). Kandungan PAH total pada hati Nomei kecil adalah 1679 ng/g, hati ikan ukuran sedang 977 ng/g, dan hati ikan ukuran besar 1445 ng/g. naftalena-C2 dan fenantrena adalah jenis PAH yang ditemukan pada setiap ukuran ikan. naftalena-C2 mempunyai konsentrasi 833 ng/g pada hati ikan ukuran kecil, 573 ng/g pada hati ikan ukuran sedang, dan 660 ng/g pada hati ikan ukuran besar. Fenantrena mempunyai konsentrasi 427 ng/g pada hati kecil, 215 ng/g pada Konsentrasi ng/g hati ikan ukuran sedang, dan 176 ng/g pada hati ikan ukuran besar. Ikan Kecil Ikan Sedang Ikan Besar Gambar 23 Diagram konsentrasi individu PAH (ng/g) dalam hati ikan Nomei. 53 30000000 2, 3 & 4 10 7 11 1,5-D-NAP 28000000 26000000 24000000 22000000 20000000 Intensitas 18000000 16000000 14000000 12000000 10000000 8000000 2 3 4 7 6000000 10 11 4000000 2000000 0 5 10 20 30 Waktu retensi (menit) 40 50 60 Gambar 24 TIC (total ionic current) pada cuplikan hati ikan Nomei kecil. [2] 1,3-dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C2)), [3] 1,4dimetilnaftalena (1,4-D-NAP (NAP-C2)), [4] 1,5-dimetilnaftalena (1,5-D-NAP (NAP-C2)), [7] 3-metilbifenil (3-M-BL (BPH)), [10] fenantrena (PHE), [11] fluorantena (FLA). 54 30000000 2, 3 & 5 28000000 26000000 8 10 24000000 22000000 20000000 Intensitas 18000000 16000000 14000000 12000000 10000000 8000000 6000000 2 3 5 8 4000000 10 2000000 0 5 10 20 30 40 50 60 Waktu retensi (menit) Gambar 25 TIC (total ionic current) pada cuplikan hati ikan Nomei sedang. [2] 1,3-dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C2)), [3] 1,4dimetilnaftalena (1,4-D-NAP (NAP-C2)), [5] 1,7-dimetilnaftalena (1,7-D-NAP (NAP-C2)), [8] 1-allyl-naftalena (1-A-NAP (NAP-C1)), [10] fenantrena (PHE). 55 30000000 2, 3 & 6 1 28000000 26000000 7&9 10 24000000 22000000 Intensitas 20000000 18000000 16000000 14000000 12000000 10000000 8000000 6000000 1 2 3 6 7 9 10 4000000 2000000 0 5 10 20 30 Waktu retensi (menit) 40 50 60 Gambar 26 TIC (total ionic current) pada cuplikan hati ikan Nomei besar. [1] naftalena (NAP), [2] 1,3-dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C2)), [3] 1,4-dimetilnaftalena (1,4-D-NAP (NAP-C2)), [6] 2,6-dimetilnaftalena (2,6-D-NAP (NAP-C2)), [7] 3metilbifenil (3-M-BL (BPH)), [9] diphenylmethan (D-MTH (BPH)), [10] fenantrena (PHE). 56 Jenis PAH fluorantena hanya ditemukan pada hati ikan ukuran kecil dengan konsentrasi 298 ng/g. naftalena-C1 hanya ditemukan pada hati ikan ukuran sedang dengan konsentrasi 190 ng/g dan naftalena hanya ditemukan pada hati ikan ukuran besar dengan konsentrasi 381 ng/g. Bifenil adalah senyawa PAH yang hanya terdapat pada hati ikan ukuran kecil dan hati besar dengan konsentrasi berturutturut 121 ng/g dan 227 ng/g. Jalur utama dalam mengekskresi PAH dan metabolismenya yaitu dari hati ke gastrointestinal melalui empedu, dari lambung melalui urine dan kulit setelah terbungkus oleh mucus (Varanasi et al.1978). Proses transformasi PAH pada ikan sebagian besar melalui sistem enzimatis yaitu melalui 2 langkah (Jimenez dan Stegman 1990, Pritchard 1993).Langkah enzimatis pertama (cytochrome P450 monoxygenes system) menggabungkan kelompok polar ke xenobiotic molecule melalui oksidasi, reduksi atau hydrolytic processes. Reaksi pada langkah kedua melibatkan konjugasi dari xenobiotic atau langkah pertama dari metabolismenya, dengan polar enogenous constituents seperti glucuronic acid, sulfate, glutathione atau amino acid (Lech dan Vodicnic 1985, Lindstrom 1990, Pesonen 1992 diacu dalam Tuvikene 1995) untuk memproduksi water-soluble conjugates yang mudah dikeluarkan oleh ikan. Enzim-enzim yang terlibat dalam langkah kedua ini disebut enzim konjugasi (Tuvikene 1995). Konsentrasi antara daging dan hati di ikan kecil berbeda. Pada daging terdapat 6 senyawa PAH dan pada hati terdapat 4 senyawa yang tidak semuanya sama. Konsentrasi naftalena-C2 337 ng/g adalah yang tertinggi pada daging. Pada hati konsentrasi tertinggi adalah sama naftalena-C2 yaitu 833 ng/g. Komponen fluorantena, naftalena-C2, dan bifenil adalah senyawa yang sama-sama terdapat pada daging dan hati namun berbeda konsentrasinya yaitu konsentrasi tertinggi terdapat pada hati (Gambar 27). Pada daging dan hati ikan sedang juga diketahui adanya perbedaan komponen dan konsentrasi PAH. PAH pada daging ikan sedang ada 6 jenis dan pada hati ikan sedang ada 3 jenis. Asenaftena, fluorantena, fenantrena, naftalenaC1, naftalena-C2, fenantrena-C1, dan bifenil adalah senyawa yang berbeda yang terdapat pada hati dan daging ikan sedang. 57 Gambar 27 Perbedaan jenis dan konsentrasi PAH pada daging dan hati ikan Nomei kecil. Fenantrena dan naftalena-C2 adalah senyawa PAH yang terdapat pada daging maupun pada hati ikan, dengan konsentrasi tertinggi berada pada hati yaitu 215 ng/g dan 573 ng/g (Gambar 28). Fenantrena dan naftalena-C2 adalah jenis PAH yang terdapat pada daging dan hati ikan besar dengan konsentrasi tertinggi 203 ng/g pada daging dan naftalena-C2 tertinggi pada hati yaitu 660 ng/g (Gambar 29). Fenantrena dan naftalena-C2 adalah senyawa yang mempunyai waktu tinggal yang lama yaitu terdapat pada semua ukuran ikan baik di daging maupun di hati dan konsentrasinya lebih banyak pada hati. Berdasarkan tingkat konsentrasi, naftalena-C2 pada daging tidak menunjukkan peningkatan konsentrasi yang signifikan berdasarkan ukuran tubuh (Gambar 30). Gambar 28 Perbedaan jenis dan konsentrasi PAH pada daging dan hati ikan Nomei sedang. 58 Gambar 29 Perbedaan jenis dan konsentrasi PAH pada daging dan hati ikan Nomei besar. Gambar 30 Perbedaan senyawa dan konsentrasi fenantrena dan naftalena-C2 pada daging dan hati ikan Nomei berdasarkan ukuran. Perbedaan jenis dan konsentrasi pada daging dan hati pada masing-masing ukuran diduga dipengaruhi oleh sistem yang ada di dalam tubuh ikan Nomei seperti sistem aliran darah. Distribusi polutan di jaringan pada suatu spesies ditentukan oleh aliran darah sekitar yang melalui setiap jaringan. Organ dengan aliran darah yang tinggi seperti hati dan ginjal, besar kemungkinannya terakumulasi PAH secara xenobiotics (Pritchard 1993) sehingga konsentrasinya lebih tinggi dibandingkan pada daging. Faktor-faktor lain seperti jaringan plasma protein, gabungan spesialisasi mekanisme pengambilan oleh sel, metabolisme dan ekskresi, juga berpengaruh pada distribusi, lamanya dan toksisitasnya (Tuvikene 1995). 59 4.1.4 Kandungan Lipid Kandungan lipid pada ikan menunjukkan adanya peningkatan persentasi jumlah lipid berdasarkan ukuran tubuh (Gambar 31). Hasil ini menunjukkan bahwa semakin besar tubuh ikan semakin besar pula kandungan lipidnya. Kandungan lipid dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia, jenis, status feeding dan spawningnya yang dapat berubah dalam 1 tahun hidupnya (Perugini et al. 2007). Gambar 31 Konsentrasi jumlah lipid berdasarkan ukuran tubuh ikan Nomei (A), total konsentrasi PAH dalam daging berdasarkan ukuran tubuh ikan Nomei (B). Kandungan lipid pada ikan kecil diketahui 200 µg/g, lipid pada ikan sedang 600 µg/g dan lipid pada ikan besar 1700 µg/g. Hasil analisis lipid kemudian dibandingkan dengan konsentrasi total PAH yang ada di dalam daging, dan menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi PAH pada daging tidak berkorelasi positif dengan peningkatan kadar lemak. Mayoritas bahan pencemar organik adalah lipophilic, yang ketika masuk kedalam tubuh ikan dengan mudah terserap oleh lemak, sehingga semakin besar kandungan lemak maka semakin besar konsentrasinya. Hal ini diduga disebabkan faktor lain seperti bioaviabilitas PAH, 60 biotrasformasi dan metabolismenya yang juga mempengaruhi distribusi dan kandungan PAH pada jaringan ikan Nomei. 4.2 Pembahasan 4.2.1 Sumber PAH Salah satu kesulitan dalam mengidentifikasi sumber dari PAH adalah banyak kemungkinan sumbernya; petrogenik, pirogenik dan adanya proses transformasi dari PAH itu sendiri sebelum cuplikan sedimen di analisis (Butler dan Crossley 1981, diacu dalam Soclo et al. 2000). Fingerprints PAH dari pirogenik atau berasal dari petrogenik, dapat digunakan untuk membedakan asalnya dengan menggunakan indikasi molekularnya berdasarkan rasio dari konsentrasi PAH yang terpilih (Colombo et al. 1989, diacu dalam Soclo et al. 2000). Pendekatan sederhana yang dapat digunakan dalam menduga sumber PAH adalah berdasarkan individu PAH, yaitu dengan membedakan antara berat molekul rendah (2-3 ring) dengan berat molekul tinggi (4-5 ring) (Boehm dan Farringtin 1984 dalam Boehm 2006). PAH dengan jumlah rantai karbon 4-6 yang merupakan berat molekul tinggi >202 terdeteksi sebagai sumber pirogenik seperti dari pembakaran batu bara, kayu, dan bahan bakar kendaraan. PAH dengan berat molekul rendah <202 yaitu PAH dengan jumlah rantai karbon 2-3/alkilsusbstituted berasal dari sumber petrogenik (Arias et al. 2009). Ciri lain dari sumber petrogenik (contoh minyak mentah) adalah alkil >parent, sedikit PAH dengan rantai 4-6 dan ciri sumber pirogenik (contoh urban runoff) adalah parent>alkil, rantai 4-6 lebih tinggi konsentrasinya. Berdasarkan hal tersebut sumber PAH di perairan dan sedimen Kota Tarakan berasal dari sumber petrogenik dan pirogenik (Gambar 30). Petroleum residu yang terlepas ke sedimen ini diduga berasal dari kegiatan pelabuhan, buangan-buangan minyak dari kegiatan perbengkelan di daratan yang dibuang langsung melalui sungai dan mengarah ke laut. Di beberapa daerah maju dan berkembang di beberapa wilayah di dunia sumber PAH berasal dari sumber petrogenik dan pirogenik (Tabel 17). 61 Gambar 32 Penentuan sumber pencemar PAH di air dan sedimen berdasarkan persentasi konsentrasi antara berat molekul rendah, berat molekul tinggi dan alkil PAH. Pada air sumber pencemar PAH berasal dari sumber petrogenik dan pirogenik dengan persentasi berat molekul rendah (sumber petrogenik) lebih besar. Pada sedimen sumber pencemar PAH juga berasal dari sumber petrogenik dan pirogenik, dengan persentasi jumlah alkil lebih besar dari parent (sumber petrogenik). Tabel 17 Sumber pencemar PAH dari beberapa wilayah dunia. Lokasi Daerah estuari Bahia Blanca, Argentina Cotonou (Benin) Aquataine (Perancis) Korea Daerah pesisir Hadhramout, Teluk Aden, Yaman Teluk Meiling, Taihu lake Cina Laut hitam Daerah Urdaibai, Teluk Biscay, spanyol Pelabuhan-pelabuhan di Sidney, Australia Laut Baltic, jerman Laut Baltic, Polandia South-Western laut Barents Sumber Petrogenik dan pirogenik Referensi Arias et al. 2009 Petrogenik Pirogenik Petrogenik dan pirogenik Petrogenik dan pirogenik Soclo et al. 2000 Soclo et al. 2000 Yim et al. 2007 Mostafa et al. 2009 Petrogenik dan pirogenik Qiao et al. 2006 Petrogenik dan pirogenik Pirogenik Readman et al. 2002 Azumendi et al. 2010 Pirogenik MacReady et al. 2000 Pirogenik Pirogenik petrogenik Baumard et al. 1999 Baumard et al. 1999 Boitsov et al. 2009 62 Selain itu diduga berasal dari kegiatan-kegiatan migas yang berpotensi sebagai sumber seperti kegiatan bongkar muat minyak dari kapal ke tangki dan sebaliknya, pengolahan limbah minyak dari pit yang tidak sempurna, buangan air balast dan buangan bahan bakar dari mesin kapal. Karena sifatnya yang hidropobik, maka PAH dapat dengan mudah terabsorpsi melalui partikel. Berdasarkan rasio individu PAH sumber pencemar di perairan Kota Tarakan berasal dari sumber pirogenik dan petrogenik (Tabel 18). Tabel 18 Diagnosis sumber PAH berdasarkan ratio. No Komponen ratio 1 2 BMR/BMT MPHE/PHE Pirogenik Jenis cuplikan Air Sedimen 1.93 3.50 tt 1.11 Petrogenik <1 <1 >1 >1 Berat molekul rendah (BMR), berat molekul tinggi (BMT), alkil (akl), non alkil, metilfenantrena (MPHE), fenantrena (PHE), tidak terdeteksi (tt). 4.2.2 Tingkat Konsentrasi PAH Menurut Baumard et al. (1998) kandungan PAH di sedimen dapat digambarkan berdasarkan total konsentrasinya. Pada sedimen laut diketahui konsentrasi sedimen 136 ng/g pada Stasiun 1, 50 ng/g pada Stasiun 2 dan 112 ng/g pada Stasiun 3. Nilai ini mengindikasikan konsentrasi PAH di sedimen pada level konsentrasi kecil-sedang (Tabel 19) dan dibandingkan dengan penelitian di lokasi lain konsentrasi PAH pada sedimen diperairan laut Kota Tarakan adalah sedang (Tabel 20). Tabel 19 Tingkatan level konsentrasi PAH di sedimen pada setiap stasiun. ∑PAH Stasiun Stasiun Stasiun (ng/g) sedimen 1 sedimen 2 sedimen 3 136 50 No Konsentrasi 1 Kecil 0-100 2 Sedang 100-1000 3 Tinggi 1000-5000 4 Sangat tinggi >5000 Baumard et al. (1998) 112 63 Tabel 20 Konsentrasi ∑PAH pada permukaan sedimen di beberapa wilayah dunia (di modifikasi dari Mostafa et al. 2009). Lokasi Wilayah Tabasco, Meksiko Teluk meksiko, USA Teluk Saudi Arabia Laut Mediterania wilayah barat Laut Mediterania Pelabuhan Santos, Brazil Teluk Izmit, Turkey Laut hitam Teluk Santander, daerah Utara Spanyol Laut hitam, Sochi, Rusia Laut hitam, Ukraina Daerah pantai, Laut Hitam, Ukraina Pelabuhan bagian barat, Alexandria, Mesir Daerah pesisir Hsin-ta, Taiwan Sungai Gao-Ping, Taiwan Sedimen laut Caspian, Iran Sedimen laut Caspian, Russia Sedimen laut Caspian, Azerbaijan Tianjing, China Teluk Oman, Oman Teluk Oman, Bahrain Teluk Oman, Qatar Teluk Oman, UAE Teluk Suez, Mesir Teluk Gemlik, Turkey Daerah pantai, China Teluk Meiliang, Danau Taihu, China Sungai Daliao, China Lingkungan laut, Korea Pelabuhan Naples, daerah Selatan Italia Pantai Hadhramout, Teluk Aden, Yaman Lingkungan laut Kota Tarakan PAH (ng/g) Dw 454-3 120 3-3 230 11 000-6 900 000 1.5-20 440 14.6-158.5 80-42 390 2.500-25 000 7-640 20-25 800 61.2-368 66.9-635 7.2-126 8-131 150 98.1-2 048 8-356 94-1 789 6-345 338-2 988 787-1 943 000 1.6-30 13-6 600 0.5-592 0.6-9.4 158-10 463 50-813 482 189-637 1 207-4 754 61.9-840.5 8.80-18 500 9-31 774 2.2-604.4 50-112 ∑ PAH 15 18 13 14 28 17 14 16 15 17 17 17 43 27 16 46 46 46 16 19 19 19 19 15 13 18 16 18 16 16 46 9 Konsentrasi ∑PAH di air untuk lokasi satu adalah 6.36 µg/l dan lokasi dua adalah 380 µg/l. Bila dibandingkan dengan beberapa penelititan di wilayah lain diketahui bahwa level konsentrasi PAH di lingkungan laut Kota Tarakan termasuk dalam level sedang (Tabel 21). 64 Tabel 21 Konsentrasi ∑PAH pada air laut di beberapa wilayah dunia. Lokasi Pantai Alexandria, Mesir Wilayah Pelabuhan Makau, Selatan Cina Daerah estuari Teluk Saronikos, Yunani Perairan Kamal Muara, Teluk Jakarta Daerah estuari Blanca, Argentina Teluk dalam, daerah Selatan Cina Perairan laut Kota Tarakan Konsentrasi µg/l Subsurface (47) Microlayer (245) 701.42- 1 872.95 Referensi Nemr dan Aly (2003) Luo et al. 2004 425-459 0.5964-0.6733 Valavanidis et 2008 Augustine 2008 0-4 Arias et al. 2009 Permukaan (73.3) Dasar (66.1) 6.36-380 Qiu et al. 2009 al. Studi ini 4.2.3 Status Ekotoksikologi PAH Mengetahui total kandungan PAH pada tubuh ikan, dapat menentukan tingkat kontaminasinya berdasarkan rasio. Pada semua ukuran tubuh ikan, total kandungan PAH dalam tubuh ikan Nomei adalah <1000 ng/g. Berdasarkan ratio kandungan tersebut diketahui status ikan Nomei adalah terkontaminasi sangat tinggi (Tabel 22). Tabel 22 Status kontaminasi PAH pada ikan Nomei. No Klasifikasi 1 2 3 4 Tidak terkontaminasi Nilai kontaminasi kecil Nilai kontaminasi sedang Nilai kontaminasi tinggi ∑PAH (ng/g) <10 99-100 100-1000 >1000 Ikan kecil Ikan sedang Ikan besar 2 747 1 582 2 470 Varanasi et al. (1993) dalam Gomes et al. (2010) Melihat dari total kandungan PAH pada ikan Nomei, terlihat bahwa level terbesar akumulasinya berturut-turut adalah pada ikan ukuran kecil (2747 ng/g), ikan besar (1582 ng/g) dan ikan sedang (2470 ng/g). Bila dibandingkan dengan ∑PAH pada beberapa jenis ikan dibeberapa wilayah di dunia, konsentrasi PAH di tubuh ikan Nomei sangat tinggi (Tabel 23). 65 Tabel 23 Konsentrasi ∑PAH beberapa jenis ikan di beberapa wilayah dunia. Jenis Red mullet (Mullus barbatus) Daerah Tarragona Daerah Barcelona Daerah Delta Rhone Daerah Couronne Daerah Cortiou Daerah Porto Torres Sea comber (Serranus cabrilla) Daerah Tarragona Daerah Besos Daerah Cortiou Daerah Le Planier Daerah Cap Feno Daerah Cap Muro Daerah Porto Vecchio Laut Adriatik, Italia Red mullet (Mullus barbatus) Atlantic mackerel (Scomber scombrus) European fying squid (Todarodes sagittatus) Blue whiting (Micromesistius poutasso) European hake (Merluccius merluccius) Daerah estuari Blanca, Argentina Odontesthes sp Daerah mangrove Teluk Guanabara, wilayah Tenggara Brazil Mugil liza Micropogonias furnieri Cetengraulis edentatus Centropomus parallelus Perairan laut Selatan, daerah Baron Yogyakarta Petek (Chrorinomus lyson) Kuniran (Upeneus moluccensis) Layur (Triciurus sp) Blanak (Mugil sp) Konsentrasi (ng/g) 2 580 2 206 1 920 1 390 6 110 2 201 Referensi Escartin dan Porte 1996 1 360 2 550 3 130 3 160 960 550 260 Perugini et al. 2007 16.52 63.33 14.74 55.53 44.14 Arias et al. 2009 1 095 Gomes et al. 2010 9.8-41 11-39.5 26.7-47.9 12.4 Lukitaningsih dan Ari 2010 0.9-310.9 1.9-1 072.5 0.4-411.5 0.1-165.2 66 Tabel 23 (lanjutan) Perairan laut Selatan, daerah Kretek Yogyakarta Petek (Chrorinomus lyson) Kuniran (Upeneus moluccensis) Layur (Triciurus sp) Blanak (Mugil sp) Perairan laut Selatan, daerah Glagah Yogyakarta Petek (Chrorinomus lyson) Kuniran (Upeneus moluccensis) Layur (Triciurus sp) Blanak (Mugil sp) Perairan laut Kota Tarakan Ikan Nomei (Horpodon nehereus) 0.29-338.2 0.56-1 606.8 0.3-134.4 0.2-411.3 0-50.5 0.1-366.5 0.24-116.5 0.6-218.6 Studi ini 1 582-2 747 ERL (effect range low) dan ERM (effect range median) rasio dapat menentukan kualitas lingkungan PAH di sedimen. Besaran konsentrasi PAH pada sedimen mempunyai dampak secara biologi terhadap organisme laut yang berasosiasi dengan sedimen. Konsentrasi ERM dan ERL berdasarkan konsentrasi total berat molekul rendah 136 ng/g pada Stasiun 1, 50 ng/g pada Stasiun 2 dan 45.83 ng/g pada Stasiun 3. Konsentrasi PAH dengan berat molekul tinggi yang hanya terdeteksi pada Stasiun 3 adalah 66.31 ng/g dimana konsentrasi tersebut dibawah ERL. Berdasarkan∑ PAH konsentrasi nya 136 ng/g pada Stasiun 1, 50 ng/g pada Stasiun 2 dan 122 ng/g pada Stasiun 3 juga berada dibawah ERL. Dari semua hasil tersebut, secara umum dapat disimpulkan status konsentrasi PAH di sedimen tidak mengancam kehidupan organisme air (Tabel 24). PAH mempunyai waktu tinggal yang singkat ketika berada pada kolom perairan, yang biasanya dapat menyebabkan efek kronis (Irwin 1997). Konsentrasi komponen PAH di perairan dapat menjelaskan efek PAH yang terlarut terhadap organisme laut. Konsentrasi fenantrena pada Stasiun 1 adalah 6.35 µg/l dan Stasiun 3 248 µg/l masih dibawa level kronis maupun akut. Diduga konsentrasi fenantrena masih aman untuk biota perairan. Pada Stasiun 3 fluorantena 132 µg/l berada di atas level akut yaitu pada beberapa jenis ikan menyebabkan kematian, 67 sehingga diduga konsentrasi fluorantena sangat berbahaya bagi biota perairan khususnya ikan (Tabel 25). Tabel 24 Status kontaminasi PAH di sedimen terhadap organisme laut berdasarkan konsentrasi ERL dan ERM pada setiap stasiun. No Komponen ERL (ng/g) ERM (ng/g) Stasiun sedimen 1 (ng/g) Stasiun Stasiun sedimen 2 sedimen 3 (ng/g) (ng/g) 1 BMR 550 3 160 136 50 45.83 2 BMT 1 700 9 600 tt tt 66.31 3 Total PAH 4 000 45 000 136 50 112 Woodhead et al. 1999, O’connor dan john 2000, Burton 2002. ERL : effect range low; ERM : effect range median; tt : tidak terdeteksi; BMR : berat molekul rendah; BMT : berat molekul tinggi Tabel 25 Rangkuman sensitifitas sifat kronis pada organisme air tawar dan laut terhadap fluorantena (EPA/600/R-02/013). Spesies PAH Cladoceran, Daphnia magna Fluorantena Durasi (hari) NOEC (µg/l) 21 6.9-17 Efek yang diamati Nilai OEC (relatif terhadap kronis (µg/l) kontrol) (µg/l) 35 73 148 Fathead minnow, Pimephales promelas Mysid, Americamysis bahia Fluorantena 32 3.710.4 21.7 Fluorantena 28 3592 43 621 Mysid, Americamysis bahia Fluorantena 31 0.4111.1 18.8 Pengurangan panjang 17% Pengurangan panjang 25%, beberapa ikan dewasa 37% Tidak ada yang bertahan Ikan yang bertahan berkurang 67%, Pengurangan pertumbuhan 50% Ikan yang bertahan berkurang 26.7%, terjadi pengurangan ikan muda 91.7% 15.02 Tidak ada yang bertahan Ikan yang bertahan berkurang 23%, tidak terjadi reproduksi 14.44 NOEC :No Observed Effect Concentration; OEC: observed effect concentrations 24.5 15.87 68 Konsentrasi ∑PAH 6.36 µg/l pada Stasiun 1 berada bawah level akut, diduga tidak membahayakan biota perairan. Konsentrasi ∑ PAH 380 µg/l pada Stasiun 3 berada diatas level akut, diduga ∑ PAH sangat berbahaya bagi kehidupan biota perairan. Berdasarkan konsentrasi tersebut maka kandungan PAH di perairan pada Stasiun 1 tidak berbahaya terhadap biota perairan, sedangkan pada Stasiun 3 sangat berbahaya terhadap biota perairan (Tabel 26). Tabel 26 Konsentrasi individu PAH di air pada setiap stasiun. Stasiun air 1 Stasiun air 3 (µg/l) (µg/l) 6.36 248 No Komponen Akut (µg/l) Kronis (µg/l) 1 Fenantrena 970 710 2 Fluorantena 40 16 tt 132 3 Total PAH 300 tn 6.36 380 Irwin 2007 tn : tidak ada nilai; tt : tidak terdeteksi 69 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Karakteristik PAH di perairan dan sedimen menunjukkan PAH pirogenik dan petrogenik. PAH pirogenik berasal dari emisi kendaraan bermotor, pembangkit listrik PLN, incenerator dari TPAS, emisi dari pabrik kayu yang terdapat di bagian selatan dan utara Kota Tarakan serta fasilitas pembakaran sisa pengolahan gas oleh PT. PERTAMINA. PAH petrogenik berasal dari petroleum residu dari kegiatan pelabuhan, buangan minyak dari daratan yang dibuang langsung melalui sungai dan mengarah ke laut. Kegiatan-kegiatan migas diduga berpotensi sebagai sumber PAH petrogenik seperti kegiatan bongkar muat minyak dari kapal ke tangki dan sebaliknya, pengolahan limbah minyak dari pit yang tidak sempurna, buangan air balast dan buangan bahan bakar dari mesin kapal.Selain itu proses adsorpsi dan dinamika perairan juga berpengaruh terhadap keberadaan PAH di perairan. Jenis PAH yang ditemukan di air ada 2 jenis yaitu fenantrena dan fluorantena dengan konsentrasi berkisar 6-248 µg/l. Pada sedimen terdapat 5 jenis senyawa PAH yaitu fluorantena, fenantrena, naftalena-C2, fenantrena-C1 dan antrasena-C1 dengan konsentrasi berkisar antara 7-69 ng/g. Perbedaan keberadaan dan konsentrasi PAH di air dan sedimen disebabkan oleh beberapa hal yaitu sifat fisik dan kimiawinya. Hasil analisis komponen PAH pada daging ikan Nomei teridentifkasi 10 jenis PAH yaitu fluorena, fenantrena, antrasena, fluorantena, pirena, naftalena-C1, naftalena-C2, fenantrena-C1, bifenil dan asenaftena. Kandungan PAH total pada daging ikan Nomei kecil adalah 1067 ng/g, daging sedang 605 ng/g, dan daging besar 1025 ng/g. Pada hati ikan Nomei teridentifikasi 6 jenis senyawa PAH yaitu fenantrena, fluorantena, naftalena, naftalena-C1, naftalena-C2 dan bifenil dengan kandungan PAH total pada hati kecil adalah 1679 ng/g, hati sedang 977 ng/g, dan hati besar 1445 ng/g dengan tingkat kontaminasi sangat tinggi. Perbedaan jenis dan konsentrasi PAH di daging dan hati mungkin di pengaruhi oleh beberapa faktor seperti kapasitas asimilasi usus, biotransformasi, sistem enzimatik dan 70 metabolisme PAH oleh ikan Nomei. Lingkungan perairan baik air, sedimen dan biota khususnya ikan Nomei telah terkontaminasi PAH. 5.2 Saran Beberapa saran dalam penelitian ini adalah perlunya penelitian lebih lanjut mengenai konsentrasi dan jenis PAH di udara untuk mengetahui besar konsentrasi yang terbawa masuk ke perairan laut melalui hujan. Perlu dilakukan uji toksisitas konsentrasi kronis dan letal serta uji histologi untuk mengetahui dampak PAH terhadap ikan Nomei. 71 DAFTAR PUSTAKA Arias AH, Carla VS, Rube´n HF, Jorge EM. 2009. Polycyclic aromatic hydrocarbons in water, mussels (Brachidontes sp.,Tagelus sp.) and fish (Odontesthes sp.) from Bahia Blanca Estuari, Argentina. Journal of Estuarine, Coastal and Shelf Science 85:67-81. Amir S, Hafidi M, Merlina G, Hamdi H, Revel JC. 2005. Fate of polycyclic aromatic hydrocarbons during composting of lagooning sewage sludge. Journal of Chemosphere 58:449-458. Augustine D. 2008. Akumulasi hidrokarbon aromatik polisiklik (PAH) dalam kerang hijau (Perna viridis L) di perairan Kamal Muara, Teluk Jakarta [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Azurmendi P ,Asuncion N, Alba O, Denise F, Elena M, Miren LA, Cinta P, Miren PC, Damia B, Benjamin P. 2010. Origin and dis tribution of polycyclic aromatic hydrocarbon pollution in sediment and fish from the biosphere reserve of Urdaibai (Bay of Biscay, Basque country, Spain). Journal of Marine Environmental Research 70:142-149. Baumard P, Budzinski H, Garrigues P, Sorbe C, Burgeot T, Belloco J. 1998. Concentrations of PAHs (Polycyclic Aromatic Hydrocarbons) in various marine organisms in relation to those in sediments and to trophic level. Journal of Marine Pollution Bulletin 36:951-960. Baumard P, Budzinski H, Garrigues P.1998. Polycyclic aromatic hydrocarbons in sediment sand mussels of the Western Mediterranean Sea. Journal of Environmental Toxicology Chemistry 7:765-776. Baumard P, Budzinski H, Garrigues P, Dizer H, Hansen PD . 1999. Polycyclic aromatic hydrocarbons in recent sediments and mussels (Mytilus edulis) from the Western Baltic Sea: occurrence, bioavailability and seasonal variations. Journal of Marine Environmental Research 47:17-47. Bengen DG. 2004. Sinopsis ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan laut serta prinsip pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut. Institut Pertanian Bogor. Blumer M, Youngblood WW. 1975. Polycyclic aromatic hydrocarbons in soil sand recent sediments. Journal of Science 188:53-55. 72 Boehm PD. 2006. Polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs). 314-337. dalam Boehm PD, Robert DM, Brian LM, editor. Environmental forensics, contaminant specific guide. Academic Press. USA. 314-334. Boehm PD, Farrington JW. 1984. Aspects of the polycylic aromatic hydrocarbon geochemistry of recent sediments in the Georges Bank region. Journal of Sciences and Technology 18:840-845. Boitsov S, Jensen HKB, Jarle K. 2009. Natural back ground and anthropogenic inputs of polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) in sediments of SouthWestern Barents Sea. Journal of Marine Environmental Research 68:236245. Boonyatumanond R, Gullaya W, Ayako T, Hideshige T. 2006. Distribution and origins of polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) in riverine, estuarine, and marine sediments in Thailand. Journal of Marine Pollution Bulletin 52:942-956. Brenniman G, Hartung R, Weber WJ. 1976. A continues flow bioassay method to evaluated the effects of outboard motor exhausts and selected aromatic toxicants on fish. Journal of Water Resources 10:165-169. Broman D, Nfif C, Lundbergh I, Zebijhr Y. 1990. An in situ study of the distribution, biotransformation and flux of polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) in an aquatic food chain (seston Mytilus edulis L.Somateria mollissima L.) from the Baltic : a ecotoxicological perspective. Journal of Environment Toxicology Chemistry 9:429-442. Budzinski H, Jones I, Bellocq J, Pierard, Garrigues CP. 1997. Evaluation of sediment contamination by polycyclic aromatic hydrocarbons in the Gironde estuari. Journal of Marine Chemistry 58:85-97. Burton GA. 2002. Sediment quality criteria in use around the world. Journal of Limnology 3:65-75. Butler JD, Crossley F. 1981. Reactivity of polycyclic aromatic hydrocarbons adsorbed on soot particles. Journal of Atmosphere Environment 15:91-94. Caldwell RS, Caldarone EM, Mallon MH. 1977. Effect of a seawater soluble fraction of Cook Inlet crude oil and its major aromatic components on larval stages of the Dungeness crab, Cancer magister. 210-220. dalam Wolfe DA, editor. Fate and effect of petroleum hydrocarbons in marine ecosystems and organisms. New York. Pergamon Press. Colombo JC, Pelletier E, Brochu C, Khalil M, Cataggio JA. 1989. Determination of hydrocarbon sources using n-alkanes and polyaromatic hydrocarbon distribution indices. Case study: Rio de la Plata estuari, Argentina. Journal of Enviromental Science and Technology 23:888-894. 73 Douben PET, editor. 2006. The sources, transport, and fate of PAHs in the marine environment. Ecological and Environmental Toxicology Series. Wiley. EPA/600/R-02/013. 2003. Procedures for the Derivation of Equilibrium Partitioning Sediment Benchmarks (ESBs) for the Protection of Benthic Organisms: PAH Mixtures. Office of Research and Development Washington, DC 20460. United States Environmental Protection Agency. Escartin E, Porte C. 1996. Assessment of PAH pollution in coastal areas from The NW Mediterranean through the analysis of fish bile. Marine Pollution Bulletin 38:1200-1206. Garrigues P, Budzinski H, Manitz MP, Wise SA. 1995. Pyrolytic and petrogenic inputs in recent sediments: a denitive signature through phenanthrene and chrysene compounds distribution. Polycyclic Aromatic Compounds 7:275284. Gomes AS, Roberta LN, Ricardo A, Paulo HVDV, Fabio BP, Roberta LZ, Carla LTM. 2010. Changes and variations of polycyclic aromatic hydrocarbon concentrations in fish, barnacles and crabs following an oil spill in a mangrove of Guanabara Bay, Southeast Brazil. 2010. Marine Pollution Bulletin 60:359-1363. Gschwend PM, Chen PH, Hites RA. 1981. Fluxes of polycyclic aromatic hydrocarbons to marine and lacustrine sediments in the northeastern United State. Geochimica et Cosmochimica 45:2359-2367. Haneda Y. 1950. Horpodon nehereus, a Non-luminous fish. Tokyo Jikeikai Medical College. Pasific Science IV. Irwin RJ, Mouwerik MV, Lynette S, Arion DS, Wendy B. 1997. Environmental Contaminants Encyclopedia PAHS Entry. National Park Service Water Resources Divisions, Water Operation Branch. Fort Collins. Colorado. Jimenez BD, Stegman JJ. 1990. Detoxication enzymes as indicator of environmental stress on fish. Biological Indicators of Stress In Fish. American Fisheries Society Symposium 8:67-79. Jovanovich MC, Marion KR. 1987. Seasonal variation in uptake and depuration of anthracene by the brackish water clam, Rangia cuneata. Journal of Marine Biology 95:395-403. Juan CC, Marta C, Ange1ica MA. 1996. Biodegradation of aliphatic and aromatic hydrocarbons by natural soil microflora and pure cultures of imperfect and lignolitic fungi. Journal of Environmental Pollution 94(3):355-362. 74 Kalf DF, Trudie C, Erik JVDP. 1996. Environmental quality objectives for 10 polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs). Journal of Ecotoxicology And Environmental Safety 36:89-97. Ke L, Teresa WYW, Wong YS, Nora FYT. 2002. Fate of polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) contamination in a mangrove swamp in Hong Kong following an oil spill. Journal of Marine Pollution Bulletin 45:339-347. Kukkonen J. 1991. Effect of dissolved organic material in fresh water on the binding and bioavailability of organic pollutants [disertasi]. Universitas Joensuu 1-39. Latimer JS, Jinshu Z. 2006. The sources, transport, and fate of PAHs in the marine environment. Douben PET, editor. The sources, transport, and fate of PAHs in the marine environment. Ecological and Environmental Toxicology Series. Wiley. Law RJ, Dawes VJ, Woodhead RJ, Matthiessen P. 1997. Polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) in seawater around England and Wales. Journal of Marine Pollution Bulletin 34:306-322. Lech JJ, Vodicnic MJ. 1985. Biotrasformation. Rand GM dan Petrocelli SR (Editor). Fundamentals of aquatic toxicology. Taylor and Frances 526-447. Lemaire P, Mathieu A, Carriere S, Drai P, Giudicelli J, Lafaurie M. 1990. The uptake metabolism and biological half-life of benzo[a]pyrene in different tissues of sea bass, Dicentrarchus labrax. Journal of Ecotoxicology and Environmental Safety 20:223-233. Li A, Jang JK, Scheff PA. 2003. Application of EPA CMB 8.2 model for source apportionment of sediment PAHs in Lake Calumet, Chicago. Journal of Environmental Science & Technology 37:2958-2965. Liang Y, Tse MF, Young L, Wong MH. 2007. Distribution patterns of polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) in the sediments and fish at Mai Po Marshe Nature Reserve, Hong Kong. Journal of Water Research 41:1303-1311. Lindstrom SP. 1990. Biotransformation in fish: Monitoring inland water pollution caused by pulp and paper mill effluents [tesis]. Department of Physiology, Universitas of Kuopio. 1-69. Liu WX, Chen JL, Lin XM, Tao S. 2007. Spatial distribution and species composition of PAHs in surface sediments from the Bohai Sea. Journal of Marine Pollution Bulletin 54:97-116. Lukitaningsih E, Ari S. 2010. Bioakumulasi senyawa poli-aromatik hidrokarbon dalam plankton, ganggang dan ikan di perairan laut selatan Jogjakarta. Majalah Farmasi Indonesia 21:18-26. 75 Luo XJ, Bixian M, Qingshu Y, Jiamo F, Guoying S, Zhishi W. 2004. Polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) and organo chlorine pesticides in water columns from the Pearl River and the Macao harbor in the Pearl River Deltain South China. Journal of Marine Pollution Bulletin 48:1102-1115. MacReady S, Slee DJ, Birch GF, Taylor E. 2000. The distribution of polycyclic aromatic hydrocarbons in surficial Sediments of Sydney Harbour, Australia. Journal of Marine Pollution Bulletin 40:999-1006. Mangkoedihardjo S. 2005. Seleksi teknologi pilihan untuk ekosistem laut tercemar minyak. Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan ITS. Surabaya. Maruya KA, Risebrough RW, Horne AJ. 1997. The bioaccumulation of polynuclear aromatic hydrocarbons by benthic invertebrates in an intertidal marsh. Journal of Environmental Toxicology and Chemistry 16:1087-1097. Meador JP, Stein JE, Reichert WL, Varanasi U. 1995. Bioaccumulation of polycyclic aromatic hydrocarbons by marine organisms. Journal of Rev. Environment Contamination T143:79-165. Menon NN, Menon NR . 1999. Uptake of polycyclic aromatic hydrocarbons from suspended oil borne sediments by the marine bivalve Sunetta scripta. Journal of Aquatic Toxicology 45:63-69. Miles AK, Roster N. 1999. Enhancement of polycyclic aromatic hydrocarbons in estuarine invertebrates by surface runoff at a decommissioned military fuel depot. Journal of Marine Environmental Research 47:49-60. Meador JP. 2006. Bioaccumulation of PAHs in Marine Invertebrates. Douben PET, editor. The sources, transport, and fate of PAHs in the marine environment. Ecological and Environmental Toxicology Series. Wiley. Mostafa AR, Terry LW, Stephen TS, Abdel KA, Assem OB. 2009. Distribution and characteristics of polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) in sediments of hadhramout coastal area, Gulf of Aden, Yemen. Journal of Marine Systems 78:1-8. Mukhtasor. 2007. Pencemaran pesisir dan laut. Cetakan pertama. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Neff JM. 1979. Polycyclic aromatic hydrocarbons in the aquatic environment. sources, fate and biological Effects. Applied Science Publishers Ltd. London. Nemr AE, Aly MAA. 2003. Contamination of polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) in microlayer and subsurface waters along Alexandria Coast, Egypt. Journal of Chemosphere 52:1711-1716. 76 Neves RS, Terezinha FO, Roberta LZ. 2007. Polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) in fish bile (Mugilliza) as biomarkers for environmental monitoringin oil contaminated areas. Marine Pollution Bulletin 54:18131838. Orecchio S, Viviana PC , Loredana C. 2009. Polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) in coffee brew samples: Analytical method by GC-MS, profile, levels and sources. Journal of Food and Chemical Toxicology 47:819-826. O’connor TP, John FP. 2000. Mist between sediment toxicity and chemistry. Journal of Marine Pollution Bulletin 40(1):59-64. Perugini M, Visciano P, Giammarino A, Manera M, Nardo WD, Amorena M. 2007. Polycyclic aromatic hydrocarbons in marine organisms from the Adriatic Sea, Italy. Journal of Chemosphere 66:1904-1910. Pesonen M. 1992. Xenobiotic metabolizing enzymes in rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) kidney and liver. Characterization and regulation by xenobiotics [disertasi]. Sweden: Departement of Zoophysiology, Universitas Goteborg. Philp RB. 2001. Ecosystems and human health : toxicology and environmental hazards, second edition. Lewis publishers. Pillay TVR. 1953. The food and feeding habits of the Bombay Duck Horpodon nehereus (HAM) in the River Matlah (Bengal). Research Fellow. NISI. Vol. XIX no. 3. Pritchard JB. 1993. Aquatic toxicology: past, present and prospects. Environmental Health Perspectives 100:249-257. Qiao M, Chunxia W, Shengbiao H, Donghong W, Zijian W. 2006. Composition, sources, and potential toxicological significance of PAHs in the surface sediments of the Meiliang Bay, Taihu Lake, China. Journal of Environment International 32:28-33. Qiu YW, Gan Z, Guo QL, Ling LG, Xiang DL, Onyx W. 2009. Polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) in the water column and sediment core of Deep Bay, South China. Journal of Estuarine, Coastal and Shelf Science 83:60-66. Quinn JG, Latimer JS, Ellis JT, LeBlanc LA, Zheng J. 1988. Analysis of archived water samples for organic pollutants. NBP-88-04. Narragansett Bay Project. Providence. RI. 77 Ramachandran SD, Michael JS, Peter VH, Monica B, Simon CC, Kenneth L, Thomas K, Jennifer AD. 2006. Influence of salinity and fish species on PAH uptake from dispersed crude oil. Journal of Marine Pollution Bulletin 52:1182-1189. Readman JW, Fillmann G, Tolosa I, Bartocci J, Villeneuve JP, Catinni C, Mee LD. 2002. Petroleum and PAH contamination of the Black Sea. Journal of Marine Pollution Bulletin 44:48-62. Sanusi HS, Sugeng P. 2009. Kimia laut dan pencemaran : Proses fisik kimia dan interaksinya terhadap lingkungan. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Sicre MA, Marty JC, Saliot A, Aparicio X, Grimalt J, Albaiges J. 1987. Aliphatic and aromatic hydrocarbons in different sized aerosols over the Mediterranean Sea: occurrence and origin. Journal of Atmospheric Environment 21:2247-2259. Soclo HH, Garrigue PH, Ewald M. 2000. Origin of polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) in coastal marine sediments: case studies in Cotonou (Benin) and Aquitaine (France) areas. Journal of Marine Pollution Bulletin 40(5):387-396. Stein JE, Reichert WL, French BL, Varanasi U. 1993. DNA adduct formation and persistence in English sole (Pleuronectes vetulus) exposed to benzo-apyrene and 7H-dibenzo-c, g-carbazole. Journal of Chemico-Biological Interactions 88:55-69. Steinhauer MS, Boehm PD. 1992. The composition and distribution of saturated and aromatic hydrocarbons in near-shore sediments, river sediments, and coastal peat of the Alaskan Beufort Sea: implications for detecting anthropogenic hydrocarbon inputs. Journal of Marine Environment Resources 33:223-253. Tang L, Xiang YT, Yong GZ, Ming HZ, Qi LM. 2005. Contamination of polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) in urban soils in Beijing, China. Journal of Environment International 31:822-828. Thomann RV, Komlos J. 1999. Model of biota-sediment model of organic chemical accumulation in aquatic food webs with sediment interaction. Journal of Environment Toxicology Chemistry 11:615-630. Tian Y, Liu HJ, Zheng TL, Kwon KK, Kim SJ, Yan CL. 2008. PAHs contamination and bacterial communities in mangrove surface sediments of the Jiulong River Estuari, China. Journal of Marine Pollution Bulletin 57:707-715. 78 Tuvikene A. 1995. Responses of fish to polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs). Annual Zoology Fennici 32:295-309. Valavanidis A, Vlachogianni TH, Triantallaki S, Dassenakis M, Androutsos F, Scoullos M. 2008. Polycyclic aromatic hydrocarbons in surface seawater and in indigenous mussels (Mytilusgalloprovincialis) from coastal areas of the Saronikos Gulf (Greece). Journal of Estuarine, Coastal and Shelf Science 79:733-739. Varanasi U, Brown DW, Hom T, Burrows DG, Sloan CA, Field LJ, Stein JE, Tilbury KL, McCain BB, Chan S. 1993. Survey of Alaskan Subsistence Fish, Marine Mammal, and Invertebrate Samples Collected 198991 for Exposure to Oil Spilled from the Exxon Valdez. vol. 1. NOAA Technical Memorandum NMFS-NWFSC-12. Varanasi U, Gmur D. 1981. Hydrocarbons and metabolites in English sole (Parophrys vetulus) exposed simulateneously to [3H]benzo[a]pyrene and [14H]naphtalene in oil-contaminated sediment. Journal of Aquatic Toxicology 1: 49-67. Varanasi U, Stein JE, Nishimoto M. 1989. Biotransformation and disposition of polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) in fish. In: Varanasi U (Ed). Metabolism of Polycyclic Aromatic Hydrocarbons in the Aquatic Environment. CRCPress. pp: 94-149. Varanasi U, Uhler M, Stranahan SU. 1978. Uptake and release of napthalene and its metabolisme in skin and epidermal mucus of salmonids. Journal of Toxicology Application Pharmacology 44:277-289. Vuorinen PJ, Marja K, Heta V, Janina B, Katja B, Lars F, Jens G, Justyna K, Angela K, Jari P, Janusz P, Doris S. 2006. Use of biliary PAH metabolites as a biomarker of pollution in fish from the Baltic Sea. Journal of Marine Pollution Bulletin 53:479-487. Wang D, Tian F, Yang M, Liu C, Li Y. 2009. Application of positive matrix factorization to identify potential sources of PAHs in soil of Dalian,China. Journal of Environmental Pollution 1-6. Wilcock, Corban RJ, Northcott GA, Wilkins GL, Langdom AG. 1996. Persistence of polycyclic aromatic compounds of different molecular size and water solubility in surficial sediment of an intertidal sandflat. Journal of Environmental Toxicology Chemistry 15:670-676. Woodhead RJ, Law RJ, Matthiessen P. 1999. Polycyclic aromatic hydrocarbons in surface sediments around England and Wales and their possible biological signicance. Journal of Marine Pollution Bulletin 38:773-790. 79 Wrigh DA, Pamela W. 2002. Environmental toxicology. Cambridge University Press. New York Yu Y, Jian X, Ping W, Hongwen S, Shugui D. 2009. Sediment-porewater partition of polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) from Lanzhou Reach of Yellow River, China. Journal of Hazardous Materials 165:494-500. Yim UH, Hong SH, Shim WJ. 2007. Distribution and characteristics of PAHs in sediments from the marine environment of Korea. Journal of Chemosphere 68:85-92. Zakrzewski SF. 2002. Environmental toxicology, third edition. 2002. Oxford University Press,Inc. 198 Madison Avenue. New York. Zhang HB, Luo YM, Wong MH, Zhao QG, Zhang GL. 2006. Distributions and concentrations of PAHs in Hong Kong soils. Journal of Environmental Pollution 141:107-114. 80 LAMPIRAN Lampiran 1 Bagan alir ekstraksi PAH dalam air laut menurut Yu et al. 2009 yang telah dimodifikasi. 2 liter cuplikan air Ekstraksi dengan 3 x 30 ml dicloromethan, ambil lapisan bawah homogenkan Dimurnikan dengan glass column yang diisi dengan alumina/silica (1:2) 150 gr dan anhydromus sodium sulfate 5 gr diatasnya Fraksi 1 yang merupakan alifatik hydrocarbon dibilas dengan 20 ml hexane Fraksi 2 (PAH) dibilas dengan 70 ml dicloromethan/hexane (3:7). Evaporasi sampai 0.5 ml Supernatan dikeringkan dengan nitrogen. Sebelum di injek ke GC-MS supernatant dilarutkan dengan hexane 0.5 ml 81 `Lampiran 2 Bagan alir ekstraksi PAH pada sedimen, daging dan hati ikan Horpodon nehereus menurut Liu et al. 2007 yang telah dimodifikasi. 40 gr freezed dried sedimen 10 gr daging ikan Cuplikan diektraksi dengan soxhlet ±16 jam dengan pelarut Hexane/Acetone (1:1) 150 ml Evaporasi sampai 2-3 ml kemudian tambahkan hexane 50 ml evaporasi sampai 2 ml Cuplikan sedimen Cuplikan daging dan hati Dimurnikan dengan glass coulum Dimurnikan dengan glass coulum silica gel/Alumina (1:2) 10 gr silica gel/Alumina (1:2) 10 gr Pada bagian atas coulum diberi Pada bagian atas coulum diberi anhydromus sodium sulfate 5 gr anhydromus sodium sulfate 5 gr Fraksi 1 (alifatik) dibilas dengan 40 ml hexane Fraksi 2 (PAH) dibilas dengan 80 ml Dicloromethan/hexane (3:7) untuk membilas komponen PAH. Kemudian di evaporator Supernatan dikeringkan dengan nitrogen. Sebelum di injek ke GC-MS supernatant 82 Lampiran 3 Prosedur SEAMIC IMFJ (Southeast Asian Medical Information Center International Medical Foundation of Japan) Tahun 1985. Daging Nomei dihancurkan, timbang 5 g Tambahkan Na2SO4 10 g, aduk sampai rata Masukkan dalam oven 105°C selama 2 jam, beberapa kali di aduk. Dinginkan 1 jam dalam desikator Cuplikan diekstraksi dengan soxhlet dengan pelarut dietil eter 300 ml Supernatan diuapkan dengan rotary evaporator sampai ± 10 ml Supernatant dipindahkan ke beaker glass yang sudah diketahui beratnya, kemudian dikeringkan, timbang lagi 83 Lampiran 4 Spektrum fenantrena Lampiran 5 Spektrum pirena Lampiran 6 Spektrum 1,3-dimetilnaftalena 84 Lampiran 7 Spektrum 1,6 dimetilnaftalena Lampiran 8 Spektrum 3-metilbifenil Lampiran 9 Spektrum antrasena 85 Lampiran 10 Spektrum 4-metilfenantrena Lampiran 11 Spektrum 9-metilantrasena Lampiran 12 Spektrum fluorantena 86 Lampiran 13 Spektrum 1,3-dimetilnaftalena Lampiran 14 Spektrum 1,7 dimetilnaftalena Lampiran 15 Spektrum 1,5-dimetilnaftalena 87 Lampiran 16 Spektrum 1,4-dimetilnaftalena Lampiran 17 Spektrum 2,6-dimetilnaftalena Lampiran 18 Spektrum 1,2,3,4-tetrahidro-1,6dimetil -4-(1-metil etil) (1S-cis) naftalena 88 Lampiran 19 Spektrum 9-metilantrasena Lampiran 20 Spektrum 4-metilbipenil Lampiran 21 Spektrum 1-alil-naftalena 89 Lampiran 22 Spektrum 2-metilfenantrena Lampiran 23 Spektrum 1,6-dimetil -4-(1-metil etil)-naftalena Lampiran 24 Spektrum naftalena 90 Lampiran 25 Spektrum difenilmethan Lampiran 26 Spektrum fluorena