Karakteristik Polycyclic Aromatic Hydrocarbons

advertisement
KARAKTERISTIK POLYCYCLIC AROMATIC HYDROCARBONS
(PAH) DI AIR dan SEDIMEN SERTA AKUMULASINYA PADA
TUBUH IKAN NOMEI (HORPODON NEHEREUS) DI PERAIRAN
TARAKAN
RATNO ACHYANI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul:
Kharakteristik Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) di Air dan Sedimen
Serta Akumulasinya pada Tubuh Ikan Nomei (Horpodon nehereus) di Kota
Tarakan, adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2011
Ratno Achyani
NRP. C551080111
ABSTRACT
RATNO ACHYANI. Characteristics of the Polycyclic Aromatic Hydrocarbons
(PAHs) in Water, Sedimen and their accumulation in the Nomei fish (Horpodon
nehereus) in Tarakan Waters. Under direction of TRI PRARTONO, ETTY
RIANI.
PAHs are important pollutant in the marine environment because of their
mutagenic and carcinogenic properties. PAHs are the most toxic among the
hydrocarbon families. The purpose of this study was to identify the component of
PAHs and their concentration in water, sediment and their accumulation in the
tissue and liver of the fish Horpodon neherus. The study was conducted from
June-December 2010. Water was analyzed using by liquid-liquid extraction, while
the sediment and fish tissue sampel was carried out using soxhlet extraction. All
of extracts were analyzed by GC-MS (Gas Chromatograph Mass Spectrometyr).
Lipid content of the fish tissue was ditermined by gravimetric method. Two
compounds of PAHs were found with total concentration ranged from 6-248 µg/l
in the waters, and 5 component of those were found with total concentration
ranged from 7-69 ng/g in the sediment. The content PAH in tissue ranged from
27-422 ng/g and those in liver 6 ranged from121-833 ng/g. The lipid content
varied based on the size of body fish, 200 µg/g for <20 cm, 600 µg/g for 21-25
cm and 1700 µg/g for >25 cm size.
Keyword; PAH, sediment, water, Horpodon nehereus, aquatic environment status
RINGKASAN
RATNO ACHYANI. Karakteristik Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) di
Air dan Sedimen Serta Akumulasinya pada Tubuh Ikan Nomei (Horpodon
nehereus) Di Kota Tarakan. Dibimbing oleh TRI PRARTONO, ETTY RIANI.
Kegiatan-kegiatan pembangunan yang berasal dari daratan berpotensi
mempengaruhi perairan di sekitarnya. Pembangunan yang cukup signifikan di
Kota Tarakan Propinsi Kalimantan Timur yang wilayahnya berupa pulau saat ini
dapat menjadi sumber pencemar perairan di sekitarnya. Salah satu yang akhirakhir ini menjadi perhatian adalah pencemar PAH. PAH masuk ke lingkungan
khususnya di perairan laut melalui hujan, buangan industri, tumpahan minyak
dan aliran permukaan. Keberadaan senyawa ini di lingkungan menjadi penting
karena bersifat karsinogenik dan mutagenik. Tujuan utama penelitian ini
menentukan komponen PAH dan konsentrasinya yang ada di air laut, sedimen dan
tingkat akumulasinya pada tubuh ikan Nomei. Manfaat dari penelitian ini adalah
menduga sumber potensi pencemar dan tingkat bahayanya terhadap kondisi
lingkungan perairan.
Jenis dan banyaknya sampel yang digunakan adalah air (3 sampel), sedimen
(3 sampel), daging (3 sampel) dan hati ikan Nomei (3 sampel). Stasiun
pengambilan contoh air dan sedimen ditentukan berdasarkan 3 lokasi keterwakilan
yaitu wilayah yang mewakili daerah kurang banyak kegiatan, mewakili daerah
yang aktif/banyak kegiatan dan lokasi pengambilan contoh ikan Nomei. Prosedur
analisis PAH dalam air dilakukan dengan metode liquid-liquid extraction. Analisa
PAH dalam sedimen, daging dan hati ikan Nomei dilakukan dengan metode
soxhlet dan prosedur analisis yang digunakan untuk mengetahui kandungan lemak
pada daging ikan Horpodon nehereus dengan metode gravimetri. Analisa jenis
PAH pada sampel sedimen, air, daging dan hati ikan Nomei dilakukan dengan
menggunakan GCMS tipe Shimadzu QP2010.
Secara umum jenis PAH yang ditemukan pada cuplik air adalah 2 jenis
yaitu fenantrena (PHE) dan fluorantena (FLA). Pada Stasiun 1 hanya ditemukan
PHE dengan konsentrasi rendah yaitu 6 µg/l. Pada Stasiun 3 ditemukan FLA
mencapai 132 µg/l dan PHE yang mencapai 248 µg/l, tetapi PAH tidak
diterdeteksi di Stasiun dua. Pada cuplik sedimen terdapat 5 jenis senyawa PAH.
Konsentrasi cuplik sedimen berkisar antara 7-69 ng/g. Konsentrasi maksimum
ditemukan pada Stasiun 1 yaitu PHE-C1 69 ng/g dan konsentrasi terendah pada
Stasiun 3 yaitu ANT-C1 7 ng/g. Level konsentrasi PAH di air adalah sedang dan
sedimen adalah kecil-sedang.
Hasil analisis komponen PAH pada cuplik daging teridentifkasi 10 jenis
PAH. Kandungan PAH total pada daging berkisar antara 27-422 ng/g. Kandungan
PAH total pada daging ikan Nomei kecil adalah 1067 ng/g, ukuran sedang 605
ng/g, dan ukuran besar 1025 ng/g. NAP-C2 dan PHE-C1adalah jenis PAH yang
ditemukan pada setiap ukuran ikan. NAP-C2 mempunyai konsentrasi 377 ng/g
pada ukuran kecil, 309 ng/g pada ukuran sedang, dan 422 ng/g pada ukuran besar.
Dan PHE-C1 mempunyai konsentrasi 117 ng/g pada ukuran kecil, 47 ng/g pada
ukuran sedang, dan 160 ng/g pada ukuran besar. Jenis PYR dan ANT hanya
ditemukan pada ukuran kecil dengan konsentrasi 172 ng/g dan 270 ng/g. ACE dan
FLU adalah senyawa PAH yang hanya terdapat pada daging sedang dengan
konsentrasi 73 ng/g dan 116 ng/g. NAP-C1 hanya ditemukan pada ukuran besar
yaitu 74 ng/g. FLA dan BPH terdeteksi pada ukuran kecil dan sedang. Konsentrasi
terbesar FLA 64 ng/g dan BPH 68 ng/g pada ukuran kecil. Jenis PHE hanya
terdeteksi pada ukuran ikan sedang dan besar yaitu 115 ng/g dan 203 ng/g.
Pada cuplik hati ikan Nomei teridentifikasi 6 jenis senyawa PAH yang
terakumlasi. Kandungan PAH total pada hati ikan Nomei kecil adalah 1679 ng/g,
ukuran sedang 977 ng/g, dan ukuran besar 1445 ng/g. NAP-C2 dan PHE adalah
jenis PAH yang ditemukan pada setiap ukuran ikan. NAP-C2 mempunyai
konsentrasi 833 ng/g pada ukuran kecil, 573 ng/g pada ukuran sedang, dan 660
ng/g pada ukuran besar. PHE mempunyai konsentrasi 427 ng/g pada ukuran kecil,
215 ng/g pada ukuran sedang, dan 176 ng/g pada ukuran besar. Akumulasi total
kandungan PAH dalam tubuh ikan Nomei adalah terkontaminasi sangat tinggi.
Jenis PAH FLA hanya ditemukan pada hati ikan Nomei kecil dengan
konsentrasi 298 ng/g. NAP-C1 hanya ditemukan pada hati ukuran sedang dengan
konsentrasi 190 ng/g dan NAP hanya ditemukan pada hati ukuran besar dengan
konsentrasi 381 ng/g. BPH adalah senyawa PAH yang hanya terdapat pada hati
ukuran kecil dan besar dengan konsentrasi 121 ng/g dan 227 ng/g. Kandungan
lipid pada ikan menunjukkan adanya peningkatan persentasi jumlah lipid
berdasarkan ukuran tubuh. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin besar tubuh
ikan semakin besar pula kandungan lipidnya, namun konsentrasi PAH pada
daging tidak berkorelasi positif.
Karakteristik PAH di perairan dan sedimen menunjukkan PAH pirogenik
dan petrogenik. Level konsentrasi PAH di air adalah sedang dan sedimen adalah
kecil-sedang. Akumulasi total kandungan PAH dalam tubuh ikan Nomei adalah
terkontaminasi sangat tinggi.
Kata Kunci: PAH, sedimen, air, Horpodon nehereus, status lingkungan perairan
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2011
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebarkan sumbernya. Pengutip hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar
IPB
Dilarang mengutip dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam
bentuk apapun tanpa izin IPB
KARAKTERISTIK POLYCYCLIC AROMATIC HYDROCARBONS
(PAH) DI AIR dan SEDIMEN SERTA AKUMULASINYA PADA
TUBUH IKAN NOMEI (HORPODON NEHEREUS) DI PERAIRAN
TARAKAN
RATNO ACHYANI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Harpasis S Sanusi, M.Sc
Judul Tesis
: Karakteristik Polycyclic Aromatic Hidrocarbons (PAHs) Di Air
dan Sedimen
Serta Akumulasinya Pada Tubuh Ikan Nomei
(Harpodon Nehereus) Di Perairan Tarakan
Nama
: Ratno Achyani
NIM
: C551080111
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc
Ketua
Dr. Ir. Etty Riani, MS
Anggota
Diketahui,
Ketua Mayor Ilmu Kelautan
Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 18 Mei 2011
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesesaikan. Tema yang dipilh dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan juni 2010 ini adalah environment
investigation, dengan judul Karakteristik Polycyclic Aromatic Hidrocarbons
(PAH) Di Air dan Sedimen
Serta Akumulasinya Pada Tubuh Ikan Nomei
(Harpodon Nehereus) Di Kota Tarakan
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Tri Prartono. M.Sc dan
Ibu Dr. Ir. Etty Riani. MS selaku pembimbing yang dengan sabar memberi
pencerahan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Saudari
Pipiet dan Prita dari Laboratorium Pangan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
hidayatullah Ciputat Jakarta, yang telah membantu selama analasis sampel.
Penghargaan juga disampaikan kepada Almarhum Ayah yang selalu bekerja keras
untuk anak-anaknya dan keluarga, Ibu tercinta dan adik-adikku Rita, Tri, Wahyu
yang penuh perhatian, istriku tersayang Endah Wanti Hastuti dan anakku Ra’id
Eshan Nawfal Ali penyemangatku, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada saudara-saudara saya senasib
dan sepenanggungan, Agung, Sabam, Afdal dan semua teman-teman IKL 2008
yang mencerahkan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2011
Ratno Achyani
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Balikpapan pada 29 Juli 1981 dari Ayah Alm.
Ngatman dan Ibu Sutrisnani. Penulis merupakan putra pertama dari empat
bersaudara. Mempunyai istri bernama Endah Wanti Hastuti dan dikaruniai
seorang putra bernama Ra’id Eshan Nawfal Ali.
Pendidikan SD, SMP dan SMA ITCI ditempuh di Penajam Pasir Utara.
Pada tahun 2000 meneruskan pendidikan sarjana di Universitas Mulawarman pada
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Program Studi Manajemen Sumber Daya
Perairan dimana lulus tahun 2005 dan pada tahun yang sama menjadi Dosen pada
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Borneo Tarakan pada Program
Studi Manajemen Sumber Daya Perairan.
Penulis menjadi peneliti di Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Univ.
Borneo Tarakan, sempat menjabat menjadi Kepala Laboratorium Kualitas Air dan
terakhir menjadi Sekretaris Jurusan Manajemen Sumber Daya Perairan. Tahun
2008 penulis diterima di Program Studi Ilmu Kelautan pada Program Pascasarjana
IPB dengan beasiswa BPPS DIKTI Republik Indonesia.
xii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL…………………………………………………………….
xiv
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………
xvi
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………….
xix
1 PENDAHULUAN………………………………………………………….
1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………
1
1.2 Perumusan Masalah…………………………………………………….
2
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………………...
2
2 TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………
4
2.1 Minyak Bumi…………………………………………………………..
4
2.2 Karakteristik PAH……………………………………………………...
4
2.3 PAH di Lingkungan Perairan…………………………………………..
8
2.4 Sumber PAH…………………………………………………………...
10
2.5 Konsentrasi PAH……………………………………………………….
12
2.6 PAH Sebagai Indikator Sumber Pencemar…………………………….
17
2.7 Toksisitas……………………………………………………………….
19
2.7.1 Uji Toksisitas (Bioassay)………………………………………..
19
2.7.2 Toksisitas PAH…………………………………….…………….
21
2.7.3 Dampak PAH terhadap Organisme……………………………...
22
2.7.4 Jenis PAH Bersifat Racun……………………………………….
22
2.8 Karakteristik Perairan Pesisir dan Laut………………………………...
27
2.9 Ikan Nomei (Horpodon nehereus)……………………………………..
28
3 BAHAN DAN METODE………………………………………………….
31
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian………………………………………….
31
3.2 Bahan dan Alat…………………………………………………………
31
3.3 Pengumpulan Data……………………………………………………..
31
3.3.1 Penentuan Stasiun Pengambilan Cuplikan……………………….
31
3.3.2 Teknik Pengambilan Cuplikan…………………………………...
31
3.4 Analisis Cuplikan………………………………………………………
34
3.4.1 Perlakuan cuplikan……………………………………………….
34
xiii
3.4.2 Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH)……………………….
34
3.4.3 Analisis lipid……………………………………………………..
36
3.5 Analisis Data…………………………………………………………...
36
4 HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………….
39
4.1 Hasil Penelitian………………………………………………………...
39
4.1.1 Kandungan PAH Di Air………………………………………….
39
4.1.2 Kandungan PAH Di Sedimen……………………………………
44
4.1.3 Kandungan PAH di Daging dan Hati Ikan Nomei……………….
48
4.1.4 Kandungan Lipid…………………………………………………
59
4.2 Pembahasan…………………………………………………………….
60
4.2.1 Sumber PAH……………………………………………………..
60
4.2.2 Tingkat Konsentrasi PAH………………………………………..
62
4.2.3 Status Ekotoksikologi PAH………………………………………
64
5 KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………………….
69
5.1 Kesimpulan…………………………………………………………….
69
5.2 Saran……………………………………………………………………
70
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………...
71
LAMPIRAN…………………………………………………………………..
80
xiv
DAFTAR TABEL
Hal
1
Penelitan PAH terkait dengan distribusi, karakteristik dan
akumulasinya pada beberapa biota perairan di beberapa wilayah
dunia.
3
2
Jenis PAH yang biasa digunakan dalam studi environmental forensic
investigations (∑ PAH 50 ) dengan 16 jenis PAH sebagai polutan
prioritas menurut USEPA (∑ PAH 16 ) (Boehm 2006).
5
3
Pengelompokan PAH berdasarkan berat molekul dan jumlah ring
(USEPA).
8
4
Besaran potensi 16 bahan pencemar PAH, terikat pada sedimen (K OC )
dan air (K OW ).
9
5
Total konsentrasi PAH pada sedimen laut pada beberapa wilayah
Amerika Utara, Eropa, Afrika dan Asia (dimodifikasi dari Latimer dan
Jinshu 2003).
13
6
Konsentrasi PAH di perairan laut beberapa wilayah dunia.
14
7
Konsentrasi PAH dari beberapa biota bivalva laut dan invertebrata
(dimodifikasi dari Meador 2006).
15
8
Rasio individu PAH sebagai penduga sumber.
17
9
Rangkuman sensitifitas sifat kronis pada organisme air tawar dan laut
(dimodifikasi dari EPA/600/R-02/013).
24
10
Beberapa individu PAH yang bersifat karsinogenik (Neff 1979).
27
11
Daftar 28 jenis PAH, kuantifikasi ion dan konfirmasi ion untuk SIM
(single ion monitoring) GC-MS yang digunakan dalam
mengidentifikasi senyawa PAH selain menggunakan library internal
GC-MS (Orecchio et al. 2009).
35
12
Ratio individu PAH penentu sumber pencemar.
36
13
Tingkatan level konsentrasi PAH pada sedimen (Baumard et al. 1998).
37
14
Konsentrasi ERL (effect range low) dan ERM (effect range
median)untuk menentukan status kontaminasi PAH di sedimen
terhadap organisme laut (Woodhead et al. 1999, O’connor dan john
2000, Burton 2002).
37
xv
15
Klasifikasi status jaringan ikan yang terkontaminasi PAH (Varanasi et
al. 1993 dalam Gomes et al. 2010).
37
16
Kriteria kualitas PAH di perairan laut menurut USEPA (Irwin 1997).
38
17
Sumber pencemar PAH dari beberapa wilayah dunia.
61
18
Diagnosis sumber PAH berdasarkan ratio.
62
19
Tingkatan level konsentrasi PAH di sedimen pada setiap stasiun.
62
20
Konsentrasi ∑PAH pada permukaan sedimen di beberapa wilayah
dunia (dimodifikasi dari Mosatafa et al. 2009).
63
21
Konsentrasi ∑PAH pada air laut di beberapa wilayah dunia.
64
22
Status kontaminasi PAH pada ikan Nomei.
64
23
Konsentrasi ∑PAH beberapa jenis ikan di beberapa wilayah dunia.
65
24
Status kontaminasi PAH di sedimen terhadap organisme laut
berdasarkan konsentrasi ERL dan ERM pada setiap stasiun.
67
25
Rangkuman sensitifitas sifat kronis pada organisme air tawar dan laut
terhadap FLA (dimodifikasi dari EPA/600/R-02/013).
67
26
Konsentrasi individu PAH di perairan pada setiap stasiun.
68
xvi
DAFTAR GAMBAR
Hal
1
Analisis PAH (∑PAH 50 ) pada cuplikan minyak mentah (Boehm 2006).
6
2
Stuktur 16 jenis polutan utama PAH menurut United State Environmental
Protection Agency (USEPA) (Amir et al. 2005).
7
3
Karakteristik umum kumpulan PAH untuk sumber petrogenik dan
pirogenik (Boehm 2006). (A) Ciri dari sumber petrogenik (contoh
cuplikan minyak mentah): alkil >parent, sedikit PAH dengan rantai 4-6;
(B) Ciri pertama pirogenik (contoh cuplikan aspal): parent>alkil, ring 2
dan 3 lebih tinggi konsentrasinya; (C) Ciri kedua pirogenik (contoh
cuplikan urban runoff): parent>alkil, rantai 4-6 lebih tinggi
konsentrasinya.
12
4
Kurva hubungan antara konsentrasi bahan toksik terhadap respon hewan
20
uji.
5
LC 50 Menggambarkan nilai tengah respon dari populasi.
21
6
Proses mixed function oxidase (MFO) dalam metabolisme benzo[a]pirena.
23
7
Ikan Nomei (Horpodon nehereus) dengan nama lokal ikan Pepija atau
Lembe-Lembe.
29
8
Persentasi jenis makanan yang ditemukan pada perut Horpodon nehereus
(Pillay 1953).
30
9
Histogram yang menunjukkan variasi bulanan volume beberapa jenis
makanan yang dimakan ikan nomei berdasarkan perbedaan bulan (Pilay
1952). (a) Udang dan udang-udangan, (b) Ikan nomei, (c) Ikan yang lain,
(d) Larva megalopa, (e) Bahan tumbuhan, (f) Detritus.
30
10
Peta lokasi pengambilan cuplikan. Cuplikan air dan sedimen (Stasiun 1, 2,
dan 3), cuplikan ikan (Stasiun 2).
32
11
Histogram konsentrasi individu PAH (ug/l) dalam cuplikan air.
39
12
TIC (total ionic current) pada cuplikan air 1. ( [1] fluorantena), [O] series
dari hidrokarbon alkana).
40
13
TIC (total ionic current) pada cuplikan air 2 yang tidak terdeteksi adanya
PAH. ([O] series dari hidrokarbon alkana).
41
14
TIC (total ionic current) pada cuplikan air 3. ( [1] fluorantena, [2]
fenantrena (PHE), [O] series dari hidrokarbon alkana).
42
xvii
15
Histogram konsentrasi individu PAH (ng/g) dalam cuplikan sedimen.
44
16
TIC (total ionic current) pada cuplikan sedimen 1. [1] 1,3dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C1)), [4] fenantrena (PHE), [5] 2metil-fenantrena (2-M-PHE (PHE-C1)), [6] 4- metil-fenantrena (4-MPHE (PHE-C1)).
45
17
TIC (total ionic current) pada cuplikan sedimen 2. [3] 1,6-dimetil-4-(1metilethil)-naftalena (1,6-D-4-NAP (NAP-C1)), [4] fenantrena (PHE).
46
18
TIC
(total ionic current) pada cuplikan sedimen 3. [1] 1,3dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C1)), [2]
1,2,3,4-tetrahidro-1,6
dimetil-4-(1-metiletil)-(1S-cis) naftalena (1T-1D-4M-1S-NAP (NAPC1)), [4] fenantrena (PHE), [7] 9-metil-fenantrena (9-M-PHE (PHE-C1)),
[8] 9-metil-antrasena (9-M-ANT (ANT-C1)), [9] fluorantena (FLA).
47
19
Diagram konsentrasi individu PAH (ng/g) dalam daging ikan Nomei.
48
20
TIC (total ionic current) pada cuplikan daging ikan Nomei kecil. [1] 1,3dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C1)), [2] 1,6- dimetilnaftalena (1,6D-NAP (NAP-C1), [5] 4-metil-bifenil (4-M-BL (BPH), [10] antrasena
(ANT), [11] 4-metilfenantrena (4-M-PHE (PHE-C1)), [13] fluorantena
(FLA), [14] pirena (PYR).
49
21
TIC (total ionic current) pada cuplikan daging ikan Nomei sedang. [1]
1,3-dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C1)), [2] 1,6- dimetilnaftalena
(1,6-D-NAP (NAP-C2), [4] 3-metilbifenil (3-M-BL (BPH)), [7] ncycloheptyl-2,2-diphenylacetamid (N-C-2,2-D- asenaftena (ACE)), [9]
fenantrena (PHE), [12] 9-metilantrasena (9-M-ANT (ANT-C1)), [13]
fluorantena (FLA).
50
22
TIC (total ionic current) pada cuplikan daging ikan Nomei besar. [1] 1,3dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C2)), [2] 1,6-dimetilnaftalena (1,6D-NAP (NAP-C2)), [3] 1,7-dimetilnaftalena (1,7-D-NAP (NAP-C2)), [4]
3-metilbifenil (3-M-BL (BPH)), [6] 1-allyl- naftalena (1-A-NAP (NAPC1)), [8] fluorena (FLU), (9) fenantrena (PHE), [11] 4-metilfenantrena (4M-PHE (PHE-C1)).
51
23
Diagram konsentrasi individu PAH (ng/g) dalam hati ikan Nomei.
52
24
TIC (total ionic current) pada cuplikan hati ikan Nomei kecil. [2] 1,3dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C2)), [3] 1,4-dimetilnaftalena (1,4-DNAP (NAP-C2)), [4] 1,5-dimetilnaftalena (1,5-D-NAP (NAP-C2)), [7] 3metilbifenil (3-M-BL (BPH)), [10] fenantrena (PHE), [11] fluorantena
(FLA).
TIC (total ionic current) pada cuplikan hati ikan Nomei sedang. [2] 1,3dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C2)), [3] 1,4-dimetilnaftalena (1,4-DNAP (NAP-C2)), [5] 1,7-dimetilnaftalena (1,7-D-NAP (NAP-C2)), [8] 1allyl-naftalena (1-A-NAP (NAP-C1)), [10] fenantrena (PHE).
53
25
54
xviii
26
TIC (total ionic current) pada cuplikan hati ikan Nomei besar. [1]
naftalena (NAP), [2] 1,3-dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C2)), [3]
1,4-dimetilnaftalena (1,4-D-NAP (NAP-C2)), [6] 2,6-dimetilnaftalena
(2,6-D-NAP (NAP-C2)), [7] 3-metilbifenil (3-M-BL (BPH)), [9]
diphenylmethan (D-MTH (BPH)), [10] fenantrena (PHE).
55
27
Perbedaan jenis dan konsentrasi PAH pada daging dan hati ikan Nomei
kecil.
57
28
Perbedaan jenis dan konsentrasi PAH pada daging dan hati ikan Nomei
sedang.
57
29
Perbedaan jenis dan konsentrasi PAH pada daging dan hati ikan Nomei
besar.
58
30
Perbedaan senyawa dan konsentrasi PHE dan 1,3-D-NAP pada daging
dan hati ikan Nomei berdasarkan ukuran.
58
31
Konsentrasi jumlah lipid berdasarkan ukuran tubuh ikan Nomei (A), total
konsentrasi PAH dalam daging berdasarkan ukuran tubuh ikan Nomei
(B).
59
32
Penentuan sumber pencemar PAH di air dan sedimen berdasarkan
persentasi konsentrasi antara berat molekul rendah, berat molekul tinggi
dan alkil PAH. Pada air sumber pencemar PAH berasal dari sumber
petrogenik dan pirogenik dengan persentasi berat molekul rendah (sumber
petrogenik) lebih besar. Pada sedimen sumber pencemar PAH juga
berasal dari sumber petrogenik dan pirogenik, dengan persentasi jumlah
alkil lebih besar dari parent (sumber petrogenik).
61
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Hal
1
Bagan alir ekstraksi PAH dalam air laut menurut Yu et al. 2009 yang
telah dimodifikasi
79
2
Bagan alir ekstraksi PAH pada sedimen, daging dan hati ikan
Horpodon nehereus menurut Liu et al. 2007 yang telah dimodifikasi
80
3
Prosedur SEAMIC IMFJ (Southeast Asian Medical Information
Center International Medical Foundation of Japan) Tahun 1985
81
4
Spektrum fenantrena
82
5
Spektrum pirena
82
6
Spektrum 1,3-dimetilnaftalena
82
7
Spektrum 1,6 dimetilnaftalena
83
8
Spektrum 3-metilbifenil
83
9
Spektrum antrasena
83
10
Spektrum 4-metifenantrena
84
11
Spektrum 9-metilantrasena
84
12
Spektrum fluorantena
84
13
Spektrum 1,3-dimetilnaftalena
85
14
Spektrum 1,7 dimetilnaftalena
85
15
Spektrum 1,5-dimetilnaftalena
85
16
Spektrum 1,4-dimetilnaftalena
86
17
Spektrum 2,6-dimetilnaftalena
86
18
Spektrum 1,2,3,4-tetrahidro-1,6 dimetil -4-(1-metil etil)-(1S-cis)
naftalena
86
19
Spektrum 9-metilantrasena
87
20
Spektrum 4-metilbipenil
87
21
Spektrum 1-alil-naftalena
87
xx
22
Spektrum 2-metilfenantrena
88
23
Spektrum 1,6-dimetil -4-(1-metil etil)-naftalena
88
24
Spektrum naftalena
88
25
Spektrum difenilmethan
89
26
Spektrum fluorena
89
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wilayah Kota Tarakan Propinsi Kalimantan Timur wilayahnya berupa pulau
dan saat ini mengalami perkembangan yang cukup signifikan, namun kegiatankegiatan
pembangunan
yang
berasal
dari
daratan
tersebut
berpotensi
mempengaruhi perairan di sekitarnya. Hal ini ditunjukkan berbagai material
daratan termasuk limbah yang masuk ke laut, dan diantaranya adalah limbah
berupa minyak yang mampu dialirkan dengan melalui ± 20 anak sungai.
Komponen minyak sebagai sumber pencemar antara lain berasal dari buangan
air balast, ceceran bahan bakar mesin-mesin kapal dan buangan oli bekas di
daratan. Salah satu bahan pencemar komponen minyak yang berbahaya adalah
polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH). PAH terdiri dari 2 atau lebih rantai
karbon siklik yang memiliki stabilitas yang tinggi di lingkungan, mempunyai sifat
hidrophobik yang tinggi dan struktur kimia yang stabil, sifatnya tidak mudah larut
dan dapat dengan cepat terserap melalui partikel tanah, terutama pada bahanbahan organik (Tang et al. 2005).
Distribusi dan fate PAH sebagai kontaminan organik di sedimen pada
ekosistem perairan sangat perlu diperhatikan karena mempunyai efek mutagenik
dan karsinogenik. Konsentrasi PAH dalam tingkat tertentu di air laut dan sedimen
dapat bersifat toksik terhadap organisme laut bentik dan pelagik (Arias et al.
2009). Konsentrasi PAH di lingkungan 1-50 ppb dapat menyebabkan respon
subletal pada beberapa organisme yang sensitif (Neff 1979). Kandungan benzena
108 ppm, toulena 28 ppm, naftalena 3.8 ppm, dapat memberikan efek toksik pada
Cancer magister (Dungeness crab) (Caldwell et al. 1977). Efek toksik PAH
benzena 386 ppm dan toulena 1180 ppm juga berpengaruh pada Gambusia affinis
(Mosquito fish) serta pada Carassius auratus (goldfish) yaitu toluena 22.80 ppm,
xilin 16.94 ppm dan 1,3,5-trimetilbenzena 12.52 ppm (Brenniman et al. 1976).
Banyak kegiatan-kegiatan yang ada di Kota Tarakan berpotensi sebagai
sumber polutan PAH, diantaranya kegiatan-kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
migas, kegiatan industri pengolahan kayu dan pengolahan ikan dan udang di
2
pesisir utara, selatan dan barat, pembuangan limbah-limbah oli dari usaha bengkel
yang banyak tersebar, lalu lintas aktivitas kapal serta kegiatan pembakaran
sampah dengan incenerator di TPAS (tempat pembuangan akhir sampah).
Penelitian tentang senyawa organik PAH sudah banyak dilakukan baik berupa
distribusi, karakteristik dan akumulasinya pada sedimen, air dan biota laut (Tabel
1). Di wilayah Indonesia informasi saat ini hanya sebatas pada perairan laut dalam
dan beberapa perairan seperti Teluk Jakarta, sehingga data tentang efek PAH di
Indonesia masih sangat sedikit.
1.2 Perumusan Masalah
Kegiataan pembangunan akhir-akhir ini meningkat dengan pesat terutama
infrastruktur, mulai dari pembukaan lahan untuk pemukiman, jalan dan industri
yang dibangun untuk meningkatkan kesejahteraan. Peningkatan pembangunan di
berbagai bidang khususnya industri dan perdagangan, penggunaan bahan
berbahaya dan beracun (B3) di dalam proses industri akan semakin meningkat.
Konsekuensinya limbah berbahaya dan beracun yang dikeluarkan oleh kegiatan
tersebut akan menimbulkan pencemaran lingkungan apabila tidak dikelola dengan
baik. Pencemaran lingkungan ini khususnya di perairan, tentunya akan berdampak
negatif terhadap lingkungan, biota dan manusia.
Salah satu yang akhir-akhir ini menjadi perhatian adalah pencemar PAH.
PAH masuk ke lingkungan khususnya di perairan laut melalui hujan, buangan
industri, tumpahan minyak dan aliran permukaan yang masuk melalui sungai.
Senyawa ini terutama keberadaannya di lingkungan menjadi penting karena
sifatnya yang/dapat bersifat karsinogenik dan mutagenik. Informasi mengenai
keberadaan, jenis, konsentrasi dan akumulasinya terutama pada biota di
lingkungan perairan laut khususnya di Kota Tarakan tidak tersedia.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan utama penelitian ini menentukan jenis PAH dan konsentrasinya yang
ada di air laut, sedimen dan tingkat akumulasinya pada tubuh ikan Nomei.
Manfaat dari penelitian ini adalah mengetahui sumber potensi pencemar dan
tingkat bahayanya terhadap kondisi lingkungan perairan.
3
Tabel 1 Penelitan PAH terkait dengan distribusi, karakteristik dan akumulasinya
pada beberapa biota perairan di beberapa wilayah dunia.
Uraian
Jenis cuplikan
Lokasi
Sumber
pencemar
Sedimen pesisir
Cotonou (Benin) Soclo et al. 2000
dan
Aquitaine
(Perancis)
Kontaminasi
Air
pada microlayer
dan subsurface
perairan
Distribusi
sumber
Referensi
Pantai Alexandria, Nemr dan Aly
Mesir
(2003)
dan Sedimen sungai, estuari Thailand
dan laut
Boonyatumanond
et al. 2006
Level PAH pada Bivalva
(Mitylus Laut Adriatic, Italia Perugini et al.
organisme laut
galloprovinncialis)
2007
Cephalopoda
sagittatus)
(Todarodes
Crustacea
norvegicus)
(Nephrops
Ikan (Mullus barbatus,
Scomber
scombrus,
Micromesistius poutassou,
Merluccius merluccius)
Distibusi
Sedimen
Ikan (Tilapia sp)
Distribusi dan Sedimen laut
karakteristik
Daerah rawa Mai Liang et al. 2007
Po, Hong Kong
Korea
Yim et al. 2007
Konsentrasi,
Air, remis (Brachidontes Daerah
estuari (Arias
distribusi
dan sp, Tagelus sp), ikan Blanca, Argentina
2009)
sumber
(Odontesthes sp)
Distribusi dan Sedimen
karakteristik
Konsentrasi
Daerah
pesisir Mostafa
Hadhramout, Teluk 2009
Aden, Yaman
Air
laut,
suspended Teluk
particulate matter (SPM), daerah
permukaan sedimen dan Cina
core sedimen
Perubahan dan Ikan,
barnacle
variasi
pada kepiting
biota
et
et
al.
al.
dalam, Qiu et al. 2009
Selatan
dan Daerah mangrove Gomes
Teluk Guanabara,
2010
Tenggara Brazil
et
al.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Minyak Bumi
Minyak bumi adalah suatu campuran komplek yang sebagian besar
komponen dan hidrokarbon mengandung karbon dan hidrogen serta sejumlah
kecil unsur-unsur yaitu nitrogen, sulfat, oksigen termasuk unsur-unsur logam
seperti vanadium, ferrum dan nikel (Sanusi dan Sugeng 2009). Berdasarkan
perbedaan hidrokarbon yang terkandung di dalamnya, baik perbedaan jenis,
struktur maupun komposisi campurannya, minyak bumi dibedakan dalam 3 jenis
yaitu
minyak
bumi
parafinik
(alkana),
minyak
bumi
aspaltik
(naftenik/sikloparafin/sikloalkana) dan minyak bumi campuran (Sanusi dan
Sugeng 2009).
Minyak mentah mengandung senyawa hidrokarbon sekitar 50-98%. Minyak
berdasarkan kelarutannya dalam pelarut organik dapat dibedakan : 1) Hidrokarbon
jenuh yaitu alkana dengan
struktur C n H 2n+2 (alifatik) dan C n H 2n (alisiklik)
dengan n<40. Hidrokarbon jenuh paling banyak terkandung dalam minyak
mentah. 2) Hidrokarbon aromatik, yaitu kelas monosiklik aromatik BTEX
(benzena, toluena, etilbenzena, xilen) dan PAH ( naftalena, antrasena, fenantrena).
PAH bersifat karsinogenik atau dapat ditransformasi oleh mikroba menjadi
senyawa karsinogen, sehingga menjadi senyawa penting dalam menjaga kualitas
lingkungan; 3) Resin, yaitu senyawa polar mengandung nitrogen, sulfur, oksigen
(piridin dan thiopen), sehingga disebut juga senyawa NSO; 4) Aspalth, yaitu
senyawa dengan berat molekul besar dan mengandung logam berat nikel,
vanadium dan besi. Namun variasi minyak mentah berbeda di berbagai tempat
(Mangkoedihardjo 2005).
2.2 Karakteristik PAH
PAH adalah kelompok pencemar organik persisten (POP) khas yang terdiri
dari ratusan kandungan individual. Komponen ini terdiri dari 2 atau lebih rantai
benzena yang terdiri dari atom hidrogen dan karbon (Douben 2006). Secara umum
terdapat 50 jenis senyawa yang sering digunakan dalam studi environmental
5
forensic investigations. Namun hanya 16 senyawa yang menurut USEPA (united
states environmental protection agency) sangat berbahaya keberadaannya di
lingkungan (Tabel 2). Beberapa senyawa tersebut adalah PAH yang tidak
tersubstitusi (parent) dan non-alkil (Gambar 1dan 2)
Tabel 2 Jenis PAH yang biasa digunakan dalam studi environmental forensic
investigations (∑PAH 50 ) dengan 16 jenis PAH sebagai polutan prioritas
menurut USEPA (∑PAH 16 ) (Boehm 2006).
Jenis PAH
Naftalena*
C1-naftalena
C2-naftalena
C3-naftalena
C4-naftalena
Bifenil
Asenaftilena*
Asenaftena*
Dibenzofuran
Fluorena*
C1-Fluorena
C2-Fluorena
C3-Fluorena
Antrasena*
Fenantrena*
C1-fenantrena/antrasena
C2-fenantrena/antrasena
C3-fenantrena/antrasena
C4-fenantrena/antrasena
Dibenzotiofena
C1- dibenzotiofena
C2- dibenzotiofena
C3- dibenzotiofena
C4- dibenzotiofena
Fluorantena*
*16 PAH polutan prioritas USEPA
Singkatan
NAP
NAP-C1
NAP-C2
NAP-C3
NAP-C4
BPH
ACL
ACE
DBF
FLU
FLU-C1
FLU-C2
FLU-C3
ANT
PHE
PHE-C1
PHE-C2
PHE-C3
PHE-C4
DBT
DBT-C1
DBT-C2
DBT-C3
DBT-C4
FLA
Jenis PAH
Pirena*
C1-Fluorantena/pirena
C2-Fluorantena/pirena
C3-Fluorantena/pirena
Benz(a)antrasena*
Krisena*
C1-krisena
C2-krisena
C3-krisena
C4-krisena
Benzo(a)Fluorantena
Benzo(b)Fluorantena*
Benzo(j,k)Fluorantena*
Benzo(e)pirena
Benzo(a)pirena*
Perylene
Indeno(1,2,3-c,d)pirena*
Dibenzo(a,h)antrasena*
Benzo(g,h,i)perylene*
Dibenzo(a,e)pirena
Dibenzo(a,h)pirena
Dibenzo(a,1)pirena
Dibenzo(a,i)pirena
Dibenzo(a,e)Fluorantena
Anthanthren
Singkatan
PYR
FLA/PYR-C1
FLA/PYR-C2
FLA/PYR-C3
BaA
CHR
CHR-C1
CHR-C2
CHR-C3
CHR-C4
BaF
BbF
BkF
BeP
BaP
Per
ID-PYR
DaA
BgP
DeP
DhP
D1P
DiP
DeF
ANTr
6
Gambar 1 Analisis PAH (∑PAH 50 ) pada cuplikan minyak mentah (Boehm 2006).
Ket : (*) ∑PAH 16 polutan utama menurut USEPA
PAH dihasilkan dari proses alami dan proses antropogenik. Menurut Boehm
(2006) PAH secara umum dihasilkan melalui 4 proses :
1. Lambat, perubahan suhu rendah (<70oC)/diagenesis dari partikel organik
sebagai bagian dari perubahan yang dijalani oleh biomolekul dan
hubungan organik setelah pertama kali terdeposit di sedimen;
2. Relatif cepat (hari-tahun), perubahan yang panjang, temperatur sedang
(100-300oC) membentuk minyak fosil yaitu petroleum dan batu bara
(contoh dari petrogenik);
3. Cepat, temperatur tinggi (>500oC), pembakaran yang tidak sempurna/tidak
efisien (contohnya oksigen yang sedikit) dari biomasa bahan organik
(pirolisis) seperti kebakaran hutan dan rumput serta kegiatan antropogenik
seperti pembakaran bahan bakar fosil (contoh dari pirogenik);
4. Biosintesis oleh tumbuhan dan binatang dari komponen PAH individu atau
gabungan yang relatif sederhana.
7
1. naftalen
5. fenantrena
2. asenaftilen
6. antrasena
3. asenaftena
7. fluorantena
4. fluorena
8. pirena
9. benzo(a)antrasena
10. krisenae
3. benzo(a)piren
14. dibenzo(a,h)antrasena
11. benzo(b)fluoranten
12. benzo(k)fluoranten
15. dibenzo(g,h,i)piren
16. indeno(1,2,3-cd)piren
Gambar 2 Stuktur 16 jenis polutan utama PAH menurut United State
Environmental Protection Agency (USEPA) (Amir et al. 2005).
PAH bersifat hidrofobik (log K OW 3–8) dengan daya larut yang sangat
rendah, sehingga konsentrasi PAH di lingkungan perairan sangat rendah (Nemr
dan Aly 2003). Selain bersifat hidrofobik, PAH memiliki struktur stabil, sehingga
PAH tidak mudah larut dan dapat diabsorsi dengan cepat ke dalam tanah termasuk
di lingkungan perairan seperti sedimen (Tang et al. 2005).
Secara umum kelarutan PAH bervariasi, yaitu tingkat kelarutan rendah ke
sangat rendah dan tingkat kelarutan rendah ke moderat. Daya larut PAH bervariasi
berdasarkan kondisi media, 1-2 bulan di lingkungan perairan, 2 bulan sampai 2
tahun di tanah, dan 8 bulan sampai 6 tahun di sedimen. Log n-octanol/water
partition coefficients (log K OW S) dari PAH meningkat dengan peningkatan massa
molekul dengan kisaran kira-kira 3.0-7.0, mengindikasikan sifat hidropobik tinggi
untuk PAH dengan berat molekul tinggi (Kalf et al. 1996).
8
Antrasena, fluorena dan fenantrena adalah senyawa PAH yang memiliki 2
rantai benzena yang dikelompokkan dalam PAH dengan berat molekul rendah
(BMR). Fluorantena memiliki 4 rantai benzena yang digolongkan pada PAH
dengan berat molekul tinggi (BMT) (Tabel 3). Semakin besar berat molekulnya
maka semakin persisten keberadaannya di lingkungan.
Tabel 3 Pengelompokan PAH berdasarkan berat molekul dan jumlah ring
(USEPA).
Berat molekul rendah (BMR; <202)
2-ring
3-ring
Asenaftilen
Antrasena
Bifenil
Fluorena
Naftalena-1
Fenantrena
Metilnaftalena-1
1-Metilfenantrena
Metilnaftalena-2
2,6-dimetilnaftalena
Berat molekul tinggi (BMT; >202)
4-ring
5-ring
Benzo(a)antrasena Krisena
Fluorantena
Benzo(a)pirena
Pirena
Benzo(e)pirena
Dibenz(a,h)antrasena
Pirelin
Fenantrena dan fluorena memiliki sifat karsinogenik. Antrasena tidak
bersifat karsinogenik namun sangat fototoksik (peningkatan sifat toksik ketika
terkena cahaya, khususnya sinar UV) sehingga dapat berubah menjadi
karsinogenik. Fluorantena adalah PAH tidak bersifat toksik namun berpotensi
menjadi karsinogenik. Fluorena bukan PAH yang bersifat phototoksik. Antrasena,
fluorantena dan fenantrena sering digunakan dalam menduga sumber dari PAH
(Irwin 1997). Fenantrena lebih stabil dari pada antrasena. Ketika temperatur
rendah fenantrena memproduksi fraksi molal lebih banyak dari pada antrasena
(Tang et al. 2005).
2.3 PAH di Lingkungan Perairan
PAH masuk ke lingkungan secara umum melalui tiga proses; (1)
pembakaran bahan organik pada saat suhu sangat tinggi; (2) tumpahan minyak;
(3) proses diagenesis (perubahan bahan organic sedimen secara fisik, kimia dan
biologi) (Neff 1979). Pergerakan PAH di lingkungan tergantung pada propertinya
seperti mudahnya PAH larut di air dan mudahnya PAH menguap ke atmosfir.
Secara umum PAH tidak mudah larut dalam air. PAH berada di udara sebagai uap
9
air atau terperangkap pada partikel kecil. PAH dapat berpindah dengan jarak yang
jauh sebelum mereka kembali ke bumi melalui hujan atau partikel yang
tersuspensi (Irwin 1997).
Nilai K OC mengindikasikan besarnya potensi terikat pada organik karbon di
tanah dan sedimen secara kimia (Tabel 4). PAH dengan berat molekul rendah
mempunyai kisaran nilai dari 3-4 yang mengindikasikan potensi moderate
terserap pada karbon organik di tanah dan sedimen. Potensi medium nilai K OC
adalah 4. PAH dengan berat molekul tinggi mempunyai nilai K OC berkisar antara
5-6, mengindikasikan kecenderungan yang kuat terserap pada karbon organik.
Penyerapan PAH di tanah dan sedimen meningkat dengan meningkatnya
kandungan orgnik karbon dan juga tergantung pada ukuran partikel (Irwin 1997).
Tabel 4 Besaran potensi 16 bahan pencemar PAH terikat pada sedimen (K OC ) dan
air (K OW ).
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
K OW
K OC
Jenis PAH
Naftalena
Asenaftilena
Asenaftena
Fluorena
Antrasena
Fenantrena
Fluorantena
Pirena
Benz(a)antrasena
Krisena
Benzo(b)Fluorantena
Benzo(j,k)Fluorantena
Benzo(a)pirena
Indeno(1,2,3c,d)pirena
Dibenzo(a,h)antrasena
Benzo(g,h,i)perylene
NAP
ACL
ACE
FLU
ANT
PHE
FLA
PYR
BaA
CHR
BbF
BkF
BaP
3.37
4.07
3.98
4.18
4.45
4.45
4.90
4.88
5.61
5.16
6.04
6.06
6.06
1.40
3.66
3.86
4.15
4.15
4.58
4.58
5.30
5.30
5.74
5.74
6.74
Berat
molekul
128
152
153
166
178
178
202
202
228
228
252
252
252
ID-PYR
6.58
6.20
276
DaA
BgP
6.82
6.50
6.52
6.20
278
276
Singkatan Nilai K OC
Nilai K OW
: Octanol: water partition coefficients
: Organic carbon: water in sediment partition coefficients
Kegiatan antropogenik adalah sumber utama dari PAH, besaran PAH di
tanah pada daerah urban kira-kira 2-10 lebih tinggi dari daerah pedesaan (Tang et
10
al. 2005). PAH terbentuk selama proses pirolisis pada semua bahan organik dan
bahan kontaminan organik yang tersebar di sedimen perairan. PAH di permukaan
tanah dapat disebarkan oleh aliran air permukaan dan debu. Permukaan tanah
adalah salah satu sumber dari kontaminasi PAH yang berada di udara dan
sedimen. Bentuk tanah dan strukturnya seperti organik karbon memainkan fungsi
penting ketika PAH terabsorpsi di tanah (Tang et al. 2005).
Partisi dari bahan kontaminan yang hidropobik, yaitu yang tersuspensi dan
terlarut mengontrol fate PAH di lingkungan dan bioaviability pada organisme
akuatik. Konsentrasi PAH di air dapat dipengaruhi oleh durasi dari jumlah partikel
PAH yang terabsorbsi. Kandungan karbon organik di air dan sedimen memainkan
peran penting dalam distribusi PAH (Menon dan Menon 1999). PAH dengan berat
molekul rendah dapat hilang dengan cepat di sedimen, sedangkan PAH dengan
berat molekul tinggi lebih persisten (Wilcock et al.1996, diacu dalam Amir et al.
2005). Fate dari sedimen dan air yang terkontaminasi oleh PAH, konsentrasinya
akan berkurang seiring dengan waktu. Hal ini disebabkan oleh adanya
biodegradasi oleh bakteri atau mikroorganisme.
Biodegradasi PAH berhubungan dengan berat molekul. Rantai 2 dan 3 dari
PAH (naftalena, fluorena dan fenantrena) dengan cepat terdegradasi. PAH dengan
4 rantai (fluorantena, pirena, benz(a)antrasena dan krisena) umumnya terdegradasi
50% dalam beberapa bulan. PAH dengan rantai 5 (benzo(b)fluorantena dan
benzo(a)pirena) berkurang lambat selama beberapa tahun (Irwin 1997).
Sedimen di rawa manggrove yang terkontaminasi PAH dari 2135 ng/g
menjadi 1196 ng/g (120 hari) (Ke et al. 2002). PAH dari tumpahan minyak
memiliki reaktivitas yang terjadi dari komponen minyak selama biodegradasi
yaitu: n-alkana (berat molekul rendah) > fenantrena > 3-2-metilfenantrena> nalkana dengan
panjang rantai
intermediate > n-alkana dengan rantai lebih
panjang > isoprenoids 9-1-metilfenantrena (Juan et al. 1996).
2.4 Sumber PAH
PAH masuk ke dalam air melalui berbagai sumber yang dengan cepat
diabsorpsi oleh partikel organik dan anorganik. Level PAH yang terakumulasi
oleh biota perairan lebih tinggi dari kandungan lingkungan. PAH dapat berpindah
11
melalui beberapa kegiatan seperti fotooksidasi, oksidasi kimia, metabolisme
mikroba dan metabolisme oleh metazoan yang lebih tinggi. Konsentrasi relatif
dari PAH pada ekosistem perairan secara umum adalah lebih tinggi pada sedimen,
intermediate di biota akuatik, dan rendah di kolom perairan (Neff 1979).
Secara umum sumber PAH yang masuk ke lingkungan perairan dapat
dibedakan berdasarkan 2 sumber :
a. Pirogenik. PAH yang terbentuk karena peningkatan suhu secara alami dan
proses antropogenik. Selama proses peningkatan suhu, bahan organik
tersebut lolos dari pembakaran sempurna (oksidasi menjadi karbon
dioksida dan air). PAH pirogenik terbentuk selama pembakaran
menggunakan kayu (kompor), dan pembakaran dari bahan bakar fosil
(bensin, solar, oli mesin).
b. Petrogenik. Minyak dan batu bara yang ada di dalam stuktur geologi dan
terbentuk pada waktu yang lama menghasilkan PAH petrogenik. Batu bara
terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi. Selama terkubur
jutaan tahun, bahan ini berubah menjadi batu bara, membentuk senyawa
aromatik dengan struktur 3 dimensi. Jumlah rantai aromatik yang
terbentuk per unit struktur batu bara bervariasi. Sebagian besar batu bara
terdiri dari 3-5 rantai per unit struktur, dengan beberapa unit dapat
mencapai 10 rantai aromatik.
PAH petrogenik secara umum dicirikan dengan alkil PAH lebih banyak
daripada non-alkil dari PAH utama dan sebaliknya merupakan sumber pirogenik.
Selain itu sumber dari petrogenik lebih banyak PAH dengan rantai 2 dan 3, dan
sumber dari pirogenik lebih banyak PAH dari rantai 4-6 (Gambar 3). PAH dengan
jumlah rantai karbon 4-6 merupakan berat molekul tinggi >202 seperti naftalena,
fluorantena dan pirena biasanya terdeteksi sebagai sumber pirogenik seperti dari
pembakaran batu bara, kayu, dan bahan bakar kendaraan. PAH dengan berat
molekul rendah <202 yaitu PAH dengan jumlah rantai karbon 2-3/alkilsusbstituted PAH berasal dari sumber petrogenik seperti 2-metilnaftalena,
asenaftena, fenantrena dan fluorena (Arias et al. 2009). PAH seperti fenantrena
berasal dari sumber petrogenik dan pirogenik (mixed sources) (Boehm 2006).
PAH dengan rantai 4 sampai 7 umumnya berasal dari sumber pirogenik. PAH dari
12
proses pirolitik lebih sering berasosiasi dengan sedimen dan sebagian besar
resistan terhadap degradasi oleh mikroba dibandingkan dengan PAH yang berasal
dari petrogenik (Mostafa et al. 2009).
A
B
C
Gambar 3 Karakteristik umum kumpulan PAH untuk sumber petrogenik dan
pirogenik (Boehm 2006). (A) Ciri dari sumber petrogenik (contoh
cuplikan minyak mentah): alkil >parent, sedikit PAH dengan rantai 46; (B) Ciri pertama pirogenik (contoh cuplikan aspal): parent>alkil,
ring 2 dan 3 lebih tinggi konsentrasinya; (C) Ciri kedua pirogenik
(contoh cuplikan urban runoff): parent>alkil, rantai 4-6 lebih tinggi
konsentrasinya.
2.5 Konsentrasi PAH
Secara global, konsentrasi PAH baik di sedimen, air dan biota telah banyak
diteliti. Distribusi PAH di lingkungan sebagian besar dipengaruhi oleh sifat
solibilitas dan hidropobik, yang membuat PAH dapat dengan mudah ditemukan di
sedimen. PAH di sedimen telah diketahui nilainya dari banyak bagian di dunia
(Tabel 5). Konsentrasi total PAH di perairan laut adalah kecil (Tabel 6). Batasan
konsentrasi sangat besar walaupun relatif berada dalam satu kawasan, sehingga
sulit membedakan dengan wilayah yang lain.
13
Tabel 5
Total konsentrasi PAH pada sedimen laut pada beberapa wilayah
Amerika Utara, Eropa, Afrika dan Asia (dimodifikasi dari Latimer dan
Jinshu 2003).
Lokasi
Amerika utara
Seluruh pantai amerika
Seluruh pantai amerika
Pelabuhan New Bedford, MA
Selat Pales verdes, CA, USA
Teluk Naragansett, RI
Teluk Alaska (sebelum kasus Exxon Valdez)
Daerah estuari Carolina utara
Stasiun Alaska
Daerah barat laut Beaufort (sedimen Polar Star)
Daerah estuari Fraser (BC, Canada)
Pintu masuk Burrard (BC, Canada)
Selat Georgia (BC, Canada)
Teluk San Francisco embayments (1800an-1999)
Eropa
Teluk Bay (wilayah tengah Mediterania)
Bagian selatan Laut Mediterania
Dekat daerah pantai Spanyol dan Perancis (Laut
Mediterania)
Laut Baltic
Wilayah Estuari Gironde (Perancis)
Teluk Arcachon (Perancis)
Laut Cretan (wilayah timur Mediterania
Wilayah Estuari Irish
Afrika
Pantai Cotonou (Benin)
Asia
Laut Kuning
Teluk Kyeonggi (Korea)
Hong Kong (permukaan)
Laut Putih (Rusia, Laut Artic)
Laut Cina Selatan
Daerah estuari Sungai Yangtze (core)
Teluk Bohai
Konsentrasi (ng/gDw)
13.4-40 453
4.87-30 674
14 000-170 000
1 252-7 037
100-29 300
1 096
33-9 630
2.17-733
159-1 092
180-620 (pembakaran)
220-660 (petroleum)
430-91 800 (pembakaran)
70-39 500 (petroleum)
300-8 470 (pembakaran)
560-4 300 (petroleum)
40-6 300 (pirogenik)
86.5-48 060
20-18 700
0.32-8 400
3.16-30 100
3.5-853
293
14.6-158.5 (73% pembakaran)
83-22 960
80-1411
20-5 734
9.1-1 400
7.25-4 420
13-208
24.7-275.4
122-11 740
31-2 513
14
Tabel 6 Konsentrasi PAH di perairan laut beberapa wilayah dunia.
Lokasi
Konsentrasi (ng/l)
Referensi
Teluk Narragansett
39.05
Quin et al. 1988
Perairan laut Inggris dan Wales
nd-10 724
Law et al. 1997
Pantai Alexandria Mesir
Subsurface
Microlayer
Nemr dan Aly (2003)
47.0
245
Teluk dalam Selatan Cina
Permukaan
Dasar
Qiu et al. 2009
73.3
66.1
Muara Kamal Teluk Jakarta
0.5064-0.6733 pg/l
Augustine 2008
Daerah estuari Teluk Saronikos, 133-459
Yunani
Valavanidis et al. 2008
Wilayah Pelabuhan
Selatan Cina
Luo et al. 2004
Macao, 701.42-2 579.50
Secara umum berdasarkan lokasi, terdapat perbedaan konsentrasi PAH yaitu
konsentrasi pada daerah lepas pantai adalah kecil, diikuti oleh daerah dekat pantai
dan terakhir pada lapisan mikro permukaan laut/surface micro layer (SSM).
Akumulasi PAH dari lingkungan juga terjadi pada organisme laut. Namun nilai
konsentrasi yang besar dari jaringan di tubuh organisme, diperoleh dari variasi
konsentrasinya di alam, lamanya terekspose, dan kemampuan spesies dalam
memetabolisme senyawa tersebut.
Pada biota invertebrata, konsentrasi tertinggi dapat ditemukan pada organ
dalam seperti hepatopankreas, dan di jaringan yang terikut dalam siklus umum,
hal ini mungkin berhubungan dengan variasi kandungan lipid, siklus bertelur, atau
flux lingkungan (Jovanovich dan Marion 1987; Maruya et al. 1997; Miles dan
Roster 1999 diacu dalam Latimer dan Jinshu 2003). Konsentrasi PAH pada
bivalva dan inveterbrata laut dari berbagai wilayah di dunia di tunjukkan pada
Tabel 7.
15
Tabel 7 Konsentrasi PAH dari beberapa biota bivalva laut dan invertebrata (di modifikasi dari Meador 2006).
Spesies
Cara
Wilayah
makan
Total PAH
PAH
bk/bb
(ng/g)
Mussels dan Oysters
Mytilus edulis
FF
Norwegia
500-12 845
11-32
bk
Mytilus galloprovincialis
FF
Mediterania
24-390
23/14
bk
Mussels dan Oysters
FF
USA (semua pantai)
77-1 100
214/24
bk
Mussels dan Oysters
FF
USA (semua pantai)
192-503
97-191/44
bk
Mytilus edulis
FF
Teluk Naples, Italia
205
6/16
bb
Mytilus galloprovincialis
FF
Mediterania, Spanyol
190-5 490
6/ns
bb
Mytilus edulis
FF
bagian utara laut Baltic
440
3/19
bk
Mytilus edulis
FF
Finlandia (laut Archipelago)
nd-150
7/7
bb
FF
Teluk Meksiko, USA
36-7 530
4/17
bk
Mytilus galloprovincialis
FF
Yunani
77-110
57/17
bb
Crassostrea virginica
FF
Florida, USA
361-11 026
14/> 25
bk
Mytilus edulis
FF
Belanda
45-100
2/6
bb
Mytilidae
16
Tabel 7 (lanjutan)
M. edulis, M. galloprovincialis dan C. Gigas
FF
Perancis
tt-300 000
110/td
bk
Mytilus edulis
FF
Skotlandia
54-2 803
27/10
bb
Mytilus edulis
FF
Puget Sound, WA
40.63-600
9/24
bk
Mytilus spp
FF
Teluk San Francisco
180-4 100
6/34
bk
Benthik invertebrata
Macoma balthica
DF/FF
Scheldt, Belanda
947 (449)
2/12
bk
Crangon crangon
Scav
Scheldt, Belanda
410 (285)
2/12
bk
Nereis diversicolor
Omn
Scheldt, Belanda
785 (409)
2/12
bk
Homarus americanus
Scav
Nova Scotia, Kanada
235-73 000
1/10
bb
Littorina littorea
Herb
Bagian Selatan Norwegia
595-1 430
4/27
bk
Patella vulgata
Herb
Bagian Selatan Norwegia
674-15 462
2/31
bk
Asterias rubens
Pred
Bagian Selatan Norwegia
325-458
2/19
bk
Macropipus tubrculatus
Omn
spanyol
60-930
6/td
bb
(tt) tidak terdeteksi; (td) tidak dilaporkan; (bk) berat kering; (bb) berat basah
Cara makan: (DF) deposit feeder; (FF) filter feeder;(Omn) omnivora; (herb) herbivora; (Pred) predator
17
Ikan mengakumulasi bahan kontaminan khususnya PAH melalui kulit, tapi
sebagian besar melalui insang (Irwin 1997). Secara umum, meskipun antara PAH
dengan berat molekul rendah dan berat molekul tinggi terserap relatif cepat pada
spesies perairan seperti ikan, metabolisme dan depurasinya juga cepat. PAH dapat
masuk ke semua jaringan tubuh yang terdapat lemak. Biasanya terserap di ginjal,
hati dan lemak. Jumlah yang kecil tersimpan pada limpa, kelenjar ginjal dan
indung telur.
2.6 PAH Sebagai Indikator Sumber Pencemar
Senyawa PAH dapat digunakan sebagai salah satu indikator status
lingkungan. Distribusi dan fate dari PAH sebagai bahan kontaminasi organik di
sedimen ekosistem perairan sangat perlu diperhatikan karena mempunyai efek
mutagenik dan karsinogenik. Konsentrasi PAH dalam tingkat tertentu di air laut
dan sedimen dapat bersifat toksik terhadap organisme laut bentik dan pelagik,
sehingga keberadaannya perlu diperhatikan.
Sifatnya yang tidak mudah larut, dapat menghilang dengan cepat di
perairan, mampu meningkatkan konsentrasi dan berat molekulnya sendiri, mudah
terakumulasi dan terabsorpsi pada biota dan sedimen, menunjukkan perlunya
perhatian khususnya pada lingkungan perairan pesisir. Pendugaan sumber PAH
dilakukan dengan menggunakan rasio dari beberapa individu PAH (Tabel 8).
Tabel 8 Rasio individu PAH sebagai penduga sumber.
Diagnostik ratio
Pirolitik
Petrogenik
BMR/BMT
∑MP/PHE
FLA(FLA+PYR)
Double ratio PHE/ANT, FLA/ANT dan
PHE/ANT, FLA/PYR
Low
<1
>0.5
<10 / >1
high
>1
<0.5
>15 / <1
BMR : berat molekul rendah; BMT : berat molekul tinggi; MP : metilfenantrena; PHE :
fenantrena; FLA : fluorantena; PYR : pirena; ANT : antrasena
Rasio dari FLA/PYR dapat mengindikasikan asal sumber dari PAH. Sumber
petrogenik diindikasikan oleh rasio FLA/PYR <1 dan nilai >1 mengindikasikan
18
sumber pirolitik (Sicre et al. 1987, diacu dalam Ke et al. 2002). Menentukan
sumber pencemar PAH dalam air dapat menggunakan rasio FLA/(FLA+PYR).
Jika rasionya adalah 1, dapat diduga sumber pencemar berasal dari petrogenik.
Rasio FLA/(FLA+PYR) <0.40 mengindikasikan sumber pencemar PAH berasal
dari sumber petroleum (oli, mesin diesel, batu bara, dsb), rasio antara 0.4-0.5
mengindikasikan sumber dari pembakaran bahan bakar fosil (kendaraan dan
minyak
mentah)
dan
rasio
>0.5
berasal
dari
pembakaran
rumput,
kayu/pembakaran batu bara (Zhang et al. 2006; Arias et al. 2009).
Sumber dari PAH dari sedimen dapat diperoleh berdasarkan rasio total
antara isomer metilfenantrena terhadap fenantrena (MP/P). Rasio MP/P <1
menunjukkan sumber dari pirogenik dan MP/P >1 menunjukkan sumber dari
petrogenik (Blumer dan Youngblood 1975, diacu dalam Yim et al. 2007;
Boonyatumanond et al. 2006).
Pendugaan sumber PAH pada biota dapat menggunakan rasio fenantrena,
ANT, fluorantena dan pirena yaitu rasio antara PHE/ANT, FLA/ANT dan
FLA/PYR. Rasio PHE/ANT <10 dan FLA/PYR >1, mencirikan sumber pirogenik
dan rasio PHE/ANT >15 dan FLA/PYR <1 mencirikan sumber petrogenik
(Steinhauer dan Boehm 1992; Budzinski et al. 1997; Baumard et al. 1998, diacu
dalam Yim et al. 2007). Fluorantena dan pirena adalah penanda khusus untuk
sumber pirolisis/pembakaran yang tidak sempurna. Di lain pihak pada emisi hasil
pembakaran bahan bakar sepert mesin diesel, profilnya predominan oleh
fenantrena, fluorantena dan pirena (Li et al. 2003; Wang et al. 2009, diacu dalam
Arias et al. 2009).
Beberapa PAH seperti fenantrena berasal dari sumber petrogenik dan
pirogenik (mixed sources) (Irwin 1997). Rasio jumlah berat molekul rendah
(BMR) dengan berat molekul tinggi (BMT) adalah bila nilainya kecil
menggambarkan sumber dari pirolitik dan bila nilainya besar bersumber dari
petrogenik (Budzinski et al. 1997, Sicre et al. 1987, Mostafa et al. 2009). Sumber
petrogenik secara umum alkil PAH lebih banyak dari pada non alkil dari PAH
utama dan sebaliknya merupakan sumber petrogenik.
Sumber dari petroleum biasanya berupa krisena, fluorena, naftalena,
fenantrena, antrasena dan dibenzo thiopen (DbT). Sumber dari oli motor berupa
19
naftalena, benzo(a)pirena, fluorena dan fenantrena. Petroleum lebih besar
menyumbang PAH jenis berat molekul rendah seperti naftalena, asenaftena dan
fluorin, dan juga alkil PAH seperti metilnaftalen. Pembakaran (pirolitik)
menyumbang PAH jenis berat molekul tinggi lebih besar seperti fenantrena,
fluorantena, pirena dan benzo(a)pirena, juga termasuk sedikit PAH jenis berat
molekul rendah seperti naftalena (Irwin 1997).
2.7 Toksisitas
2.7.1 Uji toksisitas (Bioassay)
Semua bahan atau senyawa kimia yang terbuang diduga sebagai bahan
pencemar beracun (Poisonous pollutant), kecuali apabila terbukti melalui uji
biologis (bioassay/toxicity test) senyawa atau bahan tersebut tidak meracuni
organisme yang hidup di dalamnya beserta penghuninya (hewan dan manusia)
khususnya PAH. Toksisitas suatu senyawa dapat digolongkan berdasarkan efek
yang terjadi pada konsentrasi tertentu, yaitu : 1) Letal, langsung menyebabkan
kematian atau cukup mematikan. 2) Sub-letal, diatas kadar yang langsung
menyebabkan kematian. 3) Akut, dimana menimbulkan suatu rangsangan syaraf
yang cukup hebat sehingga menghasilkan respon yang cepat (untuk ikan biasanya
dalam waktu 4 hari). 4) Sub-akut, menimbulkan respon setelah waktu yang lama
dan mungkin menjadi menahun/kronik. 5) Kronik, menimbulkan rangsangan yang
lambat atau menerus dalam selang waktu yang lama, dan 6) Kumulatif yaitu
peningkatan kadar pada waktu yang lama.
Pengaruh bahan toksik terhadap suatu organisme dapat di amati berdasarkan
beberapa kondisi hidupnya yaitu; 1) siklus hidup (life cycle) hewan uji yaitu
pengamatan yang dilakukan mulai dari fase larva sampai hewan tersebut mati. 2)
Sebagian dari siklus hidupnya (partial life cycle), pengamatan yang dilakukan
pada fase larva sampai dewasa, dan 3) Awal siklus hidup (early life cycle),
pengamatan hanya pada fase larva.
Uji toksisitas secara kuantitatif dapat ditinjau dari lamanya waktu, yang
dapat diklasifikasikan menjadi toksisitas letal, sub-letal, kronis. Toksisitas akut
adalah efek total yang didapat pada dosis tunggal/banyak dalam 24 jam
pemaparan. Toksisitas akut sifatnya mendadak, waktu singkat dan biasanya
20
reversibel. Toksisitas kronis sifatnya permanen, lama, konstan, kontinyu,
irreversible. Uji toksisitas atas dasar dosis dan waktu berarti spesifik toksisitas
akut/kronis. Dosis adalah jumlah racun yang masuk ke dalam tubuh, besar,
kecilnya menentukan efek. Sedangkan efek dosis ini merupakan fungsi dari usia,
jenis kelamin, berat badan, cara masuk ke tubuh, frekuensi, interval waktu,
kecepatan eksresi, kombinasi dengan zat lain. Uji toksisitas letal biasanya
dijalankan dalam jangka waktu 24, 48, 72 dan 96 jam.
LD yaitu dosis yang menyebabkan kematian. Semakin tinggi konsentrasi
semakin tinggi tingkat kematiannya (Gambar 4). LD50 atau LC50 (konsentrasi letal
50%) atau TLm (toleransi limit median) atau TL50 (toleransi limit 50%) yaitu dosis
yang menyebabkan kematian 50% hewan uji dalam waktu uji (inkubasi) 12, 24,
48, 72, dan 96 jam. Menurut Wrigh dan Pamela (2002) LC 50 adalah konsentrasi
bahan toksik yang menyebabkan kematian 50% (nilai tengah respon) dari
hewan/populasi tes pada waktu tertentu (Gambar 5). Ketika konsentrasi letal
median (LC 50 ) dihitung, keyakinan 95% limit yang terkait dengan nilai (DO, pH,
Suhu) juga dilaporkan (Zakrzewski 2002).
Gambar 4 Kurva hubungan antara konsentrasi bahan toksik terhadap respon
hewan uji
EC (konsentrasi efektif) yaitu konsentrasi bahan uji yang mengakibatkan
suatu tingkah laku atau respon hewan uji yang tidak normal. Angka indeks
menunjukkan persentasi jumlah hewan uji yang mengalami perubahan fisiologis
21
yang terjadi selama waktu uji (EC 50 – 48 Jam) (Sanusi dan Sugeng 2009).
Menurut Philp (2001) EC 50 adalah dosis efektif yang menyebabkan 50%
perubahan efek maksimum dari hewan uji.
Gambar 5 LC 50 Menggambarkan nilai tengah respon dari populasi.
Selain hal tersebut diatas juga digunakan evaluasi seperti NOEC (No
Observed Effect Concentration) yaitu konsentrasi tertinggi
yang tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap hewan uji dari control. LOEC (lowest
observed effect concentrations) yaitu konsentrasi terendah yang secara signifikan
berpengaruh terhadap ketahanan, pertumbuhan/reproduksi dari hewan uji terhadap
kontrol (Wrigh dan Pamela 2002), untuk mengevaluasi tingkat bahan toksik
khususnya PAH.
2.7.2 Toksisitas PAH
Material organik di perairan alami mempunyai efek yang kuat pada
ketersediaan pencemar organik. Ketersediaan dari beberapa pencemar organik
meningkat dengan peningkatan konsentrasi materi organik yang terlarut di air
(Kukkonen 1991 diacu dalam Tuvikene 1995). Toksisitas adalah senyawa yang
dapat bersifat racun yang dapat membahayakan makhluk dan lingkungan
disekitarnya pada konsentrasi tertentu. PAH termasuk senyawa organik yang
bersifat toksik. Faktor-faktor yang mempengaruhi toksisitas PAH antara lain
22
adalah karakteristiknya, kadar PAH, jenis biota laut, aktivitas mikroba dan lama
pemaparannya (Sanusi dan Sugeng 2009).
Kelimpahan alkil PAH yang lebih banyak (terutama pada sumber
petrogenik) persisten untuk waktu yang lebih lama, dan beberapa lebih toksik dari
senyawa utamanya. Metilfenantrena lebih toksik dari pada fenantrena. PAH yang
terurai tidak berarti mengurangi potensi dampaknya secara biologi terhadap
komponen biologi, PAH yang terurai dapat lebih berbahaya (Irwin 1997).
Menurut karakteristik senyawa PAH, toksisitasnya dapat dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Senyawa PAH dengan jumlah karbon rendah (C 8 -C 14 ) memberikan
toksisitas akut (2.35-970 µg/l di perairan (Irwin 1997)) terhadap biota laut.
Hal ini dikarenakan kelarutan dari senyawa tersebut tinggi (K OW 1.404.15).
2. Senyawa PAH dengan jumlah karbon tinggi (>C 14 ) memberikan toksisitas
kronis (10-710 µg/l di perairan (Irwin 1997)) terhadap biota laut, karena
kelarutan dari senyawa tersebut rendah (K OW 4.15-6.20).
2.7.3 Dampak PAH terhadap Organisme
PAH yang terakumulasi dalam tubuh organisme, dapat mempengaruhi
kehidupannya. Beberapa PAH, yang terakumulasi dalam biota, mempunyai
kemampuan untuk menyerap energi cahaya ultraviolet (UV) yang dapat
mempengaruhi sifat toksisitasnya seperti antrasena dan fluorantena. Peningkatan
potensi toksisitas bersamaan dengan pemaparan cahaya disebut fototoksisitas
(Irwin 1997). Efek toksik PAH pada biota laut bersifat lokal dan sementara dan
tidak berdampak nyata dalam jangka panjang, Selain itu, efeknya juga dapat pulih
kembali (reversible). Perbedaan jenis individu maupun campuran senyawa PAH,
lama pemaparan, besaran dan efeknya berbeda pada masing-masing biota, baik
yang bersifat akut maupun Kronis (Tabel 9).
2.7.4 Jenis PAH Bersifat Racun
Secara umum sifat toksik, mutagenik dan karsinogenik dari PAH
disebabkan oleh transformasi dari metabolisme PAH karena adanya sistem MFO
(mixed function oxidase) yaitu sistim enzim yang menjadi katalisator pada proses
23
metabolisme PAH. Proses penting ini pada populasi dan ekosistem tidak jelas,
karena masih diabaikan ketika mengelola lingkungan (Kalf et al. 1996). Sistem
MFO bertindak untuk mendegradasi aromatik dan sejumlah senyawa organik
(termasuk PAH) oleh hidroksilasi (fase 1) dan konjugasi dengan glucuronic acid
(fase 2). Reaksi antara bahan kontaminan organik dengan uridine diphosphate
glucuronic acid (UDPGA) disebut glucuronisasi atau glucuronid konjugasi
sebagai bagian dari fase 2 pada proses metabolisme (Gambar 6). Beberapa PAH
berubah menjadi bentuk lebih water soluble oleh glucuronisasi (Irwin 1997). Sifat
karsinogenik individu PAH berbeda-beda (Tabel 10).
Gambar 6 Proses mixed function oxidase (MFO) dalam metabolisme
benzo[a]pirena
24
Tabel 9 Rangkuman sensitifitas sifat kronis pada organisme air tawar dan laut (dimodifikasi dari EPA/600/R-02/013).
Spesies
Test Habitat PAH
Cladoceran, Daphnia
magna
LC
W
Durasi
Fluorantena 21d
NOEC
(µg/l)
OEC
(µg/l)
Nilai
Efek yang diamati (relatif terhadap
kronis
kontrol)
(µg/l)
6.9-17
35
Pengurangan panjang 17%
24.5
73
Pengurangan panjang 25%,
beberapa ikan dewasa 37%
Tidak ada yang bertahan
Ikan yang bertahan berkurang 83%,
96.39
Cladoceran, Daphnia
magna
Midge, Paratanytarsus
sp.
LC
W
Fenantrena
21d
46-57
148
163
LC
W
Asenaftena
26d
32-295
575
Midge, Paratanytarsus
sp.
LC
W
Asenaftena
26d
27-164
315
676
21.7
Fathead minnow,
Pimephales promelas
ELS W
Fluorantena 32d
3.7-10.4
Fathead minnow,
Pimephales promelas
ELS W
Asenaftena
50-109
32d
109
410
630
Ikan yang bertahan berkurang 60%,
pengurangan pertumbuhan 90%,
tidak terjadi reproduksi
Ikan yang bertahan berkurang 20%,
pengurangan pertumbuhan 30%
Ikan yang bertahan berkurang 60%
Ikan yang bertahan berkurang
67%, Pengurangan pertumbuhan
50%
Pengurangan pertumbuhan 5%
Pengurangan pertumbuhan 20%,
ikan yang bertahan berkurang 66%
mati
411.8
227.3
15.02
73.82
25
Tabel 9 (lanjutan)
Fathead minnow,
Pimephales promelas
Rainbow trout,
Oncorhynchus mykiss
ELS W
Asenaftena
ELS B/W
Fenantrena
3235d
90d
67-332
495
Pengurangan pertumbuhan 54%
405
5
8
Ikan yang bertahan berkurang
41%, Pengurangan pertumbuhan
33%
Ikan yang bertahan berkurang
48%, pengurangan pertumbuhan
44%
Ikan yang bertahan berkurang
52%, Pengurangan pertumbuhan
75%
mati
Terjadi pengurangan ikan muda
93%
Tidak ada yang bertahan
Terjadi pengurangan ikan muda
91%
Tidak terjadi reproduksi,
pengurangan pertumbuhan 34%
Ikan yang bertahan berkurang
96%, Tidak terjadi reproduksi
Ikan yang bertahan berkurang
26.7%, terjadi pengurangan ikan
muda 91.7%
Tidak ada yang bertahan
6.325
14
32
Mysid, Americamysis
bahia
Mysid, Americamysis
bahia
LC
LC
B/W
B/W
Asenaftena
Asenaftena
35d
25d
100-240
66
340
20.5-44.6
510
91.8
168
354
Mysid, Americamysis
bahia
LC
B/W
Fluorantena 28d
3592
621
43
285.7
63.99
15.87
26
Tabel 9 (lanjutan)
Mysid, Americamysis
bahia
Mysid, Americamysis
bahia
Mysid, Americamysis
bahia
LC
B/W
Fluorantena 31d
0.41-11.1
18.8
LC
B/W
Fenantrena
32d
1.5-5.5
11.9
LC
B/W
pirena
28d
3.82
5.37
6.97
9.82
15.8
20.9
Sheepshead minnow,
Cyprinodon variegatus
Test
Habitat
NOEC
OEC
LC
B/W
Asenaftena
28d
: LC = life-cycle; PLC = partial life-cycle; ELS = early life-stage
: I = infauna; B = epibenthic; W = water column
: No Observed Effect Concentration
: observed effect concentration
240-520
38.2
970
2 000
2 800
Ikan yang bertahan berkurang
23%, tidak terjadi reproduksi
Tidak ada yang bertahan
14.44
Terjadi pengurangan ikan muda
46%
Terjadi pengurangan ikan muda
47%
Terjadi pengurangan ikan muda
73%
Terjadi pengurangan ikan muda
85%
Terjadi pengurangan ikan muda
90%, ikan yang bertahan berkurang
37%
Tidak ada yang bertahan
Ikan yang bertahan berkurang 70%
Tidak ada yang bertahan
Tidak ada yang bertahan
4.53
8.129
710.2
27
Tabel 10 Beberapa individu PAH yang bersifat karsinogenik (Neff 1979).
Komponen
Antrasena
Fenantrena
Benz[a]antrasena
7,12-dimetilbenz[a]antrasena
Sifat
Karsinogenik
--+
++++
Komponen
Aceantirilen
Benz[j]aceantirilen
3-metilkolantren
Sifat
Karsinogenik
-++
++++
Napthasen
--
Pirena
--
Dibenz[aj]antrasena
+
Dibenz[ah]antrasena
+++
Benzo[a]pirena
+++
Dibenz[ac]antrasena
+
Benzo[e]pirena
--
Benzo[a]fenantrena
+++
Dibenzo[al]pirena
±
Fluorena
--
Dibenzo[ah]pirena
+++
Benzo[a]fluorena
--
Dibenzo[ai]pirena
+++
Benzo[b]fluorena
--
Dibenzo[cd,jk]pirena
--
Benzo[c]fluorena
--
Indeno[1,2,3-cd]pirena
+
Dibenzo[ag]fluorena
+
Krisena
±
Dibenzo[ah]fluorena
±
Dibenzo[b,def]krisena
Dibenzo[ac]fluorena
±
Dibenzo[def,p]krisena
+
Fluorantena
--
Dibenzo[def,mno]krisena
--
++
Benzo[b]fluorantena
++
Perilen
--
Benzo[i]fluorantena
++
Benzo[ghi]perilen
--
Benzo[k]fluorantena
--
koronen
--
Benzo[mno]fluorantena
--
Ket : (--) tidak bersifat karsinogenik; (±) sifat karsinogeniknya lemah; (+) bersifat karsinogenik;
(++, +++, ++++) sifat kasinogeniknya tinggi
2.8 Karakteristik Perairan Pesisir dan Laut
Pesisir merupakan suatu wilayah yang menjadi peralihan antara daratan dan
laut. Pesisir memiliki peran antara lain sebagai sumber penyedia sumber daya
alam, jasa pendukung kehidupan dan kenyamanan dan sebagai mitigasi bencana.
Pesisir dan daratan memiliki keterkaitan. Keterkaitan daratan (DAS) dengan
pesisir adalah sebagai penghubung antara daratan di hulu dengan pesisir,
penghantar bahan pencemar dari hulu ke pesisir dan dampak yang dihulu akan
dirasakan di pesisir karena peran DAS.
Batasan wilayah pesisir di daratan yaitu wilayah dimana daratan berbatasan
dengan laut, masih dipengaruhi oleh proses-proses seperti pasang surut, angin laut
dan intrusi garam. Batasan wilayah pesisir di laut adalah daerah yang dipengaruhi
oleh proses alami didaratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut,
28
serta daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan
(Bengen 2004).
Daratan dan proses-proses yang terjadi di daratan (misalnya aliran air besar
dengan zat partikel yang dibawanya menuju laut) akan mempengaruhi salinitas,
turbiditas, kesuburan dan kecerahan perairan pantai. Iklim setempat seperti curah
hujan akan mempengaruhi salinitas dan angin yang kencang akan menyebabkan
berkembangannya arus dan gelombang laut. Pengaruh dari faktor setempat ini
akan menyebabkan sifat atau keadaan oseanografi menjadi lebih kompleks dan
unik bagi suatu daerah perairan pantai/pesisir yang berlainan dari sifat/pola umum
di laut lepas yang banyak ditentukan baik oleh pengaruh musim maupun pengaruh
samudera yang berdekatan.
Wilayah pesisir dan laut juga rentan terhadap dampak pencemaran akibat
aliran limbah dari daratan melalui sungai, saluran yang menuju ke laut (ocean
outfall)/pembuangan langsung ke laut. Secara fisik, kondisi pesisir dan laut lepas
di pengaruhi oleh siklus hidrologi, hidrodinamika, topografi wilayah pesisir dan
laut, zonasi dan intensitas kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam serta teknologi
yang dipakai dalam kegiatan tersebut. Kondisi ini mempengaruhi sifat, pola dan
intensitas pencemaran yang mungkin terjadi akibat kegiatan sosial ekonomi di
wilayah pesisir dan laut.
Ketika masuk ke perairan pesisir dan laut, limbah akan berinteraksi dengan
air laut dan menghasilkan perilaku limbah yang khas. Perilaku tersebut bisa
berupa menguap, terlarut, terdispersi, dsb. Hal ini selanjutnya akan berpengaruh
pada konsentrasi limbah dan intensitas serta besaran dampak terhadap lingkungan
yang mungkin ditimbulkan (Mukhtasor 2007).
2.9 Ikan Nomei (Horpodon nehereus)
Tarakan adalah salah satu pulau yang berada di Propinsi Kalimantan Timur
yang mempunyai luas wilayah ± 657.33 km2, dengan luas kawasan pesisir pantai
± 70 km2. Luas laut Pulau Tarakan 406.53 km2 (61.85%). Salah satu potensi
sumberdaya hayati perairan yang ada di Pulau Tarakan adalah ikan Nomei
(Horpodon nehereus), dikenal dengan nama lokal ikan Pepija atau Lembe-Lembe
29
(Gambar 7). Ikan Nomei merupakan ikan komersial yang banyak dipasarkan
dalam bentuk ikan kering yang menjadi satu makanan khas Kota Tarakan.
Gambar 7 Ikan Nomei (Horpodon nehereus) dengan nama lokal ikan Pepija atau
Lembe-Lembe.
Ikan Nomei hidup di perairan lepas pantai yang dalam pada sedimen lumpur
berpasir sepajang tahun. Namun ikan ini juga berkumpul di wilayah yang luas di
daerah delta sungai untuk mencari makan pada musim angin monsun. Ikan ini
adalah predator yang agresif dan sangat pendar. Mempunyai 6 telur pada sekali
bertelur
dalam setahun. Ikan Nomei mempunyai kebiasaan makan sebagai
karnivora dengan udang-udangan yang merupakan sumber makanan. Menurut
Pillay (1953) ikan ini juga memakan ikan, detritus, larva megalopa dan tumbuhan
(Gambar 8).
Daging ikan Nomei seperti jeli, tubuhnya terkandung banyak sekali air dan
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Mulut yang menganga,
gigi besar, mata kecil dan badan yang lembut, ikan Nomei mirip dengan
Chauliodontidae yang mencirikan ikan laut dalam (Haneda 1950). Jenis makanan
ikan Nomei berbeda berdasarkan musim seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9.
30
Gambar 8 Persentasi jenis makanan yang ditemukan pada perut Horpodon
nehereus (Pillay 1953).
a
d
Jumlah organisme
f
e
b
Bulan
Gambar 9 Histogram yang menunjukkan variasi bulanan volume beberapa jenis
makanan yang dimakan ikan Nomei berdasarkan perbedaan bulan
(Pilay 1953). (a) Udang dan udang-udangan, (b) Ikan Nomei, (c) Ikan
yang lain, (d) Larva megalopa, (e) Bahan tumbuhan, (f) Detritus.
c
31
3 BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-Juli 2010 untuk pengambilan
cuplikan di perairan laut Kota Tarakan, dan bulan Juli-Desember 2010 untuk
analisis cuplikan di laboratorium. Cuplikan dianalisis di Laboratorium Kualitas
Air Universitas Borneo Tarakan dan Laboratorium Pangan Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Tanggerang Selatan.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan selama penelitian adalah cuplikan sedimen, air, ikan
Nomei (daging dan hati). Alat yang digunakan adalah ekman grab, dissecting set,
frezee dried, van dorn water sampler dan pendeteksi PAH spektrometry massa
gas kromatograf (GC-MS) tipe Shimadzu QP2010, detection limit 0.001 ppb.
3.3 Pengumpulan Data
3.3.1 Penentuan Stasiun Pengambilan Cuplikan
Stasiun pengambilan cuplikan air dan sedimen ditentukan berdasarkan 3
lokasi keterwakilan. Lokasi pertama adalah wilayah yang mewakili daerah kurang
banyak kegiatan. Lokasi kedua merupakan lokasi pengambilan cuplikan ikan dan
lokasi ketiga mewakili daerah yang aktif/banyak kegiatan. Pengambilan cuplikan
ikan hanya dilakukan pada 1 stasiun yaitu lokasi penangkapan di utara (Stasiun 2)
karena hanya di wilayah tersebut cuplikan ikan dapat ditemukan (Gambar 10) dan
ditangkap pada saat kondisi air laut pasang.
3.3.2 Teknik Pengambilan Cuplikan
1. Air
Cuplikan air diambil dengan menggunakan van dorn water sampler
berkapasitas 2 liter, kedalaman 1 meter dari permukaan air dan 1 meter
dari permukaan sedimen yang kemudian di komposit. Sebanyak 2 liter
32
Gambar 10 Peta lokasi pengambilan cuplikan. Cuplikan air dan sedimen (Stasiun 1, 2, dan 3), cuplikan ikan (Stasiun 2).
33
dimasukkan ke dalam botol gelap yang sudah dibersihkan dengan bilasan
methanol dan hexan. Dalam trasportasi menuju laboratorium cuplikan
dimasukkan dalam boks es, dan setelah di laboratorium disimpan dalam
pembeku (freezer).
2. Sedimen
Sedimen dari dasar perairan diambil menggunakan ekman grab,
selanjutnya
dilakukan
pengambilan
cuplikan
sedimen
dengan
menggunakan sub core sampai kedalaman 3 cm. Cuplikan sedimen
kemudian disimpan dalam plastik yang telah disterilkan dengan prosedur
IAEA
1360.
Dalam
transportasi
menuju
laboratorium
cuplikan
dimasukkan dalam boks es, dan kemudian setelah di laboratorium cuplikan
disimpan dalam pembeku.
3. Cuplikan ikan Nomei
Cuplikan ikan dapat dibedakan berdasarkan berat badan kecil (27.9
±79.41), sedang (181±735.9) dan besar (460±103 ) (Liang et al. 2007),
berdasarkan ukuran tubuh
(Neves et al. 2007), ukuran ikan dewasa
(Ramachandran et al. 2006) dan berdasarkan panjang berat (Vuorinen et
al. 2006). Dalam penelitian ini ikan dibedakan berdasarkan ukuran tubuh
komersil (kecil (<20 cm), sedang (21-25 cm) dan besar (>25 cm)), selain
untuk mendapatkan informasi konsentrasi akumulasi PAH berdasarkan
ukuran tersebut.
Ikan Nomei diambil dengan menggunakan mini trawl. Kemudian
ikan dibedakan berdasarkan tiga kelompok ukuran tubuh yaitu Ukuran
kecil (<20 cm), sedang (21-25 cm) dan besar (>25 cm). Setiap ukuran
cuplikan kemudian diambil hati dan dagingnya. Daging dipilih dengan
pertimbangan bahwa di dalamnya memiliki kandungan lipid yang paling
besar sehingga kemungkinan PAH yang terserap cukup banyak, sedangkan
hati merupakan organ yang memetabolisme atau sebagai filter semua
bahan beracun dalam tubuh ikan termasuk dalam hal ini PAH.
Berat cuplikan yang diambil disesuaikan dengan jumlah standar
untuk kebutuhan analisis PAH. Kemudian cuplikan hati dan daging
34
disimpan dalam boks es selama transportasi ke laboratorium dan dalam
laboratorium disimpan dalam pembeku sampai siap untuk dianalisis.
3.4 Analisis Cuplikan
3.4.1 Perlakuan Cuplikan
Sebelum dianalisis cuplikan sedimen, daging dan cuplikan hati ikan Nomei
terlebih dahulu dikeringkan dengan pengering beku (freezed dried). Cuplikan air
terlebih dahulu di saring untuk menghilangkan partikel sedimen, kemudian
disimpan pada kondisi beku sampai analisis dilakukan.
3.4.2 Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH)
Prosedur analisis yang digunakan untuk PAH dalam air dilakukan menurut
Yu et al. 2009 yang dimodifikasi (Lampiran 1). Cuplikan air sebanyak 2 liter
diekstraksi menggunakan 30 ml dicloromethan sebanyak tiga kali. Supernatan
kemudian dimurnikan dengan kolom gelas yang diisi dengan alumina/silica (1:2)
30 gr. Fraksi alifatik dielut dengan 20 ml hexan dan fraksi kedua yang merupakan
PAH dielut dengan 70 ml diclorometan/hexan (3:7).
Analisis PAH dalam sedimen, daging dan hati ikan Nomei dilakukan
dengan metode soxhlet (Liu et al. 2007) yang dimodifikasi (Lampiran 2).
Cuplikan sedimen 40 gr kering diekstraksi menggunakan soxhlet ±16 jam dengan
pelarut hexan/aseton (1:1) 150 ml. Supernatan kemudian diberikan perlakuan
dengan bubuk tembaga untuk menghilangkan sulfur dan dimurnikan di kolom
gelas dengan menggunakan silica gel yang diaktifkan/Al 2 O 3 (1:2) 10 gr.
Fraksi alifatik dielut dengan hexan 40 ml dan fraksi aromatik dibilas dengan
diclorometan/hexan (3:7). Cuplikan daging yang digunakan adalah 10 gr dan
cuplikan hati 5 gr. Standar eksternal yang digunakan dalam penelitian ini adalah
fluorin 100 ppm, fenantrena 100 ppm, antrasena 100 ppm dan fluorantena 100
ppm.
Analisis jenis PAH dalam cuplikan sedimen, air, daging dan hati ikan
Nomei dilakukan dengan menggunakan GC-MS tipe Shimadzu QP2010, dengan
detektor ionisasi nyala (FID), injeksi pisah (split injector) dan menggunakan silica
lebur kolom (coulumn fused silica) DB5 MS dengan panjang 30 m, diameter
35
inline 0.32 mm. Temperatur program GC diatur pada 40oC selama 1 min, di
naikkan 6 oC/menit sampai 300 oC, kemudian 300oC dipertahankan selama 20
min. Untuk mengidentifkasi jenis dan nama PAH, pada internal sistem GC-MS
Shimadzu QP2010 menggunakan library National Institute of Standards and
Technology (NIST) 27, NIST147 dan
WILEY7. Selain internal library juga
digunakan single ion monitoring (SIM) dalam Orecchio et al. 2009 (Tabel 11).
Tabel 11 Daftar 28 jenis PAH, kuantifikasi ion dan konfirmasi ion untuk SIM
(single ion monitoring) GC-MS yang digunakan dalam
mengidentifikasi senyawa PAH selain menggunakan library internal
GC-MS (Orecchio et al. 2009).
Kelompok
Jenis PAH
Ion tertinggi
Ion penanda
1
Asenaftilen
Asenaftena
Fluorena
Asenaftena d 10
152
154
166
164
76, 151
152, 76
164,165
2
Fenantrena
Antrasena
2-Metil fenantrena
2-Metil antrasena
9-Metil fenantrena
9-Metil antrasena
2,4-Dimetil fenantrena
Fluorantena
1,2-Dimetil fenantrena
Pirena
1-Metilpirena
Benz[a]antrasena
Fenantrena d 10
178
178
192
192
192
192
206
202
206
202
216
228
188
188, 89
188, 89
96, 82
96, 82
96, 82
96, 82
191
101, 200
191
101, 200
108, 94
114, 226
3
Krisena
Benzo[b]Fluorantena
Benzo[k]Fluorantena
Benzo[e]pirena
Benzo[a]pirena
Krisena d 12
228
252
252
252
252
240
114, 226
126, 250
126, 250
126, 250
126, 250
4
Perilen
Indeno[1,2,3-cd]pirena
Dibenz[a,h]antrasena
Benzo[g,h,i]perylen
Dibenzo[a,l]pirena
Dibenzo[a,e]pirena
Dibenzo[a,i]pirena
Dibenzo[a,h]pirena
252
276
278
276
302
302
302
302
126, 250
277, 138
279, 139
277, 138
151
151
151
151
36
3.4.3 Analisis Lipid
Prosedur analisis yang digunakan untuk mengetahui kandungan lemak pada
daging ikan Horpodon nehereus adalah SEAMIC IMFJ (Southeast Asian Medical
Information Center International Medical Foundation of Japan) tahun 1985
(Lampiran. 3). Daging ikan Nomei 5 gr di tambahkan Na 2 SO 4 10 gr kemudian di
campur. Masukkan dalam oven 105oC ± 2 jam, kemudian didinginkan dalam
desikator. Cuplikan kemudian di ekstrasi dengan soxhlet dengan pelarut dietil eter
300 ml. Supernatan kemudian diuapkan dengan rotary evaporator sampai ± 10 ml.
supernatant kemudian dipindahkan ke gelas beaker yang sudah diketahui
beratnya, kemudian dikeringkan dan di timbang kembali.
3.5 Analisis Data
Dalam menentukan sumber pencemar PAH, digunakan beberapa rasio yaitu;
rasio antara fluorantena dan pirena (FLA/FLA+PYR), rasio total isomer
metilfenantrena terhadap fenantrena (MPHE/PHE), rasio BMR/BMT dan double
ratio fenantrena (PHE), antrasena (ANT), fluorantena (FLA) dan pirena (PYR)
(Tabel 12).
Tabel 12 Ratio individu PAH penentu sumber pencemar.
Ratio diagnosis
Pirolitik
Petrogenik
Referensi
BMR/BMT
<1
>1
Budzinski et al. 1997, Sicre et al. 1987,
Mostafa et al. 2009
∑MPHE/PHE
<1
>1
Gschwend dan Hites (1981), Garrigues et al.
1995, Boonyatumanond et al. 2006
FLA(FLA+PYR)
>0.5
<0.5
Budzinski et al. 1997, Qiao et al. 2006,
Mostafa et al. 2009.
PHE/ANT
<10
>15
Liang et al. 2007, Soclo et al. 2000, Yim et
al. 2007, Tian et al. 2008, Ke et al. 2002,
Tang et al. 2005
BMR : Berat molekul rendah; BMT : berat molekul tinggi; MPHE : metilfenantrena; PHE ;
fenantrena; FLA : fluorantena; PYR : pirena
37
Dalam menentukan level konsentrasi di sedimen mengacu pada Baumard et
al. (1998) (Tabel 13). Dalam menentukan efek kontaminasi PAH di sedimen
terhadap organisme laut dilakukan perbandingan berdasarkan effect range low
(ERL) dan effect range median (ERM) (Tabel 14) dan nilai kualitas lingkungan
perairan terhadap PAH menggunakan kriteria menurut USEPA (Tabel 16). Dalam
mengetahui status kontaminasi PAH pada tubuh, mengacu pada kriteria oleh
Varanasi et al. 1993 dalam Gomes et al. 2010 (Tabel 15).
Tabel 13 Tingkatan level konsentrasi PAH pada sedimen (Baumard et al. 1998).
Konsentrasi
Kecil
Sedang
Tinggi
Sangat Tinggi
∑PAH (ng/g)
0-100
100-1 000
1 000-5 000
>5 000
Tabel 14 Konsentrasi ERL (effect range low) dan ERM (effect range median)
untuk menentukan status kontaminasi PAH di sedimen terhadap
organisme laut (Woodhead et al. 1999; O’connor dan john 2000;
Burton 2002).
No
Komponen
ERL (ng/g)
ERM (ng/g)
1
BMR
550
3 160
2
BMT
1 700
9 600
3
Total PAH
4 000
45 000
Tabel 15 Klasifikasi status jaringan ikan yang terkontaminasi PAH (Varanasi et
al. 1993 dalam Gomes et al. 2010).
No
Klasifikasi
Konsentrasi PAH (ng/g)
1
Tidak terkontaminasi
<10
2
Nilai kontaminasi kecil
3
Nilai kontaminasi sedang
100-1 000
4
Nilai kontaminasi tinggi
>1 000
99-100
38
Tabel 16 Kriteria kualitas PAH di perairan laut menurut USEPA (Irwin 1997).
No
Komponen
Akut (µg/l)
Kronis (µg/l)
1
2
3
4
5
6
Naftalena
Asenaftena
Fenantrena
Fluorantena
Pirena
Total PAH
2.35
970
7.7
40
tn
300
620*
710
4.6
16
10
tn
Nilai berdasarkan Environmental Protection Agency (EPA), National Oceanic and Atmospheric
Administrations (NOAA), Lowest observed effect concentrations (LOEC), tidak ada nilai (tn), (*)
tidak ada nilai di perairan laut, nilai yang diberikan adalah perairan tawar.
39
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Kandungan PAH Di Air
Secara umum jenis PAH yang ditemukan pada cuplikan air adalah
fenantrena (PHE) dan fluorantena (FLA) (Gambar 11). Pada Stasiun 1 hanya
ditemukan fenantrena dengan konsentrasi rendah yaitu 6 µg/l. Pada Stasiun 3
ditemukan fluorantena mencapai 132 µg/l dan fenantrena yang mencapai 248 µg/l,
Konsentrasi µg/l
tetapi PAH tidak terdeteksi di Stasiun 2 (Gambar 12-13).
Stasiun I
Stasiun III
Gambar 9 Histogram konsentrasi individu PAH (µg/l) dalam cuplikan air.
Stasiun 3 merupakan lokasi yang mewakili wilayah padat kegiatan yaitu
pelabuhan, dengan berbagai kegiatan seperti hilir mudik kapal, bongkar muat
barang termasuk kegiatan bongkar muat minyak, dan merupakan daerah operasi
PT. PERTAMINA. Stasiun air 1 merupakan daerah tidak banyak kegiatan,
walaupun pada cuplikannya terdeteksi fenantrena. Stasiun air 2 merupakan daerah
penangkapan ikan Nomei seperti kegiatan penangkapan ikan, dan hasil analisis
menunjukkan tidak ditemukan komponen PAH.
40
800000
1
700000
Intensitas
600000
500000
400000
300000
200000
1
100000
0
5
10
20
30
40
Waktu retensi (menit)
Gambar 10 TIC (total ionic current) pada cuplikan air 1. ( [1] fluorantena), [O] series dari hidrokarbon alkana).
50
60
41
800000
700000
Intensitas
600000
500000
400000
300000
200000
100000
0
5
10
20
30
Waktu retensi (menit)
40
50
Gambar 11 TIC (total ionic current) pada cuplikan air 2 yang tidak terdeteksi adanya PAH. ([O] series dari hidrokarbon alkana).
60
42
800000
1
2
700000
Intensitas
600000
500000
400000
300000
200000
1
2
100000
0
5
10
20
30
40
50
60
Waktu retensi (menit)
Gambar 12 TIC (total ionic current) pada cuplikan air 3. ( [1] fluorantena, [2] fenantrena (PHE), [O] series dari hidrokarbon alkana).
43
Perbedaan keberadaan dan konsentrasi PAH dalam air disebabkan oleh
beberapa hal seperti sifat fisik dan kimiawinya. PAH dengan berat molekul rendah
(asenaftena, naftalena, fluorena) dapat dengan cepat hilang dari kolom air karena
adanya proses volatilisasi dan degradasi oleh mikroba. Sementara berat molekul
tinggi (benzo(a)antrasena, benzo(a)pirena) lebih mudah hilang selama proses
fotooksidasi dan terabsorpsi ke partikel sedimen yang kemudian mengendap di
dasar perairan (Irwin 1997).
Secara umum, volatilisasi di permukaan adalah >100 jam untuk PAH
dengan berat molekul tinggi, seperti benz(a)antrasena and benzo(a)pirena dan
<100 jam untuk PAH dengan berat molekul rendah seperti naftalena and
antrasena. Namun waktu tersebut sangat bervariasi tergantung pada kecepatan
angin di permukaan dan pergolakan air (Irwin 1997). PAH juga bersifat
hidropobik (tidak suka air) yang mengindikasikan daya larutnya di dalam air
sangat rendah yaitu log K OW 3.0-7.0 (Kalf et al. 1996), dan karenanya konsentrasi
PAH di perairan cenderung rendah 0-4 µg/l (Arias et al. 2009), 0.5964-0.6733
µg/l (Augustine 2008). Konsentrasi yang rendah juga dapat disebabkan oleh
proses absorpsi PAH ke dalam partikel organik dan anorganik (Neff 1979).
Ada 3 proses utama yang menyebabkan terjadinya degradasi PAH yang
mungkin dapat menyebabkan penurunan konsentrasi PAH dalam perairan (Sanusi
dan Sugeng 2009). 1) Fotooksidasi; proses senyawa PAH dalam perairan akan
terurai membentuk radikal lebih sederhana dengan gugus oksigen dan mudah
terlarut dan terdegradasi lebih lanjut. 2) Oksidasi kimiawi; hal ini disebabkan
adanya kelarutan oksigen yang cukup dalam badan air. Elektron terlepas dari
senyawa kimia yang teroksidasi diikuti oleh peralihan elektron dari senyawa
kimia yang tereduksi disebut dengan proses oksidasi-reduksi. Hasil akhirnya
adalah produk CO 2 dan H 2 O. Variabel pH, temperatur dan DO menentukan
kecepatan proses oksidasi. 3) Transformasi biologi; yaitu degradasi senyawa PAH
secara biologi yang dilakukan oleh bakteri dan jamur.
Besaran dan luasan photodegradasi berbeda antar senyawa PAH. Faktorfaktor seperti kedalaman perairan, turbiditas dan temperatur berpengaruh terhadap
nilai dari photodegradasi. Fotolisis dari banyak PAH diduga terjadi dekat
44
permukaan air, PAH dengan berat molekul tinggi seperti benzo(a)pirena menjadi
lebih sensitif pada fotolisis (Irwin 1997).
4.1.2 Kandungan PAH Di Sedimen
Pada cuplikan sedimen terdapat 5 jenis senyawa PAH (Gambar 15-18).
Konsentrasi cuplikan sedimen berkisar antara 7-69 ng/g. PHE-C1 adalah
konsentrasi maksimum yang ditemukan pada Stasiun 1 yaitu 69 ng/g dan ANT-C1
Konsentrasi
Konsentrasi
ng/g
adalah konsentrasi terendah pada Stasiun 3 yaitu 7 ng/g.
Stasiun I
Stasiun II
Stasiun III
Gambar 15 Histogram konsentrasi individu PAH (ng/g) dalam cuplikan sedimen.
Total konsentrasi di sedimen secara umum lebih besar dari pada di perairan.
Konsentrasi dan jenis PAH di Stasiun 3 lebih tinggi dibanding dengan Stasiun 1
dan 2. Perbedaan konsentrasi dan jenis ini diduga berkaitan dengan perbedaan
kondisi fisik ke tiga wilayah, seperti dijelaskan sebelumnya yaitu lokasi Stasiun 3
merupakan daerah padat kegiatan, selain merupakan daerah pelabuhan yang
banyak aliran sungai yang bermuara di lokasi ini. Aliran sungai ini mentransport
sumber-sumber PAH yang berasal dari daratan. PAH yang masuk ke dalam air
dengan cepat diabsorpsi oleh partikel organik dan anorganik. Partikel-partikel ini
kemudian mengendap dan terakumulasi di dasar perairan.
45
10000000
1
4
5&6
900000
800000
700000
Intensitas
600000
500000
400000
300000
4
5
6
1
200000
100000
0
5
10
20
30
Waktu retensi (menit)
40
50
60
Gambar 16 TIC (total ionic current) pada cuplikan sedimen 1. [1] 1,3-dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C1)), [4] fenantrena (PHE), [5]
2-metil-fenantrena (2-M-PHE (PHE-C1)), [6] 4- metil-fenantrena (4-M-PHE (PHE-C1)).
46
10000000
3
4
900000
800000
Intensitas
700000
600000
500000
400000
300000
3
4
200000
100000
0
5
10
20
30
40
50
60
Waktu retensi (menit)
Gambar 17 TIC (total ionic current) pada cuplikan sedimen 2. [3] 1,6-dimetil-4-(1-metilethil)-naftalena (1,6-D-4-NAP (NAP-C1)), [4]
fenantrena (PHE).
47
10000000
1
2
4
7&8
9
900000
800000
700000
Intensitas
600000
500000
400000
300000
1
200000
2
4
7
8 9
100000
0
5
10
20
30
40
50
60
Waktu retensi (menit)
Gambar 18 TIC (total ionic current) pada cuplikan sedimen 3. [1] 1,3-dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C1)), [2] 1,2,3,4-tetrahidro-1,6
dimetil-4-(1-metiletil)-(1S-cis) naftalena (1T-1D-4M-1S-NAP (NAP-C1)), [4] fenantrena (PHE), [7] 9-metil-fenantrena (9-MPHE (PHE-C1)), [8] 9-metil-antrasena (9-M-ANT (ANT-C1)), [9] fluorantena (FLA).
48
Keberadaan pirena, fenantrena dan fluorantena secara umum di sedimen
sering ditemukan (Irwin 1997). Sumber PAH dari daratan juga dapat berasal dari
runoff dan sumber antropogenik termasuk pembakaran fosil, oil spill, emisi
industri dan urbanisasi yang merupakan proses pirolitik (Yim et al. 2007).
4.1.3 Kandungan PAH di Daging dan Hati Ikan Nomei
Hasil analisis komponen PAH pada cuplikan daging teridentifkasi 10 jenis
yang ditunjukan pada Gambar 19-22. Kandungan PAH total pada daging ikan
Nomei kecil adalah 1067 ng/g, ukuran sedang 605 ng/g, dan ukuran besar 1025
ng/g. naftalena-C2 dan fenantrena-C1 adalah jenis PAH yang ditemukan pada
setiap ukuran ikan. Naftalena-C2 mempunyai konsentrasi 377 ng/g pada ukuran
kecil, 309 ng/g pada ukuran sedang, dan 422 ng/g pada ukuran besar. fenantrenaC1 mempunyai konsentrasi 117 ng/g pada ukuran kecil, 47 ng/g pada ukuran
sedang, dan 160 ng/g pada ukuran besar.
Gambar 19 Diagram konsentrasi individu PAH (ng/g) dalam daging ikan Nomei.
Jenis PAH pirena dan antrasena hanya ditemukan pada daging ikan ukuran
kecil dengan konsentrasi 172 ng/g dan 270 ng/g. Asenaftena dan fluorena adalah
senyawa PAH yang hanya terdapat pada daging ikan ukuran sedang dengan
konsentrasi 73 ng/g dan 116 ng/g dan naftalena-C1 hanya ditemukan pada dagin
ikan ukuran besar yaitu 74 ng/g.
49
20000000
1
2
10
5
13
11
18000000
16000000
Intensitas
14000000
12000000
14
10000000
8000000
6000000
1
2
5 10
11
13
14
4000000
2000000
0
5
10
20
30
40
50
60
Waktu retensi (menit)
Gambar 18 TIC (total ionic current) pada cuplikan daging ikan Nomei kecil. [1] 1,3-dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C1)), [2] 1,6dimetilnaftalena (1,6-D-NAP (NAP-C1), [5] 4-metil-bifenil (4-M-BL (BPH), [10] antrasena (ANT), [11] 4-metilfenantrena
(4-M-PHE (PHE-C1)), [13] fluorantena (FLA), [14] pirena (PYR).
50
20000000
1&2
4&7
9
12
13
18000000
16000000
14000000
Intensitas
12000000
10000000
8000000
6000000
1
2 4 7
9
12
13
4000000
2000000
0
5
10
20
30
40
50
60
Waktu retensi (menit)
Gambar 19 TIC (total ionic current) pada cuplikan daging ikan Nomei sedang. [1] 1,3-dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C1)), [2] 1,6dimetilnaftalena (1,6-D-NAP (NAP-C2), [4] 3-metilbifenil (3-M-BL (BPH)), [7] n-cycloheptyl-2,2-diphenylacetamid (N-C2,2-D- asenaftena (ACE)), [9] fenantrena (PHE), [12] 9-metilantrasena (9-M-ANT (ANT-C1)), [13] fluorantena (FLA).
51
20000000
1, 2 & 3
18000000
4&6
8
9
40
50
11
16000000
Intensitas
14000000
12000000
10000000
8000000
4&6 8
1
6000000
2 3
9
11
4000000
2000000
5
10
20
30
Waktu retensi (menit)
60
Gambar 20 TIC (total ionic current) pada cuplikan daging ikan Nomei besar. [1] 1,3-dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C2)), [2] 1,6dimetilnaftalena (1,6-D-NAP (NAP-C2)), [3] 1,7-dimetilnaftalena (1,7-D-NAP (NAP-C2)), [4] 3-metilbifenil (3-M-BL
(BPH)), [6] 1-allyl- naftalena (1-A-NAP (NAP-C1)), [8] fluorena (FLU), (9) fenantrena (PHE), [11] 4-metilfenantrena (4-MPHE (PHE-C1)).
52
Fluorantena dan bifenil terdeteksi pada daging ikan ukuran kecil dan
sedang. Konsentrasi terbesar fluorantena 64 ng/g dan bifenil 68 ng/g pada ikan
ukuran kecil. Jenis fenantrena hanya terdeteksi pada ukuran ikan sedang dan besar
yaitu 115 ng/g dan 203 ng/g.
Sistem enzimatik mampu memetabolisme dan mengkonjugasi PAH yang
terjadi pada berbagai jenis ikan (Varanasi et al. 1989, diacu dalam Boumard
1998). Distribusi bahan kontaminan pada jaringan ikan diatur oleh fenomena yang
kompleks, terutama ketersediaan dari bahan kontaminan itu sendiri (Boumard
1998). PAH dengan berat molekul tinggi, mempunyai kemampuan melakukan
biotrasformasi ke berat molekul yang lebih tinggi dari berat molekul yang rendah
(Varanasi dan Gmur 1981; Broman et al. 1990, diacu dalam Boumard 1998).
Pada cuplikan hati ikan Nomei teridentifikasi 6 jenis senyawa PAH yang
terakumlasi (Gambar 23-26). Kandungan PAH total pada hati Nomei kecil adalah
1679 ng/g, hati ikan ukuran sedang 977 ng/g, dan hati ikan ukuran besar 1445
ng/g. naftalena-C2 dan fenantrena adalah jenis PAH yang ditemukan pada setiap
ukuran ikan. naftalena-C2 mempunyai konsentrasi 833 ng/g pada hati ikan ukuran
kecil, 573 ng/g pada hati ikan ukuran sedang, dan 660 ng/g pada hati ikan ukuran
besar. Fenantrena mempunyai konsentrasi 427 ng/g pada hati kecil, 215 ng/g pada
Konsentrasi ng/g
hati ikan ukuran sedang, dan 176 ng/g pada hati ikan ukuran besar.
Ikan Kecil
Ikan Sedang
Ikan Besar
Gambar 23 Diagram konsentrasi individu PAH (ng/g) dalam hati ikan Nomei.
53
30000000
2, 3 & 4
10
7
11
1,5-D-NAP
28000000
26000000
24000000
22000000
20000000
Intensitas
18000000
16000000
14000000
12000000
10000000
8000000
2 3 4 7
6000000
10
11
4000000
2000000
0
5
10
20
30
Waktu retensi (menit)
40
50
60
Gambar 24 TIC (total ionic current) pada cuplikan hati ikan Nomei kecil. [2] 1,3-dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C2)), [3] 1,4dimetilnaftalena (1,4-D-NAP (NAP-C2)), [4] 1,5-dimetilnaftalena (1,5-D-NAP (NAP-C2)), [7] 3-metilbifenil (3-M-BL
(BPH)), [10] fenantrena (PHE), [11] fluorantena (FLA).
54
30000000
2, 3 & 5
28000000
26000000
8
10
24000000
22000000
20000000
Intensitas
18000000
16000000
14000000
12000000
10000000
8000000
6000000
2 3 5 8
4000000
10
2000000
0
5
10
20
30
40
50
60
Waktu retensi (menit)
Gambar 25 TIC (total ionic current) pada cuplikan hati ikan Nomei sedang. [2] 1,3-dimetilnaftalena (1,3-D-NAP (NAP-C2)), [3] 1,4dimetilnaftalena (1,4-D-NAP (NAP-C2)), [5] 1,7-dimetilnaftalena (1,7-D-NAP (NAP-C2)), [8] 1-allyl-naftalena (1-A-NAP
(NAP-C1)), [10] fenantrena (PHE).
55
30000000
2, 3 & 6
1
28000000
26000000
7&9
10
24000000
22000000
Intensitas
20000000
18000000
16000000
14000000
12000000
10000000
8000000
6000000
1
2 3 6 7 9
10
4000000
2000000
0
5
10
20
30
Waktu retensi (menit)
40
50
60
Gambar 26 TIC (total ionic current) pada cuplikan hati ikan Nomei besar. [1] naftalena (NAP), [2] 1,3-dimetilnaftalena (1,3-D-NAP
(NAP-C2)), [3] 1,4-dimetilnaftalena (1,4-D-NAP (NAP-C2)), [6] 2,6-dimetilnaftalena (2,6-D-NAP (NAP-C2)), [7] 3metilbifenil (3-M-BL (BPH)), [9] diphenylmethan (D-MTH (BPH)), [10] fenantrena (PHE).
56
Jenis PAH fluorantena hanya ditemukan pada hati ikan ukuran kecil dengan
konsentrasi 298 ng/g. naftalena-C1 hanya ditemukan pada hati ikan ukuran sedang
dengan konsentrasi 190 ng/g dan naftalena hanya ditemukan pada hati ikan ukuran
besar dengan konsentrasi 381 ng/g. Bifenil adalah senyawa PAH yang hanya
terdapat pada hati ikan ukuran kecil dan hati besar dengan konsentrasi berturutturut 121 ng/g dan 227 ng/g.
Jalur utama dalam mengekskresi PAH dan metabolismenya yaitu dari hati
ke gastrointestinal melalui empedu, dari lambung melalui urine dan kulit setelah
terbungkus oleh mucus (Varanasi et al.1978). Proses transformasi PAH pada ikan
sebagian besar melalui sistem enzimatis yaitu melalui 2 langkah (Jimenez dan
Stegman 1990, Pritchard 1993).Langkah enzimatis pertama (cytochrome P450
monoxygenes system) menggabungkan kelompok polar ke xenobiotic molecule
melalui oksidasi, reduksi atau hydrolytic processes. Reaksi pada langkah kedua
melibatkan konjugasi dari xenobiotic atau langkah pertama dari metabolismenya,
dengan polar enogenous constituents seperti glucuronic acid, sulfate, glutathione
atau amino acid (Lech dan Vodicnic 1985, Lindstrom 1990, Pesonen 1992 diacu
dalam Tuvikene 1995) untuk memproduksi water-soluble conjugates yang mudah
dikeluarkan oleh ikan. Enzim-enzim yang terlibat dalam langkah kedua ini disebut
enzim konjugasi (Tuvikene 1995).
Konsentrasi antara daging dan hati di ikan kecil berbeda. Pada daging
terdapat 6 senyawa PAH dan pada hati terdapat 4 senyawa yang tidak semuanya
sama. Konsentrasi naftalena-C2 337 ng/g adalah yang tertinggi pada daging. Pada
hati konsentrasi tertinggi adalah sama naftalena-C2 yaitu 833 ng/g. Komponen
fluorantena, naftalena-C2, dan bifenil adalah senyawa yang sama-sama terdapat
pada daging dan hati namun berbeda konsentrasinya yaitu konsentrasi tertinggi
terdapat pada hati (Gambar 27).
Pada daging dan hati ikan sedang juga diketahui adanya perbedaan
komponen dan konsentrasi PAH. PAH pada daging ikan sedang ada 6 jenis dan
pada hati ikan sedang ada 3 jenis. Asenaftena, fluorantena, fenantrena, naftalenaC1, naftalena-C2, fenantrena-C1, dan bifenil adalah senyawa yang berbeda yang
terdapat pada hati dan daging ikan sedang.
57
Gambar 27 Perbedaan jenis dan konsentrasi PAH pada daging dan hati ikan
Nomei kecil.
Fenantrena dan naftalena-C2 adalah senyawa PAH yang terdapat pada
daging maupun pada hati ikan, dengan konsentrasi tertinggi berada pada hati yaitu
215 ng/g dan 573 ng/g (Gambar 28). Fenantrena dan naftalena-C2 adalah jenis
PAH yang terdapat pada daging dan hati ikan besar dengan konsentrasi tertinggi
203 ng/g pada daging dan
naftalena-C2 tertinggi pada hati yaitu 660 ng/g
(Gambar 29). Fenantrena dan naftalena-C2 adalah senyawa yang mempunyai
waktu tinggal yang lama yaitu terdapat pada semua ukuran ikan baik di daging
maupun di hati dan konsentrasinya lebih banyak pada hati. Berdasarkan tingkat
konsentrasi,
naftalena-C2
pada
daging
tidak
menunjukkan
peningkatan
konsentrasi yang signifikan berdasarkan ukuran tubuh (Gambar 30).
Gambar 28 Perbedaan jenis dan konsentrasi PAH pada daging dan hati ikan
Nomei sedang.
58
Gambar 29 Perbedaan jenis dan konsentrasi PAH pada daging dan hati ikan
Nomei besar.
Gambar 30 Perbedaan senyawa dan konsentrasi fenantrena dan naftalena-C2 pada
daging dan hati ikan Nomei berdasarkan ukuran.
Perbedaan jenis dan konsentrasi pada daging dan hati pada masing-masing
ukuran diduga dipengaruhi oleh sistem yang ada di dalam tubuh ikan Nomei
seperti sistem aliran darah. Distribusi polutan di jaringan pada suatu spesies
ditentukan oleh aliran darah sekitar yang melalui setiap jaringan. Organ dengan
aliran darah yang tinggi seperti hati dan ginjal, besar kemungkinannya
terakumulasi PAH secara xenobiotics (Pritchard 1993) sehingga konsentrasinya
lebih tinggi dibandingkan pada daging. Faktor-faktor lain seperti jaringan plasma
protein, gabungan spesialisasi mekanisme pengambilan oleh sel, metabolisme dan
ekskresi, juga berpengaruh pada distribusi, lamanya dan toksisitasnya (Tuvikene
1995).
59
4.1.4 Kandungan Lipid
Kandungan lipid pada ikan menunjukkan adanya peningkatan persentasi
jumlah lipid berdasarkan ukuran tubuh (Gambar 31). Hasil ini menunjukkan
bahwa semakin besar tubuh ikan semakin besar pula kandungan lipidnya.
Kandungan lipid dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia, jenis, status
feeding dan spawningnya yang dapat berubah dalam 1 tahun hidupnya (Perugini
et al. 2007).
Gambar 31 Konsentrasi jumlah lipid berdasarkan ukuran tubuh ikan Nomei (A),
total konsentrasi PAH dalam daging berdasarkan ukuran tubuh ikan
Nomei (B).
Kandungan lipid pada ikan kecil diketahui 200 µg/g, lipid pada ikan sedang
600 µg/g dan lipid pada ikan besar 1700 µg/g. Hasil analisis lipid kemudian
dibandingkan dengan konsentrasi total PAH yang ada di dalam daging, dan
menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi PAH pada daging tidak berkorelasi
positif dengan peningkatan kadar lemak. Mayoritas bahan pencemar organik
adalah lipophilic, yang ketika masuk kedalam tubuh ikan dengan mudah terserap
oleh lemak, sehingga semakin besar kandungan lemak maka semakin besar
konsentrasinya. Hal ini diduga disebabkan faktor lain seperti bioaviabilitas PAH,
60
biotrasformasi dan metabolismenya yang juga mempengaruhi distribusi dan
kandungan PAH pada jaringan ikan Nomei.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Sumber PAH
Salah satu kesulitan dalam mengidentifikasi sumber dari PAH adalah
banyak kemungkinan sumbernya; petrogenik, pirogenik dan adanya proses
transformasi dari PAH itu sendiri sebelum cuplikan sedimen di analisis (Butler
dan Crossley 1981, diacu dalam Soclo et al. 2000). Fingerprints PAH dari
pirogenik atau berasal dari petrogenik, dapat digunakan untuk membedakan
asalnya dengan menggunakan indikasi molekularnya berdasarkan rasio dari
konsentrasi PAH yang terpilih (Colombo et al. 1989, diacu dalam Soclo et al.
2000).
Pendekatan sederhana yang dapat digunakan dalam menduga sumber PAH
adalah berdasarkan individu PAH, yaitu dengan membedakan
antara berat
molekul rendah (2-3 ring) dengan berat molekul tinggi (4-5 ring) (Boehm dan
Farringtin 1984 dalam Boehm 2006). PAH dengan jumlah rantai karbon 4-6 yang
merupakan berat molekul tinggi >202 terdeteksi sebagai sumber pirogenik seperti
dari pembakaran batu bara, kayu, dan bahan bakar kendaraan. PAH dengan berat
molekul rendah <202 yaitu PAH dengan jumlah rantai karbon 2-3/alkilsusbstituted berasal dari sumber petrogenik (Arias et al. 2009).
Ciri lain dari sumber petrogenik (contoh minyak mentah) adalah alkil
>parent, sedikit PAH dengan rantai 4-6 dan ciri sumber pirogenik (contoh urban
runoff) adalah parent>alkil, rantai 4-6 lebih tinggi konsentrasinya. Berdasarkan
hal tersebut sumber PAH di perairan dan sedimen Kota Tarakan berasal dari
sumber petrogenik dan pirogenik (Gambar 30).
Petroleum residu yang terlepas ke sedimen ini diduga berasal dari kegiatan
pelabuhan, buangan-buangan minyak dari kegiatan perbengkelan di daratan yang
dibuang langsung melalui sungai dan mengarah ke laut. Di beberapa daerah maju
dan berkembang di beberapa wilayah di dunia sumber PAH berasal dari sumber
petrogenik dan pirogenik (Tabel 17).
61
Gambar 32 Penentuan sumber pencemar PAH di air dan sedimen berdasarkan
persentasi konsentrasi antara berat molekul rendah, berat molekul
tinggi dan alkil PAH. Pada air sumber pencemar PAH berasal dari
sumber petrogenik dan pirogenik dengan persentasi berat molekul
rendah (sumber petrogenik) lebih besar. Pada sedimen sumber
pencemar PAH juga berasal dari sumber petrogenik dan pirogenik,
dengan persentasi jumlah alkil lebih besar dari parent (sumber
petrogenik).
Tabel 17 Sumber pencemar PAH dari beberapa wilayah dunia.
Lokasi
Daerah estuari Bahia Blanca,
Argentina
Cotonou (Benin)
Aquataine (Perancis)
Korea
Daerah pesisir Hadhramout,
Teluk Aden, Yaman
Teluk Meiling, Taihu lake
Cina
Laut hitam
Daerah Urdaibai, Teluk
Biscay, spanyol
Pelabuhan-pelabuhan di
Sidney, Australia
Laut Baltic, jerman
Laut Baltic, Polandia
South-Western laut Barents
Sumber
Petrogenik dan pirogenik
Referensi
Arias et al. 2009
Petrogenik
Pirogenik
Petrogenik dan pirogenik
Petrogenik dan pirogenik
Soclo et al. 2000
Soclo et al. 2000
Yim et al. 2007
Mostafa et al. 2009
Petrogenik dan pirogenik
Qiao et al. 2006
Petrogenik dan pirogenik
Pirogenik
Readman et al. 2002
Azumendi et al. 2010
Pirogenik
MacReady et al. 2000
Pirogenik
Pirogenik
petrogenik
Baumard et al. 1999
Baumard et al. 1999
Boitsov et al. 2009
62
Selain itu diduga berasal dari kegiatan-kegiatan migas yang berpotensi
sebagai sumber seperti kegiatan bongkar muat minyak dari kapal ke tangki dan
sebaliknya, pengolahan limbah minyak dari pit yang tidak sempurna, buangan air
balast dan buangan bahan bakar dari mesin kapal. Karena sifatnya yang
hidropobik, maka PAH dapat dengan mudah terabsorpsi melalui partikel.
Berdasarkan rasio individu PAH sumber pencemar di perairan Kota Tarakan
berasal dari sumber pirogenik dan petrogenik (Tabel 18).
Tabel 18 Diagnosis sumber PAH berdasarkan ratio.
No
Komponen ratio
1
2
BMR/BMT
MPHE/PHE
Pirogenik
Jenis cuplikan
Air
Sedimen
1.93
3.50
tt
1.11
Petrogenik
<1
<1
>1
>1
Berat molekul rendah (BMR), berat molekul tinggi (BMT), alkil (akl), non alkil, metilfenantrena
(MPHE), fenantrena (PHE), tidak terdeteksi (tt).
4.2.2 Tingkat Konsentrasi PAH
Menurut Baumard et al. (1998) kandungan PAH di sedimen dapat
digambarkan berdasarkan total konsentrasinya. Pada sedimen laut diketahui
konsentrasi sedimen 136 ng/g pada Stasiun 1, 50 ng/g pada Stasiun 2 dan 112
ng/g pada Stasiun 3. Nilai ini mengindikasikan konsentrasi PAH di sedimen pada
level konsentrasi kecil-sedang (Tabel 19) dan dibandingkan dengan penelitian di
lokasi lain konsentrasi PAH pada sedimen diperairan laut Kota Tarakan adalah
sedang (Tabel 20).
Tabel 19 Tingkatan level konsentrasi PAH di sedimen pada setiap stasiun.
∑PAH
Stasiun
Stasiun
Stasiun
(ng/g)
sedimen 1
sedimen 2
sedimen 3
136
50
No
Konsentrasi
1
Kecil
0-100
2
Sedang
100-1000
3
Tinggi
1000-5000
4
Sangat tinggi
>5000
Baumard et al. (1998)
112
63
Tabel 20 Konsentrasi ∑PAH pada permukaan sedimen di beberapa wilayah dunia
(di modifikasi dari Mostafa et al. 2009).
Lokasi
Wilayah Tabasco, Meksiko
Teluk meksiko, USA
Teluk Saudi Arabia
Laut Mediterania wilayah barat
Laut Mediterania
Pelabuhan Santos, Brazil
Teluk Izmit, Turkey
Laut hitam
Teluk Santander, daerah Utara Spanyol
Laut hitam, Sochi, Rusia
Laut hitam, Ukraina
Daerah pantai, Laut Hitam, Ukraina
Pelabuhan bagian barat, Alexandria, Mesir
Daerah pesisir Hsin-ta, Taiwan
Sungai Gao-Ping, Taiwan
Sedimen laut Caspian, Iran
Sedimen laut Caspian, Russia
Sedimen laut Caspian, Azerbaijan
Tianjing, China
Teluk Oman, Oman
Teluk Oman, Bahrain
Teluk Oman, Qatar
Teluk Oman, UAE
Teluk Suez, Mesir
Teluk Gemlik, Turkey
Daerah pantai, China
Teluk Meiliang, Danau Taihu, China
Sungai Daliao, China
Lingkungan laut, Korea
Pelabuhan Naples, daerah Selatan Italia
Pantai Hadhramout, Teluk Aden, Yaman
Lingkungan laut Kota Tarakan
PAH (ng/g) Dw
454-3 120
3-3 230
11 000-6 900 000
1.5-20 440
14.6-158.5
80-42 390
2.500-25 000
7-640
20-25 800
61.2-368
66.9-635
7.2-126
8-131 150
98.1-2 048
8-356
94-1 789
6-345
338-2 988
787-1 943 000
1.6-30
13-6 600
0.5-592
0.6-9.4
158-10 463
50-813 482
189-637
1 207-4 754
61.9-840.5
8.80-18 500
9-31 774
2.2-604.4
50-112
∑ PAH
15
18
13
14
28
17
14
16
15
17
17
17
43
27
16
46
46
46
16
19
19
19
19
15
13
18
16
18
16
16
46
9
Konsentrasi ∑PAH di air untuk lokasi satu adalah 6.36 µg/l dan lokasi dua
adalah 380 µg/l. Bila dibandingkan dengan beberapa penelititan di wilayah lain
diketahui bahwa level konsentrasi PAH di lingkungan laut Kota Tarakan termasuk
dalam level sedang (Tabel 21).
64
Tabel 21 Konsentrasi ∑PAH pada air laut di beberapa wilayah dunia.
Lokasi
Pantai Alexandria, Mesir
Wilayah Pelabuhan Makau,
Selatan Cina
Daerah
estuari
Teluk
Saronikos, Yunani
Perairan Kamal Muara,
Teluk Jakarta
Daerah estuari
Blanca,
Argentina
Teluk dalam, daerah Selatan
Cina
Perairan laut Kota Tarakan
Konsentrasi µg/l
Subsurface (47)
Microlayer (245)
701.42- 1 872.95
Referensi
Nemr
dan
Aly
(2003)
Luo et al. 2004
425-459
0.5964-0.6733
Valavanidis et
2008
Augustine 2008
0-4
Arias et al. 2009
Permukaan (73.3)
Dasar (66.1)
6.36-380
Qiu et al. 2009
al.
Studi ini
4.2.3 Status Ekotoksikologi PAH
Mengetahui total kandungan PAH pada tubuh ikan, dapat menentukan
tingkat kontaminasinya berdasarkan rasio. Pada semua ukuran tubuh ikan, total
kandungan PAH dalam tubuh ikan Nomei adalah <1000 ng/g. Berdasarkan ratio
kandungan tersebut diketahui status ikan Nomei adalah terkontaminasi sangat
tinggi (Tabel 22).
Tabel 22 Status kontaminasi PAH pada ikan Nomei.
No
Klasifikasi
1
2
3
4
Tidak terkontaminasi
Nilai kontaminasi kecil
Nilai kontaminasi sedang
Nilai kontaminasi tinggi
∑PAH
(ng/g)
<10
99-100
100-1000
>1000
Ikan
kecil
Ikan
sedang
Ikan
besar
2 747
1 582
2 470
Varanasi et al. (1993) dalam Gomes et al. (2010)
Melihat dari total kandungan PAH pada ikan Nomei, terlihat bahwa level
terbesar akumulasinya berturut-turut adalah pada ikan ukuran kecil (2747 ng/g),
ikan besar (1582 ng/g) dan ikan sedang (2470 ng/g). Bila dibandingkan dengan
∑PAH pada beberapa jenis ikan dibeberapa wilayah di dunia, konsentrasi PAH di
tubuh ikan Nomei sangat tinggi (Tabel 23).
65
Tabel 23 Konsentrasi ∑PAH beberapa jenis ikan di beberapa wilayah dunia.
Jenis
Red mullet (Mullus barbatus)
Daerah Tarragona
Daerah Barcelona
Daerah Delta Rhone
Daerah Couronne
Daerah Cortiou
Daerah Porto Torres
Sea comber (Serranus cabrilla)
Daerah Tarragona
Daerah Besos
Daerah Cortiou
Daerah Le Planier
Daerah Cap Feno
Daerah Cap Muro
Daerah Porto Vecchio
Laut Adriatik, Italia
Red mullet (Mullus barbatus)
Atlantic mackerel (Scomber
scombrus)
European
fying
squid
(Todarodes sagittatus)
Blue whiting (Micromesistius
poutasso)
European hake (Merluccius
merluccius)
Daerah estuari Blanca, Argentina
Odontesthes sp
Daerah
mangrove
Teluk
Guanabara, wilayah Tenggara
Brazil
Mugil liza
Micropogonias furnieri
Cetengraulis edentatus
Centropomus parallelus
Perairan laut Selatan, daerah
Baron Yogyakarta
Petek (Chrorinomus lyson)
Kuniran
(Upeneus
moluccensis)
Layur (Triciurus sp)
Blanak (Mugil sp)
Konsentrasi (ng/g)
2 580
2 206
1 920
1 390
6 110
2 201
Referensi
Escartin dan Porte
1996
1 360
2 550
3 130
3 160
960
550
260
Perugini et al. 2007
16.52
63.33
14.74
55.53
44.14
Arias et al. 2009
1 095
Gomes et al. 2010
9.8-41
11-39.5
26.7-47.9
12.4
Lukitaningsih dan
Ari 2010
0.9-310.9
1.9-1 072.5
0.4-411.5
0.1-165.2
66
Tabel 23 (lanjutan)
Perairan laut Selatan, daerah
Kretek Yogyakarta
Petek (Chrorinomus lyson)
Kuniran
(Upeneus
moluccensis)
Layur (Triciurus sp)
Blanak (Mugil sp)
Perairan laut Selatan, daerah
Glagah Yogyakarta
Petek (Chrorinomus lyson)
Kuniran
(Upeneus
moluccensis)
Layur (Triciurus sp)
Blanak (Mugil sp)
Perairan laut Kota Tarakan
Ikan
Nomei
(Horpodon
nehereus)
0.29-338.2
0.56-1 606.8
0.3-134.4
0.2-411.3
0-50.5
0.1-366.5
0.24-116.5
0.6-218.6
Studi ini
1 582-2 747
ERL (effect range low) dan ERM (effect range median) rasio dapat
menentukan kualitas lingkungan PAH di sedimen. Besaran konsentrasi PAH pada
sedimen mempunyai dampak secara biologi terhadap organisme laut yang
berasosiasi dengan sedimen. Konsentrasi ERM dan ERL berdasarkan konsentrasi
total berat molekul rendah 136 ng/g pada Stasiun 1, 50 ng/g pada Stasiun 2 dan
45.83 ng/g pada Stasiun 3. Konsentrasi PAH dengan berat molekul tinggi yang
hanya terdeteksi pada Stasiun 3 adalah 66.31 ng/g dimana konsentrasi tersebut
dibawah ERL. Berdasarkan∑ PAH konsentrasi nya 136 ng/g pada Stasiun 1, 50
ng/g pada Stasiun 2 dan 122 ng/g pada Stasiun 3 juga berada dibawah ERL. Dari
semua hasil tersebut, secara umum dapat disimpulkan status konsentrasi PAH di
sedimen tidak mengancam kehidupan organisme air (Tabel 24).
PAH mempunyai waktu tinggal yang singkat ketika berada pada kolom
perairan, yang biasanya dapat menyebabkan efek kronis (Irwin 1997). Konsentrasi
komponen PAH di perairan dapat menjelaskan efek PAH yang terlarut terhadap
organisme laut. Konsentrasi fenantrena pada Stasiun 1 adalah 6.35 µg/l dan
Stasiun 3 248 µg/l masih dibawa level kronis maupun akut. Diduga konsentrasi
fenantrena masih aman untuk biota perairan. Pada Stasiun 3 fluorantena 132 µg/l
berada di atas level akut yaitu pada beberapa jenis ikan menyebabkan kematian,
67
sehingga diduga konsentrasi fluorantena sangat berbahaya bagi biota perairan
khususnya ikan (Tabel 25).
Tabel 24 Status kontaminasi PAH di sedimen terhadap organisme laut
berdasarkan konsentrasi ERL dan ERM pada setiap stasiun.
No
Komponen
ERL
(ng/g)
ERM
(ng/g)
Stasiun
sedimen 1
(ng/g)
Stasiun
Stasiun
sedimen 2 sedimen 3
(ng/g)
(ng/g)
1
BMR
550
3 160
136
50
45.83
2
BMT
1 700
9 600
tt
tt
66.31
3
Total PAH
4 000
45 000
136
50
112
Woodhead et al. 1999, O’connor dan john 2000, Burton 2002.
ERL : effect range low; ERM : effect range median; tt : tidak terdeteksi; BMR : berat molekul
rendah; BMT : berat molekul tinggi
Tabel 25 Rangkuman sensitifitas sifat kronis pada organisme air tawar dan laut
terhadap fluorantena (EPA/600/R-02/013).
Spesies
PAH
Cladoceran,
Daphnia
magna
Fluorantena
Durasi
(hari)
NOEC
(µg/l)
21
6.9-17
Efek yang diamati Nilai
OEC
(relatif
terhadap kronis
(µg/l)
kontrol)
(µg/l)
35
73
148
Fathead
minnow,
Pimephales
promelas
Mysid,
Americamysis
bahia
Fluorantena
32
3.710.4
21.7
Fluorantena
28
3592
43
621
Mysid,
Americamysis
bahia
Fluorantena
31
0.4111.1
18.8
Pengurangan panjang
17%
Pengurangan panjang
25%, beberapa ikan
dewasa 37%
Tidak
ada
yang
bertahan
Ikan yang bertahan
berkurang
67%,
Pengurangan
pertumbuhan 50%
Ikan yang bertahan
berkurang
26.7%,
terjadi pengurangan
ikan muda 91.7%
15.02
Tidak
ada
yang
bertahan
Ikan yang bertahan
berkurang 23%, tidak
terjadi reproduksi
14.44
NOEC :No Observed Effect Concentration; OEC: observed effect concentrations
24.5
15.87
68
Konsentrasi ∑PAH 6.36 µg/l pada Stasiun 1 berada bawah level akut,
diduga tidak membahayakan biota perairan. Konsentrasi ∑ PAH 380 µg/l pada
Stasiun 3 berada diatas level akut, diduga
∑
PAH sangat berbahaya bagi
kehidupan biota perairan. Berdasarkan konsentrasi tersebut maka kandungan PAH
di perairan pada Stasiun 1 tidak berbahaya terhadap biota perairan, sedangkan
pada Stasiun 3 sangat berbahaya terhadap biota perairan (Tabel 26).
Tabel 26 Konsentrasi individu PAH di air pada setiap stasiun.
Stasiun air 1 Stasiun air 3
(µg/l)
(µg/l)
6.36
248
No
Komponen
Akut (µg/l)
Kronis (µg/l)
1
Fenantrena
970
710
2
Fluorantena
40
16
tt
132
3
Total PAH
300
tn
6.36
380
Irwin 2007
tn : tidak ada nilai; tt : tidak terdeteksi
69
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Karakteristik PAH di perairan dan sedimen menunjukkan PAH pirogenik
dan petrogenik. PAH pirogenik berasal dari emisi kendaraan bermotor,
pembangkit listrik PLN, incenerator dari TPAS, emisi dari pabrik kayu yang
terdapat di bagian selatan dan utara Kota Tarakan serta fasilitas pembakaran sisa
pengolahan gas oleh PT. PERTAMINA. PAH petrogenik berasal dari petroleum
residu dari kegiatan pelabuhan, buangan minyak dari daratan yang dibuang
langsung melalui sungai dan mengarah ke laut. Kegiatan-kegiatan migas diduga
berpotensi sebagai sumber PAH petrogenik seperti kegiatan bongkar muat minyak
dari kapal ke tangki dan sebaliknya, pengolahan limbah minyak dari pit yang tidak
sempurna, buangan air balast dan buangan bahan bakar dari mesin kapal.Selain itu
proses adsorpsi dan dinamika perairan juga berpengaruh terhadap keberadaan
PAH di perairan.
Jenis PAH yang ditemukan di air ada 2 jenis yaitu fenantrena dan
fluorantena dengan konsentrasi berkisar 6-248 µg/l. Pada sedimen terdapat 5 jenis
senyawa PAH yaitu fluorantena, fenantrena, naftalena-C2, fenantrena-C1 dan
antrasena-C1 dengan konsentrasi berkisar antara 7-69 ng/g. Perbedaan keberadaan
dan konsentrasi PAH di air dan sedimen disebabkan oleh beberapa hal yaitu sifat
fisik dan kimiawinya.
Hasil analisis komponen PAH pada daging ikan Nomei teridentifkasi 10
jenis PAH yaitu fluorena, fenantrena, antrasena, fluorantena, pirena, naftalena-C1,
naftalena-C2, fenantrena-C1, bifenil dan asenaftena. Kandungan PAH total pada
daging ikan Nomei kecil adalah 1067 ng/g, daging sedang 605 ng/g, dan daging
besar 1025 ng/g. Pada hati ikan Nomei teridentifikasi 6 jenis senyawa PAH yaitu
fenantrena, fluorantena, naftalena, naftalena-C1, naftalena-C2 dan bifenil dengan
kandungan PAH total pada hati kecil adalah 1679 ng/g, hati sedang 977 ng/g, dan
hati besar 1445 ng/g dengan tingkat kontaminasi sangat tinggi. Perbedaan jenis
dan konsentrasi PAH di daging dan hati mungkin di pengaruhi oleh beberapa
faktor seperti kapasitas asimilasi usus, biotransformasi, sistem enzimatik dan
70
metabolisme PAH oleh ikan Nomei. Lingkungan perairan baik air, sedimen dan
biota khususnya ikan Nomei telah terkontaminasi PAH.
5.2 Saran
Beberapa saran dalam penelitian ini adalah perlunya penelitian lebih lanjut
mengenai konsentrasi dan jenis PAH di udara untuk mengetahui besar konsentrasi
yang terbawa masuk ke perairan laut melalui hujan. Perlu dilakukan uji toksisitas
konsentrasi kronis dan letal serta uji histologi untuk mengetahui dampak PAH
terhadap ikan Nomei.
71
DAFTAR PUSTAKA
Arias AH, Carla VS, Rube´n HF, Jorge EM. 2009. Polycyclic aromatic
hydrocarbons in water, mussels (Brachidontes sp.,Tagelus sp.) and fish
(Odontesthes sp.) from Bahia Blanca Estuari, Argentina. Journal of
Estuarine, Coastal and Shelf Science 85:67-81.
Amir S, Hafidi M, Merlina G, Hamdi H, Revel JC. 2005. Fate of polycyclic
aromatic hydrocarbons during composting of lagooning sewage sludge.
Journal of Chemosphere 58:449-458.
Augustine D. 2008. Akumulasi hidrokarbon aromatik polisiklik (PAH) dalam
kerang hijau (Perna viridis L) di perairan Kamal Muara, Teluk Jakarta
[skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor.
Azurmendi P ,Asuncion N, Alba O, Denise F, Elena M, Miren LA, Cinta P, Miren
PC, Damia B, Benjamin P. 2010. Origin and dis tribution of polycyclic
aromatic hydrocarbon pollution in sediment and fish from the biosphere
reserve of Urdaibai (Bay of Biscay, Basque country, Spain). Journal of
Marine Environmental Research 70:142-149.
Baumard P, Budzinski H, Garrigues P, Sorbe C, Burgeot T, Belloco J. 1998.
Concentrations of PAHs (Polycyclic Aromatic Hydrocarbons) in various
marine organisms in relation to those in sediments and to trophic level.
Journal of Marine Pollution Bulletin 36:951-960.
Baumard P, Budzinski H, Garrigues P.1998. Polycyclic aromatic hydrocarbons in
sediment sand mussels of the Western Mediterranean Sea. Journal of
Environmental Toxicology Chemistry 7:765-776.
Baumard P, Budzinski H, Garrigues P, Dizer H, Hansen PD . 1999. Polycyclic
aromatic hydrocarbons in recent sediments and mussels (Mytilus edulis)
from the Western Baltic Sea: occurrence, bioavailability and seasonal
variations. Journal of Marine Environmental Research 47:17-47.
Bengen DG. 2004. Sinopsis ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan laut serta
prinsip pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut. Institut
Pertanian Bogor.
Blumer M, Youngblood WW. 1975. Polycyclic aromatic hydrocarbons in soil
sand recent sediments. Journal of Science 188:53-55.
72
Boehm PD. 2006. Polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs). 314-337. dalam
Boehm PD, Robert DM, Brian LM, editor. Environmental forensics,
contaminant specific guide. Academic Press. USA. 314-334.
Boehm PD, Farrington JW. 1984. Aspects of the polycylic aromatic hydrocarbon
geochemistry of recent sediments in the Georges Bank region. Journal of
Sciences and Technology 18:840-845.
Boitsov S, Jensen HKB, Jarle K. 2009. Natural back ground and anthropogenic
inputs of polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) in sediments of SouthWestern Barents Sea. Journal of Marine Environmental Research 68:236245.
Boonyatumanond R, Gullaya W, Ayako T, Hideshige T. 2006. Distribution and
origins of polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) in riverine, estuarine,
and marine sediments in Thailand. Journal of Marine Pollution Bulletin
52:942-956.
Brenniman G, Hartung R, Weber WJ. 1976. A continues flow bioassay method to
evaluated the effects of outboard motor exhausts and selected aromatic
toxicants on fish. Journal of Water Resources 10:165-169.
Broman D, Nfif C, Lundbergh I, Zebijhr Y. 1990. An in situ study of the
distribution, biotransformation and flux of polycyclic aromatic
hydrocarbons (PAHs) in an aquatic food chain (seston Mytilus edulis L.Somateria mollissima L.) from the Baltic : a ecotoxicological perspective.
Journal of Environment Toxicology Chemistry 9:429-442.
Budzinski H, Jones I, Bellocq J, Pierard, Garrigues CP. 1997. Evaluation of
sediment contamination by polycyclic aromatic hydrocarbons in the
Gironde estuari. Journal of Marine Chemistry 58:85-97.
Burton GA. 2002. Sediment quality criteria in use around the world. Journal of
Limnology 3:65-75.
Butler JD, Crossley F. 1981. Reactivity of polycyclic aromatic hydrocarbons
adsorbed on soot particles. Journal of Atmosphere Environment 15:91-94.
Caldwell RS, Caldarone EM, Mallon MH. 1977. Effect of a seawater soluble
fraction of Cook Inlet crude oil and its major aromatic components on larval
stages of the Dungeness crab, Cancer magister. 210-220. dalam Wolfe DA,
editor. Fate and effect of petroleum hydrocarbons in marine ecosystems and
organisms. New York. Pergamon Press.
Colombo JC, Pelletier E, Brochu C, Khalil M, Cataggio JA. 1989. Determination
of hydrocarbon sources using n-alkanes and polyaromatic hydrocarbon
distribution indices. Case study: Rio de la Plata estuari, Argentina. Journal
of Enviromental Science and Technology 23:888-894.
73
Douben PET, editor. 2006. The sources, transport, and fate of PAHs in the marine
environment. Ecological and Environmental Toxicology Series. Wiley.
EPA/600/R-02/013. 2003. Procedures for the Derivation of Equilibrium
Partitioning Sediment Benchmarks (ESBs) for the Protection of Benthic
Organisms: PAH Mixtures. Office of
Research and Development
Washington, DC 20460. United States Environmental Protection Agency.
Escartin E, Porte C. 1996. Assessment of PAH pollution in coastal areas from The
NW Mediterranean through the analysis of fish bile. Marine Pollution
Bulletin 38:1200-1206.
Garrigues P, Budzinski H, Manitz MP, Wise SA. 1995. Pyrolytic and petrogenic
inputs in recent sediments: a denitive signature through phenanthrene and
chrysene compounds distribution. Polycyclic Aromatic Compounds 7:275284.
Gomes AS, Roberta LN, Ricardo A, Paulo HVDV, Fabio BP, Roberta LZ, Carla
LTM. 2010. Changes and variations of polycyclic aromatic hydrocarbon
concentrations in fish, barnacles and crabs following an oil spill in a
mangrove of Guanabara Bay, Southeast Brazil. 2010. Marine Pollution
Bulletin 60:359-1363.
Gschwend PM, Chen PH, Hites RA. 1981. Fluxes of polycyclic aromatic
hydrocarbons to marine and lacustrine sediments in the northeastern United
State. Geochimica et Cosmochimica 45:2359-2367.
Haneda Y. 1950. Horpodon nehereus, a Non-luminous fish. Tokyo Jikeikai
Medical College. Pasific Science IV.
Irwin RJ, Mouwerik MV, Lynette S, Arion DS, Wendy B. 1997. Environmental
Contaminants Encyclopedia PAHS Entry. National Park Service Water
Resources Divisions, Water Operation Branch. Fort Collins. Colorado.
Jimenez BD, Stegman JJ. 1990. Detoxication enzymes as indicator of
environmental stress on fish. Biological Indicators of Stress In Fish.
American Fisheries Society Symposium 8:67-79.
Jovanovich MC, Marion KR. 1987. Seasonal variation in uptake and depuration of
anthracene by the brackish water clam, Rangia cuneata. Journal of Marine
Biology 95:395-403.
Juan CC, Marta C, Ange1ica MA. 1996. Biodegradation of aliphatic and aromatic
hydrocarbons by natural soil microflora and pure cultures of imperfect and
lignolitic fungi. Journal of Environmental Pollution 94(3):355-362.
74
Kalf DF, Trudie C, Erik JVDP. 1996. Environmental quality objectives for 10
polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs). Journal of Ecotoxicology And
Environmental Safety 36:89-97.
Ke L, Teresa WYW, Wong YS, Nora FYT. 2002. Fate of polycyclic aromatic
hydrocarbon (PAH) contamination in a mangrove swamp in Hong Kong
following an oil spill. Journal of Marine Pollution Bulletin 45:339-347.
Kukkonen J. 1991. Effect of dissolved organic material in fresh water on the
binding and bioavailability of organic pollutants [disertasi]. Universitas
Joensuu 1-39.
Latimer JS, Jinshu Z. 2006. The sources, transport, and fate of PAHs in the
marine environment. Douben PET, editor. The sources, transport, and fate
of PAHs in the marine environment. Ecological and Environmental
Toxicology Series. Wiley.
Law RJ, Dawes VJ, Woodhead RJ, Matthiessen P. 1997. Polycyclic aromatic
hydrocarbons (PAH) in seawater around England and Wales. Journal of
Marine Pollution Bulletin 34:306-322.
Lech JJ, Vodicnic MJ. 1985. Biotrasformation. Rand GM dan Petrocelli SR
(Editor). Fundamentals of aquatic toxicology. Taylor and Frances 526-447.
Lemaire P, Mathieu A, Carriere S, Drai P, Giudicelli J, Lafaurie M. 1990. The
uptake metabolism and biological half-life of benzo[a]pyrene in different
tissues of sea bass, Dicentrarchus labrax. Journal of Ecotoxicology and
Environmental Safety 20:223-233.
Li A, Jang JK, Scheff PA. 2003. Application of EPA CMB 8.2 model for source
apportionment of sediment PAHs in Lake Calumet, Chicago. Journal of
Environmental Science & Technology 37:2958-2965.
Liang Y, Tse MF, Young L, Wong MH. 2007. Distribution patterns of polycyclic
aromatic hydrocarbons (PAHs) in the sediments and fish at Mai Po Marshe
Nature Reserve, Hong Kong. Journal of Water Research 41:1303-1311.
Lindstrom SP. 1990. Biotransformation in fish: Monitoring inland water pollution
caused by pulp and paper mill effluents [tesis]. Department of Physiology,
Universitas of Kuopio. 1-69.
Liu WX, Chen JL, Lin XM, Tao S. 2007. Spatial distribution and species
composition of PAHs in surface sediments from the Bohai Sea. Journal of
Marine Pollution Bulletin 54:97-116.
Lukitaningsih E, Ari S. 2010. Bioakumulasi senyawa poli-aromatik hidrokarbon
dalam plankton, ganggang dan ikan di perairan laut selatan Jogjakarta.
Majalah Farmasi Indonesia 21:18-26.
75
Luo XJ, Bixian M, Qingshu Y, Jiamo F, Guoying S, Zhishi W. 2004. Polycyclic
aromatic hydrocarbons (PAHs) and organo chlorine pesticides in water
columns from the Pearl River and the Macao harbor in the Pearl River
Deltain South China. Journal of Marine Pollution Bulletin 48:1102-1115.
MacReady S, Slee DJ, Birch GF, Taylor E. 2000. The distribution of polycyclic
aromatic hydrocarbons in surficial Sediments of Sydney Harbour, Australia.
Journal of Marine Pollution Bulletin 40:999-1006.
Mangkoedihardjo S. 2005. Seleksi teknologi pilihan untuk ekosistem laut
tercemar minyak. Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan
ITS. Surabaya.
Maruya KA, Risebrough RW, Horne AJ. 1997. The bioaccumulation of
polynuclear aromatic hydrocarbons by benthic invertebrates in an intertidal
marsh. Journal of Environmental Toxicology and Chemistry 16:1087-1097.
Meador JP, Stein JE, Reichert WL, Varanasi U. 1995. Bioaccumulation of
polycyclic aromatic hydrocarbons by marine organisms. Journal of Rev.
Environment Contamination T143:79-165.
Menon NN, Menon NR . 1999. Uptake of polycyclic aromatic hydrocarbons from
suspended oil borne sediments by the marine bivalve Sunetta scripta.
Journal of Aquatic Toxicology 45:63-69.
Miles AK, Roster N. 1999. Enhancement of polycyclic aromatic hydrocarbons in
estuarine invertebrates by surface runoff at a decommissioned military fuel
depot. Journal of Marine Environmental Research 47:49-60.
Meador JP. 2006. Bioaccumulation of PAHs in Marine Invertebrates. Douben
PET, editor. The sources, transport, and fate of PAHs in the marine
environment. Ecological and Environmental Toxicology Series. Wiley.
Mostafa AR, Terry LW, Stephen TS, Abdel KA, Assem OB. 2009. Distribution
and characteristics of polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) in
sediments of hadhramout coastal area, Gulf of Aden, Yemen. Journal of
Marine Systems 78:1-8.
Mukhtasor. 2007. Pencemaran pesisir dan laut. Cetakan pertama. PT. Pradnya
Paramita. Jakarta.
Neff JM. 1979. Polycyclic aromatic hydrocarbons in the aquatic environment.
sources, fate and biological Effects. Applied Science Publishers Ltd.
London.
Nemr AE, Aly MAA. 2003. Contamination of polycyclic aromatic hydrocarbons
(PAHs) in microlayer and subsurface waters along Alexandria Coast, Egypt.
Journal of Chemosphere 52:1711-1716.
76
Neves RS, Terezinha FO, Roberta LZ. 2007. Polycyclic aromatic hydrocarbons
(PAHs) in fish bile (Mugilliza) as biomarkers for environmental
monitoringin oil contaminated areas. Marine Pollution Bulletin 54:18131838.
Orecchio S, Viviana PC , Loredana C. 2009. Polycyclic aromatic hydrocarbons
(PAHs) in coffee brew samples: Analytical method by GC-MS, profile,
levels and sources. Journal of Food and Chemical Toxicology 47:819-826.
O’connor TP, John FP. 2000. Mist between sediment toxicity and chemistry.
Journal of Marine Pollution Bulletin 40(1):59-64.
Perugini M, Visciano P, Giammarino A, Manera M, Nardo WD, Amorena M.
2007. Polycyclic aromatic hydrocarbons in marine organisms from the
Adriatic Sea, Italy. Journal of Chemosphere 66:1904-1910.
Pesonen M. 1992. Xenobiotic metabolizing enzymes in rainbow trout
(Oncorhynchus mykiss) kidney and liver. Characterization and regulation by
xenobiotics [disertasi]. Sweden: Departement of Zoophysiology, Universitas
Goteborg.
Philp RB. 2001. Ecosystems and human health : toxicology and environmental
hazards, second edition. Lewis publishers.
Pillay TVR. 1953. The food and feeding habits of the Bombay Duck Horpodon
nehereus (HAM) in the River Matlah (Bengal). Research Fellow. NISI. Vol.
XIX no. 3.
Pritchard JB. 1993. Aquatic toxicology: past, present and prospects.
Environmental Health Perspectives 100:249-257.
Qiao M, Chunxia W, Shengbiao H, Donghong W, Zijian W. 2006. Composition,
sources, and potential toxicological significance of PAHs in the surface
sediments of the Meiliang Bay, Taihu Lake, China. Journal of Environment
International 32:28-33.
Qiu YW, Gan Z, Guo QL, Ling LG, Xiang DL, Onyx W. 2009. Polycyclic
aromatic hydrocarbons (PAHs) in the water column and sediment core of
Deep Bay, South China. Journal of Estuarine, Coastal and Shelf Science
83:60-66.
Quinn JG, Latimer JS, Ellis JT, LeBlanc LA, Zheng J. 1988. Analysis of archived
water samples for organic pollutants. NBP-88-04. Narragansett Bay
Project. Providence. RI.
77
Ramachandran SD, Michael JS, Peter VH, Monica B, Simon CC, Kenneth L,
Thomas K, Jennifer AD. 2006. Influence of salinity and fish species on
PAH uptake from dispersed crude oil. Journal of Marine Pollution Bulletin
52:1182-1189.
Readman JW, Fillmann G, Tolosa I, Bartocci J, Villeneuve JP, Catinni C, Mee
LD. 2002. Petroleum and PAH contamination of the Black Sea. Journal of
Marine Pollution Bulletin 44:48-62.
Sanusi HS, Sugeng P. 2009. Kimia laut dan pencemaran : Proses fisik kimia dan
interaksinya terhadap lingkungan. Departemen Ilmu dan Teknologi
Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Sicre MA, Marty JC, Saliot A, Aparicio X, Grimalt J, Albaiges J. 1987. Aliphatic
and aromatic hydrocarbons in different sized aerosols over the
Mediterranean Sea: occurrence and origin. Journal of Atmospheric
Environment 21:2247-2259.
Soclo HH, Garrigue PH, Ewald M. 2000. Origin of polycyclic aromatic
hydrocarbons (PAHs) in coastal marine sediments: case studies in Cotonou
(Benin) and Aquitaine (France) areas. Journal of Marine Pollution Bulletin
40(5):387-396.
Stein JE, Reichert WL, French BL, Varanasi U. 1993. DNA adduct formation and
persistence in English sole (Pleuronectes vetulus) exposed to benzo-apyrene and 7H-dibenzo-c, g-carbazole. Journal of Chemico-Biological
Interactions 88:55-69.
Steinhauer MS, Boehm PD. 1992. The composition and distribution of saturated
and aromatic hydrocarbons in near-shore sediments, river sediments, and
coastal peat of the Alaskan Beufort Sea: implications for detecting
anthropogenic hydrocarbon inputs. Journal of Marine Environment
Resources 33:223-253.
Tang L, Xiang YT, Yong GZ, Ming HZ, Qi LM. 2005. Contamination of
polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) in urban soils in Beijing, China.
Journal of Environment International 31:822-828.
Thomann RV, Komlos J. 1999. Model of biota-sediment model of organic
chemical accumulation in aquatic food webs with sediment interaction.
Journal of Environment Toxicology Chemistry 11:615-630.
Tian Y, Liu HJ, Zheng TL, Kwon KK, Kim SJ, Yan CL. 2008. PAHs
contamination and bacterial communities in mangrove surface sediments of
the Jiulong River Estuari, China. Journal of Marine Pollution Bulletin
57:707-715.
78
Tuvikene A. 1995. Responses of fish to polycyclic aromatic hydrocarbons
(PAHs). Annual Zoology Fennici 32:295-309.
Valavanidis A, Vlachogianni TH, Triantallaki S, Dassenakis M, Androutsos F,
Scoullos M. 2008. Polycyclic aromatic hydrocarbons in surface seawater
and in indigenous mussels (Mytilusgalloprovincialis) from coastal areas of
the Saronikos Gulf (Greece). Journal of Estuarine, Coastal and Shelf
Science 79:733-739.
Varanasi U, Brown DW, Hom T, Burrows DG, Sloan CA, Field LJ, Stein JE,
Tilbury KL, McCain BB, Chan S. 1993. Survey of Alaskan Subsistence
Fish, Marine Mammal, and Invertebrate Samples Collected 198991 for
Exposure to Oil Spilled from the Exxon Valdez. vol. 1. NOAA Technical
Memorandum NMFS-NWFSC-12.
Varanasi U, Gmur D. 1981. Hydrocarbons and metabolites in English sole
(Parophrys vetulus) exposed simulateneously to [3H]benzo[a]pyrene and
[14H]naphtalene in oil-contaminated sediment. Journal of Aquatic
Toxicology 1: 49-67.
Varanasi U, Stein JE, Nishimoto M. 1989. Biotransformation and disposition of
polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) in fish. In: Varanasi U (Ed).
Metabolism of Polycyclic Aromatic Hydrocarbons in the Aquatic
Environment. CRCPress. pp: 94-149.
Varanasi U, Uhler M, Stranahan SU. 1978. Uptake and release of napthalene and
its metabolisme in skin and epidermal mucus of salmonids. Journal of
Toxicology Application Pharmacology 44:277-289.
Vuorinen PJ, Marja K, Heta V, Janina B, Katja B, Lars F, Jens G, Justyna K,
Angela K, Jari P, Janusz P, Doris S. 2006. Use of biliary PAH metabolites
as a biomarker of pollution in fish from the Baltic Sea. Journal of Marine
Pollution Bulletin 53:479-487.
Wang D, Tian F, Yang M, Liu C, Li Y. 2009. Application of positive matrix
factorization to identify potential sources of PAHs in soil of Dalian,China.
Journal of Environmental Pollution 1-6.
Wilcock, Corban RJ, Northcott GA, Wilkins GL, Langdom AG. 1996. Persistence
of polycyclic aromatic compounds of different molecular size and water
solubility in surficial sediment of an intertidal sandflat. Journal of
Environmental Toxicology Chemistry 15:670-676.
Woodhead RJ, Law RJ, Matthiessen P. 1999. Polycyclic aromatic hydrocarbons in
surface sediments around England and Wales and their possible biological
signicance. Journal of Marine Pollution Bulletin 38:773-790.
79
Wrigh DA, Pamela W. 2002. Environmental toxicology. Cambridge University
Press. New York
Yu Y, Jian X, Ping W, Hongwen S, Shugui D. 2009. Sediment-porewater partition
of polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) from Lanzhou Reach of
Yellow River, China. Journal of Hazardous Materials 165:494-500.
Yim UH, Hong SH, Shim WJ. 2007. Distribution and characteristics of PAHs in
sediments from the marine environment of Korea. Journal of Chemosphere
68:85-92.
Zakrzewski SF. 2002. Environmental toxicology, third edition. 2002. Oxford
University Press,Inc. 198 Madison Avenue. New York.
Zhang HB, Luo YM, Wong MH, Zhao QG, Zhang GL. 2006. Distributions and
concentrations of PAHs in Hong Kong soils. Journal of Environmental
Pollution 141:107-114.
80
LAMPIRAN
Lampiran 1 Bagan alir ekstraksi PAH dalam air laut menurut Yu et al. 2009 yang
telah dimodifikasi.
2 liter cuplikan air
Ekstraksi dengan 3 x 30 ml dicloromethan, ambil
lapisan bawah homogenkan
Dimurnikan dengan glass column yang diisi dengan
alumina/silica (1:2) 150 gr dan anhydromus sodium
sulfate 5 gr diatasnya
Fraksi 1 yang merupakan alifatik
hydrocarbon dibilas dengan 20 ml hexane
Fraksi 2 (PAH) dibilas dengan 70 ml
dicloromethan/hexane (3:7). Evaporasi sampai 0.5 ml
Supernatan dikeringkan dengan nitrogen. Sebelum
di injek ke GC-MS supernatant dilarutkan dengan
hexane 0.5 ml
81
`Lampiran 2 Bagan alir ekstraksi PAH pada sedimen, daging dan hati ikan
Horpodon nehereus menurut Liu et al. 2007 yang telah
dimodifikasi.
40 gr freezed dried sedimen
10 gr daging ikan
Cuplikan diektraksi dengan soxhlet ±16 jam dengan pelarut
Hexane/Acetone (1:1) 150 ml
Evaporasi sampai 2-3 ml kemudian tambahkan
hexane 50 ml evaporasi sampai 2 ml
Cuplikan sedimen
Cuplikan daging dan hati
Dimurnikan dengan glass coulum
Dimurnikan dengan glass coulum
silica gel/Alumina (1:2) 10 gr
silica gel/Alumina (1:2) 10 gr
Pada bagian atas coulum diberi
Pada bagian atas coulum diberi
anhydromus sodium sulfate 5 gr
anhydromus sodium sulfate 5 gr
Fraksi 1 (alifatik) dibilas dengan 40 ml hexane
Fraksi 2 (PAH) dibilas dengan 80 ml
Dicloromethan/hexane (3:7) untuk membilas
komponen PAH. Kemudian di evaporator
Supernatan dikeringkan dengan nitrogen.
Sebelum di injek ke GC-MS supernatant
82
Lampiran 3 Prosedur SEAMIC IMFJ (Southeast Asian Medical Information
Center International Medical Foundation of Japan) Tahun 1985.
Daging Nomei dihancurkan,
timbang 5 g
Tambahkan Na2SO4 10 g,
aduk sampai rata
Masukkan dalam oven 105°C selama 2 jam, beberapa
kali di aduk. Dinginkan 1 jam dalam desikator
Cuplikan diekstraksi dengan soxhlet
dengan pelarut dietil eter 300 ml
Supernatan diuapkan dengan rotary
evaporator sampai ± 10 ml
Supernatant dipindahkan ke beaker glass
yang sudah diketahui beratnya, kemudian
dikeringkan, timbang lagi
83
Lampiran 4 Spektrum fenantrena
Lampiran 5 Spektrum pirena
Lampiran 6 Spektrum 1,3-dimetilnaftalena
84
Lampiran 7 Spektrum 1,6 dimetilnaftalena
Lampiran 8 Spektrum 3-metilbifenil
Lampiran 9 Spektrum antrasena
85
Lampiran 10 Spektrum 4-metilfenantrena
Lampiran 11 Spektrum 9-metilantrasena
Lampiran 12 Spektrum fluorantena
86
Lampiran 13 Spektrum 1,3-dimetilnaftalena
Lampiran 14 Spektrum 1,7 dimetilnaftalena
Lampiran 15 Spektrum 1,5-dimetilnaftalena
87
Lampiran 16 Spektrum 1,4-dimetilnaftalena
Lampiran 17 Spektrum 2,6-dimetilnaftalena
Lampiran 18
Spektrum 1,2,3,4-tetrahidro-1,6dimetil -4-(1-metil etil) (1S-cis)
naftalena
88
Lampiran 19 Spektrum 9-metilantrasena
Lampiran 20 Spektrum 4-metilbipenil
Lampiran 21 Spektrum 1-alil-naftalena
89
Lampiran 22 Spektrum 2-metilfenantrena
Lampiran 23 Spektrum 1,6-dimetil -4-(1-metil etil)-naftalena
Lampiran 24 Spektrum naftalena
90
Lampiran 25 Spektrum difenilmethan
Lampiran 26 Spektrum fluorena
Download