PEMBERIAN TERAPI MUSIK KLASIK TERHADAP PENURUNAN KECEMASAN PADA ASUHAN KEPERAWATAN Ny. S DENGAN FRAKTUR FEMUR SINISTRA 1/3 DISTAL DAN FRAKTUR RADIUS ULNA DEKSTRA 1/3 TENGAH DI RUANG MAWAR RSUD Dr. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO WONOGIRI DI SUSUN OLEH DESI RATNA PRATIWI NIM.P.11013 PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2014 PEMBERIAN TERAPI MUSIK KLASIK TERHADAP PENURUNAN KECEMASAN PADA ASUHAN KEPERAWATAN Ny. S DENGAN FRAKTUR FEMUR SINISTRA 1/3 DISTAL DAN FRAKTUR RADIUS ULNA DEKSTRA 1/3 TENGAH DI RUANG MAWAR RSUD Dr. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO WONOGIRI Karya Tulis Ilmiah Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan DI SUSUN OLEH DESI RATNA PRATIWI NIM.P.11013 PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2014 i KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat, rahmat dam karuia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah dengan judul “PEMBERIAN TERAPI MUSIK KLASIK TERHADAP PENURUNAN KECEMASAN PADA ASUHAN KEPERAWATAN Ny. S DENGAN FRAKTUR FEMUR SINISTRA 1/3 DISTAL DAN FRAKTUR RADIUS ULNA DEKSTRA 1/3 TENGAH DI RUANG MAWAR RSUD Dr. SOEDIRAN MANGUN SUMARSO WONOGIRI.” Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan dukungan dari pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhomat: 1. Atiek Murhayati.S,Kep.,Ns.,M.Kep,selaku Ketua Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta. 2. Meri Oktariani, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku Sekertaris Ketua Program Studi DIII Keperawatan yang telah memberi kesempatan untuk dapat menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta. 3. Amalia Agustin. S,Kep., Ns selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dengan cermat serta memberi masukan, inspirasi perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya tugas akhir di STIKes Kusuma Husada Surakarta. 4. Alfyana Nadya, S. Kep., Ns. M. Kep selaku dosen penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam membimbing serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini. 5. Nurul Devi A, S. Kep., Ns selaku dosen penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam membimbing serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini. v 6. Semua dosen Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya serta ilmu yang bermanfaat. 7. Kedua orang tua saya, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat untuk menyelesaikan pendidikan dan Mas Bagus Novianto yang telah memberi saya inspirasi, kekuatan, dukungan, dan motivasi dalam mengerjakan tugas akhir. 8. Sahabatku Ratih Swari, Lidhia Oktalia, Oktaviana Galuh, dan Nita Kristanti dan teman-teman Mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu keperawatan dan kesehatan. Amin. Surakarta, Mei 2014 Penulis vi DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL.................................................................................... i LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN.................................. ii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING.............................................. iii HALAMAN PENGESAHAN...................................................................... iv KATA PENGANTAR.................................................................................. v DAFTAR ISI................................................................................................ vii DAFTAR TABEL........................................................................................ ix DAFTAR GAMBAR................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ xi BAB I BAB II BAB III PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah................................................ 1 B. Tujuan Penulisan........................................................... 5 C. Manfaat Penulisan......................................................... 6 TINJAUAN PUSTAKA A. Fraktur............................................................................ 8 B. Kecemasan..................................................................... 25 C. Terapi Musik.................................................................. 30 LAPORAN KASUS A. Identitas Pasien.............................................................. 38 B. Pengkajian..................................................................... 39 vii BAB IV BAB V C. Masalah Keperawatan................................................... 46 D. Perencanaan Keperawatan............................................ 48 E. Implementasi Keperawatan........................................... 49 F. Evaluasi Keperawatan................................................... 53 PEMBAHASAN A. Pengkajian..................................................................... 56 B. Diagnosa Masalah......................................................... 61 C. Intervensi/ Perencanaan................................................ 65 D. Implementasi................................................................ 68 E. Evaluasi........................................................................ 74 KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan.................................................................. 79 B. Saran............................................................................ 82 DAFTAR PUSTAKA viii DAFTAR TABEL Halaman 2.1. Tabel Kuesioner HARS................................................................. ix 27 DAFTAR GAMBAR Halaman 3.1. Gambar Genogram...................................................................... x 40 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2. Log Book Lampiran 3. Lembar Pendelegasian Lampiran 4. Lembar Konsultasi Lampiran 5. Jurnal Utama Lampiran 6. Jurnal Pendukung Lampiran 7. Asuhan Keperawatan Lampiran 8. Hasil Pengukuran HARS Lampiran 9. Berita Acara Pengelolaan xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut WHO (2011) dalam Ropyanto (2011) kecelakaan lalu lintas menewaskan hampir 1,3 juta jiwa di seluruh dunia atau 3000 kematian setiap hari dan menyebabkan cedera sekitar 6 juta orang setiap tahunnya, dimana pada tahun 2005 terdapat lebih dari tujuh juta orang meninggal karena kecelakaan dan sekitar dua juta mengalami kecacatan fisik. Menurut Depkes RI (2007) dalam Ropyanto (2011) kecelakaan di Indonesia berdasarkan laporan kepolisian menunjukkan peningkatan 6,72 % dari 57.726 kejadian di tahun 2009 menjadi 61.606 insiden di tahun 2010 atau berkisar 168 insiden setiap hari dan 10.349 meninggal dunia atau 43,15 %. Menurut Depkes (2007) dalam Ropyanto (2011) insiden kecelakaan merupakan salah satu dari masalah kesehatan dasar selain gizi dan konsumsi, sanitasi lingkungan, penyakit, gigi, dan mulut, serta aspek moralitas dan perilaku di Indonesia. Kejadian fraktur akibat kecelakaan di Indonesia mencapai 1,3 juta setiap tahun dengan jumlah penduduk 238 juta, dan merupakan angka kejadian terbesar di Asia Tenggara. Kejadian fraktur di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar delapan juta orang mengalami fraktur dengan jenis fraktur yang berbeda. Insiden fraktur di Indonesia 5,5 % dengan rentang setiap provinsi antara 2,2 sampai 9 % . Fraktur ekstremitas bawah memiliki prevalensi sekitar 46,2 % dari insiden kecelakaan. Hasil tim survey 1 2 Depkes RI (2007) didapatkan 25 % penderita fraktur mengalami kematian, 45 % mengalami cacat fisik, 15 % mengalami stress psikologis dan bahkan depresi, serta 10 % mengalami kesembuhan dengan baik. Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh tekanan atau ruda paksa ( Faradisi, 2012). Fraktur dapat dibedakan menjadi 4 klasifikasi, diantaranya yaitu berdasarkan luas dan garis fraktur meliputi fraktur komplit dan fraktur inkomplit, fraktur berdasarkan hubungan dengan dunia luar meliputi fraktur tertutup dan fraktur terbuka, fraktur berdasarkan garis patah tulang meliputi green stick, transverse, longitudinal, oblique, dan spiral, dan fraktur berdasarkan kedudukan fragmen meliputi tidak ada dislokasi dan adanya dislokasi (Musliha, 2010). Kemungkinan diagnosa keperawatan yang terjadi pada pasien fraktur meliputi gangguan rasa nyaman nyeri, gangguan mobilitas fisik, gangguan body image, dan kecemasan (Bararah dan Jauhar, 2013). Kecemasan merupakan perasaan khawatir yang tidak jelas terhadap sumber yang seringkali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu (Maryam dkk, 2013). Menurut Efendy (2005) dalam Faradisi (2012), pasien kadang tidak mampu mengontrol kecemasan yang dihadapi, sehingga terjadi disharmoni dalam tubuh. Keadaan ini akan berakibat buruk apabila tidak segera diatasi. Terapi-terapi keperawatan dikembangkan untuk menangani kecemasan ataupun nyeri, salah satunya adalah terapi musik. Terapi musik adalah penggunaan musik dan atau elemen musik (suara, irama, melodi, dan 3 harmoni) oleh seorang terapis musik yang telah memenuhi kualifikasi, terhadap klien atau kelompok dalam proses membangun komunikasi, meningkatkan relasi interpersonal, belajar, meningkatkan mobilitas, mengungkapkan ekspresi, menata diri atau untuk mencapai berbagai tujuan terapi lainnya. Terapi musik juga mempunyai tujuan untuk membantu mengekspresikan perasaan, membantu rehabilitasi fisik, memberi pengaruh positif terhadap kondisi suasana hati dan emosi serta mengurangi tingkat kecemasan pada pasien (Djohan, 2006). Terapi musik merupakan intervensi alami non invasif yang dapat diterapkan secara sederhana tidak selalu membutuhkan kehadiran ahli terapi, harga terjangkau dan tidak menimbulkan efek samping (Samuel, 2007). Menurut Kate dan Mucci (2002) dalam Faradisi (2012), terapi musik terbukti berguna dalam proses penyembuhan karena dapat menurunkan rasa nyeri dan dapat membuat perasaan pasien rileks. Banyak jenis musik yang dapat digunakan untuk terapi, diantaranya musik klasik, instrumental, jazz, dangdut, pop rock, dan keroncong. Salah satu diantaranya adalah musik instrumental yang bermanfaat menjadikan badan, pikiran, dan mental menjadi lebih sehat (Aditia, 2012). Musik klasik adalah komposisi musik yang lahir dari budaya Eropa sekitar tahun 1750-1825. Musik klasik bermanfaat untuk membuat seseorang menjadi rileks, menimbulkan rasa aman dan sejahtera, melepaskan rasa gembira dan sedih, menurunkan tingkat kecemasan pasien pra operasi dan melepaskan rasa sakit dan menurunkan tingkat stress (Musbikin, 2009). Hal 4 tersebut terjadi karena adanya penurunan Adrenal Corticotropin Hormon (ACTH) yang merupakan hormon stress (Djohan, 2006). Terapi musik dapat menurunkan tingkat kecemasan pada pasien yang dirawat di ruang perawatan intensif unit. Pasien yang harus dirawat di ruang perawatan intensif unit salah satunya mengalami stress dan kecemasan, karena pelaksanaan proses keperawatan yang dilakukan dan pola unit yang memiliki instrumen yang lebih canggih dalam memantau pasien secara memadai. Untuk mengurangi kecemasan pasien, peneliti melakukan pemberian intervensi terapi musik. Cara yang digunakan peneliti dengan menggunakan pre dan post test yang kecemasan diukur berdasarkan nilai tanda-tanda vital berupa tekanan darah dan detak jantung. Terapi musik diberikan dengan cara disimak menggunakan headphone. Musik klasik, musik populer kontemporer, dan musik populer Indonesia merupakan jenis musik yang dipilih. Musik yang dipilih mempunyai irama lambat dan diberikan selama 30 menit. Hasil menunjukkan terjadi penurunan kecemasan, tekanan darah, dan tingkat denyut nadi. Pasien yang mendengarkan musik selama waktu perawatan kritis akan mengalami kecemasan yang signifikan lebih rendah, tekanan darah menurun, dan tingkat denyut jantung juga menurun (Suhartini, 2008). Berdasarkan hasil pengkajian pada Ny. S dengan fraktur femur sinistra 1/3 distal dan fraktur radius ulna dekstra 1/3 tengah ditemukan masalah kecemasan dengan hasil pengukuran menggunakan kuasioner HARS sebesar 26 atau termasuk dalam tingkat kecemasan sedang. Hasil observasi 5 diperoleh data pasien tampak cemas, mulut kering, tekanan darah 150 mmHg, nadi 86 x/menit dan pernafasan 26 x/menit. Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk melakukan penyusunan karya tulis ilmiah yang berjudul “Pemberian Terapi Musik Klasik Terhadap Penurunan Kecemasan Pada Asuhan Keperawatan Ny. S dengan Fraktur Femur Sinistra 1/3 Distal dan Fraktur Radius Ulna Dekstra 1/3 Tengah di Ruang Mawar RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri”. B. Tujuan Penulisan 1) Tujuan Umum Melaporkan pemberian terapi musik klasik terhadap penurunan kecemasan pada asuhan keperawatan Ny. S dengan fraktur femur sinistra 1/3 distal dan fraktur radius ulna dekstra 1/3 tengah di ruang Mawar RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. 2) Tujuan Khusus a) Penulis mampu melakukan pengkajian pada Ny. S dengan fraktur femur sinistra 1/3 distal dan fraktur radius ulna dekstra 1/3 tengah. b) Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Ny. S dengan fraktur femur sinistra 1/3 distal dan fraktur radius ulna dekstra 1/3 tengah. c) Penulis mampu menyusun rencana Asuhan Keperawatan pada Ny. S dengan fraktur femur sinistra 1/3 distal dan fraktur radius ulna dekstra 1/3 tengah. 6 d) Penulis mampu melakukan implementasi pada Ny. S dengan fraktur femur sinistra 1/3 distal dan fraktur radius ulna dekstra 1/3 tengah. e) Penulis mampu melakukan evaluasi pada Ny. S dengan fraktur femur sinistra 1/3 distal dan fraktur radius ulna dekstra 1/3 tengah. f) Penulis mampu menganalisa hasil pemberian terapi musik klasik terhadap penurunan kecemasan pada asuhan keperawatan Ny. S dengan fraktur femur sinistra 1/3 distal dan fraktur radius ulna dekstra 1/3 tengah di ruang Mawar RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. C. Manfaat Penulisan 1) Manfaat bagi bangsal Mawar Sebagai asuhan keperawatan dalam pemberian terapi musik untuk menurunkan tingkat kecemasan. 2) Manfaat bagi rumah sakit Sebagai intervensi baru di rumah sakit khususnya untuk menurunkan tingkat kecemasan. 3) Manfaat bagi institusi pendidikan Untuk menambah wawasan dan referensi dalam pemberian terapi musik klasik terhadap penurunan kecemasan pada asuhan keperawatan Ny. S dengan fraktur femur sinistra 1/3 distal dan fraktur radius ulna dekstra 1/3 tengah. 7 4) Manfaat bagi penulis lain Untuk menambah pengetahuan dan dapat mempermudah sebagai referensi. 5) Manfaat bagi penulis Untuk menambah pengetahuan dan dapat diaplikasikan saat menerima pasien cemas dengan terapi musik klasik. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Fraktur 1. Definisi Fraktur Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang itu sendiri, dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Price dan Wilson, 2006). Fraktur adalah patahnya kontinuitas tulang yang terjadi ketika tulang tidak mampu lagi menahan tekanan yang diberikan kepadanya (Wong, 2004). 2. Klasifikasi Fraktur a. Klasifikasi fraktur menurut (Brunner & Suddarth, 2005), berdasarkan jenis-jenis fraktur, antara lain: 1) Complete fracture (fraktur komplit) Patah pada seluruh garis tengah tulang, luas dan melintang. Biasanya disertai dengan perpindahan posisi tulang. 2) Closed fracture (simple fraktur) Tidak menyebabkan robeknya kulit, integritas kulit masih utuh. 3) Open fracture (compound fraktur/ komplikata/ kompleks) Merupakan fraktur dengan luka pada kulit (integritas kulit rusak 8 9 dan ujung tulang menonjol sampai menembus kulit) atau membrane mukosa sampai kepatahan tulang. 4) Greenstick Fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang lainnya membengkok. 5) Transversal Fraktur sepanjang garis tengah tulang. 6) Oblik Fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang. 7) Spiral Fraktur memuntir seputar batang tulang. 8) Komunitif Fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen. 9) Depresi Fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam (sering terjadi pada tulang tengkorak dan wajah). 10) Kompresi Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang). 11) Patologik Fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang, paget, metastasis tulang, tumor). 10 12) Epifisial Fraktur melalui epifisis. 13) Impaksi Fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lainnya. b. Menurut Helmi (2012), klasifikasi fraktur berdasarkan lokasi fraktur, yaitu: 1) Fraktur femur Hilangnya kontinuitas tulang paha tanpa atau disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, jaringan saraf, dan pembuluh darah). Klasifikasi yang membagi berdasarkan lokasinya, yakni fraktur 1/3 proksimal, tengah , distal. Menurut murtala (2012), pada fraktur bagian distal femur dibagi menjadi: a) Condylus lateral atau medial b) Supracondylus c) Intercondylus , fraktur T-, V-, atau Y. Fraktur intercondylus ini selalu berkomplikasi dengan kerusakan jaringan lunak yang parah dan hemartrosis masif d) Supracondylus, biasanya ditandai dengan angulasi posterior akibat tarikan musculus gastrocnemius. 11 2) Fraktur lengan Terputusnya hubungan tulang radius ulna yang disebabkan oleh cedera pada lengan bawah baik trauma langsung ataupun trauma tidak langsung. 3) Fraktur klavikula Putusnya hubungan tulang klavikula yang disebabkan oleh trauma langsung dan tidak langsung pada posisi lengan terputar/ tertarik keluar, dimana trauma dilanjutkan dari pergelangan tangan sampai klavikula. 4) Fraktur pergelangan kaki Fraktur yang terjadi pada distal tibia, distal fibula, kalkaneus, dan talus tanpa atau disertai kerusakan pada jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, pembuluh darah), sehingga memungkinkan terjadinya hubungan antara fragmen tulang yang patah dengan udara luar, disebabkan oleh suatu cedera dari trauma langsung yang mengenai mata kaki. 3. Etiologi Menurut Wijaya dan Putri (2013), penyebab fraktur adalah: a. Kekerasan langsung Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur ini sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring. 12 b. Kekerasan tidak langsung Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan. c. Kekerasan akibat tarikan otot Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstremitas, organ tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang (Wijaya dan Putri, 2013). 4. Patofisiologi Fraktur biasanya disebabkan oleh trauma atau gangguan gaya dalam tubuh, seperti stress, gangguan fisik, gangguan metabolik,dan patologik. Ketika terjadi fraktur kemampuan otot pendukung tulang turun, baik terjadi pada fraktur yang terbuka ataupun fraktur tertutup. Kerusakan pembuluh darah akibat fraktur akan menyebabkan pendarahan, yang menyebabkan volume darah menurun, sehingga COP menurun dan mengakibatkan terjadi perubahan perfusi jaringan. Hematoma pada kasus fraktur akan mengeksudasi plasma dan berpoliferasi menjadi edema lokal. Fraktur terbuka atau tertutup sering mengenai serabut saraf, dimana hal ini dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri yang menimbulkan nyeri 13 gerak sehingga mobilitas fisik terganggu. Fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi akibat terkontaminasi dengan udara luar dan kerusakan jaringan lunak akan mengakibatkan kerusakan integritas kulit (Sylvia, 2006). 5. Manifestasi Klinik Menurut Bararah dan Jauhar (2013), manifestasi klinik pada fraktur, yaitu: a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang. b. Deformitas, setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergesaran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan estremitas normal. c. Krepitasi, saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. d. Bengkak, pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. e. Peningkatan temperatur lokal f. Pergerakan abnormal 14 g. Echymosis h. Kehilangan fungsi, ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot 6. Komplikasi Menurut Bararah dan Jauhar (2013), komplikasi fraktur yaitu: a. Komplikasi umum 1) Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur. 2) Kerusakan organ 3) Kerusakan saraf, hal ini disebabkan oleh hiperaktif sistem saraf simpatik abnormal syndroma ini belum banyak dimengerti. Mungkin karena nyeri perubahan tropik dan vasomotor instability. 4) Emboli lemak, tetesan lemak masuk ke dalam pembuluh darah. Faktor resiko terjadinya emboli lemak ada fraktur meningkat pada laki-laki usia 20-40 tahun usia 70 sampai 80 fraktur tahun. b. Komplikasi dini 1) Cedera arteri 2) Cedera kulit dan jaringan, sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedik infeksi dimulai pada kulit (suprfisial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus 15 fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat. 3) Cedera partement syndrom adalah suatu keadaan peningkatan tekanan yang berlebihan di dalam satu ruangan yang disebabkan perdarahan masif pada suatu tempat. c. Komplikasi lanjut 1) Stiffnes (kaku sendi) 2) Degenerasi sendi 3) Penyembuhan tulang terganggu 4) Mal union, adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak pada seharusnya, membentuk sudut atau miring. 5) Nonunion, adalah patah tulang yang tidak menyambung kembali 6) Delayed union, adalah proses penyembuhan yang berjalan terus tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal. 7) Cross union 7. Pemeriksaan Penunjang Menurut Wijaya dan Putri (2013), pemeriksaan diagnostik fraktur diantaranya: a. Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi atau luasnya fraktur b. Scan tulang, tonogram, scan CT/MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan untuk mengindentifikasi kerusakan jaringan lunak c. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurugai 16 d. Hitung darah lengkap: HT mungkin meningkat (hemokonsntrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan jumlah SDP adalah respon stress normal setelah trauma. e. Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk kliren ginjal f. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi multiple, atau cedera hati. 8. Penatalaksanaan a. Menurut Price (2006), prinsip penanganan fraktur ada 4 yaitu: 1) Rekognisi adalah menyangkut diagnosis fraktur pada tempat kejadian dan kemudian di rumah sakit 2) Reduksi adalah usaha dan tindakan memanipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak asalnya 3) Retensi adalah aturan umum dalam pemasangan gips, yang dipasang untuk mempertahankan reduksi harus melewati sendi diatas fraktur dan dibawah fraktur 4) Rehabilitasi adalah pengobatan dan penyembuhan fraktur. b. Menurut Wijaya dan Putri (2013), penatalaksanaan keperawatan fraktur, yaitu: 1) Terlebih dahulu perhatikan adanya perdarahan, syok dan penurunan kesadaran, baru periksa patah tulang 17 2) Atur posisi tujuannnya untuk menimbulkan rasa nyaman, mencegah komplikasi 3) Pemantauan neurocirculatory yang dilakukan setiap jam secara dini, dan pemantauan neurocirculatory pada daerah yang cedra adalah: a) Meraba lokasi apakah masih hangat b) Observasi warna c) Menekan pada akar kuku dan perhatikan pengisian kembali kapiler d) Tanyakan pada pasien mengenai rasa nyeri atau hilang sensasi pada lokasi cedera e) Meraba lokasi cedera apakah pasien bisa membedakan rasa sensasi nyeri f) Observasi apakah daerah fraktur bisa digerakkan 4) Pertahankan kekuatan dan pergerakan 5) Mempertahankan kekuatan kulit 6) Meningkatkan gizi, makanan-makanan yang tinggi serat anjurkan intake protein 150-300g/hari 7) Memperlihatkan immobilisasi fraktur yang telah direduksi dengan tujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah dihubungkan tetap pada tempatnya sampai sembuh 9. Asuhan Keperawatan Menurut Efendy (1995) dalam Wijaya (2013), asuhan keperawatan merupakan penerapan pemecahan masalah keperawatan secara ilmiah 18 yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah-masalah, merencanakan secara sistematis dan melaksanakannya secara mengevaluasi hasil tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. a. Pengkajian Menurut Wijaya dan Putri (2013), pengkajian fraktur antara lain: 1) Identitas Pasien Meliputi: nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, suku, bangsa, pendidikan,pekerjaan, tanggal masuk Rumah Sakit, diagnosa medis, no. Registrasi. 2) Keluhan Utama Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut/kronik tergantung dari lamanya serangan. Unit memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri pasien digunakan: a) Provoking inciden: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor prepitasi nyeri b) Quality of pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan pasien. Apakah seperti terbakar, berdenyut/menusuk. c) Region radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar dan dimana rasa sakit terjadi. d) Saverity (scale of pain): seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan pasien, bisa berdasarkan skala nyeri/ pasien 19 menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya. e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari/ siang hari. 3) Riwayat penyakit sekarang Pada pasien fraktur/ patah tulang dapat disebabkan oleh trauma/ kecelakaan, degeneratif dan patologis yaang didahului dengan perdarahan, kerusakan jaringan sekirat yang mengakibatkan nyeri, bengkak, kebiruan, pucat/perubahan warna kulit dan kesemutan. 4) Riwayat penyakit dahulu Apakah pasien pernah mengalami penyakit ini (fraktur femur) atau pernah punya penyakit yang menular/menurun sebelumnya. 5) Riwayat penyakit keluarga Pada keluarga pasien ada/ tidak yang menderita osteoporosis, arthritis dan tuberkolosis/ penyakit lain yang sifatnya menurun dan menular. 6) Pola fungsi kesehatan. a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat Pada fraktur akan mengalami perubahan/ gangguan pada personal higiene, misalnya kebiasaan mandi, ganti pakaian, BAB dan BAK 20 b) Pola nutrisi dan metabolisme Pada fraktur tidak akan mengalami penurunan nafsu makan, meskipun menu berubah misalnya makan dirumah gizi tetap sama sedangkan di Rumah Sakit disesuaikan dengan penyakit dan diet pasien. c) Pola eliminasi Kebiasaan miksi/ defekasi sehari-hari, kesulitan waktu defekasi dikarenakan imobilisasi, feses warna kuning dan konsistensi defekasi, pada miksi pasien tidak mengalami gangguan. d) Pola istirahat dan tidur Kebiasaan pola tidur dan istirahat mengalami gangguan yang disebabkan oleh nyeri, misalnya nyeri akibat fraktur. e) Pola aktivitas dan latihan Keterbatasan/ kehilangan fungsi pada bagian yaang terkena (mungkin akibat langsung dari fraktur atau akibat sekunder pembengkakan jaringan dan nyeri. Sehingga aktivitas dan latihan mengaalami perubahan/ gangguan akibat dari fraktur femur sehingga kebutuhan pasien perlu dibantu oleh perawat/ keluarga. 21 f) Pola persepsi dan konsep diri Pada fraktur akan mengalami gangguan diri karena terjadi perubahan pada dirinya, pasien takut dan cemas cacat seumur hidup/ tidak dapat bekerja lagi. g) Pola sensori kognitif Nyeri yang disebabkan oleh kerusakan jaringan, sedang pada pola kognitif atau cara berfikir pasien tidak mengalami ganguan. h) Pola hubungan peran Terjadinya perubahan peran yang dapat mengganggu hubungan interpersonal yaitu pasien merasa tidak berguna lagi dan menarik diri. i) Pola penanggulangan stress Perlu ditanyakan apakah membuat pasien menjadi stress dan biasanya masalah dipendam sendiri/ dirundingkan dengan keluarga. j) Pola reproduksi seksual Bila pasien sudah berkeluarga dan mempunyai anak, maka akan mengalami pola seksual dan reproduksi, jika pasien belum berkeluarga pasien tidak akan mengalami gangguan. k) Pola tata nilai dan kepercayaan Adanya kecemasan dan stress sebagai pertahanan dan pasien meminta perlindungan/ mendekatkan diri dengan Tuhan YME. 22 b. Diagnosa Keperawatan Menurut Wijaya dan Putri (2013), diagnosa keperawatan pada pasien fraktur antara lain: 1) Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan 2) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas dan nyeri saat mobilisasi 3) Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit c. Intervensi Keperawatan Menurut Wijaya dan Putri (2013), intervensi keperawatan: 1) Diagnosa keperawatan 1: nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan. Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 X 24 jam diharapkan nyeri berkurang atau dapat teratasi. Kriteria Hasil: (1) Nyeri berkurang skala nyeri 1-3 (2) Klien tampak rileks (3) TTV dalam batas normal: (a) Tekanan Darah : 110-120/ 80-90 mmHg (b) Nadi : 60-100 X/ menit (c) Respiratory Rate : 18-24 X/ menit (d) Suhu : 36,5-37,5 ˚C Rencana Tindakan : 23 (1) Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga tentang penyebab nyeri. Rasional: Dengan memberikkan penjelasan diharapkan pasien tidak merasa cemas dan dapat melakukan sesuatu yang dapat mengurangi nyeri. (2) Ajarkan pada pasien tentang teknik mengurangi rasa nyeri Rasional: Diperolehnya pengetahuan tentang nyeri akan memudahkan kerjasama dengan asuhan keperawatan untuk memecahkan masalah. (3) Beri posisi senyaman mungkin Rasional: Memperlancar sirkulasi paada daerah luka/ nyeri (4) Observasi TTV Rasional: Observasi TTV dapat diketahui keadaan umum pasien (5) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik Rasional: Obat analgesik diharapkan dapat mengurangi nyeri 2) Diagnosa keperawatan 2: Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan deformitas dan nyeri saat mobilisasi Tujuan : Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 X 24 jam diharapkan pasien dapat melakukan aktivitas sebatas kemampuan. Kriteria Hasil: (1) Pasien mengerti pentingnya melakukan aktivitas (2) Pasien bisa duduk, makan dan minum tanpa dibantu (3) Pasien dapat mempertahankan fungsi tubuh secara maksimal. 24 Rencana tindakan : (1) Lakukan pendekatan kepada pasien untuk melakukan aktivitas sebatas kemampuan Rasional: Dengan pendekatan yang baik diharapkan pasien akan lebih kooperatif dalam melakukan aktivitas. (2) Observasi sejauh mana pasien belum melakukan aktivitas Rasional: Dengan observasi diharapkan pasien sudah bisa melakukan aktivitas (3) Beri motivasi pada pasien untuk melakukan aktivitas Rasional: Dengan adanya motivasi diharapkan pasien lebih bersemangat dalam melatih aktivitas. 3) Diagnosa keperawatan 3: Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit. Tujuan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 x 24 jam diharapkan cemas berkurang. Kriteria Hasil: (1) Pasien tampak tenang (rileks) (2) Pasien istirahat dengan nyaman (3) Pasien dapat mempertahankan fungsi tubuh secara maksimal Rencana Tindakan: (1) Jelaskan kepada pasien mengenai prosedur tindakan pengobatan Rasional: pengobatan Pasien kooperatif mengenai prosedur tindakan 25 (2) Kaji tingkat kecemasan pasien Rasional : Dengan diberikan informasi bisa menurunkan cemas (3) Observasi TTV Rasional: Observasi TTV dapat diketahui keadaan umum pasien. B. Kecemasan 1. Definisi cemas Cemas adalah suatu perasaan resah tidak menentu atau rasa takut disertai respons otonomik yang pada banyak kasus, sumbernya tidak spesifik atau tidak diketahui; suatu perasaan takut karena antisipasi terhadap bahaya; suatu sinyal gangguan yang menandakan akan terjadi bahaya dan memungkinkan individu untuk menghadapi ancaman dari bahaya tersebut (Taylor, 2010). Cemas adalah perasaan khawatir yang tidak jelas terhadap sumber yang seringkali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu (Maryam, 2013) 2. Ciri-ciri cemas Menurut Hawari (2013), ciri-ciri cemas antara lain : a. Cemas, khawatir, tidak tenang, ragu dan bimbang b. Memandang masa depan dengan rasa was-was (khawatir) c. Kurang percaya diri, gugup apabila tampil dimuka umum (“demam panggung”) d. Sering merasa tidak bersalah, menyalahkan orang lain e. Tidak mudah mengalah, suka ”ngotot” 26 f. Gerakan sering serba salah tidak tenang bila duduk, gelisah g. Seringkali mengeluh ini dan itu (keluhan-keluhan somatik), khawatir berlebihan terhadap penyakit h. Mudah tersinggung, suka membesar-besarkan masalah yang kecil (dramatisasi) i. Dalam mengambil keputusan sering diliputi rasa bimbang dan ragu j. Bila mengemukakan sesuatu atau bertanya seringkali diulang-ulang k. Kalau sedang emosi seringkali bertindak histeri 3. Gejala klinis cemas Menurut Hawari (2013) gejala klinis cemas antara lain : a. Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri mudah tersinggung b. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut c. Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang d. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan e. Gangguan konsentrasi dan daya ingat f. Keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang pendengaran berdenging (tinitus), berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, sakit kepala. 4. Alat ukur kecemasan Menurut Hawari (2013) untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan seseorang dapat menggunakan alat ukur (instrument) yang dikenal dengan nama Hemilton Rating Scale For Anxiety (HRS-A). Alat 27 ukur ini terdiri dari 14 kelompok gejala yang masing-masing kelompok dirinci dengan gejala-gejala yang lebih spesifik. 14 kelompok diantaranya meliputi: No. 1 Gejala kecemasan Perasaan cemas (ansietas) Cemas Firasat buruk Takut akan pikiran sendiri Mudah tersinggung 2 Ketegangan Merasa tegang Gelisah Gemetar Mudah terganggu Lesu 3 Ketakutan Takut terhadap gelap Takut terhadap orang lain/ asing Takut bila tinggal sendiri Takut pada binatang besar 4 Gangguan tidur Sukar memulai tidur Terbangun pada malam hari Mimpi buruk 5 Gangguan kecerdasan Penurunan daya ingat Mudah lupa Sulit konsentrasi 6 Perasaan depresi Nilai angka (score) 0 1 2 3 4 28 Hilangnya minat Berkurangnya kesenangan pada hoby Sedih Perasaan tidak menyenangkan sepanjang hari 7 Gejala somatik Nyeri pada otot dan kaku Gertakan gigi Suara tidak stabil Kedutan otot 8 Gejala sensorik Perasaan ditusuk-tusuk Penglihatan kabur Muka merah Pucat serta merasa lemah 9 Gejala kardiovaskuler Takikardi Nyeri di dada Denyut nadi mengeras Detak jantung hilang sekejap 10 Gejala pernafasan Rasa tertekan di dada Perasaan tercekik Sering menarik nafas panjang Merasa nafas pendek 11 Gejala gastrointestinal Sulit menelan Konstipasi Berat badan menurun Mual 29 Muntah Nyeri lambung sebelum dan sesudah makan Perasaan panas diperut 12 Gejala urogenital Sering kencing Tidak dapat menahan kencing Aminorea Ereksi lemah/ impotensi 13 Gejala vegetatif Mulut kering Mudah berkeringat Muka merah Bulu roma berdiri Pusing atau sakit kepala 14 Perilaku sewaktu wawancara Gelisah Jari gemetar Mengerutkan dahi/ kening Muka tegang Tonus otot meningkat Nafas pendek dan cepat Tabel : 2.1 Kuesioner HARS Menurut penilaian kategori kecemasan dalam kuesioner HARS dinilai dari angka (score) 0-4 dengan 0 menunjukkan tidak ada gejala (keluhan), 1 menunjukkan gejala ringan, 2 menunjukkan gejala sedang, 3 menunjukkan gejala berat, dan 4 menunjukkan gejala berat sekali. Masingmasing nilai angka (score) dari ke 14 kelompok gejala tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat 30 kecemasan pasien, yaitu dengan nilai kurang dari 14 menunjukkan tidak ada kecemasan, nilai 14 sampai 20 menunjukkan kecemasan ringan, nilai 21 sampai 27 menunjukkan kecemasan sedang, nilai 28 sampai 41 menunjukkan kecemasan berat, dan 42 sampai 56 menunjukkan kecemasan berat sekali (Hawari, 2013). C. Terapi Musik 1. Pengertian Musik adalah suatu komponen yang dinamis yang bisa mempengaruhi baik psikologis maupun fisiologis bagi pendengarnya (Novita, 2012). Musik adalah paduan rangsang suara yang membentuk getaran yang dapat memberikan rangsang pada pengindraan, organ tubuh dan juga emosi. Ini berarti, individu yang mendengarkan musik akan memberi respon, baik secara fisik maupun psikis, yang akan menggugah sistem tubuh, termasuk aktivitas kelenjar-kelenjar di dalamnya. Musik memiliki tiga komponen penting yaitu beat, ritme, dan harmoni. Beat atau ketukan mempengaruhi tubuh, ritme mempengaruhi jiwa, sedangkan harmoni mempengaruhi roh (Yuanitasari, 2008). Terapi musik adalah suatu terapi kesehatan menggunakan musik dimana tujuannya adalah untuk meningkatkan atau memperbaiki kondisi fisik, emosi, kognitif, dan sosial bagi individu dari berbagai kalangan usia (Suhartini, 2008). Terapi musik adalah materi yang mampu mempengaruhi kondisi seseorang baik fisik maupun mental. Musik memberikan 31 rangsangan pertumbuhan fungsi-fungsi otak seperti fungsi ingatan, belajar, mendengar, berbicara, serta analisi intelek dan fungsi kesadaran (Satiadarma, 2004). Penggunaan bunyi dan musik dalam memunculkan hubungan antara individu dan terapis untuk mendukung dan menguatkan secara fisik, mental, sosial, dan emosi (Yuanitasari, 2008 ). 2. Manfaat Terapi Musik Menurut Djohan (2006), manfaat terapi musik antara lain: a. Mampu menutupi bunyi dan perasaan yang tidak menyenangkan. b. Mempengaruhi pernafasan. c. Mempengaruhi denyut jantung, nadi dan tekanan darah manusia. d. Bisa mempengaruhi suhu tubuh manusia. e. Bisa menimbulkan rasa aman dan sejahtera. f. Bisa mengurangi rasa sakit. Penggunaan terapi musik telah terbukti bermanfaat bagi perkembangan kognisi, perilaku serta kesehatan. Bahkan terapi musik juga telah digunakan untuk menolong para korban dalam perang dunia I dan II. Dengan penggunaan terapi musik maka para korban dilaporkan lebih cepat sembuh dan memiliki kondisi lebih baik. Terapi musik juga mempunyai dampak lebih berkepanjangan (long-last), berpengaruh terhadap keseluruhan kemampuan (multiple), dan banyak laporan kemajuan kesehatan akibat intervensi terapi musik. Terapi musik juga pernah di uji cobakan pada bayi. Bayi-bayi yang baru lahir diletakkan dalam sebuah tempat tidur besar dan dikepala mereka diletakkan 32 headphone untuk mendengarkan musik, bila diperhatikan jari-jari mereka akan bergerak seiring dengan ritme lagu yang mereka dengar (Yuanitasari, 2008). Terapi musik dapat menyembuhkan warga Frankfurt yang menderita penyakit keturunan yang menyakitkan dan sampai saat ini belum ada obatnya. Jaringan ikatnya melemah hingga mengganggu organ dalam lainnya, termasuk jantung. Sudah tiga kali mengalami serangan jantung ringan, pada mulanya musik dari headphone selama 15 menit untuk membebaskan dari keadaan stress, berdasarkan pantauan terhadap aktivitas ototnya. Setelah tiga minggu dirawat dengan terapi musik, cuma 5 menit mendengarkan musik sudah bisa tenang (Faradisi, 2012). 3. Jenis Terapi Musik Menurut Aditia (2012), jenis musik yang digunakan untuk terapi antara lain musik instrumental dan musik klasik. Musik instrumental bermanfaat menjadikan badan, pikiran, dan mental menjadi lebih sehat. Musik klasik bermanfaat untuk membuat seseorang menjadi rileks, menimbulkan rasa aman dan sejahtera, melepaskan rasa gembira dan sedih, menurunkan tingkat kecemasan pasien pra operasi dan melepaskan rasa sakit dan menurunkan tingkat stress. Musik klasik adalah sebuah musik yang dibuat dan ditampilkan oleh orang yang terlatih secara professional melalui pendidikan musik. Musik klasik juga merupakan suatu tradisi dalam menulis musik, yaitu ditulis dalam bentuk notasi musik dan dimainkan sesuai dengan notasi 33 yang ditulis. Musik klasik adalah musik yang komposisinya lahir dari budaya Eropa dan digolongkan melalui periodisasi tertentu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008). Sebuah penampilan musik klasik memiliki atmosfir yang serius. Penonton diharapkan untuk diam dan tidak banyak bergerak agar tiap nada dalam komposisi yang dimainkan dapat terdengar dengan jelas. Penampil musik klasik diharuskan untuk berbusana formal dan terlibat secara langsung dengan penonton. Pada musik klasik, improvisasi dilakukan dalam bentuk interpretasi. Improvisasi sering dilakukan pada periode baraque, terutama oleh J.S Bach.Pemain dapat mengimprovisasi chord maupun melodi (Kamien, 2004). Pemberian terapi musik klasik membuat seseorang menjadi rileks, menimbulkan rasa aman dan sejahtera, melepaskan rasa gembira dan sedih, melepaskan rasa sakit dan menurunkan tingkat cemas (Musbikin, 2009). Hal tersebut terjadi karena adanya penurunan Adrenal Corticotropin Hormon (ACTH) yang merupakan hormon stres (Djohan, 2006). 4. Aplikasi Jurnal Terapi Musik Terapi musik dapat menurunkan tingkat kecemasan pada pasien yang dirawat di ruang perawatan intensif unit. Pasien yang harus dirawat di ruang perawatan intensif unit salah satunya mengalami stress, karena pelaksanaan proses keperawatan yang dilakukan dan pola unit yang memiliki instrumen yang lebih canggih dalam memantau pasien secara memadai. Untuk mengurangi kecemasan pasien dapat memberikan mereka 34 terapi musik. Peneliti medapatkan 20 responden yang dirawat diruang ICU-ICCU. Cara yang digunakan peneliti dengan menggunakan pre dan post test, kecemasan yang diukur berdasarkan nilai tanda-tanda vital berupa tekanan darah dan detak jantung. Responden diberikan terapi musik yang telah direkam untuk disimak menggunakan headphone. Musik klasik, musik populer kontemporer, dan musik populer Indonesia merupakan jenis musik yang dipilih. Musik yang dipilih mempunyai irama lambat, dan musik diberikan selama 30 menit, penelitian dilakukan selama 1 bulan pada pasien yang sedang dalam perawatan kritis. Berdasarkan hasil penelitian, 90 % responden mengalami perubahan penurunan tekanan darah sistol, 95 % responden mengalami perubahan penurunan tekanan Darah diastole, 60% responden mengalami perubahan penurunan respirasi, 100% responden mengalami perubahan penurunan nadi. Pasien yang mendengarkan musik selama waktu perawatan kritis akan mengalami kecemasan yang signifikan lebih rendah, tekanan darah menurun, dan tingkat denyut jantung juga menurun (Suhartini, 2008). Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus telah memprogramkan musik dengan sistem sentral melalui pengeras suara keseluruh ruangan, termasuk ruang ICU-ICCU pada jam-jam tertentu yaitu jam 08:00 WIB – 14:00 WIB dan jam 16:00 WIB – 19:30 WIB. Penelitian dilakukan selama 1 bulan. Peneliti menggunakan metode pre dan post test, kecemasan yang diukur berdasarkan nilai tanda-tanda vital berupa tekanan darah dan detak jantung. Jenis musik yang diperdengarkan adalah musik alunan klasik. 35 Berdasarkan hasil penelitian pasien yang sudah mendapatkan terapi musik ini menunjukkan hasil adanya perubahan. Pasien sesudah mendapatkan terapai musik menunjukkan penurunan nilai respon fisiologis yang dilihat dari tekanan darah sistol 18 dari 20 atau (60%) responden mengalami perubahan penurunan tekanan darah diastol 19 dari 20 atau (95%) responden mengalami perubahan penurunan, respirasi 12 dari 20 atau (60%) responden mengalami perubahan penurunan, nadi 20 responden atau (100%) mengalami perubahan penurunan (Wijanarko, 2007). Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan alat ukur kecemasan yang dalam penggunaannya menggunakan metode observasi dan wawancara. Alat ukur tingkat kecemasan HRS-A berisi rentang intensitas kecemasan yang dirasakan klien. Untuk mendukung jalanya penelitian, peneliti menggunakan MP3 atau tape recorder yang berisikan musik klasik dan murotal. Lembar observasi yang digunakan peneliti sebagai alat ukur dalam mengukur intensitas nyeri, pada penelitian ini merujuk pada kuisioner kecemasan HRS-A (Hamilton Rating Scale for Anxiety) dengan skala 0 sampai 4 untuk setiap item dan dari score <6->27 untuk penentuan tingkat kecemasan akhir (Faradisi, 2012). 5. Mekanisme Kerja Terapi Musik Musik bersifat terapeutik artinya dapat menyembuhkan, salah satu alasanya karena musik menghasilkan rangsangan ritmis yang kemudian ditangkap melalui organ pendengaran dan diolah di dalam sistem saraf 36 tubuh dan kelenjar otak yang selanjutnya mereorganisasi interpretasi bunyi ke dalam ritme internal pendengarannya. Ritme internal ini mempengaruhi metabolisme tubuh manusia sehingga prosesnya berlangsung dengan lebih baik. Dengan metabolisme yang lebih baik, tubuh akan mampu membangun sistem kekebalan yang lebih baik, dan dengan sistem kekebalan yang lebih baik menjadi lebih tangguh terhadap kemungkinan serangan penyakit (Satiadarma, 2002). Sebagian besar perubahan fisiologis tersebut terjadi akibat aktivitas dua sistem neuroendokrin yang dikendalikan oleh hipotalamus yaitu sistem simpatis dan sistem korteks adrenal (Prabowo & Regina, 2007). Hipotalamus juga dinamakan pusat stress otak karena fungsi gandanya dalam keadaan darurat. Fungsi pertamanya mengaktifkan cabang simpatis dan sistem otonom. Hipotalamus menghantarkan impuls saraf ke nukleusnukleus di batang otak yang mengendalikan fungsi sistem saraf otonom. Cabang simpatis saraf otonom bereaksi langsung pada otot polos dan organ internal yang menghasilkan beberapa perubahan tubuh seperti peningkatan denyut jantung dan peningkatan tekanan darah. Sistem simpatis juga menstimulasi medulla adrenal untuk melepaskan hormon epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin ke dalam pembuluh darah, sehingga berdampak meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah, dan norepinefrin secara tidak langsung melalui aksinya pada kelenjar hipofisis melepaskan gula dari hati. Adrenal Corticotropin Hormon (ACTH) menstimulasi lapisan luar kelenjar adrenal (korteks adrenal) yang 37 menyebabkan pelepasan hormon (salah satu yang utama adalah kortisol) yang meregulasi kadar glukosa dan mineral tertentu (Primadita, 2011). Musik mengandung vibrasi energi, vibrasi ini juga mengaktifkan sel-sel di dalam diri seseorang, sehingga dengan aktifnya sel-sel tersebut sistem kekebalan tubuh seseorang lebih berpeluang untuk aktif dan meningkat fungsinya. Musik dapat meningkatkan serotonin dan pertumbuhan hormon yang sama baiknya dengan menurunkan hormon ACTH (Setiadarama, 2002). BAB III LAPORAN KASUS Pada bab ini penulis menjelaskan tentang resume pada Asuhan keperawatan Ny.S dengan fraktur femur sinistra 1/3 distal dan fraktur radius ulna dextra 1/3 tengah. Resume asuhan keperawatan pada Ny.S meliputi identitas, pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi sesuai masalah keperawatan, implentasi yang telah dilakukan dan evaluasi. Pengkajian dilakukan pada tanggal 10 April 2014 jam 09.00, pada kasus ini dilakukan dengan metode autoanamnase dan aloanamnase. A. Identitas Pasien Pengkajian didapatkan identitas pasien dengan nama pasien Ny.S berumur 75 tahun,beragama islam,pendidikan terakhir Sekolah Dasar (SD), Ny.S sebagai petani yang beralamat di Selogoimo Wonogiri, Ny.S datang ke RSUD Dr.Soediran Mangun Sumarso Wonogiri pada tanggal 7 april 2014 dengan diagnosa medis fraktur femur sinistra 1/3 distal dan fraktur radius ulna dextra 1/3 tengah diadetikum dengan nomor rekam medis 460397. Identitas penanggung jawab bernama Tn.P berumur 35 Tahun, bekerja sebagai petani, pendidikan terkahir Sekolah Menengah Pertama (SMP), beralamat di Selogoimo Wonogiri, hubungan dengan Ny.S sebagai anak. 38 39 B. Pengkajian Hasil pengkajian pada tanggal 10 April 2014 pasien mengeluhkan nyeri pada patah tulang kaki kiri dan tangan kanan. Riwayat kesehatan keluarga, pasien mengatakan ± 3 hari yang lalu pasien terjatuh terpeleset dari kamar mandi. Pasien mengalami patah tulang kaki kiri atas dan tangan kanan bawah. Pasien ditolong dan dibalut ditangan kanan bawah dan dikaki kiri atas oleh bidan setempat. Pasien dibawa di RS Dr.Soediran Mangun Sumarso Wonogiri pada tanggal 7 April 2014 bersama keluarganya. Di IGD diperoleh data pemeriksaan tulang bengkak, crepitasi, dan disfungsi fisiologis dan hasil pemeriksaan tanda-tanda vital tekanan darah 130/70 mmHg, nadi 85 x/menit, respirasi 21 kali per menit, suhu 37,1oC di IGD pasien dipasang kateter, terapi infus RL 20 tetes per menit, injeksi ceftriaxone 1 gram, ketorolax 10 mg. Pasien memperoleh tindakan pembidaian untuk imobilisasi tulang. Pasien dipindah dibangsal Mawar RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri untuk memperoleh tindakan lebih lanjut seperti pemasangan gips. Riwayat penyakit dahulu, pasien mengatakan saat kanak-kanak hanya menderita sakit batuk dan pilek. Pasien mengatakan tidak pernah mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien mengatakan 2 tahun yang lalu pernah dirawat di RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri selama 5 hari akibat pinggang kesleo jatuh di kebun. Pasien mengatakan tidak mempunyai riwayat alergi. Pasien mengatakan lupa sudah diimunisasi apa belum. Pasien mengatakan tidak merokok atau nginang dan minum kopi. 40 Riwayat kesehatan keluarga, pasien mengatakan tidak mempunyai penyakit menurun seperti DM, hipertensi, dan jantung. Riwayat kesehatan lingkungan, pasien mengatakan lingkungan rumahnya bersih, jauh dari limbah pabrik, dan banyak pepohonan disekitar rumah. Gambar : 3. 1 Genogram Keterangan : : Perempuan : Laki-laki X : Meninggal : Pasien : Garis pernikahan : Garis keturunan Hasil pengkajian primer, airway tidak ada lidah jatuh dan tidak ada sumbatan, breathing RR 26 x/menit, tidak menggunakan alat bantu pernafasan, irama teratur, inspeksi bentuk dada simetris tidak ada jejas, palpasi vocal premitus kanan kiri sama, ekspansi kanan kiri sama, perkusi 41 sonor, auskultasi tidak ada suara tambahan atau vesikuler, circulation nadi 86 x/menit, tekanan darah 150/90 mmHg, akral hangat, mukosa bibir kering, capilary refil kurang 3 detik, disability kesadaran composmmentis, dan exposure suhu 37,1 ˚C, tidak ada jejas ditubuh pasien. Hasil pengkajian menurut pola gordon, dalam pengkajian persepsi dan pemeliharaan kesehatan, pasien mengatakan sakit patah tulang, patah tulang yang mengakibatkan tidak bisa beraktivitas seperti biasa, yang harus mondok di rumah sakit, tidak tahu nanti bisa beraktivitas lagi atau tidak. Pola nutrisi dan metabolisme, sebelum sakit pasien mengatakan makan 3 kali sehari denggan nasi, lauk, sayuran, minum air putih dan teh, setiap makan habis 1 porsi dan tidak ada keluhan. Selama sakit pasien mengatakan makan 3 kali sehari dengan nasi, lauk, sayur, minum air putih dan teh, setiap makan hanya habis 1/3 dari porsi yang disediakan RS, dan tidak ada keluhan. Diperoleh data antropometri dengan berat badan 48 kg, tinggi badan 150 cm, lingkar lengan atas 20 cm, indeks masa tubuh didapatkan hasil 21,3 kg/m2 (normal), biochemical didapatkan data hemoglobin 7,7 g/ dL dan hematokrit 25,9 % pemeriksaan tanggal 9 April 2014, clinical sign didapatkan data mukosa bibir kering, turgor kulit kering, dietary pasien mengatakan memakan bubur yang disediakan rumah sakit dan camilan. Pola eliminasi, sebelum sakit pasien mengatakan buang air besar 1 kali dalam sehari setiap pagi, jenis lembek, bau khas, warna kuning. Buang air kecil 6 kali sehari, warna kuning jernih, bau amoniak, pancaran kuat, jumlah ± 200 cc sekali buang air kecil, perasaan setelah buang air kecil dan besar 42 lega, tidak ada keluhan. Selama sakit, pasien mengatakan buang air besar sekali selama 2 hari, jenis lembek, bau khas, warna kuning, perasaan setelah buang air besar lega, tidak ada keluhan. Buang air kecil pasien terpasang kateter 250 cc setiap 5-6 jam. Pola aktivitas dan latihan, pasien mengatakan sebelum sakit melakukan semua aktivitas secara normal dan mandiri. Selama sakit pasien mengatakan dalam memenuhi aktivitas seperti makan/minum, berpakaian, mobilisasi ditempat tidur, ambulasi/ ROM dengan dibantu orang lain (score penilaian 2), pada toileting dan berpindah dengan tergantung total (score penilaian 4). Pola istirahat dan tidur, sebelum sakit pasien mengatakan tidur malam 5-7 jam, tidur siang 1-2 jam, tidak menggunakan obat tidur, tidak ada gangguan, perasaan saat bangun tidur terasa nyaman, selama sakit pasien mengatakan tidur malam 5-7 jam, tidur siang 1 jam, tidak menggunakan obat tidur, gangguan saat tidur yaitu pengunjung yang ramai dan banyak, perasaan saat bangun tidur nyaman. Paien tampak tertidur di tempat tidur. Pola kognitif perseptual, pasien dapat berbicara dengan lancar, pandangan sedikit kabur, pendengaran mengalami penurunan. Pasien dapat mengidentifikasi tes tekan. Pasien mengatakan nyeri. Pasien tampak meringis menahan sakit. Diperoleh data pengkajian nyeri dengan provocate nyeri patah tulang saat digerakkan, quality nyeri seperti ditusuk-tusuk, regio nyeri di tangan kanan bawah dan kaki kiri atas, scale nyeri 6 (sedang), dan time nyeri berasa selama 50 detik. 43 Pola persepsi konsep diri, gambaran diri pasien mengatakan selalu bersyukur pada Tuhan masih diberi anggota tubuh yang lengkap, meskipun saat ini ada bagian tubuhnya yang sakit, tidak ada yang dibenci pada tubuhnya, meskipun merasa cemas dan sedih dengan keadaan tubuhnya sekarang. Ideal diri pasien mengatakan ingin cepat sembuh dan ingin pulang kerumah. Harga diri, pasien mengatakan tidak berharga bagi cucu dan keluarganya. Peran diri, pasien mengatakan tidak bisa menjalankan aktivitasnya lagi. Identitas diri, pasien seorang perempuan 75 tahun. Pola hubungan peran, pasien mengatakan hubungan dengan keluarga, anak dan cucu harmonis, baik dengan lingkungannya. Pada saat sakitpun banyak tetangga dan saudaranya yang datang mmenjenguk dan memberi dukungan. Pola seksualitas reproduksi, pasien mengatakan mempunyai satu anak dan satu cucu. Pola mekanisme koping, keluarga pasien mengatakan sebelum sakit semua masalah dibicarakan bersama, dan selama sakit masih dibicarakan bersama, tetapi pasien mengatakan cemas terhadap keadaannya sekarang dan sedih. Pola nilai dan keyakinan, sebelum sakit pasien beragama islam dan menjalankan ibadah dengan aktif, dan selama sakit masih menjalankan ibadah dengan aktif meskipun ditempat tidur. Pengkajian kecemasan dengan kuesioner HARS, pasien mengatakan cemas dengan keadaannya sekarang, bingung tidak bisa berjalan lagi dan sedih. Pengkajian cemas berdasarkan kuesioner HARS diperoleh nilai 26 dengan kecemasan sedang. 44 Pengkajian pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran composmentis, dengan tekanan darah 150/90 mmHg, nadi 86 x/menit, irama teratur dan kuat, pernafasan 26 x/menit, irama teratur, suhu 37,1˚C. Bentuk kepala mesocepal, kulit kepala bersih, rambut bersih, tidak beruban. Pada pemeriksaan mata didapatkan data, palpebra tidak ada edema, kehitaman, konjungtiva anemis, sclera tidak ikterik, pupil isokor, diameter kanan kiri sama, simetris, tidak menggunakan alat bantu penglihatan. Pada pemeriksaan hidung didapatkan data bersih, tidak ada secret, tidak ada polip. Pada pemeriksaan mulut didapatkan data bersih mukosa bibir kering. Pada pemeriksaan gigi didapatkan data bersih, ompong dibagian atas gigi taring dan geraham. Pemeriksaan pada telinga diperoleh data bersih, simetris kanan dan kiri. Pada pemeriksaan leher didapatkan data tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, nadi karotis teraba, tidak ada pembesaran vena jugularis, dan tidak ada kaku kuduk. Pada pemeriksaan fisik paru didapatkan hasil saat inspeksi bentuk dada simetris, tidak ada jejas. Saat dilakukan palpasi vocal premitus kanan kiri sama, ekspansi kanan kiri sama. Saat dilakukan perkusi suara sonor. Saat dilakukan auskultasi tidak ada suara tambahan atau vesikuler. Pada pemeriksaan jantung inspeksi didapatkan hasil tidak ada jejas, ictus cordis tidak tampak. Saat dilakukan palpasi ictus cordis teraba di SIC V. Saat dilakukan perkusi suara jantung sonor. Saat dilakukan auskultasi tidak ada bunyi tambahan. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan hasil inspeksi warna kulit sama dengan sekitarnya, tidak ada benjolan. Pada pemeriksaan 45 auskultasi didapatkan hasil peristaltik usus 8 x/menit. Pada pemeriksaan palpasi didapatkan tidak ada pembesaran hepar. Pada pemeriksaan perkusi didapatkan hasil thympani dikuadran 2, 3, 4 dan redup dikudran 1. Pada pemeriksaan genetalia diperoleh data memakai kateter 250 cc setiap 5-6 jam. Pada pemeriksaan rektum diperoleh data bersih, tidak ada tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan ekstremitas atas diperoleh data kekuatan otot kanan tampak kontraksi atau ada sedikit gerakan dan ada tahanan sewaktu jatuh (1), pergerakan tangan kanan terbatas, Perubahan bentuk tulang kanan patah/ fraktur, dan perabaan akral hangat dan capilary refile kurang 3 detik, dan kekuatan ototkiri kekuatan utuh (5), pergerakan tangan kiri membatasi gerak karena terpasang infus, perubahan bentuk tulang kiri normal, perabaan akral hangat dan capilary refile kurang 3 detik, tangan kiri terpasang infus RL 20 tetes per menit. Ekstremitas bawah didapatkan hasil kekuatan otot kanan kekuatan utuh (5), pergerakan kanan bebas, perubahan bentuk tulang kanan normal, perabaan akral hangat dan capilary refile kurang 3 detik, dan kekuatan otot kiri tampak kontraksi atau ada sedikit gerakan dan ada tahanan sewaktu jatuh (1), pergerakan kiri terbatas, perubahan bentuk tulang kiri patah/ fraktur, dan perabaan akral hangat dan capilary refile kurang dari 3 detik. Tampak fraktur femur sinistra 1/3 distal dan radius ulna dekstra 1/3 tengah memakai bidai. Pemeriksaan data penunjang rontgen yang dilakukan pada tanggal 7 April 2014 didapatkan hasil “ femur sinistra ( tampak genu), fraktur femur sinistra 1/3 distal. Antebrachi dextra, fraktur radius ulna dextra 1/3 tengah”. 46 Pemeriksaan data penunjang laboratorium dilakukan pada tanggal 9 April 2014, yaitu: darah lengkap 7,7 k/ uL (4,1-10,9 k/ uL), limposit 1,3 %L (0,64,1 %L), MID 0,5 %M (0,0-1,8 %M), granulosit 6,0 %G (2,0-7,8 %G), RBC 3,18 M/ uL (4,2-6,3M/ uL), HGB 7,7 g/dL (12-18 g/dL), HCT 25,9 % (37,-51 %), MCV 81,3 fL (80-97 fL), MCH 24,2 pg (26-32 pg), MCHC 29,7 g/dL (31-36 g/dL), RDW 21,8 % (11,5-14,5%), PLT 159 k/uL (140-440 k/uL), MPV 7,1 fL (0,0-99,8 fL). Selama diruang mawar pasien mendapatkan terapi infus RL 20 tetes per menit, injeksi ceftriaxone 1 gr tiap 8 jam, injeksi ketorolac 10 mg tiap 8 jam. C. Masalah Keperawatan Setelah dilakukan analisa pada tanggal 10 April 2014 jam 09.20 WIB terhadap data hasil pengkajian, diperoleh data subjektif, antara lain pasien mengatakan nyeri pada kaki kiri dan tangan kanan, dengan provocate nyeri patah tulang saat digerakkan, quality nyeri seperti ditusuk-tusuk, regio nyeri ditangan kanan bawah dan kaki kiri atas, scale nyeri 6 (sedang), time nyeri terasa selama 50 detik, sedangkan data objektif pasien tampak meringis menahan sakit, tampak bidai ditangan kanan dan kaki kiri, dan hasil pemeriksaan rontgen diperoleh data femur sinistra (tampak genu) fraktur femur sinistra 1/3 distal, antebrachi dextra fraktur radius ulnna dextra 1/3 tengah. Oleh karena itu, dapat ditegakkan diagnosa keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik. 47 Data hasil pengkajian selanjutnya pada jam 09.26 WIB, diperoleh data subjektif antara lain, pasien mengatakan cemas dengan keadaanya sekarang, tidak bisa berjalan lagi dan sedih, tidak berharga bagi cucu dan keluarganya, tidak bisa menjalankan aktivitasnya lagi, ada bagian tubuhnya yang sakit, tidak ada yang dibenci dengan tubuhnya meskipun merasa cemas dengan keadaan tubuhnya, sedangkan data objektif yang diperoleh berdasarkan kuesioner HARS diperoleh score 26 atau kecemasan sedang, mulut kering, tekanan darah 150/90 mmHg, nadi 86 x/menit, pasien tampak cemas. Oleh karena itu, dapat ditegakkan diagnosa keperawatan ansietas berhubungan dengan perubahan krisis situasional. Data hasil pengkajian terakhir jam 09.32 WIB, diperoleh data subjektif antara lain, pasien mengatakan kaki kiri dan tangan kanan patah tulang, tidak bisa beraktivitas, sedangkan data objektif yang diperoleh pasien tampak tertidur ditempat tidur, terdapat bidai ditangan kanan dan kaki kiri, pola aktivitas dan latihan seperti makan/ minum, berpakaian, mobilisasi ditempat tidur, dan ambulasi pasien dibantu orang lain (2), sedangkan toileting dan berpindah tergantung total (4), dan kekuatan otot ekstremitas atas kanan tampak kontraksi atau ada sedikit gerakan dan ada tahanan sewaktu jatuh (1) dan kekuatan otot kiri kekuatan utuh (5), kekuatan otot ekstremitas bawah kanan kekuatan utuh (5), kekuatan otot kiri tampak kontraksi atau ada sedikit gerakan dan ada tahanan sewaktu jatuh (1). Oleh karena itu, dapat ditegakkan diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan integritas struktur tulang. 48 D. Perencanaan Keperawatan Perencanaan untuk mengatasi masalah pada diagnosa keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik, diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam masalah keperawatan nyeri dapat teratasi, dengan kriteria hasil, antara lain skala nyeri 0, pasien melaporkan nyeri berkurang. Rencana keperawatan yang dapat diberikan, antara lain observasi tingkat nyeri pasien dengan rasional untuk mengetahui tingkat nyeri pasien, ajarkan teknik distraksi/ relaksasi nafas dalam dengan rasional untuk mengalihkan perhatian pasien, berikan informasi tentang nyeri dengan rasional untuk mengetahui tentang penyebab nyeri, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik dengan rasional untuk mengurangi nyeri dengan farmakologis. Perencanaan untuk mengatasi masalah pada diagnosa keperawatan selanjutnya ansietas berhubungan dengan perubahan krisis situasional, diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam masalah keperawatan ansietas dapat teratasi, dengan kriteria hasil, antara lain tidak gelisah, tidak khawatir, tidak tegang, berdasarkan kuesioner HARS tingkat kecemasan dalam rentang ringan (7-14), tekanan darah normal sistol 100-120 mmHg, diastol 70-80 mmHg, nadi normal 60-100 x/menit, pernafasan 16-20 x/menit. Rencana keperawatan yang dapat diberikan, antara lain observasi tingkat cemas pasien menggunakan kuesioner HARS dan tanda-tanda vital dengan rasional untuk mengetahui tingkat cemas pasien, berikan terapi musik 49 klasik dengan rasional untuk menurunkan kecemasan pasien, berikan penkes tentang keadaan pasien dengan rasional untuk mengalihkan perhatian dan mengurangi cemas, berikan dukungan pada keluarga untuk selalu menemani pasien dengan rasional untuk meningkatkan perhatian pada keluarga untuk pasien. Perencanaan untuk mengatasi masalah pada diagnosa keperawatan terakhir hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan integritas struktur tulang, diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam masalah hambatan mobilitas fisik dapat teratasi, dengan kriteria hasil, antara lain aktivitas dan latihan secara mandiri, kekuatan otot utuh (5), mampu untuk mengubah letak tubuh. Rencana keperawatan yang dapat diberikan, antara lain observasi keaadaan pasien dengan rasional untuk mengetahui keadaan umum pasien, ajarkan teknik ambulasi dan berpindah yang aman dengan rasional untuk mengurangi cidera yang lebih parah, dukung pasien/ keluarga untuk memandang keterbatasan yang realistis dengan rasional untuk membantu pasien dalam proses penyembuhan, kolaborasi dengan dokter untuk operasi atau pemasangan gips dengan rasional untuk mempercepat proses penyembuhan. E. Implementasi Keperawatan Tindakan keperawatan hari pertama yang dilakukan pada tanggal 10 April 2014 jam 09.06 WIB mengobservasi keadaan umum, tingkat nyeri, dan tingkat kecemasan pasien dengan respon subjektif pasien mengatakan kaki 50 dan tangannya nyeri, cemas, dan sedih, dengan provocate nyeri patah tulang saat digerakkan, quality nyeri seperti ditusuk-tusuk, regio nyeri di tangan kanan bawah dan kaki kiri atas, scale nyeri 6 (sedang), time nyeri berasa selama 30 detik. Respon objektif pasien tampak cemas, meringis menahan sakit, mulut kering, berdasarkan kuesioner HARS diperoleh nilai 26 dengan kriteria cemas sedang. Jam 09.15 WIB mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam dengan respon subjektif pasien mengatakan nyeri dan bersedia diajarkan relaksasi nafas dalam. Respon objektif pasien tampak mengikuti aba-aba dan mampu melakukan mandiri. Jam 09.25 WIB mendukung pasien/ keluarga untuk memandang keterbatasan yang realistis/ membantu pasien dan menemani pasien ketika cemas dengan respon subjektif keluarga pasien mengatakan mau membantu pasien dalam keterbatasan pasien. Respon objektif keluarga pasien tampak membantu dan menjaga pasien. Jam 09.30 WIB mengkolaborasikan dengan dokter dalam pemberian analgesik ketorolac 10 mg dengan respon subjektif pasien mengatakan bersedia untuk disuntik lewat selang infus. Respon objektif obat analgesik ketorolac 10 mg masuk via selang infus. Jam 10.55 WIB mengobservasi tingkat kecemasan menggunakan kuesioner HARS dengan respon subjektif pasien mengatakan cemas terhadap keadaannya sekarang. Respon objektif berdasarkan kuesioner HARS 51 diperoleh nilai 26 dengan tingkat kecemasan sedang, tekanann darah 150/90 mmHg, nadi 86 x/menit, suhu 37,1 ˚C, pernafasan 26 x/menit. Jam 11.01 WIB memberikan terapi musik klasik selama 30 menit, dengan respon subjektif pasien mengatakan bersedia. Respon objektif pasien tampak tertidur. Jam 12.45 WIB mengobservasi tingkat kecemasan menggunakan kuesioner HARS, dengan respon subjektif pasien mengatakan perasaannya sedikit tenang. Respon objektif berdasarkan kuesioner HARS diperoleh nilai 20 dengan tingkat kecemasan sedang, tekanan darah 130/70 mmHg, nadi 84 x/menit, suhu 36,9 ˚C, pernafasan 24 x/menit. Jam 14.00 WIB operan ke shift sore dan pulang shift. Tindakan keperawatan yang dilakukan pada hari kedua tanggal 11 April 2014 jam 07.30 WIB mengobservasi keadaan umum, tingkat nyeri, dan tingkat kecemasan pasien, dengan respon subjektif pasien mengatakan keadaannya baik, kaki dan tangannya masih nyeri, sedikit cems dan sedih, dengan provocate nyeri patah tulang saat digerakkan, quality nyeri seperti ditusuk-tusuk, regio nyeri ditangan kanan bawah dan kaki kiri atas, scale nyeri 5 (sedang), time nyeri berasa selama 20 detik. Respon objektif pasien tampak sedikit cemas, dan sedih, mulut kering, berdasarkan kuesioner HARS diperoleh nilai 20 dengan tingkat kecemasan sedang. Jam 07.40 WIB mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam, dengan respon subjektif pasien mengatakan bisa melakukan relaksasi nafas dalam. Respon objektif diperoleh pasien tampak melakukan sendiri. 52 Jam 07.45 WIB mengkolaborasikan dengan dokter untuk operasi atau pemasangan gips, dengan respon subjektif pasien mengatakan bersedia melakukan operasi/ pemasangan gips. Respon objektif pasien tampak senang dan tenang. Jam 08.00 WIB mengobservasi tingkat kecemasan menggunakan kuesioner HARS, dengan respon subjektif pasien mengatakan masih cemas terhadap keadaannya sekarang. Respon objektif berdasarkan kuesioner HARS diperoleh nilai 20 dengan tingkat kecemasan sedang, tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 82 x/menit, suhu 36,7 ˚C, pernafasan 24 x/menit. Jam 08.15 WIB memberikan terapi musik klasik selama 30 menit, dengan respon subjektif pasien mengatakan bersedia. Respon objektif pasien tampak tertidur. Jam 09.00 WIB mengobservasi tingkat kecemasan menggunakan kuesioner HARS, dengan respon subjektif pasien mengatakan perasaannya tenang. Respon objektif berasarkan kuesioner HARS diperoleh nilai 17 dengan tingkat kecemasan sedang, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80 x/menit, suhu 36,7 ˚C, pernafasan 22 x/menit. Jam 09.15 WIB mengkolaborasikan dengan dokter dalam pemberian analgesik ketorolac 10 mg, dengan respon subjektif pasien mengatakan mau agar cepat sembuh. Respon objektif obat analgesik ketorolac 10 mg masuk via selang infus. 53 F. Evaluasi Keperawatan Tindakan keperawatan yang dilakukan oleh penulis kemudian dilakukan evaluasi pada hari kamis, 10 April 2014 jam 13.40 WIB. Menggunakan metode SOAP pada masalah diagnosa keperawatan nyeri berhubungan dengan agen cidera fisik didapatkan data pasien mengatakan kaki dan tangannya masih nyeri, provocate nyeri patah tulang saat digerakkan, quality nyeri seperti ditusuk-tusuk, regio nyeri dikaki kiri atas dan tangan kanan bawah, scale nyeri 6 (sedang), time nyeri berasa selama 30 detik, pasien tampak meringis menahan sakit. Hal ini menyatakan masalah keperawatan nyeri berhubungan dengan agen cidera fisik belum teratasi, maka intervensi dilanjutkan seperti observasi tingkat nyeri pasien, ajarkan teknik relaksasi nafas dalam, dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik ketorolac 10 mg non narkotika. Jam 13.45 WIB dengan metode SOAP pada masalah diagnosa keperawatan ansietas berhubungan dengan krisis situasional didapatkan data pasien mengatakan cemas dan sedih terhadap keadaannya sekarang, pasien tertidur, tingkat kecemasan berdasarkan kuesioner HARS setelah dilakukan terapi musik diperoleh nilai 20 atau kecemasan sedang. Hal ini menyatakan masalah keperawatan ansietas berhubungan dengan krisis situasional belum teratasi, maka intervensi dilanjutkan seperti observasi tingkat kecemasan pasien, berikan terapi musik, ajarkan pasien untuk meminta teman menunggu/ menjaga. 54 Jam 13.55 WIB dengan metode SOAP pada masalah diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan integritas struktur tulang didapatkan data pasien mengatakan kaki kiri dan tangan kanan patah dan tidak bisa apa-apa, pasien tampak tertidur, pola aktivitas dan latihan dalam makan/ minum, berpakaian, mobilisasi ditempat tidur, ambulasi/ ROM dibantu orang lain, sedangkan toileting dan berpindah dibantu orang lain dan alat, kekuatan otot tangan kanan dan kaki kiri tampak kontraksi atau ada sedikit gerakan dan ada tahanan sewaktu jatuh (1), sedangkan kekuatan otot tangan kiri dan kaki kanan kekuatan utuh (5). Hal ini menyatakan masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan integritas struktur tulang belum teratasi, maka intervensi dilanjutkan seperti observasi keadaan pasien dan kolaborasi dengan dokter untuk operasi atau gips. Hari jumat, 11 April 2014 jam 13.00 WIB dengan metode SOAP pada masalah keperawatan nyeri berhubungan dengan agen cidera fisik didapatkan data pasien mengatakan masih merasa nyeri, provocate nyeri patah tulang saat digerakkan, quality nyeri seperti ditusuk-tusuk, regio nyeri dikaki kiri atas dan tangan kanan bawah, scale nyeri 5 (sedang), time nyeri berasa selama 20 detik, pasien tampak menahan sakit. Hal ini menyatakan masalah keperawatan nyeri berhubungan dengan agen cidera fisik belum teratasi, maka intervensi dilanjutkan seperti observasi tingkat nyeri pasien, ajarkan teknik relaksasi nafas dalam, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik ketorolac 10 mg. 55 Jam 13.20 WIB dengan metode SOAP pada masalah diagnosa keperawatan ansietas berhubungan dengan krisis situasional didapatkan data pasien mengatakan cemas berkurang dan sudah tidak sedih lagi, pasien tampak tertidur, tingkat kecemasan berdasarkan kuesioner HARS setelah dilakukan terapi musik diperoleh nilai 17 atau kecemasan sedang. Hal ini menyatakan masalah keperawatan ansietas berhubungan dengan krisis situasional belum teratasi, maka intervensi dilanjutkan seperti observasi kecemasan pasien, kolaborasi dengan keluarga untuk mendampingi, berikan terapi musik klasik selama 30 menit. Jam 13.45 WIB dengan metode SOAP pada masalah diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan integritas struktur tulang didapatkan data pasien mengatakan kaki kiri dan tangan kanan patah, pasien mengatakan tidak bisa apa-apa, pasien tampak berbaring/ tiduran, pola aktivitas dan latihan dalam makan/minum, berpakaian, mobilisasi ditempat tidur, ambulasi/ ROM dibantu orang lain, sedangkan toileting dan berpindah dibantu orang lain dan alat, kekuatan otot tangan kanan dan kaki kiri tampak kontraksi atau ada sedikit gerakan dan ada tahanan sewaktu jatuh (1), sedangkan kekuatan otot tangan kiri dan kaki kanan kekuatan utuh (5). Hal ini menyatakan masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan integritas struktur tulang belum teratasi, maka intervensi dilanjutkan seperti observasi keadaan umum pasien, kolaborasi dengan dokter penatalaksanaan gips pada pasien. BAB IV PEMBAHASAN Pada bab ini penulis akan membahas tentang pemberian terapi musik klasik pada asuhan keperawatan Ny. S dengan fraktur femur sinistra 1/3 distal dan fraktur radius ulna dekstra 1/3 tengah di Ruang Mawar RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. Proses keperawatan meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi, dan evaluasi. A. Pengkajian Pengkajian dilakukan secara komprehensif pada Ny. S dengan fraktur femur sinistra 1/3 distal dan fraktur radius ulna dekstra 1/3 tengah pada tanggal 10 April 2014 jam 09.00 WIB. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang itu sendiri, dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Price dan Wilson, 2006). Klasifikasi fraktur berdasarkan lokasi fraktur antara lain, fraktur femur, fraktur lengan, fraktur klavikula, fraktur pergelangan kaki. Fraktur femur merupakan hilangnya kontinuitas tulang paha tanpa atau disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, jaringan saraf, dan pembuluh darah). Fraktur lengan adalah terputusnya hubungan tulang radius ulna yang disebabkan oleh cedera pada lengan bawah baik trauma langsung ataupun trauma tidak langsung (Helmi, 2012). 56 57 Data yang didapat penulis dalam pengkajian riwayat keperawatan, keluhan utama pasien mengatakan nyeri pada bagian patah tulang. Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan dan muncul akibat kerusakan jaringan aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa (NANDA, 2009). Nyeri akibat patah tulang terjadi karena terkenanya serabut saraf baik terjadi pada fraktur terbuka maupun fraktur tertutup (Sylvia, 2006). Data yang diperoleh penulis dalam pengkajian kecemasan pada Ny. S didapatkan keluhan pasien mengatakan cemas terhadap keadaannya sekarang. Cemas adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang sama disertai respon autonom atau penyebab yang belum diketahui (NANDA, 2009). Ansietas banyak terjadi pada pasien fraktur. Hal ini sesuai dengan teori pada penderita fraktur yaitu nyeri dari fraktur, perubahan gaya hidup, kehilangan peran baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat, dampak dari hospitalisasi rawat inap dan harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru serta takutnya terjadi kecacatan pada dirinya merupakan penyebab dari cemas pada pasien fraktur (Padila, 2012). Penentukan kecemasan bisa dilakukan dengan menggunakan alat ukur kecemasan HARS. Alat ukur ini terdiri dari 14 kelompok gejala yang masingmasing kelompok dirinci dengan gejala-gejala yang lebih spesifik (Hawari, 2013). Pada kecemasan Ny. S diperoleh nilai 26 yang masuk dalam kriteria kecemasan sedang. Dalam teori dikatakan klasifikasi kecemasan dibagi menjadi 3, antara lain nilai kurang dari 14 dikategorikan tidak ada kecemasan, 58 nilai 14-20 dikategorikan kecemasan ringan, nilai 21-27 dikategorikan kecemasan sedang, nilai 28-41 dikategorikan kecemasan berat, dan nilai 4256 dikategorikan kecemasan berat sekali (Hawari, 2013). Pemeriksaan fisik pada Ny. S diperoleh data tekanan darah 150/90 mmHg, nadi 86 x/menit, suhu 37,1 ˚C. Menurut teori kenaikan tanda-tanda vital dapat menjadi tanda dari kecemasan (Suhartini, 2008). Pola aktivitas dan latihan, pasien mengatakan sebelum sakit melakukan semua aktivitas secara normal dan mandiri. Selama sakit pasien mengatakan dalam memenuhi aktivitas seperti makan/ minum, berpakaian, mobilisasi ditempat tidur, ambulasi/ ROM dengan dibantu orang lain (score penilaian 2), pada toileting dan berpindah dengan tergantung total (score penilaian 4). Kasus diatas sesuai dengan teori dimana pada pasien yang mengalami fraktur, akan menyebabkan keterbatasan/ kehilangan fungsi pada bagian yang terkena, baik akibat langsung dari fraktur atau akibat sekunder pembengkakan jaringan dan nyeri (Bararah dan Jauhar, 2013). Pola kognitif perseptual, pasien dapat berbicara dengan lancar, pandangan sedikit kabur, pendengaran mengalami penurunan. Pasien dapat mengidentifikasi tes tekan. Pasien mengatakan nyeri. Pasien tampak meringis menahan sakit. Diperoleh data pengkajian, pasien mengatakan nyeri akibat patah tulang saat digerakkan, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri terasa di tangan kanan bawah dan kaki kiri dengan skala nyeri 6 (sedang), dan nyeri terasa selama 50 detik. Pasien fraktur akan mengalami daya raba yang berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedangkan pada indra yang 59 lain tidak timbul gangguan. Begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan, selain itu juga, akan timbul rasa nyeri akibat fraktur (Donna, 2006). Hasil pemeriksaan rontgen diperoleh data pada femur sinistra (tampak genu) terlihat adanya fraktur femur sinistra 1/3 distal dan pada antebrachi dextra dengan hasil fraktur radius ulna dekstra 1/3 tengah. Menurut teori rontgen adalah jumlah radiasi yang dibutuhkan untuk menghantarkan muatan positif dan negatif dari 1 satuan elektrostatik muatan listrik dalam 1 cm3 udara pada suhu dan tekanan standart (Dorland, 1998). Fraktur femur dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya, antara lain fraktur 1/3 proksimal, tengah, distal seperti halnya pada fraktur radius ulana (Murtalah, 2013). Pada fraktur femur maupun fraktur radius ulna, untuk mengetahui lokasi dan letak patahan tulang harus dilakukan pemeriksaan rontgen, sehingga hal ini akan memperlihatkan fraktur lebih jelas, serta mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak (Bararah dan Jauhar, 2013). Hasil pemeriksaan darah yang dilakukan pada tanggal 7 April 2014 diperoleh data meliputi darah lengkap 7,7 k/ uL (4,1 -10,9 k/ uL), limposit 1,3 %L (0,6 -4,1 %L), MID 0,5 %M (0,0 -1,8 %M), granulosit 6,0 %G (2,0 -7,8 %G), RBC 3,18 M/ uL (4,2-6,3 M/ uL), HGB 7,7 g/dL (12-18 g/dL), HCT 25,9 % (37,-51 %), MCV 81,3 fL (80-97 fL), MCH 24,2 pg (26-32 pg), MCHC 29,7 g/dL (31-36 g/dL), RDW 21,8 % (11,5-14,5 %), PLT 159 k/uL (140-440 k/uL), MPV 7,1 fL (0,0-99,8 fL). Pemeriksaan hitung darah lengkap untuk hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada pendarahan, 60 peningkatan leukosit sebagai respons terhadap peradangan (Bararah dan Jauhar, 2013). Hasil pemeriksaan darah terutama pada darah lengkap menurut teori terjadi peningkatan atau penurunan sedangkan yang dialami pasien dalam rentang normal. Pada pemeriksaan ekstremitas diperoleh data kekuatan otot tangan kanan dan kaki kiri tampak kontraksi atau ada sedikit gerakan dan tahanan sewaktu jatuh (1) dan pergerakan terbatas. Berdasarkan teori pergerakan pada penderita fraktur bergerak secara tidak alami atau terbatas, pergeseran fragmen pada fraktur menyebabkan deformitas ekstremitas yang bisa diketahui dengan membandingkan ekstremitas normal. Pada pasien fraktur. ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot (Wijaya dan Putri, 2013). Berdasarkan data yang diperoleh dari teori sesuai dengan keadaan pasien. Selama perawatan diruang mawar, pasien mendapatkan terapi infus RL 20 tetes permenit, injeksi ceftriaxone 1 gr tiap 8 jam, injeksi ketorolac 10 mg tiap 8 jam. Infus RL 500 cc termasuk golongan elektrolit yang mengandung natrium dan kalium, yang berfungsi memberi cairan dan penting untuk integritas dan saraf muscular. Injeksi ceftriaxone 1 gram termasuk golongan antibakteri golongan sefalosporin yang mengandung seftriaksone Na, yang berfungsi sebagai untuk infeksi yang disebabkan oleh bakteri patogen. Injeksi ketorolac 10 mg termasuk golongan analgesik non narkotik yang mengandung ketorolak, yang berfungsi untuk penatalaksanaan nyeri 61 akut (ISO, 2010). Berdasarkan data teori obat yang digunakan sesuai untuk penderita pasien fraktur. B. Diagnosa Masalah Diagnosa keperawatan utama yang ditemukan pada Ny. S, yaitu nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik. Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan dan muncul akibat kerusakan jaringan aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa. Agen cidera fisik dapat menyebabkan nyeri karena kekuatan otot yang tiba-tiba berlebihan yang dapat berupa pemukulan, penghancuran perubahan pemuntiran atau penarikan. Tekanan kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan keruskan pada kulit diatasnya. Penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas dan mengakibatkan nyeri (Musliha, 2010). Menurut teori batasan karakteristik untuk diagnosa nyeri antara lain mengekspresikan perilaku gelisah, sikap tubuh melindungi, melaporkan nyeri secara verbal, perubahan tekanan darah, perubahan frekuensi jantung, perubahan frekuensi pernafasan, laporan isyarat (NANDA, 2009). Pada Ny. S ditemukan data-data yang mendukung ditegakkannya diagnosa antara lain data subjektif paien mengatakan nyeri ditangan kanan dan kaki kiri dengan provocate nyeri patah tulang saat digerakkan, quality 62 nyeri seperti ditusuk-tusuk, regio nyeri ditangan kanan bawah dean kaki kiri atas, scale nyeri 6 (sedang), time nyeri terasa selama 50 detik, pasien tampak meringis menahan sakit, tampak bidai ditangan kanan dan kaki kiri, dan hasil pemeriksaan rontgen diperoleh data femur sinistra (tampak genu) fraktur femur sinistra 1/3 distal, antebrachi dextra fraktur radius ulnna dextra 1/3 tengah, maka dari data diatas penulis mengambil masalah keperawatan nyeri berhubungan dengan agen cidera fisik. Pada pasien dengan fraktur ditemukan nyeri hebat tiba-tiba pada saat cidera yang terlokalisasi pada area fraktur yang dapat berkurang pada saat imobilisasi, spasme/ kram otot setelah imobilisasi (Bararah dan Jauhar, 2013). Berdasarkan NANDA, (2009) diagnosa keperawatan ansietas berhubungan dengan krisis situasional. Ansietas adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang sama disertai respon autonom yang sumbernya tidak spesifik. Krisis situasional perasaan resah tidak menentu atau rasa takut disertai respon otonomik yang pada banyak kasus sumbernya tidak spesifik atau tidak diketahui, suatu perasaan takut karena antisipasi terhadap bahaya, suatu sinyal gangguan yang menandakan akan terjadi bahaya. Batasan karakteristik untuk permasalahan kecemasan dalam teori antara lain adanya kegelisahan, bingung, khawatir, mulut kering, peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi, peningkatan frekuensi pernafasan (NANDA, 2009). Pada Ny. S ditemukan tanda-tanda dari batasan karakteristik masalah yaitu dengan data subjektif paien mengatakan cemas terhadap keadaannya sekarang tidak bisa berjalan lagi dan sedih, tidak 63 berharga bagi cucu dan keluarganya, tidak bisa menjalankan aktivitasnya lagi, ada bagian tubuhnya yang sakit, tidak ada yang dibenci dengan tubuhnya meskipun merasa cemas dengan keadaan tubuhnya, sedangkan data objektif yang diperoleh berdasarkan kuesioner HARS diperoleh score 26 atau kecemasan sedang, mulut kering, tekanan darah 150/90 mmHg, nadi 86 x/menit, pasien tampak cemas, maka dari data diatas penulis mengambil masalah keperawatan ansietas berhubungan dengan krisis situasional. Ansietas yang berhubungan dengan krisis situasional merupakan suatu perasaan resah tidak menentu atau rasa takut disertai respon otonomik yang pada banyak kasus sumbernya tidak spesifik atau tidak diketahui, suatu perasaan takut karena antisipasi terhadap bahaya, suatu sinyal gangguan yang menandakan akan terjadi bahaya dan memungkinkan individu untuk menghadapi ancaman dari bahaya tersebut (Taylor dan Ralph, 2013). Diagnosa yang mendapat intervensi terkait jurnal penelitian adalah ansietas karena menurut teori banyak masalah yang dialami pasien yang belum mengerti penyebab dari kecemasan dan banyak terjadi perubahanperubahan yang terjadi seperti perubahan gaya hidup, kehilangan peran baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat, dampak dari hospitalisasi rawat inap dan harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru serta takutnya terjadi kecacatan pada dirinya (Padila, 2012). Diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan integritas struktur tulang. Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh atau satu atau lebih ekstremitas 64 secara mandiri dan terarah. Integritas struktur tulang bisa menyebabkan hambatan mobilitas fisik karena keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh. Batasan karakteristik keterbatasan kemampuan untuk melakukan ketrampilan motorik kasar, keterbatasan rentang pergerakan sendi, pergerakan lambat, ketidakstabilan postur (NANDA, 2009). Pada Ny. S ditemukan tanda-tanda dari batasan karakteristik yaitu dengan data subjektif paien mengatakan kaki kiri dan tangan kanan patah tulang, tidak bisa beraktivitas, sedangkan data objektif yang diperoleh pasien tampak tertidur ditempat tidur, terdapat bidai ditangan kanan dan kaki kiri, pola aktivitas dan latihan seperti makan/ minum, berpakaian, mobilisasi ditempat tidur, dan ambulasi pasien dibantu orang lain (2), sedangkan toileting dan berpindah tergantung total (4), dan kekuatan otot ekstremitas atas kanan tampak kontraksi atau ada sedikit gerakan dan ada tahanan sewaktu jatuh (1) dan kekuatan otot kiri kekuatan utuh (5), kekuatan otot ekstremitas bawah kanan kekuatan utuh (5), kekuatan otot kiri tampak kontraksi atau ada sedikit gerakan dan ada tahanan sewaktu jatuh (1), maka dari data diatas penulis mengambil masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan integritas struktur tulang. Penurunan kekuatan otot yang terjadi pada Ny. S akibat keterbatasan/ kehilangan fungsi pada bagian yang terkena baik akibat langsung dari fraktur atau akibat sekunder pembengkakan jaringan dan nyeri (Bararah dan Jauhar, 2013). 65 C. Intervensi/ Perencanaan Dalam teori intervensi dituliskan sesuai dengan rencana dan kriteria hasil berdasarkan NIC (Nursing Intervensiaon Clasification) dan NOC (Nursing Outcome Clasivication). Intervensi keperawatan disesuaikan dengan kondisi pasien dan fasilitas yang ada, sehingga rencana keperawatan dapat diselesaikan dengan Spesifik (jelas atau khusus), Measurable ( dapat diukur), Achivable (dapat diterima), Rasional dan Time (ada kriteria waktu). Perencanaan untuk mengatasi masalah pada diagnosa keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik, diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam dengan kriteria hasil, antara lain skala nyeri 0, pasien melaporkan nyeri berkurang, pasien tampak rileks. Dalam teori waktu yang diperlukan untuk mengatasi nyeri yaitu 3 x 24 jam (Wijaya dan Putri, 2013). Waktu yang diperlukan untuk menangani kasus tidak sesuai dengan teori karena penulis terbatas waktu dalam pengambilan kasus. Dalam teori kriteria hasil yang diharapkan untuk mengatasi permasalahan nyeri yakni adanya penurunan skala nyeri 1-3 (Wijaya dan Putri, 2013). Rencana keperawatan yang dapat diberikan untuk mengatasi permasalah nyeri pada Ny.S, antara lain observasi tingkat nyeri pasien, menurut teori, observasi dapat dilakukan dengan cara deskripsi verbal tentang nyeri oleh pasien, individu merupakan penilai terbaik dari nyeri yang dialaminya dan karenannya harus diminta untuk menggambarkan dan membuat tingkatnya. Informasi yang didapatkan dari pasien secara individual dapat dilakukan dalam beberapa cara antara lain menanyakan tentang 66 intensitas, karakteristik, faktor-faktor yang meredakan nyeri, efek nyeri terhadap aktivitas, dan kekhawatiran individu tentang nyeri (Brunner dan Suddart, 2002). Intervensi untuk permasalahan nyeri selanjutnya yaitu ajarkan teknik distraksi/ relaksasi nafas dalam. Menurut teori, relaksasi merupakan tindakan untuk membebaskan mental dan fisik dari ketegangan dan stres sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap nyeri (Andarmoyo, 2013). Intervensi selanjutnya berikan informasi tentang nyeri. Berdasarkan teori diperolehnya pengetahuan tentang nyeri, akan memudahkan pasien bekerjasama dengan proses asuhan keperawatan untuk memecahkan masalah (Wijaya dan Putri, 2013). Intervensi selanjutnya kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik dengan rasional untuk mengurangi nyeri dengan farmakologis. Berdasarkan teori obat analgesik diharapkan dapat mengurangi nyeri (Wijaya dan Putri, 2013). Perencanaan untuk mengatasi masalah pada diagnosa keperawatan selanjutnya yaitu ansietas berhubungan dengan perubahan krisis situasional, diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam masalah keperawatan ansietas dapat teratasi dengan kriteria hasil tidak gelisah, tidak khawatir, tidak tegang, berdasarkan kuesioner HARS kategori kecemasan dalam rentang ringan dengan nilai 7-14. Menurut teori kriteria hasil yang diharapkan untuk mengatasi kecemasan, antara lain cemas berkurang, menunjukkan kontrol cemas dan intervensi yang dilakukan antara lain menggunakan ONEC (Wilkinson, 2006). Untuk menentukan hasil 67 penurunan kecemasan dapat dilakukan dengan menggunakan kuesioner kecemasan HRS-A (Hamilton Rating Scale for Anxiety) (Faradisi, 2012). Cara mengukur penurunan kecemasan dapat dilakukan juga dengan mengetahui perubahan tekanan darah normal sistol 100-120 mmHg, diastol 70-80 mmHg, nadi normal 60-100 x/menit, pernafasan 16-20 x/menit (Suhartini, 2008). Rencana keperawatan yang dapat diberikan pada Ny.S untuk mengatasi kecemasan antara lain, observasi tingkat cemas pasien. Berdasarkan teori, hal ini dilakukan untuk mengetahui tingkat cemas pasien (Wijaya dan Putri, 2013). Intervensi selanjutnya yaitu berikan terapi musik klasik. Berdasarkan teori terapi musik mempunyai tujuan untuk membantu mengekspresikan perasaan, membantu rehabilitasi fisik, memberi pengaruh positif terhadap kondisi suasana hati dan emosi serta mengurangi tingkat kecemasan pada pasien (Djohan, 2006). Pemberian terapi musik dilakukan selama 30 menit terhadap pasien yang dirawat diruang ICU, terbukti menurunkan kecemasan, hal ini dilihat dari adanya penurunan pada tekanan darah, nadi, dan pernafasan (Suhartini, 2008). Penggunaan terapi musik efektif pada pasien pra operasi selama satu bulan dapat menurunkan tingkat kecemasan pasien (Faradisi, 2012). Intervensi selanjutnya berikan dukungan pada keluarga untuk selalu menemani pasien berdasarkan teori untuk meningkatkan perhatian pada keluarga untuk pasien (Wijaya dan Putri, 2013). Perencanaan untuk mengatasi masalah pada diagnosa keperawatan terakhir hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan integritas 68 struktur tulang, diharapkan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam masalah hambatan mobilitas fisik dapat teratasi, dengan kriteria hasil, antara lain aktivitas dan latihan secara mandiri, kekuatan otot utuh (5), mampu untuk mengubah letak tubuh. Secara teori kriteria hasil yang diharapkan aktivitas dan latihan dilakukan dengan mandiri (Wilkinson, 2006). Rencana keperawatan yang dapat diberikan, antara lain observasi keaadaan pasien dengan rasional untuk mengetahui keadaan umum pasien, ajarkan teknik ambulasi dan berpindah yang aman dengan rasional untuk menguarangi cidera yang lebih parah, dukung pasien/ keluarga untuk memandang keterbatasan yang realistis dengan rasional untuk membantu pasien dalam proses penyembuhan, kolaborasi dengan dokter untuk operasi atau pemasangan gips dengan rasional untuk mempercepat proses penyembuhan. Intervensi yang dilakukan antara lain menggunakan ONEC (Wilkinson, 2006). D. Implementasi Tindakan keperawatan yang dilakukan penulis untuk diagnosa pertama, telah disesuaikan dengan perencanaan pada intervensi keperawatan yang telah disusun, dimana dilakukan selama 2 hari pengelolaan. Diagnosa pertama nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik, implementasi yang dilakukan antara lain mengobservasi tingkat nyeri pasien, mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam, melakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik ketorolac 10 mg. Respon menunjukkan pada hari pertama 69 implementasi nyeri skala 6 dan diberikan pemberian teknik relaksasi nafas dalam tidak mengubah skala nyeri, sehingga masalah belum teratasi. Teknik relaksasi nafas dalam merupakan tindakan untuk membebaskan mental dan fisik dari ketegangan dan stres sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap nyeri (Andarmoyo, 2013). Implementasi diagnosa kedua yaitu ansietas berhubungan dengan krisis situasional pada Ny.S telah dilakukan penulis dalam 2 hari pengelolaan, dimana telah disesuaikan dengan rencana keperawatan yang telah disusun sebelumnya. Tindakan pertama pada tanggal 10 April 2014 jam 09.06 WIB mengobservasi keadaan umum dengan respon subjektif pasien mengatakan cemas, pasien tampak gelisah, dan didapatkan hasil pengukuran kuesioner HARS tingkat kecemasan dalam rentang sedang yaitu mencapai angka 26. Menurut teori keadaan umum merupakan keadaan yang dapat menentukan awal dari suatu masalah atau data fokus (Maryan et all, 2013). Melihat hasil observasi tersebut, penulis melakukan tindakan selanjutnya pada Jam 09.25 WIB yaitu mendukung pasien/ keluarga untuk memandang keterbatasan yang realistis/ membantu pasien/ menemani pasien ketika cemas dengan respon subjektif keluarga pasien mengatakan mau membantu pasien dalam keterbatasan pasien. Respon objektif keluarga pasien tampak membantu dan menjaga pasien. Dalam teori, pemberian dukungan pasien diharapkan pasien bisa lebih bersemangat dalam melatih aktivitas (Wijaya dan Putri, 2013). Kemudian pada jam Jam 11.01 WIB penulis memberikan terapi musik klasik pada pasien dengan menggunakan musik klasik yang dilakukan selama 30 70 menit menggunakan mp3, dengan respon subjektif pasien mengatakan bersedia, respon objektif pasien tampak tertidur. Musik mengandung vibrasi energi, vibrasi ini juga mengaktifkan selsel di dalam diri seseorang, sehingga dengan aktifnya sel-sel tersebut sistem kekebalan tubuh seseorang lebih berpeluang untuk aktif dan meningkat fungsinya. Musik dapat meningkatkan serotonin dan pertumbuhan hormon yang sama baiknya dengan menurunkan hormon ACTH (Setiadarama, 2002). Pasien tertidur bisa menjadi kendala dalam mengukur kecemasan menggunakan kuesioner HARS, dimana hal ini berbeda dalam jurnal yang setelah dilakukan terapi musik langsung mengukur kecemasan menggunakan kuesioner HARS (Faradisi, 2012). Terapi musik dapat menurunkan tingkat kecemasan pada pasien yang dirawat di ruang perawatan intensif unit. Responden diberikan terapi musik yang telah direkam untuk disimak. Terapi musik diberikan mempunyai irama lambat, dan musik diberikan selama 30 menit menggunakan mp3 melalui headphone, penelitian dilakukan selama 1 bulan pada pasien yang sedang dalam perawatan kritis, hasil menunjukkan terjadinya penurunan kecemasan yang diukuran dengan adanya penurunan tekanan darah, nadi dan pernafasan (Suhartini, 2008). Faradisi (2012) melakukan penelitian dengan pemberian terapi musik klasik dan musik murotal untuk mengurangi kecemasan yang diukur dengan skala kecemasan HARS, hasil menunjukkan terjadi penurunan kecemasan baik pada pemberian terapi musik klasik ataupun dengan musik murotal, walaupun penurunan tingkat kecemasan lebih signifikan pada 71 pemberian terapi murotal, cara yang digunakan peneliti dengan pemberian terapi musik selama 1 bulan pada 15 pasien dengan pre operasi. Penulis melakukan pemberian terapi musik klasik pada Ny.S disesuaikan dengan jurnal diatas, dimana penulis melakukan pre dan post test kecemasan yang diukur dengan kuesioner HARS dan berdasarkan nilai tanda-tanda vital berupa tekanan darah dan detak jantung, penulis menggunakan musik klasik yang mempunyai irama lambat, dan diberikan selama 30 menit dan dilakukan selama 2 hari melalui mp3. Pada pemberian terapi musik klasik pertama terhadap Ny.S telah terjadi penurunan kecemasan, dimana pada jam 12.45 WIB penulis melakukan observasi tingkat kecemasan menggunakan kuesioner HARS dan menunjukkan penurunan dari 26 menjadi 20, dimana masih dalam kategori kecemasan sedang, sedangkan tekanan darah 130/70 mmHg, nadi 82 x/menit, suhu 36,7 ˚C, pernafasan 24 x/menit. Kemudian pada hari kedua jam 08.00 penulis melakukan pengukuran kecemasan dan didapatkan hasil kecemasan menurut kuesioner HARS mencapai angka 20 (kecemasan sedang) dengan tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 82 x/menit, suhu 36,7 ˚C, pernafasan 24 x/menit. Kemudian pada jam 08.15 WIB penulis kembali melakukan terapi musik klasik dengan irama lambat, selama 30 menit menggunakan mp3. Respon menunjukkan pasien mengikuti alunan musik, dan beberapa kali tampak memejamkan mata. Langkah ini penulis sesuaikan dengan jurnal Suhartini (2008), dimana pemberian terapi musik diberikan selama 30 menit dengan alunan musik lambat, menggunakan mp3 dan headphone. Setelah 72 pemberian terapi musik ini, pada jam 09.00 WIB penulis kembali melakukan pengukuran kecemasan berdasarkan kuesioner diperoleh angka 17 (kecemasan sedang) dengan tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80 x/menit, suhu 36,7 ˚C, pernafasan 22 x/menit. Hasil menunjukkan dimana pada Ny.S telah terjadi penurunan tingkat kecemasan yang diukur dengan kuesioner HARS dan tanda-tanda vital pasien, hal ini sesuai dengan teori dimana dalam penelitian dikatakan penerapan terapi musik mampu menurunkan tingkat kecemasan klien yang dirawat di ruang ICCU dengan hasil tanda tanda vital terjadi penurunan (Wijanarko, 2011). Pemberian terapi musik klasik membuat seseorang menjadi rileks, menimbulkan rasa aman dan sejahtera, melepaskan rasa gembira dan sedih, melepaskan rasa sakit dan menurunkan tingkat cemas (Musbikin, 2009). Hal tersebut terjadi karena adanya penurunan Adrenal Corticotropin Hormon (ACTH) yang merupakan hormon stres (Djohan, 2006). Sebagian besar perubahan fisiologis terjadi akibat aktivitas dua sistem neuroendokrin yang dikendalikan oleh hipotalamus yaitu sistem simpatis dan sistem korteks adrenal (Prabowo & Regina, 2007). Hipotalamus juga dinamakan pusat stress otak karena fungsi gandanya dalam keadaan darurat. Fungsi pertamanya mengaktifkan cabang simpatis dan sistem otonom. Hipotalamus menghantarkan impuls saraf ke nukleus-nukleus di batang otak yang mengendalikan fungsi sistem saraf otonom. Cabang simpatis saraf otonom bereaksi langsung pada otot polos dan organ internal yang menghasilkan beberapa perubahan tubuh seperti peningkatan denyut 73 jantung dan peningkatan tekanan darah. Sistem simpatis juga menstimulasi medulla adrenal untuk melepaskan hormon epinefrin (adrenalin) dan norepinefrin ke dalam pembuluh darah, sehingga berdampak meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah, dan norepinefrin secara tidak langsung melalui aksinya pada kelenjar hipofisis melepaskan gula dari hati. Adrenal Corticotropin Hormon (ACTH) menstimulasi lapisan luar kelenjar adrenal (korteks adrenal) yang menyebabkan pelepasan hormon (salah satu yang utama adalah kortisol) yang meregulasi kadar glukosa dan mineral tertentu (Primadita, 2011). Tindakan keperawatan yang dilakukan penulis untuk diagnosa ketiga, telah disesuaikan dengan perencanaan pada intervensi keperawatan yang telah disusun, dimana dilakukan selama 2 hari pengelolaan. Diagnosa ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan integritas struktur tulang, implementasi yang dilakukan antara lain mendukung keluarga klien untuk memandang keterbatasan yang realistis dan membantu pasien, melakukan kolaborasi dengan dokter untuk operasi atau pemasangan gips. Respon didapatkan hambatan mobilitas fisik masih belum teratasi karena klien masih dalam tahap pemulihan pasca jatuh, dan tindakan yang akan dilakukan yakni berkolaborasi dengan dokter untuk melakukan pemasangan gips. Pemasangan gips dilakukan untuk mempertahankan posisi tulang (Bararah dan Jauhar, 2013). Dalam mengatasi permasalahan hambatan mobilitas fisik diperlukan waktu dan latihan, dimana pasien dalam hal ini memerlukan bantuan baik dari 74 peran petugas kesehatan maupun dukungan dari keluarga untuk melatih kekuatan otot pasien pasca tindakan medis. E. Evaluasi Evaluasi tindakan keperawatan yang dilakukan oleh penulis sesuai dengan tindakan yang telah dilakukan setiap diagnosa. Dalam mengevaluasi diagnosa masalah penulis menulis menggunakan metode SOAP. Evaluasi hari pertama tanggal 10 April 2014 jam 13.40 WIB masalah keperawatan nyeri berhubungan dengan agen cidera fisik didapatkan data pasien mengatakan masih merasa nyeri, provocate nyeri patah tulang saat digerakkan, quality nyeri seperti ditusuk-tusuk, regio nyeri dikaki kiri atas dan tangan kanan bawah, scale nyeri 6 (sedang), time nyeri berasa selama 30 detik, pasien tampak menahan sakit. Hal ini menyatakan masalah keperawatan nyeri berhubungan dengan agen cidera fisik belum teratasi, maka intervensi dilanjutkan seperti observasi tingkat nyeri pasien, ajarkan teknik relaksasi nafas dalam, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik ketorolac 10 mg. Dalam melakukan implementasi keperawatan untuk permasalahan nyeri ini, penulis tidak menemukan hambatan yang berarti, hal ini dikarenakan pasien kooperatif. Jam 13.45 WIB masalah diagnosa keperawatan ansietas berhubungan dengan krisis situasional didapatkan data pasien mengatakan cemas berkurang dan sudah tidak sedih lagi, pasien tampak tertidur, tingkat kecemasan berdasarkan kuesioner HARS setelah dilakukan terapi musik 75 diperoleh nilai 20 atau kecemasan sedang, tekanan darah 130/70 mmHg, nadi 84 x/menit, suhu 36,9 ˚ C, pernafasan 24 x/menit. Hal ini menyatakan masalah keperawatan ansietas berhubungan dengan krisis situasional belum teratasi, maka intervensi dilanjutkan seperti observasi kecemasan pasien, kolaborasi dengan keluarga untuk mendampingi dan berikan terapi musik klasik. Pemberian terapi musik dilakukan dengan irama lambat, dan musik diberikan selama 30 menit, penelitian dilakukan selama 1 bulan pada pasien yang sedang dalam perawatan kritis, hasil menunjukkan adanya penurunan tingkat kecemasan yang diukur dengan adanya penurunan tanda-tanda vital (Suhartini, 2008). Berdasarkan hasil evaluasi Ny.S, penulis mempuyai keterbatasan untuk mencapai kriteria hasil yang telah ditetapkan, hal ini dikarenakan waktu yang terbatas untuk mengelola pasien ansietas hanya dalam waktu 1 hari kelola saja. Dalam melakukan tindakan terapi musik banyak kendala yang dialami penulis seperti banyak suara yang keras atau bising dan banyak orang yang berlalu lalang diruangan. Kekuatan dalam melakukan terapi musik pasien kooperatif dan tertidur pulas sampai mendengkur. Jam 13.55 WIB masalah diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan integritas struktur tulang didapatkan data pasien mengatakan kaki kiri dan tangan kanan patah, pasien mengatakan tidak bisa apa-apa, pasien tampak berbaring/ tiduran, pola aktivitas dan latihan dalam makan/ minum, berpakaian, mobilisasi ditempat tidur, 76 ambulasi/ ROM dibantu orang lain, sedangkan toileting dan berpindah dibantu orang lain dan alat, kekuatan otot tangan kanan dan kaki kiri tampak kontraksi atau ada sedikit gerakan dan ada tahanan sewaktu jatuh (1), sedangkan kekuatan otot tangan kiri dan kaki kanan kekuatan utuh (5). Hal ini menyatakan masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan integritas struktur tulang belum teratasi, maka intervensi dilanjutkan seperti observasi keadaan umum pasien, kolaborasi dengan dokter penatalaksanaan gips pada pasien. Penderita fraktur pada umumnya memerlukan penanganan seperi pembedahan atau pemasangan gips (Bararah dan Jauhar, 2013). Penulis mendapat hambatan pasien tidak kooperatif dalam melakukan pergerakan. Evaluasi pada hari kedua pada tanggal 11 April 2014 jam 13.00 WIB masalah keperawatan nyeri berhubungan dengan agen cidera fisik didapatkan data pasien mengatakan masih merasa nyeri, provocate nyeri patah tulang saat digerakkan, quality nyeri seperti ditusuk-tusuk, regio nyeri dikaki kiri atas dan tangan kanan bawah, scale nyeri 5 (sedang), time nyeri berasa selama 20 detik, pasien tampak menahan sakit. Hal ini menyatakan masalah keperawatan nyeri berhubungan dengan agen cidera fisik belum teratasi, maka intervensi dilanjutkan seperti observasi tingkat nyeri pasien, ajarkan teknik relaksasi nafas dalam, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik ketorolac 10 mg. Menurut teori obat analgesik diharapkan dapat mengurangi rasa nyeri (Wijaya dan Putri, 2013). Dalam melakukan implementasi keperawatan penulis tidak menemukan hambatan yang berarti, 77 pasien kooperatif hanya saja penulis terbatas waktu yaitu 2 hari untuk mengelola kasus pasien. Jam 13.20 WIB masalah diagnosa keperawatan ansietas berhubungan dengan krisis situasional didapatkan data pasien mengatakan cemas berkurang dan sudah tidak sedih lagi, pasien tampak tertidur, tingkat kecemasan berdasarkan kuesioner HARS setelah dilakukan terapi musik klasik diperoleh nilai 17 atau kecemasan sedang, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80 x/menit, suhu 36,7 ˚C, pernafasan 22 x/menit. Hal ini menyatakan masalah keperawatan ansietas berhubungan dengan krisis situasional belum teratasi, namun telah menunjukkan adanya penurunan nilai kecemasan dari 26 menjadi 17 dimana masih dalam rentang kecemasan sedang, maka intervensi dilanjutkan seperti observasi kecemasan pasien, kolaborasi dengan keluarga untuk mendampingi, berikan terapi musik klasik. Menurut Suhartini, (2008) penelitian pemberian terapi musik untuk mengurangi kecemasan dilakukan selama 1 bulan pada pasien yang sedang dalam perawatan kritis, sehingga hal ini menjadi keterbatasan penulis, dimana penulis hanya melakukan implementasi dalam waktu 2 hari kelola saja. Dalam melakukan tindakan terapi musik terdapat kendala lain yang dialami penulis seperti banyak suara yang keras atau bising dan banyak orang yang berlalu lalang diruangan. Kekuatan dalam melakukan terapi musik pasien kooperatif. Jam 13.45 WIB masalah diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan integritas struktur tulang didapatkan 78 data pasien mengatakan kaki kiri dan tangan kanan patah, pasien mengatakan tidak bisa apa-apa, pasien tampak berbaring/ tiduran, pola aktivitas dan latihan dalam makan/minum, berpakaian, mobilisasi ditempat tidur, ambulasi/ ROM dibantu orang lain, sedangkan toileting dan berpindah dibantu orang lain dan alat, kekuatan otot tangan kanan dan kaki kiri tampak kontraksi atau ada sedikit gerakan dan ada tahanan sewaktu jatuh (1), sedangkan kekuatan otot tangan kiri dan kaki kanan kekuatan utuh (5). Hal ini menyatakan masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan integritas struktur tulang belum teratasi, maka intervensi dilanjutkan seperti observasi keadaan umum pasien, kolaborasi dengan dokter penatalaksanaan gift pada pasien. Penderita frakur pada umumnya memerlukan penanganan seperi pembedahan atau pemasangan gips (Bararah dan Jauhar, 2013). Penulis memperoleh hambatan yaitu pasien yang tidak kooperatif dalam melakukan pergerakan. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil studi kasus tentang Pemberian Terapi Musik Klasik Terhadap Penurunan Kecemasan Pada Asuhan Keperawatan Ny. S dengan Fraktur Femur Sinistra 1/3 Distal dan Fraktur Radius Ulna Dekstra 1/3 Tengah di Ruang Mawar RSUD Dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri pada gelombang 2 tanggal 10-12 April 2014, penulis mengambil prioritas masalah yaitu: 1. Pengkajian Pengkajian pada Ny. S didapatkan data dengan keluhan utama nyeri dan pasien mengatakan cemas terhadap keadaannya sekarang dan sedih, berdasarkan kuesioner HARS diperoleh nilai 26 dengan kriteria cemas sedang, tekanan darah 150/90 mmHg, nadi 86 x/ menit, suhu 37,1 ˚C, pernafasan 24 x/menit. 2. Masalah keperawatan Masalah keperawatan yang muncul adalah nyeri berhubungan dengan agen cidera fisik. Masalah keperawatan kedua yang muncul adalah ansietas berhubungan dengan krisis situasional. Masalah keperawatan ketiga hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan integritas struktur tulang. 79 80 3. Intervensi Intervensi untuk mengatasi diagnosa nyeri berhubungan dengan agen cidera fisik yaitu Observasi nyeri secara komprehensif dan lokasi, karakteristik, durasi frekuensi, intensitas dan faktor preptasinya, bantu pasien untuk melakukan nafas dalam, berikan informasi tentang nyeri, laporkan kepada dokter dalam pemberian analgesik. Intervensi untuk diagnosa ansietas berhubungan dengan krisis situasional adalah berikan terapi musik klasik yang dapat menurunkan kecemasan, dukung keluarga pasien untuk mendampingi pasien saat merasakan cemas. Intervensi untuk diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan integritas struktur tulang adalah observasi kebutuhan yang dibutuhkan pasien, dukung keluarga pasien untuk mendampingi pasien untuk memandang keterbatasan dengan realistik. 4. Implementasi Implementasi tindakan yang dilakukan untuk masalah yang terjadi pada Ny.S penulis sesuikan dengan intervensi keperawatan yang telah disusun sebelumnya. 5. Evaluasi Evaluasi tindakan yang telah dilakukan menggunakan metode SOAP ( Subjectif (S), Objectif (O), Asisment (A), dan Planning (P)). Pada masalah keperawatan nyeri berhubungan dengan agen cidera fisik diperoleh respon pasien masih mengeluhkan nyeri dengan skala nyeri 6 81 yang belum mengalami penurunan. Maka penulis merencanakan tindakan lanjut antara lain observasi tingkat nyeri pasien, ajarkan teknik relaksasi nafas dalam, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgesik ketorolac 10 mg. Pada masalah keperawatan ansietas berhubungan dengan krisis situasional diperoleh respon pasien masih mengatakan cemas, berdasarkan pengukuran kecemasan HARS diperoleh angka dari 26 menjadi 17 yang termassuk dalam katagori kecemasan sedang, tekanan darah dari 130/70 mmHg menjadi 120/80 mmHg, nadi dari 84 x/menit menjadi 80 x/menit, suhu dari 36,9 ˚C menjadi 36,7 ˚C, pernafasan dari 24 x/menit menjadi 22 x/menit. Hal ini menunjukkan terjadi penurunan nilai kecemasan meskipun masih dalam kategori kecemasan sedang. Penulis menuliskan rencana tindak lanjut seperti observasi kecemasan pasien, kolaborasi dengan keluarga untuk mendampingi, berikan terapi musik klasik Pada masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kehilangan integritas struktur tulang belum teratasi karena belum ada perubahan yang terjadi dalam kekuatan otot yaitu masih tampak kontraksi atau sedikit gerakan dan ada tahanan sewaktu jatuh (1). Penulis menuliskan rencana tindak lanjut terhadap Ny. S seperti observasi keadaan umum pasien, kolaborasi dengan dokter penatalaksanaan gips pada pasien. 82 6. Analisa kondisi Analisa kondisi ansietas pada Ny. S dengan fraktur femur sinistra 1/3 distal dan fraktur radius ulna dextra 1/3 tengah, pasien mengatakan masih merasa cemas, berdasarkan kuesioner HARS nilai kecemasan Ny.S menurun dari nilai 26 menjadi 17 setelah diberikan terapi musik klasik sebanyak 2 kali selama 30 menit. Pemberian terapi musik pertama nilai kecemasan pasien dari 26 menjadi 20 yang kedua nilai tersebut masih dalam kriteria kecemasan sedang. Pemberian terapi musik kedua nilai kecemasan pasien dari 20 menjadi 17 yang kedua nilai tersebut masih dalam kriteria kecemasan sedang. Dalam pemberian terapi musik klasik terjadi penurunan nilai kecemasan, sehingga terapi musik klasik efektif menurunkan nilai kecemasan pada pasien fraktur. B. Saran Berdasarkan kesimpulan yang didapat dari studi kasus, penulis menyampaikan beberapa saran, antara lain: 1. Untuk bangsal Mawar Diharapkan dapat menjadi intervensi pada asuhan keperawatan dalam pemberian terapi musik klasik untuk menurunkan tingkat kecemasan. 2. Untuk Institusi Rumah Sakit Diharapkan institusi pelayanan dapat memberikan kesempatan perawat menerapkan terapi musik pada pasien-pasien yang dirawat di Rumah Sakit Dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri. 83 3. Untuk Institusi Pendidikan Kesehatan Diharapkan bisa lebih meningkatkan pelayanan pendidikan yang lebih berkualitas dan profesional sehingga dapat tercipta perawat yang terampil dan profesional yang mampu memberikan asuhan keperawatan. 4. Untuk Penulis lain Memberikan masukan kepada penulis lain untuk dapat mengoptimalkan intervensi terapi musik klasik pada pasien untuk menurunkan kecemasan. 5. Untuk penulis Dapat memberikan ilmu baru yang dapat diaplikasikan saat menerima pasien cemas DAFTAR PUSTAKA Aditia, Rahargian. 2012. Manfaat Musik Instrumental. Dibuat 16 April 2012, http://aditiarahargian.com/?p=52 diakses 03 desember 2013 Andarmoyo, Sulistyo. 2013. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Arus media: Yogyakarta Bararah dan Jauhar. 2013. Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap Menjadi Perawat Profesional Jilid 2. Prestasi pustaka publisher: Jakarta Brunner dan suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 2. EGC: Jakarta Brunner dan suddarth. 2005. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC: Jakarta Djohan. 2006. Terapi Musik Teori dan Aplikasi. Galangpress: Yogyakarta Donna Ignatavicius dan Linda Workman.2006. Medical Surgical Nursing Critical Thinking For Collaborative Care Vol 5. fifth edition: Saunders Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland. EGC: Jakarta Faradisi, firman. 2012. Efektivitas Terapi Murotal dan Terapi Musik Klasik Terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan Pasien Pra Operasi Di Pekalongan Vol V No. 2. Jurnal ilmiah kesehatan. Diakses 20 september 2013, http://www.journal.stikesmuhpkj.ac.id/journal/index.php/jik/article/download/7/6 Hawari, dadang. 2013. Manajemen Stres, Cemas, Dan Depresi. FKUI: Jakarta Helmi, zairin . 2012. Buku Saku Kedaruratan Di Bidang Bedah Ortopedi: Salemba medika. Jakarta Herdman, heather. 2010. NANDA Diagnosa Keperawatan. EGC: Jakarta Indonesia Departemen Pendidikan Nasional Pusat Bahasa (Indonesia). 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Gramedia pustaka utama: Jakarta ISO. 2010. ISO Indonesia. ISFI penerbitan: Jakarta Kamien, R. 2004. Music An Appreciation (4th ed). Mcgraw-hill: New York. Maryam, siti; pudjiati; gustina; raenah, een. 2013. Buku Ajar Kebuttuhan Dasar Manusia Dan Berfikir Kritis Dalam Keperawatan. TIM: Jakarta Murtalah, bachtiar. 2012. Radiologi Trauma Dan Emergensi. IPB press: Bogor Musbikin. I. 2009. Kehebatan Musik Untuk Mengasah Kecerdasan Anak. Power books (IHDINA): Jakarta. Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Nuha medika: Jakarta Novita, Dian. 2012. Pengaruh Terapi Musik Terhadap Nyeri Post Operasi Open Reduction And Internal Fixation (ORIF) Di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. http://lontar.ui.ac.id/opac/ui/detail.jsp?id=20328120&lokasi=lok al diakses tanggal 3 April 2014 Padila, 2012. Buku Ajar: Keperawatan Medikal Bedah. Nuha medika: Jakarta Prabowo, H dan Regina, H.S. 2007. Treatmen Meta Musik Untuk Menurunkan Stress, http://repository.gunadarma.ac.id diakses tanggal 3 April 2014 Price A.S dan Wilson M.L. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. EGC: Jakarta Primadita. A . 2011. Efektivitas Intervensi Terapi Musik Klasik Terhadap Stress, Skripsi Universitas Diponegoro. http://eprints.undip.ac.id/.../artikel_efektivitas_intervensi_terapi _musik_klasik. diakses tanggal 2 April 2014 Rizal, ahmad; dkk. 2014. Penatalaksanaan Orthopedi Terkini Untuk Dokter Layanan Primer. Mitra wacana media: Jakarta Ropyanto, Chandra. 2011.Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Fungsional Pasien Paska Open Reduction Internal Fixation (ORIF) Fraktur Ekstremitas Bawah Di RS. Ortopedi Prof. Soeharso Surakarta. Jurnal ilmiah kesehatan. http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20281386. dikses pada tanggal 13 April 2014 Samuel.2007.http://www.fortunecity.com/skycraper/proxy/596/imdonesia/depresi/ terapitanpa obat.htm diakses tanggal 3 April 2014 Satiadarma, M. 2002. Terapi Musik Cetakan Pertama. Milenia populer: Jakarta Suhartini. 2008. Effectiveness Of Music Therapy Toward Reducing Patient’s Anxiety In Intensive Care Unit. Vol 2 . No 1. Jurnal ilmiah kesehatan. http://www.ejournal.undip.ac.id/index.php/medianers/598 diakses tanggal 31 maret 2014 Sylvia dan lorraine. 2006. Patofisiologi 1 Edisi 6. EGC: Jakarta Taylor, cynthia. 2010. Diagnos Keperawatan Dengan Rencana Asuhan. EGC: Jakarta Wijaya,Andra dan Putri,Yessie. 2013. KMB 2 Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatan Dewasa). Nuha medika: Jakarta Wijanarko, Nugroho. 2007. Efektivitas Terapi Musik Terhadap Penurunan Tingkat Kecemasan Klien Diruang ICU-ICCU Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus. Jurnal ilmiah kesehatan. http://www.digilib.unimus.ac.id/download.php?id=11968. Diakses tanggal 2 April 2014 Wilkinson, Judith. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Dengan Intervensi NIC Dan Kriteria Hasil NOC. EGC: Jakarta Wong, Donna L. 2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. EGC: Jakarta Yuanitasari, lena. 2008. Terapi Musik Untuk Anak Balita. Cemerlang publishing: Yogyakarta