16 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN KERJA

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN KERJA
BERSAMA
A. Perjanjian Pada Umumnya
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua
pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak
yang lain dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. 13 Hubungan
hukum yang menerbitkan perikatan itu bersumber pada perjanjian atau sumber
lainnya, yaitu undang-undang. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1233
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut dengan KUH Perdata)
bahwa perikatan dapat bersumber dari perjanjian dan undang-undang.
Perikatan yang lahir dari undang-undang tidak ada kesepakatan dari para
pihak ataupun tidak dari kemauan para pihak, sedangkan perikatan yang lahir dari
perjanjian merupakan kesepakatan dari para pihak yang membuat perjanjian. 14
Hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu
menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber terpenting yang melahirkan
perikatan, karena perjanjian merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh
dua pihak, sedangkan perikatan lahir dari undang-undang dibuat tanpa kehendak
dari para pihak yang bersangkutan. Dengan kata lain perikatan merupakan
13
14
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Bandung : Intermasa, 1978), hlm. 1.
Noni Fransiska, Op.Cit, hlm. 31.
16
Universitas Sumatera Utara
17
pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian merupakan suatu hal yang konkrit
atau merupakan suatu peristiwa. 15 Dalam Pasal 1313 KUH Perdata dinyatakan
bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Maksudnya bahwa
perjanjian suatu perbuatan dari para pihak yang ditujukan agar timbul akibat
hukum. Dengan demikian, perjanjian adalah suatu hubungan timbal balik,
maksudnya suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu juga
menerima kewajiban-kewajiban yang merupakan konsekuensi dari menerima hakhak yang diperolehnya. 16
Wirjono Prodjdikoro menyatakan bahwa “Perjanjian adalah suatu
perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana
satu pihak berjanji atau dianggap tidak berjanji untuk melakukan suatu hal atau
tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak yang lain berhak untuk menuntut
pelaksaaan janji tersebut”. 17 Menurut M. Yahya Harahap, perjanjian mengandung
suatu pengertian yang memberikan sesuatu hak pada suatu pihak untuk
memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk
menunaikan prestasi. 18
Perbuatan hukum yang mengikat antara para pihak yang terlibat dalam
suatu hubungan hukum diawali dengan adanya suatu perjanjian. Setiap orang
diberikan kebebasan untuk mengadakan perjanjian atau perikatan sepanjang tidak
melanggar batasan yang telah ditentukan. Berdasarkan kehendak dari para pihak
15
Ibid.
Ibid.
17
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu, (Bandung :
Sumur, 1981), hlm. 11.
18
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Alumni, 1986), hlm. 20.
16
Universitas Sumatera Utara
18
yang membuat perjanjian maka dapat diadakan pengecualian terhadap berlakunya
pasal-pasal dari hukum yang terdapat dalam KUH Perdata.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman bahwa :
Diizinkan orang membuat peraturansendiri karena pasal-pasal dari hukum
perjanjian itu tidak lengkap, itulah yang menyebabkan sifat hukum
perjanjian disebut dengan hukum pelengkap (optimal law) selanjutnya
bahwa asas yang menentukan bahwa setiap orang adalah bebas atau
leluasa memperjanjikan apa saja disebut atas kebebasan berkontrak yang
berhubungan dengan isi perjanjian dan asas harus merupakan sesuatu yang
halal. 19
Hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perikatan, bahkan
sebagian ahli hukum menempatkan sebagai bagian dari hukum perjanjian karena
kontrak sendiri ditempatkan sebagai perjanjian tertulis. Pembagian antara hukum
kontrak dan hukum perjanjian tidak dikenal dalam KUH Perdata, karena dalam
KUH Perdata hanya dikenal perikatan yang lahir dari perjanjian dan yang lahir
dari undang-undang. 20
Ahmadi Miru menyatakan bahwa: 21
Perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang, perikatan yang
bersumber dari undang-undang dibagi dua, yaitu dari undang-undang saja
dan dari undang-undang karena perbuatan manusia. Selanjutnya, perikatan
yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia dapat dibagi dua
yaitu, perbuatan yang sesuai hukum dan perbuatan yang melanggar
hukum.
Abdulkadir Muhammad menyatakan Pasal 1313 KUH Perdata kurang
memuaskan karena ada kelemahannya yaitu: 22
19
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan dengan
Penjelasan, (Bandung : Alumni, 1983), hlm. 110
20
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak (Perancangan Kontrak), (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2007), hlm. 1.
21
Ibid, hlm. 2.
Universitas Sumatera Utara
19
1. Hanya menyangkut sepihak saja. Dari rumusan ini diketahui satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih.
Kata kerja “mengikat” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak
dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu saling “mengikat diri”
terlihat dari adanya consensus dari kedua belah pihak.
2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus maksudnya dalam
pengertian “perbuatan” termasuk tindakan melaksanakan tugas tanpa
kuasa (zaakwaarneming) dan tindakan melawan hukum yang tidak
mengandung adanya consensus. Seharusnya dipakai kata “persetujuan”
saja.
3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Dikatakan terlalu luas karena terdapat
juga dalam lapangan hukum keluarga yang terdapat dalam buku I seperti
janji kawin, pelangsungan perkawinan. Sedangkan perjanjian yang
dikehendaki oleh buku III KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian
yang bersifat kebendaan bukan bersifat personal.
4. Dalam rumusan pasal tersebut tidak disebutkan tujuan mengaddakan
perjanjian, sehingga para pihak mengikat dirinya tidak untuk apa.
Berdasarkan alasan yang dikemukakan di atas menurut Abdulkadir
Muhammad, perjanjian adalah “suatu persetujuan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan diri untuk melakukan suatu hal dalam lapangan harta
kekayaan”. 23 Ia juga menyebutkan bahwa di dalam suatu perjanjian termuat
beberapa unsur, yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
Adanya pihak-pihak
Adanya persetujuan antara para pihak
Adanya tujuan yang akan dicapai
Sepakat mereka yang mengikatkan diri
Kecakapan membuat suatu perjanjian 24
Perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu bisa dikatakan
sebagai suatu perjanjian yang sah dan sebagai akibatnya perjanjian akan mengikat
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh karena itu agar
keberadaan suatu perjanjian diakui oleh undang-undang (Legally concluded
22
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung : Alumni, 1982), hlm. 78.
Ibid.
24
Ibid.
23
Universitas Sumatera Utara
20
contract) haruslah sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undangundang. Adapun syarat sahnya suatu perjanjian telah ditentukan di dalam Pasal
1320 KUH Perdata, dinyatakan bahwa untuk sahnya perjanjian-perjanjian
diperlukan empat syarat, yakni:
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat pertama sahnya kontrak adalah kesepakatan para pihak yang
mengadakan perjanjian atas hal-hal yang diperjanjikan. Kesepakatan adalah
persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak
lainnya. 25 Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak
dapat dilihat/diketahui orang lain. Ada lima cara terjadinya persesuaian
pernyataan kehendak, yaitu dengan: 26
a) Bahasa yang sempurna dan tertulis;
b) Bahasa yang sempurna secara lisan;
c) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena
dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa
yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;
d) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;
e) Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.
Kesepakatan terjadi melalui 4 (empat) teori, yaitu:
(1) Teori Pernyataan (Uitingstheorie)
Menurut teori pernyataan, kesepakatan terjadi pada saat pihak yang
menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu.
25
Salim H.S, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2003), hlm. 33.
26
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
21
Kelemahan teori ini adalah sangat teoretis karena dianggap terjadinya
kesepakatan secara otomatis.
(2) Teori Pengiriman (Verzendtheorie)
Menurut teori ini, kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima
penawaran mengirimkan telegram. Kelemahannya yaitu perjanjian telah
mengikat pada saat orang yang menawarkan sendiri tidak tahu tanggal
berapa, sehingga tidak dapat diterima berdasarkan kepatutan.
(3) Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie)
Teori ini berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak yang
menawarkan mengetahui adanya penerimaan, tetapi penerimaan itu belum
diterimanya (tidak diketahui secara langsung). Kelemahannya, bagaimana
ia mengetahui isinya apabila ia belum menerimanya.
(4) Teori Penerimaan (Ontvangstheorie)
Menurut teori ini bahwa kesepakatan terjadi padasaat pihak yang
menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Kecakapan bertindak adalah kemampuan untuk melakukan perbuatan
hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat
hukum. Orang-orang yang membuat perjanjian haruslah orang yang cakap dan
mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang
ditentukan oleh undang-undang. Dalam Pasal 1329 KUH Perdata dinyatakan
bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan jika ia oleh undang-
Universitas Sumatera Utara
22
undang tidak dinyatakan tak cakap. Dalam Pasal 330 KUH Perdata dinyatakan
bahwa seorang dianggap tidak cakap untuk melakukan perjanjian jika belum
genap berumur 21 tahun, kecuali ia telah kawin sebelum itu. Sebaliknya setiap
orang yang berumur 21 tahun keatas, oleh hukum dianggap cakap, kecuali
karena suatu hal dia ditaruh di bawah pengampuan, seperti gelap mata, dungu,
sakit ingatan, atau pemboros. Sementara itu, dinyatakan dalam Pasal 1330
KUH Perdata, bahwa tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:
a) Orang-orang yang belum dewasa;
b) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
c) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan
semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
perjanjian tertentu.
Khusus huruf c diatas mengenai perempuan dalam hal yang ditetapkan
dalam undang-undang sekarang ini tidak dipatuhi lagi, setelah dikeluarkan
SEMA Nomor 3 Tahun 1963, maka sejak saat itu hak perempuan dan laki-laki
telah disamakan dalam hal membuat perjanjian. Dalam membuat sesuatu
perjanjian seseorang haruslah cakap bertindak dalam perbuatan hukum, karena
dalam perjanjian itu seseorang terikat untuk melaksanakan suatu prestasi dan
harus dapat mempertanggungjawabkannya. 27
Subjek dari perjanjian harus cakap bertindak menurut hukum. Dalam hal
ini akan terikat dengan segala ketentuan yang telah disepakati bersama, maka
ia harus mampu bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Orang yang tidak
27
R. Subekti, Op.Cit, hlm. 19.
Universitas Sumatera Utara
23
sehat pikirannya walaupun telah dewasa, tidak dapat menyelenggarakan
kepentingannya dengan baik dan memerlukan bantuan dari pihak lain untuk
menyelenggarakan kepentingannya. Ketidakcakapan ini disebut tidak cakap
untuk mengadakan hubungan hukum, hal ini dikarenakan ia tidak dapat
menentukan mana yang baik dan mana yang tidak baik. 28
Orang yang belum dewasa, umumnya belum dapat menentukan dengan
sempurna dan tidak mampu mengendalikan ke arah yang baik, sehingga ia
dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian.
Sedangkan orang yang berada di bawah pengampuan adalah orang yang
berdasarkan keputusan hakim dinyatakan bahwa ia tidak mampu/pemboros di
dalam mengendalikan keinginannya sehingga bagi mereka harus ada wakil dari
orang tertentu untuk menyelenggarakan kepentingannya. 29 Setiap orang yang
sudah dewasa dan sehat pikirannya cakap bertindak menurut hukum. Ahmadi
Miru mengatakan bahwa:
Seorang dikatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum jika
orang tersebut belum cukup 21 tahun, kecuali jika ia telah kawin sebelum
cukup 21 tahun. Sebaliknya setiap orang yang telah berumur 21 tahun ke
atas, oleh hukum dianggap telah cakap kecuali karena suatu hal ditaruh di
bawah pengampuan, seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan atau
pemboros. 30
3) Suatu hal tertentu (adanya objek perjanjian)
KUH Perdata hanya menekankan pada perikatan untuk memberikan atau
menyerahkan sesuatu. Namun demikian jika diperhatikan lebih lanjut, apapun
jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat
28
M. Yahya Harahap, Op.Cit, hlm. 6.
Ibid, hlm. 9.
30
Ahmadi Miru, Op.Cit, hlm. 29.
29
Universitas Sumatera Utara
24
sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, KUH Perdata hendak menjelaskan
bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan keberadaan atau
eksistensi dari suatu kebendaan yang tertentu. 31 Pada perikatan untuk
memberikan sesuau kebendaan yang akan diserahkan berdasarkan suatu
perikatan tertentu tersebut haruslah sesuai yang telah ditentukan secara pasti.
Dalam jual beli misalnya, setiap kesepakatan antara penjual dan pembeli
mengenai kebendaan yang dijual atau dibeli harus telah ditentukan terlebih
dahulu kebendaannya. Jika sebuah sepeda motor, maka harus ditentukan merek
sepeda motor tersebut, kapasitasnya, serta spesifikasi lain yang melekat pada
kebendaan sepeda motor yang dipilih tersebut, sehingga tidak akan
menerbitkan keraguan mengenai sepeda motor lainnya yang serupa tetapi
bukan yang dimaksudkan. Pada perikatan untuk melakukan sesuatu, hal yang
wajib dilakukan oleh salah satu pihak dalam perikatan tersebut (debitur)
pastilah juga berhubungan dengan suatu kebendaan tertentu, baik itu berupa
kebendaan berwujud maupun kebendaan tidak berwujud. Dalam perjanjian
penanggungan utang misalnya, seorang penanggung yang menanggung utang
seorang debitur, harus mencantumkan secara jelas utang mana yang ditanggung
olehnya, berapa besarnya, serta sampai seberapa jauh ia dapat dan baru
diwajibkan untuk memenuhi perikatannya kepada kreditur, atas kelalaian atau
wanprestasi dari pihak debitur. Pasal 1824 KUH Perdata dinyatakan bahwa :
“penanggungan utang tidak dipersangkakan, tetapi harus diadakan dengan
pernyataan
yang
tegas,
tidaklah
diperbolehkan
untuk
memperluas
31
Budiman N.P.D. Sinaga, Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa dari Perspektif
Sekretaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 18.
Universitas Sumatera Utara
25
penanggungan hingga melebihi ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat
sewaktu mengadakannya.” Dalam pandangan KUH Perdata, kewajiban
penanggungan yang diberikan oleh penanggung adalah penanggungan utang
terhadap hak tagih kreditur kepada debitur, dimana penanggung akan
memenuhi kewajiban debitur yaitu untuk membayar hak tagih kreditur
manakala debitur cidera janji. Dalam hal yang demikian, berarti hak tagih
kreditur adalah kebendaan yang dinyatakan dalam Pasal 1333 KUH Perdata,
harus telah dapat ditentukan terlebih dahulu. Dalam perikatan untuk tidak
melakuan atau tidak berbuat sesuatu, KUH Perdata juga menegaskan kembali
bahwa apapun yang ditentukan untuk tidak dilakukan atau diperbuat, pastilah
merupakan kebendaan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang pasti
harus telah dapat ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Dalam perjanjian
untuk merahasiakan sesuatu (confidentially agreement) misalnya, apa-apa saja
yang wajib dirahasiakan oleh debitur misalnya terhadap hak (atas kekayaan
intelektual) milik kreditur, yang dalam pandangan KUH Perdata adalah juga
merupakan kebendaan yang telah tertentu sifatnya. Suatu perjanjian
merahasiakan saja tanpa menjelaskan apa yang harus dan wajib dirahasiakan
belumlah merupakan perjanjian yang mengikat pada pihak, dan karenanya
belum menerbitkan perikatan bagi para pihak. Jadi jelaslah bahwa dalam
pandangan KUH Perdata, yang dimaksudkan dengan kebendaan yang telah
ditentukan jenisnya, meliputi tidak hanya perikatan untuk memberikan sesuatu,
melainkan juga dalam perikatan untuk berbuat sesuatu dan juga perikatan
untuk tidak berbuat sesuatu.
Universitas Sumatera Utara
26
KUH Perdata menjelaskan maksud hal tertentu, dengan memberikan
rumusan dalam Pasal 1333 KUH Perdata, dinyatakan bahwa “suatu perjanjian
harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang
paling sedikit ditentukan jenisnya.” Tidak menjadi halangan bahwa jumlah
barangnya tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat dihitung atau
ditetapkan.
4) Suatu sebab yang halal
Menurut undang-undang, sebab yang halal adalah jika tidak dilarang oleh
undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum,
ketentuan ini dinyatakan dalam Pasal 1337 KUH Perdata.
Perjanjian yang berisi suatu sebab yang tidak halal, maka perjanjian itu
batal demi hukum. Dengan demikian, tidak ada dasar untuk menuntut
pemenuhan perjanjian di muka hakim, karena sejak semula dianggap tidak
pernah ada perjanjian. Demikian juga apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa
sebab, ia dianggap tidak pernah ada. 32
Dari keempat syarat tersebut, secara garis besarnya dapat digolongkan
menjadi dua syarat pokok yaitu sebagai berikut:
a) Syarat Subjektif
Syarat subjektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada subjek-subjek
perjanjian itu atau dengan perkataan lain, syarat-syarat yang harus dipenuhi
oleh mereka yang membuat perjanjian di mana hal ini meliputi kesepakatan
32
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hlm. 96.
Universitas Sumatera Utara
27
mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan pihak yang membuat
perjanjian.
b) Syarat Objektif
Syarat objektif adalah syarat yang menyangkut pada objek perjanjian itu,
hal ini meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Akibat hukum
dari kedua syarat tersebut apabila tidak dapat terpenuhi adalah batal demi
hukum (Pasal 1446 KUH Perdata). Dalam syarat subjektif, apabila perjanjian
yang disepakati itu diberikan karena kekhilafan, dengan paksaan, atau
penipuan maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Lebih lanjut lagi dapat
diperjelas, kalau akibat hukum itu dapat dibatalkan, ini berarti sebelum
dilakukan pembatalan tersebut perjanjian itu adalah sah, sahnya sampai
diadakannya pembatalan itu. Sedangkan kalau akibatnya batal demi hukum, ini
berarti sejak lahirnya perjanjian itu sudah batal atau perjanjian itu memang ada
tapi tidak berlaku atau dianggap tidak pernah ada. 33
Perjanjian dikenal beberapa asas penting, yaitu: 34
(a) Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata, yang dinyatakan “semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas
kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada
para pihak untuk :
1] Membuat atau tidak membuat perjanjian
33
A Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok
Perkembangannya, (Yogyakarta : Liberty, 1985), hlm 13.
34
Salim H.S, Op.Cit, hlm. 9.
Hukum
Perjanjian
Beserta
Universitas Sumatera Utara
28
2] Mengadakan perjanjian dengan siapapun
3] Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan,dan persyaratannya
4] Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Asas kebebasan berkontrak adalah setiap orang bebas mengadakan suatu
perjanjian apa saja baik perjanjian itu sudah diatur dalam undang-undang
maupun belum diatur dalam undang-undang. 35
Asas kebebasan seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata bukan berarti bahwa tidak ada batasannya sama sekali, melainkan
kebebasan seseorang dalam membuat perjanjian tersebut tidak bertentangan
dengan kesusilaan, ketertiban umum, dan undang-undang sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 1337 KUH Perdata.
(b) Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dinyatakan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata.
Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian, yaitu
adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan asas
yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara
formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang
dibuat oleh kedua belah pihak. Asas konsensualisme yang dikenal dalam
KUH Perdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.
Syarat sahnya suatu perjanjian, bahwa harus ada kata sepakat dari mereka
yang membuat perjanjian. Asas ini penting sekali dalam suatu perjanjian,
35
A Qirom Syamsudin Meliala, Op.Cit, hlm 18.
Universitas Sumatera Utara
29
sebab dengan kata sepakat ini sudah timbul adanya suatu perjanjian sejak
tercapainya kata sepakat. Sejak tercapainya kata sepakat maka perjanjian itu
sudah mempunyai akibat hukum dan mengikat mengenai hal-hal yang pokok
dari apa yang diperjanjikan itu. 36
(c) Asas Pacta Sunt Servanda
Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum.
Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda
merupakan asas bahwa hakim atau pihak yang berkepentingan harus
menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana
layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi
terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
Asas pacta sunt servanda dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, yang berbunyi “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang”.
Asas pacta sunt servanda ini dalam suatu perjanjian bermaksud untuk
mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak yang telah membuat
perjanjian itu. Asas pacta sunt servanda dalam suatu perjanjian yang mereka
buat mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. 37
(d) Asas Itikad Baik (Goede Trouw)
Asas iktikad baik dinyatakan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata
yaitu “perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Asas iktikad baik
merupakan asas bahwa para pihak yaitu pihak kreditur dan debitur harus
36
37
Ibid, hlm. 21.
Ibid, hlm. 20.
Universitas Sumatera Utara
30
melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan
yang teguh atau kemauan baik dari pihak.
Asas itikad baik ini dapat dibedakan antara itikad baik yang subjektif dan
itikad baik yang objektif. 38 Itikad baik dalam pengertian yang subjektif dapat
diartikan sebagai kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan
hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu
diadakan perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam pengertian yang
objektif, maksudnya bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan
pada norma kepatutan atau apa-apa yang dirasakan sesuai dengan yang patut
dalam masyarakat (Pasal 1339 KUH Perdata).
(e) Asas Kepribadian (Personalitas)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang
akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan
perseoranagan saja. Asas ini dinyatakan dalam Pasal 1315 KUH Perdata,
yaitu “pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama
sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”.
Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang
dibuat oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum
pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri. Namun
ketentuan itu ada pengecualiannya, sebagaimana yang dinyatakan dalam
Pasal 1317 KUH Perdata bahwa dapat pula perjanjian diadakan untuk
kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri,
38
Ibid, hlm. 19.
Universitas Sumatera Utara
31
atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam
itu. Pasal ini menyatakan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian
untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang ditentukan. 39
B. Pengertian Perjanjian Kerja Bersama
Istilah Perjanjian Kerja Bersama (selanjutnya disebut dengan PKB) timbul
setelah diundangkannya UUSP, dimaksudkan untuk mengganti istilah sebelumnya
yaitu Kesepakatan Kerja Bersama (KKB), dikarenakan pembuat undang-undang
berpendapat bahwa pengertian dari PKB sama dengan KKB. UUK menggunakan
istilah PKB, karena substansi PKB ini sendiri memuat syarat-syarat kerja hak dan
kewajiban kedua belah pihak yang dihasilkan melalui perundingan atau perjanjian
dan isinya bersifat mengikat.
Sentanoe Kertonegoro berpendapat lain mengenai persamaan pengertian
PKB dengan KKB, beliau menyatakan bahwa:
PKB adalah:
1. Merupakan dasar dari individualisme dan liberalisme yang
berpendapat bahwa diantara pekerja/buruh dengan pengusaha adalah
dua pihak yang memiliki kepentingan berbeda dalam perusahaan.
2. Bebas untuk melakukan perundingan dan juga membuat perjanjian
tanpa adanya campur tangan dari pihak lain.
3. Dibuat melalui perundingan yang bersifat tawar-menawar masingmasing pihak akan berusaha memperkuat kekuatan tawar-menawar,
bahkan dengan menggunakan senjata mogok dan penutupan
perusahaan.
4. Hasilnya adalah perjanjian yang merupakan keseimbangan dari
kekuatan tawar-menawar.
Adapun KKB, yaitu:
a. Dasar adalah hubungan industrial Pancasila berpandangan bahwa
antara pekerja dan pengusaha terdapat hubungan yang bersifat
kekeluargaan dan gotong-royong.
39
Salim H.S, Op.Cit, hlm. 12.
Universitas Sumatera Utara
32
b. Mereka bebas melakukan perundingan dan memuat perjanjian asal
saja, tetapi memperhatikan kepentingan yang lebih luas, yaitu
masyarakat, bangsa, dan negara.
c. Dibuat melalui musyawarah untuk mufakat, tidak melalui kekuatan
tawar-menawar, tetapi yang diperlukan sifat yang keterbukaan,
kejujuran, dan pemahaman terhadap kepentingan semua pihak.
Kehadiran serikat pekerja dalam rangka meningkatkan kerja sama dan
tanggung jawab.
d. Hasilnya adalah suatu kesepakatan yang merupakan titik optimal yang
bisa dicapai menurut kondisi yang ada, dengan memperhatikan
kepentingan semua pihak. 40
Perbedaan antara PKB dengan KKB, tampak ada peluang yang dapat digunakan
oleh majikan dalam memanfaatkan suatu keadaan dari pengertian KKB untuk
menekankan buruh dalam memperjuangkan haknya. Pada pengertian KKB, lebih
ditekankan bahwa semua pihak tidak hanya mengutamakan kepentingannya,
tetapi juga harus memperhatikan juga kepentingan bangsa dan negara. Sebagai
contoh pemerintah telah menetapkan upah minimum provinsi/kota. 41
Pasal 1 angka 21 UUK dinyatakan pengertian PKB adalah perjanjian yang
merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat
pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan
pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang membuat
syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
PKB
merupakan
perundingan
para
pihak
terkait
yaitu
serikat
pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh dengan
pengusaha atau beberapa pengusaha yang mengatur syarat-syarat kerja, serta hak
dan kewajiban masing-masing pihak. PKB tidak hanya mengikat para pihak yang
40
Sentanoe Kertonegoro, Hubungan Industrial, Hubungan antara Pengusaha dan
Pekerja (Bipartid) dan Pemerintah (Tripartid), (Jakarta : YTKI, 1999), hlm. 106.
41
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta : Sinar Grafika,
2009), hlm. 93.
Universitas Sumatera Utara
33
membuatnya yaitu serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha saja tetapi juga
mengikat pihak ketiga yang tidak ikut dalam perundingan yaitu pekerja/buruh,
terlepas dari apakah pekerja/buruh tersebut menerima atau menolak isi PKB dan
apakah pekerja/buruh tersebut menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh yang
berunding atau tidak. 42 Perundingan PKB harus didasari dengan itikad baik dan
kemauan bebas kedua belah pihak secara musyawarah dan mufakat sehingga hasil
yang dicapai dapat dilaksanakan bersama dalam upaya menciptakan hubungan
yang harmonis didalam perusahaan.
Penggunaan istilah bersama dalam PKB ini memberikan kekuatan
berlakunya perjanjian yaitu adanya kekuatan mengikat pengusaha, atau beberapa
pengusaha, serikat pekerja/buruh, dan pekerja/buruh itu sendiri. Dalam suatu
perusahaan hanya boleh dibuat 1 (satu) PKB yang berlaku untuk pengusaha dan
semua pekerja/buruh di perusahaan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar dalam satu
perusahaan tidak terdapat perbedaan syarat-syarat kerja antara pekerja/buruh satu
dengan pekerja/buruh lainnya. Apabila perusahaan memiliki cabang perusahaan,
maka dapat dibuat PKB induk yang berlaku untuk di semua cabang dan PKB
turunan yang berlaku untuk di masing-masing cabang perusahaan. PKB induk
mengatur ketentuan-ketentuan yang berlaku umum di seluruh cabang perusahaan
dan PKB turunan memuat pelasanaan PKB induk yang disesuaikan dengan
kondisi masing-masing cabang perusahaan. Apabila belum ada kesepakatan dalam
PKB turunan maka tetap berlaku PKB induk (Pasal 13 Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor : PER.16/MEN/XI/2011).
42
Maimun, Hukum Ketenagakerjaan (Suatu Pengantar), (Jakarta : Pradnya Paramita,
2007), hlm. 129.
Universitas Sumatera Utara
34
C. Tata Cara Pembuatan dan Jangka Waktu Berlakunya Perjanjian Kerja
Bersama
PKB dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat
pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab
dibidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
Pihak-pihak yang dapat mengadakan PKB sebagaimana ditetapkan dalam
Pasal 12 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor :
PER.16/MEN/XI/2011 adalah:
1. Dari pihak pengusaha, yaitu:
a. Pengusaha, atau
b. Perkumpulan atau perkumpulan-perkumpulan pengusaha yang
berbadan hukum.
2. Dari pihak pekerja, yaitu:
a. Serikat pekerja, atau
b. Serikat-serikat pekerja yang telah terdaftar pada Departemen Tenaga
Kerja.
Membangun hubungan industrial di perusahaan tanpa kehadiran serikat
pekerja, bukanlah sesuatu hal yang mustahil dan tidak bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan yang berlaku di bidang ketenagakerjaan yang ada di
Indonesia. Banyak perusahaan yang tidak membentuk serikat pekerja. Namun
demikian, pihak perusahaan harus berhati-hati dalam merencanakan dan
melaksanakannya. Hal ini penting untuk menghindarkan perusahaan dari tuntutan
hukum karena dianggap menghalangi pembentukan serikat pekerja, yang
Universitas Sumatera Utara
35
merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Buruh.
Hubungan industrial tanpa keterlibatan serikat pekerja, dapat dibangun
apabila faktor-faktor yang dapat menahan upaya pengorganisasian serikat pekerja
telah dimiliki atau telah dibangun oleh pihak perusahaan. Faktor-faktor tersebut
adalah: 43
1) Faktor
faktor
yang
dapat
menurunkan
kesempatan
terjadinya
pengorganisasian serikat pekerja
a) Adanya
keyakinan
dari
karyawan
bahwa
atasannya
tidak
memanfaatkannya.
b) Para karyawan yang bangga dengan pekerjaannya.
c) Catatan-catatan mengenai prestasi kerja yang baik disimpan oleh
perusahaan. Para karyawan merasa aman saat mereka mengetahui
bahwa upaya-upaya mereka diakui dan dihargai.
d) Tidak adanya tuntutan atas perlakuan yang sewenang-wenang. Para
karyawan menghargai disiplin yang tegas tapi adil.
2) Faktor-faktor di dalam perusahaan yang dapat menahan munculnya
keinginan membentuk serikat pekerja
a) Komunikasi yang efektif.
b) Kepercayaan dan keterbukaan.
43
http://e-psikologi.com/artikel/organisasi-industri/bagaimana-mengelola-hubunganindustrial diakses pada tanggal 4 April 2014, pukul 17.01.
Universitas Sumatera Utara
36
c) Kompensasi yang efektif dengan sistim penggajian dan kesejahteraan
diberikan secara tepat guna kepada karyawan untuk mendorong mereka
berprestasi secara maksimal di dalam perusahaan.
d) Lingkungan kerja yang sehat dan aman.
UUK menjelaskan bahwa dalam hal disatu perusahaan hanya terdapat satu
serikat pekerja/serikat buruh, maka serikat pekerja/serikat buruh tersebut berhak
mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan PKB dengan pengusaha
apabila memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah
seluruh pekerja/buruh diperusahaan yang bersangkutan (Pasal 119 ayat 1 UUK).
Dalam hal disatu perusahaan hanya terdapat satu serikat pekerja/serikat buruh
tetapi tidak memiliki anggota lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah
seluruh pekerja/buruh di perusahaan, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat
mewakili pekerja/buruh dalam melakukan perundingan dengan pengusaha apabila
serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat dukungan lebih
50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui
pemungutan suara (Pasal 19 ayat 2 UUK). Dalam hal dukungan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) tidak tercapai maka serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan dapat mengajukan kembali permintaan untuk merundingkan PKB
dengan pengusaha setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung
sejak dilakukannya pemungutan suara dengan mengikuti prosedur semula. 44
Tempat perundingan pembuatan PKB dilakukan di kantor perusahaan yang
bersangkutan atau kantor serikat pekerja/serikat buruh atau tempat lain sesuai
44
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 73.
Universitas Sumatera Utara
37
dengan kesepakatan kedua belah pihak. Biaya perundingan PKB menjadi beban
pengusaha, kecuali disepakatan lain oleh kedua pihak (Pasal 17 Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : PER.16/MEN/XI/2011).
Perundingan pembuatan PKB dimulai dengan menyepakati terlebih dahulu
tata tertib dalam perundingan yang sekurang-kurangnya memuat (Pasal 17
Keputusan
Menteri
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi
Nomor
:
PER.16/MEN/XI/2011):
(1) Tujuan pembuatan tata tertib,
(2) Susunan tim perunding,
(3) Lamanya masa perundingan,
(4) Materi perundingan,
(5) Tempat perundingan,
(6) Tata cara perundingan,
(7) Cara penyelesaian apabila terjadi kebuntuan perundingan,
(8) Sahnya perundingan, dan
(9) Biaya perundingan
Tim perunding merupakan perwakilan dari masing-masing pihak (serikat
pekerja dan pengusaha) dengan pemberian kuasa penuh untuk melakukan
perundingan pembuatan PKB dengan ketentuan masing-masing paling banyak 9
(sembilan) orang dengan kuasa penuh. Ketentuan tata cara pembuatan PKB
menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor :
PER.16/MEN/XI/2011 yaitu:
Universitas Sumatera Utara
38
(a) PKB dirundingkan oleh serikat pekerja atau beberapa serikat pekerja
yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab dibidang
ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha. Salah
satu pihak (serikat pekerja/serikat buruh atau pengusaha) mengajukan
pembuatan PKB secara tertulis, disertai konsep PKB;
(b) Minimal anggota serikat pekerja/serikat buruh 50% (lima puluh
persen) dari jumlah pekerja/buruh yang ada pada saat petama
pembuatan PKB;
(c) Perundingan dimulai paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
permohonan tertulis;
(d) Pihak-pihak yang berunding adalah pengurus serikat pekerja/serikat
buruh dan pimpinan perusahaan dengan membawa surat kuasa
masing-masing;
(e) Perundingan dilaksanakan oleh tim perunding (negosiator) dengan
jumlah masing-masing sesuai kebutuhan dengan ketentuan masingmasing paling banyak 9 (sembilan) orang;
(f) Batas waktu perundingan bipartid sesuai kesepakatan dalam tata
tertib, apabila dalam perundingan PKB tidak selesai dalam waktu
yang disepakati dalam tata tertib, maka kedua belah pihak dapat
menjadwal kembali perundingan dengan waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari setelah perundingan gagal;
(g) Apabila dalam hal perundingan pembuatan PKB masih belum selesai
dalam waktu yang disepakati dalam tata tertib dan penjadwalan
Universitas Sumatera Utara
39
kembali, maka para pihak harus membuat pernyataan secara tertulis
bahwa perundingan tidak dapat diselesaikan pada waktunya yang
memuat:
1] Materi perjanjian kerja bersama yang belum mencapai
kesepakatan;
2] Pendirian para pihak;
3] Risalah perundingan;
4] Tempat, tanggal dan tanda tangan para pihak.
(h) Dalam hal perundingan pembuatan PKB tidak mencapai kesepakatan
sebagaimana dimaksud dalam poin 6 maka salah satu pihak atau
kedua belah pihak melapor kepada instansi yang bertanggung jawab
dibidang ketenagakerjaan perihal gagalnya perundingan tersebut untuk
diselesaikan sesuai mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan
industrial. Instansi di bidang ketenagakerjaan yang dimaksud adalah:
1] Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
Kabupaten/Kota apabila lingkup berlakunya PKB hanya
mencakup satu Kabupaten/Kota;
2] Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
provinsi, apabila lingkup berlakunya PKB lebih dari satu
Kabupaten/Kota di satu Provinsi;
3] Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial pada Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi apabila lingkup berlakunya
PKB meliputi lebih dari satu provinsi.
Universitas Sumatera Utara
40
(i) Penyelesaian oleh instansi sebagaimana dimaksud poin 9 dilakukan
sesuai dengan mekanisme penyelesaian hubungan industrial yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004;
(j) Apabila penyelesaiaannya melalui mediasi dan para pihak atau salah
satu pihak tidak menerima anjuran mediator maka atas kesepakatan
para pihak, mediator melaporkan kepada menteri untuk menetapkan
langkah-langkah penyelesaian, laporan tersebut memuat:
1] Materi Perjanjian Kerja Bersama yang belum dicapai
kesepakatan;
2] Pendirian para pihak;
3] Kesimpulan perundingan;
4] Pertimbanggan dan saran penyelesaian;
Dalam hal ini menteri dapat menunjuk pejabat untuk melakukan
penyelesaian pembuatan PKB;
(k) Apabila berbagai cara telah ditempuh untuk menyelesaiakan
pembuatan PKB namun tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu
pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial
di daerah hukumnya mencakup domisili perusahaan;
(l) Pengusaha mendaftarkan PKB kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan, maksud pendaftaran PKB adalah
sebagai alat monitoring dan evaluasi pengaturan syarat-syarat kerja
yang dilaksanakan perusahaan dan sebagai rujukan utama dalam hal
terjadi perselisihan PKB.
Universitas Sumatera Utara
41
Untuk keabsahan suatu PKB, maka harus memenuhi syarat formal dan
material yaitu sebagai berikut:
1] Syarat formal
a] Harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua pihak;
b] Memuat
nama,
pekerja/buruh,
tempat
nomor
kedudukan
dan
dan
tanggal
alamat
serikat
pencatatan
serikat
pekerja/buruh pada instansi yang bertanggung jawab dibidang
ketenagakerjaan;
c] PKB hanya diadakan paling lama 2 tahun dan kemudian dapat
diperpanjang.
2] Syarat material
a] Dilarang memuat aturan yang mewajibkan pengusaha hanya
menerima atau menolak dari satu golongan (berkenaan dengan
suku, agama, ras, golongan);
b] Dilarang memuat aturan yang mewajibkan seorang pekerja
supaya hanya bekerja pada pengusaha suatu golongan.
Dalam rangka menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis,
dan berkeadilan, PKB merupakan salah satu sarana yang sangat penting sehingga
tercapai tingkat produktifitas yang tinggi serta tercapainya kesejahteraan pekerja,
maka jangka waktu PKB jangan terlalu pendek, akan tetapi juga jangan terlalu
lama agar dapat menyesuaikan tingkat ekonomi yang selalu berubah-ubah. 45
45
Koko Kosidin, Perjanjian Kerja, Perjanjian Perburuhan dan Peraturan Perusahaan,
(Bandung : Mandar Maju, 1999), hlm. 62.
Universitas Sumatera Utara
42
Pasal 123 UUK menjelaskan bahwa masa berlaku PKB paling lama 2
(dua) tahun, dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) tahun berdasarkan
kesepakatan tertulis antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh. Apabila
selama masa berlakunya PKB kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan
perubahan, maka perubahan tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
PKB yang sedang berlaku. Perundingan pembuatan PKB berikutnya dapat dimulai
paling cepat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya PKB yang masih berlaku, namun
jika dalam perundingan tersebut tidak mencapai kesepakatan maka PKB yang
sedang berlaku, masih berlaku untuk paling lama 1 (satu) tahun. Saat berlakunya
PKB pada saat ditandatangani kecuali ditentukan lain dalam PKB sesuai dengan
ketentuan Pasal 132 UUK.
Pasal 124 ayat (1) UUK menyebutkan bahwa PKB paling sedikit memuat:
[1] Hak dan kewajiban pengusaha;
[2] Hak dan kewajiban serikat pekerja/ serikat buruh serta pekerja atau
buruh;
[3] Jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya PKB;
[4] Tanda tangan para pihak membuat PKB.
Ketentuan dalam PKB tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Pasal 124 ayat (2) UUK). Jika isi PKB
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka
ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 124 ayat (3) UUK).
Universitas Sumatera Utara
43
D. Syarat Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama
PKB pada dasarnya merupakan suatu cara dalam rangka mengembangkan
partisipasi pekerja untuk ikut andil dalam menentukan pengaturan syarat kerja
dalam pelaksanaan hubungan kerja, sehingga dengan adanya partisipasi tersebut
diharapkan timbul suatu sikap ataupun rasa memiliki dan juga rasa tanggung
jawab terhadap kelangsungan hidup perusahaan.
PKB dirundingkan oleh serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat
pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan
pengusaha atau beberapa pengusaha. Perundingan PKB ini haruslah didasari oleh
itikad baik dan berkemauan bebas dari kedua belah pihak. Perundingan PKB
dilaksanakan secara musyawarah untuk mufakat. Lamanya perundingan PKB
ditetapkan pada kesepakatan para pihak dan dituangkan ke dalam tata terib
perundingan. 46
Pembentukan PKB berdasarkan Pasal 119 dan Pasal 120 UUK dibagi
menjadi 2 yaitu untuk perusahaan yang memiliki satu serikat pekerja/ serikat
buruh dan perusahaan yang memiliki lebih dari satu serikat pekerja/ serikat buruh.
Ketentuan Pasal 119 UUK berlaku bagi perusahaan yang memiliki satu serikat
pekerja/serikat buruh, yaitu batasan serikat buruh yang berhak mewakili
pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan PKB apabila:
1.
Memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh persen) dari
jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan atau
apabila musyawarah tidak mencapai kesepakatan tentang suatu hal,
46
Suria Ningsih, Mengenal Hukum Ketenagakerjaan, (Medan : USU Press, 2011), hlm.
86.
Universitas Sumatera Utara
44
maka penyelesaiannya dilakukan melalui mekanisme penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
2.
Mendapat dukungan lebih 50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh
pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara.
3.
Apabila tidak terpenuhi, dapat mengajukan kembali permintaan untuk
merundingkan PKB dengan pengusaha setelah melampaui jangka waktu
6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya pemungutan suara.
Ketentuan Pasal 120 UUK bagi perusahaan yang memiliki lebih dari satu
serikat buruh, yaitu batasan serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili
pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan PKB apabila:
a.
Jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah
seluruh pekerja/buruh di perusahaan tersebut.
b.
Apabila tidak terpenuhi, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat
melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% (lima puluh
persen) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut untuk
mewakili dalam perundingan dengan pengusaha.
c.
Apabila tidak terpenuhijuga, maka para serikat pekerja/serikat buruh
membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara
proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat
pekerja/serikat buruh.
Tafsiran dari ketentuan diatas terdapat kemungkinan bahwa pekerja/buruh
dapat menjadi pihak dalam perundingan pembuatan PKB apabila jumlah anggota
serikat pekerja/serikat buruh terdapat 50% dari jumlah seluruh pekerja/buruh di
Universitas Sumatera Utara
45
perusahaan yang bersangkutan dan mendapat dukungan lebih 50% (lima puluh
persen) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan tersebut. Apabila tidak
terpenuhi maka dibentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara
proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat
buruh. 47
Tempat untuk melaksanakan perundingan PKB dilakukan di kantor
perusahaan yang bersangkutan atau di kantor serikat pekerja/serikat buruh ataupun
bisa juga dilaksanakan di tempat lain yang sesuai dengan kesepakatan para pihak.
Dan semua biaya yang timbul dalam pelaksanaan perundingan PKB akan menjadi
beban perusahaan atau pengusaha, kecuali telah disepakati oleh para pihak.
PKB dibuat dalam bentuk tertulis dengan huruf latin dan menggunakan
bahasa Indonesia. Dalam hal PKB dibuat tidak menggunakan bahasa Indonesia,
maka PKB tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah
resmi yang telah disumpah dan hasil terjemahan tersebut dianggap sebagai PKB
yang telah memenuhi syarat perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 116
ayat 3 UUK.
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 22 PER.16/MEN/XI/2011 tentang Tata
Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan
Pengesahan Perjanjian Kerja Bersama, PKB sekurang-kurangnya harus memuat:
1) Nama, tempat kedudukan serta alamat serikat pekerja/serikat buruh;
2) Nama, tempat kedudukan serta alamat perusahaan;
47
Maimun, Op.Cit, hlm. 131.
Universitas Sumatera Utara
46
3) Nomor serta tanggal pencatatan serikat pekerja/serikat buruh pada
instansi
yang
bertanggung
jawab
di
bidang
ketenagakerjaan
Kabupaten/Kota;
4) Hak dan kewajiban pengusaha;
5) Hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh;
6) Jangka waktu dan mulai berlakunya perjanjian kerja bersama; dan
7) Tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.
Menurut ketentuan di dalam Pasal 124 ayat 1 UUK, PKB haruslah paling
sedikit memuat:
a) Hak dan kewajiban pengusaha;
b) Hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh serta pekerja/buruh;
c) Jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya perjanjian kerja bersama;
dan
d) Tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.
Secara yuridis formal dasar hukum dalam pembuatan PKB didasarkan
atas:
(1) Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
(2) Undang-Undang No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat
Buruh.
(3) Undang-Undang No. 18 tahun 1956 tentang Ratifikasi Konvensi ILO
No. 98.
Universitas Sumatera Utara
47
(4) Undang-Undang No. 21 tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan
antara Serikat Pekerja dan Majikan.
(5) Peraturan Pemerintah No. 49 tahun 1954 tentang Tata Cara Membuat
dan Mengatur Perjanjian Perburuhan.
(6) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 16 tahun 2011
tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan
serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.
E. Manfaat Dibentuknya Perjanjian Kerja Bersama
PKB merupakan kesepakatan antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat
buruh yang mengatur hak dan kewajiban dalam hubungan kerja dengan
memperhatikan kepentingan pekerja/buruh maupun pengusaha. PKB merupakan
salah satu prasarana dalam rangka pelaksanaan hubungan industrial yang serasi,
aman, dan dinamis berdasarkan Pancasila, sehingga manfaat dari PKB itu sendiri
adalah: 48
1.
Baik pekerja maupun pengusaha akan lebih mengetahui dan memahami
tentang hak dan kewajiban masing-masing;
2.
Mengurangi
timbulnya
perselisihan
industrial
atau
hubungan
ketenagakerjaan sehingga dapat menjamin kelancaran proses produksi
dan peningkatan usaha;
3.
Membantu ketenangan kerja pekerja serta mendorong semangat dan
kegiatan bekerja lebih tekun dan rajin;
48
Pedoman Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB), (Jakarta : Direktorat
Persyaratan Kerja, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi RI, 2005), hlm. 7-8.
Universitas Sumatera Utara
48
4.
Pengusaha dapat menyusun rencana-rencana serta menetapkan labour
cost yang perlu dicadangkan atau disesuaikan dengan masa berlakunya
PKB;
5.
Perundingan membuat PKB merupakan lembaga bipartid yang sangat
efektif dimana kedua belah pihak dapat bertemu dan memperpadukan
kepentingan masing-masing yang hasil tanpa campur tangan pihak lain;
6.
Dapat menciptakan suasana musyawarah dan kekeluargaan dalam
perusahaan. 49
PKB akan menekankan serikat pekerja untuk lebih hati-hati dalam
penggunaan hak mogoknya sebagai upaya yang paling akhir dan lebih
mengedepankan proses dialog atau negosiasi dalam menyampaikan tuntutannya.
Selain dari pada manfaat terbentuknya PKB yang merupakan kepentingan pekerja
maupun pengusaha juga mempunyai fungsi yang lain: 50
a.
Sebagai pedoman induk mengenai hak dan kewajiban bagi para pekerja
dan pengusaha, sehingga dapat dihindarkan adanya perbedaanperbedaan pendapat yang tidak perlu antara pekerja dengan pihak
pengusaha;
b.
Sebagai sarana untuk menciptakan ketenangan kerja bagi pekerja dan
kelangsungan usaha bagi perusahaan;
c.
Merupakan partisipasi pekerja dalam penentuan atau pembuatan
kebijakan dalam perusahaan.
49
Suprihanto, Hubungan Industrial Sebuah Pengantar, (Yogyakarta : BPFE, 1986), hlm.
50
Pedoman Pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB), Op.Cit, hlm. 7.
105.
Universitas Sumatera Utara
49
Berkaitan dengan fungsi PKB, dapat di jelaskan lebih lanjut tentang fungsi yang
diatas yaitu fungsi pertama PKB adalah sebagai pedoman induk. Dalam Pasal 127
UUK menyebutkan bahwa “perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha dan
pekerja/buruh tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama”. Hal ini
menempatkan PKB sebagai pedoman induk bagi perjanjian kerja, dan mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perjanjian kerja. Fungsi PKB
sebagai pedoman induk memberi kemudahan pada pekerja dalam membuat
perjanjian kerja. Adanya kemudahan ini sesuai dengan kebutuhan pekerja, yang
pada umumnya tidak mampu menyusun suatu perjanjian kerja yang dapat
dipertanggungjawabkan secara yuridis. Oleh karena itu, ketentuan yang
menyatakan bahwa perjanjian kerja tidak boleh bertentangan dengan PKB, dapat
menjamin suatu perjanjian kerja yang memberikan dasar hukum pada kedudukan
pekerja dalam proses produksi. 51
Fungsi kedua PKB adalah menciptakan ketenangan kerja bagi pekerja dan
kelangsungan usaha bagi pengusaha. Bagi pekerja, ketenangan kerja berarti,
adanya kepastian untuk melaksanakan hubungan kerja dalam suatu jangka waktu
yang cukup lama dan diharapkan untuk jangka waktu yang tidak terbatas sehingga
dapat memenuhi kebutuhannya secara teratur. Selama masa berlakunya PKB, para
pekerja
tidak
lagi
perlu
memikirkan,
bagaimana
memperjuangkan
kepentingannya. Segala perhatiannya dapat dicurahkan dalam melaksanakan
kewajibannya berupa kerja dengan sebaik-baiknya tanpa lagi setiap saat terlibat
mogok kerja maupun aksi demo dalam perjuangan untuk memperoleh pengakuan
51
Lalu Husni, Op.Cit, hlm. 54.
Universitas Sumatera Utara
50
atas haknya sebagai pekerja. Selain ketenangan kerja yang diperoleh pekerja, PKB
memberikan pula jaminan pada pengusaha untuk merencanakan kelangsungan
usahanya. Pengusaha sangat membutuhkan kondisi, dimana ia dapat menyusun
dan melaksanakan rencana produksi untuk suatu jangka waktu yang lama dengan
ketidakpastian yang minimum, juga tidak perlu lagi memikirkan tentang aksi
demo atau mogok kerja dari pekerja karena pekerja sudah mempunyai wadah
untuk menyampaikan aspirasinya melalui serikat pekerja dalam suatu pembuatan
PKB. 52 Dengan adanya ketenangan baik dari sisi pekerja maupun pengusaha,
maka akan menciptakan suasana ketenagakerjaan yang kondusif yang akan
berdampak secara nasional.
Fungsi ketiga dari PKB adalah partisipasi pekerja dalam penentuan atau
pembuatan kebijakan dalam perusahaan. Partisipasi pekerja dalam pembuatan
peraturan perusahaan sebatas, diajak berkonsultasi dengan memberikan saran serta
pertimbangan (Pasal 110 UUK) dan memberi persetujuan tertulis terhadap
peraturan perusahaan yang telah disusun oleh pengusaha secara sepihak. Jika
selama berlangsungnya hubungan kerja diadakan peraturan perusahaan yang baru
atau diadakan perubahan pada peraturan perusahaan yang sedang berlaku, dan
pekerja tidak menyetujui ketentuan-ketentuan yang baru tersebut, maka pekerja
dapat mengajukan permohonan pada pengadilan, tidak untuk membatalkan
peraturan perusahaan tersebut, tetapi untuk memutuskan hubungan kerja antara
dia dengan pengusaha (Pasal 1601 k BW).
52
Ibid, hlm. 56.
Universitas Sumatera Utara
51
Bahder Johan Nasution menyatakan, bahwa dengan diakuinya serikat
pekerja sebagai pihak dalam penentuan syarat-syarat kerja oleh pengusaha, maka
serikat pekerja telah mempunyai suatu bentuk turut menentukan secara luas dalam
menentukan syarat-syarat kerja. 53 Melalui PKB para pekerja (serikat pekerja) dan
pengusaha bermusyawarah untuk menetapkan hak dan kewajiban masing-masing
dalam hubungan kerja.
53
Bahder Johan Nasution, Hukum Ketenagakerjaan (Kebebasan Berserikat Bagi
Pekerja), (Bandung : Mandar Maju, 2004), hlm. 9.
Universitas Sumatera Utara
Download