pemikiran partai kristen indonesia tentang dasar negara dan hak

advertisement
PEMIKIRAN PARTAI KRISTEN INDONESIA TENTANG DASAR NEGARA
DAN HAK ASASI MANUSIA DALAM DEWAN KONSTITUANTE 1955-1959
KEVIN BOB LESTARI
Sarjana Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia
[email protected]
Abstrak
Fokus penelitian ini adalah pemikiran Partai Kristen Indonesia dalam Dewan Konstituante. Dengan
menggunakan metode sejarah, penelitian ini berusaha menjelaskan pemikiran Partai Kristen Indonesia
tentang dasar negara dan Hak Asasi Manusia. Periode penelitian diawali dari tahun 1955 hingga 1959.
Pembahasan akan diawali dengan dinamika partai, kemudian mendukung Pancasila dan mengusahakan
jaminan kebebasan beragama dan sikap partai ini dalam menanggapi anjuran pemerintah untuk kembali
kepada UUD 1945.
THE THINKING OF INDONESIA CHRISTIAN PARTY ABOUT IDEOLOGY AND HUMAN
RIGHT IN CONSTITUANTE COUNCIL 1955-1959
Abstract
The focus of this study is to know how Indonesian Christian Party think about ideology and human
right in constituante council of Indonesia. This research is based on history method, and will begin
form year 1955 to 1959. The explanation will begin with dynamic of the party and then choose
Pancasila as the ideology and try to keep freedom of religion on the new constitution of Indonesia.
Also to know how this party face “back to 1945 Constitution”.
Keywords: Parkindo, Christian, Pancasila and Freedom of Religion
Pendahuluan
Parkindo ((Partai Kristen Indonesia) didirikan di
Jakarta pada 10 November 1945. Partai ini pada awalnya
bernama PKN (Partai Kristen Nasional) dan berganti
nama menjadi Parkindo pada Kongres PKN pertama di
Solo, 6-7 Desember 1945. (Departemen Penerangan,
1954:473). Lahirnya Parkindo merupakan respon umat
Kristen terhadap Maklumat Pemerintah No. X. yang
berisi anjuran pemerintah kepada masyarakat untuk
membentuk partai-partai politik. Pemerintah berharap
partai politik yang didirikan tersebut dapat memperkuat
perjuangan bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan
Pemikiran Partai..., Kevin Bob Lestari, FIB UI, 2013
2
dan menjamin keamanan rakyat Indonesia (Soedarmanta,
2011:123).
Pada Pemilu pertama 1955, Parkindo menjadi
salah satu kontestan. Pemilu tersebut dilaksanakan untuk
memilih anggota DPR dan Dewan Konstituante. Pemilu
ini dilaksanakan dalam 2 tahap, tahap pertama untuk
memilih anggota DPR yaitu pada 29 September 1955,
dan tahap kedua untuk memilih anggota Dewan
Konstituante pada 15 Desember 1955 (Nasution,
1995:30). Pada pemilu tahap pertama, Parkindo
memperoleh 1.003.325 suara dan pada pemilu tahap
kedua 988.810 suara. Dengan perolehan suara itu,
Parkindo memperoleh 8 kursi di DPR dan 16 kursi di
Dewan Konstituante (Ricklefs, 2008:520).
Setelah pemilu tahap kedua dilaksanakan,
dibentuklah Dewan Konstituante. Konstituante adalah
badan pembentuk undang-undang dasar pengganti UUD
1950 sementara (UUD S 1950) (Simorangkir dkk, 1958).
Pembentukan badan ini secara hukum didasarkan pada
amanat UUD S 1950, pasal 134,“ Konstituante (Sidang
Pembuat Konstitusi), bersama-sama dengan Pemerintah
selekas-lekasnja menetapkan Konstitusi Republik
Indonesia Serikat jang akan menggantikan Konstitusi
sementara ini” (Nasution, 1995:548). “bekerjasama”
dalam ayat tersebut artinya Dewan Konstituante berperan
sebagai “pembentuk” dan pemerintah berperan sebagai
“pengesah”. Secara implisit, Peraturan Tata Tertib
Konstituante menyebutkan bahwa peranan pemerintah
tidak lain hanyalah terletak pada “pengesahan” dan
“pengumuman” undang-undang baru yang dihasilkan
oleh Dewan Konstituante tersebut (Arsip Dewan
Konstituante No.1). Hal ini ditegaskan dalam pasal 137
ayat 3, UUD S 1950, “Apabila Konstituante sudah
menerima rantjangan Undang-undang Dasar, maka
dikirimkannja rantjangan itu kepada Presiden untuk
disahkan oleh Pemerintah. Pemerintah mengesahkan
rantjangan
itu
dengan
segera.
Pemerintah
mengumumkan Undang-undang Dasar itu dengan
keluhuran” (Nasution, 1995:548). 16 anggota Parkindo
yang terpilih untuk dewan ini, membentuk satu Fraksi
bernama Fraksi Parkindo.
Salah satu hal yang dibahas dalam Dewan
Konstituante adalah dasar negara dan Hak Asasi
Manusia. Pembahasan dasar negara memunculkan 3
usulan dasar negara yaitu Pancasila, Islam dan SosialEkonomi. Pancasila diusulkan oleh PNI, PKI, Parkindo,
Partai Katolik dan beberapa partai nasionalis kebangsaan
lainnya. Sedangkan Islam diusulkan oleh kelompok
partai nasionalis Islam seperti Masyumi, NU, PSII dan
Perti. Sosial Ekonomi sendiri diusulkan oleh Partai
Buruh, Murba dan Acoma ( Nasution, 1995:32-33).
Kelompok Islam tidak menerima Pancasila,
karena menurut mereka Pancasila itu sekuler. Selain
sekuler, golongan Islam juga memandang bahwa
Pancasila tidak memiliki makna yang jelas dan pasti (
Kusuma dkk, 2008:viii).
Sementara itu kelompok pendukung Pancasila
merasa bahwa Pancasila lah yang paling tepat untuk
dijadikan dasar negara. Mereka yakin bahwa Pancasila
mengandung nilai-nilai dasar yang sesuai dengan
kepribadian bangsa. Selain sesuai dengan kepribadian
bangsa, Pancasila bisa menjadi “payung” yang
melindungi ragam golongan dan penganut agama di
Indonesia seperti yang disampaikan oleh K.H. A. Dasuki
Siradj (Partai Komunis Indonesia) berikut:
“maka nyatalah bahwa Pancasila bukan
hanya sesuai dengan keadaan yang terjadi
dan berlaku di Indonesia tetapi juga tidak
bertentangan dengan ajaran-ajaran agama,
baik Islam, Kristen, Katolik, dan lainlainnya. Dengan demikian maka semua
agama akan dapat berlomba-lomba berbuat
amal baik kepada rakyat diatas lapangan
yang luas, lapangan Pancasila. Dan
Pancasila dapat menjamin seluas-luasnya
kepada agama untuk berkembang dengan
tidak adanya diskriminasi”.(Kusuma dkk,
2008:291).
Parkindo memilih untuk mendukung Pancasila
karena Pancasila merupakan sebuah titik pertemuan
antara segala golongan dan aliran yang berbeda dalam
tubuh bangsa Indonesia. Di samping itu, Pancasila juga
menjamin musyawarah rakyat dijadikan salah satu dasar
cara penyelesaian persoalan kenegaraan. Bagi Parkindo
yang paling penting adalah Pancasila menjamin bahwa
negara bukan untuk segolongan, bukan untuk sebagian
besar, dan juga tidak untuk bagian yang terbesar dan
terbanyak saja (Soepamena, 1996: 121).
Tema pokok dalam setiap pidato para wakil
Parkindo dalam Dewan Konstituante adalah soal agama,
terutama kebebasan beragama. Hal ini bisa dipahami
melalui apa yang disampaikan oleh W.J. Rumambi,
bahwa umat Kristen memandang negara Indonesia sesuai
dengan keyakinan dan tanggung jawabnya sebagai orang
Kristen, karena bertanggung jawab kepada Tuhan dan
selanjutnya kepada manusia. Rumambi juga mengatakan
bahwa Parkindo percaya Indonesia adalah hamba Allah
yang mendatangkan kebajikan, “menurut keyakinan
kami, tugas negara adalah tugas Illahi,” katanya.
(Risalah, 1957:445). Meskipun begitu, bagi Parkindo,
negara dan agama berbeda secara prinsipil. Tugas negara
Pemikiran Partai..., Kevin Bob Lestari, FIB UI, 2013
3
adalah memelihara, mengusahakan ketertiban keadilan
dan kemerdekaan di antara rakyat, sedangkan tugas
agama (Gereja) adalah memberitakan Firman Tuhan
dalam kata dan perbuatan (Rorimpandey, 1994: 189190).
“Sukar bagi kami menerima pikiran bahwa
negara harus didasarkan pada agama.
berbeda tapi tidak harus dipisahkan.
negara dan agama haruslah bekerdja
bersama-sama, hormat menghormati satu
dengan jang lain saling menghargai dan
mengakui tugas panggilan masing-masing.
taruhlah misalnja Kristen itu didjadikan
dasar negara, maka kedudukan agama jang
sutji itu jang kekal dan abadi itu,
direndahkan mendjadi setara dengan halhal jang ada di dalam dunia ini.
sekularisasi dan penduniawian akan marak,
djika agama itu didjadikan dasar negara,
besar kemungkinan akan didjadikan alat
pergundjingan kekuasaan dan politik dalam
dunia ini”. (Risalah, 1957: 446-447).
mengatakan bahwa apabila Islam dijadikan agama resmi
negara, maka Hukum Islam akan mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi. Jika suatu saat terjadi pertentangan
norma, maka hukum Islam akan selalu menjadi
pegangan. Hal Ini bertentangan dengan asas yang sama
di depan hukum (Arsip Konstituante No.93/II-Red/58).
Pada perkembangannya, kelompok Islam dan
Pancasila dalam Dewan Konstituante tidak berhasil
mencapai titik temu perihal dasar negara. Sementara itu,
Soekarno mencetuskan gagasan Demokrasi Terpimpin
dan Konsepsinya yang ditolak Masyumi dan Partai-partai
Islam lain, termasuk Partai Katolik. Pada awal tahun
1959, pemerintah menganjurkan untuk kembali kepada
UUD 1945. Parkindo kemudian menyatakan sikapnya,
“Bagi kami fraksi Partai Kristen Indonesia
(PARKINDO) kembali kepada Undang-Undang Dasar
1945 pada prinsipnja tidak ada keberatannja,” (Risalah,
1959:480).
Dewan Konstituante juga tidak berhasil
menyepakati ususlan pemerintah untuk kembali kepada
UUD 1945, 3 kali pemungutan suara tidak mampu
mencapai quoroum. Pada tanggal 5 juli 1959, Presiden
Soekarno mengeluarkan Dekrit tentang pembubaran
Dewan Konstituante dan pemberlakuan kembali UUD
1945. Dengan demikian berakhirlah peran Parkindo
dalam Dewan Konstituante (Nasution, 1995:405).
Masalah
kebebasan
beragama
memang
diperdebatkan dalam Dewan Konstituante. Kedua pihak
yaitu Pancasila dan Islam memahami “kebebasan” dalam
arti yang berbeda. Kelompok Pancasila di satu sisi
memandang kebebasan beragama merupakan kebebasan
yang mutlak tanpa ada satu agama tertentu di atas agama
lain. Di sisi lain, kelompok Islam menerjemahkan
kebebasan beragama di mana Islam lah yang menjamin
kebebasan agama lain, Islam berkewajiban memberikan
jaminan kebebasan beribadah kepada agama lain, tanpa
ada paksaan. “la ikraaha fiddin” (tidak ada paksaan
dalam agama), kata Kasman Singomedjo (Masyumi)
(Kusuma dkk, 2008:94). Hamka (Masyumi) menguatkan
sikap ini. Dia mengutip sebuah ayat Al-Quran, surah AlMaidah “hendaklah keluarga injil menghukum dengan
apa yang diturunkan Allah di dalamnya”. Melalui ayat
ini Hamka menegaskan bahwa dalam negara berdasarkan
Islam, golongan lain bebas melaksanakan ibadahnya
sesuai dengan keyakinannya (Kusuma dkk, 2008:157).
Parkindo berkeyakinan bahwa dasar negara
merupakan hal yang penting bahkan terpenting dalam
permusyawaratan Dewan Konstituante. “pokok inilah
yang akan menentukan jalannya Dewan Konstituante
selanjutnya. Bahkan lebih dari itu, hasil perundingan
mengenai dasar negara, akan menentukan pula jalannya
negara, bangsa dan masyarakat Indonesia selanjutnya,”
kata Rumambi (Rorimpandey, 1994:181). Untuk itu,
Parkindo mengharapkan agar dasar negara yang akan
dibentuk merupakan dasar negara yang ideal sekaligus
dasar negara yang berimbang dan bisa mengakomodasi
semua komponen bangsa Indonesia.
Melalui pembahasan Hak Asasi Manusia dalam
Dewan Konstituante, Parkindo menekankan pentingnya
negara menjamin soal kebebasan beragama. Parkindo
sebagai perwakilan umat Kristen Indonesia tidak bisa
menerima pemikiran Masyumi tentang Islam sebagai
agama resmi. Parkindo, seperti yang disampaikan Rendra
Saroengalo, juga menolak pendapat kelompok Islam
yang mengusulkan agar setiap orang yang berdiam di
wilayah Indonesia mentaati undang-undang dan hukum
Islam serta pemimpinnya (Soepamena, 1996:132). Dia
Pembahasan dasar negara menjadi sebuah
“media’ bagi partai-partai untuk memperjuangkan
ideologi yang diyakininya. Parkindo sebagai Partai
Kristen, yang meletakkan dasarnya kepada Alkitab, lebih
setuju jika Pancasila dipertahankan sebagai Dasar Negara
Republik Indonesia. Dalam pembahasan dasar negara,
Parkindo menyampaikan pemikirannya melalui 4 orang
anggotanya yaitu, W.J. Rumambi, J.B.Kawet, Binanga
Siregar bergelar Sutan Mangaradja, dan W.A. Lokollo.
W.J. Rumambi menjadi pembicara pertama dari Parkindo
Pemikiran Parkindo tentang Dasar Negara.
Pemikiran Partai..., Kevin Bob Lestari, FIB UI, 2013
4
pada sidang ke III dalam rapat ke 62, Rabu 13 November
1957.
Rumambi mengawali pidatonya dengan
mengingatkan kembali untuk negara manakah dasar
negara yang sedang dibahas Dewan Konstituante itu.
”Bagi kami djelas dan tegas, katanya,
“Untuk negara Republik Indonesia jang
telah terwudjud dan telah mendjadi suatu
kenjataan, serta berdiri dengan tegaknja
ditengah-tengah
negara-negara
dan
bangsa-bangsa lain diatas muka bumi ini,
sedjak tanggal 17 Agustus tahun 1945. Hari
Proklamasi Kemerdekaan Tanah Air dan
Bangsa Indonesia. Negara jang kita
maksudkan
ialah
Negara
Republik
Indonesia jang adalah hasil daripada
perdjuangan pergerakan kemerdekaan
bangsa Indonesia.”. (Risalah, 1957:442).
Rumambi sepertinya ingin mengirim pesan
kepada pihak Islam bahwa pembahasan dasar negara ini
jangan sampai menyimpang dari kesepakatan tentang
bentuk dan sejarah Republik Indonesia itu sendiri.
Parkindo, seperti yang disampaikan oleh Rumambi, ingin
agar Dewan Konstituante tidak terpelanting dari
kenyataan bahwa negara Indonesia merupakan negara
yang diperjuangkan oleh semua golongan dari ragam
agama.
Pernyataan Rumambi di atas ditegaskan kembali
oleh J. B. Kawet. Menurutnya, sejarah membuktikan
bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah hasil kerja keras
satu golongan atau satu pihak. Perjuangan mencapai
kemerdekaan dan perjuangan mempertahankannya
adalah hasil jerih payah saudara-saudara pejuang dari
segala pelosok Indonesia. Hasil daripada pengorbanan
pejuang-pejuang yang beragama Islam, Hindu, Katolik,
Kristen, Budha, dsb. Semua ini menurutnya didorong
oleh sebuah tujuan mulia yaitu supaya Indonesia menjadi
negara berdaulat yang tidak dijajah Belanda lagi,
sehingga orang-orang Indonesia dapat hidup bebas secara
jasmani dan rohani di tanah pribadinya, di tanah airnya
sendiri (Risalah, 1957:130).
Menurut Rumambi unsur dasar negara Indonesia
adalah yang tertulis dalam Mukadimah UUD 1945, yatu
Pancasila. Indonesia tidak perlu mengadopsi atau
mencari-cari unsur-unsur dasar dari negara lain yang
asing untuk kehidupan bernegara di Indonesia bahkan
tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia itu
sendiri. Rumambi tidak terlalu mempermasalahkan nama
dari kelima sila ini, baginya dan bagi Parkindo, Pancasila
hanyalah sebuah nama. Tidak ada salahnya menggunakan
nama Pancasila, karena nama itu telah mendarah daging
bagi seluruh bangsa Indonesia. Lebih lanjut lagi
Rumambi menyampaikan bahwa bagi Parkindo tugas
Dewan Konstituante adalah memberi isi dan arti yang
jelas pada kelima unsur Pancasila tersebut, karena kelima
unsur tersebut telah dapat diterima oleh seluruh bangsa
Indonesia, tidak hanya satu golongan saja (Rorimpandey,
1994:187).
Rumambi kemudian menjelaskan pandangan
umat Kristen khususnya Parkindo tentang hubungan
negara dan agama. Parkindo sepakat bahwa pemerintah
dan negara berasal dari Allah, sama seperti agama.
“Segala kuasa yang ada itu ditetapkan oleh Allah”,
ungkap Rumambi.
“oleh sebab itu, menurut keyakinanan
kami, walaupun Negara dan Pemerintah
dalam lapangan Kenegaraan mempunyai
kuasa yang tertinggi, Negara dan
Pemerintah itu pun berada di bawah kuasa
dan hukum Allah dan terikat pada kehendak
Tuhan, serta wajib melaksanakan tugas
yang diberikan Tuhan kepadanya, yakni
menjamin dan memelihara keadilan dan
ketertiban, melayani kehidupan rakyat
dengan sebaik-baiknya menuju suatu
masyarakat yang bahagia, sentosa, adil dan
makmur”. (Rorimpandey, 1994:189).
Meskipun mengabdi kepada Tuhan yang sama,
Rumambi mengatakan bahwa partainya memandang
tugas negara dan agama berbeda secara prinsipil karena
tugasnya masing-masing diatur secara berbeda oleh
Tuhan sendiri. Bagi Pakindo, tugas agama adalah
memberitakan Firman Tuhan dalam masyarakat dalam
segala lapangan hidup melalui kata dan perbuatan,
sedangkan
tugas
negara
adalah
memelihara,
mengusahakan ketertiban, keadilan dan kemerdekaan di
antara rakyat (Risalah, 1957:446).
Perbedaan mutlak antara agama dan negara
menurut Parkindo terletak pada cara keduanya dalam
melaksanakan tugas. Negara dapat mempergunakan
pedang, kekuasaan atau paksaan, sedangkan agama tidak.
“akan tetapi agama, menurut keyakinan kami, tidak
boleh mempergunakan pedang, atau paksaan, melainkan
Kasih Tuhan, suatu kuasa Rohani.”, kata Rumambi.
Alkitab, dalam Matius 22:21: “Bayarlah kepada Kaisar
barang yang Kaisar punya dan kepada Allah barang
yang Allah punya”, menegaskan hal ini. Ayat ini
menurutnya memberikan garis jelas perbedaan fungsi
antara agama dan negara (Risalah, 1957:446).
Pemikiran Partai..., Kevin Bob Lestari, FIB UI, 2013
5
Perbedaan tugas ini menjadi dasar Parkindo
menolak “penyatuan” antara agama dan negara seperti
yang ditawarkan oleh kelompok Islam. Rumambi
mencontohkan misalnya saja Agama Kristen dijadikan
dasar negara, maka kedudukan daripada agama yang suci
itu, yang sifatnya kekal dan abadi akan menjadi
direndahkan dan setara dengan hal-hal yang ada di dunia
ini. Dia khawatir agama akan melupakan tugas Ilahi
nya yang sebenarnya, yaitu memberitakan dan
menyaksikan Firman Tuhan melalui kata dan perbuatan.
“jika agama menjadi Dasar Negara, maka besar sekali
kemungkinan agama itu dijadikan alat pertarungan
kuasa-kuasa politik dalam dunia ini, agama menjadilah
sama dengan ideologi-ideologi duniawi”, katanya.
(Risalah, 1957:446). Meskipun berbeda, Parkindo tidak
sepakat dengan “pemisahan” secara mutlak antara agama
dan negara, sehingga negara tidak mengenal atau tidak
mau mengenal agama. Parkindo memandang, hubungan
antara agama dan negara sebagai hubungan partnership
dan saling menghormati.
Parkindo dapat dikatakan menekankan setiap
pemikirannya kepada sebuah keputusan yaitu menolak
Islam atau setidaknya menolak negara berdasarkan
agama. Apa yang disampaikan Rumambi di atas kurang
lebih menjelaskan bahwa Parkindo menolak pemikiran
yang “mempersatukan” negara dengan agama seperti
yang dilakukan oleh kelompok Islam. Parkindo yang
menjadi perwakilan umat Kristen sepertinya memandang
Islam sebagai sebuah ideologi yang “menakutkan”. Hal
ini bisa dilihat dari pernyataan J.B. Kawet berikut,“Djika
Indonesia berdasar Islam maka Indonesia mendjadilah
Negara Islam dan agama Islam mendjadi agama resmi”.
Bagi Kawet, dengan ditetapkannya Islam menjadi agama
resmi, berarti agama lain di luar Islam tidak akan menjadi
agama resmi, sehingga penganut agama lain di luar Islam
akan menjadi warga negara kelas dua, “warga yang
kurang”, katanya (Konstituante, 1958:13).
Menurut Kawet, jika Indonesia menerima
Islam sebagai dasar negara, maka jabatan-jabatan seperti
presiden dan jabatan lain akan dipegang oleh orang yang
beragama Islam. Orang yang beragama lain akan sulit
mendapat jabatan karena tidak diberikan kans dan
kesempatan, padahal perjuangan menuju kemerdekaan
bukanlah hasil kerja umat Islam seorang diri. Kawet
menandaskan,“Saudara Ketua jang terhormat, inilah
jang sangat menggelisahkan hati sanubari kami umat
Kristen di Indonesia, melihat ada kegelapan jang gelita
dalam masa depan kami djika Dasar Negara Indonesia
adalah Islam.” (Konstituante, 1958:14).
Parkindo menginginkan persatuan seperti yang
rakyat Indonesia tunjukkan ketika perang kemerdekaan
tidak hilang karena perubahan Pancasila menjadi Islam.
Persatuan ini berarti persatuan yang terjalin oleh rakyat
Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Namun
persatuan ini bisa pupus jika ideologi Islam dipaksakan
menjadi dasar negara, mengingat bahwa rakyat Indonesia
Bagian Timur mayoritas Kristen. JB. Kawet membaca
gejala ini, menurutnya jika Islam dijadikan dasar negara
Indonesia maka akan terjadi perpecahan, karena orangorang Kristen dari Sumatera Utara, Minahasa, Ambon,
Timor, Flores Irian dan lain-lain tidak akan
menerimanya. Selama ini, semenjak kemerdekaan,
Pancasila telah menjadi pemersatu bangsa Indonesia,
bukan Islam. Kelihatannya Kawet memandang Islam
sebagai sebuah “sumber perpecahan” di dalam diri
Indonesia itu sendiri (Konstituante, 1958:15).
Kawet kemudian menjelaskan bahwa orang
Kristen bukanlah minoritas dalam bangsa Indonesia.
Orang Kristen adalah Volwaardig bestanddeel van
Indonesia, bagian yang mutlak daripada Indonesia, yang
tidak dapat dipisahkan sama sekali. Kawet
menganalogikan kaum Kristen itu seperti mata, mulut
atau telinga yang menjadi bagian mutlak daripada tubuh
Indonesia. Oleh karena itu jika satu saja diantaranya
tidak ada, maka tubuh itu tidak sempurna lagi.
“Katakanlah orang-orang Kristen Indonesia hanja
mendjadi sebuah djari sadja, dan hendak ditjeraikan
djari itu, maka tubuh Indonesia itu dengan tanpa djari
tak dapat kita bajangkan,” katanya (Risalah, 1957:132).
Kawet juga merujuk pada keadaan di mana Indonesia
sedang memperjuangkan integrasi Irian Barat ke dalam
Indonesia. Keadaan itu menurutnya harus menjadi
pertimbangan bagi kelompok Islam, karena dasar negara
Islam bisa menjadi “boomerang” bagi perjuangan
tersebut. Menurutnya, hanya persatuan lah yang bisa
menjadi “senjata ampuh” untuk mewujudkan itu semua.
“Jakinlah saja, Katanya, Hanya dengan Pantja Sila jang
mendjadi dasar negara maka pedjuang-pedjuang
Kristen, Katholiek, Hindu dan lain-lain sudah dengan
rela berkorban hingga tetes darah jang penghabisan.”
(Risalah, 1957:131).
Pembicara Parkindo lainnya, Binanga Siregar
menguatkan apa yang disampaikan JB Kawet. Dia
meminta agar golongan Islam memikirkan kembali
ideologinya mengingat sebuah kejadian di Tapanuli,
Sumatera Utara. Menurutnya, pada bulan September
1948 telah terjadi peristiwa yang memilukan, ketika
suatu kelompok mencoba menggunakan perbedaan
agama antara Tapanuli Utara dengan Tapanuli Selatan
sebagai sebuah propaganda dan alat untuk saling
menyerang. Isu agama dijadikan alasan bagi masyarakat
di Tapanuli Selatan untuk menyerang penganut Kristen
di Tapanuli Utara dan sebaliknya. Binanga juga
Pemikiran Partai..., Kevin Bob Lestari, FIB UI, 2013
6
menyampaikan tuntutan dari daerah agar para pemimpin
nasional menepati janjinya tentang persatuan yang dulu
mengikat mereka ketika perjuangan fisik melawan
Belanda. Menurutnya, daerah tidak menginginkan
penyimpangan dari dasar semula tersebut. Tuntutan
daerah ini merujuk kepada golongan Islam yang berusaha
“membelokkan” ideologi Pancasila (Konstituante,
1958:129-130).
Pembicara terakhir Parkindo, W.A. Lakollo
memberikan semacam kesimpulan mengapa Parkindo
menolak ideologi Islam dan memilih Pancasila. Secara
umum, menurut Lakollo ada 6 alasan Parkindo menolak
Islam sebagai dasar negara. Pertama, posisi dan
kedudukan umat Kristen dan umat beragama lain di luar
Islam. Parkindo berpendapat, jika Islam menjadi Dasar
Negara Indonesia, maka umat beragama lain di luar Islam
akan menjadi warga negara kelas II atau bahkan menjadi
kelas III. Parkindo jelas menolak kenyataan seperti ini,
karena umat Kristen bukanlah pendatang yang bisa
dikesampingkan begitu saja. Kedua, jika Islam menjadi
dasar negara, umat Kristen merasa terjajah kembali,
meskipun kaum Islam menyatakan akan melindungi
ideologi atau kelompok lain di luar Islam dan
memastikan kelompok tersebut bisa hidup berdampingan
dengan Islam. Ketiga, kenyataan sejarah yang
memperlihatkan fakta bahwa revolusi kemerdekaan
Indonesia bukanlah revolusi berdasarkan agama.
Revolusi 1945 merupakan revolusi yang muncul dari
kesadaran berbangsa karena lelah ditindas sekian tahun
lamanya. Revolusi ini adalah revolusi yang
diperjuangkan oleh seluruh kelompok dan agama yang
ada di Indonesia, jadi tidak ada alasan untuk
mendasarkan Indonesia pada sebuah agama tertentu.
Keempat, seperti yang telah disinggung oleh JB.Kawet,
yaitu terkait dengan situasi di Irian Barat. Perlu
diketahui, bahwa semenjak pengakuan kedaulatan
Indonesia 27 Desember 1949 oleh Belanda, Irian Barat
belum diintegrasikan dengan Indonesia. Parkindo, seperti
yang disampaikan oleh Lakollo, meyakini bahwa
Penduduk Irian Barat yang mayoritas beragama Kristen
akan menolak Indonesia yang berdasarkan Islam.
Parkindo khawatir, isu dasar negara Islam ini akan
dimanfaatkan oleh pihak Belanda untuk mempengaruhi
masyarakat Irian Barat ke arah yang lain, yang tentu saja
akan menghambat proses integrasi. Kelima, Parkindo
berpendapat bahwa dasar negara Islam ini bisa jadi akan
membahayakan negara, negara akan terjun ke dalam
konflik perpecahan. Lakollo mencontohkan peristiwa
Republik Maluku Selatan (RMS). Pada saat itu, RMS
melancarkan propaganda agar rakyat Maluku Selatan
bersiap-siap, karena Negara Islam akan datang. Isu
negara Islam ini seolah dikuatkan oleh kedatangan Mr.
Kasman Singomedjo di Maluku, yang menurut Lakollo
untuk mengkampanyekan negara Indonesia bedasarkan
Islam itu. “akibatnya, Katanya, kami jang pro Republik
Indonesia jang mengadakan anti-propaganda tadi itu
dipersalahkan” (Risalah, 1957:524).
Lakollo tiba pada sebuah fakta penolakan Islam
yang keenam, bahwa ternyata Islam tidak mendapat
dukungan penuh dari semua pemeluknya. Jika melihat
jumlah mayoritas umat Islam di Indonesia, maka dengan
mudah dapat disimpulkan bahwa Islam sebagai dasar
negara akan diajukan dan diterima begitu saja, tanpa
halangan berarti (Feith dkk, 1988:197). “Akan tetapi,”
katanya:
“sekarang njata dari sidang Pleno ini,
bahwa bukan sadja Partai-partai Kristen
menolak Islam sebagai Dasar Negara,
tetapi djuga Saudara-saudara jang
beragama Islam, jang tergolong dalam
Partai-partai Kebangsaan dan Sosialis.
Njatalah Saudara Ketua, bahwa dasar itu
tak dapat diterima bukan setjara prinsip keKristenan, tetapi dilihat djuga dari sudut
persatuan bangsa dan Negara Indonesia
ini. Hal inilah jang mendorong kami untuk
berbesar hati. Andjuran Paduka Jang
Mulia Presiden untuk mempertahankan
Pantja Sila mendjadi kenjataan. Kenjataan
inilah mendorong kami turut mendukung
Pantja Sila untuk keselamtan nusa dan
bangsa”(Konstituante, 1958:379).
Lokollo pun menyadari bahwa Pancasila bukan lah
sebuah ide yang sempurna. Dia sependapat dengan dr.
Leimena, bahwa umat Kristen bisa menerima Pancasila
ini sebagai falsafah negara jika umat Kristen itu
mengetahui dan insaf akan batas-batasnya dan mengisi
tiap-tiap silanya dengan pengertian ke-Kristenan. Jalan
sebaik-baiknya bagi Parkindo adalah menerima Pancasila
sebagai dasar negara.
Dengan diplomatis Lokollo menolak ajakan
umat Islam untuk memasuki rumah Islam, di mana
Partai-partai Islam menjadi tuan rumahnya. “kami umat
Kristen sangat menghargakan dan menghormati. Akan
tetapi ada sedikit susah pada kami untuk menerima itu”,
katanya (Risalah, 1957:525). Sebagai penutup, Lokollo
menyerukan kepada pihak Islam untuk bersama-sama
memasuki Rumah Indonesia yang menurutnya telah
disediakan dan dihadiahkan Tuhan Yang Maha Kuasa
kepada orang Indonesia. “Dalam rumah mana semua
golongan dan agama berdiri sama tinggi dan duduk
sama rendah menghadapi Tuhan Jang Maha Kuasa itu.
Islam dan Kristen dalam rumah ini harus bekerdja sama
Pemikiran Partai..., Kevin Bob Lestari, FIB UI, 2013
7
atas suatu dasar jang kuat, dibawah perlindungan Tuhan
Jang Maha Kuasa untuk mengatasi bersama kesulitankesulitan Negara Indonesia ini”, pungkasnya (Risalah,
1957:525).
Perdebatan-perdebatan seperti di atas menjadi
pemandangan yang biasa dalam setiap sidang, sekalipun
debat retorik itu tidak lebih daripada silat lidah serta
tidak terlalu menyentuh inti masalah, namun itu
menggambarkan intensitas perasaan dan suasana dalam
Dewan Konstituante tersebut (Maarif, 1985:159).
Pemikiran Parkindo tentang HAM (Hak Asasi
Manusia)
Sejak awal, Parkindo menolak Islam dijadikan
sebagai dasar negara adalah karena kedudukan Islam
sebagai sebuah agama. Hal ini menjadi semacam
ketakutan dan “ancaman” bagi penganut agama Kristen.
Bagi Parkindo khususnya, masalah keyakinan merupakan
masalah yang krusial yang sewaktu-waktu bisa mendapat
tekanan dari pihak lain jika dasar negara Indonesia bukan
Pancasila lagi. Hanya Pancasila yang menurut partai ini
mampu menampung ideologi dan kepercayaan yang
banyak di Indonesia. Oleh karena itu, dalam pembahasan
Hak Asasi Manusia (HAM), para pembicara Parkindo
masih berusaha menggagalkan ide tentang negara agama
melalui tuntutan kebebasan beragama dan pemisahan
fungsi antara agama dan negara.
Pembahasan tentang HAM, menjadi lanjutan
sidang Dewan Konstituante pada tahun 1958. Dalam
pembahasan HAM, Fraksi Parkindo menugaskan 4 orang
anggotanya sebagai pembicara yaitu Ds. T. Sihombing,
Rendra
Saroengalo,
Nj.
Tutilarsih
Harahap
Sudjanadiwirja dan W.J. Rumambi. Pembahasan ini
diawali dengan pidato yang disampaikan Ds. T.
Sihombing.
Ds. T. Sihombing membagi pidatonya dalam 3
bagian: 1.Arti kebebasan beragama dalam sejarah. 2.
Pendirian Parkindo mengenai agama Islam sebagai
agama resmi. 3. Pelaksanaan dari kebebasan agama di
Indonesia. Bagian pertama yaitu arti kebebasan
beragama dalam sejarah merupakan landasan berpikir
Parkindo tentang kebebasan beragama. Sihombing
menjelaskan beberapa peristiwa sejarah bangsa di Barat
(eropa) terkait dengan bagaimana mereka memandang
kebebasan beragama. Dengan mengutip pemikiran
Martin Luther, Calvijn, John Milton dan John Locke,
Sihombing mencoba menjelaskan kepada sidang, dasar
berpikir Parkindo menolak negara yang didasarkan pada
agama tertentu.
Sihombing mengawali pidatonya dengan
menjelaskan makna kebebasan bagi Parkindo, yaitu tidak
tunduk pada kekuasaan asing. Selain itu, Kebebasan
bukan hanya menyangkut masalah fisik namun juga
masalah rohani. Sihombing menyatakan bahwa sejarah
Gereja dan sejarah umum melukiskan betapa pentingnya
perjuangan tentang Kebebasan Beragama ini. Sambil
mencatut perkataan Martin Luther, “Zu dem Glauben
kann mann niemand zwingen, so dem idermann furhalten
das Evangelium doch dem freien Wille lassen zu folgen
oder mit zu folgen” (Tidak seorangpun dapat dipaksakan
untuk percaya, akan tetapi untuk menerima berita Injil
ataupun menolaknya harus diberikan kebebasan bathin
atas kehendak seseorang.) dia ingin menunjukkan bahwa
kebebasan bathin (rohani) harus menjadi hak mutlak
seorang individu tanpa tekanan maupun paksaan
darimanapun. Pemikiran kebebasan seperti ini
menurutnya akan memberi peluang terhadap penolakan
campurtangan negara pada agama (Gereja) yang
berujung pada pemisahan fungsi antara agama (Gereja)
dan negara. Karena agama (Gereja) dan negara
mempunyai lapangan tersendiri di dunia, maka mereka
harus saling menghormati kewajiban dan tugasnya
masing-masing. Negara bukanlah gesubordineerd pada
Gereja dan Gerejapun bukanlah gesubordineerd pada
negara, akan tetapi kedua-duanya adalah gesubordineerd
pada Allah” (Risalah 1958:374).
Lebih lanjut kemudian, Sihombing mengutip
pemikiran Calvijn yang menyatakan bahwa orang lain
yang tidak beragama dan tinggal dalam satu negara di
mana terdapat satu agama tertentu haruslah bebas
menurut keinsafan bathinnya. Baginya ini memberikan
gambaran bahwa negara harus menjamin kebebasan tiaptiap orang dalam hal beragama. Negara boleh saja
mencampuri masalah kenegaraan seseorang, tapi tidak
masalah keyakinannya. Ada 3 sikap penting yang
menurut Sihombing harus dilakukan negara terhadap
penganut agama yaitu, Kebebebasan segenap orang
untuk melayani Tuhan menurut conscience dan keinsafan
bathinnya masing-masing, kebebasan (autonomi) Gereja
yang hanya takluk pada kuasa Tuhan dan negara
terpanggil untuk menghormati kebebasan keinsafan
bathin. (Arsip Dewan Konstituante No.93. II_Red./58).
Dia menambahkan, bahwa pada tahun 1660-an, di
Inggris timbul keinginan untuk mewujudkan pengakuan
kebebasan bathin dan agama ini. Peristiwa itu ditandai
dengan pidato Cromwell dalam sidang Parlemen pada
tahun 1665. Cromwell menyampaikan, “Who ever bath
his faith let his form be what it will, he walking peacely
without prejudicing of others under another form, has
been and will be permitted full liberty of conscience. It is
the task of the Government to ensure these benefits and
to prevent one faith from tyraniously imposing itself upon
others (biarkanlah tiap-tiap orang dalam damai
Pemikiran Partai..., Kevin Bob Lestari, FIB UI, 2013
8
mempunyai kepercayaannya masing-masing dengan
tidak mengalami purbasangka dari orang lain dalam
bentuk yang lain dan dia mempunyai kebebasan penuh
atas keinsafan bathinnya. Adalah tugas pemerintah
menjamin hak dan menjaga supaya agama yang satu
jangan mempengaruhi agama lain dengan sewenangwenang).
Pemikiran Cromwell tersebut mengandung dua
arti, pertama, Burgerlijke tolerantie yang menjadi
jaminan hakiki bagi setiap orang, artinya semua orang
mendapat perlakukan yang sama, dengan tidak
memandang agama atau golongan apa pun. Kedua,
negara memperlakukan semua aliran agama baik Katolik,
Anglican, Methodis, Quakers dan Jahudi atas dasar yang
sama, kedua hal ini bagi Sihombing menjadi dasar yang
kokoh dalam perkembangan hidup kenegaraan (Risalah,
1958:374-375).
Sihombing juga mengutip pernyataan John
Milton, “When the magistrate take away his liberty, he
takes away the Gospel (jika Hakim mengambil
daripadanya kebebasannya maka dia mengambil Berita
Injil dari padanya). Dia kemudian menambahkan
pemikiran John Locke, yang mengatakan kebebasan
setiap individu dalam hal agama dan keinsafan bathin
adalah suatu kodrat alam (natural right) yang oleh tiap
individu tidak akan diserahkannya kepada negara. Locke,
seperti yang dikutip Sihombing, berpendapat bahwa
urusan negara semata-mata hanyalah menjamin dan
melipatgandakan kemajuan dan kepentingan sipil, yaitu
penghidupan, kebebasan, kesehatan, uang, harta, perabotperabot dan sebagainya. Negara hanya dapat berurusan
dengan dunia ini, dan tidak dengan dunia yang akan
datang (achirat), sedangkan Gereja adalah “A voluntary
society of men to the public worship of God”(adalah
perkumpulan orang-orang yang dengan sukarela
berkebaktian kepada Allah). Locke, seperti yang dikutip
Sihombing, juga menegaskan bahwa “Freedom of
conscience is every man’s birthright”(kebebasan
keinsafan bathin adalah hak seseorang semenjak lahir).
Oleh sebab itu negara harus dikendalikan dengan
konstitusi,
bukan
dengan
Dominocratie
yaitu
pemerintahan Imam. (Risalah, 1958:375-376).
Pada tahun 1776 kebebasan beragama
dicantumkan dalam Bill of Rights yang bunyinya : That
religion or the duty which we owe to our creator and the
manner of discharging it can be directed only by reason
of conviction, not by force or violence and therefore all
man are equally entitled to the free exercise of religion,
according to the dictates of conscience, and that is the
mutual duty of all to practice Christian forbearance, love
and charity towards each other.( bahwa agama atau
kewajiban yang harus kita tunaikan kepada Dia pencipta
alam semesta dan cara mengamalkannya dapat diatur
hanya dengan keinsafan bathin bukan dengan paksa
ataupun kekerasan dan oleh sebab itu, semua orang
mempunyai hak yang sama untuk mengamalkan
agamanya sesuai dengan keinsafan bathin dan itulah
kewajiban
semua
orang
bersama-sama
untuk
melaksanakan kesabaran, cinta dan amal ke-Kristenan
terhadap sesama manusia). Kita bisa melihat dasar
pemikiran Parkindo melalui bagian pertama Pidato
Sihombing ini. Dengan mendasarkan pemikirannya
kepada para pemikir barat dan membuat pembatas antara
agama dan negara, Parkindo perlahan mencoba
menjelaskan penolakan mereka terhadap konsep Islam
yang justru menyatukan keduanya.
Dalam bagian kedua berikut ini, kita akan
melihat sikap Parkindo mengenai Agama Islam sebagai
agama resmi. Sihombing menyinggung kembali, konsep
Islam yang “menggabungkan” praktik negara dan agama.
Dia juga menyambut baik kelompok Islam di Dewan
Konstituante yang menjanjikan perlindungan bagi
kelompok lain jika Islam menjadi dasar negara. Tetapi,
Parkindo paling tidak bisa menerima konsep suatu agama
dijadikan agama resmi, konsep ini akan menimbulkan
persoalan
pada
perkembangannya.
Sihombing
menghargai janji golongan Islam yang akan memberikan
kaum di luar Islam (zimmi) hak politik yang sama
dengan umat muslimin pada umumnya. Menurut
Sihombing hal ini berbeda jauh dengan praktik
penggolongan manusia pada zaman Nabi Muhammad,
yaitu Muhajirin, Anshar, Munafiqin dan Yahudi (Hitti,
2002:146-148). Sihombing mengatakan, pada praktiknya
yang menjadi anggota Ulil Amri (semacam DPR) pada
saat itu, hanyalah orang golongan Muhajirin (7 orang)
dan orang Anshar (7 orang). Sementara itu, Munafiqin
dan Jahudi tidak mendapat tempat, karena mereka berasal
dari agama lain. Munafiqin dan Jahudi disebut juga
Zimmi yaitu orang mendapat jaminan dari Tuhan.
Mereka berkewajiban membayar pajak (djiz-jah) kepada
negara Islam sebagai pernyataan setia dan taat kepada
negara. Tampaknya Sihombing khawatir jika hal ini
terjadi di Indonesia, dia kemudian menyampaikan:
“Saudara Ketua jang terhormat, dengan
alasan-alasan jang diuraikan tadi, maka
Fraksi kami bahkan umat Kristen umumnya
tidak dapat menerima agama Islam sebagai
agama resmi dan djuga belum dapat
menerima Hak-hak Asasi dan warganegara sebagaimana telah diuraikan tadi,
pun tolerantie jang ditawarkan----, Saudara
Ketua, pendirian kami telah tegas dan
terang dinjatakan jakni, bahwa setiap
warga negara mempunjai kedudukan jang
sama didalam negara dan diperlakukan
Pemikiran Partai..., Kevin Bob Lestari, FIB UI, 2013
9
dengan ukuran jang sama dengan tidak
memandang golongan dan agama, apakah
ia Budha, Islam, Perbegu, Protestan,
Katholiek dan Pemerintah memperlakukan
dan melajani semua agama atas dasar jang
sama’. (Risalah, 1958:383-384).
Meskipun Kristen dan Islam secara konsepsi
berbeda dalam menerjemahkan tugas negara dan agama,
Parkindo, kata Sihombing bersedia bekerjasama dengan
Islam dalam rangka mencegah masuknya ajaran-ajaran
sesat ke dalam ajaran kedua agama tersebut. Parkindo
setuju dengan paham Benteng ke-Tuhanan yang akan
“memayungi”
segala
paham
keagamaan
dan
memberantas segala paham anti agama. Karena bagi
Parkindo justru ini adalah tugas agama, bukan tugas
negara ataupun kepala negara yang menjadi kepala
agama (Risalah, 1958:383-384).
Dalam bagian ketiga tentang pelaksanaan dari
kebebasan
agama
di
Indonesia,
Sihombing
menyampaikan apa yang menjadi keinginan Parkindo.
Bagian ini menjadi tuntutan Parkindo terhadap
“kebebasan beragama” yang mereka inginkan di
Indonesia. Parkindo mendasarkan sikap mereka pada
prinsip awal bahwa negara harus menjamin kebebasan
orang dalam menganut agama termasuk bertukar agama.
Parkindo juga menuntut agar setiap orang berhak atas
kebebasan pikiran, keinsafan bathin dan agama. Hak ini
meliputi kebebasan bertukar agama atau keyakinan,
begitu pula kebebasan menganut agamanya atau
keyakinannya, baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain, baik di muka umum atau dalam
lingkungannya sendiri, dengan jalan mengajarkan,
mengamalkan, beribadat mentaati perintah dan aturanaturan agama, serta dengan jalan mendidik anak-anak
dalam iman dan keyakinan orangtua mereka
(Rorimpandey, 1994:203).
Pembicara Parkindo lainnya, W.J.Rumambi
menegaskan bahwa bagi Parkindo, Hak-Hak Asasi
Manusia itu meliputi hak-hak asasi dalam hidup rohani
dan agamanya, hak-hak asasi dalam hidup politik dan
kenegaraan, hak-hak asasi dalam hidup ekonominya,
hak-hak asasi dalam hidup sosial kemasyarakatannya dan
hak-hak asasi dalam kebudayaannya (Rorimpandey,
1994:196). Rumambi mengingatkan tentang pentingnya
Dewan Konstituante mengutamakan perumusan Pasal
17a yaitu “Hak atas kebebasan agama, kebebasan
pikiran dan keinsyafan batin”. Menurut Rumambi, bagi
partainya hak atas kebebasan beragama ini merupakan
hak yang paling pokok atau dasar jaminan bagi
kebebasan-kebebasan lainnya. “bilamana hak atas
kebebasan agama itu tidak diakui, tidak dihormati atau
tidak didjamin oleh sesuatu negara, maka dengan
sendirinja lebih mudahlah bagi negara itu untuk tidak
mengakui, tidak menghormati, tidak mendjamin, serta
memperkosa hak atas kebebasan pikiran dan keinsjafan
bathin, memperkosa hak atas kebebasan mengeluarkan
pendapat, kebebasan ilmu pengetahuan, pers dan
sebagainja”, katanya (Risalah, 1958:1492).
Rumambi menyampaikan bahwa Parkindo
memandang kebebasan beragama menjadi unsur penting
dalam HAM karena secara Iman Kristiani, manusia
adalah ciptaan Allah. Manusia terlahir dengan
kemerdekaan lahir dan bathinnya yang tidak bisa
diganggu-gugat oleh siapapun. Pada akhirnya secara
pribadi manusia bertanggungjawab kepada Allah yang
menciptakan manusia tersebut. Kemerdekaan ini berarti
setiap orang bebas dalam memilih agama yang sesuai
dengan keyakinannya. Setiap orang bebas memilih apa
yang dianggapnya benar, tidak boleh ada paksaan dari
manapun termasuk dari negara (Risalah, 1958:1488).
Kata Rumambi:“lain daripada itu bilamana kita
mengakui hak atas kebebasan agama, maka hal ini
berarti juga bahwa perwujudan, pelaksanaan,
pernyataan daripada agama itu tidak boleh dirintangi,
atau dibatasi oleh siapapun atau oleh peraturan apapun.
Seperti maklum tiap agama yang hidup harus
bekembang. Itu sebabnya tiap penganut agama yang
hidup itu berusaha menyatakan agamanya, menyebarkan
agamanya.” (Rorimpandey, 1994:201-202).
Pembicara Parkindo ketiga, Rendra Saroengallo,
menegaskan beberapa hak asasi yang harus mendapat
pengakuan dari negara yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
Mengakui persamaan hak dari semua bangsabangsa.
Mengakui persamaan hak dan derajat dari tiaptiap manusia dalam hak azasinya termasuk
persamaan hak wanita dan pria.
Mengakui persamaan hak tiap-tiap suku bangsa
dalam lingkungan negara.
Mengakui persamaan derajat semua sistem
hukum yang berlaku dalam negara dalam rangka
Undang-undang Dasar Negara.
Mengakui persamaan hak dan kewajiban tiaptiap warganegara dalam segala lapangan dengan
tidak
memandang
golongan,
kelahiran,
kesukuan, aliran politik, serta agama dan
kepercayaannya, jadi umpamanya dalam
pengangkatan untuk jabatan-jabatan umum
(pemerintahan) termasuk juga jabatan Kepala
Negara, tidak dapat disetujui diadakannya
syarat-syarat kesukuan, kepartaian, kelahiran,
keagamaan dan sebagainya.
Pemikiran Partai..., Kevin Bob Lestari, FIB UI, 2013
10
6.
Mengakui persamaan pelayanan masyarakat
(negara) terhadap agama, kesemuanya itu
tersimpul dan memang sudah terjamin dalam
negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa,
mengindahkan Peri Kemanusiaan, mempunyai
keinsafan Kebangsaan, dijiwai oleh Demokrasi
serta menjamin Keadilan Sosial. (Arsip Dewan
Konstituante No.93. II_Red./58).
Hak Asasi Wanita, Keluarga dan Anak-anak.
Parkindo juga menitikberatkan pandangannya
tentang pentingnya undang-undang dasar yang baru
memuat pasal-pasal yang mengatur tentang hak wanita,
keluarga dan anak-anak. Hal ini mereka rasa penting
karena pada kenyataannya ketiga komponen ini
seringkali terlupakan dari bahasan publik, meskipun
sebenarnya fungsi dan kedudukan mereka sangat
strategis dalam masyarakat. Dalam pembahasan ini,
Parkindo mempercayakan Mr. Ny. Tutilarsih Harahap
Sudjanadiwirja sebagai pembicaranya.
Menurut Ny. Harahap, peran wanita itu sangat
penting dalam masyarakat:
“artinja secara ekonomis dari pentjaharian
wanita sangat besar, baikpun bagi keluarga
maupun bagi negara. Artinja bagi keluarga
atau rumah tangga ialah,1.Menambah
pendapatan keluarga sehingga keluarga
lebih mendapat kebituhannja.2.Wanita jang
dapat tjari nafkah sendiri, tidak sematamata bergantung pada suaminja—mereka
ekonomis dapat bergerak sendiri, hal mana
dapat menambah harga diri dan
kepertjajan pada diri sendiri.3. Karena
mengerti betapa sukar mendapatkan
tambahan pentjaharian, maka wanita jang
bersangkutan akan lebih berhati-hati dalam
mengeluarkan uang sehingga tidak akan
memboroskannja. 4. Keadaan keuangan
keluarga jang mendjadi lebih baik, akan
mengurangi masalah korupsi. Artinja bagi
ekonomi negara adalah,1. Wanita jang
bekerdja menambah djumlah tenaga kerdja
(Manpower)2.
Menambah
produksi
nasional
sehingga
mempetjepat
pembangunan negara. 3. Menambah daja
beli, sehingga kemakmuran umum naik. 4.
Menambah pendapatan rata-rata per
capita, sehingga pendapatan nasional
djuga tambah. (Risalah, 1958:426)
Meskipun UUD S 1950 yaitu Pasal 28 telah memuat
beberapa ayat tentang persamaan hak dan kedudukan
antara pria dan wanita ini namun Parkindo merasa posisi
wanita dalam kenyataanya tidak seindah itu. Dalam
lapangan perkerjaan partikulir misalnya, wanita hanya
diberikan pekerjaan yang mudah dan murah saja. Artinya
tidak ada kesempatan yang sama yang ditawarkan kepada
wanita. Sampai kepada kenaikan gaji dan pangkat yang
jarang sekali diberikan kepada wanita, bahkan upah
minimum dilimpahkan kepada para pekerja wanita
(Risalah, 1958:427).
Ny. Harahap menegaskan, bagi Parkindo tidak
ada jalan lain selain
memperbaiki martabat dan
kedudukan kaum wanita itu sendiri. Salah satunya
melalui pencantuman ayat khusus dalam undang-undang
dasar baru tentang kedudukan wanita yang lebih baik di
Indonesia, yang memberikan jaminan terhadap hak-hak
wanita di Indonesia. Parkindo mengusulkan sebuah ayat
alternatif, “wanita mempunyai hak sama dengan pria
dalam lapangan politik, ekonomi, sosial dan
kebudayaan” (Arsip Dewan Konstituante No.93.
II_Red./58.- ). Ny. Harahap mengatakan bahwa dengan
adanya ayat ini tidak lantas mengharuskan semua wanita
Indonesia meniru pria dalam segala hal. Ayat ini hanya
sebagai sebuah jaminan bagi semua wanita di Indonesia,
bahwa mereka secara asasi memiliki kesempatan yang
sama luasnya dengan kesempatan yang diberikan negara
kepada kaum lelaki, untuk mengembangkan segala bakat
dan kemampuan yang ada di dalam dirinya. “maksud
kami adalah supaja suami istri, sebagai pribadi-pribadi
jang saling menghargai, saling menghormati dan sama
merasa
bertanggung-djawab,
bekerdja
sama,
memelihara ketertiban dan kebahagiaan keluarga dan
rumah tangga, lahir dan bathin”, tandasnya (Risalah,
1958:428).
Mengenai hak asasi keluarga, Ny. Harahap
menegaskan tentang pentingnya negara melindungi
perkawinan yang sah yang seharusnya menjadi dasar
dalam setiap keluarga di Indonesia. Di samping itu
negara juga wajib memberikan perhatian pada taraf
penghidupan keluarga di masyarakat. Seharusnya negara
tidak boleh absen dalam memberikan perhatian dan
bantuan kepada keluarga kurang mampu. Karena
menurutnya, negara yang baik itu adalah negara yang
keluarga-keluarganya itu baik pula. Karena keluargalah
dasar dari masyarakat, dasar dari sebuah bangsa. Ny.
Harahap menambahkan jika UUD S 1950 pasal 39 telah
memberikan jaminan bagi keluarga di Indonesia. Tapi
selain itu tidak ada lagi peraturan yang memuat kebijakan
tentang keluarga ini, sudah sepatutnya jika Undangundang Dasar yang baru nantinya memuat pasal tentang
keluarga tersebut (Risalah, 1958:429).
Pemikiran Partai..., Kevin Bob Lestari, FIB UI, 2013
11
Di samping hak asasi keluarga dan wanita,
Parkindo juga menaruh perhatian terhadap hak-hak asasi
serta perlindungan terhadap anak-anak Indonesia.
Parkindo mendesak negara agar melindungi anak-anak
terlantar yang tidak memiliki tempat tinggal dan keluarga
lagi. Negara harus memelihara anak-anak tersebut
sehingga tidak terjadi kejahatan yang bisa saja menimpa
anak-anak tersebut, karena bagi Parkindo, fungsi anakanak ini sangat strategis. Anak-anak inilah yang akan
meneruskan perjuangan bangsa di masa depan (Arsip
Dewan Konstituante No.93. II_Red./58.-), oleh karena itu
dalam Undang-undang Dasar yang baru nanti seharusnya
dicantumkan perihal perlindungannya. Demikianlah
pemikiran Parkindo tentang Hak Asasi Manusia.
Kesimpulan.
Dewan
Konstituante
akhirnya
mampu
menyelesaikan materi tentang HAM tetapi gagal
mencapai kesepakatan tentang dasar negara. Perdebatan
dan saling mengunggulkan ideologi masing-masing
menjadi hal yang biasa dalam pembahasan dasar negara.
Hal ini yang membuat dewan tidak mampu menyepakati
dasar negara yang akan dicantumkan dalam UUD yang
baru.
Parkindo sebagai Partai Kristen telah memilih
untuk mendukung Pancasila sebagai dasar Negara dalam
UUD yang baru yang akan dibentuk oleh Dewan
Konstituante. Partai ini merasa bahwa hanya dalam
Pancasilalah segala kepercayaan yang ada di Indonesia
bisa hidup berdampingan. Menurut mereka sejak
kemerdekaan Pancasila sudah membuktikan kekuatannya
dalam menjamin kebebasan semua golongan di
Indonesia.
Namun ketakutan Parkindo terhadap ideologi
Islam setidaknya membutuhkan pembuktian. Pernyataan
Mohammad Natsir dan Kasman Singomedjo tentang
jaminan kebebasan beragama dalam Islam seharusnya
bisa menjadi jawaban atas “ketakutan” J.B.Kawet dkk.
Pemikiran Parkindo yang moderat, yang
berusaha menerjemahkan ajaran Kristen dalam negara
yaitu Indonesia terlihat dalam setiap pidato para
anggotanya. Pemisahan antara agama dan negara,
pencatutan ayat-ayat Alkitab dan menolak ideologi Islam
menjadi ciri khas dalam pemikirannya.
Tuntutan
kebebasan
beragama
dalam
pembahasan HAM serta menolak Islam sebagai agama
resmi menjadi pelengkap. Partai ini juga menginginkan
agar negara berlaku sama kepada semua agama di
Indonesia, dan tidak menganugerahkan kebebasan
beragama melainkan menjaminnya. Mereka juga
menuntut agar negara menjamin kebebasan berkeyakinan
(batin) setiap warga negara Indonesia serta kebebasan
dalam berpindah agama.
Pada akhirnya, semua pemikiran Parkindo
dalam Dewan Konstituante termasuk partai-partai
lainnya dimentahkan oleh keluarnya Dekrit Presiden
1959. Dewan Konstituante dibubarkan, dan Indonesia
kembali kepada UUD 1945.
Daftar Acuan:
Arsip dan Karya Tulis belum diterbitkan:
Arsip Dewan Konstituante No. 1. Pendjelasan Tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Konstituante
Republik Indonesia.
Arsip Dewan Konstituante No. 93/II-Red./58. “Kesimpulan Pidato para Anggota tentang “Hak-hak
Azasi Manusia” dalam Pemandangan Umum Babak I tanggal 28 s/d 30 Djanuari 1958”
Sopamena. (1996). Perjumpaan Islam dan Kristen pada Pentas Politik di Indonesia. Tesis Magister,
STT Jakarta.
Pemikiran Partai..., Kevin Bob Lestari, FIB UI, 2013
12
Buku:
Atmosudirjo, Prajudi, et al., (ed). (1987) Konstitusi Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Departemen Penerangan. (1954). Kepartaian dan Parlementaria Indonesia. Jakarta.
Feith, Herbeth dan Lance Castels. (1988). Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES.
Hitti, Philip K.(2002). History of The Arabs. Jakarta: Serambi
Konstituante Indonesia. (1957). Risalah Hasil Sidang.
-----------------------------. (1958). Risalah Hasil Sidang.
-----------------------------. (1959). Risalah Hasil Sidang.
----------------------------. (1958). Tentang Dasar Negara Republik Indonesia. Bandung,
Kusuma, Erwin dan Khairul ed. (2008). Pancasila dan Islam: Perdebatan antar Parpol dalam
Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante. Jakarta: Baur Publishing.
Maarif, Ahmad Syafii. (1985). Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta:LP3ES.
Nasution, Adnan Buyung. (1995). Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Studi SosioLegal atas Dewan Konstituante 1956-1959. Jakarta: Grafiti.
Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi.
Rorimpandey, H.G. et al., ed. (1994). Ds. W.J. Rumambi :Setelah Fajar Merekah. Jakarta: Sinar
Harapan.
Soedarmanta, JB. (2011). Politik Bermartabat (Biografi I.J. Kasimo). Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
Simorangkir, JCT. dan Mang Reng Sae. (1958). Konstitusi dan Konstituante Indonesia. Jakarta:
Soeroengan.
Yamin, Muhamad.(1959). Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Yayasan Prapanca.
Pemikiran Partai..., Kevin Bob Lestari, FIB UI, 2013
Download