BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Pesisir Pantai

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekosistem Pesisir Pantai
Ekosistem pantai merupakan daerah yang letaknya berbatasan dengan ekosistem
daratan, laut, dan daerah pasang surut. Ekosistem pantai dipengaruhi oleh siklus
harian pasang surut laut. Organisme yang hidup di pantai memiliki adaptasi
struktural sehingga dapat melekat erat pada substrat yang keras. Sebagai daerah
perbatasan antara ekosistem laut dan ekosistem darat, hempasan gelombang dan
hembusan angin menyebabkan pasir dari pantai membentuk gundukan ke arah
darat, sehingga membentuk hutan pantai. Keadaan dalam massa air yang
berdekatan
dengan daratan, sedikit berbeda dengan keadaan laut terbuka
(Asriyana dan Yuliana, 2012).
Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara wilayah daratan
dengan karakteristik daratannya
dan wilayah lautan dengan karakteristik
lautannya dan membawa dampak yang cukup signifikan terhadap pembentukan
karakteristik sumberdaya alamnya saja, melainkan juga berdampak terhadap
pembentukan karakteristik sumberdaya manusia dan kelembagaan sosial yang
terdapat di sekitarnya (Wahyudin, 2004).
Wilayah pesisir memiliki produktivitas yang sangat tinggi dengan tingkat
aksesibilitas yang sangat tinggi pula. Ekosistem pesisir pantai menyediakan
pilihan yang sangat beragam terhadap barang (komoditas) dan jasa, menjadi lokasi
pelabuhan niaga, penghasil ikan, kerang-kerangan, krustase, sumber penghasil
bahan-bahan kimia untuk farmasi, kosmetik, bahan kebutuhan rumah tangga,
bahan-bahan untuk konstruksi, dan sebagainya. Wilayah pesisir berbagai jenis
habitat dan menjadi tempat berkerumunnya keanekaragaman genetik dan spesies,
menyimpan dan mengedarkan nutrient, menyaring bahan pencemar dari daratan
dan melindungi pantai dari erosi dan badai. Selain itu, wilayah pesisir pantai
menjadi daya tarik bagi manusia untuk menghuninya atau menggunakannya
sebagai area rekreasi dan pariwisata ( Tahir, 2012).
Universitas Sumatera Utara
4
DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU
2.2. Pengertian Makroalga
Tumbuhan ganggang (alga) merupakan tumbuhan bertalus yang hidup di air, baik
air tawar maupun air laut, setidak-tidaknya selalu menempati habitat yang lembab
atau basah. Beberapa alga ada yang bergerak aktif dan ada yang tidak. Jenis-jenis
yang hidup bebas di air, terutama tubuhnya yang bersel tunggal dan dapat
bergerak aktif merupakan penyusun plankton. Alga yang hidupnya melekat pada
pada sesuatu yang ada dalam air, misalnya batu atau kayu disebut bentos.
Vegetasi makroalga di perairan laut, umumnya merupakan komponen dari
ekosistem
terumbu
karang.
Keberadaanya
sebagai
organisme
produser
memberikan sumbangan berarti bagi kehidupan binatang akuatik terutama
herbivor di laut. Makroalga mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia
karbonat dan pengokoh substrat dasar yang bermanfaat bagi menunjang
kebutuhan hidup manusia sebagai bahan pangan dan industri. Sebaran makroalga
di perairan laut secara umum mengikuti sebaran terumbu karang sebagai
habitatnya. Namun secara lokal di daerah terumbu karang, sebaran makroalga
dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan dan karakteristik jenis makroalga
tersebut (Atmadja, 1999).
Tumbuhan air makro tumbuh di perairan tawar dan laut yang tumbuh di
dasar perairan (makroalga/seaweed) yang umumnya hanya menempati area yang
relatif sempit di daerah perairan dangkal. Makroalga adalah kelompok alga
multiseluler yang tubuhnya berupa talus yang tidak mempunyai akar, batang dan
daun sejati. Kelompok tumbuhan ini hidup di perairan laut yang masih mendapat
cahaya matahari dengan menempel pada substrat yang keras (Asriyana dan
Yuliana, 2012).
Secara ekologi, komunitas makroalga mempunyai peranan dan manfaat
terhadap lingkungan sekitarnya yaitu sebagai tempat asuhan dan perlindungan
bagi jenis – jenis ikan tertentu (nursery grounds), tempat pemijahan (spawning
grounds), sebagai tempat mencari makanan alami ikan – ikan dan hewan herbivor
(feeding grounds). Dari
segi ekonomi, makroalga sebagai produk alam
merupakan komoditi yang sangat baik untuk dikembangkan mengingat kandungan
kimia yang dimilikinya. Makroalga dimanfaatkan secara luas baik dalam bentuk
raw material (material mentah) seluruh bagian tumbuhan maupun dalam bentuk
4
Universitas Sumatera Utara
5
DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU
olahan. Dalam bentuk raw material di Indonesia digunakan sebagai lalapan,
sayuran, manisan dan asinan. Kemudian dari segi biologis, makroalga mempunyai
andil yang besar dalam meningkatkan produktivitas primer, penyerap bahan
polutan, penghasil bahan organik dan sumber produksi oksigen bagi organisme
akuatik di lingkungan perairan (Bold and Wynne, 1985).
2.3. Klasifikasi Makroalga
Makroalga yang berukuran besar dapat digolong dalam tiga kelompok
besar, yaitu Chlorophyceae (alga hijau), Phaeophyceae (alga coklat) dan
Rhodophyceae (alga merah). Makroalga ini berfungsi sebagai produsen primer
pada suatu perairan, ketiga k elompok makroalga ini juga berfungsi untuk
menfiksasi bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan cahaya matahari
yang dimanfaatkan langsung oleh herbivor (Asriyana dan Yuliana, 2012).
2.3.1. Chlorophyceae (Alga Hijau)
Kelompok makroalga ini merupakan kelompok yang memiliki vegetasi
terbesar dibanding kelompok lainnya. Chlorophyceae disebut juga alga hijau
yang tergolong ke dalam divisi Chlorophyta. Sel-selnya
memiliki kloroplas
yang berwarna hijau yang jelas seperti pada tumbuhan tingkat tinggi karena
mengandung pigmen klorofil a dan b, karotenoid. Pada kloroplas terdapat
pirenoid, hasil
asimilasi berupa tepung dan lemak. Hasil asimilasi beberapa
amilum, penyusunnya sama seperti pada tumbuhan tingkat tinggi yaitu amilase
dan amilopektin. Perkembangbiakan terjadi secara aseksual dan seksual.
Secara aseksual dengan membentuk zoospora, sedangkan secara seksual dengan
anisogami. Chlorophyceae terdiri atas sel-sel
kecil yang merupakan koloni
berbentuk benang yang bercabang-cabang atau tidak, adapula yang membentuk
koloni yang menyerupai kormus tumbuhan tingkat tinggi (Tjitrosoepomo, 1994).
Menurut Juwana dan Romimohtarto (2001), tercatat sedikitnya 12 genus
alga hijau yang banyak diantaranya sering dijumpai di perairan pantai. Berikut ini
adalah genus-genus alga hijau diantaranya adalah:
1. Caulerpa yang dikenal beberapa penduduk pulau sebagai anggur laut yang
terdiri dari 15 jenis dan lima varietas.
5
Universitas Sumatera Utara
6
DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU
2. Ulva mempunyai thalus berbentuk lembaran tipis.
Ada tiga jenis yang
tercatat, satu diantaranya yaitu U. reticulata. Alga ini biasanya melekat
dengan menggunakan alat pelekat berbentuk cakram pada batu atau pada
substrat lain.
3. Valonia
(V. ventricosa) mempunyai thallus yang membentuk gelembung
berisi cairan berwarna ungu atau hijau mengkilat, menempel pada karang atau
karang mati.
4. Dictyosphaera (D. caversona) dan jenis-jenis dari marga ini di Nusa Tenggara
Barat dinamakan bulung dan dimanfatkan sebagai sayuran.
5. Halimeda terdiri dari 18 jenis. Marga ini berkapur dan menjadi salah satu
penyumbang endapan kapur di laut. H. tuna terdiri dari rantai bercabang dari
potongan tipis berbentuk kipas. Alga ini terdapat di bawah air surut, pada
pantai berbatu dan paparan terumbu, tetapi potongan-potongannya dapat
tersapu ke bagian atas pantai setelah terjadi badai.
6. Chaetomorpha
mempunyai thallus atau daunnya berbentuk benang yang
mengumpal. Jenis yang diketahui adalah C. crassa yang sering terjadi gulma
bagi budidaya laut.
7.
Codium hidup menempel pada batu atau batu karang, tercatat ada enam jenis.
8. Dari marga
Udotea
tercatat dua jenis dan banyak terdapat di perairan
Sulawesi, seperti di Kepulauan Spermonde dan Selat Makasar. Alga
ini
tumbuh di pasir dan terumbu karang.
9. Tydemania (T. expeditionis) tumbuh di paparan terumbu karang yang dangkal
dan di daerah tubir pada kejelukan 5 – 30 m di perairan jernih.
10. Burnetella (B. nitida) menempel pada karang mati dan pecahan karang di
paparan terumbu.
11. Burgenesia (B. forbisii) mempunyai thalus membentuk kantung silendrik
berisi cairan warna hijau tua atau hijau kekuning-kuningan, menempel di batu
karang atau pada tumbuh-tumbuhan lain.
12. Neomeris (N. annulata), tumbuh menempel pada substrat pada karang mati di
dasar laut. N. annulata hidup di daerah pasut di seluruh perairan Indonesia.
6
Universitas Sumatera Utara
7
DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU
2.3.2. Phaeophyceae (Alga Coklat)
Phaeophyceae
adalah
ganggang
yang
berwarna
coklat/pirang.
Dalam
kromatoforanya terkandung klorofil a, karotin dan xanthofil tetapi yang terutama
adalah fikosantin yang menutupi warna lainnya dan menyebabkan ganggang itu
kelihatan berwarna pirang. Sebagai hasil asimilasi dan sebagai zat makanan
cadangan tidak pernah ditemukan zat tepung, tetapi sampai 50 % dari berat
keringnya terdiri atas laminarin, sejenis karbohidrat yang menyerupai dekstrin dan
lebih dekat dengan selulosa daripada zat tepung. Selain laminarin, juga ditemukan
manit, minyak dan zat-zat lainnya. Dinding selnya sebelah dalam terdiri atas
selulosa, yang sebelah luar dari pektin dan di bawah pektin terdapat algin. Selselnya hanya mempunyai satu inti. Perkembangbiakannya dapat berupa zoospora
dan gamet. Kebanyakan phaeophyceae hidup dalam air laut dan hanya beberapa
jenis saja yang dapat hidup di air tawar. Di laut dan samudera di daerah iklim
sedang dan dingin, talusnya dapat mencapai ukuran yang amat besar dan sangat
berbeda-beda bentuknya. Jenis ini termasuk bentos yang melekat pada batu-batu,
kayu sering juga sebagai epifit pada talus ganggang yang lain bahkan ada yang
hidup endofit (Tjitrosoepomo, 1994).
Phaeophyta (Alga coklat) sebagian besar dalam bentuk filamen atau
thalloid, umumnya ditemukan di laut, hanya beberapa jenis yang dapat ditemukan
di air tawar. Jenis yang ditemukan pada air tawar hidup dengan cara menempel
pada substrat seperti batu, tidak ada satu pun yang bersifat plantonik (Asriyana
dan Yuliana, 2012). Menurut Juwana dan Romimohtarto (2001), terdapat delapan
marga alga coklat yang sering ditemukan di Indonesia. Berikut ini adalah margamarga alga coklat diantaranya adalah:
1. Cystoseira sp. hidup menempel pada batu di daerah rataan terumbu dengan
alat pelekatnya yang berbentuk cakram kecil. Alga ini mengelompok bersama
dengan komonitas Sargassum dan Turbinaria. Alga ini mempunyai dua
atau tiga sayap longitudinal dengan pinggiran bergerigi. Sayap ini mencapai
lebih dari 0,5 cm lebarnya. Kantung udaranya terdapat di sepanjang thalus.
2. Dictyopteris sp. hidup melekat pada batu di pinggiran luar rataan terumbu
jarang dijumpai. Jenis alga ini banyak ditemukan di Selatan Jawa, Selat Sunda
dan Bali.
7
Universitas Sumatera Utara
8
DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU
3. Dictyota (D. bartayresiana), tumbuh menempel pada batu karang mati di
daerah rataan terumbu. Warnanya coklat tua dan mempunyai thallus
bercabang yang terbagi dua. Thallus yang pipih, lebarnya 2 mm.
4. Hormophysa (H. triquesa), hidup menempel pada batu dengan alat pelekatnya
berbentuk cakram kecil. Alga ini hidup bercampur dengan Sargassum dan
Turbinaria dan hidup di rataan terumbu.
5. Hydroclathrus (H. clatratus), tumbuh melekat pada batu atau pasir di daerah
rataan terumbu dan tersebar agak luas di perairan Indonesia.
6. Padina (P. australis), tumbuh menempel batu di daerah rataan terumbu, baik
di tempat terbuka di laut maupun di tempat terlindung. Alat pelekatnya yang
melekat pada batu atau pada pasir, terdiri dari cakram pipih, biasanya terbagi
menjadi cuping-cuping pipih 5 – 8 cm lebarnya. Tangkai yang pipih dan
pendek menghubungkan alat pelekat ini dengan ujung meruncing dari selusin
daun berbentuk kipas. Setiap daun mempunyai jari-jari 5 cm atau lebih.
7. Sargassum terdapat melimpah mulai dari air surut pada pasang-surut bulan
setengah ke bawah. Alga ini hidup melekat pada batu atau bongkohan karang
dan dapat menempel dari substratnya selama ombak besar dan menghanyut
kepermukaan laut atau terdampar di bagian atas pantai. Warnanya bermacammacam dari coklat muda sampai sampai coklat tua. Alat pelekatnya terdiri
dari cakram pipih. Di perairan Indonesia tercatat tujuh jenis, yakni
S.
polycystum, S. plagiophyllum, S. duplicatum, S. crassifolium, S. binderi, S.
echinocarpum, dan S. cinereum.
8. Turbinaria terdiri dari tiga jenis yang tercatat, yakni T. conoides, T. decurrens,
dan T. ornate. Alga ini mempunyai cabang-cabang silendrik dengan diameter
2 – 3 mm dan mempunyai cabang lateral pendek dari 1 - 1,5 cm panjangnya.
Alga ini terdapat di pantai berbatu dan paparan terumbu.
2.3.3. Rhodophyceae (Alga Merah)
Rhodophyceae memiliki warna merah sampai ungu. Kadang-kadang juga
lembayung atau pirang kemerah-merahan. Kromatoforanya berbentuk cakram
atau suatu lembaran, mengandung klorofil a dan karotenoid, tetapi warna itu
tertutup oleh zat warna merah yang mengadakan fluoresensi, yaitu fikoeritrin.
8
Universitas Sumatera Utara
9
DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU
Pada jenis-jenis tertentu terdapat fikosianin. Sebagian asimilasi terdapat sejenis
karbohidrat yang disebut tepung floride, yang juga merupakan hasil polimerasi
glukosa, berbentuk nulat, tidak larut dalam air, seringkali berlapis-lapis jika
dibubuhi yodium berwarna kemerah-merahan. Tepung ini sifatnya dekat dengan
glikogen
dan
tidak
terdapat
dalam
kromatoforanya,
melainkan
pada
permukaannya. Selain itu juga terdapat floridosida (senyawa gliserin dan
galaktosa ) dan tetes-tetes minyak. Kadang-kadang juga terdapat pirenoid.
Rhodophyceae kebanyakkan hidup di dalam air laut, terutama dalam lapisanlapisan air yang dalam, yang hanya dapat dicapai oleh cahaya bergelombang
pendek. Hidupnya bentos, melekat pada suatu substrat dengan benang-benang
pelekat atau cakram pelekat (Tjitrosoepomo, 1994).
Rhodophyta (alga merah) merupakan makroalga yang jarang ditemukan
di air tawar.
Alga merah ini tidak ada ditemukan yang bersifat plantonik.
Beberapa genera dari alga ini dapat ditemukan di air tawar yang merupakan
spesies endemik. Spesies dalam bentuk filamen (misalnya Batrachospermum)
hanya terbatas pada sungai yang berarus deras dengan kondisi oksigen yang bagus
dan airnya yang bersuhu dingin (Asriyana dan Yuliana, 2012).
Menurut Juwana dan Romimohtarto (2001), tercatat 17 marga terdiri dari
34 jenis. Berikut ini marga-marga alga merah yang ditemukan di Indonesia
diantaranya adalah:
1. Acanthophora terdiri dari dua jenis yang tercatat, yakni A. spicifera, dan A.
muscoides. Alga ini hidup menempel pada batu atau benda keras lainnya.
2. Actinotrichia (A. fragilis) terdapat di bawah pasut dan menempel pada karang
mati. Sebarannya luas terdapat pula di padang lamun.
3. Anansia (A. glomerata) tumbuh melekat pada batu di daerah terumbu karang
dan dapat hidup melimpah di padang lamun.
4. Amphiroa (A. fragilissima) tumbuh menempel pada dasar pasir di rataan pasir
atau menempel pada substrat dasar lainnya di padang lamun. Sebarannya luas.
5. Chondrococcus (C. hornemannii) tumbuh melekat pada substrat batu di ujung
luar rataan terumbu yang senantiasa terendam air.
9
Universitas Sumatera Utara
10
DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU
6. Corallina belum diketahui jenisnya. Alga ini tumbuh di bagian luar terumbu
yang biasanya terkena ombak langsung. Sebarannya tidak begitu luas terdapat
antaranya di pantai selatan Jawa.
7. Eucheuma adalah alga merah yang biasa ditemukan di bawah air surut ratarata pada pasang-surut bulan setengah. Alga ini mempunyai thallus yang
silindris, berdaging dan kuat dengan bintil-bintil atau duri-duri yang mencuat
ke samping pada beberapa jenis. Thallusnya licin. Warna alganya ada yang
tidak merah, tetapi coklat kehijau-hijauan kotor atau abu-abu dengan bercak
merah. Di Indonesia tercatat empat jenis, yakni E. denticulatum (E. spinosum),
E. edule, E. alvarezii (Kappaphycus alvarezii), dan E. serra.
8. Galaxaura terdiri dari empat jenis, yakni G. kjelmanii, G. subfruticulosa, G.
subverticillata, dan G. rugosa. Alga ini melekat pada substrat batu di rataan
terumbu.
9. Gelidiella (G. acerosa) tumbuh menempel pada batu. Alga ini muncul di
permukaan air pada saat air surut dan mengalami kekeringan. Alga ini
digunakan sebagai sumber agar yang diperdagangkan.
10. Gigartina
(G. affinis) tumbuh menempel pada batu di rataan terumbu,
terutama di tempat-tempat yang masih tergenang air pada saat air surut
terendah.
11. Gracilaria terdiri dari tujuh jenis, yakni G. arcuata, G. coronopifolia, G.
foliifera, G. gigas, G. salicornia, dan G. verrucosa.
12. Halymenia terdiri dari dua jenis, yakni H.durvillaei, dan H. harveyana. Alga
ini hidup melekat pada batu karang di luar rataan terumbu yang selalu
tergenang air.
13. Hypnea terdiri dari dua jenis, yakni H. asperi, dan H. servicornis. Alga ini
hidup di habitat berpasir atau berbatu, adapula yang bersifat epifit. Sebarannya
luas.
14. Laurencia terdiri dari tiga jenis yang tercatat, yakni L. intricate, L. nidifica,
dan L.obtusa. Alga ini hidup melekat pada batu di daerah terumbu karang.
15. Rhodymenia (R. palmata) hidup melekat pada substrat batu di rataan terumbu.
16. Titanophora
(T. pulchra) jarang dijumpai, jenis ini terdapat di perairan
Sulawesi.
10
Universitas Sumatera Utara
11
DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU
17. Porphyra
adalah alga cosmopolitan. Marga alga ini terdapat mulai dari
perairan subtropik sampai daerah tropik. Alga ini dijumpai di daerah pasut
(litoral), tepatnya di atas daerah litoral. Alga ini hidup di atas batuan karang
pada pantai yang terbuka serta bersalinitas tinggi.
2.4. Sebaran Makroalga
Menurut Connaugty dan Zatholi (1983) dalam Sahrel (2010), penyebaran
makroalga dibatasi oleh daerah litoral dan sublitoral dimana masih terdapat sinar
matahari yang cukup untuk dapat berlangsungnya proses fotosintesa. Di daerah ini
merupakan tempat yang cocok bagi kehidupan makroalga karena terdiri atas
batuan. Biasanya makroalga sedikit terdapat di perairan yang dasarnya berlumpur
atau berpasir.
2.5. Faktor Fisik Kimia Perairan
Di air hidup bermacam-macam organisme, dari yang berukuran kecil sampai
besar. Kehidupan organisme air sangat tergantung pada faktor fisik dan kimia air.
Perubahan faktor fisik-kimia air yang berpengaruh terhadap organisme daratan.
Faktor fisik dan kimia air yang sangat berpengaruh terhadap organisme air
berbeda dengan faktor iklim dan faktor fisik-kimia tanah. Perubahan faktor fisikkimia air dapat menyebabkan kematian bagi organisme air. Perubahan yang
terjadi dapat disebabkan karena limbah pabrik dan industri di sekitar perairan
yang mempengaruhi faktor fisik dan kimia (Suin, 2002).
Kehidupan biota laut naik tumbuh-tumbuhan maupun hewan dan mikroba
selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Faktor-faktor tersebut saling
berpengaruh satu sama lain atau terdapat satu faktor yang lebih menonjol
pengaruhnya daripada faktor-faktor lain. Seperti pada muara atau sungai, faktor
salinitas lebih menonjol pengaruhnya daripada faktor-faktor lain dalam kaitannya
dengan sebaran biota dari sungai ke laut dan sebaliknya. Faktor-faktor fisik yang
perlu diperhatikan pada lingkungan perairan sebagai tempat kehidupan biota laut
adalah gerakan air salinitas, suhu, cahaya, dan derajat keasaman (Juwanna dan
Romimohtarto, 2009).
11
Universitas Sumatera Utara
12
DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU
2.5.1. Suhu
Suhu permukaan perairan bergantung pada presipitasi, evaporasi, kecepatan angin,
intensitas cahaya matahari dan faktor fisik yang terjadi di dalam perairan.
Presipitasi air laut terjadi melalui curah hujan yang dapat menurunkan suhu air
permukaan laut. Evaporasi dapat meningkatkan suhu kira-kira 0,1°C pada lapisan
permukaan hingga kedalaman 10 meter dan hanya kira-kira 0,02°C pada
kedalaman 10-75 meter (Asriyana dan Yuliana, 2012).
Dibandingkan dengan udara, air mempunyai kapasitas panas yang lebih
tinggi. Dalam setiap penelitian pada ekosistem air, pengukuran temperatur air
merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan
berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktivitas biologis-fisiologis di dalam
ekosistem air yang sangat dipengaruhi temperatur. Semakin naik temperatur akan
menyebabkan kelarutan oksigen dalam air menjadi berkurang. Hal ini dapat
menyebabkan organisme air akan mengalami kesulitan untuk melakukan respirasi
(Barus, 2004).
2.5.2. Salinitas
Salinitas pada berbagai tempat di lautan terbuka yang jauh dari daerah
pantai variasinya sempit saja, biasanya antara 34-37 o/oo, dengan rata-rata 35 o/oo.
Perbedaan salinitas terjadi karena perbedaan dalam penguapan dan presipitasi.
Salinitas lautan di daerah tropik lebih tinggi karena evaporasi lebih tinggi,
sedangkan pada lautan di daerah beriklim sedang salinitasnya rendah karena
evaporasi lebih rendah. Di daerah pantai dan laut yang tertutup sebagian, salinitas
lebih bervariasi dan mungkin mendekati 0 di mana sungai-sungai besar
mengalirkan air (Nybakken, 1992).
2.5.3. Intensitas Cahaya
Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat
optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian
lagi akan dipantulkan ke luar dari permukaan air. Dengan bertambahnya
kedalaman lapisan air maka intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan
yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Barus, 2004).
12
Universitas Sumatera Utara
13
DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU
Banyaknya cahaya menembus permukaan laut dan menerangi lapisan
permukaan laut setiap hari dan perubahan intensitas dengan bertambahnya
kejelukan
memegang peranan penting dalam
menentukan pertumbuhan
fitoplankton. Cahaya yang menerangi daratan atau lautan biasanya diukur dalam
luxmeter
(Juwana dan Romimohtarto, 2009).
Makroalga mampu hidup pada situasi yang mendukung kehidupannya.
Termasuk salah satunya adalah kedalaman yang menjadikan ciri khas dari suatu
spesies makroalga. Intensitas cahaya yang masuk ke dalam suatu perairan sangat
diperlukan untuk mendukung berlangsung fotosintesis. Penetrasi cahaya matahari
yang terbatas akan membatasi kemampuan makroalga dalam melakukan
fotosintesis. Menurut Atmadja (1999), pencahayaan ada kaitannya dengan proses
fotosintesis bergantung pada kecerahan dan kedalaman air yang mempengaruhi
intensitas cahaya. Kehadiran dan kelimpahan makroalga akan berkurang pada
tempat-tempat yang lebih dalam dibandingkan dengan daerah yang lebih dangkal.
Makin jernih perairan akan lebih banyak cahaya yang menembus dan
memperlancar proses fotosintesis, mengakibatkan semakin bertambah baik dan
melimpahnya alga di daerah tersebut.
2.5.4. Penetrasi Cahaya
Penetrasi cahaya yang terbentuk akan berbeda pada sistem ekosistem air yang
berbeda. Pada batas akhir penetrasi cahaya disebut sebagai titik kompensasi
cahaya, yaitu titik pada lapisan air, di mana cahaya matahari mencapai nilai
minimum yang menyebabkan proses asimilasi dan respirasi berada dalam
keseimbangan. Dapat juga diartikan bahwa pada titik kompensasi cahaya ini,
konsentrasi karbondioksida dan oksigen akan berada dalam keadaan relatif
konstan (Barus, 2004).
Pencahayaan yang ada kaitannya dengan proses fotosintesis bergantung
pada kecerahan dan kedalaman air yang mempengaruhi intensitas cahaya.
Kehadiran dan kelimpahan alga di daerah terumbu karang, tampaknya berkurang
pada tempat-tempat yang lebih banyak cahaya menembus dan memperlancar
proses fotosintesis yang mengakibatkan akan bertambah baik dan berlimpahnya
alga yang tumbuh di tempat tersebut (Atmadja, 1999).
13
Universitas Sumatera Utara
14
DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU
2.5.5. Derajat Keasamaan (pH)
Organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral
dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang
ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5.
Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan
membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan
gangguan metabolisme dan respirasi (Barus, 2004).
Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu parameter yang dapat
menentukan produktivitas suatu perairan. pH perairan laut Indonesia pada
umumnya bervariasi antara 6,0-8,5, nilai pH maksimum terdapat pada zona
fotosintesis (Juwana dan Romimohtarto, 2009).
2.5.6. Oksigen Terlarut
Oksigen merupakan faktor yang paling penting bagi organisme air.
Semua
tumbuhan dan hewan yang hidup dalam air membutuhkan oksigen yang terlarut.
Oksigen yang terlarut dalam air berasal dari udara dan hasil fotosintesis tumbuhtumbuhan yang ada dalam air. Oksigen yang berasal dari hasil fotosintesis
tergantung pada kerapatan tumbuh-tumbuhan air dan lama serta intensitas cahaya
sampai ke badan air tersebut (Suin, 2002).
Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam
ekosistem air, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian
besar organisme air. Umumnya kelarutan oksigen dalam air sangat terbatas.
Dibandingkan dengan kadar oksigen di udara yang sangat mempunyai konsentrasi
sebanyak 21% volume air hanya mampu menyerap oksigen sebanyak 1% volum
saja (Barus, 2004).
2.5.7. Kandungan Nitrat dan Fosfat
Menurut Barus (2004), nitrat merupakan produk akhir dari proses penguraian
protein dan diketahui sebagai senyawa yang kurang berbahaya dibandingkan
dengan ammonium/amoniak atau nitrit. Nitrat adalah zat nutrisi yang dibutuhkan
oleh tumbuhan untuk dapat tumbuh dan berkembang, sementara nitrit merupakan
14
Universitas Sumatera Utara
15
DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU
senyawa toksik yang dapat mematikan organisme air. Fosfat merupakan unsur
penting lainnya dalam suatu ekosistem perairan.
Makroalga sebagai tanaman yang hidup di perairan membutuhkan nutrien
pada jumlah yang cukup dan seimbang guna mencapai produksi yang optimal.
Makroalga memerlukan unsur hara yang cukup untuk bertumbuh dan
berkembang, baik itu unsur hara makro maupun unsur hara mikro. Jika salah satu
unsur hara tidak tersedia, maka dapat menyebabkan pertumbuhan, perkembangan
serta produksi rumput laut terhambat. Penyerapan unsur hara akan menambah
nutrien dan kandungan agar. Unsur utama yang banyak dibutuhkan adalah nitrat
dan fosfat (Alamsjah, 2009).
2.6. Peran Makroalga Bagi Manusia
Makroalga merupakan salah satu komoditas perikanan yang penting di Indonesia.
Indonesia menduduki posisi penting dalam
produksi makroalga di dunia.
Produksi makroalga Indonesia mengalami peningkatan tiap tahun. Pada tahun
2008 produksi makroalga sebesar 2,2 juta ton dan mengalami peningkatan
mencapai 2,5 juta ton pada tahun 2009. Pada tahun 2014 produksi makroalga
Indonesia diperkirakan mencapai
10 juta ton. Angka ini masih rendah karena
potensi budidaya makroalga Indonesia mencapai 29 juta ton/tahun, yaitu 17 juta
ton/tahun budidaya makroalga di laut/daerah pasang surut dan 12 juta ton/tahun
budi daya di tambak (Kordi, 2011).
Makroalga merupakan salah satu sumber kekayaan laut di Indonesia yang
tumbuh dan menyebar hampir di seluruh wilayah perairan
Indonesia.
Diperkirakan sepanjang garis pantai sekitar 81.000 km diyakini memiliki potensi
makroalga yang sangat tinggi. Dari segi ekonomis rumput laut merupakan
komoditi yang potensial untuk dikembangkan mengingat nilai gizi yang
dikandungnya. Menurut kandungan zat yang terdapat pada rumput, maka rumput
laut dapat dijadikan bahan makanan seperti agar-agar, sayuran, kue dan
menghasilkan bahan algin, karaginan dan furcelaran yang digunakan dalam
industry farmasi, kosmetik, tektil dan lain-lain (Miarni, 2004).
Khusus mengenai vegetasi makroalga di perairan laut, umumnya
merupakan komponen dari ekosistem terumbu karang. Keberadaanya sebagai
15
Universitas Sumatera Utara
16
DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU
organisme produsen memberikan sumbangan berarti bagi kehidupan binatang
akuatik terutama herbivor di laut. Dari segi ekologisnya makroalga ini berfungsi
juga sebagai penyedia karbonat dan pengokoh substrat dasar pada perairan yang
sangat bermanfaat bagi stabilitas dan kelanjutan keberadaan terumbu karang di
dalam perairan tersebut . Selain itu bermanfaat sebagai penunjang kebutuhan
hidup manusia sebagai bahan pangan dan industri (Atmadja, 1999).
Makroalga merupakan salah satu sumberdaya hayati dari perairan
yang sangat potensial
untuk dikembangkan
dan telah tersebar di
wilayah
perairan nusantara terutama di daerah pesisir intertidal dan pulau-pulau
karang. Sumber daya ekonomi kelautan terdiri dari sumber daya hayati
(terutama perikanan, rumput laut, dan mutiara); dan sumber daya non hayati,
seperti pertambangan, perhubungan laut, industri maritim, dan
pariwisata
bahari (Ismail, 2009).
Jenis-jenis makroalga menjadi penting secara ekonomi disebabkan
oleh senyawa polisakarida yang dikandungnya. Jenis-jenis yang biasanya mudah
ditemukan di perairan Indonesia adalah marga Eucheuma
(penghasil
dan
Hypnea
karaginan), Gracilaria dan Gelidium (penghasil agar), serta
Sargassum dan Turbinaria (penghasil alginat). Penghasil karaginan (karaginofit)
dan penghasil agar (agarofit) masuk
kedalam kelas Rhodophyceae atau alga
merah, sedangkan penghasil alginat (alginofit) berasal dari kelas Phaeophyceae.
Indonesia merupakan penghasil agar-agar yang berasal dari genus Gracilaria,
Gelidium, Pterocladia, Acanthopeltis dan
ceramium. Kini Indonesia menjadi
negara dengan kapasitas terbesar di dunia (Kordi, 2010).
Kandungan
bahan-bahan organik
yang
terdapat
merupakan sumber mineral dan vitamin dalam pembutan
dalam makroalga
agar-agar,
salad
rumput laut maupun agarose. Agarose merupakan salah satu jenis agar yang
telah digunakan dalam percobaan dan penelitian dibidang bioteknologi dan
mikrobiologi. Potensi makroalga
sebagai sumber makanan (terutama rumput
laut), di Indonesia telah dimanfaatkan secara komersial dan secara intensif telah
dibudidayakan terutama dengan teknik polikultur (kombinasi ikan dan rumput
laut) (Bachtiar, 2007).
16
Universitas Sumatera Utara
Download