Otonomi Daerah dan Strategi Pemberdayaan

advertisement
Otonomi Daerah
dan Strategi Pemberdayaan Masyarakat1
Gumilar Rusliwa Somantri
I
Sejak tahun 1970-an, masyarakat Indonesia telah terintegrasi pada sistem
ekonomi kapitalis dunia. Mulai dekade tersebut daerah-daerah di
Indonesia berkembang pesat. Kemudian stagnan dan lambat pada krisis
ini. Memang perkembangan di atas lebih dapat diamati dalam konteks
kota. Dalam hal ini pembangunan lebih bias kota dan cenderung
mengenyampingkan
perdesaan.
Tidaklah
mengherankan
apabila
kesenjangan kota dan desa muncul. Lebih dramatis lagi, kota-kota
berkembang secara tidak seimbang. Terdapat kota utama yang
berkembang pesat, namun kota-kota lain bersifat periferal dan tumbuh
lambat.
Sebagai contoh kota Jakarta muncul sebagai kota utama yang relatif
“maju”, “modern”, “makmur”. Penduduk kota Jakarta pada awal tahun
1970 berjumlah sekitar 4 juta orang. Jumlah ini berlipat menjadi sekitar 12
juta di tahun 2001 ini (estimasi konservatif). Sedangkan luas wilayah kota
dalam kurun waktu yang sama bertambah dari sekitar 300 km2 menjadi
sekitar 700 km2. Sementara itu, kepadatan penduduk pun turut meningkat
pesat. Catatan statistik memperlihatkan bahwa kepadatan penduduk
(population density) Jakarta dewasa ini berada pada kisaran di atas 13
ribu orang per km2. Pertumbuhan kota di atas di sumbang oleh tiga hal.
Pertama adalah jumlah migrasi masuk (net in migration). Kedua, adalah
kelahiran alamiah. Dan ketiga adalah aneksasi wilayah perdesaan menjadi
bagian dari administrasi-politik Jakarta.
Gambaran di atas sangat kontras dengan situasi kota lain, misalnya
Mataram, yang relatif kecil. Perubahan dari segi perkembangan kota dari
1 Makalah disampaikan dalam pelatihan TOT Peningkatan Kualitas SDM Aparat Pusat dan Propinsi di
bidang Pemberdayaan Masyarakat, 21 September-3 Oktober, Pusat Studi Pembangunan, IPB Bogor.
tahun 1970-an hingga kini memang ada. Namun, perubahan tidak terjadi
secara dramatis seperti dialami kota-kota metropolitan. Penduduk kota ini
bertambah memang hampir dua kali lipat selama tiga dasawarsa terakhir.
Demikian pula perluasan wilayah kota terjadi secara signifikan. Namun
kawasan-kawasan bisnis di kota ini relatif lamban berkembang, meskipun
untuk sektor industri parawisata mengalami kemajuan besar.
Salah satu solusi untuk mengurangi kesenjangan antar daerah, kota,
bahkan kawasan adalah otonomi daerah. Ia sebagai konsep telah lama
diwacanakan. Namun demikian, keputusan politik berupa perumusan
konsep dalam bentuk peraturan perundang-undangan baru dilakukan
beberapa tahun yang lalu. Implementasi dari otonomi daerah ini kini masih
tersendat-sendat dan terkantuk beberapa hal seperti SDM yang belum
memadai, budaya birokratis serta masyarakat yang tidak kondusif, dan
sebagainya. Sebagai contoh, SDM terbaik daerah selama ini banyak
terserap ke Jakarta. Hal ini dimengerti karena pada sistem yang
sentralistik, kesempatan karier dan lain sebagainya lebih menjanjikan
apabila mereka berada di pusat. Budaya birokrasi pun tidak kalah penting
untuk disimak. Selama tiga dekade rekrutmen staf birokrasi bias
kepentingan politik partai pemerintah. Rekrutmen tidak didasarkan pada
perhitungan yang mengacu pada efisiensi dan profesionalitas, namun
lebih merujuk pada pertimbangan sosial politik. Birokrasi menjadi “gemuk”,
“idle” dan bersifat “high-cost”. Dalam situasi seperti korupsi dapat meruyak
dipelbagai lapisan, karena kontrol yang lemah dan tingkat gaji yang
rendah. Di tengah situasi tersebut, pemerintah mengambil posisi sebagai
aktor utama dari pembangunan dan tidak memberi ruang untuk tumbuh
subur partisipasi/pemberdayaan masyarakat. Aspek budaya ini tampaknya
hingga kini masih kental melekat di tingkat birokrasi maupun masyarakat.
II
Budaya korupsi merupakan penyakit yang harus dikikis di era otonomi
daerah. Upaya yang dilakukan tampaknya perlu bersifat komprehensif.
Pertama harus diciptakan suatu keteladanan dari para pemimpin untuk
bersikap jujur, bersih, dan mempunyai integritas. Langkah kedua kedua
2
diciptakan semacan “anti-corruption scheme”. Hal tersebut merupakan
langkah sistimatis dan strategis dalam upaya membersihkan birokrasi dari
korupsi. Skim ini mulai dengan batasan dan pemahan yang jelas
mengenai tindak korupsi, perumusan dalam bentuk tata aturan hukum,
pembenahan
bertahap,
birokrasi
penerapan
termasuk
perbaikan
manajemen
dan
kesejahteraan
pengawasan
secara
terbuka,
dan
sebagainya. Hal ketiga yang perlu dilakukan adalah law-enforcement.
Penegakan hukum ini dilakukan secara tegas, keras dan kosisten
sehingga terdapat suatu kepastian dikalangan anggota masyarakat
mengenai implikasi pelanggaran hukum.
III
Otonomi daerah mempunyai saudara kembar, yaitu partisipasi masyarakat
(citizen participation). Partisipasi masyarakat dengan demikian identik
dengan otonomi daerah. Dengan kata lain, otonomi daerah sukar
dibayangkan untuk sukses tanpa partisipasi dari warga masyarakat. Hal ini
terkait dengan bergesernya peranan pemerintah dari “gardening” menuju
“game-keeper”.
Masyarakat Indonesia kini tengah memasuki era kehidupan global. Dalam
kaitan ini globalisasi difahami sebagai proses yang ditandai oleh adanya
mobilitas yang semakin aneka ragam di atas muka bumi ini. Mobilitas fisik,
uang, imaji, barang, hingga sampah kini terjadi secara lintas masyarakat.
Mobilitas yang diverse di atas dapat bersifat hibrid (Urry, 1999).
Perkembangan di atas secara nyata merubah peran negara, termasuk
pemerintah daerah (local state). Peran ini, meminjam istilah Bauman
(1997), berubah dari “gardening” menjadi “gamekeeper”.
Peran pertama (gardening) merujuk pada peran pemerintah daerah yang
demikian
“besar”.
Peranan
tersebut
analog
dengan
seorang
pekebun/petani yang tengah melakukan kegiatan “bertani”. Dalam kaitan
ini, analogi menunjukan terdapat pembedaan yang tegas antara “kebun”
(garden) dan pekebun (gardener). Pekebun terlibat dalam aspek detil
kegiatan pengolahan kebun seperti menentukan jenis tanaman, metoda
3
dan praktek bercocok tanam, bahkan jenis ternak yang terdapat di area
pertanian tersebut.
Secara lebih kongkret peran pemerintah daerah di atas dicontohkan oleh
fenomena “developmentalist state” (negara/pembangun) dari pemerintah
daerah selama tiga dasa warsa silam. Pemerintah daerah selain berperan
di level regulasi juga menjadi aktor pembangunan yang signifikan.
Sementara itu para wakil rakyat berperan dalam menentukan mana yang
perlu dan tidak perlu untuk digarap. Dalam posisi serupa, ilmuwan sosial
dilibatkan dilibatkan dalam proses “husbandry” sumber daya. Mereka
memberikan sodoran model-model intervensif serta masukan mengenai
apa yang perlu dan tidak perlu diprioritaskan.
Peranan pemerintah daerah seperti digambarkan di atas di era global
berubah pada bentuk fasilitatif (“gamekeeper”). Ia seyogyanya tidak
masuk ke area detail. Negara mempunyai peran regulatif, yaitu mengatur
lalu lintas “gembalaan” (modal, barang, informasi, dsb.) di dalam arealnya,
maupun secara lintas area (lintas batas masyarakat baik secara nasional
maupun internasional). Dengan kata lain, peran pemerintah daerah
melalui kebijakan dan regulasi diibaratkan sebatas menjaga “jumlah
khewan buruan” agar mencukupi bagi para “pemburu” yang akan
melakukan kegiatan perburuan pada musim tertentu. Para wakil rakyat,
dalam konteks ini, layaknya lebih disibukan dengan persoalan mendasar
masyarakat yang lebih eksistensial-universal. Dalam cara pandang yang
sama, para ilmuwan sosial, dengan orientasi pada pemeliharaan
semangat keilmuan yang otonom, hirau pada penciptaan iklim yang
kondusif bagi perkembangan civil society.
III
4
Jadi, “mitos” bahwa pemerintah daerah bersifat “superior” di atas kini tidak
relevan
lagi
dan
perlu
dirubah.
Pemerintah
daerah
mempunyai
keterbatasan yang nyata dalam banyak hal termasuk sumber daya
manusia, finansial, dan informasi yang akurat mengenai mekanisme
kongkrit kehidupan dan kebutuhan warganya. Warga “miskin”, yang
merupakan bahagian terbesar penduduk tidaklah mungkin dientaskan oleh
program-program pemerintah yang berfokus pada indikator output
ekonomi dan pembagian sumber daya finansial. Mereka membutuhkan
sentuhan yang berbeda, yaitu yang menempatkan mereka sebagai fokus
utama. Langkah pembangunan sosial pun dapat ditempuh dengan
pendekatan empatis, people centred social development, sehingga
partisipasi dan sinergi daya masyarakat dapat diciptakan.
Perlu dicatat di sini, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sejalan
dengan semangat di atas. Pertama, penggunaan kekuasaan dalam setiap
implementasi pembangunan sosial termasuk perencanaan, sepatutnya
disosialisasikan terlebih dahulu. Kedua, pemunculan lembaga baru akan
lebih bermanfaat (fungsional) jika ditempuh melalui mekanisme “bottom
up” yang demokratis. Ketiga, proses belajar masyarakat dalam “lembaga
baru” tersebut bersifat kontekstual-alamiah. Selain ketiga hal di atas, kami
mencatat signifikansi pemanfaatan teknologi yang bersifat lokal serta
dipadukan dengan pengetahuan “akademis”. Proses pemaduan ini sangat
tergantung pada kepiawaian “manajer pembangunan” bertindak fasilitatif.
IV
Contoh pendekatan yang keliru dapat disimak dalam praktek program JPS
di masa krisis sosial melanda berbagai kawasan di Indonesia. Krisis
(crisis) dimengerti secara umum sebagai “an unstable or crucial time or
state of affairs” (Webster’s New Encyclopedic Dictionary 1994). Secara
sfesifik, krisis sosial mengacu pada kehidupan masyarakat yang penuh
ketidakpastian, rawan, mempunyai kohesi yang rapuh, serta lemahnya
peranan negara. Indikasi dari lahirnya krisis sosial dapat disimak dewasa
ini seperti semakin menyedihkannya kualitas anak didik, maraknya
fenomena anak jalanan, rawan pangan yang merebak di perkotaan dan
5
perdesaan, tingkat kriminalitas yang meningkat secara dramatis, penafian
hukum, pelanggaran hak asasi kerap terjadi, lemahnya moral birokrasi,
serta bangkitnya visi komunalisme yang sempit dan destruktif.
Sebagaimana dikenal luas, salah satu langkah kongkrit yang diambil
pemerintah, untuk mengurangi intensitas maupun dampak krisis sosial
bagi kalangan miskin adalah program Jaring Pengaman Sosial (social
savety net program). Program ini telah dilaksanakan dalam bentuk lain
jauh sebelum krisis melanda. Program pengentasan kemiskinan Orde
Baru, lengkap dengan segala kekuranganya, dapat dilihat sebagai bagian
dari hal ini. Sedangkan penerapan pada masa krisis semakin banyak di
dukung oleh dana pinjaman dari Bank Dunia. Distribusi dana telah banyak
dilakukan meskipun dinilai masih lambat. Kelambatan ini diakibatkan tidak
adanya infrastruktur sistem distribusi yang komunikatif terhadap pola
kehidupan sosial masyarakat sasaran program Selama penerapan yang
telah dilakukan terutama pada paruh terakhir 1998 dan awal tahun ini,
evaluasi menunjukkan bahwa efektivitas program ini sebagai salah satu
langkah mengatasi krisis sosial adalah relatif rendah.
Program ini secara idealistik sangat baik, yaitu menolong lapisan
masyarakat yang berada dalam kondisi “emergensi”, sehingga mereka
dapat bangkit dan pada gilirannya membawa dampak pada daya tahan
serta
perbaikan
ekonomi
secara
keseluruhan
(lihat
Gunawan
Sumodiningrat 1999). Namun sayangnya titik berat implementasi program
lebih bersifat jangka pendek, “delivery”, dan sekali beri. Implementasi
semacam ini terbukti merupakan salah satu major culprits dari kegagalan
JPS selama ini di tanah air kita. Program ini akhirnya bersifat tidak
mendidik,
mengajarkan
ketergantungan,
dan
menebar
bibit
baru
penyalahgunaan uang rakyat (lihat Rubin dan Rubi 1987). Faktor
kegagalan lain terletak pada pelaksanaan program yang mengandalkan
birokrasi yang ditandai struktur yang rentan penyelewengan dan korupsi.
Transparansi alokasi program dan pertanggungjawaban sulit diharapkan
dalam mekanisme kronis seperti saat ini.
6
Bahkan secara politik, praktek program ini mengundang kecurigaan
sementara masyarakat bahwa pemerintah mempergunakannya sebagai
instrumen “money politics”. Hal ini bertalian dengan waktu pelaksanaan
program,
yang
entah
secara
kebetulan,
berdekatan
dengan
penyelenggaraan Pemilu Juni 1999. Dana JPS diperoleh dari pinjaman
luar negeri, berarti uang rakyat yang diperoleh dari berhutang. Jadi dana
ini bukan milik pemerintah (rejim) atau partai politik yang berkuasa, namun
milik negara atau seluruh rakyat yang harus dipergunakan secara
bertanggung jawab.
Faktor lain yang melemahkan aksi JPS di lapangan selama ini, terkait juga
dengan aspek tidak jelasnya tataran intervensi. Pemerintah hanya
membagi sasaran berdasarkan sektor seperti pendidikan, kesehatan,
pertanian, ketenagakerjaan dan sebagainya. Padahal, yang paling penting
diperhatikan adalah tataran mikro intervensi seperti dilakukan di tingkat
komunitas.
Kalau pun ada disadari pentingnya tataran ini, pemahaman diwarnai
penyamarataan struktur sosial setempat seperti keberadaan elit lokal yang
potensial dalam rangka pemberdayaan masyarakat (Wirutomo 1997).
Selanjutnya, pemahaman semacam ini menafikan pula struktur dan
organisasi sosial lokal yang sebenarnya merupakan “entry point” yang
efektif untuk mengatasi persoalan mikro secara berkesinambungan seperti
upaya mengatasi krisis sosial di atas.
Menilik beberapa kekeliruan seperti digambarkan di atas, program JPS
yang secara real ditopang dana pinjaman luar negeri yang cukup besar,
implementasinya harus mendapat koreksi total di tingkat palsafah strategi
maupun implementasi. Palsafah dari JPS adalah pemberdayaan sosial
(social empowerment). Jadi program ini sebaiknya bersifat mendidik untuk
mampu mengatasi permasalahan dengan mengerahkan potensi sendiri.
Jadi program bersifat berkelanjutan, dana yang diberikan bernuansa
dampingan, dan ditumbuhkan perilaku kolektif ditingkat mikro yang
mencerminkan nilai rukun, perduli, mandiri dan produktif dari ide dasar
7
JPS yang semestinya berorientasi pada agenda lebih luas seperti
pemberdayaan, demokratisasi, dan penegakkan hak asasi dalam
kerangka pembangunan civil society. Dalam konteks ini civil society
dipahami sebagai “a social sphere of freedom, voluntary association, and
plurality of human relationships, identities, differences, and values as
contrsted with the coercive political power of state and government (Lihat
Payne 1998).
Peranan
pemerintah
daerah
dalam
pembangunan
masyarakat
seyogyanya bergeser ke bentuk yang lebih fasilitatif. Namun demikian,
pergeseran
ini
masih
memungkinkan
pemerintah
daerah
untuk
mengembangkan secara optimal program pembangunan sosial. Berbicara
mengenai pembangunan sosial di perkotaan, salah satu hal yang perlu
ditempuh
adalah
“masyarakat”
memilih
sebagai
strategi
fokus
pembangunan
utama.
Dengan
yang
demikian,
melihat
program
pembangunan sosial akan dijalankan dalam pijakan potensi lokal. Strategi
ini
mencakupi
tehnik
yang
cermat
dalam
pemanfaatan
pengetahuan/teknologi lokal, organisasi akar rumput, dan sebagainya.
Namun demikian, langkah ini perlu dibarengi dengan kebijakan ekonomi
politik, agar langkah pemberdayaan lebih produktif. Bagian terakhir tulisan
ini akan mengupas perspektif “baru” pemberdayaan masyarakat.
V
Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu prioritas utama.
Masyarakat perlu dipersiapkan agar mampu menciptakan tata nilai,
perilaku, dan arena demokrasi. Sementara itu, secara ekonomi,
masyarakat dapat menikmati kiprah di tataran rumah tangga, komunitas,
maupun sistemik ditengah beroperasinya mekanisme ekonomi pasar.
Demikian pula, secara sosial ia terhimpun dalam aneka ragam asosiasi
lokal sebagai ujung tombak kehidupan multi-kultur yang produktif.
Pemberdayaan masyarakat banyak mengalami kemajuan jika dilihat jauh
ke belakang. Pada
tahun awal
1980-an, konsep pemberdayaan
masyarakat diterima dengan syak wasangka pemerintah pusat dan
8
daerah. Ia dilihat sebagai “ancaman” terhadap kemapanan pendekatan
keamanan yang bersifat fisik, mudah, dan kurang cerdas. Pada awal
1990-an, tekanan” dari lembaga-lembaga eksternal dan, untuk tingkatan
tertentu, internal “mengarahkan pemerintah untuk lebih serius mengadopsi
konsep tersebut. Namun, wujud konsep dan implementasi bersifat“hibrid”,
distortif, serta tuna “ruh”.
Memasuki
abad
ke-21,
di
awal
tahun
2000-an
ini,
semangat
pemberdayaan masyarakat telah merasuki birokrasi, praktisi sosial,
bahkan kelompok masyarakat lokal itu sendiri. Hawa segar ini dibarengi
perkembangan metode yang kreatif, namun mandul di tataran strategis.
Hal ini tampaknya bertalian dengan “ketertinggalan” horison filosofis dan
teoritis.
Metode community development serta turunan inovatifnya yang lebih
menekankan fokus pada “orang”, partispatoris, serta nilai dan teknologi
lokal; kehilangan ketajaman dalam menciptakan perubahan. Ia tenggelam
dalam lautan ekonomi-politik yang secara sistemik memandulkan setiap
langkah stimulasi dan intervensi. Kembali di tataran hasil pemberdayaan
masyarakat, dilakukan oleh siapa pun, menjadi asesoris sosial yang mahal
dengan hasil minimal.
Perlu menggeser cara pandang konvensional ke arah yang mengakar
dengan
perkembangan
filosofis
dan
teoritis
baru
dalam
rangka
pemberdayaan masyarakat. Di tengah mobilitas global yang semakin
“diverse”, peranan negara sukar diletakan pada wujud “gardening”,
developmentalis, serta dominan. Ia perlu bergeser ke arah “game-keeper”,
fasilitatif, serta terbatas. Negara, termasuk di tingkat lokal, berperan dalam
pemberdayaan di tataran regulasi dan atmosfir yang kondusif bagi
masyarakat untuk bernafas menurut ritmenya sendiri.
Namun terdapat transisi yang perlu diteratas. Pada era ini pembangunan
masyarakat
perlu
diprioritaskan
pada
tiga
dimensi
triangular:
1)
pengakuan atas hak tanah dan tempat tinggal warga; 2) pemberdayaan
9
ekonomi rumah tangga dan komunitas; dan 3) kanalisasi politik warga.
Jika sukses menjalankan tiga strategi di atas, ritme nafas masyarakat
akan produktif dalam ruang negara yang nyaman.
Referensi
Fischer, C (1984) The Urban Experience. Harcourt, New York.
Jarry, R and J. Jarry (1987) Dictionary of Sociology. Collins, London.
Krausse, G (1975) “Kampung of Jakarta”. Dissertation at Pitsburg University.
Nakagawa, N (1998) The Crisis in Indonesia (unpublished paper). PSJ-UI,
Jakarta.
Payne, Michael (ed.) (1998) A dictionary of Cultural and Critical Theory.
Blackwell, Cambridge.
Rubin, Herbert J and Irene Rubin (1992) Community Development and
Community Organization. Macmillan, New York.
Somantri, Gumilar (1995) Migration within Cities: A Study of Socioeconomic
Processes, Intra-City Migration, and Grassroots Politics in Jakarta. UMI,
Michigan.
Somantri, Gumilar (2000) Village in Motion. Time Publisher, Singapore.
Urry, John (1999) Sociology beyond Societies. Routledge, London.
Webster New Encyclopedic Dictionary 1994. HR, New York.
10
Download